Anda di halaman 1dari 1014

PENDEKAR 2 NEGERI TAYLI Sinar hidjau berkelebat, sebatang pedang Djing-kong-kiam ditusukan tjepat kepundak kiri seorang laki2

setengah umur. Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, penjerang itu sudah menggeser kesamping dan menjerang pula keleher kanan laki2 itu. Waktu laki2 setengah umur itu tegakan pedangnja, trang terbenturlah kedua pedang dengan suaranja jang njaring, menjusul mana sinar pedang gemerlapan pula, dalam sekedjap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa djurus lagi. Mendadak pedang laki2 setengah umur tadi menabas sekuatnja keatas kepala pemuda jang memakai pedang Djing-kong-kiam, namun sedikit mengegos kesamping, pemuda itu balas menusuk paha lawan.

Serang-menjerang kedua orang itu tjepat lawan tjepat, setiap djurus se-akan2 mengadu djiwa.

Disudut Lian-bu-thia atau ruang melatih silat itu berduduk seorang tua berumur setengah abad lebih, sambil meng-elus2 djenggotnja jang pandjang, sikapnja tampak sangat senang. Dikedua sampingnja berdiri lebih 20 orang anak muridnja laki2-perempuan, semuanja lagi mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh perhatian.

Disampingsanaberduduk belasan tamu undangan, merekapun tjurahkan perhatian mengikuti pertandingan ditengah kalangan itu dengan mata tak berkesip. Sementara itu sudah lebih 70 djurus pertandingan laki2 setengah umur melawan sipemuda tadi. Serang-menjerang makin lama makin sengit dan berbahaja, tapi tetap belum tampak siapa akan menang atau kalah.

Se-konjong2 pedang laki2 setengah umur itu menabas sekuatnja, agaknja terlalu keras menggunakan tenaga hingga tubuhnja kehilangan imbangan dan sedikit terhujung.

Nampak itu, tiba2 seorang pemuda berbadju putih diantara tetamu tadi mengikik tawa geli, tapi pemuda itu segera insaf kelakuannja jang tak pada tempatnja itu, tjepat ia tekap mulutnja sendiri.

Dan pada saat itulah, mendadak sipemuda jang menggunakan Djing-kong-kiam memukul dengan telapak tangan kiri kepunggung laki2 setengah umur.

Karena lelaki itu lagi sempojongan, ia sekalian bungkukan tubuh kedepan, berbareng pedangnja memutar dengan tjepat sambil membentak: Kena! ~ Kontan kaki kiri lawan kena ditusuknja.

Pemuda itu sempojongan, untung pedangnya sempat dipakai menahan; ia tegakan tubuh dan bermaksud menempur lagi. Namun laki2 setengah umur itu sudah kembalikan pedang kesarungnja, katanja dengan tertawa: Maaf, Tu-sute, lukamu tidak berat, bukan?

Dengan muka putjat pemuda she Tu itu mendjawab sambil menggigit bibir: Terima kasih atas kemurahan hati Kiong-suheng!

Kesudahan pertandingan itu rupanja membuat si kakek berdjenggot tadi bertambah girang, dengan tersenjum ia berkata: Sampai babak ini, Tang-tjong kami sudah menang tiga kali, tampaknja Kiam-oh-kiong ini masih ingin dihunilimatahun lagi oleh Tang-tjong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding lagi?

Maka djawablah seorang To-koh atau imam perempuan, jang berduduk dipojok baratsanadengan rasa penasaran: Ja, Tjo-suheng ternjata pintar mendidik murid. Tapi selamalimatahun ini entah sampai dimana pejakinan Tjo-suheng terhadap Bu-liang-giok-hik.

Tiba2 kakek berdjenggot itu melotot, sahutnja: Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan golongan kita?

Teguran itu membuat To-koh tadi mendjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bitjara lagi.

Kiranja kakek berdjenggot itu bernama Tjo Tju-bok, dalam Kan-gouw terkenal dengan djulukan It-kiam-tin-thian-lam atau sebatang pedang mendjagoi kolong langit Selatan. Ia adalah Tjiangbundjin atau ketua Bu-liang-kiam sekte Timur. Sedang imam perempuan tadi bergelar Siang-djing dengan djulukan Hun-kong-tjiok-eng atau menembus sinar menangkap bajangan, ia adalah ketua Bu-liang-kiam sekte Barat.

Bu-liang-kiam sebenarnya terbagi dalam Tang-tjong, Lam-tjong dan Se-tjong, atau sekte2 Timur, Selatan dan Barat. Tapi sudah lama sekte Selatan terpentjil lemah, sebaliknya sekte2 Timur dan Barat banjak timbul tunas2 baru. Sedjak Bu-liang-kiam berdiri pada achir dinasti Tong, lalu terbagi mendjadi

tiga sekte pada permulaan dinasti Song, seterusnya tiap2 lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu tentu berkumpul di Kiam-oh-kiong atau istana danau pedang untuk mengukur kekuatan, sekte mana jang menang, berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu bertanding lagi pada tahun keenam jang akan datang. Sekte mana jang menangkan tiga babak dalam pertandinganlimababak, dianggap menang. Maka selamalimatahun mengaso itu, jang kalah semakin giat melatih diri agar bisa merebut kemenangan dalam pertandingan jang akan datang, sebaliknja jang menang djuga tidak berani lengah. Tapi selama berpuluh tahun, selamanja sekte Selatan tidak pernah menang, sedang sekte Timur dan Barat masing2 saling bergantian mendjadi djuara.

Sampai pada tangannja Tjo Tju-bok dan Sin Siang-djin, Tang-tjong sudah menang dua kali dalam pertandingan2limatahunan itu, sebaliknya Sekte Barat baru sekali menang. Pertandingan laki-laki setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki2 she Kiong itu, sekte Timur sudah menang tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu dilandjutkan.

Nama Bu-liang-kiam sudah lama tersohor dikangouw, ditambah lagi patuh pada peraturan pertandinganlimatahunan diantara golongan sendiri itu, maka ilmu pedang mereka makin lama semakin bagus. Karena sibuk memikirkan perang saudara itulah maka djarang mereka bertengkar dengan orang luar, tokoh2 mereka kebanjakan hidup aman tenteram sampai hari tua, djarang terbinasa karena bunuh membunuh dalam permusuhan dengan orang Kangouw luar.Pulasekte2 Timur dan Barat itu memandang pertandinganlimatahunan itu besar sangkut-paut dengan kehormatan sekte masing2, maka diwaktu mengadjar murid, sang guru mentjurahkan sepenuh hati tenaga, sebaliknja sang murid giat melatih siang-malam tidak kenal lelah, sehingga banjak djurus2 ilmu pedang baru jang ditjiptakan oleh setiap angkatan.

Diantara orang-orang jang duduk dipodjok barat itu, ketjuali Siang-djing, masih banjak pula tamu2 tokoh Bu-lim terkemuka jang diundang oleh kedua sekte itu untuk hadir sebagai saksi dan djuri. Diantara kedelapan orang saksi jang hadir itu, semuanja adalah djago2 persilatan terkemuka didaerah Hunlam. Hanja sipemuda badju putih tadi jang sama sekali tidak terkenal dan dikenal, tapi djusteru ia telah tertawa geli ketika melihat laki2 she Kiong itu rada sempojongan.

Pemuda badju putih itu ikut hadir bersama djago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek. Sebagai saudagar teh jang kaja-raja, Be Ngo-tek terkenal sangat terbuka, setiap orang persilatan jang sedang dirundung nasibmalangdan datang minta bantuannja, pasti dia melajani dengan segala senang hati. Sebab itulah pergaulannja dengan orang Bu-lim sangat luas, sebaliknya tentang ilmu silatnja tiada jang luar biasa.

Ketika hadir dan mendengar Be Ngo-tek memperkenalkan pemuda badju putih itu she Toan, Tjo Tju-bok tidak menaruh perhatian apa2, sebab Toan atau nama

keluarga keradjaan Tay-li didaerah Hunlam jang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan itu tentu adalah murid Be Ngo Tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu biasa sadja muridnja tentu djuga tidak susah untuk diukur. Maka ia hanja menjambut mereka ketempat duduk jang sudah disediakan. Siapa duga pemuda itu telah mentertawai anak murid Tjo Tju-bok ketika pura2 menggunakan tipu pantjingan tadi.

Dalam pada itu karena sudah menang tiga kali diantara empat babak pertandingan, kemenangan sekte Timur sudah pasti, maka beberapa2 tokoh jang mendjadi djuri, seperti murid tertua dari Tiam-djong-pay, Liu Tji-hi; Leng-siau-tju, imam dari kuil Giok-tjin-koan di Ay-lo-san; Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, be-ramai2 sama mengutjapkan selamat pada Tjo Tju-bok.

Dengan tertawa senang Tjo Tju-bok berkata: Empat murid jg diadjukan Sin-sumoay tahun ini, ilmu pedangnja ternjata boleh djuga, lebih2 babak ke-empat ini, kemenangan kami boleh dikata sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit jang masih muda ini tidaklah terbatas hari depannja, bukan mustahillimatahun berikutnja sekte2 Timur dan Barat kita akan bertukar tempat, Hahaha! ~ Begitulah habis ter-bahak2, mendadak lirikan matanja mengarah pada pemuda she Toan, lalu berkata pula: Tadi muridku jang tak betjus itu menggunakan tipu pantjingan untuk menangkan lawan, tapi saudara ini tampaknja merasa tidak tepat. Kita adalah orang sendiri, djika Toan-heng ada minat, marilah silahkan turun kalangan memberi petunjuk sedjurus-dua? Be-goko namanja menggontjangkan Tinlam (Hunlam selatan), dibawah panglima pandai tiada peradjurit lemah, tentu sadja anak muridnja tidak boleh dipandang enteng.

Muka Be Ngo-tek mendjadi merah, tjepat sahutnja: Harap Tjo-hiante djangan salah mengerti. Toan-heng ini bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian tjakar-kutjing jang kumiliki ini mana ada harganja mendjadi guru orang, harap Tjo-hiante djangan bergurau. Kedatangan Toan-heng ini kesini hanja setjara kebetulan sadja ingin ikut menjaksikan keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan diantara kedua sekte golonganmu, maka tanpa pikir aku telah mengajaknja kemari.

Mendengar peuda she Toan itu tiada hubungan apa2 dengan Be Ngo-tek, Tjo Tju-bok pikir kebetulan malah. Kalau dia adalah muridmu, betapapun aku masih merasa segan. Emangnja orang matjam apa aku Tjo Tju-bok ini hingga ada orang berani terang2an mentertawai Bu-liang-kiam didalam Kiam-oh-kiong sini? Maka dengan tertawa dingin Tjo Tju-bok berkata pula: O, kiranja demikian. Mohon tanja siapakah nama Toan-heng jang terhormat, entah murid orang kosen dari manakah?

Tjayhe bernama Ki, satu huruf melulu, tidak pernah angkat guru djuga tidak pernah belajar silat, sahut pemuda she Toan itu. Karena geli melihat orang sempojongan akan djatuh, entah dia pura2 atau sungguhan, aku djadi tertawa.

Mendengar djawaban jang kurang sopan itu, sedikitpun tiada rasa menghormat, Tjo Tju-bok bertambah mendongkol, katanja: Apakah jang menggelikan?

Kalau seorang berdiri baik2, tentunja tidak lutju, tidak perlu geli, orang merebah dirandjang, djuga tidak lutju, tapi kalau seorang akan djatuh, rasanja mendjadi lutju dan menggelikan, sahut Toan Ki dengan atjuh-tak-atjuh sambil kebas2 kipas lempitnja.

Dengan kedudukan Tjo Tju-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu sadja hati merasa panas oleh tjara bitjara sipemuda jang semakin kurangadjar itu. Tapi biarpun Tjo Tju-bok wataknja angkuh, namun orangnja sangat hati2, tidak gegabah bertindak, maka iapun tidak lantas marah2, katanja pada Be Ngo-tek: Be-goko, apakah Toan-heng ini adalah sahabat-baikmu?

Be Ngo-tek adalah sorang kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanjaan itu, terang djago Bu-liang-kiam itu sudah ambil putusan akan memberi hadjaran pada Toan Ki. Padahal dia sendiri djuga baru kenal pemuda itu. Sebagai seorang jang bertangan terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia membawanja. Kini melihat gelagatnja, sekali turun tangan, Tjo Tju-bok pasti tidak sungkan2 lagi. Seorang pemuda baik2, sajang kalau mesti mengalami bahaja demikian itu. Maka tjepat katanja: Aku dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang bersama, tampaknya tertawa Toan-heng tadipun bukannja disengaja. Baiknja beginilah, memangnja perutku djuga sudah kerontjongan, harap Tjo-hiante lekasan keluarkan daharan, biar kami menjuguhkan padamu tiga tjawan. Hari baik jang harus dibuat gembira ini, untuk apa Tjo-hiante mesti urusi seorang angkatan muda?

Djika Toan-heng bukan sobat baik Be-goko, itulah lebih baik, udjar Tjo Tju-bok, betapapun aku perlakukan padanja, takbisa dikatakan aku bikin malu pada Be-goko. Djin-kiat, tadi kau ditertawai orang, madjulah kau minta peladjaran padanja!

Memangnja laki2 setengah umur jang bernama Kiong Djin-kiat itu sangat mengharapkan perintah sang guru itu, segera sadja ia lolos pedang dan madju ketengah, ia Kiongtjhiu pada Toan Ki sambil berkata: Marilah, sobat Toan, silahkan!

Hm, bagus! Bolehlah kau mulai, kau melatih, aku melihat! kata Toan Ki.

Ha, apa...... apa katamu? teriak Kiong Djin-kiat dengan gusar hingga wadjahnja merah padam.

Kau membawa pedang, tentunja akan main pedang, bukan? sahut Toan Ki, maka bolehlah kau mulai, biar kami menonton.

Tapi guruku suruh kau djuga madju kesini, mari kita tjoba2 bertanding, bentak Djin-kiat.

Toan Ki gojang2 kepala sambil tiada berhenti mengebas kipasnja, sahutnja: Gurumu adalah gurumu, gurumu toh bukan guruku. Gurumu boleh menyuruh kau, gurumu takbisa suruh aku. Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan kau sudah lakukan tadi. Gurumu suruh aku tjoba2 bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua aku takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau bertanding, sekali aku bilang tidak, tetap tidak.

Mendengar jawaban jang serba gurumu jang membingungkan itu, banjak diantara hadirin menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-djing, maka suasana jang tadinja angker tegang seketika bujar sirna.

Karuan Kiong Djin-kiat semakin murka, dengan langkah lebar ia mendekatiToan Ki,iatuding dada pemuda itu dengan udjung pedangnja dan membentak pula: Apa kau benar2 tidak bisa, atau hanja pura2 tolol dan berlagak pilon?

Walaupun menghadapi antjaman pedang jang sedikit disorong kedepan, pasti dadanja akan tembus, namun sedikitpun Toan Ki tidak gentar, sahutnja: Aku pura2, tapi memang djuga benar2 tidak bisa.

Kau berani main gila ke Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali kau sudah bosan hidup? semprot Kiong Djin-kiat. Kau sebenarnja anak murid siapa? Siapa jang suruh kau mengatjau kesini? Kalau tidak mengaku terus terang, djangan salahkan pedang tuanmu ini tidak kenal ampun.

Toan Ki tetap atjuh-tak-atjuh, ia menguap sambil mengulet, lalu sahutnja: Bu-liang-kiam sangat terkenal dikangouw, asal aku tetap tidak bergerak, rasanja tidak nanti kau membunuh aku didepan para Lootjianpwe sekian banjaknja ini.

Mendadak Kiong Djin-kiat simpan pedangnja, tapi tangan lain tiba2 menempiling, plok, dengan tepat pipi Toan Ki kena digampar sekali. Toan Ki sedikit miringkan kepalanja, namun takbisa menghindarkan diri. Seketika mukanja jang putih bersih itu merah bengap kena ditjaplimadjari tangan.

Kedjadian ini membikin para hadirin sangat terkedjut. Semula mereka melihat sikap Toan Ki jang atjuh-tak-atjuh tanpa gentar itu, mereka menjangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat maha tinggi, maka berani memandang enteng lawan. Siapa duga tempilingan Kiong Djin-kiat jang sepele itu takbisa dihindarnja, tampaknja pemuda itu memang sedikitpun takbisa ilmu silat.

Inilah luar biasa! Umumnja orang mendengar tjerita tentang djago silat jang kosen sengadja pura2 bodoh untuk menggoda lawan, tapi tiada mungkin seorang jang tidak mahir silat bernjali sebesar ini dan berani main gila. Bagi Kiong Djin-kiat sendiri jang setjara mudah berhasil menempiling orang, iapun rada kesima djuga. Segera ia djamberet dada Toan Ki serta diangkat keatas dan membentak pula: Tadinja kukira seorang tokoh jang tak dikenal, siapa tahu begini tak betjus! ~ Terus sadja ia banting tubuh orang ketanah.

Bluk, Toan Ki terbanting antap kelantai, kepalanya membentur kaki medja hingga bendjut dan babak-belur.

Be Ngo-tek merasa tidak tega, tjepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata: Kiranja Laute memang takbisa ilmu silat, lalu untuk apa ikut terobosan kesini?

Toan Ki me-raba2 batok kepalanya jang bendjut itu, sahutnja dengan tertawa: Memangnja aku melulu datang untuk melihat keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam paling2 djuga tjuma begini sadja, sang guru dan simurid berdjiwa ketjil pula, tampaknja djuga takkan mampu lebih madju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi sadja.

Tiba2 seorang murid Tjo Tju Bok jang lain melompat madju menghadang didepan Toan Ki, katanja: Kalau kau tidak bisa ilmu silat, lantas pergi mengempit ekor begini, itulah sudah. Tapi kenapa kau meng-olok2 bahwa ilmu pedang kami biasa sadja dan paling2 hanja sekian? Sekarang aku memberi dua djalan padamu, boleh kau pilih. Kau boleh tjoba2 ilmu pedang kami jang hanja begini2 ini, atau kau mendjura delapan kali kepada guruku dan omong sendiri kentut tiga kali!

O, kau kentut? Tapi kenapa tidak bau? sahut Toan Ki dengan tertawa.

Murid muda itu mendjadi gusar, segera bogem mentahnja mendjotos kehidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras, tampaknja hidung Toan Ki pasti akan keluar ketjapnja. Tak terduga baru kepalan sampai ditengah djalan, tiba2 dari atas udara menjamber tiba sesuatu benda terus melilit dipergelangan tangan murid muda itu. Benda itu lemas2 dingin dan litjin, begitu melilit, terus bisa bergerak menggeremet. Karuan pemuda itu terkedjut dan tjepat tarik tangan, waktu diperhatikan, ternjata jang melilit ditangannja itu adalah seekor Djiak-lian-tjoa atau ular rantai jang berwarna belang-bonteng menjeramkan, panjangnja kira2 30 senti.

Dalam kagetnja, pemuda itu mendjerit sambil kipat2kan tangannja bermaksud melepaskan lilitan ular ketjil itu, tapi binatang itu semakin kentjang melilit ditangannja takmau lepas. Mendadak Kiong Djin-kiat djuga berteriak Ular, ular! ~ wadjahnja tampak berubah hebat sambil tangannja meng-gagap2 kedalam badju sendiri, dileher, dipunggung, diketiak, tapi tiada sesuatu jang kena dipegangnja, saking gugupnja sampai kedua kaki Djin-kiat ber-djingkrak2, buru2 ia lepaskan badju sendiri.

Datangnja perubahan2 itu sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba2 terdengar diatas kepala mereka ada suara orang mengikik-tawa sekali.

Waktu semua orang mendongak, eh, ternjata diatas belandar rumah situ berduduk seorang dara djelita, kedua tangannja penuh memegang matjam-matjam ular.

Dara djelita itu berusia 16-17 tahun, berbadju hidjau wadjah tjantik, tersenjum menggiurkan. Pada tangannja sedikitnja memegangi belasan ekor ular jang ketjil2 dan matjam2 warnanja, hidjau, belang dan warna lain, semuanja djelas adalah ular berbisa djahat. Tapi dara tjilik itu memegangi ular2 berbisa itu bagai barang mainan belaka, sedikitpun tidak djeri. Bahkan beberapa ular diantaranja men-djalar2 kemuka dan pipinja bagai seorang anak lagi menjanak2 sang ibu jang penuh kasih.

Semua orang hanja sekilas mendongak sadja, segera mereka mendengar Kiong Djin-kiat dan Sutenja tadi lagi men-djerit2 dan berteriak, maka tjepat mereka berpaling memandang kedua orang itu pula. Sebaliknja Toan Ki lantas mendongak dan memandang sidara tjilik itu dengan terkesima.

Gadis itu duduk diatas belandar sambil kedua kakinja di-ajun2kan bagai anak ketjil jang lintjah. Melihat dia, entah darimana lantas timbul sematjam rasa suka padanja dalam hati Toan Ki. Maka katanja segera: Nona, apakah kau jang telah menolong aku?

Ja, sahut dara tjilik itu. Orang djahat itu memukul kau, kenapa kau tidak balas gendjot dia?

Aku tidak membalas.... baru sekian Toan Ki mendjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan orang banjak. Waktu Toan Ki berpaling, ia lihat Tjo Tju-bok menghunus pedang, diatas mata pedang tampak ada noda darah, sedang ular Djik-lian-tjoa tadi sudah terkutung mendjadi dua dilantai, terang kena ditabas mati oleh pedang Tjo Tju-bok itu.

Sementara itu badju atas Kiong Djin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telandjang ia masih ber-djingkrak2 kelabakan, seekor ular hidjau ketjil tampak merajap kian kemari dipunggungnja, ia ulur tangan kebelakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukan tetap tak berhasil.

Djangan bergerak, Djin-kiat! bentak Tjo Tju-bok.

Selagi Djin-kiat merandek, tiba2 sinar putih bereklebat, ular hidjau itu sudah tertabas mendjadi dua potong. Gerakan Tjo Tju-bok itu setjepat kilat hingga semua orang tidak djelas tjara bagaimana ia turun tangan, jang terang, ular hidjau itu terkutung djatuh kelantai, sebaliknja punggung Kiong Djin Kiat sedikitpun tidak apa2. Betapa djitu dan tepat permainan pedang Tjo Tju-bok itu, seketika bersoraklah semua orang memudji.

Hm, hanja membunuh seekor ular ketjil, kenapa mesti dibuat heran? djengek Toan Ki.

Sedang sidara tjilik diatas belandar itu lantas ber-teriak2: Hai, sikakek djenggot, kenapa kau mematikan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan2 lagi padamu sekarang!

Kau anak perempuan siapa, untuk apa datang kesini? tegur Tjo Tju-bok dengan gusar. Sedang dalam hati diam2 ia sangat heran bilakah gadis ketjil ini berada diatas belandar? Padahal di tengah ruangan besar ini terdapat sekian banjak tokoh2 terkemuka, masakan tiada seorangpun jang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asjik mengikuti pertandingan Tang-tjong dan Se-tjong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau diatas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kedjadian ini tersiar dikangouw, muka Bu-liang-kiam entah kemana harus ditaruh?

Gadis tjilik itu tidak mendjawab pertanjaan Tjo Tju-bok, kedua kakinja masih

ber-gerak2 kedepan dan kebelakang, tampak sepasang sepatunja tersulam bunga kuning ketjil2, udjung sepatu dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan ketjil jang lazim.

Maka kembali Tjo Tju-bok berkata: Lekas melompat turun!

Djangan dulu! tiba2 Toan Ki berseru. Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak terbanting remuk? Lekas ambilkan tangga!

Mendengar itu, banjak orang tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-tjong sama berpikir: Orang ini tampak tjakap dan ganteng, tapi ternjata seorang tolol. Kalau gadis tjilik itu mampu naik keatas belandar tanpa diketahui djago2 silat sebanjak ini, dengan sendirinja ilmu silatnja pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga lagi, apa tidak ditertawai orang hingga tjopot giginja?

Sementara itu terdengar sigadis ketjil sedang mendjawab: Kau mengganti dulu kedua ularku, baru aku mau turun bitjara padamu.

Hanja dua ular sadja, kenapa dibuat pikiran, di-mana2 dapat menangkap dua ular seperti ini, udjar Tjo Tju-bok. Njata diam2 ia sudah djeri terhadap gadis tjilik itu. Gadis semuda itu telah berani memain dengan ular berbisa, tak disangsikan lagi dibelakang sigadis tentu masih punja guru atau orang tua jang sangat lihay, maka nada bitjaranja sedapat mungkin mengalah pada sigadis.

Dengan tertawa gadis itu mendebat: Omong sih gampang, tjobalah kau menangkap dulu ular seperti itu.

Lekas melompat turun! kembali Tjo Tju-bok mendesak.

Tidak mau! sahut sigadis.

Djika masih bandel, segera aku menarik kau turun, udjar Tjo Tju-bok.

Gadis itu ter-kikik2, djawabnja: Boleh kau tjoba menarik, kalau kena, anggap kau memang pintar!

Sungguh serba berabe Tjo Tju-bok menghadapi seorang gadis tjilik nakal seperti itu. Segera katanja pada Siang-djing: Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuanmu naik keatas untuk menjeretnja turun.

Anak murid Se-tjong tiada jang memiliki Ginkang setinggi itu. sahut Siang-djing.

Tjo Tju-bok mendjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba2 terdengar sidara tjilik berseru: He, kau tidak mau ganti ularku, ja? Ni, kuperlihatkan sesuatu jang lihay, biar kalian tahu rasa! ~ Terus sadja ia merogoh keluar dari badjunja sesuatu benda jang mirip seutas rantai emas dan disambitkan kearah Kiong Djin-kiat.

Djin Kiat menjangka tentunja sematjam Am-gi atau sendjata resia jang aneh, maka tidak berani menangkapnja dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas itu ternjata hidup, tiba2 membiluk diatas udara terus menghinggap diatas punggung Kiong Djin-kiat. Kiranja rantai emas itu adalah seekor ular emas jang ketjil.

Ular ketjil itu sangat gesit gerak-geriknja, sekali menghinggap dipunggung Kiong Djin-kiat, terus sadja merajap kedada, kemuka, keleher dan keperut dengan tjepat luar biasa.

Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik! seru Toan Ki sambil tertawa senang.

Merajap ular emas ketjil itu makin lama makin tjepat, hingga antero badan Kiong Djin-kiat seakan2 kemilauan oleh sinar emas dan membikin pandangan semua orang mendjadi silau.

Mendadak Leng-siau-tju, itu imam dari Giok-tjin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kedjutnja ia ketelandjur berseru: He, apa..... apakah ini bukan Kim-leng-tju dari Uh-hiat-su-leng?

Numpang tanja, To-heng, permainan apakah Uh-hian-su-leng itu? tanja Be Ngo-tek.

Wadjah Leng-siau-tju berubah, sahutnja: Disini bukan tempatnja bitjara, kelak sadjalah kita omong2 lagi. ~ Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis tjilik diatas belandar itu sembari memberi hormat: Terimalah hormat Leng-siau-tju, nona!

Meski tangannja penuh memegang matjam2 ular, namun dara tjilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil sebidji Kwatji terus dimasukkan kemulut, ia hanja tersenjum kepada Leng-siau-tju tanpa mendjawab.

Segera Leng-siau-tju berpaling kepada Tjo Tju-bok, katanja: Kionghi atas kemenangan jang ditjapai pihak Tjo-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan Phinto mohon diri dulu! ~ Dan tanpa menunggu djawaban Tjo Tju-bok, buru2 ia bertindak keluar, ketika lewat disampingKiong Djin-kiat,iamenjingkir djauh2 dengan rasa ketakutan.

Tjo Tju-bok tidak urus sikap tetamu itu karena itu karena lagi tjurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknja Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnja: Ilmu golok dari Giok-tjin-koan terhitung salah satu kepandaian tunggal dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanja Leng-siau-tju inipun sangat sangat angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia mendjadi begini ketakutan? Terhadap nona tjilik itupun ia sangat menghormat, entah apa sebabnja?

Tiba2 terdengar sigadis tjilik bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merajap kemuka Kiong Djin-kiat, tjepat Djin-kiat menangkap dengan kedua tangannja, tapi ular emas itu teramat tjepat, biarpun badan ular tak bisa disentuh tangan Kiong Djin-kiat. Karuan ia makin kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.

Segera Tjo Tju-bok melangkah madju, pedangnja menusuk tjepat, tatkala itu siular emas lagi merajap keatas mata kiri Kiong Djin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah menghindar. Sebaliknja udjung pedang Tjo Tju-bok segerapun berhenti dimuka kelopak mata sang murid.

Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton merasa kagum semua. Bajangkan sadja, asal udjung pedang setengah senti lebih madju, pasti bidji mata Kiong Djin-kiat sudah dibutakan. Diam2 Sin Siang-djing membatin: Ilmu pedang Tjo-suheng ternjata sudah sedemikian saktinja, aku harus mengaku bukan tandingannja, terutama djurus Kim-tjiam-toh-kiap (djarum emas penolong bahaja) barusan, terang aku tak bisa mengungkuli dia.

Sementara itu Tjo Tju-bok telah menjerang pula empat kali beruntun, tapi ular

emas itu seperti tumbuh mata dipunggungnja, setiap kali dapat menjelamatkan diri.

Hai, kakek djenggot, ilmu pedangmu bagus djuga! seru sidara tjilik. Tiba2 ia bersuit lagi, tjepat ular emas itu merajap kebawah terus menghilang.

Selagi Tjo Tju-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu2 tampak Kiong Djin-kiat sibuk meng-garuk2 paha sendiri sambil ber-djingkrak2. Ternjata ular emas telah menerobos kedalam tjelananja.

Hahahaha! Toan Ki tertawa geli. Tontonan hari ini benar2 bikin puas hatiku, hahaha!

Dalam pada itu Kiong Djin-kiat telah lepaskan tjelananja hingga tertampak kedua pahanja jang penuh berbulu lebat. Namun dara tjilik itu benar2 masih ke-kanak2an, sama sekali ia tidak kenal urusan laki2 dan perempuan, bahkan ia terus berseru: Kau terlalu djahat, suka menganiaja orang, biar kau telandjang bulat, lihatlah apa kau malu atau tidak! ~ Habis berkata, ia bersuit lagi.

Ular emas itu benar2 sangat penurut, sekali mengesot, ia menjusup pula, kali ini lebih tjialat lagi, tjelana dalam Kiong Djin-kiat jang diterobos. Karuan Kiong Djin-kiat semakin kerupukan, sudah tentu, bagaimanapun ia tak bisa lepas tjelana dalamnja dihadapan orang banjak. Ia mendjerit sekali terus berlari keluar.

Tapi tjelaka 13, baru berlari sampai diambang pintu, mendadak dari luar djuga menjerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem bluk, kedua orang itu saling tumbuk dengan keras. Tabrakan ini benar2 sangat keras, tapi Kiong Djin-kiat hanja terpental mundur beberapa tindak, sebaliknja orang dari luar itu terus terdjengkang terbanting kelantai.

He, Yong-sute! seru Tjo Tju-bok kaget.

Melihat siapa jang telah ditabrak olehnja, tjepat Kiong Djin-kiat madju membangunkannja, rupanja ia lupa bahwa siular emas masih mengeram didalam tjelananja. Maka baru orang itu dipajangnja bangun, begitu merasa siular mengesot didalam tjelana, kembali ia mendjerit sambil ulur tangan hendak menangkap binatang nakal itu, dan karena tangannja terlepas, orang jang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.

Tentu sadja kedjadian lutju itu sangat menggelikan sidara tjilik diatas belandar, setelah puas mengikik-tawa, achirnja ia berkata: Rasanja sudahlah tjukup kau dihadjar! ~

Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas ketjil itu lantas merajap keluar dari tjelana dalam Kiong Djin-kiat terus mendjalar keatas dinding tembok dengan ketjepatan luar biasa, lalu kembali kepangkuan sigadis.

Untuk kedua kalinja dapatlah Kiong Djin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget: Yong-susiok, ken........ kenapakah kau?

Waktu Tjo Tju-bok memburu madju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wadjahnja penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnja sudah putus. Kedjut Tjo Tju-bok tak terkatakan, lekas2 ia berusaha menolong, namun sudah tak berdaja lagi.

Kiranja orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik-guru dari Tjo Tju-bok. Meski ilmu silatnja lebih rendah daripada sang Suheng, namun masih djauh diatasnja Kiong Djin-kiat. Maka aneh benar bahwa tabrakan tadi takbisa dihindarkannja, bahkan sekali tabrak terus roboh terbinasa.

Tjo Tju-bok mengerti pada sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka tjepat ia membuka badju djenazah Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu badju terbuka, segera tertampak didada Yong Goan-kui djelas tertulis sebaris huruf: Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi Bu-liang-kiam!

Huruf2 hitam jang dekat melengkat didaging itu bukan ditulis dengan tinta djuga bukan ukiran benda tadjam. Setelah ditegasi, Tjo Tju-bok mendjadi gusar, ia gerakan pedangnja hingga berbunji mendenging, teriaknja dengan murka: Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang jang membasmi Bu-liang-kiam atau Bu-liang-kiam jang akan musnakan Sin-long-pang? Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah takmau hidup!

Kiranja huruf2 jang terdapat didada Yong Goan-kui itu ditulis dengan sematjam obat ratjun, daging jang terkena ratjun lantas membusuk dan dekuk kedalam badan. Waktu Tjo Tju-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, tapi tiada tanda luka lain. Segera ia membentak: Djin-ho, Djin-kiat, keluarsanamelihat!

Karena kedjadian itu, seketika suasana ruangan besar itu mendjadi katjau,

semua orang tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara tjilik diatas belandar itu, tapi be-ramai2 merubung djenazahnja Yong Goan-kui serta mempertjakapkan peristiwa itu.

Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas, kata Be Ngo-tek setelah memikir sedjenak. Tjo-hiantee, entah sebab apa mereka telah bermusuhan dengan golonganmu?

Karena berduka atas matinja sang Sute, Tjo Tju-bok mendjawab dengan terguguk2: Itu...... itu disebabkan urusan mentjari obat. Musim rontok tahun jang lalu, empat Hiangtju (hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mentjari sematjam obat dibelakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnja urusan ketjil, memangnja Sin-long-pang hidup daripada memetik obat dan mendjual djamu. Biasanja tiada banjak berhubungan dengan golongan kami, tapi djuga tiada permusuhan apa2. Namun Be-goko tentunja tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, djangankan Sin-long-pang sekalipun para sobat-andai kental djuga dilarang pesiar kesana, ini adalah peraturan turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinja kami tidak berani melanggarnja. Padahal urusan inipun tidak djadi soal......

Sampai disini, tiba2 dari luar melangakah masuk seorang dengan tindakan pelahan dan lesu. Aneh, Leng-siau-tju dari Giok-tjin-koan jang buru2 pergi karena takut pada ular emas tadi, kini telah kembali. Imam itu tertampak tundukan kepala dan lesu, mukanja terdapat sedjalur luka, kopiah diatas kepalanja djuga sudah lenjap, rambutnja terurai kusut, terang barusan dia telah kena dihadjar orang.

Leng-siau Toheng, ken...... kenapa kau? tanja Tjo Tju-bok kaget.

Dengan gemas Leng-siau-tju mendjawab: Sungguh belum pernah kulihat manusia se-wenang2 seperti ini, katanja tidak boleh pergi dari sini dan..... dan aku seorang diri tak... tak mampu melawan mereka jang banjak, maka......

Apakah kau sudah bergebrak dengan Sin-long-pang? tanja Tjo Tju-bok.

Ja siapa lagi kalau bukan mereka? sahut Leng-siau-tju penasaran. Mereka telah menduduki djalan2 penting disekitar gunung, katanja sebelum esok pagi, siapapun dilarang turun gunung.

Dalam pada itu sidara tjilik diatas belandar tadi masih asjik menjisil kwatji

sambil memainkan kedua kakinja kedepan dan ke belakang. Tiba2 ia sambitkan sebidji kulit kwatji kebatok kepala Toan Ki dan berkata dengan tertawa: He, kau pingin makan kwatji tidak? Marilah naik kesini!

Tidak ada tangga, aku tak bisa naik, sahut Toan Ki.

Itulah gampang, udjar sigadis. Terus sadja ia lepaskan seutas tali pandjang warna hidjau pupus dari pinggangnja, katanja pula: Kau pegang erat tali ini, biar kukerek kau keatas.

Badanku berat, mana kau kuat? udjar Toan Ki.

Boleh tjoba, paling2 kau akan mati terbanting, sahut sigadis dengan tertawa.

Melihat tali itu bergantung didepan hidungnja, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnja. Diluar dugaan, apa jang terpegang itu terasa basah2 dingin, bahkan kelogat-keloget bisa bergerak. Waktu ditegasi, astagafirullah!

Benda jang tadinja disangka tali pinggang itu ternjata adalah seutas ular hidup, tjuma badan ular itu sangat pandjang dan ketjil, atas dan bawah sama besarnja, sepintas pandang orang pasti tak menjangka kalau itu adalah ular hidup. Karuan Toan Ki kaget dan tjepat lepas tangan.

Dara tjilik itu mengikik geli, katanja: Ini adalah Djing-leng-tju lebih lihay daripada Thi-soa-tjoa (ular kawat besi), biarpun kau menabasnja dengan pedang djuga takkan putus. Hajo, lekas memegang jang erat!

Toan Ki besarkan njali dan kerahkan seluruh keberaniannja buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular itu rada-kasap dan tidak litjin.

Pegang jang kentjang! seru sigadis sambil mengangkat keatas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki terapung diatas tanah. Hanja beberapa kali tarikan sadja, gadis itu sudah menarik Toan Ki keatas belandar.

Toan Ki mendjadi kagum dan takut2 pula melihat gadis tjilik itu mengikat Djing-leng-tju kepinggang hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanjanja: Apakah ular2mu ini tidak menggigit orang?

Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, djangan kau takut, sahut gadis itu.

Apakah kau jang piara ular2 ini, sudah djinak ja? tanja Toan Ki lagi.

Ja, tjoba kau memegangnja, kata sigadis sambil mengangsurkan seekor ular ketjil padanja.

Tentu sadja Toan Ki kelabakan, serunja gugup: Djangan, djangan! Aku tidak mau ~ Ia meng-gojang2 kedua tangannja sembari mengkeret tubuh kebelakang, dan karena duduknja kurang tepat, hampir2 ia terdjungkal dari atas belandar.

Untung sigadis keburu mendjamberet tengkuknja dan menariknja kesampingnja lagi, katanja dengan tertawa: Apakah kau benar2 tidak bisa ilmu silat? Inilah aneh!

Kenapa aneh? tanja Toan Ki.

Kau takbisa ilmu silat, tapi berani datang kesini seorang diri, tentu sadja kau akan dianiaja oleh mereka jang djahat itu, udjar sigadis. Sebenarnja untuk apa kau datang kesini?

Melihat sikap peramah sigadis, meski baru kenal, tapi anggap seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki hendak mentjeritakan maksud tudjuan kedatangannja, tiba2 terdengar suara tindakan orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranja adalah Kam Djin-ho dan Kiong Djin-kiat berdua.

Waktu itu Kiong Djin-kiat sudah mengenakan kembali tjelananja, hanja badan bagian atas masih telandjang. Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Tjo Tju-bok dan melapor: Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul diatas puntjak gunung depan, djalan2 penting telah didjaga, kita dilarang turun gunung.

Karena djumlah musuh lebih banjak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarangan turun tangan.

Ehm, ada berapa banjak mereka? tanja Tju-bok.

Kira2 70 sampai 80 orang, sahut Djin-ho.

Hm, hanja sedjumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanja takkan semudah itu! djengek Tjo Tju-bok.

Dan baru selesai utjapannja, tiba2 terdengar suara mendengung diudara, dari luar terbidik masuk satu panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Djin-kiat terus samber tangkai panah itu sebelum djatuh ketanah, ternjata diatasnja terikat seputjuksurat. Djelas kelihatan diatas sampulsuratitu tertulis: Ditujukan untuk Tjo Tju-bok.

Waktu Djin-kiat tundjukansuratitu pada sang guru, Tju-bok mendjadi gusar membatja tulisan sampul jang kurang hormat itu, katanja: Tjoba kau membukanja!

Djin-kiat mengia terus merobek sampulsuratitu.

Saat itu, sidara tjilik membisiki Toan Ki: Orang djahat jang mendjotos kau itu, segera akan mampus!

Sebab apa? tanja Toan Ki ter-heran2.

Diatas panah dansuratitu beratjun semua, sahut sigadis.

Masakah begitu lihay? udjar Toan Ki.

Sementara itu terdengar Djin-kiat membatja isisuratjang telah dibukanja itu: Sin-long-pang memberitahukan pada Tjo.... Ia merandek karena tidak berani menjebut nama sang guru, lalu melandjutkan: ...... kalian diberi tempo dalam satu djam, seluruhnja harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing2 menguntungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar antero isi istanamu, tua-muda, besar-ketjil, ajam dan andjingpun tak terketjuali dari kematian.

Hm, Sin-long-pang itu matjam apa, begitu besar mulutnja! djengek Liu Tju-hi, itu djago dari Tiam-djong-pay.

Se-konjong2 terdengar suara gedebrukan, tahu2 Kiong Djin-kiat roboh terdjungkal.

Saat itu Kam Djin-ho masih berdiri disamping sang Sute, ia berteriak kaget: Sute! ~ terus bermaksud membangunkan adik-guru itu.

Namun Tjo Tju-bok keburu menjela madju, ia dorong Djin-ho kesamping sambil membentak: Djangan sentuh tubuhnja! Mungkin ada ratjun.

Benar djuga, muka Kiong Din-kiat tampak ber-kerut2 kedjang, tangan berubah hitam hangus. Sekali kedua kakinja menggendjot, putuslah napasnja.

Tiada satu djam lamanja, ber-runtun2 Bu-liang-kiam sekte Timur sudah kematian dua djago pilihannja. Karuan para gembong silat jang hadir itu sama terkesiap.

Adakah kaupun orang Sin-long-pang? tiba2 Toan Ki menanja sidara tjilik dengan perlahan.

Hus, djangan kau sembarangan omong! semprot sigadis.

Djika begitu, darimana kau tahu diatas panah dansuratitu ada ratjunnja? tanja Toan Ki.

Gadis itu tertawa, sahutnja: Tjara memberi ratjun itu terlalu kasar, lapat2 diatas panah dansuratitu masih kelihatan ada selapis sinar pospor. Tjaranja ini hanja bisa mentjelakai orang2 jang goblok sadja.

Utjapan terachir sigadis itu sengadja dibikin keras hingga dapat didengar oleh semua orang didalam ruangan situ. Segera Tjo Tju-bok memeriksa panah dansurattadi, tapi tak nampak apa2. Waktu diintjar dari samping, benar djuga lapat2 kelihatan gemerdepnja sinar pospor.

Siapakah she dan nama nona jang mulia? segera Tju-bok tanja sigadis.

She dan namaku jang mulia takbisa kukatakan padamu, itu namanja rahasia tak boleh dibongkar, sahut sigadis.

Dalam keadaan tertimpa sial, mendengar pula utjapan sigadis jang menggoda itu, sedapat mungkin Tjo Tju-bok menahan perasaannja dan tjoba menanja pula: Djika begitu, siapakah ajahmu dan siapa gurumu? Dapatkah memberitahu.

Haha, djangan kira aku bisa kau tipu, sahut sigadis tertawa. Kalau kukatakan siapa ajahku, tentu kau akan tahu aku she apa dan mudahlah menjelidiki namaku jang mulia. Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih2 tak boleh kuberitahukan pada orang.

Diam2 Tjo Tju-bok meng-ingat2 siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam jang suka piara ular. Tapi seketika iapun tak bisa ingat, sebab daerah Hunlam jang terkenal banjak pegunungan dan hutan belukar, di-mana2 banjak terdapat ular, begitu pula orang jang piara ular.

Segera Be Ngo-tek menanja Leng-siau-tju: Leng-toheng, tadi kau mengatakan Uh-hiat-su-leng segala, apakah itu sebenarnja?

Apa? Ah, kapan aku berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu, sahut Leng-siau-tju.

Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-tju sangat djeri terhadap Uh-hiat-su-leng jang dipungkiri itu, sudah terang tadi tertjetus dari mulutnja istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batunja. Maka iapun tidak menanja lebih djauh.

Dalam pada itu Tjo Tju-bok berkata pula terhadap sigadis: Djika nona tidak sudi memberitahu, biarlah sudah. Silahkan turun sadja untuk berunding, Sin-long-pang melarang semua orang turun gunung, tentu kaupun akan dibunuh olehnja.

Ha tidak nanti mereka berani membunuh aku, sahut sigadis tertawa, mereka

hanja membunuh orang Bu-liang-kiam. Ketika mendengar berita itu ditengah djalan, sengadja aku datang kemari untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek djenggot, ilmu pedang kalian lumajan djuga, tapi tidak bisa menggunakan ratjun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!

Apa jang dikatakan sigadis itu tepat mengenai kelemahan golongan Bu-liang-kiam. Kalau saling gebrak dengan kepandaian sedjati, dengan ilmu pedang Tang-tjong dan Se-tjong dari Bu-liang-kiam, serta delapan djago terkemuka jang diundang datang sebagai djuri itu, betapapun takkan gentar pada Sin-long-pang, tapi kalau bitjara tentang menggunakan ratjun dan memunahkannja, semuanja memang tiada jang betjus.

Diam2 Tjo Tju-bok mendongkol mendengar utjapan sigadis bahwa kedatangannja itu jalah ingin menonton orang dibunuh, se-akan2 makin banjak orang Bu-liang-kiam jang mati terbunuh, hatinja semakin senang, maka ia mendjengek sekali, lalu bertanja pula: Berita apakah jang didengar nona ditengah djalan? ~ Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, nada suaranja sudah biasa memerintah, maka utjapannja itu se-akan2 mengharuskan sigadis lekas mendjawabnja.

Tak terduga, tiba2 dara tjilik itu berkata: Eh, kau suka makan kwatji tidak?

Karuan Tjo Tju-bok semakin panas hatinja, tjoba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar diluarsana, tentu sedjak tadi dia memberi hadjaran, namun sedapat mungkin ia menahan gusar, sahutnja: Tidak suka!

Kwatji apakah itu? mendadak Toan Ki menimbrung. Apakah digoreng dengan bawang-berambang Atau gorengan Ngo-hiang? Atau bumbu panili? Tampaknja enak djuga.

Aneh, begitu banjak djuga tjara menggoreng kwatji, ha? sahut sigadis. Aku tidak tahu kwatji ini gorengan bumbu apa. Jang terang, ibuku menggoreng kwatji ini dengan empedu ular. Kalau sering makan membikin mata terang dan otak tadjam. Kau mau mengitjipi? ~ Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh tangannja Toan Ki.

Mendengar kwatji gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki mendjadi muak.

Kalau tidak biasa, memang rasanja sedikit pahit, kata sigadis lagi. Padahal enak dan gurih sekali.

Merasa tidak enak kalau menolak maksud sigadis. Toan Ki tjoba2 masukan sebidji kwatji itu kemulut, begitu menempel bibir, rasanja memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan dikunjah, eh, rasanja gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus sadja ia menjisil kwatji itu tanpa berhenti. Kulit kwatji satu persatu ia taruh diatas belandar, sebaliknja dara tjilik itu pantang sirik, ia semburkan kulit kwatji sekenanja, karuan kulit kwatji itu beterbangan diatas kepala para djago silat itu hingga mereka sibuk menghindar dengan mengkerut kening.

Maka Tjo Tju-bok bertanja lagi: Berita apakah jang didengar nona ditengah djalan? Djika sudi memberitahu, Tjayhe pasti merasa terima kasih tak terhingga.

Kudengar orang Sin-long-pang membitjarakan tentang Bu-liang-giok-bik segala. Permainan apakah itu? sahut sigadis.

Tjo Tju-bok terkesiap oleh istilah itu, tapi segera ia mendjawab: Bu-liang-giok-bik? Apakah dimaksudkan ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Itulah tidak pernah kudengar. Apakah kau pernah mendengar, Siang-djing Sumoay?

Belum lagi Siang-djing mendjawab, tjepat sigadis sudah memotong: Sudah tentu iapun tidak pernah mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau katakan, terus terang sadja bilang tidak. Hm, siapa jang pingin tahu?

Tjo Tju-bok mendjadi serba runjam, diam2 ia mengakui kelihayan dara tjilik itu. Segera ia berkata pula: Ah, ingatlah aku sekarang! Apa jang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah Keng-bin-tjiok (batu bermuka tjermin) jang terdapat dipuntjak tertinggi dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus litjin bagai katja, maka orang mengatakannja sebagai batu mestika. Padahal, hanja sepotong batu biasa jang putih dan litjin sadja.

Djika begitu, kenapa tadi tak kau katakan terus terang? udjar sigadis. Lalu tjara bagaimana kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi Bu-liang-kiam kalian hingga ajam dan andjingpun tak terketjuali?

Sungguh sial, pikir Tjo Tju-bok. Sebagai tuan rumah, masakan sekarang ditanjai seorang gadis tjilik bagai terdakwa dipengadilan sadja. Tapi karena ingin tahu berita apa jang didengar orang ditengah djalan, mau-tak-mau

dirinja harus mendjawab lebih dulu. Maka katanja: Harap nona turun dahulu, nanti Tjayhe menerangkan setjara djelas.

Menerangkan dengan djelas, itulah tidak perlu, sahut sigadis sambil kedua kakinja mem-buai2 kedepan dan kebelakang, toh apa jang kau katakan ada jang benar, tapi lebih banjak dusta, paling2 aku hanja pertjaja tiga bagian sadja. Maka bolehlah kau katakan sesukamu.

Begini, tutur Tjo Tju-bok kewalahan, tahun jang lalu, Sin-long-pang kutolak mentjari bahan obat dibelakang gunung kami ini, tapi diam2 mereka telah datang mentjuri dan dipergoki oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa orang anak muridku. Ketika ditegur, mereka mendjawab: Disini toh bukan istana radja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari? Emangnja apakah Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian? ~ Karena pertjetjokan mulut itu, ahirnja saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorangpun jang tahu bahwa satu diantara dua korban itu adalah putera tunggal Sikong-pangtju dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu takbisa dihindarkan lagi. Belakangan pernah saling tempur pula ditepi sungai Landjong dan kedua pihak djatuh korban beberapa djiwa pula.

O, kiranja begitu, udjar sigadis. Obat apakah jang hendak mereka petik?

Itulah kurang terang, sahut Tju-bok.

Hm, apa benar2 kau kurang terang? djengek sigadis. Bukankah bahan obat jang hendak mereka petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka berkata akan membabat habis semua rumput Tulah di Bu-liang-sang ini sampai akar2nja, sebatangpun takkan ditinggalkan.

Kiranja nona lebih djelas daripada aku, kata Tju-bok.

Tiba2 gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata: Marilah kita turun! ~ Terus sadja ia melompat kebawah.

Karuan Toan Ki mendjerit kaget, namun tubuhnja sudah terapung diudara. Sjukurlah gadis itu dapat membawanja ketanah dengan enteng tak kurang apa2 sembari tetap memegangi lengan kanannja. Kata gadis itu pula: Marilah kita keluarsana, tjoba lihat berapa banjak orang Sin-long-pang jang telah datang.

Nanti dulu, tjepat Tjo Tju-bok melangkah madju, apa jang Tjayhe tanja tadi, bukankah nona belum mendjawab?

Buat apa kuberitahukan padamu?Pulaaku toh tidak berdjandji akan mendjelaskan? sahut sigadis.

Tju-bok pikir, memang benar orang tidak berdjandji akan mendjawab pertanjaannja tadi. Tapi mana boleh membiarkan orang keluar-masuk dirumahnja ini? Walaupun saat itu

Bu-liang-kiam sedang menghadapi musuh didepan rumah, namun dengan watak Tjo Tju-bok jang tinggi hati itu, tidak rela rasanja kena dipermainkan seorang nona tjilik tanpa bisa berbuat apa2. Maka begitu menghadang didepan sigadis dan Toan Ki, katanja pula: Nona, kaum djahanam Sin-long-pang berada diluar, djika nona keluar begini sadja, kalau terdjadi apa2, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak.

Kenapa kau kuatir? sahut sigadis tersenjum. Aku toh bukan tamu undanganmu, pula kaupun tidak kenal she dan namaku jang mulia. Djikalau aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang, ajah-bundaku djuga takkan menjalahkan kalian. ~ Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.

Berhenti dulu, nona! tjepat Tju-bok merintangi dan tahu2 tangannja sudah menghunus pedang.

Eh, apa kau adjak berkelahi? tanja sigadis.

Tjayhe ingin berkenalan dengan matjam ilmu silat nona, agar kelak bisa dipertanggung-djawabkan kalau berdjumpa dengan ajah-ibumu, kata Tju-bok sambil lintangkan pedang.

Wah, kakek djenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknja menurut kau? kata sigadis pada Toan Ki.

Terserah padamu, sahut Toan Ki sembari kipas2.

Pabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknja?

Adaredjeki kita rasakan bersama, adamalangkita tanggung berbareng. Kwatji kita makan bersama, pedang kita terima serentak!

Bagus, utjapanmu ini sangat tegas, udjar sigadis. Kau sangat baik, tidak pertjumalah perkenalan kita ini. Marilah pergi! ~ Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap sendjata Tjo Tju-bok jang kemilauan itu se-akan2 tak dihiraukannja.

Tanpa bitjara lagi Tju-bok gerakan pedang terus menusuk bahu kiri sigadis. Ia tiada maksud melukai orang, tjuma untuk merintangi perginja kedua muda-mudi itu.

Mendadak tangan sigadis menarik pinggang, tahu2 seutas tali hidjau menjamber kepergelangan tangan Tjo-tju-bok. Dalam kagetnja tjepat Tju-bok menarik tangannja, tak terduga tali hidjau itu adalah benda hidup, datangnja djuga tjepat luar biasa, tangan Tju-bok sudah terasa sakit kena digigit sekali oleh Djing-leng-tju. Trang, pedangnja djatuh kelantai.

Habis menggigit musuh, tjepat Djing-leng-tju merajap ketanah, beberapa kali mengesot, pedang jang djatuh itu telah dililitnja, maka terdengarlah suara keletak beberapa kali, pedang pandjang itu telah patah mendjadi beberapa bagian.

Ternjata Djing-leng-tju itu adalah sematjam ular aneh jang sangat lihay, kulitnja keras melebihi badja, ditambah lagi dalam asuhan ajah-bunda sigadis dalam waktu pandjang, maka berubahlah sematjam sendjata hidup jang sangat hidup.

Kalau bitjara tentang ilmu silat sedjati, terang sigadis jang berusia kira2 16-17 tahun itu bukan tandingan Tjo Tju-bok. Tapi sendjata hidup sigadis itu terlalu aneh dan gesit, Tjo Tju-bok kena diserang dalam keadaan tidak ber-djaga2 hingga pedangnja djatuh dan dililit patah. Biasanja Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai djiwa sendiri, kalau sendjata itu kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludaslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan tadi sangat diluar dugaan, takbisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan kedudukan Tjo Tju-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak bisa main belit merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan kentjang, kuatir kalau ratjun ular mendjalar kedalam tubuh.

Kalau ingin djiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkok besar air rumput Tulah dan diminum sekaligus, dalam waktu dua djam, harus merebah dirandjang, sedikitpun tidak boleh bergerak, demikian kata sigadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan pelahan: Djing-leng-tju ini sebenarnja tak berbisa, tapi kakek djenggot itu pasti sudah ketakutan setengah mati. Ilmu silat situa itu sangat tinggi, kalau dia mengedjar, aku tak mampu melawannja.

Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanja: Aku tidak bisa ilmu silat, makanja dianiaja orang! ~ Sembari berkata, ia raba2 pipi sendiri jang masih sakit pedas. Lalu menjambung pula: Pabila aku pun mempunjai Djing-leng-tju seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala manusia djahat. Nona baik, bilakah kau dapat menangkapkan seekor djuga untukku?

Hendak menangkap seekor lagi, itulah sulit, sahut sigadis. Sajang ular ini bukan milikku, kalau punjaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Entjekku (paman), kumembawanja buat main2, setelah pulang nanti, harus kukembalikan padanja.

Eh, she dan namamu jang mulia takbisa dikatakan pada sikakek djenggot, tentunja tidak keberatan diperkenalkan padaku buka? tanja Toan Ki.

She dan nama jang mulia apa segala? sahut sigadis dengan tertawa. Aku she Tjiong, ajah-ibuku memanggil aku Ling-dji (anak Ling). Marilah kita ber-duduk2 kelereng bukit situ, katakanlah, untuk apa kau datang ke Bu-liang-san sini?

Kedua muda-mudi itu lalu menudju ke lereng bukit disebelah barat-lautsana, sembari berdjalan Toan Ki sambil berkata: Aku mengelojor sendiri dari rumah dan terluntang-lantung di-mana2. Ketika tiba dikota Bohni, aku kehabisan sangu, aku lantas datang kerumah orang jang bernama Be Ngo Tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak datang ke Bu-liang-san sini, karena terlalu iseng, aku lantas minta ikut kemari.

Tjiong Ling manggut2, tanjanja pula: Lalu, sebab apa kau melarikan diri dari rumah?

Ajah-ibu ingin aku beladjar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat.

Dengan mata terbelalak heran, Tjiong Ling meng-amat2i Toan Ki, katanja kemudian: Sebab apa kau tidak mau beladjar silat? Takut menderita?

Mana bisa aku takut menderita? sahut Toan Ki. Aku telah pikir pergi datang dan tetap tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh ajah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tidak salah, karena itu, ibu bertengkar djuga dengan ajah........

Ibumu tentu simpatik dipihakmu, bukan? tanja Tjiong Ling.

Ja, sahut Toan Ki.

Tjiong Ling menghela napas, katanja: Ibuku djuga begitu terhadapku. Ia termenung sedjenak memandang kearah barat, lalu menanja lagi: Soal apa jang kau pikirkan dan tetap tidak paham?

Sedjak ketjil aku sudah ditahbiskan kedalam agama Budha, tutur Toan Ki. Ajah telah mengundang seorang guru memberi adjaran membatja Su-si-ngo-keng (empat buku danlimakitab) serta menggubah sjair padaku. Mengundang pula seorang paderi saleh mengadjar agama Budha padaku. Selama belasan tahun jang kupeladjari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar, harus welas-asih dan matjam2 segala. Ketika tiba2 ajah suruh aku beladjar silat, beladjar tjara memukul dan membunuh orang, tentu sadja aku merasa enggan. Ajah menuduh aku membangkang orang tua, Empek berdebat sehari-semalam dengan aku, dan aku tetap tidak tunduk.

Lantas Empekmu marah2 dan tinggal pergi, bukan?

Empekku tidak marah2 dan tinggal pergi, tapi ia ulur djari menutuk dua kali dibadanku, seketika badanku terasa se-akan2 digigit beratus ribu semut serta ber-ribu2 linta lagi menghisap darahku. Kata Empek: Enak tidak rasa begini? Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to jang tertutuk, tapi kalau musuh jang kau ketemukan, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup tidak. Dan kau boleh tjoba2 untuk bunuh diri. Sudah tentu aku tak bisa bunuh diri, sebab aku tertutuk, sebuah djari sadja tak sanggup bergerak. Sudah pasti pula aku takkan bunuh diri, enak2 hidup, buat apa bunuh diri?

Semula Tjiong Ling ter-mangu2 mendengarkan, tiba2 ia berseru keras: Empekmu bisa ilmu Tiam-hiat? Bukankah dia menggunakan sebuah djari dan menutul sesuatu tempat dibadanmu, kau lantas takbisa berkutik?

Benar, kenapa dibuat heran? udjar Toan Ki.

Kedjut dan heran meliputi perasaan Tjiong Ling, sahutnja: Kau bilang kepandaian itu tidak mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal bisa mendapat sedikit ilmu Tiam-hiat, biar kau suruh dia mendjura seribu kali djuga dia rela. Tapi kau sendiri djusteru tidak mau beladjar, inilah benar2 aneh luar biasa.

Kulihat ilmu Tiam-hiat itupun tiada sesuatu jang hebat, sahut Toan Ki.

Tjiong Ling menghela napas, katanja: Kata2mu ini djangan lagi kau utjapkan, lebih2 djangan sampai diketahui oleh orang lain.

Sebab apa? tanja Toan Ki ter-heran2.

Kalau kau tidak bisa ilmu silat, tentu banjak urusan Kangouw jang belum kau ketahui, sahut sigadis. Ilmu Tiam-hiat dari keluarga Toan kalian tiada bandingannja diseluruh djagat, jaitu disebut It-yang-tji. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu, mungkin takbisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminja. Pabila ada jang tahu ajah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh djadi ada orang djahat akan mentjulik kau dan minta ajahmu atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab peladjaran It-yang-tji itu. Djika terdjadi demikian, bagaimana?

Djika benar terdjadi, menurut watak pamanku jang keras itu, pasti dia akan labrak sipentjulik itu.

Makanja, kata Tjiong Ling, berkelahi tanpa tudjuan dengan keluarga kalian tentu orang tidak berani. Tetapi kalau untuk kitab peladjaran It-yang-tji, segala apa mugkin terdjadi.Apalagi kalau kau djatuh ditangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka beginilah baiknja, selandjutnja kau djangan mengaku she Toan.

Aku tidak she Toan, lalu she apa? udjar Toan Ki. Padahal orang she Toan beratus ribu banjaknja di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnja mahir ilmu Tiam-hiat.

Sementara ini bolehlah kau sama she dengan aku, udjar si gadis.

Baik djuga, sahut Toan Ki tertawa. Dan kau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?

Enambelas, sahut Tjiong Ling. Dan kau?

Aku lebih tua tiga tahun dari kau, sahut Toan Ki.

Tjiong Ling mendjemput sehelai daun kering, sambil me-robek2 daun itu sedikit2, tiba2 ia gojang2 kepala.

Apa jang sedang kau pikirkan? tanya sipemuda.

Aku tetap tak bisa pertjaja bahwa kau ternjata tidak mau beladjar It-yang-tji, sahut Tjiong Ling. Kau sengadja dustai aku, bukan?

Toan Ki tertawa, katanja: Kau pandang It-yang-tji sedemikian hebatnja, memangnja bisa bikin perut mendjadi kenjang? Aku djusteru anggap Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju jang kau miliki ini djauh berguna.

Kuharap mudah2an aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian keluargamu itu. udjar sigadis. Tjuma sajang, kau takbisa It-yang-tji, sebaliknja ular2 inipun bukan punjaku.

Gadis seketjil kau ini, kenapa jang dipikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang sadja?

Kau benar2 tidak tahu atau sengadja pura2 dungu?

Apa maksudmu? tanja Toan Ki bingung.

Lihatlah itu! kata sigadis sambil menundjuk kearah timur.

Menurut arah jang ditundjuk, Toan Ki melihat dipinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gerombol awan asap hidjau, ia tidak paham apa maksud sigadis.

Nah, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain djusteru akan menghadjar dan membunuh kau, kata Tjiong Ling pula, lalu apa kau akan mandah terima dibinasakan orang? Asap hidjau itu adalah Sin-long-pang jang lagi menggodok ratjun untuk melajani Bu-liang-kiam nanti. Jang kuharap semoga kita bisa diam2 mengelojor pergi dari sini, agar tidak ikut tersangkut.

Toan Ki kebas2 kipasnja dan merasa kurang tepat utjapan sigadis, katanja: Tjara perkelahian dikalangan Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah membunuh putera Sikong-pangtju dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui djuga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Djin-kiat jang menempiling aku itu. Balas membalas, seharusnja sudah kelop. Seumpama masih ada sesuatu jang tidak adil, seharusnja melapor pada pembesar negeri agar diberi keputusan setjara bidjaksana, mana boleh bertindak dan mendjadi hakim sendiri sesukanja? Djika begitu, negeri Tayli kita ini apa dianggap sudah tidak punja undang2 hukum lagi?

Tjk, tjk, tjk! Tjiong Ling ber-ketjek2 mulutnja, mendengar nadamu ini, se-akan2 kau ini tuan besar atau bangsawan jang berkuasa. Bagi rakjat djelata kita djusteru tidak urus segala tetek bengek itu. ~ Ia menengadah kelangit, lalu tuding kearah barat-daja dan berkata pula: Sebentar kalau hari sudah gelap diam2 kita mengelojor pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki kita.

Tidak! seru Toan Ki mendadak. Aku harus menemui Pangtju mereka untuk memberi petua dan tjeramah padanja, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang.

Tjiong Ling merasa kasihan pada pemuda jang polos ke-tolol2an itu, katanja: Toan-heng kau ini benar2 tidak kenal tebalnja bumi dan tingginja langit. Pangtju dari Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnja kedjam dan ganas, suka main ratjun, berbeda daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita djangan tjari perkara, lekas pergi dari sini sadja.

Tidak, urusan ini aku harus ikut tjampur, djika kau takut, bolehlah kau tunggu aku disini, sembari berkata, terus sadja Toan Ki melangkah kearah timur.

Tjiong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak djauhnja, mendadak ia melesat madju mengedjar, tangan kanan mengulur, ia djamberet pundak Toan Ki, menjusul kaki mendjegal, pemuda itu disengkelit kedepan.

Waktu tiba2 mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu2 pundak ditjengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuhnja terus terdjerungup kebanting kedepan. Karuan hidungnja mentjium tanah dan botjor, keluar ketjapnja.

Dengan meringis2 Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang jang menghadjarnja itu adalah Tjiong Ling, ia mendjadi gusar, katanja: Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit orang dibanting?

Aku hanja ingin mentjoba lagi apakah kau hanja pura2 atau sungguh2 tak bisa ilmu silat, sahut Tjiong Ling. Maksudku adalah untuk kebaikanmu.

Ketika Toan Ki mengusap hidungnja, tangannja lantas penuh berlepotan darah, bahkan darah terus me-netes2 hingga dadanja merah kujup. Sebenarnja lukanja sangat enteng, tapi melihat sekian banjak darah mengalir, terus sadja ia ber-kaok2: Aduh, aduuuh! Tjiong Ling mendjadi rada kuatir, tjepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang. Tapi Toan Ki sudah kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata: Tidak perlu kau ambil hatiku, aku tak gubris padamu lagi.

Karena tak bisa ilmu silat, maka tjara mendorong Toan Ki hanja sekenanja sadja, siapa tahu djusteru kena didada sigadis. Karuan Tjiong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinja ia pegang tangan sipemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaja judo, kembali Toan Ki kena dibanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika djatuh semaput.

Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Tjiong Ling membentaknja: Lekas bangun, aku ingin bitjara padamu!

Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berdjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua mata pemuda itu mendelik, napasnja lemah, orangnja sudah kelengar. Lekas2 ia memidjat Djin-tiong-hiat serta urut2 dada sipemuda.

Selang agak lama, pelahan2 barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinja bersandar ditempat jang empuk, hidungnja mengendus bau wangi pula. Pelahan2 ia membuka mata dan melihat sepasang mata-bola Tjiong Ling jang djeli bening itu lagi memandangnja dengan rasa kuatir.

Melihat Toan Ki sudah siuman, Tjiong Ling menghela napas lega: Ah, sjukurlah kau tidak mati.

Melihat dirinja bersandar dipangkuan sigadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguntjang, tapi segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia ber-kaok2 sakit.

Tjiong Ling terkedjut oleh kelakuan Toan Ki itu, Kenapa kau? tanjanja.

Aku... aku kesakitan! sahut Toan Ki.

Hanja sakit, toh belum mati, kenapa ber-kaok2?

Djika sudah mati, masakan masih bisa ber-kaok2?

Tjiong Ling mengikik-tawa, ia merasa salah tanja. Ia tjoba angkat kepala Toan Ki, ternjata dibagian belakang bendjol sebesar telur ajam, tjuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnja tentu tidak kepalang. Maka katanja setengah mengomel: Habis, siapa suruh kau berlaku rendah. Pabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanja terbanting sadja, masih murah bagimu.

Toan Ki bangun berduduk, tanjanja dengan heran: Aku berbuat ren... rendah bagaimana? Kapan terdjadi? Inilah pitenahan belaka!

Dasar perasaan gadis remadja seperti Tjiong Ling jang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki2-perempuan baru tarap paham tak-paham, ia mendjadi djengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanja dengan wadjah merah: Tak bisa kukatakan, pendek kata kau jang salah, siapa suruh kau mendorong... mendorong sini.

Baru sekarang Toan Ki paham duduknja perkara, ia meras kikuk, ingin dia

djelaskan, tapi seperti susah mengutjapkan.

Maka Tjiong Ling berkata lagi: Sjukur achirnja kau telah siuman, bikin aku kuatir sadja.

Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempilingan lebih banjak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop, siapapun tidak utang. Agaknja memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari malapetaka ini.

Demikianlah utjapanmu, djadi kau gusar padaku? tanja sigadis.

Emangnja orang sudah dipukul harus memudji dan berterima kasih pula padamu? sahut Toan Ki.

Ja, sudahlah, selandjutnja aku takkan pukul kau lagi, kata Tjiong Ling dengan menjesal sambil memegang tangan sipemuda. Sekarang kau tidak marah, bukan?

Tidak, ketjuali kalau akupun membalas pukul dua kali, udjar Toan Ki.

Tjiong Ling tidak lantas mendjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi nampak pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah2, tjepat ia tegakan leher dan berkata: Baiklah, kau boleh pukul aku dua kali. Tapi... tapi djangan keras2, ja!

Tidak bisa, kata Toan Ki. Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka pukulanku sudah pasti sangat keras. Djika kau tidak tahan, lebih baik djangan.

Tjiong Ling menghela napas, ia pedjamkan mata dan berkata lirih: Baiklah! Tapi sesudah pukul, kau djangan marah lagi!

Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum terasa memukul. Waktu membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanja dengan wadjah ketawa-bukan-ketawa padanja. Ia menjadi heran, tanjanja: He, kenapa kau tidak memukul? Tiba2 Toan Ki mendjentik pelahan dua kali dipipi Tjiong Ling, katanja: Hanja dua kali susah dilukiskan, serunja

tertawa: Memang aku sudah tahu kau adalah orang baik

Untuk sekian lamanja Toan Ki kesemsem menghadapi gadis djelita jang hanja belasan senti didepannja itu, makin dipandang makin tjantik, bau harum gadis sajup2 menjusup hidungnja, berat nian untuk meninggalkannja pergi. Achirnja ia berkata: Sudahlah sekarang, sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mentjari Sikong Hian dari Sin-long-pang itu.

Djangan tolol! tjepat Tjiong Ling mentjegah. Urusan orang Kangouw sedikitpun kau tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolong kau.

Djangan kuatir bagiku sahut Toan Ki. Kau tunggu disini sadja, sebentar aku akan kembali. Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak kearah asap tebal sana. Tjiong Ling ber-teriak2 mentjegahnja lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut. Setelah tertegun sedjenak, mendadak gadis itu berseru: Baiklah, memangnja kau pernah menjatakan kwatji kita makan bersama, pedang kita terima serentak, biar kuikut bersama kau!. Segera ia berlari menjusul Toan Ki dan berdjalan sedjadjar dengan dia.

Tiada lama, dari depan mereka tampak memapak dua orang laki2 berbadju kuning. Seorang diantaranja jang lebih tua lantas membentak: Siapa kalian? Ada apa datang kesini?

Toan Ki melihat kedua orang itu sama2 menggendong sebuah kantong obat, tangan membawa sebilah golok lebar-pendek. Segera sahutnja: Tjayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting mohon bertemu dengan Sikong-pangtju kalian.

Urusan apa? tanja lelaki tua tadi.

Setelah bertemu dengan Pangtju kalian, dengan sendirinja akan kututurkan, kata Toan Ki.

Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu? tanja pula lelaki tua itu.

Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran. Sahut Toan Ki. Guruku bernama Bing Sut-seng, beliau chusus mejakinkan Koh-bun-siang-si, dalam hal peladjaran Kong-yang, dia djuga tjukup mahir.

Kiranja guru jang dia maksudkan itu adalah guru jang mengadjarkan dia membatja dan menulis. Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah Koh-bun-siang-si (sastra kuno dan kitab baru) dan peladjaran Kong Yang (tjerita tentang kambing djantan) disangkanja dua matjam ilmu silat jang sakti. Apalagi melihat Toan Ki meng-kipas2 dengan sikap dingin, se-akan2 seorang jang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada seorang djago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang telah menegaskan mahir dalam matjam2 ilmu, tentunja bukan membual belaka. Tjepat sadja ia lantas berkata: Djika demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, biar kulaporkan Pangtju. Habis itu, buru2 ia tinggal pergi kebalik lereng gunung sana. Kau menipu dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing djantan dan kambing betina) segala, ilmu matjam apakah itu? tanja Tjiong Ling. Sebentar djika Sikong Hian mengudji kau, mungkin susah kau mendjawabnja.

Seluruh isi Kong-yang-thoan (kitab tjerita tentang kambing djantan) sudah kubatja hingga apal, kalau Sikong Hian hendak mengudji, tidak nanti aku kewalahan, sahut Toan Ki.

Tjiong Ling terbelalak bingung oleh djawaban jang tak keruan djuntrungannja. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kong-yang-thoan itu adalah nama kitab sastra karja Kong-yang Ko didjaman Tjhun-tjhiu. Sementara itu tampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka geram, katanja pada Toan Ki: Tadi kau sembarangan mengotjeh apa, sekarang Pang-tju panggil kau. Melihat gelagatnja, agaknja dia telah didamprat oleh sang Pang-tju Sikong Hian.

Toan Ki mengangguk dan ikut dibelakang orang.

Mari kutundjukan djalan, kata lelaki tua itu sembari tarik tangannja Toan Ki. Setelah berdjalan beberapa tindak, pelahan2 ia kerahkan tenaga ditangan.

Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kentjang hingga mirip tanggam kuatnja. Saking tak tahan, achirnja Toan Ki men-djerit2 sakit.

Kiranja ketika lelaki itu menjampaikan tentang Koh-bun-siang-si dan Kong-yang-tji-hak jang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamperat oleh sang Pangtju. Dalam mendongkolnja, ia sengadja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Diluar dugaan, barusedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan. Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang djari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri terasa njes dingin seperti dibelit oleh sesuatu. Krak, tahu2 tulang pergelangan tangannja telah patah.

Saking sakitnja, lelaki tua itu tjepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak nampak suatu benda apa2. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam2 Tjiong Ling jang telah membantu Toan Ki dengan melepaskan Djin-leng-tju untuk mematahkan tulang tangannja, sebaliknja ia menjangka dari tangan Toan Ki jang telah timbul sematjam tenaga getaran lihay.

Dalam dongkolnja, timbul djuga rasa djerinja, ia pikir Lweekang orang ini sedemikian hebatnja, kalau dirinja tidak kenal gelagat, boleh djadi akan lebih tjelaka lagi nanti.

Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin me-netes2 dari djidatnja sebesar kedele, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikitpun tidak merintih sakit, tetap bertindak dengan langkah lebar se-akan2 tidak terdjadi sesuatu.

Kau ini benar2 seorang kasar, masih Toan Ki mengomel, orang berdjabatan tangan dengan kau djuga tidak perlu gunakan tenaga sebesar itu. Kulihat pasti kau tidak mengandung maksud baik.

Lelaki itu tidak menggubrisnja, ia percepat langkahnja dan membiluk kebalik lereng sana.

Waktu Tjiong Ling memandang, ia lihat ditengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia insaf telah masuk kesarang harimau, maka iapun tjepat menjusul rapat dibelakang Toan Ki.

Setelah dekat, Toan Ki melihat di-tengah2 gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus ketjil diatas sebuah batu padas jang paling tinggi, piara djenggot matjam kambing, sikapnja sangat angkuh. Pantas lelaki tua tadi didamperat ketika melaporkan utjapan Toan Ki tentang tjerita sikambing djantan segala, sebab ternjata kakek kurus ketjil itu memiara djenggot kambing.

Toan Ki tahu pasti kakek itulah Pangtju dari Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi Kiongtjhiu dan berkata: Sikong-pangtju, terimalah hormat Tjayhe, Toan Ki.

Sikong Hian hanja sedikit bungkukkan tubuh, tapi tidak berbangkit. Tanjanja: Ada urusan apa kedatangan saudara kesini?

Kabarnja kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam, tutur Toan Ki. Tjayhe sendiri hari ini telah menjaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam setjara mengenaskan, karena tidak tega, maka sengadja datang kemari untuk memberi djasa baik2. Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenjapkan daripada ditanam. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi djuga melanggar undang2 negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama2 tidak enaknja. Maka sudilah Sikong-pangtju membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan lekas2 pergi dari sini, djangan mentjari perkara lagi pada Bu-liang-kiam.

Dengan sikap dingin tak atjuh Sikong Hian mendengarkan tjerita Toan Ki itu, setelah selesai, tetap ia bungkam, hanja matanja melirik.

Maka Toan Ki berkata lagi: Apa jang Tjayhe katakan ini timbul dari maksud baik, harap Pangtju suka pikirkan baik2

Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, kemudian mendadak ter-bahak2, katanja: Siapakah botjah ini berani bergurau dengan tuanmu disini? Siapa jang suruh kau kemari?

Siapa jang suruh aku kesini? sahut Toan Ki mengulangi. Sudah tentu aku sendiri!

Hm, djengek Sikong Hian mendongkol, selama berpuluh tahun aku berkelana dikangouw, belum pernah kulihat seorang botjah bernjali sebesar seperti kau ini hingga berani main gila dengan aku. A Toh, tangkap kedua anak ini.

Segera seorang laki2 tegap mengia terus melompat madju hendak mentjengkeram lengan Toan Ki.

Eh, eh, djangan! seru Tjiong Ling tjepat. Sikong-pangtju. Toan-siangkong ini menasihati engkau dengan maksud baik, kau tidak mau turut masa-bodoh, kenapa main kekerasan? ~ lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata: Toan-heng, djika Si-long-pang tidak sudi mendengar adpismu, kita djuga tidak perlu ikut tjampur urusan orang lain. Marilah pergi!

Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah dapat memegang kedua tangan Toan Ki terus ditelikung kebelakang sambil menunggu perintah sang Pangtju lebih djauh.

Karuan Toan Ki meringis kesakitan.

Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin: Hm, Sin-long-pang djusteru paling tidak suka orang lain ikut tjampur urusannja. Emangnja kedua botjah ini anak siapa, pergi-datang boleh sesukamu, ha? Pasti dibelakang lajar ada sesuatu jang mentjurigakan. A Hong, tawan sekalian anak perempuan itu!

Kembali seorang laki2 kekar lain mengia terus hendak menangkap Tjiong Ling.

Namun sedikit mengegos mundur, Tjiong Ling berkata pula: Sikong-pangtju, djangan kira aku takut padamu. Soalnja ajahku melarang aku bikin onar diluaran, maka aku tidak suka tjari perkara. Lekas kau suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, djangan kau mendesak aku hingga terpaksa turun tangan, akibatnja pasti tidak enak.

Hahaha, anak perempuan omong besar, Sikong Hian ter-bahak2. A Hong, lekas kerdjakan!

Kembali lelaki bernama A Hong mengia terus mengtjengkeram lengan Tjiong Ling.

Diluar dugaan, se-konjong2 telapak tangan kiri sigadis memotong ketengkuk A Hong. Tjepat A Hong menunduk menghindar, namun tjelakalah dia, tahu2 bogem Tjiong Ling jang kanan sejepat kilat menggendjot dari bawah keatas, plak, djanggutnja tepat kena ditojor, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mentjelat hingga djatuh terdjengkang dan takbisa berkutik, knock-out!

Ehm, tampaknja anak perempuan ini masih boleh djuga, udjar Sikong Hian tawar, tapi kalau hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanja belum tjukup, ~ Segera ia mengerdipi seorang tua kurus tinggi disampingnja.

Orang tua itu tinggi lentjir mirip gala bambu, tanpa suara tahu2 ia sudah melesat kedepan Tjiong Ling.

Lutju djuga tampaknja kedua sateru itu, satu keliwat tingi, jang lain pendek, selisih kedua orang hampir setengah badan. Dari atas kebawah, segera kakek itu ulur sepuluh djarinja jang mirip tjakar burung terus mentjengkeram kepundak Tjiong Ling.

Melihat serangan lawan tjukup lihay, tjepat Tjiong Ling berkelit kesamping, djari kakek itu menjamber lewat disamping pipinja hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam2 gadis itu sangat terperandjat, serunja tjepat: Sikong-pangtju, lekas kau perintahkan orangmu berhenti. Bila tidak, djangan salahkan aku turun tangan kedji, kelak kalau aku diomeli ajah-ibu, kau djua tidak terlepas dari tanggung-djawab.

Sedang Tjiong Ling berkata, sementara itu sikakek djangkung beruntun sudah menjerang tiga kali lagi, tapi setiap kali selalu dihindarkan sigadis pada saat2 paling berbahaja.

Tangkap dia! bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Tjiong Ling tadi.

Segera sikakek djangkung menjerang pula, tangan kanan pura2 menghantam, tahu2 tangan kiri mentjengkeram lengan Tjiong Ling. Gadis itu mendjerit kaget, saking kesakitan hingga wadjahnja putjat. Namun mendadak sigadis ajun tangan kiri kedepan, tiba-tiba selarik sinar emas menjamber, kakek djangkung itu hanja mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Tjiong Ling dan djatuh terduduk ditanah. Kiranja Kim-leng-tju setjepat kilat telah gigit sekali dipungggung lawan, lalu melompat kembali ketangan Tjiong Ling lagi.

Lekas2 seorang laki2 setengah umur berdjubah pandjang disamping Sikong Hian membangunkan sikakek djangkung, ia merasa antero badan sang kawan itu menggigil hebat, mulai dari punggung tangan tampak bersemu hitam dan mendjalar kebagian tubuh jang lain.

Kembali Tjiong Ling bersuit, Kim-leng-tju meledjit kemuka lelaki jang menawan Toan Ki. Tjepat2 laki2 itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-tju, terus sadja ia gigit tangan itu.

Ilmu silat lelaki itu djauh dibawah sikakek djangkung, karuan ia lebih2 tak tahan, seketika ia meringkuk dilantai bagai tjatjing sambil merintih2.

Segera Tjiong Ling menarik Toan Ki diadjak pergi, bisiknja: Kita sudah bikin onar, lekas lari!

Orang2 jang berada disekitar Sikong Hian itu adalah gembong2 Sin-long-pay semua, selama hidup mereka berusaha mentjari obat dan mendjual djamu, maka segala matjam ular atau lebah berbisa pernah dilihatnja, tapi Kim-leng-tju jang bisa melajang pergi-datang setjepat kilat dan berbisa djahat itu, tiada

seorangpun diantara mereka jang kenal djenis ular apakah itu.

Dalam kagetnja, tanpa merasa Sikong Hian berseru: He, apakah Uh-hiat-su-leng? Lekas tangkap botjah perempuan itu, djangan sampai lolos!

Segera empat lelaki disampingnja melompat madju dan mengepung dari beberapa pendjuru. Namun sekali bersuit, Tjiong Ling sudah lolos Djing-leng-tju jang melilit dipinggangnja itu, sekali sabet, ia tahan dua musuh jang menubruk madju. Berbareng Kim-leng-tju telah dilepaskan hingga berturut2 keempat lelaki itu kena digigitnja.

Tjukup sekali gigit sadja, setiap orang itu lantas menggelosor, ada jang berkeledjatan, ada pula jang meringkuk bagai tjatjing.

Melihat ular ketjil itu terlalu lihay, namun djago2 Sin-long-pang itu tiada jang berani mundur dihadapan sang Pangtju, kembali 7-8 orang memburu madju pula sambil mem-bentak2.

Djika ingin selamat, hendaklah djangan madju, seru Tjiong Ling. Siapapun jang kena tergigit Kim-leng-tju ini, tiada obat penolongnja.

Djago2 Sin-long-pang itu bersendjata semua, ada jang membawa golok, ada pula memakai patjul pendek dan lain2, mereka mengharap dengan sendjata2 itu dapat menahan serangan ular emas lawan. Namun ular ketjil itu teramat gesit, lebih tjepat daripada segala matjam sendjata resia, setiap kali asal sendjata lawan menjerang, tjukup sekali tutul ekornja diatas sendjata lawan, tahu2 ia sudah meledjit kedepan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekedjap sadja, lagi2 beberapa orang itu roboh terdjungkal.

Sikong Hian takbisa tinggal diam lagi, ia gulung lengan badjunja dan tjepat mengeluarkan sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok2 telapak tangan dan lengannja, lalu melompat kehadapan Tjiong Ling dan Toan Ki sambil membentak: Berhenti!

Se-konjong2 Kim-leng-tju meledjit lagi dari tangan Tjiong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian. Tjepat Pangtju Sin-long-pang itu angkat tangannja keatas sembari mengkirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular tjiptaannja itu mandjur tidak untuk menghadapi ular emas jang gesit dan lihay luar biasa itu, djika tidak mandjur, bukan sadja nama baiknja selama ini akan hanjut kelaut, bahkan Sin-long-pang sedjak itupun akan ludas.

Untung baginja, baru sadja Kim-leng-tju pentang mulut hendak menggigit tangannja, mendadak binatang itu menikung diatas udara ekornja menutul diatas telapak Sikong Hian, terus melompat ketangan Tjiong Ling.

Girang Sikong Hian tak terkira, terus sadja tangan kirinja memukul, saking hebat angin pukulannja itu, pula tak sempat berkelit, Tjiong Ling tergetar sempojongan, hampir2 sadja terdjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menjamber kebelakang, hingga Toan Ki jang tidak ngah itu kena tersampuk, kontan ia roboh terdjengkang.

Tjiong Ling terkedjut, ber-ulang2 ia bersuit mendesak Kim-leng-tju menjerang musuh. Kembali ular emas itu melesat kedepan, namun obat jang terpoles ditangan Sikong Hian itu djusteru adalah obat djitu anti Kim-leng-tju, bintang itu tidak berani sembarangan menggigit lagi, hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, namun Sikong Hian telah mainkan kedua telapak tangannja sedemikian tjepatnja hingga airpun takbisa tembus.

Segera Tjiong Ling putar Djing-leng-tju mengerojok dari samping. Karena tidak tahu kalau Djin-leng-tju tak berbisa, Sikong Hian semakin was2, ia mendjaga diri semakin rapat sambil mem-bentak2 memberi perintah pada begundalnja.

Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang merubung madju, setiap orang membawa segebung rumput obat jang dinjalakan, asap rumput itu teruar tebal sekali.

Baru sadja Toan Ki merangkak bangun dari djatuhnja tadi, begitu mentjium bau asap rumput itu, seketika ia pingsan dan roboh pula. Lapat2 ia lihat Tjiong Ling djuga mulai sempojongan menjusul gadis itupun terdjungkal.

Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk madju hendak meringkus Tjiong Ling tapi Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju teramat setia membela madjikan, segera mereka menggigit pula kedua orang itu. Kontan jang satu meringkuk keratjunan bagai ebi dan jang lain tulang kaki patah kena dibelit oleh Djing-leng-tju jang keras bagai kawat badja itu.

Seketika itu djago2 Sin-long-pang mendjadi djeri, be-ramai2 mereka merubung kedua muda-mudi jang menggeletak ditanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Tjepat Sikong Hian berseru: Bakar kunir disebelah timur, disebelah selatan dibakar Sia-hio (sematjam bibit wangi dari binatang), semua orang menjingkir dari barat-laut!

Segera anak buahnja mengikuti perintah itu, dasar segala matjam bekal obat2an selalu tersedia dalam Sin-long-pang, pula obat2 bakar itu baunja sangat keras, begitu dibakar, seketika menjiarkan asap tebal jang berbau menusuk hidung dan tertiup kearah Tjiong Ling.

Tak terduga, Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju meski dibawah embusan asap jang merupakan obat anti mereka, namun kedua binatang itu masih tetap lintjah dan gesit, dalam sekedjap sadja lagi2 beberapa orang Sin-long-pang digigit roboh.Sikong Hian mengkerut kening, tjepat ia mendapat akal lagi, serunja: Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan ini hidup2 bersama ular2nja.

Memangnja gegaman sebangsa patjul dan sebagainja selalu tersedia ditangan anak buah Sin-long-pang, tjepat sadja mereka lantas menggali tanah dan diuruk keatas tubuh Tjiong Ling.

Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenjap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa itu berpangkal atas dirinja, kalau Tjiong Ling mengalami nasib mati dikubur hidup2, rasanja dirinja djuga takbisa hidup sendiri. Maka sekuatnja ia melompat keatas tubuh sigadis dan merangkulnja sambil berseru: Bagaimanapun biarlah gugur bersama! ~ Menjusul ia merasa batu pasir bertebaran mendjatuhi badannja.

Mendengar kata2 Bagaimanapun biarlah gugur bersama itu, hati Sikong Hian ikut tergerak, ia lihat disekitarnja menggeletak lebih 20 anak buahnja, beberapa diantaranja bahkan adalah tokoh penting dalam golongannja, termasuk pula dua orang Sutenja, djikalau anak perempuan itu dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun ratjun ular emas itu terlalu aneh, tanpa obat pemunah tjiptaan tunggal sigadis, rasanja susah menolong djiwa orang2nja itu. Maka tjepat katanja: Biarkan djiwa kedua botjah itu hidup, djangan uruk bagian kepala mereka!

Tjiong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badannja tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat, keduanja sama2 takbisa berkutik. Maka dalam sekedjap sadja, badan kedua muda-mudi itu bersama Kim-leng-tju dan Djin-leng-tju sudah terpendam dibawah tanah, hanja kepala mereka jang menongol diluar.

Anak perempuan, nah, katakanlah kau ingin mati atau hidup? tanja Sikong Hian

dengan nada dingin.

Sudah tentu aku ingin hidup, sahut Tjiong Ling. Djika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanja djuga takkan bisa hidup.

Baik, udjar Sikong Hian. Lekas kau serahkan obat pemunah ratjun ular, lantas kuampuni djiwamu.

Tidak, hanja djiwaku sadja tidak tjukup, harus djiwa kami berdua, kata Tjiong Ling.

Baiklah boleh kuampuni djiwa kalian berdua, sahut Sikong Hian. Nah, mana obat pemunahnja?

Aku tidak membawa obat pemunah, kata sigadis. Ratjun djahat Kim-leng-tju ini hanja ajahku sadja jang bisa mengobati. Bukankah sudah kukatakan padamu, djangan kau paksa aku turun tangan, sebab ajah pasti akan marah padaku, dan bagimu djuga tiada gunanja.

Botjah tjilik, dalam keadaan begini masih berani membual!, sahut Sikong Hian bengis, kalau kakekmu nanti kadung murka, biar kutinggalkan kau disini agar mati kelaparan.

Eh, apa jang kukatakan adalah sesungguhnja, kenapa kau masih tidak pertjaja, kata Tjiong Ling. Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runjam, mungkin ajah takbisa dibohongi, lantas bagaimana baiknja?

Siapa nama ajahmu? tanja Sikong Hian.

Usiamu toh sudah tua, kenapa kau begini tidak kenal aturan? sahut sigadis. Nama ajahku, mana boleh sembarangan kukatakan padamu?

Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang-melintang dikalangan Kangouw, tapi menghadapi dua botjah seperti Tjiong Ling dan Toan Ki, ia benar2 tak berdaja. Dengan gemas segera ia berkata pula: Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan ini, tjoba lihat dia mau mengaku atau tidak.

Segera seorang anak buahnja mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Tjiong Ling dengan memegang obor itu. Karuan gadis itu ketakutan melihat wadjah orang jang bengis itu, ia ber-teriak2: He, he, djangan! Emangnja tidak sakit membakar rambut orang? Kenapa kau tidak tjoba membakar djenggotmu sendiri sadja?

Sudah tentu aku tahu sangat sakit, buat apa kutjoba membakar djenggot sendiri? sahut Sikong Hian dengan tertawa edjek. Terus sadja ia angkat obor dan di-abit2kan didepan hidung Tjiong Ling, karuan gadis itu mendjerit takut.

Tjepat Toan Ki memeluk tubuh sigadis lebih kentjang sambil berseru: He, djenggot kambing, urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku sadja boleh kau bakar!

Djangan, kaupun akan merasa sakit! udjar Tjiong Ling.

Djika kau takut sakit, lekas kau keluarkan obat pemunahnja untuk menolong saudara2 kami itu, desak Sikong Hian.

Kau ini sudah tua, tapi bodoh melebihi kerbau, sahut Tjiong Ling. Sedjak tadi sudah kukatakan bahwa hanja ajahku jang bisa menjembuhkan keratjunan Kim-leng-tju, bahkan ibukupun tidak bisa. Emangnja kau sangka mudah mengobati?

Mendengar sekitarnja berisik dengan suara mengerikan rintih-keluh orang2nja jang digigit Kim-leng-tju tadi, Sikong Hian menduga pasti ratjun ular ini sangat menjakitkan, bila tidak, anak-buahnja jang tergolong laki2 gagah itu, biasanja biarpun sebelah kaki atau tangannja dikutung orang djuga tidak sudi merengek sedikitpun. Tapi kini meski sudah minum obat pemunah ratjun ular buatan sendiri, namun toh masih me-rintih2 tidak tahan, terang obat ular jang biasanja sangat mudjarab itupun tidak berguna, dalam putus-asanja, Sikong Hian terus mendelik melototi Tjiong Ling sambil membentak: Siapa bapakmu, lekas kau beritahu namanja!

Apa benar2 kau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnja? tanja sigadis.

Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia djadjarkan istilah Uh-hiat-su-leng dengan nama seseorang, pikirnja: Apa mungkin Uh-hiat-su-leng ini adalah

piaraan orang ini?

Djika orang ini ternjata belum mati, dan selama ini dia...... dia hanja mengasingkan diri, hanja pura2 mati, lalu aku mengorek namanja di-sebut2, kelak dia pasti akan bikin repot padaku.

Sekilas Tjiong Ling dapat melihat wadjah Sikong Hian menampilkan rasa djeri, ia sangat senang, segera katanja pula: Makanja lekasan kau lepaskan kami, supaja ajahku tidak bikin susah padamu.

Setjepat kilat benak Sikong Hian berganti keberapa pikiran: Pabila kulepaskan dia, dan ajahnja benar adalah orang jang kuduga, setelah ditanja, pasti dia akan tahu aku telah membade rahasianja. Dan mana bisa djiwaku dibiarkan hidup oleh orang itu? Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutup rahasianja. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara jang menderita inipun susah dipertahankan djiwanja. Hm, sekali sudah berbuat, biarlah kuteruskan sampai titik terachir! ~ Begitu ambil keputusan, diam2 tangan kirinja terus mengerahkan tenaga dan menggablok keatas kepala Tjiong Ling.

Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Tjiong Ling tahu gelagat djelek, ketika melihat pula tangan orang mulai memukul, tjepat ia berteriak: Hai, tahan, djangan pukul dulu!

Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulannja tetap diteruskan, tapi baru sadja hampir menjentuh kepala sigadis, sekonjong2 bagian tengkuk terasa sakit kena digigit sesuatu, karena itu, walaupun pukulannja itu tetap mengenai kepala Tjiong Ling, namun tenaganja sudah lenjap ditengah djalan hingga mirip mengusap rumbut sigadis sadja.

Kedjut Sikong Hian tak terkira, tjepat ia sedot napas pandjang untuk melindungi djantungnja, tangan lain melepaskan obor terus membalik kebelakang leher untuk menangkap tapi tjelaka, lagi2 punggung tangan terasa digigit sekali pula.

Kiranja sesudah Kim-leng-tju terpendam ditanah, diam2 ia telah menjusup keluar, dan pada saat Sikong Hian tidak men-duga2 mendadak binatang itu menjerang. Karuan Sikong Hian sungat tjemas dan kuatir, tjepat ia duduk bersila ditanah, mengerahkan tenaga dalamnja untuk mengusir ratjun.

Segera anak buahnja menjekop tanah dan menguruk lagi keatas Kim-lengtju,

namun binatang itu sempat meledjit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap beberapa kali, tahu2 dia sudah lari ketengah semak2 rumput.

Lekas2 anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangtju, setelah luar-dalam memakai obat, mulut sang Pangtju didjedjal pula sebatang Djin-som untuk memperkuat tenaganja. Berbareng Sikong Hian pun kerahkan Lwekang untuk melawan ratjun ular, tapi tiada seberapa lama, ia sudah lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos sebatang golok pendek terus menabas lengan kanan sendiri hingga kutung. Namun tengkuk jang djuga digigit ular itu, rasanja tidak mungkin buah kepalanja ikut dipenggal.

Melihat keadaan sang Pangtju jang hebat itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah menguntjur bagai sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterdiang bujar oleh air darah. Tjepat seorang anak buah sobek lengan badju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangtju, dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.

Melihat itu, muka Tjiong Ling pun putjat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.

Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-tju dari Uh-hiat-su-leng? tiba2 Sikong Hian menanja dengan suara geram.

Ja, sahut Tjiong Ling.

Kalau kena digigit, setelah linu pegal tudjuh hari baru bisa mati, betul tidak? tanja Sikong Hian pula.

Kembali sigadis mengia.

Seret keluar anak muda itu, perintah Sikong Hian pada anak buahnja.

Be-ramai2 anggota Sin-long-pang mengia terus menjeret Toan Ki dari bawah gundukan pasir batu.

He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnja dengan dia, djangan bikin susah

padanja! tjepat Tjiong Ling berteriak sambil me-ronta2 hendak melompat bangun.

Namun anak buah Sin-long-pang itu tjepat menguruk pasir batu pula ketempat luang bekas Toan Ki tadi hingga Tjiong Ling takbisa berkutik. Saking kuatir mengira Toan Ki akan dibunuh, gadis itu lantas meng-gerung2 menangis.

Sebenarnja Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapat mungkin ia tenangkan diri, katanja dengan tersenjum: Nona Tjiong, seorang laki2 sedjati pandang kematian bagai pulang kerumah, kita tidak boleh pengetjut dihadapan kawanan orang djahat ini.

Aku bukan djantan sedjati, maka aku tidak mau pandang mati seperti pulang rumah, sahut sigadis.

Mendadak Sikong Hian memberi perintah: Beri minum botjah ini dengan Toan-djiong-san, pakai takeran untuk tudjuh hari lamanja.

Segera anak buahnja mengeluarkan sebotol obot bubuk merah dan mentjekoki Toan Ki dengan paksa.

Karuan Tjiong Ling kuatir setengah mati, ia ber-teriak2: He, he, itulah ratjun, djangan mau minum!

Ketika mendengar nama Toan-djiong-san atau obat bubuk pengrusak utjus, segera Toan Ki tahu ratjun itu tentu sangat lihay, tapi dirinja sudah djatuh dibawah tjengkeraman orang, tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan iklas terus sadja ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnja sengadja ber-ketjek2, lalu katanja dengan tertawa: Ehm, manis djuga rasanja. Eh, Sikong-pangtju, apakah kaupun akan minum barang setengah botol?

Sikong Hian mendjengek gusar sekali tanpa mendjawab, sebaliknja Tjiong Ling jang sedang menangis itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.

Toan-djiong-san ini baru akan bekerdja sesudah tudjuh hari nanti hingga utjus dan perutnja akan hantjur, kata Sikong Hian kemudian. Maka selama tudjuh hari ini hendaklah lekas kau pergi mengambilkan obat pemunah ratjun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti akupun berikan obat pemunah ratjun padamu.

Sulit, sahut Tjiong Ling. Ratiun Kim-leng-tju itu hanja bisa dipunahkan dengan Lwekang tunggal ajahku sendiri, selamanja tidak ada obat pemunahnja.

Djika begitu, suruh ajahmu kesini untuk menolong kau, kata Sikong Hian.

Omong sadja gampang, sahut sigadis, tak mungkin ajahku sembarangan keluar rumah? Sudah pasti dia takkan keluar selangkahpun dari lembah gunung kami.

Sikong Hian dapat mempertjajai apa jang dikatakan Tjiong Ling itu, seketika ia mendjadi ragu2.

Paling baik begini sadja, tiba2 Toan Ki mengusul, kita be-ramai2 pergi kerumah nona Tjiong dan mohon orang tuanja menjembuhkan ratjun ular, tjara demikian bukankah lebih tjepat dan tepat.

Tidak, tidak boleh djadi! kata Tjiong Ling. Ajahku pernah menjatakan, tak peduli siapapun djuga, asal mengindjak setindak kedalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan.

Sementara itu luka gigitan ular dibelakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar ia berteriak: Aku tak peduli segala tetek-bengek itu, kalau kau tidak mau mengundang ajahmu kemari, biarlah kita gugur bersama.

Tjiong Ling memikir sedjenak, lalu katanja: Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis seputjuk surat kepada ajah untuk memohon kedatangannja. Tapi kau harus suruh seorang jang tidak takut mati untuk menjampaikan pada beliau.

Bukankah botjah she Toan ini bisa kusuruh kesana, buat apa suruh orang lain? seru Sikong Hian gemas.

Kau ini benar2 pelupa. udjar sigadis. Bukankah sudah kukatakan, barang siapa berani mengindjak selangkah kelembah kami, pasti dia akan binasa. Dan aku tidak ingin Toan-heng mati, kau tahu tidak?

Djika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati? sahut Sikong Hian. Sudah, sudah, tak perlu pergi, biarlah kita lihat aku mati kemudian atau dia mampus duluan.

Kembali Tjiong Ling menangis ter-gerung2 lagi, serunja: Kau kakek djenggot kambing ini benar2 tidak tahu malu, hanja pintar menghina seorang nona tjilik! Perbuatanmu ini apakah terhitung seorang kesatria sedjati kalau diketahui orang Kangouw?

Namun Sikong Hian tidak menggubrisnja, ia mendjalankan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.

Biarlah aku berangkat sadja, kata Toan Ki tiba2, Nona Tjiong, djika ajahmu tahu kedatanganku kesana adalah untuk memohon dia datang kesini menolong kau, rasanja beliau takkan mengapa2kan diriku.

Tiba2 Tjiong Ling mengundjuk girang. katanja: Ah, aku mendapat suatu akal. Begini, djangan kau katakan pada ajahku dimana aku berada. Tapi begitu kau membawanja kesini, segera kau harus melarikan diri, kalau tidak, tentu tjelaka!

Ehm, bagus djuga akalmu ini, sabut Toan Ki memanggut.

Lalu Tjiong Ling berkata pula pada Sikong Hian: He, djenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu tjara bagaimana kau akan memberi obat pemunah ratiun padanja?

Sikong Hian menundjuk sebuah batu besar djauh dibarat-laut sana dan berkata: Aku akan suruh orang menunggu disana dengan obat pemunah, begitu tuan Toan berlari sampai disana, lantas mendapatkan obatnja. ~ Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ajah Tjiong Ling untuk menolong djiwanja, maka panggilannja kepada Toan Ki sekarang berubah mendjadi terhormat.

Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnja menggali keluar Tjiong Ling, tapi sebagai gantinja kedua tangan sigadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Djing-leng-tju masih keluget2 didalam tanah, sedang ular2 ketjil lainnja sudah mati terpendam.

Kau belenggu kedua tanganku, bagaimana aku bisa menulis surat? kata Tjiong Ling kemudian.

Kau dara tjilik ini terlalu litjin, kau bilang hendak menulis surat, djangan2 main gila lagi. udjar Sikong Hian. Tak usah pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu kepada tuan Toan sebagai tanda pengenal untuk ajahmu.

Kebetulan, sahut Tjiong Ling tertawa. Emangnja aku tidak suka tulis menulis. Lalu benda apakah jang berada padaku? Ah, biarlah Djing-leng-tju sadja kau bawa kepada ajahku, Toan-heng.

He, djang.... djangan. seru Toan Ki tjepat. Dia takkan turut perintahku, kalau ditengah djalan aku digigitnja, kan tjelaka!

Djangan kuatir. udjar Tjiong Ling tersenjum. Dalam saku badjuku ada sebuah kotak kemala ketjil, harap kau mengeluarkannja.

Segera Toan Ki ulur tangan kesaku sigadis, tapi baru tangan menjentuh badju, tjepat Toan Ki tarik kembali tangannja. Ia merasa perbuatan kurang-adjar kalau tangan seorang pemuda gerajangan didalam badju seorang gadis.

Namun Tjiong Ling tidak memikir sampai disitu, desaknja malah: Hajo, kenapa tidak lekas mengambil? Disaku sebelah kiri!

Toan Ki pikir urusan sudah terlandjur runjam, keadaan sangat kepepet, nona tjilik itupun masih ke-kanak2an; sedikitpun tiada rasa pantang perbedaan laki2-perempuan, maka akupun tidak perlu pikir jang tidak2. Segera ia merogoh saku sigadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar jang keras dan hangat2.

Didalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-tiu dan Djing-leng-tju, kata Tjiong Ling. Djika Djing-leng-tju tidak menurut perintah, boleh kau ajun2 kotak kemala itu diatas kepalanja, dengan sendirinja dia tak berani main gila lagi.

Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala itu didepan kepala Djing-leng-tju, maka terdengarlah suara men-tjit2 aneh beberapa kali didalam kotak itu, seketika Djing-leng-tju sangat ketakutan hingga mengkeret badannja.

Senang sekali Toan Ki melihat itu: Benda apakah didalam kotak ini? Biar kumelihatnja! ~ Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.

Namun Tjiong Ling keburu mentjegah: He, djangan! Tutup kotak sekali2 takboleh dibuka!

Sebab apa? tanja Toan Ki tak paham.

Tjiong Ling melirik sekedjap kearah Sikong Hian, lalu berkata: Ini adalah rahasia, tidak boleh didengar orang luar. Nanti kalau kau sudah kembali, biar kuberitahukan padamu berduaan.

Baiklah, kata Toan Ki, sebelah tangannja memegang kotak kemala, lain tangan terus melepaskan Djing-leng-tju dari pinggang Tjiong Ling dan diikat dipinggang sendiri.

Ternjata Djing-leng-tju membiarkan dirinja diperbuat sesukanja oleh Toan Ki, sedikitpun tidak berani membangkang. Karuan pemuda itu sangat senang, katanja: Ha, ular ini menarik djuga!

Pabila dia lapar, dia akan mentjari baginja, kata Tjiong Ling pula. dan menggigit orang, kalau kau men-desis2 ~ Sembari berkata, ia terus bersuit

makan sendiri, tak perlu kau kuatir bila kau bersuit begini, dia lantas begini, dia lantas kembali ketanganmu. memberi tjontoh.

Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan adjaran sigadis. Sebaliknja Sikong Hian merasa kerupukan karena tidak sabar, ia pikir anak2 muda ini benar2 kurangadjar, sudah dekat adjal, masih memain ular segala. Segera ia membentak: Lekas pergi dan tjepat kembali! Djiwa semuanja tinggal beberapa hari sadja, djika ada halangan ditengah djalan, tentu djiwa masing2 akan melajang. Nona Tjiong, dari sini ketempat tinggalmu harus memakan waktu berapa lama?

Kalau tjepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah tjukup, sahut Tjiong Ling.

Sikong Hian rada lega oleh djawaban itu, ia mendesak pula: Baiklah, lekas berangkat, lekas!

Tapi aku belum beritahu djalannja kesana kepada Toan-heng, harap kalian menjingkir djauh2 dari sini, siapapun dilarang mendengarkan, kata sigadis.

Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnja menjingkir pergi.

Kaupun menjingkir, kata Tjiong Ling pada Sikong Hian.

Karuan diam2 Sikong Hian geregatan, katanja dalam hati: Kurangadjar! Biarlah kelak kalau lukaku sudah sembuh, kalau aku tidak balas permainkan kau djuga, pertjumalah aku mendjadi manusia. ~ Segera ia berbangkit dan menjingkir pergi djuga.

Toan-heng, kata Tjiong Ling kemudian sambil menghela napas lega, baru sadja kita berkenalan, kini sudah harus berpisah.

Tidak apa, paling lama pergi-pulang tjuma empat hari, sahut Toan Ki tertawa.

Sepasang mata bola Tjiong Ling termangu memandangi sipemuda, kemudian katanja: Setiba disana, harap kau menemui ibuku lebih dulu untuk mentjeritakan duduk perkaranja dan biar ibuku jang menjampaikan kepada ajahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan. ~ Segera ia gunakan udjung kakinja meng-gores2 tanah untuk mendjelaskan djalan kerumah tinggalnja itu.

Kiranja tempat tinggal Tjiong Ling itu terletak di sebuah lembah ditepi barat sungai Landjong. Meski djaraknja tidak djauh, tapi tempatnja tersembunji dan susah ditempuh, kalau tidak diberi petundjuk, orang luar sekali2 tak nanti menemukannja.

Namun daja ingatan Toan Ki sangat baik, apa jang ditundjukkan Tjiong Ling, biarpun menikung kesana dan membiluk kesini membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat. Setelah Tjiong Ling selesai menguraikan, segera katanja: Baiklah, sekarang aku akan berangkat! ~ Terus sadja ia putar bertindak pergi.

Tapi baru pemuda itu berdjalan belasan tindak, tiba2 Tjiong Ling teringat

sesuatu, tjepat serunja: He, kembali kau!

Ada apa? tanja Toan Ki sambil memutar balik.

Paling baik kau djangan mengaku she Toan, lebih2 djangan bilang ajahmu mahir menggunakan It-yang-tji, pesan sigadis. Sebab...... sebab mungkin sekali akan menimbulkan prasangka ajahku.

Baiklah, sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannja ternjata teliti amat. Segera ia bertindak pergi sembari ber-njanji2 ketjil.

Tatkala itu hari sudah malam, sang dewi malam sudah menongol di tengah tjakrawala, dibawah tjahaja bulan, Toan Ki terus menudju kebarat. Meski dia takbisa ilmu silat, tapi usianja muda, tenaganja kuat, djalannja tjukup tjepat.

Setelah belasan li djauhnja, ia sudah melintas sampai dibelakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara gemertjiknja air, didepan ada sebuah sungai ketjil, karena merasa haus, Toan Ki menudju ketepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia ulur tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnja mengetjup air, tiba2 mendengar suara orang tertawa dingin dibelakang. Dalam kedjutnja tjepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnja sendjata logam, sebatang pedang sudah mengantjam didadanja. Waktu mendongak, ia lihat seorang bersenjum edjek, kiranja adalah Kam Djin-ho dari Bu-liang-kiam.

Eh, kiranja kau, bikin kaget aku sadja, kata Toan Ki berlagak ketawa. sudah malam begini, ada apa Kam-heng berada disini?

Atas perintah guruku, aku djusteru lagi menunggu kau disini, sahut Kam Djin-ho. Maka silahkan Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bitjara sebentar.

Urusan apakah? Harap tunda sampai lain hari sadja, udjar Toan Ki. Harini aku ada urusan penting dan perlu lekas2 berangkat.

Tidak, betapapun djuga Toan-heng harus ikut kesana, kata Djin-ho. Bila tidak, aku pasti akan didamperat oleh guruku.

Melihat wadjah orang mengundjuk kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lapat2 ia dapat menebak apa maksud orang, pikirnja: Tjelaka, mungkin dia sengadja hendak menahan aku, agar penolong jang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang2 Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak kuatir lagi, terhadap musuh utama itu.

Segera ia menanja pula: Darimana Kam-heng mengetahui aku akan datang kesini?

Hm, djengek Djin-ho. Perembukan kau bersama nona Tjiong terhadap Sin-long-pang sudah Tjayhe dengar dan lihat semua. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa2 dengan kau, pasti kau takkan dibikin susah. Jang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ketempat kami, kemudian kau akan dibebaskan.

Mampir buat beberapa hari? Toan Ki menegas. Kan bisa tjelaka, padahal aku telah minum Toan-djiong-san pihak Sin-long-pang, kalau ratjunnja bekerdja bagaimana?

Boleh djadi minum sedikit obat urus2, perutmu lantas takkan sakit, kata Kam Djin-ho tertawa.

Diam2 Toan Ki kuatir, seketika iapun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut pergi ke Kiam-oh-kiong, mungkin dirinja akan mendjadi korban, bahkan Tjiong Ling, Sikong Hian dan lain2 akan terbinasa.

Dalam pada itu udjung pedang Kam Djin-ho sudah mengantjam didada Toan Ki hingga terasa sakit. Hajo, ikut! Mau atau tidak mau tetap kau harus ikut kesana! kata murid Bu-liang-kiam itu.

Dengan demikian, bukankah kau sengadja hendak membunuh aku? kata Toan Ki.

Djika sudah berani berkelana dikangouw, djiwamu harus berani dibuat taruhan, udjar Djin-ho tertawa. Orang pengetjut matjammu ini, sungguh terlalu. Habis berkata, sret, mendadak pedangnja terus mengiris kebawah hingga badju Toan Ki terobek sepandjang puluhan senti.

Kam Djin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun badju Toan Ki terobek disajat, namun badannja sedikitpun tidak luka. Maka tertampaklah perut Toan Ki jang putih itu, tjepatan pemuda itu memegangi badjunja jang kedodoran itu.

Eh, putih djuga, seperti perempuan, goda Djin-ho tertawa. Mendadak ia berubah bengis, bentaknja: Hajo, lekas djalan, djangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa kusajat mukamu hingga berpuluh djalur merah!

Terpaksa, Toan Ki harus menurut, ia pikir nanti ditengah djalan harus mentjari akal untuk meloloskan diri. Segera ia betulkan badjunja, lalu katanja: Djika sebelumnja kutahu Bu-liang-kiam kalian begini djahat, tentu aku tidak sudi ikut tjampur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diratjun mampus semua oleh Sin-long-pang.

Kau mengomel apa segala? bentak Djin-ho. Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-ho-han (kesatria dan gagah) semua, masakan djeri terhadap kawanan Sin-long-pang jang tak kenal malu itu. Sret, kembali pedangnja menggores badju dipunggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara krek, goresan pedang itu terhalang sesuatu.

Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa dipinggangnja terlilit Djing-leng-tju, ia merasa dirinja terlalu geblek, kenapa sedjak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia ber-suit2 menirukan Tjiong Ling.

Begitu kepala Djing-leng-tju menegak, terus sadja ia memagut kemuka Kam Djin-ho. Karuan djago Bu-liang-kiam itu kaget, tjepat ia melangkah mundur. Sekali pagut tidak kena, Djing-leng-tju membalik kebawah hendak melilit lengan Djin-ho.

Betapa lihaynja ular hidjau ini sudah dikenal Djin-ho, bahkan pedang gurunja pernah dililit patah. Maka tjepat ia melompat berkelit pula. Untung baginja, sebab Toan Ki belum pandai menggunakan Djing-leng-tju, ia tidauntuk menjerang musuh, maka sebagian besar badan Djing-leng-tju masih melilit dipinggang, sebab itulah serangan2nja terbatas hingga dua kali pagut dapat dihindarkan Kam Djin-ho.

Melihat Kam Djin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, tjepatan sadja ia angkat langkah seribu, ia ber-lari2 kearah barat.

Hai, berhenti! bentak Djin-ho sambil menguber. Aku membawa obat anti ular,

ular hidjau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos! Walaupun begitu katanja, namun iapun tidak berani mendesak terlalu dekat.

Dasar Toan Ki, belum sampai satu li djauhnja, napasnja sudah megap2 Senin-kemis. Sebaliknja Kam Djin-ho sangat tjekatan larinja, ia mendapatkan sepotong tangkai pohon pula sambil me-njabet2 kepunggung Toan Ki.

Dalam gugupnja, eh, timbul djuga ketjerdasan Toan Ki, tjepat ia lepaskan Djing-leng-tju dari pinggang sambil bersuit, sekuatnja ia ajun ular itu kebelakang. Dengan demikian Kam Djin-ho mendjadi djeri dan ketinggalan lebih djauh. Pikir djago Bu-liang-kiam itu: Kau anak sekolahan ini sedikitpun takbisa ilmu silat, asal aku terus mengintil dibelakangmu, tiada sedjam, tentu kau akan mati lelah.

Maka uber-menguber itu masih berlangsung terus menudju kearah barat.

Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar2 terasa hampir putus, djantungnja memukul keras se-akan2 meledak. Pikirnja: Djika aku tertawan dia, djiwa nona Tjiong pasti akan ikut mendjadi korban. Itulah sangat tidak enak terhadap dia. Karena gugupnja, ia takbisa pilih djalan lagi, jang dia tudju selalu rimba lebat hutan belukar, kesanalah dia menjusup terus.

Setelah menguber sebentar pula, mendadak Djin-ho dengar suara gemerudjuknja air jang gemuruh. Tergerak pikirannja, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat sebuah air terdjun raksasa dengan airnja jang dituang kebawah bagai sungai gantung.

Tjepat Djin-ho berhenti sambil berteriak: He, didepan adalah tempat larangan golongan kami, djika kau berani madju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur! Bukannja Toan Ki berhenti, sebaliknja ia sangat girang dan berlari kedepan malah, pikirnja: Djika disana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengedjar pula. Saat ini djiwaku memang lagi terantjam, takut apa? Hai, lekas berhenti! kembali Djin-ho berteriak. Apa kau tidak ingin njawamu lagi?

Aku djusteru ingin njawaku, maka aku lari... baru sekian djawaban Toan Ki, se-konjong2 kakinja terasa mengindjak kosong. Ia tidak bisa ilmu silat, pula sedang berlari,tentu sadja ia tidak bisa menahan diri, terus sadja tubuhnja andjlok kebawah.

Haja! teriak Toan Ki kaget, namun badannja sudah terdjerumus kebawah berpuluh

tombak dalamnja.

Waktu Djin-ho memburu sampai ditepi djurang, jang terlihat hanja kabut tebal, apa jang terdjadi dibawah djurang sedikitpun tidak terang. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hantjur-lebur, sedangkan tempat dimana dia berdiri adalah tempat larangan golongan sendiri, maka ia tidak berani lama2 disitu, tjepat ia putar balik melaporkan pada sang guru.

Sementara itu tubuh Toan Ki jang terapung diudara itu, kedua tangannja me-raup2 kesana-kemari dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan turunnja badan.

Kebetulan djuga, mendadak Djin-leng-tju jang masih dipegang olehnja itu dapat melilit pada suatu dahan pohon Siong jang tumbuh didinding djurang. Beberapa kali badan ular itu membelit, dengan kentjang dan kuat dapatlah melilit diatas dahan itu.

Ketika mendadak Toan Ki merasa daja turunnja berhenti, hampir2 ia tidak kuat memegang Djing-leng-tju dan hampir2 memberosot kebawah. Untung Djing-leng-tju tjukup tjerdik, tjepat ekornja segera melilit beberapa kali dipergelangan tangan Toan Ki. Maka mendjeritlah mendadak pemuda itu kesakitan.

Kiranja daja turunnja tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Djin-leng-tju setjara mendadak, seketika lengan kanannja keseleo.

Badan Djing-leng-tju ternjata keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki jang bobotnja ratusan kati itu sambil mem-buai2, namun masih bisa bertahan dengan baik.

Waktu Toan Ki memandang kebawah, ia lihat awan terapung mengambang diudara djurang, betapa dalamnja djurang itu tidak kelihatan. Untuk mendaki keatas, terang tiada mungkin, apalagi tangannja keseleo, tenaga habis. Pada saat itulah, badannja jang terajun terasa mendempel dinding djurang, tjepat ia ulur tangan kiri untuk menarik pangkal kaju jang berada didinding djurang itu, kemudian kakinja mendapatkan tempat berpidjak pula, barulah dia merasa lega dan tenang. Ketika djurang itu di-amat2i, ia lihat ditengah djurang melekah sebuah tjelah pandjang, ditengah tjelah banjak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau mungkin djuga bisa dibuat djalan turun kebawah dengan pelahan2.

Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serba runjam kalau tinggal disitu, kalau tidak bisa naik keatas, terpaksa turun kebawah djurang untuk mentjari djalan keluar lain.

Meski dia hanja seorang sekolahan, namun mempunjai semangat banteng. Ia pikir djiwanja toh bolehnja temu, kalau achirnja mesti melajang lagi, biarlah sudah. Mati ja mati, seorang laki2 kenapa mesti takut?

Segera ia bersuit pula, lalu men-desis2 sebagai tanda mengembalikan Djing-leng-tju.

Mendengar suara suitan, Djing-leng-tju lantas melepaskan lilitannja diatas dahan dan kembali ketangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikatnja pula diatas dahan tempat kakinja berpidjak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia terus merosot kebawah. Setelah dekat udjung ekor ular, kakinja memperoleh tempat berpidjak lagi, lalu menarik kembali Djing-leng-tju untuk dipakai tali memberosot kebawah pula dan begitu seterusnja. Untung bagian bawah djurang itu tidak terlalu tjuram, achirnja ia tidak perlu bantuan Djing-leng-tju sudah dapat turun kebawah.

Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia mendjadi kuatir lagi: Djika dibawah sana adalah arus air jang lihay, tjelakalah aku. ~ Ia merasa butiran2 air sudah berhamburan mentjiprat kemukanju, begitu besar butiran2 air itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.

Achirnja sampailah dia didasar djurang. Waktu memandang kedepan, tanpa tertahan 'I'oan Ki bersorak memudji. Ternjata ditebing kiri sana ada sebuah air terdjun raksasa menuangkan airnja jang djernih kesebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi jang sebelah sana.

Walaupun dituangi air terdjun sekeras itu, namun air danau itu tidak mendjadi penuh, tentunja ada saluran jang membuang air itu kelain tempat. Tempat dimana air terdjun menggerudjuk, airnja bergulung-gulung, tapi belasan tombak diluar air terdjun itu, air danau tenang bening bagai katja.

Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam jang aneh itu. Karena itu, ia mendjadi lupa sakit lengannja jang keseleo itu. Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan badju dan berkata pada ruas tulang jang keseleo itu: Wahai, ruas tulang, djika kudapat membetulkan kau, tentu takkan sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan djuga sjukur. ~ Ia kertak gigi dan menarik sekuatnja lengan jang keseleo itu. Krek, eh, tulang jang keseleo itu dapat disambungnja kembali. Walaupun rasa sakitnja tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas

lagi.

Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia merasa tjukup bersemangat. Ia me-raba2 Djing-leng,tju dan berkata: Wahai, Djing-leng-tju, hari ini kalau kau tidak menjelamatkan djiwaku, tentu sedjak tadi tuanmu ini sudah naik kesurga. Maka kelak aku pasti akan suruh tuan puterimu memiara kau lebih baik.

Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnja segar dan rada2 manis pula.

Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir: Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mentjari djalan keluar, djangan2 Kam Djin-ho itu sebentar menjusul kesini, kan bisa tjelaka. ~ Segera ia menjusur tepi danau untuk mentjari djalan.

Danau itu ternjata berbentuk bundar londjong, sebagian besar ter-aling2 oleh semak2 tumbuh2an. Toan Ki mengitar kira2 tiga li djauhnja, ia lihat tebing djurang disekeliling sana lebih2 tjuram, hanja tebing jang dia turun tadi ada lebih mendingan, terang tiada djalan buat mendaki keatas. Ia lihat suasana ditengah lembah itu sunji senjap, djangankan djedjak manusia, djedjak binatangpun tidak nampak, hanja kitjauan burung terkadang terdengar.

Karena itu, Toan Ki bersedih lagi, ia pikir tak djadi soal dirinja mati kelaparan disitu, tapi djiwa nona Tjiong bagaimana djadinja? Ia duduk ditepi sungai dengan rasa tjemas gelisah, sedikitpun tidak berdaja.

Kemudian ia pikir: Boleh djadi djalanku tadi terlalu buru2 hingga tidak memperhatikan kalau ada sesuatu djalan ketjil jang teraling dibalik semak2 atau tertutup batu2 gunung? ~ Karena itu, ia berbangkit pula, dengan riang gembira sambil bernjanji2 ketjil ia menjusuri tepi danau untuk mentjari djalan keluar.

Kali ini ia telah periksa setiap semak2 pohon ditepi danau, namun dibalik semak2 itu. setiap tempat adalah batu2 padas melulu jang menempel didinding djurang jang mendjulang tinggi kelangit. Djangankan djalan keluar, bahkan liang ular atau lubang djangkrik djuga tidak nampak sesuatu.

Makin lama makin pelahan njanji2 Toan Ki itu, perasaannja pun semakin lama semakin tertekan. Ketika kembali sampai didepan air terdjun tadi, kakinja sudah lemas, dengan lesu ia mendoprok ketanah.

Dalam putus asa, timbulah chajalannja: Pabila aku bisa mendjadi seekor ikan, aku akan menjusur air terdjun itu dan berenang keatas djurang sana.

Sambil berpikir sinar matanja terus mengikuti djalannja air terdjun itu dari bawah keatas. Ia lihat disebelah kanan air terdjun itu ada sepotong dinding batu jang putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnja, boleh djadi air terdjun itu dimasa dahulu djauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerudjukan berapa lama hingga dinding batu itu kena digosok sampai rata litjin bagai katja. Kemudian air terdjun berubah ketjil dan dinding batu sehalus katja itupun kelihatan.

Tiba2 Toan Ki ingat kata2 Sin Siang-djing ketika sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah menjindir ketua sekte Timur Bu-liang-kiam, Tjo Tju-bok, menanjakan selama lima tahun itu apakah sudah banjak mejakinkan peladjaran dinding kemala. Karena itu, Tjo Tju-bok rada gusar dan menegur apakah sang Sumoay sudah lupa pada pantangan golongan sendiri, hingga achirnja Siang-djinq terbungkam.

Teringat pula olehnja sebabnja Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang, adalah karena Sin-long-pang minta mentjari obat kebelakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh dengan bukit hutan belukar, kalau tjuma mentjari sedikit bahan ohat sadja, apa halangannja?

Dasar otak Toan Ki sangat tjerdas, mendadak timbul rasa tjuriganja sekarang. Segera ia menjelami setiap pembitjaraaa jang pernah didengarnja setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Tjiong Ling menanjakan tentang Bu-liang-giok-bik apa segala pada Tjo Tju-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu tertjengang dan pura2 tidak tahu, sebaliknja Tjiong Ling terus menjindir atas sikap orang itu. Tampaknja apa jang dimaksudkan Giok-bik itu adalah dinding gunung kemala dan bukan Giok-bik dari batu kemala. Sekarang dihadapannja terdapat suatu dinding gunung jang putih gilap bagai kemala, pula terletak dibelakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banjak hubungannja dengan apa jang terdjadi hari ini.

Menjusul teringat pula ketika dirinja terdjerumus kedalam djurang tadi, ber-ulang2 Kam Djin-ho membentaknja agar berhenti, katanja tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam jang terlarang didatangi siapapun djuga. Maka pikirnja pula: Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanja sebab apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan jang menang berhak menghuni Kiam-oh-kiong selama lima tahun? Namun djago tua she Be itu hanja garuk2 kepala dan menjatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang luar susah mengetahuinja.

Ia tjoba menganalisa apa jang telah dilihat dan didengarnja itu, ia menduga diatas Giok-bik itu tentu terukir sematjam rahasia peladjaran ilmu pedang jang ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam bahwa sekte mana jang menang dalam pertandingan, lantas boleh tinggal disitu untuk memperdalam ilmu pedang itu selama lima tahun. Berpikir sampai disini, ia bertambah jakin akan dugaannja itu.

Sedjak ketjil Toak Ki sangat dipengaruhi oleh adjaran Budha, ia bentji terhadap ilmu silat. Sebabnja melarikan diri dari rumah djuga disebabkan tidak mau beladjar silat. Tapi setelah ber-runtun2 dianiaja, dihina dan diratjun orang, jang berbuat itu semuanja adalah orang persilatan pula, maka bentjinja terhadap ilmu silat makin mendalam. Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnja dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnja lagi. Pikirnja: Sebabnja orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh didunia ini, semuanja gara2 ilmu silat masing2 (untuk djaman ini dengan sendirinja karena persendjataan modern, atoom, nuklir dls. Pen.). Pabila diatas dinding kemala itu terukir ilmu silat jang tiada tandingannja di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bentjana lebih hebat bagi manusia, akibatnja djauh lebih tjelaka daripada Kim-leng-tju, Toan-djiong-san dan sebagainja.

Ia berpikir sambil berdjalan terus, namun achirnja rasa ingin tahunja lebih kuat daripada segala pikiran lain, ia pikir: Rahasia ilmu silat jang tertera diatas dinding kemala itu pasti sangat susah dijakinkan, bila tidak, rasanja Tjo Tju-bok dan kambrat2-nja tidak perlu susah2 mempeladjarinja selama lima tahun dan toh tidak banjak hasilnja. Aku djusteru ingin lihat matjam apakah ilmu jang aneh itu?

Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti katja, darimana bisa terukir sesuatu rahasia adjaran ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia tjoba mengintjar2 dari samping dan mengamat-amati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu jang menarik, pikirnja pula: Apa jang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh2. Boleh djadi leluhur Bu-liang-kiam sengadja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat melatih diri. Atau mungkin djuga dugaanku jang salah.

Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri ditanah dan tertidur. Ketika mendusin esok paginja, perutnja semakin kerontjongan, tapi ditengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah2an pun tidak nampak. Sampai lohor, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekedar tangsal perut. Walaupun phit getir rasanja bunga itu, terpaksa ia telan mentah2.

Setelah beberapa djam lagi, sang surja sudah menjerong ke barat, ia lihat diangkasa danau timbul selarik bianglala jang indah permai. Ia tahu dimana ada air terdjun, repleksi jang tersorot sinar matahari sering menimbulkan

bajangan bianglala jang warna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, Toan Ki merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur dilembah gunung itu. Setelah ter-menung2 agak lama, achirnja ia merebah dan terpulas lagi.

Tidurnja itu njenjak benar, ketika mendusin, waktunja sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang memantjar sinarnja jang tenang halus. Ketika mendongak memandang kedinding batu sana, ia lihat diatas dinding itu djelas terlukis dua benda.

Toan Ki terkesiap, ia kutjek2 mata sendiri dan memandangnja lebih djelas, kiranja kedua benda itu hanja bajangan sadja. Jang satu berbentuk melengkung, mirip pelangi jang dilihatnja siang tadi, jang lain adalah bajangan sebatang pedang.

Bajangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, garannja, udjungnja, semuanja mirip benar.

Setelah memikir sedjenak, segera Toan Ki tahu didepan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena sinar bulan jang menjorot miring itu, maka bajangannja tertjetak diatas dinding itu. Ia lihat udjung bajangan pedang itu menundjuk keputjuk bajangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bajangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis jang menutupi sang dewi malam itu tertiup bujar oleh angin hingga bajangan hitam itu tampak lebih tandas lagi. Dar bajangan hitam benda melengkung itu ternjata timbul djalur2 aneka-warna persis seperti warna-warni bianglala.

Toan Ki semakin heran, pikirnja: Kenapa ditengah bajangan bisa timbul warna-warni? Ketika pandangannja beralih ke arah berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat didinding tebing tjuram sana lapat2 ada sinar berwarna jang ber-gojang2. Seketika ia mendjadi sadar, kiranja didinding situ ada terdjepit sebatang pedang, disamping itu ada sepotong batu mestika jang mengeluarkan sinar pelangi. Batu permata memangnja mempunjai tudjuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan replek warna-warni itu kedinding bati sana. Pantas begitu indah menarik. Tjuma sajang, tempat dimana terdapat benda2 mestika itu berpuluh tombak tingginja, betapapun tidak mungkin ditjapai untuk dilihat dari dekat.

Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bajangan itu mulai menipis dan achirnja lenjap tinggal dinding batu jang tetap halus litjin itu.

Tanpa sengadja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, Kiranja rahasia diatas dinding kemala Bu-liang-san ini beginilah adanja. Kalau tidak

kebetulan aku tergelintjir kesini, belum tentu aku bisa melihat bajangan tadi, sedangkan sinar bulan untuk bisa menjorot keatas dinding itu, dalam setahun hanja ada kesempatan beberapa hari sadja. Sebaliknja orang2 Bu-liang-kiam jang sengadja hendak mentjari rahasia itu, kebanjakan pasti datang diwaktu siang hari untuk memandangi dinding batu itu setjara tolol, boleh djadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan diatas sana untuk mentjari rahasia jang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu, hasil mereka tetap nihil.

Berpikir sampai disini, ia tertawa geli sendiri: Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda mestika jang mengeluarkan sinar warna-warni itu, bagiku paling2 hanja mendapatkan dua matjam mainan jang menarik sadja, perlu apa mesti banjak pikiran buat itu? Bukankah aku terlalu goblok? Setelah ter-mangu2 sedjenak, kemudian ia tertidur lagi.

Dalam tidurnja itu, se-konjong2 ia melondjak bangun, katanja dalam hati: He, udjung pedang itu menundjuk keputjuk pelangi jang bawah, djangan2 dibalik itu ada rahasianja lagi? Padahal untuk mendjepit pedang dan batu mestika itu kedinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan sadja diperlukan ilmu silat jang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknja dengan tali jang pandjang. Dan kalau setjara susah pajah berbuat begitu, didalamnja pasti mengandung maksud tertentu, apakah diartikan: Rahasianja terletak diudjung pelangi! Kalau dilihat dari kedua bajangan itu, ketjuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi. Tapi udjung pelangi itu jang satu mendjulang kelangit, udjung jang lain sebaliknja menundjuk ketengah danau, biarpun didalamnja terkandung rahasia maha besar djuga susah untuk memperolehnja.

Begitulah Toan Ki ter-mangu2 sampai lama, achirnja ia berpendapat: Perubahan pelangi setiap waktu ber-beda2, mungkin tempat jang ditundjuk bajangan pedang itu, besok akan berlainan.

Besok paginja, karena memikirkan muntjulnja pelangi, ia mendjadi lupa akan kelaparan. Dengan susah pajah achirnja tiba djuga sang malam. Selondjor pelangi pandjang tampak tergantung dilangit pula. Tapi begitu melihat, Toan Ki mendjadi ketjewa. Ternjata kedua udjung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnja seperti kemarin, jang sebelah mendjulang kelangit, udjung lain djatuh ketengah danau.

Toan Ki tjoba mendekati pinggir danau, suara gemuruh air terdjun itu membuat telinganja se-akan2 pekak, sekedjap sadja badjunja sudah basah kujup oleh tjipratan air terdjun. Ia lihat ditengah danau terdapat suatu pusaran air jang sangat besar dan sedang berputar dengan keras sekali. Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.

Waktu Toan Ki hitung2, hari itu sudah hari ketiga sedjak dia djatuh kedalam

djurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau ratjun Toan-djiong-san didalam perut mulai bekerdja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Tjiong Ling. Kesana-kesini djuga mati, tidakkah lebih baik terdjun ketengah pusaran air sadja untuk melihat apakah ada sesuatu didasar danau itu. Pertama sudah menghadapi djalan buntu, terpaksa mati2an mentjari selamat; kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannja.

Karena itu, tanpa pikir2 lagi terus sadja ia terdjun ketengah pusaran air itu. Seketika tubuhnja digulung oleh suatu tenaga maha besar terus berputar kebawah. Lekas2 ia tutup pernapasannja, sebaliknja pasang mata membelalak. Ia lihat sekitarnja hanja air jang buram belaka, ia terhanjut kedasar danau oleh arus air jang keras berasal dari air terdjun diatas itu.

Toan Ki hanja sekedar bisa berenang sadja. Tapi terhanjut ditengah arus air jang keras itu, ia takbisa menguasai diri lagi, tubuhnja ter-putar2 dan sebentar sadja ia sudah megap2 kemasukan air, seketika pikirannja remang2, hanja merasa terhanjut terus oleh arus air dan entah sudah berapa djauhnja.

Se-konjong2 tubuhnja terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran keatas permukaan air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannja serabutan, untung dapat menangkap seutas tangkai rotan, tjepat sadja ia pegang kentjang2. Setelah tenangkan diri sedjenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnja gelap gelita. Ia tjoba ulur kaki kanan kedepan dan terasa masih mengindjak ditanah, segera kaki jang lain ikut melangkah madju, tapi kedua tangannja masih tidak berani melepaskan pegangannja dirotan tadi.

Setelah belasan tindak djauhnja, ia merasa air hanja sebatas betis kaki, arus airpun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi berdiri menegak. Tapi mendadak blang, batok kepalanja kebentur sesuatu jang keras, saking kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar. Diam2 ia memaki dirinja sendiri jang terlalu kurang hati2.

Waktu meraba keatas, benda itu terasa dingin keras, kiranja adalah batu padas semua.

Setelah berpikir sedjenak, Toan Ki tahu dirinja tadi telah dibawa kedasar danau oleh pusaran air jang keras, tapi arus air itu ada djalan buangannja, maka dirinja kena terbawa pula sampai didalam djalan buangan air itu. Meski keadaannja sekarang banjak tjelaka daripada selamatnja, namun selama masih ada harapan, ia pantang menjerah, segera ia merangkak madju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar ada suara gemerudjuknja air, terkadang tjepat dan terkadang lambat mengalir dikanan-kirinja.

Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga achirnja dapatlah ia berdiri sambil membungkuk. Ia berdjalan terus, achirnja dapatlah ia berdjalan dengan tegak.

Tjuma sering ia mengindjak lubang dibawah air hingga mendadak badannja terendam air sampai dipinggang. Lain saat diatas kepala tiba2 menondjol batu padas hingga hampir2 kepalanja bendjut lagi kebentur. Untung kedua tangannja mengulur kedepan sebagai pembuka djalan, kalau tidak, entah berapa kali kepalanja akan bertambah telur ajam.

Setelah berdjalan lagi, tiba2 Toan Ki teringat pada Djing-leng-tju, ia tjoba meraba pinggang, sjukurlah binatang itu masih melilit disitu tanpa kurang apa2. Ia merasa pengalamannja hari ini benar2 merupakan pengalaman aneh selama hidupnja jang susah diperoleh orang lain. Sudah turun-temurun ahliwaris Bu-liang-kiam suka ter-mangu2 memandangi dinding batu itu, tapi sekali2 tidak mereka sangka bahwa orangnja harus terdjun kedalam djurang, disitulah mereka akan menemukan apa jang diharapkan itu dimalam hari dibawah sinar bulan purnama.

Namun seumpama sudah melihat bajangan pedang dan batu mestika diatas dinding itu, kalau tiada punja tjita2 berkorban, rasanja djuga takkan berani melompat ketengah pusaran air jang berarus besar itu.

Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia ter-bahak2, lalu ia menggumam sendiri: Wahai, Toan Ki! Djika hari ini djiwamu djadi melajang, itu berarti tamatlah riwajatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, rasanja kau harus pergi mengedjek Tjo Tju-bok dan murid2nja jang sombong tapi tak betjus itu. Habis berkata, ia ter-bahak2 pula dengan keras.

Tak tersangka, mendadak disebelah kanan sana djuga ada orang menirukan tertawanja jang ter-bahak2 itu. Karuan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itupun lenjap. Siapa kau? seru Toan Ki.

Siapa kau? terdengar pula suara serupa disana menanja.

Kau setan atau manusia? teriak Toan Ki lagi.

Kau setan atau manusia? tetap suara sana menirukannja.

Setelah tertegun sekedjap, segera Toan Ki sadar hingga tertawa geli sendiri, gerutunja: Kurang adjar, kiranja adalah kumandang suaraku sendiri. Tapi segera timbul tjuriganja lagi: Hanja lembah gunung atau suatu ruangan besar jang bisa menimbulkan suara kumandang. Djika begitu, disebelah kanan sana tentunja ada suatu tempat jang luas. Haha, djika bukannja aku kegirangan hingga ter-bahak2 tawa, tentunja aku takkan tahu disini masih ada tempat lain lagi.

Segera ia gembar-gembor serabutan sambil menudju ketempat datangnja suara kumandang itu. Tiada lama, ia merasa berada disuatu tempat jang luang, tangannja takbisa meraba sesuatu lagi. Tiba2 kehilangan sandaran, Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia madju terus, kakinja merasa tidak mendapat rintangan apa2 lagi, se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang dingin. Begitu kesenggol, benda itu terus menerbitkan suara njaring tjreng, ketika diraba lagi lebih teliti, kiranja adalah sebuah gembok besar.

Kalau ada gembok, dengan sendirinja ada pintunja.

Maka tjepat Toan Ki me-raba2 pula, benar djuga dari atas kebawah ada belasan paku pintu jang besar2. Dalam kedjut dan girangnja, ia heran pula kenapa ditempat seperti itu ada penghuninja?

Segera ia angkat gembok tadi mengetok pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada ada djawaban apa2 dari dalam. Kembali ia ketok2 dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia tjoba dorong pintu itu.

Pintu itu sangat antap, seperti terbuat dari badja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka pelahan Toan Ki mendorong, segera pintu itu terbuka. Dengan suara lantang Toan Ki lantas berkata: Tjayhe Toan Ki setjara sembrono telah masuk kesini, mohon tuan rumah suka memaafkan. Ia berhenti sedjenak dan tidak mendengar sesuatu suara didalam, lalu ia melangkah masuk.

Meski waktu itu ia sudah berada didalam pintu, tapi biar matanja melotot, hampir2 bidji matanja mentjelat keluar, toh tetap tidak melihat sesuatu benda, hanja hidungnja merasa bau disitu sudah tidak selembab seperti dilorong air tadi. Ia berdjalan terus kedepan, mendadak blang, sungguh sial, kembali batok kepalanja kebentur sesuatu.

Sjukur ia berdjalan sangat pelahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranja disitu ada sebuah pintu pula. Pelahan2 Toan Ki mendorong itu hingga terbuka, tapi didalam situ tetap gelap gelita.

Setjara singkat, be-runtun2 Toan Ki telah melalui enam buah pintu. Ketika memasuki pintu keenam itu, memdadak matanja terbeliak terang, kontan djantung Toan Ki ikut memukul. Serunja dalam hati: Achirnja dapatlah aku keluar dengan selamat!

Waktu ia perhatikan, kiranja tempat itu adalah sebuah kamar batu jang bundar, sinar terang itu tembus dari sudut kiri sana, tjuma agak remang2, seperti bukan tjahaja matahari. Ia tjoba mendekati lubang jang tembus sinar itu, tiba2 dilihatnja ada seekor udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia madju lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor ikan warna-warni berenang diluar sana dengan bebasnja. Ketika ditegaskan, kiranja lubang djendela itu terbuat dari sepotong batu katja jang dipasang didinding batu itu, besarnja kira2 sama dengan baskom dan sinar tembus dari batu katja itu jang berdjumlah tiga buah.

Toan Ki tjoba mengintip keluar melalui batu katja itu, ia lihat diluar sana warna air hidjau-biru ber-gerak2 tak pernah berhenti, banjak sebangsa ikan dan udang berenang kian kemari dengan bebasnja. Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat dirinja berada itu pasti berada didasar air, kalau bukan didasar danau, tentu didasar sungai. Rupanja pembangun rumah ini dahulu telah banjak mengorbankan djerih-pajahnja barulah dapat menarik tjahaja air itu kedalam, dan ketiga potong batu katja itu terang adalah batu mestika jang tiada tara nilainja.

Ketika berpaling, Toan Ki melihat ditengah kamar batu itu terdapat sebuah medja batu, didepan medja ada bangku, diatas medja berdiri sebuah tjermin perunggu. Disamping tjermin terdapat sebangsa sisir, tusuk-konde dan sebagainja. Agaknja bekas kamar seorang wanita. Tjermin perunggu itu tepinja sudah berlumut, diatas medja djuga banjak debunja, entah sudah berapa lama tiada orang mengindjak kamar ini.

Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnja: Lama berselang, tentu ada seorang wanita tinggal kesepian disini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri disini.

Setelah ter-mangu2 sedjenak pula, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar penuh terpasang tjermin2 perunggu, sekedar dihitung sadja sudah lebih dari 30 buah banjaknja. Toan Ki makin heran, pikirnja: Tampaknja wanita jang tinggal disini ini pasti tjantik tiada bandingannja, maka setiap hari melulu mengatja dirinja sendiri, suasana begini sungguh membuat orang terpesona.

Ia mondar-mandir didalam kamar itu, sebentar ketjek2 kagum, lain saat menghela napas gegetun, ia kasihan pada wanita tjantik jang belum pernah dikenalnja itu.

Selang agak lama, mendadak ia teringat: Haja, tjelaka! Aku hanja pikirkan urusan orang lain, tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau disini djuga tiada djalan keluar, lalu bagaimana baiknja?

Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada djalan tembusan lain lagi, dalam keadaan lesu putus asa, ia berduduk diatas bangku batu sambil mengomel sendiri: Aku Toan Ki hanja seorang lelaki geblek, kalau mati disini, hanja bikin kotor tempat sitjantik sadja. Kalau mau mati, pantasnja mati dilorong sana. Ai, sebelum adjal, biarlah kulihat tjorakku sendiri ini matjam apa? Segera ia gunakan lengan badju untuk menggosok tjermin perunggu diatas medja itu hingga gilap, lalu ia duduk diatas bangku untuk mengatja, tapi letak tjermin agak djauh hingga mukanja kurang djelas, maka ia bermaksud menggeser tjermin itu lebih dekat.

Tak tersangka tjermin itu ternjata menempel kentjang diatas medja batu, sekali tjermin itu dia tarik, seketika bangku jang diduduki itu terasa bergojang sedikit. Dalam kagetnja segera Toan Ki sangat girang, tjepat ia berbangkit dan menarik tjermin itu lebih kuat, maka terdengarlah suara keriat-keriut, bangku batu mulai menggeser hingga tertampak sebuah lubang dibawahnja. Ketika dipandang, dibawah lubang itu terdapat undak2an batu jang menurun kebawah.

Banjak terima kasih pada langit dan bumi, achirnja aku Toan Ki mendapatkan djalan keluar, seru Toan Ki kegirangan. Terus sadja ia turun kebawah mengikuti undak2an itu.

Kira2 belasan undak2an, kemudian membiluk keatas, lalu ber-lingkar2, makin djauh makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, achirnja pandangan Toan Ki terbeliak terang, se-konjong2 ia mendjerit kaget pula ketika tahu2 dihadapannja berdiri seorang wanita tjantik berpakaian istana sambil menghunus pedang lagi mengantjam kedadanja.

Sekilas Toan Ki merasa wanita ini tjantiknja luar biasa dan susah dilukiskan, selama hidupnja belum pernah dilihat ada wanita aju seperti ini. Saking kedjutnja sampai mulut Toan Ki ternganga.

Selang agak lama, ia lihat wanita itu tetap tidak bergerak sedikitpun, ketika ditegaskan, ia lihat wanita itu meski tjantik dan agung, tapi bukan manusia

hidup. Waktu diperhatikan lagi, barulah ia tahu wanita itu hanja sebuah patung jade putih sadja. Tjuma patung itu besarnja seperti manusia biasa, badju sutera putih jang dipakai bisa ber-gerak2, jang lebih aneh adalah sepasang bidji matanja se-akan2 bersinar hidup. Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak insaf sudah berapa lama ia memandangi patung itu, achirnja iapun tahu bidji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan sebabnja patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena bidji matanja jang bersinar jang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung djelita jang terukir dari batu kemala putih itupun bersemu merah djambu hingga tiada ubahnja seperti manusia umumnja.

Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itupun ikut mengerling kesana se-akan2 hidup. Toan Ki terkedjut, ia tjoba memandangnja dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu tetap mengerling mengikuti arahnja, dari sudut mana dia memandang, selalu sorot mata patung djuga memandang kepadanja, perasaan jang terkandung dalam sinar mata patung itupun susah diraba, seperti girang, se-akan2 sedih, entah suka entah marah, seperti ke-malu2an, tapi djuga seperti lagi muram.

Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia membungkukan tubuh memberi hormat, katanja: Entji Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan wadjah engkau, sungguh matipun aku tidak menjesal. Entji Dewi tinggal seorang diri disini, apakah tidak merasa kesepian?

Aneh bin adjaib, sorot mata patung itu se-akan2 berubah lain, agaknja dapat menerima apa jang diutjapkan Toan Ki itu. Sebaliknja pemuda itu sendiri se-akan2 keselurupan setan sadja, pandangannja tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanja pula: Entji Dewi, entah siapakah namamu?

Segera ia pikir barangkali disekitar situ dapat diketemukan sesuatu tjatatan. Ia tjoba memandang seputarnja, tapi baru beberapa kedjap, tak tahan lagi, ia memandang patung itu lagi. Kini barulah ia mengetahui bahwa rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, sebuah gelungan jang terikat agak kendor kebawah se-akan2 semampir dipundak, diatas gelungan terdapat sebuah tusuk-konde kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar djari jang bersinar mengkilap. Ia lihat disekitar dinding ruangan penuh terhias matjam2 batu permata hingga menjilaukan pandangan mata. Didinding sebelah barat sana djelas tertampak ada delapan huruf jang dibentuk dari batu2 intan ketjil. Arti daripada kedelapan huruf itu adalah: Rahasia Bu-liang, dapat diketemukan dengan membuka badju.

Toan Ki terperandjat, katanja sendiri: Harus membuka badju Entji Dewi? Mana boleh djadi!

Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali melihat Toan Ki sudah kesengsem, sedikitpun ia tidak berani berlaku kurangadjar. Pikirnja: Memangnja aku tidak pingin tahu segala rahasia apa, sekalipun ingin, djuga tidak berani berbuat semberono terhadap Entji Dewi. Untung sebelum aku tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita tjantik tiada bandingannja ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah? Ehm, paling baik aku harus hilangkan huruf2 itu, agar kelak bila ada orang lain datang kesini, tidak bikin kotor patung tjantik ini.

Ia lihat dipodjok kamar sana banjak tertumpuk tjermin2 perunggu, sedikitnja ada ratusan buah. Segera ia mengambilnja sebuah dipakai menggempur batu permata jang membentuk kedelapan huruf tadi. Kuatir kalau masih ada bekasnja, Toan Ki gosok2 pula lubang2 ketjil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar2.

Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berdjasa bagi patung Dewi itu, betapa senangnja susah dikatakan. Kembali didepan patung itu, ia ter-mangu2 lagi seperti orang gendeng, bahkan hidungnja se-akan2 mentjium bau wangi. Njata dari suka timbul rasa hormatnja, dari hormat ia mendjadi gendeng. Mendadak ia berteriak: Entji Dewi, djikalau kau bisa hidup dan bitjarakan sepatah kata sadja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu kali, bagimu, akupun merasa rela dan puas, senang tak terhingga.

Tiba2 ia berlutut dan menjembah kehadapan patung Dewi. Dan karena berlututnja inilah baru ia ketahui bahwa didepan patung itu memang terdapat dua buah kasur tikar seperti disediakan untuk orang bersembajang. Tikar jang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar, didepan kaki patung masih ada sebuah kasur tikar jang lebih ketjil, agaknja disediakan kalau jang sembajang mendjura dengan manggutkan kepala kelantai.

Ketika Toan Ki mulai mendjura, ia lihat ditepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam beberapa tulisan. Ketika diperhatikan, ia dapat membatja tulisan ditepi sepatu kiri berbunji: Mendjura seribu kali, turut segala perintahku. Dan ditepi sepatu kanan tertulis: Pasti mengalami malapetaka, badan tjelaka nama runtuh.

Tulisan2 jang masing2 terdiri dari delapan huruf itu ketjil bagai lalat, sepatu patung itu berwarna hidjau muda sebaliknja tulisan itu berwarna hidjau tua, kalau tidak mendjura, pasti tak mengetahui dibawah situ ada tulisannja. Sekalipun dapat melihatnja, orang biasa bila membatja kata2: Mendjura seribu kali, turut segala perintahku, tentu merasa enggan, bagi jang wataknja keras dan tinggi hati, boleh djadi patung itu akan didepak. Apalagi kalau membatja pula tulisan jang berbunji: Pasti mengalami malapetaka, badan mati nama runtuh, lebih2 membikin siapapun marah bila membatjanja.

Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar2 terhadap patung Dewi itu, ia merasa mendjura seribu kali masih djauh lebih dari pantas. Kalau bisa djadi pesuruh sang Dewi, itulah melebihi harapannja. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan mati, nama runtuh, demi sang djuwita, betapapun ia rela.

Sebenarnja kalau orang biasa, melihat tulisan2 itu, andaikan tidak marah, paling2 djuga mentertawai dan anggap sepele sadja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang gendeng, ia benar2 terus mendjura, sekali, dua kali, tiga kali.... empatbelas, limabelas..... duapuluh... tigapuluh... sambil mulutnja menghitung, dengan sangat menghormat ia mendjura tiada hentinja.

Kira2 mendjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, botjok pegal, leher tjengeng. Tapi demi sang Dewi, betapapun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad mendjura selesai sampai 1000 kali.

Sampai lebih 800 kali, tiba2 kasur ketjil jang dibuat gandjal anggukan kepalanja itu pelahan2 ambles kebawah. Setiap kali kepalanja mengangguk, kasur ketjil itu lantas ambles lagi sedikit.

Setelah berpuluh kali mendjura pula, tiba2 dilihatnja tempat jang ambles itu menongol tiga buah udjung paah jang mengarah miring keatas dan tepat mengintjar batok kepalanja. Lapat2 tampak udjung panah itu ber-kelip2, dibatang panah penuh terpasang pergas.

Setelah berpikir sedjenak, segera Toan Ki paham persoalannja. Katanja dalam hati: Wah, hampir tjelaka! Kiranja dibawah situ ada perangkapnja berupa panah beratjun. Untung aku mendjura dengan menghormat sungguh2 hingga kasur itu ambles pelahan2 dan panah berbisa itu tidak mendjeplak keluar. Djika aku berlaku kasar dan men-depak2 kasuran itu, sekali alat perangkap terguntjang, banah berbisa itu mungkin sudah menantjap diperutku. Baiklah aku habiskan mendjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi.

Segera ia mendjura pula dan bikin habis djumlah 1000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat tempat jang ambles tadi terdapat sepotong pelat badja, diatasnja ada ukiran tulisan, segera Toan Ki mengambil pelat badja itu dan membatjanja: Karena kau sudah mendjura seribu kali, kini kau telah mendjadi muridku. Nasibmu selandjutnja akan sangat pajah mengenaskan. Ilmu silat golongan kita jang tiada bandingannja dikolong langit berada semua didalam kamar batu, harap mempeladjarinja dengan tenang.

Sungguh ketjewa rasanja Toan Ki. Djusteru karena tak mau beladjar silat, maka ia telah minggat dari rumah. Dengan sendirinja ia pun tidak ingin mempeladjari ilmu silat tiada bandingan dikolong langit apa segala.

Dengan hati2 kemudian ia kembalikan pelat badja tadi ketempatnja. Ketika berdiri, ia merasa kakinja kaku seluruhnja, hampir2 ia djatuh terguling.

Setelah ter-mangu2 sedjenak, kemudian ia memberi hormat pula dengan membungkuk dan berkata: Entji Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada bandingan dikolong langit pun aku tidak mau beladjar. Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini aku mohon diri. Kelak kalau nona Tjiong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk berkumpul lagi dengan Entji Dewi.

Dengan perasaan berat, segera ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak2-an batu diluar kamar mulai miring keatas, terus sadja ia melangkah naik dengan ragu2, beberapa kali ia ingin menoleh kebelakang untuk memandang patung tjantik itu, sjukur imannja tjukup teguh, achirnja ia bisa mengekang diri.

Kira2 ratusan undakkan keatas, ia sudah membiluk tiga kali, lapat2 terdengar suara gemuruhnja air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras se-akan2 memekak telinga, lalu tampak ada tjahaja menembus masuk didepan sana.

Toan Ki pertjepat langkahnja hingga tibalah diudjung terachir undak2an batu itu. Ternjata disitu ada sebuah gua jang tiba tjukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia tjoba mendongak keluar dengan kepalanja menongol lebih dulu, tapi ia mendjadi kaget.

Diluar sana arus air men-debur2, gulung-gemulung dengan hebatnja, ternjata adalah sebuah sungai besar. Melihat kedua tepi sungai penuh tebing tjuram, batu padas sungsang timbul di-mana2, Toan Ki jakin pasti adalah lembah sungai Landjong.

Kedjut dan girang rasa hati Toan Ki. Tjepatan sadja ia merangkak keluar dari lubang itu. Ternjata tempat dimana dirinja berada kira2 belasan tombak tingginja diatas permukaan sungai, biarpun air sungai naik pasang melanda

djuga takkan mentjapai mulut gua itu. Tapi untuk bisa mentjapai dataran, ia perlu djuga merajap melalui tebing2 tjuram. Namun berkat bantuan Djing-leng-tju, walaupun dengan susah pajah, achirnja dapatlah Toan Ki tiba sampai ditempat jang selamat. Ia ingat baik2 keadaan disekitar situ, agar kelak bila urusannja sudah beres, ia ingin datang pula ketempat jang maha rahasia ini.

Ia melandjutkan perdjalanan dengan menjusur tepi sungai jang penuh batu padas, setelah beberapa li djauhnja, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho jang lagi berbuah, memangnja sudah terlalu lapar, segera Toan Ki pandjat keatas pohon dan petik buah Tho itu untuk tangsal perut. Habis makan, semangatnja dapatlah dipulihkan.

Setelah belasan li lagi, achirnja sampailah disuatu djalanan ketjil. Ia madju terus mengikuti djalan ketjil itu. Ketika hampir magrib, baru dapatlah ia menemukan, djembatan rantai besi jang melintang terapung diantara kedua tepi sungai. Ia lihat diatas batu diudjung djembatan terapung itu ada terukir tiga huruf: Sian-djin-toh Atau djembatan orang badjik.

Melihat nama djembatan itu, kembali Toan Ki bergirang. Memang itulah djembatan jang ditjari sesuai dengan petundjuk Tjion Ling. Terus sadja ia menjeberang keatas djembatan.

Djembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi jang sambung-menjambung, dua utas bagian bawah diberi papan kaju untuk djalan, dua utas jang lain dipakai pegangan orang menjeberang.

Begitu Toan Ki mengindjak keatas djembatan terapung itu, segera rantai djembatan ber-gontai2. Sampai ditengah sungai, gontjangan djembatan itu semakin hebat. Sekilas memandang kebawah, air sungai tampak mengombak mendebur dengan hebatnja, pabila terpeleset djatuh kebawah, betapapun pandai berenang rasanja djuga takkan mampu melawan ombak jang luar biasa itu.

Toan Ki tak berani menengok lagi kebawah, ia pandang lurus kedepan, dengan ber-debar2 setindak-demi-setindak ia merambat keudjung sana.

Ia duduk mengaso sedjenak ditepi djembatan, kemudian barulah melandjutkan perdjalanan menurut petundjuk jang diberikan Tjiong Ling itu.

Menurut Tjiong Ling, lembah pegunungan kediamannja itu bernama Ban-djiat-kok atau lembah berlaksa maut. Djalan masuknja adalah sebuah kuburan.

Setelah ber-liku2 melintasi bukit dan menjusur rimba, ketika sampai ditempat kuburan jang ditjari itu, hari sudah remang2 gelap. Ia menghitung dari kiri kekanan dan mendapatkan kuburan nomor tudjuh, ia lihat didepan kuburan itu terdapat sepotong batu nisan jang bertuliskan: Kuburan Ban Siu Toan.

Toan Ki tertjengang, pikirnja: Aneh benar nama ini? Kenapa bernama Siu Toan (dendam pada Toan)?

Waktu Tjiong Ling memberitahukan tempat tinggalnja, gadis itu djelaskan kalau mesti mentjari kuburan ketudjuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa jang tertulis diatas batu nisan. Kini melihat nama Ban Siu Toan jang aneh itu, diam2 Toan Ki mendjadi ragu2. Ia lihat sekitarnja sunji senjap penuh kuburan, hanja terkadang terdengar suara keresekan daun pohon jang bergerak terhembus angin sendja.

Toan Ki tak berani ajal, segera ia menurut petundjuk Tjiong Ling dan menarik batu nisan tadi kekiri, menjusul menarik lagi dua kali kekanan dan kembali sekali pula kekiri. Habis itu ia mendepak tiga kali ke-tengah2 tulisan diatas batu nisan itu. Tulisan jang tepat didepaknja itu adalah huruf Toan, jaitu nama keluarganja Toan Ki djuga. Diam2 ia geli sendiri, pabila orang lain, tidak mungkin sudi mendepak diatas huruf jang mendjadi nama keluarganja itu.

Dalam pada itu, tiba2 dua potong batu disamping kuburan itu mendadak robah hingga tertampak suatu lubang masuk. Toan Ki tjoba melongok kedalam, tapi keadaan gelap-gelita, segera ia tabahkan diri dan membiluk suatu tikungan, achirnja ia melihat didepan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinja, tapi ia mendjadi kaget, ternjata disamping pelita itu terdapat sebuah peti mati.

Sesuai petundjuk Tjiong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan mendjadi gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriut2 beberapa kali, tutup peti mati tadi terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menanja: Apakah Siotjia jang telah pulang?

Tjayhe bernama Toan Ki, tjepat Toan Ki menjahut, atas permintaan nona Tjiong, Tjayhe ingin bertemu dengan Koktju (pemilik lembah).

Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanja agak terkedjut atas kedatangan Toan Ki, maka katanja pula: Dja ....... djadi kau adalah orang luar? Dan dimanakah Siotjia kami?

Nona Tjiong sedang terantjam bahaja, maka Tjayhe membawa berita kemari, sahut Toan Ki.

Tunggulah sebentar, biar kulaporkan pada Hudjin (njonja), kata wanita itu.

Toan Ki menjatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnja nona Tjiong suruh aku menemui ibunja lebih dulu, tampaknja urusan ini memberi harapan bagus.

Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, achirnja Toan Ki mendengar suara tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita tadi berkata padanja: Hudjin menjilahkan tuan tamu masuk!

Aku tidak bisa melihat, kata Toan Ki, terlalu gelap!

Tiba2 terasa sebuah tangan mengulur menarik tangan kanannja dan melangkah masuk kedalam peti mati, lalu menurun melalui undak2an batu.

Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannja mendjadi terang. Toan Ki telah dibawa kesuatu tempat jang penuh tumbuh2an bunga. Wanita itu lepaskan tangan Toan Ki jang digandengnja tadi dan berkata: Tuan tamu silahkan ikut padaku.

Dibawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15 tahun, berdandan setjara pelajan, mungkin adalah dajang jang melajani Tjiong Ling. Maka Toan Ki tjoba menanja: Siapakah nama Tjitji?

Ssssst! pelajan itu mendesis sambil menoleh dan gojang2 tangan tanda djangan bersuara.

Melihat wadjah pelajan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak menanja lebih djauh.

Dajang itu membawa Toan Ki menjusur sebuah rimba dan menudju kekiri melalui suatu djalanan ketjil. Sampai didepan sebuah rumah genteng, pelahan2 pelajan

itu mengetok pintu tiga kali, dengan pelahan daun pintu lantas terpentang. Pelajan itu memberi tanda agar Toan Ki disilahkan masuk dahulu, ia sendiri lantas berdiri kesamping pintu.

Waktu Toan Ki melangkah kedalam, ia lihat disitu adalah sebuah ruangan tamu, diatas medja tersulut sebatang lilin besar hingga djelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat indah, diatas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu jang tidak terlalu luas itu ternjata sangat pandai dan serasi.

Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelajan tadi lantas menjuguhkan teh, katanja: Silahkan Kongtju minum, sebentar Hudjin akan keluar!

Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang jang perlahan, dari dalam muntjul seorang njonja berbadju sutera hidjau muda, usianja sekira 40-an tahun, wadjahnja putih aju dan rada mirip dengan Tjiong Ling.

Menduga tentu inilah ibunja Tjiong Ling, tjepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat, katanja: Wansing (saja jang muda) Toan Ki menjampaikan salam pada Pekbo (bibi).

Mendengar itu, njonja Tjiong rada tertjengang, dengan sikapnja jang agung ia membalas hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanja kelihatan djelas, tak tertahan lagi wadjah Tjiong-hudjin berubah hebat sambil ter-hujung2 mundur dua tindak, katanja dengan napas memburu: Kau ...... kau ........

Kenapa Pekbo? tanja Toan Ki kedjut.

Kau ........ kau djuga she Toan?Tjiong-hudjin menegas.

Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Tjiong Ling jang pernah minta agar pemuda itu djangan mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan didunia ini terlalu banjak, melulu daerah Hunlam sadja tidak kurang beratus ribu lelaki jang she Toan, belum tentu bahwa setiap orang she Toan mahir ilmu It-yang-tji, sebab itulah ia tidak perhatikan usul sigadis itu. Kini demi menampak wadjah Tjiong-hudjin jang terkedjut itu, baru Toan Ki paham apa jang diusulkan Tjiong Ling itu sebenarnja mengandung maksud mendalam. Untuk membohong sudah terlambat, terpaksa ia mendjawab: Ja, Wansing she Toan.

Kongtju berasal darimana? Dan siapakah nama orang tua Kongtju? tanja njonja Tjiong lagi.

Toan Ki pikir sekarang harus mendusta agar asal-usulku tak diketahui, maka djawabnja: Wansing berasal dari Lim-an-hu didaerah Kanglam, ajah bernama Toan Liong.

Tjiong-hudjin menghela napas lega oleh djawaban itu, setelah tenangkan diri, katanja pula: Silahkan Kongtju duduk.

Setelah kedua orang sama2 ambil tempat duduk, njonja Tjiong tidak membuka suara lagi, tapi terus mengamat-amati Toan Ki dari kanan-kekiri dan dari kiri kekanan. Karuan Toan Ki mendjadi likat, achirnja ia bitjara lebih dulu: Puteri njonja sedang terantjam bahaja, Wansing sengadja datang memberi kabar.

Ah! Kenapakah puteriku? seru Tjiong-hudjin tersadar dari lamunannja.

Segera Toan Ki melepaskan Djing-leng-tju dari pinggangnja dan dipersembahkan pada njonja rumah, katanja: Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal puterimu jang dibawakan Wansing.

Melihat ular hidjau itu, Tjiong-hudjin mengerut kening dan mengundjuk rasa djemu, ia sedikit menghindar kebelakang sambil berkata: Kiranja Kongtju djuga tidak takut pada binatang berbisa ini. Harap kau letakkan dipodjok rumah sana sadja.

Diam2 Toan Ki heran melihat njonja rumah itu djeri pada ular. Ia taruh Djing-leng-tju kesudut ruangan jang ditundjuk itu. Lalu mentjeritakan pertemuannja dengan Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong diatas Bu-liang-san dan tjara bagaimana dirinja telah tjari gara2 hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, dimana terpaksa Tjiong Ling melepaskan Kim-leng-tju, tapi achirnja gadis itu tertawan serta dirinja dipaksa datang minta pertolongan. Semuanja Toan Ki tjeritakan, hanja pengalamannja melihat patung kemala didasar danau itu tak di-sebut2.

Sambil mendengarkan, Tjiong-hudjin berdiam sadja, wadjahnja makin lama makin menampilkan rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata: Anak perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah sudah bikin onar.

Peristiwa ini adalah gara2 perbuatanku, tak bisa menjalahkan nona Tjiong, udjar Toan Ki.

Dengan ter-mangu2 Tjiong-hudjin memandangi pemuda itu, sahutnja dengan lirih: Ja, memangnja djuga takbisa menjalahkan dia. Dahulu......... dahulu akupun demikian.........

Apa itu? tanja Toan Ki.

Tjiong-hudjin terkesiap hingga wadjah bersemu merah, meski usianja sudah setengah umur, tapi sikap malu2-kutjingnja itu ternjata tiada ubahnja seperti gadis remadja. Dengan likat ia mendjawab: O, aku....... aku hanja teringat pada sesuatu kedjadian. ~ Dan karena berkata suatu kedjadian itu, wadjahnja tampak semakin merah djengah, maka tjepat ia membilukan pokok pembitjaraan: Kukira urusan............ urusan ini agak sulit diselesaikan.

Melihat sikap njonja rumah jang ke-malu2an itu, diam2 Toan Ki pikir sang ibu masih lebih kaku daripada puterinja jang lintjah itu menghadapi orang luar.

Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara seorang berkata diluar sana dengan nada dingin: Hm, apakah kau tidak pernah mendengar peraturan di Ban-djiat-kok kami ini?

Tjong-hudjin terkedjut mendengar suara itu, dengan perlahan katanja pada Toan Ki: Suamiku sudah datang, dia ........ dia suka tjurigai orang, sementara harap Toan-kongtju suka bersembunji dahulu.

Tapi achirnja Wansing toh harus mendjumpai Tjiong-tjianpwe, lebih baik ........ belum selesai utjapan Toan Ki, tjepat tangan Tjiong-hudjin sudah menekap mulutnja, lalu menjeretnja kesuatu kamar disebelah timur sana.

Kau bersembunji disini, sekali2 djangan bersuara, pesan njonja rumah. Watak suamiku sangat keras, sedikit tjeroboh, djiwamu akan terantjam dan akupun tak bisa menolongmu.

Djangan menjangka njonja rumah itu tampaknja lemah lembut, ilmu silatnja

ternjata sangat lihay, sedikitpun Toan Ki takbisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut sadja. Sedang dalam hati diam2 pemuda itu mendongkol: Djauh2 aku datang memberi kabar, djelek2 aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunji2 seperti pentjuri sadja?

Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita dibalik dinding papan sana sedang berkata: Sutjiku ini kena pagutan ular berbisa, djiwanja sangat berbahaja, maka mohon Lotjianpwe suka memberi pertolongan ........... ~ sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki ruangan disebelah.

Waktu Toan Ki mengintip melalui selah2 dinding, ia lihat seorang wanita berbadju hidjau, menggembol pedang dipunggung, tangannja memondong seorang wanita lain sembari tiada hentinja minta tolong. Disamping itu adalah seorang laki2 berbadju hitam jg tinggi kurus, muka menghadap keluar, maka wadjahnja tidak kelihatan, tjuma dari sepasang tangannja jang lebar mendjulur kebawah itu, terang bentuknja sangat aneh luar biasa.

Kemudian terdengar suara Tjiong-hudjin lagi menanja: Siapakah kedua tamu ini? Ada perlu apakah datang kelembah sini?

Wanita badju hidjau tadi meletakkan kawan jang dipondongnja itu kelantai, lalu menanja: Njonja tentunja Tjiong-hudjin?

Tjiong-hudjin mengangguk.

Siaulitju (aku jang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah hormatku ini, kata wanita badju hidjau sambil memberi hormat.

Ah, nona Hoan tak perlu banjak adat, tjepat Tjiong-hudjin membalas hormat sembari membangunkan orang.

Toan Ki melihat Hoan He itu kira2 berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip kaum pria. Kedengaran ia berkata lagi: Siaulitju bersama Sutji, Si Hun, oleh karena ada keperluan datang kedaerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Sutji jang kurang hati2 mendadak dipagut oleh seekor ular emas ketjil .......

Mendengar kata2 ular emas ketjil, hati Toan Ki tergerak, pikirnja: Djangan2 jang dimaksudkan itu adalah Kim-leng-tjunja nona Tjiong?

Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu? tanja njonja Tjiong.

Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso ditepi djalan, demikian tutur Hoan He. Tiba2 tampak seekor ular emas jang ketjil merajap keluar dari semak2 rumput, karena tertarik oleh warna emas gemilapan ular itu. Sutji telah mentjukitnja dengan pedang. Tak tersangka ular ketjil itu terus meledjit keatas dan menggigit sekali dipergelangan tangan Sutji. Seketika itu djuga Sutji terus djatuh semaput.

Tiba2 laki2 berbadju hitam tadi menjela: Asal kau bunuh ular emas itu dan telan empedunja, djiwanja lantas dapat tertolong.

Namun sahut Hoan He: Pergi-datang ular emas itu teramat tjepat, sekali meledjit lagi lantas menghilang ketengah semak2 rumput, pula Siaulitju sibuk menolong Sutji, tiada pikiran bahwa ular itu harus dibunuh.

Bagus bila kau sudah tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-tju itu setjepat kilat, kata laki2 badju hitam itu dengan ter-bahak2. Memangnja orang jang berilmu silat sepuluh kali lebih tinggi dari kau djuga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar tjari penjakit, tiada apa2, kenapa mesti meng-kutik2 ular itu dengan pedang? Ha, mampus djuga sjukur.

Sudah, orang toh sudah terluka dan djauh2 datang kesini minta tolong padamu, buat apa kau menjakiti perasaan orang malah? udjar sang isteri.

Mendengar nada utjapan Tjiong-hudjin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki2 berbadju hitam itu tak-lain-tak-bukan adalah ajah Tjiong Ling, pemilik dari Ban-djiat-kok ini.

Dalam pada itu laki2 badju hitam itu telah ter-bahak2 pula sambil berpaling. Melihat mukanja, Toan Ki mendjadi kaget. Ternjata orang itu bermuka kuda, kedua matanja tumbuh terlalu tinggi, hidungnja jang besar sebaliknja hampir ber-desak2an dengan mulutnja jang lebar, hingga ditengah muka terluang suatu bagian jang polos kosong. Wadjah Tjiong Ling tjantik molek, sungguh tak njana bahwa ajah kelahirannja itu sebaliknja begini djelek mukanja.

Tadinja wadjah Tjiong-koktju itu penuh senjum edjekan, tapi demi berpaling kearah sang isteri, wadjahnja jang djelek itu tampak berubah lemah-lembut, katanja dengan tertawa: Baiklah, apa jang Niotju (isteriku) katakan, aku hanja menurut sadja.

Diam2 Toan Ki heran pula, pikirnja: Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang, Tjiong-hudjin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Tjiong-koktju sekarang, ia djusteru sangat tjinta dan menghormat pula kepada sang isteri.

Rupanja Hoan He djuga sudah dapat melihat akan gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula: Mohon Tjiong-koktju dan Tjiong-hudjin sudi menolong djiwa Sutjiku, bukan sadja kami berdua akan sangat berterima kasih, sekalipun guruku djuga merasa hutang budi.

Gurumu tentunja sibopeng Pho Pek-ki, bukan? tanja Tjiong-koktju. Hm, dia adalah angkatan muda, perlu apa aku ingin dia utang budi segala padaku. Dahulu ketika aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat? Apa dia kira aku tidak tahu? Aku djusteru tahu2 dengan djelas biarpun didalam peti mati ini.

Utjapannja itu tidak hanja membikin Toan Ki tertjengang, sekalipun Hoan He djuga dibuatnja bingung. Pikirnja: Kau masih hidup baik2 seperti ini, kenapa bitjara tentang melawat dan peti mati segala?

Tiba2 Tjiong-koktju menanja lagi dengan suara keras: Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang luar tiada jang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah jang telah tundjukkan padamu untuk mentjari aku kesini dan darimana kau kenal djalan masuk Ban-djiat-kok? ~ Pertanjaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnja menekuk kebawah dan mulut merot, sikapnja sangat menakutkan.

Maka djawablah Hoan He: Waktu Siaulitju lagi bingung ingin menolong djiwa Sutji dengan maksud lekas2 berlari kekota untuk mentjari tabib, tiba2 melihat ditepi djalan ada seorang nona berbadju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular ketjil. Ular itu berwarna emas mengkilap, terang itu ular berbisa jang memagut Sutji. Maka tjepat Siaulitju berseru memperingatkan nona badju hitam itu agar djangan main2 dengan ular berbisa djahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu terus dimasukan kedalam badjunja. Melihat itu, Siaulitju mendjadi girang, sebab kupikir orang jang dapat mengatasi ular itu, tentu dapat pula mengobati pagutan sang ular. Segera Siaulitju memohon dengan sangat, namun nona itu mendjawab bahwa dirinja takbisa mengobati bisa ular itu. Diseluruh djagat hanja ada seorang jang mampu menjembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petundjuk untuk datang kemari memohon pertolongan Tjiong-koktju. Ketika Siaulitju minta tanja nama nona badju hitam itu, namun dia takmau memberitahu.

Mendengar uraian itu, Tjiong-koktju dan sang isteri saling pandang sekedjap, lalu katanja dengan mendjengek: Ha, ternjata adalah dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ia ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ja, semuanja gara2 Ling-dji, sembarangan membawa Kim-leng-tju keluar lembah hingga menimbulkan onar sadja. ~ Lalu ia berpaling dan tanja Hoan He: Lalu, apa jang dikatakan lagi oleh perempuan itu?

Tidak ada lagi, sahut Hoan He.

Betul tidak ada lagi? Tjiong-koktju menegas dengan dingin.

Terpaksa Hoan He menjahut dengn gelagapan: Nona .......... nona itu seperti berkata pula bahwa: Djalan hanja melulu satu ini, tjuma, sekali kau sudah masuk kesana, belum tentu dapat keluar lagi dengan badan selamat. Maka kau harus pikir masak2 sebelumnja.

Benarlah! udjar Tjiong-koktju. Dan kau sudah pikirkan tidak?

Tjepat Hoan He berlutut mendjura pula sambil memohon: Mohon belas-kasihan Tjiong-koktju dan Hudjin.

Bangunlah kau, sahut Tjiong-koktju. Aku mempunjai dua djalan, kau boleh pilih manasuka. Pertama, kau dan Sutjimu selama hidup tinggal dilembah ini melajani isteriku. Djalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar kalau sudah keluar dari sini tidak membotjorkan rahasiaku.

Ta ......... tapi Siaulitju ditugaskan Suhu untuk menjelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini, sahut Hoan He meratap, sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti melanggar perintah guru bila terus tinggal dilembah sini .........

Djadi kau akan memilih djalan kedua sadja, ja? kata Tjiong-koktju.

Tiba2 Hoan He merangkak madju dan merangkul kedua kaki Tjiong-hudjin sambil meratap: Mohon belas-kasihan Hudjin, Siaulitju berdjandji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup mulut se-rapat2nja, kalau berani bitjara

satu-patah-kata sadja, biarlah aku mati tertjingtjang tak terkubur.

Hm, aku Tjiong Ban-siu kalau bukan terlalu pertjaja pada sumpah orang, rasanja harini takkan mengumpet dilembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret sebagai kura2, tiba2 Tjiong-koktju tertawa mendjenggek dan sekali tangan kiri mengulur, tahu2 leher badju Hoan He kena ditjengkeramnja terus diangkat keatas.

Perawakan tubuh Hoan He dikalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Tjiong Ban-siu, kakinja lantas ter-katung2 setingggi hampir satu meter. Saking kaget dan takutnja Hoan He mendjerit, berbareng kaki kanan terus melajang menendang kedada Tjiong Ban-siu.

Namun sama sekali Tjiong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah suara krak sekali, tahu2 tulang kaki Hoan He jang patah malah. Menjusul tampak Tjiong Ban-siu gerakan tangan kanan, sinar tadjam berkelebat agaknja tangannja itu telah menjiapkan sematjam sendjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara tjret-tjret dua kali, kedua tangan Hoan He sudah terkutung semua sebatas pergelangan.

Tjiong-hudjin hanja mendengus sekali menjaksikan itu. Sedangkan Tjiong Ban-siu telah masukan djarinja pula kemulut Hoan He terdengar wanita itu berseru tertahan sekali, darah lantas mengutjur dari mulutnja, tentu lidahnja telah kena diiris putus djuga.

Ber-debar2 perasaan Toan Ki menjaksikan adegan mengerikan itu, ia tekap mulut sendiri, sedikitpun tak berani bersuara, sebaliknja berpikir: Meski kau telah kutungi kedua tangan dan iris lidahnja, dia masih punja sebelah kaki jang dapat dipakai menggores tulisan diatas tanah, achirnja dia bisa djuga membotjorkan rahasia Ban-djiat-kok ini.

Ia lihat Tjiong Ban-siu telah melemparkan tubuh Hoan He jang sudah pingsan saking kesakitan, lalu Si Hun jang menggeletak ditanah tak sadarkan diri itu diseretnja dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua tangannja dikutung dan lidahnja disajat.

Melihat kekedjaman orang, Toan Ki mendjadi naik darah, tak terpikir lagi olehnja akibat apa jang bakal menimpa dirinja, mendadak ia membentak: Pengetjut jang rendah tak kenal malu, kau benar2 terlalu kedji!

Karena bentakan Toan Ki ini, Tjiong Ban-siu mendjadi kaget, lebih2

Tjiong-hudjin, ia ketakutan hingga putjat bagai kertas.

Dengan langkah lebar terus sadja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Tjiong Ban-siu dan mendamperat: Tjiong siangsing, njalimu terlalu ketjil, tjaramu ini bukanlah perbuatan seorang laki2 sedjati!

Melihat wadjah Toan Ki, air muka Tjiong Ban-siu berubah hebat dan kesiap, katanja: Apakah kau ...... kau ......ah, tak mungkin ........

Tjayhe bernama Toan Ki, segera pemuda itu perkenalkan diri, sedikitpun aku tidak paham ilmu silat, maka hendak kau korek atau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu jang kedjam tak berprikemanusiaan ini, pasti akan kusiarkan diseluruh Kangouw, biar setiap orang mengenal manusia matjam apakah Tjiong Ban-siu itu?

Ha-ha-ha! tidak gusar malah Tjiong Ban-siu tertawa. Manusia matjam apa Tjiong Ban-siu, masakah orang Kangouw tidak tahu? Kau botjah ini apa tidak kenal djulukanku dahulu dikangouw?

Tidak tahu, sahut Toan Ki.

Aku Tjiong Ban-siu, berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas membunuh)! kata Tjiong Ban-siu dengan sikap sangat bangga.

Toan Ki rada tertjengang oleh gelar orang itu, tapi dadanja segera bergolak pula oleh semangat banteng, dengan lantang katanja pula: Djadi membunuh setjara kedjam orang tak berdosa memang dasar watakmu. Tjuma umumnja kalau orang suka membunuh, biasanja orang itu pasti tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan pengetjut matjam kau, takut kepala takut buntut, djeri dimuka kuatir dibelakang.

Rupanja utjapan Toan Ki itu tepat menusuk lubuk hati Tjiong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.

Memangnja Toan Ki sudah tidak pikirkan mati-hidupnja sendiri lagi, segera ia berkata pula: Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka kau tentu seorang laki2 berdjiwa badja, bila takbisa menangkan orang, seharusnja kau labrak dia mati2an sekalipun achirnja gugur bersama. Tapi kau djusteru main sembunji2, kuatir orang membotjorkan tempat mengumpetmu, lantas kau menjiksa

dan menganiaja seorang wanita jang tak mampu melawan kau, apakah ...... apakah perbuatan demikian ini adalah kelakuan seorang djantan tulen?

Wadjah Tjiong Ban-siu tampak sebentar putjat sebentar merah padam, se-akan2 apa jang dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnja kena benar2 menusuk lubuk hatinja, tiba2 sinar matanja jang bengis menjorot tadjam, tampaknja segera akan membunuh orang. Tapi setelah tertegun sedjenak, mendadak ia menggebrak medja, blang-blang, medja disebelahnja sempal separoh, menjusul sebelah kakinja melajang, dinding papan djebol berwudjut sebuah lubang. Ia tutup mukanja dengan kedua tangan sendiri sambil berseru: Ja, aku adalah pengetjut, aku adalah pengetjut! ~ Mendadak ia lari tjepat keluar.

Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Tjiong-hudjin sampai gemetaran bersandar didinding, sama sekali tak tersangka olehnja sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki. Ia menoleh dan menanja: Toan-kongtju, apa be ..... benar kau tidak bisa ilmu silat? ~ sembari berkata, dengan perlahan tangannja terus menabok kepunggung pemuda itu.

Tempat jang ditabok itu adalah tempat mematikan ditubuh manusia, asal sedikit dia gunakan Lwekang, tidak mati pasti Toan Ki akan terluka djuga. Namun pemuda itu memang benar2 takbisa ilmu silat, maka sedikitpun ia tidak kenal bahaja, dengan djudjur ia mendjawab: Wansing memang tidak pernah beladjar silat, kepandaian jang gunanja melulu dipakai mentjelakai orang ini, tiada harganja untuk dipeladjari.

Be ....... besar amat njalimu, ternjata se ........ serupa benar dengan dia, kata Tjiong-hudjin.

Serupa dengan siapa? Toan Ki menegas.

Kembali wadjah Tjiong-hudjin bersemu merah, ia tidak mendjawab pertanjaaan orang, sebaliknja ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelajan tadi.

Kau bubuhi obat luka pada kedua nona itu, untuk mentjegah darah mereka mengutjur terlalu banjak, pesan njonja rumah itu.

Pelajan itu mengia dan memondong Si Hun dan Hoan He kedalam kamar, melihat sikapnja jang sedikitpun tidak heran atau kaget, agaknja soal membunuh dan menganiaja orang sudah biasa dilihatnja.

Sambil bertopang-dagu, diam2 Tjiong-hudji lagi terombang-ambing dalam lamunannja, seperti ada sesuatu kesulitan jang maha besar jang susah diputuskan.

Tadi Toan Ki hanja terdorong oleh darah panas jang timbul seketika, maka berani mendamperat Tjiong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekad.Tapi kini demi melihat darah berlumuran dilantai, hatinja mendjadi takut lagi. Pikirnja: Aku harus lekas2 berusaha melarikan diri, kalau tidak, bukan sadja djiwa akan melajang, bahkan akan mati dengn mengenaskan.

Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada njonja rumah dan berkata: Wansing sudah menunaikan tugas menjampaikan berita, kini mohon Hudjin lekas berdaja untuk menolong puterimu.

Nanti dulu, Kongtju, sahut Tjiong-hudjin.

Karena itu Toan Ki tidak djadi tinggal pergi.

Mungkin Kongtju tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidupnja takkan keluar dari lembah ini, kata njonja rumah kemudian. Sebab itulah, meski puteriku itu tertawan musuh, rasanja suamiku pasti takkan pergi menolongnja ...... Ah, urusan sudah begini, terpaksa aku sadja jang ikut pergi bersama Kongtju.

Kedjut dan girang Toan Ki, sahutnja: Bila Tjiong-hudjin sudi pergi bersama aku, itulah paling baik. ~ Tiba2 ia teringat pada apa jang dikatakan Tjiong Ling bahwa satu2nja orang jang bisa menjembuhkan ratjun Kim-leng-tju hanja ajahnja sadja, maka tjepat ia tanja pula njonja rumah apakah djuga bisa mengobati ratjun Kim-leng-tju itu.

Namun Tjiong-hudjin geleng2 kepala, sahutnja: Aku tak bisa mengobati.

Djika ... djika begitu ...... namun belum selesai Toan Ki berkata, njonja rumah itu sudah tinggal masuk kekamarnja.

Setelah tinggalkan setjarik surat singkat dan bebenah pakaian seperlunja, segera Tjiong-hudjin keluar lagi dan berkata: Marilah kita berangkat! ~ Terus sadja ia mendahului djalan didepan.

Ter-sipu2 Toan Ki mengikut dibelakang njonja rumah itu, namun dia masih sempat mendjemput pula Djing-leng-tju untuk diubet dipinggang.

Djangan menjangka Tjiong-hudjin tampaknja lemah gemulai, tetapi djalannja ternjata djauh lebih tjepat daripada Toan Ki.Karena mengetahui njonja rumah itu tak bisa mengobati ratjun Kim-leng-tju, betapapun Toan Ki masih merasa kuatir. Maka tanjanja lagi: Djika Hudjin tak bisa menjembuhkan ratjun ular, mungkin Sin-long-pang tidak mau membebaskan puterimu itu.

Siapa jang ingin minta mereka lepaskan Ling-dji? sahut Tjiong-hudji adem2 sadja. Kalau Sin-long-pang berani menahan puteriku untuk mengantjam aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup. Kalau menolong orang takbisa, masakan membunuh orang djuga tak bisa?

Tak tertahan Toan Ki bergidik, ia merasa kata2 Tjiong-hudjin jang sepele dan sederhana itu sesungguhnja maksud membunuh orang jang terkandung didalamnja tidak dibawah perbuatan Tjiong Ban-siu jang bengis dan kedjam itu. Namun lahirnja Tjiong-hudjin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya akan lebih menakutkan orang.

Sambil bitjara, kedua orang sudah berlari beberapa li djauhnja. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dibelakang: Hudjin, kau... Kau hendak kemana?

Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Tjiong Ban-siu jang sedang mengedjar mereka setjepat terbang datangnja.

Sekonjong-konjong Tjiong-hudjin ulur tangannja keketiak Toan Ki sambil membentak: Lekas! terus sadja ia angkat tubuh pemuda itu dan melesat kedepan.

Seketika Toan Ki merasa kedua kakinja terapung diatas tanah, ia sudah dikempit oleh Tjiong-hudjin dan tak bisa berkutik. Maka kedjar-mengedjar itu segera berlangsung dengan tjepat, dalam sekedjap sadja mereka sudah berlari berpuluh tombak djauhnja.

Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Tjiong-hudjin ternjata lebih tinggi setingkat daripada sang suami, tjuma betapapun ia membawa beban seorang, jaitu Toan Ki, maka lambat laun dapatlah disusul oleh Tjiong Ban-siu.

Diam-diam Toan Ki ikut kuatir dan kerupukan, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Tjiong Ban-siu sudah bersumpah, tentu tak akan mengudak lebih djauh. Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknja: Meski ilmu silat adalah kepandaian jang bikin tjelaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanja ada paedahnja djuga.

Njata, dalam keadaan kepepet begini, ia benar-benar ingin bisa berlari lebih tjepat.

Sementara itu tampak tinggal belasan tombak lagi, sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas Tjiong Ban-siu sudah terdengar dibelakangnja. Mendadak, bret, Toan Ki merasa punggungnja silir-silir dingin, badjunja telah kena didjambret sobek sebagian oleh Tjiong Ban-siu.

Tiba-tiba Tjiong-hudjin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnja kedepan sambil membentak: Lekas lari!, menjusul tangannja jang lain sudah lantas lolos pedang terus menusuk kebelakang dengan maksud merintangi kedjaran sang suami.

Hakikatnja Tjiong-hudjin tiada maksud hendak mentjelakai suami sendiri. Tak terduga tusukannja itu benar-benar telah mengenai dada sang suami. Ternjata sama sekaii Tjiong Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang isteri.

Karuan Tjiong-hudjin terkedjut, tjepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik kembali pedangnja, ia lihat wadjah sang suami penuh rasa sesal dan dongkol, kelopak matanja mengembeng air, dadanja berlumuran darah dan lagi berkata: Wan-djing, djadi achir.... achirnja kau akan meninggalkan daku?

Melihat tusukannja itu tepat mengenai tengah-tengah dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi udjung pedang djuga amblas beberapa senti dalamnja, karena kuatir akan djiwa sang suami, tjepat Tjiong-hudjin mentjabut pedangnja terus menubruk madju untuk menutupi luka tusukan itu, ia lihat darah lantas menjembur keluar melalui sela-sela djarinja.

Kenapa kau tidak menghindar? tegur Tjiong-hudjin dengan gusar.

Djika kau toh akan tinggalkan diriku, adalah lebih baik aku mati sadja, sahut Tjiong Ban-siu tersenjum getir.

Siapa bilang aku hendak tinggalkan kau? kata Tjiong-hudjin.

Aku hanja pergi buat beberapa hari sadja lantas kembali.Kepergianku adalah untuk menolong puteri kita.~ Segera ia tjeritakan setjara singkat tentang tertawannja Tjiong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.

Menjaksikan itu, Toan Ki, sampai kesima, ia tidak djadi melarikan diri, tapi sesudah tenangkan diri, tjepat ia sobek lengan badju sendiri dan sibuk hendak membalut luka Tjiong Ban-siu.

Tak terduga mendadak sebelah kaki Tjiong Ban-siu melajanq hingga Toan Ki kena ditendang terdjungkal, sambil membentak: Anak haram, aku tidak sudi melihat tjetjongormu! ~ Lalu ia berpaling kepada sang isteri dan berkata: Aku... aku tidak pertjaja, tentu kau berdusta, sudah terang dia.........dia datang kesini mengundang kau. Anak djadah ini sekalipun mendjadi abu djuga aku mengenalnja, malah dia....dia tadi telah menghina aku.

Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat, dan karena batuk, darah jang mengutjur dari lukanja itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu, katanja kepada Toan Ki: Hajolah madju, kenapa kau tidak madju? Meskipun aku terluka parah, belum tentu aku djeri pada kau punja It-yang-tji! Hajolah madju!

Karena tendangan tadi, djidat Toan Ki telah membentur sepotong batu ketjil jang tadjam hingga terluka, tjepatan ia merangkak bangun sambil memegangi djidatnja jang bendjol itu, lalu mendjawab: Tjayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnja tidak paham tentang It-yang-tji atau Dji-yang-tji segala!

Kembali Tjiong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknja dengan gusar: Anak djadah, apa kau berlagak dungu? Pergilah kau me.......memanggil bapakmu kemari!

Dan karena gusarnja itu, batuknja makin mendjadi-djadi.

Dalam keadaan demikian, penjakitmu suka tjuriga tetap tidak mau berubah, kata Tjiong-hudjin.Kalau kau toh tak pertjaja padaku, lebih baik biarlah aku mati dihadapanmu sadja.

Terus sadja ia djemput kembali pedangnja dan menggorok keleher sendiri.

Tjepat Tjiong Ban-siu merebut pedang itu, wadjahnja berubah girang, katanja: Niotju, djadi sungguh-sungguh kau bukan hendak ikut minggat dengan anak djadah ini?

Orang adalah Toan-kongtju jang terhormat, kau maki orang anak djadah apa segala? omel Tjiong-hudjin. Kepergianku ikut Toan-kongtju adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang untuk menolong puteri mestika kita.

Walaupun terluka parah, namun demi nampak sikap sang isteri jang mengomel dan marah ketjil, rasa tjinta-kasih Tjiong Ban-siu semakin berkobar, dengan mengiring senjum ia menjahut: Djika demikian halnja, ja, anggaplah aku jang salah.

Ketika Tjiong-hudjin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan deras.Ba......... bagaimana baiknja, ini? ratapnja kuatir.

Girang Tjiong Ban-siu tidak kepalang, terus sadja ia rangkul pinggang sang isteri dan berkata: Wan-djing, kau begini memperhatikan diriku, biarpun aku mati seketika, djuga puas aku.

Muka Tjiong-hudjin mendjadi merah, pelahan-lahan ia kesampingkan tangan sang suami dan menjahut: Toan-kongtju berada disini, kenapa kau pegang-pegang begini, ~ Dan karena melihat keadaan sang suami pelahan-lahan bertambah pajah dan wadjah putjat, ia mendjadi kuatir, katanja pula: Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-dji, onar jang dia perbuat sendiri, biar dia terima nasib sadja. ~ Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata pada Toan Ki: Toan-kongtju, harap kau sampaikan pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah.... sudah mati. Djika dia berani mengganggu seudjung rambut puteriku itu, suruh dia djangan lupa pada keganasan Hiang-yok-djeh Bok-Wan-djing!

Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Tjiong Ban-sin terang tak mungkin pergi, Tjiong-hudjin djuga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong puterinja, melulu mengandalkan kata-kata Hiang-yok-djeh Bok-Wan-djing (si kuntilanak harum) apakah dapat menggertak Sikong Hian, sungguh masih harus disangsikan. Tampaknja ratjun Toan-djiong-san jang masih mengeram didalam perut sendiri ini sudahlah pasti tak bisa diobati lagi.

Untuk sedjenak ia tertegun, ia pikir urusan toh sudah demikian, banjak omong djuga pertjuma, maka sahutnja lantas: Djika begitu, baiklah Wansing lantas berangkat menjampaikan pesan Hudjin itu.

Melihat ketegasan pemuda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikitpun tidak ragu-ragu. Hal ini membuat Tjiong-hudjin teringat pula pada seseorang. Segera serunja: Nanti dulu, Toan-kongtju, masih ada jang hendak kukatatan!

Pelahan-lahan ia letakkan sang suami ketanah, lalu memburu kedekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, lalu bisiknja: Lekas bawalah benda ini kepada Toan Tjing-bing........

Mendengar nama Toan Tjing-bing, tak tertahan lagi wadjah Toan Ki berubah.

Dasar njonja Tjiong alias Bok Wan-djing memang orangnja sangat tjermat, ketika mengutjapkan Toan Tjing-bing tadi, memangnja dia ingin mengetahui perubahan wadjah Toan Ki. Karena itu, pelahan-lahan ia menghela napas, katanja pula: Apakah sekarang kau masih hendak membohongi aku? Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba disana tepat pada waktunja, agar djiwa Ling-dji dan kau sendiri tertolong. Dan tanpa menunggu djawaban Toan Ki, segera ia putar balik kesamping sang suami serta memajangnja pergi.

Waktu Toan Ki periksa barang jang diterimanja dari Tjiong-hudjin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak ketjil bersepuh emas jang sangat indah. Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinja hanja setjarik kertas melulu jang warnanja sudah menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan diatas kertas lapat-lapat masih kelihatan ada bekas noda tetesan darah. Diatas kertas tertulis: Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu niu. Gaja tulisannja halus halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin: Ini adalah surat lahir (pek-dji) seseorang, Tjiong-hudjin suruh aku menjerahkannja pada ajah, entah apakah maksud tudjuannja. Masakah setjarik surat lahir begini bisa menolong djiwa nona Tjiong dan njawaku? Tampaknja Tjiong-hudjin sudah dapat menerka bahwa aku adalah puteranja ajah, sebaliknya Tjiong Ban-siu berulang-ulang memaki aku, agaknja dia pun kenal wadjahku jang mirip ajah. Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ajah?

Sedang Toan Ki melamun sambil herdjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan seorang tua: Tunggu dulu, Toan-kongtju!

Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbadju pendek kasar lagi menjusulnja dengan tjepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata: Hamba bersama Tjiong Hok. Atas perintah Hudjin agar menghantarkan Kongtju keluar lembah ini.

Baik, sahut Toan Ki mengangguk.

Segera Tjiong Hok berdjalan didepan, achirnja mereka tiba dimulut lembah, jaitu melalui peti mati dan kuburan jang pernah dimasuki Toan Ki itu. Tapi Tjiong Hok membawa Toan Ki melalui suatu djalan ketjil lain hingga 6-7 li pula djauhnja, achirnja sampailah didepan sebuah gedung besar.

Harap Kongtju menunggu sebentar, kata Tjiong Hok. Tanpa mengetok pintu lagi, terus sadja hamba itu melompat kedalam gedung itu melintasi pagar tembok.

Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar-sinar bintang jang berkelip-kelip ditengah djakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi tjantik jang didjumpainja didasar danau itu.

Tengah pikiran Toan Ki melajang-lajang djauh, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda didaiam pekarangan gedung, mendengar suara binatang jang njaring pandjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memudji: Kuda bagus!

Kemudian tampak pintu gedung dibuka hingga menongol satu kepala kuda, ditengah malam gelap, sepasang mata binatang itu tampak bersinar, hanja sekali pandang sadja sudah kelihatan kalau kuda itu memang lain dari jang lain.

Prak, prak dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar. Pelahan sekali suara jang didjangkitkan derapan binatang itu, agaknja seekor kuda ketjil. Tapi kalau melihat perawakan kuda itu, ternjata keempat kakinja pandjang merit, tangkas gagah. Jang menuntun kuda adalah seorang pelajan ketjil, dalam kegelapan tidak djelas mukanja, usianja kira2 belasan tahun dan tentunja wadjahnja djuga lumajan.

Tjiong Hok ikut dibekakang kuda itu, katanja kemudian: Toan-Kongtju, Hudjin kuatir kalau kau tak bisa tepat waktunja sampai di Tayli, maka sengadja pindjam kuda bagus ini pada tuan rumah disini untuk tunggangan Kongtju.

Sudah banjak djuga kuda bagus jang pernah dilihat Toan Ki, tapi tjukup mendengar suara ringkikan kuda ini tadi, ia sudah tahu pasti seekor kuda bagus pilihan jang djarang terdapat. Maka sahutnja: Banjak terima kasih!

Segera ia ulur tangan hendak menarik tali kendali.

Pelahan-lahan dajang tjilik tadi mengelus-elus leher kuda itu, katanja dengan suara halus: Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siotja memindjamkan kau kepada Kongtjuya ini, kau harus menurut perintahnja, lekas pergi, tjepat kambali!

Kuda hitam jang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernja kelengan sipelajan, sikapnja sangat aleman. Lalu pelajan itu menjerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan memesan: Kuda ini djangan dipetjut, semakin baik padanja, semakin tjepat larinja.

Baiklah, sahut Toan Ki.

Nah, Siotjia mawar hitam, terimalah hormatku ini! sembari berikata, ia benar2-benar membungkukkan tubuh pada binatang itu.

Pelajan ketjil itu mengikik geli, katanja: Lutju djuga kau ini. Eh, hati-hati, ja! Djangan merosot djatuh!

Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sedjak ketjil ia sudah biasa. Maka dengan enteng sadja ia mentjemplak keatas kuda hitam itu dan berkata pada sipelajan: Sampaikanlah terima kasihku kepada Sotjiamu!

Dan tidak terima kasih padaku, ja? udjar sipelajan tertawa.

Toan Ki memberi Kiongtjhiu, katanja: Terima kasih pada Tjitji, Nanti kalau datang lagi aku akan membawakan banjak permen untukmu.

Sudahlah, djiwamu sendiri perlu didjaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih harus disangsikan, siapa pingin pada permen segala? sahut sipelajan tertawa manis.

Tjiong Hok ikut berkata djuga: Harap Kongtju mendjaga diri baik-baik, dari sini lurus keutara akan sampai didjalan raja jang menudju ke Tayli, maafkan hamba tidak menghantar lebih djauh.

Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu larilah, kudanja kedepan.

Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternjata tidak perlu diperintah, ditengah.malam buta larinja setjepat terbang. Toan Ki hanja merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnja tiada hentinja melesat lewat di sampingnja. Jang paling hebat adalah anteng sekali menunggang diatas kuda itu, sedikit sekali terasa guntjangan-guntjangan, pikir Toan Ki: Demikian tjepat lari kuda ini, rasanja lewat lohor besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ajah belum tentu sudi ikut tjampur urusan tetek-bengek dikangouw ini, apakah aku terpaksa harus pergi memohon Toapek (paman tertua)? Ai, urusan sudah ketelandjur begini, terpaksa aku harus menjerah pada Toapek dan ajah.

Tiada sedjam lamanja, sudah puluhan li djauhnja, dalan malam gelap terasa angin silir-silir disertai hawa malam jang njaman. Selagi Toan Ki merasa senang-senang, sekonjong-konjong ada seorang membentak di depan: Perempuan keparat, lekas berhenti! ~ menjusul sinar tadjam berkelebat, sebatang golok lantas membatjok .

Namun kuda hitam itu benar-benar teramat tjepat, baru golok itu diajunkan, binatang itu sudah melompat lewat sedjauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersendjata golok dan tombak lagi mengedjar dari belakang dengan tjepat sambil memaki kalang kabut: Perempuan keparat! Pakai menjamar segala, apa kira Lotju dapat kau kelabui demikian sadja?

Dan hanja sekedjap sadja mawar hitam sudah djauh meninggalkan kedua pengedjar itu. Tapi kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang lama, suara teriakan dan makian merekapun tidak terdengar lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin: Kedua orang memaki aku sebagai perempuan keparat segala dan menuduh aku menjamar sebagai lelaki. Ja, tentu mereka akan tjari setori pada madjikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tak kenal orangnja sungguh tolol henar!

Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat: Haja, tjelaka! Berkat

ketjepatan kuda ini aku telah bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknja ilmu silat kedua orang itupun tidak lemah, djikalau Siotjia jang memberi pindjam kuda ini tidak tahu kedjadianku tadi dan djalan-djalan keluar, mungkin dia akan kena bokongan musuh. Rasanja aku harus kembali kesana dulu untuk memberitahu padanja.

Segera ia kendalikan kuda dan berhenti, katanja pada binatang itu: Oh-bi-kui, ada orang hendak membokong Siotjiamu, kita harus lekas kembali memberitahu padanja agar dia berdjaga-djaga dan djangan keluar dari rumah.

Terus sadja ia putar kuda dan lari kembali kearah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia desak si mawar hitam: Lekas, lekas lari!

Binatang itu ternjata bisa terima maksud orang, dibawah desakan lekas lari itu, ia benar-benar mentjongklang terlebih pesat. Namun kedua laki-laki tadi ternjata sudah tidak disitu lagi, karena itu, Toan Ki mendjadi lebih kuatir malah, pikirnja: Jika mereka berdua sudah menjerbu masuk kerumah Siotjia itu, hal ini pasti lebih tjialat lagi. ~ segera ia membentak-bentak si mawar hitam agar lebih tjepat.

Seketika lari si mawar hitam bagai kaki terapung diatas tanah, setjepat terbang ia lari pulang. Ketika hampir sampai didepan gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung menjerampang kaki kuda. Namun tidak sampai Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam sudah melompat menghindarkan diri, menjusul kaki belakang terus mendepak, bluk, salah seorang penjerang gelap itu telah kena ditendang mentjelat.

Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai didepan pintu gedung itu. Dalam kegelapan mendadak tampak 4-5 orang undjukkan diri serentak hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui menjusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena ditjengkeram orang terus diseret orang ketanah. Segera seorang diantaranja membentak: Siautju, untuk apa kau datang kesini?

Diam-diam Toan Ki mengeluh: Tjelaka, rumah ini ternjata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnja sudah mengalami nasib malang atau belum?

Ia merasa lengan, kanan jang ditjengkeram orang itu seakan-akan terdjepit tanggam, separoh tubuhnja merasa kaku, maka tjepat katanja: Ada urusan jang hendak kutjari tuan rumah disini, kenapa kau berbuat begini kasar?

Lalu terdengar suara seorang tua jang lain berkata: Siautju ini menunggang

kuda hitam milik perempuan hina itu, boleh djadi adalah kawan karibnja, biar kita lepaskan dia kedalam, babat rumput harus sampai akar-akarnja, nanti kita bereskan sekalian.

Hati Toan Ki berdebar-debar tak karuan, pikirnja: Aku ini benar-benar ular mentjari gebuk, ikan masuk djala sendiri. Sudah enak-enak pergi, datang kembali tjari penjakit. Sekarang sudah kadung begini, hendak lari djuga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk melihat gelagat nanti.

Ia merasa tjengkeram orang telah dikendorkan, segera ia betulkan badjunja, lalu melangkah masuk dengan membusung dada.

Didalam pekarangan ada suatu djalanan batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar jang menjiarkan bau harum. Djalanan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah pintu bundar, djalanan itu lurus kedepan. Toan Ki melihat disekitarnja disana-sini penuh berdiri orang. Ketika mendengar ada suara mendehem ditempat tinggi, ia mendongak dan melihat diatas pagar tembok sana djuga berdiri 7-8 orang dengan sendjata terhunus. Dimalam gelap, sinar sendjata jang gemilapan itu tjukup membuat djeri siapa jang melihatnja. Diam-diam Toan Ki membatin: Gedung ini meski sekian besarnja, tapi belum tentu dapat dihuni orang sekian banjaknja. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan?

Didalam gelap remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melototi dirinja, ada jang pegang-pegang sendjatanja tanda menggertak. Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, achirnja ia sampai disuatu ruangan besar jang berdjendela pandjang, didalam ruangan tampak sinar lampu terang-benderang.

Toan Ki mendekati deretan djendela pandjang itu, lalu berseru lantang:

Tjayhe Toan Ki, ada urusan mohon bertemu tuan rumah!

Siapa? Gujur masuk! suara seorang tua jang serak membentaknja.

Toan Ki mendjadi dongkol, ia dorong daun djende]a pandjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia mendjadi kaget melihat didalam ruangan penuh dengan orang pula, ada jang berdiri, ada jang berduduk, sedikitnja 17-18 orang. Di tengah-tengah seorang wanita badju hitam berduduk mungkur, muka menghadap kedalam, maka wadjahnja tidak kelihatan. Tapi dari perawakannja jang tampak langsing, rambutnja hitam gelap berkonde tjiodah, terang dandanan seorang gadis remadja. Ketjuali itu, disana-sini ada lagi belasan orang laki-laki dan

perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.

Diantara orang-orang itu ketjuali seorang kakek jang berduduk diatas kursi malas disudut timur sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, jang bertangan kosong, selebihnja setiap orang bersendjata semua. Didepan nenek itu menggeletak seseorang, lehernja luka terbatjok, dan sudah mati. Segera Toan Ki dapat mengenali sebagai Tjiong Hok, itu hamba tua jang membawanja kesini untuk pindjam kuda itu.

Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat pada dirinya. Ia mendjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua jang malang itu, terutama bila mengingat dirinja jang menjebabkan kematiannja itu.

Untuk apa kau datang kesini? dengan suara serak si kakek tadi membentak pula. Meski antero rambut kakek ini sudah beruban, tapi djanggutnja ternjata halus kelimis tiada seudjung djenggotpun.

Sedari melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan: Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau bisa loloskan diri, itulah paling baik. Kalau tak bisa, tiada gunanja djuga banjak bitjara dengan manusia- manusia jang tampak bengis dan djahat ini. Tapi sesudah melihat majat Tjiong Hok menggeletak disitu, seketika malah menimbulkan djiwa kesatrianja jang bersemangat banteng, dengan bersitegang segera ia mendjawab: Aku bernama Toan Ki. Rasanja Lotiang (bapak tua) ada seorang jang terhormat, hanja karena kau lebih lama hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siautju segala setjara tak sopan?

Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanja menjorot tadjam, sikapnja keren, tapi tak mendjawab. Sebaliknja seorang laki-laki jang berdiri disebelahnja lantas membentak: Bangsat ketjil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengotjeh! Loyatju ini sudi bitjara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyatju ini? Hm, matamu benar-benar buta!

Melihat lagak kakek ltu benar-benar lain dari jang lain, betapapun timbul djuga sedikit rasa hormat Toan Ki, maka sahutnja: Akupun tahu Lotiang ini pasti bukan orang sembarangan. Bolehkah mohon tanja siapakah nama Lotiang jang terhormat?

Belum lagi si kakek mendjawab, lelaki tadi sudah berkata pula: Baiklah, supaja kau bisa mati dengan meram, dengarlah jang djelas. Loyatju ini adalah No-kang-ong, San-tjiang-tjoat-beng Tjin-loyatju!

San-tjiang-tjoat-beng? Toan Ki menegas, Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran jang tak enak didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Tjin-loyatju.

Kiranja No-kang-ong, siradja sungai mengamuk, San-tjiang-tjoat-beng atau tiga kali pukulan melenjapkan njawa, nama lengkapnja adalah Tjin Goan-tjun. Tidak sadja namanja mengguntjangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan diwilajah Hunlam, bahkan disekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangtju, setiap djago silat djuga segan pada namanja.

Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele sadja, sedikitpun tidak heran.

Tentu sadja No-kang-ong, Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun sangat gusar. Sedjak namanja terkenal, djarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan jang berilmu silat lebih tinggi kalau mendengar namanja djuga akan tergetar, sedikitpun tidak berani memandang enteng.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnja Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk kedjadian dunia persilatan, sedikitpun tak diketahuinja, Djangankan nama Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun, sekalipun gelar Sam-sian-su-ok, jaitu tokoh-tokoh tiga orang badjik dan empat manusia djahat jang diagungkan dunia persilatan, djuga takkan membuatnja djeri.

Umumnja djago silat manapun djuga, dalam hal nama dipandangnja sangat penting. Maka Tjin Goan-tjun menjangka perbuatan Toan Ki ini sengadja hendak menghina dirinja, meski dalam hati sangat gusar, namun melihat sikap Toan Ki jang atjuh-tak-atjuh, kalau bukan memiliki ilmu silat jang diandalkan, rasanja pasti tidak berani begitu kurangadjar.

Karena menjangka Toan Ki pasti seorang djago sangat lihay, maka Tjin Goan-tjun tjepat mentjegah dua orangnja jang hendak madju melabrak pemuda itu, lalu tanjanja: Saudara dari golongan dan aliran mana? Siapa gurumu?

Untuk beladjar, kenapa rewel tentang golongan segala? sahut Toan Ki.Tjayhe tidak masuk golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus mejakinkan Kong-yang-tji-hak, namanja kalau kukatakan djuga kau tidak kenal.

Meski ilmu silat Tjin Goan-tjun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang Kong-yang-tji-hak segala, selama hidupnja tak pernah mendengar, maka ia menjangka apa jang dikatakan Toan Ki itu tentunja sematjam ilmu sakti jang belum pernah dilihatnja. Diam-diam ia merasa sjukur dirinja tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanjanja pula: Lalu kedatangan saudara ini ada urusan apa?

Melihat Tjin Goan-tjun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang jang hadir disitu mendjangka djuga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.

Maka terdengar Toan Ki mendjawab: Kedatangan Tjayhe kesini adalah ingin menjampaikan sesuatu kabar pada tuan rumah.

Kabar apa? tanja Tjin Goan-tjun.

Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnja: Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak kabar itu, sama sadja.

Menyampaikan kabar apa? Lekas katakan! desak Tjin Goan-tjun lagi Nadanja makin bengis.

Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinja akan kukatakan, apa gunanja bitjara padamu? sahut Toan Ki.

Tjin Goan-tjun tertawa dingin, selang sedjenak, ia berkata pula: Kau ingin bitjara berhadapan dengan tuan rumah? Baiklah, tak usah kau katakan, biar sebentar lagi kalian berdua boleh bertemu sadja diacherat.

Jang manakah adalah tuan rumah? tanja Toan Ki.Tjayhe ingin menjampaikan terima kasih telah diberi pindjam kuda.

Karena pertanjaan itu, sorot mata semua orang disitu lantas beralih kepada nona badju hitam jang duduk mungkar tadi.

Toan Ki terkesiap: Apakah nona inilah pemilik rumah ini? Seorang gadis lemah seperti dia telah kena dikepung musuh sebanjak ini, tampaknja djiwanya susah

diselamatkan.

Dalam pada itu terdengarlah wanita badju hitam telah berkata: Kau diberi pindjam kuda adalah karena aku memandang muka orang lain, perlu apa terima kasih segala? Kau tidak lekas2 pergi menolong orang, buat apa kembali kesini? Sembari bitjara mukanja tetap menghadap kedalam tanpa menoleh.

Maka Toan Ki mendjawab: Tjayhe menunggang simawar hitam, sampai ditengah djalan telah disergap musuh jang salah sangka Tjayhe sebagai nona serta ditjatji-maki. Tjayhe merasa kurang enak, maka sengadja balik kesini untuk memberi kabar pada nona.

Kabar apa? tanja wanita itu, nadanja njaring merdu, tapi sedikitpun tidak membawa rasa simpatik, hingga bagi jang mendengarkan, rasanja tidak enak, se-akan2 wanita ini sudah terasing dari dunia ramai, sedikitpun tidak perduli terhadap segala apa didunia ini, seperti orang adalah musuh besarnja, kalau bisa setiap orang akan dibunuhnja habis.

Tentu sadja Toan Ki rada mendongkol oleh nada djawaban orang. Tapi lantas teringat olehnja bahwa wanita itu sudah djatuh ditengah kepungan musuh, keadaannja sangat berbahaja, kalau pikirannja mendjadi gopoh, takbisa djuga salahkan dia. Karena itu, timbul djuga rasa solider Toan Ki.

Maka dengan ramah ia mendjawab: Tjayhe pikir kedua orang djahat itu akan bikin susah nona, untuk mana tentunja nona belum tahu, maka sengadja memburu kembali untuk memberi kabar agar sebelumnja nona menjingkir. Tak terduga toh tetap terlambat, musuh sudah tiba lebih dulu, sungguh aku menjesal.

Begini baik kau sengadja mendjilat aku, sebenarnja apa maksud tudjuanmu? tanja wanita itu dingin.

Toan Ki mendjadi naik darah, sahutnja keras: Tjayhe selamanja tidak kenal nona, tjuma mengetahui ada orang hendak bikin susah padamu, masakan aku bisa berpeluk tangan diam sadja? Kata2 mendjilat itu entah darimana bisa nona katakan?

Apakah kau kenal siapa aku? tanja wanita itu.

Tidak sahut Toan Ki.

Kudengar tjerita Tjiong Hok, katanja sama sekali kau tidak bisa ilmu silat, tapi berani mendamperat terang2an dihadapan Tjiong-koktju. njalimu benar2 tidak ketjil, tapi kau djusteru sudah terlibat dalam kedjadian ini, apa kehendakmu sekarang?

Sebenarnja sehabis menjampaikan berita ini, segera akan pulang kerumah setjepatnja, sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menjambung: Tapi tampaknja nona bakal tjelaka dan akupun tak terhindar dari malapetaka. Tjuma entah tjara bagaimana nona bisa bermusuhan dengan orang2 ini?

Berdasarkan apa kau berani tanja padaku? sahut wanita itu mendjengek.

Kembali Toan Ki tertjengang, tapi segera katanja: Urusan pribadi orang, memangnja aku tidak pantas menanja. Baiklah, aku sudah menjampaikan kabar padamu, selesailah kewadjibanku.

Tentunja kau tidak menduga djiwamu bakal melajang disini, bukan? Apa kau menjesal? tanja siwanita.

Mendengar kata2 orang itu bernada menjindir, kontan Toan Ki mendjawab: Perbuatan seorang Taytianghu (laki2 sedjati), asal demi kebaikan sesamanja, kenapa mesti menjesal?

Hm, hanja matjam kau ini djuga berani mengaku sebagai laki2 sedjati? djengek wanita badju hitam itu.

Gagah kesatria atau bukan, masakan ditentukan dalam hal tinggi-rendahnja ilmu silat? sahut Toan Ki aseran. Sekalipun ilmu silatnja tiada tandingan dikolong langit, kalau kelakuannja rendah memalukan djuga takbisa disebut sebagai Taytianghu!

Tjin-losiangsing, tiba2 wanita badju hitam itu berpaling pada Tjin Goan-tjun, kau dengar tidak utjapan Toan-ya ini? Kelakukan kalian ini rasanja tidak bisa dikatakan terang2an, bukan?

Perempuan hina, mendadak nenek jang duduk disamping Tjin Goan-tjun itu

memaki: apa kau hendak mengulur tempo terus? Bangkitlah untuk bertempur ......

Usiamu sudah landjut begini, ingin mampus djuga tidak perlu buru2, sahut siwanita badju hitam dengan tadjam. Djing-siong Todjin, kaupun datang mentjari perkara padaku, apa orang Ban-djiat-kok djuga tahu?

Wadjah seorang imam berdjenggot ubanan rada berubah, sahutnja: Tudjuanku adalah membalas dendam murid, apa sangkut-pautnja dengan Ban-djiat-kok?

Ingin kutanja, sebelumnja kau telah minta bantuan Hiang-yok-djeh atau tidak? tanja siwanita.

Imam itu mendjadi gusar, sahutnja: Sekian banjak tokoh2 terkemuka berkumpul disini masakan masih belum bisa memberesi kau?

Djawabanmu terus memutar, tentu kau sudah pernah minta bantuan Hiang-yok-djeh, kata wanita badju hitam. Dan kau ternjata bisa keluar lagi dari Ban-djiat-kok dengan selamat, boleh dikata redjekimu tidak ketjil.

Aku toh tidak masuk ke Ban-djiat-kok, siapa bilang aku telah datang kesana? sahut Djing-siong Todjin.

Ehm, djika begitu, tentunja kau telah kirim seorang lain kesana sebagai penghantar djiwa, kata wanita itu meng-angguk2.

Sekilas wadjah Djing-siong Todjin merasa malu, segera ia berteriak: Marilah kita tentukan dengan sendjata, kenapa banjak mulut?

Menjaksikan pertjakapan wanita badju hitam dengan orang2 itu, Toan Ki dapat melihat bahwa rombongan Tjin Goan-tjun itu masih belum pasti diatas angin, kalah atau menang baru bisa diketahui sesudah bertanding. Tapi dari nada Djing-siong Todjin tadi, terang imam itu sangat djeri pada siwanita badju hitam. Diam2 Toan Ki sangat heran, orang2 itu berulang-kali menantang, tapi tetap tiada seorangpun jang berani mulai bergebrak.

Tiba2 terdengar siwanita badju hitam berkata pada Toan Ki.

Hai orang she Toan, sekian banjak orang2 ini hendak mengerojok diriku, menurut kau, bagaimana baiknja.

Simawar hitam berada diluar, udjar Toan Ki. Kalau kau bisa terdjang keluar dari kepungan, lekas kau menunggangnja melarikan diri. Teramat tjepat lari binatang itu, pasti mereka tak mampu menjusul kau.

Lalu bagaimana dengan kau sendiri? tanja wanita itu.

Selamanja aku tidak kenal mereka, tiada dendam takada sakit hati, boleh djadi mereka takkan bikin susah padaku kata Toan Ki.

Wanita badju hitam itu tertawa dingin, katanja: Hm, djika mereka suka pakai aturan, tentunja aku takkan dikerojok orang sebanjak ini. Djiwamu sudah pasti akan melajang. Pabila aku bisa lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu?

Toan Ki mendjadi sedih, sahutnja kemudian: Ada seorang nona Tjiong telah ditawan oleh Sin-long-pang di Bu-liang-san, ibunja memberikan kotak emas ini kepadaku suruh kusampaikan pada ajahku agar bisa diusahakan menolong nona itu, Dji........ djikalau nona dapat lolos, harapanku adalah sudilah laksanakan tugasku ini, untuk maka aku merasa sangat terima kasih. sembari berkata, ia melangkah madju dan mengangsurkan kotak emas itu.

Kini djaraknja dibelakang wanita badju hitam itu hanja setengahan meter sadja, tiba2 hidungnja mengendus sematjam bau wangi jang mirip bunga anggrek, tapi bukan anggrek, seperti mawar, tapi bukan mawar, meski bau harum itu tidak terlalu keras, namun membuat orang merasa pusing, tubuh Toan Ki mendjadi sempojongan sedikit.

Wanita itu ternjata tidak menerima kotaknja itu, tapi menanja: Kabarnja nona Tjiong itu sangat tjantik, apakah ia kekasihmu?

Bukan, bukan! sahut Toan Ki tjepat. Nona Tjiong masih terlalu muda, lintjah dan ke-kanak2an, mana..... mana bisa timbul maksudku jang tak senonoh itu?

Baru sekarang wanita itu ulur tanganja kebelakang utk mengambil kotak emas

jang diangsurkan Toan Ki itu. Pemuda itu melihat tangan siwanita memakai sarung tangan sutera hitam hingga sedikitpun tidak kelihatan kulit badannja.

Pelahan2 wanita itu masukan kotak emas itu kedalam badjunja, lalu berkata: Djing-siong Todjin, lekas enjah dari sini!

Ap...... apa katamu? imam itu menegas dengan tak lantjar.

Kau enjah keluar, harini aku tidak ingin bunuh kau, kata siwanita.

Mendadak Djing-siong Todjin mengangkat pedangnja dan membentak: Kau mengotjeh apa segala? tapi suaranja gemetar, entah saking gusar, entah apakah karena ketakutan?

Kau tahu tidak bahwa memandang muka Sumoaymu, maka aku sudi mengampuni djiwamu. kata siwanita badju hitam lagi. Nah, lekas enjah!

Wadjah Djing-siong Todjin seputjat majat, pelahan2 pedangnja menurun kebawah.

Mendengar kata2 wanita badju hitam itu sangat kasar dan membentak Djing-siong Todjin enjah dari situ, Toan Ki menjangka imam itu pasti akan murka, siapa tahu wadjah imam itu tampak ragu2 sebentar, lalu tampak djeri pula, sekonjong2 pedangnja djatuh kelantai, ia tutup mukanja dengan dua tangan terus lari keluar. Tapi sial baginja, baru tangan hendak mendorong pintu, sinenek jang duduk disamping Tjin Goan-tjun tadi telah ajun tanganja, sebilah Hui-to atau pisau terbang melajang tjepat dan tepat mengenai punggung Djing-siong Todjin. Tanpa ampun lagi imam itu terdjungkal, setelah merangkak beberapa tindak lagi, achirnja terkapar binasa.

Toan Ki mendjadi gusar, teriaknja: Hai, Lothaythay (nenek tua), imam itu adalah kawanmu, kenapa mendadak kau turun tangan kedji?

Dengan lojo nenek itu berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang siwanita badju hitam, utjapan Toan Ki itu seperti tak didengarnja. Seketika kawan2nja djuga siap siaga untuk mengerubut serentak, asal sekali diberi komando, kontan wanita badju hitam pasti akan di-tjatjah2 mereka.

Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa penasaran, bentaknja keras2: Hai, kalian semua laki2 mau mengerubut seorang wanita lemah, dimanakah letaknja keadilan ini? Segera iapun melangkah madju hingga wanita badju hitam dihadang dibelakangnja, lalu membentak pula: Hajo, kalian masih berani turun tangan? Meskipun sedikitpun Toan Ki tidak bisa silat, tapi gagah perkasa dengan semangat banteng jang tak gentar pada siapapun.

Djadi saudara sudah pasti ingin ikut tjampur urusan ini? dengan kalem Tjin Goan-tjun menanja.

Ja, teriak Toan Ki. Aku melarang kalian main kerojokan, menganiaja seorang wanita lemah.

Hubungan pamili apa saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga kau berani ikut tjampur urusan ini? tanja Tjin Goan-tjun lagi.

Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, tjuma segala apa didunia ini tidak terlepas dari keadilan, maka kunasihatkan kalian suka sudahi urusan ini, mengerojok seorang gadis lemah, terhitung orang gagah matjam apa? sahut Toan Ki tegas. Lalu ia membisiki siwanita badju hitam: Lekas nona lari, biar kurintangi mereka.

Wanita itupun mendjawab dengan suara lirih: Djiwamu melajang demi membela diriku, apa kau tidak menjesal?

Biar mati tidak menjesal, sahut Toan Ki

Kau benar2 tidak takut mati? Tetapi...... mendadak suara wanita itu diperkeras: ...... kau sedikitpun tak bertenaga, masih kau berlagak kesatria gagah? ~ se-konjong2 ia kebas tangannja, dua tali berwarna tahu2 melajang hingga kedua tangan dan kedua kaki Toan Ki terikat dengan kentjang.

Berbareng pada saat itu djuga, sebelah tangan lain siwanitapun mengajun berulang kali, Toan Ki hanja mendengar suara gemerantang dan gedubrakan beberapa kali, disana-sini sudah beberapa orang djatuh terdjungkal, menjusul sinar sendjata gemerlapan menjilaukan mata, lalu pandangan mendjadi gelap, antero lilin didalam ruangan telah dipadamkan semua oleh orang. Toan Ki merasa tubuhnja terapung se-akan2 terbang dibawa seseorang.

Kedjadian2 itu datangnja terlalu tjepat hingga sekedjap itu Toan Ki tidak tahu dirinja sudah berada dimana. Hanja terdengar sekeliling ramai dengan bentakan orang: Djangan beri lolos perempuan hina itu! ~ Djangan takut pada panah beratjunnja! ~ Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to! ~ menjusul terdengar pula suara gemerintjing jang ramai, banjak sendjata resia terbentur djatuh.

Ketika Toan Ki merasa badannja terguntjang lagi, menjusul suara derap kuda berlari, njata dirinja sudah berada diatas kuda, tjuma kaki-tangannja terikat, sedikitpun takbisa berkutik. Ia merasa tengkuknja bersandar dibadan seseorang, hidung mengendus bau wangi, njata itulah bau harum jang teruar dari badan siwanita badju hitam.

Suara derapan kuda ber-detak2, enteng tapi anteng, suara bentak kedjar musuh makin lama sudah makin ketinggalan djauh di belakang.

Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itupun hitam semua, ditambah dimalam pekat dengan bau wangi semerbak, suasana mendjadi agak seram.

Sekaligus Oh-bi-kui alias simawar hitam berlari sampai beberapa li djauhnja. Achirnja Toan Ki berseru: Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap lekas lepaskan aku.

Wanita itu mendengus sekali tanpa mendjawab.

Karena kaki-tangannja terikat, setiap kali kuda itu mentjongklang, tali pengikat bertambah kentjang, makin lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanja mendjulai kebawah hingga mirip orang digantung, Toan Ki mendjadi pening tak tertahan. Maka serunja lagi: Nona, lekas lepaskan aku!

Plak, mendadak ia dipersen sekali tempilingan, dengan dingin wanita itu berkata: Djangan tjerewet, tahu? Nona tidak tanja, dilarang kau bitjara!

Sebab apa? teriak Toan Ki mendjadi gusar.

Plak, plak, kembali ia digampar dua kali terlebih keras dari tadi, karuan Toan Ki merah begap mukanja, telinganja sampai mendenging hampir2 pekak.

Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia berteriak pula: Sedikit2 kenapa kau pukul orang? Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau.

Mendadak Toan Ki merasa tubuhnja terapung, tahu2 sudah terbanting ditanah oleh wanita badju hitam itu, tapi anggota badannja masih terikat, bahkan udjung lain dari tali pengikat itu masih dipegang oleh wanita itu hingga badan Toan Ki terseret ditanah oleh Oh-bi-kui.

Wanita itu membentak tertahan suruh Oh-bi-kui berdjalan pelahan, lalu tanjanja pada Toan Ki: Kau menjerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku tidak?

Tidak, tidak! gembor Toan Ki. Tadi meski terantjam mati sadja aku tidak gentar, apalagi sekarang hanja disiksa begini? Aku......

Sebenarnja ia ingin bilang: Aku tidak takut, tapi kebetulan waktu itu badannja jang terseret ditanah itu membentur djalan jang tidak rata hingga kata2nja itu terputus.

Kau takut, bukan? kata siwanita badju hitam dengan dingin. Segera ia tarik talinja hingga Toan Ki terangkat keatas kudanja lagi.

Aku takut apa? sahut Toan Ki. Lekas lepaskan aku!

Hm, dihadapanku, tiada seorangpun ada hak bitjara, kata wanita itu. Aku djusteru hendak siksa kau, biar kau mati tidak, hidup tidak, masakan hanja sedikit siksaan begini sadja? Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ketanah dan diseret pula.

Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnja: Semua orang tadi memaki dia sebagai perempuan hina, njatanja ada benarnja djuga ~ Segera ia berseru pula: Lekas lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho.

Kalau berani, boleh tjoba kau memaki, sahut wanita itu.Selama hidupku ini memangnja aku sudah kenjang ditjatji-maki orang.

Mendengar kata2 orang jang terachir itu diutjapkan dengan nada penuh rasa sesal dan derita, tjatji-maki Toan Ki jang sudah hampir dilontarkan itu mendjadi urung dikeluarkan, hatinja mendjadi lemas.

Menunggu sekian saat tidak mendengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula: Hm, masakan berani kau memaki!

Tidak berani? seru Toan Ki mendongkol. Aku mendjadi kasihan padamu, maka tidak tega memaki. Emangnja kau kira aku takut padamu?

Wanita itu tidak gubrisnja lagi, mendadak ia bersuit mempertjepat kudanja, segera Oh-bi-kui mentjongklang pesat kedepan. Karuan jang pajah adalah Toan Ki, badannja ter-gosok2 oleh batu pasir tadjam hingga babak-belur dan berdarah mengutjur.

Kau menjerah atau tidak? seru siwanita.

Dengan keras Toan Ki memaki malah: Kau perempuan galak jang tak kenal baik-djelek ini!

Memangnja aku adalah perempuan galak, tak perlu kau katakan, akupun tahu sendiri. sahut wanita itu.Dan dimana aku tidak kenal baik-djelek segala?

Aku....... aku bermak........ bermaksud baik padamu....... mendadak kepala Toan Ki membentur sepotong batu ditepi djalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri lagi.

Entah sudah lewat berapa lamanja, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanja dingin2 segar, ia mendjadi siuman, menjusul terasa air merembes masuk kedalam mulut, tjepat ia tutup napasnja, namun sudah tak keburu lagi, ia ter-batuk2 sesak. Dan karena batuknja itu, air masuk lebih banjak lagi kedalam mulut dan hidungnja.

Kiranja dia diseret oleh siwanita badju hitam ditanah, ketika mengetahui Toan Ki djatuh pingsan, wanita itu sengadja keprak kudanja menjeberangi sebuah sungai ketjil, karena terendam air, Toan Ki lantas sadar. Untung sungai itu sangat ketjil, sekali melangkah, simawar hitam sudah menjeberang kesana.

Dengan badju basah kujup, perutnja kembung pula tertjekok air sungai, ditambah memangnja badan babak-belur, karuan Toan Ki merasa sakit antero badannja.

Sekarang kau menjerah tidak? kembali wanita badju hitam itu menanja.

Sungguh susah dipahami bahwa didunia ini ada wanita sewenang2 seperti ini, demikian pikir Toan Ki. Memangnja aku sudah tertjengkeram dibawah tangannja, banjak bitjara djuga pertjuma.

Karena itu, beberapa kali siwanita badju hitam menanja: Kau menjerah tidak? Sudah tjukup tahu rasa belum? ~ Namum Toan Ki tetap tak menggubrisnja, anggap tidak dengar sadja.

Wanita itu mendjadi gusar, damperatnja: Apa kau sudah tuli? Kenapa tidak djawab pertanjaanku?

Tetap Toan Ki tak gubris padanja.

Mendadak wanita itu tahan kudanja, ingin lihat apakah Toan Ki sebenarnja sudah sadar atau belum.

Tatkala itu sang surja sudah mengintip diufuk timur dengan tjahajanja jang remang2, maka wanita itu dapat melihat djelas kedua mata Toan Ki terpentang lebar lagi mendelik padanja dengan gusar.

Wanita itu mendjadi murka, damperatnja pula: Bagus, djadi kau tidak pingsan, tapi sengadja main gila dengan aksi. Baiklah, mari tjoba2 kita adu kebandelan, apa kau lebih lihay atau aku lebih kedjam?

Terus sadja ia melompat turun dari kudanja, dengan enteng ia melompat keatas untuk mendapatkan sepotong ranting pohon, plek, segera ia sabet sekali dimukanja Toan Ki.

Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia

lihat muka orang berkerudung selapis kain hitam tebal, hanja dua lubang matanja tampak sepasang bidji matanja jang hitam bersinar bagai kilat tadjamnja. Toan Ki tersenjum, katanja dalam hati: Kau ingin aku mendjawab pertanjaanmu, hm, mungkin lebih sulit daripada naik kelangit.

Dalam keadaan begini, masih kau bisa tersenjum? Apa jang kau gelikan? maki wanita itu.

Tapi Toan Ki sengadja meng-imik2 pula dengan muka badut, lalu tertawa lagi.

Plak-plek, plak-plek, kembali wanita itu menghudjani sabetan beberapa kali. Namun Toan Ki sudah tak pikirkan djiwanja lagi, tetap ia tinggal diam. Tjuma tjara menghadjar wanita itu sangat kedji, setiap kali, sabetannja pasti mengenai tempat Toan Ki jang paling sakit, saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampir2 mendjerit, tapi sjukur ia masih bisa mengekang diri.

Melihat pemuda itu demikian bandel, setelah merenung sedjenak, segera wanita itu berkata: Baik, kau pura2 tuli, biar kubikin kau benar2 mendjadi tuli! ~ terus sadja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinarnja jang gemerlapan, pelahan2 wanita itu mendekati Toan Ki. Ia angkat belatinja dan atjungkan telinga kiri pemuda itu sambil membentak: Kau dengar kata2ku tidak? Apa kau tidak inginkan daun kupingmu ini?

Masih tetap Toan Ki tak gubris, sinar mata wanita itu menjorot beringas, selagi belatinja diangkat hendak disajatkan kekuping Toan Ki, tiba2 ditempat sedjauh belasan tombak sana ada orang membentak: Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ja? suaranja lantang berwibawa.

Tjepat wanita itu angkat tali pengikatnja hingga tubuh Toan Ki tergantung diatas sebuah dahan pohon. Waktu menoleh, Toan Ki melihat orang jang bersuara itu adalah seorang laki2 tinggi besar, bertangan kosong, pinggang terselip sebuah golok. Laki2 itu tidak lari, tapi tahu2 sudah sampai didepan mereka, tjepatnja bukan main.

Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat, berbadju pendek warna kuning, bermuka lebar, kedua kaki dan tangannja djauh lebih pandjang daripada orang biasa, usianja sekira 30-an tahun, kedua matanja bersinar tadjam.

Tentunja kau inilah Kim Tay-peng? tegur wanita tadi. Orang bilang ilmu Ginkangmu sangat hebat, tapi, hm, kalau aku sepandjang djalan tidak menanjai botjah ini hingga djalanku terlambat, rasanja kaupun tak mampu menjusul aku.

Dan kalau bukan ada urusan lain hingga aku terlambat datang satu djam, rasanja kaupun takkan bisa lolos. sahut laki2 itu ketus.

Dan sekarang kau sudah dapat menjusul aku, kata siwanita. Kim Tay-peng, mau apa kau sekarang?

Pendjual obat, Ong-lohan, dikota Sengtoh itu kau jang membunuhnja, bukan? tanja laki2 itu.

Kalau benar, mau apa? sahut siwanita.

Ong-lohan adalah sobatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnja tidak pernah berbuat djahat, sebab apa hingga kau membunuhnja?

Sebabnja? sahut wanita itu. Hm, ada orang terkena panahku jang berbisa, Ong-lohan sengadja tampil ke muka untuk mengobatinja, hal ini kau tahu tidak?

Mendjual obat menjembuhkan orang, memang kewadjiban Ong-lohan kata Kim Tay-peng.

Sekonjong-konjong terdengar suara mendesis pelahan sekali, menjusul suara tjring sekali. pula, sebatang panah ketjil telah menantjap di samping kaki Kim Tay-peng. Pandjang panah itu hanja belasan senti, hampir anteronja amblas ke dalam tanah. Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun masukkan goloknya ke dalam sarung jang tergantung di pinggan.gnja. Kiranja dalam sekedjapan itu sadja wanita itu sudah menjerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi Kim Tay-peng sempat tjabut golok untuk menangkis. Njata, diam-diam ke dua orang sudah saling gebrak sedjurus.

Tjepat djuga gerakanmu, ja? kata si wanita.

Kaupun tidak lambat, sahut Kim Tay-peng.

Njata, nama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing memang bukan omong kosang.

Toan Ki terperandjat mendengar nama itu, tjepat ia berteriak: Ai, kau salah, Kim-heng, dia bukan Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing!

Darimana saudara tahu? tanja Kim Tay-peng.

Kukenal Bok Wan-djing dengan baik, Bok Wan-djing adalah Tjiong-hudjin, tapi perempuan djahat ini adalah seorang nona, kata Toan Ki.

Sekilas wadjah Kim Tay-peng tampak heran, katanja: Djadi Hiang-yok-djeh sudah kawin? Entah orang she Tjiong mana jang sial itu.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis dua kali, dua batang sendjata rahasia djatuh semua di pinggir Toan Ki, jang satu adalah panah ketjil warna hitam, jang lain adalah sebuah mata uang. Di tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu menantjap di tengah lubang itu.

Kiranja wanita itu telah menjambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Tay-peng sempat timpukkan mata uang itu hingga djiwa Toan Ki tertolong. Melihat itu, barulah Toan Ki insaf barusan djiwanja telah berpiknik ke pintu gerbang achirat, untung bisa balik lagi, ia dengar wanita itu bertanja dengan gusar: Siapa bilang aku Bok Wan-djing sudah kawin? Setiap laki-laki di djagat ini tiada seorangpun yang baik, siapa orangnja jang setimpal untuk mendjadi suamiku?

Ja, agaknja saudara ini telah salam paham. udjar Kim Tay-peng.

Mendengar wanita badju hitam itu mengaku sebagai Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing, si kuntilanak berbau harum, Toan Ki pikir di balik itu tentu ada sesuatu jang tak beres, sekalipun nona ini ganas dan djahat, rasanja tidak nanti sudi mengaku sebagai isteri orang. Maka katanya: Betul djuga utjapan Kim-heng, jang kutahu ialah isterinja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu jang bernama Bok Wan-djing.

Tjis, djadi perempuan keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing? teriak wanita badju hitam dengan gusar.

Kim-heng, kata Toan Ki, Tjiong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa, dengan nona badju hitam ini benar-benar suatu pasangan setimpal.

Baru selesai utjapannja itu, tiba-tiba sinar hidjau berkelebat di depan matanja, sesuatu sendjata telah membatjok ke arahnja. Dalam keadaan terikat dan tergantung, dengan sendirinja Toan Ki tak bisa menghindar, namun biar dia bisa bergerak dan bersendjata sekalipun, tentu djuga susah menghindari serangan kilat itu. Maka dengan pedjamkan mata, ia sudah pasrah nasib.

Mendadak terdengarlah suara gemerantang beberapa kali, sendjata nona badju hitam itu ternjata tidak sampai di tubuhnja. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana sesosok bajangan hitam dan segulung kabut kuning lagi melajang kian kemari dengan tjepat luar biasa, di tengah bajangan hitam dan kabut kuning itu terdapat berkelebatnja sinar putih pula, menjusul riuh ramai dengan suara trang-tjreng saling beradunja sendjata.

Tuhan maha murah, semoga Kim-heng ini diberi kemenangan, diam-diam Toan Ki mendoa.

Tiba-tiba terdengar si nona badju hitam alias Bok Wan-djing membentak njaring, kedua orang sama-sama melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah dimasukkan ke sarungnja, dengan tenang berdiri di tempatnja. Sebaliknja dengan pedang terhunus, Bok Wan-djing lagi memandang lawannja dengan penuh perhatian.

Kalah menang belum terdjadi, kenapa nona Bok tidak bertempur terus? kata Kim Tay-peng.

Hm, It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng, suatu tokoh gemilang di kalangan Kangouw paling achir ini, huh! sahut Bok Wan-djing.

Ada apa maksudmu? tanja Tay-peng

Dalam 500 djurus, belum tentu mampu menangkan nonamu! sahut Wan-djing.

Benar! kata Tay-peng, Djikalau lebih dari 500 djurus?

Marilah kita boleh tjoba-tjoba, kata Bok Wan-djing. Berbareng udjung pedangnja terus mengarah ke tenggorokan Kim Tay-peng.

Trang, Kim Tay-peng melolos goloknja buat menangkis dan kembalikan golok ke sarungnja pula, lalu membentak: Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sedjati, mana bisa bertempur sampai lebih 500 djurus dengan perempuan siluman ketjil matjam kau? Utang darah pendjual djamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda dulu. Tjuma kau harus berdjandji tak boleh mentjelakai djiwa saudara ini.

Lalu utang-piutang kita sendiri kapan diselesaikan? tanja Bok Wan-djing.

Nanti kalau dalam 500 djurus aku sudah dapat membereskan kau, dengan sendirinja aku akan bikin perhitungan padamu, sahut Kim Tay-peng.

Djelas belum pesanku tadi?

Hm, bilakah kau pernah dengar Hiang-yok-djeh menerima pesan seseorang? sahut Bok Wan-djing dengan angkuh.

Baiklah, kuhormati kepandaianmu jang hebat, anggaplah aku jang memohonkan keselamatan saudara ini, kata Tay-peng.

Djadi kau sendiri jang memohon padaku? Bok Wan-djing menegas.

Ja, kumohon padamu, sahut Tay-peng dengan suara berat.

Maka terbahak-tawa dengan senang sekali Bok Wan-djing, selama bertemu dengan dia, untuk pertama kali inilah Toan Ki mendengar suara ketawa nona itu jang penuh gembira ria, tidak sadja senang luar biasa, bahkan membawa beberapa bagian sifat kekanak-kanakan. Terdengar ia berseru pula: Haha, It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng ternjata memohon sesuatu pada aku Bok Wan-djng, maksud baik permohonan ini rasanja tidak pantas kalau kutolak. Tjuma aku hanja berdjandji tidak membunuh orang ini, menghadjarnja atau mengutungi kaki-tangannja tidak termasuk dalam djaminanku ini.

Habis berkata, tidak menunggu djawaban Kim Tay-peng lagi, ia terus bersuit,

dengan tjepat si mawar hitam mendekatinja, sekali tjemplak Bok Wan-djing sudah berada di atas kuda, berbareng pedangnja terus disambitkan, tjret, tali jang menggantung tubuh Toan Ki di dahan pohon itu terpapas putus. Toan Ki bersama pedang itu djatuh bersama ke bawah, dan pada saat itulah dengan tepat Oh-bi-kui atau si mawar hitam sudah berlari sampai di bawah pohon. Tangan kanan Bok Wan-djing menjambar kembali pedangnja itu, tangan kiri mentjengkeram tengkuk Toan Ki dan ditaruh di atas pelana kuda. Sekali tjongklang, setjepat terbang Oh-bi-kui sudah berlari djauh.

Melihat djurus pertundjukan Bok Wan-djing ketika hendak pergi itu, mau-tak-mau Kim Tay-peng gegetun dan memudji: Sungguh lihay, perempuan siluman ini.

Setelah Bok Wan-djing masukkan pedang ke sarungnja, ia berkata di atas kudanja: It-hui-tjiong-thian jang namanja terkenal di antero djagat ini hari ini djuga tak bisa apa-apakan diriku. Hm, biar dia memperdalam pula ilmu silatnja, emangnja setiap hari aku hanja tidur sadja, ilmu kepandaianku takkan tambah? Wahai, botjah she Toan, sekarang kau menjerah tidak padaku?

Toan Ki hanja tinggal diam tak menggubrisnja, tetap membisu dan mentuli.

Agaknja hati Bok Wan-djing sangat riang, kembali ia berkata: Orang Kangouw sama bilang It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng adalah djago muda jang djarang ada tandingannja, ketjuali tokoh-tokoh angkatan lebih tua seperti Sam-sian-su-ok, dia terhitung djago paling lihay. Tapi hari ini dia toh sudi memohon padaku.

Toan Ki mendjadi dongkol, katanja dalam hati: Dia hanja merasa laki-laki tidak pantas melabrak seorang perempuan, makanja mengampuni kau, masih kau sembarangan membual segala?

Tapi tadi ia sendiripun menjaksikan sikap Kim Tay-peng, ia tahu meski nama It-hui-tjiang-than (sekali terbang mendjulang ke langit) terkenal di seluruh djagat, tapi djuga tidak berani memandang enteng Bok Wan-djing. Ia pikir perempuan siluman ini biarpun kedji dan ganas, tapi ilmu silatnja memang benar-benar sangat lihay.

Selagi Toan Ki termenung, mendadak pundaknja ditarik Bok Wan-djing hingga mukanja berpaling ke arahnja, demi nampak wadjah pemuda itu belum lenjap dari rasa kagum, Bok Wan-djing terbahak-bahak, katanja: Botjah bandel, di mulut kau tidak bilang, tapi dalam hati kau menjerah padaku, bukan?

Dan karena hatinja lagi senang, sepandjang djalan ia tidak siksa Toan Ki lagi. Tidak lama, si mawar hitam telah membawa mereka ke suatu pekuburan. Segera Toan Ki dapat mengenali tempat itu adalah djalan masuk ke Ban-djiat-kok. Ia lihat Bok Wan-djing melompat turun dari kudanja terus menarik batu nisan kuburan itu, tjaranja menarik batu nisan itu persis seperti apa jang Tjiong Ling adjarkan pada Toan Ki.

Begitu pintu kuburan terpentang, terus sadja Bok Wan-djing djindjing Toan Ki melangkah ke dalam.

Perawakan Toan Ki sedikitnja belasan senti lebih tinggi dari nona itu, bitjara tentang bobot badan, sedikitnja djuga lebih berat 30-40 kati. Tapi didjindjing olehnja, ternjata enteng sadja bagai membawa sebuah kerandjang.

Setelah masuk pula ke dalam peti mati, penjambutnja tetap si pelajan ketjil jang menerima Toan Ki itu.

Sampai di tempat jang terang, pelajan itu mendjadi kaget dan bertanja: Bok-kohnio, ken.............. kenapa kau membawa Toan kongtju ke sini? Di....... dimanakah Siotjia kami?

Panggil keluar njonjamu! bentak Bok Wan-djing sambil banting Toan Ki ke lantai.

Loya terluka parah, Hudjin tak bisa meninggalkan beliau, silahkan nona masuk ke dalam sadja, kata si pelajan.

Peduli apa dengan Loyamu jang terluka segala, suruh njonjamu keluar! bentak Bok Wan-djing bengis. Sekalipun Loyamu saat ini akan putus napasnja, suruh njonjamu harus keluar djuga!

Pelajan itu tak berani bitjara lagi, ia mengia dengan ketakutan, lalu tjepat masuk ke dalam.

Tidak lama, Tjiong-hudjin nampak keluar dengan tersipu-sipu, katanja: Nona Bok, kenapa kau tidak duduk dan bitjara di dalam sadja?

Bok Wan-djing tidak menjahut, ia menengadah ke atas tak gubris.

Tjiong-hudjin seperti sangat djeri pada nona badju hitam itu, dengan sabar ia berkata pula: Bok-kohnio, apakah aku ada berbuat sesuatu kesalahan padamu?

Kau memanggil siapa sebagai Bok-kohnio? tanja Bok Wan-djing tiba-tiba.

Sudah tentu memanggil engkau, sahut njonja Tjiong.

Hm, kusangka kau sedang berkata pada diri sendiri, djengek Bok Wan-djing. Kabarnja sekarang kau sudah ganti nama dan tukar she, kaupun bernama Bok Wan-djing katanja, sungguh tidak njana bahwa nama Bok Wan-djing bisa mendapat perhatian orang, tapi djulukan Hiang-yok-djeh toh bukan sesuatu nama jang enak di dengar. Tapi kalau kau benar-benar mau, biar kupersembahkan padamu dengan kedua tangan terbuka.

Wadjah Tjiong-hudjin sebentar merah sebentar putjat, katanja kemudian dengan suara halus: Nona Bok, aku memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas. Soalnja karena aku terlalu kuatirkan puteriku, dengan harapan menggunakan namamu jang besar dapatlah menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Ling-dji bisa dilepaskan mereka.

Mendengar. itu, kata Bok Wan-djing pula dengan nada rada halus: Apa benar namaku bisa mempunjai pengaruh begitu besar?

Tjiong-hudjin kenal watak si nona jang suka dipudji dan diumpak, maka tjepat sahutnja: Sudah tentu! Nama besar nona di kalangan Kangouw, siapa orangnja jang tidak takut? Maka kujakin bila mendengar nama nona, biarpun njali orang Sin-long-pang sebesar langit djuga tak berani ganggu seudjung rambut Ling-dji.

Baiklah, tentang memalsukan namaku, tak perlu aku usut lebih djauh, kata Bok Wan-sljiag. Tapi awas, bila lain kali kau sembarangan memakai namaku lagi, aku tentu tak mau sudahi begini sadja. Kau adalah isterinja Tjiong Ban-siu, apakah...... apakah.... Tjis! ~ sembari berkata, ia membanting kaki ke lantai dengan keras.

Lekas-lekas Tjiong-hudjin menanggapinja dengan ketawa-ketawa: Ja, ja,

memang aku jang salah! Karena bingung memikirkan Ling-dji, aku mendjadi lupa pada nama baik nona jang masih sutji bersih.

Bok Wan-djing mendengus sekali, lalu menanja pula: Djing-siong Todjin telah datang mentjari perkara padaku, hal ini sebelumnja kau sudah tahu, bukan?

Wadjah Tjiong-hudjin berubah seketika, sahutnja terputus-putus: Ja, dia......dia pernah datang minta bantuan kami berdua untuk mengerojok nona. Tapi........tjoba pikir, mana bisa kami berbuat demikian?

Ilmu silat suamimu sangat tinggi, kalau dia ikut mengerojok, mungkin djiwaku sudah melajang, kata Bok Wan-djing.

Hubungan kami dengan nona sangat baik sedjak dulu, mana bisa kami berbuat begitu? sahut Tjiong-hudjin. Dan demi melihat sorot mata Bok Wan-djing di balik topeng hitamnja itu berkilat-kilat menjeramkan, tjepat ia berkata pula: Untuk bitjara terus terang, sebenarnja kami pernah rundingkan tentang urusan itu. Tapi suamiku menduga biarpun No-kang-ong Tjiu Goan-tjun, ditambah It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng, Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut belum tentu mereka bisa menangkan nona, sebab itulah, meski Djing-siong Todjin mohon-mohon dengan sangat, toh suamiku tetap tak mau.

Utjapanmu ini adalah karanganmu belaka atau benar-benar keluar dari mulut suamimu? tanja Wan-djing.

Kata-kata ini adalah suamiku sendiri jang katakan pada Djing-siong Todjin, sahut Tjiong-hudjin. Bila nona tidak pertjaja, boleh tjari Djing-siong Todjin untuk mendjadi saksi.

Bok Wan-djing angguk-angguk, katanja kemudian: Djika demikian, djadi Tjiong-siansing sendiri merasa bukan tandinganku?

Kata suamiku, ilmu silat nona dalamnja susah didjadjaki, apalagi tjerdik tiada bandingan, kami berdua amat tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mentjari permusuhan lagi.

Ha, Tjiong-siansing terang djeri padaku, tapi masih pakai kata-kata begitu untuk menutupi rasa malunja itu, djengek Wan-djing.

Wadjah Tjiong-hudjin tampak merasa malu, sahutnja: Usia suamiku sudah landjut, kalau lebih muda 20 tahun, boleh djadi masih sanggup melajani nona seratus-duaratus djurus.

Kembali Bok Wan-djing tertawa dingin, njata hatinja sangat senang.

Toan Ki jang terbanting di lantai itu dapat mengikuti pertjakapan mereka dengan djelas, pikirnja: Tjiong-hudjin terus-menerus mengumpak nona ini., tapi sedikitpun tidak kentara, terang diapun seorang jang sangat lihay. Dasar nona galak ini suka diumpak orang, tapi aku djusteru ingin mengolok-oloknja.

Maka mendadak ia berseru: Waduh lagaknja melawan Kim Tay-peng seorang sadja Bok-kohnio tak bisa menang, masih tjoba omong besar segala? Tadi mereka berdua saling gebrak, sudah terang Kim Tay-peng lebih unggul, nona Bok dihadjar hingga berlutut minta ampun, setelah memanggil sepuluh kali Kim-yaya baru djiwanja diampuni......

Selagi Toan Ki hendak mentjerotjos terus, tiba-tiba Bok Wan-djing sudah melompat datang dan mendepak dua kali di pinggangnja sambil membentak: Siapa bilang aku kalah? Siapa jang menjembah minta ampun?

Tjiong-hudjin, aku bitjara padamu, kata Toan Ki, Nona Bok beruntun melepaskan 18 batang panah ketjil, tapi semuanja kena ditandingi Kim Tay-peng dengan 18 buah mata uang. Ia dihadjar Kim Tay-peng hingga minta ampun dan berdjandji takkan membunuh diriku.............

Karuan Bok Wan-djing sangat murka, sekali tangan kanan di angkat, segera pemuda itu hendak dibunuhnja dengan panahnja jang berbisa.

Sjukur Tjiong-hudjin sempat berseru sambil melompat menghadang di depan Toan Ki: Djangan, nona Bok! Asal-usul Toan kongtju ini tidak sembarangan, djangan kau bunuh dia.

Huh, hanja seorang sekolahan lemah jang tak bisa ilmu silat, asal usulnja bisa hebat apa? Paling-paling adalah tjalon menantunja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu! djengek Bok Wan-djing mengolok-olok.

Tjiong-hudjin mendjadi djengah, sahutnja: Kami adalah keluarga Kangouw jang kasar, mana berani mengharapkan menantu seperti Toan-kongtju.

Untung dia bukan orang Kangouw, djika dia bisa sedikit ilmu silat sadja, tentu sekali tebas sudah kutjabut njawanja. kata Bok Wan-djing. Segera ia teringat pada djandji sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh Toan Ki, maka katanja pula: Mending djuga botjah ini ada sedikit baiknja, ketika tahu ada orang hendak bikin susah padaku, dengan tjepat ia putar kuda kembali memberi kabar. Waktu Tjin Goan-tjun dan begundalnja mengerubut diriku, ternjata iapun berusaha melindungi aku. Hehe, tjuma sajang, semangat besar, tenaga kurang, djiwa kesatrianja sih boleh dipudji, tapi tiada punja kepandaian sebagai seorang gagah. ~ bitjara sampai disini, nada suaranja mendjadi ramah, ia sambung pula: Tjiong hudjin, hati botjah ini djauh lebih baik daripada kau. Kau sudah tahu Djing-siong Todjin dan lain-lain hendak mengerodjok aku, tapi sengadja suruhan Tjiong Hok minta pindjam kudaku si mawar hitam hingga aku tiada punja tunggangan dan susah meloloskan diri. Sungguh hebat akalmu ini, sungguh kedji muslihatmu ini!

Saking bingung memikirkan keselamatan puteriku, sungguh aku tiada maksud membikin susah nona, sahut Tjiong-hudjin. Kami suami-isteri djuga sudah tahu bahwa Tjin Goan-tjun dan kawan-kawannja tak nanti mampu mengutik seudjung rambut nona, pernah djuga kami nasihatkan Djing-siong Todjin djangan tjari mati sendiri, dan sekarang mungkin djiwanja sudah melajang di bawah pedang nona. ~ padahal kematian Djing-siong Todjin itu hanja dugaannja sadja, ia lihat Bok Wan-djing tak kurang suatupun apa, sebaliknja ilmu silat Djing-siong Todjin djauh di bawah Tjin Goan-tjun dan lain-lain, tentu imam itu jang paling dulu mendjadi korban.

Maka sahut Bok Wan-djing: Hm, pandanganmu tjukup djitu djuga! habis berkata, sekali melesat, tahu-tahu ia sudah sampai di samping Toan Ki, sekali angkat, kembali pemuda itu didjindjingnja terus bertindak pergi.

Nona Bok, tunggu dulu, aku ingin mohon sesuatu. seru Tjiong-hudjin.

Berdasarkan apa kau hendak memohon padaku? tanja Bok Wan-djing dengan dingin sambil menoleh. Apa jang kau mahon rasanja akupun takkan menjanggupi apa-apa, maka paling baik djangan kau utjapkan sadja.

Selagi Tjiong-hudjin tertegun oleh djawaban itu, sementara itu Bok Wan-djing sudah tinggal pergi sambil mendjindjing Toan Ki.

Setelah keluar dari liang kuburan dan mengembalikan batu nisan ke tempatnja,

Bok Wan-djing bersuit memanggil Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu ia sendiripun mentjemplak ke atas.

Sepandjang djalan beberapa kali Wan-djing adjak bitjara Toan Ki, tapi pemuda itu tetap bungkam tak gubris padanja. Tapi bila membajangkan betapa kedji dirinja disiksa nona itu semalam, diam-diam Toan Ki kebat-kebit djuga dan tidak berani membikin marah si nona lagi. Maka setengah harian kuda itu dilarikan, kedua orang itu boleh dikata sementara itu bisa hidup damai berdampingan.

Sampai lohor, wah, tjelaka, mendadak perut Toan Ki terasa mules. Pikirnja ingin minta Bok Wan-djing melepaskan dia agar bisa kada hadjat, tapi kedua tangannja terikat, tak bisa memberi tanda, andaikan bisa, tjara memberi tanda itupun rada-rada berabe. Terpaksa ia buka mulut: Aku ingin buang air, harap nona lepaskan aku!

Bagus, sekarang kau tidak bisu lagi, ja? Kenapa adjak bitjara padaku? olok-olok si nona.

Ja, terpaksa, sahut Toan Ki. Aku tak berani bikin kotor nona. Nona adalah Hiang-yok-djeh (kuntilanak berbau wangi), kalau aku berubah mendjadi Djau-siau-tju (botjah berbau busuk) kan tjialat?

Mau-tak-mau Bok Wan-djing mengikik geli djuga, ia pikir untuk mana terpaksa harus melepaskannja, maka ia potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnja. Lalu menjingkir pergi.

Karena sudah sekian lamanja diringkus, tangan dan kaki Toan Ki mendjadi kaku tak bisa bergerak, ia mengesot sampai sekian lamanja di tanah baru kemudian dapat berdiri.

Selesai kada hadjat alias kuras perutnja, Toan Ki melihat si mawar hitam lagi makan rumput di dekatnja dengan djinak, pikirnja: Inilah kesempatan bagus untuk melarikan diri! ~ pelahan-lahan ia mentjemplak ke atas kuda dan si mawar hitam ternjata menurut sadja.

Sekali tarik tali kendali, terus sadja Toan Ki larikan Oh-bi-kui ke utara dengan tjepat. Ketika mendengar suara derapan kuda, segera Bok Wan-djing mengedjar namun lari si mawar hitam teramat tjepat, betapapun tinggi ilmu Ginkangnja Bok Wan-djing djuga tak bisa menjusulnja.

Sampai ketemu lagi, Bok-kohnio, kata Toan Ki sambil kiong-tjhiu, sementara itu sudah berpuluh tombak djauhnja si mawar hitam mentjongklang. Waktu Toan Ki menoleh pula, ia lihat bajangan Bok Wan-djing sudah teraling-aling pohon tak kelihatan lagi. Bisa terlolos dari tjengkeraman hantu perempuan itu, Toan Ki merasa senang sekali, berulang kali ia berseru agar si mawar hitam lari terlebih tjepat. Ia pikir saat itu sekalipun Bok Wan-djing menjerangnja dengan Am-gi atau sendjata rahasia, djuga tak bisa mentjapainja lagi.

Setelah berlari satu li djauhnja, selagi Toan Ki termenung entah masih keburu menolang Tjiong Ling atau tidak, apakah menudju langsung ke Bu-liang-san atau pulang ke Tayli dulu, sekonjong-konjong dari belakang berkumandang suara suitan jang pandjamg njaring.

Mendengar suara itu, seketika si mawar hitam putar haluan dan berlari kembali ke arah tadi.

Toan Ki sangat terkedjut, tjepat ia berteriak-teriak: Kuda jang baik, djangan kembali kesana, djangan kembali, kudaku sajang! ~ lalu sekuatnja ia menarik tali kendali agar si mawar ganti arah lagi.

Tapi meski tali kendali sedemikian kentjangnja ditarik Toan Ki hingga kepala si mawar ikut mentjeng, namun binatang itu masih tetap lari lurus ke depan, sedikitpun tidak menurut perintah Toan Ki.

Hanja sekedjap sadja, Oh-bi-kui sudah berlari sampai di samping Bok Wan-djing, lalu berdiri tak bergerak lagi. Karuan Toan Ki serba runjam, malu tertjampur dongkol.

Aku pernah berdjandji pada Kim Tay-peng takkan bunuh kau. kata Bok Wan-djing. Tapi kini kau bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol lari kudaku si mawar. Maka apa jang kudjandjikan pada Kim Tay-peng itu selandjutnja kubatalkan!

Toan Ki melompat turun dari kuda, dengan gagah berani ia mendjawab: Oh-bi-kui semula kau sendiri jang pindjamkan padaku dan sampai kini aku belum kembalikan kau, mana bisa bilang aku mentjuri. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuhlah, seorang laki-laki sedjati, tak perlu kuterima budi siapa-siapa.

Bok Wan-djing lolos separoh pedangnja, katanja dengan dingin: Hm, njalimu

benar-benar tidak ketjil, apa kau sangka aku tidak berani membunuh kau? Kau andalkan pengaruh siapa hingga berulang kali berani padaku?

Asal setiap perbuatanku tidak merugikan nona, buat apa aku mengandalkan pengaruh orang lain? sahut Toan Ki.

Sorot mata Bok Wan-djing setadjam kilat memandang Toan Ki, tapi pemuda itupun balas mendelik dengan tabah. Setelah saling melotot sekian saat, mendadak Bok Wan-djing masukkan kembali pedangnja dan membentak: Sudahlah lekas kau enjah! Buah kepalamu biar kutitipkan di atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa perlu setiap saat bisa menagih kepalamu.

Sebenarnja Toan Ki sudah nekad, sungguh tak tersangka olehnja bahwa si nona bisa membebaskannja begitu sadja. Untuk sedjenak ia tertjengang, tapi segera iapun tinggal pergi.

Sambil memandangi bajangan pemuda itu diam-diam Bok Wan-djing berkata di dalam hati: Lelaki bandel seperti ini sungguh djarang ada di dunia ini. Padahal djago silat umumnja kalau melihat aku tentu ketakutan setengah mati, tapi botjah ini sedikitpun ternjata tidak gentar.

Setelah belasan tombak djauhnja, Toan Ki masih tidak mendengar suara derapan kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok Wan-djiag masih berdiri di tempatnja dengan termangu-mangu, pikirnja: Hm, tentu dia lagi pikirkan sesuatu akal kedji, matjam kutjing mempermainkan tikus, aku hendak digodanja habis-habisan, habis itu baru aku di bunuhnja. Baiklah, toh aku tidak bakal bisa lari, segala apa terserah dia.

Tapi makin djauh ia berdjalan, tetap tidak mendengar suara Bok Wan-djing mengedjarnja, setelah melintasi beberapa simpang djalan, barulah ia merasa lega dan pertjaja nona galak itu takkan mengedjarnja.

Dan karena hatinja sedikt lega, segera ia merasa tubuhnja jang babak belur itu sakit perih, seorang diri ia menggumam: Ai, perangai nona ini demikian aneh, boleh djadi karena kedua orangtua sudah meninggal, selama hidupnja banjak mengalami matjam-matjam kemalangan. Mungkin djuga karena wadjahnja teramat djelek maka tidak suka memperlihatkan muka aslinja pada orang. Ai, boleh dikata seorang jang harus dikasihani djuga.

Kemudian ia pikir pula: Kalau, tjaraku berdjalan ini, mungkin sebelum sampai di Tayli, aku sudah mati keratjunan Toan-djong-san. Padahal nona Tjiong lagi

mengharapkan pertolonganku dengan tak sabar, kalau aku tidak tampak kembali kesana dan ajahnja djuga tak pergi menolongnja, tentu ia menjangka aku tidak memenenuhi kewadjiban mengirim berita pada ajahnja. Biarlah, bagaimanapun djadinja, aku harus memburu ke Bu-liang-san sana untuk mati bersama dengan dia, agar dia tahu bahwa aku tidak mengchianati harapannja.

Setelah ambil keputusan begitu, segera ia ambil arah jang tepat dan menudju ke Bu-liang-san.

Lembah sungai Landjong itu sunji senjap, berpuluh li djauhnja tidak nampak seorang pendudukpun. Hari itu terpaksa ia mesti mentjari buah-buahan sekedar tangsal perut, malam harinja tidur meringkuk seadanja di lereng bukit.

Besoknja lewat lohor, kembali ia menjeberangi sungai Landjong, dekat magrib, sampailah ia di suatu kota ketjil. Uang sangu jang dibawanja sudah terhanjut di tengah danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah tjompang-tjamping, ditambah perut sangat lapar, teringat olehnja ada sebentuk hiasan batu giok di kopiahnja jang nilainja tak terkira. Segera ia tanggalkan batu permata itu dan membawanja ke suatu warung beras satu-satunja di kota itu untuk di djual. Karena tidak kenal benda pusaka, kuasa warung itu hanja berani membeli dengan harga tiga tahil. perak. Toan Ki pun tidak banjak rewel, ia terima tiga tahil perak itu dan masuk ke suatu warung nasi untuk makan. Pikirnja hendak membeli pakaian pula, tapi di kota seketjil itu tiada toko kelontong jang mendjual pakalian. Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnja di samping warung nasi itu, di suatu lapangan ada orang mendjemur dua potong kain hitam.

Seketika pikirannja tergerak, teringat olehnja Tjiong-hudjin sengadja memalsukan nama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing utk menolong puterinja, pikir Toan Ki: Kenapa aku tidak menjamar sebagai perempuan galak itu untuk menggertak Sikong Hian? Paling-paling gagal dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian, kan hebat!

Dasar watak orang muda, apa jang dia pikir, segera dia kerdjakan, terus sadja ia membeli sepotong kain hitam, ia pindjam gunting dan djarum dan benang, lalu berlagak sebagai pendjahit ulung untuk mendjahit pakaian di belakang warung nasi itu.

Selama hidup Toan Ki hanja kenal buku, membatja dan menulis, kini memegang djarum, walaupun benda seketjil itu, namun rasanja seberat palu. Untungnja bukan mendjahit pakaian bagus apa, hanja diperlukan membalut antero tubuhnja asal tidak kelihatan, maka dimana masih renggang, disitu lantas didjahit, kalau ada lubang, lantas ditambal.

Begitulah ia sibuk sendiri hingga mandi keringat, pegawai warung nasi menjangka Toan Ki agak kurang beres otaknja, maka tidak urus perbuatannja, sampai malam, orang sudah pergi tidur, Toan Ki masih sibuk mendjahit di pekarangan warung itu.

Hampir tengah malam, baru selesai Toan Ki menunaikan tugas. Ia tjoba pakai badju baru itu, mending djuga badannja bisa tertutup rapat. Sepasang sarung tangannja djuga kasar, tapi sedikitnja sepuluh djarinja dapat masuk dan bergerak dengan bebas. Senang sekali Toan Ki, sambil mengenakan pakaian serba hitam itu, ia tjoba ingat-ingat nada suara Bok Wan-tjing jang tadjam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan beberapa kali. Ia tidak berani pertjaja suaranja mirip orang, tapi bila mengingat Sikong Hian djuga belum tentu pernah melihat dan mendengar suara Bok Wan-djing, betapapun memang sengadja spekulasi, biarpun rahasianja terbongkar nanti, apa mau dikata lagi?

Setelah selesai menjamar, ia tjoba-tjoba merentjanakan bagaimana nanti kalau sudah berhadapan dengan Sikong Hian, lalu meninggalkan warung nasi itu menudju ke Bu-liang-san.

Kota ketjil itu letaknja sudah dikaki gunung Bu-liang-san. Dibawah sinar bulan, Toan Ki dapat menempuh arah jang tepat. Setelah dua djam lamanja, dari djauh tampak lereng gunung sana sinar api berkelip-kelip, ia tahu disanalah tempat tinggal Sin-long-pang, segera ia menudju ke tempat sinar api itu.

Kira-kira belasan tombak sebelum sampai di tempat sinar api itu, sekonjong-konjong dari tempat gelap melompat keluar seorang sambil membentak: Siapa jang datang ini? Ada keperluan apa?

Toan Ki tertawa dingin sekali, ia tekuk suaranja dan menjahut: Hm, matjammu djuga ingin tanja siapa diriku? Dimana Sikong Hian? Suruh dia menemui aku!

Melihat antero tubuh Toan Ki tertutup kain hitam, di bawah sinar bulan hanja tampak kedua bidji matanja, orang itu mendjadi terkesiap, teringat olehnja dandanan seorang iblis wanita jang mengguntjangkan Kangouw, maka tanjanja dengan suara gemetar: Apakah kau............kau Hiang-yok?

Namaku boleh sembarangan kau sebut? bentak Toan Ki dengan gusar.

Karena terpengaruh oleh nama besar Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing, njali orang itu mendjadi petjah, dengan gugup ia mendjawab: Sikong-pangtju terluka parah,

tak bisa.......tak bisa berdjalan, harap nona sudi...........sudilah ke sana!

Sial pikir Toan Ki, masakan seorang djedjaka ting-ting disangka nona segala. Diam-diam iapun bersjukur orang tak bisa mengenalnja, maka sengadja ia mendengus menirukan lagak angkuh Bok Wan-djing, katanja: lekas tundjukkan djalannja!

Pelahan-lahan Toan Ki ikut orang itu ke depan. Ia tahu, semakin lambat djalannja, semakin sulit terbongkar rahasianja.

Sampai di tempat api unggun, ia lihat di sana-sini menggeletak beberapa orang jang terpagut oleh Kim-leng-tju itu, Tjiong Ling diringkus kedua tangannja, begitu melihat Toan Ki, ia mendjadi girang, terus sadja ia berseru:

Bok-tjitji, kau telah datang menolong aku!

Selama tersiksa beberapa hari, keadaan Sikong Hian memang sudah payah, ketika melihat bentuk Toan Ki, ia sudah menduga pasti Hiang-yok-djeh jang namanja mengguntjangkan Kangouw itu telah datang. Apalagi mendengar pula Tjiong Ling menjapa tadi, ia mendjadi tidak sangsi lagi. Maka ia paksakan diri berbangkit, kedua tangannja menahan dipundak kedua anak buahnja, lalu berkata: Tjayhe terkena bisa ular, tidak bisa mendjalankan peradatan, harap ...... Harap nona suka maafkan.

Nona Tjiong adalah sobatku, kau tahu tidak? tegur Toan Ki dengan suaranja yang melengking.

Sesungguhnja Tjayhe tidak tahu, harap maaf, sahut Sikong Hian.

Lekas bebaskan dia, kata Toan Ki lagi.

Walaupun Sikong Hian gentar pada nama Hiang-yok-djeh jang besar itu, tapi menduga sekalipun dirinja tidak terluka, untuk bertanding djuga bukan lawan orang, pula sekali Tjiong Ling dibebaskan, kalau tiada obat pemunah ratjun Kim-leng-tju, tiada lama lagi dirinja bersama anak buahnja tentu mati, dalam keadaan demikian, betapapun hebat resikonja tak dipikirnja pula, segera djawabnja: Apakah nona membekal obat pemunah ratjun ular itu?

Toan Ki mengeluarkan sebuah kotak emas dari badjunja, itulah barang jang diterimanja dari Tjiong-hudjin, tjuma ketika diwarung nasi, ia sudah keluarkan surat didalamnja dan menggantinja dengan adukan nasi dan tanah hingga penuh sekotak. Lalu katanja: Ini adalah obat tunggal milik Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu, dia sudi memberikan padamu, boleh dikata nasibmu lagi mudjur. ~ Sembari berkata, ia lemparkan kotak itu ketanah.

Memangnja Sikong Hian sudah dapat menerka ajah Tjiong Ling adalah Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu, kini diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia lebih pertjaja lagi. Maka tjepat djawabnja: Banjak terima kasih nona, banjak terima kasih djuga kepada Tjiong-tayhiap.

Segera ada bawahannja mendjemputkan kotak itu untuk diserahkan pada Sikong Hian. Ia buka kotak itu dan mengendus isinja, ia mentjium isi kotak itu berbau amisnja ikan, rada2 berbau tanah djuga.

Setiap anggota Sin-long-pang adalah ahli obat2an, lebih2 Sikong Hian, segala matjam obat, asal ditjiumnja, tentu diketahuinja betapa kadar obat jang terkandung didalamnja. Apalagi sekarang obat itu merupakan ikatan djiwanja, tentu sadja ia periksa lebih tjermat? Ketika diendus lagi dan merasa sedikitpun tiada bau obat, takbisa ditahan lagi timbul rasa tjuriganja. Segera ia menanja: Tolong tanja, nona, obat ini bagaimana memakainja?

Setiap orang minum setititik sadja, lewat 12 djam, ratjun Kim-leng-tju akan lenjap semua, sahut Toan Ki. Nah, lekas kau bebaskan nona Tjiong!

Ja, sahut Sikong Hian sambil berdjongkok mengambil sebatang kaju jang terbakar untuk menerangi tubuh Toan Ki.

Kalau ditempat gelap masih mendingan, kini sekali disinari, seketika terbongkarlah borok Toan Ki. Tertampaklah pakaiannja jg hitam mulus itu disana-sini mentjang-mentjeng djahitannja, hakikatnja tidak memper pakaian. Karuan Sikong Hian bertambah tjuriga. Ia melangkah madju lebih dekat dan mentjium se-kuat2nja beberapa kali, tapi sedikitpun tidak mengendus bau wangi apa2. Pikirnja: Menurut tjerita orang Kangouw, tubuh Hiang-yok-djeh mengeluarkan sematjam bau harum jang keras, dari djauh orang sudah mengendusnja, sebab itulah diperoleh djulukan Hiang-yok-djeh. Tapi orang ini sama sekali tiada bau wangi apa, sebaliknja malah rada2 bau apek. Apa mungkin orang ini hanja samaran sadja?

Melihat sikap orang, Toan Ki tahu dirinja sudah mulai ditjurigai, karuan

hatinja kebat-kebit, tapi ia masih membentak: Kusuruh kau lepaskan nona Tjiong, kau dengar tidak?

Walaupun sudah tjuriga, namun Sikong Hian masih tak berani main kasar, dengan merendah ia mendjawab: Harap nona maklum, sekian banjak orang kami telah dipagut ular, djiwa masing2 tinggal sehari-dua-hari, djikalau obat pemberian Tjiong-tayhiap ini tidak mandjur, kan djiwa kami akan melajang semua? Bukanlah Tjayhe berani membangkang perintah Bok-kohnio, kami hanja minta nona Tjiong bersabar beberapa hari lagi tinggal bersama kami, bila ratjun ular kami sudah disembuhkan, pasti kami akan menghantar nona Tjiong kerumah, sekalian menghaturkan terima kasih djuga kepada Bok-kohnio.

Kenapa kau berani mengotjeh segala, kukatakan lepaskan dia, kau harus lakukan! kata Toan Ki dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua jang berdiri disamping Tjiong Ling dan membentaknja: Lekas kau buka tali ringkusannja! ~ Dan karena gugupnja, nada suara Toan Ki lupa ditekuk hingga kentara sekali kalau suara pria.

Kakek jang dibentak itu tjukup tjerdik, dibawah sinar api ia lihat pula isjarat sang Pangtju, maka pikirnja: Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pantju segan kasar padanja, aku hanja bawahannja, kasar sedikit rasanja tidak apa. Pabila dia benar2 Hiang-yok-djeh, tentu Pangtju akan mintakan maaf bagiku. Pendeknja, masih bisa mundur teratur.

Karena itu, segera ia mendjawab dengan suara keras: Bok-kohnio, tidaklah sulit untuk melepaskan nona Tjiong. Tapi wadjah asli nona harus diperlihatkan pada kami barang sekedjap sadja.

Kau berani ingin melihat wadjahku, apa barangkali kau sudah bosan hidup? damperat Toan Ki.

Diam2 kakek itu memikir: Betapapun lihay ilmu silatnja, wanita ini hanja seorang diri. Dengan djumlah kami sebanjak ini masakan takbisa melawan seorang wanita? ~ namun demikian pikirnja, nama Hiang-yok-djeh sesungguhnja teramat besar, banjak tjerita2 orang Bu-lim jang memudjanja setinggi langit, kalau pakai kekerasan, boleh djadi dirinja akan tjelaka lebih dulu. Maka dengan tertawa katanja pula dengan merendah: Sekalipun Siaulodji (aku orang tua jang rendah) punja sepuluh njawa djuga tidak berani pada nona. Tjuma sudah lama kami mendengar nama nona jang maha besar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat harap bisa menambah pengalaman bila nona sudi mengundjukan barang sedjurus ilmu sakti.

Diam2 Toan Ki mengeluh tjelaka, tjepat sahutnja: Apa jang nona bisa adalah

kepandaian untuk membunuh orang melulu, tapi disini agaknja tiada orang jang boleh dibunuh.

Seorang tokoh Sin-long-pang didaerah Kuitjiu mendjadi tidak sabar, dengan suara keras ia menjela: Kau ingin kami bebaskan orang, paling sedikit kau harus undjukan sedjurus-dua dulu. ~ sembari berkata, terus sadja ia tampil kemuka.

Dalam pada itu rasa tjuriga Sikong Hian sudah mentjapai 90%, segera iapun berkata: Baiklah, Ui-hiati, boleh tjoba2 kau minta petundjuk dari nona Bok.

Tokoh she Ui itu mendjadi tabah mendapat sokongan sang Pangtju, segera ia lolos Kim-pwe-to atau golok berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang badja jang terpasang diatas golok itu berbunji gemerantang, dengan gagah ia berdiri dihadapan Toan Ki.

Diam2 Toan Ki mengeluh Tjelaka, tidak djadi apa kalau rahasiaku terbongkar, tapi nona Tjiong bakal mendjadi korban djuga, ~ dan demi nampak kegarangan lawan itu, tanpa terasa ia mundur dua tindak.

Melihat langkah Toan Ki enteng tak ber-kuda2, hakikatnja seorang takbisa ilmu silat, orang she Ui itu mendjadi lebih berani. Menjusul ia mendesak madju lagi dua tindak, goloknja pura-pura membatjok kedepan hingga gelang badja menerbitkan suara gemerintjing.

Saking ketakutan berulang Toan Ki mundur beberapa tindak, sampai achirnja punggung sudah menjandar disuatu pohon waringin.

Saat itu, beratus pasang mata orang2 Sin-long-pang sama terpusat atas diri Toan Ki, dan karena mundur beberapa tindak, walaupun belum kentara samarannja, namun sudah djelas kelihatan kalau dia takbisa ilmu silat. Banjak diantara orang Sin-long-pang saling berbisik membitjarakan hal itu dengan heran.

Bok-kohnio, kata Sikong Hian kemudian. Silahkan kau beri adjaran sedikit pada Ui-hiati itu. Tjuma sukalah nona berlaku murah hati, asal menjentuh badan, lantas sudahi.

Aku takbisa menjentuh badan sadja, sekali turun tangan, pasti bereskan njawanja, kata Toan Ki. Makanja, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan

diri sadja. ~ walaupun bitjaranja masih angkuh sekali, namun suaranja sudah gemetar hingga kentara rasa hatinja jang ketakutan.

Silahkan, memangnja djiwa orang she Ui bolehnja hidup diudjung sendjata, bentak djago she Ui itu mendadak sambil atjungkan goloknja.

Djangan bergerak, seru Toan Ki berlagak garang. Sekali aku turun tangan, seketika djiwamu bakal melajang. Maka kunasihatkan kau undurkan diri sadja lebih selamat.

Silahkan nona memberi adjaran, sahut djago she Ui itu. Dan demi nampak kedua kaki Toan Ki rada gemetar, tanpa bitjara lagi goloknja jang tebal besar itu terus membatjok kedada Toan Ki. Tjuma nama Hiang-yok-djeh sesungguhnja teramat disegani, maka serangan ini masih pura2 sadja, ketika beberapa senti golok itu hampir mengenai dada Toan Ki, mendadak ia bilukan arahnja kesamping, sret, badju hitam dipundak kiri Toan Ki jang terpapas sebagian.

Karuan Toan Ki terkedjut, sementara itu punggungnja sudah kepepet dibatang pohon, untuk mundur lagi terang sudah buntu, diam2 ia mengeluh tjelaka, tjepat ia berteriak: Nona Tjiong, Le ... lekas kau melarikan diri!

Sudah lama Tjiong Ling berkenalan dengan Bok Wan-djing, maka begitu lihat perawakan Toan Ki, tingkah-laku dan lagak-lagunja, sangat berbeda daripada Bok Wan-djing, sedjak tadi gadis itu sudah tahu Hiang-yok-djeh palsu, tjuma tak diketahuinja siapa gerangan pemalsu itu. Kini demi mendengar suara teriakan Toan Ki, seketika ia kenal pemuda itu, serunja ketelandjur: Djadi kau adalah ...... adalah Toan ....

Belum djadi diutjapkannja, mendadak golok djago she Ui tadi sudah menjamber lagi hingga badju dilengan kanan Toan Ki terkupas pula sebagian.

Haha! orang she Ui itu ter-bahak2. Hiang-yok-djeh, harini aku djusteru ingin melihat wadjahmu jang sebenarnja, apakah setjantik bidadari, ataukah djelek seperti Yok-djeh (genderuwo)?

Dengan tertawa segera seorang kawannja menanggapi dari samping: Diberi nama Yok-djeh, tentunja seorang genderuwo tua bangka, kalau tidak, mengapa selalu mengerudungi muka sendiri.

Melihat dua kali batjokan kawannja berbasil tanpa mendapat perlawanan, bahkan Toan Ki tampak kelabakan ketakutan, karuan mereka mendjadi berani, banjak sindiran dan olok2 kasar tertjetus dari mulut mereka.

Ditengah sindir-edjek orang2 itu, mendadak golok orang she Ui itu menjamber pula kemuka Toan Ki dengan gerak tipu Giok-liong-sia-hui atau naga putih terbang miring, tjepat Toan Ki mendojong kebelakang, karena itu, kedua tangannja se-akan2 terangkat keatas.Pada suat itulah, tiba2 terdengar suara bluk, tahu2 tubuh djago she Ui jang besar itu djatuh terdjengkang, menjusul trang sekali, goloknja terpental djuga hingga gelang badja diatasnja menerbitkan suara njaring. Ketika memandang orang she Ui itu, tampak dia sudah roboh terlentang, batok kepalanja tertantjap sebatang panah ketjil warna hitam dan tak berkutik lagi.

Dalam kedjutnja, tjepat dua orang Sin-long-pang sudah memburu madju untuk memeriksa sang kawan, demi mengetahui orang she Ui itu sudah putus njawanja, kedua orang itu mendjadi murka, dengan sendjata terhunus mereka menubruk pula kearah Toan Ki. Tapi baru sadja tubuh mereka terapung, tiba2 terdengar suara mendesis ser-ser dua kali, tahu2 kedua orang itu terbanting kebawah hingga meringkuk bagai tjatjing, setelah keledjetan beberapa kali lalu tak bergerak lagi.

Seketika kawanan Sin-long-pang mendjadi panik, segera ada jang mengadjurkan mengerubut madju semua. Benar djuga, lebih 20 orang sekaligus lantas menerdjang kearah Toan Ki dari berbagai djurusan.

Melihat sekelilingnja penuh musuh bersendjata dan bermuka beringas, saking ketakutan Toun Ki sampai kesima.

Tak terduga belum lagi setombak djaraknja mendekati Toan Ki, tahu2 lebih 20 orang itu sudah dipapak pula oleh samberan sendjata resia, seketika ramai dengan suara mendesis, hudjan panah terdjadi, sekedjap sadja orang2 itu sudah menggeletak terbinasa semua.

Orang2 itu adalah sisa kawanan Sin-long-pang jang masih kuat, tapi sekedjap sadja mati semua, karuan Sikong Hian sangat terkedjut. Apalagi sebelumnja sudah berpuluh anak buahnja terpagut Kim-leng-tju, sisa anak buahnja sekarang hanja tinggal kelas rendahan sadia.

Hiang ...... Hiang-yok-djeh, benar2 kau tidak bernama kosong kedji amat tanganmu! dengan sengit Sikong Hian berkata.

Mimpipun Toan Ki tidak menjangka bahwa dalam sekedjap sadja penjerang2 sebanjak itu bisa roboh mati semua, terang diam2 ada orang telah menolongnja, tapi sekitarnja sunji-senjap, dimana bisa sembunji seorang kosen? Ketika melihat kematian orang2 itu tjukup mengenaskan, hatinja rada tidak tega, maka katanja: Sikong-pangtju, kau .... kaulah jang memaksa aku, se ... sesungguhnja aku merasa me ... menjesal.

Sikong Hian mendjadi gusar, katanja: Djiwa Lohu hanja satu ini, hendak bunuh hendak disembelih boleh silahkan, Sin-long-pang hantjur-lebur ditangan Sikong Hian, memangnja akupun tidak ingin hidup lagi.

Aku pasti ... pasti tiada maksud mentjelakai kau, sahut Toan Ki menjesal. Le ... lekas kau bebaskan nona Tjiong sadja.

Dalam keadaan terharu, sebenarnja nada suara Toan Ki mendjadi berbeda sekali daripada suara Bok Wan-djing jang tadjam dingin. Tapi Sikong Hian sudah kalap menjaksikan anak-buahnja habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apa suara Toan Ki itu suara orang laki2 atau perempuan, apa tulen atau palsu, segera ia membentak pula: Achirnja toh mati, Tio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan she Tjiong itu!

Anak buahnja jang she Tio itu mengia terus mendekati Tjiong Ling, golok terangkat terus membatjok kepala Tjong Ling. Tapi belum lagi sendjata itu diajunkan, se-konjong2 suara mendesis tadi berdjangkit lagi sekali, dimana panah ketjil itu sampai, kontan orang she Tio itu roboh terdjengkang, golok membatjok dimuka sendiri hingga berlumuran darah.

Sebenarnja orang she Tio itu sudah menduga bahwa Hiang-yok-djeh pasti akan menimpukan panahnja untuk merintangi batjokannja itu, maka diwaktu membatjok, kedua matanja sudah tjurahkan seluruh perhatian kearah Toan Ki, asal tangan Hiang-yok-djeh itu sedikit bergerak, segera ia bermaksud berdjongkok ketanah untuk menghindar. Siapa duga datangnja panah itu sebelumnja sedikitpun tiada tanda apa2.

Tadi waktu berpuluh orang mengepung Toan Ki, dalam keadaan hiruk-pikuk hudjan panah, semua orang djuga tidak djelas darimana datangnja panah berbisa itu. Kini setjepat kilat orang she Tio itu djatuh binasa pula, darimana menjambernja panah lebih2 tiada seorangpun jang tahu. Karuan sisa anak buah Sin-long-pang mendjadi kesima ketakutan, beberapa diantaranja jang bernjali ketjil mendjadi lemas kakinja hingga mendoprok tak bisa berdiri.

Kau lepaskan nona Tjiong, segera Toan Ki tundjuk seorang laki2 setengah umur.

Orang itu insaf bila tidak menurut perintah, sekedjab djiwanja djuga akan melajang seperti kawan2 lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang tjukup keras, tapi demi keselamatan djiwa sendiri, terpaksa ia mendekati Tjiong Ling dengan takut2, ia lolos sebilah pisau dan memotong tali pengikat gadis itu.

Setelah bebas, Tjiong Ling mendekati Sikong Hian, katanja: Keluarkan obat didalam kotak emas itu dan kembalikan kotaknja padaku.

Meski Sikong Hian sangsikan kasiat obat didalam kotak itu, tapi toh dia korek djuga semua isinja ditelapak tangan, lalu serahkan kotak kosong itu kepada Tjiong Ling. Dalam hati ia tjoba mentjari akal bagaimana untuk melawan panah berbisa Hiang-yok-djeh.

Setelah terima kotak emas itu, kembali Tjiong Ling ulurkan tangan dan berkata: Serahkan sini!

Apa lagi? tanja Sikong Hian mendongkol.

Obat pemunah ratjun Toan-djiong-san, sahut Tjiong Ling. Toan-kongtju telah memintakan obat bagimu, kau harus berikan obat pemunahnja pula.

Tergerak pikiran Sikong Hian, ia mendapat akal, serunja lantas: Ambilkan obatnja! ~ lalu ia menjebut beberapa nama ramuan obat.

Tjepat dua anak-buahnja mengeluarkan ramuan obat jang dimintanja itu dari peti obat. Setelah ditjampur dan dibungkus. Sikong Hian berkata pula: serahkan pada nona Tjiong.

Setelah terima obat itu, Tjiong Ling berkata: Kalau obat ini tidak mandjur, akan kubunuh habis Sin-long-pang kalian!

Sudah tentu obat ini tidak bisa menjembuhkan ratjun Toan-djiong-san. sahut Sikong Hian dingin.

Apa katamu? tanja Tjiong Ling terkesiap.

Obat ini hanja bisa menunda bekerdjanja ratjun Toan-djiong-san selama tudjuh hari, habis itu, kalau Lohu tidak mati, bolehlah kau minta obat pemunahnja padaku, sahut Sikong Hian.

Sungguh gusar Tjiong Ling tidak kepalang. ia berpaling pada Toan Ki dan berkata: Bok-tjitji, tua bangka ini tidak bisa dipertjaja omongannja, boleh kau panah mampus dia.

Tapi didunia ini hanja Lohu seorang jang sanggup meratjik obat pemunah Toan-djiong-san, kata Sikong Hian.

Toan Ki mendjadi kuatir mendengar itu, pikirnja: Obat jang kuberikan padanja memangnja palsu hanja adukan dari sisa nasi dan tanah, dengan sendirinja takkan mandjur, kalau nanti ratjun Kim-leng-tju didalam tubuhnja bekerdja, seketika dia akan mati, lalu bagaimana baiknja?

Tjiong Ling tjoba memandang Toan Ki tanpa berdaja, dalam gugupnja tiba2 timbul sifat keremadjaannja, tangan Sikong Hian terus ditariknja sambil berkata: Sikong-pangtju, marilah kau ikut aku pergi mendjenguk Toan-kongtju.

Hai matjam apa pakai tarik2 begini? seru Sikong Hian gusar.

Toan-kongtju saat ini tentunja berada dirumahku, marilah kita pergi melihatnja, sahut Tjiong Ling. Pabila ratjun Kim-leng-tju terdjadi apa2 dalam tubuhmu, ajah bisa djuga mengobati kau.

Toan Ki pikir akal sigadis itu bagus sekali, maka iapun berkata dengan dingin: Marilah kita berangkat bersama, kau takkan mati!

Sikong Hian memandang sekedjap padanja, ia pikir kalau membangkang hingga membikin marah Hiang-yok-djeh, bukan mustahil djiwanja akan melajang dibawah panah beratjun orang. Tapi dirinja adalah seorang Pangtju, anak buahnja sudah banjak jang djadi korban, kini dirinja kena dibekuk orang pula, apa djadinja kalau kelak djiwanja selamat? Karena itu, ia mendjadi serba sulit.

Sikong-pangtju, Tjiong Ling mendjadi tak sabar terus menjeret orang, marilah berangkat lekas! Kau sendiri boleh minum obat pemunah itu dulu, sisanja berikan anak buahmu.

Walaupun ragu2 namun Sikong Hian minum juga sebagian obat pemunah tadi; ia kuatir kasiat obat kurang mandjur, maka sebagian besar ia minum sendiri, sisanja tinggal sedikit baru diberikannja pada anak buahnja.

Tanpa bitjara lagi Tjiong Ling terus menjeret pergi Pangtju Sin-long-pang jang sial itu. Walaupun terluka parah, tapi kalau Sikong Hian mau kipatkan tangan Tjiong Ling, dengan mudah ia bisa bebaskan diri. Tjuma pertama ia djeri pada Hiang-yok-djeh jang ganas itu, kedua kuatir obat pemunah jang telah diminum tadi tidak mandjur, biarpun bisa loloskan diri, achirnja djuga mati, maka ada baiknja djuga ikut pergi dengan mereka, mungkin masih ada harapan buat hidup. Maka katanja kemudian. Memangnja aku ingin bertemu dengan ajahmu, ingin aku minta keadilan padanja. ~ Habis mengutjapkan kata2 jang bersifat menutupi malunja itu, segera ia bertindak lebih dulu.

Tjepat Tjiong Ling menggondel lengan ketua Sin-long-pang. Ketika lewat disamping Toan Ki, sekalian ia gandeng tangan pemuda itu pula.

Melihat sang Pangtju diseret pergi orang, sisa anak buah Sin-long-pang mendjadi ribut dan bisik2 membitjarakannja. Karuan Sikong Hian merasa malu dan menundukkan kepala.

Dengan bungkam Tjiong Ling menggandeng tangan kedua orang berdjalan terus, diam2 ia memikir: Kalau kubongkar rahasia Toan-kongtju, tentu situa Sikong Hian ini akan berontak dan kami berdua terang bukan tandingannja. Tjuma Bok-tjitji terang bersembunji disekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang banjak jang terbunuh, dengan sendirinja adalah perbuatannja.

Berpikir begitu, segera ia berseru dengan suara sengadja diperkeras: Banjak terima kasih atas pertolongan Bok-tjitji tadi.

Toan Ki terperandjat ketika mendadak mendengar seruan sigadis, setelah tenangkan diri, dengan suara jang di-buat2 iapun mendjawab: Ah, orang sendiri tak perlu sungkan2.

Huh, masih berani bersandiwara, pikir Tjiong Ling geli, Tiba2 ia puntir tangannja hingga Toan Ki kesakitan, hampir2 ia mendjerit. Ketika melirik sigadis, tampak Tjiong Ling lagi mesam2 geli. Berbareng itu, diam2 gadis itu

telah djedjalkan kotak emas dan bungkusan obat pemunah jang diterimanja dari Sikong Hian tadi ketangan Toan Ki.

Toan Ki tahu gadis itu sudah mengetahui rahasianja, maka mengangguk tanda terima kasih.

Pada saat itulah, tiba2 didjurusan barat sana ada suara suitan seorang, menjusul sebelah selatan ada suara orang tepuk2 tangan pula. Habis itu, sesosok bajangan setjepat terbang tampak memapak dari depan.

Kira2 beberapa meter didepan Toan Ki bertiga, mendadak orang itu berhenti dan membentak dengan suaranja jang serak: Hiang-yok-djeh, emangnja kau bisa larikan diri? ~ dari suaranja itu, Toan Ki dapat mengenali adalah Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun, siradja pengamuk sungai.

Pada saat lain, terdengar pula suara seorang tertawa dingin dibelakang, waktu Toan Ki menoleh, dibawah sinar bulan jang remang2 tampaklah seorang nenek dengan tangan menghunus golok dan tangan lain sebatang gurdi badja jang bersinar kemilauan.

Tjelaka! diam2 Toan Ki mengeluh. Semoga Bok-kohnio lekas datang menolong! ~ seketika ia mendjadi bingung, tetap memalsukan nama Hiang-yok-djeh ataukah membuka badju hitam mengundjukan muka aslinja sendiri?

Sedang ragu2 sementara itu dari kanan-kiri sudah bertambah lagi masing2 seorang. Jang sebelah kiri adalah seorang Hwesio tua berdjubah kuning, membawa sendjata Hong-pian-djan atau sekop serba guna, suatu alat jang lazim dibawa kaum paderi. Dan orang jang disebelah kanan kurang djelas wadjahnja, agaknja seorang laki2 jang berusia belum landjut, punggung menggembol pedang.

Ternjata dalam sekedjap sadja Toan Ki alias Hiang-yok-djeh palsu, sudah terkepung dari empat djurusan. Ia kenal Tjin Goan-tjun, sinenek dan Hwesio itu adalah pengerojok2 dirumah Bok Wan-djing, kini mengedjar pula sampai disini, dengan sendirinja laki jg satunja tentu adalah komplotan mereka djuga.

Kalian hendak tjari Bok-tjitji, bukan? tanja Tjiong Ling tiba2.

Benar, sahut sipaderi. Siapakah nona ini dan Tjianpwe itu? Silahkan menjingkir kesamping sadja.

Belum lagi Tjiong Ling mendjawab, tjepat Sikong Hian sudah menimbrung: Taysu tentu adalah Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si, bukan? Dan jang ini tentunja No-kang-ong Tjin-loyatju, dan jang itu adalah Sin-si popo. Tjayhe Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan kedangkalan pengalamanku, numpang tanja siapakah nama jang mulia dari saudara jang ini?

Laki2 tak dikenal itu melangkah madju dua tindak hingga wadjahnja kini djelas kelihatan, lalu sahutnja: Tjayhe she Su ............

Ah, kiranja adalah Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap! belum orang selesai memperkenalkan diri, tjepat Sikong Hian sudah memotong. Selamat bertemu, selamat bertemu!

Su An itu balas menghormat orang, sahutnja: Sudah lama mendengar nama besar Sikong-pangtju dari Sin-long-pang, betapa bahagia harini bisa berdjumpa disini.

Toan Ki kini dapat melihat usia Su An itu kira2 baru 30-an tahun, perawakannja sedang, tapi gagah perkasa, djiwa kesatrianja tampak njata pada sikapnja jang agung, berbeda sekali dengan sifat Tjin Goan-tjun dan Sin-sipopo jang sombong takmau kalah itu. Diam2 timbul rasa suka Toan Ki pada pendekar muda itu.

Sebagai seorang tokoh Bu-lim jang sudah lama menetap didaerah Hun-lam, banjak djuga nama djago2 silat terkemuka jang dikenal Sikong Hian, tjuma sedikit jang tak dikenalnja, Diantara empat tokoh itu hanja Tjin Goan-tjun jang sudah pernah bertemu, ketiga orang jang lain hanja dikenalnja dari sendjata serta diterka dari umur mereka, tapi njatanjapun tepat dugaannja. Ia tahu betapa lihay ilmu pukulan Tjin Goan-tjun, sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu diantara delapan Hou-hoat atau pembela agama, dari Siau-lim-si, ilmu permainan Hong-pian-djan terhitung nomor satu dikalangan murid Budha. Sin-sipopo mempunjai kepandaian tunggal juga dengan goIok dan gurdi badjanja jang dimainkan berbareng dengan ganas dan kedji. Su An jang terkenal dengan djulukan Oh-pek-kiam atau pedang hitam-putih, paling achir ini namanja sangat tjemerIang didaerah Kanglam. Walaupun ilmu silatnja jang sedjati belum diketahui sampai dimana tinkatannja, namun dapat diduga pasti bukan segala matjam djago silat kerutjuk. Jang paling kebetulan adalah keempat tokoh ini sekaligus datang mentjari Hiang-yok-djeh, tentu sadja Sikong Hian tidak sia2kan kesempatan bagus ini untuk memindjam tenaga keempat tokoh itu agar melenjapkan suatu penjakit bagi dunia persilatan.

Dengan keputusan itulah, segera ia pura2 angkat tangan memberi hormat sambil berkata: Dan entah ada keperluan apakah kedatangan kalian berempat ini ke Bu-liang-san sini? ~ berbareng itu, tanpa menunggu djawaban Tjin Goan-tjun berempat, terus sadja ia kipatkan tangannja hingga Tjiong Ling dan Toan Ki tergentak mundur, bahkan Toan Ki jang takbisa ilmu silat terus terdjungkal roboh. Sementara itu Sikong Hian sudah lantas melompat kesamping. Tapi karena ratjun Kim-leng-tju teramat berat mengeram dalam tubuhnja, kakinja masih terasa lemas, ia sempojongan dan hampir2 djatuh.

Semula Hui-sian berempat mengira Sikong Hian adalah begundalnja Bok Wan-djing, walaupun tahu ilmu silatnja belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang adalah suatu klik jang paling berkuasa didaerah Hunlam, orangnja banjak, pengaruhnja besar, suka main obat ratjun dan asap berbisa, untuk itu agak susah djuga untuk dilawan. Kini demi nampak Sikong Hian melompat menjingkir dengan sempojongan, baru mereka tahu Pangtju Sin-long-pang itu sudah terluka parah.

Sekali Sikong Hian putar tubuh sambil bersandar disamping Hui-sian, ia berkata dengan pilu: Teramat kedji tjara turun tangan Hiang-yok-djeh, sekaligus berpuluh anak-buah Sin-long-pang sudah mendjadi korban keganasannja, sakit hati Tjayhe ini pasti kubalas.

Nona tjilik, segera Hui-sian berkata pula. Lekas kau menjingkir kesamping.

Kalian takkan mampu melawan Bok-tjitji, lebih baik lekas pergi sadja, sahut Tjiong Ling.

Dia adalah puterinja Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu. Sikong Hian tjoba mengkisiki Hui-sian. Kabarnja ajahnja masih hidup, paling baik kalau tawan dia sadja. ~ njata dibalik itu ia ingin Hui-sian dapat menawan Tjiong Ling sebagai djaminan agar kelak Tjiong Ban-siu terpaksa mengobati ratjun Kim-leng-tju didalam tubuhnja itu.

Mendengar Kian-djin-tjiu-sat Tjiong Ban-siu masih hidup, Hui-sian rada tertjengang. Ia tahu iblis besar itu sangat susah dilawan, sekali terlibat bermusuhan dengan dia, selandjutnja Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman, maka sesungguhnja ia tidak ingin mengikat musuh lihay itu. Mendadak ser sekali, Hong-pian-djan atau sekop serba guna, menjamber keatas kepala Tjiong Ling. Tjepat gadis itu mengegos, tak terduga sekop itu terus ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol ditengkuk sigadis.

Djurus serangan itu disebut Sui-ong-sit-hoan atau seperti kedepan, tapi sebenarnja kembali. Jaitu suatu tipu paling lihay diantara 36 djurus

Hok-mo-djan-hoat atau ilmu- sekop penakluk iblis. Gerak tipunja diluar dugaan orang, tjepatnja luar biasa pula, maka musuh susah menghindarkan diri.

Ketika Tjiong Ling mendjerit kaget, tahu2 punggung sekop sudah mendempel tengkuknja. Sekonjong2 sinar putih berkelebat, tjring sekali, Su An telah lolos pedang menjampok djatuh sebuah panah ketjil. Sementara itu Hui-sian sudah tarik sekopnja hingga Tjiong Ling ikut terseret kesampingnja, sekali pegang, tangan kiri Hui-sian telah pentjet pergelangan tangan kanan sigadis hingga takbisa berkutik, lalu katanja: Terima kasih atas pertolongan Su-tayhiap. ~ pabila membajangkan kedjadian barusan, tanpa tertahan paderi itu berkeringat dingin, tjoba kalau Su An tidak awas dan tjekatanhingga panah gelap itu disampok djatuh, mungkin djiwanja sekarang sudah melajang.

Tampak Su An berpaling kearah datangnja panah gelap itu sambil membentak: Silahkan keluar sadja, Bok-kohnio!

Diam2 Tjin Goan-tjun dan lain2 sama malu diri: Kiranja orang berbadju hitam ini bukan Hiang-yok-djeh, untung Su An tjukup tjerdik dan tjekatan. Ketika mereka memandang kearah datang panah itu, namun disitu sunyi-senjap gelap gelita tiada bajangan seorangpun.

Mendadak, disebelah kiri terdengar suara tak sekali, sepotong batu kelihatan djatuh ditanah, tjepat semua orang berpaling, tapi pada-saat jang sama, kembali terdengar suara mendesisnja panah menjamber, tjring, lagi2 Su An menjampok dengan pedang hinggasebatang panah ketjil jang mengintjar belakang kepala Sin-sipopo dapat dihantam djatuh.

Ternjata sehabis menjerang Hui-sian, tjepat penjerang tadi sudah mengisar kekanan, ia pantjing orang memandang kekiri dengan sepotong batu, berbareng membokong Sin-sipopo pula.

Karuan nenek itu terkedjut dan gusar, ia putar goloknja dengan kentjang hingga tubuhnja se-akan2 terbungkus segulung sinar putih, terus menerdjang kesemak2 rumput disebelah kanan sana. Rumput alang2 disitu menjadi bertebaran kena dipapas goloknja, tapi tiada bajangan seorangpun kelihatan.

Tiba2 terdengar Su An bersuit njaring, segera ia melajang keatas sebatang pohon besar diarah barat sana, menjusul terdengarlah suara trang-treng beberapa kali, sekaligus pedang Su An ternjata sudah menjerang empat djurus kepada musuh.

Selagi Hui-sian pentang mata dan pasang kuping mengikuti pertarungan kawan diatas pohon itu, mendadak dari udara menubruk turun sesosok bajangan hitam keatas kepalanja. Tjepat djuga reaksi Hui-sian, sekali tangan kanan terangkat, Hong-pian-djan lantas menjabet kearah bajangan itu.

Namun bajangan itu sempat menutul kakinja kebatang sekop sipaderi, dengan tenaga endjotan itu, pedangnja tahu2 menusuk Sin-sipopo atau Sin Si-nio nama sebenarnja.

Sekuat tenaga Sin Si-nio ajun goloknja menangkis, sret sekali, tahu2 udjung golok telah putus tertabas pedang musuh, menjusul sinar pedang musuh masih terus mengarah kemukanja.

Karena tak keburu menolong, tjepat Tjin Goan-tjun memukul ke punggung musuh.

Agaknja orang itupun tahu betapa lihay ilmu pukulannja Tjin Goan-tjun, maka tidak berani menangkis dari depan, tjepat pedangnja menepok dipundak Sin Si-nio, sekali tahan, sekali lontjat, dengan enteng orangnja sudah melontjat pergi.

Kalau orang itu tidak terpaksa, oleh karena digentjet oleh pukulan Tjin Goan-tjun dari belakang, tentu pedangnja itu tidak menepok, tapi memapas, dan tentu tubuh Sin Sin-nio sudah terbelah mendjadi dua. Namun walaupun sudah dua kali hampir2 djiwanja melajang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk madju pula dengan kalap. Berbareng itu Tjin Goan-tjun dan Hui-sian pun merangsang dari kanan-kiri.

Tapi biarpun dikerojok tiga orang, orang itu masih bisa menjusur kian kemari diantara kawan2 itu dengan lintjah dan luwes, njata itulah dia Hiang-yok-djeh tulen jaug telah datang.

Sementara itu Su An sudah melompat turun dari atas pohon, tapi ia tidak ikut mengerojok sebaliknja masukan pedangnja kesarung, lalu berdiri disamping untuk menonton.

Su-heng, kata Toan Ki tiba2 mendekati Su An, harap kau suruh mereka djanganlah berkelahi.

Sungguh diluar dugaan Su An utjapan Toan Ki itu. Ia tjoba melirik

Hiang-yok-djeh palsu itu, lalu bertanja: Siapakah saudara sebenarnja?

Tjayhe bernama Toan Ki. Sungguh Tjayhe tidak paham pertjektjokan diantara Bok-kohnio dengan kalian ini, demikian sahut Toan Ki. Tjuma tjara bertempur mati2an begini, rasanja bukanlah djalan jang sempurna. Salah atau benar, seharusnja bisa diselesaikan setjara berunding sadja.

Su An memandang sekedjap pula kepada pemuda itu, pikirnja: Benar djuga utjapannja ini. Tapi pertjektjokan diantara orang Kangouw, selamanja diselesaikan dalam ilmu silat, pabila pakai berunding segala, buat apa lagi orang beladjar silat. ~ Toan Ki? Siapakah dia ini, belum pernah kudengar nama seorang tokoh demikian.

Dan selagi ia hendak menanja Toan Ki pula, tiba2 terdengar Tjiong Ling sedang memanggil pemuda itu disebelah sana.

Segera Toan Ki mendekati gadis itu dan menanja: Ada apa?

Marilah lekas kita lari, kalau ajal mungkin tak keburu lagi, adjak sigadis.

Tapi Bok-tjitji lagi dikerojok orang, mana boleh kita tinggal lari? sahut Toan Ki.

Kepandaian Bok-tjitji teramat lihay, dia tentu ada djalan buat loloskan diri, udjar Tjiong Ling.

Namun Toan Ki masih geleng2 kepala, katanja: Tidak, dia datang untuk menolong djiwa kita, kalau kita tinggal pergi begini sadja, hatiku merasa tidak enak.

Tolol, omel sigadis mendongkol. Kau tinggal disini, apakah kau bisa membantu Bok-tjitji?

Dalam pada itu Tjin Goan-tjun, Sin Si-nio dan Hui-sian bertiga masih sengit menempur Bok Wan-djing. Kedua telapak tangan Tjin Guan-tjun sedemikian gentjar mengerahkan tenaga2 pukulannja. Sekop serba guna Hui-sian menjamber kian kemari dengan hebat, golok Sin Si-nio pun tidak ketinggalan membatjok dan membabatdimana ada lubang. Namun Bok Wan-djing tampak sedikitpun tidak

kewalahan, bahkan pertjakapan Toan Ki dengan Su An dan Tjiong Ling barusan dapat diikutinja semua. Ia dengar Toan Ki sedang berkata pula: Tjiong-kohnio, bolehlah kau lari dulu. Bukanlah semestinja aku mengingkari kebaikan Bok-tjitji dengan meninggalkannja dibawah kerojokan orang, Biarlah kutinggal disini, bila achirnja ternjata Bok-tjitji takbisa melawan mereka, aku akan menasihati mereka dengan omonqan baik2, boleh djadi keadaan masih bisa dikendalikan.

Masih kau berlagak? Paling2 djiwamu akan ikut melajang nanti! seru Tjiong Ling gusar.

Memangnja djiwaku ini sedjak tadi sudah melajang kalau bukan ditolong oleh Bok-tjitji, aku orang she Toan kalau lupa pada kebaikan orang, ajah dan pamanku sendiri djuga takkan mengampuni aku, sahut Toan Ki tegas.

Tolol benar2! Pertjuma banjak bitjara dengan kau! kata sigadis. Terus sadja ia tarik tangan pemuda itu dan diseret lari.

Tidak, tidak! Aku tak mau pergi! teriak Toan Ki. Tapi tenaga Tjionq Ling lebih kuat daripadanja, ia mendjadi sempojongan kena diseret oleh gadis itu.

Melihat itu, diam2 Su An ter-heran2, pikirnja: Orang ini terang sedikitpun takbisa ilmu silat, tapi djiwa setia kawannja sungguh harus dipudji. Lama mendengar bahwa Hiang-yok-djeh ganas dan kedji, tiada punja seorang teman, entah mengapa orang she Toan ini sedemikian berani hendak bitjara tentang kebaikan dan setia kawan dengan momok perempuan itu?

Pada saat itu, tiba2 terdengar Bok Wan-djing berseru: Tjiong Ling, kau sendiri lekas enjah, dilarang kau menjeret dia!

Tjiong Ling semakin ketakutan, ia seret Toan Ki terlebih tjepat.

Mendadak terdengar suara mendesing sekali, tahu2 diatas konde Tjiong Ling menantjap sebatang panah ketjil. Berbareng terdengar Bok Wan-djing membentak: Kalau kau tidak lantas lepaskan dia, awas, akan kupanah bidji matamu!

Tjiong Ling kenal watak Bok Wan-djing, sekali berkata, tentu bisa dilakukannja djuga, tidak pernah beromong main2. Djika masih bandel, bukan

mustahil bidji matanja akan dipanah sungguh2. Karena itu, terpaksa Tjiong Ling lepaskan tangan Toan Ki.

Lekas kau enjah pulang kerumah, lekas! bentak Bok Wan-djing pula.

Tjiong Ling tak berani membantah, katanja pada Toan Ki: Toan-heng, harap kau djangan berbuat kedjahatan, djagalah dirimu baik2. ~ Habis bitjara, dengan rasa berat. ia berlari pergi dan sekedjap sadja sudah menghilang ditempat gelap.

Tunggu dulu, Tjiong-kohnio! gembor Sikong Hian. Obat pemunah dari ajahmu tadi mandjur atau tidak?

Mana Tjiong Ling mau peduli. Segera Sikong Hian bermaksud mengedjar, tapi baru melangkah dua tindak, kaki sendiri terasa lemas dan djatuh mendoprok.

Sambil membentak pergi Tjiong Ling, Bok Wan-djing tetap berkeliaran kian kemari diantara ketiga pengerojoknja dengan tjepat, tetap ia masih diatas angin.

Menjaksikan itu diam2 Su An me-nimang2: Kegesitan perempuan ini ternjata masih djauh diatas kepandaianku. Hanja dalam hal ilmu pedang belum tentu dia mampu melawan aku. ~ Dan karena mendjaga martabat sendiri, ia tidak sudi ikut mengerojok seorang gadis, ia tunggu bila nanti ketiga orang itu dikalahkah baru ia sendiri akan madju.

Tak lama lagi mendadak permainan pedang Bok Wan-djing berubah, sinar pedang menjamber kesana-kesini bagai hudjan mentjurah dari langit dan susah ditentukan arah serangannja.

Su An terkedjut, serunja: Kiam-hoat bagus!

Ditengah sorak pudjiannja itu, tiba2 terdengar Hui-sian mendjerit sekali, iganja telah kena tusukan pedang. Menjusul pedang Bok Wan-djing menjamber pula kedepan be-runtun2 tiga kali hingga Tjin Goan-tjun dipaksa melompat keluar kalangan untuk menghindar. Ketika arah pedang Bok Wan-djing berganti pula, tanpa ampun lagi Sin Si-nio sudah terkurung ditengah sinar pedangnja.

Tampaknja sekedjap pula djiwa Sin Si-nio pasti akan pergi menghadap radja acherat, Su An tidak bisa tinggal diam lagi, tjepat pedangnja bergerak, bagai kilat menjamber, ia menjela diantara lingkaran sinar pedang Bok Wan-djing, maka terdengarlah suara gemerintjing beberapa kali, kedua pedang saling beradu beberapa kali dengan ketjepatan luar biasa.

Meski Su An tepat turun tangan pada waktunja, namun tidak urung tubuh Sin Si-nio toh terluka tiga tempat. Sedikitpun nenek itu tidak menghiraukan luka itu, dengan kalap ja menubruk pula kearah Bok Wan-djing.

Dalam pada itu pedang Bok Wan-djing sedang bertempelan dengan pedang Su An.

Sedjak gebrakan diatas pohon tadi, ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak boleh dibuat mainan, maka begitu Su An terdjun kekalangan pertempuran, antero perhatiannja sudah ditjurahkan pada lawan tangguh ini, sedikitpun tidak berani ajal.

Siapa duga tjara bertempur Sin Si-nio itu ternjata sedemikian nekadnja mengadu djiwa, begitu menubruk madju, ia djatuhkan diri terus menggelundung kesamping Bok Wan-djing, gurdi badja ditangan kanan terus menikam kebetis lawan itu.

Sjukur Bok Wan-djing sempat ajun kakinja dan berbalik Sin Si-nio terdepak pergi. Dan karena sedikit ajal itu, tusukan pedang Su An sudah sampai didepan mukanja. Dalam detik maha bahaja itu, pedang Bok Wan-djing setjepat kilat menangkis keatas, ia insaf menjusul mana serangan2 musuh pasti akan lebih gentjar, maka ia tidak mau didahului, berbareng 3-4 djurus mematikan terus dilontarkan kearah Su An.

Tjara serangan Bok Wan-djing itu adalah, dalam keadaan kepepet, musuh terpaksa harus menjelamatkan diri sendiri lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil menarik kembali pedangnja mendjaga diri.

Melihat gerakan musuh itu. Bok Wan-djing menarik napas lega. Selagi hendak ganti serangan pula, mendadak bles, pundak kiri terasa kesakitan, ternjata kesempatan tadi telah digunakan Sin Si-nio untuk menikamkan gurdi badjanja. Tapi Bok Wan-djing pun tidak tinggal diam, kontan tangannja menggablok kebelakang hingga muka Sin Si-nio seketika hantjur luluh dan terbinasa.

Sementara itu Tjin Goan-tjun dan Hui-sian lantas mengerubut madju lagi hingga

keadean kembali mendjadi tiga-lawan satu.

Hai, hai! Tiga laki2 mengerojok seorang perempuan, apa kalian tidak merasa malu? segera Toan Ki bergembar-gembor.

Memangnja Su An ada maksud menarik diri dari pertempuran kerojokan itu, demi mendengar teriakan Toan Ki, seketika ia melompat mundur setombak djauhnja sambil berseru: Bok Wan-djing, lekas kau buang pedangmu dan menjerah sadja!

Tapi semakin gentjar permainan pedang Bok Wan-djing, ia tidak sempat mentjabut gurdi badja jang menantjap dipundaknja itu, dengan menahan sakit, setjepat kilat ia serang Tjin Goan-tjun dua kali dan menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihay ketiga djurus serangan itu, tanpa ampun lagi pipi kanan Tji Goan-tjun kontan tersajat suatu garis luka, begitu pula leher Hui Sian letjet keserempet pedang.

Walaupun luka kedua orang hanja enteng sadja, tapi tempat jang terluka itu adalah tempat mematikan, sedikit ajal tadi, djiwa mereka tentu sudah melajang. Saking kagetnja kedua orang, berbareng mereka melompat pergi dengan napas memburu.

Sajang, sajang! diam2 Bok Wan-djing gegetun tak berhasil mampuskan kedua lawan itu. Tiba2 ia bersuit njaring, lalu terdengar suara derapan kuda, tahu2 Oh-bi-kui muntjul dari balik bukit sana. Sekali tjemplak, Bok Wan-djing melompat keatas kuda itu. Ketika lewat disamping Toan Ki, sekali ulur tangan, Bok wan-djing telah tjengkeram tengkuk Toan Ki dan diangkat keatas kuda pula. Dua orang setunggangan terus berlari kebarat dengan tjepat.

Tidak djauh, se-konjong2 dari hutan ditepi djalan hiruk-pikuk dengan bentakan orang, berpuluh orang mendadak melompat keluar menghadang ditengah djalan. Seorang kakek tinggi besar jang berdiri ditengah lantas membentak: Hiang-yok-djeh! Sudah lama Lotju menunggu disini! ~ berbareng tali kendali simawar hitam terus hendak ditariknja.

Namun sedikit Bok Wan-djing kesampingkan kudanja, berbareng tangan lain mengajun, tiga panah ketjil terus dibidikan.Kontan diantara gerombolan penghadang itu terdjungkal tiga orang.

Tengah kakek tadi terkesiap oleh serangan mendadak itu, Bok Wan-djing sudah sendal tali kendalinja hingga Oh-bi-kui se-konjong2 melompat kedepan melalui atas kepala gerombolan orang itu. Dan sekali simawar hitam sudah mentjongklang, manabisa lagi kawanan penghadang itu mengedjarnja?

Sebenarnja tidak kurang djago2 pilihan diantara para penghadang itu, tapi semuanja djeri panah berbisa Bok Wan-djing jang lihay, walaupun masih tjoba mengudak djuga, namun sebentar sadja mereka sudah ketinggalan djauh. Toan Ki mendengar gerombolan orang itu mentjatji-maki kalang-kabut dibelakang: Perempuan bangsat, para kesatria Hok-gu-tjeh tidak ingin hidup ber-sama2 kau! ~ Marilah kedjar, kawan2! Bekuk perempuan bangsat itu dan tjintjang dia untuk membalas sakit hati Tjo-toako!

Suara tjatji-maki itu lambat-laun mendjauh dan tidak terdengar lagi. Tapi rasa dendam kesumat jang terkandung didalam tjatji-maki itu masih terus mengiang ditelinga Toan Ki. Selama beberapa hari ini ia sudah banjak mengalami bahaja2, tapi tjatji-maki dengan rasa dendam jang tak terhimpas baru sekali ini jang paling hebat. Karena itu, diam2 iapun mengkirik.

Bok Wan-djing membiarkan Oh-bi-kui berlari sesukanja dilereng gunung jang gelap itu. Sampai disuatu bukit, ia lihat didepan sana ada djurang, terpaksa ia turun kuda untuk mentjari djalan lain.

Djalan pegunungan di Bu-liang-san itu ternjata ber-liku2, mendadak didepan sana ada suara seruan orang pula: Itu dia, kudanja sudah kelihatan! ~ Awas, tjegat sebelah sana! ~ Ja, djangan sampai perempuan hina itu lolos lagi!

Dalam keadaan terluka, Bok Wan-djing tidak ingin bertempur lagi, tjepat ia bilukan kuda kearah lain. Walaupun bukan lagi djalan pegunungan, sjukur simawar hitam tjukup tangkas, dilereng bukit jang penuh batu2 padas itu ia masih berlari setjepat terbang.

Setelah berlari2 tak lama lagi, mendadak kaki depan simawar mendeprok, lututnja kesandung sepotong batu padas, seketika larinja mendjadi lambat dengan kaki pintjang binatang itu mulai tampak pajah.Toan Ki mendjadi kuatir, katanja: Bok-kohnio, harap kau turunkan aku sadja, biar kau sendiri mudah melarikan diri. Aku tiada permusuhan apa2 dengan mereka, andaikan aku tertangkap djuga tidak mengapa.

Hm, kau tahu apa? djengek Bok Wan-djing. Djika kau tertangkap orang Hok-gu-tjeh, biarpun sepuluh njawamu djuga akan melajang.

Tapi mereka teramat dendam pada nona, ada lebih baik nona menjelamatkan diri lebih dulu, udjar Toan Ki.

Memangnja pundak Bok Wan-djing lagi kesakitan, Toan Ki masih terus mentjerotjos sadja, karuan nona itu mendjadi gusar: Hendaklah kau tutup mulut, djangan banjak bitjara.

Toan Ki tertawa, sahutnja: Tempo hari aku tidak suka bitjara, kau djusteru paksa aku buka mulut. Kini aku adjak bitjara padamu, kau melarang aku malah. Ai, kau nona ini benar2 susah diladeni.

Saking kesakitan, Bok Wan-djing mendjadi gemas, sekali tjengkeram, pundak Toan Ki diremas hingga berkeriutan, djika keras lagi sedikit, boleh djadi tulang pundak Toan Ki akan remuk.

Ja, sudahlah, aku takkan buka mulut lagi! tjepat Toan Ki berteriak sambil meringis.

Tiba2 simawar hitam telah mendaki suatu djalan pegunungan, karena djalanan itu tjukup rata, djalan binatang itu mendjadi tjepat. Sementara itu sudah mendjelang fadjar, tjuatja sudah remang2. Toan Ki dapat mengenali djalanan itu, katanja: He, djalanan ini adalah menudju ke Kiam-oh-kiong, apakah nona ada permusuhan dengan orang Bu-liang-kiam? ~ ia merasa dengan segala orang Bok Wan-djing suka bermusuhan, andaikata tiada permusuhan dengan Bu-liang-kiam, rasanja nona itu djuga tak mungkin bersahabat dengan mereka.

Maka Bok Wan-djing mendjawab: Hm, untuk bermusuhan bukanlah terlalu mudah, bunuh sadja beberapa orang mereka, bukankah lantas djadi?

Tengah bitjara, Kiam-oh-kiong jang megah sudah tampak dari djauh.

Sudah beberapa harini Bu-liang-kiam dalam siap-siaga menantikan datangnja serangan Sin-long-pang, tapi sampai kini masih tiada terdjadi apa2. Maka djago2 jang diundang itu seperti Be Ngo-tek dan lain2 sudah sama mohon diri karena tidak ingin terlibat dalam persengketaan itu. Tapi Bu-liang-kiam sekte barat betapapun adalah orang sendiri, walaupun diantara mereka sediri ada perselisihan, namun melihat sesama golongannja terantjam bahaja, tak bisa tidak mereka harus tinggal disitu untuk membantu. Maka waktu itu disekeliling Kiam-oh-kiong setjara bergiliran selalu didjaga oleh anak murid

Bu-liang-kiam dari Tang-tjong dan Se-tjong.

Didepan istana jang megah itu saat mana sedang didjaga oleh empat murid Bu-liang-kiam, mendjelang fadjar, mereka sudah sangat kantuk dan letih, tiba2 terdengar ada suara derapan kuda mendatangi dengan tjepat. Seketika semangat empat orang itu terbangkit, tjepat mereka menghunus pedang dan menghadang madju.

Pemimpin dari empat orang itu bernama Tong Djin-hiong, segera ia membentak: Siapa jang datang ini? Kawan atau lawan? Lekas beritahu namamu!

Melihat demikian garang sambutan orang2 Bu-liang-kiam itu, Bok Wan-djing mendjadi dongkol, kalau turuti wataknja, tentu segera diterdjangnja dulu, urusan belakang. Tapi kini ia terluka parah pundaknja masih menantjap sebuah gurdi jang belum berani ditjabutnja, sebab kuatir akan keluar darah terlalu banjak. Iapun kenal ketua Bu-liang-kiam, Tjo Tju-bok terkenal lihay dengan ilmu pedangnja, tergolong tokoh terkemuka didaerah Hun-lam. Maka dengan sabar ia tahan kudanja dan menjahut: Ada orang mengedjar kami, terpaksa harus menghindari sebentar ke Kiam-oh-kiong, lekas kalian menjingkir!

Sungguh gusar sekali Tong Djin-hiong, pikirnja: Kurangadjar benar kau ini! Kau diuber musuh, seharusnja kau memohon perlindungan pada kami dengan baik2, kenapa bitjara setjara demikian kasar? ~ Maka sekali pedangnja melintang kedepan, segera ia berkata: Siapakah kau ini? Ada hubungan apa dengan golongan kami?

Dan pada saat itulah, dari djauh sana terdengar suara teriakan orang2, njata Tjin Goan-tjun dan kawan2nja serta orang Hok-gu-tjeh sudah menguber datang.

Tanpa bitjara lagi, sekali tarik tali kendali kuda, Bok Wan-djing membentak njaring, se-konjong2 simawar hitam mentjongklang kedepan terus melompat lewat diatas kepala Tong Djin-hiong berempat dan menerdjang kearah Kiam-oh-kiong.

Walaupun kaki Oh-bi-kui terluka, tapi dibawah keprakan sang madjikan, dengan gagah kuat ia masih bisa lari dengan pesat. Karuan Tong Djin-hiong berempat terkedjut, sambil mem-bentak2 mereka terus mengudak.

Tapi Bok Wan-djing tidak ambil pusing lagi, ia keprak simawar hitam menerdjang masuk pintu gerbang Kiam-oh-kiong, menerobos keruangan tengah dan menembus keserambi belakang. Seketika Kiam-oh-kiong mendjadi panik, ada 7-8

anak murid Bu-liang-kiam hendak madju merintangi, tapi merekapun katjau-balau, kalau tidak didepak oleh simawar, tentu kena ditusuk pedang Bok Wan-djing.

Tatkala itu Tjo Tju-bok baru bangun tidur. Selama beberapa harini dia memang tidak pernah hidup tenteram, kini mendengar didalam istana terdjadi ramai2, segera ia memburu keluar dengan pedang terhunus. Tiba2 ia dipapak oleh seekor kuda hitam, ia hanja menjangka Sin-long-pang telah mulai menjerbu, sama sekali tak menduga ditengah istana itu ada kuda berkeliaran, tanpa bitjara ia ulur tangan hendak menarik tali kendali kuda.

Tapi mendadak angin tadjam menjamber kemukanja, udjung pedang musuh sudah berada didepan batok kepalanja. Betapa tjepat serangan musuh itu sungguh tak pernah dialaminja selama hidup.

Untung Tjo Tju-bok adalah djago kawakan, tjepat ia menunduk dengan gaja Hong-tiam-thau atau burung Hong manggut kepala. Menjusul pedangnja menangkis keatas, trang, kedua pedang saling beradu. Memang benar dugaannja, serangan lawan datangnja setjara be-runtun2. Lekas2 Tjo Tju-bok djatuhkan diri ketanah sambil menangkis lagi sekali, tapi mendadak pergelangan tangan kiri terasa sakit sekali, kiranja kena didepak oleh simawar. Sekuatnja Tjo Tju-bok melesat kesamping, sekilas dapat dikenalnja Toan Ki berada diatas kuda itu. He, kiranja kau! tanpa merasa ia berseru. Tapi segera dilihatnja pula dibelakang pemuda itu berduduk lagi seorang jang seantero tubuhnja terbungkus badju hitam mulus, tiba2 ia ingat seseorang, tak tertahan ia merinding

Hiang...... Hiang-yok....... demikian Tjo Tju-bok berteriak dengan gemetar, dalam pada itu Bok Wan-djing sudah keprak simawar menudju ketaman bunga dibelakang.

Sebenarnja Tjo Tju-bok masih mempunjai sedjurus serangan menimpukan pedang, kalau pedangnja ditimpukan, tentu dapat menantjap kebokong simawar. Tapi saat pedang hampir terlepas dari tangan, ia telah melihat dandanan Bok Wan-djing hingga pedangnja ditarik kembali mentah2. Dan sedikit ajal itulah, Bok Wan-djing sudah keprak kudanja menudju kebelakang.

Ditaman belakang itu didjaga delapan anak murid Bu-liang-kiam, Kam Djin-kiat termasuk diantaranja. Ketika mendadak nampak seekor kuda hitam berlari dari ruangan depan, mereka mendjadi ter-heran2.

Dalam pada itu Bok Wan-djing sudah keprak kuda sampai dipintu taman, sekali tabas, gembok pintu dikutunginja.

He, he! Bukit dibelakang adalah daerah terlarang, tidak boleh sembarangan terobosan kesana! tjepat Kam Djin-kiat berseru. Namun Oh-bi-kui sudah mentjongklang keluar dengan dua penunggangnja.

Walaupun Tjo Tju-bok sangat djeri pada Bok Wan-djing, tapi orang telah menerdjang sesukanja didalam Kiam-oh-kiong, kini berlari kebagian terlarang pula digunung belakang, betapapun dia takbisa tinggal diam lagi. Segera ia memberi perintah, kawan2 dari Se-tjong diminta mendjaga Kiam-oh-kiong kalau2 diserbu oleh Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh annak muridnja mengudak kebelakang gunung.

Melihat arah jang ditudju Oh-bi-kui itu adalah djalan jang pernah didatanginja, segera Toan Ki berkata: Bok-kohnio, didepan sana ada rintangan djurang, kita harus mengitar kearah lain.

Darimana kau tahu? tanja sigadis dengan tertjengang.

Djalanan ini pernah kulalui, sahut Toan Ki.

Bok Wan-djing dapat mempertjajainja, ia tahan kudanja dan ragu2 sedjenak, lalu bilukan Oh-bi-kui kedjalan ketjil di sebelah kiri.

Tak terduga djalan itu terus menudju kesuatu lereng bukit jang pandjang, makin djauh makin tinggi dan makin ber-liku2, dengan susah pajah, achirnja dapat mereka mentjapai suatu karang diatas bukit. Waktu Bok Wan-djing menoleh, ia lihat para pengedjarnja terbagi dalam tiga kelompok sedang mengurungnja dari kanan-kiri dan belakang. Jang sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Tjo Tju-bok dari Bu-liang-kiam dan anak muridnja; Sebelah kanan hanja tiga orang. Jaitu Su An, Tjin Goan-tjun dan Hui-sian; Sebaliknja pengedjar dibelakang itu adalah orang2 Hok-gu-djeh.

Su An tampak gesit sekali, setjepat terbang ia melompat dari batu padas jang satu kebatu jang lain. Melihat itu, diam2 Bok Wan-djing terperandjat, tanpa banjak pikir, terus sadja ia keprak kudanja kedepan.

Tidak djauh, mendadak didepan terbentang sebuah djurang jang lebarnja belasan meter, dalamnja susah didjadjaki. Oh-bi-kui meringkik kaget dan tjepat berhenti dan mundur beberapa langkah.

Menghadapi djalan buntu, sedang dari belakang pengedjar2 makin mendekat, tjepat Bok Wan-djing ambil keputusan, segera ia tanja Toan Ki: Aku akan keprak kuda melompat keseberang djurang sana. Kau akan ikut aku menghadapi bahaja atau turun disini sadja?

Toan Ki pikir kalau beban kuda itu berkurang, melompatnja tentu akan lebih mudah, maka sahutnja: Biarlah nona menjeberang dahulu, nanti menarik aku lagi dengan tali. Tapi waktu Bok Wan-djing menoleh, ia lihat Su An sudah menguber datang, djaraknja tjuma beberapa puluh meter sadja. Maka katanja tjepat: Sudah tidak sempat lagi! ~ ia tarik simawar mundur beberapa meter djauhnja, pelahan2 ia tepuk2 perut kuda itu sambil berseru: Melompatlah kesana, kuda baik!

Se-konjong2 simawar membedal setjepatnja kedepan, sampai ditepi djurang, binatang itu melompat sekuatnja. Seketika Toan Ki merasa se-akan2 terbang diudara, djantungnja se-olah2 ikut melontjat keluar dari rongga dadanja.

Dibawah desakan sang madjikan, Oh-bi-kui jang sudah terluka dan terlalu tjapek itu telah melompat sepenuh tenaga, tapi hanja kedua kaki depan dapat mentjapai tepi djurang sana, kedua kaki belakang tak sanggup lagi mengindjak tanah, terus sadja tubuhnja terdjerumus kebawah.

Sjukur Bok Wan-djing dapat bertindak tjepat, pada saat berbahaja itu, ia terus melajang sekuatnja kedepan sambil djamberet Toan Ki sekenanja. Lebih dulu Toan Ki terdjatuh ditanah, menjusul Bok Wan-djing ikut terbanting kedalam pangkuannja. Kuatir kalau gadis itu terluka, tjepat Toan Ki merangkul gadis itu erat2.

Dalam pada itu terdengar suara ringkikian simawar jang pandjang mengerikan, binatang itu sudah tergelintjir kedalam djurang tak terkira dalamnja.

Bok Wan-djing mendjadi berduka, ia meronta lepas dari pelukan Toan Ki dan berlari ketepi djurang. Namun permukaan djurang itu penuh tertutup kabut tebal, simawar sudah tak kelihatan lagi.

Saat itu kebetulan Su An sudah mentjapai tepi djurang djuga dan menjaksikan adegan ngeri itu, betapapun ia ikut ternganga kesima.

Melihat pengedjarnja tidak mampu menjeberangi djurang, hati Bok Wan-djing rada lega. Tapi se-konjong2 kepala terasa pening, langit dan bumi se-akan2 berputar, kakinja mendjadi lemas pula, seketika robohlah dia tak sadarkan diri.

Karuan Toan Ki kaget, tjepat ia memburu madju untuk menjeretnja mundur agar gadis itu tidak tergelintjir kedalam djurang. Ia lihat kedua mata sinona terpedjam rapat dan sudah pingsan. Selagi bingung entah apa jang harus dilakukannja, tiba2 diseberang djurang sana ada orang berteriak: Lepaskan panah, mampuskan kedua keparat itu!

Waktu Toan Ki memandang, ia lihat diseberang sana sudah berdiri 7-8 orang, kalau benar2 mereka melepaskan panah, wah, tjelakalah dirinja. Segera ia pondong Bok Wan-djing, dengan susah pajah ia membawanja lari mundur. Sjukur badan sinona tiada 100 kati beratnja, maka Toan Ki masih sanggup memondongnja lari. Serr, mendadak sebatang panah menjamber lewat disamping telinganja.

Dengan ter-sipu2 Toan Ki berlari pula kedepan sambil sedikit berdjongkok, serr, kembali sebatang panah menjamber lewat diatas kepalanja. Ia lihat disamping kiri sana ada sepotong batu besar, segera ia menubruk madju untuk sembunji dibelakang batu. Dalam sekedjap itu, anak panah sudah berseliweran dan ber-matjam2 Am-gi membentur batu padas itu hingga terpental djatuh.

Sedikitpun Toan Ki tidak berani bergerak. Bluk, se-konjong2 sepotong batu sebesar mangga djatuh disampingnja. Njata, penimpuk batu itu sangat besar tenaganja, tjuma djaraknja agak djauh, maka intjarannja kurang tepat. Toan Ki pikir kalau terus disitu, achirnja kepala pasti akan tertimpa batu sambitan itu, maka segera ia pondong sinona lagi dan berlari kedepan pula belasan meter djauhnja, ia menduga sendjata2 resia musuh takkan mentjapainja lagi, lalu berhenti.

Setelah bernapas lega, Toan Ki taruh sigadis diatas tanah dibelakang sebuah batu padas, kemudian ia tjoba mengintai keseberang djurang sana. Ternjata djumlah orangnja sudah bertambah banjak dan kedengaran berisik sekali lagi me-maki2 kalang-kabut, tampaknja seketika para pengedjar itu tidak mampu menjeberang kemari. Pikir Toan Ki: Djika mereka mengitari djalan pegunungan dan mendaki dari sebelah sana, rasanja nasib kami berdua susah djuga lolos dengan selamat. Ia tjoba menudju ketepi djurang sebelah lain, tapi sekali melongok, seketika kakinja ikut lemas saking kedjutnja. Ternjata dibawah djurang itu ombak men-debur2 dengan hebatnja, suatu sungai dengan airnja jang bergelombang besar tepat berada dibawah djurang itu. Ternjata disitu termasuk tepi sungai Landjong. Melihat arus air jang begitu hebat, untuk mendaki dari situ terang tidak mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu turun kedjurang, lalu mandjat keatas, dirinja jang tak mengerti silat pasti susah mentjegahnja. Ia menghela napas, ia pikir boleh djuga sementara terhindar dari bahaja, bagaimana djadinja nanti, biarlah melihat gelagat sadja.

Ia kembali kesamping Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu masih belum sadarkan diri. Selagi Toan Ki hendak berdaja menolongnja, tiba2 dilihatnja pundak sinona masih tertantjap sebuah gurdi badja, badjunja sudah basah kujup oleh darah. Karuan Toan Ki terkedjut, dalam keadaan buru2 menjelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui kalau diri gadis itu terluka, kini melihat darah mengutjur begitu banjak, pikiran per-tama2 timbul padanja jalah Djangan2 dia telah meninggal?

Maka dengan agak takut2 ia tjoba membuka sedikit kerudung muka Bok Wan-djing untuk memeriksa napas dihidungnja sjukur gadis itu masih bernapas pelahan. Pikir Toan Ki: Aku harus mentjabut gurdi itu untuk mentjegah darahnja mengutjur lebih banjak. ~ tapi ia lihat gurdi itu menantjap sangat dalam, kalau ditjabut hingga malah bikin djiwanja melajang, kan tjelaka? Namun dalam keadaan begitu, djalan lain tiada lagi, diam2 ia hanja mendoa: Bok-kohnio, harapanku hanja menolong kau, pabila karena itu malah mentjelakai djiwamu, itulah apa mau dikata lagi, toh seumpama aku tidak menolong kau, kaupun akan terbinasa djuga.

Segera Toan Ki pegang batang gurdi, dengan kertak gigi segera hendak ditjabutnja. Tapi karena tidak biasa, saking kedernja hingga badannja gemetar malah. Sementara itu diseberang djurang sana terdengar ramai dengan suara tjatji-maki musuh, tanpa pikir lagi Toan Ki terus mentjabut sekuatnja. Dengan mu-darah tidak mengutjur terus, namun darah jang merembes keluar hingga muka dan kepala Toan Ki penuh darah.

Saking kesakitan, Bok Wan-djing mendjerit sekali dan siuman kembali, tapi menjusul lantas pingsan lagi.

Dengan mati2an Toan Ki berusaha menutup luka sinona agar darah tidak mengutjur terus, namun darah jang merembes keluar bagai mata air itu benar2 susah ditjegah. Toan Ki mendjadi kewalahan, ia tjoba bubut sekenanja beberapa tumbuhan rumput disekitarnja dan dikunjah, kemudian dibubuhkan diatas luka Bok Wan-djing. Tapi sekali kena diterdjang darah, luluhan rumput itu lantas bujar.

Tiba2 Toan Ki ingat gadis itu adalah djago silat, boleh djadi ia sendiri membawa obat2 luka. Segera Toan Ki mentjoba rogoh saku sigadis itu. Se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang lemas litjin, dalam kagetnja tjepat ia tarik keluar tangannja.

Segera tertampaklah sinar emas berkilat, seekor ular ketjil merajap keluar. Kiranja adalah Kim-leng-tju. He, Kim-leng-tju, djangan kau gigit aku! seru Toan Ki kuatir.

Menurut djuga ular itu. Padahal Kim-leng-tju tidak paham perkataannja itu. Soalnja dibadan Toan Ki terdapat kotak kemala pemberian Tjiong Ling jang berisi barang anti ular berbisa itu. Setiap ular atau serangga beratjun, asal mentjium bau benda itu, pasti akan tunduk dan ketakutan.

Maka dengan ter-sipu2 Toan Ki masukan tangannja kesaku Bok Wan-djing lagi. Kali ini tidak menjentuh benda hidup pula, satu persatu ia keluarkan isi badju sigadis. Mula2 dikeluarkan sebuah sisir emas, lalu sebuah tjermin tembaga ketjil dan dua potong saputangan warna djambon, ketjuali itu ada pula tiga buah kotak atau dos ketjil.

Melihat barang2 jang biasanja dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sedjenak, baru teringat olehnja kelakuannja jang tidak sopan itu. Orang masih perawan sutji, masakan tangan sendiri gerajangan disaku orang.

Ia tjoba membuka kotak2 ketjil itu. Kotak pertama ternjata berisi Yantji (pemerah bibir) jang berbau harum; Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna kuning. Ia tjoba mengendusnja, bubuk putih itu tiada bau apa2, tapi bubuk kuning itu berbau pedas sangat keras hingga tak tertahan ia bersin. Pikirnja: Entah bubuk2 ini obat luka atau bukan, kalau ratjun, hingga salah pakai, kan tjelaka malah?

Segera ia pidjat2 tengkuk sinona, tidak lama, pelahan2 nona itu membuka matanja. Toan Ki sangat girang, tjepatnja tanjanja: Bok-kohnio, obat dalam kotak mana jang boleh dibubuhkan dilukamu?

Jang merah, sahut Bok Wan-djing singkat, lalu pedjamkan matanja lagi. Ketika Toan Ki menanja pula, iapun tidak mau mendjawab.

Toan Ki mendjadi heran, sudah terang bubuk merah itu adalah Yantji, manabisa dipakai mengobati luka? Tapi orang mengatakan demikian, biarlah di-tjoba2 dulu daripada menggunakannja setjara ngawur.

Segera ia sobek sedikit badju ditempat luka sinona, ia bubuhi sedikit bubukan Yantji itu. Ketika djari tangan Toan Ki menjentuh luka Bok Wan-djing, nona itu dalam keadaan tak sadarkan diri toh rada kedjang kesakitan.

Djangan kuatir, biarlah darahmu ditjegah keluar lebih banjak, Toan Ki

menghiburnja.

Aneh djuga, Yantji itu ternjata obat mudjarab benar, tjes-pleng, seketika darah berhenti mengutjur keluar. Selang sebentar, dari luka itu lantas merembes keluar air kuning berbusa. Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri: Obat luka djuga dibikin seperti Yantji, sungguh pikiran anak gadis susah diraba orang.

Setelah tjapek setengah hari, baru sekarang perasaan Toan Ki bisa tenang kembali. Ia dengar diseberang djurang sana suara berisik tadi sudah berhenti. Pikirnja: Djangan2 mereka benar2 mandjat kemari melalui bawah djurang? ~ Tjepat ia merajap ketepi djurang sana dan melongok kebawah. Astaga tjelaka 13, dugaannja ternjata benar, belasan orang diseberang djurang itu tadi sedang memberosot kebawah djurang dengan pelahan. Sekali pun djurang itu sangat dalam tentu djuga ada dasarnja, asal orang2 itu sudah mentjapai dasar djurang, tidak berapa djam lamanja pasti orang2 itu akan pandjat keatas djurang sebelah sini.

Toan Ki mendjadi bingung, pikirnja: Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio hanja bisa terima adjal sadja, bagaimana baiknja sekarang?

Walaupun takbisa silat, tapi menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa ia berdaja sebisanja. la tjoba periksa sekitarnja, lebih dulu ia memondong Bok Wan-djing kebalik sebuah batu padas jang menondjol, lalu sibuk mengumpulkan batu ditepi djurang sana. Memangnja disitu banjak terdapat batu, maka tiada lama, sudah beratus potong batu2 disiapkan.

Setelah selesai tugasnja, ia lantas duduk disamping Bok Wan-djing untuk memulihkan semangat. Sepandjang malam ia tidak tidur, sesungguhnja ia sangat lelah sekali, sedikit pedjamkan mata, rasanja sudah akan terus pulas. Tapi insaf kalau musuh tidak lama bakal datang, manabisa ia berani tidur? Sajup2 ia mentjium bau wangi jang teruar dari badan Bok Wan-djing, pikirnja: Nona Bok ini berdjuluk 'Hiang-yok-djeh', sungguh djanggal djuga bau

harum demikian di-hubung2an dengan olok2 padanja sebagai setan kuntianak.

Tadi waktu mentjoba pernapasan hidung Bok Wan-djing, ia telah sedikit menjingkap kain kedok mukanja dibawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana bentuk mulut hidungnja, entah pesek, entah mantjung. Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka kedok sigadis lagi untuk melihatnja lebih djelas. Bila di-ingat2 kembali, rasanja kulit muka nona itu sangat putih, ja, paling tidak, pasti tidak menakutkan.

Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau buka kedok sigadis, pasti takkan diketahui olehnja. Tapi Toan Ki merasa ragu2, ingin melihat mukanja, takut pula. Pikirnja dengan tak tetap: Tanpa sebab apa2 aku ikut2 menempuh bahaja dgn dia, tampaknja 9/10 bagian pasti akan gugur ber-sama2. Pabila sampai saat binasa aku masih belum melihat mukanja jang sebenarnja, bukankah penasaran sekali? ~ namun dalam hati ketjilnja ia

berkuatir pula kalau2 muka sigadis benar2 sedjelek setan, sebab kalau tidak djelek, kenapa sepandjang masa selalu berkedok muka? Apalagi berdjuluk Hiang-yok-djeh, sikutianak harum, harumnja memang tulen, rasanja sedjelek setan djuga takkan palsu. Kalau melihat tindak-tanduknja jang ganas kedji, rasanja gadis itupun tidak berdjodoh dengan wadjah tjantik-molek. Karena itu, ia ambil keputusan takkan melihatnja.

Dalam keadaan ragu2 itu, achirnja Toan Ki terpulas saking letihnja. Entah sudah berapa lamanja, mendadak ia terdjaga bangun dan berlari ketepi djurang. la lihat ada 5-6 laki2 diam2 sedang mandjat keatas djurang, Tjuma dinding djurang itu teramat tjuram, tidak mudah untuk mendak keatas, mereka hanja merajap dgn susah-pajah dengan berpegangan ojot tumbuhan2 ditebing djurang itu.

Diam2 Toan Ki bersjukur musuh belum sampai naik keatas, segera ia ambil sepotong batu dan disambitkan kebawah sambil berteriak: Djangan naik, kalau tidak, djangan salahkan aku main kasar!

Djarak orang2 itu masih berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menjerang dengan sendjata resia terang tak sampai, maka demi mendengar antjaman Toan Ki itu, mereka berhenti sedjenak sambil mendongak, setelah ragu2 sebentar, kembali mereka merajap naik lagi dibawah lindungan batu2 padas jang menondjol disana-sini itu.

Menimpukan batu dari atas kebawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki telah timpukan beberapa potong batu. Segera terdengarlah suara djeritan ngeri dua kali, dua orang diantaranja kena tertimpuk batu, dan djatuh tergelintjir kebawah djurang, terang mereka pasti akan hantjur lebur.

Sedjak ketjil Toan Ki melulu radjin mendjalankan ibadah agama, ilmu silat sadja tidak sudi dilatihnja. Kini untuk pertama kalinja membunuh orang, ia mendjadi ketakutan sendiri hingga putjat lesi. Semula ia hanja bermaksud menggertak sadja agar orang2 itu suka pergi, tak terduga dua orang telah terbinasa oleh batunja itu. la merasa tidak tenteram sekali, walaupun tahu bila orang berhasil mandjat keatas, dirinja dan Bok Wan-djing jang akan dibunuh oleh mereka.

Dalam pada itu, kuatir kalau diserang lagi dari atas, laki2 jang lain terus merajap balik kebawah. Ada satu diantaranja agak gugup hingga terpeleset dan djatuh kebawah djurang lagi.

Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia kembali kesamping Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu sudah berduduk sambil bersandar dibatu padas. Kedjut dan girang sekali Toan Ki, tanjanja:

Kau............... kau sudah baik, nona Bok?

Bok Wan-djing tak mendjawabnja, dengan ter-mangu2 ia pandang pemuda itu, sorot matanja jang memantjar keluar dari balik kedoknja itu tampak bengis tak kenal ampun.

Rebahlah mengaso sadja, biarlah kutjarikan air minum untukmu, demikian Toan Ki menghiburnja.

Ada orang hendak mandjat kemari, bukan? tanja sigadis.

Tak tertahan lagi air mata Toan Ki ber-linang2, katanja dengan ter-guguk2: Ja, aku............ aku telah mem...... membunuh dua orang tanpa sengadja......... dan......... dan seorang pula djatuh binasa ketakutan.

Bok Wan-djing mendjadi heran melihat pemuda itu menangis, tanjanja: Lalu, kenapa?

O, Tuhan maha kasih, tan............ tanpa sebab aku telah membunuh orang, ti............ tidak ketjil dosaku ini! demikian Toan Ki meratap. la merandek sedjenak, lalu menjambung lagi: Kalau ketiga orang itu punja anak-isteri dan orang tua dirumah, bila mendengar berita kematian mereka, tentu akan............ akan sangat sedih, O, sung............ sungguh aku berdosa......... aku berdosa!

Baru sekarang Bok Wan-djing paham sebab apa pemuda itu mewek, katanja dengan tertawa dingin: Hu, kau sendiri toh djuga punja anak isteri dan orang tua?

Orang tua sih aku punja, tapi isteri belum, sahut Toan Ki.

Sekilas Bok Wan-djing memantjarkan sinar mata jang aneh, tapi sorot mata aneh itu hanja sekedjap sadja lantas lenjap, segera kembali pula sinar matanja jang tadjam dan dingin itu, katanja: Dan kalau mereka berhasil mandjat kesini, mereka akan membunuh kau tidak? Membunuh aku tidak?

Ja, mungkin sekali mereka akan membunuh, sahut Toan Ki.

Hm, djadi kau lebih suka dibunuh daripada membunuh, ja? udjar Wan-djing.

Toan Ki merenung sedjenak, kemudian mendjawab: Djika...... djika melulu karena aku, pasti aku takkan membunuh orang. Tapi.................. tapi aku takbisa membiarkan kau dibunuh mereka.

Sebab apa? bentak Bok Wan-djing dengan bengis.

Kau pernah menolong aku, dengan sendirinja akupun ingin menolong kau, sahut Toan Ki.

Aku ingin tanja padamu, djika kau berdusta, segera panah didalam lengan badjuku ini akan mentjabut njawamu, kata sigadis pula sambil sedikit angkat tangannja mengintjar ketenggorokan Toan Ki.

Eh, sekian banjak orang jang kau bunuh, kiranja panahmu dibidikan dari dalam lengan badju, udjar Toan Ki.

Tolol, kau takut tidak padaku? tanja sigadis.

Kau toh takkan membunuh aku, kenapa aku takut?

Djika kau bikin marah aku, bukan mustahil nona akan membunuh kau, kata Wan-djing Djawablah pertanjaanku: kau telah melihat wadjahku atau tidak?

Tidak, sahut Toah Ki menggeleng kepala.

Benar2 tidak? sigadis menegas. Suaranja makin lama makin rendah, kedok didjidatnja itu tampak basah sebagian, agaknja terlalu keras memakai tenaga, maka keringat merembes keluar, namun suaranja masih tetap bengis.

Ja, buat apa aku berdusta, demikian sahut Toan Ki pula.

Diwaktu aku pingsan, kenapa kau tidak membuka kedokku?

Jang kupikirkan hanja mengobati luka dibahumu itu, maka tidak memikirkan hal itu, udjar Toan Ki.

Mendadak Bok Wan-djing ingat sesuatu, ia mendjadi gusar dan gugup, dengan napas ter-sengal2 ia berkata: Djadi............ djadi kau telah melihat............ melihat kulit badanku bagian bahu? Kau membubuhi obat diatas lukaku?

Ja, sahut Toan Ki dengan tertawa. Sungguh tidak njana bahwa Yantjimu itu ternjata begitu mandjur.

Tjoba kau kemari, pajang aku sebentar, pinta sigadis.

Baiklah, sahut Toan Ki. Memangnja kau tak perlu banjak bitjara, lebih baik mengaso dulu, nanti mentjari djalan buat menjelamatkan diri.

Sembari berkata, terus sadja Toan Ki mendekati sigadis. Tak tersangka, belum lagi tangannja memegang tangan sigadis, plok, tahu2 pipinja kena dipersen sekali gamparan. Begitu keras tempilingan itu hingga kepala Toan Ki pusing tudjuh keliling, tubuhnja ikut berputar.

Ken............ kenapa kau memukul aku? tanja Toan Ki sambil memegangi pipinja.

Bangsat kurangadjar, ternjata kau berani menjentuh badanku dan............ dan melihat bahuku...... saking gusarnja, terus sadja Bok Wan-djing djatuh pingsan lagi.

Dalam kedjutnja Toan Ki mendjadi lupa orang telah gampar pipinja, tjepat ia memburu madju untuk membangunkan sigadis. la lihat lukanja mengeluarkan darah lagi, rupanja waktu menampar Toan Ki tadi, gadis itu banjak mengeluarkan tenaga, maka lukanja jang mulai merapat itu mendjadi petjah pula.

Toan Ki mendjadi ragu2, sigadis telah marah2 karena kulit badannja dilihat orang, tapi kalau tak ditolong, mungkin djiwanja akan melajang karena terlalu banjak mengalirkan darah. Urusan sudah begini, terpaksa lakukan sebisanja, paling2 nanti dipersen lagi dua kali tamparan. Demikian pikir Toan Ki.

Segera ia sobek kain badju sendiri untuk membersihkan darah disekitar luka sigadis, ia lihat kulit badan nona itu putih bersih laksana saldju ia tidak berani lama2 memandangnja, buru2 ia

poles sedikit Yantji tadi keatas luka.

Sekali ini Bok Wan-djing tjepat siuman, dengan sorot matanja jang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut kalau digampar lagi, Toan Ki tidak berani dekat2 gadis itu.

Kembali kau......... kau............ karena merasa bahunja silir2 dingin, Bok Wan-djing tahu pemuda itu telah membubuhi obat diatas lukanja lagi.

Ja, terpaksa, aku......... aku takbisa tinggal diam, sahut Toan Ki sambil angkat pundak.

Saking gugupnja hingga napas Bok Wan-djing ter-sengal2, dalam keadaan lemas, ia mendjadi susah berbitjara.

Toan Ki mendengar disisi kiri sana ada suara gemertjiknja air, segera ia berlari kesana dan. mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan jang djernih. Ia tjutji bersih kedua tangan sendiri, lain meraup air gunung itu

untuk diminum beberapa tjeguk. Kemudian ia meraup air djernih itu kembali kesamping Bok Wan-djing, katanja: Bukalah mulutmu, minum air ini!

Setelah banjak mengeluarkan darah, memangnja mulut Bok Wan-djing serasa garing, segera ia singkap sebagian kain kedoknja hingga tertampak mulutnja.

Tatkala itu sudah lohor, diatas pegunungan itu terang-benderang. Toan Ki melihat dagu sigadis agak londjong, njata mukanja potongan daun sirih, kulit mukanja putih halus seperti bahunja, mulutnja jang ketjil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginja seputih mutiara dan radjin. Hati Toan Ki terguntjang: Dia...... sesungguhnja seorang gadis tjantik!

Sementara itu air telah merembes djatuh dari selah2 djari tangan Toan Ki, muka Bok Wan-djing penuh tertjiprat butir2 air hingga mirip rintik embun diatas bunga teratai dipagi hari.

Toan Ki terkesima sedjenak, ia tidak berani lama2 memandang, tjepat berpaling memandang kearah lain.

Lagi, ambilkan lagi! pinta sigadis sehabis minum air ditangan Toan Ki itu.

Ber-turut2 tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung itu baru melenjapkan rasa dahaga sigadis.

Kemudian Toan Ki mengintai pula ketepi djurang, ia lihat diseberang sana masih tinggal beberapa orang dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini. Ketika melongok pula kebawah djurang, ia tidak melihat ada orang mandjat keatas. Tapi dapat diduga musuh pasti takmau sudah, tentu sedang berusaha mentjari djalan untuk mengedjar kemari.

Tiba2 Toan Ki ingat ratjun Toan-djiong-san jang diminumnja dari Sikong Hian itu dalam beberapa harini pasti akan bekerdja djuga, andaikan musuh tidak mengedjar kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan ratjun masing2, tentu djuga akan mati kelaparan diatas bukit jang tandus itu.

Karena itu, dengan lesu.ToanKikembali kesamping Bok Wan-djing lagi, katanja: Sajang diatas gunung sini tiada tumbuh apa2, kalau ada, akan kupetik beberapa buah untuk melenjapkan kelaparanmu.

Sudahlah, apa gunanja banjak bitjara jang tidak2? sahut Bok Wan-djing. Tjoba tjeritakan, bagaimana kau kenal anak dara keluarga Tjiong itu? Kenapa bcrani sembarangan memalsukan aku untuk menolongnja?

Toan Ki mendjadi malu oleh pertanjaan itu, sahutaja: Memangnja aku tidak pantas menjamar dirimu untuk menolongnja. Soalnja karena terpaksa, maka harap kau djangan marah.

Bok Wan-djing hanja mendengusi sekali, tidak menjatakan marah, djuga tidak bilang tidak marah.

Maka bertjeritalah Toan Ki tjara bagaimana ia kenal Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinja dianiaja orang, dan gadis itu telah menolongnja.

Hm, kalau tidak bisa ilmu silat, kenapa kau banjak ikut tjampur urusan Kangouw? Apa barangkali kau sudah bosan hidup? djengek Bok Wan-djing selesai mendengarkan tjerita Toan Ki.

Urusan sudah ketelandjur begini, menjesal djuga tak berguna, udjar Toan Ki gegetun. Tjuma bikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali.

Kau bikin susah aku apa? kata sigadis. Permusuhanku dengan orang2 itu adalah aku sendiri jang berbuat. Sekalipun didunia ini tiada seorang kau, mereka djuga tetap akan mengerojok aku. Tapi, pabila tiada kau, aku mendjadi boleh takusah kuatir dan bisa.................. bisa membunuh se-puas2ku daripada mati konjol diatas karang tandus ini.

Ketika mengutjapkan kata2 boleh takusah kuatir, ia merandek sedjenak, ia merasa utjapan setjara terus terang menjatakan berkuatir atas diri pemuda itu rada2 kurang patut, maka ia mendjadi djengah. Sjukur ia berkedok hingga mimik wadjahnja tidak kelihatan. Pula loan Ki tidak memperhatikan nada utjapannja itu agak aneh, sebaliknja menjangka gadis itu bitjara dalam. Keadaan sedih, maka ia malah menghiburnja: Sudahlah, asal nona. Mengaso beberapa hari lagi hingga luka dibahumu sudah sembuh, lalu kita terdjang keluar, belum tentu musuh mampu menahan nona.

Hm, enak sadja kau bitjara, kata Bok Wan-djing dengan mendjengek, melulu itu Oh-pek-kiam Su An sadja aku hanja bisa bertempur sama kuat dengan dia, apalagi

aku menderita luka................. ~ belum habis utjapannja, se-konjong2 dari seberang karang sana berkumandang suara suitan jang tadjam mengerikan hingga seluruh lembah gunung ikut mendenging2.

Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi Bok Wan-djing tergetar, katanja dengan suara gemetar: Dia............ dia telah datang! ~ segera tangan Toan Ki dipegangnja erat2.

Suara suitan itu masih terus mendengung hingga lama diangkasa pegunungan dan sahut menjahut dengan suara kumandang jang makin keras, hingga telinga Toan Ki se-akan2 pekak. la merasa tangan Bok Wan-djing gemetar tiada hentinja, tentu gadis itupun sangat ketakutan.

Sedjak Toan Ki kenal gadis itu, biarpun ditengah kerubutan musuh, gadis itu tetap bisa berlaku tenang, anggap musuh barang sepele sadja. Tapi kini, begitu suara suitan itu berbunjl, seketika Hiang-yok-djeh jang biasanja ditakuti orang itu, kini berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah dibajangkan betapa lihay orang jang datang itu.

Sampai lama sekali, pelahan2 suara suitan tadi barulah berhenti.

Siapa orang itu? tanja Toan Ki pelahan.

Sekali orang ini sudah datang, djiwaku pasti takbisa selamat lagi, udjar sigadis. Maka lebih baik kau tjari djalan buat lari sadja, djangan...... djangan urus aku lagi.

Nona Bok, rupanja kau terlalu menilai rendah orang she Toan ini, sahut Toan Ki tertawa, Masalah orang she Toan adalah manusia berkwalitet demikian?

Dengan sepasang matanja jang djeli itu, sigadis memandang ter-mangu2 sedjenak pada pemuda itu dengan penuh haru dan pilu, katanja kemudian dengan suara mesra: Guna apakah kau mesti ikut mati bersama aku? Kau......... kau tidak mengetahui betapa ganasnja orang itu.

Sedjak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis itu bitjara dengan suara demikian halusnja, ia merasa datangnja suara suitan tadi benar2 telah mengubah Hiang-yok-djek mendjadi seorang manusia lain, maka Toan Ki meudjadi girang malah, sahutnja dengan tersenjum: Nona Bok, aku senang sekali

mendengar suara utjapanmu ini, dengan demikian, barulah benar2 seorang nona jang tjantik molek.

Hm, mendadak Bok Wan-djing mendjengek dan menanja dengan suara bengis: darimana kau tahu aku tjantik? Djadi kau telah melihat wadjahku, ja? ~ habis berkata, genggaman tangannja terus diperkeras hingga tangan Toan Ki seperti terdjepit tanggam, saling kesakitan, hampir2 pemuda itu mendjerit.

Aku tidak melihat wadjahmu, sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, tapi ketika memberi air minum padamu, aku telah melihat sebagian mukamu, walaupun hanja sebagian sadja, namun sudah djelas kalau kau pasti seorang tjantik molek tiada taranja.

Betapapun ganasnja Bok Wan-djing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana didunia ini jg tidak suka akan pudjian? Apalagi dipudji berwadjah tjantik?

Maka sekali hati merasa senang, genggamannja lantas dikendorkan, katanja: Baiklah, lekas kau mentjari suatu tempat untuk bersembunji, tak peduli menjaksikan apa sadja, sekali2 djangan keluar. Sebentar lagi orang itu sudah akan naik kesini.

Toan Ki terperandjat, serunja: Ja, djangan sampai dia naik kesini! segera ia belari ketepi djurang, tapi pandangannja mendjadi silau oleh berkelebataja ba]angan seorang berbadju kuning jang lagi me-lompat2 keatas karang dengan ketjepatan dan gesit luar biasa. Tebing karang itu sangat tjuram dan litjin, tapi orang itu dapat mendaki bagai ditanah datar sadja, djauh lebih gesit daripada bangsa kera.

Diam2 Toan Ki berkuatir, segera ia nienggembor: Hai, orang itu! Djangan kau naik lagi, djika tak menurut, awas akan kutimpuk kau dengan batu!

Orang itu menjambutnja dengan ter-bahak2, lompatannja keatas mendjadi lebih tjepat malah.

Melihat demikian lihaynja orang itu, Bok Wan-djing pun sedemikian takut padanja, Toan Ki pikir betapapun orang ini harus dirintangi keatas, tapi ia tdak ingin membunuh orang lagi, segera ia djemput sepotong batu dan ditimpukan kesamping orang itu.

Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukan dari atas, suaranja tjukup keras menakutkan djuga. Toan Ki terus berseru pula: Hai, kau sudah lihat tidak? Kalau kutimpukan kekepalamu, pasti djiwamu akan melajang! Maka lekas kau turun kebawah sadja!

Kau botjah ini rupanja sudah bosan hidup, berani main kurangandjar padaku! tiba2 orang itu tertawa dingin Suaranja tidak keras, tapi seutjap sekata dapat didengar Toan Ki semua.

Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi, keadaan sudah terpaksa, Toan Ki segera angkat dua potong batu terus ditimpukan keatas kepala orang itu sambil pedjamkan kedua matanja, ia tidak berani menjaksikan adegan ngeri atas nasib orang jang bakal tergelintjir kebawah djurang.

la dengar suara gedebukan batu2 jang menggelundung kebawah itu, menjusul terdengar pula suara menderu dua kali dibarengi suara tawa pandjang orang itu. Karuan Toan Ki heran, waktu membuka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi melajang ketengah djurang, sebaliknja orang itu baik2 sadja tak kurang suatu apapun.

Sekali ini Toan Ki benar2 kuatir, lekas2 ia memberondongi orang itu dengan timpukan2 batu lagi. Tapi setiap batu melajang sampai diatas kepalanja, sekali lengan badju orang itu mengebut, batu ini lantas menjeleweng kesamping dan djatuh kedjurang, terkadang orang itu malah melompat naik lagi hingga timpukan batu mendjadi luput.

Dalam gugupnja, sekaligus Toan Ki telah berondongi orang itu dengan 30-40 potong batu. Namun orang itu sedikitpun tidak apa2, bahkan sedjengkalpun takbisa merintangi madjunja orang itu keatas.

Melihat gelagat bakal tjelaka, lekas2 Toan Ki berlari kembali kesamping Bok Wan-djing dan berkata dengan suara ter-putus: No......... nona Bok, orang itu sang........ sangat lihay, ma........... marilah kita lekas lari!

Sudah terlambat! sahut Bok Wan-djing dengan dingin.

Dan selagi Toan Ki hendak bitjara pula, se-konjong2 tubuhnja terasa didorong oleh suatu tenaga maha besar hingga mentjelat kedepan bagai terbang, bluk, achirnja ia terbanting didalam semak2 pohon hingga kepala pusing tudjuh keliling, hampir2 djatuh kelengar. Untung tanah situ banjak tumbuh pohon2 pendek, maka hanja mukanja sadja terbaret letjet sedikit, tapi tidak sampai

terluka berat.

Dengan ter-sipu2 ia merangkak bangun, sementara itu tertampak orang berbadju kuning tadi sudah berdiri didepan Bok Wan-djing.

Kuatir kalau orang itu mentjelakai Bok Wan-djing, tjepat Toan Ki berlari madju dan menghadang di-tengah2 mereka sambil menanja: Siapakah engkau? Kenapa menganiaja orang tidak se-mena2?

Le....... lekas kau lari, djangan tinggal disini! seru Bok Wan-djing kuatir.

Hati Toan Ki ber-debar2 djuga, namun ia tenangkan diri sebisanja sambil memperhatikan pendatang itu. Ternjata buah kepala orang itu besarnja luar biasa, sebaliknja sepasang matanja bundar ketjil hingga mirip dua bidji kedelai menjelempit diatas semangka. Namun sinar matanja menjorot tadjam, ketika ia menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.

Perawakan orang itu sih sedang sadja, berewoknja pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianja susah diduga. Kedua tangannja pandjang melampaui lutut, sedang djarinja pandjang lantjip mirip tjakar.

Waktu mula2 Toan Ki melihat orang itu, ia merasa wadjah orang sangat djelek. Tapi kini ternjata lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan anggota2 badannja, bahkan dandanannja, semuanja sangat serasi dengan orangnja.

Kemarilah kau, berdiri disampingku! demikian kata Bok Wan-djing pula.

Tapi dia........ dia akan mentjelakai kau? udjar Toan Ki kuatir.

Hm, melulu lagakmu ini, apakah mampu kau menahan sekali hantam dari Lam-hay-gok-sin? djengek sigadis. Tapi mau-tak-mau ia terharu djuga demi nampak pemuda itu ingin melindunginja tanpa pikirkan keselamatan sendiri.

Benar djuga, pikir Toan Ki, kalau orang aneh ini hendak enjahkan dirinja memang tidak perlu susah2, maka ada lebih baik djangan bikin marah padanja. Segera ia berdiri kesamping Bok Wan-djing dan berkata pula: Apakah tuan jang

berdjuluk Lam-hay-gok-sin? Dalam beberapa hari ini Tjayhe sudah banjak bertemu dengan berbagai Eng-hiong-Hohan, tapi ilmu silat tuan tampaknja adalah jang paling lihay. Aku telah timpuk engkau dengan berpuluh potong batu, tapi tiada sepotongpun jang mengenai kau.

Dasar watak manusia, siapa orangnja jang tidak suka dipudji dan diumpak? Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau simalaikat buaja dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-gok-sin ini biasanja kedjam tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki memudji ilmu silatnja sangat lihay, ia mendjadi senang djuga. Ia mengekek tawa dua kali, lalu berkata: Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh djuga. Baiklah, kau enjahlah, Lotju ampuni djiwamu!

Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnja tjepat: Djika demikian, kau orang tua djuga ampuni Bok-kohnio sekalian!

Lam-hay-gok-sin itu tidak mendjawab, hanja sepasang matanja jang bundar ketjil itu mendelik, mendadak ia melangkah madju, sekali kebut, lengan badjunja membuat Toan Ki ter-hujung2 mundur beberapa tindak, lalu katanja dengan suara bengis: sekali berani kau melangkah madju, Lotju takkan ampuni djiwamu lagi!

Toan Ki pertjaja orang berani berkata tentu berani berbuat, ia pikir paling selamat biarlah aku melihat gelagat dulu disini. Maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata pada Bok Wan-djing: Kau inikah jang bernama Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing?

Benar, sahut sigadis. Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gah-loyatju, njata memang tidak bernama kosong. Siaulitju terluka parah, harap maaf kalau tak bisa memberi hormat pada engkau orang tua!

Mendengar itu, diam2 Toan Ki mendengus didalam hari: Hm, terhadap diriku kau garang melebihi setan, tak tahunja kau djuga seorang jang tjuma berani pada kaum lemah tapi djeri pada jang djahat. Melihat orang lebih galak dari kau, terus sadja kau panggil2 Loyatju!

Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi mendjengek: Ha, kabarnja kau mempunjai beberapa djurus djuga, kenapa bisa terluka parah?

Aku dikerojok Su An, Tjin Goan-tjun, Sin Si-nio dan Hui-Sian berempat, dua kepalanku takbisa lawan delapan tangan mereka, maka aku telah kena dilukai oleh gurdi badja Sin Si-nio.

Brengsek, sungguh tidak kenal malu, orang begitu banjak mengerubut seorang nona! kata Lam-hay-gok-sin dengan gusar.

Benar itu, memangnja kau orang tua lebih bidjaksana! segera Toan Ki menanggapi. Djangankan main kerojok, asal lelaki, memangnja djuga tidak pantas berkelahi dengan wanita. Tapi mereka djusteru mengerubuti seorang nona jang lemah, terhitung orang gagah matjam apakah itu? Kalau tjerita ini tersiar dikalangan Kangouw, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?

Lam-hay-gok-sin tidak mendjawab, hanja mengangguk sambil mendelik.

Diam2 Toan Ki bergirang: Aku telah kuntji dia dengan kata2, lalu mengumpaknja lagi setinggi langit, asalkan dapat terhindar dari kesulitan didepan mata ini.

Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang menanja pula: Sun He-khek dibunuh oleh kau atau bukan?

Benar! sahut Bok Wan-djing.

Dia adalah murid kesajanganku, kau tahu tidak? tanja lagi simalaikat buaja dari laut selatan.

Mendengar itu, diam2 Toan Ki mengeluh: Wah, tjelaka! Bok kohnio telah membunuh murid kesajangannja, urusan ini mendjadi susah diselesaikan.

Ia dengar Bok Wan-djing lagi mendjawab: Waktu membunuhnja tidak tahu, beberapa hari kemudian baru tahu.

Kau takut padaku tidak? tanja Lam-hay-gok-sin.

Tidak! sahut sigadis tegas.

Lam-hay-gok-sin mendjadi murka, ia menggerung sekali hingga lembah gunung itu se-akan2 terguntjang. Kau berani tidak takut padaku, besar amat njalimu, ja? Pengaruh siapakah jang kau andalkan, ha?

Pengaruh engkaulah jang kuandalkan! sahut Bok Wan-djing dingin sadja.

Lam-hay-gok-sin melengak oleh djawaban itu, segera ia membentak: Ngatjo belo! Pengaruhku apa jang bisa kau andalkan?

Kau orang tua diagungkan didunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannja, manabisa kau bergebrak dengan seorang perempuan jang terluka parah! sahut sigadis.

Utjapan ini setengahnja mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa2. Benar djuga, setelah tertegun sedjenak, malaikat buaja lautan selatan itu lantas terbahak2, katanja: Benar djuga utjapanmu itu. ~ habis ini, mendadak ia tarik muka lagi dan berkata: Harini biarlah aku tidak membunuh kau. Aku ingin tanja kepadamu: Kabarnja senantiasa kau memakai kedok, siapapun dilarang melihat wadjahmu. Kalau ada orang jang melihatnja, djika kau tidak bunuh dia, kau harus kawin padanja. Apakah betul kabar ini?

Toan Ki terperandjat oleh pertanjaan itu, ia lihat Bok Wan-djing telah memanggut sebagai djawaban, karuan ia tambah kedjut dan bersangsi.

Sebab apa kau mengadakan peraturan aneh itu? tanja Lam-hay-gok-sin.

Itu adalah sumpah berat jang telah kuutjapkan dihadapan Suhuku. sahut sinona. Djika tidak demikian, Suhu takkan mengadjarkan ilmu silat padaku.

Siapakah gurumu itu? tanja Gok-sin. Mengapa begitu aneh dan tidak kenal peradaban orang hidup.

Sahut Wan-djing dengan angkuh: Aku menghormati kau sebagai kaum Tjianpwe tapi kau gunakan kata2 tidak pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut.

Praak! mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas disampingnja, seketika batu krikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan djuga tertjiprat oleh hantjuran batu kerikil itu. Diam2 ia terkesiap: Sedemikian lihay ilmu silat orang ini, sekali hantam bikin batu hantjur remuk, kalau badan manusia jang digendjot, apa mungkin masih bisa hidup? ~ Namun ketika dia memandang kearah Bok Wan-djing, ia lihat gadis itu bersikap dingin2 sadja, sedikitpun tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin jang tiada taranja itu.

Sementara itu, sesudah melototi Bok Wan-djing sedjenak, kemudian Lam-hay-gok-sin berkata lagi: Baik, anggap utjapanmu tadi memang benar. Maka sekarang aku ingin mohon tanja, siapakah gelaran gurumu jang terhormat itu?

Guruku bernama Bu-beng-khek (orang tak bernama), sahut Wan-djing.

Bu-beng-khek? demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil meng-ingat2 kembali. Tidak pernah kudengar nama itu!

Sudah tentu, rasanja kaupun takkan pernah mengenalnja, djengek Bok Wan-djing.

Se-konjong2 Lam-hay-gok-sin itu perkeras suaranja dan membentak: Kematian muridku Sun He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wadjahmu?

Untuk kenal sang murid tiada lebih daripada sang guru, sahut Bok Wan-djing dengan dingin. Sangat baik djika kau sudah kenal tabiat muridmu itu.

Memangnja Lam-hay-gok-sin tjukup kenal watak murid mestikanja itu adalah seorang badjul buntung, kalau mati oleh sebab perbuatannja itu memang djuga tidak perlu heran. Tjuma, menurut peraturan Lam-hay-pay mereka, selamanja satu-guru-satu-murid, dengan tewasnja Sun He-khek, itu berarti djerih-pajahnja mendidik murid selama berpuluh tahun itu ikut hanjut kelaut. Maka semakin dipikir semakin gusar, se-konjong2 ia berteriak sekali: Hauuuuuuh! Aku akan menuntut balas bagi muridku itu!

Melihat wadjah orang mendadak berubah beringas menakutkan, begitu murka agaknja hingga air mukanja ikut berubah se-akan2 merah hangus, Bok Wan-djing

dan Toan Ki mendjadi djeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa air muka seseorang bisa berubah begitu hebat dan tjepat.

Tjepat Toan Ki melangkah madju, tapi segera teringat akan antjaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur, lalu berkata: Gak-lotjianpwe, bukankah kau tadi menjatakan takkan membunuh dia?

Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubris padanja, ia tanja Bok Wan-djing lagi: Dan muridku itu berhasil melihat wadjahmu tidak?

Tidak! sahut sigadis.

Bagus! seru Lam-hay-gok-sin. He-khek sibotjah itu matipun tentu tidak meram, biarlah aku mewakili dia melihat wadjahmu. Ingin kulihat apakah kau seburuk setan atau setjantik bidadari!

Kedjut Bok Wan-djing sungguh bukan buatan. la sudah bersumpah .dihadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-gok-sin itu memaksa melihat wadjahnja, sedang dirinja tak mampu membunuhnja, lalu, apakah harus kawin padanja? Dalam gugupnja, tjepat ia berkata: Kau adalah tokoh terkemuka dikalangan Bulim, manabisa berbuat serendah dan sekotor ini?

Hm, diantara Sam-sian-su-ok (tiga orang badjik dan empat orang djahat), aku adalah satu diantara Su-ok itu, kedjahatanku memangnja sudah terkenal di-mana2, takut apa lagi? sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin. Selama hidup Lotju hanja kenal suatu aturan, jalah: tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas, Ketjuali itu, tiada sesuatu kedjahatan lain jang tak kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar Lotju tidak perlu repot turun tangan lagi.

Kau benar2 harus............... harus melihatnja? sahut Bok Wan-djing dengan suara gemetar.

Djangan kau banjak tjintjong lagi, djika,terus rewel, sebentar tidak hanja kedokmu jang kubuka, bahkan antero pakaianmu bisa kulutjuti bulat2, antjam Lam-hay-gok-sin dengan bengis. Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun jang lalu, dikota Khayhong, dalam semalam sadja Lotju telah memperkosa dan membunuh sembilan puteri keluarga pembesar dan bangsawan?

Bok Wan-djing insaf urusan harini pasti takbisa dihindarkan lagi, ia tjoba mengedipi Toan Ki dengan maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi Toan Ki hanja meng-geleng2 kepala sadja.

Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknja jg mirip sikat kawat itu mendjengket. Huk! sekali bersuara, terus sadja kelima djarinja jang mirip tjakar ajam itu terus mentjengkeram kedok Bok Wan-djing.

Tanpa pikir lagi Wan-djing tekan pesawat rahasianja, tiga batang panah ketjil sekaligus menjamber kedepan setjepat kilat dan semuanja tepat niengenai perut Lam-hay-gok-sin.

Tak terduga, blek-blek-blek tiga kali, ketiga panah itu djatuh semua ketanah. Sedikit Bok Wan-djing bergerak, kembali tiga panah berbisa melesat kedepan, jang dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, jang satu mengintjar mukanja.

Tapi- kedua batang panah jang mengenai dada Lam-hay-gok-sin itu tetap seperti membentur papan badja sadja, semuanja djatuh ketanah. Bedanja tjuma tidak menerbitkan suara tjrang-tjreng jang njaring, tapi hanja bersuara blak-blek jang aneh.

Sedang panah ketiga ketika hampir mentjapai sasarannja, tiba2 Lam-hay-gok-sin ulur dua djarinja dan mendjentik pelahan dibatang panah ketjil itu, kontan panah itu mentjelat entah kemana!

Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa jang dibidikan Bok Wan-djing itu setjepat kilat, banjak djago2 pilihan telah tewas dibawah panahnja itu sebelum melihat bajangan panah itu, Sekalipun mata tjeli dan gesit, paling2 djuga tjuma melompat berkelit sadja. Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan sadja tidak mempan dipanah, bahkan sempat angkat djarinja mendjentik, sungguh selama hidup Bok Wan-djing belum pernah mengalami tokoh selihay ini, saking djerinja hampir2 njalinja petjah, tjepat ia berseru: Nanti dulu, djangan kau main kasar!

Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnja: Menurut aturanku, aku hanja tidak membunuh orang jang tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menjerang aku dengan enam batang panah, itu berarti kau telah mendahului menjerang aku. Mata aku akan melihat dulu matjam apa wadjahmu, kemudian mentjabut njawaku. Ini adalah salahmu sendiri jang bergebrak lebih dulu, djangan kau menjalahkan aku melanggar aturan.

Salah, salah! tiba2 Toan Ki menggembor.

Ada apa? tanja Lam-hay-gok-sin menoleh.

Menurut aturan Lotjianpwe, kau tidak membunuh orang jang

tidak mampu membalas seranganmu bukan? Toan Ki menegas.

Benar! sahut Lam-hay-golt-sin dengan mata mendelik.

Ketetapan itu bisa diubah atau tidak? tanja Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, sahutnja: Sekali aturan Lotju sudah ditetapkan tidak bisa di-tawar2 lagi!

Tapi kalau ada jang mengubahnja, matjam apakah orang itu? desakToan Ki.

Orang itu adalah anak kura2 (anak germo) dan keturunan haram! sahut simalaikatbuaja dari laut selatan.

Bagus, bagus! seru Toan Ki. Tadi belum lagi kau menjerang Bok-kohnio, tapi dia telah memanah kau, itu bukan balas menjerang, tapi harus disebut menjerang lebih dulu. Djikalau kau menjerang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikitpun. Sebab itulah, hanja bisa dikatakan dia mampu menjerang, tapi tidak mampu balas menjerang. Pabila kau membunuh dia, itu berarti kau telah mengubah peraturanmu, dan kalau kau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti kau anak kura2 dan keturunan haram!

Ternjata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengadja pantjing omongan Lam-hay-gok-sin untuk mendjebaknja, lalu berdebat dengan dia setjara pokrol2an.

Karuan Lam-hay-gok-sin menggerung murka bagai guntur kerasnja, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki ditjekalnja sambil membentak: Kurangadjar! Kau berani memaki aku sebagai anak kura2 dan keturunan haram!

~ berbareng tangan lain diangkat terus hendak mnggablok keatas kepala pemuda itu.

Tapi dengan tenang Toan Ki masih mendjawab: Djika kau mengubah peraturanmu, tentunja kau harus mengaku sebagai anak kura2, tapi kalau tidak, tentu djuga bukan. Dan suka atau tidak engkau mendjadi anak kura2, semuanja tergantung pada engkau akan mengubah peraturanmu atau tidak.

Melihat pemuda itu begitu teguh pendiriannja, biarpun djiwanja terantjam, tapi sedikitpun tidak gentar, bahkan malah memaki orang anak kura2 terus menerus, Bok Wan-djing mendjadi kuatir Lam-hay-gok-sin pasti akan murka hingga sekali hantam, tentu kepala Toan Ki bisa remuk. Saking takutnja, air matanja bertjutjuran, ia berpaling kearah lain tidak tega menjaksikannja.

Tak terduga Lam-hay-gok-gin mendjadi kesima oleh karena debatan Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali gablok kubinasakan dia, itu berarti membunuh seorang jang tak mampu membalas seranganku, dan bukankah aku benar2 akan mendjadi anak kura2 dan keturunan haram?

Karena itu, tangannja jang terangkat tadi pelahan2 diturunkan kembali, sebaliknja tangan lain jang mentjekal kedua tangan Toan Ki pelahan2 diperkeras sambil mata mendelik. Begitu kuat remasannja itu hingga Toan Ki kesakitan tidak kepalang, tulang tangannja sampai berkerutukan se-akan2 patah, hampir2 ia djatuh semaput. Tapi dasar wataknja memang sangat bandel, walaupun dengan meringis, segera ia berseru; Aku tidak mampu membalas seranganmu, lekaslah kau membunuh aku sadja!

Huh, aku djusteru tidak mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku mendjadi anak kura2 dan keturunan haram, ja? sahut Lam-hay-gok-sin. Habis berkata, tiba2 ia angkat tubuh pemuda itu dan dibanting ketanah. Karuan mata Toan Ki ber-kunang2, isi perutnja serasa djungkir balik hantjur luluh.

Aku tidak mau terperangkep! Aku takkan membunuh kalian dua setan tjilik ini! demikian Lam-hay-gok-sik berkomat-kamit sendiri. Mendadak ia membentak pada Bok Wan-djing: Buka kain kedokmu!

Wan-djing merasa air mata sendiri ber-linang2 dikedua pipi, tiba2 hatinja tergugah: Dahulu aku pernah menjatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah, ketjuali kalau aku menangis bagi laki2 itu! ~ Dan karena urusan sudah mendesak, tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki: Kemarilah kau!

Dengan masih meringis2 kesakitan Toan Ki mendekati sigadis dan menanja: Ada apa?

Engkau adalah laki2 pertama didunia ini jang melihat wadjahku ini! demikian Bok Wan-djing berbisik sambil berpaling kehadapan pemuda itu, lalu menjingkap kain kedoknja.

Seketika Toan Ki terguntjang se-akan2 kena aliran listrik. Ternjata apa jang dilihatnja itu adalah sebuah wadjah tjantik aju bagai bidadari, tjuma agak putih putjat, tentunja disebabkan selamanja gadis itu menutupi mukanja dengan kedok, djarang terkena tjahaja matahari. Kedua bibirnja jang tipis mungil itupun ke-putjat2an. Namun bagi Toan Ki, rasanja gadis itu mendjadi lebih harus dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada memper sebagal Hiang-yok-djeh jang membunuh orang tanpa berkesip.

Kemudian Bok Wan-djing menutupkan kedoknja lagi dan berkata pada Lam-hay-gok-sin: Nah, sekarang djika kau ingin melihat mukaku, kau harus minta idin dulu kepada suamiku.

He, kau sudah bersuami? Gok-sin menegas dengan heran. Siapakah suamimu itu?

Aku pernah bersumpah bahwa laki2 mana jang melihat wadjahku kalau aku tidak membunuh-dia, aku akan menikah padanja. sahut Wan-djing sambil menundjuk Toan Ki: Dan orang ini telah melihat wadjahku, aku tidak ingin membunuh dia, terpaksa aku mendjadi isterinja.

Lam-hay-gok-sin tertjengang, ia berpaling dan mengamat-amati Toan Ki

Toan Ki merasai kedua mata orang; jang: besarnja mirip katjang kedelai itu sedang memandang dirinja, dimulai dari ujung rambut sampai kepangkal kaki, dan dari djari kaki kembali ke-ubun2, karuan Toan Ki mendjadi risih dan merinding pula, kuatir kalau orang mendjadi kalap, sekali hantam binasakan dirinja.

Siapa tahu mendadak terdengar mulut Lam-hay-gok-sin tiada hentinja ber-ketjek2 memudji, katanja: Tjk-tjk-tjk-tjk, bagus sekali, bagus sekali! Tjoba kau menghadap kesini!

Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan berputar kehadapan orang.

Ehm, benar2 hebat, benar2 bagus! Sangat mirip aku, sangat mirip aku! demikian kembali Lam-hay-gok-sin memudji.

Mendengar utjapan jang tak djelas udjung-pangkalnja itu, Bok Wan-djing dan Toan Ki mendjadi heran, pikir mereka: Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannja, tapi rupamu djelek, bagian manakah jang mirip dengan Toan Ki jang tampan?

Tiba2 Lam-hay-gok-sin melompat kesamping Toan Ki, ia raba2 tulang kepala belakang pemuda itu, lalu pidjat2 tangan dan kakinja, kemudian meremas2 pula beberapa kali dipinggangnja.

Karuan Toan Ki merasa geli se-akan2 di-kili2 orang, hampir ia berteriak ketawa. Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang ter-bahak2 dan berkata: Kau sangat mirip aku, ja, sangat mirip aku! ~ berbareng tangan Toan Ki digandengnja sambil berkata pula: Marilah ikut padaku!

Lotjianpwe suruh aku kemana? tanja Toan Ki dengan bingung.

Keistana Gok-sin-kiong dipulau Gok-to, dilautan selatan. sahut Gok-sin. Aku telah terima kau sebagai murid, lekas kau mendjura padaku!

Hal ini sungguh diluar dugaan Toan Ki, karuan ia kelabakan: Ini.................. ini..............

Akan tetapi Lam-hay-gok-sin mana mau tahu ini atau itu, saking senangnja sampai ia ber-djingkrak2 se-akan2 orang putus lotere lima djuta. Lalu katanja: Tangan dan kakimu pandjang, tulang kepalamu bagian belakang menondjol keluar, tulang pinggang lemes, pintar dan tjerdik, aku jakin .bakatmu sangat baik, umurmu belum banjak lagi, benar2suatu bahan pilihan untuk beladjar silat. Lihatlah ini, bukankah tulang kepalaku ini sama seperti kau? ~ sembari berkata, ia terus membaliki tubuhnja.

Benar djuga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang orang memang sangat mirip dengan dirinja. Buset! Djadi apa jang dimaksudkan sangat mirip aku tadi tidak lebih hanja disebabkan persamaan dari sekerat tulang kepala belakang sadja!

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh lagi, katanja dengan berseri2: Lam-hay-pay kita selamanja ada suatu peraturan, jalah setiap turunan hanja satu-guru-satu-murid, muridku jang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanja tiada sebagus kau punja, kepandaiannja tiada dua bagian jang diterimanja dari peladjaranku kini dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang bikin repot aku utk membunuhnja, agar aku bisa menerima kau sebagai murid.

Toan Ki bergidik oleh tjerita itu. Pikirnja, sifat orang ini sedemikian biadabnja, kalau ada orang jang dipenudjui olehnja, lantas murid sendiri akan dibunuh supaja bisa terima murid baru lagi. Kalau sekarang aku diterima sebagai murid, bukan mustahil kelakaku akan dibunuhnja djuga bila dia keternukan orang lain jang berbakat lebih bagus. Djangankan dirinja memang tidak sudi beladjar silat, sekalipun mau djuga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai guru.

Tapi Toan Ki djuga insaf bila setjara tegas menolaknja sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa dirinja. Tengah ia bingung tak berdaja, se-konjong2 terdengar Lam-hay-gok-sin itu membentak: Kalian lagi berbuat apa sembunji2 disitu? Hajo, semuanja gelinding kemari!

Maka tertampaklah dari semak2 pohon sana muntjul tudjuh orang. Su An, Hui Sian, Tjin Goan-tjun termasuk diantaranja. Menjusul dari sebelah kiri sana djuga menongol dua orang, mereka adalah Tjo Tju-bok dan Siang-djing dari Bu-liang-kiam.

Kiranja sesudah Lam-hay-gok-sin naik keatas karang itu. Toan Ki tidak bisa menimpuk batu untuk merintangi mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan orang2 itu untuk mandjat keatas. Empat orang lagi diantara rombongn Su An itu adalah Tjetju2 (gembong2) dari Hok-gu-tjeh, semuanja adalah djagoan terkenal dari kalangan Hek-to jang kerdjanja merampok dan membegal.

Meski orang2 itu bersembunji ditengah semak2 dengan menahan napas, namun mana bisa mengalabui telinga Lam-hay-gok-sin jang tadjam? Tapi dasar orang aneh itu lagi. senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki, seketika ia tidak mendjadi marah, dengan masih ber-seri2 ia melototi Tjo Tju-bok dan lain2, lalu membentak: Ada apa kalian naik kesini? Apakah hendak menghaturkan selamat padaku karena menerima seorang murid bagus?

Dengan tabahkan diri, Djitjetju (gembong kedua) dari Hok-gu-tjeh jang bernama Tjok Thian-koat mendjawab: Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-djeh ini untuk membalaskan sakit hati saudara kami.

Tidak, tidak boleh! seru Gok-sin sambil gojang kepala. Hiang-yok-djeh adalah isterinja muridku, lekas enjah semua!

Karuan semua orang melongo heran sambil saling pandang.

Tidak, aku tak bisa mengangkat kau sebagai guru, sudah lama aku mempunjai Suhu, seru Toan Ki tiba2.

Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Siapakah gurumu? Apakah kepandaiannja bisa lebih tinggi dariku?

Kepandaian guruku itu, kujakin sedikitpun kau tak bisa, sahut Toan Ki. Tjoba, apakah kau paham intisari dari Kong-yang-thoan? Apa kau pernah beladjar ilmu Tjiong-ting-kah-kut segala?

Lam-hay-gok-sin garuk2 kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, Kong-yang-thoan segala, bahkan dengarpun belum pernah.

Melihat wadjah orang mengudjuk bingung, diam2 Toan Ki geli, ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi otaknja ternjata rada bebal. Maka katanja lagi: Makanja, kebaikan Lotjianpwe biarlah kuterima dalam hati sadja, kelak aku akan mengundang guruku untuk tjoba2 bertanding dengan Lotjianpwe, pabila Lotjianpwe bisa menangkan guruku, barulah, aku akan mengangkat engkau sebagai Suhu.

Siapa Suhumu? Masakan aku djeri padanja? Hajo, tetapkan, kapan aku bertanding? teriak Gok-sin gusar.

Padahal apa jang diutjapkan Toan Ki itu hanja sekedar untuk mengulur waktu sadja, siapa duga orang benar2 minta diadakan perdjandjian bertanding.

Karuan ia tak bisa mendjawab.

Tengah bingung tak berdaja, tiba2 dari djauh sana terdengarlah suara kumandang suitan orang jang pandjang bagai auman naga, suara itu ber-gelombang2 tak ter-putus2 melintasi lereng2 gunung itu.

Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin jang melengking tadjam itu, adalah suara suitan sekarang ini kedengarannja keras tapi tenang dan kuat mengguntjangkan lembah gunung, sedikitpun tidak kalah hebatnja daripada suara Lam-hay-gok-sin tadi.

Mendengar suara itu tiba2 Gok-sin tabok kepala sendiri sambil berseru: Aija, orang ini sudah tiba, aku tidak sempat banjak bitjara dengan kau lagi. Hajo, kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat) dengan aku dan dimana tempatnja? Ajo, lekas katakan, lekas!

Aku.......... aku tidak enak me......... mewakili guruku mengadakan perdjandjian dengan engkau, sahut Toan Ki ter-gagap2. Apalagi bila sekali engkau sudah pergi, orang2 ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu tjara begaimana aku......... aku bisa memberitahukan pada guruku? ~ sembari berkata, ia tuding2 Hui-sian dan lain2.

Mendengar itu, tanpa menoleh lagi, Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup kebelakang, seketika tangan Tjoh Thian-koat, itu Djitjetju dari Hok-gu-tjeh kena ditjekalnja, menjusul tangan kanan Gok-sing mendjodjoh pula kebelakang, tjrat, kelima djarinja menantjap masuk didada Tjoh Thian-koat, kontan terdengar djeritan ngeri gembong Hok-gu-tjeh itu. Pabila kemudian tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, ditengah tangannja jang berlumuran darah itu sudah memegang sebuah hati manusia.

Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu tjepatnja bukan main, pertjuma sadja Tjoh Thian-koat memiliki kepandaian, sedikitpun ternjata takbisa dikeluarkan. Karuan semua orang jang menjaksikan itu ikut ternganga kesima.

Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin segera dimasukan kemulutnja, kruk, ia gigit sepotong terus dikunjah dengan lezatnja bagai makan ketimun sadja.

Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Tjetju jang lain dari Hok-gu-tjeh. Berbareng mereka menggerung murka terus menubruk madju. Akan tetapi sama sekali Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnja masih terus makan dengan enaknja, sedang kaki kanan mendepak tiga kali sekaligus kebelakang, Kontan tertampak tubuh ketiga Tjetju dari Hok-gu-tjeh itu mentjelat keudara dan djatuh kedalam djurang semua. Suara djeritan ngeri jang berkumandang diangkasa lembah pegunungan itu membuat Toan Ki merinding.

Menampak betapa ganas dan buasnja Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnja sedemikian lihay pula, Hui-sian, Tjo Tju-bok dan lain2 mendjadi djeri dan mundur ketakutan.

Sambil mulutnja masih mengunjah sisa hati manusia tadi, setjara samar2 Lam-hay-gok-sin berseru pula: Lotju belum tjukup hanja memakan sebuah hati, aku masih...... masih inginkan jang kedua, siapa jang larinja paling lambat, dia itulah akan mendjadi mangsa Lotju.

Mendengar itu, takut Tjo Tju-bok, Siang-djing, Tjin Goan-tjun dan lain2 bukan buatan, hampir2 semangat mereka terbang ke-awang2, tjepatan sadja mereka berebut melarikan diri, begitu sampai ditepi djurang, tanpa pikir lagi mereka memberosot kebawah.

Hanja Oh-pek-kiam Su An sadja jang masih tinggal disitu dengan mata mendelik sambil menghunus pedang, katanja dengan gagah berani. Didunia ini ternjata ada manusia sekedjam dan seganas ini, sungguh melebihi binatang. Pabila aku Su An djuga takut mati dan melarikan diri, kemanakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana dikangouw lagi? ~ Habis itu, ia sentil batang pedangnja hingga berbunji mendengung, bukannja mundur, bahkan ia melangkah madju terus membentak: Awas pedang! ~ tanpa bitjara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.

Dibawah sinar matahari jang terang-benderang itu, sinar pedang gemilapan menjilaukan mata, tapi Lam-hay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnja sadja, ia masih asjik menikmati penganannja sendiri jang istimewa itu. Maka udjung pedang Su An itu tampaknja sudah akan menembus dadanja, segera Su An kerahkan tenaganja lebih kuat. Krak sekali, ternjata bukan dada Lam-hay-gok-sin jang tertembus, tapi pedangnja Su An jang patah mendjadi dua.

Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu ternjata kebal, tidak mempan sendjata. Meski pedang Su An itu bukan Pokiam atau pedang pusaka, tapi djuga tergolong sendjata pilihan jang sangat tadjam. Karuan ia kaget, tjepat ia melompat mundur sambil melolos pula pedangnja jang lain.

Pedang kedua ini hitam mulus wudjutnja, sedikitpun tidak mengeluarkan sinar mengkilap.

Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An? tiba2 Lam-hay-gok-sin menanja.

Benar, sahut Su An. Orang She Su harini tewas ditangan manusia buas seperti kau, kelak pasti ada orang jang menuntut balaskan. ~ Ia insaf ilmu sendiri terpaut sangat djauh dengan lawan itu, pasti bukan tandingan orang. Namun sedikitpun ia tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, pabila achirnja tetap kalah, segera ia akan bunuh diri terdjun kebawah djurang daripada djatuh ditangan musuh dan dimakan hatinja.

Saat itu Lam-hay-gok-sin baru mendjedjalkan sisa hati manusia tadi kedalam mulutnja, lalu katanja: Oh-pek-kiam Su An, ehm, sudah lama Lotju mendengar namamu. Lam-hay-gok-sin djusteru paling suka memakan buah hati Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kestria), sebab lebih enak daripada manusia pengetjut jang tak berguna. Hahaha, tentu boleh djuga hati manusia Su An ini!

Habis berkata, se-konjong2 tubuhnja meletjit kedepan setjepat panah. Segera Su An memapak dengan tusukan pedangnja ketenggorokan lawan. Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin egos kepalanja tahu2 bahu Su An sudah kena ditjengkeramnja.

Seketika Su An merasa separoh tubuhnja kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok batok kepala orang dengan gagang pedangnja, tak, bukannja kepala lawan jang petjah, tapi pedangnja jang hitam mulus itu jang terpental dan tangannja petjah oleh getaran itu.

Dalam kedjutnja Su An meronta sebisanja terus hendak menerdjun kebawah djurang, namun sekali lengannja sudah kena dipegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa terlepas begitu sadja.

Tengah keadaan berbahaja, tiba2 diangkasa raja berkumandang datang lagi suara suitan matjam naga berbunji, menjusul suara seorang telah berkata: Hiong-sin-ok-sat Gak-losam, apa kau takut? Maka tidak berani kemari?

Suara itu berkumandang dari djauh, tapi kedengarannja orang jang berkata itu seperti berada didekat situ.

Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar pada siapa sih? Segera kudatang kesitu! Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannja diangkat terus hendak mentjakar kedada Su An.

Dalam keadaan begitu, Su An hanja pedjamkan mata menunggu adjal sadja.

Untunglah mendadak Toan Ki berseru: Lotjianpwe, hati orang ini berbisa, djangan kau memakannja!

Lam-hay-gok-sin tertegun, tanjanja kemudian: Darimana kau tahu?

Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangtju telah tjekoki dia dengan Toan-djiong-san dan Hu-sim-tan (pil pembusuk hati), demikian Toan Ki sengadja mengotjeh. Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnja jang beratjun, mungkin saat ini ratjun sudah mulai merasuk kedalam hatinja. Apalagi pagi tadi dia kena digigit pula sekali oleh seekor ular emas ketjil.......

Apakah Kim-leng-tju? sela Lam-hay-gok-sin.

Benar, memang Kim-leng-tju! sahut Toan Ki sembari melepaskan Djin-leng-tju dari pinggangnja, lalu menjambung: Lihat ini, Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju selalu berada bersama. Bisa bintang ketjil ini teramat lihaynja, sekalipun Lotjianpwe punja Lwekang sangat tinggi dan tidak takut terkena ratjun, tapi hati orang ini tentunja siang2 sudah membusuk, tak enak untuk dimakan, djangan2 malah akan bikin sakit perut Lotjianpwe nanti!

Ada benarnja djuga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An kesamping, lalu katanja pada Toan Ki: Kau botjah ini meski belum resmi mengangkat guru, tapi kau sudah mem punjai hati baik terhadap gurumu.

Se-konjong2 suara auman aneh tadi berdjangkit lagi dengan keras dan sahut menjahut bagai paduan suara ngaungan binatang buas dan benturan logam jang menjerikan perasaan dan memekakan telinga.

Tjepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranja jang mirip hantu merintih, sekali melesat, tahu2 melompat turun kebawah djurang.

Kedjut dan girang Toan Ki, pikirnja: Mampus kau sekarang melompat kedalam djurang! ~ tjepat ia ber-lari2 melongok ketepi djurang, ia lihat si malaikat buaja dari laut selatan itu lagi berlompatan kebawah, sekali lompat lantas belasan tombak kebawah, tangannja terus menahan didinding djurang, habis itu tubuhnja menurun pula kebawah dan begitu seterusnja hingga achirnja bajangannja lenjap dibawah awan putih jang menutupi angkasa djurang itu.

Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-gok-sin jang susah dibajangkan itu. Ketika berpaling kembali, ia lihat Su An sudah djemput kembali pedang hitamnja dan dimasukkan kedalam sarung, lalu katanja sambil Kiongtjhiu dengan muka djengah: Harini berkat pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan melupakan budi kebaikan ini.

Tjayhe hanja ngotjeh sekenanja, masih mengharapkan Su-heng djangan marah, sahut Toan Ki sambil membalas hormat.

Lam-hay-gok-sin Gak Djong-liong ini biasanja tinggal di Ban-gok-to (pulau berlaksa buaja) dilautan selatan, kali ini tiba-tiba datang ke Tionggoan, tentu tidak sendirian, mungkin masih banjak begundal jang dibawanja, kata Su An. Konon orang ini sekali omong pasti dilaksanakannja, maka sekali kalau dia sudah penudjui Toan-heng, tentu takkan sudahi begini sadja. Kedatangan Tjayhe untuk meretjoki Tjunhudjin (isterimu) sebenarnja adalah atas permintaan kawan sadja, maka selandjutnja tentu akan kuanggap selesai. Sekarang djuga biar Tjayhe menghantar Hianhudjeh (kalian suami-isteri) turun gunung untuk menghindari gangguan begundalnja Lam-hay-gok-sin.

Toan Ki mendjadi merah djengah mukanja mendengar orang berulang kali menjebut Hianhudjin dan Hianhudjeh, tjepat ia gojang2 tangan dan berkata dengan tak lantjar: Ti...... tidak..... bu..... bukan.......

Namun terdengar Bok Wan-djing telah buka suara dengan dingin: Su An, silahkan kau pergi sadjalah, Huh, keselamatanmu sendiri sadja takbisa didjaga, masih berlagak gagah perwira segala?

Merah padam Su An oleh olok2 itu, tanpa bitjara lagi ia putar tubuh dan tinggal pergi.

Nanti dulu, Su-heng! tjepat Toan Ki menahan.

Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ketepi djurang dan memberosot turun.

Sekilas Toan Ki melihat dilereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat tjepat. Waktu ditegaskan, kiranja adalah Lam-hay-gok-sin, hanja dalam sekedjap sadja, simalaikat buaja dari laut selatan itu sudah merajap sampai disana.

Toan Ki kembali kesamping Bok Wan-djing dan berkata: Apa jang dikatakan Su-heng itu bukannja tiada beralasan, buat apa kau mesti bikin menjesal dia?

Bok Wan-djing mendjadi gusar, sahutnja: Baru sadja mendjadi suamiku, kau lantas ingin memerintah aku, ja? Kalau kubunuh kau, paling2 akupun bunuh diri mengiringi kau, apanja jang perlu dibuat geger?

Toan Ki tertegun, katanja pula: Hal ini hanja untuk menipu Lam-hay-gok-sin itu karena keadaan genting tadi, kenapa dianggap sungguhan? Mana dapat aku mendjadi suami nona?

Apa katamu? seru Bok Wan-djing sambil berbangkit dengan ter-hujung2 memegangi dinding batu. Djadi kau tidak sudi padaku? Kau mentjela diriku, bukan?

Melihat nona itu sedemikian gusarnja, tjepat Toan Ki berkata lagi: Harap nona djaga kesehatanmu lebih penting, soal utjapan main2 tadi, buat apa kau pikirkan dalam hati?

Plok, mendadak Bok Wan-djing melangkah madju dan persen Toan Ki dengan sekali tempilingan. Tapi badannja terlalu lemas, sekali sempojongan, ia djatuh kepangkuan pemuda itu. Tjepat Toan Ki pun memeluknja agar tidak roboh.

Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat pula dirinja sudah diaku sebagai isteri, Bok Wan-djing merasa badannja mendjadi hangat, rasa gusarnja ikut berkurang pula beberapa bagian. Lalu katanja: Lekas lepaskan aku!

Toan Ki dukung nona itu berduduk menjandar didinding batu, pikirnja: Perangainja memang sangat aneh, sesudah terluka parah, mungkin mendjadi lebih gandjil lagi wataknja. Kini terpaksa ku turuti dia, biar apa jang dia bilang, aku hanja menurut sadja, toh aku.......... Ia tjoba hitung2 dengan djari, djarak waktu bekerdjanja ratjun Toan-djiong-san sudah dekat, ia pikir walaupun ratjun itu tidak djadi kumat, rasanja sekali2 dirinja djuga takkan mampu turun dari gunung jang dilingkungi djurang2 tjuram itu dengan hidup. Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur Bok Wan-djing: Sudahlah, djangan kau marah. Jang benar, marilah kita mentjari apa2 jang dapat kita makan.

Diatas bukit tandus begini, apa jang dapat kita makan? sahut Bok Wan-djing.

Biarlah aku mengaso sebentar, kalau sudah tjukup kuat, aku gendong kau turun kegunung sadja.

Mana........ mana boleh, seru Toan Ki sambil gojang2 tangannja. Untuk djalan sendiri sadja kau belum kuat, mana dapat menggendong aku pula?

Kau lebih suka korbankan djiwa sendiri ketimbang mengingkari aku, kata Wan-djing. Maka aku, demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-djing biasanja membunuh orang tanpa berkesip djuga rela berkorban untuk sang suami.

Kata2nja itu diutjapkan dengan tegas dan pasti, tjuma tidak bisa mengutarakan perasaannja jang haru mesra itu, dengan sendirinja nadanja mendjadi kaku, agak tidak sesuai dengan rasa hatinja jang penuh tjinta kasih itu.

Maka djawablah Toan Ki: Banjak terima kasih, biarlah kau mengaso dulu, nanti kita bitjarakan lagi. ~ Tapi se-konjong2 perutnja terasa kesakitan, tak tertahan lagi ia mendjerit aduh!

Begitu sakit perutnja itu hingga mirip di-sajat2 oleh pisau, ususnja se-akan2 di-potong2. Dengan meringis Toan Ki menahan perutnja, keringatpun berbutir2 merembes2 keluar didjidatnja.

He, ken..... kenapakah kau? tanja Bok Wan-djing kuatir.

Sikong....... Sikong Hian dari Sin-long-pang telah..... telah tjekoki aku dengan Toan-djiong-san.......... demikian Toan Ki menutur dengan ter-putus2.

Karuan kedjut Bok Wan-djing bukan buatan, pikirnja: Kabarnja Sin-long-pang paling pandai menggunakan obat, djika Pangtju mereka sendiri jang memberi ratjun, mungkin susah ditolong lagi. ~ Ia lihat Toan Ki begitu kesakitan hingga megap2, hatinja sangat tidak tega, ia tarik pemuda itu berduduk disampingnja dan menghiburnja: Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan belum?

Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki se-akan2 ber-kunang2, maka dengan merintih2 ia berkata: Aduh, sakitnja! Ma..... makin lama main sakit!

Sigadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan badjunja, ketika melihat wadjah pemuda itu putjat pasi, hatinja mendjadi pilu dan air mata ber-linang2, katanja dengan ter-guguk2; Djang....... djangan kau mati begini sadja! ~ sembari berkata, ia terus tarik topengnja itu dan menempelkan pipi kanan sendiri kepipi kiri Toan Ki: Ja, Longkun, kau......... kau djangan mati!

Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan dengan gadis djelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok Wan-djing, pipi menempel pipi, terdengar pula rajuan Longkun, Longkun jang meresap, karuan semangat Toan Ki terombang-ambing ketengah awang2.

Kebetulan djuga saat itu sakit perutnja agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari rangkulan sigadis, maka katanja: Selandjutnja kau djangan lagi memakai topeng, ja?

Djika kau minta begitu, pasti aku akan menurut, sahut Bok Wan-djing. Dan sekarang perutmu sudah baikan belum?

Sudah agak baik, sahut Toan Ki. Tapi...........

Tapi apa? tanja Wan-djing.

Ta............. tapi kalau kau melepaskan aku, mungkin akan kesakitan lagi.

Tjis, djadi kau hanja pura2 sadja, omel sinona dengan muka merah sambil mendorong pergi Toan Ki.

Sebenarnja Toan Ki adalah seorang laki2 djudjur, karuan ia mendjadi malu djuga. Ia tidak tahu bahwa tjara bekerdjanja ratjun Toan-djong-san itu, mula2 agak lama baru berdjangkit kesakitan sekali, kemudian makin djangkit makin kerap hingga achirnja saking kesakitan tiada henti2nja, orangnja akan mati. Tapi ia salah sangka karena rajuan Bok Wan-djing tadi jang penuh kasih manisnja madu, perasaannja terguntjang, maka lupa sakit.

Sebaliknja Bok Wan-djing rada kenal sifat bekerdjanja ratjun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus menerus malah masih bisa ditolong, tapi hanja kesakitan sebentar lantas berhenti, umumnja tentu terkena ratjun djahat jang susah disembuhkan, sipenderita pasti akan tersiksa mati-tidak-hidup-tidak,

djauh lebih mengenaskan daripada mati. Dan ketika melihat pemuda itu mengundjuk rasa malu, ia mendjadi pilu pula, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata pula: Kalau kau mati, Longkun, akupun tidak ingin hidup sendirian, biarlah kita berdua mendjadi suami-isteri dialam baka nanti.

Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati-setia baginja, katanja: Tidak, tidak! Kau harus membalaskan sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali harus berziarah kekuburanku. Aku ingin kau bersembahjang dikuburanku selama berpuluh2 tahun, dengan demikian, barulah aku bisa tenteram dialam baka.

Aneh djuga kau ini, udjar Wan-djing. Sesudah mati, apa jang bisa dirasakan lagi? Aku datang berziarah atau tidak kekuburanmu, apa paedahnja bagimu?

Djika begitu, kau ikut mati bersama aku, lebih2 tiada berguna, sahut Toan Ki. O, betapa tjantiknja engkau, pabila setiap tahun kau sudi berziarah sekali kekuburanku, kalau aku mengetahui dialam baka, akan senang djuga hatiku melihat engkau. Tapi bila kau ikut mati bersama aku, kita sama2 akan mendjadi tulang-belulang belaka, tentu ini tidak bagus lagi untuk dilihat.

Mendengar dirinja dipudji, senang djuga hati Bok Wan-djing. Tapi segera terpikir pula olehnja, baru harini mendapatkan seorang suami jang di-idam2kan, sekedjap lagi orangnja sudah akan mati, tak tertahan lagi air matanja bertjutjuran.

Toan Ki rangkul pinggang sinona jang ramping itu, hatinja terguntjang pula ketika tangannja menjentuh badan jang halus lunak itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan mengetjup sekali dibibir sigadis. Mendadak ia mengendus bau wangi semerbak. Ia tidak berani lama2 mentjium, tjepat mendongakan kepalanja kebelakang dan berkata: Orang menjebut kau Hiang-yok-djeh wanginja memang njata benar, tapi kalau dialam halus benar2 ada setan wangi sedemikian tjantiknja, mungkin setiap laki2 didjagat ini lebih suka membunuh diri mendjadi setan untuk memperoleh seorang setan wangi setjantik kau ini.

Setelah ditjium tadi, hati Bok wan-djing masih dak-dik-duk ber-debar2, pipi bersemu merah, mukanja jang tadinja ke-putjat2an itu mendjadi lebih tjantik molek. Katanja kemudian: Kau adalah laki2 satu2nja didunia ini jang pernah melihat wadjahku, setelah kau mati, aku lantas merusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh laki2 kedua.

Sebenarnja Toan Ki hendak mentjegah maksudnja itu, tapi aneh djuga, timbul sematjam rasa tjemburu didalam hatinja, sesungguhnja iapun tidak ingin ada laki2 lain jang bisa melihat lagi wadjah tjantik sigadis itu, maka kata2 jang hampir diutjapkan itu urung dikeluarkan, sebaliknja terus menanja: Sebab apa

dahulu kau bersumpah sekedji ini.

Kau sudah djadi suamiku, tiada halangan djuga kutjeritakan padamu, sahut Wan-djing. Aku sudah jatim-piatu, begitu lahir lantas dibuang orang ditepi djalan, beruntung guruku telah menolong diriku dan dengan susah-pajah aku dibesarkan serta diberi peladjaran ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap laki2 didunia ini memang berhati palsu, kalau melihat wadjahku, pasti aku akan digoda dan dipantjing hingga terdjerumus. Sebab itulah sedjak ketjil aku lantas diberinja kedok penutup muka. Sampai berumur 16 tahun, ketjuali guruku, aku tidak pernah melihat orang lain. Dua tahun jang lalu, Suhu perintahkan aku turun gunung untuk menjelesaikan sesuatu urusan........

Djadi tahun ini kau berusia 18 tahun? sela Toan Ki. Aku lebih tua dua tahun.

Wan-djing angguk2, katanja pula: Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah: pabila ada orang melihat wadjahku, kalau aku tidak membunuh dia, harus aku kawin padanja. Dan bila orang itu tidak mau peristerikan aku atau sesudah nikah meninggalkan diriku, maka aku diharuskan membunuh sendiri manusia berhati palsu itu. Kalau aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau lantas akan membunuh diri dihadapanku.

Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu, pikirnja: Umumnja orang bersumpah tentu menjatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka apa. Tapi gurunja sebaliknja sebaliknja mengantjam hendak membunuh diri. Sumpah demikian sekali2 tak boleh diingkari.

Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana bisa aku membangkang perintahnja itu? demikian Wan-djing melandjutkan. Apalagi pesannja itu adalah demi kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir lagi tatkala itu aku lantas menurut dan bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas jang diberikan Suhu padaku itu masih belum terlaksana, sebaliknja aku telah mengikat permusuhan. Padahal orang2 jang tewas dibawah pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka jang lebih dulu meretjoki aku hendak menjingkap kedok mukaku.

Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengarti duduknja perkara, mengapa seorang gadis djelita begitu bisa mempunjai musuh sedemikian banjak.

Kenapa kau menghela napas? tanja Bok wan-djing.

Ja, mereka melihat kau selalu berada seorang diri, perawakan ramping menggiurkan, tapi djusteru sepandjang tahun memakai kedok muka, saking ingin tahu, tentu sadja mereka ingin melihat mukamu sebenarnja tjantik atau djelek, padahal belum pasti mereka mempunjai maksud djahat. Siapa tahu, karena sedikit kesalahan itu, djiwa mereka mesti melajang.

Bagiku, sudah pasti aku membunuh mereka, udjar Wan-djing. Kalau tidak, bukankah aku harus mendjadi isteri manusia2 jang mendjemukan itu? Tjuma akupun tidak menduga bahwa orang2 itu masih banjak mempunjai sanak-kadang. Satu kubunuh, lantas berekor dengan beberapa orang sobat-andainja datang mentjari perkara padaku Sampai achirnja, bahkan Hweshio dan Tosu djuga ikut2 mendjadi musuhku. Aku pernah tinggal beberapa bulan di Ban-djiat-kok, suami-isteri she Tjiong itu tjukup menghormati aku, tak terduga Tjiong-hudjin bisa memalsukan namaku, tjoba bikin marah orang tidak perbuatannja itu? ~ rupanja ia mendjadi letih banjak bitjara, ia pedjamkan mata mengumpulkan semangat sebentar, kemudian berkata pula: Semula aku mengira kaupun seperti laki2 lainnja, hanja manusia jang tidak kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah kau berangkat memindjam Oh-bi-kui, kau masih lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Inilah sungguh tidak mudah dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-gok-sin ini mendesak terus, terpaksa aku membiarkan kau melihat wadjahku.

Berkata sampai disini, ia berpaling memandangi Toan Ki dengan sorot mata jang penuh kasih mesra. Karuan Toan Ki ber-debar2, pikirnja: Apa benar2 dia mendjadi tjinta padaku? ~ Segera iapun berkata: Sudahlah, keadaan tadi hanja terpaksa, soal sumpahmu itu boleh djuga takusah mesti ditaati.

Bok Wan-djing mendjadi gusar, Sumpah jang pernah kuutjapkan, manabisa diubah. katanja dengan bengis. Kalau kau tidak sudi memperisterikan aku, lekas kau katakan terus terang, biar sekali panah kubinasakan kau, agar aku tidak melanggar sumpahku.

Selagi Toan Ki hendak memberi pendjelasan lagi, se-konjong2 perutnja kesakitan pula, dengan kedua tangan menahan perut, ia me-rintih2.

Lekas katakan, kau mau memperisterikan aku tidak? tanja Bok Wan-djing lagi.

Per...... perutku sakit....... aduh! sakit sekali! kata Toan Ki.

Sebenarnja kau mau mendjadi suamiku tidak? Wan-djing mendesak terus.

Toan Ki pikir toh begini kesakitan, hidupnja tentu tidak lama lagi, buat apa pada sebelum mati mesti melukai hati seorang nona. Maka iapun memanggut dan berkata: Aku....... aku mau memperisterikan kau!

Sebenarnja Bok Wan-djing sudah siapkan panah beratjun ditangan, demi mendengar djawaban Toan Ki itu, seketika girangnja tak terkatakan, dengn senjum gembira ia terus merangkul pemuda itu dan berkata: O, suamiku jang baik, biarlah kupidjat perutmu.

Tidak, tidak! djawab Toan Ki tjepat. Kita masih belum menikah, laki2 dan perempuan ada perbatasannja, ini........ ini tidak boleh.

Tergerak pikiran Bok Wan-djing tiba2, katanja: Ja, tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnja mendjadi lebih hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu untuk dimakan kau. ~ Habis berkata, ia berbangkit dan merajap hendak mendekati majat Tjoh Thian-koat untuk memotong dagingnja.

Karuan kedjut Toan Ki tidak kepalang, seketika terlupalah sakit perutnja, tjepat ia menggembor: Djangan, djangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati djuga aku tidak mau makan!

Aneh, sebab apa tak boleh dimakan? tanja Wan-djing heran. Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi sudah makan buah hatinja?

Lam-hay-gok-sin itu teramat kedjam dan ganas melebihi binatang, kita mana.......... mana boleh meniru dia?

Ketika tinggal bersama dengan Suhu digunung, sering kami makan daging harimau, daging mendjangan. Kalau menurut kau, tentunja tak boleh dimakan djuga? kata sigadis.

Daging2 binatang itu dengan sendirinja boleh dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan! sahut Toan Ki.

Apa daging manusia beratjun?

Bukan beratjun, sahut Toan Ki. Tapi kita sama2 adalah manusia.Kau adalah

manusia, akupun manusia, Tjoh Thian-koat itupun manusia.Manusia tak boleh makan manusia.

Sebab apa? tanja sigadis. Kulihat dikala kawanan serigala sedang lapar, mereka lantas makan serigala jang lain.

Makanja, sahut Toan Ki gegetun. Kalau manusia pun makan manusia, bukankah tiada ubahnja seperti serigala?

Sedjak ketjil Bok Wan-djing selalu berdampingan dengan sang guru, selamanja tidak pernah bergaul dengan orang ketiga, watak gurunja sangat aneh pula, biasanja tidak pernah bitjara tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan-santun dan peradaban manusia sedikitpun ia tidak paham. Kini mendengar Toan Ki bilang manusia tidak boleh makan manusia, ia mendjadi heran dan ragu2.

Kau sembarangan membunuh orang, itupun tidak benar. kata Toan Ki lagi. Sebaliknja kalau orang lain ada kesukaran, kau harus membantunja. Dengan demikian barulah sesuai dengan tudjuan orang hidup.

Djika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain apakah djuga akan membantu aku? kata sigadis. Tapi kenapa orang jang kudjumpai, ketjuali guruku, setiap orang selalu ingin membunuh aku, mentjelakai dan menghina aku, selamanja tiada jang baik2 padaku? Kalau harimau hendak menerkam dan memakan aku, lantas aku membunuhnja. Begitu pula orang2 itu, mereka hendak membunuh aku, dengan sendirinja akupun membunuh mereka, apa bedanja?

Pertanjaan ini benar2 membikin Toan Ki bungkam takbisa mendjawab, terpaksa ia berkata: Kiranja urusan peradaban sedikitpun kau tidak paham, kenapa gurumu membiarkan kau turun gunung begini sadja?

Suhu bilang kedua urusannja itu betapapun harus diselesaikan dan tidak bisa menunggu lagi. kata Wan-djing.

Dua urusan apakah itu, dapatkah kau mentjeritakan?

Kau adalah suamiku, dengan sendirinja boleh kutjeritakan, kalau orang lain tentu tidak. sahut Wan-djing. Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang.

Aai, sudahlah, sudahlah! tjepat Toan Ki menjela sambil tekap kedua telinganja. Bitjara kesana-kesini sedjak tadi, kalau bukan makan manusia, tentunja membunuh orang, auuuuh....... aduh....... ~ kiranja perutnja terasa kesakitan lagi hingga ia mendjerit pula.

Sigadis tjoba meng-urut2 perut Toan Ki dari luar badju. Se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang hangat2, didalamnja seperti ada barang jang ber-gerak2. Apakah ini? tanja sigadis terus merogoh keluar benda itu dari badju Toan Ki.

Kiranja itu adalah sebuah kotak kemala ketjil. Waktu diperhatikan, didalam kotak terdengar ada suara krok-krok.

Segera Wan-djing bermaksud membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki tjepat mentjegah: Djangan, nona Tjiong bilang tidak boleh buka kotak ini, Djing-leng-tju sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, tentu dia akan lari.

Tjiong Ling bilang djangan dibuka, aku djusteru ingin membukanja, udjar Bok Wan-djing. Segera ia buka tutup kotak pelahan hingga tampak satu selah2 ketjil, waktu diintip dibawah sinar matahari, terlihatlah didalam kotak itu berisi sepasang katak ketjil jang antero badannja berwarna merah darah.

Begitu katak2 merah itu melihat tjahaja, mendadak terus bersuara wak-wak-wak beberapa kali, suaranja keras bagai menguaknja kerbau hingga telinga se-akan2 pekak dibuatnja.

Karuan Toan Ki dan Bok Wan-djing jang dipegangi Bok Wan-djing itu olehnja bhw kedua katak seketjil sadja ia tutup kembali kotak itu. lantas berhenti.

terkedjut, dan karena itu, hampir2 kotak terdjatuh ketanah. Sungguh tak tersangka itu bisa bersuara begitu keras, tjepatan Dan karena kotak ditutup, suara katak itu

Eh, ja, ja, tahulah aku! tiba2 Bok Wan-djing berseru. Pernah kudengar tjerita guruku, katanja binatang ini bernama....... bernama........ ia ingat2 sedjenak, lalu menjambung....... bernama Tju-hap! Ja, benarlah, ini adalah Bong-koh-tju-hap (katak kerbau merah), adalah binatang anti segala djenis ular. Ja, ja, memang benar inilah dianja. Dan entah mengapa bisa berada pada Tjiong Ling......

He, lihatlah! tiba2 Toan Ki berseru.

Ternjata Djing-leng-tju jang melilit dipinggangnja itu tahu2 djatuh ketanah terus meringkuk dengan lemas, sedikitpun tidak berani bergerak. Kim-leng-tju jang tadi sudah menjusup ke-semak2 rumput itu, kinipun merajap keluar dan mendekam dipinggir kaki Bok Wan-djing. Menjusul dari balik batu padas sanapun merajap keluar lagi beberapa ekor ular ketjil, semuanja meringkuk disitu tanpa bergerak sedikitpun se-akan2 lagi memberi sembah kepada kotak kemala.

Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Ha, sepasang katak ketjil ini ternjata bisa memanggil ular, sungguh menarik sekali, marilah kita tjoba2 lagi!

Djangan! tjepat Toan Ki mentjegah, demikian banjak ularnja, apakah tidak mendjemukan?

Kita memegang Tju-hap ini, betapapun banjak ular berbisa djuga kita tidak takut, udjar Wan-djing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala segera sepasang Bong-koh-tju-hap itu menguak lagi dengan ramainja.

Bagus djuga nama binatang ini, suaranja memang mirip banteng menguak, kata Toan Ki dengan tertawa geli.

Kau bilang apa? tanja Bok Wan-djing.

Kiranja suara Toan Ki itu masih kalah kerasnja daripada suara menguaknja katak2 itu, biarpun sigadis berada didepannja djuga tidak djelas mendengarnja.

Toan Ki hanja gojang2 tangannja sambil mendengarkan suara menguak katak2 itu jang semakin keras, bila diperhatikan, diantara suara wak-wak-wak katak2 itu terseling pula suara men-desis2.

Tiba2 Wan-djing menarik badju Toan Ki dan menundjuk kekiri. Pandangan Toan Ki mendjadi silau seketika, belasan ular jang beraneka warnanja gemilapan terkena sinar matahari sedang merajap tiba dengan tjepat sekali. Bahwasanja katak2 merah itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi

hanja dalam sekedjap itu bisa datang ular2 sebanjak itu, betapapun ia djuga terkedjut. Tjepat ia djemput dua potong batu untuk persiapan bila perlu.

Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula segerombol ular dengan matjam2 warnanja, merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainja, jang besar sampai 2-3 meter, jang ketjil hanja belasan senti sadja. Sudah banjak Toan Ki melihat ular, tapi kalau digabungkan seluruhnja, rasanja tiada 1/10 bagian daripada djumlah jang dilihatnja sekarang.

Be-ribu2 ular itu merajap sampai didepan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam ditanah tanpa bergerak, kepala mendjulur kebawah dengan djinak, sedikitpun tidak berani menegak sebagaimana biasanja kalau hendak memagut orang.

Dihadapi ular sebanjak itu dengan bau amis jang memuakan, tanpa terasa Bok -Wan-djing mendjadi djeri djuga, pikirnja: Tju-hap ini menguak terus, mungkin ular2 lain masih akan membandjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak mengusirnja nanti mungkin susah. ~ maka tjepat ia tutup kembali kotak kemala itu.

Walaupun suara menguak katak2 merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu masih tidak bergerak. Aneh djuga, biarpun sebanjak itu ularnja, namun tiada seekor pun jang berani mendekati Toan Ki berdua dalam djarak lingkaran kira2 tiga meter.

Mari kita tjoba keluar sana! adjak Wan-djing sambil memajang Toan Ki.

Dan baru mereka melangkah satu tindak kedepan, beratus ekor ular didepan mereka lantas menjingkir kepinggir, biarpun ular jang paling besar dan menakutkan djuga mengeset mundur dengan djeri.

Waktu mereka melangkah beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menjingkir memberi djalan, Bok Wan-djing mendjadi girang, katanja: Menurut Suhuku, katanja Bong-koh-tju-hap ini adalah mustika adjaib dari alam semesta ini, beliau djuga tjuma mengenal namanja, tapi belum pernah melihat wudjutnja. ~ Habis berkata, tiba2 ia ingat sesuatu, segera tanjanja pada Toan Ki: Dan benda mestika sedemikian pentingnja, mengapa sidara Tjiong Ling itu bisa rela memberikannja padamu?

Melihat sinar mata sigadis menjorot aneh, tjepat Toan Ki mendjawab: Dia........ dia hanja memindjamkannja padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Djing-leng-tju akan turut pada perintahku. ~ Baru selesai ia berkata,

se-konjong2 perutnja kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu ditangannja terdjatuh ketanah, badannja gemetar dan sempojongan.

Lekas2 Bok Wan-djing memajangnja berduduk kesamping batu tadi. Saking menahan kesakitan, bibir Toan Ki sampai petjah2 digigit sendiri, lengan sigadis jang dipegangnja matang-biru karena di-remas2.

Sungguh kasih-sajang Bok Wan-djing susah dilukiskan, tiba2 ia ingat sesuatu, katanja: Longkun, perutmu makin lama semakin sakit, melihat gelagatnja banjak tjelaka daripada selamatnja.

Ja, aku......... aku tidak......... tidak tahan lagi. demikian Toan Ki me-rintih2. Lekas........ lekas engkau bunuh aku sadja.

Pernah aku mendengar dari Suhu, katanja ada ratjun sangat lihay jang takbisa ditolong. kata Wan-djing pula. Tapi kalau memakai ratjun lain untuk menggempur ratjun itu, hasilnja malah sangat mudjarab. Sekarang kau berani tidak menelan beberapa buah kepala ular berbisa?

Saat itu jang diharapkan Toan Ki jalah setjepat mungkin mati sadja, maka tanpa pikir lagi ia mendjawab: Segala apa boleh, lekas beri makan padaku!

Segera Bok Wan-djing mengeluarkan sebilah pisau terus memotong keleher seekor ular berbisa didepannja.

Walaupun disembelih terang2an, namun ular itu sedikitpun tak berani melawan. Maka dengan mudah sadja ber-turut2 Bok Wan-djing telah memotong tiga buah kepala ular berbisa jang berbentuk segi tiga, ia siapkan dibibir Toan Ki dan berkata: Ni, telanlah lekas!

Dengan pedjamkan mata, terus sadja Toan Ki telan mentah2 ketiga kepala ular itu.

Ketiga ular jang dipilih Bok Wan-djing itu semuanja adalah ular loreng2 jang paling berbisa. Maka dalam sekedjap sadja Toan Ki merasa perutnja bertambah melilit bagai di-putir2, ia tidak tahan lagi, ia ber-guling2 ditanah, achirnja hanja berkeledjatan sadja dengan napas senin-kemis.

Karuan Bok Wan-djing sangat terkedjut, tjepat ia periksa nadi pemuda itu, ia merasa mendenjutnja semakin lemah, ia tahu tjata pengobatannja bukan menolong, sebaliknja mempertjepat matinja sang suami. Saking pedihnja, air matanja bertjutjuran, ia rangkul leher Toan Ki dan meratap: O, Longkun, pasti aku akan mengiringi kepergianmu!

Toan Ki hanja gojang2 kepala sadja tak sanggup buka suara lagi.

Tiba2 pisau Bok Wan-djing tjepat bekerdja lagi, tiga buah kepala ular berbisa dipotongnja pula untuk ditelan sendiri. Tapi mulutnja terlalu sempit untuk dimasuki kepala ular. Maka pikirnja: Ratjun ular berada pada air liurnja, biarlah kumengisapnja sadja. ~ segera ia ketjup kepala ular itu dan mengisap ludahnja jang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnja ia sudah merasa mata ber-kunang2 dan kepala pusing, achirnja djatuh pingsan.

Melihat sigadis rela berkorban baginja, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnja bahwa seorang iblis wanita jang biasanja membunuh orang tanpa berkedip itu bisa djatuh tjinta sedalam itu kepada dirinja. Segera ia meronta sekuatnja untuk merangkul Bok Wan-djing, ia merasa perutnja kesakitan pula, achirnja iapun tak sadarkan diri lagi.

Entah sudah lewat berapa lamanja, pelahan2 Toan Ki siuman, waktu membuka mata, ia mendjadi silau oleh tjahaja matahari, kembali ia pedjamkan lagi. Tapi terasa pangkuannja terangkul sesosok tubuh jang lunak hangat. Ia tjoba memusatkan pikiran dan membuka mata lagi untuk melihat, ternjata muka Bok Wan-djing jang putih putjat itu masih bersandar diatas dadanja. Ia membatin: Setelah kami berdua menudju achirat, ternjata masih berada bersama, suatu tanda bahwa tjerita tentang alam halus segala bukanlah dongengan belaka.

Tiba2 ia mendengar ditempat agak djauh sana ada suara orang lagi berkata: Djika binatang2 pandjang ini merintangi djalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!

Tapi seorang lain telah membentaknja: Djangan! Sin-kun suruh kita menawannja hidup2, kalau kau mentjelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun?

Waktu Toan Ki memandang kearah datangnja suara2 itu, ia lihat ada empat laki2 berbadju kuning lagi berdiri ditepi djurang situ, tangan mereka membawa tangkai kaju sedang me-nuding2 dirinja. Tampaknja sangat djeri pada ular2 jang merajap ditanah situ, maka tidak berani mendekatinja.

Ketika Toan Ki memandang lagi kesekelilingnja, ia lihat dirinja dilingkari kawanan ular jang lagi me-rajap2, tjahaja sang surja terang-benderang, suasana demikian tiada ubahnja seperti waktu dirinja mati itu, seketika pikirannja tergerak: He, djangan2 aku tidak djadi mati? ~ Segera ia merasa badan Bok Wan-djing jang berada dipangkuannja itu memang masih lunak2 hangat, napasnja mengeluarkan bau harum jang semerbak, njata, gadis itupun masih selamat tak kurang suatupun apa.

Saking girangnja, terus sadja Toan Ki ber-teriak2: Hura, aku belum mati, aku belum mati!

Keempat laki2 berbadju kuning itu memangnja sudah lama tunggu disitu, soalnja karena dirintangi kawanan ular, maka tidak berani mendekati. Ketika mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka mendjadi kaget djuga.

Dalam pada itu, dengan merengek sekali, Bok Wan-djing djuga sudah siuman, begitu membuka mata, segera ia menanja dengan pelahan: Longkun, apa kita sudah sampai diachirat!

Tidak, tidak, kau belum mati, akupun tidak mati! Sungguh adjaib sekali bukan? seru Toan Ki.

Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat! bentak seorang laki2 badju kuning tadi. Hajo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!

Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu sadja girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris gemboran orang itu? Segera ia berkata pula kepada Bok Wan-djing: Sungguh aneh bin adjaib, kita ternjata tidak djadi mati, bahkan sakit perutku djuga sudah sembuh. Tjaramu menjerang ratjun dengan ratjun itu ternjata sangat mandjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum?

Ketika Wan-djing gerakan badannja, ia merasa luka dipunggungnja kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak mengurangi rasa girangnja jang luar biasa, sahutnja dengan tertawa: Lukaku bukan keratjunan, maka ratjun ular ini tidak bisa menjembuhkan luka-luka ini. Ternjata kita berdua tidak mati oleh ratjun ular, tampaknja kita berdua djauh lebih lihay daripada ular berbisa!

Njata Toan Ki dan Bok Wan-djing jang tidak luas pengetahuannja itu tidak tahu, bahwa ratjun ular itu baru bisa mentjelakai orang apabila masuk kedalam darah melalui sesuatu luka. Tapi kalau dimakan kedalam perut, asal diantara mulut,

lidah, tenggorokan dan usus tiada sesuatu luka, ratjun ular itu tiada berbahaja sama sekali. Sebab itulah, makanja bila orang dipagut ular berbisa, orang berani mengisap ratjun dari luka pagutan itu tanpa ikut keratjunan.

Kini setjara ngawur kedua muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan mengisap ratjun ular, sebaliknja malah membawa hasil jang diluar dugaan mereka.

Toan-djiong-san jang lihay itu benar2 lenjap digempur oleh ratjun tiga buah kepala ular jang dimakan Toan Ki itu. Tjuma mereka sudah tak sadarkan diri selama semalam suntuk, kini sudah mengindjak esok pagi hari kedua.

Sementara itu seorang laki2 badju kuning diantaranja jang berperawakan paling tinggi disana sedang membentaknja lagi: Hai, kedua botjah itu, lekas kalian kesini!

Pelahan2 Bok Wan-djing berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wadjah jang masih bersenjum simpul, mendadak ia samber seekor ular ditanah terus dilemparkan kearah laki2 itu.

Karuan laki2 itu kaget, tjepat ia berkelit. Diluar dugaan, Bok Wan-djing menjamber dan menimpuk lagi ber-ulang2 dengan ular berbisa disekitarnja itu. Tentu sadja keempat laki2 itu kelabakan dihudjani ular sebanjak itu, sambil berteriak kaget diseling tjatji-maki, mereka menghindar kian-kemari sembari ajun tangkai kaju ditangan mereka untuk menjampok.

Begitu terlepas dari pengaruh Bong-koh-tju-hap, ular2 berbisa itu seketika bergerak dengan sebat sekali, dua ekor diantaranja jang berbuntut pandjang terus membelit hingga melilit diatas batang kaju jang disabetkan itu, menjusul terus meledjit madju untuk memagut. Seketika seorang badju kuning itu kena gigit mukanja dan tak terlepas lagi.

Sementara itu Bok Wan-djing masih terus melemparkan ular, karuan laki2 berbadju kuning itu semakin kelabakan, se-konjong2 terdengar djeritan ngeri laki2 jang bertubuh paling tinggi tadi saking gugupnja telah tergelintjir kedalam djurang.

Seorang lagi mendjadi kaget hingga lehernja kena digigit oleh ular berbisa jang lain. Rupanja ratjun ular ini teramat djahatnja, jang digigit adalah pembuluh darah besar dileher, kontan sadja laki2 itu menggeletak binasa.

Sisa seorang lagi bertubuh pendek ketjil, tapi gerak-geriknja sangat lintjah dan gesit. Belasan ular jang ditimpukkan Bok Wan-djing itu dapat dihindarkan semua. Tapi begitu ular2 itu djatuh ketanah, segera merajap dan menggigit pula kebagian kakinja.

Laki2 itu benar2 hebat djuga, ia bisa menghindar kian-kemari dengan tjekatan sekali, namun keadaannja makin lama djuga makin bahaja.

Lekas kau turun kebawah, djiwamu lantas diampuni! seru Toan Ki.

Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi! udjar Bok Wan-djing. Berbareng empat ular dilemparkannja sekaligus.

Saat itu orang berbadju kuning itu lagi sibuk menghindar pagutan ular ditanah, ia sudah mundur sampai ditepi djurang, maka timpukan empat ular itu terang takbisa dihindarkannja. Mendadak serangkum angin keras menjampok dari belakang, seketika belasan ular disekitar laki2 itu kena tersapu djauh kedepan, menjusul sesosok bajangan kuning tampak melajang keatas karang, sekali dorong, laki2 badju kuning tadi kena disodok ketempat luang jang ditinggalkan kawanan ular itu. Orang jang baru melompat naik itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri ditempatnja dengan mata djelilatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.

Ketika laki2 badju kuning itu sudah bisa berdiri tegak dan melihat jang datang itu adalah malaikat buaja laut selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanja sanggup menjebut: Sin-kun! ~ pikirnja hendak berlutut, tapi saking ketakutan, badannja gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak berlututpun takbisa lagi.

Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika wadjah Toan Ki dan Wan-djing berubah semua.

Kusuruh kau tangkap botjah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanja masih belum dilakukan? kata Lam-hay-gok-sin pada laki2 badju kuning tadi. Apa barangkali kau hendak merat ja ?

Saking ketakutan, gigi laki2 itu sampai kerutukan, sahutnja dengan tak djelas: Ham........ hamba ti....... tidak....... ~ sampai disini, ia tidak sanggup lagi meneruskan saking gemetarnja.

Tiba2 Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak djelas tjara bagaimana dia melangkah madju, tahu2 dada laki2 itu sudah didjambretnja terus diangkat, ia ter-kekeh2 iblis beberapa kali, mendadak tangan jang lain terus mendjambat rambut laki2 itu, sekali puntir, kriut, buah kepala laki2 itu telah dipuntir potol mentah2.

Kontan sadja darah segar muntjrat dengan derasnja hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi sedikitpun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan tampak sangat senang. Kepala andjing! damperatnja malah kepada kepala jang sudah potol itu, dan sekali lempar, kedua potong majat itu dilemparkannja kedjurang.

Mendadak ia hantamkan tangannja kedepan lagi, dimana angin pukulannja menjamber, kawanan ular terpaksa menjingkir djauh kepinggir. Dengan langkah lebar ia bertindak madju. Tjepat Bok Wan-djing menarik Toan Ki hendak menjingkir, tapi sudah terlambat. Tiba2 Lam-hay-gok-sin ulur tangan kiri kedepan, seketika lengannja se-akan2 mulur sekali lipat pandjangnja hingga badju tengkuk Bok Wan-djing kena didjambretnja terus diangkat keatas.

Toan Ki menjangka orang djuga hendak melemparkan sigadis kedjurang, dengan kuatir ia berteriak: Djangan, djangan! Boleh kau bunuh diriku sadja!

Terhadap kawanan ular jang masih penuh merajap disekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak djeri djuga. Ketika tangannja menghantam pula, dibawah hamburan batu pasit, kembali belasan ular kena dibinasakan olehnja. Tiba2 ia melompat mundur ketepi djurang sambil mengangkat Bok Wan-djing, kaki kirinja terangkat tinggi2 keatas, hanja kaki kanan sadja jang berdiri ditepi djurang dengan gaja Kim-khe-tok-lip atau ajam emas berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnja setengah terguntai2 se-akan2 setiap detik bisa terdjerumus kedjurang bersama sigadis.

Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer kepandaiannja, ia kuatirkan djiwa Bok Wan-djing, tjepat ia ber-teriak2 lagi: Awas, hati2, djangan sampai terpeleset!

Sedikitpun Bok Wan-djing takbisa berkutik karena ditjengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki berada ditengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak me-rajap2 madju, tjepat ia lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru: Awas, terimalah ini!

Dengan ter-sipu2 Toan Ki menangkap kotak itu dan sjukurlah dapat diterimanja dengan baik walaupun rada kerepotan. Dan begitu: Bong-koh-tju-hap itu berada ditangannja, serentak kawanan ular itu mendekam ditanah tak berani bergerak lagi.

Lotjianpwe, su........ sudilah kau melepaskan dia. demikian Toan Ki memohon.

Siantju, kau sangat mirip aku, mau-tidak-mau aku harus menerima kau sebagai murid. sahut Gok-sin. Tjuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanja hanja murid jang memohon sang guru menerimanja, tidak pernah sang guru jang mohon si murid. Makanja aku akan menunggu kau dipuntjak bukit sana...... sembari berkata, ia tundjuk kearah puntjak paling tinggi jang penuh tertimbun saldju dikedjauhan sana. Lalu menjambung pula: Bila kau datang memohon aku menerima murid padamu, aku lantas mengampuni njawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeek .......... ~ ia sengadja memberi tjontoh tjara bagaimana akan memuntir patah kepalanja Bok Wan-djing.

Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat kebawah, tangan kiri menahan dinding djurang terus memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-djing dengan tjepat luar biasa, Tiap2 kali kalau meluntjurja kebawah agak terlalu tjepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem sedetik untuk kemudian baru menurun lagi. Agaknja tangan Lam-hay-gok-sin jang menahan didinding djurang itu jang mengeremnja.

Dalam keadaan begitu, djangankan Bok Wan-djing sama sekali takbisa berkutik, sekalipun bisa djuga tidak berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang terampung diudara. Sampai achirnja, gadis itu pedjamkan mata sekalian membiarkan dirinja dibawah turun.

Selang sebentar, terasa tubuhnja mendal sekali, njata mereka sudah sampai didataran djurang itu. Begitu mengindjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti, tapi terus berlari lagi sambil mendjindjing Bok Wan-djing.

Perawakan Lam-hay-gok-sin hanja sedang sadja, sebaliknja perawakan Bok Wan-djing dikalangan wanita boleh dikata terhitung djangkung, kalau keduanja berdiri sedjadjar hampir sama tingginja. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mentjengkeram leher badju gadis itu bagai mendjindjing anak ketjil, sedikitpun tidak membuang tenaga.

Dengan gerakannja jang gesit tangkas itu, sebentar sadja Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah jang penuh batu2 dan kabut itu. Segera ia mendaki pula kebukit didepannja, karena lereng bukit itu lebih miring, maka mendakinja lebih mudah.

Berada dibawah tjangkingan Lam-hay-gok-sin, diam2 Bok Wan-djing memikir: Aku masih mempunjai sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menjerangnja, mungkin bisa gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan semuanja, Entah badannja benar2 kekal atau karena dia memakai badju lapis badja jang tak tembus sendjata?

Berpikir begitu, ia tjoba pelahan2 menjentuh punggung orang, tapi terasa lunak2 sadja tiada lapisan badja segala, hanja sadja kulit dagingnja djauh lebih keras daripada orang biasa, diam2 Wan-djing membatin pula: Tampaknja pembawaan orang ini memang luar biasa, ilmu silatnja aneh pula. Kalau aku sembarangan turun tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnja susah dibajangkan.

Tiba2 terdengar Lain-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata: Hehe, apa kau hendak menusuk atau memanah aku? Hm, djangankan harap, aku takkan mati dibunuh dan takkan luka diserang. Kau adalah bininja muridku, sementara ini aku tidak bikin susah padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala mana ia bukan lagi muridku dan kaupun bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-hay-gok-sin melihat nona tjantik, selamanja perkosa dulu bunuh belakang, sekali2 tidak main sungkan lagi.

Bok Wan-djing mengkirik oleh utjapan itu, sahutnja: Suamiku sedikitpun takbisa ilmu silat, diatas djurang setjuram itu, tjara bagalmana ia bisa turun? Tapi saking kuatirkan diriku, tentu dia akan mati2an datang kemari mengangkat guru padamu, kalau terpeleset, ia akan djatuh hantjur lebur kedalam djurang. Bila begitu, kau akan kehilangan seorang murid lagi. Bahan bagus, kwalitet tinggi begitu, kemana kau bisa tjari lainnja?

Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanja: Benar djuga katamu. Aku tidak pikirkan bahwa Siautju itu takbisa turun gunung.

Se-konjong2 ia bersuit njaring, segera diatas bukit sebelah timur sana ada orang menjabut. Kata Lam-hay-gok-sin: Pergi keatas karang tandus itu, gendonglah botjah itu kepadaku, djangan mentjelakai djiwanja!

Kembali orang disebelah sana bersuara pandjang menjahut.

Diam2 Bok Wan-djing sangat tertjengang: Lam-hay-gok-sin ini hanja bitjara biasa sadja, dan suaranja lantas tersiar kelereng gunung jang djauh itu, kepandaian setinggi ini, biarpun guruku djuga tidak mampu menandinginja.

Sebaliknja begundainja jang diatas bukit sana terpaksa harus menggembor baru bisa terdengar dari sini.

Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin mendjindjing Bok Wan-djing melandjutkan perdjalanan lagi. Diam2 Wan-djing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki datang, dirinja takkan berbahaja. Tjuma watak sang suami itu sangat kukuh, bila dia dipaksa angkat Lam-hay-gok-sin jang buas dan kedjam itu sebagai guru, mungkin biarpun mati djuga tidak sudi. Pikirnja pula: Terhadapku, rupanja ia tjuma timbul dari rasa membela keadilan sadja dan bukan karena tjinta-kasih suami-isteri, boleh djadi dia takkan sudi berkorban bagiku dengan mengangkat guru sedjahat ini. Ai, baik atau djelek aku harus melihatnja sekali lagi, asal dia masih selamat tak kurang apa2, tidak terdjatuh kedjurang, barulah aku merasa lega.

Berpikir sampai disini, diam2 ia kedjut. sendiri: He, kenapa aku mendjadi demikian memperhatikan dia dan mentjintainia sedalam ini? Wahai, Bok Wan-djing, tidak pernah begini selama hidupmu!

Tengah Bok Wan-djing terombang-ambing oleh pikirannja sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah membawanja keatas puntjak sana. Tenaga Gok-sin ini benar2 kuat luar biasa, tanpa berhenti sedikitpun, ia masih terus melintasi empat bukit lagi, achirnja baru dia mentjapai puntjak tertinggi jang dikelilingi lereng2 bukit itu.

Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-djing, terus sadja ia buka tjelana dan kentjing disitu. Sungguh gusar Bok Wan-djing tidak kepalang. la pikir manusia ini benar2 kasar, rendah dan djahat tiada ubahnja seperti binatang. Tjepat ia menjingkir agak djauh serta memakai kedoknja lagi. la pikir wadjah sendiri jang tjantik manis ini kalau lebih banjak dipandang olehnja, bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannja akan angot, tatkala mana soal bini murid apa segala tentu tak dipeduli lagi.

Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia herkata: Ehm, bagus djuga kau memakai kedok lagi. Sebentar ada beberapa orang djahat akan datang, kesemuanja adalah manusia2 jang tidak kenal aturan, bila wadjahmu jang tjantik itu dilihat mereka, tentu akan berabe.

Aku adalah isteri murid kesajanganmu, masakah orang lain berani kurang-adjaran padaku? udjar Wan-djing.

Tapi beberapa keparat andjing ini terlalu djahat, terlalu buas! sahut Gok-sin sambil geleng2 kepala dan mengerut kening.

Aku tidak pertjaja, masakah didjagat ini masih ada orang jang lebih galak dan djahat daripada engkau? udjar Wan-djing dengan tertawa.

Mendadak Lam-hay gok-sin menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah2: Ja, memang tidak adil! Diantara Su-ok didjagat ini, urutan Lotju adalah nomor tiga. Sungguh tidak adil, aku harus berusaha mentjapai jang nomor satu!

Diam2 Bok Wan-djing berpikir: Nama Sam-sian-su-ok pemah aku mendengar dari Suhu. Ketika aku akan membunuh Sun He-khek, akupun pernah menanja djelas wadjah dan kelakuan gurunja, maka mengetahui begitu suara suitannja terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan muntjul. Tapi tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok itu dia terhitung nomor tiga. Ternjata didunia ini masih ada jang djauh lebih djahat dari dia, sungguh susah untuk dimengerti.

Segera Bok Wan-djing menanja: Lalu, siapakah jang nomor satu dan nomor dua?

Buat apa kau tanja? bentak Gok-sin dengan mendelikan matanja jang sebesar kedelai itu. Apa kau bermaksud mengedjek aku? Djika kau anggap Lotju kurang djahat, segera kusembelih kau dulu, boleh djadi karena itu akan terus naik pangkat mendjadi nomor dua! habis berkata, braak, mendadak ia menghantam sebatang pohon Siong disampingnja. Seketika pohon itu patah bagian tengah dan ambruk dengan gemuruh.

Meski pohon Siong itu tidak terlalu besar, tapi paling sedikit djuga ada sebulatan mangkok besamja, tapi sekali hantam sudah dipatahkan olehnja, diam2 Bok Wan-djing melelet lidah, Pikirnja: Apa gunanja umpama dapat merebut sebutan djuara orang djahat diseluruh djagat ini? Tapi oleh orang ini dianggapnja sebagai suatu noda jang memalukan bila tidak bisa menduduki djuara itu, maka paling baik aku djangan meng-korek2 boroknja itu, supaja aku tidak telan pil pahit. Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pedjamkan mata sambil bersandar dibatu padas untuk memulihkan semangat.

Kenapa kau bungkam? Dalam hati kau memandang hina padaku bukan? tiba2 Lam-hay-gok-sin berkata pula.

Tidak, sahut Wan-djing, Aku djusteru lagi berpikir kenapa sebutan orang djahat nomor satu diseluruh djagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kedjahatan dan kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihi engkau, namun ilmu silatnja apa bisa lebih unggul darimu?

Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dgn marah2, katanja: Makanja kami harus mengulangi bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing2.

Melihat gelagatnja, Bok Wan-djing dapat menduga keempat orang djahat itu pasti sudah pernah bertanding, agar tidak membikin marah orang, ia pikir djangan menjinggungnja lagi, maka katanja: Gak-lotjianpwe, sebenarnja siapakah nama engkau orang tua? Dapatkah kau memberitahu agar kelak aku mudah memanggil engkau bila suamiku sudah mendjadi muridmu.

Aku bernama Gak............ Gak............ ah, keparat! mendadak Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menjabutkan namanja sendiri: Namaku adalah pemberian ajahku, tapi namaku ini terlalu djelek, ajahku selamanja tidak berbuat sesuatu jang baik, benar2 andjing keparat!

Hampir2 Bok Wan-djing tertawa geli, pikirnja: Orang ini benar2 lebih durhaka daripada binatang, masakah ajah sendiri djuga ditjatji-maki. Dan kalau ajahmu andjing keparat, lalu engkau sendiri apa?

la lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian kembari, tampaknja merasa gopoh sekali. Tiba2 Wan-djing teringat pada Toan Ki, pikirnja: Entah sekarang dia sudah turun gunung dengan selamat tidak? Djika dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu?

Pada saat itulah, tiba2 ditengah udara terombang-ambing suara tangisan jang lirih pelahan, suaranja sangat memilukan, sajup2 seperti seorang wanita lagi menangis: O, anakku! O, sajangku!

Hanja dua kalimat itu sadja suara tangisan itu sudah membikin perasaan Bok Wan-djing terguntjang hebat se-akan2 semangat akan meninggalkan raganja.

Fui, mendadak Gok-sin meludah lagi dan berkata: Hm, orang menangisi kematian itu sudah datang! menjusul ia lantas menggembor: Kau menangisi apa? Lotju sudah lama menanti disitu!

Namun suara itu sajup2 masih terus menangis dengan pilunja: O, anakku, betapa ibu mengenangkan engkau!

Perasaan Bok Wan-djing mendjadi katjau-balau oleh pengaruh suara itu,

tanjanja: Apakah ini sidjahat nomor empat?

Perempuan ini adalah Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio, gelar Ok nja itu berurut ditempat kedua, tapi pada suatu ketika aku Hiong-sin-ok-sat pasti akan bertukar gelar dengan dia, demikian sahut Lam-hay-gok-sin.

Baru sekaraqg Bok Wan-djing mengarti seluk-beluknja urut2an Su-ok itu. Kiranja jang mendjadi antjer2 urutan mereka itu adalah pada huruf Ok itu. Yap Dji-nio bergelar Bu-ok-put-tjok atau tiada kedjahatan jang tak dilakukannja, karena huruf Ok itu djatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang djahat nomor dua didunia ini. Sedang Lam-hay-gok-sin itu berdjuluk Hiong-sin-ok-sat atau malaikat buas setan djahat, huruf Ok adalah huruf ketiga, maka iapun menurut urut2an menduduki tempat ke-tiga.

Segera Wan-djing menanja lagi: Lalu, siapakah djulukan orang djahat nomor satu didjagat ini? Dan siapa pula jang nomor empat itu?

Buat apa kau tanja? Aku tidak tahu! seru Lam-hay-gok-sin marah2.

Tapi mendadak suara seorang wanita jang halus telah menjambungnja: Lotoa kami berdjuluk Ok-koan-boan-eng dan Losi kami bergelar Kiong-hiong-kek-ok.

Sungguh heran sekali Bok Wan-djing oleh nama2 jang aneh itu, njata, sesuai dengan urut2an huruf Ok itu, Lotoa atau jang tertua, berdjuluk Ok-koan-boan-eng atau kedjahatan melebihi takaran, dan Losi, sinomor empat, bergelar Kiong-hiong-kek-ok atau buas dan kedjam luar biasa. la terkedjut pula oleh betapa tjepat datangnja Yap Dji-nio itu, kedengarannja tadi masih djauh, tahu2 sekarang sudah muntjul disitu.

Dalam kedjutnja itu segera ia perhatikan wanita itu. la lihat orang mengenakan badju pandjang warna hidjau muda, rambutnja pandjang terurai, usianja kurang-lebih 40 tahun, air mukanja tjukup tjantik, tjuma kedua pipinja masing2 terdapat tiga djalur merah darah seperti bekas tjakaran. Pada tangannja membopong seorang anak laki2berumur kira2 dua tahun, mungil dan menjenangkan.

Semula Wan-djing sangka Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio itu menurut urut2an masih diatasnja Lam-hay-gok-sin, teutu orangnja djauh lebih bengis menakutkan, siapa tahu orangnja ternjata rada tjantik djuga. Karena itu, tanpa merasa ia pandang orang beberapa kali. Tiba2 Yap Dji-nio tersenjurn kepadanja, seketika Bok Wan-djing mengkirik, ia merasa diantara senjum wanita itu lapat2

mengandung rasa sedih dan duka luar biasa hingga bagi siapa jang memandangnja rasanja mendjadi terharu se-akan2 ikut menangis. Maka lekas2 ia berpaling kearah lain, ia tidak berani memandang padanja lagi.

Sam-moay, kenapa Toako dan Site masih belum datang? tanja Lam-hay-gok-sin.

Dengan pelahan Yap Dji-nio mendjawab: Sudah terang gamblang kalau kau adalah Losam, tapi kau mati2an ingin melampaui aku, ja? Tjoba kau panggil lagi sekali Sam-moay, hm, Entjimu ini tidak mau sungkan2 lagi padamu!

Lam-hay-gok-sin meudjadi gusar, serunja: Tidak sungkan2 lagi, lalu mau apa? Apa kau mengadjak berkelahi?

Untuk berkelahi tentu tidak kekurangan waktu, emangnja apa aku djeri padamu? sahut Yap Dji-nio. Benar tidak, Bok Wan-djing?

Mendengar nama sendiri disebut, seketika Bok Wan-djing tergetar, semangatnja seakan2 me-lajang2 terlepas dan raganja. Dalam terkedjutnja segera ia mendjadi sadar djuga. Kiranja Yap Dji-nio itu lagi menggunakan ilmu Liap-hun-tay-hoat, jaitu sematjam hipnotis pada djaman kuno jang lihay, bila sinar mata kedua orang saling beradu, seketika akan djatuh dibawah pengaruhnja serta menurut segala perintahnja. Hal ini pernah Bok Wan-djing mendengar dari gurunja. Maka ia tidak berani semberono lagi, lekas2 pusatkan semangat dan kerahkan Lwekangnja sambil menarik kain kedoknja untuk menutup mukanja, bahkan kedua mata djuga ditutupnja sekalian.

Bok Wan-djing, terdengar Yap Dji-nio berkata lagi dengan tertawa, paling achir ini nama djahatmu sangat tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta mendjadi Go-moay (adik kelima) kami, rasanja boleh djuga. Betui tidak, Sam-te?

Tidak! sahut Lam-hay-gok-sin keras2.

Kenapa tidak? tanja Yap Dji-nio dengan ramah.

Dia adalah bininja muridku, mana boleh mendjadi Go-moayku? Toh sudah tjukup mempunjai seorang Sam-moay seperti kau! demikian sahut Gok-sin. Mendadak ia membentak kearah lain: Gelinding kemari! Dimana botjah she Toan itu? Kenapa tidak dibawa kemari?

Kiranja orang jang tadi disuruhnja mentjari Toan Ki itu telah datang. Maka tertampaklah orang itu mendjawab dari tempat sedjauh belasan tombak dengan gelagapan: Ham............ hamba sampai diatas karang itu, tapi............ tapi orangnja sudah menghilang. Hamba telah mentjarinja ke-mana2, tapi tidak............... tidak ketemu!

Karuan Bok Wan-djing terkedjut, ia mendjadi kuatir djangan2 Toan Ki sudah mati terdjatuh kedalam djurang.

Segera ia dengar Lam-hay-gok-sin lagi membentak: Apakah disebabkan kau terlambat datang kesana, maka botjah itu telah mati djatuh kedalam djurang?

Orang itu tidak berani mendekat, djawabannja bertambah gelagapan: Tapi hamba............ hamba sudah mentjari keseluruh lembah dan tidak menemukan majatnja, djuga tidak melihat sesuatu tanda bekas darah.

Mustahil! Apa mungin dia mampu terbang kelangit? Kau berani mendustai aku, ja? bentak Gok-sin dengan murka.

Saking ketakutan, orang itu mendjura mati2an minta ampun sambil bentur2kan kepalanja keatas batu didepannja hingga mengeluarkan suara kerotokan.

Mendadak terdengar suara menjambernja angin, sesuatu benda antap telah melajang kesana, plok, seketika orang itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara2 itu, Bok Wan-djing menduga pasti Lam-hay-gok-sin telah timpukan sepotong batu hingga membinasakan orang itu.

Sebenamja Bok Wan-djing sendiri adalah seorang iblis jang membunuh orang tanpa berkedip, orang itu tidak mampu menemukan Toan Ki, ia sendiripun gemasnja tidak kepalang, andaikan Lam-hay-gok-sin tidak binasakan orang itu, ia sendiripun djuga tidak mau mengampuninja. Sesaat itu pikirannja mendjadi timbul-tenggelam: Dia sudah menghilang dari karang itu, tapi majatnja tidak kelihatan didasar djurang, lalu kemana dia telah pergi? Apa mungkin ditelan ular besar? Ah, tidak mungkin, dia membawa Bong-koh-tju-hap, segala djenis ular tidak berani gariggu padanja. Ja, tentu dia tedjatuh ditempat jang terpentjil, maka orang itu takbisa menemukannja, atau mungkin majatnja telah diketemukan orang itu, tapi tidak berani mengaku terus terang.

Semakin dipikir, ia merasa kemungkinan Toan Ki sudah meninggal. Waktu dia berpisah dari pemuda itu, ia sudah ambil keputusan: pabila Toan Ki mati, pasti dia djuga akan menjusulnja. Apalagi sekarang dirinja berada dibawah tjengkeraman Lam-hay-gok-sin, kalau tidak mati, entah siksaan kedji apa jang akan dirasakannja. Tapi sebelum melihat majatnja Toan Ki, betapapun toh masih ada harapan bahwa pemuda itu masih hidup? Karena itulah, iapun tidak rela kalau mati begitu sadja.

Sedang pikiran Bok Wan-djing katjau, tiba2 terdengar anak ketjil dipondongan Yap Dji-nio itu ber-teriak2 menangis: lbu, ibu, mana ibuku?

Anak baik, bukankah aku inilah ibumu! demikian Yap Dji-nio membudjuknja.

Tapi tangis botjah itu semakin keras malah: Tidak, kau bukan ibuku! Aku minta ibu, mana ibuku?

Pelahan2 Yap Dji-nio men-tepuk2 badan anak itu sambil menina-bobokannja dengan lagu kanak2. Narnun bukannja diam, sebaliknja tangis anak itu semakin keras. Tapi Yap Dji-nio tetap menina-bobokannja dengan sabar sambil melagukan: O, tidurlah anakku................... dan sebagainja.

Lam-hay-gok-sin mendjadi geregatan oleh suara2 jang membisingkan itu, dasar wataknja memang kasar, ditambah kehilangan tjalon murid kesajangannja, ia mendjadi lebih gopoh lagi, tiba2 ia inembentak: Kau membudjuk kentut! Kalau mau isap darahnja, lekas lakukanlah!

Namun Yap Dji-nio tidak gubris padanja, ia masih terus menina-bobokan baji itu.

Sampai mengkirik Bok Wan-djing mendengarnja, makin dipikir makin takut hatinja. Semula ketika melihat Yap Dji-nio jang bergelar orang djahat nomor dua didunia ini ternjata membawa seorang baji jang mungil, memangnja ia sudah heran. Kini mendeagar utjapan Lam-hay-gok-sin itu, djadi Yap Dji-nio itu bakal mengisap darah anak itu, mau-tak-mau timbul rasa gusarnja serta takut pula. Pikirnja: Tjara bagaimanakah aku bisa menjelamatkan anak ketjil ini? Tapi bila ingat mati-hidup Toan Ki masih belum diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan orang lain. Namun suara nina-bobo Yap Dji-nio jang penuh rasa kasih-sajang itu, makin lama makin memuakan perasaannja.

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, damperatnja: Setiap hari kau pasti minta korban seorang baji, tapi sengadja kau berlagak welas-asih,

sungguh memuakan dan tidak tahu malu!

Djanganlah kau gembar-gembor hingga bikin kaget anakku! sahut Yap Dji-nio dengan suara halus.

Gok-sin mendjadi murka, mendadak anak dipondongan Yap Dji-nio itu hendak didjambretnja untuk dibanting mati. Tapi betapapun tjepatnja ternjata masih kalah tjepat daripada Yap Dji-nio. Hanja sedikit memutar, tjakaran Gok-sin itu sudah luput.

Aija, Sam-te, tanpa sebab apa2, kenapa kau mengganggu anakku ini? demikian dengan nadanja jang penuh rasa kasih-sajang seorang ibu, Yap Dji-nio mengomel.

Walaupun kedua mata Bok Wan-djing ditutup sendiri dengan kain kedoknja, tetapi ia dapat mengikuti kedjadian tadi dengan telinganja. la pikir: Yap Dji-nio ini memang pantas berada diatasnja Lam-hay-gok-sin. Malaikat buaja ini djangan harap selama hidup mampu melampaui wanita itu.

Benar djuga, sekali djamberat tidak kena, rupanja Lam-hay-gok-sin tahu djuga kalau bergebrak tentu akan sia2 belaka. Hanja mulutnja jang masih memaki: Kurangadjar, Lotoa dan Losi kedua anak kura2 ini kenapa sampai saat kini masih belum datang, aku tidak sabar menunggunja lagi.

Kau tahu tidak bahwa kemarin Losi telah ketemukan musuh di tengah djalan dan menelan pil pahit? tiba2 Yap Dji-nio menanja.

He, Losi kepergok musuh? Siapa dia? tanja Gok-sin heran.

Tiba2 Yap Dji-nio menuding Bok Wan-djing dan berkata: Budak ini tampaknja tidak beres, kau sembelih dia dahulu baru kemudian kutjeritakan.

Lam-hay-gok-sin mendjadi ragu2, sahutaja: Dia adalah bini muridku, kalau kusembelih dia, muridku tentu akan ngambek tak-mau angkat guru padaku.

Djika begitu, biarlah aku jang kerdjakan, udjar Yap Dji-nio dengan tertawa. Kalau muridmu ngambek, suruh dia mentjari balas padaku. Habis, kedua matanja

sih terlalu menggiurkan bagi siapapun jang melihatnja, aku mendjadi iri tak memiliki mata sedjeli itu. Biarlah kutjolok dulu kedua bidji matanja!

Sungguh kaget Bok Wan-djing tidak kepalang hingga keringat dingin seketika membasahi badannja. Sjukurlah ia dengar Lam-hay-gok-sin telah mentjegah: Djangan! Biar kututuk sadja Hiat-to pingsannja, biar dia tidur selama sehari dua malam! ~ dan tanpa menunggu djawaban Yap Dji-nio lagi, se-konjong2 orangnja melompat kesamping Bok Wan-djing dan menutuk dua kali. Seketika Bok Wan-djing merasa kepalanja pening, lalu tak sadarkan diri lagi............

Entah sudah berapa lama, ketika pelahan2 Bok Wan-djing siuman kembali, ia merasa badannja sangat dingin, segera terdengar pula serentetan suara tertawa mengikik. Meski dikatakan tertawa, hakikatnja tiada rasa tawa sedikitpun, tapi lebih mirip dikatakan suara mengilukan dan beradunja benda logam misalnja sebilah golok jang di-gosok2kan diatas papan badja.

Bok Wan-djing sangat tjerdik, ia tahu, sekali dirinja bergerak, seketika pasti akan diketahui pihak lawan, boleh djadi akan mengakibatkan dirinja disiksa. Maka meski badannja serasa kaku pegal sekali, ia tidak berani sembarangan bergerak.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata: Losi, tidak perlu kau omong gede! Sam-moay telah beritahu padaku bahwa kau telah telan pil pahit dari orang, buat apa kau masih menjangkal? Sebenarnja kau dikerojok berapa orang musuh?

Suara orang jang mirip logam digosok itu segera mendjawab: Huh, apa jang diketahui Dji-tji? Aku dikerubut tudjuh orang musuh, semuanja tergolong djago2 kelas satu, sudah tentu, betapa tinggi kepandaianku djuga takbisa sekaligus membunuh musuh sebanjak itu.

Eh, kiranja Losi jang berdjuluk Kiong-hiong-kek-ok itu djuga sudah datang, demikian pikir Bok Wan-djing. Sebenarnja ia sangat ingin melihat matjam apakah Kiong-hiong-kek-ok itu, namua betapapun ia tidak berani sembarangan menarik kain kedoknja.

Terdengar Yap Dji-nio ikut berkata: Ah, Losi memang suka omong besar. Sudah terang pihak lawan tjuma dua orang, dari mana bisa muntjul lima orang lagi? Masakah didunia ini terdapat djago pilihan sebanjak itu?

Hm, darimana pula kau mengetahui? Apa kau menjaksikan dengan mata-hidungmu

sendiri? sahut Losi dengan gusar.

Kalau aku tidak menjaksikan sendiri, dengan sendirinja aku takkan tahu, kata Yap Dji-nio dengan tersenjum. Bukankah kedua orang itu masing2 menggunakan sendjata sebatang pantjing ikan dan jang lain memakai kampak? Hihihi, kelima orang lain jang kau bikin sendiri itu lalu memakai sendjata apa, tjoba katakan?

Se-konjong2 Losi berbangkit, dengan suara keras ia berkata: Djadi waktu itu kau berada disana, kenapa kau tidak rnembantu padaku? Kau ingin aku mati ditangari orang, dan kau senang, ja?

Tapi Yap Dji-nio tetap mendjawabnja dengan senjum atjuh-tak-atjuh: Ah, kenapa kau merendahkan nama Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho? Siapa jang tidak kenal Ginkangmu tiada bandingannja didjagat ini? Kalau kau kalah, emangnja kau tak bisa lari?

Kiranja sidjahat keempat ini bernama In Tiong-ho atau bangau terbang diangkasa, suatu tanda Ginkang atau ilmu entengi tubuhnja pasti sangat lihay. Ia semakin gusar demi mendengar utjapan Yap Dji-nio tadi, teriaknja lebih keras: Kalau Losi terdjungkal ditangan orang, apakah kau ikut bahagia? Hm, apa maksud tudjuan kita Su-ok berkumpul disini? Bukankah hendak berunding tjara bagaimana tjari perkara keistana radja di Tayli? Peristiwa ini bukankah berarti beralamat djelek?

Si-te, demikian Yap Dji-nio berkata pula dengan senjumannja jang tidak berubah, selamanja aku tidak pernah melihat Ginkang sehebat itu, bangau terbang diangkasa, sungguh tidak bernama kosong. Wah, bagai asap terapung, seperti burung melajang, mana bisa kedua manusia itu menjusulmu?

Losi, tiba2 Lam-hay-gok-sin menjela, sebenarnja siapakah jang mengerubuti kau itu? Apakah kaki-tangan dari istana Tayli?

Ja, 99% pasti dari sana, sahut In Tiong-ho dengan gusar. Aku tidak pertjaja didaerah Tayli masih ada orang kosen lain lagi ketjuali orang mereka.

Makanja djangan kalian suka anggap enteng mereka, sekarang kalian pertjaja tidak pada omonganku? udjar Dji-nio.

Dji-tji, kata In Tiong-ho tiba2, sampai saat ini Lotoa masih belum nampak batang hidungnja, padahal sudah lewat tiga hari daripada waktu jang kita tetapkan, selamanja iapun tidak pernah langgar djandji, djangan2......

Djangan2 terdjadi apa2, maksudmu? potong Yap Dji-nio.

Fui! Mana bisa djadi, seru Lam-hay-gok-sin dengan gusar. Matjam apakah Lotoa kita itu, emangnja dia seperti kalian, kalau kalah lantas lari?

Kalau kalah lantas lari, itu namanja tahu gelagat! sahut Yap Dji-nio ku djusteru kuatir bila dia benar2 dikerojok 7-8 musuh, tapi kepala batu tidak mau kalah, achirnja tamat riwajatnja sesuai dengan djulukannja Ok-koan-boan-eng (kedjahatan sudah melebihi takaran)!

Fui! Omong kosong! semprot Lam-hay-gok-sin. Selama hidup Lotoa malang melintang, pernah dia djeri pada siapa? Sudah belasan tahun ia mendjagoi Tionggoan, masakan sampai dinegeri Tayli seketjil ini malah terdjungkal? Wah, kurangadjar, perut lapar lagi! ~ segera ia samber sepotong paha lembu terus dipanggang diatas api unggun disampingnja.

Tidak lama, bau sedap teruar pelahan2.

Pikir Bok Wan-djing: Dari pertjakapan mereka tadi, tampaknja aku sudah tak sadarkan diri selama tiga hari disini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanja tidak? ~ Dan karena sudah empat hari tidak makan apa2, perutaja terasa sangat lapar, ketika mengendus bau daging panggang, tak tertahan perutnja mengeluarkan suara keluruk2.

Siaumoaymoay, perutmu lapar bukan? tiba2 Yap Dji-nio berkata dengan tertawa. Sedjak tadi kau sudah sadar, kenapa pura2 diam sadja? Apa kau tidak pingin lihat bagaimana matjamnja Kiong-hiong-kek-ok In-losi kami?

Lam-hay-gok-sin kenal watak In Tiong-ho paling gemar paras tjantik, bila tahu Bok Wan-djing luar biasa ajunja, biarpun mati djuga dia ingin mendapatkannja, berbeda seperti dirinja kalau perlu barulah memperkosa dan membunuh. Maka tjepat ia sebret sepotong daging paha lembu tadi dan dilemparkan kepada Bok Wan-djing serta membentak: Ni, makanlah kesana, djauh sedikit, djangan mentjuri dengar pembitjaraan kami!

Bok Wan-djing sengadja kasarkan suara sendiri hingga kedengarannja lutju, tanjanja: Suamiku sudah datang belum?

Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar, sahutnja: Keparat, aku sendiri sudah mentjari ubek2an kesekitar djurang sana, tapi sedikit pun tidak menemukan djedjak botjah itu. Dapat dipastikan botjah itu belum mampus, entah telah digondol siapa, aku sudah menunggu disini tiga hari, biar kutunggu lagi empat hari, dalam tudjuh hari kalau botjah itu tidak datang. Hm, aku nanti panggang kau untuk dimakan!

Hati Wan-djing sangat terhibur oleh keterangan itu, pikirnja: Lam-hay-gok-sin ini bukan sembarangan orang, kalau dia sendiri sudah mentjari kesana dan jakin Toan-long belum mati, rasanja tentu betul. Ai, tjuma entah dia masih ingat padaku atau tidak dan akan datang kemari untuk menolong diriku?

Segera ia djemput daging panggang jang dilemparkan padanja tadi, pelahan2 ia berdjalan kebalik karang sana untuk memakannja. Dalam keadaan lapar, ia merasa sangat letih dan lemas, karena habis kelaparan empat hari, tapi karena itu, luka dipunggungnja malah sudah sembuh.

la dengar Yap Dji-nio lagi menanja: Sebenarnja dimana letak kebagusan botjah itu hingga membikin kau sedemikian suka padanja?

Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 bangga, sahutnja. Djusteru karena botjah itu sangat mirip aku, bila beladjar silat dari Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil dan melebihi sang guru malah. Hehe, diantara Su-ok kita, aku Gak-lo......... Gak-lodji (ia sengadja naikan diri mendjadi dji atau nomor dua dan bukan sam atau nomor tiga) meski takbisa mentjapai nomor satu, tapi bitjara tentang murid, rasanja tiada seorang murid2 orang lain jang mampu menandingi muridku.

Sementara itu Bok Wan-djing sudah makin djauh menjingkir dari ketiga manusia djahat itu, demi mendengar Lam-hay-gok-sin memudji kebagusan bakat Toan Ki djarang ada bandingannja, diam2 ia merasa senang dan sedih pula, tapi rada geli djuga: Toan-long hanja seorang sekolahan jang ke-tolol2an, ilmu silat apa jang dia miliki? Ketjuali njalinja jang besar, segala apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-pay menerima murid mestika sematjam itu, rasanja Lam-hay-pay sendiri jang bakal sialan!

la tjari suatu tempat terpentjil dan duduk diatas satu batu padas, lalu menikmati daging panggang tadi. Meski sangat lapar, namun daging panggang itu masih terlalu banjak baginja, hanja separoh sadja dapat dihabiskannja

perutnja sudah kenjang. Diam2 ia membatin pula: Sampai hari ketudjuh nanti kalau Toan-long tipis imannja serta mengingkari aku, tidak datang kemari, aku lantas tjari djalan untuk melarikan diri. ~ berpikir sampai disini, ia mendjadi pilu: Andaikan aku bisa melarikan diri, lalu bisa mendjadi manusia apa lagi?

Begitulah, dengan rasa tidak tenteram, kembali lewat pula dua hari. Namun bagi Bok Wan-djing, dua hari itu rasanja lebih lama dari dua tahun. Siang-malam jang dia harapkan senantiasa adalah dapatlah terdengar sesuatu suara dari bawah gunung, sekalipun bukan suaranja Toan Ki, paling tidak djuga dapat menglipurkan hatinja jang lara merana. Lebih2 bilamana sang malam tiba, rasa deritanja semakin ber-tambah2, perasaannja bergolak mengombak, selalu terpikir olehnja: Pabila dia benar2 niat mentjari aku, hari pertama atau hari kedua tentu dia sudah datang kemari. Dan kalau sampai harini masih belum datang, rasanja tiada mungkin dia kemari lagi. Meski dia takbisa silat, tapi mempunjai djiwa kesatria, betapapun dia pasti tidak sudi mengangkat guru pada Lam-hay-gok-sin ini. Narnun terhadap diriku, apa benar2 dia tak mempunjai rasa kasih sedikitpun?

Begitulah djalan pikiran Bok Wan-djing, kalau hari2 pertama kedua ia masih menaruh harapan dan menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin merana, pesan gurunja bahwa laki2 didunia ini adalah manusia palsu semua selalu men-denging2 terus ditelinganja. Walaupun perasaannja sendiri selalu menjangkal Toan-long pasti bukan manusia demikian, namun sesungguhnja iapun tidak berani jakin apakah sangkalan itu bukan menipu dirinja sendiri?

Sjukur djuga selama beberapa hari ini Lam-hay-gok-sin, Yap Dji-nio dan In Tiong-ho tidak urus dirinja. Ketiga manusia djahat itu hanja tekun menanti datangnja Ok-koan-boan-eng, jaitu sidjuara orang djahat di seluruh jagat ini, meski mereka tidak segopoh Wan-djing, tapi mirip djuga semut ditengah kuali panas, mereka sudah kesal luar biasa. Meski djarak Bok Wan-djing dengan mereka agak djauh, namun suara ribut tjetjok mulut mereka sajup2 dapat terdengar dengan djelas.

Sampai malam hari keenam, Bok Wan-djing memikir: Besok adalah hari terachir, rasanja laki2 palsu itu takkan datang sudah. Biarlah malam nanti aku berusaha melarikan diri, kalau tidak, sampai pagi besok, untuk lari pasti akan susah. Djangankan In Tiong-ho jang tersohor Ginkangnja tiada tandingan diseluruh djagat, tjukup Lam-hay-gok-sin sadja, asal dia sengadja mengedjar, pasti akupun takbisa lolos.

la tjoba berdiri untuk lemaskan otot2nja, ia merasa semangatnja meski masih lesu, namun tenaga sudah pulih 7-8 bagian. la membatin: Sangat baik bila ketiga orang itu ribut2 terus dan diam2 aku dapat melarikan diri beberapa ratus tombak djauhnja, lalu aku akan mentjari sesuatu tempat sembunji seperti gua dan sebagainja, dengan demikian mereka tentu menjangka aku sudah kabur djauh dan menguber pergi, kemudian dengan bebas dapatlah aku keluar lagi buat

melarikan diri.

Diluar dugaan, meski rentjananja sudah muluk2, beberapa kali sudah bermaksud angkat kaki, tapi hatinja selalu terkenang pada Toan Ki, ia mendjadi ragu2 kalau2 pemuda itu achirnja benar2 datang mentjarinja, lalu bagaimana? Djika besok takbisa berdjumpa dengan pemuda itu, mungkin untuk selandjutnja takbisa saling bertemu lagi. Padahal dia sengadja datang untuk sehidup-semati dengan aku, tapi aku malah kabur pergi, dan dia tidak sudi mengangkat guru hingga dibunuh oleh Lam-hay-gok-sin, bila terdjadi demikian, bukankah aku jang berdosa padanja? ~ Begitulah bolak-balik ia memikir, sampai achirnja fadjar sudah menjingsing, tetap belum bisa ambil keputusan.

Tapi dengan datangnja fadjar maksud larinja mendjadi batal malah. Toh sudah terang takbisa melarikan diri, biarlah aku tetap menunggu, boleh dia datang atau tidak, aku tetap menunggu disini sampai mati. Selagi hatinja terasa hampa sedih itulah, sekonjong2 terdengar suara gedebukan djatuhnja sesuatu benda ketengah semak2 rumput. la terkedjut dan heran, apakah itu? Karena ingia tahu, ia tjoba pasang kuping, tapi tidak mendengar suara2 lain di-semak2 rumput itu, segera ia merajap kesana untuk memeriksanja.

Ketika sudah dekat, lebih dulu hidungnja lantas mentjium bau anjirnja darah. Waktu rumput lebat disitu ia pentang kesamping dan melongok, seketika bulu romanja berdiri semua. Ternjata ditengah semak2 rumput itu tergeletak enam sosok majat baji dengan gelimpangan tak teratur. Diantaranja terdapat pula baji jang tempo hari dinina-bobokan oleh Yap Dji-nio itu.

Seketika Bok Wan-djing terkesima. Bila kemudian ia periksa majat baji itu, ia lihat disamping lehernja terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwudjut suatu lubang ketjil dan tepat diatas urat darah leher. la mendjadi teringat pada apa jang dikatakan Lam-hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknja perkara. Kiranja Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio itu memang benar setiap hari harus mengisap darah seorang baji. Sudah enam hari dia berada diatas puntjak gunung itu, maka sudah ada enam baji mendjadi korbannja. Kalau melihat badju jang dipakai baji2 itu terdiri dari kain kasar sadja, dapat diduga Yap Dji-nio bolehnja mentjulik dari keluarga pegunungan disekitar Bu-liang-san sadja. Satu diantara enam majat baji itu terasa masih hangat, tapi kulitnja kisut, darahnja sudah kering terisap. Tentu itulah majat jang dilemparkan Yap Dji-nio barusan.

Sungguhpun Bok Wan-djing djuga banjak membunuh orang, tapi orang2 Kangouw jang dibunuhnja itu adalah akibat perbuatan sendiri jang ingin melihat mukanja. Sebaliknja perbuatan kedjam membunuh anak baji demikian, betapapun djuga membuatnja gusar dan kedjut hingga badannja ikut gemetar.

Se-konjong2 sesosok bajangan hidjau berkelebat, seorang bagai burung

tjepatnja telah melajang turun kebawah gunung. Begitu tjepat bajangan itu hingga mirip setan hantu. Itulah dia Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio.

Melihat betapa tjepat Ginkang wanita iblis itu, sekalipun gurunja djuga selisih djauh dengan kepandaian orang, seketika Bok Wan-djing lemas rasanja, ia mendoprok terduduk dengan matjam2 perasaan bertjampuraduk.

Setelah ter-mangu2 sedjenak, Bok Wan-djing kumpulkan enam majat baji itu mendjadi satu, lain menguruknja dengan batu pasir seadanja disitu.

Tengah sibuk bekerdja, tiba2 Wan-djing merasa tengkuknja rada silir2 dingin. la dapat bergerak dengan tjepat sekali, begitu kaki kanan menutul, segera tubuhnja melesat kedepan. Maka terdengarlah suaru ketawa seorang jang mirip logam digosok dan berkata: Nona tjilik, suamimu telah tinggalkan kau, ia tidak sudi padamu lagi, marilah ikut aku sadja!.

Siapa lagi dia kalau bukan Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho, siorang djahat dan buas luar biasa. Begitu bitjara, terus sadja tangannja merangsang madju hendak memegang Bok Wan-djing.

Plak mendadak dari samping menjelak sebuah tangan hingga tjengkeraman In Tiong-ho tertangkis.

Kiranja penangkis itu adalah Lam-hay-gok-sin, dengan marah2 ia membentak: Losi, orang Lam-hay-pay kami, dilarang kau main semberono!

Dalam pada itu In Tiong-ho sudah melompat mundur, sahutnja dengan tertawa: Muridmu tak djadi diterima, dengan sendirinja ia bukan orang Lam-hay-pay lagi.

Baru sekarang Bok Wan-djing dapat melihat djelas perawakan In Tiong-ho itu ternjata sangat tinggi, tapi sangat kurus pula hingga mirip mirip galah bambu, raut mukanja sangat menakutkan djuga, bila tertawa, lidahnya se-akan bisa mulur mengkeret mirip lidah ular.

Darimana kau tahu aku akan gagal menerima murid? demikian Lam-hay-gok-sin lantas membentak lagi. Apakah karena botjah itu telah terbunuh olehmu? Ja, tentu demikian halnja! Atau mungkin kaupun sir pada tjalon muridku jang bertulang bagus itu, lalukau mengumpetkan dia hendak mengangkanginja sebagai muridmu. Djadi kau jang telah mengatjaukan rentjanaku, biarlah aku tjekik mampus kau dahulu, urusan belakang!

Simalaikat buaja laut selatan ini benar2 kasar dan tidak kenal apa artinja aturan, tanpa tanja2 lagi apakah beanr2 In Tiong-ho jang menghilangkan tjalon muridnja atau tidak, terus sadja ia menubruk madju dan menjerang setjara ber-tubi2.

Namun In tiong-ho dapat berkelit dengan gesit dan tjepat sekali sambil mendjawab: He, he! Muridmu itu bundar atau gepeng, londjong atau tjekak, selamanja akupun belum kenal, darimana bisa bilang aku jang mengumpetkan dia?

Kentut! damperat Lam-hay-gok-sin. Siapa jang mau pertjaja padamu! Pasti karena kau habis dihadjar orang, lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku itu, ja?

Muridmu itu laki2 atau perempuan atau bantji? tanja Tiong-ho.

Sudah tentu laki2, guna apa aku menerima murid perempuan? sahut Gok-sin.

Nah, itu dia! seru Tiong-ho. Bukankah kau tahu, In Tiong-ho selamanja hanja suka wanita, tapi tidak mau lelaki?'

Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi menubruk madju pula, mendengar utjapan itu, ia pikir masuk diakal djuga. Maka mendadak ia mengerem, tubuhnja jang lagi terapung itu mendadak andjlok kebawah hingga berdiri diatas sebuah batu padas, lalu membentak lagi: Lantas kemana perginja muridku itu. Kenapa sampai sekarang belum datang mengangkat guru?

Hehe, urusan Lam-hay-pay kalian peduli apa dengan diriku? kata in Tiong-ho dengan mengekek.

Dasar watak Lam-hay-gok-sin memang kasar, ditambah lagi sudah menunggu selama tudjuh hari tanpa hasil, ia mendjadi gopoh tak keruan, rasa dongkolnja lagi meluap, maka kembali ia membentak: Setan alas, kau berani mengedjek aku?

Melihat kedua orang maha djahat itu saling ngotot, Bok Wan-djing tidak mau sia2kan kesempatan baik itu, segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanja: Ja, ja, Toan-long pasti telah ditjelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, diatas karang setjuram itu, mana dapat ia turun? Ginkang In Tiong-ho ini sangat hebat, pasti dia jang mandjat keatas karang itu untuk menggondolnja pergi dan dibunuh dilain tempat agar Lam-hay-pay tidak mempunjai bibit tokoh jang lihay.

Mendadak Lam-hay-gok-sin keplak batok kepalanja sendiri sambil menggembor: Nah, kau dengar tidak! Bininja muridku djuga bilang begitu, masakan kau jang dipitenah?

Terus sadja Bok Wan-djing pura2 menangis dan berseru: Suhu, kata suamiku, kalau dia bisa mendapatkan seorang guru seperti engkau, itu adalah suatu redjeki besar baginja, dia berdjandji pasti akan beladjar sepenuh tenaga demi kedjajaan Lam-hay-pay, agar nama Lam-hay-gok-sin lebih mengguntjangkan dunia, supaja itu Ok-koan-boan-eng dan Bu-ok-put-tjok mengiri setengah mati pada engkau orang tua. Siapa duga si In Tiong-ho ini djuga tjemburu padamu dan sengadja membunuh tjalon murid kesajanganmu itu, selandjutnja engkau orang tua takkan mendapatkan murid sebagus itu lagi.

Begitulah, setiap kalimat Bok Wan-djing diutjapkan, setiap kali Lam-hay-gok-sin menggeblak batok kepala dan mengepal2 dengan geregatan.

Maka Bok Wan-djing menjambung pula: Tulang kepala suamiku terlalu mirip dengan engkau, ketjerdasannja djuga serupa, tjoba, seorang ahliwaris sebagus dan sepintar itu, kemana harus ditjari lagi. Tapi In Tiong-ho ini sengadja memusuhi engkau, mengapa engkau orang tua tidak lekas balaskan sakit hati muridmu itu?

Mendengar sampai disini, sinar mata Gok-sin berubah beringas seketika. Kembali ia menubruk pula kearah In Tiong-ho.

In Tiong-ho tahu ilmu silat sendiri setingkat lebih rendah dari orang, pula tidak setolol seperti Gok-sin jang mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-djing sengadja mengadu domba, tapi untuk mendjelaskan padanja terang tidak gampang, iapun tidak sudi bergebrak dengan dia, maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia angkat kaki melarikan diri.

Sudah tentu Gok-sin tidak tinggal diam, sekali endjot kakinja, terus sadja

ia mengudak.

Nah, dia lari, itu tandanja takut! demikian Wan-djing menambahi minjak pula. Dan orang takut, itu tandanja salah!

Karuan Lam-hay-gok-sin tambah panas hatinja, ia meng-gerung2 murka: Bajar kembali djiwa muridku! ~ Dan kedjar mengedjar itu dalam sekedjap sadja sudah menghilang dibalik gunung sana.

Diam2 Bok Wan-djing bergirang. Sekedjap kemudian, terdengar suara gerungan Lam-hay-gok-sin makin mendekat lagi, kedua orang itu telah kembali dengan saling uber. Ginkang In Tiong-ho ternjata djauh lebih tinggi dari Lam-hay-gok-sin, badannja jang lentjir bagai galah bambu se-akan2 ter-guntai2 ke kanan dan ke kiri, tapi larinja tjepat tidak kepalang, Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan dalam suatu djarak tertentu.

Ketika sampai didepan Bok Wan-djing, se-konjong2 In Tiong-ho melesat kearah gadis itu, terus mentjengkeram kepundaknja. Karuan Wan-djing terkedjut, sekali bergerak, kontan ia papaki orang dengan sebatang panah berbisa. Tapi Ginkang In Tiong-ho benar2 tiada taranja, entah tjara bagaimana dia bergerak, tahu2 tubuhnja bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput mengenainja, sebaliknja tangannja masih terus mendjulur kemuka sigadis.

Dengan gugup lekas Bok Wan-djing berkelit, namun toh terlambat sedikit, mukanja terasa segar seketika, kain kedoknja telah disambar oleh In Tiong-ho.

Melihat wadjah Wan-djing jang tjantik molek itu, seketika In Tiong-ho terkesima. Kemudian dengan menjengir ia berkata: Hebat, sungguh hebat! Tjantik sekali dara ini. Tjuma kurang genit, belum sempurna... ~ tengah berkata, kembali Lam-hay-gok-sin sudah memburu tiba, terus menghantam kepunggungnja.

Sekuatnja In Tiong-ho tantjap kakinja ditanah, ia kerahkan tenaga dalam dan menangkis kebelakang, plak, dua telapak tangan saling bentur dengan keras. Bok Wan-djing merasa dadanja mendjadi sesak, hampir2 tak bisa bernapas oleh gentjatan dua tenaga pukulan jang hebat itu, batu pasirpun bertebaran diseputar situ. Dan dengan memindjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho sudah mentjelat pergi dua tombak djauhnja.

Ni, rasakan lagi tiga kali pukulanku! teriak Gok-sin sengit.

Namun In Tiong-ho mendjawabnja dengan tertawa: Kau tak mampu mengedjar aku, sebaliknja aku tak ungkulan berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur tiga-hari tiga-malam lagi djuga tetap begini sadja!

Begitulah kembali kedua orang itu uber-menguber dengan sengitnja.

Diam2 Bok Wan-djing pikir harus berusaha untuk merintangi In Tiong-ho agar kedua orang djahat itu saling gendjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho memutar kembali lagi, mendadak ia memapak madju sambil geraki tangannja, 6-7 panah berbisa sekaligus dibidikkan sambil berseru: Bajar kembali djiwa suamiku!

In Tiong-ho kenal lihaynja panah2 jang mendenging datangnja itu, tapi semuanja dapat dihindarinja sambil mengegos atau mendekam kebawah. Tiba2 Bok Wan-djing melolos pedang, be-runtun2 ia menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho tahu maksud gadis itu, ia tidak mau menangkis, hanja berkelit kesamping. Dan karena sedikit rintangan itu, dibelakang Lam-hay-gok-sin sudah menjusul tiba, terus menghantam dengan kedua tangannja.

Losam, seru In Tiong-ho achirnja dengan gemas, berulang kali aku mengalah padamu, emangnja kau sangka aku takut? -- Dan ketika tangannja merogoh kepinggang, tahu2 sepasang tjakar badja telah dikeluarkan.

Tjakar badja itu pandjangnja masing2 tjuma setengah meteran, diudjung tjakar berbentuk tangan manusia dengan lima djari terpentang se-akan2 hendak mentjengkeram. Ia mainkan sendjatanja itu dengan rapat, tapi tetap mendjaga diri sadja tanpa balas menjerang.

Melihat itu, Lam-hay-gok-sin mendjadi senang, serunja: Wah, bagus! Sepuluh tahun tidak berdjumpa, kiranja kau sudah berhasil melatih sematjam sendjata aneh. Ni, lihat djuga Lotju punja! -- Sembari bitjara, ia terus buka rangsel dipunggungnja dan mengeluarkan sematjam sendjata jang lebih aneh. Melihat kedua orang djahat itu akan main sendjata, Bok Wan-djing pikir akan pertjuma saja bila dirinja ikut2 bertempur. Segera ia undurkan diri kepinggir. Ia lihat sendjata jang dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu adalah sebatang gunting aneh jang pakai garan pandjang, bagian mata gunting berbentuk gigi2 jang tadjam hingga mirip tjongor buaja. Sedang tangan lain memegang sebuah petjut jang bergigi djuga serupa ekor buaja. Pabila orang kena digigit sekali oleh mulut gunting atau kena disabet sekali oleh petjut ekor badja itu, kalau tidak mampus tentu djuga akan sekarat.

In Tiong-ho melirik heran djuga kepada dua matjam sendjata aneh itu, tapi mendadak ia geraki tjakar badja sebelah kanan, terus mentjakar kemuka Lam-hay-gok-sin. Trang, kontan Gok-sin angkat gunting buajanja menangkis hingga tjakar badja lawan terpental kesamping. Namun In Tiong-ho tjepat luar biasa, belum tjakar kanan itu ditarik kembali, lagi2 tjakar sebelah kiri sudah menjelonong kedepan pula.

Krak, se-konjong2 gunting tjongor buaja Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting kedjari tjakar terbuat dari badja itu, sungguh luar biasa tadjamnja gunting jang entah terbuat dari bahan apa, tahu2 dua djari dari tjakar In Tiong-ho itu kena digunting putus, padahal tjakar itu sendiri terbuat dari badja murni jang sangat kuat. Masih untung bagi In Tiong-ho, ia sempat menarik setjepatnja hingga tjuma dua djari tjakarnja jang terkutung. Namun begitu, hilangnja dua djari tjakar itu berarti djuga mengurangi daja gunanja daripada kesepuluh djari sendjatanja jang hebat itu.

Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 keras, mendadak petjut ekor buajanja menjabet pula selagi In Tiong-ho tertegun tadi. Namun tiba2 sesosok bajangan hidjau menjelinap tiba, itulah dia Yap Dji-nio adanja. Dengan gesit ia menjela ketengah, sekali tangannja meraup, udjung petjut Gok-sin kena disambernja, terus ditarik kesamping, kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho untuk melompat kepinggir.

Losam, Losi, urusan apa hingga kalian saling gebrak dengan sendjata? demikian tanja Yap Dji-nio kemudian. Ketika sekilas dilihatnja wadjah Bok Wan-djing jang tjantik itu, seketika air mukanja berubah hebat. Biasanja jang paling dibentji olehnja jalah wanita jang berparas lebih tjantik daripada dirinja. Kini melihat ketjantikan Bok Wan-djing jang susah dilukiskan itu, seketika ia terkesiap.

Dalam pada itu Wan-djing djuga melihat wanita djahat nomor dua didunia ini sudah menggondol kembali seorang anak ketjil kira2 berumur 3-4 tahun. Tahulah dia sekarang, kiranja wanita djahat itu turun gunung tadi jalah pergi mentjari korban baji lain jang akan diisap darahnja.

Dengan pulangnja Yap Dji-nio, terang pertarungan Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho tidak bisa berlangsung terus. Ketika melihat sorot mata wanita djahat itu bersinar aneh, Bok Wan-djing mendjadi mengkirik sendiri dan lekas2 berpaling, tidak berani memandangnja lagi.

Dalam pada itu terdengar anak dipondongan Yap Dji-nio itu sedang ber-teriak2 menangis: Ajah! Dimana ajah?

Diamlah, San-san sajangku! Ajah sebentar lagi akan datang, diamlah, djangan menangis, manisku! demikian Yap Dji-nio me-nimang2 dengan kasih-sajang seorang ibu.

Pabila teringat pada majat2 baji jang dilihatnja ditengah semak2 itu, lalu dibandingkan dengan suara halus jang penuh rasa kasih-sajang Yap Dji-nio ini, bulu roma Bok Wan-djing seketika menegak semua.

Kemudian terdengar In Tiong-ho berkata dengan tertawa: Dji-tji, Losam telah berhasil melatih ilmu gunting tjongor buaja dan petjut buntut buaja jang lihay. Barusan aku telah bergebrak beberapa djurus dengan dia dan aku merasa sulit melawannja. Selama sepuluh tahun ini, Dji-tji sendiri berhasil mejakinkan ilmu apa? Dapatlah menandingi kedua matjam sendjata Losam jang aneh ini?

Ternjata sama sekali ia tidak menjinggung tentang Lam-hay-gok-sin menuduh setjara ngawur bahwa dirinja telah mentjelakai tjalon muridnja, sebaliknja ia sengadja mengutjapkan pantjingan halus itu untuk mengadu-dombakan Yap Dji-nio bergebrak dengan Lam-hay-gok-sin.

Yap Dji-nio sendiri ketika naik keatas puntjak tadi, dari djauh ia sudah lihat tjara bagaimana kedua kawannja itu lagi saling hantam, maka dengan tertawa tawar sadja ia mendjawab: Ah, selama sepuluh tahun ini aku hanja mengutamakan melatih Lwekang, soal ilmu pukulan dan main sendjata mendjadi sudah asing malah bagiku, tentu aku bukan tandingan Losam dan kau lagi.

Djawaban sederhana ini membikin Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho terkesiap djuga. Pikir mereka: Selamanja dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal Lwekangnja malah biasa sadja. Tapi selama 10 tahun ini dia djusteru giat melatih Lwekang, apa barangkali dia ketemukan guru kosen atau beruntung menemukan sesuatu kitab pusaka ilmu Lwekang dan sebagainja?

Dan selagi Lam-hay-gok-sin hendak menanja, tiba2 dipinggang gunung sana ada suara bentakan orang: Perempuan bangsat, untuk apa kau mentjulik anakku? Lekas kembalikan! -- Baru lenjap suaranja, tahu2 orangnja djuga sudah melajang naik keatas puntjak dengan tjekatan sekali.

Waktu Bok Wan-djing menegasi, ternjata orang ini tak-lain-tak-bukan adalah Tjo Tju-bok, itu ketua Bu-liang-kiam. Ia terkedjut, tapi segera mengerti djuga duduknja perkara: Ja, tentu Yap Dji-nio tidak mendapatkan anak ketjil disekitar Bu-liang-san ini, achirnja anak ketua Bu-liang-kiam jang diketemukan olehnja terus digondol lari!

Maka terdengar Yap Dji-nio sedang mendjawab: Tjo-siansing, puteramu ini sungguh lintjah menjenangkan, aku membawanja kesini untuk memain, besok tentu akan kupulangkan padamu, tak usah kau kuatir! ~ sembari berkata, ia mentjium sekali dipipi San-san jang ketjil itu, lalu meng-usap2 kepala anak itu dengan sajangnja.

Tjo San-san, anak jang bernasib malang itu, segera ber-teriak2 demi nampak datangnja sang ajah dan minta digendong. Tjo Tju-bok mendjadi terharu, ia ulur tangan dan melangkah madju sambil berkata: Anak ketjil jang nakal, tiada apa2nja jang menarik, silahkan engkau kembalikan padaku sadja!

Haha! tiba2 Lam-hay-gok-sin tertawa, Sekali anak ketjil sudah djatuh ditangan Bu-ok-put-tjok Yap Sam-nio, biarpun anak radja djuga tidak mungkin dikembalikan olehnja.

Tjo Tju-bok tergetar mendengar utjapan itu, dengan suara gemetar ia tjoba menanja: Kau.... kau bernama Yap Sam-nio? Habis, pernah... pernah apakah engkau dengan Yap Dji-nio? -- Rupanja sudah lama ia mendengar nama djahatnja Yap Dji-nio jang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang baji, maka ia mendjadi kuatir djangan2 Yap Sam-nio jang dikatakan ini adalah saudara atau ipar daripada Yap Dji-nio serta mempunjai kesukaan jang sama, kan anaknja itu bisa tjelaka? Ia tidak tahu bahwa Lam-hay-gok-sin jang sengadja menurunkan urut2an wanita djahat itu dari Dji atau kedua mendjadi Sam atau ketiga, supaja bertukar urut2an dengan dirinja dalam kedudukan Su-ok itu.

Namun Yap Dji-nio tidak gusar, sebaliknja ia mengikik tawa, lalu menjahut: Ah, djangan kau pertjaja pada otjehannja. Aku sendirilah Yap Dji-nio! Didunia ini mana ada lagi Yap Dji-nio jang lain atau Yap Sam-nio segala?

Sekedjapan air muka Tjo Tju-bok mendjadi putjat bagai majat.

Semula waktu dia mengetahui anaknja ditjulik orang, sepenuh tenaga ia terus mengedjar, meski ditengah djalan ia sudah merasa ilmu silat pentjulik itu masih djauh diatas dirinja, namun ia masih menaruh harapan semoga wanita pentjulik jang tak dikenal dan tiada punja permusuhan apa2 dengan dirinja ini mungkin takkan bikin susah puteranja. Siapa duga wanita ini djusteru adalah Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio, siwanita djahat nomor dua dari dunia ini. Karuan seketika mulut Tjo Tju-bok ternganga se-akan2 tersumbat.

Lihatlah betapa mungilnja anakmu ini, kulitnja halus, dagingnja montok, warnanja ke-merah2an, sungguh pintar sekali kau memiaranja, tentu banjak kau memberi makan djamu kuat padanja. Ja, betapapun memang berbeda anak orang terkemuka daripada anak orang desa jang kurus kurang makan! demikian Yap Dji-nio berkata sembari me-megang2 dan mengangkat tangan sibotjah kearah sinar matahari, mulutnja tiada hentinja ber-ketjak2 memudji pula, se-olah2 seorang njonja rumah jang lagi memilih sajur atau ajam daging bila sedang belandja dipasar.

Melihat sikap wanita djahat jang hampir2 mengiler oleh karena bakal korbannja jang pilihan itu, Tjo Tju-bok mendjadi kuatir dan gusar sekali. Walaupun insaf bukan tandingan orang, tapi mengingat sekedjap lagi puteranja bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnja terus menusuk kedepan dengan tipu serangan Yu-hong-tiau-gi atau ada burung Hong datang menghadap, kontan ia tusuk ketenggorokan Yap Dji-nio.

Namun Yap Dji-nio ganda tersenjum sadja, sedikit ia geser badan Tjo San-san kedepan, kalau tusukan Tjo Tju-bok itu diteruskan, pasti akan menembus badan puteranja sendiri. Sjukur ilmu pedangnja sudah mentjapai puntjaknja, belum sepenuhnja pedang ditusukkan, tjepat ia tarik sedikit, udjung pedang menjendal, sekali putar, segera tipu serangannja sudah berganti dengan Thian-ma-hing-kong atau kuda langit terbang diangkasa, tahu2 pundak kanan Yap Dji-nio jang diarahnja sekarang.

Tapi Yap Dji-nio tetap tidak berkelit, kembali tubuh Tjo San-san digeser kesampaing untuk didjadikan tameng lagi.

Hanja sekedjap sadja ber-turut2 Tjo Tju-bok sudah menusuk lima kali, tapi Yap Dji-nio hanja melajani dengan seenaknja sadja, selalu ia geser badan Tjo San-san kearah datangnja tusukan Tjo Tju-bok, sudah tentu, terpaksa ketua Bu-liang-kiam itu urung menjerang.

Dalam pada itu, sesudah diudak Lam-hay-gok-sin, rasa dongkol In Tiong-ho lagi belum terlampiaskan, kini melihat kelakuan Tjo Tju-bok, ia mendjadi gemas, mendadak ia melompat madju, tjakar badja sebelah kiri terus mentjengkeram keatas kepala Tjo Tju-bok. Namun Tju-bok sempat menangkis dengan pedangnja, trang kedua sendjata saling beradu, pikir Tjo Tju-bok sekalian hendak mendorong udjung pedangnja ketenggorokan lawan dengan gerakan sun-tju-tui-tjiu atau mendorong perahu menurut arus air, tapi mendadak djari tjakar badja lawan bisa mentjakup hingga batang pedangnja kena digenggam dengan kentjang.

Kiranja sendjata In Tiong-ho itu terpasang alat djeplakan jang sangat praktis, asal tekan pegasnja, segera djari badjanja mentjengkeram menurut keinginan pemakainja, hingga mirip benar dengan djari manusia.

Sebagai seorang ketua sesuatu aliran persilatan dalam hal ilmu pedang, Tjo Tju-bok mempunjai peladjaran jang sangat mendalam, meski kepandaiannja masih kalah tinggi daripada In Tiong-ho, tapi djuga tidak sampai keok hanja dalam satu-dua gebrakan sadja. Dalam kagetnja tadi, ia tidak rela kalau lepaskan pedangnja begitu sadja, tjepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik sekuatnja. Tapi pada saat itu djuga, tjret tjakar badja In Tiong-ho jang lain telah mentjengkeram pula kepundaknja.

Masih untung baginja karena djari tjakar itu sebelumnja sudah terkutung dua oleh gunting tjongor buajanja Lam-hay-gok-sin, maka lukanja mendjadi lebih enteng, namun darah segera bertjutjuran djuga, sedang ketiga djari tjakar badja itu masih tetap mentjengkeram kentjang ditulang pundaknja. Terus sadja In Tiong-ho melangkah madju menambahi sekali depakan hingga Tjo Tju-bok ditendang roboh.

Hanja sekali-dua gebrakan sadja, ternjata seorang ketua dari suatu aliran persilatan terkemuka itu sedikitpun tak bisa berkutik. Segera Lam-hay-gok-sin berseru: Hebat, Losi! Dua djurusmu barusan ini tidak djelek, tidak sampai bikin malu kawanmu ini!

Sebaliknja Yap Dji-nio terus berkata dengan ketawa2: Tjo-tay-tjiang-bun, ingin kutanja padamu, apakah kau melihat Lotoa kami atau tidak?

Siapakah Lotoa kalian? Aku tidak melihatnja! sahut Tju-bok dengan meringis menahan sakit karena tulang pundaknja masih ditjengkeram oleh tjakar badja.

Kau bilang tidak tahu siapa Lotoa kami, kenapa mendjawab tidak melihatnja? tiba2 Lam-hay-gok-sin menjela. Hm, Sam-moay, lekas kau makan sadja anaknja!

Pagi hari ini aku sudah sarapan, sekarang masih merasa kenjang, sahut Yap Dji-nio. Tjo-tay-tjiang-bun, bolehlah kau pergi sadja, kami takkan tjabut njawamu!

Djika demikian, Yap ....... Yap Dji-nio, harap kembalikanlah puteraku itu, biar kutjarikan 3-4 anak lain untukmu. Sungguh aku Tjo Tju-bok, merasa terima kasih tak terhingga.

Ehm, baik djuga! seru Yap Dji-nio dengan ber-seri2. Pergilah kau mentjarikan

delapan anak jang lain. Kami berdjumlah empat orang, masing2 membopong dua, tjukup untuk makananku selama delapan hari. Nah, Losi, bolehlah kau lepaskan dia!

Segera In Tiong-ho kendorkan djari tjakarnja melepaskan Tjo Tju-bok. Dengan menahan sakit, Tjo Tju-bok berbangkit, lalu memberi hormat kepada Yap Dji-nio sambil ulur tangan hendak terima kembali puteranja.

Eh, sebagai tokoh kalangan Kangouw, kenapa Tjo-tay-tjiang-bun tidak kenal aturan? udjar Yap Dji-nio dengan tertawa. Tanpa ditukar delapan orang anak, masakah demikian gampang aku lantas serahkan kembali puteramu?

Melihat puteranja berada dirangkulan wanita itu, walaupun dalam hati sebenarnja seribu kali tidak rela, tapi apa daja, kepandaian sendiri djauh dibawah orang, terpaksa Tjo Tju-bok memanggut dan mendjawab: Baiklah, biar kupergi mentjarikan delapan anak jang putih gemuk untukmu, harap engkau mendjaga baik2 anakku.

Yap Dji-nio tak mau menggubrisnja lagi, kembali ia ber-njanji2 ketjil menimang anak dalam pangkuannja itu.

San-san anakku jang baik, sebentar ajah akan datang lagi untuk membawa kau pulang kerumah! seru Tju-bok kemudian.

Tjo San-san menangis keras2 minta ikut sang ajah sambil me-ronta2 dipangkuan Yap Dji-nio.

Dengan rasa berat Tjo Tju-bok pandang beberapa kali pada sang putera, sambil memegangi luka dipundak, segera ia putar tubuh hendak berangkat.

Apa jang terdjadi itu dapat diikuti Bok Wan-djing. Ia pikir, maksud Tjo Tju-bok tentu akan perintahkan anak muridnja pergi mentjulik anak ketjil keluarga petani disekitar Bu-liang-san untuk menukar puteranja sendiri. Walau hal itu dapat dikatakan demi tjinta-kasih ajah dan anak, soalnja terpaksa, tapi betapapun djuga adalah terlalu egoistis, terlalu mementingkan diri sendiri, sebaliknja delapan anak keluarga orang lain jang tak berdosa jang akan mendjadi korban.

Tanpa pikir lagi, segera ia melompat keluar dan menghadang didepan Tjo

Tju-bok, bentaknja: Orang she Tjo, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang lain untuk menukar djiwa puteranja sendiri? Apakah kau masih ada muka buat mendjadi ketua suatu aliran persilatan?

Pertanjaan nona memang tepat, sahut Tju-bok dengan kepala menunduk. Tjo Tju-bok selandjutnja tiada muka buat tantjap kaki dikalangan Bu-lim lagi, segera aku akan simpan pedang dan tjutji tangan mengasingkan diri.

Aku melarang kau turun gunung! bentak Wan-djing pula dengan pedang terhunus.

Pada saat itulah, se-konjong2 dari djauh sana berkumandang suara suitan orang jang njaring. Dengan girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru: Itu dia, Lotoa sudah datang!

Berbareng kedua orang terus melompat pergi sambil bersuit sahut-menjahut kearah datangnja suara njaring tadi, hanja sekedjap sadja keduanja sudah menghilang dibalik batu karang sana.

Sebaliknja Yap Dji-nio masih atjuh-tak-atjuh sambil me-nimang2 anak dipangkuannja, bahkan ia melirik sekedjap kepada Bok Wan-djing, lalu katanja dengan tertawa: Nona Bok, ternjata kau masih mempunjai djiwa kesatria pula.

Kontan Wan-djing mengkirik ketika sinar matanja kebentrok dengan pandangan Yap Dji-nio jang tadjam itu, tjepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnja kentjang2.

Maka dengan tersenjum Yap Dji-nio berkata pula: Sepasang matamu ini sungguh sangat djeli, aku pingin sekali bisa bertukaran dengan dikau. Kemarilah kau biar kutjungkil dulu kedua bidji matamu itu!

Ingin tukar? Boleh djuga! Silahkan kau tjungkil dahulu matamu sendiri, sahut Wan-djing.

Ada lebih baik korek dulu matamu, udjar Dji-nio. Tjo-tay-tjiang-bun, hendaklah kau membantu aku, tjungkillah bidji mata nona tjilik itu.

Sebenarnja Tjo Tju-bok tidak bermaksud memusuhi Bok Wan-djing, tapi putera

sendiri berada dibawah tjengkeraman orang, terpaksa ia menurut perintah. Begitu pedang bergerak, segera ia membentak: Nona Bok, lebih baik kau turut pada perintah Yap Dji-nio sadja, supaja tidak lebih banjak menderita siksaan. ~ Sambil berkata, terus sadja ia menusuk.

Manusia hina! damperat Bok Wan-djing sambil menangkis. Trang, kedua pedang saling beradu, tapi udjung pedang sigadis tahu2 menjelonong terus kebahu kiri musuh.

Tipu serangannja ini sebenarnja hanja pura2 belaka, maka sesudah tiga djurus, ia sengadja geser tubuh sedikit, se-konjong2 tiga panah berbisa terus dibidikkan kebelakang mengarah Yap Dji-nio.

Serangan itu sangat kedji dan diluar dugaan, Bok Wan-djing mengharap bisa mengenai sasarannja dalam keadaan musuh tidak ber-djaga2.

Djangan melukai puteraku! demikian Tjo Tju-bok, jang mendjerit kuatir.

Diluar dugaan, walaupun meluntjurnja ketiga panah itu tjepat luar biasa, tapi hanja sekali Yap Dji-nio kebas lengan badjunja, sekaligus panah2 itu sudah disampok djatuh kesamping. Berbareng itu, sekenanja ia tjopot sebelah sepatu ketjil jang dipakai Tjo San-san, terus ditimpukkan kepunggung Bok Wan-djing.

Mendengar samberan angin dari belakang, Wan-djing ajuh pedangnja menangkis kebelakang, namun dengan menjerempet diatas batang pedang, sepatu ketjil itu tetap meluntjur kedepan, plak, tepat pinggang Bok Wan-djing tertimpuk. Ternjata Yap Dji-nio telah memakai daja efek dalam sambitannja. Dalam keadaan sudah terluka, tjepat Bok Wan-djing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Dalam pada itu, sepatu kedua sudah disambitkan lagi oleh Yap Dji-nio, sekali ini dengan tepat mengenai punggung Bok Wan-djing. Mata Wan-djing mendjadi gelap, tak tertahan lagi ia djatuh mendoprok ketanah.

Kesempatan itu segera akan digunakan Tjo Tju-bok, udjung pedangnja mengantjam didada sigadis, sedang tangan lain terus diulur hendak mentjukil bidji mata Bok Wan-djing.

Dalam keadaan tak berdaja, Wan-djing hanja mendjerit tertahan sekali: O, Toan-long! ~ se-konjong2 ia menubruk madju memapak udjung pedang lawan. Njata ia sudah bertekad daripada menderita siksaan ditjungkil matanja, lebih baik mati diudjung pedang orang.

Sjukurlah pada saat itu, se-konjong2 datang sinar berkilat sekali, tahu2 pedang jang dipegang Tjo Tju-bok itu mentjelat keudara, begitu hebat daja pental itu sampai ketua Bu-liang-kiam itu ikut sempojongan kebelakang hampir2 terdjungkal.

Karuan ketiga orang diatas puntjak itu kaget semua. Berbareng mereka menengadah kearah pedang jang mentjelat keatas itu.

Kiranja pedang itu kena terlilit oleh seutas tali pantjing ikan jang pandjang, udjung tali pantjing itu adalah sebatang galah bambu, pemegangnja adalah seorang nelajan jang memakai tjaping dan bermantel idjuk.

Usia nelajan itu kira2 30 tahun, gagah berwibawa dan sedang tertawa2 dingin.

Segera Yap Dji-nio dapat mengenalnja sebagai orang jang tempo hari bertempur dengan In Tiong-ho, ilmu silatnja tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinja masih katjek setingkat, maka ia tidak perlu takut. Tjuma tak diketahui, apakah seorang kawannja jang lain telah ikut datang atau tidak?

Ketika ia melirik, benar djuga segera tampak seorang laki2 berbadju pendek, bersepatu rumput, sudah berdiri disebelah kiri sana. Pada pinggang laki2 ini terikat seutas tali rumput jang kasar, ditengah tali itu terselip sebatang kapak pendek.

Sedang Yap Dji-nio hendak buka suara, tiba2 terdengar pula ada suara keresek pelahan dibelakangnja. Tjepat ia berpaling. Maka tertampaklah disana-sini masing2 djuga sudah berdiri pula seorang. Jang disisi sana berdandan sebagai sastrawan, tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri menggenggam segulung buku. Dan jang berdiri disebelah sini adalah seorang laki2 berkaki telandjang, alisnja tebal, matanja besar, pundaknja memanggul sebatang garuk bergigi lima. Empat orang itu terbagi diempat djurusan hingga berwudjut mengepung.

Diam2 Yap Dji-nio memikir: Djika ilmu silat keempat orang ini setarap, seorang diri mungkin aku tak sanggup melawan mereka. Baiknja Lotoa kami berada disekitar sini, kalau mendengar suaraku, tentu segera datang. Biarlah orang2 ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau menjerbu keraton Tayli bisa banjak menghemat tenaga.

Tapi sebelum ia bertindak, tiba2 terdengar Tjo Tju-bok bereru: Eh, keempat tokoh Hi-djiau-keng-dok dari keraton telah datang semua, terimalah hormatku Tjo Tju-bok dari Bu-liang-kiam ini! ~ sembari berkata ia terus memberi hormat kepada empat laki2 itu.

Hanja sisastrawan tadi jang membalas hormat dengan sopan, sedang ketiga laki2 lainnja tinggal diam sadja tak menggubris.

Tiba2 sinelajan tertawa dingin sambil gojang2kan alat pantjingnja, hingga pedang Tjo Tju-bok jang masih tergantung dililit tali pantjing itu ber-kilat2 oleh sinar sang surja. Lalu edjeknja: Huh, Bu-liang-kiam toh terhitung djuga suatu aliran persilatan terkemuka dinegeri Tayli ini, sungguh tidak njana bahwa Tjiangbundjinnja djusteru adalah seorang jang begini rendah memalukan. Bagaimana dengan Toan-kongtju? Dimana dia?

Dalam keadaan putus asa dan sudah bertekad untuk mati, tapi tiba2 datang penolong, memangnja Bok Wan-djing sudah girang, kini mendengar pula orang menanjakan Toan-kongtju, karuan sadja ia lebih menaruh perhatian.

Maka terdengarlah djawaban Tjo Tju-bok: Toan-kongtju? Ja, beberapa hari jang lalu aku memang pernah melihat Toan-kongtju, dia ....... dia berada bersama dengan .... dengan nona ini.

Segera pandangan sinelajan beralih kepada Bok Wan-djing dengan penuh tanda tanja.

Maka kata Wan-djing: Tadinja Toan-kongtju berada diatas puntjak karang sana, tapi selama beberapa hari ia telah menghilang, mati-hidupnja tidak diketahui.

Nelajan itu meng-amat2inja sedjenak, lalu membentak: Djadi engkau inilah Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing jang terkenal djahat itu? Dimanakah Kongtjuya kami? Lekas katakan!

Semula sebenarnja Bok Wan-djing rada suka pada sinelajan karena kata2nja tadi sangat memperhatikan dirinja Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinja di-bentak2 dan ditanja seperti pesakitan, se-akan2 dirinja dituduh membikin tjelaka Toan Ki. Dasar watak Bok Wan-djing memang djuga angkuh, mana ia sudi terima hinaan seperti itu. Kontan ia balas tertawa dingin dan mendjawab:

Siapakah kau? Berani kau tanja aku dengan sikap demikian?

Nelajan itu mendjadi gusar, katanja: Kau malang-melintang diwilajah Tayli, membunuh orang se-mena2, memang sudah lama kami ingin mentjari kau. Maka sekarang kebetulan bisa bertemu disini, djika kau mengaku terus terang dimana beradanja Toan-kongtju, urusan dapat diachiri dengan mudah, kalau tidak, hm, hm!

Toan Ki sudah dibinasakan oleh kawan perempuan itu, seru Wan-djing tiba2 sambil menudung Yap Dji-nio, lalu menjambung: Orang itu katanja bernama Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho, tubuhnja tinggi kurus bagai galah bambu.....

Nelajan itu sangat terkedjut, bentaknja memotong: Apa benar2 katamu ini? Benar2 orang itu jang membunuh Toan-kongtju?

Diantara empat laki2 itu, sipetani jang membawa patjul garuk itu, wataknja paling berangasan. Demi mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia menangis keras2, serunja: Toan-kongtju, biarlah kubalaskan sakit hatimu! ~ berbareng garuknja terus mematjul keatas kepala Yap Dji-nio.

Namun sekali egos, Yap Dji-nio dapat menghindar, tanjanja dengan tertawa: Apa engkau inilah Tiam-djong-san-long diantara Hi-djiau-keng-dok itu?

Benar! Rasakan dulu garukku ini! sahut petani itu sambil menjerampang pula dengan sendjatanja jang chas itu.

Beberapa hari jang lalu Yap Dji-nio pernah menjaksikan sinelajan dan situkang kaju menempur In Tiong-ho, kini berhadapan sendiri dengan Tiam-djong-san-long atau sipetani dari pegunungan Tiam-djong, njata memang hebat kedua kali serangannja tadi.

Mendadak Yap Dji-nio ketawa ter-kekeh2. Tapi hanja beberapa kali tertawa, tiba2 suara tawa itu berubah mendjadi menangis sambil sesambatan: Aduh, Hi-djiau-keng-dok keempat anakku dari Negeri Tayli, kalian telah mati semua dalam usia pendek, sungguh ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak2ku, tunggulah ibumu Yap Dji-nio ini diachirat!

Padahal tokoh2 Hi-djiau-keng-dok atau sinelajan, situkang kaju, sipetani dan sisastrawan, semuanja berusia setarap dengan Yap Dji-nio. Tapi kini ia sendiri menjebut sebagai ibu mereka, sambil sesambatan: O, anak2ku sajang dan sebagainja. Karuan Tiam-djong-san-long mendjadi gusar, ia mainkan patjul garuknja terlebih kentjang hingga berwudjut segulung kabut putih jang mengurung rapat lawannja.

Namun Yap Dji-nio sekalipun tidak balas menjerang, ia tetap peluk Tjo San-san sambil berkelit kian kemari, betapapun kentjang Tiam-djong-san-long memutar garuknja, tetap tak bisa menjenggol udjung badju lawannja. Sebaliknja ratap tangis Yap Dji-nio masih tetap berkumandang dengan sedih memilukan, suaranja makin lamapun makin keras.

Tiba2 hati Bok Wan-djing tergerak, serunja segera: He, dia sedang memanggil kawan2nja. Kalau Thian-he-su-ok (empat durdjana didunia) datang semua, mungkin kalian tak sanggup melawannja. Pada saat itulah, se-konjong2 dari balik gunung sana berkumandang datang suara seruling jang njaring merdu hingga suara tangisan Yap Dji-nio jang memilukan itu terpengaruh se-akan2 paduan suara dari dua nada jang tinggi dan rendah.

Diam2 Bok Wan-djing terkedjut: Djangan2 orang djahat nomor satu didjagat ini sudah datang sekarang.

Dalam pada itu situkang kaju sudah tjabut kapak pendek dari pinggangnja terus membentak: Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio memang kau tidak bernama kosong, biarlah aku Djay-sin-khek (situkang pentjari kaju) beladjar kenal dengan kepandaianmu. ~ Habis berkata, segera ia membuka serangan dengan tjepat.

Ternjata ilmu kepandaian tunggal situkang kaju itu adalah Boan-kin-tjho-tjiat-tjap-peh-poh atau 18 djurus ilmu permainan kapak pembabat akar, terus sadja ia mengampak kesini dan kesana, jang diintjar selalu bagian bawah musuh.

Ha, botjah ini hanja mengganggu sadja, ini, boleh kau batjok mati dia! udjar Yap Dji-nio dengan tertawa sambil sodorkan Tjo San-san kearah datangnja kapak.

Karuan Djay-sin-khek terkedjut, lekas2 ia tarik kembali sendjatanja. Tak terduga, sedikit ajal itulah dia sendiri harus telan pil pahit, mendadak Yap Dji-nio ajun kakinja mendepak hingga tepat kena pundaknja. Sjukur perawakan Djay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu hanja membuatnja ter-hujung2 dan tidak sampai terluka.

Dan dengan memperalat anak itu sebagai tameng, Tiam-djong-san-long dan Djay-sin-khek mendjadi rada repot, diwaktu menjerang mereka mendjadi ragu2. Apalagi dari samping Tjo Tju-bok bergembar-gembor: Awas anakku! Djanganlah melukai anakku!

Sedang pertarungan itu berlangsung dengan sengit, terdengar suara seruling tadi semakin mendekat. Dari balik karang sana telah muntjul seorang laki2 berdjubah longgar dan bertali pinggang kendor. Kedua tangannja memegang sebuah seruling kemala sedang ditiup dengan asjiknja.

Bok Wan-djing melihat orang ini berdjenggot tjabang tiga, paras mukanja tampan, kulit badannja putih bagai saldju, djari2nja jang memegang seruling itu tampak sama putihnja dengan kulit mukanja.

Nampak datangnja orang itu, dengan langkah tjepat sisastrawan tadi terus mendekati dan bisik2 berbitjara dengan sikap sangat menghormat. Tapi orang itu masih terus meniup serulingnja, hanja sinar matanja jang tampak mengerling kearah Bok Wan-djing.

Kiranja orang ini adalah segolongan dengan keempat tokoh Hi-djiau-keng-dok ini, demikian Bok Wan-djing membatin.

Dalam pada itu, sambil masih meniup seruling, pelahan2 orang itu lantas mendekati Yap Dji-nio bertiga jang masih bertempur dengan seru itu. Meski situkang kaju ajun kapaknja begitu keras dan Tiam-djong-san-long putar garuknja begitu kentjang, namun orang itu se-akan2 tidak melihatnja sadja, mendadak suara serulingnja meninggi keras hingga anak telinga semua orang serasa pekak. Dan sekali djari2 orang itu menutup rapat lubang2 serulingnja dan meniupnja dengan keras, tahu2 dari udjung seruling itu menjembur keluar serangkum angin tadjam kemukanja Yap Dji-nio.

Dalam kagetnja, Yap Dji-nio tjepat berpaling menghindar, namun pada saat lain, udjung seruling lawan tahu2 sudah mengantjam tenggorokannja.

Dua kali serangan itu dilakukan dengan ketjepatan dan kegesitan jang mengedjutkan orang, biarpun Yap Dji-nio dapat berkelit dengan tjepat, tidak urung ia merasa kerepotan djuga. Dalam seribu kerepotannja itu, ia paksakan diri mendojongkan badan bagian atas kebelakang untuk menghindari tutukan seruling jang mengantjam tenggorokan itu.

Tak tersangka, mendadak Koan-bau-khek atau sidjubah longgar itu, gunakan tenaga dalam terus lepaskan serulingnja menimpuk keulu hati Yap Dji-nio jang sedang mendojong tubuh itu.

Dalam keadaan demikian, Yap Dji-nio tidak berani sembrono lagi, segera ia lemparkan Tjo San-san ketanah terus ulur tangan hendak merampas seruling orang. Namun sekali Koan-bau-khek kebas lengan badjunja jang longgar itu, anak itu kena digulung olehnja, katanja: Serahkan sini! ~ sambil berkata, iapun angsurkan tangan kirinja.

Saat itu tepat Yap Dji-nio baru sadja dapat memegang seruling jang diluntjurkan pemiliknja itu, seketika ia merasa seruling itu panas seperti habis dibakar, hal ini benar2 diluar dugaan Yap Dji-nio, pikirnja: Djangan2 diatas seruling ini dipoles ratjun? ~ maka tjepat ia lepas tangan tak djadi merampasnja.

Dalam pada itu tangan kiri Koan-bau-khek jang diulur tadi tepat dapat merebut kembali serulingnja itu, sekalian ia terus sodokkan sendjata itu ke bahu Yap Dji-nio, berbareng lengan badjunja jang menggulung Tjo San-san itu dikipatkan hingga botjah itu terlempar enteng kearah Tjo Tju Bok. Dengan ter-sipu2 tjepat Tjo Tju Bok menjanggapi puteranja itu.

Dua gerakan Koan-bau-khek, merebut anak dan menjerang musuh itu, dilakukan dengan tjepat dan sewadjarnja sadja, tanpa dipaksakan, gajanja indah, sasarannja djitu, sampai Bok Wan-djing ternganga saking kagumnja.

Yap Dji-nio sendiri, ketika orang menangkap kembali serulingnja tadi, sekilas ia dapat melihat telapak tengah Koan-bau-khek itu merah membara, ia mendjadi kaget: Djangan2 dia sudah berhasil mejakinkan Tju-se-djiu (tangan pasir merah) jang sudah lama menghilang dikalangan Bu-lim itu? Djika demikian, terang diatas serulingnja bukan dipoles dengan ratjun, tapi adalah tenaga dalamnja jang lihay itu telah membakar serulingnja hingga panasnja mirip habis dikeluarkan dari tungku.

Maka tjepat ia mundur beberapa tindak dengan gesit, lalu katanja dengan tertawa: Wah, ilmu silat saudara sungguh hebat. Tidak njana bahwa diwilajah Tayli ini masih ada tokoh lihay begini. Numpang tanja siapakah namamu jang terhormat?

Sidjubah longgar hanja tersenjum sadja, sahutnja: Atas kundjungan Dji-nio kewilajah kami ini, harap maaf kami tidak datang menjambut sebelumnja.

Biarpun negeri Tayli ini hanja negeri ketjil dan rakjatnja miskin, tapi sepantasnja harus memenuhi djuga sekedar kewadjiban sebagai tuan rumah.

Dalam pada itu Tjo Tju Bok jang sudah mendapatkan kembali puteranja dengan selamat, dalam girang dan herannja itu, tiba2 teringat seorang olehnja, pikirnja: Dilihat dari wadjahnja, orang ini memang mirip benar dengan tokoh jang sering dibuat tjerita itu, tapi beliau mengapa bisa berketjimpung dikalangan Kangouw lagi? ~ Namun begitu, tak tertahan djuga rasa ingin tahunja, segera ia menanja: Apakah tuan adalah .... adalah Ko-houya?

Sidjubah longgar itu tidak mendjawab apa benar atau tidak, tapi lantas berkata kepada Yap Dji-nio: Dimanakah Toan-kongtju kami, bagaimana keadaannja, harap sukalah memberitahu?

Aku tidak tahu, sahut Dji-nio dengan tertawa dingin. Andaikan tahu djuga takkan kukatakan.

Habis itu, se-konjong2 ia melesat pergi dan melajang turun kebawah gunung.

Nanti dulu! seru sidjubah longgar terus mengudak. Tapi mendadak pandangannja mendjadi silau, sendjata2 resia musuh bagai hudjan menghambur kearahnja. Tjepat ia putar serulingnja, sebagian sendjata2 gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi kena dipukul djatuh dengan seruling. Namun tangannja terasa pegal djuga terbentur oleh sambitan sendjata2 gelap jang kuat itu, diam2 ia membatin : Sungguh hebat perempuan ini.

Sementara itu Yap Dji-nio sudah sempat melajang pergi bagai hantu tjepatnja, untuk mengedjarnja terang tak keburu lagi. Ketika sendjata2 gelap tadi ditegasi, ternjata terdiri dari matjam2 bentuknja, semuanja adalah barang2 mainan anak2 ketjil buatan dari logam. Segera Koan-bau-khek teringat: Ja, barang2 ini tentu diperolehnja dari anak2 jang telah mendjadi korbannja. Penjakit ini tak dibasmi, entah betapa banjak anak ketjil dinegeri Tayli ini akan ditjelakai pula!

Disebelah sana, sinelajan lantas ajun pantjingnja hingga pedang jang tergubet oleh tali pantjingnja itu mendadak mentjelat kearah Tjo Tju-bok dengan garan pedang didepan. Dengan gugup, tjepat Tjo Tju-bok menangkap pedangnja sendiri itu dengan wadjah merah malu.

Lalu nelajan itu berpaling kepada Bok Wan-djing dan membentaknja dengan bengis: Sebenarnja bagaimana keadaan Toan-kongtju? Apa benar2 telah

ditjelakai oleh In Tiong-ho?

Walaupun dalam hati Bok Wan-djing rada mendongkol karena di-bentak2, tapi pikirnja: Ilmu silat orang2 ini sangat tinggi, tampaknja mereka adalah kawannja Toan-long. Biarlah kukatakan apa jang sebenarnja pada mereka agar ber-sama2 mereka bisa mentjari kesekitar djurang sana.

Tapi belum lagi ia membuka suara, tiba2 dibawah gunung sana ada suara teriakan seorang: Bok-kohnio...... Bok-kohnio...... apakah engkau berada disini?........ Lam-hay-gok-sin, aku sudah datang, djangan engkau bikin susah Bok-kohnio!

Mendengar suara itu, Koan-bau-khek dan kawan2nja itu tampak kegirangan luar biasa. Berbareng mereka berkata: Itulah Kongtjuya!

Memang benar itulah suaranja Toan Ki. Dengan susah-pajah Bok Wan-djing sudah menanti selama tudjuh-hari-tudjuh-malam, kini mendadak mendengar suara orang jang diharapkan itu, saking girang dan kedjutnja, se-konjong2 pandangannja terasa gelap, ia terus djatuh pingsan..........

Dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia dengar ada suara orang meneriaki namanja: Bok-kohnio, Bok-kohnio! Aku sudah berada disini, lekaslah engkau siuman!

Pelahan2 Bok Wan-djing siuman kembali, ia merasa dirinja berada didalam pelukan orang, seketika ia ingin melompat bangun, tapi lantas teringat olehnja: Ah, Toan-long jang memeluk aku ini.

Dengan rasa manisnja madu tertjampur masam getir, pelahan2 ia membuka matanja, segera tampak sepasang mata djeli jang ber-kilau2 sedang memandang padanja, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki.

Hura, achirnja kau siuman djuga! demikian Toan Ki berseru girang.

Sementara itu Bok Wan-djing tak bisa menahan lagi air matanja jang bertjutjuran bagai hudjan. Mendadak ia baliki tangannja, plok, kontan ia persen Toan Ki sekali tamparan. Meski ia menggampar Toan Ki sekali, tapi badannja masih tetap berada dipangkuan pemuda itu, sesaat itupun tiada tenaga untuk melompat bangun.

Sedjenak Toan Ki melongo sambil me-raba2 pipi jang ditampar itu, kemudian katanja dengan tertawa: Kenapa engkau selalu suka memukul orang? Sungguh tiada wanita se-wenang2 seperti kau ini! ~ Habis ini, segera wadjahnja berubah muram dan menanja: Dimanakah Lam-hay-gok-sin? Kenapa dia tidak menunggu aku disini?

Orang sudah menunggu selama tudjuh-hari-tudjuh-malam apa masih belum tjukup? sahut Wan-djing. Dia sudah pergi sekarang!

Seketika wadjah Toan Ki berubah girang, serunja: Bagus, bagus! Aku djusteru lagi kuatir setengah mati. Pabila dia paksa aku mengangkat guru padanja, bukankah bisa berabe?

Dan kalau engkau tidak suka mendjadi muridnja, kenapa datang lagi kesini? tanja Wan-djing.

Eh, lalu engkau bagaimana? sahut Toan Ki. Bukankah engkau berada dibawah tjengkeramannja. Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin susah padamu, mana bisa aku tega tinggal diam?

Rasa Wan-djing mendjadi nikmat, katanja pula: Hm, hatimu ini benar2 djahat, sungguh aku ingin sekali tusuk membinasakan kau. Tjoba katakan, sebab apa tidak lambat tidak telat kau djusteru datang pada saat sesudah mendapat bala bantuan dan musuh sudah pergi, lalu pura2 berlagak kesatria hendak menolong aku? Kenapa selama tudjuh-hari-tudjuh-malam engkau tidak datang mentjari daku?

Toan Ki menghela napas gegetun, sahutnja: Sudah tentu engkau tidak tahu bahwa selama itu aku berada dibawah pengaruh orang dan tak bisa berkutik. Padahal siang dan malam aku selalu merindukan dikau, sungguh aku kuatir setengah mati, tjoba kalau dalam itu aku bisa melepaskan diri, tentu siang2 aku sudah datang. Nona Bok, apakah lukamu sudah sembuh? Orang djahat itu tidak.... tidak menganiaja engkau bukan?

Pernah apa aku dengan engkau? Kenapa masih sebut nona apa segala terus-menerus? omel Wan-djing.

Melihat paras sigadis jang ke-marah2an itu mendjadi menambah tjantiknja malah, perasaan Toan Ki terguntjang hebat. Sesungguhnja selama tudjuh hari

ini ia memang sangat merindukan gadis itu. Tak tertahan lagi ia terus merangkul lebih kentjang dan berkata: Baiklah, Wan-djing, Wan-djing! Kupanggil demikian padamu, suka tidak engkau? ~ Habis itu, terus sadja ia tundukkan kepalanja kebawah hendak mentjium bibir sigadis.

Karuan Bok Wan-djing kaget, ia mendjerit sekali sambil melompat bangun dengan wadjah merah, serunja: Ada orang luar berada disini? Mana boleh engkau..... engkau? He! Dimanakah orang2 itu?

Waktu ia memperhatikan, ternjata disekitar situ sudah tidak kelihatan lagi bajangan Koan-bau-khek alias sidjubah longgar bersama keempat djago Hi-djiau-keng-dok itu.

Siapakah jang berada disini? Apakah Lam-hay-gok-sin? tanja Toan Ki dengan wadjah menampilkan rasa takut pula.

Sudah berapa lama engkau berada disini? tanja Wan-djing.

Barusan sadja, belum lama, sahut Toan Ki Begitu aku naik kesini, lantas kulihat engkau rebah tak sadarkan diri disini, ketjuali itu, tiada lagi bajangan seorang lain. He, Wan-djing, marilah kita lekas pergi, djangan2 nanti akan tertawan pula oleh Lam-hay-gok-sin jang djahat itu!

Baiklah! sahut Wan-djing. Lalu ia berkomat-kamit sendiri: Aneh, hanja sekedjap sadja mengapa sudah menghilang semua?

Saat itulah tiba2 dari balik batu karang sana terdengar seorang sedang bersenandung, lalu muntjul seorang jang membawa kipas dan buku, itulah dia sisastrawan dari empat tokoh Hi-djiau-keng-dok.

Tju-heng! seru Toan Ki bergirang.

Tjepat sastrawan itu masukkan kitab dan kipasnja kedalam badju, lalu memburu madju dan mendjura kehadapan Toan Ki sambil berkata dengan girang: Kongtjuya, sjukur engkau dalam keadaan selamat, tadi ketika mendengar utjapan nona ini, sungguh kami kuatir tak terhingga!

Dengan ramah Toan Ki membalas hormat orang, sahutnja: Djadi kalian sudah bertemu tadi? Ken.... kenapa baru sekarang kau muntjul? Sungguh sangat kebetulan!

Kami berempat saudara diperintahkan mendjemput Kongtjuya pulang dan bukannja setjara kebetulan, udjar sisastrawan. Kongtjuya, engkau djuga terlalu gegabah, seorang diri merantau Kangouw, untunglah kami dapat mentjari kerumah Be Ngo-tek, lalu menjusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari kami benar2 teramat kuatir.

Banjak djuga penderitaan jang kurasakan, sahut Toan Ki tertawa. Paman dan ajah tentu marah2 bukan?

Sudah tentu, sahut sisastrawan. Tjuma diwaktu kami berangkat, kedua djundjungan sudah reda marahnja, sebaliknja merasa sangat kuatir atas diri Kongtjuya. Belakangan Sian-tan-hau djuga mendapat berita kedatangan Su-tay-ok-djin ke Tayli sini, beliau kuatir kalau Kongtjuya dipergoki mereka, maka ia sendiripun ikut datang mentjari engkau.

Su-tay-ok-djin apa?Djadi Ko-sioksiok djuga ikut datang mentjari aku? Ah, aku mendjadi tak enak, dimanakah beliau sekarang ?

Barusan kami berada disini semua, sahut sisastrawan. Ko-houya telah berhasil mengusir seorang wanita djahat, dan ketika mendengar suara datangnja Kongtjuya, mereka mendjadi lega dan suruh aku menunggu engkau disini, sedang mereka pergi menguber si wanita djahat itu. Kongtjuya, marilah sekarang djuga kita pulang istana agar tidak dibuat pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar.

Kiranja sedjak tadi kau.... kau sudah berada disini, udjar Toan Ki kikuk. Teringat olehnja apa jang dia bitjarakan dengan Bok Wan-djing jang meresap tadi, tentu telah didengar djuga oleh sastrawan itu, tak tertahan lagi wadjahnja merah djengah.

Tadi aku lagi asjik membatja sjair indah gubahan Ong Djiang Ling jang penuh semangat itu, maka tanpa sadar bahwa Kongtjuya sudah lama berada disini, demikian kata sisastrawan dengan maksud menghilangkan rasa malu Toan Ki.

Maka dengan masih rada kikuk2 Toan Ki kemudian berpaling kepada Bok Wan-djing dan berkata: Bok.... Bok-kohnio, ini adalah Tju Tan-sin, Tju-siko, dia adalah kawanku jang paling karib.

Segera Tju Tan-sin melangkah madju dan memberi hormat kepada sigadis, katanja: Terimalah hormat Tju Tan-sin ini, nona!

Dengan ramah Wan-djing membalas hormat, ia mendjadi senang melihat orang begitu merendah pada dirinja, sahutnja: Tju-siko, engkau sungguh sangat ramah-tamah, tidak seperti kawan2mu tadi jang kasar bengis itu.

Tju Tan-sin tertawa, katanja: Ketiga saudaraku itu tentunja sedang kuatir karena mendengar berita buruk atas diri Kongtjuya, maka utjapannja rada kurang sopan, harap nona suka memaafkan.

Dalam hati diam2 Tju Tan-sin heran djuga, kedjahatan Hiang-yok-djeh paling achir ini sering didengar olehnja, tak terduga olehnja bahwa tokoh itu ternjata adalah seorang gadis djelita sedemikian tjantiknja. Ia mendjadi kuatir pula Kongtjuya jang masih muda dan belum berpengalaman itu akan tenggelam dalam pengaruh ketjantikan sigadis hingga achirnja merusak nama baik sendiri.

Tju Tan-sin adalah seorang jang lihay, biarpun diam2 ia sudah waspada kepada Bok Wan-djing, tapi lahirnja ia tidak mengundjukkan sesuatu tanda, bahkan dengan ketawa2 ia berkata: Kedua tuan besar sangat menguatirkan diri Kongtjuya, maka sukalah Kongtjuya lekas2 pulang sadja. Pabila Bok-kohnio djuga tiada urusan lain, silahkan djuga ikut bertamu kerumah Kongtju barang beberapa hari.

Ia menduga melulu kekuatan sendiri mungkin tak bisa mengatasi Bok Wan-djing, tapi kalau nona itu djuga diadjak pulang, Toan Ki tentu akan merasa senang.

Maka dengan ragu2 Toan Ki menjahut: Tapi tjara bagaimana aku...... aku harus berkata pada paman dan ajah?

Wadjah Bok Wan-djing mendjadi merah, tjepat ia berpaling kesana.

Tjayhe mendengar bahwa ilmu silat Su-tay-ok-djin itu sangat tinggi, tadi meski Sian-tan-hou dapat mengenjahkan Yap Dji-nio jang djahat, itu djuga berkat serangan diluar perhitungan musuh. Demi keselamatan Kongtjuya, marilah kita lekas berangkat sadja, demikian kata Tju Tan-sin pula.

Bila ingat betapa buasnja Lam-hay-gok-sin, kembali Toan Ki merinding. Ia manggut dan berkata: Baiklah, mari kita berangkat. Tju-siko, djika musuh terlalu lihay, lebih baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok sadja, biar aku pulang sendiri bersama nona Bok

Tidak, sahut Tju Tan-sin. Dengan susah pajah achirnja Kongtjuya dapat diketemukan, sepantasnja biar Tjayhe mengawal engkau pulang. Betapa tinggi kepandaian nona Bok, memang sudah lama djuga Tjayhe mengagumi. Tjuma melihat keadaannja, agaknja lukanja masih belum pulih sama sekali, pabila ditengah djalan nanti kepergok musuh lagi, tentu akan susah, maka lebih baik Tjayhe mengawal pulang sadja.

Sebenarnja Toan Ki tidak ingin terus pulang, tapi sekali sudah diketemukan Tju Tan-sin, untuk minggat lagi terang tidak gampang. Terpaksa ia menurut dan bertiga lantas turun kebawah gunung.

Dalam hati Bok Wan-djing ingin sekali menanja Toan Ki kemana perginja selama tudjuh-hari-tudjuh-malam, tjuma Tju Tan-sin berada disamping mereka, untuk bitjara rasanja kurang leluasa, terpaksa ia bersabar sebisanja.

Tan-sin membawa rangsum kering, ditengah djalan ia keluarkan untuk dibagikan kepada Toan Ki dan Wan-djing.

Sampai dibawah gunung, tertampaklah dibawah pohon tertambat lima ekor kuda bagus, itulah kuda2 tunggangan rombongan Djay-sin-khek. Segera Tan-sin membawakan tiga ekor diantaranja, ia silahkan Toan Ki dan Wan-djing naik dulu, kemudian ia sendiri barulah mentjemplak keatas kuda, terus mengikuti dari belakang.

Malamnja mereka bertiga menginap disuatu hotel ketjil dan masing2 mendiami sebuah kamar. Setelah tutup pintu kamarnja, Bok Wan-djing duduk ter-mangu2 bertopang dagu menghadapi api lilin diatas medja, pikirannja timbul tenggelam, girang tertjampur kuatir, pikirnja: Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Toan-long sudi datang kembali mentjari aku, suatu tanda tjintanja jang mendalam padaku. Sebaliknja selama beberapa hari ini dalam hatiku selalu menjumpahi dia berhati palsu segala, njata aku telah keliru menjalahkan dia. Melihat sikap Tju Tan-sin jang sangat menghormat padanja, agaknja Toan-long kalau bukan putera keluarga bangsawan, tentu adalah angkatan muda dari tokoh persilatan terkemuka. Seorang nona seperti aku meski sudah bertunangan dengan dia, tapi begini sadja aku lantas ikut pulang kerumahnja, betapapun aku merasa likat. Tampaknja ajah dan pamannja djuga sangat bengis padanja, pabila nanti akupun dihna olehnja, lantas bagaimana baiknja? Hm, hm, paling2 kulepaskan panah beratjun untuk membunuh mereka semua, hanja Toan-long seorang jang kubela.

Selagi memikir kelak akan mengganas, tiba2 terdengar suara kelotakan pelahan dua kali didaun djendela. Tjepat Bok wan-djing kebas tangannja hingga api lilin tersirap.

Maka terdengarlah suara Toan Ki lagi berkata pelahan diluar djendela: Akulah, nona Bok!

Mendengar pemuda itu tengah malam mendatangi kamarnja, hati Wan-djing mendjadi ber-debar2, dalam kegelapan ia merasa wadjahnja merah membara. Dengan bisik2 ia lantas tanja: Ada urusan apa?

Bukalah djendelamu, biar kukatakan padamu, sahut Toan Ki.

Tidak, aku takmau buka, udjar sigadis. Sungguh aneh, dengan ilmu silatnja jang sangat tinggi itu, biasanja ia tidak gentar pada siapapun djuga, tapi kini ia merasa djeri hanja kepada seorang peladjar jang lemah, sungguh ia sendiripun tidak tahu apa sebabnja.

Toak Ki heran djuga mengapa sigadis takmau membukakan djendelanja, segera ia membisiki lagi: Djika begitu, lekaslah engkau keluar, kita harus segera berangkat.

Mendengar itu, tjepat Wan-djing bertanja lagi: Sebab apa?

Tju-siko sedang tidur njenjak, djangan kita bikin mendusin dia, aku tidak ingin pulang! demikian kata Toan Ki.

Wan-djing mendjadi girang. Memangnja ia sedang kuatir tjara bagaimana nanti kalau bertemu dengan ajah-bunda pemuda itu. Kini diadjak minggat, tentu sadja ia akur tanpa sjarat. Terus sadja ia membuka djendelanja pelahan2, lalu melompat keluar.

Sssssst! Pelahan2, djangan sampai diketahui Tju-siko! demikian Toan Ki membisik. Kau tunggu disini, biar kupergi membawakan kuda.

Tapi Wan-djing lantas gojang2 tangannja, sekali ia rangkul pinggang Toan Ki, ia terus endjot keatas rumah dan melompat keluar tembok sana. Katanja kemudian: Djangan kita naik kuda, suara derapan kuda akan mengedjutkan Tjo-sikomu.

Benar djuga, tjermat sekali engkau, sahut Toan Ki dengan tertawa.

Maka dengan bergandengan tangan mereka lantas berdjalan kearah timur. Setelah beberapa li djauhynja tidak mendengar ada orang mengedjarnja, mereka baru merasa lega. Kata Wan-djing: Sebab apa kau tidak suka pulang!

Begitu pulang, tentu paman dan ajah akan menjekap aku dan dilarang keluar lagi, sahut Toan Ki. Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu akan susah pula.

Senang sekali hati Bok Wan-djing mendengar pernjataan itu, katanja: Kau tidak suka pulang, itulah lebih baik, biarlah sedjak kini kita akan merantau, bukankah kita bisa hidup bebas tenteram? Dan sekarang ktia harus pergi kemana?

Pertama kita harus menghindari pengedjaran Tju-siko, Ko-siok-siok dan lain2, sahut Toan Ki. Lalu kita harus menghindari Lam-hay-gok-sin jang buas itu.

Benar, kata wan-djing memanggut. Paling baik kita menudju kebarat-laut, kita mondok dulu dirumah seorang desa untuk menghindari penguberan, lewat belasan hari kemudian, kalau luka dipundakku sudah sembuh sama sekali, tentu kita tak usah kuatir lagi terhadap apapun.

Segera mereka bedua membiluk kearah barat-laut dengan jtepat, ditengah djalan merekapun tak berani berhenti dan banjak bitjara, harapan mereka adalah semakin djauh meninggalkan Bu-liang-san, semakin baik.

Sampai fadjar menjingsing, sudah berpuluh li djuga mereka tempuh. Kata Wan-djing: Musuhku terlalu banjak, kalau kita berdjalan siang hari, tentu akan menarik perhatian orang. Lebih baik kita mentjari suatu tempat mengaso, siang hari kita makan-tidur, malam hari meneruskan perdjalanan.

Terhadap urusan2 Kangouw, sedikitpun Toan Ki tidak paham, maka sahutnja:

Baiklah terserah pada keputusanmu.

Nanti sehabis kita sarapan, kau harus mentjeritakan kemana engkau telah pergi selama tudjuh-hari-tudjuh-malam ini, kata sigadis pula. Tapi kalau kau membohong, hm, awas............ berkata sampai disini, mendadak ia berseru heran sambil menunding kedepan.

Ternjata dibawah satu pohon jang rindang, tampak tertambat tiga ekor kuda, diatas sebuah batu besar berduduk seorang jang sedang membatja kitab sambil gojang2 kepala asjik bersjair. Siapa lagi dia kalau bukan Tju Tan-sin.

Wah, tjelaka! Segera Toan Ki tarik tangan sigadis hendak diadjak lari kedjurusan lain. Namun Wan-djing tjukup paham bahwa rentjananja melarikan diri semalam tentu sudah didengar semua oleh Tju Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki takbisa Ginkang, tentu larinja takbisa tjepat, maka setelah menentukan arah larinja mereka, lalu naik kuda mengitar djalan lain untuk menghadang didepan.

Maka dengan mengkerut kening Wan-djing berkata: Tolol, sudah diketahui orang, masakan masih bisa lari lagi? ~ Terus sadja ia mendekati Tju Tan-sin dan menegur:

Wah, pagi-pagi buta sudah asjik membatja disini, senang benar tampaknja!

Tan-sin manggut-manggut sambil tertawa, katanja kepada Toan Ki: Kongtju, tjoba terkalah sjair apa jang sedang kubatja? ~ Lalu ia keraskan suaranja bersenandung sebait sjair.

Selesai mendengar, segera Toan Ki mendjawab: Bukankah ini bisikan kalbu gubahan Gui Tin?

Tan-sin tertawa, katanja: Pengetahuan Kongtjuya benar-benar sangat luas dan dalam, sungguh Tan-sin merasa sangat kagum!

Toan Ki dapat memahami maksud sjair orang jang mengatakan sebabnja malam-malam bersedia menjusul dan mentjari engkau, soalnja karena merasa utang budi dari ajah dan pamanmu, maka tidak berani mengetjewakan kepertjajaan jang kuterima dari beliau-beliau itu. Maka Toan Ki mendjadi rikuh untuk minggat lagi, segera ia adjak Bok Wan-djing ikut pulang.

Entah djalan jang kami arah ini benar tidak menudju ke Tayli? dengan likat Bok Wan-djing menanja.

Toh tiada urusan penting jang lain, ketimur atau kebarat serupa sadja, achirnja tentu djuga akan sampai di Tayli, sahut Tan-sin.

Kalau kemarin ia memberi Toan Ki menunggang seekor kuda jang paling bagus, adalah sekarang kuda bagus itu ia tunggangi sendiri untuk mendjaga-djaga kalau pemuda itu melarikan diri lagi dan dirinja tentu akan dapat mentjandaknja.

Segera Toan Ki mentjemplak keatas kudanja dan berangkat ke djurusan timur. Kuatir kalau pemuda itu dongkol padanja, sepandjang djalan Tan-sin berusaha membikin senang hatinja dengan mengadjak bitjara tentang sjair dan sandjak.

Saking asjiknja Toan Ki dibuai oleh sjair dan sandjak, hingga Bok Wan-djing jang berada disampingnja itu tak terurus. Karuan gadis itu mendongkol, pikirnja: Peladjar tolol ini, kalau sudah asjik bitjara tentang sjair segala, ia mendjadi lupa daratan.

Tidak lama, sampailah mereka didjalan raja. Kemudian mereka berhenti disuatu kedai ditepi djalan untuk sarapan pagi sekedarnja. Baru selesai mereka pesan makanan, tiba-tiba dari luar melangkah masuk pula seorang jang bertubuh tinggi kurus.

Begitu ambil tempat duduk, segera sidjangkung itu menggebrak medja sambil membentak: Lekas bawakan lima kati arak, tiga kati daging masak, lekas, tjepat!

Mendengar suara orang, tak usah melihat, segerak Bok Wan-djing dapat mengenali sidjangkung itu pasti In Tiong-ho adanja. Sjukur ia menghadap kedalam hingga tidak dilihat oleh orang djahat keempat itu. Segera ia gunakan djarinja mentjelup air kuah untuk menulis namanja In Tiong-ho diatas medja.

Tan-sin terkedjut, segera iapun menulis diatas medja: Lekas berangkat, tak perlu menunggu aku!

Terus sadja Wan-djing berbangkit, ia tarik badju Toan Ki dan diadjak menudju keruangan belakang.

Sedjak masuk tadi, In Tiong-ho lantas duduk menghadap keluar seperti sedang mengintjar orang lewat. Tapi dia sangat tjerdik, begitu mendengar ada suara orang bergerak dibelakangnja, ia lantas menoleh dan masih keburu melihat bajangan Bok Wan-djing menghilang dibalik pintu, segera ia membentak: Siapa itu? Berhenti! ~ Berbareng ia terus berbangkit dan memburu kebelakang.

Saat itu Tju Tan-sin sedang memegangi semangkok bakmi kuah panas, ia sengadja mendjerit keras sekali seakan-akan orang kaget, terus sadja semangkok bakmi panas itu disiramkan kemuka orang.

Memangnja djarak kedua orang sangat dekat, gerakan Tju Tan-sin itu sangat tjepat pula, tambah lagi sama sekali In Tiong-ho tak menjangka sisastrawan jang lemah itu mendadak bisa menjerang, pula ruangan kedai itu terlalu sempit untuk menghindar, masih mendingan djuga ilmu Ginkangnja sudah mentjapai tingkat tiada taranja, dengan tjepat luar biasa ia masih sempat memutar sedikit tubuhnja hingga semangkok bakmi panas itu dapat dielakkan sebagian, tinggal isi setengah mangkok jang tetap menggebjur kemukanja hingga pandangannja seketika mendjadi kabur.

Dalam gusarnja segera In Tiong-ho mentjakar kedada Tju Tan-sin dengan niat sekaligus binasakan orang. Tak tersangka, begitu Tan-sin gebjurkan mangkok bakminja tadi, menjusul ia lantas angkat medjanja hingga mangkok pirng berhamburan kearah In Tiong-ho. Tjrat, kelima djari In Tiong-ho jang mentjakar itupun menantjap dimuka medja.

Betapapun tinggi ilmu silatnja In Tiong-ho, mendadak diserang ia mendjadi kalang kabut djuga kerepotan. Lekas-lekas ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh sendiri hingga mangkok piring jang menghambur kebadannja itu semuanja terpental djatuh dan tak melukainja. Namun begitu, badjunja mendjadi basah lepek djuga oleh siraman kuah bakmi godok itu.

Pada saat lain, terdengarlah ada derapan kuda jang ramai diluar kedai, ada dua penunggang kuda telah kabur keutara.

Tjepat Tiong-ho mengusap mukanja jang tersiram bakmi tadi, tapi pada saat itu djuga sekonjong-konjong angin tadjam terasa menjambar, suatu benda keras telah menutuk kearah dadanja. Lekas-lekas ia tarik napas dalam-dalam hingga dadanja tertarik mundur belasan senti, berbareng telapak tangan kiri lantas memotong dari atas, dua djarinja akan dipakai mendjepit kipas orang.

Rudji kipas milik Tju Tan-sin itu terbuat dari badja murni dan merupakan sendjata jang telah dijakinkan sedjak ketjil, ia dapat memainkannja dengan tjepat dan sesuka hati. Maka ia menduga dalam keadaan kelabakan terkena siraman bakmi panas tadi, sekali serang dapatlah merobohkan In Tiong-ho jang lihay itu.

Tak tersangka, bukan sadja In Tiong-ho dapat menghindarkan serangan itu dengan baik, bahkan kipasnja hendak didjepit pula. Karuan Tan-sin terkedjut, tjepat ia tarik kembali kipasnja.

Bitjara tentang tenaga dalam, Tju Tan-sin masih kalah setingkat daripada lawannja, tapi kipas itu adalah sendjata kesajangannja, maka sekuatnja ia menarik, untung djuga tangan In Tiong-ho jang djuga basah oleh kuah bakmi, djarinja mendjadi litjin hingga kurang kentjang djepitannja, maka dapatlah Tan-sin merebut kembali kipasnja itu.

Dalam keadaan demikian, mendadak Tan-sin mendapat akal, tjepat ia berteriak-teriak: Hai, kawan-kawan jang memakai pantjing dan kapak, lekas kalian tutup pintu, sidjangkung ini takkan mampu lari lagi!

Kiranja Tan-sin pernah mendengar tjeritanja Bu-sian-tio-to atau situkang pantjing dari danau Bu-sian, sertai Djay-sin-khek, bahwa malam itu mereka telah kepergok dengan seorang jang djangkung bagai galah bambu, dengan tenaga mereka berdua barulah sekedar bisa menangkan lawan. Sebab itulah, sekarang ia sengadja main gertak, ia menggembor pura-pura memanggil kawan untuk menakutkan lawan itu.

In Tiong-ho tidak menjangka kalau itu hanja gertakan belaka, ia pikir bisa tjelaka kalau benar-benar sinelajan dan situkang kaju itu muntjul, tentu dirinja susah untuk meloloskan diri. Ia mendjadi gugup dan tidak mau bertempur lebih lama, terus sadja ia terdjang keruangan belakang dan melarikan diri melitnasi pagar tembok.

Wah, sudah lari, sidjangkung sudah lari! Lekas kedjar, lekas kedjar! demikian Tan-sin masih berteriak terus berlari keluar kedai sambil mentjemplak keatas kudanja, tapi bukan mengedjar sidjangkung, melainkan menjusul Toan Ki berdua.

Saat itu Toan Ki dan Wan-djing sudah melarikan kuda mereka beberapa li djauhnja, lalu melambatkan kudanja pelahan-pelahan. Tidak lama, terdengar

derapan kuda jang tjepat dari belakang, waktu menoleh, kiranja Tju Tan-sin sudah menjusul datang.

Mereka memberhentikan kuda untuk menunggu, setelah dekat, belum lagi mereka sempat menanja kawan itu, sekonjong-konjong Wan-djing berseru: Tjelaka, orang itu sedang mengedjar kemari!

Maka tertampaklah sesosok tubuh jang djangkung sedang memburu datang dengan tjepat luar biasa, saking tinggi tubuh orang itu hingga mirip galah bambu dalam permainan Djaylangkung jang tergontai-gontai sempojongan kekanan dan kekiri.

Kedjut Tan-sin tak terhingga, sungguh tak terduga olehnja bahwa Ginkang sidjangkung bisa begitu hebat. Tjepat ia menjabet beberapa kali dibokong kuda-kuda tunggangan Toan Ki dan Wan-djing, dalam kagetnja, kuda-kuda itu meringkik sekali terus membedal kedepan dengan kerasnja. Maka hanja sekedjap sadja In Tiong-ho sudah djauh ketinggalan dibelakang.

Kira-kira beberapa li lagi, Bok Wan-djing mendengar napas kudanja sudah megap-megap, terpaksa ia lambatkan larinja membiarkan binatang itu sempat bernapas. Tapi karena sedikit ajal itu, kembali In Tiong-ho sudah menjusul datang.

Biarpun ketjepatan lari dalam djarak pendek In Tiong-ho tidak bisa memadai kuda, tapi tenaga djangka lama ternjata tidak terputus-putus, ia masih bisa mengedjar terus.

Tju Tan-sin insaf akal menggertaknja tadi sudah diketahui orang, untuk menakut-nakuti lagi terang takkan mempan lagi, tampaknja dalam djarak belasan li pula tentu akan kena disusul olehnja. Padahal asal bisa sampai dikota Tayli, betapapun besarnja urusan tentu tidak perlu takut. Soalnja tjuma ketiga ekor kuda mereka, jang sudah pajah, makin lama makin lambat, keadaanpun makin lama semakin berbahaja.

Beberapa li lagi, sekonjong-konjong kuda Toan Ki keserimpet hingga pemuda itu terbanting djatuh kebawah. Sjukur Bok Wan-djing dapat bertindak tjepat, belum lagi tubuh Toan Ki menempel tanah, tangan sigadis sudah sempat mendjambret tengkuk badjunja terus diangkat keatas kuda sendiri.

Terhadap gadis itu sebenarnja Tju Tan-sin mempunjai kesan djelek, tapi ketika Toan Ki terdjungkal dari kudanja, ia sendiri masih ketinggalan dibelakang

untuk merintangi musuh bila perlu, untuk menolong terang tidak keburu. Sjukur gadis itu sempat turun tangan dengan tjepat, melihat gerakan Bok Wan-djing jang sebat itu, mau-tak-mau ia memudji djuga: Bagus!

Belum lenjap suaranja, sekonjong-konjong dari belakang ada angin menjamber, sepotong sendjata sudah menjerang kearahnja. Tjepat Tan-sin putar kipasnja untuk menangkis, trang, tjakar badja In Tiong-ho tersampok kesamping, tapi sendjata aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In Tiong-ho, sebaliknja ia terus menggaruk kebawah hingga pantat kuda tertjakar dan terluka.

Saking kesakitan, kuda itu meringkik sekali terus mentjongklang terlebih tjepat malah, hingga lagi-lagi In Tiong-ho dapat ditinggalkan dibelakang.

Tjelaka! Orang itu sudah mengedjar kemari lagi! demikian seru Bok Wan-djing dengan kuatir. Waktu Toan Ki menoleh, benar djuga tertampak sesosok tubuh jang tinggi kurus bagai galah bambu sambil bergentajangan kekanan-kiri sedang mengedjar dengan tjepat.

Namun demikian, kini Toan Ki dan Wan-djing harus bersatu kuda, sedang kuda Tju Tan-sin terluka pula, dengan sendirinja mereka sangat kuatir. Hanja Toan Ki jang sama sekali tidak kenal bahaja, ia masih tanja: Wan-djing, apakah orang itu sangat lihay? Dapatkah Tju-siko melawan dia?

Tidak, biarpun aku bersama dia mengerojokinja djuga takbisa menang, sahut sigadis. Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinja, katanja pula: Eh, aku dapat pura-pura djatuh dari kuda dan merebah ditanah, nanti kalau dia mendekati aku, dalam keadaan tak tersangka-sangka aku lantas lepaskan panahku, tentu dapat merobohkan dia. Nah, lekas kau larikan kuda sendirian, tak usah tunggu aku!

Karuan Toan Ki gugup, tanpa pikir lagi sebelah tangannja terus memeluk leher sigadis dan tangan lain merangkul pinggangnja sambil berkata: Djangan, djangan! Aku tak membiarkan kau menempuh bahaja itu!

Wan-djing mendjadi djengah, tjepat omelnja: Tolol, kenapa main pegang-pegang? Lekas lepaskan aku! Kalau dilihat Tju-siko, matjam apa kelakuanmu ini?

O, ja! Maaf, djangan engkau marah! seru Toan Ki kedjut sambil lepaskan rangkulannja.

Engkau adalah suamiku, masakah pakai minta maaf segala? udjar sigadis.

Tengah bitjara, dari djauh tampak In Tiong-ho sedang mendatangi lagi dengan gajanja jang gentajangan.

Sekilas Toan Ki melihat wadjah Wan-djing mengundjuk rasa kuatir, seketika timbullah rasa kasih-sajangnja. Saat itulah tiba-tiba sigadis mendjerit tertahan, tertampak Tju Tan-sin sudah melompat turun dari kudanja dan sedang memberi tangan suruh mereka lari tjepat. Lalu ia pentang kipasnja menghadang ditengah djalan hendak menempur In Tiong-ho.

Tak terduga maksud tudjuan In Tiong-ho jalah ingin menawan Bok Wan-djing jang tjantik itu. Sekonjong-konjong ia membiluk kepinggir sehingga Tju Tan-sin dilalui, terus mengedjar lebih tjepat kearah Toan Ki berdua.

Terus-menerus Bok Wan-djing mentjambuk kudanja agar berlari lebih tjepat, mulut binatang itu sudah berbusa, napasnja megap-megap, tapi masih tetap lari mati-matian.

Wan-djing, udjar Toan Ki dengan gegetun, tjoba kalau kuda jang kita tunggangi ini adalah simawar hitam milikmu itu, djangan harap orang djahat itu mampu mentjandak kita.

Tentu sadja, sahut Wan-djing.

Dan setelah kuda itu membiluk kesuatu bukit, tiba-tiba didepan tampak sebuah djalan lapang dan lurus, ditepi djalan djuga tanah datar jang luas tanpa sesuatu tempat jang dapat dibuat sembunji, hanja diudjung barat djalan sana tampak tetumbuhan rindang menghidjau mengelilingi sebuah telaga ketjil, disisi telaga sana tampak menongol sebagian dinding berwarna kuning.

Melihat itu, terus sadja Toan Ki bersorak: Hura, lekaslah kita menudju kesana!

Disana adalah djalan buntu, apa tjari mampus menudju kesana? sahut Wan-djing.

Turutlah kataku, tentu kita akan selamat, udjar Toan Ki sambil keprak kudanja lebih tjepat menudju kesemak-semak pohon jang rindang itu.

Sesudah dekat, ketika Bok Wan-djing menegas, ia lihat dinding tembok jang kuning itu kiranja adalah sebuah bangunan kuil, diatas papan kuil itu tertulis Djing-hoa-koan, njata itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk agama To (Tao).

Hanja sepintas sadja Wan-djing memandang kuil itu, sedang dalam hati ia sedang memikir: Sitolol ini adjak lari kesini, tapi terang menghadapi djalan buntu, bagaimana baiknja sekarang? Ah, biarlah kusembunji dulu untuk menjerang In Tiong-ho itu dengan panahku.

Saat itu kuda mereka sudah berlari sampai didepan kuil dan sedang Wan-djing hendak menoleh kebelakang, sekonjong-konjong sudah terdengar suara ketawa orang jang terbahak-bahak dibelakang, terang itulah In Tiong-ho adanja.

Sekonjong-konjong Bok Wan-djing merasa kudanja berhenti serentak sambil berdiri menegak dan meringkik keras, hendak melangkah madju setindak lagi djuga takbisa. Dalam keadaan hampir merosot dari pelana kuda, tjepat Wan-djing berpaling kebelakang, ia lihat kedua tangan In Tiong-ho sedang memegangi ekor kudanja, pantas binatang itu berdjingkrak dan meringkik sebab ekornja diganduli dari belakang. Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini sungguh mengedjutkan, kuda jang lagi membedal dengan tjepat itu, ekornja ditarik begitu sadja lantas tak bisa berkutik sama sekali.

Segera terdengar djuga Toan Ki lagi berteriak-teriak: Ibu, Ibu! Lekas kemari, lekas!

Sungguh mendongkol sekali Bok Wan-djing oleh gembar-gembor Toan Ki jang mentertawakan seperti anak ketjil itu, bentaknja gusar: Tutup mulut, tolol!

In Tiong-ho mendjadi geli djuga, ia terbahak-bahak dan mengedjek: Hahaha, biar kau panggil nenek-mojangmu djuga pertjuma!

Mendadak Bok Wan-djing ajun tangan kanan kebelakang, sebatang panah terus menjamber ketenggorokan In Tiong-ho. Tapi sedikit mengegos, dapatlah Tiong-ho hindarkan serangan itu. Dari demi nampak Wan-djing hendak melompat pergi dari pelana kuda, tjepat tjakar badja ditangan kirinja terus mentjengkeram kepundak gadis itu.

Tapi Bok Wan-djing sangat tjerdik dan tjekatan, sekonjong-konjong ia merosot kebawah terus menjelusup kebawah perut kuda.

Dan selagi Tiong-ho melepaskan ekor kuda jang diganduli tadi dengan maksud hendak melabrak sigadis lebih djauh, ia mendjadi tertegun ketika tiba-tiba dilihatnja dari dalam kuil itu berdjalan keluar seorang To-koh (imam wanita) setengah umur dan berparas sangat tjantik, wadjahnja bersenjum-simpul, tangan kanan membawa sebuah kebut pertapaan.

Melihat To-koh itu, tjepat Toan Ki berlari mendekatinja. Terus sadja To-koh itu merangkul bahu pemuda itu sambil berkata dengan tertawa: Kembali kau bikin onar lagi, ada apa bergembar-gembor!

Melihat To-koh setjantik itu sedemikian mesranja terhadap Toan Ki, bahkan tampak pemuda itupun gunakan tangan kanan memeluk pinggang si To-koh dengan wadjah kegirangan, seketika timbul rasa tjemburunja Bok Wan-djing, tak terpikir algi olehnja bahwa musuh masih berada disitu, ia terus menubruk madju, telapak tangan lantas membatjok keatas kepala si To-koh sambil membentak: Kau... kau pernah apanja?

Djangan kurang sopan, Wan-djing! tjepat Toan Ki berseru.

Mendengar pemuda itu membela si To-koh, rasa dongkol Wan-djing semakin berkobar, batjokannja tadi dilontarkan lebih keras lagi.

Tapi dengan tenang sadja To-koh itu angkat kebutnja keatas, sedikit memutar, tahu-tahu pergelangan tangan Bok Wan-djing kena tergubet oleh benang kebutnja. Seketika Wan-djing merasa tenaga gubetan kebut itu kuatnja tidak kepalang, tapi lunak pula, sedikit To-koh itu kebas kebutnja, kontan Wan-djing terhujung-hujung kesamping.

Dalam gugup dan kalapnja, terus sadja Wan-djing memaki: Engkau adalah Tjut-keh-lang (orang beragama), kenapa demikian tidak tahu malu!

Semula, ketika tiba-tiba melihat muntjul seorang To-koh jang tjantik, diam-diam In Tiong-ho sangat girang, pikirnja harini aku benar-benar lagi dirubung dewi amor, sekali tangkap dua wanita tjantik, biar nanti kugondol pulang semuanja.

Tapi kemudian demi menjaksikan tjara bagaimana To-koh itu mematahkan serangan Bok Wan-djing dengan mudah. Sebagai seorang djago berpengalaman, hanja sedjurus itu sadja ia lantas tahu ilmu silat To-koh itu sangat hebat. Segera ia mentjemplak keatas kudanja Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.

Terdengar To-koh tadi sedang berkata dengan gusar: Kau sembarangan omong apa, nona tjilik? Kau kau sendiri pernah apanja?

Aku... aku adalah isterinja Toan-long! demikian Wan-djing mendjawab. Lekas engkau melepaskan dia!

To-koh itu tertjengan sedjenak, tiba-tiba air mukanja berubah senang berseri-seri, ia djewer kuping Toan Ki, tanjanja dengan tertawa: Apa betul katanja tadi?

Dapat dikata betul, boleh dibilang tidak pula, sahut Toan Ki.

To-koh itu lantas tjubit sekali dipipi pemuda itu sambil mentjomel: Huh, suruh kau beladjar silat tidak mau, tapi lebih suka meniru tabiat ajahmu jang senang roman, ja? Hm, lihatlah kalau aku tidak hadjar kau. ~ Lalu ia berpaling mengamat-amati Bok Wan-djing, kemudian katanja pula: Ehm, nona ini djuga sangat tjantik, tjuma terlalu liar, perlu dididik pula.

Liar atau tidak peduli apa? semprot Wan-djing dengan gusar. Djika engkau tidak lekas lepaskan dia, djangan salahkan aku menjerang dengan panah.

Djika kau suka, boleh djuga kau tjoba-tjoba, udjar si To-koh tertawa.

Djangan, Wan-djing! demikian Toan Ki menjela. Kau tahu tidak siapakah beliau?

Namun Bok Wan-djing sudah kadung minum tjuka (tjemburu), ia tak tahan lagi, begitu ajun tangan, ser-ser, dua panah ketjil terus menjamber kearah si To-koh.

Melihat bidikan panah berbisa sigadis itu, wadjah si To-koh jang tadinja berseri-seri itu seketika berubah hebat. Sekali kebutnja mengebas, setiap benang perak dari kebut itu seakan-akan bertenaga zemberani, kedua panah itu kena dibungkus semua oleh hulu kebut.

Kau pernah apanja Siu-lo-to Tjin Ang-bian? tiba-tiba To-koh itu membentak.

Apa itu Siu-lo-to Tjin Ang-bian segala? Aku tak pernah dengar! sahut Wan-djing.

Melihat wadjah si To-koh jang putjat pasi saking marahnja itu, tjepat Toan Ki menghiburnja: Engkau djanganlah marah, ibu!

Apa katamu, dia ibumu? djerit Wan-djing terkedjut oleh utjapan Toan Ki itu. Sungguh ia tidak pertjaja akan telinganja sendiri.

Emangnja tadi aku sudah memanggil-manggil ibu, masakah kau tak dengar? sahut Toan Ki tertawa. Lalu ia berpaling pada si To-koh dan berkata: Mak, inilah nona Bok Wan-djing, selama beberapa hari ini anak banjak menghadapi bahaja dan ketemukan orang djahat, tapi berkat pertolongan nona Bok ini, djiwa anak masih selamat sampai sekarang.

Pada saat itulah tiba-tiba dari sana terdengar seorang lagi berteriak-teriak: Yau-toan-siantju, Ya-toan-siantju! Engkau harus hati-hati, ini adalah satu diantara Su-ok!

Kiranja jang datang ini adalah Tju Tan-sin jang ketinggalan dibelakang tadi. Sesudah dekat dan melihat wadjah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah ditjederai oleh In Tiong-ho, dengan kuatir segera ia menanja: Yau-toan-siantju, apa engkau engkau sudah bergebrak dengan dia?

Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak ketawa, serunja: Sekarang dimulai djuga belum terlambat! ~ Habis berkata, ia terus berdiri diatas pelana kuda.

Dasar perawakan In Tiong-ho sudah djangkung, berdiri lagi diatas kuda, karuan mirip tiang bendera menegak. Sekonjong-konjong tubuhnja mendojong kedepan, ia gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua tjakar badjanja terus menggaruk kearah si To-koh alias Yan-toan-siantju.

Tjepat Yan-toan-siantju berkelit dan mengisar kesisi kiri kuda, sekali kebutnja menjabet, segera kaki kiri In Tiong-ho diintjar.

Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknja ia masih ulur tjakar badja sebelah kiri untuk mentjengkeram punggung si To-koh. Tapi tjepat sekali To-koh itu mendak tubuh terus menerobos lewat dibawah perut kuda, menjusul kebutnja mengebas, beratus ribu benang perak jang kemilauan terus menantjap kekaki kanan lawan.

Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah madju, ia berdiri diatas kepala kuda dengan enteng, dari tempat jang lebih tinggi itu kembali ia menjerang, tjakar badja kanan terus menjerampang.

Turun! tiba-tiba Tju Tan-sin membentak terus ikut menerdjun kekalangan pertempuran. Mendadak iapun melompat keatas bokong kuda, dari situ ia lantas memukul pinggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas ditangan kanan berbareng menutuk kaki.

Sendjata jang dipakai Tju Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk bertempur dari djarak dekat.

Tjepat In Tiong-ho menangkis dengan tjakar sebelah kiri, berbareng tjakar badja jang lebih pandjang itu ditjengkeramkan kedepan. Namun dengan tjepat Yan-toan-siantju sudah tarik kembali kebutnja terus menjabet pula kekaki lawan.

In Tiong-ho benar-benar sangat lihay, biarpun dikerojok dua, ia masih dapat memainkan sepasang tjakar badannja dengan kentjang, sedikitpun tidak terdesak dibawah angin. Melihat orang berdiri diam diatas kuda, kedudukannja lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-djing bidikan sebatang panah ketjil hingga menantjap dimata kiri kuda itu. Ratjun panahnja itu sangat lihay, begitu masuk dimata, seketika binatang itu roboh binasa. Pada saat itu djuga kebut Yan-toan-siantju sudah dapat menggubet sebelah tjakar badja lawan, berbareng Tju Tan-sin ikut merangsang madju dan menjerang tiga kali be-runtun2.

Huh, bangsat2 Tayli hanja pintar main kerojokan sadja! damperat In Tiong-ho sambil menjerang kekanan dan kekiri, lalu ia melajang keatas pagar tembok dan melarikan diri.

Karena kedua sendjata tergubat mendjadi satu, Yau-toan-siantju dan In Tiong-ho saling betot sekuatnja. Meski tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannja, tapi karena sebagian tenaganja harus dipakai menangkis serangan kipas badja Tju Tan-sin, pula mesti ber-djaga2 serangan panah beratjun dari Bok Wan-djing, maka ia tak kuat lagi memegangi sendjatanja itu, sekali tergetar, tjakar badja dan kebut pertapaan mentjelat keudara berbareng.

Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siantju mengajun, tahu2 seutas selendang sutera jang melibat dipinggangnja telah ditarik dan disabetkan pula.

Huh, bangsat2 dari Tay-li-kok hanja pintar main kerojok sadja! damperat In Tiong-ho. Ia insaf takkan bisa menang lagi, sekali tutul kakinja diatas pelana kuda, setjepat panah orangnja terus melesat keluar, sekali tjakar badja jang masih ketinggalan itu menggantol pagar tembok, orangnja terus mengapung keatas dan sekali berdjumpalitan, menghilanglah keluar.

Pada waktu jang sama Bok Wan-djing telah membidikkan pula sebatang panah, tapi toh masih kalah tjepat, plok, panah itu menantjap diatas pagar tembok, sedang In Tiong-ho sudah lenjap bajangannja. Menjusul mana terdengarlah suara gemerantang jang njaring, kebut dan tjakar badja djatuh ketanah bersama. Diam2 Yau-toan-siantju saling pandang dengan Tju Tan-sin dan Bok Wan-djing, mereka terpesona oleh ketjepatan In Tiong-ho jang luar biasa itu.

Selang sedjenak, barulah Tju Tan-sin membuka suara: Yau-toan-siantju, kalau bukan engkau turun tangan, hari ini Tan-sin pasti sudah tewas ditangannja.

Yau-toan-siantju tersenjum, sahutnja: Sudah belasan tahun tidak pakai sendjata, sudah kaku rasanja. Tju-hiati, siapakah sebenarnja orang tadi ini?

Kabarnja Su-tay-ok-djin (empat orang maha djahat) telah datang ke Tayli semua, orang tadi adalah nomor empat dari Su-tay-ok-djin itu. Tapi ilmu silatnja sudah begini tinggi, maka tiga orang jang lain tak usah ditanja lagi, demikian sahut Tan-sin. Maka lebih baik engkau menghindarinja sementara ke Onghu sadja sampai nanti kalau keempat durdjana itu sudah dibereskan.

Wadjah Yau-toan-siantju rada berubah, sahutnja kurang senang: Guna apa aku pulang ke Onghu (istana pangeran)? Kalau Su-tay-ok-djin datang semua dan aku tak bisa melawannja, biarlah aku terima nasib sadja.

Tju Tan-sin ternjata sangat menghormat pada paderi wanita itu, ia tidak berani bitjara lagi, sebaliknja berulang kali mengedipi Toan Ki agar pemuda itu ikut membudjuk.

Maka berkatalah Toan Ki: Mak, keempat durdjana itu benar2 terlalu djahat dan kedjam, djika kau tidak mau pulang, marilah kita pergi ketempat Pekhu (paman) sadja!

Tidak, aku tidak mau sahut Yau-toan-siantju sambil menggeleng, matanja lantas memberambang se-akan2 meneteskan air mata.

Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku menemani engkau disini, udjar Toan Ki. Lalu katanja pada Tju Tan-sin: Tju-toako, harap kau suka laporkan pada Empek dan ajahku, katakan bahwa kami ibu dan anak tetap tinggal disini untuk melawan musuh bersama.

Yau-toan-siantju mendjadi tertawa, katanja: Tidak malu, kepandaian apa jang kau miliki, berani bilang akan melawan musuh bersama aku? ~ walaupun ia tertawa geli karena kelakuan Toan Ki itu, namun tidak urung air matanja jang mengembeng dikelopak matanja itu menetes djuga, lekas2 ia berpaling dan mengusap air matanja dengan lengan badju.

Diam2 Bok Wan-djing heran: Kenapa ibu Toan-long adalah seorang paderi? Dan dengan perginja In Tiong-ho itu, tentu selekasnja akan datang pula bersama tiga orang kawannja, lalu ibunja apa sanggup melawannja? Tapi dia sudah bertekad tak mau menjingkir pergi. Ah, tahulah aku! Memang laki2 didunia ini berhati palsu semua, pasti ajahnja Toan-long punja kekasih baru lagi, hingga ibunja marah, terus tirakat menjutjikan diri. ~ Berpikir demikian, ia mendjadi solider pada Yau-toan-siantju, katanja segera: Yau-toan-siantju, biar aku membantu kau melawan musuh.

Yau-toan-siantju meng-amat2i paras Bok Wan-djing sedjenak, mendadak ia menanja dengan suara bengis: Kau harus mengaku terus terang, sebenarnja 'Siu-lo-to' Tjin Ang-bian itu pernah apamu?

Bok Wan-djing mendongkol djuga oleh sikap orang, sahutnja: Bukankah sudah kukatakan bahwa selamanja aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Tjin Ang-bian itu laki2 atau perempuan, manusia atau chewan, sama sekali aku tidak tahu.

Baru sekarang Yau-toan-siantju mau pertjaja, sebab kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak mungkin berkata tentang chewan segala. Maka sikapnja berubah ramah kembali, katanja dengan tersenjum: Nona djangan marah, soalnja karena tadi aku melihat tjara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita jang kukenal, parasmu djuga rada memper, maka timbul rasa tjurigaku. Nona Bok, siapakah nama kedua orang tuamu? Ilmu silatmu sangat bagus, tentu djuga keluaran perguruan ternama!

Bok Wan-djing menggeleng kepala, sahutnja: Sedjak ketjil aku sudah piatu, Suhu jang membesarkan aku. Maka aku tidak tahu siapa2 ajah-bundaku.

Djika begitu, siapakah gerangan gurumu itu? tanja Yau-toan-siantju lagi.

Guruku bernama 'Bu-beng-khek' sahut Wan-djing.

Namanja Bu-beng-khek? Yau-toan-siantju mengulangi nama itu sambil merenung sedjenak, kemudian ia pandang Tju Tan-sin dengan maksud menanja apakah kenal akan nama itu.

Tapi Tju Tan-sin menggojang kepala, katanja: Tan-sin tinggal terpentjil didaerah selatan, sempit pengalamannja, maka banjak kaum kesatria gagah di Tionggoan tidak dikenalnja. Tjianpwe 'Bu-beng-khek' itu tentunja seorang kosen jang mengasingkan diri dipegunungan sunji.

Tengah berbitjara, tiba2 diluar sana ramai dengan suara derapan kuda, dari djauh ada seorang sedang berseru menanja: Site, Kongtjuya baik2 bukan?

Ja, Toako, Kongtjuya tidak kurang suatupun apa! sahut Tan-sin.

Hanja sebentar sadja, empat penunggang kuda sudah berhenti didepan Djing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to, Djay-sin-khek dan Tiam-djong-san-long bertiga tampak masuk, terus menjembah kehadapan Yau-toan-siantju.

Sedjak ketjil Bok Wan-djing dibesarkan dipegunungan sunji, ia mendjadi heran melihat tata-krama jang ber-tele2 itu, pikirnja: Orang2 ini sangat hebat ilmu silatnja, mengapa melihat seorang wanita lantas menjembah semua?

Melihat keadaan ketiga orang itu rada runjam, muka Tiam-djong-san-long, sipetani dari pegunungan Tiam-djong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Djay-sin-khek, situkang kaju, badannja djuga berlepotan darah, sedang alat pantjing Bu-sian-tio-to, situkang pantjing dari danau Bu-sian, sudah terkutung sebagian, maka tjepat Yau-toan-siantju menanja: Bagaimana, apa musuh terlalu hebat? Parah tidak lukanja Su-kui?

Tang Su-kui adalah nama Tiam-djong-san-long, sipetani.

Mendengar pertanjaan itu, matanja se-akan2 berapi saking penasarannja, sahutnja keras2: Su-kui pertjuma beladjar, sungguh memalukan hingga Onghui mesti ikut berkuatir.

Kau sebut aku Onghui apa segala? kata Yau-toan-siantju dengan pelahan. Rupanja ingatanmu begitu djelek, ja

Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnja: Ja, harap Onghui memaafkan!

Walaupun mengaku salah tapi mulutnja tetap menjebut Onghui atau isteri pangeran. Rupanja panggilan itu sudah terlalu biasa diutjapkan hingga susah disuruh berubah.

Dimanakah Ko-houya? Kenapa tidak ikut datang ? demikian Tan-sin menanja.

Houya berada diluar, ia terluka dalam sedikit, tidak leluasa untuk turun dari kudanja, sahut Bu-sian-tio-to, sinelajan, jang bernama Leng Djian-li.

Ah, djadi Houya djuga terluka? Ap ... apa parah? seru Yau-toan-siantju terkedjut.

Ko-houya tadi mengadu tenaga dengan Lam-hay-gok-sin, dalam keadaan tak terpisahkan, se-konjong2 Yap Dji-nio menjerangnja dari belakang hingga punggungnja kena digablok sekali, tutur Leng Djian-li.

Setelah ragu2 sedjenak, mendadak Yau-toan-siantju menarik Toan Ki dan mengadjak: Marilah, Ki-dji, kita keluar mendjenguk Ko-sioksiok.

Segera mereka berdua mendahului keluar diikut empat tokoh Hi-djiau-keng-dok atau sinelajan, situkang kaju, sipetani dan sipeladjar. Begitu pula Bok Wan-djing mengikut keluar.

Benar djuga segera nampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap diatas kudanja, badju dibagian punggung tampak robek dan djelas kelihatan bekas telapak tangan. Tjepat Toan Ki memburu madju dan menanja: Ko-sioksiok, bagaimanakah keadaanmu?

Waktu Ko Sing-thay mendongak dan nampak Yau-toan-siantju berdiri didepan pintu, tjepat ia meronta turun dari kuda untuk memberi hormat.

Ko-houya, kau terluka, tidak perlu banjak adat lagi, kata Yau-toan-siantju.

Namun Ko Sing-thay sudah menjembah ditanah dari djauh serta berkata: Sing-thay menjampaikan salam bakti kepada Onghui!

Ki-dji, lekas kau memajang bangun Ko-sioksiok! seru Siantju segera.

Diam2 Bok Wan-djing bertambah tjuriga, pikirnja: Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihay, dengan serulingnja jang pendek itu, hanja beberapa gebrak sadja sudah kalahkan Yap Dji-nio, tentu dia sangat terkemuka didunia persilatan, tapi kenapa melihat ibunja Toan-long, ia mendjadi begitu menghormat serta menjebutnja Onghui? Apa mungkin Toan-long adalah ..... adalah Ongtju (putera pangeran) segala? Tapi, ah, seorang peladjar ke-tolol2an seperti dia masakah mirip seorang Ongtju apa?

Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siantju lagi berkata: Djika Ko-houya terluka, silahkan segera pulang Tayli untuk merawat dirimu.

Ko Sing-thay mengia sambil berbangkit. Tapi segera katanja pula: Su-tay-ok-djin telah datang ke Tayli semua, keadaan sangat berbahaja, harap Onghui suka pulang istana untuk menghindarinja sementara.

Yau-toan-siantju menghela napas, sahutnja: Selama hidupku ini takkan pulang kesana lagi.

Djika begitu, biarlah kita tinggal mendjaga diluar Djing-hoa-koan ini, udjar Sing-thay. Lalu ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata: Su-kui, kembalilah kau dan lekas laporkan pada Hongsiang dan Ongya.

Su-kui mengia terus mentjemplak keatas kudanja. Meski lukanja tidak ringan, tapi gerak-geriknja masih sangat tjekatan.

Nanti dulu ! tiba2 Yau-toan-siantju mentjegah. Ia menunduk memikir. Sorot mata semua orang terpusatkan pada dirinja, tapi dari air muka Siantju jang ber-ubah2 itu, terang dia lagi menghadapi pertentangan batin jang serba sulit. Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan berkata: Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua, tidaklah patut kalau melulu untuk diriku mesti bikin semua orang tinggal disini.

Karuan Toan Ki berdjingkrak saking girang, terus sadja ia peluk sang ibu dan berkata: Beginilah memang ibuku jang baik!

Biar kupergi memberi kabar dulu! seru Su-kui terus keprak kudanja.

Dalam pada itu Leng Djian-li sudah lantas bawakan kuda untuk Yau-toan-siantju, Toan Ki dan Bok Wan-djing.

Begitulah be-ramai2 mereka lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siantju, Toan Ki, Wan-djing dan Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Bu-sian-tio-to Leng Djian-li, Djay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bek-seng Tju Tan-sin mengikuti dengan djalan kaki.

Tidak djauh, dari depan tampak datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli. Leng Djian-li memberi tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata beberapa ketjap padanja. Segera komandan pasukan itu memberi perintah, semua peradjurit melompat turun dari kuda serta menjembah ditanah. Toan Ki memberi tanda dan berkata: Silahkan berdiri, tak usah banjak adat!

Segera komandan pasukan itu membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Djian-li bertiga. Lalu ia pimpin pasukannja mendahului membuka djalan. Melihat suasana jang luar biasa itu, Bok Wan-djing menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba2 ia mendjadi kuatir: Semula kusangka dia hanja seorang peladjar jang miskin, makanja aku pasrahkan diriku padanja. Tapi melihat gelagatnja ini, kalau bukan sanak-keluarga keradjaan, tentu dia adalah

pembesar negeri, bukan mustahil aku akan dipandang hina olehnja. Suhu pernah berkata bahwa semakin laki2 itu kaja dan berpangkat, semakin tidak punja Liangsim, tjari isteri djuga mesti minta jang sederadjat. Hm, hm, sjukurlah bila dia tetap memperisterikan daku dengan baik, kalau tidak, ragu2 dan matjam2, ha, lihatlah kalau aku tidak batjok kepalanja, peduli apakah kau keluarga radja atau pembesar negeri!

Dan karena berpikir begitu, ia takbisa tahan perasaannja lagi, segera ia keprak kudanja mendjadjari Toan Ki terus menanja: He, sebenarnja siapakah kau? Apa jang kita tetapkan diatas gunung itu masih tetap berlaku tidak?

Melihat didepan umum sigadis terang2an menegur padanja tentang urusan perdjodohan, keruan Toan Ki mendjadi kikuk, sahutnja dengan tersenjum: Setelah sampai dikota Tayli, pelahan2 tentu akan kudjelaskan padamu.

Awas kalau kau mengingkari aku............... aku......... berkata sampai disini, suaranja mendjadi ter-guguk2 dan takbisa diteruskan lagi.

Melihat wadjah sigadis ke-merah2an menahan isak tangis, air matanja mengembeng ber-kilau2 hingga makin menambah tjantiknja, rasa tjinta Toan Ki mendjadi ber-kobar2, katanja dengan lirih: Wan-djing, djanganlah kau kuatir, lihatlah, ibuku djuga sangat suka padamu.

Seketika dari menangis Bok Wan-djing berubah tertawa, sahutnja pelahan: Ibumu suka atau tidak suka padaku, aku tidak urus! ~ dibalik kata2nja ini se-akan menjatakan: asal kau suka padaku, sudahlah tjukup.

Tentu sadja perasaan Toan Ki terguntjang, waktu ia berpaling kearah ibunja, ia lihat Yau-toan-siantju lagi memandang kepada mereka dengan paras jang tertawa-tidak-tertawa. Karuan Toan Ki medah djengah.

Mendjelang petang, kira2 masih 30 li diluar kota Taylil, tiba2 kelihatan debu mengepul tinggi didepan sana, sepasukan tentera jang berdjumlah beberapa ratus orang mendatangi dengan tjepat. Dua buah pandji kuning djingga tambak ber-kibar2, jang sebuah tertulis dua huruf sulam Tin-lam dan jang lain Po-kok (menduduki selatan dan membela negara).

Segera Toan Ki berseru: Mak, ajah sendiri datang memapak engkau!

Yau-toan-siantju hanja mendengus sekali terus memberhentikan kudanja. Ko Sing-thay dan lain2 lantas turun dari kuda dan berdiri dipinggir djalan. Sedang Toan Ki segera keprak kudanja kedepan. Bok Wan-djing ragu2 sedjenak, tapi tjepat iapun keprak kudanja menjusul.

Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki berseru: Tiatia (ajah), ibu telah kembali!

Maka tampaklah dari tengah pasukan itu muntjul seorang berdjubah kuning menunggang seekor kuda putih jang tinggi besar sekali, datang2 terus membentak: Ki-dji, kau terlalu bandel hingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti kalau aku tidak hadjar patah kedua kakimu!

Bok Wan-djing mendjadi kaget, pikirnja: Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau patahkan? Tidak bisa, pasti aku akan merintangi, biarpun kau adalah ajahnja! ~ Ia lihat orang berdjubah kuning itu bermuka lebar, sikapnja sangat gagah keren, alis lebat, mata besar, mempunjai wibawa sebangsa radja atau pangeran. Meski utjapannja tadi kedengarannja bengis, tapi melihat sang putera telah pulang dengan selamat, air mukanja lebih banjak girangnja daripada gusarnja.

Diam2 Wan-djing membatin: Untung paras Toan-long lebih banjak mirip ibunja, kalau matjam kau jang garang bengis begini, tentu aku takkan suka.

Ia lihat Toan Ki sudah memapak madju sambil berkata dengan tertawa: Tia, engkau baik2 sadja bukan?

Baik, hitung2 tidak mati gusar oleh perbuatanmu! sahut orang berdjubah kuning itu dengan marah.

Tapi kalau bukan anak keluar rumah, ibu tentu djuga takbisa diadjak pulang. Djasa anak ini rasanja bolehlah mengimbangi kesalahanku, harap ajah djangan gusar lagi, demikian kata Toan Ki dengan tertawa.

Seumpama aku tidak hadjar kau, Empekmu pasti djuga tidak bisa mengampuni kau, udjar sibadju kuning. Dan sekali ia kempit kudanja, setjepat terbang kuda putting ia lantas mentjongklang kearah Yau-toan-siantju.

Melihat peradjurit pasukan itu semua berlapis badja jang mengkilap dengan sendjata lengkap, 20 orang dibaris depan membawa pandji dan papan jang

bertjat emas bentuk naga dan harimau, diatas salah sebuah papan merah itu tertuliskan tanda pangkat ajah Toan Ki sebagai Po-kok-tay-tjiang-kun atau panglima besar pembela negara dan papan lain tertulis gelar bangsawannja sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.

Meski biasanja Bok Wan-djing tidak takut langit dan tak gentar pada bumi, tapi menjaksikan perbawa barisan jang angker itu, mau-takmau ia harus prihatin djuga. Tiba2 tanjanja pada Toan Ki: He, apakah Tin-lam-ong, Po-kok-tay-tjiang-kun ini adalah ajahmu?

Toan Ki mengangguk, sahutnja dengan lirih: Dan adalah ajah mertuamu pula.

Sesaat itu Bok Wan-djing mendjadi ter-mangu2 diatas kudanja dengan rasa hampa. Habis itu, ia keprak kudanja mendjadjari Toan Ki pula. Disekitar djalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa dan sepi tak terkatakan, ia mendjadi lega bila berdampingan dengan Toan Ki.

Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siantju, kedua orang saling pandang kian-kemari, tapi tiada satupun jang mulai bitjara.

Mak, ajah sendiri datang menjambut kau, seru Toan Ki segera.

Kau pergi katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari ditempatnja, sesudah mengundurkan musuh, aku lantas kembali ke Djing-hoa-koan, demikian kata Yau-toan-siantju.

Maka dengan mengiring tawa, Tin-lam-ong membuka suara: Hudjin, apakah kau masih marah padaku? Marilah pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu.

Yau-toan-siantju menarik muka, sahutnja: Tidak, aku tidak pulang, aku akan keistana.

Bagus, seru Toan Ki tertawa, kita keistana dulu untuk mendjumpai Pekhu dan Pekbo. Mak, anak telah keluar kelujuran tanpa permisi, Pekhu tentu akan marah, ajah terang tidak mau membela aku, maka mohon ibu suka mintakan ampun pada Pekhu.

Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar Pekhu memberi hadjaran setimpal padamu, sahut Yau-toan-siantju.

Tapi kalau anak dihadjar, jang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik djangan sampai dihadjar, kata Toan Ki dengan tjengar-tjengir aleman.

Yau-toan-siantju tertawa, katanja lagi: Tidak, semakin keras kau dihadjar, semakin senang aku.

Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong dengan sang isteri itu sebenarnja serba runjam, tapi karena banjolan Toan Ki itu, perasaan suami-isteri itu seketika berasa bahagia.

Tia, tiba2 Toan Ki berseru pula, kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda dengan ibu?

Tidak, kata Yau-toan-siantju, terus keprak kudanja kedepan.

Segera Toan Ki memburunja dan menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tin-lam-ong sudah turun dari kudanja serta menjusul. Dengan tertawa2 Toan Ki terus pondong sang ibu keatas kuda putih ajahnja dan berkata: Mak, wanita setjantik engkau mendjadi lebih aju lagi bila menunggang kuda putih ini.

Nonamu she Bok itu barulah benar2 tjantik tiada bandingannja, kau sengadja mentertawai ibumu jang sudah nenek2 ini ja? sahut Siantju tertawa.

Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling kearah Bok Wan-djing, tanjanja pada Toan Ki: Ki-dji, siapakah nona ini?

Ia adalah ...... adalah nona Bok, ia adalah ..... adalah kawan baik anak, sahut Toan Ki gelagapan.

Melihat sikap puteranja itu, segera Tin-lam-ong tahu apa artinja itu. Ia lihat Bok Wan-djing tjantik-molek, putih halus, diam2 ia harus memudji djuga kepandaian puteranja jang pintar pilih pasangan itu. Tapi demi nampak sifat liar Bok Wan-djing itu, sama sekali tidak memberi hormat atau menjapa, diam2

katanja dalam hati: Kiranja adalah seorang gadis desa jang tidak kenal peradaban. ~ Ia kuatirkan keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia mendekatinja serta menanja dan memeriksa urat nadinja.

Hanja terluka sedikit, tidak apa2, djangan kau buang tenaga................. demikian kata Ko Sing-thay. Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur djari telundjuk kanan dan menutuk tiga kali dipunggung dan tengkuknja, berbareng telapak tangan kiri menahan dipinggangnja. Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubun2 Tin-lam-ong, selang sedjenak lagi, barulah ia lepaskan tangan kirinja.

Sun-ko, bakal menghadapi musuh tangguh, buat apa kau membuang tenaga dalam dirimu? udjar Ko Sing-thay.

Lukamu tidak enteng, lebih tjepat disembuhkan lebih baik, kalau dilihat Toako, tanpa menunggu aku tentu dia akan turun tangan sendiri, sahut Tin-lam-ong alias Toan Tjing-sun.

Melihat wadjah Ko Sing-thay jang tadinja seputjat majat itu, hanja dalam sekedjap sadja sudah bersemu merah, lukanja sudah disembuhkan, diam2 Bok Wan-djing sangat terkedjut: Kiranja ajah Toan-long memiliki Lwekang jang maha tinggi, tapi kenapa............. kenapa dia sendiri tak bisa ilmu silat?

Sementara itu Leng Djian-li sudah bawakan seekor kuda lain untuk Tin-lam-ong serta meladeni pangeran itu naik keatas kuda. Tin-lam-ong keprak kudanja berdjadjar dengan Ko Sing-thay dan mengadjaknja bitjara tentang kekuatan musuh. Toan Ki djuga pasang omong dengan senangnja dengan sang ibu, ber-bondong2 pasukan tentara negeri Tayli itu berangkat kembali, hanja Bok Wan-djing jang merasa kesepian karena tiada jang adjak omong.

Petangnja, rombongan sudah memasuki kota Tayli. Dimana pandji2 bertuliskan Tin-lam dan Po-kok tiba, disitu rakjat djelata lantas bersorak-sorai memudji kebesaran panglima itu. Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakjat jang meng-elu2kannja itu, tampaknja ia sangat disukai oleh rakjat djelata.

Bok Wan-djing melihat kota Tayli itu sangat ramai, gedung berdiri disana-sini dengan megah, djalan raja jang berlapiskan batu hidjau besar rata penuh rakjat jang berlalu-lalang.

Setelah melalui sebuah djalan kota, kemudian tampak didepan mendatar sebuah djalan batu jang lempeng lebar, diudjung djalan itu tampak berdiri beberapa

istana berwarna kuning jang indah dengan katja jang kemilauan tersorot oleh tjahaja matahari diwaktu sendja.

Rombongan itu sampai didepan sebuah gapura, semuanja lantas turun dari kuda. Bok Wan-djing melihat diatas papan gapura itu tertulis empat huruf Tjip-to-kiong-tju, artinja djalan menudju istana bidjaksana.

Bok Wan-djing pikir: Tentu inilah istana radja negeri Tayli. Pamannja Toan-long tinggal didalam istana, agaknja kedudukannja sangat tinggi, kalau bukan pangeran, tentu sebangsa panglima besar dan sebagainja.

Setelah lewat gapura itu, sampailah didepan istana radja Seng tju-kiong. Tiba2 seorang Thaykam (dajang kebiri) berlari keluar dengan tjepat, katanja sambil menjembah: Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda radja dan permaisuri) sedang menunggu di Onghu, silahkan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lam-onghu untuk menghadap Hongsiang!

Tin-lam-ong mengia dengan girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru: Bagus, bagus!

Apanja jang bagus? omel Onghui dengan melototi sang putera, Biarlah aku tunggu Nionio didalam istana sini.

Tapi Nionio memesan agar Onghui diharuskan menghadapnja sekarang djuga, beliau ingin berunding sesuatu jang penting dengan Onghui, demikian segera Thaykam tadi menutur.

Ada urusan penting apa? Huh, tipu muslihat belaka! Yau-toan-siantju menggerundel pelahan.

Toan Ki tahu djuga, itulah rentjana jang sengadja diatur oleh Honghou (permaisuri), sebab menduga ibunja tentu tak mau pulang istana pangeran, maka sengadja menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan kembali ajah-bundanja disana. Maka iapun tidak banjak bitjara lagi, tjepat ia bawakan kuda untuk sang ibu serta menaikkannja keatas kuda.

Rombongan segera putar balik keistana pangeran. Disana suasana tampak sangat angker, pasukan pengawal berdiri dengan radjin memberi hormat atas pulangnja Tin-lam-ong dan permaisuri. Tin-lam-ong mendahului masuk kepintu istana,

tapi Yau-toan-siantju masih ogah2an, begitu naik keatas undak2an, segera matanja memberambang basah. Namun dengan setengah mendorong dan setengah menjeret Toan Ki dapat mengiringkan sang ibu kedalam istana, lalu katanja: Tia, anak telah mengadjak ibu pulang kerumah, djasa anak sebesar ini, hadiah apa jang akan ajah berikan padaku?

Saking senangnja, Tin-lam-ong menjahut: Kau boleh tanja ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera kuberikan.

Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan, kata Yau-toan-siantju dengan tertawa.

Toan Ki melelet lidah dan tak berani bitjara lagi.

Setelah ikut masuk ruangan pendopo, Ko Sing-thay dan lain2 tidak ikut masuk lebih djauh. Kata Toan Ki kepada Wan-djing: Bok .... Bok-kohnio, silahkan kau menunggu sebentar disini, setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi.

Terpaksa Wan-djing mengangguk, walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi ia terus duduk diatas kursi pertama jang tersedia disitu. Sebaliknja Ko Sing-thay dan lain2 tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga masuk keruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, jang lain2 tetap berdiri dengan tangan lurus tegak.

Bok Wan-djing tidak ambil pusing mereka itu, ia lihat didalam pendopo itu penuh terhias pigura lukisan dan seni tulis, begitu banjak hingga dia bingung sendiri melihatnja, apalagi memang banjak djuga huruf jang tak dikenalnja. Maklum gadis gunung jang tak banjak makan sekolahan.

Tidak lama, seorang dajang membawakan teh, sambil setengah berlutut, dajang itu angkat nampan tinggi2 menjuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-djing dan Ko Sing-thay. Diam2 sigadis mendjadi heran mengapa hanja dirinja dan Ko Sing-thay jang mendapat minum, sedang Tju Tan-sin dan lain2 tidak. Padahal djago2 itu ketika menghadapi musuh dipuntjak gunung, perbawanja tiada terkatakan kerennja. Tapi sampai didalam Tin-lam-onghu, mereka mendjadi begitu prihatin, sampai bernapaspun tak berani keras2.

Sesudah lama ditunggu, ternjata Toan Ki belum djuga keluar, Wan-djing mendjadi tak sabar, teriaknja tak peduli: Toan Ki, Toan Ki, kerdja apa kau didalam, lekas keluar!

Ruangan itu hening sunji, bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok Wan-djing menggembor, karuan mereka kaget. Tapi segera mereka merasa geli djuga. Kata Ko Sing-thay: Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya tentu akan keluar

Siauongya apa katamu? tanja Wan-djing.

Toan-kongtju adalah putera Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putera pangeran) namanja? sahut Sing-thay.

Bok Wan-djing mendjadi heran, katanja kemak-kemik: Siauongya? Huh, peladjar ke-tolol2an begitu masakah memper seorang Ongya segala?

Apakah engkau inilah kaisar negeri Tayli? tanja Bok Wan-djing setjara blak2an tanpa berlutut dan tidak menjembah.

Sedjenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang Thaykam dan berseru: Titah baginda: Sian-tan-hou dan Bok Wan-djing diperintahkan masuk menghadap!

Waktu melihat keluarnja Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan sikap menghormat. Tapi Bok Wan-djing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk ditempatnja dengan enaknja. Dan demi mendengar namanja disebut begitu sadja, ia mendjadi kurang senang, omelnja pelahan: Masakan menjebut nona djuga tidak, apakah namaku boleh sembarangan kau panggil?

Ko Sing-thay tersenjum, katanja segera: Marilah nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang

Biarpun Bok Wan-djing tidak pernah gentar pada siapa dan apapun djuga, tapi mendengar akan menghadapi radja, tanpa merasa ia djadi merinding. Terpaksa ia ikut dibelakang Ko Sing-thay, setelah menjusur serambi pandjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, achirnja sampailah disebuah ruangan besar jang indah.

Segera Thaykam tadi berseru sembari menjingkap kerai: Sian-tan-hou dan Bok Wan-djing datang menghadap Hongsiang dan Nionio.

Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-djing agar mengikut tjaranja, lalu ia mendahului masuk keruangan terus berlutut kehadapan seorang laki2 dan wanita agung jang berduduk ditengah situ. Sebaliknja Wan-djing tidak ikut berlutut, bahkan ia meng-amat2i laki2 jang berdjubah sulam kuning dan berdjenggot pandjang itu, lalu menanja: Apakah engkau ini adalah Hongte (kaisar)?.

Memang laki2 jang duduk di-tengah2 dengan agungnja ini adalah Toan Tjing-beng, kaisar negeri Tayli sekarang jang bidjaksana dengan gelar Po-ting-te.

Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sedjak djaman Ngotay, sudah bersedjarah lebih 150 tahun. Po-ting-te sudah belasan tahun naik tachta, tatkala itu seluruh negeri aman sentausa, rakjat hidup sedjahtera, negara makmur, rakjat subur.

Melihat Bok Wan-djing tidak berlutut, sebaliknja menanja apakah dirinja kaisar atau bukan, Po-ting-te mendjadi geli malah, maka sahutnja: Ja, akulah kaisar. Bagaimana, senang tidak pesiar dikota Tayli ini?

Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum ada tempo untuk pesiar, sahut sigadis.

Biarlah besok Ki-dji mengadjak kau pesiar menikmati keindahan Tayli ini, udjar Po-ting-te dengan tersenjum.

Baiklah, kata Wan-djing. Dan kau apa akan mengiringi kami djuga?

Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada permaisurinja dan menanja: Honghou, dara ini minta kita mengiringi dia, kau bilang bagaimana?

Dengan tersenjum belum lagi permaisuri itu mendjawab, Bok Wan-djing sudah lantas buka suara pula: Apakah engkau Honghou-nionio? Sungguh tjantik benar!

Po-ting-te ter-bahak2, serunja: Ki-dji, nona Bok ini sungguh polos dan ke-kanak2an, sungguh menarik.

Kenapa kau panggil dia Ki-dji? tiba2 Wan-djing menanja lagi. Empek (paman) jang sering dia sebut itu apakah engkau adanja? Kali ini dia berkelujuran keluar, dia sangat takut dimarahi olehmu. Harap kau djangan menghadjar dia, ja?

Sebenarnja aku akan persen dia 50 kali rangketan, sahut Po-ting-te dengan tertawa. Tapi kau telah minta ampun baginja, baiklah kuampuni dia. Nah, Ki-dji, tak lekas kau menghaturkan terima kasih pada nona Bok?

Melihat Bok Wan-djing membikin baginda sangat senang, Toan Ki bergirang djuga, ia tjukup kenal watak sang paman jang suka turut permintaan orang, maka tjepat ia berkata pada Wan-djing: Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok.

Sigadis membalas hormat serta menjahut dengan pelahan: Tak usah kau berterima kasih, asal kau tak dihadjar pamanmu aku sudah lega. ~ Lalu ia berkata pula kepada Po-ting-te: Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis menakutkan, siapa tahu engkau ..... engkau sangat baik!

Sebagai kaisar, umumnja orang hanja djeri dan menghormat padanja, tapi belum pernah ada orang memudjinja engkau sangat baik, karuan Po-ting-te sangat senang terutama melihat sifat sigadis jang polos ke-kanak2an itu, maka katanja pada permaisurinja: Honghou, barang apa akan kau hadiahkan padanja?

Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala dari lengannja dan disodorkan pada Bok Wan-djing dan berkata: Ni, dihadiahkan padamu!

Wan-djing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan dipakai ditangan sendiri, katanja kemudian dengan tertawa: Terima kasih, ja! Lain kali akupun akan mentjari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan padamu.

Honghou tersenjum dan belum lagi mendjawab, se-konjong2 diluar beberapa rumah sana, kedengaran atap rumah berbunji keresek sekali. Segera Honghou berpaling pada Po-ting-te dan berkata: Itu dia, ada orang menghantar hadiah padamu!

Belum selesai utjapannja, kembali suara keresekan berbunji pula diatas rumah sebelah. Bok Wan-djing terperandjat, ia tahu musuh jang datang itu berilmu Ginkang jang maha tinggi, entengnja laksana daun djatuh, bahkan tjepatnja luar biasa.

Dalam pada itu segera terdengar djuga ada beberapa orang telah melompat keatas rumah, menjusul terdengar suara Bu-sian-tio-to Leng Djian-li lagi menegur: Siapakah tuan ini, ada urusan apa malam2 mengundjungi Onghu?

Aku ingin mentjari muridku! Dimana muridku jang sajang itu, lekas suruh dia keluar! demikian djawab suara seorang jang menjerikan mirip logam digesek. Itulah dia suaranja Lam-hay-gok-sin.

Diam2 Bok Wan-djing berkuatir, meski iapun tahu pendjagaan dalam istana itu sangat keras dan kuat, Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siantju serta tokoh2 Hi-djiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnja, tapi Lam-hay-gok-sin itu sesungguhnja teramat lihay, tambahan pula dibantu Yap Dji-nio dan In Tiong-ho, belum lagi orang djahat nomor satu didunia jang belum muntjul itu, sekaligus Su-ok bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudahlah untuk melawannja.

Sementara itu terdengar Leng Djian-li lagi menanja: Siapakah gerangan muridmu? Didalam Tin-lam-onghu ini darimana ada seorang muridmu?

Se-konjong2 gerubjak sekali, tahu2 dari udara menjelonong turun sebuah tangan besar hingga kerai didepan pintu tersempal separoh, menjusul suatu bajangan orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri ditengah ruangan dengan matanja jang mirip kedelai itu lagi meng-amat2i setiap orang jang hadir disitu, ketika melihat Toan Ki, segera ia ter-bahak2: Haha, memang benar apa jang dikatakan Losi, muridku sajang ternjata ada disini. Hajolah lekas ikut pergi padaku untuk beladjar. ~ sembari berkata, tangannja jang mirip tjakar ajam itu terus mentjengkeram bahu pemuda itu.

Mendengar samberan angin dari tjengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras, Tin-lam-ong mendjadi kuatir sang putera dilukai, tanpa pikir lagi iapun memapak dengan sebelah telapak tangannja. Plak, kedua tangan saling beradu dan sama2 merasakan getaran tenaga masing2.

Diam2 Lam-hay-gok-sin terperandjat, tanjanja: Siapakah kau? Aku hendak mengambil muridku, peduli apa dengan kau?

Tjayhe Toan Tjing-sun, sahut Tin-lam-ong. Pemuda ini adalah puteraku, bilakah dia mengangkat guru padamu?

Dia jang paksa hendak menerima aku sebagai murid, demikian Toan Ki menjela dengan tertawa. Sudah kukatakan padanja bahwa aku sudah punja guru, tapi dia djusteru tidak mau pertjaja.

Lam-hay-gok-sin pandang2 Toan Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun pula, kemudian berkata: Jang tua ilmu silatnja sangat hebat, tapi jang muda sedikitpun tidak betjus, aku djusteru tidak pertjaja kalian adalah ajah dan anak. Toan Tjing-sun, sekalipun dia benar anakmu, namun tjara adjaran silatmu tidak tepat, anakmu ini terlalu geblek. Sajang, hehe, sungguh sajang.

Apanja jang sajang? tanja Toan Tjing-sun.

Bangun tubuh puteramu ini lebih mirip diriku, boleh dikata adalah bahan beladjar silat jang susah ditjari didunia ini, asal dia beladjar 10 tahun padaku, tanggung dia akan djadi seorang djago muda kelas satu di Bu-lim, sahut Gok-sin.

Sungguh geli dan mendongkol Toan Tjing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi, iapun tahu ilmu silat orang sangat hebat. Selagi hendak buka suara pula, tiba2 Toan Ki telah mendahului: Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu tjetek, tidak sesuai untuk mendjadi guruku. Silahkan kau pulang Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih lagi 10 tahun, habis itu barulah kau ada nilainja buat bitjara tentang ilmu silat.

Karuan Gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Kau botjah ingusan ini tahu apa?

Kenapa aku tidak tahu? sahut Toan Ki. Tjoba, ingin kutanja padamu, apa artinja: Hong-lui-ek, kun-tju-ih-kian-sian-tjek-ih, yu-ko-tjek-kay. Hajo, djawab lekas!

Lam-hay-gok-sin mendjadi melongo tak bisa mendjawab, tapi segera ia mendjadi gusar, bentaknja: Ngatjo belo! Apakah artinja itu? Artinja kentut!

Hahaha! Toan Ki ter-bahak2. Hanja sedikit kalimat jang tjetek artinja sadja kau tak paham, tapi kau masih bitjara tentang ilmu silat segala?

Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab I-keng untuk mempermainkan Lam-hay-gok-sin itu. Meski Bok Wan-djing djuga tidak paham apa

jang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu sipeladjar tolol itu lagi putar lidah.

Sebaliknja Lam-hay-gok-sin lantas insaf dirinja tentu lagi dipermainkan demi nampak wadjah semua orang mengundjuk sikap mentertawai dirinja. Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menjerang.

Namun Toan Tjing-sun telah melangkah kedepan sang putera. Maka dengan tertawa Toan Ki dapat berkata lagi: Apa jang kukatakan tadi adalah istilah2 ilmu silat jang maha mudjidjat, kalau tjuma engkau ini, terang takkan paham. Haha, katak didalam sumur matjammu ini djuga ingin mendjadi guru orang, sungguh gigi orang bisa tjopot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpeladjar, tentu adalah paderi saleh. Sebaliknja matjam kau, biar beladjar 10 tahun lagi djuga belum tentu sesuai untuk angkat guru padaku.

Lam-hay-gok-sin menggerung murka, teriaknja: Siapa gurumu, hajo suruh dia keluar undjukkan beberapa djurus padaku!

Melihat Lam-hay-gok-sin hanja datang sendirian, untuk melawannja tidaklah sulit, maka Toan Tjing-sun tidak mentjegah kelakuan Toan Ki, apalagi hari ini suami-isteri bisa berkumpul kembali, ia pikir biar puteranja menggoda orang djahat ketiga itu sekedar bikin senang hati sang isteri.

Karuan Toan Ki bertambah berani, segera ia berkata pula: Baiklah, djika kau berani, tunggulah sebentar, biar kupanggil guruku dulu, kalau djantan sedjati, djangan kau lari!

Gok-sin mendjerit murka: Aku Gak-lodji selama hidup malang-melintang diseluruh djagat, pernah takut pada siapa? Hajo lekas panggil sana, lekas!

Benar djuga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin jang memandangi setiap orang jang hadir disitu dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak djeri biarpun seorang diri berada di-tengah2 lawan sebanjak itu.

Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua orang kedengaran sedang mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan, langkah orang2 jang datang itu katjau tak bertenaga, terang orang2 jang tak paham ilmu silat.

Maka terdengarlah suara seruan Toan Ki dari luar: Mana itu Gak-losam, dia

tentu sudah lari ketakutan? Tia, djangan kau biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!

Buat apa aku lari? bentak Gok-sin dengan aseran. Kurang adjar Siautju ini, bikin gusar padaku melulu.

Belum selesai utjapannja, tertampak Toan Ki sudah melangkah masuk sambil menjeret satu orang. Melihat itu, seketika semua orang bergelak ketawa.

Ternjata orang jang dibawa datang Toan Ki itu kurus ketjil, bertopi bentuk kulit semangka, berdjubah pandjang longgar, berkumis tikus, kedua matanja merah sepat se-akan2 kurang tidur selalu, kepalanja mengkeret takut2, sikapnja lutju menggelikan. Segera Yau-toan-siantju dapat mengenal orang ini sebagai djurutulis dikantor Tin-lam-onghu. Djurutulis she Ho ini setiap hari suka kantuk sadja dan kerdjanja berdjudi dengan para pelajan didalam istana. Dalam keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki kedalam ruangan, dengan takut, tjepat djurutulis itu berlutut dan menjembah kehadapan Po-ting-te dan permaisuri.

Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa djurutulis ketjil itu, ia perintahkan dia berbangkit. Segera Toan Ki gandeng Ho-sinshe itu kehadapan Lam-hay-gok-sin, katanja: Nah, Gak-losam, diantara guru2ku, Suhuku inilah ilmu silatnja paling rendah. Maka lebih dulu kau harus menangkan dia, baru kau ada harganja buat menantang guru2ku jang lain.

Gok-sin ber-kaok2 murka, teriaknja: Matjam begini gurumu? Haha, dalam tiga djurus sadja kalau aku tak bisa bikin dia remuk seperti bergadel, biar aku angkat guru padamu.

Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak terang mendengar itu, tanjanja tjepat: Utjapanmu ini benar2 atau tidak? Seorang laki2 sedjati, sekali bitjara harus bisa pegang djandji, kalau ingkar djandji, itu berarti anak kura2 haram djadah!

Baik, mari, mari! segera Gok-sin ber-teriak2.

Dan kalau tjuma tiga djurus sadja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih tjukup untuk melajani kau, udjar Toan Ki.

Mendengar pemuda itu hendak madju sendiri, karuan Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnja keistana pangeran ini atas berita In Tiong-ho jang menjatakan, tjalon muridnja jang hilang, diketemukan didalam istana situ, maka tudjuannja melulu ingin djemput Toan Ki untuk mendjadi ahliwarisnja dari Lam-hay-pay. Tapi ketika tadi bergebrak sekali dengan Toan Tjing-sun, ia mendjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi disamping itu masih banjak pula djago2 lainnja, kalau hendak menggondol Toan Ki begitu sadja, rasanja tidaklah mudah. Maka ia mendjadi girang mendengar pemuda itu sendiri jang akan bergebrak dengan dirinja, sekali ulur tangan, ia jakin sudah dapat menawan pemuda itu.

Maka katanja segera: Bagus, djika kau jang madju aku pasti takkan gunakan tenaga dalam untuk melukai kau.

Kita djandji dulu dimuka, dalam tiga djurus kalau kau tak bisa djatuhkan aku, lantas bagaimana? tanja Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin ter-bahak2, ia tahu pemuda itu adalah seorang peladjar lemah jang ibaratkan memegang ajam sadja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga djurus dengan dirinja, mungkin setengah djurus sadja tidak tahan. Maka sahutnja segera: Dalam tiga djurus kalau aku tak bisa menangkan kau, aku lantas angkat kau sebagai guru!

Nah, semua hadirin disini sudah mendengar semua, djangan kau mungkir nanti! seru Toan Ki.

Gok-sin mendjadi gusar, teriaknja: Aku Gak-lodji selamanja kalau bilang satu ja satu, bilang dua tetap dua!

Gak-losam! seru Toan Ki.

Gak-lodji! bentak Gok-sin.

Gak-losam! Toan Ki mengulangi.

Sudahlah, kau tjerewet apa lagi, hajo lekas mulai! teriak Gok-sin tak sabar.

Segera Toan Ki melangkah madju hingga berhadapan dengan tokoh ketiga dari Su-ok.

Diantara hadirin itu, dimulai Po-ting-te dan permaisuri kebawah, setiap orang menjaksikan dewasanja Toan Ki, semuanja tahu kalau pemuda itu gemar sastra dan tidak suka ilmu silat, selama hidupnja tidak pernah beladjar silat sedjuruspun. Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan ajahnja supaja beladjar silat, ia lebih suka minggat dari rumah. Djangankan bertanding melawan djago kelas wahid matjam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang peradjurit biasa djuga kalah. Semula semua orang mengira pemuda itu sengadja menggoda Lam-hay-gok-sin, siapa duga sekarang benar2 akan bertanding.

Sebagai seorang ibu jang sangat sajang pada puteranja itu, segera Yau-toan-siantju membuka suara: Ki-dji, djangan semberono, orang liar matjam begitu djangan kau gubris padanja.

Tjepat Honghou djuga memberi perintah: Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!

Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengia dan segera berseru: Leng Djian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing dan Tju Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio, lekas tangkap perusuh kurangadjar ini!

Bu-sian-tio-to Leng Djian-li berempat membungkuk menerima perintah itu.

Melihat dirinja hendak dikerojok, segera Lam-hay-gok-sin membentak: Biarpun kalian madju semua djuga Lotju tidak gentar. Hajo, Hongte dan Honghou djuga silahkan madju sekalian!

Nanti dulu, nanti dulu! demikian Toan Ki mentjegah dengan gojang2 kedua tangannja. Biarlah aku selesaikan tiga djurus dengan kau dulu.

Po-ting-te kenal keponakannja itu tindak-tanduknja sering2 diluar dugaan orang, boleh djadi diam2 dia sudah atur perangkap untuk mendjebak musuh, apalagi ada dirinja berdua saudara mendjaga disamping, kalau Lam-hay-gok-sin hendak bikin susah pemuda itu, rasanja djuga tidak bisa. Dengan tersenjum ia lantas berkata: Mundurlah kalian, biarkan perusuh ini beladjar kenal betapa lihaynja Ongtju dari Tay-li-kok, supaja dia tahu rasa!

Mendengar perintah itu, Leng Djian-li berempat jang sudah ber-siap2 mengerubut madju itu lantas undurkan diri pula.

Gak-losam, segera Toan Ki berkata lagi, marilah kita djandji sebelumnja setjara lebih tegas. Kalau dalam tiga djurus kau tak bisa robohkan aku, kau harus angkat guru padaku. Tapi meski aku mendjadi gurumu, melihat kau terlalu tolol begini, aku merasa pertjuma kalau mengadjarkan ilmu silatku padamu. Djadi aku tak mau adjarkan apa2 padamu, kau harus berdjandji.

Siapa pingin beladjar silat padamu? bentak Gok-sin gusar. Huh, ilmu silat kentut andjing apa jang kau miliki?

Baik, baik! Tak perlu banjak tjerewet lagi, hajo, lekas mulai! bentak Lam-hay-gok-sin dengan tak sabar, segera ia mentjengkeram dengan djari tangannja jang mirip tjakar itu.

Baik, itu artinja kau sudah terima sjaratku, udjar Toan Ki. Dan sesudah kau menjembah guru, segala perintah guru selandjutnja harus kau turut. Kalau membangkang, itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak sjarat kedua ini.

Hahaha, sudah tentu, Gok-sin ter-bahak2 malah. Dan begitu pula bila kau nanti angkat guru padaku.

Ja, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi dari guru2ku itu, barulah aku merasa ada harganja mengangkat guru padamu.

Baik,baik, tak perlu tjerewet lagi, hajo lekas madju! sahut Gok-sin tak sabar.

Buat apa buru2? Lihatlah seorang guruku sudah berdiri dibelakangmu..... kata Toan Ki dengan tersenjum sambil menuding kebelakang Gok-sin.

Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau dibelakangnja ada orang, namun begitu toh dia menoleh djuga. Kesempatan itu lantas digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia melangkah miring kekiri, dengan tjepat dan lutju ia terus mentjengkeram To-to-hiat dipunggung Gok-sin.

Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang jang bersilat, tapi Hiat-to jang dipegangnja itu adalah salah-satu djalan darah penting ditubuh manusia. Begitu tertjengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa dadanja sesak. Sementara itu tangan Toan Ki jang lain sudah lantas tahan di Ih-sik-hiat bagian pinggangnja, djari djempol tepat menekan ditengah Hiat-to itu.

Dalam kagetnja tjepat Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannja terlepas dari tjengkeraman Toan Ki, sebaliknja kedua tenaga itu saling terdjang hingga seketika ia mendjadi lemas pegal tak bisa berkutik. Terus sadja Toan Ki angkat tubuh Lam-hay-gok-sin dan dibanting kelantai. Untung lantai diruangan pendopo itu digelari permadani hingga kepalanja jang botak itu tidak sampai bendjut.

Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-gok-sin, setjara begitu sadja ia kena dibanting Toan Ki, tentu sadja ia malu. Dalam murkanja, sekali melompat dengan gerakan Le-hi-tah-ting atau ikan lele meledjit, begitu berdiri, ia terus mentjengkeram kearah Toan Ki.

Semua hadirin jang berada diruangan itu adalah djago2 terkemuka semua, tapi tiada seorangpun jang menjangka Toan Ki jang diketahui sama sekali tidak pernah beladjar silat dan lemah itu, ternjata bisa membanting Lam-hay-gok-sin dengan begitu mudah. Dalam kesiap mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah melantjarkan serangan tadi kepada Toan Ki.

Toan Tjing-sun mendjadi kuatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang putera, tahu2 tampak pemuda itu sudah menggeser miring kekiri, langkahnja aneh gesit, hanja satu langkah itu sadja sudah dapat menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.

Bagus! seru Toan Tjing-sun memudji.

Menjusul mana serangan Gok-sin jang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas, hanja melangkah madju malah dua tindak dan kembali serangan itu sudah luput.

Dua kali menjerang tidak kena sasaran, Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar dan kedjut. Ia lihat Toan Ki hanja berdiri satu meter didepannja, se-konjong2 ia menggerang keras2, kedua tangannja mengulur berbareng terus mentjengkeram dada dan perut pemuda itu. Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal maha lihay

jang sudah dilatihnja selama sepuluh tahun ini, namanja Tok-liong-djiau atau tjakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnja disediakan untuk melawan Yap Dji-nio guna merebut gelar runner up dari Thian-he-su-ok atau empat orang maha djahat dari dunia.

Tapi kini, karena telah dibanting, pula menjerang berulang tidak kena, Gok-sin sudah kalap, tak terpikir lagi olehnja apakah tjakarannja itu bakal membinasakan tjalon ahliwarisnja itu atau tidak.

Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Tjing-sun, Yau-toan-siantju dan Ko Sing-thay mendjadi kuatir djuga, berbareng mereka memperingatkan Toan Ki: Awas!

Namun dengan enteng sadja pemuda itu melangkah kekanan setindak, menjusul menggeser pula kekiri selangkah, tahu2 ia sudah memutar sampai dibelakang Lam-hay-gok-sin. Plok, ia terus keplak sekali diatas kepala Gok-sin jang botak itu.

Sungguh sedikitpun Gok-sin tidak menduga bahwa pemuda itu bisa menabok kepalanja setjara demikian adjaibnja. Ketika meras tangan orang sudah sampai diatas kepala, diam2 ia mendjerit: Matilah aku! ~ Tapi demi kepala sudah kena ditabok, segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikitpun tidak bertenaga dalam. Tanpa ajal lagi ia angkat tangan kiri keatas, tjret, kontan punggung tangan Toan Ki tertjakar lima djalur luka oleh kuku djari.

Waktu Toan Ki tarik kembali tangannja dengan tjepat, serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm, tjakarannja masih merosot kebawah hingga djidatnja sendiri djuga ikut tertjakar.

Sebenarnja sesudah berhasil menghindarkan tiga djurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat mengachiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat botjahnja masih belum hilang, biarpun dirinja tak bisa Lwekang, namun ketika nampak ada kesempatan untuk menabok kepala orang, terus sadja ia keplak sekali kepala Lam-hay-gok-sin jang gundul itu, akibatnja hampir2 dirinja kena tertawan. Karuan kedjutnja bukan buatan, buru2 ia mengumpet kebelakang sang ajah dengan muka putjat ketakutan.

Yau-toan-siantju melotot sekali kearah puteranja itu, katanja dalam hati: Bagus, djadi selama ini diam2 kau telah beladjar ilmu sehebat itu kepada ajah dan pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberitahu.

Dalam pada itu Bok Wan-djing terus berseru: Nah, Gak-losam, sudah tiga djurus kau tak mampu merobohkan dia, sebaliknja kau sendiri jang kena dibanting olehnja. Sekarang lekas kau menjembah dan panggil Suhu padanja.

Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia garuk2 kepalanja jang tak gatal itu dan menjahut: Dia toh belum bergebrak sungguh2 dengan aku, kedjadian tadi tak bisa dihitung.

He, tidak malu? seru Bok Wan-djing. Kau tidak mau mengaku guru padanja, itu berarti kau terima mendjadi anak kura2. Sebenarnja kau mau mengangkat guru sadja atau terima mendjadi anak kura2?

Tidak semua, sahut Gok-sin. Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia.

Melihat gerak langkah puteranja tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai dirinja djuga tidak paham dimana rahasia kepandaian itu, segera Toan Tjing-sun membisiki Toan Ki: Kau boleh madju lagi. Djangan pukul dia, tapi tjari kesempatan mentjengkeram Hiat-tonja.

Tapi anak mendjadi takut sekarang, mungkin tak berhasil, sahut Toan Ki lirih.

Djangan kuatir, aku mengawasi kau dari samping, kata Tjing-sun.

Njali Toan Ki mendjadi besar lagi karena mendapat dukungan sang ajah. Segera ia melangkah kedepan dan berkata pada Lam-hay-gok-sin: Sudah tiga djurus kau tak mampu merobohkan aku, kau harus menjembah guru padaku!

Tapi tanpa mendjawab lagi, Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan telapak tangannja.

Lekas Toan Ki melangkah miring kekiri, dengan enteng sadja ia hindarkan serangan itu. Brak, pukulan Gok-sin itu telah menghantjurkan sebuah medja.

Toan Ki pusatkan pikirannja sambil mulutnja pelahan2 mengutjapkan istilah2: San-ta-pak, hwe-te-tjin.... dan seterusnja, jaitu istilah2 didalam kitab I-keng. Sama sekali ia tidak pandang datangnja serangan Lam-hay-gok-sin, tapi ia urusi langkahnja sendiri jang kekanan, kekiri, madju dan mundur

sesukanja.

Dalam pada itu semakin lama semakin tjepat dan keras pukulan2 Lam-hay-gok-sin hingga terdengarlah suara gedubrakan dan gemerantang jang riuh didalam ruangan pendopo, medja-kursi dan mangkok tjangkir sama petjah berantakan kena pukulan2 Gok-sin. Tapi dari mulai sampai achir, sedikitpun dia masih belum mampu menjenggol udjung badjunja Toan Ki.

Hanja sekedjap sadja lebih 30 djurus sudah berlangsung. Selama itu Po-ting-te Toan Tjing-beng dan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun sudah dapat melihat tindakan Toan Ki enteng kaku, sedikitpun memang tak bisa ilmu silat. Tjuma entah darimana pemuda itu mendapat adjaran seorang kosen dalam sedjurus ilmu gerak langkah jang adjaib dengan mengikuti filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi didjaman baheula, jaitu jang mempunjai hitungan 8 x 8 = 64 segi. Padahal kalau dia benar2 bertempur dengan Lam-hay-gok-sin, mungkin tidak lewat sedjurus pemuda itu sudah bisa dibinasakan orang. Tapi dia djusteru mengurusi gerak langkahnja sendiri sambil mulut mengutjapkan istilah2 jang bersangkutan, dan sebegitu djauh pukulan Lam-hay-gok-sin tetap tak bisa menjenggolnja.

Diam2 Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun berdua saudara saling pandang sekedjap, sekilas mereka mengundjuk rasa kuatir djuga. Dalam hati mereka sama2 berpikir: Pabila Lam-hay-gok-sin itu menjerang dengan pedjamkan mata misalnja, hakikatnja dia tak perlu melihat kemana Ki-dji melangkah, sekenanja ia lontarkan sedjurus pukulan dan tidak susah2 lagi tentu pemuda itu akan dirobohkannja.

Tapi Lam-hay-gok-sin ternjata tidak mempunjai pikiran seperti mereka. Sebaliknja wadjahnja makin lama semakin beringas, matanja djuga semakin mendelik hingga bidji mata jang tadinja sebesar katjang, kini melotot sebesar gundu, ia masih tetap memukul sedjurus demi sedjurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran biarpun ia telah berganti tipu serangan dengan tjepat. Toan Ki selalu dapat menghindarkan diri ketempat jang sama sekali diluar perhitungannja.

Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk mengalahkan lawan djuga tidaklah mungkin.

Setelah melihat lagi sebentar, tiba2 Po-ting-te berkata: Ki-dji, melangkah pelahan sedikit, papak dari depan dan tjengkeram Hiat-to didadanja.

Toan Ki mengia sambil melambatkan tindakannja, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi ketika sinar matanja kebentur dengan sorot mata Gok-sin jang beringas itu, ia mendjadi djeri, sedikit kakinja merandek,

tempat kedudukannja mendjadi rada mentjeng. Sekali tjakar Lam-hay-gok-sin menjamber, kebetulan menjerempet turun disamping kuping kirinja hingga letjet berdarah. Pabila tjakaran itu sedikit geser kekanan, tentu Toan Ki sudah mendjadi majat disitu.

Dan karena kupingnja berasa kesakitan, Toan Ki semakin djeri, ia pertjepat langkahnja menjingkir kesamping, terus mundur kebelakang sang ajah sambil berkata dengan menjengir: Pekhu, aku tak sanggup!

Tjing-sun mendjadi gusar, serunja: Keturunan keluarga Toan dari Tayli mana ada jang mundur ketakutan digaris depan? Hajo, lekas madju lagi, apa jang diandjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!

Yau-toan-siantju terlalu sajang pada sang putera, tjepat ia menjela: Ki-dji sudah bergebrak hampir 60 djurus dengan dia, keluarga Toan mempunjai keturunan sehebat ini, apakah kau masih belum puas? Ki-dji, sedjak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi.

Tidak, kata Toan Tjing-sun, puteraku tak perlu kau ikut tjampur, aku tanggung dia takkan mati.

Sedih dan dongkol rasa Yao-toan-siantju, air matanja terus ber-kilau2 akan menetes.

Melihat itu, Toan Ki mendjadi tak tega. Dengan beranikan diri, segera ia melangkah madju dengan membusungkan dada, bentaknja: Marilah kita teruskan bertempur! ~ sekali ini ia sudah nekad, ia berputar kian kemari dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar mata lagi, tapi kedua tangan diulur terus mentjengkeram kedada lawan.

Melihat tangan Toan Ki jang diulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 geli, ia miringkan tubuh terus angkat tangannja hendak pegang bahu pemuda itu malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternjata bisa berubah dengan susah diraba, kedua orang berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-gok-sin tepat se-akan2 dipapakkan kedjari tangan Toan Ki. Tanpa ajal lagi Toan Ki intjar Tan-tiong-hiat dan Gi-ko-hiat dengan tepat, sekaligus tangannja terus mentjengkeram.

Sama sekali Toan Ki tidak punja tenaga dalam, meski berhasil memegang dua tempat Hiat-to dibadan lawan, tapi kalau Lam-hay-gok-sin anggap sepi sadja,

tidak menggunakan tenaga dalam, tapi pelahan2 meronta melepaskan diri setjara biasa, sebenarnja Toan Ki djuga tak bisa apa2kan dia. Namun karena merasa Hiat-to penting dibadan kena ditjengkeram lawan, dalam kagetnja, tanpa pikir Lam-hay-gok-sin kerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua tangannja balas menjerang kemuka Toan Ki.

Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki, sebenarnja sangat tepat pemakaiannja, jaitu apa jang disebut menjerang tempat musuh jang terpaksa mesti menolong diri sendiri lebih dulu , betapapun lihaynja musuh, kalau menghadapi serangan demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannja untuk melindungi diri sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.

Tak tersangka olehnja bahwa Toan Ki sedikitpun tidak paham tentang menjerang atau diserang segala, ketika djari Gok-sin mentjolok kearah matanja, hakikatnja ia tidak memikir harus tjepat tarik kembali tangannja untuk menangkis, sebaliknja kedua tangannja masih tetap mentjengkeram kentjang ditempat Hiat-to tadi.

Dan kesalahan ini ternjata malah membawa kebetulan baginja. Ketika Lam-hay-gok-sin mengerahkan Lwekang tadi, se-konjong2 ketemu rintangan ditempat kedua Hiat-to itu, seketika hawa murni dan darah bergolak hebat dalam badannja, kedua tangannja jang sudah mendjulur kira2 belasan senti didepan mata Toan Ki, tahu2 terasa lemas tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan tenaga dalam lebih kuat.

Tapi lebih tjelaka lagi baginja, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga maha hebat saling terdjang didalam tubuhnja hingga aliran darah ikut katjau dan mogok, seketika matanja ber-kunang2.

Sebaliknja mendadak Toan Ki djuga merasakan dua arus tenaga maha kuat membandjir ketangannja hingga tubuhnja ikut sempojongan. Ia sadar akan keadaan waktu itu, asal kedua tangannja melepaskan Hiat-to lawan, segera djiwanja akan terantjam. Sebab itulah meski rasanja menderita sekali, sedapat mungkin ia tjoba bertahan.

Djaraknja waktu itu dengan Toan Tjing-sun hanja satu meteran sadja. Ketika melihat air muka sang putera makin lama makin merah, terang pemuda itu lagi menahan rasa derita, segera Tjing-sun ulur djari telundjuknja untuk menahan Tay-tjui-hiat dipunggung Toan Ki.

It-yang-tji atau ilmu djari betara surja dari keluarga Toan dinegeri Tayli sudah tersohor diseluruh djagat. Maka begitu djari Toan Tjing-sun menempel

punggung Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat jang halus menjalur kebadan pemuda itu. Kontan badan Lam-hay-gok-sin tergetar, pelahan2 ia roboh dengan lemas.

Segera Toan Tjing-sun pajang sang putera sambil kerahkan tenaga djarinja lebih kuat. Hanja sebentar sadja, lambat-laun air muka Toan Ki sudah pulih kembali, tapi untuk sedjenak iapun belum sanggup bitjara.

Bagaimana diam2 Toan Tjing-sun memakai ilmu It-yang-tji untuk membantu sang putera, hingga Lam-hay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap orang jang diruangan itu. Namun begitu, toh Lam-hay-gok-sin tetap djatuh dibawah tangannja Toan Ki, betapapun hal ini tak bisa dibantah.

Hiong-sat-ok-sin itu benar2 lihay djuga luar biasa. Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to dibadannja, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki dengan kedua matanja jang bundar ketjil itu, sikapnja penuh rasa heran, gemas dan sedih pula.

Nah, Gak-losam, demikian Bok Wan-djing lantas menteriaki, sekarang kau sudah kalah lagi, kulihat engkau lebih suka mendjadi anak kura2 daripada mengangkat guru, bukan?

Tidak, aku djusteru ingin berbuat diluar dugaanmu, seru Gok-sin murka. Angkat guru ja angkat guru, malu2 apa? Aku Gak-lodji sekali2 tidak sudi mendjadi anak kura2 ~ Habis berkata, benar djuga ia terus berlutut dan menjembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak: Suhu, ni, Tetju Gak-lodji memberi hormat padamu!

Untuk sedjenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi sempat mendjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah melompat bangun terus mentjelat keatas wuwungan rumah. Tiba2 terdengar suara djeritan sekali diatas rumah itu, menjusul suara gedebukan sekali, dari atas terbanting kebawah tubuh seorang. Waktu semua orang menegas, kiranja adalah seorang pengawal istana pangeran, dadanja sudah berlumuran darah dan berlubang, buah hatinja telah kena dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su atau pengawal itu masih berkelodjotan belum lantas mati, keadaannja sangat mengerikan.

Sebenarnya kepandaiannja pengawal itupun tidak rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh Hi-djiau-keng-dok, tapi hanja dalam segebrakan

sadja ternjata hatinja sudah kena dikorek orang. Karuan semua orang saling pandang dengan terkedjut.

Longkun, muridmu itu benar-benar kurangadjar, lain kali kalau ketemu, kau harus hadjar dia sampai minta ampun, seru Bok Wan-djing dengan gusar.

Kemenanganku tadi hanja setjara kebetulan sadja berkat bantuan Tiatia, sahut Toan Ki tersenjum. Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri djuga bisa dikorek oleh dia, kepandaian apa jang kumiliki untuk hadjar dia lagi?

Dikala bitjara itulah, Leng Djian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar majat pengawal tadi. Toan Tjing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada keluarganja dan suruh Ho-sinshe tadi undurkan diri.

Ki-dji, kata Po-ting-te kemudian. Poh-hoat (ilmu gerak langkah) jang kau mainkan tadi berasal dari filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi, kau bolehnja beladjar dari siapa?

Anak mempeladjarinja setjara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih mengharapkan petundjuk dari Pekhu, sahut Toan Ki.

Dari sebuah gua tjara bagaimana, tjoba tjeritakan, tanja Po-ting-te.

Maka bertjeritalah Toan Ki tentang pengalamannja.

Kiranja tempo hari waktu dia ditinggal diatas puntjak karang, Wan-djing digondol pergi oleh Lam-hay-giok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi baru beberapa tindak, tiba-tiba ia mengindjak diatas badan seekor ular sawa jang besar. Bundar dan litjin badan ular itu penuh lendir jang basah-basah. Toan Ki terpeleset dan tergelintjir kepinggir djurang. Dalam keadaan bahaja, untung tangannja jang menggagap-gagap serabutan itu dapat memegang sebatang akar pohon hingga badannja tidak terdjerumus lebih djauh kebawah, mati-matian ia pegang kentjang akar pohon itu tak mau melepaskan lagi demi keselamatannja.

Dalam keadaan badan setengah terguntai, kaki Toan Ki merasa mengindjak diatas suatu batu karang, telinganja mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendebur-debur hebat dibawah sana. Ia tjoba tenangkan diri dan mengawasi

sekitarnja, ternjata dirinja berada ditengah tebing jang terdjal sekali, untuk merambat keatas terang tidak mampu, kalau turun kebawah akan ketjebur kesungai. Terpaksa merembet kekiri sana, disitu masih ada tempat untuk berpidjak. Begitulah segera ia menggeremet kesana dengan hati2.

Setelah merajap sebentar, ia mengaso sedjenak. Kalau ketemukan tempat jang tjuram, terpaksa tabahkan diri dan achirnja dapat merajap lewat djuga dengan selamat. Sampai hari sudah magrib, ia lihat didepan masih tetap tebing djurang jang terdjal, sedikitpun belum ada tanda2 akan sampai ditempat datar, diam2 Toan Ki sudah putus asa. Ia tjoba merajap lagi sebentar, se-konjong2 pikirannja tergerak, pemandangan didepan matanja, ini lapat2 seperti sudah dikenalnja.

Waktu ia perhatikan lebih djauh, tak tertahan lagi ia berteriak: Aha, ingatlah aku! Ketika aku keluar dari dalam gua didasar danau itu, pemandangan jang kulihat tak-lain-tak-bukan adalah seperti ini!

Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan sekitar itu, ia masih ingat bila dia merajap lagi lewat beberapa tebing tjuram, ia akan sampai disuatu djalan ketjil dan kalau djalan terus belasan li pula, ia akan tiba didjembatan Sian-djin-toh. Djadi terang mulut gua itu berada tidak djauh dari tempatnja sekarang ini. Pabila teringat pada patung dewi didalam gue jang tjantik tiada bandingannja itu, perasaannja mendjadi bergolak, ia tak tahan lagi, betapapun ia ingin pergi mendjenguk patung aju itu.

Maka tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada belasan meter djauhnja, benar djuga ia sudah sampai dimulut gua tempat keluarnja dari djalan dibawah danau tempo hari. Terus sadja ia menjusup kedalam gua, mengikut djalan lama achirnja ia dapat mentjapai kamar batu jang dulu.

Sementara itu hari sudah gelap, tapi didalam kamar batu itu tetap terang benderang oleh tjahaja mutiara mestika jang menghiasi seputar dinding kamar. Toan Ki ter-mangu2 memandangi patung dewi itu, pikirnja: Untung ini hanja patung belaka dan bukan manusia. Pabila didunia benar2 ada gadis setjantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati asal dapat mempersuntingkannja.

Begitulah ia terus kesima dihadapan patung aju itu sampai kakinja sudah terasa lemas, toh dia masih belum merasa tjapek, njata, saat itu segala Bok Wan-djing, Lam-hay-gok-sin dan lain2 sudah dibuang olehnja keawang-awang. Sampai achirnja ia benar2 tidak tahan lagi, lalu ia mendeprok rebah dibawah kaki patung itu dan terpulas.

Dalam mimpi, patung itu telah bisa bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah

pisau serta menjuruh dia membunuh 36 orang laki2 dan wanita jang tak berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima pisau itu dan membunuh serabutan hingga sekedjap lebih dari 50 orang telah dibunuhnja hingga majat bergelimpangan dan darah bertjetjeran.

Patung itu tersenjum senang seakan-akan memudji akan perbuatan Toan Ki, lalu menjuruhnja pergi membunuh ajahnja sendiri. Tapi Toan Ki tetap tidak mau, patung itu mendjadi marah, katanja: Kau tidak turut perintah, lebih baik kau membunuh diri sadja! ~ Tanpa ragu2 lagi Toan Ki terus angkat pisaunja dan menikam ulu hatinja sendiri. Dalam kagetnja ia terus mendjerit hingga tersadar dari tidurnja dengan keringat dingin membasahi djidatnja, hatinja masih berdebar2 dengan kerasnja. Ia lihat didalam kamar sudah terang-benderang oleh tjahaja matahari, njata ia sudah tertidur semalam.

Ia pandang2 patung itu pula dengan matjam2 pikiran berketjamuk, tiba2 teringat olehnja: He, kamar ini berada didasar danau, darimana datangnja sinar matahari itu?

Ia tjoba memandang kearah datangnja sinar sang surja, ia lihat diudjung kanan atas kamar itu tergantung sebuah tjermin perunggu, sinar matahari itu menjorot balik dari tjermin itu. Ketika tjermin perunggu itu diperhatikannja lebih djelas, lapat2 ternjata diatas tjermin itu ada ukirannja. Tergerak pikirannja: Didalam kamar ini penuh terdapat tjermin seperti ini, bukan mustahil ada udang dibalik batunja?

Segera ia ambil tjermin tadi, ia kebut debu diatasnja serta diusap lebih bersih, maka tertampaklah diatas tjermin itu memang terukir banjak sekali garis2 jang tegak dan miring, disamping garis2 itu terukir pula huruf It-poh, Liang-poh, Poan-poh (satu langkah, dua langkah, setengah langkah) dan seterusnja. Dan ditiap2 udjung garis itu terukir pula pendjelasan Tong-djin, Tay-yu, dan matjam2 huruf2 ketjil lain.

Toan Ki pernah membatja I-keng, maka tahu Tong-djin, Tay-yu dan sebagainja itu adalah nama2 dari segi2 Pat-kwa jang seluruhnja berdjumlah 8 X 8 = 64 segi itu. Waktu tjermin itu ia balik, dipunggung tjermin terukir pula empat huruf kuno Leng-po-wi-poh atau Langkah lembut dewi tjantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki pada sjair Tjo Tju-kian, itu puteranja Tjo Tjho didjaman Sam-kok, jaitu sjair jang memudja wanita tjantik. Tapi bagi Toan Ki, ia merasa sjair itu masih belum tjukup untuk melukis betapa tjantiknja patung didepan matanja ini.

Untuk sekian lamanja ia ter-mangu2 disitu sambil memegang tjermin perunggu. Kemudian teringat pula olehnja tulisan dipapan perunggu dibawah kaki patung jang pernah dibatjanja itu. Kata tulisan itu: Sesudah kau genap mendjura seribu kali padaku, itu berarti sudah mendjadi muridku. Pengalamanmu

selandjutnja akan sangat mengenaskan, hendaklah kau djangan menjesal. Ilmu silat perguruan kita jang tiada bandingannja didjagat ini berada didalam ruangan batu ini, harap kau melatihnja dengan tekun.

Malah tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu pernah mengatakan: Entji Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada bandingannja itu djuga aku tidak mau mempeladjarinja ~ Tapi kini sesudah memandang lebih mesra terhadap patung itu, pikirannja mendjadi kabur tak terkendali, pikirnja sekarang: Dimanakah beradanja ilmu silat tiada bandingannja itu? Apa barangkali terukir diatas tjermin2 perunggu ini? Entji Dewi suruh aku beladjar silat, takbisa tidak aku harus mempeladjarinja sekarang.

Berpikir begitu, segera ia balik tjermin perunggu tadi dan mengapalkan segi2 hitungan dari 64 segi Pat-kwa itu, lalu setindak demi setindak mulai berdjalan.

Semula ia hanja melangkah mengikuti petunjduk jang terukir diatas tjermin itu tanpa mengetahui dimana letak keadjaibannja, terkadang tulisan ditjermin itu sangat aneh, setelah melangkah setindak, langkah selandjutnja mendjadi buntu rasanja. Tapi ketika kemudian mesti melompat sambil memutar tubuh,djalan selandjutnja terbuka lagi dengan lantjar. Sering pula harus disertai dengan melompat madju dan mundur untuk bisa tjotjok dengan petundjuk diatas tjermin itu.

Dasar peladjar seperti Toan Ki memang sudah biasa tekun beladjar, maka sekali sudah mau, biarpun ketemukan persoalan sulit, ia harus memetjahkannja dengan peras otak baru mau sudah. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas berdjingkrak girang seperti orang gendeng. Pikirnja: Elok benar! Djadi dalam ilmu silat djuga bisa membikin orang senang, bahkan tidak kurang menariknja daripada orang membatja kitab. ~ Lalu pikirnja pula: Aku tidak suka bikin susah atau membunuh orang, makanja selama ini aku tidak sudi beladjar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh orang, sebaliknja dapat menghindarkan maksud djahat musuh, kalau dipeladjari, ada manfaatnja tiada djeleknja. Seumpama ilmu silat lainnja kalau melulu digunakan untuk menolong sesamanja, sebenarnja djuga tidak djelek.

Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa tiada salahnja beladjar silat. Dan dengan demikian, ia lantas beladjar terlebih giat. Hanja dalam satu hari sadja, Poh-hoat jang tertulis diatas tjermin itu sudah 2-3 bagian dapat dipahaminja.

Sambil membatja ukiran2 jang tertulis diatas tjermin perunggu, selangkah demi selangkah Toan ki mengapalkan Leng-po-wi-poh jang adjaib itu.

Malamnja, ia merasa sangat lapar. Segera ia keluarkan Bong-koh-tju-hap dan biarkan binatang itu bersuara untuk memanggil ular, la pilih seekor ular jang gemuk, lalu menjembelihnja, ia keluar ketepi sungai itu untuk mentjari kaju bakar dan memanggang daging ular untuk dimakan.

Selama beberapa hari, ketjuali makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam dalam peladjarannja Leng-po-wi-poh jang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas, begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa wadjah patung' tjantik itu lagi mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali beladjar lagi dengan tekun.

Hari keempat, seluruh peladjaran ilmu melangkah itu sudah dapat diapalkannja. Selama itu, sering djuga teringat olehnja. Akan diri Bok Wan-djing jang tak diketahui bagaimana nasibnja selama digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis itu lagi menunggu dirinja pergi menolongnja, demikian pikirnja. Tapi bila sinar matanja kebentrok dengan pandangan patung tjantik itu, ia mendjadi seperti keselurupan dan lupa daratan. Tapi kini ia telah ambil ketetapan jang tegas: ku harus pergi menolong nona Bok dulu kemudian baru aku kembali lagi kesini!

Segera ia kembalikan tjermin perunggu itu ketempat asalnja, sekilas ia dapat melihat pula bahwa diatas tjermin perunggu lain jang berada dilantai djuga lorang-loreng penuh terukir tulisan dan garis2. Ia tahu bila terus melatih ilmu diatas tjermin itu, tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih berada dibawah tjengkeraman orang djahat dan sedang menantikan kedatangannja untuk menolong. Namun begitu, dalam hati ketjilnja timbul djuga sematjam rasa berat untuk meninggalkan patung tjantik itu Kalau dia pergi, toh djelas dirinja takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa mengangkat guru padanja baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal untuk suruh dia angkat orang sedjahat itu mendjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati daripada mesti menurut.

Sebab itulah, pertentangan batinnja mendjadi hebat, ia ragu2 sampai lama sekali. Achirnja merasa bila dirinja tidak pergi menolong Bok Wan-djing, itu bcrarti tidak berbudi dan takbisa dipertjajai, seorang laki2 sedjati tidak nanti berbuat demikian, sekalipun achirnja dirinja mesti tjelaka, kalau sekali sudah djandji harus ditepati. Karena itu, segera ia mendjura kepada patung dewi itu, katanja: Entji Dewi, pabila aku bisa meloloskan diri dari Lam-hay-gok-sin jang djahat itu dengan ilmu Leng-po-wi-poh adjaranmu, kelak tiap2 tahun aku pasti akan tinggal bersama engkau disini setengah tahun lamanja.

Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaja berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh itu.

Tak tersangka, baru sadja ia mengindjak sudut Thay dan menggeser kesegi Koh, se-konjong2 suatu arus hawa panas menerdjang keatas dari dalam perutnja. Seketika badannja terasa lumpuh, kontan ia ambruk kelantai.

Dalam kagetnja tjepat Toan Ki bermaksud menahan lantai dengan tangannja untuk merangkak bangun. Tak terduga semua anggota badannja djuga terasa kaku pegal tak mau turut perintahnja lagi, bahkan untuk menggerakkan sebuah djari sadja terasa susah.

Kiranja Leng-po-wi-poh jang tertera diatas tjermin perunggu itu adalah sematjam ilmu silat maha tinggi, kalau orang melatihnja sudah mempunjai dasar ilmu silat jang baik, maka setiap gerak-geriknja akan selalu disertai dengan tenaga dalam jang kuat. Sebaliknja Toan Ki sedikitpun tidak mempunjai dasar Lwekang, djalannja tergantung ingatannja melulu, melangkah sekali, pikir sekali dulu, lalu berhenti, kemudian melangkah pula, tjara demikian tidak mendjadi halangan karena pergolakan darah jang disebabkan gerak langkah itu mendapat tjukup waktu untuk berhenti. Tapi kini sesudah dia apal, lalu sekaligus djalan begitu sadja, seketika djalan darahnja berontak dan menerdjang balik, seketika ia lumpuh dilantai, hampir2 tersesat atau apa jang disebut Tjau-hwe-djip-mo dalam ilmu silat. Untung dia baru melangkah dua tindak dan tidak terlalu tjepat pula, maka urat nadinja tidak sampai petjah atau putus.

Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki tjoba hendak meronta bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanja ingin muntah2, tapi toh tidak muntah. Achirnja ia menghela napas pasrah nasib. Aneh djuga, setelah dia pasrah masabodoh, rasa muaknja malah hilang lambat-laun.

Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga esok paginja masih tetap begitu. Diam2 ia pikir: Papan perunggu dibawah kaki Entji Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku selandjutnja akan sangat mengenaskan, suruh aku djangan menjesal. Namun kalau aku tjuma mati kelaparan begini sadja, rasanja masih belum termasuk terlalu mengenaskan.

Kira2 sampai pukul 10 pagi itu, sinar matahari menjorot miring dari luar hingga persis menerangi diatas sebuah tjermin perunggu. Mata Toan Ki mendjadi silau oleh repleksi tjahaja matahari itu. Pikirnja ingin egos kepala menghindari sinar menjilaukan itu, tapi apa daja, antero badannja tak bisa bergerak. Tiba2 ia melihat diatas tjermin itu lapat2 seperti terukir huruf2 Bi-the, Siau-ko dan lain2. oleh karena kepalanja toh tak bisa bererak, sekalian ia lantas batja tulisan2 itu setjara tjermat, lalu direnungkan dalam2.

Dari tjermin pertama tadi ia hanja dapat beladjar 32 segi daripada 64 segi itu. Kebetulan apa jang terukir diatas tjermin sekarang ini adalah sisa 32 segi jang lain. Segera ia mempeladjarinja lebih djauh. Meskipun kakinja takbisa bergerak, tapi pikirannja dipusatkan se-akan2 kakinja lagi bergerak menurut langkah2 jang ditundjukkan diatas tjermin itu. Sampai petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahami, rasa muaknja ternjata djauh berkurang.

Sampai besok paginja lagi, ke-32 langkah itu sudah dapat dipetjahkan seluruhnja. Diam2 ia mengapalkan lagi seluruh 64 segi itu dari awal sampai achir. Dan njatanja memang berdjalan dengan lantjar. Ibaratnja orang jang mogok ditengah djalan karena menghadpai djalan buntu, kini mendadak djalan itu dapat ditembus. Karuan Toan Ki sangat girang, terus sadja ia melontjat bangun sambil bertepuk tangan dan berseru: Bagus, bagus! ~ Dan ia mendjadi tertegun heran ingat dirinja mendadak sudah dapat bergerak lagi tanpa merasa.

Kedjut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia kuatir kalau lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginja beberapa kali hingga apal benar2, ia melangkah pelahan2 setindak demi setindak hingga achirnja tertjapai dengan bulat, ia merasa semangatnja mendjadi kuat dan seger. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak terasa lapar. Ia memberi hormat kearah patung dan mengutjapkan terima kasih, lalu tjepat berlari keluar dari gua itu. Dengan mengikuti djalan jang pernah dilaluinja, ia melintasi Sian-djin-toh dan kembali ke Bu-liang-san, achirnja berdjumpa pula dengan Bok Wan-djing.

Demikianlah ia tjeritakan pengalamannja itu kepada sang ajah dan paman, hanja mengenai patung tjantik itu ia tidak tjeritakan, ia bilang menemukan dua buah tjermin perunggu dan dari ukiran tulisan diatas tjermin2 itulah dapat diperoleh ilmu gerak langkah jang adjaib itu. Ia merasa dihadapan orang sebanjak itu tidak pantas kalau mentjeritakan dirinja kesemsem oleh sebuah patung aju, apalagi Bok Wan-djing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinja bisa digampar pula.

Selesai Toan Ki bertjerita, Po-ting-te lantas berkata: Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung sematjam ilmu Lwekang jang maha tinggi, tjobalah kau melakukan sekali lagi dari awal sampai achir.

Toan Ki mengia, lalu mulai berdjalan selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.

Po-ting-te, Toan Tjing-sun dan Ko Sing-thay adalah ahli2 Lwekang semua, tapi terhadap keadjaiban ilmu langkah itu, mereka tjuma bisa menangkap satu-dua bagian sadja, selebihnja merekapun merasa bingung.

Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia memutar suatu lingkaran besar dan tiba kembali ditempat semula. Po-ting-te sangat girang, serunja: Bagus sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannja diseluruh djagat, sungguh beruntung sekali Ki-dji dapat memperolehnja, harap Ki-dji melatihnja lebih masak. Sekarang silakan kau omong2 dengan ibumu jang baru pulang istana. ~ Lalu ia berpaling pada permaisurinja: Marilah kita pulang keraton!

Honghou mengia sambil berbangkit. Segerak Toan Tjing-sun dan lain2 menghantar Hongte dan Honghou keluar gapura istana Tin-lam-ong.

Setelah berada didalam istana sendiri, segera Toan Tjing-sun mengadakan perdjamuan untuk menjambut pulangnja sang isteri dan datangnja Bok Wan-djing. Satu medja hanja empat orang, jaitu Toan Tjing-sun suami isteri, Toan Ki dan Wan-djing, tapi dajang jang melajani hampir 20 orang banjaknja. Sudah tentu selama hidup Bok Wan-djing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua masakan jang disuguhkan disitu djangankan melihat, bahkan mendengar djuga tidak pernah. Tapi demi nampak ajah-bunda Toan Ki memandang dirinja sebagai anggota keluarga sendiri, diam2 iapun sangat lega dan senang.

Ketika melihat sikap ibunja terhadap ajahnja tetap dingin sadja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging, hanja dahar sedikit sajuran sadja, segera Toan Ki menuangi satu tjawan arak dan berkata: Mak, marilah anak menghormati engkau setjawan!

Tidak, aku tidak minum arak, sahut Yan-toan-siantju.

Tapi Toan Ki menuang lagi setjawan dan mengedipi Wan-djing, katanja pula: Minumlah, mak, nona Bok djuga ingin menjuguh engkau setjawan!

Segera Bok Wan-djing mengangkat tjawan jang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yan-toan-siantju mendjadi tidak enak kalau bersikap dingin juga terhadap Bok Wan-djing, maka katanja dengan tersenjum: Nona, puteraku ini terlalu nakal, ajah-bundahnja susah mengendalikan dia, selandjutnja kau perlu membantu aku mengawasi dia lebih keras.

Tentu, sahut Wan-djing. Kalau dia tidak menurut, kontan kudjewer dia!

Yan-toan-siantju mengikik keli oleh djawaban itu sambil melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Tjing-sun djuga tertawa, udjarnja: Memang harus begitu!

Lalu Yan-toan-siantju ulur tangannja menerima tjawan arak suguhan Bok Wan-djing itu. Dibawah sinar lilin jang terang-benderang, Wan-djing melihat lengan njonja pangeran itu putih halus bagaikan saldju. Tiba2 dapat dilihatnja pula dipunggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah andeng2 merah sebesar mata uang (tembong). Seketika badang Wan-djing tergetar, tjepat ia tanja dengan suara gemetar: Apa ... apakah engkau ber ... bernama Si Pek-hong?

Darimana kau tahu namaku? sahut Yan-toan-siantju dengan tertawa.

Engkau benar... benar2 Si Pek-hong? Wan-djing menegas pula dengan terputus2. Bukankah dahulu engkau memakai sendjata... sendjata petjut?

Melihat gadis itu rada aneh, namun Yan-toan-siantju alias Si Pek-hong masih belum tjuriga, sahutnja pula dengan tersenjum: Sungguh Ki-dji sangat baik kepadamu, sampai nama ketjilku djuga diberitahu padamu.

Mendadak Bok Wan-djing terus berteriak: Budi guru maha tinggi, perintah guru susah dibangkang! ~ bebareng tangannja bergerak, dua batang panah beratjun lantas menjamber kedada Yan-toan-siantju.

Dalam perdjamuan jang diliputi suasana riang gembira diantara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapapun takkan menjangka bakal terdjadi penjerangan mendadak dari Bok Wan-djing. Biarpun ilmu silat Yan-toan-siantju djauh lebih tinggi daripada Bok Wan-djing, tapi djarak kedua orang sangat dekat, pula terdjadinja setjara tiba2, tampak kedua panah itu segera akan menantjap didada sasarannja.

Toan Tjing-sun duduk disebelah kiri Bok Wan-djing, begitu melihat gelagat djelek, tjepat djarinja menutuk, tapi It-yang-tji jang lihay itu djuga tjuma dapat membikin Bok Wan-djing takbisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap menjamber kedepan.

Sebaliknja Toan Ki duduk disisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menjaksikan Bok Wan-djing menjerang dan panahnja jang berbisa lihay itu. Maka begitu nampak gadis itu ajun tangannja, segera ia tahu bakal tjelaka. Ia takbisa ilmu silat, tapi diengan Leng-po-wi-poh jang tjepat luar biasa, tahu2 ia dapat menjelinap menghadang didepan sang ibu sehingga kedua panah berbisa tepat menantjap didadanja. Bebareng itu Bok Wan-djing djuga merasa badannja mendjadi kaku dan takbisa berkutik karena ditutuk Toan Tjing-sun. Betapa tjepatnja Tin-lam-ong itu hingga menjusul sekaligus ia tutuk pula, beberapa

kali disekitar luka Toan Ki jang terpanah itu agar ratjun tidak terus menjerang lebih dalam. Habis itu, ia baliki tangan memuntir lengan Bok Wan-djing hingga terlepas dari ruasnja, dengan demikian supaja gadis itu takbisa melepaskan panahnja pula. Lalu ia lepaskan Hiat-to jang ditutuk dan membentak: Lekas keluarkan obat penawarnja!

Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong! demikian djerit Wan-djing setengah emratap. Dengan menahan sakit lengannja jang keseleo, tjepat ia keluarkan dua botol ketjil obat penawar ratjun, katanja: Jang merah minumkan, jang putih bubuhkan dilukanja, lekas, harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!

Yan-toan-siantju melotot sekali kearah gadis itu, melihat begitu perhatiannja terhadap puteranja jang timbul sungguh2 dari hati murninja. Diam2 ia sudah dapat membade sebab-musabab kedjadian ini. Segera ia rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut petundjuk Bok Wan-djing tadi.

Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa... bahwa djiwanja dapat diselamatkan, kalau... kalau tidak... demikian Bok Wan-djing tak sanggup meneruskan lagi ratapannja.

Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki sudah djatuh pingsan dipangkuan sang ibu. Suami-isteri Toan Tjing-sun terus memperhatikan luka Toan Ki, melihat darah jang mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu mendjadi merah kembali, mereka baru merasa lega karena tahu djiwa sang putera sudah dapat diselamatkan.

Segera Yan-toan-siantju pondong puteranja kedalam kamar, lalu ia keluar lagi keruangan makan itu.

Tidak apa2, bukan? tanja Toan Tjing-sun kepada sang isteri.

Tapi Yan-toan-siantju tak mendjawabnja, sebaliknja lantas berkata kepada Bok Wan-djing: Pergilah kau katakan pada Siu-lo-to Tjin Ang-bian bahwa...

Mendengar disebutnja Siu-lo-to Tjin Ang-bian itu, seketika wadjah Toan Tjing-sun berubah hebat, tanjanja dengan ter-gagap2: Kau... kau bilang apa?

Tapi Yan-toan-siantju tak menggubrisnja, ia tetap berkata pada Wan-djing:

Katakanlah padanja, djika dia inginkan djiwaku, pakailah tjara terbuka dan terang2an, tapi kalau main litjik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang sadja.

Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Tjin Ang-bian! djawab Wan-djing keras2.

Habis, siapa jang suruh kau membunuh diriku! tanja Siantju.

Guruku, sahut Wan-djing. Guruku suruh aku membunuh dua orang. Jang seorang adalah engkau. Beliau menerangkan padaku bahwa ditanganmu ada andeng2 merah jang besar, namanja Si Pek-hong, parasnja tjantik, bersendjatakan petjut. Tapi dia tidak bilang kau berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat pula engkau memakai kebut pertapaan, bernama Yan-toan-siantju pula, sungguh tidak njana bahwa engkaulah orang jang harus kubunuh menuru perintah guruku, lebih2 tak kusangka bahwa engkau adalah ibunja Toan-long... ~ berkata sampai disini, tak tertahan lagi air matanjua bertjutjuran.

Dan orang kedua jang gurumu ingin membunuhnja itu, bukankah djuga seorang wanita tjantik, tangan kanannja sudah kehilangan tiga djari? tanja Si Pek-hong alias Yan-toan-siantju.

Benar, seru Wan-djing heran. Darimana engkau tahu? Wanita itu katanja she Kheng....

Tiba2 pipi Si Pek-hong basah djuga oleh air mata jang sudah ber-linang2, ia memikir sedjenak, lalu berkata kepada sang suami: Tjing-sun, haraplah kau merawat Ki-dji baik2!

Pek-hong, sahut Tin-lam-ong, suka-duka dimasa lalu, buat apa masih tetap kau pikir?

Kau tidak memikir, tapi aku tetap memikirnja dan orang lainpun tidak pernah melupakannja, sahut Si Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, se-konjong2 ia melompat naik terus melesat keluar melalui djendela.

Tjepat Toan Tjing-sun hendak menarik lengan badjunja, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannja itu terus menjabet kemuka sang suami, untuk Tin-lam-ong sempat mengegoskan kepalanja, bret, hanja sepotong kain lengan

badju Si Pek-hong kena dirobeknja.

Apa kau adjak berkelahi? seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.

Pek-hong, kau ... baru sekian Toan Tjing-sun mendjawab, segera Si Pek-hong sudah melesat dengan tjepat.

Dari djauh terdengar suara bentakan Leng Djian-li jang keras: Siapa itu? ~ Segera terdengar Si Pek-hong mendjawab: Aku! ~ Lalu kedengaran Leng Djian-li berseru dengan gugup: Ah, kiranja Onghui! ~ Habis itu, lalu sunji senjap tiada suara lagi.

Tjing-sun ter-mangu2 berdiri ditempatnja, achirnja ia menghela napas dan memandang Bok Wan-djing jang sementara itu tampak putjat pasi menahan sakit, tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu dan pegang langannja, krok, ia betulkan lagi ruas tulang jang sengadja dipuntir keseleo tadi.

Aku telah panah isterinja, entah siksaan kedji apa jang hendak dia lakukan atas diriku? demikian Wan-djing membatin.

Tak terduga Toan Tjing-sun hanja diam2 sadja, dengan lesu kemudian ia berduduk diatas kursinja, pelahan2 ia angkat tjawan araknja tadi dan diteguk habis sekaligus. Pandangannja terpaku kearah perginja Si Pek-hong tadi dengan ter-mangu2. sedjenak kemudian, ia menuang arak dan diteguknja habis lagi. Dengan tjara menuang sendiri dan minum sendiri, tidak lama sudah 13 tjawan dikeringkannja, kalau potji arak jang satu sudah kering, lantas menuang dari potji jang lain. Menuangnja sangat lambat, tapi meneguknja sangat tjepat.

Makin lama Bok Wan-djing mendjadi semakin kesal, saking tak tahan, achirnja ia berteriak keras2: Tjara bagaimana kau hendak siksa aku, lekaslah kau lakukan!

Baru sekarang Toan Tjing-sun mendongak kearahnja serta memandangnja dengan mata tak berkedip. Selang agak lama, ia berkata: Sungguh mirip! Seharusnja aku sudah melihatnja sedjak tadi, ja, beginilah wadjahnja dan beginilah tabiatnja ....

Mendengar utjapan orang tak karuan tudjuannja, Bok Wan-djing berseru pula:

Kau bilang apa? Ngatjo-belo belaka!

Tapi Tjing-sun tak mendjawabnja, tiba2 ia berbangkit, pelahan2 telapak tangan kiri memotong miring kebelakang, ser sekali dengan pelahan, tahu2 api lilin jang berkobar2 dibelakangnja terpadam sebatang. Menjusul telapak tangan kanan memotong pula kebelakang dan lagi2 api lilin jang lain disirapkan. Ber-turut2 ia memadamkan lima batang api lilin, tapi pandangannja selalu melihat kedepan, gerak tangannja pelahan, tapi enteng dan indah gajanja.

He, bukankah ini adalah... adalah Ngo-lo-gin-yan-tjiang?Kenapa engkau djuga bisa? demikian tanja Wan-djing dengan heran dan terkedjut.

Pernahkah gurumu mengadjarkan ilmu ini kepadamu? sahut Tjing-sun dengan tersenjum getir.

Tidak pernah, sahut sigadis. Suhu bilang kepandaianku belum tjukup masak untuk melatih ilmu pukulan ini. Pula, Suhu menjatakan ilmu pukulannja ini sudah pasti takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan dibawanja serta keliang kubur.

O, djadi dia bilang takkan mengadjarkan pada orang lain dan akan dibawa serta keliang kubur kelak? Tjing-sun menegas.

Ja, sahut Wan-djing. Tjuma Suhu masih sering melatihnja diluar tahuku, karena itu, diam2 aku sudah sering melihatnja djuga.

Dia sering melatih ilmu pukulan ini seorang diri? Tjing-sun menegas pula.

Wan-djing memanggut, sahutnja: Ja. Setiap kali Suhu melatih ilmu pukulan ini, tentu dia muring2 dan mendamperat aku. Tapi ken... kenapa kaupun bisa? Eh, malahan engkau seperti lebih pandai memainkannja daripada guruku.

Toan Tjing-sun menghela napas, kemudian katanja pula: Ilmu Ngo-lo-gin-yan-tjiang ini adalah aku jang mengadjarkan pada Suhumu.

Wan-djing terkedjut, tapi ia pertjaja djuga. Sebab setiap kali gurunja

melatih pukulan itu, seringkali mesti dua-tiga kali gerakan baru bisa memadamkan api lilin. Tapi Toan Tjing-sun ini tjukup sekali kebas sudah bisa sirapkan api lilin, geraknja indah dan dilakukan seperti seenaknja sadja. Maka dengan tak lantjar ia menanja pula: Djadi engkau adalah gurunja Suhuku? Engkau adalah........ adalah kakek guruku?

Bukan! sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil bertopang dagu: Setiap kali dia berlatih tentu muring2 dan menjatakan ilmu ini takkan diadjarkan pada orang lain, tapi akan dibawa serta keliang kubur.....

Dan bagaimana engkau......?

Baru Wan-djing hendak menanja atau Toan Tjing-sun sudah menggojang tangan mentjegahnja supaya djangan bersuara. Lewat sebentar, tiba2 ia menanja: Tahun ini kau berumur 18, kau terlahir dibulan sembilan, betul tidak?

He, darimana kau tahu? Kau pernah apa dengan Suhuku? tanja Wan-djing heran.

Maka tertampaklah air muka Toan Tjing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau ia mendjawab: Aku merasa ber....... dosa pada gurumu, berdosa pada....... padamu, Wan-djing, kau......

Ada apa? sahut Wan-djing Kulihat engkau ini sangat ramah-tamah, sangat baik.

Apa nama gurumu tak pernah diberitahukan padamu? tanja Tjing-sun pula.

Suhu bilang namanja Bu-beng-khek, tapi sebenarnja she apa dan nama apa, aku tidak mengetahuinja.

Bagaimana penghidupan gurumu selama ber-tahun2 ini? Dimana kalian tinggal? tanja Tjing-sun lebih djauh.

Kami tinggal dibalik suatu gunung jang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan siapapun, sedjak ketjil akupun demikian. sahut sigadis.

Siapakah ajah-bundamu, apakah kau tak diberitahu oleh gurumu?

Kata Suhu, aku adalah anak piatu jang dibuang oleh orang tua, Suhu dapat menemukan aku ditepi djalan.

Kau bentji pada ajah-bundamu atau tidak?

Bok Wan-djing tidak lantas mendjawab, ia meng-gigit2 kuku djarinja sambil miringkan kepalanja memikir.

Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan Tjing-sun mendjadi pilu dan meneteskan air mata.

Wan-djing mendjadi heran melihat pengeran itu menangis, tanjanja: He, kenapa engkau menangis?

Lekas2 Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air matanja, lalu paksakan diri tertawa dan mendjawab: Ah, masakan aku menangis? Tapi pengaruh arak itu, mataku mendjadi pedas!

Sudah tentu sigadis takmau pertjaja, katanja: Terang aku melihat engkau menangis. Biasanja tjuma wanita jang menangis, djadi laki2 djuga bisa menangis? Aku tak pernah melihat orang laki2 menangis, ketjuali anak ketjil.

Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong mendjadi lebih terharu. Katanja kemudian: Wan-dji, kelak aku pasti akan djaga baik2 padamu barulah dapat sekedar mengganti kesalahanku jang lalu. Adalah sesuatu tjita2mu, tjoba katakanlah padaku, pasti aku akan melaksanakannja sepenuh tenaga bagimu.

Sebenarnja hati Bok Wan-djing masih kebat-kebit karena habis memanah njonja Toan, tapi demi mendengar utjapan Toan Tjing-sun ini, ia mendjadi girang, serunja: Djadi kau takkan marah lagi karena aku memanah isterimu?

Djusteru seperti apa jang kaukatakan tadi: Budi guru maha tinggi, perintah guru susah dibantah, urusan orang tua dimasa dahulu tiada sangkut-pautnja

dengan dirimu, maka aku takkan marah padamu. Tjuma sadja lain kali djangan lagi kau kurang sopan pada isteriku.

Tapi kalau kelak Suhuku menanjakan, lantas bagaimana? udjar Wan-djing.

Bawalah aku pergi menemui gurumu, biar kubitjara padanja. kata Tjing-sun.

Bagus! seru Wan-djing dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan mengkerut kening: Namun guruku sering bilang bahwa laki2 didunia ini semuanja berhati palsu. Selamanja dia tidak sudi menemui orang laki2.

Sekilas Tjing-sun mengundjuk rasa aneh dan heran, tanjanja tjepat: Gurumu selamanja tidak bertemu dengan orang laki2?

Ja, untuk keperluan se-hari2, Suhuku selalu suruh pelajan perempuan tua jang melakukan, sahut Wan-djing. Satu kali, pelajan tua itu sakit, ia suruh puteranja mewakili belandja keperluan dapur, Suhu mendjadi marah dan suruh dia taruh djauh2 diluar pintu dan melarangnja masuk kerumah.

Ai, Ang-bian, Ang-bian! Buat apa engkau menjiksa diri begitu? demikian Tjing-sun menghela napas.

Kau mengatakan Ang-bian lagi, sebenarnja siapakah gerangan Ang-bian itu? tanja Wan-djing.

Urusan ini takbisa membohongi kau selamanja, biarlah kukatakan padamu. Gurumu asalnja bernama Tjin Ang-bian, orang memberi djulukan Siu-lo-to padanja.

O, kiranja begitu! Pantas begitu melihat tjaraku membidikkan panah, njonjamu lantas tanja aku pernah apa dengan Siu-lo-to Tjin Ang-bian. Tatkala itu aku benar2 tidak tahu, djadi bukan sengadja berdusta. Kiranja guruku bernama Tjin Ang-bian, ehm, namanja ini indah benar!

Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak sekarang? tanja Tjing-sun dengan penuh menjesal.

Melihat sikap pengeran itu begitu ramah tamah, dengan tersenjum Wan-djing mendjawab: Sekarang sudah baik. Marilah kita pergi mendjenguknja? Kukuatir ratjun panahku itu belum lagi bersih dari lukanja.

Baiklah. sahut Tjing-sun sambil berbangkit. Lalu katanja pula: Kau mempunjai keinginan apa, tjoba katakanlah padaku.

Paras Bok Wan-djing mendjadi merah djengah, ia menunduk dan menjahut: Sesudah........ sesudah kupanah isterinja, kukuatir dia........ dia akan marah padaku.

Kita pelahan2 minta maaf padanja, boleh djadi kelak dia takkan marah lagi, kata Tjing-sun.

Sebenarnja aku tidak pernah minta maaf pada siapapun djuga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar kuminta ampun padanja kelak, habis ini, tiba2 Wan-djing beranikan diri dan berkata pula: Tin-lam-ong, apabila kukatakan tjita2ku, apa benar2 engkau akan........ akan melaksanakan bagiku?

Sudah tentu, asal tenagaku tjukup utk melakukannja, pasti akan kulaksanakan bagimu. sahut Tjing-sun.

Apa jang kau katakan ini, djangan kau pungkir djandji. udjar Wan-djing.

Tin-lam-ong tersenjum, ia mendekati sigadis dan mem-belai2 rambutnja dengan penuh rasa kasih-sajang, kemudian djawabnja: Aku pasti takkan pungkir djanji.

Baiklah, djika begitu urusan pernikahan kami berdua, haraplah engkau melaksanakannja, tidak boleh dia mengingkari djandji dan berhati palsu. ~ Habis mengutjapkan kata2 itu, wadjah Wan-djing tampak bertjahaja ber-seri2.

Sebaliknja air muka Toan Tjing-sun semakin guram dan pelahan2 melangkah mundur, lalu mendjatuhkan diri diatas kursinja dengan lesu. Lama sampai lama sekali masih tidak bitjara.

Melihat gelagatnja rada kurang benar, segera Bok Wan-djing mendesak lebih djauh: Engkau......... engkau menjanggupi atau tidak?

Tidak, kau pasti tidak dapat menikah dengan Ki-dji. sahut Tjing-sun kemudian dengan suaranja jang parau berat, tapi tegas.

Seketika rasa Bok Wan-djing mendjadi dingini, se-akan2 digujur seember air, tanjanja dengan ter-putus2: Sebab apa? Se............ sebab apa? Dia............ dia sendiri sudah berdjandji pada......... padaku,

Tapi Toan Tjing-sun hanja mendjawab singkat: Hukum karma, hukum karma!

Wan-djing semakin gugup, serunja: Djika dia tidak mau lagi padaku,aku............ aku lantas membunuhnja, lalu............ lalu membunuh diri. Sebab aku telah............ telah bersumpah dihadapan Suhu.

Takbisa! sahut Tjing-sun sambil geleng kepala pelahan.

Mengapa takbisa? Biar aku pergi tanja dia!

Ki-dji sendiripun takkan tahu, udjar Tjing-sun. Dan ketika melihat rasa derita sigadis jang memilukan itu mirip benar dengan kedjadian 18 tahun jang lalu, dimana ketika mendadak Tjin Ang-bian mendengar berita duka, ia takbisa menahan perasaannja lagi, tertjetuslah segera dari mulutnja: Kau takbisa menikah dengan Ki-dji, djuga tak boleh membunuhnja!

Sebab apakah?

Sebab............... sebab Toan Ki adalah kakamu sendiri!

Seketika mata Bok Wan-djing terbelalak lebar, sungguh ia tidak pertjaja pada pendengaran sendiri itu, tanjanja dengan suara gemetar: Ap......... apa katamu? Kau......... kau bilang Toan-long adalah kakaku?

Ja, sahut Tjing-sun tegas. Wan-dji, apa kau belum tahu siapakah sebenarnja gurumu itu? Dia adalah ibu kandungan dan aku adalah ajahmu!

Terperandjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wan-djing hingga wadjahnja putjat pasi, katanja pula dengan ter-putus2: Aku ti............... tidak pertjaja, aku tidak pertjaja!

Sekonjong2 terdengar suara seorang menghela napas pandjang diluar djendela, lalu suara seorang wanita telah berkata: Wan-dji, barilah kita pulang sadja!

He, Suhu! teriak Wan-djing sambil memutar tubuh dengan tjepat.

Srak, mendadak djendela itu terbuka, maka tertampaklah diluar situ sudah berdiri seorang wanita setengah umur, berwadjah bundar telor,alis lentik, mata tjeli, paras mukanja sangat tjantik, sinar matanja menjorotkantjahaja bengis dan kekerasan hatinja.

Melihat bekas.kekasihnja ~ Siu-lo-to Tiin Ang-bian ~ mendadak muntjul di situ, Toan Tjing-sun mendjadi kaget dan girang, serunja keras2: Ang-bian, Ang-bian! Selama beberapa ta............ tahun ini, entah betapa aku te........ telah merindukan dikau!

Namun Tjin Ang-bian tidak mendjawab, katanja pula kepada Bok Wan-djing: Wan-dji, marilah keluar! Rumah manusia jang tipis budi dan berhati palsu, djangan tinggal terlalu lama disini!

Melihat sikap sang Suhu terhadap Toan Tjing-sun itu, perasaan Bok Wan-djing mendjadi lebih tersedak, serunja dengan tak lantjar: Suhu, dia...... dia telah menipu aku, katanja engkau adalah......... adalah ibuku dan dia....... dia adalah ajahku.

Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ajahmu, sahut Tjian Ang-bian dengan sikap dingin.

Mendadak Tjing-sun berlari keambang djendela, serunja dengan suara memohon: Ang-bian, marilah masuk kesini, biarkan aku bisa memandang engkau barang sebentar. Djangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selandjutnja kita selalu hidup berdampingan bersama.

Tiba2 sinar mata Tjin Ang-bian mengkilat terang, tanjanja: Kau bilang kita akan hidup berdampingan untuk se-lama2nja? Benar2 demikian maksudmu?

Ja, benar, benar! sahut Tjing-sun. O, Ang-bian, selama ini tidak pernah sedetikpun aku melupakan dikau.

Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong? tanja Ang-bian.

Tjing-sun mendjadi tertegun, ia ragu2 dan tidak bisa mendjawab, wadjahnja mengundjuk rasa serba sulit.

Maka Tjin Ang-bian berkata pula: Pabila engkau masih menaruh kasihan pada puteri kita ini, maka marilah engkau ikut pergi padaku dan selandjutnja tidak boleh ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk se-lama2nja djangan pulang lagi kesini.

Mengikuti pertjakapan itu, perasaan Bok Wan-djing mendjadi makin tenggelam, makin tertekan, air matanja ber-kilau2 dikelopak matanja hingga bajangan sang guru dan Toan Tjing-sun tampak samar2. Sekarang ia telah jakin bahwa kedua orang dihadapannja ini memang benar2 adalah ajah-bunda kandungnja sendiri. Dan jang lebih memukul perasaannja adalah kekasih jang selama ini ditjintainja itu ternjata adalah saudara laki2 sendiri dari satu ajah tapi lain ibu. Maka segala impian muluk2 jang pernah dibajangkan olehnja selama ini dalam sekedjap sadja telah bujar sirna semua.

Terdengar Toan Tjing-sun telah mendjawab: Tapi, Ang-bian, aku adalah....... adalah Tin-lam-ong dari negeri Tayli ini, aku memegang kekuasaan penuh pemerintahan militer dan sipil, sebentar....... sebentarpun aku takbisa meninggalkannja.....

Delapanbelas tahun jang lalu kau berkata demikian, delapanbelas tahun kemudian kau tetap berkata begini, Toan Tjing-sun, wahai Toan Tjing-sun! Engkau manusia berhati palsu dan tipis budi ini, aku bentji....... bentji padamu....... demikian mendadak Tjin Ang-bian mendamperat dengan suara bengis.

Pada saat itu djuga, tiba2 terdengar diatas rumah sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan beberapa kali, lalu dari sebelah barat djuga ada orang

membalas dengan bertepuk tangan, begitu pula dari kedua djurusan jang lain. Menjusul mana lantas terdengar suaranja Ko Sing-thay dan Leng Djian-li sedang berseru berbareng: Ada musuh! Para saudara harap djaga ditempatnja masing2 dan djangan sembarangan bergerak.

Melihat keadaan mulai genting, segera Tjin Ang-bian membentak: Wan-dji, kenapa engkau masih belum keluar?

Wan-djing mengia, lalu melajang keluar djendela dan menubruk kepangkuan sang guru merangkap ibunda jang tertjinta.

Ang-bian, apa benar2 engkau akan meninggalkan aku begini sadja? tanja Ting-sun. Ketika ia pandang keatas rumah, ternjata diempat pendjuru sudah penuh terdjaga dengan orang.

Hendaklah diketahui bahwa didalam istana pengeran Tin-lam-ong ini banjak berkumpul tamu2 terhormat, tidak sedikit djago2 silat kelas tinggi jang telah mengabdi dibawahnja serta dipimpin oleh Siau-tan-hou Ko Sing-thay bersama tokoh2 Hi-djiau-keng-kok, maka sekali ada tanda bahaja, serentak para djago2 itu lantas siap siaga ditempat masing2.

Tiba2 Tjing Ang-bian mendjawab dengan suara jang rawan: Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau mendjadi Ongya, rasanja djuga sudah tjukup. Marilah ikut padaku, selandjutnja aku akan menurut pada segala keinginan dan perintahmu, seketjappun aku takkan memaki engkau dan sedikitpun aku takkan memukul engkau. Lihatlah puteri kita jang tjantik ini, masakah tidak disajang olehmu?

Tergerak hati Toan Tjing-sum, serunja tanpa pikir: Baik, aku ikut pergi padamu!

Girang sekali Tjin Ang-bian, ia ulut tangan kanan menantikan djabatan tangan Toan Tjing-sun.

Tapi mendadak terdengar suara seorang wanita sedang berkata dengan dingin dibelakang: Tjitji, kembali kau kena diakali lagi. Paling2 dia mempermainkan engkau beberapa hari sadja, lalu pulang kesini pula untuk mendjadi Ongya!

Terguntjang pula perasaan Toan Tjing-sun demi mengenali suara itu, serunja:

He, A Po, djadi engkau djuga sudah datang!

Waktu Wan-djing berpaling, ia lihat orang jang bitjara itu adalah seorang wanita berbadju sutera hidjau, ternjata adalah Tjiong-hudjin dari Ban-djiat-kok. Dibelakangnja terdapat pula tiga orang, jaitu Yap Dji-nio dan In Tiong-ho, seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin jang sudah pergi itu, tahu2 kini telah kembali lagi. Bahkan jang lebih mengedjutkan Bok Wan-djing adalah Lam-hay-gok-sin itu memondong pula seorang jang ternjata adalah Toan Ki.

He, Toan-long, bagaimanakah engkau? seru Wan-djing kuatir.

Tadinja Toan Ki sedang merebah ditempat tidurnja dalam keadaan terluka, dalam keadaan sadar-tak-sadar, tiba2 Lam-hay-gok-sin melompat masuk kamarnja serta memondongnja lari. Saking kagetnja pikiran Toan Ki mendjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat mendengar sebagian pertjakapan antara ajahnja dan Bok Wan-djing serta Tjin Ang-bian. Meski tidak seluruhnja dapat ia dengar, namun iapun sudah dapat meraba sebagian besar duduknja perkara.

Kini mendengar gadis itu masih memanggil dirinja sebagai Toan-long, ia mendjadi pilu, sahutnja dengan rawan: Moaytju (adikku), selandjutnja kita kaka-beradik asalkan selalu saling kasih-sajang, bukankah serupa djuga.

Tidak, djauh bedanja! seru Wan-djing dengan gusar, Engkau adalah lelaki pertama jang telah melihat wadjahku.

Tapi bila ingat bahwa pemuda itu adalah satu ajah dengan dirinja, betapapun engkoh dan adik tidak mungkin boleh kawin. Pabila dalam hal ini, tenaga manusia jang tjoba merintangi pernikahan mereka, tentunja ia bisa membinasakan orang itu dengan panah beratjunnja. Tapi kini jang mendjadi penghalang bagi mereka adalah takdir ilahi, biarpun setinggi langit ilmu silatnja atau mempunjai kekuasaan memerintah djagat djuga tidak mempu menghapusnja.

Seketika itu perasaan Bok Wan-djing serasa hampa. Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar kamar terus berlari pergi.

Wan-dji, Wan-dji! Hendak kemana engkau? seru Tjin Ang-bian kuatir.

Namun Wan-djing tidak mau gubris lagi pada sang guru merangkap ibu pengasih

itu, serunja: Kau membikin susah padaku, aku tak peduli padamu lagi. ~ Berbareng itu, larinja bertambah tjepat.

Siapa itu? tiba2 didepan menghadang seorang pengawal istana.

Tanpa mendjawab lagi Bok Wan-djing terus bidikkan sebatang panahnja hingga mengenai tenggorokan pengawal itu dan terdjungkal roboh. Sigadis sendiri setindakpun tidak pernah berhenti, hanja dalam sekedjap sadja bajangan tubuhnja jang ramping itu sudah menghilang dalam kegelapan.

Melihat puteranja telah digondol Lam-hay-gok-sin, Toan Tjing-sun mendjadi kuatir, ia tidak urus lagi kemana puterinja sudah pergi, tapi djarinja terus bekerdja, kontan Lam-hay-gok-sin hendak ditutuk.

Namun dari samping Yap Dji-nio telah menangkis sambil memotong urat nadi pergelangan Tjing-sun. Tjepat pengeran itu baliki tangannja hendak menangkap tangan lawan, tapi tahu2 Yap Dji-nio malah mendjentik kepunggung tangan Tjing-sun dengan djari tengahnja.

Begitulah dengan tjepat lawan tjepat, hanja sekedjap sadja kedua orang sudah saling serang beberapa djurus. Diam2 Toan Tjing-sun terkesiap: Sungguh hebat perempuan ini.

Toan Tjing-sun! tiba2 Tjian Ang-bian berseru sambil ulur tangannja mengantjam diatas kepalanja Toan Ki. Kau masih inginkan djiwa puteramu atau tidak?

Tjing-sun terkedjut, tjepat ia berhenti menjerang lagi. Ia tjukup kenal wataknja Tjin Ang-bian jang aneh, bentjinja kepada Si Pek-hong, jaitu isterinja sendiri sekarang ini, boleh dikata merasuk tulang, maka bukan mustahil bila djiwa Toan Ki bisa benar2 ditamatkan olehnja. Tjepat ia mendjawab: Ang-bian, luka anakku sangat parah karena dipanah oleh puterimu.

Dia sudah diberi obat penawar, takkan mati, biarlah sementara ini aku membawanja pergi. demikian kata Tjin Ang-bian pula.

Dan kau boleh pilih, inginkan puteramu atau lebih suka tetap mendjadi Ongya.

Hahahaha! tiba2 Lam-hay-gok-sin ikut ter-bahak2. Botjah ini achirnja toh harus djuga mengangkat guru padaku!

Ang-bian, sahut Tjing-sun kemudian, biarlah kuterima segala permintaanmu, asal engkau bebaskan puteraku.

Sebenarnja tjinta Tjin Ang-bian kepada Toan Tjing-sun belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun lamanja. Maka mendengar utjapan Toan Tjing-sun jang penuh rasa kuatir itu, hatinja mendjadi lemas, sahutnja kemudian: Apa ben......... benar engkau akan menurut segala permintaanku?

Ja, ja! seru Tjing-sun tanpa pikir.

Tjitji, djangan kau pertjaja lagi kepada laki2 jang berhati palsu ini, tiba2 Tjiong-hudjin menjela, Gak-sianseng, marilah kita pergi!

Tanpa bitjara lagi Lam-hay-gok-sin terus melompat keatas, sekali membalik badan diudara, ia sudah tantjap kaki diatas rumah diseberang sana, menjusul terdengar suara gedebukan dua kali, Yap Dji-nio dan In Tiong-ho masing2 telah merobohkan dua djago pengawal istana jang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.

Toan Tjing-sun tahu meski mengerahkan antero kekuatan pendjaga istana, belum tentu bahwa kawanan musuh itu takbisa ditjegat. Namun keselamatan puteranja sendiri terantjam, betapapun tidak boleh bertindak gegabah, tindakan kekerasan bukan djalan jang baik, apalagi dua wanita dihadapannja ini sangat luar biasa hubungannja dengan dirinja. Maka terpaksa ia menjahut dengan suara halus. A Po, ken......... kenapa engkau djuga ikut2 memusuhi aku?

Aku adalah isterinja Tjiong Ban-siu, djangan kau sembarangan memanggil, tahu? seru Tjiong-hudjin.

A Po, selama ini, sungguh aku sangat merindukan dikau. demikian Toan Tjing-sun meraju pula.

Tjiong-hudjin mendjadi terharu, matanja merah memberambang, sikapnja berubah lunak seketika, sahutnja rawan: Tempo hari, begitu aku melihat Toan-kongtju, segera aku........ aku tahu dia adalah anakmu.

Sumoay, sekarang kau sendiri kena dipikat lagi olehnja! seru Tjin Ang-bian.

Ja, baiklah, mari kita pergi! sahut Tjiong-hudjin sambil tarik tangannja Ang-bian. Lalu ia berpaling kepada Tjing-sun: Bila engkau inginkan puteramu dengan baik2, bawalah kepala Si Pek-hong sambil menjembah tiap2 langkah pergi ke Ban-djiat-kok

Ban-djiat-kok? Tjing-sun menegas.

Sementara itu dilihatnja Lam-hay-gok-sin sudah makin djauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko Sing-thay, Leng Djian-li dan lain2 tampak sedang mengudak dan merintangi dari berbagai djurusan.

Tjing-sun menghela napas, serunja kemudian: Ko-hiante, biarkanlah mereka pergi!

Sahut Ko Sing-thay: Tapi Siau-ong-ya.......

Biarlah, pelahan2 kita tjari akal lain. kata Tjing-sun. Sembari bitjara, ia terus memburu kehadapan Ko Sing-thay dan berkata pula: Musuh sudah pergi, semua orang supaja kembali ketempatnja masing2.

Habis itu, mendadak ia melesat kesamping Tjiong-hudjin, katanja dengan suara halus: A Po, apa baik2 sadja engkau selama ini?

Sudah tentu, apa jang kurang baik? sahut Tjiong-hudjin ketus.

Se-konjong2 djari Toan Tjing-sun terus bekerdja, setjepat kilat ia telah tutuk Tan-tiong-hiat didada njonja itu. Dalam keadaan tak ber-djaga2, kontan sadja Tjiong-hudjin terus roboh.

Tjepat Tjing-sun tahan tubuh njonja itu dengan tangan kiri sambil pura2 kaget berseru: He, A Po, ken........ kenapakah engkau?

Karuan Tjing Ang-bian ikut terkedjut, tanpa tjuriga sesuatu ia lantas mendekati dan menanja dengan kuatir: Ada apakah, Sumoay?

Dan dikala Ang-bian sedang berdjongkok hendak memeriksa keadaan Tjiong-hudjin, setjepat kilat Toan Tjing-sun kerdjakan djarinja lagi, tepat Koh-tjing-hiat Tjing Ang-bian kena ditutuknja djuga.

Dalam keadaan tertutuk kaku, Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin kena dipeluk dikedua belah tangan Toan Tjing-sun, tanpa merasa mereka sama2 melotot kepada pangeran bangor itu, dalam hati masing2 sama2 sedang berpikir: Ai, kembali aku terpedaja lagi! Kenapa aku begini semberono, dulu sudah pernah masuk perangkapnja, mengapa sekarang aku terpedaja pula?

Dalam pada itu Toan Tjing-sun telah berkata pada Ko Sing-thay: Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap engkau pulang kamarmu untuk mengaso sadja. Djian-li, kau pimpin kawan2 jang lain berdjaga disekitar sini.

Dengan hormat Ko Sing-thay dan Leng Djian-li mengia sambil membungkuk badan. Lalu Tjing-sun kempit kedua wanita itu kembali keruangan tadi dan suruh koki menjediakan daharan pula, perdjamuan segera diperbaharui lagi.

Setelah selesai menjediakan daharan dan para dajang sudah mengundurkan diri, Tjing-sun tutuk dulu Hiat-to dibagian kaki kedua tawanannja supaja mereka tidak bisa berdjalan, lalu melepaskan Hiat-to jang ditutuknja semula.

Terus sadja Tjin Ang-bian berteriak sesudah bisa bersuara: Toan Tjing-sun, sampai sekarang kau masih ingin menghina kami berdua?

Toan Tjing-sun memutar kehadapan kedua wanita itu, ia memberi hormat sambil berkata: Maafkan aku telah berbuat kasar, terimalah hormatku ini.

Siapa pingin kau memberi hormat? seru Tjin Ang-bian dengan gusar. Lekas lepaskan kami!

Kita bertiga sudah belasan tahun tidak berdjumpa, kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, djusteru banjak sekali ingin kubitjarakan pada kalian, demikian sahut Tjing-sun. Ang-bian, ternjata watakmu masih keras begini. Dan

kau, A Po, makin lama engkau makin aju, kenapa sedikitpun tidak kentara menandjak tua?

Lekas kau lepaskan aku, teriak Ang-bian dengan gusar sebelum Tjiong-hudjin berkata, Kalau A Po makin tua makin tjantik, djadi aku makin tua makin djelek bukan? Hajo lekas lepaskan aku, buat apa kau menahan seorang nenek2 djelek seperti aku?

Ang-bian, kata Tjing-sun dengan gegetun, tjobalah engkau mengatja, pabila engkau seorang nenek2 rejot dan djelek, maka sastrawan2 jang biasa melukiskan ketjaintikan wanita kudu ganti ungkapannja mendjadi sedjelek bidadari.

Karena geli, tak tertahan Tjin Ang-bian mengikik tawa, dan karena kaki takbisa bergerak, terpaksa ia menggerutu: Huh, siapa jang adjak bergujon dengan kau? Tjengar-tjengir, masakah begitulah kelakuan seerang pengeran?

Melihat sikap orang jang berr-sungut2 tapi rawain itu, hati Tjing-sun terguntjang, terkenang olehnja tjinta kasih kasih dimasa dahulu, tak tertahan lagi ia mendekati Tjin Ang-bian, ngok, ia mentjium sekali dipipi wanita itu.

Meski kakinja takbisa bergerak, tapi tubuh bagian atas Tjin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas. maka plok, kontan ia persen sekali tamparan dimuka pengeran bangor itu.

Kalau mau menghindar sebenarnja tidak susah, bagi Toan Tjing-sun, tapi ia sengadja menerima pukulan itu, bahkan ia terus berbisik ditelinga orang: Mati dibawah Siu-lo-to, biar djadi setan djuga rela!

Seketika badan Tjin Ang-bian tergetar mendengar itu, air matanja terus bcrtjutjuran, ia menangis keras2, katanja dengan parau: Kembali.................. kembali engkau mengutjapkan kata2 demikian lagi.

Kiranja dimasa dulu Tjin Ang-bian malang-melintang dikalangan Kangouw dengan sepasang sendjatanja Jang berupa golok Siu-lo-to, karena itu djuga ia mendapat djulukan dari nama sendjatanja itu. Ketika kesutjiannja dirusak oleh Toan Tjing-sun, kedjadiannja adalah mirip sepcrti tadi, jaitu di-ngok dulu dan ia menampar pipi pangeran itu, lalu ia diraju oleh bisikan kata2 Mati dibawah Siu-lo-to, djadi setan pun rela. Kalimat itu entah sudah beratus ribu kali mengiang ditelinganja selama belasan tahun ini. Kini mendadak didengarnja pula dari mulutnja Toan Tjing-sun, sungguh ia merasa sangat

bahagia dengan aneka matjam perasaan lain jang bertjampuraduk.

Sutji, orang ini paling pandai meraju, pintar bermulut manis, tapi djangan kau pertjaja lagi padanja, tiba2 Tjiong-hudjin memperingatkan sang Sutji.

Ja, henar! Aku tidak bisa pertjaja lagi pada budjukanmu! demikian kata Ang-bian jang ditudjukan kepada Toan Tjing-sun.

Tapi dengan tjengar-tjengir Toan Tjing-sun lantas mendekati Tjiong-hudjin, katanja dengan tertawa: A Po, kalau aku djuga ngok pipimu, boleh tidak?

Karuan Tjiong-hudjin kelabakan kuatir, dalam keadaan takbisa berdjalan, kalau orang benar2 berbuat seperti apa jang dikatakan, kan bisa runjam. Tjepat sadja ia berseru: Tidak, djangan kau kurangadjar! Aku adalah wanita bersuami, sekali2 aku tidak boleh menodai nama baik suamiku, asal kau berani menjentuh badanku, segera aku gigit lidahku sendiri biar mati dihadapanmu.

Melihat kata2 itu diutjapkan dengan tegas dan sungguh2, Tjing-sun tidak berani semberono djuga, tanjanja kemudian: A Po, bagaimanakah matjam suamimu itu?

Suamiku sangat djelek, tabiatnja djuga aneh, ilmu silatnja djauh dibawahmu, orangnja tidak segagah engkau pula, lebih2 tidak punja pangkat dan kedudukan seperti engkau. Namun demikian, dengan hati sutji murni ia mentjintai aku, maka akupun membalasnja dengan sama baiknja. Pabila aku berbuat sedikit menjeleweng, itu berarti aku berdosa padanja, biarlah aku dikutuk Allah, untuk se-lama2nja takbisa mendjelma kembali.

Mau-tak-mau Toan Tjing-sun menaruh hormat djuga kepada sikap tegas njonja Tjiong itu, maka ia tidak berani meng-ungkat2 peristiwa asmara dimasa dulu lagi. Katanja kemudian: Kalian telah mentjulik puteraku, sebenarnja apa maksud tudjuan kalian? A Po, Ban-djiat-kok jang kau katakan itu letaknja dimana?

Djangan katanja padanja! tiba2 seorang berkata diluar djendela dengan suara jang serak.

Karuan Toan Tjing-sun terkedjut. Ia telah perintahkan Leng Djian-li dan kawan2nja berdjaga diluar, kenapa diam2 ada orang asing telah sampai diluar

kamar situ?

Maka terdengar Tjiong-hudjin membuka suara dengan menarik muka: Lukamu belum sembuh, buat apa engkau djuga kemari?

Menjusul mana, terdengar pula suara seorang wanita sedang berkata: Silahkan masuk, Tjiong-sianseng!

Mendengar suara itu, Toan Tjing-sun terlebih kedjut hingga air mukanja merah djengah. Dan begitu kerai pintu tersingkap, terttampak masuklah seorang wanita jang bukan lain adalah Yau-toan-siantju, dibelakangnja menjusul seorang lak2 bermuka sangat djelek, betapa pandjang mukanja itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka jang istimewa dari Tjiong Ban-siu, itu Koktju atau pemilik lembah dari Ban-djiat-kok.

Tjiong-hudjin mendjadi lebih heran demi nampak sang suami jang mendadak djuga datang kesitu itu, ternjata datangnja bersama njonja Toan alias Si Pek-hong itu.

Kiranja sesudah lama Bok Wan-djing berkelana dan belum pulang, Tjin Ang-bian mendjadi kuatir, segera ia keluar mentjarinja ketempat sang Sumoay, jaitu Tjiong-hudjin dari Ban-djiat-kok, kemudian mereka berdua lantas keluar pula mentjari djedjaknja Wan-djing. Ditengah djalan mereka telah beretmu dengan Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan in Tiong-ho. Ang-bian sudah kenal hubu Yap Dji-nio, sebab diantara perguruan mereka ada sedikit hubungan, tjuma biasanja tidak pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-djing telah ikut pergi ke Tayli, segera Sam-ok itu ikut datang kesitu.

Sebaliknja Tjiong Ban-siu jang sangat mentjintai sang isteri itu, rasa tjemburunja djuga sangat besar, sedjak sang isteri pergi, ia mendjadi tak enak makan dan tidur, tanpa peduli lagi bahwa lukanja belum sembuh, serta tak peduli bahwa selama ini dirinja telah pura2 mati dan mengasingkan diri dilembah sunji itu, segera ia berangkat menjusul sang isteri. Sampai diluar istana pangeran, kebetulan ia pergoki Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan marah2, begitu kepergok, segera kedua orang lantas saling gebrak. Tengah sengit pertarungan mereka, tiba2 ada sesosok bajangan orang berbadju hitam melajang lewat disamping mereka, orang itu tampak menutupi mukanja sambil menangis, ternjata adalah Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing.

Melihat gadis itu, Tjiong Ban-siu mendjadi kuatir atas diri sang isteri, katanja segera: Paling penting aku harus mentjari isteriku dulu, aku tiada tempo buat menempur kau lagi.

Kemana engkau hendak mentjari isterimu? tanja Si Pek-hong.

Kerumah sibangsat Toan Tjing-sun, sahut Tjiong Ban-siu. Sekali isteriku ketemu Toan Tjing-sun, wah, bisa runjam!

Sebab apa bisa runjam? tanja Pek-hong pula.

Toan Tjing-sun bermulut manis, pintar membudjuk raju, adalah seorang hidung belang ahli pemikat wanita, Lotju harus membunuhnja nanti! sahut Ban-siu gemas.

Diam2 Si Pek-hong membatin, sang suami sudah berumur lebih empat puluh, djenggotnja sudah pandjang, masakah disamakan pemuda hidung belang segala? Tapi tentang sifat sang suami jang memang bangor itu, ia pertjaja pada apa jang dikatakan orang bermuka kuda itu. Segera ia tjoba menanjakan nama dan asal-usul suami-isteri Tjiong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Tjiong-hudjin adalah salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong mendjadi tjuriga, segera ia kembali keistana bersama Tjiong Ban-siu.

Meski waktu itu pendjagaan disekitar Tin-lam-onghu itu dilakukan dengan sangat keras, tapi demi nampak Onghui, para pengawal tentu tak berani merintangi. Sebab itulah Si Pek-hong dan Tjiong Ban-siu dapat mendekati ruang belakang tanpa sesuatu peringatan dari para pendjaga. Dan dengan sendirinja budjuk raju Toan Tjing-sun kepada Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin jang dilakukan dengan tjengar-tjengir, dapat didengar semua oleh kedua orang diluar djendela itu.

Karuan hampir2 meledak dada Si Pek-hong saking gusarnja oleh kelakuan sang suami itu. Sebaliknja Tjiong Ban-siu girang tidak kepalang mendengar sang isteri sedemikian teguh imannja.

Tjepat Tjiong Ban-siu berlari kesamping sang isteri dengan rasa kasih sajang tertjampur girang, ia terus mengitar kian kemari mengelilingi sang isteri sambil berkata: Biar, bila dia berani menghina engkau, aku lantas adu djiwa dengan dia!

Dan selang sedjenak, baru teringat olehnja bahwa Hiat-to sang isteri masih tertutuk, segera ia berpaling kepada Toan Tjing-sun dan berkata: Lekas, lekas lepaskan Hiat-to isteriku!

Kalian telah mentjulik puteraku, asal puteraku itu kalian bebaskan lebih dulu, dengan sendirinja aku akan melepaskan isterimu, demikian sahut Tjing-sun.

Saking gugupnja, terus sadja Tjiong Ban-siu memidjat dan menepuk dipinggang sang isteri, tapi biarpun Lwekangnja sangat tinggi, betapapun ia tak mampu memunahkan tutukan It-yang-tji dari keluarga Toan jang tiada bandingannja itu. Sebaliknja karena dipidjat dan ditepuk, Tjiong-hudjin mendjadi sakit dan geli, sedangkan Hiato-to dikaki jang tertutuk itu belum lagi terlepas, maka omelnja: Tolol, tak perlu kau bikin malu sadja!

Terpaksa Tjiong Ban-siu berhenti dengan kikuk, saking dongkolnja, terus sadja ia membentak: Toan Tjing-sun, marilah madju, biar kita bertempur 300 djurus dulu! ~ Ia gosok2 kepala lantas hendak melabrak Toan Tjing-sun.

Namun Tjiong-hudjin telah berkata: Toan-ongya, puteramu ditjulik oleh Lam-hay-gok-sin dan begundalnja, biarpun suamiku minta mereka lepaskan puteramu, belum tentu mereka mau menurut. Tapi kalau aku dan Sutji sudah pulang dan mentjari kesempatan untuk menolong, mungkin ada harapan. Paling sedikit puteramu takkan dibikin susah oleh mereka!

Tapi aku tidak bisa pertjaja, sahut Tjing-sun menggeleng kepala. Tjiong-sianseng, silahkan engkau pulang sadja, bawalah puteraku kemari untuk menukar isterimu.

Tjiong Ban-siu mendjadi gusar, teriaknja: Istanamu ini adalah tempat jang tjabul dan kotor, kalau isteriku ditinggalkan disini, wah, berbahaja!

Muka Toan Tjing-sun mendjadi merah, bentaknja: Tutup mulutmu! Kau berani mengotjeh tidak karuan lagi, djangan salahkan aku berlaku kasar.

Sedjak masuk tadi Si Pek-hong terus berdiam sadja, kini mendadak menjela: Kau ingin menahan kedua wanita disini, sebenarnja apa maksud tudjuanmu? Untuk kepentinganmu sendiri atau demi keselamatan Ki-dji?

Tjing-sun menghela napas, sahutnja: Ternjata engkau djuga tidak pertjaja padaku. ~ Mendadak ia kerdjakan djarinja menutuk pinggang Tjin Ang-bian untuk melepaskan djalan darahnja. Menjusul mana, segera hendak menutuk djuga kepinggang Tjiong-hudjin.

Tapi tjepat Tjiong Ban-siu lantas menghadang didepan sang isteri sambil gojang2 kedua tangannja kepada Toan Tjing-sun, katanja: Djangan kau main pegang2 badan wanita, orang matjam kau paling suka tjubat-tjubit, tapi tubuh isteriku tidak boleh kau menjenggolnja!

Namun isterimu tertutuk, biarpun kepandaianku tidak berarti, tapi tjara Tiam-hiat ini takbisa ditolong oleh orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki isterimu akan tjatjat, udjar Tjing-sun tersenjum dongkol.

Ban-siu mendjadi murka, damperatnja: Isteriku jang tjantik molek ini bila benar2 mendjadi tjatjat, aku pasti akan mcntjintjang djuga puteramu.

Kau ingin aku melepaskan Hiat-to isterimu, tapi melarang aku menjentuh tubuhnja pula, lantas hagaimana aku harus berbuat? udjar Tjing-sun tertawa.

Ban-siu bungkam takbisa mendjawab, se-konjong2 ia mendjadi gusar pula, bentaknja: Habis, mengapa kau menutuknja tadi? He, tjelaka! Kalau begitu, waktu kau menutuknja tadi tentu sudah menjentuh tubuhnja. Biar akupun menutuk sekali ditubuh isterimu!

Kembali kau mengatjo-belo tak karuan lagi! omel Tjiong-hudjin sambil melototi sang suami.

Habis, aku tidak mau dirugikan! sahut Ban-siu

Tengah ribut2 itu, tiba2 kerai tersingkap, dengan langkah pelahan telah masuk seorang berdjubah sutera kuning, berdjenggot tjabanq tiga, alis pandjang, mata tjeli, muka putih, itulah dia Toan Tjinq-beng, radja Po-ting-te dari negeri Tayli.

Honq-heng! segera Tjing-sun menjapa kaka baginda.

Po-ting-te mengangguk tanpa mendjawab, tiba2 dari djauh ia angkat djarinja menutuk kepinggang Tjiong-hudjin, remang2 se-akan2 ada seutas benang putih mirip asap memantjur dari udjung djarinja kesamping pinggang njonja itu. Seketika Tjiong-hudjin merasa perutnja mendjadi hangat, dua arus hawa panas

terus mengalir ke kaki, tjepat darahnja berdjalan dgn lantar dan bisa berdiri denqan leluasa.

Melihat radja Tayli itu mengundjukan.kepandaian sakti Keh-kong-kay-hiat atau membuka djalan darah dari tempat djauh, saking kagum dan kagetnja sampai Tjiong Ban-siu ternganga mulutnja takbisa bitjara, sungguh tak tersangka olehnja didunia ini ternjata ada orang memiliki kepandaian sedemikian hebatnja

Hong-heng, kata Tjing-sun kemudian, Ki-dji telah digondol lari oleh mereka!

Po-ting-te mengangguk, sahutnja: Ja, Sian-tan-hou sudah katakan padaku. Sun-te, kalau keturunan keluarga Toan kita ada jang djatuh ditangan musuh, tentu orang tua atau pamannja jang harus pergi menolongnja, kita djangan menahan orang lain sebagai djaminan.

Muka Toan Tjing-sun mendjadi merah, sahutnja membenarkan utjapan kaka-baginda-nja itu.

Utjapan Po-ting-te itu sangat gagah penuh harga diri, jaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik pangerannja itu menahan musuh sebagai djaminan keselamatan puteranja. Dan sesudah merandek sedjenak, kemudian katanja pula: Sekarang silahkan kalian pergi sadja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu ada orang akan mengundjungi Ban-djiat-kok.

Tapi tempat Ban-djiat-kok kami itu sangat dirahasiakan, kalian belum tentu mampu menemukannja, untuk mana perlukan kiranja aku memberitahukan tempatnja? tanja Tjiong Ban-siu. Dalam hati ia berharap Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnja itu, tetapi kalau lawan menanja, ia djusteru tidak mau mengatakan.

Tak tersangka Po-ting-te tidak gubris pada pertanjaannja itu, sekali mengebas lengan badju, katanja pula: Hantarkan tamu keluar!

Tjiong Ban-siu sendiri berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat atau melihat orang lantas membunuh, suatu tanda sifatnja jang kedjam tak kenal ampun, dengan sendirinja wataknja sangat keras, terutama diwaktu sebelum dia mengasingkan diri, namanja sangat ditakuti oleh orang2 Kangouw umumnja, asal mendengar kedatangannja, setiap orang tentu kebat-kebit kuatir dibunuh olehnja. Sebab itulah, maka Sikong Hian, itu ketua dari Sin-long-pang mendjadi sangat ketakutan djuga ketika mengetahui bahwa Tjiong Ling adalah puterinja Tjiong

Ban-siu. Tapi berdiri dihadapan Po-ting-te jang berwibawa itu, aneh djuga, gembong iblis jang tak kenal apa artinja takut itu mendjadi djeri dengan sendirinja dan bingung. Begitu mendengar Po-ting-te menjatakan hantar tetamu pergi, segera ia berseru: Baik, marilah kita pergi! Hm, Lotju selamanja paling bentji pada orang she Toan, tiada seorang she Toan pun didunia ini adalah manusia baik2! ~ Habis bitjara, ia gandeng tangan sang isteri terus melangkah keluar dengan masih marah2.

Tjitji, marilah kita pergi! demikian Tjiong-hudjin mendjawil djuga lengan badjunja Tjin Ang-bian.

Sekilas Tjin Ang-bian memandang kepada Toan Tjing-sun, ia lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam, hatinja mendjadi pedih, kembali matanja memberambang, dengan rasa gemas ia melotot sekali kearah Si Pek-hong, lalu ikut pergi dengan menunduk kepala.

Begitu keluar ruangan, segera ketiga orang itu melompat keatas wuwungan rumah.

Diatas udjung emperan situ sudah berdiri Ko Sing-thay, ia membungkukkan tubuh sambil berkata: Selamat djalan!

Tjis! Tjiong Ban-siu meludah dengan sengit. Huh, pura2 berlagak, tiada seorang pun manusia baik2!

Dengan tjepat mereka terus melompat pergi melintasi rumah2 disekitar situ. Ketika kompleks istana pangeran itu sudah hampir habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar sadja, segera Tjiong Ban-siu endjot tubuh sekuatnja, kaki kiri terus hendak berpidjak diatas pagar tembok kurung istana pangeran itu. Tak tersangka, mendadak didepannja sudah bertambah seorang jang persis berdiri diatas pagar tembok tempat jang akan dipidjaknja itu. Orang itu berdjubah longgar, ikat pinggangnja kendor, siapa lagi dia kalau bukan Ko Sing-thay jang mengutjapkan selamat djalan padanja tadi.

Sudah terang Ko Sing-thay tadi berdiri diemperan istana sana, entah darimana, tahu2 sudah mendahului berada dihadapannja Tjiong Ban-siu, bahkan begitu tepat perhitungannja bahwa tempat itulah jang akan dipidjak oleh kaki, maka ia telah mendahului, menghadang disitu.

Dalam keadaan tubuhnja sudah terapung diudara, untuk mundur lagi terang tidak mungkin, membiluk kedjurusan lain djuga takbisa, karuan Tjiong Ban-siu

kelabakan, terpaksa ia sodokan kedua tangannja kedepan sambil membentak: Minggir!

Dengan tenaga sodokan kedua tangannja jang bisa menemukan batu itu, Ban-siu mentaksir apabila lawan menangkis, tentu akan dapat bikin lawan itu terpental kebawah. Andaikata tenaga lawan sama kuatnja dengan dirinja, paling sedikit djuga dapat memindjam tenaga aduan itu untuk menggeser keatas pagar tembok disampingnja.

Sungguh tak tersangka, ketika kedua tangannja itu tampaknja sudah hampir kena menjodok didada orang, se-konjong2 Ko Sing-thay dojongkan tubuhnja kebelakang, dengan separoh tubuhnja terapung. Ko Sing-thay telah gunakan gerakan Tiat-pan-hio atau djembatan papan badja, hanja kedua kakinja jang masih menantjap diatas tembok. Dan karena tubuh mendojong lurus kebelakang itulah, ia dapat menghindarkan tenaga sodokan Tjiong Ban-siu jang hebat itu.

Sekali menjerang tidak kena, diam2 Tjiong Ban-siu mengeluh bisa tjelaka. Sementara itu tubuhnja sudah melajang lewat diatas tubuh Ko Sing-thay jang mendojong lurus kebelakang itu. Dalam keadaan begitu, Tjiong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila diserang oleh Ko Sing-thay. Untung baginja sama sekali Ko Sing-thay tidak melontarkan serangan hingga dengan selamat Tjiong Ban-siu dapat menantjapkan kakinja ditanah. Menjusul mana Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin djuga sudah melompat keluar.

Sementara itu Ko Sing-thay sudah berdiri tegak lagi diatas pagar tembok dengan gagah, katanja: Maafkan tidak menghantar lebih djauh!

Ban-siu mendjengek sekali, tapi mendadak terasa tjelananja melorot kebawah, hampir ia kedodoran tjelana didepan umum, untung tjepat ia sempat menariknja keatas lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa tali kolornja telah putus, rupanja tadi waktu melajang lewat diatas tubuh Ko Sing-thay, tali kolor tjelananja telah kena diputuskan orang. Tjoba bajangkan, pabila bukan Ko Sing-thay sengadja berbuat murah hati, sekali tutuk dibagian Hiat-to penting, mungkin djiwanja sudah melajang sedjak tadi.

Mengingat itu, Tjiong Ban-siu tidak berani lama2 lagi tinggal disitu, tjepat ia adjak sang isteri dan Tjin Ang-bian meninggalkan Tayli.......

* * *

Kembali bertjerita tentang Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing.

Ketika berlari keluar dari istana Tin-lam-ong sambil menutup mukanja, meski kepergok dan ditegur oleh Si Pek-hong dan Tjiong Ban-siu, namun dia tidak ambil peduli dan berlari terus kedepan tanpa tudjuan.

Ia berlari serabutan dilereng gunung dan hutan belukar, sampai fadjar sudah menjingsing, baru ia merasakan kedua kakinja linu pegal, ia berhenti sambil bersandar pada satu pohon besar, mulutnja komat-kamit sendiri: Lebih baik aku mati sadja, lebih baik aku mati sadja!

Meski hatinja penuh rasa bentji dan sesal, tapi ia tidak tahu siapa jang harus dibentjinja.

Toan-long tidak mengingkari diriku, soalnja karena sudah takdir ilahi, ia djusteru adalah saudaraku sendiri dari satu ajah. Sedang guruku sendirinja ternjata adalah ibu kandungku. Selama belasan tahun ini dengan susah pajah ibu telah membesarkan aku, budi sebesar gunung itu mana dapat aku menjalahkan dia? Adapun Tin-lam-ong Toan Tjing-sun itu adalah ajahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan mustahil didalam persoalannja ada banjak kesulitan2 jang susah dikatakan. Dia sangat ramah-tamah dan kasing-sajang padaku, katanja kalau aku mempunjai sesuatu tjita2, beliau pasti akan berusaha sebisanja untuk memenuhi harapanku. Tetapi persoalanku ini djusteru beliau tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnja ibu takbisa menikah dengan ajah, mungkin disebabkan adanja rintangan Si Pek-hong, makanja ibu menjuruh aku membunuhnja. Tapi diukur dari hati nurani, pabila aku menikah dengan Toan-long, rasanja sekali2 akupun tak mengidjinkan dia menjukai wanita lain lagi, apalagi Si Pek-hong sudah tirakat mendjadi paderi, dapat diduga tentu ajah djuga berbuat salah padanja hingga melukai hatinja. Aku telah panah dia dua kali, tapi putera satu2-nja jang terkena, sebaliknja dia tidak dendam padaku, tampaknja dia toh bukan seorang wanita jang kedjam dan galak...

Begitulah makin dipikir, hati Bok Wan-djing makin berduka. Katanja seorang diri: Sedjak kini aku akan melupakan Toan Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!

Namun omong memang gampang, untuk melupakan begitu sadja masakah begitu mudah? Biarpun sedetikpun bajangan Toan Ki jang tampan ganteng itu selalu timbul dalam benaknja.

Kemudian dia tjoba menghibur diri sendiri: Biarlah untuk selandjutnja kau anggap dia sebagai kakakku. Asalnja aku adalah anak jatim piatu, kini ajah sudah punja, ibu pun sudah ada, malah bertambah pula seorang saudara tua, kurang apa lagi? Bukankah aku sebenarnja harus bergirang, sungguh tolol aku ini!

Akan tetapi, seorang kalau sudah terlibat dalam djaring2 asmara, makin meronta makin ruwet dan susah melepaskan diri. Kalau dia sudah sabar menanti selama tudjuh-hari-tudjuh-malam diatas puntjak Bu-liang-san, njata akar tjintanja sudah bersemi setjara mendalam dan susah untuk dihapus lagi.

Ia dengar suara gemuruhnja ombak jang men-debur2 semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul djuga maksudnja membunuh diri. Ia mendekati kearah suara ombak itu, setelah melintasi sebuah bukit, achirnja tertampak ombak sungai Landjong menjusur tjepat dibawah karang situ. Ia menghela napas dan berkata seorang diri: Ai, pabila aku mentjeburkan diri kedalam sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi.

Pelahan2 ia menjusuri tepi sungai. Sang surja jang baru menjingsing itu mulai memantjarkan tjahajanja jang gemerlapan menjilaukan mata. Ia ter-mangu2 berdiri diatas batu karang ditepi sungai dengan perasaan bergolak sehebat ombak sungai jang mendebur.

Se-konjong2 sekilas dilihatnja diatas sebuah batu karang sebelah sana berduduk seorang. Tjuma orang itu sedjak tadi tak bergerak sama sekali, badjunja berwarna hidjau mirip warnja batu karang jang berlumut, maka tak diketahui olehnja sedjak tadi.

Waktu Wan-djing memandang lagi lebih djelas orang itu, ia mendjadi terkedjut: Tentu ini adalah orang sudah mati.

Sudah banjak manusia jang dia bunuh, dengan sendirinja Bok Wan-djing tidak takut pada orang mati. Karena tertarik, segera ia mendekatinja. Ia lihat orang berbadju hidjau itu adalah seorang kakek, djenggotnja pandjang sampai didada dan hitam gilap, matanja terpentang lebar2 sedang menatap kepusat sungai tanpa berkedip sekedjappun.

Kiranja bukan orang mati! udjar Wan-djing sendiri.

Tapi ketika ditegasi pula, ia lihat tubuh orang itu sedikitpun tidak bergerak, bahkan kelopak matanja djuga tidak berkitjup sama sekali, terang bukan pula orang hidup. Maka katanja pula: Ah, kiranja orang mati!

Tapi sesudah di-amat2-i sebentar lagi, ia merasa kedua mata orang mati itu

bersemangat, wadjahnja bertjahaja darah pula. Ia tjoba memeriksa pernapasan hidup orang, terasa napasnja se-akan2 ada dan seperti tak ada pula, waktu meraba pipinja, tiba2 terasa dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannja terus sadja Wan-djing meraba dada orang, kini terasa djantung orang berkedat-kedut, seperti berdenjut, seperti djuga berhenti.

Karuan Wan-djing bertambah heran, katanja seorang diri: Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang mati, toh seperti orang hidup; bilang dia orang hidup, mirip orang mati pula.

Aku adalah orang-hidup-mati! tiba2 terdengar sesuatu suara orang berkata.

Wan-djing mendjadi kaget, tjepat ia menoleh, tapi tiada bajangan seorangpun jang dilihatnja. Disekitar itu adalah batu karang tandus jang tak dapat dibuat sembunji orang. Sebaliknja sedjak tadi dia berhadapan lurus dengan orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnja bergerak ketika mendengar suara perkataan tadi.

Dengan penasaran segera Bok Wan-djing berseru: Siapa berani menggoda nonamu? Apa barangkali kau sudah bosan hidup? ~ Sembari berkata, ia terus putar tubuh membelakangi sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnja dengan djelas.

Tapi lantas terdengar suara tadi sedang berkata pula: Ja, aku memang sudah bosan hidup, terlalu bosan hidup!

Kedjut Wan-djing sungguh tak terkatakan, sudah terang, ketjuali orang aneh jang berada dihadapannja ini, dapat dipastikan tiada seorang lain lagi. Namun terang gamblang kelihatan bibir orang aneh ini sedikitpun tidak bergerak, mengapa bisa bitjara?

Segera Wan-djing membentak lagi: Siapa jang sedang bitjara?

Kau sendiri sedang bitjara? sahut suara itu.

Dan siapa jang bitjara dengan aku? seru Wan-djing.

Tidak ada orang bitjara dengan kau! sahut suara itu pula.

Dengan tjepat Wan-djing putar tubuhnja tiga kali, tapi selain bajangannja sendiri, tiada sesuatu tanda2 aneh jang kelihatan.

Ia jakin pasti Djing-hau-khek atau orang berbadju hidjau di depannja ini jang sedang main gila padanja, dengan tabahkan hati segera ia mendekati lebih rapat, ia tjoba tekap bibir orang, lalu menanja pula: Apakah engkau jang sedang bitjara padaku?

Bukan! kembali suara itu mendjawab.

Sedikitpun tangan Wan-djing tidak merasakan suatu getaran suara, maka tanjanja lagi: Sudah djelas ada orang sedang bitjara padaku, kenapa bilang tidak ada?

Aku bukan orang, akupun bukan aku, didunia ini tiada seorang aku lagi! demikian sahut suara itu.

Seketika Bok Wan-djing mengkirik, pikirnja: Djangan2 ada setan? ~ Segera ia menanja lagi: Apakah engkau... engkau adalah setan?

Kau sendiri tadi bilang tidak ingin hidup lagi, tentu kau akan mendjadi setan djuga, tapi mengapa kau begini ketakutan pada setan? sahut suara itu.

Siapa bilang aku takut pada setan? Aku tidak takut pada langit djuga tidak gentar pada bumi! seru Wan-djing dengan berani.

Djika begitu, ada sesuatu jang kau takutkan, kata suara itu.

Hm, tidak, segala apapun aku tidak takut! sahut Wan-djing tegas.

Takut, kau pasti takut! Jang kau takutkan jalah seorang tjalon suami mendadak telah berubah mendjadi saudara sendiri!

Kepala Bok Wan-djing seperti dikemplang oleh utjapan itu, dengan lemas ia duduk mendoprok ketanah. Ia ter-mangu2 sedjenak, lalu katanja dengan komat-kamit: Engkau adalah setan, engkau adalah setan!

Djangan kuatir, aku bisa menolong kau, demikian kata suara tadi. Aku bisa mendjadikan Toan Ki bukan kakamu, dapat pula mendjadikannja suamimu jang tertjinta.

Tidak, kau ... kau menipu aku, kata Wan-djing dengan suara gemetar. Nasibku ini sudah ditakdirkan ilahi, takbisa ... takbisa diubah lagi.

Peduli apa dengan takdir ilahi segala, udjar suara itu. Aku mempunjai djalan untuk mengubah kakamu mendjadi suamimu, kau mau tidak?

Dalam keadaan putus asa dan hilang harapan, utjapan itu benar2 merupakan suara bahagia baginja jang turund ari langit, meski ragu2 djuga, tjepat Wan-djing mendjawab: Ja, mau, aku mau!

Sesudah aku selesai membantu kau, dengan apa kau akan berterima kasih padaku?

Apa jang kumiliki? Aku tak punya apa-apa! sahut Wan-djing dengan pilu.

Kini kau tak punja, tapi kelak mungkin akan punja.

Baiklah, apa jang kau inginkan, aku lantas berikan padamu.

Tapi sampai saatnja nanti, djangan2 kau akan ingkar djandji. udjar suara itu.

Aku pasti akan pegang djandji! seru Wan-djing. Dalam hati ia berpikir: Di dunia ini ada benda apakah jang bisa melebihi Toan-long jang akan mendjadi suamiku? Seumpama aku mendjadi radja, rela djuga aku berikan tachtaku kepada orang aneh ini.

Namun suara itu telah berkata pula: Utjapan kaum wanita susah dipertjaja.

Pabila kelak kau tidak mau berikan padaku, lantas bagaimana?

Kepandaianmu begini sakti, bolehlah kau membunuh aku! udjar Wan-djing.

Tidak, aku takkan membunuh kau. Kalau kau tidak pegang djandjimu, suamimu jang akan kubunuh. kata suara itu.

Diam-diam Wan-djing berpikir: Ketjuali Toan-long, aku pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long bisa diubah bukan lagi kakakku tapi mendjadi suamiku, maka segala apa aku tidak pingin lagi, tidak mungkin aku merasa berat memberi apapun kepada setan hantu ini. ~ Maka segera didjawabnya: Baiklah, aku terima sjaratmu.

Dan sampai waktunja nanti, djangan lagi kau meminta-minta padaku dengan menangis. Selamanja aku paling bentji kalau ditangisi wanita. kata suara itu.

Aku pasti takkan memohon padamu, sahut Wan-djing. Eh, siapakah engkau sebenarnja? Dapatkah engkau undjukkan mukamu padaku?

Sudah sekian lamanja kau melihat aku, masakah masih belum tjukup? kata suara itu pula. Sedjak mula sampai sekarang nada suara itu selalu sama sadja, tidak keras tidak rendah, tanpa irama pula.

Djadi engkau adalah...... adalah engkau ini? tanja Wan-djing kaget.

Entahlah, akupun tidak tahu apakah aku adalah aku, Ai! demikian suara itu. Helaan napas paling achir itu telah menandakan rasa sesal dan masgul dalam hatinja jang tak terkatakan.

Karuan Bok Wan-djing bertambah sangsi, tapi kini ia sudah jakin benar-benar bahwa suara itu memang keluar dari kakek berbadju hidjau di depannja ini. Segera ia tanja pula: Engkau tidak buka mulut, mengapa bisa bitjara?

Aku adalah orang-hidup-mati, bibir tak bisa bergerak, tapi bersuara dari dalam perut. sahut suara itu.

Dasar sifat kanak-kanak Bok Wan-djing belum hilang sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa, adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu bitjara tanpa buka mulut dan gerakkan bibirnja, ia mendjadi sangat ketarik, segera tanjanja pula: Engkau bitjara dengan perut? Sunggub aneh!

Kau tidak pertjaja? sahut Djing-bau-khek itu. Tjobalah kau pegang perutku, tentu kau akan pertjaja nanti.

Tanpa pikir Wan-djing terus ulur tangan untuk meraba perut orang.

Kau merasakan getaran perutku atau tidak? tanja Djing-bau-khek.

Benar djuga Wan-djing merasa perut orang naik turun dengan pelahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia mendjadi geli: Haha, sungguh aneh!

Kiranja apa jang dilatih Djing-bau-khek atau orang berbadju hidjau itu adalah sematjam Hok-ghi-sut atau ilmu bitjara dengan perut *)

Ilmu bitjara dengan perut itu pada djaman sekarang masih banjak jang mahir, jaitu terutama dalang boneka bitjara. Tjuma untuk bitjara dengan tegas dan djelas scperti Djing-bau-khek ini tentunja tidak mudah, sebab diperlukan Lwekang jang tinggi.

Dengan keheran-heranan, Bok Wan-djing masih mengitar beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian tanjanja pula: Mulutmu tak bisa bergerak, lalu tjara bagaimana engkau makan?

Begini! sahut orang itu sambil angkat kedua tangannja, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah hingga mulutnja ternganga, lalu ambil sebutir makanan terus didjedjalkan ke dalam mulut, kerujuk , makanan itu ditelan sekaligus.

O, kasihan!' udjar Wan-djing melihat tjara makan orang, Bukankah tiada rasa apa-apa?

Dan baru sekarang ia mengetahui kulit daging muka orang kaku membeku, kelopak matanja tak bisa terkatup, dengan sendirinja tiada sesuatu tanda perasaan

pada mukanja itu, dari itulah maka mula-mula Bok Wan-djing menjangkanja orang mati.

Pikirnja orang aneh ini sendiri tak bisa menghilangkan kesulitan sendiri jang luar biasa, mana mampu berbuat durhaka mengubah kakak sendiri mendjadi suami baginya? Agaknja apa jang dikatakannja tadi hanja bualan belaka.

Setelah memikir sedjenak, lalu Wan.djing berkata: Aku akan pergi sadja!

Kemana? tanja si djubah hidjau

Entah, aku sendiri tidak tahu! sahut si gadis.

Aku akan membikin Toan Ki mendjadi suamimu, kau djangan meninggalkan aku, udjar orang itu.

Wan-djing tersenjum tawar sambil berdjalan beberapa tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan menanja pula sambil memutar tubuh: Selamanja kita tidak kenal, darimana engkau mengetahui? Engkau......engkau kenal Toan-long?

Sudah tentu aku mengetahui kandungan hatimu. sahut orang itu. Tiba-tiba katanja pula: Kembalilah! ~ berbareng tangan kirinja diulur dan menarik dari djauh.

Aneh djuga, tiba-tiba Buk Wan-djing merasa tenaga maha kuat jang tak bisa ditahan, tanpa kuasa tubuhnja diseret mentah-mentah oleh tenaga tak kelihatan itu dengan sempojongan dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Djing-bau-khek itu.

Kedjadian itu benar-benar sangat mengedjutkan Bok Wan-djing, katanja dengan suara gemetar : Apakah........apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-tjiong-ho-kang?

Ehm, luas djuga pengetahuanmu. Udjar Djing-bau-khek, Tapi ini bukan Kim-liong-tjiong-ho-kang (ilmu menangkap naga dan menawan bangau), hanja kasiatnja sama, tjara melatihnja juga berbeda.

Habis apa namanja? tanja Wan-djing pula.

Namanja Kui-gi-lay-hi sahut Djing-bau-khek.

Kui-gi-lay-hi (kalau sudah pergi, pulanglah)! Ha, nama ini djauh lebih bagus daripada Kim-liong-tjiong-ho-kang, pabila Toan-long mendengar nama demikian, tentu dia....dia...... teringat pada Toan Ki, kembali Wan-djing berduka pula.

Marilah berangkat! kata Djing-bau-khek tiba-tiba sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari badjunja. Sekali tongkat bambu kiri itu menutul, tubuhnya terus melajang ke depan dan dengan enteng sudah melangkah setombak djauhnya.

Melihat tubuh orang ketika terapung di udara, kedua kakinja tetap menekuk seperti waktu duduk bersila, Wan-djing mendjadi heran, tanjanja: He, kedua kakimu....

Ja, sudah lama kedua kakiku buntung, sahut Djing-bau-khek. Sudahlah, mulai saat ini urusanku dilarang kau bertanja lagi.

Kalua aku tanja lagi? baru kalimat ini diutjapkan Bok Wan-djing, sekonjong-konjong kedua kakinja terasa lemas, tubuhnja terbanting roboh.

Kiranja dengan ketjepatan luar biasa si djubah hidjau sudah melesat ke tempatnja, tongkat bambu sebelah kanan beruntun menutuk dua kali di balik lutut, menjusul mengetoknja sekali lagi, karuan Bok Wan-djing kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinja, saking tak tahan sampai ia mendjerit. Menjusul mana Djing-bau-khek menutuk lagi dua kali untuk membuka Hiat-to si gadis.

Dengan tjepat Wan-djing melompat bangun, damperatnja dengan gusar: Mengapa engkau begini kurangadjar? ~ berbareng panah di dalam lengan badju sudah lantas siap untuk dibidikkan.

Djangan kau tjoba-tjoba main kaju dengan aku, ja! demikian kata

Djing-bau-khek. Berani kau memanah aku sekali, segera aku hadjar bokongmu satu kali, kau memanah sepuluh kali, akupun gablok sepuluh kali bokongmu. Kalau tidak pertjaja, boleh tjoba-tjoba kau lakukan!

Wan-djing mendjadi r,agu-ragu, pikirnja: Djika sekali aku dapat memanah kau, seketika djiwamu lantas melajang, mana dapat kau membalas hadjar diriku? Tapi ilmu orang ini sangat sakti, tampaknja ilmu silatnja djauh lebih tinggi darpada Lam-hay-gok-sin, rasanja susah kalau hendak memanahnjn. Orang aneh ini berani bitjara berani berbuat, kalau benar-benar bokongku digablok olehnja, kan tjialat!

Nah, djika kau tidak berani memanah aku, kau harus menurut perintahku dengan baik, djangan membangkang! demikian kata orang itu pula.

Hm, aku djusteru tidak mau menurut perintahmu! sahut Wan-djing. Walaupun begitu katanja, namun panah jang sudah disiapkan tadi disimpan djuga kembali.

Segera Djing-bau-khek gunakan kedua tongkatnja sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan tjepat. Bok Wan-djinq mengikutinja dari belakang. Ia lihat kedua tongkat bambu orang sangat ketjil tapi keras seperti badja, biar menjangga di ketiaknja, namun sedikitpun tidak bengkong. Tongkat bambu itu pandjangnja lebih satu setengah meter, sekali melangkah, djauhnja melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok Wan-djing harus kerahkan Ginkang sekuatnja barulah sekedar dapat menjusulnja.

Tangkas sekali tjara berdjalan Djing-bau-khek ini, biar mendaki gunung atau melintasi bukit, djalannja seperti di tanah lapang sadja tjepatnja. Bahkan jang dia pilih bukan lagi djalan besar jang rata tapi adalah hutan belukar atau djalan pegunungan jang berserakan dengan batu-batu karang, karuan jang tjialat adalah Bok Wan-djing, ia mendjadi megap-megap dan badjunja sobel oleh duri belukar. Namun dasar wataknja memang keras, biarpun menderita, sedikitpun ia tidak mau undjuk kelemahan.

Setelah melintasi beberapa lereng bukit kemudian tertampak dari djauh banjak sekali kuburan2, diam2 Wan-djing heran: Kenapa mendatangi Ban-djiat-kok ini?

Benar djuga Djing-bau-khek itu terus menudju ke kuburan jang batu nisannja tertulis: Kuburan Ban Siu Toan, segera tongkatnja menghantam batu nisan tepat di atas huruf Toan.

Sudah beberapa kali Bok Wan-djinq mendatangi Ban-djiat-kok, tiap-tiap kali

ia gunakan rahasia tjara memasuki gerbang lembah el maut itu, jaitu mendepak beberapa kali di atas huruf Toan dari batu nisan itu. Tapi kini demi melihat huruf itu lagi, tiba2 timbul sematjam perasaan aneh jang dahulu tidak pernah ada.

Untuk apa kita datang ke Ban-djiat-kok ini? demikian ia tjoba menanja.

Tapi mendadak Djing-bau-khek itu membalik tubuh, tongkatnja terus mengetok sekali ke paha kanannja sambil membentak: Kau berani tjeriwis lagi tidak?

Kalau turuti watak Bok Wan-djing jang berangasan itu, betapa pun dia tidak sudi dihina setjara demikian, biarpun dia tahu tak kan mampu melawan orang. Tapi kini lapat2 terasa olehnja bahwa Djing-bau-khek ini tentu memiliki kepandaian di atas orang lain, bukan mustahil akan dapat mcmbantu melaksanakan tjita-tjitanja, jaitu bersuamikan Toan Ki. Maka terpaksa omelnja: Hm, djangan kau sangka nona takut padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu.

Hajo djalan! seru Djing-bau-khek pula.

Segera Bok Wan-djing mendahului masuk ke liang kubur dan disusul oleh Djing-bau-khek, mereka telah masuk ke Ban-djiat-kok tempat tinggal Tjiog Ban-siu.

Terhadap keadaan di dalam lembah itu, agaknja Djing-bau-khek itu sudah apal. Beberapa kali Bok Wan-djing ingin menanja, tapi kuatir digebuk pula oleh tongkat orang, maka urung buka mulut.

Orang aneh itu membawanja mengitar kesana dan membiluk kesini terus menudju ke belakang lembah.

Bok Wan-djing pernah djuga tinggal beberapa hari di lembah Ban-djiat-kok ini, jaitu ketika ia mengundjungi bibi-gurunja, Tjiong hudjin. Tjuma sifat mereka berdua berbeda djauh, pada hari pertama djuga mereka sudah lantas tjektjok mulut. Tapi kini tempat2 jang didatanginja bersama Djing-bau-khek ini ternjata sebelumnja tidak pernah dikundjunginja. Sungguh tak tersangka olehnja bahwa di tengah lembah sunji itu masih ada tempat-tempat jang lebih terpentjil.

Setelah beberapa li lagi, mereka telah masuk ke sebuah rimba raja jang pohon-pohonnja tinggi besar mendjulang ke langit, biarpun waktu itu di siang hari, namun sinar sang surja ternjata tak bisa menembus ke dalam rimba jang rindang itu. Makin dalam masuk ke tengah rimba itu, makin gelap dan rindang suasananja. Makin djauh ,tumbuh-tumbuhan di situpun semakin rapat hingga sampai achirnja, untuk lewat diperlukan miringkan tubuh.

Setelah beberapa puluh meter lagi djauhnja, tertampaklah di depan tumbuh barisan-barisan pohon tua jang tinggi merapat hingga mirip pagar jang kukuh, untuk masuk ke dalam sana terang sangat sulit.

Mendadak Djing-bau-khek tantjapkan tongkatnja ke tanah untuk menjangga bahunja, lalu kedua tangannja mendjodjok ke batang dua pohon terus dipentang ke samping sekuatnja. Sungguh sangat mengagumkan, kedua pohon besar itu pelahan-lahan lantas terpentang lebar ke samping hingga tjukup untuk menjelinap tubuh manusia.

Lekas masuk kesana! bentak orang aneh itu.

Tanpa pikir lagi Bok Wan-djing terus menjusup ke balik pagar pohon itu.

Waktu diperhatikan, ternjata di situ terdapat pula suatu tanah kosong jang luas, di tengah tanah lapang itu terdapat sebuah rumah batu jang dibangun dengan bentuk sangat aneh jaitu terdiri dari sambungan dan tumpukan batu-batui besar hingga mirip piramid. Rumah batu itu hanja terdapat sebuah pintu jang lebih mirip gua besarnja.

Nah, masuk ke sana! kata Djing-bau-khek pula.

Wan-djing tjoba memandang ke dalam rumuh batu itu, ia lihat keadaan di dalamnja gelap gulita, entah tersembunji machluk aneh atau tidak, dengan sendirinja ia tidak berani memasuki begitu sadja.

Sedang Wan-djing sangsi2, sekonjong-konjong punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan, tjepat ia bermaksud mengelakkan diri, namun sudah tcrlambat, tenaga dorongan Djing-bau-khek itu sudah dikerahkan. Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-djing mentjelat ke depan seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.

Walaupun badan terapung, namun Bok Wan-djing segera melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia gunakan gaja Hiau-hong-but-liu atau angin pagi menghembus pohon, tangan lain dipakai melindungi muka sendiri. Ia kuatir kalau dalam keadaan gelap djangan-djangan lantas diserang oleh sesuatu machluk aneh. Dalam pada itu, segera terdengar pula suara gemuruh jang keras, pintu rumah telah ditutup orang dengan benda antap.

Karuan Wan-djing terkedjut, tjepat ia bcrlari ke arah pintu buat mendorong, tapi dimana tangannja memegang, rasanja kasap dan keras sekali. Ternjata tutup pintu itu adalah sepotong batu karang raksasa. Sekuatnja ia tjoba hendak membukanja, namun sedikitpun batu itu tidak bergeming, bahkan gojangpun tidak. Dalam kuatirnja, ia terus berteriak-teriak: Hai, hai! Mengapa engkau mengurung aku di sini?

Maka terdengar suara Djing-bau-khek mendjawab: Apa jang kau pernah mohon padaku mengapa telah kau lupakan sendiri?

Suara orang itu menjusup masuk dari lubang batu tadi, tapi kedengaran tjukup djelas.

Wan-djing tenangkan diri sedjenak, ia lihat lubang jang ditutup dengan batu karang itu sekitarnja masih banjak tjelah2, tjuma untuk diterobos dengan tubuh manusia terang tidak bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak lagi: Lepaskan aku, lepaskan aku keluar!

Tapi jang terdengar hanja suara keresakan dahan pohon di luar, agaknja Djing-bau-khek itu sudah pergi melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, jang dilihat Wan-djing hanja rontokan daun pohon jang berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi jang kelihatan.

Ketika ia memutar tubuh ke dalam dan tjoba menegaskan keadaan rumah batu itu, ia lihat di podjok sana ada sebuah dipan, di atas dipan berduduk satu orang. Karuan ia kaget, tanjanja terputus-putus: Sia..........siapa kau?

Djing-moay, kiranja kau telah masuk ke sini djuga! demikian sahut orang itu. Suaranja penuh rasa girang tertjampur heran. Kiranja Toan Ki adanja.

Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba Wan-djing ketemu Toan Ki lagi, saking girangnja hampir2 djantungnja melontjat keluar dari rongga dadanja. Tjepat ia menubruk ke pangkuan pemuda itu.

Remang2 melihat muka si gadis putjat lesi, kasih sajang Toan Ki sungguh tak terkatakan. ia peluk si gadis kentjang2, melihat bibir si gadis jang merah mungil itu, tak tertahan lagi terus diketjupnja.

Tapi demi bibir sudah menempel bibir, segera kedua muda-mudi itu teringat: Hal kita adalah kakak dan adik, mana boleh berbuat jang tidak senonoh?

Tjepat kedua orang melepaskan tangan masing2 dan sama2 menjingkir mundur. Kedua orang berdiri bersandar pada dinding batu dan saling pandang dengan terkesima.

Bok Wan-djing jang lebih dulu menangis. Namun Toan Ki lantas menghiburnja: Djing-moay, rupanja nasib kita sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau djangan sedih. Mempunjai seorang adik perempuan seperti engkau, aku merasa sangat senang.

Aku djusteru tidak senang, aku merasa sedih, demikian seru Wan-djing sambil banting2 kaki sendiri. Djadi kau merasa senang? Itu berarti kau tidak punja Liangsim (perasaan).

Apa mau dikata lagi, kenjataan memang begini, udjar Toan Ki menghela napas. Tjoba kalau dulu aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan mendjadi lain.

Toh bukan aku jang ingin bertemu dengan kau, sahut Wan-djing. Habis, siapa suruh kau mentjari padaku, dan kalau kau tidak kembali hendak memberi kabar padaku, belum tentu aku bisa kenal engkau. Ja, semuanja adalah salahmu, kau mengakibatkan kematian mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah mendjadi ibuki, bikin ajahmu ikut mendjadi ajahku. Tapi aku tidak mau, semuanja, aku tidak mau, kau membikin susah aku pula hingga dikurung di sini, aku ingin keluar, aku ingin keluar!

Ja, dah, Djing-moay, memang semuanja salahku, sahut Toan Ki, Djanganlah engkau marah, marilah kita mentjari djalan untuk lari keluar dari sini.

Tidak, aku tidak mau keluar, biarlah mati disini atau mati diluar sana, sama sadja bagiku. Aku tidak mau keluar! demikian Wan-djing berteriak-teriak.

Sungguh lutju djuga, semula minta keluar dari situ, tapi sebentar lagi bilang tidak mau. Tapi Toan Ki tahu perasaan si gadis terlalu terguntjang, seketika djuga susah diberi mengerti. Maka, ia tidak bitjara lagi.

Dan seteleh muring2 sedjenak, melihat Toan Ki diam sadja, Wan-djing lantas tanja: Kenapa kau tidak bitjara?

Habis, apa jang harus kukatakan? sahut Toan Ki.

Tjoba terangkan, untuk apa kau berada di sini? tanja Wan-djing.

Aku ditawan muridku ke sini.........

Muridmu? Wan-djing memotong dengan heran. Tapi segera teringat olehnja, ia tertawa dan berkata: Ja, benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia jang menawan dan mengurung engkau disini?

Toan Ki mengia.

Kenapa kau tidak gunakan pengaruhmu sebagai guru menjuruh dia melepaskan kau dari sini? udjar si gadis.

Sudah, entah sudah berapa kali aku suruh dia, tapi dia bilang aku harus berganti mengangkat dia sebagai guru, barulah dia mau melepaskan aku.

Ah, mungkin lagakmu sebagai guru kurang berwibawa, makanja dia berani membangkang. udjar Wan-djing.

Ja, mungkin begitulah, sahut Toan Ki gegetun. Dan engkau sendiri bagaimana, siapa jang menangkap kau kesini?

Maka berceritalah Bok Wan-djing tentang Djing-bau-khek jang didjumpainja itu. Tjuma tentang djandji orang aneh itu hendak mengubah kakak mendjadi suaminja itu tak ditjeritakannja.

Mendengar ada seorang jang bisa bitjara dengan perut tanpa bergerak mulutnja, bisa berdjalan setjepat terbang meski kakinja buntung, Toan Ki mendjadi sangat ketarik, berulang-ulang ia ber-kotjek2 kagum dan menanja lebih djelas. I

Setelah lama mereka berbitjara, tiba2 terdengar suara keletak sekali diluar, dari tjelah2 batu tampak disodor masuk sebuah mangkok, terdengar suara seorang lagi berkata: Ini, makanlah!

Segera Toan Ki menjambuti mangkok itu, ternjata isinja adalah Ang-sio-bak jang masih hangat dan berbau sedap. Menjusul dari luar diangsurkan masuk pula semangkok ham keluaran Hunlam jang terkenal, semangkok lagi sajur dan beberapa potong bakpao.

Kau kira di dalam makanan ini ditaruh ratjun tidak? tanja Toan Ki kepada Wan-djing sesudah letakkan makanan itu diatas medja.

Umpama mereka hendak membunuh kita, tentunja tidak perlu susah2 menaruh ratjun di dalam makanan. udjar Wan-djing.

Benar djuga pikir Toan Ki. Memangnja ia sudah sangat lapar, maka katanja: Marilah makan! ~ Terus sadja in mendahului serbu Ang-sio-bak jang lezat itu bersama bakpau.

Habis makan lemparkan keluar mangkok2 itu, nanti ada orang jang membereskannja. demikian terdengar suara orang diluar tadi. Habis berkata, orang itu lantas tinggal pergi.

Waktu Bok Wan-djing mendengarkan dengan tjermat, ia dengar orang itu mandjat ke atas pohon untuk kemudian melontjat turun di balik pagar pohon sana, terang kepandaian orang itu hanja biasa sadja. Segera ia terima djuga bakpao dan ham jang diangsurkan Toan Ki terus dimakan pelahan-lahan.

Engkau djangan kuatir, Djing-moay! demikian kata Toan Ki sembari makan. Pekhu dan ajah pasti akan datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin dan kawan2nja tjukup hebat, tapi mereka belum tentu sanggup melawan ajah. Apalagi kalau paman mau turun tangan sendiri, tentu sadja mereka bisa disapu bersih dengan mudah.

Hm, dia tjuma seorang radja negeri Tayli doang, masakan ilmu silatnja ada sesuatu jang hebat? demikian Wan-djing mengolok-oloki. Aku tidak pertjaja dia mampu mengalahkan orang aneh berbadju hidjau itu, paling2 dia hanja bisa kerahkan pasukannja setjara besar-besaran untuk menjerbu ke sini.

Tidak, tidak! berulang-ulang Toan Ki menggojang kepala. Leluhur kita adalah tokoh Bu-lim di Tionggoan, meski medjadi radja di negeri Tayli ini, selama ini tidak pernah melupakan peraturan2 Bu-lim jang berlaku. Kalau mengalahkan musuh dengan djumlah lebih banjak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai orang persilatan di djagat ini?

Ehm, kiranja sesudah pamilimu mendjadi radja dan Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan mereka di kalangan Kangouw, udjar Wan-djing.

Ja, paman dan ajah serinq berkata, itu namanja tidak melupakan asal-usul, sahut Toan Ki.

Huh. djengek si gadis tiba2. Di mulut selalu tentang kebadjikan dan budi kebaikan, tapi jang diperbuat tak lain adalah hal2 jang rendah memalukan. Tjoba djawab, ajahmu sudah mempunjai ibumu, kenapa........ kenapa mentjederai Suhuku lagi, hajo?

He! Kenapa engkau memaki ajahku?Ajahku kan djuga ajahmu? sahut Toan Ki rada tertjengang. Lagipula, setiap pangeran atau orang bangsawan di djagat ini, siapa orangnja jang tidak punja beberapa isteri? Sekalipun mempunjai delapan atau sepuluh orang isteri kan tidak mendjadi soal?

Tatkala itu adalah djamannja dinasti Song utara. Di utara ada negeri Tjidan, di tengah adalah keradjaan Song, di barat laut negeri He, di barat daja ada negeri Turfan, sedang di selatan adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang benar, tak usah tentang radja masing2, tjukup pangeran-pangerannja dan bangsawan-bangsawannja, setiap orang tentu mempunjai beberapa isteri, bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah mendjadi kelaziman djaman feodal, kalau setiap bangsawan itu hanja memiliki seorang isteri melulu, atau tegasnja monogamy, hal mana malah dipandang sebagai luar biasa.

Akan tetapi Bok Wan-djing mandjadi gusar demi mendengar pembelaan Toan Ki itu, plok, kontan ia tampar pipi pemuda itu.

Karuan Toan Ki kaget hingga separoh bakpao jang masih dipegangnja terdjatuh ke tanah. Kau............... kau kenapa? tanjanja dengan bingung.

Tidak, aku tidak mau panggil dia sebagai ajah! demikian seru Wan-djing. Kalau lelaki boleh punja beberapa isteri, kenapa wanita tidak boleh?

Geli dan mendongkol Toan Ki, sambil meraba-raba pipinja jang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenjum getir: Kau adalah adikku, kenapa engkau memukul engkohmu sendiri?

Namun amarah si gadis masih belum sirap, tangannja diangkat terus hendak menampar lagi. Tapi sekali ini Toan Ki sudah berdjaga-djaga, sedikit kakinja menggeser, tjepat ia keluarkan langkah Leng-po-wi-poh jang aneh, tahu2 sudah menjelinap ke belakang Bok Wan-djing. Ketika tangan si gadis menghantam ke belakang, kembali Toan Ki dapat menghindar pula.

Meski luas kamar batu itua tidak lebih dari dua meteran, namun Leng-po-wi-poh itu benar-benar sangat adjaib, biarpun pukulan Bok Wan-djing makin lama makin tjepat, dari awal sampai achir tetap tak bisa mengenai Toan Ki.

Karuan semakin marah Bok Wan-djing, tiba-tiba ia mendapat akal.

Auuh! ia pura-pura mendjerit terus djatuhkan diri ke tanah.

He, kenapa kau! seru Toan Ki kuatir sambil berdjongkok untuk memajang si gadis.

Dengan lemas sadja Wan-djing menjandarkan tubuhnja di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher pemuda itu, mendadak ia mcnjikap kentjang sambil berkata, dengan tertawa: Sekarang kau masih bisa menghindar tidak? ~ menjusul terus sadja tangan kanan diajun lagi, plak, lagi-lagi pipi Toan Ki kena dipersen sekali tamparan.

Dalam sakitnja, Toan Ki mendjerit sekali, mendadak sematjam arus hawa panas membubung ke atas dari dalam perutnja, seketika denjut nadinja bekerdja keras, napsu birahinja berkobar-kobar hingga susah ditahan.

Bok Wan-djing berdjuluk Hiang-yok-djeh atau si gendruwo wangi, memang tubuhnja membawa sematjam bau harum jang memabukkan orang, kini tubuhnja terangkul di pangkuan Toan Ki, bau harum jang semerbak itu semakin mengatjaukan pikiran sehat pemuda itu, tanpa merasa ia terus mentjium bibir si gadis.

Dan sekali ditjium, seketika Bok Wan-djing lemas lunglai seluruh badannja. Segera Toan Ki mengangkat tubuh gadis itu dan dibawa ke atas dipan............

Engkau........... engkau adalah kakakku! tiba-tiba Wan-djing berbisik.

Meskipun pikiran sehat Toan Ki waktu itu sudah kelelap, namun kata-kata Wan-djing itu mirip bunji beledek di siang hari bolong. Ia tertegun sedjenak, sekonjong2 ia lepaskan gadis itu dan mundur2 beberapa tindak, menjusul plak-plok beberapa kali, ia berondongi pipi sendiri dengan tamparan2 keras sambil memaki: Mampus kau, mampus kau!

Melihat kedua mata pemuda itu merah membara menjorotkan sinar jang aneh, kulit daging dimukanja ber-kerut2, hidungnja berkembang-kempis. Wan-djing mendjadi kaget, teriaknja: He, Toan-long, kita telah terpedaja, di dalam makanan itu ada ratjunnja!

Waktu itu Toan Ki merasa antero badannja panas bagai dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam makanan ada ratjunnja, ia mendjadi girang malah, pikirnja: Ah, kiranja ratjunlah jang telah mengatjaukan pikiran-sutjiku hingga timbul maksud tak senonoh terhadap Djing-moay, tapi bukan karena djiwaku jang kotor dan mendadak hendak menirukan perbuatan binatang jang rendah.

Akan tetapi panasnja badan benar2 susah ditahan, saking tak tahan satu persatu ia tjopot badjunja hingga achirnja melulu tinggal pakaian dalam sadja, untunglah pikirannja masih rada djernih hingga tidak mentjopot lebih djauh, tjepat ia duduk bersila mentenangkan diri untuk melawan pikiran2 djahat tadi.

Bok Wan-djing sendiri djuga merasakan panasnja badan seperti Toan Ki, sampai achirnja saking tak tahan, iapun menanggalkan badju luarnja.

Namun Toan Ki lantas menteriakinja: Djing-moay, djangan kau lepas badju lagi!

Lekas tempelkan punggungmu kedinding, tentu akan berasa segar sedikit!

Begitulah segera mereka bersandar didinding batu. Namun ratjun didalam badan tetap bekerdja dengan hebat, meski punggung berasa sedikit dingin, anggota2 badan lain malah bertambah panas. Toan Ki melihat kedua pipi Wan-djing merah membara, tjantiknja susah dikatakan, matanja ber-kilau2 se-akan2 ingin sekali menubruk kepangkuannja, ia pikir: Dengan teguhkan iman kita lawan terus bekerdianja ratjun. Namun tenaga manusia terbatas djuga, kalau achirnja bcrbuat djuga hal2 jang tidak senonoh, ini benar2 akan menodai habis2an nama baik keluarga Toan dan selama djaman susah untuk menembus kesalahan ini.

Maka tjepat ia berrkata: Djing-moay, lemparkanlah sebatang panahmu kepadaku!

Untuk apa? tanja Wan-djing.

Supaja............... supaja kalau aku sudah tak tahan, sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu, sahut Toan Ki.

Tidak, aku takmau memberi," kata sigadis.

Djika begitu, djandjilah padaku untuk memenuhi sesuatu permohonanku, pinta Toan Ki.

Tentang apa? tanja Wan-djing.

Pabila tanganku sampai menjentuh badanmu, sekali panah boleh kau binasakan aku, kata Toan Ki.

Tidak, aku tidak mau! sahut sigadis.

Djing-moay, terimalah permintaanku itu, pinta Toan Ki dengan sangat. Nama baik keluarga Toan kita jang sudah beratus tahun lamanja ini tidak boleh hantjur ditanganku. Kalau tidak,.sesudah mati, mana bisa aku mempertanggungdjawabkan pada leluhur dialam baka?"

Huh, apanja jg hebat dari keluarga Toan di Tayli? tiba2 suara seorang mendjengek diluar rumah batu itu. Paling2 dimulut sadja selalu bitjara tentang kebaikan dan kemanusiaan, tapi apa jang diperbuat lebih rendah daripada binatang. Apanja jang dapat dipudji?

Siapa kau? Ngatjo-belo belaka! damperat Toan Ki dengan gusar.

Dia.................. dia adalah sibadju hidjau jang aneh itu, dengan lirih Wan-djing membisiki Toan Ki.

Maka terdengar Djing-bau-khek itu lagi berkata: Bok-kohnio, aku sudah menjanggupi kau akan menjadikan kakakmu sebagai suamimu, urusan ini kutanggung pasti akan memenuhi harapanmu.

Kau sengadja memakai ratjun untuk mentjelakai kami, apa sangkut-pautnja dengan permohonanku padamu? sahut Wan-djig gusar. .Di dalam Ang-sio-bak jang sudah kalian makan itu telah kutjampur dengan banjak Im-yang-ho-hap-san (pujer mendjodohkan negatip dan positip), siapa jang minum, kalau tidak terdjadi pembauran hawa Im dan Yang, kalau laki2 dan wanit.a tidak mendjadi suami-isteri, maka antero badannja segera akan membusuk, mata hidung dan telinga akan mengutjurkan darah, achirnja mati. Bekerdjanja obat Ho-hap-san itu makin hari makin lihay, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa turun dari kajangan djuga takkan mampu menolong. demikian orang itu mendjelaskan.

Toan Ki mendjadi gusar, damperatnja: Aku selamanja tiada permusuhan apa2 dengan engkau, kenapa kau memperlakukan aku ini kedji? Kau bermaksud membikin aku berbuat hal2 jang durhaka, agar ajah dan pamanku malu selama hidup terhadap umum, namun biar seratus kali aku harus mati, tidak......... tidak nanti aku bisa masuk perangkapmu!

Kau memang tiada permusuhan apa2 dengan aku, tapi leluhur keluarga Toan kalian djusteru mempunjai permusuhan sedalam lautan dengan aku, demikian sahut Djiny-bau-khek Hm, kalau Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun kedua Siautju ini dirundung malu selama hidup hingga tiada muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling bagus, paling bagus! ~ Rupanja karena mulutnja tak bisa bergerak, maka meski hatinja sangat senang, namun tak bisa bergelak ketawa.

Dan selagi Toan Ki hendak mendebat pula, sekilas dilihatnja paras Bok Wan-djing jang tjantik bagai kuntum bunga baru mekar, hatinja ber-debar2 keras lagi, seketika benaknja mendjadi katjau pula, pikirnja: Awalnja aku

memang ada ikatan perdjodohan dengan Djing-moay, andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi jang mengetahui kami adalah kakak dan adik? Apa jang terdjadi ini adalah hukum karma akibat dosa leluhur, peduli apa dengan kami berdua?

Berpikir begitu, segera Toan Ki berbangkit dengan sempojongan. Tertampak sambil berpegangan dinding, Bok Wan-djing djuga sedang berdiri pelahan2. Se-konjong2 terkilas pula pikiran sehat dalam benaknja: Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai Toan Ki, perbuatan kebinatangan jang hendak kau lakukan ini tergantung pada pikiran sekilas sadja, pabila hari ini kau terdjerumus, bukan sadja nama baikmu sendiri akan hantjur lebur, bahkan nama baik ajah dan paman serta leluhur djuga ikut tjelaka.

Karena itu, mendadak ia membentak: Djing-moay, aku adalah kakamu dari satu ajah, dan engkau adalah adikku sendiri, tahu tidak kau? Kau paham Ih-keng atau tidak?

Dalam keadaan sadar-tak-sadar Bok Wan-djing mendjawab: Ih-keng apa? Aku tidak paham.

Baiklah, biar aku mengadjarkan padamu, kata Toan Ki. Peladjaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam, engkau harus mendengarkan dengan tjermat.

Untuk apa aku mempeladjarinja? tanja Wan-djing.

Besar manfaatnja sesudah kau beladjar, sahut Toan Ki. Boleh djadi sesudah beladjar, kita berdua akan dapat melepaskan diri dari kesulitan ini.

Kiranja Toan Ki merasa napsunja semakin menjala2. Dalam pertentangan antara kemanusiaan dan kebinatangan itu, sungguh keadaannja sangat berbahaja, asal Bok Wan-djing mendekatinja dan sedikit menggoda, rasanja pertahanannja tentu akan bobol. Sebab itulah ia bermaksud mengadjarkan Ih-keng padanja untuk membilukan pikirannja dari kesesatan. Maka katanja pula: Dasar Ih-keng berada pada Thay-kek (azas alamiah) dan Thay-kek melahirkan Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi mentjiptakan Su-siang (empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa (delapan unsur). Kau tahu tidak lukisan Pat-kwa?

Tidak! Wah, gerah benar! Toan-long, marilah kau madju kesini, aku ingin bitjara padamu! demikian kata sigadis.

Aku adalah kakamu, djangan panggil aku Toan-long, tapi harus panggil Toako, sahut Toan Ki. Tjoba dengarkan, aku akan menguraikan kalimat2 bentuk Pat-kwa itu, kau harus mengingatnja dengan baik, Kian-sam-thong, Kun-liok-toan.........

Apa Kian, apa Kun? Entahlah, aku tidak paham! kata Wan-djing.

Itu menggambarkan bentuk daripada Pat-kwa, tutur Toan Ki. Harus kau ketahui, Pat-kwa itu meliputi segala benda dialam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua machluk didunia. Misalnja keluarga kita, Kian adalah ajah dan Kun adalah ibu, Tjin menjimbolkan putera dan Soan menandakan puteri ...... kita berdua adalah kaka-beradik, aku adalah unsur Tjin dan engkau unsur Soan.

Tidak, engkau unsur Kian dan aku unsur Kun, demikian sahut Wan-djing dengan ke-malas2an. Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putera dan puteri............

Mendengar utjapan sigadis jang tak keruan itu, hati Toan Ki terguntjang, serunja kuatir: He, Djing-moay, djangan kau pikir jang tidak2, dengarkanlah uraianku lebih djelas!

Kau duduk disampingku sini, aku lantas mendengarkan uraianmu, udjar Wan-djing.

Bagus, bagus! Sesudah kalian berdua mendjadi suami-isteri dan melahirkan putera-puteri, aku lantas melepaskan kalian keluar," demikian terdengar Djing-bau-khek jang aneh itu berkata diluar rumah batu. Dan bukan sadja aku takkan membunuh kalian, bahkan aku akan mengadjarkan kalian matjam2 kepandaian, biar kalian suami-isteri malang-melintang diselurub djagat.

Ngatjo! seru Toan Ki gusar. Sampai saat tcrachir, aku akan benturkan kepalaku didinding. Anak-tjutju keluarga Toan lebih suka mati daripada terima hinaan. Kau ingin membalas dendam atas diriku, djangan kau harap!

Kau mau mati atau ingin hidup, aku peduli apa? sahut Djing-bau-khek. Pabila kalian berdua mentjari mati sendiri, aku lantas tjopot antero pakaian kalian hingga telandjang bulat, aku akan menuliskan keterangan diatas majat kalian bahwa inilah putera-puterinja Toan Tjing-sun jang telah berbuat masiat, tapi kepergok orang, saking malu, lantas membunuh diri. Aku akan bawa majat kalian berkeliling kesetiap kota sesudah aku mengasin dulu majat kalian.

Sungguh tidak kepalang gusarnja Toan Ki, bentaknja murka: Permusuhan apakah sebenarnja keluarga Toan kami dengan dirimu, hingga kau membalasnja setjara begini kedji?

Urusanku, buat apa kutjeritakan padamu? sahut Djing-bau-khek. Habis ini, suaranja. tak terdengar lagi, munqkin sudah pergi.

Toan Ki insaf lebih banjak bitjara dengan Bok Wan-djing, bahajanja akan bertambah besar pula. Segera ia duduk menghadapi dinding untuk memikirkan langkah2 dalam Leng-po-wi-poh jang adjaib itu. Setelah terdiam. agak lama, tiba2 teringat olehnja: Entji Dewi didalam gua itu berpuluh kali lebih tjantik daripada Djing-moay, pabila aku bisa memperisterikan dia, rasanja tidak ketjewalah hidupku ini.

Dalam keadaan sadar-tak-sadar ia berpaling, ia lihat paras muka Bok Wan-djing samar2 mulai berubah mendjadi patung tjantik didalam gua itu.

O, Entji Dewi, betapa deritaku ini, tolonglah aku! demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk kedepan merangkul betis Bok Wan-djing.

Djusteru pada saat itu djuga, diluar ada suara bitjara orang: Makan malam dulu ini! ~ berbareng sebatang lilin jang sudah dinjalakan telah diangsurkan. Dengan ketawa orang itu berkata lagi: Nah, lekas sambuti ini, malaman penganten, mana boleh tanpa lilin?

Dalam kedjutnja Toan Ki terus berbangkit, dibawah sinar lilin jang terang itu, ia lihat mata sigadis jang tjeli itu ber-kilau2 penuh arti, tjantiknja susah dilukiskan. Tjepat ia sebul lilin itu hingga padam, lalu membentak: Didalam nasi ada ratjunnja, lekas bawa pergi, kami tidak mau makan!

Sudah banjak ratjun jang masuk diperutmu, tidak perlu ditambahi lagi, sahut suara itu sambil tetap menjodorkan daharannja.

Dengan tak sadar Toan Ki menjambut djuga dan ditaruh diatas medja. Pikirnja: Kalau sudah mati, musnalah segalanja, apa jang terdjadi sesudah itu, manabisa aku mengurusnja lagi? ~ Lalu pikirnja pula: Tapi betapa kasih-sajangnja ajah-bunda dan paman padaku, mana boleh aku menodai nama baik keluarga Toan hingga ditertawai orang?

Tiba2 terdengar Bok Wan-djing menteriakinja: Toan-long, aku akan bunuh diri dengan panahku, supaja aku tidak bikin susah padamu!

Nanti dulu! seru Toan Ki, Biaroun kita sudah mati, keparat jang maha djahat itupun takkan mengampuni kita. Orang ini sangat kedji dan litjik, dibanding Yap Dji-nio jang suka isap darah baji dan Lam-hay-gok-sin jang suka makan hati manusia, orang ini djauh lebih djahat! Entah siapa dia sebenarnja?

Utjapan Siautju memang tidak salah, tiba2 terdengar suara Djing-bau-khek itu mendjawab, Lohu tak-lain-tak-bukan adalah Ok-koan-boan-eng (kedjahatan sudah melebihi takaran), kepala dari Su-ok akulah adanja!

BAGIAN KEDUA

Kembali mengenai keadaan diistana Tin-lam-ong.

Si Pek-hong alias Yau-toan-siantju mendjadi sangat kuatir atas diri sang putera jang digondol kawanan Su-ok itu, tanjanja pada Po-ting-te: Hong-heng, dimanakah letak Ban-djiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah tahu?

Nama Ban-djiat-kok aku djuga baru dengar harini," sahut Po-ting-te Toan Tjing-beng. Tapi rasanja tidak djauh dari Tayli ini.

Dari nada utjapan Tjiong Ban-siu itu, agaknja tempat itu sanqat dirahasiakan, kata Pek-hong dengan kuatir. Dan kalau terlalu lama Ki-dji berada ditjengkeraman musuh, mungkin........

Ki-dji terlalu di-mandja2kan dirumah, biarkan dia mengalami sedikit gemblengan djuga ada baiknja," demikian sela Po-ting-te dengan tersenjum.

Si Pek-hong mendjadi tidak berani banjak bitjara lagi meski dalam hati kelabakan sekali.

Maka Po-ting-te berkata pula kepada Tjing-sun: Sun-te, suruh keluarkan

daharan lagi, mari kita mendjamu diri sendiri dahulu.

Tjing-sun mengia terus memberi perintah, hanja sebentar sadja perdjamuan lengkap sudah disediakan lagi. Segera Po-ting-te suruh semua orang duduk semedja untuk makan-minum. Meski dia diagungkan sebagai radja, tapi kalau tempatnja bukan dikeraton, biasanja ia tidak suka banjak adat-istiadat, maka Toan Tjing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay lantas ikut duduk mengiringi tanpa rikuh2.

Dalam perdjamuan itu, mereka sama sekali tidak bitjara tentang kedjadian2 tadi.

Ketika dekat fadjar, tiba2 seorang Si-wi masuk melapor: Pah-sukong ingin menghadap Hongsiang!

Suruh masuk, sahut Po-ting-te.

Maka masuklah seorang laki2 ke-hitam2an, bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat pada Po-ting-te dan berkata: Lapor Hongsiang, tempat sana melalui Sian-djin-toh dan djembatan rantai, mulut lembahnja adalah sebuah kuburan.

Wah, bila tahu Pah-sukong sudah turun tangan, masakah sarang musuh takkan diketemukan dan akupun tidak perlu kuatir setengah harian ini, seru Pek-hong dengan tertawa.

Ong-hui terlalu memudji, Pah Thian-sik tidak berani menerima, sahut laki2 hitam itu.

Kiranja Pah Thian-sik ini meski bermuka djelek dan potongannja ketjil, tapi dia sangat tjerdik dan pintar, sudah banjak berdjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnja sekarang dinegeri Tayli adalah Sukong. Gelar2 pangkat Suto, Suma dan Sukong sangat terhormat dalam keradjaan ketjil ini. Pah Thian-sik sendiri ilmu silatnja sangat tinggi, lebih2 dalam ilmu Ginkang. Kali ini ia ditugaskan Po-ting-te untuk menguntit djedjak musuh, dan benar djuga ia dapat mengetahui tempat Ban-djiat-kok itu.

Thian-sik, duduklah kau dan makan jang kenjang, kata Po-ting-te kemudian dengan tertawa. Habis makan, kita lantas berangkat.

Thian-sik tjukup kenal watak sang radja jang biasanja tidak suka orang berlutut menjembah padanja, kalau terlalu kukuh pada adat2 kolot itu, sang radja malah kurang senang. Maka ia hanja mengia sekali terus ambil tempat duduk semedja, terus sadja ia serbu apa jang tersedia diatas medja itu.

Setetes arakpun Pah Thian-sik tidak minum, tapi takaran makannja ternjata sangat mengedjutkan, hanja sekedjap sadja hampir sepuluh mangkok nasi telah disapu kedalam perutnja.

Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan lain2 sudah lama bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak mendjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.

Habis makan, segera Thian-sik berbangkit, ia usap mulutnja jang berlepotan minjak itu dengan lengan badju, lalu berkata: Marilah Hongsiang, biar hamba menundjukkan djalannja. ~ Dan segera ia mendahului melangkah keluar.

Ber-turut2 Po-ting-te, Toan Tjing-sun suami-isteri dan Ko Sing-thay lantas mengikut dibelakangnja.

Sampai diluar istana, tampak tokoh2 Hi-djiau-keng-dok sudah menanti disitu sambil menuntun kuda, disamping itu ada belasan pengawal lain jang membawakan sendjatanja Po-ting-te.

Njata, biarpun kedua saudara Toan ini mempunjai kedudukan terpudja, namun mereka tidak pernah meninggalkan etiket sebagai orang Bu-lim dari Tionggoan jang diwariskan dari leluhur mereka. Seringkali merekapun menjamar sebagai rakjat biasa untuk pesiar keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut balas atau mentjari mereka, selalu merekapun menghadapinja menurut peraturan Bu-lim, selamanja tidak gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk menghina orang. Sebab itulah, maka keluarnja Po-ting-te sekarang ini sedikitpun tidak mengherankan para pengiringnja, mereka anggap sudah biasa.

Melihat diantara beberapa orang pengiring itu ada jang membawa patjul dan sekop, dengan tertawa Si Pek-hong menanja: Pah-sukong, apakah kita hendak pergi menggali pusaka pendaman?

Pergi menggali kuburan! sahut Pah Thian-sik.

Begitulah segera rombongan mereka berangkat be-ramai2, kuda jang mereka pakai adalah pilihan semua, maka tidak sampai lohor mereka sudah sampai ditanah pekuburan diluar Ban-djiat-kok itu.

Gali disitu! kata Pah Thian-sik segera sambil menundjuk pada kuburan besar jang ketudjuh.

Terus sadja pengiring2 jang membawa alat2 galian itu bekerdja tjepat.

Wah, penghuni di Ban-djiat-kok ini rupanja dendam tiada taranja terhadap keluarga Toan kita! demikian kata Po-ting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan jang bertuliskan Kuburan Ban Siu Toan atau kuburan orang beribu sakit hati pada orang Toan

Dalam pada itu Djay-sin-khek Siau Tiok-sing sudah lantas ajun kapaknja dengan tjepat keatas batu nisan itu hingga batu kerikil mentjiprat bertebaran, hanja sebentar sadja batu nisan itu sudah dihantjurkan olehnja, melulu ketinggalan huruf Toan diatasnja jang masih tetap utuh.

Sementara itu para pengiring sudah dapat meratakan sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan djalan masuk kebawah tanah itu. Segera Siau Tiok-sing mendahului masuk kedalam, ia ajun kapaknja membatjok peti mati didalam liang kubur itu hingga hantjur, lalu empat tokoh Hi-djiau-keng-dok mendahului membuka djalan, dibelakangnja adalah Pah Thian-sik dan Ko Sing-thay, menjusul lantas Toan Tjing-sun suami-isteri dan paling achir jalah Po-ting-te.

Setelah masuk kedalam lembah itu ternjata keadaan sunji senjap sadja, tiada seorangpun jang menjambut kedatangan mereka.

Pah Thian-sik menurutkan peraturan Kang-ouw, ia bawa kartu nama Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun berdua menudju kedepan rumah utama dilembah itu, serunja keras2: Dua saudara she Toan dari negeri Tayli ingin bertemu dengan Tjiong-koktju!

Baru selesai utjapannja, se-konjong2 dari semak2 pohon sisi kiri sana berkelebat sesosok bajangan orang jang pandjang sekali, dengan tjepat luar biasa tahu2 sudah melajang kearah Pah Thian-sik terus hendak menjambar kartu nama jang dipegangnja itu.

Namun Thian-sik tjukup tjepat djuga gerakannja, ia menggeser kesamping sambil membentak: Siapa engkau?

Kiranja itulah Kiong-hiong-kek-ok In Tong-ho. Sekali samber tidak kena, ia tidak berhenti sama sekali, tapi terus memutar balik dan menubruk pula kearah Thian-sik.

Melihat Ginkang orang sangat hebat, timbul keinginan Pah Thian-sik untuk mendjadjal kepandaian orang jang sesungguhnja, maka tjepat ia menggeser pula kesamping lain. Segera In Tiong-ho mengudak djuga. Maka tertampaklah dua bajangan orang, jang satu djangkung, jang lain pendek, dalam sekedjap sadja sudah saling uber kian kemari beberapa kali. Meski langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun dengan gesit sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menjusup pergi-datang dengan sangat lintjah, djarak kedua orang tetap terpisah satu meter. In Tiong-ho takbisa mentjandak Pah thian-sik, sebaliknja Thian-sik djuga tak mampu melepaskan diri dari kedjaran Tiong-ho.

Biasanja kedua orang itu sama2 sangat mengandalkan Ginkangnja sendiri, tapi kini ketemukan lawan jang setanding, diam2 mereka sama2 terkedjut. Makin berlari makin tjepat, begitu tjepatnja hingga badju mereka berkibaran mendjangkitkan angin jang men-deru2. Meski hanja dua orang jang kedjar mengedjar, namun bagi penglihatan orang mendjadi seperti beberapa orang jang sedang saling udak kian kemari. Sampai achirnja, saking tjepatnja lari mereka hingga orang merasa bingung apakah sebenarnja In Tiong-ho jang lagi mengedjar Pah Thian-sik atau Thian-sik jang sedang mengudak Tiong-ho?

Tiba2 terdengar suara keriutnja pintu dibuka, Tjiong Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.

Melihat tuan rumah itu, tanpa berhenti berlari, Pah Thian-sik lantas kerahkan tenaga dalam terus sambitkan kartu nama jang dipeganginja kearah Tjiong Ban-siu.

Kartu nama itu adalah benda jang enteng dan lemas, tapi Thian-sik ternjata dapat menimpukannja dengan lurus anteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin jang terdjangkit karena larinja itu tjukup keras, tapi kartu nama itu mampu menembus samberan angin dan tetap menudju kearah Tjiong Ban-siu, maka dapatlah dibajangkan betapa lihay Lweekangnja Pah Thian-sik.

Ban-siu lantas tangkap kartu jang terbang kearah itu, serunja dengan gusar: Orang she Toan, djika kau datang kelembah ini menurut peraturan Kangouw,

mengapa kau merusak peralatan pintu lembahku?

Hongsiang maha agung, mana boleh menerobos liang kuburmu serta peti matimu jang busuk itu? demikian sahut Bu-sian-tio-toh Leng Djian-li.

Si Pek-hong sendiri paling kuatirkan keselamatan puteranja, maka segera ia menanja: Dimanakah anakku, kalian mengurungnja dimana?

Belum lagi Tjiong Ban-siu mendjawab, se-konjong2 dari belakangnja tampil kemuka seorang wanita, dengan suaranja jang tadjam ia berseru: Kedatanganmu sudah terlambat, botjah she Toan itu sudah kami belih dadanja dan kuras isi perutnja sebagai umpan andjing!

Kedua tangan wanita itu tampak memegangi sepsang golok, batang golok itu sangat tjiut bagai daun pohon Liu, tapi bersinar kemilauan. Itulah dia Sin-lo-to jang ditakuti orang Kangouw bila melihatnja.

Kedua wanita ini ~ Si Pek-hong dan Tjin Ang-bian ~ dimasa belasan tahun jang lalu sudah saling bermusuhan. Meski Si Pek-hong tahu apa jang dikatakan Tjin Ang-bian tadi tidak benar, namun utjapan orang jang begitu mengerikan atas diri puteranja, seketika Si Pek-hong menjadi gusar, dendam lama dan bentji baru meledak sekaligus, dengan dingin ia balas meng-olok2: Huh, aku bitjara sendiri dengan Tjiong-koktju, siapa jang sudi omong2 dengan wanita jang rendah tak kenal malu hingga mengotorkan diri sendiri.

Tjreng-tjreng, se-konjong2 kedua golok Tjin Ang-bian membatjok setjepat kilat keatas kepala Si Pek-hong. Serangan Sip-dji-gam atau batjokan bersilang, jang satu malang kesana dan jang lain melintang kesini, djurus ini adalah kepandaian tunggal Tji Ang-bian jang telah banjak mendjungkalkan djago silat Kangouw.

Maka lekas2 Si Pek-hong ajun kebut pertapaannja utk menangkis, berbareng tubuhnja menggeser kesamping, udjung kebutnja lantas balas menjabet kepunggung lawan.

Menjaksikan itu, Toan Tjing-sun mendjadi serba salah. Jang seorang adalah isteri kesajangannja, dan jang lain adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu, biarpun siapa jang bakal terluka, dirinja jang sudah pasti akan menjesal selama hidup. Maka segera ia membentak: Berhenti, berhenti dulu! ~ Ia terus melompat madju dengan pedang terhunus hendak memisah.

Melihat Toan Tjing-sun, amarah Tjiong Ban-siu lantas berkorbar, ia lolos goloknja Tay-goan-to, golok tebal jang banjak gelangnja hingga menerbitkan suara gemerantang jang njaring, tanpa bitjara lagi terus membatjok keatas kepala Toan Tjing-sun.

Tak usah Ongya mentjapekan diri, biar hamba membereskan dia sadja, kata Leng Djian-li sambil mendjodjoh dengan sendjata pantjingnja.

Haha, Ban-siu tertawa mengedjek. Memangnja aku sudah tahu orang she Toan hanja besar omong sadja, paling2 tjuma mengandalkan orang lebih banjak dan main kerojokan.

Mundur Djian-li! seru Tjing-sun dengan tertawa, biar aku beladjar kenal sendiri dengan kepandaian Tjiong-koktju jang lihay.

Berbareng ia lantas tangkis tangkai pantjing Leng Djian-li, sekalian pedangnja terus melajang kebawah menempel punggung Tay-goan-to lawan jang dipakai menangkis tangkai pantjing Leng Djian-li tadi, untuk memotong djari tangan Tjiong Ban-siu.

Ban-siu terkedjut oleh tiga gerakan jang dilakukan sekaligus, jaitu menangkis, menempel dan memotong, diam2 ia harus mengaku orang she Toan ini benar2 lihay. Maka ia tidak berani umbar amarah lagi, tapi dengan prihatin ia hadapi lawan dengan sungguh2. Meski wataknja kasar, namun kalau sudah berhadapan musuh, ia bisa berlaku hati2.

Tjoba kalian masuk menggeledah kesana! perintah Po-ting-te kepada Leng Djian-li.

Djian-li mengia, segera tokoh2 Hi-djiau-keng-dok menjerbu kedalam rumah orang. Tapi baru sebelah kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba2 dari depan menjamber sebatang golok tipis kemukanja. Untung ia sempat mengkeret kembali dengan tjepat, kalau tidak tentu mukanja sudah rata terpotong, paling tidak batang hidungnja pasti terpapas.

Saking kagetnja sampai Siau Tiok-sing berkeringat dingin. Ia tjoba perhatikan siapa gerangan penjergap itu. Kiranja adalah seorang wanita jang berparas tjantik, itulah dia Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio adanja.

Golok jang dipakai Yap Dji-nio itu bentuknja sangat aneh, enteng tipis, sekeliling sendjata tadjam luar biasa. Sambil memegangi gagang golok jang pendeknja tjuma belasan senti itu, hanja sedikit diputar, seketika terdjadilah segulung sinar putih.

Kaget Siau Tiok-sing semula memang luar biasa, tapi sesudah tenangkan diri, segera ia membentak keras, kapak badja diajun, terus sadja ia batjok keatas sendjata musuh.

Namun Yap Dji-nio lekas putar goloknja jang tipis tadjam itu, ia tidak berani benturkan sendjatanja itu dengan kapak lawan. Siau Tiok-sing mainkan 36 djurus Khay-san-po-hoat atau ilmu permainan kapak membuka gunung, ia terus membatjok keatas dan membabat kebawah. Sebaliknja Yap Dji-nio terus-menerus mengedjeknja dengan kata2 jang menusuk hati.

Melihat perempuan itu sambil bitjara seenaknja sadja melajani serangan Tiok-sing, Tju Tan-sin mendjadi kuatir djangan2 kawannja itu kena dipedaja musuh. Maka tjepat iapun merangsang madju, kipasnja diputar terus menutuk.

Tatkala itu In Tiong-ho masih tetap main putar kajun dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama lihaynja, mereka insaf djuga dalam waktu singkat susah untuk menentukan kalah-menang, tapi jang diudji sekarang adalah tenaga dalam, siapa jang lebih tahan lama, dia akan menang. Tapi Thian-sik tahu bahwa lawannja sudah kerahkan tenaga sepenuhnja untuk mengedjar, berbeda seperti dirinja jang main melompat dan meledjit, tenaga dalam masih selalu terpelihara, pabila suatu waktu dirinja mendadak berhenti berlari terus menjerang serentak, tentu lawan tak kuat menahan. Tjuma tudjuannja memang ingin mengudji Ginkang lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin menangkan lawan dengan ilmu pukulan

Setan alas, darimana datangnja kawanan andjing ini, bikin berisik melulu hingga Lotju takbisa tidur! demikian tiba2 terdengar suara makian orang. Lalu tertampaklah Lam-hay-gok-sin melompat datang dengan sendjatanja jang istimewa, jaitu Gok-tjui-tjian atau gunting montjong buaja.

Segera Tiam-djong-san-long mendjawabnja dengan suara keras: Ini dia ajah dari gurumu jang telah datang kemari!

Apa ajah dari guruku? bentak Lam-hay-gok-sin tak paham.

Ini, sahut Tiam-djong-san-long sambil tundjuk Toan Tjing-sun, Tin-lam-ong adalah ajahnja Toan-kongtju, dan Toan-kongtju adalah gurumu, masakah kau berani menjangkal, hajo?

Biarpun perbuatan Lam-hay-gok-sin adalah maha djahat, tapi ada sesuatu sifatnja jang baik, jaitu apa jang dia pernah utjapkan, tentu ditepatinja. Maka demi mendengar djawaban itu, mukanja mendjadi merah padam saking gusar, tanpa mendjawab benar atau tidak utjapan orang, segera ia membentak pula: Aku angkat guru adalah urusanku sendiri, peduli apa dengan anak kura2 matjam kau ini?

Hahaha! Aku toh bukan anakmu, kenapa kau panggil aku anak kura2? sahut San-long bergelak tertawa.

Lam-hay-gok-sin tertegun sedjenak, ia bingung kemudian ia mendjadi sadar bahwa setjara tidak dirinja sebagai kura2 alias germo. Insaf akan ber-djingkrak2 gusar, terus sadja sendjatanja beberapa kali kearah musuh.

akan djawaban itu. Tapi langsung orang telah memaki hal itu, karuan ia jang aneh itu menggunting

Walaupun otaknja rada bebal, tapi ilmu silat Lam-hay-gok-sin benar2 sangat lihay. Gok-tjui-tjian jang dipakai itu penuh dengan gigi2 buaja jang tadjam gilap, baru Tiam-djong-san-long menangkis tiga djurus dengan patjul garuknja, kedua lengannja sudah mulai terasa linu pegal.

Melihat kawannja terdesak, segera pantjing Bo-sian-tio-toh Leng Djian-li bergerak, sekali mengajun, tjepat kait pantjingnja melajang kearah mata kiri Gok-sin.

Huh, sendjata apa2an ini? djengek Lam-hay-gok-sin.

Aku berdjuluk Lam-hay-tio-toh, kerdjanja memantjing buaja! sahut Leng Djian-li dengan tertawa olok2.

Kau paham kentut, masakah buaja dapat dipantjing, sekali gigit sudah putus pantjingmu ini, sahut Gok-sin takmau kalah.

Baik, boleh kau tjoba2, udjar Djian-li tertawa. Kembali tali pantjingnja

membuai dan kait pantjing hendak menjangkol kemulutnja Lam-hay-gok-sin.

Namun Gok-sin sedikitpun tidak pernah lengah, mendadak Gok-bwe-pian atau rujung ekor buaja terus dilorot keluar, sekali sabet, segera tali pantjing lawan hendak digulungnja.

Rujung lawan kasar antap, sedang tali pantjingnja halus enteng, maka Leng Djian-li tak berani semberono, tjepat ia tarik pantjingnja dan diputar sekali diudara, menjusul batok kepala belakang Gok-sin hendak dikait lagi.

Menjaksikan situasi pertarungan itu, Po-ting-te menaksir pihaknja tidak berbahaja, tjuma sepasang Siu-lo-to dari Tjin Ang-bian jang dimainkan dengan tjepat luar biasa dengan aneka matjam perubahannja, diatas golok2 tipis itu dilumasi ratjun pula. Dalam hal ilmu silat sedjati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau tersentuh sendjata lawan jang beratjun, itulah jang dikuatirkan.

Segera Po-ting-te berkata pada Ko Sing-thay: Kau mendjaga dan mengawasi keadaan disini, kalau menguatirkan, segera kau boleh rampas sebelah golok njonja itu.

Ko Sing-thay mengia, dengan tenang ia berdiri mengawasi dipinggir kalangan pertempuran dengan gagahnja.

Habis itu, Po-ting-te lantas masuk kedalam rumah, serunja keras2: Ki-dji, apakah kau berada disini?

Tapi sama sekali tiada djawaban orang. Ia tjoba membuka pintu kamar sebelah kiri serta berseru pula: Ki-dji, Ki-dji! ~ Belum hilang suaranja, se-konjong2 sesosok bajangan hidjau berkelebat, seutas tali pandjang setjepat kilat menjamber kelehernja.

Walaupun benda hidjau itu menjamber dengan terapung diudara, tapi ternjata adalah machluk hidup; Po-ting-te terkedjut, segera ia dapat melihat djelas bahwa benda itu adalah seekor ular hidjau jang pandjang. Dengan lidahnja jang mulur mengkeret, ular itu terus hendak menggigit tenggorokannja.

Tanpa pikir lagi Po-ting-te segera menjelentik dengan djarinja hingga tepat kena dibawah leher ular itu.

Tenaga selentik Po-ting-te ini sungguh bukan main hebatnja, biarpun ular hidjau itu keras sebagai kawat badja, sekali kena diselentik, seketika patah djuga tulang-belulangnja, ular itu djatuh kelantai, setelah mengingsut beberapa kali, lalu mati.

Maka terdengarlah suara djeritan kaget seorang gadis tjilik: Haja, kau telah bunuh aku punja Djing-leng-tju!

Waktu Po-ting-te memperhatikan tertampak seorang nona tjilik berusia antara 15-16 tahun muntjul dari balik pintu dengan wadjahnja jang kaget tertjampur kuatir.

Dimana Toan-kongtju berada? tanja Po-ting-te.

Engkau takkan dapat menolongnja, udjar gadis itu. Ia dikurung orang didalam sebuah rumah batu, diluar ada jang djaga pula.

Harap kau membawa aku kesana, kata Po-ting-te. Aku akan robohkan orang jang mendjaga, membuka rumah batu itu dan menolong keluar Toan-kongtju.

Tidak bisa! sahut sigadis tjilik. Kalau aku membawa engkau kesana, tentu ajah akan membunuh aku!

Siapa ajahmu? tanja Po-ting-te.

Aku she Tjiong, ajahku adalah tuan rumah dari lembah ini, sahut sigadis tjilik jang bukan lain adalah Tjiong Ling itu. Dan engkau sendiri siapa?

Po-ting-te hanja mengangguk tanpa mendjawab. Ia pikir terhadap seorang nona tjilik begini, baik memantjingnja dengan kata-kata atau menggunakan kekerasan untuk mengantjam, semuanja tidak enak kalau digunakan atas diri gadis ketjil itu. Kalau Toan Ki sudah terang dikurung didalam lembah itu,

tentunja tidak sulit untuk mentjarinja.

Karena itu, ia lantas keluar lagi dari rumah itu dengan maksud mentjari djalan lain untuk menemukan Toan Ki....

Kembali mengenai Toan Ki dan Bok Wan-djing jang dikeram didalam kamar batu sebagai ternak jang disuruh mengembangbiak itu. Ketika mendengar bahwa Djing-bau-khek jang mengeram mereka dengan muslihat kedji itu adalah Ok-koan-boan-eng atau kedjahatan sudah melampau takaran, tentu sadja mereka bertambah kedjut dan kuatir.

Dan karena katjau pikiran mereka, keteguhan iman mereka semakin tipis, sampai achirnja, entah bagaimana djadinja, tiba-tiba mereka duduk saling bersandaran.

Djing-moay, demikian Toan Ki berkata pelahan, kita sudah djatuh ditjengkeramannja, mungkin susah menjelamatkan diri.

Wan-djing hanja mengia sekali, ia merasa pipinja panas bagai dibakar, terus sadja ia susupkan kepalanja dipangkuan Toan Ki.

Pelahan-lahan Toan Ki membelai rambut sigadis, keringat kedua orang sudah membasahi badju masing-masing hingga mirip orang habis ketjemplung dalam air. Dan begitu mentjium bau uapan badan masing-masing, karuan semakin bertambah daja tariknja. Djangankan mereka adalah pemuda-pemudi jang belum berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh ratjun, tentu merekapun susah mengendalikan diri, apalagi ratjun Im-yang-ho-hap-san jang mereka minum itu sangat banjak, biarpun nabi sekalipun kalau sudah minum ratjun itu djuga akan gugur imannja.

Untungnja dalam keadaan lupa daratan itu, dalam benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang jang mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan mereka, maka sekuat mungkin ia terus bergulat dengan napsu kebinatangan didalam tubuhnja itu.

Jang paling tjelaka adalah sibadju hidjau alias Ok-koan-boan-eng itu masih terus membakar dari luar, katanja: Hajolah lekas kalian laksanakan tjita-tjitamu. Lebih lekas kalian mempunjai anak lebih tjepat pula kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku akan pergilah! ~ Habis itu, terdengar suara daun pohon berkeresekan, agaknja orangnja sudah pergi djauh.

Terus sadja Toan Ki berteriak-teriak: Gak-losam! Gak-losam! Gurumu ada kesulitan, lekas kau menolongnja!

Namun sampai tenggorokannja bedjat tetap tiada seorangpun jang menjahut, pikirnja: Dalam keadaan begini, biarpun aku harus angkat guru padanja djuga takbisa dipersoalkan lagi. Soal salah mengangkat orang djahat sebagai guru adalah urusan pribadiku dan tak boleh menjangkut diri ajah dan paman.

Karena itu, segera ia berteriak-teriak pula: Gak-losam! Lam-hay-gok-sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima mendjadi ahliwaris Lam-hay-paymu, lekasan engkau datang menolong muridmu ini. Kalau tidak, tentu kau takkan memperoleh seorang murid bagus lagi! ~ Tapi sampai ia tjapek sendiri, tetap tiada suatu bajangan setanpun jang kelihatan.

Toan-long, tiba-tiba Wan-djing berkata, sesudah kita kawin, kau lebih suka anak pertama kita nan laki-laki atau wanita?

Laki-laki, sahut Toan Ki dalam keadaan sadar-tak-sadar.

Hai, Toan-kongtju, engkau adalah Engkohnja, tak boleh kalian kawin! tiba-tiba suara seorang gadis ketjil menjela dari luar batu itu.

Toan Ki mendjadi terperandjat, tjepat sahutnja: Ap ... apakah engkau Tjiong-kohnio adanja?

Ja, benar, memang akulah! demikian sahut gadis itu jang memang adalah Tjiong Ling. Aku telah dengar semua utjapan Djing-bau-khek jang djahat itu, tapi djangan kuatir, aku pasti akan berdaja untuk menolongmu!

Bagus! seru Toan Ki girang. Nah, lekasan kau pergi mentjuri obat penawarnja untuk kami.

Ada lebih baik aku geser batu besar ini untuk menolong engkau keluar dahulu, demikian udjar Tjiong Ling.

Tidak, tidak! Lekas kau mentjurikan obat penawar dahulu, sahut Toan Ki tjepat. Se ... sebab aku sudah tak tahan lagi, aku ham ... hampir-hampir mati ini!

Apanja jang kau tak tahan? Apakah kau sakit perut? tanja Tjiong Ling kuatir.

Bu ... bukan, sahut Toan Ki.

Habis, apakah sakit kepala? Tjiong Ling menegas pula.

Djuga bukan, sahut Toan Ki.

Habis, apamu jang tidak enak?

Toan Ki mendjadi sulit, masakah urusan begituan boleh diterangkan pada seorang nona tjilik jang masih hidjau? Terpaksa ia mendjawab: Seluruh badanku merasa tidak enak, tjukuplah asal kau berusaha mendapatkan obat penawarnja.

Tapi kau tidak terangkan apa penjakitnja, darimana aku bisa tahu obat penawar apa jang diperlukan? udjar Tjiong Ling mengkerut dahi. Ajahku pandai mengobati segala penjakit, tapi dia harus mengetahui dahulu apakah kau sakit perut, sakit kepala, atau sakit djantung?

Ak ... aku tidak sakit apa-apa, sahut Toan Ki menghela napas. Tapi aku telah salah ... salah minum sematjam ratjun jang disebut Im-yang-ho-hap-san.

Bagus, seru Tjiong Ling, asal engkau tau namanja, mudahlah urusan diselesaikan.

Lalu dengan tjepat gadis itu pulang kerumah hendak minta obat penawar Im-yang-ho-hap-san pada ajahnja.

Tak tersangka begitu sigadis menjebut tentang Im-yang-ho-hap-san segala, belum lagi ia menerangkan lebih landjut, kontan Tjiong Ban-siu terus tarik mukanja jang berbentuk muka kuda itu, damperatnja: Anak perempuan seketjil ini suka tanja ini dan itu jang tidak karuan. Kalau kau berani sembarangan

omong lagi, sebentar aku djewer kupingmu.

Dan sebelum Tjiong Ling sempat bitjara lebih landjut, saat itulah Po-ting-te dan rombongannja sudah menjerbu kedalam lembah Ban-djiat-kok, maka tjepat Ban-siu keluar menghadapi musuh sehingga Tjiong Ling ditinggal sendirian didalam kamar.

Ketika mendengar diluar sudah terdjadi pertarungan sengit, Tjiong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia asjik membongkar almari obat simpanan sang ajah. Ia obrak-abrik beratus botol obat Tjiong Ban-siu jang tersimpan didalam almari itu, setiap botol obat itu tertempel etiket jang menundjukkan nama obat masing-masing, tapi obat penawar Im-yang-ho-hap-san itu djusteru tidak terdapat.

Dan sedang Tjiong Ling bingung entah kemana harus mentjari obat penawar jang dibutuhkan, tiba-tiba terdengar suara orang mendobrak pintu dan melangkah masuk. Tanpa pikir lagi ia terus lepaskan Djing-leng-tju, siapa duga badan Djing-leng-tju jang kuat seperti besi itu, sekali diselentik Po-ting-te lantas binasa.

Dalam pada itu, Toan Ki jang menunggu-nunggu kembalinja Tjiong Ling hingga lama itu, pikiran tak senonohnja sudah semakin berkobar-kobar, beberapa kali hampir-hampir ia menubruk madju untuk memeluk Bok Wan-djing. Sampai achirnja, saking tak tahan, segera ia berteriak: Djing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekaslah kau memberikan panahmu jang berbisa itu!

Tidak, aku takmau memberi, sahut Wan-djing dengan suara serak dan mata merah.

Toan Ki terus memukul-mukul dada dan perut sendiri sambil teriaknja pula: Mati, matilah kau! ~ Dan mendadak kepalan jang menghantam dada sendiri itu memukul diatas sebuah benda keras, itulah kotak kemala jang berada dalam badjunja. Seketika hatinja tergerak: Ha, biarlah aku gunakan Bong-koh-tju-hap ini untuk memanggil ular-ular beratjun, biarlah aku digigit mati ular-ular berbisa sadja.

Segera ia keluarkan kotak kemala itu dan membuka tutupnja. Benar djuga sepasang katak aneh itu lantas menguak keras-keras.

Namun dilembah Ban-djiat-kok itu berhubung Tjiong Ling suka memainkan Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju, maka ular-ular berbisa lainnja sudah djauh menjingkir kelain tempat sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknja

katak-katak radja ular itu.

Sampai lama Toan Ki menunggu, namun tiada seekor ularpun jang kelihatan. Sebaliknja badannja semakin panas, mulutnja serasa kering, keringatnja membasah kujup badjunja. Pikirnja: Sepasang Tju-hap ini bisa mengatasi ular-ular beratjun, agaknja pada badan binatang itu ratjunnja pasti djauh lebih lihay daripada ular-ular beratjun jang paling djahat. ~ Karena dia sudah ambil keputusan hendak membunuh diri, dalam keadaan pikiran sudah gelap, tanpa banjak pikir lagi ia terus tjomot seekor katak merah itu, ia masukkan binatang itu kedalam mulut terus dikunjahnja.

Ia merasakan air segar mengalir masuk ketenggorokannja, rasanja sangat enak. Ternjata katak-katak itu adalah binatang berdarah dingin. Maka hanja sekedjap sadja seekor katak merah jang merupakan machluk mestika jang djarang diketemukan didjagat ini sudah dimakannja habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera katak jang kedua dimakannja pula.

Melihat muka Toan Ki sangat beringas sambil memakan katak hingga mulutnja penuh berlepotan darah, rambutnja kusut masai pula, Bok Wan-djing mendjadi rada takut malah.

Sementara itu setelah makan dua ekor Tju-hap mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megap-megap, ia djusteru mengharapkan ratjun binatang itu lekas bekerdja agar dirinja lekas mati, supaja terhindar daripada siksaan jang susah ditahan itu....

Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan Tjiong Ling, ia tjoba mentjari pula tempat terkurungnja Toan Ki. Tiba-tiba terdengar dari belakang ada suara tindakan orang, tjepat ia menoleh, ternjata adalah Tjiong Ling jang sedang menjusulnja. Segera iapun berhenti menantikan gadis tjilik itu.

Sambil mendekati, terdengar Tjiong Ling berkata: Aku tak menemukan obat penawarnja, marilah aku membawa engkau kesana. Tapi entah batu itu dapat engkau geser atau tidak?

Sudah tentu Po-ting-te bingung tentang obat penawar segala, tanjanja: Obat penawar apa? Dan batu apa lagi?

Marilah ikut padaku, sebentar kau akan tahu sendiri, sahut Tjiong Ling terus mendahului djalan kedepan.

Meskipun djalanan di Ban-djiat-kok itu sangat berliku-liku penuh rahasia, namun dibawah petundjuk Tjiong Ling, sebentar sadja ia sudah membawa Po-ting-te sampai didepan pagar pohon jang mengelilingi rumah batu itu.

Dengan enteng Po-ting-te angkat bahu Tjiong Ling, sama sekali tidak tampak radja itu endjot kakinja, tahu-tahu ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan anteng sambil membawa Tjiong Ling. Karuan gadis itu kagum dan kegirangan, ia bertepuk tangan memudji: Bagus, bagus! Kau seperti bisa terbang sadja, sungguh hebat! Wah, tjelaka! Tiba-tiba seruannja ditutup oleh djeritan kuatir itu.

Kiranja tiba-tiba dilihatnja didepan rumah batu itu berduduk seorang, itulah dia Djing-bau-khek atau sibadju hidjau jang aneh itu.

Rupanja Tjiong Ling sangat takut terhadap manusia jang setengah-mati-setengah-hidup itu, ia membisiki Po-ting-te: Marilah kita pergi dulu, nanti kalau orang itu sudah enjah, barulah kita kembali lagi.

Po-ting-te sendiri rada heran djuga melihat Djing-bau-khek jang luar biasa itu. Ia tjoba menghibur sigadis: Djangan kuatir, masih ada aku disini. Apakah Toan Ki terkurung didalam rumah batu ini?

Tjiong Ling mengangguk, lalu mengumpet dibelakang Po-ting-te.

Pelahan-pelahan Po-ting-te mendekati Djing-bau-khek, tegurnja dengan ramah: Dapatkah silahkan saudara menjingkir sedikit?

Namun Djing-bau-khek itu anggap tidak melihat dan tidak mendengar, ia tetap duduk bersila dengan tenang ditempatnja.

Djika saudara tidak suka menjingkir, maafkanlah kalau Tjayhe mesti berlaku kasar, kata Po-ting-te pula. Sekali miringkan tubuh, segera ia melajang lewat disamping Djing-bau-khek terus hendak mendorong batu penutup pintu rumah.

Tapi sebelum Po-ting-te mengeluarkan tenaga, sekonjong-konjong Djing-bau-khek melorot keluar sebatang tongkat bambu terus menutuk ke Koat-bun-hiat dibawah ketiaknja. Tjuma anehnja tongkat bambu itu berkeder

terus dan tidak lantas ditutukkan, pabila Po-ting-te kerahkan tenaga untuk mendorong batu, sekali tongkat itu ditutukkan, tentu Po-ting-te susah menghindarkan diri.

Karuan Po-ting-te terkesiap, pikirnja: Ilmu Tiam-hiat orang ini sungguh sangat pandai. Didjaman ini, siapakah gerangan tokoh kosen selihay ini?

Tjepat ia ajun tangan jang lain untuk membelah tongkat bambu orang, sedang tangan satunja tetap menahan diatas batu untuk sewaktu-waktu mendorongnja. Namun reaksi Djing-bau-khek itu benar-benar sangat tjekatan, sekali tongkatnja memutar, kembali ia antjam Thian-ti-hiat didada lawan.

Setjepat kilat Po-ting-te berganti serangan sampai beberapa kali, tapi selalu kena diatasi lebih dulu oleh tongkat bambu sibadju hidjau jang tetap mengantjam sesuatu tempat Hiat-to jang berbahaja ditubuhnja.

Pertarungan diantara kaum ahli memangnja tidak perlu setiap serangan mesti mengenai sasarannja dengan telak. Maka sesudah belasan kali berganti tipu serangan, selalu Djing-bau-khek berhasil membuat Po-ting-te tidak sempat kerahkan tenaganja untuk mendorong batu besar itu. Betapa djitu tjaranja mengintjar Hiat-to, Po-ting-te harus mengakui lawan tidak kalah daripada dirinja, bahkan masih diatas adiknja, jaitu Toan Tjing-sun.

Sekonjong-konjong Po-ting-te memotong miring kebawah dengan tangan kiri, menjusul mata, tahu-tahu telapak tangan itu mendadak berubah dengan tutukan djari, Tjus, ia keluarkan Lwekang dari It-yang-tji untuk menutuk tongkat lawan. Kalau tutukan ini kena, djangankan hanja tongkat bambu, biarpun tongkat badja djuga akan dibuatnja bengkok.

Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itupun bergerak, tjus, tongkat itupun menutuk kearahnja hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur diudara. Kontak Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknja badan Djing-bau-khek djuga rada tergeliat sedikit. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknja wadjah Djing-bau-khek itupun sekilas bersemu hidjau, namun sama-sama lantas lenjap dalam sekedjap sadja.

Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnja: Ilmu silat orang ini bukan sadja sangat tinggi, bahkan sudah terang adalah satu sumber dengan diriku. Djelas kelihatan ilmu permainan tongkatnja ini ada hubungannja dengan It-yang-tji .

Karena itu, segera ia memberi hormat dan menanja: Siapakah nama Tjianpwe jang terhormat, sudilah kiranja memberitahu?

Kau ini Toan Tjing-beng atau Toan Tjing-sun? terdengar sesuatu suara mendenging berbalik menanja padanja.

Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bitjara, Po-ting-te mendjadi lebih heran, sahutnja: Aku adalah Toan Tjing-beng!

Hm, djadi engkau inilah radja Po-ting-te dari negeri Tayli sekarang? djengek orang aneh itu.

Benar, sahut Po-ting-te.

Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi? tiba-tiba Djing-bau-khek itu menanja.

Untuk sedjenak Po-ting-te memikir, lalu mendjawab: Bitjara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa menangkan engkau.

Benar, Djing-bau-khek itu mengakui, betapapun karena badanku sudah tjatjat. Ai, sungguh tidak njata bahwa setelah mendjadi radja, sedikitpun engkau tidak terlantarkan ilmu silatmu. ~ Walaupun suaranja keluar dari perutnja dengan suara jang aneh, tapi tetap dapat terdengar utjapannja jang terachir penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan ketjewa.

Karena takbisa menerka asal-usul orang, dalam sekedjap didalam benak Po-ting-te sudah berputar matjam-matjam tanda tanja.

Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara djeritan seorang jang keras dan serak. Itulah dia suara Toan Ki.

Tjepat Po-ting-te berseru: Ki-djie, kenapakah kau? Djangan kuatir, segera aku datang menolong kau!

Kiranja sehabis memakan kedua ekor Bong-koh-tju-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak tersangka olehnja bahwa sepasang katak merah itu adalah machluk adjaib jang djarang terdapat dialam semesta ini, hidupnja berkat hawa Yang atau positip jang murni. Pabila jang memakannja itu adalah Bok Wan-djing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika ratjun jang berkobar-kobar didalam tubuh sigadis akan dapat dihapusnja.

Tapi sekarang jang memakannja adalah Toan Ki jang bertenaga Yang atau positip, tenaga kaum lelaki. Memangnja hawa Yang itu sedang bergolak didalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Tju-hap, karuan sebentar sadja setelah hawa Yang katak-katak itu mulai bekerdja, keadaan Toan Ki mendjadi mirip api disiram minjak, saking panas oleh bergolaknja hawa Yang itu, sampai achirnja Toan Ki hanja megap-megap sambil berteriak mengangakan mulutnja, dengan demikian dapatlah hawa jang merongkol didalam tubuh itu sekadar dikeluarkan. Tentang pertjakapan antara Po-ting-te dan Djing-bau-khek itu diluar rumah batu serta Po-ting-te menjuruhnja djangan kuatir segala, Toan Ki hanja dapat mendengarnja, tapi tidak sadar lagi akan maksudnja.

Hm, Siautju ini boleh djuga dasar imannja, setelah minum aku punja Im-yang-ho-hap-san ternjata masih mampu bertahan sampai sekarang, demikian tiba-tiba Djing-bau-khek berkata.

Karuan Po-ting-te kaget, tanjanja ragu-ragu: Kau ... kau memberinja ratjun sedjahat dan setjabul itu, apa maksud tudjuanmu sebenarnja?

Didalam rumah ini terdapat pula adik perempuannja, sahut Djing-bau-khek.

Maka mengartilah Po-ting-te akan muslihat kedji orang. Sekalipun biasanja ia sangat sabar, kini iapun tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-tji jang maha lihay itu terus menutuk. Segera Djing-bau-khek membalasnja dengan tongkat bambunja.

Menjusul tutukan kedua Po-ting-te dilontarkan pula, kali ini mengarah Tan-tjong-hiat didada lawan. Hiat-to ini adalah tempat jang mematikan, ia menduga musuh tentu akan menangis sekuat tenaga.

Tak tersangka Djing-bau-khek itu hanja mendengus dua kali, tidak menangkis djuga tidak berkelit, ia membiarkan dadanja ditutuk orang. Dalam pada itu djari Po-ting-te sudah menjentuh badju orang, ia mendjadi tjuriga melihat lawannja mandah sadja diserang, segera ia tahan tutukannja itu ditengah djalan sambil menanja: Kenapa kau rela mati?

Kalau aku mati dibawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan bertambah lebih dalam lagi setingkat, sahut Djing-bau-khek.

Siapakah engkau sebenarnja? tanja Po-ting-te pula.

Maka dengan pelahan Djing-bau-khek itu mengutjapkan satu kalimat.

Mendengar itu, seketika wadjah Po-ting-te berubah hebat, katanja dengan terputus-putus: Ak ... aku tidak pertjaja!

Tiba-tiba Djing-bau-khek itu oper tongkat bambunja ketangan kiri, lalu djari telundjuk tangan kanan mendadak menutuk kearah Po-ting-te. Namun tjepat Po-ting-te sempat mengegos kesamping, berbareng balas menutuk sekali.

Tjus, lagi-lagi tutukan kedua Djing-bau-khek itu dilontarkan dengan djari tengah. Dengan sikap prihatin Po-ting-te membalas pula dengan djari tengah pula.

Menjusul Djing-bau-khek menutuk pula dengan djari manis jang menjamber dari samping, kemudian tutukan keempat dilantjarkan dengan djari ketjil dengan gaja mentjukit.

Dengan wadjah sungguh2 Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan djari2 jang sama. Ketika tutukan kelima kalinja terdjadi, kini Djing-bau-khek menggunakan djari djempol dengan gaja menekan kedepan.

Diantara kelima djari tangan, djempol adalah djari jang paling kaku, tidak segesit djari2 lain. Tapi Djing-bau-khek dapat menggunakan djari djempol untuk menutuk dengan It-yang-tji, tentu sadja Po-ting-te tak berani ajal, segera iapun angkat djari djempolnja dan ditekan kedepan.

Tjiong Ling jang menonton disamping mendjadi ter-heran2, sifat kanak2nja mendjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnja pada Djing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru: He, apakah kalian sedang main sut (suten)? Siapakah jang telah menang?

Sembari berkata, Tjiong Ling berdjalan mendekati. Tapi se-konjong2 serangkum angin keras menjamber kearahnja, seketika dadanja mendjadi sesak se-akan2 kena ditikam sendjata tadjam. Untung Po-ting-te sempat ajun sebelah tangannja hingga tubuh Tjiong Ling dapat didorong mundur, menjusul mana Po-ting-te sendiripun melesat mundur untuk memajang badan sigadis dengan wadjah guram, katanja: Apakah kau sudah tidak sajang pada djiwamu lagi?

Huak, terus sadja Tjiong Ling muntahkan darah segar, dengan tertjengang ia mendjawab: Ap...... apakah ia hendak membunuh aku?

Bukan, sahut Po-ting-te. Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh sembarangan mendekat.

Habis itu, Po-ting-te urut2 pelahan beberapa kali dipunggung Tjiong Ling hingga pernapasan gadis itu lantjar kembali.

Sekarang kau pertjaja tidak? demikian terdengar Djing-bau-khek itu bertanja pada Po-ting-te.

Segera Po-ting-te melangkah madju, ia membungkuk memberi hormat pada orang sambil berkata: Toan Tjing-beng memberi hormat pada Tjianpwe.

Kau tjuma panggil aku Tjianpwe, djadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang masih belum mau pertjaja? tanja Djing-bau-khek itu.

Tjing-beng adalah pemimpin dari suatu negeri, mempunjai pertanggungan djawab berat, setiap tindak-tanduk dengan sendirinja tidak boleh semberono. demikian djawab Po-ting-te. Tjing-beng sendiri tidak punja anak, Toan Ki itu adalah satu2nja anak laki2 keluarga Toan kami, maka mohon Tjianpwe suka memberi ampun melepaskan dia.

Tidak, aku djusteru ingin keluarga Toan rusak moralnja dari berdurhaka, hilang anak putus turunan. Dengan susah pajah aku mentjari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh aku sembarangan membebaskannja?

Toan Tjing-beng tidak bisa terima perbuatanmu ini! seru Po-ting-te dengan

suara keras.

Hehe! Kau mengaku sebagai radja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak jang merebut kekuasaan. Djika kau berani, boleh kau kerahkan pasukanmu dan kawanan pengawalmu kesini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuasaanku tidak bisa melawan kau, namun bila aku mau bunuh sibangsat tjilik Toan Ki ini, rasanja masih terlalu mudah.

Wadjah Po-ting-te mendjadi putjat pasi. Ia tahu apa jang dikatakan orang memang benar, asal dirinja bertambah lagi seorang pembantu, tentu Djing-bau-khek ini takkan mampu melawannja, tapi Toan Ki jang segera mendjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Tjianpwe, mana boleh dirinja melawan pada orang tua. Maka terpaksa ia menanja: Habis, tjara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-dji?

Tidak susah, mudah sekali! sahut Djing-bau-khek. Kau lekas mendjadi Hwesio dan serahkan tachtamu padaku, segera aku akan membebaskan Toan Ki.

Warisan dari leluhur, mana boleh sembarangan diberikan orang lain? sahut Po-ting-te.

Djika begitu, boleh kau sabar menanti sadja, bila Toan Ki dan adik perempuannja sudah melahirkan anak, segera aku lepaskan dia. kata Djing-bau-khek.

Lebih baik lekas kau membunuhnja sadja. sahut Po-ting-te.

Tidak, kata Djing-bau-khek. Selain itu, masih ada lagi dua djalan.

Djalan apa? tanja Po-ting-te.

Pertama, mendadak menjerang aku, karena tak sempat mendjaga diri, kau bisa membunuh aku dengan mudah dan tentu kau dapat menolong keponakanmu itu.

Aku tidak pernah membokong orang, djuga tidak padamu! udjar Po-ting-te.

Walaupun kau hendak membokong aku djuga belum tentu mampu, sahut Djing-bau-khek. Dan djalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki menempur aku dengan It-yang-tji, asal dia bisa menangkan aku, bukankah dia sendiri bisa lolos? Hehe-hehe!

Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanja pula: Ki-dji takbisa ilmu silat, ia tidak pernah beladjar ilmu It-yang-tji.

Putera keluarga Toan takbisa It-yang-tji? Ha, siapa jang mau pertjaja! djengek Djing-bau-khek.

Sedjak ketjil Ki-dji hanja suka batja kitab dan tekun beribadat, hatinja welas-asih, ia bertekad tidak mau beladjar silat, demikian Po-ting-te mendjelaskan.

Huh, kembali seorang laki2 berhati palsu lagi. Orang demikian kalau mendjadi radja Tayli, rasanja djuga takkan menguntungkan rakjat, ada lebih baik lekas dibunuhnja sadja.

Tjianpwe, tiba2 Po-ting-te berseru dengan bengis, ketjuali itu tadi, apakah masih ada djalan lain pula?

Dahulu kalau akupun diberi djalan lain, tentu tak djadi seperti hariini, sahut Djing-bau-khek dingin. Kalau orang lain tidak memberi djalan padaku, kenapa aku harus memberi djalan padamu?

Po-ting-te menunduk memikir sedjenak, mendadak ia angkat kepalanja dengan sikap jang penuh kepertjajaan, serunja: Ki-dji, selekasnja aku akan berdaja untuk menolong kau. Djanganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!

Maka terdengar Toan Ki berseru mendjawabnja: Pekhu, lebih baik kau masuk kesini........ dan menutuk mati aku sadja!

Apa? Djadi kau sudah melakukan perbuatan jang merusak kehormatan keluarga Toan kita? bentak Po-ting-te.

Tidak! Tapi Tjitdji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, takbisa...... takbisa hidup lagi!

Mati atau hidup adalah takdir ilahi, biarkan apa semestinja! seru Po-ting-te.

Habis itu ia ganddeng tangannja Tjiong Ling terus melompat lewat pagar pohon.

Nona tjilik, terima kasih engkau telah tundjukan djalannja, kelak tentu kau akan dapat gandjaran jang setimpal. kata Po-ting-te pada Tjiong Ling, lalu tinggal pergi kembali kedepan rumah utama tadi.

Dalam pada itu pertarungan masing2 partai dikalangan itu sudah mulai kentara kekuatan masing2, Bu-sian-tio-toh Leng Djian-li dan Tiam-djong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah terang diatas angin. Sebaliknja Djay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Tju Tan-sin jang mengerubut Yap Dji-nio malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua dari Su-ok itu.

Si Pek-hong tampak putar kebutnja dengan rapat hingga sepasang Siu-lo-to lawannja susah menembus pertahanannja.

Disebelah sana In Tiong-ho tampak masih main udak2an dengan Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak megap2 bagai kerbau sekarat, sebaliknja Thian-sik masih melompat dan meletjit dengan enteng dan tjekatan. Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap atjuh-tak-atjuh menggendong tangan mondar-mandir disamping, njata ia sudah jakin akan kemenangan dipihaknja, maka terhadap pertarungan sengit didepannja itu dianggapnja sepi sadja. Padahal ia djusteru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannja mengikuti situasi medan pertempuran, asal tiada seorang kawannja menghadapi bahaja, iapun tidak perlu turun tangan membantu.

Dan karena tidak melihat adik pangerannja berada disitu, segera Po-ting-te menanja: Kemana Sun-te pergi?

Tin-lam-ong mengedjar Tjiong-koktju dan sedang mentjari Toan-kongtju. sahut Sing-thay.

Segera Po-ting-te berseru: Kita sudah ada rentjana lain, harap semua orang mundur dulu.

Mendadak Pah Thiabn-sik lantas berhenti. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk kearahnja. Plak, tjapat Thian-sik melontarkan pukulan kebelakang. Ketika In Tiong-ho menangkis, kontan dadanja serasa sesak, darah hampir2 menjembur keluar dari mulutnja. Sekuatnja ia tjoba bertahan, namun pandangannja mendjadi remang2, susah lagi melihat datangnja serangan lawan.

Untung Thian-sik tidak menghantam lebih djauh, sebaliknja tjuma mendjengek beberapa kali dan berkata: Terima kasih!

Dalam pada itu, tampak Toan Tjing-sun telah muntjul djuga dari semak2 pohon sana, segera ia menanja: Hong-heng, apakah Ki-dji sudah terto...... sudah diketemukan? ~ sebenarnja ia hendak tanja apakah sudah tertolong, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia berganti menanja apakah sudah diketemukan atau belum?

Sudah ketemu, sahut Po-ting-te mengangguk. Marilah kita pulang sadja dahulu.

Mendengar perintah gentjetan sendjata radja mereka, sebenarnja Leng Djian-li dan kawan2nja lantas hendak berhenti. Namun Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Tjin Ang-bian sedang bernapsu melabrak lawan2nja, seketika mereka belum rela berhenti begitu sadja, mereka masih tetap tjetjar lawan2nja.

Po-ting-te mengkerut kening melihat itu, katanja pula: Marilah kita pergi sadja!

Ko Sing-thay mengia, sekali berbareng ia keluarkan sendjatanja giok-tik atau seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Tjin Ang-bian ditutuknja.

Huh, tidak malu, main kerojokan! damperat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.

Maka terdengarlah suara tjrang-tjring dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan kebawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.

Sekali Ko Sing-thay kebas lengan badjunja jang longgar itu hingga berdjangkit serangkum angin keras, ia tahan agar Tjin Ang-bian tidak merangsak lebih djauh lawannja, lalu serulingnja menutuk pula kearah Lam-hay-gok-sin, menjusul serulingnja membalik, kini Yap Dji-nio jang diintjar.

Kedua gerak serangan itu semuanja menjerang ketitik kelemahan musuh jang terpaksa mesti dihindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Dji-nio mendjadi kaget semua, tjepat mereka melompat mundur beberapa tindak.

Sebenarnja ilmu silat Ko Sing-thay toh tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannja itu, soalnja sudah lama ia sudah merentjanakan tipu2 serangan hebat untuk melajani ketiga orang itu. Asal tipu serangan jang sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.

Dengan mendelikan matanja jang bundar ketjil sebesar katjang itu, Lam-hay-gok-sin terkedjut tertjampur kagum, serunja: Setan, hebat benar, sungguh tidak njana....... ~ Ia tidak melandjutkan kata2nja jang bermaksud tidak njana begini lihay kepandaianmu, agaknja Lotju masih bukan tandinganmu.

Dalam pada itu Si Pek-hong lantas bertanja pada Po-ting-te: Hong-heng, bagaimana dengan Ki-dji?

Meski dalam batinnja Po-ting-te sangat kuatir, namun lahirnja ia tetap tenang sadja, sahutnja: Tidak apa2, saat ini djusteru adalah kesempatan jang paling bagus untuk menggemblengnja, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bisa bebas. ~ Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.

Tjepat Sukong Pah Thian-sik berlari kedepan sebagai pembuka djalan. Sedang suami isteri Toan Tjing-sun menjusul dibelakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, paling achir adalah Ko Sing-thay jang mengawal dengan berlenggang seenaknja.

Njata, dengan serangan2 jang lihay tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan2nja rada djeri. Biarpun Lam-hay-gok-sin biasanja sangat garang dan buas, kini djuga tidak berani sembarangan menantang pula.

Setelah belasan tindak berdjalan, tiba2 Toan Tjing-sun menoleh memandang Tjin Ang-bian. Saat itu, dengan termangu2 Ang-bian djuga sedang memandang

bekas kekasihnja itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka terkesima semua.

Keparat! mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, Apakah kau masih tidak mau pergi dan ingin berkelahi pula dengan Lotju?

Toan Tjing-sun mendjadi kaget, tjepat ia berpaling kembali, ia lihat sang isteri sedang memandangnja dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas2 ia pertjepat langkahnja keluar dari Ban-djiat-kok.

Setelah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te lantas berkata: Mari kita berkumpul semua dikeraton untuk berunding!

Sampai dipendopo keraton, Po-ting-te duduk ditengah, Toan Tjing-sun suami-isteri disisinja, sedang Ko Sing-thay dan lain2 hanja berdiri. Segera Po-ting-te suruh dajang membawakan kursi dan minta semua orang ikut berduduk. Habis itu, ia perintahnja semua dajang keluar ruangan, lalu mentjeritakan keadaan Toan Ki jang dikeram oleh musuh itu.

Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kuntji daripada mati-hidupnja Toan Ki adalah terletak pada diri Djing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te mengatakan orang aneh itupun paham It-yang-tji, bahkan masih lebih lihay daripada sang radja, karuan tiada seorangpun jang berani sembarangan buka suara.

Sebab harus diketahui bahwa It-yang-tji itu adalah ilmu tunggal warisan keluarga Toan turun-temurun, hanja diadjarkan pada anak laki2 dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau Djing-bau-khek mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinja pasti djuga berasal dari keturunan keluarga Toan.

Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Tjing-sun: Sun-te, tjoba kau terka siapakah gerangan orang itu?

Tjing-sun geleng2 kepala, sahutnja: Aku takbisa menebaknja, apa barangkali ada orang dari geredja Tjing-peng-si jang kembali mendjadi preman dan menjamar?

Bukan, sahut Po-ting-te.Tapi dia adalah Yan-king Thaytju!

Mendengar nama Yan-king Thaytju atau putera mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkedjut.

Yan-king Thay-tju? Tjing-sun menegas. Bukankah sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.

Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-tji djuga dapat dipalsu? sahut Po-ting-te menghela napas. Memang banjak djuga orang Bu-lim mentjuri beladjar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang dari It-yang-tji kita tjara bagaimana bisa ditjurinja? Maka menurut aku, orang ini pastilah Yan-king Thaytju adanja, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.

Tjing-sun memikir sedjenak, lalu berkata: Djika Toako sudah djelas mengenali orang, ini berarti dia adalah tokoh pilihan dari Toan-keh (keluarga Toan) kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita?

Orang ini badaniah tjatjat semua, dengan sendirinja sifat2nja sangat menjendiri dan aneh, segala tindak-tanduk dengan sendirinja djuga abnormal, demikian Po-ting-te mendjelaskan. Apalagi tachta keradjaan Tayli sudah kududuki, dengan sendirinja ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihantjurkannja habis2an.

Hlm. 17: Gambar

Dengan sjarat apa barulah Tjianpwe suka membebaskan Ki-dji? tanja Po-ting-te.

Mudah sekali, sahut Djing-bau-khek, Kau mendjadi Hwesio dan serahkan tachtamu padaku, dan botjah itu segera kulepaskan. Kalau tidak, haha, biarlah lain tahun kita saksikan kelahiran bajinja dari perkawinannja dengan adik perempuannja sendiri!

Toako sudah lama naik tachta dan didukung penuh oleh seluruh rakjat, negarapun aman dan tenteram, rakjat hidup sedjahtera, djangankan Yan-king Thaytju datang kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali djuga susah menggantikan tachta Toako, demikian udjar Tjing-sun.

Segera Ko Sing-thay djuga berbangkit, dan berdatang sembah: Apa jang dikatakan Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan mendjadi beres apabila Yan-king Thaytju mau bebaskan Toan-kongtju dengan baik2, kalau tidak, kitapun tidak kenal lagi apakah dia itu Thaytju apa segala, kita anja anggap dia sebagai kepala dari Su-ok jang maha djahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnja tinggi, achirnja djuga takkan mampu lawan kita jang berdjumlah lebih banjak.

Kiranja pada masa 14 tahun jang lalu, tatkala itu radja Tayli Toan Lian-tju dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Njo Tjit-tjeng. Kemudian keponakan dari Siang-tek-te jang bernama Toan Siu-hui dapat bantuan dari pembesar setia Ko Ti-sing, telah membasmi pemberontakan Njo Tjhit-tjeng, lalu naik tachta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.

Tapi Siang-beng-te tidak senang mendjadi radja, hanja bertachta satu tahun, ia lantas mengundurkan diri untuk mendjadi Hwesio, ia serahkan tachtanja kepada adik sepupunja Toan Tjing-beng, jaitu Po-ting-te jang sekarang.

Siang-tek-te sebenarnja mempunjai seorang putera kandng jang disebut oleh para menteri dengan gelar Yan-king Thaytju. Tapi sewaktu terdjadi kudeta oleh Njo Tjhit-tjeng, Yan-king Thaytju telah menghilang hingga semua orang menjangka djuga sudah dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga sesudah belasan tahun lamanja, kini mendadak telah muntjul kembali.

Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te lantas berkata sambil geleng kepala: Tidak, aku tidak setudju. Tachtaku ini memangnja adalah haknja Yan-king Thaytju. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanja Siang-beng-te mau terima tachta ini, kemudian diberikan pula padaku. Tapi kini kalau Yan-king Thaytju sudah kembali, tachta keradjaan ini sepantasnja harus dikembalikan padanja. ~ Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menjambung: Andaikan mendiang ajahmu masih hidup, tentu iapun sependapat dengan aku.

Kiranja Ko Sing-thay ini tak-lain-tak-bukan adalah puteranja Ko Ti-sing, itu menteri setia jang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.

Segera Ko Sing-thay melangkah madju, ia menjembah dan menutur pula: Mendiang ajahku membaktikan dirinja kepada negara dan tjinta pada rakjat. Padahal Djing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok jang maha djahat, kalau dia jang meradjai negeri Tayli ini, maka susah dibajangkan betapa tjelakanja rakjat djelata akan menderita akibat angkara-murkanja itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menjerahkan tachta padanja, hamba Sing-thay sekalipun mati takbisa terima.

Tjepat Leng Djian-li pun menjembah kelantai, katanja: Tadi Djian-li djuga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanja kepala dari Su-ok mereka berdjuluk kedjahatan sudah melebihi takaran. Tjoba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king Thaytju, lalu menjerahkan tachta ini kepada seorang jang kedjam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakjat Tayli ini, maka pastilah negara akan hantjur dan rakjat akan tjelaka!

Harap kalian bangun, apa jang kalian katakan memang ada benarnja djuga, sahut Po-ting-te. Tjuma Ki-dji berada ditjengkeramannja, ketjuali menjerahkan tachta padanja, djalan lain rasanja tiada lagi.

Toako, kata Tjing-sun, selamanja jang kita kenal adalah: orang tua ada kesulitan, jang muda harus berusaha sebisanja untuk menolong. Ki-dji meski benar sangat disajang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan tachtamu hanja untuk keselamatannja seorang? Andaikan untuk mana Ki-dji dapat diselamatkan, rasanja diapun akan merasa berdosa pada rakjat negeri Tayli ini.

Po-ting-te tidak berkata pula, ia berbangkit sambil berdjalan mondar-mandir diruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus-elus djenggot, tangan lain ketok-ketok perlahan didjidat sendiri.

Semua orang tahu bila sang radja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti demikian, maka tiada seorangpun jang berani bersuara mengganggu.

Setelah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te: Perbuatan Yan-king Thaytju ini benar-benar kedji sekali, ratjun Im-yang-ho-hap-san jang dia minumkan pada Ki-dji itu sangat lihay, orang biasa sangat susah bertahan. Maka kukuatir saat ini Ki-dji sudah ... sudah hilap oleh pengaruh ratjun serta sudah berbuat .... Ai, tapi kedjadian ini adalah muslihat jang sengadja diatur musuh, takbisa djuga menjalahkan Ki-dji.

Toan Tjing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat sampai keakar-akarnja, semuanja adalah gara-gara perbuatannja sendiri jang sok romantis itu.

Tiba-tiba Po-ting-te berpaling kepada Ko Sing-thay dan menanja: Sing-thay, tahun ini puterimu itu berusia berapa?

Siauli (puteriku) tahun ini berumur delapanbelas, sahut Sing-thay.

Bagus! udjar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Tjing-sun: Sun-te, kita tetapkan untuk melamar puteri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sukong, harap kau lantas pergi kebagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menjediakan emas kawin jang diperlukan. Persitiwa ini harus dirajakan semeriah-meriahnja hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua.

Suami-isteri Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnja. Namun segera merekapun paham bahwa tindakan Po-ting-te itu adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki jang masih sutji bersih itu. Asal setiap orang diseluruh negeri sudah tahu bahwa isterinja Toan Ki adalah puteri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekali pun kemudian Yan-king Thaytju menjebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannja sendiri, tentu orang luar akan menganggapnja sebagai dusta dan pitenahan belaka, paling-paling djuga tjuma setengah pertjaja setengah tidak.

Maka Toan Tjing-sun lantas mendjawab: Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama menengar djuga bahwa puteri Sian-tan-hou tjantik aju, pintar lagi berbakti, sungguh seorang isteri jang susah ditjari. Tetapi tabiat Ki-dji agak aneh djuga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah lolos dari bahaja, kemudian beritahukan padanja, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan perdjodohan ini.

Sudah tentu akupun tahu watak Ki-dji memang terlalu bandel, udjar Po-ting-te. Misalnja waktu kita hendak adjarkan It-yang-tji padanja, tapi betapapun djuga ia tidak mau beladjar, benar-benar seorang jang tidak tahu adat. Tapi mengenai perdjodohan, selamanja harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang perintah kalian suami-isteri? Apalagi hal ini demi menjelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehoramatan selama hidupnja, biar bagaimanapun ia tidak boleh membangkang.

Kabarnja puteri Ko-hiante itu badannja rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak dulu, udjar Tjing-sun.

Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu ditjari-tjari, maka katanja pula: Soal badan lemah bukanlah soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia adjarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannja akan mendjadi kuat.

Namun .... namun .....

Sun-te, demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bitjara lebih landjut. Sedjak tadi kau selalu menolak sadja, sebenarnja apa maksudmu? Apakah dalam hatimu ada sesuatu jang kau kurang senang terhadap Ko-hiante?

Tidak, tidak! tjepat Tjing-sun mendjawab. Hubungan Ko-hiante dengan aku laksana saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat mendjadi besanan lagi, tentulah djauh lebih bagus. Ehm, ka ..... kabarnja Pah-sukong djuga mempunjai seorang puteri dan Hoan-suma djuga ada dua anak perempuan. Marilah kitapun adjukan mereka itu sebagai tjalon untuk dirundingkan.

Thian-sik tertawa, katanja: Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun jang lalu, sampai sekarangpun usianja belum genap setahun. Sedang kedua puterinja Hoan-suma, jang satu adalah menantuku jang tertua, sedang jang lain konon sudah bertunangan, jaitu mendapat putera sulung Hoa-suto.

Po-ting-te mendjadi kurang senang djuga oleh sikap adindanja itu, segera katanja pula: Sun-te, pertjumalah engkau sama2 bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan2 mereka itu sedikitpun tak diketahui olehmu?

Melihat kaka bagindanja rada gusar, Tjing-sun tidak berani buka mulut lagi.

Tin-lam-ongya, tiba2 Sing-thay berkata, sedjak ketjil Sing-thay sudah bergaul dengan engkau, hubungan kita boleh dikata melebihi saudara sekandung, diantara kita biasanja tidak pernah kenal istilah rahasia. Maka sudilah kau mengatakan terus terang, apakah barangkali kau ada dengar sesuatu jang mendjelekkan nama baik puteriku hingga merasa tidak sesuai untuk mendjadi menantumu? Djika benar begitu, hendaklah kau berkata terus terang, Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.

Tjing-sun agak ragu2, tapi kemudian lantas berkata: Djika demikian, biarlah Tjing-sun mengatakan terus terang, tapi harap Ko-hiante djangan marah.

Silahkan Ongya bitjara terus terang sadja, sahut Sing-thay.

Begini, kata Tjing-sun merandek sedjenak. Sedjak ketjil puterimu sudah kehilangan ibu, betapapun Hiante tentu rada mandjakan dia. Konon watak puterimu sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnja dia djuga sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanja lebih hebat dari jang tua. Djika begitu, kelak bila sudah mendjadi menantuku, mungkin..... mungkin,

hehe, aku mendjadi kuatir kalau Ki-dji akan menderita selama hidupnja. Ki-dji sedikitpun tidak bisa ilmu silat, melulu mahir beberapa langkah Leng-po-wi-poh jang tak berarti itu, kalau setiap hari selalu gunakan Leng-po-wi-poh itu untuk berlari kian-kemari didalam kamar guna menghindarkan hadjaran2 puterimu, hidup demikian bukankah tiada artinja lagi.

Po-ting-te ter-bahak2 oleh keterangan itu, katanja: Sun-te, sebabnja kau ragu2 tadi kiranja melulu soal demikian sadja.

Tjing-sun melirik sekedjap kearah Si Pek-hong, lalu menjahut dengan tertawa: Toako, adik iparmu itu selalu selisih paham dengan Siaute, dikala tjektjok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnja hingga Siaute tidak sampai dihadjar olehnja, kalau sebaliknja, wah, bisa runjam.

Mendengar itu, mau-tak-mau semua orang tersenjum geli djuga.

Dengan dingin Si Pek-hong lantas berkata: Asal Ki-dji dapat mempeladjari It-yang-tji keluarga Toan, tentu tiada tandingannja didunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel djuga tidak perlu takut. ~ Dibalik kata2nja itu terang sengadja ia meng-olok2 It-yang-tji.

Namun Tjing-sun hanja tersenjum sadja tak mendjawabnja.

Segera Ko Sing-thay bitjara pula: Siauli meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanja djuga takkan berbuat sembarangan. Namun Sing-thay sudah banjak menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.

Po-ting-te tertawa, katanja: Djika puterimu bisa bantu menghadjar sedikit anak kami jang suka bikin gara2 itu, kami bersaudara djusteru merasa sangat berterima kasih, itu berarti puterimu telah berdjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapakah nama anak perawanmu itu? Apakah benar rada ..... rada keras wataknja?

Puteri hamba bernama Bi, hanja satu huruf sadja, sahut Sing-thay. Sedjak ketjil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnja sangat ramah. Mungkin ada orang jang dendam pada Sing-thay, maka sengadja menjebarkan kabar tidak benar itu sehingga dapat didengar Ongya. ~ Njata dia mendjadi kurang senang ketika mendengar Tin-lam-ong menjatakan watak puterinja kurang baik.

Maka tjepat Tjing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa: Ko-hiante, aku tadi telah salah omong, hendaklah engkau djangan pikirkan lebih djauh.

Nah, urusan lantas diputuskan demikian, kata Po-ting-te kemudian dengan tersenjum. Thian-sik, aku menugaskan kau sebagai Lap-djay-su, supaja kau bisa menarik rekening sebagai tjomblang se-besar2nja dari kedua belah pihak.

Lap-djay-su atau duta penghantar emas kawin dikalangan keradjaan adalah sama dengan tjomblang dikalangan rakjat djelata. Kalau urusan selesai, umumnja dari pihak penganten laki2 dan perempuan akan memberi hadiah tjukup besar.

Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengutjapkan terima kasih.

Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mentjatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Tjing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran mahkota), demikian perintah Po-ting-te lebih landjut.

Tjing-sun terperandjat, tjepat ia berlutut menjembah: Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan bidjaksana, tentu akan diberkahi Thian jang maha kuasa dengan keturunan banjak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.

Po-ting-te bangunkan adik pangerannja itu, katanja: Kita bersaudara adalah dwi-tunggal, dua badan satu djiwa. Nasib negeri Tayli ini memangnja terletak ditangan kita berdua, djangankan aku memang tidak punja anak, sekalipun punja keturunan djuga tachtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku memgangkat kau sebagai penggantiku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakjat diseluruh negeripun telah lama tahu, hari ini hanja menetapkannja setjara resmi sadja, biar Yan-king Thaytju jang bertudjuan djahat itu putus harapannja!

Karena ber-ulang2 menolak tetap tak diidjinkan, achirnja terpaksa Tjing-sun menerima dengan baik serta menghaturkan terima kasih pada Hongsiang. Segera Ko Sing-thay dan lain2pun lantas saling memberi selamat kepada Toan Tjing-sun.

Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punja keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak jang akan menggantikannja pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.

Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan djuga kepada Ko Sing-thay, maksudnja memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan tachta ajahnja, dengan sendirinja puterimu adalah permaisuri, maka uang djasaku sebagai tjomblang ini harus sepesial.

Achirnja Po-ting-te berkata: Sekarang silahkan semua pergi mengaso. Tentang Yan-king Thaytju itu, harap djangan sampai botjor.

Semua orang mengia serta memberi hormat dan mengundurkan diri.

Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar diluar ramai dengan suara musik jang meriah, suara letusan mertjon bergemuruh di-mana2. Dajang jang melajaninja itu memberi laporan: Oleh karena putera Tin-lam-ong mengirim Lap-djay kepada puteri Sian-tan-hou, maka diluar keraton rakjat bersuka ria sedang merajakannja dengan sangat meriah.

Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahnja jang bidjaksana, rakjat hidup sedjahtera, maka dukungan rakjat kepada radja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnja. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko berbesanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang gembira.

Segera Po-ting-te memberi perintah: Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar kembang api, segala larangan dikota Tayli ditjabut untuk sementara, semua angkatan bersendjata diberi tjuti agar bisa ikut merajakan, orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri.

Ketika titah radja itu disampaikan kepada umum, segenap rakjat Tayli seketika makin bersorak-sorai gembira.

Mendjelang petang, Po-ting-te menjamar dengan pakaian orang biasa dan keluar keraton sendirian. Ia tarik topinja jang lebar itu kebawah hingga hampir2 menutupi matanja, dengan demikian supaja orang lain susah mengenalinja. Sepandjang djalan ia lihat rakjat menjanji dan menari dengan riangnja, laki-perempuan, tua-muda hilir-mudik dengan ramai.

Betapa bersjukurnja Po-ting-te menjaksikan negerinja jang sentosa itu. Diam2 ia berdoa: Semoga rakjat negeri Tayli kami turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Tjing-beng sekalipun tidak punja keturunan djuga takkan menjesal.

Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipertjepat, makin lama makin sunji tempat jang ditudju itu, kira2 belasan li djauhnja, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah disuatu kelenteng kuno dan ketjil, diatas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf Liam-hoa-si atau kelenteng petik bunga.

Po-ting-te berhenti didepan kelenteng itu sambil berdoa sedjenak, lalu mengetok pintu dengan pelahan2.

Tidak lama, pintu tampak dibuka dan muntjul seorang Hwesio ketjil, tanjanja sambil memberi hormat: Ada keperluan apakah kundjungan tuan tamu ini?

Harap suka sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan bahwa sobat lama Toan Tjing-beng mohon bertemu, sahut Po-ting-te.

Silahkan masuk, kata paderi tjilik itu.

Po-ting-te dibawa keruangan tengah sesudah melalui suatu pekarangan jang sunji, kata paderi ketjil itu: Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kusampaikan kepada Suhu.

Po-ting-te mengia, ia mondar-mandir diruangan itu sambil menggendong tangan.

Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri diluar rumah untuk menunggu orang, jang selalu terdjadi adalah orang lain menanti diluar keraton hendak menghadap padanja. Namun begitu, ternjata sedikitpun ia tidak mengundjuk gopoh, ia tetap menanti dengan sabar didalam kelenteng jang se-akan2 memberi rahmat padanja itu, sama sekali ia sudah lupa bahwa dirinja adalah seorang radja.

Agak lama kemudian, tiba2 terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa: Toan-hiante, rupanja kau sedang dirundung sesuatu kesulitan?

Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang paderi tua jang mukanja sudah penuh berkeriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu serambi samping.

Kedua alis paderi tua ini sangat pandjang hingga melambai kebawah, bulu alisnja bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio jang hendak ditemuinja itu.

Po-ting-te memberi kiongtjhiu, lalu katanja: Maafkan kalau aku mengganggu ketentraman Taysu.

Ui-bi Hwesio hanja tersenjum, sahutnja: Marilah masuk.

Segera Po-ting-te ikut masuk kesuatu pondok ketjil, disitu tampak enam Hwesio setengah umur berdjubah abu2 serentak membungkuk memberi hormat pada mereka.

Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk bersila diatas tikar disisi kiri sana. Setelah Ui-bi Hwesio djuga sudah berduduk ditikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata: Aku mempunjai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu ia berusia tudjuh tahun, aku pernah membawanja kesini untuk mendengarkan chotbah Suheng.

Ja, anak itu rada pintar, sungguh anak bagus, anak bagus! udjar Ui-bi.

Setelah mendapat rahmat Budha, wataknja djuga welas-asih, ia tidak mau beladjar silat, katanja agar tidak membunuh sesamanja, tutur Po-ting-te.

Tidak bisa ilmu silat djuga bisa membunuh orang. Sebaliknja mahir ilmu silat, belum tentu kalau mesti membunuh orang, udjar Ui-bi.

Po-ting-te mengia membenarkan. Lalu iapun mentjeritakan tentang Toan Ki jang bandel tidak mau beladjar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-djing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Thaytju jang bergelar orang djahat nomor satu didjagat itu.

Dengan tersenjum Ui-bi mendengarkan tjerita itu tanpa menjela seketjappun. Enam muridnja jang berdiri dibelakangnja dengan tangan lurus kebawah pun diam sadja, bahkan bergerak sedikitpun tidak.

Habis Po-ting-te bitjara, kemudian Ui-bi berkata dengan pelahan2: Djikalau Yan-king Thaytju itu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak untuk bergebrak dengan dia, seumpama mengirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanja djuga tidak pantas, maksudmu demikian bukan?

Po-ting-te menggangguk, sahutnja: Suheng memang bidjaksana!

Ui-bi tersenjum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur djari tengah terus ditutukkan pelahan kedepan mengarah dada Po-ting-te.

Po-ting-te tersenjum djuga, iapun ulur djari telundjuknja tepat menutuk udjung djari orang. Seketika tubuh kedua orang sama2 tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing2.

Dengan mengkerut kening berkatalah Ui-bi: Toan-hiante, aku punja Kim-kong-tji-lik toh tak bisa menangkan It-yang-tjimu jang hebat itu?

Tapi dengan kebidjaksanaan dan ketjerdikan Suheng, tidak perlu menang menggunakan Tji-lik (tenaga djari), udjar Po-ting-te.

Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk memikir.

Tiba2 Po-ting-te berbangkit dan berkata: Sepuluh tahun jang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan tjukai garam bagi segenap rakjat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, pertama, karena perbendaharaan negara belum mengidjinkan; kedua, Siaute bermaksud menunggu bila adikku Tjing-sun menggantikan tachtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakjat djelata berterima kasih pada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok djuga Siaute akan memberi perintah pembebasan tjukai garam demi kebahagiaan rakjat.

Ui-bi berbangkit djuga dan memberi hormat, katanja: Hiante sudi beramal bagi rakjat seluruh negeri, Lotjeng merasa terima kasih tak terhingga.

Lekas2 Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bitjara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.

Pulang sampai dikeraton, segera Po-ting-te memerintahkan dajang mengundang Pah thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan pada mereka tentang keputusan menghapuskan tjukai garam itu. Mengetahui itu, kedua Sukong dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pudjian atas kebidjaksanaan sang radja.

Dan untuk selandjutnja, segala pembiajaan didalam keraton harus diperketjil dan dihemat mungkin, demikian pesan Po-ting-te lebih landjut. Sekarang pergilah kalian, tjoba rundingkan dan periksa setjara teliti, apakah ada pengeluaran2 lain jang perlu dihemat pula.

Segera kedua pedjabat tinggi itu mengia dan mengundurkan diri.

Meski urusan ditjuliknja Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoan-suma adalah orang2 kepertjajaan Po-ting-te semua, dengan sendirinja tidak perlu dirahasiakan, maka sedjak tadi2 Pah Thian-sik sudah beritahukan kepada kedua rekan itu.

Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa jang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannja jang dipanggil menghadap kekeraton itu. Maka setelah Pah Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan radja akan membebaskan tjukai garam serta menghemat anggaran belandja negara, Hoan-suma mendjadi ikut bergirang. Katanja: Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnja Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan padjak garam, tentunja disebabkan putera Tin-lam-ong masih berada ditjengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar tjalon mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran djundjungan kita, masakah kita masih ada muka mendjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan keradjaan?

Utjapan Hoan-djiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunjai tipu daja jang bisa menolong Toan-kongtju? tanja Thian-sik.

Hoan-suma ini melulu bernama satu huruf Hua sadja, tabiatnja djenaka, tapi banjak tipu akalnja, maka djawabnja kemudian:

Djikalau musuh benar2 adalah Yan-king Thaytju, terang Hongsiang tak ingin

bermusuhan dengan dia setjara terang2an. Siaute sih mempunjai suatu akal, tjuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoa-toako.

Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak? Lekaslah Djite terangkan tipu akalmu? sahut Hoa-suto tjepat.

Menurut keterangan Hongsiang, demikian Hoan Hua, katanja ilmu silat Yan-king Thaytju itu masih lebih tinggi dari Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongtju. Tapi kalau Hoa-toako sudi, dapat djuga pekerdjaan Hoa-toako jang dulu tjoba2 dilakukan lagi sekarang.

Wadjah Hoa-suto jang lebar dan rada ke-kuning2an itu mendjadi merah, sahutnja dengan tertawa: Ah, kembali Djite hendak menggoda aku sadja.

Kiranja Hoa-suto ini asalnja bernama A Kin, meski sekarang mempunjai kedudukan tinggi dinegeri Tayli, tapi dahulunja berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerdjanja jalah membongkar kuburan. Kepandaiannja jang paling mahir jalah mentjuri isi kuburan dari keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan2 orang2 demikian tentu banjak disertai pendaman harta2 pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat djauh, ia menggali suatu djalanan dibawah tanah sampai menembus kedalam kuburan jang mendjadi sasarannja, disitulah dia mentjuri isi kuburan jang berharga itu.

Tjaranja membongkar kuburan itu dengan sendirinja sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan sampai sebulan dua bulan lamanja, tetapi dengan tjaranja menggangsir itu djusteru sangat ketjil sekali risikonja akan diketahui orang.

Suatu kali, ia berhasil menggangsir kedalam suatu kuburan kuno, disitu ia mendapatkan sedjilid kitab pusaka melatih silat. Ia lantas melatihnja menurut petundjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang jang sangat tinggi, achirnja iapun lepaskan pekerdjaannja jang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada keradjaan, karena djasa2nja selama bertugas, achirnja pangkatnja mentjapai Suto seperti sekarang ini, jaitu setingkat dengan pembantu menteri.

Setelah mendjadi pembesar, ia anggap namanja jang dulu terlalu ke-kampung2an, maka namanja lantas diganti mendjadi Hek-kin. Diantara kawan2 karibnja, ketjuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain djarang jang tahu asal-usulnja.

Maka dengan tertawa Hoan Hua mendjawab: Mana Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku jalah, bila kita dapat menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, disitu kita menggangsir satu djalan dibawah tanah jang menembus ketempat kurungan Toan-kongtju, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnja keluar.

Bagus, bagus! teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.

Menggangsir kuburan sebenarnja adalah hal jang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun lamanja pekerdjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat kembali, tangannja mendjadi gatal lagi. Soalnja tjuma pangkatnja sekarang sudah tinggi, hidupnja tidak kekurangan, kalau mesti mendjalankan pekerdjaan menggangsir, bagaimana djadinja kalau diketahui orang? Maka kini demi ada jang mengusulkan agar dirinja melakukan pekerdjaan lama lagi, ia mendjadi girang sekali.

Nanti dulu, Hoa-toako djangan buru2 senang dulu, demikian kata Hoan Hua pula. Dalam urusan kita ini masih banjak kesulitan2nja. Terutama hendaklah diketahui bahwa Su-tay-ok-djin (empat maha durdjana) telah berada di Ban-djiat-kok semua. Suami-isteri Tjiong Ban-siu dan Siu-lo-to Tjin Ang-bian tergolong tokoh2 lihay pula, kalau kita hendak menjelundup kesana, sesungguhnja tidaklah gampang. Lagipula, Yan-king Thaytju itu senantiasa berduduk djaga didepan rumah batu tempat Toan-kongtju dikeram, kalau kita harus menggali melalui bawahnja, apakah tidak mungkin akan diketahui olehnja?

Hoa Hek-kin memikir sedjenak, sahutnja kemudian: Djalan jang akan kita gangsir itu harus menembus kedalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jang didjaga Yan-king Thaytju itu.

Tapi Toan-kongtju setiap saat terantjam bahaja, kalau kita menggangsir pelahan2, apakah masih keburu? udjar Hoan Hua, Hoan-suma.

Kalau perlu, marilah kita bertiga kerdja keras serentak, usul Hoa-suto. Tjuma untuk mana kalian harus mendjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan.

Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerdja menggangsir, tugas ini betapapun tak bisa ditolak, sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.

Maka tertawalah ketiga orang itu.

Kalau sudah mau bekerdja, marilah sekarang djuga kita memulai, adjak Hoa-suto.

Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-djiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas merentjanakan dimana akan dimulai dan dimana akan berachir dari lorong jang akan digangsirnja nanti. Sedang mengenai tjara bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan tjara bagaimana mengitari rintangan batu padas dibawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian tunggal Hoa-suto jang tiada bandingannja, maka tidak perlu dipersoalkan.

* * *

Kembali lagi mengenai Toan Ki.

Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-tju-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnja semakin bergolak dan ber-kobar2, saking luar biasa panasnja, achirnja ia djatuh pingsan.

Dan karena pingsannja itu malah telah menolongnja terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa selama sehari semalam itu diluar sudah terdjadi banjak perubahan2: Ajahnja telah diangkat mendjadi tjalon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi ~ sebagai isteri. Diseluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perajaan besar2an untuk meriahkan kedua peristiwa menggembirakan itu, sekaligus untuk merajakan dihapusnja padjak garam rakjat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar didinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.

Sampai besok lohor, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerdjanja ratjun Im-yang-ho-hap-san dan Bong-koh-tju-hap jang sangat hebat itu kebetulan berhenti bersama untuk sementara. Tapi setelah lewat waktu berhenti ini dan bila kumat lagi, maka serangan2 hawa ratjun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak insaf bahaja apa jang masih mengeram didalam tubuhnja, dengan sadarnja pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia menjangka kalau ratjunnja sudah mulai hilang.

Dan selagi dia hendak bitjara dengan Bok Wan-djing, tiba2 terdengar diluar rumah batu itu ada suara seorang tua lagi berkata: Sembilan garis

malang-melintang, entah betapa banjak digemari orang. Apakah Kisu djuga ada minat untuk tjoba2 satu babak dengan Lotjeng?

Toan Ki mendjadi heran, ia tjoba mengintip keluar melalui tjelah2 batu. Maka tertampaklah seorang Hwesio tua jang bermuka keriput dan beralis kuning pandjang, sedang berdjongkok sambil menggunakan djari tangannja lagi meng-gores2 garis lurus diatas sebuah batu besar jang rata. Begitu hebat tenaga djarinja itu hingga terdengar suara srak-srek disertai menghamburnja bubuk2 batu, lalu djadilah satu garis lurus jang pandjang diatas batu itu.

Toan Ki terkedjut. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering djuga ia menjaksikan sang paman dan ajahnja diwaktu melatih It-yang-tji. Ia pikir wadjah paderi tua ini lapat2 seperti sudah pernah kenal, tenaga djarinja ternjata demikian lihaynja, mampu menggores batu mendjadi satu garis jang dalam. Tji-lik atau tenaga djari demikian adalah sematjam ilmu Gwakang jang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknja berbeda dengan It-yang-tji jang dilatih paman dan ajahnja itu.

Maka terdengar pula suara seorang jang tak lampias berkata: Bagus, sungguh Kim-kong-tji-lik jang hebat! ~ Terang itu adalah suaranja sibadju hidjau alias Ok-koan-boan-eng.

Segera tampak sebatang tongkat bambunja mendjulur keatas batu, dengan radjin iapun menggores satu garisan diatas batu itu, tjuma kalau Ui-bi-tjeng atau paderi alis kuning itu menggores garisan lurus, adalah garisannja sekarang malang, hingga berwudjud satu garis palang dengan goresan paderi tadi.

Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana tjara bergeraknja Djing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinja lebih keras daripada djari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi jang memakainja. Namun djari lebih pendek dan tongkat lebih pandjang, untuk menggores garisan diatas batu dengan memakai tongkat sepandjang itu, terang tenaga jang dikeluarkan akan djauh lebih besar daripada memakai djari.

Lalu terdengar Ui-bi-tjeng berkata pula dengan tertawa: Djika Toan-sitju sudi memberi petundjuk, itulah sangat baik. ~ Habis itu, kembali ia menggaris lagi diatas batu dengan djarinja.

Hlm. 31: Gambar

Jang satu menggores dengan djari dan jang lain menggaris dengan tongkat, maka

hanja sekedjap sadja sebuah peta tjatur bergaris malang-melintang telah djadi digambar diatas batu.

Segera Djing-bau-khek menambahi garisan malang lagi seperti tadi. Dengan demikian, jang satu menggaris lurus dan jang lain menggaris malang, makin lama makin lambat goresan masing2, kedua orang sama2 memusatkan tenaga masing2 untuk menggores garisan sendiri2 agar setiap garisan bisa dilakukan dengan tjukup dalam dan sama radjinnja seperti semula.

Harus diketahui bahwa pertandingan diantara tokoh2 terkemuka, soal menang atau kalah melulu tergantung sedikit selisih sadja, asal satu garisan diantaranja menundjukan kurang dalam atau mentjeng, maka itu berarti sudah kalah.

Maka kira2 setanakan nasi lamanja, sebuah peta tjatur jang berdjumlah 19 garis malang melintang itu sudah selesai digaris dengan radjin.

Diam2 Ui-bi-tjeng membatin: Apa jang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yan-king Thaytju ini benar2 luar biasa dan sedikitpun tidak dibawahnja Po-ting-te sendiri.

Sebaliknja Yan-king Thaytju alias Djing-bau-khek itu terlebih kedjut lagi, kalau datangnja Ui-bi-tjeng memang sudah disengadja dan bersiap-sedia sebelumnja, adalah Yan-king Thaytju sendiri sama sekali tidak menjangka apa2, maka pikirnja: Aneh, darimanakah mendadak bisa muntjul seorang Hwesio tua selihay ini? Terang datangnja ini adalah atas undangan Toan Tjing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Tjing-beng lantas ikut menjerbu kedalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaja untuk merintanginja.

Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang berkata: Betapa tinggi kepandaian Toan-sitju, sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan tjatur rasanja djuga akan berpuluh kali lebih pandai dari Lotjeng, terpaksa Lotjeng minta Toan-sitju suka mengalah empat bidji dahulu.

Djing-bau-khek tertjengang, pikirnja: Meski aku tak kenal asal-usulmu, tapi tenaga djarimu begini lihay, dengan sendirinja adalah orang kosen jang tidak sembarangan. Baru mulai menantang pertempuran padaku, kenapa begitu buka mulut lantas minta aku mengalah?

Segera katanja: Kenapa Taysu mesti merendah diri, djika toh harus menentukan kalah menang, dengan sendirinja kita harus madju sama tingkat dan sama

deradjat.

Tidak, tetap Toan-sitju harus mengalah empat bidji, sahut Ui-bi-tjeng.

Aneh djuga usul Taysu ini, udjar Djing-bau-khek dengan tawar. Djikalau Taysu toh mengaku kepandaian tjaturmu tidak lebih tinggi dari Tjayhe, maka boleh tak usah kita bertanding sadja.

Djika begitu, sudilah mengalah tiga bidji sadja, bagaimana? kata Ui-bi-tjeng pula.

Biarpun mengalah satu bidji, namanja djuga mengalah, sahut Djing-bau-khek alias Yan-king Thaytju.

Hahaha! tiba2 Ui-bi-tjeng tertawa. Kiranja dalam ilmu main tjatur, kepandaianmu sangat terbatas, djika demikian biarlah aku jang mengalah padamu tiga bidji.

Itupun tidak perlu, sahut Djing-bau-khek. Mari kita mulai dengan kedudukan sama.

Diam2 Ui-bi-tjeng bertambah waspada dan prihatin, pikirnja: Orang ini tidak sombong djuga tidak gopoh, sebaliknja tenang dan susah diduga, sungguh merupakan satu lawan jang tangguh. Meski aku sudah memantjingnja dengan berbagai djalan, toh ia tetap tidak berubah sikapnja.

Kiranja Ui-bi-tjeng insaf dirinja tiada harapan buat menangkan It-yang-tji dari Djing-bau-khek itu. Ia tahu orang jang gemar tjatur, umumnja suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah dua, tiga bidji tjatur, biasanja tentu diluluskan. Sebagai seorang pertapaan, Ui-bi-tjeng memandang soal nama sebagai sesuatu jang tak berarti. Asal Yan-king Thaytju bersedia mengalah sedikit dalam permainan tjatur itu, maka dalam pertarungan sengit itupun dia akan ada harapan buat menang.

Siapa duga sifat Yan-king Thaytju itu ternjata lain dari jang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas orang lain, tapi djuga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak-tanduknja sangat prihatin dan tegas.

Karena tiada djalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-tjeng berkata: Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku jang main dulu.

Tidak, sahut Djing-bau-khek. Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah? Aku jang main dulu!

Wah, djika demikian, rupanja kita harus sut dulu, kata Ui-bi-tjeng. Baik begini sadja, tjoba kau terka umurku tahun ini gandjil atau genap ? Djika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.

Umpama tepat aku menerkanja, tentu engkau djuga akan menjangkal , udjar Djing-bau-khek.

Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu jang tidak mungkin aku bisa menjangkal, kata Ui-bi-tjeng pula. Tjoba kau terka, bila Lotjeng sudah berumur 70 tahun, djari kedua kakiku akan gandjil atau genap ?

Teka-teki ini benar2 sangat aneh. Mau-tak-mau Djing-bau-khek harus memikir: Umumnja djari kaki orang berdjumlah sepuluh, djadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70, terang maksudnja agar aku menjangka kelak djari kakinja akan berkurang satu, djika demikian halnja, tentu aku akan menerka djarinja berdjumlah gandjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Djangan2 djari kakinja tetap sepuluh, tapi sengadja main gertak. Mana bisa aku ditipu olehnja?

Karena itu, segera ia mendjawab: Berdjumlah genap!

Salah, tapi berdjumlah gandjil, kata Ui-bi-tjeng.

Tjoba buka sepatu, periksa buktinja, sahut Djing-bau-khek.

Terus sadja Ui-bi-tjeng membuka sepatu dan kaos kaki kiri, ternjata djari kakinja masih tetap utuh berdjumlah lima. Ketika Djing-bau-khek memperhatikan wadjah paderi itu, ia lihat orang mengundjuk senjum, sikapnja tenang2 sadja, mau-tak-mau ia membatin: Wah, kiranja djari kaki kanannja memang tjuma tinggal empat.

Dalam pada itu Ui-bi-tjeng sedang membuka sepatu lagi dengan pelahan2, ketika mulai menanggalkan kaos kakinja, hampir2 Djing-bau-khek berseru suruh djangan membuka lagi dan menjerahkan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannja: Ah, tidak bisa, djangan aku tertipu olehnja.

Dan benar djuga, ia lihat kaos kaki kanan paderi itu sudah dilepas dan djari kaki kanan itupun tampak masih utuh berdjumlah lima tanpa tjatjat apa2.

Meski badan Djing-bau-khek itu sudah tjatjat dan mukanja kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa jang dirasakannja waktu itu, sebenarnja dalam sekedjapan itu hatinja sudah ber-ganti2 berbagai perasaan untuk men-duga2 sebenarnja apakah maksud tudjuan perbuatan Ui-bi-tjeng itu. Dan ia mendjadi bersjukur ketika achirnja melihat tebakannja djitu, jaitu djari kedua kaki paderi itu toh tetap berdjumlah genap sepuluh.

Diluar dugaan, se-konjong2 Ui-bi-tjeng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong kebawah sebagai pisau, krek, tahu2 djari ketjil kaki kanan itu telah dipotongnja putus.

Sekalipun keenam anak muridnja jang berdiri dibelakang sang guru itu sudah dalam djuga beladjar ilmu Budha, setiap orangnja bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun djuga. Tapi mendadak nampak sang guru membikin tjatjat anggota badan sendiri, darah lantas mengutjur djuga, karuan sadja mereka terperandjat, bahkan murid jang termuda jang bernama Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget pelahan.

Tjepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan diatas kaki Suhunja itu.

Menjusul berkatalah Ui-bi-tjeng dengan tertawa: Tahun ini Lotjeng berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti, persis djariku adalah berdjumlah gandjil.

Tanpa pikir lagi Djing-bau-khek mendjawab: Benar. Silahkan Taysu main dulu.

Njata sebagai tokoh dari Su-ok jang berdjuluk orang djahat nomor satu didunia, perbuatan kedjam dan ganas apa didunia ini jang tidak pernah dilakukannja atau dilihatnja, maka terhadap kedjadian memotong satu djari kaki jang sepele itu, tentu sadja tidak terpikir olehnja. Tjuma bila mengingat bahwa melulu untuk merebut hak main dulu dalam tjatur, Hwesio tua ini rela memotong djari

kakinja sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tudjuan paderi itu harus menangkan pertjaturan itu, dan bila dirinja kalah, bukan mustahil sjarat2 jang akan dikemukakan paderi itu tentu pelit luar biasa.

Maka berkatalah Ui-bi-tjeng: Terima kasih atas kesudianmu mengalah. ~ Segera ia ulur djarinja terus menekan kedua udjung peta tjatur dengan masing2 satu kali. Karena tekanan djari itu, diatas batu lantas mendekuk dua lubang hingga mirip dua bidji tjatur hitam.

Segera Djing-bau-khek angkat tongkatnja djuga dan menggores dua lingkaran ketjil dikedua udjung lain dari peta tjatur itu. Lingkaran ketjil jang mendekuk itupun mirip dua bidji tjatur putih.

Tjara pembukaan main tjatur dengan menaruh dua bidji tjatur dikedua udjung itu adalah lazim dilakukan dalam permainan tjatur kuno jang mirip permainan dam-daman djaman sekarang.

Begitulah, maka setjara bergiliran kedua orang itu saling menaruhkan bidji tjaturnja masing2 dengan tekanan tenaga djari dan goresan tongkat. Mula2 tjara menaruh mereka sangat tjepat, tapi lambat-laun mendjadi pelahan. Sedikitpun Ui-bi-tjeng tidak berani ajal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi jang ditukarnja dengan memotong djari kaki itu.

Sampai belasan bidji tjatur sudah didjalankan, pertarungan ternjata bertambah sengit dan pertahanan masing2pun semakin kuat, tapi tenaga jang dikeluarkan kedua orangpun semakin besar. Disamping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan tjatur itu, dilain pihak harus kerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu sekuatnja. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.

Diantara keenam murid jang ikut datang bersama Ui-bi-tjeng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio djuga seorang penggemar tjatur. Ia mendjadi sangat kagum dan gegetun demi nampak ilmu permainan tjatur gurunja dengan Djing-bau-khek jang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Djing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing2 segera berubah banjak, kalau Ui-bi-tjeng tidak segera balas dengan langkah jang tepat, pasti pertahanannja akan bobol.

Tampak Ui-bi-tjeng memikir agak lama, agaknja seketika masih belum mendapat tjara jang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba2 terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang berkata: Balas gempur sajap kanan, tetap menguasai permainan!

Kiranja sedjak ketjil Toan Ki djuga sudah mahir main tjatur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia mendjadi getol dan ikut2 bitjara.

Penonton memang lebih djelas dari jang main. Demikian orang mengatakan. Apalagi kepandaian tjatur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-tjeng, ditambah sudah mengikuti dari samping sedjak tadi, ia mendjadi lebih terang dimana letak kuntji permainannja.

Maka terdengar Ui-bi-tjeng telah berkata dengan tertawa: Memangnja Lotjeng sudah pikir begitu, tjuma masih ragu2, tapi dengan utjapan Sitju, Lotjeng mendjadi mantap sekarang. ~ Terus sadja ia taruh bidjinja disajap kanan jang dimaksud itu.

Penonton jang tidak bitjara adalah Tjin-kun-tju (djantan tulen), orang jang ambil keputusan sendiri adalah Tay-tiang-hu (laki2 sedjati), demikian Djing-bau-khek menjindir.

Kau telah kurung aku disini, sedjak kapan engkau adalah Tjin-kun-tju?, segera Toan Ki berteriak.

Dan aku adalah Tay-hwesio dan bukan Tay-tiang-hu, sahut Ui-bi-tjeng tertawa.

Huh, tidak malu! djengek Djing-bau-khek. Segera iapun taruh bidjinja dengan menggores satu lingkaran ketjil lagi.

Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-tjeng menghadapi serangan bahaja. Boh-tin Hwesio mendjadi kuatir karena melihat gurunja tak berdaja memetjahkannja, sedangkan Toan Ki djuga diam sadja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan menanja dengan pelahan: Toan-kongtju, langkah ini bagaimana harus mendjalankannja?

Djalan jang baik sih sudah kupikirkan, demikian sahut Toan Ki. Tjuma djalan ini seluruhnja meliputi tudjuh langkah, kalau kukatakan begini hingga didengar musuh, tentu akan gagal djuga rentjanaku, makanja aku diam sadja tidak buka suara.

Terus sadja Boh-tin ulur telapak tangan kanan kedalam rumah itu melalui tjelah2 batu, bisiknja: Silahkan tulis disini.

Toan Ki pikir bagus djuga akal ini, segera ia gunakan djarinja menuliskan ketudjuh langkah tjatur jang ditjiptakan itu ditelapak tangan Boh-tin.

Boh-tin memikir sedjenak, ia pikir langkah2 tjatur jang ditulis pemuda itu memang sangat tinggi, tjepat ia kembali kebelakang sang guru dan menulis djuga dipunggung Suhu dengan djari. Karena djubahnja sangat longgar hingga tangannja tertutup semua, maka Djing-bau khek tidak tahu apa jang sedang dilakukan orang.

Setelah mendapat petundjuk itu, Ui-bi-tjeng memikir sekedjap, lalu menurutkan petundjuk itu dan mendjalankannja satu langkah.

Hm, langkah ini adalah adjaran orang lain, agaknja kepandaian tjatur Taysu masih belum mentjapai setingkatan ini, djengek Djing-bau-khek.

Tapi dengan tertawa Ui-bi-tjeng mendjawab lagi: Permainan tjatur memangnja harus mengadu ketjerdasan. Jang pintar pura2 bodoh, mahir djuga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan permainan tjatur Lotjeng diketahui Sitju, lalu buat apa pertandingan ini diadakan?

Huh, main litjik, main sulap dibawah lengan badju, sindir Djing-bau-khek pula. Rupanja iapun menduga Boh-tin jang mondar mandir dan me-megang2 punggung gurunja itu pasti sedang main gila. Tjuma dia sedang mentjurahkan perhatiannja diatas papan tjatur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa jang terdjadi disamping situ.

Untuk selandjutnja Ui-bi-tjeng lantas mendjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banjak pikir, ia hanja kerahkan sepenuh tenaga djarinja untuk menekan enam bidji tjatur itu diatas batu hingga dekuknja lebih dalam serta lebih bulat.

Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Djing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah2 perlawanan, kini ia terpaksa mesti bertahan sadja sekuatnja, lingkaran jang digores diatas batu dengan tongkat bambu itu tidak sedalam seperti tadi lagi.

Diluar dugaan, ketika mesti mendjalankan langkah keenam sesudah gilirannja Ui-bi-tjeng, mendadak ia memikir lebih lama, habis itu, tiba2 ia djalankan bidjinja pada suatu tempat jang tak ter-sangka2 dan sama sekali diluar taksiran Toan Ki.

Karuan Ui-bi-tjeng melongo, pikirnja: Pemikiran ketudjuh langkah Toan-kongtju ini sangat teliti dan bagus, tampaknja setiap langkah aku sudah mulai mendesaknja, tapi dengan perubahannja jang mendadak dan hebat ini, rasanja langkahku jang ketudjuh ini tak bisa didjalankan lagi dan bukankah akan sia2 sadja serangan2 tadi?

Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main tjatur memang Djing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-bi-tjeng atau sipaderi beralis kuning, maka begitu ia melihat gelagat djelek, segera ia mengadakan perubahan2 siasat, ternjata tidak mau dia masuk perangkap jang diatur Toan Ki itu. Karuan jang kelabakan adalah Ui-bi-tjeng.

Melihat perubahan diluar dugaan itu, pula nampak gurunja memikir sampai lama masih belum mendapatkan akal jang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan pelahan ia uraikan keadaan pertjaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petundjuknja.

Toan Ki memikir sedjenak, segera iapun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannja agar bisa ditulis lagi petundjuknja diatas telapak tangan.

Boh-tin menurut dan ulurkan tangannja kedalam rumah batu itu. Tapi baru sadja Toan Ki mentjorat-tjoret beberapa kali ditelapak tangan orang, se-konjong2 antero badannja terasa berguntjang, dari perutnja mendadak terasa ada hawa panas menerdjang keatas hingga seketika mulutnja serasa kering, matanja ber-kunang2. Tanpa pikir lagi tangannja mentjengkeram sekenanja hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnja erat2.

Tentu sadja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannja digenggam Toan Ki dengan kentjang, ia mendjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan jang digenggam orang itu. Saking kedjutnja terus sadja ia berteriak: Hei, Toan-kongtju, apa jang kau lakukan ini?

Perlu diketahui bahwa hawa murni setiap orang jang melatih ilmu silat jang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh adalah besar sangkut-pautnja dengan djiwanja, semakin kuat hawa murninja, semakin tinggi pula ilmu Lwekangnja. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnja tidak mati, tentu djuga seluruh ilmu silatnja akan kandas dan mirip orang

tjatjat selama hidup.

Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, dus berbadan djaka ting-ting, selama berpuluh tahun giat melatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnja boleh dikata kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannja menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnja se-akan2 air bah jang bobol tanggulnja terus mengalir keluar tanpa bisa ditjegah sama sekali.

Ia membentak ber-ulang2 untuk menanja, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannja, tapi aneh bin adjaib, kedua tangan itu seperti sudah lengket mendjadi satu, betapapun susah dipisahkan lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak pernah berhenti.

Kiranja Bong-koh-tju-hap atau katak merah bersuara kerbau jang dimakan oleh Toan Ki itu mempunjai sematjam kasiat aneh pembawaan jang bisa mengisap ular beratjun dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan tjampuran dari ber-matjam2 ular berbisa hingga beberapa keturunan. Tjiong Ban-siu suami-isteri dan Tjiong Ling tjuma tahu bahwa sepasang katak itu bisa memanggil ular, tapi tidak tahu bila orang memakannja, maka akan timbul reaksi aneh pada orang jang memakannja itu. Namun hendaklah maklum djuga bahwa setjara kebetulan Toan Ki bermaksud membunuh diri hingga setjara ngawur telah makan katak2 aneh itu. Kalau tidak, tjoba siapakah orangnja jang berani makan binatang jang dapat mengalahkan ular2 berbisa itu?

Sesudah Toan Ki makan sepasang katak merah itu, segera timbul pertentangan dengan ratjun Im-yang-ho-hap-san jang bekerdja didalam perut itu. Hawa positip atau kelakiannja mendjadi luar biasa kerasnja hingga susah ditahan, bahkan timbul pula sematjam sifat istimewa jang bisa menjedot hawa murni orang lain.

Waktu itu hawa murni Boh-tin masih terus-menerus mengalir ketubuh Toan Ki, seumpamakan Toan Ki dalam keadaan sadar, pemuda itupun tidak bisa menggunakan tenaga dalam untuk melepaskan tangan Boh-tin, apalagi ia dalam keadaan tak sadar, hakikatnja ia tidak tahu apa jang sedang terdjadi.

Boh-tin mendjadi kelabakan ketika merasa hawa murninja terus mengalir keluar, terpaksa ia ber-teriak2: Tolong, Suhu, tolong!

Mendengar itu, kelima murid Ui-bi-tjeng jang lain tjepat berlari mendekati Boh-tin, tapi karena tidak kelihatan apa jang terdjadi didalam rumah batu itu, mereka hanja ribut menanja: Ada apa, Sute? ~ Dan ada pula jang memanggil:

Suheng! Ada apakah?

Tang ..... tanganku! seru Boh-tin sambil berusaha hendak menarik kembali tangannja sekuat mungkin. Namun waktu itu hawa murninja sudah hilang 8-9 bagian, untuk bersuara sadja sudah hampir tak kuat, apalagi hendak menarik tangan?

Boh-ban Hwesio, itu murid keenam, tanpa pikir terus ikut pegang tangan sang Suheng dengan maksud membantu menarik. Tak tersangka, begitu tangan menempel, kontan seluruh badannja ikut tergetar seperti kena aliran listrik, hawa murni dalam tubuhnja djuga ber-golak2 mengalir keluar, karuan ia kaget dan ber-teriak2: Aduh, tjelaka!

Kiranja setjara tidak sengadja Toan Ki telah makan sepasang katak adjaib itu hingga timbul sematjam Tju-hap-sin-kang atau tenaga sakti katak merah dalam badannja jang mempunjai daja sedot jang tak terbatas kuatnja. Siapa jang ketemu padanja, siapa lantas diisapnja, ketemu A, lantas A diisap, ketemu B, segera B disedot. Bahkan orang ketiga kalau menempel badan orang jang tersedot itu, setjara kontan hawa murninja djuga akan ikut disedot seperti kena arus listrik.........

* * *

Kembali bertjerita tentang tiga tokoh dari Tayli, jaitu Suto Hoa Hek-kin, Suma Hoan Hua dan Sukong Pah Thian-sik.

Sesudah mereka menjelundup kedalam Ban-djiat-kok, mereka lantas pilih tempat jang telah direntjanakan dan terus menggangsir liang dibawah tanah.

Sebenarnja Ban-djiat-kok itu ada jang djaga, tapi sedjak kuburan jang merupakan pintu masuk itu dibabat rata oleh orang2 jang dibawa Po-ting-te, tempat itu mendjadi bebas untuk keluar-masuk tanpa rintangan.

Setelah ketiga orang itu menggali semalaman, sudah berpuluh meter djauhnja lorong jang mereka gali. Hoa Hek-kin adalah ahli menggangsir, dibantu lagi djago2 seperti Pah Thian-sik dan Hoan Hua, tentu sadja kemadjuan2 mereka sangat pesat, mereka bertiga mengaso bergiliran, apalagi rangsum dan air minum sudah tersedia hingga mereka tidak kekurangan perbekalan.

Hari kedua mereka menggali pula sepandjang hari, sampai petangnja, mereka taksir sudah tidak djauh lagi djaraknja dengan rumah batu jang mereka tudju. Mereka tahu ilmu silat Yan-king Thaytju sangat tinggi, alat2 gali mereka harus pelahan2 supaja tidak mengeluarkan suara. Sebab bagi orang jang Lwekangnja sudah tinggi, biarpun dalam keadaan tidur pulas djuga akan terdjaga bangun bila mendengar sedikit suara berisik. Karena kekuatiran itu, kemadjuan mereka lantas banjak dilambatkan.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa saat itu Yan-king Thaytju djusteru lagi pusatkan perhatiannja sedang mengukur kepandaian tjatur dengan Ui-bi-tjeng disertai adu tenaga dalam, maka takkan dapat merasakan suara jang timbul dari bawah tanah itu.

Kiranja waktu Ui-bi-tjeng melihat keenam muridnja berkerumun diluar rumah batu dengan ribut2, tampaknja terdjadi sesuatu jang aneh, ia menjangka Yan-king Thaytju telah pasang perangkap apa2 didepan rumah batu itu hingga murid2nja itu telah terdjebak. Maka katanja segera: Sitju terlalu banjak bertingkah jang aneh2, Lotjeng harus pergi kesana melihatnja dulu. ~ Sembari berkata, ia terus berbangkit.

Tak terduga Djing-bau-khek djusteru tidak mau melepaskannja, tiba2 tongkat kiri diangkat terus menutuk keiga kiri Ui-bi-tjeng sambil berkata: Babak tjatur ini belum selesai, djikalau Taysu mau mengaku kalah, boleh silahkan pergi.

Tjepat Ui-bi-tjeng angkat tangan kiri terus hendak pegang udjung tongkat orang. Namun tongkat Djing-bau-khek lantas ditarik kembali, menjusul udjung tongkat itu berkeder sambil menutuk pula kebawah dada sipaderi. Mendadak Ui-bi-tjeng memotong kebawah dengan telapak tangan, tapi tongkat itu sudah ditarik kembali lagi serta berobah pula dengan gerak serangan lain. Hanja sekedjap sadja kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa djurus.

Hlm. 41: Gambar

Sungguh tjelaka bagi keenam murid Ui-bi-tjeng itu, seperti terkena aliran listrik sadja, satu-sama-lain telah melengket tersedot oleh Tju-hap-sin-kang jang tiba2 timbul dalam tubuh Toan Ki. Sebaliknja Ui-bi-tjeng jang sedang mentjapai titik menentukan mati-hidup dalam pertandingannja melawan tjatur dan Lwekang tokoh utama dari Su-ok itu terbaksa takbisa djuga menolong murid2nja itu.

Ui-bi-tjeng pikir tongkat orang menang pandjang, terang lebih leluasa dibuat menjerang. Sementara itu tongkat itu tampak sedang menutuk lagi kearahnja,

tanpa pikir lagi iapun ulur djari tengah, ia intjar udjung tongkat orang dan menutuk djuga.

Djing-bau-khek tidak menghindar, ia benturkan udjung tongkatnja pada udjung djari lawan. Keduanja saling mengadu tenaga dalam masing2. Dan baru sekarang Ui-bi-tjeng mengerti bahwasanja ditengah tongkat orang itu dipasang pula dengan londjoran besi, pantas sadja begitu keras. Dan meski tongkat itu digentjet oleh dua tenaga raksasa dari dua ahli Lwekang jang tinggi toh tidak nampak bengkok sedikitpun.

Wah, rupanja ini adalah langkah simpanan Taysu jang tidak sembarangan dikeluarkan, lalu, apakah pertjaturan kita ini Taysu akan mengaku kalah sekarang? kata Djing-bau-khek.

Haha, belum tentu aku akan kalah, sahut ui-bi-tjeng ter-bahak2, berbareng djari kanan lantas menutul lagi sekali diatas batu hingga menambah lagi satu dekukan.

Tapi Djing-bau-khek tanpa pikir djuga balas menggores lagi satu kali. Dengan demikian, disamping mengadu Lwekang, kedua orang sambil bertanding tjatur pula. Ui-bi-tjeng insaf dalam keadaaan demikian bila mesti memikirkan pula keselamatan murid2nja, mungkin djiwa sendiri akan melajang lebih dulu. Padahal muntjulnja sekali ini adalah untuk memenuhi undangan Po-ting-te.

Sepuluh tahun jang lalu Ui-bi-tjeng pernah memohon kemurahan hati Po-ting-te agar suka menghapuskan pungutan padjak garam rakjat, dan harapan itu baru sekarang diluluskan, meski kedua orang tidak bitjara setjara terang2an, namun sebagai timbal-baliknja sudah pasti Ui-bi-tjeng harus dapat menolong Toan Ki.

Sebab itulah Ui-bi-tjeng tidak berani pentjarkan perhatiannja untuk mengurus keadaan murid2nja itu. Ia sudah bertekad, sekalipun djiwa sendiri harus melajang, Toan Ki harus diselamatkan demi memenuhi djandji kepada Toan Tjing-beng. Maka ia tjuma kerahkan tenaga dalamnja untuk menandingi musuh disamping asjik memikirkan pertjaturan jang sangat tegang itu, sekuat tenaga ia bertahan mati2an.

Dalam pada itu Tju-hap-sin-kang dari Toan Ki jang mempunjai daja sedot luar biasa itu, setelah hampir kering mengisap hawa murni Boh-tin Hweshio, kemudian ditambah lagi menempelnja Boh-ban Hweshio, sekaligus korban kedua lantas disedot pula hawa murninja. Karuan terdjadilah sesuatu jang hebat, sebagai seorang jang sama sekali tidak pernah beladjar silat, seketika Toan Ki telah berubah mendjadi seorang jang memiliki keuletan tenaga berpuluh

tahun lamanja.

Murid Ui-bi Hwesio jang pertama bernama Boh-tam dan kedua Boh-ay, kedua orang itu mendjadi sibuk demi melihat gelagat kedua Sutenja tidak benar, tjepat merekapun mendekati, jang satu hendak menarik Boh-tin dan jang lain menarik Boh-ban.

Akan tetapi, dengan sendirinja merekapun ikut tersedot pula oleh Tju-hap-sin-kang jang lihay.

Boh-tam dan Boh-ay terhitung paling tinggi Lwekangnja diantara murid2 Ui-bi-tjeng itu. Ketika merasa hawa murni dalam tubuh bergolak mengalir keluar, tjepat mereka pusatkan tenaga untuk menahan, meski sesaat itu mereka masih bisa bertahan hingga hawa murni tidak membandjir keluar disedot Toan Ki, namun djangan sekali2 mereka lengah, asal sedikit ajal, segera hawa murni merembes keluar lagi.

Tatkala itu Toan Ki masih tetap tak sadar, badannja panas bagai dibakar penuh hawa murni jang bergolak. Semakin banjak hawa murni dari keempat Hwesio itu mengalir masuk ketubuhnja, semakin kuat pula daja isap Tju-hap-sin-kang jang hebat itu. Sjukurlah dasarnja dia tiada punja maksud menjedot hawa murni korban2nja itu, maka Boh-tam dan Boh-ay masih dapat bertahan, tapi karena sedikit2 toh terus merembes, sedikit2 achirnja mendjadi banjak djuga, itu berarti daja tahan sendiri semakin berkurang, sebaliknja daja sedot lawan bertambah kuat, maka sampai achirnja perembesan hawa murni merekapun semakin santer keluarnja.

Murid keempat dan murid kelima masing2 bernama Boh-ti dan Boh-ek mendjadi tertegun menjaksikan Suheng2 dan Sute2 mereka jang tjelaka itu. Maksudnja ingin minta pertolongan sang guru, tapi tampak gurunja djuga sedang bertanding tenaga dalam dengan musuh, saat itupun sudah mentjapai titik2 menentukan hidup atau mati. Karuan mereka kelabakan berlari kesana kesini tanpa berdaja. Sampai achirnja, karena dorongan sesama saudara seperguruan, merekapun tidak pikir pandjang lagi dan segera ikut2 menarik Boh-tam dan Boh-ay sekuatnja.

Waktu itu Tju-hap-sin-kang sudah bertambah dengan hawa murni dari Boh-tam, Boh-ay, Boh-tin dan Boh-ban berempat, betapa hebat daja sedotnja, sudah tentu tak mungkin dapat mereka tarik begitu sadja. Bahkan kontan mereka berduapun ikut disedot dan melengket.

Sungguh sial bagi keenam paderi itu, tanpa sengadja mereka ketemukan Tju-hap-sin-kang, tenaga latihan selama berpuluh tahun mereka akan hilang

dalam sekedjap sadja. Sambil masih melengket satu-sama-lain, mereka hanja bisa saling pandang sadja dengan tjemas. Bahkan saking pedihnja, Boh-ti dan Boh-ek sampai mengutjurkan air mata...........

Kembali bertjerita tentang ketiga tokoh Suma, Suto dan Sukong.

Mendjelang magrib, menurut perhitungan Hoa Hek-kin galian mereka tentu sudah sampai dibawah kamar batu dimana Toan Ki dikeram.

Tempat itu sangat dekat dengan tempat duduk Djing-bau-khek, maka kerdja mereka harus lebih hati2 lagi, sedikitpun tidak boleh menerbitkan suara. Karena itu Hoa Hek-kin lantas taruh sekopnja, ia gunakan djari2 tangan untuk mentjakar tanah.

Hou-djiau-kang atau ilmu tjakar harimau jang dilatih Hoa Hek-kin sangat lihay, kini dipakai mentjakar tanah, mirip benar dengan patjul garuk besi, sekali tjakar lantas segumpal tanah kena dikeduknja. Hoan Hua dan Pah Thian-sik mengikuti dibelakangnja untuk mengusung keluar galian tanah itu.

Kini arah jang digali Hoa Hek-kin tidak lagi mendjurus madju, tapi dari bawah keatas. Maka tahulah Thian-sik dan Hoan Hua bahwa pekerdjaan mereka sudah dekat rampung. Dapat tidak menjelamatkan Toan Ki, tidak lama lagi akan ketahuan dengan pasti. Karena itu, hati mereka mendjadi ber-debar2.

Menggali tanah dari bawah keatas dengan sendirinja djauh lebih mudah. Sedikit tanahnja longgar, segera longsor sendiri. Ketika Hoa Hek-kin sudah dapat berdiri tegak, tjara galinja mendjadi lebih tjepat lagi. Tapi setiap kali mengeruk sepotong tanah, ia lantas berhenti untuk mendengarkan apakah ada sesuatu suara diatas sana.

Tidak lama pula, Hek-kin menaksir tinggal belasan senti sadja dengan permukaan tanah, kerdjanja lantas dilambatkan lagi dengan hati2, pelahan2 ia korek lapisan tanah dan achirnja dapat menjentuh sepotong papan kaju jang rata.

Ia mendjadi heran bahwa lantai rumah bukan dari papan batu, tapi adalah papan kaju. Namun dengan begitu mendjadi lebih leluasa lagi bagi kerdjanja.

Segera Hek-kin kerahkan tenaga pada udjung djarinja, pelahan2 ia mengiris

satu lubang persegi pada papan kaju itu hingga tjukup untuk dibuat masuk keluar tubuh orang. Ia memberi tanda siap kepada kedua kawannja, lalu mengendorkan tangannja jang menjanggah papan lubang jang sudah dipotong itu, dengan sendirinja potongan papan itu lantas djatuh sendiri kebawah, segera Hek-kin ulurkan sekopnja keatas melalui lubang itu sambil diabat-abitkan untuk mendjaga kalau diserang musuh dari atas.

Diluar dugaan, bukannja diserang dari atas, tapi lantas terdengar djeritan kaget seorang wanita diatas situ.

Djangan bersuara, Boh-kohnio, kawan sendiri jang datang untuk menolong engkau! demikian bisik Hek-kin pelahan terus melompat keatas melalui lubang papan itu.

Tapi kedjutnja sungguh tak terkira ketika mengetahui bahwa kamar itu ternjata bukan rumah batu jang ditudju itu.

Kamar itu tampak banjak almari dan medja jang penuh botol2 obat. Dipodjok sana tampak seorang gadis tjilik meringkuk dengan ketakutan.

Maka tahulah Hoa Hek-kin bahwa telah salah gali. Rumah batu jang dikatakan Pah Thian-sik itu hanja didengarnja dari tjerita Po-ting-te, maka rentjana mereka itu hanja didasarkan pada taksiran belaka, dan kini ternjata sudah kesasar.

Kiranja kamar jang mereka masuki itu adalah kamar kerdjanja Tjiong Ban-siu dan gadis tjilik itu bukan lain adalah Tjiong Ling.

Gadis itu senantiasa hendak mentjari obat penawar dikamar kerdja ajahnja guna menolong Toan Ki. Tak tersangka bahwa Im-yang-ho-hap-san itu tidak bisa sembarangan disembuhkan dengan obat penawar, tapi ada tjara penjembuhan jang istimewa. Dengan sendirinja biarpun Tjiong Ling sudah mengobrak-abrik kamar obat ajahnja toh tetap tak bisa mendapatkan sesuatu obat penawar jang diharapkan.

Waktu itu ajah-bundanja sedang mendjamu tamu diruangan depan, maka diam2 Tjiong Ling masuk kekamar ajahnja untuk mentjari lagi. Siapa duga mendadak lantai kamar itu berlubang, menjusul sebatang sekop menjelonong keluar, bahkan terus melompat keluar pula seorang laki2 tak dikenal, karuan kaget Tjiong Ling setengah mati.

Hoa Hek-kin bisa berpikir tjepat, sekali sudah salah gali, terpaksa harus gali pula kedjurusan lain. Djedjaknja sudah diketahui, kalau nona tjilik ini dibunuh, tentu majatnja akan diketemukan orang disini dan segera pasti akan diadakan penggeledahan setjara besar2an, djika hal itu terdjadi, mungkin dirinja sudah akan diketemukan sebelum berhasil menggali sampai dirumah batu itu. Rasanja djalan paling baik harus gondol gadis tjilik ini kedalam lorong dibawah tanah, dan orang lain kalau mentjari sigadis ini, tentu malah akan mentjarinja diluar sana.

Dan pada saat itulah, tiba2 diluar kamar ada suara tindakan orang mendatangi. Tjepat Hek-kin gojang2 tangannja kepada Tjiong Ling dengan maksud agar gadis itu djangan bersuara, lalu ia putar tubuh dengan lagak seperti hendak menerobos kedalam lubang. Tapi mendadak ia terus melompat kebelakang, segera mulut Tjiong Ling ditekap dengan tangannja, menjusul badan gadis itu lantas diangkat ketepi lubang itu terus dimasukkan kebawah. Disitu Hoan Hua sudah lantas menjambutnja.

Setelah ikut melompat kebawah lubang lagi, tjepat Hek-kin djedjalkan mulut Tjiong Ling dengan setjomot tanah, karuan gadis itu kerupukan. Namun Hek-kin tak urus lagi, ia tutup kembali lubang papan tadi, lalu mendengarkan apa jang terdjadi diatas.

Kedjadian2 itu berlangsung dengan tjepat luar biasa, dalam keadaan kaget dan takut, Tjiong Ling mendjadi bingung hingga tidak tahu apa maksud tudjuan orang mentjulik dirinja. Apalagi mulutnja telah didjedjal dengan tanah, ia mendjadi gelagapan tak bisa bersuara lagi.

Sementara itu terdengar ada dua orang telah masuk kedalam kamar, jang seorang tindakannja berat, jang lain sangat enteng. Lalu suara seorang laki2 lagi berkata: Terang tjintamu padanja masih belum lenjap seluruhnja, kalau tidak, aku hendak merusak nama baik keluarga Toan, mengapa kau selalu merintangi?

Belum lenjap apa segala, hakikatnja aku tidak pernah tjinta padanja, sahut seorang wanita.

Djika demikian, itulah jang kuharapkan, kata laki2 tadi dengan nada penuh rasa sjukur dan girang.

Maka terdengar wanita itu berkata pula: Tapi nona Bok itu adalah puteri kandung Sutjiku, meski tabiatnja agak kasar dan bertindak kurang sopan pada kita, namun betapapun djuga adalah orang sendiri. Kau hendak bikin susah

Toan-kongtju aku masa bodoh, tapi nona Bok djuga ikut kau korbankan nama baiknja hingga selama hidupnja bakal merana, itulah aku tak bisa tinggal diam.

Mendengar sampai disini, tahulah Hek-kin bahwa kedua orang jang bitjara itu terang adalah suami-isteri Tjiong Ban-siu. Mendengar pembitjaraan mereka menjangkut dirinja Toan Ki, segera ia pasang kuping lebih tadjam.

Maka terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata: Sutjimu telah berusaha hendak melepaskan pemuda itu, beruntung dipergoki Yap Dji-nio dan sekarang dia sudah bermusuhan dengan kita, mengapa kau malah ingin mengurus puterinja itu? A Po, para tamu didepan itu adalah tokoh2 Bu-lim kenamaan semua, tanpa pamit apa2 kau tinggal masuk kemari, bukankah kelakuanmu ini agak kurang sopan?

Hm, untuk apa kau mengundang orang2 matjam begitu? dengan kurang senang Tjiong-hudjin menanja. Huh, Lo-kang-ong Tjin Goan-tjun, It-hui-tjiong-thian Kim Tay-pang, murid utama dari Tiam-djong-pay Liu Tji-hi, Tjo Tju-bok dan Siang-djing tokoh dari Bu-liang-kiam dan ada lagi djago silat Be Ngo-tek apa segala, emangnja apa kau sangka orang2 matjam demikian berani main gila pada Paduka Jang Mulia radja Tayli sekarang?

Aku toh tidak bermaksud mengundang mereka untuk ikut memberontak pada Toan Tjing-beng, demikian Tjiong Ban-siu mendjawab. Hanja setjara kebetulan aku melihat mereka berada disekitar sini, lantas aku mengundang mereka kemari untuk meramaikan suasana sadja gar bisa ikut mendjadi saksi bahwa putera puteri Toan Tjing-sun telah tidur dalam sekamar. Malahan diantara hadirin itu terdapat pula Hui-sian dari Siau-lim-si, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si, Oh-pek-kiam Su An. Orang2 ini adalah djagoan2 didaerah Tionggoan. Besok pagi be-ramai2 kita lantas pergi membuka rumah batu itu, biar semua orang menjaksikan betapa bagus perbuatan keturunan keluarga Toan jang terpudji itu, bukankah hal ini sangat menarik dan segera akan tersiar luas diseluruh Kangouw dengan tjepat? Hahahaha!

Huh, rendah memalukan! djengek Tjiong-hudjin.

Kau maki siapa jang rendah memalukan? tanja Ban-siu.

Siapa jang berbuat rendah dan tidak kenal malu, dia adalah manusia jang rendah memalukan, sahut Tjiong-hudjin mendongkol.

Benar, keparat Toan Tjing-sun itu selama hidupnja sok romantis dan banjak

berbuat dosa, tapi achirnja puter-puteri sendiri berbuat hal2 jang tidak senonoh, haha, benar2 rendah memalukan!

Kau sendiri tidak mampu menangkan orang she Toan, selama hidup mengumpet didalam lembah ini pura2 sudah mati, namun hal inipun maklum, karena kau masih tahu diri dan terhitung seorang laki2 jang kenal malu. Tapi sekarang kau sengadja mempermainkan putera-puteri orang jang bukan tandinganmu, kalau diketahui kesatria2 seluruh djagat, mungkin orang jang akan ditertawai bukan dia, sebaliknja adalah engkau sendiri!

Karuan Tjiong Ban-siu berdjingkrak, teriaknja gusar: Djadi ..... djadi engkau maksudkan aku jang rendah dan memalukan?

Tiba2 Tjiong-hudjin mengutjurkan air mata, sahutnja ter-guguk2: Sungguh tidak njana bahwa suamiku adalah seorang demikian gagah perwiranja!

Sebenarnja Tjiong Ban-siu memang sangat tjinta pada isterinja ini, sebabnja dia bentji dan dendam pada Toan Tjing-sun adalah disebabkan rasa tjemburunja, kini melihat sang isteri menangis, karuan ia mendjadi sibuk, tjepat sahutnja: Baiklah, baiklah! Kau suka maki aku, makilah sepuasmu.

Habis berkata, ia berdjalan mondar-mandir didalam kamar itu, pikirnja hendak mengutjapkan sesuatu untuk minta maaf pada sang isteri, tapi seketika tidak tahu apa jang harus dikatakan. Tiba2 ia melihat botol obat dialmarinja disudut kamar sana berserakan tak teratur, segera ia mengomel: Hm, Ling-dji ini benar2 kurang adjar, masih ketjil sudah tanja tentang Im-yang-ho-hap-san apa segala, sekarang datang mengobrak-abrik lagi kekamarku sini.

Sembari berkata, ia terus mendekati almari obat itu untuk membetulkan botol2 obat jang tak keruan itu dan tanpa sengadja sebelah kakinja mendadak mengindjak diatas papan jang sudah dilubangi Hoa Hek-kin itu. Karuan Hek-kin kaget, tjepat ia menjanggah dari bawah sekuatnja agar tidak diketahui orang.

Dimanakah Ling-dji? tiba2 Tjiong-hudjin menanja. Selama beberapa hari ini didalam lembah banjak orang djahat, Ling-dji harus diperingatkan djangan sembarangan keluar. Aku lihat sepasang mata maling In Tiong-ho itu selalu mengintjar Ling-dji sadja, kukira kau harus hati2 djuga.

Aku hanja hati2 mendjaga engkau seorang, wanita tjantik molek seperti engkau, siapa orangnja jang tidak sir padamu? demikian sahut Ban-siu dengan tertawa.

Tjis! semprot njonja Tjiong. Lalu ia berseru memanggil: Ling-dji!

Segera seorang pelajan mendekati dan memberitahu bahwa barusan sadja sang Siotjia berada disitu.

Tjoba tjari dan undang kemari, perintah Tjiong-hudjin.

Sudah tentu Tjiong Ling mendengar semua pertjakapan ajah-bundanja itu. Tapi apa daja, mulut tersumbat tanah, sama sekali tak bisa bersuara, hanja dalam hati kelabakan setengah mati.

Dalam pada itu terdengar Tjiong Ban-siu lagi berkata pada sang isteri: Engkau mengaso sadja disini, aku akan keluar mengawani tamu.

Hm, kau berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas membunuh), kenapa sesudah tua lantas Kian-djin-tjiu-bah (melihat orang lantas takut)? sindir Tjiong-hudjin.

Ban-siu tidak berani marah, sambil menjengir kuda, ia tinggal keluar keruangan depan.

Dalam pada itu, dikota Tayli dengan gembira rakjat sedang merajakan dihapuskannja tjukai garam.

Hendaklah maklum bahwa produksi garam diwilajah Hunlam sangat terbatas, seluruh negeri hanja ada sembilan sumur garam, jaitu sumber penghasil garam jang terdapat didaratan Tiongkok bagian barat-daja. Maka setiap tahunnja Tayli mesti mengimpor sebagian besar garam dari daerah Sutjwan dengan tjukai garam jang berat, bahkan sebagian besar dari penduduk dipinggiran negeri itu dalam setahun hampir setengah tahun mesti makan setjara tawar tanpa garam.

Po-ting-te tahu bila tjukai garam sudah dihapuskan, tentu Ui-bi-tjeng akan berusaha menjelamatkan Toan Ki untuk membalas kebidjaksanaannja itu. Biasanja Po-ting-te sangat kagum terhadap ilmu silat serta ketjerdikan Ui-bi-tjeng itu, apalagi keenam anak muridnja itupun memiliki ilmu silat jang tinggi, djika guru dan murid itu bertudjuh orang keluar sekaligus, pasti akan gol usaha mereka.

Tak terduga, sudah ditunggu sehari-semalam, ternjata tiada sedikitpun kabar jang diperoleh, hendak memerintahkan Pah Thian-sik pergi mentjari tahu, siapa sangka Pah-sukong itu beserta Hoa-suto dan Hoan-suma djuga ikut menghilang tanpa pamit.

Karuan Po-ting-te mendjadi kuatir, pikirnja: Djangan2 Yan-king Thaytju memang terlalu lihay hingga Ui-bi Suheng bersama murid2nja itu dan ketiga pembantuku jang lihay itu telah terdjungkal semua didalam Ban-djiat-kok?

Karena itu, segera ia undang berkumpul adik pangeran Toan Tjing-sun dan permaisuri, Sian-tan-hou Ko Sing-thay serta tokoh2 Hi-djiau-keng-dok, lalu diadjak berangkat ke Ban-djiat-kok pula.

Karena kuatirkan keselamatan sang putera, Si Pek-hong minta Po-ting-te suka kerahkan pasukan untuk menjapu bersih Ban-djiat-kok, namun sang radja jang bidjaksana itu tidak setudju, ia ingin pertahankan kehormatan dan nama baik keluarga Toan sebagai tokoh utama didunia persilatan, kalau tidak terpaksa, ia tetap bertindak menurut peraturan Kangouw.

Dan baru sadja rombongan mereka sampai dimulut lembah jang ditudju, tertampaklah In Tiong-ho sudah memapak mereka dengan ketawa2, ia memberi hormat lebih dulu, lalu berkata: Selamat datang! Tjiong-koktju menduga Paduka Jang Mulia hari ini pasti akan berkundjung kemari lagi, maka Tjayhe disuruh menantikan disini. Pabila kalian datang bersama pasukan setjara besar2an, kami lantas angkat kaki melangkah seribu. Tapi bila datang menurut peraturan Kangouw, maka disilahkan masuklah untuk minum2 dulu!

Melihat pihak lawan demikian tenang, terang sudah siap sedia sebelumnja, tidak seperti tempo hari, begitu datang lantas saling labrak, maka diam2 Po-ting-te lebih kuatir djuga dan lebih prihatin. Segera ia membalas hormat dan berkata: Terima kasih atas penjambutanmu!

Segera In Tiong-ho mendahului dan membawa rombongan Po-ting-te keruangan tamu. Begitu melangkah masuk ruangan pendopo itu, Po-ting-te lantas melihat ruangan itu sudah banjak berkumpul tokoh2 Kangouw, kembali ia bertambah was2.

Terus sadja In Tiong-ho berteriak: Thian-lam Toan-keh Tjiangbundjin Toan-losu tiba! ~ Ia tidak bilang P.J.M. radja Tayli, tapi menjebutkan gelaran keluarga Toan dalam kalangan Bu-lim, suatu tanda ia sengadja menjatakan segala tindak-tanduk selandjutnja harus dilakukan menurut

peraturan Bu-lim.

Nama Toan Tjing-beng sendiri didalam Bu-lim memangnja terhitung djuga seorang tokoh terkemuka jang disegani. Maka begitu mendengar namanja, seketika para hadirin berbangkit sebagai tanda menjambut. Hanja Lam-hay-gok-sin jang masih tetap duduk seenaknja ditempatnja sambil berseru: Kukira siapa, tak tahunja adalah Hongte-lodji jang datang! Baik2kah kau?

Sebaliknja Tjiong Ban-siu lantas melangkah madju dan menjapa: Tjiong Ban-siu tidak keluar menjambut, harap Toan-losu suka memaafkan!

Ah, djangan sungkan2! sahut Po-ting-te.

Oleh karena pertemuan ini dilakukan setjara orang Bu-lim, maka ketika disilahkan duduk, Toan tjing-sun dan Ko Sing-thay lantas berduduk disisi Po-ting-te, sedang Leng Djian-li berempat berdiri dibelakang Po-ting-te, segera pula pelajan menjuguhkan minuman seperlunja.

Melihat Ui-bi-tjeng dan murid2nja serta Pah Thian-sik bertiga tidak nampak disitu, diam2 Po-ting-te memikirkan tjara bagaimana harus buka mulut untuk menanjakannja.

Sementara itu Tjiong Ban-siu lantas buka suara: Atas kundjungan kedua kalinja dari Toan-tjiangbun ini, sungguh Tjayhe merasa mendapat kehormatan besar. Mumpung ada sekian banjak kawan2 Bu-lim berkumpul disini, biarlah Tjayhe memperkenalkannja satu per satu kepada Toan-tjiangbun.

Habis berkata, segera Ban-siu memperkenalkan Tjo Tju-bok, Be Ngo-tek, Hui-sian Hwesio dan lain2 kepada radja Tayli itu. Sebagian besar Po-ting-te tidak kenal, tapi ada djuga jang pernah mendengar namanja.

Setiap orang jang diperkenalkan itu lantas saling memberi hormat pula dengan Po-ting-te. Be Ngo-tek, Tjo Tju-bok dan kawan2nja sangat menghormat dan merendah diri terhadap Po-ting-te, sebaliknja Liu Tju-hi, Tjin Goan-tjun dan begundalnja bersikap sangat angkuh. Sedangkan Kah-yap Siansu, Kim Tay-peng, Su An dan lain2 memandang Po-ting-te sebagai kaum Tjianpwe, mereka tidak terlalu merendahkan deradjat sendiri djuga tidak mendjilat orang.

Lalu Tjiong Ban-siu berkata lagi: Mumpung Toan-tjiangbun sempat berkundjung

kemari, sudilah kiranja tinggal lebih lama barang beberapa hari disini, agar para saudara bisa banjak meminta petundjuk.

Keponakanku Toan Ki telah berbuat salah pada Tjiong-koktju dan ditahan disini, kedatanganku hari ini pertama jalah ingin mintakan ampun bagi botjah itu, keduanja ingin minta maaf djuga. Harap Tjiong-koktju suka memandang diriku, sukalah mengampuni anak jang masih hidjau itu, untuk mana Tjayhe merasa terima kasih sekali, demikian djawaban Po-ting-te.

Mendengar itu, diam2 para kesatria sangat kagum, pikir mereka: Sudah lama kabarnja Toan-hongya dari Tayli suka menghadapi kaum sesama Bu-lim dengan peraturan Bu-lim pula, dan njatanja memang tidak omong kosong. Padahal wilajah ini masih dibawah kekuasaan Tayli, asal dia mengirim beberapa ratus peradjuritnja sudah tjukup untuk membebaskan keponakannja itu, tapi dia djustru datang sendiri untuk memohon setjara baik2.

Hlm. 51 Gambar

Toan-kongtju adalah gurumu, engkau sudah menjembah dan mengangkat guru padanja, apakah kau berani menjangkal? kata Ko Sing-thay.

Keparat, lotju tidak menjangkal, maki Lam-hay-gok-sin dengan gusar. Harini djuga biar Lotju bunuh guru jang tjuma namanja sadja tanpa ada kenjataannja itu. Gak-lodji punja guru sematjam itu, huh, hanja bikin malu sadja!

Plak, dengan gusar Tjiong Ban-siu tempiling puterinja sendiri, Tjiong Ling, jang disangkanja telah berbuat tidak senonoh dengan Toan Ki didalam rumah batu itu.

Tjiong-koktju, urusan sudah ketelandjur, kini puterimu sudah mendjadi anggota keluarga Toan kami, terpaksa aku harus ikut tjampur djika kau menghadjar puterimu ini, tiba2 Toan Tjing-sun menjela dengan ter-senjum2.

Hlm 52

Dalam pada itu Tjiong Ban-siu sedang ter-bahak2, belum lagi mendjawab, tiba2 Su An telah menjela: He, kiranja Toan-kongtju berbuat salah sesuatu kepada Tjiong-koktju, djika demikian, untuk mana Tjayhe djuga ikut memohon ampun baginja, sebab Tjayhe pernah mendapat pertolongan dari Toan-kongtju.

Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar mendadak, bentaknja: Urusan muridku, baut apa kau ikut tjerewet?

Toan-kongtju adalah gurumu dan bukan muridmu, tjepat Ko Sing-thay mendjawabnja dengan mengedjek. Kau sendiri sudah menjembah dan mengangkat guru padanja, apa sekarang kau hendak menjangkal?

Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia memaki: Keparat, Lotju takkan menjangkal. Harini biar Lotju membunuh djuga Suhu jang tjuma namanja sadja, tapi kenjataannja tidak. Hm, masakan Lotju mempunjai seorang guru matjam begitu, bisa mati kaku aku!

Karena tidak tahu seluk-beluknja, keruan semua orang merasa bingung oleh tanja djawab itu.

Kemudian Si Pek-hong ikut bitjara: Tjiong-koktju, lepaskan puteraku atau tidak, hanja tergantung satu ketjap utjapanmu sadja.

O, ja, tentu sadja kulepaskan dia, tentu kulepaskan! sahut Tjiong Ban-siu dengan tertawa. Emangnja, buat apa aku menahan puteramu itu?

Benar, tiba2 In Tiong-ho menimbrung. Dasar Toan-kongtju tampan dan ganteng, sedangkan njonja Tiong-koktju sangat tjantik aju, kalau Toan-kongtju tinggal terus dilembah ini, apakah itu bukannja memiara srigala dikandang kambing, tjari penjakit sendiri? Maka sudah tentu Tjiong-koktju akan melepaskan botjah itu!

Semua orang mendjadi tertjengang oleh kata2 In Tiong-ho jang tidak kenal aturan dan tanpa tedeng aling2 itu, njata suami-isteri Tjiong Ban-siu sama sekali tak terpandang sebelah mata olehnja, sungguh djulukan Kiong-hiong-kek-ok atau djahat dan buas luar biasa, memang tidak bernama kosong.

Tentu sadja Tjiong Ban-siu mendjadi murka, sjukur ia masih bisa menahan diri, katanja sambil berpaling: In-heng, kalau urusan disini sudah selesai, pasti Tjayhe akan beladjar kenal dengan kepandaianmu.

Bagus, bagus! sahut In Tiong-ho tertawa.Akan djusteru sudah lama ingin membunuh suaminja untuk mendapatkan isterinja, ingin merebut hartanja serta mendiami lembahnja ini!

Keruan para kesatria bertamah terkesiap. Segera It-hui-tjiong-thian Kim Tay-peng berkata: Para kesatria kangouw toh belum mati seluruhnja, sekalipun kepandaian Thian-he-su-ok kalian sangat tinggi, betapapun tak bisa menghindarkan diri dari keadilan umum.

Tiba2 Yap Dji-nio ter-bahak2 dengan suaranja jang merdu, katanja: Kim-siangkong, aku Yap Dji-nio toh tiada permusuhan apa2 dengan engkau, kenapa aku ikut2 disinggung, ha?

Hati Kim Tay-peng tergetar oleh suara ketawa orang jang mengguntjang sukma itu. Begitu pula Tjo Tju-bok djuga ikut ber-debar2, terutama bila teringat puteranja sendiri hampir2 mendjadi korban wanita iblis itu, tanpa merasa ia melirik sekedjap pada tokoh kedua dari Su-ok itu.

Yap Dji-nio sedang ter-kikih2 tawa, katanja pula: He, Tjo-tjiangbun, baik2kah puteramu itu, tentu mendjadi lebih gemuk dan putih mulus bukan?

Tjo Tju-bok tidak berani membantah, sahutnja tak lampias: Ah, tempo hari ia telah masuk angin, sampai sekarang masih belum sehat.

O, kasihan! udjar Dji-nio. Biarlah nanti aku mendjenguk puteramu jang baik itu.

Karuan Tjo Tju-bok terkedjut, tjepatan sadja ia gojang2 tangannja dan berkata: Djang .... djangan, ti... tidak usah! ~ Sudah tentu ia kuatir, kalau orang benar2 bermaksud baik mendjenguk anaknja sih tak mengapa, tapi kalau digondol lari lagi untuk diisap darahnja, kan tjelaka!

Melihat suasana begitu, diam2 Po-ting-te membatin: Rupanja kedjahatan Su-ok memang sudah keterlaluan dan banjak mengikat permusuhan, nanti kalau Ki-dji sudah diselamatkan, boleh djuga sekalian tjari kesempatan untuk membasminja.

Yan-king Thaytju dari Su-ok ini meski terhitung orang keluarga Toan, tapi achirnja toh akan tiba djuga hari tamatnja sesuai dengan djulukannja Kedjahatan sudah melebihi takarannja.

Dan karena melihat pembitjaraan orang2 itu telah menjimpangkan persoalan pokok, segera Si Pek-hong berbangkit dan bitjara lagi: Tjiong-koktju, djika engkau sudah menjanggupi akan mengembalikan anakku, baiklah sekarang engkau suruh dia keluar, biar kami ibu dan anak bisa saling bertemu kembali.

Tjepat Tjiong Ban-siu djuga berbangkit dan menjahut: Baik! ~ mendadak ia menoleh dan mendelik pada Toan Tjing-sun dengan penuh rasa dendam, katanja pula sambil menghela napas: Toan Tjing-sun, engkau mempunjai isteri tjantik dan putera tampan, mengapa engkau masih belum puas dan masih sok bangor? Djikalau hari ini kau harus menanggung malu didepan umum, itu adalah akibat perbuatanmu sendiri dan djangan menjalahkan aku orang she Tjiong.

Memangnja waktu mendengar Tjiong Ban-siu bersedia membebaskan Toan Ki begitu sadja, Toan Tjing-sun sudah bersangsi urusan pasti takkan terdjadi demikian sederhana, tentu musuh sudah mengatur sesuatu muslihat kedji. Maka demi mendengar utjapan Ban-siu itu, segera ia mendekati Tjiong-koktju itu dan mendjawab tegas: Tjiong Ban-siu, kau sendiripun punja anak-isteri, pabila kau bermaksud membikin tjelaka orang, aku Toan Tjing-sun pasti djuga bisa membikin kau merasa menjesal selama hidup.

Melihat sikap pangeran Tayli jang gagah perkasa dan agung itu, Tjiong Ban-siu merasa dirinja semakin djelek, rasa siriknja bertambah me-njala2, segera teriaknja: Urusan sudah begini, biarpun achirnja Tjiong Ban-siu harus gugur dan rumah tangga hantjur, betapapun aku akan lawan kau sampai titik darah penghabisan. Hajolah, kau inginkan puteramu, mari ikut padaku! ~ Habis berkata, terus sadja ia mendahului bertindak keluar.

Setelah be-ramai2 semua orang ikut Tjiong Ban-siu sampai didepan pagar pohon jang lebat itu, In Tiong-ho sengadja pamer Ginkang, sekali lompat, segera ia melintasi pagar pohon jang tinggi itu.

Toan Tjing-sun pikir urusan hari ini terang tak bisa diselesaikan setjara damai, ada lebih baik sekarang djuga memberi sedikit demonstrasi, agar pihak lawan tahu gelagat dan mundur teratur. Maka katanja segera: Tiok-sing, penggal beberapa pohon itu, agar mudah dilalui semua orang!

Djay-sin-khek Siau Tiok-sing, sipentjari kaju, mengia sekali, lalu mengajun kapaknja, sekali batjok, bagai pisau tipis mengiris tahu sadja, seketika sebatang pohon ditebang putus didekat pangkalnja. Menjusul

Tiam-djong-san-long hantamkan sebelah tangannja kedepan hingga pohon patah itu mentjelat tersangkut diantara pohon2 jang lain.

Be-runtun2 tampak kapak bekerdja tjepat pula hingga dalam sekedjap sadja sudah ada lima batang pohon jang tumbang, maka berwudjutlah sekarang suatu pintu masuk.

Sebenarnja Tjiong Ban-siu menanam dan merawat pagar pohon itu selama ber-tahun2 dengan susah-pajah, tentu sadja ia mendjadi gusar pohon2 itu ditebang dan dirusak oleh Siau Tiok-sing. Tapi segera terpikir olehnja: Orang2 she Toan dari Tayli hari ini bakal dibikin malu besar, buat apa aku mesti sibukkan urusan tetek-bengek ini. ~ Karena itu, tanpa bitjara lagi ia lantas mendahului masuk melalui pintu pagar pohon jang bobol itu.

Maka tertampaklah segera dibalik pohon2 sana Ui-bi-tjeng dan Djing-bau-khek masing2 menggunakan tangan kiri sedang menahan udjung tongkat bambu, ubun2 kedua orang kelihatan mengepulkan kabut putih, terang kedua orang itu sedang mengadu Lwekang.

Mendadak Ui-bi-tjeng mengulur tangan kanan dan menekan sekali diatas papan batu didepan situ hingga berwudjut suatu dekukan. Menjusul, hanja memikir sedjenak, Djing-bau-khek djuga ikut menggores satu lingkaran ketjil dengan tongkat bambu ditangan kanannja itu.

Melihat itu segera Po-ting-te mengartilah duduknja perkara. Kiranja Ui-bi Suheng itu disamping tanding tjatur dengan Yan-king Thaytju, berbareng mengadu Lwekang pula dengan tokoh utama dari Su-ok itu. Djadi mengadu otak serta tenaga setjara berbareng, tjara bertanding jang lain dari jang lain ini sesungguhnja sangat berbahaja. Pantas makanja sudah ditunggu sehari-semalam sang Suheng masih tiada kabar beritanja, rupanja pertandingan demikian itu sudah berlangsung selama sehari-semalam dan masih belum ketahuan siapa jang kalah atau menang.

Sepintas lalu Po-ting-te melihat kedudukan diatas papan tjatur itu, kedua pihak sama2 sedang menghadapi satu langkah sulit jang menentukan, rupanja Ui-bi-tjeng berada dipihak terdesak, maka mati2an paderi itu sedang mentjari djalan hidup bagi bidji tjaturnja itu.

Waktu Po-ting-te menengok pula kearah rumah batu, ia lihat keenam murid Ui-bi-tjeng itu sedang duduk bersila didepan rumah dengan wadjah putjat dan mata meram, mirip orang jang sudah hampir putus napasnja jang penghabisan. Karuan ia terkedjut, pikirnja: Apa barangkali keenam murid Suheng ini telah bergebrak dulu dengan Yan-king Thaytju dan telah terluka parah semua?

Segera ia mendekati mereka, ia tjoba periksa denjut nadi Boh-tam Hwesio, ia merasa denjut nadinja sangat lemah, seperti bergerak seperti tidak, se-akan2 setiap waktu bisa berhenti berdenjut.

Tjepat Po-ting-te mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang keluar enam butir pil merah serta didjedjalkan kemulut enam paderi itu masing2 sebutir. Pil itu bernama Hou-pek-wan, sangat mandjur untuk menjembuhkan luka dalam. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Boh-tam berenam bukanlah terluka dalam, tapi disebabkan antero hawa murni dalam tubuh mereka telah kering benar2 disedot oleh Tju-hap-sin-kangnja Toan Ki jang maha lihay itu. Pil itu digunakan tidak tepat penjakitnja, dengan sendirinja tak berguna.

Dalam pada itu Tjing-sun sedang berseru: Djian-li, kalian berempat tjoba dorong kepinggir batu besar itu, lepaskan Ki-dji dari dalam situ!

Leng Djian-li berempat mengia, berbareng mereka lantas madju.

Nanti dulu! tiba2 Tjiong Ban-siu mentjegah. Apakah kalian mengetahui siapa2 sadja jang terkurung didalam rumah itu?

Toan Tjing-sun dan djago2nja itu masih belum tahu bahwa Bok Wan-djing djuga sudah ditawan Yan-king Thaytju serta dikurung bersama Toan Ki didalam satu kamar, bahkan kedua muda-mudi itu telah ditjekoki pula dengan Im-yang-ho-hap-san, maka sama sekali mereka tidak tjuriga dan serentak hendak membebaskan Toan Ki dari pendjara itu tanpa pikirkan apa jang bakal disaksikan hadirin2 jang lain. Kini demi mendengar utjapan Tjiong Ban-siu itu, Tjing-sun mendjadi tjuriga, segera damperatnja: Tjiong-koktju, pabila kau berani bikin tjatjat sedikitpun atas diri puteraku, hendaklah kau ingat bahwa engkau sendiripun punja anak-isteri. ~ Njata jang dia kuatirkan jalah djangan2 Toan Ki telah disiksa atau ditjatjatkan sesuatu anggota badannja.

Maka dengan tertawa mengedjek Tjiong Ban-siu mendjawab: Hehe, memang benar, aku orang she Tjiong djuga punja anak-isteri, tjuma anakku adalah perempuan, untung aku tidak punja anak laki2, andaikan punja djuga anakku laki2 takkan mungkin melakukan perbuatan kebinatangan dengan anak perempuanku sendiri.

Kau sembarangan mengotjeh apa? bentak Tjing-sun dengan gusar.

Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing adalah puterimu dari hubungan gelap dengan wanita lain, bukan? dengan senjum edjek Ban-siu menanja.

Asal-usul nona Bok pribadi, peduli apa engkau mesti iseng dan ikut tjampur? sahut Tjing-sun dengan gusar.

Hahaha, belum tentu bahwa aku jang iseng suka ikut tjampur urusan, sahut Ban-siu ter-bahak2. Keluarga Toan kalian meradjai suatu negeri Tayli, dikalangan Kangouw terlebih gilang-gemilang pula namanja. Tapi kini biarlah para kesatria diseluruh djagat supaja membuka mata lebar2 untuk menjaksikan bahwa putera dan puteri Toan Tjing-sun sendiri telah berbuat maksiat diantara sesama saudara sendiri, sungguh dunia sudah terbalik!

Mendengar itu, rasa tjuriga Toan Tjing-sun semakin mendjadi, pikirnja: Apa benar Djing-dji djuga berada didalam rumah ini dan dia bersama Ki-dji sudah .... sudah ............ ~ Ia tidak berani membajangkan lebih landjut lagi, ia tjotjokkan utjapan2 Tjiong Ban-siu dari semula hingga sekarang, agaknja berada bersamanja kedua putera-puterinja didalam satu kamar itu tak usah disangsikan lagi. Karuan seketika badannja serasa dingin bagai ketjemplung disungai es, diam2 ia mengeluh: Betapa kedji muslihat musuh ini!

Dalam pada itu Tjiong Ban-siu lantas memberi tanda kepada Lam-hay-gok-sin, segera mereka berdua mulai hendak mendorong batu besar jang menutupi pintu rumah itu.

Nanti dulu! tjegah Tjing-sun sambil ulur tangan hendak merintangi.

Diluar dugaan, se-konjong2 Yap Dji-nio dan In Tiong-ho berbareng menjerangnja pula dari samping kanan dan kiri. Terpaksa Tjing-sun angkat tangan menangkis, sedang Ko Sing-thay serentak pun menjusup madju untuk menangkis serangan In Tiong-ho.

Tak tersangka serangan2 kedua tokoh Su-ok itu hanja pantjingan belaka, tangan jang satu pura2 mereka serang Toan Tjing-sun, tapi tangan jang lain dipakai membantu mendorong batu besar penutup pintu itu. Meski batu itu beratnja beribu kati, tapi dibawah dorongan tenaga bersama dari Tjiong Ban-siu, Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berempat, seketika batu itu menggelinding kesamping. Tindakan mereka itu memangnja sudah direntjanakan, maka sama sekali Toan Tjing-sun tak mampu merintanginja. Disamping itu Tjing-sun sendiri sebenarnja djuga ingin lekas2 bisa mengetahui keadaan puteranja, maka tidak mentjegah sekuat tenaga.

Dan begitu batu penutup pintu itu didorong minggir, segera tertampaklah didalam rumah batu itu gelap gulita belaka, sedikitpun tidak kelihatan pemandangan didalam rumah.

Huh, dua pemuda-pemudi berada sendirian didalam kamar segelap itu, dapat dibajangkan perbuatan apa jang akan dilakukan mereka! demikian Tjiong Ban-siu mendjengek.

Dan baru lenjap utjapannja itu, tiba2 terlihat dari dalam rumah itu bertindak keluar seorang pemuda dengan rambut terurai masai, badan bagian atas telandjang, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki adanja? Bahkan ditangan pemuda itu membawa pula seorang wanita tak berkutik seperti orang jang tak sadarkan diri.

Melihat itu, alangkah malunja rasa Po-ting-te, Toan Tjing-sun pun menundukkan kepala, sedangkan Si Pek-hong mengembeng air mata sambil berkemak-kemik: Hukum karma! Hukum karma!

Lekas2 Ko Sing-thay menanggalkan badjunja dengan maksud untuk dipakai Toan Ki, sedang Oh-pek-kiam Su An mengingat pemuda itu pernah menolong djiwanja, ia merasa tidak tega kalau Toan Ki dibikin malu didepan orang banjak, maka tjepat ia melompat madju untuk meng-aling2 didepan pemuda itu.

Keparat! Apa kau sudah bosan hidup, lekas enjah! bentak Lam-hay-gok-sin dengan gusar.

Sebaliknja Tjiong Ban-siu ter-bahak2 sangat senang. Tapi mendadak suara ketawanja itu berubah mendjadi djeritan kaget jang sangat menjeramkan: He, mengapa engkau, Ling-dji?

Mendengar suara teriakan seram itu, hati semua orang ikut terkesiap. Ketika semua orang memperhatikan apa jang terdjadi, tertampak Tjiong Ban-siu sedang menubruk kehadapan Toan Ki terus hendak merampas wanita jang berada dipondongan pemuda itu.

Maka sekarang dapatlah semua orang melihat djelas wadjah wanita jang dipondong Toan Ki itu, tampaknja umurnja masih lebih muda daripada Bok Wan-djing, tubuhnja djuga lebih ketjil mungil, mukanja masih ke-kanak2an, terang bukan Hiang-yok-djeh jang tersohor itu, tapi adalah Tjiong Ling, itu puteri kesajangannja Tjiong Ban-siu sendiri.

Dalam kaget dan gusarnja, Tjiong Ban-siu tidak mengarti sebab apa mendadak puteri kesajangannja itu bisa berada didalam rumah itu, dengan tjepat ia terus sambut puterinja itu dari pondongan Toan Ki. Tak terduga, begitu kedua tangannja menjentuh badannja Tjiong Ling, se-konjong2 tubuhnja tergetar hebat, hawa murni dalam tubuh se-akan2 hendak terbang meninggalkan raganja.

Waktu itu Toan Ki sendiri belum lagi sadarkan diri, dalam keadaan buram ia melihat dirinja dirubung orang banjak, lapat2 diantaranja terdapat pula paman dan kedua orang tua, segera ia lepaskan Tjiong Ling serta berseru memanggil: Mak, Pekhu, ajah!

Dan karena dilepaskannja Tjiong Ling oleh Toan Ki, maka Tju-hap-sin-kang jang hebat itu tidak djadi menjedot hawa murninja Tjiong Ban-siu.

Oleh karena sudah lama berdiam ditempat gelap, kini Toan Ki mendjadi silau oleh sinar matahari jang terang benderang itu hingga seketika matanja susah dipentang. Sebaliknja antero badannja terasa sangat kuat, semangat ber-kobar2, tulang2 anggota badan terasa enteng se-akan2 bisa terbang sadja.

Dalam pada itu Si Pek-hong sudah lantas mendekati serta merangkul sang putera dan menanja: Ki-dji, ken kenapa kau?

En ...... entahlah, aku sendiri tidak tahu. Di ..... dimanakah aku berada? demikian sahut Toan Ki.

Sungguh sama sekali tak terpikir oleh Tjiong Ban-siu bahwa muslihatnja jang hendak bikin malu orang, kini berbalik sendjata makan tuan, puterinja sendiri jang mendjadi korban malah. Sedikitpun tak terpikir olehnja bahwa wanita jang dipondong keluar oleh Toan Ki bukanlah Bok Wan-djing, sebaliknja adalah puteri kesajangannja itu.

Setelah tertegun sedjenak, kemudian iapun lepaskan Tjiong Ling ketanah.

Ketika sadar dirinja tjuma memakai pakaian dalam melulu, karuan Tjiong Ling malu tak terkatakan. Tjepat Ban-siu menanggalkan badju sendiri untuk ditutupkan diatas badan sang puteri. Menjusul ia lantas persen sekali tamparan dipipi Tjiong Ling hingga muka gadis itu merah bengap. Tidak malu! Siapa jang suruh kau berada bersama binatang tjilik itu? demikian Ban-siu

memaki.

Tentu sadja Tjiong Ling penuh merasa penasaran, katanja dengan menangis: Aku... aku.... ~ tapi terang susah untuk mendjelaskan duduknja perkara jang sebenarnja.

Tiba2 terpikir oleh Tjiong Ban-siu: Bukankah Bok Wan-djing terkurung didalam rumah batu ini, betapapun rasanja dia takkan mampu membuka batu penutup pintu ini, agaknja dia masih berada didalam situ, biar aku memanggilnja keluar, paling tidak dia akan menanggung sebagian dari rasa malu puteriku ini.

Karena itu, segera ia ber-teriak2: Bok-kohnio, silahkan lekas keluar!

Namun sampai ber-ulang2 ia berteriak hingga bedjat kerongkongannja sekalipun tetap tiada sesuatu suara djawaban didalam rumah batu itu. Dengan tak sabar segera Tjiong Ban-siu mendekati pintu dan tjoba melongok kedalam, rumah itu tidak luas, maka sekedjap sadja sudah kentara bahwa didalamnja toh kosong melompong, tiada bajangan seorangpun. Karuan dada Tjiong Ban-siu hampir2 meledak saking gusarnja, ia putar balik dan segera akan hadjar lagi puterinja itu sambil membentak: Biar kumampuskan kau budak jang memalukan ini!

Se-konjong2 dari samping ada orang menangkis tamparannja itu, nadi tangannja terasa kesemutan tersentuh oleh djari orang. Lekas2 Ban-siu tarik kembali tangannja dan baru dapat diketahuinja bahwa jang menjerangnja dari samping itu adalah Toan Tjing-sun. Karuan ia tambah gusar, bentaknja: Aku menghadjar anakku sendiri, peduli apa dengan kau?

Tjing-sun mendjawab dengan ter-senjum2: Tjiong-koktju, rupanja engkau telah memberi service istimewa kepada puteraku itu, kuatir dia kesepian didalam rumah itu, sampai2 puteri kesajanganmu engkau suruh mengawaninja, sungguh Tjayhe merasa sangat berterima kasih. Dan karena urusan sudah ketelandjur, nasi sudah mendjadi bubur, puterimu sudah terhitung anggota keluarga Toan kami, dengan sendirinja Tjayhe tak bisa tinggal diam lagi.

Apa? Terhitung anggota keluarga Toan kalian? sahut Ban-siu dengan gusar.

Habis, selama beberapa hari puterimu telah melajani anakku si Toan Ki didalam rumah batu ini, tjoba bajangkan, sepasang muda-mudi berada sendirian ditempat segelap ini, kelihatan pula badju2 mereka terbuka, lalu perbuatan apa jang telah mereka lakukan? demikian kata Tjing-sun dengan tertawa. Puteraku adalah ahliwaris Tin-lam-ong, meski sudah melamar puterinja

Sian-tan-hou sebagai isteri, tapi sebagai seorang tjalon pangeran, apa salahnja kalau punja beberapa isteri dan selir? Dan dengan demikian, bukankah engkau sudah mendjadi Djinkeh (besan) dengan aku? Hahaha, hahaaaaah!

Sungguh gusar Tjiong Ban-siu tak tertahan lagi, terus sadja ia merangsang madju dan beruntun menghantam tiga kali. Namun dengan ter-bahak2 Tjing-sun dapat mematahkan setiap serangan orang kalap itu.

Diam2 para kesatria sangat kagum pada pengaruh keluarga Toan jang ternjata tidak boleh sembarangan dihina itu, Tjiong-koktju hendak menghantjurkan nama baik mereka, tapi entah dengan tjara bagaimana tahu2 malah puterinja Tjiong-koktju sendiri jang telah ditukar dan dikeram didalam rumah batu itu.

Kiranja kedjadian itu tak-lain-tak-bukan adalah hasil karjanja Hoa Hek-kin bertiga. Waktu mereka menawan Tjiong Ling kedalam lorong, maksudnja mereka tjuma untuk menghindarkan rahasianja dibongkar oleh gadis itu. Tapi kemudian sesudah mendengar pertjakapan suami-isteri Tjiong Ban-siu, mereka tahu nama baik keluarga Toan sedang diudji oleh tipu muslihat jang telah diatur bersama antara Tjiong Ban-siu dan Yan-king Thaytju. Segera mereka bertiga berunding dibawah tanah situ dan merasa urusan itu besar sekali sangkut-pautnja dengan djundjungan mereka, pula waktunja sudah sangat mendesak. Maka menunggu sesudah Tjiong-hudjin keluar dari kamar itu, segera Pah Thian-sik menerobos keluar, dengan Ginkangnja jang tinggi ia menjelidiki lebih pasti dimana letak rumah batu jang ditudju itu. Dan sesudah ditentukan pula arah galian baru, segera mereka bertiga mempertjepat galian lorong dibawah tanah itu hingga semalam suntuk, baru pagi hari itu mereka menggali sampai dibawah rumah batu jang tepat.

Ketika Hoa Hek-kin menggangsir keatas lagi dan menerobos kedalam rumah, ia lihat Toan Ki sedang memegang tangan orang diluar rumah dengan kentjang, wadjahnja tampak sangat aneh. Sudah tentu tak terpikir oleh Hek-kin bahwa tangan jang mendjulur dari luar rumah itu adalah tangannja Boh-tin Hwesio, sebaliknja ia menjangka sebagai tangannja Yan-king Thaytju, maka ia tidak berani mengadjak bitjara pada Toan Ki, hanja pelahan2 ia tepuk bahu pemuda itu.

Tak terduga olehnja, begitu tangannja menjentuh badannja Toan Ki, seketika tubuh sendiri tergetar seperti menjenggol besi bakaran panasnja. Ia mendjadi kuatir pula ketika melihat kedua mata pemuda itu merah membara, maka sekuatnja ia bermaksud membantu menarik Toan Ki terlepas dari genggaman tangan orang diluar itu, untuk kemudian melarikan diri melalui lorong dibawah tanah jang digalinja itu.

Siapa sangka, begitu tangannja memegang tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuh Hoa Hek-kin se-akan2 kabur keluar, saking kagetnja sampai ia

mendjerit.

Pah Thian-sik dan Hoan Hua adalah orang2 sangat tjerdik, begitu melihat gelagat sang kawan kurang beres, tjepat merekapun melompat keatas untuk menarik Hoa Hek-kin dan dibetot sekuatnja. Dan berkat tenaga gabungan ketiga orang itulah dapat Hoa Hek-kin terlepas dari sedotan Tju-hap-sin-kang jang lihay itu.

Untunglah tenaga dalam ketiga tokoh pilihan dari Tayli itu djauh lebih tinggi daripada Boh-tin berenam, pula dapat bertindak tjepat sebelum kasip. Namun demikian, toh mereka sudah kaget luar biasa hingga mandi keringat dingin. Pikir mereka: Ilmu sihir Yan-king Thaytju ini sungguh sangat lihay. ~ Dan karena itu mereka tidak berani menjentuh badannja Toan Ki lagi.

Dan pada saat itu djuga diluar terdengar suara ramai2 datangnja rombongan Po-ting-te, lalu Tjiong Ban-siu sedang me-njindir2 dengan ter-bahak2. Tabiat Hoan Hua sangat djenaka dan banjak akal, tiba2 pikirannja tergerak: Tjiong Ban-siu ini benar2 djahat, biar kita bergurau padanja agar dia malu sendiri.

Terus sadja mereka mentjopot badju luarnja Tjiong Ling untuk dipakai Bok Wan-djing, lalu mereka seret Bok Wan-djing kedalam lorong serta menutup kembali lantai batu jang mereka gali itu hingga tidak kentara sesuatu jang mentjurigakan.

Begitulah setelah Toan Ki telah keluar dari rumah batu itu, oleh karena hawa murni dari Boh-tin berenam tak dapat dihimpunnja kedalam perut untuk didjalankan menurut keinginannja, maka enam arus hawa murni jang sangat kuat itu masih terus bergolak dalam tubuh hingga isi perutnja se-akan2 diterdjang djungkir balik, ia mendjadi sempojongan tak bisa berdiri tegak.

Melihat itu, Po-ting-te menjangka sang keponakan sedang dirangsang ratjun djahat, tjepat ia tutuk ketiga Hiat-to penting Djin-tiong, Thay-yang dan Leng-tay-hiat dibadan pemuda itu, walaupun hawa murni itu masih belum bisa disalurkan ketempat jang semestinja, namun pikiran Toan Ki mendjadi rada djernih, ia sudah bisa bitjara dengan terang: Pekhu, aku telah kena ratjun Im-yang-ho-hap-san.

Po-ting-te merasa lega keselamatan Toan Ki tidak berbahaja, tapi segera teringat olehnja pertandingan diantara Ui-bi-tjeng dan Yan-king Thaytju sedang mentjapai klimaksnja, maka ia tak bisa mengurus Toan Ki lebih djauh, tapi terus mendekati Ui-bi-tjeng untuk mengikuti pertandingan otak dan Lwekang dari kedua orang itu. Ia lihat djidat Ui-bi-tjeng penuh keringat berbutir sebesar kedelai, sebaliknja Yan-king Thaytju tampak tenang2 sadja

seperti tidak merasakan apa2. Terang kekuatan kedua pihak itu sudah kentara njata, mati-hidupnja Ui-bi-tjeng tergantung dalam sekedjapan itu sadja.

Dalam pada itu karena pikiran Toan Ki sudah djernih kembali, iapun memperhatikan lagi situasi pertjaturan kedua orang itu. Ia lihat djalan mundur Ui-bi-tjeng itu sudah buntu, pabila Yan-king Thaytju mendesak madju lagi satu bidji, maka Ui-bi-tjeng pasti akan menjerah kalah. Benar djuga, ia lihat tongkat bambu Yan-king Thaytju itu sedang diangkat dan akan menggores diatas batu pula, tempat jang ditudju itu tepat adalah langkah jang mematikan lawannja, karuan Toan Ki berkuatir, pikirnja: Biar aku mengatjaunja sekali ini! ~ Dan segera ia ulur tangannja untuk menahan udjung tongkat orang jang akan digoreskan itu.

Sungguh kedjut Yan-king Thaytju tak terkatakan ketika mendadak merasa tongkatnja tertahan sesuatu, berbareng lengannja tergetar dan tenaga murninja se-akan2 membandjir keluar tak tertahankan. Waktu ia lirik, ia lihat Toan Ki sedang menahan tongkatnja itu dengan dua djarinja. Karuan ia tambah kaget dan heran: Tempo hari waktu menangkap botjah ini, terang sedikitpun dia tak bisa ilmu silat, paling2 tjuma pandai berkelit dengan gerak langkahnja jang aneh, mengapa dalam waktu tjuma beberapa hari mendadak ia bisa menggunakan ilmu sihir untuk menjedot tenaga murni orang seperti ini? Apa barangkali tempo hari ia sengadja pura2 bodoh dan baru sekarang turun tangan?

Sedangkan Toan Ki sendiri tidak tahu bahwa sesudah makan dua ekor katak merah itu, dalam tubuhnja telah timbul sematjam Tju-hap-sin-kang jang mempunjai daja isap luar biasa lihaynja, tentu sadja Yan-king Thaytju lebih2 tidak mengerti mengapa botjah masih hidjau itu se-konjong2 mendjadi sedemikian saktinja. Segera ia tarik napas dalam2, ia kerahkan tenaga dalam sekuatnja dan disalurkan ketongkatnja, sekali puntir dan betot, seketika terlepaslah tongkat itu dari djari tangannja Toan Ki.

Hendaklah diketahui bahwa Lwekang tokoh utama Su-ok itu tinggi sekali, djarang ada bandingannja didjaman ini. Toan Ki sendiri meski badannja terhimpun tenaga murni dari Boh-tam berenam jang disedotnja itu, namun dia tak bisa menggunakannja, sedikitpun ia tak bisa mengerahkan tenaga itu, dengan sendirinja ia tergetar lepas dari puntiran tongkat lawan, segera ia merasa separoh badannja itu mendjadi kaku dan hampir djatuh pingsan, untung ia keburu memegang tepi papan batu besar itu hingga tidak sampai roboh.

Sebaliknja tenaga dalam jang dikerahkan Yan-king Thaytju itu saking besarnja hingga ada djuga sebagian jang tak keburu ditarik kembali lagi, dalam terkedjutnja, tanpa sengadja tongkatnja lantas mendelong kebawah dan mentjoret diatas batu. Tjepat Yan-king Thaytju sadar djuga dan mengeluh, namun sudah ketelandjur, tongkatnja telah mentjoret setengah lingkaran

diatas peta tjatur, tjuma bukan tempat jang ditudjunja semula, tapi djatuh disisinja. Mestinja akan bikin buntu djalan lawan, sekarang berbalik djalan sendiri jang tertutup buntu. Seketika wadjah Yan-king Thaytju berubah.

Sebagai seorang tokoh jang mendjaga gengsi, meski tahu sekali salah langkah, itu berarti kekalahan total baginja, namun Yan-king Thaytju tidak mau ribut dengan Ui-bi-tjeng, segera ia berbangkit sebagai tanda menjerah kalah. Tapi kedua tangannja masih menahan diatas papan batu itu sambil memperhatikan papan tjatur itu hingga lama sekali.

Sebagian besar diantara hadirin itu belum pernah kenal siapa tokoh Djing-bau-khek ini, melihat sikapnja jang aneh itu, semua orang ikut memperhatikan djuga apa jang sedang dilakukannja. Ternjata lama Yan-king Thaytju memandangi papan tjatur, mendadak ia angkat tongkatnja, tanpa berkata lagi ia putar tubuh dan melangkah pergi dengan tongkatnja jang pandjang dan tindakan jang lebar pula mirip orang main djangkungan sadja.

Pada saat lain, tiba2 ada angin meniup, papan batu tadi tampak bergojang sedikit, se-konjong2 batu besar itu petjah berantakan mendjadi belasan potong. Karuan semua orang ternganga dan saling pandang dengan kesima, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa Djing-bau-khek jang tidak mirip manusia dan tidak memper setan itu, ilmu silatnja ternjata sudah mentjapai tarap jang susah diukur itu.

Ui-bi-tjeng sendiri meskipun sudah menangkan babak pertjaturan itu, namun dia masih duduk tepekur ditempatnja dengan rasa sjukur dan bingung pula. Sjukur karena pertandingan jang berbahaja itu achirnja telah dimenangkan olehnja, tapi bingung pula mengapa Yan-king Thaytju jang sudah terang memegang kuntji kemenangan itu mendadak bisa menjumbat djalan hidup sendiri, bukankah itu sengadja mengalah? Tapi dalam keadaan demikian, toh tidak masuk akal bahwa orang sudi mengalah padanja?

Po-ting-te dan Toan Tjing-sun djuga merasa tidak mengerti oleh kedjadian itu. Akan tetapi mereka tidak ambil pusing lebih djauh, jang terang sekarang Toan Ki sudah diselamatkan dan Yan-king Thaytju sudah dikalahkan dan sudah pergi, nama baik keluarga Toan telah dipertahankan, pertarungan ini boleh dikata telah menang total. Maka segera Toan Tjing-sun meng-olok2 lagi dengan tertawa: Tjiong-koktju, puteraku pasti bukan manusia jang tipis budi, sekali puterimu sudah mendjadi selir puteraku, dalam waktu singkat tentu akan kami kirim orang untuk memapahnja dan kami sekeluarga pasti akan menjambut baik2 dan sajang padanja seperti anak sendiri, harap engkau djangan kuatirkan urusan ini.

Tjiong Ban-siu adalah seorang kasar, djiwanja sempit dan berangasan, karena tak tahan di-olok2 dan disindir Toan Tjing-sun, ia mendjadi naik darah lagi,

tanpa tanja apakah Tjiong Ling benar2 telah dinodai Toan Ki atau tidak, terus sadja ia tjabut golok dari pinggangnja dan membatjok keatas kepala Tjiong Ling sambil membentak: Kau bikin aku mati gusar sadja, biarlah kumampuskan kau budak hina-dina ini lebih dulu!

Se-konjong2 sesosok bajangan orang melajang tiba dan dengan tjepat luar biasa Tjiong Ling telah dirangkul terus dibawa kabur beberapa tombak djauhnja. Tjrat, golok Ban-siu membatjok diatas tanah dan ketika menegasi orang jang menjamber Tjiong Ling itu, kiranja adalah Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho.

Kau... kau mau apa? bentak Ban-siu dengan gusar.

Kau sudah tak mau pada puterimu ini, maka hadiahkan sadja padaku dan anggaplah dia sudah mati kau batjok barusan, sahut In Tiong-ho dengan tjengar-tjengir, berbareng itu orangnja lantas melesat pergi lagi beberapa tombak djauhnja.

Ia tahu bitjara tentang ilmu silat, djangankan dirinja tak mampu menandingi Po-ting-te dan Ui-bi-tjeng, sekalipun Toan Tjing-sun atau Ko Sing-thay djuga sudah lebih unggul daripadanja. Karena itu in Tiong-ho telah ambil keputusan, bila gelagat djelek, segera Tjiong Ling akan digondolnja lari. Pah Thian-sin jang diseganinja itu tidak nampak hadir disitu, maka dalam hal Ginkang, terang tiada seorangpun diantara hadirin itu jang mampu mengedjarnja.

Tjiong Ban-siu djuga tahu Ginkang tokoh keempat dari Su-ok itu sangat lihay, untuk mengedjar terang tak mampu, saking gemasnja ia tjuma bisa berdjingkrak sambil memaki kalang-kabut.

Po-ting-te tempo hari sidah menjaksikan In Tiong-ho itu main udak2an dengan Pah Thian-sik, kini melihat orang menggondol Tjiong Ling dan larinja masih begitu tjepat dan enteng, terpaksa iapun takbisa berbuat apa2.

Tiba2 timbul suatu akal dalam benak Toan Ki, segera ia berseru: ?Gak-losam, sebagai gurumu, aku memerintahkan kau lekas merebut kembali nona tjilik itu??

Lam-hay-gok-sin tertjengang sekedjap, tapi segera mendjadi gusar dan membentak: ?Keparat, apa katamu??

?Kau telah menjembah aku sebagai guru, apakah kau berani menjangkal?? sahut Toan Ki. ?Emangnja apa jang sudah kau katakan sendiri kau anggap seperti orang kentut sadja??

Seperti diketahui, biarpun Lam-hay-gok-sin itu sangat djatah dan buas, tapi ada suatu sifatnja jang terpudji, jaitu apa jang pernah dia djandji atau katakan, tidak pernah ia mungkir dan pasti ditepati. Ia mengangkat guru pada Toan Ki, meski hal ini seribu kali hatinja tidak rela, tapi ia djuga tidak menjangkal, maka dengan mendelik gusar ia membentak pula: ?Apa jang telah kukatakan sudah tentu tetap berlaku. Kau adalah guruku, lantas mau apa? Hm, djika Lotju sudah geregetan, guru matjammu sekalian kubunuh sadja.?

?baiklah djika kau sudah mengaku,? udjar Toan Ki. ?Sekarang nona Tjiong itu digondol sidjahat keempat itu, nona itu adalah isteriku, djadi ibu gurumu pula, maka lekas kau merebutnja kembali. Kalau In Tiong-ho menghina nona itu, sama artinja menghina ibu gurumu, djika katu tak mampu membelanja, bukankah kau terlalu memalukan, terlalu pengetjut??

Lam-hay-gok-sin tertjengang sedjenak, ia pikir benar djuga teguran sang ?guru? itu. Tapi lantas teringat olehnja bahwa Bok Wan-djing djuga mengaku sebagai isterinja, kenapa nona tjilik she Tjiong ini diaku isterinja pula? Segera ia tanja: ?Kenapa begitu banjak ibu-guruku? Sebenarnja kau mempunjai berapa orang isteri??

?Tak perlu kau tanja,? sahut Toan Ki. ?Jang penting, lekaslah kau melaksanakan perintahku, bila tidak dapat merebut kembali ibu-gurumu itu, berarti kau tiada muka buat bertemu lagi dengan kesatria2 didjagat ini, sekian orang gagah disini telah menjaksikan semua, kalau kau tak mampu menangkan In Tiong-ho, jang terhitung nomor empat dari Su-ok itu, wah, biarlah pangkatmu diturunkan mendjadi orang djahat nomor lima. Ja, boleh djadi nomor enam malah!?

Mana Lam-hay-gok-sin sudi terima mentah2 olok2 demikian itu? Suruh dia dibawah namanja In Tiong-ho, hal ini baginja lebih tjelaka daripada mati. Karena itu, terus sadja ia menggerung keras2 sambil berlari mengudak kearah In Tiong-ho dan membentak: ?Lepaskan ibu-guruku itu!?

Tjepat In Tiong-ho melajang beberapa tombak pula kedepan sambil berseru: ?Gak-losam, benar2 tolol kau, ditipu orang masakah tidak tahu!?

Keruan amarah Lam-hay-gok-sin semakin berkobar, biasanja ia paling suka

mengaku dirinja paling pintar, masakan dihadapan orang sekian banjak ditjemooh sebagai orang tolol? Segera ia tantjap gas lebih kentjang untuk mengedjar. Maka dengan tjepat kedua orang jang saling uber itu sudah melintasi beberapa lereng bukit.

Tjiong Ban-siu jang kehilangan anak perempuan itu, meski dalam kalapnja tadi puterinja itu hendak dibatjok mati, tapi kini demi digondol lari orang djahat, betapapun soal hubungan darah-daging, apalagi nanti kalau ditanja sang isteri, bagaimana dia harus memberi tanggung-djawab? Maka tanpa pikir lagi iapun ikut mengedjar dengan golok terhunus.

Melihat pelaku utamanja sudah pergi, segera Po-ting-te memberi hormat kepada para kesatria jang hadir itu, katanja: ?Mumpung para hadirin kebetulan berkundjung ke Tayli sini, marilah silahkan mampir ketempat kami agar Tjayhe dapat sekedar memenuhi kewadjiban sebagai tuan rumah.?

Hui-sian dan lain2 memang berminat untuk berkenalan dengan Toan Tjing-beng, radja Tayli jang terkenal sebagai ?orang utama didunia selatan,? maka demi diundang setjara ramah, mereka lantas menerima baik undangan itu dengan tertawa. Hanja Yap Dji-nio jang berkata dengan tersenjum: ?Njonjamu ini kuatir kalau disembelih kalian untuk dimakan, maka lebih baik aku angkat langkah seribu sadja lebih selamat!? ~ Habis berkata, tanpa pamit lagi ia lantas menggelojor pergi dengan ter-senjum2.

Po-ting-te pun tidak merintangi kepergian tokoh kedua dari Su-ok itu, ia adjak para tamu meninggalkan Ban-djiat-kok dan pulang ke Tayli. Boh-tam beranam sudah terlalu pajah dan lemas, untuk berdiri sadja tak sanggup, maka Leng Djian-li dan kawan2nja lantas menaikan mereka keatas kuda dan be-ramai2 kembali ke Tin-lam-ong-hu.

Sementara itu Pah Thian-sik bertiga sudah menunggu disitu, mereka lantas menjambut keluar bersama seorang gadis djelita jang berdandan mewah, siapa lagi dia kalau bukan Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing!

Dalam pada itu Toan Ki jang sedjak minum ?Im-yang-ho-hap-san,? ratjun jang masih mengeram dalam tubuh itu belum lagi dilenjapkan. Kini mendadak melihat Bok Wan-djing, tanpa kuasa lagi ia pentang kedua tangan terus berlari madju hendak peluk gadis itu. Sjukurlah, betapapun chilapnja, dalam benaknja masih tetap timbul setitik pikiran djernihnja, ketika mendadak sadar perbuatannja jang tidak pantas itu, seketika ia dapat menahan diri dan berdiri terpaku ditempatnja.

Ternjata Im-yang-ho-hap-san itu bukan sadja sangat lihay karena bekerdjanja

ratjun itu sangat awet, tahan lama, bahkan kedua pihak ~ laki2 dan perempuan ~ jang minum ratjun itu saling menimbulkan daja tarik jang sangat kuat. Mendingan kalau kedua pihak dipisahkan, tapi bila ketemu kembali, seketika pikiran kedua orang akan kabur lagi tenggelam dalam perasaan2 jang tidak senonoh hingga susah mengekang diri.

Melihat sikap kedua muda-mudi itu agak kurang beres, pipi mereka merah membara, begitu pula mata mereka se-akan2 berapi, terang keratjunan sangat hebat. Tjepat Po-ting-te bertindak, ?tjus-tjus? dua kali, ia menutuk dari djauh dan seketika Toan Ki dan Wan-djing ditutuk roboh pingsan. Segera Tju Tan-sin mengangkat Toan Ki dan Si Pek-hong memondong Wan-djing kedalam kamar.

Kemudian para tamu lantas disilahkan masuk kedalam istana itu dan diadakan perdjamuan setjara meriah. Karena Siau-lim-si dipandang sebagai bintang tjemerlang dalam dunia persilatan, maka Hui-sian Hwesio disilahkan menduduki tempat tamu pertama oleh para kesatria itu.

Dalam perdjamuan itu Hoan Hua lalu mentjeritakan hasil karja mereka jang telah menggali lorong dibawah tanah hingga menembus kedalam rumah batu tempat Toan Ki dikurung serta menaruh Tjiong Ling jang mereka tawan didalam rumah itu. Sudah tentu ia tidak mentjeritakan tentang Bok Wan-djing jang ditolong keluar sebagai gantinja Tjiong Ling.

Mendengar itu, para kesatria baru tahu duduknja perkara serta mentertawakan Tjiong Ban-siu jang sial itu, ingin bikin malu orang, siapa duga sendjata telah makan tuan malah.

Dan oleh karena putera kesajangannja masih keratjunan, Tjing-sun mendjadi murung dan tjoba tanja apakah sekiranja diantara hadirin itu ada jang bisa menolong. Namun para kesatria itu hanja saling pandang dengan bingung takbisa berbuat apa2.

Pada saat itulah, dari luar masuk seorang pengawal dan menjerahkan seputjuk surat kepada Toan Tjing-sun, katanja jang membawakan surat itu adalah seorang dajang perempuan, didalam sampul itu katanja ada pula resep obat untuk menjembuhkan putera pangeran jang keratjunan itu.

Sungguh kedjut dan girang Tjing-sun tak terkatakan, tjepat ia membuka sampul surat itu dan melihat diatas setjarik kertas surat ketjil jang putih bersih itu tertulis enam huruf ketjil jang indah: ?Banjak minum susu manusia segera sembuh.?

Tjing-sun mengenali tulisan itu adalah buah tangan Tjiong-hudjin, saking guntjang perasaannja, tanpa merasa setjawan arak diatas medja telah tersampar tumplek oleh lengan badjunja.

?Sun-te, resep apakah itu??tanja Po-ting-te.

Tjing-sun tertegun, djawabnja dengan tergagap2: ?Apa? O, kata resep ini, banjak minum susu manusia, Ki-dji bisa segera sembuh.?

Po-ting-te mengangguk, katanja: ?Tiada halangannja untuk segera ditjoba. Banjak minum susu manusia, sekalipun tidak mandjur, tentu djuga tidak berbahaja.?

Segera Si Pek-hong berbangkit dan masuk kedalam istana untuk memberi peritnah pada para abdi-dalam agar lekas2 pergi meminta susu manusia pada para ibu jang meneteki.

Para pesuruh itu memang sangat tjekatan, pula susu manusia djuga bukan barang jang susah ditjari, maka belum lagi perdjamuan bubar, Toan ki dan Bok Wan-djing sudah sadar kembali dari keratjunan mereka serta keluar keruangan depan untuk menemui para tamu.

Toan Ki menghaturkan terima kasihnja kepada Ui-bi-tjeng dan Hoa Hek-kin jang telah menjelamatkan djiwanja itu. Ia menjatakan penjesalannja pula akan terlukanja Boh-tam berenam. Tatkala itu keenam murid Ui-bi-tjeng itu masih sangat pajah dan belum dapat bitjara, maka tjara bagaimana mereka mendjadi begitu, bukan sadja Ui-bi-tjeng tidak tahu duduknja perkara, bahkan Toan Ki djuga tidak mengarti kalau dirinja jang mendjadi gara2 atas malapetaka jang menimpa murid2 paderi beralis kuning itu.

Kemudian Toan Tjing-sun mengumumkan djuga bahwa Bok Wan-djing adalah puteri angkatnja. Dalam keadaan begitu, meski Tjin Goan-tjun, Hui-sian dan lain2 saling bermusuhan dengan gadis wangi itu, namun kini mereka mendjadi tidak enak untuk bikin onar disitu. Apalagi dihadapan empat tokoh maha sakti seperti Po-ting-te, ui-bi-tjeng, Toan Tjing-sun dan Ko Sing-thay, betapapun besar njali mereka djuga tiada seorangpun jang berani berkutik.

Ditengah perdjamuan itu, para hadirin ramai mengobrol ketimur dan kebarat,

kemudian sama menghaturkan selamat pula kepada Toan Tjing-sun suami-isteri dan Ko Sing-thay karena kedua keluarga itu telah berbesanan. Seketika suasana tambah semarak dan ramai2 sama mengadjak angkat tjawan.

Bok Wan-djing tjoba melirik Toan ki, ia lihat pemuda itu menunduk dengan lesu, tanpa terasa teringat olehnja waktu berduaan tinggal bersama didalam rumah batu itu, maka iapun ikut muram durdja. Ia insaf selama hidupnja ini terang tiada harapan untuk mendjadi isterinja Toan Ki, tapi demi mendengar pemuda itu sudah melamar puterinja Ko Sing-thay sebagai isteri, tentu sadja ia pun berduka dan hantjur perasaannja. Semakin memandang Ko Sing-thay, semakin gemas hatinja, sungguh ia ingin sekali panah binasakan orang itu sebagai hukumannja mengapa melahirkan seorang anak perempuan untuk diperisteri oleh kekasihnja itu? Tjuma ia tahu kepandaian Ko Sing-thay terlalu lihay, untuk memanahnja tidaklah mudah, maka panah jang sudah disiapkan dalam lengan badju itu tidak lantas dibidikan. Ia lihat suasana perdjamuan itu semakin memuntjak riang gembiranja, ia kuatir saking tak tahan dirinja bisa menangis seketika, hal mana tentu akan ditertawai orang, maka segera ia berbangkit dan menjatakan kepalanja pusing, ingin kembali kamar sadja. Habis itu, tanpa permisi lagi pada Toan Tjing-sun dan Po-ting-te, ia terus tinggal masuk kedalam dengan tjepat.

Dengan tersenjum Tjing-sun meminta maaf kepada para hadirin atas kelakuan puterinja jang kurang adat itu.

Tiba2 datang ber-gegas2 seorang pendjaga dan menjampaikan setjarik kartu nama kepada Tjing-sun serta melapor: ?Ko Gan-tji, Ko-siauya dari Hou-tjut-koan mohon bertemu dengan Ongya.?

Sungguh diluar dugaan Toan Tjing-sun atas kundjungan tamu jang tak diundang itu. Ia tahu ko Gan-tji itu adalah murid pertama dari Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, dikalangan kangouw tjukup harum namanja sebagai pendekar jang budiman, djulukannja adalah ?Tui-hun-djiu? atau sitangan penguber njawa. Konon ilmu silatnja sangat hebat, tapi selamanja tiada hubungan apa2 dengan keluarga Toan, lantas untuk keperluan apa djauh2 dia datang kemari mentjari padaku?

Walaupun agak sangsi, namun Tjing-sun berbangkit djuga dan berkata: ?Kiranja Tui-hun-djiu Ko-tayhiap jang datang, aku harus menjambutnja sendiri.?

Para kesatria jang hadir disitu djuga pernah mendengar namanja Ko Gan-tji, diantaranja Hui-sian dan Kim Tay-peng malah sudah kenal, maka be-ramai2 mereka lantas ikut menjambut keluar. Hanja Po-ting-te, Ui-bi-tjeng, Tjo Tju-bok dan Tjin Goan-tjun jang tetap duduk ditempat masing2.

Kalau Po-ting-te dan ui-bi-tjeng tidak keluar menjambut adalah karena mengingat kedudukan mereka dikalangan Bu-lim memang lebih tinggi dari orang lain, sebaliknja Tjo Tju-bok dan Tjin Goan-tjun berdua sengadja berlaku angkuh, anggap diri sendiri adalah tokoh utama dari sesuatu aliran tersendiri. Ko Gan-tji dipandang mereka masih lebih rendah setingkat, betapapun tenar namanja Ko Gan-tji djuga masih mempunjai seorang guru, jaitu Kwa Pek-whe.

Ketika Toan Tjing-sun sampai diluar, ia lihat seorang laki2 setengah umur jang berperawakan tinggi besar sambil menuntun seekor kuda putih jang gagah sedang menunggu didepan pintu. Laki2 itu memakai badju berkabung, wadjahnja muram, kedua matanja merah bendul, terang sedang ditimpa kemalangan kematian sanak-keluarganja.

Melihat orang itu, segera Kim Tay-peng melangkah madju dan menjapa: ?Ko-toako, baik2kah engkau!?

Kiranja laki2 memakai badju berkabung inilah Ko gan-tji. Maka djawabnja: ?Kiranja Kim-hiante djuga berada disini.?

?Atas kundjungan Ko-tayhiap, maafkan kalau Siaute tidak menjambut lebih dulu,? demikian Tjing-sun lantas memberi hormat.

Tjepat Ko Gan-tji membalas hormat sambil merendahkan diri, diam2 ia harus mengagumi keluarga Toan di Tayli jang tersohor bidjaksana itu, njatanja memang bukan omong kosong.

Dan sesudah saling mengutjapkan kata2 saling kagum pula, lalu Tjing-sun membawa tamunja kedalam serta diperkenalkan kepada Po-ting-te dan lain2. Segera Tjing-sun memerintahkan pelajan menjediakan pula satu medja untuk mendjamu Ko Gan-tji.

Namun Gan-tji menolak, katanja: ?Tjayhe masih berkabung, pula ada urusan penting lain, tjukup menerima suguhan setjangkir teh sadja!? ~ Habis itu, ia terus meneguk habis setjangkir teh jg telah disediakan, lalu katanja pula: ?Ongya, sudah lama Susiokku mondok didalam istana sini, untuk mana Tjayhe merasa sangat terima kasih. Kini Tjayhe ada sesuatu urusan hendak bitjara dengan beliau, sudilah Ongya mengundangnja keluar.?

?Susiok dari ko-heng?? Tjing-sun menegas dengan heran. Dalam hati ia merasa tidak habis mengerti masakan didalam istananja ada seorang tokoh Ko-san-pay

segala?

Namun Ko Gan-tji berkata pula: ?Susiokku itu suka ganti nama dan mondok disini sekedar menghindari bahaja, hal mana mungkin tak berani dikatakan terus terang pada Ongya, sungguh suatu perbuatan jang tidak pantas, maka harap Ongya jang bidjaksana sukalah memberi maaf.? ~ Berbareng ia terus memberi hormat lagi.

Sambil membalas hormat orang, diam2 Tjing-sun sedang memikir dan sesungguhnja ia tidak ingat siapakah gerangan Susiok orang jang dimaksudkan itu?

Tiba2 Ko Sing-thay berkata kepada seorang pesuruh disampingnja: ?Tjoba pergilah kau kekamar tulis, undanglah Ho-siansing kemari, katakan bahwa Tui-hun-djiu Ko-tayhiap sedang menunggu, ada urusan penting jang perlu dibitjarakan kepada ?Kim-sui-poa? Tjui-lotjianpwe!?

Pesuruh itu mengia dan selagi hendak bertindak masuk, tiba2 sudah terdengar dari ruangan belakang ada suara tindakan orang jang berkelotakan, dengan langkah jang setengah diseret, orang itu lagi berkata: ?Sekali ini kau benar2 telah hantjurkan periuk nasiku ini.?

Tengah mereka heran, tertampaklah seorang kakek jang berwadjah djelek dan berkumis tikus sedang keluar dari belakang dengan ketawa2. Setiap orang dalam istana kenal H0-siansing adalah djurutulis rendahan merangkap pekerdjaan2 serabutan, jaitu djurutulis jang tempo hari diseret keluar oleh Toan Ki dan diaku sebagai gurunja untuk menggoda Lam-hay-gok-sin itu.

Keruan Toan Tjing-sun terkedjut, pikirnja: ?Apakah benar2 Ho-siansing inilah Tjui Pek-khe jang dimaksudkan? Kemanakah mukaku ini harus ditaruh bahwa seorang tokoh terkenal setiap hari berada dihadapanku, tapi aku tak mengetahuinja sama sekali.? ~ Sjukurlah dengan segera Ko Sing-thay telah dapat membuka rahasia itu hingga para hadirin mengira Tin-lam-ong-hu sudah lama mengetahui beradanja tokoh Ko-san-pay itu, maka Toan Tjing-sun tidak sampai kehilangan muka.

Ho-siansing itu masih tetap lutju tampaknja, setengah mabuk setengah sadar dengan matanja jang kerijep2. Tapi demi nampak pakaian berkabung Ko Gan-tji, ia mendjadi kaget dan menanja: ?Ken??????? kenapakah kau??

Terus sadja Ko Gan-tji melangkah madju dan mendjura kehadapan sang Susiok

sambil menangis, katanja: ?Tjiu-susiok, Su??? Suhuku telah dibin??.. dibinasakan orang.?

Seketika wadjah Ho-siansing itu berubah hebat, muka jang ketawa2 tadi kontan berubah muram dan waswas. Tanjanja kemudian dengan pelahan: ?Siapakah pembunuhnja??

?Titdji tidak betjus, sampai sekarang belum mengetahui dengan pasti siapa musuh pembunuh Suhu itu,? demikian tutur Gan-tji dengan menangis. ?Tapi menurut taksiran, besar kemungkinan adalah orang dari keluarga Bujung.?

Sekilas wadjah H0-siansing itu mengundjuk rasa djeri demi mendengar nama itu, namun ia tjepat bisa tenangkan diri dan berkata pula dengan suara berat: ?Urusan ini harus kita bitjarakan setjara mendalam.?

Semua orang merasa heran melihat sikap Tjui Pek-khe itu. Mereka tjukup kenal nama2 Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, namun paling achir ini Gan-tji djauh lebih tenar daripada nama sang Susiok. Dan tentang kelihayan keluarga Bujung jang di-sebut2 itu, mereka sama sekali tidak tahu. Hanja Po-ting-te dan Ui-bi-tjeng telah saling pandang sekedjap, bahkan pelahan2 Ui-bi-tjeng menghela napas sekali.

Betapa telitinja Tjui Pek-khe itu, ternjata sedikit menghela napas dari Ui-bi-tjeng itu lantas diketahui olehnja. Dengan sangat hormat tiba2 ia memberi hormat kepada paderi itu dan berkata: ?Dunia Kangouw bakal terantjam mkalapetaka, Taysu maha welas-asih, sudilah memberi petundjuk djalan jang sempurna.?

Tjepat Ui-bi-tjeng membalas hormat orang, sahutnja: ?Siantjay, Lolap sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah ikut tjampur urusan2 Bu-lim di Tionggoan. Padahal tokoh sakti seperti Tjui-sitju ternjata sudah sekian tahun tinggal didalam Tin-lam-ong-hu, sedangkan Lolap sama sekali tidak mengetahuinja, darimana aku berani bitjara tentang urusan Kangouw lagi??

Tjui pek-khe nampak lemas dan sedih oleh djawaban itu, katanja kepada Gan-tji: ?Ko-hiantit, tjara bagaimana tewasnja Suhengku, tjobalah kau uraikan dengan djelas dari awal sampai achir.?

?Sakit hati terbunuhnja guru senantiasa mengganggu pikiran Siautit, satu hari sakit hati itu tak terbalas, satu hari pula Siautit akan merasa tidak enak makan dan tidur. Maka mohon Susiok sekarang djuga sukalah berangkat,

biarlah ditengah djalan nanti Siautit akan menuturkan setjara djelas demi untuk menghemat waktu,? demikian sahut Ko Gan-tji.

Melihat sikap sang Sutit jang ragu2 itu, Tjui Pek-khe tahu pasti Gan-tji merasa tidak leluasa untuk bitjara terus terang karena terlalu banjak hadirin disitu. Namun dalam hati ia sudah ambil keputusan: ?Telah sekian lamanja aku mondok didalam istana pengeran ini tanpa ketahuan djedjakku, siapa duga Ko-houya ini sebenarnja sudah lama mengetahui samaranku. Djikalau aku tidak meminta maaf pada Toan-ongya, itu berarti aku telah berbuat kurang adjar pada keluarga Toan. Apalagi aku masih perlu membalas sakit hati Suheng terhadap keluarga Bujung, untuk mana melulu tenagaku seorang terang takkan berhasil, tapi kalau bisa mendapat bantuan dari keluarga Toan ini, pasti kekuatan pihakku akan berbeda, untuk ini aku tidak boleh berlaku semberono.?

Karena pikiran itu, mendadak ia mendjura kehadapan Toan Tjing-sun sambil menggerung2 menangis.

Hal mana tentu sadja diluar dugaan semoa orang. Tjepat Tjing-sun hendak membangunkan orang. Tak terduga tubuh Tjui Pek-khe ternjata takbisa ditarik naik, sebaliknja seperti terpaku dilantai, sedikitpun tidak bergeming. Diam2 Tjing-sun membatin: ?Bagus kau setan arak ini, begitu lihay kepandaianmu, tapi selama ini aku telah kau tipu.? ~ Segera ia kerahkan tenaga pada kedua tangannja dan diangkat keatas.

Pek-khe tidak bertahan lagi dengan Lwekangnja, tapi lantas berdiri mengikuti daja tarikan orang. Namun baru sadja berdiri tegak, terasalah tulang seluruh tubuhnja se-akan2 retak, sakitnja tak terkatakan. Ia tahu Toan Tjing-sun sengadja hendak menghadjarnja sebagai timpahan perbuatannja itu. Dasarnja namanja adalah ?Pek-khe? atau beratus akal, dan memang otaknja benar2 tjerdas. Ia pikir bila mengerahkan tenaga untuk melawan, tentu rasa dongkol Tin-lam-ong itu akan selalu dipendam, boleh djadi malah akan mentjurigai dirinja sengadja menjelundup kedalam istana pengeran dengan muslihat tertentu.

Sebab itulah, ia antapi dirinja digentjet oleh tenaga dalam orang terus mendjatuhkan diri duduk kelantai sambil berseru: ?Aduh!?

Tjing-sun tersenjum puas dan menarik bangun orang, ketika tangan menempel tubuh Tjui Pek-khe, sekalian ia hapuskan rasa sesak dalam badan orang dengan Lweekangnja.

?Tin-lam-ongya,? kata Pek-khe kemudian, ?karena didesak musuh, terpaksa pek-khe dengan tidak malu2 berlindung dibawah pengaruh Ongya dan beruntung

dapat hidup sampai harini. Untuk mana Pek-khe tidak pernah mengaku terus-terang pada Ongya, maka sangat mengharapkan kemurahan hati Ongya untuk memaafkan perbuatanku jang lantjang ini.?

?Ah, Tjui-heng suka merendah diri sadja,? tiba2 Ko Sing-thay menjela sebelum Toan Tjing-sun mendjawab. ?Sudah lama Ongya mengetahui asal-usulmu, tjuma Ongya sengadja tidak mau bikin malu Tjui-heng. Djangankan Ongya sudah tahu, orang2 lain djuga banjak jang tahu. Misalnja tempo hari waktu Toan-kongtju menerima tantangan Lam-hay-gok-sin itu, bukankah Tjui-heng jang telah diseretnja keluar untuk diaku sebagai gurunja? Sebab Toan-kongtju memang tahu, hanja Tjui-heng sadja jang mampu menandingi iblis itu.?

Padahal tempo hari hanja setjara kebetulan sadja Toan Ki telah menjeret keluar Tjui Pek-khe untuk diaku sebagai gurunja, sebab diantara penghuni istana itu, hanja wadjah Tjui Pek-khe jang paling djelek dan lutju, makanja diseret keluar untuk emnggoda Lam-hay-gok-sin. Namun kini bagi pendengaran Tjui Pek-khe, kedjadian mana dapat dipertjajainja penuh seperti apa jang dikatakan Ko Sing-thay itu.

Lalu Sing-thay melandjutkan lagi: ?Dasarnja Ongya memang suka bergaul, djangankan Tjui-heng memang tiada maksud djahat terhadap negeri Tayli kami, sekalipun ada, tentu djuga Ongya jang bidjaksana ini akan melajani engkau dengan segala kebesaran djiwanja. Maka tidak perlu Tjui-heng banjak adat lagi.? ~ Dibalik kata2nja ini se-akan2 hendak menjatakan bahwa sjukurlah selama ini kelakuanmu tidak mengundjukan sesuatu tanda mentjurigakan, kalau ada, tentu sudah lama kau dibereskan.

?Namun demikian, apa maksud Pek-khe berlindung didalam Onghu, pada sebelum aku mohon diri, sudah sepantasnja kudjelaskan dulu, kalau tidak, rasanja terlalu tidak djudjur,? demikian kata Tjui Pek-khe. ?Tjuma urusan ini banjak pula menjangkut nama orang lain, maka Tjayhe terpaksa mesti bitjara setjara terus terang.?

?Ah, rasanja Tjui-heng tidak ter-gesa2, soal sakit hati adalah sangat penting, maka biarlah dirundingkan pelahan2 nanti setelah kita selesaikan perdjamuan ini,? udjar Tjing-sun.

Mendengar pertjakapan itu, para hadirin adalah kesatria2 Kangouw jang kenal adat semua. Maka tjepat2 mereka selesaikan makan-minum itu, lalu sama mohon diri.

Terhadap kawan2 sesama Kangouw, biasanja tangan Tjing-sun sangat terbuka, maka begitu para tamu hendak mohon diri, segera ada pelajan menjediakan

hadiah2 dan Tjing-sun sendiri jang menjampaikan kepada masing2 tetamu itu. Terhadap tamu2 dari djauh seperti Kim Tay-peng, Su An dan lain2 malah diberi bekal sangu pula.

Dengan tanpa rikuh2 para ksatria itu terus menerima djuga semua pemberian itu serta menghaturkan terima kasih pada tuan rumah.

Tengah bitjara, tiba2 diluar pintu terdengar suara sabda Budha jang njaring: ?O-mi-to-hud!?

Suara itu tidak keras, tapi terdengar sangat djelas seperti diutjapkan berhadapan sadja. Karuan semua orang terkedjut.

Harus diketahui bahwa istana pengeran itu sangat luas, dari pintu gerbang sampai diruangan pendopo itu djaraknja ada berpuluh tombak djauhnja, ditengahnja banjak teraling pula oleh dinding dan pintu lain. Maka dapat diduga bahwa ilmu ?Djian-li-thoan-im? atau mengirim suara dari djarak ribuan li, jang dimiliki orang diluar itu sesungguhnja sudah mentjapai tingkatan sangat tinggi.

Tjing-sun dapat mendengar bahwa ilmu mengirim suara dari djauh itu adalah dari aliran Siau-lim-pay, maka ia lantas menegur: ?Paderi sakti Siau-lim jang manakah telah sudi berkundjung kemari, maafkan kalau Toan Tjing-sun tidak menjambut sebelumnja!? ~ Sembari berkata, segera ia bertindak keluar untuk menjambut.

Sampai diluar, tertampaklah seorang Hwesio kurus kering, berusia antara 50-an, sedang berdiri disitu. Melihat Tjing-sun, paderi itu lantas merangkap tangan memberi salam dan berkata: ?Phintjeng Hui-tjin dari Siau-lim-si memberi hormat pada Toan-ongya.?

Tengah Tjing-sun membalas hormat orang, dari belakang Hui-sian sudah menjusul tiba dan segera menegur dengan heran: ?He, Suheng, engkau djuga datang ke Tayli sini??

Melihat sang Sute, tiba2 mata Hui-tjin lantas merah memberambang, sahutnja dengan pedih: ?Sute, Suhu sudah wafat!?

Meski sudah mendjadi murid Budha, namun sifat Hui-sian masih mudah

terguntjang, demi mendengar berita buruk itu, terus sadja ia berlari madju memegang tangan sang Suheng sambil menegas dengan suara gemetar: ?Bet?? betulkah katamu?? ~ Dan belum lagi Hui-tjin mendjawab, air matanja sudah lantas ber-linang2.

?Tidak beruntung kami sedang dirundung malang,maka kami telah berlaku kurang adat dihadapan Ongya, hendaklah Ongya djangan mentertawai,? demikian pinta Hui-tjin.

?Ah, kenapa Taysu berlaku sungkan2,? tjepat Tjing-sun mendjawab. Diam2 iapun membatin: ?Guru dari Hui-sian dan Hui-tjin ini adalah Hian-pi Taysu jang kabarnja sangat hebat ilmu silatnja, djika demikian, djago Siau-lim-pay jang terkemuka kini telah hilang satu lagi.?

Lalu terdengar Hui-sian menanja pula dengan suara parau: ?Sakit apakah Suhu hingga menewaskan beliau? Bukankah selamanja kesehatan beliau sangat baik??

Melihat didepan istana itu ramai orang berlalu-lalang, banjak kesatria2 Bu-lim jang pergi-datang, maka Hui-tjin berkata pula: ?Ongya, Phintjeng diperintahkan Tjiangbun Supeh untuk menjampaikan surat kepada Ongya sendir serta Hongya (baginda radja).?

Habis berkata, ia lantas mengeluarkan satu buntalan kertas minjak, ia buka ber-lapis2 kertas itu dan akhirnja tampaklah seputjuk surat dengan sampul warna kuning dan segera diserahkan kepada Toan Tjing-sun.

?Kebetulan Hong-heng berada didalam sini, marikah Tjayhe memperkenalkan Taysu kepadanja,? kata Tjing-sun. Segera ia membawa Hui-tjin dan Hui-sian kedalam.

Tatkala itu Po-ting-te sudah undurkan diri dan sedang istirahat diruangan dalam sambil minum dan mengobrol dengan Ui-bi-tjeng. Melihat datangnja Hui-tjin, segera mereka berbangkit untuk menjambut.

Setelah Tjing-sun menjerahkan sampul surat jang diterimanja tadi, Po-ting-te lantas membuka dan membatjanja. Ia lihat awal surat ini penuh tertulis kalimat2 jang menjatakan kekaguman serta pudjian2 atas nama keluarga Toan

mereka, kemudian ketika sampai pada soal pokok, surat itu menjatakan bahwa Bu-lim bakal tertimpa malapetaka, maka diharapkan tjampur tangan kedua saudara Toan itu demi menjelamatkan dunia persilatan umumnja, tentang hal2 jang lebih djelas supaja tanja kepada Hui-tjin jang membawa surat itu. Penanda tangan surat itu adalah Tjiangbun Hong Tiang dari Siau-lim-si, Hian-tju.

Po-ting-te membatja habis surat itu sambil berdiri sebagai tanda hormat kepada Siau-lim-si. Sedang Hui-tjin dan Hui-sian djuga ikut berdiri dengan laku sangat hormat disamping.

Kemudian Po-ting-te mulai berkata: "Silahkan kedua Taysu duduk. Djika Siau-lim Hongtiang ada panggilan, sebagai sesama orang Bu-lim, asal dapat, tentu aku akan menurut dan berusaha sekuat tenaga."

Tiba2 Hui-tjin berlutut kehadapan Po-ting-te dan mendjura pula sambil menangis sedih sekali. Melihat kelakuan sang Suheng itu, meski bingung, mau-tak-mau Hui-sian ikut berlutut djuga, tjuma tidak mendjura.

Melihat paderi Siau-lim-si itu mendjalankan penghormatan sebesar itu padanja, diam Po-ting-te merasa urusan agak gandjil, pikirnja: "Djago Siau-lim-si banjaknja susah dihitung, urusan besar apakah jang takbisa diselesaikan mereka sendiri hingga perlu meminta bantuanku setjara sungguh2 begini?"

Segera iapun membangunkan Hui-tjin berdua dan berkata pula: "Sesama kaum Bu-lim, aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini."

"Suhuku tewas sitangan orang she Bujung dari Kohsoh, melulu tenaga Siau-lim-pay kami rasanja susah membalas sakit hati itu, maka Hongya dimohon sudi tampil kemuka untuk memimpin situasi jang gawat dalam Bu-lim itu," demikian pinta Hui-tjin dengan menangis.

Kembali mendengar nama "Bujung" disebut, wadjah Po-ting-te rada berubah. Sebaliknja Hui-sian lantas berteriak sambil menangis: "Djadi Suhu telah dibinasakan musuh itu, Suheng, marilah kita adu djiwa dengan mereka!"

"Sute", sahut Hui-tjin dengan menarik muka, "dihadapan Hongya, hendaklah kau bisa berlaku tenang".

Perawakan Hui-tjin kurus ketjil, sebaliknja Hui-sian tinggi kekar, namun takut djuga dia terhadap sang Suheng, karena tjomelan itu, ia tidak berani buka suara lagi, tapi masih tetap ter-guguk2 menangis pelahan.

Silahkan kalian duduk dulu untuk bitjara lebih landjut," kata Po-ting-te kemudian. Lebih 20 tahun jang lalu, aku djuga pernah mendengar bahwa di Koh-soh ada seorang tokoh she Bujung, lengkapnja bernama Bujung Bok. Dia pernah mengatjau ke Siau-lim-si, apakah sekarang djuga orang itu jang berbuat?"

Dengan mengertak gigi saking gemasnja, Hui-tjin mendjawab: Siautjeng tjuma tahu musuh memang she Bujung, namanja apa, itulah kurang djelas."

Siau-lim-pay adalah suatu aliran tertinggi dikalangan Bu-lim, didjagat ini siapa jang tidak tunduk pada nama kebesarannja, gurumu Hian-pi Taysu djuga sudah mentjapai puntjaknja melatih Lwekang dan Gwakang, sebagai seorang Tjut-kehlang (penganut agama), biasanja ia tidak pernah bermusuhan dengan orang, mengapa kini bisa dibunuh orang lain?"

Maka menuturlah Hui-tjin dengan air mata ber-linang2: Suatu hari, selagi Siautjeng duduk semadhi dikamar sendiri, tiba2 Siautjeng dipanggil Hongtiang Supeh, sampai disana, djenazah Suhu sudah tampak tertaruh disitu. Kata Supek djenazah Suhu itu diketemukan orang kampung dikaki gunung, karena dikenal sebagai paderi Siau-lim-si, segera ada jang mengirim kabar kegeredja, sebab itulah, tjara bagaimana Suhu ditewaskan musuh dan siapa nama dan tjorak pembunuhnja, sampai sekarang belum djelas diselidiki."

Ui-bi-tjeng jang sedjak tadi hanja mendengarkan sadja, kini tiba2 menjela: Bukankah tewasnja Hian-pi Taysu disebabkan dadanja terkena serangan 'Kim-kong-tjo'?"

Hui-tjin terkedjut, tjepat tanjanja: Dugaan Taysu memang tepat, entah dari.........dari mana Taysu mengetahuinja?"

Sudah lama kudengar ilmu 'Kim-kong-tjo' dari Hian-pi Taysu adalah terhitung salah satu ilmu tunggal jang tiada tandingnja diBu-lim, siapa jang terkena

serangan itu, semua tulang iganja akan patah remuk. Ilmu silat demikian memang lihay sekali, namun sesungguhnja agak terlalu ganas, tidaklah sesuai untuk dipeladjari oleh kaum Budha kita.''

Ja, benar, kepandaian begitu sesungguhnja terlalu ganas," tiba2 Toan Ki ikut menimbrung.

Mendengar guru mereka dikritik Ui-bi-tjeng, memangnja Hui-tjin dan Hui-sian sudah kurang senang, tapi betapapun djuga orang terhitung paderi saleh angkatan tua, mereka tjuma mendongkol dalam batin sadja. Kini mendengar pemuda hidjau seperti Toan Ki djuga ikut2 mengotjeh, tanpa merasa mereka sama melototi pemuda itu. Namun Toan Ki anggap tidak lihat sadja dan tak gubris.

Darimana Suheng bisa mengetahui Hian-pi Taysu ditewaskan oleh ilmu 'Kim-kong-tjo'?" tiba2 Tjing-sun ikut bertanja.

Ui-bi-tjeng menghela napas, sahutnja: Ketua Siau-lim-si, Hian-tju Taysu, begitu melihat djenazah Sutenja, beliau lantas menduga pasti pembunuhnja adalah keluarga Bujung dari Koh-soh. Toan-djite, orang2 she Bujung itu terkenal menggunakan utjapan: 'dengan kepandaiannja, gunakan diatas dirinja'. Pernah kau dengar tidak ungkapan itu."

Tjing-sun menggeleng kepala tanda tidak tahu.

Kemudian Ui-bi-tjeng mengulangi ungkapan kata2 tersohor dari keluarga Bujung

itu, mendadak terkilas rasa djeri pada wadjahnja. Po-ting-te dan Toan Tjing-sun sudah kenal dengan paderi itu selama berpuluh tahun lamanja, tapi selama itu tidak pernah melihat dia mengundjuk rasa djeri seperti sekarang. Seperti waktu paderi itu melawan Yan-king Thaytju setjara mati2-an, meski sudah terang hampir keok, namun dalam keadaan terdesak itu, sedikitpun ia tidak nampak kuatir, bahkan tetap bersikap tenang sewadjarnja. Tapi kini belum lihat musuhnja sudah mengundjuk rasa djeri, maka dapat dibajangkan pihak lawan sesungguhnja bukan orang sembarangan.

Untuk sedjenak keadaan ruangan itu mendjadi hening lelap, selang sebentar, pelahan2 Ui-bi-tjeng mulai berkata lagi: Lotjeng mendengar bahwa didunia ini memang ada seorang tokoh kelas satu bernama Bujung Bok. Ia sengadja memakai nama 'Bok' (luas), dengan sendirinja ilmu silatnja pasti sangat luas pejakinannja. Agaknja tidak peduli sesuatu ilmu tunggal jang lihay dari setiap aliran dan golongan Bu-lim jang manapun pasti dipeladjarinja dengan masak, bahkan djauh lebih mahir daripada pemiliknja sendiri. Dan jang paling aneh, setiap kali ia hendak membinasakan lawannja, tentu dia gunakan ilmu silat andalan dari sang korban itu untuk membunuhnja."

Ini sungguh susah dimengerti," Toan Ki ikut berkata. Padahal didunia ini ada sekian banjak ilmu silat jang ber-beda2, masakah dia dapat mempeladjarinja dengan lengkap?"

Apa jang dikatakan Toan-kongtju ada benarnja djuga," sahut Ui-bi-tjeng, ilmu adalah sesuatu jang tiada batasnja, tjara bagaimana orang bisa lengkap mempeladjarinja semua? Akan tetapi musuh Bujung Bok itu memangnja sangat banjak dan untuk membalas dendam, sebelum dia mahir mempeladjari ilmu andalan musuh jang diintjar untuk membinasakannja, dia tidak sembarangan mau turun tangan".

Ja, akupun pernah mendengar ada seorang tokoh aneh seperti itu di Tionggoan," kata Po-ting-te. Lok-si-samhiong (tiga djago she Lok) dari Hopak mahir menggunakan Hui-tjui (gurdi terbang), tapi achirnja mereka

bertiga tewas semua terkena Hui-tjui jang mereka andalkan itu. Tjiang-hi Todjin dari Soatang bila membunuh orang suka memotong dulu anggota badan musuh biar merintih2 setengah harian, baru dibinasakan olehnja. Tapi Tjiang-hi Todjin sendiri achirnja djuga mengalami nasib seperti kesukaannja itu, sebabnja Bujung Bok menggunakan. Ungkapan 'memakai kepandaiannja, digunakan atas dirinja'. itu djusteru tersohor dari mulutnja Tjiang-hi Todjin itu." ~ Ia merandek sedjenak, lalu menjambung pula: "Waktu itu, ditengah pasar Tjelam, entah betapa banjak orang merubungi Tjiang-hi Todjin jang menggeletak ditanah sambil berteriak merintih kesakitan itu." ~ Bitjara sampai disini, lapat2 terbajang pula olehnja keadaan diwaktu adjalnja Tjiang-hi Todjin jang mengerikan itu, maka wadjahnja menampilkan rasa kurang senang pada orang jang membunuh orang setjara kedjam itu.

Tiba2 Tjing-sun djuga ingat sesuatu, katanja: Djika begitu, gurunja Ko-tayhiap, Kwa Peh-hwe, kabarnja mahir menggunakan tjambuk, diwaktu membunuh musuh sering menggunakan tjambuknja untuk melilit leher lawan hingga sesak napasnja dan achirnjamati. Djangan2dia............ dia............" ~ tiba2 ia berhenti, ia memanggil seorang pelajan dan memberi perintah: "Pergilah kebelakang mengundang Tjui-siansing dan Ko-tayhiap kesini, katakan aku ingin berunding dengan mereka".

Pelajan itu mengia, tapi tampak ragu2 dan tidak lantas bertindak pergi. Maka dengan tertawa Toan Ki berkata: Tjui-sian Singitu sama dengan Ho-siansing sidjurutulis kantor itu."

Mendengar pendjelasan itu, pelajan itu mengia dan segera bertindak kebelakang. Maka tidak lama, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sudah diundang keluar.

"Ko-tayhiap," segera Tjing-sun bitjara, "...ada sesuatu pertanjaan Tjayhe, lebih dulu harap dimaafkan."

Ongyatidak usah sungkan2, katakanlah," sahut Gan-tji. "Tolong tanja, gurumu Kwa-lotjianpwe itu sebab apa ditewaskan orang? Apakah karena terluka oleh sendjata atau terkena pukulan dan tendangan?" tanja Tjing-sun.

Mendadak wadjah Ko Gan-tji berubah merah djengah, setelah ragu2 sedjenak, achirnja ia mendjawab: Guruku djusteru tewas........... tewas dibawah serangan tjambuk dengantipu 'Leng-tjoa-sian-keng' (ular gesit melilit leher)".

Mendengar keterangan itu, tanpa merasa Po-ting-te, Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan lain2 saling pandang sekedjap dengan terkesiap.

Tiba2 Hui-tjin melangkah madju kehadapan Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, ia memberi hormat dengan merangkap tangan, lalu berkata: Ternjata Siautjeng berdua saudara mempunjai musuh jang sama dengan kalian berdua, pabila manusia she Bujung dari Koh-soh itu tak dihantjurkan............" berkata sampai disini ia mendjadi ragu2 apakah sudah jakin pasti dapat membasmi musuh jang lihay itu, namun achirnja ia kertak gigi dengan penuh dendam, lalu melandjutkan: Ja, pendek kata Siautjeng sudah bertekad mengadu djiwa dengan dia!"

Djadi............ djadiSiau-lim-paydjuga sudah mengikatpermusuhan dengan orang Bujung dari Koh-soh itu?" tanja Ko Gan-tji dengan mengembeng air mata.

Hui-tjin mengangguk, lalu iapun mentjeritakan dengan ringkas tjara bagaimana gurunja telah binasa dibawah tangan orang Bujung itu.

Melihat Ko Gan-tji penuh rasa dendam dan berduka, sebaliknja sikap. Tjui Pek-khe tampak lesu, kepala menunduk dan bungkam sadja, se-akan2 sakit hati sang Suheng jang terbunuh itu sama sekali tak terpikir olehnja, diam2 Po-ting-te merasa heran perbedaan sikap keduatokoh Ko-san-pay itu.

Watak Hui-sian paling tegas dan djudjur, melihat sikap Tjui Pek-khe jang atjuh-tak-atjuh itu, tak tahan lagi, ia lantas menegur: Tjui-siansing, kenapa engkau diam sadja? Apakah engkau takut pada manusia she Bujung itu?"

Sute, djangan kurang sopan!" tjepat Hui-tjin membentak.

Harus diketahui bahwa sesudah Kwa Pek-hwe meninggal dengan sendirinja Tjui Pek-khe sudah mendjadi ketua Ko-san-pay jang sekarang. Sedangkan Ko-san-pay adalah tetangga daripada Siau-lim-si. Sebabnja dahulu tjakal-bakal Ko-san-pay dapat tantjap kaki dan mendirikan partainja itu disamping Siau-lim-pay sudah tentu orangnja mempunjai sesuatu ilmu kepandaian tersendiri jang lain dari jang lain. Apalagi nama Kwa Pek-hwe dan Ko Gan-tji paling achir ini sangat tersohor dikalangan Bu-lim, dengan sendirinja deradjat Tjui Pek-khe dalam dunia persilatan djuga tidak boleh dipandang rendah.

Tak tersangka, meski ditegur dengan utjapan jang agak menghina, namun Tjui

Pek-khe malah tjelingukan kesana dan kesini seperti maling kesiangan se-akan2 ada jang sedang mengubernja, sikapnja itu penuh mengundjuk rasa sangat ketakutan.

Tiba2 Ui-bi-tjeng berdehem pelahan sekali, lalu berkata: Apakah orang itu............"

Baru tertjetus kata2 ...orang itu" dari mulut paderi itu, se-konjong2 Tjui Pek-khe bergemetar dan melompat kelabakan hingga sebuah medja teh disampingnja tersampar dan terdjungkir balik dengan mangkok dan tjangkir petjah berantakan.

Setelah tenangkan diri dan melihat sorot mata semua orang ditjurahkankearahnja,wadjahTjui Pek-khemendjadi merah djengah,tjepat katanjadengangugup: Ma........maaf,ma ......... maafkan!"Mau-tidak-mau Ko Gan-tji mengkerut kening djuga melihat kelakuan sang Susiok jang takbisa dipudji itu, segera ia membantu membersihkanpetjahan mangkok dan tjangkir itu.

Diam2 Toan Tjing-sun bersungut djuga sungguh tak tersangka olehnja bahwa Tjui Pek-khe itu ternjata adalah seorang jang demikian penakutnja. Segera ia berkata pada Ui-bi-tjeng: "Suheng, apa jang hendak engkau katakan?"

"Orang itu.............." Ui-bi-tjeng menghirup setjengguk teh dulu, lalu menjambung dengan kalem: aku maksudkan Bujung Bok itu, apakah i rang itu pernah dilihat oleh Tjui-sitju?"

Mendengar nama "Bujung Bok", mendadak Tjui Pek-khe mendjerit kaget sambil memegangi medja, sahutnja dengan suara gemetar: O, ti ............tidak............ tidak pernah melihatnja."

Melihat sikap orang jang pengetjut itu, segera Hui-sian ikut berteriak: Sebenarnja Tjui-siansing pernah melihat Bujung Bok atau tidak?"

Tjui Pek-khe ter-mangu2 memandang djauh kedepan seperti orang kehilangan sukma. Sampai agak lama baru diamendjawab dengan suara gelagapan. Ti.........tidak........ eh........... eh.......... seperti ti......... tidak pernah melihatnja.

Tjing-sun dan lain2 meng-geleng2 kepala melihat kelakuan tokoh Ko-san-pay itu, Diam2 Ko Gan-tji djuga merasa malu, sungguh tak tersangka olehnja bahwa sang Susiok jang biasanja sangat dihormatinja ituternjata membikin malu sadja didepan orang banjak.

"Lotjeng sendiri pernah djuga mengalami suatu kedjadian, biarlah kutjeritakan agar bisa dibuat bahan pertimbangan para hadirin," demikian kata Ui-bi-tjeng. Peristiwa itu terdjadi pada 43 tahun jang lalu. Tatkala itu usiaku masih muda, tenaga kuat, belum lama berkelana dikangouw, namun sedikit2 djuga sudah terkenal. Sungguh waktu itu aku seperti anak banteng jang tidak kenal harimau, belum kenal apa artinja takut, aku merasa didunia ini ketjuali guruku tiada orang lain lagi jang kepandaiannja bisa lebih tinggi dariku.

Tahun itu aku mengawal seorang pembesar negara jang dipensiun kembali kekampung halamannja bersama keluarganja. Ditengah djalan aku telah ditjegat oleh empat begal besar. Tudjuan begal2 itu ternjata bukan harta, tapi begitu

madju lantas hendak menggondol puteri kesajangan pembesar itu. Sebagai pemuda jang berdarah muda, sudah tentu aku tidak bisa mengampuni perbuatan mereka, sekali menjerang aku lantas gunakan tipu ganas, dengan Kim-kong-tji aku telah membinasakan keempat begal itu, setiap orang kututuk diulu hatinja, tanpa mendjengek sedikitpun mereka lantas menggeletak mampus.

Dan pada saat itulah, kudengar suara derapan kuda jang berdctak2, ada dua penunggang keledai tampak lewat disampingku. Dasar watak muda, waktu itu aku sedang mengobral makian pada begal2 jang tidak kenal selatan itu dan sedang membual dihadapan pembesar jang kukawal itu tentang betapa lihaynja Kim-kong-tji jang mendjadi andalanku itu, kataku, biar musuh datang lagi sepuluh atau duapuluh djuga akan kubinasakan satu-persatu dengan Kim-kong-tji, Tiba2 kudengar salah seorang penunggang keledai itu mendengus sekali, suaranja seperti kaum wanita, tapi nada dengusan itu penuh mengundjuk rasa hina dan memandang rendah. Waktu aku menoleh, kiranja penunggang2 keledai itu masing2 adalah seorang wanita muda jang tjantik, usianja sekitar 32 atau 33 tahun, dan seorang lagi adalah satu anak ketjil berumur 12-13 tahun jang bermuka putih bersih menjenangkan. Kedua orang itu sama2 memakai pakaian berkabung warna putih. Kudengar sianak sedang berkata pada wanita muda itu: "Mak, apanja jang hebat Kim-kong-tjiitu, huh, dasar tukang membual!"

Adapun asal-usul Ui-bi-tjeng sendiri, ketjuali Po-ting-te berdua saudara, orang lain tiada jang tahu. Tapi ketika dia menggunakan tenaga djari Kim-kong-tji untuk menggores batu melawan Yan-king Thaytju di Ban-djiat-kok tempo hari, kedjadian itu telah disaksikan orang banjak serta sudah menggemparkan kalangan Bu-lim, terutama mengenai Kim-kong-tji-lik jang lihay luar biasa itu. Maka kini demi mendengar tjeritanja tentang utjapan botjah itu, mereka sama menganggap anak ketjil itu suka mengotjeh tak karuan sadja.

Tak tersangka Ui-bi-tjeng lantas menghela napas, lalu menjambung tjeritanja: Tatkala itu meski aku merasa mendongkol sesudah mendengar utjapan itu, tapi aku lantas pikir otjehan seorang botjah ingusan buat apa mesti ditjetjokan. Maka aku hanja mendelik sekali sadjapadaanak itu dan tidakmenggubris padanja.

Siapa duga wanita muda berbadju putih itu lantas mcngomeli anak itu: Kim-kong-tji' orang ini adalah adjaran asli dari Tat-mo-ih di Hokkian Siau-lim-si, sedikitnja sudah ada tiga bagian tjukup masak. Anak ketjil tahu apa? Umpama kau djuga tidak sedjitu djarinja itu.' ~ Sudah tentu aku tambah kaget dan gusar pula. Padanal asal-usul perguruanku djarang diketahui orang Kangouw, tapi njonja muda ini dengan djitu sudah dapat membuka rahasia diriku. Sedang akupunja Kim-kong-tjidikatakantjumamentjapai tiga bagian masak, sudah tentu aku tidak terima. Ai, sesungguhnja waktu itu aku sendirilah jang masih hidjau, tiga bagian masak bagiku sebenarnja masih berlebihan, tapi dalam gusarku segera aku membentak: 'Siapakah she njonja jang terhormat ini? Djika merasa Kim-kong-tji-lik Tjayhe masih tjetek, marilah tjoba2 memberi petundjuk barang sedjurus-dua?'

Njonja itu tidak menjahut, sebaliknja anak ketjil itu segera tahan keledainja terus hendak mendjawab. Namun mata njonja itu tiba2 memberambang dan mengembeng air mata, katanja: 'Pesan apa jang ditinggalkan ajahmu sebelum wafat? Masakan segera sudah kau lupakan?' Anak ketjil itu mendjawab: 'Ja, anak tidak berani melupakannja.' Habis itu, keledai mereka lantas dikeprak kedepan dengan tjepat.

Tapi semakin dipikir, aku semakin penasaran karena sudah di-olok2. Segera aku melarikan kuda menjusul mereka sambil berseru 'Hail Kau berani sembarangan mengotjeh untuk mengritik ilmu silat orang, tanpa tjoba2 dulu barang beberapa djurus, lantas hendak menggelojor pergi begini sadja?' ~ Kuda tungganganku adalah kuda pilihan, maka dalam sekedjap aku sudah melampaui dan mengadang dihadapan mereka. 'Lihatlah, karena otjehanmu, orang telah marah,' demikian njonja itu mengomeli anaknja. Rupanja botjah itu sangat penurut dan berbakti pada orang tua, ia tidak berani memandang padaku lagi. Dan karena melihat mereka djeri padaku, kupikir tidaklah pantas kalau aku mesti berkelahi dengan anak ketjil dan wanita, kenapa aku tjetjok urusan sepele dengan mereka? Tapi kalau mendengar nada utjapan njonja itu tadi, agaknja anak itupun mahir Kim-kong-tji-lik. Padahal ilmu ini sudah 20 tahun kulatih dengan djerih-pajah, masakah anak seketjil itu djuga bisa? Ah, tentu bualan belaka! Karena pikiran itu, aku membentak pula: 'Baiklah, harini biar kulepaskan kalian, tapi selandjutnjakalaubitjara hendaklahhati2.'

Njonja muda itu masih tetap tidak memandang sekedjappun padaku, katanja pada anaknja: 'Nah, apa jang dikatakan paman ini memang benar, selandjutnja kalau kau bitjara harus hati2!' Dan djika urusan diachiri sampai disitu sadja, bukankah kedua pihak sama2 tidak kehilangan muka? Tapi waktu itu aku masih berdarah muda, ketika aku menarik kuda minggir kesamping djalan, segera njonja itu keprak keledainja djalan lebih dulu. Waktu anak itupun keprak keledainja lewat didepanku, dengan tertawa aku ajun tjambuk menjabet kebokong keledainja sambil berkata: Tjepat sedikit!"

"Sungguh tak terduga, ketika tjambukku masih djauh dari bebekong keledai orang, tiba2 terdengar suara 'tjus' sekali, tahu2 anak itu menoleh dan tenaga djarinja lantas menjamber dari djauh, kontan tjambukku patah mendjadi dua." Sungguh kagetku bukan buatan. Aku menaksir kalau bitjara tentang tenaga djari, sekali2 aku tidak mampu menandingi anak itu. Tiba2 terdengar njonja muda tadi berkata djuga: 'Sekali sudah turun tangan, djangan kepalang tanggung lagi!' Anak itu mengiakan terus melompat turun dari keledainja, tanpa bitjara lagi ia atjungkan djarinja terus menutuk kebetis kakiku.

Perlu diketahui bahwa tubuh anak itu ketjil pendek, pula aku menunggang kuda, maka djarinja tjuma bisa mentjapai betis kaki sadja. Tapi gerak serangannja ternjata sangat bagus dan memang benar2 adalah Kim-kong-tji tulen. Tjepat akupun melompat turun, sedikitpun aku tidak berani ajal dan menempurnja dengan Kim-kong-tji.

Dan sesudah bergebrak, semakin lama semakin djeri hatiku. Ilmu djari anak itu belum dapat dikatakan mahir betul, bahkan terkadang tampak salah menggunakannja, namun dimana tenaga djarinja sampai, suaranja sungguh mengedjutkan, maka aku tidak berani menangkisnja berhadapan. Kira2 sampai djurus kesembilan, 'tjus', terasalah dada-kiriku sakit,tenagakupun hilang semua seketika."

Bitjara sampai disini, pelahan2 Ui-bi-tjeng membuka djubahnja hingga tertampak tulang iganja jang ber-derek2 kurus itu. Semua orang mendjadi kaget

demi melihat keadaan dada paderi itu. Ternjata tepat diatas djantung didada kiri terdapat sebuah lubang sedalam dua-tiga senti. Meski lubang bekas luka itu sudah sembuh, tapi dapat dibajangkan betapa parahnja luka itu dahulu. Anehnja, meski luka itu terang begitu dalam dan tepat ditempat djantung, toh paderi itu tidak tewas dan masih hidup sampai sekarang.

Tapi Ui-bi-tjeng lantas tundjukan dada sebelah kanan dan berkata: Tjoba silahkan lihat!"

Ternjata dada kanan paderi itu tampak ber-gerak2 terus. Baru sekarang semua orang tahu bahwa pembawaan tubuh paderi itu ternjata berbeda daripada manusia umumnja Djantungnja djusteru terletak didada kanan dan tidak disebelah kirinja. Makanja kena serangan separah itu toh orangnja tidak mati.

Setelah Ui-bi-tjeng mengenakan kembali djubahkan, kemudian katanja pula: "Orang jang djantungnja tumbuh didada sebelah kanan, umumnja djarang terdapat. Ketika anak itu melihat aku tidak terbinasa oleh tutukannja itu, segera ia melompat mundur dengan ter-heran2. Sebaliknja melihat darah mengutjur dari dadaku, kusangka djiwaku takbisa diselamatkan, aku mendjadi nekad dan memaki:"Bangsat tjilik, katanja kau mahir Kim-kong-tji, tapi, hm, adakah Kim-kong-tji dari Tat-mo-ih sudah melukai lawannja, namun orangnja tidak lantas binasa?' Segera anak itu melompat madjuhendakmenjerangaku pula. Tatkalaituaku sudahlemas

dan takbisa melawannja lagi, terpaksa tinggal menunggu adjal sadja. Tak tersangka tjambuk sinjonja muda itu lantas bekerdja dan dengan pelahan pinggang anaknja telah dililit terus ditarik kembali dan didudukan diatas keledainja lagi. Dalam keadaan kesima lapnt2 aku hanja mendengar njonja itu sedang mengomeli anaknja: 'Keluarga Bujung dari Koh-soh masakah mempunjai keturunan tak betjus seperti kau ini? Djika Kim-kong-tjimu belum terlatih sempurna,tidakbolehkaumembunuhnjalagi.Biarakumenghukum kau dalam tudjuh hari............ Dan hukuman apa sebenarnja dalam tudjuh hari itu, karena aku lantas djatuh pingsan, maka tidak dapat mendengar lagi.''

"Taysu," tiba2 Kim-suipoa Tjui Pek-khe bertanja, "kemudian... kemudian engkau pernah berdjumpa lagi tidak dengan mereka'"

"Sungguh memalukan, sedjak itu, Lolap lantas putus asa. aku merasa hanja seorang anak ketjil sadja sudah melebihi aku, maka sekalipun aku melatih diri selama hidup djuga takkan mampu melebihinja," demikian sahut Ui-bi-tjeng. "Maka setelah luka didadaku sembuh, aku lantas meninggalkan Tionggoan dan datang ke Tayli sini untuk bernaung dibawah lindungan Toan-hongya, beberapa tahun kemudian, aku lantas tjukur rambut mendjadi Hwesio. Selama ini Lotjeng tenggelam dalam adjaran Budha, tidak pernah memikirkan lagi hinaan dimasa dulu itu. Tjuma kalau terkadang ingat, sungguh hatiku masih kebat-kebit, benar2 njaliku sudah petjah oleh kedjadian dahulu."

Mendengar tjerita itu, semua orang terdiam hingga lama. Rasa memandang hina mereka kepada Tjui Pek-khe seketika lenjap, Sebab seorang Ui-bi-tjeng jang begitu sakti djuga takut pada keluarga Bujung di Koh-soh, maka dapatlah dimengarti bila Tjui Pek-khe djuga demikian djerinja.

Tjui Pek-khe djuga dapat merasakan pikiran orang banjak itu, maka katanja: "Dengan kedudukan setinggi Ui-bi Taysu toh bersedia mentjeritakan apa jang dialaminja dahulu, sebaliknja aku Tjui Pek-khe orang matjam apa hingga mesti takut malu? Biarlah Tjayhe mentjeritakan djuga sebab-musababnja bernaung didalam istana Tin-lam-ong ini. para hadirin disini toh bukan orang luar kalau Tjayhe tjeritakan, harap pula para hadirin sebentar suka memberi pendapat masing2".

Habis utjapkan kata2 itu, karena guntjangan perasaan, tenggorokannja mendjadi terasa kering, terus sadja ia teguk habis semangkok teh jang tersedia untuknja, habis itu, ia samber pula mangkok teh jang disediakan untuk Ko Gan-tji dan dituang lagi kedalam kerongkongannja kemudian barulah

ia mulai berkata denganterputus2:"Kedjadian............kedjadianku ini sudah............ sudah 18 tahun jang lalu............" bitjara sampai disini, tanpamerasa ia memandang keluar djendela dengan rasa djeri. Setelah tenangkan diri,kemudian ia menjambung: 'Dikota Bu-oh terdapat seorangbuaja darat she Djoa jang djahat dan suka menindas rakjat. Ada seorang sobat Suhengku, antero keluarganja telah dibunuh oleh buaja darat itu."

"Susiok, apakah engkau maksud sidjahanam Djoa Ging-toh itu?" selaKo Gan-tji.

"Benar," sahut Pek-khe. "Dahulu dikala Suhumu membitjarakan djahanam itu. selalu ia geregetan ingin bisa membunuhnja. Tjuma gurumuitu adalah seorang jangbaik danpatuh pada peraturan, beberapa kali ia tjoba menggugat kedjahatan Djoa Ging-toh itu kepada pembesar negeri tapi karena buaja itu pintar menjogok dan banjak hubungannja dengan kalangan atas, maka pengaduan gurumu itu selalu didep oleh pembesar2 jang bersangkutan. Kalau mau, sebenarnja tidak susah bagi gurumu untuk membunuh djahanam orang she Djoa itu. Tapi selamanja gurumu memang seorang jang alim, tidak suka berbuat sesuatu diluar hukum.Sebaliknja berbeda dengan aku Tjui Pek-khe ini. dalam hal2 maling, madon, main, pendek kata segala matjam perbuatan 'M', bahkan membunuh sekalipun aku tidak pantang, semuanja kulakoni.

"Maka pada suatu malam, dikaki aku sudah gemas, diam2 aku (lantas menggerajangi rumah djahanam she Djoa itu dan sekaligus aku sapu bersih seluruh isi keluarganja jang lebih 30 djiwa itu. Aku mulai membunuh sedari pintu depan terus sampai taman bunga dibelakang, dari pendjaga pintu sampai tukang kebon, dari katjung2sampai babu2, semuanja kubunuh, tiada satupun kuampuni. Ketika Sampai ditengah taman belakang, kulihat dibalik djendela sebuah loteng masih tampak ada sinar pelita. Segera aku pandjat keatas loteng itu dan tendang pintu kamarnja hinggaterpentang.

"Kiranja loteng itu adalah sebuah kamar tulis, disekeliling kamar penuh terdapat rak buku. Tampak sepasang muda-mudi sedang duduk menjanding sebuah medja, agaknja sedang asjik membatja sesuatu kitab. Pemuda itu kira2 berumur

27-28 tahun, tampan dan ganteng. Usia jang pemudi lebih muda, tjuma mungkur duduknja. maka mukanja tak kclihatan, tapi dari badjunja jang dipakai serta potongan tubuhnja jang menggiurkan, dapat dipastikan seorang wanita tjantik. Sekaligus memangnja aku sudah membunuh puluhan orang, semangatku masih ber-kobar2. Tapi demi nampak kedua muda-mudi itu, kurangadjar, aku mendjadi rada heran. Sebab setiap orang dirumah djahanam she Djoa itu adalah kasar dan bengis semua, mengapa bisa mendadak muntjul sepasang muda-mudi liar jang gagah dan tjantik itu? Seketika aku mendjadi terkesima malah hingga tidak lantas turun tangan membunuh mereka."

Mendengar sampai disini, diam2 Toan Ki mentjotjokan tjerita Ui-bi-tjeng tadi dengan Tjui Pek-khe ini. Ui-bi-tjeng bilang waktu bertemu dengan anak ketjil jang berusia belasan tahun itu adalah 43 tahun jang lalu. Sedang pemuda jang dilihat Tjui Pek-khe itu berumur hampir 30 tahun dan terdjadi pada 18 tahun jang lampau. Djika demikian, usia pemuda itu dan sianak ketjil satu sama lain tidak tjotjok, terang bukan terdiri dari seorang jang sama.

Dalam pada itu Tjui Pek-khe sedang melandjutkan: Dan karena aku tertegun, maka terdengarlah pemuda itu lagi berkata: 'Niotju (isteriku) dari sudut Kui-moay menggeser ketempat Bu-hong, apakah demikian tjaranja?"

Mendengar istilah2 Kui-moay" dan "Bu-hong", segera Toan Ki paham apa jang dikatakan itu adalah istilah2 jang terdapat dalam Ih-keng.

Sementara itu Pek-khe sedang menjambung: Maka tertampaklah siwanita merenung sedjenak, lalu berkata: 'Pabila djalannja miring kesana masuk dulu kesudut Beng-ih, dari situ kemudian memutar ke Soan-wi, tjobalah bisa ditembus tidak djalan ini ?"

Toan Ki bertambah kaget oleh istilah2 paling achir -itu, apa jang diuraikan wanita itu terang adalah ilmu gerak langkah dari Leng-po-wi-poh'' jang pernah dipeladjarinja didasar telaga dulu itu Tjuma tempat2 jang dikatakan wanita itu agak mentjeng, tempatnja kurang tepat, Djangan2 wanita itu ada hubungannja dengan patung tjantik dari Entji Dewi itu? Demikian Toan Ki mendjadi ragu2.

Sudah tentu Tjui Pek-khe tidak tahu pikiran Toan Ki itu, ia meneruskan pula: "Dan karena kedua orang itu masih sibuk terus membitjarakanentah apa jang terdapat didalam kitab, aku mendjadi tidak sabar lagi, segera aku membentak: 'Hai, kalian berdua andjing laki-perempuan ini lekas enjah keluar semua!' Tak kuduga mereka seperti orang tuli sadja,bentakanku sama sekali tak digubris, pandangan mereka masih tetap ditjurahkan kedalam kitab mereka. Malah terdengar pulasiwanita lagi berkata dengan lemah-lembut: "Tapi dari sini menudju kesudut Soan-wi seluruhnja ada sembilan langkah, inilah tidak mungkin ditjapai' Saking mendongkol aku lantas membentak lebih keras lagi: 'Hai, lekas enjah, enjah, enjah keachirat untuk menemui kakek-mojangmu ke-18 keturunan!' ~ Dan baru aku hendak menerdjang madju, se-konjong2 tampak sipemuda bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa 'Bagus, bagus! hm sama dengan Kun, kakek-mojang 18 keturunan he, 9 X 2 sama dengan 18, djadi mesti memutar kesudut Kun, o ja, benar, benar, djalan ini sangat tepat! ~ Sambil bitjara, tangan pemuda itupunmenjambar sebuahSuipoaseadanjadiatasmedja itu, dan entah tjara bagaimana, tahu2 tiga butir bidji Suipoa menjambar kentjang kearahku, seketika aku merasadada sesak dan kesakitan, tubuhku se-akan2 terpaku dan takbisa berkutik lagi.

Habis itu, kedua muda-mudi itu masih tetap tidak gubris padaku, mereka masih tetap tukar pikiran tentang isi kitab, hal mans aku sedikitpun tidak paham, hanja perasaanku mendjadi sangat ketakutan. Sebab, hendaklah diketahui bhw djulukanku jang djelek adalah Kim-suipoa, kemanapun aku pergi selalu membawa sebuah Suipoa terbuat dari emas, dan ke-77 bidji Suipoa itu setiap saat dapat kugunakan untuk melukai orang Tjuma tjaraku membidikan bidji Suipoa adalah berkat bantuan pergas jang terpasang didalam Suipoa, sebaliknja Suipoa jang dipakai pemuda tadi hanja sebuah Suipoa kaju biasa sadja. Ketika aku menegasi Suipoa kaju itu, tertampak satu rudji bambu ditengahnja sudah patah, djadi pemuda itu telah menggunakan tenaga dalamnja untuk mematahkan rudji Suipoa, lalu gunakan Lwekang jang maha hebat untuk menimpukan bidji Suipoa kearahku, sungguh ilmu sehebat itu susah untuk dibajangkan.

Pertjakapan kedua muda-mudi itu ternjata berlangsung terus dan semakin uplek dengan gembiranja, sebaliknja semakin mendengar aku mendjadi semakin takut. Pikirku, sudah lebih 30 djiwa dirumah ini kubunuh, sekarang aku djusteru terpaku takbisa berkutik disitu, takbisa bergerak dan takdapat bitjara pula, djikalau toh aku mesti membajar djiwaku sendiri karena aku sudah utang djiwa sebegitu banjak, akan tetapi dengan demikian, tentu Suhengku djuga akan tersangkut. Ada lebih dua djam aku terpaku disitu, tapi rasanja seperti disiksa selama 20 tahun. Kira2 sudah hampir pagi, terdengar pemuda itu berkata dengan tertawa: Niotju, langkah2 ini agaknja harini takbisa kita tembus, biarlah ditunda sadja, marilah kita pergi!' ~ Wanita itu mendjawab: 'Kim-suipoa Tjui-losu ini telah membantu engkau memetjahkan satu langkah bagus, sepantasnja engkau mesti memberi apa2 sebagai tanda terima kasih padanja!' Terkedjut dan girang rasaku. djadi sedjak mula mereka sudah kenal namaku. Maka terdengar jang lelaki sedang berkata: 'Djika begitu, biarlah djiwanja diberi hidup lebih lama beberapa tahun. Lain kali kalau ketemu lagi tentu tidak ampun pula!'

Habis bitjara, mereka menjimpan kembali kitab jang dibatja itu, lalu bergandengan tangan melajang keluar djendela dengan enteng sekali. Wadjah wanita itu tetap tak terlihat olehku, tjuma sebelum pergi, tiba2 ia baliki tangan kirinja, lengan badjunja mengebut pelahan dipunggungku hinqga Hiat-to jang tertutup terbuka seketika. Waktu kuperiksa dadaku, ternjata badju bagian situ sudah berlubang tiga, dua bidji Suipoa tepat terdjepit diatas buah dadaku dan bidji Suipoa ketiga persis berada ditengah2 kedua bidji jang lain Nah, inilah, biar para hadirin periksa hiasan didadaku ini!"

Sembari berkata, ia terus membuka badju. Melihat itu hampir semua orang tertawa geli. Kiranja dua bidji Suipoa itu tepat sekali mentjlok diatas pentil teteknja dan di-tengah2 kedua pentil itu mentjlok pula sebidji Suipoa jang lain. Kedjadian itu sudah belasan tahun jang lalu, tapi bidji2 Suipoa itu ternjata tidak dilenjapkan dari dadanja.

Tjui Pek-khe gojang2 kepala, ia kantjing kembali badjunja, lalu berkata pula: "Deritaku sungguh tidak sedikit karena mentjloknja tiga bidji Suipoa ini didadaku. Sebenarnja aku bermaksud mengoreknja keluar dengan pisau, tapi asal tersentuh sedikit sadja Hiat-to sendiri, seketika aku djatuh pingsan, untuk mana harus 12 djam kemudian baru bisa sadar dengan sendirinja. Bila

pelahan2 aku tjoba mengikir atau menggosoknja dengan kertas empelas, namun sakitnja masih tidak kepalang, sungguh aku seperti disiksa oleh kakek-mojangnja ke-18 turunan! Rupanja sudah nasibku mesti disiksa begini, pabila hari mendung dan hawa lembab, ketiga tempat didadaku ini lantas kesakitan seperti di-sajat2!"

Mendengar tjerita Pek-khe jang lutju dan luar biasa itu. semua orang merasa heran dan geli pula.

Maka Pek-khe telah melandjutkan pula sambil menghela napas: "Orang itu menjatakan bila lain kali ketemukan aku lagi djiwaku takkan diampuni. Maka djiwaku ini harus kudjaga baik2, djalan jang paling selamat jalah djangan sampai kepergok lagi dengan dia. Untuk mana terpaksa aku harus kabur djauh2 dan menjusup kedalam istana pengeran dinegeri Tayli ini. Kupikir daerah ini djauh terpentjil diselatan, orang Bu-lim dari Tionggoan djarang jang datang kemari. Umpama achirnja disusul djuga oleh keparat anak kura2 itu kesini, paling tidak disini ada Ongya dan Ko-houya serta djago lain, masakah mereka tega berpeluk tangan tidak ikut tjampur dan menjaksikan djiwaku melajang begitu sadja? Selama ini, karena siksaan tiga bidji Suipoa didada ini, bila kesakitan, terpaksa aku minum arak se-banjak2nja untuk melupakan rasa derita jang hebat ini."

Selesai mendengar tjerita Tjui Pek-khe, semua orang berpendapat apa jang terdjadi itu hampir serupa dengan Ui-bi-tjeng, bedanja tjuma jang seorang achirnja mendjadi Hwesio dan jang lain mengasingkan diri dengan bersembunji.

"Ho-siansing." tiba2 Toan Ki menanja, karena sudah 'biasa memanggil demikian, seketika pemuda itu takbisa berganti panggilan lain, habis darimana engkau mengetahui kalau suami-isteri jang kau djumpai itu adalah keluarga Bujung dari Koh-soh?"

Pek-khe garuk2 kepala dan mendjawab: "Hal itu adalah taksiran Suhengku, sebab setelah melihat ketiga bidji Suipoa jang bersarang didadaku ini, Suhengku berpendapat didunia persilatan tjuma keluarga Bujung sadja jang 'memakai kepandaian orang untuk digunakan atas diri orang itu'. Dan karena kami jakin tak mampu melawan tokoh2 dari keluarga setan iblis itu, djalan paling selamat adalah kabur dan mengkeret seperti kura2" Sampai disini, ia berpaling dan berkata kepada Toan Tjing-sun: Nah, Toan-ongya, sekianlah pendjelasanku, sekarang aku mohon diri untuk segera berangkat ke Koh-soh."

Kau hendak pergi kesana?" tanja Tjing-sun heran.

Ja," sahut Pek-khe tegas. Hubunganku dengan Suheng laksana saudara sekandung. Sakit hati membunuh saudara itu masakan tidak lekas dibalas? Gan-tji, marilah kita berangkat!'' Habis berkata, ia memberi Kiongtjhiu pada para hadirin, lalu bertindak keluar diikuti oleh Ko Gan-tji.

Tindakan Tjui Pek-khe itu benar2 diluar dugaan semua orang. Semula tampaknja sangat ketakutan kepada keluarga Bujung itu. Tapi demi bitjara untuk membalas sakit hati sang Suheng, walaupun insaf kepergiannja ini tidak lebih daripada menghantarkan njawa, tapi sedikitpun ia tidak gentar lagi. Maka diam2 semua orang merasa kagum dan tidak enak untuk mentjegah keberangkatannja itu.

Kemudian Hui-tjin Hwesio lantas berdiri dan berkata dengan sangat menghormat: Tjiangbun Supek telah memberi pesan bahwa baginda Po-ting-te adalah kaum Tjianpwe jang diagungkan, dengan sendirinja kami tidak berani bikin repot, tapi kalau Toan-ongya sudi berkundjung kegeredja kami untuk memberi petundjuk tjara bagaimana harus menghadapi orang Bujung dari Koh-soh, hal mana berarti Ongya telah menjelamatkan kaum Bu-lim di Tionggoan dari bentjana. Kata Tjiangbun Supeh pula bahwa beliau seharusnja berkundjung

sendiri kesini untuk meminta petundjuknja Toan-ongya, tjuma utusan geredja telah banjak dikirim untuk mengundang para tokoh berbagai aliran terkemuka untuk berkumpul di Siau-lim-si, sebagai tuan rumah, Supek tidak enak kalau mesti tinggal pergi, maka beliau terpaksa tinggal dirumah untuk menantikan kedatangan para kesatria."

Kiranja Siau-lim-si bakal mengadakan Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria), itulah kesempatan jang susah ditjari buat menemui tokoh2 Bu-lim dari Tiong-goan, kalau bisa hadir, menggembirakan djuga hal itu," udjar Tjing-sun sambil memandang kaka bagindanja untuk memberikeputusan.

Namun dengan kereng Po-ting-te berkata: "Keluarga Toan kami berasal djuga dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selama ratusan tahun belum pernah lupa pada sumbernja. Setiap kawan Bu-lim jang datang kewilajah Tayli sini, selalu kami sambut dengan hormat. Tapi leluhur kami ada suatu pesan agar anak-tjutjunja dilarang ikut tjampur dalam urusan permusuhan dan bunuh-membunuh dikalangan Bu-lim. Terhadap ilmu silat dan pribadi Hian-tju Taysu, selamanja Tjing-beng sangat kagum, sajang maksud baiknja itu bertentangan dengan pesan tinggalan leluhur, maka terpaksa takbisa kami penuhi dan harap sadja Hian-tju Taysu suka memaafkan."

Hui-tjin sangat ketjewa oleh djawaban itu, sebaliknja Hui-sian lantas bertelut pula sambil berseru: "Untuk membalas sakit hati Suhu, Hui-sian mohon Sri Baginda suka memberi idin Tin-lam-ongya pergi ke Siau-lim-si."

Segera Hui-tjin menambahi djuga: Kehadiran Tin-lam-ongya ke Siau-lim-si bukanlah untuk bertanding dengan orang Bujung, soalnja tjuma mengenai ilmu silat musuh itu terlalu luas dan aneh, maka Supeh sengadja mengundang para kesatria sekedar berkumpul untuk memberi prasaran jang berharga guna mengatasi keganasan orang Bujung itu. It-yang-tji dari keluarga Toan di Tayli sini adalah salah satu ilmu tunggal jang tiada bandingannja dalam Bu-lim, dalam pertemuan besar di Siau-lim-si nanti kalau tiada hadir ahli-waris dari keluarga Toan, itu berarti belum lengkap dan mungkin takbisa lagi menandingi

orang she Bujung itu."

Tiba2 Po-ting-te kebas lengan djubahnja hingga Hui-sian merasa diangkat bangun oleh suatu tenaga maha besar, sungguh kagumnja tak terkatakan, serunja segera: Hongya, kepandaianmu ini su......sudah luar biasa..............."

Sahut Po-ting-te: Djauh2 kalian datang kemari, silahkan mengaso dan dahar dulu. Mendengar berita duka gurumu, sungguh Tjayhe ikut merasa menjesal. Tjuma sajang keluarga Toan telah dipesan leluhur djangan ikut tjampur urusan persengketaan dalam Bu-lim, terpaksa takbisa terima undanganmu, harap dimaafkan."

Mendengar radja Tayli itu tetap menolak, Hui-tjin dan Hui-sian insaf takkan berhasil mengubah pendirian orang, maka terpaksa mereka mohon diri buat keluar.

Kini ruangan dalam itu hanja tinggal orang2 keluarga Toan sendiri, maka Tjing-sun lantas berkata: Hong-heng, ilmu kepandaian keluarga Bujung itu sedemikian hebatnja, seharusnja namanja mengguntjangkan dunia, tapi mengapa selama ini djarang terdengar namanja didalam Bu-lim?"

Mungkin diantara anggota keluarganja itu tidak sering turun tangan, kalau terkadang bertengkar dengan orang djuga belum tentu memperkenalkan nama asli mereka, makanja Siau-lim-pay dan Ko-san-pay djuga tidak tahu siapakah sebenarnja musuh mereka," demikian sahut Po-ting-te.

"Keputusanmu untuk tidak ikut tjampur persengketaan itu memang sangat tepat," Ui-bi-tjeng ikut bitjara, Kalau sampai urusan ini mendjalar mendjadi besar, mungkin dunia persilatan akan bandjir darah, entah betapa djiwa manusia akan mendjadi korban. Tayli selama ini aman tenteram, negeri makmur, rakjat subur, bila Ongya hadir ke Siau-lim, selandjutnja tentu djuga takkan ter-putus2 orang Bu-lim akan mentjari perkara ke Tayli sini."

Tengah bitjara, tiba2 seorang pengawal masuk memberitahu: Lapor Ongya, diluar ada seorang Totiang (Tosu, imam agama Tao)mohon bertemu. Katanja kawan lama dari Thian-tay-san."

Tjing-sun sangat girang, katanja: Hong-heng, tentu Tjiok-djing-tju Toheng jang telah datang!" Terus sadja ia menjambut keluar dengan langkah lebar.

Ui-bi-tjeng saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te. Tiba2 paderi itu berdiri dan berkata: "Biarlah Lotjeng menjingkir sadja".

"Apakah rasa marah Suheng dimasa lalu sampai kini masih belum lenjap?" udjar Po-ting-te dengan tersenjum.

Ui-bi-tjeng hanja membalas tersenjum sadja tanpa mendjawab, lalu ia bertindak keruangan belakang untuk memeriksa keadaan murid2nja jang parah

itu.

Selang tak lama, terdengarlah suara tertawa pandjang jang njaring berkumandang dari ruangan luar. Segera Po-ting-te berbangkit dan tertampaklah Tjing-sun membawa masuk seorang Todjin jang berumur antara 50 tahun. Imam itu berdjubah kuning dan berkopiah kuning, bermuka putih, sikapnja gagah. Ia memberi hormat kepada Po-ting-te sambil berseru dengan tertawa: Tjing-beng-heng, selama beberapa tahun ini engkau hidup djaja dan diagungkan, sungguh hidupmu ini aman tenteram penuh redjeki".

Po-ting-te membalas hormat dan mendjawab dengan tertawa: Dan kau Gu-pit-tju (hidung kerbau, olok2 pada kaum Tosu) ini selalu sibuk kian kemari di Kangouw, apa kau belum merasa tjapek dan bosan?"

Hahaha, belum bosan, belum bosan!" sahut Tjiok-djing-tju ter-bahak2. Lalu ia berpaling pada hadirin jang lain: Hai, Sing-thay-heng, baik2kah engkau? Kau, simaling tukang bongkar kuburan, Bagaimana redjekimu sekarang? Wah, tjahajamuka Hoan-heng tampak ber-seri2, tentu telah bertambah beberapa putera! Tapi Thian-sik kelihatannja makin kurus tinggal kulit membungkus tulang, kalau mengandalkan tubuh sekurus ini untuk menangkan gelar Ginkang nomor satu didunia, rasanja djuga kurang tjerlang tjemerlang. Eh, tukang pantjing, engkau dapat mengail seekor kura2 atau tidak?"

Begitulah Tjiok-djing-tju telah menegur setiap hadirin jang berada disitu sebagai kawan lama setjara tidak tjanggung2.

Toan Ki kenal watak sang paman jang ramahtamah, tapi toh tidak pernah melihatnja bergurau dengan orang. Kini dengan datangnja Todjin itu, seketika suasana disitu mendjadi riang gembira, bahkan paman pun menjebutnja sebagai "hidung-kerbau", maka dapat diduga Tjiok-djing-tju ini tentu sifatnja sangat djenaka dan disukai orang.

Segera Tjing-sun berkata: Ki-dji, lekas madju memberi hormat! Totiang ini adalah 'Tang-hong-te-it-kiam' Tjiok-djing-tju jang sering kukatakan padamu itu, betapa tinggi ilmu pedangnja didjaman ini tiada bandingannja."

Toan Ki mendjadi heran, sebab selamanja ia tidak pernah mendengar tentang 'Tang-hong-te-it-kiam' atau djago pedang nomor satu diwilajah timur. Tapi iapun tidak enak untuk menanja, ia menurut dan melangkah madju untuk mendjura.

Dengan ketawa2 Tjiok-djing-tju berkata: Wah, katjang memang tidak meninggalkan landjarannja, ajahnja gagah, puteranja ternjata djuga ganteng tampan. Sebagai keturunan keluarga Toan dari Tayli, tentu ilmu silatnja djuga hebat." Sembari berkata ia terus ulur kedua tangannja untuk membangunkan Toan Ki dengan maksud sekalianmendjadjal kepandaiannja.

Karuan jang kuatir adalah Toan Tjing-sun, tjepat ia berseru Hati2 Hidung-kerbau, puteraku ini tidak pernah beladjar silat apa2!"

Belum lenjap suaranja, tangan Tjiok-djing-tju sudah menjentil tangan Toan Ki, mendadak perasaannja tergetar, tenaga dalam jang dikerahkannja tadi tahu2 lenjap sirna seperti lempung ketjemplung laut, bahkan tiba2 terasa dari tangan Toan Ki timbul sematjam daja sedot jang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalamnja setjara paksa.

Tjiok-djing-tju sudah mendjeladjah kemanapun, pengetahuan dan pengalamannja sangat luas, dalam kedjutnja segera ia menduga "Bukankah ini adalah Hua-kang-tay-hoat dari aliran Sing-siok-hay di Kun-lun-san? Keluarga Toan dari Tayli adalah Beng-bu-tjing-pay, kenapa mempeladjari ilmu sesat jang dikutuk oleh sesama Bu-lim ini?"

Segera iapun kerahkan tenaga, tangannja membalik terus mengeblak punggung tangan Toan Ki hingga daja lengket tadi terlepas.

Karuan Toan Ki meringis kesakitan se-akan2 tulang tangannja dipatahkan, pikirnja dengan gusar: "Aku memberi hormat dengan baik padamu, kenapa malah memukul aku?"

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Tjiok-djing-tju telah salah sangka dia menggunakan "Hua-kang-tay-hoat" atau ilmu melenjapkan kepandaian orang untuk menjerangnja. Siapa sadja juga terkena sedotan Hua-kang-tay-hoat, seketika antero kepandaian jang pernah dilatihnja akan lumpuh mendjadi nihil. Tjuma Hua-kang-tay-hoat memang gunanja untuk melenjapkan ilmu orang hingga sang korban akan kembali seperti orang biasa, djadi merugikan orang dan tidak membawa untung bagi diri sendiri. Sebaliknja "Tju-hap-sin-kang" jang dimiliki Toan Ki tanpa sadar itu mempunjai kasiat menjedot Lwekang orang untuk memupuk tenaga dalam sendiri, setiap kali djatuh korban, setiap kali pula tenaga dalam sendiri akan bertambah. Sebab itulah dalam persentuhan tangan Tjiok-djing-tju dan Toan Ki tadi kontan ada sebagian ketjil dari tenaga dalam Tjiok-djing-tju telah disedot oleh Toan Ki.

Melihat sikap Tjiok-djing-tju itu agak aneh, Po-ting-te dan lain2 mendjadi heran. Tjing-sun berkuatir djuga kalau putera kesajangannja dilukai imam itu, tjepat ia mengadang madju dan berkata dengan tertawa: Sudah sekian lamanja tidak berdjumpa, sekali ketemu, Hidung-kerbau hendak memberi hadiah apa kepada puteraku ini?" Berbareng ia sudah ber-siap2 kalau imam itu menjerang lagi. Ia tahu Tjiok-djing-tju sangat lihay, asal Toan Ki terkena serangannja, kalau tidak mati djuga tentu terluka parah.

Maka terdengar Tjiok-djing-tju mendjawab dengan tertawa dingin Huh, It-yang-tji dari keluarga Toan sudah termasjhur diseluruh djagat, buat apa mesti mempeladjari lagi ilmu sesat dari iblis tua Sing-siok-hay?"

Apa katamu? Ilmu sesat dari iblis tua di Sing-siok-hay? Apa engkau maksudkan 'Hua-kang-tay-hoat' itu?" tanja Tjing-sun heran. Dan siapa jang kau katakan mempeladjarinja?"

Hm, puteramu ini telah masuk kegolongan menjesatkan itu, apa tidak kuatir bikin kotor nama baik keluarga Toan di Tayli sini?" djengek Tjiok-djing-tju.

Tjing-sun bertambah heran dan menjangka orang maksudkan peristiwa Lam-hay-gok-sin itu. Maka dengan tertawa katanja pula: "Tentang Lam-hay-gok-sin itu memang benar dia telah penudjui anakku ini dan ingin menerimanja sebagai murid. Tapi kedjadiannja adalah terbalik hingga dia jang telah mengangkat guru pada anakku. Hal itu hanja main2 sadja dan takbisa dianggap sungguh2."

Namun Tjiok-djing-tju menggeleng kepala, sahutnja: Meski ilmu silat Lam-hay-pay tjukup hebat, tapi belum tentu mahir 'Hua-kang-tay-hoat' ini."

Ber-ulang2 Hidung-kerbau bitjara tentang Hua-kang-tay-hoat sadja, sebenarnja apa2an maksudmu ini?" tanja Tjing-sun bingung.

Karuan Tjiok-djing-tju mendongkol. Betapapun tak tersangka olehnja bahwa Tju-hap-sin-kang? jang dimiliki Toan Ki itu bukan sadja tak diketahui ajah dan pamannja, bahkan pemuda itu sendiri pun tidak tahu-menahu.

Maka mendadak ia berbangkit dan berkata, Engkau memang tidak tahu atau berlagak pilon? Aku orang she Tjiok meski orang pegunungan dan suka kelajapan di Kangouw, tapi kedua kakiku ini pun bukan tjetakan dari besi, djauh-djauh dari Kanglam kudatang kemari, kau kira tujuanku melulu hendak minta setjangkir teh ini? Djika kalian tidak anggap aku sebagai kawan, biarlah sekarang djuga aku akan pamit.?

Habis berkata, terus sadja ia bertindak keluar.

Hek-kin, Thian-sik, rintangi Hidung-kerbau itu, minta pendjelasan padanja,? seru Po-ting-te dengan tersenjum. Para kawan sudah datang di Tayli, tanpa makan minum lebih dahulu masakan lantas mau angkat kaki begitu sadja??

Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Tjiok-djing-cu, dengan terbahak-bahak tjepat mereka melompat ke ambang pintu untuk merintangi. Hahaha, Tjiok-lauto, kau datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu tandanja engkau bermaksud baik serta mengindahkan Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanja tidaklah mudah!?

Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan padanja, pikiran Tjiok-djing-tju tergerak pula, Rasanja keluarga Toan tidak mungkin mengidjinkan anak-tjutjunja beladjar ilmu siluman dari Sing-siok-hay jang kotor itu. Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinja, di luar tahu ajah dan pamannja? Kalau kubongkar rahasianja itu berarti aku akan mengikat permusuhan dengan pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ajah dan pamannja adalah lain daripada jang lain, kalau tahu sesuatu tak boleh kutinggal diam.?

Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh, Toan-kongtju, djelek-djelek Tjiok-djing-tju adalah angkatan lebih tua daripadamu. Sekarang aku mempunjai suatu pertanjaan, mengingat hubunganku dengan ajah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap engkau djangan marah.?

Tjiok-totiang mempunjai petundjuk apa, silakan bitjara, aku akan terima dengan hormat,? sahut Toan Ki.

Diam-diam Tjiok-djing-tju membatin botjah ini masih tetap berlagak pilon. Segera katanja, Sudah berapa lama Toan-kongtju berhasil mempeladjari Hua-kang-tay-hoat? Gurumu adalah Tjindjin jang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siok-hay itu??

Toan Ki mendjadi bingung, ia garuk-garuk kepala, sahutnja:Hua-kang-tay-hoat dan iblis tua dari Sing-siok-hay apa? Wanpwe baru sekarang mendengar nama2 itu."

Pikir Tjiok-djing-tju mungkin orang jang mengadjar Toan Ki itu sengadja tidak mengatakan asal-usul dan nama perguruannja itu. Maka tanjanja pula: Habis, darimana engkau beladjar ilmu itu, bagaimana wadjah orang itu?"

Wanpwe tidak pernahbeladjar silat apa2," sahut Toan Ki.

Dan pada saat itu djuga, se-konjong2 dari ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan Toan Ki terus ditjengkeramnja. Kiranja orangituadalah Ui-bi-tjeng.

Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika badan paderi itu tergetar, tenaga dalam tubuh se-akan2 membandjir keluar tak terhentikan. Tanpa pikir lagi Ui-bi-tjeng ajun kakinja hingga Toan Ki didepak terdjungkal.

Tentu sadja semua orang kaget, be-ramai2 mereka berbangkit dan menanjakan ada apa?

Kedua Toan-heng, botjah ini akan kalian binasakan sendiri atau biar Lotjeng jang membereskannja?" tanja Ui-bi-tjeng tiba2 dengan suara gemetar dan ber-kerut2 mukanja.

Kiranja ber-turut2 Boh-tam berenam telah sadar kembali dan telah mentjeritakan kedjadian tenaga dalam mereka disedot habis2 an oleh Toan Ki. Karena itu timbul pendapat Ui-bi-tjeng jang berlainan daripada Tjiok-djing-tju. Paderi itu menjangka Toan Ki telah membalas susu dengan air tuba, ditolong malah mentung dan merusak Lwekang keenam muridnja itu. Apalagi waktu tangannja memegang tangan pemuda itu, seketika tenaga dalam sendiri djuga akan diisap, maka ia mendjadi lebih jakin lagi akan tjerita murid2-nja itu.

Mula2 Po-ting-te dan lain2 merasa heran ketika mendengar utjapan Tjiok-djing-tju tadi, mereka mengira imam jang biasanja djenaka itu sedang membadut. Tapi kini demi nampak sikap Ui-bi-tjeng jang sungguh2 itu, barulah mereka insaf urusan benar2 sangat gawat.

Segera Po-ting-te pegang djuga tangan Toan Ki hendak menjeretnja bangun. Ketika tangan menempel tangan, tiba2 hatinja tergetar djuga, tenaga dalamnja terus merembes keluar. Tjepat ia tahan sekuatnja, berbareng lengan djubahnja mengebas hingga Toan Ki digentak kesamping beberapa tindak. Lalu bentaknja dengan suara bengis: "Sedjak kapan kau dapat beladjar sesat begini."

Sedjak ketjil sampai dewasa, djarang sekali Toan Ki melihat pamannja itu bitjara dengan suara bengis padanja. "Saking gugupnja terus sadja ia berlutut dan mendjawab: "Ketjuali 'Leng-po-wi-poh' itu, selamanja anak tidak pernah beladjar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu gerak langkah itu ternjata sedjahat ini. Djika............ djika demikian biarlah anak takkan menggunakannja lagi mulai sekarang, bahkan akan kulupakan sadja seluruhnja."

Po-ting-te tjukup kenal watak keponakannja itu jang teguh, selamanja tidak pernah berdusta, terhadap orang tua djuga sangat menghormat, maka apa jang dikatakan pasti tidak salah. Tentu didalamnja ada sesuatu jang gandjil, maka katanja pula: Kau menggunakan ilmu untuk melenjapkan tenagaku, hal ini sengadja engkau lakukan atau karena terpaksa sebab mendapat tekanan dari orang lain?"

Toan Ki bertambah heran dan bingung:Titdji ben............... benar2 tidak tahu sama sekali, darimana Titdji berani melenjapkan tenaga paman? Hakikatnja Titdji tidak bisa sesuatu ilmu apa2!"

Tadi waktu Hui-tjin dan Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui jang diagungkan, Si Pek-hong tidak bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menjingkir kedalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa putera kesajangannja itu didepak terdjungkal oleh Ui-bi-tjeng, pula sedang ditegur oleh Po-ting-te, saking gugupnja terus sadja ia keluar kembali. Dan ketika melihat Toan Ki lagi berlutut dilantai dihadapan sang paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu jang maha kasih, segera ia mendekati untuk menarik bangun sang putera sambil berkata: Ki-dji, djangan kuatir, segala urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh.................." se-konjong2 ia merasa tangannja jang memegangi tangan sang putera itu se-akan2tersedot dan tenaga dalamnja terus merembes keluar tak terhentikan.

Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah ber-siap2, tjuma diantara ipar tiada boleh bersentuhan badan, maka tidak enak untuk menarik tangan Si Pek-hong, tapi tjepat ia kebas lengan djubahnja hingga berdjangkit serangkum angin keras ke-tengah2 kedua orang itu, dengan paksa ia pisahkan daja lengket daripada tangan ibu dan anak itu.

"Kenapa kau............ kau............" seru Si Pek-hong kaget setelah dapat menarik kembali tangannja. "Melihat kelakuan sang ibu jangkaget dan gugup itu, Toan Ki masih belum sadar kalau dirinja jang mendjadi gara2, tapi tjepat ia berbangkit hendak memajang sang ibu.

"Djangan Ki-dji!" lekas2 Tjing-sun mentjegahnja sambil mengadang diantara isteri dan anaknja itu.

Maka sekarang tahulah semua orang kalau pada badan Toan Ki itu ada sesuatu jang tidak beres, tapi merekapun tidak tjuriga lagi bahwa pemuda itu mahir "Hua-kang-tay-hoat" dan sengadja hendak mentjelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari sikap Toan Ki jang polos dan lugu itu, sedikitpun tidak ber-pura2 atau palsu. Pula, seumpama pemuda itu benar2 djahat dan kedji, rasanja djuga tidak mungkin Untuk membunuh ibu kandung sendiri.

Ui-bi Taysu, Tjiok-totiang," tiba2 Sing-thay berkata, "apakah sebabnja Toan-kongtju bisa begitu? Hajolah, tjoba siapa jang lebih dulu dapat menerangkan!"

Mendengar itu, Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju saling melotot sekali, lalu sama2 memeras otak untuk menemukan djawaban dari persoalan itu.

Kiranja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju sebenarnja adalah dua kawan karib dimasa dulu. Suatu kali, karena berdebat tentang agama jang dianut masing2 itu, keduanja sama2 tidak mau mengalah hingga achirnja saling gebrak dengan ilmu silat. Tapi karena kepandaian masing2 mempunjai keunggulannja sendiri2, maka kekuatan kedua pihak boleh dikata setali-tiga-wang alias sama kuat. Beberapa kali mereka pernah bergebrak bertanding, pada pengabisan kalinja, hampir-hampir keduanja menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te jang telah memisahkan mereka dengan Lwekangnja jang tinggi, tapi ketiga orang telah menderita kerugian tenaga dalam jang besar hingga perlu merawat diri untuk waktu tjukup lama. Sedjak itu satu Hwesio dan satu Tosu itu bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga harini djusteru saling berdjumpa pula didalam istana pengeran Tin-lam-ong ini.

Ko Sing-thay bermaksud melenjapkan persengketaan diantara kedua tokoh itu, maka sengadja ia kemukakan persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu bertanding ketjerdasan otak, tapi tidak bertanding dengan ilmu silat, dan djika pertanjaannja tadi dapat dimenangkan oleh salah satu pihak, ia harap dapatlah mengachir pertjetjokan diantara kedua orang itu.

Pertanjaan Ko Sing-thay itu sebenarnja lebih menguntungkan Tjiok-djing-tju, sebab djedjak imam itu telah mendjeladjah kemana sadja, dengan pengalamannja jang luas itu terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-tjeng jang sudah sekian lamanja terasing dipegunungan sunji.

Namun biarpun Ui-bi-tjeng tidak tahu apa sebabnja Toan Ki mendjadi begitu, bagi Tjiok-djing-tju, ketjuali menduga kepandaian pemuda itu adalah Hua-kang-tay-hoat adjaran iblis tua dari Sing-siok-hay, lebih dari itu iapun tidak bisa mengemukakan sesuatu logika Iain.

Maka dengan gusar Tjing-sun kemudian berkata: "Ketika Ki-dji dikeram didalam rumah batu itu, tentu dia telah ditjekoki sesuatu obat ratjun apa2 oleh Djing-bau-khek itu hingga ada ilmu sihir menggemblek dalamtubuhnjatanja disadarinja."

Ja, masuk diakal djuga pendapatmu ini," udjar Po-ting-te mengangguk. "Tentu Ki-dji telah terkena apa2nja, makanja bisa begini. Ki-dji, tjoba katakan, waktu dikurung didalam rumah batu itu, apakah kau pernah pingsan?"

Pernah," sahut Toan Ki. "bahkan beberapa kali Titdji tak sadarkan diri."

"Itulah dia!" seru Tjing-sun. "Pasti kesempatan diwaktu Ki-dji tak sadar itu telah digunakan oleh Djing-bau-khek untuk memasukan ilmu sihir jang bisa menghapuskan kepandaian orang kedalam badannja. Maksud tudjuannja tentu setjara tak langsung Ki-dji hendak dipakai untuk mentjelakai sanak pamilinja, jaitu supaja ilmu kepandaian kita akan lenjap semua ditangannja Ki-dji. Sungguh tipu muslihat jang kedji ini harus dikutuk. Toako, urusan tidak boleh terlambat, marilah kita harus segera mentjari akal untuk melenjapkan ilmu sihir didalam tubuh Ki-dji itu."

Dan diantara semua orang itu, dengan sendirinja Si Pek-hong jang paling kuatir, tanjanja tjepat: "Ki-dji, apakah kau merasa badanmu ada menderita sesuatu?"

Toan Ki mengkerut kening, sahutnja: "Antero tubuhku terasa penuh terisi hawa belaka, di-mana2 se-akan2 melembung dengan hebat, tapi djusteru susah untuk dimuntahkan keluar. Hawa itu terasa meresap kesana-kesini didalam badan, mungkin seluruh isi perutku telah katjau-balau diterdjang olehnja."

O, kasihan!" seru Si Pek-hong terus hendak merangkul sang putera.

Sjukur Tjing-sun keburu mentjegahnja dari samping sambil berkata: "Djangan menjentuh Ki-dji! Badannja keratjunan."

"Badan keratjunan", memang demikianlah pendapat semua orang jang hadir disitu. Mereka mendjadi kasihan dan gegetun pemuda jang tampan itu mesti menderita penjakit jang aneh itu.

"Toapek, kita harus lekas berdaja untuk menjembuhkan Ki-dji," pinta Si Pek-hong kepada Po-ting-te.

"Harap Tehu (adik ipar) djangan kuatir," sahut Po-ting-te. Didepan kita sudah siap satu Hwesio dan satu Tosu, keduanja adalah tokoh nomor wahid dalam Bu-lim, jang satu tadi telah maki Ki-dji habis2an, jang lain bahkan telah menendangnja hingga terdjungkal, dengan sendirinja penjakit Ki-dji ini wadjib mereka sembuhkan."

Saat itu Ui-bi-tjeng dari Tjiok-djing-tju djusteru sedang peras otak memikirkan penjakit apa jang diderita Toan Ki itu. Maka apa jang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali tak masuk dalam telinga mereka.

Se-konjong2 Ui-bi-tjeng berteriak: He, ja!"

Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandangan kepadanja. Siapa duga paderi itu lantas gojang2 tangannja dan menjatakan dengan menjesal: Ah, salah, salah! Obat ratjun itu melulu dapat merusak kepandaian sendiri, tapi takbisa melenjapkan kepandaian pihak lain."

Pendjelasan itu membikin semua orang merasa ketjewa, kembali mereka muram.

Tiba2 Tjiok-djing-tju djuga berseru: "Ja, tentulah begitu!"

Bagus!" teriak Sing-thay ikut bergirang. Nah, apa sebabnja, lekas katakan?"

Dengan ber-seri2 segera Tjiok-djing-tju bertjerita: "Diluar lautan dipantai Liautang terdapat sebuah pulau ular................... pulau ular............" tiba2 wadjahnja jang berseri tadi semakin membujar hingga achirnja berubah mendjadi lesu, ia geleng2 kepala dan menjambung: Wah, salah rekaanku, tak mungkin terdjadi begini."

Begitulah, suasana didalam ruangan itu mendjadi sunji senjap, tiada seorang pun jangmembuka suara lagi.

Dalam keadaan hening itulah, terdengar diluar ada tindakan orang mendatang dan segera ada suara seorang berseru: "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata2 musuh jang pura2 tuli dan bisu telah tertawan diluar, pada mereka terdapat tulisan2 jang takbisa diampuni." Kiranja jang lapor itu adalah Thaykam pelapor.

Mendengar kata2 tuli dan bisu", pikiran Po-ting-te tergerak, tjepat tanjanja: "Apakah benar2 orang bisu atau disebabkan lidah mereka telah terpotong?"

"Baginda memang maha sakti, lidah kedua mata2 itu memang bekas terpotong," sahut Thaykam itu diluar.

Po-ting-te memandang sekedjap kepada Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju dan Toan Tjing-sun, diam2 ia membatin: "Njata Liong-ah Lodjin djuga sudah muntjul, kesulitan2 selandjutnja tentu djuga semakin banjak lagi." Segera iapun berkata: Thian-sik, tjoba kau keluar membawa masuk kedua tamu itu!"

Thian-sik memberi hormat sambil mengia, lalu bertindak keluar.

Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa dua pemuda jang berusia antara 18 atau 19 tahun dan memberi lapor: Tjong-pian Siansing mengirim utusan untuk menghadap Sri Baginda."

Kiranja apa jang disebut Liong-ah Lodjin atau sikakek tuli-bisu itu djusteru sengadja memakai gelaran "Tjong-pian Siansing" atau sitadjam telinga dan tangkas mulut. Maksudnja mengadakan meski kupingnja budek, tapi dapat

mendengar lebih djelas dari orang lain; meski bisu, namun kalau bitjara sebenarnja djauh lebih tangkas daripada perdebatan siapapun.

Nama tokoh tuli-bisu itu sangat tenar didunia persilatan, tindak-tanduknja agak aneh, tidak sutji djuga tidak djahat. Kalau ada orang jang bermusuhan dengan dia, maka tjelakalah orang itu, selama hidupnja pasti akan selalu terlibat dalam pertempuran dengan kakek tuli-bisu itu, kalau sakit hatinja belum terbalas, tentu belum Selesai urusannja. Sebab itulah, siapapun djuga, baik ilmu silatnja sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu, tentu mengindahi dan menghormatinja untuk menghindari kesukaran2 jang mungkin terdjadi.

Sikap kedua pemuda tadi ternjata tjukup gagah, wadjah putih bagus, semuanja memakai badju putih, tapi dibagian dada tertulis dua baris huruf: "Utusan Tjong-pian Siansing ada sesuatu urusan hendak menjampaikan kepada Toan Tjing-beng Siansing dari Tayli".

Sebagai radja, nama Tjing-beng" dinegeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut oleh siapapun. Tapi tulisan didada badju pemuda itu terang2an menjebut Tjing-beng Siansing" tanpa sesuatu sebutan kebesaran lain, dengan sendirinja oleh Thaykam tadi dianggap suatu perbuatan jang berdosa.

Namun Po-ting-te hanja tersenjum sadja, katanja: Tjong-pian Siansing ternjata sudi menjebut Siansing padaku, halmana sudah boleh dikatakan mengindahkan diriku."

Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te, mereka hanja menghormat dengan membungkukan badan, tapi tidak berlutut dan mendjura.

Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis diatas setjarik kertas: "Tjong-pian Siansing mempunjai, urusan apa, boleh segera lapor kepada Hongsiang."

Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lodjin itu luar biasa anehnja. Setiap anak murid atau pengikutnja, semuanja dipotong lidah dan dirusak anak telinganja hingga berwudjud orang tuli-bisu seperti dia sendiri, supaja tidak bisa mendengar pembitjaraan orang, tapi diri sendiri djuga tidakbisa bitjara. Peraturannja jang aneh dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw umumnja.

Maka untuk mendjawab pertanjaan Thian-sik itu, dengan sendirinja kedua pemuda itu takbisa bitjara, tapi pemuda sebelah kiri lantas menanggalkan buntalan jang dibawanja, ia mengeluarkan sepotong badju wanita warna djambon dan dikenakan dibadan sendiri, lalu mengeluarkan bedak dan gintju untuk bersolek sekedarnja dimuka sendiri. Pemuda jang lain lantas membantu kawannia itu melepaskan rambutnja untuk dikepang mendjadi dua kutjir serta diberi berpita merah pula hingga merupai dandanan gadis remadja.

Melihat kelakuan mereka, semua orang mendjadi heran dan geli pula. Tapi tiada seorangpun jang dapat membade apakah maksud tudjuan Liong-ah Lodjin dengan mengirimkan dua utusannja ini.

Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang gadis, lalu ia berdjalan beberapa tindak dengan berlenggak-lenggok, kemudian ber-lompat2 dan ber-djingkrak2 sebagaimana lazimnja gadis remadja jang lintjah dan riang.

Meski, geli melihat kelakuan pemuda jang menjamar sebagai gadis itu, namun semua orang menduga tindakan Liong-ah Lodjin ini tentu mempunjai maksud jang dalam, maka tiada seorang pun jang berani tertawa. Hanja Toan Ki sadja jang tidak kenal siapakah gerangan Liong-ah Lodjin itu, dengan bertepuk tangan ia lantas menanja dengan tertawa: Haha, kau berperan sebagai nona tjilik, dan dia mendjadi siapa lagi?"

Pemuda jang lain ternjata tidak menjamar apa2, tapi ia sengadja mendongak dan berdjalan dengan membusung dada se-akan2 dunia ini aku punja. Dengan lagak tuan besar ia berdjalan satu putaran diruangan itu. Ketika sampai didepan gadis remadja" tadi, tiba2 ia mengamat-amatinja dengan ter-senjum2, bahkan terus mentjubit pelahan sekali dipipi gadis palsu itu.

Gadis palsu itu tampak tersenjum dan bibirnja ber-gerak2 menandakan telah berbitjara apa2. Mendadak pemuda itu tempelkan mukanja dan mentjium sekali pipi sigadis palsu. "Plak", tiba-tiba Sigadis palsu memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor itu. Namun dengan tjepat pemuda itu lantas djulurkan djari telundjuknja menutuk keiga sigadis palsu.

Melihat gerakan tutukan djari itu, seketika Po-ting-te, Toan Tjing-sun, Ko-Sing-thay, Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Hoa Hek-kin dan kawan2nja sama terkedjut semua hingga bersuara heran. Bahkan saking heran Tjing-sun dan Tjiok-djing-tju berbangkit dari tempat duduknja.

Kiranja tutukan djari jang digunakan pemuda itu, baik gajanja, maupun tempat jang diarah, persis adalah kepandaian tunggal keluarga Toan, jaitu "It-yang-tji" jang hebat itu.

Gerak tutukan It-yang-tji" itu tampaknja tidak sulit, tapi sebenarnja membawa perubahan jang tak terkatakan hebatnja, sekali tutuk, baik tempat jang diarah atau djaraknja, sedikitpun tidak boleh salah, kalau tidak, daja tekanannja lantas takbisa dilontarkan seluruhnja.

Meski Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Ko Sing-thay dan Iain-lain tidak pernah beladjar ilmu itu, tapi hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat rapat, maka benar atau salah It-yang-tji jang digunakan itu tjukup diketahui mereka.

Merekapun tahu ilmu silat Liong-ah Lodjin itu adalah suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama sekali berbeda seperti It-yang-tji jang mengutamakan kekerasan. Tapi mengapa anak muridnja ini djuga dapat mempeladjari ilmu tutukan djari itu?

Hanja sekedjapan itu sadja rasa heran semua orang, sebab ditengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika melihat lawan menutuk iganja, tiba2 sigadis palsu tadi mengulur tangannja an dengan tjepat dapat menangkap djari lawan. "Krek", tahu2 Jang djari sipemuda dipatahkannja.

Serangan balasan sigadis palsu ini mesti dilakukan dengan sangat aneh dan tjepat, namun dapat diikuti semua orang dengan djelas Tapi tiada seorangpun menduga sebelumnja bahwa gadis palsu itu bisa melontarkan tipu serangan itu.

Maka menjusul pemuda tadi telah melangkah madju, kembali djari tangan kiri menutuk pula kedada sigadis palsu, tipu serangan jang dipakai tetap bergaja It-yang-tji. Tapi ketika kedua tangan sigadis palsu menjamber, krek", lagi2 djari pemuda itu dipatahkan.

Meski dua djarinja sudah patah, namun pemuda itu seperti tidak kenal apa artinja sakit, ia masih tetap menjerang terus, hanja sekedjap sadja kembali ia keluarga enam gerakan tipu It-yang-tji. Tapi gadis palsu itupun dapat menangkis dengan tepat dan menggunakan enam gerakan jang ber-beda2 untuk mematahkan enam djari sipemuda.

Karena delapan djarinja telah dipatahkan dan tinggal dua buah djari djempol sadja, pemuda itu tidak berani menjerang pula, ia putar tubuh terus melarikan diri kesamping. Sigadis palsu ber-tepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda sangat senang. Menjusul ia lantas ambil pensil dan menulis diatas kertas: "Keluarga Toan dari Tayli, takbisa menangkan Bujung di Koh-soh" Habis tulis, segera sipemuda jang patah djarinja itu digandengnja pergi.

Nanti dulu!" segera Thian-sik bermaksud mentjegat.

Namun Po-ting-te telah gojang2 kepala dan berkata: "Biarkan mereka pergi!"

Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua orang mendjadi tertekan, mereka paham bahwa maksud Liong-ah Lodjin mengirim kedua utusannja itu adalah untuk menundjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Tjing-sun bahwa orang she Bujung di Koh-soh itu sudah mempunjai ilmu jang chusus untuk mematahkan It-yang-tji.

Walaupun lt-yang-tji itu kalau dimainkan oleh Po-ting-te atau Toan Tjing-sun daja tekanannja tentu djauh lebih lihay daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama halnja pihak lawan tadi djuga tjuma seorang gadis remadja sadja, kalau orang dewasa jang memainkan, dengan sendirinja kekuatannja djuga djauh lebih hebat.

Jang harus dipudji adalah sipemuda bisu-tuli tadi ternjata bisa menirukan gerakan kedelapan djurus It-yang-tji dengan sangat tepat, meski tjara mengerahkan tenaganja masih banjak kesalahannja tapi gajanja jang indah itu sedikitpun tidak keliru. Sebaliknja tjara sigadis palsu itu mematahkan djarinja itu ter-lebih2 hebat dan aneh pula, perubahan2nja ternjata susah diduga.

Namun Po-ting-te ternjata tidak mau mempersoalkan hal itu dengan tersenjum ia tanja Tjiok-djing-tju: "Tjiok-toheng, djauh2 kau datang kemari, apakah ada djuga hubungannja dengan persoalan orang Bujung di Koh-soh itu?"

Tidak, tiada sangkut-pautnja dengan orang Bujung di Koh-soh itu," sahut Tjiok-djing-tju menggeleng kepala. Tapi sebaliknja besar sangkut-pautnja dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan-keh kalian telah keterlaluan menggemparkan kota Yangtjiu. Kaisar keradjaan Song mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang2 Bu-lim dari Tionggoan jang telah merasa penasaran padamu."

Karuan, Po-ting-te terkedjut, tjepat tanjanja: Manabisa djadi begitu? Keturunan keluarga Toan kami melulu Ki-dji seorang, tapi selamanja ia tidak pernah meninggalkan wilajah Tayli, darimana bisa mengatjau kekota Yangtjiu?"

Yang-tjiu-sam-hiong, jaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, anggota keluarga laki2 mereka jang berdjumlah 28 djiwa dalam semalam sadja telah tewas semua dibawah tutukan It-yang-tji", demikian tutur Tjiok-djing-tju. "Toan-hongya, katakanlah, dosa apakah Yang-tjiu-sam-hiong itu terhadap Toan-keh kalian?"

28 djiwa mati semua dibawah tutukan It-yang-tji, apa betul2 dan tidak salah lihat, Tjiok-toheng?" sahut Po-ting-te.

Tjara It-yang-tji membunuh orang sangat halus, pihak jang terkena, seluruh badannja terasa nikmat, anggota badannja djuga hangat2 tanpa derita sedikitpun, makanja sang korban tetap bersenjum tanpa sesuatu luka, betul tidak begitu tanda terkena It-yang-tji?" tanja Tjiok-djing-tju.

"Sedikitpun tidak salah tjara Hidung-kerbau melukiskan itu, se-akan2 dia sendiri pernah mengitjipi rasanja It-yang-tji", udjar Tjing-sun dengan tertawa.

Namun Tjiok-djing-tju tidak bisa tertawa lagi, katanja dengan sungguh2: "Anggota keluarga Yang-tjiu-sam-hiong jang terbunuh itu itu semuanja mati dengan wadjah tersenjum, diatas badan merekapun tiada sesuatu tanda luka apa2."

Tapi majat mereka lemas seperti orang hidup, sedikitpun tidak kaku, bukan?" sela Tjing-sun.

Ja," sahut Tjiok-djing-tju. Kita tahu ada beberapa matjam ratjun bila sudah membinasakan orang, wadjah sang korban djuga tampak ter-senjum2, namun tiada sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini jang bisa mendjadikan majat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikitpun seperti halnja korban jang terkena It-yang-tji."

"Tapi diantara anak murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu Ki-dji seorang sadja, sedangkan dia sampai sekarang masih belum pernah beladjar It-yang-tji," udjar Tjing-sun.

"Tjiok-toheng," kata Po-ting-te. Kau bilang anggota keluarga Yang-tjiu-sam-hiong jang terbunuh itu adalah kaum laki2 semua, djika begitu, kaum wanitanja tentunja masih hidup dan telah melihat wadjah sipembunuh itu?"

Menurut tjerita He-hudjin dan Ong-hudjin, katanja pembunuh itu memakai kedok kain hidjau, maka mukanja tidak djelas kelihatan, tjuma menurut taksiran terang usianja masih muda," sahut Tjiok-djing-tju.

Po-ting-te menghela napas dan memandang sekedjap kepada Toan Tjing-sun.

Maka berkatalah Tjing-sun: Tjiok-toheng, puteraku ini bisanja kemasukan ilmu sihir dalam badannja, orang jang mentjeiakainja itu djusteru adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal sebagai 'Thian-he-te-it-ok-djin' (orang djahat nomor satu didjagat ini)." Lalu iapun mentjeritakan tjara bagaimana Toan Ki telah ditjulik dan dikurung oleh

Yan-king Thaytju didalam rumah batu itu. kemudian Ui-bi-tjeng telah berusaha menolongnja.

Pertandingan antara Yan-king Thaytju dan Ui-bi-tjeng sebenarnja jang tersebut belakangan itu telah kalah, tapi Tjing-sun sengadja bilang Yan-king Thaytju jang telah salah djalankan tjaturnja hingga mengaku kalah.

Karena itu Ui-bi-tjeng lantas berkata: Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang2an aku jang kalah. Toh seumpama Gu-pit-tju jang harus melawan Yan-king Thaytju, dia djuga pasti akan kalah."

Ah, belum tentu," sahut Tjiok-djing-tju.

"Djika begitu, marilah kita boleh tjoba2 satu babak," kata Ui-bi-tjeng.

"Bagus, aku djusteru ingin minta petundjuk padamu," kontan Tjiok-djing-tju terima tantangan itu.

"Hahaha, sungguh mentertawakan orang, haha!" tiba2 Ui-bi-tjeng ter-bahak2.

"Apakah jang menggelikan kau?" tanja Tjiok-djing-tju mendongkol.

"Aku tertawa karena ada orang jang begitu geblek," sahut Ui-bi-tjeng. "Sudah terang kedjahatan itu dilakukan anak muridnja Toan Yan-king, tapi Toan-hongya jang dimintai tanggung djawabnja."

Muka Tjiok-djing-tju mendjadi merah, sahutnja: "Emangnja kalau anak muridnja Toan Yan-king itu bukan anak murid da keluarga Toan? Toan Yan-king itu she Toan atau bukan?"

Ah, pokrol bambu!" sahut Ui-bi-tjeng.

Ah, ngatjo-belo!" djengek Tjiok-djing-tju tak mau kalah.

Po-ting-te sudah biasa menjaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanja tersenjum sadja, katanja kemudian: Tjong-pian Siansing telah menjaksikan gadis keluarga Bujung mematahkan ilmu It-yang-tji, boleh djadi sipemuda jang tjoba menggoda sigadis jang dimaksudkan itulah sipembunuhnja Yang-tjiu-sam-hiong itu." Bitjara sampai disini, tiba2 sikapnja berubah kereng, katanja pula: Sun-te, menurut pesan leluhur, soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, sudah tentu kita tak boleh ikut tjampur. Tapi sekarang ternjata ada orang telah menggunakan It-yang-tji untuk melakukan

kedjahatan diluaran, hal mana rasanja keluarga Toan kita tidak boleh tinggal diam lagi."

Benar," sahut Tjing-sun.

Dalam hati kedua saudara itu sebenarnja mempunjai sesuatu pikiran jang sama, tjuma tidak mereka katakan. Kalau ternjata orang she Bujung di Koh-soh itu mampu menggunakan ilmu jang sangat lihay untuk mematahkan djari anak murid keluarga Toan dan hal itu didiamkan sadja, tentu nama baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.

Maka Po-ting-te lantas berkata: "Sun-te segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga tokoh dan empat djago, maksudnja Pah Thian-sik bertiga dan Leng Djian-li berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-tju Taysu, sekalian boleh djuga beladjar kenal dengan ilmu silat keluarga Bujung di Koh-soh jang lihay itu. Yan-king Thaytju adalah keturunan lurus dari mendiang radja jang dulu, kalau ketemu dia, hendaklah berlaku sopan dan menghormatinja. Kalau anak muridnja ada berbuat sesuatu jang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu menangkapnja dan serahkan pada Yan-king Thaytju untuk dihadjar sendiri, kita djangan sembarangan mentjelakai mereka."

Tjing-sun dan tiga tokoh serta empat djago sama mengia menerima titah baginda itu.

Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta, dengan tersenjum Po-ting-te berkata: Diago2 kita se-akan2 dikerahkan semua, maka biarlah Sian-tan-hou

tinggal dirumah untuk membantu aku sadja."

Ko Sing-thay mengiakan titah baginda itu.

Pekhu," tiba2 Toan Ki berkata, "bolehkah Titdji ikut pergi bersama ajah untuk menambah pengalaman?"

Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnja: "Badanmu masih keselurupan, aku masih harus menjembuhkan kau, apalagi kau takbisa ilmu silat, kalau ikut pergi, mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita sadja."

Wadjah Toan Ki mendjadi merah, dan baru sekarang ia menjesal mengapa dahulu tidak beladjar silat hingga kini takboleh ikut pesiar ke Tionggoan jang indah permai itu.

Dalam pada itu perdjamuan untuk menjambut kedatangan Tjiok-djing-tju lantas dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki duduk menjendiri orang lain tiada jang berani mendekatinja, sebab kuatir kalau tersentuh ratjun djahat ditubuh pemuda itu. Sudah tentu jang merasa paling kesal adalah Toan Ki karena se-akan2 terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni didalam badannja masih terus bergolak karena takbisa dipusatkan.

Semakin lama duduk disitu, semakin tak tahan Toan Ki, hanja minum dua tjawan arak ia lantas mohon diri untuk kembali kamarnja. Teringat olehnja pengalamannja jang aneh selama beberapa hari ini, ia terkenang pula pada Bok

Wan-djing dan Tjiong Ling, kedua nona djelita jang baru dikenalnja itu entah kemana perginja sekarang. Terpikir djuga olehnja puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi ~ jang telah dilamarkan oleh kedua orang tuanja itu, nona itu selamanja tak pernah dilihatnja, entah bagaimana perangainja dan tjotjok tidak dengan dirinja, pula entah tjantik atau djelek mukanja.

Begitulah Toan Ki merebah dirandjangnja dengan matjam2 pikiran jang berketjamuk dalam benaknja, sedangkan hawa murni dalam badannja masih terus bergolak tak karuan rasanja, walaupun deritanja tidak sehebat seperti berkobarnja napsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san, tapi rasanja djuga susah ditahan. Sjukurlah achirnja ia dapat pulas.

Sampai tengah malam, mendadak ia terdjaga dari tidurnja ketika merasa kedua tangannja digenggam kentjang oleh orang, dan baru sadja mulutnja terpentang hendak mendjerit, tahu2 sepotong kain sudah didjedjalkan kedalam mulutnja.

Waktu ia berpaling sedikit, dibawah sinar pelita lilin jang remang2, ia lihat sebuah wadjah jang putih tjakap sedang tersenjum padanja. Itulah Tjiok-djing-tju adanja. Tjepat ia berpaling pula kesisi lain, jang per-tama2 tertampak olehnja adalah dua djalur alis kuning jang pandjang melambai, itulah dia Ui-bi-tjeng. Muka paderi, jang kurus itupun mengundjuk senjum jang penuh welas-asih dan sedang angguk2 pelahan sebagai tanda agar pemuda itu tak perlu kuatir. Menjusul ia lantas keluarkan kain penjumbat mulut Toan Ki tadi.

Toan Ki mendjadi lega melihat kedua tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Tjiok-djing-tju sudah lantas berkata padanja: "Hiantit tidak perlu banjak adat, hendaklah kau merebah sadja dengan tenang, biar kami berdua menjembuhkan ratjun djahat dalam tubuhmu."

"Sungguh Wanpwe merasa terima kasih tak terhingga mesti bikin susah kedua Tjianpwe," kata Toan Ki.

"Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanja sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?" sahut Ui-bi-tjeng.

"Sedikit urusan? Huh, djangan membual dahulu, Hwesio", djengek Tjiok-djing-tju tiba2. Dapat tidak kita menjembuhkan dia, masih harus melihat hasilnja dulu".

Selagi Toan Ki hendak berkata pula, se-konjong2 terasa kedua telapak tangannja tergetar, dua arus hawa sekaligus telah merembes masuk berbareng dari kanan-kiri, badan Toan Ki terguntjang sedikit, mukanja mendjadi merah membara se-akan2 orang mabuk arak.

Kedua arus hawa murni itu mula2 berkeliaran kian kemari diantara urat2 nadinja, tapi kemudian semakin lemah dan semakin lambat, achirnja lantas lenjap. Menjusul mana dari telapak tangan jang dipegang Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu terasa merembes masuk lagi hawa murni jang lain.

Begitulah kira2 setanakan nasi lamanja. Toan Ki merasa separoh tubuh bagian kanan makin lama semakin panas, sebaliknja separoh tubuh sisa kiri makin lama makin dingin, jang kanan seperti dibakar, jang kiri seperti direndam es. Tapi aneh bin adjaib, biarpun panas-dingin rasanja, namun nikmatnja tak terkatakan. Ia tahu kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan Lwekang mereka jang tinggi untuk mengusir ratjun dalam tubuhnja. Sudah tentu apa jang diduga Toan Ki itu tidak benar seluruhnja. Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu entah sudah berapa puluh kali bertanding, baik mengadu ketjerdasan maupun

mengadu ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai perlombaan setjara halus, namun selalu sama kuatnja hingga susah ditentukan siapa lebih unggul.

Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula dalam perdjamuan siang tadi, keduanja sama2 masih mendongkol. Sampai tengah malam, diam2 kedua orang itu mengelojor keluar ketaman berunding tjara bagaimana harus bertanding lagi. Achirnja atjara pokok djatuh pada diri Toan Ki, mereka bersepakat untuk menjembuhkan pemuda itu sebagai batu udjian mereka.

Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang, saking banjak membuang tenaga untung ditolong oleh Po-ting-te hingga djiwa mereka dapat diselamatkan. Karena itu, sekarang mereka agin memberi djasa2 baik bagi Po-ting-te untuk mengusir ratjun dalam tubuh Toan Ki. Sebab, kalau bitjara tentang menjembuhkan penjakit dengan Lwekang didunia ini rasanja tiada jang lebih kuat da It-yang-tji, tjuma tenaga dalam jang harus dikorbankan sipemakai It-yang-tji itu terlalu besar.

Dari itu Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju telah bersepakat untuk menjembuhkan Toan Ki masing2 separoh badan, kanan dankiri, siapa jang lebih dulu berhasil, dia jang menang.

Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan kelihayan ratjun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu begitu menjenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera akan bujar. Sebab itulah, begitu mulai, terus sadja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak berani ajal, pikir mereka dengan tenaga kedua djago pilihan seperti mereka, paling2 tjuma ratjunnja tidak bersih dilenjapkan, tapi pasti tiada halangan bagi kesehatan Toan Ki.

Tak mereka duga bahwa apa jang mengeram didalam tubuh Toan Ki itu hakikatnja bukan ratjun apa segala, tapi adalah sematjam ilmu sakti jang bisa menjedot hawa murni orang jaitu tenaga sakti jang berasal dari sepasang katak

Bong-koh-tju-hap jang merupakan machluk mestika dialam ini. Karena katak2 itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka kasiat jang berada pada katak2 itu sudah terlebur didalam tubuh pemuda itu hingga tiada mungkin dilenjapkan lagi. Apalagi daja isap tenaga Tju-hap itu memang sangat kuat, ditambah lagi hawa2 murni dari Lwekang jang dilatih Boh-tam berenam, maka tenaga dalam jang dimiliki Toan Ki tatkala itu sesungguhnja sudah tidak dibawahnja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju. Tjuma sadja Toan Ki takbisa mendjalankan dan menggunakan tenaganja itu. Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu mengerahkan tenaga mereka, karuan seperti air mengalir kelaut sadja, seketika kena disedot oleh Tju-hap-sin-kang dalam tubuhnja Toan Ki.

Sebenarnja urusan memang djuga sangat kcbetulan, rupanja sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus mengalami kedjadian itu. Tjoba kalau bukan Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju dengan sukarela mau menjalurkan tenaga murni mereka kedalam tubuh Toan Ki, betapapun kuat daja isap Tju-hap-sin-kangnja Toan Ki djuga susah untuk menjedot Lwekang kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan diri dari daja isap itu.

Dan sebabnja badan Toan Ki bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnja itu adalah karena apa jang dijakinkan Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu memang ber-beda2 sihwesio mejakinkan ilmu jang keras dari unsur Yang, sebaliknja si Tosu mejakinkan ilmu bersumber pada unsur Im jang lemas. Dasar agama mereka pun berbeda, ilmu jang dijakinkanpun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak mungkin dipersatukan.

Dalam pada itu mereka sudah merasakan setiap tenaga mereka jang dikerahkan kebadan Toan Ki selalu lenjap seperti air mengalir kelaut, sedikitpun takbisa ditarik kembali lagi. Halmana selamanja tidak pernah mereka alami. Semakin kuat mereka kerahkan tenaga murni, semakin tjepat pula lenjapnja Lwekang mereka. Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin menang masing2, tapi setelah setengah djam kemudian, djantung Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju mulai ber-debar2 dan tenagamereka mulai matjet.

Ui-bi-tjeng insaf ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan, pasti antero Lwekangnja akan ludas sama sekali. Segera ia berkata: Tjiok-toheng. urusan ini agak gandjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempeladjari apakah sebab-musababnja?"

Sebenarnja Tjiok-djing-tju djuga mempunjai maksud begitu, tapi karena rasa ingin menangnja, ia pikir orang jang telah lebih dulu minta padanja, maka sengadja djawabnja: "Djika tenaga Taysu kurang tjukup, silahkan mundur dulu, tidak mungkin Pinto memaksa orang jang sudah tidak kuat."

Ui-bi-tjeng mendjadi gusar: "Hidung kerbau. betapa tinggi kepandaiannja emangnja aku tidak tahu? Hm, kau berlagak gagah apa?"

Tjiok-djing-tju djuga tahu bahwa tenaga mereka sebenarnja setali-tiga-wang alias sama kuatnja. Tapi tempo hari sihwesio sudah menempur Yan-king Thaytju Lwekang jang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan jang susah ditjari, dirinja pasti akan dapat menangkan dia, bila kesempatan bagus ini lewatkan, mungkin sampai mati kelak kedua orang djuga susah menentukan kalah dan menang. Sebab pikiran itulah, maka Tjiok-djing-tju tetap bertahan sekuatnja dengan harapan lawannja itu terpaksa akan undurkan diri lebih dulu.

Tak terduga Ui-bi-tjeng djuga mempunjai wataknja sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Tjiok-djing-tju sungguh aneh sifatnja, asal ketemu, tentu marah, betapapun tidak mau mengalah.

Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh, daja sedotnja semakin kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik kembali, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam gugup mereka, terpaksa soal pertandingan mereka itu harus dikesampingkan dan berbareng melepaskan tangan hendak

meninggalkan badan Toan Ki. Namun sudah telat, daja sedot Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka jang dilatih selama puluhan tahun itu sebagian besar Sudah mengalir kedalam badan Toan Ki, sisa dalam badan mereka sendiri tinggal sedikit sadja, dengan sendirinja tangan mereka mendjadi seperti lengket dibadan pemuda itu dan takbisa ditarik kembali djadi mirip seperti Boh-tam berenam tempo hari.

Ui-bi-tjeng saling pandang sekedjap dengan Tjiok-djing-tju, pikir mereka: Sebabnja terdjadi begini, semuanja gara2 karena rasa ingin menang. Pabila sedjak tadi lantas lepas tangan ketika mengetahui gelagat djelek, tentu tidak sampai demikian djadinja."

Dan tidak lama pula, Hwesio dan Tosu itu sudah mulai lesu dan lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Tjelakanja dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa jang sudah terdjadi, kalau tahu bakal begitu, sedjak mula tentu dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu, perbuatan jang menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapapun tidak mungkin dilakukannja. Tapi ia djusteru mengira kedua Lotjianpwe itu sedang mengusir ratjun guna menjembuhkan dirinja, hawa murni dalam tubuhnja terasa bergolak bagai air bah membandjir, makin lama makin keras, sampai achirnja saking panasnja ia mendjadi mabuk dan seperti orang tertidur pulas, maka terhadap bahaja jang sedang mengantjam Ui-bi-tjeng berdua itu sama sekali tak disadarinja.

Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah djam lagi. Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju berdua pasti akan mendjadi tjatjat selama hidupnja Untunglah dalam detik berbahaja itu, tiba2 pintu kamar didobrak orang dan masuklah seorang jang bukan lain adalah Po-ting-te.

"Tjelaka!" serunja kaget ketika melihat keadaan ketiga orang itu. Tjepat ia tarik lengan badju Ui-bi-tjeng dan dibetot hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menjusul iapun menarik pergi Tjiok-djing-tju dan berkata: "Kalian berdua asal ketemu, tentu terdjadi gara2, aku sudah mentjari kalian, siapa

tahu kalian djusteru bersembunji dan sedang main gila disini." Dan ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sudah sangat pajah, dengan gegetun katanja pula: "Ai, usia kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi jang mesti kalian ributkan terus? Dengan pertarungan harini, tidak sedikit pula tenaga jang telah kalian korbankan."

Ia tjoba memegang nadi Ui-bi-tjeng dan terasa denjutnja sangat lemah. waktu memeriksa Tjiok-djing-tju keadaannja serupa. Ber-ulang2 Po-ting-te menggeleng kepala, disangkanja kedua orang itu mengulangi lagi apa jang terdjadi dahulu, jaitu keduanja sama2 mengalami tjedera. Sudah tentu tak terduga olehnja bahwa tenaga murni kedua orang itu djusteru kena disedot oleh sang keponakan.

Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah menjangka keponakan itu telah mendjadi korban dalam pertandingan kedua tokoh itu. Tjepat iapun periksa nadinja, namun djalannja baik2 sadja, bahkan terasa ada suatu tenaga sedotan jang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalam sendiri.

Karuan Po-ting-te terkedjut dan ragu2, sebab kalau melihat gelagat begitu, agaknja tenaga dalam kedua tokoh Hwesio dan Tosu itu jang telah masuk kedalam tubuh sang keponakan malah.

Ia memikir sedjenak, lalu memanggil dajang istana pengeran agar membawa Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju kekamar jang terpisah untuk istirahat.

Besok paginja, Toan Tjing-sun beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kaka baginda dan sang isteri untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-tjin dan

Hui-sian. Meski hatinja masih kuatir karena keadaan sang putera jang keratjunan itu, tapi mengingat kaka bagindanja sudah mulai turun tangan sendiri, tentu takkan terdjadi apa2. Sebelum berangkat, ia tjoba djenguk Toan Ki, ia mendjadi lega ketika melihat pemuda itu masih tidur njenjak dengan wadjah merah bertjahaja.

Setelah menghantarkan keberangkatan adik pengeran dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi memeriksa keadaannja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju. Ia lihat kedua tokoh itu sedang bersemadi dikamarnja sendiri2. Wadjah Ui-bi-tjeng tampak putjat, badan gemetar. Sebaliknja muka Tjiok-djing-tju merah membara bagai terbakar, terang kedua orang itu sama2 terluka parah, tenaga murni mereka banjak terbuang. Segera Po-ting-te menutuk sekali dengan It-yang-tji ditempat Hiat-to masing2 jang penting kemudian baru pergi mendjenguk keadaan Toan Ki.

Tapi baru sadja sampai diluar kamar pemuda itu, segera terdengar suara gedubrakan dan gemerantang jang keras. Dajang jang mendjaga diluar kamar itu tampak sangat kuatir, mereka berlutut menjambut kedatangan radja dan melapor: Sitju (putera pengeran) telah keselurupan dan sedang............ sedang angot, kedua Thayih (tabib keraton) sedang mengobatinja didalam."

Po-ting-te mengangguk dan segera masuk kedalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang ber-djingkrak2 didalam kamar sambil mengobrak-abrik isi kamar seperti medja-kursi, mangkok-piring dan lain2. Kedua Thayih tampak bersembunji kian kemari untuk menghindari piring terbang" jang mungkin mengantjam kepala mereka.

Ki-dji, kenapakah engkau?" tanja Po-ting-te segera.

Meski tangannja mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih djernih sekali, hanja hawa murni dalam tubuhnja itu terlalu penuh hingga rasanja se-akan2 meletuskan kulit badannja, saking tak tahan, maka ia menggerakan anggota badannja sekenanja hingga perabot didalam kamar telah dirusaknja, tapi aneh, asal kaki-tangannja bergerak, rasa hawa dalam badan itu mendjadi longgar.

Ketika melihat pamannja masuk, segera Toan Ki berseru: Pekhu, wah, tjelakalah aku!" ~ berbareng kedua tangannja masih terus bergerak serabutan sekenanja.

Bagaimanakah rasanja?" tanja Po-ting-te.

"Seluruh badanku rasanja seperti melembung semua," sahut Toan Ki. Pekhu, harap engkau buangkan sedikit darahku".

Po-ting-te pikir mungkin ada paedahnja djuga tjara itu, segera katanja kepada salah seorang Thayih itu: Tjoba kau ambil sedikit darahnja."

Tabib itu mengia dan segera membuka peti obatnja. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan mengambil seekor lintah jang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu diurat darah lengan Toan Ki agar darahnja diisap lintah itu.

Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam badannja tidak terdapat

hawa murni dari latihan Lwekang, maka ia tidak terpengaruh oleh daja sedot dalam tubuh Toan Ki jang lihay itu. Akan tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan Ki, terus sadja binatang itu berkelogetan tidak berani menggigit lengan jang disediakan itu.

Tentu sadja tabib itu heran, sekuatnja ia tekan lintah itu diatas lengan Toan Ki agar darahnja terisap, tapi hanja sebentar sadja, bukannjamengisap darah, sebaliknja lintah itu tahu2 sudah mati.

Karena kepandaiannja tak berhasil dihadapan radja, tabib itu mendjadi gugup hingga mandi keringat, tjepat ia keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa jang tadi, hanja sebentar binatang itu djugamati kaku diatas lengan Toan Ki.

Melihat itu, sitabib mendjadi putus asa, tjepat ia berkata: Lapor Hongsiang, badan Sitju keratjunan jang maha djahat, sampai lintah djuga mati keratjunan." Ia tidak tahu bahwa Tju-hap-sin-kang jang terdapat dibadan Toan Ki itu djangankan tjuma lintah, sekalipun ular jang paling berbisa pabila mentjium baunja djugaakan menjingkir djauh2dengan takut.

Po-ting-te mendjadi kuatir djuga, tjepat tanjanja: "Keratjunan apakah sebenarnja, kenapa begitu lihay?"

"Menurut pendapat hamba." demikian kata tabib jang lain, denjut nadinja sangat keras dan panas, tentu terkena sematjam ratjun panas jang djarang terdapat, adapun namanja............"

"Bukan," tiba2 tabib satunja menjela, denjut nadi lemah dan dingin, ratjunnja tentu tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat jang bersifat panas."

Kiranja dalam tubuh Toan Ki sudah terdapat tenaga murni Ui-bi-tjeng dari unsur Yang jang panas, dan terdapat pula tenaga murni Tjiok-djing-tju dari unsur Im jang maha dingin, makanja keduatabib itu mempunjaipendapatnja sendiri2.

Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham, padahal kedua orang itu adalah tabib keraton jang terpandai, tapi tak berdaja terhadap penjakitnja Toan Ki, maka dapat dibajangkan ratjun dalam tubuh pemuda itu sesungguhnja terlalu aneh.

Dalam pada itu Toan Ki masih ber-djingkrak2 sambil menarik dan menjobek badjunja sendiri hingga tak karuan matjamnja, Po-ting-te mendjadi tak tega, pikirnja: "Rasanja soal ini harus dimintakan pemetjahannja ke Thian-liong-si"

Maka katanja segera: Ki-dji, biarlah aku membawa kau pergi menemui beberapa orang tua, kukira mereka tentu dapat menjembuhkan kau."

Toan Ki mengiakan. Karena rasanja semakin menderita, jang dia harap asal bisa lekas sembuh, maka tjepat ia tukar pakaian dan mengikut sang paman keluar istana, masing2 menunggang seekor kuda terus dilarikan kearah barat-laut, Thian-liong-si jang dikatakan itu terletak dipuntjak Thian-liong diarah

barat-laut kota Tayli. Puntjak itu merupakan puntjak utama dari pegunungan Thian-liong jang lerengnja memandjang dari barat-laut dan berachir di Tayli. Leluhur keluarga Toan jang wafat semuanja dikubur dipegunungan itu.

Pegunungan Thian-liong jang pandjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puntjak utama itu mendjadi seperti kepala naga dan disitulah leluhur keluarga Toan dikubur. Dan oleh karena leluhur Keluarga Toan jang mendjadi radja achirnja tentu tjukur rambut mendjadi Hwesio, maka semuanja lantas tinggal dikuil Thian-liong-si itu. Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil keradjaan jang terpudja. Dari itu djuga maka kuil itu sangat megah bangunnja dan terawat baik, biarpun kuil2 ternama didaerah Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan lain2 jang merupakan pegunungan terkenal dengan geredja2nja jang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin djuga kalah. Tjuma letak Thian-liong-si itu terpentjil didaerah perbatasan, maka namanja tidak terkenal.

Setelah ikut sang paman sampai digeredja itu, Toan Ki melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikata tidak kalah daripada keraton di Tayli.

Thian-liong-si itu adalah tempat jang sering didatangi Po-ting-te. Meski dia diagungkan sebagai radja, tapi Hwesio2 dalam kuil itu banjak jang terhitung angkatan lebih tua, makanja ketika Ti-khek-tjeng atau Hwesio penjambut tamu dengan menghormat menjambut kcdatangannja, namun djuga tidak terlalu gugup seperti umumnja orang biasa bila mendadak ketemu seorang radja.

Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.

Menurut urut2an bila Thian-in Taysu itu tidak djadi Hwesio,beliau masih terhitung pamannja Po-ting-te. Sebagai alim-ulama,

paderi itupun tidak kukuh lagi pada urutan umur serta perbedaan pangkat, kedua orang saling menghormat dengan deradjat sama. Lalu setjara ringkas Po-ting-te mentjeritakan kedjadian Toan Ki keselurupan ratjun djahat itu.

Setelah memikir sedjenak, kemudian Thian-in berkata: "Marilah ikut aku ke Bo-ni-tong untuk menemui ketiga Suheng dan Sute disana."

"Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Tjing-beng tidak ketjil," udjar Po-ting-te.

Tin-lam-sitju adalah tjalon mahkota keradjaan kita, urusan keselamatannja besar sangkut-pautnja dengan kesedjahteraan negara. Padahal kepandaianmu terang lebih diatasku, namun sudi datang bertanja padaku, maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana," demikian kata Thian-in.

Begitulah setelah menjusuri serambi samping dan belasan ruangan lain, achirnja Thian-in membawa Po-ting-te dan Toan Ki sampai didepan beberapa buah rumah. Rumah2 itu dibangun dengan kaju Siong semua, dindingnja djuga dari papan kaju jang tak dikupas kulitnja, berbeda sekali dengan rumah2 lain jang dibangun setjara megah itu. Malahan diantara dinding2 dan pilar kajunja sudah banjak jang sudah lapuk hingga lebih mirip perumahan kaumpemburu dipegunungan sadja.

Dengan wadjah sungguh2 Thian-in merangkap tangannja dan berkata kedalam rumah itu: "Omitohud, Thian-in mempunjai sesuatu kesulitan. terpaksa mesti mengganggu ketenteraman ketiga Suheng dan Sute".

"Hongtiang silahkan masuk!" demikian sahut seorang dari dalam.

Pelahan2 Thian-in mendorong pintu kaju dan melangkah masuk diikuti Po-ting-te dan Toan Ki. Pintu itu mengeluarkan suara berkeriutan ketika didorong, suatu tanda djarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.

Toan Ki mendjadi heran ketiga melihat didalam ruangan rumah itu terdapat empat Hwesio jang berduduk terpisah diempat bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in mengatakan tiga Suheng dan Sute.

Ketiga Hwesio jang berduduk menghadap keluar itu, dua diantaranja mukanja kurus kering, sebaliknja jang seorang lagi sehat kuat, Hwesio keempat jang duduknja dipodjok timur sana, muka nja menghadap dinding dan tidak bergerak sedikitpun, sedjak mula djuga sama sekali tidak berpaling.

Po-ting-te kenal kedua paderi jang kurus itu masing2 bergelar Thian-koan dan Thian-siang, adalah Suheng2nja Thian-in. Sedang paderi jang kekar itu bernama Thian-som adalah Sutenja Thian-in. Po-ting-te tjuma tahu bahwa Bo-ni-tong itu ada tiga paderi saleh, tapi tidak tahu kalau masih ada lagi seorang Hwesio jang lain, jaitu Hwesio keempat jang menghadap dinding itu.

Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan tersenjum. Sedang paderi jang menghadap dinding itu entah sedang semadi atau latihannja sedang mentjapai titik paling genting, maka sedikitpun tidak boleh terganggu, dari itu tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.

Po-ting-te tjukup paham adjaran Budha, ia tahu arti "Bo-ni" jalah tenang, sunji. Karena ruangan itu bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bitjara lebih baik. Maka setjara ringkas ia lantas menguraikan pula bagaimana Toan Ki telah keratjunan dan keselurupan itu. Katanja paling achir: Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka memberi petundjuk djalan jang sempurna."

Thian-koan merenung sedjenak, lalu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata: "Bagaimana pendapat kedua Suheng?"

"Ja, walaupun mesti membuang sedikit tenaga dalam, rasanja djuga belum tentu kita takkan berhasil mejakinkan 'Lak-meh-sin-kiam'," sahut Thian-som.

Mendengar "Lak-meh-sin-kiam" itu, hati Po-ting-te terguntjang hebat, pikirnja: Waktu ketjil aku pernah mendengar tjerita ajah bahwa leluhur keluarga Toan ada mewariskan sematjam ilmu jang sangat lihay dengan nama 'Lak-meh-sin-kiam'. Namun ajah mengatakan iapun tjuma mendengar namanja sadja, tapi selamanja tidak pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga Toan jang mahir ilmu itu, maka sampai betapa hebat sebenarnja ilmu itu tiada seorangpun jang tahu. Kini Thian-som Taysu ini mengatakan sedang mejakinkan ilmu itu, djadi memang benar2 ada ilmu jang aneh dan lihay itu."

Kemudian ia pikir pula: "Tampaknja ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang mereka untuk menjembuhkan Ki-dji, djika demikian, tentu akan mengakibatkan latihan ilmu 'Lak-meh-sin-kiam' mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnja penjakit Ki-dji, sampai Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju djuga tak mampu menolongnja, kalau tidak memakai tenaga gabungan kami berlima orang, mana dapat menjembuhkan Ki-dji?" Begitulah meski dia merasa menjesal mesti mengganggu kemadjuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki jang dianggapnja seperti putera kandungnja sendiri, terpaksa iapun tidak menolak.

Begitulah, tanpa bitjara lagi Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan kepala menunduk ia ber-siap2 berdiri disudut timur-laut sana. Segera Thian-koan dan Thian-som djuga berdiri dikedua sudut jang lain.

"Siantjay! Siantjay!" demikian Thian-ih mengutjapkan sabda Budha, lalu djuga ambil tempat diarah barat-daja.

"Ki-dji," kata Po-ting-te kemudian, "keempat kakek Tianglo dengan tidak sajang membuang tenaga dalam sendiri hendak menjembuhkan kau, lekas kau menghaturkan terima kasih!"

Melihat sikap dan kelakuan keempat paderi itu sangat kereng, Toan Ki tahu apa jang bakal dilakukan mereka sungguh bukan urusan ketjil, maka tjepat ia mendjura dan menghaturkan terima kasih kepada tiap2 paderi itu.

Ki-dji, kau duduk bersila ditengah situ, longgarkan badanmu, sedikitpun djangan bertenaga, kalau terasa sakit atau gatal, djangan kau kaget dan kuatir," pesan Po-ting-te kemudian.

Toan Ki mengia dan menurutkan perintah sang paman itu.

Segera Thian-koan Hwesio angkat djari djempolnja, setelah menghimpun tenaga dalamnja, djempolnja lantas menekan di Hong-hu-hiat ditengkuknja Toan Ki, satu arus hawa hangat dari It-yang-tji terus merembes masuk. Hong-bu-hiat itu kira2 tiga senti dibawah rambut dibagian tengkuk, termasuk urat nadi Tok-meh". Menjusul Thian-siang Hwesio djuga rnenutuk Tji-kiong-hiat dan Thian-som menutuk Tay-hing-hiat Thian-in ikut menutuk djuga kedua nadi jang lain dan Po-ting-te menutuk Djing-bing-hiat.

Begitulah tudjuan mereka berlima itu jalah hendak menggunakan tenaga It-yang-tji jang berunsurkan hawa Yang jang keras itu untuk mengusir ratjun dari tubuh Toan Ki.

It-yang-tji dari kelima tokoh keluarga Toan ini boleh dikata sama hebatnja, maka terdengarlah suara men-desis2 pelahan, lima arus hawa panas berbareng menjusup kedalam badan Toan Ki. Seketika pemuda itu terguntjang tubuhnja dan merasa seperti mendjemur badan dibawah sang surya dimusim dingin, njaman dan segar sekali rasanja.

Ber-ulang2 djari kelima tokoh itu bekerdia, maka semakin bertambah djuga tenaga dalam jang masuk dibadan Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan paderi2 lainnja sama merasakan tenaga mereka jang masuk dibadan Toan Ki itu pelahan2 lantas bujar dan tak bisa ditarik kembali lagi, bahkan terasa daja sedot dibadan pemuda itu kuatnja luar biasa. Karuan mereka terkedjut dan ter-heran2 dengan saling pandang.

Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara gerungan "Huuuh........." jang sangat keras hingga memekakan telinga, Po-ting-te tahu itu adalah sematjam ilmu Lwekang jang maha tinggi dalam ilmu Budha, namanja "Say-tju-ho" atau auman singa.

Menjusul mana, terdengarlah paderi jang duduk menghadap dinding tadi sedang berkata: Musuh tangguh dalam waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thian-liong-si selama ratusan tahun ini sedang terguntjang, apakah botjah ingusan ini keratjunan atau keselurupan segala, kenapa mesti banjak membuang tenaga pertjuma baginja?"

Kata2 itu diutjapkan dengan penuh wibawa hingga susah untuk dibantah orang, maka Thian-in lantas menjahut: Ja, adjaran Susiok memang tepat!" Terus sadja ia memberi tanda dan kelima orang lantas melangkah mundur. Meski daja sedot Tju-hap-sin-kang dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi kalau hendak menghisap kelima tokoh itu berbareng, ternjata tidak kuat djuga.

Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu dengan panggilan "Susiok", tjepat Po-ting-te lantas memberi hormat djuga dan berkata: "Kiranja Koh-eng Tianglo jang berada disini, maafkan dosa Wanpwe jang tidak memberi hormat sebelumnja."

Kiranja Koh-eng Tianglo itu paling tinggi tingkatannja didalam Thian-liong-si, para paderi didalam geredja itu tiada satupun jang pernah melihat wadjah aslinja. Po-ting-te djuga tjuma mendengar namanja dan selamanja tidak pernah bertemu. Ia dengar paderi tua itu selamanja bersemadi diruang Siang-su-ih dan djarang orang membitjarakannja, maka disangkanja paderi tua itu tentu sudah lama Wafat. Siapa tahu sekarang djusteru didjumpainja disini.

"Urusan harus dibedakan mana jang penting dan mana jang tidak," demikian kata Koh-eng Tianglo pula. "Perdjandjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san sekedjaplagi sudah akan tiba. Tjing-beng, ada baiknja djuga kalau kaupun ikut berunding

memberi pendapatmu."

"Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi ibadatnja, kenapa ada perselisihan dengan kita?" Po-ting-te dengan heran.

Segera Thian-in mengeluarkan seputjuk surat jang berwarna kuning menjilaukan dan diangsurkan kepada Po-ting-te. Ternjata sampul surat itu sangat aneh, rasanja djuga antap, kiranja terbuat dari lapisan emas murni jang sangat tipis, diatas sampulsurat itu terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih jang ditulis dalam bahasa Hindu kuno.

Po-ting-te tjukup paham ilmu Budha, maka dapat membatja tulisan itu maksudnja: "Dihaturkan kepada ketua Thian-liong-si". Dari sampul emas itu Po-ting-te mengeluarkan setjarik kertas surat jang terbuat dari emas djuga, surat itupun tertulis dalam bahasa Sangsekarta dan terdjemahannja kira2 adalah: "Dahulu aku kebetulan bertemu dengan Bujung-siansing dari Koh-soh dinegeri Thian-tiok hingga mengikat persahabatan jang akrab. Dalam membitjarakan ilmu silat didunia ini, Bujung-siansing sangat memudji kitab 'Lak-meh-sin-kiam' dari geredja kalian dan menjatakan menjesal sebegitu djauh masih belum dapat membatjanja. Belum lama ber-selang kabarnja Bujung-siansing telah meninggal, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai tanda persahabatanku, aku ingin memohon kitab jang dimaksudkannja itu kepada kalian untuk dibakar dihadapan makam Bujung-siansing. Untuk mana dalam waktu singkat aku akan berkundjung kemari, hendaklah djangan menolak permintannku ini. Sudah tentu Siauong akan memberi timbalan jang setimpal dengan hadiah jang bernilai tinggi, masakan aku berani mengambilnja dengan begitu sadja."

Tulisan Sangsekarta dalam surat itupun ditjetak dengan emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh pandai emas jang sangat pintar. Melulu sampul dan surat itu sadja sudah merupakan dua matjam benda mestika, maka dapatlah dibajangkan betapa royalnja Tay-lun-beng-ong itu.

Po-ting-te mengetahui Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau radja agama pelindung negara dari negeri Turfan, kabarnja seorang jang tjerdik-pandai dan mahir ilmu Budha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan Chotbah setjara terbuka, maka banjak paderi2 saleh dari Thian-tiok dan negeri2 barat lainnja sama berkundjung ke Tay-lun-si di Tay-swat-san untuk mengikuti tjeramah keagamaan itu. Tapi dalam surat jang ditudjukan kepada Thian-liong-si ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu silat dengan Bujung-siansing dari Koh-soh serta bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-beng-ong itupun seorang tokoh silat jang tinggi. Orang tjerdik-pandai demikian kalau sudah beladjar silat, maka dapat dipastikan lain dari jang lain.

Lalu terdengar Thian-in berkata: Itu 'Lak-meh-sin-kiam-keng' adalah kitab pusaka geredja kita dan merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di Tayli ini, Tjing-beng, ilmu silat keluarga Toan jang tertinggi adalah terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah orang biasa, meski terhitung sanak keluarga sendiri, namun terpaksa banjak rahasia ilmu silat kita tak boleh dikatakan padamu."

Ja, halitu aku paham," sahut Po-ting-te.

"Anehnja," demikian Thian-koan ikut bitjara, "tentang geredja kita mempunjai 'Lak-meh-sih-kiam-keng', bahkan Tjing-beng dan Tjing-sun djuga tidak tahu, mengapa orang she Bujung itu malah mengetahuinja?"

"Dan Tay-lun-beng-ong itu toh djuga seorang paderi saleh jang terkemuka didjaman ini, mengapa begitu tidak kenal aturan dan berani meminta kitab setjara kekerasan pada kita," udjar Thian-som dengan gusar. Tjing-beng, oleh karena Hongtiang suheng tahu musuh jang bakal datang itu tentu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah ketjil, maka Koh-eng Susiok telah diundang untuk mengatasi urusan ini".

"Sungguh memalukan djuga" Thian-in ikut berkata, "meski geredja kita mempunjai kitab pusaka itu, tapi tiada seorangpun diantara kita jang mahir ilmu sakti itu, bahkan mempeladjari djuga tidak pernah. Sedangkan ilmu jang dijakinkan Koh-eng Susiok adalah sematjam ilmu sakti lain dari geredja kita, untuk- mana djuga diperlukan sedikit waktu lagi baru bisa terlatih sempurna. Sebaliknja kalau mengingat kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak mempunjai sesuatu andalan, masakah dia berani setjara terang2an meminta kitab pusaka kita setjara kekerasan?"

Sudah tentu iapun tidak berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam," udjar Koh-eng Tianglo tiba2. "Melihat isi suratnja itu, agaknja dia begitu mengagumi Bujung-siansing dan orang she Bujung itupun sangat tertarik pada kitab pusaka kita, dengan sendirinja Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinja sendiri. Namun dia menduga dalam geredja kita tiada sesuatu tokoh jang luar biasa, biarpun terdapat kitab pusaka djuga tiada orang mampu mejakinkan, makanja dia tidak djeri pada kita."

"Djika dia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau memindjam dengan baik2, mengingat dia adalah paderi saleh dalam Budha, paling banjak kita akan menolaknja setjara terhormat dan urusan akan Selesai begitu sadja. Tapi ia djusteru hendak meminta kitab itu untuk dibakar dihadapan orang jang sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu menghina Thian-liong-sikita?" demikian Thian-som berseru dengan gusar.

"Ai, Sute djuga tidak perlu mesti marah." sahut Thian-siang. "Kulihat

Tay-lun-beng-ong itu bukan seorang jang bodoh, tapi dia hendak menirukan perbuatan orang didjaman dulu dengan membakar kitab didepan kuburan sahabat, agaknja dia benar2 sangat kagum kepada Bujung-siansing itu."

"Apakah Thian-siang Taysu kenal bagaimana pribadi Bujung-siansing itu?" tanja Po-ting-te. Aku tidak tahu," sahut Thian-siang Tapi mengingat betapa seorang tokoh matjam Tay-lun-beng-ong djuga begitu kesemsem padanja, maka dapat dipastikan Bujung-siansing itu pasti seorang jang lain dari jang lain." Berkata sampai disini, sikapnja ikut sangat kesemsem pada orang jang dibitjarakan itu.

"Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh," demikian kata Thian-in, "kalau kita tidak lekas2 mejakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk se-lama2nja. Tjuma ilmu pedang sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih dalam waktu singkat. Tjing-beng, bukanlah kami tidak mau membantu menjembuhkan Ki-dji, tapi kita kuatir terlalu banjak membuang tenaga, lalu musuh tangguh mendadak datang, tentu kita akan susah melawannja. Tampaknja keselamatan Ki-dji takkan terantjam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa harini biarlah dia merawat dirinja disini, bila kesehatannja bertambah buruk, kita akan dapat menolongnja setiap saat, sebaliknja kalau tidak apa2, nanti kalau musuh tangguh sudah dienjahkan, kita akan berusaha menolongnja sepenuh tenaga."

Walaupun Po-ting-te sangat kuatirkan kesehatannja Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang jang bidjaksana, ia tahu Thian-liong-si itu adalah modal dasar keluarga Toan dari Tayli, setiap kali keradjaan ada bahaja, selalu Thian-liong-si memberi bantuan sekuatnja. Selama lima keturunan keradjaan Tayli sudah mengalami banjak kesukaran dan dapat berdiri sampai sekarang, djasa Thian-liong-si itu sesungguhnja tidak ketjil. Sebaliknja sekarang Thian-liong-si terantjam bahaja, manabisadirinja tinggal diam.

Maka berkatalah Po-ting-te: Atas kebaikan Hongtiang, Tjing-beng merasa

terima kasih sekali. Entah urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Tjing-beng dapat sekedar memberi bantuan?"

Thian-in memikir sedjenak, lalu menjahut: "Engkau adalah djago nomor satu dari keluarga Toan kita dikalangan orang biasa, pabila engkau dapat menggabungkan tenagamu untuk menghadapi musuh sudah tentu akan banjak menamhah kekuatan kita. Tjuma sadja engkau adalah orang biasa, kalau ikut tjampur pertengkaran dalam kalangan agama, tentu akan ditertawai Tay-lun-beng-ong bahwa Thian-liong-si kita sudah kehabisan djago".

"Kalau kita melatih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri2, biar siapapun tiada seorangpun jang bisa berhasil," tiba2 Koh-eng berkata. Kitapun sudah memikirkan suatu akal, jaitu masing2 orang melatih satu 'meh' (nadi, Lak-meh = enam nadi) diantara Lak-meh-sin-kiam itu. Dikala menghadapi musuh, tjukup salah seorang tampil kemuka, sedang kelima orang lainnja hanja membantunja dengan menjalurkan tenaga dalam kepadanja. Asal lawan tidak mengetahui akal kita ini, tentu kita akan menang. Tjara ini meski kurang djudjur, namun apa daja, keadaan terpaksa. Tapi untuk mentjari orang keenam jang memiliki tenaga djari jang hebat, didalam Thian-liong-si ini susah diketemukan lagi Kebetulan engkau telah datang kemari ,Tjing-beng, marilah engkau boleh ikut mengisi kekurangan itu. Tjuma engkau harus ditjukur dulu dan memakai djubah Hwesio."

"Kembali pada Budha memang sudah lama mendjadi tjita2 Tjing-beng, tjuma ilmu sakti jang hebat itu selamanja Tjing-beng belum

pernah mendengarnja..............."

"Djika memakai akal itu, sudah lama engkau memahaminja, kini asal kau mempeladjari tipu ilmu pedangnja sudah tjukup", sela Thian-som tjepat.

"Po-ting-te mendjadi bingung, tanjanja: "Silahkan Taysu memberi petundjuk."

Tjoba engkau duduklah untuk bitjara lebih djelas," kata Thian-in.

Dan sesudah Po-ting-te duduk bersila diatas sebuah tikar, lalu Thian-in berkata pula: "Apa jang disebut Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnja tidak ada wudjut pedang sungguh2, hanja menggunakan tenaga djari dari It-yang-tji jang hebat hingga mendjadikannja hawa pedang, ada kekuatannja tapi tiada wudjutnja, maka boleh djuga dikatakan sematjam Bu-heng-gi-kiam (pedang hawa jang tak Berwudjut). Tentang Lak-meh (enam nadi) diatas lengan itu adalah Thayim, Koatin............"Sambil berkata, ia terus mengeluarkan satu berkas kertas gulungan.Mungkin sudah terlalu tua, maka gulungan kertas itu sudah bersemu kuning.

Setelah Thian-som menjambut gulungan kertas itu, lalu digantung diatas dinding. Waktu gulungan kertas itu sudah terbuka, kiranja adalah sebuah lukisan bentuk badan seorang laki2, diatas badan tertjatat dengan djelas tempat2 Hiat-to mengenai enam urat nadi jang bersangkutan.

Po-ting-te adalah ahli It-yang-tji, pula Lak-meh-sin-kiam-keng" itu berdasarkan tenaga It-yang-tji, djadi sedjalan dengan ilmu silat Keluarga Toan mereka, dengan sendirinja ia lantas paham begitu melihat gambar itu tanpa pendjelasan lagi.

"Tjing-beng," kata Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang radja dari

suatu negeri, untuk sementara meski dapat menjamar, tapi kalau sampai diketahui oleh musuh, tentu akan sangat merugikan nama baik Tay-li-kok. Dari itu, sebelumnja hendaklah kau pertimbangkan lebih masak."

"Madju terus, pantang mundur," sahut Po-ting-te tegas.

"Bagus," kata Thian-in. Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diadjarkan pada anak murid orang biasa, maka engkau harus mentjukur rambut djadi Hwesio baru aku bisa mengadjarkan padamu."

Tanpa pikir Po-ting-te lantas berlutut kehadapan Thian-in dan berkata: "Silahkan Taysu!"

"Kemarilah kau, biar aku jang mentjukur engkau," kata Koh-eng Taysu tiba2.

Po-ting-te menurut, ia lantas melangkah madju dan berlutut, oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, djadi Po-ting-te berlutut dibelakangnja.

Dengan anteng Toan Ki sedjak tadi masih meringkuk ditempatnja dengan perasaan sadar, maka ia dapat mengikuti semua pertjakapan orangtadi, pikirnja: "Bitjara kesana kesini ternjata selalu ada sangkut-pautnja lagi dengan orang she Bujungitu." Dan ketika melihat sang paman hendak ditjukur untuk mendjadi Hwesio, diam2 ia terkesiap djuga. Ia lihat Koh-eng Taysu telah baliki tangan kanannja dan meraba keatas kepala Po-ting-te, begitu kurus tangannja itu hingga benar2 tinggal kulit membungkus tulang belaka.

Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak memutar tubuh sedikitpun, hanja mulutnja mengutjapkan sabda Budha, ketika tangannja kemudian diangkat, tahu2 seluruh rambutnja Po-ting-te bertebaran djatuh ketanah, kepalanja sudah gundul kelimis, biarpun ditjukur dengan pisau tjukur mungkin djuga tidak sehalus itu.

Sungguh kedjut Toan Ki tak terkatakan, sekalipun Po-ting-te, Thian-koan dan lain2 djuga kagum tak terhingga atas ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koh-eng Taysu berkata: "Sesudah masuk kedalam Budha, nama agamamu adalah Thian-tim."

"Terima kasih Suhu atas pemberian nama ini," sahut Po-ting-te dengan merangkap tangan.

Dan oleh karena Po-ting-te telah ditjukur oleh Koh-eng, menurut agama ia mendjadi Sutenja Thian-in, walaupun dalam urut2an keluarga Thian-in sebenarnja adalah pamannja.

Lalu Koh-eng berkata pula: "Boleh djadi malam ini djuga Tay-lun-beng-ong itu bakal tiba, Thian-in, boleh engkau adjarkan inti rahasia Lak-meh-sin-kiam padanja."

Thian-in mengia dan menundjukan tanda2 Hiat-to jang terdapat diatas gambar jang tergantung didinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petundjuk itu untuk mendjalankan tenaga murninja dimana djarinja menutuk. Segera mengeluarkan suara mentjitjit jang pelahan.

Koh-eng sangat girang, katanja: "Tidak tjetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-koat ini sangat ruwet perubahannja, namun hawa pedangan sudah dapat kau wudjutkan, dengan sendirinja dapatlah engkau gunakan sesuka hati."

"Marilah sekarang djuga kita mulai berlatih," udjar Thian-in. "Susiok kusus melatih Siau-siang-kiam dengan djari djempol, aku melatih djari telundjuk, Thian-koan Suheng melatih djari tengah. Thian-tim Sute melatih djari manis dan Thian-siang Suheng memakai djari ketjil. Sedangkan Thian-som Sute djuga melatih djari ketjil tangan kiri. Waktu sudah mendesak, kita harus tjepat mejakinkannja".

Tjepat ia mengeluarkan pula enam lukisan. dan digantung disekeliling dinding, keenam lukisan itu masing2 menundjukan titik2 Hiat-to sendiri2 dari enam orang jang harus dilatihnja dan menggambarkan dimana djari mereka harus menutuk.

Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa murni dalam tubuhnja semakin penuh dan bergolak dengan hebat, djauh lebih menderita daripada sebelumnja, sebab tadi Thian-in berlima telah tidak sedikit pula mentjurahkan tenaga dalam mereka kedalam badan pemuda itu. Karena sang paman dan paderi2 itu sedang memusatkan pikiran untuk melatih ilmu sakti, maka Toan Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnja dengan ter-menung2. Dalam isengnja, tanpa sengadja ia tjoba memandang kelukisan jang menggambarkan Hiat-to dibadan manusia jang tergantung didinding itu, dan kebetulan pada saat itu tanpa merasa tangan

kirinja sendiri sedang me-londjat2 seakan2 ada sesuatu jang akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannja. Tempat jang ber-kedut2 seperti diterobos tikus itu tertjatat sebagai Hwe-tjong-hiat" diatas lukisan itu. Waktu ia melirik sang paman, ia lihat Po-ting-te sedang memperhatikan gambar Siau-yang-keng jang kusus harus dilatihnja dan tergantung didepannja itu, djari manis sang paman tampak sedang bergerak pelahan. Toan Ki tjoba mengikuti tanda2 jang tertjatat diatas gambar itu. Aneh djuga, karena pikirannja ditjurahkan untuk mengikuti garis2 jang menghubungkan Hiat-to satu dan lain menurut gambar, se-konjong2 hawa murni dalam tubuhnja itupun ikut berdjalan menurut perasaannja, mula2 hawa itu timbul dari lengan menaik keatas bahu dan terus kepundak.

Dan meski tjuma sedikit hawa murni itu berdjalan. namun rasa Toan Ki jang muak dan sesak tadi lantas terasa longgar. Njata tanpa sengadja ia telah tarik hawa murni itu keurat nadi Sam-djiau. Tetapi karena tjara mendjakinkan hawa murni itu sebenarnja adalah sematjam Lwekang jang sangat tinggi, Toan Ki tidak paham seluk-beluknja setjara tepat, baru sebentar ia djalankan tenaganja, terus sadja ia men-djerit2 aduh. Untunglah sebelum hawa dalam badannja itu kesasar, karena mendengar teriakannja, segera Po-ting-te menanja: Kenapakah Ki-dji?"

Dalam badanku terasa penuh terisi hawa jang bergolak dan menerdjang kian kemari, rasanja sangat menderita, waktu aku mengikuti garis2 merah diatas lukisanmu itu, hawa ini lantas mengalir masuk kedalam perut, tetapi, aduuuuh.................. tetapi hawa dalam perut makin lama semakin penuh terisi dan sekarang rasa perutku se-akan2 meledak!" demikian tutur Toan Ki sambil meringis.

Perasaan Toan Ki itu hanja dapat dirasakan oleh sipenderita sendiri, ia merasa perutnja melembung dan seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain toh keadaannja biasa sadja tiada sesuatu jang aneh.

Namun Po-ting-te tjukup paham tentang segala kemungkinan-kemungkinan bagi orang jang melatih Lwekang. Perasaan perut melembung akan meledak itu umumnja tjuma bisa terdjadi pada orang jang melatih Lwekang berpuluh tahun lamanja, tapi selamanja Toan Ki tidak pernah beladjar silat, darimana bisa terdjadi begitu? Ia pikir tentu gara-gara ratjun jang mengeram didalam tubuhnja itu.

Karena itu, Po-ting-te mendjadi kuatir kalau-kalau ratjun itu akan mengamuk hingga hawa djahat ketelandjur masuk kedjantung, untuk melenjapkannja tentu akan susah.

Biasanja Po-ting-te dapat bertindak tegas dan tjepat ambil keputusan. Tapi kedjadian didepan matanja sekarang menjangkut baik buruk selama hidupnja Toan Ki. Kalau sedikit ajal, mungkin akan membahajakan djiwa pemuda itu. Dalam keadaan kepepet, biarpun akibatnja mungkin tjelaka, terpaksa harus ditjobanja djuga. Maka katanja: ?Ki-dji, biar kuadjarkan engkau tentang memutarkan hawa menudju kepusat.? ~ Habis ini, segera ia mengadjarkan penuntun ilmu itu kepada Toan Ki sambil tangannja sendiri tetap berlatih menurut gambar.

Sambil mendengarkan petundjuk sang paman, terus sadja satu kata demi kata dituruti Toan Ki untuk melaksanakannja. Dan inti Lwekang keluarga Toan dari Tayli itu memang sangat hebat, selesai Toan Ki melakukan petundjuk sang paman, hawa jang bergolak tadi djuga sudah dapat ditarik masuk semua kepusat. Maka terasalah badannja makin lama semakin segar, rasanja enteng seakan-akan melajang keudara.

Melihat wadjah pemuda itu berseri-seri girang, Po-ting-te malah menjangka sang keponakan itu terlalu dalam keratjunan dan kelak akan susah disembuhkan lagi. Maka diam-diam ia sangat gegetun.

Meski Koh-eng Taysu sedjak tadi duduknja tetap menghadap dinding, tapi pertjakapan kedua orang itu dapat diikutinja semua. Sesudah selesai mendengar Po-ting-te mengadjarkan kepandaiannja kepada Toan Ki, segera ia berkata: ?Thian-tim, ketahuilah bahwa segala apa sudah takdir ilahi, maka engkau tidak perlu kuatir bagi orang lain, jang penting sekarang lekas engkau melatih Siau-yang-kiam sadja!?

Po-ting-te mengia dan memusatkan kembali perhatiannja untuk melatih Siau-yang-kiam jang diwadjibkannja diantara Lak-meh-kiam-hoat itu.

Dalam pada itu hawa murni dalam tubuh Toan Ki jang sangat padat itu sudah tentu takdapat dipusatkan seluruhnja dalam waktu singkat, tjuma penuntun dasar jang diterimanja dari Po-ting-te itu dapat berdjalan dengan lantjar dan semakin tjepat.

Begitulah ketudjuh orang jang berada didalam pondok itu masing-masing melatih ilmunja sendiri-sendiri, tanpa merasa hari sudah malam dan subuh sudah mendatang.

Mendjelang pagi itulah Toan Ki merasa kaki-tangannja enteng leluasa tidak tersisa sedikitpun hawa jang hendak meledak seperti kemarin itu. Ia tjoba berdiri dan melemaskan otot-ototnja. Ia lihat sang paman dan kelima paderi saleh itu masih asjik melatih ilmu pedangnja masing-masing. Ia tidak berani membuka pintu untuk keluar, pula tidak berani bersusara mengganggu keenam orang itu, saking iseng, ia tjoba mengikuti gambar didepan sang paman jang melukiskan letak-letak urat nadi dengan ilmu pedang Siau-yang-kiam itu, dikala perhatiannja terhadap gambar itu memusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa murni membandjir keluar dari perutnja terus menerdjang kebahu. Jang paling aneh jalah dimana pikiran Toan Ki ditjurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera hawa murni jang mengalir dalam tubuh itu lantas menjusup kesana, djadi dari bahu kelengan dan dari lengan kedjari. Tapi Toan Ki tidak dapat mendjalankan Lwekangnja untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni menerdjang keudjung djari, ia merasa djarinja seperti abuh hendak petjah, maka pikirnja: ?Ah, biarkan arus hawa ini kembali sadja.? ~ Aneh djuga, begitu pikirannja, begitu pula hawa murni itu lantas mengalir kembali keperutnja.

Kiranja tanpa merasa Toan Ki telah berhasil memperoleh inti dasar ilmu Lwekang jang sangat tinggi, tapi ia sendiri sama sekali tidak tahu. Ia hanja merasa arus hawa jang mengalir kian kemari dilengannja itu dapat dimainkan sesukanja.

Kemudian ia lihat Thian-siang Taysu diantara ketiga paderi Bo-ni-tong itu adalah jang paling ramah-tamah, ia tjoba melongok gambar ?Siau-im-keng-meh-toh? jang wadjib dilatih paderi itu. Ia lihat titik nadi gambar itu dimulai dari ?Kek-tjoan-hiat? dibawah ketiak terus menurun sampai di ?Siau-tjiong-hiat? diudjung djari ketjil. Kembali satu-persatu ia mengikuti garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam tubuhnja mengalir lagi seperti tadi menurut perasannja.

Ternjata dalam waktu singkat sadja Toan Ki sudah dapat menembus semua urat nadi dilengan itu. Dan karena Lak-meh atau enam nadi itu dapat ditembus, semangatnja mendjadi segar malah. Dalam isengnja ia terus memeriksa pula gambar-gambar lain jang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain itu, namun ia mendjadi pusing melihat garis-garis merah, biru, hitam dan lain-lain jang ruwet itu. Pikirnja: ?Ah, begini sulit ilmu pedang itu, mana dapat aku ingat seluruhnja?? ~ Lalu pikirnja pula: ?Aneh, kenapa kedua paderi ketjil itu tidak menghantarkan makanan kemari? Biarlah diam-diam aku mengelojor keluar untuk mentjari makanan.?

Tapi pada saat itu djuga hidungnja lantas mentjium sematjam bau wangi jang halus, menjusul terdengarlah suara orang bernjanji dalam pudjian Budha, suara itu hanja sajup-sajup sadja, sebentar terdengar sebentar tidak.

?Siantjay, Siantjay! Tay-lun-beng-ong telah tiba, bagaimana dengan latihan kalian?? demikian Koh-eng Taysu berkata dengan gegetun.

?Meski belum masak betul-betul, namun sudah tjukup untuk menghadapi musuh,? sahut Thian-som.

?Thian-in,? kata Koh-eng pula, ?aku tidak suka bergerak, bolehlah kau undang Beng-ong bitjara keruang Bo-ni-tong ini sadja.?

Thian-in mengia dan keluar.

Segera Thian-koan menjiapkan lima kasuran tikar dan didjadjarkan mendjadi satu baris. Ia sendiri lantas menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-ting-te keempat, Thian-som kelima dan ketiga jang luang itu disediakan untuk Thian-in. Toan Ki tidak punja tempat duduk, terpaksa ia berdiri dibelakangnja Po-ting-te.

Tahu musuh tangguh bakal tiba, lekas-lekas Koh-eng dan Thian-koan berlima mengapalkan sekali lagi petundjuk Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan itu tjepat-tejapt digulung semua dan ditaruh didepannja Koh-eng.

?Ki-dji,? kata Po-ting-te, ?sebentar bisa terdjadi pertarungan sengit, tentu diruangan ini akan penuh hawa pedang jang tadjam, tentu akan membahajakan dirimu, sedangkan paman tak dapat melindungi kau, maka lebih baik engkau keluar sadja sana!?

Toan Ki mendjadi terharu, ia pikir: ?Dari pertjakapan paman dan lain-lain, agaknja ilmu silat Tay-lun-beng-ong itu teramat lihay, sedangkan ilmu pedang paman ini baru sadja djilatih, entah mampu tidak melawan musuh, dan kalau terdjadi apa-apa, lantas bagaimana baiknja?? ~ Maka katanja segera: ?Pekhu, aku ... aku ingin tinggal disini, aku kua ... kuatirkan pertempuran nanti ....? ~ Bitjara sampai disini, suaranja mendjadi parau dan tak lantjar.

Hati Po-ting-te terharu djuga, pikirnja: ?Anak ini ternjata sangat berbakti kepada orang tua.?

?Ki-djie,? tiba-tiba Koh-eng buka suara, ?bolehlah kau duduk kedepanku sini, betapa lihaynja Tay-lun-beng-ong itu djuga takkan mengganggu seudjung rambutmu!?

Meski nada Koh-eng Taysu itu tetap dingin sadja tanpa perasaan, namun dari kalimatnja itu kentara sekali rasa angkuhnja.

Tentu sadja Toan Ki mengia dan membungkuk mendekati Koh-eng Taysu, ia tidak berani memandang muka paderi itu, lalu duduk bersila dengan menghadap dinding djuga. Memangnja tubuh ke djauh lebih tinggi dari Toan Ki, maka badan pemuda itu hampir teraling-aling seluruhnja.

Po-ting-te mendjadi girang dan terima kasih, tadi ketika Koh-eng mentjukur rambutnja dengan ilmu saktinja, kepandaian itu sudah tjukup untuk ditondjolkan dalam dunia persilatan. Maka sekarang Toan Ki dibawah perlindungannja, sudah tentu tidak perlu kuatir lagi.

Selang agak lama, terdengarlah suara Thian-in Hongtiang lagi berkata diluar. ?Atas kundjungan Beng-ong, silahkan masuk keruang Bo-ni-tong ini sadja!?

Lalu suara seorang lain menjahut: ?Harap Hongtiang suka menundjukkan djalannja!?

Mendengar suara orang jang halus dan ramah-tamah itu, Toan Ki jakin Tay-lun-beng-ong itu pasti bukan seorang jang kedjam dan buas. Djika didengar dari suara tindakan orang diluar, kedengarannja berdjumlah belasan orang banjaknja.

Kemudian terdengar suara pintu didorong oleh Thian-in sambil berkata: ?Silahkan Beng-ong masuk!?

?Maafkan!? sahut Tay-lun-beng-ong sambil melangkah masuk. Lalu ia masuk memberi hormat kepada Koh-eng Taysu sambil berkata: ?Wanpwe adalah Tjiumoti dari negeri Turfan, dengan ini memberi sembah kepada Tjianpwe Taysu.?

Diam-diam Toan Ki membatin: ?Kiranja nama asli Tay-lun-beng-ong ini adalah Tjiumoti.?

Maka menjahutlah Koh-eng Taysu: ?Beng-ong datang dari djauh, maafkan kalau

Lolap tidak memberi sambutan jang pantas.?

Dan sesudah saling mengutjapkan kata-kata merendah pula, kemudian Thian-in menjilahkan duduk Tay-lun-beng-ong alias Tjiumoti itu.

Diam-diam Toan Ki ingin tahu matjam apakah Tay-lun-beng-ong jang disegani itu. Pelahan-pelahan ia menoleh sedikit dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia lihat disebelah sana berduduklah seorang paderi berdjubah kuning, usianja belum ada setengah abad, sederhana dandanannja, tapi mukanja bertjahaja bagai permata kemilauan. Baru melihat sekedjap sadja lantas timbul rasa suka dan kagumnja Toan Ki. Waktu memandang pula keluar pintu, ternjata diluar sana berdiri 8 atau 9 laki-laki jang berperawakan berbeda-beda dan wadjah berlainan, tapi kebanjakan bengis menakutkan, tidak seperti orang Tiongkok umumnja. Terang mereka pengiringnja Tay-lun-beng-ong jang dibawanja dari daerah barat.

Kemudian dengan merangkap tangannja memberi hormat, Tjiumoti itu berkata: ?Budha berkata: tiada hidup takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakat Siautjeng terlalu bodoh dan belum dapat memahami suka-duka dan mati-hidup manusia. Tjuma selama hidup Siautjeng mempunjai seorang kawan karib, jaitu orang she Bujung dari Koh-soh dinegeri Song. Siautjeng telah berkenalan dengan dia dinegeri Thian-tiok, disana kami telah tukar pikiran tentang ilmu silat dan pedang. Bujung-siansing itu ternjata sangat luas pengetahuannja, tiada sesuatu ilmu silat didunia ini jang tak dipahaminja, berkat petundjuknja dalam beberapa hari, segala pertanjaanku selama hidup jang tak terdjawab itu telah dipetjahkan olehnja dalam sekedjap. Tak terduga orang pandai itu djusteru berumur pendek, kini Bujung-siansing telah pulang kenirwana. Karena itu Siautjeng ada sesuatu permohonan jang tidak pantas, sukalah para Tianglo menaruh belas-kasihan.?

Sudah tentu Thian-in paham apa maksud tudjuan dibalik utjapannja itu. Djawabnja segera: ?Beng-ong dapat bersahabat dengan Bujung-siansing, itu berarti ada djodoh, dan bila masa djodoh itu sudah habis, guna apa mesti dipaksakan lagi? Bujung-siansing sudah lama wafat, mengapa terhadap ilmu silat didunia fana ini mesti disajangkan pula? Tindakan Beng-ong ini apa tidak berlebihan??

?Nasihat Hongtiang ini memang benar djuga,? sahut Tjiumoti. ?Tjuma Siautjeng dasarnja memang agak bandel, meskipun sudah sekian lamanja toh kebaikan persahabatan dahulu susah untuk dilupakan. Dahulu ketika Bujung-siansing bitjara tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia jakin ?Lak-meh-sin-kiam? dari Thian-liong-si ini adalah nomor satu dari segala ilmu pedang, ia menjatakan sangat menjesal karena selama hidupnja tidak sempat melihat ilmu pedang sakti itu.?

?Tempat kami ini terpentjil didaerah perbatasan selatan, tapi toh mendapat perhatian Bujung-siansing, sungguh kami merasa sangat bangga,? sahut Thian-in. ?Tetapi diwaktu hidupnja mengapa Bujung-siansing tidak datang sendiri untuk memindjam lihat Kiam-keng (kitab ilmu pedang) kami ini??

Tiba-tiba Tjiumoti menghela napas pandjang dan wadjahnja berubah sedih, sedjenak kemudian barulah dia berkata: ?Bujung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu adalah pusaka geredja kalian, meskipun mohon lihat dengan terus terang djuga tak mungkin diidzinkan. Ia bilang Toan-si dari Tayli diagungkan sebagai radja, tapi toh tidak melupakan setia-kawan dalam Kangouw, tjinta negeri dan berkati rakjat, maka ia tidak enak untuk melakukan pentjurian atau main ambil setjara paksa.?

?Terima kasih atas pudjian Bujung-siansing itu,? udjar Thian-in. ?Dan bila Bujung-siansing sudi menghargai Toan-si dari Tayli, Beng-ong adalah sobat karibnja, seharusnja djuga suka memaklumi djiwanja itu.?

?Ja, namun tempo dulu Siauwtjeng sudah ketelandjur omong besar bahwa Siau-tjeng adalah Koksu (imam negara) dari Turfan, bukan sanak dan lain kadang daripada keluarga Toan di Tayli, djikalau Bujung-siansing merasa sungkan untuk memintanja sendiri, biarlah Siautjeng akan mewakilinja. Sekali seorang laki-laki sedjati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup tak boleh menjesal. Dari itu djandji Siautjeng kepada Bujung-siansing itu tidak nanti kudjilat kembali.?

Habis berkata, ia terus tepuk-tepuk tangan tiga kali. Maka masuklah dua laki-laki diluar itu sambil menggotong sebuah peti kaju tjendana dan ditaruh dilantai. Waktu lengan badju Tjiumoti mengebas, tanpa dibuka tutup peti itu lantas mengap sendiri. Maka tertampaklah sinar kemilauan, didalam peti itu terdapat sebuah kotak ketjil dari emas. Segera Tjiumoti ambil kotak emas itu dan disunggi diatas tangannja.

?Kita sama-sama orang diluar dunia ramai, masakah masih tamak terhadap benda mestika apa segala?? diam-diam Thian-in membatin. ?Apalagi keluarga Toan diagungkan sebagai radja di Tayli, dengan harta pusaka kumpulan selama ratusan tahun ini masakan masih kekurangan??

Diluar dugaan Tjiumoti lantas membuka tutup kotak emas itu, apa jang dikeluarkan dari kotak itu ternjata adalah tiga djilid kitab lama. Ketika ia balik-balik halaman kitab itu sekenanja, sekilas Thian-in dan lain-lain dapat melihat isi kitab itu ada gambarnja djuga ada tulisannja, semuanja tulisan tangan dari tinta merah.

Tiba-tiba Tjiumoti termangu-mangu, memandangi ketiga djilid kitab itu dengan air mata berlinang-linang, sikapnja sangat menjesal dan berduka luar biasa. Karuan Thian-in dan lain-lain mendjadi heran.

Namun Koh-eng Taysu lantas berkata: ?Beng-ong terkenang kepada sahabat jang sudah meninggal, batin belum bersih dari kedunawian, apakah tidak malu disebut Ko-tjeng (paderi saleh)??

?Taysu maha pintar dan maha sakti, sudah tentu Siautjeng tak mampu menjamai,? sahut Tay-lun-beng-ong. ?Tjuma ketiga djilid kuntji ilmu silat ini adalah tulisan tangan Bujung-siansing jang menguraikan tentang titik pokok ke-72 djenis ilmu tunggal dari Siau-lim-pay, diuraikan pula tentang tjara melatihnja dan tjara memetjahkannja.?

Halaman 9: Gambar

Tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengeluarkan sebuah kotak emas, dari kotak itu dikeluarkannja pula tiga djilid kitab jang sudah tua.

Semua orang terkedjut oleh keterangan itu, pikir mereka: ?Ilmu silat tunggal dari Siau-lim-pay termasjhur diseluruh dunia, konon sedjak Siau-lim-pay didirikan, ketjuali didjaman permulaan ahala Song pernah ada seorang paderi sakti jang berhasil melatih 36 djurus ilmu tunggal, selamanja tiada orang kedua lagi jang bisa melebihi dari itu. Tapi Bujung-siansing ini dapat memahami kuntji daripada ke-72 djenis ilmu silat Siau-lim-pay jang lihay, bahkan tentang tjara bagaimana mematahkan ilmu-ilmu silat itupun dapat dipetjahkannja, hal ini benar-benar susah untuk dimengarti orang.?

Maka berkatalah Tay-lun-beng-ong: ?Bujung-siansing telah menghadiahkan ketiga djilid kitab ini kepada Siautjeng, sesudah kubatja sungguh tidak sedikit Siautjeng memperoleh manfaatnja. Kini Siautjeng bersedia menukar ketiga djilid kitab ini dengan Lak-meh-kim-keng kalian. Pabila para Taysu setudju hingga Siautjeng dapat memenuhi djandji kepada sahabat lama, sungguh Siautjeng merasa terima kasih tak terhingga.?

Thian-in terdiam, pikirnja dalam hati: ?Apa jang tertjatat didalam kitab-kitab itu bila benar adalah ke-72 djenis ilmu tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami memperolehnja, bukan sadja dalam ilmu silat Thian-liong-si bakal sedjadjar dengan nama Siau-lim-si, bahkan mungkin dapat lebih tinggi daripada mereka. Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh ilmu Siau-lim-si, sebaliknja ilmu tunggal dari geredja kami tak diketahui oleh Siau-lim-si.?

Lalu Tay-lun-beng-ong menjambung lagi: ?Dan diwaktu kalian menjerahkan kitab pusaka kepadaku, silahkan menjalin dulu turunannja, dengan begitu pertama Taysu telah berbuat baik kepada Siautjeng, untuk mana aku takkan lupa sampai tua, sebaliknja tidak merugikan pihak Taysu; kedua, sesudah Siautjeng menerima kitab pusaka kalian, segera akan kubungkus rapat-rapat, sekali-sekali takkan mengintai isinja sedikitpun dan akan menjampaikan sendiri kitab pusaka kehadapan kuburan Bujung-siansing dan dibakar disana, dengan demikian ilmu sakti dari geredja kalian ini takkan tersiar diluaran; ketiga, ilmu silat Thian-liong-si memangnja sudah hebat, dengan tambahan ilmu-ilmu sakti ke-72 djenis dari Siau-lim-pay ini, diantaranja seperti ?Tjian-hoa-tji?, ?Bu-siang-djiat-tji? dan ?To-lo-yap-tji? sangat berguna djuga untuk bahan perbandingan dengan It-yang-tji kalian.?

Tjara berkata Tjiumoti itu sangat enak didengar dan menarik, masuk diakal pula, maka Po-ting-te dan Thian-siang Taysu jang lebih dulu tertarik. Tjuma diatas mereka masih ada Hongtiang serta sang Susiok, maka merekapun tidak enak untuk mengutarakan pikiran mereka.

Segera Tay-lun-beng-ong melandjutkan lagi: ?Mungkin usia Siautjeng masih muda dan pengalaman tjetek, apa jang kukatakan barusan belum tentu dapat dipertjajai para Taysu. Maka tentang ketiga djenis Tji-hoat (ilmu djari) tadi boleh djuga Siautjeng memberi demonstrasi sekedarnja sekarang.? ~ Segera ia berbangkit dan berkata pula: ?Tjuma apa jang dipahami Siautjeng ini masih sangat tjetek dan kasar, bila ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi petundjuk. Sekarang aku mulai dengan Tjiam-hoa-tji.?

Habis itu, tertampak ia menggunakan djari-djari djempol dan telundjuk kanan dengan gaja memetik bunga seakan-akan telah memetik setangkai bunga, dengan wadjah bersenjum kelima djari tangan kiri kemudian mendjentik pelahan kekanan.

Diantara semua orang jang berada didalam ruangan itu, ketjuali Toan Ki, jang lain-lain adalah ahli Tji-hoat kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa indah dan lemah-lembutnja gaja gerakan itu.

Setelah mendjentik belasan kali, tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengangkat lengan badju kanan, menjusul iapun meniup kemuka lengan badju sendiri itu, dalam sekedjap sadja bertebaranlah berpotong-potong kain ketjil sebesar mata uang hingga lengan badjunja berwudjut belasan lubang bundar.

Kiranja djentikan-djentikan ilmu ?Tjiam-hoa-tji? tadi telah mengenai lengan badju sendiri dari djauh, tenaganja lembut, tapi merusak badju, semula tampaknja badjunja tiada kurang suatupun apa, tapi sekali ditiup angin,

barulah kentara betapa sakti kepandaian paderi itu.

Thian-in, Thian-koan dan Po-ting-te saling pandang sekedjap, dalam hati mereka diam-diam terperandjat. Dengan ilmu It-yang-tji mereka, untuk melubang badju seperti itu tidaklah susah bagi mereka, tapi untuk mentjapai tingkatan selihay lawan itu, mau-tak-mau mereka harus mengaku masih kalah setingkat.

?Sekianlah,? kata Tjiumoti kemdian dengan tersenjum. ?Tenaga djari Tjiam-hoat-tji Siautjeng barusan terang djauh dibawah Hian-toh Taysu dari Siau-lim-si. Dan tentang ?To-lo-yap-tji? tentu sadja selisih lebih djauh lagi.?

Habis berkata, tjepat ia berputar mengitari peti kaju jang berada dilantai tadi dan menutuk beruntun-runtun dengan sepuluh djarinja, maka tertampaklah potongan kaju bertebaran dan dalam sekedjap sadja peti itu sudah berwudjut seonggok bubuk kaju.

Sebenarnja Po-ting-te dan lain-lain tidak heran oleh kepandaian orang meremukkan peti kaju mendjadi bubuk itu, tapi demi nampak engsel dan sebagainja dari logam jang berada dipeti itupun hantjur berkeping-keping oleh tenaga djarinja, mau-tak-mau mereka terkedjut djuga.

Lalu berkatalah Tjiumoti: ?Tjara Siautjeng menggunakan To-lo-yap-tji ini masih sangat hidjau, diharap para Taysu djangan mentertawakannja.? ~ Sembari berkata kedua tangannja sembari dimasukan dilengan badju sendiri. Mendadak tumpukan bubuk kaju itu bisa menari-nari diudara seakan-akan didalangi orang dengan sesuatu alat jang tak kelihatan.

Waktu Po-ting-te dan lain-lain memandang Tay-lun-beng-ong, paderi itu kelihatan tetap bersenjum simpul, djubahnja sedikitpun tidak bergerak, njata tenaga djarinja dilontarkan dari dalam lengan badjunja hinga tidak kelihatan wudjutnja.

?Ha, inilah Bu-siang-djiat-tji! (tutukan maut tak kelihatan) Sungguh hebat, kagum, kagum!? demikian seru Thian-siang Taysu tak tertahan.

?Ah, Taysu terlalu memudji,? udjar Tjiumoti. ?Padahal bubuk kajunja tampak bergerak, itu berarti masih kelihatan wudjutnja. Untuk bisa mentjapai tingkatan sesuai dengan namanja hingga tanpa kelihatan, rasanja perlu melatih diri seumur hidup.?

?Apakah didalam kitab pusaka tinggalan Bujung-siansing itu terdapat tjara-tjara untuk memetjahkan ?Bu-siang-djiat-tji? itu?? tanja Thian-siang.

?Ada,? sahut Tjiumoti. ?Ilmu pemetjahannja menggunakan nama seperti gelaran Taysu.?

Thian-siang merenung sedjenak, kemudian katanja: ?Ehm, namanja Thian-siang-tji-hoat, Thian-siang mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali.?

Setelah menjaksikan pertundjukan ketiga matjam tenaga djari sakti dari Tjiumoti itu, Thian-in, Thian-koan, dan Thian-som mendjadi tertarik djuga. Mereka tahu ketiga djilid kitab pusaka itu benar-benar memuat ke-72 djenis ilmu tunggal Siau-lim-si jang termasjhur diseluruh dunia, apakah mesti terima tawaran tukar-menukar dengan ?Lak-meh-sin-kiam,? sungguh hal ini sangat meragukan.

Maka berkatalah Thian-in: ?Susiok, djauh-djauh Beng-ong telah berkundjung kemari, suatu tanda betapa teguh maksud tudjuannja ini. Lantas bagaimana kita harus bertindak, harap Susiok suka memberi petundjuk.?

?Thian-in, apa tudjuan kita beladjar silat dan melatih diri?? tanja Koh-eng Taysu tiba-tiba.

Sama sekali Thian-in tidak menduga bakal ditanja demikian oleh sang Susiok, ia rada terkesiap, tapi segera djawabnja; ?Demi membela agama dan negara.?

?Pabila kita kedatangan orang djahat dan kita tidak dapat menginsafkannja dengan djalan Budha dan terpaksa mesti turun tangan membasminja, untuk mana harus menggunakan ilmu apa?? tanja Koh-eng pula.

?Djika sudah terpaksa, harus menggunakan It-yang-tji,? sahut Thian-in.

?Dan dalam hal It-yang-tji, sampai ditingkatan berapa engkau telah berhasil menjakinkannja?? tanja Koh-eng.

?Tetju terlalu bodoh, diwaktu latihan kurang giat, maka sampai sekarang baru mentjapai tingkatan kelima,? djawab Thian-in dengan berkeringat.

?Kalau menurut pendapatmu, It-yang-tji dari keluarga Toan di Tayli ini bila dibandingkan Tjiam-hoa-tji, To-lo-yap-tji dan Bu-siang-djiat-tji dari Siau-lim-si itu, jang manakah lebih bagus dan jang mana lebih djelek??

?Ilmu tutukan itu sama2 bagus dan tergantung keuletan masing2.? sahut Thian-in.

?Benar, dan kalau It-yang-tji kita dapat dilatih sampai tingkatan tertinggi, lalu bagaimana??

?Dalamnja susah didjadjaki, Tetju tidak berani sembarangan omong!?

?Bila engkau misalnja dapat hidup seabad lagi, dapatkah engkau mejakinkan sampai tingkat keberapa??

Keringat didjidat Thian-in mulai ber-ketes2, djawabnja dengan gemetar: ?Tetju tak dapat mendjawab.?

?Dapatkah mentjapai tingkatan pertama?? tanja Koh-eng.

?Pasti takkan dapat,? sahut Thian-in.

Maka Koh-eng Taysu tidak bitjara lagi.

Achirnja Thian-in berkata pula: ?Petundjuk Susiok memang tepat. Sedangkan It-yang-tji sendiri sadja kita tak mampu menjakinkannja hingga sempurna, untuk apa mesti mengambil kepandaian orang lain lagi? Beng-ong telah datang dari djauh, biarlah kami sekedar memenuhi kewadjiban sebagai tuan rumah.? ~ Dengan utjapannja ini, tegasnja ia telah tolak tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.

Tjiumoti menghela napas, katanja kemudian: ?Ai, semuanja gara2 mulut Siautjeng jang usil, kalau tidak, tentunja tidaklah sesulit seperti sekarang ini. Tapi ada djuga sepatah kata Siautjeng jang mungkin kurang sopan, pabila Lak-meh-sin-kiam itu benar2 sebagus seperti apa jang dikatakan Bujung-siansing, sekalipun geredja kalian memiliki lukisan pusakanja, namun bukan mustahil belum ada seorangpun jang berhasil mejakinkannja. Dan kalau ada jang dapat mejakinkan, tentu ilmu pedang itulah jang tidak sebagus seperti jang dikagumi Bujung-siansing.?

?Sebenarnja ada sesuatu jang Lolap merasa tidak mengarti, bolehkah Beng-ong suka memberi pendjelasan?? tanja Koh-eng.

?Silahkan?? sahut Tjiumoti.

?Tentang geredja kami memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng itu sekalipun anggota keluarga Toan kami djuga tiada jang tahu, tapi darimanakah Bujung-siansing bisa mengetahuinja?? tanja Koh-eng.

?Hal itu dahulu djuga tidak diterangkan oleh Bujung-siansing.? kata Tjiumoti. ?Tapi menurut dugaan Siautjeng, tentunja ada hubungannja dengan Yan-king Thaytju dari keluarga Toan.?

Thian-in angguk2 dan ikut bertanja: ?Djadi Yan-king Thaytju kenal pada Bujung-siansing??

?Ja, pernah Bujung-siansing memberi petundjuk beberapa djurus ilmu silat padanja, tapi menolak menerimanja sebagai murid.?

?Sebab apa menolak?? tanja Koh-eng Taysu.

?Itu adalah urusan pribadi Bujung-siansing, Siautjeng tidak enak banjak menanja.? sahut Tjiumoti. Dibalik kata2nja ini se-akan2 djuga minta Koh-eng djangan banjak menanja.

Tapi Koh-eng djusteru berkata pula: ?Yan-king Thaytju itu adalah keturunan Toan-si kami. segala tindak-tanduknja diluar, Thian-liong-si dan kepala keluarga Toan berhak mengurusnja?.

?Benar,? sahut Tjiumoti dengan tawar.

Segera Thian-in Hongtiang ikut berkata: ?Selama belasan tahun Susiok kami tidak menemui orang luar, tapi mengingat Beng-ong adalah Ko-tjeng (paderi saleh) didjaman ini, barulah Susiok mau menemuinja. Sekarang sudah selesai, silahkanlah!? ~ sembari berkata ia terus berdiri sebagai tanda menjilahkan tamunja pergi.

Namun Tjiumoti menjahuti: ?Bila Lak-meh-sin-kiam tjuma pudjian kosong sadja, mengapa kalian memandangnja begitu penting hingga mesti mengorbankan persahabatan Thian-liong-si dengan Tay-lun-si serta antara Tayli dan Turfan??

?Apakah Beng-ong maksudkan, pabila kami tidak meluluskan permintaanmu, Tayli dan Turfan akan terdjadi perang?? tanja Thian-in.

Sebagai kepala negara, sudah tentu Po-ting-te paling tertarik oleh tanja-djawab terachir itu.

Pelahan2 Tjiumoti berkata: ?Sudah lama Koktju kami kagum pada negeri Tayli jang makmur, sudah lama beliau ingin mengadakan perburuan kesini. Tapi Siautjeng pikir tindakan itu pasti akan banjak ambil korban djiwa dan harta, maka selama beberapa tahun Siautjeng selalu berusaha mentjegahnja.?

Sudah tentu Thian-in dan lain2 memahami kata2 orang jang bersifat mengantjam itu. Sebab Tjiumoti adalah Koksu dari negeri Turfan. Seperti djuga Tayli, rakjat Turfan djuga memeluk agama Budha dan Tjiumoti itu sangat mendapat kepertjajaan Koktju, perang atau damai banjak besar tergantung kepada kekuasaannja. Kini kalau tjuma urusan sedjilid kitab hingga kedua negeri mesti terlibat dalam peperangan, hal ini benar2 tidak perlu. Tapi bila sedikit digertak lantas menjerahkan mentah2 apa jang diminta, bukankah sangat merosotkan kehormatan Thian-liong-si dan keradjaan Tayli?

Maka berkatalah Koh-eng Taysu: ?Djikalau Beng-ong bertekad harus mendapatkan kitab kami ini, mengapa Lolap mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu tunggal dari Siau-lim-si, kamipun tidak berani menerimanja. Meski sudah berpuluh tahun Lolap menghadap dinding, namun tahu djuga bahwa kepandaian Beng-ong dari Tay-lun-si itu djauh lebih hebat daripada 72 djenis ilmu2 dari Siau-lim-pay.?

Tjiumoti merangkap kedua tangannja dan berkata: ?Apakah maksud Taysu jalah supaja Siautjeng mempertundjukan sedikit kepandaianku jang djelek ini??

?Beng-ong mengatakan bahwa Lak-meh-sin-kiam-keng kami tjuma pudjian kosong belaka dan tidak berguna dipraktekan, maka biarlah kami lantas beladjar kenal beberapa djurus dengan Beng-ong,? demikian sahut Koh-eng. ?Apakah memang benar seperti apa jang dikatakan Beng-ong bahwa Lak-meh-kiam-hoat kami ini hanja bernama kosong dan tidak berguna, lalu untuk apalagi mesti kami sajangkan? Dengan rela akan kami serahkan kitab jang diminta Beng-ong.?

Diam2 Tjiumoti terkesiap oleh djawaban itu. Dahulu diwaktu ia berbitjara tentang ?Lak-meh-sin-kiam? dengan Bujung-siansing, keduanja berpendapat Kiam-hoat itu memang sangat bagus, tapi mungkin susah dijakinkan oleh tenaga manusia. Kini mendengar utjapan Koh-eng, agaknja bukan Koh-eng sadja jang dapat memainkan Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannja jang lain djuga bisa. Tapi segera iapun mendjawab: ?Djikalau Taysu sekalian sudi memberi petundjuk dengan Sin-kiam jang hebat itu, sungguh Siautjeng merasa sangat beruntung sekali.?

?Sendjata apa jang dipakai Beng-ong, silahkan mengeluarkan,? kata Thian-in segera.

Tiba2 Tjiumoti menepuk tangan, maka masuklah laki2 tinggi besar jang menunggu diluar itu. Tjiumoti berkata beberapa patah dalam basa asing dan laki2 itupun meng-angguk2, lalu keluar dan membawa masuk seikat dupa kepada Tjiumoti, kemudian laki2 itu undurkan diri pula keluar.

Semua orang merasa heran untuk apakah dupa itu. Dupa itu adalah benda lemah dan mudah patah, masakan dapat digunakan sebagai sendjata?

Tertampak Tjiumoti lolos sebatang dupanja, lalu tangan lain meraup segenggam bubuk kaju terus dikepal hingga mengeras, dupa itu lantas ditantjapkan ditengahnja dan ditaruh diatas lantai. Dengan tjara jang sama ia djadjarkan enam batang dupa dengan djarak kira2 belasan senti satu sama lain. Menjusul ia meng-gosok2 kedua telapak tangannja terus menggesek kedepan, berbareng udjung keenam batang dupa itu lantas menjala dan tersulut.

Karuan Thian-in dan lain2 terkedjut, betapa tinggi tenaga dalam paderi asing ini sungguh sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te lantas mengendus pula bau belirang jang terbakar, maka tahulah mereka, kiranja diputjuk dupa2 itu terdapat obat bakar, sekali Tjiumoti menggosok obat bakar itu dengan tenaga dalamnja, segera dupa2 itu menjala.

Meski perbuatan itu tidak mudah dilakukan, namun Po-ting-te merasa dirinja masih mampu melakukannja djuga.

Sesudah menjala, asap dupa lantas mengepul mendjadi enam djalur. Tjiumoti berduduk sambil kedua tangannja terpentang mentjakup kedepan, sekali ia kerahkan tenaga dalamnja, keenam djalur asap itu terus membengkok dan menudju kearah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.

Kiranja ilmu Tjiumoti ini disebut ?Hwe-yam-to? atau golok berkorbarnja api. Meski tanpa wudjut dan takdapat diraba, tapi lihaynja bukan kepalang untuk membinasakan lawan. Namun maksud tudjuan Tjiumoti sekarang tjuma ingin mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka hanja enam batang dupa dinjalakan untuk menundjukan kemana arah tenaga serangannja ditudjukan, pertama sebagai tanda ia telah jakin pasti lebih unggul dari lawan2nja, kedua sebagai tanda welas-asihnja jang tidak ingin membunuh orang, tapi tjuma saling mengukur kepandaian silat masing2.

Begitulah, ketika enam djalur asap itu sampai didepannja Thian-in dan lain2, mendadak asap itu lantas berhenti dan tidak menjambar madju lagi.

Sungguh kedjut Thian-in dan lain2 bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak madjunja asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk memberhentikannja, terang kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada jang duluan.

Thian-som tidak mau undjuk lemah, sekali djari ketjil kiri terangkat, ?tjus,? sedjalur hawa putih djuga memantjar dari Siau-tjiong-hiat kearah asap jang berada didepannja. Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, tjepat luar biasa tali asap itu lantas menjambar kembali kearah Tjiumoti. Tapi ketika sudah dekat, waktu tenaga ?Hwe-yam-to? jang dikerahkan Tjiumoti diperkeras lagi, djalur asap itu lantas berhenti dan tidak mampu madju lagi.

?Ehm, memang hebat,? kata Tjiumoti sambil memanggut. ?Ternjata didalam Lak-meh-sin-kiam memang adalah satu tjabang ?Siau-tjiong-kiam? seperti ini.

Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa kalau dirinja tetap duduk, daja tekanan ilmu pedangnja itu akan susah dilantjarkan. Maka segera ia berdiri dan melangkah tiga tindak kekiri, dengan tenaga dalamnja itu ia menjerang lebih kuat dari sana.

Segera Tjiumoti angkat tangan kiri dan tenaga serangan itu lantas tertahan.

Thiam-koan ikut bertindak djuga, sekali djari tengahnja menegak, ?tjus,? iapun menusuk kedepan dengan ?Tiong-tjiong-kiam?.

?Bagus, inilah Tiong-tjiong-kiam-hoat!? seru Tjiumoti sambil menangkis. Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak tampak ia terdesak.

Toan Ki duduk didepannja Koh-eng, ia dapat menoleh kekanan dan miring kekiri untuk mengikuti pertarungan hebat jang susah diketemukan dalam Bu-lim itu. Meski dia tidak paham ilmu silat, tapi tahu djuga bahwa Hwesio2 itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka, lihay dan bahajanja pertandingan Lwekang ini djauh lebih hebat daripada bertanding dengan sendjata tadjam.

Ia lihat djurus2 ilmu pedang dan golok jang dikeluarkan Tjiumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat. Setelah belasan djurus, tiba2 pikirannja tergerak: ?He, bukankah Tiong-tjiong-kiam jang dimainkan Thian-koan Taysu itu tiada ubahnja seperti apa jang kubatja dalam gambar itu?? ~ pelahan2 ia lantas membuka lukisan Tiong-tjiong-kiam-hoat jang memang terletak didepannja itu. Ia tjotjokan antara gerakan hawa putih jang menjambar kian kemari itu dengan petundjuk dalam gambar, njata ilmu pedang itu memang sama, maka djelaslah baginja ilmu pedang itu.

Sungguh girang Toan-ki bukan buatan. Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat jang dimainkan Thian-som itu. Ilmu pedang inipun sama dengan gambar. Tjuma Tiong-tjong-kiam-hoat itu lingkungannja lebih luas dan daja tekannja lebih keras, sebaliknja Siau-tik-kiam lebih lintjah, menjusup kian kemari dengan matjam2 perubahan jang rumit.

Melihat kedua Sutenja sama sekali tidak lebih unggul menggerojok Tjiumoti, Thian-in mendjadi kuatir latihan mereka belum masak, djangan2 segala gaja permainan mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong jang maha pintar itu. Segera ia berseru: ?Thian-siang dan Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!?

Berbareng Thian-in atjungkan djari telundjuknja, ia keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menjusul Thian-siang djuga memainkan ?Siau-tjiong-kiam? dengan djari ketjil kanan. Sedang Po-ting-te menjerang dengan ?Koan-tjiong-kiam,? jaitu dengan djari manis.

Tiga arus hawa pedang jang hebat serentak menerdjang kearah tiga djalur asap musuh.

Sudah tentu jang paling untung adalah Toan Ki, melihat ?Siang-yang-kiam? jang dilontarkan Thian-in itu djauh lebih kuat daripada Thian-som berdua, tjepat ia membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia mendjadi lebih heran pula ketika melihat gerakan ilmu pedang sang paman sebaliknja sangat lambat dan berat.

Memang diantara djari2 tangan umumnja djari telundjuk paling lintjah dan hidup, sebaliknja djari manis kaku dan bodoh. Makanja Sian-yang-kiam mengutamakan kegesitan dan kelintjahan, sebaliknja Koan-tjiong-kiam gerak-geriknja lambat dan berat.

Saking asjiknja Toan Ki mengikuti ilmu2 pedang itu sambil berpaling kesini dan menoleh kesana, tanpa merasa suatu waktu kepalanja telah menempel didepan hidungnja Koh-eng Taysu. Ia merasa risih ketika tengkuknja se-akan2 di-sebul2 karena napas orang tua itu. Tanpa sengadja ia terus mendongak, tapi apa jang dilihatnja membuatnja ternganga kaget.

Ternjata wadjah jang dilihatnja itu aneh luar biasa, separoh muka sebelah kiri merah bertjahaja, daging penuh, kulit gilap, mirip muka anak ketjil. Tapi muka jang separoh sebelah kanan kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Ketjuali kulitnja jang kuning hangus itu, sedikitpun tiada dagingnja hingga tulang pipinja menondjol mirip setengah rangka tengkorak sadja.

Dalam kagetnja tjepat2 Toan Ki menoleh dan tidak berani memandang lagi, hatinja mendjadi ber-debar2 pula. Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat mejakinkan ?Koh-eng-sian-kang? ilmu Budha subur dan kering, makanja wadjahnja separoh ?koh? (kering) dan separoh ?eng? (subur).

Tiba2 Koh-eng Taysu membisikinja: ?Kesempatan bagus djangan dibuang, lekas perhatikan ilmu pedang!?

Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan tjepat mentjurahkan perhatiannja untuk mengikuti ilmu pedang Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta ditjotjokan dengan gamabr2 Kiam-boh jang bersangkutan.

Bila kemudian ketiga tjabang Kiam-hoat itupun sudah selesai dipeladjarinja, sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan Thian-koan sudah ulangan kedua kalinja. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnja, Toan Ki sudah dapat memahami dimana letas kebagusan Lak-meh-kiam-hoat itu. Ia merasa garis2 jang terlukis digambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih jang dipantjarkan dengan tenaga dalam itu benar2 tiada habis2 perubahannja dan dapat dikerahkan pergi-datang dengan hidup, kalau dibandingkan apa jang terlukis digambar, terang lebih ruwet tapi lebih padat.

Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat jang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te djuga sudah selesai. Tiba2 djari2 ketjil Thian-siang mendjentik pula dengan djurus ?Hun-hoa-hut-liu? atau membelai bunga menjingkap daun Liu. Njata untuk kedua kalinja ia telah mainkan ilmu pedangnja pula.

Tjiumoti mengangguk sedikit. Menjusul Thian-in dan Po-ting-te djuga mengadakan perobahan pula dari permainan ilmu pedang mereka jang sudah selesai itu. Tapi mendadak didepan tubuh Tjiumoti bersuara mentjitjit daja tekan ?Hwe-yam-to? ternjata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan pedang kelima lawannja ditolak kembali semua.

Kiranja semula Tjiumoti tjuma bertahan sadja dengan tudjuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima orang lawannja itu hingga selesai, habis itu barulah mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah balas menjerang, kelima djalur asap putih segera menari dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang djalur asap keenam tetap berhenti kira2 satu meter dibelakang tubuh Koh-eng Taysu.

Koh-eng Taysu sengadja hendak melihat sampai dimana kekuatan bertahan musuh. Namun Tjiumoti sadar djuga bila terlalu lama menahan djalur asap jang keenam itu, tenaga dalamnja jang terbuang akan terlalu banjak. Maka kini ia mulai pusatkan tekanannja kedjalur asap keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak madju kebelakang kepalanja Koh-eng.

Toan Ki mendjadi kuatir, tjepat katanja: ?Thaysuhu, awas, djalur asap musuh sedang menjerang engkau.?

Koh-eng meng-angguk2, ia terus membentang lukisan ?Siau-siang-kiam,? jaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam menurut gambar jang harus dimainkannja itu didepan Toan Ki.

Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian, segera ia membatja isi daripada gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siangkiam dalam lukisan itu hanja sederhana sadja garis2 petundjuknja, tapi memiliki tenaga maha kuat jang tiada taranja.

Sambil membatja lukisan itu, Toan Ki tidak lupa djalur asap musuh jang mengantjam Koh-eng tadi. Ketika ia menoleh pula, ia lihat djalur asap itu tinggal beberapa senti sadja dibelakang kepalanja Koh-eng. Ia mendjadi kaget dan berseru: ?Awas!?

Mendadak Koh-eng membaliki tangannja kebelakang, kedua djari djempolnja menahan kedepan berbareng, dengan suara mentjitjit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan dan pundak kiri Tjiumoti. Kiranja serangan musuh tadi tak ditangkisnja, sebaliknja Koh-eng melakukan serangan kilat diluar dugaan musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat madjunja, untuk bisa mengenai dirinja masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia bisa mendahului menjerang sasarannja, tentu musuh akan kerepotan.

Tjiumoti sendiri dapat memikirkan kemungkinan2 itu, maka sebelumnja ia sudah bersiap untuk mendjaga kalau mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu jang merupakan lawan paling kuat. Tapi jang dia duga tjuma satu djurus serangan Siau-yang-kiam jang lihay dan tidak menjangka Koh-eng sekaligus dapat menjerang dua pedang dengan sasaran dua tempat. Tjepat ia kerahkan tenaga jang sudah disiapkan itu untuk menangkis tenaga tusukan jang mengarah dadanja itu, menjusul kakinja memetul, baru2 ia melompat mundur dengan tjepat. Tapi betapapun tjepatnja tetap kalah tjepat daripada hawa pedang jang tak kelihatan itu, ?tjret,? tahu2 djubah bagian pundak terobek dan merembes keluar darah.

Saat lain Koh-eng Taysu telah tarik kembali djarinja dan hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah keenam batang dupa sekaligus.

Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain2 ikut menarik kembali djuga hawa pedang mereka, perasaan kuatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.

Tjiumoti melangkah madju lagi, katanja: ?Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnja, Siautjeng merasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sin-kiam itu, ha, kiranja tjuma omong kosong belaka.

?Kenapa omong kosong, silahkan memberi pendjelasan.? kata Thian-in.

?Dahulu jang dikagumi Bujung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin (barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam,? sahut Tjiumoti ?Walaupun benar Kiam-tin dari Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur djuga tidak lebih seperti Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kun-goan-kiam-tin dari Kun-lun-pay. Agaknja belum dapat dikatakan Kiam-tin jang tiada bandingannja didunia ini.

Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat, Tjiumoti anggap dirinja sekaligus telah menandingi keenam lawan, sebaliknja pihak lawan tiada

seorangpun jang mampu menggunkan Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinja memainkan Hwe-yam-to itu.

Thian-in merasa apa jang dikatakan orang memang benar, ia mendjadi bungkam takbisa mendjawab. Namun Thian-som lantas tertawa dingin, katanja: ?Biar Kiam-tin atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi apakah Beng-ong jang telah menang atau pihak Thian-liong-si kami jang telah menang??

Tjiumoti tidak mendjawab, ia pedjamkan mata memikir sedjenak, selang agak lama, lalu djawabnja: ?Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini Siautjeng sudah pasti akan menang.?

Halaman 21: gambar

Dengan tenaga ?Hwe-yam-to-hoat? jang hebat, seorang diri Tay-lun-beng-ong menandingi Lak-meh-sin-kiam jang dimainkan Koh-eng Taysu dan Thian-in berenam.

Thian-in terkedjut, tanjanja: ?Djadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi??

?Apa boleh buat,? sahut Tjiumoti. ?Seorang laki-laki harus dapat dipertjaja. Sekali Siautjeng sudah berdjandji pada Bujung-siansing, mana boleh mundur setengah djalan??

?Lalu, andalan apa Beng-ong jakin pasti akan menang?? tanja Thian-in.

Tjiumoti tersenjum, sahutnja: ?Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakan masih belum dapat menerkanja? Terimalah seranganku!? ~ Sembari berkata, kedua tangannja terus mendorong kedepan dengan pelahan.

Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika merasa didesak oleh dua arus tenaga dalam jang kuat dari arah-arah jang berlainan. Thian-in dan lain-lain merasa daja tekanan musuh itu tidak kuat untuk ditahan oleh ilmu Lak-meh-sin-kiam, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk menangkis, hanja Koh-eng Taysu sadja tetap pakai kedua djari djempol untuk menjambut tenaga musuh dengan ilmu ?Siau-yang-kiam? dari Lak-meh-sin-kiam itu.

Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu, segera Tjiumoti menarik kembali lagi serangannja dan berkata: ?Maaf!?

Thian-in saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te, keduanja sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to paderi asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sin-kiam mereka. Sekali bergerak Tjiumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga jang berlainan, maka sekalipun Siau-yang-kiam jang telah dilontarkan Koh-eng Susiok itu mendesak lebih kuat djuga tak mampu menangkan dia.

Pada saat itu djuga, tiba-tiba tampak ada asap mengepul didepan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul mendjadi empat djurusan dan mengepung kearah Tjiumoti.

Terhadap Hwesio jang duduk menghadapi dinding itu memangnja Tjiumoti sangat djeri, kini mendadak nampak ada asap hitam menjerang kearahnja, seketika ia mendjadi bingung apa masksud orang, iapun keluarkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan dari empat djurusan dan tidak balas menjerang, disamping berdjaga-djaga kalau Thian-in dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam iapun memperhatikan serangan apa jang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.

Namun jang kelihatan hanja asap hitam makin lama makin tebal, daja serangan Koh-eng bertambah hebat. Diam-diam Tjiumoti mendjadi heran: ?Tjara serangannja dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama? Koh-eng Taysu adalah seorang paderi terkemuka didjaman ini, kenapa menggunakan tjara keras seperti ini??

Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin begitu semberono, tentu dibalik serangannja itu ada pula muslihat lain, maka dengan siap siaga ia menantikan segala kemungkinan.

Selang tak lama, mendadak empat djalur asap itu terpentjar lagi, satu mendjadi dua dan dua mendjadi empat, dalam sekedjap sadja djalur asap berubah mendjadi 16 djalur dan merubung kearah Tjiumoti.

?Hanja kekuatan panah jang sudah hampir djatuh, apa artinja?? demikian pikir Tjiumoti sambil mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap djalur asap lawan.

Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba djalur-djalur asap itu bersebaran memenuhi seluruh ruangan itu hingga seperti kabut tebal. Namun sedikitpun Tjiumoti tidak gentar, iapun kerahkan antero kekuatannja untuk

melindungi seluruh tubuhnja. Lambat-laun kabut asap itu tampak mulai menipis, Thian-in berlima kelihatan berlutut dilantai dengan sikap sungguh-sungguh, bahkan wadjah Thian-koan dan Thian-som tampak mengundjuk rasa sedih.

Tjiumoti tertegun sedjenak, segera ia mendjadi sadar: ?Wah, tjelaka! Kiranja situa Koh-eng ini insaf tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-kiam-boh telah dibakar olehnja.?

Ternjata lukisan-lukisan Lak-meh-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-tji jang dipantjarkan Koh-eng Taysu itu. Ia kuatir kalau Kiam-boh itu akan direbut Tjiumoti, maka untuk mengelabui lawan itu, ia sengadja menjerangnja dengan kabut asap, ketika kabut asap lenjap, sementara itu Lak-meh-kiam-boh djuga sudah terbakar habis.

Thian-in dan kawan-kawannja adalah tokoh-tokoh ahli It-yang-tji, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka lantas tahu sebab-musababnja. Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri daripada benda itu djatuh ditangan musuh. Dan dengan demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lun-beng-ong mendjadi takbisa diselesaikan dengan mudah.

Kedjut dan gusar Tjiumoti tak terkatakan, biasanja ia sangat andalkan ketjerdasannja, tapi kini telah dua kali ketjundang dibawah tangannja Koh-eng Taysu. Dan kalau Lak-meh-kiam-boh sudah terbakar, perdjalanannja ini mendjadi sia-sia belaka tanpa hasil, sebaliknja malah sudah mengikat permusuhan dengan Thian-liong-si. Segera ia berkata sambil memberi hormat: ?Buat apa Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini? Siautjeng mendjadi merasa tidak enak mengakibatkan musnanja kitab pusaka kalian, baiknja kitab itu toh takkan dapat dilatih oleh tenaga seorang sadja, musna atau tidak memangnja djuga sama. Siautjeng mohon diri.?

Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi sesuatu djawaban, sedikit ia memutar tubuh, sekonjong-konjong pergelangan tangan Po-ting-te terus ditjekalnja, lalu katanja pula: ?Koktju (kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama kebesaran Po-ting-te serta sangat ingin dapat berkenalan, maka sekarang djuga silahkan ikut Siautjeng pergi ke Turfan.?

Kedjadian ini benar-benar diluar dugaan dan sangat mengedjutkan. Serangan mendadak itu ternjata sama sekali takdapat dihindari oleh Po-ting-te jang berilmu silat setinggi itu, apalagi Kim-na-djiu-hoat atau ilmu tjara menangkap dan mentjekal Tjiumoti itu sangat aneh, sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun dengan tjepat Po-ting-te harus kerahkan tenaga dalamnja untuk melepaskan diri dari tutukan orang, namun sama sekali tidak berhasil. Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap waktu dapat terantjam, maka orang lain mendjadi sangat sulit untuk menolongnja. Meski Thian-in dan lain-lain merasa tindakan Tjiumoti itu terlalu rendah, sangat

merosotkan pamornja sebagai tokoh ternama, tapi mereka tjuma marah belaka tanpa berdaja.

Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahak-bahak, katanja kemudian: ?Dia dahulu memang benar adalah Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan tahta dan mendjadi paderi, gelarnja Thian-tim. Nah, Thian-tim, djika kepala negara Turfan sudah mengundang kau, tiada halangannja engkau ikut berkundjung kesana.?

Dalam keadaan terpaksa, mau-tak-mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinja dalam kedudukannja sebagai radja Tayli ditawan oleh musuh, tentu Tjiumoti akan pandang dirinja sebagai tawanan mahal. Tapi kalau dirinja sudah meletakkan tahta dan kini sudah mendjadi Hwesio, maka apa jang ditawan Tjiumoti sekarang tidak lebih tjuma seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si sadja, boleh djadi dirinja akan segera dibebaskan.

Akan tetapi Tjiumoti tidak mudah diakali. Sebelumnja ia sudah menjelidiki dan tahu didalam Thian-liong-si itu ketjuali Koh-eng Taysu, diantara paderi-paderi angkatan ?Thian? tjuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba telah bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga dalamnja djuga tidak lebih lemah daripada keempat paderi jang lain, pula dari wadjahnja jang kereng dan sikapnja jang agung, begitu melihat segera Tjiumoti mendjuga dia pasti adalah Po-ting-te.

Ketika mendengar Koh-eng Taysu menjatakan Po-ting-te sudah meletakkan tahtanja dan mendjadi Hwesio, diam-diam Tjiumoti memikir pula: ?Ja, konon setiap radja Tayli bila sudah landjut usianja tentu mengundurkan diri untuk kemudian mendjadi paderi, maka kini kalau Po-ting-te djuga menjutjikan diri ke Thian-liong-si sini, hal inipun tidak mengherankan. Tapi umumnja seorang radja mendjadi Hwesio tentu diadakan upatjara keagamaan setjara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan setjara diam-diam tanpa diketahui umum.?

Karena itu, segera katanja pula: ?Baik Po-ting-te sudah mendjadi Hwesio ataupun belum, pendek kata aku harus mengundangnja berkundjung ke Turfan untuk menemui kepala negara kami.? ~ Sembari berkata, terus sadja Po-ting-te diseretnja menudju keluar.

?Nanti dulu!? seru Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka sudah mengadang diambang pintu.

?Siautjeng tiada maksud membikin susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa Siautjeng tidak dapat mendjamin keselamatannja lagi,?

kata Tjiumoti. Berbareng tangannja bersiap-siap mengantjam dipunggungnja Po-ting-te.

Thian-in tjukup kenal betapa lihaynja orang, sekali Po-ting-te sudah ditjengkeram urat nadinja, pasti tak berdaja lagi untuk melawan. Maka ia mendjadi bungkam, tapi tetap mengadang ditempatnja.

?Kedatangan Siautjeng kesini tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap mendiang Bujung-siansing, beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting Hongya, tidaklah hilang sama sekali arti perdjalananku ini, maka sukalah kalian memberi djalan,? kata Tjiumoti.

Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu-ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh kena digondol lari oleh musuh?

Tjiumoti mendjadi tidak sabar, serunja: ?Kabarnja para paderi dalam Thian-liong-si sini sangat bidjaksana, kenapa menghadapi urusan ketjil ini mesti bingung seperti anak ketjil sadja??

Dalam pada itu jang paling kuatir adalah Toan Ki ketika melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari tangan musuh, siapa tahu makin lama Tjiumoti makin garang. Thian-in dan lain-lainpun tampak tjemas dan gusar, tapi toh takbisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi setindak Tjiumoti mulai melangkah keluar. Toan Ki mendjadi gugup, tanpa pikir lagi ia terus berteriak: ?Hai, lepaskan pamanku!? ~ Segera ia pun berdjalan keluar dari aling-alingnja Koh-eng Taysu.

Sedjak tadi Tjiumoti sudah mengetahui djuga didepan Koh-eng ada berduduk seorang lagi jang tak diketahui siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menjuruh seorang duduk didepannja. Kini melihat orang itu bertindak keluar, ia mendjadi heran, tanjanja segera: ?Siapakah engkau??

?Tak perlu kau tanja siapa aku, lekas engkau lepaskan pamanku,? sahut Toan Ki sambil ulur tangannja hendak menarik tangan Po-ting-te jang lain.

Po-ting-te mendjabat djuga tangan Toan Ki jang diulurkan sambil berkata: ?Ki-djie, djangan kau urus diriku, lekas kau pulang dan minta ajahmu segera naik tahta menggantikan aku. Kini aku sudah berupa seorang Hwesio tua jang tiada artinja, buat apa dipikirkan??

Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika tubuh Po-ting-te tergetar, segera ia merasakan daja sedot ?Tju-hap-sin-kang? dari tubuhnja Toan Ki. Dan pada saat jang sama djuga, Tjiumoti djuga merasakan tenaga murninja terus merembes keluar. Dalam hal Lwekang Tjiumoti lebih tinggi banjak daripada Po-ting-te, ia menjangka Po-ting-te sedang menggunakan sematjam ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnja, tjepat ia himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni dengan Po-ting-te.

Kalau Po-ting-te tertawan oleh Tjiumoti adalah dikarenakan sama sekali tidak menduga paderi asing itu bakal berbuat setjara pengetjut, tapi tenaga dalam dan ilmu silat Po-ting-te sedikitpun tidak berkurang, maka ketika mendadak merasa kedua tangan sendiri berbareng timbul dua arus tenaga maha kuat saling membetot keluar, terus sadja timbul akalnja untuk ?memindjam tenaga orang untuk melawan tenaga jang lain,? ia gunakan ilmu itu untuk mempertemukan kedua arus tenaga jang hebat itu. Dan begitu kedua tenaga itu saling bentrok, Po-ting-te jang berada ditengah itu mendjadi bebas dari ikatan tenaga-tenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Tjiumoti. Tjepat ia melompat mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersjukur harini ternjata berkat pertolongan keponakannja itu.

Dalam pada itu kedjut Tjiumoti sungguh tak terkatakan, pikirnja: ?Ternjata dunia persilatan di Tionggoan telah muntjul pula seorang djago kelas wahid, mengapa aku sama sekali tidak mengetahui? Usia orang ini paling banjak tjuma 20-an tahun, mengapa sudah setinggi ini kepandaiannja??

Tadi Tjiumoti mendengar Toan Ki mendengar Po-ting-te sebagai paman, ia mendjadi lebih ragu-ragu lagi, sebab selamanja belum didengarnja bahwa diantara angkatan muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh kelas satu begini? Sungguh tak tersangka olehnja bahwa sergapannja jang sudah berhasil menawan Po-ting-te itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda tak terkenal, tentu sadja membuatnja sangat penasaran.

Maka dengan mengangguk pelahan kemudian iapun berkata: ?Selamanja Siautjeng menjangka Toan-si di Tayli ini kusus hanja mejakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak mempeladjari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanja jang gagah begini ternjata sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk mempeladjari ?Hoa-kang-tay-hoat? jang aneh itu. Aneh, sungguh aneh!?

Njata biarpun Tjiumoti seorang tjerdik pandai djuga telah salah sangka Tju-hap-sin-kang jang dimiliki Toan Ki itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.

Dengan tertawa dingin Po-ting-te lantas mendjawab: ?Sudah lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang saleh dan mempunjai pengetahuan luas, tapi mengapa bisa menarik kesimpulan jang lutju itu? Sing-siok Lomo (iblis tua

dari Sing-siok-hay) banjak melakukan kedjahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mempunjai hubungan apa-apa dengan dia??

Dan sedang Tjiumoti tertjengang oleh djawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut berkata: ?Engkau adalah tamu, maka Thian-liong-si menjambut engkau dengan hormat, tapi setjara litjik engkau telah membokong pamanku, mengingat kita sesama murid Budha, maka kami berusaha mengalah sedapat mungkin, sebaliknja kau semakin mendapat hati, seorang alim ulama masakah sekasar seperti engkau ini??

Diam-diam semua orang ikut senang mendengar Toan Ki mendamperat Tjiumoti, berbareng merekapun berwaspada kalau-kalau dari malu Tjiumoti mendjadi gusar dan mendadak melontarkan serangan kepada pemuda itu.

Tak tersangka Tjiumoti tetap tenang-tenang sadja, katanja: ?Sungguh harini aku sangat beruntung dapat berkenalan dengan seorang tokoh muda. Maka sudilah memberi petundjuk barang beberapa djurus agar menambah pengalaman Siautjeng.?

Tapi dengan terus terang Toan Ki mendjawab: ?Aku tidak bisa ilmu silat, selamanja aku tidak pernah beladjar apa-apa.?

Tjiumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak pertjaja. Katanja: ?Pandai, sungguh pandai. Biarlah Siautjeng mohon diri sadja!? ~ dan sedikit tubuhnja bergerak, dimana lengan badjunja mengebas, tahu-tahu tangannja menjusup keluar, sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan kearah Toan Ki.

Toan Ki sama sekali tidak paham tjara bagaimana bertempur dengan ilmu silat maha tinggi itu, maka diserang musuh dengan tipu jang sangat lihay, ia sendiri masih belum sadar. Sjukur Po-ting-te dan Thian-som telah menolongnja dari samping, berbareng mereka memapak serangan Tjiumoti itu dengan djari-djari mereka. Tjuma begitu kena benturan tenaga dalam Tjiumoti jang maha kuat itu, tubuh mereka lantas menggeliat, bahkan Thian-som terus muntahkan darah segar.

Melihat Thian-som muntah darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Tjiumoti telah membokong pula. Ia mendjadi gusar, ia tuding paderi itu sambil memaki: ?Kau Hwesio asing jang tidak kenal aturan ja!?

Dan karena dia menuding sekuatnja, pikirannja bekerdja, hawa murni pun

mengalir, otomatis lantas keluar satu djurus Kiam-hoat dari ?Siau-yang-kiam.? Lwekang Toan Ki sekarang sebenarnja sudah tiada bandingannja didunia ini, sedjak ia duduk didepan Koh-eng Taysu dan membatja gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta tjara bergeraknja, ketika tanpa sengadja djarinja menuding, tanpa disadarinja gerakan itu tepat sekali seperti apa jang telah dilihatnja dalam gambar, maka terdengarlah suara ?tjus,? serangkum tenaga dalam jang maha kuat dalam gaja ?Kim-tjiam-to-djiat? atau djarum emas menghindarkan maut, terus sadja ia tutuk kearah Tjiumoti.

Sama sekali Tjiumoti tidak menjangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian kuatnja, bahkan djurus kutukan ?Kim-tjiam-to-djiat? itu tampak sangat tjekatan dan merupakan serangan Kiam-hoat jang paling tinggi. Dalam kagetnja, tjepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak tangannja.

Serangan Toan Ki itu ternjata tidak melulu mengedjutkan Tjiumoti sadja, bahkan Koh-eng, it dan lain-lainpun merasa heran, diantaranja jang paling heran sudah tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki: ?Inilah aneh sekali? Aku tjuma menuding sekenanja, mengapa Hwesio ini menangkis dengan sungguh? Eh, ja, barangkali tudinganku tadi gajanja mirip dengan sesuatu tipu serangan, dan Hwesio ini menjangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Ha-ha-ha, djika demikian, biarlah aku menggertaknja lagi.?

Segera Toan Ki berseru: ?Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa! Lihatlah sekarang kumainkan Kiam-hoat dari Tiong-tjiong-kiam!? Berbareng djari tengahnja sekarang jang menuding. Gajanja memang tepat, tapi sekali ini ternjata tidak membawa tenaga dalam jang kuat.

Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, memangnja Tjiumoti sudah siapkan tenaganja untuk menjambut, tak terduga serangan Toan Ki itu ternjata tidak membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkedjut sebab mengira serangan pemuda itu mungkin hanja pantjingan belaka, tetapi sesudah tutukan kedua kalinja tetap kosong tak berisi, barulah Tjiumoti bergirang: ?Memangnja aku tidak pertjaja didunia ini ada orang mahir memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-tjiong-kiam sekaligus, dan njatanja botjah ini memang tjuma main gertak sadja hingga aku tadi diingusi.?

Dasar watak Tjiumoti memang tinggi hati, dan orang jang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannja ke Thian-liong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah ketjundang beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas mengundjuk gigi sedikit, tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan merosot.

Segera telapak tangan kirinja memotong kekanan dan kekiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup djalan bantuan Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnja, menjusul tapak tangan kanan terus memotong kepundak kanan Toan Ki.

Tipu serangan ?Pek-hong-koan-djit? atau pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah satu djurus paling bagus dari Hwe-yam-to-hoat dengan penuh kejakinan bahu Toan Ki pasti akan dibelah olehnja.

Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som berseru kuatir: ?Awas!? ~ berbareng djari mereka terus menutuk serentak kearah Tjiumoti.

Serangan serentak mereka itu adalah serangan jang memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu. Tak tersangka lebih dulu Tjiumoti sudah membungkus tempat-tempat bahaja tubuhnja dengan tenaga dalam jang kuat, sedang serangannja kepada Toan Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan antjaman Po-ting-te bertiga.

Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagatnja tentu tidak menguntungkan, tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk kedepan sekuatnja, dalam kuatirnja itu, hawa murni dalam tubuhnja dengan sendirinja bergolak, maka sekaligus Siau-tjiong-kiam ditangan kiri dan Siau-tik-kiam ditangan kanan telah dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh, bahkan begitu kuat tenaganja hingga mampu balas menghantam Tjiumoti dengan daja tekanan jang hebat. Karuan Tjiumoti kelabakan, tanpa pikir lagi ia bertahan sekuat-kuatnja.

Setelah beberapa kali menutuk, lapat-lapat Toan Ki sudah dapat merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu maksudnja, habis itu barulah kerahkan tenaga dan menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa murninja barulah dapat bekerdja serentak. Namun mengapa bisa begitu, dengan sendirinja ia masih bingung.

Begitulah dalam sekedjap sadja Toan Ki menutuk berulang-ulang menurutkan perasaannja jang timbul dari apa jang dilihatnja digambar-gambar Lak-meh-sin-kiam itu. Djarinja bekerdja dengan tjepat dan indah hingga makin lama Tjiumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnja ia kerahkan tenaga dalamnja untuk melawan Lak-meh-sin-kiam jang lihay itu, hingga seketika hawa pedang samber-menjamber dengan tadjamnja.

Selang sebentar, Tjiumoti merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnja djuga tiada habis-habisnja dan susah diraba. Makin lama Tjiumoti makin heran dan menjesal telah gegabah meretjoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muntjul seorang tokoh muda selihay ini. Sekonjong-konjong ia menjerang tiga kali, lalu berseru: ?Berhenti dulu!?

Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia takdapat menguasai hawa murni dalam tubuhnja, maka ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia

mendjadi bingung tjara menarik kembali tenaga dalamnja, terpaksa djarinja diangkat keatas sehingga menuding keatap rumah. Berbareng hatinja memikir: ?Biarlah aku tidak keluarkan tenaga lagi, tjoba apa jang dia hendak katakan.?

Tapi sekilas sadja Tjiumoti jang maha pintar itu sudah dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, tjaranja menarik kembali hawa murninja tampak kerepotan, kentara sekali kalau masih sangat hidjau. Sedikit tergerak pikirannja, terus sadja Tjiumoti melompat madju terus mendjotos kemuka Toan Ki.

Tentang Toan Ki berhasil memperoleh peladjaran Lak-meh-sin-kiam jang hebat itu adalah disebabkan setjara kebetulan serta ada djodoh sadja, tapi mengenal ilmu silat jang paling umum sekalipun sebenarnja dia tidak paham. Maka ketika djotosan Tjiumoti itu tiba, biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi Toan Ki malah sebaliknja susah ditangkis.

Umumnja segala matjam kepandaian didjagat ini lazimnja dipeladjari mulai dari jang tjetek, kemudian menudju jang dalam, tidak mungkin memahami jang dalam, tapi malah tidak bisa jang tjetek, dan hanja ilmu silat Toan Ki itulah merupakan suatu ketjuali besar. Ketika melihat dirinja didjotos, walaupun serangan itu sangat sederhana, tapi ia djusteru kelabakan menangkisnja. Karuan kesempatan itu tidak diabaikan Tjiumoti, mendadak ia hentikan djotosannja ditengah djalan dan terus menjampok tangan Toan Ki kesamping, menjusul dada pemuda itu lantas didjamberertnja ditempat ?Sin-hong-hiat.? Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki terasa lemas linu takbisa berkutik.

Walaupun Tjiumoti telah dapat melihat diantara ilmu silat Toan Ki itu terdapat banjak lubang-lubang kelemahannja, tapi toh tak terduga olehnja bahwa setjara begitu gampang pemuda itu dapat ditangkpanja. Ia kuatir Toan Ki sengadja ditawan dan masih ada tipu mulsihat lain, maka begitu kena tjengkeram Sin-hong-hiat didada pemuda itu, menjusul ia menutuk pula ?Tan-tiong,? ?Tay-tui? dan beberapa Hiat-to penting lainnja. Tapi pada saat jang sama, Tjiumoti djuga merasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus-menerus merembes keluar melalui telapak tangan kanan jang mentjengkeram dadanja Toan Ki itu. Tjepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri sambil mundur beberapa tindak, lalu katanja: ?Siausitju (tuan ketjil) ini sudah apal benar dari ilmu Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ...? sambil bitjara, ia megap2 djuga, sebab sekali mulutnja mengap, tak tertahan lagi hawa murninja lantas merembes keluar, terpaksa ia bitjara dengan tjepat dan berputus: ? ..... namun Siausitju ini sama ..... sama sadja sebagai Kiam-boh hidup, biarlah kubawa ke ..... kekuburan Bujung-siansing untuk dibakar hidup2 disana, bukankah se ..... serupa djuga ....

?Dan karena kuatir kelemahannja diketahui Koh-eng dan kawan2nja , tjepat Tjiumoti keluarkan serangan Hwe-yam-to-hoat lagi be-runtun2 beberapa kali, sekali melesat, keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu. Ketika Po-ting-te,

Thian-in dan lain2 hendak mengedjar, namun mereka kena dipaksa kembali oleh serangan2 Tjiumoti jang hebat itu.

Begitu sampai diluar, segera Tjiumoti lemparkan Toan Ki kepada sembilan laki2 jang mendjaga diluar itu sambil membentak: ?Lekas berangkat!?

Segera dua laki2 diantaranja berlari madju menjambuti tubuhnja Toan Ki dan digondol lari melalui djalan jang tidak semestinja seperti mereka datang tadi. Tjiumoti sendiri lantas merasa tenaga murninja tidak merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan Ki, ia tetap melontarkan serangan2 Hwe-yam-to-hoat jang hebat kepintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain2 mendjadi tertahan didalam dan susah membobol djaring2an golok musuh jang tak berwudjut itu.

Setelah mendengar derapan kuda begundalnja sudah pergi agak djauh dengan menggondol Toan Ki, kemudian tertawalah Tjiumoti, katanja: ?Haha, Kiam-boh kertas terbakar, kini memperoleh Kiam-boh jang hidup malah. Bujung-siansing boleh tidak usah merasa kesepian lagi dialam baka, beliau segera akan mendapat teman.? ~ Dan sekali tangannja memotong, terdengarlah suara gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong telah dipatahkan olehnja, menjusul tertampaklah bajangan orang berkelebat, setjepat angin ia sudah menghilang dari pandangan mata.

Ketika Po-ting-te dan Thian-som kemudian memburu keluar, namun Tjiumoti sudah pergi djauh. ?Hajo lekas kita kedjar!? seru Po-ting-te. Segera iapun mendahului berlari kedepan. Tjepat Thian-som ikut dibelakangnja untuk mengedjar musuh.

Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinja ditaruh diatas kuda dengan tengkurap hingga kepalanja mendjulur kebawah. Karena itu ia dapat melihat sibuknja kaki kuda bekerdja, debu bertebaran memnuhi mukanja. Ia dengar beberapa laki2 itu sedang mem-bentak2 dalam bahasa asing entah apa jang dipertjakapkan. Ia tjoba menghitung kaki kuda, seluruhnja ada 40 buah, itu berarti ada 10 penunggang kudanja.

Setelah belasan li djauhnja, sampailah mereka disuatu simpang djalan. Terdengar Tjiumoti berkata beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil djalan kiri, sedangkan Tjiumoti sendiri bersama laki2 jang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi membiluk kedjalan kanan.

Beberapa li pula, kembali ada simpang djalan lagi, kembali Tjiumoti membagi diri mereka mendjadi dua rombongan.

Toan Ki tahu Tjiumoti sengadja hendak mementjarkan perhatian pengedjarnja agar bingung kemana harus mengedjar mereka.

Dan tidak lama kemudian, tiba2 Tjiumoti melompat turun dari kudanja, ia ambil seutas sabuk kulit untuk mengikat pinggangnja Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu lantas didjindjingnja terus dibawa menudju ke-lereng2 bukit. Sedangkan kedua begundalnja mengeprak kuda mereka kedjurusan barat.

Diam2 Toan Ki mengeluh: ?Wah, tjelaka! Djika demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar untuk mengedjar, paling banjak tjuma kesembilan lelaki itu jang dapat ditangkap kembali, tapi susah untuk mendapatkan aku.?

Meski tangannja mendjindjing seorang, namun tindakan Tjiumoti tidak mendjadi lambat. Makin lama makin djauh dan makin tjepat djalannja. Dalam waktu beberapa djam lamanja ia selalu berkeliaran diantara lereng2 gunung jang sunji.

Toan Ki melihat sang surya sudah mendojong diufuk barat dan menjorot dari sebelah kiri, maka tahulah dia bahwa Tjiumoti membawanja menudju keutara.

Petangnja, Tjiumoti angkat tubuh Toan Ki untuk diletakkan diatas satu dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu diatas ranting pohon, sama sekali ia tidak adjak bitjara pada pemuda itu, bahkan memandangnjapun tidak, hanja sambil mungkur ia sodorkan beberapa potong roti kering padanja. Untuk mana iapun membuka Hiat-to dilengan kiri Toan Ki agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.

Dengan tangan kiri jang sudah dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak menjerangnja dengan Siau-tik-kiam, siapa duga sekali Hiat-to besar ditubuhnja tertutuk, hawa murni seluruhnja ikut tertutup, maka djari tangannja tjuma dapat bergerak sadja, tapi tak bertenaga sedikitpun.

Begitulah, selama beberapa hari Tjiumoti terus mendjindjingnja keutara. Beberapa kali Toan Ki memantjing pembitjaraan orang dan menanja mengapa dirinja ditawan serta untuk apa menudju keutara? Namun tetap Tjiumoti tidak mendjawab.

Setelah belasan hari, mereka sudah berada diluar wilajah Tayli, Toan Ki merasa arah jang ditempuh Tjiumoti telah berganti menudju ketimur-laut, tapi

tetap tidak mengambil djalan raja, sebaliknja selalu mendjeladjahi lereng gunung dan alas belukar, tjuma tanahnja tampak kian lama kian datar, sungai pun semakin banjak, setiap hari hampir beberapa kali mesti menjeberang sungai.

Tjara perdjalanan Tjiumoti dengan mendjindjing Toan Ki se-akan2 orang mentjangking hewan itu, sudah tentu sangat menherankan orang jang berlalu-lalang disampingnja. Tapi sampai achirnja, Toan Ki sendiri merasa bosan djuga setiap kali berdjumpa dengan orang ditengah djalan.

Sungguh mendongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik perempuannja, jaitu Bok Wan-djing, walaupun setiap hari ia dihadjar dan disiksa, banjak penderitaan jang dirasakannja, tapi rasanja toh tidak kesal seperti ditawan Tjiumoti sekarang ini.

Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat bitjara orang jang berlalu-lalang mulai ramah-tamah dan enak didengar, diam2 ia membatin: ?Ah, tentu tempat ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangtje). Ia membawa diriku kekuburannja Bujung-siansing, rasanja tidak lama lagi sudah akan tiba ditempat tudjuannja. Ilmu silat paderi asing ini sedemikian lihay, sampai Pekhu berenam djuga tak mampu merobohkan dia. Sekarang aku djatuh dibawah tjengkeramannja, terpaksa aku menjerah pada nasib, masakah aku masih ada harapan buat lolos??

Berpikir begitu, hatinja mendjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan sekitarnja. Tatkala itu adalah pergantian antara musim semi dan musim panas, hawa sedjuk pemandangan indah, angin meniup silir2 memabukkan orang.

Sudah lebih sebulan Toan Ki mendjadi barang tjangkingan Tjiumoti, hal itu sudah biasa baginja. Kini melihat pemandangan alam jang indah permai itu, hatinja mendjadi gembira, tanpa merasa ia ber-njanji2 ketjil sambil menikmati pemandangan danau jang indah dipinggir djalan.

?Huh, hari adjal sudah dekat, masih begini iseng?? djengek Tjiumoti.

?Manusia mana didunia ini jang takkan mati?? sahut Toan Ki dengan tertawa. ?Paling banjak engkau tjuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanja kelak??

Tjiumoti tidak gubris padanja lagi. Ia tjoba menanja orang dimana

letaknja ?Som-hap-tjheng.? Tapi meski sudah beberapa orang ditanja, tetap tiada seorangpun jang tahu dimana beradanja kampung itu.

?Tidak pernah kudengar sesuatu dusun jang bernama Som-hap-tjheng, barangkali kau salah dengar, Hwesio,? demikian kata seorang tua.

?Djika begitu, apakah engkau tahu seorang hartawan she Bujung, dimana rumahnja?? tanja Tjiumoti.

?Dikota Sohtjiu sini banjak orang she Tan, she Li dan she lain2nja, semua hartawan besar, tapi tidak pernah mendengar ada hartawan she Bujung? sahut orang tua itu.

Sedang Tjiumoti bingung, tiba2 didengarnja suara seorang sedang berkata didjalan ketjil ditepi danau sana: ?Kabarnja orang she Bujung itu tinggal di Yan-tju-oh kira2 tigapuluh li dibarat kota, marilah kita menudju kesana!?

?Ja, kita sudah sampai tempatnja, kita harus ber-hati2!? demikian sahut seorang jang lain.

Suara pertjakapan kedua orang itu sangat pelahan, maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknja Lwekang Tjiumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan sangat djelas. Diam2 ia heran apakah orang sengadja bitjara kepadanja?

Ketika Tjiumoti berpaling, ia lihat seorang berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang lagi kurus ketjil mirip pentjoleng. Tapi sekilas pandang sadja dapatlah diketahui Tjiumoti bahwa kedua orang itu memiliki ilmu silat semua. Dan belum lagi ia ambil keputusan apa mesti menanja kedua orang itu atau tidak, mendadak Toan Ki sudah lantas berseru: ?Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!?

Kiranja laki2 kurus ketjil bermuka djelek itu tak-lain-tak-bukan adalah Kim-sui-poa Tjui Pek-khe, simesin hitung emas. Dan laki2 jang lain adalah murid keponakannja, Tui-hun-djiu Ko Gan-tji.

Sesudah kedua tokoh itu tinggalkan Tayli, dengan semangat jang ber-kobar2 mereka hendak membalas dendamnja Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka djuga tahu susah untuk melawan orang she Bujung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapapun akibatnja, maka achirnja mereka tiba djuga di Koh-soh.

Sebelumnja mereka telah menjelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga Bujung, jaitu Yan-tju-oh, dan setjara kebetulan telah tiba pada waktu jang sama dengan Tjiumoti dan Toan Ki.

Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Tjui Pek-khe tertjengang sedjenak, tapi segera ia melompat kedepannja Tjiumoti dan berkata dengan heran: ?He, Siauongtju (putera pangeran ketjil), kiranja kau? Eh, Toahwesio, lekas engkau melepaskan Kongtjuya ini, apa kau tahu siapa dia??

Sudah tentu Tjiumoti tidak pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung mengenai tempat tinggalnja Bujung-siansing, kini kebetulan kedua orang ini mengetahui tempatnja, maka iapun tidak marah terhadap kata2 Tjui Pek-khe tadi. Ia taruh Toan Ki ketanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu melepaskan Hiat-to dikakinja, kemudian berkata: ?Aku hendak pergi kerumah keluarga Bujung, harap kalian berdua suka menundjukkan djalannja.?

Pengetahuan dan pengalaman Tjui Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnja siapakah gerangan Hwesio ini. Maka tanjanja: ?Numpang tanja, siapakah gelaran sutji Taysu? Mengapa membikin susah kepada Siauongtju ini dan untuk keperluan apa hendak pergi kerumah keluarga Bujung??

?Banjak omong tiada gunanja, nanti tentu akan tahu sendiri,? sahut Tjiumoti.

?Apakah Taysu adalah sobat baik Bujung-siansing?? tanja Tjui Pek-khe pula.

?Benar, makanja kalau Ho-siansing mengetahui dimana letak Som-hap-tjheng tempat tinggal Bujung-siansing itu, harap memberitahukan djalannja,? sahut Tjiumoti.

Tadi ia mendengar Toan Ki menjerukan ?Ho-siansing? kepada Tjui Pek-khe, maka ia menjangka tokoh Ko-san-pay itu benar2 she Ho.

Geli2 dongkol Tjui Pek-khe, sambil meng-garuk2 kepala ia tjoba menanja Toan Ki: ?Bagaimana baiknja, Siauongtju?.?

Toan Ki mendjadi sulit djuga oleh pertanjaan itu. Ia pikir ilmu silat Tjiumoti itu teramat tinggi, didunia ini mungkin tiada seorangpun jang mampu melawannja, apalagi tjuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannja, kalau berani berusaha buat menolongnja, paling2 tjuma menghantarkan njawa sadja, lebih baik memperingatkan mereka sadja agar lekas2 melarikan diri. Maka tjepat katanja: ?Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh tertinggi dari Tayli, achirnja akupun tertawan olehnja. Katanja dia adalah sobat kentalnja Bujung-siansing, maka aku hendak dibakarnja hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing untuk memenuhi sesuatu djandjinja. Kalian berdua selamanja tiada sangkut-paut apa2 dengan keluarga Bujung, maka silahkan menundjukkan djalannja sadja, lalu bolehlah kalian pergi.?

Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te dan djago2 lain di Tayli, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjadi kaget. Lebih2 ketika mendengar pula bahwa paderi itu adalah sobat baiknja orang she Bujung.

Namun meskipun lahiriah Tjui Pek-khe itu djelek, tapi batinnja berdjiwa kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinja bersembunji didalam Tin-lam-ong-hu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu kebaikan apa2. Kini Siauongtju berada dalam kesulitan, mana boleh dirinja tinggal diam tidak urus? Betapapun sekarang sudah berada di Koh-soh, memangnja keselamatan djiwa sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan mati ditangan musuh atau orang lain toh sama sadja.

Berpikir begitu, sekali tangannja bergerak, segera ia menarik keluar sebuah Suipoa jang bersinar emas kemilauan, ia angkat tinggi2 sendjatanja itu dan dikotjak hingga mengeluarkan suara gemerintjing jang ramai. Katanja: ?Toahwesio, kau bilang Bujung-siansing adalah sobat baikmu, sebaliknja Siauongtju ini adalah kawan karibku. Maka lebih baik engkau melepaskan dia sadja!?

Melihat sang Susiok sudah bersiap, Ko Gan-tji tjepat melolos djuga rujung lemas jang melilit dipinggangnja.

?Hehe, apakah kalian adjak berkelahi?? djengek Tjiumoti.

?Sekalipun tahu takkan mampu menandingi engkau, namun apa boleh buat, betapapun aku ingin mentjoba, mati atau hidup .... auuuh!? mendadak Tjui Pek-khe mengaduh sebelum selesai utjapannja.

Kiranja mendadak Tjiumoti telah samber rujung jang dipegang Ko Gan-tji itu, sekali menjabet, tahu2 Suipoa emas Tjui Pek-khe itu kena tergubat, ketika

rujung bergerak pula, kedua matjam sendjata itu mentjelat berbareng menudju ketengah danau disisi kanan.

Tampaknja kedua sendjata itu sekedjap lagi akan ketjemplung kedalam danau, tak tersangka tenaga jang dikeluarkan Tjiumoti itu ternjata sangat aneh dan tepat, udjung rujung itu mendadak mendjengat keatas dan tepat menggubat pada suatu ranting pohon Liu ditepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi dengan sebuah Suipoa emas, maka tiada hentinja ranting itu berguntjang naik turun, air danaupun beriak oleh karena Suipoa emas itu menjentuh air.

Ko Gan-tji itu berdjuluk ?Tui-hun-djiu? atau sipenguber njawa, suatu tanda betapa tjepat gerak-geriknja, apalagi rujung lemas itu adalah sendjata tunggal perguruannja jang terkenal, siapa sangka hanja sekali gebrak sadja sudah dirampas musuh. Bahkan tjara bagaimana Tjiumoti mendekati dan merebut sendjata, tjara bagaimana menggubat Suipoa emas lalu orangnja melompat kembali tempatnja semula, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sama sekali tidak djelas melihatnja.

Kemudian sambil merangkap kedua tangannja, Tjiumoti berkata dengan suara lemah-lembut: ?Harap sudilah kedua tuan ini menundjukkan djalannja.?

Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dan bingung apa jang harus mereka lakukan. Maka terdengarlah Tjiumoti berkata pula: ?Djikalau kalian tidak suka mengadjak kami kesana, silahkan menundjukkan arahnja sadja, biar Siautjeng mentjarinja sendiri kesana.?

Melihat ilmu silat sihwesio begitu tinggi, tapi sikapnja ramah-tamah, Tjui Pek-khe berdua mendjadi ragu2 dan serba salah, hendak main kasar toh orang bersikap sopan, hendak mengadjak bitjara setjara baik2, terang putera pangeran dari Tayli ditawan olehnja.

Untunglah pada saat itu terdengar suara meriaknja air, dari udjung danau sana tampak tiba sebuah sampan didajung oleh seorang gadis ketjil berbadju hidjau, sambil mendajung, gadis itupun sembari bernjanji dengan gembiranja, lagunja indah, suaranja merdu hingga makin menambah permainja suasana danau itu.

Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam Kanglam dari sjair2 gubahan pudjangga jang pernah dibatjanja. Kini dihadapi pemandangan permai dengan njanjian merdu, semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 dan lupa daratan bahwa dirinja waktu itu sedang terantjam bahaja, serentak sadja ia memandang

kearah sigadis itu. Ia lihat kedua tangan sigadis putih bersih bagai batu kemala jang bening tembus.

Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji ikut tertarik djuga dan memandang sigadis. Hanja Tjiumoti sadja tetap membuta dan membudek, katanja: ?Djika kalian toh tidak sudi memberitahu letak Som-hap-tjheng, biarlah Siautjeng mohon diri sadja.?

Saat itu sampan sigadis sudah dekat menepi. Maka utjapan Tjiumoti itu dapat didengarnja, terus sadja ia menjela: ?Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah ada keperluan apakah??

Suara gadis itu ternjata sangat njaring dan manis hingga bagi jang mendengar akan timbul rasa nikmat jang tak terkatakan. Usia gadis itu ternjata baru belasan tahun, wadjahnja lemah-lembut, dandanannja serasi. Diam2 Toan Ki memudji: ?Wanita daerah Kanglam sungguh tak tersangka setjantik ini.?

Maka mendjawablah Tjiumoti: ?Siautjeng hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah apakah nona sudi menundjukkan djalannja??

?Nama Som-hap-tjheng djarang diketahui orang luar, entah dari mana Taysuhu mengetahuinja?? tanja gadis itu dengan tersenjum.

?Siautjeng adalah sobat lama Bujung-siansing, kini sengadja datang berziarah kekuburannja sekedar memenuhi djandji dimasa dulu,? sahut Tjiumoti.

Gadis itu merenung sedjenak, lalu katanja: ?Wah, agak tidak kebetulan. Djusteru kemarin dulu Bujung-kongtju bepergian, kalau Taysuhu datang lebih dulu tiga hari, tentu akan dapat berdjumpa dengan Kongtju.?

?Sungguh menjesal tidak sempat berkenalan dengan Kongtju, namun djauh2 Siautjeng datang dari negeri Turfan, biarlah aku berkundjung kemakam Bujung-siansing sekedar memberi penghormatan terachir.?

?Djikalau Taysuhu adalah sobat baik Bujung-loya, marilah silahkan minum dulu ketempat kami, kemudian akan kusampaikan maksudmu, maukah??

?Pernah apakah nona dengan Bujung-siansing dan tjara bagaimana aku harus

menjebut setjara hormat?? tanja Tjiumoti.

?Ah, aku tjuma dajang jang melajani Kongtju memetik Khim dan meniup seruling,? sahut sigadis dengan tersenjum manis. ?Namaku A Pik, maka djanganlah Taysuhu sungkan2, panggil sadja A Pik.?

?O, baiklah,? kata Tjiumoti dengan sangat hormat.

Lalu si A Pik berkata: ?Djalan dari sini ke Yan-tju-oh harus melalui djalan air semua, djikalau tuan2 ini hendak kesana semua, marilah kuhantar dengan sampan ini, maukah??

Setiap kata ?maukah? jang ditanjakan oleh A Pik, kedengarannja begitu luwes dan simpatik hingga membuat orang tidak enak untuk menolak. Maka berkatalah Tjiumoti: ?Djika begitu, terpaksa mesti membikin repot nona.? ~ Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan melompat keatas sampan dengan enteng. Sampan itu hanja ambles kebawah sedikit dan sama sekali tidak terguntjang.

A Pik tersenjum kepada Tjiumoti dan Toan Ki, maksudnja se-akan2 memudji kehebatan kepandaian orang.

Lalu Ko Gan-tji djuga membisiki Tjui Pek-khe: ?Bagaimana, Susiok??

Sebenarnja kedatangan mereka jalah ingin menuntut balas pada orang she Bujung, tapi kedudukan mereka kini mendjadi serba salah dan sangat lutju kelihatannja.

?Djika tuan2 sudah datang di Sohtjiu, pabila toh tiada urusan penting lain, marilah silahkan mampir djuga ketempat kami untuk minum2,? demikian kata A Pik lagi dengan tertawa. ?Djangan tuan2 ragu2 terhadap sampan jang ketjil ini, biarpun bertambah lagi beberapa orang djuga tidak nanti tenggelam.?

Pelahan2 A Pik mendajung sampannja, ketika lewat dibawah pohon Liu tadi, tiba2 ia ambil Kim-sui-poa dan rujung lemas jang tergantung diranting pohon itu. Sekenanja ia ketik2 bidji Suipoa hingga menerbitkan suara ?tjrang-tjreng? jang njaring.

Mendengar beberapa suara njaring itu, dengan girang Toan Ki terus berkata: ?He, apakah nona sedang memetik lagu ?Djay-song-tju? (memetik bidji arbei)??

Hlm. 39: gambar

?Djika tuan sudah datang di Sohtjiu dan tiada urusan lain, marilah silahkan mampir sekalian ketempat kami untuk minum2 sebentar,? demikian kata si A Pik jang mengaku sebagai pelajan Bujung-kongtju.

Kiranja bidji Suipoa jang diketik si A Pik telah mengeluarkan suara jang ber-beda2 hingga berwudjut irama musik dari lagu ?Djay-song-tju? jang merdu.

Dengan tersenjum A Pik mendjawab: ?Ah, kiranja Kongtju djuga pandai seni suara, maukah memetiknja barang selagu djuga??

Melihat gadis itu lintjah ke-kanak2an, ramah-tamah menarik, maka sahut Toan Ki dengan tertawa: ?Ja, tapi aku tidak dapat memetik Suipoa.? ~ Lalu ia menoleh kepada Tjui Pek-khe, katanja: ?Ho-siansing, Suipoamu telah digunakan orang sebagai alat musik jang bagus.?

?Benar, benar!? sahut Tjui Pek-khe dengan senjum ewa, ?nona benar2 seorang seniwati, alat hitungku jang kasar itu, sekali berada ditangan nona, djadilah segera sebuah alat musik jang bagus.?

?Ai, ai, maafkan, djadi ini adalah milik tuan?? seru A Pik gugup. ?Wah, alangkah bagusnja Suipoa ini. Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Suipoa djuga terbuat dari emas. Ho-siansing, inilah kukembalikan.?

Sambil berkata, terus sadja A Pik angsurkan Suipoa jang dipegangnja itu. Tapi Tjui Pek-khe berdiri ditepi danau, dengan sendirinja tidak sampai menerimanja. Memangnja iapun merasa berat mesti kehilangan kawan setianja jang selalu dibawanja itu. Maka dengan enteng ia lantas melompat kehaluan sampan untuk menerima Suipoa itu. Kemudian ia berpaling melotot sekali kearah Tjiumoti. Namun wadjah paderi itu tetap bersenjum-simpul dengan welas-asih, sedikitpun tidak marah.

Setelah Suipoa dikembalikan pemiliknja, kini tinggal rujung lemas itu jang masih dipegang si A Pik. Ketika tangan kanannja memegang badan rujung dan

sekali digesut dari atas kebawah, karena gesekan kuku djarinja dengan ruas2 rujung lemas itu, maka terbitlah suara matjam2 suara njaring jang menarik hingga mirip orang memetik harpa. Ternjata sematjam sendjata jang pernah melajani berbagai djago2 Bu-lim itu setelah berada ditangan si A Pik, kembali telah berubah mendjadi sematjam alat musik lagi.

?Bagus, bagus!? saking senangnja Toan Ki ber-teriak2. ?Sungguh pintar sekali nona, hajolah silahkan memetiknja satu lagu.?

Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-tji: ?Mungkin rujung ini adalah milik tuan ini bukan? Aku telah sembarangan mengambilnja, sungguh terlalu tidak tahu aturan, harap dimaafkan. Marilah tuan, silahkan tuan naik djuga keatas sampan, sebentar akan kusuguh dengan daharan enak.?

Sebenarnja Ko Gan-tji sedang mendendam sakit hati karena gurunja dibunuh orang she Bujung, tapi menghadapi seorang nona tjilik jang selalu bersenjum manis dan ke-kanak2an, betapapun rasa dendam dalam hatinja djuga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnja: ?Dia bersedia membawa kami ketempat tinggal orang she Bujung, itulah jang djusteru sangat kami inginkan, bagaimanapun djuga aku harus membunuh beberapa orang mereka untuk membalas sakit hati Suhu.?

Karena itu, ia mengangguk terima tawaran A Pik, lalu iapun melompat keatas perahu.

Dengan hati2 dan menghormat A Pik menggulung rujung lemas itu dan dikembalikan kepada Gan-tji. Sekali dajungnja bekerdja, segera sampannja meluntjur kearah barat.

Tjui Pek-khe saling menukar isjarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-tji. Diam2 mereka memikir: ?Hari ini kita telah memasuki gua harimau, entah bakal mati atau hidup. Menghadapi keluarga Bujung jang kedjam dan sinona jang kelihatannja lemah-lembut ini, betapapun kita harus waspada djangan sampai masuk perangkap musuh.?

Begitulah sampan si A Pik terus meluntjur kedepan, setelah membiluk kian kemari, achirnja masuklah sampan itu ketengah danau jang luas. Sepandjang mata memandang, danau itu se-akan2 tanpa udjung dan bergandengan rapat dengan langit. Karuan Ko Gan-tji bertambah was-was, pikirnja: ?Danau besar ini tentulah Thay-oh adanja. Aku dan Tjui-su-siok tidak dapat berenang, asal nona tjilik ini putar balik sampannja, pasti kami berdua akan kelelap kedasar danau sebagai umpan ikan, djangankan lagi bitjara hendak menuntut balas bagi Suhu.?

Rupanja Tjui Pek-khe djuga mempunjai firasat jang sama. Ia pikir kalau dajung sampan dapat dipegang sendiri, bila nona itu hendak membalikkan sampannja tentu akan lebih sulit. Maka segera katanja: ?Nona, marilah kubantu engkau mendajung, engkau boleh menundjukkan arahnja sadja.?

?Ai, mana boleh djadi begitu,? sahut A Pik tertawa. ?Kalau diketahui Kongtjuya, wah, tentu aku akan didamperat tidak dapat menghormati tamu.?

Melihat orang tidak mau, rasa tjuriga Tjui Pek-khe semakin bertambah, katanja pula dengan tertawa: ?Haha, bitjara terus terang, sebenarnja kami ingin mendengar nona memperdengarkan ilmu kepandaianmu memetik sesuatu lagu dengan rujung lemas kawanku itu.?

?Ilmu kepandaian apa?? udjar A Pik tertawa. ?Kalau diketahui A Tju, pasti dia akan mentjemoohkan aku suka pamer didepan tetamu.?

Tapi Tjui Pek-khe terus memgambil rujungnja Gan-tji dan diserahkan kepada A Pik, katanja: ?Ini, petiklah lekas!? ~ Sembari berkata, terus sadja ia sambuti dajung sampan dari tangan sigadis.

?Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu itupun pindjamkan aku sebentar,? kata A Pik.

Diam2 Pek-khe mendjadi kuatir: ?Dia telah ambil sendjata2 kami, djangan2 ada tipu muslihat apa2?? ~ Namun karena sudah ketelandjur, terpaksa iapun menjerahkan Suipoa emasnja itu.

Tapi Suipoa itu lantas ditaruh diatas geladak sampan oleh A Pik, sambil berduduk ia tarik gagang rujung dengan tangan kiri, udjung rujung itu diindjak dengan kaki kanan hingga rujung lemas itu tertarik dengan lempeng, lalu menarilah kelima djari kanannja meng-gesek2 diatas rujung hingga menerbitkan matjam2 nada suara jang njaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).

Sambil menggesek rujung, terkadang djari A Pik djuga sempat memainkan bidji Suipoa jang terletak dihadapannja itu, suara ?tjrang-tjring? dari bidji Suipoa itu berselang-seling dengan suara ?trang-tring? gesekan rujung hingga kedengarannja sangat menarik. Sampai puntjaknja, saking gembiranja A Pik

terus bernjanji pula mengiringi irama musik jang dimainkannja sendiri dengan merdu itu.

Mendengar suara sigadis jang mengalun empuk itu, sungguh semangat Toan Ki se-akan2 diombang-ambingkan diangkasa raja dan mendjadi seperti orang linglung. Ia gegetun mengapa baru sekarang dirinja sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula Bujung-kongtju mempunjai seorang dajang sepandai itu, maka dapatlah dibajangkan tokoh matjam apa madjikan sidajang itu.

Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian iapun kembalikan Suipoa dan rujung itu kepada Pek-khe berdua. Katanja dengan tertawa: ?Memalukan, tidak enak didengarkan, harap djangan ditertawai tuan tamu. Nah, dajunglah kesana, ja benarlah!?

Pek-khe menurut dan mendajung sampan itu kesuatu muara sungai ketjil, di permukaan air situ tampak banjak tumbuh daun teratai jang lebat. Tjoba kalau tiada petundjuk si A Pik, tentu tiada jang tahu bahwa disitu ada djalannja.

Setelah mendajung pula sebentar, kemudian A Pik berkata pula: ?Biluklah kesana!? Dan permukaan air tempat baru ini ternjata penuh tumbuh daun Lengkak dengan buahnja jang ke-merah2an. A Pik memetik beberapa buah lengkak jang merah itu, ia berikan Ko Gan-tji tiga buah, kemudian memetik pula bagi jang lain.

Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikitpun ia sudah tak bertenaga, untuk mengupas kulit Lengkak terasa pula tidak kuat. Maka berkatalah A Pik dengan tertawa: ?Rupanja Kongtjuya bukan orang Kanglam, makanja tidak biasa mengupas Lengkak. Biarlah aku mengupasnja untukmu.?

Segera ia mengupas beberapa bidji dan diserahkan kepada Toan Ki. Melihat daging Lengkak itu putih bersih, ketika dimakan rasanja manis gurih, dengan tertawa Toan Ki berkata: ?Rasa lengkak ini enak dan tidak membosankan, mirip sekali dengan njanjian nona tadi.?

Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnja dengan tersenjum: ?Membandingkan njanjianku dengan Lengkak, baru pertama kali ini kudengar. Terima kasih, Kongtju!?

Dan belum selesai sampan itu menjusur rawa Lengkak itu, A Pik telah menundjukkan arah lain lagi jang penuh tumbuh rumput kumbuh jang lebat.

Mau-tak-mau achirnja Tjiumoti mendjadi was-was djuga, diam2 ia mengingat baik2 djalan jang dilalui perahu itu, agar nanti kembalinja tidak kesasar. Tapi rawa2 daun teratai, lengkak dan rumput kumbuh itu hakikatnja serupa sadja tak ada perbedaannja, apa lagi tumbuh2an air itu setiap waktu bisa berubah tertiup angin hingga dalam sekedjap sadja keadaan sudah berlainan daripada semula. Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berusaha djuga mengikuti sinar mata si A Pik untuk mengetahui tjara bagaimana gadis itu mengenali djalannja, namun tampaknja gadis itu atjuh-tak-atjuh sadja, sambil memetik Lengkak sembari memain air dan memberi petundjuk tanpa pikir, se-akan2 djalanan air jang bersimpang-siur itu sudah merupakan satu peta jang apal baginja.

Begitulah setelah sampan itu didajung berlika-liku kian kemari selama dua djam, lewat lohor, dari djauh tertampaklah pohon Liu me-lambai2 dengan rindangnja dan dibalik pohon tertampaklah udjung emper rumah.

?Itulah dia sudah sampai,? seru A Pik segera. ?Ho-siansing, telah setengah hari membikin tjapek engkau, terima kasihlah.? ~ Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe sebagai Ho-siansing, maka iapun menirukannja.

Dengan tertawa getir Pek-khe mendjawab: ?Asal bisa makan Lengkak sambil mendengarkan njanjianmu, biarpun aku disuruh mendajung selama setahun dua tahun djuga mau.?

?Ha, apa susahnja djika engkau benar2 senang makan Lengkak dan suka mendengarkan njanjianku,? seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa. ?Untuk mana asal engkau tinggal sadja dilembah danau ini dan selama hidup ini djangan meninggalkan sini.?

Pek-khe mendjadi kaget oleh utjapan: ?selama hidup tinggal dilembah danau? itu, ia tjoba melirik gadis itu, ia lihat A Pik tetap bersenjum simpul sadja seperti tidak punja maksud apa2 dibalik kata2nja itu. Namun begitu hati Pek-khe mendjadi kebat-kebit djuga.

Segera A Pik mengambil penggajuh dari tangannja Pek-khe dan mendajung sampannja ketepian jang penuh pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga kaju terbuat dari ranting pohon Siong mendjulur dari tepi kedalam air. A Pik menambat perahunja diatas ranting pohon itu serta mendahului mendarat.

Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah disana-sini ada beberapa buah gubuk jang dibangun ditengah sebuah pulau ketjil atau disemenandjung sana. Gubuk2 itu ketjil mungil dan tjukup indah.

?Apakah disini inikah Som-hap-tjheng dari Yan-tju-oh?? tanja Tjiumoti.

?Bukan,? sahut A Pik menggeleng kepala. ?Tempat ini adalah kediamanku jang dibangun oleh Kongtju, djelek dan sederhana, sebenarnja tidak pantas untuk menjambut tamu. Tjuma Toasuhu ini menjatakan ingin berziarah kemakamnja Bujung-loya, aku sendiri tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silahkan tuan2 tunggu sementara disini, biarlah kubitjarakan dulu dengan Entji A Tju.?

Mendengar itu Tjiumoti mendjadi dongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannja sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri Turfan. Djangankan di negerinja sendiri itu dia sangat dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun pemerintah2 Song, Tayli dan negara2 tetangganja djuga pasti menjambut kedatangannja dengan penuh penghormatan. Apalagi dia adalah sobat lama Bujung-siansing, kini ia datang sendiri buat ziarah, kalau Bujung-kongtju bepergian karena memang sebelumnja tidak tahu, itulah tak dapat disalahkan, tetapi seorang dajang seperti A Pik ini, tamu agung itu tidak dibawa keruang tamu untuk dihormati sebagaimana mestinja, sebaliknja malah dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelajan, karuan sadja Tjiumoti merasa terhina.

Tapi demi dilihatnja sikap A Pik tetap ke-kanak2an seperti biasa sadja, sedikitpun tidak mengundjuk maksud merendahkan, maka ia pikir mengapa mesti meretjoki urusan begitu dengan seorang pelajan ketjil.

Kemudian Tjui Pek-khe telah menanja: ?Siapakah entji A Tju jang kau katakan itu??

?A Tju ialah A Tju, dia tjuma lebih tua sebulan daripadaku, lantas berlagak sebagai Entji orang,? demikian sahut A Pik dengan tertawa. ?Ja, apa boleh buat, terpaksa aku harus memanggil dia Entji, habis, siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu? Namun engkau tidak perlu memanggilnja sebagai Entji, kalau tidak tentu lagaknja akan semakin garang.?

Sembari berbitjara, dengan lintjahnja A Pik terus menjilahkan keempat tamunja itu masuk kedalam pondoknja.

Toan Ki melihat didepan gubuk itu tergantung sebuah papan ketjil jang bertuliskan ?Khim-im-siau-tiok? atau pondok mungil suara harpa. Gaja tulisannja sangat bagus. Setelah masuk, A Pik silahkan semua orang berduduk, kemudian lantas disuguhkannja air teh dan beberapa matjam makanan. Tehnja wangi, makanannja sedap, karuan tiada hentinja Toan Ki memudji.

?Silahkan Kongtju menghabiskannja, persediaan masih tjukup,? demikian A Pik.

Sambil melangsir penganan2 kedalam perutnja, terus-menerus Toan Ki memberi pudjian tiada habis2nja. Sebaliknja Tjiumoti, Pek-khe dan Gan-tji bertiga tidak berani menjentuh minuman dan makanan itu sebab kuatir kalau didalam makanan itu ditaruh ratjun.

Diam2 Toan Ki mendjadi tjuriga djuga, pikirnja: ?Tjiumoti ini mengaku sebagai sobat lama Bujung-siansing, tapi kenapa berlaku se-hati2 ini ? Pula tjara orang keluarga Bujung menjambut kedatangannja djuga rada tidak beres.?

Tjiumoti itu ternjata sangat sabar, ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum dan selesai mentjitjipi semua penganan jang disuguhkan itu dengan pudjian2 setinggi langit, kemudian barulah dia berkata: ?Dan sekarang haraplah nona suka memberitahukan kepada Entji A Tju jang kau katakan tadi.?

?Tempat pondok A Tju itu dari sini masih berpuluh li djauhnja, hari ini terang tidak keburu kesana lagi, biarlah tuan2 berempat tinggal semalam disini, besok pagi2 aku lantas membawa kalian ke ?Thing-hiang-siau-tiok? (pondok ketjil jang wangi) .?

?Tahu begitu, mengapa nona tidak tadi2 membawa kami langsung kesana?? tanja Tjiumoti dengan mendongkol.

?Kenapa mesti buru2 ?? sahut A Pik. ?Selama ini aku tiada teman mengobrol, rasanja terlalu sunji. Kini kedatangan tamu sebanjak ini, sudah tentu aku ingin kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini.?

Sedjak tadi Ko Gan-tji hanja berdiam sadja. Kini mendadak ia berbangkit dan membentak: ?Dimana tempat tinggal anggota keluarga Bujung? Kedatanganku kesini bukan untuk minta makan-minum dan untuk mengobrol dengan engkau, tapi datang buat membunuh musuh. Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari, memangnja akupun tidak pikir bisa keluar dari sini dengan hidup. Maka lekaslah kau laporkan sana, nona, katakan aku adalah anak murid Kwa Pek-hwe

dari Ko-san-pay, hari ini sengadja datang untuk menuntut balas sakit hati Suhuku itu?

Habis berkata, sekali rujungnja menjabet, terdengarlah suara gedubrakan jang keras disertai hantjurnja sebuah medja dan sebuah kursi.

Namun sedikitpun A Pik tidak kaget djuga tidak marah, katanja dengan tenang: ?Sudah banjak orang2 Kangouw jang gagah perkasa datang hendak mentjari Kongtju, setiap bulannja paling sedikit ada beberapa rombongan. Diantaranja banjak djuga berlagak garang dan kasar seperti Ko-toaya ini ......?

Belum selesai utjapannja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil berdjenggot dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa tongkat, sambil mendatangi ia berkata: ?A Pik, siapakah jang lagi ribut2 disini??

Tjepat Tjui Pek-khe melompat bangun dan berdiri sedjadjar dengan Ko Gan-tji sambil membentak: ?Suhengku Kwa Pek-hwe sebenarnja ditewaskan oleh siapa??

Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanja penuh keriputan, usianja kalau tiada seabad, paling sedikit djuga lebih dari 80 tahun.

Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suaranja jang serak: ?Kwa Pek-hwe? Ehm, manusia dapat hidup sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah waktunja djuga untuk mati!?

Memangnja Ko Gan-tji sudah tidak sabar lagi hendak membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar pula kata2 sikakek jang kasar itu, ia mendjadi murka, sekali rujungnja bekerdja, terus sadja ia sabet kepunggung kakek itu. Ia kuatir kalau Tjiumoti merintangi tindakannja, maka serangannja sengadja dilontarkan dari djurusan jang tak bisa dihalangi paderi itu.

Siapa duga Tjiumoti tjuma ulur tangannja sadja, seketika tangannja seperti mengeluarkan tenaga sedotan, rujung Ko Gan-tji itu kena ditarik ketangannja dari djauh. Lalu katanja: ?Ko-tayhiap, kedatangan kita ini adalah tamu, ada apa2 hendaknja dibitjarakan setjara baik2, djanganlah memakai kekerasan.? ~ Habis berkata, ia remas2 rujung rampasannja itu hingga tergulung mendjadi satu, lalu dikembalikan kepada Gan-tji.

Muka Ko Gan-tji mendjadi merah djengah, ia mendjadi kikuk apakah mesti menerima kembali sendjatanja itu atau tidak. Tapi demi dipikir tudjuan pokoknja jalah untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani ditanggungnja. Maka dengan agak malu ia terima kembali rujung itu.

Hlm. 47: gambar

Belum selesai A Pik melajani tetamunja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil, rambut dan djenggot sudah putih sebagai perak.

Lalu Tjiumoti berkata kepada sikakek: ?Siapakah nama Sitju jang terhormat ini? Apakah masih pamili dengan Bujung-siansing atau sahabatnja?.?

Kakek itu tertawa, sahutnja: ?Aku tjuma seorang budak tua Kongtju sadja, masakah punja nama terhormat segala? Kabarnja Taysuhu adalah sobat baik mendiang Loya kami, entah ada keperluan apakah??

?Urusanku harus kukatakan berhadapan dengan Bujung-kongtju,? sahut Tjiumoti.

?Tapi sajang, kemarin dulu Kongtju telah bepergian, entah kapan baru dapat pulang,? kata sikakek.

?Djika begitu, kemanakah Kongtju pergi?? tanja Tjiumoti.

?Wah, aku mendjadi lupa,? sahut kakek itu sambil ketok2 djidat sendiri, ?beliau seperti mengatakan hendak pergi kenegeri He atau Tayli, ja, entah Turfan atau negeri mana lagi.?

Tjiumoti mendjadi kurang senang oleh djawaban itu, terang tidak mungkin seorang sekaligus keluar negeri sebanjak itu, ia tahu budak tua itu sengadja berlagak pikun, maka katanja: ?Djika demikian, akupun tidak menunggu lagi pulangnja Kongtju, harap Koankeh (kepala pengurus rumah tangga) suka membawa aku bersembahjang kemakam Bujung-siansing sekedar memenuhi kewadjiban sebagai seorang sobat lama.?

?Ah, permintaan ini aku tidak berani menerima, akupun bukan Koankeh segala,? sahut sikakek sambil gojang2 tangannja.

?Djika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian? Dapatkah kutemui dia?? tanja Tjiumoti.

?Ehm, baiklah, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh,? kata sikakek sambil mengangguk. Ia putar masuk kebelakang dengan langkah sempojongan sebagaimana lazimnja orang tua sambil menggerundel pandjang-pendek: ?Ai, djaman ini memang terlalu banjak orang djahat, banjak jang menjamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang. Huh, orang tua seperti aku pengalaman apa jang tak pernah terdjadi, mana dapat aku diingusi!?

Mendengar itu, saking gelinja sampai Toan Ki terbahak.

Sebaliknja A Pik lekas2 berkata kepada Tjiumoti: ?Taysuhu, harap engkau djangan marah, Ui-pepek itu benar2 seorang pikun. Ia mengira dirinja sendiri sangat pintar, tapi kata2nja djusteru selalu menjakiti orang.?

Dalam pada itu Tjui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-tji kesamping serta membisikinja: ?Keledai gundul ini mengaku sebagai sobat orang she Bujung, tapi orang disini terang2an tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita djangan sembarangan bertindak, biarlah melihat dulu apa jang akan terdjadi.?

Ko Gan-tji mengia dan kembali ketempatnja tadi. Tapi karena kursinja sendiri telah dihantjurkan oleh sabetan rujungnja tadi, ia mendjadi tidak punja tempat duduk lagi.

Maka dengan tersenjum ramah A Pik lantas memberikan kursinja, katanja dengan tersenjum: ?Harap Ko-toaya duduk kursi ini sadja!?

Gan-tji mengangguk puas, pikirnja: ?Andaikan aku dapat membunuh bersih antero anggota keluarga Bujung, paling sedikit dajang tjilik ini harus kuampuni.?

Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda tanja jang aneh. Ketika sibudak tua she Ui tadi masuk, diam2 ia merasa ada sesuatu jang kurang beres. Tapi soal apa, ia sendiripun tak bisa mendjawab. Ia tjoba memperhatikan alat

perabot ruangan itu, kemudian memandang A Pik, Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, namun tiada sesuatu tanda mentjurigakan jang dilihatnja. Tapi anehnja perasaannja djusteru semakin merasa ada sesuatu jang tidak beres.

Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muntjul seorang laki2 kurus setengah umur. Orang ini memiara djenggot matjam djenggot kambing, gerak-geriknja menundjukkan seorang jang tjekatan dan pandai mengatur rumah tangga, pakaiannja djuga radjin, djari tengah kiri memakai sebuah tjintjin berbatu kemala jang besar. Agaknja inilah dia Koankeh keluarga Bujung.

Orang itu lantas memberi hormat kepada tamu2nja dan berkata: ?Hamba Sun Sam menjampaikan salam hormat kepada tuan2 sekalian. Taysuhu, engkau bermaksud ziarah kemakam Loya kami, untuk mana kami menjatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongtjuya sedang bepergian, tiada orang jang dapat membalas kehormatan Taysuhu nanti, hal ini akan kelihatan kurang pantas. Maka kelak kalau Kongtjuya pulang, biarlah kusampaikan sadja maksud baik Taysuhu ini ....?

Bitjara sampai disini, tiba2 Toan Ki mengendus sematjam bau harum jang halus. Seketika pikirannja tergerak, ia tjuriga: ?Apakah mungkin demikian halnja??

Kiranja tadi waktu sibudak tua masuk keruangan situ, Toan Ki lantas mentjium sematjam bau wangi jang halus sedap. Bau harum ini lapat2 seperti bau harum jang teruar dari badannja Bok Wan-djing, walaupun didalamnja memang banjak perbedaannja, namun satu hal adalah pasti, jaitu bau wangi badan anak perawan.

Semula Toan Ki menjangka bau harum itu timbul dari badannja A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itupun lenjap. Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu jang kurang beres. Sebab mustahil badan seorang kakek tua bangka begitu bisa menguarkan bau harum anak perawan??

Kemudian ketika Koankeh kurus jang mengaku bernama Sun Sam itu muntjul, kembali Toan Ki mengendus bau wangi jang sama, maka timbul pikirannja pula: ?Barangkali dibelakang rumah ini tertanam bunga apa2 jang aneh, siapa sadja jang keluar dari ruangan belakang tentu membawa bau harum jang menggontjang sukma itu. Kalau tidak, maka budak tua itu dan sikurus ini pastilah samaran kaum wanita.?

Meski bau wangi itu menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, tapi karena terlalu halus baunja, maka Tjiumoti bertiga sedikitpun tidak tahu. Sebabnja Toan Ki dapat membedakan bau harum jang halus itu adalah karena dahulu ia pernah

disekap bersama Bok Wan-djing didalam kamar batu oleh Djing-bau-khek alias Yan-king Thaytju itu. Maka bau harum jang halus jang timbul dari badan anak perawan itu susah dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalamannja dulu itu sangat berkesan dan djauh lebih keras malah daripada bau wangi segala matjam wangi2an lainnja.

Meski ia mentjurigai Sun Sam itu adalah samaran wanita, tapi sesudah dipandang dan di-amat2i, toh tiada sesuatu tanda jang mejakinkan. Bukan sadja gerak-gerik Sun Sam itu memang lakunja kaum laki2, bahkan mukanja dan suaranja djuga persis seperti kaum laki2 umumnja. Tiba2 teringat oleh Toan Ki: ?Kalau wanita menjamar sebagai lelaki, bidji lehernja sekali2 tak mungkin dipalsukan.?

Karena itu, ia tjoba memperhatikan leher Sun Sam, namun djenggot kambingnja itu tepat mendjulur kebawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada bidji leher atau tidak.

Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan pura2 menikmati lukisan jang tergantung didinding sana, dari samping lalu ia melirik untuk mengintjar lehernja Sun Sam. Sekali ini dapat dilihatnja dengan djelas bahwa leher Sun Sam halus lurus tiada sesuatu jang menondjol dilehernja. Ketika mengawasi dadanja pula, tampak dada Sun Sam itu penuh montok. Walaupun tanda ini tidak dapat dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki2 kurus tidaklah lazim memiliki dada jang montok.

Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki mendjadi sangat senang, pikirnja: ?Ini dia sandiwaranja masih belum tamat, biarlah aku mengikuti terus permainannja.?

Dalam pada itu terdengar Tjiumoti sedang berkata dengan gegetun: ?Dahulu aku telah berkenalan dengan Loya kalian dinegeri Thian-tiok serta saling mengagumi ilmu silat masing2, disanalah kami telah mengikat persahabatan kekal. Sungguh tidak njana segala apa didunia fana ini memang mudah berubah, orang bodoh seperti aku ini djusteru masih diberi hidup, sebaliknja Loya kalian malah sudah mendahului kenirwana. Djauh2 aku sengadja datang dari Turfan untuk sekedar memberi hormat dihadapan makam sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa mesti dipikirkan? Maka haraplah Koankeh suka membawa aku kesana.?

Sun Sam tampak mengkerut kening, agaknja merasa serba salah, katanja: ?Aku ..... aku .....?

?Entah Koankeh merasakan kesulitan apa, silahkan memberi pendjelasan,? tanja

Tjiumoti.

?Ja, sebab watak Loya kami, sebagai sobatnja tentu Taysuhu tjukup tahu,? sahut Sun Sam. ?Loya kami paling tidak suka ada orang berkundjung kepadanja, ia bilang orang jang datang mentjarinja kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin rusuh, pasti adalah mohon beladjar dan ingin mendjadi muridnja. Jang lebih rendah lagi bisa djuga datang untuk pindjam uang atau bila jang empunja rumah lengah, terus mentjuri. Beliau mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih2 tak dapat dipertjaja lagi, auuuuh..... maaf.....? ~ Tiba2 ia seperti tersadar telah menjinggung Tjiumoti, maka tjepat menutupi mulutnja.

Tingkah laku menutupi mulut dengan tangan itu terang lazimnja dilakukan oleh kaum anak gadis, bidji matanja jang hitam pekat mendelik itupun mengerling sekedjap. Meski hanja sekilas sadja tingkah laku demikian, namun Toan Ki jang selalu menaruh perhatiannja itu sudah melihatnja, dia bertambah senang lagi: ?Ha, Sun Sam ini bukan sadja memang samaran wanita, bahkan adalah seorang nona jang masih sangat muda.?

Ketika ia melirik A Pik, ia lihat udjung mulut gadis itu tersimpul senjuman jang litjik. Maka Toan Ki mendjadi lebih jakin lagi, pikirnja: ?Sun Sam ini sudah terang sama orangnja dengan sibudak tua tadi. Boleh djadi adalah entji A Tju jang dikatakan itu.?

Dalam pada itu Tjiumoti sedang berkata: ?Memang manusia baik2 didjagat ini lebih sedikit daripada orang jang djahat. Kalau Bujung-siansing tidak suka banjak bergaul dengan chalajak ramai, itupun adalah djamak.?

?Ja, dari itulah Loya kami telah meninggalkan pesan agar siapa pun jang datang hendak ziarah kekuburannja, semuanja ditolak,? kata Sun Sam. ?Ia bilang para keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar kuburannja. Aija, maaf Taysuhu, keledai gundul jang dimaksudkan Loya kami itu besar kemungkinan bukan ditudjukan kepadamu.?

Diam2 Toan Ki mendjadi geli oleh pertundjukan itu, ini namanja ?dihadapan Hwesio memaki keledai gundul,? benar2 sangat tepat. Pikirnja: ?Keledai gundul ini tetap tidak marah sama sekali, semakin djahat dan semakin litjik orangnja, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai gundul ini benar2 bukan sembarangan orang.?

Malahan Tjiumoti terus berkata lagi: ?Apa jang dipesan Loya kalian itu memang ada benarnja djuga. Dimasa hidupnja dahulu terlalu banjak permusuhan jang telah ditanamnja, kalau waktu hidupnja musuh tidak berani padanja, sesudah beliau wafat, bukan mustahil ada jang berusaha membongkar djenazahnja untuk

membalas sakit hati.?

?Berani mengintjar djenazah Loya kami? Hahaha, djangan mimpi!? udjar Sun Sam dengan tertawa.

?Tapi aku adalah sobat baik Bujung-siansing, aku hanja ingin memberi hormat dihadapan makamnja dan tiada maksud lain, hendaklah Koankeh djangan bersangka djelek,? kata Tjiumoti.

?Dengan sungguh2 hal ini Siaudjin tidak berani mengambil keputusan, sebab kalau pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongtju pulang dan mengetahui, bukan mustahil aku akanmemdapat gandjaran jang setimpal,? kata Sun Sam. ?Tapi begini sadjalah, biarlah kumintakan keputusan Lothaythay, nanti kuberitahukan lagi kesini.?

?Lothaythay (njonja besar)? Lothaythay jang mana?? tanja Tjiumoti heran.

?Bujung-lothaythay adalah Entjim daripada Loya kami,? sahut Sun Sam. ?Setiap tamu jang berkundjung kemari kebanjakan menghadap untuk mendjura dan menghormatinja. Kini Kongtju tidak dirumah, segala apa harus minta keputusan kepada Lothaythay?.

?Baiklah djika begitu,? kata Tjiumoti. ?Harap kau sampaikan kepada Lothaythay bahwa Tjiumoti dari Turfan menjampaikan salam selamat kepada beliau.?

?Ah, engkau terlalu baik, terima kasih, tentu akan kusampaikan pada Lothaythay,? sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia kebelakang.

Diam2 Toan Ki membatin: ?Nona ini sangat litjin dan djenaka, entah apa maksud tudjuannja mempermainkan keledai gundul Tjiumoti ini??

Selang tidak lama, terdengarlah suara berkeriat-keriut orang berdjalan, dari dalam muntjul seorang nenek tua. Belum tiba orangnja bau harum jang sedap halus tadi sudah tertjium oleh Toan Ki, maka ia mendjadi geli: ?Ha, sekali ini dia telah menjamar mendjadi njonja tua.?

Tertampak njonja tua itu memakai kun dari sutera warna tjoklat, tangannja memakai gelang kemala, gelungannja berhias aneka mutiara permata, dandanannja agung terhormat, mukanja sudah berkeriput, matanja lapat2 seperti sudah kurang penglihatannja. Mau-tak-mau Toan Ki harus memudji dalam hati akan kepandaian menjamar orang, bukan sadja samarannja sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Begitulah sambil ber-ingsut2 dengan tongkatnja njonja tua itu berdjalan ketengah ruangan, lalu berkata: ?A Pik, apakah sobat baik Loyamu telah datang? Kenapa tidak mendjura padaku?? ~ Sembari berkata, kepalanja tampak menoleh kesana kesini seperti lazimnja orang tua jang sudah pikun dan kurang penglihatannja.

A Pik memberi tanda kepada Tjiumoti dan membisikinja: ?Lekaslah mendjura! Sekali engkau sudah mendjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu pasti akan diluluskan.?

Njonja tua itu lantas miringkan kepalanja, tangannja terangkat ditepi telinga seperti orang sedang mendengarkan sesuatu, lalu tanja keras2: ?A Pik, kau bitjara dengan siapa? Orang sudah mendjura belum??

Maka berkatalah Tjiumoti: ?Lothaythay, baikkah engkau? Siautjeng memberikan salam hormat.? ~ Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng kedua tangannja mengerahkan tenaga hingga terdengarlah suara ?dak-duk? diatas lantai seperti kepala orang mendjura jang mem-bentur2 lantai.

Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji, diam2 mereka terkesiap oleh tenaga dalam sihwesio jang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka berdua tidak mampu menangkis satu djurus serangannja.

Sementara itu sinjonja tua lantas manggut2 dan berkata: ?Baik, baik, sangat baik! Orang djahat didjaman ini memang terlalu banjak, djarang sekali ada orang djudjur. Seumpama orang mendjura sadja toh sengadja pura2 segala, sudah terang tidak mendjura, tapi sengadja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui pandanganku jang sudah berkurang ini. Ehm, engkau ini sangat baik, sangat penurut, keras sekali engkau mendjura ja.?

Saking gelinja tak tertahan lagi Toan Ki tertawa mengekek.

Pelahan2 njonja tua itu menoleh dan menanja dengan pandangan matanja jang me-lajap2, lalu tanjanja: ?A Pik, suara apa tadi? Apa ada orang kentut?? ~

Sambil berkata, ia terus meng-kipas2 didepan hidungnja.

?Bukan orang kentut, Lothaythay,? sahut A Pik menahan tawa. ?Tapi Toan-kongtju ini telah tertawa sekali.?

?Toan? Apanja jang putus?? tanja sinenek.

?Bukan Toan artinja putus, Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongtju keluarga Toan,? sahut A Pik menerangkan.

?Ehm, Kongtju terus-menerus, memang jang kau ingat selalu Kongtju sadja,? udjar sinenek sambil manggut2.

?Lothaythay sendiri masakah djuga tidak selalu terkenang pada Kongtjuya?? sahut A Pik agak merah mukanja.

?Apa katamu? Kongtjuya kepingin makan djenang?? tanja sinenek.

?Ja, Kongtjuya kepingin makan djenang, bahkan lebih suka pula engkau punja kue mangkok,? sahut si A Pik.

Sudah tentu Toan Ki mengarti pertjakapan kedua orang itu bertjabang, maka ia mendjadi lebih jakin lagi sinenek itu pasti samaran si A Tju.

Kemudian nenek itu memandang kearah Toan Ki dan berkata: ?Kau botjah ini berhadapan dengan orang tua mengapa tidak mendjura??

?Lothaythay,? sahut Toan Ki. ?Ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan engkau, tapi tidak enak kalau didengar orang lain.?

?Kau bilang apa?? tanja sinenek sambil mendjulurkan kepalanja kedepan.

?Begini,? kata Toan Ki. ?Dirumah aku mempunjai seorang keponakan perempuan

ketjil, namanja A Tju, ia telah pesan padaku agar menjampaikan beberapa kata kepada Lothaythay dari keluarga Bujung.?

?Ah, semberono, semberono!? ber-ulang2 sinenek menggeleng kepala.

Namun Toan Ki melandjutkan pula dengan tertawa: ?Keponakanku si A Tju itu memang sembrono dan terlalu nakal. Dia paling suka menjaru seperti monjet, hari ini menjaru monjet djantan, besok menjamar monjet betina, malahan pintar main sunglap segala. Tapi sering kutangkap dia dan hadjar bokongnja.?

Kiranja sinenek ini memang benar samaran si A Tju, temannja A Pik. Kepandaiannja menjamar memang pintar luar biasa, bukan sadja wudjutnja mirip, bahkan tutur kata dan gerak-geriknja dapat menirukan dengan tepat dan bagus tanpa tjatjat sedikitpun. Sebab itulah maka orang sepintar Tjiumoti dan sepengalaman Tjui Pek-khe djuga kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum jang teruar dari badannja itulah dapat dibongkar rahasianja oleh Toan Ki.

Karuan sadja A Tju sangat terkedjut, namun lahirnja ia tetap tenang sadja, katanja kemudian: ?Anak baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah aku melihat anak setjerdik engkau ini. Anak baik djangan usil, nanti Lothaythay tentu memberikan kebaikan padamu.?

Toan Ki pikir dibalik kata2 orang itu terang meminta agar dirinja djangan membuka rahasianja, karena tudjuannja jalah untuk melajani sikeledai gundul Tjiumoti, dan ia kebetulan sedang mentjari kawan untuk menjelamatkan diri. Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas mendjawab: "Lothaythay djangan kuatir, sekali Tjayhe sudah datang disini, segala apa aku tentu menurut perintah Lothaythay."

Dasar A Tju itu memang sangat nakal, segera katanja pula: " Bagus, anak baik, engkau benar2 anak penurut sekali. Nah, sekarang lekaslah engkau mendjura tiga kali kepada Lothaythay, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu."

Toan Ki melengak. Kurangadjar, pikirnja. Masakah seorang putera pangeran jang diagungkan dari negeri Tayli disuruh mendjura kepada budak ketjil?

Melihat sikap Toan Ki ragu2 dan serba susah, A Tju tertawa dingin, katanja: "Ada manusia jang sudah dekat adjalnja, tapi masih sombong dan angkuh luar biasa. Anak baik, ingin kukatakan padamu, pastilah takkan merugikan engkau djika mendjura beberapa kali kepada nenekmu ini."

Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan bersenjum-simpul sedang melirik padanja, kulit badannja jang putih bersih itu bagai buah manggis segar jang baru dibuka, udjung mulutnja terdapat setitik andeng2 ketjil menambah ketjantikannja jang menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia menanja: "Entji Apik, katanja engkau masih mempunjai seorang teman entji A Tju. Apakah dia ................ dia setjantik molek engkau?"

"Ai, ai, rupaku jang djelek melebihi siluman ini mana berani dibandingkan entji A Tju," sahut A Pik dengan tersenjum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan, kalau entji A Tju mendengar pertanjaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah bahwa entji A ju itu berpuluh kali lebih aju daripadaku."

"Apa betul?" Toan Ki Menegas.

"Guna apa aku mendustai kau?" sahut A Pik tertawa.

"Berpuluh kali lebih tjantik dari kau, didunia ini tentu takada lagi", udjar Toan Ki, "Ja, ketjuali .............. ketjuali sidewi didalam gua. Asal setjantik engkau sudah susah ditjari orangnja."

Wadjah A Pik mendjadi ke-merah2an, katanja dengan malu2 kutjing: "Kau disuruh mendjura kepada Lothaythay, tidak perlu kau memudja-pudji diriku."

"Wah dimasa mudanja, Lothaythay pasti djuga seorang wanita maha tjantik,' kata Toan Ki pula.

"Untuk bitjara terus terang, merugikan atau tidak kepadaku sama sekali tak kupikirkan, tapi disuruh mendjura kepada wanita maha tjantik, aku benar2 suka dan rela." ~ Habis berkata, benar sadja ia terus berlutut sambil berkata dalam hati: "Djika sudah mau mendjura, maka harus jang keras sekalian. Memangnja aku sudah pernah mendjura beratus kali kepada patung dewi didalam gua itu, apa halangannja kalau kini tjuma mendjura tiga kali kepada wanita tjantik di Kanglam?" ~ Lalu iapun mendjura tiga kali sampai kepalanja membentur lantai.

Dalam hati A Tju sangat girang, pikirnja: " Kongtjuya ini terang sudah tahu kalau aku tjuma seorang pelajan, tapi toh sudi mendjura padaku, sungguh susah ditjari orangnja," ~ Maka katanja kemudian: "Ehm, anak baik, pintar sekali kau. Tjuma sajang aku tidak membawa uang retjeh untuk djadjan engkau..."

"Sudahlah asal Lothaythay djangan lupa, kasihlah lain kali bila ketemu lagi," sela A Pik tiba2.

A Tju melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pek-khe dan Gan-tji: "Dan kedua tamu ini mengapa tidak mendjura djuga kepada nenek?"

Gan-tji mendengus dengan gusar, serunja keras2: "Kau dapat ilmu silat atau tidak?"

"Kau berkata apa?" A Tju menegas.

"Kutanja engkau bisa ilmu silat atau tidak?" Gan-tji mengulangi."Djika berilmu silat tinggi, biarlah orang she Ko ini terima kematian dibawah tangan Lohudjin (njonja tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, akupun tidak perlu banjak omong dengan engkau."

A Tju menggeleng kepala, katanja berlagak pilon: " Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala. Ulat tidak ada disini, kalau lalat sih banjak. Idiiiih kotor ah!" ~ Lalu iapun

berpaling kepada Tjiumoti: "Toahweshio, katanja engkau hendak membongkar huburannja Bujung-siansing, sebenarnja engkau ingin mentjuri benda mestika apa dikuburannja?"

Tjiumoti sudah dapat melihat djuga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan pura2 tuli, tjuma belum tahu kalau A Tju sebenarnja seorang gadis tjilik telah menjaru sebagai seorang tua. Maka diam2 ia bertambah waspada, ia pikir: "Bujung-siansing sadja sudah begitu lihay, angkatan tua dirumahnja tentu

lebih hebat lagi."

Maka ia sengadja pura2 tidak dengar tentang pertanjaan tadi tapi mendjawab: "Siautjeng adalah sobat baik Bujung-siansing, karena mendengar berita wafatnja, djauh2 dari negeri Turfan datang kemari sekedar memberi salam terachir kepadanja. Waktu almaarhum masih hidup, Siautjeng pernah berdjandji akan mengambilkan gambar Lak-meh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk dipersembahkan kepada Bujung-siansing. Selama djandji itu belum terpenuhi, sungguh Siau-tjeng merasa sangat malu."

Mendengar kata2 "Lak-meh-sin-kiam-boh" itu seketika A Tju terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu bukan sembarangan, dirinja djuga belum lama dapat mendengar dari Kongtju. Ia saling pandang sekedjab dengan A Pik dan sama2 berpikir sihwesio itu sudah mulai membitjarakan atjara pokoknja.

Maka sahut A Tju: " Ada apa tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?"

"Begini," tutur Tjiumoti, "Dahulu Bujung-siansing berdjandji pada Siautjeng asal dapat mengambilkan Lak-meh-sn-kiam-boh untuk dibatjanja barang beberapa hari, sebagai timbal-baliknja beliau membolehkan Siautjeng membatja kitab2nja beberapa hari dipondok 'Lang-goan-tjui-kok' dikediaman kalian ini."

A Tju terkedjut, ternjata paderi asing itu kenal nama "Lang-goan-tjui-kok" atau pondok air indah, mungkin apa jang dikatakan itu memang benar2 adanja. Tetapi ia tetap berlaga pilon dan menanja pula: "Kau bilang 'Lang-goan-tjui-kok' apa? O, kau kepingin makan kue mangkok? Itulah mudah,

dirumah kami selalu sedia kue mangkok."

Tjiumoti benar2 kewalahan, ia berpaling dan berkata kepada A Pik: "Lothaythay ini entah benar2 sudah pikun atau tjuma berlaga pilon. Jang terang sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh sini. Mengingat Siautjeng pernah bersobat dengan Bujung-siansing maka sebenarnja bermaksud mentjurahkan sedikit tenagaku jang tak berarti itu untuk membantunja. Tapi Lothaythay sedemikian sikapnja, sungguh membikin hati orang mendjadi dingin."

A Tju sama sekali tidak gubris utjapannja itu, ia malah berseru kepada A Pik: "He, A Pik, kau dengar tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lengkaslah kau membuat kue mangkok jang hangat2 untuknja."

"Gulanja belum beli, Lothaythay," sahut A Pik dengan menahan geli.

"Pakailah gula batu,"kata A Tju."Tepungnja habis, Lothaythay!" sahut A Pik pula.

"Wah, aku benar2 sudah pikun, lantas bagaimana baiknja?" udjar A Tju achirnja.

Dasar anak gadis Sohtjiu memang terkenal lintjah dan pintar bitjara, pula kedua dajang tjikik ini se-hari2 sudah biasa bergurau dan saling ber-olok2, keruan tingkah laku mereka ini membuat Tjiumoti benar2 mati kutu. Maksud kedatangannja ke Sohtjiu ini memangnja berharap dapat berdjumpa dengan Bujung-kongtju untuk berunding sesuatu urusan penting. Siapa duga orang jang ditjari tidak ketemu, sebaliknja masih bertemu dengan orang2 jang mengotjeh tak keruan hingga membuatnja bingung.

Namun Tay-lun-beng-ong ini benar2 satu tokoh jang hebat, sedikit memikir, segera ia jakin Bujung-lothaythay, Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengadja meritanginja agar tidak dapat masuk perpustakaan "Lang-goan-tjui-kok" untuk membatja. Kini tidak peduli lagi mereka berlagak apapun djuga, asalkan sudah dikemukakan dengan kata2, kelak apakah mesti pakai kekerasan atau setjara halusan, dirinja sendiri sudah lebih dulu dipihak jang benar.

Maka dengan sabar dan ramah iapun berkata: "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang djuga sudah Siautjeng bawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan pergi membatja ke 'Lang-goan-tjui-kok'."

"Bujung-siansing sudah wafat kini," kata A Pik. "Pertama djandji lisan itu tak berbukti. Kedua, meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorangpun diantara kami jang paham. Maka sekalipun dahulu ada perdjandjian apa2, dengan sendirinja sudah batal."

Namun A Tju lantas berkata: "Kiam-boh apakah itu? Dimana? Tjoba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!"

"Toan-kongtju ini telah apal semua lukisan Lak-meh-sin-kiam itu," sahut Tjiumoti sambil menundjuk Toan Ki. "Kini telah kubawanja kemari, maka sama sadja seperti kubawa gambar2 aslinja."

"Huh, kukira Kiam-boh apa segala, kiranja Taysuhu tjuma bergurau sadja," djengek A Pik.

"Siautjeng mana berani sembarangan bergurau?" sahut Tjiumoti sungguh2. "Lak-meh-sin-kiam-boh jang asli itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, sjukur Toan kongtju ini telah dapat mengapalkan seluruh isinja denga baik".

"Sekalipun Toan-kongtju benar2 apal, itupun adalah urusannja Toan-kongtju sendiri," udjar A Pik. "Dan andaikan mesti pergi ke Lang-goan-tjui-kok, jang benar djuga Toan-kongtju jang pantas kesana. Apa sangkutpautnja dengan Taysu?"

"Untuk memenuhi djandji Siautjeng dahulu itu, Siautjeng ingin membakar Toan-kongtju ini dihadapan makamnja Bujung-siansing," kata Tjiumoti.

Keruan Semua orang terperandjat oleh utjapan itu. Tapi melihat sikap paderi itu sungguh2 dan sekali2 bukan berkelakar, kedjut merka mendjadi lebih hebat.

Maka berkatalah A Tju: "Ha, bukankah Taysu ini sedang bergurau? Masakah seorang baik2 akan kaubakar hidup2?"

"Ja, Siautjeng hendak membakarnja, rasanja iapun takkan mampu membangkang," sahut Tjiumoti dengan tawar.

Segera A Pik berkata pula: "Taysu bilang Toan-kongtju telah apal semua isi Lak-meh-sin-kiam-boh, njata alasanmu ini sengadja di-tjari2 sadja. Pikirlah betapa lihaynja ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar2 Toan-kongtju mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?"

"Ja, benar djuga utjapanmu ini," sahut Tjiumoti. "Tapi nona tjuma tahu kepalanja tidak tahu ekornja. Toan-kongtju justeru telah kututuk Hiat-to jang penting, antero tenaga dalamnja tak dapat dikeluarkannja."

Nomun A Tju masih menggeleng kepala, katanja: "Lebih2 aku tidak pertjaja pada alasanmu ini. Untuk membuktikan kebenarannja, tjoba kau melepaskan Hiat-to Toan-kongtju dan suruhlah dia memainkan Lak-meh-kiam-hoat itu. Tapi kujakin 99% engkau pasti bohong."

Tjiumoti manggut2, sahutnja: "Baiklah, boleh djuga ditjoba!"

Kiranja waktu datang tadi, karena kesemsem oleh ketjantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh njanjiannja jang merdu, maka Toan Ki

telah memberi pudjian kepada dajang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula mendjura

tiga kali kepada A Tju, hal inipun memperoleh simpatik dajang ini.

Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Tjiumoti, segera kedua dajang tjilik itu sengadja menipu paderi itu supaja melepaskan Hiat-tonja Toan Ki.

Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima setjara mudah oleh Tjiumoti. Segera paderi itu men-tepuk2 beberapa kali didada, paha dan pundaknja, lalu Toan Ki merasa djalan darahnja lantas lantjar kembali, sedikit ia mengerahkan hawa murninja, terasalah bergerak dengan sempurna. Ia mentjoba mendjalankan tenaga menurut Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga dalamnja ke Tiong-tjiong-hiat didjari tengah kanan, maka terasalah djari itu sangat panas, ia tahu asal sekali djarinja menuding kedepan, djadilah sedjurus tusukan pedang jang lihay.

"Toan-kongtju," demikian Tjiumoti lantas berkata, "Bujung-lothaythay tidak pertjaja engkau sudah mahir Lak-meh-sin-kiam, maka silahkan engkau mempertundjukannja. Begini, seperti aku menabas sebatang ranting pohon Kui ini."

Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus memotong miring kedepan dengan penuh tenaga dalam jang hebat. Itulah satu djurus jang lihay dari "Hwe-yam-to". Maka terdengarlah suara "krak" sekali, sebatang ranting pohon jang tjukup besar dan berada dipelataran sana tahu2 telah patah sendiri.

Saking kagetnja sampai Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjerit. Meski sebelumnja mereka tahu ilmu paderei asing itu sangat lihay lagi aneh, tapi mereka pertjaja palinng2 djuga tjuma sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi menjaksikan betapa tinggi Lwekangnja jang digunakan untuk menabas ranting pohon dari djauh itu, barulah mereka sadar telah salah sangka.

Maka Toan Ki berkata sambil menggojang kepala: "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa2, lebih2 tidak tahu tentang Lak-meh atau Tjhit-meh-kiam-hoat segala. Batang pohon orang jang indah itu kenapa engkau rusak tanpa sebab?"

"Kenapa Toan-kongtju mesti merendah diri," sahut Tjiumoti. "Diantara djago2 Toan-si di Tayli, engkaulah tokoh nomor satu. Didunia ini ketjuali Bujung-kongtju dan aku sihewshio mungkin tiada seberapa orang lagi jang mampu menandingi engkau. Tapi keluarga Bujung di Koh-soh ini adalah gudangnja ilmu silat didunia ini, bila kau suka pertudjukan beberapa djurus, kalau ada salah, boleh djadi Lothaythay nanti akan memberi petundjuk2 seperlunja, bukankah hal itu nanti akan menguntungkan kau?"

"Toahweshio, sepandjang djalan kau terlalu kasar padaku, kau telah membanting dan menjeret aku kesini, untuk mana aku mandah sadja diperlakukan sesukamu karena aku kalah pada ilmu silatmu. Sebenarnja aku tidak sudi lagi bitjara dengan engkau, namun setiba disini, aku telah dapat menikmati pemandangan indah dengan gadis2nja jang tjantik2, maka rasa dendamku padamu menjadi terhapus djuga. Maka untuk selandjutnja hubungan kita kuputuskan sampai disini, masing2 tidak perlu menggurus masing2".

Diam2 A Pik dan A Tju merasa geli oleh ke-tolol2an Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipudji tjantik, betapapun mereka sangat senang.

Lalu Tjiumoti telah berkata: "Kongtju tidak sudi mengundjukan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti omonganku tadi tjuma bualan belaka?"

"Memangnja mulutmu djuga tidak bisa dipertjaja," sahut Toan Ki. "Djikalau benar2 engkau ada djandji dengan Bujung-siansing, mengapa tidak dulu2 mengambil Kiam-boh ke Tayli, tapi menunggu setelah Bujung-siansing meninggal, sesudah tiada saksi, barulah engkau bikin rusuh kesini. Hm, kulihat engkau sebenarnja mempunjai maksud2 tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Bujung jang hebat, maka sengadja mengarang dongengan2 jang susah dipertjaja untuk menipu Lothaythay, tapi tudjuanmu sebenarnja ingin mengintip kitab2 pusaka adjaran silat dikamar perpustakaan keluarga Bujung ini, dengan begitu engkau akan meradjai dunia persilatan. Tapi, ha, Tjiumoti, kenapa engkau tidak pikir, bahwa nama orang sedemikian gemilangnja didunia persilatan, masakah terhadap sedikit akalmu ini mereka takkan tahu? Pabila tjuma mengandalkan sedikit otjehanmu ini sadja lantas mengira rahasia ilmu silat keluarga Bujung dapat kau tipu, wah, mungkin setiap orang didunia ini akan mendjadi penipu ulung semua?"

Namun Tjiumoti ternjata meng-geleng2 kepala, katanja: "Tafsiran Toan-kongtju telah salah besar. Meski sudah lama djandji Siautjeng dengan Bujung-siansing itu, soalnja karena selama ini Siautjeng sedang menjepi untuk mejakinkan 'Hwe-yam-to' dan telah sembilan tahun Siautjeng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat pula mengundjungi Tayli. Dan bila ilmu 'Hwe-yam-to' itu tidak berhasil dijakinkan Siautjeng, mungkin Siautjeng tidak dapat keluar lagi dari Thian-liong-si dengan selamat."

"Toahweshio," kata Toan Ki pula, "bitjara tentang nama, engkau memang sudah terkenal.

Tentang kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri Turfan, ilmu silatmupun sudah sekian tingginja. Tapi mengapa engkau tidak mau hidup aman tenteram dirumah dengan kedudukanmu jang agung itu, sebaliknja malah datang kesini untuk menipu orang? Kupikir lebih baik engkau lekas pulang sadja."

"Sudahlah, tak perlu banjak omong, pabila Kongtju tidak sudi undjukan

Lak-meh-sin-kiam, djanganlah menjalahkan bila Siautjeng berlaku kasar," kata Tjiumoti dongkol.

"Kasar? Memangnja engkau djuga sudah kasar padaku, masakan masih ada pula jang lebih kasar?" sahut Toan Ki dengan gusar, "Ja, paling2 engkau sekali batjok mematikan aku, kenapa aku mesti takut?"

"Kongtju mau menurut kata2 Siautjeng apa tidak?" Tjiumoti menegas pula."ja, boleh," sahut Toan Ki.

Tjiumoti mendjadi girang, katanja: "Djika begitu, silahkan undjukan ilmu pedangmu jang sakti itu."

"Ilmu pedang sakti? Apa engkau membawa pedang? Boleh djuga dipindjamkan padaku," sahut Toan Ki.

Sungguh dongkol Tjiumoti tidak kepalang. Serunja tidak sabar lagi: "Rupanja Kongtjuya sengadja hendak menghina Siautjeng, ja? Awas serangan!" ~ Berbareng telapak tangan kirinja terangkat miring terus memotong kemukanja Toan Ki dengan tenaga jang kuat.

Namun Toan Ki sudah ambil keputusan bandel. Ia tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak tetap dirinja tak bisa menang. Maksud paderi itu jalah ingin dirinja memainkan Lak-meh-sin-kam untuk membuktikan omongannja bukan bualan belaka, maka ia djusteru tidak sudi memenuhi keinginan orang. Ketika serangan Tjiumoti itu tiba, dengan nekad Toan Ki sama sekali tidak menghindar djuga tidak menangkis.

Keruan Tjiumoti jang mendjadi kaget malah. Sudah pasti ia akan membakar Toan Ki didepan kuburan Bujung-siansing, maka ia tidak ingin membunuhnja sejarang djuga dengan tenaga dalam serangannja itu. Tjepat ia angkat tangannja keatas sedikit, "sret" serangkum angin tadjam menjambar lewat diatas kepala Toan Ki hingga setjomot rambutnja terkupas.

Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dengan terperandjat. Begitu pula A Pik dan A Tju tidak kurang kedjutan menjaksikan ilmu sakti paderi itu.

"Apakah Toan-kongtju lebih suka korbankan djiwa daripada memenuhi permintaan Siautjeng?" tanja Tjiumoti dengan menjesal.

Toan Ki memang sudah tidak pikirkan mati atau hidup, maka sahutnja dengan tertawa: "Haha. Toahweshio sama sekali masih belum hilang daripada segala matjam pikiran keduniawian, mengada ada harganja disebut paderi saleh, huh, benar2 nama kosong belaka."

Tjiumoti tidak meladeni otjehan Toan Ki lagi, tapi mendadak serangannja ditudjukan kepada A Pik sambil berkata: "Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang budak dari keluarga Bujung ini!"

Sungguh kaget A Pik tak terkatakan oleh serangan mendadak itu, tjepat ia berkelit, "brak", kursi dibelakangnja seketika hantjur ber-keping2 oleh tenaga pukulan Tjiumoti. Bahkan golok tangan kanan Tjiumoti jang lain menjusul memotong pula, sjukurlah A Pik sempat djatuhkan diri kelantai dan menggelundung kesamping dgn tjepat, namun begitu keadaannjapun sangat mengenaskan.

Pada saat lain, mendadak Tjiumoti menggertak sekali, golok tangan ketiga kembali dibatjokan pula.

Saking takutnja sampai muka A Pik mendjadi putjat, meski gerak-geriknja sangat tjepat, tapi ia mendjadi bingung djuga menghadapi batjokan tenaga dalam jang tak kelihatan itu.

Hubungan A Tju dengan A Pik bagai saudara sejandung, melihat kawannja terantjam bahaja, tanpa pikir lagi A Tju terus angkat tongkatnja dan menghantam kepunggung Tjiumoti.

Dalam samarannja baik djalannja maupun bitjaranja, lagak-lagunja A Tju memang mirip benar seorang nenek rejot. Tapi kini dalam keadaan gugup dan buru2, gerak tubuhnja mendjadi sangat gesit dan tjepat sekali.

Maka sekilas pandang sadja Tjiumoti sudah dapat melihat rahasianja A Tju itu, katanja dengan tertawa: "Haha, masakah didunia ini ada lah seorang nenek2

berumur tjuma belasan tahun? Emangnja kau sangka Hwesio dapat engkau bohongi terus?" ~ Berbareng telapak tangannja membalik dan menghantam, "krak", tongkat A Tju itu kontan tergetar patah mendjadi tiga potong. Menjusul serangan Tjiumoti dilontarkan pula kearah A Pik.

Dalam gugup dan kuatirnja, terus sadja A Pik sambar medja disampingnja untuk memapak serangan orang. "Prak-prak: dua kali, medja jang terbuatdari kaju gaharu seketika petjah berantakan, tinggal dua kaki medja jang masih terpegang ditangannja A Pik.

Melihat A Pik sudah terdesak mendempel dinding, untuk mundur lagi sudah buntu, hendak laripun susah, sementara itu serangan Tjiumoti telah dilantjarkan pula. Toan Ki takbisa tinggal diam lagi, jang dia pikir hanja lekas2 menolong sigadis, tak terpikir lagi olehnja bahwa dirinja sekali2 bukan tandingan Tjiumoti. Maka tjepat djari tengah kanan terus menuding kedepan, tenaga dalamnja lantas memantjar keluar melalui "Tiong-tjiong-hiat" diudjung djari dengan suara mentjitjit, itulah Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam jang lihay.

Sebenarnja Tjiumoti tiada maksud membunuh A Pik, tudjuannja tjuma hendak memantjing Toan Ki ikut turun tangan. Bila dia hendak benar2 membunuh, mana A Pik mampu menghindari "Hwe-yam-to-hoat" jang tanpa wudjut dan lihay luar biasa itu?

Melihat Toan Ki telah tertipu olehnja dan turun tangan, segera Tjiumoti membaliki tangannja berganti menjerang A Tju. Begitu hebat tenaganja, dimana angin tabasannja tiba, tampaklah A Tju ter-hujung2, badju bagian pundaknja terus sobek djuga, gadis itu mendjerit kaget sekali.

Tjepat Toan Ki menolong pula, djari ketjil tangan kiri terus menusuk kedepan dengan "Siau-tik-kiam" untuk menangkis "Hwe-yam-to" musuh.

Dengan demikian, A Tju dan A Pik terhindar dari bahaja, tapi sebaliknja Toan Ki jang harus melajani serangan2 Hwe-yam-to-hoat si Tjiumoti dengan Lak-meh-sin-kiam.Pertama Tjiumoti sengadja hendak pamer kepandaiannja, kedua ingin orang lain menjaksikan bahwa Toan Ki benar2 mahir "Lak-meh-sin-kiam" jang dikatakan tadi. Maka ia sengadja mengeluarkan lwekangnja untuk saling bentrok dengan tenaga dalam Toan Ki hingga menerbitkan suara mentjitjit.

Dengan menghimpun tenaga dalam dari berbagai tokoh kelas wahid jang pernah disedotnja dengan Tju-hop-sin-kang, sebenarnja tenaga Toan Ki sekarang sudah lebih kuat daripada Tjiumoti, Tjelakanja dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat jang dipahaminja di Thian-liong-si itu djuga tjuma diapalkannja setjara mati dan kaku, sedikitpun takbisa digunakan dengan hidup. Maka dengan mudah sadja Tjiumoti dalam mempermainkannja dan ber-ulang2 memantjing tusukan djarinja itu hingga papan2 pintu dan djendela ber-lulang2 oleh tenaga dalam Toan Ki jang hebat, berbareng ia terus mengotjeh: "Wah, sungguh hebat Lak-meh-sin-kiam ini, pantas mendiang Bujung-siansing memudjinja setinggi langit."

Tjui Pek-khe djuga ternganga heran, pikirnja: "Kukira Toan-kongtju ini sama sekali tidak mengarti ilmu silat, siapa tahu ia memiliki ilmu sehebat ini. Toan-si dari Tayli benar2 tidak bernama kosong. Untung ketika meneduh di Tin-lam-ong-hu dahulu aku, tidak pernah berbuat sesuatu jang djahat, kalau tidak, masalah aku dapat keluar dari istana itu dengan hidup?" ~ Makin dipikir ia makin merinding sampai djidatnja penuh berkeringat dingin.

Setelah menempur Toan Ki sebentar, kalau mau, sebenarnja setiap djurus dan setiap waktu Tjiumoti dapat mematikan pemuda itu, tapi seperti kutjing memain

tikus sadja, ia sengadja menggoda Toan Ki agar mengeluarkan djurus2 Lak-meh-sin-kiam. Tapi sesudah lama, lambat laun hilanglah rasa memandang rendah Tjiumoti, ia merasa Kiam-hoat jang dimainkan pemuda itu sesungguhnja lain dari jang lain, tjuma entah mengapa, dimana letak kelihayannja sama sekali takdapat digunakan oleh Toan Ki. Djadi seperti seorang anak ketjil meski dibekali harta ber-djuta2 toh tidak tahu tjara bagaimana menggunakannja.

jilid 9

Setelah bergebrak beberapa djurus lagi, tiba2 pikiran Tjiumoti tergerak: "Pabila kelak timbul ilhamnja dan mendadak ia sadar serta memahami kuntji kemudjidjatan ilmu silatnja ini, ditambah lagi tenaga dalamnja dan Kiam-hoat jang bagus ini, pastilah akan merupakan satu lawan tangguh paling lihay bagiku!" Toan Ki sendiri djuga sudah sadar bahwa mati-hidupnja sekarang tergantung dibawah tangan Tjiumoti, tjepat ia berseru: A Tju dan A Pik berdua Tjitji, lekaslah kalian melarikan diri, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi." "Mengapa engkau bersedia menolong kami, Toan-kongtju?" tanja A Tju. "Hwesio ini mengagulkan ilmu silatnja jang tinggi, maka suka malang-melintang menghina orang lain. Tjuma sajang aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannja, lekaslah kalian melarikan diri!" Tapi sudah terlambat!" seru Tjiumoti tiba2 dengan tertawa. Ia melangkah madju setindak, djari tangan kiri terus mendjulur hendak menutuk Toan Ki. Toan Ki mendjerit kaget dan bermaksud menghindari namun sudah terlambat. Tiga Hiat-to penting diatas tubuhnja sekaligus telah tertutuk, seketika kakinja terasa lemas terus roboh kelantai. Akan tetapi ia masih ber-teriak2 pula: A Tju, A Pik, lekas kalian lari, lekas!" Hm, djiwamu sendiri tak terdjamin masih ada pikiran untuk mengurusi orang lain?" djengek Tjiumoti sambil kembali ketempat duduknja. Lalu katanja kepada A Tju: Nona inipun tidak perlu lagi main sandiwara segala. Sebenarnja siapa jang berkuasa dirumah ini, lekas katakan? Toan-kongtju ini telah apal Lak-meh-kiam-boh dengan lengkap, tjuma ia tidak mengarti ilmu silat, maka takdapat menggunakannja. Besok djuga aku akan membakarnja dihadapan kuburan Bujung-siansing, pabila Bujung-siansing mengetahui dialam baka, tentu beliau akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanja ini telah memenuhi djandji dengan baik". A Tju tahu dipondok Khim-im-tjing-sik ini tiada seorangpun jang mampu menandingi sihwesio. Tapi segera ia mendapat akal, katanja dengan tertawa: "Baiklah, Toahwesio. Sekarang kami sudah pertjaja, kami akan membawa engkau

kemakam Loya, tapi perdjalanan kesana memerlukan waktu satu hari, harini sudah tidak keburu lagi, besok pagi2 biarlah kami berdua menghantar sendiri bersama Toahwesio dan Toan-kongtju berziarah kemakam Loya. Kini kalian berempat silahkan mengaso, sebentar harap makan malam seadanja." Habis berkata, ia gandeng tangannja A Pik terus masuk keruangan belakang. Memandangi bajangan kedua gadis djelita itu, Toan Ki tjuma dapat tersenjum getir sadja. Selang satu djam kemudian, seorang budak laki2 keluar memberitahu: "Nona A Pik mengundang tuan2 berempat menghadiri perdjamuan sederhana di Thing-uh-ki!" Tjiumoti menjatakan terima kasih, segera ia pegang tangannja Toan Ki dan mengikuti hamba itu kebelakang dengan disusul oleh Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji. Setelah menjusur sebuah djalanan ketjil jang berlika-liku dengan batu2 ketjil jang berserakan, achirnja sampailah ditepi sebuah danau. Dibawah pohon Liu tampak tertambat sebuah perahu ketjil. ltu, disana!" kata hamba tadi sambil menuding kearah sebuah rumah ketjil jang dikelilingi air danau. Segera Tjiumoti, Toan Ki, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji berempat melangkah kedalam perahu, lalu hamba itu mendajung perahunja kedjurusan rumah ketjil itu. Sesudah dekat, kiranja ,Thing-ah-ki' atau villa mendengarkan hudjan jang dimaksudkan itu dibangun dengan pohon2 Siong jang tak terkupas kulitnja, mungil dan indah seperti buatan alam. Setelah mendarat, Toan Ki melihat A Pik sudah berdiri didepan rumah menantikan kedatangan tamu2nja, Kini gadis itu memakai badju hidjau pupus, berbedak tipis dengan yantji jang ke-merah2-an. Disampingnja berdiri pula seorang gadis tjilik lain berusia sebaja dengan A Pik, berbadju merah dadu, dengan sikapnja jang lintjah dan nakal sedang memandang Toan Ki dengan tersenjum-simpul. Kalau raut muka A Pik berbentuk bulat telur, adalah gadis djelita ini berbentuk bundar bagai bulan purnama, bidji matanja hitam lekat dengan kerlingannja jang tadjam hingga mendjadikan ketjantikannja mempunjai daja penarik jang tersendiri. Begitu Toan Ki menghampiri, segera tertjium olehnja bau harum jang halus. Tanpa pikir lagi terus sadja ia menegur dengan tertawa: Entji A Tju, sungguh tidak njana gadis tjilik jang tjantik seperti engkau ini ternjata djuga pandai memainkan peranan sebagai nenek2!" Gadis djelita disamping A Pik itu memang benar A Tju adanja. Ia melirik Toan Ki sekedjap, lalu sahutnja dengan tersenjum: Engkau telah mendjura tiga kali padaku, sekarang engkau menjesal bukan?" Tidak, tidak!" sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala. Aku djusteru merasa perbuatanku itu tjukup berharga. Tjuma terkaanku sadja jang agak meleset." Terkaan apa jang meleset?" tanja A Tju.

Sedjak mula aku sudah menduga bahwa Entji sendiri pasti serupa Entji A Pik, sama2 gadis tjantik jang djarang terdapat didunia ini." udjar Toan Ki. Tjuma dalam anggapanku, kujakin Entji akan tidak banjak berbeda daripada Entji A Pik. Siapa tahu sesudah bertemu muka, ternjata......... ternjata............" Ternjata djauh kalah dibandingkan A Pik, bukan?" sela A Tju dengan tjepat. Sebaliknja A Pik ikut menjeletuk djuga: Ternjata berpuluh kali lebih tjantik dariku hingga engkau terpesona, bukan?" Bukan, bukan! Salah semua!" sahut Toan Ki. Kupikir Tuhan ini memang maha adil, sudah mentjiptakan gadis tjantik seperti entji A Pik, siapa duga mentjiptakan pula gadis tjantik jang lain seperti entji A Tju. Raut muka keduanja sama sekali berbeda, tapi sama2 bagusnja, sama2 menariknja, hatiku ingin mengutjapkan pudjian2 kepadamu, tapi mulutku djusteru susah mengutjapkannja sepatahkatapun." Tjis!" semprot A Tju dengan tertawa. Engkau sudah mentjerotjos sepandjang lebar ini, tapi mengatakan susah mengutjapkan sepatahkatapun?" Kalau A Tju bitjara dengan lintjah dan terus mentjomel, adalah A Pik lantas berkata dengan lemah lembut: Atas kundjungan tuan2 ketempat kami jang sunji ini, tiada sesuatu jang dapat kami persembahkan, hanja tersedia sedikit arak tawar dan sekedar makanan jang terdapat didaerah Kanglam sini." Lalu iapun mempersilahkan tetamunja mengambil tempat duduk masing2, ia bersama A Pik mengiringinja semedja. Melihat tjangkir, mangkok dan alat2 perkakas jang disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam2 Toan Ki sudah lantas memudji. Ketika kemudian pelajan laki2 menjuguhkan penganan penghantar, menjusul lantas masakan2 panas seperti Leng-pek-he-djin" atau udang goreng sawi putih, Ho-yap-tang-sun-theng" atau rebung muda masak daun teratai kuah, Eng-tho-hwe-tui" atau buah tho masak ham, Hwe-hoa-keh-ting" atau bunga Bwe masak ajam, dan matjam2 lagi, setiap masakannja sangat istimewa dan lain daripada jang lain, ditengah udang, ikan, daging dan lain2 ditjampur dengan buah2an dan bunga2an, warnanja indah daun rasanja lezat, dengan sendirinja membawa sematjam bau harum dan rasa jang sedap. Keruan jang tidak habis2 memberi pudjian adalah Toan Ki, katanja sambil tidak lupa melangsir makanan dihadapannja kedalam mulut: Adatempat seindah ini, barulah ada manusia sepandai ini.Ada orang sepandai ini barulah dapat menjuguhkan makanan seenak ini." Eh, tjoba engkau terka, makanan ini adalah masakanku atau masakan A Pik?" tanja A Tju dengan tertawa. Eng-tho-hwe-tui dan Bwe-hoa-keh-ting itu kujakin adalah entji jang memasaknja," sahut Toan Ki tanpa pikir. Dan Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-djin dan lainnja tentulah entji A Pik jang membuatnja." Ehm, engkau memang pintar," seru A Tju dengan tertawa. Hai, A Pik, tjara bagaimana kita harus memberi hadiah kepada kepandaiannja ini?" Dengan tersenjum A Pik menjahut: Toan-kongtju ingin apa, sudah tentu kita akan menurut sadja, masakah pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba

seperti kita masak ada harganja untuk bitjara demikian?" Aduh, dasar mulutmu ini memang pandai memikat hati orang, pantas setiap orang memudji kebaikanmu dan mengatakan aku djahat," kata A Tju. Jang satu lembah lembut, jang lain lintjah gembira, keduanja sama2 baik." udjar Toan Ki dengan tertawa. Entji A Pik, didalam perahu siang tadi engkau telah memetik sebuah lagu dengan sendjata rujung milik Ko-toaya, suara tetabuhan itu sampai saat ini se-akan2 masih mengiang ditelingaku. Pabila nona tidak keberatan, kumohon sudilah engkau memperdengarkan beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan jang sungguh2, untuk mana andalkan besok aku harus mendjadi abu dibakar oleh Toahwesio ini, rasaku takkan ketjewalah selama hidup ini." Djika Kongtju sudi mendengarkan, sudah tentu aku akan memainkannja sekedar menghibur tuan2 tamu," sahut A Pik terus berbangkit menudju keruangan belakang. Waktu keluar pula, ia membawa sebuah Khim atau harpa. Toan Ki heran melihat Khim jang djauh lebih ketjil daripada Khim umumnja, bahkan senarnja djuga tidak tudjuh, tapi ada sembilan senar dengan warna2 jang ber-beda2. A Pik mengambil tempat duduk disuatu bangku ketjil, ia taruh harpa itu diatas pangkuannja, lalu katanja kepada Tjiumoti: Harap Toasuhu memberi petundjuk nanti!" Ah, djangan sungkan2", sahut Tjiumoti. Dalam hati ia mendjadi tjuriga: Mengapa dia menjatakan hendak minta petundjuk padaku?" Dalam pada itu kedua tangan A Pik jang putih bersih bagai saldju itu telah mulai beraksi, kelima djari kirinja menekan pelahan2 diatas senar, sekali djari tangan kanan memetik, terdengarlah suara tjrang-tjreng" jang njaring merdu. Meski Toan Ki sama sekali tidak paham ilmu silat, tapi dalam hal Su-wah-khim-ki" atau seni tulis, seni lukis, seni musik (khim) dan seni tjatur, semuanja ia mahir Maka begitu mendengar suara pembukaan jang dipetik A Pik itu, segera ia mengetahui bahwa kesembilan senar khim itu terbuat dari bahan2 jang ber-beda2.Ada senar badja, ada pula senar tembaga, ada djuga senar benang biasa. Jang keras teramat keras, jang lemas sangat lemas. Hanja beberapa kali A Pik memetik pelahan, suara harpa itu sudah mulai mengalun dengan lambat, makin lama makin ulem, hingga keempat pendengarnja itu merasa kelopak matanja mendjadi berat, rasanja mendjadi kantuk dan ingin terus tidur. Tjui Pek-khe adalah tokoh jang luas pengalamannja dan tjerdik, ia kenal betapa litjiknja orang Kangouw. Maka begitu memasuki perkampungan keluarga Bujung, setiap saat ia selalu waspada. Waktu matanja merasa sepat dan lajap2 akan pulas, mendadak ia tersadar: Tjelaka! Kiranja budak setan ini sedang merantjangkan sesuatu untuk menggasak kami." Segera ia berseru: ,.Awas, Ko-Hiantit, banjak orang Kangouw jang berdjiwa kedji dan banjak tipu muslihatnja jang serba aneh, engkau harus hati2 dan waspada." Ko Gan-tji meng-angguk2 dan menjahut dengan samar-samar: "Benar ! Sampai ketemu besok pagi!" Habis berkata, ia terus menguap. Kuapan Ko Gan-tji ini ternjata mempunjai daja menular, seketika Tjui Pek-khe

dan Toan Ki ikut menguap dengan pikiran sudah mulai me-lajap2, jang terdengar hanja suara khim jang ulem merdu, sekelilingnja terasa sunji senjap, setiap orang merasakan tubuh sudah penat dan ingin tidur, kalau bisa tubuh hendak terus selondjor dan terpulas segera. Pada saat itulah, se-konjong2 terdengar "tjring" sekali, dada Toan Ki serasa diketok sekali dan "Thian-ti-hiat" disamping ketiak seketika lantjar kembali dari tutukan Tjiumoti tadi. Sungguh girang dan kedjut Toan Ki tak terkatakan, ia masih menjangka kalau tutukan Tjiumoti tadi kurang keras hingga Hiat-to jang tertutuk itu tidak buntu seluruhnja, maka sesudah lewat sekian lamanja, djalan darahnja lantas lantjar dengan sendirinja. Tak terduga senar harpa A Pik kembali dipetik sekali pula, "tjring", lagi2 "Pek-hou-hiat" dipunggungnja telah lantjar pula dengan sendirinja. Ketika Toan Ki mentjoba mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa separoh tubuhnja bagian atas sudah dapat bergerak dengan bebas, djalan darahnjapun lantjar tanpa suatu rintangan apa-apa lagi. Baru sekarang ia tahu suara harpa A Pik itu dapat mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh orang dan mampu melantjarkan djalan darah. Selang sebentar, Hiat-to dikaki jang tertutuk djuga terbuka semua mengikuti bunji harpa. Dengan ter-mangu2 Toan Ki memandangi A Pik, hatinja merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik masih terus memetik harpanja dengan penuh perhatian, disampingsana terdengar suara orang mendengkur dengan keras, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sudah tertidur njenjak. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap duduk dengan tenang, tampak djelas sedang mengerahkan Lwekang untuk melawan suara harpa si A Pik. Tidak lama kemudian, Toan Ki melihat djidat A Pik mulai berkeringat, diatas kepalanja lapat2 mulai menguap. Sebaliknja Tjiumoti masih tetap tenang dengan wadjah mengulum senjum dan muka berseri-seri. Diam2 Toan Ki mendjadi kuatir: "Pabila suara harpa si A Pik tak dapat mengatasi kekuatan sihwesio ini hingga malah kena dilukai olehnja, lantas bagaimana baiknja nanti ?" Pada saat jang genting itulah, tiba2 terdengar A Tju menjanji dengan suaranja jang merdu, lagunja : "Angin men-desir2 dingin disungai Ih, sekali pergi sang pahlawan tak kembali lagi!" Suara harpanja sangat ulem dan halus, sebaliknja suara njanjian gagah penuh semangat, keduanja sama sekali tidak seirama. Toan Ki mendjadi heran. Tapi ber-ulang2 A Tju terus membolak-balik menjanjikan lagu "Angin men-desir2........." hingga tiga kali. Toan Ki melihat tangkai bunga jang tersunting diatas sanggul A Pik tiada hentinja bergemetar, bibir sigadis jang tadinja merah dadu kinipun mulai putjat. Hati Toan Ki tergerak, mendadak ia sadar : "Ah, tahulah aku. Sebabnja A Tju menjanjikan kedua kalimat lagunja itu. maksudnja minta aku menirukan perbuatan Keng Ko membunuh radja Tjin didjaman Tjiankok. Ja, tenaga dalam A Pik sudah terang bukan tandingan sihwesio, kalau bertahan lebih lama lagi mungkin akan terluka dalam jang parah." Diam2 Toan Ki mulai mengapalkan kembali Lak-meh-sin-kiam, ia tjoba mendjalankan tenaga dalamnja dan terasa lantjar tanpa sesuatu rintangan. Tjuma sedjak ketjil ia telah mendapat peladjaran paham Khongtju dan Budha jang menjuruh setiap manusia harus berlaku badjik dan welas-asih kepada

sesamanja, karena itu ia mendjadi ragu2 untuk menjerang, ia pikir seorang laki2 harus bertindak setjara terang-terangan, kalau menjerang orang setjara mendadak dan diluar pendjagaan, rasanja terlalu kotor dan rendah. Tengah Toan Ki ragu2 itulah, se-konjong2 "tjreng" sekali, seutas senar harpa si A Pik telah putus, tubuh gadis itupun tergeliat sedikit, suara njanjian A Tju djuga berhenti mendadak, sepasang sumpit jang terpegang ditangannja segera siap hendak ditusukkan kearah Tjiumoti. Menjusul terdengar pula suara "tjring" sekali, kembali seutas senar harpa A Pik putus. Berbareng Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berseru kaget, keduanja sama2 terdjaga bangun. Toan Ki insaf keadaan sudah sangat mendesak, diam2 ia menggumam: "Demi menolong orang, terpaksa aku harus berlaku pengetjut sebentar". Terus sadja ia angkat tangan kanan, dengan djari telundjuk dan djari tengah ia atjungkan kearah Tjiumoti, "tjus-tjus", seketika dua arus kekuatan jang tak kelihatan menusuk dengan tjepat. Itulah dua djurus serangan dari "Siang-yang-kiam" dan "Tiong-tjiong-kiam" jang lihay. Apabila Tjiumoti lagi bertanding berhadapan dengan Toan Ki, betapapun tjepatnja serangan itu pasti akan dapat dipatahkan olehnja. Tapi kini Tjiumoti menjangka Hiat-to pemuda jang telah ditutuknja itu masih bekerdja, untuk sementara ini pemuda itu terang tak dapat berbuat apa-apa, maka antero perhatiannja telah ditjurahkan untuk menempur suara harpa si A Pik. Tatkala itu Tjiumoti sudah mulai diatas angin dan A Pik sudah terdesak, ia sudah berusaha mengatjaukan suara harpa untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik, kemudian suara harpa segera akan diperalat olehnja untuk melukai A Tju sekalian. Sama sekali tak terduga olehnja bahwa Toan Ki bisa mendadak menjerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam kagetnja Tjiumoti bersuit pandjang Sembari melontjat keatas, "brak", sekaligus senar harpa si A Pik djuga putus lima utas Menjusul tertampaklah darah mengutjur dibadan Tjiumoti, Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak berwudjut jang dilontarkan Toan Ki ternjata berhasil menusuk dibahu kanannja. Tjepat sekali A Pik terus tarik A Tju dan tangan lain menggandeng Toan Ki, sekali kakinja mengendjot, ketiga orang sudah melajang keluar melalui djendela pondok diatas air itu dan tepat turun kedalam perahu jang tertambat ditepi gili2. Segera A Tju menjuruh Toan Ki mendekam kedalam perahu, ia sendiri sambar penggajuh perahu terus didajung tjepat ketengah danau. Maka terdengarlah suara plang-plung" jang keras, perahu ketjil itu sampai terombang-ambing bagai didampar ombak raksasa ditengah samudera, air danau mentjiprat kedalam perahu hingga Toan Ki basah kujup. Waktu ia mendongak, ia melihat Tjiumoti berdiri ditepi gili2 sedang menimpukan medja batu, bangku batu dan sebagainja, untung A Tju tjukup tjekat dan dapat mendajung dengan tjepat, pula Tjiumoti telah terkena pedang tanpa wudjut dari Toan Ki tadi hingga lukanja tjukup parah, tenaganja banjak berkurang, maka timpukan2nja tiada satupun jang tepat mengenai perahu itu. Namun begitu A Tju terkedjut djuga oleh ketangkasan sihwesio itu, Diam2 ia bersjukur dapat terlolos dari bahaja. Sekuatnja ia mendajung lebih djauh pula hingga dapat diduga Tjiumoti tidak dapat mentjandak mereka lagi. Toan-kongtju," kata A Pik kemudian, terima kasih atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini tentu aku sudah terbinasa ditangan sihwesio itu."

Akulah jang harus berterima kasih kepadamu," sahut Toan Ki. Hwesio itu berani berkata berani berbuat, bukan mustahil aku benar2 akan dibakar hidup2 olehnja." Sudahlah, tidak perlu lagi terima kasih kesini dan terima kasih kesana, apakah kita dapat lolos dari kekedjaman paderi itu saat ini masih belum dapat dipastikan," udjar A Tju. Pada saat itu djuga Toan Ki mendengar ada suara tersiahnja air, ada perahu sedang didajung kearah sini, segera katanja: Benar djuga, Hwesio itu sedang mengedjar kemari!" Karena pertarungan Lwekang tadi, keadaan A Pik sudah sangat lelah, seketika tenaganja belum dapat dipulihkan, ia tjuma bersandar didinding perahu, katanja: A Tju Tjitji, marilah kita menjingkir sementara ketempat Liok-toaya sadja." Ja, terpaksa begitulah," sahut A Tju dengan mendongkol, sungguh sial dangkalan, tentu kita akan ditertawai Liok-toaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru ketemukan musuh sudah lantas lari berlindung kerumahnja. Hidup kita selandjutnja pasti akan selalu dibuat buah tertawa olehnja." Toan Ki sendiri sedjak tenaga dalamnja bertambah kuat, daja pendengarannja mendjadi sangat tadjam pula. Ia dapat mendengar perahu jang sedang mengedjar mereka itu sudah makin mendekat. Tjepat sadja iapun sambar penggajuh lain dan bantu mendajung. Bertambah tenaga seorang, meluntjur perahu mereka mendjadi seperti anak panah terlepas dari busurnja, djarak dengan perahu pengedjar itupun makin lama semakin mendjauh. Kepandaian Hwesio itu sesungguhnja luar biasa, kalau kedua Tjitji jang masih muda belia dikalahkan olehnja, kenapa mesti di buat pikiran, apa jang mesti dimainkan?" udjar Toan Ki kemudian. Hlm 11. Gambar Tjelaka! Hwesio itu sedang mengedjar kemari!" seru Toan Ki dengan kuatir. Tjepat ia sambar penggajuh lain dan bantu mendajung sekuatnja. Tiba2 dari djauhsana terdengar suara seruan orang: Wahai, A Tju dan A Pik! Kembalilah kalian, lekas! Hwesio adalah sobat baik Kongtju kalian, pasti takkan bikin susah kalian!" terang itulah suaranja Tjiumoti, utjapannja itu kedengaran sangat lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daja penarik jang susah ditahan orang, rasanja segera akan menurut apa jang dikatakan itu. A Tju tertegun djuga oleh seruan itu, katanja: Dia menjerukan kita kembali kesana dan menjatakan takkan membikin susah kita." Sembari berkata, ia memberhentikan dajungnja dengan pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi permintaan Tjiumoti itu. Bahkan A Pik lantas ikut menjokong pula: Djika begitu, marilah kita kembali kesana!" Sjukur tenaga dalam Toan Ki sangat kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh

seruan Tjiumoti jang membawa daja penarik itu, tjepat ia berkata: Djangan kalian pertjaja, ia sengadja hendak menipu kalian!" Namun suara Tjiumoti jang halus dan enak didengar itu kembali berkumandang pula: Kedua nona tjilik A Tju dan A Pik. Kongtju kalian telah pulang dan sedang mentjari kalian, maka lekaslah mendajung kembali, lekaslah kembali!" Baiklah!" kata A Tju tiba2 terus angkat penggajuhnja untuk membilukan arah perahu. Toan Ki mendjadi kuatir. Diam2 ia memikir : "Djika benar Bujung-kongtju sudah pulang. ia sendiri tentu akan memanggil A Tju dan A Pik, kenapa mesti sihwesio jang memanggilkan ? Tentu suaranja itu adalah sematjam ilmu penggoda sukma orang jang sangat lihay." Tjepat Toan Ki menjobek dua potong udjung badjunja untuk menjumbat telinga A Tju, lalu menjumbat pula telinganja A Pik. Setelah tenangkan diri sedjenak, segera A Tju berseru kaget, katanja: "Wah, hampir sadja kita terdjebak!" "Ja, Hwesio itu dapat menggunakan Liap-hun-tay-hoat (ilmu sakti mentjabut sukma, sebangsa hipnotis). hampir kita masuk perangkapnja", seru A Pik. Segera A Tju mendajung sekuatnja lagi, katanja : "Toan-kongtju, lekaslah mendajung, tjepat!" Kedua orang terus mendajung dengan gotong-rojong hingga dalam sekedjap suaranja Tjiumoti sudah tak terdengar pula. Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga kedua nona itu dibuka. Sambil menepuk dada sendiri A Tju berkata sambil menarik napas lega : "Selamatlah sekarang. Tapi lantas bagaimana selandjutnja ?" Entji A Tju", kata A Pik, "djika kita berlindung ketempat Liok-toaya di Siau-thian-djun, bila nanti sihwesio djuga menguber kesana, tentu ia akan bergebrak dengan Liok-toaya dengan sengit." Benar, dan bila terdjadi begitu, tentu runjam," sahut A Tju. "Meski ilmu silat Liok-toaya tjukup tinggi, tapi tampaknja masih kalah dengan kepandaian sihwesio jang aneh dan litjin itu. Marilah begini sadja, biarlah kita terus main kutjing2-an didanau jang luas ini, kita terus berputar menghindari pengedjarannja. Kalau kita lapar, kita bisa petik Lengkak dan ubi teratai untuk tangsal perut, meski harus bertahan sampai 10 hari atau setengah bulan dengan dia djuga kita sanggup." Baiklah, terserah kepada keinginanmu," udjar A Pik dengan tersenjum. "Tjuma entah bagaimana dengan pendapat Toan-kongtju ?" "Haha, djusteru itulah melebihi harapanku," sahut Toan Ki sambil bertepuk tangan kegirangan." Pemandangan danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona tjantik, djangankan tjuma pesiar untuk setengah bulan. sekalipun untuk selamanja djuga aku akur, hidup demikian biarpun malaikat dewata djuga tidak sebahagia ini!" A Pik tersenjum geli oleh banjolan pemuda itu, katanja pula : Dari sini menudju kearah tenggara banjak sekali terdapat muara sungai dan teluk, ketjuali nelajan setempat djarang jang apal perdjalanan disekitar sini. Pabila kita sudah dapat memasuki Pek-kiok-ou' (danau beratus muara) itu,

betapapun sihwesio itu takkan dapat menemukan kita lagi." Dengan girang terus sadja Toan Ki mendajung lebih giat, tidak lama sampailah mereka ditengah danau jang banjak terdapat muara sungainja. Pabila ketemukan simpang djalan begitu, terkadang A Tju dan A Pik djuga perlu berunding lebih dulu barulah dapat menemukan arah mana jang harus ditempuh. Dengan begitulah perahu mereka telah meluntjur hingga satu dua djam lamanja. Tiba2 hidung Toan Ki mengendus sematjam bau harum bunga jang aneh, waktu mentjium mula2 kepalanja merasa pening, tapi lantas terasa sangat enak dan segar pula. Semakin kedepan perahu mereka, harum bunga itu semakin keras. "Kedua Tjitji, bunga apakah jang harum itu ? Kenapa aku tidak pernah mentjium bau harum begini dinegeri Tayli kami?" tanja Toan Ki. Tiba-tiba A Pik membisikinja; "Djangan engkau tanja, kita harus lekas2 meninggalkan tempat ini." Toan Ki mendjadi heran oleh suara sinona jang rada gugup dan kuatir itu. Dalam pada itu didengarnja A Tju djuga sedang berkata dengan lirih: Akulah jang tersesat. Tapi engkau berpendapat lebih tepat membiluk kearah kiri, tapi aku berkeras menjatakan kearah kanan, dan njatanja aku telah salah djalan. A Pik, engkau sudah jakin arahmu jang tepat, mengapa engkau menuruti arahku ?" "Waktu itu aku sendiripun ragu2, kupikir djangan2 arahmu jang benar," sahut A Pik dengan gegetun. Kini semangat A Pik sudah pulih kembali, ia ambil penggajuh dari tangan A Tju dan menggantikannja mendajung. Mendengar pertjakapan kedua nona itu, Toan Ki menduga dibalik bau harum bunga jang aneh itu tentu terdapat sesuatu jang membahajakan. Sebenarnja ia ingin menanja, namun A Tju telah menggojangkan tangannja untuk mentjegahnja supaja djangan bersuara. Dalam kegelapan Toan Ki tak djelas melihat bagaimana sikap wadjah kedua nona itu. Tapi dapat diduganja keadaan pasti gawat melebihi bahaja waktu terantjam pengedjaran Tjiumoti tadi. Tiba2 A Tju mendekatkan mulutnja kepinggir telinga Toan Ki dan membisikinja : "Toan-kongtju, aku dan A Pik akan berbitjara dengan suara keras, tapi engkau djangan ikut tjampur sepatah katapun, paling baik engkau berbaring sadja didalam perahu". Toan Ki bingung karena tidak paham apa maksud sigadis itu. Namun ia manggut2 djuga dan menurut, ia menjerahkan penggajuh kepada A Tju dan merebahkan diri diatas geladak perahu. Ia melihat bintang2 ber-kelip2 ditengah tjakrawala, hatinja merasakan sematjam keheranan jang tak terkatakan. Adik A Pik," demikian terdengar A Tju sedang berkata, djalanan disini susah dibeda2kan, kita harus hati2, djangan sampai kesasar." ,,Ja," sahut A Pik, Hwesio jang mengedjar kita itu tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknja kalau kita sampai tersesat djalan, orang akan menjalahkan kita sengadja datang pula kesini dan akan banjak membawa kesukaran bagi Kongtju."

Suara pertjakapan A Pik dan A Tju itu dilakukan dengan keras se-akan2 sengadja diperdengarkan kepada seseorang. Tapi ketika Toan Ki melirik djauh kedepan, jang terlihat olehnja tjuma daun Lengkak melulu jang menghidjau terapung rapat dipermukaan air. Ketjuali suara gesekan antara badan perahu dengan daun tetumbuhan itu, keadaan toh sunji senjap tiada sesuatupun jang mentjurigakan, hanja bau harum bunga jang aneh itu makin lama makin semerbak. Dan harum bunga itu bukan mawar bukan melati, tapi sematjam harum jang susah dilukiskan dan susah diterka. Tiba2 A Pik bernjanji pelahan2, dari suara njanjiannja itu terang mengandung rasa takut. Njata ia menjanji hanja untuk menutupi perasaan takutnja itu. Apakah sihwesio itu telah mengedjar kemari?" demikian Toan Ki menanja. Ssssst!" tjepat A Tju menekap mulut pemuda itu agar djangan bersuara. Ia tjelingukan kian kemari, setelah sekitarnja sunji senjap, kemudian barulah dia membisiki telinga Toan Ki: Djangan engkau bersuara. Kita telah kesasar ketempat jang berbahaja, tuan rumah disini djauh lebih lihay daripada sihwesio itu." Sungguh tjelaka 13," demikian pikir Toan Ki, belum terhindar dari bahaja jang satu, bahaja jang lain sudah mengantjam pula." Tapi segera terpikir pula olehnja: Ah, kedua nona tjilik ini belum kenal betapa lihaynja Tjiumoti, didunia ini masakah masih ada djago jang lebih lihay dari Hwesio itu? Apalagi disini adalah tempat bertjokolnja orang she Bujung, mana dia suka membiarkan seorang tokoh lain hidup berdampingan dengan dirinja? Habis njanji, A Pik tidak bitjara pula, ia sedang menengadah memandang bintang2 dilangit. Ia sedang berusaha membedakan arah dari kedudukan bintang2 jang bertaburan ditjakrawala itu dan sambil mendajung bersama A Tju. Toan Ki tjoba memandang sekitarnja, keadaan hening sepi, ditengah danau seluas itu melulu perahu mereka sadja jang menjiah air hingga menerbitkan suara gemerisik jang pelahan. Ia merasa heran mengapa kedua gadis itu begitu ketakutan menghadapi suasana jang tjuma sepi itu? Setelah perahu meluntjur lagi agak djauh, tiba pula sampai disuatu muara sungai, A Tju dan A Pik bertukar pikiran pula kemana perahu mereka harus menudju. Padahal dalam pandanganToan Ki,ia merasa djalanan2 air disitu serupa semua tanpa sesuatu perbedaan, ia mendjadi heran berdasarkan tanda apa hingga kedua nona itu mengadakan perbedaan? Sesudah mendajung sekian lamanja, Toan Ki mendengar napas kedua gadis itu telah ter-sengal2. Segera ia mengambil penggajuh dari tangannja A Tju dan menggantikannja mendajung. Tidak lama kemudian, tiba2 A Pik berseru kaget: ,,Hai, kita............... kita telah kembali lagi ketempat tadi!" Benar djuga segera Toan Ki mengendus bau harum bunga jang aneh seperti tadi. Ia mendjadi lemas dan ketjewa, tampaknja mereka tjuma ber-putar2 sadja ditengah danau itu, pertjumalah mereka mendajung dengan susah-pajah selama setengah malam disitu. Sementara itu sudah mendjelang fadjar, ufuk timur sudah mulai remang2 memutih. Wadjah A Pik tampak sedih. Tiba2 ia membuang penggajuhnja keatas perahu dan menangis ter-guguk2 sambil menutupi mukanja.

Segera A Tju merangkul A Pik dan menghiburnja: Kita toh tidak sengadja datang kemari. Sebentar bila bertemu dengan Ong-hudjin, kita katakan sadja terus terang, djangan engkau kuatir." - Walaupun ia menghibur kawannja. sebenarnja perasaan sendiri djuga katjau dan kuatir. Pada saat itulah tiba2 diangkasa terdengar suara bunji burung jang mentjitjit, dari arah baratsana terbang mendatangi seekor burung putih jang mirip bangau. Burung itu terbang mengitari perahu beberapa kali, kemudian terbang kearah barat pula dengan pelahan. A Tju mengangkat penggajuh pula dengan menghela napas, katanja: Sudah diketahui, terpaksa mesti kesana, marilah kita pergi kesana!'' Segera ia mendajung perahunja mengikuti arah burung putih tadi. Kiranja burung itu adalah penundjuk djalan jang diutus madjikannja," udjar Toan Ki dengan tertawa. Toan-kongtju,'' kata A Pik tiba2, "engkau adalah orang luar dan tidak mengetahui banjak peraturan2 ditempat kami ini. Sebentar bila sudah sampai di 'Man-to-san-tjheng', tak peduli apa jang terdjadi, hendaklah engkau menurut perintah sadja, biarpun mesti dihina djuga engkau djangan membangkang." Sebab apa?" tanja Toan Ki. "Apakah tuan rumahnja begitu, kasar dan sewenang-wenang ? Kita hanja sesat djalan, kalau perlu kita bersedia pergi dari sini, dosa apakah kalau tjuma kesasar sadja ?" Tiba2 mata A Pik memberambang, katanja: "Toan-kongtju, didalam persoalan itu banjak hal-hal jang susah kudjelaskan. Mereka berani berlaku kasar, mereka mempunjai alasannja sendiri. Pendek kata semuanja gara-gara Hwesio djahat itu hingga kita di-uber2 sampai kesasar kemari. Kalau tidak, masakah kita bisa masuk lagi kesini ?" Rupanja sifat A Tju lebih periang, dengan tertawa ia berkata: "Orang baik tentu diberkahi dengan redjeki besar. Kalau kita berdua jang datang kemari, tentulah baka; tjelaka, tapi Toan-kongtju adalah seorang beruntung, seorang jang membawa berkah, siapa tahu kalau kita djuga akan ikut diberkahi dengan keselamatan." "Aku djusteru berkuatir bagi Toan-kongtju, soal kita berdua malah tidak kupikirkan", udjar A Pik. "Ong-hudjin, telah menjatakan bila ada lagi orang laki2 berani mengindjak ke Man-to-san-tjheng, maka kedua kaki orang itu akan ditabasnja dari kedua matanja akan dikorek. Entji A Tju, sifat Ong-hudjin toh sudah dikenal engkau, sekali dia sudah omong. pasti didjalankannja. Kini kita membawa Toan-kongtju kesini, bukankah kita jang membikin susah padanja......" berkata sampai disini, tak tertahan lagi air matanja kembali bertjutjuran. "A Pik," kata A Tju, "siapa tahu kalau mendadak timbul rasa welas-asih orang, boleh djadi Toan-kongtju ini pandai omong dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan badja orang, lalu kita bertiga dilepas pergi." Sebenarnja tokoh matjam apakah Ong-hudjin itu ?" tanja Toan Ki. A Pik memandang sekedjap kepada A Tju, hendak mendjawab, tapi urung. Sebaliknja A Tju lantas memberi tanda beberapa kali dengan tangannja, lalu

tjelingukan kesekitarnja, kemudian barulah berkata: Tentang diri Ong-hudjin ? Wah, betapa tinggi ilmu silatnja boleh dikata sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur, didunia persilatan sekarang tiada seorangpun jang dapat menandinginja. Kongtju kami biasanja tidak mau tunduk kepada siapapun, hanja Ong-hudjin sadja jang paling dikagumi olehnja." Meski begitu mulutnja berkata, tapi mimik wadjahnja djusteru mengundjuk beberapa tanda2 jang aneh, mulut merot2 dan mata ber-pitjing2 sambil mengangkat pundak pula. Pendek kata tanda2 jang menjatakan bahwa apa jang dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipertjaja. tapi bualan belaka sekadar menjenangkan hati orang. Keruan Toan Ki mendjadi heran, pikirnja : "Masakah bitjara ditengah perahu jang sekelilingnja tjuma air belaka kuatir didengar oleh orang ? Apakah Ong-hudjin itu begitu sakti hingga memiliki telinga jang mampu mendengarkan dari tempat djauh?" Ia lihat burung putih tadi telah terbang kembali dan mengitar pula diatas perahu mereka seperti tidak sabar menunggu lagi. Setelah berputar lagi dua kali, kembali burung itu mendahului terbang kedepan. Setelah perahu didajung lagi mengikuti burung putih itu. kini djalanan air itu penuh dengan teluk dan muara sungai jang berlika-liku. Achirnja perahu mereka tiba sampai didepan selarik pagar bambu. Pagar bambu itu djarang2 anjamannja sebagaimana umumnja dipakai kaum nelajan untuk mengurung ikan. Sesudah dekat dengan pagar bambu itu, tampaknja perahu mereka terhalang dan takdapat meluntjur madju lagi. Tak terduga begitu haluan perahu membentur pagar bambu itu, seketika pagarnja ambruk kebawah air hingga perahu dapat meluntjur terus, Kiranja pagar bambu itu dipasang dengan alat rahasia jang bisa dibuka-tutupkan. Setelah melintasi beberapa rintangan pagar bambu lagi, achirnja tertampaklah didepansana pohon Liu melambai-lambai ditepi pantai, dari djauh kelihatan pula ditepi pantai penuh tumbuh bunga kamelia jang ke-merah2-an bertjerminkan air danau. Melihat itu, tak tertahan lagi Toan Ki berseru heran sekali dengan pelahan. Adaapa?" tanja A Tju. "Itu adalah San-teh-hoa (bunga kamelia) dinegeri Tayli kami, mengapa ditengah danau ini tumbuh djuga djenis bunga ini ?" sahut Toan Ki sambil menundjuk pohon2 kembang itu. "O, ja ? Tapi mungkin San-teh-hoa di Tayli tidak dapat menandingi San-teh-hoa ditempat kami ini," kata A Tju. "Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng, bunga Mantolo disini terhitung nomor satu didunia ini, betapapun bunga keluaran Tayli kalian djuga takkan mampu menandinginja". Kiranja nama lain dari San-teh-hoa atau bunga kamelia adalah kembang Mantolo, jaitu berasal dari kata2 Mandala dalam basa Sangsekarta. Dan kembang Mantolo jang paling terkenal adalah keluaran Hunlam, orang menjebutnja sebagai "Tin-teh" atau bunga kamelia dari Hunlam. Oleh karena itulah Toan Ki tidak dapat menerima pendapat A Tju tadi bahwa kembang kamelia Tayli takdapat menandingi bunga jang tumbuh di Man-to-san-tjheng atau perkampungan bunga Mantolo. Pikirnja: ..Pemandangan alam didaerah Kanglam memang harus diakui indah permai, dan susah ditandingi

Tayli. Tapi kalau bitjara tentang kembang kamelia jang merupakan bunga pusaka negeri kami, aku jakin tiada tempat lain jang dapat melebihinja." Sebenarnja ia bermaksud menjanggah utjapan A Tju tadi, tapi dilihatnja gadis itu sedang memitjingkan mata dan memerotkan mulut pula sebagai tanda djangan banjak bitjara, maka Toan Ki mendjadi urung buka suara. Ia pikir Man-to-san-tjheng itu sudah didepan mata, lebih baik djanganlah sembarangan bitjara. Dalam pada itu A Tju telah mendajung perahunja menudju ke semak pohon kembang kamelia itu. Sampai ditepi pantai, Toan Ki melihat sepandjang mata memandang disitu hanja bunga kamelia belaka jang berwarna merah dan putih, sebuah rumahpun tidak tertampak. Ia dibesarkan dinegeri Tayli jang terkenal sebagai negeri kembang kamelia, maka ia mendjadi tidak heran oleh bunga2 San-teh jang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga kamelia sebanjak itu tiada satupun terdiri dari djenis jang berharga. Setelah merapatkan perahunja ke-gili2, segera A Tju berseru dengan suara njaring dan penuh hormat: Hamba A Tju dan A Pik dari keluarga Bujung dalam menghindari kedjaran musuh setjara tidak sengadja telah tersesat kesini, sungguh dosa kami pantas dihukum mati, maka mohon kemurahan hati Ong-hudjin sudilah mengingat ketidaksengadjaan kami dan memberi ampun, untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih." Akan tetapi biar A Tju sudah bergembar-gembor sendiri, dibalik semak2 pohonsana toh tiada sesuatu sahutan orang. Tapi nona itu kembali berseru lagi: ,,Dan orang jang datang bersama ini adalah Toan-kongtju jang tak kami kenal, ia adalah tamu asing dan djuga tidak kenal-mengenal dengan Kongtju kami, maka tiada sangkut-paut apa2 dengan urusan kesasar kami ini." Segera terdengar A Pik ikut berkata djuga: Kedatangan orang she Toan ini ketempat kami sebenarnja tidak punja maksud baik, tapi hendak membikin onar dengan Kongtju kami. Tak terduga setjara kebetulan ia telah ikut kesasar kemari." Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: Kenapa mereka menegaskan aku adalah musuh Bujung-kongtju, apa barangkali tuan rumah disini sangat bentji kepada Bujung-kongtju, asal aku mengaku sebagai musuhnja orang she Bujung itu, lantas aku takkan dipersulit disini?" Tidak seberapa lama, tiba2 ditengah rimba pohon kembang kamelia itu terdengar ada suara tindakan orang, kemudian muntjul seorang pelajan ketjil berbadju hidjau, tangannja membawa segebung karangan bunga, usianja lebih tua satu-dua tahun daripada A Tju dan A Pik. Sampai ditepi pantai, dengan tertawa dajang itu lantas berkata dengan tersenjum: A Tju dan A Pik, kalian benar2 bernjali besar sekali dan berani ngelajap lagi kesini? Karena itu Hudjin memerintahkan muka kalian masing2 harus disilang dengan pisau agar wadjah kalian jang tjantik aju terusak." Namun A Tju mendjadi lega demi nampak sikap dajang jang bitjara itu. Sahutnja dengan tertawa: ,,Entji Yu Tjhau, tentunja Hudjin tidak berada dirumah, bukan?" Hm, Hudjin djusteru mengatakan pula bahwa kalian berani membawa laki2 asing kesini, maka kedua kaki orang itu harus segera dipotong pula," demikian sahut

sidajang jang dipanggil dengan nama Yu Tjhau itu. Tapi belum Selesai ia omong, ia sudah lantas menutup mulutnja dengan tangan dan tertawa tjekikikan. Entji Yu Tjhau," A Pik ikut bitjara sambil tepuk2 dada sendiri, djangan engkau me-nakut2i orang. Sebenarnja sungguh2 atau tidak utjapanmu itu?" A Pik," udjar A Tju dengan tertawa, djangan gampang digertak olehnja. Kalau Hudjin ada dirumah masakah budak ini berani main gila seperti ini? Adik Yu Tjhau, katakanlah, kemanakah Hudjin telah pergi?" Huh, berapakah umurmu sekarang, berani kau menjebut aku sebagai adik?" sahut Yu Tjhau dengan tertawa, Kau memang siluman tjerdik tjilik, dengan tepat engkau dapat menerka Hudjin tidak berada dirumah." Ia merandek sedjenak, tiba2 ia menghela napas, lalu meneruskan: A Tju dan A Pik, Sjukurlah kalian dapat berkundjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan kalian agar supaja dapat tinggal barang beberapa hari disini, tjuma..............." ]a, sudah tentu kamipun suka untuk tinggal sementara dengan engkau disini," sahut A Pik. Entji Yu Tjhau. sebaiknja kalau engkau dapat datang ketempat kami sadja. Untuk mana kami bersedia tiga-hari-tiga-malam tidak tidur untuk menemani engkau!" Tengah mereka bitjara, tiba2 dari semak2 kembangsana terdengar suara berkeresekan, kemudian muntjul pula seorang dajang tjilik, dengan ketawa2 dajang inipun lantas berseru girang: Hai, A Tju dan A Pik, nona kami mengundang kalian ketempatnjasana ." He. kiranja adik Hong Le," sahut A Tju dengan tertawa. Terima kasihlah atas kebaikan nona kalian itu. Sampaikanlah bahwa Kongtju kami sedang bepergian. kedatangan kami kesini sungguh2 karena sesat djalan. Harap diberi maaf." Bagus," kata Hong Le setengah mengomel, nona kami mengundang kalian, tapi kalian menolak. Baiklah, dan kalian djuga djangan mengharapkan Pek-ih-sutjia (perintis djalan berbadju putih. Maksudnja burung putih itu) akan membawa kalian keluar dari sini." A Tju saling pandang sekedjap dengan A Pik, sikap mereka tampak serba salah. Kemudian A Pik membuka suara: ,,Entji Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana kami berani menolak undangan nonamu itu? Akan tetapi bila nanti kebetulan Hudjin pulang, lantas............... bagaimana............" Hudjin sedang pergi ketempat jang djauh, baru kemarin beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan begitu tjepat," sahut Hong Le atau siburung kenari kuning Hajolah ikut kesana, masakan kalian tidak tahu isi hati nona kami?" Baiklah, marilah A Pik, terpaksa kita menempuh bahaja lagi." udjar A Tju. Kedua gadis itu lantas melangkah ke-gili2. Kata A Pik kepada Toan Ki: Toan-kongtju, silahkan engkau menunggu sebentar disini, kami pergi menemui tuan rumahnja, segera kami akan kembali." Toan Ki mengia dan menjaksikan kepergian empat gadis tjilik jang lintjah dan riang gembira itu.

Sesudah sekian lamanja duduk didalam perahu, Toan Ki mendjadi iseng, pikirnja: Biarlah aku mendarat untuk melihat kembang Mantolo jang ditanam disini, ingin kulihat apakah ada djenis jang bagus atau tidak?" Terus sadja ia melangkah kepantai dan menikmati pemandangan disepandjang djalan. Ia lihat diantara tetumbuhan bunga2 selebat itu, ketjuali kembang kamelia, sama sekali tiada djenis bunga lain lagi. Akan tetapi bunga kamelia itu djuga terdiri dari djenis2 jang umum dan tiada sesuatu jang bernilai tinggi, satu2nja keistimewaan jalah dalam hal djumlah. Memang djumlahnja sangat banjak. Tengah Toan Ki memandang kian kemari, tiba2 hidungnja mengendus bau harum pula. Harum bunga itu sebentar keras sebentar halus hingga susah diraba darimana datangnja bau harum itu. Jang terang bau harum itu serupa seperti bau harum jang aneh jang ditjiumnja semalam didalam perahu itu. Diam2 Toan Ki heran, pikirnja: Disini toh tidak tampak ada djenis bunga lain lagi ketjuali kembang kamelia, apakah mungkin diantara kamelia sebanjak ini terdapat sedjenis jang dapat menguarkan bau harum jang aneh ini?" Tertarik oleh rasa ingin tahu, terus sadja Toan Ki mengusut lebih djauh mengikuti arah datangnja bau harum itu. Setelah berpuluh meter djauhnja, ia lihat djenis2 kamelia jang mekar bertambah banjak, terkadang djuga terdapat satu-dua djenis jang bernilai lumajan. Tidak lama pula, sedang Toan Ki asjik memperhatikan kembang kamelia jang luar biasa djumlahnja itu, mendadak bau harum jang aneh itu lenjap sama sekali. Meski Toan Ki sudah menjusur kesana dan kesini toh bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir: Sudahlah, aku harus lekas kembali, sebentar kalau A Tju dan A Pik kembali dan melihat aku tiada berada disana, tentu mereka akan kuatir." Segera iapun berputar tubuh hendak kembali kearah datangnja tadi. Akan tetapi tjelaka, ia mengeluh. Kiranja sudah sekian djauhnja ia menjusur kian-kemari diantara hutan bunga itu, ia telah lupa memberi tanda pada djalanan jang telah dilaluinja itu. Kini hendak kembali ketempat dimana perahunja berlabuh. terang mendjadi agak sulit. Ia tjoba membedakan arah menurut kejakinannja sendiri, pikirnja asal dapat mentjapai tepi danau. urusan tentu akan mendjadi mudah. Tak tersangka makin djauh ia berdjalan, makin tak keruan djurusan jang dipilihnja itu. Mendadak didengarnja ada suara bitjara orang disisi kiri hutan bungasana , segera dapat dikenal bahwa itulah suaranja A Tju. Pikir Toan Ki dengan girang: Biarlah kutunggu sebentar disini, bila mereka sudah Selesai bitjara, tentu dapatlah aku ikut kembali ketempat tadi bersama mereka." Ia dengar A Tju sedang berkata: Kesehatan Kongtju sangat baik, napsu makannja djuga bertambah. Selama dua bulan ini beliau tekun mempeladjari 'Pak-kau-pang-hoat' (ilmu pentung penggebuk andjing) dari Kay-pang, mungkin karena sedang menjiapkan diri untuk mengukur kepandaian dengan tokoh Kay-pang." Toan Ki mendjadi ragu2 mendengar pertjakapan itu, pikirnja: A Tju sedang membitjarakan urusan Kongtju mereka, tidaklah pantas kalau diam2 aku mendengarkan disini. Aku harus menjingkir jang djauh. Tapi djuga tidak boleh terlalu djauh, sebab sebentar kalau mereka sudah selesai bitjara, djangan2

aku malah tidak tahu." Dan pada saat itulah, tiba2 Toan Ki mendengar suara seorang wanita menghela napas sekali dengan pelahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu, seketika tubuh Toan Ki serasa terguntjang, hatinja ber-debar2 dan mukanja merah. Pikirnja: Suara orang menghela napas itu sungguh enak sekali untuk didengar, mengapa didunia ini terdapat suara semerdu itu?" Sementara itu didengarnja suara jang halus dan. merdu tadi sedang menanja pula: Kepergiannja sekali ini menudju kemanakah?" Ketika mendengar suara helaan napas tadi perasaan Toan Ki sudah terguntjang, kini mendengar pula utjapan itu. darah seluruh tubuhnja serasa bergolak, tapi hatinja merasakan sematjam rasa getir dan ketjut, rasa kagum dan iri jang tak terkatakan. Pikirnja : "Jang ditanjakan itu sudah terang adalah Bujung-kongtju. Ternjata sedemikian besar perhatiannja kepada Bujung-kongtju hingga selalu dirindukan olehnja. Wahai, Bujung-kongtju betapa bahagianja hidupmu ini!" Maka terdengar A Tju sedang menjahut: "Waktu Kongtju hendak berangkat, beliau mengatakan hendak pergi ke Lokyang untuk mendjumpai djago2 Kay-pang. Malahan Lu-toako dan Pau-siansing djuga ikut pergi, maka harap nona djangan kuatir." "Diwaktu Kongtju kalian melatih Pak-kau-pang-hoat apa kalian melihat ada sesuatu kesukaran atau rintangan ?" tanja suara wanita itu. Tidak." sahut A Pik. "Kongtju dapat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu dengan sangat lantjar dan tjepat sekali...... "Hai, salah besar!" tiba2 wanita itu berseru, "apa betul dia memainkannja dengan sangat tjepat ?" "Ja, kenapa dikatakan salah malah ?" sahut A Pik heran. "Sudah tentu salah," kata siwanita itu. "Pak-kau-pang-hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat makin baik, bila perlu dapat dipertjepat dan segera diperlambat lagi. Tapi kalau terus-menerus dimainkan dengan tjepat, tentu susah mengerahkan kelihayan ilmu pentung itu. Ai, apakah...... apakah kalian dapat menjampaikan sedikit berita kepada Kongtju?" Tapi sekarang Kongtju berada dimana, kami sama sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau sudah selesai pula bertemu dengan tokoh2 Kay-pang," demikian sahut A Tju. "Kohnio, apakah terlalu tjepat memainkan Pak-kau-pang-hoat itu benar2 tidak boleh ?" "Sudah tentu tidak boleh, masakah perlu kudjelaskan lagi ?" sahut sinona. "Mengapa...... mengapa waktu akan berangkat dia tidak...... tidak datang menemui aku dahulu?" sembari berkata iapun mem-banting2 kaki dengan rasa kuatir dan tjemas. Toan Ki mendjadi heran, pikirnja: "Biasanja nama Koh-soh Bujung sangat dihormati dan disegani, tapi dari utjapan sinona ini, agaknja ilmu silat Bujung-kongtju itu seakan-akan memerlukan petundjuknja. Apa mungkin seorang nona muda belia seperti ini mempunjai kepandaian setinggi langit?" Ia dengar sinona sedang berdjalan mondar-mandir, suatu tanda betapa gopoh perasaannja waktu itu. Tiba2 kedengaran nona itu berkata lagi dengan pelahan:

"Tempo hari, aku minta dia mempeladjari ilmu gerak langkah itu, tapi ia djusteru tidak mau beladjar, tjoba kalau dia sudah paham 'Leng-po-wi-poh' itu......" Mendadak mendengar kalimat Leng-po-wi-poh" atau langkah indah sidewi tjantik, Toan Ki mendjadi kaget dan tanpa merasa berseru sekali, tjepat ia tekap mulut sendiri, namun sudah terlambat. Siapa itu?" segera terdengar nona itu telah menegur. Tahu kalau takbisa menjembunjikan diri pula, terpaksa Toan Ki berdehem lebih dulu, lain mendjawab: Tjayhe bernama Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga kamelia sekitar sini hingga tanpa sengadja kesasar kemari, mohon diberi maaf." A Tju, apakah dia adalah Siangkong jang datang bersama kalian itu?" tanja nona itu kepada A Tju dengan pelahan. Benar, Kohnio", sahut A Tju tjepat. Orang ini adalah Sutaytju (peladjar tolol), djangan nona mengurusinja. Biarlah sekarang djuga kami mohon diri sadja." Nanti dulu," kata nona tadi, tunggu aku menuliskan seputjuksurat untuk menerangkan tanda2 rahasia Pak-kau-pang-koat itu dan harap kalian segera berusaha untuk menjampaikannja kepada Kongtju." Hal ini............... Hudjin pernah menjatakan..............." sahut A Tju dengan ragu2. Menjatakan apa? Djadi kalian tjuma menurut kata2 Hudjin dan tidak mau menurut perintahku?" kata nona itu dengan nada marah. Tjepat A Tju mendjawab: Mana kami berani membangkang perintah nona. Asal sadja tidak diketahui Hudjin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada paedahnja bagi Kongtju kami." Baiklah, mari kalian ikut aku kekamar," kata nona itu. Terpaksa A Tju mengia. Dalam pada itu Toan Ki mendjadi lebih kesemsem sedjak mendengar suara helaan napas jang penuh daja penarik itu. Kini mendengar sinona segera akan pergi, ia pikir sekali sinona sudah pergi, mungkin untuk selamanja takkan dapat melihatnja lagi, hal itu bukankah akan dibuat penjesalan selama hidup? Meski nanti akan dikatai orang karena kelakuannja jang semberono, paling2 djuga tjuma didamperat sadja, betapapun aku harus melihat muka aslinja. Karena pikiran itu, segera Toan Ki berseru sambil melangkah keluar: Entji A Pik, harap engkau tinggal disinilah untuk menemani aku, ja?" Mendengar Toan Ki berdjalan keluar, nona itu berseru kedjut dan tjepat membelakangi tubuhnja. Waktu Toan Ki menerobos keluar dari semak2 pohon, jang terlibat olehnja tjuma seorang wanita berbadju putih mulus dan berdiri mungkur, perawakannja ramping, rambutnja pandjang terurai sampai dipunggung dan hanja diikat oleh seutas benang sutera warna perak. Tjukup melihat bajangan sigadis sadja Toan Ki sudah jakin pasti gadis itu sangat tjantik laksana dewi kajangan dan menimbulkan sematjam hawa keangkeran. Segera ia

membungkuk memberi hormat dari djauh sambil berkata: Terimalah hormat Tjayhe, nona!" A Tju," tiba2 gadis itu membanting kaki, gara2mu membawa segala orang kesini. Aku tidak ingin bertemu dengan laki2 luar jang tiada sesuatu hubungan." Habis berkata, terus sadja ia berdjalan tjepat kedepan, hanja sekedjap sadja bajangan gadis itu sudah menghilang dibalik semak2 bungasana . Dengan tersenjum A Pik lantas menoleh dan berkata kepada Toan Ki: Toan-kongtju, tabiat nona ini memang sangat angkuh, kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini." Hlm. 25 Gambar SelagiA Tju hendak mulai mendajung perahunja, tiba2 terdengar suara suitan njaring bagai naga merintih dari djauh. Hanja sekedjap sadja sebuah kapal berbentuk kepala naga sudah mendekat dan dari dalam kapal berdjalan keluar seorang wanita setengah umur dengan dandanan keraton. Ja, berkat pertolongan Toan-kongtju jang telah melepaskan kami dari kesukaran," A Tju ikut berkata djuga dengan tertawa. Kalau Toan-kongtju tidak muntjul, tentu Ong-kohnio akan suruh kami hantarsurat segala dan djiwa kami ini mendjadi berbahaja akibatnja." Semula sebenarnja Toan Ki merasa kuatir dan tentu akan diomeli A Tju dan A Pik karena dia setjara semberono telah heran undjuk diri hingga membikin nona Ong kurang senang. Tak tersangka kedua dajang tjilik itu malah memberi pudjian padanja, keruan Toan Ki mendjadi bingung malah. Segera mereka bertiga kembali keperahu mereka. A Tju angkat penggajuh hendak mulai mendajung lagi. Tapi belum sampai perahu meluntjur, tiba2 A Pik berkata: ,.Entji A Tju. tanpa diberi petundjuk djalannja oleh Pek-ih-sutjia, betapapun kita susah keluar dari tempat ini. Terpaksa kita harus menunggu dulu suratnja Ong-koh-nio. Kita tjuma terdesak oleh keadaan, toh bukan sengadja datang kesini, andaikan diketahui Ong-hudjin djuga takdapat menjaksikan kita." Ja, semuanja gara2 sihwesio busuk itu.................." demikian sahut A Tju dengan gegetun. Tapi belum Selesai utjapannja. tiba2 dari djauh terdengar suara suitan njaring jang pandjang bagai naga merintih. Demi mendengar suara suitan aneh itu, seketika wadjah A Tju dan A Pik berubah putjat. Begitu pula Toan Ki djuga terkedjut Pikirnja: He, suara suitan ini sudah kukenal dengan baik. Wah tjelaka. itulah dia muridku Lam-hay-gok-sin jang telah datang. Tetapi, ah, salah, bukan dia, bukan dia!" Sebagaimana diketahui, ketika mula2 Toan Ki bertemu dengan Lam-hay-gok-sin, ia pernah mendengar suara rintihan naga seperti tadi itu. Tapi kemudian waktu Lam-hay-gok-sin sudah berada dihadapannja, kembali suara suitan njaring itu terdengar pula, karena itu, Lam-hay-gok-sin lantas buru2 menjusul kearah

datangnja suara itu. Maka dapat dipastikan suara suitan itu bukan dikeluarkan oleh Lam-hay-gok-sin, tapi masih ada seorang lain lagi. Biasanja sifat A Tju sangat lintjah dan periang, tapi kini demi mendengar suara suitan itu, seketika badannja gemetar dengan ketakutan. Toan-kongtju," kata A Pik dengan bisik2, Ong-hudjin telah pulang, terpaksa kita terserah pada nasib rnasing2. Tapi sebaiknja engkau berlaku kasar kepada kami, lebih kasar dan lebih kurang sopan kepada kami akan lebih baik bagimu." Akan tetapi bagi Toan Ki tidak mungkin disuruh berlaku kasar terhadap kedua dara tjilik itu. Sedjak dia meninggalkan rumah, sudah banjak pengalaman dan bahaja jang dihadapinja. Ia pikir bila memang aku sudah ditakdirkan harus mati, biarlah terima nasib sadja masakah aku diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona tjilik? Karena itu, segera ia mendjawab: Lebih baik mati setjara sopan daripada hidup dengan kurangadjar. Entji A Tju engkau menjebut aku sebagai Sutaytju, dan memang beginilah sifat ketolol2an seorang Sutaytju seperti aku ini." A Tju hanja melototinja sambil menghela napas gegetun. Pada saat itulah dari djauh tertampak sebuah perahu sedang meluntjur tiba setjepat terbang, hanja sekedjap sadja sudah mendekat. Tampak djelas perahu itu sangat besar dengan udjung berbentuk kepala naga jang mulutnja terpentang lebar dengan rupa sangat menakutkan. Sesudah kapal itu lebih dekat lagi, mendadak Toan Ki mendjerit kaget. Ia melihat diudjung tanduk kepala naga dari kapal itu tergantung tiga buah kepala manusia jang darahnja masih berketes2, njata kepala manusia itu baru sadja dipenggalnja. Rupanja ditengah djalan Ong-hudjin telah pergoki musuh dan lantas dibunuhnja, makanja pulang lebih tjepat daripada rentjananja. Ai, dasar nasib kita jang djelek," demikian udjar A Tju pelahan. Sementara itu kapal tjepat berkepala naga itu sudah merapat dengan gili2, A Tju dan A Pik telah berbangkit berdiri dengan kepala menunduk, sikapnja sangat menghormat. Ber-ulang2 A Pik memberi tanda kepada Toan Ki dengan maksud menjuruh pemuda itupun ikut berdiri. Namun Toan Ki menggeleng kepala, katanja dengan tertawa: Biarlah tuan rumahnja muntjul dulu, tentu aku akan berbangkit untuk menghormatinja. Seorang laki2 masakah mesti terlalu merendahkan deradjat sendiri?" Tiba2 suara seorang wanita berkata dari dalam kapal itu: Lelaki darimanakah berani sembarangan masuk ke Man-to-san-tjheng sini? Apakah tidak pernah mendengar bahwa setiap laki2 jang berani masuk kesini pasti akan ditabas kedua kakinja?" Suara wanita itu sangat kereng, tapi sangat njaring dan merdu pula dan enak didengar. Segera Toan Ki mendjawab: Tjayhe bernama Toan Ki, Tjayhe tersesat kemari dan bukan disengadja, harap suka memberi maaf." Wanita itu tjuma mendengus lagi sekali dan tidak menggubrisnja. Sesudah kapal itu berlabuh, dari dalam kamar kapal lantas muntjul dua dajang muda berbadju hidjau, jang seorang lantas melompat menjambar ketiga kepala

manusia jang tergantung ditanduk kepala naga itu, dengan enteng sadja ia turun kembali kegeladak kapal sambil mendjindjing ketiga buah kepala manusia itu. Gerakannja tjepat dan gajanja indah. Melihat kedua dajang itu menghunus pedang semua, diam2 Toan Ki membatin: Kaum hambanja sadja sudah begini lihay, apalagi madjikannja? Biarlah, toh kepalaku tjuma sebuah sadja, kalau mau boleh mereka penggal sekalian." Dalam pada itu terdengar wanita didalam kapal itu berkata pula: Hm, A Tju dan A Pik ini memang kepala batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar madjikanmu sibotjah Bujung Hok itu djuga tidak pernah berbuat baik, selalu main gila dan berbuat hal2 jang djahat." Lapor Hudjin," sahut A Pik tiba2, hamba tidak sengadja datang kemari, tapi karena kesasar waktu diuber musuh dan tanpa sengadja masuk kesini lagi. Kongtju kami sedang bepergian, maka tiada sangkut-pautnja dengan beliau." Karena urusan sudah kadung begini, dara jang tampaknja lemah-lembut itu mendjadi berani mendebat dengan tegas. Kemudian dari dalam kapal itu muntjul ber-pasang2 gadis berbadju hidjau jang lain, semuanja berdandan dajang, tapi menghunus pedang. Seluruhnja jang keluar itu ada delapan pasang, ditambah dengan kedua dajang jang pertama tadi, djumlah seluruh mendjadi 18 orang Mereka berbaris mendjadi dua larik dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal berdjalan keluar seorang wanita berpakaian keraton. Begitu melihat wadjah wanita itu, terus sadja Toan Ki berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti didalam mimpi. Kiranja wanita itu berpakaian sutera putih mulus, dandanannja ternjata mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di Tayli itu. Bedanja tjuma wanita ini sudah setengah umur, sebaliknja patung Dewi itu adalah seorang gadis djelita berusia belasan tahun. Dalam kedjutnja Toan Ki tjoba mengamat-amati wanita tjantik itu pula. Ia melihat wadjahnja benar2 seperti patung Dewi didalam gua itu, ketjuali perbedaan dalam umur, wadjahnja djuga sudah mulai berkerut, tapi makin dipandang makin mirip se-akan2 saudara kembar dengan patung tjantik didalam gua itu. A Tju dan A Pik mendjadi kuatir melihat Toan Ki memandangi Ong-hudjin itu dengan mata tanpa berkesip, kelakuannja benar2 sangat kurangadjar, tiada ubahnja seperti seorang pemuda jang mata kerandjang. Ber-ulang2 mereka memberi isjarat agar Toan Ki djangan menatap begitu rupa kepada Ong-hudjin itu, tapi sepasang mata Toan Ki itu se-akan2 sudah tak berkuasa dan terpaku pada wadjah Ong-hudjin. Segera Ong-hudjin itu mendjadi gusar djuga, katanja kepada kaum hambanja: Orang ini begini kurangadjar, sebentar sesudah potong kedua kakinja, harus korek pula kedua matanja dan iris lidahnja." Salah seorang dajangnja jang berbadan lentjir dan berkulit badan hitam manis lantas mengiakan. Diam2 Toan Ki gelisah djuga. Pikirnja: Kalau aku akan dibunuh, paling2 djuga mati achirnja. Tapi kalau kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek dan lidahku diiris hingga mati tidak hidup tjelaka, wah, rasa derita ini tentulah berat."

Dan baru sekarang timbul rasa takutnja. Ia tjoba berpaling memandang A Tju dan A Pik, ia lihat wadjah dara itupun putjat pasi seperti majat dan berdiri terpaku bagai patung. Setelah Ong-hudjin itu mendarat, menjusul dari dalam kapalnja berdjalan keluar pula dua dajang berbadju hidjau jang lain, tangan mereka memegangi udjung seutas tali sutera, dan menjeret keluar dua orang laki2. Toan Ki melihat salah seorang laki2 jang terikat tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan tjakap seperti putera keluarga hartawan. Seorang lagi segera dapat dikenalinja sebagai Tjin Goan-tjun jang bergelar "No-kang-ong" atau siradja pengamuk sungai itu. Waktu mengerojok Bok Wan-djing dahulu, lagak Goan-tjun itu luar biasa garangnja. Tapi kini kedua tangannja terikat oleh tali sutera, kepala menunduk dengan lesu seperti orang sudah pasrah nasib. Toan Ki mendjadi heran, orang ini selamanja tinggal di Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap kesini oleh Ong-hudjin. Sementara itu terdengar Ong-hudjin sedang bertanja kepada Tjin Goan-tjun: ,,Sudah terang kau adalah orang Tayli, mengapa tidak mengaku?" Aku adalah orang Hunlam, tapi kampung halamanku tidak dibawah kekuasaan negeri Tayli", sahut Tjin Goan-tjun. Hm, berapa djauh djarak tempat tinggalmu dengan Tayli?" tanja Ong-hudjin pula. Lebih dari empatratus li djauhnja," sahut Goan-tjun. Belum ada limaratus li, engkau termasuk pula orang Tayli," kata Ong-hudjin Harus dipendam hidup2 dibawah bunga Mantolo sebagai rabuk." Aku bersalah apa?" teriak Tjin Goan-tjun penasaran. Silahkan engkau memberi pendjelasan, kalau tidak, matipun aku tidak rela". Hm," djengek Ong-hudjin. Aku tidak peduli kau salah apa! Asal engkau orang Tayli atau orang she Toan, sekali kebentur ditanganku, tentu akan kupendam hidup2. Meski engkau bukan Orang Tayli, tapi adalah tetangga Tayli, bukankah sama djuga?" Sungguh2 dongkol Toan Ki tak terkatakan, pikirnja: ,,Aha, kiranja akulah jang engkau maksudkan, mengapa mesti main sandiwara segala? Biarlah aku mengaku lebih dulu dan tidak perlu engkau menanja padaku." Karena itu, segera ia berteriak keras2: Ini dia orangnja, aku adalah orang Tayli dan she Toan pula. Kalau engkau mau kubur aku hidup2. silahkan lekas kerdjakan!" Dari tadi engkau sudah mengaku, katanja Toan Ki namamu," demikian djengek Ong-hudjin Hm, orang she Toan dari Tayli tidak nanti boleh mati setjara begitu mudah". Habis berkata, ia memberi tanda dan sidajang tadi lantas menjeret pergi Tjin Goan-tjun jang tak berdaja itu, entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka dalam jang parah, jang terang sama sekali Tjin Goan-tjun tidak dapat membangkang sedikitpun. Ia tjuma dapat ber-teriak2 sadja: ,,Didunia ini masakah ada per-aturan begini? Orang Tayli ada ber-djuta2 djumlahnja, apakah

engkau dapat membunuhnja habis?" Akan tetapi ia sudah lantas diseret ketengah rimba pohon bunga itu, makin lama makin djauh dan semakin pelahan suaranja hingga achirnja tak kedengaran lagi. Kemudian Ong-hudjin berpaling kearah tawanannja jang lain jang bermuka putih bersih itu, lalu tanjanja: .,Dan apa jang hendak kau katakan?" Mendadak orang itu tekuk lutut dihadapan sinjonja dan ber-ulang2 memberi sembah, katanja: Ajahku adalah pembesar dipemerintah pusat, beliau melulu mempunjai seorang putera seperti diriku ini, maka mohonlah Hudjin memberi ampun. Untuk mana, apa sadja permintaan Hudjin, pasti ajah akan memenuhinja." Hm, ajahmu adalah pembesar negeri, apa kau sangka aku tidak tahu?" djengek Ong-hudjin dengan dingin. Untuk mengampuni djiwamu tidaklah sukar, asal sesudah kau pulang, segera isterimu dirumah itu kau bunuh dan besoknja lantas menikah dengan nona Biau jang berhubungan gelap dengan engkau diluar kawin itu, tapi harus dengan upatjara resmi dan lengkap memakai emas kawin. Nah, dapat tidak engkau laksanakan sjarat ini?". Keruan pemuda bangsawan itu serba susah, sahutnja dengan gemetar: Su.................. suruh aku membunuh isteri-kawin sendiri, itulah aku............ aku tidak tega. Menikah setjara resmi dengan nona Biau, orang-tuaku tentu............... tentu melarang pula Bukanlah aku............ aku.........". Seret pergi dia dan kubur hidup2", bentak Ong-hudjin segera. Dajang jang menuntun tali pengikat pemuda itu mengia sekali, lalu diseretnja pergi. Dengan ketakutan pemuda itu berseru pula dengan gemetar Ba............ baiklah, aku terima sjaratmu!" Nah, Siau Djui, kau giring dia kembali kekota Sohtjiu dan menjaksikan sendiri dia membunuh isterinja dan kemudian menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau boleh pulang," pesan Ong-hudjin kepada dajang jang menuntun pemuda itu. Siau Djui mengia lagi dan menarik pemuda bangsawan itu melangkah kedalam perahu jang tadi ditumpangi Toan Ki itu. Harap Hudjin menaruh belas-kasihan," demikian pemuda bangsawan itu memohon pula. Isteriku toh tiada sakit hati apa-apa dengan engkau dan engkaupun tidak kenal nona Biau, buat apa engkau mesti membantunja dan memaksa aku membunuh isteriku sendiri untuk menikah lagi padanja? Biasa............... biasanja aku pun tidak kenal engkau, apalagi djuga tidak berbuat salah apa2 kepadamu." Aku tidak peduli kau kenal aku atau tidak,'' sahut Ong-hudjin dengan gusar. Djika engkau sudah punja isteri, mengapa mesti menggoda anak gadis orang lain lagi? Dan sekali engkau sudah berani main gila dengan gadis lain, engkau harus kawin padanja. Hal ini sekali sudah kuketahui pasti akan kuselesaikan seperti ini, apalagi perbuatanmu ini bukanlah jang pertama kalinja, apa jang masih kau sesalkan? Siau Djui, tjoba katakan, perbuatan keberapakah kedjahatannja ini?" Hamba telah menjelidiki di-kota2 Busik, Kahin dan tempat2 lain, semuanja terdjadi tudjuh kali perbuatannja jang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si jang mengusut kekota lain2," sahut sidajang itu.

Mendengar sudah begitu ketetapan hukuman jang biasa didjatuhkan oleh Ong-hudjin, pemuda itu tjuma dapat mengeluh sadja dan tidak berani membantah pula. Segera Siau Djui mendajung perahunja dan membawanja pergi. Toan Ki mendjadi melongo kesima menjaksikan tindak-tanduk Ong-hudjin jang aneh dan tidak masuk diakal itu. Jang terpikir dalam benaknja waktu itu melulu masakah ada peraturan begitu" atas keputusan sinjonja. Saking penasarannja sampai achirnja tanpa merasa iapun berseru: Masakah ada peraturan begitu! Masakah ada peraturan begitu?" Hm, mengapa tidak ada?" djengek Ong-hudjin. Didunia ini masih terlalu banjak peraturan jang begini?" Sungguh ketjewa dan tjemas Toan Ki oleh tindakan Ong-hudjin itu. Tempo hari waktu dia melihat patung dewi tjantik didalam gua ditepi sungai wilajah Tayli itu, ia begitu kagum dan begitu kesemsem kepada patung jang tjantik itu. Wanita jang berada dihadapannja ini wadjahnja mirip benar dengan patung Dewi itu, sebaliknja tindak-tanduknja ternjata lebih mirip setan iblis jang tak kenal ampun. Untuk sedjenak Toan Ki hanja menunduk dengan ter-mangu2 sadja. Kemudian dilihatnja empat dajang Ong-hudjin itu telah masuk lagi kedalam kapalnja untuk membawa keluar empat pot besar bunga jang indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki terbangkit. Kiranja empat pot bunga itu semuanja adalah bunga kamelia dan terdiri dari djenis2 jang terpilih. Dalam hal kembang kamelia, diseluruh dunia ini tiada jang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih2 jang tertanam didalam Tin-lam-onghu. Karena itu sedjak ketjil Toan Ki sudah biasa dengan bunga2 kamelia disekitarnja itu, diwaktu iseng iapun sering mendengarkan pertjakapan belasan orang tukang kebun bunga membitjarakan djenis2 bunga kamelia, dari itu tanpa beladjar iapun sangat paham akan pengetahuan bunga itu. Tadi ia sudah djauh menjusur kebun Man-to-san-tjheng itu dan melihat tiada satu djenis bunga Mantolo jang tumbuh disitu jang ada harganja untuk dinikmati. Maka kesannja kepada perkampungan jang bernama Man-to-san-tjheng" itu rada ketjewa, sebab dianggapnja nama tidak sesuai dengan kenjataannja. Ia dengar Ong-hudjin sedang pesan kepada dajang2 jang membawakan pot bunga tadi: Siau Teh. Keempat pot kamelia 'Moa gwe' (bulan purnama) itu tidak mudah mendapatkannja, maka kalian harus merawatnja baik2". Sidajang jang dipanggil Siau Teh itu lantas mengia. Toan Ki mendjadi tertawa geli oleh utjapan Ong-hudjin jang dianggapnja masih hidjau itu. Namun Ong-hudjin tidak gubris padanja, kembali ia pesan si dajang: ,,Angin danau terlalu keras, bunga2 itupun sudah tersimpan beberapa hari didalam kapal dan tidak pernah terkena sinar matahari, maka lekas kalian menaruhnja ditempat terbuka, biar didjemur sebentar dan tambahi sedikit rabuk." Kembali Siau Teh mengiakan.

Mendengar itu, Toan Ki bertambah geli hingga saking tak tahannja terus sadja ia ter-bahak2: Hahahaha!'' Karena heran oleh suara tawa sipemuda jang agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hudjin lantas menegur: Apa jang kau tertawakan?" Aku tertawa karena engkau tidak paham tentang kembang kamelia, tapi djusteru senang tanam bunga itu," sahut Toan Ki Bunga sebagus itu kalau djatuh kedalam tanganmu, itu sama dengan membakar sangkar untuk memasak burung kenari, benar2 runjam. Ong-hudjin mendjadi gusar, damperatnja: Hm, aku tidak paham kamelia, apakah kau jang pintar?" Tapi segera pikirannja tergerak, bukankah barusan pemuda itu mengaku she Toan dan berasal dari Tayli, djika begitu bukan mustahil memang pemuda itu paham tentang bunga kamelia. Walaupun begitu pikirannja, namun dimulut tetap ia tidak mau undjuk lemah: Tempat ini bernama Man-to-san-tjheng (perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia), di-mana2 penuh tumbuh bunga Mantolo dengan subur dan indah permai bukan?" Ja, barang kasaran sudah tentu dapat ditanam setjara kasar dan hidup kasar pula", sahut Toan Ki dengan tersenjum. Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini dapat engkau tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak mau she Toan lagi." Wah, tjelaka!" demikian pikir A Tju dan A Pik, bahaja sudah didepan mata, pemuda itu masih berani meng-olok2 Ong-hudjin tidak pandai tanam bunga, apa barangkali pemuda itu minta mati lebih tjepat? Kiranja sifat Ong-hudjin itu sangat suka kepada bunga kamelia untuk mana ia tidak sajang membuang biaja jang besar untuk mengumpulkan djenis2 jang baik. Akan tetapi bila djenis pilihan itu sudah ditanam ke Man-to-san-tjheng, selalu bunga itu mati kering, paling lama djuga tjuma tahan setengah atau satu tahun sadja. Karena itulah Ong-hudjin sangat kesal oleh kegagalannja menanam bunga itu. Kini mendengar utjapan Toan Ki, bukannja dia marah, bahkan mendjadi girang malah. Segera ia melangkah madju dan menanja: Menurut kau, keempat pot bunga kameliaku ini ada kesalahan apa? Tjara bagaimana untuk bisa menanamnja dengan baik?" Djika maksudmu hendak minta petundjuk padaku, seharusnja ada tata tjaranja orang minta petundjuk," demikian sahut Toan Ki. Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk memaksa aku mengaku, itulah djangan kau harap dan bila perlu boleh engkau tabas dulu kedua kakiku." Ong-hudjin mendjadi gusar, serunja: Untuk menabas kakinja apa susahnja? Siau Si, kau tabas kaki kirinja dahulu." Pelajan jang dipanggil Siau Si itu mengia dan segera melangkah madju dengan pedang terhunus. Djangan, Hudjin!" tjepat A Pik mentjegah. Sifat orang ini sangat kepala batu. Pabila engkau melukainja, biarpun mati tentu ia takkan mengatakan lagi." Memangnja maksud Ong-hudjin djuga tjuma untuk menggertak. Maka ia lantas memberi tanda suruh Siau Si urungkan maksudnja.

Haha, paling baik kalau engkau memotong kedua kakiku untuk ditanam disamping keempat pot bunga, tentu akan merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih ini pasti akan mekar dengan indah dan sebesar njiru. Wah, tentu akan sangat tjantik dan bagus, ia baguuuus sekali!" demikian Toan Ki meng-olok2. Tidak perlu kau membual," sahut Ong-hudjin dengan mendongkol. Dimana letak kebaikan dan kedjelekan empat djenis bunga kameliaku ini, tjoba kau katakan lebih dulu. Bila uraianmu beralasan dan dapat diterima, mungkin aku akan dapat menerima engkau dengan hormat." Ong-hudjin," segera Toan Ki berkata, engkau bilang keempat djenis kamelia ini bernama 'Moa-gwe', sebenarnja engkau telah salah besar. Satu diantaranja djusteru bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' (berdandan sederhana dengan pupur merah) dan satu djenis lagi bernama Tjoa-boa-bi-djin-bin' (mentjakar luka muka orang tjantik)." Tjoa-boa-bi-djin-bin? Kenapa begitu aneh namanja? Djenis jang manakah?" tanja Ong-hudjin dengan heran. Haha, engkau ingin minta petundjuk padaku, engkau harus pakai aturan sebagaimana mestinja," sahut Toan Ki dengan tertawa. Ong-hudjin mendjadi kewalahan. Tapi demi mendengar diantara bunga jang dapat dikumpulkannja itu satu diantaranja terdapat nama jang aneh menarik, ia mendjadi sangat girang. Dengan tersenjum katanja kemudian: Baiklah! Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki suruh menjiapkan perdjamuan di 'Hun-kim-lau' untuk menghormati Toan-siansing ini." Siau Si mengia terus bertindak pergi. Untuk sedjenak A Tju dan A Pik hanja saling pandang dengan melongo. Sungguh mimpipun tak mereka pikirkan bahwa Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Ong-hudjin malah akan mendjamunja sebagai tamu terhormat. Dalam pada itu Ong-hudjin telah memberi perintah pula kepada pelajan jang mendjindjing tiga buah kepala manusia itu agar ditanam ditepi kamelia merah didepan rumah 'Ang-he-lau', Segera pelajan itupun mengia dan pergi. Habis itu, barulah Ong-hudjin berkata kepada Toan Ki: Marilah silahkan datang kekediamanku, Toan-kongtju!" Untuk mana tentu akan mengganggu ketenteraman Hudjin, harap suka dimaafkan," sahut Toan Ki. Atas kundjungan Toan-kongtju jang serba pandai, sungguh Man-to-san-tjheng kami bertambah tjerlang-tjemerlang," kata Ong-hudjin pula. Begitulah diantara njonja rumah dan tetamunja itu saling mengutjapkan kata2 merendah sambil berdjalan kedepan. Suasananja sama sekali sudah berubah, kalau tadi A Tju dan A Pik kebat-kebit menguatirkan keselamatan Toan Ki, adalah sekarang mereka mendjadi lega dan mengikut dari belakang. Tapi mereka kenal watak Ong-hudjin jang susah diraba, sekarang sikapnja ramah-tamah, tapi sebentar lagi bisa berubah mendjadi gusar dan kasar. Maka mereka tetap berkuatir bagi Toan Ki entah bagaimana djadinja nanti.

Sesudah menjusur rimba pohon bunga jang lebat, achirnja Ong-hudjin membawa Toan Ki sampai didepan sebuah gedung bertingkat jang ketjil mungil. Pada papan dibawah emper rumah itu Toan Ki melihat tertulis tiga huruf "Hun-kim-lau". Disekitar rumah itupun penuh tertanam pohon kembang kamelia. Tapi bunga sebanjak itu kalau dibandingkan kamelia jang terpelihara di Tayli, maka nilainja boleh dikata tidak berarti, paling2 djuga tjuma kelas tiga atau empat sadja. Dibandingkan gedung indah itu sesungguhnja tidak serasi. Sebaliknja Ong-hudjin merasa sangat bangga, katanja: Toan-kongtju, kamelia dinegerimu Tayli sangat banjak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini mungkin masih djauh ketinggalan." Toan Ki mengangguk, sahutnja: Kamelia seperti ini memang tiada seorangpun jang menanam di Tayli kami." O, ja?" semakin Ong-hudjin baugga dan ber-seri2. Memang," Toan Ki menegas. Seorang desa jang paling bodoh sekalipun di Tayli kami djuga tahu bila menanam bibit bunga jang djelek seperti ini akan merosotkan harga diri". Apa katamu?" seru Ong-hudjin tjepat dengan wadjah berubah. Djadi kau maksudkan Teh-hoa jang kutanam ini semuanja bernilai rendah? Ah, engkau ini berkata ke............... keterlaluan". Djika engkau tidak pertjaja, terserahlah!" sahut Toan Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia jang berwarna pantjawarna didepan rumah itu dan berkata pula: Ini, seperti djenis ini tentu kau pandang paling berharga bukan? Ehm, pagar kemala jang mengelilingi bunga itu memang benar2 barang berharga dan sangat indah." Ia hanja mengagumi kebagusan pagar kemala jang mengelilingi bunga dan tidak memudji bunganja, hal ini sama seperti memudji keindahan badju seorang wanita, tapi tidak memudji akan ketjantikan orangnja. Keruan Ong-hudjin rada mendongkol, padahal kamelia pantjawarna itu djusteru dipandangnja sebagai djenis jang djarang terdapat, masakan sekarang ditjela oleh pemuda itu. Tapi Toan Ki lantas menanja pula: Numpang tanja Hudjin, bunga ini didaerah Kanglam sini disebut dengan nama apa?" Kami tidak tahu apa namanja jang asli, maka kami lantas menjebutnja Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pantjawarna)," sahut Ong-hudjin. Tapi di Tayli kami terkenal suatu namanja jang hebat, jalah 'Lho-te-siutjay' (Siutjay (sastrawan) jang masuk kotak),' kata Toan Ki. Huh, begitu djelek namanja, tentu sengadja engkau bikin2 sendiri,'' udjar Ong-hudjin Bunga itu indah dan megah, dimana mirip seorang Lho-te-siutjay?" Silahkan Hudjin mentjoba hitung, warna bunga itu seluruhnja ada berapa banjak?" tanja Toan Ki. Sudah lama kuhitung, paling sedikit djuga ada belasan warna," sahut Ong-hudjin. Tepatnja ada 17 warna djumlahnja," kata Toan Ki. Di Tayli kami ada sedjenis jang disebut Tjap-pek-haksu" (delapanbelas sardjana). Itulah djenis jang tiada bandingannja didunia ini. Satu pohon dapat mekar 18 tangkai bunga dan

setiap tangkai warnanja ber-beda2, kalau merah ja merah mulus, bila ungu ja ungu seluruhnja, pasti tidak tertjampur warna lain sedikitpun. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu bentuknja berbeda2 pula dan masing2 mempunjai keindahannja sendiri2. diwaktu mekar serentak mekar semua. kalau laju, seluruhnja laju. Apakah Hudjin pernah melihat djenis bunga itu." Dengan terkesima Ong-hudjin mendengarkan tjerita Toan Ki itu, sungguh ia sangat ketarik. Maka sahutnja dengan menggeleng kepala: Apa betul didunia ini ada Teh-hoa sebagus itu? Dengar sadja baru sekarang, apalagi melihatnja!" Djenis lain jang kwalitetnja dibawah Tjap-pek-haksu itu djuga masih ada seperti 'Pat-sian-kwe-hay" (delapan dewa menjeberang laut), djenis itu adalah delapan tangkai bunga dengan warna jang berlainan tumbuh disatu pohon; Tjhit-sian-li' (tudjuh bidadari djumlahnja 7 tangkai); 'Hong-tim-sam-hiap' (tiga pendekar pengembara) adalah tiga tangkai dan 'Dji Kiau' (dua wanita aju didjaman Sam Kok) terdiri dari dua tangkai berwarna merah dan putih. Warna kamelia2 itu harus mulus dan murni, bila umpama diantara warna merah terdapat warna putih, maka itu adalah djenis jang rendah." Ong-hudjin mengangguk dengan kesemsem, sungguh selama hidupnja belum pernah didengarnja bahwa diantara bunga kamelia terdapat djenis2 sebanjak dan sebagus itu. Maka Toan Ki meneruskan: Umpama kita bitjara tentang 'Hong-tim-sam-hiap' djenis ini lebih istimewa lagi, ada jang Tjiamik (tulen) dan ada jang Humik (djiplakan). Kalau barang Tjiamik, diantara ketiga tangkainja itu harus warna ungu jang paling besar, kemudian warna putih dan jang paling ketjil adalah warna merah. Bila umpama bunga merah lebih besar daripada bunga ungu dan bunga putih, maka itu adalah djenis jang rendah, nilainja mendjadi djauh berkurang." Ong-hudjin benar2 terpesona oleh tjerita Toan Ki itu, katanja dengan gegetun: Djenis jang rendahan sadja aku tidak pernah melihat, apalagi djenis jang Tjiamik." Sampai disini, Ong-hudjin sudah pertjaja benar2 dan kagum kepada kepandaian Toan Ki jang paham tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu. Terus sadja ia mengadjak pemuda itu keatas loteng dan tidak lama perdjamuanpun dimulai dengan matjam2 masakan jang enak dan mahal. Sedang A Tju dan A Pik ada kawan pelajan jang mengawani makan-minum diruangan lain. Sekarang Ong-hudjin sudah sangat menghormat kepadaToan Ki,ia duduk mengiringi makan-minum didepan pemuda itu. Sesudah tiga tjawan arak dihabiskan, lalu Ong-hudjin menanja pula: Tadi aku telah mendengarkan uraian Kongtju jang pandjang lebar tentang djenis2 Teh-hoa, aku mendjadi seperti orang bodoh jang mendadak mendjadi pintar. Tapi dari tukang bunga dikota Sohtjiu jang kubeli keempat pot kamelia itu, katanja bunga2 itu bernama 'Moa-gwe', sebaliknja Kongtju mengatakan satu diantaranja bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' dan jang lain bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin', entah tjara bagaimana mem-beda2kan djenis bunga itu, dapatlah Kongtju memberi pendjelasan?" Mudah sekali membedakannja," sahut Toan Ki. Diatas daun bunga putih jang terdapat bintik2 merah, itulah jang bernama 'Ang-tjeng-soh-kwe' dan daun bunga putih diatasnja terdapat garis2 merah jang ketjil, itu jang bernama 'Tjoa-boa-bi-djin-bin'. Sebaliknja kalau garis2 merahnja terlalu banjak dan kasar, namanja mendjadi 'Bi-djin-tjoa-boa-bin' (muka sitjantik

babak-bonjok). Sebabnja, tjoba pikirkan, seorang wanita tjantik seharusnja lemah-lembut dan sopan-santun, djika kebetulan mukanja tertjakar luka sedikit, itulah tiada mendjadi soal. Tetapi kalau mukanja selalu bonjok main tjakar2an dengan orang, terang wanita tjantik itu suka berkelahi, lantas ketjantikan apa jang dapat dikagumi?" Sebenarnja Ong-hudjin mendengarkan uraiannja itu dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas menarik muka dan membentak: Kurangadjar! Kau berani menjindir aku?" Toan Ki terkedjut, sahutnja gugup: Mana Tjayhe berani, entah dimanakah Tjayhe menjinggung perasaan Hudjin?" Sebenarnja kau disuruh siapa kesini untuk sengadja omong jang tak keruan untuk menghina diriku?" damperat Ong-hudjin. ,,Siapa bilang seorang wanita akan tidak tjantik bila beladjar ilmu silat? Kalau lemah-lembut apanja jang baik?" Toan Ki tertegun sedjenak, sahutnja kemudian: Tapi apa jang Tjayhe katakan tadi tjuma berdasarkan kedjadian jang umum, diantara wanita jang mahir ilmu silat memangnja djuga banjak jang tjantik dan sopan-santun?" Tak terduga utjapannja itu bagi pendengaran Ong-hudjin tetap menjinggung perasaan, tanjanja segera dengan gusar: Dan engkau maksudkan aku tidak sopan-santun ja?" Sopan atau tidak Hudjin sendiri lebih tahu, Tjayhe mana berani sembarangan menarik kesimpulan," sahut Toan Ki tegas, achirnja ia mendjadi marah djuga hingga tidak sungkan2 lagi. ,,Tapi seperti memaksa orang membunuh isteri untuk menikah lagi, tindakan demikian betapapun tidak mungkin dilakukan oleh orang jang beradab." Ong-hudjin tidak berkata lagi, ia tepuk tangannja pelahan, segera tiga pelajan berlari keatas loteng dan berdiri disitu menunggu perintah. Gusur orang ini kebawah, suruh dia pikul air dan menjirami bunga," pesan Ong-hudjin. Ketiga pelajan itu serentak mengiakan. Toan Ki," kata Ong-hudjin pula. Kau she Toan dan orang berasal Tayli pula, seharusnja sedjak tadi2 sudah mesti kubunuh. Tetapi bila engkau benar2 paham sifat kehidupan Teh-hoa, biarlah sementara ini djiwamu kuampuni dan hanja menghukum engkau harus menanam dan merawat Teh-hoa jang tumbuh dikebunku ini, lebih2 terhadap keempat kamelia putih jang baru kubeli ini, engkau harus merawatnja dengan baik2. Ingin kukatakan padamu. pabila satu diantara keempat pot kamelia putih ini mati sebagai hukumannja sebelah tanganmu akan kutabas, kalau mati dua kamelia, dua tanganmu ditabas semua, empat mati semuanja empat anggota badanmu djuga putus semua." Dan kalau keempat pohon bunga itu hidup semua?" tanja Toan Ki dengan tertawa. Kalau keempat pohon itu hidup semua, kau harus menanam dan merawat bunga jang lain, terutama djenis2 pilihan seperti Tjap-pek-haksu, Pat-sian-kwe-hay, Tjhit-sian-li, Dji Kiau dan lain2, setiap djenisnja harus engkau tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat kau laksanakan, kedua

matamu akan kukorek keluar." Lebih tepat kalau engkau sekarang djuga membunuh aku sadja," sahut Toan Ki. Aku tidak sudi terima hukuman sehari dipotong tangannja, lain hari ditabas kakinja, bahkan mata akan dikorek pula!" Dasar engkau sudah bosan hidup, ja? Dihadapanku engkau berani mengotjeh?" damperat Ong-hudjin. Gusur pergi!" Ketiga pelajan tadi mengia terus melangkah madju, jang dua memegangi lengan Toan Ki dan jang lain mendorongnja dari belakang terus diseret kebawah loteng. Ketiga pelajan itu mahir ilmu silat semua, Toan Ki mendjadi tak bisa berkutik, ia tjuma dapat mengeluh sadja didalam hati. Sesudah menjeret Toan Ki kesuatu tempat didalam taman, segera salah seorang pelajan itu mengambilkan sebatang patjul dan pelajan jang lain menjodorkan sebuah ember kepadanja sambil berkata: Turutlah perintah Hudjin dan tanamlah bunga dengan baik2, dengan demikian djiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus. Engkau tergolong orang jang beruntung djuga, padahal tiada seorang laki2 jang dapat hidup keluar dari sini bila sudah mengindjak tanah Man-to-san-tjheng ini." Selain menjiram dan merawat tanaman, djangan sekali2 engkau berkeliaran didalam taman ini," kata pelajan jang satunja. Pabila engkau berani sembarangan mendatangi tempat terlarang, itu berarti engkau mentjari mampus sendiri dan tiada seorangpun jang dapat menolong engkau." Begitulah pelajan2 itu memberi pesan dengan wanti2 kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka tinggal pergi. Untuk sedjenak Toan Ki hanja berdiri mendjublek disitu dengan serba runjam rasanja. Dinegeri Tayli kedudukan Toan Ki hanja dibawah paman-baginda, Po-ting-te, dan ajahnja, Tin-lam-ong. Kelak kalau sang ajah menggantikan paman naik tachta, itu berarti dengan sendirinja ia mendjadi putera mahkota. Siapa tahu sampai didaerah Kanglam ia mesti mengalami nasib begitu djelek, mula2 hendak dibunuh orang, anggota badannja akan dipotong dan matanja akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa orang untuk mendjadi tukang kebun. Sjukurlah watak pembawaan Toan Ki memang peramah, waktu hidup didalam keraton djuga sikapnja sangat ramah-tamah terhadap kaum bawahan, sering pula ia bergaul dengan, tukang kebun dan ikut menanam bunga dan mematjul segala. Ketjuali itu sifatnja djuga periang dan dapat berpikir pandjang, tidak peduli mengalami kegagalan apa sadja, paling2 ia tjuma lesu setengah hari sadja untuk kemudian lantas gembira pula. Kini iapun tjoba menghibur diri sendiri: Ketika didalam gua tempo hari aku sudah menjembah beratus kali kepada patung Dewi itu sebagai guru, sekarang Ong-hudjin ini wadjahnja serupa dengan entji Dewi itu, hanja usianja lebih landjut sedikit, biarlah aku tetap menganggapnja sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada perintah, sudah sepantasnja anak murid mesti melaksanakannja Apalagi menanam bunga memangnja djuga pekerdjaan iseng kaum peladjar, djauh lebih baik daripada mesti main silat dan beradu sendjata. Lebih2 kalau dibandingkan daripada ditawan Tjiumoti dan akan dibakar hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing, masih lebih enak mendjadi tukang kebun bunga. Tjuma sajang djenis bunga jang terdapat disini djenisnja terlalu djelek hingga rasanja tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh seorang putera pangeran dari Tayli." Dengan ber-njanji2 ketjil sambil memanggul patjul dan mendjindjing ember,

kemudian Toan Ki berdjalan kedepan sembari berpikir: Ong-hudjin suruh aku menanam hidup keempat pot kamelia jang baru dibelinja itu. Ehm, betapapun keempat djenis ini terhitung lumajan djuga, aku harus mentjari suatu tempat jang baik untuk menanamnja agar bunga dan tempatnja tjotjok satu sama lain." Sambil berdjalan ia terus mengawasi kesekitarnja. Mendadak ia ter-bahak2 geli melihat pemandangan disitu, pikirnja dalam hati: Dalam hal menanam Teh-hoa sebenarnja Ong-hudjin sama sekali tidak paham, tapi ia djusteru sangat suka menanam Teh-hoa disini dan menjebut kediamannja ini sebagai Man-to-san-tjheng apa segala. Njata ia tidak tahu bahwa Teh-hoa suka tempat jang lembab dan takut tjahaja matahari. Kalau ditanam ditempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari, tentu djuga susah mekar bunganja, ditambah lagi memberi rabuk se-banjak2nja, keruan bunga dari djenis paling bagus djuga akan mati oleh karenanja. Sajang, sungguh sajang!" Segera ia pilih tempat jang rindang dan terus menudju kesana. Sesudah melintasi sebuah gunung2an ketjil, ia dengar suara gemertjiknja air sungai jang ketjil. Disisi kiri penuh pohon bambu jang rindang, sekitarnja sunji senjap. Tempat itu lembab dan tidak tertjapai oleh sinar matahari, maka Ong-hudjin menjangka tidak tjotjok untuk ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki mendjadi girang, katanja sendiri: Inilah dia tempatnja jang tjotjok sekali!" Tjepat ia berlari ketempat tadi dan mengusung keempat pot bunga mendjadi dua kali kebawah pohon bambu jang rindang itu. Ia remuk pot2 bunga itu, lalu pohon bunga bersama tanah jang masih lengket diakar pohon itu ditanamnja keliang jang telah digalinja. Meski Toan Ki selamanja tidak pernah bekerdja menanam bunga, tapi diwaktu ketjilnja sudah sering menjaksikan pekerdjaan tukang kebun, maka sekarang iapun menirukan tjaranja hingga tjukup memenuhi sjarat sebagai tukang kebun. Tiada setengah djam lamanja, keempat pot kamelia putih itu sudah selesai ditanamnja semua. Lalu ia berdiri mendjauh dan menikmatinja dari kanan dan kiri, dari sudutsana dan dari sudut sini. Sesudah merasa puas, barulah ia tepuk2 tangannja jang kotor itu dan pergi mentjutji tangan ketepi sungai. Selesai tjutji tangan, ia kembali kedepan bunga2 jang ditanamnja itu untuk menikmati pula hasil karjanja itu. Tengah Toan Ki merasa senang menjaksikan buah tangannja jang berhasil itu. Tiba2 terdengar suara tindakan orang, ada dua wanita sedang berdjalan mendatangi. Terdengar satu diantaranja sedang berkata: Disini keadaan sangat sunji, tak mungkin didatangi orang lain lagi..............." Mendengar suara itu, seketika hati Toan Ki ber-debar2. Kiranja itulah suaranja sinona berbadju putih jang tjuma dilihat halangan belakangnja siang tadi. Segera Toan Ki menahan napas, sedikitpun tidak berani bersuara. Pikirnja: Dia telah menjatakan tidak mau menemui laki2 jang tiada sangkut-paut dengan dia, dan aku Toan Ki dengan sendirinja adalah seorang laki2 tiada sangkut-paut apa2 dengan dia. Tapi aku ingin mendengarkan beberapa patahkata utjapannja, asal dapat kudengar suaranja jang merdu bagai musik malaikat dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat redjeki besar. Maka djangan sckali2 aku diketahui olehnja". Dalam pada itu terdengar sinona itu sedang berkata pula: ,,Siau Si, kabar apa jang kau dengar tentang dia?"

Ketjut rasa hati Toan Ki seketika. Ia tahu si "dia" jang dimaksudkan nona itu tentulah Bujung-kongtju jang nama lengkapnja menurut utjapan Ong-hudjin adalah Bujung Hok. Suara sigadis tadi penuh nada rindu dan penuh perhatian. Diam2 Toan Ki memikir: Pabila nona ini sedemikian perhatian dan rindunja kepadaku, biarpun aku Toan Ki harus mati seketika djuga rela rasanja." Pikiran Toan Ki itu memang sungguh2, sedikitpun tidak bergurau. Tapi selamanja toh wadjah sinona badju putih belum pernah dilihatnja, entah tjantik entah djelek, namanja djuga, tidak diketahui, tentang tabiatnja badjik atau djahat, sifatnja halus atau kasar, sama sekali ia tidak tahu. Namun sedjak ia mendengar beberapa patahkata utjapan sinona badju putih ditepi danau, aneh djuga, ia mendjadi djatuh tjinta padanja dan merasa matipun rela untuknja Sebab apa bisa begitu dan mengapa timbul perasaan demikian, ia sendiripun tidak dapat memberi pendjelasan. Dan oleh karena itulah, ketika didengarnja sedemikian perhatian sinona kepada Bujung-kongtju itu, tak tertahan lagi rasa tjemburu dan penjesalannja. Sementara itu terdengar Siau Si ter-gagap2 seperti tidak berani mendjawab setjara terus terang. Maka sinona badju putih telah berkata pula: Hajolah, katakanlah kepadaku! Pendek kata aku pasti takkan melupakan kebaikanmu." Hamba takut............ takut didamperat Hudjin," sahut Siau Si achirnja. Budak tolol," omel sinona, asalkan aku tidak katakan kepada Hudjin bahwa engkau jang memberitahu kepadaku,kan beres? Pabila kau tidak mau berkata, sebentar aku akan tanja Siau Teh dan Siau Djui, dan kelak kalau ditanja Hudjin, tentu aku katakan engkau jang memberitahukan padaku." Siotjia, djang............ djangan engkau bikin susah padaku," seru Siau Si dengan gugup. Habis bagaimana?" udjar sinona. Siapa jang mendjadi orang kepertjajaanku, tentu aku membelanja dan siapa jang tidak menurut keinginanku, apa salahnja aku bikin susah dia?" Siau Si memikir sedjenak, achirnja ia berkata pula: Baiklah, akan kutjeritakan kepadamu, tapi djangan sekali2 Siotjia mengatakan aku jang membotjorkan rahasia ini." Sudahlah. Siau Si, djangan engkau omong setjara ber-tele2 sadja, lekas katakan jang benar, aku tanggung takkan terdjadi apa2 atas dirimu," udjar sinona badju putih. Siau Si menghela napas dulu, kemudian katanja: Kabarnja Piausiauya telah pergi ke Siau-lim-si." Siau-lim-si? Kenapa A Tju dan A Pik mengatakan dia pergi ke Lokyang tempat orang Kay-pang?" sinona menegas. Diam2 Toan Ki heran mengapa Bujung-kongtju disebut Piausiauya" atau tuan muda misan. Pikirnja: ,,Djadi Bujung-kongtju itu adalah Piauko (kaka misan) sinona. Dengan sendirinja mereka adalah kawan memain sedjak ketjil, pantas mak..................maka ..............." Dalam pada itu terdengar Siau Si sedang berkata pula: Kepergian Hudjin kali ini, ditengah djalan telah ketemu Hong-siya dari Yan-tju-oh jang katanja sedang menudju ke Siau-lim-si di Kosan untuk memberi bantuan kepada

Piausiauya". Untuk apa mereka pergi ke Siau-lim-si?" tanja sinona. Menurut Hong-siya, katanja Piausiauya telah mengirim berita padanja bahwa, kali ini ada banjak orang Kangouw dan djago dari berbagai golongan sedang menghadiri apa jang disebut Enghiong-tay-hwe di Siau-lim-si untuk merundingkan tjara bagaimana melawan Bujung-si dari Koh-soh. Karena buru2, sebelum sempat memberikan orang lain, Piausiauya lantas berangkat lebih dulu seorang diri. Kabarnja Yan-tju-oh sudah kirim orang lain lagi pergi memberi bantuan". Djika Hudjin sudah mendapat kabar itu, mengapa ia malah balik pulang dan tidak pergi membantu kesukaran Piausiauya," tanja sinona. Tentang ini hamba............ hamba tidak tahu." sahut Siau Si. Mungkin disebabkan Hudjin tidak suka kepada Piausiauya." Hm, suka atau tidak suka, betapapun adalah orang sendiri kata sinona dengan kurang senang. Kalau Bujung-si dari Koh-soh terdjungkal diluaran, apakah keluarga Ong kita tidak ikut malu?" ,.Ja, Siotjia," sahut Siau Si. Ja apa?" bentak sigadis dengan gusar. Siau Si mendjadi kaget, sahutnja gelagapan: ..Aku.........aku maksudkan kita tentu ikut merasa malu." Lalu gadis itu berdjalan mondar-mandir dibawah pohon2 bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu akal. Tiba2 ia melihat pohon kamelia putih jang ditanam Toan Ki serta remukan pot bunga jang baru sadja dipetjahkan itu. Ia bersuara heran, segera ia tanja kepada Siau Si: Siapakah jang tanam Teh-hoa ini disini?" Tanpa ajal lagi Toan Ki terus menjelinap keluar dari tempat sembunjinja, ia memberi hormat dan berkata: Tjayhe diperintahkan oleh Hudjin agar menanam Teh-hoa disini dan bila hal mana mengganggu Siotjia harap dimaafkan." Meski ia membungkuk memberi hormat, tapi matanja tetap menatap kedepan, sebab kuatir kalau sinona berkata tidak sudi bertemu dengan laki2 asing", lalu putar tubuh dan tinggal pergi hingga kesempatan untuk melihat muka sidjelita ter-sia2 lagi. Tak terduga olehnja, begitu sinar matanja kontak dengan sinar mata sinona, seketika telinganja serasa mendengung dan matanja se-akan2 gelap. kakinja mendjadi lemas pula dan tanpa merasa tekuk lutut sendiri dihadapan sidjelita. bahkan kalau ia tidak bertahan sekuatnja, hampir2 iapun menjembah, namun begitu toh tertjetus djuga kata2 dari mulutnja: O, Entji Dewi, betapa...... betapa aku merindukan dikau selama ini!" Ternjata sinona badju putih jang berada didepan matanja ini sama sekali mirip benar dengan patung Dewi jang telah dilihatnja didalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hudjin jang telah dilihatnja itu sudah mirip patung tjantik itu, tjuma usianja jang berbeda. Tapi sidjelita badju putih ini, ketjuali dandanannja agak berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanja mirip, semuanja

persis hingga seperti patung Dewi itu telah hidup kembali. Sungguh Toan Ki merasa dirinja se-akan2 didalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri telah dilihatnja pula. bukan lagi patung, tapi duplikatnja dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu dirinja sebenarnja berada dimana, dialam baka atau disorga? Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan pemuda itu jang aneh, sigadis berseru kaget djuga dan mengira sedang berhadapan dengan seorang gendeng, tjepat melangkah mundur dan menegur: ,,Engkau.........engkau........." Namun Toan Ki sudah lantas menjela sambil berbangkit: Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan menjembah dihadapan patung Entji Dewi, hal mana kuanggap sebagai sesuatu kurnia jang maha bahagia, tak terduga harini dengan mata kepala sendiri dapat melihat wadjah asli Entji Dewi, njata didunia ini memang benar2 terdapat bidadari dan bukanlah omong kosong belaka! ,,Apa......... apa jang dia maksudkan, Siau Si? Sia......Siapakah dia?" tanja sidjelita kepada Siau Si. Dia adalah sipeladjar tolol jang dibawa kemari oleh A Tju dan A Pik itu," sahut Siau Si. Katanja ia pandai menanam berbagai matjam Teh-hoa. Hudjin mendjadi pertjaja kepada obrolannja dan suruh dia tanam bunga disini." Hai, sitolol, djadi pertjakapan kami tadi telah kau dengar semua, ja?" tanja sigadis kepada Toan Ki. Tjayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri Tayli dan bukanlah sitolol," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Pertjakapan Entji Dewi dengan entji Siau Si tadi memang telah kudengar dengan tidak sengadja. Tapi Entji Dewi boleh tidak usah kuatir, Tjayhe pasti takkan membotjorkannja barang sepatahpun dan tanggung entji Siau Si takkan didamperat oleh Hudjin. Tiba2 sigadis menarik muka, ia menjemprot: Siapa sudi mengaku2 Entji segala dengan engkau? Kau tidak mau dikatakan sebagai peladjar tolol, bilakah engkau pernah melihat diriku?" Habis, kalau aku tidak memanggil engkau Entji Dewi, lalu memanggil apa?" sahut Toan Ki. Aku she Ong, tjukup engkau memanggil Ong-kohnio sadja," udjar sigadis. Ong-kohnio! Ah, tidak, tidak bisa!" kata Toan Ki sambil meng-geleng2 kepala ketolol2an. ,,Nona she Ong didunia ini betapa banjaknja, barangkali ber-djuta2 djuga ada, sedangkan Entji Dewi setjantik bidadari, mana boleh hanja dipanggil sebagai 'Ong-kohnio' sadja? Akan tetapi panggilan apakah jang paling tepat. Wah, sukar djuga! Umpama panggillah engkau Ong-sian-tju (sidewi she Ong), rasanja terlalu umum dan kurang agung Misalnja menjebut engkau Man-to-kongtju (puteri bunga kamelia), rasanja djuga kurang tjotjok, banjak terdapat puteri radja didunia ini. tapi siapakah jang dapat membandingi engkau?" Melihat pemuda itu berkomat-kamit tak keruan bitjaranja, semakin dipandang semakin ke-tolol2an kelakuannja, namun begitu jang diutjapkan itu toh melulu pudjian2 atas ketjantikan dirinja, maka betapapun sidjelita mendjadi geli2 girang. Katanja kemudian dengan tersenjum: Rupanja nasibmu masih baik djuga, maka ibuku tidak potong kedua kakimu."

Wadjah ibumu serupa tjantiknja seperti Entji Dewi, hanja tabiatnja jang luar biasa anehnja, sedikit2 suka membunuh orang, rasanja mendjadi kurang sesuai dengan bangunnja jang mirip dewi kajangan............" Mendadak sigadis mengkerut kening, katanja dengan kurang senang: Lekaslah kau pergi menanam bunga sadja dan djangan mengotjeh tak keruan disini, kami masih akan bitjarakan urusan penting lagi." Njata nada suaranja itu menganggap Toan Ki seperti tukang kebun benar2. Namun Toan Ki tidak ambil pusing djuga, jang dia harap hanja dapatlah bitjara lebih lama sedikit dengan sidjelita serta memandangnja beberapa kedjap lagi. Pikirnja: Untuk bisa memantjing dia bitjara dengan aku setjara sukarela sendiri, terpaksa harus mengadjak bitjara padanja mengenai diri Bujung-kongtju, ketjuali itu, segala apa tentu takkan menarik perhatiannja lagi." Maka segera Toan Ki berkata: Para kesatria dari segala pelosok saat ini sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh dari tokoh2 dan djago2 berbagai golongan dan aliran jang hadir disana sungguh tidak sedikit djumlahnja, sebaliknja Bujung-kongtju hanja seorang diri kalau setjara gegabah ia berani menempuh bahaja kesana, rasanja tidaklah menguntungkan baginja." Benar djuga badan sigadis tergetar oleh karena tjerita Toan Ki itu. Tapi Toan Ki pura2 tidak tahu dan tidak berani memandang wadjah sigadis. Hanja dalam hati diam2 ia mengomel: Perhatiannja kepada sibotjah Bujung Hok itu benar2 lain dari pada jang lain. Kalau aku memandang wadjahnja, mungkin aku sendiri akan menangis saking irinja." Ia lihat badju sutera sigadis jang pandjang itu tiada hentinja bergemetar, suatu tanda betapa hebat guntjangan perasaannja. Kemudian terdengarlah suara sigadis jang merdu melebihi seruling itu lagi bertanja: Tentang keadaan di Siau-lim-si itu apakah engkau tahu? Le.........lekaslah katakan padaku." Mendengar permohonan sigadis jang lemah-lembut itu, karena tidak tega, hampir2 Toan Ki terus mentjeritakan apa jang diketahuinja. Tapi segera terpikir olehnja: Ah, djangan kutjeritakan sekarang. Kalau selesai kukatakan, sebentar aku tentu akan didesak pergi menanam bunga pula, dan untuk mengadjaknja bitjara lagi kelak pasti tidak mudah. Maka sekarang aku harus putar lidah sebisanja, tjerita pendek kubikin pandjang urusan ketjil sengadja aku besar2kan, setiap hari aku hanja katakan sedikit, sedapat mungkin akan kutarik se-pandjang2nja, agar setiap hari ia mesti mentjari dan mengadjak bitjara padaku, kalau mentjari aku tidak ketemu, biar dia kelabakan seperti orang gatal tapi tak bisa menggaruk." Setelah ambil keputusan demikian, ia berdehem sekali, lalu berkata: Sebenarnja aku sendiri tidak paham ilmu silat, sedjuruspun tidak bisa, biarpun djurus2 jang sederhana seperti 'Kim-khe-tok-lip' (ajam emas berdiri dengan kaki tunggal) atau Hek-hou-thau-sim' (harimau kumbang mentjuri hati) segala, sama sekali aku tidak paham. Tapi dirumahku ada seorang sobat baikku bernama Tju Tan-sin berdjuluk Pit-hi-sing' (sisastrawan ahli tulis). Djangan kau kira dia tjuma seorang peladjar jang ke-tolol2an dan lemah seperti aku, tapi ilmu silatnja, wah, lihay sekali! Satu kali aku pernah menjaksikan dia melempit kipasnja dan diputar balik, plak. gagang kipasnja tepat menutuk sekali dibahu seorang lawannja, kontan lawannja terus roboh meringkuk bagai tjatjing dan tidak berkutik pula."

O, itu adalah ilmu Tiam-hiat dari ,,Tjing-liang-sian-hoat' djurus ke-38 jang disebut 'Tau-kut-sian' (tutukan kipas penembus tulang), tangkai kipas dipegang terbalik dan menutuk dengan miring," demikan kata sigadis. Rupanja Tju-siansing itu adalah orang tjabang Kun-lun-pay, mungkin adalah anak murid Sam-in-koan. Ilmu silat dari golongan ini mengutamakan memakai sendjata Pit (pensil Tionghoa) dan lebih lihay daripada memakai sendjata kipas." Sebenarnja kalau uraian sigadis barusan ini didengar oleh Tju Tan-sin sendiri atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan Tjing-sun, tentu mereka akan terkedjut mengapa gadis jang masih muda belia itu sudah begitu luas pengetahuannja dalam hal berbagai ilmu silat dari tjabang2 lain. Bahkan hanja mendengar tjerita Toan Ki sekadarnja sadja ia sudah dapat mengatakan dengan tepat tentang asal-usul aliran ilmu silat Tju Tan-sin. Pabila Toan Ki paham ilmu silat dan menjiarkan kepandaian sigadis itu, maka pastilah orang Kangouw akan mendjadi geger oleh peristiwa luar biasa ini. Namun kini tjara uraian sinona djelita itu hanja sepintas lalu sadja se-akan2 membitjarakan sesuatu jang umum. Sebaliknja Toan Ki djuga mendengarkan uraian sigadis itu dengan tawar sadja. Kemudian bagaimana?" demikian sigadis menanja pula. Kemudian? Wah, tjeritanja terlalu pandjang, marilah silahkan Siotjia berduduk kesana, nanti akan kutjeritakan lebih djelas," demikian Toan Ki sengadja mengulur dan menundjuk kesatu bangku batu dibawah pohon bambusana . Namun sigadis mendjadi kurang senang, sahutnja: Kenapa engkau suka ber-tele2 begini dan tidak tjeritakan sadja tjepat2? Aku tiada waktu untuk mendengarkan otjehanmu lagi!" Djika harini Siotjia tiada waktu, besok datang lagi djuga boleh, dan kalau besok tiada tempo, lusa masih dapat mentjari aku lagi, asal sadja Hudjin tidak memotong lidahku, tentu aku masih dapat bertjerita, apa jang Siotjia ingin mendengar, tentu aku akan tjeritakan se-djelas2nja." Sigadis membanting kakinja sekali dan tidak gubris pada Toan Ki pula, ia terus berpaling dan menanja Siau Si: Lalu Hudjin berkata apa lagi?" Semula Hudjin mestinja akan pergi mentjari Kongya-hudjin untuk diadjak main tjatur," kata Siau Si. Tapi demi mendengar Bujung-kongtju telah pergi ke Siau-lim-si, ditengah djalan beliau lantas suruh putar haluan kapal untuk kembali." Sebab apa?" tanja sigadis. Tapi sebelum Siau Si mendjawab, ia sudah menggumam sendiri: ,,Ja, tahulah aku, tentu ibu kuatir dimintai bantuan oleh Kongya-hudjin, maka ia pikir lebih baik pura2 tidak tahu sadja." Siotjia," kata Siau Si kemudian, mungkin Hudjin akan mentjari aku, hamba ingin mohon diri sadja." Sigadis mengangguk. Dan sesudah Siau Si pergi, pelahan2 ia mendekati bangku batu jang ditundjuk Toan Ki tadi dan berduduk, namun Toan Ki tak disuruhnja berduduk, dengan sendirinja pemuda itupun tidak berani sembarangan berduduk disamping sidjelita. Melihat sidjelita berduduk menjanding bunga kamelia putih jang djaraknja

tidak djauh, bunganja indah dan gadisnja tjantik, sungguh suatu paduan jang sangat serasi. Tanpa merasa Toan Ki berkata dengan gegetun: Dahulu Li Thay-pek suka membandingkan ketjantikan Njo Kui-hui dengan bunga Botan (peony), tapi bila dia beruntung dapat melihat Siotjia sekarang, tentu dia akan tahu betapa indahnja bunga, namun benda jang mati mana dapat membandingi sitjantik jang hidup." Terus-menerus engkau memudji ketjantikanku, padahal aku sendiripun tidak tahu apakah diriku betul2 tjantik atau tidak?" kata gadis. Toan Ki mendjadi heran, katanja: Sungguh aneh, nona tidak tahu akan ketjantikannja sendiri? Apa barangkali engkau sudah terlalu banjak mendengar pudjian serupa, maka sudah bosan rasanja?" Sigadis menggeleng kepala pelahan, sinar matanja mengundjuk rasa jang penuh kekosongan hati, sahutnja: Selamanja tiada seorangpun jang berkata kepadaku apakah aku ini tjantik atau tidak. Ditengah Man-to-san-tjheng sini, ketjuali ibuku, selebihnja adalah pelajan dan kaum hamba lainnja. Mereka tjuma tahu aku adalah Siotjia, siapa peduli apakah aku tjantik atau tidak?" Lalu bagaimana dengan pendapat orang luar?" tanja Toan Ki. Orang luar apa maksudmu?" sigadis menegas. Umpamanja engkau keluar dan orang lain tentu akan melihat ketjantikanmu sebagai bidadari, masakah merekapun tidak berkata apa2?" Selamanja aku tidak perlu keluar, untuk apa aku mesti keluar? Bahkan ibu djuga melarang aku membatja ke Lang-goan-kok, bila menumpang kapal. semua daun djendela kapalpun ditutup rapat." Lang-goan-kok? Djadi benar2 ada suatu tempat bernama demikian? Apa sangat banjak kitab2 jang tersimpan disana?" Tidak terlalu banjak, tjuma kira2 tiga-empat kamar banjaknja." Apakah dia djuga............... djuga tidak pernah mengatakan ketjantikanmu?" tiba2 Toan Ki menanja. Mendengar Toan Ki menjinggung Bujung-kongtju. gadis itu menunduk dengan sedih, tiba2 tampak dua tetes air mata menggelinding djatuh dari kelopak mata sigadis. Toan Ki tertjengang sedjenak, ia tidak berani menanja lagi, tapi djuga tidak tahu tjara bagaimana harus menghibur sigadis. Selang agak lama, kemudian barulah sigadis buka suara dengan pelahan: Dia djusteru selalu..........selalu sibuk, setiap hari, setiap tahun selalu sibuk sadja tiada waktu senggang sedjenakpun. Bila dia berada bersama dengan aku, kalau bukan membitjarakan ilmu silat tentu merundingkan urusan rumah tangga. Aku..... aku djusteru bentji pada ilmu silat." Tjotjok!" seru Toan Ki mendadak. Aku djuga bentji pada ilmu silat! Ajah dan pamanku selalu suruh aku beladjar silat tapi aku tidak mau, aku lebih suka minggat dari rumah." Tapi agar aku bisa sering berdjumpa dengan dia, biarpun dalam hati tidak suka, aku tetap tekun mempeladjarinja, bila ada diantaranja dia kurang paham, aku pasti memberi petundjuk padanja. Dia suka pada tjerita2 kuno tentang

bunuh-membunuh diantara radja satu dan radja jang lain, terpaksa akupun mesti membatja untuk mentjeritakan kembali padanja". Aneh, mengapa engkau jang mentjeritakan padanja? Apa dia sendiri tidak dapat membatja?" tanja Toan Ki. Gadis itu melototi Toan Ki sekali, katanja: Memangnja apa kau sangka dia buta huruf?" O, tidak, tidak!" sahut Toan Ki tjepat. Biarlah kukatakan sadja dia adalah orang paling baik didunia ini, nah puas?" Sigadis tersenjum, katanja pula: Ia adalah aku punja Piauko (kaka misan), tempat kami ini ketjuali Kuku dan Kubo (paman dan bibi saudara ibu) serta Piauko, selamanja tiada orang datang kemari. Tapi sedjak ibuku berselisih paham dengan Kuku, ibupun melarang Piauko datang kesini. Maka akupun tidak tahu apakah dia orang jang paling baik didunia ini atau bukan. Habis orang djahat atau orang baik didunia ini tiada seorangpun jang pernah kulihat." berkata sampai achirnja, sigadis mendjadi terharu dan mata merah memberambang. Ehm, djadi ibumu adalah adik Kukumu dan ia..................... ia adalah putera Kukumu," demikian Toan Ki mengulangi Huh engkau benar2 ke-tolo!2an," omel sigadis dengan tertawa. Memangnja Kuku adalah kaka ibuku dan aku adalah puteri ibuku, dia adalah Piaukoku." Toan Ki mendjadi senang melihat sigadis dapat dipantjing tertawa, segera katanja: ,.Ah, tahulah aku sekarang. Tentu karena Piaukomu sangat sibuk dan tiada waktu buat membatja, maka engkaulah jang mewakilinja membatja." Boleh djuga dikatakan begitu," sahut sigadis dengan tertawa Tetapi masih ada satu sebab lainnja. Ingin kutanja padamu, djago2 aliran manakah jang sedang mengadakan Eng-hiong-tay-hwe apa segala di Siau-lim-si?" Toan Ki tidak mendjawab sebab ia sedang kesemsem kepada bulu mata sigadis jang pandjang hitam dengan setitik air matanja laksana embun dipagi hari itu. Melihat pemuda itu tidak menjahut, sigadis lantas mendjawil pelahan dipunggung tangan Toan Ki dan menegur: ,,Hai, kenapakah engkau?" Tubuh Toan Ki se-akan2 terkena aliran listrik, ia melontjat kaget dan berseru: "Haja!" Karena tidak men-duga2, sigadis ikut kaget djuga oleh kelakuan Toan Ki jang lutju itu. Adaapa?" tanjanja segera. Dengan muka merah Toan Ki mendjawab: Djarimu menjentuh tanganku, Hiat-toku mendjadi seperti kena tertutuk olehmu." Mata sigadis terbelalak lebar, ia tidak tahu pemuda itu sedang bergurau, maka katanja dengan sungguh2: Dipunggung tangan tiada terdapat Hiat-to, jang ada tjuma ditelapak tangan, disini......" ~ Sambil berkata ia terus angkat tangannja sendiri untuk memberi tjontoh. Melihat djari2 tangan sigadis jang putih halus dan lantjip itu, seketika Toan Ki ter-longong2. Achirnja dengan tergagap2 ia menanja: No............

nona, Siapakah............ Siapakah nama mu?" Kelakuanmu benar2 aneh," omel sigadis dengan tersenjum. Tapi baiklah, tiada halangannja kukatakan padamu" Lalu ia menggores2 dengan djari diatas punggung tangan sendiri untuk menulis tiga huruf "Ong Giok-yan". Toan Ki rada tertjengang oleh nama orang, pikirnja: Gadis setjantik ini mengapa pakai nama jang begitu umum? Pantasnja ia harus mempunjai nama jang romantis dan puitis." Tapi sesudah dipikir pula. Toan Ki ketok2 djidatnja sendiri dan berseru: ,Ja, bagus, bagus sekali namamu ini! Memangnja engkau mirip seekor burung Yan (lajang2) jang sutji murni dan terbang bebas diangkasa!" Nama setiap orang memang suka jang lebih enak didengar dan bermakna jang baik pula, banjak djuga pendjahat2 dan pengchianat2 jang bernama bagus, sebaliknja perbuatannja tidak dapat dipudji. Engkau sendiri bernama Toan Ki, apa engkau punja Beng-ki (nama baik) telah benar2 baik? Haha, mungkin agak sedikit." Sedikit dogol bukan?" sambung Toan Ki. Maka tertawalah keduanja dengan terbahak2. Sebenarnja wadjah Ong Giok-yan senantiasa dirundung rasa murung, tapi kini ia benar2 merasa senang dengan muka terang ber-seri2. Diam2 Toan Ki gegetun: Tjoba bila selama hidup aku dapat membuat engkau selalu tertawa, rasanja hidupku ini takkan mengharapkan apa2 lagi." Tak terduga kegembiraan Ong Giok-yan itu hanja terdjadi dalam waktu singkat sadja, kembali sorot matanja tampak saju menanggung sesuatu pikiran. Katanja dengan pelahan2: Dia... dia selalu bersikap sungguh2 dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai, Yan Kok, selalu Yan Kok, apa benar begitu pentingnja bagimu?" Sebagai seorang sastrawan jang banjak membatja kitab2 kuno, demi mendengar kata2 Yan Kok" itu, seketika beberapa istilah jang pernah didengarnja paling achir ini sekaligus teringat olehnja dan dirangkainja mendjadi satu: Bujung-si, Yan-tju-oh, Som-hap-tjeng, Yan Kok............... Tanpa terasa lantas sadja tertjetus kata2 dari mulutnja: ,,He djadi Bujung-kongtju ini adalah keturunan Bujung-si dari suku Sianbi pada djaman Ngo-oh-loan-hoa? Apa dia adalah orang asing dan bukan bangsa Tionghoa?" *) *) Ngo-oh-loan-hoa Lima suku bangsa asing mengatjau Tiongkok (tahun 304-430) pada djaman dinasti Chia. Jaitu suku2 bangsa Hun, Sianbi, Chieh, Chi dan Chiang. Sianbi = Diduga berasal dari kata Siber (Siberia), djadi rumpun bangsa Siberid. Ja, dia memang anak tjutju keturunan Bujung-si dari Yan Kok (negeri Yan) pada djaman Ngo-oh. Tapi sudah beratus tahunnja, mengapa dia masih tidak melupakan peristiwa leluhurnja? Dia tidak suka mendjadi orang Tionghoa tapi lebih suka mendjadi orang Oh (asing), bahkan tulisan Tionghoa takmau dipeladjari dan kitab Tionghoa takmau dibawanja. Pernah satu kali aku minta dia menulis bahasa Tionghoa dan dia lantas marah2" ~ Berbitjara tentang Bujung-kongtju, rupanja Ong Giok-yan mendjadi begitu kesemsem, ia memandang djauh kedepan, lalu tuturnja pula dengan penuh nada rindu: Ia lebih tua sepuluh tahun dariku, selamanja pandang aku sebagai adiknja jang masih ketjil, ia sangka aku tjuma tahu membatja dan beladjar silat, hal2 lain tidak paham.

Padahal kalau bukan untuk dia, aku benar2 tidak sudi beladjar permainan begituan, aku lebih suka piara ajam, tulis menulis atau petik khim." Masakah ia sama............ sama sekali tidak tahu engkau begitu baik kepadanja?" tanja Toan Ki dengan suara tak lampias. Sudah tentu ia tahu, makanja iapun sangat baik padaku." sahut Giok-yan. ,,Tapi kebaikannja padaku hanja............ hanja kebaikan seperti saudara sekandung dan tidak lebih dari itu. Selamanja ja tidak pernah katakan padaku bagaimana perasaannja dan selamanja tidak pernah pula menanjakan bagaimana isi hatiku." berkata sampai disini, pipi sigadis mendjadi bersemu merah hingga makin menambah ketjantikannja jang menggiurkan. Sebenarnja Toan Ki ingin berkelakar untuk menanja sigadis apa isi hatinja, tapi kuatir disemprot pula, ia mendjadi urung, hanja tanja dengan tersenjum: Engkau toh dapat menolak untuk bitjara tentang ilmu silat dan membatja padanja.Pula engkau toh dapat mengutarakan perasaanmu dengan berpantun atau bersjair?" Ia maksudkan sigadis mestinja toh dapat memantjing perasaan tjinta Bujung-kongtju dengan pantun2 dan sjair pertjintaan. Tapi selesai diutjapkan, ia mendjadi menjesal telah kelandjur omong. Pikirnja: Wah, kenapa aku begini goblok mengadjar demikian padanja?" Sebaliknja Giok-yan mendjadi malu mendengar adjaran Toan Ki itu, tjepat sahutnja: Mana............ mana boleh begitu? Aku adalah anak gadis jang pegang aturan, mana boleh aku dipandang hina oleh Piauko karena kelakuanku itu?" Ja, ja. benar! Aku jang salah omong!" sahut Toan Ki. Diam2 iapun memaki dirinja sendiri mengapa mengadjarkan seorang gadis sutji murni untuk berbuat hal2 jang menjeleweng? Selamanja Giok-yan tidak pernah mengutamakan isi hatinja kepada siapapun. Tapi aneh, sesudah bertemu dengan Toan Ki jang bersifat bebas lepas, entah mengapa ia mendjadi menaruh kepertjajaan penuh dan mentjeritakan segala isi hatinja jang penuh manisnja madu itu. Padahal diam2 ia mentjintai dan merindukan sang Piauko, sudah tentu A Tju, A Pik. Siau Si, Siau Teh dan dajang2 lain sudah tahu semua, tjuma sadja mereka tidak berani mengatakan. Setelah Giok-yan mengutarakan isi hatinja, rasa masgulnja mendjadi sedikit hilang, katanja kemudian: Sudah sekian banjak aku mengobrol padamu, tapi belum lagi kita berbitjara tentang persoalan pokoknja. Tjoba katakanlah, djago2 darimana sadja jang sudah berkumpul di Siau-lim-si dan mengapa mereka hendak melabrak Piaukoku?" Ketua Siau-sim-si bergelar Hian-tju Taysu, beliau mempunjai Seorang Sute jang bergelar Hian-pi Taysu," tutur Toan Ki Hian-pi Taysu itu paling mahir ilmu 'Kim-kong-tju' (gada badju raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu itu telah kena dibunuh orang dan tjara musuh membinasakannja itu djusteru menggunakan ilmu 'Kim-kong-tju' jang paling diandalkan oleh Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan mereka, tjara membunuh orang demikian itu adalah tjiri perbuatan Bujung-si dari Koh-soh jang disebut 'Ih-pi-tji-to, hoan-pi-tji-sin' (gunakan tjaranja untuk dipakai atas dirinja). Sebab itulah Siau-lim-pay bertekad hendak membalas dendam kepada Bujung-si. Tjuma ilmu silat Bujung-si teramat lihay, mereka kuatir susah melawan, maka mengundang banjak kawan2 lain untuk berunding tjara bagaimana menghadapi musuh."

Masuk diakal djuga tjeritamu ini." udjar Giok-yan. Lalu ada siapa lagi ketjuali tokoh2 Siau-lim-pay?" Masih ada seorang jang bernama Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, katanja djuga tewas dibawah ilmu rujung andalannja sendiri jang disebut 'Leng-tjoa-siam-keng' (ular sakti melilit leher), maka Sute dan muridnja djuga ingin menuntut balas pada Bujung-si. Ketjuali itu, masih ........... masih banjak lagi jang aku tidak kenal." Sudah tentu ia tidak berani mengatakan bahwa Toan-si mereka dari Tayli djuga ikut tjampur dalam urusan itu. Aku kenal tabiat Piauko, bila dia tahu ada orang begitu banjak akan memusuhinja, tanpa menunggu orang datang padanja, lebih dulu ia sudah lantas pergi kesana." kata Giok-yan. Tjuma, belum tentu ia dapat memahami ilmu silat dari aliran2 sebanjak itu. Apalagi mereka berdjumlah banjak, bila mengerubut serentak, tentu akan susah dilawan." Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara orang berlari mendatang!, kiranja adalah Siau Si dan Yu Tjhau. Dengan kuatir Yu Tjhau lantas berseru: Wah, tjelaka Siotjia! Hudjin telah memerintahkan agar A Tju dan A Pik......" berkata sampai disini mulut Yu Tjhau serasa tersumbat dan tidak sanggup meneruskan lagi. Maka tjepat Siau Si menjambung: Mereka hendak dipotong kaki dan tangannja sebagai hukuman kesalahan mereka berani datang ke Man-to-san-tjheng ini. Siotjia, bag.........bagaimana baiknja ini?" Wah, djika begitu, engkau harus lekas mentjari akal untuk menolong mereka, nona Ong!" seru Toan Ki ikut kuatir. Giok-yan djuga sangat kuatir, katanja: A Tju dan A Pik adalah pelajan pribadi Piauko, kalau mereka dibikin tjatjat, bagaimana aku harus bitjara dengan Piauko. Mereka berada dimana Yu Tjhau?" Mendengar Siotjia mereka ada maksud menolong A Tju dan A Pik, segera Yu Tjhau menjahut: Hudjin memerintahkan menggusur mereka ke 'Hoa-pui-pang' (kamar rabuk bunga). Aku telah mohon kepada nenek galak disana itu agar menunda hukuman setengah djam lagi, maka sekarang djuga Siotjia pergi minta ampun kepada Hudjin mungkin masih keburu. Walaupun Giok-yan tidak berani jakin usahanja akan berhasil, tapi toh tiada djalan lain, terpaksa ia mengangguk, segera ia bertindak pergi bersama Yu Tjhau dan Siau Si. Tinggal Toan Ki jang berdiri kesima ditempatnja sambil memandangi bajangan sigadis jang menghilang dibalik semak2 bungasana . Ketika Giok-yan sampai dikamar sang ibu, ia lihat ibunja sudah berduduk sila, didepannja dupa mengepul ditengah Hiolo, terang ibunda sedang akan bersemadi. Ia tahu bila ibunda sudah mulai semadi, betapapun besarnja urusan djuga tidak dapat mengganggunja. Maka tjepat ia berdatang sembah: Mak, ada sedikit urusan ingin kubitjarakan." Pelahan2 Ong-hudjin membuka matanja, dengan wadjah kereng ia menanja: Urusan apa? Kalau ada sangkut-pautnja dengan keluarga Bujung, aku tidak ingin mendengarkan." Mak. A Tju dan A Pik toh tidak sengadja datang kesini, maka sukalah engkau

mengampuni mereka.' pinta sigadis. Darimana kau tahu mereka tidak sengadja?" tanja Ong-hudjin. Hm, tentu kau kuatir Piaukomu takkan gubris padamu lagi bila aku memotong kaki-tangan mereka, bukan?" Dengan mengembeng air mata Giok-yan mendjawab: Piauko toh terhitung keponakanmu sendiri, mengapa......mengapa ibu mesti membentjinja sedemikian rupa? Andalkan Kaku berbuat salah padamu, tidak perlu djuga Piauko jang engkau bentji. Dengan berani Giok-yan sekaligus mengutjapkan kata2nja itu, Tapi segera ia berdebar2 takut mengapa dirinja berani kurangadjar membantah kepada sang ibu. Sinar mata Ong-hudjin menjorot sekilas bagai kilat dimuka puterinja itu, untuk sedjenak ia tidak bitjara lagi dan matanja lantas dipedjamkan pula. Dengan menahan napas Giok-yan berdiri terpaku disitu, ia tidak tahu apa jang sedang dipikirkan ibundanja. Selang agak lama barulah Ong-hudjin membuka matanja pula dan berkata: Kau mengetahui Kuku berbuat salah padaku? Dimana letak kesalahannja? Tjoba katakan!" Mendengar pertanjaan jang bernada tadjam dan dingin itu, seketika Giok-yan mendjadi bungkam dan takut. Tjobalah katakan. Toh usiamu sekarang sudah dewasa, boleh tak usah menurut kataku lagi," demikian Ong-hudjin. Tak tertahan lagi air mata Giok-yan ber-linang2, sahutnja dengan penasaran dan takut pula: Mak, engkau......sedemikian bentji kepada Kuku, dengan sendirinja disebabkan Kuku berdosa padamu. Akan tetapi apa kesalahannja, selamanja ibu tidak mengatakan padaku." Kau pernah mendengar dari orang lain tidak?" tanja Ong-hudjin dengan suara bengis. Tidak," sahut Giok-yan sambil menggeleng kepala. Selamanja ibu melarang aku keluar Man-to-san-tjheng ini, orang luar djuga dilarang masuk kemari, dari siapa aku dapat mendengar?" Ong-hudjin menghela napas lega pelahan, nada suaranja sekarang djuga lebih halus, katanja: Semuanja itu adalah demi kebaikanmu. Orang djahat didunia ini terlalu banjak, dibunuh djuga tidak bisa habis. Usiamu masih muda, seorang gadis lebih baik djangan bertemu dengan orang djahat," Ia merandek sedjenak, tiba2 teringat sesuatu olehnja, segera ia menjambung: Seperti situkang kebun she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar lidah, pastilah bukan seorang baik2. Maka kalau dia berani omong sepatah sadja padamu, seketika kau membunuhnja, djangan membiarkan dia omong jang kedua kalinja." Giok-yan terdiam, ia pikir: Djangankan tjuma sepatah-dua-kata, sekalipun seratus patah duaratus kata djuga sudah lebih." Melihat puterinja diam sadja, Ong-hudjin menegur: Kenapa kau? Apa kau tidak tega? Gadis berhati lemas seperti kau ini, selama hidupmu entah bakal mengalami betapa banjak diperdaja orang." Lalu ia tepuk tangan dua kali dan Siau Si segera tampak masuk. Ong-hudjin berkata padanja: Sampaikan perintahku bahwa siapapun dilarang bitjara dengan orang she Toan itu. Siapa

jang melanggar, lidah keduanja akan diiris semua." Siau Si mengia dengan wadjah kaku tanpa perasaan se-akan2 apa jang dikatakan Ong-hudjin adalah sesuatu hal jang sudah biasa mirip orang memotong babi atau menjembelih ajam sadja lalu iapun mengundurkan diri. Nah, pergilah kau!" kata Ong-hudjin kemudian sambil memberi tanda kepada Giok-yan. Sigadis mengia. Tapi sampai diambang pintu, ia berhenti dan menoleh, katanja: Mak, engkau mengampuni A Tju dan A Pik sadja dan peringatkan mereka lain kali djangan berani lagi datang kemari." Apa jang sudah kukatakan kapan pernah kutarik kembali? Pertjumalah meski kau banjak bitjara pula," sahut Ong-hudjin. Tiba2 Giok-yan meng-gigit2 gigi dan berkata dengan pelahan: Kutahu sebab apa ibu bentji pada Kuku dan mengapa pula bentji pada Piauko." Habis berkata, ia terus putar tubuh dan bertindak keluar. Kembali!" bentak Ong-hudjin mendadak. Giok-yan tidak berani membangkang, dengan kepala menunduk ia masuk kembali kedalam kamar. Sambil memandangi tubuh puterinja jang agak gemetar itu, Ong-hudjin bertanja: Apa jang kau ketahui. Yan-dji? Tjoba katakanlah terus terang, tidak perlu kau membohongi aku." Kutahu...kutahu ibu menjesalkan Kuku tidak betjus dan gemas pada Piauko jang kurang giat melatih silat sehingga tidak dapat mengembangkan 'Bujung-tjong' jang tiada tandingannja didunia ini." demikian sahut Giok-yan dengan menggigit bibir. Ong-hudjin mendjengek sekali, katanja: Hm. anak ketjil tahu apa? Ibumu sudah lama tidak she Bujung lagi, tahu? Peduli apa 'Bujung-tjong' dapat mendjagoi dunia atau tidak, aku tidak pusing lagi." Kutahu ibu menjesal bukan orang lelaki hingga tidak dapat membangun kembali 'Bujung-tjong', makanja ibu menjalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun beladjar silat, tapi tjuma men-tjita2kan pembangkitan kembali negeri Yan". Siapa jang berkata demikian padamu?" tanja Ong-hudjin dengan kereng. Tak usah orang mengatakan djuga anak dapat membade", sahut Giok-yan. Hm, tentu Piaukomu jang katakan padamu, bukan?" Giok-yan tidak berdusta kepada sang ibu, tapi djuga tidak mengakui pertanjaan itu. Ia hanja bungkam sadja. Maka Ong-hudjin berkata pula: Usia Piaukomu lebih tua 10 tahun darimu, tapi tidak beladjar jang baik, setiap hari hanja gentajangan kian kemari entah apa jang dikerdjakan hingga ilmu silatnja masih djauh dibawahmu. Sungguh bikin malu nama baik Bujung-si sadja. Selama ratusan tahun ini betapa tenar nama kebesaran 'Koh-soh Bujung-si', akan tetapi bagaimana dengan ilmu silat Piaukomu itu? Apa dia sesuai menjebut dirinja keturunan Bujung-si?"

Dengan wadjah sebentar merah sebentar putjat Giok-yan mendengarkan utjapan ibunja jang ada benarnja djuga itu. Seketika ia mendjadi tidak dapat mendjawab. Lalu Ong-hudjin meneruskan: Sekarang katanja dia telah pergi Siau-lim-si, tentulah budak2 jang tjeriwis itu buru2 datang memberitahu kepadamu. Hm, dia berani pergi ke Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah tertawaan orang disana? Bahkan aku akan berterima kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak pertjaja seorang kerotjo begitu adalah anak tjutju Bujung-si dari Koh soh. Lebih bagus lagi djika djiwanja akan melajang sekalian hingga asal-usulnja pun susah diusut." Mak." kata Giok-yan tiba2 sambil melangkah madju, harap engkau pergilah menolongnja. Betapapun Piauko adalah satu2nja keturunan keluarga Bujung. Pabila terdjadi apa2 atas dirinja, musnalah selandjutnja keturunan Bujung-si dari Koh-soh' . Hm, musna? Mereka tidak pikirkan diriku, buat apa aku mesti memikirkan mereka? Sudahlah pergisana , pergi!" Mak. Piauko toh............" Namun Ong-hudjin lantas membentaknja dengan bengis: Makin lama kau semakin berani ja?" Dengan tjemas dan mengembeng air mata, terpaksa Giok-yan bertindak keluar dengan kepala menunduk. Hatinja bingung dan tak berdaja. Sampai diserambi baratsana , tiba2 didengarnja teguran seorang dengan suara tertahan: Bagaimana hasilnja, nona?" Waktu Giok-yan mendongak, kiranja adalah Toan Ki. Tjepat ia menjahut: Engkau djang............ djangan bitjara lagi dengan aku." Kiranja sesudah ditinggal pergi Giok-yan tadi. Toan Ki mendjadi seperti kehilangan sesuatu. Dengan tanpa sadar kemudian ia mengikutinja dan menunggu dari djauh. Begitu melihat sigadis sudah keluar dari kamar Ong-hudjin, segera ia memapaknja dan menanja. Melihat wadjah Giok-yan mengundjuk sedih dan putus asa, ia tahu permintaannja tentu telah ditolak Ong-hudjin. Maka katanja segera: Seumpama ibumu tidak mau mengabulkan permintaan nona, toh kita harus mentjari akal lain." Hlm 57. Gambar KetikaGiok-yan berdjalan sampai diserambi belakang dengan rasa tjemas dan bingung, tiba2 ia ditegur oleh seseorang jang ternjata Toan Ki adanja. Tjepat Giok-yan berkata: Djangan.... djangan engkau mengadjak bitjara padaku lagi!" Kalau ibu sudah menolak permohonanku, akal apa jang dapat kau pakai ?" sahut sigadis. "Piauko lagi terantjam bahaja, tapi dia..... dia tega membiarkannja." Dan saking terharunja, air matanja hampir2 menetes.

O, kiranja Bujung-kongtju sedang terantjam bahaja ......" tiba2 Toan Ki teringat sesuatu, tjepat ia menjambung pula : He, ilmu silatmu toh lebih tinggi dari Piaukomu, kenapa engkau sendiri tidak pergi menolongnja?" Kedua mata sigadis terbelalak lebar heran se-akan2 tiada sesuatu utjapan lain didunia ini jang lebih aneh daripada utjapan Toan Ki itu. Selang agak lama barulah ia berkata : "Tjara bagaimana aku ..... aku bisa pergi ? Ibu lebih2 tidak mungkin mengidjinkan." Sudah tentu ibumu takkan mengidjinkan, namun engkau sendiri toh dapat pergi setjara diam2 ?" udjar Toan Ki dengan tersenjum. "Aku sendiri sudah pernah minggat dari rumah, kemudian waktu aku pulang, ajah dan ibu djuga tjuma mengomel sadja padaku." Mendengar uraian itu, seketika Giok-yan se-akan2 orang bodoh jang mendadak mendjadi pintar. Katanja dalam hati: "Benar, mengapa aku tidak pergi setjara diam2 untuk menolong Piauko, andaikan nanti ibu mendamperat aku, toh nasi djuga sudah mendjadi bubur, Piauko sudah dapat kuselamatkan. Orang ini mengatakan pernah minggat dari rumahnja, ja, mengapa aku sendiri tidak pernah memikirkan hal itu ?" Melihat sigadis ragu2, segera Toan Ki menghasut lebih landjut: Orang hidup seperti engkau sebenarnja akan merasa bosan djuga. Apakah engkau akan tinggal ditengah Man-to-san-tjheng ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi melihat dunia luar jang indah permai itu ?" "Apanja jang indah?" sahut Giok-yan menggeleng kepala. "Jang kupikirkan hanja untuk membantu Piauko sadja karena dia sedang menghadapi bahaja Namun aku sendiri belum pernah melangkah keluar rumah, dimana letak Sian-lim-si djuga aku tidak tahu." Tanpa diminta lagi segera Toan Ki mengadjukan diri sebagai 'Sukarelawan', katanja tjepat: Aku akan membawa engkau kesana, segala apa ditengah djalan biarlah aku jang menguruskan bagimu." Namun Giok-yan masih ragu2. Maka Toan Ki bertanja pula: Dan bagaimana dengan A Tju dan A Pik ?" Ibu djuga tidak mau mengampuni mereka," sahut sigadis. Sekali berbuat, djangan tanggung2 lagi. Pabila A Tju dan A Pik dikutungi kakitangan mereka, tentu Piaukomu akan menjalahkan engkau. Marilah kita pergi menolong mereka sekalian dan kita berempat lantas minggat bersama!" Giok-yan melelet lidah, katanja kuatir: "Perbuatan durhaka seperti ini tentu takkan diampuni ibuku. Njalimu ini benar2 setinggi langit." Toan Ki tahu sigadis susah dibudjuk ketjuali memperalat Piauko jang ditjintainja itu. Maka ia sengadja berkata : "Djika demikian, marilah kita berdua sadja sekarang lantas berangkat, biarlah A Tju dan A Pik dibikin tjatjat oleh ibumu. Kelak bila engkau ditanja Piaukomu, djawablah engkau tidak tahu dan akupun tidak akan membotjorkan rahasiamu ini." Mana boleh djadi," sahut Giok-yan. Dengan demikian, berarti aku mendustai Piauko bukan?" ~ Tapi sesudah memikir sedjenak, achirnja ia mengambil keputusan, katanja tiba2: Marilah ikut padaku!"

Melihat sigadis telah berdjalan kearah barat setjepat terbang, buru2 Toan Ki ikut berlari menjusulnja. Tidak lama Giok-yan telah sampai didepan sebuah rumah batu. Dari luar gadis itu terus berseru: Peng-mama (ibu Peng), marilah keluar, aku ingin bitjara padamu." Maka terdengarlah suara orang ketawa ter-kekeh2, lalu suara seorang berkata dengan serak: Nona baik, apakah engkau sengadja datang kemari untuk melihat Peng-mama membuat rabuk bunga?" Tadi waktu Toan Ki mendengar laporan Siau Si dan Yu Tjhau bahwa A Tju dan A Pik telah digusur ke Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak perhatikan tentang istilah itu. Tapi kini demi mendengar kata2 rabuk bunga" dan diutjapkan orang dengan suara seram itu, mendadak ia terperandjat dan berpikir: Hoa-pui-pang apa maksudnja? Apakah rabuk tanaman bunga? Haja, memang benarlah begitu! Ong-hudjin sangat kedjam, suka membunuh orang untuk didjadikan rabuk bunga kamelia. Wah, untung kedatangan kami tepat waktunja, kalau tidak, tentu kaki dan tangan kedua dajang itu sudah dipotong untuk didjadikan rabuk." Dalam pada itu Giok-yan sedang berkata lagi: Peng-mama, engkau dipanggil ibu, hendaklah engkau lekas kesana." Peng-mama sedang repot," sahut suara tadi dari dalam rumah. Adaurusan penting apakah hingga Hudjin menjuruh Siotjia memanggil kesini?" Kata Ibu .............." Giok-yan tidak meneruskan, tapi ia lantas melangkah masuk kedalam rumah batu itu. Segera terlihat olehnja A Tju dan A Pik telah diikat kentjang pada dua pilar besi, mulut mereka tersumbat, hanja air mata mereka sadja ber-linang2, tapi takdapat bersuara. Lega hati Toan Ki sesudah melongok kedalam rumah dan melihat keadaan A Tju dan A Pik masih baik2 tak kurang sesuatu apa. Tapi djantungnja kembali ber-debar2 pula ketika dilihatnja didalam rumah situ terdapat seorang nenek tua jang sudah bungkuk, rambut putih bagaikan perak, tangannja menghunus sebilah pisau djagal, disampingnja terdapat satu baskom air mendidih. Peng-mama." demikian Giok-yan berkata pula, ibu ingin tanja mereka tentang sesuatu hal penting, maka engkau disuruh melepaskan mereka." Ketika nenek itu menoleh, sekilas Toan Ki dapat melihat kedua siungnja jang kuning dan lantjip hingga mirip hantu jang menakutkan, tanpa merasa iapun bergidik. Ia dengar nenek itu sedang berkata: Baiklah, sesudah ditanja, kirim kembali lagi kesini untuk dipotong kaki dan tangan mereka." Lalu nenek itupun menggumam pula: Peng-mama selamanja paling tidak suka melihat anak dara jang tjantik, maka kedua budak ini harus ditabas tangan kakinja, supaja lebih menarik kalau dipandang." Toan Ki mendjadi gusar, ia pikir nenek ini tentu sangat djahat, entah sudah betapa banjak orang jang dibunuh olehnja. Sajang dirinja sendiri tidak punja tenaga, kalau tidak, ingin sekali ia dapat memberi persen beberapa kali tamparan pada nenek djahat itu. Siapa itu jang berada diluar?" mendadak Peng-mama menanja. Njata biarpun usianja sudah landjut, namun pendengarannja masih sangat tadjam. Suara napas

Toan Ki jang memburu karena menahan rasa gusar itu segera dapat didengarnja. Ketika ia melongok keluar dan melihat pemuda itu, seketika timbul rasa tjuriganja, tanjanja: Siapa kau?" Aku adalah tukang kebun jang disuruh menanam bunga oleh Hudjin," sahut Toan Ki dengan berlagak tertawa. Peng-mama, apakah sudah sedia rabuknja?" Tunggulah sebentar, tidak lama lagi tentu akan tersedia," sahut Peng-nama. Lalu ia berpaling kembali dan menanja Giok-yan: Siotjia, Bujung-siauya sangat sajang kepada kedua pelajannja ini bukan?" Dasar Giok-yan memang tidak biasa berdusta, maka djawabnja tanpa pikir: Ja. Makanja lebih baik djangan engkau melukainja." Dan saat ini Hudjin sedang bersemadi bukan, Siotjia?" tanja pula Peng-mama. Ja," sahut Giok-yan. Tapi segera ia tutup mulutnja sendiri ketika sadar telah salah omong. Diam2 Toan Ki mengeluh: Ai, Siotjia ini benar2 luar biasa, berdusta sedikitpun tidak bisa". Untunglah Peng-mama itu seperti orang tua jang sudah pikun dan tidak perhatikan kesalahan itu, terdengar ia berkata pula: Siotjia, tali pengikutnja ini sangat kentjang, harap engkau suka bantu melepaskannja." Sembari berkata ia terus mendekati A Tju jang diringkus diatas pilar itu untuk melepaskan tali pengikatnja. Hlm 61 Gambar SesudahPeng -mama lemas lunglai karena tenaganja habis tersedot Tju-hap-sin-kang, kemudian Toan Ki melepaskan rangkulannja dileher nenek itu dan mentjekal tangan kirinja sambil memerintahkan: Sekarang lekas lepaskan Siotjiamu!" Giok-yan mengiakan atas permintaan Peng-mama tadi sambil mendekatinja. Diluar dugaan, mendadak terdengar suara "krak" sekali, dari dalam pilar besi itu tahu2 mendjulur keluar sebatang badja melingkar bulat hingga tepat pinggang sigadis kena terkurung. Keruan Giok-yan mendjerit kaget. Namun gelang badja itu sangat kuat, untuk melepaskan diri teranglah sangat sulit. Toan Ki terkedjut djuga oleh kedjadian itu, tjepat ia memburu masuk dan membentak: Apa jang kau lakukan? Lekas melepaskan Siotjia'" Peng-mama ter-kekeh2 seram pula, sahutnja: Katanja Hudjin sedang bersemadi, mengapa kedua budak ini bisa dipanggil kesana? Banjak sekali pelajannja Hudjin, masakah perlu menjuruh Siotjia sendiri memanggil kesini? Didalam ini tentu ada apa2nja, silahkan engkau menunggu dulu disini Siotjia!" Kiranja Hoa-pui-pang" atau kamar rabuk bunga itu adalah tempat Ong-hudjin

menghukum atau membunuh orang. Didalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat rahasia untuk membikin tawanannja takbisa berkutik. Peng-mama itu dahulunja adalah seorang begal wanita jang terkenal sangat kedjam, entah sudah berapa banjak djiwa manusia telah mendjadi korban keganasannja. Tapi ia telah ditaklukan oleh Ong-hudjin, dan karena orangnja sangat tjerdik dan radjin, maka ia diberi tugas melakukan kekedjaman dikamar rabuk ini.

Peng-mama memang sangat tjerdik, ia melihat tingkah-laku Giok-yan sangat mentjurigakan, iapun tahu Ong-hudjin biasanja sangat bentji kepada keluarga Bujung. Ia pikir ilmu silat Siotjia sangat tinggi, dirinja pasti bukan tandingannja, pabila tidak turut perintahnja, mungkin gadis itu akan berbuat dengan kekerasan. Karena itulah dengan muslihatnja ia telah kurung Giok-yan dengan gelang badja, salah satu pesawat rahasia jang terpasang dipilar besi situ. Maka Giok-yan mendjadi gusar, bentaknja: Kurangadjar, kau berani padaku? Lekas lepaskan aku!" Siotjia," sahut Peng-mama, aku selalu djudjur mendjalankan tugas, sedikitpun tidak berani bikin salah. Maka ingin kutanja Hudjin dahulu, bila memang benar beliau suruh melepaskan kedua budak ini, tentu aku akan mendjura pada Siotjia untuk minta maaf." Keruan Giok-yan bertambah gugup, serunja: Hei, hei, djangan engkau tanja Hudjin, ibuku tentu akan marah!" Sebagai seorang jang banjak pengalamannja, Peng-mama semakin jakin sigadis itu hendak main gila diluar tahu ibunja. Ia mendjadi girang telah berdjasa bagi madjikannja, maka katanja segera: Baiklah, baiklah! Silahkan Siotjia tunggu sebentar, segera aku akan kembali!" Engkau lepaskan aku dahulu!" seru Giok-yan. Namun Peng-mama sudah tidak gubris padanja lagi, dengan langkah tjepat segera ia hendak bertindak keluar. Melihat keadaan sudah gawat, tanpa pikir lagi Toan Ki terus pentang kedua tangannja merintangi kepergian sinenek sambil berkata dengan tertawa: Harap engkau bebaskan Siotjia dahulu, kemudian barulah engkau pergi melapor kepada Hudjin. Betapapun dia adalah puteri madjikanmu, bila engkau bikin susah padanja, tentu takkan menguntungkan engkau sendiri." Diluar dugaan, mendadak Peng-mama membaliki tangannja dan tahu2 sebelah tangan Toan Ki kena ditangkap olehnja. Karena urat nadi tergenggam, seketika tubuh Toan Ki mendjadi lumpuh, meski tenaga dalam Toan Ki luar biasa kuatnja, tapi sajang ia tidak dapat menggunakannja. Maka ia kena diseret oleh Peng-mama kedepan pilar, ketika nenek itu menekan pesawat rahasia pula, krak", dari pilar besi jang lain mendadak mendjulur keluar pula gelang badja hingga pinggang Toan Ki djuga terdjepit. Tadi begitu tangan Peng-mama memegang pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia merasa tenaga dalamnja tiada hentinja merembes keluar dan rasanja sangat menderita. Maka sesudah pemuda itu dikurung oleh gelang badja, segera ia melepaskan tjekalannja. Merasa tjekalan nenek itu telah dikendorkan, dalam gugupnja tanpa pikir lagi

Toan Ki terus menjikap leher Peng-mama dengan kedua tangannja sambil berteriak: Djangan kau pergi!" Keruan Peng-mama kaget oleh rangkulan itu, dengan gusar ia membentak: Lekas lepaskan!" Dan karena ia bersuara, tenaga dalamnja jang merembes keluar itu semakin santer. Sedjak mendapat peladjaran sang paman ketika berada di Thian-liong-si, kini Toan Ki sudah paham tentang ilmu memusatkan hawa murni kedalam perut. Maka tenaga dalam jang disedotnja itu segera dapat ditabung terus kedalam pusatnja. Ber-ulang2 Peng-mama me-ronta2, namun sedikitpun ia tidak sanggup melepaskan diri dari sikapan Toan Ki. Ia mendjadi takut luar biasa dan ber-teriak2: Hai, engkau mahir......... Hoa-kang-tay-hoat? Lekas.........lepaskan aku." Karena leher Peng-mama jang disikap, Toan Ki mendjadi muka berhadapan muka dengan nenek itu, djaraknja tjuma belasan senti sadja, maka ia dapat melihat nenek tua itu sekuatnja berusaha melepaskan diri dengan meringis, giginja jang kuning penuh gudal dengan siungnja jang lantjip, napasnja berbau batjin pula. Toan Ki mendjadi muak dan hampir2 muntah. Tapi iapun insaf dalam saat berbahaja itu, kalau ia melepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman dari sang ibu dan dirinja sendiri bersama A Tju dan A Pik djuga tak terhindar dari kematian. Karena itulah terpaksa ia mesti menahan napas dan pedjamkan ia tidak pandang Peng-mama lagi, tapi membiarkannja kelabakan sendiri. Kau............kau mau melepaskan aku tidak!" teriak Peng-mama pula dengan nada mengantjam. Akan tetapi napas ada tenaga sudah berkurang.

Sambung ke jilid 10 Seperti diketahui, bila tenaga dalam Toan Ki semakin bertambah, daya sedot Cu-hap-sin-kang juga semakin kuat. Dahulu waktu mula-mula ia menyedot tenaga murni tokoh-tokoh seperti Boh-tin, Boh-tam dan kawannya, waktu yang dibutuhkannya sangat lama, kemudian dapat menyedot pula antero tenaga murni tokoh kelas satu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu, serta sebagian tenaga dalam Po-ting-te, Thian-in, Thian-koan dan lain-lain, kini daya sedot Cu-hap-sin-kang itu boleh dikatakan sudah luar biasa kerasnya, maka untuk menyedot tenaga dalam Peng-mama hanya diperlukan waktu singkat saja sudah selesai. Begitulah, maka tiada seberapa lama keadaan Peng-mama sudah sangat payah dan lemas lunglai dengan napas kempas-kempis. Akhirnya terpaksa ia memohon, Lepaskan aku, lepaskanlah! Baik, buka dulu pesawat rahasianya! kata Toan Ki. Peng-mama mengiakan. Tapi Toan Ki masih khawatir, ia pegang tangan kiri nenek itu dan membiarkan tangan kanannya menekan alat rahasia di bawah meja, krek, segera gelang baja yang mengurung pinggang Toan Ki itu mengkeret masuk ke dalam pilar. Segera Toan Ki perintahkan Peng-mama membebaskan pula Giok-yan, A Cu dan A

Pik. Namun meski Peng-mama sudah berusaha membuka pesawat rahasia yang mengurung Ong Giok-yan itu, ternyata sedikit pun tidak berhasil. Kau berani main gila? Ayo lekas! bentak Toan Ki. Tapi ... tapi tenagaku sudah habis! sahut Peng-mama dengan muka muram dan lesu. Toan Ki coba meraba ke bawah meja dan menarik sekali alat jeplakannya, perlahan gelang baja yang melingkari pinggang Giok-yan pun mengkeret masuk ke dalam pilar. Toan Ki sangat girang, tapi ia belum mau melepaskan Peng-mama, sambil masih pegang tangan nenek itu, ia jemput golok dan memotong tali pengikat A Cu dan A Pik, kemudian kedua dayang itu mengeluarkan sendiri sumbat mulut mereka, saking girang dan terharunya sampai kedua dayang itu tidak sanggup bersuara untuk sejenak lamanya. Giok-yan melototi Toan Ki dengan sikap terheran-heran, katanya kemudian, Jadi kau mahir Hoa-kang-tay-hoat? Ilmu yang terkenal kotor itu juga engkau pelajari? Kepandaianku ini bukan Hoa-kang-tay-hoat segala, tapi adalah ilmu warisan keluarga Toan kami yang disebut Thay-yang-yong-swat-kang (ilmu sang surya mencairkan salju), yaitu semacam ilmu perubahan dari campuran It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam, boleh dikatakan merupakan ilmu lawan dari Hoa-kang-tay-hoat yang jahat itu, maka tidak dapat disamaratakan, demikian sahut Toan Ki. Ia pikir tidak mungkin menceritakan pengalamannya tentang mendapat ilmu Cu-hap-sin-kang yang panjang dan makan waktu itu, maka sengaja dikarangnya suatu nama sekenanya atas ilmu itu. Ternyata Giok-yan percaya sepenuhnya, katanya dengan tertawa, Maaf, jika begitu adalah aku sendiri yang kurang pengalaman. Bahkan tentang It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan kalian di Tayli juga aku cuma tahu namanya saja, maka kelak masih diharapkan petunjukmu. Bagi Toan Ki, asal si cantik sudi minta petunjuk padanya, itulah jauh melebihi harapannya, maka cepat sahutnya, Asal Siocia suka, segala pertanyaanmu pasti akan kujelaskan sampai sekecil-kecilnya. Sungguh mimpi pun tak diduga oleh A Cu dan A Pik bahwa pada saat yang genting itu tiba-tiba Toan Ki bisa datang menolong mereka, bahkan tampak bicara sangat akrab dengan Ong-siocia, tentu saja mereka lebih-lebih heran. Segera A Cu berkata, Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kohnio! Agar rahasia kami tidak sampai bocor, kami ingin membawa pergi Peng-mama ini. Keruan Peng-mama menjadi khawatir, serunya dengan lemah, Jang ... jangan .... Namun A Cu sudah lantas pencet pipi nenek itu hingga mulutnya mengap, terus saja ia masukkan sumbat yang dikeluarkannya dari mulut sendiri tadi ke dalam mulut Peng-mama. Haha! Bagus! seru Toan Ki dengan tertawa. Ini namanya Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin, sesuai dengan istilah senjata makan tuan dari keluarga

Buyung kalian! Tiba-tiba Giok-yan ikut berkata, Marilah biar aku ikut pergi bersama kalian untuk melihat bagaimana ... bagaimana dengan dia. A Cu dan A Pik menjadi girang, mereka tahu siapa yang dimaksudkan si dia itu, serta mereka berbareng, Jika nona sudi pergi membantunya, itulah paling baik. Segera kedua dayang itu menyeret Peng-mama ke dekat pilar dan menarik alat jeplakan hingga nenek itu kena dikurung di dalam lingkaran gelang baja Habis itu mereka berempat lantas menuju ke tepi danau. Syukurlah sepanjang jalan mereka tidak dipergoki kawanan dayang yang lain. Sesudah berada di atas perahu, segera A Cu dan A Pik mendayung dengan cepat meninggalkan Man-to-san-ceng. Berkat petunjuk Giok-yan, maka dengan mudah dapatlah mereka keluar dari perairan yang membingungkan itu. Setiba di luar danau yang bebas, A Cu dan A Pik sendiri sudah dapat mengenali jalanan air di situ. Sementara itu hari sudah dekat magrib, cuaca sudah remang-remang. Nona, dari sini paling dekat kalau menuju ke pondok hamba, malam ini terpaksa mesti bikin susah nona menginap semalam di tempat hamba dan besok kita dapat berunding cara bagaimana harus pergi mencari Kongcu, demikian kata A Cu. Baiklah, sahut Giok-yan singkat. Semakin jauh meninggalkan Man-to-san-ceng, gadis itu bertambah pendiam tampaknya. Setelah perahu didayung sekian lama pula, cuaca sudah mulai gelap, hanya jauh di arah timur sana tampak sinar api yang berkelip-kelip. Maka berkatalah A Pik, Tempat yang ada sinar api itulah Thing-hiang-cing-sik tempat tinggal Enci A Cu. Segera perahu didayung ke arah sinar pelita itu. Tiba-tiba timbul pikiran Toan Ki, Alangkah senangnya bila selama hidup ini dapat berada dalam perahu seperti sekarang ini dan selamanya takkan mencapai tempat sinar pelita itu! Dalam pada itu terdengar Giok-yan lagi menghela napas perlahan, lalu terdengar A Pik menghiburnya dengan suara halus, Harap nona jangan khawatir. Selamanya Kongcu tidak pernah mengalami kesukaran apa-apa, sekali ini tentu juga akan pulang dengan selamat. Kalau dia pergi ke tempat orang Kay-pang tentu aku tidak perlu khawatir, kata Giok-yan. Tapi Siau-lim-si itu tidak boleh dipandang remeh. Meski ke-72 macam ilmu Siau-lim-si telah dipahami semua olehnya, tetapi bila tiba-tiba ada orang menyerangnya dengan ilmu aneh yang jarang diketahui orang luar, kan berbahaya. Ai .... Mendengar ucapan si nona yang penuh rasa khawatir dan bernada gegetun, seketika timbul rasa cemburu Toan Ki. Tiba-tiba terpikir olehnya, Bilamana di dunia ini ada juga seorang gadis jelita seperti nona ini sedemikian mendalam cintanya padaku, entah betapa rasa bahagia hidupku ini? Pernah juga

Wan-moay mencintaiku, sejak dia tahu aku ini kakak kandungnya, tentu perasaannya kepadaku sudah berubah sekarang. Dan selama ini entah dia berada di mana? Tentang nona Ciong? Nona cilik ini masih kekanak-kanakan dan hijau, kalau terkadang dia terkenang padaku, paling-paling juga cuma sepintas ingat saja untuk lain saat akan lupa lagi, tidak nanti ia merindukan kekasihnya setiap saat sebagaimana Ong-kohnio sekarang ini. Dan entah bagaimana nasib gadis cilik yang digondol lari In Tiong-ho itu? Ayah dan paman telah menjodohkan aku dengan putri Ko-pepek. Tapi muka nona Ko itu selamanya belum pernah kukenal, apakah dia cantik atau jelek, apakah tinggi atau pendek, bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu, dengan sendirinya aku tidak dapat mengenangkan dia dan dia tentu juga takkan merindukan aku. Sementara itu perahu mereka sudah makin mendekati tempat tujuan. Tiba-tiba A Cu membisiki A Pik, Lihatlah A Pik, tampaknya agak kurang beres gelagatnya! Ya, kenapa begitu banyak sinar pelitanya? sahut A Pik sambil mengangguk. Tapi segera katanya pula dengan tertawa, Ah, mungkin di rumahmu sedang diadakan perayaan Cap-go-meh, maka terang benderang begitu? Atau boleh jadi mereka sedang menantikan engkau untuk merayakan hari lahirmu? Namun A Cu diam saja sambil terus memerhatikan titik sinar api di kediamannya sana. Kini Toan Ki juga dapat melihat jelas bahwa pada suatu benua kecil sana terdapat beberapa bangunan rumah, di antaranya ada dua gedung bersusun dan dari jendela rumah itulah tampak banyak sinar pelitanya. Rumah tinggal A Cu ini namanya Thing-hiang-cing-sik, tentu sama indahnya seperti Khim-im-siau-tiok tempat tinggal A Pik itu, demikian pikir Toan Ki. Kira-kira beberapa ratus meter sebelum tiba di rumah A Cu itu, mendadak A Cu tidak mendayung lagi, katanya, Ong-kohnio, di rumahku kedatangan musuh! Apa katamu? Kedatangan musuh? Dari mana kau tahu dan siapakah musuhmu? tanya nona Ong terkejut. Musuh macam apa belum kuketahui, sahut A Cu. Namun cobalah engkau menciumnya, bau arak yang keras ini pastilah perbuatan kaum perusuh itu. Giok-yan coba mengendus beberapa kali sekeras-kerasnya, tapi tidak mencium sesuatu bau apa-apa. Begitu pula Toan Ki dan A Pik juga tidak mengendus sesuatu bau aneh. Kiranya daya endus A Cu memang lain daripada orang lain tajamnya, dari tempat jauh ia dapat membedakan sesuatu bau yang aneh. Maka katanya, Wah, celaka! Mereka telah mengubrak-abrik macam-macam sari bunga melati, mawar dan lain-lain yang kukumpulkan dengan susah payah itu, wah, ludeslah sudah .... Begitulah ia mengeluh dan hampir-hampir menangis. Toan Ki menjadi heran dari mana A Cu mengetahui hal itu? Maka ia coba tanya, Dari mana kau tahu? Masa matamu begitu tajam hingga dapat melihat tempat jauh? Bukan melihat, tapi aku dapat mengendusnya, sahut A Cu. Ai, dengan hati-hati aku membuat sari bunga itu, kini pasti telah habis diminum oleh orang-orang jahat itu sebagai arak.

Lantas bagaimana Enci A Cu? tanya A Pik. Kita tetap pergi ke sana melabrak mereka atau menyingkir saja? Entah musuh lihai atau tidak .... sahut A Cu dengan ragu. Benar, sela Toan Ki tiba-tiba, kalau lihai, lebih baik kita menghindari saja. Bila cuma kaum keroco, ayolah kita tabrak mereka biar kapok. Memangnya A Cu lagi mendongkol, mendengar ucapan Toan Ki yang tidak berguna itu, segera ia mengomel, Hm, hanya berani pada yang lemah, terhitung orang gagah macam apa? Dan dari mana kau tahu musuh lihai atau tidak? Hal ini sangat mudah, sahut Toan Ki. Biarlah kupergi ke sana untuk menyelidiki lebih dulu dan kalian bertiga boleh menunggu saja di dalam perahu, jika gelagatnya jelek, cepatan kalian melarikan diri dan jangan urus diriku. Sungguh ucapan Toan Ki ini sama sekali di luar dugaan ketiga gadis itu. Mereka melihat tingkah laku pemuda ini sangat kaku, sedikit pun tiada tanda-tanda mahir ilmu silat. Akan tetapi nyatanya Peng-mama, penjaga gudang rabuk bunga yang ganas itu sekali tangannya kena dipegang olehnya terus tak bisa berkutik, bahkan tenaganya lantas hilang dalam waktu sekejap saja. Apakah sesungguhnya pemuda ini memiliki ilmu silat mahahebat dan sengaja berlagak bodoh saja? Segera Giok-yan berkata, Jika engkau pergi ke sana dan dipergoki musuh, lalu engkau dihajar atau dibunuh, lantas bagaimana? Jika begitu, ya, apa boleh buat? sahut Toan Ki sambil angkat pundak. Tapi biasanya aku selalu dilindungi Yang Mahakuasa, kalau ada bahaya selalu berubah selamat. Di mulut ia berkata demikian, tapi dalam hati ia merasa biarpun mati bagi gadis jelita seperti dikau juga aku rela. Mendadak Giok-yan angkat jari kiri terus menutuk Thay-yang-hiat di pelipis Toan Ki. Hiat-to itu adalah salah satu tempat mematikan di tubuh manusia, kalau kena tertutuk seketika akan terbinasa. Tak peduli betapa tinggi ilmu silat orangnya, tidak mungkin Hiat-to berbahaya itu dapat ditutup. Namun dalam kegelapan sama sekali Toan Ki tidak sadar bahwa jiwanya lagi terancam. Melihat itu, A Pik bersuara kaget, sebaliknya A Cu diam saja, ia tahu sang Siocia sengaja lagi menjajal Toan Ki apakah benar-benar tidak mahir ilmu silat atau cuma berlagak pilon? Ternyata ketika jari Giok-yan hampir menempel Thay-yang-hiat, tapi Toan Ki tetap tidak berasa, bahkan pemuda itu berkata, Kalian bertiga nona muda belia, kalau mesti menghadapi musuh jahat, rasanya memang kurang baik. Maka perlahan Giok-yan tarik kembali jarinya dan bertanya, Apa benar-benar engkau tidak pernah belajar silat? Jika kepandaianku Thay-yang-yong-swat-kang ini tidak terhitung sebagai ilmu silat, maka aku benar-benar tidak pernah belajar, sahut Toan Ki dengan tertawa. He, aku mendapat alat, tiba-tiba A Cu berkata. Marilah kita berganti pakaian dahulu, kita pergi menemui mereka dengan menyamar sebagai kaum

nelayan. Segera ia menunjuk ke sebelah timur sana dan berkata pula, Di situ terdapat beberapa keluarga kaum nelayan, semuanya kukenal, marilah kita ke sana dulu. Bagus, akal bagus! seru Toan Ki dengan tertawa. Segera perahu mereka didayung ke sana. Rumah kaum nelayan itu berdekatan dengan Thing-hiang-cing-sik, maka A Cu cukup kenal para tetangga itu. Lebih dulu A Cu, A Pik dan Giok-yan minta pinjam beberapa perangkat pakaian keluarga nelayan itu. Sesudah menyamar sebagai wanita tukang tangkap ikan, lalu datang giliran Toan Ki menyaru sebagai nelayan setengah umur. Kepandaian menyamar A Cu ternyata sangat hebat dan persis sekali. Ia gunakan tepung dan tanah liat sebagai bahan pembantu untuk mengubah muka mereka. Ia sendiri menyaru sebagai nenek pula, Giok-yan dan A Pik menjadi wanita nelayan setengah umur. Hanya sekejap saja wajah mereka sudah berubah jauh daripada usia mereka yang sebenarnya. Kemudian A Cu pinjam pula perahu nelayan, jala, pancing, dan ikan yang masih segar. Dengan perahu pinjaman itu mereka lantas menuju ke Thing-hiang-cing-sik. Meski wajah mereka sekarang sudah sukar dikenali, tetapi suara Toan Ki, Giok-yan dan A Pik tetap tidak berubah, begitu pula tingkah laku mereka mudah diketahui. Maka berkatalah Giok-yan dengan tertawa, A Cu, segala apa nanti terserahlah padamu, kami terpaksa menjadi orang gagu untuk sementara. Memang begitulah harapanku, tanggung rahasia kita takkan diketahui musuh, sahut A Cu dengan tertawa. Perlahan perahu mereka meluncur sampai di depan rumah tinggal A Cu itu. Ternyata sekeliling rumah itu penuh pohon Yangliu, dari dalam rumah terus-menerus terdengar suara teriakan dan gelak tawa orang yang kasar dan kotor hingga sangat bertentangan dengan keindahan rumah dan pemandangan di sekitar rumah. A Cu menghela napas dengan mendongkol. Segera A Pik membisikinya, Jangan resah Enci A Cu, setelah mengenyahkan musuh akan kubantu membersihkan rumahmu. A Cu meremas-remas tangan A Pik dengan perlahan sebagai tanda terima kasih. Lalu ia membawa Toan Ki bertiga berputar ke arah dapur di belakang rumah. Di sana tampak koki Lau Koh yang gendut sedang sibuk hingga mandi keringat, anehnya koki itu terus-menerus meludahi santapan dalam wajan, lalu mencomot pula segenggam debu kotoran dan ditaburkan juga ke dalam wajan. A Cu merasa heran dan dongkol, serunya segera, Hei, Lau Koh, apa yang kau lakukan? Keruan Lau Koh berjingkrak kaget, sahutnya tergegap, O, aku ... aku ... engkau .... Aku nona A Cu, kata A Cu dengan tertawa. Hah, kiranya nona A Cu sudah pulang, seru Lau Koh dengan girang. Di depan

banyak kedatangan orang jahat dan aku dipaksa menyediakan daharan, lihatlah! Habis berkata ia mengusap ingusnya dan dibuang ke dalam sayur, bahkan tambah diludahi sekali lagi, lalu tertawalah koki gendut itu dengan terkekeh-kekeh. Melihat kelakuan si koki yang lucu itu, diam-diam A Cu dan A Pik juga geli menahan tawa. Kiranya musuh yang bikin rusuh ke rumah A Cu itu telah memerintah dan memanggil Lau Koh ke sini dan ke sana hingga koki itu sibuk tak keruan, akhirnya disuruhnya pula cepat menyediakan perjamuan. Karena penasaran, terpaksa Lau Koh membalas dendam dengan menaruh kotoran di dalam masakan yang dibuatnya itu. Idiih, masakanmu begini kotor, demikian kata A Cu dengan kening bekernyit. O, tidak, tidak! Masakan untuk nona, tentu sebelumnya kucuci tangan sebersih-bersihnya, cepat Lau Koh menyahut. Tapi masakan untuk orang jahat, sengaja kubikin sekotor-kotornya. Kelak kalau kulihat sayur masakanmu, bila teringat perbuatanmu sekarang pasti aku akan merasa muak, ujar A Cu. Tidak, pasti tidak sama! Santapan untuk nona, tanggung seratus persen bersih, sahut Lau Koh agak gugup. Harus diketahui bahwa meski A Cu adalah pelayan Buyung-kongcu, tapi di Thing-hiang-cing-sik ia adalah majikan dan mempunyai pelayan dan koki sendiri serta tukang kebun dan lain-lain. Kemudian A Cu tanya, Ada berapa orang musuh yang datang? Pertama datang satu rombongan kira-kira belasan orang jumlahnya, kemudian datang lagi serombongan lebih 20 orang, tutur Lau Koh. Jadi terdiri dari dua rombongan? Orang-orang macam apa saja? Bagaimana dandanan mereka? Dari logat bicara mereka kedengarannya orang dari daerah mana? tanya A Cu. Tampaknya yang satu rombongan orang utara, kelakuan mereka mirip bandit, dan rombongan yang lain terang orang Sujoan, semuanya memakai jubah putih, tapi tidak diketahui asal usulnya, tutur Lau Koh. Mereka ingin mencari siapa? Apakah sudah melukai kita? tanya A Cu. Kedua gerombolan itu begitu datang lantas menanyakan di mana Kongcu berada, kami menjawab tidak tahu, tapi mereka tidak percaya terus menggeledah seluruh isi rumah hingga para pelayan sama ketakutan dan bersembunyi, hanya aku merasa penasaran melihat tingkah laku mereka yang tidak kenal aturan itu, maka telah kutegur mereka, mak .... Sebenarnya Lau Koh hendak memaki dengan kata-kata kotor, tapi teringat olehnya sedang bicara dengan A Cu, maka kata-kata yang sudah setengah diucapkannya itu ditelannya kembali mentah-mentah. A Cu dapat melihat mata kiri Lau Koh matang biru, pipi merah bengap, terang

tadi habis dihajar oleh kawanan perusuh itu, pantas ia masih dendam, maka meludah dari mengingusi masakan yang akan disajikan kepada kawanan penyatron itu. Setelah berpikir sejenak, segera A Cu membawa Giok-yan bertiga keluar dari pintu samping dapur dan menuju ke ruangan depan. Kira-kira beberapa meter sebelum sampai di samping ruangan tengah yang dituju, tiba-tiba terdengar suara ribut orang. Giok-yan adalah gadis yang tidak pernah keluar rumah, sedang Toan Ki tinggal di daerah selatan yang jauh terpencil, maka mereka kurang pengalaman dan tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan dari suara orang-orang itu. Akan tetapi A Cu yang pandai menyamar dan pintar menirukan macam-macam suara dan nada orang itu, begitu mendengar suara ramai orang-orang itu segera merasa heran, sebab suara ribut itu kedengarannya sangat kasar, banyak kata-kata di antaranya sukar dimengerti, biarpun A Cu mahir berbagai bahasa daerah. Malahan logat orang Sujoan sama sekali tidak terdengar, padahal menurut cerita Lau Koh tadi, katanya salah satu rombongan orang itu terdiri dari orang Sujoan. Dengan perlahan A Cu mendekati jendela panjang ruangan itu, ia robek sedikit kertas jendela dengan kukunya dan mengintip ke dalam. Ia lihat sinar lilin terang benderang, tapi hanya sebelah timur saja yang tersorot jelas dan kelihatan balasan laki-laki kasar dan kekar sedang makan-minum dengan senang dan bebas, mangkuk piring di atas meja tampak tumpang-siur tak keruan, di sekitar meja pun morat-marit, beberapa orang di antaranya tampak duduk di atas meja, sumpit yang tersedia juga tak diperlukan lagi, dengan tangan mereka menyambar paha ayam dan daging terus digerogoti dengan lahap. Bahkan ada di antaranya terus menggunakan golok mereka untuk memotong daging dan ikan serta menyunduk dengan ujung golok, lalu dicaplok begitu saja dengan lahapnya. Sungguh A Cu sangat gemas melihat tempatnya yang rajin bersih itu dipakai pesta pora hingga morat-marit tak keruan macamnya. Ia lihat tingkah laku orang-orang itu sangat kasar, terang adalah orang dari daerah perbatasan yang kurang beradab. Sesudah mengintip rombongan orang kasar itu, kemudian ia memandang pula ke arah lain, semula ia tidak menaruh perhatian, tapi sesudah dipandang pula, tanpa terasa ia bergidik sendiri. Kiranya rombongan lebih 20 orang di sebelah lain semuanya mengenakan jubah putih dan duduk dengan rajin dan prihatin. Di atas meja mereka cuma tersulut sebatang lilin kecil hingga tempat yang dicapai cahaya lilin itu cuma satu-dua meter jauhnya, hanya beberapa orang di antaranya yang berdekatan dengan api lilin itu dapat terlihat jelas, wajah mereka tampak kurus kering, perawakan juga tinggi kurus, muka kaku tanpa perasaan hingga lebih mirip mayat hidup belaka. Makin dipandang A Cu makin mengirik. Orang-orang itu tetap duduk saja tanpa bergerak dan tidak bersuara, kalau bukan beberapa orang di antaranya terkadang mengedip mata, mungkin mereka akan disangka sebagai mayat hidup sungguh-sungguh. Melihat A Cu terpaku di tempatnya, segera A Pik mendekatinya, ketika ia memegang tangan kawan itu, ia merasa tangan A Cu sedingin es, bahkan rada

gemetar. Ia menjadi heran, ia pun mencukit setitik lubang kertas jendela dan ikut mengintip ke dalam. Kebetulan sorot matanya kebentrok dengan seorang laki-laki yang berwajah kaku dan kurus, orang itu melototi A Pik sekali serupa setan iblis. Keruan A Pik terkejut dan menjerit tertahan. Sedikit suara berisik itu lantas didengar oleh orang-orang di dalam ruangan, terdengarlah suara gedubrakan, daun jendela menjadi jebol dan berbareng empat orang melompat keluar. Persis yang dua orang adalah jago perbatasan dan dua orang yang lain adalah manusia aneh dari Sujoan. Siapa kalian? bentak kedua laki-laki kekar itu segera. Kami nelayan di sekitar sini, kami dapat menangkap beberapa ekor ikan segar dan ingin dijual kepada tuan rumah di sini. Wah, ikan dan udang yang benar-benar masih sangat segar! demikian sahut A Cu dengan bahasa daerah Sujoan sambil menunjukkan ikan dan udang besar yang sengaja dibawanya itu. Sebenarnya laki-laki itu tidak paham bahasa yang diucapkan A Cu itu, tapi demi melihat dandanan A Cu sebagai wanita nelayan serta ikan dan udang yang dibawanya itu, dengan sendirinya mereka dapat menangkap maksud perkataannya. Segera salah seorang di antaranya merampas ikan yang dibawa A Cu sambil berseru, Ah, kebetulan sekali. Hai, koki, mana koki! Ini, bawalah ke dapur untuk dimasak sebagai pengiring arak! Begitu pula laki-laki yang lain segera menerima ikan yang dipegang Toan Ki terus dibawa ke dapur. Kedua tokoh aneh dari Sujoan yang kurus kering itu melihat A Cu berempat hanya kaum nelayan saja, mereka tidak urus lebih jauh dan hendak masuk kembali ke dalam. Ketika kedua orang Sujoan itu berjalan lewat di samping A Pik, tiba-tiba A Pik mengendus semacam bau bacin seperti ikan busuk yang memualkan. Saking tak tahan, A Pik angkat sebelah tangan hendak mendekap hidung. Karena itu sekilas salah seorang jago Sujoan itu dapat melihat lengan A Pik yang putih bersih laksana salju, ia menjadi curiga seketika. Pikirnya, Masakah seorang wanita tukang tangkap ikan setengah umur bisa mempunyai lengan sedemikian putih dan halusnya? Langsung ia pegang lengan A Pik sambil membentak, Aha, berapakah umurmu, hah? Keruan A Pik terkejut, tanpa pikir ia kipratkan tangannya sambil menjawab, Apa yang hendak kau lakukan? Mengapa main pegang-pegang segala? Suara A Pik kedengaran nyaring dan lembut, tenaga kipratannya itu sangat cekatan pula hingga tangan Sujoan-koay-khek atau orang aneh dari Sujoan itu kesemutan, ia terentak hingga terhuyung-huyung mundur beberapa tindak. Karena kejadian ini, pecahlah guci wasiat A Cu, terbongkarlah rahasia penyaruannya. Begitu keempat orang di luar itu berteriak, lantas saja dari dalam membanjir keluar pula belasan orang hingga Toan Ki berempat dikepung rapat di tengah. Segera seorang laki-laki kekar menarik sekuatnya jenggotnya Toan Ki, untuk menghindar terang Toan Ki tidak mampu, maka terlepaslah jenggot palsunya itu.

Seorang lagi hendak memegang A Pik, tapi sekali mengegos sambil mendorong, kontan orang itu disengkelit roboh oleh si gadis. Menyusul seorang lain tiba-tiba membabat dengan pedangnya dari belakang, cepat A Pik mendakkan tubuh untuk menghindar, tapi ia lupa telah memakai rambut palsu hingga sanggulnya lebih tinggi beberapa senti daripada biasanya. Sreet, tahu-tahu rambut palsunya yang ubanan itu jatuh tersapu pedang hingga kelihatanlah rambut asli A Pik yang hitam mengilap. Keruan suasana menjadi geger seketika, beramai-ramai kawanan penyatron itu berteriak-teriak, Hai, mata-mata musuh, tangkap mereka! Ya, malah sengaja menyamar hendak menipu kita! Lekas tangkap mereka dan beri hajaran yang setimpal! Namun A Cu lantas balas membentak dengan gusar, Tutup mulut kalian! Rumah siapa ini? Siapa yang menjadi mata-mata? Tapi orang-orang itu lantas menggiring A Cu berempat ke dalam ruangan dan memberi laporan kepada seorang tua yang berduduk di pojok timur sana, Yau-cecu, kita telah dapat menangkap mata-mata yang menyamar sebagai nelayan! Di tengah kepungan orang sebanyak itu, Giok-yan, A Cu, dan A Pik menjadi ragu-ragu. Meski mereka bertiga mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tapi mereka kurang pengalaman dan masih muda, mereka menjadi bingung apakah mesti melabrak perusuh-perusuh ini atau menunggu sampai nanti bila keadaan sudah terpaksa. Lebih-lebih Toan Ki, ia tidak mahir ilmu silat, sama sekali ia tidak tahu siapa di antara perusuh-perusuh itu paling kuat dan siapa lebih lemah. Karena itu mereka berempat hanya saling pandang saja dengan bingung, terpaksa mereka berdiri di depan orang tua itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan olehnya. Perawakan orang itu sangat kekar dan tegap, jenggotnya yang putih itu memanjang sampai di dada, sebelah tangannya sedang memainkan tiga butir bola besi hingga menerbitkan suara gemerantang yang nyaring. Terdengarlah ia bersuara, Mata-mata musuh dari manakah kalian ini? Kalian menyamar dengan tingkah laku yang mencurigakan, kalian pasti bukan manusia baik-baik. Menyamar sebagai nenek tidak menarik, aku tidak mau lagi A Cu, tiba-tiba Giok-yan berkata sambil membuang rambut palsunya serta mengucap muka sendiri hingga rontok semua tepung dan tamah yang lengket di mukanya itu. Ketika mendadak seorang nenek berubah menjadi seorang gadis cantik tak terhingga, seketika laki-laki yang berada di situ terlongong-longong kesima, untuk sesaat di tengah ruangan itu menjadi sunyi senyap. Bahkan jago-jago Sujoan mengarahkan sinar mata mereka kepada Giok-yan. Kalian pun buang saja penyamaranmu, kata Giok-yan kepada A Cu dan lain-lain. Lalu dengan tertawa katanya pula kepada A Pik, Gara-garamu hingga rahasia kita terbongkar. Meski sekelilingnya dikepung rapat oleh laki-laki buas sebanyak itu, namun Giok-yan tetap bicara dengan sewajarnya saja seperti pandang sebelah mata kepada kawanan perusuh itu. Segera Toan Ki, A Cu dan A Pik menurut dan membersihkan samaran mereka. Untuk

sejenak semua laki-laki yang berada di situ sama ternganga, mereka pandang Giok-yan, lalu memandang pula A Cu dan A Pik, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa di dunia ini ada nona-nona cantik bagaikan bidadari seperti ini? Selang agak lama orang tua yang tegap kekar itu baru membuka suara lagi, Siapakah kalian? Untuk apa kalian datang ke sini? Haha, sungguh lucu! sahut A Cu dengan tertawa. Aku inilah pemilik Thing-hiang-cing-sik, bukannya aku menegur kalian, sebaliknya kalian malah tanya padaku. Bukankah sangat janggal? Nah, siapakah kalian, untuk apa kalian datang ke sini? O, jadi kau tuan rumah di sini, itulah bagus sekali, kata orang tua itu. Apakah engkau ini Buyung-siocia? Tentunya Buyung Bok itu ayahmu, bukan? Aku cuma seorang budak rendahan, masakah punya rezeki sebesar itu untuk menjadi putri Loya? sahut A Cu dengan tersenyum. Siapakah tuan? Ada keperluan apa datang ke sini? Mendengar A Cu mengaku sebagai seorang budak saja, kakek itu separuh tidak percaya, ia pikir sejenak, kemudian baru berkata, Jika demikian, silakan panggil keluar majikanmu, nanti akan kuberi tahukan maksud kedatanganku. Majikanku sedang bepergian, sahut A Cu. Tuan ada keperluan apa, katakan padaku juga sama saja. Siapakah nama tuan yang terhormat, apakah tidak dapat memberi tahu? Ehm, aku Yau-cecu dari Cin-keh-ce di Hunciu, namaku Yau Pek-tong adanya, sahut si kakek. O, kiranya Yau-loyacu, kagum, sudah lama kagum! ujar A Cu. Haha, seorang nona cilik seperti dirimu bisa tahu apa? kata Yau Pek-tong dengan tertawa. Di luar dugaan Ong Giok-yan lantas menyambung, Cin-keh-ce di Hunciu terkenal karena Ngo-hou-toan-bun-to. Dahulu Yau Kong-bang menciptakan 64 jurus Toan-bun-to itu, namun keturunannya telah melupakan lima jurus di antaranya dan kabarnya tinggal 59 jurus saja yang masih turun-temurun diajarkan anak muridnya. Yau-cecu, engkau sendiri sudah mahir sampai jurus keberapa? Sungguh kejut Yau Pek-tong tak terkatakan, tanpa terasa tercetus jawabannya, Ngo-hou-toan-bun-to dari Cin-keh-ce kami memang aslinya ada 64 jurus, dari mana engkau dapat tahu! Begitulah apa yang tertulis dalam buku, tentunya tidak salah bukan? sahut Giok-yan dengan tawar. Dan kelima jurus yang kurang itu masing-masing adalah Pek-hou-tiau-kang (harimau putih melompat parit), It-siu-hong-sing (sekali bersuit keluarlah angin), Cian-bok-cu-ju (memotong dan menubruk dengan bebas), Hiong-pa-kun-san (merajai di antara gunung-gunung) dan jurus terakhir adalah Hong-siang-seng-say (taklukkan gajah dan kalahkan singa), betul tidak? Yau Pek-tong mengelus jenggotnya dengan heran. Tentang kekurangan lima jurus paling bagus dari ilmu golok perguruan sendiri itu diketahuinya memang sejak dulu tidak diajarkan lagi, dan tentang kelima jurus apa yang hilang itu pun tiada seorang yang tahu. Tapi kini nona ini dapat menguraikan secara lancar

dan tepat, keruan Yau Pek-tong terkejut dan curiga, pertanyaan Giok-yan itu pun tak bisa dijawabnya. Segera seorang laki-laki setengah umur di antara rombongan jago-jago Sujoan yang aneh itu berkata dengan suara yang banci, Ngo-hou-toan-bun-to dari Cin-keh-ce sangat disegani di daerah Hosiok, baik lebih lima jurus ataupun kurang lima jurus juga tidak menjadi soal. Numpang tanya ada hubungan apakah nona ini dengan Buyung Hok Buyung-siansing? Buyung-loyacu adalah aku punya Kuku, dan siapa nama tuan yang terhormat? sahut Giok-yan. Nona berasal dari keluarga terpelajar, sekali melihat lantas dapat mengatakan asal usul ilmu silat Yau-cecu, kata laki-laki itu dengan dingin. Maka tentang asal-usul kami, ingin kuminta nona juga coba-coba menerkanya. Untuk itu coba mengunjuk sejurus-dua lebih dulu, sahut Giok-yan. Kalau cuma berdasarkan beberapa patah kata saja aku tidak sanggup menerkanya. Benar, ujar laki-laki itu sambil mengangguk. Habis itu ia lantas masukkan tangan kanan ke dalam lengan baju kiri dan tangan kiri menyusup ke dalam lengan baju kanan hingga mirip orang yang kedinginan. Tapi ketika kemudian kedua tangan dilolos keluar, tahu-tahu setiap tangan sudah bertambah dengan semacam senjata yang aneh bentuknya. Senjata yang dipegang tangan kiri adalah sebatang Thi-cui (gurdi) sepanjang belasan senti, bagian ujungnya yang runcing itu melengkung-lengkung seperti keris. Sedangkan tangan kanan memegang senjata sebatang palu kecil, palu itu berbentuk astakona atau segi delapan, panjangnya kurang lebih 30 senti. Senjata-senjata yang kecil mungil itu lebih mirip mainan kanak-kanak, tampaknya kurang berguna dipakai sebagai alat bertempur. Karena itu segera beberapa laki-laki kekar dari rombongan sebelah timur sana lantas bergelak tertawa. Kata mereka di antaranya, Hahaha, mainan anak kecil juga dikeluarkan di sini! Tapi Giok-yan lantas berkata, Ehm, senjatamu ini adalah Lui-kong-hong (beledek menyambar), agaknya tuan ini mahir menggunakan Am-gi dan Ginkang. Menurut catatan di dalam buku, Lui-kong-hong adalah senjata tunggal dari Jing-sia-pay dari Sujoan. Jing meliputi 18 macam senjata dan Sia mencakup 36 tipu serangan. Caranya sangat aneh dan hebat. Besar kemungkinan tuan she Suma, bukan? Wajah laki-laki itu sebenarnya selalu membeku tanpa perasaan, tapi demi mendengar uraian Giok-yan itu, seketika wajahnya berubah, ia saling pandang dengan kedua pembantu di kanan-kirinya. Selang sejenak baru ia berkata pula, Betapa luas pengetahuan ilmu silat dari Buyung-si di Koh-soh, nyata memang bukan omong kosong belaka. Cayhe memang she Suma dan bernama Lim. Numpang tanya sekalian pada nona, apa benar-benar istilah Jing meliputi 18 macam senjata dan Sia mencakup 36 tipu serangan? Pertanyaanmu ini sangat kebetulan, sahut Giok-yan. Aku justru merasa Jing itu meliputi 19 jenis senjata, sebab di antaranya Po-te-ci (biji tasbih) dan Thi-lian-ci (biji teratai) tidak dapat dipersamakan, bentuknya memang hampir mirip, tapi cara menggunakannya berbeda. Sedang mengenai Sia yang mencakup 36 tipu serangan itu, kukira tiga serangan Boh-kah (memecahkan perisai), Boh-tun (memecahkan tameng), dan Boh-pay

(memecahkan utar-utar) satu-sama-lain tidak banyak bedanya, maka lebih baik dihapuskan, hingga tinggal 33 jurus saja, supaya lebih sempurna. Suma Lim terlongong-longong mendengarkan cerita Ong Giok-yan itu. Padahal dalam ilmu silat perguruannya itu, sebagian belum pernah lengkap dipelajarinya, dan bagian lain justru sangat diandalkan olehnya. Tapi kini gadis semuda ini berani memberi komentar tentang ilmu silat perguruannya itu, keruan ia menjadi gusar dan menyangka orang keluarga Buyung sengaja hendak menghina padanya. Namun watak Suma Lim sangat sabar, ia dapat menahan perasaannya, maka katanya, Banyak terima kasih atas petunjuk nona, sungguh aku seperti orang bodoh yang menjadi pintar sekarang. Dan sesudah berpikir sejenak, timbul suatu akalnya, segera ia berkata kepada pembantu di sisi kiri, Cu-sute, boleh coba kau minta sedikit pengajaran kepada nona ini. Sutenya yang she Cu itu adalah seorang laki-laki setengah umur bermuka jelek karena seantero mukanya burik, kecuali jubahnya yang putih mulus itu, kepalanya juga memakai ubel-ubel putih hingga mirip orang sedang berkabung. Di bawah sinar lilin yang remang-remang itu tampaknya menjadi tambah seram. Kiranya nama lengkap laki-laki ini Cu Po-kun, sebelum masuk perguruan Jing-sia-pay ia sudah pernah belajar silat. Usianya sebenarnya balasan tahun lebih tua daripada Suma Lim, tapi karena masuk perguruan lebih belakang, maka urut-urutannya menjadi lebih muda daripada Suheng yang kini menjabat ketua perguruan itu. Tentang asal usul ilmu silat yang dipelajari Cu Po-kun sebelum masuk Jing-sia-pay, karena selama ini dia bungkam saja dan tidak pernah dipamerkan, maka Suma Lim sendiri pun tidak jelas, beberapa kali ia pernah tanya, tapi Cu Po-kun selalu menjawab dengan samar-samar. Yang terang bagi Sama Lim adalah ilmu silat Cu Po-kun itu sangat tinggi dan pasti tidak di bawah dirinya. Sekarang ia sengaja suruh Cu Po-kun bergebrak dengan Ong Giok-yan, taktiknya memang sangat bagus. Pertama, kalau si nona dapat membongkar rahasia Cu Po-kun, itu berarti akan terjawablah teka-teki sang Sute yang belum terpecahkan selama ini. Maka Cu Po-kun lantas berdiri, ia pun memberi hormat sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam lengan baju, ketika tangan terlolos keluar, tahu-tahu sudah memegang sepasang senjata gurdi dan palu atau Lui-kong-hong serupa apa yang dikeluarkan Suma Lim tadi. Silakan nona memberi petunjuk, demikian katanya segera. Semua orang menjadi heran, kalau dengan mudah senjata Suma Lim dapat ditebak dengan jitu oleh si nona, kini senjata Cu Po-kun juga serupa dengan Suma Lim, masakah suruh orang menebak lagi? Maka Giok-yan lantas berkata, Jika tuan juga memakai senjata Lui-kong-hong, dengan sendirinya juga berasal dari Jing-sia-pay. Namun Suma Lim lantas memberi penjelasan, Cu-sute sebelum masuk perguruan kami sudah belajar ilmu silat aliran lain. Dan dari aliran manakah asal

usulnya itulah kami ingin menguji ketajaman pandangan nona. Ini benar-benar persoalan sulit pikir Giok-yan. Dan belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba Yau Pek-tong mendahului buka suara, Suma-ciangbun, apa artinya caramu minta si nona mengenali Kungfu asli Sutemu itu? Bukankah hal ini terlalu janggal? Terlalu janggal bagaimana? tanya Suma Lim dengan tercengang. Habis, muka Sutemu penuh lubang-lubang, ukirannya sangat bagus dan rata, muka aslinya dengan sendirinya sukar diterka, kata Yau Pek-tong dengan tertawa. Mendengar Cecu mereka mengolok-olok muka Cu Po-kun yang bopeng itu, seketika bergelak tawalah orang-orang dari Cin-keh-ce hingga riuh rendah. Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara mendenging, secepat kilat sebuah senjata rahasia kecil lembut menyambar ke arah dada Yau Pek-tong. Kiranya watak Cu Po-kun itu sangat keji dan culas, biasanya paling benci kalau ada orang menertawakan mukanya yang burik itu. Apalagi kini Yau Pek-tong mengolok-oloknya di muka wanita cantik, keruan bencinya sampai tujuh turunan, tanpa pikir lagi segera ia arahkan gurdinya ke dada Yau Pek-tong, sekali jarinya memijat ujung gurdi, terus saja sebatang Am-gi atau senjata gelap menyambar ke depan. Meski Yau Pek-tong juga sudah menduga bahwa olok-oloknya itu pasti akan menimbulkan serangan lawan, tapi tak tersangka olehnya serangan Cu Po-kun bisa begitu cepat datangnya. Dalam gugupnya ia tidak sempat mencabut golok buat menangkis, terpaksa tangan kirinya menyambar tatakan lilin di atas meja untuk menyampuk Am-gi itu. Creng, Am-gi itu mencelat ke atas dan menancap di belandar, kiranya Am-gi itu adalah sebatang jarum yang panjangnya cuma beberapa senti saja. Dan ternyata jarum sekecil itu membawa tenaga yang sangat besar, tangan Yau Pek-tong sampai pegal dan kesemutan hingga tatakan lilin itu terbentur jatuh ke lantai dan menerbitkan suara gemerantang nyaring. Seketika gempar gerombolan Cin-keh-ce itu. Mereka berkaok-kaok dan mencaci-maki kalang kabut dari yang halus sampai yang paling kasar. Tapi kawanan orang Jing-sia-pay tetap bersikap dingin dan bungkam saja terhadap teriakan dan makian pihak Cin-keh-ce dianggap seperti tidak mendengar dari tidak melihat saja. Sungguh tak terduga oleh Yau Pek-tong bahwa tatakan lilin seantap itu dapat terlepas dari cekalannya hanya terbentur oleh sebatang jarum selembut itu. Kalau menurut peraturan Bu-lim itu berarti dirinya telah kalah satu jurus lebih dulu. Pikirnya dalam hati, Ilmu silat lawan tampaknya agak aneh, seumpama mesti bertempur dengan mereka juga harus berhadapan secara terang-terangan. Tapi menurut uraian nona cilik itu tadi katanya Jing-sia-pay mempunyai 18 macam jenis serangan, mungkin maksudnya 18 jenis Am-gi, untuk ini aku harus berlaku hati-hati supaya tidak kecundang lagi. Segera ia hentikan teriakan begundalnya, lalu katanya dengan tertawa, Kepandaian saudara Cu barusan sungguh sangat bagus dan teramat keji pula! Apa namanya kepandaianmu ini?

Tapi Cu Po-kun cuma tertawa dingin saja tanpa menjawab. Sebaliknya orang-orang Cin-keh-ce lantas berteriak-teriak lagi. Satu di antaranya berbadan segendut babi menggembor, Namanya tidak punya muka! Hahaha! Sungguh tepat, sungguh jitu! Memang orangnya tidak punya muka, nama ini benar-benar sesuai sekali! demikian seorang lagi yang bermuka mirip monyet menanggapi. Teranglah ucapan orang Cin-keh-ce itu sengaja digunakan untuk menyindir muka Cu Po-kun yang burik bagai sarang tawon itu. Giok-yan menggeleng kepala, katanya kemudian dengan suara lembut, Yau-cecu, ini terang engkau yang salah! Salah apa? tanya Pek-tong melengak. Setiap manusia jarang yang tidak punya cacat badan, baik besar maupun kecil cacat itu, sahut Giok-yan. Umpama waktu kecil terjatuh mungkin akan mengakibatkan kakinya patah dan menjadi pincang. Dalam pertempuran, siapa berapi menjamin takkan kehilangan sebelah kaki atau sebelah matanya. Maka kalau di antara kawan Bu-lim ada yang badan terdapat sesuatu cacat sebenarnya adalah soal jamak bukan? Terpaksa Yau Pek-tong membenarkan. Dan tentang Cu-ya ini, karena waktu kecilnya menderita sesuatu penyakit sehingga mengakibatkan mukanya cacat, apanya yang perlu ditertawakan? kata Giok-yan lebih lanjut. Seorang laki-laki sejati yang harus diutamakan pertama adalah kepribadiannya, jiwa yang bersih. Kedua adalah perbuatannya, amal bakti bagi sesamanya, dan ketiga mengenai ilmu silatnya atau ilmu sastranya. Orang laki-laki tidak bersolek seperti wanita, tentang bagus atau tidak mukanya, apa alangannya? Uraian Giok-yan yang terus terang dan wajar ini membikin Yau Pek-tong tak bisa menjawab. Akhirnya ia terbahak-bahak dan berkata, Hahaha, ada benarnya juga kata-kata nona cilik ini. Haha, jika demikian, jadi aku yang salah menertawakan Cu-heng! Giok-yan tersenyum, katanya, Loyacu berani mengaku salah secara terus terang, suara tanda jiwa kesatria Loyacu pantas dipuji. Sampai di sini, tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Po-kun dan berkata dengan menggeleng kepala, Tidak, cukup, percumalah itu! Nada ucapannya sangat ramah dan penuh simpati mirip seorang kakak sedang memberi nasihat kepada adiknya. Sudah tentu ucapan terakhir si nona bukan saja membingungkan orang lain, bahkan Cu Po-kun juga melongo tidak paham apa maksud perkataan Giok-yan itu. Tadi ia merasa sangat senang dan berterima kasih kepada si nona oleh karena selama hidupnya yang paling disesalkan adalah mukanya yang burik itu, kini gadis itu membela orang yang cacat dan katanya yang penting bagi seorang pria adalah jiwa pribadi dan tingkah lakunya. Tapi sekarang didengarnya pula gadis itu berkata tidak cukup dan percumalah, entah apa yang dimaksudkannya? Apa mungkin maksudnya aku punya

Thian-ong-po-sim-ciam belum sempurna dan percuma kalau digunakan? Demikian pikir Cu Po-kun. Padahal ia yakin Thian-ong-po-sim-ciam atau Jarum Raja Langit yang jumlah seluruhnya ada 12 batang itu kalau sekali dibidikkan pasti jiwa si tua bangka Yau Pek-tong sudah melayang sejak tadi. Ia pikir setiap saat aku toh dapat menghabiskan nyawanya, sementara ini biarlah aku tidak gubris padanya, supaya tidak sampai rahasiaku terbongkar di hadapan Suheng Suma Lim. Karena pikiran itu, ia pura-pura bodoh dan tanya Giok-yan, Apa artinya yang nona katakan itu? Kumaksudkan kau punya Thian-ong-po-sim-ciam benar-benar semacam Am-gi yang sangat ganas, tetapi .... Belum selesai Giok-yan bicara, serentak Suma Lim dan ketiga tokoh Jing-sia-pay yang lain berseru kaget, Hah, apa? Thian-ong-po-sim-ciam? Cu Po-kun sendiri juga tergetar dan air muka berubah tapi cepat ia tenangkan diri dan menjawab, Salah pandangan nona ini, bukan Thian-ong-po-sim-ciam, tapi Am-gi andalan Jing-sia-pay kami yang disebut Jing-hong-ciam (jarum tawon hijau). Bentuk Jing-hong-ciam memang demikian adanya, sahut Giok-yan dengan tertawa. Caramu membidik Thian-ong-po-sim-ciam juga serupa dengan cara menggunakan Jing-hong-ciam. Tapi dasar dari Am-gi masing-masing terletak pada tenaga yang digunakannya dan daya menyambarnya. Seperti melempar pisau Siau-lim-pay mempunyai tenaga lemparan Siau-lim-pay sendiri, Hoa-san-pay juga mempunyai gaya sendiri yang tidak sama. Tentang caramu .... Nona cilik tahu apa? Hendaknya jangan banyak omong hingga mencari kematian sendiri, tiba-tiba Cu Po-kun menyela dengan bengis. Sekilas sinar matanya penuh nafsu membunuh, gurdi baja terangkat di depan dada, asal palu mengetok sekali pada ujung gurdi, seketika jarum bajanya akan menyambar ke arah Giok-yan. Namun demikian, biarpun ia sangat keji, demi melihat si gadis yang cantik molek, pula tadi orang telah membela cacat mukanya, seketika ia tidak tega turun tangan jahat untuk membunuh Giok-yan. Namun Giok-yan menghadapinya dengan tersenyum saja, katanya, Engkau tidak tega membunuhku, terima kasih atas kebaikanmu. Tapi andaikan kau berani turun tangan, rasanya juga percuma. Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay bermusuhan turun-temurun, usahamu sekarang sudah pernah dicoba oleh Ciangbunjin angkatan ketujuh golongan kalian, yaitu Hay-hong-cu Totiang. Kepintarannya dan ilmu silatnya kurasa tidak berada di bawahmu. Toan Ki, A Cu, A Pik, Yau Pek-tong, Suma Lim dari lain-lain menyaksikan gurdi Cu Po-kun sudah diarahkan pada Giok-yan, akan tetapi tampaknya agak takut-takut. Padahal tadi waktu ia menyerang Yau Pek-tong, betapa cepat dan kuat sambaran senjata rahasianya sungguh jarang ada bandingannya, terang di dalam gurdi itu terpasang pegas yang daya jepretnya sangat keras. Untung Yau Pek-tong cukup gesit hingga terhindar dari maut. Tapi kini kalau Cu Po-kun juga membidikkan Am-gi seperti tadi, apakah gadis jelita seperti Giok-yan ini sanggup menghindar? Namun menghadapi ancaman elmaut Giok-yan ternyata anggap sepi saja, bahkan

seenaknya ia menceritakan pula rahasia besar Bu-lim tentang permusuhan Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay, keruan seketika tokoh-tokoh Jing-sia-pay menjadi curiga dan sama melototi Cu Po-kun, pikir mereka, Jangan-jangan Cu-sute ini orang Hong-lay-pay yang menjadi musuh bebuyutan kita dan sengaja menyusup ke dalam Jing-sia-pay kita? Akan tetapi mengapa logat suaranya orang Sujoan dan tiada tanda logat orang Soatang? Kiranya Hong-lay-pay itu berada di daerah Soatang-poan-to (semenanjung Santung), dan sudah ratusan tahun lamanya bermusuhan dengan Jing-sia-pay di Sujoan, awal mula permusuhan itu adalah karena berdebat tentang ilmu silat hingga akhirnya jadi bunuh-membunuh. Tapi karena ilmu silat kedua pihak sama kuatnya, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri, maka kedua pihak sama-sama belum terkalahkan, sebaliknya telah banyak memakan korban. Hay-hong-cu yang disebut Giok-yan tadi adalah seorang tokoh kenamaan Hong-lay-pay, ia merasa ilmu silat kedua pihak sama kuatnya, untuk mengalahkan lawan terang tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah mempelajari juga ilmu silat pihak lawan, dengan demikian lawan dapat dikalahkan. Karena itulah ia kirim salah seorang murid pilihannya untuk menyelundup ke dalam Jing-sia-pay. Akan tetapi sebelum murid itu cukup sempurna mempelajari ilmu silat Jing-sia-pay, ia keburu diketahui dan dihukum mati oleh ketua Jing-sia-pay. Karena kejadian itu, permusuhan kedua pihak semakin mendalam dan kewaspadaan masing-masing pihak pun tambah tinggi, khawatir kalau pihak lawan menyelundupkan mata-mata ke dalam perguruan sendiri. Maka selama berpuluh tahun ini Jing-sia-pay menetapkan peraturan tidak mau menerima orang dari daerah utara sebagai murid, bahkan sampai akhirnya penerimaan anak murid hanya terbatas pada orang Sujoan sendiri saja. Jing-hong-ciam yang dikatakan itu adalah Am-gi khas golongan Jing-sia-pay, sebaliknya Thian-ong-po-sim-ciam yang disebut Giok-yan itu adalah senjata andalan Hong-lay-pay. Sebagai murid Jing-sia-pay, senjata yang dibidikkan Cu Po-kun itu dengan sendirinya adalah Jing-hong-ciam, tapi Giok-yan justru bilang itu adalah Thian-ong-po-sim-ciam, keruan hal itu membikin jago-jago Jing-sia-pay terkejut dan curiga. Sebab sama halnya dengan Jing-sia-pay, dalam Hong-lay-pay juga ada peraturan yang melarang menerima anak murid dari daerah lain, kecuali orang Soatang sendiri. Sedang Cu Po-kun adalah keturunan keluarga Cu yang terkenal di kabupaten Khekoan di Sujoan Barat, mana bisa dia menjadi murid Hong-lay-pay? Maksud Suma Lim menyuruh Cu Po-kun maju menghadapi Giok-yan juga cuma timbul dari rasa ingin tahu asal usul Cu-sute itu dan bukan timbul dari niat jahat. Maka ia benar-benar tidak mengerti mengapa senjata rahasia Cu-sute itu adalah senjata andalan Hong-lay-pay yang merupakan musuh besar itu? Kalau ada orang yang paling kaget, maka orang itu adalah Cu Po-kun sendiri, yaitu karena rahasia pribadinya kena dibongkar oleh Giok-yan. Kirinya guru Cu Po-kun yang pertama bernama To-leng-cu, seorang tokoh terkemuka dari Hong-lay-pay. Pada waktu mudanya To-leng-cu pernah juga dihajar orang Jing-sia-pay, maka dengan mati-matian ia mencari jalan untuk

membalas dendam. Akhirnya ia mendapat satu akal. Ia suruh seorang kawannya menyaru sebagai begal besar dan menggerayangi keluarga Cu di Khekoan, tuan rumahnya diringkus serta akan memerkosa anak istrinya. Sementara itu To-leng-cu sudah menunggu di luar rumah, pada saat yang paling genting itulah baru ia muncul dan pura-pura menolong keluarga Cu serta mengenyahkan penjahat itu. Sudah tentu tuan rumah sangat berterima kasih dan menganggapnya sebagai dewa penolong. To-leng-cu sengaja berlagak sebagai imam bisu, ia memberi isyarat bahwa bukan mustahil kawanan begal itu akan datang kembali, keruan tuan rumahnya ketakutan setengah mati dan minta tolong supaya To-leng-cu suka tinggal sementara waktu di rumah keluarga Cu. Padahal sebelumnya To-leng-cu sudah menyelidiki dan mendapat tahu putra keluarga Cu, yaitu Cu Po-kun mempunyai bangun tubuh dan bakat yang bagus, semula ia pura-pura keberatan, tapi kemudian setelah dimohon pula akhirnya ia terima undangan tuan rumah dan tinggal di situ. Maju setindak, pada suatu kesempatan lain ia lantas memancing agar Cu Po-kun mengangkatnya sebagai guru. Dan nyata, Cu Po-kun memang sangat pintar, bakatnya sangat menonjol, belajarnya juga giat maka kemajuannya sangat pesat. Tiada seberapa tahun, jadilah Cu Po-kun seorang tokoh pilihan Hong-lay-pay. To-leng-cu itu kecuali bermaksud membalas dendam kepada Jing-sia-pay, sebenarnya tiada niat jahat lain. Ia pun sangat sabar dan telaten, sedari mulai sampai akhir ia tetap pura-pura bisu dan tidak pernah bicara sepatah kata pun. Pada waktu memberi pelajaran pada Cu Po-kun juga dilakukan dengan isyarat-isyarat tangan dan bila perlu dengan tulisan, sebab itulah meski ia tinggal bersama Cu Po-kun selama sepuluh tahun, si murid tetap tidak pernah mendengar sepatah kata sang guru yang berlogat Soatang. Ketika Cu Po-kun sudah tamat belajar, To-leng-cu lantas menuliskan sebab musabab tentang dirinya memondok di rumah keluarga Cu serta minta keputusan si murid. Sudah tentu mengenai muslihat kawannya disuruh menyamar sebagai begal dan dirinya pura-pura menolong itu sama sekali tidak disinggungnya. Oleh karena selama sepuluh tahun itu To-leng-cu sangat berbudi padanya, boleh dikatakan segenap ilmu silat Hong-lay-pay telah diturunkan padanya, karena terima kasihnya, setelah mengetahui maksud tujuan sang guru, segera Cu Po-kun terima tugas dengan baik dan masuk Jing-sia-pay sebagai murid Suma Wi. Suma Wi adalah ayah Suma Lim yang menjadi ketua Jing-sia-pay sekarang. Tatkala itu usia Cu Po-kun sudah tidak muda lagi, sebenarnya Suma Wi tidak mau menerimanya. Tapi keluarga Cu adalah hartawan berpengaruh di Sujoan Barat, betapa pun Jing-sia-pay juga ingin menambah nama baik dengan dukungan golongan berpengaruh, maka akhirnya ia pun menerimanya. Di dalam memberi pelajaran, Suma Wi dapat mengetahui juga bahwa Cu Po-kun sudah menguasai dasar ilmu silat yang lumayan, beberapa kali ia coba tanya, tapi Po-kun memberi jawaban bahwa kepandaiannya itu diperoleh dari guru silat pasaran yang diundang ke rumah oleh orang tua. Suma Wi pikir hartawan besar seperti keluarga Cu memang bukan mustahil ada beberapa penjaga rumah yang berilmu silat, maka ia pun tidak tanya lebih jauh.

Cu Po-kun sendiri sebelum masuk Jing-sia-pay lebih dulu sudah diberi petunjuk oleh To-leng-cu tentang ilmu silat Jing-sia-pay mana yang harus diperhatikan dan diselami secara mendalam. Apalagi setiap tahun baru atau hari raya ia suka memberi sumbangan-sumbangan kepada sang guru dan para saudara seperguruan, bila Suhu ada kesukaran apa-apa, berkat keluarganya yang berharta dan berpengaruh, segala apa dapat dibereskannya dengan baik olehnya. Karena itulah Suma Wi merasa tidak enak sendiri, dalam hal pelajaran ia berikan apa semestinya, maka apa yang dipahami Cu Po-kun boleh dikatakan tiada berbeda daripada Suma Lim yang merupakan putra tunggal Suma Wi itu. Sebenarnya tiga-empat tahun yang lalu To-leng-cu telah minta pada Po-kun agar pura-pura ingin berkelana untuk menambah pengalaman, lalu datang ke Hong-lay-pay untuk mempertunjukkan ilmu silat Jing-sia-pay yang telah dipelajarinya itu. Dengan begitu supaya Hong-lay-pay bisa menyelami kepandaian musuh untuk kemudian dapat membasminya habis-habisan. Namun sejak Cu Po-kun menjadi murid Jing-sia-pay, ia merasa Suma Wi memandangnya tidak berbeda serupa putra sendiri, kalau dia disuruh membasmi Jing-sia-pay dengan tangan sendiri dan membunuh keluarga Suma, betapa pun ia tidak tega. Maka diam-diam ia ambil keputusan kalau nanti Suma Wi sudah wafat barulah ia tega melaksanakan niat To-leng-cu itu. Mengenai Suma Lim karena Suheng ini lumrah saja terhadapnya dan tiada sesuatu yang luar biasa, kalau membunuhnya terasa tidak menjadi soal. Sebab itulah rencana To-leng-cu menjadi tertunda lagi beberapa tahun. Beberapa kali To-leng-cu pernah mendesaknya, tapi selalu Po-kun memberi alasan belum sempurna mempelajari kepandaian Jing-sia-pay, belum lengkap apa yang dipahaminya, kalau buru-buru turun tangan, mungkin akan gagal setengah jalan. Karena itu, dengan sendirinya To-leng-cu tidak berani memaksa dan terpaksa bersabar terus. Sampai pertengahan tahun yang lalu, tiba-tiba terjadilah sesuatu di luar dugaan. Suma Wi telah dibinasakan orang di dekat Pek-te-sia dengan Boh-goat-cui, salah satu di antara ke-36 macam Kungfu Jing-sia-pay sendiri. Telinganya pecah dan otaknya terluka hingga tewas. Apa yang disebut Boh-goat-cui itu tidak berwujud gurdi sungguh-sungguh, tapi kelima jari tangan disatukan hingga lancip tampaknya terus dijujukan untuk menyerang telinga musuh dengan tenaga dalam yang dahsyat. Ketika Suma Lim dan Cu Po-kun mendapat kabar kematian Suma Wi itu, siang malam mereka memburu ke tempat kejadian, yaitu Pek-te-sia. Ketika memeriksa luka sang guru, ternyata bekas ditewaskan dengan ilmu Boh-goat-cui atap Gurdi Perusak Bulan, padahal ilmu itu adalah Kungfu andalan Jing-sia-pay sendiri. Keruan kejut dan berduka kedua orang itu. Setelah mereka berunding, mereka berpendapat kecuali Suma Wi sendiri yang mahir menggunakan Boh-goat-cui cuma Suma Lim dan Cu Po-kun sendiri, ditambah lagi dua tokoh tua Jing-sia-pay yang lain. Tapi pada waktu peristiwa terbunuhnya Sama Wi itu keempat orang yang mahir Boh-goat-cui itu sedang berada di rumah dan berkumpul menjadi satu hingga tiada seorang pun yang mungkin dicurigai. Dan jika begitu pembunuh Suma Wi itu selain Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin, terang tiada orang lain lagi.

Sebab itulah segenap anggota Jing-sia-pay telah dikerahkan serentak untuk mengaduk ke Koh-soh dan hendak bikin perhitungan dengan Buyung-si. Sebelum berangkat, diam-diam Cu Po-kun tanya kepada To-leng-cu apakah matinya Suma Wi itu adalah perbuatan orang Hong-lay-pay? Tapi To-leng-cu memberi jawaban tertulis, Ilmu silat Suma Wi setingkat dengan aku. Kalau aku harus menyergap dia tentu kugunakan Thian-ong-po-sim-ciam baru dapat membinasakan dia. Kalau main keroyok, kita harus pakai Tiat-koay-tin (barisan tongkat besi). Po-kun pikir keterangan To-leng-cu itu memang benar. Tatkala itu diketahuinya ilmu silat kedua guru itu memang setingkat, siapa pun tak bisa mengalahkan pihak yang lain. Kalau hendak membunuh Suma Wi dengan Boh-goat-cui, jangankan To-leng-cu memang tidak mahir ilmu itu, sekalipun mahir juga takkan mampu melawan kekuatan Suma Wi. Karena itu, tanpa sangsi lagi Cu Po-kun lantas ikut ke Koh-soh untuk menuntut balas. Setiba di Koh-soh, setelah tanya ke sini-sana, akhirnya dapatlah mereka sampai di Thing-hiang-cing-sik. Tak tersangka lebih dulu kawanan bandit dari Cin-keh-ce itu sudah berada di situ. Orang-orang Jing-sia-pay mempunyai disiplin yang sangat keras, kalau tidak diperintah pemimpin tiada serang pun yang berani sembarangan bicara atau bertindak. Maka demi melihat kelakuan orang-orang Cin-keh-ce yang kasar itu, mereka sangat memandang hina tingkah laku yang tidak patut itu. Tujuan kedatangan Jing-sia-pay adalah membalas sakit hati, maka terhadap setiap benda di dalam Thing-hiang-cing-sik sama sekali tidak diusik sedikit pun, santapan yang mereka makan juga ialah ransum yang mereka bawa sendiri. Dengan demikian mereka menjadi selamat malah, sebab mereka tidak ikut merasakan kelezatan ingus dan ludah serta kotoran yang ditaburkan oleh si koki gendut alias Lau Koh, yang kenyang makan kotoran adalah orang-orang Cin-keh-ce. Siapa duga kemudian datanglah Giok-yan berempat hingga rahasia Cu Po-kun sekaligus terbongkar. Segera timbul maksudnya membunuh si nona untuk menutup mulutnya, tapi sedikit ayal lantas terlambat, kata-kata Thian-ong-po-sim-ciam sudah keburu didengar oleh Suma Lim, sekalipun umpamanya Giok-yan dapat dibunuh olehnya juga tiada faedah baginya, paling-paling malahan akan menandakan rasa takutnya karena rahasianya terbongkar. Kemudian didengarnya pula Giok-yan mengatakan, Usahamu ini dahulu sudah pernah dilakukan oleh ketua angkatan ketujuh kalian, Hay-hong-cu, kepintarannya pasti tidak di bawahmu, tapi dia toh juga gagal. Pula gadis itu mengatakan, Tidak cukup, percumalah! Apakah maksudnya ilmu silat Jing-sia-pay yang kupelajari dari Suma Wi ini masih kurang cukup dan belum meliputi seluruh ilmu silat Jing-sia-pay? Atau masuknya ke Jing-sia-pay sudah dicurigai, cuma Suhu tidak mau membongkar rahasiaku ini? Dan sekarang sesudah orang-orang Jing-sia-pay mengetahui aku adalah mata-mata musuh, lalu apa yang mereka akan perbuat atas diriku? Sejak kini pastilah namaku akan runtuh di dunia persilatan dan sukar menancapkan kaki lagi di kalangan Kangouw! Begitulah makin dipikir makin risau hati Cu Po-kun. Ketika berpaling, ia

lihat Suma Lim dan lain-lain sedang melotot padanya dengan tangan sedekap di dalam lengan baju masing-masing. Hm, jadi Cu-ya sebenarnya adalah orang Hong-lay-pay! Hm, bagus, bagus sekali! demikian terdengar Suma Lim bersuara mengejek dengan dingin. Ia tidak menyebut Po-kun sebagai Cu-sute lagi, tapi memanggilnya Cu-ya atau tuan Cu, ini berarti ia tidak anggap Po-kun sebagai saudara seperguruan lagi. Tentu saja Cu Po-kun menjadi serbasusah, kalau mengaku, terang, salah, bila tidak mengaku, lebih-lebih salah, jadi serbasalah. Maka Suma Lim berkata pula, Jadi maksud tujuanmu menyelundup ke Jing-sia-pay adalah ingin mempelajari ilmu Bok-goat-cui, sesudah pintar akan dipakai untuk membunuh ayahku. Hm, manusia berhati binatang seperti dirimu ini sungguh teramat kejam! Habis berkata, ketika kedua tangannya terpentang, masing-masing tangan tahu-tahu sudah bertambah semacam senjata. Menurut pikiran Suma Lim, jika ilmu silat perguruan sendiri sudah berhasil dicolong oleh Po-kun, dengan sendirinya pasti telah diajarkan pula kepada jago-jago Hong-lay-pay. Walaupun waktu ayahnya terbunuh, Cu Po-kun berada Sengtoh, yaitu di tempat tinggal Jing-sia-pay, bukan mustahil semua itu adalah tipu muslihat Po-kun untuk mengelabui mata orang Jing-sia-pay. Begitulah muka Cu Po-kun tampak merah padam. Sebabnya dia menyelundup ke dalam Jing-sia-pay sebenarnya memang bertujuan jahat, selama ini sesungguhnya sedikit pun ia tidak pernah membocorkan ilmu silat Jing-sia-pay. Namun urusan sudah telanjur begini, cara bagaimana ia bisa membela diri? Tampaknya segera bakal terjadi suatu pertarungan mati-matian, mungkin sukar menghindarkan malapetaka yang akan menimpa dirinya. Ia pikir andaikan jiwanya mesti melayang dibunuh Suma Lim dan kawan-kawannya, dasar dirinya memang bermaksud jahat, rasanya juga pantas mendapat ganjaran seperti itu. Karena itulah ia coba keraskan hati dan menjawab, Suma-suhu bukan aku yang mencelakainya .... Sudah tentu bukan tanganmu berdiri yang menewaskannya, bentak Suma Lim. Tapi secara tidak langsung, apa bedanya dengan kau sendiri yang turun tangan? Lalu ia berkata kepada kedua kakek tinggi kurus di sampingnya, Kiang-susiok dan Beng-susiok, terhadap murid murtad seperti ini, tidak perlu kita bicara tentang peraturan Bu-lim lagi, marilah kita maju bersama. Kedua kakek itu mengangguk, kedua tangan mereka lantas dilolos keluar dari lengan baju, semuanya tangan kiri memegang gurdi dan tangan kanan memegang palu, dari kanan-kiri mereka terus mendesak maju. Cepat Po-kun mundur beberapa langkah dan mepetkan punggung di suatu pilar dalam ruangan itu untuk menghindarkan serangan dari belakang. Jilid 21. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/3/17 (2234 reads) Bunuhlah murid durhaka ini untuk membalaskan sakit hati ayah! teriak Suma Lim mendadak sambil menerjang ke depan, palunya lantas mengetuk kepala Cu

Po-kun. Tapi sekali mengegos dapatlah Po-kun menghindar, menyusul ia pun balas menghantam dengan gurdinya. Murid murtad, kau masih punya muka untuk menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay? bentak si kakek she Kiang. Berbareng gurdinya menikam leher Po-kun, sedang palu yang kecil itu beruntun mengetuk tiga kali. Karena dikeroyok tiga, Cu Po-kun menjadi kerepotan, dalam sekejap saja ia sudah menghadapi ancaman-ancaman maut. Suma Lim terlalu bernafsu hendak membalas sakit hati ayahnya, maka tipu serangannya agak kasar, untuk mana Cu Po-kun masih dapat melawannya. Tapi kedua kakek she Kiang dan Beng itu adalah tokoh tertua Jing-sia-pay, serangan mereka penuh dengan tipu keji andalan Jing-sia-pay, setiap serangan mereka selalu mengincar tempat berbahaya di badan Cu Po-kun. Untungnya setiap serangan ketiga orang itu sudah hafal bagi Cu Po-kun, ia dapat menduga bagaimana serangan-serangan berikutnya, dengan demikian barulah ia sanggup satu lawan tiga untuk sementara. Setelah belasan jurus pula, tiba-tiba hatinya merasa pedih, pikirnya, Sesungguhnya Suma-suhu sangat baik padaku, buktinya tiada suatu pun jurus serangan Suma-suheng dan kedua Susiok itu yang tak diketahui olehku, jadi apa yang diajarkan padaku sudah meliputi semua ilmu silat Jing-sia-pay yang ada, hal ini nyata tertampak dari jurus serangan Suma-suheng bertiga sekarang, dalam keadaan demikian pasti mereka mengerahkan segenap kepandaian untuk menyerang aku, tapi setiap tipu sekarang mereka jelas sudah kukenal. Hal ini pun menandakan ilmu silat Jing-sia-pay juga memang cuma sekian saja. Dan oleh karena rasa terima kasihnya kepada budi sang guru, segera ia berteriak-teriak lagi, Suma-suhu sama sekali bukan aku yang mencelakainya .... Sedikit lengah itulah telah memberi kesempatan kepada Suma Lim untuk menubruk maju. Senjata andalan Jing-sia-pay sangat kecil dan pendek, dan di sinilah letak kelihaiannya dalam pertarungan jarak dekat. Sekali Suma Lim telah mendesak maju, bila lawannya adalah dari golongan lain, itu berarti ia sudah menang angin lebih dulu. Tapi kini lawannya adalah Cu Po-kun yang ilmu silatnya serupa dengan dirinya, maka keuntungan bertarung dari jarak dekat ini berarti sama diperoleh kedua pihak. Di bawah cahaya lilin, sesaat itu pandangan semua orang menjadi silau. Tertampak Suma Lim dan Cu Po-kun berdua sama cepatnya, tangan mereka sama bergerak cepat, hanya dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak 7-8 jurus. Tapi karena kedua orang sama paham serangan masing-masing, maka setiap serangan lawan selalu dapat ditangkis atau dihindar dengan tepat. Dengan pertarungan Suma Lim dan Cu Po-kun dari jarak dekat ini, seketika kelihatanlah di mana letak kebagusan ilmu silat Jing-sia-pay. Keduanya didikan dari satu guru yang sama, maka kepandaian masing-masing adalah serupa. Suma Lim menang muda dan tenaga kuat, sebaliknya Cu Po-kun lebih berpengalaman dan lebih ulet. Maka dalam pertarungan sengit ini semua orang cuma mendengar suara gemerantang dan gemerencing yang ramai, tapi cara bagaimana mereka saling serang tidak terlihat jelas lagi.

Melihat Suma Lim belum dapat menundukkan lawannya, kedua kakek she Kiang dan Beng itu mendadak bersuit berbareng, keduanya terus jatuhkan diri ke lantai dan mendadak menggelinding ke depan untuk menyerang bagian bawah Cu Po-kun. Pada umumnya orang yang biasa menggunakan senjata pendek, kecuali kaum wanita, tentu mahir pula kepandaian Kun-te-tong atau main bergelinding di tanah, dengan cara demikian, terkadang musuh akan menjadi kelabakan. Sebenarnya Po-kun juga paham ilmu Lui-kong-tio-ke-bong atau beledek menyambar dari bawah tanah itu. Tapi celakanya kedua tangannya harus dipakai melayani Suma Lim, dengan sendirinya ia tidak sanggup menghadapi serangan kedua kakek, terpaksa ia hanya bisa menghindar sambil berloncatan kian kemari. Mendadak si kakek Kiang mengetuk dengan palunya dari kiri ke kanan, sebaliknya gurdi si kakek Beng menikam dari kiri. Terpaksa Po-kun hanya dapat menyerang salah seorang, ia ayun sebelah kakinya untuk menendang iga kakek Beng. Kesempatan itu disia-siakan si kakek Kiang, ia menubruk lebih dekat, palu terus mengetuk. Pada saat yang sama itulah palu Suma Lim juga menghantam jidat Cu Po-kun. Dalam keadaan berbahaya itu, Po-kun terpaksa menangkis serangan yang paling berbahaya, ia angkat palu sendiri untuk menangkis serangan Suma Lim, trang, kedua palu saling bentur hingga lelatu api meletik. Sebaliknya paha kiri Po-kun kena diketuk mentah-mentah oleh si kakek Kiang. Jangan kira palu sekecil itu tiada berarti, tenaga hantamannya ternyata sangat lihai, saking sakitnya sampai Cu Po-kun meringis, seketika ia tidak tahu apakah tulang kaki patah atau tidak, tapi seluruh tenaganya ia pusatkan pada kaki lain yang masih kuat. Sekali berhasil serangannya, si kakek Kiang mendapat hati, kembali palunya menghantam untuk kedua kalinya. Terpaksa Po-kun menangkis dengan palunya, trang, kedua palu saling beradu lagi. Mendadak terdengar Po-kun menjerit kesakitan, kiranya kaki kiri itu sekarang kena ditikam oleh gurdi si kakek Beng. Dalam keadaan repot itu sebenarnya Po-kun masih dapat menghindarkan tikaman gurdi si kakek Beng, tapi ia pikir kalau serangan itu dielakkan, tentu akan memberi kesempatan kepada kedua kakek Beng dan Kiang untuk membentuk jaring serangan Lui-kong-hong yang lebih hebat dan tentu dirinya bisa celaka. Toh kaki kiri sudah kena ketuk dan tidak diketahui patah atau tidak, maka biarlah tertikam lagi juga tidak menjadi soal. Dan karena tikaman yang cukup dalam itu, seketika darah muncrat ketika ia loncat untuk menempur ketiga lawannya itu, darah ikut berciprat ke mana-mana hingga dinding di sekitarnya yang putih bersih itu penuh noda darah. Melihat A Cu bersungut, Giok-yan tahu kawannya itu kurang senang terhadap pertarungan orang-orang itu hingga rumahnya yang indah bersih itu ikut menjadi kotor. Maka berkatalah Giok-yan dengan tersenyum, Hai, jangan kalian berkelahi lagi, ada urusan apa boleh bicara secara baik-baik, mengapa mesti main hantam cara begini? Cu Po-kun ada maksud menuruti keinginan Giok-yan itu, tapi di bawah keroyokan

tiga orang, mana dia dapat berhenti begitu saja? Sebaliknya Suma Lim bertiga sudah bertekad akan mematikan Cu Po-kun untuk membalas sakit hati ayahnya, tentu saja mereka tidak mau gubris seruan si nona. Melihat anjurannya tidak dipedulikan orang, terutama pihak Suma Lim bertiga, maka Giok-yan berkata pula, Semuanya gara-gara ucapanku tentang Thian-ong-po-sim-ciam hingga rahasia Cu-siangkong terbongkar. Tapi itu adalah salahku, maka kalian, hai, Suma-siangkong, lekas kalian berhenti! Sakit hati ayah masa tidak boleh kubalas? Kenapa engkau ikut cerewet! bentak Suma Lim gusar. Kalian mau berhenti atau tidak? Jika tidak, awas, akan kubantu dia, lho! kata Giok-yan. Terkesiap juga Suma Lim oleh ancaman gadis itu. Pikirnya, Pandangan nona cantik sangat tajam dan jitu, bila ilmu silatnya juga sama lihainya, sekali dia membantu lawan, tentu susah untuk menuntut balas. Tapi segera terpikir pula olehnya, Jago-jago pilihan Jing-sia-pay kami sudah dikerahkan ke sini, paling-paling kami mengerubut maju sekaligus, masakah terhadap seorang nona lemah-lembut seperti ini juga mesti takut? Karena itu, ia tidak gubris lagi kepada Giok-yan, sebaliknya serangannya semakin gencar. Cu-siangkong, kata Giok-yan tiba-tiba kepada Po-kun, gunakan jurus Li Cun-hau-pak-hou-se (gaya Li Cun-hau menghajar harimau), kemudian pakai jurus Thio Ko-lau-to-ki-lo (Thio Ko-lau menunggang keledai dengan mungkur)! Cu Po-kun tercengang oleh petunjuk si gadis. Ia tahu jurus pertama yang dikatakan itu adalah ilmu silat Jing-sia-pay, sebaliknya jurus kedua adalah Kungfu golongan Hong-lay-pay, kedua jurus dari aliran yang tidak sama itu mana dapat dicampurbaurkan? Namun demikian, dalam keadaan kepepet, tiada waktu baginya untuk berpikir lebih jauh, segera ia mainkan jurus Li Cun-hau-pak-hou-se. Maka terdengarlah suara gemerantang dua kali, tepat sekali berturut palunya dapat membentur palu Suma Lim dan si kakek Kiang yang lagi dihantamkan ke arahnya. Menyusul tubuhnya berputar dan menyurut mundur tiga tindak dengan terincang-incut dan tepat dapat menghindarkan serangan si kakek Beng. Padahal serangan berantai si kakek Beng memakai palu dan gurdi sekaligus, sebenarnya sangat ganas dan sukar dihindarkan lawan. Bahkan Yau Pek-tong dan jago-jago Cin-keh-ce yang menonton di samping pun kebat-kebit berkhawatir bagi Cu Po-kun. Siapa duga setelah Po-kun membentur pergi palu-palunya Suma Lim dan si kakek Kiang, lalu sekali berputar dengan gaya Thio Ko-lau menunggang keledai terbalik, beruntun-runtun ia sudah lolos dari ancaman si kakek Beng yang lihai itu. Saking terpesona dan kagumnya sampai jago-jago Cin-keh-ce ikut bersorak-sorai oleh ketangkasan Cu Po-kun itu. Memangnya wajah orang-orang Jing-sia-pay selalu kaku membesi, kini mereka

tambah merengut lagi. Sebaliknya Toan Ki lantas ikut bersorak-sorak juga, Bagus, bagus! Apa yang dikatakan Ong-siocia lakukanlah menurut perintahnya, tanggung takkan merugikan engkau. Waktu Cu Po-kun menghindari serangan berantai lawan dengan gaya Thio Ko-lau menunggang keledai terbalik tadi, sebenarnya saat itu ia sendiri merasa bingung, yang terpikir olehnya cuma pasrah nasib belaka, baik mati maupun hidup masa bodoh. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa ilmu silat dari Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay yang berlawanan itu satu-sama lain dapat digunakan bersama. Keruan yang paling terperanjat adalah dia sendiri daripada orang-orang Cin-keh-ce dan Jing-sia-pay. Dalam pada itu terdengar Giok-yan telah berkata pula, Sekarang gunakanlah jurus Han Siang-cu-swat-yong-lam-koan (Han Siang-cu memeluk Lam Koan di bawah salju), lalu mainkan jurus Kok-keng-thong-yu-se (sikut ditekuk menjulur perlahan). Cu Po-kun tahu jurus-jurus itu kebalikan daripada jurus duluan tadi, sekarang jurus ilmu silat Hong-lay-pay dimainkan lebih dulu, menyusul barulah Kungfu Jing-sia-pay. Tanpa pikir segera ia menurut, ia siapkan palu dan gurdinya di depan dada. Dan pada saat itulah gurdi si kakek Beng dan Suma Lim telah menikam berbareng ke arahnya. Gerakan ketiga orang sebenarnya dilakukan pada saat yang sama, tapi bagi penonton menjadi seperti Cu Po-kun berjaga rapat pada saat sebelumnya, sebaliknya Suma Lim dan si kakek Beng kelihatan menjadi bodoh benar, sudah tahu lawan telah menjaga diri dengan rapat toh mereka masih tetap menyerang. Maka terdengarlah suara gemerencing yang nyaring, kedua gurdi mereka membentur palu Cu Po-kun hingga terpental ke samping. Tanpa pikir Po-kun terus mendak tubuh, gurdinya ikut menikam miring dari samping. Saat itu si kakek Kiang kebetulan sedang hendak menyerang bagian belakang Cu Po-kun, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa gurdi lawan bisa muncul dari arah yang tak terduga itu. Karena itulah si kakek Kiang menjadi seperti orang hendak membunuh diri saja, dengan cepat tubuhnya disodorkan ke ujung gurdi lawan, tahu juga dia keadaan yang runyam tapi untuk menghindar sudah telat. Cret, tanpa ampun lagi pinggangnya tertusuk gurdi hingga darah bercucuran bagai mata air. Kakek Kiang terhuyung hingga akhirnya roboh terkulai. Cepat dua orang Jing-sia-pay memburu maju untuk memayangnya ke pinggir. Keparat Cu Po-kun, dengan tanganmu sendiri kau lukai Kiang-susiok, apa sekarang kau masih berani menyangkal? bentak Suma Lim dengan gusar. Bukan salahnya, akulah yang suruh dia melukai Kiang-siansing itu, sela Giok-yan tiba-tiba. Sudahlah, lekas kalian berhenti saja! Jika kau mampu, suruhlah dia membunuh diriku! teriak Suma Lim murka.

Apa susahnya untuk itu? ujar Giok-yan dengan tersenyum. Cu-siangkong, boleh gunakan jurus Tiat-koay-li-gwat-he-ke-tong-ting (Tiat-koay-li menyeberang danau Tong-ting di bawah sinar bulan purnama), kemudian gunakan jurus Tiat-koay-li-giok-tong-lun-to (Tiat-koay-li berkhotbah di gua Giok)! Cu Po-kun mengiakan saja petunjuk Giok-yan itu, tapi diam-diam ia berpikir, Di dalam ilmu silat Hong-lay-pay kami yang ada cuma Lu Sun-yang-gwat-he-ko-tong-ting dan Han-ciong-li-giok-tong-lun-to, mengapa Lu Sun-yang dan Han-ciong-li disebut sebagai Tiat-koay-li oleh si nona ini? Ah, tentu karena pengetahuannya akan ilmu silat Hong-lay-pay kami terbatas, maka salah ucap! Akan tetapi Suma Lim dan si kakek Beng tidak memberi kesempatan padanya bertanya atau minta penjelasan pada si gadis, terpaksa Po-kun mainkan menurut gaya yang dipahaminya, segera ia mainkan jurus Lu Sun-yang menyeberang danau Tong-ting di bawah sinar bulan purnama, jadi bukan lagi Tiat-koay-li seperti yang dikatakan Giok-yan itu. Lu Sun-yang atau Lu Tong-ping, Han Ciong-li dan serta Han Siang-cu seperti apa yang disebut Giok-yan itu adalah nama dewa di antara Pat-sian atau Delapan Dewa. Tiat-koay-li adalah dewa pincang yang bertongkat, sebaliknya Lu Sun-yang itu gagah bergas. Maka jurus menyeberang danau itu seharusnya dilakukan Lu Sun-yang dengan langkah lebar, gayanya indah dan cepat bagai terbang. Tapi karena kaki kiri Cu Po-kun terluka dua kali, ketika hendak melangkah lebar, tanpa terasa menjadi berincang-incut, dengan sendirinya bukan lagi gaya Lu Sun-yang yang gagah, tapi mirip benar dengan gaya jalan Tiat-koay-li yang pincang itu. Dan dengan berjalan pincang itu ada manfaatnya juga bagi si pincang, sebab serangan Suma Lim dan si kakek Beng buktinya meleset semua. Menyusul Po-kun mainkan jurus Han Ciong-li-giok-tong-lun-to. Han Ciong-li adalah dewa yang selalu membawa kipas dan berbadan kekar kuat. Tapi karena kakinya pincang kembali Po-kun berincang-incut miring ke kiri, sedangkan palu di tangan kanan mengebas dengan gaya seperti sedang mengipas. Kebetulan sekali saat itu kepala si kakek Beng sedang menyelonong ke arahnya, keruan kepala kakak itu menjadi seperti sengaja disodorkan. Tanpa ampun lagi prak, mulutnya tepat kena terketok oleh palu, kontan saja belasan giginya rontok, saking kesakitan sampai si kakek Beng berteriak-teriak dan melonjak-lonjak, ia buang senjatanya dan duduk di lantai sambil memegangi mulutnya yang kini menjadi ompong itu. Keruan Suma Lim ketakutan, seketika ia menjadi bingung apa mesti bertempur terus atau berhenti saja untuk mencari jalan lain menuntut balas di kemudian hari. Hendaklah diketahui bahwa kedua jurus yang diajarkan Giok-yan kepada Cu Po-kun tadi sungguh teramat bagus dan tepat. Sebelumnya si gadis sudah menaksir, setelah si kakek Beng menyerang tiga kali tidak kena tentu akan menubruk ke samping Cu Po-kun, sebaliknya pada saat itu palu Po-kun harus mengebas keluar hingga tepat akan mengetuk mulut kakek itu. Sungguh cara menaksir Giok-yan itu boleh dikatakan dapat mengetahui apa yang bakal terjadi,

seakan-akan cara bagaimana ketiga orang itu akan saling serang sudah dapat diketahui olehnya, betapa tepat dan jitu cara menaksirnya itu sungguh sukar dibayangkan orang lain. Biarpun Suma Lim sangat bernafsu ingin menuntut balas sakit hati sang ayah, tapi ia bukan orang bodoh, pikirnya, Untuk bisa membunuh jahanam Cu Po-kun ini, si nona harus dicegah agar jangan memberi petunjuk padanya. Dan sedang Suma Lim hendak mencari akal untuk menghadapi Giok-yan, tiba-tiba terdengar si gadis berkata pula, Cu-siangkong, engkau adalah orang Hong-lay-pay yang menyelundup ke dalam Jing-sia-pay dengan maksud tujuan jahat, inilah kesalahanmu yang tidak pantas. Tapi gurumu Suma Wi besar kemungkinan bukan dibunuh olehnya, namun engkau telah mencolong ilmu lain, betapa pun kau tetap berdosa, maka lekas kau minta ampun kepada Ciangbun-suhengmu! Po-kun pikir apa yang dikatakan si nona memang benar juga, apalagi dirinya telah menerima budi pertolongannya jiwa diselamatkan dari beberapa jurus serangan yang mematikan tadi, apa yang dianjurkan gadis itu tidaklah enak untuk dibantah. Maka dengus sungguh-sungguh ia pun memberi hormat kepada Suma Lim sambil berkata, Ciangbun-suheng, harap maafkan .... Kau masih ada muka untuk memanggil Ciangbun-suheng padaku? bentak Suma Lim gusar sambil mengelak ke samping. Sekonyong-konyong Giok-yan berseru kepada Po-kun, Lekas! Go-yu-tang-hay! Cu Po-kun terkesiap, tapi seketika ia pun menurut, cepat ia mengapungkan diri ke atas setinggi dua meter lebih, maka terdengarlah suara mendesis riuh, belasan batang jarum Jing-hong-ciam menyambar lewat di bawah tapak kakinya. Selisih waktunya cuma sekejap saja, sedetik Po-kun terlambat, pasti badannya sudah menjadi sarang jarum musuh. Untung pada saat yang tepat Giok-yan berseru padanya agar menggunakan gerakan Go-yu-tang-hay atau Berpiknik ke Lautan Timur. Coba bila gadis itu cuma memperingatkan, awas Am-gi, mungkin Po-kun akan celingukan mengawasi gerak-gerik musuh, tak tersangka kalau Jing-hong-ciam itu justru dihamburkan oleh Suma Lim dari dalam lengan baju yang tidak tertampak dari luar, maka pasti akan celakalah Cu Po-kun. Kiranya ilmu Am-gi atau senjata gelap Suma Lim yang disebut Siau-lay-kian-gun atau Dunia Tergenggam di Dalam Lengan Baju, kepandaian ini benar-benar semacam Kungfu khas Jing-sia-pay yang cuma diturunkan kepada putra sendiri dan tidak kepada murid. Hal ini memang sudah menjadi peraturan turun-temurun keluarga Suma, jangankan Cu Po-kun tidak memperoleh pelajaran ilmu Am-gi itu, sekalipun si kakek Kiang dan Beng pun tidak. Cara menghamburkan Jing-hong-ciam itu juga sangat luar biasa, yaitu dengan diam-diam menarik jepretan dalam lengan baju. Sungguh di luar dugaan Suma Lim bahwa pada saat terakhir itu Giok-yan sempat berseru kepada Cu Po-kun untuk menghindarkan pembokongan itu dengan gerakan yang dapat menyelamatkan diri, yaitu dengan gerakan tipu Go-yu-tang-hay dari Hong-lay-pay. Serangan yang sudah dipastikan akan mengenai sasarannya ternyata gagal pula, keruan Suma Lim semakin ketakutan dan seperti ketemu hantu, ia berteriak-teriak, Kau ... kau bukan manusia, tapi ... setan, hantu!

Dalam pada itu karena belasan giginya rontok kena digampar oleh palu Cu Po-kun tadi, si kakek Beng sedang terbatuk-batuk, sebab ada dua-tiga biji gigi rontok itu tertelan ke dalam perut, dan karena keselak, hampir saja ia mati sesak napas. Usia si kakek Beng sudah lanjut, tapi matanya masih tajam, rambutnya hitam gilap, giginya juga masih rajin, semua ini biasanya merupakan kebanggaannya di antara kaum sebaya. Siapa duga giginya sekarang rontok sedemikian rupa. Di zaman dahulu dengan sendirinya tiada tukang gigi segala, apalagi dokter gigi. Maka bila kehilangan sebuah gigi, itu berarti berkuranglah satu giginya yang tak dapat ditambal lagi. Apalagi sekarang si kakek Beng benar-benar telah ompong seluruhnya, keruan ia sangat menyesal dan murka pula, terus saja ia berteriak-teriak, Kita pegang dulu anak dara ini, pegang dulu anak dara ini! Tapi disiplin Jing-sia-pay sangat keras, biarpun si kakek Beng sangat tinggi kedudukannya, tanpa perintah Ciangbunjin sendiri, tiada seorang pun jago Jing-sia-pay berani sembarangan bergerak. Maka sinar mata semua anak murid Jing-sia-pay lantas terarah pada Suma Lim, asal sang ketua memberi perintah, serentak mereka akan mengerubuti si nona. Maka berkatalah Suma Lim dengan dingin, Nona Ong, ilmu silat golongan kami mengapa engkau sedemikian hafal? Aku dapat membacanya dari buku, sahut Giok-yan. Ilmu silat Jing-sia-pay mengutamakan serangan secara mendadak dan memakai tipu muslihat, tapi perubahannya tidak terlalu ruwet, dengan sendirinya mudah diingat. Buku apa yang telah nona baca? tanya Suma Lim. Ah, juga bukan buku yang luar biasa, sahut Giok-yan. Buku yang mencatat ilmu silat Jing-sia-pay itu ada dua jilid, yang satu adalah Jing-ji-cap-pek-tah (18 serangan dari huruf Jing), dan jilid yang lain adalah Sia-si-san-cap-lak-boh (36 jenis gempuran dari huruf Sia). Engkau adalah ketua Jing-sia-pay, dengan sendirinya pernah membacanya juga. Diam-diam Suma Lim jengah sendiri. Ia menjadi teringat kepada cerita mendiang ayahnya dahulu bahwa di antara ilmu silat Jing-sia-pay itu memang ada yang disebut 18 serangan dan 36 gempuran. Cuma sayang lama-kelamaan ilmu-ilmu itu sebagian tak diwariskan hingga tidak lengkap jadinya, maka untuk mengalahkan Hong-lay-pay menjadi agak sulit. Tapi kalau dapat menemukan kembali ilmu silat leluhur itu dalam keadaan lengkap, jangankan cuma Hong-lay-pay saja, sekalian untuk merajai dunia persilatan rasanya juga tidak sulit. Teringat cerita itu, kini mendengar pula Giok-yan pernah membaca kitab pusaka mereka itu, tentu saja Suma Lim sangat tertarik, segera ia tanya lebih jauh, Apakah nona dapat meminjamkan buku itu kepadaku untuk membandingkannya dengan ilmu silat yang kami pelajari sekarang, agar kutahu di mana letak perbedaannya? Belum lagi Giok-yan menjawab, tiba-tiba Yau Pek-tong terbahak-bahak dan menyela, Awas, nona, jangan engkau tertipu oleh Jing-sia-pay ini. Ilmu silat mereka sangat rendah dan jelek, paling-paling cuma beberapa jurus permainan cakar ayam, tapi dia bermaksud memancing kitab pusakamu, maka jangan sekali-kali kau pinjamkan padanya.

Karena isi hatinya tepat kena dikorek, Suma Lim menjadi marah hingga mukanya merah padam, bentaknya gusar, Aku lagi bicara sendiri dengan nona ini, apa sangkut pautnya dengan Cin-keh-ce kalian? Tidak ada sangkut pautnya? Haha, justru sangat besar sangkut pautnya! sahut Yau Pek-tong dengan terbahak-bahak. Nona Ong ini dapat mengingat sekian banyak Kungfu yang hebat dan aneh-aneh, dengan sendirinya siapa mendapatkan dia, siapa pula akan merajai dunia persilatan ini. Aku orang she Yau selamanya kalau menemukan harta benda atau gadis jelita tentu akan menaruh perhatian sepenuhnya, apalagi terhadap nona Ong yang merupakan bawang mestika yang sukar dicari ini, mana dapat kutinggal diam tanpa turun tangan? Makanya, haha, jika saudara Suma ingin pinjam buku, silakan minta izin dulu padaku. Dan, hahahaha, cobalah terka, apakah aku mengizinkan atau tidak? Perkataan Yau Pek-tong itu sangat kasar dan sombong, tapi mendadak hati Suma Lim dan kedua Susioknya tergetar juga, pikir mereka, Gadis ini meski masih muda belia, tapi dalam hal ilmu silat ternyata mempunyai pengetahuan sedalam ini. Tampaknya dia lemah gemulai, siapa pun takkan percaya dia dapat menangkan kami. Tapi sudah jelas terbukti dia sangat luas pengetahuannya dalam berbagai aliran ilmu silat, bila kami dapat mengundangnya ke tempat Jing-sia-pay kami, bukan mustahil akan memperoleh ajaran lengkap 18 serangan dan 36 gempuran Jing-sia-pay asli, bahkan mungkin akan bertambah lagi ilmu silat dari aliran lain. Namun Cin-keh-ce juga sudah timbul niat jahatnya, tampaknya hari ini pasti akan terjadi pertarungan besar-besaran. Dalam pada itu terdengar Yau Pek-tong berkata pula, Nona, kedatangan kami sebenarnya ingin mencari setori kepada keluarga Buyung, melihat gelagatnya, agaknya nona adalah anggota keluarga Buyung, bukan? Mendengar dirinya disangka anggota keluarga Buyung, Giok-yan merasa senang dan malu-malu juga, dengan muka bersemu merah ia mengomel perlahan, Aku bukan orang she Buyung, tapi Buyung-kongcu adalah aku punya Piauko. Ada keperluan apakah engkau mencari dia? Apakah dia berbuat kesalahan apa-apa padamu? Haha, kiranya nona ini Piaumoay Buyung-kongcu, itulah lebih bagus lagi, seru Yau Pek-tong dengan terbahak-bahak. Leluhur Koh-soh Buyung telah utang satu juta tahil emas dan sepuluh juta tahil perak kepada keluarga Yau kami, sampai sekarang sudah ratusan tahun lamanya, tapi utang itu belum pernah dibayar atau dicicil, belum lagi ditambah dengan rentenya. Mana bisa jadi begitu? ujar Giok-yan dengan tercengang. Keluarga Kuku terkenal kaya raya, mana mungkin utang kepada keluargamu? Utang atau tidak masakah orang semuda nona bisa tahu? sahut Pek-tong. Yang pasti kedatanganku ini ingin menagih utang kepada Buyung Bok, tapi utang itu belum lagi dibayar dan Buyung Bok ternyata sudah mati. Bapaknya mati, terpaksa menagih kepada anaknya. Siapa tahu si bocah Buyung Hok itu selalu menghindari setiap penagih utang dan selalu mengumpat. Dengan sendirinya aku tidak berdaya, ya, terpaksa aku mesti mencari sandera yang berharga sebagai jaminan utang itu. Piaukoku orangnya sangat baik, tangannya selalu terbuka, kalau benar-benar keluarganya ada utang padamu, tentu sudah lama dibayarnya. Seumpama dia tidak utang, tapi engkau kekurangan uang dan ingin minta bantuan padanya, tentu ia pun takkan mengecewakan harapanmu. Mana mungkin dia takut menemuimu dan

main sembunyi? demikian kata Giok-yan. Pek-tong pura-pura berkerut kening, katanya pula, Baiknya begini saja. Urusan ini sukar juga dijelaskan padamu. Marilah sekarang juga silakan nona ikut kami ke utara untuk tinggal barang setahun-dua tahun di Cin-keh-ce kami. Di sana kami jamin takkan mengganggu seujung rambut nona. Apalagi biniku terkenal sebagai macan betina, dalam hal perempuan, aku orang she Yau sangat prihatin, tidak berani main gila, maka nona tak perlu khawatir. Dan engkau juga tidak perlu berkemas-kemas, sekarang juga kita lantas berangkat. Nanti bila Piaukomu sudah cukup menyediakan uang dan membereskan utang lama itu, dengan sendirinya aku akan mengantar nona pulang ke Koh-soh sini untuk menikah dengan Piaukomu. Bahkan Cin-keh-ce pasti akan menyumbang sebagaimana mestinya, dan aku si orang she Yau akan ikut datang ke sini untuk minum arak nikahmu! Habis berkata, kembali Yau Pek-tong terbahak-bahak. Sebenarnya ucapan Pek-tong itu sangat kasar, tapi bagi pendengaran Giok-yan, terutama bagian terakhir itu, ternyata dirasakan sangat senang dan kena di hatinya. Maklum, sejak kecil Giok-yan sudah kesengsem pada sang Piauko, beberapa tahun paling akhir ini, setelah menginjak remaja dewasa, ia menjadi lebih rindu dan jatuh cinta kepada kakak misan itu. Namun entah Buyung Hok, memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, ia tetap sibuk pada urusannya sendiri dan tiada waktu memikirkan soal cinta, terhadap sang Piaumoay tetap dianggapnya sebagai adik cilik saja, kecuali bicara tentang ilmu silat dan ilmu sastra, selamanya tidak pernah menyinggung sesuatu tentang hubungan antara muda dan mudi. Akhir-akhir ini karena terjadi ketegangan di antara hubungan keluarga, Ong-hujin, yaitu ibu Giok-yan, melarang Buyung Hok datang ke Man-to-san-ceng. Sebab itulah Giok-yan menjadi sedih, apalagi ia adalah gadis pingitan yang selamanya tidak pernah keluar rumah, belum pernah dengar orang bicara secara blakblakan padanya tentang urusan perjodohannya dengan sang Piauko. Kini apa yang dikatakan Yau Pek-tong itu meski maksudnya cuma untuk berolok-olok saja, siapa tahu justru kena di lubuk hati si gadis dan menimbulkan rasa senangnya sebagai seorang yang tahu perasaannya, sebab itulah di kemudian hari beberapa kali mestinya jiwa Yau Pek-tong akan melayang, tapi akhirnya menjadi selamat, yaitu berkat kata-katanya sekarang yang menimbulkan rasa senang Giok-yan itu. Begitulah karena senang, maka Giok-yan berkata pula, Ai, engkau ini suka omong yang tidak-tidak. Guna apa kuikut ke Cin-keh-ce? Bila betul Kuku utang padamu, hal ini mungkin sudah terlalu lama dan dia tidak tahu, maka melalaikan kewajibannya. Namun sesudah kedua pihak mengajukan bukti-bukti yang sah, Piauko pasti sanggup membayar padamu. Sebenarnya maksud Yau Pek-tong cuma untuk membohongi si gadis saja, yaitu hendak menculiknya ke Cin-keh-ce untuk dipancing ilmu silat yang diketahui Giok-yan, tentang utang satu juta tahil emas dan sebagainya dengan sendirinya cuma bualan belaka. Tapi Giok-yan masih hijau, terlalu kekanak-kanakan dan percaya penuh kepada bualannya. Maka cepat Yau Pek-tong menambahi lagi, Namun akan lebih baik engkau ikut kami ke Cin-keh-ce saja. Di sana tempatnya sangat enak,

pemandangan indah permai, pada waktu senggang kami sering berburu, kami ada piara elang dan macan tutul, tanggung takkan bosan biarpun bermain setahun dua tahun di sana. Dan bila Piaukomu mendapat kabar, tentu dia akan menyusul ke sana, seandainya dia tidak lantas membayar utangnya juga kami akan menyerahkan dirimu padanya untuk dibawa pulang ke Koh-soh sini. Nah, kau mau tidak? Propaganda ini benar-benar sangat menarik hati Giok-yan hingga air mukanya tampak berseri-seri. Cuma ia tidak lantas menjawab. Sebagai orang berpengalaman, segera Suma Lim dapat melihat sikap Giok-yan yang cenderung percaya pada obrolan Yau Pek-tong itu. Ia pikir kalau si gadis sampai terima baik ajakan orang dan baru dirintangi, hal itu berarti sudah ketinggalan satu tindak. Maka belum Giok-yan membuka suara, segera ia menyela, Cin-keh-ce yang terletak di Huiciu itu adalah suatu tempat yang tandus dan dingin, sebaliknya Ong-kohnio adalah seorang nona jelita selemah ini, mana tahan derita kedinginan di sana? Berbeda dengan Sengtoh kami yang terkenal sebagai kota yang ramai dan megah, bukan saja hasil satin dan sutranya merajai sutra keluaran tempat lain, bahkan pemandangan di sana juga tidak kalah daripada daerah Kanglam sini. Seorang nona cantik sebagai Ong-kohnio kalau dapat pesiar ke Sengtoh serta membeli sedikit kain sutra yang tersohor itu untuk baju, pasti kecantikan nona akan bertambah dan tak ada bandingannya. Buyung-kongcu adalah pemuda yang serbapandai, tentu ia pun akan senang kepada gadis yang cantik ayu. Kentut! Kentut busuk! Masakah di daerah Sohciu sini kekurangan satin dan sutra, kenapa mata anjingmu tidak dipentang lebar, lihatlah apakah ketiga gadis di depan matamu ini memakai kain sutra atau tidak? demikian maki Yau Pek-tong karena merasa usahanya disabot. Namun kontan juga Suma Lim menjengek, Ya, memang sangat busuk, teramat busuk! Apa yang busuk? Kau maksudkan aku? teriak Yau Pek-tong dengan gusar. Mana aku berani mengatakan dirimu! sahut Suma Lim. Tapi kubilang kentut anjing barusan memang sangat busuk! Sret, terus saja Pek-tong lolos goloknya sambil membentak, Suma Lim, kalau Cin-keh-ce melawan Jing-sia-pay kalian bobotnya mungkin satu kati 16 tahil alias sama kuat. Tapi kalau Cin-keh-ce bergabung dengan Hong-lay-pay, kau bilang Jing-sia-pay kalian bakal dihancurkan atau tidak? Air muka Suma Lim berubah seketika, pikirnya, Benar juga ancamannya. Sejak ayahku wafat kekuatan Jing-sia-pay sudah jauh berkurang. Ditambah lagi jahanam Cu Po-kun telah mencolong ilmu silat golongan sendiri, kalau dia bergabung dengan Cin-keh-ce untuk mengeroyok kami, hal ini memang perlu dipikirkan. Kata peribahasa, Turun tangan lebih dulu akan menang, turun tangan kemudian akan celaka. Urusan hari ini rasanya harus kudahului menyerang mereka sebelum mereka siap. Berpikir demikian, segera katanya dengan tawar, Habis apa abamu sekarang? Melihat kedua tangannya dimasukkan ke dalam lengan baju, Pek-tong tahu setiap saat Suma Lim bisa menyerang dengan senjata gelapnya yang berbisa keji. Tindak tanduk Yau Pek-tong itu ternyata berbeda daripada jago silat umumnya.

Orangnya kasar, tapi waktu menghadapi musuh ia justru bisa berlaku cermat. Maka ia lantas pusatkan perhatian dengan penuh waspada, jawabnya kemudian, Aku hendak mengundang nona Ong pesiar beberapa lama ke Cin-keh-ce dan kelak biar dipapak oleh Buyung-kongcu, tapi sengaja kau rintangi maksud baikku bukan? Kubilang tempat kalian itu banyak kekurangannya dan tentu akan bikin susah nona Ong, maka lebih baik kuundang nona Ong pesiar ke Sengtoh, sahut Suma Lim ngotot. Baik, jika begitu, marilah kita tentukan menang atau kalah di atas senjata, tantang Yau Pek-tong. Siapa yang menang, dia yang akan menjadi tuan rumah bagi nona Ong. Akur, seru Suma Lim. Memangnya bagi yang kalah juga tidak mungkin mengundang nona Ong ke akhirat. Dengan ucapan itu tegas Suma Lim menyatakan pertarungan ini bakal dilakukan dengan mati-matian bukan lagi pertandingan biasa. Pek-tong terbahak-bahak, sahutnya, Hidup orang she Yau selalu berdiri di ujung senjata. Suma-ciangbun hendak menggertak aku dengan kematian, ha, tidak nanti orang she Yau jeri! Dan cara bagaimana kita akan bertanding? Siapa yang menjadi wasit? Memakai senjata atau bertangan kosong? tanya Suma Lim. Sudah tentu pakai senjata, siapa sabar bertanding dengan tangan kosong .... belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesis-desis tiga kali. Padahal pada waktu bicara pandangan Yau Pek-tong tidak pernah meninggalkan gerak-gerik Suma Lim yang sangat lihai, terkadang orang yang diserangnya belum lagi merasakan dan tahu-tahu sudah binasa. Tapi sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ketika kedua pihak sedang bicara, mendadak lawan terus melakukan pembokongan. Waktu itu tampaknya pandangan Suma Lim sedang diarahkan ke samping seakan-akan di sana sidang terjadi sesuatu, padahal maksudnya cuma untuk memancing perhatian Yau Pek-tong. Dan ketika Pek-tong sadar telah diserang musuh, namun jarak Am-gi dengan dadanya sudah tinggal setengah meter jauhnya. Seketika ia cemas dan yakin sekali ini jiwanya pasti melayang. Tapi pada detik yang berbahaya itulah, sekonyong-konyong ada sepotong benda aneh warna hitam-putih menyelip di depan dadanya hingga beberapa batang jarum berbisa musuh itu terbentur jatuh ke lantai. Jarum-jarum itu sebenarnya sangat cepat menyambarnya, sebagai seorang jagoan Yau Pek-tong sendiri juga merasa tidak mungkin berkelit lagi. Tapi datangnya benda penangkis itu beberapa kali lebih cepat daripada sambaran jarum hingga tepat sekali jarum itu terbentur jatuh, sedangkan macam apa benda aneh itu, putih atau hitam, baik Yau Pek-tong maupun Suma Lim sama-sama tidak lihat jelas. Sebaliknya Giok-yan menjadi girang, terus saja ia bersorak, Hai, apakah Pau-sioksiok yang datang itu?

Maka terdengarlah suara seorang yang sangat aneh menjawab, Bukan, bukan! Bukan Pau-sioksiok yang datang! Masakah engkau bukan Pau-sioksiok? kata Giok-yan dengan tertawa. Engkau belum muncul, tapi istilahmu bukan, bukan sudah terdengar lebih dulu. Bukan, bukan! Aku bukan Pau-sioksiokmu! seru suara itu pula. Bukan, bukan! Habis engkau siapa? tukas Giok-yan dengan menirukan lagu orang. Buyung-hiante panggil aku sebagai Samko, tapi kau panggil aku Sioksiok. Bukan, bukan! Engkau salah panggil, demikian suara aneh itu. Paham akan maksud ucapan orang, Giok-yan menjadi girang hingga muka pun merah, segera katanya pula, Habis aku harus panggil ... panggil apa padamu? Haha, soal itu boleh kau pikir sendiri! kata suara itu. Engkau boleh panggil apa saja, kalau tepat, aku akan menjadi kawanmu, kalau salah panggil, selamanya aku akan mengacau padamu, supaya kau tidak jadi istri Buyung-hiante! Cis, ayolah lekas keluar! semprot Giok-yan. Suara itu tidak menjawab lagi. Selang sejenak tetap tiada sesuatu suara apa-apa, maka Giok-yan berseru pula, Hai, keluarlah dan bantulah aku mengenyahkan orang-orang yang tak keruan macamnya ini! Tapi keadaan tetap sunyi senyap, terang orang she Pau itu sudah pergi jauh. Giok-yan tampak agak kecewa, katanya, Dia memang suka begini, selalu bikin orang tak dapat meraba jejaknya. Memang begitulah tabiat Pau-samsiansing, ujar A Cu dengan tertawa. Waktu nona menyuruhnya keluar tadi sebenarnya ia sudah akan muncul, tapi demi mendengar ucapanmu, ia justru sengaja jual mahal padamu. Dan saat ini mungkin dia sudah berada di tempat jauh, hari ini terang takkan muncul lagi. Sebenarnya Giok-yan sangat ingin bertemu dengan Pau-samsiansing untuk diajak berunding cara bagaimana harus pergi membantu Buyung-kongcu di Siau-lim-si. Tapi orang she Pau ini ternyata segera menghilang begitu saja, hal ini membuat Giok-yan merasa kurang senang. Di lain pihak diam-diam Suma Lim dan Yau Pek-tong merasa senang. Tadi waktu Pau-samsiansing bersuara, mereka berdua celingukan kian kemari hendak mencari di mana tempat sembunyi orang she Pau itu. Akan tetapi suara itu sangat aneh, tiba-tiba kedengaran sangat dekat, tahu-tahu lantas menjauh, disangka berada di sebelah timur, ternyata sudah berpindah ke barat. Maka mereka tetap tak dapat menemukan orang she Pau itu berada di mana. Dari perkataan orang aneh itu, ia sebut saudara kepada Buyung Hok dan sangat baik pula hubungannya dengan Giok-yan, bila tokoh seperti itu ikut muncul, tentu mereka sukar melawannya. Kini orang aneh itu telah pergi jauh, sudah tentu mereka sangat senang dan bersyukur. Jiwa Yau Pek-tong sendiri sembilan bagian tadi sudah masuk liang kubur, tapi berkat pertolongan orang she Pau itu, jiwanya dapat ditarik kembali

mentah-mentah Dengan sendirinya timbul rasa terima kasih kepada tokoh aneh itu. Sebenarnya ia tiada permusuhan apa-apa dengan Jing-sia-pay, tapi karena tadi diserang dan jiwanya hampir melayang, kini ia benar-benar dendam dan Suma Lim itu ingin dibunuhnya. Maka sekali golok diangkat, segera ia membentak, Keparat yang tidak kenal malu, main membokong dengan senjata gelap, apa kau sangka kakekmu she Yau ini mudah diserang begitu saja? Habis berkata, segera golok membacok kepala Suma Lim. Cepat Suma Lim berkelit, ia mainkan ilmu silat Jing-sia-pay dengan senjata palu dan gurdi untuk melawan golok tunggal Yau Pek-tong. Suma Lim memang lincah dan gesit, sebaliknya Yau Pek-tong unggul dalam hal tenaga, serangan golok juga sangat ganas. Anak murid Jing-sia-pay belum pernah bertanding melawan orang Cin-keh-ce. Kini kedua pemimpin masing-masing saling gebrak sendiri untuk pertama kalinya, menang atau kalah salah satu pihak pasti akan terbinasa, dan yang lebih penting lagi adalah menyangkut nama baik masing-masing pihak, maka Yau Pek-tong dan Suma Lim tidak berani ayal sedikit pun, keduanya bertempur dengan sepenuh tenaga. Kira-kira 70-an jurus, tiba-tiba Giok-yan berkata kepada A Cu, Lihatlah, Ngo-hou-hoan-bun-to dari Cin-keh-ce ternyata jauh lebih buruk daripada sangkaanku, tadinya kusangka kurang lima jurus, tapi kini tampaknya lebih dari itu. Buktinya jurus seperti Hu-cu-toh-ho (mengutamakan kehormatan dan setia kawan) entah sebab apa tak dimainkan oleh Yau Pek-tong? Sudah tentu A Cu tidak paham ilmu silat seluas itu seperti Giok-yan, maka ia cuma mengiakan saja. Sebaliknya Yau Pek-tong yang sedang bertempur itu demi mendengar ucapan Giok-yan, kembali ia terkejut. Pikirnya, Mengapa pandangan nona cilik ini sedemikian tajamnya? Selama berpuluh tahun terakhir ini ke-64 jurus Ngo-hou-toan-bun-to kami memang hilang sebagian dan paling akhir tinggal sisa 59 jurus saja, hal ini memang tepat sebagaimana dikatakan olehnya tadi. Tapi sejak ayahku menjabat ketua, karena bakatnya kurang dan kecerdasannya puntul, maka dua jurus Hu-cu-toh-ho dan Tiong-ciat-siu-gi tak berhasil dipelajarinya, sebab itulah kedua jurus itu pun lenyap dari ajaran perguruan selanjutnya termasuk diriku. Tapi aku telah mengubah kedua jurus itu sekadar untuk menambal kekosongan ilmu silat Cin-keh-ce. Siapa duga tetap diketahui juga oleh nona muda ini. Dan karena rahasianya terbongkar, Yau Pek-tong menjadi malu diri dan buru-buru ingin merobohkan Suma Lim sekadar mempertahankan gengsinya sebagai pemimpin. Akan tetapi dalam pertandingan silat sedikit pun tidak boleh gopoh. Sebenarnya kalau Pek-tong bertanding dengan tenang dan sabar, semakin lama kemenangan pasti akan diperoleh dia. Tapi karena ingin buru-buru menjatuhkan lawan, seketika pemusatan perhatiannya menjadi terganggu. Beruntun Pek-tong melancarkan serangan berbahaya, tapi selalu dapat dihindar oleh Suma Lim. Mendadak Pek-tong menggertak sekali, golok terus membabat dari samping. Ketika Suma Lim melompat ke kiri untuk menghindar, cepat Pek-tong ayun sebelah kaki untuk menendang. Dalam keadaan tubuh masih terapung di udara Suma Lim sukar menghindar, tapi

ia cukup cekatan dan dapat ganti gerakan dengan cepat. Mendadak ia gunakan gurdi untuk menikam kaki orang. Dengan demikian bila tendangan Pek-tong itu diteruskan berarti kaki akan patah sendiri. Benar juga Pek-tong tidak berani meneruskan tendangannya. Tapi tendangannya itu ternyata tendangan Wan-yang-lian-goan-tui atau tendangan secara berantai, yaitu susul-menyusul kedua kakinya menendang bergiliran. Begitu kaki kanan ditarik kembali, segera kaki kiri melayang ke lambung lawan. Namun palu kecil Suma Lim saat itu juga sedang menyampuk ke samping, plok, dengan tepat batang hidung Yau Pek-tong kena ketuk lebih dulu, keruan hidungnya lantas bocor dan keluar kecapnya. Dan pada saat yang sama itulah pinggang Suma Lim juga kena tendangan Yau Pek-tong. Cuma karena muka Pek-tong lebih dulu kena palu, dalam kaget dan sakitnya tendangannya menjadi tak bertenaga lagi, biarpun kena tertendang, Suma Lim tidak terluka apa-apa, hanya tulang iganya kesakitan. Dan justru selisih dua detik dari serangan masing-masing itulah, kalah-menang kedua pihak menjadi jelas kelihatan. Dengan mengerang murka Yau Pek-tong bermaksud menerjang maju untuk mengadu jiwa, namun kepala serasa akan pecah, kaki pun menjadi ampang, jalannya menjadi sempoyongan dan hampir-hampir roboh. Kemenangan Suma Lim barusan sebenarnya diperoleh dengan agak kebetulan. Ia tahu bila jiwa lawan dibiarkan hidup, kelak pasti akan merupakan bibit bencana baginya, maka timbul niat jahatnya untuk membunuh lawan. Segera ia lontarkan tipu pancingan, ia ayun palu ke depan, ketika Yau Pek-tong angkat golok hendak menangkis, sekonyong-konyong gurdi lantas menjuju ke hulu hati pemimpin Cin-keh-ce itu. Melihat Cecu mereka terancam maut, wakil Cecu dari Cin-keh-ce cepat bersuit sekali, mendadak golok ditimpukkan, begitu pula kawan-kawannya segera menirukannya hingga dalam sekejap saja belasan golok menyambar berbareng ke atas badan Suma Lim. Kiranya dalam ilmu silat Cin-keh-ce itu terdapat sejurus menimpuk golok sebagai senjata gelap yang lihai. Tiap-tiap golok bobotnya 8 sampai 10 kati, bila ditimpukkan, daya serangnya menjadi sangat hebat, apalagi sekaligus belasan golok menghambur bersama, keruan Suma Ling kerepotan baik untuk menangkis maupun hendak menghindar. Tampaknya dengan segera Suma Lim akan menjadi perkedel dihujani golok terbang itu, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat, dua tangan orang yang panjang kurus mirip cakar ayam menyambar ke sini dan meraup ke sana secepat kilat, sekaligus belasan golok terbang tadi kena ditangkap oleh tangan itu. Lalu terdengarlah suara gelak tawa orang, tahu-tahu di atas kursi tengah ruangan itu sudah bertambah dengan seorang aneh. Menyusul lantas terdengar pula suara gemerantang riuh, belasan golok yang ditangkap orang itu dibuang ke lantai di samping kakinya. Dengan kaget semua orang saling pandang dengan melongo. Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus, mukanya tirus, memakai jubah panjang warna kelabu, sikapnya menantang dan tidak mau kalah. Tadi semua orang sudah menyaksikan betapa tangkasnya orang itu menangkap golok terbang, kepandaian itu boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan yang

susah diukur, semua orang menjadi kagum dan jeri, tiada seorang pun berani bersuara. Hanya Toan Ki saja yang tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, dengan tertawa ia berkata, Wah, gerakan Hengtay (saudara terhormat) barusan ini sungguh sangat cepat, tentu ilmu silatmu juga sangat tinggi. Siapakah nama Anda yang terhormat, bolehkah kutahu? Belum lagi laki-laki jangkung itu menjawab, tiba-tiba Giok-yan tampil ke depan, katanya dengan tertawa, Pau-samko, kukira engkau tidak datang lagi, aku menjadi khawatir. Siapa tahu akhirnya kau muncul juga, legalah hatiku sekarang. O, kiranya Pau-samsiansing, sela Toan Ki. Pau-samsiansing melotot sekali kepada Toan Ki, katanya dengan mendongkol, Siapakah bocah ini? Berani ceriwis padaku? Cayhe she Toan bernama Ki, sesama hidup tidak pernah belajar ilmu silat apa-apa, tapi sudah sekian lama berkecimpung di Kangouw dan sampai sekarang ternyata tidak mati, rupanya nasibku memang lagi mujur! demikian sahut Toan Ki dengan tertawa. Mata Pau-samsiansing mendelik lagi, seketika ia tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pemuda itu. Tiba-tiba Suma Lim maju ke depan dan memberi hormat, katanya, Suma Lim dari Jing-sia-pay barusan mendapat pertolonganmu, budi mahabesar itu selamanya takkan kulupakan. Numpang tanya siapakah nama Pau-samsiansing yang terhormat, supaya kelak Cayhe dapat selalu mengingatnya. Sekonyong-konyong mata Pau-samsiansing mendelik kepada Suma Lim, tahu-tahu sebelah kakinya melayang ke atas, blang, kontan Suma Ling ditendangnya hingga terjungkal. Lalu bentaknya, Hm, hanya macammu saja berani tanya namaku? Aku toh tidak sengaja hendak menolong jiwamu, soalnya karena tempat ini rumah adik A Cu yang indah, kalau jiwamu melayang dan badanmu tercacah menjadi bakso di sini, bukankah akan bikin kotor tempat adik A Cu ini? Nah, lekas enyah, lekas pergi! Ketika kaki orang menendang, sebenarnya Suma Lim segera bermaksud menghindar, tapi tetap tidak keburu hingga ia tertendang terjungkal. Keruan ia sangat malu dan serbasusah. Jika menuruti peraturan Kangouw, ada dua jalan yang dapat ia pilih. Pertama, segera melabrak orang untuk menentukan mati atau hidup. Kedua, mengadakan perjanjian waktu untuk kemudian mengadakan perhitungan terakhir. Dengan sendirinya Suma Lim tidak rela menerima hinaan demikian di hadapan orang banyak tanpa unjuk jiwa kesatrianya. Maka dengan berani ia lantas berkata, Pau-samsiansing, barusan jiwaku hampir melayang di bawah keroyokan golok musuh, untung telah ditolong olehmu. Suma Lim selamanya dapat membedakan budi dan dendam dengan jelas, kalau terima budi tentu kubalas, kalau dihina pasti kubayar kembali. Padahal ia cukup tahu biarpun belajar sampai tua juga tidak mampu menandingi Pau-samsiansing yang lihai ini. Terpaksa ia gunakan kata-kata yang samar-samar itu untuk menutupi rasa malunya.

Sebaliknya Pau-samsiansing ternyata tidak mendengarkan ocehannya, ia asyik bicara sendiri dengan Giok-yan, Nah, jika kau panggil aku Pau-samko, inilah tepat. Seterusnya kau harus panggil Samko padaku. Untuk panggil Samko padamu juga boleh, tapi engkau harus memenuhi suatu syaratku? kata Giok-yan dengan tertawa. Eeh, pakai syarat segala? Nah, coba katakan syarat apa? tanya Pau-samsiansing dengan mimik wajah yang lucu. Begini, kata Giok-yan. Engkau boleh main gila dengan siapa pun, tapi janganlah menggoda Piauko. Sama sekali aku tidak boleh menggoda dia? Hah, tak usah ya!? kata Pau-samsiansing. Tapi bagimu, baiklah, boleh kukurangi perbuatanku. Terima kasih, Samko, bata Giok-yan dengan tersenyum manis. Melihat senyuman si gadis yang menggiurkan itu, hati Toan Ki benar-benar terpukul, kepala terasa pening dan timbul pula rasa irinya. Pikirnya, Pau-samsiansing ini cuma berjanji akan mengurangi main gilanya kepada Buyung-kongcu, lantas dia begitu senang padanya. Wahai, Buyung Hok! Alangkah bahagia hidupmu ini dapat memperoleh cinta kasih sedalam ini dari gadis secantik ini? Sungguh dongkol Suma Lim tak terkatakan karena ucapannya tadi sama sekali tak digubris oleh Pau-samsiansing. Sekali ia memberi tanda, segera ia membawa anak buahnya hendak meninggalkan tempat ini. Nanti dulu, dengarlah pesanku! tiba-tiba Pau-samsiansing berseru. Ada apa? sahut Suma Lim sambil putar balik. Kabarnya kedatanganmu ke Koh-soh sini ingin menuntut balas bagi kematian ayahmu? tanya Pau-samsiansing. Jika demikian, engkau telah salah alamat. Ayahmu, Suma Wi, bukan dibunuh oleh Buyung-kongcu. Siapa yang bilang? Dari mana Pau-samsiansing mendapat tahu? tanya Suma Lim. Pau-samsiansing menjadi gusar, bentaknya, Sekali aku bilang bukan Buyung-kongcu yang membunuhnya, dengan sendirinya bukan dia. Seumpama benar dia yang bunuh, kalau aku sudah bilang bukan, ya tetap bukan. Masa ucapanku tidak masuk hitungan? Sungguh mendongkol dan penasaran sekali Suma Lim oleh ucapan orang yang mau menang sendiri itu. Tapi dengan sabar ia menjawab, Sakit hati kematian ayah sedalam lautan, meski ilmu kepandaian Suma Lim terlalu rendah juga ingin menuntut balas biarpun akhirnya akan hancur lebur. Maka siapakah sebenarnya pembunuh ayahku, mohon sudilah memberi tahu. Hahaha, ayahmu kan bukan anakku, dia dibunuh oleh siapa, peduli apa denganku? sahut Pau-samsiansing dengan tergelak. Kan sudah kukatakan Buyung-kongcu bukan pembunuh ayahmu, barangkali kau masih tidak percaya, ya? Baiklah, anggaplah aku pembunuhnya, jika kau ingin menuntut balas, boleh terjang padaku saja.

Sakit hati pembunuhan ayah mana boleh dibuat permainan? sahut Suma Lim dengan wajah merah padam. Pau-samsiansing, kutahu diriku bukan tandinganmu, engkau boleh membunuh aku, tapi kalau dihina secara demikian, betapa pun aku tidak terima. Aku justru ingin menghinamu, dan aku justru tidak mau membunuhmu, nah, apa yang dapat kau lakukan padaku? ucap Pau-samsiansing dengan tertawa. Keruan dada Suma Lim hampir-hampir meledak saking gusarnya. Tapi suruh dia menerjang maju untuk mengadu jiwa, ia pun tidak berani. Karena itu ia menjadi terpaku di tempatnya dengan serbasalah. Maka Pau-samsiansing berkata pula, Hanya sedikit kepandaian Suma Wi yang tak berarti itu masakah perlu Buyung-hiante kami yang turun tangan sendiri? Ilmu silat Buyung-kongcu sepuluh kali lebih tinggi daripadaku, coba kau pikir, apakah Suma Wi sesuai untuk dibunuh olehnya? Belum lagi Suma Lim menjawab, tiba-tiba Cu Po-kun lolos senjatanya dan berseru, Pau-samsiansing, Suma Wi Losiansing adalah guruku yang berbudi, aku melarang engkau menghina nama baiknya sesudah beliau meninggal. Haha, engkau ini mata-mata yang menyelundup ke Jing-sia-pay, peduli apa denganmu? ujar Pau-samsiansing dengan tertawa. Suma-suhu teramat baik padaku, aku Cu Po-kun merasa malu tak dapat membalas budi kebaikannya, kini meski mati demi membela nama baiknya, sedikitnya dapatlah kutebus dosa karena aku telah menipunya. Pau-samsiansing, harap kau minta maaf dan mengaku salah kepada Suma-siansing. Pau-samsiansing cuma tertawa-tawa saja, sahutnya, Selama hidup Pau-samsiansing tidak pernah mengaku salah dan juga tidak nanti minta maaf pada orang, biarpun tahu berbuat salah juga akan tetap berbuat sampai akhirnya. Pada masa hidupnya Suma Wi juga tidak punya nama harum, sesudah mati namanya terlebih celaka lagi. Orang macam begitu memangnya sudah lama harus dibunuh. Maka kematiannya itu adalah pantas, lebih daripada pantas!! Silakan Pau-samsiansing keluarkan senjata! seru Cu Po-kun. Hahahaha! Pau-samsiansing terbahak-bahak. Anak murid Suma Wi pintarnya memang cuma main membokong dengan senjata gelap, selain itu, segala apa tidak becus lagi. Awas serangan! seru Cu Po-kun segera. Palu dan gurdi terus menyerang sekaligus. Sama sekali Pau-samsiansing tidak berbangkit, lengan baju kiri mendadak mengebas hingga serangkum angin keras menyambar ke arah musuh. Seketika Po-kun merasakan napas sesak, cepat ia mendoyong ke samping. Tak tersangka kaki kiri Pau-samsiansing lantas menjegalnya hingga Po-kun terpelanting, menyusul kaki Pau-samsiansing yang lain terus mendepak hingga tepat kena bokong Cu Po-kun, kontan saja tubuhnya yang gede itu mencelat keluar ruangan. Tapi begitu jatuh segera Po-kun berbangkit dan berlari balik, kembali palu dan gurdi menyerang lagi dada Pau-samsiansing.

Tak terduga mendadak Pau-samsiansing ulur kedua tangan hingga tangan Po-kun terpegang, sekenanya ia lemparkan hingga tubuh Po-kun melambung ke atas, bluk, tubuh Po-kun membentur belandar dan jatuh kembali ke lantai. Terang jatuhnya Cu Po-kun itu sangat keras dan tentu kesakitan, tapi Po-kun benar-benar sangat bandel, untuk ketiga kalinya kembali ia menerjang lagi ke arah Pau-samsiansing. Mau tak mau Pau-samsiansing berkerut kening oleh kenekatan orang. Katanya, Kau ini benar-benar tidak tahu diri? Apa kau sangka tak mampu membunuhmu? Jika berani, lekaslah bunuh aku! tantang Po-kun malah. Tanpa ampun lagi Pau-samsiansing pegang kedua tangan Cu Po-kun. Mendadak ia tolak tangannya ke depan, krak-krek, kontan lengan Cu Po-kun dipatahkan, bahkan gurdinya lantas menikam bahu kanan dan palu mengetuk pundak kiri sendiri. Seketika darah bercucuran dari bahu yang terluka itu dan tulang pundak remuk oleh ketukan palu, keadaan demikian tepat sekali seperti orang yang dilukai dengan tipu Co-yu-hong-goan (mendapat hadiah dari kanan-kiri alias ketuplek rezeki), yaitu salah satu jurus lihai Kungfu Jing-sia-pay. Luka Cu Po-kun sudah sangat parah, walaupun ada maksudnya hendak mengadu jiwa lagi tapi keinginan ada, tenaga kurang, apa daya? Orang-orang Jing-sia-pay hanya saling pandang belaka dan bingung apa mesti maju untuk menolong Cu Po-kun atau tidak. Terang gamblang tipu serangan Co-yu-hong-goan itu adalah Kungfu Jing-sia-pay, entah dari mana Pau-samsiansing juga dapat mempelajarinya? Maka berkatalah Giok-yan kepada Cu Po-kun, Nah, bagaimana Cu-ya? Kataku tadi bahwa tidak cukup dan percuma, sekarang kau mau percaya tidak? Cu Po-kun menggila napas panjang, jawabnya, Taksiran nona memang sangat jitu, aku benar-benar sangat kagum. Lalu ia berpaling, kepada Suma Lim dan berkata, Ciangbun-suheng, beruntung ilmu silat kedua aliran kita satu sama lain saling mengatasi dan sama kuatnya, Siaute telah belajar kepandaian Jing-sia-pay, tapi belum mampu menggunakannya untuk menangkis serangan Kungfu Jing-sia-pay, sudah dibuktikan oleh serangan Pau-samsiansing barusan. Ai, percumalah guruku memeras otak, akhirnya toh tidak berhasil apa-apa. Suma Lim dapat menerima apa yang dikatakan Cu Po-kun itu memang benar, meski Po-kun sudah mahir ilmu silat Jing-sia-pay, tapi tetap terluka oleh tipu serangan Jing-sia-pay sendiri. Hal ini menandakan betapa tinggi Cu Po-kun mempelajari silat Jing-sia-pay toh belum mampu mencapai tingkatan yang sempurna, dan dengan sendirinya tidak mungkin ia mengajarkan pula kepada Hong-lay-pay untuk membunuh ayahnya. Berpikir demikian hati Suma Lim menjadi banyak terhibur. A Cu yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba menyela, Suma-toaya, Cu-toaya, kalian sudah menyaksikan sendiri barusan Pau-samsiansing menggunakan ilmu silat Jing-sia-pay, hal ini membuktikan orang yang mahir ilmu silat Jing-sia-pay tidak melulu Kongcu kami saja. Maka sebenarnya siapa gerangan pembunuh Suma-losiansing, lebih baik kalian pulang saja untuk menyelidiki lebih jauh. Tampaknya Suma Lim masih hendak berkata apa-apa, namun Pau-samsiansing

menjadi gusar, bentaknya, Tempat ini adalah rumah tinggal adik A Cu, pemilik rumah sudah minta kalian pergi, apa kalian masih tidak tahu diri? Baiklah kami mohon diri, sampai berjumpa pula kelak, kata Cu Po-kun segera. Ia tak dapat memberi hormat karena kedua lengan terluka, maka ia hanya mengangguk saja lalu bertindak pergi. Suma Lim juga tahu gelagat takkan menguntungkan jika tinggal lebih lama di situ, maka beramai-ramai ia pun mohon diri bersama anak buahnya. Melihat ilmu silat Pau-samsiansing begitu tinggi, tindak tanduknya juga sangat aneh, Yau Pek-tong menjadi ingin belajar kenal dengan tokoh Kangouw yang sakti ini, ditambah lagi ia masih mengincar kepandaian Giok-yan yang meliputi segala macam ilmu silat yang tak terhitung banyaknya itu. Maka sesudah orang-orang Jing-sia-pay pergi, segera ia melangkah maju dan ingin bicara dengan Pau-samsiansing. Di luar dugaan mendadak Pau-samsiansing mendahului buka suara, Yau Pek-tong, aku melarang kau bicara sepatah kata pun, lekas menggelinding pergi dari sini! Keruan Yau Pek-tong melengak, saking malunya wajahnya berubah merah padam, tanpa terasa tangannya lantas meraba golok. Yau Pek-tong, jengek Pau-samsiansing, hanya sedikit kepandaianmu yang tak berarti ini jangan kau coba-coba main gila di depanku. Sekali kusuruh menggelinding pergi, kau harus segera menggelinding pergi, tidak ada hak bicara apa-apa bagimu, tahu?! Melihat pemimpin mereka dihina Pau-samsiansing, anak buah Cin-keh-ce menjadi gusar juga dan bermaksud main kerubut sekuatnya, tapi senjata mereka tadi sudah dirampas Pau-samsiansing ketika menghujani Suma Lim dengan golok terbang, maka mereka cuma gusar dalam hati, tapi tiada seorang pun berani sembarangan menerjang maju dengan bertangan kosong. Tiba-tiba Pau-samsiansing terbahak-bahak sambil kaki kanan menendang dan mendepak serabutan, tahu-tahu belasan batang golok yang berserakan di samping kakinya itu mencelat ke arah orang-orang Cin-keh-ce. Cuma sambaran golok yang ditendang itu sangat lamban dan dengan persis dapat ditangkap pemiliknya masing-masing, hal itu menandakan Pau-samsiansing tidak bermaksud melukai mereka. Keruan orang-orang Cin-keh-ce tercengang oleh tindakan Pau-samsiansing itu, mereka sadar bila tokoh itu mau melukai mereka, rasanya tidak mungkin golok dapat mereka pegang cara begitu gampang? Sebab itulah mereka hanya berdiri dengan bingung. Yau Pek-tong, kata Pau-samsiansing kemudian, kukatakan lekas gelinding pergi, kau mau gelinding pergi tidak? Pau-samsiansing ada budi pertolongan jiwa padaku, dengan sendirinya apa yang kau perintahkan pasti kuturut. Baiklah kumohon diri, sahut Pek-tong dengan tertawa ewa sambil membungkuk memberi hormat. Lalu serunya kepada begundalnya, Mari pergi semua! Aku suruh kau menggelinding pergi dan bukan menyuruhmu berjalan keluar! kata Pau-samsiansing.

Pek-tong melengak bingung, tanyanya, Cayhe tidak paham apa maksud Pau-samsiansing? Kukatakan menggelinding pergi, ucap Pau-samsiansing. Gelinding ya gelinding, masakah gelinding tidak tahu? Nah, kau mau menggelinding pergi tidak? Keruan Yau Pek-tong semakin tidak mengerti, ia pikir orang ini barangkali gila, lebih baik jangan digubris. Maka tanpa bicara ia terus putar tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar. Bukan, bukan, seru Pau-samsiansing tiba-tiba. Kukatakan gelinding, dan caramu itu adalah berjalan dan bukan menggelinding. Jika kau tidak paham, inilah caranya! Habis berkata, mendadak ia melesat maju, sekali cengkeram, tahu-tahu kuduk Yau Pek-tong kena dipegangnya. Segera Pek-tong menyikut ke belakang, tapi sedikit Pau-samsiansing angkat tangannya, tubuh Pek-tong lantas terkatung-katung hingga sikutannya mengenai tempat kosong. Menyusul Pau-samsiansing lantas jambret pula bebokong Pek-tong sambil membentak, Di rumah adik A Cu mana boleh kau masuk-keluar sesukanya. Hm, menggelindinglah ke rumah kakek moyangmu! Selesai ucapannya ini, sekali ia ayun tangannya, tubuh Yan Pek-tong segede kerbau itu terus dilemparkan keluar ruangan hingga terguling-guling seperti bola menggelinding. Melihat pimpinan mereka dibuang keluar begitu saja, beramai-ramai begundal Cin-keh-ce itu terus memburu keluar untuk membangunkan Pek-tong, kemudian bersama lantas melarikan diri dengan sipat kuping. Kini menjadi giliran Toan Ki yang dipelototi oleh Pau-samsiansing, tapi karena tak diketahuinya asal usul pemuda itu, ia lantas tanya Giok-yan, Siaumoay, apakah suruh dia juga enyah atau biarkan dia tinggal? Aku bersama A Cu dan A Pik tadi telah ditawan oleh Peng-mama, tapi berkat pertolongan Toan-kongcu ini, dapatlah kami diselamatkan. Pula, ia menyatakan tahu seluk-beluk di Siau-lim-si, maka kita dapat menanyakan keterangan kepadanya, demikian sahut Giok-yan. Jika begitu, jadi engkau ingin dia tinggal di sini? Pau-samsiansing menegas. Benar, jawab si gadis. Apakah engkau tidak khawatir saudaraku Buyung itu akan minum cuka? tanya Pau-samsiansing dengan tertawa. Giok-yan terbelalak bingung, balasnya menanya, Minum cuka apa? Orang ini pintar putar lidah dan pandai bertingkah, jangan-jangan engkau akan tertipu olehnya, kata Pau-samsiansing sambil menuding Toan Ki. Aku tertipu oleh apanya? tanya Giok-yan heran. Apa mungkin dia sengaja mengarang hal-hal tidak benar tentang keadaan Siau-lim-si? Ah, rasanya dia

juga takkan berani sembrono. Mendengar ucapan gadis itu yang masih kekanak-kanakan dan sangat polos, sedikit pun belum kenal seluk-beluk hubungan muda-mudi, Pau-samsiansing menjadi tidak enak untuk bicara lagi. Segera ia tertawa dingin sambil bertanya kepada Toan Ki, Bagaimana keadaan saudaraku? Keruan Toan Ki menjadi dongkol, sahutnya dengan ketus, Memangnya kau sedang menanya pesakitanmu? Dan kalau aku tidak mau omong, lantas kau akan menyiksa aku, bukan? Di dunia ini orang yang berani mengadu mulut dengan Pau-samsiansing boleh dikata dapat dihitung dengan jari. Mula-mula Pau-samsiansing tercengang juga, tapi segera ia terbahak-bahak malah, katanya, Hahaha, bocah berani, bocah berani! Mendadak ia melangkah maju, sekali cengkeram, ia pencet lengan kiri Toan Ki, dan sedikit ia tambahi tenaga, seketika Toan Ki meringis kesakitan. Hai, hai! Apa-apaan ini? seru Toan Ki. Aku sedang tanya pesakitanku dan menggunakan siksaan, tahu? sahut Pau-samsiansing. Toan Ki sengaja tersenyum dan anggap lengan yang dipencet orang itu bukan lengan sendiri lagi, sahutnya kemudian, Boleh kau siksa aku, tapi aku takkan gubris padamu lagi. Waktu Pau-samsiansing remas lebih keras, sakit Toan Ki meresap sampai ke tulang sumsum, bahkan, tulang lengan sampai berkeriutan seakan-akan hampir patah. Namun pemuda itu benar-benar sangat kepala batu, ia tetap diam saja. Pau-samko, cepat A Pik berseru, Toan-kongcu ini berwatak sangat angkuh, tapi dia adalah tuan penolong kami. Jangan engkau bikin susah padanya. Bagus, bagus. Wataknya angkuh, itulah cocok dengan seleraku yang suka dengan bukan, bukan! ujar Pau-samsiansing sambil perlahan-lahan melepaskan cekalannya. Ya, bicara tentang selera, kita benar-benar sudah merasa lapar, kata A Cu dengan tertawa dan segera ia memanggil si koki, Hai, Lau Koh! Lau Koh! Setelah digembor lagi beberapa kali, baru kelihatan koki gendut itu melongok dari pintu samping sana. Melihat kawanan perusuh sudah tiada lagi, dengan gembira ia lantas mendekati sang majikan. Pergilah kau sikat gigi tiga kali dulu, lalu cuci muka tujuh kali serta cuci tanganmu dua belas kali, habis itu barulah membuatkan daharan untuk kami, demikian perintah A Cu. Tapi awas, kalau terdapat sedikit kotor saja pasti kau akan dihajar mampus oleh Pau-samya. Tanggung bersih, tanggung bersih! seru Lau Koh berulang-ulang sambil tersenyum. Maka kaum hamba di dalam Thing-hiang-cing-sik itu lantas muncul lagi untuk memperbarui jamuan. A Cu menyilakan Pau-samsiansing berduduk di tempat utama, Toan Ki di tempat kedua dan Giok-yan ketiga. Ia sendiri bersama A Pik

mengiringi di tempat tuan rumah. Karena buru-buru ingin mengetahui keadaan Buyung-kongcu, segera Giok-yan menanya, Samko, dia ... dia .... Dia katanya sudah pergi ke Siau-lim-si, tutur Pau-samsiansing segera, mendengar berita itu, malam-malam Hong-sute lantas berangkat pergi membantunya. Tapi aku merasa urusan ini agak meragukan, lebih baik harus dirundingkan dulu dengan para kawan. Samko, keadaan sudah mendesak, seorang diri Piauko telah masuk ke Siau-lim-si yang terkenal sangat banyak jago-jago pilihan, maka kita harus lekas-lekas pergi membantunya, mengapa mesti ragu-ragu dan pakai berunding dulu segala? ujar Giok-yan tak sabar. Bukan, bukan! demikian Pau-samsiansing dengan istilahnya yang khas. Siaumoay, engkau masih terlalu muda dan tidak kenal betapa palsunya hati manusia. Kepergian Buyung-hiante ke Siau-lim-si sekali ini agak berbeda daripada tindak tanduk biasanya. Karena itu aku telah pergi mencari Ting-toako untuk berunding, tapi rumahnya kosong, lalu aku pergi ke Jik-sia-cheng, tapi Kongya-jiko suami istri juga tidak di rumah. Coba pikir, bukankah ini agak ganjil? Ting-toasiok ... O, Ting-toako dan Kongya-jiko mereka sudah biasa pergi keluar rumah, hal ini toh tidak perlu diherankan? ujar Giok-yan. Bukan, bulan,! kata Pau-samsiansing sambil menggeleng. Menurut para Koankeh di sana, katanya Toako dan Jiko suami-istri waktu meninggalkan rumah tampaknya sangat tergesa-gesa dan tidak meninggalkan sesuatu untukku. Bukankah hal ini sangat aneh dan luar biasa? Sudah tentu Toan Ki sama sekali tidak dapat mengikuti percakapan mereka tentang Ting-toako dan Kongya-jiko apa segala, ia taksir orang-orang itu adalah kaum kerabat mereka dan merupakan begundal Buyung-kongcu. Tidak lama, dua pelayan laki-laki mengantarkan masakan yang masih panas. Kata A Cu dengan tertawa, Samko, hari ini Siaumoay tak dapat memasak sendiri bagimu, lain kali tentu akan kuganti kekurangan ini .... Baru sekian bicaranya, tiba-tiba terdengar suara nyaring kelinting-kelinting dua kali di udara. Itu dia, Jiko telah kirim berita kemari, seru Pau-samsiansing bersama A Cu dan A Pik berbareng. Serentak mereka lari keluar rumah dan melihat seekor burung merpati putih sedang mengitar di udara, mendadak merpati itu menukik ke bawah dan hinggap di pundak A Cu. Segera A Pik melepaskan sebuah ikatan di kaki merpati itu, sesudah dibuka bungkusan kecil itu adalah secarik kertas. Cepat Pau-samsiansing menyambut untuk dilihatnya. Kemudian ia lantas berseru, Aha, jika begitu, kita harus lekas berangkat! Beramai-ramai mereka lantas berlari masuk dan berkata kepada Giok-yan, Engkau mau ikut pergi atau tidak?

Pergi ke mana dan tentang urusan apa? tanya si gadis. Jiko mengirim surat, katanya Buyung-hiante sudah mengadakan perjanjian dengan tujuh golongan dan aliran dari provinsi-provinsi Holam, Hopak, Soatang, dan Soasay, untuk bertanding di kota Celam pada tanggal 24 bulan tiga. Hari ini adalah tanggal 12, jadi masih ada waktu 12 hari, engkau mau ikut ke Celam atau tidak? Sudah tentu ikut, sahut Giok-yan cepat dengan girang. Dia dalam surat mengatakan apa lagi? Ehm, dalam surat A Cu disuruh berusaha mencari Ting-toako, Hong-sute dan diriku agar beramai-ramai pergi ke sana. Sahut Pau-samsiansing. Tampaknya pihak musuh sangat kuat dan susah ditempur. Samko, sela A Cu tiba-tiba, Jiko dan Jiso biasanya sangat angkuh, betapa pun tangguhnya musuh juga tidak pernah mengirim surat untuk minta bala bantuan. Tapi sekali ini telah minta kita keluar semua, mungkin pihak lawan benar-benar sangat lihai. Tabiat Loji memang seperti apa yang kau katakan, sahut Pau-samsiansing dengan tertawa, tapi kupikir sebabnya dia minta bala bantuan agaknya bukan untuk kepentingannya, tapi demi kepentingan Buyung-hiante. Mendengar Buyung-kongcu disinggung, Giok-yan menjadi ketarik dan cepat menanya, Sebab apa demi untuk dia? Jilid 22. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/4/21 (2254 reads) Ilmu silat Loji dengan sendirinya bukan nomor satu di dunia ini, demikian tutur Pau-sam. Tapi kalau dia tak sanggup melawan orang dan ingin melarikan diri, kuyakin di jagat ini juga tiada seorang pun mampu menahannya. Apalagi mereka suami-istri gabung bersama, tiada seorang pun yang mereka takuti. Tapi demi keselamatan Buyung-hiante, ia pikir mendatangkan bala bantuan lebih banyak akan lebih baik. Apa yang dikatakan tujuh golongan dan aliran keempat provinsi itu entah terdiri dari orang-orang macam apa? tanya Giok-yan. Terhadap ilmu silat dari berbagai aliran tiada satu pun yang tak dikenalnya. Maka asal ia tahu dari golongan atau aliran mana, untuk menghadapinya menjadi sangat mudah. Setelah membaca pula surat itu, Pau-sam menjawab, Dalam surat Jiko ini tidak diterangkan siapa-siapa ketujuh aliran dan golongan itu. Agaknya dia sendiri tidak tahu, biasanya Jiko sangat cermat setiap tindak tanduknya, kalau tahu tentu dia jelaskan di sini. Habis ini, mendadak ia berpaling kepada Toan Ki dan berkata kepadanya, Hai, orang she Toan, sekarang silakan kau pergi saja! Kami hendak berunding urusan pribadi, tidak perlu kau ikut serta. Kami pergi bertanding dengan orang juga tidak perlu kehadiranmu untuk memberi sorakan. Dari tadi Toan Ki memang sedang merasa sangat tawar karena dirinya hanya mendengarkan percakapan mereka tentang Buyung-kongcu hendak bertanding dengan orang. Kini secara terang-terangan Pau-samsiansing menuding pintu pula baginya, keruan ia tambah tersinggung. Meski rasanya sangat berat meninggalkan Giok-yan, namun dia toh tidak dapat tinggal di situ tanpa kenal malu.

Maka dengan keraskan hati segera ia berkata, Baiklah, Ong-kohnio, nona-nona A Cu dan A Pik, sekarang juga kumohon diri saja, sampai berjumpa pula. Tengah malam buta engkau hendak pergi ke mana? tanya Giok-yan. Apalagi jalanan air di sini engkau juga tidak paham, lebih baik engkau tinggal semalam di sini, esok pagi engkau boleh berangkat. Ucapan Giok-yan seperti menahan tamunya agar jangan pergi dulu, tapi Toan Ki dapat menyelami perasaan gadis itu jelas sudah melayang kepada diri Buyung-kongcu. Mau tak mau Toan Ki jadi dongkol dan merasa terhina. Jelek-jelek dia adalah calon putra mahkota kerajaan Tayli, sejak kecil ia pun biasa disanjung puji, walaupun sejak berkelana di Kangouw telah banyak mengalami penderitaan dan bahaya, tapi belum pernah dipandang rendah sebagai sekarang ini. Maka katanya segera, Berangkat sekarang atau besok sama saja, biarlah aku mohon diri. Jika begitu, akan kusuruh orang mengantar engkau keluar dari danau ini, kata A Cu. Melihat A Cu juga tidak menahannya, Toan Ki tambah kurang senang. Ia semakin iri kepada Buyung-kongcu yang dipuja berlebih-lebihan itu. Maka jawabnya, Tidak perlu antar, cukup pinjamkan sebuah perahu, biar aku mendayung sendiri ke mana saja tibanya nanti. Engkau kurang paham jalanan air di danau luas itu, mungkin engkau akan kesasar, ujar A Pik. Namun kabar punya tidak dengan marah-marah Toan Ki lantas menyahut, Kalian sudah memperoleh Buyung-kongcu, maka lekas berunding untuk pergi membantunya. Aku tiada perjanjian apa-apa dengan jago silat segala, pula bukan Piaute kalian, perlu kalian pikirkan.

Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas bertindak keluar. A Cu dan A Pik terpaksa mengantar tamunya keluar. Kata A Pik, Toan-kongcu, kelak kalau bertemu dengan Kongcu kami, boleh jadi kalian akan menjadi sahabat baik. Ah, mana aku berani mengharapkan, sahut Toan Ki dingin. Mendengar nada perkataan pemuda itu agak marah, A Pik menjadi heran, ia tanya, Toan-kongcu, sebab apakah engkau kurang senang? Apakah pelayanan kami ada yang kurang sempurna? Ya, sifat Pau-samko kami memang begitulah, jika Toan-kongcu merasa tersinggung, harap dimaafkan, A Cu ikut berkata. Toan Ki tidak bicara lagi, cepat ia menuju ke tepi danau dan melompat ke dalam perahu, ia angkat pengayuhnya terus didayung sekuatnya ke tengah danau. Ia merasa dadanya sesak, apa sebabnya, ia sendiri tidak dapat menerangkan. Yang terpikir olehnya adalah selekasnya pergi, kalau tinggal lebih lama di situ, boleh jadi air matanya akan meleleh keluar. Sudah banyak Toan Ki menderita. Ia pernah dianiaya orang Bu-liang-kiam dan Sin-long-pang, pernah disiksa Lam-hay-gok-sin, pernah dikurung oleh

Yan-king Taycu dan pernah diculik Ciumoti dari Hunlam hingga sampai di daerah Koh-soh. Duka derita kesemua itu belum pernah dirasakannya sehebat sekarang ini. Padahal di dalam Thing-hiang-cing-sik itu tiada seorang pun yang menyinggungnya. Pau-samsiansing walaupun kasar padanya, tapi tidak keterlaluan seperti dia memperlakukan Cu Po-kun dan Yau Pek-tong. Giok-yan juga sudah buka suara minta ia tinggal lagi semalam, A Cu dan A Pik juga mengantarnya keluar dengan ramah tamah. Akan tetapi perasaan Toan Ki justru sangat gundah dan kesal tak terkatakan. Angin malam meniup sepoi-sepoi di tengah danau dengan harum bunga teratai yang semerbak, Toan Ki mendayung terus dengan perasaan yang tetap kesal. Sungguh ia tidak tahu apa yang ia kesalkan dan kepada siapa ia mesti kuras rasa kesalnya itu. Dahulu ketika ia dianiaya dan disiksa oleh Lam-hay-gok-sin, Yan-king Taycu dan lain-lain derita waktu itu sangat hebat, tetapi semuanya itu ia hadapi dengan lapang dada. Tapi sekarang benar-benar luar biasa. Lamat-lamat hati kecilnya merasa kesalnya ini disebabkan ia jatuh cinta kepada Ong Giok-yan, sebaliknya dalam hati si nona ternyata tiada tempat bagi Toan Ki, bahkan dayang-dayang seperti Cu dan A Pik juga pandang sebelah mata padanya. Padahal sejak kecil Toan Ki sudah disanjung sebagai permata hati oleh ayah-bunda, bahkan raja dan ratu negeri Tayli juga sangat sayang padanya. Malahan musuh sekalipun seperti Lam-hay-gok-sin melihat dia juga lantas kepincut dan ingin mengambilnya sebagai murid. Lebih-lebih gadis jelita seperti Ciong Ling dan Bok Wan-jing, siapa yang tidak jatuh hati padanya? Tapi hari ini benar-benar untuk pertama kalinya ia dihadapkan pada sikap dingin, meski orang lain cukup menghormat padanya, tapi hormat itu adalah hormat tanpa perhatian. Terasa olehnya bahwa dalam pandangan orang, kedudukan Buyung-kongcu jauh lebih penting daripadanya. Selama beberapa hari ini, Buyung-kongcu itu seakan-akan menjadi pusat perhatian setiap orang. Siapa saja asal menyebut Buyung-kongcu seketika menimbulkan perhatian setiap orang. Giok-yan, A Cu, A Pik, Ong-hujin, Pau-samsiansing dan orang yang disebut Ting-toaya, Kongya-jiya, Hong-suya segala, semuanya seperti dilahirkan melulu untuk menjunjung Buyung-kongcu. Selama hidup Toan Ki tidak pernah merasa iri dan cemburu, kini seorang diri berada dalam perahu di tengah danau seluas ini, samar-samar ia seperti melihat bayangan Buyung-kongcu sedang tertawa ejek padanya, Toan Ki, wahai Toan Ki. Bukankah engkau ini mirip si cebol merindukan rembulan? Haha, apa engkau tidak merasa malu? Karena kesal hatinya, caranya mendayung menjadi sekuat-kuatnya. Sampai lebih satu jam lamanya, bukannya ia merasa lelah, sebaliknya tenaga dalamnya semakin berkobar dan penuh semangat. Dan karena berkobarnya semangat itu, rasa kesalnya perlahan lenyap juga. Setelah mendayung pula satu-dua jam lamanya, fajar sudah mulai menyingsing, ufuk timur mulai terang. Ia lihat di sisi utara di balik awan yang tebal itu menjulang tinggi sebuah gunung. Ia coba menaksir kedudukannya waktu itu

berada di mana, ia taksir Thing-hiang-cing-sik dan Khim-im-siau-tiok itu berada di arah timur, maka asal perahu itu didayungnya ke utara, dengan sendirinya takkan balik kembali ke tempat semula. Tapi aneh, setiap ia mendayung sekali, hatinya bertambah berat rasanya, tanpa terasa terkenang olehnya akan diri Giok-yan yang semakin jauh ditinggalkan itu. Sekitar tengah hari, Toan Ki telah mendayung perahunya sampai di kaki gunung itu. Ia coba mendarat dan tanya penduduk setempat. Kiranya gunung itu bernama Ma-jik-san atau gunung tapak kuda, jaraknya dengan kota Bu-sik sudah tak seberapa jauh lagi. Ketika di Tayli pernah juga Toan Ki membaca nama Bu-sik itu adalah sebuah kota yang terkenal. Ia pikir toh tiada pekerjaan apa-apa, biarlah pergi ke kota itu saja. Segera ia kembali ke atas perahu dan mendayung pula ke utara, tiada sejam kemudian, tibalah dia di tepi kota Bu-sik. Ia tinggalkan perahunya dan masuk ke kota. Ia lihat orang ramai berlalu-lalang di dalam kota, dibandingkan kota Tayli, masing-masing memang mempunyai suasana sendiri-sendiri. Ia berjalan terus sambil menikmati pemandangan kota. Tiba-tiba ia mengendus bau sedapnya masakan. Sudah setengah harian ia tidak makan, ditambah mendayung perahu selama beberapa jam, ia menjadi sangat lapar. Maka ia kegirangan demi mengendus bau makanan lezat itu. Cepat ia menuju ke arah bau sedap itu. Setelah membelok sebuah jalan, ia lihat sebuah restoran besar, papan mereknya tertulis tiga huruf Siong-ho-loa yang sangat besar. Bau sedap masakan itu ternyata tersiar dari restoran ini. Malahan sesudah dekat, terdengarlah suara sibuk pelayan restoran itu sedang melayani tetamunya, hal ini menandakan restoran itu pasti sangat tersohor di kota ini. Segera Toan Ki masuk dan naik ke atas loteng restoran, pelayan memapaknya dengan sangat hormat serta menyilakannya memilih tempat duduk. Toan Ki minta disediakan sepoci arak, empat macam makanan. Sambil bersandar di langkan loteng restoran, ia makan minum sendiri. Mendadak hatinya terasa kesepian dan masygul. Tanpa merasa ia menghela napas panjang. Karena itu, tiba-tiba seorang laki-laki yang duduk di depannya menoleh, sinar matanya yang tajam mengilat itu mengerling dua kali pada Toan Ki. Waktu Toan Ki balas pandang orang, ia lihat perawakan orang itu sangat gagah, usianya kurang lebih 33-34 tahun, berbaju besar beraut muka lebar. Walaupun wajahnya tidak bisa dikatakan cakap, tapi gagah dan berwibawa. Diam-diam Toan Ki menanggapi, Sungguh seorang yang hebat! Pastilah seorang kesatria pilihan, baik di Kanglam maupun di Tayli pasti sukar mendapatkan kesatria semacam ini. Ia lihat di atas meja laki-laki itu tertaruh senampan daging masak, semangkuk kuah dan sepoci arak, kecuali itu tiada masakan lain, suatu tanda cara makan minum orang itu pun sangat sederhana.

Setelah memandang sekejap-dua-kejap kepada Toan Ki, tampaknya laki-laki itu merasa agak heran, tapi ia pun tidak urus lebih jauh dan berpaling pula ke sana untuk makan minum sendiri. Toan Ki sedang merasa kesepian, maka bermaksud mencari sahabat. Segera ia panggil pelayan, katanya sambil menunjuk bayangan belakang laki-laki itu, Sebentar rekening tuan ini sekalian dihitung ke dalam rekeningku. Rupanya laki-laki gagah itu mendengar ucapan Toan Ki, ia menoleh dan tersenyum serta mengangguk perlahan, tapi tidak berkata apa-apa. Maksud Toan Ki hendak berkenalan untuk menghilangkan kesepian menjadi belum ada kesempatan. Setelah minum beberapa cawan lagi, Toan Ki mendengar tangga loteng berdetak, dari bawah naik pula dua orang. Seorang yang berjalan di depan sebelah kakinya pincang, maka ia membawa tongkat, tapi jalannya tetap sangat cepat. Orang kedua adalah seorang kakek yang bermuka muram durja seperti kebanyakan utang. Pakaian kedua orang itu pun berwarna kelabu. Mereka mendekati meja laki-laki tadi dan memberi hormat dengan membungkuk. Laki-laki muda itu cuma manggut-manggut saja tanpa berdiri atau membalas hormat. Maka berkatalah si pincang dengan hormat, Lapor Toako, pihak lawan menentukan tengah malam nanti bertemu di gardu pemandangan di atas Hui-san. Malam ini? kata laki-laki muda itu sambil mengangguk. Apakah tidak terlalu mendesak waktunya? Sebenarnya kita tetapkan pertemuan dengan mereka tiga hari lagi, tutur si kakek. Tapi pihak lawan rupanya mengetahui jumlah kita tidak seberapa orang, mereka sengaja berolok-olok, katanya kalau kita tidak berani menepati janji, malam nanti tidak usah datang ke sana. Baiklah, sahut laki-laki muda itu. Sekarang juga sampaikan kepada kawan-kawan agar sebelum tengah malam nanti beramai-ramai kita berkumpul di Hui-san. Kita harus tiba di sana lebih dulu untuk menunggu kedatangan pihak lawan. Kedua orang itu mengiakan dan turun lagi ke bawah loteng. Percakapan ketiga orang itu sebenarnya dilakukan dengan perlahan, tamu lain di atas loteng itu tiada yang dengar. Tapi Lwekang Toan Ki sekarang sudah sangat tinggi, matanya jeli dan telinganya tajam, meski dia tidak sengaja mendengarkan percakapan mereka, namun dengan sendirinya apa yang dibicarakan orang-orang itu terdengar olehnya. Seperti tidak sengaja tiba-tiba laki-laki itu berpaling ke arah Toan Ki. Melihat pemuda itu sedang termangu-mangu, terang lagi memerhatikan percakapannya mendadak sinar mata laki-laki itu memancar tajam hingga Toan Ki terkejut, tanpa terasa cawan yang dipegang tangan kirinya terjatuh dan terbanting hancur. Ada urusan apakah saudara ini menjadi gugup? kata laki-laki itu sambil tersenyum. Apa sekiranya sudi pindah ke meja sini, marilah kita minum bersama?

Bagus, bagus sekali! sambut Toan Ki dengan gembira. Segera ia minta pelayan memindahkan mangkuk-piringnya ke meja orang itu kemudian ia tanya nama orang. Sudah tahu, mengapa saudara pura-pura tanya? demikian jawab laki-laki itu dengan tertawa. Kita tidak perlu saling tanya, minumlah beberapa mangkuk, bukankah suatu pertemuan yang menggembirakan? Bila nanti kawan atau lawan sudah menjadi terang tentu takkan gembira seperti ini. Toan Ki rada heran oleh jawaban itu. Dengan tersenyum ia berkata pula, Rasanya Hengtay (saudara terhormat) telah salah mengenali orang dan menyangka aku sebagai musuh. Tapi kata-kata tidak perlu saling tanya menang sangat cocok dengan seleraku. Marilah minum, silakan! Segera ia menuang secawan penuh dan sekali tenggak dihabiskan. Saudara ini ternyata suka bicara secara blakblakan dan tidak mirip seorang Susing (kaum pelajar) yang tengik tingkah lakunya, ujar laki-laki itu dengan tersenyum. Rupanya boleh juga kekuatan minum saudara, cuma cawanmu itu terlalu kecil! Segera ia berteriak, Hai, pelayan, ambilkan dua mangkuk besar dan bawakan 10 kati Ko-liang-ciu. Mendengar laki-laki itu pesan 10 kati arak Ko-liang-ciu yang terkenal keras, keruan Toan Ki dan si pelayan kaget semua. Tuan besar, dengan tertawa si pelayan coba tanya, sepuluh kati Ko-liang-ciu apakah dapat habis? Kongcuya ini sudah menyatakan akan menanggung pembayaranku, kenapa kau menghemat baginya? kata laki-laki itu sambil tunjuk Toan Ki. Ayo, lekas ambilkan, kalau 10 kati kurang, sebentar ambilkan lagi 20 kati. Pelayan itu tidak berani banyak omong lagi, dengan tertawa segera ia lari pergi menyediakan pesanan itu. Tidak antara lama, dua mangkuk besar dan satu guci arak sudah tertaruh di atas meja. Tuanglah sepenuhnya kedua mangkuk itu, perintah laki-laki itu. Pelayan menurut membuka guci, ia isi penuh kedua mangkuk itu dengan arak Ko-liang itu hingga hampir luber. Seketika hidung Toan Ki terserengguk oleh bau arak yang keras itu hingga rasanya memabukkan. Waktu tinggal di rumah sendiri, paling-paling ia cuma terkadang minum secawan dua cawan bilamana suka dan belum pernah menyaksikan orang minum arak dengan memakai mangkuk sebesar itu, apalagi isinya adalah Ko-liang-ciu yang keras. Keruan ia berkerut kening. Ayolah kita masing-masing minum sepuluh mangkuk, habis itu, anggaplah kita sudah bersahabat, sudikah engkau? tanya laki-laki itu tertawa. Melihat waktu bicara sorot mata orang mengandung rasa memandang rendah dan menyindir, jika dalam keadaan biasa, tentu Toan Ki menolaknya dan menyatakan terima kasih, tapi semalam ia habis dihina dan kenyang diperlakukan dengan kasar di Thing-hiang-cing-sik, kini melihat sikap orang ini besar kemungkinan adalah sekomplotan dengan Buyung-kongcu, kalau bukan Ting-toaya, Kongya-jiya, tentulah Hong-siya.

Katanya mereka sudah berjanji akan bertempur melawan jago-jago tujuh aliran besar dari berbagai provinsi. Hm, Buyung-kongcu itu kutu macam apa? Aku justru tidak sudi dihina oleh begundalnya, paling-paling mati mabuk, kenapa aku mesti takut. Karena pikiran itu, segera Toan Ki membusungkan dada dan menyahut, Marilah, sudah tentu kuterima ajakan Hengtay, cuma sebentar bila aku mabuk, tentu akan bikin susah pada Hengtay. Habis berkata, tanpa pikir ia terus angkat mangkuk di depannya dan sekali tenggak habislah isi mangkuk itu mengalir ke dalam perutnya. Sebabnya dia nekat menghabiskan arak semangkuk penuh itu adalah karena rasa tidak mau kalah, biarpun Ong Giok-yan tidak di situ, tapi Toan Ki anggap seperti sedang diperlihatkan kepada nona itu sebagai tanda tidak mau kalah daripada Buyung Hok. Jangankan cuma semangkuk arak, sekalipun yang harus diminum itu racun juga tanpa ragu akan diminumnya. Melihat cara minum Toan Ki sangat cepat, hal ini rada di luar dugaan laki-laki itu, ia terbahak-bahak dan berkata, Sungguh menyenangkan cara minum saudara ini! Segera ia pun angkat mangkuknya dan menenggak habis isinya. Menyusul ia menuang dua mangkuk penuh pula. Ehm, arak bagus, arak bagus! seru Toan Ki dengan tertawa. Dan kembali mangkuk diangkatnya dan ditenggaknya hingga kering. Laki-laki itu menirukan juga menghabiskan isi mangkuknya, lalu menuang lagi dua mangkuk. Semangkuk penuh itu isinya satu kati arak. Kini dalam perut Toan Ki sudah terisi dua kati arak keras, keruan perutnya terasa panas bagai dibakar, kepalanya juga mulai pusing, tapi masih teringat olehnya, Hm, Buyung Hok itu kutu macam apa? Masakah aku kalah daripada begundalnya? Karena itu, untuk ketiga kalinya mangkuk diangkat pula dan diminum habis. Melihat muka pemuda itu dalam sekejap saja sudah merah membara, diam-diam laki-laki itu merasa geli, ia yakin setelah menghabiskan tiga mangkuk arak itu, sebentar lagi pasti Toan Ki akan menggeletak mabuk. Setelah minum mangkuk kedua tadi memang rasa Toan Ki sudah mual dan ingin tumpah, kini ditambahi pula isi mangkuk ketiga itu, keruan isi perutnya seketika bagai diaduk-aduk dan berjungkir balik. Namun ia tutup mulut rapat-rapat supaya air arak itu tidak tersembur keluar. Sekonyong-konyong perutnya terasa bergetar, arus hawa murni menerjang ke atas hingga keadaan badan rasanya seperti dahulu waktu hawa murni dalam tubuh tak dapat dipusatkan, segera ia menurut ajaran sang paman tempo hari untuk menarik hawa murni ke Tay-cui-hiat di pusatnya. Tak terduga, karena arak yang diminumnya terlalu banyak, arak itu ikut terbawa hawa murni itu hingga tidak dapat terhimpun di Tay-cui-hiat, sebaliknya terus merembes ke Thian-cong-hiat di bagian bahu, terpaksa Toan

Ki membiarkannya, dan arak itu terus menyusur ke Kok-cin-hiat di lengan kiri, dari situ akhirnya sampai di Siau-tik-hiat di jari kecil kiri, maka tercurah keluarlah arak itu bagai mata air. Jalan yang dilalui hawa murni yang dikerahkannya sekarang tiada ubahnya seperti Siau-tik-kiam, yaitu satu di antara Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan mereka yang hebat itu. Sebenarnya Siau-tik-kiam itu adalah semacam hawa pedang yang tanpa wujud, tapi kini dari jari kecilnya itu ternyata menetes keluar air arak dengan perlahan. Tantang air arak menetes keluar dari jari kecilnya, semula Toan Ki sendiri tidak tahu, menyusul Koan-ciong-hiat di jari manis kiri pun merembes keluar air arak. Maka sebentar saja pikiran Toan Ki sudah jernih kembali. Karena tangan kiri Toan Ki itu dilambaikan ke bawah, maka apa yang terjadi itu tidak diketahui oleh laki-laki itu. Ketika dilihatnya muka Toan Ki yang tadinya merah, sinar matanya buram sebagaimana biasanya orang mabuk, tapi hanya sekejap saja kembali mukanya bercahaya dan segar penuh semangat, keruan orang itu terheran-heran, katanya dengan tertawa, Tampaknya Hengtay ini lemah gemulai, tapi kekuatan minum arak ternyata sangat hebat. Habis berkata, kembali ia menuang penuh dua mangkuk. Kekuatan minumku ini tergantung dari keadaan, ujar Toan Ki dengan tertawa. Kata orang, ketemu sobat sejati, seribu cawan arak pun sedikit. Menurut perkiraanku, isi mangkuk ini paling-paling sama banyaknya dengan isi 20 cawan. Maka untuk mencukupi seribu cawan, sedikitnya harus 50 mangkuk besar ini terisi penuh. Cuma Siaute mungkin tidak sanggup menghabiskan 50 mangkuk ini. Sembari berkata, segera tangan kanan mengangkat pula mangkuknya dan kembali diminum habis. Karena tangan kirinya terjulur ke bawah dan bersandar di langkan jendela, maka air arak yang merembes keluar dari jari kecil dan manis tangan kiri itu lantas mengalir ke bawah melalui dinding yang bergandengan dengan langkan jendela itu. Tentu saja tiada seorang pun yang tahu akan kejadian itu dan tiada sedikit pun tanda yang mencurigakan. Maka tidak antara lama empat mangkuk arak yang diminumnya itu merembes keluar semua melalui jari tangannya itu. Orang itu sebenarnya yakin dirinya pasti paling kuat minum arak di seluruh jagat ini, tapi kini melihat seorang pelajar kurus lemah seperti Toan Ki ternyata sekaligus mampu menghabiskan empat mangkuk arak keras tanpa sinting sedikit pun, keruan ia terheran-heran. Katanya kemudian, Bagus, bagus! Memang seribu cawan terlalu sedikit minum bersama sobat sejati. Marilah kuminum dulu. Segera ia menuang dua mangkuk penuh dan berturut-turut dihabiskannya. Lalu ia menuangkan dua mangkuk pula untuk Toan Ki. Sekarang Toan Ki sengaja pamerkan kekuatannya minum arak dengan acuh tak acuh serta bersenda gurau, ia tenggak pula kedua mangkuk arak itu seperti orang sedang minum teh saja. Tentu saja perlombaan minum arak mereka ini menggemparkan tamu-tamu lain, bahkan tukang api, tukang masak dan kuasa restoran sama datang merubung untuk

menyaksikan cara minum mereka. Pelayan, tiba-tiba laki-laki itu berseru, lekas ambilkan pula 20 kati arak! Pelayan melelet lidah, tapi ia tidak berani banyak omong terus berlari ke belakang untuk mengeluarkan pula satu guci arak yang dua kali lebih besar daripada tadi. Begitulah satu mangkuk sama satu mangkuk Toan Ki bergiliran minum dengan laki-laki itu, tampaknya kekuatan kedua orang setanding, maka tiada setengah jam, masing-masing orang sudah menghabiskan lebih 30 mangkuk. Dengan sendirinya Toan Ki tahu dirinya main sulap dengan jari, arak yang diminumnya itu cuma menyalur ke dalam tubuh untuk kemudian mengalir keluar lagi dengan cepat, maka kekuatan minumnya boleh dikatakan tanpa takaran, biarpun seratus atau dua ratus mangkuk juga bukan apa-apa baginya. Sebaliknya laki-laki itu benar-benar minum dengan kepandaian yang sejati. Tampaknya sudah lebih 30 mangkuk arak ditenggaknya, tapi mukanya masih tetap tenang-tenang saja tanpa ada tanda mabuk sedikit pun, mau tak mau Toan Ki sangat kagum juga. Dan karena melihat laki-laki itu sangat gagah perkasa, perasaan permusuhan Toan Ki semula karena menganggap orang adalah begundal Buyung-kongcu, kini berbalik timbul rasa suka bersahabat dengan laki-laki itu. Diam-diam Toan Ki pikir, Jika minum secara begini dipaksakan terus, sudah tentu aku takkan kalah, tapi bagi orang ini tentu kesehatannya akan terganggu. Karena itu, setelah persis minum sampai 40 mangkuk, segera Toan Ki buka suara, Kita masing-masing sudah minum 40 mangkuk bukan, saudara? Hitungan Hengtay ternyata tepat, ujar laki-laki itu dengan tertawa. Rupanya kita benar-benar telah ketemukan tandingan yang setimpal dan sama-sama kuat, kata Toan Ki dengan tertawa. Untuk bisa menentukan kalah atau menang, mungkin tidaklah mudah. Tapi kalau kita minum terus tanpa batas seperti wah, isi kantongku yang bakal jebol, pasti tidak cukup untuk membayar. Habis berkata, terus saja ia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah dompet sulaman indah dan dilemparkan ke atas meja. Tek, memang benar isi dompetnya itu agak kempis. Sebagai seorang pangeran, dengan sendirinya Toan Ki tidak perlu banyak membekal uang, sebab kalau perlu tentu ada pengawalnya yang akan membayarkan kepentingannya. Apalagi datangnya ke Kanglam ini karena diculik oleh Ciumoti, dengan sendirinya berangkatnya itu tiada membawa sangu apa-apa. Dompet kain sulaman yang dikeluarkannya ini sangat indah, sekali pandang saja orang akan tahu adalah benda yang bernilai, tapi isinya memang kempis, hal ini pun sekali pandang saja orang akan tahu. Maka tertawalah laki-laki itu, katanya tiba-tiba kepada salah seorang tamu restoran yang gemuk, Thio-toaya, rekening kami ini haraplah suka kau bereskannya.

Tetamu gemuk itu adalah seorang saudagar setengah umur, ia menjawab dengan tertawa, Sudah tentu, sudah tentu! Jika Kiau-toako sudi memberi muka, pasti Siaute akan menjadi tuan rumah sekadarnya. Habis berkata, ia terus mengeluarkan serenceng uang perak dan diserahkan kepada pelayan. Terima kasih! kata laki-laki itu sambil memberi hormat. Lalu Toan Ki digandengnya keluar sambil berkata, Sobat baik, marilah kita pergi! Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan. Selama tinggal di negeri Tayli ia adalah putra pangeran yang diagungkan, jarang bisa bergaul dengan kawan-kawan baik sejati. Tapi hari ini tanpa susah-susah, bukan dengan ilmu sastra atau ilmu silat, tapi hanya dengan cara yang aneh, yaitu berlomba minum arak, dan dapatlah mengikat persahabatan dengan seorang laki-laki segagah ini, sungguh kejadian ini dirasakannya sebagai sesuatu yang paling aneh selama hidupnya. Sambil menggandeng tangan Toan Ki, laki-laki itu lantas mengajaknya turun ke bawah loteng dan meninggalkan restoran itu. Jalan laki-laki itu makin lama makin cepat, hanya sebentar saja mereka sudah sampai di luar kota. Langkah laki-laki itu bertambah cepat lagi mengikuti jalan raya. Toan Ki himpun tenaga dan selalu berjalan berendeng dengan laki-laki itu, meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi tenaga dalamnya sangat kuat, kalau cuma berjalan cepat seperti itu, sama sekali takkan membuatnya lelah atau tersengal-sengal. Melihat Toan Ki mengikuti jalannya dengan sama cepatnya, laki-laki itu tersenyum, katanya, Sobat baik, marilah kita berlomba lari! Toan Ki menjadi ragu, ia sendiri tidak pernah belajar ilmu silat atau Ginkang segala, cara bagaimana sanggup berlomba dengan orang. Celakanya, sehabis laki-laki itu berkata tadi, tanpa tunggu jawaban Toan Ki terus saja orang tarik tangan anak muda itu dan dilarikan secepat terbang ke depan. Karena tidak siap sebelumnya, sesudah ikut lari beberapa langkah, hampir saja ia jatuh tersandung, syukur ia dapat menggeser kaki kiri ke samping, dengan demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Ternyata langkahnya yang tidak sengaja ini tepat adalah salah satu ilmu langkah dari Leng-po-wi-poh yang pernah diyakinkannya itu. Dan karena langkah yang tak sengaja tapi tepat itu, tanpa terasa ia terus dapat mendahului malah hingga beberapa tindak di muka. Toan Ki merasa senang, maka langkah kedua segera pakai Leng-po-wi-poh pula. Cuma waktu menjalankan ilmu langkah ini harus mencurahkan perhatian sepenuhnya dan tidak boleh berpikir lain. Tadi ia bergandengan tangan dengan laki-laki itu sambil menahan tenaga dalamnya menurut ajaran sang paman hingga Cu-hap-sin-kang dalam tubuh tidak sampai menyedot hawa murni laki-laki itu. Tapi kini sekali ia menggunakan langkah Leng-po-wi-poh, seketika tubuh laki-laki itu tergetar, kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk melepaskan tangannya. Maka kedua orang itu sekarang berlari berjajar, begitu cepat mereka berlari hingga pohon-pohon di tepi jalan seakan-akan melayang lewat di samping

mereka. Waktu Toan Ki mempelajari Leng-po-wi-poh itu sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kepandaian itu akan dipakai untuk berlomba lari dengan orang. Tapi kini sekali dia mainkan ilmu langkah itu, sebagai anak panah yang sudah terpentang di busurnya, mau tak mau harus dilepaskannya. Cuma pikiran untuk menangkan laki-laki itu juga tak ada pada benaknya, ia cuma berlari menurutkan ilmu langkah yang sudah masak diyakinkannya itu, ditambah Lwekangnya sangat tinggi, tentu saja larinya melebihi juara marathon. Apakah laki-laki itu sudah mendahului atau masih ketinggalan di belakang tak sempat dipikirnya lagi. Dan lari laki-laki itu ternyata makin lama yakin cepat. Hanya sekejap saja Toan Ki sudah ketinggalan jauh di belakang. Tapi asal ayal sedikit, segera Toan Ki dapat menyusulnya lagi. Ia coba melirik pemuda itu, ternyata tindakan Toan Ki tampak berlenggang seenaknya saja, jadi seperti orang lagi berjalan jalan biasa, sedikit pun tiada tanda dipaksakan. Keruan laki-laki itu sangat heran dan diam-diam bertambah kagum. Segera ia tancap gas hingga Toan Ki tertinggal lagi di belakang. Begitulah beberapa kali dicoba dan laki-laki itu pun tahu tenaga dalam Toan Ki ternyata sangat kuat, untuk menangkan anak muda itu dalam jarak dekat memang gampang, tapi kalau berlari jauh, pasti dirinya akan menyerah kalah. Mendadak ia terbahak-bahak, lalu berhenti dan berduduk di atas batu di bawah pohon yang rindang, serunya, Buyung-kongcu, hari ini Kiau Hong benar-benar menyerah padamu, Koh-soh Buyung memang bukan omong kosong belaka! Cepat Toan Ki berhenti juga, dan ketika dipanggil sebagai Buyung-kongcu, keruan ia terheran-heran. Segera jawabnya, Siaute she Toan bernama Ki, berasal dari negeri Tayli, agaknya Hengtay salah mengenali orang! Seketika wajah laki-laki itu menampilkan rasa heran dan sangsi, katanya dengan tak lancar, Apa? Kau ... kau ... bukan Buyung Hok, Buyung-kongcu? Sejak Siaute datang di Kanglam sini, setiap hari selalu mendengar orang menyebut nama Buyung-kongcu, sungguh Siaute kagum tak terhingga kepada nama itu, cuma sayang sampai saat ini tidak sempat berkenalan dengan dia, demikian sahut Toan Ki. Diam-diam ia pun heran, laki-laki itu salah sangka dirinya sebagai Buyung Hok, sikapnya itu tampak bukan pura-pura saja. Jika demikian, dengan sendirinya ia bukan begundal Buyung Hok itu? Berpikir demikian, makin besar rasa sukanya kepada laki-laki itu, maka tanyanya, Hengtay barusan menyebut namanya sendiri, apakah benar she Kiau bernama Hong? Benar, Cayhe Kiau Hong adanya, sahut laki-laki itu dengan tetap heran. Toan Ki lantas duduk juga di atas batu itu, katanya, Siaute baru saja datang ke Kanglam sini lantas dapat bersahabat dengan kesatria gagah seperti Kiau-heng, sungguh sangat beruntung. O, jadi engkau anak murid keluarga Toan dari Tayli, pantas, pantas! kata Kiau Hong sesudah berpikir sejenak. Toan-heng ada urusan apa datang ke

daerah selatan sini? Sungguh memalukan kalau diceritakan, kedatanganku ke sini sebenarnya ditawan orang, tutur Toan Ki. Lalu ia ceritakan pengalamannya cara bagaimana Ciumoti menawannya dan menggondolnya ke sini serta bertemu dengan kedua dayang Buyung Hok, semua itu ia tuturkan secara ringkas. Namun begitu sedikit pun tidak mengurangi apa yang telah terjadi sebenarnya, sama sekali ia tidak malu-malu untuk menceritakan tentang dirinya dihina dan disiksa orang. Habis mendengar, Kiau Hong terheran-heran dan senang pula, katanya, Toan-heng, engkau sungguh seorang yang berhati jujur dan suka terus terang, biarpun baru kenal, namun kita sudah bergaul sebagai kawan lama. Jika engkau sudi, maukah kita mengangkat saudara? Ternyata umur Kiau Hong lebih tua 12 tahun daripada Toan Ki, dengan sendirinya Toan Ki harus memanggilnya sebagai Toako dan Kiau Hong memanggilnya Hiante. Begitulah mereka mengadakan upacara singkat dan sederhana untuk mengangkat saudara. Ketika di atas restoran itu, Siaute dengar bahwa Toako telah berjanji untuk bertemu dengan musuh pada malam ini, demikian kata Toan Ki kemudian. Meski Siaute tidak mahir ilmu silat tapi juga ingin melihat ramai-ramai ke sana. Dapatkah Toako mengizinkan Siaute ikut? Kiau Hong coba tanya lagi dan benar-benar mengetahui Toan Ki memang tidak bisa ilmu silat, keruan ia tambah heran, katanya, Dengan tenaga dalam Hiante yang hebat ini untuk belajar silat tingkat tinggi sudah tentu seperti orang merogoh saku mengambil barang sendiri, sedikit pun tidak sukar. Kalau Hiante ingin menyaksikan pertempuran malam ini, apa alangannya? Sebentar bolehlah ikut ke sana. Cuma musuh terlalu ganas dan keji, Hiante sekali-kali jangan unjukkan diri. Sudah tentu Siaute menurut segala pesan Toako, kata Toan Ki dengan girang. Dan sekarang waktunya masih cukup, marilah kita kembali ke kota untuk minum arak pula, setelah itu barulah kita berangkat ke Hui-san untuk menemui musuh, ajak Kiau Hong. Mendengar sang Toako ingin minum arak lagi Toan Ki kaget. Masakan baru habis minum 40 mangkuk besar dan sekarang sudah ingin minum lagi? Maka sahutnya segera, Toako, cara Siaute berlomba minum denganmu tadi sebenarnya cuma tipuan belaka, harap Toako jangan marah. Segera ia acungkan jari kecil kiri ke depan, crit, arus hawa terus muncrat keluar dari Siau-tik-hiat hingga debu di tanah bertebaran oleh semburan hawa itu. Keruan Kiau Hong terkejut, katanya dengan tergegap, Hiante, apakah ... apakah ini ilmu sakti Lak-meh-sin-kiam? Benar, sahut Toan Ki, belum lama Siaute mempelajarinya, masih sangat hijau. Untuk sejenak Kiau Hong termangu-mangu, katanya kemudian dengan gegetun, Pernah kudengar cerita guruku almarhum bahwa keluarga Toan di Tayli memiliki

semacam ilmu Lak-meh-sin-kiam yang dapat membunuh orang dengan hawa pedang tanpa wujud, cuma ilmu sakti itu sudah lama lenyap, maka di zaman ini tiada seorang yang dapat memainkannya. Tak terduga Hiante ternyata mahir ilmu sakti itu, sungguh aku tidak pernah menyangka sebelumnya. Ah, Toako terlalu memuji, sahut Toan dengan menyesal. Padahal ilmu ini kecuali dipakai main licik tatkala berlomba minum arak dengan Toako, toh tiada berguna pula. Buktinya aku ditawan Ciumoti, sedikit pun aku tidak mampu melawannya. Tentang Lak-meh-sin-kiam ini sebenarnya terlalu dibesar-besarkan oleh orang luar. Toako, arak kurang baik bagi kesehatan badan, minum sedikit saja, kita jangan minum lagi. Kiau Hong terbahak-bahak, katanya, Nasihat Hiante memang benar. Cuma Engkohmu ini sehat sebagai kerbau, sejak kecil sudah suka minum arak, semakin banyak minum semakin bersemangat. Malam ini aku akan menghadapi musuh, maka perlu minum lebih banyak agar dapat melayani mereka dengan baik. Begitulah sambil bicara mereka kembali ke kota Bu-sik, kini mereka tidak balapan lari lagi, tapi jalan berendeng dengan perlahan. Sifat Toan Ki memang suka bersahabat, maka hatinya sangat gembira dapat mengikat saudara dengan Kiau Hong. Tapi ia pun tidak pernah lupa pada Buyung Hok dan Ong Giok-yan. Karena itu kemudian ia lantas tanya Kiau Hong, Toako, semula engkau salah sangka Siaute sebagai Buyung-kongcu, jangan-jangan muka Buyung-kongcu itu rada mirip mukaku? Aku pun tidak pernah kenal dia, hanya namanya yang tersohor sudah lama kudengar, kedatanganku ke sini ini justru disebabkan dia, sahut Kiau Hong. Kabarnya Buyung Hok itu baru berusia 25-26 tahun, cakap dan gagah, sebenarnya masih lebih tua daripada Hiante. Tapi tidak terduga bahwa di selatan sini kecuali Buyung Hok masih terdapat pula seorang muda dan cakap dengan ilmu silat yang tinggi seperti diri Hiante, makanya aku salah mengenalimu. Sungguh aku merasa malu. Mendengar Buyung Hok itu ilmu silatnya tinggi dan mukanya cakap, mau tak mau Toan Ki merasa iri. Tanyanya pula, Dan jauh-jauh Toako datang ke sini untuk mencari dia, maksudnya hendak berkawan atau menjadi lawannya? Kiau Hong menghela napas, mukanya menjadi muram, sahutnya, Sebenarnya aku sangat berharap dapat mengikat persahabatan dengan seorang tokoh muda seperti dia. Tapi mungkin sukar terkabul cita-citaku ini. Sebab apa? tanya Toan Ki. Sebab seorang kawanku yang paling karib, dua bulan yang lalu telah tewas di atas Hui-san di Bu-sik sini, semua orang mengatakan hal itu adalah perbuatan Buyung Hok, tutur Kiau Hong. Ai, Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin (gunakan cara orang itu untuk dilakukan atas dia sendiri)! tiba-tiba Toan Ki bergumam. Benar, kata Kiau Hong. Justru kawanku itu menjagoi dunia Kangouw dengan Soh-au-kim-na-jiu (ilmu menangkap dengan mencekik leher), tapi dari mayatnya ternyata tulang lehernya remuk, tidak salah lagi dia dibinasakan oleh Soh-au-kim-na-jiu andalannya itu. Bicara sampai di sini, suara Kiau Hong menjadi parau, tenggorokan seakan-akan

tersumbat, wajah sangat sedih. Setelah merandek sejenak, kemudian ia meneruskan, Tapi kejadian di Kangouw memang aneh-aneh dan di luar dugaan orang, tidak boleh melulu percaya kepada berita sepihak lantas sembarangan menuduh kesalahan orang. Sebab itulah maka kudatang sendiri ke sini untuk menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya. Dan bagaimanakah duduk perkara yang sebenarnya? tanya Toan Ki. Kiau Hong menggeleng kepala, sahutnya, Masih sulit untuk dikatakan sekarang. Kawanku itu sudah lama tersohor namanya, tindak tanduknya sangat prihatin, rasanya tanpa sebab tidak mungkin cekcok dengan Buyung-kongcu. Dan mengapa dia sampai ditewaskan orang, sungguh hal ini agak membingungkan. Toan Ki mengangguk-angguk, pikirnya, Meski lahirnya Toako kelihatan kasar, tapi batinnya sebenarnya sangat cermat, dibanding Ho-siansing, Suma Lim dan lain-lain yang tanpa mencari tahu lebih dulu lantas menuduh Buyung-kongcu sebagai pembunuh. Nyata cara bertindak Toako ini lebih hati-hati dan lebih bijaksana. Maka ia lantas tanya lagi, Dan musuh yang berjanji akan bertemu dengan Toako itu orang macam apa lagi? Itulah .... baru sekian katanya, tiba-tiba terlihat dua orang berdandan mirip pengemis berlari datang dari depan sana dengan cepat. Rupanya kedua orang itu berlari dengan sekuat Ginkang mereka, maka hanya sekejap saja sudah sampai di depan Kiau Hong. Kira-kira beberapa meter di depan Kiau Hong, kedua orang itu berhenti serta menyingkir ke tepi jalan, lalu membungkuk memberi hormat sambil menutur, Lapor Kiau-pangcu, ada empat orang musuh telah menerjang ke dalam Tay-gi-hun-tho (cabang pimpinan bagian Gi), kepandaian mereka sangat hebat, Cio-thocu sampai kewalahan, maka hamba diperintahkan minta bala bantuan kepada Tay-jin-hun-tho (cabang pimpinan Jin). Mendengar dua orang itu menyebut Kiau Hong sebagai Pangcu, sikap mereka pun sangat hormat, diam-diam Toan Ki membatin sang Toako pasti ketua dari sesuatu Pang-hwe (perkumpulan atau organisasi) dunia Kangouw. Sementara itu dilihatnya Kiau Hong telah mengangguk, lalu bertanya, Macam apakah musuh itu? Terdiri dari tiga wanita dan seorang laki-laki, sahut salah seorang pengemis itu. Laki-laki itu tinggi kurus dan setengah umur, tapi sangat kasar dan kurang ajar. Hm, Cio-thocu juga terlalu, masakan melawan seorang saja kewalahan? jengek Kiau Hong. Lapor Pangcu, demikian orang itu menutur pula. Ketiga wanita itu pun sangat lihai. O, ya? Baiklah, coba kulihat ke sana, kata Kiau Hong dengan tertawa. Kedua laki-laki itu mengiakan dengan girang, lalu membungkuk menyilakan sang Pangcu berjalan dulu. Dan kalian tetap pergi kepada Tay-jin-hun-tho dan minta Sin-thocu mengirim

bala bantuan, ujar Kiau Hong pula. Segera laki-laki yang lebih tua berkata, Semula Cio-thocu tidak tahu Pangcu berada di sini, maka hamba disuruh minta bantuan kepada Sin-thocu. Tapi kini Pangcu sendiri sudi turun tangan, hanya beberapa musuh tak berarti itu sudah tentu dengan mudah dapat dibekuk. Segala apa harus bertindak lebih hati-hati, kata Kiau Hong dengan menarik muka. Maka kedua laki-laki itu tidak berani bicara lagi, mereka mengiakan dan memberi hormat pula, lalu berlari pergi ke arah yang dituju tadi. Hiante, apakah engkau akan ikut ke sana bersamaku? tanya Kiau Hong. Tentu saja, sahut Toan Ki tanpa pikir. Kiau Hong lantas membawa Toan Ki berangkat, setelah berjalan beberapa li, mereka membelok ke kiri menyusur gili-gili sawah ladang yang berliku-liku, tidak lama Toan Ki sudah tak dapat mengenali jalan yang dilaluinya itu. Kira-kira beberapa li pula, baru saja mereka melintasi sebuah hutan, maka terdengarlah suara seorang yang lucu sedang berkata, Buyung-hiante kami telah pergi ke Lokyang untuk mencari Pangcu kalian, mengapa orang-orang Kay-pang kalian berbalik datang ke Bu-sik sini? Bukankah ini sengaja menghindari untuk bertemu? Jika kalian takut, itulah urusan kalian sendiri, tapi Buyung-hiante kami bukankah akan buang tenaga percuma pergi ke sana? Huh, benar-benar tidak tahu aturan! Mendengar suara orang itu, seketika hati Toan Ki berdebar. Kiranya itulah suara Pau-samsiansing yang suka berkata bukan-bukan itu. Diam-diam ia pikir apakah nona Ong juga datang bersama dia? Lalu terdengar suara seorang dengan logat utara menjawab, Apakah Buyung-kongcu sudah lebih dulu mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu kami? Berjanji atau tidak sama saja, sahut Pau-samsiansing, kalau Buyung-kongcu sudah pergi ke Lokyang, betapa pun Pangcu kalian tidak boleh pergi ke lain tempat hingga Buyung-hiante datang percuma. Sungguh tak tahu aturan, tidak tahu aturan! Jika begitu, apakah Buyung-kongcu telah mengirim berita kepada Kay-pang kami tentang kunjungannya? tanya orang itu. Dari mana kutahu? Aku toh bukan Buyung-kongcu, pertanyaanmu benar-benar terlalu, sungguh tidak tahu aturan! demikian sahut Pau-samsiansing. Sungguh mendongkol Kiau Hong oleh kata-kata Pau-samsiansing yang suka menang sendiri itu. Dengan langkah lebar segera ia menuju tempat suara itu. Maka tertampaklah di situ telah berdiri dua orang berhadapan. Akan tetapi bagi Toan Ki yang lantas terlihat olehnya adalah si gadis jelita yang berdiri di belakang Pau-samsiansing itu. Dan sekali sinar matanya kontak dengan sorot mata si nona, maka tak terpisahkan lagi pandangannya. Gadis jelita itu memang benar Giok-yan adanya. Ia bersuara heran perlahan

ketika melihat munculnya Toan Ki. Engkau juga datang ke sini? sapanya perlahan. Ya, dan engkau pun berada di sini? sahut Toan Ki. Terus saja ia pandang si nona dengan termangu-mangu seperti orang linglung. Dengan wajah merah lekas Giok-yan berpaling ke arah lain, pikirnya, Mengapa orang ini sedemikian kurang ajar, memandang orang tanpa berkedip? Namun demikian, ia tahu Toan Ki sangat kesengsem pada kecantikannya, hal ini dengan sendirinya menyenangkan hatinya, maka ia pun tidak menjadi marah oleh kelakuan pemuda itu. Melihat gadis secantik Giok-yan, mau tak mau Kiau Hong juga tergetar hatinya. Tapi segera ia pun memerhatikan ketiga orang yang lain. Ia lihat kedua gadis yang lain, yaitu A Cu dan A Pik, yang satu lincah centil dan yang lain ramah halus. Tapi kedua gadis itu tidak menjadikan pikiran Kiau Hong, yang mendongkolkan dia adalah sikap Pau-samsiansing yang mentang-mentang, seorang tokoh seperti Cio Ci-tong, Thocu Kay-pang, ternyata sama sekali dipandang sebelah mata olehnya. Begitulah Cio Ci-tong menjadi girang ketika melihat sang Pangcu datang, segera ia menyambut maju dan memberi hormat diikut oleh anggota-anggota Kay-pang yang berada di belakangnya. Hamba sekalian memberi sembah bakti kepada Pangcu! seru Cio Ci-tong. Ternyata sama sekali Pau-samsiansing tidak ambil pusing atas kedatangan Kiau Hong, seperti tidak terjadi apa-apa kemudian ia pun bertanya, Ehm, apakah saudara ini Kiau-pangcu dari Kay-pang? Awak bernama Pau Put-tong, tentu pernah kau dengar namaku. O, kiranya Pau-samsiansing, memang nyata tingkah lakumu benar-benar Pau-put-tong (tanggung tidak sama dengan orang lain), sahut Kiau Hong. Sudah lama kukagum kepada namamu yang besar, kini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung. Ah, nama besar apa? ujar Pau-samsiansing alias Pau Put-tong. Kalau nama busuk sih memang sudah terkenal di Kangouw. Setiap orang juga tahu aku Pau Put-tong paling suka cari gara-gara dan banyak berbuat kejahatan. Hehehe, Kiau-pangcu, secara sembarangan kau datang ke Kanglam sini, inilah terang kesalahanmu. Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar pada zaman itu, kedudukan Pangcu sangat diagungkan siapa pun juga terutama anggota Kay-pang memandang Pangcu mereka seakan-akan malaikat dewata yang terpuji. Kini melihat Pau Put-tong bersikap kasar terhadap sang Pangcu, bahkan mengucapkan kata-kata mencela, keruan anggota Kay-pang yang berada di situ menjadi gusar. Beberapa orang yang berdiri di belakang Cio Ci-tong lantas gosok-gosok kepalan dan ingin memberi hajaran kepada Pau Put-tong. Namun Kiau Hong ternyata tenang-tenang saja, sahutnya dengan tawar, Mengapa aku dituduh bersalah, coba Pau-samsiansing memberi penjelasan. Ya, terang engkau salah, seru Pau Put-tong. Buyung-hiante kami tahu engkau Kiau-pangcu adalah seorang tokoh, tahu pula dalam Kay-pang tidak banyak

jago-jago lain, makanya dia ke Lokyang dengan maksud berkenalan dengan engkau, tapi mengapa kalian berlaku senang-senang dan datang ke Kanglam malah? Hehe, sungguh tidak tahu aturan! Kiau Hong hanya tersenyum, sahutnya, Buyung-kongcu sudi berkunjung ke tempat kami di Lokyang, bila sebelumnya kudapat kabar, memang seharusnya kunanti kedatangan tamu agungnya. Tentang keayalanku menyambut dia, biarlah di sini aku minta dimaafkan. Sambil berkata, ia terus memberi hormat dengan Kiongchiu (kedua kepalan dirangkap di depan dada). Diam-diam Toan Ki memuji kebesaran jiwa Toako itu, pikirnya, Kata-kata Toako ini benar-benar sangat bijaksana, memang sesuai dengan wibawa seorang Pangcu. Sebaliknya kalau dia marah kepada Pau-samsiansing, hal ini malah akan merosotkan kedudukannya yang diagungkan itu. Tak terduga Pau Put-tong itu terima mentah-mentah penghormatan Kiau Hong tanpa sungkan-sungkan, ia manggut-manggut dan berkata, Ehm, orang salah seharusnya minta maaf. Kata peribahasa, orang yang tidak tahu, tidak berdosa. Tapi apakah perlu dihukum atau didenda, hak ini bukanlah kami yang menentukan. Begitulah sedang Pau Put-tong mencerocos dengan senang, tiba-tiba terdengar di balik hutan sana riuh ramai dengan suara orang terbahak-bahak hingga menggema angkasa, lalu suara seorang berkata, Haha, sudah sering kudengar bahwa Pau Put-tong di daerah Kanglam suka kentut, nyatanya memang bukan omong kosong belaka! Ya, ya, orang bilang kentut yang berbunyi itu tidak bau, yang bau itu tentu kentut tak berbunyi, demikian kontan Pau-samsiansing menjawab, Tapi kentut Kay-pang-su-lo (empat tertua Kay-pang) ini sudah berbunyi keras lagi berbau busuk, nyata memang tidak omong kosong belaka! Jika Pau-samsiansing sudah kenal nama Kay-pang-su-lo, mengapa masih jual lagak di sini? seru suara di balik pohon itu. Lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari empat penjuru semak pohon masing-masing muncul seorang tua, ada yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan, ada yang bermuka merah bergigi rajin, semuanya masih gagah dan kuat. Begitu muncul, keempat kakek ini lantas menduduki empat penjuru hingga Pau-samsiansing dan Giok-yan bertiga terkurung di tengah. Kakek-kakek itu bersenjata pula, ada yang berwajah kereng, ada yang tertawa-tawa dengan sikap yang berbeda-beda. Pau Put-tong sendiri cukup tahu Kay-pang adalah suatu perkumpulan terkemuka di kalangan Kangouw, jago Kay-pang tak terhitung banyaknya, lebih-lebih Kay-pang-su-lo sangat terkenal dalam Bu-lim, setiap kakek itu memiliki ilmu silat yang lihai. Tapi dasar watak Pau Put-tong memang angkuh dan tidak mau kalah, sejak kecil sifatnya tidak gentar kepada siapa pun juga. Kini melihat Kay-pang-su-lo muncul sekaligus serta menduduki tempat mengepung, mau tak mau ia mengeluh juga, Wah, celaka, hari ini nama baik Pau-samsiansing, mungkin akan runtuh habis-habisan.

Namun lahirnya sedikit pun ia tidak memberi tanda khawatir, segera ia pun berseru, Kalian berempat orang tua ini ada urusan apa dengan aku? Akan mengerubut maju sekaligus untuk berkelahi dengan Pau-samsiansing? Silakan jika begitu, memang selama hidup Pau-samsiansing paling suka berkelahi! Siapakah orang di jagat ini paling gemar berkelahi? Apakah Pau-samsiansing? tiba-tiba suara seorang bergema di udara. Salah, salah! Bukan dia melainkan Hong Po-ok, Hong-siya! Waktu Toan Ki mendongak, tertampak di atas pucuk dahan pohon sana berdiri satu orang. Dahan melambai-lambai hingga orang itu pun turut bergoyang naik turun dengan gaya indah. Perawakan orang itu kecil, usianya antara 30 tahun lebih, pipinya cekung, berkumis mirip ekor tikus, alisnya panjang melambai ke bawah, mukanya itu lebih mirip setan daripada manusia. Tapi lantas terdengar A Pik berseru dengan girang, He, Hong-siko, apakah engkau sudah mendapat kabar baik Kongcu? Kiranya laki-laki jelek ini adalah Hong Po-ok berjuluk It-tin-hong atau angin lesus. Ia merupakan salah seorang pembantu kepercayaan Buyung Hok. Maka terdengar Hong Po-ok berteriak, Bagus, bagus! Hari ini dapat menemukan lawan yang baik. Tentang urusan Kongcu, biarlah tunggu sebentar, kita bicarakan nanti, A Pik! Habis berkata, ia terjun ke bawah dengan berjumpalitan, ketika hampir mendekat tanah, mendadak ia menubruk ke arah si kakek gemuk yang berdiri di sisi utara sana. Kakek yang bertubuh potongan gajah dungkul itu bersenjatakan sebatang tongkat baja. Mendadak tongkatnya menyodok ke depan mengincar dada Hong Po-ok. Bulat tengah tongkat itu kira-kira sebesar telur. Panjangnya dua meter, jadi lebih tinggi daripada tubuh kakek itu sendiri. Biarpun badannya gemuk pendek, tapi kepandaiannya sangat hebat, begitu tongkatnya bergerak, seketika menyambar serangkum angin yang keras. Tapi Hong Po-ok benar-benar pemberani, bukannya menghindar atau mundur, sebaliknya ia memapak maju malah dan hendak merebut tongkat lawan. Tapi mendadak kakek itu menyendal tongkatnya hingga menjengkit ke atas untuk menyodok muka Hong Po-ok. Bagus? seru Po-ok sambil mendak ke bawah, menyusul tangannya lantas terulur hendak mencengkeram iga si kakek. Sesudah tongkatnya didorong maju, untuk menarik kembali senjatanya buat menangkis sudah tidak keburu lagi, sedangkan musuh tampak menerjang maju, terpaksa kakek itu angkat sebelah kakinya untuk mendahului menendang perut Hong Po-ok. Namun Po-ok sempat berkelit ke samping, berbareng si kakek di sebelah timur yang bermuka merah bercahaya itu lantas diterjang, belum tiba di depan musuh, tahu-tahu sinar putih berkelebat, tangannya sudah memegang sebatang golok dan lantas digunakan untuk menebas. Senjata yang dipegang kakek bermuka merah itu pun sebatang golok yang

berkepala setan atau Kui-thau-to, punggung golok itu tebal dan mata golok tipis, batang golok itu sangat panjang. Melihat Hong Po-ok menebas dengan goloknya, cepat kakek itu tegakkan Kui-thau-to untuk menangkis sambil menyampuk sekeras-kerasnya untuk mengadu senjata dengan lawan. Senjatamu lihai, aku tidak ingin mengadu golok denganmu! seru Hong Po-ok mendadak. Segera ia tarik kembali goloknya dan putar ke arah lain untuk membacok si kakek berjenggot putih yang berdiri di sebelah selatan. Senjata kakek berjenggot putih adalah sebatang gada bersegi banyak (astakona), di atas gada penuh bergigi tajam melengkung seperti kait. Senjata aneh ini dapat digunakan merampas senjata lawan. Melihat Hong Po-ok menyerang ke arahnya dengan cepat, sedangkan serangan si kakek bermuka merah masih belum ditarik kembali, maka kakek berjenggot ini tidak ingin bergebrak, sebab dia ikut menyerang, itu berarti Hong Po-ok digencet dari muka dan belakang, hal mana akan merosotkan pamor Kay-pang-su-lo yang tidak pernah main keroyok. Maka ia lantas melompat menyingkir dan mengalah sejurus kepada lawan. Tak tersangka orang she Hong itu paling suka berkelahi, semakin ramai semakin memenuhi seleranya. Sedang mengenai kalah atau menang tidak menjadi soal baginya, bahkan peraturan-peraturan umum di waktu berkelahi juga tidak ditaati olehnya. Maka begitu si kakek berjenggot menyingkir, sebaliknya Hong Po-ok lantas merangsang maju, kesempatan itu digunakan untuk membacok empat kali secara bertubi-tubi, setiap serangannya cepat dan berbahaya. Sungguh sama sekali tak terduga oleh siapa pun bahwa tindakan si kakek yang sengaja mengalah itu lantas disalahgunakan oleh Hong Po-ok, keruan si kakek sangat mendongkol dan terpaksa menangkis sambil mundur empat tindak baru dapat berdiri dengan kuat pula, kini ia sudah membelakangi sebatang pohon, untuk mundur lagi terang tidak mungkin. Tapi sedikit ia himpun tenaga murni, mendadak gadanya menyabet ke depan. Serangan ini adalah salah satu serangan mematikan dari kepandaiannya, hanya dikeluarkan bila dalam kepepet. Coba lagi yang lain! tiba-tiba Hong Po-ok berseru, dan serangan si kakek ternyata tak ditangkisnya, tapi terus melompat mundur sambil putar goloknya, tahu-tahu si kakek keempat dari Kay-pang-su-lo itu yang diserang. Keruan si kakek berjenggot yang baru sempat balas menyerang sekali, tapi musuh sudah lantas menyingkir pergi, sungguh gusarnya tak terkatakan. Kedua tangan kakek keempat itu ternyata sangat panjang, sedikitnya lebih panjang belasan senti daripada orang biasa. Tangan kirinya membawa semacam senjata yang lemas, begitu melihat Hong Po-ok menyerang tiba, cepat tangan kirinya bergerak, senjata yang dipegangnya itu dikebas hingga terpentang. Dan baru sekarang semua orang dapat melihat jelas, kiranya senjatanya itu adalah sebuah karung beras biasa. Karena dipentang dan kemasukan angin, mulut karung itu lantas terbuka terus mengurung ke atas kepala Hong Po-ok. Kaget dan girang Hong Po-ok, serunya, Bagus, bagus! Biar aku berkelahi dengan kau! Kiranya selama hidup Hong Po-ok ini paling suka berkelahi, apabila lawan mempunyai senjata yang berbentuk aneh, atau ilmu silat luar biasa, maka ia pasti sangat senang untuk menjajalnya.

Sifat ini mirip orang yang gemar makan enak misalnya, kalau mendengar koki dari rumah makan mana pandai menyajikan sesuatu masakan yang aneh dan lezat, maka pasti akan dicobanya. Kini dilihatnya lawan bersenjatakan sebuah karung, bahkan mendengar pun belum pernah. Di samping senang diam-diam ia pun waspada, sebab belum diketahuinya cara bagaimana nanti harus mematahkan serangan senjata lawan yang aneh itu. Sebagai percobaan, dengan hati-hati ia gunakan ujung golok untuk menikam karung lawan apakah benda itu dapat dilubangi atau tidak. Tak terduga si kakek tangan panjang itu cepat pindahkan karung ke tangan kanan, sedang tangan kiri mendadak menjotos ke depan. Namun Hong Po-ok sempat dongak kepala ke belakang, menyusul cepat ia putar golok untuk mengutik selangkangan kakek itu. Tapi di luar dugaannya, kakek itu ternyata sudah berhasil meyakinkan Thong-pi-kun (ilmu pukulan memulurkan tangan), pukulannya tampaknya sudah sepenuhnya dilontarkan, namun justru di luar dugaan orang kepalannya mendadak dapat mulur lebih panjang belasan senti. Untung selama hidup Hong Po-ok paling gemar berkelahi, pertempuran besar atau kecil entah sudah berapa ratus kali dialaminya. Dalam hal pengalaman serta taktik boleh dikata tiada bandingannya. Maka pada saat tiada jalan lain untuk menghindari jotosan kakek itu, mendadak mulutnya mengap hendak menggigit kepalan lawan yang mengancam itu. Dengan jotosan itu, si kakek tangan panjang yakin paling sedikit pasti akan bikin rontok beberapa buas gigi orang, siapa duga ketika kepalan sudah dekat serangannya, sekonyong-konyong lawan membuka mulut, dengan giginya yang putih gilap itu hendak menggigit. Dalam kagetnya cepat si kakek menarik kembali tangannya, namun toh terlambat sedetik, ia menjerit sekali, jarinya kena digigit sekali oleh Hong Po-ok. Keruan di antara penonton ada yang gusar dan geli oleh kejadian itu, mereka sama memaki dan tertawa. Sebaliknya dengan sungguh-sungguh Pau Put-tong lantas berseru, Bagus Hong-site, tipu seranganmu Lu-Tong-pin-kah-kau ini benar-benar sudah terlatih sampai puncaknya sempurna, tidak percumalah engkau berlatih giat selama berpuluh tahun ini, sudah beratus, bahkan beribu anjing belang hitam, putih, dan warna lain yang telah kau gigit mampus dan baru dapat mencapai kesempurnaan seperti hari ini. Padahal caranya Hong Po-ok menggigit orang adalah perbuatan yang terpaksa dan licik, seorang yang sedikit tahu harga diri tentu tidak berkelahi dengan cara begini. Tapi selamanya Hong Po-ok memang tidak pantang memakai cara apa pun, yang penting baginya cuma berkelahi. Justru Pau Put-tong sengaja membual samping, caranya menggigit yang tidak masuk dalam kamus silat itu sengaja dikatakan sebagai suatu, tipu silat mahalihai dengan nama Lu-Tong-pin-kah-kau atau Lu Tong-pin menggigit anjing. Lu Tong-pin adalah dewa terkenal dalam cerita Pat-sian (delapan dewa),

menurut pemeo yang lazim, yang ada cuma Kau-kah Lu Tong-pin, artinya maksud baik orang disangka jelek. Tapi kini hal itu oleh Pau Put-tong sengaja dibalik hingga menjadi Lu Tong-pin menggigit anjing. Begitulah saking gelinya Toan Ki lantas tanya juga kepada Ong Giok-yan, Nona Ong, segala macam ilmu silat di dunia ini, semuanya kau pelajari dengan baik. Tapi cara menggigit orang ini termasuk kungfu aliran atau golongan mana? Giok-yan tersenyum, sahutnya, Ilmu ini adalah kepandaian khas Hong-siko, aku sendiri tidak tahu. Haha, kau tidak tahu? seru Pau Put-tong dengan tertawa. Ah, terlalu dangkal pengetahuanmu, masakah tipu Lu Tong-pin-kah-kau juga tidak tahu, tipu ini meliputi 8 kali 9 menjadi 72 jurus perubahan, semacam ilmu silat yang mahatinggi. Melihat Giok-yan bergembira hati, Toan Ki menjadi lupa daratan dan mestinya akan ikut berkelakar dengan Pau Put-tong, tapi mendadak teringat olehnya bahwa si kakek tangan panjang yang digigit itu adalah bawahan Kiau Hong, mana boleh dirinya ikut mencemoohkannya? Maka lekas ia urungkan maksudnya. Sementara itu pertarungan di tengah kalangan masih berlangsung dengan seru, tampak si kakek tangan panjang sedang putar karung dengan kencang hingga berwujud suatu lingkaran bayangan dan Hong Po-ok seakan-akan terkurung di tengah-tengah karung itu. Tapi ia dapat melayani lawan dengan sama kuatnya, sedikit pun tidak kelihatan kewalahan. Ia sudah merasakan ilmu Thong-pi-kun yang lihai si kakek, yang masih belum diketahui adalah sampai di mana kehebatan karung lawan itu. Sedangkan tipu Lu Tong-pin-kah-kau tadi cuma digunakan secara kebetulan saja, terang tidak mungkin dapat diulangi lagi. Melihat Hong Po-ok ternyata sanggup menempur si kakek tangan panjang yang terhitung salah satu tokoh terkemuka dari Kay-pang-su-lo, diam-diam Kiau Hong merasa heran, karena itu penilaiannya kepada Buyung-kongcu menjadi lebih tinggi lagi setingkat. Ketiga kakek Kay-pang yang lain sudah mundur ke tempat masing-masing untuk menyaksikan pertempuran kawannya itu, tapi biarpun si kakek tangan panjang bakal menang atau kalah, terang mereka tidak mungkin maju membantu, mereka harus menjaga nama baik mereka, tidak nanti mereka main keroyok hingga diolok-olok orang. Di sebelah sana A Pik menjadi khawatir melihat sampai sekian lama Hong Po-ok, masih belum dapat mengalahkan lawannya, tanyanya kepada Giok-yan, Siocia, permainan karung si kakek itu berasal dari golongan manakah? Giok-yan berkerut kening, sahutnya, Ilmu silat begini tidak pernah kubaca dalam buku. Tipu pukulannya adalah Thong-pi-kun, sedangkan permainan karung itu mendekati 13 jurus ilmu permainan ruyung dari Hok-gu-san dan juga mirip gaya permainan 81 jurus Sam-ciat-kun (toya tiga ruas) dari keluarga Ui di Oupak. Kata-kata Giok-yan itu sebenarnya tidak keras, tapi bagi pendengaran si kakek tangan panjang bagaikan halilintar yang memekak telinga. Kiranya ia sendiri memang anak murid keluarga Ui di Oupak, ilmu Sam-ciat-kun adalah ilmu warisan leluhur, tapi kemudian ia berbuat dosa dan melarikan diri, ia ganti nama dan tukar she serta tidak pernah menggunakan Sam-ciat-kun lagi, hingga orang lain tidak kenal asal usulnya. Tapi kini dalam pertarungan sengit itu, tanpa

merasa sedikit banyak ia terpaksa mengeluarkan kepandaian aslinya hingga dapat diketahui oleh Giok-yan. Keruan ia terkejut dari mana dara jelita itu dapat mengorek asal usulnya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa pengetahuan Giok-yan sangat luas, segala ilmu silat dari aliran mana pun tiada satu pun yang tak diketahuinya. Sebaliknya si kakek lantas menyangka rahasianya yang sudah berpuluh tahun ini tertutup telah terbongkar oleh gadis itu. Dan karena sedikit lengah itu, ia menjadi tercecer oleh serangan Hong Po-ok hingga rada kerepotan. Berturut-turut ia mundur tiga langkah, cepat ia melangkah ke samping pula, sementara itu dilihatnya lawan sedang membacok lagi, segera ia ayun sebelah kaki untuk menendang pergelangan tangan Hong Po-ok yang memegang senjata itu. Sudah tentu Hong Po-ok tidak gampang diserang, mendadak goloknya menyerang, berbalik kaki si kakek hendak ditebasnya malah. Tapi menyusul sebelah kaki si kakek juga lantas melayang secara berantai hingga tubuh terapung di udara. Biarpun sudah tua, tapi gerak-geriknya tidak di bawah orang muda, mau tak mau Hong Po-ok memuji juga akan ketangkasan lawan itu. Mendadak ia pukul dengkul orang tua itu. Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk menggeser terang tidak mudah, asal dengkul kakek itu kena terketuk, andaikan tidak remuk juga paling sedikit tulang kakinya akan patah. Melihat pukulannya sudah dekat dengan dengkul lawan dan si kakek masih belum tampak siap untuk menghindar, Hong Po-ok menjadi girang. Tak tersangka mendadak angin menyambar, tahu-tahu karung orang sudah terpentang, mulut karung yang lebar itu mengerudung ke atas kepalanya. Dalam keadaan demikian, meski ia berhasil mematahkan tulang kaki si kakek, tapi kepala sendiri pasti juga akan dikerudung ke dalam karung orang, andaikan dapat segera meloloskan diri tentu juga akan ditertawai orang. Karena itu, pukulannya mendadak berganti arah untuk menyampuk karung lawan. Tapi sedikit karung si kakek menggeser, mulut karung yang ternganga itu pun berputar dan tepat mengerudung kepalan Hong Po-ok. Perbandingan mulut karung dengan kepalan dengan sendirinya sangat besar. Meski gampang saja kepalan kena dikurung, tentu mudah pula terlolos. Maka sekali Hong Po-ok menarik tangannya, dengan gampang saja sudah lolos dari mulut karung lawan. Siapa tahu, cekit, mendadak punggung tangan kesakitan seperti tertusuk jarum. Waktu ia periksa, ia menjadi kaget. Ternyata punggung tangan terantup seekor kalajengking kecil. Kalajengking itu jauh lebih kecil daripada kala biasa, tapi badannya berwarna-warni, macamnya sangat mengerikan. Hong Po-ok tahu bisa celaka, sekuatnya ia kiprat-kipratkan tangannya, tapi kalajengking itu ternyata menyengat dengan sangat kencang dan susah terlepas. Namun ia cukup cekatan, ia tepuk kalajengking itu dengan batang goloknya hingga binatang itu seketika gampang terbinasa. Sebagai orang yang berpengalaman, Hong Po-ok tahu kalajengking yang dilepaskan dari karung tokoh Kay-pang itu pasti bukan sembarangan, kalau anak murid Kay-pang biasa saja sangat lihai menggunakan binatang berbisa apalagi

seorang kakek daripada Kay-pang-su-lo ini? Dengan wajah berubah cepat ia melompat ke luar kalangan pertempuran, ia keluarkan sebutir pil penawar racun dan ditelannya segera. Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang juga tidak mengudak pula, ia simpan kembali karungnya sambil mengamat-amati Ong Giok-yan, ia heran dari mana dara jelita ini mengetahui asal usulku? Dalam pada itu Pau Put-tong lantas tanya keadaan kawannya itu, Kenapa, Site? Po-ok kebas-kebas tangannya beberapa kali dan merasa tiada sesuatu yang aneh, tapi ia tetap sangsi, kalajengking itu mustahil tidak ada sesuatu guna dengan disembunyikan di dalam karung? Maka ia menjawab, Tidak apa-apa, tapi .... Belum lanjut ucapannya, mendadak tubuh roboh tersungkur. Lekas Pau Put-tong melompat maju untuk membangunkannya sambil tanya berulang-ulang, Kenapa? Kenapa? Namun Hong Po-ok tidak sanggup bicara lagi, mukanya tampak berkerut-kerut dan senyumnya sangat dipaksakan. Keruan kaget Pau Put-tong tak terkatakan, lekas ia tutuk beberapa Hiat-to tangan, lengan, dan bahu sang kawan untuk menahan menjalarnya racun. Di luar dugaan bekerja racun kalajengking berwarna itu ternyata sangat cepat, walaupun tidak sampai Kian-hiat-hong-au atau masuk ke darah lantas putus napasnya, tapi jahatnya juga tidak kepalang, jauh lebih lihai daripada racun ular yang paling berbisa. Pikiran Hong Po-ok masih cukup jernih, tapi antero tubuh sudah kaku rasanya, mulut terbuka ingin bicara, tapi yang terdengar cuma suara serak yang tak jelas. Melihat kawannya begitu hebat keracunan, Pau Put-tong menjadi khawatir sukar menolong jiwanya lagi, dalam dukanya ia menjadi murka, sekali menggerung, terus saja ia terjang si kakek tangan panjang. Namun si kakek pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja tadi lantas mengadangnya sambil berseru, Apa kau juga ingin berkelahi, marilah biar aku si pendek ini berkenalan dengan kesatria Koh-soh! Begitu tongkatnya terangkat, segera ia sodok ke arah Pau Put-tong. Tongkatnya sangat antap bobotnya, tapi bagi si kakek pendek gemuk senjata itu dapat dimainkan dengan enteng dan cepat sekali. Biarpun Pau Put-tong dalam keadaan murka, namun menghadapi lawan setangguh itu terpaksa ia tidak berani ayal. Ia pikir asal dapat menawan salah satu jago musuh sebagai sandera untuk memaksa pihak lawan menyerahkan obat penawar racun, tentu jiwa Hong-site dapat diselamatkan. Maka segera ia gunakan Kim-na-jiu, ia mencari lubang kelemahan musuh untuk menangkapnya. Dalam pada itu A Pik dan A Cu sedang mengerumuni Hong Po-ok dengan air mata berlinang sambil memanggil-manggil tanpa berdaya. Ong Giok-yan memang sangat pandai dan luas pengetahuannya dalam ilmu silat dan kesusastraan, tapi

mengenai penggunaan racun serta cara penyembuhannya, ia sama sekali tidak paham. Karena itu ia jadi menyesal dahulu waktu membaca kitab ilmu silat dan pertabiban, dalam kitab itu tidak sedikit dibicarakan tentang penyembuhan racun, tapi karena menganggap tiada gunanya mempelajari hal-hal itu, maka sama sekali ia tidak pernah mempelajarinya. Coba dahulu sedikit-banyak menghafalkan, tentu sekarang takkan mati kutu seperti ini dan menyaksikan tewasnya Hong-siko tanpa berdaya. Di lain pihak, ketika melihat pertarungan Pau Put-tong melawan si pendek semakin lama semakin sengit, untuk waktu singkat terang sukar menentukan kalah atau menang, maka berkatalah Kiau Hong kepada si kakek tangan panjang, Tan-tianglo, harap keluarkan obat penawarnya, sembuhkanlah racun Hong-siya itu! Jilid 23. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/5/25 (2215 reads) Keruan Tiang-pi-soh atau si kakek lengan panjang yang dipanggil sebagai Tan-tianglo itu melengak, sahutnya, Pangcu, orang ini terlalu kurang ajar, ilmu silatnya juga tidak rendah, kalau dibiarkan hidup, kelak tentu akan membahayakan. Benar juga katamu, ujar Kiau Hong sambil mengangguk. Tapi kita belum lagi ketemu lawan utama dan belum-belum sudah melukai bawahannya, hal ini akan merosotkan pamor kita sendiri. Maka menurut pendapatku, lebih baik kita jaga nama dan wibawa kita lebih dulu. Namun dengan marah-marah Tiang-pi-soh menjawab, Sudah terang Be-hupangcu terbinasa di tangan bocah she Buyung itu, untuk menuntut balas masakah perlu jaga nama dan peduli tentang perbawa segala? Wajah Kiau Hong mengunjuk kurang senang, katanya, Sudahlah, berikan obatmu dahulu, urusan dapat kita bicarakan belakang. Walaupun dalam hati seribu kali tidak rela, tapi perintah sang pangcu juga tidak berani membangkangnya, terpaksa Tan-tianglo mengeluarkan sebuah botol kecil dan melangkah maju, katanya kepada A Cu dan A Pik, Ini, Pangcu kami mengutamakan budi luhur dan suruh memberikan obat penawar, lekas ambil ini! Dengan girang segera A Pik berlari maju, lebih dulu ia memberi hormat kepada Kiau Hong, lalu menghormat pula kepada Tan-tianglo, katanya, Terima kasih Kiau-pangcu dan terima kasih Tianglo. Dan setelah menerima botol kecil yang diangsurkan itu, kemudian ia tanya, Tolong tanya Tianglo, obat ini cara bagaimana menggunakannya? Isap dulu racun pada lukanya, kemudian bubuhkan obatnya, sahut si kakek. Dan setelah merandek, ia menambahkan pula, Bila racun belum bersih terisap, percumalah obat yang dibubuhkan itu, bahkan akan tambah parah. Hal ini penting diketahui. A Pik mengiakan pesan itu, lalu ia mendekati Hong Po-ok, ia angkat tangan yang terantup kalajengking itu, ia menunduk kepala lantas hendak mengisap racun pada luka itu. Nanti dulu! mendadak si kakek tangan panjang berteriak. A Pik jadi kaget. Ada apa? tanyanya tercengang.

Wanita dilarang mengisapnya! seru si kakek. Sebab apa? tanya A Pik dengan muka merah. Racun, kalajengking itu tergolong racun im-tok, sedangkan wanita adalah jenis im, sudah im ditambah im lagi, racun itu akan tambah jahat malah, demikian kata si kakek. A Pik, A Cu, dan Giok-yan menjadi ragu, mereka merasa keterangan kakek itu agak janggal, tapi juga bukan mustahil memang demikian halnya. Dan kalau benar, hingga racunnya tambah jahat, bukankah jiwa Hong-siko akan lebih konyol? Sedangkan pihak sendiri hanya tinggal Pau Put-tong yang merupakan satu-satunya lelaki yang saat itu lagi bertempur mati-matian dengan si kakek pendek, untuk memanggilnya kembali terang sukar dilaksanakan dalam waktu singkat itu. Tapi selain Pau Put-tong, terang tiada kawan lelaki yang lain. Terpaksa A Cu berteriak, Pau-samko, berhentilah sementara, kembalilah menolong Siko lebih dulu! Namun ilmu silat Pau Put-tong itu sama kuatnya dengan kakek pendek, sekali mereka sudah bergebrak, untuk lolos mundur terang sukar terlaksana dalam beberapa jurus saja. Dalam pertarungan ilmu silat kelas tinggi, sedikit lengah saja pasti akan mengakibatkan jiwa melayang, maka sangat sulit untuk mengundurkan diri dengan sesukanya. Dengan sendirinya Pau Put-tong khawatir ketika mendengar seruan A Cu, ia tahu keadaan Hong Po-ok pasti bertambah buruk. Maka mendadak ia menyerang beberapa kali dengan tujuan melepaskan diri dari rangsakan si kakek pendek. Tapi sebagai salah satu tokoh di antara Kay-pang-su-lo, dengan sendirinya si kakek pendek tak dapat dipersamakan jago-jago sebangsa Suma Lim, Cu Po-kun, Yau Pek-tong, dan lain-lain yang sekali gebrak mudah terjungkal di bawah tangan atau kaki Pau Put-tong. Walaupun dengan serangan kilat secara bertubi-tubi itu Pau Put-tong dapat merebut kedudukan di atas angin, tapi untuk menang satu jurus saja masih bergantung atas keuletan lawan, dan si kakek pendek itu justru teramat ulet. Maka betapa pun ia menyerang dari sini-sana, tetap tidak dapat melepaskan diri. Dalam pada itu Kiau Hong senantiasa mengikuti wajah Giok-yan bertiga yang penuh rasa khawatir itu. Bila mengingat racun kalajengking piaraan Tan-tianglo itu jahat luar biasa, pula tidak diketahui apakah ucapan si kakek bahwa wanita tidak boleh mengisap racun kalajengking itu benar atau cuma gertakan. Walaupun anak murid Kay-pang jumlahnya tidak sedikit, namun pekerjaan mengisap racun adalah suatu risiko yang mungkin membikin celaka si pengisap sendiri, maka tidak mungkin ia memerintahkan salah satu anggota Kay-pang untuk mengisapkan racun Hong Po-ok. Apalagi bawahan diperintahkan mengisap racun untuk menolong jiwa musuh, perintah demikian terang tidak mungkin dikeluarkannya. Tapi dasar jiwa Kiau Hong memang kesatria dan berbudi luhur, tanpa ragu ia lantas berseru, Aku orang laki-laki, biar aku yang mengisap racun Hong-siya.

Habis berkata, segera ia melangkah ke arah Hong Po-ok. Waktu melihat wajah Giok-yan muram sedih, sejak mula sebenarnya sudah timbul niat Toan Ki hendak mengisap racun bagi Hong Po-ok. Cuma ia pikir Kiau Hong adalah kakak angkat sendiri, kalau dirinya membantu pihak musuh, hal ini akan merugikan hubungan persaudaraan. Meski kemudian ia saksikan Kiau Hong memerintahkan Tan-tianglo memberikan obat penawar kepada lawan, tapi Toan Ki masih sangsikan ketulusan hati sang kakak-angkat. Baru sekarang sesudah melihat Kiau Hong benar-benar mendekati Hong Po-ok untuk mengisap racun pada tangannya, yakinlah dia akan kebesaran jiwa kakak-angkat itu. Maka dengan cepat ia berseru, Toako, biarkan Siaute saja yang melakukannya! Dan sekali melangkah, dengan sendirinya ia keluarkan ilmu langkah Leng-po-wi-poh yang cepat, tahu-tahu ia sudah menyerobot di depan Kiau Hong. Terus saja ia angkat tangan Hong Po-ok dan segera hendak dikecupnya. Tatkala itu seluruh telapak tangan Hong Po-ok sudah bengkak menghitam, kedua mata melotot, rupanya kelopak matanya ikut menjadi kaku juga sehingga sukar berkedip. Ketika Toan Ki memegang tangannya, otomatis daya sakti Cu-hap-sin-kang lantas bekerja. Belum lagi mulut Toan Ki mengecup tempat luka itu, sekonyong-konyong dari lubang luka merembes keluar air hitam. Toan Ki tertegun, ia pikir biarkan air hitam itu habis merembes keluar baru akan diisapnya. Ia tidak tahu bahwa Cu-hap, yaitu katak merah yang telah dimakannya dahulu itu adalah binatang antisegala jenis racun. Maka begitu anggota badan kedua orang saling sentuh, asal Toan Ki tidak mengerahkan tenaga dalamnya, maka tenaga murni Hong Po-ok juga takkan tersedot, sebaliknya karena dia keracunan sangat parah, sekali kebentur khasiat Cu-hap-sin-kang, terus saja darah berbisa di dalam tubuhnya terdesak keluar. Begitulah selagi semua orang terheran-heran dan sangsi, mendadak badan Hong Po-ok bergerak sekali, lalu terdengar ia membuka suara, Terima kasih! Keruan Giok-yan bertiga sangat girang. A Cu lantas berseru, He, Siko, engkau sudah dapat bicara! Maka tertampaklah darah hitam yang merembes keluar dari luka Hong Po-ok itu mulai berubah menjadi warna ungu, kemudian memerah. Dan sesudah warna darah kembali seperti biasa, tangan Po-ok yang bengkak itu lantas kempis dan dapat bergerak lagi seperti semula. Segera ia memberi hormat kepada Toan Ki sambil berkata, Banyak terima kasih atas pertolongan Kongcuya. Ah, soal kecil, buat apa dipikirkan? sahut Toan Ki merendah. Jiwaku dalam pandangan Kongcuya mungkin soal kecil, tapi bagiku sendiri adalah urusan besar, kata Hong Po-ok dengan tertawa. Lalu ia ambil botol obat dari tangan A Pik terus dilemparkan kembali kepada Tan-tianglo, katanya, Ini, ambil kembali obatmu! Kemudian ia memberi hormat kepada Kiau Hong dan berkata, Kiau-pangcu benar berbudi luhur, Hong Po-ok sangat kagum. Pangcu tidak malu sebagai pemimpin

suatu organisasi terbesar di Bu-lim ini. Terima kasih atas pujian Hong-siya, sahut Kiau Hong sambil membalas hormat. Sesudah menyatakan terima kasihnya kepada kedua orang penolongnya, Hong Po-ok lantas jemput kembali goloknya, ia tuding Tan-tianglo sambil berkata, Hari ini aku dikalahkanmu, Hong Po-ok mengaku kalah, lain kali bila ketemu lagi kita akan coba-coba pula, urusan hari ini kita sudahi saja. Jangan khawatir, setiap saat aku siap, sahut Tan-tianglo tertawa. Mendadak Po-ok berpaling kepada si kakek yang bersenjatakan gada astakona, serunya, Biarlah sekarang kubelajar kenal dengan kepandaianmu! Keruan A Cu dan A Pik terkejut, seru mereka, Jangan Siko, kesehatanmu belum pulih! Namun Hong Po-ok tidak ambil pusing, serunya, Mumpung dapat berkelahi, kenapa sia-siakan kesempatan bagus! Menyusul golok terus berputar dan menerjang ke arah si kakek bergada. Melihat beberapa saat sebelumnya keadaan Hong Po-ok sudah sangat payah, siapa tahu hanya sekejap saja orang aneh itu pulih gagah perkasa pula. Orang sedemikian sungguh jarang terlihat. Kakek bersenjata gada itu sudah ubanan alis dan jenggotnya, usianya terhitung paling tua di antara Kay-pang-su-lo, sudah berpuluh tahun namanya terkenal, segala macam tokoh Kangouw juga pernah dihadapinya. Tapi orang yang nekat seperti Hong Po-ok benar-benar jarang terlihat. Karena itu, mau tak mau ia terkesiap juga. Sebenarnya permainan gada si kakek sangat hebat perubahannya, di samping digunakan menyerang bermanfaat pula untuk merampas senjata lawan. Tapi kini karena rada jeri, permainan gadanya menjadi agak kacau hingga ia cuma mampu menangkis saja oleh berondongan serangan Hong Po-ok. Dalam pada itu Kiau Hong menjadi kurang senang juga, pikirnya, Sobat she Hong ini agak keterlaluan juga. Dengan baik-baik Toan-hiante telah menolong jiwamu, mengapa secara sembrono mengajak berkelahi lagi? Dalam pada itu sambil menjinjing karung Tan-tianglo sedang memandangi Ong Giok-yan, lalu pandang Toan Ki pula sembari diam-diam berpikir, Kedua muda-mudi ini entah dari mana asal-usulnya, tampaknya kedatangan mereka sangat tidak menguntungkan diriku. Kiranya Tan-tianglo ini aslinya she Ui, yaitu berasal dari keluarga Ui yang terkenal di Oupak, ia sengaja menyamar sebagai orang she Tan, rahasia ini tiada seorang pun mengetahui di jagat ini. Maka terhadap ucapan Giok-yan yang menyatakan ilmu silatnya seperti berasal dari keluarga Ui, mau tak mau timbul rasa curiganya. Sementara itu pertarungan Pau Put-tong dan Hong Po-ok melawan kedua kakek Kay-pang itu semakin sengit, tampaknya Put-tong dan Po-ok sedikit di atas angin, tapi untuk mengalahkan lawan mereka terang sukar terjadi dalam waktu singkat.

Selagi semua orang asyik mengikuti pertarungan hebat itu, telinga Toan Ki yang tajam itu tiba-tiba mendengar dari arah timur ada suara tindakan orang yang ramai sedang mendatang ke arah sini dengan cepat. Menyusul dari jurusan utara juga datang satu rombongan lain, bahkan dari suaranya kedengaran berjumlah lebih banyak. Toako, ada orang banyak sedang mendatang, demikian Toan Ki membisiki Kiau Hong. Kiau Hong sendiri pun sudah mendengar, ia mengangguk. Ia menduga orang-orang yang datang itu besar kemungkinan adalah lawan dan bukan kawan. Boleh jadi pengikut Buyung Hok yang sengaja dipasang di sekitar situ untuk mengepung. Maka diam-diam Kiau Hong rada menyesal telah diakali musuh. Kiranya orang-orang she Pau dan Hong ini sengaja menggoda kita agar tanpa sadar kita masuk kepungan mereka, demikian pikirnya. Namun Kiau Hong tetap bersikap tenang, selagi ia hendak memberi isyarat kepada bawahannya agar sebagian mengundurkan diri ke jurusan selatan dan barat yang tidak dijaga musuh, tiba-tiba terdengar dari kedua jurusan itu juga ada suara ramai orang berjalan. Nyata setiap penjuru sudah penuh dengan musuh. Perlahan Kiau Hong memberi perintah kepada bawahannya, Cio-thocu, kekuatan musuh di sebelah selatan paling lemah, sebentar bila kuberi tanda, segera pimpin para saudara mengundurkan diri ke jurusan sana. Dan baru saja Cio-thocu mengiakan, tiba-tiba dari jurusan timur hutan itu sudah muncul 30-an orang, semuanya berbaju compang-camping, rambut kusut, ada yang membawa senjata, ada yang cuma membawa tongkat dan mangkuk butut, jelas semuanya anggota Kay-pang. Menyusul dari arah utara juga muncul berpuluh orang Kay-pang, sikap mereka sangat pongah, melihat Kiau Hong juga tidak memberi hormat, sebaliknya seakan-akan bersikap bermusuhan. Ketika mendadak tampak munculnya anggota Kay-pang sebanyak itu, diam-diam Pau Put-tong dan Hong Po-ok menjadi khawatir juga. Pikir mereka, Wah, celaka, cara bagaimana agar dapat menyelamatkan nona Ong bertiga? Namun di antara orang yang terkesiap rasanya yang paling terkejut adalah Kiau Hong. Sebab memang dia kenal pengemis-pengemis yang muncul itu adalah anggota Kay-pang kelas menengah, ada yang menggendong lima buah kantong dan ada yang membawa tujuh buah kantong. Biasanya anggota-anggota ini sangat menghormat padanya, asal melihat sang pangcu, dari jauh mereka pasti akan berlari mendekat untuk memberi hormat. Tapi mengapa hari ini sikap mereka begini aneh, sudah tidak memberi hormat, bahkan menyapa pun tidak. Tengah Kiau Hong sangsi, sementara itu dari jurusan selatan dan barat juga muncul berpuluh anggota Kay-pang yang lain. Rombongan anggota Kay-pang itu datangnya ternyata susul-menyusul, di belakang rombongan pertama masih muncul pula rombongan yang lain sehingga sebentar saja tanah lapang di tengah hutan itu sudah penuh berjubel dengan kaum pengemis. Kiau Hong coba menghitung sekadarnya dan ternyata di antara anggota Kay-pang di kota Bu-sik itu sudah lebih sembilan bagian yang hadir, hanya ketiga thocu dari kepala bagian Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong yang tidak kelihatan, di samping itu beberapa anggota pengurus pusat seperti Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo juga tidak muncul.

Semakin dipikir Kiau Hong semakin khawatir hingga diam-diam ia berkeringat dingin. Selamanya Kiau Hong tidak pernah khawatir seperti sekarang ini biarpun menghadapi musuh yang paling lihai sekalipun. Sebab mendadak timbul suatu pikiran dalam benaknya, Wah, akan terjadi pemberontakan, apakah para anggota akan mengkhianati aku? Selaku pangcu, subur atau runtuhnya Kay-pang dianggap Kiau Hong jauh lebih penting daripada nama baik dan kedudukan atau mati-hidup sendiri. Kini beratus anggota Kay-pang ini sudah mengelilingi dirinya dengan tidak bicara apa pun juga, terang di dalam organisasi telah terjadi sesuatu yang hebat. Namun di tengah kalangan Pau Put-tong dan Hong Po-ok masih saling gebrak dengan kedua kakek dengan sengit dan tak terhentikan, di depan orang luar, Kiau Hong menjadi tidak enak untuk menegur. Dalam pada itu tiba-tiba Tan-tianglo berseru, Pasang Pak-kau-tin! Sekonyong-konyong di antara anggota Kay-pang dari berbagai penjuru itu masing-masing memburu keluar belasan orang dengan senjata terhunus, maka Pau Put-tong dan Hong Po-ok jadi terkepung di tengah bersama kedua kakek lawannya itu. Melihat jumlah musuh sekaligus maju sebegitu banyak, apalagi orang-orang Kay-pang sudah terlatih semua, Pau Put-tong tahu bila musuh mengepung rapat, pasti dirinya bersama Hong Po-ok akan dicincang menjadi bakso. Ketika ia melirik pihak lawan, ternyata kawanan pengemis itu dalam sekejap saja sudah memasang suatu barisan yang sangat rapat, andaikan harus menerjang keluar kepungan bersama Po-ok, sendiri mungkin bisa selamat, tapi Po-ok habis keracunan dan tenaga masih lemah, tentu takkan terhindar dari terluka parah, begitu pula kalau hendak menolong Giok-yan bertiga, pasti sangat sulit. Kalau mau, jalan satu-satunya supaya selamat adalah menyerah alias mengaku kalah. Toh kalah karena dikeroyok, hal ini takkan merugikan nama baiknya. Tapi tabiat Pau Put-tong justru sangat kepala batu, cocok seperti namanya, dia memang Put-tong atau berbeda daripada orang lain. Sesuatu urusan yang orang lain anggap lumrah, baginya justru dianggap sebaliknya. Begitu pula Hong Po-ok paling gemar berkelahi, asal diberi kesempatan berkelahi, tidak peduli kalah atau menang, bakal mati atau hidup, benar atau salah, baginya semua itu urusan belakang, berkelahi paling perlu. Sebab itulah biarpun kedudukan di tengah itu sudah jelas pihak mana yang akan menang, namun Pau Put-tong dan Hong Po-ok masih terus berteriak-teriak sambil menyerang terlebih bersemangat sedikit pun pantang menyerah. Pau-samko, Hong-siko, terimalah sudah, demikian tiba-tiba Giok-yan berseru. Pak-kau-tin dari Kay-pang ini meski aku pun tahu cara memecahkannya, namun kepandaian kita terlalu cetek, kita takkan dapat berbuat apa-apa. Di dunia ini hanya Lak-meh-sin-kiam dan Hang-liong-sip-pat-ciang saja dapat bobol barisan itu. Maka kalian berdua lebih baik berhenti saja. Mendengar Giok-yan bilang Lak-meh-sin-kiam yang dipelajarinya itu dapat memecahkan Pak-kau-tin, Toan Ki tercengang, diam-diam ia pun ragu bagaimana harus bertindak nanti, apakah mesti membela nona Ong bila anak buah Kiau-toako akan menangkapnya?

Sesudah berpikir pula, ia lantas ambil keputusan, Jika Pau Put-tong yang berkelahi dengan orang-orang Kay-pang, maka aku takkan ikut campur, tapi bila Ong-kohnio diganggu mereka terpaksa aku harus melindunginya. Dalam pada itu Hong Po-ok telah menjawab seruan Giok-yan tadi, Biarlah aku berkelahi sebentar lagi, bila benar-benar tak tahan barulah aku berhenti. Dan karena sedikit ayal itu, cret, pundaknya keserempet sekali oleh gada si kakek yang berkait itu hingga kulit pecah dan darah bercucuran. Keparat, hebat juga seranganmu ini, Hong Po-ok memaki. Berbareng goloknya menyerang tiga kali secara nekat. Si kakek berjenggot itu menjadi jeri oleh kekalapan Po-ok, ia pikir toh tiada permusuhan apa-apa, kenapa mesti bertempur mati-matian begini? Karena itulah ia hanya menjaga diri dengan rapat dan tiada balas menyerang pula. Tiba-tiba Tan-tianglo berseru dengan nada tembang, Ooi, para saudara sebelah selatan ingin minta nasi, haya-auuuuh .... Yang ditembangkan itu adalah lagu minta-minta kaum pengemis, tapi sebenarnya adalah tanda perintah kepada anak-buahnya untuk menyerang. Maka tertampaklah berpuluh anggota Kay-pang yang berdiri di sebelah selatan serentak mengangkat senjata mereka, asal tarikan suara Tan-tianglo itu berhenti, segera mereka akan menyerbu maju. Sudah tentu Kiau Hong tahu betapa lihainya Pak-kau-tin (barisan penghajar anjing) Kay-pang sendiri. Bila barisan itu sudah dikerahkan, serentak anggota Kay-pang keempat penjuru itu secara bergiliran akan menyerbu maju tanpa berhenti sampai musuh dibinasakan atau dirobohkan. Padahal sebelum bertemu dengan Buyung Hok dan sebelum duduk perkara yang sebenarnya dibikin terang, ia tidak ingin mengikat permusuhan dulu dengan orang. Maka cepat ia memberi tanda sambil membentak, Nanti dulu! Berbareng ia terus melompat-maju dan tahu-tahu sudah berada di samping Hong Po-ok, dengan tangan kiri ia cakar muka orang itu. Keruan Po-ok terkejut, cepat ia mengegos ke samping, tapi mendadak tangan Kiau Hong terus menurun ke bawah dan tepat kena tangkap pergelangan tangannya, segera golok Hong Po-ok itu dirampasnya. Bagus Kiau-pangcu dengan seranganmu Jio-cu-sam-sik (tiga gaya merebut mutiara) dari Liong-jiau-cu (cakar naga) itu, seru Giok-yan tiba-tiba. Segera ia pun memperingatkan Pau Put-tong, Awas Pau-samko, ia hendak menyikut dadamu dengan sikut kiri dan tangan kanan akan memotong igamu menyusul tangan kiri akan mencengkeram pula Gi-koh-hiat pundakmu, serangan itu adalah satu di antara tiga gaya cakar naga yang disebut Ti-yan-yu-uh (mendadak turun hujan)! Tapi gerakan Kiau Hong ternyata cepat luar biasa, baru saja Giok-yan memperingatkan Pau Put-tong bahwa dadanya akan disikut, tahu-tahu serangan Kiau Hong memang benar seperti apa yang dikatakan itu dan hampir berbareng pada saat itu pun menyikut hingga Pau Put-tong tidak sempat berjaga-jaga sebelumnya.

Begitu pula tentang iganya akan dipotong serta Gi-koh-hiatnya akan dicengkeram, tahu-tahu Pau Put-tong merasakan tubuhnya menjadi lemas lumpuh tak dapat berkutik. Sungguh serangan bagus, seru Pau Put-tong dengan penasaran. Wah, Siaumoay, peringatanmu terlalu tepat waktunya hingga tiada gunanya. Kalau engkau bilang sedetik lebih dulu, kan aku dapat berjaga-jaga sebelumnya. Ya, maaflah, sahut Giok-yan dengan menyesal. Karena ilmu silatnya terlalu lihai, maka sebelumnya sama sekali aku tak dapat mengetahui serangan apa yang akan dilontarkannya. Maaf apa segala? seru Pau Put-tong. Pendek kata perkelahian hari ini terang kita terjungkal semua, pamor Yan-cu-oh benar-benar runtuh! Waktu ia berpaling ia lihat keadaan Hong Po-ok lebih runyam lagi, kawan itu tampak terpaku di tempatnya seperti patung. Rupanya waktu Kiau Hong merampas goloknya sekalian telah tutuk pula hiat-tonya. Kalau tidak, mana mau dia berhenti dengan begitu saja? Melihat sang pangcu sudah dapat mengalahkan kedua lawan, maka Tan-tianglo mengurungkan tembangnya yang belum selesai tadi. Diam-diam Kay-pang-su-lo sangat kagum demi menyaksikan betapa saktinya sang pangcu, hanya sekali gebrak saja dua lawan tangguh telah ditaklukkan. Kemudian Kiau Hong melepaskan tangannya yang mencengkeram Gi-koh-hiat di pundak Pau Put-tong itu. Menyusul tangannya membalik ke belakang untuk menepuk perlahan di punggung Po-ok dan membuka hiat-to yang ditutuknya itu, lalu katanya, Silakan kalian pergi saja! Dalam keadaan demikian, betapa pun bandelnya Pau Put-tong juga, terpaksa menyerah, ia tahu ilmu silat sendiri selisih terlalu jauh dengan Kiau Hong. Maka tanpa bicara lagi ia lantas mengeluyur ke samping Giok-yan. Sebaliknya Hong Po-ok lantas berkata, Kiau-pangcu, ilmu silatku memang tak dapat menandingimu, tapi seranganmu barusan membikin aku penasaran, sebab engkau menyerang pada waktu aku sama sekali tidak berjaga-jaga. Memang benar aku menyerang secara mendadak, sahut Kiau Hong. Tapi kita boleh coba-coba beberapa jurus pula, biar kusambut serangan golokmu. Habis berkata, mendadak ia mencengkeram ke depan, suatu arus tenaga menggetar golok Hong Po-ok yang dibuang ke tanah oleh Kiau Hong tadi bahkan golok itu lantas mencelat ke atas seakan-akan melompat sendiri ke tangan Kiau Hong. Dan sekali Kiau Hong menyampuk perlahan, tangkai golok itu terus membalik ke depan seperti diangsurkan kembali kepada Hong Po-ok. Hong Po-ok tercengang, katanya dengan tergegap, Apakah ini ... Kim-liong-kang (ilmu menangkap naga)? Di dunia ini ternyata benar ada orang mahir ilmu sakti ini? Aku cuma belajar sedikit dasarnya saja, lebih jauh masih harus minta petunjuk pihak yang mahir, Kiau Hong tertawa sambil memandang ke arah Giok-yan. Ia ingin mengetahui bagaimana penilaian si nona yang mahir segala macam ilmu silat itu atas ilmu saktinya yang tiada bandingan itu.

Tak tersangka Giok-yan tampak lagi termangu-mangu seperti sedang memikirkan sesuatu, maka apa yang dikatakan Kiau Hong itu seakan-akan tak didengarnya. Mau tak mau Hong Po-ok harus menyerah, katanya, Ya, sudahlah, ilmu silatku memang bukan tandinganmu, selisih kita terlalu jauh, kalau berkelahi juga kurang menarik. Nah, sampai berjumpa, Kiau-pangcu! Meski lahiriah Hong Po-ok ini jelek, wajahnya tidak sedap dipandang, tapi jiwanya cukup kesatria, biarpun kalah berkelahi, sama sekali ia tidak patah semangat. Kalah atau menang dianggapnya soal lumrah. Baginya sudah senang asal dapat berkelahi. Segera ia memberi salam perpisahan kepada Kiau Hong, lalu katanya kepada Pau Put-tong, Samko, kabarnya Kongcuya pergi ke Siau-lim-si, di sana sangat banyak orang, kita tentu dapat berkelahi lagi. Biarlah sekarang juga aku berangkat ke sana dan kalian boleh menyusul belakangan! Begitulah sifat Hong Po-ok itu, ia tidak pernah sia-siakan setiap kesempatan berkelahi. Maka tanpa menunggu jawaban Pau Put-tong, terus saja ia mendahului berlari pergi. Ya, marilah pergi! Lebih baik pergi, daripada cari mati! Kalah berkelahi, apa lagi yang dinanti? demikian sambil bersenandung Pau Put-tong ikut meninggalkan tempat itu secara kesatria. Tinggal Giok-yan bertiga yang masih di situ, maka tanyanya kepada A Cu dan A Pik, Samko dan Siko sudah pergi, lantas kita mesti ke mana? Para pengemis ini rupanya akan berunding urusan penting, kita lebih baik kembali ke Bu-sik saja, demikian sahut A Cu perlahan. Lalu katanya kepada Kiau Hong, Kiau-pangcu, kami juga ingin mohon diri saja! Silakan! sahut Kiau Hong sambil mengangguk. Dan selagi Giok-yan bertiga hendak berlalu, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang di sebelah timur sana tampil ke muka seorang pengemis setengah umur berwajah bersih dan berseru, Kiau-pangcu, sakit hati kematian Be-hupangcu yang mengenaskan itu belum lagi dibalas, mengapa sembarangan melepaskan musuh begini saja? Kedengarannya ia bicara dengan hormat, tapi sikapnya dan nadanya menantang, sedikit pun tidak mirip sebagai seorang bawahan. Kedatangan kita ke sini memang tujuannya ingin membalas sakit hati Be-jiko, sahut Kiau Hong. Tapi setelah kuselidiki selama beberapa hari ini, aku merasa pembunuh Be-jiko itu belum pasti Buyung-kongcu. Pengemis setengah umur itu bernama Coan Koan-jing, orang memberi julukan Sip-hong-siucay padanya, artinya si Pelajar Serbatahu. Orangnya memang pintar dan banyak akal, ilmu silatnya juga tinggi, ia adalah salah satu thocu berkantong delapan, kedudukannya hanya di bawah para tianglo (tertua) kantong sembilan. Coan Koan-jing adalah kepala bagian Tay-ti-hun-tho, kedudukannya sangat terhormat. Tapi betapa tinggi kedudukannya juga takkan lebih agung daripada sang pangcu. Dalam hal huru-hara dalam Kay-pang ini meski sebelumnya orang-orang telah banyak mendengar keterangannya, tapi di bawah sinar mata

Kiau Hong yang kereng itu tanpa terasa semuanya menjadi jeri dan menunduk. Sebaliknya atas keberanian Coan Koan-jing dengan tegurannya kepada sang pangcu, diam-diam mereka pun berkhawatir. Maka si Siucay Serbatahu Coan Koan-jing berkata pula, Dengan dasar apa hingga Pangcu mengatakan bukan perbuatan Buyung-kongcu? Sebenarnya Giok-yan sudah akan melangkah pergi, tapi demi didengarnya Be-hupangcu, wakil pemimpin Kay-pang itu, katanya ditewaskan orang dan Buyung-kongcu yang dituduh sebagai pembunuhnya, sebaliknya Kiau Hong berpendapat pembunuhnya mungkin orang lain, maka Giok-yan bertiga menjadi urung berangkat pergi, mereka terus tinggal dan diam di situ untuk mendengarkan perdebatan tadi. Maka terdengar Kiau Hong sedang berkata, Aku sendiri pun cuma menduga saja, dengan sendirinya tiada dasar bukti apa-apa. Jika begitu, bagaimana dasar dugaan Pangcu, silakan memberi penjelasan, supaya para kawan dapat ikut mengetahuinya, ujar Coan Koan-jing. Waktu aku berada di Lokyang, ketika mendengar Be-jiko dibinasakan orang dengan ilmu Soh-au-kim-na-jiu yang andalannya itu, aku lantas teringat kepada orang she Buyung yang terkenal dengan istilah Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin itu. Kupikir ilmu kepandaian Be-jiko itu tiada tandingannya di jagat ini, kecuali orang dari keluarga Buyung memang tiada seorang pun yang mampu membunuhnya dengan ilmu andalan Be-jiko sendiri. Benar! tukas Coan Koan-jing. Tetapi sesudah aku berada di Kanglam sini, makin lama makin kurasakan dugaan kita semula jadi tidak benar, bukan mustahil di balik kejadian ini terdapat pula hal-hal lain yang berliku-liku. Hal apa yang berliku-liku? Para kawan siap mendengarkan, silakan Pangcu memberi penjelasan, kata Koan-jing. Melihat sikap para anggota berbeda daripada biasanya, Kiau Hong menduga di dalam organisasi pasti sudah terjadi apa-apa yang ia sendiri belum mengetahui. Maka ia coba tanya, Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo kenapa tidak kelihatan, di manakah mereka itu? Hari ini Siokhe (bawahan) belum bertemu dengan kedua Tianglo itu, sahut Koan-jing. Dan para thocu dari Tay-jin, Tay-sin dan Tay-yong berada di mana pula? tanya Kiau Hong pula. Thio Coan-siang, tiba-tiba Koan-jing berpaling dan tanya kepada seorang anggota berkantong tujuh, mengapa Thocu kalian tidak hadir ke sini? En ... entahlah, aku ti ... tidak tahu, demikian orang yang dipanggil Thio Coan-siang itu menjawab dengan gelagapan. Biasanya Kiau Hong cukup kenal Coan Koan-jing. Thocu Tay-ti-hun-tho ini cerdik lagi licin, tindak tanduknya sukar diraba, sebenarnya terhitung salah seorang bawahan yang boleh diandalkan. Tapi dalam keadaan tegang begini berbalik merupakan seorang musuh yang lihai. Maka demi melihat Thio

Coan-siang menjawab gelagapan dengan air muka yang penuh penyesalan serta tidak berani memandang ke arahnya, segera Kiau Hong membentaknya, Thio Coan-siang, apa barangkali kau membunuh Thocumu sendiri, ya? Coan-siang menjadi ketakutan dan cepat menjawab, O, tidak, ti ... tidak! Pui-thocu masih baik-baik di sana dan belum ... belum mati. Ini bukan ... bukan urusanku, aku tidak ... tidak ikut berbuat. Jika begitu perbuatan siapa? bentak Kiau Hong dengan bengis. Walaupun bentakannya tidak terlalu keras, tapi berwibawa. Sebagai seorang pangcu yang gagah perkasa dan bijaksana pula, maka biasanya para anggota sangat hormat dan jeri kepadanya. Karena mendadak ditegur secara bengis, tanpa terasa Thio Coan-siang menjadi ketakutan hingga gemetar, ia tidak berani bicara lagi, hanya sinar matanya melirik sekejap ke arah Coan Koan-jing. Kiau Hong dapat mengambil tindakan cepat, ia tahu kerusuhan telah terjadi, Thoan-kong, Cit-hoat dan para tianglo lain berada dalam keadaan bahaya, sang waktu tidak boleh dilewatkan percuma, tindakan tegas harus segera dilakukan, maka mendadak ia menghela napas panjang, ia berputar menghadap Su-tay-tianglo (empat tertua) dan berkata, Harap para Tianglo suka memberi tahu, sebenarnya apa yang telah terjadi dalam organisasi kita? Tapi keempat kakek itu hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun berani membuka suara. Maka tahulah Kiau Hong bahwa keempat tianglo itu pun pasti tersangkut dalam urusan ini, dengan tersenyum katanya pula, Setiap anggota kita, dimulai dari diriku, semuanya mengutamakan setia kawan .... Berkata sampai di sini, sekonyong-konyong ia melompat mundur dua tindak, setiap tindaknya sejauh lebih dua meter. Bagi orang lain, biarpun berlompatan ke depan juga tidak secepat dan sejauh itu. Dengan lompatan mundur itu, maka sekarang jarak Kiau Hong dengan Coan Koan-jing sudah tinggal tiada satu meter jauhnya. Tanpa putar tubuh lagi terus saja tangan kirinya menangkap ke belakang dan tangan kanan bergerak mencengkeram dari jauh, gerakan ini tepat mengenai Tiong-ting-hiat dan Kiu-bwe-hiat di dada sasarannya. Ilmu silat Coan Koan-jing sebenarnya tergolong kelas satu di antara jago-jago Kay-pang, hanya selisih sedikit saja daripada Kay-pang-su-lo. Tapi cukup sejurus saja, sampai berkelit pun tidak sempat dan tahu-tahu sudah kena dipegang oleh sang pangcu. Ketika Kiau Hong kerahkan tenaga dalam hingga menyalur ke tubuh Coan Koan-jing melalui kedua hiat-to yang tercengkeram, dari urat nadi itu tenaga dalam menyalur ke Tiong-wi-hiat dan Yang-tay-hiat di dengkul Koan-jing. Seketika Coan Koan-jing merasa dengkul menjadi lemas dan tanpa terasa terus berlutut. Melihat Coan Koan-jing tekuk lutut, keruan anggota Kay-pang yang lain sama terkejut dan khawatir tanpa berdaya. Kiranya Kiau Hong darat melihat gelagat, ia tahu terjadinya kerusuhan biang

keladinya tak-lain-tak-bukan adalah Coan Koan-jing. Kalau orang ini tidak segera dibekuk tentu akan membawa bencana yang tak terduga. Terutama bila di antara anggota Kay-pang terjadi pertempuran sendiri, pasti akan sangat melemahkan kekuatan organisasi yang sudah terpupuk selama seratus tahun ini. Apalagi di antara anggota Kay-pang yang hadir ini, kecuali beberapa puluh orang dari Tay-gi-hun-tho, selebihnya boleh dibilang sudah dipengaruhi oleh hasutan Coan Koan-jing. Lebih-lebih kalau Kay-pang-su-lo juga berdiri di pihak lawan, pasti dirinya sukar melawan mereka. Sebab itu, maka ia pura-pura bertanya-jawab dengan Kay-pang-su-lo, dan pada waktu Coan Koan-jing tidak menyangka, mendadak ia melompat mundur dan dapat membekuknya. Beberapa kali lompatan dan sergapan Kiau Hong itu tampaknya sepele saja, tapi sebenarnya sudah memakan seluruh intisari kepandaiannya. Bila cengkeramannya ke belakang tadi sedikit meleset, walaupun Coan Koan-jing dapat dibekuknya juga, tapi tenaga dalamnya akan sukar menyalur ke tubuh orang untuk menyerang hiat-to di dengkul kaki dan membuatnya berlutut, maka akibatnya tentu kawan-kawan sekomplotannya akan menerjang maju untuk menolongnya hingga suatu pertarungan sengit pasti sukar terhindarkan. Tapi sekarang Coan Koan-jing telah dipaksa berlutut, bagi kawan-kawannya tentu akan menyangka Coan Koan-jing telah mendahului menyerah dan mengaku salah. Dengan sendirinya para begundalnya tiada yang berani berkutik lagi. Begitulah kemudian Kiau Hong baru berputar tubuh dan menepuk perlahan pundak Coan Koan-jing sambil berkata, Tidak perlu berlutut. Jika kau sudah sadar akan kesalahanmu, tentang dosamu yang masih harus diperiksa ini biarlah nanti dibicarakan lebih jauh. Sambil berkata, perlahan sikutnya bekerja pula hingga hiat-to bisu di tubuh Coan Koan-jing kena ditutuknya. Hendaklah diketahui bahwa Coan Koan-jing adalah seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat. Bila dia diberi kesempatan membuka suara bukan mustahil anggota Kay-pang yang lain akan mudah terpengaruh oleh provokasinya. Maka terpaksa Kiau Hong bertindak secara licik, yaitu membekuk Coan Koan-jing lebih dulu, dengan dibekuknya biang keladi mereka, terpaksa komplotan yang siap memberontak itu tak berani berkutik. Dan sesudah dapat membekuk Coan Koan-jing serta membuatnya berlutut dengan menunduk kemudian Kiau Hong berseru pula kepada Thio Coan-siang, Hendaknya tunjukkan tempatnya, bawalah Tay-gi-thocu pergi mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo ke sini. Kau harus tunduk pada perintah dengan baik, supaya dapat mengurangi dosamu. Kawan-kawan yang lain harap duduk menunggu di sini, dilarang sembarangan bergerak. Dengan takut-takut girang, berulang Thio Coan-siang mengiakan perintah sang pangcu. Cio Ci-tong, itu Thocu dari Tay-gi-hun-tho, tidak ikut serta dalam komplotan pemberontakan, maka ia menjadi sangat gusar demi mendengar Coan Koan-jing dan begundalnya merencanakan pengkhianatan itu. Saking gusarnya seketika ia tidak sanggup ikut bersuara. Baru sesudah mendengar perintah Kiau Hong agar

menyertai Thio Coan-siang pergi mengundang Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo, dapatlah ia tenangkan pikirannya yang bergolak tadi. Katanya segera kepada anak buahnya yang berjumlah 20-an orang itu, Sungguh celaka bahwa dalam perkumpulan kita terjadi kerusuhan, maka tibalah saatnya bagi kita harus curahkan sepenuh tenaga kita untuk membalas budi kebaikan Pangcu. Kita harus taat kepada perintah Pangcu, jangan lengah! Sebabnya ia memberi perintah begitu adalah khawatir bahwa Su-tay-tianglo juga ikut melawan pangcu, seorang diri tentu sang pangcu sulit melawan orang banyak. Meski orang Tay-gi-hun-tho terlalu sedikit dibanding pihak yang memberontak, tapi paling tidak sudah lebih baik daripada tiada pengikut sama sekali. Di luar dugaan Kiau Hong berkata, Tidak, Cio-thocu, bawalah bersama anak buah bagianmu itu, menolong para tianglo lebih penting, jangan terlambat. Cio Ci-tong tidak berani membantah, terpaksa mengia. Katanya pula, Harap Pangcu bertindak secara hati-hati, selekasnya kami pasti akan kembali. Para saudara yang hadir di sini adalah kawan-kawan sehidup-semati yang tidak perlu disangsikan lagi, biarpun untuk sementara mungkin mereka salah pikir, namun mereka pasti akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Engkau tidak usah khawatir, pergilah! sahut Kiau Hong dengan tersenyum. Meskipun Kiau Hong bicara dengan sikap tenang dan sewajarnya, tapi dalam batin sebenarnya sangat terguncang. Ia saksikan keberangkatan Cio Ci-tong bersama anak buahnya. Di tengah rimba kini selain Toan Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat, selebihnya kira-kira dua ratusan orang semuanya tersangkut di dalam kerusuhan ini, asal ada di antaranya memberi hasutan dan memberi perintah, tentu akan terjadi serbuan serentak dan susah dilayani. Kiau Hong coba memandang sekitarnya, ia lihat macam-macam sikap para pengemis itu, ada yang kikuk, ada yang berlagak tenang, dan ada yang khawatir, tapi ada juga yang petantang-petenteng. Dua ratusan orang di situ semuanya terdiam, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Tapi sekali ada yang bicara, pasti kerusuhan akan terjadi. Pikir Kiau Hong, Dalam keadaan demikian, paling baik kalau suasana tetap dalam keadaan tenang. Kalau dapat pokok persoalan dikesampingkan dulu, baru sebentar Thoan-kong Tianglo dan lain-lain sudah datang, urusan tentu akan menjadi mudah diselesaikan. Sekilas terlihat olehnya Toan Ki berdiri di sampingnya, maka katanya segera, Para saudara, hari ini aku sangat gembira karena baru saja dapat berkenalan dengan seorang sobat baru. Karena kami berdua cocok satu-sama-lain, maka aku sudah mengangkat saudara dengan adik Toan Ki ini. Nah, Toan-hiante, marilah kuperkenalkan kepada tokoh-tokoh utama di dalam Kay-pang kami. Lalu ia gandeng tangan Toan Ki dan mendekati kakek beruban dan bersenjatakan gada bergigi kait itu, katanya, Beliau adalah Song-tianglo, usianya sudah lanjut dan namanya dihormati. Beliau adalah tetua yang dipuja di dalam perkumpulan kami. Senjatanya yang istimewa ini dahulu pernah malang melintang di Kangouw, tatkala itu Toan-hiante sendiri mungkin belum lahir. Ah, kiranya Song-tianglo, sudah lama kukagum, sungguh beruntung hari ini bisa bertemu, demikian Toan Ki memberi hormat. Terpaksa dan dengan kaku Song-tianglo membalas hormat juga.

Kemudian Kiau Hong memperkenalkan si kakek pendek gemuk dan bersenjata tongkat baja itu kepada Toan Ki. Katanya, Dia Ge-tianglo, ahli gwakang terkemuka dalam perkumpulan kita. Belasan tahun dulu kakak angkatmu ini sering belajar ilmu silat padanya. Terhadap diriku Ge-tianglo boleh dikata ya guru ya kawan, hubungan kami tak dapat diartikecilkan. Ya, tadi aku sudah menyaksikan Ge-tianglo menempur kedua orang, ilmu silatnya memang benar luar biasa, sungguh sangat mengagumkan, ujar Toan Ki. Watak Ge-tianglo itu sangat jujur dan tulus, mendengar Kiau Hong toh tidak pernah melupakan hubungan baik di masa lampau, terutama mengungkap bahwa dirinya pernah memberi petunjuk ilmu silat, mau tak mau Ge-tianglo merasa lega dan malu hati pula, ia yakin Kiau Hong pasti takkan mengusut terlalu keras tentang ikut sertanya dalam komplotan kerusuhan ini, sebaliknya dirinya secara sembrono telah kena dihasut oleh Coan Koan-jing, hal ini benar-benar sangat tercela. Dan sesudah Kiau Hong memperkenalkan Tan-tianglo yang bersenjatakan karung goni itu kepada Toan Ki, selagi hendak mengenalkan Go-tianglo yang bermuka merah dan bersenjatakan kui-thau-to itu, tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang yang ramai dari arah timur laut sana. Menyusul terdengar suara berisik orang banyak yang berkata, Bagaimana keadaan Pangcu. Di mana pengkhianatnya? Kita telah tertipu dan sebal karena dikurung mereka. Begitulah suara berisik itu. Kiau Hong menjadi girang. Tapi ia tidak ingin mengurangi penghormatannya kepada Go-tianglo hingga menimbulkan dendam, maka ia tetap memperkenalkan juga kedudukan dan nama baik Go-tianglo kepada Toan Ki. Ketika ia berpaling, ia lihat Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo, para thocu dari Tay-jin-hun-tho dan lain-lain sudah datang semua. Dalam hati mereka sebenarnya banyak yang hendak mereka katakan, tapi di hadapan sang pangcu mereka pun tidak berani sembarangan membuka suara. Perlu diketahui bahwa Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di dalam Bu-lim dengan tata tertib organisasi yang sangat ketat. Pada umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat patuh pada disiplin. Begitulah maka Kiau Hong lantas berkata sesudah hadirnya para tianglo dan thocu itu, Silakan para saudara suka duduk, aku ingin bicara. Beramai-ramai semua orang mengia, lalu mengambil tempat duduk masing-masing menurut urutan-urutan tingkat, tugas dan usia, ada yang menghadap ke kanan, ada yang ke kiri, ke depan, atau ke belakang. Tapi semuanya duduk dengan anteng. Dalam pandangan Toan Ki, cara duduk pengemis-pengemis itu rada kacau dan tak keruan, tapi sebenarnya mereka sangat teratur, sedikit pun tidak bingung. Melihat para anak buah menaati perintahnya dengan baik, diam-diam Kiau Hong sudah merasa lega lebih dulu. Lalu dengan tersenyum Kiau Hong mulai bicara, Berkat penghargaan kawan-kawan Kangouw, maka Kay-pang kita selama ratusan tahun ini dapat disebut sebagai pang-hwe terbesar di dalam Bu-lim. Dan karena sudah disebut sebagai yang terbesar, karena anggota kita terlalu banyak, pendapat

tiap-tiap orang tidak selalu sama, hal ini pun dengan sendirinya susah dihindarkan. Tapi asal diberi pengertian, ada persoalan, marilah bermusyawarah, maka selamanya kita akan tetap bersatu dalam persaudaraan yang saling sayang-menyayangi. Terhadap setiap perbedaan paham dan perselisihan pendapat, kita pun tidak perlu pandang sebagai sesuatu yang luar biasa. Pada waktu bicara, wajah Kiau Hong tetap tenang-tenang dan ramah tamah, maka setelah mendengar uraiannya, suasana yang tadinya agak tegang itu mulai mereda. Numpang tanya kepada Song, Ge, Go, dan Tan-tianglo, kalian telah mengurung kami dalam perahu di tengah Thay-oh, apakah artinya itu? demikian tiba-tiba seorang pengemis tua bermuka kuning dan duduk di sisi Kiau Hong menegur sambil berbangkit. Kiranya dia ini Cit-hoat Tianglo, tertua yang memegang tata tertib organisasi, she Pek bernama Si-kia. Orangnya jujur dan keras, tidak pandang bulu kepada siapa pun juga. Sekalipun tidak berdosa, anggota Kay-pang juga jeri padanya. Sebabnya disiplin Kay-pang begitu baik, jasa Pek Si-kia boleh dikatakan sangat besar. Di antara Su-tay-tianglo, usia Song-tianglo paling tua, sebab itulah ia merupakan simbol dari empat serangkai itu. Maka wajahnya menjadi merah oleh teguran Pek Si-kia, ia berdehem sekali, lalu menjawab, Tentang itu ... itu, kita ... kita adalah saudara sehidup-semati, dengan sendirinya tiada maksud jahat, maka ... maka harap mengingat diriku ini, hendaklah ... Pek-cit-hoat suka memaafkan. Mendengar itu, semua anggota merasa Song-tianglo ini benar-benar sudah pikun. Masakah urusan membangkang kepada pangcu dapat dianggap sepele dan cukup dengan minta maaf begitu saja lalu urusan menjadi selesai? Maka Pek Si-kia berkata pula, Song-tianglo bilang tiada maksud jahat, kenyataannya tidaklah demikian. Aku dan Pui-thocu telah dikurung bersama di dalam sebuah perahu, perahu ini berlabuh di tengah telaga Thay-oh dan di atas perahu itu penuh tertumpuk kayu dan bahan bakar lain, katanya kalau kami berani melarikan diri, perahu itu segera akan dibakar. Nah, Song-tianglo, cara demikian itu apakah bukan maksud jahat? Hal ini me ... memang benar agak ... agak keterlaluan, sahut Song-tianglo dengan tergegap-gegap. Kita adalah saudara sendiri, mana boleh berlaku sekasar itu? Kelak bila saling bertemu, bukankah akan merasa tidak enak? Kata-katanya yang terakhir itu jelas ditujukan kepada Tan-tianglo. Dan kau, mendadak Pek Si-kia menuding salah seorang pengemis di sebelah sana. Kau telah menipu kami ke atas perahu itu, katanya Pangcu mengundang kami. Kau memalsukan perintah Pangcu, apa hukumanmu? Laki-laki itu menjadi ketakutan hingga bergemetaran, sahutnya dengan terputus-putus, Kedudukan Tecu sangat ... sangat rendah, mana Tecu berani melakukan perbuatan durhaka? Soalnya karena ... karena .... Berkata sampai di sini, sinar matanya beralih ke arah Coan Koan-jing seakan-akan hendak bilang Coan-thocu yang memerintahkan agar menipu kalian ke atas perahu itu.

Pek Si-kia lantas menegas, Apakah Coan-thocu yang memberi perintah begitu padamu? Laki-laki itu hanya menunduk saja tanpa berkata, tidak mengiakan juga tidak membantah. Kau diperintahkan Coan-thocu agar memalsukan titah Pangcu untuk menipu kami ke atas perahu itu, tatkala itu kau tahu tidak bahwa titah itu palsu? tanya Pek Si-kia pula. Seketika wajah laki-laki itu pucat pasi dan tidak berani bersuara. Hm, Li Sam-jun, jenguk Pek Si-kia, biasanya kau adalah seorang laki-laki, berani berbuat berani bertanggung jawab. Kini kenapa menjadi pengecut dan tidak berani mengaku salah? Mendadak Li Sam-jun membusungkan dada dan melangkah maju, serunya dengan lantang, Ucapan Pek-tianglo memang tepat. Aku Li Sam-jun telah berbuat salah, apakah akan dibunuh atau digantung terserah keputusanmu, kalau orang she Li ini berkerut kening sedikit saja bukan laki-laki sejati. Tatkala kusampaikan perintah palsu Pangcu kepadamu, waktu itu aku sendiri tahu kalau itu perintah palsu. Sebenarnya Pangcu kurang baik padamu atau aku yang bersalah padamu? tanya Pek Si-kia. Tidak semua, sahut Li Sam-jun. Terhadap Siokhe (hamba), Pangcu selalu sangat berbudi, begitu pula Pek-tianglo sangat adil dan jujur, siapa pun tiada yang mengomel. Habis, disebabkan apa? Urusan apa yang menyebabkan kau berkhianat? bentak Pek-tianglo dengan bengis. Li Sam-jun pandang sekejap pada Coan Koan-jing yang berlutut itu, lalu memandang pula ke arah Kiau Hong, kemudian katanya dengan suara keras, Siokhe telah melanggar pang-kui (tata tertib organisasi), ganjaran yang setimpal adalah mati, tapi tentang sebab musababnya, Siokhe tidak berani menerangkan. Habis berkata sekali tangannya bergerak, sinar putih berkelebat, bles, tahu-tahu sebilah belati telah menancap hulu hatinya. Tikaman sendiri itu sangat cepat, pula tepat mengenai jantung, ujung belati sampai menembus ke punggung, keruan Li Sam-jun terjungkal seketika dan binasa. Dalam kagetnya para pengemis yang lain sama menjerit, tapi semuanya tetap duduk di tempat masing-masing, tiada seorang pun berani bergerak. Dengan wajah yang kereng Pek Si-kia berkata pula, Kau tahu perintah Pangcu itu palsu, tapi tidak melapor pada Pangcu, bahkan menipu aku, hukumanmu memang seharusnya mati. Lalu ia berpaling pada Thoan-kong Tianglo dan berkata, Hang-heng, siapa pula orang yang menipumu ke atas perahu?

Belum lagi Hang-tianglo menjawab, sekonyong-konyong seorang melompat pergi dari rombongan sana dan berlari sekencang-kencangnya. Orang ini menyandang lima kantong, terang dia adalah Go-te-tecu. Melihat larinya itu, jelas dia inilah orang yang menyampaikan perintah palsu untuk menipu Hang-tianglo ke atas perahu itu. Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo saling pandang dengan menghela napas gegetun, keduanya tidak bicara lagi. Dalam pada itu tiba-tiba sesosok bayangan orang melesat dengan cepat sekali dan tahu-tahu sudah mengadang di depan Go-te-tecu yang hendak melarikan diri itu. Pengadang itu ternyata bermuka merah dan bergolok kui-thau-to, ialah Go-tianglo di antara Kay-pang-su-lo itu. Terdengar kakek itu membentak dengan bengis, Lau Tiok-ceng, mengapa kau hendak melarikan diri? Melihat dirinya diadang Go-tianglo, saking ketakutan Go-te-tecu yang dipanggil sebagai Lau Tiok-ceng itu sampai lemas kakinya, sahutnya dengan tak lancar, Aku ... aku .... Begitulah hampir sepuluh kali ia mengucapkan aku dan tidak sanggup meneruskan lagi. Sebagai anggota Kay-pang, kita harus taat kepada tata tertib yang kita warisi dari leluhur. Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau salah berani mengaku salah kalau benar, apa lagi yang mesti ditakutkan? Demikian seru Go-tianglo. Lalu ia berpaling ke arah Kiau Hong dan meneruskan, Pangcu, kami memang berkomplotan hendak menggulingkan kedudukanmu sebagai pangcu. Dalam komplotan ini, Ge, Tan, Song dan Go keempat tianglo semuanya tersangkut. Kami khawatir Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo tidak setuju dengan rencana kami, maka berdaya mengurungnya. Hal ini demi untuk perkembangan Kay-pang kita di hari depan terpaksa mesti berani mengambil risiko. Tapi pergerakan kami rupanya kurang mujur hingga dapat dibongkar oleh kalian. Nah, terserahlah bagaimana kalian akan mengambil keputusan. Aku Go Tiang-hong sudah lebih 30 tahun menjadi anggota Kay-pang, siapa pun tahu aku bukan manusia yang takut mati. Habis berkata, golok kui-thau-to mendadak dilemparkannya jauh-jauh, lalu kedua tangannya bersedekap di depan dada, sikapnya angkuh dan pantang takut. Dengan terus terang Go-tianglo mengatakan komplotan hendak menggulingkan sang pangcu, keruan seketika gegerlah anggota Kay-pang yang lain. Sudah tentu rencana itu diketahui siapa pun yang ikut dalam komplotan itu, tapi justru untuk mengaku terus terang itulah tiada yang berani. Kini Go Tiang-hong orang pertama yang berani mengaku terus terang, mau tak mau semua orang harus mengagumi kejujuran dan keberaniannya. Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo berkomplot hendak menggulingkan Pangcu, perbuatan ini melanggar pasal satu undang-undang organisasi kita, demikian Pek Si-kia, tertua pelaksana hukum, menyatakan keputusannya, Cit-hoat-tecu (murid pelaksana hukum), ringkuslah keempat tianglo!

Segera anak buahnya yang menerima perintah itu mengeluarkan tali kulit kerbau, lebih dulu Go Tiang-hong diringkus, tertua itu hanya tersenyum saja dan membiarkan dirinya diikat tanpa melawan sedikit pun. Menyusul Song-tianglo dan Go-tianglo juga meletakkan senjata dan menyerah untuk diringkus. Hanya wajah Tan-tianglo yang kelihatan penasaran, ia mengomel sendiri, Pengecut, pengecut semua! Kalau tadi kita serbu serentak, belum tentu kita dikalahkan, tapi justru setiap orang jeri kepada Kiau Hong. Apa yang dikatakan memang benar, ketika Coan Koan-jing ditundukkan, bila anggota yang ikut berkomplot itu serentak menyerbu maju, betapa pun Kiau Hong pasti susah melawannya. Malahan kemudian dengan datangnya Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para thocu dari Tay-jin, Tay-gi, Tay-sin dan Tay-yong, tetap jumlah pengikut komplotan jauh lebih banyak. Akan tetapi di hadapan Kiau Hong yang gagah perkasa dan berwibawa itu, ternyata tiada seorang pun berani mendahului turun tangan sehingga kesempatan baik berlalu dengan sia-sia, akhirnya satu per satu kena diringkus malah. Sekarang biarpun Tan-tianglo bertekad bertempur mati-matian, namun ia sudah terpencil seorang diri. Maka dengan menghela napas ia lempar karung goninya dan membiarkan kaki dan tangannya diikat dengan tali oleh anak buah Cit-hoat Tianglo. Lau Tiok-ceng, seru Cit-hoat Tianglo kemudian, cara tindak tandukmu seperti ini apakah kau masih ada harganya untuk menjadi anggota Kay-pang? Kau akan membereskan diri sendiri atau perlu bantuan orang lain? Aku ... aku .... sahut Lau Tiok-ceng dengan tergegap dan tak dapat melanjutkan lagi, ia melolos golok dan bermaksud menggorok leher sendiri, tapi tangannya terlalu gemetar hingga tidak kuat mengangkat goloknya. Huh, tak becus seperti ini juga mengaku sebagai anggota Kay-pang, jengek salah seorang anak buah Cit-hoat-tecu tadi. Segera ia bantu memegang tangan Lau Tiok-ceng yang bersenjata itu, lalu menggorok sekuatnya untuk memutuskan lehernya. Te ... terima kasih .... kata Lau Tiok-ceng dengan terputus-putus, lalu melayanglah jiwanya. Kiranya menurut peraturan Kay-pang, setiap anggota yang berdosa dan harus dihukum mati, kalau pelaksanaan itu dilakukan dengan tangan sendiri, maka dia masih tetap dianggap sebagai saudara dalam Kay-pang dan dengan matinya itu berarti dosanya sudah tercuci bersih. Tapi kalau dilakukan oleh Cit-hoat-tecu, itu berarti dosanya tidak pernah diampuni selamanya. Tadi Cit-hoat-tecu itu melihat Lau Tiok-ceng bermaksud membunuh diri, tapi tenaga kurang, maka telah membantu melaksanakan keinginannya itu. Begitulah Toan Ki, Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik berempat tanpa sengaja telah menyaksikan kerusuhan di dalam Kay-pang, diam-diam mereka merasa menyesal telah ikut-ikut mendengar dan melihat urusan dalam orang lain yang mestinya tidak boleh diketahui orang luar. Tapi kalau mereka pergi begitu saja, tentu akan menimbulkan curiga orang-orang Kay-pang. Terpaksa mereka tetap duduk tenang di tempatnya dengan

lagak seakan-akan tidak ambil pusing apa yang terjadi itu. Namun bukan mustahil dengan binasanya Lau Tiok-ceng dan Li Sam-jun serta diringkusnya Su-tay-tianglo yang tadinya tampak gagah perkasa itu, mungkin banyak kejadian mengerikan masih akan berlangsung pula. Maka mereka berempat cuma saling pandang saja, mereka merasa serbasalah menghadapi keadaan begitu. Toan Ki sendiri adalah saudara angkat Kiau Hong, sedangkan waktu Hong Po-ok keracunan, Kiau Hong telah memintakan obat baginya. Hal ini membuat Ong Giok-yan, A Cu dan A Pik merasa sangat berterima kasih padanya. Kini melihat Kiau Hong dapat memulihkan kerusuhan di dalam Kay-pang dan berhasil meringkus biang keladi komplotan pengkhianat, sudah tentu mereka ikut bersyukur bagi Kiau Hong. Dalam pada itu Kiau Hong sendiri lagi duduk dengan termangu-mangu di samping sana, meski anggota yang berkhianat satu per satu telah dapat diringkus, tapi sedikit pun ia tidak merasa senang sebagai pihak yang menang. Terkenang olehnya waktu dia menerima jabatan pangcu dari Ong-pangcu almarhum yang berbudi itu, selama delapan tahun memegang pimpinan, sudah banyak peristiwa ke luar maupun ke dalam yang telah diselesaikan dengan baik, sedikit pun tidak pernah memikirkan kepentingan diri pribadi hingga Kay-pang selama di bawah pimpinannya bertambah jaya dan makin disegani oleh sesama kawan Kangouw. Berdasarkan itu, dirinya boleh dikatakan banyak jasanya dan tidak merasa pernah berbuat sesuatu kesalahan, mengapa sekarang mendadak ada komplotan seluas ini hendak menggulingkan dirinya? Kalau melulu Coan Koan-jing yang bernafsu besar hendak menghancurkan Kay-pang, mengapa Su-tay-tianglo yang dapat dipercaya itu juga ikut dalam komplotan ini? Apa barangkali tanpa sengaja dan tanpa sadar dirinya telah berbuat sesuatu kesalahan yang menimbulkan kemarahan para kawan? Sementara itu terdengar Pek Si-kia mulai berkata lagi dengan lantang, Para saudara, Kiau-pangcu diangkat sebagai pengganti Ong-pangcu almarhum, selama ini beliau menjalankan tugas dengan baik hingga Kay-pang kita mendapat kemajuan yang tidak sedikit, waktu ditunjuk sebagai pengganti pangcu, dahulu Ong-pangcu telah banyak mengujinya lebih dulu dengan soal-soal sulit. Di antaranya ada tiga syarat berat serta mengharuskan dia melaksanakan tujuh macam pahala besar bagi Kay-pang habis itu barulah mewariskan Pak-kau-pang (pentung penggebuk anjing) padanya. Dahulu waktu diadakan Thay-san-tay-hwe (pertemuan besar di Thay-san), seorang diri Kiau-pangcu telah menjatuhkan delapan lawan tangguh, banyak kawan-kawan yang hadir di sini ikut menyaksikan kejadian itu. Selama delapan tahun ini Kiau-pangcu selalu bertindak adil dan berbudi, nama baik Kay-pang kita pun semakin membubung tinggi, untuk mana seharusnya kita berterima kasih dan mencintainya dengan sepenuh jiwa raga kita, tapi kini ternyata ada orang yang hendak berkhianat. Nah, Coan Koan-jing, boleh coba kau bicara sendiri di hadapan para kawan! Karena Coan Koan-jing ditutuk bisu oleh Kiau Hong, maka apa yang dikatakan Pek-tianglo itu dapat didengar dengan jelas, susahnya ia sendiri tak dapat membuka suara untuk menjawabnya. Maka Kiau Hong mendekatinya dan menepuk perlahan punggung Coan Koan-jing untuk membuka hiat-to yang ditutuknya itu, katanya, Coan-thocu, aku Kiau Hong pernah berbuat sesuatu dosa apa kepada para saudara, silakan bicara

terus terang di sini, tidak perlu takut dan tidak perlu pantang bicara. Karena hiat-to telah lancar kembali, segera Coan Koan-jing melompat bangun dan berseru, Dosamu kepada para saudara belum kau lakukan sekarang, tapi tidak lama lagi tentu akan kau jalankan. Ngaco-belo! bentak Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia. Pribadi Kiau-pangcu cukup kesatria dan berjiwa besar, sebelum ini tiada sesuatu kejahatan yang dilakukannya, untuk selanjutnya juga takkan diperbuatnya. Pek-tianglo, sela Kiau Hong, harap sabarlah, biarkan Coan-thocu bertutur sejelasnya dari awal sampai akhir duduk perkara. Jika Song-tianglo dan Ge-tianglo berempat juga menyalahkan diriku, mungkin aku pernah berbuat sesuatu kesalahan. Aku memberontak padamu adalah salahku, seru Ge-tianglo mendadak, maka tidak perlu kau singgung lagi. Sebentar sesudah urusan selesai aku sendiri akan penggal kepalaku ini untukmu. Walaupun ucapan Ge-tianglo itu kedengarannya rada lucu namun perasaan setiap orang sedang dirundung kepedihan karena adanya perpecahan di dalam organisasi, maka tiada seorang pun yang merasa geli. Terdengar Pek-tianglo membenarkan ucapan Kiau Hong tadi, sahutnya, Baiklah. Nah, uraikanlah, Coan Koan-jing. Melihat komplotannya telah gagal, sekutunya seperti Song-tianglo berempat telah diringkus, terang usahanya akan sia-sia belaka. Namun ia masih ingin menempuh jalan terakhir, maka serunya dengan lantang, Kematian Be-hupangcu dibunuh orang, kuyakin atas suruhan Kiau Hong! Keruan Kiau Hong terguncang hebat oleh tuduhan itu. Apa katamu? serunya. Saking kejutnya sampai suaranya agak parau. Sebab apa engkau diam-diam benci kepada Be-hupangcu dan ingin mengenyahkannya, kalau tidak melenyapkan beliau dirasakan olehmu serupa duri dalam daging, kedudukan pangcu menjadi tidak teguh bagimu, demikian kata Coan Koan-jing. Kiau Hong menggeleng perlahan, katanya, Tidak. Hubunganku dengan Be-hupangcu meski tidak begitu rapat, dalam tutur kata juga tidak cocok, tapi selamanya aku tidak pernah punya maksud mencelakai dia. Tuhan sebagai saksi, bila aku Kiau Hong ada niat mencelakai Be-hupangcu, biarlah aku hancur lebur dicencang dan selamanya aku akan dikutuk setiap kesatria di jagat ini. Melihat sikap Kiau Hong yang sungguh-sungguh dan penuh semangat kesatria itu, maka tiada seorang pun yang berprasangka lagi padanya. Tapi Coan Koan-jing lantas berkata lagi, Jika begitu, tujuan kita datang ke Koh-soh sini untuk menuntut balas kepada Buyung-kongcu, mengapa berulang-ulang engkau bersekongkol dengan musuh? Ia tuding Giok-yan bertiga, lalu melanjutkan, Ketiga orang ini adalah anak keluarga Buyung Hok dan engkau malah membelanya. Ia tuding Toan Ki pula dan berkata, Dan orang ini adalah kawan Buyung Hok,

engkau justru mengangkat saudara dengan dia .... Bukan, bukan! demikian seru Toan Ki menirukan lagu Pau Put-tong sambil goyang-goyang kedua tangannya. Aku bukan kawan Buyung Hok, sedangkan macam apa Buyung Hok itu, apakah dia bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu. Pau Put-tong, itu orang yang suka bukan-bukan adalah Cengcu Pek-in-ceng merupakan bawahan Buyung Hok, It-tin-hong Hong Po-ok juga pengikut Buyung Hok yang mengepalai Jik-sia-ceng, demikian Coan Koan-jing berkata pula. Kalau mereka tidak tertolong olehmu, sudah sejak tadi yang satu mati keracunan dan yang lain binasa tercencang. Kejadian tadi telah disaksikan orang banyak, dalam hal ini apakah engkau mampu menyangkal? Sudah ratusan tahun sejarah Kay-pang kita dan selama itu selalu mendapat dukungan dan dihormati sesama orang Kangouw, sebabnya bukan karena menang pengaruh atau menang pintar, tapi karena kita senantiasa berbuat kebajikan, suka membela kaum lemah dan menegakkan keadilan, kata Kiau Hong dengan perlahan. Coan-thocu, engkau menuduh aku membela ketiga nona itu, memang benar aku telah membela mereka, hal itu disebabkan aku ingin menjaga nama baik Kay-pang yang sudah bersejarah ratusan tahun ini agar tidak sampai ditertawai kawan Kangouw bahwa para Tianglo Kay-pang mengeroyok tiga orang nona lemah. Coba pikirkan, Song, Ge. Tan dan Go berempat tianglo adalah kaum locianpwe yang disegani, masakah nama baik mereka tidak harus dijaga? Mungkin engkau memang tidak, tapi orang lain tak dapat membiarkan nama baik mereka tercemar. Mendengar jawaban Kiau Hong ini, semua orang merasa cukup beralasan juga. Bila beramai-ramai mereka mempersulit ketiga nona seperti Giok-yan dan hal ini tersiar, memang nama baik Kay-pang pasti akan tercemar. Nah, Coan Koan-jing, apa yang dapat kau katakan lagi? tanya Pek-tianglo kemudian. Lalu ia berpaling kepada Kiau Hong dan berkata pula, Pangcu, manusia yang tidak kenal adat begini, buat apa banyak bicara dengan dia, biarlah jatuhkan hukuman yang setimpal menurut peraturan saja. Sabar dulu, ujar Kiau Hong. Menurut dugaanku, sebabnya Coan-thocu dapat memengaruhi orang sebanyak ini untuk melawan diriku, tentu dia mempunyai alasan yang teguh. Seorang laki-laki sejati, segala tindakan harus dilakukan secara blakblakan, kalau salah biar salah, aku Kiau Hong selamanya tidak pernah menyembunyikan sesuatu perbuatan yang tak boleh diketahui orang lain, andaikan ada kesalahanku, biarlah para saudara suka katakan terus terang. Pangcu, tiba-tiba Go-tianglo menyela dengan menghela napas, mungkin engkau adalah seorang durjana besar yang pintar berlagak, boleh jadi engkau adalah seorang kesatria sejati pula. Tapi aku Go Tiang-hong sudah terang tidak dapat membeda-bedakannya. Maka lebih baik lekas kau bunuh diriku saja. Kiau Hong menjadi heran dan curiga, tanyanya cepat, Go-tianglo, mengapa engkau bilang aku mungkin seorang durjana? Hal apakah yang menyebabkan engkau men ... mencurigai aku? Namun Go Tiang-hong menggeleng kepala, sahutnya, Kalau diceritakan, urusan ini akan sangat luas sangkutannya, sebenarnya kami ingin membunuhmu agar selesailah urusannya. Keruan Kiau Hong tambah bingung oleh ucapan kakek itu. Mengapa? Ada apa?

Demikian ia bergumam sendiri. Lalu ia mendongak dan berseru, Apakah karena aku telah menolong dua pembantu Buyung Hok, lantas kalian mendakwa aku bersekongkol dengan dia? Soalnya memang begitu atau tidak, saat ini masih sukar diputuskan. Tapi menurut perasaanku, aku tetap yakin tewasnya Be-hupangcu bukan dibunuh oleh Buyung Hok. Dari mana kau tahu? tanya Coan Koan-jing. Pertanyaan ini tadi sudah pernah diajukannya, tapi karena terseling banyak kejadian lain, maka belum terjawab, dan baru sekarang pertanyaannya dapat diulang lagi. Sebab kupikir Buyung Hok adalah seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tidak nanti dia turun tangan membunuh Be-jiko, sahut Kiau Hong kemudian. Mendengar Kiau Hong memuji Buyung Hok, hati Giok-yan merasa senang, diam-diam ia pun pikir Kiau-pangcu ini benar-benar seorang yang baik. Sebaliknya Toan Ki berpikir lain, dengan kening bekernyit ia anggap pujian sang toako ini mungkin tidak benar, belum tentu Buyung Hok itu seorang kesatria apa segala? Maka terdengarlah Coan Koan-jing berkata pula, Selama dua bulan ini, jago-jago Kangouw yang terbunuh berjumlah tidak sedikit, dan setiap orang itu selalu terbinasa di bawah kungfu andalannya sendiri. Hal ini kalau bukan perbuatan Buyung-si dari Koh-soh, lantas perbuatan siapa? Tiba-tiba Kiau Hong berjalan mondar-mandir perlahan di tengah kalangan sambil bicara dengan suara tenang, Saudara-saudara sekalian, kemarin malam ketika aku sedang minum arak di rumah makan Bong-kan-lau di tepi sungai Tiangkang di kota Kang-im, aku bertemu dengan seorang sastrawan setengah umur yang ternyata mampu minum sepuluh mangkuk arak sekaligus tanpa mabuk sedikit pun. Sungguh kuat cara minumnya dan benar-benar seorang lelaki sejati. Diam-diam Toan Ki tersenyum geli, katanya di dalam hati, Kiranya kemarin malam Toako sudah berlomba minum arak dengan orang. Dan karena orang itu sangat kuat minum, cara minumnya sederhana, lantas dia merasa senang serta memuji orang sebagai lelaki sejati, padahal semua orang tidak dapat disamaratakan. Dalam pada itu Kiau Hong sedang menyambung ceritanya, Maka telah kuajak minum tiga mangkuk dengan dia, ketika berbicara tentang tokoh-tokoh di daerah Kanglam, dia menyombongkan diri bahwa tenaga pukulannya nomor satu di daerah Kanglam. Maka lantas kuajak dia bertanding tiga kali pukulan. Pukulan pertama dan kedua dapat dia tangkis dengan sama kuatnya, tapi pukulan ketiga telah membuat mangkuk yang dipegang tangan kirinya pecah tergetar dan remukan beling mangkuk melukai mukanya hingga berdarah. Tapi dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa ia berkata, Sayang, sayang semangkuk arak yang bagus ini! Aku merasa senang padanya, maka pukulan keempat tidak kulakukan lagi. Kataku, Tenaga pukulan saudara memang sangat hebat, sebutan Kanglam-te-it (nomor satu di Kanglam) memang sesuai. Ia menjawab, Kanglam-te-it, tapi Thian-he-te-cap (nomor sepuluh di dunia).

Ujarku, Hengtay tidak perlu rendah diri, walaupun bukan nomor satu, tapi nomor lima atau nomor enam di dunia ini pasti jadi. Tiba-tiba ia berkata, Kiranya Pangcu dari Kay-pang yang tiba, Hang-liong-sip-pat-ciang memang bukan omong kosong, marilah ingin kuhormati engkau satu mangkuk lagi. Segera kami minum pula masing-masing tiga mangkuk. Ketika hendak berpisah telah kutanya namanya, ia mengatakan she Kongya, namanya cuma satu, Kian, artinya kering, kalau minum pasti kering isi cawannya. Nama aliasnya ialah Lan-cui (susah mabuk). Ia mengaku sebagai pengikut Buyung-kongcu dan menjabat sebagai Cengcu Hian-siang-ceng, aku telah diundang ke tempat tinggalnya untuk minum lagi. Nah, coba katakan, saudara-saudara, pribadi laki-laki seperti itu bagaimana menurut pendapat kalian? Pantas diajak bersahabat tidak? Watak Go-tianglo paling jujur dan suka terus terang, maka segera ia acung jempolnya dan berseru, Kongya Kian itu benar-benar seorang laki-laki sejati dan sobat baik. Pangcu, kapan-kapan harap engkau suka memperkenalkannya kepadaku. Ia lupa bahwa dirinya adalah orang hukuman yang diringkus dan sebentar lagi mungkin akan mendaftarkan diri kepada raja akhirat. Tapi demi mendengar cerita tentang seorang kesatria, seorang laki-laki sejati, tanpa terasa ia mengutarakan perasaan kagumnya serta ingin berkenalan. Kiau Hong tersenyum, diam-diam ia merasa gegetun seorang yang polos sebagai Go-tianglo itu ternyata ikut tersangkut di dalam komplotan pengkhianatan ini. Entah bagaimana nasibnya nanti di bawah keputusan Pek-tianglo yang keras dan tidak pandang bulu itu? Kemudian bagaimana, Pangcu? tiba-tiba Song-tianglo ikut tanya. Setelah berpisah dengan Kongya Kian, aku terus menuju ke Bu-sik sini, tutur Kiau Hong pula. Menjelang petang, tiba-tiba kudengar suara pertengkaran dua orang yang berdiri di atas sebuah jembatan kecil. Tatkala itu hari sudah mulai gelap, tapi kedua orang itu masih bertengkar di situ, aku heran dan coba mendekatinya. Jilid 24. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/7/12 (2186 reads) Kiranya jembatan itu adalah sebuah tok-bok-kip (jembatan balok kayu tunggal) yaitu hanya selonjor balok yang menghubungkan ujung sini dengan seberang sana. Di sebelah sini berdiri seorang laki-laki berbaju hitam dan sebelah sana berdiri seorang desa sambil memikul satu pikulan rabuk kotoran. Rupanya kedua orang itu bertengkar karena berebut hak jalan lebih dulu. Si orang desa menyatakan dia membawa pikulan yang berat, tidak mungkin mundur, maka laki-laki berbaju hitam itu disuruh memberi jalan dulu. Tapi laki-laki baju hitam itu menjawab, Sejak tadi kita saling ngotot sampai sekarang, biarpun ngotot lagi sampai besok juga aku takkan mengalah. Si orang desa berkata, Jika kau tahan bau busuk kotoran pikulanku ini, boleh coba kau ngotot terus. Pundakmu dibebani pikulan seantap itu, jika engkau tidak lelah, boleh coba, kita lihat saja siapa lebih tahan lama, demikian

sahut si laki-laki baju hitam. Sudah tentu aku merasa geli menyaksikan peristiwa itu, pikirku watak laki-laki baju hitam ini benar-benar sangat aneh, asal dia mundur dulu dan memberi jalan kepada orang desa itu, kan segala urusan menjadi beres, tapi ia justru ngotot berebut jalan dengan orang desa yang memikul kotoran untuk rabuk sawah itu, apanya yang menarik sih? Dan dari ucapan mereka itu, nyata mereka sudah saling ngotot lebih satu jam lamanya. Tertarik oleh kejadian lucu itu, aku menjadi ingin tahu bagaimana akhirnya pertengkaran mereka itu, apakah akhirnya laki-laki baju hitam itu yang menyerah atau si orang desa yang mengaku kalah? Tapi aku tidak sudi mencium bau busuk kotoran yang dipikul orang desa itu, maka aku bersembunyi di tempat agak jauh, kudengar kedua orang itu masih terus bertengkar tak mau kalah. Orang desa itu benar-benar sangat kuat, kalau capek ia pindahkan pikulannya dari pundak kiri ke pundak kanan dan sebaliknya secara bergiliran, namun selangkah pun ia pantang mundur. Mendengar sampai di sini, Toan Ki coba memandang Giok-yan, A Cu, dan A Pik bertiga. Ternyata ketiga nona itu sedang mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa sangat tertarik. Diam-diam Toan Ki membatin, Toako ini benar-benar rada aneh tabiatnya, menghadapi suasana yang tegang di tengah pengkhianatan anggota Kay-pang, ternyata dia masih bisa iseng menceritakan hal-hal yang tiada sangkut pautnya dengan kepentingannya itu. Ceritanya bagi nona Ong bertiga sudah tentu menarik, tapi Kiau-toako yang gagah kesatria seperti ini mengapa juga masih kekanak-kanakan sifatnya? Akan tetapi tidak cuma Giok-yan bertiga saja yang tertarik oleh cerita Kiau Hong itu, sebab semua anggota Kay-pang yang hadir di situ tampaknya juga sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, sama sekali tidak merasa cerita Kiau Hong itu sebagai dongengan kosong. Maka Kiau Hong telah melanjutkan, Setelah mengikuti kejadian itu sebentar, lambat laun aku terkejut, kulihat laki-laki baju hitam yang berdiri di atas jembatan balok itu tetap menegak bagai gunung antengnya, terang ia seorang yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Sebaliknya orang desa itu hanya seorang biasa saja, sedikit pun tidak paham ilmu silat. Makin melihat makin heran aku, kupikir ilmu silat laki-laki baju hitam ini begini hebat, asal dia gunakan sebuah jarinya saja sudah cukup untuk dorong orang desa berikut pikulannya terguling ke dalam sungai, akan tetapi ia justru tidak mau menggunakan ilmu silatnya. Pada umumnya jago silat setinggi itu seharusnya seorang yang sabar dan peramah, umpama tidak mau mengalah cukup sekali melompat saja sudah dapat lewat ke seberang sana dengan melintasi kepala orang desa itu, hal ini dengan mudah dapat dilakukannya, tapi mengapa dia justru cari gara-gara dengan orang desa itu? Sungguh aneh dan menggelikan! Dalam pada itu kudengar laki-laki baju hitam itu lagi berseru, Ayo, kau mau mengalah atau tidak, kalau tidak, terpaksa aku memaki! Tapi orang desa itu tetap ngotot, sahutnya, Mau maki boleh maki. Kau bisa memaki, memangnya aku tidak bisa? Bahkan ia terus memaki lebih dulu. Maka

laki-laki baju hitam itu pun balas memaki kalang kabut. Ramai sekali mereka saling caci maki, dari yang halus sampai yang paling kotor, yang lucu dan yang aneh-aneh, semuanya mereka keluarkan. Kira-kira satu jam pula perang mulut itu berlangsung, sementara itu si orang desa tampak agak payah, tenaga habis dan keringat mengucur. Sebaliknya laki-laki baju hitam itu sangat kuat tenaga dalamnya, ia tetap bertahan dengan penuh semangat. Kulihat badan si orang desa mulai bergoyang-goyang, tampaknya tidak lama lagi tentu ia akan kecebur ke dalam sungai. Tak tersangka, mendadak orang desa itu mencelupkan sebelah tangannya ke dalam tong kotoran yang dia pikul itu, ia meraup satu comot kotoran terus dilemparkan ke arah laki-laki baju hitam. Sudah tentu laki-laki baju hitam sama sekali tidak menduga akan perbuatan lawan itu, ia berseru kaget, kontan mukanya dan mulutnya penuh terciprat air kotoran. Diam-diam aku mengeluh orang desa itu pasti bakal celaka, ia mencari mati sendiri dan tak bisa menyalahkan laki-laki baju hitam itu. Benar juga laki-laki itu menjadi murka, sekali angkat tangannya, terus saja menabok ubun-ubun kepala orang desa itu. Mendengar sampai di sini, rupanya saking tertarik oleh cerita Kiau Hong itu hingga mulut Giok-yan yang kecil mungil itu tampak agak melongo. Sedangkan A Cu dan A Pik tampak saling pandang dengan tersenyum. Kiau Hong sedang melanjutkan, Kejadian itu datangnya terlalu mendadak, hendak kutolong orang desa itu pun tidak keburu lagi. Tak terduga ketika tangan laki-laki itu sudah dekat batok kepala orang desa itu, tiba-tiba ia hentikan serangannya hingga tangan tertahan di udara. Ia tertawa dan bertanya, Lauhia (saudara), engkau bertanding ketekunan denganku, sebenarnya siapakah yang menang, ha? Tapi orang desa itu ternyata sangat bandel, sudah terang ia kalah, namun tetap tidak mau mengaku, sahutnya, Aku memikul barang berat, sudah tentu kau lebih tahan. Coba kau bawa pikulan dan aku berdiri dengan bebas, marilah kita boleh coba-coba lagi siapa yang menang dan siapa yang akan kalah? Benar juga ucapanmu, sahut laki-laki itu. Terus saja dengan tangan kiri ia angkat pikulan dari pundak si orang desa, ia tidak taruh pikulan itu di pundak sendiri, tapi terus diangkat tinggi ke atas dengan tangan lurus tegak. Meski orang desa itu tidak paham ilmu silat namun tenaganya sebenarnya sangat besar. Demi tampak laki-laki itu mampu angkat pikulannya yang berat itu dengan sebelah tangan tanpa bergoyang sedikit pun, mau tak mau orang desa itu ternganga kaget. Nah, biar aku angkat pikulanmu ini cara begini dan takkan berganti tangan, marilah kita coba bertanding lagi, siapa yang kalah nanti harus minum habis kotoran satu pikul ini! demikian kata laki-laki itu dengan tertawa. Keruan orang desa itu tidak berani bertengkar lagi demi menyaksikan betapa hebat tenaga sakti laki-laki itu, buru-buru ia hendak mundur ke belakang. Tapi saking gugupnya ia terpeleset hingga tercemplung ke dalam sungai. Syukur laki-laki baju hitam sempat ulur sebelah tangannya untuk menjambret leher baju orang desa itu. Dan sambil sebelah tangan mengangkat pikulan kotoran dan tangan lain menjinjing orang desa itu, laki-laki itu terbahak-bahak dan berseru, Hahaha! Sungguh puas! Habis itu sekali lompat ia sudah sampai di seberang

sungai dengan enteng. Ia taruh orang desa dan pikulannya ke tanah, lalu tinggal pergi dan menghilang di dalam hutan dengan ginkang yang tinggi. Nah, saudara-saudara, laki-laki baju hitam itu telah dicaci maki oleh orang desa itu, bahkan telah disiram air kotoran, kalau ia mau membunuhnya boleh dikatakan semudah menggecek seekor semut. Seumpama dia tidak ingin sembarangan membunuh orang, paling tidak ia dapat memberi sekali gebukan atau tendangan kepada orang desa itu pun pantas rasanya. Akan tetapi ia justru tidak mau main kekerasan, tidak mau mentang-mentang lebih pandai, sifat laki-laki itu benar-benar luar biasa, sungguh sukar dicari bandingannya di kalangan Bu-lim. Saudara-saudara, kejadian itu telah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, jarak tempat kusembunyi waktu itu agak jauh, rasanya tidak mungkin aku diketahui olehnya hingga dia sengaja berbuat apa yang terjadi itu untuk mengelabui pikiranku. Coba katakanlah, saudara-saudara, orang begitu terhitung kawan pilihan tidak? Termasuk seorang laki-laki sejati bukan? Song-tianglo, Ge-tianglo dan Go-tianglo serentak menjawab, Benar, dia seorang kawan pilihan, seorang laki-laki sejati! Tapi sayang Pangcu tidak tahu siapa namanya, Tan-tianglo juga berkata, kalau tahu, tentu kita pun ingin tahu bahwa di daerah Kanglam sini ternyata ada seorang tokoh sehebat itu. Kawan itu tadi malahan sudah saling gebrak dengan Tan-tianglo sendiri, sahut Kiau Hong perlahan. Bahkan tangannya kena diantup oleh kalajengking Tan-tianglo. Hah, dia It-tin-hong Hong Po-ok? seru Tan-tianglo terperanjat. Benar! sahut Kiau Hong sambil mengangguk. Dan baru sekarang Toan Ki paham sebabnya Kiau Hong mendongeng, tujuannya adalah ingin melukiskan secara nyata watak Hong Po-ok yang sejati, bahwa manusia itu tidak boleh dinilai dari lahirnya, bahwa wajah bagus belum tentu juga berhati baik. Biarpun muka Hong Po-ok itu jelek, lebih mirip setan daripada manusia, suka cari gara-gara dan berkelahi pula, tapi jiwanya ternyata sangat luhur dan bajik. Dari itu juga Toan Ki paham mengapa Giok-yan, A Cu dan A Pik begitu tertarik oleh cerita itu, sudah tentu disebabkan mereka tahu siapa yang dimaksudkan karena kenal watak Hong Po-ok yang suka bertengkar dengan orang tanpa sebab, tapi juga tidak nanti sembarangan membikin susah orang. Dalam pada itu terdengar Kiau Hong sedang berkata pula, Nah, Tan-tianglo, kita selalu anggap Kay-pang kita adalah suatu pang-hwe terbesar di dunia Kangouw, engkau sendiri adalah tokoh utama Kay-pang kita, kedudukan dan nama baikmu sudah tentu tak dapat disejajarkan dengan seorang keroco daerah Kanglam seperti Hong Po-ok itu. Tapi Hong Po-ok sesudah dihina toh masih bisa menjaga harga diri dari tidak mau sembarangan membikin susah orang lain, masakah tokoh-tokoh Kay-pang kita mesti kalah daripada dia? Muka Tan-tianglo menjadi merah, sahutnya, Ajaran Pangcu memang tepat. Engkau suruh aku memberikan obat penawar padanya, kiranya adalah demi

kehormatanku. Untuk itu Tan Put-peng tidak tahu maksud baik Pangcu, sebaliknya malah merasa tidak senang. Sungguh aku ini goblok seperti kerbau. Nama baik Kay-pang kita dan kehormatan Tan-tianglo adalah soal kedua, yang paling utama adalah orang persilatan seperti kita ini dilarang keras membunuh sesamanya yang tak berdosa, ujar Kiau Hong. Biarpun Tan-tianglo umpamanya bukan tokoh Kay-pang kita dan bukan jago tersohor di Bu-lim, juga tidak boleh sembarangan mencelakai orang. Ya, Tan Put-peng sekarang insaf telah berbuat salah, sahut Tan-tianglo sambil menunduk. Melihat uraiannya itu dapat menundukkan Tan Put-peng yang terhitung paling angkuh di antara Su-tay-tianglo itu, tentu saja Kiau Hong sangat senang, perlahan katanya pula, Kongya Kian sangat kesatria, Hong Po-ok dapat membedakan di antara salah dan benar, sedangkan Pau Put-tong itu suka terus terang dan bebas, sekalipun ketiga nona ini pun sangat ramah dan bajik. Mereka ini kalau bukan bawahan Buyung-kongcu tentu adalah sanak keluarganya. Kata peribahasa, Binatang itu hidup berkumpul menurut jenis masing-masing, manusia hidup terpisah menurut kelompok sendiri-sendiri. Cobalah para saudara mengheningkan cipta dan pikirlah secara tenang, sedangkan orang-orang yang bergaul setiap hari dengan Buyung-kongcu itu adalah orang-orang yang telah kita kenal ini, lantas dia sendiri apa mungkin seorang durjana yang mahajahat, seorang pengecut yang rendah dan kotor? Tokoh-tokoh dalam Kay-pang itu adalah kesatria yang mengutamakan setia kawan dan cinta sahabat, setelah mendengarkan cerita Kiau Hong, semuanya merasa pendapat sang pangcu yang membela kehormatan Buyung Hok itu cukup beralasan, maka terdengarlah banyak suara yang menyatakan persetujuan mereka. Sebaliknya Coan Koan-jing lantas berkata, Pangcu, jadi menurut pendapatmu, pembunuh Be-hupangcu sudah pasti bukan Buyung Hok? Aku tidak berani memastikan Buyung Hok adalah pembunuh Be-hupangcu, tetapi juga tidak berani mengatakan dia pasti bukan pembunuhnya, sahut Kiau Hong. Urusan menuntut balas ini kita tidak boleh bertindak gegabah, tapi harus mengusutnya secara teliti, bila cuma berdasarkan kepada dugaan saja hingga salah membunuh orang baik, sebaliknya pembunuh yang sebenarnya hidup bebas, tentu dia akan menertawai Kay-pang kita terlalu goblok. Dan kalau demikian, bukankah sangat memalukan? Sejak tadi Thoan-kong Tianglo Hang Po-hoa mengelus-elus jenggotnya yang jarang-jarang ini memang beralasan, sangat beralasan. Aku dahulu, pernah aku salah membunuh seorang senantiasa mengganjal dalam hatiku sampai berdiri diam saja, kini ia itu sambil berkata, Ehm, ucapan jadi teringat pada pengalamanku yang tak berdosa, hal mana sekarang.

Pangcu, tiba-tiba Go-tianglo berseru, sebabnya kami mengkhianati engkau adalah disebabkan mudah percaya ocehan orang, katanya engkau tidak sepaham dengan Be-hupangcu dan diam-diam bersekongkol dengan begundalnya Buyung Hok untuk membinasakan dia, ditambah lagi urusan kecil lain-lain sehingga kami percaya begitu saja. Tapi kini setelah dipikir, memang kami yang terlalu gegabah dan sembrono. Maka Cit-hoat Tianglo silakan keluarkan hoat-to (golok hukuman) dan membiarkan kami membereskan diri sendiri menurut undang-undang organisasi kita. Dengan air muka membeku Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia berkata, Cit-hoat-tecu,

keluarkan hoat-to! Segera sembilan anak buahnya mengiakan berbareng. Lalu dari kantong masing-masing dikeluarkannya sebuah bungkusan kain kuning yang sudah tua. Sembilan bungkusan itu ditaruhnya menjadi satu, kemudian mereka berseru serentak, Hoat-to sudah siap, sudah diperiksa dengan betul! Segera mereka membuka bungkusan masing-masing itu. Seketika Toan Ki merasa silau oleh sembilan bilah belati yang gemilapan dan tertaruh sejajar di depan situ. Belati-belati itu sama panjangnya, mata pisau mengeluarkan sinar gilap bersemu kebiru-biruan, sekali pandang saja pasti orang akan tahu bahwa belati-belati itu adalah senjata yang sangat tajam. Sambil menghela napas, berkatalah Pek Si-kia, Song, Ge, Tan dan Go berempat tianglo telah kena dihasut orang dan berusaha hendak memberontak kepada pimpinan dan membahayakan kekuatan Kay-pang kita. Dosa mereka harus dihukum mati. Tay-ti-hun-tho Thocu Coan Koan-jing, menyebarkan cerita bohong dan sengaja menghasut untuk berkhianat, dosanya juga harus dihukum mati. Tentang anak murid yang ikut serta dalam komplotan durhaka ini, semuanya akan mendapat hukuman setimpal, untuk itu kelak akan diusut dan diputuskan tersendiri-sendiri. Pada waktu Pek-tianglo mengumumkan keputusan hukumnya, semua orang diam saja. Hal ini dapat dimengerti karena komplotan itu bertujuan menggulingkan sang pangcu dan dosa itu pantas dihukum mati, mata tiada seorang pun berani menyatakan keberatannya atas keputusan hukuman itu. Bagi yang ikut serta dalam komplotan itu, juga sebelumnya sudah tahu akan akibat tersebut. Begitulah Go Tiang-hong segera mendahului maju ke hadapan Kiau Hong, ia membungkuk memberi hormat, katanya, Pangcu, Go Tiang-hong bersalah padamu dan siap membereskan diri sendiri, mohon engkau suka memaafkan kekurangajaranku. Habis itu, ia berjalan ke depan barisan hoat-to tadi dan berseru, Go Tiang-hong siap membunuh diri, silakan Cit-hoat-tecu membuka tali ringkusanku. Salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil bertindak maju hendak membuka tali pengikat Go-tianglo itu, mendadak Kiau Hong berseru, Nanti dulu! Pangcu, kata Go-tianglo dengan suara lemah dan muka pucat, dosaku teramat besar dan engkau melarangku bunuh diri sendiri? Kiranya di dalam undang-undang Kay-pang ada satu pasal yang menentukan bahwasanya bila pelanggar hukum organisasi itu membunuh diri, sesudah mati dosanya berarti sudah tercuci bersih dan kehormatannya tetap tak ternoda. Segala dosanya juga disiarkan keluar, kalau ada orang Kangouw membicarakan dosanya, orang Kay-pang akan bertindak untuk membelanya malah. Hal ini sesuai dengan jiwa orang Bu-lim yang sangat mengutamakan nama baik, sesudah mati juga nama baiknya tidak boleh dihina orang. Sebab itulah maka Go-tianglo merasa gugup ketika melihat Kiau Hong melarang dia membunuh diri untuk menebus dosanya. Dan ternyata Kiau Hong tidak menjawabnya melainkan terus mendekati deretan belati tadi dan berkata, Lima belas tahun yang lalu ketika mendadak pasukan berkuda bangsa Cidan menyerbu Gan-bun-koan, kabar itu diketahui Song-tianglo,

selama tiga hari empat malam beliau tidak makan dan tidur terus menempuh perjalanan pulang ke tanah air untuk memberitahukan berita genting itu, di tengah jalan ia ganti sembilan ekor kuda yang mati saking lelah, saking capeknya beliau sampai muntah darah. Namun begitu, berita yang beliau bawa itu telah memberi kesempatan kepada tentara Song kita untuk bersiap-siap menghadapi musuh sehingga pasukan Cidan akhirnya terpaksa mengundurkan diri. Jasa mahabesar bagi nusa dan bangsa itu meski tidak banyak diketahui orang Kangouw, tapi setiap anggota Kay-pang kita cukup mengetahuinya. Nah, Cit-hoat Tianglo, atas jasa Song-tianglo itu, mohon kebijaksanaanmu agar mengizinkan beliau menebus dosanya dengan jasa yang pernah dia persembahkan itu. Pangcu memintakan ampun bagi Song-tianglo dengan alasan yang cukup kuat, ujar Pek Si-kia. Tetapi undang-undang Kay-pang kita menyatakan, dosa pengkhianatan betapa pun tidak dapat diampuni, sekalipun pernah berjasa besar juga tak dapat menebus kesalahannya itu. Ketetapan ini diadakan demi untuk menjaga agar tiada anggota yang menganggap dirinya berjasa, lalu membahayakan organisasi kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini. Sebab itu, permintaan Pangcu tadi tidak dapat diterima oleh tata tertib organisasi, terpaksa kita tidak dapat merusak undang-undang warisan pangcu kita yang terdahulu. Ucapan Cit-hoat Tianglo memang benar, ujar Song-tianglo sambil bangkit dan tersenyum getir. Sebagai tertua dalam pang kita, siapa orangnya yang tidak banyak berjasa? Bila setiap orang minta ganti jasa, lantas bagaimana jadinya, bukankah setiap orang boleh berbuat sewenang-wenang untuk kemudian minta dibebaskan karena pernah berjasa? Dari itu, harap Pangcu suka kasihan pada diriku, izinkanlah kubunuh diri. Habis berkata, mendadak terdengar suara prak-prak dua kali, tali kulit yang mengikat tangan dan kaki tahu-tahu putus semua. Keruan para pengemis terperanjat melihat sekali bergerak saja Song-tianglo dapat memutuskan tali kulit yang sangat ulet itu, maka dapat dibayangkan betapa lihai tenaga dalamnya, dan begitu membebaskan diri, terus saja Song-tianglo hendak ulur tangan mengambil sebilah belati guna membunuh diri. Tak terduga baru tubuh membungkuk sedikit tahu-tahu satu arus tenaga yang halus tapi kuat menolak ke arahnya hingga ia dirintangi berjongkok. Meski tangannya sudah terulur, tapi tak dapat memegang belati yang tinggal belasan senti jauhnya itu. Nyata Kiau Hong yang telah bertindak mencegahnya. Wajah Song-tianglo berubah pucat seketika, serunya, Pangcu, jadi engkau juga ... juga .... Tiba-tiba Kiau Hong sambar sebilah belati di antara deretan hoat-to itu. Ya, memangnya salahku karena timbul niatku hendak membunuhmu, maka sudah sepantasnya sekarang engkau melaksanakan hukuman atas dosaku itu, demikian kata Song-tianglo dengan menghela napas. Segera sinar belati berkelebat, crat, bukannya Song-tianglo yang menerima hukuman mati, sebaliknya Kiau Hong tikam bahu kiri sendiri dengan belati itu. Keruan para pengemis menjerit kaget, serentak mereka berbangkit. Begitu pula Toan Ki ikut terkejut, Toako, kenapa? serunya.

Bahkan Giok-yan yang merupakan orang di luar garis juga ikut terperanjat oleh peristiwa di luar dugaan itu, tanpa terasa ia pun berseru, Kiau-pangcu, jangan .... Namun pasal kalau untuk Kiau Hong lantas bicara, Pek-tianglo, undang-undang kita juga ada satu yang menyatakan, Setiap dosa anggota tidak boleh sembarangan diampuni, Pangcu hendak mengampuni, dia sendiri harus mengalirkan darah dulu mencuci bersih dosa si anggota. Ada tidak pasal demikian?

Ya, memang ada satu pasal demikian dalam undang-undang kita, sahut Pek Si-kia dengan wajah tetap kaku tanpa perasaan. Tapi Pangcu perlu juga menimbang dahulu apakah ada harganya untuk mengalirkan darah buat mencuci dosa orang? Asal tidak melanggar undang-undang warisan leluhur sudah cukup, ujar Kiau Hong. Lalu ia berpaling dan berkata kepada Ge-tianglo, Ge-tianglo dahulu telah mengajar ilmu silat padaku, meski tiada hubungan perguruan, tapi sesungguhnya seperti guru. Hal ini boleh dikatakan urusan pribadiku. Lebih dari itu, mengingat dahulu waktu Ong-pangcu ditawan lima jago terkemuka negeri Cidan, beliau telah dikurung di dalam gua Hek-hong-tong, beliau dipaksa agar menyerah kepada Cidan, tapi berkat Ge-tianglo yang telah rela menyaru sebagai Ong-pangcu untuk menghadapi segala bahaya hingga Ong-pangcu sendiri dapat lolos dengan selamat. Jasanya bagi Kay-pang kita dan demi nusa dan bangsa yang mahabesar itu, betapa pun harus kubebaskan kesalahannya sekarang ini. Sembari berkata, kembali ia sambar hoat-to kedua, ia potong dulu tali pengikat Ge-tianglo itu, menyusul belati itu menikam, lagi-lagi belati itu menancap di bahu sendiri. Dengan tenang sinar mata Kiau Hong beralih ke arah Tan-tianglo. Tan-tianglo itu biasanya berjiwa sempit, dahulu telah berbuat sesuatu yang berdosa terhadap keluarga sendiri, maka ia ganti nama dan masuk ke Kay-pang, untuk mana ia paling sirik bila ada yang coba mengorek-ngorek boroknya itu, maka selama ini ia tiada hubungan rapat dengan Kiau Hong. Kini melihat sinar mata Kiau Hong memandang kepadanya, segera ia mendahului berseru, Kiau-pangcu, aku tiada hubungan baik apa-apa denganmu, biasanya lebih banyak selisih paham dengan engkau, maka aku pun tidak berani terima budi pertolonganmu! Sekonyong-konyong kedua tangannya yang terikat di belakang itu terangkat ke atas terus membalik itu depan dengan tetap terikat tali kulit. Ternyata Thong-pi-kun-kang yang diyakinkan Tan-tianglo sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya, kedua lengannya dapat mulur-mengkeret dengan bebas. Maka begitu tangan menjulur pula, sebilah hoat-to sudah disambarnya. Namun Kiau Hong sempat bergerak, dengan Kim-liong-kang (ilmu menangkap naga) yang lihai dan cepat, dengan mudah saja belati itu dirampasnya. Katanya dengan suara nyaring, Tan-tianglo, aku Kiau Hong adalah seorang laki-laki kasar, tidak suka pada orang yang sok hati-hati tindak tanduknya, juga tidak menyukai orang yang tidak minum arak dan tidak mau tertawa, tetapi hal ini adalah watak pembawaan setiap orang, tak dapat disebut baik atau busuk. Watakku sendiri tidak cocok denganmu, biasanya jarang bicara dengan baik. Aku pun tidak suka pada perilaku Be-hupangcu, bila berhadapan, sedapat mungkin aku ingin menghindar pergi, aku lebih suka pergi minum arak dan makan daging anjing bersama anak murid rendahan yang berkantong satu atau dua. Watakku ini telah dikenal semua orang, untuk mengubah watak sendiri terang

tidak mungkin. Tapi jika sebab itu engkau mengira aku dendam dan ingin melenyapkan engkau dan Be-hupangcu, sungguh salah besar pikiran kalian ini. Tentang kalian tidak minum arak dan tidak makan barang berjiwa itu adalah kebaikan kalian, aku Kiau Hong mengaku tidak dapat menyamai kalian. Berkata sampai di sini, tiba-tiba belati ketiga pun ditikamkan ke bahu sendiri, lalu sambungnya, Jasamu membunuh Yalu Puru, itu panglima besar negeri Cidan, mungkin tak diketahui orang luar, tapi masakah aku tidak tahu? Seketika ramailah suara heran para pengemis tercampur suara memuji dan kagum. Kiranya tahun yang lalu waktu negeri Cidan menyerbu ke wilayah Tiongkok secara besar-besaran, mendadak beberapa panglimanya yang terkemuka telah binasa, karena alamat itu dirasakan tidak baik, akhirnya pasukan Cidan itu ditarik mundur hingga kerajaan Song terhindar dari bencana. Dan di antara panglima yang mati mendadak itu terdapat Yalu Puru yang terkemuka. Kejadian itu kecuali beberapa tokoh tertentu dalam Kay-pang, orang lain tiada yang tahu bahwa jasa itu adalah hasil karya Tan-tianglo. Kini dirinya dipuji Kiau Hong di depan orang banyak, betapa pun siriknya Tan-tianglo kepada sang pangcu, mau tak mau ia menjadi terhibur. Hendaklah diketahui bahwa selama ini Kay-pang menjalankan kewajiban sebagai anak negeri dan membantu kerajaan Song melawan kaum penjajah dari luar, cuma cara pergerakan mereka dilakukan dengan diam-diam atau di bawah tanah, baik perjuangan mereka berhasil atau gagal, selama ini tidak pernah siarkan, sebab itulah jarang orang tahu perjuangan Kay-pang yang patriotik itu. Tan-tianglo aslinya bernama Tan Put-peng, biasanya sangat angkuh, terutama karena usianya lebih tua dan sejarahnya dalam Kay-pang lebih lama daripada Kiau Hong, maka sikapnya pada sang pangcu itu tidak terlalu hormat. Hal itu cukup diketahui oleh anggota Kay-pang yang lain. Tapi kini ternyata Kiau Hong tidak pikirkan perselisihan pribadi, sebaliknya rela mengalirkan darah sendiri untuk menebus dosa Tan-tianglo, mau tak mau kawanan pengemis menjadi terharu. Kemudian Kiau Hong mendekati Go Tiang-hong, katanya, Go-tianglo, seorang diri dahulu engkau berjaga di Eng-jiu-kiap (selat elang) dan sekuat tenaga melawan serbuan musuh dari kerajaan Se-he hingga usaha musuh hendak membunuh Nyo-keh-ciang sukar terlaksana, untuk jasamu itu Nyo-goanswe telah menghadiahkan sebuah kim-pay (medali) tanda jasa padamu. Asal engkau keluarkan medali itu sudah lebih dari cukup untuk menebus dosamu sekarang ini. Nah, silakan tunjukkan medali itu agar semua orang dapat melihatnya! Mendadak air muka Go-tianglo berubah merah, sikapnya agak kikuk, sahutnya dengan tak lancar, E ... eh ... tentang ini ... ini .... Kita sama-sama saudara sendiri, bila Go-tianglo ada kesulitan apa-apa, silakan berkata terus terang saja, ujar Kiau Hong. Tentang ... tentang medali emas itu, sebenarnya ... sebenarnya sudah ... sudah hilang, sahut Go-tianglo gelagapan. Kiau Hong menjadi heran. Mengapa hilang? tanyanya. Hi ... hilang sendiri, sahut Go-tianglo. Tapi sesudah merandek sejenak, mendadak ia berseru, Sebenarnya tidak hilang, tapi sudah kujual. Pada suatu

hari, mendadak aku ketagihan arak, tapi kantongku kempis, terpaksa kujual medali emas itu kepada sebuah toko emas. Hahaha! Go-tianglo suka berterus terang, sungguh jujur. Memang hal ini agak kurang enak terhadap Nyo-goanswe yang memberikan tanda jasa padamu itu, ujar Kiau Hong dengan terbahak-bahak. Habis itu mendadak ia sambar sebilah hoat-to lagi, ia potong dulu tali pengikat Go-tianglo, lalu belati itu ditikamkan pula ke bahu kiri sendiri. Go-tianglo adalah seorang laki-laki yang jujur dan suka terus terang, segera katanya, Pangcu, jiwa Go Tiang-hong sejak kini sudah kupasrahkan padamu. Perlahan Kiau Hong tepuk bahunya sambil berkata dengan tertawa, Pengemis seperti kita kalau ingin makan atau minum arak, minta saja sedekah orang, tidak perlu mesti menjual medali emas segala. Minta makan sih gampang, minta arak itulah susah, sahut Go-tianglo dengan tertawa. Sebab semua orang tentu akan bilang, Pengemis busuk, sudah dapat makan masih minta arak? Hm, terlalu! Tidak kasih, tidak kasih! Mendengar banyolan itu, menggelegarlah tawa para pengemis. Sebab minta-minta arak pada orang dan ditolak atau didamprat, pengalaman ini memang sering dijumpai para pengemis. Dalam pada itu mereka merasa lega pula demi menyaksikan sang pangcu suka mengampuni dosa keempat tianglo itu. Kini perhatian mereka tinggal terpusat ke arah Coan Koan-jing yang merupakan biang keladi komplotan ini, tentu Kiau Hong tidak mudah mengampuninya begitu saja. Tertampak Kiau Hong mendekati Coan Koan-jing dan berkata, Dan sekarang apa yang dapat kau katakan lagi, Coan-thocu? Pangcu, sahut Koan-jing, sebabnya aku berkomplotan hendak menggulingkan engkau adalah demi untuk kepentingan nusa dan bangsa kerajaan Song kita serta demi perkembangan Kay-pang kita yang sudah bersejarah ratusan tahun ini. Cuma sayang, orang yang menceritakan asal usul dirimu itu sampai detik terakhir, menjadi pengecut dan tidak berani muncul. Maka bolehlah engkau membunuh aku saja. Kiau Hong pikir sejenak oleh jawaban itu, tanyanya kemudian, Adakah sesuatu yang mencurigakan mengenal asal usulku? Coba katakan saja. Betapa pun aku berputar lidah pada saat ini juga takkan dipercaya, maka lebih baik engkau membunuh aku saja, sahut Koan-jing sambil menggeleng. Kiau Hong menjadi tambah curiga, katanya dengan suara keras, Seorang laki-laki sejati, apa yang ingin dikatakan harus dikatakan dengan blakblakan, kenapa main plintat-plintut begitu? Coan Koan-jing, bila kau benar seorang laki-laki yang tak gentar mati, kenapa kau pantang bicara terus terang? Memang benar, mati saja tak gentar, masakah masih ada hal-hal lain di dunia ini yang lebih menakutkan daripada mati? sahut Koan-jing dengan tertawa dingin. Nah, orang she Kiau, silakan cepat bereskan nyawaku saja agar aku tidak perlu hidup di dunia ini dan menyaksikan Kay-pang yang jaya ini jatuh ke dalam cengkeraman bangsa Oh (asing) dan menyaksikan tanah air sendiri yang indah permai ini diinjak-injak bangsa lain.

Kenapa Kay-pang akan jatuh ke dalam cengkeraman bangsa asing? Coba katakan terus terang, tanya Kiau Hong. Biarpun kukatakan sekarang juga para saudara takkan percaya, sahut Koan-jing. Mungkin malah aku akan dituduh sebagai pengecut yang takut mati dan sengaja putar lidah untuk memfitnah orang. Memangnya aku sudah bertekad menyabung jiwa, buat apa mesti menerima kutukan pula sesudah mati? Pangcu, seru Pek-tianglo tiba-tiba dengan tak sabar, orang ini banyak tipu muslihatnya, dengan obrolannya itu dia berharap engkau akan mengampuni jiwanya. Cit-hoat-tecu, siapkan hoat-to untuk menjalankan hukuman! Segera salah seorang Cit-hoat-tecu mengiakan sambil melangkah maju dan menjemput sebilah belati serta mendekati Coan Koan-jing. Dengan mata tak berkedip Kiau Hong memandang Coan Koan-jing, ia lihat sikap thocu itu penuh rasa penasaran, sedikit pun tidak unjuk rasa jeri atau takut, pula tiada tanda kepalsuan yang licik sebagai umumnya seorang yang berdosa. Kiau Hong tambah bersangsi, katanya kepada Cit-hoat-tecu yang siap menjalankan tugas itu, Berikan hoat-to kepadaku! Dengan sangat hormat segera Cit-hoat-tecu itu serahkan belati yang dipegangnya itu kepada sang pangcu. Coan-thocu, kata Kiau Hong sesudah memegang belati itu, kau menyinggung tentang asal usulku, pula hal ini besar sangkut pautnya dengan mati dan hidup Kay-pang kita. Bagaimana duduknya perkara yang sebenarnya juga kau tidak berani mengaku. Berkata sampai di sini, ia simpan hoat-to itu ke dalam sarungnya dan dimasukkan ke dalam baju sendiri, lalu katanya pula, Kau menghasut dan berkomplot hendak memberontak, dosamu seharusnya dihukum mati, tapi pelaksanaan hukum itu sementara ini ditunda, biar setelah duduk perkara sudah dibikin terang, aku sendiri kelak yang akan membunuhmu. Aku Kiau Hong bukan manusia yang sok pura-pura, kalau sudah bertekad hendak membunuhmu, rasanya kau pun tidak mungkin dapat lolos dari tanganku. Nah, pergilah sekarang, tinggalkan kantong pada punggungmu itu sejak kini Kay-pang tiada terdaftar anggota seperti dirimu ini. Apa yang dimaksudkan tanggalkan kantong pada punggungmu itu berarti memecatnya dari keanggotaan Kay-pang. Setiap anggota Kay-pang, kecuali anggota yang baru masuk atau anggota tanpa tugas, paling tidak tentu menyandang sebuah kantong, dan yang terbanyak sampai sembilan buah kantong. Tinggi rendahnya kedudukan anggota juga berdasarkan banyak atau sedikit kantong yang dimiliki mereka. Begitulah maka ketika diperintahkan menanggalkan kantong yang digendongnya, mendadak sinar mata Coan Koan-jing memancarkan nafsu membunuh, sekali sambar sebilah hoat-to lantas dipegangnya, ujung belati itu lantas diarahkan ke dada sendiri. Perlu diketahui bahwa setiap orang Kangouw paling mengutamakan keharuman nama dan kehormatan diri. Kini Coan Koan-jing dipecat begitu saja dari Kay-pang, hal ini dipandangnya sebagai sesuatu hinaan dan noda yang tidak mungkin dapat dicuci bersih, jauh lebih menyakitkan daripada ia dihukum mati seketika. Makanya ia menjadi nekat.

Tapi Kiau Hong ternyata bersikap dingin saja dan menyaksikan apakah benar-benar Coan Koan-jing berani menikam dirinya sendiri. Tangan Coan Koan-jing yang memegang belati itu ternyata sangat teguh, sedikit pun tidak gemetar. Sambil mengancam dada sendiri ia berpaling memandang Kiau Hong hingga terjadilah saling pandang di antara kedua orang itu. Seketika suasana di tengah hutan itu menjadi sunyi senyap. Kiau Hong, seru Koan-jing mendadak, santai benar sikapmu ini, apakah engkau sendiri benar-benar tidak tahu? Tahu apa? tanya Kiau Hong. Bibir Koan-jing tampak bergerak sekali, tapi akhirnya urung bicara, sebaliknya perlahan ia taruh kembali belatinya ke tempat semula, lalu perlahan pula menanggalkan kedelapan buah kantong yang tergendong di punggungnya itu, satu per satu ditaruhnya di tanah dengan sikap sangat menghormat. Toan Ki mengerti Coan Koan-jing itu pasti seorang yang sangat culas dan lihai, tapi demi melihat derita batinnya ketika menanggalkan kantong-kantong itu, mau tak mau ia pun merasa terharu. Ketika Coan Koan-jing sudah menanggalkan lima buah kantongnya, tiba-tiba terdengar derapan kuda yang dilarikan dengan cepat di luar hutan menyusul terdengar pula suara suitan. Segera ada beberapa orang Kay-pang menjawab suara suitan itu, lalu suara derapan kuda itu makan lama makin mendekat dengan sangat cepat. Ada kejadian genting apakah seperti ini? demikian Go-tianglo bergumam sendiri. Dan belum lagi kuda tunggangan itu datang, sekonyong-konyong dari arah timur sana juga ada suara derapan seekor kuda sedang menuju ke arah sini. Cuma jaraknya masih jauh, suaranya agak samar-samar, maka arah yang dituju belum dapat diketahui dengan tepat. Hanya sekejap saja kuda pertama dari arah utara itu sudah masuk ke dalam hutan situ. Lalu tampak seorang melompat turun terus berlari ke tempat orang banyak. Orang itu berpakaian longgar dan sangat perlente, tapi segera ia menanggalkan baju yang mewah itu hingga tertampaklah baju dalamnya yang compang-camping penuh tambalan di sana-sini, yaitu pakaian untuk mengelabui pandangan orang luar supaya pembawa berita itu tidak menemui alangan di tengah jalan. Begitulah dengan sangat hormat kurir itu mendekati Thocu Tay-sin-hun-tho dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil sambil melapor, Ada urusan militer yang penting .... Hanya kata-kata ini saja sempat diucapkannya, sebab napasnya lantas tersengal-sengal dengan hebat. Sedangkan kuda tunggangannya itu mendadak meringkik sekali terus roboh ke tanah dan binasa karena kehabisan tenaga. Setelah terhuyung-huyung, mendadak kurir itu pun muntah darah dan terguling ke tanah. Nyata bahwa saking lelah karena menempuh perjalanan jauh tanpa beristirahat, maka kuda beserta penunggangnya sama-sama kehabisan tenaga.

Thocu bagian Tay-sin-hun-tho itu mengenali kurir itu adalah anak buahnya yang dikirim ke negeri Cidan untuk menjadi mata-mata di sana, pangkatnya tergolong Go-te-tecu atau anak murid kantong lima, suatu tingkatan yang tidak rendah. Negeri Cidan pada zaman itu adalah musuh utama kerajaan Song, kerap kali tanpa sebab mengerahkan pasukannya mengacau di daerah perbatasan dan menyusahkan rakyat setempat. Sebagai suatu organisasi yang patriotik, anggota Kay-pang banyak tersebar di antara kedua negeri dan diam-diam mengumpulkan berita yang berfaedah bagi ibu negeri. Kini melihat Go-te-tecu itu pulang membawa berita penting tanpa pikirkan mati-hidup sendiri, terang kabar berita yang dibawa kembali itu pasti mahapenting dan genting pula. Maka Tay-sin-thocu juga tidak berani membuka berita laporan itu, bungkusan kecil itu dipersembahkan kepada Kiau Hong sambil berkata, Ada berita militer dari negeri Cidan, Pangcu! Waktu Kiau Hong membuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebutir cek-wan atau bola lilin. Sesudah cek-wan itu dipencet pecah, Kiau Hong mengeluarkan segulung kertas. Dan selagi ia hendak membuka kertas itu untuk membaca isinya, tiba-tiba terdengar derapan kuda dari jurusan timur tadi telah mendekat dengan cepat luar biasa. Baru saja kepala kuda menongol di balik hutan sana, penunggangnya sudah tidak sabar lagi terus melayang turun dari binatang tunggangannya sambil membentak, Kiau Hong, tentang situasi militer negeri Cidan itu engkau tak boleh membacanya. Semua orang terkesiap oleh ucapan orang yang berani merintangi sang pangcu itu. Waktu dipandang ternyata orang itu berjenggot putih, pakaiannya juga compang-camping penuh tambalan. Itulah seorang pengemis yang sudah berusia lanjut. Melihat pengemis tua itu, seketika Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo berbangkit untuk menyambut, Kiranya Ci-tianglo, entah ada urusan apakah hingga Ci-tianglo memerlukan berkunjung ke sini? Kawanan pengemis itu menjadi gempar demi mendengar pendatang itu adalah Ci-tianglo mereka. Kiranya Ci-tianglo itu sangat tinggi tingkatannya dalam angkatan tokoh-tokoh Kay-pang, usianya kini sudah 87 tahun, bahkan mendiang Ong-pangcu, yaitu pangcu sebelum Kiau Hong, juga menyebutnya sebagai Supek (paman guru). Di antara tokoh-tokoh Kay-pang sekarang boleh dikatakan tiada seorang pun lebih tua atau lebih tinggi angkatannya daripada Ci-tianglo. Sudah lama Ci-tianglo mengundurkan diri dari dunia ramai, tiap tahun Kiau Hong dan para tianglo seperti biasanya tentu pergi memberi selamat padanya, tapi paling-paling juga cuma bicara sedikit tentang urusan rumah tangga biasa. Siapa duga sekarang mendadak tokoh tua ini bisa muncul, bahkan lantas mencegah Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer musuh itu. Sudah tentu semua orang terkejut dan terheran-heran. Maka ketika mendengar seruan Ci-tianglo tadi, cepat Kiau Hong meremas kembali gulungan kertas itu, lalu memberi hormat kepada tokoh tua itu. Kemudian ia angsurkan gulungan kertas itu ke hadapan Ci-tianglo. Sebagai pangcu, biarpun menurut urutan angkatan Kiau Hong jauh lebih muda

daripada Ci-tianglo, tapi segala urusan organisasi yang penting, walaupun sang pangcu angkatan yang lebih dulu dihidupkan kembali juga harus tunduk kepada pangcu yang baru. Siapa duga datang-datang Ci-tianglo lantas melarang Kiau Hong membaca laporan tentang gerakan militer musuh itu dan sedikit pun Kiau Hong tidak membangkang. Keruan hal ini membuat semua orang heran, bahkan Ci-tianglo sendiri pun melengak. Rupanya sudah tahu urusannya sangat penting maka sambil minta maaf Ci-tianglo lantas ambil gulungan kertas itu dari tangan Kiau Hong dan digenggam di tangan kiri, lalu serunya dengan lantang, Be-hujin (nyonya Be), janda saudara Be Tay-goan, sebentar lagi akan tiba untuk membeberkan sesuatu kepada para hadirin di sini. Untuk mana haraplah kalian suka menunggunya sebentar lagi. Maka pandangan para pengemis sama terpusat ke arah Kiau Hong untuk mendengarkan bagaimana reaksinya. Jika urusan ini sangat besar sangkut pautnya, tiada alangannya kita menunggu di sini, ujar Kiau Hong. Ya, urusan ini sangat penting, kata Ci-tianglo pula. Dan hanya sekian saja ucapannya, lalu ia melangkah maju untuk memberi hormat kepada Kiau Hong selaku seorang bawahan kepada sang pangcu, kemudian ia ambil tempat duduk di samping. Diam-diam Toan Ki heran menyaksikan itu. Kesempatan digunakannya untuk bicara dengan Ong Giok-yan, ia membisiki gadis itu, Nona Ong, urusan di dalam Kay-pang benar-benar sangat banyak. Apakah kita perlu menyingkir dari sini ataukah tinggal di sini untuk melihat ramai-ramai? Giok-yan berkerut kening, sahutnya, Kita adalah orang luar, sebenarnya tidak pantas ikut mencampuri urusan dalam orang lain. Cuma ... cuma urusan yang akan mereka bicarakan itu ada sangkut pautnya dengan Piaukoku, maka aku ingin mendengarkannya. Memang benar, kata Toan Ki, katanya Be-hupangcu itu dibunuh oleh Piaukomu hingga tertinggal seorang janda yang sebatang kara, tentu dia sangat kesepian dan harus dikasihani. Tidak, tidak! sahut Giok-yan cepat. Be-hupangcu pasti bukan dibunuh oleh Piauko, hal ini kan juga sudah dikatakan oleh Kiau-pangcu sendiri? Bicara sampai di sini, mendadak terdengar derapan kuda pula, datanglah dua penunggang kuda. Semua orang mengira di antara penunggang kuda itu pasti terdapat istri Be Tay-goan. Siapa tahu kedua penunggang itu terdiri dari seorang kakek dan seorang lagi nenek. Yang kakek pendek kecil sebaliknya si nenek tinggi besar hingga tampaknya lucu benar. Melihat kedua orang itu, cepat Kiau Hong berbangkit menyambut kedatangan mereka sambil berseru, Kiranya kedua Locianpwe Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong di Hoa-san telah tiba, maafkan Kiau Hong tidak mengadakan penyambutan dengan baik. Perbuatan Kiau Hong itu segera diturut oleh para tianglo dari Kay-pang.

Melihat gelagat itu, Toan Ki tahu kedua orang tua yang dipanggil Tam-kong dan Tam-poh (si kakek Tam dan si nenek Tam) itu tentu tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka. Maka terdengar Tam-poh atau si nenek Tam sedang berkata, Kiau-pangcu, apa-apaan permainan di atas pundakmu ini? Berbareng tangannya lantas terjulur, sekaligus keempat hoat-to yang menancap di bahu Kiau Hong itu dicabutnya semua, gerak tangannya cepat luar biasa. Ternyata tindakan Tam-poh itu tidak menyendiri, tapi segera disusul oleh Tam-kong yang merogoh keluar sebuah botol porselen kecil, sumbat botol dibuka, dituangnya sedikit obat bubuk dan dibubuhkan di atas bahu Kiau Hong. Begitu obat luka itu dibubuhkan, darah yang mancur bagai mata air itu lantas mampat seketika. Betapa cepat cara Tam-poh mencabut belati yang menancap di pundak Kiau Hong itu sudah jarang dilihat orang, tapi apa pun juga suatu gerakan ilmu silat, sebaliknya cara Tam-kong mengambil botol, membuka sumbat botol, menuang obat, membubuhkan obat dan membikin darah mampat, beberapa tindakan ini sangat lincah dan cepat luar biasa, namun setiap perbuatannya itu dengan jelas dapat diikuti setiap orang bagaikan menyaksikan permainan sulap saja. Bahkan khasiat obat luka membikin mampat darah juga sangat mujarab, boleh dikatakan cespleng. Kiau Hong sendiri cukup kenal dua sejoli Tam-kong dan Tam-poh adalah tokoh angkatan tua dalam Bu-lim, kini datang-datang terus mencabut belati dan mengobati lukanya, meski tindakan mereka itu agak gegabah, namun mau tak mau ia sangat berterima kasih. Dan tengah dia mengaturkan terima kasihnya itu, rasa sakit di pundaknya sudah mulai mereda dan akhirnya lenyap. Kiau-pangcu, siapakah yang bernyali sebesar itu hingga berani melukaimu dengan belati? tanya Tam-poh kemudian. Aku sendirilah yang menikam diriku sendiri, sahut Kiau Hong tertawa. Kenapa menikam diri sendiri? Apa barangkali kau sudah bosan hidup? tanya Tam-poh dengan heran. Kiau Hong pikir tidak mungkin menceritakan urusan pengkhianatan dalam Kay-pang kepada orang luar hingga memalukan para tianglo dan merosotkan nama baik Kay-pang. Maka sahutnya, Aku hanya main-main saja, kulit daging pundakku cukup tebal dan kuat, toh tidak sampai melukai otot dan tulang. Diam-diam Song, Ge, Tan dan Go-tianglo bersyukur dan merasa malu diri pula terhadap kebaikan Kiau Hong yang menutupi perbuatan mereka yang durhaka hendak menggulingkan sang pangcu itu. Tapi si nenek Tam lantas terbahak-bahak dan berkata, Hahaha, jangan berdusta! Tahulah aku, dasar engkau memang pintar dan mengetahui Tam-kong dan Tam-poh baru saja memperoleh peng-jan (ulat sutra es) dan pek-giok-siam-sia (katak kemala putih) serta telah meraciknya menjadi semacam obat luka yang sangat mujarab, makanya kau ingin mencobanya bukan? Kiau Hong tidak membenarkan juga tidak menyangkal, ia hanya tersenyum saja,

ia pikir nenek ini sungguh bodoh-bodoh polos, masakah di dunia ini ada orang iseng begitu dengan menikam badan sendiri untuk mencoba khasiat obat luka buatanmu itu? Maka terdengar Tam-poh tanya pula, Dan di manakah nyonya Be? Jauh-jauh ia mengundang kehadiran kami ke sini, mengapa dia sendiri belum datang? Sedang Kiau Hong terkesiap oleh pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar suara derapan kaki binatang yang berdetak-detak, seekor keledai tampak menerobos masuk ke tengah hutan situ, di atas keledai ada seorang penunggang dengan punggung menghadap kepala keledai dan mukanya menghadap ekor, jadi menunggang keledai dengan mungkur. Melihat penunggang keledai itu, Tam-poh menjadi gusar, bentaknya, Tio-ci-sun, di hadapan Tam-kek-popo kau berani kurang ajar? Apa minta kuhajar bokongmu? Berbareng sebelah tangan terus menghantam pantat penunggang keledai itu. Waktu semua orang memerhatikan si penunggang keledai, ternyata orang itu mendekam di atas binatang tunggangannya hingga tubuh mengkeret bagai anak berumur 7-8 tahun. Tapi begitu hendak digaplok Tam-poh, cepat ia memberosot turun dari keledainya dan berdiri tegak, tahu-tahu badannya berubah tinggi dan besar. Semua orang agak terperanjat, sebaliknya Tam-kong tampak kurang senang, katanya, Li-heng, apa engkau akan main gila lagi di sini? Setiap melihatmu tentu hatiku mendongkol! Corak penunggang keledai itu pun agak aneh, dikatakan sudah tua, toh belum tua, dibilang masih muda, toh juga tidak muda. Usianya mungkin di antara 30 hingga 60 tahun, wajahnya jelek tidak, bagus pun tidak. Ia tidak gubris pada ucapan Tam-kong tadi, tapi lantas berkata kepada Tam-poh, Siau Koan, bagaimana selama ini? Baik-baik dan senang bukan? Perawakan Tam-poh itu tinggi besar, rambutnya sudah berubah semua dan mukanya penuh keriput, tapi namanya dipanggil Siau Koan atau si Koan cilik yang mengingatkan orang kepada gadis cilik. Sudah tentu kedengarannya sangat janggal dan menggelikan orang. Namun setiap nenek tentu pernah muda, Siau Koan itu jelas adalah nama kecil Tam-poh masa gadisnya. Tengah Toan Ki pikirkan hal itu, kembali terdengar derapan kuda pula, ada beberapa penunggang kuda datang lagi. Dalam pada itu Kiau Hong sendiri sedang mengamat-amati si penunggang keledai yang dipanggil sebagai Tio-ci-sun (semuanya terdiri dari she), ia tidak dapat menerka tokoh macam apakah orang aneh ini. Tapi mengingat dia kenal Tam-kong dan Tam-poh, pula Sok-kut-kang atau ilmu menyurutkan tulang yang diunjukkan ketika menunggang keledai tadi sudah sedemikian lihainya maka dapat dipastikan adalah seorang tokoh yang lain daripada yang lain. Anehnya, kalau orang tergolong jago kelas tinggi, mengapa dirinya tidak kenal dan tidak pernah mendengar namanya yang aneh, bukankah sangat mengherankan? Sementara itu beberapa penunggang kuda itu sudah sampai di tengah hutan, di bagian depan adalah lima orang muda, semuanya bermata besar dan beralis tebal, air muka mereka satu sama lain sangat mirip, usia yang paling kira-kira lebih 30 tahun dan yang paling muda lebih 20 tahun. Terang kelima orang itu adalah

saudara sekandung. Aha, kiranya Thay-san-ngo-hiong yang datang! Bagus, bagus! Angin apakah yang meniup kalian ke sini? demikian Go-tianglo, Go Tiang-hong, lantas berseru. Orang ketiga Thay-san-ngo-hiong (lima kesatria dari Thay-san) itu bernama Tan Siok-san, ia adalah sobat kental Go-tianglo, segera ia mendahului menjawab, Selamat bertemu Go-siko, baik-baikkah engkau? Ayah juga ikut datang kemari! Apa benar? Ayahmu ....? Go-tianglo menegas dengan air muka berubah. Ia telah berbuat salah melanggar tata tertib organisasi, sebagai orang berdosa, ia menjadi jeri mendadak tahu kedatangan ayah Thay-san-ngo-hiong, yaitu Tiat-bin-poan-koan Tan Cing, si Hakim Bermuka Besi, artinya orang yang berani bertindak tegas dan tidak kenal ampun serta tidak pandang bulu. Selama hidup Tiat-bin-poan-koan Tan Cing paling benci pada kejahatan, bila tahu ada terjadi sesuatu ketidakadilan di kalangan Kangouw, pasti dia akan ikut campur tangan. Ilmu silatnya memang sangat tinggi, kecuali kelima putranya banyak pula murid dan cucu murid yang jumlahnya lebih ratusan orang. Nama Thay-san Tan-keh atau keluarga Tan dari Thay-san cukup disegani setiap orang Bu-lim. Dalam pada itu di belakang Thay-san-ngo-hiong itu tampak menyusul seorang penunggang kuda yang lain, kelima jago muda Thay-san itu lantas memapak ke belakang untuk menahan kendali kuda dan menyilakan turun penunggangnya, yaitu seorang kakek yang berbaju satin panjang. Begitu turun segera kakek itu memberi kiongchiu kepada Kiau Hong dan berkata, Kiau-pangcu, tanpa diundang Tan Cing berkunjung ke sini, tentu banyak mengganggu engkau. Kiau Hong sudah lama kenal nama Tan Cing, baru sekarang ia dapat bertemu, ia lihat orang tua itu berwajah merah bercahaya, boleh dikatakan rambut tua muka muda, sikapnya ramah tamah pula, berbeda seperti cerita orang Kangouw bahwa Tan Cing berwatak keras tanpa kenal ampun. Maka cepat ia membalas hormat orang dan berkata, Maafkan Cayhe tidak tahu kedatangan Tan-locianpwe hingga tidak diadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Bagus, bagus! mendadak si orang tua yang menunggang keledai dengan mungkur itu berteriak dengan suara yang dibuat-buat. Tiat-bin-poan-koan datang lantas diadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Sebaliknya ketika aku Thi-bi-koh-poan-koan datang mengapa engkau tidak mengadakan penyambutan semestinya? Mendengar kata Thi-bi-koh-poan-koan atau si Hakim Pantat Besi, seketika semua orang bergelak tertawa. Meski Giok-yan, A Cu dan A Pik bertiga merasa kurang sopan kalau ikut tertawa, tidak urung mereka pun merasa geli. Thay-san-ngo-hiong mengerti bahwa kata-kata orang itu sengaja hendak menghina ayah mereka, keruan mereka menjadi gusar. Cuma disiplin keluarga Tan sangat keras, sebelum sang ayah membuka suara, betapa pun mereka tidak berani sembarangan mendahului bertindak.

Tan Cing itu ternyata seorang yang sangat sabar dan dapat menahan perasaannya, pula ia pun belum mengetahui bagaimana asal usul orang aneh itu, maka ia berlagak pilon saja, pura-pura tidak mendengar. Katanya pula, Sekarang silakan Be-hujin kemari untuk bicara. Maka dari balik hutan sana lantas muncul sebuah joli kecil dengan digotong dua laki-laki kekar dan datang dengan cepat sekali. Sampai di tengah hutan situ, joli itu ditaruh dan kerai disingkap, perlahan keluarlah seorang nyonya muda berpakaian putih mulus tanda orang berkabung. Dengan kepala menunduk nyonya muda itu memberi hormat kepada Kiau Hong dan berkata, Janda keluarga Be menyampaikan sembah bakti kepada Pangcu. Biasanya Kiau Hong juga jarang berhadapan dengan Be Tay-goan, apalagi dengan nyonya Be yang tidak pernah keluar rumah, dengan sendirinya ia tidak kenal. Segera ia membalas hormat dan menjawab, Soso (atau enso, istri kakak) tidak perlu banyak adat! Sungguh malang suamiku telah meninggal, atas bantuan para paman yang telah sudi menguruskan layon suamiku itu, sungguh aku merasa sangat berterima kasih, demikian kata Be-hujin pula. Suara janda itu kedengaran sangat lembut dan merdu, agaknya masih sangat muda usianya. Cuma sejak mula matanya selalu menatap ke tanah, maka wajahnya tidak kelihatan jelas. Dari lagak lagu nyonya muda itu, Kiau Hong tahu tentu Be-hujin telah menemukan sesuatu tanda bukti kematian suaminya, maka sekarang datang sendiri menghadap sang pangcu. Tapi urusan dalam sepenting itu tidak dilaporkan dulu kepada pangcu, sebaliknya Tiat-bin-poan-koan yang diminta tampil ke muka, hal ini sesungguhnya agak ganjil. Ketika Kiau Hong berpaling ke arah Cit-hoat-tianglo Pek Si-kia, ia lihat jago tua itu pun sedang memandang padanya, sinar mata kedua orang sama mengunjuk rasa heran dan curiga. Lebih dulu Kiau Hong menyambut tamu, habis itu baru bicara urusan dalam, maka katanya kepada Tan Cing, Tan-locianpwe dan suami-istri Tam-si dari Ciong-siau-tong di Hoa-san apakah sudah saling kenal? Sudah lama kudengar nama suami-istri Tam-si yang tersohor, hari ini dapat berjumpa, sungguh beruntung, ujar Tan Cing sambil kiongchiu. Dan tentang Cianpwe yang ini, masih diharapkan Tam-loyacu suka memperkenalkannya kepada kami, ujar Kiau Hong. Tapi belum lagi Tam-kong atau si kakek Tam menjawab, cepat si penunggang keledai sudah mendahului buka suara, Aku she Siang, bernama Wai, berjuluk Thi-bi-koh-poan-koan. Mendengar ucapan si penunggang keledai ini, betapa sabarnya Tan Cing juga naik darah akhirnya. Kurang ajar benar, demikian pikirnya. Masakah aku she Tan (tunggal, ganjil), kau lantas mengaku she Siang (sepasang, genap). Aku bernama Cing (benar, lurus), kau lantas bernama Wai (menceng, bengkok). Bukankah ini sengaja hendak mengolok-olok diriku? Dan selagi dia hendak mengambil tindakan tiba-tiba Tam-poh, si nenek Tam

membuka suara, Tan-loyacu, engkau jangan gubris ocehan Tio-ci-sun ini, dia orang gila, jangan kau anggap sungguh-sungguh. Maafkan kalau di sini tiada tempat duduk, diharap para hadirin sudilah duduk di tanah, kata Kiau Hong kemudian. Dan sesudah melihat semua orang telah mengambil tempat duduk sendiri-sendiri, lalu ia menyambung, Dalam sehari saja telah dapat berjumpa dengan tokoh-tokoh locianpwe sebanyak ini, sungguh bahagia dan beruntung kami ini. Tapi entah ada keperluan apakah kunjungan para Cianpwe ke sini? Kiau-pangcu, kata Tan Cing. Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di dunia Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh pelosok, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama Kay-pang tentu menaruh hormat dengan sungguh-sungguh, aku orang she Tan biasanya juga sangat mengindahkannya. Terima kasih, kata Kiau Hong. Tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung, Kiau-pangcu, Kay-pang kalian adalah suatu organisasi terbesar di kalangan Kangouw, selama ratusan tahun ini namanya tersohor di seluruh pelosok dunia, setiap kawan Bu-lim asal mendengar nama Kay-pang tentu menaruh hormat dengan sungguh-sungguh, aku orang she Siang biasanya juga sangat mengindahkannya. Ucapannya itu sama persis seperti apa yang dikatakan Tan Cing, hanya she Tan diganti dengan she Siang. Kiau Hong tahu kaum cianpwe dalam Bu-lim itu banyak yang mempunyai watak aneh dan sifat istimewa, orang yang dipanggil sebagai Tio-ci-sun ini selalu menentang Tan Cing, entah apa maksud tujuannya. Tapi sebagai tuan rumah, ia pikir tidak enak mengeloni salah satu pihak, maka ia pun mengucapkan terima kasih kepada penunggang keledai yang aneh itu. Sebaliknya Tan Cing hanya tersenyum saja, katanya kepada putranya yang tertua, Pek-san, lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jika orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan saja. Diam-diam semua orang tertawa dan menganggap Tiat-bin-poan-koan yang tampaknya jujur polos itu ternyata juga licik. Sebab kalau Tio-ci-sun nanti menirukan cara bicara Tan Pek-san, itu berarti ikut mengaku menjadi putranya Tan Cing. Tak terduga Tio-ci-sun lantas berkata, Pek-san, lanjutannya boleh kau katakan saja kepada Kiau-pangcu. Jadi orang lain ingin menirukan putraku, biarkan dia menirukan saja. Dengan demikian, berbalik Tio-ci-sun yang menang angin sebab Tan Pek-san juga diakui menjadi putranya. Tan Siau-san, putra Tan Cing yang kelima dan paling kecil, berwatak paling berangasan, kontan ia memaki, Bajingan, benar-benar-sudah bosan hidup barangkali! Tio-ci-sun lantas bergumam juga, Bajingan putra semacam ini, punya empat orang juga sudah terlalu banyak, yang kelima sebenarnya tidak perlu dilahirkan. Hehe, pula entah keturunan sendiri atau bukan?

Sudah diolok olok, putranya dimaki pula seakan-akan anak haram, betapa pun sabarnya Tan Cing juga ada batasnya. Segera katanya kepada Tio-ci-sun, Kita adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini tentu akan mempersulit tuan rumahnya. Biarlah kalau urusan di sini sudah selesai pasti akan kuminta belajar kenal kepandaianmu. Nah, Pek-san, bicaralah terus! Namun Tio-ci-sun tetap menirukannya, Kita adalah tamu Kay-pang, kalau sampai cekcok di sini, tentu akan mempersulit tuan rumah. Biarlah kalau urusan di sini sudah selesai, nanti akan kuminta belajar kepandaianmu. Nah, Pek-san, Locu (bapak) suruh kau bicara, bolehlah bicara terus! Sungguh gemas Tan Pek-san tak terkatakan, kalau bisa ia ingin bacok orang hingga hancur lebur baru puas rasanya. Maka dengan menahan gusar katanya kepada Kiau Hong, Kiau-pangcu, urusan dalam kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi ayahku bilang, seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan kebajikan .... Berkata sampai di sini ia sengaja melirik ke arah Tio-ci-sun untuk melihat apakah orang itu akan menirukan lagi atau tidak. Kalau meniru, tentu orang akan mengatakan, Tapi ayahku bilang, dan itu berarti akan memanggil Tan Cing sebagai ayah. Tak tersangka, benar-benar Tio-ci-sun menirukan ucapan itu, katanya, Kiau-pangcu, urusan dalam kalian, kami ayah dan anak sebenarnya tidak berani ikut campur. Tapi anakku bilang seorang laki-laki sejati harus mencintai sesamanya dengan kebajikan. Jadi Tio-ci-sun sengaja mengubah kata ayah menjadi anak dan itu berarti suatu kerugian pula bagi Tan Cing. Keruan semua orang berkerut kening, mereka menganggap kelakuan Tio-ci-sun itu sungguh terlalu, mungkin segera akan terjadi banjir darah di situ. Maka terdengar Tan Cing berkata, Senantiasa saudara menentang diriku, padahal kita selamanya tidak paling kenal, entah di manakah aku berbuat salah padamu, silakan saudara memberi penjelasan. Bila memang benar Cayhe bersalah, sekarang juga aku akan minta maaf padamu. Diam-diam semua orang memuji sikap kesatria Tan Cing yang tidak malu sebagai seorang pendekar besar tersohor itu. Kau tidak berbuat salah padaku, tapi bersalah kepada Siau Koan, hal ini lebih jahat sepuluh kali daripada bersalah padaku, tahu? demikian Tio-ci-sun menjawab. Siau Koan? Siapa itu Siau Koan? Bilakah aku berbuat salah padanya? tanya Tan Cing heran. Dia inilah Siau Koan, sahut Tio-ci-sun sambil menunjuk si nenek Tam. Siau Koan adalah nama gadisnya, di dunia ini kecuali aku, siapa pun tidak boleh memanggil namanya itu. Mendongkol dan geli pula Tan Cing, katanya, O, kiranya nama gadis Tam-popoh, Cayhe tidak tahu hingga telanjur menyebutnya, harap maaf. Yang tidak tahu tidak salah, untuk pelanggaranmu yang pertama ini biar kuampuni, tapi lain kali jangan mengulangi lagi, ya! kata Tio-ci-sun dengan

lagak sebagai seorang bapak memberi petuah kepada si bocah. Lalu Tan Cing berkata lagi, Meski sudah lama Cayhe kenal nama suami-istri Tam-si yang tersohor dari Hoa-san, tapi sayang selama ini tidak sempat berjumpa. Aku sendiri merasa tidak pernah mengolok-olok nama baik mereka di depan siapa pun, entah mengapa aku dituduh bersalah kepada Tam-popoh? Tadi aku sedang tanya Siau Koan dan dia belum lagi menjawab, tiba-tiba kelima putramu menyerobot datang hingga mengacaukan pembicaraan kami, malahan sampai sekarang ia masih belum sempat menjawab pertanyaanku tadi, demikian sahut Tio-ci-sun. Nah, Tan tua, boleh coba kau cari tahu, orang macam apakah Siau Koan? Dan aku si Tio-ci-sun-li-go-tan-ong orang macam apa pula? Masakah pada waktu kami sedang bicara boleh sembarangan dikacau begitu saja? Diam-diam Tan Cing geli mendengar ucapan yang angin-anginan itu, tapi lantas katanya pula, Masih ada sesuatu yang aku tidak mengerti, tolong suka memberi penjelasan. Soal apa? Jika aku senang, tiada alangan juga akan kuberi petunjuk padamu, sahut Tio-ci-sun dengan lagak mahaguru. Terima kasih, ujar Tan Cing. Tadi Anda bilang nama kecil Tam-popoh hanya boleh dipanggil olehmu seorang saja, bukan? Ya, sudah tentu! seru Tio-ci-sun. Kalau kau tidak percaya, boleh coba memanggilnya sekali lagi, lihatlah kalau aku si Tio-ci-sun-li-go-tan-ong-the-sim-nyo tidak memberi hajaran padamu. Sudah tentu aku tidak berani memanggilnya lagi, sahut Tan Cing. Tapi masakah Tam-kong juga tidak berani memanggilnya? Jawaban ini rupanya mengenai lubuk hati Tio-ci-sun hingga seketika ia bungkam dengan muka merah padam. Sejenak kemudian mendadak orang aneh itu menangis tergerung-gerung dengan suara yang sedih memilukan. Kelakuannya ini benar-benar di luar dugaan siapa pun, sungguh tiada yang menyangka bahwa seorang yang tidak takut tingginya langit dan jeri pada tebalnya bumi, sampai Tiat-bin-poan-koan juga berani ditantangnya, tapi hanya dengan satu kalimat pertanyaan itu sudah membuatnya menangis begitu rupa. Melihat seterunya menangis sedih, Tan Cing menjadi tidak enak malah, api kemarahannya yang semula berkobar itu seketika sirap, sebaliknya ia malah menghiburnya, Tio-heng, maafkan aku .... Aku ... aku tidak she Tio, sahut Tio-ci-sun dengan terguguk. Keruan Tan Cing tambah heran, Habis, saudara she apa? Aku tidak she Tio, tidak she Ci, juga tidak she Sun, aku tidak punya she, tidak perlu tanya, sahut Tio-ci-sun. Mendengar suara tangis Tio-ci-sun itu begitu sedih, semua jago yang hadir menduga pasti ada sesuatu yang pernah melukai hatinya. Dan bagaimana urusannya kalau dia sendiri tidak omong orang lain dengan sendirinya tidak enak untuk bertanya.

Dalam pada itu Tio-ci-sun masih tetap menangis sedih dengan tersenggak-sengguk tiada hentinya. Kembali penyakitmu kumat lagi, di depan orang banyak, menangis seperti anak kecil, engkau punya kulit muka atau tidak? demikian Tam-popoh atau si nenek Tam menyemprotnya. Habis engkau ... engkau rela meninggalkan aku dan menikah dengan tua ... tua bangka seperti Tam-kong ini, sudah tentu hatiku sedih dan pilu, demikian sahut dengan sesenggukan. Hati sudah remuk, jantungku sudah hancur, ususku sudah putus, tinggal kulit muka yang tipis ini, apa gunanya? Semua orang tersenyum geli oleh kata-kata lucu itu. Kiranya begitulah duduk perkara yang sebenarnya. Rupanya Tio-ci-sun dan Tam-popoh itu pernah terjalin kisah asmara, tapi entah mengapa Tam-poh menikah dengan Tam-kong. Dan karena sedihnya sampai Tio-ci-sun membuang nama aslinya dan kelakuannya menjadi gila-gilaan seperti orang sinting. Padahal suami-istri Tam-si itu usianya lebih dari 60 tahun, entah mengapa cinta Tio-ci-sun itu bisa sedemikian mendalamnya, selama berpuluh tahun masih belum berkurang dendam asmaranya. Si nenek Tam sendiri mukanya sudah penuh keriput dan kasap seperti kulit ayam, rambutnya ubanan semua, siapa pun tidak mengira bahwa nenek yang berperawakan tinggi besar potongan kuda teji itu pada masa mudanya mempunyai kecantikan yang menggiurkan orang hingga sampai tua Tio-ci-sun masih tetap mencintainya. Begitulah maka tampak sikap Tam-poh agak kikuk dan malu-malu kucing seperti anak perawan, sahutnya kemudian, Suko, buat apa engkau mengungkat kejadian masa lampau? Hari ini Kay-pang ada urusan penting yang perlu dibicarakan, lekas mendengarkan dan jangan mengacau pula. Ucapan yang lembut dan bernada nasihat itu besar pengaruh bagi Tio-ci-sun, sebab dia lantas berkata, Baiklah, tapi tersenyumlah dahulu kepadaku baru aku akan menurut perkataanmu. Belum lagi Tam-poh tersenyum atau orang-orang lain sudah mendahului tertawa menggelegar, namun nenek Tam itu seperti tidak ambil pusing, benar juga ia berpaling dan tersenyum manis sekali kepada Tio-ci-sun. Sukma Tio-ci-sun seperti terbang ke awang-awang oleh senyuman itu hingga seketika ia termangu-mangu. Sudah tentu semua itu disaksikan pula oleh Tam-kong yang duduk di sebelah dengan rasa gusar, tapi toh tidak dapat berbuat apa-apa. Kejadian itu mendadak memengaruhi pikiran Toan Ki juga, pikirnya, Cinta ketiga orang ini benar-benar sangat mendalam hingga orang yang berada di sini sampai tak dipusingkan oleh mereka. Dan apakah perasaanku kepada nona Ong kelak juga akan berakhir seperti ini? Ah, tidak, tidak! Sebab Tam-poh juga kelihatan rada mencintai sukonya, sebaliknya yang selalu dikenang nona Ong adalah Buyung-kongcu, dibandingkan Tio-ci-sun terang aku bukan apa-apa lagi. Dalam pada itu demi mendengar suka-duka Tio-ci-sun dan suami-istri Tam-si masa lampau, diam-diam Kiau Hong menimbang-nimbang, Tio-ci-sun itu

sebenarnya tidak she Tio, tapi suheng Tam-poh. Aku sering mendengar bahwa Tam-kong dan Tam-poh dari Ciong-siau-tong di Hoa-san terkenal di Bu-lim oleh karena ilmu silat aliran Hoa-san-pay mereka yang hebat. Tapi dari percakapan mereka tadi, agaknya mereka bertiga bukan sesama perguruan. Lalu, sebenarnya Tam-kong yang benar orang Hoa-san-pay ataukah Tam-poh yang berasal dari Hoa-san-pay? Tengah Kiau Hong merasa ragu, tiba-tiba terdengar Tio-ci-sun berkata pula, Sudah lama Locu tidak datang ke daerah Kanglam sini, maka tidak tahu bahwa di Koh-soh telah muncul seorang Buyung Hok yang katanya suka Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin dengan perbuatannya yang sewenang-wenang. Locu justru ingin bertemu dengan dia untuk melihat cara bagaimana dia mampu memperlakukan aku si Tio-ci-sun-li-cin-go-the-ong ini? Baru habis ucapannya sekonyong-konyong terdengar suara orang menangis dengan sedih sekali, suara tangisan yang meraung-raung itu sama persis seperti tangisan Tio-ci-sun tadi. Keruan semua orang melengak. Bahkan terdengar suara tangisan itu sedang sesambatan pula, O, Sumoayku, di manakah Locu pernah bersalah padamu? Mengapa engkau meninggalkan daku dan menikah dengan si tua bangka she Tam yang celaka itu? Siang dan malam Locu selalu merindukan dikau. Teringat masa hidup Suhu kita, beliau pandang kita seperti anak kandung sendiri, tapi engkau tidak kawin denganku, apakah engkau tidak ingat kebaikan Suhu? Suara dan ucapan itu persis sekali seperti Tio-ci-sun, kalau semua orang tidak menyaksikan orang aneh itu termangu-mangu dan melongo dengan penuh keheranan, tentu semua orang akan percaya suara itu diucapkan dari mulut Tio-ci-sun sendiri. Tapi ketika semua orang memandang ke arah datangnya suara itu, ternyata suara itu timbul dari seorang gadis jelita berbaju jambon yang berdiri mungkur. Kiranya gadis itu adalah A Cu. Toan Ki, Giok-yan, dan A Pik cukup kenal kepandaian cara A Cu menirukan tingkah laku dan suara orang, dengan sendirinya mereka tidak heran. Sebaliknya orang lain menjadi terheran-heran dan geli pula, mereka menduga pasti Tio-ci-sun akan marah karena suaranya ditirukan orang. Tak tersangka bahwa tangisan dan keluhan A Cu tadi justru tepat mengenai lubuk hati Tio-ci-sun, maka bukannya marah sebaliknya matanya tampak merah basah, mulutnya mewek-mewek, air matanya meleleh, akhirnya menangislah dia berpadu dengan suara tangisan A Cu. Jilid 25. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/9/2 (2028 reads) Tan Cing menggeleng-geleng kepala menyaksikan itu, katanya dengan suara lantang, Meski aku she Tan (tunggal), tapi istriku satu dan gundikku empat, anak-cucuku penuh serumah. Sebaliknya saudara Siang Wai ini, she Siang (genap, banyak) justru hidup sebatang kara tanpa teman hidup. Peristiwa ini seharusnya engkau sesalkan di masa dahulu, kalau sekarang baru dibicarakan, rasanya juga sudah terlambat. Nah, Siang-heng, kita diundang kemari oleh Be-hujin apakah tujuannya ialah untuk merundingkan urusan perjodohanmu? Bukan, sahut Tio-ci-sun sambil menggeleng.

Jika begitu, seharusnya kita membicarakan dahulu urusan Kay-pang lebih penting, ujar Tan Cing. Apa katamu? tiba-tiba Tio-ci-sun menjadi gusar. Urusan Kay-pang lebih penting, apakah urusanku dengan Siau Koan kurang penting? Mendengar sampai di sini, Tam-kong tidak tahan lagi, segera ia berkata, A Hui, jika kau tidak lantas suruh dia hentikan penyakit gilanya, terpaksa aku akan turun tangan. Mendengar sebutan A Hui, semua orang lantas berpikir, Kiranya Tam-poh mempunyai nama kecil yang lain. Dan nama Siau Koan itu memang benar adalah monopoli si Tio-ci-sun sendiri. Maka terdengar Tam-poh telah menjawab dengan membanting kaki, Dia toh tidak gila, tapi engkau yang mengakibatkan dia begini, dan kau masih belum puas, ya? Aneh, mengapa aku ... aku yang mengakibatkan dia begitu? tanya Tam-kong dengan heran. Habis, aku menikah dengan tua bangka yang celaka seperti kau, dengan sendirinya Suhengku kurang senang .... Waktu kita menikah toh aku tidak celaka dan tidak tua pula, ujar Tam-kong. Huh, tidak malu, memangnya kau ganteng dan bagus? cemooh Tam-poh. Ci-tianglo dan Tan Cing hanya saling pandang dengan geleng-geleng kepala saja. Mereka pikir ketiga tua bangka ini benar-benar tidak tahu diri, masakah dengan kedudukan mereka bertiga yang disegani dan dihormati orang Bu-lim sebagai kaum cianpwe, tapi terang-terangan bercekcok urusan asmara masa lampau di depan orang banyak, sungguh menggelikan. Maka Ci-tianglo lantas berdehem sekali, lalu katanya, Atas kunjungan suami-istri Tam-si dan saudara ini, kami segenap anggota Kay-pang merasa mendapat kehormatan yang besar. Sekarang silakan Be-hujin suka bicara perkara pokok dari awal sampai akhir. Be-hujin itu sejak tadi hanya berdiri dengan kepala menunduk sambil mungkur, demi mendengar ucapan Ci-tianglo itu, perlahan ia putar tubuh ke depan, lalu katanya dengan suara perlahan, Sungguh malang suamiku tewas, Siaulicu (aku perempuan yang bodoh) hanya dapat menyesalkan nasib sendiri, tapi yang paling menyedihkan adalah suamiku tidak meninggalkan seorang anak pun untuk menyambung abu keluarga Be .... Berkata sampai di sini, suaranya agak tersendat hingga mengharukan bagi para pendengarnya. Sama-sama menangis, tangis Tio-ci-sun membuat orang merasa geli, tangis A Cu membikin orang heran, sebaliknya tangis Be-hujin membuat orang pilu. Maka terdengar nyonya janda itu sedang meneruskan, Sesudah Siaulicu mengebumikan layon suami, ketika berbenah barang-barang tinggalannya, tanpa sengaja di tempat simpanan kitab pelajaran silat dapat kutemukan suatu sampul surat wasiat yang tertutup rapat, di atas sampul tertulis: Jika aku meninggal sampai hari tua secara wajar maka surat ini harus segera dibakar,

siapa yang berani membuka surat ini berani merusak ragaku ini dan membuat aku tidak tenteram di alam baka. Tapi kalau aku mati secara tidak wajar surat ini harap diserahkan kepada para tianglo untuk dibuka bersama, soalnya sangat penting, jangan keliru! Berkata sampai di sini, suasana dalam hutan itu menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan bagaimana lanjutan ceritanya. Setelah merandek sejenak, lalu Be-hujin menanggalkan sebuah ransel kecil yang dibawa dan mengeluarkan sebuah kantong surat dari kain minyak, dari dalam kantong surat itu kemudian dilolos keluar sebuah sampul, lalu katanya, Inilah surat wasiat suamiku itu. Sesudah kutemukan surat ini dan melihat pesan suamiku itu sangat penting, kutahu urusannya pasti bukan urusan biasa, maka segera hendak kutemui Pangcu untuk mempersembahkan surat wasiat ini. Tapi untung Pangcu telah datang ke Kanglam sini bersama para Tianglo hendak membalaskan sakit hati suamiku, dan syukurlah karena itu juga aku belum dapat berjumpa dengan Pangcu. Ucapan Be-hujin itu kedengaran agak janggal, masakah tidak berhasil bertemu dengan sang pangcu dianggapnya untung dan syukur? Tanpa terasa sinar mata semua orang sama beralih ke arah Kiau Hong. Dari macam-macam kejadian malam ini, memang Kiau Hong sudah mempunyai firasat bahwa pasti ada sesuatu muslihat yang mahabesar sedang diarahkan kepadanya, walaupun soal komplotan Coan Koan-jing yang hendak menggulingkan dirinya sebagai pangcu itu sudah diamankan, namun kasus ini terang masih belum lagi tamat. Kini mendengar uraian Be-hujin itu, perasaannya yang tertekan tadi menjadi ringan malah dan sikapnya tetap tenang, pikirnya, Muslihat apa yang telah kalian atur, silakan keluarkan saja. Seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi sesuatu yang menjadi kewajibannya. Selama hidupku tidak pernah berbuat kesalahan apa-apa, biar bagaimana kalian hendak menjebak dan memfitnah diriku, kenapa aku mesti takut? Maka terdengar Be-hujin menyambung ceritanya lagi, Karena itulah kutahu surat ini menyangkut urusan penting organisasi kita, sedangkan Pangcu dan Tianglo tidak berada di Lokyang, kukhawatir membuang waktu sia-sia, maka kupergi dulu ke Theciu untuk menghadap Ci-tianglo dan minta beliau mengambil keputusan menurut surat wasiat itu. Tentang kejadian selanjutnya biarlah Ci-tianglo yang akan memberitahukan kalian. Ci-tianglo batuk beberapa kali, lalu katanya, Urusan ini sesungguhnya banyak suka-dukanya, aku merasa serbasulit untuk bicara. Tiba-tiba ia ambil surat wasiat itu dari tangan Be-hujin, lalu sambungnya, Sejak kakek-moyangnya hingga, ayah Be Tay-goan, beberapa keturunan mereka semuanya adalah orang Kay-pang sendiri, kedudukan mereka kalau bukan tianglo yang berkantong sembilan tentulah Pat-te-tecu (anak murid berkantong delapan). Sejak kecil hingga besar aku pun kenal Tay-goan. Gaya tulisannya kukenal. Maka tidak perlu diragukan lagi tulisan di atas sampul surat wasiat ini memang benar adalah tulisan tangan Tay-goan sendiri. Ketika surat ini diserahkan padaku oleh Be-hujin, segel di atas sampul surat ini masih tertutup rapat dan baik. Karena khawatir membikin runyam urusan penting, maka tanpa menunggu para tianglo yang lain aku lantas membukanya. Waktu kubuka surat ini, Tiat-bin-poan-koan Tan-heng kebetulan juga berada

di situ, untuk mana dia dapat menjadi saksi. Memang benar, tatkala itu kebetulan aku bertamu di tempat kediaman Ci-tianglo dan dengan mataku sendiri kulihat dia membuka dan membaca surat wasiat itu, tukas Tan Cing. Segera Ci-tianglo melolos keluar sehelai surat dari sampul, katanya pula, Waktu mula-mula aku membaca gaya tulisan dalam surat ini ternyata bukan tulisan tangan Tay-goan, aku rada heran. Kulihat pembukaan surat itu tertulis: Kiam-yan saudaraku. Aku menjadi heran. Sebab kalian tentu tahu, Kiam-yan adalah nama alias mendiang Ong-pangcu kita, bila bukan orang yang bersahabat kental dengan dia, tidak mungkin menyebut nama aliasnya itu. Padahal sudah lama Ong-pangcu wafat, mengapa ada orang menulis surat kepadanya? Maka aku tidak lantas membaca isi surat, tapi membaca nama si penulis surat. Dan begitu lihat, aku bertambah heran hingga bersuara, He, kiranya dia! Dan karena tertarik, Tan-heng yang berada di sampingku lantas ikut melongok surat yang kupegang itu dan serta-merta ia pun bersuara heran, Eh, kiranya dia! Perbuatanmu itu terang salah, Tan-loji, tiba-tiba Tio-ci-sun menyela. Surat itu adalah surat rahasia Kay-pang mereka. Engkau bukan anggota Kay-pang yang berkantong satu atau dua, bahkan menjadi pengemis juga tidak pernah, mengapa berani mengintip surat orang yang penting itu? Jangan mengira orang aneh itu suka angin-anginan, ucapannya ternyata sangat tepat. Keruan muka Tan Cing rada merah, sahutnya, Aku cuma melongok nama pengirim surat itu, kan tidak membaca isinya. Apa bedanya melongok sedikit dan membaca banyak? sahut Tio-ci-sun. Engkau mencuri seribu tahil emas disebut maling, mencuri satu peser juga maling namanya. Bedanya cuma jumlah uang banyak atau sedikit, maling besar atau maling kecil, tapi kan sama-sama maling namanya? Maling besar adalah maling, maling kecil juga maling. Mengintip surat orang lain berarti bukan seorang kuncu (gentleman), dan kalau bukan kuncu tentu adalah siaujin (orang kecil, tak bermoral), kalau siaujin, itu berarti rendah kotor. Kalau orang rendah begitu, sepantasnya dibunuh! Sungguh gusar Tan Pek-san berlima tak terkatakan, serentak mereka hendak melabrak orang gila itu. Tapi cepat Tan Cing memberi tanda agar putra-putranya itu jangan sembarangan bertindak, biarlah orang itu ngaco-belo sesukanya, nanti saja sekaligus diadakan perhitungan dengan dia. Diam-diam ia pun heran dan bingung, Begitu bertemu dengan aku, orang ini lantas terus-menerus mencari perkara padaku, jangan-jangan dia mempunyai dendam apa-apa padaku? Orang Kangouw yang berani memandang enteng kepada keluarga Tan boleh dikatakan dapat dihitung dengan jari. Tapi siapakah sebenarnya orang ini, mengapa aku tidak mengenalnya? Di lain pihak karena semua orang lagi tertarik ingin tahu siapakah sebenarnya nama pengirim surat yang dimaksudkan Ci-tianglo itu, maka mereka menjadi marah terhadap ocehan Tio-ci-sun yang mengacau itu. Serentak mereka melotot kepada orang tua itu. Kalian melotot apa? Apa yang dikatakan Sukoku memang sedikit pun tidak salah, tiba-tiba Tam-poh membuka suara.

Mendengar dirinya dibela bekas kekasih itu, Tio-ci-sun menjadi kegirangan, katanya, Nah, kalian sudah dengar sendiri, bahkan Siau Koan juga membenarkan perkataanku, masakah aku bisa salah? Apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya pasti benar. Benar, apa yang dikatakan atau dilakukan Siau Koan selamanya tak bisa salah. Dia menikah dengan Tam-kong dan tidak kawin denganmu, hal itu pun sekali-kali tidak salah, demikian tiba-tiba disela suara seorang yang bernada persis seperti Tio-ci-sun. Orang yang bicara ini bukan lain A Cu adanya. Dia gemas terhadap ucapan Tio-ci-sun yang menghina Buyung-kongcu tadi, maka tiada hentinya ia mencari perkara padanya. Tio-ci-sun menjadi bungkam dan menyeringai mati kutu demi mendengar ucapan A Cu itu. Sebab cara debat A Cu itu telah menggunakan dialektika yang tepat, yaitu sesuai dengan kesukaan Buyung-si dengan istilahnya yang terkenal Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin atau menggunakan cara orang untuk diperlakukan kembali terhadap orang itu. Begitulah maka ada orang yang sangat berterima kasih kepada A Cu, mereka adalah Tam-kong dan Tan Cing. Tapi pada saat itu juga mendadak sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Tam-poh sudah melesat ke depan A Cu, plak, kontan nenek itu tampar pipi kanan si gadis sambil membentak, Aku salah menikah atau tidak, peduli apa dengan omongan budak busuk macam kau ini? Tamparan Tam-poh itu benar-benar cepat luar biasa, A Cu hendak berkelit juga tidak sempat lagi, orang lain lebih-lebih tidak keburu untuk menolongnya. Maka lenyap suara tamparan menyusul pipi A Cu yang putih mulus itu lantas timbul lima jalur merah biru bekas jari. Maka terbahak-bahaklah Tio-ci-sun, serunya, Tepat benar hajaran itu, biar budak kurang ajar itu tahu rasa! Seketika A Cu memberambang hendak menangis, tapi belum lagi menangis, tiba-tiba Tam-kong mengeluarkan sebuah kotak porselen kecil, ia buka tutup kotak itu dan mencolek sedikit salep dengan ujung jarinya, lalu ia usap-usap beberapa kali di pipi A Cu hingga tempat yang tertampar itu dibubuhi selapis salep tipis. Belum sempat A Cu berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu pipi yang tadinya terasa panas pedas kini berubah menjadi dingin segar, berbareng tangan kiri telah memegang sesuatu benda. Waktu A Cu memeriksanya, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil yang putih, ia tahu hadiah dari Tam-kong itu berisi obat luka yang sangat manjur, maka ia tidak jadi menangis, sebaliknya malah tertawa. Ci-tianglo tidak pusing cara bagaimana kedua kakek dan nenek itu akan bertengkar sendiri, tapi ia lantas bicara pula dengan suaranya yang agak serak, Saudara-saudara sekalian, siapakah penulis surat ini sebenarnya saat ini belum waktunya untuk kukatakan. Aku orang she Ci sudah lebih 70 tahun berada dalam Kay-pang, sisa hidup di dunia ini juga takkan lama lagi, selama 30 tahun paling akhir ini aku telah mengasingkan diri dan tidak ikut berkecimpung di dunia Kangouw hingga tidak pernah lagi bercekcok dan bermusuhan dengan orang. Aku sendiri tidak punya anak-cucu, bahkan murid juga tidak punya, aku merasa tiada sedikit pun mempunyai kepentingan pribadi dalam urusan ini. Maka bila aku ingin bicara sedikit, entah apakah saudara-saudara

dapat memercayai diriku? Perkataan Ci-tianglo, siapa yang takkan percaya? sahut para pengemis dengan serentak. Bagaimana dengan pendapat Pangcu? tanya Ci-tianglo kepada Kiau Hong. Selamanya aku sangat menghormat dan menghargai Ci-tianglo, hal ini Cianpwe sendiri cukup tahu, sahut Kiau Hong. Maka tanpa ragu Ci-tianglo meneruskan ceritanya, Sesudah kubaca isi surat, aku benar-benar dihadapkan pada sesuatu yang mahasulit dan penasaran pula. Tapi kukhawatir ada sesuatu yang tidak benar, maka surat ini segera kuserahkan pada Tan-heng untuk dibaca. Sebab hubungan Tan-heng dengan penulis surat ini sangat baik dan pasti kenal gaya tulisannya dan cukup tahu pula bagaimana asal usul penulis surat ini. Oleh karena urusan ini mahapenting dan sangat luas sangkut pautnya, maka aku ingin Tan-heng membuktikan surat ini tulen atau palsu. Tiba-tiba Tan Cing melotot sekali ke arah Tio-ci-sun. Sudah tentu maksudnya mengejek, Apa abamu sekarang? Siapa duga Tio-ci-sun lantas berkata, Ci-tianglo yang minta kau baca, dengan sendirinya boleh kau baca. Tapi waktu pertama kali kau kan mengintip, itu tidak sah. Misalnya seorang dahulu pernah menjadi maling, kemudian menjadi kaya raya dan tidak jadi maling lagi, namun biarpun dia seorang hartawan toh tidak dapat mencuci bersih riwayat hidupnya yang berasal dari maling. Ci-tianglo tidak urus ucapan Tio-ci-sun itu, katanya kepada Tan Cing, Tan-heng, silakan katakan kepada para hadirin, apakah surat ini tulen atau palsu? Cayhe adalah sobat rapat si penulis surat ini, di rumahku juga banyak tersimpan surat berasal dari penulis ini, demikian tutur Tan Cing. Maka segera aku dan Ci-tianglo serta Be-hujin kembali ke tempat tinggalku untuk dicocokkan dengan surat simpananku. Dan nyata gaya tulisannya sama, bahkan sampul suratnya juga serupa, terang surat ini tulen. Sebagai seorang tua, setiap tindakan selalu kulakukan dengan cermat, apalagi urusan ini menyangkut mati-hidup pang kita dan menyangkut nama baik seorang enghiong-hokiat (kesatria dan pahlawan), mana boleh aku bertindak secara serampangan, tutur Ci-tianglo. Mendengar sampai di sini, sinar mata semua orang tanpa terasa beralih ke arah Kiau Hong, mereka tahu enghiong-hokiat yang dimaksudkan itu tentulah Kiau Hong. Tapi demi sinar mata mereka kebentrok dengan sorot mata Kiau Hong, segera mereka menunduk lagi. Aku tahu suami-istri Tam-si dari Hoa-san mempunyai hubungan baik juga dengan penulis surat ini, maka sengaja kudatangi mereka untuk minta nasihat. Untuk mana Tam-poh telah bercerita kepadaku seluk-beluk yang berliku-liku dalam urusan ini. Tapi, ai, sesungguhnya aku tidak tega bicara terus terang, sungguh kasihan, sayang, menyedihkan dan mengharukan! Sampai di sini barulah semua orang tahu bahwa kedatangan Tan Cing dan suami-istri Tam-si adalah karena undangan Ci-tianglo yang minta mereka menjadi saksi.

Lalu Ci-tianglo bertutur lagi, Tatkala itu Tam-poh bilang padaku bahwa ada seorang suheng yang pernah ikut melihat dan mengalami sendiri kejadian itu, kalau suhengnya itu diminta menceritakan duduknya perkara pastilah akan terang persoalannya. Dan suhengnya itu bukan lain adalah Tio-ci-sun Siansing ini. Sifat Siansing ini rada berbeda daripada orang biasa, tidak mudah untuk mengundangnya kemari. Tapi berkat bantuan Tam-poh, cukup sehelai surat saja dan Siansing ini sudah sudi berkunjung kemari .... He, jadi engkau yang mengundang dia ke sini? teriak Tam-kong mendadak kepada Tam-poh dengan gusar. Mengapa sebelumnya tidak kau beri tahukan padaku? Jadi di luar tahuku kau berbuat sembunyi-sembunyi? Berbuat sembunyi-sembunyi apa? sahut Tam-poh tidak mau kalah. Aku menulis surat dan minta Ci-tianglo menyuruh orang mengirimkannya, hal ini dilakukan dengan terang-terangan, mengapa dikatakan sembunyi-sembunyi? Dasar memang kau suka minum cuka, maka tidak kuberi tahukan padamu, sebab kutahu kau pasti akan rewel, buktinya sekarang! Berbuat sesuatu di luar tahu sang suami, tidak menjaga susila sebagai seorang wanita, itulah tidak pantas! seru Tam-kong. Plak, kontan Tam-poh menempeleng pipi sang suami. Sudah jelas ilmu silat Tam-kong jauh lebih tinggi daripada Tam-poh, tapi ketika dipukul sang istri, ia tidak menangkis dan juga tidak berkelit, tanpa bergerak ia biarkan dirinya digampar sekali. Menyusul ia lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil lagi, ia colek sedikit salep dan dipoles di pipi sendiri hingga merah biru bekas tamparan itu hilang seketika. Yang satu memukul dengan cepat yang lainnya cepat mengobati. Dengan demikian rasa gusar kedua orang pun lenyap semua. Semua orang merasa geli oleh kejadian itu. Sebaliknya mendadak Tio-ci-sun menghela napas panjang, dengan suara sedih memilukan ia berkata, Kiranya demikian, kiranya demikian! Ai, tahu begini, menyesal aku sekarang. Kalau cuma dipukul beberapa kali seperti ini apa susahnya? Nada suaranya ternyata penuh rasa penyesalan. Setiap kali bila kupukulmu, selalu kau membalas, selamanya tidak mau mengalah sedikit pun, demikian kata Tam-poh dengan suara lembut. Tio-ci-sun termangu-mangu seperti patung, terkenang olehnya masa lampau. Sang sumoay itu lincah dan genit, sedikit-sedikit suka ngambek dan memukul orang, setiap kali tanpa sebab dirinya dipukul, karena penasaran, maka terjadilah pertengkaran, dan sebab itulah perjodohan yang sebenarnya amat bahagia itu akhirnya gagal. Kini menyaksikan sendiri Tam-kong manda dipukul begitu tanpa membalas, barulah sekarang ia sadar kesalahannya sendiri. Ia menyesal sifatnya yang tidak mau mengalah itu. Pantas selama berpuluh tahun ini ia tidak menemukan jawabannya mengapa sang sumoay bisa jatuh cinta kepada orang lain, kiranya rahasianya cuma satu, yaitu, manda dipukul. Maka terdengar Ci-tianglo sedang berkata, Tio-ci-sun Siansing, harap suka bicara di depan orang banyak, kejadian yang tertulis dalam surat wasiat ini benar atau tidak?

Tapi Tio-ci-sun sedang melayang-layang pikirannya dan bergumam sendiri, Ai, aku benar-benar tolol, mengapa waktu itu tidak dapat berpikir? Kusangka belajar silat gunanya untuk menghajar musuh, untuk memukul orang jahat, mengapa dipakai menghantam badan sang kekasih? Siapa tahu memukul itu artinya cinta, memaki itu artinya suka. Ai, ai, jika begitu, apa artinya cuma menerima beberapa kali tempelengan? Semua orang merasa geli dan merasa cinta buta orang aneh itu pantas dikasihani pula. Orang lain sedang menghadapi urusan mahapenting dalam Kay-pang, sebaliknya ia sendiri bicara yang tidak-tidak. Lalu, kebenaran ceritanya apa dapat dipercaya? Karena tidak mendapat jawaban sebagaimana mestinya, kembali Ci-tianglo tanya lagi, Tio-ci-sun Siansing, kami mengundangmu ke sini hanya ingin minta engkau suka menceritakan bagaimana isi surat itu. O, ya, benar! seru Tio-ci-sun. Ehm, tentang isi surat itu, meski ringkas saja tulisannya, tapi cukup mengesankan .... Empat puluh tahun yang lalu kita tinggal dalam serumah dan makan semeja, suasana itu seakan-akan baru saja terjadi, bila terkenang sekarang, tentu kakak pun sudah ubanan, wajah dan senyum pasti tidak lagi seperti sediakala. Buset! Ci-tianglo tanya bagaimana isi surat wasiat Be Tay-goan itu, sebaliknya ia menguraikan isi surat cinta yang diterimanya dari Tam-poh. Karena kewalahan, akhirnya Ci-tianglo berkata kepada Tam-poh, Tam-hujin, harap engkau yang minta dia bicara saja. Tak terduga Tam-poh sendiri juga lagi termangu-mangu ketika mendengar bekas kekasih itu sedemikian memerhatikan sepucuk suratnya, bahkan isi surat dihafalkan di luar kepala, suatu tanda surat itu entah berapa kali telah dibacanya. Dan demi mendengar permintaan Ci-tianglo itu, maka berkatalah dia, Suko, harap tuturkan bagaimana kejadian dahulu itu. Kejadian dahulu itu sampai sekarang masih kuingat dengan baik, sahut Tio-ci-sun. Rambutmu terkepang menjadi dua kucir, ujung kucir berhiaskan dua pita kupu merah. Waktu Suhu mengajarkan jurus Thau-liong-coan-hong itu .... Mendengar istilah Thau-liong-coan-hong atau mencuri naga dan menukar burung hong, Giok-yan seperti sadar akan sesuatu, ia mengangguk perlahan. Sedangkan Tam-poh lantas berkata, Suko, jangan lagi bicara urusan kita masa lampau, tapi Ci-tianglo sedang tanya padamu tentang banjir darah dalam pertempuran di Loan-ciok-kok di luar Gan-bun-koan dahulu, di mana engkau sendiri ikut menyaksikan, maka ceritakanlah kepada hadirin dari apa yang kau lihat itu. Tentang ... tentang pertempuran di ... di Loan-ciok-kok (lembah batu padas) ... di Gan-bun-koan .... sahut Tio-ci-sun dengan suara gemetar dan air muka berubah hebat, sekali putar tubuh, sekonyong-konyong ia melarikan diri ke arah selatan yang lowong itu dengan cepat luar biasa. Melihat orang aneh itu dalam sekejap saja akan lenyap di balik hutan sana, untuk mengejar terang tidak keburu lagi, maka semua orang cuma dapat berteriak-teriak untuk mencegahnya. Namun Tio-ci-sun tidak peduli lagi, ia

berlari terlebih cepat. Rambut kakak kini tentu sudah ubanan, wajah dan senyummu pastilah tidak lagi seperti sediakala, demikian mendadak suara seorang berseru dengan lantang. Sekonyong-konyong Tio-ci-sun berhenti lari, ia menoleh dan menegur, Siapa itu yang bicara? Habis, bila bukan karena itu, mengapa engkau merasa malu menghadapi Tam-kong dan mesti melarikan diri? sahut suara itu. Waktu semua orang memandang ke arah suara itu, kiranya yang bicara adalah Coan Koan-jing. Siapa yang merasa malu? Paling-paling dia cuma pandai manda dipukul, apanya yang mampu mengalahkan aku? Tio-ci-sun. Manda dipukul tanpa membalas, itu adalah ilmu nomor satu di dunia ini, masakah gampang dipelajari? tiba-tiba suara seorang tua menyela dari balik hutan sana. Ketika semua orang berpaling, tertampaklah dari balik pohon sana muncul seorang hwesio berjubah warna kelabu, bermuka lebar dan bertelinga besar, wajahnya sangat kereng. Hah, kiranya Ti-kong Taysu dari Thian-tay-san telah tiba, sudah lebih 30 tahun tidak bertemu, Taysu ternyata masih sehat dan kuat, segera Ci-tianglo menyapa. Nama Ti-kong Hwesio tidak terkenal dalam Bu-lim, maka tokoh-tokoh angkatan muda dari Kay-pang tiada yang kenal asal usulnya. Tapi Kiau Hong, Coan Koan-jing dan para tianglo seketika bangkit untuk menyambut kedatangan padri itu. Mereka kenal padri itu pernah mengembara ke luar lautan untuk mencari obat-obatan yang tepat untuk menyembuhkan penyakit malaria yang berjangkit di sekitar provinsi Kwitang dan Hokkian pada beberapa tahun yang lalu, sebab itulah Ti-kong sendiri sampai jatuh sakit payah dua kali hingga ilmu silatnya pun punah. Namun jasanya bagi kesejahteraan rakyat tidak sedikit artinya. Maka semua orang pun berturut-turut maju untuk memberi hormat padanya. Segera Ti-kong berkata kepada Tio-ci-sun dengan tertawa, Ilmu silat lebih rendah dari lawan dan manda dihantam tanpa membalas, hal ini saja sukar dicari. Bila ilmu silat lebih tinggi, dan diserang tetap tidak membalas, hal ini lebih-lebih jarang terdapat orangnya. Tio-ci-sun termangu-mangu menunduk, ia seperti sadar akan sesuatu. Maka Ti-kong berkata pula, Kebetulan kulewat di sini, tidak nyana para pahlawan sedang berkumpul di sini hingga terganggu, harap dimaafkan, biarlah kumohon diri saja. Ti-kong Taysu adalah padri saleh yang telah banyak menolong sesamanya, siapa pun tentu menaruh hormat, kata Ci-tianglo. Hari ini Kay-pang kami sedang menghadapi suatu persoalan mahasulit, kebetulan Taysu berkunjung kemari, sungguh beruntung Kay-pang kami, sebab kalau sengaja mengundang, belum tentu Taysu sudi datang. Maka mumpung datang, betapa pun harap Taysu suka mengaso

sebentar. Eh, ya, pertempuran di Loan-ciok-kok itu Ti-kong Hwesio juga ikut ambil bagian. Nah, suruh dia saja yang bercerita, tiba-tiba Tio-ci-sun berseru. Mendengar tentang pertempuran di Loan-ciok-kok, sekilas Ti-kong menampilkan rasa heran, seperti takut-takut dan merasa ngeri pula, tapi akhirnya wajahnya kembali kepada perasaan yang welas asih, katanya dengan gegetun, Terlalu banyak bunuh-membunuh! Terlalu kejam! Urusan itu kalau diceritakan sungguh sangat memalukan. Peristiwa Loan-ciok-kok itu adalah kejadian 30 tahun yang lalu, mengapa para Sicu hari ini kembali mengungkatnya? Lantaran saat ini-Kay-pang kami sedang menghadapi pergolakan yang menyangkut isi sepucuk surat ini, kata Ci-tianglo sambil mengangsurkan surat wasiat tadi. Setelah membaca dan mengulangi lagi isi surat itu, Ti-kong geleng kepala dan berkata, Permusuhan lebih baik diselesaikan daripada ditambah, urusan yang sudah lalu buat apa diungkat lagi? Menurut pendapatku, surat ini dibakar saja dan urusan pun selesai! Tapi Be-hupangcu kami telah ditewaskan orang secara mengenaskan, kalau tidak diusut, kematian Be-hupangcu menjadi penasaran dan pang kami pun menghadapi bahaya keretakan, ujar Ci-tianglo. Benar juga, benar juga! kata Ti-kong mengangguk. Tatkala itu bulan sabit tampak menghiasi cakrawala dengan sinarnya yang remang-remang menimpa pucuk pohon hutan itu. Ti-kong memandang sekejap ke arah Tio-ci-sun, lalu berkata pula, Baiklah, aku telah berbuat salah, untuk mana juga tidak perlu ditutupi, biarlah kuceritakan terus terang saja. Kita berjuang demi nusa dan bangsa, tidak dapat dikatakan berbuat salah, ujar Tio-ci-sun. Salah tetap salah, buat apa mesti pakai alasan, ujar Ti-kong sambil menggoyang kepala. Tiga puluh tahun yang lampau, tiba-tiba para pahlawan Tionggoan mendapat berita, katanya lebih 200 jago Cidan akan menyerbu ke Siau-lim-si untuk merampok kitab-kitab suci yang sudah tersimpan beratus tahun dalam biara itu. Semua orang merasa heran dan menganggap ambisi jago Cidan itu benar-benar kelewat batas. Sebab harus diketahui bahwa ilmu silat Siau-lim-si adalah inti ilmu silat seluruh Tiongkok, kalau pelajaran silat Siau-lim-si sampai dirampas bangsa Cidan dan disebarkan dalam pasukan tentara mereka, tentu pasukan Song takkan mampu melawan mereka lagi di medan perang. Sudah tentu urusan itu sangat penting, bila usaha Cidan itu berhasil, tentu kerajaan Song kita akan menghadapi bahaya kehancuran dan anak cucu kita pasti akan musnah pula, demikian Ti-kong melanjutkan. Oleh karena urusan sudah mendesak, kami tidak sempat berunding lebih jauh, ketika mendengar jago-jago Cidan itu akan lewat Gan-bun-koan, di samping kami mengirim orang menyampaikan kabar itu kepada Siau-lim-si, kami lantas berangkat beramai-ramai ke Gan-bun-koan untuk mencegat kedatangan musuh dengan maksud akan menghancurkannya lebih dulu ....

Waktu itu kerajaan Song sering mendapat gangguan dari Cidan, dalam pertempuran pasukan Song selalu mengalami kekalahan, harta benda dan jiwa rakyat jelata banyak yang ikut menjadi korban keganasan musuh. Kini mendengar para pahlawan itu akan melabrak musuh, tanpa terasa semua orang ikut bersemangat meski kejadian itu sudah lama lampau. Kiau-pangcu, tiba-tiba Ti-kong tanya Kiau Hong dengan sinar mata tajam, bila engkau menerima berita begitu, bagaimana kiranya tindakanmu? Ti-kong Taysu, sahut Kiau Hong dengan darah mendidih, biarpun aku orang she Kiau tidak punya kepandaian apa-apa hingga sekarang aku dicurigai para saudara anggota, tapi sekalipun aku tidak becus, paling tidak juga seorang lelaki yang punya keberanian dan berjiwa patriot, terhadap kewajiban yang menjadi bagian setiap bangsa tidak nanti aku tinggal diam. Bangsa dan negara kita sudah banyak diganggu musuh, dendam itu siapa yang tidak ingin membalas? Jika kudengar berita itu, sudah pasti juga aku akan pimpin anggota pang kami dan serentak berangkat ke sana. Semua orang ikut terbangkit semangatnya demi mendengar ucapan Kiau Hong yang gagah berani itu. Ti-kong mengangguk-angguk, katanya, Jika begitu, jadi keberangkatan kami ke Gan-bun-koan untuk menggempur musuh itu menurut pendapat Kiau-pangcu adalah tepat bukan? Diam-diam Kiau Hong mendongkol karena pertanyaan itu, masakah jawabannya tadi kurang tegas hingga perlu ditanya pula? Tapi ia bersikap tenang saja dan berkata, Kiau Hong justru sangat kagum terhadap tindakan para cianpwe yang patriotik itu, sayang aku tidak dilahirkan lebih tua 30 tahun hingga dapat ikut serta dalam rombongan para cianpwe itu untuk menghajar musuh. Ti-kong memandang lekat-lekat kepada pangcu itu dengan air muka keheran-heranan, lalu katanya pula dengan perlahan, Sesudah kami terima pemberitahuan itu, di samping kami mengirim kabar kepada Siau-lim-si, beramai-ramai kami lantas berangkat ke Gan-bun-koan dengan membagi diri dalam beberapa kelompok. Kebetulan saudara ini .... Ia tuding Tio-ci-sun dan menyambung, Dia bersama dalam suatu rombongan kami. Rombongan kami ini seluruhnya berjumlah 21 orang, betapa tinggi ilmu silat Toako Pemimpin tidak perlu dikatakan lagi, kecuali itu masih terdapat Ong-pangcu dari Kay-pang, Koan-in Totiang dari Hoa-san, Ong Hiang-lim, dari Ban-seng-to serta tokoh-tokoh pilihan lain yang terkenal di Bu-lim pada zaman itu. Tatkala mana aku belum lagi menjadi padri, sebenarnya tidak sesuai menggabungkan diri di antara para tokoh terkemuka itu. Cuma terdorong oleh semangat cinta negeri, dalam hal menghadapi musuh tidak mau ketinggalan di belakang orang lain, makanya aku berjuang sepenuh tenaga. Umpama saudara ini, ilmu silatnya waktu itu bahkan jauh di atasku. Memang benar, kata Tio-ci-sun tanpa ditanya, ilmu silatmu waktu itu selisih jauh sekali denganku, paling sedikit sekian selisihnya. Sambil berkata ia terus pentang kedua tangannya untuk memberi suatu ukuran jarak, tapi ketika merasa jarak itu kurang jauh, ia pentang tangannya lebih lebar lagi hingga hampir dua meter jauhnya. Namun Ti-kong tidak urus lagi padanya, ia melanjutkan, Setelah kami melintasi Gan-bun-koan (gerbang tembok besar ujung barat), waktu itu sudah

dekat magrib, sepanjang jalan kami selalu siap siaga dengan hati berdebar-debar. Setelah belasan li jauhnya, hari pun mulai remang-remang. Tiba-tiba dari arah barat-laut sana terdengar derap lari kuda, dari suara itu terang ada belasan jumlahnya. Segera Toako Pemimpin memberi tanda agar berhenti. Rasa hati semua orang waktu itu bergirang tercampur tegang. Girangnya karena berita yang diterima itu ternyata benar, untung kami dapat tiba tepat pada waktunya. Tapi semua orang pun sadar jago-jago Cidan yang datang ini pasti bukan sembarangan jago, kalau tidak, masakah mereka berani menantang Siau-lim-si yang merupakan tulang punggung dunia persilatan di Tiongkok itu, maka dapat dipastikan jago-jago Cidan ini pasti jago pilihan semua. Dalam pertempuran biasanya kerajaan Song kita selalu mengalami kekalahan melawan Cidan, dan pertarungan kami ini apakah dapat menang, sungguh sulit untuk diramalkan. Ketika Toako pimpinan memberi tanda pula, segera kami menyembunyikan diri di balik batu-batu karang di tepi jalan. Sisi kiri lembah pegunungan itu adalah sebuah jurang curam yang banyak terdapat batu karang dan dalamnya jurang sukar dijajaki. Sementara itu derap kuda tadi sudah makin dekat, menyusul terdengar suara nyanyi beberapa orang, lagunya bersemangat, tapi entah apa artinya. Aku pegang golokku dengan erat, saking tegangnya sampai aku mandi keringat. Kebetulan Toako Pemimpin juga mendekam di sampingku, ia khawatir aku tidak tahan sabar, maka perlahan menepuk pundakku sambil tersenyum, lalu memberi tanda pula dengan gaya menghantam, maksudnya membunuh musuh sebentar lagi. Aku menjawabnya dengan tersenyum mantap. Ketika musuh mulai dekat di tempat sembunyi kami, waktu aku mengintip, kulihat jago-jago Cidan itu semuanya memakai baju kulit, ada yang membawa tombak, ada yang bergolok dan ada yang membawa busur dengan panahnya, bahkan ada yang membawa elang pemburu di pundaknya. Mereka datang dengan tetap bernyanyi-nyanyi, sedikit pun tidak peduli apakah di depan bakal diadang musuh atau tidak. Hanya sebentar saja, kulihat berapa orang Cidan yang berada paling depan itu semuanya berwajah bengis dan penuh berewok. Melihat jarak musuh semakin mendekat, hatiku pun tambah berdebar dan tegang .... Walaupun apa yang diceritakan Ti-kong itu adalah kejadian pada 30 tahun yang silam, namun semua orang mengikuti cerita itu dengan berdebar-debar. Kiau-pangcu, kata Ti-kong kepada Kiau Hong, berhasil atau gagalnya usaha kami waktu itu menyangkut nasib negara Song kita dengan berjuta-juta rakyatnya yang tertindas, tapi kami justru tidak yakin akan dapat menang. Keuntungan kami satu-satunya waktu itu adalah kami siap menyerang, sebaliknya musuh tidak tahu. Dalam keadaan begitu, bagaimana kami harus bertindak menurut pendapat Kiau-pangcu? Siasat militer tidak kenal ampun, bila perlu harus memperdayakan musuh, sahut Kiau Hong. Apalagi dalam pertempuran di antara kedua negara seperti itu, kita tidak kenal lagi peraturan Bu-lim atau etiket Kangouw. Pula ketika bangsa penjajah membunuhi bangsa kita, apakah mereka pernah kenal kasihan? Maka menurut pendapatku kita harus menyerangnya dengan am-gi (senjata gelap), dan am-gi itu harus berbisa pula. Tepat, seru Ti-kong sambil menggaplok paha sendiri. Pendapat Kiau-pangcu persis seperti apa yang kami pikirkan waktu itu. Maka ketika Toako Pemimpin

melihat musuh sudah dekat, sekali bersuit, segera ia memerintahkan serangan umum dengan hamburan am-gi dari macam-macam jenis, ada piau baja, ada panah, ada pisau terbang, ada peluru besi dan macam-macam lagi, semuanya berbisa. Maka terdengarlah suara jeritan di sana-sini, musuh menjadi kacau-balau dan tunggang-langgang jatuh dari kuda mereka. Mendengar sampai di sini, seketika banyak di antara pendengar itu bersorak-sorai. Dalam pada itu aku telah dapat menghitung dengan jelas bahwa penunggang kuda musuh itu berjumlah 18 orang, 11 orang di antaranya telah roboh oleh serangan am-gi kami, sisanya tinggal tujuh orang saja. Segera kami mengerubut maju, di bawah hujan macam-macam senjata, hanya sebentar saja ketujuh orang itu pun dapat kami bunuh semua, satu pun tiada yang lolos. Sampai di sini, kembali orang-orang Kay-pang ada yang bersorak lagi. Tapi Kiau Hong dan Toan Ki justru berpikir, Tadi kau bilang jago-jago Cidan itu adalah jago pilihan, tapi mengapa begitu tak becus, hanya sebentar saja sudah terbunuh semua? Maka terdengar Ti-kong berkata pula dengan menghela napas, Sekaligus kami dapat membunuh ke-18 jago Cidan itu, meski bergirang, tapi juga curiga dan merasa jago-jago Cidan itu mengapa begitu tak berguna, hanya sekali-dua gebrak saja sudah lantas mampus, sama sekali bukan jago kelas pilihan, jangan-jangan berita yang diterima itu tidak benar? Dan mungkin pula musuh sengaja mengatur perangkap itu untuk menjebak kami. Tapi sebelum kami sempat bertukar pikiran, tiba-tiba terdengar suara berdetaknya kuda pula, dari arah yang sama tampak muncul lagi dua penunggang kuda. Sekali ini kami tidak bersembunyi lagi, tapi terus memapak maju. Ternyata penunggang kuda itu adalah sepasang laki perempuan. Yang lelaki bertubuh tinggi besar, gagah berwibawa, dandanannya juga jauh lebih mentereng daripada ke-18 orang tadi. Yang wanita adalah seorang nyonya muda dan membopong seorang bayi. Sambil keprak kuda mereka asyik bicara dengan sangat mesra tampaknya, terang mereka itu adalah pasangan suami-istri. Ketika melihat rombongan kami, mereka merasa heran, demi kemudian melihat pula mayat ke-18 orang tadi, lelaki itu seketika berubah beringas terus membentak-bentak menanyai kami. Sudah tentu kami tidak tahu apa yang dikatakannya dalam bahasa Cidan itu. Kawan Put Tay-hiong dari Soasay yang berjuluk Thi-tha (si Pagoda Besi), yaitu karena perawakannya tinggi besar dan kuat, segera membentak, Anjing asing, serahkan nyawamu! berbareng senjatanya yang berwujud toya lantas mengemplang lelaki itu. Namun Toako Pemimpin kami merasa ragu, cepat bentaknya, Jangan sembrono, Pui-hiati, jangan membinasakan dia, tangkap saja untuk ditanyai. Tapi belum lenyap suara Toako Pemimpin, tahu-tahu laki-laki Cidan itu telah ulur tangan kanan hingga toya Pui Tay-hiong kena ditangkapnya, berbareng ia tarik ke samping terus dipuntir, krek, tanpa ampun tulang lengan Pui Tay-hiong dipatahkan. Karena kami tidak sempat lagi penolongnya, maka segera ada beberapa kawan menghamburkan am-gi ke arah musuh. Tapi sekali orang Cidan itu kebas lengan bajunya, serangkum angin keras menyampuk senjata gelap ke samping. Tampaknya sekali dia menghantam lagi pasti jiwa Pui Tay-hiong akan melayang. Tak tersangka dia cuma sedikit angkat toya yang masih dipegangnya itu hingga tubuh Pui Tay-hiong ikut terangkat ke atas lalu toya bersama pemiliknya

dilemparnya jauh-jauh ke tepi jalan, kemudian ia mengoceh entah apa lagi yang tidak kami ketahui maksudnya. Ilmu kepandaian yang ditunjukkan orang Cidan itu keruan membuat kami tertegun semua, betapa lihai ilmu silatnya itu bahkan di Tiongkok sendiri jarang terdapat, nyata berita yang kami terima tentang jago-jago Cidan yang akan menyerbu Siau-lim-si itu bukanlah omong kosong, mungkin jago Cidan yang belum muncul bahkan akan lebih lihai. Kami pikir mumpung menang jumlah orang, biarlah bunuh dulu mereka. Maka sekaligus ada beberapa kawan menerjang ke arah laki-laki itu, sebagian kawan yang lain lantas menyerang si wanita. Tak terduga wanita itu sama sekali tidak mahir ilmu silat, sekali seorang kawan menebas dengan pedangnya, kontan sebelah lengan wanita itu terkutung dan karena itu bayi yang dia gendong itu jatuh ke tanah, menyusul golok kawan lain membacok pula hingga separuh kepala wanita itu terpenggal. Meski ilmu silat laki-laki Cidan itu sangat tinggi, tapi di bawah keroyokan 6-7 orang, betapa pun sukar melepaskan diri untuk menolong anak-istrinya. Semula ia hanya melawan dengan gerak tipu yang hebat untuk merampas senjata para kawan dan tidak melukainya, tapi demi melihat istrinya terbunuh, matanya menjadi merah membara, air mukanya beringas menyeramkan. Tanpa terasa aku merasa jeri tatkala melihat sinar matanya yang menakutkan itu. Ya, itu pun tak bisa menyalahkanmu, tak dapat menyalahkanmu! tiba-tiba Tio-ci-sun menimbrung dengan suara yang penuh penyesalan dan berduka, jauh berbeda dengan ucapannya yang angin-anginan tadi. Pertarungan sengit itu sudah lampau 30 tahun lamanya, demikian Ti-kong menyambung, tapi selama 30 tahun ini entah sudah berpuluh kali, bahkan beratus kali dalam mimpiku seakan-akan kembali pada adegan waktu itu. Sungguh pertarungan yang mahasengit itu terlalu mendalam berkesan dalam benakku. Entah dengan cara apa, sekali tangan laki-laki Cidan itu bergerak, tahu-tahu senjata kedua orang kawanku sudah terampas, menyusul sekali bacok dan sekali tebas, seketika kedua kawan itu binasa. Terkadang orang itu menubruk turun dari kudanya, lain saat ia cemplak pula ke atas kudanya, dan hanya dengan pergi-datang begitu secepat hantu iblis, dalam sekejap saja sudah sembilan orang kawan kami terbinasa di tangannya. Karena itu kami menjadi kalap juga, Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan lain-lain sama menyerbu maju dengan mati-matian. Namun ilmu silat lawan itu benar-benar aneh luar biasa. Setiap serangan, setiap gerakannya selalu sukar diduga, di tengah deru angin keras di luar Gan-bun-koan itu tercampur jerit ngeri para pahlawan waktu menemui ajalnya, seketika berjatuhan buah kepala dan anggota badan bertebaran, dalam keadaan begitu, betapa pun tinggi ilmu silatmu paling-paling juga cuma dapat menjaga diri saja dan tidak mampu menolong kawan yang lain. Menyaksikan pertarungan sengit itu, hatiku sesungguhnya sangat ketakutan, tapi demi tampak para kawan satu per satu terbinasa dengan mengenaskan, mau tak mau darahku mendidih juga, dengan penuh semangat aku menerjang ke arah musuh. Kuangkat golok dan membacok sekuat tenaga ke kepala lawan. Aku sadar bila seranganku luput, maka jiwakulah yang bakal melayang. Tampaknya golokku tinggal belasan senti jaraknya di atas kepalanya, mendadak kulihat tangan orang itu memegang seorang tawanan dan dengan buah kepala tawanan itu ia papak bacokanku itu. Sekilas kulihat kepala orang itu adalah orang kedua Tho-si-sam-hiong dari

Kangsay, keruan aku terkejut, bila bacokanku itu kena, tentu kepalanya akan berpisah dengan tuannya. Maka sebisanya kutarik balik golokku, namun menurunnya yang terlalu keras itu tak dapat kutahan lagi, kepala kuda tungganganku sendiri yang terbacok. Binatang itu meringkik sekali terus berjingkrak. Dan pada saat itulah orang Cidan itu juga menggaplok ke arahku dengan tangannya. Untung pada saat yang sama kudaku menegak hingga mewakilkan aku menahan serangannya itu. Kalau tidak, tentu tulangku yang akan remuk dan jiwa melayang. Tenaga gaplokan orang itu ternyata kuat sekali, seketika aku bersama kudaku mencelat ke belakang, bahkan aku terpental dan jatuhnya persis kecantol di atas dahan pohon besar. Dalam keadaan ketakutan dan merasa entah mati atau hidup, dari atas aku masih sempat menyaksikan kawanku satu per satu disapu roboh oleh orang Cidan itu dan akhirnya tinggal 5-6 orang saja yang masih bertahan sekuatnya. Kulihat saudara ini pun tergeliat roboh bermandikan darah, waktu itu aku menyangka dia sudah mati. Kejadian memalukan itu kalau dibicarakan juga tetap memalukan, tukas Tio-ci-sun, tapi aku juga tidak perlu berdusta, biar kukatakan terus terang. Waktu itu sebenarnya aku tidak terluka, tapi aku jatuh pingsan ketakutan. Kulihat kedua kaki Tho-jiko kena dipegang tangan musuh sekali pentang dan sekali beset, tahu-tahu tubuh Tho-jiko dirobek menjadi dua, perutnya berhamburan. Melihat itu, mendadak jantungku serasa berhenti berdenyut, mataku menjadi gelap dan segala apa selanjutnya tidak tahu lagi. Ya, memang aku pengecut, melihat pembunuhan itu, saking ketakutan aku jatuh pingsan. Siapa pun bila menyaksikan cara orang Cidan itu membunuh seganas iblis, mustahil jika bilang tidak takut, kata Ti-kong. Di bawah sinar bulan remang-remang seperti sekarang ini, kulihat kawan-kawan yang masih menempur orang Cidan itu tinggal empat orang saja. Toako Pemimpin insaf takkan lolos dari elmaut, maka berulang-ulang ia membentak, Siapa kau? Siapa kau? Tapi orang itu tidak menjawab, hanya dua jurus pula, kembali dua orang kawan terbunuh lagi. Mendadak kakinya mendepak hingga hiat-to di punggung Ong-pangcu tertendang, secara berantai menyusul kakinya yang lain menendang pula hingga hiat-to bawah iga Toako Pemimpin kena didepak. Tentang ilmu tiam-hiat sudah pernah kulihat macam-macam caranya, tapi orang itu ternyata dapat menggunakan ujung kaki untuk menutuk hiat-to, baik jitunya maupun cepatnya tendangan musuh sukar dibayangkan. Bila waktu itu aku tidak ingat jiwa sendiri juga terancam elmaut dan kedua korban tendangan itu adalah orang yang paling kuhormati, mungkin saat itu juga aku bisa bersorak memuji. Sesudah semua lawan dirobohkan, orang Cidan itu terus lari ke samping mayat si wanita, ia menangis meraung-raung memeluk jenazah itu, tangisnya sangat memilukan, sampai aku sendiri hampir-hampir ikut meneteskan air mata. Kupikir orang Cidan yang ganas seperti binatang dan iblis ini kiranya juga mempunyai rasa kemanusiaan, betapa rasa dukanya ternyata tidak kalah rendah daripada bangsa Han kita. Memangnya bangsa Cidan juga manusia, sama-sama manusia mengapa bisa lebih rendah dari bangsa Han? Bedanya mereka adalah kaum penjajah, dan kaum penjajah harus diganyang! sela Tio-ci-sun tiba-tiba. Setelah menangis sebentar, kemudian orang Cidan itu mengangkat pula mayat anaknya, ia pandang sejenak, lalu taruh mayat bayi itu di pangkuan ibundanya. Lalu ia mendekati Toako Pemimpin, ia membentak-bentak dan mencaci maki. Namun

sedikit pun Toako tidak menyerah, sebaliknya menjawabnya dengan mata mendelik. Celakanya karena tertutuk, maka ia tidak dapat bicara. Sekonyong-konyong orang Cidan itu menengadah sambil bersuit panjang, tiba-tiba ia gunakan jarinya untuk menulis di atas dinding batu, tatkala itu hari sudah gelap, jarakku dengan dia agak jauh pula, maka aku tidak tahu jelas apa yang ditulisnya itu. Dia menulis dalam bahasa Cidan, biarpun dekat juga kau tidak paham, ujar Tio-ci-sun. Benar, biarpun dapat membaca dari dekat juga tidak mengerti maksudnya, kata Ti-kong. Sesudah menulis, kemudian orang itu mengangkat jenazah istri dan anaknya berjalan ke tepi jurang lalu terjun bertiga. Perbuatannya ini benar-benar di luar dugaanku. Semula aku pikir orang yang berilmu silat setinggi ini tentu mempunyai kedudukan terhormat di negeri Cidan, serangan mereka pada Siau-lim-si sekali ini seumpama dia bukan pemimpinnya, paling tidak juga salah seorang tokoh terpenting. Setelah Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ditawan olehnya, sisanya terbunuh pula, boleh dikata dia telah memperoleh kemenangan terakhir, siapa tahu dia justru membunuh diri dengan terjun ke jurang. Padahal jurang itu penuh dilapis kabut tebal hingga dalamnya sukar dijajaki, betapa pun tinggi ilmu silatnya, sekali sudah terjun ke situ pasti hancur lebur badannya. Begitulah karena kaget, aku sampai menjerit. Siapa duga di dalam kejadian aneh masih ada yang lebih aneh, justru pada saat aku menjerit, tiba-tiba terdengar suara menguak tangis bayi yang berkumandang dari dalam jurang. Menyusul sepotong benda melayang naik dari dalam jurang, bluk, benda itu tepat jatuh di atas badan Ong-pangcu. Kudengar suara tangis bayi yang tiada berhenti-henti, kiranya benda yang jatuh di atas badan Ong-pangcu itu adalah si orok. Waktu itu rasa takutku sudah lenyap, cepat kulompat turun dari atas pohon dan berlari ke dekat Ong-pangcu, kulihat anak Cidan itu telentang di atas perut beliau dan masih menangis. Aku terheran-heran. Sesudah berpikir, akhirnya kutahulah duduknya perkara. Kiranya setelah wanita Cidan itu terbunuh bayinya jatuh ke tanah dan untuk sementara berhenti pernapasannya, tapi sebenarnya belum mati. Waktu laki-laki Cidan itu merasa napas si orok sudah berhenti, ia sangka anak-istrinya sudah tewas semua, maka ia terjun ke jurang bersama kedua sosok mayat. Di luar dugaan, karena mengalami guncangan, mendadak bayi itu siuman kembali terus menangis. Laki-laki Cidan itu sesungguhnya sangat hebat, ia tidak ingin anaknya terkubur hidup-hidup di dasar jurang, maka begitu mengetahui anaknya belum mati, cepat ia melemparkan anaknya ke atas. Ia ingat tempat dan jaraknya, dan dengan persis bayi itu dilemparkan ke atas tubuh Ong-pangcu hingga si orok tidak mengalami cedera apa-apa. Kulihat para kawan hampir seluruhnya binasa dengan mengenaskan, saking duka, bayi itu kupegang dan hendak kubanting mampus. Tapi baru saja kuangkat, tiba-tiba terdengar tangisnya yang lebih keras, aku memandang sekejap mukanya, kulihat mulutnya yang kecil mungil itu terpentang lebar, air mukanya merah padam, kedua matanya yang hitam cemerlang juga sedang menatap padaku. Bila aku tidak memandanginya dan terus membanting mampus dia, mungkin segala urusan menjadi beres. Tapi demi kulihat mukanya yang menyenangkan, betapa pun aku tidak tega turun tangan kejam lagi. Diam-diam aku memaki diriku

sendiri, Hm, membunuh seorang orok yang berumur beberapa bulan, terhitung laki-laki gagah macam apa? Ti-kong Taysu, tiba-tiba ada orang Kay-pang berteriak, bangsa Han kita tak terhitung banyaknya telah menjadi korban keganasan penjajah Cidan. Dengan mata kepala sendiri juga pernah kusaksikan pasukan anjing Cidan menyunduk anak bayi bangsa kita dengan ujung tombak sebagai satai, bahkan anggap perbuatan itu sebagai suatu kesenangan. Coba katakan, kalau mereka boleh membunuh, mengapa kita tidak? Walaupun benar ucapanmu, tapi manusia tetap manusia, dan setiap manusia tentu mempunyai rasa perikemanusiaan sendiri-sendiri, ujar Ti-kong. Aku sudah menyaksikan kematian orang begitu banyak, sungguh aku tidak tega membunuh pula seorang bayi yang tak berdosa. Biarlah, kalian boleh anggap aku keliru, boleh juga katakan aku pengecut, pendek kata aku tetap memberi kesempatan hidup kepada bayi itu. Kemudian aku berusaha hendak membuka hiat-to Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang tertutuk itu. Tapi sayang, pertama karena kepandaianku terlalu rendah, kedua, ilmu menendang hiat-to orang Cidan itu terlalu aneh, biarpun aku sudah berusaha macam-macam jalan tetap Toako dan Ong-pangcu tak dapat bergerak dan tak bisa bicara. Karena tak berdaya, demikian Ti-kong melanjutkan, terpaksa aku mendapatkan tiga ekor kuda dan mengangkut Toako Pemimpin dan Ong-pangcu ke atas kuda, cepat-cepat kami tinggalkan tempat itu. Aku sendiri membopong bayi Cidan itu sambil menuntun kedua ekor kuda yang lain, malam itu juga kami kembali ke Gan-bun-koan untuk mencari tabib pandai, tapi tutukan Toako dan Ong-pangcu itu tetap sukar ditolong. Sampai besok malamnya, setelah genap sehari-semalam, barulah hiat-to itu terbuka sendiri. Karena masih khawatir tentang rencana penyerbuan jago Cidan kepada Siau-lim-si, maka begitu hiat-to mereka terbuka, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu lantas menuju ke luar Gan-bun-koan untuk memeriksa keadaan. Tertampak mayat bergelimpangan di tempat kemarin, waktu kulongok ke dalam jurang, namun aku tidak melihat apa-apa, yang ada cuma kabut belaka. Segera kami bertiga mengubur mereka yang gugur itu. Tapi ketika kami menghitung jumlahnya, ternyata tinggal 17 sosok mayat saja. Jumlah kami semula adalah 21 orang, tinggal kami bertiga, seharusnya yang gugur itu berjumlah 18 orang, mengapa kurang satu? Berkata sampai di sini, sorot matanya lantas menatap ke arah Tio-ci-sun. Ya, sebab salah satu sosok mayat di antaranya telah hidup kembali dan tinggal pergi, sampai sekarang masih tetap gentayangan kian kemari, ialah diriku si Tio-ci-sun-li-ciu-go-the-ong-tan ini, kata Tio-ci-sun dengan senyum pahit. Tapi waktu itu kami pun tidak curiga apa-apa, kami pikir boleh jadi dalam pertarungan sengit itu saudara ini telah terjerumus dalam jurang, maka tidak mengusutnya lebih jauh. Tiba-tiba Toako pimpinan berkata kepada Ong-pangcu, Kiam-yan, jika orang Cidan itu mau membunuh kita sebenarnya terlalu mudah, tapi mengapa dia cuma menutuk hiat-to kita dan membiarkan kita terus hidup? Hal ini pun membingungkan aku. Padahal kita berdua terhitung tokoh pimpinan dan telah membunuh anak-istrinya, pantasnya dia pasti akan membunuh mati kita, demikian jawab Ong-pangcu.

Tapi kami bertiga tetap tidak mengerti, akhirnya Toako Pemimpin berkata, Tulisan yang dia gores di dinding batu itu boleh jadi mengandung arti yang mendalam. Celakanya kami bertiga tidak paham tulisan Cidan. Toako Pemimpin mencari sedikit air sungai untuk mencairkan darah yang sudah membeku di tanah itu, dengan air darah itu lalu dipoles di atas dinding batu lalu baju sendiri yang putih itu ia robek untuk mencetak tulisan di atas dinding. Huruf-huruf Cidan yang ditulis dengan tangan di dinding itu ternyata satu senti dalamnya, melulu tenaga jari ini saja kuyakin di dunia ini pasti tiada yang mampu menandinginya. Diam-diam kami merasa ngeri membayangkan pertarungan sengit kemarin malam itu. Setiba kembali di Gan-bun-koan, Ong-pangcu mendapatkan seorang saudagar peternakan yang sering membeli kuda dari negeri Cidan, ia perlihatkan huruf darah itu dan minta saudagar itu menyalinnya ke dalam bahasa Han di atas kertas. berkata sampai di sini, tiba-tiba ia mendongak memandang ke langit sambil menghela napas panjang, lalu sambungnya, Sehabis membaca terjemahan dalam bahasa Han itu, kami bertiga cuma saling pandang belaka, sungguh kami tidak dapat memercayai apa yang dimaksudkan itu. Dengan rasa tidak puas kami mencari seorang lain lagi yang mahir tulisan Cidan dan secara bagian-bagian kami minta dia menerjemahkan artinya. Tapi ternyata maksudnya serupa. Ai, jika duduk perkaranya memang benar-benar begitu, maka bukan saja kematian ke-17 saudara itu sangat penasaran, bahkan orang-orang Cidan itu telah menjadi korban tanpa berdosa, dan terhadap sepasang suami-istri bangsa Cidan itu kami benar-benar merasa berdosa. Karena ingin lekas mengetahui apa arti tulisan di atas dinding batu itu, sebaliknya Ti-kong belum lagi menerangkan, maka yang tidak sabar lantas berteriak, Apa yang dikatakan tulisan itu? Ya, mengapa merasa berdosa kepada mereka? Para saudara, sahut Ti-kong, bukan aku sengaja merahasiakannya dan tidak mau membeberkan arti tulisan Cidan itu. Tapi hendaklah diketahui bila apa yang dikatakan tulisan itu memang benar, maka Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku boleh dikata telah berbuat kesalahan yang mahabesar dan malu untuk hidup di dunia ini. Bagiku, yang cuma seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, keroco) dalam Bu-lim, kesalahan begitu boleh dikatakan tidak mengapa, tapi bagi Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang mempunyai kedudukan begitu penting, mana boleh sembarangan kukatakan? Apalagi Ong-pangcu sudah wafat, lebih-lebih aku tidak boleh menodai nama mereka berdua. Maka maafkanlah bila sementara ini aku tidak dapat menerangkan. Mendengar hal itu menyangkut nama baik mendiang Ong-pangcu, betapa pun orang-orang Kay-pang, tidak berani tanya lagi. Melihat semua orang sudah diam, kemudian Ti-kong menyambung pula, Setelah berunding dan tukar pikiran, sungguh kami bertiga sukar memercayai apa yang dikatakan dalam tulisan Cidan itu, tapi mau tak mau harus percaya. Maka kami ambil keputusan untuk memberi hidup pada bayi Cidan itu, lebih dulu kami menuju Siau-lim-si untuk melihat gelagat, bila jago-jago Cidan benar menyerbu dan bila kami tak dapat melawan barulah bayi Cidan itu akan kami bunuh pula. Maka siang-malam kami menuju ke Siau-lim-si, kami lihat tidak sedikit kaum kesatria dan pahlawan dari berbagai daerah telah datang membantu, maklum urusan ini menyangkut nasib dan kehormatan berjuta rakyat bangsa kita, maka setiap orang yang mendapat berita bahaya itu semuanya ingin datang membantu.

Sinar mata Ti-kong menyorot dari kiri ke kanan, ke arah pendengarnya, katanya pula, Pertemuan di Siau-lim-si waktu itu mungkin ada di antara hadirin yang berusia sedikit lanjut juga ikut serta. Maka tidaklah perlu kuuraikan lebih lanjut. Waktu itu semua orang cuma siap siaga dan penuh waspada untuk menantikan datangnya musuh. Tapi sejak bulan sembilan hingga akhir tahun, selama tiga bulan itu ternyata tiada kabar sedikit pun tentang gerak-gerik musuh. Ketika orang yang menyampaikan berita semula hendak ditanya, tapi orangnya sudah menghilang. Kami baru menduga berita itu pasti tidak benar dan semua orang telah dibodohi. Korban yang jatuh dalam pertempuran Gan-bun-koan dikatakan terlalu penasaran. Cuma tidak lama kemudian, pasukan Cidan benar-benar menyerbu wilayah Hopak, para pahlawan banyak yang ikut dalam perjuangan melawan penjajah itu, tentang jago Cidan akan menyatroni Siau-lim-si atau tidak sudah tak terpikir lagi oleh mereka, pendek kata orang Cidan adalah musuh kita bersama. Tapi Toako Pemimpin, Ong-pangcu dan aku bertiga karena merasa berdosa dalam peristiwa Gan-bun-koan itu, maka kecuali memberitahukan pengalaman itu kepada pihak Siau-lim-si, kami menyampaikan berita duka itu pula kepada keluarga saudara-saudara yang gugur, lebih dari itu kami tidak beri tahukan kepada siapa-siapa pula. Sedangkan anak Cidan itu pun kami titipkan pada suatu keluarga petani di kaki gunung Siau-sit-san (di sini letak Siau-lim-si). Semula kami dihadapkan pada kesulitan cara bagaimana mengatur diri bocah itu. Kami sudah berdosa kepada ayah-bundanya dengan sendirinya tidak dapat membunuhnya pula. Tapi bicara tentang membesarkan anak itu, padahal bangsa Cidan adalah musuh nasional kita, betapa pun kami bertiga merasa ragu apa takkan terjadi piara harimau mendatangkan bencana? Syukur kemudian Toako Pemimpin mengeluarkan seratus tahil perak kepada petani itu dan minta dia suka merawat anak itu disertai syarat suami-istri petani itu harus mengakui bocah Cidan itu sebagai anak sendiri, bila anak sudah besar, sekali-kali jangan diberi tahu tentang asal-usulnya. Memangnya petani itu tidak punya anak, ia terima dengan kegirangan. Betapa tidak girang, sudah diberi anak, dapat uang pula. Sudah tentu dia tidak tahu anak itu adalah bangsa Cidan, sebab sebelumnya kami sudah mengganti baju anak itu dengan pakaian bangsa Han. Maklum, setiap bangsa kita terlalu benci pada bangsa Cidan, bila tahu anak itu keturunan Cidan, tentu dibunuhnya .... Mendengar sampai di sini, dalam hati Kiau Hong sudah dapat menerka siapa anak yang dimaksudkan Ti-kong itu, dengan suara gemetar ia tanya, Ti-kong Taysu, siapakah nama petani ... petani di kaki gunung Siau-sit-san itu? Jika engkau sudah menerkanya, maka aku pun tidak perlu menutupi lagi, sahut Ti-kong. Petani itu she Kiau dan bernama Sam-hoay. Tidak! Ti ... tidak! seru Kiau Hong dengan suara terputus-putus. Engkau sengaja mengarang cerita yang tidak benar untuk memfitnah diriku. Terang gamblang aku bangsa Han, mana mungkin aku orang Cidan? Kau be ... berani ngaco-belo? .... Kiau Sam-hoay itu adalah ayahku yang sebenarnya, kau ... kau berani sembarangan mengoceh? Habis berkata, mendadak ia melompat maju, sekali pegang, dada Ti-kong kena dijambretnya. Jangan! teriak Ci-tianglo dan Tan Cing berbareng sambil melompat maju

hendak menolong Ti-kong. Tapi Kiau Hong teramat cepat, sekali mengegos, tahu-tahu ia sudah menggeser ke samping sambil menyeret tubuh Ti-kong. Tan Tiong-san, Tan Siok-san dan Tan Ki-san, ketiga putra Tan Cing, serentak menubruk ke belakang Kiau Hong. Dalam keadaan gusar dan dongkol, Kiau Hong mengamuk, sekali pegang, Tan Siok-san kena dilempar pergi, menyusul Tan Tiong-san didepak pula hingga terguling, ketiga kalinya Tan Ki-san kena dibanting ke tanah, menyusul kakinya menginjak di atas kepala jago Thay-san itu. Kelima jago Thay-san itu sangat disegani di sekitar Soatang, sudah lama nama kelima saudara keluarga Tan itu tersohor dan bukan lagi bocah yang masih hijau. Tapi sambil menjambret dada Ti-kong, hanya beberapa kali gerakan saja mereka dirobohkan Kiau Hong tanpa bisa melawan sedikit pun, keruan semua orang sampai terkesima. Sudah tentu Tan Cing, Tan Pek-san dan Tan Siak-san bermaksud menolong anak dan saudara mereka, tapi demi tampak kepala Tan Ki-san terinjak kaki Kiau Hong, asal sedikit Kiau Hong gunakan tenaga, seketika kepala Tan Ki-san bisa pecah. Karena itulah mereka menjadi takut dan tidak berani sembarangan bertindak. Kiau-pangcu, ada persoalan apa, harap bicara secara baik-baik, janganlah pakai kekerasan, keluarga Tan kami juga tiada permusuhan apa-apa denganmu, lepaskanlah putraku, demikian seru Tan Cing dengan nada memohon. Ci-tianglo juga berkata, Kiau-pangcu, Ti-kong Taysu adalah tokoh yang sangat dihormati setiap orang Kangouw, jangan kau bikin susah padanya. Benar, aku Kiau Hong memang tiada permusuhan apa-apa dengan keluarga Tan kalian, selamanya aku pun sangat mengindahkan kepribadian Ti-kong Taysu, jika kalian hendak memecat aku sebagai pangcu, aku rela mengundurkan diri, tapi mengapa kalian mengarang dongeng palsu seperti itu untuk menista diriku. Sebenarnya perbuatan jahat apakah yang pernah kulakukan hingga kalian tega memperlakukan diriku sekeji ini? Mendengar suara Kiau Hong itu agak serak, mau tak mau timbul rasa terharu semua orang. Tapi demi terdengar tulang tubuh Ti-kong Taysu bekertakan, semua orang pun sadar jiwa padri itu sudah di tepi jurang, mati atau hidupnya hanya bergantung di tangan Kiau Hong. Suasana waktu itu menjadi sunyi senyap. Tiada seorang pun berani buka suara. Sampai agak lama tiba-tiba Tio-ci-sun tertawa dingin beberapa kali, katanya, Hehe, benar-benar menggelikan! Bangsa Han toh tidak lebih terhormat dari bangsa lain, bangsa Cidan juga belum tentu lebih rendah daripada binatang! Sudah terang orang Cidan, tapi berkeras mengaku sebagai bangsa Han, memangnya apa sih yang menarik? Sampai ayah-bunda sendiri juga tidak sudi diakui, masakah masih dapat disebut seorang laki-laki sejati, seorang kesatria? Jadi engkau juga mengatakan aku orang Cidan? tanya Kiau Hong dengan melotot. Aku tidak tahu, sahut Tio-ci-sun. Cuma dalam pertempuran di Gan-bun-koan itu, dengan jelas kulihat jago Cidan itu baik air mukanya maupun perawakannya memang sangat mirip engkau. Pertempuran itu boleh dikatakan telah membuat

nyaliku pecah, maka air muka orang itu biarpun lewat seabad lagi juga tetap kuingat. Perlahan Kiau Hong melepaskan Ti-kong, ia tarik kembali kakinya pula dan sekali mencukit, tubuh Tan Ki-san didepaknya pergi dengan enteng. Dan begitu jatuh ke tanah, cepat Tan Ki-san meloncat bangun tanpa terluka sedikit pun. Waktu Kiau Hong pandang Ti-kong, ia lihat padri itu bersikap tenang saja, sedikit pun tiada tanda palsu dan licik. Maka tanyanya, Kemudian bagaimana? Kemudian engkau sendiri pun sudah tahu, sahut Ti-kong. Ketika engkau berusia tujuh tahun, waktu memetik buah-buahan di pegunungan Siau-sit-san, engkau diserang serigala, untung engkau ditolong padri Siau-lim-si. Selanjutnya tiap-tiap hari padri itu datang padamu dan memberi pelajaran ilmu silat, benar tidak? Ya, kiranya kau pun tahu urusan ini, sahut Kiau Hong. Maklum, pada waktu padri Siau-lim-si itu mengajarkan ilmu silat padanya, lebih dulu ia telah berjanji takkan memberitahukan kepada orang lain. Maka orang Kangouw cuma tahu dia adalah ahli waris Ong-pangcu dari Kay-pang dan tiada yang tahu bahwa dia ada hubungan dengan Siau-lim-si. Maka Ti-kong melanjutkan lagi, Tindakan padri Siau-lim-si itu sebenarnya juga atas permintaan Toako Pemimpin kita untuk memberi ajaran padamu agar engkau tidak sampai sesat jalan. Bahkan berhubung dengan itu, aku, Toako Pemimpin dan Ong-pangcu pernah saling berdebat. Aku berpendapat engkau lebih baik bertani saja dan tidak belajar silat hingga terlibat pula dalam suka-duka orang Kangouw. Tapi Toako Pemimpin justru mengatakan kami telah berdosa kepada ayah-bundamu, maka ingin mendidik dirimu hingga menjadi seorang kesatria sejati. Sebenarnya do ... dosa apa kalian itu? kata Kiau Hong. Toh dalam pertempuran antara dua pihak, kalau tidak membunuh tentu akan dibunuh? Tentang itu kelak boleh kau baca sendiri ukiran tulisan di dinding batu di luar Gan-bun-koan itu, sahut Ti-kong. Akhirnya, waktu engkau berusia 14 tahun, engkau lantas diterima menjadi murid Ong-pangcu. Dan bagaimana kejadian selanjutnya, meski semuanya memang berkat rezekimu sendiri yang besar serta bakatmu yang baik hingga banyak mendapat kemajuan yang luar biasa, namun kalau tiada perhatian Toako Pemimpin dan Ong-pangcu yang setiap saat mengawasi dirimu, mungkin tidaklah mudah bagimu untuk mencapai tingkatan seperti sekarang ini. Diam-diam Kiau Hong merenungkan masa silam, banyak sudah bahaya yang pernah dialaminya, tapi segala kesulitan itu selalu dapat dipecahkannya dengan mudah tanpa mengalami kerugian yang berarti. Bahkan banyak kesempatan baik selalu datang sendiri seakan-akan sengaja diantarkan kepadanya tanpa diminta. Dahulu ia sangka hal itu adalah berkat rezeki sendiri yang teramat besar, maka selalu beruntung. Tapi kini demi mendengar cerita Ti-kong itu, ia menjadi ragu apakah mungkin ada seorang pahlawan besar yang diam-diam telah membantunya di luar tahunya? Ia merasa bingung oleh cerita Ti-kong itu. Bila benar seperti apa yang dikatakan maka dirinya adalah bangsa Cidan dan bukan orang Han, begitu pula Ong-pangcu juga bukan lagi gurunya yang berbudi, sebaliknya adalah musuh yang membunuh ayah-bundanya.

Juga pahlawan yang diam-diam membantunya itu bukan lagi sengaja hendak membantunya, tapi karena orang merasa berdosa, maka berusaha menebus kesalahannya itu. Tidak, tidak! Bangsa Cidan terkenal sangat buas dan kejam serta menjadi musuh bebuyutan bangsa Han kita, mana boleh aku menjadi bangsa Cidan? demikian pikirnya. Sementara itu Ti-kong telah menyambung, Semula Ong-pangcu masih waswas padamu, tapi kemudian demi melihat pelajaran silatmu maju sangat pesat, tingkah lakumu juga sangat mencocoki hatinya, terhadap dia kau pun sangat menghormat dan mengindahkan, maka lambat laun ia pun sayang padamu, lebih jauh sesudah engkau banyak berjasa, namamu tambah disegani baik di dalam maupun di luar Kay-pang, maka setiap orang tahu bahwa jabatan ketua Kay-pang selanjutnya pasti akan diserahkan padamu. Namun Ong-pangcu sendiri masih ragu, yaitu disebabkan engkau adalah keturunan Cidan. Beliau telah menguji tiga soal padamu dan semuanya dapat kau laksanakan dengan baik, habis itu dia mengharuskan pula padamu melakukan tujuh tugas besar yang lain, kemudian barulah dia menurunkan Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) padamu. Pada tahun diadakan Thay-san-tay-hwe, engkau seorang diri telah mengalahkan delapan musuh Kay-pang yang paling tangguh hingga nama Kay-pang menjagoi dunia persilatan, maka tanpa ragu lagi akhirnya beliau mengangkat dirimu sebagai pengganti pangcu. Dan setahuku, selama beratus tahun ini, tiada seorang pangcu yang mendapatkan jabatannya dengan perjuangan sulit seperti engkau ini. Aku hanya mengira Insu (guru berbudi) Ong-pangcu sengaja menggembleng diriku, setelah menghadapi berbagai kesulitan tentu aku akan lebih masak dalam menghadapi tugasku kelak, tapi ternyata .... sampai di sini, sudah delapan bagian Kiau Hong percaya apa yang dikatakan Ti-kong tadi. Dan hanya sekian saja yang kutahu, kata Ti-kong. Setelah engkau menjabat pangcu, dari kabar yang kuperoleh di Kangouw, semua orang mengatakan engkau banyak melakukan amal kebaikan bagi rakyat dan negara, Kay-pang juga bertambah maju di bawah pimpinanmu, sudah tentu diam-diam aku bergirang bagimu. Apalagi kudengar beberapa kali engkau telah menggagalkan muslihat musuh dan membunuh beberapa jago Cidan, maka kekhawatiran kami semula tentang memiara harimau mendatangkan bencana itu menjadi tiada beralasan lagi. Sebenarnya urusan dirimu ini tidak perlu diungkat lagi, tapi entah siapa yang telah menyiarkannya, hal ini rasanya takkan mendatangkan manfaat baik bagi Kiau-pangcu sendiri maupun bagi Kay-pang. Jilid 26. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/10/2 (2091 reads) Banyak terima kasih atas uraian Ti-kong Taysu sehingga kita semua dapat mengikuti duduknya perkara dari awal, kata Ci-tianglo. Lalu ia unjuk surat yang dipegangnya tadi, Dan surat ini adalah kiriman pendekar Toako Pemimpin itu kepada Ong-pangcu, isinya berusaha mencegah Ong-pangcu agar jangan mengangkat engkau sebagai gantinya. Nah, silakan baca sendiri, Kiau-pangcu. Coba kulihat dulu, apakah surat itu asli atau bukan, kata Ti-kong tiba-tiba sambil menerima surat itu dari tangan Ci-tianglo. Setelah membaca, katanya pula, Ya, memang betul adalah tulisan tangan Toako Pemimpin.

Sembari berkata, diam-diam ia gunakan jari tangan kiri untuk robek bagian yang ada tanda tangan penulis surat itu, lalu dimasukkan ke mulut terus ditelan. Tatkala itu hari sudah gelap, di tengah hutan hanya remang-remang oleh cahaya bintang yang berkedip, waktu Ti-kong merobek surat itu ia pura-pura kurang jelas membacanya, maka surat itu diangkat ke atas, pada saat itulah ia robek ujung surat dan ditelan. Sudah tentu Kiau Hong tidak menduga padri saleh itu bisa berbuat selicik itu, sambil membentak terus saja sebelah tangan menabok ke depan, dari jauh ia tepuk hiat-to padri itu, berbareng tangan lain hendak merebut surat itu. Namun tetap terlambat, sobekan kertas surat itu sudah masuk ke perut Ti-kong. Kau ... kau berbuat apa? bentak Kiau Hong dengan gusar, menyusul ia menabok pula untuk membuka hiat-to orang. Ti-kong tersenyum, sahutnya, Kiau-pangcu, jika engkau sudah mengetahui asal usul dirimu sendiri, tentu engkau akan membalas sakit hati ayah-bundamu. Karena Ong-pangcu sudah meninggal, dia tidak perlu dibicarakan lagi, tapi siapa Toako Pemimpin justru tidak boleh diketahui olehmu. Dahulu pernah kuikut serta menyerang kedua orang tuamu itu, maka segala dosa dan kesalahan biar aku menanggungnya, hendak kau bunuh atau digantung terserahlah padamu untuk melakukannya sekarang. Melihat sikap padri yang sungguh-sungguh itu, wajah tersenyum welas asih, meski berduka dan penasaran, mau tak mau Kiau Hong menaruh hormat juga padanya, maka katanya, Hal ini benar atau tidak, saat ini aku sendiri belum yakin. Hendak membunuhmu juga tidak perlu terburu-buru pada saat demikian. Habis berkata, ia melirik sekejap pada Tio-ci-sun. Benar, termasuk juga aku, kata Tio-ci-sun sambil mengangkat pundak seakan-akan menghadapi urusan sepele saja, utang itu aku pun mempunyai bagian, kapan-kapan saja engkau suka, setiap saat engkau boleh turun tangan. Kiau-pangcu, seru Tam-poh tiba-tiba, setiap tindakan harus dipikirkan masak-masak sebelumnya. Bila sampai menimbulkan persengketaan antarbangsa, maka setiap pahlawan di Tionggoan pasti akan memusuhimu. Kiau Hong hanya tertawa dingin, perasaannya sangat kusut, ia tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya. Ia coba membaca surat, isinya sebagai berikut: Saudaraku Kiam-yan. Setelah pembicaraan selama beberapa hari, maksud mewariskan kedudukanmu ternyata tidak berubah. Setelah beberapa hari kupikirkan, aku pun tetap tidak menyetujui maksudmu itu. Kepandaian pemuda she Kiau itu memang lain daripada yang lain, jasanya juga sangat besar, berjiwa kesatria dan patriotik, bukan saja menjadi tokoh kebanggaan Kay-pang, bahkan setiap kawan persilatan sebangsa juga merasa kagum padanya. Dengan tokoh sehebat itu untuk menggantikan kedudukanmu, perkembangan Kay-pang kelak sudah dapat diduga pasti akan membubung .... Membaca sampai di sini, Kiau Hong merasa cianpwe ini sangat menghargai

dirinya, ia merasa sangat berterima kasih, ia membaca lagi: Namun pertarungan sengit di luar Gan-bun-koan dahulu itu betapa menggetarkan sukma keadaan waktu itu, sampai kini sehari pun tidak pernah kulupakan. Anak itu bukan bangsa kita, ayah bundanya terbinasa di tangan kita. Takkan menjadi soal bila anak ini tidak tahu asal usul sendiri, tetapi bila kelak ia tahu, bukan saja Kay-pang akan musnah di tangannya, bahkan dunia persilatan di Tionggoan juga akan mengalami malapetaka. Orang yang berkepandaian setinggi anak ini pada zaman ini sesungguhnya dapat dihitung dengan jari. Sebenarnya sebagai orang luar tidaklah pantas aku ikut campur urusan Kay-pang kalian, tapi hubungan kita lain daripada yang lain, urusan ini sangat luas pula akibatnya. Maka sebelum ambil keputusan, haraplah dipikirkan lebih masak lagi. Tanda tangan penulis surat itu sudah tidak terbaca lagi karena telah dirobek oleh Ti-kong tadi. Melihat Kiau Hong termangu-mangu setelah membaca surat itu, segera Ci-tianglo mengangsurkan sehelai surat yang lain, katanya, Dan ini adalah tulisan Ong-pangcu, engkau tentu kenal tulisan tangannya. Setelah menerima surat itu, Kiau Hong melihat isinya adalah: Kepada Be-hupangcu, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan para tianglo yang lain untuk dilaksanakan. Apabila Kiau Hong bertindak mengkhianati bangsa dan berhubungan dengan musuh, harus segera membunuhnya dan jangan ayal. Cara bagaimana pelaksanaannya terserah kepada kalian menurut keadaan, siapa yang melaksanakan tugas ini dia berjasa dan tidak bersalah. Tertanda Ong Kiam-thong. Surat wasiat itu tertanggal tujuh bulan lima tahun keenam Goan Hong. Kiau Hong coba menghitung, ternyata hari itu persis adalah hari dirinya diangkat menjadi Pangcu Kay-pang. Kiau Hong kenal baik tulisan tangan gurunya yang berbudi itu, maka tentang asal usul dirinya kini tidak perlu disangsikan lagi. Terkenang dahulu betapa Insu mencintai diriku bagai putra sendiri, siapa tahu pada hari aku menjadi pangcu itu diam-diam beliau menulis juga secarik surat wasiat ini. Saking pilunya air mata lantas bercucuran dan menetes di atas surat wasiat tinggalan Ong-pangcu itu hingga basah seketika. Dalam pada itu Ci-tianglo berkata pula, Harap Pangcu jangan marah kepada kekurangajaran kami. Adapun surat wasiat Ong-pangcu ini sebenarnya cuma diketahui oleh Be-hupangcu seorang dan selama ini disimpannya dengan rapi, tidak pernah ia katakan kepada siapa pun. Selama beberapa tahun ini tindak tanduk Pangcu cukup bijaksana dan terpuji, sekali-kali tidak mungkin bersekongkol dengan musuh untuk menindas bangsa Han. Tentang pesan tinggalan Ong-pangcu ini sudah tentu tidak perlu dijalankan. Ketika Be-hupangcu mendadak tewas barulah surat wasiat ini diketemukan Be-hujin. Sebenarnya semua orang bercuriga Be-hupangcu dibunuh oleh Buyung-kongcu dari Koh-soh, bila Pangcu dapat membalaskan sakit hati Tay-goan, tentang asal usul Pangcu mestinya tidak perlu diumumkan pula, demi untuk kepentingan umum, kupikir surat wasiat Ong-pangcu ini sebaiknya dibakar saja. Tapi ... tapi ....

Sampai di sini ia berpaling ke arah Be-hujin, lalu melanjutkan, Pertama Be-hujin tidak mungkin mengesampingkan sakit hati terbunuhnya Tay-goan tanpa membalas. Kedua, Kiau-pangcu sengaja melindungi bangsa lain, tindak tanduknya membahayakan kesatuan Kay-pang kita .... Aku membela orang asing? Dari mana bisa dikatakan demikian? tanya Kiau Hong bingung. Perkataan Buyung adalah nama keluarga asing, sahut Ci-tianglo. Buyung-si adalah keturunan bangsa Sianbi, seperti bangsa Cidan, sama-sama merupakan bangsa asing di luar perbatasan. O, kiranya begitu, aku benar-benar tidak tahu, kata Kiau Hong. Dan ketiga, tentang Pangcu adalah keturunan Cidan, anggota kita sudah banyak yang tahu sekarang, kekacauan sudah terjadi, untuk menutupi juga tiada faedahnya, kata Ci-tianglo akhirnya. Tiba-tiba Kiau Hong menengadah sambil menarik napas panjang, tanda tanya yang sejak tadi mencekam hatinya baru sekarang terjawab semua. Lalu katanya kepada Coan Koan-jing, Coan-thocu, jadi kau tahu aku ini keturunan Cidan, makanya memberontak, begitu bukan? Benar, jawab Koan-jing tegas. Dan sebabnya Song, Ge, Tan, dan Go berempat tianglo bersepakat melawan aku, apa juga disebabkan hal ini? tanya Kiau Hong pula. Benar, sahut Koan-jing. Cuma mereka masih ragu dan belum berani bertindak, bahkan setiba waktunya, mereka ketakutan malah. Tentang asal usul diriku, dari mana kau mendapat tahu? desak Kiau Hong. Urusan ini menyangkut orang lain lagi, maafkan tak dapat kuberi tahu, sahut Koan-jing. Maklum, kertas tak dapat membungkus api, betapa pun engkau merahasiakannya, akhirnya pasti juga akan ketahuan. Sesaat itu pikiran Kiau Hong bergolak hebat, sebentar ia berpendapat, Tentu mereka iri pada kedudukanku, maka sengaja mengarang berbagai dongengan untuk memfitnah diriku. Sekalipun aku seorang diri juga harus melawan sampai detik penghabisan, tidak boleh menyerah. Tapi lain saat terpikir pula, Namun tulisan tangan Insu itu tidak mungkin dipalsukan. Ti-kong Taysu juga seorang padri berilmu, selamanya tiada dendam permusuhan apa-apa denganku, guna apa dia ikut mengatur tipu muslihat ini? Sedang Ci-tianglo adalah tokoh yang paling tua, mana mungkin dia merencanakan pengacauan pada pang sendiri. Begitu pula Tiat-bin-poan-koan Tan Cing, suami-istri Tam-si dan lain-lain adalah tokoh-tokoh Bu-lim yang terhormat, Tio-ci-sun ini meski angin-anginan, tapi juga bukan sembarangan orang, bila mereka pun bersatu pendapat, masakah hal ini perlu disangsikan pula? Di lain pihak, demi mendengar ucapan Ci-tianglo tadi, para anggota Kay-pang juga merasa bingung. Biasanya Kiau Hong sangat berbudi kepada bawahannya, baik ilmu silatnya maupun tindak tanduknya sangat dikagumi mereka. Siapa duga sang pangcu justru adalah keturunan Cidan. Padahal permusuhan kerajaan Song dengan Cidan semakin hebat, selama

bertahun-tahun anggota Kay-pang yang menjadi korban keganasan musuh itu entah berapa jumlahnya, kini Kay-pang dikepalai seorang keturunan musuh, hal ini benar-benar tak dapat dipercaya oleh siapa pun dan dengan sendirinya tidak boleh terjadi. Tapi bicara memecat Kiau Hong keluar Kay-pang secara terang-terangan, ternyata tiada seorang pun yang sanggup buka suara. Seketika itu suasana di tengah hutan menjadi hening, yang terdengar cuma suara napas orang yang tertekan. Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang nyaring menggema, Para paman dan hadirin sekalian, sungguh malang suamiku telah tewas, sebenarnya siapakah pembunuhnya, sampai saat ini masih sukar dikatakan. Tapi mengingat masa hidupnya tindak tanduk suamiku cukup jujur dan prihatin, rasanya tidak pernah bermusuhan dengan siapa-siapa, maka sesungguhnya aku tidak mengerti siapakah gerangan yang begitu tega mengambil jiwanya. Aku khawatir jangan-jangan pada diri suamiku terdapat sesuatu yang mahapenting dan ingin diperoleh orang lain. Bukan mustahil orang lain khawatir suamiku akan membongkar rahasianya dengan bukti yang berada padanya itu, maka suamiku harus dibunuh olehnya untuk menghilangkan saksi hidup. Yang bicara ini ternyata Be-hujin adanya, nyonya janda Be Tay-goan. Ucapannya cukup jelas, secara langsung ia telah menuduh Kiau Hong adalah pembunuh Be Tay-goan dan tujuan pembunuhan itu adalah untuk menghilangkan bukti-bukti tentang Kiau Hong adalah keturunan Cidan. Perlahan Kiau Hong berpaling, ia menatap tajam wanita yang berperawakan kecil dan lemah gemulai dengan pakaian berkabung itu, katanya, Jadi engkau mencurigai aku sebagai pembunuh Be-hupangcu? Be-hujin sejak tadi berdiri mungkur dengan menunduk, kini mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Kiau Hong. Tertampak biji matanya yang bening bersinar bagai batu permata berkelip di malam gelap. Hati Kiau Hong tergetar. Aku hanya seorang perempuan yang tidak tahu apa-apa, demikian Be-hujin berkata pula, sebenarnya tidak pantas tampil di depan umum seperti ini, apalagi kalau secara serampangan menuduh kesalahan orang. Cuma kematian suamiku sesungguhnya terlalu penasaran, maka dengan sangat kumohon bantuan para paman sudilah mengingat sesama saudara sendiri, sukalah menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya untuk membalas sakit hati suamiku itu. Sembari berkata, terus saja ia berlutut dan ternyata Kiau Hong yang disembah olehnya. Selama hidup Kiau Hong suka mengalah kepada kehalusan dan pantang mundur terhadap kekerasan. Maka terhadap tindakan Be-hujin itu, ia menjadi tak berdaya. Nyonya janda itu tidak mengucapkan sesuatu kalimat yang mengatakan Kiau Hong adalah pembunuhnya, tapi setiap kalimat ditujukan kepadanya. Kini nyonya muda itu menyembah pula kepadanya, biarpun gusar di dalam hati, namun tidak dapat ia umbar lagi. Terpaksa ia balas hormat dan berkata, Harap Enso suka bangunlah!

Be-hujin, tiba-tiba suara seorang wanita lain berseru di pojok kiri sana, ada suatu soal yang kusangsikan, apakah boleh kutanya? Waktu semua orang memandang ke arah suara itu, kiranya pembicara adalah seorang gadis jelita berbaju hijau pupus, itulah Ong Giok-yan adanya. Soal apakah yang hendak nona tanyakan padaku? sahut Be-hujin. Tadi kudengar Hujin bilang surat wasiat Be-cianpwe itu masih tertutup rapat dengan segel, begitu pula waktu surat itu dibuka Ci-tianglo segalanya juga masih baik-baik. Jika begitu, pada sebelum Ci-tianglo membuka surat itu, seharusnya tiada seorang pun yang pernah membaca surat itu, bukan? demikian tanya Giok-yan. Ya, benar, sahut Be-hujin. Jika begitu, surat wasiat Ong-pangcu dan surat pendekar pemimpin itu kecuali Be-cianpwe sendiri, orang lain kan tiada yang tahu. Maka tuduhan Hujin tadi bahwa ada orang ingin membunuh suamimu untuk menghilangkan bukti, terang tidak masuk di akal, ujar Giok-yan. Siapakah nona? Mengapa ikut campur urusan dalam Kay-pang kami? tanya Be-hujin dengan aseran. Urusan dalam Kay-pang kalian dengan sendirinya tidak boleh kuikut campur, sahut Giok-yan. Tapi kalian hendak memfitnah Piaukoku, hal ini tidak boleh jadi. Siapakah Piauko nona? Apakah Kiau-pangcu? tanya Be-hujin. Bukan, sahut Giok-yan dengan tersenyum sambil menggeleng kepala, tapi Buyung-kongcu. O, kiranya begitu, kata Be-hujin, dan ia pun tidak urus Giok-yan lagi melainkan terus berpaling kepada Cit-hoat Tianglo dan berkata, Pek-tianglo, menurut undang-undang pang kita, bila umpamanya tianglo melanggar peraturan organisasi, bagaimana kiranya harus ditindak? Tahu aturan tapi melanggarnya sendiri, hukumannya ditambah sekali lebih berat, sahut Cit-hoat Tianglo tegas. Tapi bila kedudukan pelanggar itu lebih tinggi daripada tianglo, lantas bagaimana? desak Be-hujin. Pek Si-kia tahu ke mana kata-kata itu hendak ditujukan, maka tanpa terasa ia memandang sekejap ke arah Kiau Hong, lalu jawabnya, Undang-undang pang kita ditetapkan sejak leluhur kita dan tidak memedulikan tinggi-rendahnya kedudukan si pelanggar, barang siapa berdosa dia harus dihukum, sama berjasa, sama hukuman, selamanya tidak pandang bulu. Baiklah jika begitu, ujar Be-hujin. Tentang kecurigaan nona itu memang beralasan, semula aku pun berpikir begitu. Tapi sehari sebelum kuterima berita kematian suamiku, tiba-tiba rumahku digerayangi orang pada malam harinya. Semua orang terkejut oleh cerita itu, tanya mereka beramai-ramai, Digerayangi orang? Adakah sesuatu yang dicuri? Melukai orang atau tidak?

Tiada seorang pun yang dilukai, sahut Be-hujin. Maling itu telah memakai dupa penidur untuk membius diriku bersama dua orang pelayanku. Lalu isi rumahku diubrak-abrik dan kecurian belasan tahil perak. Esok paginya lantas kuterima berita duka tentang tewasnya suamiku, dengan sendirinya aku tiada waktu untuk mengurusi peristiwa pencurian itu. Untunglah sebelumnya suamiku telah menyimpan surat wasiat itu di tempat yang sangat dirahasiakan sehingga tidak sampai diketemukan dan dimusnahkan si pencuri. Jelas sekali uraian Be-hujin ini hendak menuduh Kiau Hong sendiri atau paling tidak telah mengirim orang ke rumah Be Tay-goan untuk mencuri dokumen penting itu. Dan kalau berani mengincar surat wasiat itu dengan sendirinya sebelumnya tentu sudah tahu isi surat itu. Maka tuduhannya tentang membunuh orang untuk menghilangkan bukti boleh dikatakan cukup beralasan. Tujuan Giok-yan adalah membela nama baik Buyung Hok dan tidak ingin Kiau Hong tersangkut di dalamnya, maka segera ia menyela pula, Kalau kemalingan sedikit barang atau uang juga kejadian yang biasa saja, cuma secara kebetulan terjadi berbarengan dengan soal lain, kenapa mesti diributkan? Perkataan nona memang benar, semula aku pun berpikir demikian, sahut Be-hujin. Tapi kemudian di bawah jendela tempat maling itu masuk-keluar telah kutemukan sesuatu benda, rupanya tinggalan maling itu dalam keadaan tergesa-gesa. Dan begitu melihat benda itu, aku kaget dan tahu urusannya tidaklah sembarangan urusan. Barang apakah itu? Mengapa bukan sembarangan urusan? tanya Song-tianglo. Perlahan Be-hujin mengeluarkan sesuatu benda dari dalam bungkusan, benda itu sepanjang belasan senti, ia serahkan kepada Ci-tianglo dan berkata, Mohon para paman suka memberi keadilan! Habis menyerahkan benda itu kepada Ci-tianglo ia mendeprok ke tanah dan menangis dengan sedih. Waktu semua orang memandang ke arah Ci-tianglo, orang tua itu sedang membuka benda itu dengan perlahan, kiranya adalah sebuah kipas lempit. Dengan suara tertahan Ci-tianglo lantas membacakan syair di atas kipas yang penuh semangat pahlawan itu. Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang demi mendengar syair itu. Waktu ia perhatikan, ia lihat di balik kipas itu terlukis gambar seorang pahlawan sedang menyerbu keluar perbatasan untuk membunuh musuh. Terang kipas itu adalah miliknya sendiri, syair itu ditulis oleh gurunya yang berbudi, Ong Kiam-thong, dan lukisan itu adalah buah tangan Ci-tianglo malah. Kipas itu biasanya sangat disayangnya dan disimpannya dengan baik-baik, mengapa kini bisa jatuh di rumah Be Tay-goan? Ketika Ci-tianglo membalik kipas itu dan melihat lukisan karya sendiri, ia menghela napas panjang dan bergumam, Bukan bangsa sendiri, tentu pikirannya berbeda. Wahai, Ong-pangcu, engkau benar-benar salah besar dalam urusan ini! Mendadak mengetahui asal usul sendiri adalah keturunan Cidan, hati Kiau Hong menjadi cemas tak keruan. Padahal selama belasan tahun ini setiap hari yang dipikir olehnya hanya cara bagaimana agar dapat membasmi musuh dan lebih banyak membunuh kaum penjajah, sekalipun biasanya ia sangat tenang, mau tak

mau ia menjadi bingung juga. Tapi sesudah kipas lempit itu dikeluarkan dan Be-hujin menuduh dirinya adalah pembunuh Be Tay-goan, hal ini malah membuat hati Kiau Hong lebih tenang, sesaat itu terkilas sesuatu pikiran bahwa ada orang telah mencuri kipas lempitnya itu untuk memfitnah dirinya, hal ini betapa pun takkan berhasil. Maka tanpa ditanya segera ia berkata, Ci-tianglo, kipas ini adalah milikku! Orang Kay-pang yang berkedudukan sedikit tinggi sama tahu bahwa kipas itu adalah milik sang pangcu, hanya sebagian anak buah Kay-pang rendahan yang tidak mengetahui hal itu, maka mereka sama terkesiap demi mendengar pengakuan Kiau Hong itu. Perasaan Ci-tianglo sendiri pun sangat terguncang, ia bergumam, Dalam segala urusan Ong-pangcu selalu menganggap aku sebagai orang kepercayaannya, tapi urusan ini ternyata tidak diberitahukan padaku. Ci-tianglo, sebabnya Ong-pangcu tidak memberitahukan padamu adalah demi kebaikanmu sendiri, tiba-tiba Be-hujin berkata. Apa? Demi kebaikanku? Ci-tianglo menegas. Ya, buktinya Tay-goan, hanya dia yang tahu urusan ini dan dia pun tertimpa bencana, maka ... maka bila engkau juga tahu, pasti juga takkan terhindar dari malapetaka, ujar Be-hujin dengan sedih. Sekarang apa lagi yang akan kalian katakan? tiba-tiba Kiau Hong berseru dengan lantang, sinar matanya menatap tajam dimulai dari Be-hujin terus Ci-tianglo, Pek Si-kia, Thoan-kong Tianglo dan lain-lain. Tapi tiada seorang pun berani buka suara lagi, semuanya diam. Setelah menunggu sampai sekian lama tetap tiada jawaban seorang pun, Kiau Hong lantas berkata pula, Tentang asal usulku sungguh harus disesalkan karena aku sendiri pun belum tahu dengan pasti. Tapi karena sekian banyak kaum cianpwe berani menjadi saksi, betapa pun aku tidak berani sembarangan menyangkal. Maka jabatanku sebagai Pangcu Kay-pang ini sepantasnya aku harus mengundurkan diri. Sembari berkata ia mengeluarkan sebatang pentung bambu hijau mengilat. Itulah Pak-kau-pang atau pentung penggebuk anjing, tanda pengenal pangcu yang sangat diagungkan anggota Kay-pang. Kedua tangan Kiau Hong angkat tinggi-tinggi pentung bambu itu dan berseru, Pentung ini kuterima dari Ong-pangcu, selama ini meski aku tiada berjasa apa-apa bagi Kay-pang, namun syukur juga tidak pernah berbuat sesuatu kesalahan besar. Hari ini aku meletakkan jabatan, siapakah di antara para saudara yang bijaksana mau menerima tanggung jawab jabatanku ini, silakan maju menerima pentung ini. Menurut peraturan Kay-pang, tatkala pangcu baru menerima jabatan harus dilakukan upacara penyerahan Pak-kau-pang dari pangcu lama. Upacara ini tidak dilakukan kalau pangcu lama meninggal dunia. Padahal Kiau Hong sekarang masih muda, ilmu silatnya dapat dibanggakan, betapa pun tiada orang kedua di dalam Kay-pang yang dapat memadainya. Sejak dia menjadi pangcu, biarpun ada juga oknum-oknum yang memusuhinya, tapi tiada seorang pun berani mengincar jabatan pangcu. Apalagi sekarang Kiau Hong

berdiri gagah perkasa di situ, siapa yang berani maju mencalonkan diri untuk menerima pentung bambu itu? Setelah tanya tiga kali dan tetap tiada seorang pun yang menyahut, lalu Kiau Hong berkata lagi, Karena asal usulku masih belum terang, maka jabatan pangcu ini betapa pun tidak berani kupegang lagi. Ci-tianglo, Thoan-kong dan Cit-hoat Tianglo, Pak-kau-pang yang merupakan pusaka utama Kay-pang kita ini silakan kalian bertiga menjaganya bersama. Kelak bila pangcu baru sudah ditetapkan, bolehlah kalian menyerahkan pentung ini kepadanya. Benar juga ucapanmu, sahut Ci-tianglo terus hendak menerima pentung bambu keramat itu. Nanti dulu! mendadak Song-tianglo membentak. Ci-tianglo tertegun dan urung menerima pentung itu, tanyanya, Apa yang hendak Song-hiante katakan? Menurut penglihatanku, Kiau-pangcu bukan bangsa Cidan, ujar Song-tianglo. Dari mana kau tahu? tanya Ci-tianglo. Kulihat dia tidak mirip, sahut Song-tianglo. Mengapa tidak mirip, desak Ci-tianglo. Umumnya bangsa Cidan sangat kejam dan ganas, sebaliknya Kiau-pangcu seorang kesatria yang berbudi luhur, sahut Song-tianglo. Tadi kami telah memberontak padanya, tapi ia rela mengorbankan dirinya demi keselamatan kami dan mengampuni dosa kami. Kalau bangsa Cidan, tidak mungkin mau berbuat demikian. Sejak kecil ia telah mendapat didikan Ong-pangcu, dengan sendirinya watak aslinya sebagai bangsa Cidan yang jahat telah berubah, ujar Ci-tianglo. Jika wataknya sudah berubah, itu berarti bukan orang jahat lagi, kalau dia menjadi pangcu kita, masa kurang pantas? debat Song-tianglo. Menurut pendapatku tiada seorang pun di antara kita yang dapat memadai kejantanan dan kebesaran jiwanya. Kalau ada orang lain ingin menjadi pangcu, akulah orang she Song yang pertama-tama akan membangkang. Sebenarnya banyak juga di antara anggota Kay-pang yang mempunyai pikiran sama dengan Song-tianglo. Karena itu, segera terdengarlah suara ramai yang menyokong pendapat Song-tianglo itu. Beramai-ramai mereka berseru, Bukan mustahil ada orang hendak memfitnah Kiau-pangcu, kita jangan mudah memercayai omongan orang! Ya, urusan yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, siapa yang mau percaya? Jabatan pangcu yang penting ini tidak boleh sembarangan diganti! Aku sudah bertekad bulat berdiri di belakang Kiau-pangcu, orang lain yang menjadi pangcu, aku tidak mau terima. Ayo, siapa yang ingin ikut Kiau-pangcu, silakan berdiri di sisiku sini, seru Ge-tianglo tiba-tiba. Dengan tangan kiri ia tarik Song-tianglo dan

tangan kanan menyeret Ge-tianglo serentak mereka menyisih ke sebelah timur. Menyusul Tay-jin-hun-tho dan Tay-gi-hun-tho, ketiga thocu itu pun menyusul ke sisi timur. Dan karena ketiga thocu itu sudah memberi contoh, dengan sendirinya anak buah ketiga Tho itu pun ikut berdiri ke sisi timur. Sebaliknya Coan Koan-jing, Tan-tianglo, Thoan-kong Tianglo dan para Thocu Tay-ti dan Tay-sin-hun-tho masih tetap berdiri di tempat semula. Dengan demikian anggota Kay-pang sekarang jadi terpecah belah dan terbagi menjadi dua pihak, yang berdiri di sisi timur kira-kira ada separuh, sebaliknya yang tetap berdiri di tempat semula ada tiga bagian, sisanya masih ragu entah mesti ikut pihak mana? Cit-hoat Tianglo biasanya sangat tegas dalam tindak tanduknya, tapi menghadapi persoalan pelik mau tak mau ia jadi ragu juga. Para saudara, demikian Coan Koan-jing buka suara, memang benar Kiau-pangcu adalah seorang kesatria, seorang pintar dan perkasa, siapa pun tentu kagum padanya. Namun kita adalah rakyat kerajaan Song, mana boleh tunduk di bawah perintah seorang Cidan? Justru semakin besar kepandaian Kiau Hong, semakin berbahaya pula bagi kita. Kentut, kentut makmu! segera Ge-tianglo memaki. Kulihat tampangmu justru lebih mirip orang Cidan! Namun Coan Koan-jing tidak menggubrisnya, serunya pula, Kita semua adalah pahlawan berjiwa patriot, masakah terima diperbudak oleh bangsa asing! Perkataan Coan Koan-jing ini ternyata sangat besar pengaruhnya, seketika ada belasan orang yang tadinya ikut berdiri ke sisi timur segera kembali ke sisi barat. Karena itu anggota Kay-pang di sisi timur itu menjadi geger, ada yang memaki dan ada yang main tarik, keadaan menjadi kacau, seketika terjadilah pertarungan serabutan di antara berpuluh orang itu. Para tianglo cepat membentak hendak menguasai keadaan, tapi masing-masing tetap membela anak buah sendiri-sendiri. Go-tianglo dan Tan-tianglo juga saling memaki dan tampaknya akan terjadi juga pertarungan sengit. Syukur pada saat genting itulah Kiau Hong berseru keras-keras, Harap berhenti, saudara-saudara, dengarkan perkataanku! Suaranya keras dan berwibawa membuat para anggota Kay-pang sama melengak, mereka berhenti serentak dan menoleh memandang Kiau Hong. Tentang jabatan pangcu ini, sudah pasti akan kutinggalkan .... Belum selesai ucapan Kiau Hong itu, mendadak Song-tianglo menyela, Pangcu, engkau jangan putus asa .... Aku tidak putus asa, sahut Kiau Hong sambil menggeleng. Urusan lain mungkin aku bisa difitnah, tapi bukti-bukti tulisan tangan guruku Ong-pangcu yang berbudi itu tidak mungkin dapat dipalsukan orang lain. Lalu ia perkeras suaranya dan menyambung, Kay-pang adalah pang terbesar di kalangan Kangouw, namanya berkumandang ke segenap pelosok jagat ini, siapa

orang Bu-lim yang tidak merasa kagum padanya? Bila sekarang terjadi saling membunuh, apakah takkan dibuat tertawaan orang? Maka sebelum aku pergi, ada sesuatu yang ingin kukatakan pada kalian, barang siapa saling berhantam di antara sesama saudara pang kita, maka dia itulah yang berdosa terbesar kepada pang kita. Dasar persaudaraan anggota Kay-pang memang paling mengutamakan keluhuran budi antarkawan. Maka mereka menjadi malu sendiri demi mendengar ucapan Kiau Hong itu. Dan bagaimana kalau ada yang membunuh saudara sesama pang kita? tiba-tiba suara seorang wanita bertanya. Ia bukan lain adalah Be-hujin. Membunuh orang harus ganti nyawa, lebih-lebih membunuh sesama saudara pang, ia harus dikutuk habis-habisan, sahut Kiau Hong tanpa ragu. Baiklah jika begitu, ujar Be-hujin. Orang she Kiau ini selamanya suka blakblakan, selama hidup tidak pernah ada sesuatu rahasia bagi orang lain, seru Kiau Hong pula. Tentang tewasnya Be-hupangcu sebenarnya siapakah pembunuhnya, dan siapakah yang telah mencuri kipasku untuk memfitnah diriku, pada akhirnya kelak pasti akan kubikin terang urusan ini. Be-hujin, dengan kepandaianku orang she Kiau ini, kalau ingin mengambil sesuatu benda ke tempat tinggalmu, rasanya tidak sampai kembali dengan tangan hampa, lebih-lebih tidak mungkin kehilangan sesuatu barang sendiri. Jangankan kediamanmu cuma tinggal dua-tiga orang kaum wanita, sekalipun di tengah istana keraton atau di markas besar panglima jenderal, kalau orang she Kiau ini ingin mengincar sesuatu barang, rasanya dengan mudah juga akan dapat diperoleh. Ucapan Kiau Hong ini sangat perkasa dan bangga, namun para anggota Kay-pang cukup kenal betapa tinggi kepandaiannya, mereka merasa apa yang dikatakan itu memang beralasan dan bukan bualan belaka. Begitu pula Be-hujin lantas menunduk juga dan tidak berani buka suara lagi. Lalu Kiau Hong memberi hormat kepada semua orang sekeliling, katanya pula, Gunung tetap menghijau, sungai tetap mengalir, para saudara-saudara, selamat tinggal, sampai berjumpa pula kelak. Baiklah apakah aku orang she Kiau ini bangsa Han maupun bangsa Cidan, pendek kata selama hidupku ini pasti tidak akan mencelakai jiwa seorang pun bangsa Han, apabila melanggar sumpah ini, biarlah seperti golok ini. Habis berkata, mendadak tangan kirinya menjulur cepat ke arah Tan Cing. Seketika Tan Cing merasa tangannya bergetar, golok yang terpegang di tangannya tak tertahan lagi, sedikit kendur cekalannya, golok itu tahu-tahu sudah berpindah ke tangan Kiau Hong. Ketika jari Kiau Hong menjelentik sekali ke batang golok itu, trang, kontan golok itu patah menjadi dua, bagian ujung golok terpental beberapa meter jauhnya, sedangkan tangkai golok masih terpegang di tangan Kiau Hong. Maaf! katanya kepada Tan Cing sambil membuang tangkai golok itu dan bertindak pergi dengan cepat. Di tengah rasa kaget para anggota Kay-pang yang sedang saling pandang dengan bingung itu, menyusul lantas ada orang berseru, He, jangan pergi, Pangcu! Kembalilah Pangcu, Kay-pang kita masih membutuhkan pimpinanmu!

Tiba-tiba terdengar suara mendesir keras, dari udara tampak jatuh sebatang pentung bambu, itulah Pak-kau-pang yang ditimpukkan kembali oleh Kiau Hong dari jauh. Cepat Ci-tianglo ulur tangan hendak menangkap pentung itu, tapi baru saja tangan menyentuh pentung bambu sekonyong-konyong terasa lengan hingga bahu dan seluruh tubuh tergetar seakan-akan kena aliran listrik. Lekas-lekas ia lepas tangan, begitu keras sambaran pentung itu hingga menancap tegak di tanah. Para pengemis itu berseru kaget, seketika pikiran mereka pun bimbang demi melihat pentung simbol pangcu mereka itu. Toako, tunggu, aku ikut! seru Toan Ki mendadak. Mestinya ia bermaksud menyusul Kiau Hong, tapi baru dua-tiga langkah, betapa pun ia merasa berat meninggalkan Ong Giok-yan, tanpa merasa, ia menoleh. Dan sekali pandang itulah tidak dapat lagi ia tinggal pergi. Otomatis timbul semacam rasa ikatan yang erat, segera ia putar kembali ke hadapan Giok-yan dan berkata, Nona Ong, sekarang kalian hendak ke mana? Piauko telah difitnah orang, boleh jadi ia sendiri masih belum tahu, maka aku harus pergi memberitahukan kepadanya, sahut si gadis. Kecut rasa hati Toan Ki oleh jawaban itu, namun katanya juga, Tapi kalian bertiga adalah nona muda belia, di tengah perjalanan tentu kurang bebas, biarlah aku mengantar kalian ke sana. Dan segera ia menambahkan lagi sebagai penjelasan, Aku pun sudah sering mendengar nama kebesaran Buyung-kongcu, sesungguhnya aku memang ingin sekali berkenalan dengan dia. Dalam pada itu terdengar Ci-tianglo telah berkata kepada para pengemis, Cara bagaimana kita harus menuntut balas bagi Be-hupangcu, biarlah kita nanti rundingkan secara saksama. Sekarang pang kita tidak boleh tanpa pimpinan, sesudah Kiau ... Kiau Hong pergi, pengganti jabatan pangcu ini adalah urusan mahapenting yang tidak boleh ditunda. Mumpung kita telah berkumpul semua di sini, marilah kita lantas merundingkannya segera. Segera Song-tianglo menanggapi, Menurut pendapatku, marilah kita mencari kembali Kiau-pangcu dan mohon dia suka berpikir panjang dan membatalkan maksudnya mengundurkan diri .... Belum habis ucapannya, kontan di sebelah sana ada yang menyela, Kiau Hong adalah bangsa Cidan, mana boleh dia menjadi pemimpin kita? Hari ini kita mengingat baik hubungan selama ini, lain kali kalau bertemu lagi berarti ia musuh kita, harus kita adu jiwa dengan dia. Hm, masa kau ada harganya buat mengadu jiwa dengan Kiau-pangcu? jengek Song-tianglo. Aku sendiri tentu tak mampu melawannya, sahut orang itu dengan gusar, tapi apakah kita cuma satu orang, kita dapat maju sepuluh orang sekaligus, sepuluh orang tidak cukup, maju serentak seratus orang. Kay-pang kita selamanya siap berjuang bagi nusa dan bangsa, masakah jeri kepada seorang musuh?

Karena ucapan yang gagah bersemangat ini, seketika banyak anggota Kay-pang bersorak memuji. Belum lenyap suara sorakan itu, tiba-tiba terdengar suara seorang yang seram tajam berkata di arah barat-laut sana, Kay-pang telah berjanji dengan orang untuk bertemu di Hui-san, tapi ingkar janji, tahu-tahu main sembunyi di sini seperti kura-kura! Hehe, sungguh menggelikan! Suara itu tajam menusuk telinga, tapi lafal kata-katanya tidak tepat, seperti suara orang pilek atau bindeng hingga kedengarannya tidak menyedapkan. Mendengar teguran suara itu, seketika berserulah Cio-thocu dari Tay-gi-hun-tho dan Pui-thocu dari Tay-yong-hun-tho, Haya, Ci-tianglo, memang kita telah ingkar janji dengan orang, maka sekarang musuh telah mencari kemari: Segera Toan Ki mendengar anak berjanji untuk rembulan telah teringat juga waktu bertemu dengan Kiau Hong siang tadi, buah Kay-pang melapor kepada sang toako bahwa mereka telah bertemu dengan orang di atas Hui-san tengah malam ini. Kini mendoyong ke barat, terang sudah jauh lewat tengah malam.

Anggota Kay-pang sendiri sebagian besar tidak tahu adanya perjanjian itu, andaikan tahu juga mereka lebih mementingkan peristiwa penting dalam pang sendiri dan menyampingkan urusan perjanjian dengan orang itu. Kini demi mendengar olok-olok pihak lawan baru mendadak mereka sadar telah ingkar janji. Segera Ci-tianglo bertanya, Janji pertemuan apa? Siapakah lawan? Ia sendiri memang sudah lama tidak ikut campur urusan organisasi, maka sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Apakah Kiau-pangcu yang berjanji akan bertemu dengan orang? Cit-hoat Tianglo coba tanya Cio-thocu dengan suara tertahan. Ya, cuma tadi Kiau-pangcu sudah mengirim utusan ke Hui-san untuk minta kepada pihak lawan agar menunda perjanjian ini sampai tujuh hari lagi, tutur Cio-thocu. Rupanya orang yang bersuara melengking tadi pun sangat tajam telinganya, meski ucapan Cio-thocu itu sangat perlahan, namun dapat didengarnya juga, segera berkata pula, Sekali sudah berjanji, masakah pakai tunda segala? Biarpun tunda satu jam juga tidak boleh. Hm, Kay-pang adalah organisasi terkemuka, masakah takut kepada bangsa asing Se He seperti kalian ini? sahut Pek Si-kia dengan gusar. Soalnya kami sendiri urusan penting di dalam pang hingga tiada tempo untuk menggubris pada kaum keroco seperti kalian ini. Tentang menunda perjanjian adalah urusan biasa, kenapa mesti diributkan? Bluk, mendadak dari balik pohon sana melayang keluar seorang dan terbanting di tanah tanpa berkutik. Waktu Pek Si-kia memerhatikan, ia lihat muka orang sudah hancur tak keruan, leher sudah putus tergorok, nyata sudah mati agak lama, segera ia pun dapat mengenali korban itu adalah wakil Thocu Tay-sin-hun-tho. Keruan Cio-thocu terkejut dan gusar, serunya, Cia-hengte inilah yang diutus

oleh Kiau-pangcu untuk menyampaikan berita penundaan pertemuan dengan musuh itu. Ci-tianglo, kata Cit-hoat Tianglo Pek Si-kia, Pangcu tidak ada, harap engkau suka bertindak sementara sebagai pimpinan. Ia tidak ingin musuh mengetahui Kay-pang sedang menghadapi krisis, agar tidak diremehkan oleh musuh. Ci-tianglo dapat memahami maksud Pek Si-kia itu, ia pikir kalau dirinya tidak tampil ke muka, memang tiada orang kedua lagi yang cocok untuk memegang pimpinan. Maka dengan suara lantang ia berseru, Menurut kelaziman pertengkaran di antara kedua negara, tidak boleh membunuh utusan pihak lawan. Mengapa pihak kalian membunuh utusan yang menyampaikan berita penundaan perjanjian ini? Sikap orangmu ini terlalu angkuh, kata-katanya tidak sopan, di hadapan Ciangkun kami juga tidak mau berlutut, kalau tidak dibunuh, mau diapakan? sahut suara seram melengking itu. Kata-kata ini seketika menimbulkan rasa gusar anggota Kay-pang, beramai-ramai mereka lantas mencaci maki keganasan musuh. Ci-tianglo masih belum tahu macam apakah musuh, tadi didengarnya Pek Si-kia bilang musuh itu bangsa Se He, sedang orang itu mengatakan ciangkun (jenderal) segala, hal ini semakin membingungkannya. Maka ia berkata pula, Mengapa kau main sembunyi-sembunyi, kenapa tidak terang-terangan unjuk diri saja? Hm, ngaco-belo, jangan coba omong besar di sini! Tiba-tiba orang itu terbahak-bahak, laku berkata, Ciangkun, sekarang silakan keluarlah! Sekonyong-konyong terdengar suara trompet berbunyi di tempat jauh, menyusul lamat-lamat terdengar suara tindakan orang banyak dari tempat beberapa li jauhnya. Mereka itu orang macam apakah? Mengenai urusan apa mereka memusuhi kita? demikian Ci-tianglo tanya Si-kia dengan bisik-bisik. Mereka itu bangsa Se He, sahut Pek Si-kia dengan perlahan, di negeri mereka telah didirikan suatu lembaga persilatan yang disebut It-bin-tong (ruang kelas satu), konon pendirinya adalah maharaja mereka untuk mengundang jago-jago silat dari segenap pelosok, mereka yang memenuhi undangan akan diberi gaji besar dan mendapat kedudukan terhormat, kewajiban mereka hanya mengajar ilmu silat kepada perwira negeri Se He. Ehm, negeri Se He selama ini memupuk kekuatan dan pergiat latihan silat, tujuannya bukankah akan mengganggu kerajaan Song kita? ujar Ci-tianglo. Memang begitulah tujuan mereka, sahut Pek Si-kia mengangguk. Setiap orang yang dapat memasuki It-bin-tong itu, katanya ilmu silatnya pasti golongan kelas satu. Ketua It-bin-tong itu konon seorang ongya (pangeran) dengan pangkat Ceng-tang-tay-ciangkun (jenderal besar penggempur ke timur), namanya Helian Tiat-si. Paling akhir ini dia pimpin jago-jagonya itu dan diutus ke kota raja kita untuk menemui Hongsiang dan ibu suri. Padahal maksud yang sesungguhnya adalah untuk memata-matai kekuatan negeri kita.

Di kota raja, Helian Tiat-si telah pamer kekuatan dan bersikap sombong, ia menantang agar perwira kerajaan Song kita coba-coba bertanding dengan jago-jago yang dia bawa. Kita tahu tiada seorang jago kelas tinggi di antara perwira pasukan kita itu, dengan sendirinya tidak mungkin diajukan sebagai jago aduan. Untunglah So Tong-po, So-haksu telah mengusulkan suatu akal kepada ibu suri agar tantangan orang Se He yang kurang ajar itu dilakukan pada tahun depan di kota raja kita. Ehm, akal ulur tempo yang bagus, ujar Ci-tianglo perlahan, selama setahun ini kita dapat mengundang jago-jago silat dari seluruh negeri untuk menghadapi musuh pada tahun depan. Malahan sebelum menginjak negeri kita, orang-orang Se He ini sudah cukup mengetahui situasi dunia persilatan kita, tutur Pek Si-kia, Mereka tahu pang kita adalah salah satu saka guru dunia persilatan Tionggoan, maka bermaksud sekaligus menghancurkan kita dahulu untuk memupuk nama baik, dan tahun depan mereka yakin akan mendapat kemenangan total pula. Bila rakyat kita sudah jeri dan ketakutan kepada kepandaian bangsa Se He mereka, lalu mereka akan mengerahkan pasukan tentaranya untuk menyerbu dan dengan mudah akan dapat merebut negeri kita. Diam-diam Ci-tianglo terperanjat oleh rencana keji musuh, bisiknya perlahan, Ehm, tipu muslihat mereka ini benar-benar sangat keji. Dan begitu Helian Tiat-si meninggalkan kota raja segera mereka mendatangi markas besar kita di Lokyang, tutur Pek Si-kia lebih jauh. Kebetulan waktu itu Kiau-pangcu bersama kami sekaligus telah menuju Kanglam sini hendak menuntut balas bagi Be-hupangcu, maka orang Se He telah menubruk tempat kosong. Dan mereka benar-benar terlalu kurang ajar, mereka menyusul ke Kanglam sini dan akhirnya mengadakan perjanjian dengan Kiau-pangcu untuk bertemu malam ini di Hui-san. Ci-tianglo berpikir sejenak, lalu katanya dengan berbisik, Perhitungan mereka sungguh seenaknya, pertama Kay-pang kita akan dihancurkan, boleh jadi mereka akan maju setindak pula untuk menggempur Siau-lim-si, lalu membasmi Hoa-san-pay dan aliran persilatan lain di Tionggoan hingga kocar-kacir, dengan demikian tahun depan kemenangan pasti di tangan mereka. Dalam pada itu suara derapan kuda yang ramai tadi sudah mendekat, mendadak terdengar trompet berbunyi tiga kali, delapan ekor kuda tampak muncul dengan terbagi menjadi dua barisan. Penunggang kuda itu semuanya bertombak panjang, di atas tombak masing-masing berkibar panji kecil. Ujung tombak bersinar mengilap, lamat-lamat kelihatan keempat panji kecil di sisi barat tersulam dua huruf Se He, sedangkan empat panji kecil di sebelah lain tersulam dua huruf Helian. Menyusul mana muncul delapan ekor kuda yang lain dan berlari cepat ke tengah hutan. Empat penunggangnya segera meniup trompet yang dibawa dan empat orang lainnya menabuh genderang. Diam-diam para pengemis berkerut kening, pikir mereka, Ini kan pasukan tentara di medan perang terbuka, masa dipakai dalam pertemuan dengan kaum persilatan? Setelah bunyi trompet dan genderang tadi, segera muncul pula delapan busu (jago silat) negeri Se He.

Di antara kedelapan orang itu, Ci-tianglo melihat enam orang di antaranya adalah kakek-kakek yang rambut dan jenggotnya sudah ubanan semua, badan mereka pun kurus kering dan reyot. Diam-diam Ci-tianglo membatin, Agaknya inilah tokoh-tokoh dari apa yang disebut It-bin-tong itu? Segera kedelapan busu itu membagi diri ke sisi kanan dan kiri, lalu seorang penunggang kuda masuk ke tengah hutan situ dengan perlahan. Penunggang kuda ini berjubah merah, berusia antara 34-35 tahun, hidungnya besar membetet, tampaknya sangat tangkas dan cerdik. Di belakangnya mengikut seorang laki-laki bertubuh sangat tinggi dan berhidung besar. Begitu masuk ke tengah hutan, segera laki-laki hidung besar itu berseru, Ceng-tang-tay-ciangkun dari Se He tiba, silakan Pangcu dari Kay-pang maju menyambut. Dari suaranya yang melengking seram ini, jelas dia inilah yang bicara tadi. Pangcu kami tidak berada di sini, sementara ini aku yang mewakilkan jabatannya, sahut Ci-tianglo. Para saudara dalam Kay-pang adalah orang Kangouw yang kasar dan rendah, jika Ciangkun dari negeri Se He hendak bertemu dengan kami secara terhormat, rasanya kami tidak berani terima, lebih baik silakan Ciangkun pergi bertemu dengan kaum ningrat kerajaan Song kita saja dan tidak perlu menemui kaum jembel yang kerjanya cuma minta-minta ini. Sebaliknya kalau ingin bertemu secara orang Bu-lim, Ciangkun datang dari jauh, dengan sendirinya adalah tamu, maka silakan turun untuk bicara. Ucapan Ci-tianglo ini sangat tegas, tidak merendah juga tidak kaku, cukup menjaga harga diri pula. Maka diam-diam para pengemis merasa kagum terhadap orang tua itu. Jika Pangcu kalian tidak di sini, Ciangkun kami tidak dapat bicara dengan kalian, sahut laki-laki hidung besar itu. Tiba-tiba ia melihat Pak-kau-pang yang menancap di tanah itu sangat menarik, segera ia berkata, Eh, pentung bambu hijau kemilau ini sangat bagus, biarlah kuambil untuk dijadikan tangkai sapu! Dan begitu tangannya bergerak, segera ia ayun cambuknya hendak membelit pentung bambu itu. Keruan para pengemis menjadi gusar, beramai-ramai mereka memaki, Keparat! Anjing buduk! Enyahlah kau, bangsat! Namun ujung cambuk orang itu tampaknya sudah hampir melilit di batang pentung bambu itu, sekonyong-konyong bayangan orang melesat maju secepat kilat, tiba-tiba ia ulur tangan ke depan pentung bambu hingga ujung cambuk kena melilit di tangannya. Dan sekali ia tekuk lengannya, laki-laki hidung besar itu tidak kuat lagi bertahan di atas kudanya, ia terseret turun dari kudanya dan berdiri di tanah. Berbareng kedua orang sama menarik pula sekuatnya, prak, cambuk itu putus bagian tengah. Menyusul orang itu lantas mencabut pentung bambu itu dan mengundurkan diri tanpa berkata. Waktu semua orang memerhatikan, orang itu rada bungkuk, itulah

Thoan-kong Tianglo. Ia pendiam, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, bila Kay-pang menghadapi kesulitan, tanpa bicara ia lantas turun tangan. Dan sekali gebrak tadi ia berhasil menyeret laki-laki hidung besar itu turun dari kudanya, pecutnya terbetot putus pula, hal ini boleh dikatakan Thoan-kong Tianglo sudah menang satu babak. Ternyata laki-laki hidung besar itu sangat sabar, biarpun kecundang, sedikit pun ia tidak unjuk sikap lesu, bahkan ia berseru, Hah, kaum pengemis memang pelit, cuma sebatang bambu juga tidak boleh diambil orang. Sebenarnya ada urusan apakah para tokoh dan pahlawan Se He mengadakan janji pertemuan dengan Kay-pang kami? tanya Ci-tianglo kemudian. Sebab Ciangkun kami mendengar bahwa Kay-pang mempunyai dua macam kepandaian istimewa, yang semacam katanya bernama Pak-niau-pang-hoat dan yang lain Hang-coa-cap-pek-ciang, sebab itulah kami ingin coba-coba belajar kenal, demikian sahut laki-laki hidung besar. Mendengar ejekan itu, seketika gusarlah para pengemis. Kurang ajar benar pikir mereka, masakah Pak-kau-pang-hoat (ilmu pentung penggebuk anjing) sengaja dikatakan sebagai Pak-niau-pang-hoat (ilmu pentung penghajar kucing) dan Hang-liong-sip-pat-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) diubah menjadi Hang-coa-cap-pek-ciang (18 jurus ilmu pukulan penakluk ular), terang sengaja menghina, maka pertemuan sekarang ini sudah pasti akan diakhiri dengan suatu pertarungan yang menentukan mati dan hidup. Di tengah caci maki para pengemis itu, sebaliknya diam-diam Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Cit-hoat Tianglo dan lain-lain merasa khawatir pula, pikir mereka, Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang ini selamanya cuma pangcu yang mahir menggunakannya, jika lawan sudah kenal kedua macam ilmu ini dan masih berani menantang secara terang-terangan, rasanya mereka pasti bukan sembarangan jago silat dan boleh jadi akan susah dilawan. Maka Ci-tianglo lantas menjawab, Kalian ingin belajar kenal dengan Pak-niau-pang-hoat dan Hang-coa-cap-pek-ciang kami, hal ini tidak sulit. Asal ada kucing buduk dan ular belang kesasar ke sini, sudah pasti kaum pengemis mampu menghajarnya. Dan saudara apakah ingin belajar menjadi kucing atau ular, silakan pilih! Hahaha, kalau dia ingin menjadi ular, itulah kebetulan, kaum pengemis paling suka tangkap ular, tanggung cek-gemol, datang satu tangkap satu, datang sepuluh bekuk sepuluh, tidak terbukti, uang kembali! demikian Go-tianglo ikut menjawab dengan terbahak-bahak. Adu kepandaian kalah sebabak, adu mulut, mati kutu pula, keruan laki-laki hidung besar itu menjadi runyam. Dan selagi ia pikir apa yang hendak dikatakan pula, sekonyong-konyong di belakangnya seorang berteriak dengan suaranya yang kasar dan keras, Biar ular maupun kucing, ayolah, siapa yang berani maju bertempur dulu denganku? Sembari berkata orang itu terus menyelinap keluar dari rombongannya dan berdiri tegak di tengah kalangan dengan bertolak pinggang. Muka orang ini sangat jelek dan menakutkan. Semua orang terkesiap dan ragu menghadapi orang yang bengis dan galak dengan mukanya yang jelek ini, sebaliknya tiba-tiba terdengar Toan Ki lantas berseru, Hei, muridku, kiranya kau juga datang ke sini? Ayo, ketemu Suhu mengapa tidak

lekas menjura? Kiranya laki-laki muka jelek ini tak-lain-tak-bukan adalah Lam-hay-gok-sin Gak-losam, si jahat ketiga dari Su-ok. Mendadak tampak Toan Ki juga berada di situ, Gak-losam terkejut, ia merasa kikuk dan serbasalah, sahutnya dengan gelagapan, Engkau .... Murid baik, segera Toan Ki menyela, Pangcu Kay-pang adalah saudara-angkatku, orang-orang ini adalah Supek dan Susiokmu pula, maka jangan kurang ajar, lekas pulang saja. Mendadak Lam-hay-gok-sin mengerang keras hingga pohon sama tergetar, ia memaki, Keparat, jahanam, haram jadah! Kau memaki siapa haram jadah? tegur Toan Ki. Seperti diketahui, Lam-hay-gok-sin ini meski kejam dan ganas, tapi apa yang pernah ia ucapkan selamanya pasti ditepati dan tidak dijilat kembali. Ia pernah menyembah kepada Toan Ki dan mengaku guru padanya, hal ini tidak pernah disangkalnya. Maka ia lantas menjawab, Aku suka memaki, peduli apa denganmu? Aku kan tidak memaki engkau. Ehm, dan mengapa ketemu Suhu tidak menjura dan menyampaikan salam? Di manakah letak aturanmu, hah? tegur Toan Ki pula. Dengan menahan gusar terpaksa Lam-hay-gok-sin melangkah maju dan berlutut memberi hormat sambil berkata, Suhu, baik-baikkah engkau? Dan saking mengkalnya, begitu berdiri kembali terus saja ia berlari pergi dengan cepat sambil mengerang dengan suaranya yang keras dan mendengung-dengung. Begitu keras suaranya bagaikan air bah yang surut dengan cepat. Hanya dari suaranya ini saja setiap orang akan tahu betapa tinggi lwekangnya, di antara tokoh-tokoh Kay-pang hanya Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo dan beberapa tertua lain yang mampu menandinginya. Tapi seorang pelajar yang lemah sebagai Toan Ki itu ternyata adalah gurunya, hal ini benar-benar membikin mereka tidak habis heran. Tertampak dari rombongan jago Se He melompat pula seorang yang bertubuh tinggi bagai galah bambu, gaya lompatnya ternyata cepat luar biasa, kedua tangan masing-masing memegang sebatang senjata yang berbentuk aneh, panjangnya kira-kira satu meter, ujungnya berbentuk lima jari buatan baja. Cakar baja itu mengilat tersorot sinar rembulan. Segera Toan Ki mengenali orang ini adalah In Tiong-ho yang bergilir Kiong-hiong-kek-ok (terlalu ganas dan mahajahat), yaitu orang keempat Thian-he-su-ok (empat mahadurjana dunia). Diam-diam ia heran mengapa keempat tokoh itu telah mengabdikan diri kepada kerajaan Se He? Waktu Toan Ki memandang pula ke arah rombongan jago-jago Se He, benar juga lantas dilihatnya Bu-ok-put-cok (tiada kejahatan yang tak dilakukan) Yap Ji-nio sedang berdiri di situ dengan tersenyum simpul membopong seorang bayi. Hanya si jahat pertama Ok-koan-boan-eng (kejahatan sudah melebihi takaran) Yan-king Taycu yang tidak kelihatan.

Diam-diam Toan Ki bersyukur si jahat utama itu tidak berada di situ, kalau cuma Ji-ok (si jahat kedua) dan Si-ok (si jahat keempat) saja, tentu jago-jago Kay-pang masih mampu melawannya. Kiranya sesudah Thian-he-su-ok itu meninggalkan negeri Tayli, dalam perjalanan mereka ke utara, mereka bertemu dengan utusan It-bin-tong dari negeri Se He yang ditugaskan mencari jago-jago kosen. Dasar Su-ok itu memang terlalu iseng, terus saja mereka menggabungkan diri ke dalam It-bin-tong. Betapa tinggi ilmu silat mereka, dengan sendirinya hanya sedikit demonstrasi saja mereka sudah lantas diterima sebagai jago pilihan oleh Helian Tiat-si. Dalam perjalanan ke Tionggoan kali ini Helian Tiat-si telah membawa serta keempat durjana itu dan menganggap mereka sebagai tangan kanan-kirinya. Begitulah sesudah In Tiong-ho melompat maju ke tengah, segera ia berseru, Ciangkun kami ingin belajar kenal dengan kedua macam kungfu Kay-pang. Sebenarnya pengemis seperti kalian ini mempunyai kepandaian sejati atau cuma bualan belaka, ayolah, silakan maju untuk coba-coba dengan aku! Biarkan aku yang maju dulu, tiba-tiba Ge-tianglo berkata. Baiklah! sahut Ci-tianglo. Tapi ginkang orang ini sangat hebat, Ge-heng harus hati-hati. Ge-tianglo mengiakan dan maju ke tengah kalangan sambil menyeret tongkat bajanya yang panjang itu, katanya, Ilmu silat Kay-pang kami hanya digunakan menurut keperluan saja, terhadap Bu-beng-siau-cut (kaum keroco) macammu ini masakah perlu pakai Pak-kau-pang-hoat segala? Ini, rasakan dulu toyaku ini! Segera tongkatnya mengemplang ke atas kepala lawan. Badan Ge-tianglo itu gemuk buntak, jadi terbalik daripada tubuh In Tiong-ho yang jangkung lencir. Tapi tongkatnya yang sangat panjang itu masih dapat digunakan menghantam dari atas ke bawah. Dahulu guru Ge-tianglo waktu mengajarkan permainan senjata panjang ini kepadanya, maksud tujuannya memang guna menambal perawakan yang pendek itu, agar dengan tongkat panjang itu dapat dipakai melawan musuh yang lebih tinggi. Begitulah maka cepat In Tiong-ho berkelit ke samping, blang, tongkat baja Ge-tianglo menghantam tanah hingga debu pasir bertebaran, ujung tongkat sampai ambles belasan senti ke dalam tanah. Betapa hebat tenaganya sungguh mengejutkan. In Tiong-ho insaf tenaganya jauh di bawah lawan, maka ia tidak berani menangkis dari depan, tapi terus melompat ke sini dan melesat ke sana, dengan ginkang yang tinggi ia tempur Ge-tianglo dengan main kucing-kucingan. Ge-tianglo putar tongkatnya sedemikian kencang hingga berwujud segulung kabut putih, tapi tetap tidak dapat menyenggol badan In Tiong-ho. Selagi Toan Ki terpesona menyaksikan pertarungan itu, tiba-tiba suara seorang yang merdu berkata di tepi telinganya, Toan-toako, sebaiknya kita membantu siapa?

Waktu Toan Ki berpaling, ia lihat yang bicara itu adalah Giok-yan, seketika hatinya terguncang, sahutnya, Membantu apa maksudmu? Bukankah si jangkung itu adalah kawan muridmu? Dan si pengemis pendek gemuk ini adalah anak buah saudara angkatmu, pertarungan mereka makin lama makin sengit, apakah kita mesti membantu atau menjadi juru pisah saja? sahut Giok-yan. Muridku adalah seorang jahat, si jangkung ini lebih-lebih ganas, maka tidak perlu membantu dia, sahut Toan Ki. O! kata Giok-yan berpikir sejenak. Tapi para pengemis itu telah mengusir Gihengmu dan tidak sudi mengaku dia sebagai pangcu lagi, malahan sembarangan menuduh Piaukoku, maka aku tidak suka kepada mereka. Menurut jalan pikiran gadis itu, siapa yang tidak baik kepada piaukonya, maka orang itu dianggapnya sebagai orang paling jahat di dunia ini. Lalu ia menyambung pula, Si pengemis buntak ini memainkan Hok-mo-theng dari aliran Ngo-tay-san, tapi karena badannya pendek, maka jurus Cin-ong-pian-ciok (Raja Cin mencambuk batu) yang dimainkan itu kurang tepat. Asal si jangkung menyerang bagian kakinya, pasti dia akan kewalahan. Cuma si kurus itu tidak tahu, ia sangka si pendek tentu sangat kuat kuda-kudanya, padahal tidak demikian. Meski suara Giok-yan ini sangat perlahan, tapi kebanyakan jago yang hadir di situ adalah ahli lwekang terkemuka, mereka dapat mendengar juga ucapan Giok-yan itu. Walaupun banyak juga di antaranya kenal asal usul ilmu silat Ge-tianglo, tapi sekali pandang hendak mengetahui di mana letak kelemahan tokoh Kay-pang itu sebenarnya sedikit yang mampu. Dan memang benar juga, demi mereka memerhatikan jurus serangan Ge-tianglo yang disebut Giok-yan tadi yang kelihatannya sangat hebat, namun kuda-kuda kakinya memang kurang kuat. Dengan sendirinya In Tiong-ho juga mendengar komentar Giok-yan itu, ia melirik gadis itu dan memuji, Wah, cantik amat anak dara ini, lebih-lebih pandangannya yang tajam, kalau mau ikut aku dan menjadi istriku masih boleh juga. Sambil berkata, senjata cakar bajanya tidak pernah kendur, ia turut petunjuk Giok-yan tadi dan beruntun tiga kali menyerang bagian bawah Ge-tianglo. Karena hal itu memang benar merupakan kelemahan Ge-tianglo, maka jurus ketiga tak dapat ditangkisnya, cret, pahanya tergurat cukup parah oleh cakar baja musuh hingga darah bercucuran. Dasar sifat Giok-yan memang masih kekanak-kanakan dan hijau, mendengar pujian In Tiong-ho akan kecantikannya, ia merasa senang hingga kata-kata yang bernada rendah itu tidak terpikir olehnya. Dengan tersenyum ia malah menjawab, Huh, tidak kenal malu. Apamu yang dapat dipilih, aku tidak mau menjadi istrimu. Mengapa tidak mau? tanya In Tiong-ho. Ehm, tentu kau sudah punya pacar bukan? Biarlah kubunuh dulu buah hatimu itu, masakah kau takkan menjadi istriku nanti? Perkataan terakhir ini benar-benar telah menusuk perasaan Giok-yan, maka dengan muka merengut ia tidak gubris orang lagi.

Selagi In Tiong-ho hendak menggoda dengan kata-kata pula, tiba-tiba dari rombongan Kay-pang telah melompat keluar seorang kakek lain, itulah Go-tianglo dengan senjatanya yang berupa kui-thau-to, golok yang ujungnya berbentuk kepala setan. Tanpa bicara lagi Go-tianglo terus membabat ke kanan empat kali dan menebas ke kiri empat kali, memotong ke atas empat kali dan membacok ke bawah empat kali, 4 kali 4 sama dengan 16 kali, daya serangannya sangat hebat. Karena tidak kenal ilmu permainan golok lawan itu, In Tiong-ho cuma dapat berkelit ke sini dan menghindar ke sana dengan kelabakan. Segera Giok-yan mengemukakan komentarnya lagi, Su-siang-liok-hap-to-hoat yang dimainkan Go-tianglo ini di dalamnya membawa perubahan menurut perhitungan pat-kwa, pastilah si jangkung itu tak kenal ilmu goloknya ini. Entah apakah dia paham tidak permainan Ho-coa-pat-tah (delapan kali menghantam ular dan bangau), kalau dapat, dengan mudah pasti Go-tianglo akan dikalahkan pula. Mendengar gadis itu memberi petunjuk pula kepada In Tiong-ho, para pengemis menjadi gusar dan sama melotot padanya. Dalam pada itu In Tiong-ho sudah mengubah serangannya, kakinya yang panjang itu melangkah lebar, cakar bajanya menyapu dari samping hingga mirip seekor bangau sedang pentang sayap. Hihi, si jangkung itu telah tertipu olehku, boleh jadi tangan kirinya akan segera tertebas kutung, bisik Giok-yan pada Toan Ki dengan tertawa perlahan. Apa betul? sahut Toan Ki dengan heran. Dan belum lagi Giok-yan menjawab, tertampak serangan golok Go-tianglo sudah mulai kacau, gayanya semakin lambat, tapi mendadak ia menyerang tiga kali dengan cepat, di mana sinar golok berkelebat, sekonyong-konyong In Tiong-ho menjerit kaget, punggung tangan kirinya telah keserempet oleh golok Go-tianglo hingga cakar bajanya jatuh ke tanah. Masih untung juga baginya karena ginkangnya sangat lihai, dengan cepat ia sempat melompat mundur hingga dapat menghindarkan serangan-serangan susulan Go-tianglo yang hebat. Setelah mengalahkan musuh, segera Go-tianglo mendekati Giok-yan, ia mengucap terima kasih kepada nona itu. Giok-yan tersenyum, katanya, Sungguh Ki-bun-sam-cay-to yang hebat! Go-tianglo terkejut, tak tersangka olehnya bahwa gadis itu ternyata kenal ilmu goloknya yang sebenarnya. Kiranya sejak tadi Giok-yan sudah kenal ilmu golok Go-tianglo itu adalah Ki-bun-sam-cay-to, tapi ia sengaja bilang Su-siang-liok-hap-to untuk menyesatkan In Tiong-ho, bahkan ia dapat melihat In Tiong-ho pasti mahir menggunakan serangan Ho-coa-pat-tah, dengan demikian ia sengaja pancing durjana itu masuk perangkap hingga dicecar oleh serangan Go-tianglo, sampai tangan kirinya hampir tertebas kutung. Itu orang yang berdiri di samping Helian Tiat-si dan suaranya melengking seram tadi namanya Nurhai. Walaupun mukanya tidak menarik, tapi orangnya sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, pengetahuannya juga sangat luas.

Demi melihat mula-mula Giok-yan membantu In Tiong-ho mengalahkan Ge-tianglo, kemudian gadis itu bersuara pula dan membikin In Tiong-ho dilukai Go-tianglo, maka ia lantas berkata kepada Helian Tiat-si, Ciangkun, nona cilik bangsa Han ini sangat aneh, kalau kita dapat menawannya ke It-bin-tong dan suruh dia mengatakan segala apa yang dia ketahui, pasti akan sangat besar manfaatnya bagi kita. Ehm, bagus, bolehlah kau tawan dia, sahut Helian Tiat-si. Nurhai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, pikirnya, Sifat Ciangkun benar-benar membikin runyam, setiap kali aku mengusulkan sesuatu akal padanya, selalu ia menjawab, Ehm, bagus, kerjakanlah! Padahal untuk melaksanakan sesuatu tugas tidaklah mudah, apalagi nona cilik ini tampaknya berilmu silat sangat tinggi dan sukar dijajaki, jangan-jangan aku sendiri akan terjungkal dari dibikin malu di depan orang banyak. Urusan hari ini sudah jelas harus membasmi habis kaum pengemis ini, maka lebih baik aku mendahului turun tangan saja. Sesudah ambil keputusan demikian, segera ia melangkah maju, katanya, Ci-tianglo, Ciangkun kami cuma ingin belajar kenal Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang, jika kalian mahir, lekas unjukkan, bila tidak becus, kami tiada tempo buat banyak urusan, maka sekarang juga kami mohon diri saja. Hm, jago-jago It-bin-tong negeri kalian itu ternyata juga cuma begini saja kualitasnya, untuk bisa belajar kenal dengan Pak-kau-pang-hoat dan Hang-liong-sip-pat-ciang rasanya belum sesuai kalau hanya keroco-keroco seperti ini saja, sahut Ci-tianglo. Habis, cara bagaimana untuk bisa sesuai, tanya Nurhai. Lebih dulu harus dapat mengalahkan semua pengemis-pengemis tak becus seperti kami ini, habis itu barulah pimpinan Kay-pang sudi maju sendiri .... belum habis ucapannya, sekonyong-konyong ia terbatuk-batuk hebat, menyusul matanya terasa sakit pedas dan tak dapat dibuka, air mata pun bercucuran tak tertahankan. Dalam kagetnya, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke atas. Sebagai seorang Kangouw yang ulung, begitu merasa matanya tidak beres, segera Ci-tianglo tahu musuh telah main gila, dan begitu badannya terapung di udara, kedua tangan siap menjaga diri sambil menahan napas, sedang kaki kanan beruntun-runtun menerjang tiga kali. Sama sekali Nurhai tidak menduga bahwa seorang kakek-kakek yang sudah ubanan itu begitu tangkas dan cepat, untung dirinya masih sempat berkelit, namun hanya tempat-tempat berbahaya saja dapat dihindarkan, sebaliknya pundaknya juga kena terdepak sekali oleh Ci-tianglo hingga ia sempoyongan dan cepat-cepat melompat mundur. Dalam pada itu para anggota Kay-pang sudah lantas berteriak-teriak, Celaka! Musuh main gila! Hei, mataku kena apa ini? Wah, mataku tak dapat dibuka! Begitulah semuanya merasa mata sakit pedas dan mengucurkan air mata. Giok-yan, A Cu, dan A Pik juga mengalami kejadian yang sama, mata mereka terasa panas dan susah dibuka. Kiranya ini adalah semacam kabut beracun yang tanpa warna dan tiada bau apa-apa yang disebarkan orang-orang Se He. Racun kabut itu adalah buatan dari kabut beracun yang terdapat di pegunungan Se

He, mereka isi di dalam botol, waktu menggunakan, lebih dulu mereka minum obat penawarnya, lalu sumbat botol dibuka dan kabut berbisa itu menguar keluar perlahan-lahan. Dengan begitu biarpun orang yang paling cerdik juga takkan merasa, bila matanya sudah mulai sakit pedas dan mengucurkan air mata, saat itu racun sudah masuk kepala. Maka terdengarlah suara gedebak-gedebuk dan jeritan kaget yang riuh, para pengemis beruntun-runtun terguling semua. Di antara semua orang itu hanya Toan Ki yang tidak roboh. Ia pernah makan Bong-koh-cu-hap, katak merah yang bisa menguak seperti kerbau, binatang itu antisegala racun, maka kabut berbisa itu pun tidak mempan baginya. Ia menjadi bingung ketika melihat para pengemis, Giok-yan dan kedua dayangnya roboh semua dengan keadaan mengenaskan. Ia lihat Ci-tianglo dengan mata merem masih menghantam dan menendang untuk menjaga diri, tapi untuk kedua kalinya ketika melompat lagi ke atas, mendadak tangan-kaki terasa kaku linu, tanpa kuasa lagi orang tua itu terbanting jatuh. Sambil membentak Nurhai segera pimpin jago-jago Se He meringkus para pengemis. Ia sendiri lantas mendekati Giok-yan dan hendak menarik tangan gadis itu. Apa yang hendak kau lakukan? bentak Toan Ki mendadak. Dalam gugupnya jari telunjuk kanan terus menuding hingga satu arus hawa murni terpancar kuat ke depan, itulah Lak-meh-sin-kiam yang sakti dari keluarga Toan di Tayli. Nurhai tidak kenal betapa lihainya ilmu pedang tanpa wujud itu, sama sekali ia tidak gubris dan masih ulur tangan hendak memegang Giok-yan, sekonyong-konyong krek sekali, tahu-tahu tulang tangan kanannya patah dan menggantung ke bawah dengan lemas. Saking kagetnya Nurhai menjerit dan berhenti. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk merangkul pinggang Giok-yan terus dibawa lari dengan ilmu langkah Leng-po-wi-poh yang aneh, ia mengisar ke sini dan menyusur ke sana, dengan mudah saja ia tinggal pergi. Sekali Yap Ji-nio menyambitkan sebatang jarum berbisa ke punggung Toan Ki, sambitan itu sangat pesat menyambarnya dan sangat jitu pula, sebenarnya tidak mungkin Toan Ki sanggup menghindarnya. Tapi karena ilmu langkahnya yang aneh itu, tiba-tiba Toan Ki mengisar ke kanan dan tahu-tahu membelok ke kiri, terkadang mundur pula, maka ketika jarum berbisa Yap Ji-nio menyambar tiba, tahu-tahu Toan Ki sudah berada beberapa meter jauhnya di samping sana. Ada tiga busu pilihan dari Se He segera melompat turun dari kuda mereka terus mengudak. Tapi tahu-tahu Toan Ki mengisar mundur malah ke samping kuda yang ditinggalkan mereka itu, lebih dulu ia taruh Giok-yan di atas kuda dengan melintang, lalu ia sendiri mencemplak dan dilarikan secepatnya ke tempat yang sepi. Sekitar hutan itu sudah dijaga oleh jago-jago Se He, ketika melihat Toan Ki melarikan diri dengan menunggang kuda, segera mereka menghujani pemuda itu dengan panah. Tapi hutan itu sangat lebat, di mana-mana hanya pohon belaka, maka anak panah itu menancap semua di batang pohon tanpa mengenai sasarannya. Dalam kegelapan Toan Ki terus melarikan kudanya, ia tepuk-tepuk kuda itu dan

berkata, Kuda baik, kuda manis, ayolah cepat, nanti kuberi minum arak! Sudah beberapa lama kuda itu mencongklang, sementara itu musuh sudah ketinggalan jauh. Nona Ong, bagaimanakah keadaanmu? tanya Toan Ki. Aku keracunan, tenagaku hilang sama sekali, sahut Giok-yan. Toan Ki kaget mendengar nona itu keracunan, cepat ia tanya pula, Wah, berbahaya tidak? Cara bagaimana agar bisa memperoleh obat penawarnya? Entahlah, aku tidak tahu, lekas larikan kudamu lebih cepat, carilah suatu tempat yang aman dan kita bisa berunding nanti, ujar Giok-yan. Ke mana menurut pendapatmu akan lebih aman? tanya Toan Ki. Ke Thay-oh saja! sahut si gadis. Toan Ki coba membedakan arah, agaknya Thay-oh (telaga besar) itu berada di jurusan barat-laut, segera ia larikan kuda ke sana. Tiada satu jam kemudian, kuda yang dibebani dua orang itu sudah terlalu lelah, menyusul turun hujan pula rintik-rintik. Selang tak lama, Toan Ki coba tanya, Nona Ong, bagaimana keadaanmu? Dapat menunggang kuda bersama gadis cantik, sudah tentu rasa Toan Ki sangat senang, tapi ia khawatir pula kalau racun yang mengenai Giok-yan itu teramat jahat hingga membahayakan jiwanya. Maka sebentar ia tersenyum dan lain saat khawatir. Jilid 27. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2006/11/17 (2552 reads) Untung waktu itu adalah malam dan di tempat sepi hingga tiada orang yang melihat sikapnya yang aneh itu, kalau tidak, tentu orang akan menyangka dia sudah gila. Hujan itu semakin deras, Toan Ki menanggalkan jubahnya untuk menutup badan Giok-yan. Tapi hanya sebentar saja baju kedua orang telah sama-sama basah kuyup lagi. Bagaimana keadaanmu, nona Ong? kembali Toan Ki menanya. Ai, basah dan dingin, sebaiknya cari suatu tempat untuk berteduh, sahut Giok-yan. Segala apa yang dikatakan Giok-yan itu bagi pendengaran Toan Ki adalah serupa titah sang ratu. Sekarang gadis itu minta dicarikan tempat meneduh, meski pemuda itu tahu keadaan masih berbahaya, setiap waktu dapat disusul musuh, tapi mau tak mau ia terus mengia. Tiba-tiba timbul pula semacam pikirannya yang ketolol-tololan, Orang yang selalu terbayang-bayang dalam benak nona Ong hanya Buyung-kongcu seorang, maka terang tiada harapan selama hidupku untuk mempersunting si cantik. Hari ini aku sama-sama menghadapi bahaya dengan dia, biarlah aku berusaha sepenuh tenaga untuk melindunginya, bila akhirnya aku mati baginya, mungkin di kemudian hari pada masa tuanya secara kebetulan tentu dia akan terkenang juga kepada aku si Toan Ki. Kelak setelah

dia menikah dengan Buyung Hok tentu akan punya putra-putri, dan bila mereka sedang bicara di antara anak-cucu sendiri atas kejadian-kejadian di masa lalu, mungkin juga ia akan teringat kepada kejadian hari ini. Tatkala mana ia sudah nenek-nenek yang ubanan, ketika bicara tentang Toan-kongcu, air matanya lantas bercucuran .... begitulah dalam melamunnya itu tanpa merasa matanya menjadi memberambang sendiri. Melihat pemuda itu termangu-mangu sambil menengadah dan tidak lantas mencari tempat meneduh seperti permintaannya tadi, segera Giok-yan menanya, Hei, kenapakah kau? Apakah susah diperoleh suatu tempat berteduh? Tatkala itu engkau tentu akan berkata pada anakmu .... Anakku apa katamu? tegur Giok-yan dengan heran sebelum lanjut perkataan pemuda itu. Keruan Toan Ki kaget dan sadar kembali dari lamunannya, cepat ia menyahut dengan tertawa ewa, Ah, maaf, aku lagi melamun sendiri. Segera ia celingukan kian kemari untuk mencari sesuatu tempat bernaung, tiba-tiba dilihatnya di arah timur laut sana ada sebuah rumah gilingan, air sungai kecil di samping rumah gilingan itu mengalir cepat hingga roda gilingan itu berputar terdorong oleh arus air, nyata gilingan itu sedang bekerja. Di sanalah kita dapat berteduh, ujar Toan Ki. Segera ia keprak kudanya ke arah sana, tidak lama, sampailah di depan rumah gilingan itu. Segera Toan Ki melompat turun dari kuda, demi dilihatnya wajah Giok-yan pucat pasi, sungguh betapa rasa kasih sayangnya pemuda itu. Dengan khawatir ia menanya pula, Nona Ong, apakah perutmu sakit? Atau barangkali kepalamu pusing? Badanmu panas? Tidak, tidak apa-apa, sahut Giok-yan sambil menggeleng. Ai, entah racun apa yang digunakan orang Se He itu, kalau aku dapat memperoleh obat penawarnya, tentu segalanya akan beres, ujar Toan Ki. Eh, mengapa engkau tidak memayang aku turun, hujan begini derasnya? tegur si gadis. Dan baru Toan Ki ingat akan hal itu, dengan gugup ia menjawab, Eh, ya, ya, aku menjadi linglung ini. Giok-yan tersenyum, ia geli melihat kelakuan si pemuda yang memang mirip orang linglung itu. Melihat senyuman manis si gadis yang menggiurkan itu, semangat Toan Ki seakan-akan kabur ke awang-awang, hampir ia lupa apa yang harus dilakukannya. Segera ia membukakan dulu pintu rumah gilingan itu, habis itu, ia putar balik hendak menurunkan Giok-yan dari atas kuda. Tapi karena matanya tidak pernah meninggalkan wajah si gadis yang ayu itu, ia menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa di depan titian rumah gilingan itu ada sebuah selokan. Begitu ia melangkah kembali, sebelah kakinya tepat kejeblos ke dalam selokan. Hei, awas! cepat Giok-yan memperingatkan.

Namun sudah telat, Toan Ki sudah kehilangan imbangan badan, disertai jeritan kagetnya, terus saja ia ngusrup jatuh ke dalam pecomberan. Cepat ia merangkak bangun pula, namun mukanya, tangannya, dadanya, antero tubuhnya sudah basah kuyup dan kotor oleh tanah lumpur, bahkan ada beberapa tetes air kotor itu menciprat ke dalam mulutnya. Keruan Toan Ki kelabakan dan meludah-ludah tiada habis-habis, katanya kemudian, Ah, maaf, kau ... kau tak apa-apa, bukan? Ai, akulah harus menanya engkau tidak apa-apa, bukan? Mengapa malah aku yang ditanya? sahut Giok-yan. Sakit tidak kau? Apa terluka? Mendengar si gadis sudi memerhatikan keselamatan dirinya, girang Toan Ki melebihi orang yang dapat buntut. Cepat ia menjawab, O, tidak, tidak apa-apa. Sekalipun terbanting patah kakiku juga tidak apa-apa. Habis itu segera ia ulur tangan hendak memayang Giok-yan turun dari kudanya, tapi demi tampak tangan sendiri penuh lumpur, cepat ia tarik kembali lagi dan berkata, Nanti dulu, biar kucuci tangan dulu supaya tidak bikin kotor padamu. Ai, engkau ini benar-benar suka bertele-tele, ujar Giok-yan. Sedangkan seluruh badanku juga sudah basah kuyup, kenapa mesti takut pada sedikit lumpur kotor itu? Tapi Toan Ki toh masih mencuci dulu tangannya di dalam air selokan itu, kemudian barulah menurunkan Giok-yan. Setelah mereka melangkah masuk ke rumah gilingan itu, tertampaklah sebuah alu batu yang digerakkan roda air sedang naik-turun menumbuk padi di dalam lumpang. Tapi tidak tampak seorang pun yang menjaga di situ. Adakah orang di sini? segera Toan Ki berseru. Karena itu, mendadak terdengarlah seruan kaget dua orang di onggok jerami di pojok rumah sana, menyusul berdirilah seorang pemuda dan satu dara. Semuanya baru berusia belasan tahun. Baju kedua muda-mudi itu tampak kumal tak teratur, rambut mereka kusut dan muka merah jengah, sikapnya sangat kikuk. Kiranya kedua muda-mudi itu adalah sepasang kekasih yang sedang bercumbu-cumbuan di situ. Si gadis itu sebenarnya lagi menunggui lumpang padi, kesempatan itu tidak disia-siakan oleh si pemuda, apalagi hari hujan pula, mereka yakin takkan ada orang datang ke situ, maka dengan bebas mereka sedang main patgulipat. E-eh, siapa sangka mendadak datang Toan Ki dan Giok-yan hingga mengganggu kesenangan mereka. Maka Toan Ki lantas memberi kiongchiu sambil menyapa, Ah, maaf, maaf, banyak mengganggu. Kalian sedang kerja apa, silakan terus, tidak usah mengurus kami. Kembali pelajar tolol seperti kau ini mengaco-belo lagi, omel Giok-yan. Di hadapan kita masakah mereka bisa bebas bermesra-mesraan? Sebagai seorang gadis, demi tampak kelakuan kedua muda-mudi itu, seketika muka Giok-yan sudah lantas merah dan tidak berani memandang mereka lagi. Sebaliknya antero perhatian Toan Ki hanya tercurahkan atas diri Giok-yan,

maka sama sekali ia tidak perhatikan apakah sebenarnya yang sedang dilakukan kedua muda-mudi itu tadi. Begitulah segera ia memayang Giok-yan berduduk ke atas bangku yang berada di situ dan menanya, Badanmu basah kuyup semua. Bagaimana baiknya sekarang? Tiba-Tiba pikiran Giok-yan tergerak, ia cabut sebuah tusuk kondenya yang berhias dua butir mutiara dan berkata kepada gadis petani tadi, Cici, ini kuberi sebuah tusuk konde emas kepadamu, harap engkau suka meminjamkan seperangkat pakaian padaku. Sudah tentu gadis petani itu tidak kenal betapa berharganya kedua butir mutiara besar itu, yang dia ketahui hanya tusuk konde emas itu memang bernilai, maka ia menjadi ragu-ragu akan tawaran Giok-yan itu, sahutnya kemudian, Biarlah aku mengambilkan pakaian untukmu, tentang tusuk ... tusuk konde itu aku tidak mau. Habis berkata ia terus naik ke atas loteng rumah gilingan itu dengan sebuah tangga kayu di pinggir situ. Cici, harap engkau kemari dulu, pinta Giok-yan. Gadis petani itu sebenarnya sudah naik lima-enam tingkat ke atas tangga itu, tapi ia menurut dan kembali ke hadapan Giok-yan. Segera Giok-yan serahkan tusuk konde emas itu ke dalam tangan si gadis petani dan berkata, Tusuk konde ini paling sedikit bernilai seratus tahil perak, aku benar-benar menghadiahkan kepadamu. Permintaanku ialah sudilah Cici membawa aku untuk mengganti pakaian. Hati gadis petani itu sangat baik, dilihatnya pula Giok-yan sangat cantik menyenangkan, apalagi mendapat persen sebuah tusuk konde berharga pula, keruan ia sangat girang. Segera ia membawa Giok-yan ke atas loteng untuk menukar pakaian. Di atas loteng penuh tertaruh alat-alat pertanian serta timbunan padi, banyak pula terdapat tampah, tenggok, ayakan bambu dan sebagainya. Sebenarnya gadis itu sedang tambal sulam pakaian sambil menunggu lumpang padi, tapi kemudian datang si pemuda kekasihnya itu, maka pekerjaan tangan itu ditinggalkannya. Dan kini kebetulan pakaiannya dapat diberikan kepada Giok-yan. Dalam pada itu si pemuda desa tadi sedang memandang Toan Ki dengan sikap canggung dan tidak berani bersuara. Maka dengan tertawa Toan Ki lantas menyapa, Toako, she apakah engkau? O, aku ... aku she Kim, sahut pemuda desa itu. Ehm, Kim-toako kiranya, kata Toan Ki. Dan belum lagi lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang dilarikan dengan sangat cepat sedang mendatangi, dari suaranya itu dapat diduga ada belasan orang banyaknya. Toan Ki terkejut dan khawatir, cepat ia berbangkit dan berseru, He, nona Ong, musuh mengejar kemari! Dibantu oleh gadis petani tadi, saat itu Giok-yan baru melepaskan baju dan diperas hingga kering serta sedang mengelap badannya yang basah, ia pun sudah

mendengar derap kuda dan sedang khawatir. Tapi karena dalam keadaan kepalang tanggung, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu datangnya kuda-kuda itu ternyata sangat cepat, tahu-tahu sudah sampai di depan rumah, segera terdengar suara orang berseru, He, itulah kuda kita, kedua bocah itu tentu sembunyi di sini. Toan Ki dan Giok-yan menjadi khawatir, mereka masing-masing berada di bawah dan atas loteng, diam-diam mereka menyesal tadi kuda itu tidak dibawa masuk sekalian ke dalam rumah. Sejenak kemudian, terdengarlah suara gedubrakan keras, daun pintu terpentang didobrak orang, menyusul tiga-empat orang busu bangsa Se He lantas menerobos masuk. Yang dipikir Toan Ki hanya keselamatan Giok-yan, tanpa pikir lagi ia terus berlari ke atas loteng. Waktu itu Giok-yan masih belum sempat pakai baju, terpaksa ia gunakan pakaian yang basah itu untuk menutupi dadanya. Keruan Toan Ki kaget demi mengetahui keadaan gadis itu, cepat ia berkata, Ah, maaf, maaf, aku tidak tahu! Wah, bagaimana baiknya ini? tanya Giok-yan dengan gugup. Dalam pada itu terdengar salah seorang busu di bawah loteng sedang tanya Kim A-toa, yaitu si pemuda desa, Apakah anak dara itu berada di atas? Buat apa engkau tanya anak gadis orang? sahut Kim A-toa dengan kaku. Blang, tanpa bicara lagi busu itu hantam Kim A-toa hingga pemuda desa itu terguling. Namun watak pemuda itu ternyata sangat keras, segera ia mencaci maki. Kim-toako, jangan bertengkar dengan orang! demikian si gadis tani tadi berseru kepada kekasihnya dengan khawatir, segera ia turun ke bawah loteng untuk mencegahnya, Siapa duga busu tadi lantas ayun golok hingga buah kepala Kim A-toa terbelah menjadi dua. Saking kagetnya sampai gadis tani itu pun jatuh terjungkal dari atas tangga. Segera busu yang lain membangunkannya dan dipeluk sambil menggoda, Ini dia si manis datang sendiri padaku! Bret, segera baju gadis itu dirobeknya. Di luar dugaan, mendadak gadis itu mencakar muka busu itu hingga seketika berwujud lima jalur luka dengan darah bercucuran. Keruan busu itu menjadi murka, ia menghantam sekuatnya dada si gadis hingga tulang iganya remuk dan binasa seketika. Ketika mendengar jeritan ngeri di bawah loteng, Toan Ki menoleh dan melihat kedua muda-mudi itu sudah terbinasa dengan mengenaskan, ia menjadi pedih dan menyesal, Gara-garaku hingga kalian ikut menjadi korban! Dalam pada itu dilihatnya busu pertama tadi sedang memanjat ke atas loteng. Cepat Toan Ki mendorong tangga kayu itu ke depan. Karena tangga itu cuma

melekat di papan loteng, sekali didorong lantas roboh ke sana. Namun busu itu keburu melompat turun, ia pegang tangga yang mendoyong itu dan dipasang kembali ke atas loteng. Dan baru Toan Ki hendak mendorong tangga pula, tiba-tiba busu yang lain menyerangnya dengan sebatang panah. Karena tidak pandai berkelit, crat, panah itu menancap di pundak kirinya. Ketika Toan Ki kesakitan dan memegang bahunya, kesempatan itu digunakan oleh busu yang lain untuk memperbaiki tangga terus melompat ke atas. Giok-yan sedang duduk di atas onggok padi di samping Toan Ki, ia menyaksikan cara bagaimana busu itu menghantam mati si gadis tani dan kini melompat ke atas loteng, maka cepat katanya kepada Toan Ki, Lekas gunakan jari telunjukmu untuk menutuk He-wan-hiat bagian perutnya. Waktu Toan Ki mempelajari It-yang-sin-kang, dan Lak-meh-sin-kiam di Tayli, dalam hal hiat-to di tubuh manusia telah dihafalkannya dengan baik. Kini demi mendengar petunjuk Giok-yan itu, sementara itu sebelah kaki busu itu sudah melangkah ke atas loteng, tanpa pikir lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke depan, ia tutuk arah He-wan-hiat di perut orang. Dalam keadaan melompat ke atas, dengan sendirinya perut busu itu tidak terlindung, maka terdengarlah jeritan sekali, busu itu terjungkal ke bawah dan terbanting mati. Toan Ki sama sekali tidak menduga bahu tenaga jarinya itu ternyata begitu sakti, ia sampai melenggong sendiri. Dalam pada itu tertampak seorang busu berewok telah menyerbu ke atas loteng sambil putar senjatanya yang berupa golok besar. Tutuk mana, tutuk mana? tanya Toan Ki dengan khawatir. Ai, celaka! tiba-tiba Giok-yan mengeluh. Celaka apa? tanya Toan Ki gugup. Dia putar golok untuk melindungi tubuhnya, jika kau gunakan jari untuk menutuk Tan-tiong-hiat di dadanya, sebelum jarimu mengenai sasarannya tentu tanganmu sudah tertebas lebih dulu oleh goloknya, ujar Giok-yan. Namun keadaan sudah mendesak, baru selesai Giok-yan berkata, sementara busu itu sudah melangkah sampai di ujung tangga. Oleh karena yang terpikir hanya keselamatan Giok-yan, maka Toan Ki tidak pikir apakah tangannya bakal terkutung oleh golok lawan atau tidak, begitu jari telunjuk menuding, ia kerahkan tenaga murni, ia tonjok Tan-tiong-hiat di dada musuh. Waktu itu si busu sedang angkat golok hendak membacok, mendadak ia menjerit lalu terjungkal ke belakang dan terguling ke bawah loteng dengan dada berlubang kecil, darah menyembur keluar bagai air mancur. Sungguh girang dan kejut pula Toan Ki dan Giok-yan, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa tenaga tutukan itu bisa begitu lihai. Harus diketahui bahwa lwekang yang dimiliki Toan Ki sekarang boleh dikatakan tiada bandingannya lagi, sedangkan Lak-meh-sin-kiam keturunan Toan-si di

Tayli merupakan kungfu kelas utama di Bu-lim, yang masih kurang bagi Toan Ki hanya mengenai cara menggunakannya, tapi dengan petunjuk Giok-yan, daya serang yang dilontarkan itu bahkan lebih hebat daripada jago kelas satu seperti Koh-eng Taysu, Ciumoti, Yan-king Taycu dan lain-lain. Begitulah hanya sekejap saja dua orang sudah binasa oleh tutukannya, busu yang lain menjadi jeri tidak berani naik ke atas loteng lagi, mereka berkumpul di bawah untuk berunding. Toan-kongcu, panah yang menancap di pundakmu itu harus dicabut keluar, kata Giok-yan. Sungguh girang Toan Ki tak terkatakan karena mendapat perhatian si cantik, segera ia cabut keluar panah itu. Padahal panah itu menancap beberapa senti dalamnya, dengan mencabut begitu saja sebenarnya sangat sakit, tapi saking senangnya ia menjadi lupa sakit. Kemudian katanya, Nona Ong, kembali mereka akan menyerang lagi, cara bagaimana harus kulayani mereka? Sembari berkata ia terus menoleh, tapi sekonyong-konyong dilihatnya pakaian Giok-yan belum lagi teratur, lekas ia berpaling kembali sambil minta maaf. Muka Giok-yan merah jengah, celakanya untuk berpakaian juga tidak kuat, sungguh ia kehilangan akal. Tiba-tiba pikirannya tergerak, ia menyusup ke tengah onggok padi, ia tarik ikatan padi hingga menutup sebatas pundaknya, hanya kepalanya yang menongol keluar tumpukan padi itu, lalu katanya dengan tertawa, Sudahlah sekarang, boleh kau berpaling ke sini. Tapi Toan Ki masih khawatir, perlahan ia menggeser kepalanya, ia bersiap-siap bila pakaian si nona masih belum rapi, secepatnya ia akan berpaling pula. Tak terduga baru saja ia menoleh separuh, sekilas dilihatnya di luar jendela loteng sana ada seorang busu bangsa Se He berdiri di atas pelana kuda dan sedang melongok dan hendak melompat ke loteng. Cepat Toan Ki berseru, He, di situ ada musuh! Coba kau sambit dia dengan panah tadi, kata Giok-yan. Toan Ki menurut, segera ia timpuk panah yang dia cabut dari bahu sendiri itu. Sudah tentu ia bukan ahli menyambit panah, maka panah yang melayang keluar itu paling sedikit selisih satu meter jauhnya daripada sasarannya, Busu itu sebenarnya tidak perlu berkelit. Tapi karena tenaga sambitan Toan Ki sangat hebat hingga panah itu bersuara mendenging. Busu itu terkejut dan cepat mendekam di atas kudanya untuk menghindar. Hanya sedikit gerakan busu itu sudah dapat dilihat jelas oleh Giok-yan, segera katanya kepada Toan Ki, Dia adalah jago gulat dari Se He, tak perlu kau takut, biarkan dia menyikap dirimu, lalu kau tabok batok kepalanya, sekali tabok tentu akan menang. O, gampang kalau begitu, kata Toan Ki, perlahan ia lantas mendekati jendela. Dalam pada itu si busu sudah menjebol jendela dan menyerbu ke atas loteng.

Mau apa naik sini? bentak Toan Ki. Busu itu tidak paham bahasa Han, maka ia hanya melotot saja, begitu tangan terjulur, segera dada Toan Ki kena dijambret. Gerakan busu itu amat cepat, sekali dapat menjambret lawan, segera ia angkat badan Toan Ki ke atas dengan maksud hendak membanting pemuda itu. Di luar dugaan, baru saja Toan Ki terangkat ke udara, mendadak tangan pemuda itu menggaplok ke bawah dan tepat mengenai batok kepalanya hingga pecah berantakan. Selama hidup Toan Ki tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh, tapi kini demi untuk membela Giok-yan, hanya sebentar saja sudah tiga nyawa melayang di tangannya. Keruan ia mengirik, semakin dipikir semakin takut, cepat ia berteriak, Aku tidak ingin membunuh orang lagi, suruh aku membunuh lagi terang aku tidak tega, ayolah lekas kalian enyah dari sini! Habis berkata, ia terus dorong mayat jago gulat Se He itu ke bawah. Jago-jago Se He yang mengejar kemari itu seluruhnya ada 15 orang, kini telah mati tiga, sisanya masih 12 orang. Di antara ke-12 orang ini ada empat adalah jago pilihan It-bin-tong, sedang kedelapan orang lainnya hanya jago tempur biasa saja. Keempat jago It-bin-tong itu dua antaranya adalah bangsa Han, seorang bangsa Se-ek (asing barat) dan seorang lagi bangsa Se He. Keempat jago It-bin-tong itu merasa heran dan bingung juga oleh kepandaian Toan Ki yang sebentar lihai dan sebentar lagi lucu hingga sukar dijajaki. Mereka menjadi tidak berani sembarangan menyerang lagi, segera mereka berunding cara bagaimana baiknya. Sebaliknya kedelapan busu biasa itu mempunyai pendapat lain, mereka terus mengumpulkan jerami di rumah gilingan itu dengan maksud akan membakarnya. Wah, celaka, mereka hendak menyalakan api! kata Giok-yan dengan khawatir. Ya, bagaimana baiknya kini? sahut Toan Ki kelabakan. Ia lihat roda air raksasa rumah gilingan itu masih terus berputar terdorong oleh arus air sungai, serupa pikirannya yang juga berputar terus tanpa berdaya. Dalam pada itu terdengar salah seorang jago bangsa Han tadi sedang berseru, Menurut perintah Ciangkun, nona cilik itu sangat pintar, harus ditawannya hidup-hidup dan jiwanya tidak boleh diganggu, maka kalian jangan membakar dulu .... Lalu ia berteriak pula, Hai, anak jadah dan nona cilik itu, lekas kalian turun kemari dan menyerahkan diri, kalau tidak, terpaksa kami menyalakan api biar kalian berdua terbakar hidup-hidup bagai babi panggang. Berulang ia berteriak tiga kali, tapi Toan Ki dan Giok-yan tetap tidak menggubris, segera orang itu menyalakan api, ia menyulut segebung jerami dan diangkat tinggi ke atas, lalu mengancam pula, Kalian mau menyerah atau

tidak? Jika tidak, terpaksa aku mulai membakar. Sembari berkata, ia ayun obornya dengan gaya hendak melempar ke onggok jerami. Melihat keadaan sudah gawat, segera Toan Ki berbisik kepada Giok-yan, Biar kuturun untuk melabrak mereka. Segera ia melangkah ke atas roda air yang sedang berputar itu. Roda air itu terbuat dari kayu, besarnya tidak kepalang, bulat tengahnya paling sedikit ada tiga meter. Begitu Toan Ki melangkah ke ujung gigi roda air itu, tangannya lantas memegang ruji roda dan mengikuti putaran roda untuk turun ke bawah. Jago Se He berbangsa Han tadi masih berteriak-teriak menyuruh Toan Ki dan Giok-yan menyerahkan diri saja, tak terduga diam-diam Toan Ki sudah turun dari loteng sebelah sana, tanpa berkata lagi pemuda itu lantas tudingkan jarinya dan menutuk punggung orang itu. Yang digunakan Toan Ki adalah gaya ilmu pedang Siau-yang-kiam dari Lak-meh-sin-kiam yang lihai, maksudnya sekaligus merobohkan musuh. Siapa tahu serangan ini dilakukan secara membokong, lebih dulu ia sendiri sudah kebat-kebit, tenaga kurang dan semangat tak ada, tenaga dalam dan hawa murni tak dapat dikerahkan. Hal ini disebabkan dia tidak paham dasar ilmu silat, maka permainan Lak-meh-sin-kiam itu selalu tergantung keadaan secara kebetulan saja. Sebaliknya sekarang ia sengaja hendak menyerang, tapi justru tenaga murni susah dikerahkan. Meski dia ulangi tutukannya beberapa kali, namun hasilnya tetap nihil. Ketika mendadak merasa punggungnya seperti disenggol sesuatu dengan perlahan, dengan kaget orang Han itu menoleh, maka dilihatnya Toan Ki yang disangkanya masih di atas loteng itu kini sudah di belakangnya sambil menuding ke arahnya. Karena sudah menyaksikan cara Toan Ki membinasakan ketiga orang tadi, ia sangka pemuda itu tentu sedang main ilmu sihir apa lagi untuk menyerang dirinya, maka dengan cepat ia melompat ke samping. Dalam pada itu Toan Ki coba-coba menutuk pula sekali, tapi tetap tiada sesuatu suara dan tenaga, sebaliknya orang itu sudah lantas membentak, Anak kurang ajar, tanganmu tuding-tuding apa? Berbareng tangan kanannya terus mencengkeram kepala Toan Ki. Cepat Toan Ki mengkeret mundur sambil memegangi ruji roda air, maka ia terangkat ke atas oleh roda itu hingga cengkeraman orang salah hantam di atas gigi roda, crat remukan kayu bertebaran, satu sayap gigi roda itu rompal kena cengkeramannya yang kuat itu. Jika kau tempur dia lagi, asal mengisar ke belakangnya dan menyerang Ci-yang-hiat di bagian punggungnya, tentu dia akan celaka, demikian Giok-yan memberi petunjuk lagi. Orang ini adalah murid Hou-jiau-bun (silat cakar harimau) di Cinlam, kepandaiannya masih belum cukup masak untuk melindungi Ci-yang-hiat.

Bagus jika begitu! seru Toan Ki dengan girang. Segera ia membonceng putaran roda air dan turun pula ke ruangan rumah gilingan itu. Tapi sekali ini mereka sudah berjaga lebih dulu, belum lagi Toan Ki menginjak tanah, segera ada tiga orang mendahului menyerbu maju hendak menangkapnya. He, he, jangan, jangan! Cayhe hanya sendirian, dengan sendirinya tak dapat melawan orang banyak, aku cuma ingin menempur dia seorang saja, seru Toan Ki sambil goyang-goyang kedua tangannya. Berbareng ia mengegos ke samping dengan langkah Leng-po-wi-poh yang lincah, hanya beberapa kali menyelinap saja ia sudah memutar sampai di belakang laki-laki tadi, segera ia membentak, Kena! Dan sekali ia menutuk, crit, cepat Ci-yang-hiat orang itu tertutuk, tanpa bersuara orang itu terus roboh dan tak berkutik lagi. Habis membunuh seorang, maksud Toan Ki hendak membonceng roda air untuk naik ke atas loteng lagi, namun sudah terlambat, tahu-tahu jalan mundurnya telah dicegat oleh seorang jago Se He, bahkan goloknya terus membacok ke arah Toan Ki. Ai, celaka! seru Toan Ki. Musuh telah memotong jalan mundurku, kini aku terkepung di tengah, tamatlah riwayatku! Berbareng ia terus melangkah ke kiri hingga bacokan musuh mengenai tempat kosong. Pada lain saat, ke-11 orang di dalam rumah gilingan itu sudah mengepung rapat di sekeliling Toan Ki, senjata mereka terus bekerja berbareng, lebih-lebih ketiga tokoh It-bin-tong yang lihai itu, asal terkena pukulan atau tendangannya, betapa pun jiwa Toan Ki pasti akan melayang. Keruan pemuda itu berkelit kian kemari dengan kelabakan sambil berteriak-teriak, Wah, celaka nona Ong, sampai berjumpa pada jelmaan yang akan datang! Aku sendiri tentu akan terbinasa, biarlah aku menantikan engkau di pintu gerbang akhirat saja! Walaupun mulutnya berteriak-teriak, tapi langkahnya tidak pernah kendur, jalannya sangat cepat dan gayanya indah hingga Giok-yan yang mengikuti ilmu langkahnya itu sampai termangu-mangu kesima. Hei, Toan-kongcu, apakah caramu melangkah itu adalah Leng-po-wi-poh? Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu caranya, seru Giok-yan tiba-tiba. Ya, ya, benar, inilah Leng-po-wi-poh! sahut Toan Ki dengan girang. Jika nona ingin lihat, biarlah kumulai lagi dari awal. Tapi apakah dapat berlangsung hingga selesai atau tidak, hal ini tergantung nasib buah kepalaku ini. Habis itu, terus saja ia mulai dengan langkah pertama dari ilmu langkah yang pernah dipelajarinya dari cermin perunggu di dalam gua di dasar sungai itu. Dan meski ke-11 orang itu masih terus menghujani dia dengan pukulan, tendangan, dan serangan-serangan senjata, toh tetap tiada mampu menyenggol ujung bajunya sekalipun. Oleh karena sampai sekian saat masih belum dapat membekuk Toan Ki, ke-11 orang

itu menjadi kelabakan sendiri dan berkaok-kaok di antara mereka sendiri, Hai, kau cegat sebelah sana! Awas, kau jaga sebelah timur, jangan memberi ampun padanya! Dan lain saat lantas terdengar teriakan seorang, Wah, celaka, lolos lagi! Begitulah selangkah demi selangkah Toan Ki terus berputar-putar di samping roda air dan lumpang padi. Dan biarpun Giok-yan seorang gadis pintar, tetap ia tidak dapat memahami ilmu langkah itu, serunya kemudian, Sudahlah, lebih penting kau hindarkan serangan musuh, tak usah mempertunjukkan kepadaku lagi. Tapi kalau sekarang aku tidak pertunjukkan, bila jiwaku melayang, tentu engkau takkan dapat melihatnya lagi, sahut Toan Ki. Dan tanpa menghiraukan mati-hidup sendiri ia terus melanjutkan Leng-po-wi-poh itu hingga langkah terakhir. Di luar perhitungannya, justru karena ketolol-tololannya itulah malah menyelamatkan jiwanya. Kalau Toan Ki umpamanya berkelit dengan sengaja ketika diserang, pertama ia tidak paham ilmu silat, kedua, jumlah musuh ada 11 orang, ia tentu tidak dapat mengelakkan diri. Tapi kini ia tidak gubris dari mana datangnya serangan, ia melainkan terus melangkah menurutkan iramanya sendiri, dengan demikian menjadi seperti ke-11 orang itu sedang menguber untuk menyerang bersama. Dan Leng-po-wi-poh itu justru sangat aneh, setiap langkahnya selalu menuju ke arah yang sama sekali tak terduga oleh orang, tampaknya ia melangkah ke kiri, tapi tahu-tahu di sebelah lain. Semakin cepat ke-11 orang itu menyerang, namun sebagian besar serangan mereka mengenai kawan sendiri malah dan sebagian lain selalu mengenai tempat kosong. Setelah mengikuti sejenak, segera Giok-yan tahu akan sebab musababnya, serunya, Toan-kongcu, langkahmu itu sangat bagus dan ruwet pula, seketika aku masih belum jelas, paling baik kalau habis itu engkau suka mengulangi sekali lagi. Baiklah, apa yang kau inginkan, pasti kuturuti, sahut Toan Ki. Dan habis menjalankan 8 kali 8 sama dengan 64 langkah itu, benar juga ia lantas memulai kembali. Diam-diam Giok-yan pikir sendiri, Sementara ini jiwa Toan-kongcu takkan berhalangan, tapi cara bagaimana supaya kami bisa lolos dari sini? Aku belum lagi memakai baju, mana aku dapat keluar begini saja? Setelah keracunan, tenagaku sedikit pun tidak ada, untuk memegang baju saja lemas rasanya, jalan satu-satunya adalah memberi petunjuk kepada Toan-kongcu untuk membinasakan ke-11 musuh itu. Sebab itulah ia tidak memerhatikan langkah Toan Ki lagi, tapi menyelami kepandaian ke-11 orang musuh. Ia lihat kedelapan busu Se He itu ilmu silatnya terbagi dua aliran, semuanya berasal dari ilmu silat Tionggoan, sedang kepandaian asli jago bangsa Han itu pun dapat diketahuinya, hanya orang Se-ek itulah tampaknya kaku gerak-geriknya, tapi mendadak bisa lincah dan gesit hingga sukar diketahui sumber asli kepandaiannya. Dan selagi Giok-yan memerhatikan gerakan orang Se-ek itu dengan harapan dapat mengetahui sumber ilmu silatnya, sekonyong-konyong terdengar suara keletak sekali, ada orang sedang pasang tangga kayu tadi dan hendak naik ke atas loteng. Kiranya sesudah sekian lama Toan Ki masih susah dibekuk, segera jago Se He

yang merupakan pimpinan rombongan itu memberi perintah kepada salah seorang bawahannya agar menangkap dulu si gadis. Keruan Giok-yan menjerit kaget. Waktu Toan Ki mendongak, ia lihat busu bangsa Se He itu sudah mulai naik ke atas tangga. Cepat ia tanya, Serang tempat mana, nona Ong? Paling baik cengkeram bagian Ci-sit-hiat! sahut Giok-yan. Toan Ki menurut, dengan langkah lebar ia mendekati busu yang naik tangga itu, sekali cengkeram Ci-sit-hiat bagian punggung, kontan orang itu kena dipegangnya, tapi karena tidak tahu harus diapakan tubuh orang, segera ia lemparkannya ke samping sekenanya. Dan sungguh sangat kebetulan, lemparan itu dengan tepat menjebloskan kepala busu itu ke dalam lumpang batu. Rumah gilingan itu terdiri dari sebuah lumpang batu yang besar dengan alu batu pula yang digerakkan oleh roda air, sejak tadi lumpang itu ditumbuk oleh alu dan butiran padi di dalam lumpang sebenarnya sudah menjadi bubuk, tapi karena tiada yang mengurus, antan batu itu masih terus menumbuk tiada hentinya. Kebetulan tubuh busu itu dilemparkan Toan Ki ke dalam lumpang, ketika antan batu menumbuk pula ke bawah, prak, tanpa ampun lagi kepala busu itu tertumbuk hancur luluh bagai pepesan. Di lain pihak tanpa peduli nasib kawannya itu, jago Se He tadi kembali mendesak anak buahnya lagi hingga ada tiga orang menyusul naik ke tangga. Bereskan dengan cara yang sama! seru Giok-yan khawatir. Benar juga, sekali cengkeram, kembali Toan Ki dapat memegang Ci-sit-hiat salah seorang terus dilemparkan pula ke dalam lumpang. Tapi sekali ini dengan sengaja hingga lemparannya itu malah kurang jitu, badan kaki busu itu yang terjeblos ke tengah lumpang, dan ketika antan batu menumbuk, terdengarlah jeritan ngeri busu itu, kakinya remuk, tapi tidak lantas mati, Dan pada saat Toan Ki melengak oleh kejadian itu, sementara itu dua busu yang lain sudah mulai melangkah ke atas loteng. E-eh, tidak boleh, lekas turun! seru Toan Ki dan jari terus menuding dan menutuk serabutan. Tak terduga, karena gugupnya, hawa murni dalam tubuh ikut bergolak, daya Lak-meh-sin-kiam lantas bekerja lagi, crit-crit dua kali, dengan tepat punggung kedua busu itu, kena tertusuk dan kontan terjungkal ke bawah. Melihat Toan Ki hanya tuding-tuding dari jauh lantas dapat membunuh orang, kepandaian demikian dengar pun tidak pernah, keruan jago-jago Se He itu ketakutan. Tapi suruh mereka melarikan diri, mereka pun penasaran, manakah jago It-bin-tong seperti mereka mengeroyok seorang pemuda ingusan saja tidak mampu menang, hal ini kalau diketahui orang, ke mana muka mereka akan ditaruh? Dalam pada itu Giok-yan tetap mengikuti pertarungan di bawah loteng dengan jelas, ia lihat musuh tinggal tujuh orang, tapi tiga di antaranya sangat lihai, lebih-lebih jago Se He yang membentak-bentak dan memberi perintah itu agaknya merupakan pimpinan rombongan, segera serunya, Toan-kongcu, lebih dulu bunuh orang berbaju kuning dan bertopi kulit itu, carilah jalan untuk menghantam Giok-cim dan Thian-cu-hiat di belakang kepalanya. Baik, sahut Toan Ki terus menerjang ke arah jago Se He itu.

Diam-diam orang Se He itu terperanjat, ia heran dari mana nona cilik itu tahu kedua hiat-to yang memang menjadi ciri kematiannya itu? Sementara itu dilihatnya Toan Ki telah menerjang tiba, cepat ia tebas dulu dengan goloknya agar pemuda itu tidak berani mendekat. Beberapa kali Toan Ki menggeser tempat dan menerjang maju, tapi selalu teralang, bahkan hampir terluka oleh senjata lawan. Segera ia berteriak, Nona Ong, orang ini sangat lihai, aku tidak dapat mencapai belakangnya. Tapi Giok-yan lantas memberi petunjuk lagi, Dan tempat kelemahan orang yang berbaju kelabu itu, adalah Jin-ging-hiat di tenggorokannya. Adapun si orang berbaju hijau itu aku belum dapat menyelami sumber kepandaiannya, boleh coba-coba kau tutuk dadanya. Baik, sahut Toan Ki. Dan benar juga ia terus menuding ke dada orang. Meski gaya tutukannya itu tepat, namun sedikit pun tidak bertenaga dalam, dan sudah tentu hal ini tak diketahui orang Se-ek yang berbaju hijau itu, cepat ia mendak untuk menghindarkan tiga kali tutukan Toan Ki. Ketika pemuda itu menutuk pula untuk keempat kalinya, mendadak ia meloncat tinggi ke atas, habis itu bagai elang menyambar anak ayam ia terus menukik ke bawah, dengan tenaga hantaman yang hebat, antero tubuh Toan Ki terkurung di bawah pukulan mautnya. Seketika Toan Ki merasa napasnya sesak dan kepala pening, saking ngeri membayangkan nasibnya jika kena serangan musuh, Toan Ki pejamkan mata dengan tangan menutuk serabutan ke atas, maka terdengarlah suara cit-cit berulang, Lak-meh-sin-kiam yang terdiri dari Siau-siang-kiam, Siang-yang-kiam, Tiong-ciong-kiam, Koan-ciong-kiam, Siau-ciong-kiam, dan Siau-tik-kiam, sekaligus telah dilontarkan seluruhnya. Dalam keadaan kepepet dan khawatir, tenaga dalam Toan Ki sekali ini benar-benar bekerja dengan hebat. Maka tidak ampun lagi badan orang Se-ek itu terluka enam lubang, dan karena hantamannya ke bawah itu tak dapat ditahan, plak, pundak Toan Ki juga kena digebuk sekali. Tatkala itu hawa murni dalam tubuh pemuda itu lagi bergolak dengan hebat, biarpun hantaman itu sangat keras namun daya tolak badan Toan Ki telah mematahkan serangan itu hingga tidak terluka apa-apa. Sudah tentu Giok-yan tidak tahu apakah pemuda itu terluka atau tidak, maka dengan khawatir ia tanya, Toan-kongcu, bagaimana, terluka tidak? Waktu Toan Ki membuka mata, ia lihat jago Se-ek itu sudah menggeletak, enam lubang kecil di dada dan perutnya memancurkan darah, mukanya beringas, matanya mendelik, napasnya masih kempas-kempis belum lagi mati. Hati Toan Ki berdebar saking ketakutan, serunya, Bukan maksudku hendak membunuhmu, tapi engkau sendiri yang menyerang diriku. Sembari berkata, langkahnya tidak pernah berhenti, ia masih terus berlari ke sini dan menyusup ke sana sambil kedua tangan berulang memberi salam kepada sisa ketujuh orang itu, Para saudara yang gagah, sejak dulu aku tidak bermusuhan dengan kalian, kelak juga tidak akan dendam, maka haraplah kalian bermurah hati, pergilah sekarang juga. Aku ... aku ... sungguh tidak berani membunuh orang lagi. Sudah ... sudah sekian banyak orang mati, hati ... hatiku sangat sedih. Ai, benar-benar terlalu kejam. Sudahlah lekas kalian pergi saja,

aku Toan Ki mengaku kalah, harap kalian bermurah hati. Ketika mendadak ia berputar ke sana, tiba-tiba dilihatnya di samping pintu telah berdiri mula seorang jago Se He yang entah kapan sudah masuk ke situ. Perawakan orang ini sedang, pakaiannya serupa jago Se He yang lain, anehnya parasnya ternyata kuning pucat, sedikit pun tidak berperasaan hingga mirip wajah mayat. Hati Toan Ki terkesiap, pikirnya, Manusia atau setankah dia? Jangan-jangan dia adalah ... adalah arwah jago Se He yang kubinasakan tadi dan kini gentayangan kemari? Berpikir demikian, ia mengirik, dengan suara gemetar ia tanya, Siapa ... siapakah kau? Mau apa datang ke ... ke sini?! Namun jago Se He itu hanya berdiri tegak saja tanpa menjawab dan tidak bergerak. Sambil menghindarkan serangan seorang lawan, segera Toan Ki pegang Ci-sit-hiat seorang busu terus dilemparkan ke arah orang aneh itu. Namun sedikit mengegos, blang, kepala busu yang dilemparkan itu tertumbuk pada dinding hingga pecah berantakan. Melihat orang itu dapat bergerak, Toan Ki menarik napas lega, katanya, Ehm, engkau adalah manusia dan bukan setan. Melihat kawannya makin lama makin sedikit, ketiga busu bangsa Se He mulai mengkeret nyalinya, segera mereka bermaksud melarikan diri, seorang di antaranya lantas mendekati pintu hendak mendorong daun pintu. Mau apa kau? bentak jago Se He pilihan It-bin-tong tadi. Berbareng ia serang tiga kali kepada Toan Ki. Toan Ki sendiri sudah tiada nafsu berkelahi lagi, ketika sinar golok musuh berkilauan di depan matanya dan setiap saat mungkin akan berkenalan dengan tubuhnya, ia menjadi ketakutan dan berteriak-teriak, Hai, hai, mengapa engkau begini kejam, awas kalau sebentar kuhantam Giok-cim-hiat dan Thian-cu-hiat di badanmu, tentu kau akan celaka, ayolah lekas berhenti dan pergi saja demi kebaikan bersama! Tapi bukannya menurut, sebaliknya orang itu semakin nekat, serangannya semakin bertubi-tubi dan selalu mengancam tempat berbahaya di tubuh Toan Ki. Untung kaki pemuda itu pun cukup cepat menggeser hingga setiap serangan dapat dihindarkan. Jago bangsa Han itu paling licin, tadi waktu keadaan terdesak, ia selalu berada di belakang. Kini demi mendengar Toan Ki berulang memohon damai, kecuali menghindar belaka, untuk balas menyerang sudah tidak mampu. Maka timbul segera akal licik jago bangsa Han itu, ia mendekati lumpang batu dan meraup dua genggam bubuk beras yang sudah tertumbuk halus terus dihamburkan ke muka Toan Ki. Berkat langkah Toan Ki yang cepat dan aneh itu, dengan sendirinya taburan itu tidak kena sasarannya. Tapi menyusul orang Han itu menghamburkan dua genggam lagi, bahkan ia tambahi pula dua genggam lain hingga seketika ruangan penuh debu bubuk beras bagai kabut tebal.

Wah, celaka, celaka! Mataku tidak dapat memandang lagi! demikian Toan Ki berteriak-teriak. Giok-yan juga tahu keadaan berbahaya. Hal ini dapat dimengerti, jika Toan Ki diserang oleh jago-jago silat kelas tinggi, ia justru dapat menghindarkan diri dengan Leng-po-wi-poh yang aneh. Tapi kini ruangan itu penuh debu beras, jika terjadi serangan serabutan dari musuh-musuh itu tentu Toan Ki akan celaka malah. Padahal sejak tadi kalau musuh menyerang dengan mata tertutup umpamanya, boleh jadi hanya beberapa kali gebrak saja Toan Ki sudah dirobohkan. Begitulah karena pandangan Toan Ki kabur, tanpa pikir lagi ia melompat ke tepi roda air, ia pegang ruji roda dan membonceng putaran ke atas. Maka terdengarlah suara jeritan ngeri dua kali, dua busu bangsa Se He tadi telah salah terbunuh oleh kawan sendiri. Menyusul terdengar pula trang-tring dua kali, lantas ada orang berseru, Hai, ini akulah! Menyusul yang lain pun berteriak, Awas, kawan sendiri. Kiranya senjata antara jago-jago bangsa Han dan Se He itu telah saling beradu, untung mereka masih sempat mengerem. Tapi menyusul lantas terdengar lagi jeritan ngeri yang panjang, busu terakhir entah kena tendangan siapa hingga mencelat keluar jendela, jeritan ngeri sebelum ajalnya itu membuat Toan Ki bergidik hingga gemetar. Dengan suara terputus-putus ia berseru pula, Hei ... hei, kalian hanya tinggal dua orang, buat apa mesti berkelahi lagi? Orang kalah paling-paling minta ampun, biarlah aku menyembah padamu dan minta ampun, harap kalian pergi saja. Dengan mengincar tempat datangnya suara Toan Ki itu, segera jago bangsa Han menimpukkan sebatang piau, namun Toan Ki sudah turun pula terbawa oleh roda air. Karena itu sasaran piau jadi meleset, plok, hanya ujung lengan baju Toan Ki yang terpantek pada rangka roda kayu itu. Toan Ki terkejut, ia pikir bisa celaka kalau musuh terus menghujani dirinya dengan am-gi, ia pasti tak sanggup berkelit. Dan karena rasa jerinya itu, ia menjadi lemas, tubuh yang masih menggelantung di rangka roda itu lantas terperosot ke bawah, lengan baju yang terpantek piau itu sobek dan ia pun terbanting ke lantai. Di antara kabut tebal itu samar-samar orang Han itu dapat melihat apa yang terjadi, maka cepat ia menubruk maju untuk menangkap Toan Ki. Toan Ki masih ingat petunjuk Giok-yan tadi agar menutuk Jin-ging-hiat orang. Tapi pertama karena dalam keadaan gugup, kedua, walaupun tempat-tempat hiat-to sudah pernah dihafalkannya namun tidak pernah dilatihnya dengan baik, dalam keadaan bingung tutukannya menjadi kurang jitu, agak ke kiri dan jauh menceng ke bawah pula, maka yang tertutuk adalah Khi-koh-hiat di bagian pinggang. Khi-koh-hiat itu adalah hiat-to yang membikin orang tertawa, maka begitu tertutuk, tak tertahan lagi orang Han itu terus terbahak-bahak. Namun pedangnya berturut-turut masih menyerang pula walaupun mulutnya tiada hentinya tertawa.

Yong-heng, apa yang kau tertawakan? segera jago Se He itu menegur. Sudah tentu orang Han itu tak dapat menjawab, sebaliknya tertawa lebih keras. Karena tidak tahu duduknya perkara, orang Se He itu menjadi gusar, dampratnya, Di hadapan musuh, kau main gila apa? Hahaha ... aku ... hahaha ... ini ... hahahaha .... begitulah orang Han itu masih terus tertawa, berbareng pedangnya menusuk pula. Lekas Toan Ki mengisar ke kiri untuk menghindar. Di luar dugaan, karena kabut yang tebal itu, jago Se He itu pun tidak dapat memandang dengan terang, kebetulan ia pun sedang menubruk ke arah sini, maka terjadilah tabrakan di antara mereka berdua. Jago Se He itu adalah ahli kim-na-jiu, mahir ilmu menangkap. Maka begitu menubruk badan Toan Ki, reaksinya sangat cepat, sekali tangannya bergerak, segera dada Toan Ki kena dijambret olehnya. Ia tahu kepandaian Toan Ki yang diandalkan adalah langkah kakinya, sekali ia dapat memegangnya, kesempatan ini tidak disia-siakan lagi, segera ia membuang senjatanya dan tangan lain hendak dipakai mencengkeram lengan Toan Ki sekuat-kuatnya. Keruan Toan Ki mengeluh dan meringis kesakitan. Ia coba meronta, namun cengkeraman orang itu bagaikan tanggam kuatnya, semakin ia meronta, semakin kencang pegangan orang Se He itu. Melihat kesempatan baik, terus saja jago bangsa Han tadi angkat pedangnya menusuk ke punggung Toan Ki sambil tetap tertawa. Diam-Diam orang Se He itu berpikir jangan-jangan kawannya itu bermaksud tidak baik, kalau tusukannya menembus badan Toan Ki dan didorong terus, bukankah badan sendiri yang merapat pemuda itu juga akan ikut terluka? Karena itu cepat ia seret Toan Ki mundur selangkah. Sambil masih terbahak-bahak orang Han itu mendesak maju dan hendak menusuk pula, tapi mendadak terdengar suara plok sekali, sayap roda air itu tepat menghantam belakang kepalanya hingga ia jatuh kelengar. Bahkan waktu robohnya, kembali dadanya tertumbuk sekali lagi oleh gigi roda hingga terbinasa seketika. Sementara itu orang Se He itu masih terus menyikap kencang-kencang badan Toan Ki. Ia pikir kalau pemuda ini digencet hingga sesak napasnya, tentu sebentar akan menyerah tanpa berkutik. Sebaliknya tangan Toan Ki yang masih bisa bergerak itu terus menuding dan menutuk serabutan, tapi semuanya mengenai tempat kosong. Giok-yan menjadi khawatir melihat Toan Ki tak dapat meloloskan diri dari pegangan lawan. Ada maksudnya hendak maju membantu, tapi setelah keracunan, anggota badannya sudah tidak mau menurut perintah lagi, bahkan tangannya pun susah diangkat, jangankan lagi hendak menolong orang. Lagi pula di samping pintu masih berdiri seorang jago Se He dengan wajahnya yang menyeramkan itu, asal dia turun tangan sekali pasti jiwa Toan Ki akan melayang segera. Karena tak berdaya, akhirnya Giok-yan berteriak-teriak, Sudahlah, jangan kalian bikin susah Toan-kongcu, aku ... aku menyerah dan akan ikut pergi bersama kalian.

Waktu itu Toan Ki sendiri sangat ketakutan, tangannya menuding dan menutuk tak keruan, padahal kalau dia bisa berlaku tenang dan mengendurkan badannya, tentu Cu-hap-sin-kang yang mengeram di dalam badannya pasti akan menyedot tenaga jago Se He itu, dan tanpa dia mencapekkan diri, tentu musuh akan lemas sendiri. Tapi karena ketakutan hingga tenaga dalamnya telah terhimpun di antara jari-jarinya, sedangkan tutukannya selalu mengenai tempat kosong. Begitulah dalam keadaan bahaya dan napasnya terasa semakin sesak, sekonyong-konyong terdengar suara crit-crit beberapa kali, tiba-tiba jago Se He itu menjerit perlahan, tangannya lantas mengendur dan akhirnya melambai ke bawah, badannya menjadi lemas juga dan bersandar di dinding dengan kepala terkulai. Keruan Toan Ki sangat heran, ia coba periksa keadaan orang, ia lihat tepat di Giok-cim-hiat di belakang kepalanya ada sebuah lubang kecil dan dari situ memancurkan darah segar. Lukanya itu terang adalah akibat kena serangan Lak-meh-sin-kiamnya. Toan Ki menjadi bingung, ia tidak tahu bahwa di saat gawat tadi, ketika jarinya menuding ke atas, hingga tenaga murninya yang bergolak itu telah menerjang dinding terus membalik dan secara kebetulan mengenai belakang kepala lawan, sebab Giok-cim-hiat di belakang kepala itu memang merupakan tempat paling lemah bagi jago Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang. Giok-cim-hiat di belakang kepala memang merupakan tempat lemah bagi Se He itu, walaupun cuma tenaga membalik juga telah membikin jiwanya melayang. Dengan heran dan girang segera Toan Ki berteriak, Aha, nona Ong, semua musuh sudah terbinasa! Nyata ia lupa bahwa di samping pintu sana masih berdiri seorang musuh. Maka tiba-tiba ia dengar suara dingin menyahut, Hm, belum tentu telah mati semua! Dalam kagetnya segera Toan Ki menoleh, ia lihat pembicara itu adalah jago Se He yang mukanya membeku tanpa perasaan itu. Ia pikir kalau orang berani maju, tentu juga akan terbinasa percuma, maka dengan tertawa ia berkata, Sudahlah, lekas kau pulang saja, aku takkan membunuhmu. Hm, apakah engkau mempunyai kepandaian yang cukup untuk membunuh aku? sahut orang itu dengan angkuh. Sesungguhnya Toan Ki memang tidak ingin membunuh lagi, maka sahutnya dengan rendah hati, Ya, mungkin aku bukan tandinganmu, maka sudilah engkau bermurah hati, ampunilah aku ini. Ucapanmu ini sedikit pun tidak ada maksud minta ampun dengan sungguh-sungguh, ujar orang itu. Padahal It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan di Tayli tersohor di seluruh jagat, ditambah lagi petunjuk-petunjuk nona ini, bukankah engkau sudah terhitung jago nomor satu di dunia ini? Biarlah paku belajar kenal juga dengan kepandaianmu. Namun watak Toan Ki memang tidak suka ilmu silat, kalau ada sekian banyak orang terbunuh olehnya, soalnya adalah karena terpaksa, kalau bicara tentang berkelahi sungguh-sungguh, sedapat mungkin ia ingin menghindari, apalagi ia dengar kata-kata orang ini agak lain daripada yang lain, tentu bukan

sembarangan jago silat, sebaiknya jangan lagi bertempur dengan dia. Maka cepat ia menjawab dengan sungguh-sungguh sambil memberi hormat, Teguran saudara memang benar, maksud permintaan ampunku kurang hormat dan tidak jujur, biarlah di sini aku minta diberi maaf. Selamanya aku tidak pernah belajar silat, tadi dapat kurobohkan lawan, sesungguhnya hanya secara kebetulan saja, mana aku berani menantang padamu pula. Hehe, engkau mengaku tidak pernah belajar silat, tapi mampu membinasakan empat jago It-bin-tong negeri Se He dan membunuh pula 11 orang busu kami, demikian jengek orang aneh itu. Dan bila engkau belajar ilmu silat, bukankah tiada seorang jago silat lagi di kolong langit ini mampu menandingimu? Melihat di sekitarnya bergelimpangan mayat, semuanya berlumuran darah, hati Toan Ki menjadi pedih, katanya sambil tersendat, Ai, mengapa aku mem ... membunuh sebanyak ini? Padahal sebenarnya aku tidak ... tidak ingin membunuh orang, bagaimana baiknya ini? Orang aneh itu hanya tertawa dingin saja sambil melirik hina kepada Toan Ki untuk menjajaki apakah ucapan pemuda itu benar-benar timbul dari hati nuraninya? Toan Ki lantas berkata pula sambil mencucurkan air mata, Ai, di rumah orang-orang ini tentu punya anak-istri, tadinya mereka semua sehat dan kuat, tapi sekarang kubinasakan, bagaimana aku harus ... harus bertanggung jawab kepada keluarga mereka? Berkata sampai di sini, bukan saja ia menangis tersedu-sedu, bahkan sambil memukul dada sendiri dan menyambung pula dengan terguguk-guguk, Belum tentu mereka bermaksud membunuh diriku, mereka cuma menurut perintah atasan tutuk menangkapku, selamanya aku pun tidak kenal mereka, mengapa aku turun tangan keji? Hm, jangan pura-pura seperti kucing menangisi tikus, apakah dosamu akan terhapus begini saja? jengek jago Se He itu pula. Ya, memang benar, kata Toan Ki sambil mengusap air mata, orangnya kan sudah terbunuh, dosaku juga sudah terang, apa gunanya menangis pula? Aku harus mengubur secara baik-baik jenazah mereka ini. Mendengar pemuda itu hendak mengubur belasan jenazah itu, Giok-yan menjadi tidak sabar menunggu, segera ia berseru, Toan-kongcu, mungkin musuh akan memburu kemari lagi, sebaiknya kita berusaha meninggalkan tempat ini selekasnya. Ya, benar, sahut Toan Ki terus putar tubuh hendak naik tangga. Kau belum lagi membunuh aku, mengapa akan pergi begini saja, tanya orang aneh itu tiba-tiba. Tidak, aku tak boleh membunuhmu, lagi pula aku pun bukan tandinganmu, sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala. Kita kan belum lagi bergebrak, dari mana kau tahu bukan tandinganku? ujar orang itu. Nona Ong telah mengajarkan Leng-po-wi-poh padamu, hehe, langkah itu memang sangat hebat.

Sebenarnya Toan Ki hendak menerangkan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan ajaran Giok-yan, tapi segera terpikir olehnya tidak perlu beri tahukan hal itu pada orang luar, maka jawabnya, Ya, aku tidak mengerti ilmu silat apa segala, tapi berkat petunjuk nona Ong, maka aku bisa menyelamatkan diri. Dan bila kau hendak membunuh aku, terpaksa aku yang akan membunuhmu, kata orang itu sambil menjemput sebatang golok dari lantai, sekonyong-konyong ruangan situ penuh gulungan sinar, dalam lingkaran seluas dua-tiga meter melulu sinar golok belaka. Baru saja Toan Ki mulai melangkah, tahu-tahu pundak kena diketuk punggung golok orang hingga ia menjerit kesakitan sambil sempoyongan. Dan selagi kacau langkahnya, kesempatan itu segera digunakan jago Se He untuk memburu maju, ia ancam kuduk Toan Ki dengan golok, tapi sebagai gantinya sebelah kaki lantas mendepak hingga Toan Ki terjungkal ke depan, batok kepala menumbuk sebuah tong kayu, seketika jidatnya bocor. Lekas naik kemari, Toan-kongcu, seru Giok-yan. Toan Ki mengiakan terus merayap ke atas melalui tangga. Waktu ia menoleh ke bawah, ia lihat orang aneh itu sudah duduk di lantai sambil memegangi goloknya, mukanya masih tetap kaku tanpa perasaan. Nyata sekali ia sengaja membiarkan Toan Ki naik ke atas loteng dan tidak memburu untuk menyerangnya dari belakang. Wah, nona Ong, aku tak dapat menandingi dia, marilah kita lekas mencari akal untuk melarikan diri, demikian desis Toan Ki sesudah berada di atas loteng. Dia menunggu di bawah, kita tidak dapat melarikan diri, sahut Giok-yan. Eh, ambilkan dulu baju itu. Toan Ki mengiakan, segera ia ambilkan baju yang ditinggalkan si gadis tani tadi. Tutup matamu dan berjalan kemari, pinta Giok-yan. Nah, baiklah, berhenti. Sampirkan baju itu ke atas badanku, tidak boleh membuka mata! Semua perintah itu dituruti dengan baik oleh Toan Ki. Ia adalah seorang pemuda jujur dan polos, ia pandang Giok-yan seakan-akan malaikat dewata pula, dengan sendirinya tidak berani membangkang. Tapi bila teringat gadis itu dalam keadaan tak berbaju, tanpa terasa hatinya berdebur keras. Habis pemuda itu mengenakan baju baginya, kemudian Giok-yan berkata pula, Sudahlah sekarang, bangunkanlah diriku! Oleh karena tidak mendengar perintah agar buka mata, maka Toan Ki masih terus pejamkan kedua matanya, sedikit pun ia tidak berani mengintip. Ketika dengar si gadis bilang bangunkanlah diriku terus saja ia ulur tangan ke depan. Di luar dugaan mendadak muka Giok-yan terpegang olehnya, karena merasa tangan menyentuh sesuatu yang halus licin, Toan Ki terperanjat dan berseru gugup, O, maaf, maafkan! Sejak tadi muka Giok-yan sudah merah jengah ketika minta pemuda itu mengenakan baju untuknya, kiri mukanya teraba pula oleh tangan Toan Ki, keruan ia tambah malu, cepat ia berkata, Hei, aku minta engkau membangunkan aku!

Ya, ya! sahut Toan Ki, tapi tetap dalam keadaan mata terpejam, karena itu ia menjadi bingung dan serbasalah, sebab tidak tahu ke mana tangannya harus meraba, ia khawatir jangan-jangan salah menyenggol badan si gadis pula hingga makin menambah dosanya. Dengan rasa tegang Giok-yan menantikan Toan Ki membangunkannya dari onggok padi itu. Tapi sampai sekian saat pemuda itu masih mematung di tempatnya, akhirnya barulah ia ingat kedua mata Toan Ki harus disuruh buka dulu, maka segera katanya, Eh, mengapa engkau tidak membuka matamu? Dalam pada itu jago Se He di bawah loteng sedang tertawa dingin mengejek mereka, Hehehe, aku suruh kau belajar ilmu silat dulu kepada gurumu untuk kemudian buat membunuh aku. Kan tidak kuminta kalian naik pantas dengan lakon gandrung di situ. Huh, sungguh memuakkan. Dan waktu Toan Ki membuka matanya, ia lihat wajah Giok-yan bersemu merah dan kemalu-maluan, seketika ia terkesima dan memandang gadis itu dengan terpesona hingga apa yang dikatakan orang Se He itu sama sekali tak masuk telinganya. Lekas bangunkan aku! pinta si gadis pula. Ya, ya! sahut Toan Ki, dengan gugup ia memayang bangun si gadis untuk duduk di atas sebuah bangku butut. Setelah membetulkan baju sendiri dengan sebisanya, lalu Giok-yan menunduk sambil berpikir. Selang agak lama barulah ia membuka suara, Ia sengaja tidak mau mengunjukkan ilmu silatnya yang asli, maka aku tidak ... tidak tahu cara bagaimana agar dapat mengalahkan dia. Dia terlalu lihai, bukan! tanya Toan Ki. Ya, ketika dia bergebrak tadi, sekaligus ia telah mengeluarkan 17 macam gerakan ilmu silat dari aliran yang berbeda-beda, sahut Giok-yan. Ha? Apa? Hanya sekejapan itu, sekaligus ia mengeluarkan 17 macam gerakan yang tidak sama? Toan Ki menegas dengan terheran-heran. Ya, macam-macam kepandaian yang dia mainkan, mula-mula ia keluarkan ilmu golok dari Siau-lim-pay, lalu ada pula ilmu golok Lay-lo-han di Kwisay, serta aliran-aliran lain, ujar Giok-yan. Kemudian waktu ia putar punggung goloknya untuk mengetok pundakmu, gayanya adalah Cu-pi-to ciptaan Sim-koan Hwesio di Lengpo Thian-tong-si, ilmu golok itu cuma untuk membikin musuh tak berkutik dan tidak digunakan untuk membunuh. Lalu ia ancam lehermu dengan goloknya, itu adalah tipu gerakan ilmu golok ciptaan Nyo-jinkong yang terkenal. Dan paling akhir ketika ia mendepak engkau hingga terguling, gaya itu mengambil cara bergulat orang Se He. Ternyata setiap gerak tipu serangan orang Se He itu telah dapat diuraikan satu per satu secara jelas oleh Giok-yan. Sebaliknya bagi Toan Ki sudah tentu penjelasan itu tiada artinya, sebab memang dia tidak paham ilmu silat. Setelah Giok-yan memikir pula agak lama, akhirnya ia berkata, Sudah terang engkau tak dapat melawannya, sudahlah, engkau mengaku kalah saja. Memangnya sejak tadi aku sudah mengaku kalah, sahut Toan Ki. Maka segera

ia berseru kepada orang Se He itu, Hai, betapa pun aku tidak dapat melawan kau lagi, engkau mau berdamai tidak? Untuk mengampuni jiwamu juga tidak sulit, asal engkau menurut sesuatu syaratku, sahut jago Se He itu dengan tertawa dingin. Apakah syaratmu itu? tanya Toan Ki. Sejak kini, apabila engkau ketemu aku, harus segera merangkak di tanah dan menyembah padaku sambil meminta ampun tuan, kata orang itu. Sungguh gusar Toan Ki tidak kepalang, sahutnya, Seorang laki-laki lebih baik terbunuh daripada dihina, engkau ingin aku menyembah dan minta ampun padamu, hm, jangan harap. Jika mau bunuh, silakan sekarang bunuhlah! Kau benar-benar tidak takut mati? tanya orang itu. Takut sih memang takut, sahut Toan Ki, tetapi kalau setiap kali bertemu mesti berlutut dan minta ampun padamu, lebih baik aku pilih mati saja. Hm, berlutut dan minta ampun padaku, apakah hal ini merendahkan derajatmu? jengek orang itu. Bila suatu ketika aku menjadi raja di Tionggoan, dan kau ketemu aku, kau akan berlutut dan menyembah tidak? Ketemu raja dan menyembah, hal ini adalah soal lain, sahut Toan Ki. Cara itu namanya memberi hormat dan bukan minta ampun. Mendengar jago Se He itu bicara tentang bila suatu ketika aku menjadi raja Tionggoan segala, hati Giok-yan terkesiap, ia heran, Mengapa ia bicara serupa angan-angan Piaukoku? Dalam pada itu terdengar orang Se He itu berkata pula, Jika begitu, jadi syaratku tak dapat kau terima? Toan Ki menggeleng kepala, sahutnya tegas, Maaf, aku tak dapat menurut. Baiklah, sekarang boleh kau turun, biar sekali tebas kubunuhmu, ujar orang itu. Toan Ki memandang sekejap pada Giok-yan dengan perasaan cemas, katanya kemudian, Jika engkau bertekad ingin membunuh diriku, ya, apa boleh buat! Cuma ada suatu permintaanku padamu. Tentang apa? tanya orang itu. Nona ini keracunan aneh, badannya lemas dan tak ada tenaga hingga tidak dapat berjalan, maka harap engkau suka mengantarkannya pulang ke Man-to-san-ceng di tepi Thay-oh sana, pinta Toan Ki. Haha, guna apa aku mesti berbuat begitu? seru orang itu dengan tertawa. Telah ada perintah dari Ciangkun kami, barang siapa dapat menangkap si gadis cendekia ini akan diberi hadiah emas murni seribu tahil dan diberi pangkat menteri. Jika engkau kemaruk harta dan pangkat, baiklah begini saja, aku akan menulis sepucuk surat, sesudah kau antar pulang nona ini, engkau boleh membawa suratku ke negeri Tayli untuk menerima lima ribu tahil emas, tentang pangkat

menteri juga tetap diberikan padamu, ujar Toan Ki. Hahaha, apa kau anggap aku anak umur tiga, ya? sahut orang itu dengan terbahak. Kau ini kutu macam apa hingga melulu sepucuk suratmu lantas aku dapat menerima ribu tahil emas dan diberi pangkat? Toan Ki tahu orang tidak percaya omongannya, seketika ia menjadi tidak berdaya lagi, katanya, Habis, apa yang dapat kulakukan? Kematianku tidak perlu dibuat sayang, tapi kalau Siocia telantar di sini dan jatuh di bawah cengkeraman musuh, bukankah dosaku tak terampunkan? Giok-yan terharu mendengar kata-kata Toan Ki yang tulus itu, segera ia berseru pada jago Se He itu, Hai, jika kau berani kurang ajar padaku, tentu Piaukoku akan membalaskan sakit hatiku, negeri Se He kalian pasti akan diubrak-abrik habis-habisan olehnya. Siapakah gerangan Piaukomu? tanya orang itu. Piaukoku adalah Buyung-kongcu yang namanya mengguncangkan dunia persilatan Tionggoan, nama Koh-soh Buyung-si tentu pernah kau dengar juga, demikian sahut Giok-yan. Dan bila engkau tidak suka Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin baiknya engkau jangan mengganggu aku, kalau engkau berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, Piaukoku tentu akan membalas engkau dengan sepuluh kali lebih jahat. Hm, Buyung-kongcu dari Koh-soh hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau pupuk, namanya cuma nama kosong belaka, kepandaian sejati apa yang dia miliki? ejek orang itu. Andaikan dia tidak datang mencariku, memang sudah lama juga aku ingin mencarinya untuk menjajalnya. Engkau sekali-kali bukan tandingan Piaukoku, maka aku nasihatkan padamu lebih baik pulang kandang ke negerimu saja, ujar Giok-yan. Pula, bila jiwa Toan-kongcu ini diganggu olehmu, pasti aku akan minta Piauko menuntut balas padamu. Sebab Toan-kongcu sendiri sebenarnya dapat meloloskan diri, tapi demi untuk melindungi aku, maka ia ikut terkurung di sini. Eh, tuan besar, siapakah namamu yang mulia? Beranikah kau beri tahukan padaku? Kenapa tidak berani? Li Yan-cong, inilah namaku, sahut orang itu. O, jadi engkau she Li, itu kan nama keluarga kerajaan Se He? Giok-yan menegas. Ya, tidak hanya nama keluarga kerajaan, bahkan setia membela negara dan siap berbakti bagi tanah air. Negara Song akan kami hancurkan, Liau akan kami caplok, ke barat membasmi Turfan, ke selatan meratakan Tayli, kata orang yang bernama Li Yan-cong itu. Haha, cita-citamu ternyata setinggi bintang di langit, seru Toan Ki. Wahai Li Yan-cong, biarlah kukatakan terus terang padamu, bahwasanya engkau mahir berbagai macam ilmu silat dari setiap aliran, kalau hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di jagat ini mungkin tidak sulit, tapi kalau engkau bercita-cita menyatakan dunia di bawah kekuasaanmu, hal ini rasanya takkan terjadi bila melulu mengandalkan ilmu silat nomor satu di dunia ini. Hendak menjadikan ilmu silatmu nomor satu di dunia juga engkau tidak mungkin mampu, tukas Giok-yan.

Apa yang menjadi dasar pendapatmu? Coba memberi penjelasan, tanya Li Yan-cong. Pada zaman ini, kalau menurut penglihatanku, paling sedikit sudah ada dua orang yang berilmu lebih tinggi daripadamu, sahut Giok-yan, Siapa kedua orang itu? tanya Li Yan-cong sambil melangkah maju setindak dan menengadah. Pertama, ialah Kiau Hong, Kiau-pangcu dari Kay-pang, kata Giok-yan. Hm, meski terkenal namanya, belum tentu sesuai dengan kenyataannya, jengek Li Yan-cong. Dan siapa lagi yang kedua itu? Orang kedua adalah Piaukoku. Buyung Hok, Buyung-kongcu dari Koh-soh, sahut si gadis. Huh, juga belum tentu benar, kata Li Yan-cong sambil geleng kepala. Kau sengaja menyebut nama Kiau Hong di depan Buyung Hok, hal ini demi kepentingan pribadimu atau demi kepentingan umum? Kepentingan umum dan pribadi apa maksudmu? tanya Giok-yan. Jika demi kepentingan umum, tentu dasarnya karena kau anggap ilmu silat Kiau Hong memang berada di atas Buyung Hok, sahut Li Yan-cong. Dan bila demi kepentingan pribadi, tentu disebabkan Buyung Hok itu ada hubungan famili denganmu, maka kau biarkan nama orang luar di depan nama orang sendiri. Untuk sejenak Giok-yan berpikir, lalu jawabnya, Demi kepentingan umum atau pribadi kan sama saja. Sudah tentu kuharap ilmu silat Piaukoku bisa lebih tinggi daripada Kiau-pangcu, tapi pada saat ini belum dapat. Sekarang belum dapat? Hm, jadi maksudmu bila ilmu silat Piaukomu setiap hari dapat maju dengan pesat, kelak pasti akan menjadi jago nomor satu di dunia ini? jengek Li Yan-cong. Ai, itu pun belum pasti, sahut Giok-yan sambil menghela napas. Sampai akhirnya kelak, mungkin jago silat nomor satu di dunia ini tak-lain-tak-bukan adalah Toan-kongcu inilah. Hahaha, benar-benar pandai berkelakar, seru Li Yan-cong sambil tertawa. Pelajar tolol ini hanya mendapat petunjukmu hingga dapat memainkan Leng-po-wi-poh sehingga jiwanya untuk sementara dapat selamat, tapi dengan kepandaian angkat langkah seribu dan lari terbirit-birit itu masakah dapat disebut sebagai jago silat nomor satu di dunia? Sebenarnya Giok-yan bermaksud menjelaskan bahwa Leng-po-wi-poh itu bukan dia yang mengajarkan, hanya lwekang Toan Ki memang hebat luar biasa. Tapi demi dipikir pula bahwa musuh mungkin berjiwa sempit, bila mengetahui rahasia itu, bukan mustahil Toan Ki akan dibunuhnya. Maka segera ia berkata, Jika dia mau menurut petunjukku dan belajar tiga tahun, sesudah itu untuk menjadi jago nomor satu di dunia ini mungkin belum cukup, namun untuk mengalahkanmu dapat dipastikan semudah membalik telapak tangan sendiri. Jika begitu, baiklah, aku percaya omonganmu, dan daripada menanam bibit bencana, lebih baik sekarang kubasmi dulu. Nah, Toan-kongcu, silakan turun, aku akan membunuhmu saja, demikian kata Li Yan-cong.

Keruan Giok-yan kaget, sungguh di luar dugaan bahwa bandingannya justru membikin urusan menjadi runyam malah, terpaksa ia berkata pula dengan tertawa dingin, Huh, kiranya engkau sudah jeri lebih dulu, sebab khawatir tiga tahun lagi engkau tak mampu menangkan dia. Hehe, kau sengaja mengumpak aku dengan kata-kata pancingan, masakah orang she Li ini mudah tertipu? jengek Li Yan-cong. Sudahlah, pendek kata, ingin minta aku mengampuni jiwanya juga boleh, asal seperti kataku tadi, setiap kali bertemu dengan aku dia harus berlutut dan minta ampun, dengan demikian pasti aku tidak akan membunuhmu. Giok-yan tidak bersuara lagi, ia pandang Toan Ki, ia pikir tidak mungkin pemuda itu sudi berlutut dan minta ampun. Jalan paling baik sekarang biar coba melawan dengan mati-matian. Maka segera ia berbisik, Toan-kongcu, kiam-gi (hawa pedang) pada jarimu itu mengapa adakalanya manjur, tapi terkadang macet, apa sebabnya? Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu, sahut Toan Ki. Paling baik kau coba sekali lagi sekuat tenaga, ujar si nona. Engkau boleh menusuk pergelangan tangan orang she Li itu dengan hawa pedang, lebih dulu rampas senjatanya, kemudian dekap dia sekencang-kencangnya untuk mengadu jiwa dengan dia. Tempo hari waktu di Man-to-san-ceng, secara mudah Peng-mama dapat kau taklukkan, sekarang bolehlah kau gunakan cara yang sama. Kiranya Giok-yan tahu tidak mungkin dalam waktu sesingkat Toan Ki dapat diberi petunjuk cara mengalahkan Li Yan-cong yang lihai itu. Tapi ia ingat cara Toan Ki menaklukkan Peng-mama tempo hari, yaitu dengan semacam tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan, asal pemuda itu dapat menyikap Li Yan-cong, tentu ilmu sakti itu dapat dipakai menyedot tenaga lawan. Begitulah Toan Ki lantas mengangguk tanda setuju, memang kecuali cara itu ia pun tidak berdaya lain, biarpun risiko celaka lebih besar daripada selamatnya, namun terpaksa ia harus mencobanya juga. Maka sesudah membetulkan baju sendiri, segera Toan Ki berkata dengan tertawa, Nona Ong, sungguh aku harus malu karena tak becus melindungi nona. Bila nanti nona dapat lolos dengan selamat dan kelak menikah dengan Piaukomu, harap jangan lupa menyiram beberapa tetes arak pada tangkai bunga kamelia yang kutanam di Man-to-san-ceng itu dan anggaplah aku yang telak minum arak bahagiamu. Jilid 28. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2007/3/9 (2233 reads) Mendengar pemuda itu berdoa agar dirinya menikah dengan sang piauko, Giok-yan sangat senang, ia menjadi tidak tega pula menyaksikan pemuda baik hati itu akan dibunuh orang, maka dengan sedih ia berkata, Toan-kongcu, budi pertolonganmu, aku Ong Giok-yan takkan lupa untuk selamanya. Sebaliknya Toan Ki memang sudah nekat, ia pikir daripada nanti menyaksikan engkau dipersunting piaukomu, lebih baik sekarang juga aku mati di hadapanmu saja. Maka perlahan ia mulai melangkah ke bawah loteng, sebelum itu ia masih sempat menoleh sekejap dan tersenyum kepada Giok-yan. Diam-diam gadis itu merasa heran, sebentar lagi jiwanya akan melayang, tapi pemuda itu masih bisa tertawa.

Setelah berada di lantai bawah, Toan Ki melotot kepada Li Yan-cong dan menegur, Nah, aku sudah turun sekarang. Li-ciangkun, katanya engkau sudah pasti akan membunuh aku, silakan turun tangan. Lekas! Sambil berkata ia terus melangkah maju pula, langkahnya itu bukan lain adalah Leng-po-wi-poh. Tanpa bicara lagi segera Li Yan-cong putar goloknya dan membacok tiga kali beruntun-runtun. Setiap kali tidak sama ilmu goloknya. Tapi langkah Toan Ki itu benar-benar ajaib dan aneh sekali perubahannya, beberapa kali Li Yan-cong hendak mengurungnya dengan tipu ilmu goloknya yang berganti-ganti itu, tapi entah mengapa pemuda itu dapat lolos keluar. Melihat sekali ini Toan Ki dapat bertahan dengan baik, diam-diam Giok-yan merasa lega, ia harap pemuda itu mendadak dapat mengeluarkan serangan aneh untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Toan Ki juga sedang berusaha mengerahkan tenaga dalam dengan maksud menyalurkan ke ujung jari, tapi hawa murni itu selalu mogok di tengah jalan, kalau sampai tangan entah mengapa lantas menyurut kembali. Maklum, ia memang tidak pernah belajar silat sehingga tidak mudah melancarkan hawa murni. Untunglah Leng-po-wi-poh cukup hebat, pula sudah sangat hafal, betapa pun cepat Li Yan-cong menyerang, selalu luput mengenai sasarannya. Tadi Li Yan-cong sendiri sudah menyaksikan cara Toan Ki membinasakan jago-jago Se He, kini melihat pemuda itu bertuding-tuding pula entah sedang main sulap apa, diam-diam ia merinding jangan-jangan pemuda itu mahir ilmu sihir. Segera ia ambil keputusan harus berusaha membunuhnya lebih dulu sebelum pemuda itu sempat mengeluarkan ilmu sihirnya. Tapi apa daya, serangan selalu mengenai tempat kosong. Dasar pikiran Li Yan-cong memang cerdas, dengan cepat ia mendapat akal, mendadak ia membalik tangan dan menghantam roda air hingga sayap roda sempal, segera ia sambar sempalan kayu terus dilemparkan ke kaki Toan Ki. Tapi langkah pemuda itu cepat sekali, sudah tentu timpukan itu tidak kena. Namun Li Yan-cong terus menghantam dan memukul serabutan hingga segala alat perabot di dalam ruangan seperti tenggok, tampah, dan sebagainya berjungkir balik tersampuk ke tepi kaki Toan Ki. Ruangan itu memang sudah penuh menggeletak belasan mayat, ditambah lagi alat-alat perabot itu, sudah tentu tiada tempat luang lagi bagi kaki Toan Ki, setiap tindakannya tentu tersenggol atau kesandung sesuatu benda di lantai itu. Namun Toan Ki tahu keadaan sangat berbahaya, bila lambat sedikit saja langkahnya pasti jiwa bisa melayang. Maka ia menjadi nekat, ia tidak memandang ke lantai dan tetap menurutkan ilmu langkah ajaib itu, tetap mengisar kian kemari dengan cepat walaupun terkadang mesti naik-turun karena kakinya menginjak sesuatu, entah mayat, entah bakul, dan entah apa lagi, semuanya tak dipedulikannya. Rupanya Giok-yan juga tahu gelagat jelek, segera ia berseru, Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu dan menyelamatkan diri sendiri saja, kalau melawan lebih lama lagi tentu jiwamu berbahaya.

Biarlah, kecuali dia dapat membunuh aku, kalau tidak, asal aku masih bisa bernapas, pasti akan kubela keselamatan nona, sahut Toan Ki. Hm, kau tidak becus ilmu silat, tapi ternyata seorang sok baik hati dan berbudi, begitu mendalam kasih sayangmu kepada nona Ong, ha? ejek Li Yan-cong. Bukan, bukan! demikian Toan Ki menirukan lagu Pau-samsiansing. Nona Ong adalah manusia dewata, sebaliknya aku cuma seorang biasa saja, mana aku berani bicara tentang kasih dan budi? Soalnya Nona Ong mau menghargai aku dan sudi ikut aku keluar untuk mencari piaukonya, dengan sendirinya aku harus membalas penghargaannya kepadaku ini. O, jadi dia ikut kau keluar dengan tujuan ingin mencari piaukonya si Buyung-kongcu, jika begitu, hakikatnya dalam hatinya tidak pernah terlintas orang macammu ini, tapi kau sendiri yang melamun seperti katak buduk mengimpikan bidadari! Haha, hahaha! Sungguh menggelikan! Tapi Toan Ki tidak gusar, sebaliknya menjawab dengan sungguh-sungguh, Perumpamaan itu memang sangat tepat. Ong-kohnio memang benar laksana bidadari. Cuma katak buduk seperti aku ini juga lain daripada yang lain, asal dapat memandang beberapa kejap kepada sang bidadari rasanya sudah puas dan tiada pikiran lain lagi. Mendengar pemuda itu mengaku dirinya seperti katak buduk yang lain daripada yang lain, Li Yan-cong bertambah geli hingga tertawa terbahak-bahak. Anehnya, biarpun begitu keras ia tertawa, tapi kulit daging air mukanya itu tetap kaku tanpa perasaan. Toan Ki sudah pernah melihat orang aneh seperti Yan-king Taycu, tanpa gerak bibir, tapi bisa bicara. Maka air muka Li Yan-cong yang aneh itu tidak membuatnya heran. Katanya malah, Kalau bicara tentang air muka kaku tanpa perasaan, kau masih selisih jauh kalau dibandingkan Yan-king Taycu, untuk menjadi muridnya mungkin juga belum sesuai. Siapa itu Yan-king Taycu? Tidak pernah kudengar, tanya Li Yan-cong. Dia adalah tokoh terkemuka negeri Tayli, ilmu silatmu jauh di bawahnya, sahut Toan Ki. Padahal mengenai tinggi-rendahnya ilmu silat orang lain, hakikatnya sama sekali Toan Ki tak dapat membedakan, tapi ia sengaja mengucapkan kata-kata yang menilai rendah lawannya, ia pikir daripada mati konyol, paling tidak aku sudah balas mengolok-olok lebih dulu. Maka Li Yan-cong menjengek, Hm, betapa tinggi atau rendah ilmu silatku, masakah bocah seperti dirimu mampu menjajaki? Sembari berkata, ia putar goloknya semakin kencang. Sudah tentu sejak semula Toan Ki tidak tahu betapa tinggi kepandaian lawan itu. Tapi bagi Giok-yan, semakin dilihat semakin khawatir. Pikir gadis itu, Kepintaran orang ini boleh dikatakan sangat luas dan hampir memadai kepintaranku, apalagi lwekangnya sangat tinggi pula, sungguh tidak nyana di negeri Se He terdapat seorang tokoh pilihan seperti ini dan aku justru kepergok di sini, sedangkan Piauko tiada di sini hingga tidak ada yang mampu

melindungi keselamatanku, hanya seorang pelajar tolol yang terus main kucing-kucingan dengan dia. Ai, nasibku benar-benar teramat buruk. Pada saat lain, ketika dilihatnya Toan Ki agak sempoyongan, keadaan cukup berbahaya, tanpa terasa timbul juga rasa kasih sayangnya, segera ia berseru, Toan-kongcu, lekas lari keluar pintu, bertempur di luar sana juga boleh. Tidak, sahut Toan Ki, engkau tak dapat bergerak, kalau tinggal sendirian di sini, betapa pun aku merasa khawatir. Apalagi, mayat berserakan sekian banyak di sini, tentu engkau akan merasa seram, maka lebih baik aku tinggal di sini untuk mengawanimu saja. Diam-diam Giok-yan tidak habis gegetun akan ketolol-tololan pemuda pelajar itu, mana jiwa sendiri terancam maut masih dapat pusingkan orang lain takut pada mayat segala. Dalam pada itu beberapa kali Toan Ki kesandung dan keserimpet, golok musuh terkadang menyambar lewat di atas kepalanya, cuma selisih satu-dua senti jauhnya, keruan pemuda itu ketakutan setengah mati, berulang timbul pikiran, Wah, celaka, kalau buah kepalaku ini tertebas separuh, tentu aku tak bisa hidup lagi. Seorang laki-laki harus bisa mulur-mengkeret, berani menang dan berani kalah, demi nona Ong, biarlah aku berlutut dan minta ampun padanya saja. Namun demikian pikirnya, toh tetap enggan diucapkannya. Hm, kulihat engkau pasti ketakutan setengah mati dan ingin lari terbirit-birit, demikian Li Yan-cong mengejek. Mati adalah urusan mahapenting setiap orang, siapa yang tidak takut mati? sahut Toan Ki. Tentang lari sih memang ada maksudku, namun aku tak dapat melarikan diri. Sebab apa? tanya Yan-cong. Sudahlah, tidak perlu banyak omong, ujar Toan Ki. Akan kuhitung satu sampai sepuluh, bila engkau tak dapat membunuh aku, terpaksa aku tak mau mengiringimu lagi. Dan tanpa menunggu jawaban apakah Li Yan-cong setuju atau tidak, terus saja ia mulai menghitung, Satu, dua, tiga .... Apa kau sudah gila? ujar Li Yan-cong. Tapi Toan Ki masih terus menghitung, Empat, lima, enam .... Hahaha, masakah di dunia ini ada orang tolol semacam kau, sungguh bikin malu kaum persilatan saja, seru Li Yan-cong dengan terbahak-bahak. Berbareng goloknya susul-menyusul membabat ke kanan dan menebas ke kiri. Namun dengan cepat Toan Ki menggeser kian kemari sambil mulut menghitung makin cepat mengikuti gaya serangan lawan, Tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, tiga belas ... sudah, sudah, sudah lebih dari sepuluh kali dan kau tetap tidak mampu membunuh aku, huh, engkau sungguh tidak kenal malu, masakah tidak mau mengaku kalah, ha? Sungguh geli dan mendongkol Li Yan-cong melihat kelakuan Toan Ki itu.

Dikatakan tolol, toh pemuda itu tidak tolol, bilang dia pintar, nyatanya juga tidak pintar, benar-benar seorang aneh yang tidak pernah diketemukannya. Kalau sampai terlibat lebih lama, entah bagaimana akhirnya nanti, jangan-jangan sedikit lengah awak sendiri akan terjungkal malah di bawah ilmu sihirnya, demikian pikiran Yan-cong. Dasar dia memang seorang yang sangat cerdik, ia tahu Toan Ki sangat memerhatikan keselamatan Giok-yan, tiba-tiba ia mendapat akal, ia mendongak ke atas loteng dan berteriak, Hah, bagus, boleh kalian bunuh dulu nona itu, lalu turun kemari dan membantu padaku! Keruan Toan Ki kaget, disangkanya benar-benar ada musuh naik ke atas loteng dan jiwa Giok-yan sedang terancam. tanpa pikir lagi ia terus menengadah ke loteng. Dan karena sedikit meleng itulah, kesempatan itu digunakan Li Yan-cong untuk mengayun kakinya, sekali tendang ia bikin Toan Ki terjungkal, menyusul goloknya lantas mengancam leher pemuda itu sambil sebelah kaki menginjak pada dadanya. Toan Ki masih bermaksud angkat jarinya untuk menutuk, tapi sedikit Li Yan-cong tahan goloknya, segera mata golok melekuk beberapa mili ke leher Toan Ki. Jangan bergerak, sekali bergerak, segera kupotong kepalamu! ancam Yan-cong. Dalam pada itu Toan Ki telah melihat jelas bahwa di atas loteng sebenarnya tiada musuh. Hatinya menjadi lega, katanya dengan tertawa, Ah, kiranya engkau cuma menggertak saja! Menyusul ia menyambung pula dengan gegetun, Ai, sayang, sungguh sayang! Sayang apa? tanya Li Yan-cong. Jika aku mati di tangan jago silat kelas satu seperti dirimu, sebenarnya masih cukup berharga bagiku, sahut Toan Ki. Siapa nyana engkau tidak mampu menangkan aku dengan ilmu silat, lalu main licik dan menipu, perbuatan rendah dan memalukan ini sungguh membikin aku mati penasaran. Jika kau merasa penasaran, nanti boleh kau mengadu pada Giam-lo-ong (raja akhirat) saja, ujar Yan-cong. Tahan dulu, Li-ciangkun, tiba-tiba Giok-yan berseru. Ada apa? tanya Li Yan-cong. Jika engkau membunuh dia, kecuali aku dibunuh pula, kalau tidak, pada suatu hari aku pasti akan membunuhmu juga untuk membalas sakit hati Toan-kongcu, kata Giok-yan. Li Yan-cong melengak. Bukankah engkau telah mengatakan piaukomu yang akan membunuh aku? tanyanya. Ilmu silat piaukoku belum tentu bisa menangkan engkau, sebaliknya aku pasti dapat, sahut Giok-yan. Hm, apa dasar perhitunganmu? jengek Yan-cong.

Sudah sekian banyak tipu seranganmu, tapi ternyata juga cuma sekian saja, terang apa yang kau ketahui dan pelajari belum ada separuhnya dari apa yang kuketahui, demikian sahut si gadis. Buktinya caramu menyerang Toan-kongcu sudah banyak lubang kelemahannya, menurut perhitunganku, dengan mudah mestinya Toan-kongcu dapat kau bunuh, tapi ilmu golok yang kau keluarkan selalu salah. Padahal ada juga ilmu golok dari kalangan To-kau (agama Tao) yang dapat kau gunakan. Tapi nyatanya engkau tidak tahu atau mungkin sama sekali asing dalam hal ilmu silat golongan To-kau. Huh, sombong benar kau, sahut Li Yan-cong dengan ragu. Engkau bersedia membalaskan sakit hati Toan-kongcu, apakah karena cintamu kepadanya sudah terlalu mendalam? Muka Giok-yan menjadi merah, sahutnya, Mendalam apa? Hakikatnya tiada istilah cinta antara diriku dengan dia. Soalnya karena dia mati untukku, dengan sendirinya aku harus membalaskan sakit hatinya. Ternyata Li Yan-cong tidak menjawabnya lagi, tapi hanya tertawa dingin, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah botol porselen kecil dan dilemparkan ke atas badan Toan Ki, lalu ia simpan kembali goloknya, sekali lompat, cepat ia melompat keluar pintu. Maka terdengarlah suara kuda meringkik, menyusul kuda dilarikan, makin lama makin jauh. Segera Toan Ki merangkak bangun, ia meraba lehernya yang masih kesakitan bekas diancam golok musuh tadi, ia merasa seperti habis sadar dari mimpi buruk saja. Begitu pula Giok-yan juga tidak menduga akan kejadian itu, untuk sejenak mereka hanya saling pandang dengan bingung dan bergirang pula. He, dia sudah pergi, kata Toan Ki selang sekian lama dan dibalas Giok-yan dengan mengangguk. Bagus, bagus! Ternyata aku tidak jadi dibunuh olehnya! seru Toan Ki pula. Nona Ong, nyata pengetahuan ilmu silatmu jauh di atasnya, makanya dia jeri padamu. Bukan begitu soalnya, kalau tadi dia membunuhmu, lalu aku pun dibunuhnya pula, bukankah segala urusan sudah beres? ujar Giok-yan. Ehm, benar juga, kata Toan Ki sambil garuk-garuk kepala dengan bingung. Tapi, tapi ... mungkin dia kesengsem kepada kecantikanmu bagai bidadari, makanya tidak berani membunuh engkau. Diam-Diam Giok-yan geli karena pelajar tolol itu memandangnya seakan-akan bidadari dari kahyangan, tapi senang juga hatinya oleh pujian itu. Melihat gadis itu tidak bersuara, air mukanya merah jengah, keruan Toan Ki kegirangan dan melangkah maju. Tiba-tiba terdengar suara nyaring jatuhnya sesuatu benda, kiranya botol porselen yang ditinggalkan Li Yan-cong tadi. Cepat Toan Ki pungut botol itu, ia lihat di atas botol itu tertulis keterangan: Bila terkena kabut wangi bunga merah, ciumlah botol ini dan segera punah. Sungguh girang Toan Ki tidak kepalang, serunya segera, He, inilah obat penawarnya, inilah obat penawar! Dan segera ia membuka tutup botol itu dan menciumnya, tapi seketika kepalanya

pusing dan mata berkunang-kunang, hampir saja ia jatuh kelengar oleh bau bacin isi botol itu. Cepat ia tutup kembali botol itu dan berteriak-teriak, Wah, tertipu! Baunya tidak kepalang! Coba kulihat, boleh jadi racun menyerang racun akan membawa khasiat di luar dugaan, ujar Giok-yan. Segera Toan Ki mengangsurkan botol itu dan berkata, Tapi baunya terlalu bacin, apakah engkau tahan? Biarlah kucoba dulu, ujar si gadis. Toan Ki mengiakan dan membuka tutup botol itu serta diangkat ke depan hidung si nona. Ketika Giok-yan mencium sekali isi botol itu, seketika berteriak, Ai, benar-benar sangat bacin. Nah, kau percaya sekarang? ujar Toan Ki. Boleh coba mengendus sekali lagi jika engkau masih tidak percaya. Namun Giok-yan rupanya sudah kapok, ia melengos sambil pencet hidung dan berkata, Ai, bacinnya tidak hilang-hilang, biar bagaimanapun aku tidak mau lagi mencium barang bau begini, ha ... tanganku ... tanganku sudah dapat bergerak! Demikian teriaknya ketika tanpa terasa ia dapat mengangkat tangannya untuk memegang hidung sendiri. Padahal sebesar itu, untuk membetulkan baju saja rasanya tidak kuat. Saking girangnya terus saja ia rebut botol itu dari tangan Toan Ki dan menciumnya berulang-ulang dengan keras-keras, sekarang ia tidak takut bau bacin lagi, ia tahu semakin busuk bau obat itu, semakin manjur pula khasiatnya. Maka sebentar saja badan yang tadinya lemas lunglai telah pulih kembali. Lalu katanya kepada Toan Ki, Turunlah kau, aku hendak ganti pakaian. Toan Ki mengiakan dan cepat melangkah turun ke bawah loteng. Ketika dilihatnya mayat bergelimpangan memenuhi ruangan, tanpa terasa timbul rasa menyesalnya. Dengan kesima ia berdiri terpaku di situ. Setelah salin baju, perlahan Giok-yan turun juga ke bawah. Ia heran melihat Toan Ki berdiri termangu-mangu di situ, segera tegurnya, He, apa yang sedang kau pikirkan? Aku merasa menyesal dan terharu karena telah membunuh orang sebanyak ini, sahut Toan Ki. Toan-kongcu, menurut pendapatmu, sebab apa jago Se He she Li itu memberikan obat penawar ini kepadaku? tanya Giok-yan tiba-tiba. Tentang ini ... ini aku tidak tahu ... ah, tahulah aku, sebab ... sebab ... ehm, entahlah .... sebenarnya Toan Ki hendak berkata, sebab dia suka padamu, tapi urung diucapkannya. Toan-kongcu, kata Giok-yan pula, tempat ini masih berbahaya, kita harus lekas pergi dari sini. Tapi kita harus pergi ke mana?

Meski nona itu serbatahu mengenai segala aliran ilmu silat, tapi pengalamannya di luar rumah sedikit pun tidak punya. Sebenarnya ia sangat ingin pergi mencari sang piauko, cuma tidak enak untuk berkata terus terang. Sebaliknya Toan Ki meski seorang Su-tay-cu (pelajar tolol), tapi ia cukup paham apa yang dipikirkan si gadis. Maka sengaja balas tanya, Habis kau ingin pergi ke mana? Aku ... aku .... sahut Giok-yan dengan muka merah sambil memainkan botol porselen yang masih dipegangnya itu, dan sejenak kemudian baru ia menyambung, Kukira para pahlawan dan kesatria Kay-pang juga terkena racun Ang-hoa-hiang-hu (kabut wangi bunga merah), kalau piaukoku berada di sini, dia tentu dapat membantu membawakan obat penawar ini kepada mereka. Pula A Cu dan A Pik mungkin juga tertawan musuh, maka ... maka .... Sebenarnya ia hendak mengajak Toan Ki mencari piauko dulu, kemudian mencari akal untuk menolong mereka. Siapa duga Toan Ki terus berjingkrak sambil berseru, Hai, benar, nona A Cu dan A Pik ada kesulitan, kita harus lekas-lekas menolong mereka! Walaupun agak kecewa karena bukan itu yang dipikirkan, namun terpaksa Giok-yan mengiakan. Dan bagaimana dengan mayat sebanyak ini, apakah tidak perlu aku mengubur mereka dahulu? tanya Toan Ki. Kenapa mesti susah-susah, nyalakan api dan bakar saja rumah ini, kan beres segalanya? ujar si gadis. Tapi ... tapi .... sebenarnya Toan Ki tidak tega, apalagi mesti mengorbankan rumah gilingan penduduk itu. Namun jalan lain memang tiada lagi, terpaksa ia membuat lelatu api dan menyalakan rumput jerami yang ada di situ. Sambil menyalakan api, Toan Ki berkomat-kamit memanjatkan doa agar arwah para korban itu lekas naik ke surga. Habis itu ia mencemplak kudanya dua dilarikan pergi bersama Giok-yan. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara gembreng bertalu-talu dan riuh ramai berisik suara orang-orang. Mungkin petani di sekitar rumah gilingan itu beramai-ramai sedang berusaha memadamkan kebakaran. Sungguh aku menyesal harus membakar rumah gilingan orang, kata Toan Ki sambil melarikan kudanya. Kau ini memang suka omong bertele-tele, ujar Giok-yan. Seorang laki-laki seperti dirimu masakah kalah daripada wanita seperti ibuku yang setiap tindak tanduknya selalu tegas dan cepat. Diam-diam Toan Ki tidak dapat menerima perbandingan itu, ia pikir ibumu sedikit-sedikit suka membunuh orang, daging manusia dijadikan rabuk, mana aku sudi dipersamakan dengan dia. Tapi ia lantas menjawab, Karena baru pertama kali ini aku membunuh orang dan membakar rumah, dengan sendirinya hatiku tidak tenteram. Benar juga alasanmu, ujar Giok-yan. Kelak kalau sudah biasa, tentu kau takkan merasakannya lagi.

He, mana boleh, mana boleh! seru Toan Ki berulang-ulang sambil goyang-goyang kedua tangannya. Berbuat sekali saja berdosa, mana boleh diulangi lagi? Tentang membunuh orang dan membakar rumah, sebaiknya jangan dibicarakan pula. Giok-yan berpaling dengan rasa heran ke arah pemuda di sebelahnya itu, katanya pula, Bagi orang Kangouw, membunuh dan dibunuh adalah soal biasa. Jika engkau takut, mengapa engkau tidak cuci tangan dan jangan berkecimpung lagi di dunia Kangouw? Ai, urusan ini memang susah dikatakan, ujar Toan Ki. Ayah dan paman memaksa aku belajar silat dan aku tetap tidak mau. Siapa duga dalam keadaan terpaksa, akhirnya aku kebentur pada kenyataan begini. Sungguh aku tidak tahu bagaimana baiknya? Apakah cita-citamu adalah giat belajar sastra untuk kelak akan menjadi pembesar atau menteri, bukan? tanya Giok-yan dengan tersenyum. Bukan, menjadi pembesar juga tiada artinya bagiku, sahut si pemuda. Habis, apa cita-citamu? tanya si gadis. Masakah engkau juga seperti piaukoku yang setiap hari mengimpikan menjadi Hongte (kaisar)? Ha, Buyung-kongcu ingin menjadi Hongte? tanya Toan Ki dengan heran. Muka si gadis menjadi merah karena tanpa sengaja telah membocorkan rahasia sang piauko. Cepat ia menjawab, Ah, aku cuma bergurau saja, tapi sekali-kali engkau jangan katakan kepada orang lain, lebih-lebih jangan membicarakan hal ini di depan piaukoku, sebab aku pasti akan didamprat habis-habisan olehnya. Kembali hati Toan Ki tertusuk oleh sikap si gadis yang begitu kesengsem kepada sang piauko itu. Tapi terpaksa ia menjawab, Baiklah, tidak nanti aku ikut campur urusan tetek bengek piaukomu itu. Apakah dia menjadi Hongte atau akan menjadi pengemis, semuanya aku tidak peduli. Lagi maka Giok-yan marah jengah, ia dengar nada ucapan Toan Ki itu agak kurang senang, segera ia tanya dengan suara lembut, Toan-kongcu, apakah engkau marah padaku? Selama berkenalan dengan gadis itu, yang selalu dipikir dan dikatakan melulu Buyung-kongcu seorang, tapi sekali ini dia bicara secara halus dan mesra padanya, keruan Toan Ki kegirangan, saking senangnya, hampir ia terperosot dari pelana kuda. Lekas ia betulkan duduknya dan menjawab dengan tertawa, O, tidak, tidak, kenapa aku mesti marah? Nona Ong, selama hidup ini aku pasti takkan marah padamu. Antero cinta-kasih Giok-yan memang cuma tercurahkan kepada Buyung-kongcu seorang, meski tanpa menghiraukan jiwa sendiri Toan Ki telah menolongnya, tapi tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa perbuatan pemuda itu disebabkan jatuh cinta padanya, ia sangka pemuda itu terlalu jujur dan tulus, berhati bajik, dan berjiwa kesatria, maka menolongnya seperti halnya Toan Ki juga akan menolong orang lain. Tapi kini demi mendengar pernyataan yang serius dan penuh ikhlas bagai bersumpah itu, barulah Giok-yan sadar, He, jangan-jangan dia ... dia mencintai diriku?

Berpikir demikian, ia menjadi malu dan menunduk. Dalam senangnya Toan Ki menjadi bingung apa yang harus dikatakan lagi. Pikirnya, Aku adalah putra pangeran kerajaan Tayli, paman baginda tidak punya putra, akhirnya pasti aku yang akan menggantikan takhtanya. Tapi takhta kerajaan saja aku tidak kepingin, masakah mencita-citakan menjadi menteri apa segala seperti sangkanya tadi? Segera agak lama, dapatlah ia membuka suara pula, Aku tidak mempunyai cita-cita apa-apa. Yang kuharap, bila selamanya bisa seperti saat ini maka puaslah hatiku. Apa yang dia maksudkan seperti saat ini adalah agar senantiasa dapat berdampingan dengan si nona. Sudah tentu Giok-yan paham maksud itu, tapi ia tidak suka pemuda itu mengemukakan hal itu lagi, dengan air muka rada masam ia menjawab dengan sungguh-sungguh, Toan-kongcu, budi pertolonganmu ini, betapa pun Giok-yan takkan melupakannya. Tetapi hatiku sudah ... sudah lama terisi orang lain, maka kuharap ucapanmu hendaklah pakai aturan, agar kelak kita masih dapat bertemu secara baik-baik. Jawaban itu benar-benar merupakan kemplangan keras bagi Toan Ki hingga mata pemuda itu seakan-akan berkunang-kunang dan hampir-hampir jatuh kelengar. Apa yang dikatakan Giok-yan itu cukup terang dan gamblang, secara tegas gadis itu telah menyatakan hatinya sudah diisi oleh Buyung-kongcu, maka Toan Ki dilarang mengutarakan perasaan cintanya, kalau tidak, si gadis tidak ingin berkawan lagi dengan dia. Sudah tentu pernyataan Giok-yan itu sebenarnya tidak berlebihan, tapi bagi pendengaran Toan Ki sungguh sangat menusuk. Ia coba melirik wajah si gadis, ia lihat sikap Giok-yan sangat prihatin dan agung, mirip benar dengan patung dewi yang pernah disembahnya dalam gua di dasar sungai itu. Tanpa terasa timbal semacam firasat seakan-akan dirinya bakal tertimpa bencana besar. Katanya di dalam hati, Wahai Toan Ki, engkau justru jatuh cinta kepada seorang nona yang hatinya lebih dulu telah diisi orang lain, hidupmu ini agaknya sudah suratan nasib akan merana. Begitulah kedua orang melanjutkan perjalanan dengan sama-sama bungkam, siapa pun tidak membuka suara lagi. Dalam hati Giok-yan berpikir, Tentu dia sangat gusar di dalam hati. Tapi lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja. Bila sekali ini aku minta maaf padanya, selanjutnya tentu dia akan lebih berani dan bicara yang tidak-tidak padaku, jika hal ini sampai diketahui Piauko, tentu Piauko akan merasa tidak senang. Sebaliknya Toan Ki juga sedang membatin, Jika aku bicara lagi tentang rasa cintaku padanya, itu berarti martabatku terlalu rendah dan tidak menghormati dia. Maka sejak kini biarpun mati juga aku tidak akan bicara tentang itu lagi. Dan Giok-yan sedang berpikir pula, Dia diam saja, tentu dia mengetahui tempat yang harus didatangi untuk menolong A Cu dan A Pik.

Begitu pula Toan Ki juga sedang berpikir sama seperti si gadis. Maka sesudah setengah jam kemudian, ketika sampai di suatu jalan simpang tiga, tanpa berjanji kedua orang sama-sama menanya, Belok ke kiri atau ke kanan? Dan sesudah saling mengunjuk rasa ragu-ragu, kembali sama-sama saling menanya lagi, Eh, jadi kau tidak kenal jalan? Ai, kusangka kau sudah tahu. Dasar kedua orang adalah anak muda, dengan terjadinya saling tanya serupa itu, seketika terbahak-bahaklah mereka, awan mendung yang meliputi perasaan mereka tadi seketika tersapu bersih. Tapi mereka berdua memang masih hijau mengenai urusan Kangouw, biarpun sudah saling runding sampai lama juga tidak tahu harus menuju ke mana untuk menolong A Cu dan A Pik. Akhirnya Toan Ki yang berkata, Musuh telah menawan anggota Kay-pang sebanyak itu, untuk mencari jejak mereka tentu tidak terlalu susah, maka bolehlah kita kembali ke tengah rimba itu untuk melihat-lihat dulu. Kembali ke rimba sana? Giok-yan menegas. Dan bila kawanan orang Se He itu masih di situ, bukankah kita seperti ular mencari gebuk? Setelah hujan lebat tadi, kukira mereka tentu sudah berangkat pergi, ujar Toan Ki. Boleh begini saja, engkau menunggu saja di luar rimba, biar aku yang masuk ke sana untuk mengintai, bila benar musuh masih berada di sana, segera kita melarikan diri. Tidak, tidak boleh selalu engkau sendiri yang menyerempet bahaya, ujar Giok-yan. Jika kita berangkat berdua ke sana, bila ada bahaya, biarlah kita tanggung bersama. Mendengar si gadis bersedia enteng sama dijinjing, berat sama dipikul dalam menyerempet bahaya nanti, keruan Toan Ki sangat girang. Katanya, Untuk berkelahi terang aku tidak sanggup, tapi untuk lari masakah tidak bisa? Segera mereka berunding cara bagaimana nanti harus menolong si A Cu dan A Pik. Maka diambil keputusan Toan Ki akan mengeluarkan Leng-po-wi-poh untuk mendekati kedua dayang itu dan mengenduskan obat bacin itu kepada mereka, sesudah racun punah, baru berdaya pula untuk membebaskan mereka. Begitulah mereka lantas melarikan kuda ke arah Heng-cu-lim atau hutan pohon jeruk itu. Sesudah dekat, mereka turun dan menambat kuda di pohon, Toan Ki siapkan obat di tangan, lalu mereka lari ke tengah hutan dengan berjinjit-jinjit, mereka saling pandang sekejap dengan geli melihat kelakuan masing-masing. Tanah di tengah hutan itu basah dan becek, semak rumput penuh butiran air. Setiba di tengah hutan, ternyata keadaan sunyi senyap dan kosong melompong, tiada seorang pun terlihat. Benar juga mereka sudah pergi, marilah kita mencari kabar mereka ke kota Bu-sik, saja, ajak Giok-yan. Tanpa pikir, Toan Ki mengiakan. Mengingat akan dapat jalan berendeng lagi dengan si cantik, saking senangnya tanpa terasa wajah Toan Ki berseri-seri. Adakah aku salah omong? tanya Giok-yan heran. Tidak, tidak! sahut Toan Ki cepat. Marilah sekarang juga kita berangkat.

Habis, mengapa engkau tersenyum? desak Giok-yan. O, aku ... aku memang terkadang suka ... suka angin-anginan, tak perlu engkau pusingkan aku, sahut Toan Ki dengan gelagapan. Jawaban itu membuat Giok-yan merasa geli juga, ia tertawa mengikik. Karena itu Toan Ki ikut tertawa mengakak. Mereka meneruskan perjalanan ke Bu-sik. Beberapa li lagi, tiba-tiba tertampak di dahan pohon, di tepi jalan tergantung sesosok mayat busu bangsa Se He. Mereka terheran-heran sebab tidak tahu perbuatan siapakah itu? Beberapa puluh meter pula, kembali di tepi jalan ada dua mayat orang Se He, bahkan darah pada lukanya masih belum kering, suatu tanda matinya belum seberapa lama. Orang-orang Se He itu telah ketemu musuh, menurut pendapatmu, siapakah yang membunuh mereka, nona Ong? tanya Toan Ki. Ilmu silat pembunuh itu sangat tinggi, cara membunuh jago-jago Se He ini dilakukan dengan sangat mudah, sungguh hebat kepandaiannya! demikian puji Giok-yan. Eh, siapakah yang datang itu? Ternyata dari arah sana tertampak dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat, penunggangnya masing-masing berbaju merah dan hijau. Kiranya mereka adalah A Cu dan A Pik. Hai, A Cu, A Pik! Kalian berhasil lolos dari bahaya? seru Giok-yan dengan girang. Sudah tentu keempat orang sama-sama bergirang karena dapat berkumpul kembali. Segera A Cu berkata, Ong-kohnio, Toan-kongcu, mengapa kalian kembali ke sini lagi? Kami justru ingin mencari kalian. Cara bagaimana kalian meloloskan diri? Apakah kalian mencium botol berbau busuk itu? tanya Giok-yan. Ya, benar, sungguh bacin sekali baunya, sahut A Cu tertawa, Apakah engkau juga sudah mengendusnya, nona? Juga Kiau-pangcu yang menolong kalian, bukan? Kiau-pangcu apa maksudmu? tanya Giok-yan. Jadi lolosnya kalian adalah berkat pertolongan Kiau-pangcu? Ya, sahut A Cu. Tatkala itu kami dalam keadaan tak berkutik karena keracunan, bersama orang Kay-pang kami diringkus oleh orang-orang Se He dan dinaikkan ke atas kuda. Di tengah jalan tiba-tiba turun hujan hingga rombongan terpencar ada yang ke timur dan ada yang ke barat, masing-masing mencari tempat berteduh sendiri-sendiri. Aku dan A Pik dibawa meneduh ke suatu gardu oleh beberapa busu dan baru berangkat lagi sesudah hujan berhenti. Pada saat kami hendak digiring pergi pula itulah tiba-tiba dari belakang menyusul datang seorang penunggang kuda, itulah dia Kiau-pangcu. Melihat

kami berdua ditawan orang Se He, beliau tampak terheran-heran dan belum lagi beliau tanya segera A Pik berseru minta tolong padanya. Mendengar Kiau-pangcu, seketika beberapa jago Se He itu gugup, berbareng mereka lolos senjata dan menyerbu Kiau-pangcu. Hasilnya orang-orang Se He itu ada yang terjungkir ke selokan di tepi jalan, ada yang mencelat hingga terkatung-katung di atas pohon, dan semuanya terbinasa. Hal itu baru saja terjadi, bukan? tanya Giok-yan dengan tertawa. Benar, sahut A Cu. Aku berkata kepada Kiau-pangcu, Kami berdua tak dapat berkutik karena keracunan, harap Kiau-pangcu sudi mencarikan obat penawar racun di tubuh musuh yang terbinasa itu. Segera Kiau-pangcu menggeledah mayat seorang Se He yang berpangkat cukup tinggi tampaknya, ia mendapatkan sebuah botol kecil, tentang isi botol itu berbau wangi atau bacin rasanya tidak perlu hamba tuturkan lagi. Dan di manakah Kiau-pangcu sekarang? tanya Giok-yan pula. Ketika mendengar orang-orang Kay-pang juga keracunan dan tertawan, beliau sangat khawatir dan mengatakan hendak pergi menolong mereka, lalu beliau berangkat dengan tergesa-gesa, tutur A Cu. Beliau juga menanyakan Toan-kongcu dan memerhatikan keselamatan Siocia pula. Ai, gihengku itu sungguh seorang yang sangat berbudi, ujar Toan Ki dengan gegetun. Memang, kata A Cu. Padahal orang-orang Kay-pang itu sangat keterlaluan, seorang pangcu baik-baik mereka usir begitu saja dan kini mereka harus menerima hasil perbuatan mereka sendiri, biarkan mereka tahu rasa. Kalau aku menjadi Kiau-pangcu tentu aku takkan menolong mereka, biarkan mereka lebih banyak tersiksa supaya kelak tidak sembarangan mengusir orang secara semena-mena. Tapi gihengku adalah orang yang berbudi luhur, orang boleh mengkhianati dia, tidak nanti ia mengingkar orang, ujar Toan Ki. Dan sekarang kita harus pergi ke mana, nona? tanya A Pik. Semula aku dan Toan-kongcu bermaksud menolong kalian, tapi kini kita berempat sudah dalam keadaan selamat, maka kita pun tidak perlu ikut campur urusan Kay-pang yang tiada sangkut paut dengan kita itu. Marilah kita pergi ke Siau-lim-si saja untuk mencari Kongcu kalian, demikian sahut Giok-yan. Memang kedua dara A Cu dan A Pik itu sangat mengkhawatirkan kongcu mereka, yaitu Buyung-kongcu, maka demi mendengar usul Giok-yan itu, serentak mereka menyatakan setuju. Sudah tentu yang paling kecut rasanya adalah hati Toan Ki. Tapi terpaksa ia pun menyatakan, Baiklah, Kongcu kalian itu memang juga sangat kukagumi dan ingin kubelajar kenal dengan dia. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, biarlah aku ikut kalian ke Siau-lim-si. Segera mereka putar kuda dan berangkat menuju jurusan utara. Di tengah jalan Giok-yan ceritakan kepada A Cu dan A Pik tentang pengalamannya di rumah gilingan itu, di mana Toan Ki telah banyak membunuh musuh dan akhirnya Li Yan-cong juga dienyahkan serta mendapatkan obat penawar racun. A Cu dan A

Pik terlongong-longong mendengar pengalaman yang aneh itu. Bila mereka geli pada suatu bagian dari cerita itu, ketiga gadis itu tertawa cekikikan sambil memandang Toan Ki, sudah tentu mereka tidak berani tertawa lepas, tapi menutup mulut mereka dengan lengan baju. Sebodoh-bodohnya Toan Ki juga tahu bahwa ketiga gadis itu sedang membicarakan kelakuannya yang ketolol-tololan itu. Tapi bila mengingat awak sendiri meski ketolol-tololan, paling tidak akhirnya toh dapat melindungi Giok-yan tanpa kurang suatu apa pun, maka biarpun agak malu-malu juga ia merasa bangga. Namun bila melihat asyiknya ketiga anak dara itu berbicara hingga dirinya seakan-akan terlupakan, apalagi nanti kalau sudah berkumpul dengan Buyung-kongcu, mungkin dirinya lebih tidak diberi tempat lagi, terpikir demikian, hati Toan Ki menjadi hampa. Setelah beberapa li pula dan menyusur sebuah hutan arbei, tiba-tiba mereka mendengar suara tangisan dua pemuda yang sangat memilukan. Cepat mereka melarikan kuda ke depan untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata pemuda-pemuda itu adalah dua hwesio cilik belasan tahun, baju padri mereka berlepotan darah, satu di antaranya malah terluka jidatnya. Siausuhu, kenapa kalian menangis? Siapa yang menganiaya kalian? tanya A Pik yang berhati welas asih. Sambil menangis, hwesio cilik yang jidat terluka itu menjawab, Kuil kami telah kedatangan segerombolan orang asing yang jahat, guru kami terbunuh dan kami didepak keluar. Mendengar kata-kata orang asing jahat itu, Giok-yan berempat saling pandang sekejap dan sama-sama berpikir, Apakah mereka itu orang Se He? Segera A Cu tanya, Di manakah letak kuil kalian? Orang asing jahat macam apakah mereka itu? Kuil kami bernama Thian-leng-si, itu, di sebelah sana .... sahut si hwesio cilik sambil menuding ke arah timur laut, lalu menyambung, Orang-orang asing itu membawa tawanan kira-kira seratusan orang pengemis dan berteduh ke kuil kami karena hujan. Mereka minta arak dan minta daging, minta disembelihkan ayam dan suruh memotong kerbau segala. Sudah tentu Suhu keberatan kuil kami dibikin kotor, dan mereka lantas membunuh Suhu beserta belasan orang suheng kami. Huk-huk ... huk-huk-huk ... huk! Sudahlah, jangan menangis, kata A Cu. Dan sekarang orang-orang jahat itu sudah pergi belum? Belum, sahut padri kecil itu sambil menuding kepulan asap di balik hutan sana. Itu, mereka lagi sibuk memasak daging kerbau, benar-benar berdosa, Buddha Mahaasih, biarlah mereka kelak dimasukkan neraka. Kalian lekas lari saja, jangan-jangan sebentar kalian akan ditangkap kawanan penjahat itu dan disembelih sekalian untuk dimakan, ujar A Cu. Keruan kedua padri kecil itu ketakutan, segera mereka angkat kaki dan berlari pergi. Ai, mereka sedang bingung, mengapa Enci A Cu malah menakuti mereka? ujar

Toan Ki kurang senang. Aku tidak menakuti mereka, tapi aku berkata sungguh-sungguh, sahut A Cu tertawa. Wah, orang-orang Kay-pang katanya terkurung di dalam Thian-leng-si situ, jika demikian, tentu Kiau-pangcu akan menubruk tempat kosong bila mencari ke kota Bu-sik, ujar A Pik tiba-tiba. Mendadak A Cu memperoleh suatu akal aneh, katanya, Ong-kohnio, aku ingin menyamar sebagai Kiau-pangcu dan menyelundup ke dalam kuil itu untuk mengenduskan bau botol yang bacin itu kepada kawanan pengemis. Setelah mereka terlolos dari bahaya, tentu mereka akan sangat berterima kasih kepada Kiau-pangcu. Giok-yan tersenyum, sahutnya, Tapi perawakan Kiau-pangcu tinggi besar, dia adalah seorang laki-laki tegap, masakah kau dapat menyaru sebagai dia? Semakin sulit menyamar, semakin kelihatan kepandaian A Cu, boleh lihat nanti, ujar A Cu dengan bangga. Walaupun kau dapat menyaru dengan persis, tapi tidak dapat memalsukan ilmu saktinya yang tiada bandingannya itu, ujar Giok-yan. Padahal di dalam Thian-leng-si itu penuh jago pilihan It-bin-tong dan negeri Se He, mana dapat kau masuk-keluar dengan bebas? Maka kurasa lebih baik engkau menyamar sebagai seorang tukang api atau seorang nenek desa penjual sayur, mungkin akan lebih mudah untuk menyusup ke dalam kuil. Kalau mesti menyamar sebagai nenek-nenek penjual sayur, rasanya kurang menarik, aku tak mau menyusup ke dalam kuil. Giok-yan memandang sekejap ke arah Toan Ki, bibirnya bergerak, tapi urung bicara. Apakah yang hendak nona katakan? tanya Toan Ki. Sebenarnya aku ingin engkau juga menyaru seseorang dan ikut pergi ke Thian-leng-si bersama A Cu, tapi setelah kupikir pula, agaknya kurang sempurna, ujar Giok-yan. Ingin aku menyamar sebagai siapa? tanya Toan Ki. Sebab para tokoh Kay-pang itu punya penyakit mencurigai orang dan menuduh piaukoku bersekongkol dengan Kiau-pangcu untuk membunuh Be-hupangcu mereka, maka ... maka bila Piauko dan Kiau-pangcu pergi bersama ke sana untuk membebaskan mereka dari bahaya, tentu mereka takkan ... takkan sembarangan mencurigai orang lain. Jadi maksudmu ingin aku menyamar sebagai piaukomu? tanya Toan Ki dengan rasa cemburu. Wajah Giok-yan berubah merah, sahutnya, Tapi musuh di Thian-leng-si itu terlalu kuat, jika kalian berdua pergi ke sana, mungkin sangat berbahaya, mungkin lebih baik jangan pergi saja. Tiba-tiba Toan Ki memikir, Bila aku menyamar sebagai piaukonya, boleh jadi sikapnya kepadaku akan berbeda daripada biasanya. Walaupun cuma sebentar

saja aku menikmati rasa bahagia juga lumayan. Berpikir demikian, seketika semangatnya menyala-nyala, segera katanya, Masakan khawatir bahaya apa segala? Paling-paling angkat kaki melarikan diri, dan cara itu justru adalah kepandaianku yang utama. Tapi kurasa tidak baik, sebab selamanya piaukoku membunuh musuh semudah membalik tangan sendiri, tidak pernah dia melarikan diri, ujar Giok-yan. Nyes, seketika Toan Ki seperti digebyur air es demi mendengar kata-kata itu, pikirnya, Ya, ya, memangnya piaukomu adalah seorang kesatria, seorang pahlawan perkasa, memangnya aku tidak sesuai untuk menyamar sebagai dia. Kalau memalsukan dia hingga memalukan di depan orang banyak, bukankah akan menodai nama kebesarannya? Melihat pemuda itu termenung-menung kurang senang, cepat A Pik menghiburnya, Toan-kongcu, kita menghadapi musuh lebih banyak jumlahnya, kalau sementara kita mengalah juga tidak mengapa. Toh tujuan kita hanya untuk menolong orang dan bukan bertanding kepandaian dengan mereka. Dalam pada itu A Cu lagi mengamat-amati Toan Ki dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata, Toan-kongcu, untuk menyamar sebagai Kongcu kami sebenarnya tidak mudah, untung orang-orang Kay-pang tiada yang kenal Kongcu kami, maka tentang wajah dan suara beliau asal dapat mendekati saja sudah cukup mengelabui mereka. Buyung-kongcu adalah manusia pilihan di antara manusia, orang lain mana dapat sembarangan menyamar sebagai dia? ujar Toan Ki. Tapi kukira ada baiknya juga samaranku nanti tidak terlalu mirip beliau, dengan begitu, jika nanti mesti angkat langkah seribu melarikan diri, sedikitnya nama baik Buyung-kongcu tidak sampai ternoda. Muka Giok-yan menjadi merah, dengan perlahan ia tanya, Tadi aku telah salah omong, apakah Toan-kongcu marah padaku? Ah, tidak, tidak, mana aku berani marah? sahut Toan Ki cepat. Maka tersenyumlah Giok-yan. Tanyanya kemudian, Lantas di manakah kalian hendak menyamar? Kita harus mendatangi kota kecil di sana barulah dapat membeli alat-alat keperluan menyamar, sahut A Cu. Segera mereka berempat melarikan kuda ke barat, kira-kira beberapa li jauhnya, tibalah mereka di suatu kota kecil bernama Ma-long-kio. Kota itu terlampau kecil dan tiada rumah penginapan segala, hanya di tepi kota ada sebuah sungai kecil. Setelah membeli pakaian dan alat-alat menyamar lain yang diperlukan, mereka menyewa sebuah perahu dan berdandan di dalam kendaraan air itu. Lebih dulu A Cu mendandani Toan Ki, memberinya sebuah kipas lempit, pakaiannya berwarna hijau mulus, pada jari kiri memakai sebentuk cincin. Kongcu kami suka memakai cincin bermata batu kemala, tapi susah dicari di sini, maka bolehlah memakai batu akik sebagai ganti sekadarnya, ujar A Cu. Toan Ki hanya tersenyum getir saja, pikirnya, Memangnya Buyung-kongcu

ibarat batu kemala yang berharga dan aku cuma batu akik yang tak bernilai. Memang begitulah harga diriku dalam pandangan ketiga gadis ini. Selesai A Cu mendandani Toan Ki, lalu katanya kepada Giok-yan, Siocia, adakah sesuatu tempat yang kurang mirip? Tapi Giok-yan tidak menjawab, ia sedang memandang Toan Ki dengan termangu-mangu, dengan sorot mata penuh arti seakan-akan lagi berhadapan dengan Buyung Hok. Perasaan Toan Ki ikut terguncang ketika sinar matanya kebentrok dengan sorot mata si gadis. Tapi segera terpikir olehnya, Ah, terang yang terbayang olehnya adalah Buyung Hok dan bukan aku si Toan Ki. Begitulah perasaan Toan Ki, sebentar suka dan sebentar lagi duka. Kedua muda-mudi itu pandang-memandang dengan perasaan yang berbeda-beda sehingga kepergian A Cu dan A Pik ke buritan perahu untuk ganti pakaian terlupakan oleh mereka. Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki sedang menegur, Ai, kiranya Toan-hiante berada di sini, sudah lama kucari engkau. Toan Ki terkejut dan cepat mendongak. Ia lihat pembicara itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong. Keruan ia kegirangan dan cepat menyahut, Hai, kiranya Toako! Memangnya kami sedang bermaksud menyamar sebagai Toako untuk menolong kawan-kawan Kay-pang, sekarang engkau sendiri sudah datang, maka Enci A Cu tidak perlu menyamar lagi. Orang-orang Kay-pang telah pecat aku dari keanggotaan mereka, biarkan mereka mati atau hidup tak kupeduli lagi, sahut Kiau Hong. Adik yang baik, marilah kita pergi ke kota saja untuk mengadu minum, paling sedikit kita harus menghabiskan 50 mangkuk setiap orang. Toako, kata Toan Ki, para saudara Kay-pang adalah laki-laki yang berjiwa patriot, harap engkau sudi pergi menolong mereka. Engkau adalah pelajar yang masih hijau, apa yang kau ketahui, sahut Kiau Hong dengan marah. Ayolah, tak perlu urus mereka, marilah pergi minum arak paling perlu. Habis berkata, terus saja ia pegang tangan Toan Ki dan hendak menyeretnya pergi. Terpaksa Toan Ki berkata, Baiklah, sesudah kita minum arak, engkau harus pergi menolong mereka. Di luar dugaan, mendadak Kiau Hong terkikik-kikik, suaranya nyaring genit, tidak mungkin seorang laki-laki kekar sebagai Kiau Hong dapat mengeluarkan suara tertawa yang mirip anak dara. Keruan Toan Ki tercengang. Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, terus saja ia memberi hormat sambil berkata, Ai, Enci A Cu, kepandaianmu menyamar sesungguhnya teramat tinggi, sampai suara Toakoku yang kasar itu pun dapat engkau tiru sedemikian miripnya. Memang tidak salah Kiau Hong itu adalah samaran si A Cu, begitu persis hingga Toan Ki tidak dapat mengenalnya lagi.

Maka dengan nada suara Kiau Hong yang kasar, A Cu lantas berkata pula, Toan-hiante, marilah sekarang juga kita berangkat, bawalah botol yang berbau busuk itu. Lalu ia pun berkata kepada Giok-yan dan A Pik, Harap kedua nona suka menanti sementara di sini. Habis berkata, ia tarik tangan Toan Ki terus diajak mendarat. Entah tangannya dilumuri barang apa, tangan yang halus sebagaimana lazimnya tangan anak dara itu kini telah berubah menjadi kasap dan kehitam-hitaman, meski tidak sebesar tangan Kiau Hong tapi seketika juga susah diketahui orang lain. Begitulah dengan meninggalkan Giok-yan yang masih termenung-menung mengenangkan sang piauko itu, A Cu dan Toan Ki telah menunggang kuda menuju ke Thian-leng-si. Sesudah dekat dengan kuil itu, khawatir kalau suara kuda mereka didengar musuh, mereka lantas tambat kuda-kuda itu di kandang sapi seorang petani di tepi jalan, lalu berjalan menuju ke kuil itu. Saudara Buyung, demikian kata si Kiau Hong tiruan alias A Cu, setiba di dalam kuil nanti, aku lantas buka mulut besar dan membual setinggi langit, kesempatan itu harus engkau gunakan dengan cepat untuk mengenduskan obat penawar di dalam botol itu kepada orang-orang Kay-pang. Dengan menahan perasaan geli, Toan Ki telah mengiakan. Dan mereka pun lantas mendekati pintu kuil yang dijaga oleh belasan busu bangsa Se He yang bersenjata lengkap. Melihat keadaan itu, hati Toan Ki dan A Cu mulai kebat-kebit dan tanpa terasa menjadi jeri. Toan-kongcu, sebentar harap engkau menyeret aku lari keluar. Kalau tidak, bila aku ditantang bertanding silat dengan mereka, tentu aku bisa celaka, kata A Cu. Baiklah, sahut Toan Ki dengan suara agak gemetar, nyata ia pun ketakutan. Begitulah selagi mereka berunding sambil melongak-longok, hal itu segera dapat dilihat oleh seorang busu penjaga itu, terdengar bentakannya, Hai, kalian lagi berbuat apa? Mata-mata musuh, tentu! Berbondong-bondong keempat busu lantas mendekati Toan Ki berdua sambil membentak-bentak. Terpaksa A Cu membusungkan dada dan memapak maju, katanya dengan suara keras, Hai, lekas beri tahukan kepada Ciangkun kalian, katakan bahwa Kiau Hong dari Kay-pang dan Buyung Hok dari Kanglam ingin bertemu dengan Helian-tayciangkun dari Se He. Rupanya nama Buyung Hok tidak dikenal oleh orang-orang Se He, tapi nama Kiau Hong telah mereka kenal sebagai pangcu dari Kay-pang. Maka mereka agak terkejut demi mendengar teguran A Cu itu, cepat busu yang menjadi kepala jaga itu memberi hormat dan menyapa, O, kiranya Kiau-pangcu berkunjung kemari. Maaf, silakan menunggu sebentar, segera kulaporkan kepada Ciangkun. Habis berkata, ia terus putar tubuh berlari ke dalam kuil dengan cepat.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara trompet berbunyi, pintu kuil terbuka lebar, pemimpin It-bin-tong dari Se He, Helian Tiat-si tampak menyambut keluar bersama Nurhai dan jago-jago lainnya, di antaranya terdapat Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho. Hati Toan Ki agak kebat-kebit, sedapat mungkin ia melengos ke arah lain dan tidak berani saling pandang dengan kenalan-kenalan lama itu. Maka terdengarlah Helian Tiat-si mulai berkata, Sudah lama kami mendengar nama besar Koh-soh Buyung yang terkenal dengan filsafatnya Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin. Untung hari ini dapatlah berjumpa, sungguh kami merasa sangat bahagia. Sembari berkata ia terus merangkap tangannya untuk memberi hormat kepada Toan Ki. Lekas-lekas Toan Ki membalas hormat dan menjawab, Nama kebesaran Helian-ciangkun sudah lama kami kagumi, terutama para kesatria yang terhimpun di dalam It-bin-tong di negeri Se He. Jikalau kedatangan kami ini agak gegabah, harap sukalah dimaafkan. Dasarnya Toan Ki memang seorang pelajar yang lemah lembut, maka cara bicaranya pun menjadi ramah tamah, sedikit pun tidak mencurigakan. Orang Bu-lim suka berkata Pak Kiau Hong, Lam Buyung (di utara ada Kiau Hong dan di selatan ada Buyung), katanya kesatria Tionggoan kalian berdua inilah yang tiada bandingannya, maka sungguh berbahagia sekali hari ini kalian sudi berkunjung ke sini. Silakan masuk, silakan! Dengan tabahkan hati A Cu dan Toan Ki ikut Helian Tiat-si ke dalam kuil itu. Diam-diam Toan Ki berpikir, Dari sikap dan kata-kata jenderal Se He ini, agaknya ia lebih segan terhadap Buyung-kongcu daripada Kiau-toako. Apakah disebabkan pribadi dan ilmu silat Buyung Hok itu memang benar lebih hebat daripada Kiau-toako? Tapi kukira belum tentu. Selagi Toan Ki tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba terdengar suara seruan orang yang melengking tajam, Haha, belum tentu, belum tentu! Toan Ki terkejut, ia menoleh dan melihat yang bersuara itu adalah Lam-hay-gok-sin. Si jahat ketiga itu sedang mengincar ke arahnya dengan matanya yang kecil bagai kacang itu sambil goyang-goyang kepala. Wah, celaka, jangan-jangan dia mengenali diriku? demikian diam-diam Toan Ki berdebar-debar. Terdengar Lam-hay-gok-sin sedang berkata pula, Melihat potongannya ini, bobotnya paling banyak 50 kati, masakah tahan sekali genjot? Eh, aku ingin tanya padamu. Orang bilang engkau suka Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin, tapi aku Gak-loji justru tidak percaya. Aku pun tidak perlu engkau bergerak tangan, cukup asal dapat kau katakan kepandaian khas apa yang menjadi andalan Gak-loji ini? Dengan ilmu apa kau mampu menggunakan cara Locu untuk digunakan atas diri Locu ini? Sambil bicara, Lam-hay-gok-sin pakai bertolak pinggang segala, sikapnya sombong dan kasar. Sebenarnya Helian Tiat-si hendak mencegahnya, tapi demi dipikir bahwa nama Buyung Hok sangat tersohor, apakah kepandaiannya sesuai dengan namanya, mengapa tidak membiarkan Lam-hay-gok-sin yang angin-anginan

itu coba mengujinya. Sebab itulah ia diam saja dan tidak merintangi. Tengah bicara, sementara itu mereka sudah berada di ruangan besar. Helian Tiat-si menyilakan Toan Ki duduk di tempat utama, tapi pemuda itu malah mengalah kepada A Cu. Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, segera ia berteriak, Hai, Buyung-siaucu, coba katakan sekarang, kepandaian apa yang menjadi kemahiranku? Toan Ki tersenyum, pikirnya, Kalau orang lain yang tanya demikian padaku tentu aku akan melongo dan tak dapat menjawab, tapi sekarang engkau yang tanya, itulah sangat kebetulan sekali. Maka dengan tenang buka kipas dan mengebas perlahan sambil menjawab, Lam-hay-gok-sin Gak-losam, julukanmu pakai buaya, dan kelakuanmu memang mirip buaya. Boleh jadi kedudukanmu dalam urut-urutan Su-ok segera akan merosot menjadi Losi (si keempat). Tentang kepandaianmu yang masih hijau itu, masakah perlu tanya padaku? Mungkin anak kemarin juga tahu. Semua orang tahu kau telah menyembah pada Toan-kongcu dari Tayli sebagai guru dan sedikit pun kau belum mendapat ajaran ilmu sakti apa-apa dari dia. Kepandaianmu cetek, yang sok kau agulkan sekarang tidak lain cuma Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian (ruyung ekor buaya dan gunting congor buaya) saja. Sekaligus Toan Ki dapat menyebutkan senjata andalan orang, yaitu Gok-bwe-pian dan Gok-cui-cian, bukan saja Lam-hay-gok-sin melengak tidak habis kejutnya, bahkan Yap Ji-nio dan In Tiong-ho juga tidak terkatakan herannya. Maklum, kedua macam senjata itu baru saja berhasil diyakinkan Lam-hay-gok-sin dan selama ini belum pernah dipertunjukkan di depan umum. Hanya tempo hari waktu bergebrak dengan In Tiong-ho di Tayli pernah digunakannya satu kali, tatkala mana kecuali Bok Wan-jing boleh dikatakan tiada orang luar lagi yang melihatnya. Siapa duga kemudian Bok Wan-jing telah menceritakan kejadian itu kepada Toan Ki, sedangkan Buyung Hok yang ada di depannya sekarang justru adalah samaran Toan Ki. Begitulah Lam-hay-gok-sin coba mengamat-amati Toan Ki dengan kepala miring ke kanan dan ke kiri. Biarpun wataknya sangat jahat, tapi dia juga punya perasaan kagum kepada kaum kesatria yang gagah perkasa. Lewat sejenak, tanpa ragu lagi ia acungkan jempolnya dan memuji, Bagus! Memang hebat kau! Terima kasih, sahut Toan Ki dengan tertawa. Tapi segera Lam-hay-gok-sin mendapatkan akal lain, tiba-tiba ia berkata pula, Buyung-kongcu, tidaklah mengherankan jika engkau dapat memainkan ilmu silatku. Tapi kalau guruku berada di sini, tentu engkau tidak paham ilmu kepandaiannya. Kutahu kau adalah murid capcai, gurumu tidak cuma seorang saja, coba katakan gurumu yang mana dan ilmu kepandaian apa yang dia miliki? sahut Toan Ki dengan senyum ejek. Lam-hay-gok-sin tidak marah atas olok-olok itu, sebaliknya ia menyahut dengan berseri-seri, Guruku yang pertama sudah lama meninggal, maka tidak perlu dibicarakan. Namun guruku yang baru saja kuangkat, ilmu kepandaiannya sungguh luar biar, melulu semacam ilmu langkahnya yang disebut

Leng-po-wi-poh saja kuyakin tiada seorang pun yang paham, termasuk pula engkau. Toan Ki pura-pura termenung sejenak, lalu berkata, Maksudmu Leng-po-wi-poh? Ehm, itu memang ilmu silat yang luar biasa. Dengan kepandaiannya yang sakti itu Toan-kongcu sudi menerima dirimu sebagai murid, sungguh hal ini sangat meragukan aku. Buat apa aku bohong padamu? kata Lam-hay-gok-sin cepat. Banyak hadirin yang berada di sini dapat menjadi saksi, beliau sendiri memanggil aku sebagai murid. Diam-diam Toan Ki tertawa geli. Kalau semula si jahat ini ngotot tidak mau menyembah dan mengaku guru padanya, sekarang si jahat ini inilah khawatir dirinya tidak mau mengakui dia sebagai murid. Maka katanya kemudian, Jika begitu, tentu kau sudah berhasil meyakinkan ilmu khas gurumu itu, bukan? Lam-hay-gok-sin menggeleng kepalanya bagaikan kelontong goyang cepatnya, sahutnya, Tidak, tidak! Jangankan meyakinkan, belajar saja belum pernah. Tapi bila engkau mengaku paham segala macam ilmu silat di dunia ini, asal engkau mahir berjalan tiga langkah Leng-po-wi-poh saja, aku Gak-loji lantas menyerah padamu. Leng-po-wi-poh meski sulit, namun pernah juga kupelajari beberapa langkah di antaranya, sahut Toan Ki. Nah, Gak-losam, boleh coba-coba menangkap diriku. Sembari berkata terus saja ia terbangkit dan berdiri di tengah ruangan. Para jago Se He itu tiada seorang pun yang pernah melihat ilmu silat macam apakah Leng-po-wi-poh itu. Tapi karena Lam-hay-gok-sin memuji ilmu sakti itu setinggi langit, maka mereka pun ingin melihatnya untuk menambah pengalaman. Segera mereka menyingkir ke pinggir ruangan dan membiarkan Toan Ki mempertunjukkan kepandaiannya itu. Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin terus menubruk maju sambil mengerang, tangan kiri menjulur ke depan, mendadak tangan kanan mencengkeram dari bawah tangan kiri. Namun cepat sekali Toan Ki menggeser ke samping dua langkah dan mundur satu tindak, dengan enteng sebagai daun teratai tertiup angin, dengan gaya yang indah ia dapat menghindarkan serangan lawan itu. Crat, karena tidak sempat menahan serangannya, kelima kuku jari kanan Lam-hay-gok-sin menancap di atas pilar kayu di tengah ruangan itu. Melihat begitu hebat tenaga si jahat ketiga itu, seketika semua orang terkesiap. Seharusnya mereka bersorak memuji, tapi saking kejutnya sampai mereka lupa bersorak. Sekali menyerang tidak kena, suara erangan Lam-hay-gok-sin semakin keras. Mendadak ia meloncat ke atas, bagaikan elang menyambar anak ayam, ia menubruk ke bawah. Namun Toan Ki sama sekali tidak ambil pusing akan tingkah musuh, biarpun orang berjungkir balik juga ia tidak peduli, ia tetap jalan berlenggang kian kemari menurut ilmu langkah yang telah dipelajarinya dengan baik itu. Semakin serang Lam-hay-gok-sin semakin kalap, suara erangannya juga

bertambah keras laksana binatang buas. Melihat wajah orang yang memang jelek ditambah beringas seperti sekarang, Toan Ki mulai jeri, ia tidak berani memandang muka orang, bahkan ia terus keluarkan saputangan untuk menutupi matanya dan berkata, Biarpun kedua mataku tertutup juga tidak nanti kau mampu menangkap diriku. Benar juga, biar bagaimanapun cara Lam-hay-gok-sin menubruk dan menyeruduk, selalu ia menubruk tempat kosong dan menangkap angin. Terkadang tangannya cuma selisih beberapa senti saja dari tubuh Toan Ki, namun toh tetap susah untuk menjamah pemuda itu. Kalau penonton sampai berdebar-debar dan menahan napas, adalah sebaliknya Toan Ki malah enak-enak dan tetap berjalan dengan berlenggang kangkung. Dan tatkala Lam-hay-gok-sin semakin kalap dan menubruk serabutan, terpaksa Toan Ki harus mempercepat juga langkahnya, ia tidak dapat berlenggang lagi, tapi terpaksa main serampang 12 dengan irama cepat. Mau tak mau A Cu ikut berdebar-debar menyaksikan permainan kucing-kucingan di tengah ruangan itu, ia khawatir jangan-jangan pada suatu saat Toan Ki akan meleng hingga kena ditangkap Lam-hay-gok-sin, hal ini berarti akan bikin runyam mereka. Maka cepat ia keraskan suaranya dan membentak, Lam-hay-gok-sin, apakah kau belum kapok dan hendak menguber Buyung-kongcu? Bagaimana Leng-po-wi-poh itu dibandingkan dengan gurumu? Lam-hay-gok-sin melengak, ia tertegun di tempatnya bagai balon gembos, mau tak mau ia memuji, Bagus, bagus! Memang hebat! Mungkin guruku juga tidak mampu melangkah seperti engkau dengan mata tertutup. Baik, memang Koh-soh Buyung tidak bernama kosong, aku Lam-hay-gok-sin mengaku kalah padamu. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki untuk menanggalkan tutup matanya serta kembali ke tempat duduknya. Maka bergemuruhlah sorak-sorai orang banyak. Kemudian Helian Tiat-si menyilakan kedua tamunya minum, katanya, Atas kunjungan kedua kesatria besar, entah ada keperluan apakah? Karena beberapa saudara kami entah sebab apa berbuat salah kepada Ciangkun, maka Ciangkun telah mengirim jago pilihan dan menangkap mereka ke sini, sebab itulah dengan memberanikan diri ingin kumohon Ciangkun suka membebaskan mereka, sahut A Cu. Sudah tentu ucapan A Cu itu sengaja dipakai untuk menyindir orang Se He yang telah menangkap orang dengan cara rendah dan memalukan. Namun Helian Tiat-si tidak risi sedikit pun, dengan tersenyum ia berkata, Memang benar. Tapi setelah menyaksikan demonstrasi Buyung-kongcu yang hebat barusan, nyata memang bukan nama kosong belaka. Kiau-pangcu mempunyai nama kebesaran sejajar dengan Buyung-kongcu, hendaklah juga suka unjuk sejurus-dua supaya kami bisa kagum benar-benar, dengan begitu pula agar ada alasan untuk membebaskan para kesatria dari pang kalian. Keruan A Cu agak gugup, pikirnya, Untuk menyaru sebagai Kiau-pangcu dan menirukan lagak lagunya tidak susah bagiku. Tapi bila aku disuruh menirukan ilmu silatnya yang hebat itu, bukankah segera rahasia penyamaranku ini akan terbongkar?

Selagi dia hendak mencari alasan untuk menutupi rasa serbasusahnya itu, tiba-tiba terasa tangan dan kaki lemas linu, bahkan gerak jari pun tak bisa. Keadaan demikian persis seperti terkena kabut berbisa semalam. Keruan ia khawatir, keluhnya dalam hati, Wah, celaka, sungguh tidak nyana bahwa jahanam orang Se He ini akan menggunakan akal licik pula, bagaimana baiknya sekarang? Di lain pihak Toan Ki yang kebal terhadap segala macam racun sedikit pun tidak merasa terjadi hal-hal yang ganjil itu. Cuma tiba-tiba dilihatnya A Cu lemas lunglai di tempat duduknya, segera ia tahu gadis itu tentu terkena kabut racun lagi, maka cepat ia mengeluarkan botol berbau busuk itu, ia buka sumbat botol dan disodorkan ke ujung hidung A Cu. Segera A Cu menyedotnya beberapa kali, karena keracunan belum lama, segera ia dapat bergerak kembali. Ia pegang botol yang diangsurkan Toan Ki itu dan mencium pula dengan rasa heran mengapa musuh tidak turun tangan untuk menangkapnya? Waktu ia perhatikan orang-orang Se He itu, ia lihat mereka pun menggeletak semua di atas kursi tanpa berkutik, hanya biji mata mereka yang tertampak terbelalak lebar seperti terheran-heran. Aneh, mengapa orang-orang ini keracunan sendiri, benar-benar senjata makan tuan, demikian ujar Toan Ki. Segera A Cu mendekati Helian Tiat-si, ia coba dorong-dorong panglima Se He itu, tapi Helian Tiat-si benar-benar lemas lunglai, tidak salah lagi memang keracunan. Tapi badan lemas kan mulut masih dapat bicara, segera ia membentak, Hai, siapakah yang mengeluarkan kabut wangi ini? Lekas ambilkan obat penawar, cepat! Meski sudah beberapa kali ia membentak, tapi anak buahnya tetap diam saja dengan lemas, semuanya berkata, Lapor Ciangkun, hamba sekalian juga tak dapat berkutik. Pasti ada pengkhianat, kalau tidak, masakah lawan tahu cara penggunaan kabut wangi kita yang rumit itu, kata Nurhai. Siapa pengkhianatnya, siapa? Lekas cari dan cencang dia hingga hancur lebur, teriak Helian Tiat-si dengan murka. Ya, paling penting sekarang harus mendapatkan obat penawar kita, sahut Nurhai. Ia melirik dan melihat A Cu memegang sebuah botol kecil, segera katanya, Kiau-pangcu, sudilah engkau enduskan obat penawar itu kepada kami, nanti Ciangkun kami pasti akan membalas jasamu ini. Aku harus menolong saudara-saudara pang kami, siapa ingin kepada balas jasa apa segala dari Ciangkun kalian? sahut A Cu dengan tertawa. Terpaksa Nurhai berkata kepada Toan Ki, Buyung-kongcu, di bajuku juga ada sebuah botol, tolonglah keluarkan untuk dicium kami. Toan Ki tidak menolak, ia merogoh baju Nurhai dan benar juga dikeluarkannya sebuah botol kecil. Katanya kemudian dengan tertawa, Obat penawar memang perlu, tapi takkan kuberikan kepadamu.

Habis berkata, ia terus menuju ke ruangan belakang bersama A Cu. Maka tertampaklah di serambi timur sana penuh berjubel orang, semuanya adalah anggota Kay-pang yang tertawan. Dan begitu A Cu masuk ke situ, segera Go-tianglo berseru, Aha, kiranya engkau yang datang, Kiau-pangcu, lekas tolong kami! Segera A Cu mengenduskan obat penawar itu kepada Go-tianglo dan berkata, Ini adalah obat penawar, boleh dienduskan kepada para saudara untuk memunahkan racun mereka. Go-tianglo sangat girang, setelah kaki-tangannya dapat bergerak, segera ia bergantian memunahkan racun Song-tianglo. Di sebelah sana Toan Ki juga telah menyembuhkan racun Ci-tianglo dan begitu seterusnya. Kawan-kawan kita terlalu banyak, kalau satu per satu dipunahkan racunnya seperti tentu akan maka waktu terlalu lama, ujar A Cu. Go-tianglo, cobalah geledah orang-orang Se He itu, carilah obat penawar serupa ini. Go-tianglo mengiakan dan segera berlari ke ruangan depan untuk menggeledah obat. Maka terdengarlah suara makian dan teriakan disertai suara plak-plok berulang-ulang. Nyata sembari menggeledah obat, Go-tianglo tidak lupa memberi persen gamparan kepada orang-orang Se He itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya. Tidak lama kemudian, kembalilah Go-tianglo dengan membawa lima-enam buah botol porselen kecil, katanya dengan tertawa, Yang kupilih adalah musuh yang berpakaian perlente, kedudukan mereka tentu lebih tinggi dan benar juga mereka membawa obat penawar seperti ini. Hahaha, baru sekarang mereka tahu rasa! Tahu rasa apa? tanya Toan Ki heran. Setiap orang mereka telah kupersen dua kali tamparan, yang memiliki obat penawar sengaja kugampar lebih keras, tutur Go-tianglo dengan tertawa. Dan tiba-tiba ia merasa belum pernah kenal Toan Ki dalam samaran itu, segera ia tanya, Siapakah nama terhormat saudara ini? Terima kasih banyak atas budi pertolonganmu. Cayhe she Buyung, sahut Toan Ki. Maafkan kedatangan kami agak terlambat sehingga kalian tersiksa sekian lamanya. Mendengar orang mengaku she Buyung, maka tahulah orang-orang Kay-pang tentu pemuda inilah Koh-soh Buyung yang terkenal itu. Ai, kita benar-benar sudah buta semua sehingga sembarangan mendakwa Buyung-kongcu telah membunuh Be-hupangcu, hari ini kalau bukan Buyung-kongcu dan Kiau-pangcu yang menolong kita, tentu kita akan celaka di tangan anjing-anjing Se He yang jahat itu, demikian seru Song-tianglo. Ya, orang tua tentu suka mengampuni kesalahan kaum hamba, Kiau-pangcu, mohon engkau sudi kembali menjadi pangcu kita saja, segera Go-tianglo ikut berkata. Huh, Kiau-ya dan Buyung-kongcu ternyata benar bersahabat baik, tiba-tiba Coan Koan-jing menjengek dengan dingin. Ia belum mengendus obat penawar, maka tubuhnya masih belum bisa berkutik.

Ia sebut Kiau Hong sebagai Kiau-ya (tuan Kiau) dan tidak menyebutnya sebagai Kiau-pangcu, itu berarti ia tidak mengakui dia lagi sebagai pangcu. Sebaliknya ia bilang Kiau Hong ternyata bersahabat dengan Buyung-kongcu, kata-kata itu pun sangat licin. Sebab, hendaklah diketahui bahwa orang-orang Kay-pang sama mencurigai Kiau Hong sebagai pembunuh Be Tay-goan secara tidak langsung, yaitu dengan meminjam tangan Buyung Hok. Padahal Kiau Hong selalu menyangkal kenal Buyung Hok. Sebaliknya sekarang kedua orang ini sama-sama datang ke Thian-leng-si, dilihat dari sikap mereka berdua yang akrab itu pastilah mereka bukan kenalan baru saja. Jilid 29. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Nra on 2007/6/5 (3607 reads) A Cu merasa kurang enak bila tinggal lama-lama di situ mengingat orang-orang itu adalah kawan Kiau Hong, kalau pemalsuannya ketahuan, tentu urusan bisa runyam. Maka cepat katanya, Urusan pang kita boleh dirundingkan nanti saja, sekarang aku akan pergi melihat kawanan anjing Se He itu. Habis berkata, dengan langkah lebar ia lantas kembali ke ruangan depan dengan diikuti Toan Ki. Di sana mereka mendengar Helian Tiat-si sedang mencaci maki, Lekas suruh periksa siapakah bangsat orang Se He itu, berani dia main gila pada Ciangkunmu ini. Bila kita sudah pulang nanti pasti akan kusikat bersih antero anggota keluarganya tua-muda maupun laki-perempuan. Bangsat, orang Se He malah membantu bangsa lain, mencuri kabut wangi kita untuk merobohkan bangsa sendiri. Toan Ki melengak, ia heran orang Se He mana yang dimakinya itu. Dalam pada itu Nurhai cuma mengiakan belaka dan tidak berani menimbrung. Terdengar Helian Tiat-si lagi memaki pula, Bangsat keparat, coba lihat, apa yang dia tulis itu bukankah sindiran terang-terangan kepada kita? Waktu Toan Ki dan A Cu mendongaki terlihatlah di dinding ruangan itu ada dua baris tulisan, masing-masing baris terdiri dari empat huruf, bunyinya, Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin. Toan Ki sampai bersuara heran, bukankah itu istilah khas Buyung Hok yang disamarnya sekarang? Melihat tinta tulisan yang belum lagi kering itu, terang penulisnya belum lama perginya. Melihat pemuda itu agak gugup, lekas A Cu memperingatkannya, Toan-kongcu, jangan lupa bahwa engkau sekarang adalah Buyung-kongcu. Aku sendiri tidak dapat memastikan apakah tulisan itu benar buah tangan kongcu kami atau bukan, sebab beliau memang mahir menulis dalam berbagai macam gaya yang indah. Dalam pada itu terdengar Nurhai sedang tertawa dingin dan berkata, Hehe, benar-benar kepandaian yang lihai, baru hari ini dapat kami saksikan sendiri Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin. Namun begitu, dalam hati sebenarnya ia sangat khawatir entah cara bagaimana orang Kay-pang hendak memperlakukan mereka, sebab waktu orang-orang Kay-pang tertawan, mereka telah menyiksa kawanan pengemis itu dengan macam-macam cara, kalau sekarang pengemis-pengemis itu pun membalas Ih-pi-ci-to,

hoan-si-pi-sin, kan bisa celaka mereka? Sebenarnya Toan Ki agak cemburu kepada Buyung Hok, tapi kini demi merasa pasti tokoh muda itu telah merobohkan orang-orang Se He itu, mau tak mau ia rada kagum juga. Urusan sudah beres, marilah kita tinggal pergi saja, tiba-tiba A Cu membisikinya ketika melihat orang-orang Kay-pang sudah banyak yang dapat bergerak dan datang ke ruangan depan itu. Segera ia berseru, Para Tianglo, aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan bersama Buyung-kongcu, sampai berjumpa lagi pada lain hari. Nanti dulu, Pangcu, nanti dulu! cepat Go-tianglo menahannya. Namun A Cu tidak berani tinggal lebih lama lagi di situ, bahkan jalannya bertambah cepat bersama Toan Ki. Umumnya anggota-anggota Kay-pang sangat segan kepada sang pangcu, maka tiada seorang pun berani menahan mereka. Setelah beberapa li jauhnya, dengan tertawa berkatalah A Cu, Toan-kongcu, benar-benar sangat kebetulan sekali, muridmu yang jelek seperti siluman itu justru ingin menjajal kepandaianmu Leng-po-wi-poh, bahkan memuji engkau lebih lihai daripada gurunya. Hahaha, sungguh lucu! Lalu katanya pula, Dan aneh juga, entah siapakah gerangan yang diam-diam menyebarkan kabut racun itu? Orang-orang Se He itu mencaci maki, katanya ada pengkhianat, kukira bukan mustahil memang benar perbuatan seorang Se He. Mendadak Toan Ki teringat akan seorang, cepat katanya, He, jangan-jangan perbuatan Li Yan-cong? Yaitu jago Se He yang kutemukan di rumah penggilingan itu? Karena A Cu tidak pernah melihat Li Yan-cong, maka ia tidak berani memberi pendapat, katanya, Marilah kita bicarakan dengan Ong-kohnio saja dan minta pendapatnya. Tadinya Toan Ki sangsi penulis di dinding itu adalah Buyung Hok sendiri, dan kalau benar, tentu Buyung Hok berada di sekitar sini, bahkan mungkin sudah berjumpa dengan Giok-yan, hal ini membuatnya sangat masygul. Tapi kini demi teringat orang itu boleh jadi adalah Li Yan-cong seketika lega hatinya dan dapat bicara dengan bergurau lagi. Tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari depan, seorang penunggang kuda sedang datang dengan cepat. Waktu Toan Ki memerhatikan, segera ia mengenali orang itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong. Itulah dia Kiau-toako! serunya dengan girang terus hendak memapak maju. Namun A Cu lantas menahannya, Jangan bersuara, nanti sandiwara kita terbongkar! Habis berkata, ia sendiri lantas berdiri mungkur. Tidak lama kemudian, Kiau Hong sudah mendekat dan memandang Toan Ki dan A Cu. Karena dicegah A Cu tadi, barulah Toan Ki ingat mereka sedang menyamar sebagai orang lain. A Cu justru menyaru sebagai Kiau-toako itu, kalau dilihat orang

yang asli, tentu urusan bisa runyam. Maka waktu Kiau Hong sudah dekat, Toan Ki juga tidak berani memandang padanya, sebaliknya ia melengos ke samping. Kiranya setelah Kiau Hong membebaskan A Cu dan A Pik dari cengkeraman musuh, ia menjadi khawatir ketika mengetahui orang-orang Kay-pang juga ditawan oleh orang-orang Se He. Ia telah mencari kian kemari, akhirnya dapat diketemukan juga kedua hwesio cilik dari Thian-leng-si itu. Sesudah menanyakan tempatnya, segera ia memburu ke kuil itu. Ketika dilihatnya wajah Toan Ki yang gagah dan ganteng dalam samarannya sebagai Buyung Hok itu, diam-diam Kiau Hong berpendapat, Kongcu ini benar-benar tampannya seperti saudaraku Toan Ki itu. Sedangkan A Cu yang berdiri mungkur itu tidak diperhatikannya, karena mengkhawatirkan keselamatan orang-orang Kay-pang, segera ia mencambuk kudanya melanjutkan perjalanan ke depan dengan cepat. Setiba di Thian-leng-si, ia lihat belasan anggota Kay-pang sedang menggelandang orang-orang Se He satu per satu keluar dari kuil itu. Sudah tentu Kiau Hong sangat girang dan bangga. Memang orang-orang Kay-pang adalah kesatria yang gagah perkasa, betapa pun dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Sebaliknya demi melihat sang pangcu yang sudah pergi telah kembali lagi, para anggota Kay-pang berbondong-bondong lantas menyambutnya, Pangcu, cara bagaimana para tawanan ini harus diatur, harap engkau suka memberi petunjuk. Aku sudah bukan anggota Kay-pang lagi, maka jangan kalian sebut aku sebagai pangcu, sahut Kiau Hong. Kalian baik-baik saja dan tidak kurang apa-apa, bukan? Sementara itu Ci-tianglo dan lain-lain sudah mendapat laporan dan menyambut keluar. Go-tianglo adalah orang tulus, terus saja ia menyapa, Pangcu, begitu engkau meninggalkan kami, seketika kami masuk perangkap musuh. Untung engkau datang tepat pada waktunya bersama Buyung-kongcu sehingga Kay-pang tidak sampai terjungkal habis-habisan. Jika engkau tidak kembali memegang tampuk pimpinan, pasti pang kita akan kacau-balau tak keruan. Buyung-kongcu apa maksudmu? tanya Kiau Hong dengan heran. Ah, orang-orang seperti Coan Koan-jing itu cuma mengaco-belo, jangan engkau peduli, ujar Go-tianglo. Untuk mencari sahabat apa susahnya? Aku percaya engkau juga baru hari ini berkenalan dengan Buyung-kongcu. Buyung-kongcu? Apakah maksudmu Buyung Hok? Kiau Hong menegas. Tapi selamanya aku tidak pernah kenal dia. Seketika Ci, Song, Ge, Tan, dan Go-tianglo saling pandang dengan bingung. Pikir mereka, Bukankah baru saja dia datang bersama Buyung-kongcu hingga kita tertolong, mengapa sekarang dia menyatakan tidak kenal Buyung-kongcu? Go-tianglo pikir sejenak, tiba-tiba ia seperti mengerti duduknya perkara, serunya, Aha, tahulah aku! Pemuda tampan tadi itu mengaku she Buyung, tapi dia bukanlah Buyung Hok. Memangnya di dunia ini cuma ada seratus-dua ratus orang she Buyung? Kenapa mesti heran?

Tapi dia menulis tanda pengenal yang khas di dinding itu, kalau bukan Buyung Hok lantas siapa lagi? ujar Ci-tianglo. Memang pasti dia, habis siapa lagi? tiba-tiba suara seorang melengking aneh menimbrung. Bocah itu serbapandai dalam berbagai ilmu silat, bahkan setiap macam kepandaiannya lebih lihai daripada pemilik asalnya. Kalau dia bukan Buyung Hok, siapa yang mampu berbuat demikian? Sudah tentu dia, pasti dia! Waktu semua orang memandang ke arah suara itu tertampak mata orang itu kecil sempit dan penuh berewok, itulah dia Lam-hay-gok-sin. Jadi Buyung Hok tadi telah datang kemari? demikian Kiau Hong menegas dengan heran. Kentut anjingmu! maki Lam-hay-gok-sin mendadak. Tadi kau sendiri datang bersama Buyung-siaucu itu, dan entah dengan ilmu sihir apa kalian telah membikin kami tidak dapat berkutik, tapi sekarang kau malah berlagak pilon? Ayo, lekas lepaskan Locu, kalau tidak, hm, hm .... Meski dia hm, hm segala, tapi apa yang dapat dia perbuat? Maka berkatalah Kiau Hong, Tampaknya engkau juga seorang tokoh pilihan dalam Bu-lim, tapi mengapa sembarangan ngoceh tak keruan? Bilakah aku datang kemari? Apalagi bersama Buyung-kongcu, haha, lucu, sungguh lucu! Bagus kau, Kiau Hong! Sia-sia engkau jadi pemimpin Kay-pang, tapi di siang hari bolong kau berani coba membohongi orang! teriak Lam-hay-gok-sin dengan marah. Nah, para sobat, katakanlah, bukankah tadi Kiau Hong sudah pernah datang ke sini? Bukankah Ciangkun kami telah menyilakan dia duduk dan minum bersama? Memang benar, sahut orang-orang Se He serentak. Malahan waktu Buyung Hok mempertunjukkan kepandaian Leng-po-wi-poh, Kiau Hong sendiri memberi sorak pujian tiada habis-habis, katanya Pak Kiau Hong dan Lam Buyung apa segala, masakah hal itu dapat dipalsukan? Diam-diam Go-tianglo juga menjawil Kiau Hong dan membisikinya, Pangcu, orang terang tidak perlu berbuat gelap, kejadian tadi betapa pun memang tak dapat disangkal. Sudah tentu Kiau Hong merasa serbasusah, dengan tersenyum pahit ia tanya, Go-siko, apakah tadi engkau pun melihat aku datang kemari? Go-tianglo tidak menjawab, tapi ia lantas menyodorkan botol porselen kecil wadah obat penawar itu kepada Kiau Hong dan berkata, Pangcu, botol ini kukembalikan padamu, mungkin kelak masih dapat dipergunakan. Kembalikan padaku? Mengapa dikembalikan kepadaku? Kiau Hong, menegas dengan terheran-heran. Obat penawar ini adalah pemberianmu tadi, masakah engkau sudah lupa? ujar Go-tianglo. Masa bisa bagian? Jadi engkau juga mengatakan tadi telah melihat kudatang ke sini? Kiau Hong menegas pula.

Biasanya Kiau Hong sangat cerdik, namun betapa pun tak tersangka olehnya bahwa ada orang telah memalsukan dirinya. Bahkan belum lama berselang pemalsu itu telah datang ke Thian-leng-si. Segera terpikir olehnya di balik kejadian itu pasti tersembunyi suatu muslihat mahakeji. Ia lihat air muka orang-orang Kay-pang itu berbeda-beda, Ada yang merasa terima kasih karena telah diselamatkan olehnya, tapi merasa sangsi juga demi mendengar Kiau Hong tetap menyangkal. Ada yang mengira pikiran bekas pangcu itu lagi kusut karena mengalami macam-macam pukulan batin selama beberapa hari ini. Ada yang menduga pasti dia yang telah membunuh Be Tay-goan dengan menggunakan Buyung Hok, tapi khawatir muslihatnya ketahuan, maka sengaja menyangkal kenal dengan Buyung Hok. Bahkan ada yang percaya penuh dia adalah orang Cidan yang sengaja melawan orang Se He dan memusuhi orang Song pula. Menghadapi keadaan yang membingungkan itu, akhirnya Kiau Hong menghela napas panjang, katanya, Jika saudara-saudara ternyata baik-baik saja, biarlah sekarang juga Kiau Hong mohon diri. Habis berkata, ia memberi salam sekali, segera ia cemplak kudanya dan dilarikan pergi dengan cepat. Kiau Hong, tinggalkan Pak-kau-pang dahulu! seru Ci-tianglo mendadak. Sekonyong-konyong Kiau Hong menghentikan kudanya serta menyahut, Pak-kau-pang? Bukankah sudah kukembalikan di tengah hutan sana? Tapi sesudah kami tertawan, Pak-kau-pang telah jatuh di tangan anjing-anjing Se He itu, kami telah mencarinya dengan teliti dan tetap tidak ketemu, maka kami menduga pasti telah kau ambil lagi, kata Ci-tianglo. Hahahaha! mendadak Kiau Hong terbahak-bahak sambil menengadah, suaranya pedih memilukan. Lalu serunya, Aku Kiau Hong sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Kay-pang, guna apa aku memiliki Pak-kau-pang itu? Ci-tianglo, agaknya engkau terlalu rendah menilai diriku. Habis berkata, ia kempit kudanya dan dilarikan secepat terbang ke utara. Sejak kecil Kiau Hong sangat disayang kedua orang tuanya. Kemudian ia mendapat didikan guru dari Siau-lim-si, akhirnya menjadi murid Ong-pangcu dari Kay-pang. Ia telah banyak mengalami gemblengan dalam pengembaraan, baik guru maupun sahabat, semuanya sangat baik dan jujur padanya. Tapi apa yang dialaminya selama dua hari ini benar-benar merupakan pukulan keras bagi kehidupannya. Pangcu yang terkenal mahajujur dan berbudi ini kini telah dituduh sebagai seorang pengkhianat, seorang penjual kawan yang rendah. Ia membiarkan kudanya berjalan perlahan, hatinya sangat kusut, pikirnya, Andaikan aku benar keturunan Cidan, padahal selama ini tidak sedikit jago Cidan yang telah kubunuh, banyak pula rencana penyerbuan negeri Cidan telah kugagalkan, bukankah aku benar-benar seorang yang tidak setia? Bila benar ayah-bundaku dibunuh oleh bangsa Han di Gan-bun-koan, sebaliknya aku malah mengangkat pembunuh orang tua sebagai guru dan selama 30 tahun ini mengaku orang asing sebagai ayah-bunda, bukankah hal ini benar-benar sangat tidak berbakti? Wahai, Kiau Hong, sedemikianlah engkau tidak setia pada negeri asal dan tidak berbakti pada orang tua, mengapa engkau masih ada muka untuk hidup di dunia ini? Jika Kiau Sam-hoay bukan ayahku yang sebenarnya, itu berarti aku juga bukan Kiau Hong yang sebenarnya? Lantas aku she apa? Siapakah namaku yang asli pemberian orang tua? Hehe, bukan saja aku tidak setia dan tidak

berbakti, bahkan aku tidak punya she dan tidak bernama. Tapi segera terpikir pula olehnya. Namun bukan mustahil ada seorang yang mahajahat dan mahadurjana yang sengaja memfitnah diriku. Sebagai seorang laki-laki sejati, masakah aku manda dipermainkan orang sehingga nama runtuh dan badan merana? Kalau aku tinggal diam, tentu durjana itu akan berhasil intriknya yang keji itu. Ya, pendek kata, aku harus menyelidiki urusan ini hingga jelas. Setelah ambil keputusan itu, langkah pertama ia harus menuju ke Siau-sit-san di Holam untuk menanyakan asal usul diri sendiri kepada ayah Kiau Sam-hoay, dan langkah kedua ialah datang ke Siau-lim-si untuk minta petunjuk duduk perkara yang sebenarnya kepada gurunya, Hian-koh Taysu. Kedua orang tua itu biasanya sangat sayang padanya, rasanya tidak nanti menutupi sesuatu rahasianya. Sebagai seorang kesatria yang bijaksana dan dapat berpikir panjang maka Kiau Hong tidak merasa kesal lagi. Yang masih dirasakannya agak canggung adalah dahulu dengan kedudukannya sebagai pangcu dari Kay-pang, ke mana pun ia pergi, di situ pula adalah rumahnya. Tapi kini ia telah dipecat dari Kay-pang, ia tidak dapat mendatangi cabang-cabang Kay-pang lagi untuk bermalam atau minta makan, bahkan demi untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang tak diinginkan, ia malah mencari jalan yang sepi saja supaya tidak kepergok oleh anggota Kay-pang bekas bawahannya. Sesudah dua hari, sangu yang dia bekal sudah habis terpakai, terpaksa ia menjual kuda yang dirampasnya dari orang Se He itu sekadar sebagai biaya perjalanan. Tidak lama kemudian, tibalah dia sampai di kaki gunung Siong-san, segera ia menuju ke Siau-sit-san yang merupakan lereng Gunung Siong itu. Pegunungan ini adalah tempat tinggal masa kecilnya, ia merasa suasana lereng gunung itu masih tetap menghijau seperti sediakala. Sejak ia diangkat sebagai pangcu Kay-pang, karena Kay-pang adalah suatu organisasi terbesar di kalangan Kangouw, sebaliknya Siau-lim-pay adalah suatu aliran persilatan paling besar dalam Bu-lim, bila pangcu dari Kay-pang diketahui mengunjungi Siau-lim-si, pastilah hal ini akan bikin gempar kalangan Bu-lim. Sebab itulah selamanya dia belum pernah pulang menjenguk kedua orang tua itu. Hanya setiap tahun ia suruh dua orang anak buahnya menyampaikan salam hormat dan membawa sekadar oleh-oleh kepada ayah bunda serta sang guru. Kini seorang diri ia pulang ke tempat asalnya, teringat teka-teki yang meliputi sejarah hidup sendiri akan segera dapat diketahui dalam waktu tidak lama lagi, betapa pun biasanya ia adalah seorang yang tenang dan sabar, mau tak mau sekarang ia pun merasa bimbang. Tempat tinggal yang ditinggalkannya itu terletak lereng gunung sebelah timur Siau-sit-san. Dengan cepat Kiau Hong melintasi lereng gunung itu, dari jauh terlihat olehnya di bawah pohon di tepi kebun sayur sana terletak sebuah caping dan sebuah teko. Pegangan teko itu sudah putus. Kiau Hong masih kenal itulah benda milik sang ayah, Kiau Sam-hoay. Melihat benda-benda itu, seketika timbul rasa haru Kiau Hong, Ayah

benar-benar seorang yang rajin dan jujur, sudah belasan tahun teko bobrok itu dipakainya dan sampai sekarang masih tak dibuangnya. Melihat pohon kurma itu, Kiau Hong terkenang pada masa kanak-kanak, tatkala buah ang-co sudah masak, sering kali Kiau Sam-hoay mengajaknya memetik buah yang manis dan enak itu. Sejak dia meninggalkan kampung halamannya tidak pernah lagi ia merasakan buah ang-co. Diam-diam ia berpikir, Andaikan mereka bukan ayah-bunda kandungku, namun budi peliharaan mereka padaku sedari kecil betapa pun sukar kubalas. Maka bagaimanapun tentang asal-usul diriku, aku tetap akan memanggil mereka sebagai ayah dan ibu. Segera ia mendekati tiga petak rumah atap di depan sana, ia lihat di luar rumah terbentang sehelai tikar yang penuh jemuran sayuran kering. Seekor induk ayam dengan beberapa ekor anaknya sedang mencari makan di tanah rumput pinggir rumah sana. Tanpa terasa tersenyumlah Kiau Hong. Pikirnya, Malam ini ibu pasti akan sembelih ayam dan masak yang enak-enak untuk menjamu putranya yang sudah lama meninggalkan rumah ini. Segera ia berteriak-teriak memanggil, Tia, Nio (ayah, ibu), anak sudah pulang! Namun meski dia mengulangi seruannya keadaan tetap sepi saja tanpa sesuatu jawaban. Ia pikir, Ah, mengapa aku begini bodoh, kedua orang tua sekarang tentu telah lanjut usianya, telinga mereka tentu juga sudah tuli. Segera ia mendorong daun pintu dan melangkah masuk ke dalam. Ia lihat keadaan di dalam rumah masih tetap seperti dulu. Meja kursi sudah butut, pacul, luku, arit, dan sebagainya masih tetap berada di tempatnya. Hanya tiada tampak bayangan seorang pun. Kembali Kiau Hong berseru memanggil dua kali, tapi tetap tiada jawaban apa-apa. Ia agak heran dan bergumam sendiri, Ai, ke manakah perginya mereka? Waktu ia melongok ke dalam kamar, seketika ia terkejut. Ia lihat Kiau Sam-hoay suami-istri menggeletak semua di lantai tanpa berkutik. Cepat Kiau Hong melompat ke dalam kamar. Lebih dulu ia bangunkan sang ibu, ia merasa napas orang tua itu sudah putus, tapi badannya masih rada hangat, suatu tanda belum terlalu lama meninggalnya. Waktu ia membangunkan sang ayah juga, keadaannya ternyata serupa. Sungguh kaget dan sedih Kiau Hong tak terkatakan. Ia coba membawa jenazah sang ayah keluar rumah, ia coba periksa keadaan mayat itu di bawah sinar matahari. Segera dapat diketahuinya antero tulang iga orang tua itu telah patah semua, nyata tewasnya disebabkan semacam pukulan yang mahadahsyat. Waktu ia periksa pula mayat sang ibu, keadaannya sami mawon alias sama. Kau Hong benar-tenar dihadapkan kepada suatu persoalan yang mahapelik. Ia tidak habis mengerti, Ayah-ibu adalah kaum petani yang jujur tulus, mengapa ada orang Bu-lim yang begini tega turun tangan keji pada mereka? Tentu urusan ini berpangkal pada persoalan diriku.

Ia coba mengelilingi ketiga petak rumah itu, ia periksa dengan teliti bagian depan, samping dan belakang rumah-rumah itu, ia ingin tahu macam apakah pembunuh itu. Namun pembunuh itu ternyata sangat cerdik, bahkan bekas tapak kaki tidak sedikit pun tertinggal. Semakin dipikir semakin pedih hati Kiau Hong, air mata tak tertahan lagi bercucuran, sampai akhirnya ia tak dapat lagi menahan gelora perasaannya, ia menangis tergerung-gerung dengan keras. Tapi baru saja ia mulai menangis, tiba-tiba terdengar suara orang berkata di belakang, Ai, sayang, sayang kita terlambat datang! Cepat Kiau Hong berpaling, ia lihat empat hwesio setengah umur sudah berdiri di situ. Dari dandanan mereka segera Kiau Hong dapat menduga mereka adalah padri Siau-lim-si. Walaupun ilmu silat Kiau Hong semula diperoleh dari Siau-lim-pay, tapi guru yang mengajar dia, yaitu Hian-koh Taysu, hanya datang di tengah malam setiap hari, tentang dia belajar silat bahkan kedua orang tua sendiri tidak tahu, maka dengan padri Siau-lim-si pun ia tidak kenal. Oleh karena hati sedang sedih, biarpun di depannya berdiri empat orang tak dikenal, namun seketika Kiau Hong tak dapat menahan tangisnya. Tiba-tiba salah satu padri di antaranya yang bertubuh tinggi menegurnya dengan suara kasar, Kiau Hong, perbuatanmu ini benar-benar melebihi binatang. Kiau Sam-hoay suami-istri meski bukan ayah-bunda kandungmu, namun budi membesarkanmu selama belasan tahun juga tidak kecil, mengapa kau tega turun tangan keji untuk membunuhnya? Cayhe juga baru saja sampai rumah dan mendapatkan ayah dan ibu sudah terbunuh, aku justru lagi ingin mencari tahu siapa pengganas itu untuk membalas sakit hati orang tua, mengapa Taysu mengucapkan kata-kata demikian? sahut Kiau Hong dengan menangis. Huh, orang Cidan memang berhati buas seperti binatang, kau sendiri yang telah membinasakan ayah-ibu angkatmu, tapi kau masih pura-pura tidak tahu, bentak padri itu dengan gusar. Orang she Kiau, memang salah kami karena terlambat datang. Tapi bila kau kira Siau-sit-san boleh sembarangan dibuat main gila, terang kau salah hitung besar. Habis berkata, tanpa ampun lagi ia terus menghantam dada Kiau Hong. Selagi Kiau Hong hendak mengelak, tiba-tiba dari belakang juga ada kesiur angin perlahan, segera ia tahu ada orang membokong dari belakang. Tapi ia tidak ingin bertempur dengan padri Siau-lim-si itu tanpa mengetahui duduknya perkara. Maka sekali kakinya mengentak, bagaikan burung ia melayang pergi sejauh beberapa meter. Waktu ia menoleh, benar juga padri yang berdiri di belakangnya itu telah menendang tempat kosong. Melihat cara begitu mudah Kiau Hong menghindarkan serangan mereka dari muka dan belakang, mau tak mau para padri itu terkejut dan heran pula. Biarpun ilmu silatmu tinggi juga jangan coba bertingkah di sini, damprat si padri jangkung tadi. Engkau sengaja membunuh kedua orang tua untuk menutupi rahasia asal-usul dirimu, cuma sayang tentang dirimu yang keturunan bangsa Cidan itu sudah tersiar luas di Kangouw, siapakah orang Bu-lim yang

tidak tahu akan hal ini sekarang? Sekarang kau melakukan perbuatan durhaka sebesar ini, hal ini jelas semakin menambah dosamu yang tak dapat diampuni. Lebih dulu engkau membunuh Be Tay-goan, sekarang kau bunuh pula Kiau Sam-hoay berdua, hm, apakah perbuatanmu yang terkutuk ini dapat kau tutupi? demikian padri yang lain ikut mendamprat. Dalam keadaan berduka, meski mendengar caci maki padri itu sangat menyakitkan hati, namun tak dapat Kiau Hong mengumbar kemarahannya. Selama hidup sudah banyak persoalan besar dan kejadian hebat yang dialaminya, maka kini ia tetap dapat bersabar, ia memberi hormat, lalu katanya, Numpang tanya siapakah gelaran suci para Taysu? Bukankah kalian adalah padri saleh Siau-lim-si? Watak salah satu hwesio itu cukup ramah tamah, maka dengan suara tenang ia menjawab, Benar, kami adalah anak murid Siau-lim-si. Ai, suami-istri Kiau Sam-hoay selamanya sangat jujur dan baik, tapi toh mendapatkan ganjaran mengenaskan seperti ini. Kiau Hong, bangsa Cidan sungguh teramat keji. Melihat orang tidak sudi memberitahukan gelar mereka, Kiau Hong pikir percuma saja bertanya lagi. Tapi ia mendengar si padri jangkung menyatakan mereka datang terlambat untuk menolong, agaknya mereka telah diberi tahu seseorang, lalu buru-buru datang kemari, tapi siapakah pemberi kabar itu? Siapakah yang sebelumnya sudah mengetahui ayah-bundaku bakal tertimpa malang? Maka katanya segera, Keempat Taysu berhati welas asih dan sengaja buru-buru datang ke sini untuk menolong ayah-bundaku, cuma sayang agak terlambat sedikit .... Mendadak si padri jangkung yang berwatak keras itu menghantam dengan kepalan sebesar mangkuk sambil membentak, Kami datang terlambat, makanya kau dapat berbuat durhaka dengan bebas, ya? Hm, tentu kau merasa senang dan sengaja mengejek kami? Kiau Hong tahu maksud baik kawanan hwesio itu, maka tidak ingin bertempur dengan mereka. Tapi untuk mengetahui duduknya perkara, kalau mereka tidak diberi tahu rasa, tentu urusan ini takkan selesai untuk selamanya. Maka katanya segera, Cayhe sangat berterima kasih atas maksud baik keempat Taysu, tapi karena terpaksa, harap suka dimaafkan! Sembari berkata, ia bergerak secepat kilat, pundak padri ketiga segera ditepuknya sekali. Apakah kau ajak bergebrak? bentak padri itu. Namun tahu-tahu pundaknya kena ditabok Kiau Hong pula, tubuhnya menjadi lemas dan duduk mendeprok di tanah. Kiau Hong pernah meyakinkan ilmu silat Siau-lim-pay, meski tidak saling kenal dengan keempat padri itu, tapi dasar ilmu silat mereka cukup dipahaminya, maka beruntun Kiau Hong menepuk empat kali, kontan keempat padri itu pun dirobohkan. Maafkan, kata Kiau Hong kemudian, numpang tanya, Taysu tadi bilang terlambat datang ke sini, dari manakah kalian mengetahui ayah-bundaku akan tertimpa bahaya? Siapakah gerangan orang yang mengirim kabar kepada para Taysu itu? Hehe, apa maksudmu si pengirim kabar itu pun kan kau bunuh bila kau tahu nama dia ya? sahut padri jangkung tadi dengan gusar. Anak murid

Siau-lim-pay bukanlah manusia pengecut hingga dapat dipaksa mengaku oleh anjing buduk Cidan seperti dirimu ini. Biarpun kau siksa kami dengan cara paling keji juga jangan harap memperoleh sesuatu pengakuan dari mulut kami. Diam-diam Kiau Hong gegetun, Sungguh celaka, kesalahpahaman ini menjadi semakin mendalam sekarang, kalau kutanya lagi, pasti mereka akan anggap aku hendak memaksa pengakuan mereka. Maka ia tidak tanya lebih jauh, sebaliknya ia pijat beberapa kali punggung keempat padri itu untuk membuka hiat-to mereka, katanya, Jika aku hendak membunuh kalian untuk menutupi perbuatanku, saat ini juga jiwa kalian tentu sudah melayang. Tapi aku tidak nanti berbuat demikian, adapun duduk perkara yang sebenarnya kelak pasti akan kubikin terang. Hendak membunuh orang untuk menutupi perbuatanmu yang keji? Hm, belum tentu begitu mudah! demikian tiba-tiba suara seorang menjengek dari samping lereng bukit. Waktu Kiau Hong mendongak, ia lihat di lereng sana berdiri belasan padri Siau-lim-si yang bersenjata lengkap, ada yang membawa tongkat padri, ada yang membawa golok suci, tiada seorang pun yang bertangan kosong. Selintas pandang saja Kiau Hong lihat padri-padri itu dipimpin oleh dua hwesio berumur setengah abad, masing-masing padri itu membawa senjata hong-pian-jan (sekop yang berbentuk bulan sabit), ujung senjata itu hijau kemilau, sinar mata kedua padri itu pun berkilat-kilat, sekali pandang segera orang akan tahu mereka pasti mempunyai lwekang yang sangat tinggi. Meski Kiau Hong tidak jeri menghadapi musuh macam pun, tapi ia belasan tahu padri ini pasti jauh lebih lihai daripada keempat hwesio yang duluan. Asal sekali sudah bergebrak, sebelum membunuh beberapa di antaranya pasti susah untuk melepaskan diri. Dengan cepat Kiau Hong dapat menghadapi segala kesulitan dan mengatasi segala kesangsian. Segera ia memberi hormat sambil berkata, Kiau Hong telah berlaku kurang ajar, harap para Taysu suka memaafkan! Mendadak tubuhnya melayang mundur ke belakang, punggung membentur daun pintu dan menghilang ke dalam rumah. Perubahan itu sangat cepat terjadinya, padri Siau-lim-pay sama berteriak kaget dan segera ada 5-6 orang menerjang ke dalam rumah itu. Tapi baru sampai di ambang pintu, tiba-tiba mereka merasa dipapak oleh serangkum angin mahadahsyat. Lekas mereka angkat sebelah tangan untuk bertahan sekuatnya. Sambaran angin itu sangat hebat hingga debu berhamburan, para padri itu sampai terentak mundur beberapa tindak dan dada pun terasa sesak, dengan muka pucat mereka saling pandang dengan terkejut. Mereka tahu bila Kiau Hong serentak menyerang pula untuk kedua kalinya, pasti mereka tidak mampu bertahan dan bukan mustahil akan binasa, tapi hal itu tidak dilakukan Kiau Hong. Padahal mereka menyangka bekas ketua Kay-pang itu adalah orang jahat. Selang sejenak, tiba-tiba kedua hwesio yang memimpin itu angkat senjata mereka dan menyerbu ke dalam rumah dengan gerakan Siang-liong-jip-tong atau dua ekor naga menyusup ke gua. Mereka putar tongkat sedemikian kencangnya hingga terbentuk selapis jaringan sinar untuk melindungi mereka.

Namun sesudah di dalam rumah, mereka lihat keadaan sunyi senyap tiada suatu bayangan pun. Yang lebih aneh adalah jenazah suami-istri Kiau Sam-hoay juga sudah lenyap. Kedua padri bersenjata tongkat itu adalah hwesio ruang Kay-lut-ih Siau-lim-si, yaitu bagian pengawasan dan perundang-undangan, tugas mereka adalah mengawasi kelakuan anak murid Siau-lim-si dan ketaatan mereka. Ilmu silat mereka dengan sendirinya sangat tinggi, bahkan pengalaman mereka juga sangat luas. Keruan mereka ternganga heran melihat dalam sekejap itu Kiau Hong sudah menghilang bahkan menggondol pula mayat suami-istri Kiau Sam-hoay. Tapi mereka tidak percaya Kiau Hong mampu lari jauh, tentu masih bersembunyi di sekitar situ. Maka cepat mereka mencari di sekitar rumah, namun tiada sesuatu yang ditemukan. Segera kedua padri Kay-lut-ih itu menguber ke bawah gunung, mereka yakin Kiau Hong pasti melarikan diri ke jurusan sana. Tapi meski belasan li mereka mengejar tetap tidak tampak suatu bayangan pun. Sudah tentu mereka tidak menyangka bukannya Kiau Hong melarikan diri ke bawah gunung, sebaliknya ia malah berlari ke arah Siau-sit-san. Ia mencari suatu tempat yang terjal dan sukar didatangi orang, di situ ia kubur dulu ayah-bundanya, ia memberi penghormatan terakhir kepada tempat semayam abadi kedua orang tua itu sambil berdoa, Tia, Nio, siapakah gerangan pembunuh kalian berdua, anak berjanji pasti akan menangkapnya untuk kemudian dikorek hatinya sebagai sesajen kalian. Ia menyesal pulangnya terlambat sebentar saja hingga tidak dapat bertemu lagi dengan ayah-bundanya yang sangat dicintainya itu. Coba kalau dapat berjumpa, tentu kedua orang tua akan betapa senangnya melihat putranya yang kini sudah demikian gagah perkasanya. Alangkah bahagianya bila antara ayah-bunda dan sang putra dapat berkumpul untuk sehari-dua untuk mengenyam sekadar kesenangan orang hidup. Teringat akan semua itu, tak tertahan lagi air mata Kiau Hong bercucuran, ia menangis terguguk dengan sedih. Sejak kecil wataknya memang sangat keras, jarang sekali ia menangis, sesudah dewasa, lebih-lebih ia tidak pernah meneteskan sebutir air mata pun. Tapi hari ini, saking duka dan pilunya ia tak dapat menguasai perasaannya hingga mengucurkan air mata. Mendadak terpikir pula olehnya, Wah, celaka, guruku yang berbudi Hian-koh Taysu jangan-jangan akan mengalami nasib malang juga! Pembunuh itu telah membinasakan ayah-bundaku, waktunya ternyata begini cepat, yaitu setengah jam sebelum aku pulang. Nyata hal ini memang sudah direncanakan lebih dulu, dan sesudah dia turun tangan, segera ia pergi ke Siau-lim-si untuk memberitahukan kepada para padri di sana. Ya, tentu para padri itu tertipu hingga datang kemari hendak menolong ayah-bunda, tapi kepergok dengan aku. Di dunia ini yang mengetahui asal-usul diriku masih ada pula guruku Hian-koh Taysu, maka aku harus berjaga-jaga pengganas itu akan turun tangan keji pula terhadap guruku itu dan aku lagi yang mesti menanggung dosa perbuatan musuh itu. Demi ingat bisa jadi Hian-koh Taysu juga akan tertimpa malang, perasaan Kiau Hong menjadi seperti terbakar, tanpa pikir lagi ia berlari ke arah Siau-lim-si.

Ia tahu di dalam Siau-lim-si itu penuh orang-orang kosen, beberapa padri tua di Tat-mo-ih lebih-lebih bukan main ilmu silatnya, bila dirinya kepergok hingga dikerubut, tentu sukar sekali untuk meloloskan diri. Sebab itulah meski dia berlari secepatnya, namun yang dipilih selalu jalan kecil yang sepi dan lebih jauh. Sesudah lebih satu jam, akhirnya tibalah dia di belakang Siau-lim-si. Tatkala itu hari sudah remang-remang, ia merasa girang dan khawatir. Girangnya karena hari sudah gelap dan menguntungkan baginya untuk bersembunyi. Khawatirnya kalau-kalau musuh juga menggunakan kesempatan malam gelap itu untuk menyergap, tentu susah mengetahui jejak musuh. Selama beberapa tahun akhir ini Kiau Hong malang melintang di dunia Kangouw dan jarang ketemu tandingan, tapi sekali ini bukan saja ilmu silat musuh sangat tinggi, bahkan tipu muslihatnya yang licin itu pun tidak pernah dialaminya. Meski sekarang ia harus menyerempet bahaya masuk ke Siau-lim-si yang penuh jago kosen itu, tapi mengingat gurunya, Hian-koh Taysu bukan mustahil juga akan mengalami sergapan musuh di luar dugaan, malahan kalau dirinya kepergok menyelundup ke dalam kuil itu tentu susah baginya untuk cuci tangan. Padahal kalau dia mau cari selamat sendiri, ia dapat meninggalkan Siau-lim-si sejauh mungkin. Tapi karena dia khawatirkan keselamatan Hian-koh Taysu, pula ingin mencari kesempatan untuk menangkap pembunuh yang sebenarnya guna membalas sakit hati ayah-bundanya, maka akibat apa yang bakal dihadapinya nanti sudah tak terpikir olehnya. Meski dia pernah tinggal belasan tahun di pegunungan Siau-sit-san, tapi tidak pernah ia masuk ke Siau-lim-si, maka terhadap keadaan biara yang besar dan banyak ruangan itu, terutama tempat tinggal Hian-koh Taysu, sama sekali tak diketahui olehnya. Ia pikir, Semoga Insu (guru berbudi) baik-baik saja tak kurang satu pun apa, mungkin beliau akan dapat memberi penjelasan asal-usul diriku serta mengetahui siapa pembunuh yang sebenarnya. Namun biara Siau-lim-si yang ruangan dan gedungnya tersebar di lereng gunung itu sangat luas, pula Hian-koh Taysu tidak memegang tugas tertentu di biara itu, ia pun bukan padri angkatan tua Tat-mo-ih, sedangkan padri angkatan yang pakai gelar Hian sedikitnya ada 20 orang lebih, dandanannya serupa pula, lantas ke mana ia harus mencarinya di tengah malam gelap? Ia pikir, Jalan satu-satunya sekarang aku harus menangkap seorang padri dan paksa dia membawaku pergi menemui Suhu. Sesudah bertemu akan kuminta dia memaafkan tindakanku itu. Tapi kalau menuruti watak padri Siau-lim-si yang mengutamakan setia kawan, bila aku disangkanya akan berbuat tidak baik terhadap Hian-koh Taysu biarpun mati tak nanti ia mau mengatakan tempatnya. Ai, jika begitu, lebih baik aku mencari seorang tukang api atau tukang sapu di bagian dapur saja. Namun orang-orang demikian juga belum tentu tahu tempat tinggal guruku. Begitulah ia menjadi serbasusah tapi ia terus menggerayangi ruangan biara itu, setiap kamar dan setiap ruangan diintainya dengan harapan dapat memperoleh sedikit keterangan. Berkat gerakannya yang gesit, meski tubuhnya tinggi besar, namun ia dapat melompat dan melejit dengan lincah hingga tidak mengeluarkan sesuatu suara dan diketahui orang.

Ia meneruskan penyelidikannya itu, ketika sampai di suatu ruangan samping, tiba-tiba didengarnya di dalam kamar ada suara orang sedang bicara, Hongtiang ada urusan penting ingin berunding dengan Susiok, maka Susiok diharap datang ke Cin-to-ih. Lalu suara seorang tua menjawab, Baiklah, segera kudatang ke sana! Hongtiang sedang mengumpulkan kerabat untuk berunding urusan penting, tentu guruku juga akan hadir di sana, biarlah kukuntit di belakang orang ini ke sana, tentu akan dapat kujumpai Suhu, demikian pikir Kiau Hong. Maka terdengarlah suara berkeriutnya pintu didorong, keluarlah dua padri dari kamar itu. Padri yang tua menuju ke arah barat, sedangkan yang muda buru-buru menuju ke jurusan lain, mungkin hendak mengundang padri lain lagi. Kiau Hong menduga padri tua yang diundang hongtiang itu tentu mempunyai kedudukan tinggi dan dengan sendirinya ilmu silatnya sangat tinggi juga. Maka ia tidak berani menguntit terlalu dekat melainkan mengintilnya dari jauh. Ia lihat padri itu menuju ke barat sana hingga sampai di suatu rumah ujung. Kiau Hong menunggu padri itu masuk ke dalam rumah, lalu ia mengitar ke belakang rumah itu, ia dengarkan dulu keadaan di sekitar situ, setelah yakin tiada orang lain lagi barulah ia mendekam di bawah jendela untuk mendengarkan. Mengingat kelakuannya sendiri itu, diam-diam Kiau Hong berduka dan menyesal pula, pikirnya, Aku Kiau Hong selamanya menghadapi segala urusan dengan secara terang-terangan, tapi hari ini terpaksa aku harus main sembunyi-sembunyi. Bila perbuatanku ini dipergoki, lenyaplah nama baikku selama ini dan tiada muka untuk berkecimpung di kalangan Kangouw lagi. Namun bila terkenang kepada jasa sang guru waktu mengajar ilmu silat padanya, biarpun hujan badai sekalipun juga tidak pernah absen barang semalam, budi sebesar itu biar hancur lebur tubuhnya juga perlu dibalas, apalagi cuma menderita malu dan ternoda namanya saja? Dalam pada itu ia dengar ada suara tindakan orang di depan rumah sana, berturut-turut ada empat orang masuk ke situ pula. Tidak lama kemudian, kembali datang lagi dua orang. Dengan demikian, dari bayangan orang yang tertampak dari luar jendela, sudah ada belasan orang yang berkumpul di dalam rumah. Diam-diam Kiau Hong berpikir pula, Jika urusan yang mereka rundingkan adalah rahasia Siau-lim-pay, dan kini aku mengintipnya, meski tiada maksud jahat, jelas hal ini pun tidak pantas. Maka lebih baik aku sembunyi di tempat agak jauh dan jangan mendengarkan rahasia yang hendak mereka rundingkan ini. Jika Suhu memang berada di dalam kamar, dengan berkumpulnya tokoh-tokoh Siau-lim-pay sebanyak ini di sini, betapa pun lihainya musuh juga tidak mampu mengganggu seujung rambutnya. Dan nanti kalau perundingan mereka sudah selesai, setelah padri-padri itu bubar, barulah aku mencari akal untuk menemui Suhu dan melaporkan segala apa yang terjadi. Selagi ia hendak menyingkir, tiba-tiba didengarnya suara belasan hwesio di dalam kamar itu serentak membaca kitab. Kiau Hong tidak paham kitab apa yang sedang dibaca mereka itu, tapi suaranya sangat khidmat dan sendu, bahkan suara beberapa orang di antaranya mengandung rasa duka.

Lama sekali padri-padri itu berdoa, lama-kelamaan Kiau Hong merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pikirnya, Apakah mereka sedang sembahyang? Atau sedang mengadakan sesuatu khotbah? Mungkin Suhu tidak berada di sini. Waktu ia dengarkan dengan cermat, benar juga tiada terdengar suara Hian-koh Taysu yang sangat dikenalnya itu. Seketika ia menjadi bingung apakah mesti menunggu lagi di situ. Tiba-tiba terdengar suara pembacaan kitab di dalam kamar telah berhenti, lalu suara seorang yang kereng sedang bicara, Hian-koh Sute, apa yang hendak kau katakan pula? Mendengar nama gurunya disebut, sungguh girang Kiau Hong tidak kepalang, ternyata orang tua itu pun berada di situ dan dalam keadaan baik-naik tanpa kurang suatu pun apa. Lalu didengarnya suara gurunya yang dikenalnya sedang menjawab, Waktu Siaute diberi nama sebagai Hian-koh oleh Siansu (mendiang guru), maksudnya agar Siaute dapat membebaskan diri dari sengsara dan penderitaan. Akan tetapi untuk ini masih diharapkan bantuan para Suheng dan Sute. Mendengar suara sang Suhu sangat tenang dan penuh tenaga dalam, nyata selama belasan tahun ini lwekang sang guru semakin hebat, diam-diam Kiau Hong bergirang bagi orang tua itu. Cuma apa yang diucapkan itu adalah kata-kata dalam agama Buddha yang dalam artinya, seketika Kiau Hong tidak paham maksudnya. Lalu terdengar suara kereng tadi berkata, Beberapa bulan yang lalu Hian-pi Sute terbinasa di tangan orang jahat, kita sudah menyelidiki si pembunuh dengan sepenuh tenaga, hal ini agak melampaui batas pantangan Buddha yang menghendaki jangan suka marah dan jangan suka murka. Namun membasmi kaum jahat untuk menolong sesamanya adalah menjadi asas utama kaum persilatan kita .... Mendengar sampai di sini, Kiau Hong menduga pembicara yang bersuara kereng ini tentulah ketua Siau-lim-si, Hian-cu Taysu. Ia dengar suara itu sedang melanjutkan, Setiap gembong iblis yang dapat kita basmi akan besar artinya bagi keselamatan orang banyak. Maka, sudilah Sute memberi tahu, apakah pengganas itu Koh-soh Buyung atau bukan? Kiau Hong terkesiap, Kembali menyangkut nama Koh-soh Buyung-si lagi. Sudah lama kudengar bahwa Hian-pi Taysu dari Siau-lim-si telah tewas disergap orang, apakah barangkali mereka pun mencurigai Buyung-kongcu yang berbuat? Dalam pada itu terdengar Hian-koh Taysu sedang menjawab, Hongtiang-suheng, Siaute tidak ingin menambah dosa, hingga membikin Suheng, dan para Sute banyak membuang tenaga bagiku. Bila orang itu dapat meninggalkan golok jagalnya, dengan sendirinya masih belum terlambat untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi kalau tetap sesat tak mau sadar, ai, itu pun akan ditanggung sendiri sengsaranya. Tentang bagaimana wujud orang itu, biarlah tak perlu dikatakan saja. Kesadaran Sute memang lebih tinggi, Suhengmu ini terlalu bodoh, jauh tak dapat mengimbangi Sute, ujar Hian-cu Taysu, ketua Siau-lim-si. Kini Siaute ingin duduk tenang sebentar untuk mengenangkan dosa, ujar

Hian-koh. Baiklah, harap Sute menjaga diri dengan baik, sahut Hian-cu. Lalu terdengar pintu dibuka, seorang padri tinggi kurus dan berjubah merah berjalan keluar dengan merangkap tangan sambil berdoa perlahan. Menyusul keluar pula 17 padri yang lain, semuanya juga berkasa merah dan sama menunduk sambil berdoa dengan khidmat. Sesudah padri-padri itu pergi jauh dan di dalam kamar sunyi senyap, Kiau Hong masih ragu-ragu untuk masuk ke situ mengingat suasana yang khidmat tadi. Tapi tiba-tiba terdengar Hian-koh berkata, Jauh-jauh tamu agung berkunjung kemari, mengapa tidak sudi masuk saja? Sungguh kejut Kiau Hong tidak kepalang. Padahal ia sudah sangat hati-hati, sekalipun bernapas juga tidak berani keras, orang berada satu meter di sebelahnya juga belum tentu mengetahui. Tapi kini gurunya seakan-akan orang memiliki telinga sakti, biarpun teraling-aling dinding masih dapat mengetahui kedatangannya. Maka dengan sangat hormat segera Kiau Hong mendekati pintu sambil berkata, Baik-baikkah Suhu, Tecu Kiau Hong menyampaikan sembah hormat kepada Suhu. Hah, kiranya Hong-ji? seru Hian-koh. Saat ini aku justru lagi terkenang padamu dan berharap dapat berjumpa denganmu, marilah lekas masuk. Dari suara sang guru yang penuh rasa girang itu, Kiau Hong menjadi terharu, cepat ia lari masuk dan berlutut memberi hormat sambil berkata, Tecu tidak dapat selalu mendampingi Suhu sehingga membikin Suhu senantiasa terkenang. Kini melihat Suhu dalam keadaan sehat walafiat, sungguh murid merasa sangat girang. Habis berkata ia lantas mendongak untuk memandang Hian-koh. Sebenarnya wajah Hian-koh tersenyum simpul. Tapi di bawah sinar pelita demi dilihatnya muka Kiau Hong itu, mendadak air mukanya berubah hebat, ia berbangkit sambil berkata dengan suara gemetar, Jadi kau ... kau inilah Kiau Hong, murid ... murid yang kudidik sejak kecil itu? Melihat perubahan air muka gurunya yang terkejut, menyesal tercampur rasa kasih sayang itu, seketika Kiau Hong juga melongo heran, sahutnya bingung, Ya, Suhu, anak inilah Kiau Hong adanya. Bagus, bagus, bagus! berturut Hian-koh Taysu mengucapkan tiga kali bagus, lalu tidak bicara lagi. Kiau Hong tidak berani tanya pula, dengan tenang ia menunggu apa yang hendak dikatakan sang guru. Siapa duga, tunggu punya tunggu, tetap Hian-koh Taysu tidak buka suara. Waktu Kiau Hong memandang wajah padri itu, ia lihat sikapnya masih tetap seperti tadi, tapi air mukanya tiada sesuatu perasaan. Kiau Hong terkejut, cepat ia meraba tangan sang guru, ia merasa tangan yang kurus itu sudah dingin, waktu ia memeriksa pernapasan hidungnya, ternyata napasnya sudah berhenti sejak tadi. Kejadian ini benar-benar membikin Kiau Hong terperanjat tidak kepalang, pikirnya dengan bingung, Masakah demi lihat diriku lantas Suhu mati ketakutan? Tidak, tidak mungkin! Apa yang menakutkan beliau? Ah, sebelum melihat diriku besar kemungkinan lebih dulu ia sudah terluka parah.

Akan tetapi ia tidak berani memeriksa tubuh orang tua itu, setelah tenangkan diri, ia ambil keputusan, Jika aku tinggal pergi begini saja, apakah ini perbuatan seorang laki-laki sejati? Urusan hari ini biarpun betapa bahayanya juga harus kuselidiki hingga jelas duduknya perkara. Segera ia keluar dari kamar itu, dengan suara lantang ia berseru, Hongtiang Taysu, Hian-koh Suhu telah wafat! Hian-koh Suhu wafat! Suara Kiau Hong sangat keras, tenaga dalamnya sangat kuat, maka suaranya berkumandang hingga jauh sampai lembah pegunungan mendengung-dengung seakan-akan terguncang. Dan sudah tentu antero penghuni Siau-lim-si mendengar seruannya yang keras tapi mengandung rasa nestapa itu. Rombongan Hian-cu tadi malahan belum sampai di kamarnya masing-masing, maka demi mendengar suara Kiau Hong itu, serentak mereka berlari kembali ke Cin-to-ih tadi. Maka tertampaklah oleh mereka seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri di depan pintu kamar sambil mengusap air mata dengan lengan baju. Keruan padri-padri Siau-lim-si itu sangat heran. Siapakah Sicu? tanya Hian-cu sambil memberi hormat. Karena khawatirkan keselamatan Hian-koh, maka tanpa menunggu jawaban Kiau Hong terus saja ia mendahului masuk ke dalam kamar. Ia lihat Hian-koh berdiri kaku di situ tanpa roboh. Keruan ia tambah terkejut. Sementara itu padri yang lain juga sudah ikut masuk, mereka menunduk dan memanjatkan doa. Kiau Hong paling akhir masuk ke dalam, ia berlutut dan diam-diam berdoa, Suhu, Tecu terlambat membawa berita ke sini hingga engkau akhirnya dicelakai juga oleh musuh. Sakit hati Tecu kepada musuh itu setinggi langit dan sedalam lautan, betapa pun Tecu berjanji akan menuntut balas. Selesai membaca kitab, kemudian Hian-cu mengamat-amati Kiau Hong, lalu tanyanya, Siapakah Sicu? Apakah seruan tadi dilakukan olehmu? Tecu Kiau Hong adanya, waktu Tecu mengetahui Suhu wafat, saking dukanya hingga terpaksa membikin kaget Hongtiang. Hian-cu terkejut mendengar nama Kiau Hong, ia menegas, Jadi Sicu adalah ... adalah bekas Pangcu Kay-pang? Benar, sahut Kiau Hong. Diam-diam ia kagum betapa cepat berita yang diterima Siau-lim-si itu. Dan kalau sudah tahu dirinya adalah bekas pangcu, tentu orang tahu juga sebab musabab dia dipecat Kay-pang. Mengapa tengah malam buta Sicu menggerayangi biara kami? Dan mengapa dapat menyaksikan wafatnya Hian-koh Sute? tanya Hian-cu pula. Seketika Kiau Hong tidak tahu cara bagaimana harus menceritakan perasaannya waktu itu, terpaksa ia jawab, Hian-koh Taysu adalah guru pengajar Tecu, waktu Tecu mengetahui .... Belum lanjut ucapannya, segera Hian-cu memotong, Apa katamu? Hian-koh Sute adalah gurumu? Jadi Sicu ini anak murid Siau-lim-si? Ini sungguh ... sungguh aneh. Perlu diketahui bahwasanya nama Kiau Hong tersohor di seluruh jagat dan terkenal sebagai murid ahli waris Ong-pangcu, ilmu silatnya juga tiada

sangkut paut dengan Siau-lim-pay. Tapi kini ia mengaku sendiri sebagai anak murid Siau-lim-pay, sudah tentu Hian-cu Taysu tidak percaya dan hampir-hampir menyemprotnya karena dianggap sembarangan mengoceh. Tapi Kiau Hong lantas menjawab, Cerita ini cukup panjang, entah luka apakah yang diderita Insu dan siapa gerangan pengganasnya? Hian-koh Sute disergap orang, dadanya terkena pukulan dahsyat musuh, tulang iganya patah semua, isi perutnya juga hancur, demikian tutur Hian-cu Hongtiang. Tapi berkat lwekangnya yang tinggi ia dapat bertahan sampai tadi. Kami telah tanya dia siapakah gerangan musuh itu, namun ia menyatakan tidak kenal dan juga tidak mau menjelaskan bagaimana macam orang itu. Baru sekarang Kiau Hong paham perkataan Hian-koh sebelum meninggal tadi. Katanya dengan mengembeng air mata, Para Taysu mengutamakan welas asih, maka tidak ingin mengikat permusuhan lebih dalam. Sebaliknya Tecu adalah orang biasa, harus berusaha menangkap pengganas itu untuk dicencang guna membalas sakit hati Suhu. Padahal biara kalian terjaga sangat ketat, entah cara bagaimana pembunuh itu mampu menyelundup ke sini? Selagi Hian-cu termenung belum menjawab, tiba-tiba seorang hwesio tua pendek di sebelah berkata dengan dingin, Hm, Sicu sendiri mampu menyusup ke sini tanpa rintangan apa-apa, dengan sendirinya pembunuh itu pun mampu pergi-datang dengan bebas seakan-akan mendatangi tempat yang tiada manusianya. Kiau Hong membungkuk minta maaf, sahutnya, Tecu terpaksa oleh keadaan hingga tidak sempat permisi dulu di luar, atas kelancanganku ini mohon para Taysu suka memberi maaf. Hubungan Tecu dengan Siau-lim-pay sangat erat, sekali-kali tidak berani memandang rendah dan menghina. Dengan kata-katanya yang terakhir itu ia hendak memberi penjelasan bahwasanya bila Siau-lim-pay dibikin malu, hal itu pun berarti dia ikut malu. Pada saat itulah, tiba-tiba seorang hwesio cilik membawakan semangkuk obat yang masih mengepul dan masuk ke situ dengan tergesa-gesa, ia berkata kepada jenazah Hian-koh yang disangkanya hidup itu, Suhu, silakan minum obat. Kiranya hwesio cilik ini adalah pelayan Hian-koh yang tadi disuruh pergi menyeduh obat luka Siau-lim-si, yaitu Kiu-coan-kim-kong-theng, maka tentang kematian Hian-koh belum lagi diketahuinya. Saking pilunya Kiau Hong lantas berkata padanya dengan suara terguguk, Suhu ... Suhu sudah .... Hwesio cilik itu berpaling ke arahnya dan mendadak menjerit kaget, Hai, kiranya kau ... kau kembali lagi ke sini! Maka terdengarlah suara jatuhnya mangkuk hingga pecah berantakan, air obat muncrat ke mana-mana, hwesio cilik itu pun melompat mundur dengan ketakutan sambil berteriak, Dia ... dia inilah yang menyerang Suhu! Karena teriakan hwesio cilik itu, semua orang terkejut. Lebih-lebih Kiau Hong menjadi gugup dibuatnya. Apa katamu? serunya keras-keras. Usia padri kecil itu kira-kira baru 12-13 tahun, ia sangat ketakutan melihat Kiau Hong, ia sembunyi di belakang Hian-cu sambil menarik-narik lengan ketua

Siau-lim-si itu dan meratap, Hongtiang! Hongtiang! Jangan takut, Ceng-siong! sahut Hian-cu. Katakanlah yang terang, kau bilang dia yang menyerang suhumu tadi? Ya ... ya! sahut hwesio cilik yang bernama Ceng-siong itu. Dengan telapak tangannya ia pukul dada Suhu, Tecu sendiri menyaksikan di luar jendela. Suhu, Suhu, ayolah balas hantam dia, mengapa engkau diam saja? Ternyata sampai saat ini ia belum lagi tahu Hian-koh sudah meninggal. Ceng-siong, cobalah kau lihat lagi yang jelas, jangan-jangan kau salah mengenali orang? ujar Hian-cu Hongtiang. Tidak, tidak salah lagi! seru Ceng-siong. Telah kulihat dengan jelas, beginilah pakaiannya, begini pula mukanya yang lebar dan alisnya yang tebal itu, mulutnya lebar dan telinganya besar, memang tidak salah lagi dia ini. Suhu, ayolah balas serang dia, lekas! Saat itu Kiau Hong merasa merinding bulu romanya, tiba-tiba ia sadar, Ya, tidak salah lagi. Pembunuh itu telah menyaru sebagai diriku untuk memfitnah aku. Tadi waktu Suhu mendengar aku datang, beliau sangat girang. Tapi begitu melihat wajahku, melihat aku serupa penjahat itu, seketika beliau terkesiap dan menyesalkan karena murid didiknya ternyata adalah orang yang telah menyerangnya pula. Ya, maklum, aku sudahi belasan tahun berpisah dengan Suhu, dari anak cilik kini berubah dewasa, dengan sendirinya wajahku sudah banyak berubah daripada masa kanak-kanak dulu. Waktu Kiau Hong kenangkan kembali kata bagus tiga kali yang diucapkan Hian-koh Taysu sebelum ajalnya itu, sungguh hatinya pedih bagai disayat-sayat. Pikirnya, Suhu telah kena serangan maut musuh, tapi tak diketahui siapa nama musuh itu. Ketika aku datang dan tahu wajahku serupa dengan penyerang itu, maka beliau sangat menyesal dan berduka hingga tewas. Memang luka Suhu sudah terlalu parah, dalam keadaan payah dengan sendirinya tidak dapat berpikir dengan saksama, jika benar aku yang menyerang dia, mengapa untuk kedua kalinya aku menemuinya lagi? Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara berisik orang banyak, serombongan padri tampak berlari datang, setiba di luar mereka lantas berhenti, hanya dua padri di antaranya dengan membungkuk tubuh melangkah masuk dengan hormat. Ternyata mereka adalah kedua hwesio bersenjata tongkat yang mengerubut Kiau Hong di kaki gunung itu. Segera satu di antaranya menutur, Lapor Hongtiang .... Tapi baru sekian ucapannya, sekilas ia lihat Kiau Hong juga berada di situ, seketika wajahnya menampilkan rasa kaget dan gusar. Ia mendelik dengan termangu-mangu lantaran heran mengapa Kiau Hong tahu-tahu sudah berada di situ. Dengan kereng Hian-cu bersuara, Sicu sudah tidak di dalam Kay-pang lagi, tapi apa pun juga kau seorang tokoh Bu-lim yang terkenal. Hari ini sengaja berkunjung ke biara kami dan membinasakan Hian-koh Sute, entah apa maksud tujuanmu, silakan memberi penjelasan. Namun Kiau Hong tidak menjawab, mendadak ia menghela napas panjang sekali, lalu menyembah kepada Hian-koh dan meratap, Suhu, O, Suhu, sebelum engkau

mengembuskan napas penghabisan, engkau juga mengatakan Tecu yang mencelakai dirimu dan meninggal dengan menanggung penasaran Meski Tecu sekali-kali tidak nanti berani terhadap Suhu, meski karena difitnah musuh sebab musababnya dengan sendirinya berpangkal pada diriku. Umpama Tecu sekarang rela mati untuk membalas budi Suhu, namun sakit hati Suhu selanjutnya menjadi tak terbalas. Adapun Tecu telah membikin rusuh di sini hingga melanggar ketertiban Siau-lim-si, untuk ini harap Suhu suka memaafkan. Selesai berdoa, sekonyong-konyong ia mengembuskan napas dua kali, dua rangkum angin keras menyambar, seketika dua pelita minyak di dalam kamar tertiup padam hingga keadaan lantas gelap gulita. Kiranya waktu Kiau Hong berdoa tadi, diam-diam ia sudah mempunyai akal untuk meloloskan diri. Begitu pelita minyak tertiup padam, menyusul tangan kirinya menghantam ke depan dan tepat kena punggung siu-lut-ceng, padri pengawas yang pernah ditempurnya di kaki gunung itu. Cuma hantamannya ini melulu menggunakan tenaga luar yang kuat, maka isi perut padri itu tidak sampai terluka melainkan tubuhnya yang besar itu mencelat ke luar pintu. Dalam keadaan gelap para hwesio Siau-lim-si itu menyangka Kiau Hong hendak melarikan diri. Tanpa pikir lagi mereka serentak mengeluarkan kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) dan mencengkeram tubuh siu-lut-ceng itu. Padri itu pun mempunyai pikiran yang sama, yaitu tidak ingin menggunakan pukulan berat untuk membinasakan Kiau Hong, tapi ingin menawannya hidup-hidup untuk ditanyai mengapa membunuh Hian-koh Taysu, muslihat keji apa di balik perbuatannya itu. Para padri itu adalah jago pilihan Siau-lim-si, dengan sendirinya adalah jago silat terkemuka pula dalam Bu-lim, kim-na-jiu-hoat mereka pun berbeda-beda, semuanya mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Maka kontan siu-lut-ceng itu kena dicengkeram oleh berbagai macam kim-na-jiu-hoat Siau-lim-pay yang lihai seperti Kim-liong-jiu (cengkeraman cakar naga), Eng-jiau-jiu (cakar elang), Hou-jian-kang (cakar harimau), dan lain-lain lagi. Keruan yang paling sial adalah siu-lut-ceng itu, dalam sekejap hiat-to penting antero tubuhnya kena dicengkeram padri-padri lihai itu, seketika tubuhnya terkatung-katung di udara. Pengalaman demikian mungkin sejak dahulu hingga kini belum pernah dialami siapa pun juga. Oleh karena berada dalam biara sendiri padri-padri itu tiada yang membawa alat ketikan api segala. Tapi kepandaian mereka tinggi, pengalaman mereka banyak, begitu merasa gelagat tidak beres, segera ada orang melompat ke atas rumah untuk berjaga di sana, begitu pula semua jalan keluar di sekitar situ segera dijaga dengan ketat. Dalam keadaan begitu, jangankan Kiau Hong bertubuh tinggi besar, sekalipun dia berubah menjadi seekor burung juga sukar mengelabui mata telinga penjaga-penjaga itu. Tidak lama kemudian, si padri cilik Ceng-siong telah memperoleh batu api, ia menyalakan pelita minyak, dan baru kawanan hwesio Siau-lim-si itu mengetahui mereka telah salah tangkap kawan sendiri.

Segera Hian-lan Taysu, kepala Tat-mo-ih, memerintahkan agar setiap padri jaga di tempatnya masing-masing dan tidak boleh sembarangan bergerak. Mereka khawatir jangan-jangan Kiau Hong membawa bala bantuan dan ada rencana pengacauan lain. Dalam pada itu padri lain yang dipimpin ji-kay-ceng masih terus mencari dan menggeledah di sekitar Cin-to-ih itu, hampir setiap tempat dan setiap pelosok telah diperiksanya, namun tetap tiada menampak suatu bayangan pun. Setelah sibuk hampir satu jam, mereka sangat heran, sebab Kiau Hong tetap menghilang. Lalu jenazah Hian-koh diusung ke ruang Sik-li-ih untuk dibakar. Sedang siu-lut-ceng diantar ke Yok-ong-tian untuk diberi obat. Para padri Siau-lim-si itu sama lesu dan cemas, mereka merasa sekali ini benar-benar kehilangan muka. Di antara jago-jago Siau-lim-pay itu, belasan padri agung yang berkumpul di Cin-to-ih itu semuanya sangat tinggi ilmu silatnya, nama setiap orang tersohor dan disegani di dunia Kangouw. Tapi kini Kiau Hong mampu pergi-datang dengan bebas, jangankan menangkapnya, cara bagaimana Kiau Hong lolos pun mereka tidak tahu. Lantas lolos ke mana atau sembunyi di manakah Kiau Hong? Kalau dijelaskan sebenarnya tidaklah mengherankan dan juga tidak aneh. Kiranya Kiau Hong sudah menduga para padri itu akan menguber dan mencarinya keluar. Terhadap tempat yang baru saja dibuat berkumpul itu sebaliknya takkan diperhatikan. Sebab itulah begitu ia hantam siu-lut-ceng, segera ia mengkeret mundur malah dan diam-diam ia menyusup ke kolong tempat tidur Hian-koh Taysu. Dengan sepuluh jarinya ia cengkeram papan ranjang, tubuhnya menempel rapat di bawah kolong. Meski tadi ada juga salah seorang memeriksa sekadarnya ke bawah ranjang, tapi cuma sekilas saja dan tidak menemukannya. Apalagi sesudah jenazah Hian-koh Taysu dipindah dan para padri petugas merapatkan pintu kamar itu, keadaan menjadi sepi dan lebih-lebih tiada yang menduga Kiau Hong masih bersembunyi di situ. Tapi Kiau Hong belum berani sembarangan bergerak, ia dengar para padri itu masih sibuk mencarinya, setelah tengah malam, barulah keadaan mereda. Pikirnya, Jika menunggu sampai pagi tentu lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Agaknya sekarang inilah kesempatan paling baik untuk angkat kaki. Maka diam-diam ia menerobos keluar dari kolong ranjang, perlahan ia membuka pintu dan menyelinap ke belakang sebatang pohon besar. Cin-to-ih adalah ruang ujung barat Siau-lim-si, asal dia berlari ke barat lebih jauh, tentu akan mencapai lereng gunung. Namun Kiau Hong memang seorang kesatria lihai, biarpun lahirnya tampak kasar, namun pikirannya sangat cerdik. Ia pikir suasana Siau-lim-si sementara ini meski sudah sepi, tapi padri Siau-lim-si bukanlah sembarangan orang, mana mereka sudahi kejadian itu mengendurkan penjagaan? Ia menghilang di barat biara itu, para padri tentu akan menjaga keras jalan di sebelah barat yang menjurus ke lereng Siau-sit-san. Sebenarnya kalau Kiau Hong mau, asal dia sudah keluar dari Siau-lim-si,

setelah kekuatan para padri terpencar, tentu susah untuk merintanginya, apalagi hendak menangkapnya. Tapi ia tidak ingin bertempur dengan padri Siau-lim-si, ia berharap kelak dapat menangkap pembunuh yang sebenarnya untuk dibawa ke Siau-lim-si agar duduk perkasa yang sebenarnya dapat diketahui oleh padri-padri itu. Memangnya ia pun tidak ingin melawan padri Siau-lim-si itu, semakin banyak bergebrak dengan padri semakin banyak pula musuhnya. Apalagi kalau dirinya kalah, celaka, dan runyamlah segala urusan. Sebab itulah sesudah berpikir sejenak, ia taksir jalan paling selamat harus menyusup ke tengah biara dan meninggalkan Siau-lim-si dari jurusan yang berlawanan, yaitu sebelah timur. Segera ia merunduk maju ke bawah aling-aling pohon dan tetumbuhan lain. Ia menyeberangi empat ruang rumah, ketika ia sembunyi di balik pohon beringin lagi, tiba-tiba dilihatnya di belakang pohon di depan sana juga bersembunyi dua orang padri. Kedua padri itu tidak bergerak sedikit pun, dalam keadaan gelap sebenarnya sangat sukar diketahui. Tapi mata Kiau Hong sangat tajam, sekilas saja ia sudah melihat kemilau senjata yang dipegang salah seorang padri itu. Pikirnya, Wah, hampir saja aku kepergok! Dengan tenang ia menunggu di balik pohon itu. Tapi kedua padri itu pun tetap tidak pergi. Cara berjaga secara sembunyi ini benar-benar sangat lihai, asal dirinya sedikit bergerak saja pasti akan segera diketahui, sebaliknya ia juga tidak dapat berdiam terlalu lama situ tanpa berusaha meloloskan diri. Setelah pikir sebentar, segera Kiau Hong menjemput sepotong batu kecil, ia selentik batu kecil itu dengan kuat. Cara selentikannya itu sangat bagus, mula-mula lambat, kemudian cepat. Waktu batu mulai melayang ke depan tiada terdengar sesuatu suara, tapi sesudah jauh mendadak timbul suara mendenging yang keras dari angin sambaran batu itu. Plok batu itu akhirnya menimpuk pada batang pohon. Dengan sendirinya kedua padri tadi terkejut. Perlahan mereka mendekati pohon itu, menunggu sesudah kedua padri itu melalui tempat sembunyinya, segera Kiau Hong melayang ke depan dan melompat ke dalam ruangan di samping. Di bawah sinar bulan dapat dilihatnya dengan jelas papan ruangan itu tertulis tiga huruf Po-te-ih. Ia tahu bila kedua padri tadi tidak menemukan apa-apa tentu akan segera kembali, maka cepat Kiau Hong berlari ke ruangan belakang. Sesudah menyusur ruangan depan Po-te-ih itu, akhirnya ia sampai di ruang belakang. Sekilas mendadak terlihat sesosok bayangan orang laki-laki tinggi besar berkelebat lewat di belakangnya dengan kecepatan luar biasa, begitu cepat gerak bayangan itu sungguh tidak pernah dilihatnya. Betapa cepat orang itu, siapakah dia?! demikian Kiau Hong terkejut. Sambil siap siaga cepat ia menoleh. Tapi ia lantas tertawa sendiri ketika dilihatnya yang berhadapan dengan dirinya juga seorang laki-laki tegap dan mengambil sikap siap siaga dengan penuh waspada.

Kiranya di ruang belakang, di depan arca Buddha terdapat sebaris pintu angin dan pintu angin itu terpasang sebuah cermin perunggu yang sangat besar dan bundar cermin itu tergosok sedemikian bersih dan mengilap hingga bayangan tertampak jelas dalam cermin itu. Di atas cermin perunggu itu terpasang sebuah pigura yang bertuliskan kata-kata mutiara sang Buddha: Badan kuat seperti pohon bodhi hati bersih laksana cermin setiap saat rajinlah mengurusnya jangan ternoda karena debu Selagi Kiau Hong hendak melanjutkan, sekonyong-konyong hatinya seperti terpukul oleh sesuatu apa. Seketika ia tertegun, dalam sekejap itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu yang mahaaneh dan penting. Tapi mengenai urusan apa, ia pun tak dapat memberi penjelasan. Ia termangu sejenak di tempatnya. Tanpa terasa ia menoleh ke arah cermin perunggu lagi, melihat bayangan sendiri, mendadak ia sadar, He, baru saja aku telah melihat bayanganku sendiri, di manakah itu? Aku tidak pernah melihat cermin sebesar ini, mengapa bisa melihat bayanganku sendiri dengan begitu jelas? Selagi Kiau Hong termenung, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan beberapa orang sedang mendatang. Karena tiada tempat sembunyi lain, Kiau Hong melihat di ruangan itu terdapat tiga arca Buddha besar, tanpa pikir lagi ia melompat ke altar dan bersembunyi di belakang arca Buddha ketiga. Dari suara tindakan orang-orang itu dapat diketahui seluruhnya ada enam orang, sesudah masuk ke ruangan pendopo situ, masing-masing lantas duduk di atas tikar. Dari belakang arca Kiau Hong coba mengintip keluar, ia lihat keenam orang itu semuanya adalah padri setengah umur, terdengar yang sebelah kiri sedang berkata, Suhu memberi perintah agar memeriksa dan mengawasi kitab-kitab di ruang Po-te-ih ini untuk menjaga kalau-kalau dicuri musuh. Habis padri itu berkata, kawan-kawannya yang lain tiada yang bersuara, semuanya diam saja. Kiau Hong pikir kalau saat itu mau melarikan diri, mungkin tidaklah terlalu susah. Tapi tiba-tiba ia ingin tahu penjagaan kitab apa yang hendak dilakukan padri-padri itu, ia pikir biarlah aku menunggu lagi sebentar. Maka terdengar padri yang sebelah kanan sedang berkata, Suheng, di ruang Po-te-ih kosong melompong tiada sesuatu benda apa pun, masakah ada kitab pusaka segala? Apa yang Suhu suruh kita jaga di sini? Itu mengenai urusan Po-te-ih ini, tidak perlu banyak bicara, sahut padri yang sebelah kiri tadi dengan tersenyum. Ah, kukira engkau sendiri pun tidak tahu, ujar padri sebelah kanan. Karena kata-kata pancingan itu, si padri sebelah kiri lantas berseru, Mengapa aku tidak tahu? Sin-ju-hud-tim ....

Hanya kalimat itu saja yang dia ucapkan, mendadak ia sadar dan cepat bungkam. Apa maksudnya Sin-ju-hud-tim? si padri sebelah kanan ingin tahu. Ti-jing Sute, mendadak padri kedua yang duduk sebelah kiri menyela, biasanya engkau tidak suka ceriwis, mengapa hari ini terus-menerus bertanya saja? Jika kau ingin tahu rahasia Po-te-ih ini, silakan kau tanya kepada gurumu sendiri saja. Maka padri yang bernama Ti-jing itu tidak tanya pula. Selang agak lama, tiba-tiba ia berkata, Aku akan ke kamar kecil. Lalu ia berbangkit menuju ke pintu samping sebelah kiri. Tapi baru saja ia mengitar ke belakang, mendadak kakinya menendang punggung padri kedua dari kanan yaitu yang duduk tepat di sisinya tadi. Tendangan itu tepat mengenai koan-ki-hiat di tulang punggung. Padri itu sedang duduk bersila di atas tikarnya, dengan sendirinya ia tidak menyangka akan diserang oleh kawan sendiri. Maka tanpa ampun lagi ia roboh perlahan ke samping. Oleh karena tendangan Ti-jing itu dilakukan dengan sangat cepat, pula tanpa suara. Setelah merobohkan padri itu, menyusul padri di sisinya lagi juga didepak dengan cara yang sama, habis itu padri ketiga. Hanya dalam sekejap saja tiga padri sudah dirobohkan. Dengan jelas Kiau Hong dapat mengikuti kejadian itu di tempat sembunyinya. Ia menjadi terheran-heran mengapa padri Siau-lim-si itu bertarung antara kawan sendiri? Ia lihat Ti-jing sedang menendang padri yang kedua dihitung dari sisi kanan. Dan baru ujung kaki kena sasarannya sementara itu ketiga padri yang ditendang jalan darahnya itu pun menggeletak, kepala membentur lantai hingga mengeluarkan suara. Jilid 30. Pendekar2 Negeri Tayli Published by Tungning on 2008/5/19 (1039 reads) Mendengar suara itu, padri di ujung kiri tadi terkejut, cepat ia membuka mata sambil melompat bangun, sekilas ia lihat kawan yang duduk di sebelahnya juga sudah ditendang roboh oleh Ti-jing. Keruan ia terperanjat dan berteriak, Hai, Ti-jing, apa yang kau lakukan? Lihatlah, siapa yang datang itu? tiba-tiba Ti-jing menuding keluar. Selagi padri kawannya itu menoleh, tanpa ayal lagi kaki Ti-jing bekerja pula ke punggung orang. Tendangan itu sangat cepat dan seharusnya tepat pula mengenai sasarannya. Tapi tempat mereka itu tepat menghadapi cermin perunggu yang besar itu hingga apa yang terjadi dapat dilihat yang bersangkutan dengan jelas. Segera padri pertama tadi berkelit sambil balas menghantam sekali. Ti-jing, apa kau sudah gila? bentaknya gusar. Tapi Ti-jing tidak memberi kesempatan pada lawannya, ia menyerang secara bertubi-tubi. Sampai jurus kedelapan, perut padri itu kena dihantamnya sekali, menyusul kena didepak sekali lagi. Kiau Hong bertambah heran menyaksikan itu. Cara Ti-jing menyerang itu adalah jurus silat yang ganas tanpa kenal ampun yang tidak layak digunakan terhadap sesama saudara perguruan sendiri.

Rupanya padri pertama tadi juga tahu gelagat tidak beres, segera ia berteriak-teriak, Ada mata-mata musuh, ada.... Tapi sebelum ia berseru lebih lanjut, dadanya sudah kena digenjot sekali lagi oleh Ti-jing, kontan padri itu jatuh pingsan. Setelah merobohkan kelima padri itu, cepat Ti-jing berlari ke depan cermin perunggu besar itu. Dengan jari telunjuk kanan segera ia pencet beberapa kali pada huruf sin, yaitu huruf pertama dari 20 huruf kata-kata Buddha yang terpancang di samping cermin itu. Dari bayangan cermin Kiau Hong dapat melihat wajah Ti-jing menampilkan rasa girang. Menyusul dilihatnya hwesio itu memijat lagi huruf ketujuh, yaitu huruf ju. Tadi hwesio itu mengatakan sin-ju-hud-tim apa segala, jika demikian, menyusul huruf yang akan dipijat Ti-jing tentu adalah hud dan tim, demikian Kiau Hong membatin. Dan memang benar, habis itu Ti-jing berturut-turut telah pencet huruf tersebut. Lalu terdengar suara keriang-keriut, perlahan cermin perunggu itu dapat membalik sendiri. Dalam saat begitu kalau Kiau Hong melarikan diri boleh dikatakan sangat mudah dan pasti takkan diketahui oleh siapa pun juga. Tapi karena ia tertarik oleh kejadian ini, ia ingin tahu apa sebenarnya maksud tujuan Ti-jing, mengapa hwesio itu merobohkan kawan sendiri dan barang apa pula yang terdapat di balik cermin itu. Bisa jadi apa yang akan dilihatnya ada sangkut pautnya dengan kematian Hian-koh Taysu. Begitulah karena suara teriakan si padri pertama tadi, maka dari jauh hwesio-hwesio yang sedang ronda segera ribut mencari dari mana tempat datangnya suara teriakan itu. Segera terdengar di sana-sini ramai dengan suara orang berlari. Jika hwesio yang ronda itu datang kemari, jangan-jangan jejakku akan ketahuan nanti? diam-diam Kiau Hong menjadi ragu. Tapi demi teringat kedatangan hwesio-hwesio itu nanti perhatiannya tentu akan terpusat pada Ti-jing seorang, kesempatan untuk dirinya lolos masih sangat besar, biarlah sementara ini aku tunggu dulu. Dalam pada itu ia lihat Ti-jing sedang sibuk sendirian, tangan hwesio itu lagi merogoh ke belakang cermin perunggu itu seperti sedang mencari sesuatu, tapi tiada sesuatu yang diperolehnya. Dan pada saat itulah suara tindakan orang banyak terdengar mendekati pintu Po-te-ih itu. Wajah Ti-jing tampak mengunjuk rasa kecewa, segera ia bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, ia mendak dan melongok ke balik cermin, menyusul terdengar ia berseru tertahan, Hah, ini dia! Habis itu, tangannya merogoh ke belakang cermin dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Cepat ia masukkan bungkusan itu ke dalam baju, lalu bermaksud melarikan diri. Namun sudah terlambat sedikit, para padri yang

ronda sudah berkerumun tiba, segala jalan keluar sudah ditutup. Ti-jing tampak bingung dan celingukan kian-kemari. Mendadak berlari ke pintu depan. Cara demikian ia keluar ke sana, tidak bisa tidak pasti dia akan tertangkap, demikian Kiau Hong membatin. Dan pada saat itu juga sekonyong-konyong terasa sambaran angin, ada orang menubruk ke tempat sembunyinya. Dengan ilmu Thing-hong-pian-gi atau mendengarkan angin membedakan benda, tanpa berpaling tangan kirinya terus menangkap hingga tepat urat nadi pergelangan penyergap itu kena dicengkeramnya. Menyusul tangan kanan menahan ke atas, tepat leng-tay-hiat di punggung orang itu kena disodok, tanpa ampun lagi orang itu kaku linu serta tak dapat berkutik. Setelah musuh tertangkap, barulah Kiau Hong hendak memeriksa wajah orang. Saat itu di ruangan situ cuma terpasang beberapa pelita minyak, sinarnya agak guram, namun begitu dengan sinar mata Kiau Hong yang tajam dapat dikenali tawanan itu tak-lain-tak-bukan adalah... Ti-jing. Untuk sejenak Kiau Hong melengak, tapi ia pun paham duduknya perkara, Ya, tahulah aku. Seperti aku, orang ini juga bermaksud bersembunyi ke belakang arca Buddha ini. Kebetulan ia pun menjatuhkan pilihan pada arca ketiga yang terbangun lebih besar dan gemuk ini. Tapi mengapa ia berlari ke pintu depan dulu, lalu masuk kembali dari pintu belakang secara diam-diam? Ehm, tentu ini adalah akalnya. Ia tahu di dalam ruangan masih menggeletak lima padri, sebentar kalau ada orang datang dan tanya mereka, tentu mereka akan mengatakan Ti-jing telah lari melalui pintu depan, dengan demikian ruangan Po-te-ih tentu takkan digeledah lagi. Ai, orang ini benar-benar licin dan banyak tipu akalnya. Sembari berpikir, Kiau Hong tetap pegang Ti-jing dengan kencang. Ia coba tempelkan mulutnya ke telinga padri itu dan membisikinya, Jika kau berani bersuara, sekali hantam tentu kumampuskan kau! Ti-jing tidak bersuara, ia hanya mengangguk saja. Dan pada saat itulah dari pintu depan telah menerobos masuk 7-8 orang hwesio. Tiga di antaranya membawa obor pula hingga seluruh ruangan pendopo itu menjadi terang benderang. Melihat ada lima orang kawanan mereka menggeletak di situ, seketika gemparlah kawanan hwesio itu, segera ada yang berteriak, Hai, kembali bangsat Kiau Hong itu mengganas lagi! Eh, kiranya Ti-kong, Ti-yan Suheng dan lain-lain! Wah, celaka! Kenapa cermin perunggu ini terjungkat? Kiau Hong telah mencuri kitab di dalam Po-te-ih ini! Hayo, lekas lapor kepada Hongtiang! Begitulah Kiau Hong mendengar suara ribut-ribut kawanan padri Siau-lim-si itu, ia hanya dapat tersenyum getir saja dan membatin, Kembali dosa ini dicatat atas utangku lagi. Sebentar kemudian, hwesio-hwesio yang berkerumun di Po-te-ih bertambah banyak. Kiau Hong merasa Ti-jing meronta-ronta beberapa kali, mungkin bermaksud melarikan diri. Segera ia paham maksud orang, Ya, saat ini para hwesio berkumpul di sini, penjagaan di luar tentu agak kendur, pula Ti-kong,

Ti-yan, dan lain-lain belum sadar, kesempatan ini memang sangat baik untuk melarikan diri bagi Ti-jing ini, biarpun dia berjalan terang-terangan di dalam ruangan ini juga tiada orang mencurigai dia, sebab setiap orang telah menyangka akulah pengganasnya. Segera pikirannya tergerak pula, Tampaknya Ti-jing ini juga tidak cukup cerdik, mengapa tadi ia bersembunyi ke sini? Kalau dia berjalan keluar ke sana, masakah ada orang akan menegurnya? Dalam pada itu suasana mendadak menjadi sepi, tiada seorang pun yang berani membuka suara. Kiranya Hian-cu Hongtiang dan hwesio-hwesio pimpinan dari berbagai ruangan telah datang semua. Lebih dulu Hian-cit Taysu, kepala ruang Liong-si-ih, membuka jalan darah Ti-kong berlima untuk menyadarkan mereka, lalu ditanya, Apakah kalian dirobohkan Kiau Hong? Dari mana dia mendapat tahu rahasia di dalam cermin perunggu ini? Bukan Kiau Hong, tapi adalah... adalah.... demikian sahut Ti-kong, dan belum lagi menyebut nama Ti-jing, sekonyong-konyong ia menubruk ke arah seorang padri di samping Hian-cu Hongtiang, ia jambret dada padri itu sambil mendamprat, Bagus, bagus! Mengapa kau mendadak membokong kami? Sebenarnya Kiau Hong ingin sekali mengintip siapakah gerangan yang dituduh Ti-kong itu, tapi ia pun khawatir kalau-kalau dipergoki hwesio-hwesio yang banyak berkumpul di situ, maka ia tidak berani sembarangan melongok ke luar. Maka terdengarlah seorang berseru dengan terkejut, Apa? Ti-kong Suheng, ada apa engkau menarik diriku? Engkau telah menendang roboh kami berlima dan mencuri kitab pusaka, sungguh besar sekali nyalimu! seru Ti-kong pula. Lapor Hongtiang, pengkhianat Ti-jing inilah yang menyerang kami dan membuka cermin rahasia itu serta mencuri kitab pusaka. Apa? Ap... apa? teriak yang didakwa itu dengan kaget. Sejak tadi aku selalu mendampingi Hongtiang, cara bagaimana aku dapat datang ke sini untuk mencuri kitab segala? Tutup dulu cermin perunggu itu, tentang kejadian tadi, coba ceritakan dengan jelas, sela Hian-cit tiba-tiba dengan kereng. Segera Ti-yan membenarkan cermin perunggu itu ke tempatnya semula. Dengan demikian, keadaan di ruangan itu kembali dapat dilihat oleh Kiau Hong melalui cermin itu. Ia lihat seorang hwesio sedang mencak-mencak dengan penasaran oleh karena tanpa berdosa telah dituduh menyerang kawan sendiri. Waktu Kiau Hong memerhatikan mukanya, ia menjadi terkejut. Kiranya hwesio itu tak-lain-tak-bukan memang Ti-jing adanya. Dalam herannya, dengan sendirinya Kiau Hong memandang juga kepada Ti-jing yang tertawan olehnya itu. Ia lihat air muka kedua orang itu memang mirip benar, kalau diperhatikan mungkin ada sedikit berlainan, tapi kalau dipandang sepintas lalu, tidak mungkin orang dapat membedakan mereka. Diam-diam Kiau Hong berpikir, Di dunia ini, sedikit sekali orang yang berwajah semirip begini satu sama lain. Ya, ya, tentu mereka adalah saudara

kembar. Tipu mereka ini sangat bagus, yang satu menjadi hwesio di Siau-lim-si, yang lain menunggu di luar, begitu ada kesempatan bagus, segera yang satu itu pun menyamar sebagai hwesio untuk mencuri kitab ke dalam biara. Sedangkan Ti-jing itu selalu berdampingan dengan Hongtiang, sudah tentu tiada orang yang berani mencurigai dia. Dalam pada itu terdengar Ti-kong sedang menguraikan apa yang terjadi tadi, ia ceritakan tentang bagaimana Ti-jing memancing rahasia cermin perunggu itu serta tanpa sadar dia telah mengatakan empat huruf kunci rahasia itu, lalu Ti-jing pura-pura hendak pergi ke kamar kecil dan mendadak membokong mereka dari belakang serta saling gebrak dengan dia, tapi akhirnya ia sendiri dirobohkan. Semuanya ia tuturkan dengan jelas. Pada waktu Ti-kong melaporkan apa yang terjadi itu, Ti-yan berempat juga tiada hentinya membenarkan apa yang dikatakan kawannya itu untuk memberi kesaksian bahwa cerita itu bukanlah karangan. Sebaliknya Hian-cu Hongtiang yang menerima laporan itu, wajahnya tampak mengunjuk rasa tidak membenarkan. Ia tunggu sehabis Ti-kong menutur, kemudian barulah ia menanya dengan perlahan, Apa yang kau ceritakan itu, apakah engkau sudah melihatnya dengan jelas? Benar-benar engkau yakin adalah perbuatan Ti-jing? Lapor Hongtiang, apa yang terjadi itu telah kami lihat dengan jelas, sahut Ti-kong dan Ti-yan beramai-ramai. Selamanya kami tiada dendam apa-apa dengan Ti-jing, mengapa kami mesti mengarang cerita yang tak benar untuk memfitnahnya? Ai, urusan ini tentu ada apa-apa yang tidak beres. Sebab selama dua jam ini, Ti-jing selalu berada di sampingku, sejengkal pun ia tidak pernah meninggalkan aku, ujar Hian-cu kemudian dengan menghela napas. Ucapan sang hongtiang ini benar-benar membikin semua padri yang hadir di situ tercengang, mereka saling pandang dengan bungkam. Begitu pula Ti-kong dan lain-lain juga tidak berani membuka suara lagi. Maklum, apa yang dikatakan sang ketua ini masakah mungkin omong kosong? Ya, memang aku pun menyaksikan sendiri selama itu Ti-jing selalu berada di samping Hongtiang Suheng, masakah ia dapat datang ke Po-te-ih sini untuk mencuri kitab? demikian kata Hian-lan, salah satu tokoh tertinggi dari anak murid Siau-lim-si angkatan Hian, yaitu setingkat dengan Hian-cu. Ti-kong, Hian-cit ikut bertanya, waktu Ti-jing itu bergebrak dengan kau, apakah di antara permainan silatnya itu ada sesuatu yang mencurigakan? Ai, memang benar! Mengapa aku melupakan hal itu? seru Ti-kong. Tadi waktu aku bergebrak dengan dia, terang sekali tipu-tipu serangan yang dia gunakan itu bukanlah ilmu silat dari golongan kita. Habis, ilmu silat dari golongan atau aliran mana? Dapatkah engkau melihatnya? Hian-cit menegas. Tapi Ti-kong tampak bingung, ia tidak mampu menjawab. Apakah dia menggunakan pukulan Tiang-kun? Atau kim-na-jiu? Te-tong-kun? Liok-hap-kun atau Theng-pi-kun? demikian Hian-cit menanya pula dengan serentetan nama ilmu silat dari golongan lain.

Tapi Ti-kong menggeleng, sahutnya, Bu.... bukan. Ilmu silatnya itu sangat keji, beberapa kali Tecu tanpa sadar kena serangannya. Maka Hian-cit, Hian-lan dan beberapa padri agung lainnya tidak tanya lebih jauh, mereka saling memberi isyarat mata dengan Hongtiang. Mereka tahu hari ini biara mereka telah kedatangan seorang musuh yang berkepandaian sangat tinggi dan telah mempermainkan mereka dengan akal-akal licik. Jalan satu-satunya sekarang adalah melakukan penggeledahan dan penggerebekan secara serentak di samping harus berlaku tenang, supaya suasana dalam biara tidak menjadi kacau. Kemudian berkatalah Hian-cu sambil merangkap tangan, Kitab yang tersimpan dalam Po-te-ih ini adalah buah tangan padri saleh angkatan tua biara kita, jika kitab-kitab itu diperoleh anak murid Buddha, kalau dapat membaca dan memperdalam ajaran dalam kitab itu, dengan sendirinya besar manfaatnya. Tapi kalau orang luar yang memperolehnya tanpa memberi penghargaan sebagaimana mestinya, itu berarti suatu dosa. Para Sute dan para Sutit, sekarang silakan kembali ke tempatnya masing-masing. Mendengar perintah sang ketua itu, para padri lantas bubar dan pergi. Hanya Ti-kong, Ti-yan dan lain-lain masih penasaran dan masih mengomeli Ti-jing. Tapi ketika Hian-cit mendelik, Ti-kong dan lain-lain terkejut, seketika mereka bungkam dan cepat pergi bersama Ti-jing. Sesudah padri lain pergi semua, kini di ruangan situ hanya tertinggal Hian-cu, Hian-lan dan Hian-cit bertiga. Ketiga saudara seperguruan itu duduk di atas tikar di depan arca Buddha. Mendadak Hian-cu berseru, Omitohud! Dosa, dosa! Begitu selesai ucapannya, sekonyong-konyong ketiga padri itu melompat ke atas, tahu-tahu mereka mengitar ke belakang arca Buddha dan berbareng menghantam ke arah Kiau Hong dari tiga jurusan yang berlainan. Sungguh Kiau Hong sana sekali tidak menduga bahwa jejaknya telah diketahui oleh ketiga padri itu. Lebih-lebih tidak menyangka bahwa ketiga padri yang tampaknya sudah tua dan reyot itu, tahu-tahu lantas menyerang, serangannya juga begitu cepat dan lihai. Dalam sekejap itu Kiau Hong merata napasnya sesak, dada tertekan tiga arus tenaga yang mahadahsyat. Nyata serangan berbareng ketiga hwesio Siau-lim-si itu bukan main hebatnya. Ia merasa tenaga serangan lawan sudah mengurungnya dari atas, bawah, belakang dan kanan-kiri, lima jurusan sudah tertutup oleh tenaga pukulan ketiga padri, kalau mesti melawannya, itu berarti harus keras lawan, kalau lawan tidak roboh, dirinya sendiri yang pasti celaka. Namun keadaan sudah tidak memungkinkan dia berpikir lagi, terpaksa ia hantamkan telapak tangan ke depan, prak, bruk, arca Buddha yang dipakai aling-aling tadi kena dihantam hingga roboh. Kiau Hong tidak berani ayal, sekalian ia jinjing tubuh Ti-jing terus melompat ke depan sana. Pada saat itu pula ia merasa punggung disambar oleh tenaga pukulan yang dahsyat, terang orang telah menyerangnya dengan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) yang merupakan kungfu khas Siau-lim-pay. Bila terkena pukulan itu, bukan mustahil badan akan hancur dan perut akan lebur. Tapi sedapat mungkin Kiau Hong tidak mau mengadu pukulan dengan padri

Siau-lim-si. Dalam keadaan melayang ke depan, cepat tangan terjulur untuk memegang cermin perunggu yang sangat besar itu. Begitu hebat tenaga sakti Kiau Hong, sekali pegang, kontan cermin perunggu itu kena diangkatnya, dan sekali ia putar, bagaikan perisai saja cermin perunggu itu dipakainya untuk menahan ke belakang. Maka terdengarlah brang yang sangat keras, pukulan dahsyat yang dilontarkan oleh Hian-lan tepat kena di atas cermin perunggu, begitu hebat tenaga hantaman itu hingga lengan Kiau Hong seakan-akan patah oleh getaran tenaga itu. Tapi dengan meminjam getaran tenaga pukulan Hian-lan itu, berbareng Kiau Hong dapat melompat beberapa meter lebih jauh ke depan. Tiba-tiba ia dengar di belakang ada suara orang menarik napas panjang. Suara pernapasan itu jauh berbeda daripada orang biasa. Dari pengalamannya yang luas serta pengetahuannya yang tinggi, segera Kiau Hong tahu pernapasan aneh itu dilakukan oleh seorang jago Siau-lim-pay yang sakti dan segera akan melancarkan serangan sebangsa Bik-khong-sin-kun (pukulan sakti dari jauh). Meski dirinya tidak gentar terhadap pukulan apa pun, tapi juga tiada berguna melawannya keras sama keras. Maka cepat ia menggunakan cermin perunggu sebagai tameng pula, sekaligus tenaganya ia pusatkan di tangan kanan itu. Dan pada saat yang sama itulah ia merasakan angin pukulan orang sudah menyambar tiba. Tapi aneh, arah yang dituju agak janggal. Kiau Hong terkesiap, tapi segera ia pun sadar apa yang terjadi. Pukulan padri itu bukan ditujukan ke punggungnya, tapi yang diincar adalah punggung Ti-jing yang dibawanya itu. Sebenarnya Kiau Hong tidak kenal Ti-jing, dengan sendirinya bukan tujuannya hendak menolong dia. Tapi sekali ia sudah jinjing orang, otomatis timbul rasa kewajibannya untuk melindunginya. Tanpa pikir lagi ia sorong cermin perunggu ke depan. Brak, suara cermin itu tidak nyaring lagi, tapi suaranya berubah parau, cermin itu dihantam hancur oleh padri tua itu. Tadi waktu ia putar cermin ke belakang untuk menahan serangan, berbareng Kiau Hong terus melompat ke atas rumah sambil menjinjing Ti-jing. Ia merasa tubuh Ti-jing itu sangat enteng, sama sekali tidak sepadan dengan perawakannya yang kekar dan tegap itu. Dan selagi dia merasa syukur dapat menyelamatkan diri, ketika terdengar suara cermin pecah, tahu-tahu berdirinya di atas emper rumah terasa kurang kuat, sekali kaki terasa lemas, kembali ia terbanting ke bawah. Keruan kejutnya bukan buatan. Sejak ia malang melintang di Kangouw, belum pernah ia ketemu lawan setangguh itu. Cepat ia melompat bangun dan berdiri tegak dengan siap siaga, dengan tenang ia menghadap ke punggung tiga lawan itu. Omitohud! demikian kata Hian-cu pula. Kiau-sicu, sesudah kau datang ke Siau-lim-si tanpa permisi dan membunuh orang, kembali kau rusak arca Buddha pula. Nah, rasakan dulu pukulanku ini. Sehabis mengucapkan kata-kata itu dengan kalem, lalu kedua tangannya terpentang dan memutar hingga berwujud sebuah lingkaran, kemudian didorongkan ke depan dengan perlahan. Belum lagi pukulan Hian-cu itu dilontarkan, lebih dulu Kiau Hong sudah merasa napas sesak, dalam sekejap saja tenaga pukulan Hian-cu sudah membanjir tiba bagai gelombang ombak

mendampar. Kiau Hong tidak berani ayal, cepat ia buang cermin perunggu yang sudah bobrok itu sedangkan tangan kanan balas menghantam dengan gerak tipu Hang-liong-yu-hwe, yaitu salah satu pukulan sakti Hang-liong-sip-pat-ciang, delapan belas jurus ilmu pukulan penakluk naga, ilmu pukulan mahasakti andalan Kay-pang. Maka terdengarlah suara mencicit benturan kedua arus tenaga yang tak kelihatan. Meski suara itu sangat lirih, tapi Hian-cu dan Kiau Hong sama-sama terentak mundur tiga tindak. Sesaat Kiau Hong merasa antero tubuh menjadi lemas seakan-akan tak bertenaga pula, terpaksa ia lepaskan Ti-jing dari pegangannya. Namun dasar lwekangnya memang sangat tinggi, sekali ia kerahkan tenaga murni pula, cepat sekali tenaga pulih kembali. Belum lagi pukulan kedua dari Hian-cu tiba, segera ia berseru, Maaf, aku tak dapat mengawani kalian lagi! Berbareng ia angkat Ti-jing dan melompat ke atas rumah. Sayup-sayup Kiau Hong masih mendengar suara heran Hian-lan dan Hian-cit oleh karena melihat ketangkasannya itu. Maklum, pukulan Hian-cu tadi telah menggunakan segenap tenaga dalam yang terpupuk selama hidupnya ini. Gerak serangan itu disebut It-bik-liang-san atau sekali tabok, dua kali buyar. Yang dimaksudkan buyar ialah, bila tubuh manusia terkena pukulan itu, seketika jiwa melayang dan badan hancur lebur. Ilmu pukulan itu memang melulu terdiri satu jurus itu saja, soalnya karena memakai tenaga dalam yang mahasakti, tatkala menyerang musuh hakikatnya tidak perlu digunakan untuk kedua kalinya, sebab sekali saja musuh pasti akan terbinasa. Siapa duga, sesudah Kiau Hong menerima pukulan It-bik-liang-san itu, bukan saja ia tidak mati, sebaliknya dalam waktu singkat sudah dapat memulihkan tenaganya serta melarikan diri pula sambil menggondol seorang lagi. Sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit terheran-heran sekali. Ilmu silat orang sekali-kali tidak di bawah kita, bila dia membikin rusuh di dunia Kangouw, sejak kini celakalah kaum bu-lim, demikian kata Hian-cu dengan gegetun. Makanya harus lekas dibasmi, supaya tidak menimbulkan bahaya di kemudian hari, ujar Hian-cit. Hian-lan mengangguk-angguk tanda setuju, tapi Hian-cu Hongtiang diam saja, ia hanya termangu-mangu memandang jauh ke arah perginya Kiau Hong tadi. Pada waktu lari tadi Kiau Hong masih sempat menoleh ke arah padri-padri itu, ia melihat cermin perunggu tadi sudah pecah berkeping-keping kena hantaman Hian-cit, dari setiap kepingan cermin itu tertampak bayangan belakangnya. Tanpa sebab hati Kiau Hong kembali tergetar. Ia tidak habis heran, Mengapa setiap kali aku melihat bayanganku sendiri selalu aku merasa tidak enak? Apa sebabnya? Tapi waktu itu ia terburu-buru berusaha meninggalkan Siau-lim-si, perasaan sangsi yang timbul itu segera lenyap terbawa oleh larinya yang cepat itu.

Jalan di lereng Siau-sit-san itu sangat hafal bagi Kiau Hong, boleh dikatakan mata tertutup juga takkan kesasar. Maka sesudah menyusur ke balik gunung itu, selalu ia pilih jalan yang terjal, yang sulit ditempuh. Sesudah beberapa li jauhnya, ia tidak mendengar suara kejaran hwesio Siau-lim-si lagi, legalah hatinya. Ia taruh Ti-jing ke tanah dan membentaknya, Boleh kau jalan sendiri! Tapi jangan coba melarikan diri! Tak terduga, begitu kaki Ti-jing menyentuh tanah, seketika badan lemas lunglai dan terkulai ke tanah seakan-akan cacing mati. Kiau Hong terkesiap. Ia coba periksa napasnya, ia merasa napas orang sangat lemas, seperti ada seperti hilang. Waktu pegang urat nadinya pula, denyutnya juga sangat lambat seolah-olah orang sudah dekat ajalnya. Pikir Kiau Hong, Banyak persoalan yang belum terjawab bagiku, aku justru hendak menanyai dia, mana boleh dia mati secara begini mudah? Sekali kau jatuh di tanganku, pasti tipu muslihatmu akan terbongkar. Tapi, ya, mungkin khawatir rahasianya ketahuan, maka dia lantas telan racun untuk membunuh diri. Ia coba meraba dada orang untuk memeriksa denyut jantungnya. Tapi Kiau Hong menjadi kaget ketika merasa tempat yang teraba tangannya itu lunak empuk, nyata itu bukan dada seorang laki-laki, hwesio itu ternyata seorang perempuan. Maka cepat Kiau Hong menarik kembali tangannya, ia semakin heran, Jadi dia... dia samaran seorang wanita? Segera ia keluarkan ketikan api untuk menerangi muka Ti-jing, ia lihat pada dagu hwesio itu penuh tutul-tutul hitam, yaitu akar jenggot, tenggorokan juga terdapat biji leher, terang itu tanda kelakian yang tak dapat dipalsukan. Hal ini benar-benar membuat Kiau Hong semakin bingung. Ia coba meraba kepala gundul orang, jelas halus kelimis, sedikit pun tidak palsu. Apakah dia banci? Demikian pikirnya. Kiau Hong adalah seorang yang berjiwa terbuka dan bebas, tidak pikirkan adat istiadat kolot segala, lain daripada Toan Ki yang masih kukuh kepada tata krama yang kolot. Muka segera ia seret Ti-jing serta membentaknya lagi, Sebenarnya kau laki-laki atau perempuan? Lekas mengaku sebelum aku membelejeti bajumu untuk diperiksa! Bibir Ti-jing tampak bergerak-gerak seperti ingin bicara, tapi tiada sesuatu suara yang keluar, nyata jiwanya sudah tergantung di ujung rambut saja, keadaannya sudah sangat payah. Kiau Hong pikir tidak peduli orang ini laki-laki atau perempuan, yang pasti tidak boleh dia mati begitu saja. Maka cepat ia gunakan tangan kanan untuk menahan punggung Ti-jing. Ia kerahkan tenaga dalamnya, melalui tangannya ia salurkan hawa murni ke dalam tubuh Ti-jing. Sebab apakah mendadak keadaan Ti-jing menjadi begitu payah? Kiranya tadi waktu Kiau Hong mengadu pukulan dengan Hian-cu, tenaga pukulan It-bik-liang-san dari Hian-cu itu sungguh tidak kepalang hebatnya, tatkala

itu sebelah tangan Kiau Hong mengangkat Ti-jing sehingga getaran tenaga pukulan lawan menembus ke badan Ti-jing dan melukainya. Begitulah Kiau Hong telah salurkan hawa murninya ke dalam tubuh Ti-jing, semula ia berharap untuk sementara dapat mempertahankannya. Di luar dugaan tenaga dalamnya yang mahahebat itu justru tepat merupakan obat mujarab bagi luka Ti-jing itu. Berangsur-angsur hawa murninya mengalir masuk ke tubuhnya, keadaan Ti-jing menjadi berubah, bagaikan pelita minyak diberi tambah minyak, denyut nadinya mulai kuat dan ucapannya mulai lancar. Melihat jiwa orang tidak berbahaya lagi, Kiau Hong merasa lega. Ia pikir tidak boleh tinggal lama di tempat yang berdekatan dengan Siau-lim-si ini. Segera ia pondong Ti-jing dengan kedua tangannya, dengan langkah lebar berjalan menuju ke barat laut. Tapi segera ia rasakan sesuatu kejanggalan lagi, terasa bobot badan Ti-jing itu sangat enteng tidak seimbang dengan perawakannya yang kekar. Ia pikir, Untuk membuka bajumu memang kurang sopan, tapi kalau membuka sepatu dan kaus kakimu masakan tidak boleh? Segera ia copot sepatu padri orang sebelah kanan, lalu meremas telapak kakinya, terasa apa yang tergenggam di tangannya itu sangat keras, terang bukan anggota badan manusia hidup. Ia coba menarik sedikit keras, di luar dugaan, sepotong benda kena dibetotnya. Waktu ia perhatikan kiranya sebuah kaki palsu buatan dari kayu. Ketika raba kaki Ti-jing pula, baru sekarang ia merasakan itulah kaki manusia yang sungguh-sungguh, kaki itu halus lemas dan kecil mungil. Hm, memang benar seorang perempuan, jengek Kiau Hong diam-diam. Segera ia keluarkan ginkangnya yang tinggi, ia berlari dengan cepat. Satu jam kemudian, ia taksir sudah lebih 50 li meninggalkan Siau-lim-si, ufuk timur pun mulai terang, fajar sudah menyingsing. Dengan membawa Ti-jing sampailah Kiau Hong di suatu hutan kecil, ia melihat sebuah sungai kecil dengan air gunungnya yang jernih. Ia mendekati sungai itu dan meraup sedikit air untuk menyiram muka Ti-jing, lalu menggunakan lengan baju orang untuk mengusap mukanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu perubahan aneh. Kulit daging pada muka Ti-jing itu mulai rontok sekeping demi sekeping. Keruan Kiau Hong kaget mengapa kulit daging orang bisa membusuk sedemikian rupa? Tapi demi diperhatikan pula, ia lihat di bawah kulit muka yang busuk itu tertampaklah kulit daging lapisan bawah yang putih halus bagai kaca. Waktu dibawa lari oleh Kiau Hong tadi, sebenarnya Ti-jing dalam keadaan tak sadar. Tapi kini karena mukanya disiram air, segera ia siuman, ketika membuka mata dan melihat Kiau Hong, ia bersenyum dan menyapa dengan perlahan, Kiau-pangcu! Saking lemahnya, sesudah bersuara, kembali ia pejamkan mata pula. Melihat muka orang masih belang-bonteng dan lekak-lekuk belum bersih hingga tidak jelas bagaimana wajah aslinya, segera Kiau Hong mencelup lengan baju Ti-jing ke dalam air sungai, lalu dipakai mengusap muka orang dengan agak

keras. Maka tertampaklah bubuk tepung rontok berhamburan hingga berwujudlah sebuah wajah anak dara yang jelita. Hai, engkau Nona A Cu! seru Kiau Hong tercengang. Kiranya yang menyaru sebagai Ti-jing dan menyelundup ke Siau-lim-si itu bukan lain daripada A Cu, si dayang pribadi Buyung Hok. Dasar ilmu menyamar A Cu memang sangat pandai, ia gunakan kaki palsu pula untuk meninggikan perawakannya, memakai kapas untuk menambah kemontokan perutnya, mukanya ditambal dengan adukan tepung terigu dan telur, begitu mirip samarannya hingga siapa pun tidak mengenalnya lagi. Dalam keadaan sadar-tak-sadar A Cu mendengar seruan Kiau Hong yang menyebut namanya sebenarnya ia ingin menyahut, pula ingin memberi penjelasan mengapa dia menyelundup ke Siau-lim-si. Namun sayang tenaganya sangat lemah, sampai mulut pun tak menurut perintah lagi, sepatah kata pun tak sanggup bicara. Dalam gugupnya ia jatuh pingsan lagi. Pada waktu membawa lari Ti-jing tadi, sebenarnya Kiau Hong anggap orang pasti manusia yang mahakeji dan licik, tentu besar sangkut pautnya dengan terbunuhnya ayah-bunda dan Suhu, maka dengan mati-matian ia berusaha menyelamatkan jiwa hwesio itu dengan harapan dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, bahkan ia sudah ambil keputusan, bila hwesio ini tidak mau mengaku, ia tidak segan-segan memberi siksaan yang setimpal untuk mengorek pengakuannya. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar mimpi pun tak tersangka olehnya. Tawanannya itu bukan lagi Ti-jing melainkan si nona A Cu yang kecil mungil dan cantik manis itu. Biarpun Kiau Hong sudah beberapa kali bertemu dengan A Cu dan A Pik, tapi ia tidak tahu bahwa A Cu pandai menyamar dan A Pik mahir seni suara. Coba kalau Toan Ki, tentu sudah dapat menerkanya sejak tadi. Ia lihat A Cu dalam keadaan pingsan pula, cepat ia menyalurkan tenaga murninya untuk merawat lukanya lagi. Kini ia sudah tahu gadis itu bukan keracunan, tapi disebabkan terluka tenaga pukulan. Sedikit pikir saja Kiau Hong lantas tahu duduknya perkara. Diam-diam ia menyesal, Sebabnya dia terluka oleh tenaga pukulan Hian-cu itu adalah disebabkan dia terpegang di tanganku. Coba, bila aku tidak ikut campur urusannya dan membiarkan dia pergi-datang sesukanya, tentu sejak tadi ia lolos dan tidak nanti terluka separah ini. Oleh karena dalam hati Kiau Hong sudah sangat menghargai Buyung Hok, otomatis terhadap dayangnya juga timbul rasa sayangnya. Karena gadis itu terluka akibat dirinya, maka ia ambil keputusan harus menyembuhkannya. Segera katanya pula, Nona A Cu, terpaksa harus kupondongmu ke kota untuk mencari tabib, harap engkau jangan marah. Habis berkata, kembali ia pondong anak dara itu dan berjalan cepat ke utara. Tidak lama kemudian hari sudah terang benderang, agar tidak menimbulkan curiga orang, ia gunakan lengan baju si A Cu untuk menutupi muka gadis itu. Setelah belasan li lagi, akhirnya tibalah mereka di suatu kota cukup besar

dan ramai. Waktu Kiau Hong tanya orang di pinggir jalan, diketahui kota itu bernama Kho-keh-cip, suatu kota makmur dengan macam-macam hasil palawijanya. Ia mendapatkan sebuah hotel terbesar di kota itu, ia minta dua kamar kelas satu dan merebahkan A Cu di atas ranjang. Pelayan hotel agak curiga juga melihat keadaan Kiau Hong dan A Cu yang tidak mirip suami-istri dan tidak memper kakak-beradik pula. Tapi karena melihat sikap Kiau Hong yang gagah berwibawa, pelayan itu tidak berani bertanya. Kiau Hong lantas dihadapkan pada kesulitan pula karena tidak membawa sangu, ia berkerut kening dengan sedih. Di... di dalam bajuku ada sebuah... sebuah bandul kalung emas.... demikian A Cu berkata dengan suara lemah. Baiklah, boleh kau keluarkan, nanti kujual, ujar Kiau Hong. A Cu ingin menurut, tapi ia terlalu lemah untuk bisa bergerak. Terpaksa Kiau Hong tidak pikirkan adat istiadat lagi, segera ia keluarkan benda yang dimaksudkan itu. Ia lihat mainan kalung itu terbuat sangat indah, sebuah bandul kalung dengan untiran emas yang halus. Di atas mainan itu terdapat pula ukiran tulisan yang berbunyi: Anak Si genap 10 tahun, semakin besar semakin nakal. Kiau Hong tersenyum, ia pikir mainan itu tentu pemberian orang tua si A Cu ketika anak dara itu berulang tahun kesepuluh, kalau mesti dijual sesungguhnya terlalu sayang. Maka ia taruh mainan kalung itu ke bawah bantal A Cu, hanya rantai emas itu saja yang dibawanya pergi untuk dijual. Ia mendapatkan 18 tahil perak, lalu mengundang seorang tabib untuk memeriksa luka A Cu. Sesudah tabib itu memegang nadi A Cu, dia menggeleng kepala tiada hentinya. Setelah berpikir sejenak, membuka resep obat pun tidak tabib itu lantas berbangkit sambil berkata, Sayang, sayang! Maaf, maaf! Lalu permisi dan angkat kaki tanpa minta honorarium lagi. Kiranya tabib itu merasa denyut nadi A Cu sangat lemah dan menaksir sekejap lagi pasti akan putus nyawanya. Ia khawatir kalau tidak lekas tinggal pergi mungkin akan tersangkut dalam utusan jiwa itu. Sudah tentu Kiau Hong ikut khawatir, kembali ia mengundang seorang tabib lain. Sekali ini si tabib berani membuka resep dan menyatakan penyakit si nona susah disembuhkan lagi, resep obat itu hanya sekadar sebagai suatu kewajiban saja. Kiau Hong melihat resep obat yang dibuka itu berisi obat sebangsa kamcho (kayu manis), menthol, jeruk purut, dan sebagainya. Ramuan obat ini dipakai untuk menyembuhkan sakit perut saja belum tentu manjur. Dalam dongkolnya Kiau Hong tidak beli obat itu, segera ia kerahkan tenaga murni sendiri dan disalurkan ke tubuh A Cu. Hanya sebentar saja air muka A Cu yang pucat telah berubah merah bercahaya. Kiau-pangcu, dapatlah gadis itu membuka suara, syukurlah engkau telah menyelamatkan aku. Jika tertangkap oleh tawanan keledai gundul itu, tentu melayang jiwaku.

Mendengar suara orang penuh tenaga, Kiau Hong sangat girang, sahutnya, Nona A Cu, sungguh aku sangat khawatir penyakitmu ini tak dapat disembuhkan, tapi kini engkau sudah baik. Jangan panggil aku nona apa segala, langsung panggil namaku saja, ujar A Cu. Kiau-pangcu, untuk apakah engkau datang ke Siau-lim-si sana? Sudah lama aku bukan pangcu lagi, selanjutnya jangan kau panggil aku sebagai pangcu, kata Kiau Hong. Ah, maaf, untuk selanjutnya akan kupanggil Kiau-toaya saja, ujar A Cu. Sekarang aku ingin tanya lebih dulu, kata Kiau Hong pula. Apa maksud tujuanmu datang ke Siau-lim-si? Ai, kalau kukatakan, janganlah aku ditertawai, ujar A Cu. Oleh karena kudengar Kongcu kami telah pergi ke Siau-lim-si, maka aku ingin mencarinya untuk menceritakan urusan nona Ong. Siapa duga waktu aku permisi hendak masuk ke biara itu, hwesio penjaganya dengan bengis melarang aku masuk, alasannya karena aku adalah kaum wanita. Aku berdebat padanya, tapi malah didamprat olehnya. Aku justru hendak masuk ke sana, ingin kulihat apakah dia mampu melarang aku. Pantas, Si-ji genap 10 tahun, makin besar makin nakal. kata Kiau Hong dengan tersenyum. Siapakah yang mengukir kalimat itu di atas bandul mainan kalungmu? Ayahku, sahut A Cu. Menyebut ayahnya, air muka si gadis tampak berduka. Kiau Hong taksir mungkin ayahnya sudah meninggal dunia, maka ia pun tidak tanya lebih jauh, tapi katanya pula, Sesudah menyelundup ke Siau-lim-si, padri-padri di situ tentu saja sangat gusar, tapi tak bisa berbuat apa-apa padamu, terutama bila engkau lantas perlihatkan dirimu yang sebenarnya, tentu mereka akan runyam. Ya, memang, sahut A Cu sambil tertawa dan bangun berduduk. Sesudah kesehatanku pulih, aku akan menyamar sebagai laki-laki untuk masuk ke biara itu, lalu keluar pula dengan dandanan sebagai wanita, biar hwesio-hwesio itu meledak perutnya saking gusar. Hahaha, sungguh permainan yang menyenangkan, haha.... Mendadak suara tertawanya putus, badan lantas terkulai di atas ranjang dengan lemas dan tak bergerak lagi. Kiau Hong terkejut, ia coba periksa napas si gadis, ia merasa pernapasannya seperti sudah terhenti sama sekali. Dalam khawatirnya cepat Kiau Hong tempelkan telapak tangannya ke leng-tay-hiat di punggung A Cu, ia salurkan hawa murni sendiri ke dalam badan si gadis. Tidak lama kemudian, perlahan dapatlah A Cu mengangkat tubuhnya, katanya dengan penuh menyesal, Ai, tadi kita sedang bicara, mengapa aku lantas tertidur? Maafkan, Kiau-toaya. Kiau Hong tahu keadaan gadis itu agak payah, jawabnya, Badanmu masih kurang kuat, silakan tidur saja untuk memulihkan semangat. Aku tidak letih, sebaliknya telah bikin susah Kiau-toaya semalaman, engkau

yang perlu mengaso sebentar, sahut A Cu. Baiklah, sebentar lagi akan kujenguk kau lagi, kata Kiau Hong. Lalu ia keluar ke ruangan makan, ia pesan lima kati arak dan dua kati daging masak, ia makan dan minum sendiri. Sebenarnya dalam hal minum arak Kiau Hong boleh dikata tanpa takaran dan tiada bandingan, tapi kini dalam keadaan masygul, habis lima kati arak itu, ia merasa agak sedikit pening kepala. Ia beli pula dua biji bakpao dan dibawa ke kamar untuk A Cu. Ia menjadi kaget ketika A Cu dipanggil-panggil tidak menyahut. Waktu ia periksa, ia lihat gadis itu merebah dengan mata terpejam, muka pucat dan pipi melekuk sebagai mayat. Ketika ia meraba jidatnya, syukurlah masih terasa hangat. Cepat ia menolongnya dengan hawa murni sendiri dan perlahan barulah A Cu sadar. Dengan gembira ria kemudian gadis itu makan kedua biji bakpao. Dengan demikian maka tahulah Kiau Hong bahwa saat itu A Cu hanya bisa hidup jikalau ada saluran tenaga murninya sebagai penyambung nyawa, tapi bila tanpa saluran hawa murni itu, tiada sejam kemudian tentu gadis itu akan mati lemas. Ia menjadi sedih tanpa berdaya. Melihat Kiau Hong termenung-menung dengan air muka sedih, sebagai seorang gadis cerdik, segera A Cu dapat menduga sebab musababnya. Segera ia tanya, Kiau-toaya, lukaku sangat parah dan tabib bilang susah disembuhkan, bukan? O, ti... tidak! Tidak apa-apa, mengasolah beberapa hari lagi tentu engkau akan sembuh kembali, sahut Kiau Hong. Asal kau mengaso dengan tenang, tentu aku dapat menyembuhkan penyakitmu. Dari nada perkataan orang, A Cu tahu luka sendiri sesungguhnya sangat parah, mau tak mau ia menjadi khawatir, dan sekali tangan gemetar, setengah potong bakpao yang belum habis termakan itu lantas jatuh ke lantai. Menyangka tenaga si gadis kembali lemas, segera Kiau Hong mengulur tangan untuk menahan leng-tay-hiat lagi di punggung A Cu. Tapi sekali ini pikiran A Cu masih jernih, maka dapat dirasakannya satu arus hawa hangat telah menyalur dari tangan Kiau Hong ke dalam tubuh sendiri dan rasa badannya menjadi enak dan segar. Setelah memikir sejenak, segera A Cu mengerti keadaan sendiri sebenarnya sangat berbahaya, tapi berkat hawa murni yang dikorbankan oleh Kiau Hong itulah jiwanya dapat direnggut dari tangan elmaut. Sungguh terima kasihnya tak terhingga dan berkhawatir pula. Meski A Cu adalah seorang gadis cerdik, tapi apa pun juga ia masih terlalu muda, tiba-tiba air matanya berlinang-linang, katanya, Kiau-toaya, aku tidak mau mati, jangan engkau meninggalkan aku di sini tanpa urus lagi. Mendengar ucapan yang harus dikasihani itu, segera Kiau Hong menghiburnya, Tidak, pasti tidak, aku Kiau Hong tidak nanti meninggalkan seorang kawan yang tertimpa malang tanpa menolongnya! Aku akan mati tidak, Kiau-toaya? tanya A Cu dengan berduka. Engkau adalah kesatria terpuja di bu-lim, orang menyatakan Pak Kiau Hong dan Lam Buyung, jadi engkau mempunyai nama besar sejajar dengan kongcu kami, tentu selama hidupmu tidak pernah omong kosong, bukan? Engkau mengatakan lukaku tidak berat, engkau tidak mendustai aku, bukan? Demi kebaikan gadis itu, terpaksa Kiau Hong menjawab, Aku tidak mendustai

kau. Dahulu waktu masih kanak-kanak aku suka bohong, tapi sesudah besar dan berkelana di Kangouw, aku tidak pernah mendustai orang lagi. Jika begitu, dapatlah aku merasa lega, kata A Cu. Kiau-toaya, aku ingin memohon sesuatu padamu. Tentang apa? tanya Kiau Hong. Malam ini harap kau sudi mendampingi aku di sini, janganlah meninggalkan aku, pinta si gadis. Ia menduga bila ditinggal pergi Kiau Hong, mungkin jiwanya takkan tahan sampai besok pagi. Tentu saja, sahut Kiau Hong dengan tertawa. Biarpun kau tak omong juga aku akan mengawani kau di sini. Sudahlah, jangan bicara lagi, tidurlah yang tenang. A Cu lantas pejamkan mata, tapi selang sejenak, kembali ia membuka mata dan berkata, Kiau-toaya, aku tak bisa tidur. Aku ingin mohon sesuatu padamu, bolehkah? Boleh saja, tentang apa? Dahulu waktu aku masih kecil, selalu ibuku meninabobokan aku di tepi ranjang. Asal beliau menyanyi dua-tiga lagu, aku lantas terpulas. Dan berada di sini, ke mana dapat mencari ibumu? Susah tentunya. Ibuku sudah lama meninggal dunia, kata A Cu. Kiau-toaya, sudilah engkau menyanyikan beberapa lagu untukku? Keruan Kiau Hong serbarunyam, laki-laki setua dia masakah disuruh menyanyi apa segala, kan lucu? Maka jawabnya, Aku tidak pintar menyanyi. Ya, apa boleh buat, engkau tidak sudi menyanyi, kata si gadis. Bukan aku tidak sudi menyanyi, sesungguhnya aku tidak bisa, sahut Kiau Hong. Eh, ya, ada sesuatu lagi, sekali ini hendaklah engkau jangan menolak lagi, tiba-tiba A Cu berseru girang. Diam-diam Kiau Hong merasa kewalahan terhadap dara cilik yang kekanak-kanakan dan serbaaneh pikirannya ini, entah permintaan apa lagi yang hendak dikemukakan anak dara itu. Terpaksa ia menjawab, Cobalah katakan, asal bisa tentu akan kulakukan. Bisa, pasti engkau bisa, ujar A Cu tertawa. Begini, boleh engkau mendongeng, baik dongengan tentang si kelinci maupun cerita tentang si kucing. Setelah mendengar dongengan itu tentu aku akan dapat tidur. Sungguh Kiau Hong serbasusah. Belum lama berselang ia adalah seorang tokoh Kangouw terkemuka, seorang pangcu yang terpuja, tapi dalam waktu singkat saja kedudukannya sudah hilang dan dipecat dari keanggotaan Kay-pang, bahkan tiga orang yang dicintainya di dalam dunia ini, yaitu kedua orang tua dan seorang gurunya telah tewas semua dalam waktu sehari saja, malahan mengenai asal usul sendiri sebenarnya keturunan bangsa asing atau bangsa Han asli juga belum diketahui, sebaliknya malah menanggung dosa pendurhakaan kepada orang tua

sebagaimana orang mendakwanya. Belum lagi pukulan-pukulan batin itu terhibur, kini ia mesti mendampingi seorang nona kecil yang merengek-rengek minta dia menyanyi dan mendongeng apa segala. Sebagai seorang kesatria, seorang pahlawan sejati, sudah tentu hal-hal tetek bengek itu tidak menarik baginya. Tapi sekilas dilihatnya sorot mata A Cu itu memancarkan sinar yang memohon dengan sangat, air mukanya tampak pucat dan lesu pula, ia menjadi tidak tega, akhirnya ia berkata, Baiklah, aku akan mendongeng suatu cerita padamu, tapi entah menarik tidak bagimu? Tentu sangat menarik, silakan mulai, lekas, seru A Cu kegirangan. Walaupun sudah menyanggupi, tapi dasar Kiau Hong memang bukan seorang pendongeng, dengan sendirinya susah baginya untuk mulai. Setelah pikir sebentar, kemudian katanya, Baiklah, aku akan bercerita tentang seekor serigala. Dahulu ada seorang kakek, waktu dia mencari kayu di gunung, tiba-tiba dilihatnya seekor serigala terjebak di dalam perangkap pemburu. Serigala itu mohon dengan sangat agar si kakek suka menolongnya. Maka kakak itu lantas berdaya upaya mengeluarkan serigala itu dari perangkap. Tapi.... Tapi sesudah serigala ditolong si kakek, serigala itu berbalik hendak menerkam si kakek, bukan? sela A Cu. Ai, cerita ini ternyata sudah pernah kau dengar, ujar Kiau Hong. Ya, itulah cerita tentang serigala gunung yang pernah kubaca, kata A Cu. Aku tidak suka dongengan dalam buku, tapi aku minta engkau bercerita tentang kisah nyata di kampung. Kisah nyata di kampung? Kiau Hong bergumam sendiri. Dan setelah berpikir, katanya kemudian, Baiklah, aku akan bercerita tentang pengalaman satu anak desa. Lalu ia pun mulai, Dahulu di suatu pegunungan tinggal satu keluarga miskin. Kecuali ayah, ibu dan anak itu, mereka tiada anggota keluarga lain lagi. Ketika anak itu berumur tujuh tahun, perawakannya sudah sangat besar dan dapat membantu sang ayah mencari kayu di pegunungan. Suatu hari, ayah jatuh sakit, karena keluarga mereka terlalu miskin, mereka tidak mampu mengundang tabib dan membeli obat. Namun penyakit ayah makin hari makin berat, terpaksa ibu membawa kekayaan yang ada, yaitu berupa empat ekor ayam dan satu bakul telur ayam untuk dijual di kota. Dengan uang penjualan ayam dan telur sebanyak delapan gobang itu ibu pergi mengundang tabib. Tapi tabib menolak, katanya jalan pegunungan terlalu jauh dan susah ditempuh, meski ibu memohon dengan sangat, tetap tabib itu menolak. Ibu menyembah dan memohon dengan menangis, tetap tabib itu tidak mau, bahkan menghina, katanya kaum miskin berbau apak. Waktu ibu memohon lagi sambil menarik ujung baju tabib itu hingga robek. Dalam gusarnya tabib itu dorong ibu hingga terjungkal, bahkan mendepaknya pula serta minta ganti kerugian, katanya baju itu baru saja dibuatnya, harganya tiga tahil perak. Tabib itu benar-benar keterlaluan, kata A Cu perlahan. Kiau Hong diam sejenak, ia lihat cuaca di luar sudah remang-remang, lalu sambungnya, Waktu itu si anak juga berada di samping ibunya, melihat sang

ibu dianiaya orang segera ia menerjang maju untuk menggeluti si tabib. Tapi ia cuma seorang anak kecil, dengan mudah saja tabib itu mengangkatnya dan melemparkannya keluar pintu. Oleh karena khawatir akan terjadi apa-apa atas diri anaknya, sang ibu berlari keluar pintu untuk memeriksa keadaan bocah itu. Dan kesempatan itu lantas digunakan oleh si tabib untuk menutup pintu. Jidat bocah itu terluka lecet dan mengeluarkan darah. Sebagai kaum wanita yang lemah, sang ibu tidak berani bikin ribut lagi pada si tabib, segera ia membawa anaknya pulang ke rumah sambil menangis. Waktu lewat sebuah toko besi, si bocah melihat di dasaran toko itu tertaruh banyak pisau jagal yang lancip lagi tajam. Penjualnya sedang sibuk melayani pembeli di dalam toko, kesempatan itu digunakan oleh si bocah untuk mencuri sebuah pisau jagal itu. Ibunya tidak tahu perbuatan anaknya itu. Setiba di rumah, ibu tidak berani menceritakan pengalamannya kepada ayah, sebab khawatir ayah akan gusar dan sedih hingga menambah berat penyakitnya. Waktu ibu hendak mengeluarkan uang hasil penjualan ayam dan telurnya itu, ia menjadi kaget ketika merasa uang itu sudah hilang. Dengan terkejut dan heran ibu keluar untuk tanya si anak, ia lihat bocah itu sedang mengasah sebilah pisau baru pada batu asah, segera ibunya tanya dari mana mendapatkan pisau lancip itu. Si anak tidak berani bilang mencuri, maka membohong pemberian orang. Dengan sendirinya ibunya tidak percaya, pisau jagal itu di pasar sedikitnya berharga empat-lima gobang, mana mungkin ada orang sembarangan memberi pisau mahal pada seorang bocah? Waktu ditanya siapa yang memberi, sudah tentu si anak tak dapat menjelaskan. Maka berkatalah ibunya dengan menghela napas, Nak, ayah dan ibu sangat miskin, biasanya tidak dapat membelikan mainan apa pun untukmu, jika sekarang kau ingin mainan pisau, sebagai anak laki-laki dengan sendirinya boleh saja. Cuma uang kelebihan itu hendaklah kau kembalikan pada ibu, ayah sedang sakit, biarlah kita membeli satu-dua tahil daging untuk dibuatkan kaldu bagi ayahmu! Anak itu merasa bingung, dengan mata terbelalak ia menjawab, Uang kelebihan apa maksud ibu? Yaitu kedelapan gobang hasil penjualan telur dan ayam itu, telah kau gunakan membeli pisau itu, bukan? Bocah itu menjadi gugup dan menyangkal, Tidak, aku tidak ambil uang itu, aku tidak ambil uang itu! Kedua orang tua itu selamanya tidak pernah menghajar anaknya, biarpun bocah itu baru berusia beberapa tahun, tapi mereka pandang si anak seperti tamu di rumahnya.... Bercerita sampai di sini, diam-diam Kiau Hong sendiri merasa heran mengapa kedua orang tua itu sedemikian baik dan ramah tamahnya kepada si anak, tidak lazim ayah-ibu begitu menghargai anaknya biar bagaimanapun kasih sayangnya. Karena pikiran itu, tanpa terasa ia bergumam sendiri, Ya, aneh, mengapa bisa begitu? Aneh tentang apa? tanya A Cu tiba-tiba. Habis mengucapkan kalimat itu, napas anak dara itu sudah sangat lemah. Kiau Hong tahu tenaga murni dalam tubuh si gadis telah habis lagi, cepat ia tempelkan tangannya lagi ke punggung A Cu dan menyalurkan tenaga murni. Lambat laun semangat A Cu pulih kembali, katanya dengan gegetun, Ai, Kiau-toaya, setiap kali kau salurkan tenagamu kepadaku, setiap kali tenagamu sendiri lantas berkurang, padahal tenaga murni bagi seorang tokoh persilatan

adalah mahapenting. Engkau sedemikian baik kepadaku, sungguh entah cara bagaimana aku... aku harus membalasmu? Untuk mana cukup aku bersemadi satu-dua jam saja tentu tenaga murniku akan pulih, masakah berkata tentang belas budi segala? sahut Kiau Hong tertawa. Biarpun aku tidak kenal majikanmu Buyung-kongcu tapi dalam hatiku dia sudah kuanggap sebagai sahabat. Kau adalah orangnya, mengapa sungkan padaku? Tapi setiap sejam-dua jam tenagaku lantas habis, masakah engkau harus membantuku dengan cara demikian? ujar A Cu dengan muram. Kau jangan khawatir, kita pasti akan mendapatkan seorang tabib pandai untuk menyembuhkanmu, hibur Kiau Hong. Hihi, mungkin tabib itu juga akan menolak karena aku adalah kaum miskin yang berbau apak, ucap A Cu dengan tersenyum. Eh, Kiau-toaya, ceritamu tadi belum lagi habis, tadi engkau bilang aneh tentang apa? O, tiada apa-apa, aku melantur tak keruan, sahut Kiau Hong. Lalu ia menyambung ceritanya, Melihat anaknya tidak mengaku, maka sang ibu juga tidak mendesak lebih jauh dan tinggal masuk ke rumah. Selang tak lama, selesai mengasah pisaunya, anak itu pun masuk ke rumah, sayup-sayup ia mendengar ayah dan ibunya sedang mempercakapkan dia mencuri uang untuk membeli pisau, tapi tidak mau mengaku. Namun sang ayah menyatakan kerelaannya agar bocah itu jangan ditegur lagi karena selama ini kepada anak itu tidak pernah diberi mainan apa-apa. Dan ketika melihat anak itu masuk ke rumah, percakapan kedua orang tua itu lantas berhenti, malahan dengan ramah ayahnya berkata kepada si anak sambil meraba jidatnya yang terluka itu, Anak yang baik, selanjutnya jangan berlari-lari, ya, supaya tidak jatuh lagi! Ternyata orang tua itu sama sekali tidak menyinggung tentang kehilangan uang dan tentang pembelian pisau itu. Bahkan nada suaranya sama sekali tidak mengunjuk rasa kurang senang sedikit pun. Meski umur bocah itu baru tujuh tahun, tapi ia sudah pintar, diam-diam ia pikir, Aku dicurigai ibu mencuri uang untuk membeli pisau, bila mereka menghajar aku atau mendamprat habis-habisan, betapa pun aku rela. Tapi mereka justru sedemikian baik padaku, sedikit pun tidak mengusut lebih jauh. Namun disebabkan hatinya tidak tenteram, segera ia berkata kepada sang ayah, Ayah, aku tidak mencuri uang, pisau ini pun bukannya kubeli. Segera ayahnya menyela, Sudahlah, sudahlah! Ibumu memang suka geger, cuma kehilangan sedikit uang, kenapa mesti diributkan? Dasar orang perempuan suka urus tetek bengek. Anak baik, jidatmu masih sakit tidak? Terpaksa bocah itu menjawab, Tidak sakit, tidak apa-apa! Sebenarnya ia ingin membela diri dari sangkaan jelek itu, tapi terpaksa tidak jadi. Dengan kesal bocah itu lantas pergi tidur tanpa makan malam lagi. Namun bocah itu tergulang-guling di atas pembaringan tanpa bisa pulas. Ia dengar pula suara keluh-kesah dan tangisan perlahan sang ibu, mungkin sedih karena penyakit sang suami dan penasaran oleh hinaan dan penganiayaan siang hari itu.

Perasaan anak itu bergolak, diam-diam ia bangun, ia merayap keluar melalui jendela, malam itu juga ia masuk ke kota lagi dan mendatangi rumah tabib itu. Tapi gedung kediaman tabib itu tertutup rapat, betapa pun bocah itu tidak mampu masuk ke sana. Namun ia tidak kurang akal, badannya masih kecil dan cukup menerobos masuk melalui lubang anjing di pojok pagar tembok. Ia melihat kamar tabib itu masih terang, suatu tanda tabib itu belum tidur dan sedang memasak obat. Perlahan-lahan anak itu mendorong pintu kamar, dan rupanya suara keriutan pintu dapat didengar si tabib yang segera menegur siapa yang datang? Tapi bocah itu tidak bersuara, cepat ia mendekati tabib yang lagi asyik memasak obat, sekali belatinya dicabut, kontan ia tikam perut tabib itu. Tabib itu hanya merintih beberapa kali, lalu menggeletak tak bernyawa lagi. Hah, sekali tikam bocah itu membunuh tabib itu? seru A Cu terkejut. Ya, sahut Kiau Hong sambil mengangguk. Kemudian bocah itu merayap keluar lagi melalui lubang anjing dan pulang ke rumah. Seorang bocah cilik dalam waktu singkat dan di tengah malam buta mesti menempuh perjalanan tergesa-gesa sejauh puluhan li, sudah tentu bocah itu kepayahan. Dan esok paginya, keluarga si tabib mendapatkan majikan mereka sudah mati dengan perut sobek dan usus keluar, tapi pintu rumah tetap tertutup rapat hingga tiada tanda-tanda keluar-masuknya pembunuh. Maka orang sama mencurigai jangan-jangan pembunuhan itu dilakukan oleh orang dalam sendiri. Guna pengusutan itu, istri dan saudara tabib itu ditangkap pembesar negeri, mereka ditahan dan diusut hingga bertahun-tahun lamanya, maka keluarga tabib itu menjadi berantakan sejak itu. Dan peristiwa pembunuhan itu sampai sekarang masih tetap merupakan teka-teki bagi penduduk Kho-keh-cip. Kau bilang Kho-keh-cip? Jadi kota inilah tempat kediaman tabib yang terbunuh itu? A Cu menegas. Benar, sahut Kiau Hong. Tabib itu she Ting. Sebenarnya adalah tabib paling terkenal dan terpandai di kota ini. Rumah tinggalnya di barat kota sana, tapi gedungnya sekarang sudah tak terawat dan bobrok. Tabib itu suka menghina kaum miskin dan anggap jiwa orang miskin sama sekali tak berharga, pribadinya itu benar-benar tercela, tapi dosanya itu juga tidak mesti dibunuh, demikian kata A Cu dengan menyesal. Dan anak itu sesungguhnya juga terlalu kejam, sungguh aku tidak percaya bahwa seorang anak umur tujuh tahun berani membunuh orang. Kiau-toaya, ceritamu ini hanya dongengan belaka atau benar-benar kisah nyata? Benar-benar kisah nyata, sahut Kiau Hong. A Cu menghela napas gegetun, katanya, Ai, anak kejam begitu mirip benar dengan kaum pengganas orang Cidan! Kau... kau bilang apa? tanya Kiau Hong mendadak sambil melonjak bangun dengan badan gemetar. Melihat perubahan air muka orang yang hebat itu, A Cu terkesiap, mendadak ia paham duduknya perkara, katanya kemudian, O, maaf, Kiau... Kiau-toaya, aku tidak... tidak sengaja menyinggung perasaanmu.

Kiau Hong berdiri termangu-mangu sejenak, lalu duduk dengan lesu, katanya, Jadi... jadi engkau sudah dapat menerkanya? A Cu mengangguk, diam-diam ia dapat menebak si bocah dalam cerita Kiau Hong itu tak-lain-tak-bukan adalah Kiau Hong sendiri. Ucapan yang tidak disengaja terkadang malah kena dengan jitu, kata Kiau Hong. Dan sebabnya aku turun tangan secara tak kenal ampun itu apakah lantaran aku keturunan Cidan? Kiau-toaya, A Cu sembarangan omong, harap engkau jangan pikirkan lagi, hibur A Cu dengan suara lembut. Adapun engkau membunuh tabib jahat itu adalah karena jiwa kesatriaanmu yang ingin membalas sakit hati ibumu. Sebenarnya tidak melulu sakit hati ibuku, tapi disebabkan pula aku dituduh tanpa berdosa, kata Kiau Hong sambil pegang kepala sendiri dengan kedua tangannya yang lebar. Padahal kedelapan gobang uang ibu itu tentu tercecer waktu si tabib mengiprat dan mendorongnya, tapi aku... aku yang disangka mencuri uang itu, selama hidupku paling tidak tahan bila dituduh tanpa berdosa. Namun demikian dalam waktu satu hari ini ia susah menanggung tiga peristiwa aneh. Tentang dia orang Cidan atau bukan, belum dapat dipastikan sekarang, tapi kematian Kiau Sam-hoay suami-istri dan Hian-koh Taysu sudah jelas bukan perbuatannya, namun ketiga dosa besar itu justru ditimpakan atas namanya. Padahal siapakah gerangan pembunuh yang sebenarnya? Siapa pula gerangan yang sengaja memfitnahnya itu? Pada saat itulah tiba-tiba Kiau Hong teringat sesuatu lagi, Mengapa ayah dan ibu selalu mengatakan mereka tidak pernah memberikan apa-apa yang bagus padaku? Jika aku adalah putra mereka yang sebenarnya, dengan sendirinya sang putra mesti ikut hidup miskin dengan orang tua yang miskin, mengapa perlu perlakuan yang baik segala? Jika demikian, terang aku memang bukan anak kandung mereka, tapi adalah anak titipan orang lain. Mungkin orang yang menitipkan aku itu sangat dihormati dan disegani oleh ayah dan ibuku. Lantas siapakah gerangan orang yang menitipkan aku kepada ayah dan ibu itu? Besar kemungkinan adalah Ong-pangcu. Berpikir begitu, ia bandingkan pula sifat sendiri yang jauh berbeda daripada kedua orang tua yang welas asih itu, ia menjadi lebih yakin lagi bahwa dirinya pasti keturunan orang Cidan. Rupanya A Cu dapat meraba perasaan Kiau Hong itu, maka ia coba menghiburnya, Kiau-toaya, mereka mengatakan engkau adalah keturunan Cidan, kukira mereka sengaja hendak memfitnah engkau. Jangankan engkau berbudi luhur dan berjiwa kesatria, hal ini tersohor di segenap penjuru dan pelosok, bahkan terhadap seorang budak rendahan seperti aku ini juga engkau sedemikian baiknya. Sebaliknya orang Cidan umumnya sebuas binatang, bedanya dengan engkau seperti langit dan bumi, mana dapat engkau dipersamakan dengan mereka. A Cu, jika aku benar-benar orang Cidan, apakah engkau masih sudi menerima perawatanku ini? tanya Kiau Hong. A Cu serbasusah untuk menjawab. Maklum, waktu itu bangsa Han teramat benci kepada bangsa Cidan dan memandangnya sebuas binatang dan sekejam ular berbisa, dianggapnya tiada orang Cidan yang mempunyai rasa perikemanusiaan, semuanya

kejam. Sesudah tertegun sejenak, kemudian jawabnya, Sudahlah, jangan kau pikir yang tidak-tidak, betapa pun tidak mungkin engkau adalah orang Cidan. Jika di antara orang Cidan ada yang baik budi seperti engkau, tentu kita pun tidak akan membenci mereka. Kiau Hong termenung diam, ia pikir kalau benar dirinya adalah keturunan orang Cidan, sampai seorang budak kecil seperti A Cu juga tidak sudi gubris padanya lagi. Sesaat ia merasa dunia seakan-akan sempit baginya, pikirannya bergolak hebat, darah seolah-olah mendidih di dalam rongga dadanya. Ia tahu tenaga dalam sendiri telah banyak terbuang karena beberapa kali mesti menolong A Cu untuk melancarkan tenaga dan mengatur napas. A Cu juga pejamkan mata untuk mengaso. Selang tak lama, selesailah Kiau Hong melatih diri. Ia khawatir keadaan A Cu payah lagi, ia hendak memeriksa nadi gadis itu. Tiba-tiba didengarnya di tempat tinggi sebelah barat sana ada suara kletek perlahan dua kali. Sebagai seorang Kangouw ulung segera Kiau Hong tahu itu adalah suara loncatan orang bu-lim dari atap rumah ke atap rumah yang lain. Menyusul di arah timur sana juga ada suara serupa dua kali, bahkan suara yang belakangan ini lebih lirih, suatu tanda ginkang pendatang itu lebih tinggi daripada yang duluan. Sekaligus dari beberapa jurusan datang orang Kangouw, Kiau Hong menduga besar kemungkinan dirinya yang sedang dicari. Segera ia bisiki A Cu, Aku akan keluar sebentar dan segera kembali lagi, jangan takut. A Cu mengangguk. Lalu Kiau Hong menyelinap keluar dari pintu yang setengah tertutup itu. Dengan enteng ia putar ke belakang rumah dan berdiri mepet dinding luar. Baru dia berdiri di situ, tiba-tiba dari kamar hotel sebelah timur sana ada suara seorang sedang berkata, Apakah Hiang-patya di situ? Silakan turun saja! Lalu terdengar pendatang sebelah barat tadi tertawa dan menjawab, Ki-loliok dari Kwansay juga datang! Bagus, bagus! Silakan masuk semua! ujar orang di dalam kamar itu. Maka berturut-turut kedua orang di atas atap rumah tadi melompat turun dan masuk ke dalam kamar. Kiau Hong kenal Ki-loliok dari Kwansay itu berjuluk Goay-to Ki Liok, Si Golok Kilat, seorang jagoan terkenal di daerah Kwansay (di luar tembok besar bagian barat). Sedang Hiang-patya yang disebut tadi diduganya pasti Hiang Bong-thian dari Siantang, konon orang berbudi dan dermawan, ilmu silatnya juga sangat hebat. Kedua orang itu bukan manusia jahat, kedatangan mereka tentu tiada sangkut pautnya denganku, kenapa aku mesti curiga? Demikian pikir Kiau Hong. Dan selagi dia hendak kembali ke kamar, tiba-tiba terdengar Hiang Bong-thian tadi berkata, Mendadak Giam-ong-tek Sih-sin-ih menyebar enghiong-tiap (kartu undangan kesatria dan mengundang para kesatria Kangouw), apakah

Pau-toako tahu sebab musababnya? Mendengar nama Giam-ong-tek Sih-sin-ih disebut, Kiau Hong terkejut dan bergirang, pikirnya, Mengapa Sih-sin-ih berada di sekitar sini? Jika demikian, si budak A Cu dapatlah tertolong. Kiranya Sih-sin-ih atau Si Tabib Sakti she Sih itu adalah tabib nomor satu pada zaman itu, oleh karena sebutan sin-ih (tabib sakti) sangat terkenal sehingga nama asalnya dilupakan orang. Menurut cerita orang Kangouw yang mungkin berlebih-lebihan, katanya orang mati pun dapat dia hidupkan kembali dengan obatnya. Maka bila orang hidup, betapa parah penyakit atau luka yang diderita pasti akan dapat disembuhkan olehnya. Oleh karena pengobatannya yang tidak pernah gagal itu hingga tiada orang sakit yang mati di bawah perawatannya, maka orang anggap dia seakan-akan bermusuhan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat) sehingga dia julukan Giam-ong-tek atau musuh raja akhirat. Sih-sin-ih itu tidak melulu lihai pengobatannya, bahkan ilmu silatnya juga sangat hebat. Ia suka bergaul dengan kawan Kangouw, setiap kali dia mengobati orang, sering ia minta belajar sejurus-dua dari pasiennya itu. Oleh karena merasa utang budi, yang diminta dengan sendirinya memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh dan yang diajarkan selalu adalah ilmu silat kebanggaan si pasien. Begitulah kemudian terdengar Goay-to Ki Liok juga menegur, Pau-lopan (Juragan Pau), selama ini ada terjadi jual-beli apa? Diam-diam Kiau Hong mengangguk, Pantas, suara orang di dalam kamar itu seperti sudah kukenal, kiranya dia Bo-pun-ci Pau Jian-leng. Orang ini suka mencuri dari si kaya untuk membantu kaum miskin, namanya cukup harum. Dahulu waktu aku diangkat menjadi pangcu, dia juga datang hadir pada upacara itu. Setelah mengetahui orang di dalam kamar itu adalah Bo-pun-ci (Tanpa Modal) Pau Jian-leng, seorang maling yang terkenal budiman, maka Kiau Hong tidak ingin mendengarkan lagi pembicaraan mereka. Ia pikir biar besok saja akan kutanya Pau Jian-leng di mana beradanya Sih-sin-ih. Tapi belum lagi ia putar langkah, sekonyong-konyong terdengar Pau Jian-leng menghela napas dan berkata, Ai, selama beberapa hari ini perasaanku lagi kesal, tiada semangat buat jual-beli apa-apa. Malahan hari ini kudengar dia membunuh ayah-ibu sendiri dan membinasakan gurunya pula, sungguh rasa hatiku sangat pedih. Habis berkata, terdengar ia menghantam meja dengan keras. Mendengar itu, tahulah Kiau Hong bahwa dirinya yang sedang dipercakapkan. Benar juga, terdengar Hiang Bong-thian menanggapi, Nama keparat Kiau Hong itu sangat disegani, ia pura-pura berbudi dan baik hati sehingga selama ini banyak yang tertipu, siapa duga dia akan berbuat durhaka seperti itu? Dahulu waktu dia diangkat menjadi Pangcu Kay-pang aku pun hadir pada upacara itu dan kenal baik padanya, demikian Pau Jian-leng berkata pula. Maka waktu mula-mula aku diberi tahu orang bahwa Kiau Hong adalah keturunan Cidan dengan tegas kudamprat ocehan yang sembrono itu, bahkan karena itu aku bertengkar

dengan Tio-losam hingga hampir-hampir baku jotos. Ai, orang Cidan memang mirip binatang, untuk sementara ia dapat menutupi sifat aslinya, akhirnya wataknya yang buas lantas kelihatan. Lebih-lebih tak tersangka kalau dia keluaran Siau-lim-pay, Hian-koh Taysu ternyata adalah gurunya, kata Ki Liok, Si Golok Kilat. Urusan itu sangat dirahasiakan rupanya, sebab ketua Siau-lim-si sendiri juga tidak tahu, ujar Pau Jian-leng. Coba kalau Kiau Hong sendiri tidak omong dan disiarkan orang Kay-pang sendiri, mungkin tiada seorang pun yang tahu. Setelah membunuh kedua orang tua dan gurunya, orang she Kiau itu mengira dapatlah menutupi asal-usul dirinya, dengan demikian ia dapat menyangkal mati-matian tanpa saksi. Tak terduga kejadiannya malah berbalik tidak menguntungkan dia, dosanya juga makin bertambah. Kiau Hong cukup kenal jiwa kesatria Bo-pun-ci Pau Jian-leng, persahabatan mereka pun cukup akrab. Jika sekarang maling agung itu pun mencerca dirinya, maka dapatlah dibayangkan bagaimana orang lain akan memaki dan mengutuknya. Teringat demikian, hati Kiau Hong menjadi hampa dan putus asa. Tanpa dosa telah tertimpa tuduhan yang susah membela diri, apakah akhirnya ia mampu mencuci bersih fitnahan itu? Tidakkah lebih baik mengasingkan diri saja, setelah bertahun-tahun, tentu orang Kangouw akan melupakan manusia seperti aku. Demikian pikirnya dengan hampa. Dalam pada itu terdengar Hiang Bong-thian sedang berkata pula, Menurut dugaanku, sebabnya Giam-ong-tek menyebar enghiong-tiap, maksudnya apakah untuk menghadapi Kiau Hong. Selama hidup Giam-ong-tek paling benci pada kejahatan, asal dia mendengar ada kejadian tidak adil di kalangan Kangouw, tanpa disuruh dia pasti ikut campur urusan itu. Apalagi persahabatannya dengan Hian-lan dan Hian-cit Taysu dari Siau-lim-si itu sangat kekal, sudah tentu dia tidak dapat tinggal diam urusan yang menyangkut Siau-lim-pay itu. Kukira betul dugaanmu itu, memang paling akhir ini di kalangan Kangouw juga tiada terjadi geger apa-apa selain perbuatan orang she Kiau itu, kata Pau Jian-leng. Hiang-heng, Ki-heng, marilah kita habiskan 20 kati arak ini, malam ini kita bicara sepuas-puasnya. Kiau Hong pikir apa yang akan dibicarakan mereka itu sampai semalam suntuk juga dirinya yang akan dicaci maki habis-habisan dengan dibumbu-bumbui. Maka ia tidak ingin mendengarkan lagi, segera ia pulang ke kamar A Cu. Melihat air muka Kiau Hong muram durja dan pucat, dengan khawatir A Cu tanya, Kiau-toaya, apakah engkau ketemukan musuh? Namun Kiau Hong hanya menggeleng kepala saja. A Cu masih khawatir, tanyanya pula, Engkau tidak terluka apa-apa, bukan? Kiau-toaya? Padahal sejak Kiau Hong berkecimpung di dunia Kangouw, selalu ia dihormati kawan dan disegani lawan, belum pernah ia dihina dan dimaki secara rendah oleh orang seperti beberapa hari ini. Kini demi mendengar pertanyaan A Cu itu, mendadak sifat angkuhnya berkobar-kobar, sahutnya keras-keras, Tidak, aku tidak apa-apa. Memang tidak sulit manusia rendah itu hendak menghina dan memfitnah diriku, tapi untuk melukai orang she Kiau, huh, tidaklah gampang. Jilid 31. Pendekar2 Negeri Tayli

Published by Tungning on 2008/6/7 (1569 reads) Mendadak timbul pula semangat kesatrianya yang tak gentar pada apa pun juga, ia jadi nekat untuk menghadapi segala kemungkinan, katanya pula, A Cu, besok akan kucarikan seorang tabib sakti untuk mengobati lukamu, sekarang boleh kau tidur dengan tenang. Melihat sikap bekas pangcu yang gagah perkasa dan angkuh tak gentar itu, A Cu merasa kagum, hormat, dan takut pula. Ia merasa tokoh di hadapannya itu sama sekali berbeda daripada Buyung-kongcu, tapi banyak persamaannya pula. Keduanya sama-sama tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi, sama-sama angkuh dan berwibawa. Tapi Kiau Hong mirip seekor singa jantan dan Buyung Hok seperti burung hong, yang satu kasar dan yang lain halus. Begitulah demi sudah ambil kebulatan tekad itu, Kiau Hong dapat tidur nyenyak, walaupun hanya duduk di atas kursi. Di bawah sinar pelita yang remang-remang A Cu dapat melihat muka Kiau Hong. Selang tak lama, ia dengar Kiau Hong mulai mendengkur perlahan, ia lihat daging muka laki-laki gagah itu berkerut-kerut sedikit sambil mengertak gigi, tulang pipi yang lebar itu agak menonjol. Tiba-tiba timbul semacam rasa kasihan dalam hati A Cu, ia merasa batin laki-laki gagah di depan itu pasti sangat tertekan, sangat menderita, jauh lebih malang daripada nasibnya sendiri. Esok paginya Kiau Hong menyalurkan tenaga murninya pula untuk menyegarkan A Cu, lalu mengeluarkan uang dan suruh pelayan hotel menyewakan sebuah kereta keledai. Ia payang A Cu ke atas kereta lalu datang ke kamar Pau Jian-leng, dan luar ia berseru, Pau-heng, Siaute Kiau Hong memberi salam hormat! Waktu itu Pau Jian-leng, Hiang Bong-thian, dan Ki Liok bertiga belum lagi bangun, mereka kaget demi mendengar seruan Kiau Hong itu. Cepat mereka melompat bangun dan menyambar senjata dengan kelabakan. Tapi mereka menjadi terperanjat demi tampak di atas senjata masing-masing tertempel secarik kertas kecil yang tertulis: Salam dari Kiau Hong. Mereka saling pandang dengan melongo, mereka sadar bahwa semalam tanpa terasa Kiau Hong telah kerjai mereka, jika mau, jiwa mereka dengan gampang sudah ditamatkan oleh Kiau Hong. Di antara mereka Pau Jian-leng yang merasa paling malu, dia berjuluk Bo-pun-ci atau tanpa modal, artinya pekerjaannya ialah maling, mencuri tanpa memakai modal, dan sebagai pencuri, sudah tentu kepandaian menggerayangi rumah orang merupakan kemahirannya yang paling diandalkan, tapi kini ia sendiri telah digerayangi Kiau Hong dan baru sekarang ketahuan. Segera Pau Jian-leng mengikat senjatanya yang berupa ruyung lemas itu di pinggang, lalu ia ke luar kamar, ia tahu bila Kiau Hong bermaksud membunuhnya tentu sudah dilakukannya semalam, maka tanpa takut-takut lagi ia berkata, Buah kepala Pau Jian-leng ini setiap saat silakan Kiau-heng mengambilnya bila engkau suka, selamanya orang she Pau ini bekerja tanpa modal, kalau kini aku mesti bangkrut di tangan Kiau-heng rasanya juga masih berharga. Sedang ayah-bunda dan gurumu sendiri juga kau tega membunuhnya, apalagi terhadap orang she Pau yang tiada artinya ini, mengapa engkau bermurah hati segala? Namun Kiau Hong tidak pusingkan olok-olok itu, sebaliknya ia menjawab secara biasa saja, Selamat bertemu, Pau-heng, sejak perpisahan di Tong-ting-oh dahulu, ternyata Pau-heng semakin gagah dan kuat.

Haha, untunglah jiwaku ini belum lagi amblas, maka sampai sekarang masih sehat walafiat, sahut Pau Jian-leng dengan terbahak. Kabarnya Giam-ong-tek Sih-sin-ih telah menyebarkan kartu undangan, maka aku tertarik untuk hadir ke sana, bagaimana kalau kupergi ke sana bersama kalian bertiga? kata Kiau Hong pula. Diam-diam Jian-leng sangat heran, pikirnya, Bukankah maksud tujuan Sih-sin-ih menyebarkan kartu undangan justru hendak menghadapimu. Apa barangkali kau sudah bosan hidup, maka berani datang ke sana seorang diri? Tapi biasanya Kiau-pangcu terkenal pemberani dan cerdik pula, baik ketangkasan maupun kecerdasan serbakomplet, jika dia tidak punya pegangan apa-apa, tidak nanti dia masuk jaring sendiri, maka aku tidak boleh tertipu olehnya. Melihat Pau Jian-leng hanya diam saja tanpa menjawab, segera Kiau Hong berkata pula, Aku ada urusan penting perlu minta tolong pada Sih-sin-ih, kuharap Pau-heng suka memberitahukan tempatnya, untuk mana aku takkan melupakan pada kebaikanmu. Kebetulan pikir Pau Jian-leng, jika kau berani hadir pada pertemuan besar para kesatria itu, sekali dikerubut, biarpun kau punya tiga kepala dan enam tangan juga takkan mampu lolos. Dengan keputusan itu, segera ia menjawab, Tentang tempat pertemuan itu adalah di Cip-hian-ceng yang terletak kurang lebih 70 li di timur laut sana. Jika Kiau-heng sudi hadir ke sana, itulah paling baik. Cuma ingin kukatakan di muka, pertemuan ini tidak mungkin pertemuan yang baik, kehadiran Kiau-heng ke sana nanti banyak celakanya daripada selamatnya, untuk mana janganlah menyalahkan aku tidak memperingatkanmu sebelumnya. Terima kasih atas kebaikan Pau-heng, sahut Kiau Hong dengan tersenyum tawar. Jika enghiong-yan itu diadakan di Cip-hian-ceng, jadi tuan rumahnya adalah Yu-si-siang-hiong, bukan? Jika demikian, jalan ke sana sudah kukenal, maka kalian boleh silakan berangkat dulu, mungkin sejam lagi baru dapat kuberangkat, dengan demikian agar mereka dapat bersiap-siap pula lebih dulu. Pau Jian-leng menoleh dan saling pandang sekejap dengan Ki Liok dan Hiang Bong-thian. Kedua kawan itu tampak mengangguk perlahan. Lalu Pau Jian-leng berkata, Jika demikian, Cayhe akan menunggu kehadiran Kiau-heng di Cip-hian-ceng. Begitulah dengan tergesa-gesa mereka bertiga lantas membereskan rekening hotel dan berangkat ke Cip-hian-ceng dengan menunggang kuda. Sepanjang jalan mereka melarikan kuda secepatnya, berulang-ulang mereka menoleh, khawatir kalau-kalau Kiau Hong mendadak menyusul dari belakang dan mendahului mereka. Sekalipun Pau Jian-leng adalah seorang cerdik pandai, Ki Liok dan Hiang Bong-thian juga jago Kangouw yang berpengalaman luas, sepanjang jalan mereka menerka ini dan menebak itu, namun tetap tidak dapat meraba apa maksud tujuan Kiau Hong sengaja hadir dalam enghiong-yan itu. Pau-toako, tiba-tiba Ki Liok berkata, apakah engkau melihat kereta yang disewa Kiau Hong itu. Mungkin di dalam kereta itu ada apa-apanya?

Jangan-jangan di dalam kereta itu terdapat jago-jago lihai begundalnya? ujar Hiang Bong-thian. Andaikan kereta itu tumplak penuh dengan begundalnya, paling-paling cuma muat beberapa orang, katakanlah seluruhnya ada sepuluh orang bersama Kiau Hong, tapi dalam pertemuan besar nanti, paling-paling mereka cuma mirip sebuah sampan yang terombang-ambing di tengah samudra raya, apa yang dapat mereka perbuat? kata Pau Jian-leng. Tengah bicara, sepanjang jalan sudah banyak bertemu dengan jago-jago persilatan yang juga hendak hadir pada enghiong-yan di Cip-hian-ceng. Karena pertemuan itu diadakan secara mendadak dan mendesak, maka setiap orang yang menerima kartu undangan segera berangkat siang dan malam sambil menghampiri sesama kawan bu-lim, maka hanya dalam waktu sehari semalam saja kartu undangan yang disebarkan Giam-ong-tek itu sudah hampir merata. Cuma waktunya terlalu mendesak, maka yang sudah tiba di Cip-hian-ceng itu baru tokoh-tokoh yang bertempat tinggal ratusan li di sekitar Siau-lim-si di Provinsi Holam. Sebenarnya Siau-lim-si sendiri sudah menyebarkan kartu undangan kepada para kesatria untuk berunding cara menghadapi Buyung Hok. Tapi waktu yang ditentukan itu masih ada 20 hari lebih, sebagian besar kesatria yang diundang itu masih dalam perjalanan, seperti ayah Toan Ki, yaitu Tin-lam-ong dari negeri Tayli, Toan Cing-sun, dan jago-jago silat yang dipimpinnya saat itu juga belum tiba di Siau-lim-si. Namun begitu sudah banyak juga kaum kesatria yang berada di daerah Holam untuk pesiar atau menyambangi sobat-andai. Mereka inilah yang telah menerima kartu undangan Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek Sih-sin-ih. Kalau undangan melulu datang dari Yu-si-siang-hiong saja mungkin tidak diperhatikan oleh para kesatria itu. Tapi nama Giam-ong-tek juga tercantum sebagai pengundang, keruan mereka merasa mendapat kehormatan besar dan buru-buru hadir. Maklum, nama Si Tabib Sakti she Sih dan Musuh Raja Akhirat itu terlalu tenar, setiap orang persilatan sangat mengharapkan bisa berkenalan atau bersahabat dengan dia. Sebab, sebagai orang persilatan, bukan mustahil setiap saat bisa terluka parah atau terbinasa, tapi kalau kenal dan bersahabat dengan Giam-ong-tek, maka boleh dikatakan jiwa mereka telah diasuransikan kepada tabib sakti itu. Begitulah, ketika Pau Jian-leng bertiga sampai di Cip-hian-ceng, mereka telah disambut sendiri oleh Yu-si-siang-hiong. Sesudah berada di dalam rumah, ternyata, tetamu sudah memenuhi ruangan luar dan dalam. Banyak yang dikenal Pau Jian-leng, banyak pula yang tidak kenal. Yang kenal segera saling menyapa, sedapatnya Pau Jian-leng membalas hormati kepada setiap kenalan secara merata. Ia khawatir kalau ada yang terlupa dan kelompatan balas menghormat, bukan mustahil akan menimbulkan rasa dendam hingga berakibat permusuhan di belakang hari. Setelah Yu Ki, yaitu orang kedua dari Yu-si-siang-hiong (Dua Jago she Yu) mengajak mereka ke meja tuan rumah, di situ sudah menunggu Si Tabib Sakti she Sih, ia sambut kedatangan tamunya sambil memberi hormat, Atas kesudian hadirnya Pau-heng bertiga, sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga.

Haha, masakah undangan Sih-loyacu berani kutolak, biarpun aku sedang sakit tak bisa berjalan juga aku akan datang kemari meski harus digotong, sahut Pau Jian-leng dengan terbahak. Tentu saja, sela Yu Ek, si tua dari kedua saudara Yu itu. Jika kau sakit payah, tanpa diundang juga kau akan cari Sih-loyacu. Mendengar percakapan itu, banyak tetamu lain ikut bergelak tertawa. Kalian bertiga baru tiba, tentu sangat lelah, silakan ke belakang dulu untuk dahar sekadarnya, ujar Yu Ki. Lelah sih tidak, lapar pun belum, sebaliknya kubawa suatu berita penting yang perlu kukatakan dengan segera, sahut Pau Jian-leng. Numpang tanya dulu, kartu undangan yang Sih-loyacu dan kedua saudara Yu sebarkan itu apakah di antaranya terdapat undangan kepada Kiau Hong? Mendengar nama Kiau Hong disebut, wajah Sih-sin-ih agak berubah. Sebaliknya Yu Ek lantas tanya, Apa maksud Pau-heng sebenarnya, kenapa menyinggung tentang Kiau Hong? Apakah disebabkan Pau-heng bersahabat karib dengan orang she Kiau itu? Harap Yu-heng jangan salah paham, cepat Pau Jian-leng menjelaskan. Sebaliknya aku justru hendak menyampaikan berita penting ini, Kiau Hong menyatakan akan hadir dalam pertemuan besar kaum kesatria ini. Seketika gemparlah suasana ruangan tamu itu, sejenak kemudian keadaan menjadi hening, semuanya diam ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Yang terdengar hanya suara obrolan dan tertawa tamu-tamu di ruangan belakang dan samping karena mereka tidak tahu suasana di ruangan depan itu. Dari mana Pau-heng tahu Kiau Hong akan datang ke sini? tanya Si Tabib Sakti. Cayhe bersama Ki-heng dan Hiang-heng mendengar dengan telinga sendiri, sahut Jian-leng. Sungguh memalukan kalau diceritakan, kami bertiga semalam telah terjungkal habis-habisan. Berulang Hiang Bong-thian mengedipi kawan itu agar jangan menguraikan kejadian semalam yang memalukan itu. Tapi Pau Jian-leng cerdik orangnya, ia pikir bila sedikit ia dusta hingga menimbulkan rasa curiga Si Tabib Sakti dan tokoh-tokoh lain, kelak pasti akan mendatangkan banyak kesukaran. Maka ia tidak peduli isyarat Hiang Bong-thian itu, sebaliknya perlahan ia lepaskan ruyungnya dari pinggang dan diperlihatkan kepada Sih-sin-ih tulisan di atas kertas yang masih menempel pada senjatanya itu, katanya, Kiau Hong suruh kami bertiga menyampaikan pesannya, katanya dalam waktu singkat ia akan datang ke Cip-hian-ceng ini. Lalu ia ceritakan pengalamannya tanpa dusta sedikit pun. Sudah tentu yang runyam adalah Hiang Bong-thian, ia merasa malu dan membanting-banting kaki. Namun tanpa tedeng aling-aling Pau Jian-leng menghabiskan ceritanya itu, akhirnya ia berkata, Kiau Hong itu adalah keturunan anjing bangsa Cidan, andaikan dia cukup baik dan berbudi juga kita mesti membasminya, apalagi sekarang ia sudah umbar kebuasannya, mara bahaya di kemudian hari tentu tak terkirakan, sebenarnya untuk menangkapnya tidaklah mudah, syukur sekarang ia masuk jeratan sendiri, rupanya ajalnya sudah tiba saatnya.

Yu Ki berkerut kening mendengar laporan itu, ia pikir sejenak, lalu berkata, Konon Kiau Hong itu seorang yang serbapintar dan tangkas, sekali-kali bulan seorang laki-laki kasar dan sembarang bertindak, masakah ia benar-benar berani hadir dalam pertemuan ini? Mungkin ada tipu muslihat di balik kehadirannya nanti, untuk mana kita harus waspada, ujar Pau Jian-leng. Marilah kita berunding cara bagaimana harus menghadapinya nanti. Tengah bicara, dari luar sudah masuk lagi banyak kesatria lain, di antaranya Tiat-bin-poan-koan Tan Cing dan kelima putranya. Tam-kong dan Tam-poh serta Tio-ci-sun, Kim Tay-peng dan Oh-pek-kiam Su An, Nau-kang-ong Cin Goan-cun, dan lain-lain. Tidak lama kemudian, tiba pula Hian-lan dan Hian-cit berdua padri saleh dari Siau-lim-si. Meski ada juga di antara mereka tidak menerima kartu undangan, tapi karena merasa diri mereka cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai kesatria, maka tanpa diundang juga mereka hadir sendiri. Dengan hormat Yu-si-siang-hiong dan Giam-ong-tek menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Ketika bicara tentang kejahatan yang diperbuat Kiau Hong, semua orang merasa gusar dan bertekad akan membasmi durjana yang kejam itu. Tiba-tiba pelayan penyambut tamu masuk memberi lapor bahwa Ci-tianglo dari Kay-pang bersama Cit-hoat dan Thoan-kong Tianglo serta keempat tianglo lain juga tiba. Tamu-tamu yang sudah berada di situ sama terkesiap. Ujar Hiang Bong-thian, Orang Kay-pang datang ke sini secara berbondong-bondong, jelas mereka hendak memberi bantuan kepada Kiau Hong. Tidak mungkin, kata Tan Cing. Kiau Hong sudah dipecat dari keanggotaan Kay-pang dan bukan pangcu mereka lagi, kejadian itu kami ikut menyaksikan sendiri, malahan di antara mereka sudah saling bermusuhan. Tapi hubungan lama belum tentu dilupakan begitu saja, kata Hiang Bong-thian. Kukira para tianglo dari Kay-pang adalah kesatria sejati dan patriot tulen, kalau mereka membantu Kiau Hong, bukankah berarti mereka pun pengkhianat bangsa dan penjual negara? ujar Yu Ek. Ya, manusia yang paling rendah sekalipun tidak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan penjual negara, demikian dukung tetamu yang lain. Maka Yu-si-siang-hiong bersama Sih-sin-ih lantas menyambut keluar. Mereka merasa lega ketika melihat orang Kay-pang yang hadir itu cuma belasan tianglo saja, andaikan mereka hendak membela Kiau Hong juga takkan dapat melawan kesatria lain yang lebih banyak jumlahnya. Tapi Yu-loji, Yu Ki, orangnya cukup hati-hati, diam-diam ia kirim anak buahnya pasang mata di sekitar pedusunan untuk melihat apakah orang Kay-pang menyembunyikan bala bantuan atau tidak. Setelah itu barulah ia menyilakan Ci-tianglo dan rombongan masuk ke dalam. Wajah para tokoh Kay-pang tampak masam, nyata mereka sedang menanggung sesuatu urusan yang memusingkan. Sesudah tuan rumah dan para tamu mengambil tempat duduk, segera Ci-tianglo membuka suara lebih dulu, Sih-heng, dan kedua saudara Yu, hari ini para

kesatria kalian undang ke sini, apakah maksudnya hendak menghadapi bibit bencana bu-lim yang ditimbulkan Kiau Hong itu? Mendengar tokoh Kay-pang itu menyebut Kiau Hong sebagai bibit bencana bu-lim, semua orang saling pandang sekejap dengan hati lega. Segera Yu Ek menjawab, Memang demikianlah halnya. Maka atas kunjungan Ci-tianglo sekalian kami merasa sangat beruntung, sebab untuk membasmi pengganas itu, perlu sekali kami mendapat bantuan dan izin para Tianglo, kalau tidak, jangan-jangan akan timbul salah paham hingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. Ci-tianglo menghela napas panjang, sahutnya, Orang itu sudah tidak punya hati nurani lagi, tindak tanduknya kejam. Sepantasnya, karena ia pernah banyak berjasa bagi pang kami, paling akhir juga telah menolong saudara-saudara kami dari jebakan musuh. Akan tetapi seorang laki-laki harus dapat memandang jauh, segala apa mesti berpikir pada kepentingan orang banyak, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Kini Kiau Hong adalah musuh besar bangsa Song kita, meski para tianglo dari pang kami pernah mendapatkan kebaikannya, tapi tidak nanti kami mengutamakan kepentingan pribadi dan melalaikan kepentingan umum. Apalagi sekarang ia sudah bukan orang kami. Ucapan Ci-tianglo segera mendapat pujian orang banyak. Menyusul Yu Ek lantas beri tahu tentang Kiau Hong telah menyatakan akan hadir dalam pertemuan ini. Berita ini membuat para Tianglo Kay-pang terperanjat dan heran. Sebagai bekas anak buah Kiau Hong, mereka cukup kenal pribadi bekas pangcu mereka yang tangkas lagi cerdik itu, kalau dikatakan Kiau Hong akan datang ke Cip-hian-ceng seorang diri, hal ini benar-benar sangat mengherankan mereka. Tiba-tiba Hiang Bong-thian berseru, Kukira pernyataan Kiau Hong itu hanya tipu muslihat belaka, ia sengaja membikin kita menunggu percuma di sini, sebaliknya ia angkat langkah seribu entah kabur ke mana, itu namanya tonggeret melepaskan kulit! Melepas kulit makmu! mendadak Go-tianglo memaki sambil menggebrak meja. Tokoh macam apakah Kiau Hong itu, apa yang telah dikatakannya masakah kau kira cuma omong kosong? Muka Hiang Bong-thian menjadi merah padam oleh makian itu, segera ia menyahut, Kau mau bela Kiau Hong, bukan? Hm, aku orang she Hiang inilah orang pertama yang penasaran, marilah, boleh kita coba-coba dulu. Selama hidup Go-tianglo paling kagum kepada Kiau Hong, ia memang lagi mendongkol sepanjang jalan ketika mendengar berita tentang bekas pangcu itu membunuh kedua orang tua serta gurunya. Oleh karena seorang saudara Go-tianglo juga telah menjadi korban keganasan bangsa Cidan, selama hidupnya ia sangat benci pada orang Cidan. Kini mendadak diketahuinya Kiau-pangcu yang dihormati dan dicintainya itu ternyata adalah orang Cidan, keruan kesal dan sesalnya tak terlukiskan. Dalam keadaan sedih itulah tiba-tiba Hiang Bong-thian berani menantang padanya, keruan tanpa tawar lagi ia tandangi tantangan itu. Sekali lompat ia melesat ke tengah pelataran dan berseru, Apakah Kiau Hong itu keturunan anjing Cidan atau bukan, saat ini masih belum dapat dipastikan oleh siapa pun juga. Tapi bila dia benar-benar bangsa Cidan, aku orang she Go inilah yang pertama-tama akan mengadu jiwa padanya. Dan untuk membunuh Kiau Hong, biarpun nomor urut keseribu juga belum sampai pada giliranmu. Hm, kau ini kutu busuk macam apa hingga berani mengoceh di sini? Ayolah maju, biar kuhajar

adat dulu padamu. Sudah tentu Hiang Bong-thian jadi murka juga, sret, segera ia lolos goloknya dan hendak tandangi Go-tianglo. Tapi begitu golok terlolos, segera kertas yang ditempel Kiau Hong di atas senjatanya itu lantas terbaca. Seketika ia tertegun. Sudahlah, kalian sama-sama tetamu kami, harap suka memandang muka kami, janganlah ribut dulu, demikian Yu Ek berusaha memisah. Ya, Go-hiati, janganlah kita bertindak sembrono, betapa pun nama baik pang kita harus dijaga, ujar Ci-tianglo. Huh, Kay-pang mempunyai seorang tokoh besar macam Kiau Hong, nama baiknya sangat tersohor, memang kudu dijaga sebaik-baiknya, demikian tiba-tiba suara seorang aneh dingin dan lirih menanggapi ucapan Ci-tianglo itu. Keruan para tokoh Kay-pang yang hadir di situ menjadi gusar, beramai-ramai mereka membentak, Siapa itu yang bicara? Ayolah, kalau berani tampil ke muka sini! Huh, pengecut, bicara secara sembunyi-sembunyi! Haram jadah! Namun pembicara itu diam saja sesudah mengucapkan kata-kata tadi hingga tiada seorang pun tahu siapa gerangannya. Sungguh dongkol tokoh-tokoh Kay-pang itu tidak kepalang karena disindir tanpa mengetahui siapa orangnya, tentu saja mereka mati kutu. Tapi beberapa di antaranya yang berwatak berangasan dan kasar, tanpa pikir lagi terus balas mencaci maki hingga kakek-moyang ke-18 keturunan pembicara itu pun dimaki habis-habisan. Sih-sin-ih berkerut kening oleh caci maki yang kotor itu, segera katanya, Harap para Tianglo suka sabar, dengarkan kataku ini. Maka perlahan para pengemis itu tenang kembali. Di luar dugaan, kembali suara orang tadi bergema pula di tengah orang banyak sana, Bagus, bagus! Kiau Hong sengaja mengirim mata-mata sebanyak ini, sebentar tentu ada permainan sandiwara yang menarik. Mendengar ucapan itu, Go-tianglo semakin murka, segera terdengar suara gemerencing senjata dilolos, para tokoh pengemis itu siapkan senjata mereka yang gemerlapan. Tamu lain mengira kawanan pengemis itu akan turun tangan, beramai mereka pun lolos senjata hingga keadaan menjadi kacau-balau. Cepat Sih-sin-ih dan Yu-si-siang-hiong berusaha menenangkan suasana ribut itu, tapi suara mereka ternyata tidak cukup untuk bikin tenteram suasana yang panas itu. Pada saat kacau itulah, tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan membisiki telinga Yu Ek. Air muka Yu Ek tampak berubah hebat, ia tanya sesuatu pada pelayan itu dan hamba itu tampak menuding ke luar pintu dengan rasa takut. Segera tampak Yu Ek bisik-bisik juga pada Sih-sin-ih dan air muka tabib sakti itu pun kelihatan gelisah. Waktu Yu Ki mendekati saudaranya dan menanyakan apa yang terjadi, sesudah Yu Ek berbisik perlahan, mendadak air muka Yu Ki juga berubah kaget. Lalu Yu Ki membisiki kawannya yang lain.

Begitulah seorang demi seorang meneruskan bisik-bisik itu hingga akhirnya merata dan semua orang mengetahui apa yang terjadi. Seketika suasana gaduh menjadi sunyi, sebab setiap orang yang hadir di situ sama mendapat bisikan, Kiau Hong sudah datang! Setelah saling pandang sekejap antara Sih-sin-ih dan kedua saudara Yu, mereka memandang pula pada Hian-lan dan Hian-cit berdua, akhirnya Sih-sin-ih berkata, Silakan dia masuk! Segera pelayan tadi keluar. Sedangkan hati semua kesatria sama berdebar dengan hebat. Walaupun jelas jumlah orang pihak sini jauh lebih banyak, sekali Kiau Hong bertindak, seketika semua orang mengerubut maju, tentu bekas Pangcu Kay-pang itu akan dapat dicacah menjadi perkedel. Tapi nama Kiau Hong itu terlalu disegani, kalau dia sudah berani hadir seorang diri, terang dia sudah punya sesuatu pegangan, siapa pun tidak dapat menerka tipu muslihat apa yang telah diatur olehnya. Di tengah suasana yang hening itu, tiba-tiba terdengar suara keledai lari berdetak-detak diselingi suara kelotakan roda kereta yang menggelinding di atas batu. Sebuah kereta terdengar sudah sampai di depan pintu. Malahan kereta itu tidak berhenti di situ, bahkan terus melintasi gerbang pintu dan langsung masuk ke dalam pekarangan. Kereta keledai itu tampak dikusiri seorang laki-laki tegap dengan cambuk di tangan, kerai kereta tertutup hingga tidak jelas apa isi kendaraan itu. Seketika perhatian semua orang terarah kepada laki-laki tegap yang mengemudi kereta itu. Tertampak badannya tinggi besar, dada lebar dan lengan kasar, mukanya kereng, siapa lagi dia kalau bukan bekas Pangcu Kay-pang, Kiau Hong adanya. Setelah taruh cambuknya di atas kereta, segera Kiau Hong melompat turun dan berkata, Kudengar Sih-sin-ih dan Yu-si-hengte sedang mengadakan pertemuan besar dengan para kesatria di Cip-hian-ceng ini, Kiau Hong sudah merasa dibenci oleh para kesatria Tionggoan, masakah aku berani ikut hadir ke sini tanpa kenal malu? Cuma hari aku ada urusan penting yang mesti minta tolong kepada Sih-sin-ih, maka kedatanganku secara sembrono ini hendaklah dimaafkan. Habis berkata, ia membungkuk dengan laku sangat hormat. Tapi semakin Kiau Hong berlaku sopan, semakin Sih-sin-ih dan lain-lain curiga mungkin di balik kehalusan ini ada sesuatu tipu keji. Maka diam-diam Yu Ek memberi tanda kepada anak buahnya agar meronda keluar untuk berjaga segala kemungkinan di samping untuk merintangi larinya Kiau Hong bila bekas pangcu itu hendak kabur. Lalu Sih-sin-ih membalas hormat dan berkata, Ada urusan penting apa yang Kiau-heng ingin minta tolong padaku? Kiau Hong tidak lantas menyahut, tapi ia melangkah mundur ke samping kereta, ia singkap tirai kereta keledai itu dan memayang A Cu turun ke bawah. Lalu katanya, Disebabkan aku suka bertindak gegabah, maka nona cilik ini ikut menjadi korban tenaga pukulan orang hingga terluka parah. Di zaman ini selain Sih-sin-ih tiada orang lain lagi yang mampu menyembuhkannya, maka secara sembrono kudatang kemari untuk mohon Sih-sin-ih agar suka menolong jiwanya.

Waktu melihat kereta keledai itu tadi sebenarnya semua orang sangat curiga, sebab tidak tahu apa isi kereta yang dibawa datang Kiau Hong. Kini demi tampak dari dalam kereta diturunkan seorang nona cilik berumur 16-17 tahun, kembali mereka heran lagi, lebih-lebih setelah mendengar Kiau Hong menyatakan kedatangannya itu hendak mohon pengobatan kepada Si Tabib Sakti. Sih-sin-ih sendiri juga sama sekali tidak menduga akan hal itu. Sudah biasa baginya menerima tamu dari jauh yang ingin minta tolong padanya, tapi kini mereka sedang berunding cara bagaimana menawan dan membunuh Kiau Hong, siapa tahu durjana yang dipandang mahajahat itu justru datang sendiri, sungguh hal ini sukar untuk dipercaya oleh siapa pun. Ia coba mengamat-amati A Cu dari atas ke bawah dan sebaliknya, ia lihat anak dara itu cukup cantik, tapi tidak luar biasa, apalagi usianya masih muda, tidak mungkin Kiau Hong tergoda oleh kecantikan seorang dara ingusan. Tapi ia lantas berpikir, Jangan-jangan anak dara ini adalah adik perempuannya? Tapi, hal ini tidak mungkin terjadi, sedangkan orang tua dan gurunya saja dibunuhnya, masakah dia sudi mengambil risiko sebesar ini demi untuk adik perempuan. Jika demikian, apakah putrinya? Tapi toh tidak pernah kudengar Kiau Hong pernah menikah? Sebagai seorang tabib sakti, dengan sendirinya Sih-sin-ih pandai membedakan ciri-ciri setiap orang. Ia lihat Kiau Hong sangat kekar, sebaliknya A Cu kecil mungil, tiada sesuatu persamaan di antara mereka, maka dapat dipastikan tiada hubungan darah apa-apa. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia tanya, Siapakah nona ini, dia pernah apa dengan kau? Kiau Hong melengak oleh pertanyaan itu, sejak kenal A Cu, yang diketahui cuma panggilan anak dara itu adalah A Cu, apakah dia she Cu atau bukan tidaklah diketahui. Maka ia coba tanya gadis itu, A Cu, apakah kau memang she Cu? Bukan, sahut A Cu dengan tersenyum. Aku she Wi dan bernama Si. Cuma aku cuka pakai baju merah, maka Kongcu memanggilku A Cu (Si Merah). O, jadi dia she Wi, Sih-sin-ih, aku pun baru tahu sekarang, ujar Kiau Hong. Keruan Si Tabib Sakti semakin heran, tanyanya pula, Jika begitu, jadi engkau tiada persahabatan apa-apa dengan dia? Dia adalah dayang seorang sobatku, sedikit banyak ada sangkut pautnya, ujar Kiau Hong. Siapakah sobatmu itu, tentu hubungan kalian sebaik saudara sekandung, bukan? tanya Sih-sin-ih. Tidak, sobatku itu juga cuma kukenal namanya saja, selamanya belum pernah bertemu, sahut Kiau Hong. Keruan jawabannya membikin gempar pula. Sebagian besar orang tidak percaya pada pengakuannya itu, mereka menyangka itu cuma suatu tipu muslihat Kiau Hong saja. Tapi banyak pula yang kenal watak Kiau Hong tidak pernah berdusta, biarpun segala kejahatan mungkin dapat dilakukannya, tapi untuk menjaga harga diri, tidak nanti ia bohong untuk menipu orang. Sih-sin-ih tidak tanya lagi, tiba-tiba ia melangkah maju, ia pegang nadi pergelangan tangan A Cu, ia merasa denyut nadi sangat lemah, tenaga murni dalam tubuh bergolak hebat, keduanya itu satu sama lain tidak seimbang. Waktu

ia periksa nadi lain pula, maka dapatlah ia menentukan penyakitnya. Katanya, Jika Kiau-heng tidak menyambung jiwanya dengan tenaga dalam, mungkin nona ini sudah lama terbinasa di bawah pukulan Kim-kong-ciang Hian-cu Taysu. Sudah tentu ucapan Si Tabib Sakti ini sekali lagi membikin gempar para kesatria, lebih-lebih Hian-lan dan Hian-cit, mereka merasa aneh bilakah suheng mereka pernah memukul seorang nona cilik dengan Kim-kong-ciang? Jika dara cilik ini benar-benar diserang Kim-kong-ciang yang mahahebat itu, tidak mungkin jiwanya bisa dipertahankan sampai sekarang. Maka Hian-lan lantas berkata, Sih-kisu, Hongtiang Suheng kami selama beberapa tahun tidak pernah keluar dari biara, selamanya Siau-lim-si tidak pernah dimasuki kaum wanita, mungkin pukulan Kim-kong-ciang itu bukan dilakukan oleh suheng kami. Habis, di dunia ini siapa lagi yang mampu menggunakan Kim-kong-ciang dari kalangan Buddha ini? ujar Sih-sin-ih. Hian-lan dan Hian-cit menjadi bungkam dan saling pandang. Mereka berdua belajar bersama dengan Hian-cu dari satu guru, mereka giat berlatih, tapi karena terbatas oleh bakat mereka, maka Tay-pan-yak-kim-kong-ciang itu tak berhasil diyakinkan mereka. Hal ini pun tidak membuat menyesal mereka, sebab mereka maklum orang Siau-lim-pay mereka jarang yang berhasil meyakinkan ilmu silat golongannya sendiri walaupun inti rahasia setiap ilmu pusaka mereka selalu dapat diturunkan dengan baik oleh padri-padri sakti angkatan yang lebih tua. Tapi untuk bisa melatihnya dengan sempurna terkadang sampai ratusan tahun baru terdapat seorang genius di antara padri yang berjumlah ratusan itu. Sebenarnya Hian-cit ingin tanya apakah benar nona itu terkena Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, tapi urung diucapkannya, sebab bila ia tanya begitu, itu berarti ia ragukan kepandaian Sih-sin-ih, hal ini akan dianggap kurang hormat. Hian-lan lantas berkata, Di balik kejadian ini tentu ada sesuatu yang ganjil. Suhengku adalah padri yang alim, sebagai seorang ketua suatu mazhab persilatan terkemuka, tidak mungkin ia menyerang seorang nona cilik? Sekalipun nona ini berbuat sesuatu yang salah juga Hongtiang Suheng kami takkan bertindak seganas ini padanya. Semua orang menyatakan benar ucapan itu, mereka pun sependapat bahwa di balik urusan ini pasti ada sesuatu muslihat tertentu. Karena itu banyak di antara mereka sama melototi Kiau Hong, maksud mereka sudah terang yaitu bila ada orang yang main gila dalam peristiwa itu, terang dia pastilah Kiau Hong. Namun Kiau Hong anggap kebetulan malah jika kedua padri Siau-lim-si itu tidak mengakui A Cu dilukai ketua mereka, sebab kalau mereka mengakui hal itu, mungkin Sih-sin-ih akan tidak enak malah untuk mengobati luka A Cu. Supaya menurut arah angin, segera ia berkata, Ya, Hian-cu Hongtiang adalah padri welas kasih, tidak mungkin beliau sembarangan menyerang seorang gadis cilik. Besar kemungkinan ada orang sengaja memalsukan padri saleh untuk merusak nama baik Siau-lim-pay. Hian-lan dan Hian-cit saling pandang, mereka anggap ucapan Kiau Hong yang

durhaka itu beralasan juga. Sebaliknya diam-diam A Cu merasa geli, memang benar juga ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, tapi bukan memalsukan Hian-cu Hongtiang, melainkan Ti-jing Hwesio. Dan sudah tentu Hian-lan dan Hian-cit tidak mengetahui maksud ganda kata-kata Kiau Hong itu. Mendengar apa yang dikemukakan Hian-lan dan Hian-cit tadi, Sih-sin-ih yakin diagnosis yang dikatakannya tadi tidak salah lagi, maka katanya pula, Jika begitu halnya, ternyata di dunia ini ada orang lain lagi yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang dari Siau-lim-si. Cuma waktu orang ini menyerang, entah teralang apa, maka daya pukulannya telah terhapus 7-8 badan hingga Nona Wi ini tidak terbinasa. Tapi betapa hebat tenaga pukulan orang itu mungkin tidak lebih lemah daripada Hian-cu Hongtiang, di jagat ini terang tiada orang ketiga lagi yang dapat menandingi mereka. Alangkah kagumnya Kiau Hong, pikirnya diam-diam, Sungguh mahasakti kepandaian Sih-sin-ih ini. Dia hanya memegang nadi A Cu sebentar, segera ia dapat menguraikan apa yang terjadi pada pertarungan itu dengan tepat. Tampaknya dia pasti dapat juga menyembuhkan A Cu. Maka dengan rasa girang segera ia berkata, Jika nona ini terbinasa di bawah pukulan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, tentu Siau-lim-pay akan ikut tersangkut, maka sudilah Sih-sin-ih menaruh belas kasihan dan suka mengobatinya. Sembari berkata, kembali ia memberi hormat. Tapi belum lagi Si Tabib Sakti menjawab, tiba-tiba Hian-cit tanya A Cu, Siapakah orang yang melukai Nona? Di manakah kau diserang olehnya dan sekarang penyerang itu berada di mana? Karena urusan menyangkut nama baik Siau-lim-pay mereka, pula tidak disangka bahwa di dunia ini ternyata masih ada golongan lain yang mahir Tay-pan-yak-kim-kong-ciang, maka betapa pun ia ingin mengusut urusan ini hingga terang. Sebaliknya sifat A Cu memang nakal dan jahil, tiba-tiba tergerak pikirannya, Kawanan hwesio ini gentar kepada kongcu kami, biarlah aku sengaja menakuti-nakuti mereka. Maka ia lantas menjawab, Penyerang itu adalah seorang pemuda cendekia, wajahnya cakap dan potongannya ganteng. Waktu itu aku sedang minum dengan Kiau-toaya di suatu kedai arak sambil mempercakapkan kepandaian Sih-sin-ih yang mahasakti dan tiada bandingannya sepanjang sejarah .... Manusia mana yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Sih-sin-ih. Apalagi kata-kata itu diucapkan oleh seorang dara jelita, maka tanpa terasa tabib sakti itu sangat senang, ia mengelus jenggotnya dengan tersenyum sambil mendengarkan pujian-pujian setinggi langit itu. Sebaliknya Kiau Hong berkerut kening, sebab apa yang dikatakan A Cu itu sudah terang omong kosong belaka. Terdengar A Cu mencerocos lagi, Waktu itu aku berkata, Adanya Sih-sin-ih itu di dunia, sebenarnya orang lain tidak perlu belajar silat lagi. Maka Kiau-toaya tanya padaku apa sebabnya? Aku menjawab, Jika setiap orang yang dipukul mati toh akan dihidupkan kembali oleh Sih-sin-ih, lalu apa gunanya

orang belajar ilmu silat segala, bukankah sia-sia? Bila kau bunuh seorang, beliau sanggup hidupkan dua orang, kau bunuh dua orang, beliau malahan hidupkan empat orang. Nah, kan sia-sia orang belajar silat? Dasar A Cu memang pandai bicara dan pintar mengarang, lagu suaranya enak didengar pula tidak membosankan pendengarnya. Saking tertariknya bahkan ada yang bergelak tertawa. Namun A Cu sendiri sedikit pun tidak tertawa, ia sambung lagi, Di luar dugaan di meja sebelah waktu itu pun duduk seorang kongcuya, rupanya percakapan kami dapat didengarnya, tiba-tiba ia mendengus dan berkata, Hah, segala pukulan di dunia ini pada umumnya enteng tak bertenaga, karena itulah tabib she Sih bisa mendapatkan nama kosong. Coba kalau tenaga pukulanku ini, apakah dia mampu menyembuhkan? Habis berucap begitu dari tempat duduknya ia terus menghantam ke arahku dari jauh. Tadinya kukira dia hanya bergurau saja, maka tidak kuambil pusing, Tapi Kiau-toaya inilah yang terkejut .... Apakah dia yang menangkiskan pukulan itu? tanya Hian-cit. Bukan, sahut A Cu dengan menggeleng kepala. Jika Kiau-toaya menangkis pukulan itu, tentu aku takkan terluka. Justru karena jarak Kiau-toaya dengan aku agak jauh, maka tanpa pikir ia angkat sebuah kursi dan ditimpukkan dari samping. Syukurlah pertolongan Kiau-toaya itu tepat datangnya hingga kursi itu hancur kena tenaga pukulan kongcu muda itu, aku sendiri merasa sekujur badan enteng bagai terbang ke awang-awang, sedikit pun tidak bertenaga lagi. Lalu kongcuya itu berkata padaku, Nah, sekarang boleh kau pergi pada Sih-sin-ih, suruh dia latihan dulu atas lukamu ini, supaya kelak dia takkan repot jika mesti mengobati Hian-cu Taysu.. Apa maksud perkataannya itu? tanya Hian-lan dengan kening bekernyit. Agaknya ia maksudkan kelak akan menggunakan Tay-pan-yak-kim-kong-ciang untuk melukai Hian-cu Taysu, sahut A Cu. Seketika para kesatria dibikin gempar pula, banyak di antaranya berseru, He, Ih-pi-ci-to hoan-si-pi-sin, ternyata betul, itulah dia Koh-soh Buyung! Mereka pakai kalimat ternyata betul, maksudnya mereka sudah menduga sebelumnya akan keterangan A Cu itu. Begitulah oleh karena A Cu sudah tahu Buyung Hok bakal cari setori pada orang Siau-lim-pay, maka sekarang ia sengaja membual untuk menggertak lawan dulu, sekalian untuk mengangkat derajat dan meninggikan perbawa Buyung-kongcu. He, bukankah Kiau Hong tadi bilang ada orang memalsukan padri Siau-lim-si, mengapa nona ini sekarang mengatakan penyerangnya itu adalah seorang muda, sebenarnya manakah yang betul? tiba-tiba Yu Ek menegas. Orang yang memalsukan padri Siau-lim-si memang bukan karangan, aku sendiri menyaksikan dua hwesio yang mengaku dari Siau-lim-si, tapi diam-diam mencuri anjing orang untuk disembelih, sahut A Cu. Ia sadar bualannya tadi agak tidak cocok dengan keterangan Kiau Hong, maka ia sengaja omong yang tidak-tidak untuk membelokkan pokok pertanyaan mereka. Dengan sendirinya Sih-sin-ih lantas tahu juga apa yang diceritakan A Cu itu

agak ganjil, seketika ia menjadi ragu apakah mesti mengobati luka gadis ini atau tidak. Ia coba pandang Hian-lan dan Hian-cit berdua, lalu memandang Yu-si-siang-hiong dan memandang pula Kiau Hong dan A Cu. Hari ini jika Sih-siansing sudi menolong Nona Wi, budi kebaikan ini pasti takkan kulupakan di kemudian hari, ujar Kiau Hong. Hehe, takkan melupakan kebaikanku di kemudian hari? Memangnya kau kira kau dapat keluar dari sini dengan hidup? jengek Sih-sin-ih. Keluar dari sini dengan hidup atau akan mati di sini, hal ini tak dapat kupikirkan lagi, kata Kiau Hong. Yang terang, luka nona ini betapa pun harus kau obati. Untuk apa aku harus mengobati dia? sahut Sih-sin-ih dengan ketus. Kota Buddha, menolong jiwa seorang melebihi membangun tujuh tingkat candi, ujar Kiau Hong. Sebagai seorang bu-lim yang wajib berlaku bajik, rasanya tidak mungkin Sih-siansing tega menyaksikan nona ini mati begitu saja tanpa berdosa. Sebenarnya siapa pun yang membawa nona ini kemari, pasti akan kusembuhkan dia, sahut Sih-sin-ih. Tapi, hm, karena kau yang membawanya kemari, maka aku tidak mau menolong dia. Air muka Kiau Hong berubah mendadak, katanya dengan dingin, Kalian berkumpul di Cip-hian-ceng tujuan kalian memang hendak menghadapi orang she Kiau, masakah aku tidak tahu? Ai, Kiau-toaya, jika begitu, tidak seharusnya engkau menempuh bahaya dan membawa aku ke sini, sela A Cu mendadak. Namun Kiau Hong menyambung lagi, Tapi kupikir kalian adalah kaum kesatria sejati, tentu dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang ingin kalian bunuh juga cuma aku seorang dan tiada sangkut paut apa-apa dengan nona cilik ini. Sekarang rasa benci Sih-siansing kepadaku ikut merembet atas diri Nona Wi ini, bukankah itu tidak patut? Sih-sin-ih menjadi bungkam. Sejenak barulah ia menjawab, Apakah aku akan mengobati seseorang atau tidak bergantung kepada keputusanku, hal ini tak dapat dimohon oleh siapa pun dan tak bisa dipaksakan padaku. Kiau Hong, dosamu, sudah kelewat takaran, kami justru lagi berunding hendak membekuk batang lehermu untuk mencencangmu guna sesajen ayah-bunda dan gurumu yang telah menjadi korban keganasanmu itu. Jika sekarang kau sendiri sudah datang kemari, itulah paling bagus. Nah, boleh kau bereskan nyawamu sendiri saja. Habis berkata, sekali ia memberi tanda, serentak para kesatria berteriak sekali sambil melolos senjata masing-masing, seluruh ruangan itu penuh sinar kemilau dari berbagai jenis senjata. Menyusul di tempat tinggi juga terdengar suara seruan, di atap rumah, emper, dan pagar tembok sudah penuh berdiri jago-jago silat dengan senjata siap di tangan. Meski sudah banyak pertempuran besar yang dialami Kiau Hong, tapi biasanya anggota Kay-pang yang dipimpinnya itu selalu berjumlah lebih banyak daripada pihak musuh, tidak pernah seorang diri terkepung di tengah musuh banyak seperti sekarang ini, bahkan ia masih harus melindungi seorang nona cilik yang terluka parah, sungguh ia menjadi bingung juga cara bagaimana mesti

meloloskan diri dari kepungan musuh yang ketat ini. Yang paling khawatir adalah A Cu. Kiau-toaya, lekas engkau melarikan diri saja dan tidak perlu urus diriku! Mereka tiada permusuhan apa-apa denganku, tentu aku takkan dibikin susah oleh mereka, demikian seru A Cu sambil menangis. Tergerak pikiran Kiau Hong, ia pikir para kesatria tentu takkan bikin susah seorang gadis tak berdosa, biarlah lekas kutinggalkan tempat ini saja. Tapi segera terpikir pula, Seorang laki-laki sejati sekali menolong orang harus menolong sampai akhirnya, sedangkan Sih-sin-ih belum lagi menyanggupi akan mengobati lukanya, sebelum tahu pasti bagaimana nasib nona cilik ini, mana boleh aku tamak hidup dan takut mati, lalu tinggal pergi begini saja? Ia coba pandang sekitar ruangan tamu itu, ia lihat banyak tokoh terkemuka di antara hadirin itu adalah kenalan lama. Melihat jago-jago terkemuka sebanyak itu, sekonyong-konyong semangat jantannya berkobar-kobar, rasa jeri tersapu bersih semua. Katanya di dalam hati, Andaikan darahku akan membasahi Cip-hian-ceng ini dan badanku akan dicencang mereka, apa artinya lagi bagiku? Seorang laki-laki kenapa mesti girang hidup dan takut mati? Berpikir begitu, segera ia terbahak dan berkata, Sih-sin-ih, kalian menuduh aku adalah orang Cidan dan ingin membunuhku. Hehehe, apakah aku sebenarnya orang Cidan atau orang Han, sampai saat ini aku sendiri pun tidak pasti .... Benar, memang kau anak keturunan capcai, dengan sendirinya kau tidak tahu keturunan jenis apa! tiba-tiba suara orang yang dingin aneh tadi bergema lagi di antara orang banyak. Sejak tadi semua orang ingin tahu siapakah gerangan pembicara itu, tapi meski sudah dicari dan diperhatikan arah datangnya suara itu, tetap tak diketahui bibir siapa yang bergerak dan bicara itu. Jika perawakan orang itu sangat pendek, toh di antara hadirin itu tiada seorang pun yang berperawakan katai. Semula Kiau Hong juga celingukan mencari si pembicara itu, tapi sesudah memerhatikan sejenak kemudian ia manggut-manggut, ia tidak gubris orang dan melanjutkan perkataannya kepada Sih-sin-ih, Dan bila aku ternyata bangsa Han adanya, hari ini engkau telah menghinaku secara terbuka begini, tidak nanti aku tinggal diam atas perbuatanmu ini. Sebaliknya kalau aku adalah bangsa Cidan dan bertekad akan memusuhi para kesatria Tionggoan, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah dirimu, dengan demikian supaya setiap kesatria Tionggoan yang kulukai akan binasa dan tak dapat tertolong lagi olehmu. Memang, betapa pun kau pasti akan membunuhku, sahut Sih-sin-ih. Tapi aku mohon sukalah engkau menolong nona ini, satu jiwa kubayar kembali dengan satu jiwa, selamanya aku takkan mengganggu seujung rambutmu, ujar Kiau Hong. Hehehe, Sih-sin-ih tertawa dingin, selama hidupku bila mengobati orang hanya kalau dimohon, tapi tidak pernah dipaksa atau diancam. Kan kutukar jiwamu dengan satu jiwa secara adil, tak dapat dikatakan aku mengancam atau memaksa, sahut Kiau Hong.

Tiba-tiba suara dingin dan aneh tadi berkata pula, Huh, apakah kau tidak malu? Padahal sekejap lagi kau sendiri akan dicencang mereka menjadi perkedel, tapi kau masih bicara tentang mengampuni jiwa orang segala? Kau .... Belum selesai ia berkata, mendadak Kiau Hong membentak, Gelinding keluar! Begitu hebat bentakannya hingga atap rumah seakan-akan terguncang, debu kotoran pun bertebaran dari atas, telinga setiap orang seakan-akan pekak dan jantung berdebar. Pada saat lain tertampaklah di antara orang banyak ada seorang laki-laki terhuyung-huyung menumbuk kian-kemari pada orang-orang di sekitarnya. Hanya sekejap saja di situ lantas berwujud suatu tempat luang, orang-orang lain sama menyingkir dan laki-laki itu tampak sempoyongan bagai orang mabuk. Para kesatria lantas dapat melihat jelas laki-laki itu berjubah hijau, muka pucat kaku, perawakannya sangat kekar dan tegap, tapi tiada yang kenal siapakah dia. Ah, tahulah aku, dia ini Tui-hun-tiang Tam-ceng. Ya, dia inilah murid Yan-king Taycu, demikian tiba-tiba Oh-pek-kiam Su An berseru. Tui-hun-tiang Tam-ceng, Si Tongkat Pencabut Nyawa, mukanya waktu itu tampak berkerut-kerut, terang sedang menderita kesakitan yang luar biasa sambil kedua tangan tiada berhenti-henti memukul dan mencakar dada sendiri. Dari dalam badannya terdengar suara perkataan, Aku ... aku tiada permusuhan apa-apa dengan ... denganmu, mengapa kau musnahkan ilmuku? Suaranya tetap lirih, dingin dan aneh, tapi kini terdengar lemah dan terputus-putus, sedang bibirnya sedikit pun tidak bergerak. Keruan banyak di antara hadirin terkejut dan heran. Hanya beberapa di antaranya yang mengetahui bahwa ilmu kemahiran Tam-ceng itu disebut Hok-lwe-gi (ilmu bicara dengan perut), dengan ilmu mukjizat itu ditambah lwekang yang tinggi, sering pihak lawan bisa dipermainkan hingga semangat kabur dan sukma hilang, akhirnya terbinasa. Rupanya Tam-ceng sudah memperoleh kepandaian gurunya, yaitu, Yan-king Taycu dan telah menjadi seorang pembicara dengan perut yang ulung. Tapi sial baginya, ia ketanggor sekali ini, karena lwekang Kiau Hong jauh lebih tinggi daripadanya, maka ilmu sihirnya itu tidak mempan, sebaliknya ia kena digertak Kiau Hong dan ia celaka sendiri. Maka dengan gusar Sih-sin-ih lantas mendamprat Tam-ceng, Jadi kau inilah murid Ok-koan-boan-eng Toan Yan-king? Pertemuan besar kaum kesatria yang kuadakan ini hanya disediakan untuk para pahlawan. Manusia rendah dan sampah masyarakat macammu ini juga berani menyelundup ke sini? Huh, pertemuan kesatria apa segala, kulihat lebih tepat dikatakan pertemuan antara kawanan babi celeng! tiba-tiba dari tempat tinggi di kejauhan berkumandang suara seorang. Dan begitu selesai ucapannya, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang turun dari atas pagar tembok yang tinggi. Perawakan orang ini tampak lencir dan tinggi sekali dengan gerak-geriknya yang sangat cepat. Banyak di antara penjaga di atas rumah telah berusaha merintanginya, tapi semuanya terlambat sedikit hingga orang jangkung ini

sempat menerobos lewat. Segera banyak juga di antara hadirin mengenal si jangkung ini tak-lain-tak-bukan adalah Kiong-hiong-kek-ok In Tiong-ho alias Si Ganas dan Mahajahat. Dan begitu In Tiong-ho melayang turun ke tengah ruangan, dengan cepat ia jambret Tam-ceng terus menerjang ke arah Sih-sin-ih malah. Karena khawatir tabib sakti itu diserang, dengan sendirinya tokoh-tokoh di sekitarnya serentak berusaha melindunginya. Tak tersangka tindakan In Tiong-ho itu melulu tipu belaka, pura-pura maju tapi sebenarnya akan mundur. Begitu lawan mengerubut maju, cepat sekali ia melompat mundur dan melompat ke atas pagar tembok lagi. Sebenarnya tidak sedikit di antara kesatria yang hadir itu berilmu silat lebih tinggi daripada In Tiong-ho, tapi karena didahului oleh durjana itu, ditambah lagi ginkang Tiong-ho memang lain daripada yang lain, sekali dia sudah naik ke pagar tembok, sukarlah untuk disusul oleh siapa pun. Segera banyak di antara jago-jago itu bermaksud menyerang dengan senjata rahasia, penjaga di atas atap rumah juga membentak dan hendak mencegat, tapi Kiau Hong sudah mendahului bertindak, mendadak ia membentak, Tinggal sajalah di sini! Berbareng sebelah tangan terus memukul dari jauh, kontan suatu arus tenaga mahadahsyat bagaikan senjata tanpa wujud mengenai punggung In Tiong-ho. Tanpa ampun lagi mahadurjana itu bersuara tertahan sekali, lalu terbanting jatuh ke belakang. Begitu terjungkal ke bawah, terus saja mulutnya menyemburkan darah segar bagai air mancur. Sebaliknya Tam-ceng yang ikut terjungkal kembali itu masih dapat merangkak bangun, namun tetap terhuyung-huyung ke sana dan kemari sambil mulutnya menggumam seperti orang gila, keadaannya sangat lucu. Namun tiada seorang pun di antara hadirin geli oleh kelakuan Tam-ceng itu, sebaliknya mereka merasa keadaan di depan mata itu sangat seram. Sih-sin-ih tahu luka In Tiong-ho sangat parah, tapi masih dapat ditolong, sebaliknya semangat Tam-ceng sudah runtuh, pikiran sehatnya sudah hilang, tiada obat mukjizat di dunia ini yang dapat menolong jiwanya. Terbayang olehnya Kiau Hong hanya sekali menggertak dan sekali menghantam dari jauh saja sudah memiliki daya selihai itu, bila bekas pangcu itu mau ambil jiwanya, rasanya tiada yang mampu merintanginya. Tengah Sih-sin-ih termenung itu, tertampak Tam-ceng tidak bergerak lagi, tapi berdiri terpatung di tempatnya tanpa bersuara lagi. Kedua matanya mendelik, napasnya sudah putus. Tadi Tam-ceng telah menghina Kay-pang, sebenarnya anggota-anggota Kay-pang sangat murka, tapi waktu itu tiada diketemukan siapa pembicaranya, maka mereka cuma gusar tanpa ada sasarannya. Kini, sekali Kiau Hong datang ke situ, segera orang itu dapat dimampuskan, tentu saja mereka merasa sangat senang dan puas. Kesatria-kesatria yang jujur tulus sebagai Go-tianglo dan Song-tianglo sampai hampir-hampir bersorak memuji, cuma teringat oleh mereka bahwa Kiau Hong sekarang bukan pangcu mereka lagi, pula dituduh sebagai keturunan Cidan, maka mereka urung bersorak. Tapi lapat-lapat dalam hati

kecil mereka toh merasa menyesal bila Kiau Hong tidak menjadi pangcu mereka, maka kejayaan Kay-pang yang telah lalu tentu susah dibangun kembali. Kedua Yu-heng, demikian Kiau Hong berkata. Hari ini Cayhe dapat bersua dengan kenalan-kenalan lama di sini, tapi untuk selanjutnya kita akan menjadi lawan dan bukan kawan lagi, sungguh aku merasa sangat menyesal, maka aku ingin mohon beberapa mangkuk arak padamu. Semua orang menjadi heran menyaksikan ketenangan Kiau Hong ini, di bawah kepungan lawan sebanyak ini toh dia masih sempat minta minum arak apa segala. Diam-diam Yu Ek pikir, Biarlah kita lihat cara bagaimana ia akan bertingkah? Maka ia lantas perintahkan centeng menyediakan arak yang diminta. Cip-hian-ceng sedang mengadakan pertemuan, dengan sendirinya arak dan daharan sudah tersedia lebih dari cukup. Hanya sekejap pelayan sudah sediakan poci dan cawan arak seperlunya. Tapi Kiau Hong berkata pula, Cawan sekecil ini mana dapat memuaskan, harap ambilkan mangkuk yang besar. Segera dua centeng membawakan beberapa buah mangkuk besar dan satu guci arak simpanan, mereka menaruh semua itu di atas meja di depan Kiau Hong dan menuangkan satu mangkuk penuh. Harap setiap mangkuk diisi semua, pinta Kiau Hong, dan sesudah hal itu dipenuhi kedua pelayan, lalu Kiau Hong angkat mangkuk dan berkata, Para enghiong-hohan dari segenap penjuru yang hadir di sini sebagian besar adalah kawan lama Kiau Hong, tapi sekarang karena aku dicurigai kalian, marilah, silakan, kita habiskan semangkuk arak ini sekadar tanda putusnya persaudaraan. Siapa yang ingin membunuh diriku harap minum dulu semangkuk. Selanjutnya putuslah hubungan baik kita, apakah aku akan terbunuh oleh kalian atau kalian akan kubinasakan, masing-masing tidak perlu sungkan-sungkan. Nah, silakan siapa yang akan maju lebih dulu. Seketika ruangan tamu itu menjadi sunyi senyap, semuanya berpikir dengan khawatir, Jika aku maju dulu, jangan-jangan akan tertipu olehnya. Pukulan sakti dari jauh seperti tadi mana aku sanggup menangkisnya? Dalam keadaan hening itulah, tiba-tiba tampil ke muka seorang perempuan berpakaian putih berkabung. Itulah janda Be Tay-goan. Be-hujin mengangkat mangkuk arak dan berkata dengan dingin, Suamiku dibinasakan olehmu, di antara kita tiada soal persaudaraan lagi! Lalu ia tempelkan mangkuk arak ke bibir, ia cicip sedikit dan berkata pula, Aku tidak sanggup minum habis arak ini, tapi sakit hati kematian suami yang harus kubalas adalah mirip arak ini. Habis berkata, ia siram sisa arak ke lantai. Waktu Kiau Hong perhatikan janda muda itu, ia lihat Be-hujin itu cantik molek. Tempo hari waktu bertemu di tengah hutan, karena cuaca sudah gelap, maka wajahnya tidak jelas kelihatan, sungguh tak tersangka wanita yang lihai itu ternyata mempunyai wujud secantik ini. Tanpa bicara ia pun angkat mangkuknya, sekali tenggak ia habiskan isi mangkuk. Ia memberi tanda agar pelayan

memenuhi mangkuknya lagi. Sesudah Be-hujin undurkan diri, lalu maju Ci-tianglo, ia pun tanpa bicara mengeringkan semangkuk arak diiringi Kiau Hong. Dan setelah Thoan-kong Tianglo, lalu majulah Cit-hoat Tianglo. Selagi tokoh Kay-pang itu angkat mangkuknya hendak ditenggak, mendadak Kiau Hong berkata, Nanti dulu! Kiau-heng ada pesan apa? tanya Cit-hoat Tianglo. Biasanya ia sangat hormat kepada Kiau Hong, maka nada suaranya sekarang tetap merendah seperti biasanya, bedanya cuma tidak memanggil pangcu lagi. Maka berkatalah Kiau Hong, Kita adalah saudara selama sepuluh tahun, sungguh tidak nyana hari ini mesti menjadi musuh. Air mata Cit-hoat Tianglo berlinang-linang di kelopak matanya, sahutnya, Jika tidak menyangkut kepentingan nusa dan bangsa, Pek Si-kia lebih suka mati daripada bermusuhan dengan Kiau-heng. Aku paham hal ini, kata Kiau Hong sambil mengangguk, Sebentar lagi kita akan menjadi lawan, rasanya tak terhindar daripada suatu pertarungan sengit. Maka Kiau Hong ingin minta tolong sesuatu urusan. Asal tidak menyangkut pengkhianatan pada negara, pasti akan kuterima, sahut Pek Si-kia. Kiau Hong tersenyum, katanya sambil menunjuk A Cu, Apabila saudara dalam Kay-pang masih ingat pada sedikit jasaku yang pernah kuberikan kepada pang, harap suka jaga keselamatan nona cilik ini. Mendengar pesan itu tahulah semua orang bahwa Kiau Hong sudah bertekad akan menempur para kesatria sampai titik darah penghabisan. Dikeroyok oleh lawan sebanyak biarpun dia mampu membinasakan beberapa puluh orang, namun akhirnya Kiau Hong sendiri tentu juga akan terbinasa. Maka mau tak mau para kesatria terharu juga oleh semangat jantan dan jiwa kesatria Kiau Hong itu. Sebagai seorang tokoh terkemuka serta kedudukan yang tinggi selaku Cit-hoat Tianglo dalam Kay-pang, dengan sendirinya Pek Si-kia adalah seorang kesatria yang berjiwa besar, apalagi hubungannya dengan Kiau Hong biasanya sangat karib. Maka pesan terakhir bekas pangcu itu segera dijawabnya, Harap Kiau-heng jangan khawatir, Pek Si-kia pasti akan mohon Sih-sin-ih suka menyembuhkan nona itu, bila terjadi apa-apa atas diri Nona Wi, Pek Si-kia rela akan membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan pesan Kiau-heng ini. Janji Cit-hoat Tianglo ini cukup tegas, apakah nanti Sih-sin-ih akan mengobati A Cu atau tidak, yang pasti ia akan berusaha sekuat tenaga. Seorang tokoh bu-lim selamanya berani berkata berani berbuat, apalagi ia telah berjanji di depan orang banyak, maka janji pasti akan ditepati olehnya. Kiau Hong percaya sepenuhnya, katanya, Banyak terima kasih atas kebaikan Tianglo ini. Dan dalam pertarungan nanti Kiau-heng tidak perlu berlaku sungkan-sungkan, bila aku mesti mati di tanganmu, tentu kawan-kawan Kay-pang yang lain akan menggantikan aku menjaga Nona Wi.

Habis bicara, ia angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis. Begitu pula Kiau Hong lantas mengiringi dengan minum semangkuk. Lalu giliran maju Song-tianglo, Go-tianglo dan tokoh Kay-pang yang lain. Kemudian majulah jago-jago bu-lim dari berbagai mazhab yang hadir di situ, satu per satu mengadu mangkuk dengan Kiau Hong. Tampaknya dalam waktu singkat Kiau Hong sendiri sudah menghabiskan 40-50 mangkuk arak, satu guci penuh tadi sudah habis terminum, malahan centeng sudah mengeluarkan pula satu guci, tapi keadaan Kiau Hong masih segar bugar, bahkan wajahnya sedikit pun tidak merah, hanya perutnya tampak sedikit gembung, tiada sesuatu tanda lain yang luar biasa. Keruan semua orang ternganga heran, pikir mereka, Jika minum terus cara begini, jangankan mesti bergebrak segala, mungkin sekali mabuk takkan sanggup bangun lagi. Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa semakin banyak minum arak semangat Kiau Hong semakin tambah. Apalagi selama beberapa hari ini Kiau Hong selalu menghadapi kejadian yang mengesalkan dan membuatnya penasaran. Kini ia telah kesampingkan semua itu dan sengaja hendak melabrak mereka sepuasnya. Setelah lebih 60 mangkuk arak masuk perut Kiau Hong, Pau Jian-leng dan Ki Liok juga mengadu mangkuk dengan dia, tiba-tiba majulah Hiang Bong-thian, ia angkat sebuah mangkuk dan berkata, Orang she Kiau, biarlah aku pun minum semangkuk denganmu! Mendengar ucapan orang yang kurang hormat itu, Kiau Hong menjadi panas telinganya, ia melirik hina pada Hiang Bong-thian dan menyahut, Orang she Kiau minum arak putus hubungan ini dengan para kesatria bu-lim, maksudnya menghapuskan segala kebaikan persaudaraan masa lalu. Tapi kau ini kutu busuk macam apa? Macam dirimu juga tidak ada harganya untuk bicara tentang persaudaraan denganku dan mengajak minum coat-kay-ciu (arak putus hubungan) padaku? Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan pada Hiang Bong-thian untuk bicara lagi, ia melangkah maju setindak, sekali tangan kanan terjulur, tahu-tahu dada baju Hiang Bong-thian kena dijambretnya, menyusul sekali ia angkat dan ayun ke depan, Hiang Bong-thian yang besar itu terlempar keluar ruangan, bluk, dengan keras badan Hiang Bong-thian tertumbuk dinding dan seketika menggeletak kelengar. Suasana menjadi kacau dan tegang. Segera Kiau Hong melompat ke pekarangan, bentaknya, Ayolah, siapa yang berani maju dulu untuk menempur aku! Melihat betapa gagah dan tangkasnya Kiau Hong, seketika nyali para tokoh bu-lim itu menjadi ciut hingga tiada seorang pun berani maju. Kalian tidak berani maju, biarlah aku yang mulai dulu! bentak Kiau Hong. Dan tanpa ampun lagi ia terus menghantam dua kali dari jauh, kontan dua orang terkapar di tanah oleh angin pukulan jarak jauh itu. Bahkan Kiau Hong terus menerjang maju, di mana kepalan dan sikutnya tiba, di mana kakinya melayang dan telapak tangan menghantam, dalam sekejap saja kembali beberapa orang dirobohkan pula. Lekas mundur mepet dinding, jangan sembarangan menyerang! teriak Yu Ek cepat.

Seruan Yu Wk memang tepat. Jumlah orang yang berada di ruangan ada dua-tiga ratus, kalau mengerubut maju begitu saja, betapa pun tinggi ilmu silat Kiau Hong juga tak mampu melawan. Tapi tempatnya kecil dan orangnya banyak, dengan cara berjubel begitu, yang benar dapat mendekati Kiau Hong paling-paling juga cuma lima-enam orang saja, dan di bawah hujan pukulan dan tendangan pasti lebih banyak kawan sendiri yang akan terluka oleh orang sendiri. Maka sesudah seruan Yu Ek itu, seketika terluanglah di bagian tengah hingga cukup luas. Marilah, biar kubelajar kenal dulu kepandaian Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng, seru Kiau Hong pula. Dan sekali tangan kiri bergerak, tahu-tahu guci arak di atas meja tadi terbang melayang ke arah Yu Ek. Cepat Yu Ek dorong kedua tangannya ke depan, maksudnya hendak tahan guci itu ke lantai. Di luar dugaan, Kiau Hong telah susulkan sekali hantaman dengan tangan kanan, prak, guci hancur dan beratus beling pecahan guci bertebaran. Beling dari remukan guci itu sudah tentu sangat tajam, ditambah lagi terdorong oleh tenaga pukulan Kiau Hong yang dahsyat, keruan beling guci menjadi mirip beratus senjata rahasia seperti piau, hui-to (pisau terbang), dan lain-lain. Seketika muka Yu Ek terkena tiga potong beling hingga darah bercucuran, belasan orang di sampingnya juga ikut terluka. Maka paniklah gelanggang pertarungan itu, suara caci maki bercampur dengan suara jerit riuh. Dalam pada itu sebelah kaki Kiau Hong menendang pula hingga guci arak yang lain didepak mencelat, selagi dia hendak menambahi sekali hantaman pula, sekonyong-konyong dari belakang terasa menyambar tiba serangkum angin pukulan yang bertenaga halus, tapi sebenarnya mengandung tenaga dalam yang sangat kuat. Kiau Hong tahu pukulan itu dilontarkan oleh seorang jago kelas wahid, ia tidak berani ayal, cepat ia menangkis ke belakang. Maka bertemulah dua arus tenaga dalam yang kuat. Waktu Kiau Hong memerhatikan penyerang itu, ternyata orangnya bermuka jelek dan lucu, itulah dia si badut yang tak punya nama, tapi mengaku sebagai Tio-ci-sun itu. Diam-diam Kiau Hong tidak berani memandang enteng tokoh yang hebat lwekangnya ini. Sekali ia tarik napas panjang-panjang, pukulan kedua segera dilancarkan bagaikan gugur gunung dahsyatnya. Rupanya Tio-ci-sun juga tahu melulu dengan sebelah tangannya takkan mampu menahan serangan Kiau Hong itu, maka dengan dorong kedua tangan sekaligus ia berusaha menangkis. Apakah kau cari mampus! mendadak suara seorang wanita di sampingnya membentak. Berbareng Tio-ci-sun merasa pundaknya ditarik orang ke samping hingga serangan Kiau Hong itu terhindarkan. Namun begitu toh tenaga pukulan Kiau Hong itu masih terus menerjang ke depan. Maka celakalah tiga orang di belakang Tio-ci-sun, mereka yang tertimpa malang. Terdengarlah suara gedebukan tiga kali, ketiga orang itu mencelat dan menumbuk dinding dengan keras, begitu hebat tumbukan itu hingga kapur pasir dinding rontok bertebaran.

Waktu Tio-ci-sun menoleh, ia lihat orang yang menariknya tadi adalah Tam-poh, ia menjadi girang, katanya, Terima kasih atas pertolonganmu! Kau serang bagian kiri dan aku akan menyerang dari kanan, kata Tam-poh. Dan baru Tio-ci-sun mengiakan, tahu-tahu sesosok bayangan orang yang kurus kecil sudah mendahului menerjang ke arah Kiau Hong. Ternyata orang itu adalah Tam-kong, si kakek Tam. Jangan sangka perawakan Tam-kong itu kurus kecil, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, begitu tangan kiri menghantam ke depan, menyusul serangan tangan kanan dilontarkan lagi. Dan sedikit tangan kiri ditarik kembali, segera ia tambahkan tenaga pukulannya pada tangan kanan. Serangan tiga kali secara berantai ini menjadi mirip damparan ombak yang susul-menyusul, dibandingkan pukulan Tio-ci-sun tadi, terang tiga kali pukulan Tam-kong ini beberapa kali lipat lebih kuat. Pukulan Tiang-kang-sam-tiap-long (Ombak Mendebur Tiga Susun di Sungai Tiangkang) yang hebat! puji Kiau Hong sambil memapak dengan tangan kiri. Benturan kedua arus tenaga dalam yang hebat itu memaksa orang lain terdesak mundur ke pinggir. Dan pada saat itulah Tam-poh dan Tio-ci-sun pun mengerubut maju, menyusul Ci-tianglo, Thoan-kong Tianglo, Tan-tianglo dan lain-lain juga ikut terjun ke kalangan pertarungan sengit itu. Kiau-hengte, Cidan tidak dapat hidup berdampingan dengan kerajaan Song raya kita, demi kepentingan umum terpaksa kita mesti kesampingkan hubungan pribadi, maafkan bila aku akan berlaku kasar padamu! demikian Thoan-kong Tianglo berseru. Sedangkan coat-kay-ciu juga sudah kita minum, buat apa bicara tentang persaudaraan lagi? Awas serangan! demikian sahut Kiau Hong sambil mendepak ke arah tokoh Kay-pang itu. Namun begitu omongnya, toh terhadap tokoh Kay-pang mau tak mau ia berlaku sungkan juga, bukan saja tiada niat mencelakai jiwa mereka, bahkan membikin malu mereka di depan orang banyak juga tidak. Maka depakan itu sampai di tengah jalan mendadak ganti arah, bluk, tahu-tahu Goay-to Ki Liok yang menjadi sasarannya hingga tertendang mencelat. Rupanya Ki Liok, Si Golok Kilat itu sama sekali tidak menyangka akan tindakan itu, keruan ia menjerit kaget ketika mendadak pantatnya terasa terdepak dan badannya mencelat ke atas. Goloknya sebenarnya sedang dibacokkan ke kepala Kiau Hong, tapi karena badannya mumbul ke udara, dan goloknya tetap dibacokkan, maka terdengarlah crat, golok itu tepat kena membacok belandar utama ruangan besar itu. Gedung utama Cip-hian-ceng yang dibangun Yu-si-siang-hiong itu sangat megah dan kukuh, lebih-lebih belandar itu adalah sejenis kayu pilihan yang sangat kuat. Maka sekali kena bacok dengan kuat, golok Ki Liok itu lantas ambles belasan senti dalamnya hingga senjata itu tergigit dengan kencang dalam belandar. Golok Ki Liok itu adalah senjata andalan yang membuatnya terkenal, kini harus menghadapi musuh tangguh, mana dia mau kehilangan senjata itu? Maka sekuatnya

ia memegangi golok itu dengan tangan kanan. Dengan demikian, tubuhnya menjadi terkatung-katung di udara, keadaannya menjadi lucu dan aneh. Tapi setiap orang di tengah ruangan itu sedang menghadapi detik antara mati dan hidup, dengan sendirinya tiada seorang pun sempat menertawainya. Kiau Hong sendiri meski sudah banyak menghadapi pertempuran seru dan selamanya tidak pernah kalah, tapi kini harus bertempur dengan jago sebanyak dan selihai ini, hal ini pun selama hidupnya tidak pernah dialami. Namun sama sekali ia tidak gentar sebaliknya semangatnya semakin berkobar, ia mainkan kedua tangannya naik-turun hingga lawan-lawan tangguh sukar mendekatinya. Sih-sin-ih memang sakti dalam ilmu pengobatan, tapi ilmu silatnya belum tergolong kelas wahid. Dalam ilmu pertabiban memang dia mempunyai bakat pembawaan dan pengalaman yang mendalam. Dalam hal ilmu silat ia pun sangat luas pengetahuannya, tapi luas pengetahuan tidak berarti pandai pula menggunakannya. Oleh karena terlalu luas dan terlalu banyak yang dia pelajari, maka tiada sejurus pun ilmu silat itu benar-benar dilatihnya hingga sempurna. Jadi hanya sepintas lalu saja ia mempelajari berbagai jurus ilmu silat yang diperolehnya dari tokoh-tokoh yang pernah diobati olehnya. Sebelumnya ia suka bergirang dan puas akan pengetahuan sendiri yang luas dalam hal ilmu silat, tapi kini demi menyaksikan pertarungan sengit antara Kiau Hong melawan orang banyak itu, betapa hebat dan lihainya bekas Pangcu Kay-pang ini benar-benar membuatnya terpesona, sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya ada ilmu silat begini lihai. Saking takjubnya hingga ia terkesima di tempatnya, jangankan lagi hendak maju bertempur. Begitulah ia berdiri mepet tembok dengan rasa takut, cuma untuk merat secara diam-diam betapa pun ia merasa enggan, sebagai pengundang masakah ia sendiri malah kabur lebih dulu? Sekilas tiba-tiba dilihatnya Hian-lan berdiri di sebelahnya, tergerak hatinya, maka katanya perlahan, Ucapanku tadi sesungguhnya kurang sopan, harap Taysu suka memaafkan. Sebenarnya Hian-lan asyik mengikuti pertarungan sengit di tengah ruangan itu, ia terkesiap oleh perkataan Sih-sin-ih itu, segera ia tanya, Ucapan apa maksudmu? Tadi aku menyatakan heran mengapa Kiau Hong mampu keluar-masuk Siau-lim-si seorang diri dengan bebas tanpa terluka apa-apa, dan sesudah menyaksikan sekarang, nyata dia memang cukup mampu untuk berbuat begitu, kata Sih-sin-ih. Keruan Hian-lan kurang senang mendengar demikian, sahutnya dengan mendengus, Hm, Sih-sin-ih ingin menguji ilmu silat Siau-lim-pay, bukan? Belum lagi Sih-sin-ih menjawab, terus saja ia melangkah maju, sekali lengan bajunya yang komprang itu mengebas, mendadak dari bawah lengan baju timbul suara menderu yang keras, angin pukulan yang dahsyat lantas menyambar ke arah Kiau Hong.

Ini jilid 39

Sang dewi malam memantjarkan sinarnja jang terang ditengah tjakrawala, sinar bulan itu menembus kedalam kamar melalui tjelah2 djendela. Saat itu Toan Ki masih guling-gulantang takbisa pulas. Achirnja pelahan2 ia bangun dan keluar kepelataran tengah kelenting, disitu tumbuh dua batang pohon waru jang rindang.

Tatkala itu adalah achir musim panas, tapi ditengah malam didaerah sekitar Kamsiok situ hawa sudah terasa agak dingin. Toan Ki mondar-mandir dibawah pohon waru itu, lapat2 ia merasa luka didadanja agak sakit, ia tahu tentu siang harinja telah banjak bergerak sehingga membikin luka itu kambuh kembali.

Sebab apakah dia ingin membunuh diri? demikian timbul pula pertanjaan ini didalam benaknja.

Karena pertanjaan itu tetap sukar dipetjahkan, achirnja ia melangkah keluar kelenting. Dibawah sinar bulan jang terang itu tiba2 dilihatnja ada berkelebatnja bajangan orang ditepi empang dikedjauhan sana. Lapat2 bajangan orang itu seperti kaum wanita, bahkan mirip bangun tubuhnja Giok-yan.

Toan Ki terkedjut: Wah, tjelaka, djangan2 dia... dia hendak membunuh diri lagi.

Tjepat ia gunakan Ginkang untuk memburu kesana. Sekali dia keluarkan langkah Leng-po-wi-poh jang adjaib, maka tjepatnja bukan main dan tak bersuara seperti orang meluntjur diatas air, hanja sekedjap sadja ia sudah berada dibelakang bajangan orang itu.

Air empang jang tenang dan bening sebagai katja itu telah mentjerminkan muka orang itu dengan djelas, memang betul dia adalah Giok-yan.

Toan Ki tidak berani sembarangan menegurnja, pikirnja: Ketika di Siau-sit-san dia sudah kadung bentji padaku, waktu bertemu siang tadi dia djuga atjuh-tak-atjuh padaku, mungkin dia masih marah padaku. Ja, boleh djadi sebabnja dia ingin membunuh diri mungkin adalah lantaran perbuatanku. Djika begitu, wahai Toan Ki, kau terlalu kasar terhadap sitjantik dan mengakibatkan dia gundah merana, kau benar2 telah berdosa!

Begitulah Toan Ki sembunji dibelakang sebatang pohon dan ter-mangu2 menjesalkan dirinja sendiri makin dipikir makin merasa dosanja sendiri tak terampunkan.

Tiba2 dilihatnja air empang jang tenang bening itu tiba2 bergelombang halus, lingkaran gelombang itu perlahan2 makin meluas. Waktu Toan Ki memperhatikan, tertampak beberapa tetes air telah djatuh dipermukaan empang. Kiranja adalah air matanja Giok-yan.

Toak Ki semakin kasihan. Tiba2 terdengar Giok-yan menghela napas, lalu pelahan2 menggumam: Ai, aku... aku lebih baik mati sadja agar tidak merana lebih lama.

Sungguh Toan Ki tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunjinja dan berkata: Nona Ong, seratus kali salah, seribu kali salah, semuanja adalah aku jang salah, untuk mana diharap kau suka memafkan. Bila engkau masih tetap marah, terpaksa aku berlutut padamu. ~ Habis bitjara benar sadja ia terus berlutut.

Keruan Giok-yan kaget. Serunja gugup: He, ap... apa jang kau lakukan? Le... lekas bangun! Kalau... kalau sampai dilihat orang lain kan tidak enak?

Asal nona sudi memaafkan aku dan takkan marah lagi padaku, habis itu baru aku akan bangun, sahut Toan Ki.

Giok-yan mendjadi heran, katanja: Maaf apa padamu? Marah apa padamu? Ada sangkutpaut apa dengan urusanmu?

Kulihat nona sangat sedih, padahal segala apa biasanja nona selalu gembira ria, maka kukira akulah jang telah membikin Bujung-kongtju merasa tersinggung sehingga nona djuga ikut2 masgul. Biarlah aku berdjandji, bila lain kali aku ketemukan dia lagi, meski dia akan memaki dan menjerang aku, aku tentu akan kabur sadja dan takkan balas menjerang dia.

Giok-yan tampak mem-banting2 kaki dan berkata: Ai, kau ini me... memang tolol. Aku berduka sendiri, sama sekali tiada sangkutpautnja dengan kau.

Djika begitu, djadi nona tidak marah padaku?

Sudah tentu tidak!

Djika demikian legalah hatiku, kata Toan Ki sambil berbangkit.

Tapi mendadak hatinja merasa gundah-gulana. Bila Giok-yan sangat berduka karena dia sehingga memaki dan memukulnja, bahkan membatjoknja dengan golok sekalipun tentu dia akan merasa rela. Tadi sinona djusteru menjatakan sedihnja itu tiada sangkut-pautnja dengan dia. Seketika Toan ki merasa hampa se-akan2 kehilangan sesuatu.

Dalam pada itu tampak Giok-yan telah menunduk, air matanja bertjutjuran pula.

Toan Ki mendjadi terharu dan berkata: Nona Ong, sebenarnja kau ada kesulitan apa, lekaslah katakan padaku. Dengan segenap tenagaku tentu akan ku selesaikan untukmu, aku akan berusaha agar kau bergembira.

Perlahan2 Giok-yan mengangkat kepalanja, dengan pandangan jang saju ia mendjawab: Toan-kongtju, kau... kau sangat baik padaku, sudah tentu aku sang... sangat berterimakasih. Tjuma dalam urusan ini sesungguhnja kau takdapat menolong diriku.

Aku sendiri memang tidak betjus apa2, udjar Toan Ki. Tetapi Siau-toako dan Hi-tiok Djiko, mereka itu adalah djago silat kelas wahid, mereka berada disini semua, mereka sangat baik padaku, apa jang kuminta tentu akan dikabulkan oleh mereka. Apa sebenarnja jang membuat kau berduka, tjoba katakan, boleh djadi aku akan dapat membantu kau.

Tiba2 air muka Giok-yan jang tadinja putjat itu bersemu merah. Ia berpaling dan tidak berani menetap sinar mata Toan Ki, kemudian dengan suaranja jang lirih lembut berkata: Dia... dia katanja ingin mendjadi Huma keradjaan Se He, maka Kongya-djiko telah membudjuk padaku bahwa... bahwa demi kebangkitan kembali keradjaan Yan jang besar, terpaksa dia... dia harus kesampingkan kepentingan pribadinja ~ Habis berkata, tiba2 ia berpaling kembali dan mendekam diatas pundak Toan Ki, lalu menangis tersedu-sedan.

Kedjut2 senang rasa Toan Ki, sedikitpun ia tidak berani bergerak. Baru sekarang ia paham duduknja perkara, tapi ia lantas kesima, entah mesti girang atau susah. Kiranja lantaran Bujung Hok hendak ikut berebut puteri Se He, dan kalau sudah memperisterikan puteri Se He, dengan sendirinja Giok-yan tidak diurus lagi.

Dengan sendirinja lantas terpikir pula oleh Toan Ki: Wah, bila dia tidak djadi diambil isteri oleh Piaukonja, boleh djadi dia akan lebih lunak kepadaku, aku tidak berani mengharapkan memperisterikan dia, asal aku senantiasa dapat melihat wadjahnja jang ber-seri2, maka puaslah hatiku. Djika dia suka kepada ketenangan, dan ketenteraman, maka aku akan mengiringi dia pergi kepulau terpentjil atau gunung jang sunji dan selalu berdampingan dengan dia, alangkah bahagia dan senangnja hidup demikian itu? ~ Berpikir tentang hidup jang menggembirakan itu, ia mendjadi lupa daratan dan tanpa merasa kaki-tangannja bertingkah pola.

Giok-yan sampai kaget, ia mundur selangkah, ketika melihat wadjah Toan Ki bergembira ria, ia tambah pilu, katanja: Tadinja ku... kusangka kau adalah orang baik, makanja aku bitjara terus terang padamu, tak tahunja kau malah... malah menjukurkan kemalanganku ini dan malah mengedjek aku.

O, tidak, tidak! sahut Toan Ki tjepat. Langit diatas, bumi dibawah, boleh mereka mendjadi saksi bahwa sekali2 aku tidak menjukurkan kemalangan nasib nona, bila demikian pikiranku, biarlah aku terkutuk dan mati tak terkubur.

Asal hatimu memang tidak bermaksud djelek, siapa sih jang suruh kau bersumpah apa segala? udjar Giok-yan. Tapi sebab apakah tiba2 kau mendjadi gembira?

Baru pertanjaan itu dikemukakan, maka ia sendiri lantas paham djuga persoalannja. Segera teringat olehnja bahwa sebabnja Toan Ki mendadak gembira tentu karena merasa Bujung Hok akan mendjadi menantu radja Se He dan Toan Ki mendjadi besar harapannja untuk mengikat djado dengan dirinja.

Tentang Toan Ki sangat kesemsem padanja, sudah tentu Giok-yan sendiri tahu. Tjuma perhatiannja selalu terpusat kepada diri sang Piauko, terhadap tjinta Toan Ki jang tak terbalas itu terkadang ia sendiripun suka merasa menjesal. Tapi dalam soal tjinta memang sekali2 tak boleh dipaksakan.

Begitulah, maka sesudah paham sebabnja Toan Ki berdjingkrak senang, Giok-yan mendjadi malu, dengan muka bersemu merah ia mengomel: Meski kau tidak mengedjek aku, tapi kau djuga tidak mengandung maksud baik. Aku... aku... ~ sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi.

Toan Ki terkesiap, diam2 ia mentjertja dirinja sendiri: Wahai Toan Ki, kau kenapa tiba2 timbul pikiran serendah itu dan bermaksud menggagap ikan diair keruh? Orang lain sedang tertimpah malang, tapi kau malah bergirang? Bukankah perbuatanmu ini sangat memalukan?

Melihat Toan Ki ter-menung2, dengan suara perlahan Giok-yan bertanja: Apakah utjapanku tadi salah dan kau marah padaku?

O, ti... tidak, manabisa aku marah padamu, sahut Toan Ki.

Habis, mengapa kau diam sadja?

Aku... aku sedang memikirkan sesuatu, kata Toan Ki.

Diam2 dia sedang me-nimang2: Kalau dibandingkan Buyung-kongtju, terang aku kalah segalanja, baik ilmu silat maupun ilmu sastra, kalah ganteng dan kalah nama, apalagi mereka berdua adalah pamili sendiri dan teman memain sedjak ketjil, sudah lama mereka saling menjukai, dalam hal ini lebih2 aku bukan tandingannja. Tapi ada suatu hal aku harus menangkan Bujung-kongtju. Ja, biar sampai hari tua didalam lubuk hati nona Ong agar tetap teringat kepada aku Toan Ki bahwa didunia ini, satu2nja orang jang selalu berpikir demi kepentingannja tiada orang lain ketjuali aku.

Sesudah ambil ketetapan itu, segera ia berkata pula: Nona Ong, djangan kau berduka lagi, biarlah aku berusaha menasihatkan Bujung-kongtju supaja dia djangan mendjadi Huma kerdjaan Se He dan supaja dia lekas2 menikah dengan kau sadja.

Giok-yan terkedjut, sahutnja: He, tidak! Mana boleh djadi? Piauko djusteru sangat bentji padamu, tidak mungkin dia mau menerima nasihatmu itu.

Biarlah aku nanti memberi tjeramah padanja, akan kukatakan bahwa hidup manusia didunia ini paling penting adalah ketjotjokan antara suami-isteri, keduanja harus tjinta mentjintai. Padahal selamanja dia tidak kenal puteri Se He, tidak akan tahu puteri itu djelek atau tjantik, apakah bidjaksana atau djahat, andaikan mendjadi isterinja tentu takkan bahagia. Sebaliknja akan kukatakan bahwa nona Ong tjantik molek, halus budi dan bidjaksana, seluruh dunia susah ditjari bandingannja. Apalagi kau sangat tjinta padanja, masakah dia tega mengingkari kau sehingga akan ditjatji-maki oleh kesatria2 didunia ini?

Giok-yan sangat terharu mendengar uraian itu, katanja dengan lirih: Toan-kongtju, kau terlalu memudji diriku hanja untuk menjenangkan hatiku sadja.

Bukan! Bukan!" sahut Toan Ki tjepat. Dan begitu kata2 itu diutarakan, segera ia merasa nadanja sendiri itu telah ketularan kebiasaan Pau Put-tong, ia tertawa geli sendiri, lalu menjambung: Aku benar2 berkata dengan setulusnja, sedikitpun tidak pura2 untuk menjenangkan hatimu.

Rupanja Giok-yan djuga geli oleh utjapan bukan-bukan itu, dari menangis ia mendjadi tertawa, katanja: Kenapa kau mendjadi menirukan kebiasaan Pau-samko jang djelek?

Toan Ki kegirangan melihat sinona tertawa, katanja: Pendek kata, aku pasti akan membudjuk Bujung-kongtju agar menarik kembali maksudnja hendak mendjadi menantu keradjaan Se He, dan lebih baik baik menikah dengan nona sadja.

Dengan perbuatanmu ini, sebenarnja apa tudjuanmu? Apa sih paedahnja bagimu? tanja Giok-yan.

Asal aku melihat nona bergembira ria dan tertawa, maka itu sudah tjukup bagiku, sahut Toan Ki.

Giok-yan. terkesiap, ia merasa djawaban jang sederhana itu djusteru sangat tandas melukiskan betapa tjinta pemuda itu kepada dirinja. Tapi karena segenap perasaan Giok-yan telah ditjurahkan kepada Bujung Hok seorang, walaupun terharu seketika, tapi segera terlupa pula. Katanja kemudian dengan menghela napas: Kau tidak tahu pikiran.Piaukoku itu. Dia memandang usahanja

membangun kembali keradjaan Yan sebagai tugas utama hidupnja. Dia bilang seorang lelaki sedjati harus mengutamakan perkembangan dan pemupukan pergerakan kalau selalu memikirkan urusan lelaki dan perempuan, maka itu bukanlah.pahlawan. Dia bilang baik puteri Se He itu setjantik bidadari atau sedjelek setan, pendek kata dia tidak pikir, jang utama jalah dapat membantu dia membangun kembali keradjaan Yan

Hal mana memang betul djuga, pikir Toan Ki. Keluarga Bujung mereka senantiasa ingin mendjadi radja. Se He memang dapat membantu usahanja membangun kembali keradjaan Yan, maka urusan nona Ong mendjadi..... mendjadi agak sulit.

Ia lihat air mata Giok-yan telah berlinang2 pula, segera ia membusungkan dada dan berkata: Nona, harap kau djangan kuatir. Biarlah aku sadja jang mendjadi menantu keradjaan Se He. Dengan demikian, karena tidak berhasil mendjadi Huma, dia terpaksa akan menikah dengan kau.

Ha, apa? seru Giok-yan terkedjut dan bergirang.

Aku akan ikut sajembara dan merebut puteri Se He, sahut Toan Ki

Ketika di Siau-sit-san Toan Ki telah mengalahkan Bujung Hok dengan Lak-meh-sin-kiam, kedjadian itu disaksikan sendiri oleh Giok-yan, kalau sekarang Toan Ki benar2 ikut dalam perlombaan sajembara, rasanja sang Piauko akan gagal tjita2nja untuk mendjadi menantu radja Se He.

Karena pikiran demikian, segera. Giok-yan berkata dengan suara pelahan: O, Toan-kongtju, engkau benar2 sangat baik padaku. tapi..... tapi dengan demikian kau tentu akan dibentji sekali oleh Piaukoku.

Tidak mendjadi soal, toh sekarang djuga dia sudah sangat bentji padaku, sahut Toan Ki.

Tadi kukatakan puteri Se He itu entah tjantik entah djelek, djika kau mendjadi suaminja, bukankah akan membikin susah kau?

Demi kau, biar bagaimana djuga aku rela menanggungnja, demikian mestinja. hendak dikatakan Toan Ki. Tapi sebelum terutjapkan, tiba2 terpikir olehnja: Apa jang kulakukan ini djika sengadja untuk membikin kau merasa utang budi padaku, bukankah perbuatan demikian terlalu rendah? - Karena itu lantas

katanja: Aku tidak akan susah bagimu, sebab ajahku telah memerintahkan padaku agar berusaha ikut merebut puteri Se He itu, djadi aku tjuma melaksanakan perintah ajah dan tiada sangkut-pautnja dengan kau.

Giok-yan adalah nona jang pintar dan tjerdik, tjinta Toan Ki untuk berkorban baginja itu walaupun dimulut Toan Ki tidak menondjolkan hal ini. Tanpa merasa ia genggam tangan pemuda itu dan berkata: O, Toan-kongtju, hidupku ini aku... aku takdapat membalas kebaikanmu ini, se... semoga dalam djelmaan hidup jang akan datang... - berkata sampai disini suaranja mendjadi parau dan tenggorokannja serasa tersumbat, ia tidak sanggup meneruskan lagi.

Sudah beberapa kali kedua muda-mudi ini bahu-membahu menghadapi bahaja dan selalu berdampingan, tapi apa jang pernah terdjadi itu adalah terpaksa, sebaliknja sekali ini adalah Giok-yan sendiri. jang terharu, perasaannja timbul dengan sewadjarnja sehingga menggenggam tangan Toan Ki.

Seketika Toan Ki merasa tangannja dipegang oleh sepasang tangan jang halus dan lemas, untuk sedjenak ia mendjadi lupa daratan, mungkin saat itu biarpun langit akan ambruk djuga tak dihiraukannja lagi. Ia pikir sinona sedemikian baiknja padaku, djangankan tjuma mengambil isteri puteri Se He, sekalipun puteri2 keradjaan Song, keradjaan Liau, keradjaan Korea, keradjaan Turfan sekaligus harus mendjadi isteriku djuga oke, dah!

Begitulah, saking senangnja, darah lantas bergolak, padahal lukanja belum sembuh sama sekali, maka kepalanja mendjadi pujeng, badannja ter-hujung2 dan tjelaka, bjurrr, ia terperosot dan ketjebur kedalam empang.

Keruan Giok-yan kaget, serunja: He, Toan-kongtju! Toan-kongtju!

Untung air empang itu sangat tjetek, karena terendam air dingin, pikiran Toan Ki mendjadi djernih djuga, tjepat ia merangkak bangun dengan basah-kujup.

Dan karena teriakan Giok-yan tadi, semua orang jang tidur didalam kelenting mendjadi terdjaga bangun. Siau Hong, Hi-tiok, Pah Thian-sik, Tju Tan-sin dan lain2 sama berlari keluar. Ketika melihat keadaan Toan Ki jang serba runjam dan air muka Giok-yan tampak merah djengah, maka diam2 semua orang merasa geli, mereka menjangka kedua muda-mudi itu sedang main pat-pat-gulipat ditengah malam sunji, maka merekapun tidak enak untuk bertanja...

Besoknja adalah tanggal 12 bulan delapan, djadi masih ada tempo tiga hari baru djatuh hari Tiongtjhiu. Pagi2 Pah Thian-sik lantas masuk kota untuk

mentjari berita. Waktu lohor ia telah pulang kembali kekelenting dan memberi lapor kepada Toan Ki: Kongtju, surat lamaran Ongya telah hamba sampaikan kepada Le-poh (bagian protokol) dan hamba telah diterima oleh menteri Le-poh dengan ramah, beliau menjatakan adalah kehormatan besar bagi Se He karena Kongtju telah ikut melamar puteri mereka dan besar kemungkinan tjita2 Kongtju pasti akan terkabul.

Tidak lama kemudian, tiba2 terdengar riuh ramai diluar kelenting, menjusul ada suara alat tetabuhan pula. Waktu Thian-sik dan Tan-sin memapak keluar, kiranja adalah To-silong (menteri To) dari Le-poh datang untuk menjambut Toan Ki ketempat penginapan jang disediakan bagi tamu2 agung keradjaan.

Siau Hong adalah Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang kuat dan berpengaruh melebihi keradjaan Tayli, kalau Se He mengetahui kedatangannja tentu akan menjambutnja dengan lebih meriah dan menghormat. Tjuma dia telah pesan kawan2nja djangan membotjorkan kedudukannja, maka dia dan Hi-tiok dan lain2 tjuma mengaku sebagai pengiring Toan Ki dan ber-sama2 pindah kepondok tamu asing.

Belum lama mereka mengaso ditempat baru itu, tiba2 terdengar diruang belakang sana ada suara tjatji-maki orang: Hm, kau ini kutu matjam apa? Kau djuga berani mengintjar puteri Se He? Biarlah kukatakan padamu bahwa Huma keradjaan Se He ini sudah pasti akan diduduki oleh pangeran kami, kukira kalian lekas merat sadja dari sini dengan metjawat ekor!

Pah Thian-sik dan Tan lain2 mendjadi gusar, mereka tidak tahu siapakah berani mentjatji-maki setjara kasar demikian. Ketika mereka membuka pintu, maka tertampaklah dipekarangan sana berdiri tudjuh atau delapan lelaki kekar kasar dan sedang bergembar-gembor tak keruan.

Thian-sik dan Tan-sin adalah pendekar2 Tayli jang terhitung paling pintar dan tjerdik. Maka merekapun tidak bersuara, hanja berdiri di depan pintu sadja untuk mendengarkan lebih djauh. Terdengar tjatji-maki kawanan lelaki kasar itu makin lama makin kotor, terkadang djuga diseling dengan kata2 jang tak dikenal, agaknja mereka adalah bawahan Pangeran Turfan.

Selagi Thian-sik berpikir tjara bagaimana menggebah pergi kawanan lelaki itu, mendadak pintu kamar di podjok kiri sana terdengar dipentang orang dengan keras, menjusul dua orang telah melompat keluar, seorang berbadju kuning dan jang lain berbadju hitam. Keduanja terus menghantam kesana dan menendang kesitu, hanja dalam sekedjap sadja tiga diantara kawanan lelaki jang mentjatji-maki tadi sudah dirobohkan, sisanja djuga kena dihantam dan dilemparkan keluar pintu sana.

Puas! Puas! seru silelaki berbadju kuning.

Kiranja mereka adalah Hong Po-ok dan Pau Put-tong.

Mendengar suara kedua orang itu, Giok-yan jang berada didalam kamar mendjadi bimbang, ia bingung apa mesti keluar untuk bertemu dengan mereka atau tidak.

Dalam pada itu terdengar djago2 Turfan jang diusir keluar itu masih ber-kaok2: He, manusia she Bujung, kami kira kau lebih baik pulang kandang ke Koh-soh sadja. Djangan kau punja pikiran hendak memperisterikan puteri Se He, djika sampai pangeran kami mendjadi gusar dan menggunakan tjaramu untuk diperlakukan atas dirimu dan mengambil adik perempuanmu sebagai bini-muda, maka barulah kau akan tahu rasa nanti!

Hong Po-ok mendjadi gemas karena tjatji-maki jang semakin kotor itu, segera ia mengudak keluar. Maka terdengarlah suara plak-plok, blak-bluk ber-ulang2, djago2 Turfan itu telah dihadjar dan lari tunggang-langgang.

Tiba2 Pau Put-tong memberi hormat kepada Thian-sik dan Tan-sin dan menjapa: Kiranja Pah-heng dan Tju-heng djuga berada disini, apakah kalian tjuma ingin lihat ramai2 atau mempunja tudjuan lain?

Apa tudjuan kedatangan Pau-heng sendiri, begitu pula maksud tudjuan kami, sahut Thian-sik.

Air muka Put-tong beruba seketika, tanjanja: Apakah Toan-kongtju dari Tayli djuga ingin melamar puteri Se He?

Ja, sahut Thian-sik. Kongtju kami adalah putera mahkota Tayli, beliau adalah ahliwaris satu2-nja dari Sri Baginda jang sekarang, bila kelak beliau naik tahta, bukankah akan merupakan besanan jang setimpal dengan keradjaan Se He. Sebaliknja Bujung-kongtju hanja djedjaka jang tak punja sandaran apa-apa, meski orangnja bagus, tapi bukan keluarga jang setimpal.

Air muka Pau Put-tong tambah merengut, katanja: Bukan, bukan! Kau tjuma tahu satu tapi tidak tahu dua, Kongtju kami adalah pemuda pilihan diantara pemuda2, mana bisa dibandingi oleh pemuda ke-tolol2an seperti Kongtju kalian?

Samko, tiba2 Hong Po-ok telah berlari masuk kembali, buat apa bertengkar dengan mereka, toh besok akan diadakan perlombaan didepan baginda radja, biarlah masing2 pihak keluarkan kepandaian sendiri2 sadja.

Bukan! Bukan! sahut Put-tong. Perlombaan dihadapan baginda radja adalah urusan para Kongtju, sedangkan pertengkaran mulut ini adalah kewadjiban kita.

Haha, pertengkaran mulut memang harus diakui didunia ini tiada soerangpun jang mampu melawan Pau-heng, nah, Siaute terima mengaku kalah padamu, udjar Thian-sik dengan tertawa.

Dan selagi Pau Put-tong hendak bukan-bukan pula, namun Thian-sik sudah mengundurkan diri kedalam kamarnja bersama Tan-sin. Tju-hiante, katanja kemudian, kalau menurut kata2 Pau Put-tong tadi, agaknja Kongtju masih harus mengikuti pertandingan setjara terbuka, padahal luka Kongtju belum sembuh sama sekali, sedangkan ilmu silatnja djuga terkadang mandjur dan terkadang tidak, bila dalam pertandingan nanti Lak-meh-sin-kiam takbisa dikeluarkan, bukan sadja tidak berhasil mendjadi Huma, bahkan djiwanja berbahaja pula, maka bagaimana menurut pendapatmu?

Tapi Tan-sin djuga tak berdaja, terpaksa mereka lantas pergi membitjarakannja dengan Siau Hong dan Hi-tiok.

Menurut Siau Hong, kalau tjara pertandingan nanti dapat diketahui, tentu akan lebih mudah mengatur siasat untuk menghadapinja.

Djika begitu, marilah Tju-hiante, kita tjoba pergi tanja keterangan kepada To-silong tentang peraturan pertandingan itu, adjak Thian-sik dan segera bersama Tan-sin mereka ber-gegas2 pergi.

Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki duduk ber-minum2 arak sambil mengobrol. Tiba2 Siau Hong tanja Toan Ki tentang pengalamannja memperoleh Lak-meh-sin-kiam itu dengan maksud hendak mengadjarkan sematjam tjara mengerahkan tenaga agar adik angkat itu dapat menggunakan Lak-meh-sin-kiam dengan sesuka hati.

Tak terduga dalam hal teori Lwekang dan sebagainja sama sekali Toan Ki tidak paham sehingga susah untuk mempeladjarinja dalam waktu singkat. Karena tak berdaja, Siau Hong hanja meng-geleng2 kepala sadja dan menenggak arak pula.

Kekuatan minum Hi-tiok dan Toan Ki sudah tentu bukan tandingan Siau-Hong, maka baru dua-tiga mangkuk sadja Toan Ki sudah menggeletak dengan tak sadarkan diri.

Ketika ia siuman kembali dengan matanja jang sepat, ia lihat sinar bulan telah menembus masuk dari tjelah2 djendela, njata waktu itu sudah tengah malam. Toan Ki terkesiap: Semalam aku belum selesai bitjara dengan nona Ong dan sudah keburu ketjebur kedalam empang, entah dia masih ingin omong apa lagi padaku? Apa tidak mungkin dia sedang menantikan aku pula diluar sana? Ai, tjelaka, djangan2 dia sudah menunggu terlalu lama dan sekarang sudah kembali kekamarnja saking tidak sabar menanti?

Buru2 ia melompat bangun. Saking kesusunja sampai hampir2 menubruk kursi didepan tempat tidurnja. Lekas2 ia tenangkan diri agar tidak membikin kaget kawan2-nja, perlahan2 ia keluar kamar.

Sesudah melintasi pekarangan tengah dan selagi dia hendak membuka pintu luar, tiba2 terdengar suara orang berbisik dibelakangnja: Toan-kongtju, marilah ikut padaku, aku ingin bitjara dengan kau.

Karena tidak ter-duga2 keruan Toan Ki kaget. Ia dengar suara orang agaknja tidak bermaksud baik, segera ia hendak berpaling, tapi mendadak Hiat-to dipinggangnja telah ditjengkeram orang dengan kentjang.

Samar2 Toan Ki dapat mengenali suara orang itu, ia tjoba tanja: Apakah kau Bujung-kongtju?

Memang betul aku adanja, sahut orang itu. Dapatkah Toan-heng ikut sebentar padaku?

Masakah aku berani menolak undangan Bujung-kongtju? sahut Toan Ki. Maka harap sukalah kau lepaskan tanganmu.

Tidak perlu lagi! kata Bujung Hok. Dan mendadak Toan Ki merasa tubuhnja lantas terapung keatas, agaknja Bujung Hok telah mentjengkeram punggungnja dan dibawa melompat keatas.

Dalam saat demikian kalau Toan Ki mau berteriak sadja tentu Siau Hong dan Hi-tiok akan terdjaga bangun dan datang menolongnja. Tapi ia berpikir: Djika aku berteriak, tentu nona Ong akan mendengar djuga dan tentu dia akan kurang senang bila melihat kami berdua bertengkar pula. Sudah tentu dia takkan marah pada Piaukonja, tapi akulah jang akan mendjadi sasaran kemarahannja, maka buat apa aku mesti mentjari penjakit?

Karena itu ia tidak djadi bersuara, ia membiarkan dirinja dibawa Bujung Hok dan berlari keluar sana. Walaupun tengah malam, tapi waktu itu sudah dekat hari Tiongtjhiu, sinar bulan terang benderang, pemandangan sekitar tjukup tertampak djelas. Ia lihat Bujung Hok ber-lari2 keluar kota, akchirnja djalan dikedua tepi kelihatan rumput melulu. Tidak lama kemudian, mendadak Bujung Hok berhenti dan melemparkan Toan Ki ketanah.

Bluk, Toan Ki terbanting dan meringis kesakitan, pikirnja: Orang ini kelihatannja ramah-tamah, tapi kelakuannja ternjata begini kasar

Segera ia merangkak bangun sambil memegang pinggang jang sakit pegal2 itu, katanja: Segala urusan dapat Bujung-heng bitjarakan dengan baik2, mengapa mesti main kasar?

Hm, ingin kutanja padamu, apa jang kau bitjarakan dengan Piaumoayku semalam? djengek Bujung Hok.

Muka Toan Ki mendjadi merah, sahutnja: O, ti... tidak apa2, hanja bertemu setjara kebetulan dan omong2 iseng sadja.

Huh, seorang lelaki sedjati, berani berbuat berani bertanggung djawab, apa jang sudah kau katakan, mengapa tidak berani mengaku? edjek Bujung Hok. Memangnja kau sangka, aku tidak tahu? Hm, kau bitjara tentang suami-isteri apa segala, apakah perlu aku uraikan pula seluruhnja?

Ha, dja... djadi nona Ong telah katakan seluruhnja padamu? Toan Ki menegas dengan gelagapan.

Manabisa dia katakan padaku?

Djik... djika begitu, djadi se... semalam kau sendiri telah mendengarkan

semua?

Hm, kau hanja dapat mengapusi nona jang masih hidjau, tapi djangan harap dapat mengapusi diriku? djengek Bujung Hok.

Aku mengapusi tentang apa? tanja Toan Ki dengan heran.

Bukankah urusan sudah sangat gamblang, sahut Bujung Hok. Kau sendiri ingin mendjadi Huma keradjaan Se He, tapi takut aku berebut dengan kau, maka kau sengadja mengarang otjehan2 jang muluk2 untuk memantjing aku supaja masuk perangkapmu. Hehe, Bujung Hok toh bukan anak ketjil umur tiga, masakah dengan begitu gampang dapat kau djebak? Haha, kau benar2 mimpi disiang bolong!

Ai, apa jang kukatakan kepada nona Ong itu adalah setulus hatiku, aku berharap kau dapat menikah dengan dia dan hidup bahagia sampai hari tua, lain tidak, kata Toan Ki.

Terima kasih atas mulutmu jang manis ini, kata Bujung Hok. Tapi, Koh-soh Bujung dengan keluarga Toan dari Tayli toh bukan sanak bukan kadang, buat apa kau mesti memberi pudjian dan restu sebaik ini? Ha, djika aku sampai tergoda oleh Giok-yan, maka kaulah jang akan mengeduk keuntungan dan mendjadi Huma jang diagungkan ja?

Toan Ki mendjadi marah, sahutnja: Kau ngatjo-belo tak keruan. Djelek2 aku adalah pangeran Tayli, meski Tayli adalah negeri ketjil tapi djuga tidak memandang Huma keradjaan Se He sedemikian hebatnja. Bujung-kongtju, aku benar2 memberi nasihat padamu. Segala kedudukan dan kemewahan dalam waktu singkat sadja akan tamat, orang hidup dapat bertahan berapa lamanja. Andaikan kau dapat mendjadi Huma keradjaan Se He dan dapat naik tahta, sebagai radja Yan, tapi entah berapa banjak orang jang akan kau bunuh? Seumpama negeri Tionggoan ini akan kau sapu bersih sehingga terdjadi bandjir darah tapi apakah keradjaan Yan dapat kau bangun kembali, hal ini djuga masih disangsikan.

Bujung Hok ternjata tidak gusar, ia hanja mendjawab dengan nada dingin: Hm kau, selalu bitjara tentang kebaikan, tapi didalam hatimu sebenarnja berbisa.

Apa mau dikata lagi djika kau tidak pertjaja kepada maksud baikku, udjar Toan Ki. Pendek kata aku takkan membiarkan kau memperisterikan puteri Se He, aku tidak dapat membiarkan nona Ong berduka dan merana lantaran kau dia sampai2

hendak membunuh diri.

Kau melarang aku memperisterikan puteri Se He? Haha, apa kau mempunjai kemampuan itu untuk melarang aku? Hm, aku djusteru hendak memperisterikan puteri Se He, kau mau apa?

Aku pasti akan merintangi maksudmu itu dengan sepenuh tenagaku, sahut Toan Ki. Seorang diri memang aku tak berdaja, tapi aku akan minta bantuan kawan2ku.

Bujung Hok terkesiap. Ia tjukup tahu betapa lihay ilmu silat Siau Hong dan Hi-tiok bahkan Toan Ki sendiri bila keluarkan Lak-meh-sin-kiam djuga susah dilawan, untung kepandaian lawan ini terkadang mandjur dan terkadang matjet sehingga masih gampang dihadapi.

Eh, Piaumoay, mari sini, ingin kubitjara dengan kau! tiba2 ia berseru ke arah sana.

Mendengar Giok-yan berada disitu djuga, Toan Ki terkedjut dan bergirang, tjepat ia menoleh. Tapi jang tertampak hanja sinar bulan jang terang benderang dan tiada satu bajangan manusiapun jang kelihatan.

Dan baru sadja ia mengamat-amati di-semak2 pohon didepan sana jang tampaknja seperti ada berkelebatnja bajangan orang, se-konjong2 punggungnja terasa kentjang lagi, kembali ia telah ditjengkeram oleh Bujung Hok, bahkan badannja telah diangkat pula. Baru sekarang Toan Ki merasa tertipu, katanja dengan tersenjum getir: Kembali kau main kasar lagi ini kan bukan perbuatan seorang laki2 sedjati?

Terhadap manusia rendah seperti kau, kenapa mesti pakai tjara laki2 sedjati? sahut Bujung Hok. Lalu ia angkat tubuh Toan Ki dan menudju ketepi jalan, disitu terdapat sebuah sumur mati, tanpa bitjara lagi ia lemparkan Toan Ki kedalam sumur itu.

Tolong! segera Toan Ki ber-teriak2, tapi tubuhnja sudah terdjerumus kedalam sumur.

Dan baru sadja Bujung Hok hendak mentjari beberapa potong batu besar untuk menutup lubang sumur agar Toan Ki mati kelaparan didalam situ, tiba2 terdengar suara seorang wanita telah menegurnja: Piauko, djadi kau telah

mempergoki aku! Apa kau ingin bitjara sesuatu dengan aku? Ai, kau telah melemparkan Toan-kongtju kedalam sumur?

Melihat pendatang ini memang betul Giok-yan adanja, Bujung Hok mengerut kening. Waktu dia pura2 menjebut sang Piaumoay tadi tudjuannja jalah ingin memantjing agar Toan ki menoleh, lalu ia dapat mentjengkeram Hiat-to dipunggung pemuda itu dengan mudah. Siapa duga Giok-yan benar2 sembunji di-semak2 pohon sana (jaitu bajangan jang tertampak oleh Toan Ki tadi).

Ketika mendengar namanja dipanggil, semula Giok-yan mengira tempat sembunjinja telah diketahui Bujung Hok, makanja dia lantas keluar dari tempat sembunjinja.

Rupanja karena hati sedang risau, maka selama beberapa malam ini Giok-yan tak bisa pulas. Tadi ia sedang ter-menung2 diambang djendela, maka kedjadian Toan Ki ditjengkeram Bujung Hok dan dibawa lari telah dapat dilihatnja. Ia kuatir kedua orang akan bertengkar lagi sehingga achirnja Bujung Hok tak mampu melawan Toan Ki punja Lak-meh-sin-kiam, maka tjepat ia menjusul keluar dan dapat mengikuti pertjakapan Toan Ki dan Bujung Hok tadi.

Begitulah ia lantas ber-lari2 mendekati sumur, ia melongok kebawah dan berseru: Toan-kongtju! Toan-kongtju! Kau terluka atau tidak?

Waktu dilemparkan kedalam sumur tadi Toan Ki berada dalam keadaan terdjungkir, kepala dibawah dan kaki diatas. Untuk didasar sumur itu adalah lumpur jang lunak sehingga kepalanja tidak petjah, tapi seketika iapun terbanting pingsan sehingga seruan Giok-yan itu tak didengarnja.

Sesudah mengulangi seruannja beberapa kali dan tidak mendapat djawaban, Giok-yan mengira Toan Ki sudah terbanting mati. Bila teringat selama ini pemuda itu sangat baik padanja, kematiannja inipun boleh dikata lantaran dia, maka menangislah Giok-yan, katanja: O, Toan-kongtju, kau... kau tak boleh mati!

Hm, ternjata sedemikian mendalam tjintamu padanja! djengek Bujung Hok.

Dia... dia menasihatimu dengan baik, ken... kenapa kau membunuhnja? kata Giok-yan dengan ter-guguk2.

Dia adalah lawanku jang paling besar, bukankah kau mendengar pernjataannja jang hendang merintangi tudjuanku dengan mati2an? sahut Bujung Hok. Tempo hari ketika di Siau-sit-san dia telah membikin aku malu habis2an sehingga Bujung Hok sudah menantjap kaki lagi didunia Kangouw, orang matjam begini sudah tentu aku takbisa membiarkan dia hidup.

Kejadian di Siau-sit-san itu memang dia jang salah, untuk itu aku sudah pernah mendamperat dia dan dia djuga telah mengaku salah.

Hm, dia mengaku salah? Hanja utjapan begini lantas hendak menjelesaikan permusuhan ini? Padahal setiap orang Kangouw sudah sama mengatakan bahwa aku Bujung Hok telah dikalahkan oleh Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan mereka, tjoba kau pikir, apa aku masih bisa merasa hidup bahagia?

Piauko, kalah atau menang adalah soal biasa bagi orang persilatan, kenapa kau mesti mengungkatnja lagi, ~ Dan karena masih meragukan mati-hidupnja Toan Ki, kembali ia melongok kedalam sumur dan berseru pula: Toan-kongtju! Toan-kongtju! ~ Tapi tetap tidak mendapat djawaban apa2.

Sedemikian kau memperhatikan dia, lebih baik kau mendjadi isterinja sadja, buat apa mesti pura2 suka padaku? kata Bujung Hok.

Giok-yan mendjadi pilu, sahutnja: Piauko, aku tjinta padamu dengan hati jang murni, apa kau... kau masih tidak pertjaja?

Tjinta padaku dengan hati murni? Haha! Tempo hari waktu berada dirumah penggilingan ditepi Thay-ou itu, dimana kau sembunji didalam onggok djerami dengan telandjang bulat bersama orang she Toan ini, tjoba katakan, apa jang kau lakukan disana? Apa jang terdjadi itu telah kusaksikan dengan mataku sendiri, masakah hanja setjara kebetulan sadja? Tatkala itu aku hendak membinasakan botjah she Toan ini, tapi kau telah memberi petundjuk padanja untuk melawan aku. Tjoba djawab, berkiblat kepada siapa hatimu sebenarnja? Haha, haha!

Giok-yan sampai kesima saking kagetnja, ia menegas dengan suara gemetar: Djadi... djadi djago Se He jang berkedok di... dirumah gilingan ditepi Thay-ou itu adalah... adalah...

Benar, djago Se He berkedok jang mengaku bernama Li Yan-tjong itu bukan lain adalah samaranku, sahut Bujung Hok.

Pantas, memangnja akupun merasa sangsi, demikian kata Giok-yan dengan suara pelahan seperti menggumam sendiri. Waktu itu kau pernah berkata: pabila kelak aku mendjadi radja diseluruh Tionggoan, kata2 demikian persis nadamu biasanja, aku... aku seharusnja mengetahuinja pada waktu itu.

Hm, meski kau tidak tahu pada waktu itu, dan baru sekarang mengetahui djuga belum terlambat, djengek Bujung Hok.

Piauko, kata Giok-yan, Waktu itu aku kena ratjun kabut jang ditebarkan oleh orang2 Se He dan berkat pertolongan Toan-kongtju barulah djiwaku selamat. Ditengah djalan kami kehudjanan dan basah kujup, terpaksa berteduh dirumah gilingan itu, ken... kenapa kau menaruh tjuriga?

Hm, kehudjanan dan berteduh? dengus Bujung Hok. Waktu aku tiba, kalian berdua masih main sembunji2 dan pat-pat-gulipat disitu. Bahkan ketika aku hendak membunuh botjah she Toan itu, kau telah mengantjam aku akan menuntut balas baginja. Nona Ong, karena antjamanmu itulah aku telah mengampuni djiwanja. Tak terduga hal mana telah mendjadi penjakit bagiku, achirnja aku malah terdjungkal habis2an ditangannja waktu ketemu lagi di Siau-sit-san.

Mendengar sang Piauko tidak memanggil namanja, tapi menjebutnja sebagai nona Ong, maka hati Giok-yan tambah pedih, dasar wataknja memang peramah, ia tidak ingin bertengkar dengan sang Piauko jang ditjintai dan dihormati ini, maka djawabnja: Piauko, kalau waktu itu aku mengenali dirimu, sudah tentu aku takkan mengemukakan pernjataan itu padamu. Untuk kesalahan itu, biarlah sekarang aku minta maaf. ~ Sembari berkata ia terus memberi hormat, lalu menjambung pula: Tatkala itu sungguh2 aku tidak tahu adalah dirimu, tentu kau takkan marah pula. Sedjak ketjil aku menghormati kau, segala apa akupun selalu menurut padamu. Maka kata2ku jang menjinggung perasaanmu itu djanganlah kau pikirkan dan sudilah memaafkan.

Apa jang diutjapkan Giok-yan dahulu itu memang telah menjinggung perasaan Bujung Hok jang angkuh dan tinggi hati itu. Sekarang mendengar sinona memohon dengan kata2 halus, dilihatnja wadjah sinona jang tjantik molek itu, teringat pula hubungan baik sedjak masih kanak2, mau-tak-mau Bujung Hok hatinja mendjadi lemas, segera ia memegang kedua tangan Giok-yan dan berkata: Piaumoay!

Sungguh girang Giok-yan tak terkatakan, ia tahu sang Piauko telah memaafkan dia, terus sadja ia mendjatuhkan dirinja kepelukan sang piauko, katanja lirih: Piauko, djika kau marah padaku, bolehlah kau mendamperat dan menghadjar diriku, tapi djanganlah didendam dalam hati. Piauko, kau tidak djadi ikut berebut Huma lagi bukan?

Semula Bujung Hok mendjadi mabuk ketika memeluk tubuh sinona jang montok dan halus itu, tapi demi mendadak ditanja tentang Huma segala, seketika hatinja tergetar, katanja didalam hati: Wah, tjelaka! Wahai Bujung Hok, mengapa kau tenggelam dalam urusan demikian sehingga hampir2 membikin urusan penting mendjadi runjam. Djika sedikit persoalan pribadi begini sadja tak tega memutuskan, darimana kau dapat bitjara tentang pergerakan bagi kebangkitan keradjaan Yan?

Segera ia keraskan perasaannja dan mendorong Giok-yan, katanja: Piaumoay, hubungan kita hanja sampai disini sadja, apa jang pernah kau perbuat dan kau katakan betapapun tidak dapat kulupakan.

Djika begitu, djadi kau... kau tetap takdapat memaafkan aku? tanja Giok-yan dengan hati remuk rendam.

Untuk sedjenak terdjadilah pertentangan batin Bujung Hok antara tjinta dan usaha, tapi achirnja ia toh menggeleng kepala.

Sungguh hantjur luluh hati Giok-yan, tanpa merasa ia masih tanja: Djadi kau sudah bertekad akan memperisterikan puteri Se He itu dan takkan peduli lagi padaku?

Dengan keraskan hati Bujung Hok mengangguk.

Sebelumnja Giok-yan sudah pernah membunuh diri, tapi telah kena diselamatkan oleh In Tiong-ho, sekarang setjara tegas tjintanja telah ditolak oleh kekasihnja, saking sedihnja hampir2 sadja ia muntah darah. Mendadak teringat olehnja: Betapapun Toan-kongtju itu memang sangat tjinta padaku, sebaliknja aku tidak pernah membalas tjintanja itu, malahan sekarang dia telah mati bagiku, sungguh aku telah berdosa padanja. Toh sekarang akupun tidak ingin hidup lagi, biarlah aku terdjun kedalam sumur sadja agar dapat mati bersatu liang dengan Toan-kongtju untuk membalas tjintanja padaku.

Maka pelahan2 ia mendekati sumur itu sambil berpaling dan berkata: Piauko, semoga tjita2mu terkabul dan dapat memperisterikan puteri Se He serta mendjadi radja Yang jang djaja!

Bujung Hok tahu bahwa sinona ada maksud hendak membunuh diri, segera ia

melangkah madju dan mengulur tangannja hendak mentjegah. Tapi segera teringat pula olehnja, asal dia bersuara dan mentjegahnja, maka untuk selandjutnja dirinja tentu akan susah terlepas dari godaan tjinta sinona, dan itu berarti segala tjita2 pergerakannja akan kandas seluruhnja. Karena pikiran demikian, maka tangan jang sudah didjulurkan itu tidak djadi dipakai menarik kembali sinona.

Giok-yan dapat membade apa jang dipikirkan sang Piauko, ia pikir sedemikian tipis budi pekerti pemuda ini apalagi jang mesti diberatkan pula. Segera ia berseru: Toan-kongtju, hidup kita takbisa bersama, biarlah kita mati bersatu kubur sadja! ~ Habis itu, terus sadja ia terdjun kedalam sumur dengan kepala dibawah dan kaki diatas.

Achirnja Bujung Hok berseru djuga sekali dan bermaksud menjambar kaki Giok-yan. Dengan ketjekatannja sebenarnja tidak susah baginja untuk menjelamatkan nona itu, tapi pada detik terachir dia toh ragu-ragu lagi dan membiarkan Giok-yan terdjun kedalam sumur. Ia hanja menghela napas dan berkata: Piaumoay, dalam hati-ketjilmu toh kau lebih tjinta kepada Toan-kongtju, walaupun hidup takbisa mendjadi suami-isteri, tapi mati bersatu liang, betapapun sudah terkabul djuga tjita2mu.

Huh, pura2, lelaki palsu! tiba2 terdengar suara seorang berkata dibelakangnja.

Keruan kedjut Bujung Hok tak terkatakan, masakah ada orang sampai dibelakangnja sama sekali tak diketahuinja. Tanpa bitjara lagi ia menghantam kebelakang, berbareng membalik tubuh. Dibawah sinar bulan tertampaklah sesosok bajangan melajang kedepan sana terbawa oleh angin pukulannja, enteng dan gesit sekali orang itu.

Tanpa menunggu orang itu sempat menantjap kakinja ditanah, segera Bujung Hok melompat madju dan kembali memukul pula sambil membentak dengan gusar: Siapa kau? Berani kau main gila dengan Kongtjumu?

Dalam keadaan terapung orang itu sempat menjambut serangan Bujung Hok, lalu orangnja melajang sedjauh beberapa meter baru turun ketanah. Kiranja dia adalah Tjiumoti, imam negara Turfan.

Haha, sudah terang kau jang memaksa nona itu membunuh diri, tapi kau bitjara tentang tjita2-nja terkabul segala, apa dengan demikian kau kira dapat menipu orang? kata Tjiumoti dengan tertawa mengedjek.

Ini adalah urusan pribadiku, siapa minta kau ikut tjampur? damperat Bujung Hok.

Segala persoalan didunia ini setiap orang tentu boleh ikut tjampur, apalagi soalnja menjangkut kau hendak mendjadi Huma keradjaan Se He, ini sudah melampaui urusan pribadimu, sahut Tjiumoti.

Hm, djangan2 Hwesio sematjam kau djuga ingin mendjadi Huma?

Hahahaha! Masakah didunia ini pernah terdjadi Hwesio mendjadi Huma?

Habis mau apa? Hm, aku memang sudah tahu Turfan kalian tidak bertudjuan baik, djadi kau tampil kemuka bagi kepentingan pangeran kalian?

Apa jang kau maksudkan dengan tidak bertudjuan baik? Apa hendak memperisterikan puteri Se He itu kau katakan tidak bertudjuan baik? Habis apa tudjuanmu sendiri baik?

Aku ingin merebut puteri Se He, hal ini adalah mengandalkan kemampuanku sendiri dan tidak menggunakan tenaga bawahan untuk mengatjau ditengah djalan sehingga membikin orang banjak merasa gemas.

Kami telah mengenjahkan manusia2 jang tidak tahu diri itu agar dikota Lengtjiu ini tidak terlalu penuh dengan manusia2 jang memuakkan itu, hal ini adalah djuga demi kepentinganmu, mengapa kau merasa keberatan?

Djika begitu sih memang bagus. Djadi pangeran Turfan kalian nanti djuga akan mengandalkan tenaga sendiri untuk bertanding dengan orang2 lain?

Benar! sahut Tjiumoti.

Melihat djawaban orang jang tegas dan tak gentar ini, mau-tak-mau Bujung Hok mendjadi sangsi sendiri, katanja pula: Apakah barangkali pangeran kalian mempunjai ilmu silah maha tinggi dan tiada bandingannja, maka sudah memperhitungkan pasti akan memperoleh kemenangan nanti?

Pangeran tjilik itu adalah muridku, kepandaiannja sih masih boleh djuga, untuk dikatakan maha tinggi dan tiada bandingannja agaknja djuga belum, bahwa pasti akan menang memang sudah diperhitungkan dengan baik.

Bujung Hok tambah heran, pikirnja: Djika aku tanja dengan terus terang, tentu dia tidak mau mendjawab. Biarlah aku memantjingnja sadja. ~ Maka katanja segera: Sungguh aneh, dia mempunjai perhitungan pasti akan menang, sebaliknja akupun sudah jakin pasti akan menang. Wah, lantas siapa jang benar2 akan menang nanti?

Rupanja kau sangat ingin tahu bagaimana perhitungan paneran kami untuk mentjapai kemenangan, bukan? tanja Tjiumoti dengan tertawa. Kukira kau boleh katakan dulu perhitunganmu, lalu akupun uraikan perhitungan kami. Kita dapat berunding dan tukar pikiran, tjoba perhitungan pihak siapa jang lebih pandai.

Padahal jang diandalkan Bujung Hok tjuma ilmu silatnja tinggi, orangnja ganteng, untuk bitjara tentang pasti menang memak tidak ada. Terpaksa djawabnja: Ah, kau itu, terlalu litjik dan takbisa dipertjaja, kalau kukatakan padamu, djangan2 kau tidak mau menerangkan djuga akalmu, bukankah aku akan tertipu olehmu?

Hahaha! Tjiumoti tertawa. Bujung-siheng, aku adalah sahabat ajahmu, aku menghormati dan diapun menghormati aku. Kalau aku tidak berlebihan, betapapun aku terhitung angkatan lebih tua darimu. Apa kau tidak merasa keterlalu dengan utjapanmu barusan ini?

Teguran Beng-ong memang tepat, harap maaf, sahut Bujung Hok sambil memberi hormat.

Saudara memang pintar, kata Tjiumoti dengan tertawa. Djika kau sudah mengaku sebagai kaum muda, mengingat ajahmu dengan sendirinja aku tidak dapat main menang2an dengan kau. Nah, biar kukatakan sadja terus terang, rentjana pangeran kami untuk memperoleh kemenangan dengan pasti, kalau sudah kudjelaskan sebenarnja djuga tidak berharga sepeserpun. Begini, setiap orang jang bermaksud ikut sajembara dalam pemilihan Huma nanti, maka kami akan membereskannja satu persatu. Dan kalau tiada lawan lagi jang berebut dengan pangeran kami, maka dengan sendirinja pangeran kami akan terpilih bukan? Haha, hahaha!

Air muka Bujung Hok berubah seketika, katanja: Djika begitu, djadi aku...

Djangan kuatir, potong Tjiumoti. Aku adalah sobat lama ajahmu, tidak mungkin aku membunuh putera sobat sendiri. Aku hanja ingin menasihati kau dengan setulus hati, adalah lebih selamat bila kau lekas tinggalkan negeri Se He ini.

Djika aku tidak mau?

Untuk mana akupun takkan menamatkan njawamu, asal matamu ditjukil atau kaki atau tanganmu dipotong sebelah sehingga mendjadi tjatjat, dengan sendirinja puteri Se He tidak mungkin mau dipersunting seorang kesatria gagah jang tjatjat badannja.

Sungguh Bujung Hok sangat gusar, tjuma ia djeri kepada ilmu silat paderi itu, maka tidak berani sembarangan bergerak. Ia sedikit menunduk untuk memikirkan tjara menghadapi kawan tangguh itu.

Dibawah sinar bulan jang terang itu, tiba2 dilihatnja disamping kaki ada sesuatu benda jang sedang ber-gerak2. Ketika diperhatikan, kiranja adalah bajangan tangan kanan Tjiumoti. Ia terkedjut, disangkanja paderi itu sedang mengerahkan tenaga dan siap menjerang. Maka diam2 iapun menghimpun kekuatan untuk mendjaga segala kemungkinan.

Tapi lantas terdengar Tjiumoti berkata pula: Bujung-siheng, kau telah mendesak Piaumoaymu sampai2 membunuh diri, sungguh sangat sajang. Pabila kau mau lekas pergi dari Se He sini, maka urusan kematian nona Ong inipun bolehlah kulupakan dan takkan kuusut lebih landjut.

Hm, dia sendiri jang membunuh diri, apa sangkut-pautnja dengan aku? sahut Bujung Hok sambil terus memperhatikan bajangan tangan paderi itu, ia lihat bajangan kedua tangan Tjiumoti masih terus gemetar tak ber-henti2.

Diam2 Bujung Hok merasa tjuriga, kalau paderi itu hendak menjerang, rasanja tidak perlu mengerahkan tenaga sampai kedua tangannja gemetar sekian lamanja, tentu dibalik ini ada seesuatu jang tak beres. Ketika diperhatikan pula, ia melihat udjung tjelana dan badju paderi itupun tampak agak gemetar sedikit, terang disebabkan seluruhnja badannja gemetar, maka badju dan tjelananja djuga ikut2 bergerak.

Dasar otak Bujung Hok memang tjerdas, sekilas lantas teringat olehnja: Tempo

hari waktu berada di Tjong-keng-kok di Siau-lim-si, paderi tua jang tak diketahui siapa namanja itu mengatakan Tjiumoti telah melatih ke-72 matjam ilmu silat Siau-lim-pay dan kemudian setjara paksa mempeladjari pula ih-kin-keng, dikatakan pula latihan Tjiumoti itu telah terbalik dan njasar, bentjana sudah mengantjam dalam waktu singkat. Kalau paderi tua itu dengan djitu telah menundjukkan penjakit ajah dan Siau Wan-san, maka apa jang dikatakan mengenai Tjiumoti pasti djuga akan tepat.

Teringat kedjadian itu, dari kuatir Bujung Hok berubah girang, diam2 ia mengedjek Tjiumoti sendiri jang sudah terantjam bentjana, tapi masih berani menggertak padanja akan mentjukil mata dan membikin buntung kaki dan tangan segala. Namun untuk menajinkan pikirannja itu, segera ia memantjing dengan utjapan: Ai latihan terbalik, tenaga dalam njasar, bentjana sudah didepan mata, penjakit demikian memang paling tjelaka!

Se-konjong2 Tjiumoti berteriak sebagai srigala menjalak, suaranja tadjam menjeramkan, kontan ia terus mentjengkeram kearah Bujung Hok sambil membentak: Kau bilang apa? Siapa jang kau maksudkan?

Bujung Hok berkelit kesamping untuk menghindarkan tjengkeraman itu. Menjusul Tjiumoti djuga memutar tubuh sehingga mukanja tertampak djelas dibawah sinar bulan jang terang, kelihatan kedua matanja merah membara, mukanja beringas dan buas, semuanja itu tidak dapat menutupi rasa ketakutan jang terbajang dimukanja.

Melihat itu, maka Bujung Hok tidak sangsi lagi, katanja segera: Akupun hendak memberi nasihat kepada Beng-ong, ada lebih baik Beng-ong lekas meninggalkan Se He dan pulang sadja ke Turfan, asal tidak mengerahkan tenaga, tidak lekas marah, tidak banjak bergerak, tentu Beng-ong akan dapat pulang kenegeri sendiri dengan selamat. Kalau tidak, wah, apa jang pernah dikatakan paderi tua Siau-lim-si itu tentu akan berbukti.

Apa katamu? Apa jang kau ketahui? Tjiumoti ber-teriak2, sikapnja jang biasanja sabar dan berwibawa itu sekarang telah berubah sama sekali.

Melihat sikap orang berubah beringas, diam2 Bujung Hok merasa djeri djuga, segera ia melangkah mundur setindak.

Apa jang kau ketahui? Lekas katakan! bentak Tjiumoti pula.

Sedapat mugkin Bujung Hok tenangkan diri, ia menghela napas, lalu berkata:

Hawa murni Beng-ong sudah sesat djalan, keadaan sangat berbahaja, kalau tidak lekas pulang ke Turfan, boleh djuga datang pula ke Siau-lim-si untuk minta tolong kepada paderi sakti itu, djalan inipun ada harapan besar bagi keselamatan Beng-ong.

Darimana kau mengetahui hawa-murniku njasar? Ngatjo-belo belaka! sahut Tjiumoti dengan menjeringai. Berbareng tangan kiri terus mendjulur kedepan, segera ia mentjakar kemuka Bujung Hok.

Kelima djari Tjiumoti kelihatan agak gemetar, tapi daja serangan itu tetap sangat dahsjat, sedikitpun tiada tanda2 katjaunja tenaga dalamnja, diam2 Bujung Hok terkedjut dan ragu2: Djangan2 aku telah salah duga? ~ Segera iapun tidak berani ajal dan melajani lawan dengan sepenuh tenaga.

Mengingat hubunganku dengan ajahmu, biarlah dalam sepuluh djurus aku tidak membunuh kau sekadar balas djasaku kepada ajahmu, bentak Tjiumoti. Menjusul ia terus menghantam.

Walaupun Bujung Hok mahir ilmu Tau-tjoan-sing-ih, jaitu dengan tjara memindjam tenaga lawan untuk hantam kembali kepada lawan, tapi kepandaian Tjiumoti terlampau hebat baginja, apalagi setiap serangan hanja dikeluarkan sampai setengah djalan dan segera berubah serangan baru lagi sehingga Bujung Hok tidak sempat menggunakan kemahirannja itu, sebaliknja mendjadi selalu terdesak, terpaksa ia hanja mendjaga diri serapatnja untuk mentjari kesempatan.

Ia lihat serangan2 Tjiumoti itu serba lihay dan luar biasa, semuanja belum pernah dilihatnja. Dan sesudah sepuluh djurus habis, mendadak Tjiumoti membentak: Sepuluh djurus sudah selesai, sekarang terimalah kematianmu!

Sekonjong2 Bujung Hok merasa pandangannja mendjadi silau, disekitarnja seperti penuh dengan bajangannja Tjiumoti, dari kanan menendang dan dari kiri memukul, tahu2 dari depan ada serangan, tiba2 dari belakang ada jang menutuk lagi. Djadi serangan2 itu seakan2 membandjir sekaligus sehingga bingung untuk ditangkis. Terpaksa Bujung Hok kerdjakan kedua tangannja setjepat kitiran dengan mengerahkan tenaga penuh, dia hanja mendjaga diri dan tidak balas menjerang, ia hanja memainkan ilmu pukulannja sendiri dan tidak peduli serangan lawan dari mana datangnja.

Tiba2 terdengar napas Tjiumoti tambah ngos2an dan semakin ter-sengal2 seperti kuda. Seketika semangat Bujung Hok terbangkit, ia tahu hawamurni paderi itu sudah katjau dan napasnja hampir putus, asal bertahan sekuatnja dan tidak sampai dirobohkan lawan sedikit lama lagi tentu paderi itu akan

menggeletak dan binasa sendiri.

Namun meski napas Tjiumoti tambah ter-sengal2, sedangkan serangannja djuga semakin gentjar. Se-konjong2 ia menggertak keras sekali. Tahu2 Bujung Hok merasa badju lehernja telah kena ditjengkeram orang dan tubuhnja terangkat keatas. Hiat-to dibagian pinggang dan perut djuga lantas kesakitan, njata dia sudah tertutuk, kaki-tangannja mendjadi lemas dan takbisa berkutik lagi.

Ber-ulang2 Tjiumoti tertawa dingin, sedang napasnja masih terus ngos2an, katanja dengan napas memburu: Aku... aku suruh kau enjah, tapi kau dju... djusteru tidak mau, sekarang... sekarang kau djangan salahkan aku. Hm, tja... tjara bagaimana aku harus membereskan kau?

Pada saat itulah dari semak2 pohon sana lantas muntjul empat djago Turfan, rupanja mereka adalah pengikut Tjiumoti. Segera mereka memberi hormat dan berkata: Adakah sesuatu titah Beng-ong kepada hamba?

Angkat orang ini dan tjemplungkan kedalam sumur itu! kata Tjiumoti. Haha, ini namanja sendjata makan tuan, memangnja keluarga Bujung kalian paling mahir menggunakan tjara lawan untuk menghadapi lawan, dan sekarang kaupun boleh rasakan tjara demikian, kau telah menjebabkan kedua muda-mudi mati didalam sumur, sekarang kau boleh djuga menjusul mereka.

Keempat Bu-su Turfan itu mengiakan dan menggotong Bujung Hok ketepi sumur. Sungguh menjesal Bujung Hok tak terkatakan, tjoba kalau dia tidak kemaruk mendjadi Huma apa segala dan membalas tjinta sang Piaumoay, tentu hidupnja akan bahagia dan takkan mati konjol seperti sekarang. Dan kalau sudah mati, maka segala impiannja ingin mendjadi radja dengan sendirinja djuga lenjap seluruhnja. Sungguh ia ingin minta ampun pada Tjiumoti dan berdjandji takkan ikut berebut puteri Se He lagi, tjelakanja karena Hiat-to tertutuk sehingga takbisa bersuara, sedang Tjiumoti melirik sadja tidak sudi padanja, maka untuk minta ampun dengan sorot mata mohon dikasihani mendjadi takdapat pula.

Tjemplungkan dia dan segera pergi menggotong beberapa potong batu besar untuk menutup liang sumur itu agar dia takbisa keluar lagi andaikan nanti dia dapat membuka Hiat-to sendiri jang tertutuk itu, perintah Tjiumoti.

Ke-empat Bu-su itu segera melemparkan Bujung Hok kedalam sumur, lalu ber-lari2 pergi mentjari batu karang jang besar.

Tjiumoti sendiri napasnja masih ter-engah2 tak ter-henti2, rasa dadanja

sesak dan gopoh tak terkatakan.

Kiranja tempo hari sesudah dia melukai Toan Ki dengan Hwe-yam-to jang tak berwudjut itu, lalu ia melarikan diri kebawah gunung. Tapi sebelum sampai dibawah Siau-sit-san, tiba2 ia merasa perutnja sangat panas sebagai dibakar, lekas2 ia mengatur napas dan melantjarkan tenaga dalam, tapi terasa tenaga dalam susah diatur. Ia terkedjut sekali akan apa jang dikatakan sipaderi tua atas penjakit jang mengeram didalam badannja. Lekas2 ia mentjari suatu tempat sepi untuk istirahat, ia tjoba duduk semadi dengan tenang, asal dia tidak mengerahkan tenaga dalam, maka rasa panas jang bergolak didalam badan mendjadi reda djuga, tjuma tenaga mendjadi takbisa digunakan.

Sesudah malam, lalu Tjiumoti melandjutkan perdjalanan pulang ke Turfan. Ditengah djalan ia mendengar berita tentang sajembara puteri Se He. Sebagai imam negara jang ikut menentukan pemerintahan Turfan, maka ditengah djalan ia telah dapat hubungan dengan pengintai negerinja sendiri dan menjampaikan laporan kepada radanja, ia sendiri lalu mendahului menudju ke Se He.

Radja Turfan memang sudah lama bermaksud bersekongkol dengan Se He, maka demi menerima laporan itu, segera ia mengirim putera mahkotanja bersama djago2 silat jang tidak sedikit djumlahnja dengan membawa harta mestika, golok pusaka dan kuda pilihan, lalu ber-bondong2 menudju ke Lengtjiu, kota radja Se He.

Harta mestika dan barang2 berharga jang dibawa pangeran Turfan itu dipakai menjogok dan menjuap para menteri dan pembesar Se He, sedang djago2 silat jang dibawa itu ditudjukan untuk melawan para kesatria dari berbagai pendjuru jang mendjadi saingan dalam perebutan puteri Se He itu.

Pada beberapa hari sebelum Tiongtjhiu, djago2 Turfan itu sudah mentjegat ditengah djalan dan telah banjak mengalahkan dan mengusir kembali berbagai kesatria muda jang datang itu, tapi achirnja rintangan djago2 silat Turfan itu bobol seperti apa jang telah ditjeritakan diatas.

Sesudah berada dikota Lengtjiu, Tjiumoti sendiri lantas mentjari tempat sunji untuk merawat diri sehingga panas badan jang bergolak laksana dibakar itu pelahan2 tertahan. Tapi kalau pikirannja sedikit gontjang, maka badannja lantas bergemetar tak tertahankan. Sampai achirnja asal pikirannja sedikit risau, maka djari kaki dan tangan, alis, bibir dan bagian2 badan lain lantas ikut2 gemetar tak ber-henti2 (sematjam penjakit brurte? ~ kor)

Sebagai imam negara Turfan jang diagungkan, Tjiumoti merasa malu kalau keadaannja itu dilihat orang, maka ia sengadja tinggal terpentjil sendirian

dan djarang menemui orang. Hari itu ia mendapat laporan bawahannja bahwa Bujung Hok telah sampai djuga di Lengtjiu, bahkan beberapa djago Turfan telah dihadjar oleh anak buah Bujung Hok.

Diam2 Tjiumoti merasa tidak enak atas datangnja Bujung Hok jang diketahuinja mempunjai wadjah jang tampan dan serba pintar dalam ilmu silat dan sastra, kalau pemuda itu tidak dienjahkan, tentu pangeran Turfan mereka susah menandinginja. Ia menaksir bawahannja tiada satupun jang dapat menandingi Bujung Hok, terpaksa ia sendiri harus turun tangan dan segera mentjari ketempat pondokan Bujung Hok.

Tapi setibanja disana, saat itu Bujung Hok sudah meninggalkan tempatnja dengan menawan Toan Ki. Karena sekitar tempat tinggal tamu negara itu telah dipasang pengintai2, maka dengan mudah Tjiumoti memperoleh info kemana perginja Bujung Hok dan segera ia menjusulnja. Setiba dia disana sementara itu Toan Ki sudah dilemparkan kedalam sumur dan Bujung Hok sedang bitjara dengan Giok-yan.

Begitulah, maka setelah Bujung Hok dilemparkan kedalam sumur oleh para Bu-su jang kemudian pergi mentjari batu karang untuk menjumbat mulut sumur, dalam pada itu Tjiumoti merasa hawa panas didalam badannja semakin bergolak se-akan2 hendak mendjebol badannja, tjuma susahnja tiada sesuatu lubang jang dapat dibuat saluran keluar. Dengan sendirinja Tjiumoti sangat menderita.

Saking tak tahan Tjiumoti sampai men-tjakar2 dada sendiri. Ia merasa hawa dalam badannja se-akan2 terus melembung, se-olah2 kepala, dada, perutnja sedang melembung dan sebentar lagi tentu akan meledak. Bagi penglihatan orang lain dengan sendirinja tubuh Tjiumoti itu tiada berubah apa-apa, tapi dia sendiri merasa badannja seperti telah melembung sebagai bola, sebaliknja hawa murni didalam badan masih terus membandjir timbul.

Dalam bingungnja Tjiumoti terus menutuk tiga kali dibagian bahu kiri, paha kiri dan kanan sehingga berwudjut tiga lubang dengan maksud menjalurkan hawa murni itu keluar badan. Tapi darah segar memang terus memantjar keluar, sebaliknja hawa murni tetap susah dikeluarkan.

Baru sekarang ia ingat dan pertjaja penuh kepada apa jang pernah dikatakan sipaderi tua di Siau-lim-si itu, maka teranglah sekarang bentjana sudah berada didepan matanja, keruan ia mendjadi ketakutan. Tapi apapun djuga dia adalah seorang tokoh kawakan, hatinja takut, pikirannja tidak mendjadi katjau. Se-konjong2 terpikir olehnja: Ja, dia... dia sendiri (maksudnja Bujung Bok) kenapa tidak melatihnja, sebaliknja rahasia keseluruh 72 matjam ilmu sakti itu dikatakan padaku semuanja? Padahal aku hanja sahabat jang saling kenal dalam perdjalanan, biarpun satu dan lain mendjadi sangat tjotjok dan akrab, kenapa dia begitu murah hati dan rela memberikan rahasia ilmu sakti

sebanjak itu padaku?

Dalam keadaan terantjam bahaja inilah mendadak Tjiumoti teringat kepada hubungannja dengan Bujung Bok dahulu. Sebagai seorang tjerdik, memang mula2 Tjiumoti djuga merasa tjuriga ketika Bujung Bok menghadiahkan rahasia2 ilmu sakti Siau-lim-pay itu padanja. Tapi sesudah dia membatja dan mentjobanja, ia merasa apa jang diterimanja itu toh memang kepandaian tulen, maka hilanglah rasa tjuriganja. Baru sekarang disaat menderita dia dapat menjadari apa maksud tudjuan Bujung Bok dengan hadiahnja itu, njata hadiah itu adalah maksud tudjuan Bujung Bok jang kedji dan djahat dengan menggunakan dia sebagai kelintji pertjobaan, disamping itu sengadja mengadu dombakan dia dengan Siau-lim-pay agar Turfan bermusuhan dengan keradjaan Song dan dengan demikian keluarga Bujung akan ada kesempatan buat mengail ikan diair keruh.

Kalau tadi waktu Tjiumoti menangkap Bujung Hok, mau-tak-mau ia teringat kepada kebaikan ajah pemuda itu jang telah menghadiahkan kitab pusaka ilmu silat Siau-lim-pay padanja, sebab itulah ia tidak membunuhnja segera melainkan membuangnja kedalam sumur agar pemuda itu mati sendiri. Tapi sekarang demi sadar akan maksud djahat Bujung Bok atas hadiah kitab itu sehingga dia mesti menderita, keruan ia mendjadi murka, ia melongok kedalam sumur menghantam tiga kali ber-runtun2 setjara kalap.

Tapi pukulan2 itu sama sekali tidak menimbulkan suara apa2 didalam sumur, njata sumur itu sangat dalam sehingga pukulannja tidak mentjapai dasarnja. Dalam keadaan murka kembali Tjiumoti menghantam lagi sekali dengan se-kuat2nja. Dan sudah tentu pukulan inipun tiada gunanja, bahkan lebih tjelaka lagi karena hawa murni dalam tubuhnja lantas bergolak dengan lebih hebat, se-akan2 akan menerdjang keluar melalui lubang bulu ruma jang be-ribu2 banjaknja itu, tapi semuanja buntu dan susah menerdjang keluar.

Tengah Tjiumoti murka dan kuatir pula, se-konjong2 dari badjunja terdjatuh keluar sesuatu benda terus njemplung kedalam sumur. Tjepat ia menjambarnja dengan sebelah tangan, tapi sudah terlambat. Kalau diwaktu biasa, dengan Lweekangnja jang tinggi tentu dia dapat meraup kembali benda itu dengan tenaga sedotan Kim-liong-djiu (ilmu menawan naga), tapi sekarang tenaganja sedang bergolak dan susah dikuasai lagi.

Sedjenak kemudian terdengar suara plok jang pelahan, terang benda itu sudah djatuh kedasar sumur. Diam2 Tjiumoti mengeluh, ia tjoba merogoh sakunja, benar djuga jang djatuh adalah kitab pusaka Ih-kin-keng jang direbutnja dari Goan-tji melalui tangan Tjilo Singh itu.

Memangnja Tjiumoti sudah tahu sebabnja Lweekangnja tersesat, semuanja gara2 latihan menurut Ih-kin-keng itu. Ia pikir untuk memunahkan siksaan itu tentunja djuga mesti ditjari djalannja melalui kitab itu. Djadi kitab itu

memegang kuntji mati-hidupnja, mana boleh sampai hilang?

Dalam gugupnja, tanpa pikir lagi ia terus melontjat kedalam sumur. Ia kuatir didalam sumur itu ada rintangan apa2, kuatir pula Bujung Hok dapat membuka sendiri Hiat-to jang tertutuk dan akan menjergapnja dibawah, maka sebelum kakinja menjentuh tanah, lebih dulu ia memukul dua kali kebawah untuk menahan daja turunnja pula.

Sudah tentu pukulannja itupun tidak berguna, daja turunnja tidak tertahan, sebaliknja badannja malah tertolak miring sehingga blang, kepalanja membentur dinding sumur.

Djika diwaktu biasa, biar kepalanja dikemplang djuga takkan mendjadi soal, tapi sekarang matanja lantas ber-kunang2 dan kepala pusing tudjuh keliling, bluk, ia djatuh tersungkur didasar sumur.

Sumur itu adalah sumur mati, sudah lama kering airnja, didasar sumur penuh rumput dan daun kering jang sudah membusuk, saking banjak timbunan daun dan rumput kering jang sudah busuk itu sehingga telah berubah menjadi lumpur jang tebal.

Karena djatuhnja Tjiumoti itu, seketika hidung dan mulutnja terbenam kedalam lumpur, ia merasa badannja pelahan2 djuga ambles kebawah. Segera ia bermaksud merangkak bangun, tapi tjelaka, kaki dan tangannja serasa lemas semua.

Tengah gugup dan bingung, tiba2 terdengar suara orang berseru diatas sana: Koksu (imam negara)! Koksu! ~ itulah suara keempat djago Turfan tadi.

Aku berada disini! demikian sahut Tjiumoti.

Tapi begitu ia bitjara, seketika lumpur masuk kedalam mulutnja sehingga susah mengeluarkan suara.

Sajup2 terdengar keempat djago Turfan itu sedang bitjara diatas sana. Kata jang seorang: Aneh, kemanakah perginja Koksu? ~ Lalu jang lain mendjawab: Mungkin Koksu tidak sabar menunggu kita dan beliau telah tinggal pergi lebih dulu. Beliau telah pesan kita menutup lubang sumur ini dengan batu, maka boleh kita kerdjakan sadja.

Terdengar kawan2nja menjatakan setudju, lalu terdengar suara gedebukan, rupanja mereka mulai mengusung batu2 besar.

Sungguh kedjut Tjiumoti tak terhingga. Kalau sampai mulut sumur tersumbat, maka tamatlah riwajatnja. Segera ia bermaksud berteriak, tapi asal dia pentang mulut, maka lumpur busuk lantas membandjir masuk.

Dalam pada itu sudah terdengar suara gemuruh jang keras, batu2 besar sudah menutup lubang sumur. Rupanja djago2 Turfan itu ingin melaksanakan perintah sang Koksu jang mereka pudja sebagai malaikat dewata, maka mereka telah mendatangkan batu2 besar dan sekaligus mulut sumur itu telah ditutup dan ditimbun beberapa potong batu raksasa jang masing2 beberapa ratus kati beratnja.

Tidak lama kemudian terdengar djago2 Turfan itupun berangkat pergi dengan ketawa2, rupanja mereka sangat senang karena telah mendjalankan tugas dengan baik.

Tjiumoti pikir sekali ini djiwanja pasti akan melajang dan terkubur didalam sumur itu. Dia adalah seorang pandai, baik agamanja maupun ilmu silatnja boleh dikata tiada bandingannja di daerah barat situ, siapa duga achirnja akan terkubur didalam lumpur sumur mati itu. Setiap manusia tentu akan mati, tapi mati setjara penasaran demikian benar2 tidak rela bagi Tjiumoti, dalam sedihnja air matanja lantas ber-linang2.

Meski tubuhnja penuh lumpur, kotornja tak keruan, tapi seperti biasa dikala orang menangis, iapun mengangkat tangannja hendak mengusap air mata. Diluar dugaan, baru tangan kanan terangkat, tiba2 tangannja menjenggol sesuatu benda, segera ia memegangnja, kiranja adalah Ih-kin-keng jang memang hendak ditjarinja itu.

Sesaat itu Tjiumoti tidak tahu mesti menangis terus atau mesti tertawa. Kitab pusaka itu sudah diketemukan kembali, tapi dalam keadaan demikian apa gunanja?

Tiba2 terdengar suara seorang wanita sedang bitjara: Tjoba dengarkan, orang2 Turfan itu telah menutup mulut sumur dengan batu besar, lantas tjara bagaimana kita akan keluar dari sini?

Ternjata jang bitjara itu adalah Giok-yan.

Seketika semangat Tjiumoti tergugah demi mendengar suara orang. Pikirnja: Kiranja dia tidak mati, dan entah sedang bitjara dengan siapa? Djika disini ada orang lain lagi, dengan bergotong-rojong mungkin batu2 penjumbat diatas akan dapat diangkat dan keluar dari sini.

Dalam pada itu terdengar suara seorang lelaki telah mendjawab utjapan Giok-yan tadi: Asal aku senantiasa berdampingan dengan kau, biar tidak dapat keluar dari sini djuga tidak mendjadi soal. Asal kau berada didampingku, maka sumur berlumpur busuk bagiku akan sama seperti taman disorgaloka.

Tjiumoti terkedjut mendengar suara itu: Kiranja dia djuga tidak mati? Dia telah terluka oleh aku punja Hwe-yam-to, tentu dia sangat dendam padaku. Pada saat ini aku sama sekali tak dapat menggunakan tenagaku, djika kesempatan ini digunakan olehnja untuk menuntut balas, wah, tentu tjelakalah aku!

Kiranja jang bitjara itu adalah Toan Ki...

Tadi ketika dilemparkan kedalam sumur oleh Bujung Hok, seketika dia pingsan sehingga dia tidak begitu runjam sebagai Tjiumoti walaupun badannja terbenam lumpur.

Kemudian waktu Giok-yan menerdjun kedalam sumur, sungguh sangat kebetulan, kepala nona itu dengan tepat menumbuk Tan-tiong-hiat didada Toan Ki sehingga pemuda itu tertumbuk sadar kembali. Sedang Giok-yan djatuh tepat diatas badan pemuda itu sehingga tidak sampai terluka, bahkan tidak banjak berlepotan lumpur jang kotor itu.

Ketika mendadak Toan Ki tersadar, pelahan2 ia lantas bangun, tapi tiba2 terasa pangkuannja bertambah seorang. Selagi heran dan sangsi, tiba2 didengarnja Bujung Hok sedang bitjara diatas sumur: Piaumoay, betapapun didalam hati-ketjilmu toh mentjintai Toan-kongtju, walaupun hidup takdapat mendjadi isterinja, tapi dapat mati bersama satu liang kubur, betapapun hal ini dapatlah memenuhi tjita2mu djuga.

Utjapan itu dengan djelas dapat didengar oleh Toan Ki, seketika ia terkesima dan tanpa merasa ia menggumam sendiri: Apa? Ah, ti... tidak! Tidak! Aku... aku masakan punja redjeki sebesar itu?

Diluar dugaan mendadak orang jang berada didalam pangkuannja itu telah berkata: Toan-kongtju sungguh aku ini sangat bodoh. Kau selalu sedemikian baiknja padaku, tapi aku... aku...

Ha? Kau.... Kau adalah nona Ong? seru Toan Ki dengan kaget.

Ja, sahut Giok-yan.

Biasanja Toan Ki sangat menghormati nona itu, sedikitpun tidak berani timbul pikiran rendah dan kotor terhadap nona jang dipandangnja maha agung dan sutji itu. Sekarang demi mengetahui nona itu berada didalam pangkuannja, dalam kaget dan girangnja segera ia hendak berbangkit untuk melepaskan Giok-yan.

Akan tetapi tempat didasar sumur itu tidak terlalu luas (sumur itu sempit diatas tapi melebar dibawah) dan penuh lumpur pula. Baru sadja Toan Ki berdiri dan kedua kakinja lantas ambles kedalam lumpur, terpaksa ia tetap memondongnja dan ber-ulang2 menjatakan penjesalannja: Maaf nona, maaf! Kita berada didalam lumpur, terpaksa aku berlaku kurang sopan padamu.

Giok-yan menghela napas, didalam hati merasa sangat berterima kasih. Sesudah mengalami kedjadian2 selama ini, terutama peristiwa terachir, dimana dua kali dia hendak membunuh diri dan selalu gagal, maka dia benar2 sudah paham dan terang-gamblang terhadap djiwa Bujung Hok, betapapun ia tidak dapat menipu dirinja sendiri lagi akan tjinta Bujung Hok itu. Ditambah lagi Toan Ki memang benar2 mentjintai dia dengan setulus hati dan segenap djiwa-raganja, kalau dibandingkan, maka djelas jang satu sangat berbudi dan mentjintainja setjara mendalam, sebaliknja jang lain rendah budi pekertinja dan tjuma mementingkan kepentingan pribadi sendiri.

Dia menerdjun kedalam sumur, kedjadian ini meski tjuma berlangsung dalam sekedjap sadja, tapi dalam benaknja telah terdjadi perubahan sangat besar. Semula dia tjuma menjesali nasib sendiri dan bertekad membunuh diri untuk membalas kebaikan Toan Ki, tak terduga pemuda itu dan dirinja ternjata tidak djadi mati semua. Sudah tentu kedjadian diluar dugaan ini membuatnja girang tidak kepalang.

Sebenarnja Giok-yan adalah seorang gadis lemah-lembut dan halus budinja, tapi sekarang sesudah mengalami peristiwa2 dan pukulan2 batin, mendadak sifatnja berubah banjak, saking terharunja ia terus berkata setjara terus terang kepada Toan Ki: Toan-kongtju, tadinja aku menjangka engkau sudah tewas, bila teringat kepada kebaikanmu padaku, sungguh aku mendjadi berduka dan menjesal pula telah membikin ketjewa kau. Sjukurlah Tuhan maha adil, engkau

ternjata baik2 sadja. Dan apa jang kukatakan diatas tadi tentunja kau djuga mendengar, bukan? ~ Ketika mengadjukan pertanjaan terachir itu, tanpa merasa mukanja mendjadi merah djengah, terus sadja ia menjembunjikan mukanja disamping leher Toan Ki.

Sesaat itu tubuh Toan Ki serasa me-lajang2 ke-awang2 seperti dialam Ternjata apa jang pernah dilamunkan selama ini dalam sekedjap ini mendjadi kenjataan. Keruan girang Toan Ki bukan main, tiba2 kakinja lemas, ia djatuh terduduk didalam lumpur, punggung bersandar dinding tapi tangan masih memondong tubuh Giok-yan.

mimpi. telah terasa sumur,

Tak terduga beberapa utas rambut Giok-yan telah menjusup kedalam hidung Toan Ki sehingga rasanja seperti di-kili2, kontan Toan Ki bersin beberapa kali.

He, kenapa kau? Apa kau terluka? tanja Giok-yan.

O, ti... tidak... Hatjiii... hatjiii... aku tidak terluka apa... hatjii... dan djuga bu... hatjiii... bukan masuk angin, aku tjuma kelewat senang maka... ha... hatjiii, maka hampir2 aku djatuh pingsan malah, demikian djawab Toan Ki sambil ber-ulang2 bersin.

Karena didasar sumur itu gelap gulita, dengan sendirinja satu-sama-lain takbisa melihat dengan djelas. Giok-yan hanja tersenjum sadja dan tidak bitjara pula. Dalam hati iapun sangat bahagia dan gembira. Sedjak ketjil ia kesemsem kepada sang Piauko, tapi tidak mendapat balas tjinta sebagaimana mestinja dan baru sekarang ia benar2 dapat menikmati rasa tjinta kasih antara dua hati jang terdjalin mendjadi satu.

No... nona Ong, apa sih jang... jang kau katakan diatas tadi, aku tidak mendengar utjapanmu itu, tanja Toan Ki dengan ter-gagap2.

Kukira engkau adalah seorang lelaki djudjur dan tulus, tak terduga kau djuga pintar pura2, sahut Giok-yan dengan tersenjum. Sudah terang kau telah mendengar apa jang kukatakan tadi, tapi sekarang kau minta aku mengulangi sekali lagi didepanmu. Idiiih, malu ah, aku takmau katakan lagi.

Toan Ki mendjadi gugup, ia tjoba mendjelaskan: Ti... tidak aku be... benar2 tidak mendengar apa jang kau katakan tadi. Nah, biar aku bersumpah, djika aku mendengar, biarlah aku di... ~ Sampai disini mendadak mulutnja tertutup oleh sebuah tangan jang hangat2 halus. Njata Giok-yan telah mendekap mulutnja.

Kalau memang tidak mendengar ja sudah, kenapa mesti pakai bersumpah apa segala, demikian kata sinona.

Sungguh girang Toan Ki melebihi tadi. Sedjak dia kenal Giok-yan, belum pernah ia diperlakukan sedemikian baiknja oleh nona itu. Maka ia lantas tanja pula: Habis, apa sih jang kau katakan diatas sumur tadi?

Aku bilang... tapi mendadak Giok-yan merasa serba kikuk dan urung meneruskan. Ia belokkan kedjurusan lain. Biarlah kuterangkan lain kali sadja. Toh hari depan kita masih tjukup pandjang, buat apa mesti ter-buru2.

Hari depan kita masih tjukup pandjang, buat apa mesti ter-buru2! kata2 ini benar2 seperti wahju malaikat dewata jang djatuh dari langit baginja. Makna daripada kata2 itu sudah terang menjatakan bahwa untuk selandjutnja Giok-yan akan selalu hidup berdampingan dengan dia.

Namun Toan Ki masih ragu2 atas pendengarannja sendiri, ia masih menegas: Kau... kau maksudkan untuk seterusnja kita akan selalu berada bersama?

Giok-yan merangkul leher Toan Ki dan ber-bisik2 ditepi telinganja: Toan-long, asal kau tidak mentjela diriku, tidak marah padaku karena tempo hari aku telah bersikap dingin padamu, maka untuk selama hidup ini aku rela ikut bersama kau dan takkan... takkan meninggalkan dikau pula.

Djantung Toan Ki hampir2 melontjat keluar dari mulutnja saking kerasnja berdebar. Ia tanja pula: Habis bagaimana dengan Piaukomu? Selama ini kau sangat suka padanja.

Ja, tapi toh dia tidak pernah memperhatikan diriku, sahut Giok-yan. Dan baru sekarang aku tahu siapakah gerangan orang didunia ini jang benar2 mentjintai aku dan mengasihi aku, siapa jang telah memandang diriku lebih berharga daripada djiwanja.

Kau maksudkan aku? tanja Toan Ki.

Siapa lagi kalau bukan kau, sahut Giok-yan. Tiba2 ia menangis, katanja pula:

Selama hidup Piaukoku itu selalu bermimpi akan mendjadi radja Yan. Tapi maklum djuga, sedjak turun temurun keluarga Bujung mereka memang sudah mempunjai tjita2 jang muluk2 itu. Sebenarnja Piauko bukan seorang djahat, dia tjuma kepingin mendjadi radja, maka segala urusan lain telah dikesampingkan olehnja.

Mendengar nada sinona ada maksud membela dan mengetjilkan kesalahan Bujung Hok, kembali Toan Ki berkuatir pula. Tanjanja tjepat: Nona Ong, andaikan kelak Piaukomu menginsafi keselahannja dan tiba2 membaiki kau lagi, lan... lantas bagaimana kau?

Toan-long, sahut Giok-yan dengan menghela napas. Meski aku adalah seorang wanita bodoh, tapi sekali2 bukan manusia jang bermartabat rendah. Hari ini aku sudah mengikat djandji dengan kau, djika kelak aku berbuat hal2 jang tidak baik, bukankah akan merusak nama baikku sendiri? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap tjintamu jang murni kepadaku?

Toan Ki kegirangan mendapat djawaban itu, ia berseru gembira, segera ia angkat sedikit kepala sinona, dia sendiri lalu menunduk hendak mentjium. Dengan malu2 Giok-yan menjambutnja dengan mesra dan empat bibir lantas terkatup mendjadi satu. Tapi baru kepalang-tanggung, se-konjong2 dari atas terdengar suara menjambarnja sesuatu benda besar jang djatuh kebawah.

Keruan kedua orang terkedjut dan tjepat menjisih ketepi dinding. Maka terdengarlah suara bluk jang keras, sesosok tubuh telah djatuh kedasar sumur itu.

Siapa itu? tanja Toan Ki.

O, akulah! sahut orang itu jang ternjata adalah Bujung Hok.

Rupanja sesudah Toan Ki sadar kembali, dia lantas roman dengan Giok-yan sehingga keduanja lupa daratan se-akan2 hidup didunia sendiri, andaikan saat itu langit akan ambruk atau bumi meledak tentu djuga takkan terpikir oleh mereka. Dengan sendirinja pertarungan sengit antara Tjiumoti dan Bujung Hok jang diatas sumur tadi djuga tak mereka pedulikan. Sekarang demi mendadak Bujung Hok djatuh kedalam sumur, barulah kedua orang itu kaget dan menjangka Bujung Hok sengadja datang hendak mengganggu djandji setia mereka.

Segera Giok-yan berkata dengan suara gemetar: Piau... Piauko, kau mau apalagi datang pula ke... kesini? Hidupku ini sekarang sudah kupasrahkan kepada

Toan-kongtju, djika engkau mau membunuh dia, bolehlah kau membunuh aku sekalian.

Sungguh girang sekali Toan Ki mendengar pernjataan tegas Giok-yan itu. Mestinja dia tidak kuatir dirinja dibunuh Bujung Hok, jang dikuatirkan adalah Giok-yan akan terbudjuk dan kembali lagi kepangkuan Piaukonja. Tapi sesudah mendengar utjapan Giok-yan itu, seketika legalah hatinja. Ia merasa pula sinona telah mendjulurkan tangannja untuk menggenggam kedua tangan sendiri, hal ini makin menambah kepertjajaannja, segera ia berkata: Bujung-kongtju, kau boleh pergi mendjadi Huma keradjaan Se He, aku tak nanti berebutan dengan kau, bahkan aku akan membantu terlaksananja tjita2mu itu. Adapun Piaumoaymu ini sudah mendjadi milikku, kau takkan dapat merebutnja lagi. Giok-yan, betul tidak katamu?

Betul, sahut Giok-yan. Biar mati atau hidup aku sudah pasti akan ikut kau.

Karena Hiat-to tertutuk, maka Bujung Hok dapat mendengar dan bitjara, tjuma takbisa bergerak. Diam2 ia memikir: Mereka berdua belum mengetahui aku telah dikalahkan Tjiumoti dan dalam keadaan tak berkutik, maka mereka masih sangat djeri padaku, kuatir kalau aku membikin susah mereka. Ja, hal ini akan menguntungkan diriku, biarlah aku melakukan tipu mengulur tempo pula.

Maka ia lantas berkata: Piaumoay, sesudah kau mendjadi isteri Toan-kongtju, maka kita sudah terhitung pamili sendiri. Toan-kongtju adalah adik iparku, masakah aku tega mentjelakai dia lagi?

Dasar Toan Ki memang seorang djudjur dan polos, sedang Giok-yan masih hidjau, maka mereka pertjaja penuh kepada utjapan Bujung Hok itu, dalam girangnja mereka lantas mengutjapkan terima kasih.

Lalu Bujung Hok berkata pula: Toan-hiante, sekarang kita sudah orang sekeluarga, kalau aku pergi mendjadi Huma keradjaan Se He, maka kau takkan merintangi lagi bukan?

Sudah tentu, sahut Toan Ki tjepat. Asal aku dapat memperisterikan Piaumoaymu, maka tiada tjita2ku jang lain lagi, biarpun aku didjadikan malaikat dewata djuga aku tidak mau.

Pelahan2 Giok-yan menggelendot dibahu Toan Ki, girangnja tak terkatakan.

Dalam pada itu diam2 Bujung Hok tjoba mengerahkan tenaga dalamnja untuk membujarkan Hiat-to jang tertutuk Tjiumoti tadi. Karena seketika susah dipunahkan, pula tidak sudi minta pertolongan, maka ia hanja menggerutu didalam hati: Dasar sifat kaum wanita memang gampang terpengaruh dan mudah berganti tjinta, buktinja memang betul seperti Piaumoay sekarang ini. Kalau dia ingat kebaikanku, tentu dia sudah mendekati dan membangunkan aku.

Dia mentjertja orang lain, tapi lupa dirinja sendiri jang tak berbudi sehingga Giok-yan merasa putus asa dan hendak bunuh diri. Padahal tempat didasar sumur itu luasnja kira2 tjuma dua-tiga meter, djarak mereka satu-sama-lain sebenarnja sangat dekat, asal Giok-yan melangkah satu tindak sadja sudah dapat mentjapai Bujung Hok. Tapi dia merasa djeri, kuatir kalau Bujung Hok bertipu muslihat dan membikin tjelaka Toan Ki. Selain itu iapun takut menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, maka sedjak tadi selangkahpun Giok-yan tidak berani sembarangan bergerak.

Begitulah, karena pikirannja bingung, maka untuk membuka Hiat-to jang tertutuk mendjadi tambah susah. Sedapat mungkin Bujung Hok tjoba tenangkan diri, lalu pelahan2 membuka djalan darah jang tertutuk itu. Dan baru sadja dia dapat bergerak dan mulai berdiri, plok tiba2 ada sesuatu benda djatuh disebelahnja. Njata itu adalah Ih-kin-keng jang terlepas dari badju Tjiumoti. Dan karena keadaan gelap gulita, Bujung Hok segera menjingkir kesamping untuk mendjauhi benda jang djatuh itu. Dan untung karena dia menggeser minggir, maka waktu kemudian Tjiumoti melompat turun tidak sampai mendjatuhi tubuhnja.

Kembali tadi. Sesudah Tjiumoti dapat menemukan kembali Ih-kin-keng, saking senangnja ia terus ter-bahak2. Karena luang sumur itu sangat sempit, maka kumandang suara tertawanja itu sampai men-dengung2 memekak telinga Toan Ki.

Dan karena tertawanja itu, ternjata Tjiumoti tak mampu menghentikan pula bergolaknja hawa murni jang semakin hebat dan makin melembung rasanja, pikirannja mendjadi katjau, seketika ia mendjadi seperti orang gila, ia menghantam dan menendang serabutan dikumbangan lumpur itu. Dan sudah tentu serangan2 jang ngawur itu selalu mengenai dinding sumur, terkadang sangat keras sehingga batu petjah dan debu pasir bertebaran, tapi terkadang sangat lemah, sedikitpun tak bertenaga.

Giok-yan sangat takut, dengan kentjang ia memepet disisi Toan Ki, bisiknja pelahan: Dia sudah gila, dia sudah gila!

Ja, rupanja dia benar2 sudah gila, sahut Toan Ki.

Sementara itu kebebasan bergerak Bujung Hok sudah pulih kembali, untuk tidak terkena serangan Tjiumoti, segera ia gunakan ilmu tjetjak merajap untuk merajap keatas dan menggemblok didinding sumur.

Tjiumoti masih terus tertawa dan napasnja djuga semakin ter-sengal2, sebaliknja pukulan dan tendangannja tambah tjepat.

Taysu, lebih baik kau duduk sadja dan istirahat dengan hati tenang sadja! demikian Giok-yan tjoba membudjuk dengan tabahkan hatinja.

Hahahahaha! Aku takmau! seru Tjiumoti sambil ter-bahak2, bahkan ia terus mentjengkeram kearah Giok-yan. Ditempat jang sempit itu, dengan sendirinja susah bagi Giok-yan untuk menghindar, keruan tjengkeraman Tjiumoti itu sudah sampai diatas pundak sinona.

Dengan mendjerit kaget lekas2 Giok-yan mengegos. Sedang Toan Ki terus menggeser madju untuk mengadang didepan sinona, serunja: Kau sembunji dibelakangku sadja.

Dan pada saat itu djuga kedua tangan Tjiumoti sudah merangsang madju lagi dan dengan tepat mentjekik leher Toan Ki. Seketika Toan Ki merasa napasnja mendjadi sesak dan takbisa membuka suara.

Giok-yan sangat kuatir, lekas2 ia bantu menarik tangan Tjiumoti. Tapi waktu itu Tjiumoti sudah dalam keadaan kalap, meski hawa murninja bergolak dan susah dikendalikan, tapi tenaga tjekikan itu ternjata sangat kuat. Sudah tentu Giok-yan hanja seperti menarik ketjapung menghinggap ditiang batu sadja, sedikitpun takdapat mengendurkan tangan Tjiumoti jang mentjekik Toan Ki itu.

Kuatir kalau Toan Ki tertjekik mati, saking bingungnja Giok-yan terus ber-teriak2: Piauko, Piauko, lekas kau menolongnja. Hwesio ini hendak mentjekik mati Toan-kongtju!

Untuk sedjenak Bujung Hok mendjadi ragu2. Pikirnja: Pemuda she Toan ini menjatakan hendak membantu aku mendjadi Huma keradjaan Se He, tapi entah omongannja dapat dipertjaja atau tidak. Dia pernah mengalahkan aku di Siau-sit-san sehingga nama keluarga Bujung kami runtuh habis2-an dan kehilangan muka didepan orang banjak, sekarang dia terantjam bahaja, buat apa aku mesti menolong dia? Apalagi ilmu silat paderi ini sangat tinggi dan

sudah bagiku untuk menandingi dia, biarlah mereka berdua mati konjol dalam pertarungan mereka, kukira djalan ini paling selamat bagiku. ~ Karena itu, ia semakin kentjang memegang tjelah2 dinding sumur itu dengan memasuki djarinja dan tidak mau turun untuk membantu, biar Giok-yan ber-teriak2 minta tolong sampai suaranja serak, tetap Bujung Hok tidak peduli dan anggap tidak mendengar.

Sementara itu mata Toan Ki tampak sampai mendelik, keruan Giok-yan tambah kuatir, ia gunakan kepalan untuk menghantam kepala dan punggung Tjiumoti sambil ber-teriak2. Sudah tentu Tjiumoti tidak merasakan pukulan2 sinona, ia hanja ngos2-an napasnja sambil ter-bahak2 pula, berbareng masih terus mentjekik leher Toan Ki dengan sekuatnja...

Kembali bertjeritakan rombongan Siau Hong dan lain2.

Pagi itu Pah Thian-sik dan Tju Tan-sin mendjadi sibuk karena kehilangan Toan Ki dan Giok-yan.

Wah, pangeran tjilik kita ini memang mirip ajahandanja, di-mana2 suka main roman, tentu tengah malam dia telah kabur bersama nona Ong dan entah kemana perginja, demikian kata Tan-sin.

Ja, pangeran tjilik kita orangnja ganteng dan romantis, lebih suka wanita daripada tahta, sahut Thian-sik. Dia djatuh hati kepada nona Ong, hal ini telah diketahui semua orang. Kalau suruh dia mendjadi Huma keradjaan Se He, ai, kukira sulit. Apalagi sifat pangeran kita ini sangat kepala batu, dahulu Sri Baginda ingin dia beladjar silat, tapi dia tetap membangkang dan tidak mau, kalau dipaksa, dia lantas minggat dari istana.

Tiada djalan lain, terpaksa kita mentjarinja dan membudjuknja sedapat mungkin, udjar Tan-sin.

Pah-heng, kata Tan-sin pula. Aku djadi ingat kedjadian dahulu, ketika pangeran tjilik kita minggat dari istana. Siaute dititahkan Ongya untuk mentjarinja, dengan susah pajah achirnja lantas aku dapat menemukan dia, siapa duga... sampai disini ia lantas bisik2: siapa duga dia telah kesemsem kepada nona Bok Wan-djing ini, dan seperti sekarang, ditengah malam buta merekapun diam2 mengelojor kabur. Untung Siaute sudah mendjaga ditengah djalan sehingga dapat mempergoki mereka.

Wah, djika begitu, maka sekarang inipun salahmu, seru Thian-sik. Kau sudah

berpengalaman, kenapa kedjadian dahulu itu boleh terulang lagi? Bukankah semalam kita harus berdjaga setjara bergiliran untuk mengawasi gerak-gerik mereka?

Tan-sin menghela napas gegetun, katanja: Aku mengira dia pasti akan ingat hubungan baiknja dengan Siau-tayhiap dan Hi-tiok Siansing dan tidak nanti tinggal pergi begitu sadja, siapa tahu... siapa tahu... ~ Mestinja dia hendak mengatakan siapa tahu pangeran kita ternjata lebih mementingkan wanita daripada persahabatan,. Tapi kata2 jang tidak pantas diutjapkan kaum bawahan kepada djundjungannja ini urung dilontarkan.

Begitulah karena tak berdaja lagi, terpaksa kedua orang itu melaporkan apa jang terdjadi kepada Siau Hong dan Hi-tiok. Segera para kawan dikerahkan untuk mentjari, tapi sudah ditjari ubek2an selama sehari, tetap bajangan Toan Ki dan Giok-yan tak diketemukan.

Malam itu semua orang berkumpul dikamarnja Toan Ki jang kosong itu untuk berunding. Dan sudah tentu mereka tidak memperoleh sesuatu akal jang baik untuk mentjari pemuda itu.

Tengah mereka bingung, tiba2 bagian protokol keradjaan Se He mengutus seorang untuk menemui Pah Thian-sik dan memberitahukan bahwa besok malam hari Tiongtjhiu baginda radja akan mengadakan perdjamuan besar diistana Se-hwa-koing untuk menghormati para tamu jang datang dari berbagai pendjuru, maka pangeran Tayli itu diharap suka hadir.

Sudah tentu Pah Thian-sik takdapat mengatakan lenjapnja Toan Ki, ia hanja menjanggupi sadja undangan itu.

Utusan itu pernah disuap oleh Pah Thian-sik, maka sikapnja sangat baik, waktu hampir berpisah, tiba2 ia membisiki Thian-sik pula: Pah-loheng, biarlah aku memberi info padamu. Dalam perdjamuan Sri Baginda besok malam, disitu djuga Sri Baginda akan mengamat-amati gerak-gerik dan tampan dan kepandaian para tamu tjalon menantu radja itu. Sesudah perdjamuan boleh djadi akan diadakan perlombaan membuat sjair dan bersadjak, atau mungkin djuga memanah dan bertanding silat untuk menentukan siapa jang sesuai untuk mendjadi pasangan Tuan Puteri kami. Maka besok malam ialah kuntji utama bagi sukses tidaknja usaha para tjalon, untuk mana diharapkan Toan-kongtju suka memperhatikan.

Ber-ulang2 Pah Thian-sik mengutjapkan terima kasih, berbareng ia mengeluarkan sepotong uang emas dan didjedjalkan ketangan utusan itu.

Setiba kembali didalam kamar, segera Thian-sik memberitahukan info jang baru didapat itu. Katanja pula: Tin-lam-ong telah memberi pesan dengan wanti2 agar Pangeran tjilik kita harus membawa pulang puteri Se He. Kalau tugas jang diserahkan pada kami ini gagal, maka kami sungguh malu untuk menemui Ongya lagi.

Tiba2 Tiok-kiam mengikik tawa lalu berkata: Pah-loya, apa boleh hamba ikut bitjara sedikit?

Silakan, sahut Thian-sik.

Sebabnja ajah baginda Toan-kongtju mengharuskan dia menikah dengan puteri Se He, maksud tudjuannja kan ingin besanan dengan keradjaan Se He untuk memperkuat kedudukan keradjaan Tayli mereka, bukan? tanja Tiok-kiam.

Benar, djawab Thian-sik.

Adapun mengenai puteri Se He itu akan setjantik bidadari atau sedjelek setan takkan dipikir oleh Toan-ongya, bukan? ganti Kiok-kiam jang bertanja.

Ja, tetapi sebagai Tuan Puteri jang diagungkan, sekalipun tidak setjantik bidadari, paling tidak toh djuga akan punja roman muka jang lumajan, udjar Tan-sin.

Nah, sekarang kami ada suatu akal, asal puteri Se He dibojong pulang ke Tayli, maka soal Toan-kongtju akan diketemukan dalam waktu singkat atau tidak mendjadi takkan merupakan soal lagi, sekarang Bwe-kiam jang berkata.

Dan Lan-kiam djuga tidak ketinggalan, katanja: Nanti, kalau Toan-kongtju sudah bosan pesiar ke-mana2 dengan nona Ong, lewat setahun atau dua tahun, tentu dia akan pulang sendiri ke Tayli, tatkala mana djuga belum terlambat untuk minta dia melangsungkan pernikahan dengan puteri Se He.

Heran dan girang pula Thian-sik dan Tan-sin, kata mereka berbareng: He, akal para nona ini benar2 sangat baik, tjoba djelaskan lagi.

Segera Bwe-kiam bitjara lebih dulu: Sekarang kalau kita minta nona Bok menjamar sebagai seorang pemuda peladjar, bukankah akan djauh lebih tampan daripada Toan-kongtju. Lalu kita minta nona Bok suka menghadiri perdjamuan radja Se He besok malam, kukira tiada seorangpun diantara be-ribu2 tetamu itu mampu menandingi ketampanannja.

Ja, nona Bok adalah adik perempuan Toan-kongtju, demikian Lan-kiam menjambung. Kalau adik perempuan mewakilkan kakaknja mengambil isteri demi kepentingan negara serta untuk memenuhi tugas atas perintah ajah, bukankah djalan ini boleh dikata sekali tepok beberapa laler?

Dan bila nona Bok sudah terpilih sebagai Huma, untuk melangsungkan upatjara pernikahan tentu masih tjukup lama waktunja, dalam pada itu Toan-kongtju tentu sudah dapat diketemukan, demikian Tiok-kiam menambahkan.

Ja, andaikan Toan-kongtju tetap belum diketemukan, tiada halangannja djuga kalau nona Bok mewakilkan kakaknja melangsungkan pernikahan, akhirnja Kiok-kiam menutup usul mereka. Lalu keempat dara itu lantas tertawa tjekikikan.

Dasar anak kembar empat, maka pikiran mereka sama, lagak-lagu merekapun sama, tertawa sama, diwaktu bitjara djuga sama dan entah apalagi jang sama...

Untuk sedjenak Pah Thian-sik dan Tju Tan-sin hanja saling pandang sadja. Mereka merasa usul dara2 itu terlalu sembrono, kalau sampai konangan, tentu urusan akan runjam, bukan sadja gagal mengikat perbesanan dengan Se He, bahkan bukan mustahil radja Se He akan mengamuk dan menjatakan perang kepada Tayli.

Rupanja Bwe-kiam dapat menerka apa jang dipikirkan Thian-sik berdua, segera ia berkata pula: Sebenarnja Toan-kongtju toh mempunjai saudara angkat sebagai Siau-tayhiap dan mestinja tidak perlu mentjari sandaran kepada Se He, tjuma Tin-lam-ong telah memberi perintah sehingga terpaksa mesti diturut. Dan kalau terdjadi apa2, Siau-tayhiap adalah Lam-ih Tay-ong dari keradjaan Liau dengan kekuatan militer jang dahsjat, asal beliau mau ikut bitjara, maka segala persoalan tentu dapat diatasi, tidak nanti radja Se He berani main gila kepada keradjaan Tayli.

Sebagai seorang menteri jang dipertjaja dan ikut memegang pemerintahan, sudah tentu Pah Thian-sik bukan seorang bodoh. Mengenai Siau Hong dapat didjadikan bala bantuan keradjaan Tayli, hal ini memang sudah didalam perhitungannja. Tjuma sadja dia merasa tidak enak untuk mengutjapkan sendiri. Kini demi mendengar utjapan Bwe-kiam itu dan Siau Hong djuga mengangguk, maka

semangatnja seketika terbangkit. Pikirnja: Usul keempat dara tjilik ini tampaknja seperti permainan anak ketjil, tapi selain djalan ini sesungguhnja djuga tiada tjara lain, hanja nona Bok entah suka menerima dan mau menjerempet bahaja atau tidak?

Karena itu, segera ia sengadja berkata: Usul nona2 ini memang akal sangat bagus, tapi pelaksanaannja benar2 terlalu berbahaja. Pabila sampai konangan penjamaran nona Bok nanti, tentu ada kemungkinan nona Bok akan tertawan, apalagi disitu hadir kesatria2 dari segenap pendjuru, dalam hal orangnja sudah tentu nona Bok adalah paling tampan, tapi kalau mesti bertanding silat dan mengalahkan mereka, wah, ini agak kurang mejakinkan.

Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Bok Wan-djing dan ingin tahu bagaimana pendiriannja.

Maka berkatakan Wan-djing: Pah-siansing, kau tidak perlu memantjing aku dengan kata2mu itu, soalnja engkohku... engkohku itu... ~ hanja sampai disini, mendadak air matanja lantas bertjutjuran dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Rupanja telah terdjadi pertentangan batinnja, teringat olehnja apa jang dilakukan Toan Ki dengan Giok-yan sekarang adalah mirip dengan kedjadian Toan Ki dalam perdjalanan bersama dirinja diwaktu dahulu, tjoba kalau pemuda itu bukan kakaknja sendiri, tentu pemuda itupun takkan mengingkar djandji. Tapi sekarang Toan Ki sedang ber-tjumbu2an dengan nona lain, sebaliknja dia sendiri hidup kesepian disini, bahkan para kambrat keradjaan Tayli malah minta dia berdjoang baginja.

Dasar watak Bok Wan-djing memang takmau kalah, dikala pikirannja pepet, mendadak ia angkat medja didepannja sehingga terbalik, seketika mangkok-piring petjah berantakan, lalu ia melompat keluar.

Semua orang saling pandang dengan bingung dan merasa kurang senang pula. Jang paling menjesal adalah Pah Thian-sik, katanja: Semuanja adalah salahku. Djika aku memohonnja dengan kata2 halus paling2 nona Bok tjuma menolak sadja permintaanku, tapi karena aku telah sengadja memantjingnja dengan kata2 jang menjinggung perasaannja, maka dia mendjadi marah2.

Begitulah, besoknja semua oran gmasih terus berusaha menemukan Toan Ki, didalam kota tampak sangat ramai dengan hilir-mudiknja pemuda2 gagah dan perlente, mungkin sebagian besar akan ikut dalam perdjamuan malaman Tiongthjiu dalam istana radja nanti.

Sampai petang semua orang telah pulang dan Toan Ki tetap tidak diketemukan. Maka berkatalah Siau Hong: Djika Samte sudah pergi dari sini, maka beramai2 kitapun boleh pulang sadja, tak peduli siapa jang akan mendjadi Huma nanti, semuanja tiada sangkut-pautnja dengan kita.

Ja, utjapan Siau-tayhiap memang benar, supaja kita tidak menjaksikan orang lain mendjadi Huma dan menimbulkan rasa penasaran, udjar Thian-sik.

Eh, Tju-siansing, kau sendiri sudah beristeri belum? demikian tiba2 Tjiong Ling tanja kepada Tju Tan-sin. Djikalau Toan-kongtju tidak mau mendjadi Huma, kenapa bukan kau sadja jang magang? Eh, siapa tahu kalau kau akan dianugerahi puteri Se He jang tjantik itu, djika demikian, bukankah djuga akan banjak manfaatnja bagi keradjaan Tayli?

Tan-sin tertawa, sahutnja: Ai, nona Tjiong ini suka berkelakar sadja. Sudah lama aku punja isteri dan punja selir, banjak pula putera-puteriku, mana boleh aku ikut2 berlomba berebut puteri seperti kaum muda mereka?

Tjiong Ling melelet lidah dan tidak bitjara lagi.

Sebaliknja Tju Tan-sin lantas menambahi lagi dengan tertawa: Ja, sajang wadjah nona Tjiong sendiri masih terlalu muda, pipimu dekik pula dan tidak mirip orang lelaki, kalau tidak, wah, tentu kau dapat mewakilkan engkohmu untuk mengikuti sajembara itu...

Apa? Mewakilkan engkohku? Tjiong Ling menegas.

Tan-sin merasa telah kelepasan mulut. Tapi dalam hatinja membatin: Memangnja kau adalah puteri Tin-lam-ong dari hubungan jang tidak sah, peristiwa jang masih dirahasiakan ini tidak boleh sembarangan kukatakan.

Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berkata diluar kamar sana: Pah-siansing, Tju-siansing, marilah kita boleh berangkat sekarang!

Dan dimana kerai tersingkap, masuklah seorang pemuda jang ganteng dan tampan. Siapa lagi dia kalau bukan Bok Wan-djing jang telah menjamar sebagai pemuda peladjar.

Keruan semua orang terkedjut dan bergirang pula, kata mereka: He, apa nona Bok sudah bersedia pergi?

Tapi Bok Wan-djing lantas mendjawab: Tjayhe she Toan bernama Ki, adalah putera pangeran Tin-lam-ong dari Tayli, diharap utjapan kalian sukalah hati2.

Walaupun suaranja njaring merdu sebagai suara wanita, tapi banjak djuga pemuda peladjar jang bersuara lemah-lembut, maka tidak perlu diherankan. Karena merasa Bok Wan-djing dapat menirukan lagak-lagu Toan Ki, maka tertawalah semua orang.

Rupanja sesudah marah2 sebentar dan pulang kekamarnja dengan menangis, besok paginja setelah di-pikir2 pula, ia merasa tidak enak telah berlaku kasar dihadapan orang banjak, pula ia merasa tertarik djuga djika dia menjamar sebagai Toan Ki untuk ikut berebut puteri Se He dengan djago2 lain. Dalam hati ketjilnja lapat2 merasa: Kau (maksudnja Toan Ki) ingin menikah dan hidup bahagia dengan nona Ong, tapi aku djusteru sengadja mewakilkan kau mengambil seorang Tuan Puteri untuk isterimu, biar hidupmu kelak selalu tjektjok diantara dua isteri, dengan begini barulah kau tahu rasa.

Kemudian teringat pula olehnja waktu dia datang kekota Tayli dahulu, dimana ajah Toan Ki djuga dihadapkan pada masalah isteri dan kekasih lain sehingga membuatnja serba salah dan kikuk, kalau sekarang Toan Ki djuga mempunjai seorang isteri Tuan Puteri setjara resmi, maka Giok-yan tentu takkan berhasil mendjadi isterinja jang sah.

Begitulah djalan pikiran kaum wanita. Kalau dia sendiri tidak bisa mendjadi isterinja Toan Ki, maka diapun tidak mengidjinkan seorang gadis lain dapat hidup bahagia sebagai istennja. Makin dipikir makin senang, maka dia lantas mengambil keputusan dan bersedia menjamar sebagai Toan Ki.

Dengan demikian, maka tjepat2 Pah Thian-sik dan lain2 lantas ber-gegas2 menjiapkan segala sesuatu jang perlu untuk berangkat menghadiri perdjamuan radja.

Tiba2 Wan-djing berkata: Siau-toako dan Hi-tiok Djiko, bila kalian sudi ikut aku pergi bersama, aku keperdjamuan itu, maka segala apa aku takkan takut lagi. Kalau tidak, apabila terdjadi pertempuran, mana aku mampu melawan orang. Didalam istana rasanja djuga tidak pantas aku sembarangan membidikan panah berbisa untuk membunuh musuh.

Baiklah, aku dan Djite sudah dipesan oleh paman Toan, sudah tentu kami akan membantu sekuat tenaga, sahut Siau Hong dengan tertawa.

Segera semua orang berdandan seperlunja untuk ikut pergi. Siau Hong dan Hi-tiok menjaru sebagai pengiring dari keradjaan Tayli. Tjiong Ling dan Bwe-kiam berempat saudara mestinja ingin ikut djuga dengan menjamar sebagai lelaki, tapi Pah Thian-sik telah mentjegah mereka agar djangan ikut, untuk mendjaga penjamaran Bok Wan-djing sadja susah, apalagi kalau ditambah penjamaran mereka berlima, tentu rahasia mereka akan terbongkar.

Karena itu, terpaksa Tjiong Ling dan lain2 menurut.

Sesudah rombongan mereka berada ditengah djalan, tiba2 Pah Thian-sik berseru: Ai, hampir2 membikin urusan mendjadi runjam. Bukankah Bujung Hok itupun akan hadir dan ikut berebut mendjadi Huma, dia kenal baik pada Toan-kongtju, lantas bagaimana nanti?

Siau Hong tertawa, katanja: Pah-heng tidak perlu kuatir. Bujung-kongtju djuga serupa dengan Samte, diapun telah menghilang tanpa pamit, tadi aku telah mentjari tahu ketempatnja, kulihat Ting Pek-djwan, Pau Put-tong dan kawan2nja djuga sedang kelabakan mentjari Kongtju mereka.

Wah, ini sangat kebetulan, kata semua orang dengan girang.

Sungguh Siau-tayhiap mempunjai pikiran jang pandjang, sampai2 sebelumnja keadaan Bujung Hok djuga telah diselidikinja, udjar Tan-sin.

Bukannja aku bisa berpikir pandjang, sahut Siau Hong. Aku hanja kuatirkan kepandaian Bujung Hok jang tinggi itu akan merupakan lawan paling tangguh bagi nona Bok, maka... hehe, hehe!

Kiranja Siau-tayhiap hendak membudjuk dia agar malam ini djangan ikut hadir dalam perdjamuan., kata Pah Thian-sik dengan tertawa.

Agaknja Tjiong Ling merasa bingung atas petualangan mereka itu, dengan mata terbelalak ia tanja: Sebabnja djauh2 Bujung-kongtju datang kesini djusteru

ingin mendjadi Huma, mana mungkin dia dapat dibudjuk olehmu? Apa memangnja Siau-tayhiap adalah sobat baiknja Bujung-kongtju.

Sobat sih bukan, sela Bok Wan-djing dengan tertawa, Tjuma kepalan Siau-tayhiap terlalu keras baginja, maka dia terpaksa mesti menurut nasihatnja.

O! Tjiong Ling melongo, baru sekarang dia paham duduknja perkara.

Begitulah, setiba rombongan mereka didepan istana, segera Pah Thian-sik menjodorkan kartu undangan. Maka tertampaklah Le-poh Siang-si (menteri urusan protokol) keradjaan Se He lantas menjambut keluar sendiri dan menjilakan rombongan Bok Wan-djing kedalam istana. Ternjata sudah ada lebih seratus pemuda jang telah hadir disitu dan duduk tersebar diruang situ, ditengah ada suatu medja jang dilapisi dengan sutera2 kuning bersulam, mungkin itulah tempat duduk radja Se He sendiri, dikanan-kirinja terdapat pula dua baris medja jang dilapis dengan sutera ungu. Disebelah kanan sudah berduduk seorang pemuda gagah, bermata besar dan beralis tebal dan memakai djubah merah tua, diatas djubah tersulam dua ekor harimau, dibelakangnja berdiri delapan djago pengawal.

Segera Pah Thian-sik dan lain2 mengetahui pemuda gagah ini tentu adalah pangeran Tjong-tjan dari Turfan.

Segera Le-poh Siang-si menjilakan Bok Wan-djing duduk dibarisan medja sebelah kiri dan tidak ditjampurkan dengan orang lain. Hal ini menundjukkan bahwa diantara pemuda2 pengikut sajembara ini hanja pangeran Turfan dan pangeran Tayli jang mempunjai kedudukan paling agung, maka radja Se He menghormatinja dengan tjara lain daripada jang lain.

Begitulah para tamu2 be-ramai2 masih terus tiba dan mengambil tempat duduk masing2. Sesudah semua kursi penuh terisi, lalu dua perwira piket berseru: Para tamu agung sudah lengkap hadir semua, tutup pintu!

Maka ditengah iringan suara musik pelahan2 pintu istana dirapatkan. Dan begitu pintu istana tertutup, segara berbaris keluar serombongan pengawal jang bersendjata lengkap. Menjusul suara musik bergema pula, dua barisan dajang keraton berdjalan keluar dari ruang dalam, tangan masing2 membawa sebuah Hiolo (anglo dupa) ketjil buatan kemala putih, asap tipis tampak mengepul dari Hiolo2 itu.

Semua orang tahu Sri Baginda sebentar lagi akan keluar, maka semuanja lantas diam dan menahan napas.

Paling achir keluarlah empat pengawal berdjubah sulam, semuanja bertangan kosong, lalu berdiri dikedua sisi singgasana radja.

Melihat pelipis keempat pengawal itu semuanja menondjol, maka tahulah Siau Hong pasti mereka adalah djago pengawal radja jang memiliki ilmu silat sangat tinggi.

Lalu satu diantara keempat djago pengawal itu berseru: Sri Baginda tiba, sambutlah!

Semua orang lantas berlutut dengan kepala menunduk.

Maka terdengarlah suara langkah orang jang keluar dari ruang dalam, lalu duduk diatas singgasana jang sudah tersedia. Dan sesudah djago pengawal tadi memberi aba2 pula, barulah semua orang berbangkit dan disilakan kembali ketempat duduk masing2.

Waktu Siau Hong memandang si Radja dilihatnja perawakannja sedang sadja, mukanja kereng, agaknja djuga seorang tokoh kesatria didunia persilatan.

Kemudian Le-poh Siang-si telah madju kesamping singgasana sang radja dan membentang sehelai amanat, lalu dibatjanja dengan suara njaring: Paduka Jang Mulia Sri Baginda Radja menjampaikan terima kasih atas kehadiran tuan2 sekalian, marilah ber-sama2 mengeringkan setjawan!

Para tamu menjampaikan sembah hormat, lalu sama2 mengangkat tjawan masing2. Tapi radja itu hanja menempelkan tjawannja kebibir sebagai lambang sadja, lalu meninggalkan singgasananja dan masuk kembali keruang belakang. Segera para pengawal djuga ikut masuk semua kebelakang sehingga dalam sekedjap sadja suasana telah kembali seperti tadi.

Semua orang saling pandang dengan tertjengang, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa satu kata patah sadja tidak bitjara dan minum setjegukpun tidak, lalu radja itu sudah mengundurkan diri. Padahal bagaimana wadjah kami seorangpun belum diperiksanja dengan djelas, entah tjara bagaimana dia akan memilih menantunja? demikian pikir semua orang.

Sekarang silakan para hadirin makan minum setjara bebas, seru Le-poh Siang-si.

Segera pelajan membawakan daharan2 jang sudah tersedia semangkuk demi semangkuk.

Se He adalah negeri pegunungan jang dingin, bahan makanan mereka jang utama adalah daging sampi dan kambing, biarpun namanja perdjamuan keradjaan, tapi jang disuguhkan djuga tidak lebih daripada daging2 sampi dan kambing dalam potongan2 besar.

Melihat Siau Hong berdiri mengawal disampingnja, Bok Wan-djing merasa tidak enak, segera ia berbisik: Siau-toako, Hi-tiok Djiko, silakan kalian berduduk dan ikut makan minum.

Tapi Siau Hong dan Hi-tiok hanja tersenjum sadja sambil geleng2 kepala.

Wan-djing kenal watak Siau Hong jang paling gemar minum arak, tiba2 ia mendapat akal, ia memberi tanda dan memberi perintah: Tuangkan arak!

Sebagai pengawal dalam penjamaran, Siau Hong menurut dan menuangkan semangkuk arak.

Boleh kau tjoba rasanja arak ini, kata Wan-djing pula.

Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, hanja dua-tiga kali tjegukan sadja arak semangkuk penuh itu sudah dihirupnja kedalam perut.

Tjoba semangkuk lagi! kata Wan-djing pula. Dan segera Siau Hong minum lagi semangkuk.

Disebelah sana pangeran Turfan itu djuda sedang makan minum. Sesudah minum beberapa tegukan arak, ia menjambar sepotong daging panggang terus digeragoti dengan lahapnja. Sesudah daging itu tinggal sekerat tulang

belakang, segera ia melemparkan tulang itu kearah Bok Wan-djing dengan lagak seperti tidak sengadja. Tapi samberan tulang itu ternjata sangat tjepat, njata tenaganja tidaklah ketjil.

Segera Tju Tan-sin melolos kipasnja dan mengipas sekali kearah tulang itu. Kontan tulang itu terkipas balik dan menjambar kembali kearah pangeran Tjong-tjan.

Tapi seorang djago Turfan keburu menangkap tulang itu sambil memaki dalam bahasanja, se-konjong2 ia angkat sebuah mangkuk besar terus menimpuk kearah Tan-sin.

Sekali ini berganti Thian-sik jang turun tangan, ia memapak dengan sekali pukulan, dimana angin pukulannja tiba, kontan mangkuk itu petjah mendjadi beberapa keping dan berhamburan kembali kearah orang2 Turfan. Lekas2 seorang djago Turfan lain menanggalkan djubahnja, sekali pentang dan mengebas, tahu2 petjahan mangkuk itu telah kena digulung semua oleh djubahnja, gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan.

Selagi pertarungan itu akan meningkat, se-konjong2 terdengar suara genta ber-talu2, lalu muntjul dua barisan orang jang ber-matjam2 bentuknja, ada jang tinggi, ada jang pendek, ada jang berdandan ringkas, ada jang berdjubah longgar, semuanja bersendjata dalam bentuk jang beraneka ragam pula.

Seorang pembesar jang berdjubah sulam dan berdjalan didepan, agaknja seperti komandan kedua barisan djago2 itu, segera membentak dengan suara keras: Perdjamuan ini diadakan didalam istana, hendaklah tuan2 tahu tata-tertib sedikit! Ini adalah djago2 pilihan dari It-bin-tong negeri kami, djika tuan2 ingin berkelahi, nah, boleh silakan tjoba2 dengan mereka satu-melawan-satu, tapi dilarang main kerubut.

Siau Hong dan lain2 tahu It-bin-tong adalah suatu dewan jang istimewa dari keradjaan Se He, didalam dewan itu terkumpul banjak sekali djago2 silat pilihan dari segenap pendjuru. Karena itu Pah Thian-sik dan kawan2nja lantas berhenti menjerang, setiap benda jang ditimpukan orang2 Turfan lantas ditangkapnja dan ditaruh diatas medja sendiri, ia tidak balas menimpuk lagi.

Kemudian pembesar berdjubah sulam tadi lantas berkata kepada pangeran Tjong-tjan: Harap Jang Mulia memberi perintah agar bawahanmu tidak mengatjaukan suasana ketenangan ini.

Melihat djago2 It-bin-tong itu ada ratusan orang djumlahnja, kalau sampai tjektjok dan bertempur, tentu pihaknja takdapat melawan, maka Tjong-tjan lantas memberi tanda untuk menghentikan pengikutnja jang masih ber-teriak2 itu.

Helian-tjiangkun, apakah Tuan Puteri ada sesuatu perintah? segera Le-poh Siang-si bertanja kepada pembesar berdjubah sulam tadi.

Kiranja pembesar itu adalah Helian Tiat-su, jaitu tokoh jang dahulu pernah memimpin djago2 It-bin-tong menudju ke Tionggoan, tapi disana mereka telah dirobohkan dengan kabut berbisa oleh Bujung Hok jang menjamar sebagai Li Yan-tjong.

Setelah mengalami peristiwa jang merugikan itu, segera Helian Tiat-su membawa rombongannja pulang kandang. Dia pernah melihat Siau Hong palsu jang disamar A Tju dan pernah kenal Bujung Hok jang disamar Toan Ki, tapi Siau Hong tulen dan Toan Ki palsu jang berada didalam istana sekarang ini tidak pernah dikenalnja. Mestinja diantara djago2 It-bin-tong itu djuga terdapat Toan Yan-khing, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho, tapi mereka mempunjai rentjananja sendiri dan sudah tentu tidak mau diperalat oleh keradjaan Se He, maka saat ini mereka sedang bertugas dilain tempat sehingga penjamaran Siau Hong dan Bok-Wan-djing itu tidak sampai konangan.

Kemudian Helian Tiat-su lantas berseru: Menurut titah Tuan Puteri, bila para tamu agung sudah selesai dahar, semuanja disilakan minum teh ke kamar batja di Djin-hong-kok.

Djing-hong-kok itu diketahui adalah istana kediaman Bun-gi Kongtju, puteri Se he jang tjari djodoh sekarang ini. Keruan para pemuda sangat senang dan bersemangat, dengan undangan itu, teranglah puteri Se He itu ingin memilih sendiri tjalon suaminja. Pikir mereka: Biarpun nanti tidak terpilih, paling sedikit djuga dapat melihat wadjah si-tjantik sehingga perdjalanan ini tidak sia2 belaka.

Dasar watak pangeran Tjong-tjan memang paling tidak sabaran, dia jang per-tama2 berdiri dan berseru: Setiap saat kita dapat makan dan minum. Tapi sekarang paling perlu kita melihat puteri aju lebih dulu!

Benar! serentak sebagian besar hadirin menjokongnja.

Segera Tjong-tjan minta Helian Tiat-su membawa mereka ketempat tudjuan.

Mari, pangeran Toan dan para hadirin jang lain! seru Helian Tiat-su dan didjawab dengan suara sorakan gembira orang banjak.

Demikianlah Helian Tiat-su lantas membawa para tjalon Huma itu menudju kebelakang. Sesudah menjusur sebuah taman, lalu membelok beberapa kali, kemudian waktu melintas sebuah bukit buatan, tiba2 Bok Wan-djing merasa disebelahnja telah bertambah seorang.

Waktu ia melirik, tanpa merasa ia mendjerit tertahan dalam kagetnja. Ternjata orang disebelahnja tak-lain-tak-bukan adalah Toan Ki.

Apa kau terkedjut, pangeran? tanja Toan Ki dengan pelahan dan tertawa.

Apa kau sudah tahu semua? balas tanja Bok Wan-djing dengan berbisik.

Tahu semua sih tidak, tapi melihat gelagatnja dapatlah menerka sebagian besar persoalannja, sungguh membikin susah kau sadja, sahut Toan Ki.

Bok Wan-djing tjoba mengawasi kanan-kirinja, ia lihat tiada pembesar Se He didekatnja, sebaliknja dibelakang Toan Ki kelihatan ada dua pemuda. Jang seorang berusia 30-an dengan sikap agak angkuh, jang seorang lagi ternjata sangat tampan dan lebih muda.

Hanja sedikit memperhatikan sadja segera Wan-djing mengenali pemuda tampan itu adalah samaran Giok-yan. Seketika ia mendjadi gusar, katanja: Bagus kau, seenaknja kau mengelojor pergi bersama nona Ong, tapi aku jang harus mewakilkan kau menempuh bahaja ini.

Djangan marah dulu, adikku manis, kata Toan Ki. Kedjadian ini agak pandjang untuk ditjeritakan. Pendek kata aku telah dilemparkan kedalam sumur oleh orang dan hampir2 mati konjol.

Mendengar pemuda itu mengalami bahaja, seketika rasa perhatiannja melebihi rasa gusarnja, tjepat Wan-djing tanja: Apa kau tidak terluka? Kulihat air mukamu agak putjat.

Seperti diketahui, didasar sumur itu Toan Ki telah ditjekik oleh Tjiumoti sehingga susah bernapas, pelahan2 ia sudah hampir tak sadarkan diri.

Sebaliknja Bujung Hok jang mendempel di dinding sumur jang lebih tinggi itu merasa sjukur dan senang, kalau bisa dia berharap Toan ki tertjekik mati sadja.

Sudah tentu jang paling kuatir adalah Giok-yan, meski dia telah menghantam dan menggebuki Tjiumoti, tapi masih tetap tak menolong Toan Ki. Dalam gugup dan bingungnja, mendadak Giok-yan terus menggigit lengan kanan Tjiumoti.

Ketika se-konjong2 merasa Kiok-ti-hiat dilengan kanan mendjadi kesakitan, Tjiumoti merasa hawa murni jang bergedjolak didalam tubuh dan tak tersalurkan itu mendadak melanda keluar sebagai ban gembos, hawa murni itu mengalir dari telapak tangannja dan masuk keleher Toan Ki jang ditjekiknja itu.

Mestinja Tjiumoti merasa badannja melembung se-akan2 meledak, tapi mendadak gembos, seketika ia merasa segar kembali sehingga djari jang mentjekik leher Toan ki itu pelahan2 djuga mendjadi kendur.

Hendaklah maklum bahwa Tjiumoti benar2 seorang tokoh sakti dalam duni apersilatan jang djarang terdapat, dasar pejakinannja sangat kuat, maka sekali tenaga dalamnja terhimpun, susahlah bagi Toan Ki untuk menjedot tenaganja dengan Tju-hap-sin-kang jang ampuh.

Baru sesudah Giok-yan menggigit sekali ditempat Kiok-ti-hiatnja, dalam kagetnja hawa murni jang bergolak itu lantas membandjir keluar. Dan sekali hawa murni itu mendapat djalan saluran, maka susahlah tertahan lagi, serentak tenaga itu mengalir kedalam tubuh Toan Ki dengan tak ber-henti2.

Tadinja pikiran Tjiumoti memang sudah mulai katjau dan hampir2 tak sadar, sesudah tenaga dalamnja terkuras keluar hampir separoh, mendadak pikirannja djernih kembali, keruan ia terperandjat: Wah, tjelaka! Djika aku punja tenaga murni tersedot terus seperti ini, pasti dalam waktu tak lama lagi aku akan lemas dan mendjadi orang tjatjat.

Karena itu sekuatnja ia berusaha melawan, namun sekarang sudah terlambat. Sesudah hampir separuh tenaga murninja masuk tubuh Toan Ki, perbandingan kekuatan kedua pihak mendjadi lebih njata lagi, tidak mungkin Tjiumoti dapat

melawan, biarpun dia merontak sekuat mungkin tetap takdapat menahan mengalir keluarnja tenaga murni itu.

Sebaliknja Giok-yan mendjadi lega demi melihat akibat gigitannja itu lantas tjekikan Tjiumoti itu mendjadi agak kendur. Tapi dilihatnja tangan Tjiumoti itu masih tetap memegang leher Toan Ki, segera ia menariknja pula.

Tak terduga tangan Tjiumoti itu sudah seperti terpantek dileher Toan Ki, biarpun dia menarik dan membetot, tetap tangan Tjiumoti takmau lepas.

Walaupun Giok-yan paham (setjara teori) ilmu silat berbagai golongan dan aliran didunia ini, tapi ia tidak tahu ilmu apakah jang digunakan Tjiumoti sekarang ini, karena itu ia pikir ilmu apapun djuga tentu akan merugikan Toan Ki, maka sedapat mungkin ia berusaha hendak menolongnja.

Tjiumoti sendiripun mengeluh, didalam hati ia berharap Giok-yan akan dapat menarik lepas tangannja. Siapa tahu ketika tangan Giok-yan memegang tangan Tjiumoti, seketika nona itu merasa badannja menggigil, tenaga murninja djuga mendadak tersedot keluar dan tak tertahankan.

Kiranja saat itu Toan Ki sudah pingsan, dengan sendirinja asal ketemu tenaga jang sakti itu tidak kenal kawan atau lawan, asal ketemu tenaga lantas sedot sadja, maka bukan Tjiumoti sadja jang tenaga murninja terisap, bahkan Giok-yan djuga ikut mendjadi korban. Maka tidak lama kemudian Giok-yan dan Tjiumoti telah djatuh pingsan semua.

Selang agak lama, ketika tidak mendengar suara apa2 dari ketiga orang jang berada dibawah itu, segera Bujung Hok tjoba memanggil beberapa kali, tapi tidak mendapat djawaban. Pikirnja: Djangan2 ketiga orang itu sudah gugur bersama?

Lebih dulu ia mendjadi girang. Tapi segera teringat hubungan baik dirinja dengan Giok-yan, mau-tak-mau ia merasa berduka djuga. Kemudian terpikir pula olehnja: Wah, tjelaka! Kalau mereka tidak mati, dengan tenaga gabungan empat orang mungkin akan dapat keluar dari sini, tapi sekarang tinggal aku seorang, tentu akan susah menjingkirkan batu besar diatas. Ai, djika kalian ingin mati, kenapa tidak tunggu dulu dan mati diluar sumur sana sadja?

Dan baru ia hendak melompat turun untuk memeriksa keadaan Tjiumoti dan Giok-yan bertiga, tiba2 terdengar ada suara orang bitjara diatas, suaranja berisik ramai, agaknja adalah kaum petani bangsa Se He.

Rupanja mereka berempat telah ribut semalam suntuk didasar sumur itu dan sekarang fadjar sudah menjingsing, banjak kaum petani jang membawa sajur2-an hendak mendjual ke pasar di dalam kota dan lewat disamping sumur itu.

Diam2 Bujung Hok membatin: Djika aku berteriak minta tolong, para petani itu belum tentu sanggup memindahkan batu2 karang jang besar itu. Dan bila merasa tak kuat, tentu mereka akan tinggal pergi dan tak peduli lagi. Djalan paling baik jalah memantjing mereka dengan redjeki.

Maka ia lantas sengadja berteriak: Hei, semua emas ini adalah milikku, kalian tidak boleh ikut mengangkangi. Ja, biarlah aku membagi kalian 3000 tahil sadja. ~ Lalu ia berseru pula dengan suara lain jang sengadja di-buat2: Tidak bisa! Emas intan sebanjak ini kita ketemukan bersama, sudah tentu harus kita bagi dengan sama-rata. ~ Kemudian ia sengadja membikin suaranja setengah tertahan dan berkata; Sssst, djangan keras2, kalau sampai didengar orang, tentu mereka djuga akan minta bagian dan bagian kita tentu akan berkurang!

Suara tanja-djawab jang sengadja diutjapkan Bujung Hok itu ia siarkan dengan tenaga dalam jang kuat sehingga dapat didengar dengan djelas oleh para petani jang lewat dipinggir sumur itu.

Dasar manusia, siapa orangnja jang mendengar ada redjeki takkan ketarik?

Keruan sadja para petani itu terkedjut dan bergirang pula. Beramai2 mereka lantas merubungi sumur itu dan serentak berebut untuk menjingkirkan batu2 karang itu. Meski batu2 karang itu sangat besar dan antap, tapi dengan tenaga gotong-rojong orang banjak, achirnja batu2 itu dapat disingkirkan.

Sudah tentu Bujung Hok sudah ber-siap2, ia tidak menunggu sampai batu2 itu disingkirkan semua, baru sadja kelihatan ada suatu lowongan jang tjukup untuk diterobos, terus sadja ia merembet keatas dan mendadak wuttt, ia terus melajang keluar.

Tentu sadja para petani itu kaget setengah mati karena hanja dalam sekedjap sadja bajangan Bujung Hok itu sudah menghilang dikedjauhan.

Walaupun masih tjuriga dan takut, tapi karena daja tarik harta karun, achirnja para petani itu tetap menjingkirkan batu2 karang, lalu seorang kawan

mereka jang paling tabah dikerek kedalam sumur dengan tambang.

Setiba didasar sumur, begitu tangannja meraba segera orang itu dapat memegang badan Tjiumoti. Memangnja dia sudah was-was dan kebat-kebit, begitu kena meraba badan manusia, segera ia menjangka serangka majat. Keruan kagetnja tak terkatakan, hampir2 sukmanja terbang meninggalkan raganja. Tjepat ia menggojangkan tambang dan minta dikerek keatas.

Mendengar didalam sumur itu ada orang mati, seketika para petani itu mendjadi ketakutan dan berlari bubaran, mereka sama kuatir ikut tersangkut perkara pembunuhan, djangan2 harta karun belum diperoleh, tapi sudah masuk bui lebih dulu.

Begitulah sampai dekat lohor, ber-turut2 ketiga orang didalam sumur itu barulah siuman kembali.

Orang pertama jang siuman adalah Giok-yan. Begitu sadar kembali, jang per-tama2 teringat olehnja adalah Toan Ki. Meski saat itu adalah siang bolong, tapi didasar sumur itu tetap sangat gelap, ia tjoba meraba dengan tangannja dan dapat menjentuh Toan Ki, segera ia berseru: Toan-long, o, Toan-long, ba... bagaimanakah dengan dirimu?

Karena tidak mendapat djawaban Toan Ki, Giok-yan menjangka pemuda itu sudah mati ditjekik Tjiumoti, terus sadja ia menangis sedih, ia angkat majat Toan Ki dan merangkulnja dengan kentjang didepan dada sambil sesambatan: O, Toan-long, sedemikian baik dan setiamu kepadaku, tapi selama ini aku belum pernah membalas apa2 padamu, baru sadja kita berharap akan hidup bahagia di-hari2 jang akan datang, siapa tahu... siapa tahu djiwamu sudah melajang ditangan paderi djahat ini...

Utjapan nona ini hanja betul separoh sadja, demikian tiba2 terdengar Tjiumoti menjela, rupanja iapun sudah sadar. Walaupun Lolap adalah paderi djahat, tapi aku tidak membunuh Toan-kongtju.

Dan pada saat itu Toan Ki telah siuman djuga. Ia mendengar utjapan Giok-yan jang meresap itu bergema ditepi telinganja, ia mendjadi girang. Tiba2 ia merasa badannja sendiri berada didalam pelukan sinona, segera ia pura2 masih belum sadar dan tak berani bergerak, kuatir kalau diketahui Giok-yan dan dilepaskan sehingga tidak dapat lagi merasakan nikmatnja dalam pelukan sang kekasih.

Dalam pada itu Tjiumoti telah berkata: Kekasihmu itu tidaklah kutewaskan, sebaliknja djiwaku jang hampir2 binasa ditangannja.

Air mata Giok-yan lantas bertjutjuran, sahutnja: Dalam keadaan begini kau masih hendak mengapusi aku? Ketahuilah bahwa hatiku seperti di-sajat2, lebih baik kaupun tjekik mati aku sadja agar aku dapat menjusul Toan-long dialam baka.

Mendengar utjapan sinona jang tulus iklas dan meresap itu, sungguh girang Toan Ki tak terkira.

Tjiumoti sendiri meski sudah kehilangan tenaga murni, tapi pikirannja masih sangat tjermat, pengalamannja djuga luas dan kenjang makan asam-garam, dari suara napas Toan Ki jang pelahan tapi tertahan itu, segera ia mengetahui pemuda itu sebenarnja sudah sadar, tapi sengadja diam sadja, maka iapun tahu maksudnja. Tiba2 ia menghela napas pelahan dan berkata: Toan-kongtju, aku telah salah beladjar ilmu sakti Siau-lim-pay sehingga membikin tjelaka diriku sendiri, untung engkau telah menjedot tenaga dalamku sehingga aku tidak sampai mati konjol seperti orang gila. Sekarang meski ilmu silatku sudah punah, namun djiwaku telah selamat, untuk ini aku harus mengutjapkan terima kasih atas pertolonganmu.

Toan Ki adalah seorang jang rendah hati, demi tiba2 mendengar paderi itu mengutjapkan terima kasih padanja, tanpa merasa ia terus mendjawab: Ah, Taysu djangan merendah diri. Tjayhe punja kepandaian dan kebaikan apa sehingga berani dianggap telah menjelamatkan djiwa Taysu?

Giok-yan kembali, sengadja mendjadi kau ini!

mendjadi girang ketika mendadak mendengar Toan Ki sudah sadar tapi ia lantas tertjengang pula dan paham sebabnja pemuda itu diam sadja jalah agar dapat berada didalam pelukannja, keruan ia girang2 malu, sekuatnja ia dorong pergi Toan Ki dan mentjomel: Uh,

Toan Ki mendjadi malu djuga karena rahasianja terbongkar. Lekas2 ia berbangkit dan bersandar didinding sebelah. Tiba2 ia ingat sesuatu dan bertanja: He, dimanakah Bujung-kongtju?

Ha, aku mendjadi lupa djuga, dimanakah Piauko? sahut Giok-yan.

Sungguh girang Toan Ki melebihi mendapat warisan demi mendengar kata2 aku mendjadi lupa djuga. Padahal selama ini perhatian Giok-yan selalu terpusat

kepada Bujung Hok seorang, tapi sekarang walaupun sudah selang hampir sehari toh nona itu tidak ingat kepada Bujung Hok, hal itu menandakan bahwa dirinja sekarang sudah bertukar tempat dengan Bujung Hok dilubuk hati sinona.

Tengah Toan Ki riang gembira, terdengar Tjiumoti telah berkata: Sifat Toan-kongtju sangat tulus dan djudjur, redjeki dikemudian hari pasti tiada takaran. Hari ini Lolap ingin mohon diri, rasanja kelak susah untuk berdjumpa pula. Disini ada satu djilid kitab, bila kelak Kongtju kebetulan ada tempo, tolonglah kitab ini suka dikembalikan kepada Siau-lim-si. Semoga Kongtju berdua hidup bahagia sampai hari tua.

Habis berkata, segera ia menjerahkan kitab Ih-kin-keng kepada Toan Ki.

Apakah Taysu hendak pulang ke Turfan? tanja Toan Ki.

Mana suka, mungkin pulang kesana, mungkin tidak! sahut Tjiumoti dengan samar2. Lalu ia berbangkit, ia tjoba menarik tambang pandjang jang ditinggalkan kaum petani tadi dan ternjata tjukup kentjang, agaknja udjung atas diikat dibatu karang. Dengan tambang itulah ia lantas merambat keatas dan tinggal pergi.

Sekarang tinggal Toan Ki berhadapan dengan Giok-yan didalam sumur itu, walaupun berada ditempat lumpur tapi hati mereka sangat senang, siapapun tidak punja pikiran buat keluar dari sumur itu. Pelahan2 tangan kedua orang sama2 mendjulur kedepan, empat tangan saling menggenggam, dua perasaan bersatu.

Sambung ke jilid 40

Ini jilid 43

Sementara itu hari sudah mulai gelap, beberapa peradjurit pendjaga itu lagi sibuk menjalakan pelita2 disekitar ruangan pendopo itu.

Berkat tjahaja lampu itu Siau Hong dapat melihat tulisan2 diatas kertas jang dibentangkan itu, ternjata tulisan dalam beberapa huruf ketjil itu berbunji: Bala bantuan sudah tiba, malam ini djuga lepas dari bahaja.

Siau Hong mendengus tanpa bitjara, hanja kepalanja menggeleng pelahan.

Tapi A Tji lantas berkata dengan nada jang di-buat2: Pasukan kita jang dikerahkan kali ini tidaklah sedikit djumlahnja. Peradjurit2 kita tangkas dan perbekalan tjukup, sudah tentu kita akan menang dimana pasukan kita tiba, maka djanganlah engkau kuatir.

Tidak, djusteru karena aku tidak ingin banjak menimbulkan korban, makanja aku telah dikurung disini oleh Hongsiang, kata Siau Hong.

Untuk menangkan perang, jang diperlukan adalah perhitungan jang tepat dan siasat jang lihay, mana boleh berpikir tentang korban jang akan djatuh? udjar A Tji.

Siau Hong tjoba melirik ketiga orang pembudjuk jang lain, kelihatan diantaranja ada jang sedang gojang2 kipas jang mereka bawa, ada jang kebas2 lengan badju setjara sembunji2 se-olah2 kuatir muka asli mereka dikenali

orang, terang mereka itu adalah bala bantuan jang dibawa sendiri oleh A Tji.

Dengan menghela napas kemudian Siau Hong berkata: Ja, aku sangat berterima kasih kepada maksud baikmu, tetapi hendaklah maklum bahwa pendjagaan musuh sangat rapat dan keras, untuk merebut wilajah kedudukan mereka lebih2 tidaklah mudah..................

Belum selesai utjapannja, tiba2 terdengar beberapa peradjurit pendjaga tadi sedang men-djerit2 kaget: He, ada ular! Ada ular berbisa! Darimana datangnja ular2 berbisa sebanjak ini!

Waktu Siau Hong menoleh, benar djuga dilihatnja diambang pintu, dari tjelah2 djendela dan lantai ruangan situ sudah penuh dibandjiri ular2 berbisa. Binatang2 merajap itu menjusur kian kemari dengan kepala mendongak dan lidah men-desis2, suasana mendjadi katjau balau dan peradjurit2 itu berlari kian kemari untuk menghindari.

Hati Siau Hong tergerak: Melihat gelagatnja, agaknja kawanan ular ini sengadja dilepaskan oleh saudaraku dari anggota Kay-pang!

Dalam pada itu para peradjurit pendjaga tadi sedang menggunakan sendjata mereka untuk membunuh dan mengusir kawanan ular. Malahan komandan piket jang mendjaga Siau Hong lantas memberi perintah: Para peradjurit jang mendjaga Siau-tayong tidak boleh sembarangan menjingkir pergi, jang membangkang akan dihukum mati!

Rupanja komandan piket itu tjukup tjerdik, ia melihat datangnja kawanan ular itu agak aneh dan luar biasa, ia kuatir kalau peradjurit2 pendjaga itu bingung menghadapi kawanan ular dan kesempatan itu akan digunakan oleh Siau Hong untuk meloloskan diri.

Karena perintah itu, terpaksa para peradjurit jang mendjaga disekitar kurungan tidak berani sembarangan bergerak, mereka tetap mengarahkan udjung tumbak mereka kepada Siau Hong jang mengeram didalam kurungan itu. Namun tidak urung mereka mendjadi kebat-kebit djuga, sambil mengantjam Siau Hong, pandangan merekapun ber-ulang2 diarahkan kepada kawanan ular, bila ada ular jang mendekat lantas mereka bunuh.

Selagi suasana mendjadi katjau, se-konjong2 terdengar pula suara riuh ramai dibelakang istana: Api! Ada api! Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Ada kebakaran! Tolong!

Segera komandan piket tadi berseru: Kahur, lekas pergi memberi lapor kepada komandan, tanjakan apakah Siau-tayong harus segera dipindahkan atau tidak?

Jang bernama Kahur itu adalah seorang Pek-hu-tiang (kepala seratus orang, pangkat setingkat kapten). Ia mengiakan dan membalik tubuh. Baru sadja dia hendak berlari pergi untuk menunaikan tugasnja, tiba2 seorang telah membentaknja didepan pintu ruangan: Tetap ditempatmu masing2, djangan terkena tipu pantjingan musuh, awas, kalau ada orang menjerbu kesini segera Siau Hong dibunuh dahulu!

Ternjata jang bitjara adalah komandan pasukan pengawal jang hendak dimintai petundjuk itu sudah datang sendiri. Dia bersendjata golok pandjang dan dengan gagah berdiri didepan pintu.

Se-konjong2 sesuatu bajangan emas berkelebat, seekor ular ketjil berwarna emas telah melajang keatas dan menjambar kemuka komandan pasukan pengawal itu. Tjepat perwira itu menjampuk dengan sendjatanja, namun lebih dulu sudah terdengar suara mendesingnja sendjata rahasia, seketika ruangan situ mendjadi gelap gulita. Rupanja ada orang menjambitkan sendjata2 rahasia untuk memadamkan pelita.

Maka terdengarlah komandan pasukan pengawal itu mendjerit ngeri sekali, dia sudah dipagut oleh ular warna emas tadi dan roboh terguling.

Kiranja satu diantara keempat orang pembudjuk palsu tadi adalah Tjiong Ling jang menjamar. Dia telah melepaskan Kim-leng-tju dan berhasil membinasakan perwira musuh.

Tanpa ajal lagi A Tji lantas mengeluarkan golok mestika, tjepat ia memotong putus rantai besi jang menjambung diatas borgol Siau Hong.

Baru Siau Hong merasa ragu2 apakah dirinja dapat keluar dari kurungan terali besi jang kuat itu, mendadak tanah ditengah kurung besi dimana dia berpidjak itu terasa blong, tubuhnja terasa andjlok kebawah.

Ia dengar A Tji sedang berkata diluar kurungan dengan suara setengah tertahan: Lekas lari melalui djalan dibawah tanah!

Dan belum lagi kaki Siau Hong menjentuh tanah, tiba2 terasa kedua kakinja telah ditjengkeram oleh sepasang tangan terus ditarik lagi kebawah. Ketika dapat berdiri tegak dibawah tanah, dilihatnja orang jang menariknja itu adalah Hoa Hek-kin, itu djago tukang gangsir dari Tayli. Ternjata Hoa Hek-kin telah giat bekerdja selama belasan hari sehingga berhasil menggangsir dan membuat sebuah lorong dibawah tanah jang menembus tepat dibawah kurungan besi Siau Hong.

Segera Hek-kin menarik Siau Hong dan merangkak mundur untuk keluar dari lubang gangsir itu. Betapa tjepatnja tjara Hoa Hek-kin merangkak ternjata tidak kalah daripada orang berdjalan ditanah datar. Hanja sekedjap sadja puluhan meter lubang gangsir itu telah dilaluinja, lalu ia memajang Siau Hong untuk berdiri dan menerobos keluar dari liang itu.

Ternjata dimulut liang itu sudah menunggu tiga orang. Mereka adalah Toan Ki, Hoan Hwa dan Pah Thian-sik. Begitu melihat Siau Hong telah ditolong keluar dengan selamat, terus sadja Toan Ki menjapa sambil menubruk madju untuk merangkul sang Toako.

Siau Hong tepuk2 punggung Toan Ki, lalu katanja dengan tertawa: Hari ini barulah aku menjaksikan ilmu sakti Hoa-suto, sungguh aku kagum sekali dan banjak terima kasih.

Sungguh Siaudjin (hamba) teramat bangga atas pudjian Siau-tayong ini, sahut Hoa Hek-kin dengan rendah hati. Tempat di mana mereka berada itu tidak terlalu djauh dari istana Lam-ih Tay-ong, maka terdengarlah di-mana2 penuh suara teriakan peradjurit Liau jang riuh rendah. Terdengar pula orang meniup terompet dan lewat dibelakang rumah sana disertai suara teriakan2: Awas! Musuh telah menjerang pintu gerbang timur, pasukan pengawal radja harus tetap berada ditempat tugasnja dan tidak boleh sembarangan bergerak!

Siau-tayong, marilah kita terdjang keluar melalui pintu gerbang sebelah barat, adjak Hoan Hwa jang merupakan ahli siasat dari keradjaan Tayli.

Belum lagi Siau Hong mendjawab, tiba2 dari lubang gangsir dibawah tanah itu terdengar suara seruan A Tji jang penuh rasa sjukur dan girang. Tjihu, tunggu dulu padaku! ~ Menjusul anak dara itu lantas melontjat keluar dari mulut liang seperti kelintji gesitnja. Djanggut anak dara itu masih penuh djenggot palsu, mukanja penuh debu tanah dan kotor. Namun bagi penglihatan Siau Hong, sedjak dia kenal A Tji, hanja saat inilah anak dara itu paling tjantik tampaknja.

Segera A Tji melolos pula goloknja hendak memotong borgolnja Siau Hong, tapi borgol itu menempel rapat ditangan Siau Hong, bilamana sedikit kurang tepat tentu akan melukainja. Maka ia mendjadi ragu2, achirnja ia serahkan sendjatanja kepada Toan Ki dan meminta: Koko, harap engkau jang memotongnja!

Toan Ki lantas angkat golok itu, dimana tenaga dalamnja disalurkan, dengan mudah sadja borgol besi itu dapat dipapasnja sebagai memotong kaju mudahnja.

Dalam pada itu dari lubang gangsir itu telah menerobos keluar pula tiga orang. Jang pertama adalah Tjiong Ling, lalu Bok Wan-djing dan orang ketiga adalah seorang anggota Kay-pang berkantong delapan.

Anggota Kay-pang itu adalah ahli memain ular, kawanan ular jang membandjiri ruang tadi adalah hasil pekerdjaannja jang sukses. Demi melihat Siau Hong telah dapat diselamatkan tanpa halangan suatu apapun, dengan air mata ber-linang2 anggota Kay-pang berkantong delapan itu lantas menjapa: Pangtju, selama ini engkau .... ~ sampai disini ia tak sanggup meneruskan lagi saking terharunja.

Sudah lama sekali Siau Hong tidak pernah mendengar orang menjebutnja sebagai Pangtju, mau-tak-mau ia mendjadi terharu djuga demi nampak sikap anggota Kay-pang jang sedemikian setia padanja itu. Sahutnja dengan suara parau: Sungguh aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.

Sungguh bangga dan terharu pula anggota Kay-pang berkantong delapan itu atas pudjian Siau Hong, tak tertahankan lagi air matanja lantas bertjutjuran sebagai hudjan.

Kawan2 kita sudah mulai bergerak dipintu gerbang timur, marilah kita lantas kabur sadja mumpung suasana sedang katjau! demikian adjak Hoan Hwa. Dan paling baik Siau Tayong djanganlah perlihatkan dirimu agar tidak dikenali oleh pihak musuh.

Siau Hong mengiakan atas saran itu. Segera mereka menerdjang keluar melalui pintu depan. Waktu Siau Hong menoleh, kiranja rumah dimana mereka keluar itu adalah sebuah rumah jang sudah rusak tak terawat dan tidak menarik bila dipandang dari luar.

Karena A Tji sedikit banjak telah menguasai bahasa Tjidan, maka dia lantas ber-teriak2: Kebakaran! Kebakaran! Lekas tolong kebakaran!

Dengan menirukan apa jang dikatakan A Tji itu, segera Hoan Hwa dan Hoa Hek-kin djuga ikut2 berteriak.

Pah Thian-sik memiliki Ginkang jang paling tinggi, maka bila disekitarnja tiada peradjurit Liau, segera ia menjalakan api sehingga dalam sekedjap sadja ada belasan tempat berdjangkit kebakaran lagi.

Begitulah mereka bersembilan terus berlari kepintu gerbang barat. Toan Ki dan lain2 telah menjaru sebagai orang Tjidan, apalagi suasana didalam kota telah mendjadi katjau-balau sehingga rombongan mereka tidak menimbulkan perhatian orang lain. Terkadang bila ada pasukan berkuda Tjidan menerdjang tiba, segera mereka menjingkir kepodjok djalan jang sepi dan gelap untuk menghindari.

Sekaligus mereka telah melintasi belasan djalanan kota, terdengar suara terompet berbunji disebelah utara diseling dengan djerit orang jang ramai: Wah, tjelaka! Pasukan musuh telah membobol pintu gerbang utara, Hongsiang telah ditawan musuh! Hongsiang telah ditawan musuh!

Keruan Siau Hong djuga terkedjut, ia berhenti dan berkata: Apakah betul radja Liau tertawan? Samte, radja Liau itu adalah saudara-angkatku, biarpun dia tidak setia padaku, tapi tidak boleh aku melupakan budinja, maka .... maka djanganlah kau mentjelakai dia ....

Tjihu djangan kuatir, kata A Tji dengan tertawa. Berita tertawannja radja Liau itu adalah siasat kita jang sengadja disiarluaskan oleh para Tongtju dari Leng-tjiu-kiong untuk membingungkan pihak musuh. Padahal didalam kota Lamkhia ini terdapat pasukan pendjaga jang kuat, radja merekapun dikelilingi oleh puluhan ribu peradjurit, masakah begitu gampang untuk menangkapnja?

O, djadi para pengikut Djite itupun datang djuga? Siau Hong menegas dengan girang dan kedjut.

Tidak tjuma pengikut2 si Hwesio tjilik sadja jang datang, bahkan Hwesio tjilik itupun sudah tiba, malahan bininja djuga dibawa kemari sekalian, kata A Tji.

Hwesio tjilik apa dan bininja siapa? tanja Siau Hong dengan bingung.

Masakah Tjihu sudah lupa? sahut A Tji dengan tertawa. Hwesio tjilik adalah si Hi-tiok-tju, bininja bukan lain adalah puteri keradjaan Se He jang dimenangkannja dalam sajembara tempo hari. Hanja sadja puteri itu selalu menutupi mukanja dengan kerudung sehingga selain Hwesio tjilik, orang lain tiada satupun jang boleh melihatnja. Ketika kutanja si Hwesio tjilik: Bagaimana matjam binimu itu, dia tjantik atau tidak? ~ Namun si Hwesio tjilik hanja ter-senjum2 sadja dan tidak pernah mendjawab.

Walaupun sedang melarikan diri, tapi tiba2 mendengar hal2 jang menarik itu mau-tak-mau Siau Hong merasa bersjukur djuga bagi Hi-tiok jang berhasil memperisterikan puteri Se He itu, tanpa merasa ia memandang sekedjap kearah Toan Ki.

Seperti diketahui, ketika be-ramai2 mereka pergi ke Se He untuk mengikuti sajembara, sebelum hasil sajembara itu diumumkan, Siau Hong sudah meninggalkan negeri itu lebih dulu.

Rupanja Toan Ki tahu perasaan sang Toako, dengan tertawa ia berkata: Toako tidak perlu bersangsi, sebab Siaute sama sekali tidak sirik atas kedjadian itu. Djiko djuga tidak terhitung mengingkari djandji. Urusan ini memang agak pandjang untuk ditjeritakan, biarlah nanti akan kudjelaskan dengan pelahan2.

Tengah bitjara, kembali mereka telah berlari suatu djarak jang tjukup djauh, tertampak sebuah panggung besar ditengah lapangan didepan sana djuga sedang terbakar, api men-djilat2 dengan hebatnja. Dua helai bendera jang terpantjang diatas tiang bendera didepan panggung itupun sudah terdjilat api.

Siau Hong mengetahui lapangan itu adalah alun2 terbesar jang berada dikota Lamkhia, biasanja digunakan untuk latihan berbaris peradjurit Liau. Tapi entah sedjak kapan didirikan panggung besar itu, ternjata ia sendiri tidak pernah mengetahui.

Sri Baginda, setelah podium kebesaran dan bendera keradjaan Liau ini terbakar, ini akan merupakan alamat djelek bagi gerakan militer Liau, mungkin rentjana menjerang keradjaan Song terpaksa harus dipikirkan lagi oleh Yalu Hung-ki demikian kata Pah Thian-sik dengan tertawa.

Mendengar Thian-sik memanggil Sri Baginda dan tampak Toan Ki telah manggut2, keruan Siau Hong ter-heran2. Segera ia tanya: Samte, apakah kau... kau sudah mendjadi radja?

Dengan muram Toan Ki mendjawab: Ja, setjara mendadak ajah telah meninggal dalam perdjalanan pulang, paman baginda telah meninggalkan tahta pula dan mendjadi paderi dikuil Thian-liong-si, maka Siaute disuruh menggantikan tahtanja. Padahal Siaute sama sekali tidak punja kepandaian apa2, sungguh memalukan untuk memangku djabatan setinggi ini.

Ai, Samte! seru Siau Hong terkedjut. Engkau sekarang adalah kepala negara Tayli, mana boleh engkau sembarangan menghadapi bahaja bagi kepentinganku? Pabila terdjadi sesuatu halangan, tjara bagaimana aku akan bertanggung-djawab kepada rakjat dan negeri Tayli kalian?

Toan Ki tertawa, katanja: Tayli adalah sebuah negeri ketjil jang djauh terpentjil didaerah selatan, sebutan radja adalah tjuma nama kosong belaka, dipandang djuga Siaute tidak memper seorang radja, sungguh hanja membikin malu sadja. Adapun hubungan kita melebihi saudara sekandung, djika Toako ada kesukaran, masakah Siaute boleh tinggal diam tanpa ikut tjampur?

Apalagi Siau-tayong telah berusaha mentjegah radja Liau memerangi keradjaan Song, untuk ini kami rakjat seluruh negeri Tayli ikut merasa berterima kasih padamu, demikian Thian-sik ikut bitjara. Hendaklah maklum, pabila radja Liau berhasil menundukkan Song, maka langkah kedua sudah tentu akan mentjaplok Tayli pula. Padahal negeri kami ketjil dan lemah, mana dapat melawan pasukan Liau jang tangkas dan kuat? Maka Siau-tayong telah menjelamatkan keradjaan Song berarti pula telah menolong negeri Tayli kami. Kalau sekarang orang Tayli mentjurahkan segenap tenaganja untuk mengabdi kepada Siau-tayong tentunja djuga sudah sepantasnja.

Aku hanja seorang jang paham ilmu silat sadja, soalnja aku tidak tega membiarkan kedua negeri saling perang dan menimbulkan korban jang tak berdosa, mana aku berani anggap berdjasa hanja karena sedikit usahaku itu? sahut Siau Hong.

Sedang bitjara, tiba2 bagian selatan sana api ber-kilat2 mendjulang tinggi, penduduk dalam ber-kelompok2 ber-bondong2 menjelamatkan diri tertjampur diantara pasukan2 Liau jang tjoba menenangkan suasana.

Terdengar teriakan orang: Hwesio2 Siau-lim-si dari selatan bersama orang2 gagah jang tidak sedikit djumlahnja telah membobol pintu gerbang selatan! ~ Lalu ada pula jang berteriak: Lam-ih Tay-ong Siau Hong telah memberontak dan takluk kepada keradjaan Song, radja Liau sudah dibunuh olehnja!

Malahan ada beberapa orang Tjidan lantas menanggapi dengan mengertak gigi: Siau Hong itu telah mengchianati bangsa dan menjerah kepada musuh, sungguh aku ingin dapat menggigit dagingnja dan mengunjahnja mentah2.

Apa benar Sri Baginda telah dibunuh oleh bangsat maha durdjana Siau Hong itu? demikian tanja seorang kawannja dengan gugup.

Mengapa tidak benar? sahut seorang Tjidan jang lain. Dengan mataku sendiri aku menjaksikan Siau Hong menerdjang kedepan Sri Baginda dan dengan tumbaknja ia telah menusuk dada Sri Baginda sehingga tembus.

Bangsat keparat Siau Hong itu mengapa sedemikian kedjamnja? Sesungguhnja dia itu orang Tjidan atau bangsa Han? kata seorang tua dengan sengit.

Konon dia adalah orang Song jang sengadja menjaru sebagai orang Tjidan, bangsat itu benar2 sangat litjin dan kedjam melebihi binatang! sahut pula kawannja tadi.

Mendengar orang2 itu sambil lari sembari mentjatji maki dan mengutuki Siau Hong, keruan A Tji mendjadi gusar, ia angkat tjambuknja terus menjabet kearah orang Tjidan jang lewat disisinja.

Namun Siau Hong keburu mentjegahnja, sambil meng-gojang2 kepalanja ia berkata dengan suara tertahan: Biarkan mereka bitjara sesukanja, djangan digubris! ~ Lalu iapun bertanja: Apakah benar2 para paderi sakti dari Siau-lim-si djuga ikut datang?

Harap Pangtju maklum, ketika nona Toan (A Tji) keluar dari kota Lamkhia, diluar kota dia lantas bertemu dengan Go-tianglo dari Kay-pang kita dan membitjarakan tentang pengorbanan Pangtju, demi untuk menolong djiwa rakjat dan negeri Song kita, katanja Pangtju telah berusaha mentjegah rentjana radja Liau akan menjerbu negeri Song sehingga menimbulkan amarah radja Liau serta ditawan. Atas tjerita itu Go-tianglo tak dapat mempertjajainja karena Pangtju diketahui adalah orang Tjidan, masakah mungkin pikiranmu tjondong kepada negeri Song kita? Maka diam2 beliau telah menjusup kedalam kota Lamkhia untuk menjelidiki sendiri persoalan Pangtju ini dan achirnja dapat diketahui dengan pasti bahwa apa jang ditjeritakan nona Toan ternjata benar adanja. Segera Go-tianglo menjebarkan perintah 'Djing-tiok-leng' (titah bambu hidjau) dan memberitahukan kepada para kesatria Tionggoan tentang kebaikan budi dan djiwa kesatria Pangtju, dan karena terharu dan terima kasih atas keluhuran budi Pangtju itu, maka dengan dibawah pimpinan paderi2 Siau-lim-si itu, para kesatria Tionggoan lantas ber-bondong2 datang keutara

sini untuk menolong Pangtju.

Siau Hong mendjadi teringat kepada peristiwa di Tjip-hian-tjeng tempo dulu, dimana dia bertarung dan dikerubut oleh para kesatria Tionggoan sehingga tidak sedikit djago2 silat telah dibunuh olehnja. Tapi hari ini para kesatria itu djusteru datang untuk menolongnja, sungguh hatinja mendjadi berduka dan berterima kasih pula.

Ja, begitulah, maka dengan tjepat berita tentang Tjihu itu telah disebarkan oleh para pengemis dari Kay-pang sehingga dalam waktu singkat telah diketahui oleh para kesatria di-mana2. Ai, tjelaka! Wah sajang, sungguh sajang! demikian tiba2 A Tji berseru gegetun.

Ada apakah? tanja Toan Ki kaget.

Wah, aku punja Pek-giok-giok-ting (wadjan kemala hidjau) jang kugunakan untuk memantjing datangnja kawanan ular dan kutaruh diruangan pendopo sana, dalam keadaan ter-buru2 aku mendjadi lupa mengambilnja kembali, sahut A Tji.

Sudahlah, benda jang tak berarti itu buat apa mesti selalu dipikirkan dan dibawa terus kemanapun kau pergi? udjar Toan Ki dengan tertawa.

Hm, kau anggap wadjan itu benda tak berarti? Kalau tiada benda mestika itu, tentu kawanan ular itu takkan membandjiri ruangan itu sedemikian tjepatnja dan Tjihu tentu djuga susah untuk meloloskan diri setjara begini mudah, demikian bantah A Tji.

Tengah bitjara, tiba2 terdengar suara riuh ramainja orang bertempur. Dibawah tjahaja api kelihatan peradjurit2 Liau dalam djumlah besar sedang saling gasak sendiri.

Aneh, mengapa bertempur sendiri ... udjar Siau Hong dengan heran.

Toako, jang terdapat kain putih dileher mereka itu adalah kawan kita sendiri, kata Toan Ki.

Segera A Tji mengeluarkan sepotong kain putih dan diserahkan kepada Siau Hong,

katanja: Ikatlah dilehermu, Tjihu!

Sekilas pandang Siau Hong merasa bingung djuga untuk membedakan mana adalah peradjurit kawan dan lawan, ia merasa bingung pihak mana jang harus dibunuhnja. Dan ditengah suasana jang gaduh itu terkadang terdjadi peradjurit2 Liau jang sebenarnja telah saling membunuh. Sebaliknja peradjurit2 Liau palsu jang pakai tanda kain putih dileher itu dapat mengajunkan sendjata mereka dengan djitu keatas badan peradjurit dan perwira Liau jang tulen sehingga orang2 Liau satu persatu bergelimpangan binasa.

Sambil memegangi kain putih jang diterimanja dari A Tji itu, tangan Siau Hong mendjadi gemetar, dalam hatinja seakan sedang mendjerit: Aku adalah orang Liau, aku bukan orang Han! Aku orang Liau dan bukan orang Han! Betapapun kain putih ini tak dapat dipakai diatas leherku!

Dan pada saat itulah tiba2 terdengar suara mentjitjit ber-ulang2, pintu gerbang barat jang antap itu telah didorong terpentang oleh orang. Ber-bondong2 Toan Ki dan Hoan Hwa lantas menerdjang keluar dengan mengapit disamping Siau Hong.

Dibawah tjahaja api jang terang benderang itu tertampak djelas anggota2 Kay-pang dalam djumlah besar sudah menunggu diluar kota dengan membawa kuda. Ketika melihat Siau Hong, serentak mereka bersorak-sorai: Kiau-pangtju! Kiau-pangtju!

Ditengah malam gelap tertampak kedua barisan obor lantas menjingkir minggir, lalu seorang penunggang kuda tampak madju kedepan. Penunggang kuda itu adalah seorang pengemis tua, dengan kedua tangannja terangkat keatas ia memegangi Pak-kau-pang, itu pentung penggebuk andjing jang merupakan benda tanda pengenal Pangtju dari Kay-pang. Pengemis tua itu ternjata Go-tiang-lo adanja.

Sesudah berada didepan Siau Hong tjepat Go-tianglo melompat turun dari kudanja dan berlutut, katanja: Go Tiang-hong atas nama para anggota Kay-pang dengan ini mempersembahkan kembali Pak-kau-pang ini kepada Pangtju. Kami telah gegabah dan goblok sehingga telah banjak membikin susah Pangtju jang tidak bersalah, sungguh kami lebih bodoh daripada hewan, untuk mana dimohon Pangtju suka memberi ampun dan sudilah melupakan apa jang telah lalu dan kembali mendjadi Pangtju kita untuk memimpin kami jang selama ini seperti kanak2 jang kehilangan orang tua. ~ Sembari berkata iapun menjodorkan Pak-kau-pang ketangan Siau Hong.

Siau Hong mendjadi terharu menghadapi kawan2 seperdjoangan dimasa lalu ini,

katanja: Go-tianglo, Tjayhe memang benar2 adalah orang Tjidan. Sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga atas budi kebaikan kalian. Tentang kedudukan Pangtju sekali2 aku tidak dapat mendjabatnja. ~ Berbareng iapun membangunkan Go-tianglo.

Go-tianglo adalah seorang jang berhati lurus, ia mendjadi bingung atas sikap Siau Hong itu, katanja sambil garuk2 kepala: Engkau... engkau mengaku sebagai orang Tjidan pula dan tak... tak mau mendjadi Pangtju? Ah, Kiau-pangtju, sudahlah, djangan kau marah lagi kepada perbuatan kami jang ngawur dahulu itu dan terimalah kembali djabatanmu!

Dalam pada itu terdengar suara tambur perang didalam kota mendadak berbunji menggelegar, terang ada pasukan besar Liau segera akan menerdjang keluar.

Tjepat Toan Ki berkata: Go-tianglo, marilah kita lekas berangkat, pasukan musuh terlalu kuat, djika mereka sempat menjusun kekuatan tentu kita tak dapat melawannja.

Siau Hong tahu djuga sebabnja orang2 Kay-pang bersama kesatria2 Tionggoan itu dapat unggul sementara adalah karena mereka menjerang setjara mendadak sehingga berhasil, tapi kalau benar2 bertempur melawan pasukan Liau sudah tentu ribuan orang2 Kangouw itu bukan tandingan pasukan Liau jang berdjumlah ratusan ribu dan terlatih dengan baik itu. Apalagi kalau terdjadi pertempuran tentu akan banjak menimbulkan korban pula, hal ini sangat berlawanan dengan keinginannja, maka ia lantas berkata: Go-tianglo, urusan Pangtju biarlah dibitjarakan nanti. Jang penting sekarang lekaslah kau memberi perintah agar para saudara kita segera mundur kebarat sana.

Go-tianglo mengiakan dan segera memberi perintah itu. Serentak barisan belakang Kay-pang berubah mendjadi barisan depan dan tjepat mengundurkan diri kedjurusan barat. Tidak lama kemudian Hi-tiok djuga telah menjusul tiba dengan membawa para peradjurit wanita dan 36 Tongtju dan 72 Totju.

Sesudah beberapa li djauhnja, para djago negeri Tayli dibawah pimpinan Siau Tiok-sing dan Tju Tan-sin djuga sudah menjusul datang. Tapi para kesatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim-si tetap tidak kelihatan. Bahkan sajup2 terdengar pertempuran jang gegap-gempita didalam kota Lamkhia.

Rupanja para kesatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim telah kena ditjegat musuh didalam kota, biarlah kita menunggu dulu sementara, udjar Siau Hong.

Tidak lama kemudian suara pertempuran didalam kota tadi makin lama makin keras. Toan Ki merasa tidak enak, katanja: Harap Toako tunggu dulu disini, biarlah aku pergi membantu mereka.

Habis berkata ia lantas memimpin para djago Tayli dan memburu kembali kekota Lamkhia.

Sementara itu subuh sudah tiba, tjuatja mulai terang. Siau Hong sendiri merasa sedih dan kuatir, ia tidak tahu para kesatria Tionggoan itu dapat meloloskan diri atau tidak.

Suara pertempuran semakin dahsjat, para djago negeri Tayli telah menerdjang kembali kedalam pasukan musuh, tapi para kesatria Tionggoan tetap belum kelihatan lolos dari kepungan.

Tiba2 datang seorang kurir anggota Kay-pang dan memberi laporan: Beberapa ribu peradjurit Liau telah mendjaga rapat pintu gerbang barat, djago2 Tayli tidak dapat menjerbu kedalam kota, sebaliknja para kesatria Tionggoan djuga tidak dapat menerdjang keluar.

Segera Hi-tiok memberi tanda dan berseru: Orang2 Leng-tjiu-kiong ikutlah padaku untuk memberi bantuan kesana. ~ Segera ia pimpin anak buahnja jang berdjumlah ribuan orang itu dan menerdjang kembali kearah Lamkhia.

Diatas kudanja Siau Hong tjoba memandang kebelakang, tertampak kota Lamkhia penuh diliputi asap jang mengepul tebal, di-mana2 terdapat gumpalan api jang me-njala2, sungguh susah untuk dibajangkan betapa djadinja kota itu didalam kantjah kekatjauan perang itu.

Sesudah ditunggu setengahan djam pula, kembali seorang kurir memberi lapor lagi : Toan-ongya dari Tayli dan Hi-tiok Siansing dari Leng-tjiu-kiong telah berhasil membobol kepungan musuh dan sudah menjerbu kedalam kota.

Biasanja djika ada pertempuran Siau Hong selalu memimpin dan tampil paling depan tapi sekarang dia hanja menunggu dari djauh, rasanja tjemas dan kuatir pula. Maka achirnja ia berkata : Biarlah aku pergi melihatnja !

Tjepat A Tji, Bok Wan-djing dan Tjiong Ling mentjegahnja : Djangan, djusteru orang Liau lagi intjar dirimu djangan sekali2 engkau menempuh bahaja ini.

Tidak apa2, djangan kuatir, udjar Siau Hong. Segera ia melarikan kudanja kedepan dengan disusul oleh para anggota Kay-pang.

Sampai diluar pintu gerbang barat kota Lam-khia, tertampak dibawah tembok benteng, ditepi djalan dan disepandjang sungai jang mengelilingi benteng kota itu penuh bergelimpangan majat2 jang be-ratus2 banjaknja. Ada peradjurit dan perwira Tjidan, ada djuga anak buahnja Toan Ki dan Hi-tiok.

Pintu gerbang kota setengah tertutup, beberapa Totju bawahannja Hi-tiok tampak memutar sendjata mereka sedang mendjaga disamping pintu dan sedang menghadjar peradjurit2 Liau jang menerdjang madju agar mereka tidak dapat menutup pintu gerbang itu.

Tiba2 terdengar suara riuh ramai kuda2 berlari dari sebelah utara dan selatan. Siau Hong terkedjut, serunja: Tjelaka, pasukan Liau setjara besar2an hendak mengepung kita dari djurusan2 selatan dan utara.

Tjepat ia melontjat keatas, kakinja memantjal sekali didinding benteng, dengan tenaga dorongan itu tubuhnja lantas mentjelat keatas dan menghinggap diatas tembok benteng, dari situ ia dapat memandang djauh kedalam kota. Maka tertampaklah bagian barat kota, dalam lingkaran seluas satu li lebih itu terdapat gerombol2an orang disana-sini, njata para kesatria Tionggoan telah dipotong dan di-pisah2kan oleh peradjurit2 Liau jang berdjumlah lebih banjak itu dan sedang dikerubut dalam kelompok2 lebih ketjil.

Walaupun para kesatria Tionggoan itu berilmu silat tinggi, tapi setiap orangnja harus melawan beberapa orang sampai belasan peradjurit Liau jang tangkas, lama kelamaan mereka mendjadi kewalahan djuga.

Dengan berdiri diatas tembok benteng Siau Hong dapat memandang kedalam dan keluar kota. Ia mendjadi bingung djuga menghadapi suasana pertempuran itu. Para kesatria Tionggoan jang terkepung itu telah bertempur mati2an demi untuk menolong dia, maka tidaklah mungkin ia menjaksikan para kesatria Tionggoan itu terbinasa dibawah sendjata peradjurit Liau tanpa memberi bantuan. Tapi kalau dia melompat turun dan menolong mereka, ini berarti dia setjara terang2an bermusuhan dengan pihak Liau dan mendjadi seorang pengchianat bangsa. Hal ini tidak sadja berdosa kepada leluhurnja sendiri, bahkan selamanja akan ditjatji-maki dan dikutuki oleh bangsanja sendiri.

Djika dia tjuma melarikan diri sadja dan meninggalkan negerinja sendiri,

perbuatan demikian paling2 akan dianggap sebagai tidak setia. Tetapi kalau angkat sendjata dan menjerang bangsa dan negerinja sendiri, ini benar2 perbuatan pengchianatan jang maha berdosa.

Biasanja Siau Hong dapat bertindak tjepat dan tegas, tapi sekarang ia mendjadi serba susah. Sekilas tertampak olehnja dipodjok bawah benteng sana ada beberapa djago Tjidan sedang mengerubuti dua paderi tua Siau-lim-si. Salah seorang paderi tua itu bersendjata golok, mulutnja menjemburkan darah, terang sudah terluka parah.

Waktu diperhatikan lebih djauh, segera Siau Hong mengenal paderi tua itu adalah Hian-bing Taysu. Paderi jang lain bersendjata tongkat dan sedang berusaha mati2an untuk melindungi kawannja jang terluka. Paderi bersendjata tongkat ini ternjata Hian-sik adanja.

Saat itu dua djago Tjidan sedang angkat parang mereka untuk membatjok kearah Hian-bing. Segera Hian-bing angkat tangan kanannja dengan maksud hendak menangkis dengan goloknja. Tak tersangka lukanja sudah teramat parah, baru sadja lengannja terangkat sebatas dada, sungguh tjelaka, rasanja sudah tidak kuat lagi. Tjepat Hian-sik memberi bantuan, tongkatnja menjampuk, trang-trang, kedua parang musuh telah terbentur balik. Saking kuat tenaganja Hian-sik sehingga kedua djago Tjidan tak mampu menguasai lagi sendjatanja sendiri, kedua parang itu membatjok dibatok kepalanja sendiri sehingga petjah berantakan.

Sudah tentu Hian-sik sangat girang. Tapi mendadak terdengar Hian-bing mendjerit, tahu2 pundak kirinja sudah berlumuran darah, ternjata kena dilukai pula oleh musuh.

Kontan Hian-sik balas menjabet dengan tongkatnja sehingga djago Tjidan jang melukai Hian-bing itu terhantam dan remuk tulang dadanja. Dan karena serangannja jang hendak membela kawan itu, ia sendiri mendjadi kurang pendjagaan, kesempatan itu telah digunakan oleh seorang djago Tjidan jang lain untuk menusukkan tumbaknja kedada Hian-sik.

Tjret, Hian-sik tidak sempat menangkis, perutnja dengan tepat tertusuk tembus dan terpantek diatas dinding benteng. Namun Hian-sik tidak lantas tewas, dengan tenaganja jang masih ada mendadak ia menggertak sekali, tongkatnja lantas mengemplang kebawah sehingga kepala orang Tjidan itu hantjur lebur dan mati lebih dulu daripada Hian-sik sendiri.

Melihat perut Hian-sik tertembus tumbak musuh dan terang tak bisa hidup lagi, Hian-bing mendjadi bingung sehingga permainan goloknja tak keruan djurusnja,

dengan air mata bertjutjuran ia ber-teriak2: Sute! Sute!

Darah panas Siau Hong mendjadi bergolak, ia tidak dapat menahan perasaannja lagi, mendadak ia berteriak keras2: Ini Siau Hong berada disini! Kalau mau bunuh boleh bunuhlah aku, tapi djangan membunuh orang lain jang tak berdosa! Berbareng Siau Hong lantas melompat turun kebawah, dimana kakinja melajang, sebelum dia menjentuh tanah, kontan empat djago Tjidan sudah lantas didepaknja hingga mentjelat. Dan setelah berdiri tegak, tjepat ia menarik Hian-bing dan tangan lain pegang tongkatnja Hian-sik sambil berkata: Hian-sik Taysu, bantuan Tjayhe ini terlambat datangnja, sungguh dosaku tak terhingga besarnja. ~ Menjusul tongkat jang dipegangnja itu terus disabetkan sehingga dua djago Tjidan terpaksa melompat menjingkir.

Tidak, kami jang telah memfitnah Kiau-pangtju sebagai orang Tjidan adalah lebih besar pula dosa kami, sahut Hian-sik dengan tersenjum getir. Dan sjukurlah sekarang duduknja perkara dapat dibikin djelas ......... belum selesai utjapannja, sekali kepalanja menunduk ternjata napasnja sudah berhenti.

Sambil melindungi Hian-bing segera Siau Hong menerdjang kearah beberapa djago Tayli jang sedang dikerubut musuh disebelah kiri sana.

Melihat Lam-ih Tay-ong mereka mendadak muntjul dengan gagah berwibawa, mau-tak-mau para peradjurit dan perwira Liau mendjadi djeri. Sebaliknja Siau Hong lantas kerdjakan tongkatnja, walaupun ia tidak ingin membunuh orang, tapi terluka djuga bila berkenalan dengan tongkatnja.

Peradjurit2 ber-teriak2 ketakutan dan be-ramai2 menjingkir mundur sehingga Siau Hong dapat menerdjang kian kemari dengan tjepat dan leluasa, hanja dalam waktu singkat ia sudah dapat mengumpulkan dua-tiga ratus kesatria Tionggoan jang tadinja bertjerai-berai dan terkepung tadi.

Hendaklah saudara2 djangan terpisah lagi, bergabungklah dalam rombongan besar untuk bertempur bersama! seru Siau Hong.

Segera ia memimpin dua-tiga ratus orang itu dan bergeser kesana dan kesini, bila ada kawan jang terkepung lantas didekatinja untuk menolongnja keluar. Maka rombongannja itu makin lama makin bertambah banjak djumlahnja. Sampai achirnja sudah lebih seribu.

Lalu Siau Hong menggabungkan diri dengan rombongan2 Hi-tiok, Toan Ki dan para kesatria Tionggoan dibawah pimpinan Hian-to Taysu dari Siau-lim-si terus menerdjang kepintu gerbang kota. Siau Hong mendahului memburu kedepan, dengan gagah ia berdiri diatas pintu gerbang dan membiarkan rombongan2 para kesatria Tionggoan, Tayli dan Leng-tjiu-kiong keluar kota dengan aman. Pasukan Liau jang mengedjar itu ternjata tidak berani menjerbu madju, mereka hanja ber-teriak2 dari djauh dan gentar terhadap wibawa Lam-ih Tay-ong mereka.

Menunggu sesudah semua orang sudah keluar benteng dengan selamat, paling achir barulah Siau Hong sendiri menjusul keluar kota. Waktu ia menoleh kebelakang, tertampak majat bergelimpangan di-mana2 dan ber-tumpuk2, entah berapa banjak korban jang djatuh dalam pertempuran sengit itu.

Tiba2 terlihat olehnja diantara majat2 jang menggeletak didalam kota itu terdapat dua perwira wanita Leng-tjiu-kiong jang berlumuran darah dan sedang me-rintih2 dan me-ronta2 hendak berdiri tapi rupanja tidak kuat lagi.

Tanpa pikir Siau Hong menerdjang masuk lagi kedalam kota, ia pegang punggung kedua wanita itu dan dibawa lari keluar. Tapi tidak seberapa djauhnja, mendadak terdengar suara tambur menggelegar mengguntjang bumi, dua pasukan Liau setjara besar2an telah menjerbu tiba dari arah kanan dan kiri.

Seketika Siau Hong merasa tjemas. Kedua pasukan musuh itu djumlahnja paling sedikit ada sepuluh ribu banjaknja, sedangkan kawan2 dipihak sendiri sudah bertempur sekian lamanja, kalau tidak terluka tentu djuga sudah terlalu letih, tjara bagaimana akan dapat menghadapi pasukan musuh jang bertenaga baru ini?

Tjepat ia berteriak: Kawan2 dari Kay-pang mengiring dari belakang, serahkan kuda tunggangan kalian kepada kawan2 lain jang terluka dan biarkan mereka mundur lebih dulu!

Anggota2 Kay-pang mengiakan serentak dan be-ramai2 melompat turun dari kuda mereka. Lalu Siau Hong berteriak pula:

Pasang Pak-kau-tay-tin (barisan besar menggebuk andjing)!

Maka terdengarlah suara tembang para pengemis jang sedang minta2 sambil mengatur barisan setjara selapis demi selapis.

Hian-to Taysu, Djite dan Samte, lekas memimpin bawahan kalian mundur dulu kedjurusan barat, biarkan kami jang mendjaga dibagian belakang! teriak Siau Hong lagi.

Dibawah sinar matahari udjung golok dan tumbak pasukan Liau itu tampak gemilapan menjilaukan mata, berpuluh ribu kuda berlari serentak menerdjang tiba, suaranja benar2 menggetar sukma dan menakutkan.

Melihat kekuatan musuh jang luar biasa itu, Hi-tiok dan Toan Ki menaksir Pak-kau-tay-tin jang dipasang anggota Kay-pang itu betapapun djuga susah menahan terdjangan pasukan musuh. Maka mereka berdua lantas berdiri dikanan-kiri Siau Hong dan berkata: Toako, kita adalah saudara angkat, kalau ada kesukaran biarlah ditanggung beramai, mati atau hidup harus bersama pula.

Djika begitu, lekas perintahkan bawahan kalian mundur lebih dulu, kata Siau Hong.

Tjepat Hi-tiok dan Toan Ki lantas meneruskan perintah itu kepada anak-buahnja masing2.

Siapa tahu bawahan Leng-tjiu-kiong telah menjatakan tidak mau meninggalkan madjikan mereka didalam keadaan bahaja, lebih2 para djago Tayli djuga tidak mau mengundurkan diri dan membiarkan radja mereka menghadapi maut.

Dalam pada itu pasukan berkuda Liau sudah makin dekat, panah jang dibidikkan sudah hampir mentjapai tempat dimana Siau Hong dan kawan2nja berada.

Hian-to mestinja sudah mundur lebih dulu dengan memimpin para kesatria Tionggoan, tapi sekarang demi nampak rombongan Siau Hong terantjam bahaja, seketika ada beberapa puluh orang diantaranja berlari kembali untuk membantu.

Diam2 Siau Hong mengeluh. Pikirnja: Biarpun ilmu silat kawan2 ini sangat tinggi, tapi mereka tidak kenal ilmu peperangan dan tidak tahu disiplin militer, tjara bagaimana mereka akan sanggup melawan pasukan Liau jang berdjumlah besar? Kematianku adalah tidak mendjadi soal, tapi kalau para kawan djuga dibinasakan oleh peradjurit Liau diluar kota Lamkhia ini, lantas bagaimana aku ...

Selagi bingung dan entah tindakan apa jang harus diambilnja. Se-konjong2 ditengah pasukan Liau itu terdengar suara gembreng jang njaring dan ditabuh setjara menitir. Njata itulah tanda menarik mundurnja pasukan.

Begitu mendengar suara titir gembreng itu, seketika pasukan Liau jang sedang menerdjang kedepan itu serentak membalik haluan, kuda mereka berputar, barisan belakang lantas berubah mendjadi barisan muka dan be-ramai2 mundur ke utara dan selatan, dari arah mana mereka datang tadi.

Siau Hong mendjadi ter-heran2 dan tidak mengerti apa jang sudah terdjadi. Walaupun pasukan Liau sudah mundur, tapi dilihatnja djauh dibelakang pasukan Liau sana debu mengepul tinggi disertai suara teriakan riuh ramai, rupanja bagian belakang pasukan Liau itu telah digempur oleh pasukan jang lain pula.

Keruan Siau Hong tambah heran: Mengapa dibelakang pasukan Liau ada pasukan pihak lain lagi, djangan2 terdjadi pemberontakan pula? Dan siapakah jang memberontak? Dari muka dan belakang Hongsiang digentjet musuh, tentu keadaannja sangat tidak menguntungkan.

Begitulah djiwa kesatria Siau Hong, baru sadja dia terhindar dari kepungan pasukan Liau, sekarang dia sudah lantas menguatirkan keselamatannja Yalu Hung-ki.

Melihat pasukan Liau mendadak ditarik kembali, segera para anggota Kay-pang ber-teriak2, tapi karena tiada perintahnja Siau Hong mereka tidak berani sembarangan mengedjar dan membunuh musuh.

Waktu Siau Hong melompat dan berdiri diatas kudanja untuk memandang djauh kebagian belakang pasukan Liau, dilihatnja disana banjak berkibar pandji2 warna putih, diudarapun terdjadi hudjan panah dan peradjurit Liau banjak jang terdjungkal djatuh dari kudanja. Achirnja sadarlah Siau Hong: Ah, kiranja adalah kawan2-ku dari suku Nuchen jang telah tiba. Entah dari mana mereka.

Ilmu memanah pemburu2 Nuchen itu sungguh sangat lihay, merekapun sangat gagah dan tangkas dimedan perang. Setiap seratus orang mereka terbagi mendjadi satu pasukan ketjil, dengan menunggang kuda mereka ber-teriak2 terus menerdjang ketengah-

Karena diterdjang setjara mendadak, seketika barisan peradjurit Liau

mendjadi katjau balau. Pula suku Nuchen itu memang tangkas dan gagah berani, panglima Liau dapat melihat gelagat, ia kuatir digentjet pula oleh pasukan jang dipimpin Siau Hong, maka tjepat2 ia memberi tanda menarik mundur pasukannja.

Hoan Hwa berpangkat Suma atau menteri urusan perang, maka dia mahir ilmu kemiliteran. Ia melihat ada kesempatan bagus, segera katanja kepada Siau Hong: Siau-tayong, lekas kita serbu sadja, inilah saat jang paling bagus untuk menghantjurkan musuh.

Tapi Siau Hong hanja menggeleng kepala sadja.

Djarak dari sini ke Gan-bun-koan terlalu djauh, kalau kesempatan bagus ini tidak kita gunakan untuk menghantjurkan pasukan Liau, kelak tentu akan membahajakan malah, demikian kata Hoan Hwa pula. Apalagi djumlah musuh terlalu banjak dan djumlah kita sedikit, kita belum tentu dapat mengundurkan diri dengan aman dan selamat.

Namun Siau Hong tetap menggeleng kepala.

Sungguh Hoan Hwa tidak habis mengerti. Pikirnja: Siau-tayong tidak mau menjerang dan membunuh musuh, djangan2 dia masih berharap kelak akan dapat memperbaiki hubungan dengan radja Liau?

Dalam pada itu terlihat orang2 Nuchen dalam kelompok2 ketjil dengan telandjang setengah badan, ada jang bermantelkan kulit binatang, masih terus menerdjang musuh sambil menghudjani panah sehingga musuh kalang kabut. Ada lebih seribu orang peradjurit Liau jang tidak sempat masuk seluruhnja kedalam kota, semuanja telah dipanah mati dibawah benteng kota.

Pemburu2 Nuchen itu kalau habis membunuh musuh segera buah kepala sang korban dipenggal olehnja dan digantung disabuknja. Maka diantara orang2 Nuchen itu ada jang membawa puluhan buah kepala jang penuh tergantung dipinggangnja.

Para kesatria sudah banjak berpengalaman dalam pertarungan sengit, tapi pembunuhan setjara kedjam dan biadab seperti orang2 Nuchen ini baru pertama kali ini dilihatnja. Keruan mereka terkesiap.

Tiba2 diantara pemburu2 Nuchen itu muntjul seorang lelaki tinggi besar sambil

ber-teriak2: Siau-toako, Siau-toako, Wanyan Akut telah datang membantu engkau berkelahi dengan orang Tjidan!

Kiranja dia adalah saudara angkat Siau Hong ketika bertemu dipegunungan Tiang-pek-san dahulu, jaitu Wanyan Akut dari suku Nuchen.

Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, tjepat ia memapak madju, kedua orang lantas saling rangkul dan berdjabat tangan dengan terharu.

Siau-toako, dahulu engkau telah pergi tanpa pamit, sungguh aku sangat kuatir dan rindu sekali, demikian kata Akut. Kemudian dari penjelidik dapat diketahui bahwa engkau telah mendjadi pembesar dinegeri Liau, hal inipun tidak mendjadi soal. Tjuma orang Liau itu sangat litjin, kukira kedudukanmu mungkin tak bisa tahan lama. Benar djuga, kemarin dulu penjelidik memberi laporan pula, katanja engkau telah dikurung oleh radja Liau keparat itu sebagai binatang, sungguh kami merasa sangat kuatir dan lekas2 memburu kemari. Sjukurlah Siau-toako ternjata baik2 sadja, kami merasa girang sekali

Banjak terima kasih atas bantuan saudaraku sahut Siau Hong.

Baru sekian bitjaranja, tiba2 dari atas benteng telah berhamburan anak panah kearah mereka. Tjuma djarak mereka tjukup djauh dari tembok benteng, anak2 panah itu tidak dapat mentjapai mereka. Kurangadjar andjing2 Liau itu, aku sedang bitjara dengan Toako, kenapa mereka sengadja mengganggu, maki Akut dengan gusar. Habis berkata, ia pentang busurnja, susul menjusul tiga kali membidik ia memanah dari bawah benteng keatas, maka terdengarlah suara djeritan ngeri tiga kali, tiga orang peradjurit Liau kontan terdjungkal kebawah.

Kalau panah peradjurit2 Liau itu tidak dapat mentjapainja, sebaliknja tiga kali panah Akut itu dengan mudah telah menggulingkan tiga orang, maka dapat dibajangkan betapa kuat dan djitu kepandaian memanah djago Nuchen itu. Keruan peradjurit2 Liau mendjadi ketakutan, sambil ber-teriak2 lekas mereka memasang tameng.

Sementara itu suara tambur didalam kota Lamkhia kedengaran masih gegap-gempita, agaknja pihak Liau sedang menghimpun tenaga lagi. Segera Akut berseru kepada anak buahnja: Wahai kawan2, dengarkanlah! Andjing Tjidan itu rupanja ber-siap2 akan keluar lagi dari lubang andjingnja, hajo kita bersiap untuk membunuhnja dengan se-puas2-nja!

Orang2 Nuchen itu berteriak senang sebagai suara ribuan binatang jang mengaum setjara serentak.

Diam2 Siau Hong mendjadi kuatir. Kalau peperangan ini sampai berlangsung, maka korban jang akan djatuh dari kedua pihak tentu tidaklah sedikit. Tjepat katanja: Saudaraku jang baik, kedatanganmu ini adalah untuk menolong aku dan sekarang aku sudah lolos dari bahaja, buat apa mesti bertempur lagi dengan orang. Sudah lama sekali kita tidak berdjumpa, marilah kita mentjari suatu tempat jang aman dan tenang untuk bitjara dan minum se-puas2nja.

Benar djuga, marilah kita berangkat, sahut Akut.

Tapi mendadak pintu gerbang kota terpentang, sepasukan tentara Liau berkuda dan berpakaian lapis badja telah menerdjang keluar. Akut mentjatji-maki. Ia pentang busur dan memanah, kontan muka seorang perwira jang berada paling depan itu terguling dari kudanja.

Orang2 Nuchen jang lain be-ramai2 djuga melepaskan panah, jang mereka arah selalu bagian muka. Dasar ilmu memanah orang2 Nuchen itu memang pandai, udjung panah berbisa pula, maka sasarannja jang terkena panah itu tanpa bersuara sama sekali seketika terdjungkal dan binasa.

Hanja dalam sekedjap sadja didepan pintu gerbang kota sudah bergelimpangan beberapa ratus majat bertjampur kuda tumpuk menumpuk sehingga menjumbat pintu gerbang itu. Peradjurit Liau jang lain mendjadi ketakutan dan tjepat2 menutup pintu dan tidak berani mengedjar lagi.

Dengan memimpin anak buahnja Wanyan Akut masih terus mondar-mandir dibawah benteng sambil mentjatji-maki dan menantang. Sudah tentu mereka tidak mendapat djawaban.

Marilah kita berangkat, saudaraku! adjak Siau Hong.

Terpaksa Akut mengiakan. Tapi dia masih menuding keatas benteng dan berteriak keras: Dengarkan andjing2 Liau! Untunglah kalian tidak mengganggu seudjung rambut Toako kami, maka bolehlah djiwa andjing kalian diampuni. Tjoba kalau tidak, tentu kami meratakan bentengmu dan menumpas habis andjing2 Liau kalian!

Habis itu ia lantas mengikuti Siau Hong kearah barat. Kira2 belasan li djauhnja, sampailah mereka diatas sebuah bukit. Akut lantas melompat turun dari kudanja, ia ambil kantong arak dari pelana kudanja dan diberikan kepada Siau Hong sambil berkata: Silakan minum arak, Toako.

Siau Hong djuga tidak menolak, ia angkat kantong arak itu dan sekaligus ditenggaknja hingga hampir habis, lalu ia kembalikan kepada Akut.

Sesudah Akutpun minum habis sisa arak itu, katanja kemudian: Toako, daripada pergi kelain tempat jang belum tentu tudjuannja, adalah lebih baik ikut bersama kami kembali kepegunungan Tiang-pek-san, disana kita dapat berburu dan minum arak serta hidup dengan bebas merdeka.

Tapi Siau Hong tjukup kenal sifat Yalu Hung-ki jang angkuh dan tinggi hati, hari ini pasukan Liau telah diterdjang sehingga kotjar-katjir oleh Wanyan Akut dan kawan2nja, bahkan telah ditjatji-maki pula olehnja, untuk semua ini Hung-ki tentu tidak dapat menerimanja dengan mentah2, tapi pasti akan mengerahkan pasukannja untuk bertempur lagi. Meski orang Nuchen sangat tangkas dan gagah berani, tapi djumlah mereka hanja sedikit, memang belum diketahui akan menang atau kalah, tapi adalah lebih baik kalau pertempuran sengit dapat dihindarkan.

Teringat oleh Siau Hong selama beberapa bulan tinggal di pegunungan Tiang-pek-san dahulu, dimana selain sibuk mengobati A Tji boleh dikata tiada punja rasa kuatir urusan lain, lebih tiada terpikir tentang kedudukan dan kemewahan orang hidup segala. Dan kalau untuk selandjutnja dapat hidup bersama dengan suku Nuchen rasanja dapat djuga menghindarkan segala urusan jang mengesalkan. Maka dia lantas mendjawab: Saudaraku, para kesatria dari Tionggoan ini djauh2 datang kemari adalah karena ingin menolong aku. Maka biarlah aku mengantar mereka ke Gan-bun-koan dulu, habis itu aku akan kembali kesini untuk berkumpul dengan saudaraku orang2 Nuchen.

Bagus! seru Akut dengan girang. Djika begitu biarkan kutunggu sadja didepan sana. Orang2 Tionggoan itu tampaknja sok tjerewet dan besar kemungkinan bukan manusia baik2, maka akupun sungkan untuk berkenalan dengan mereka.

Habis berkata ia lantas mohon diri dan membawa kawan2nja menudju keutara.

Melihat datang dan perginja orang2 Nuchen itu sebagai angin lesus tjepatnja dan sangat tangkas pula, diam2 para kesatria Tionggoan menganggap orang2 Nuchen itu lebih lihay daripada orang2 Liau. Untung mereka adalah kawannja Kiau-pangtju, kalau tidak tentu urusan bisa runjam.

Dalam pada itu rombongan2 para kesatria itu sudah bergabung mendjadi satu, mereka ramai membitjarakan suasana pertempuran sengit diluar kota Lamkhia tadi.

Siau Hong lantas memberi hormat kepada para kesatria, serunja: Banjak terima kasih atas budi pertolongan kalian jang tidak memikirkan dosa Siau Hong dahulu, sebaliknja djauh2 datang kemari untuk menolong diriku, budi ini sungguh susah dibalas selama hidupku ini.

Ah, mengapa Kiau-pangtju berkata demikian, sahut Hian-to selaku pimpinan para kesatria Tionggoan jang menganggap Siau Hong masih tetap Pangtju Kay-pang dan tetap she Kiau. Padahal apa jang terdjadi dahulu itu hanja karena salah paham belaka. Apalagi kita sama2 orang Bu-lim dan seharusnja bantu membantu bila ada kesukaran. Pula Kiau-pangtju telah rela mengorbankan kedudukan jang diagungkan di negeri Liau demi keselamatan ber-djuta2 rakjat Tionggoan, untuk budi kebaikan inilah kami harus menjatakan terima kasih kepada Kiau-pangtju.

Segera Hoan Hwa djuga berkata: Para Enghiong jang terhormat, menurut pendapatku, mungkin sekali pasukan Liau takkan rela dengan kekalahan mereka tadi, maka mereka masih akan datang mengedjar kita. Entah apakah diantara kawan2 ada jang berpendapat lain?

Serentak banjak diantara para kesatria itu berteriak: Bila pasukan musuh berani mengedjar, hajolah kita hadjar mereka lagi, masakah kita mesti takut?

Soalnja bukan takut atau tidak, udjar Hoan Hwa, tapi djumlah musuh terlalu banjak dan djumlah kita sangat sedikit, kalau bertempur ditempat lapang begini akan tidak menguntungkan kita. Maka menurut pendapatku adalah lebih baik kalau kita mundur dulu kebarat, pertama djarak kita akan lebih dekat dengan pasukan Song dan bila perlu mungkin kita akan mendapat bantuan. Selain itu makin djauh pasukan musuh mengedjar kita tentu djumlah musuh lebih2 terpentjar dan berdjumlah sedikit, dengan demikian kita akan tjari kesempatan untuk menggempur kembali mereka.

Para kesatria sama menjatakan setudju. Segera Hi-tiok memimpin anak buah Leng-tjiu-kiong sebagai barisan pertama, menjusul adalah Toan Ki dengan djago2 Tayli, lalu Hianto bersama para kesatria Tionggoan, sedang Siau Hong memimpin anggota2 Kay-pang mengiringi dari belakang.

Empat pasukan itu masing2 berdjarak satu-dua li djauhnja, kurir berkuda kian

kemari menjampaikan berita, kalau ada musuh segera dapat saling membantu.

Sesudah menempuh perdjalanan satu hari, malamnja mereka lantas bermalam diudara terbuka, sjukurlah semalam suntuk mereka tidak diganggu oleh pasukan Liau, maka lambat-laun rasa was-was semua orang mendjadi reda.

Esok paginja mereka meneruskan perdjalanan. Siau Hong jang selalu didampingi oleh A Tji telah tjoba menanjai anak dara itu: Apakah pemuda she Yu itu masih tinggal di Leng-tjiu-kiong?

Mulut A Tji jang ketjil itu mendjengkit, sahutnja: Siapa jang tahu? Tentunja djuga masih disana. Kedua matanja sudah buta, masakah dia dapat pergi dari pegunungan jang tjuram itu? Njata nadanja tetap tiada punja rasa perhatian sedikitpun kepada Yu Goan-tji jang telah rela mengorbankan matanja bagi anak dara itu.

Petang hari itu mereka telah sampai di Pek-lok-po, sebuah kota dikaki gunung Ngo-tay-san, disitulah pasukan2 mereka berkemah mengaso.

Hoan Hwa memang mahir ilmu siasat dan pandai mengatur barisan, sepandjang djalan ia telah meninggalkan ber-kelompok2 kesatria jang tangkas untuk mendjaga tempat2 jang strategis, kalau ada djembatan lantas dihantjurkan untuk memperlambat pasukan musuh bila mengedjar.

Sampai hari ketiga, tiba2 terlihat disebelah timur sana asap mengepul tinggi mentjakar langit. Terang itulah tanda pasukan Liau sedang mengedjar kearah mereka.

Melihat itu, para kesatria kembali ber-debar2. Ada diantaranja jang sok gagah dan suka bertempur seketika hendak memutar balik kesana untuk membantu regu2 jang ditinggalkan Hoan Hwa itu, tapi mereka keburu ditjegah oleh Hian-to dan Hoan Hwa.

Malam itu rombongan2 mereka bermalam dilereng sebuah gunung. Sampai tengah malam mendadak mereka dikedjutkan oleh suara teriakan kaget orang. Seketika para kesatria terdjaga bangun terus menjiapkan sendjata masing2.

Ternjata disebelah utara sana merah membara, entah benda apa jang sedang terbakar sehingga berwudjut lautan api sehebat itu.

Siau Hong saling pandang sekedjap dengan Hoan Hwa, diam2 kedua orang sama2 merasakan alamat jang tidak enak.

Siau-tayong, menurut pandanganmu, bukankah ini pertanda pasukan Liau sedang memutar dari djurusan sana untuk menjerang kemari? tanja Hoan Hwa.

Radja Liau memang sudah bertekad akan menjerang Song dan sedang mengerahkan pasukannja setjara besar2an, boleh djadi ini adalah pasukannja dari bagian utara, sahut Siau Hong.

Ai, kebakaran besar itu entah telah banjak mengambil korban harta benda dan djiwa rakjat djelata jang tak berdosa! kata Hoan Hwa dengan menghela napas.

Siau Hong tidak mau mengutjapkan kata2 djelek bagi alamatnja Yalu Hung-ki jang masih dianggapnja sebagai kakak-angkat, tapi dia tjukup kenal watak radja Liau itu, karena telah mengalami kekalahan dibawah serangan orang2 Nuchen, tentu Hung-ki merasa sangat penasaran sehingga rasa dendamnja seluruhnja telah dilampiaskan atas diri rakjat djelata jang tidak bersalah. Tentu pasukan jang dikerahkan ini tidak kenal ampun lagi, asal ketemu orang tentu dibunuh dan kalau melihat rumah pasti dibakarnja.

Api jang ber-kobar2 dengan hebat itu sampai fadjar sudah menjingsing masih belum djuga padam, sampai sore harinja, kembali disebelah selatan kelihatan api me-njala2 pula. Dibawah sinar matahari tjahaja api tidak begitu djelas, tapi asap tebal tertampak mengepul tebal menembus awan.

Sebenarnja Hian-to memimpin kawan2nja berdjalan didepan, ketika melihat kebakaran disebelah selatan itu, segera ia menghentikan kudanja dan menunggu ditepi djalan. Sesudah Siau Hong mendekat, lalu ia bertanja: Kiau Pangtju, pasukan Liau telah mengepung kita dari tiga djurusan, menurut pandanganmu apakah Gan-bun-koan dapat dipertahankan? Aku sudah mengirim orang untuk menjampaikan berita kilat ke Gan-bun-koan, tjuma sadja panglima pendjaga benteng itu mungkin terlalu pengetjut dan tiada punja semangat tempur, boleh djadi sulit untuk menahan serbuan pasukan berkuda orang Tjidan.

Siau Hong terdiam, ia merasa susah untuk mendjawab.

Lalu Hian-to berkata pula: Tampaknja hanja orang Nuchen sadja jang dapat

menghadapi ketangkasan orang Tjidan. Kelak bila keradjaan Song kita berserikat dengan orang Nuchen, dengan digentjet dari utara dan selatan mungkin akan dapat memaksa bangsa Tjidan berpikir dua kali dan tidak berani sembarangan menjerbu keselatan.

Siau Hong tahu maksud paderi Siau-lim-si itu jalah ingin dirinja berusaha menghubungi pemimpin suku bangsa Nuchen, jaitu Wanyan Akut. Tapi demi teringat dirinja sesungguhnja adalah orang Tjidan, mana boleh bersekongkol dengan bangsa lain untuk menjerang bangsa dan tanah airnja sendiri?

Untuk membelokkan pokok pembitjaraan maka mendadak ia bertanja: Hian-to Taysu, apakah ajahku baik2 sadja berada didalam kuil agung kalian?

Hian-to tertegun, djawabnja: Ajah Kiau-pangtju sudah masuk kedalam lingkungan Budha dan menjutjikan diri diruang belakang Siau-lim-si, keberangkatan kami ke Lamkhia kali ini tidak diberitahukan kepada ajahmu supaja tidak merisaukan perasaannja.

Sungguh aku ingin pergi menemui beliau untuk menanjakan sesuatu padanja, kata Siau Hong.

O, Hian-to tidak bersuara lebih landjut.

Aku ingin tanja kepada beliau: Djikalau pasukan Liau menjerang Siau-lim-si, lantas tindakan apa jang akan dilakukan oleh beliau? kata Siau Hong.

Sudah tentu beliau akan berbangkit untuk menumpas musuh, membela agama dan menjelamatkan kuil, apa jang perlu diragukan lagi? udjar Hian-to.

Akan tetapi ajah adalah orang Tjidan, apakah dia mau disuruh membela orang Han untuk membunuh bangsanja sendiri?

Hian-to merenung sedjenak, katanja kemudian: Pangtju ternjata benar2 orang Tjidan jang telah meninggalkan kegelapan dan menudju kedjalan jang terang, sungguh harus diberi hormat dan mengagumkan.

Taysu adalah orang Han dan selalu anggap Han adalah pihak jang terang dan

pihak Tjidan adalah pihak jang gelap. Sebaliknja bangsa Tjidan kami memandang keradjaan Liau jang djaja adalah pihak jang terang dan keradjaan Song adalah pihak jang gelap. Padahal leluhur dari bangsa kami telah banjak menderita, kami di-uber2 dan dibunuh oleh suku bangsa Sianbi dan lain2 sehingga terpaksa berlari kian kemari untuk menjelamatkan diri, betapa sengsaranja sungguh susah dilukiskan. Ketika keradjaan Tong negeri kalian, karena ilmu silat bangsa Han kalian telah berkembang dengan hebat, karena itu tidak sedikit pula kesatria2 bangsa Tjidan kami mendjadi korban lagi dan banjak sekali kaum wanita kami ditjulik dan ditawan. Sekarang ilmu silat bangsa Han kalian sudah banjak mundur, maka berbalik bangsa Tjidan kami jang akan membunuh kalian. Djika bunuh membunuh setjara bergilir ini berlangsung terus, bilakah baru akan berachir?

Hian-to menghela napas, katanja: Hanja kalau segenap radja2 dan penguasa2 didunia ini sudah memeluk agama Budha jang mengutamakan welas-asih kepada sesamanja, dengan demikian barulah didunia ini takkan ada peperangan dan saling bunuh membunuh.

Ja, entah bilakah baru akan tiba saat aman dan damai bagi dunia ini, sahut Siau Hong.

Begitulah rombongan mereka terus menudju kebarat. Mereka melihat di djurusan2 timur, utara dan selatan rupanja siang dan malam pasukan Liau terus main bunuh dan bakar dimana mereka tiba. Dengan gusar para pahlawan mentjatji-maki kekedjaman musuh dan bertekad akan melabrak pasukan musuh dengan mati2an.

Pasukan Liau semakin dekat, achirnja kita tentu tiada djalan mundur lagi, demikian udjar Hoan Hwa. Menurut pendapatku ada lebih baik kita pentjarkan diri sadja agar musuh merasa bingung kemana harus mengedjar kita.

Tjara demikian bukankah berarti kita telah mengaku kalah? seru Go-tianglo dari Kay-pang. Hoan-suma, djangan engkau membesarkan kekuatan musuh dan menilai rendah tenaga kita sendiri. Pendek kata, apakah akan menang atau kalah, kita harus melabrak habis2an andjing2 Liau itu.

Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara mendesing, sebatang anak panah menjambar dari arah tenggara sana dan kontan seorang murid berkantong lima dari Kay-pang roboh terpanah, menjusul dari balik bukit sana sepasukan Liau lantas menerdjang tiba sambil ber-teriak2.

Rupanja pasukan Liau ini telah menjusul mereka dengan memotong djalan, djumlah pasukan ini kira2 ada 500 orang.

Serbu! teriak Go-tianglo dan segera mendahului menerdjang musuh.

Memangnja para pahlawan sudah menahan gusar dan dendam sedjak tadi, kini mereka dapat melampiaskan perasaan mereka, segera mereka menjerbu dengan gagah berani. Karena djumlah dipihak pahlawan2 ini lebih besar daripada pasukan Liau, ilmu silat mereka tinggi2 pula, maka ditengah suara teriakan riuh ramai peradjurit2 Liau telah dilabrak hingga kotjar-katjir, bagaikan membatjok semangka dan memotong sajur tjepatnja, hanja sekedjap sadja 500-an peradjurit Liau itu telah disapu bersih oleh para pahlawan.

Ada belasan orang Bu-su Tjidan sempat mendaki bukit dan hendak melarikan diri tapi merekapun tersusul oleh djago2 silat Tionggoan jang tinggi Ginkangnja dan terbunuh habis pula.

Setelah menangkan peperangan ini, para pahlawan sama bersorak gembira, semangat mereka me-njala2 lebih hebat.

Tapi diam2 Hoan Hwa berkata kepada Hian-to, Hi-tiok, Toan Ki dan beberapa pimpinan lain: Jang kita basmi ini hanja suatu pasukan Liau jang ketjil, sesudah terdjadi kontak ini, pasukan Liau jang lebih kuat tentu akan membandjir tiba. Marilah kita lekas mundur pula kebarat!

Baru selesai ia bitjara, mendadak terdengar suara gemuruh disebelah timur sana. Waktu para pahlawan memandang kearah sana, tertampaklah debu mengepul tinggi hingga mirip awan mendung jang menutupi langit.

Seketika para kesatria hanja saling pandang belaka, keadaan mendjadi sunji senjap, hanja terdengar suara riuh gemuruh itu tambah menggelegar dari djauh. Terang itulah pasukan induk Liau jang serentak dilarikan untuk menerdjang kemari. Dari suaranja ini entah berapa ratus ribu djumlahnja.

Para kesatria sudah banjak mengalami pertarungan sengit didunia Kangouw, tapi suara gemuruhnja pasukan besar dilarikan seperti sekarang ini sungguh tidak pernah didengar mereka. Dibandingkan dengan perang diluar kota Lamkhia, terang kekuatan pasukan Liau sekarang djauh lebih hebat dan susah ditaksir. Menghadapi suasana medan perang sedemikian ini tanpa merasa hati para kesatria mendjadi ber-debar2 dan kebat-kebit.

Segera Hoan Hwa berseru: Saudara2 sekalian, kekuatan musuh teramat besar, daripada mati konjol pertjuma, biarlah kita menghindari untuk sementara, asal gunung tetap menghidjau, tak perlu kuatir tiada kaju bakar. Marilah kita mengundurkan diri untuk mentjari kesempatan buat menggempur kembali.

Segera para kesatria melarikan kuda mereka kearah barat dengan tjepat. Mereka mendengar suara riuh gemuruh masih terus menggelegar dibelakang mereka tak ber-henti2.

Semalam suntuk mereka tidak mengaso, mendjelang fadjar mereka sudah dekat dengan Gan-bun-koan. Para kesatria mengeprak kuda mereka lebih tjepat. Mereka berharap asal dapat melintasi benteng itu, tentu pasukan Liau tidak mudah akan membobol benteng pertahanan jang merupakan perbatasan kedua negeri itu.

Sepandjang djalan ternjata tidak sedikit kuda2 para kesatria binasa keletihan. Maka ada jang terpaksa berlari dengan Ginkang, ada jang dua orang menunggang satu kuda.

Waktu terang tanah, djarak mereka dengan Gan-bun-koan hanja tinggal belasan li sadja, maka legalah para kesatria. Mereka lantas melompat turun dari atas kuda, dengan berdjalan kaki mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk melepaskan lelah. Sebaliknja suara riuh gemuruh berlarinja pasukan besar Liau dibelakang mereka tidaklah berkurang, bahkan bertambah hebat.

Siau Hong menurun kesebelah bukit sana. Tiba2 dilihatnja sepotong batu karang besar. Hatinja terkesiap. Teringat olehnja inilah tempatnja dimana dahulu Hian-tju dan Ong-pangtju memimpin para kesatria Tionggoan menjergap ajahnja dan membunuh ibunja.

Waktu menoleh, dilihatnja didinding karang sana masih djelas penuh bekas tatahan sendjata. Terang itulah bekas tempat tulisan jang ditinggalkan ajahnja jang kemudian telah dihapus oleh Hian-tju.

Pelahan2 Siau Hong berpaling pula, tertampaklah disebelah dinding karang itu ada sebatang pohon, telinganja se-akan2 masih mendengar suara A Tju jang dahulu sembunji dibalik pohon itu: Kiau-toaya, djangan engkau memukul lagi, nanti bukit ini akan hantjur kena hantamanmu.

Ia ter-mangu2 sedjenak, tiba2 utjapan A Tju jang lemah lembut dengan djelas bergema pula dalam benaknja: Sudah lima hari lima malam kunantikan engkau

disini, kukuatir engkau takkan datang. Tapi . achirnja engkau toh datang djuga. Banjak terima kasih kepada Thian jang maha murah hati, achirnja engkau telah datang dengan selamat.

Tanpa merasa air mata Siau Hong bertjutjuran, ia mendekati pohon itu dan me-raba2 batang pohon, ia melihat pohon itu sudah djauh lebih tinggi daripada waktu pertemuannja dengan A Tju dahulu. Sungguh tak terkatakan rasa duka hati Siau Hong, ia lupa kepada segala apa jang sedang terdjadi disekitarnja pada saat itu.

Se-konjong2 terdengar teriakan melengking seorang: Tjihu, lekas lari, lekas mundur! Menjusul A Tji telah mendekatinja dan me-narik2 lengan badjunja.

Waktu Siau Hong mengangkat kepalanja, ia melihat dari djurusan2 timur, utara dan selatan telah membandjir pasukan Liau dengan tumbak2 teratjung keatas sebagai hutan bambu. Njata pasukan Liau itu merapat dalam pengepungan mereka.

Siau Hong mengangguk, katanja: Baiklah, mari kita mundur kedalam Gan-bun-koan.

Dalam pada itu kesatria2 lain sudah mendahului sampai didepan Gan-bun-koan, tapi ketika Siau Hong dan A Tji sampai disitu, pintu gerbang benteng pertahanan itu masih tetap tertutup rapat, tertampak air muka para kesatria penuh rasa mendongkol dan penasaran.

Diatas benteng kelihatan berdiri seorang perwira pasukan Song dan sedang berkata dengan suara lantang: Menurut perintah Thio-tjiangkun jang mendjadi komandan pasukan pendjaga benteng Gan-bun-koan ini, bahwasanja bila kalian adalah rakjat tionggoan dan mestinja boleh masuk kedalam benteng tapi entah diantara kalian terdapat tidak mata2 musuh, maka diputuskan kalian harus membuang semua sendjata jang kalian bawa untuk diperiksa satu persatu, sesudah terang kalian adalah orang banjak, maka dengan kebaikan hati Thio-tjiangkun kalian nanti akan diperbolehkan masuk benteng.

Seketika ributlah para kesatria demi mendengar otjehan perwira itu. Ada jang berkata: Sungguh tidak pantas. Kita ber-lari2 sekian djauhnja dan melawan musuh dengan sepenuh tenaga, tapi sampai disini malah ditjurigai lagi sebagai mata2 musuh.

Ja, sebabnja kita membawa sendjata adalah karena ingin membantu kawan untuk melawan pasukan Liau. Kalau sendjata kita dilutjuti, tjara bagaimana kita

dapat berperang lagi? demikian kata jang lain.

Bahkan ada diantaranja jang berwatak berangasan sudah lantas mentjatji-maki: Kurangadjar! Sudah berdjoang mati2an tidak mendapat pudjian sebaliknja ditjurigai setjara tidak beralasan. Apa benar kita tidak diperbolehkan masuk kedalam benteng atau kita be-ramai2 mesti menjerbu sadja kedalam?

Agar urusan tidak mendjadi lebih runjam, segera Hian-to mentjegah kata2 kasar para kawan. Lalu serunja kepada perwira tadi: Harap sukalah memberi lapor kepada Thio-tjiangkun bahwa kami semuanja adalah rakjat Song jang setia dan berdjoang bagi negara. Pasukan musuh sekedjap lagi akan tiba, kalau mesti pakai memeriksa dan menggeledah segala, mungkin akan berbahaja dan terlambat bagi keselamatan kami.

Rupanja perwira itupun sudah mendengar suara tjatji-maki tidak puas dari para kesatria, pula dilihatnja banjak diantara rombongan Hian-to itu aneka matjam pakaiannja dan tidak mirip dengan rakjat umumnja didaerah Tionggoan, maka perwira itu lantas bertanja lagi: Hwesio tua, kau bilang kalian adalah rakjat Song jang baik2, tapi kulihat banjak diantara rombongan itu tidak mirip dengan orang Tionggoan kita? Namun demikian, ja sudahlah, aku akan memberi kelonggaran, mereka jang benar2 adalah rakjat Song akan dibolehkan masuk, sebaliknja mereka jang bukan rakjat Song kita dilarang masuk.

Untuk sedjenak para kesatria mendjadi saling pandang dengan penuh mendongkol. Hendaklah maklum bahwa anak buahnja Toan Ki itu adalah rakjat keradjaan Tayli, sedangkan anak buahnja Hi-tiok lebih2 tak keruan, mereka adalah gado2, tjampuran dari berbagai bangsa, ada orang Se-ek, ada orang Se He, Turfan, Korea dan lain2. Kalau sekarang jang dibolehkan masuk benteng hanja rakjat Song sadja, itu berarti sebagian besar anak buah keradjaan Tayli dan Leng-tjiu-kiong tak bisa ikut masuk kedalam.

Terpaksa Hian-to membudjuk lagi: Mohon kebidjaksanaan Tjiangkun bahwa banjak diantara kawan2 kami ini terdiri dari orang Tayli, Se He dan lain2, mereka semuanja telah membantu kita melabrak pasukan Liau, djadi mereka adalah kawan dan bukan lawan, mengapa mesti di-beda2kan tentang rakjat Song atau bukan?

Kiranja perdjalanan Toan Ki kedaerah utara kali ini telah dirahasiakan dengan sangat rapat, ia tidak ingin diketahui kedudukannja sebagai kepala negara Tayli untuk mendjaga kalau2 mendadak negerinja diserang oleh keradjaan Song atau mungkin djuga dia akan didjebak dan ditawan sebagai sandera. Sebab itulah dalam djawaban Hian-to itu tidak di-singgung2 tentang didalam rombongannja terdapat seorang tokoh maha penting itu.

Maka terdengar perwira tadi berkata dengan kurang senang: Gan-bun-koan adalah gerbang terpenting diwilajah utara keradjaan Song, tempat ini merupakan kuntji utama keselamatan negara. Tjoba lihatlah, pasukan Liau sudah tiba setjara besar2an, kalau aku sembarangan membuka pintu sehingga memberi kesempatan kepada pasukan Liau untuk menjerbu masuk kemari, lalu siapa jang akan bertanggung-djawab atas malapetaka jang akan timbul nanti?

Sungguh mendongkol sekali Go-tianglo, ia tidak tahan lagi, segera ia berteriak: Kenapa kau hanja membatjot sadja sedjak tadi dan tidak lekas2 membuka pintu? Kalau kau buka sedjak tadi bukankah saat ini kami sudah didalam benteng dan takkan menimbulkan malapetaka segala?

Perwira itu mendjadi gusar, damperatnja: Kau pengemis tua bangka ini berani sembarangan kentut didepan tuan-besarmu? -- Dan sekali ia memberi tanda, serentak diatas benteng muntjul ribuan peradjurit pemanah dengan anak panah sudah terpasang dibusurnja serta mengintjar kebawah benteng.

Nah, lebih baik kalian lekas mundur sadja, lekas! Kalau rewel2 lagi tak habis2 sehingga mengatjaukan pikiran peradjurit kami, segera akan kuperintahkan melepaskan panah, demikian perwira itu mengantjam.

Hian-to menghela napas pandjang dan tidak berdaja menghadapi perwira jang kepala batu dan susah untuk diadjak bitjara itu.

Saat itu para kesatria berada ditengah selat Gan-bun-koan. Kedua sisi benteng itu adalah tebing bukit jang terdjal meninggi kelangit. Sebabnja diberi nama Gan-bun-koan atau benteng pintu burung belibis, jaitu sebagai perumpamaan bahwa sekalipun burung belibis djika hendak terbang keselatan djuga terpaksa mesti terbang menjusur selat bukit jang terdjal dan tinggi itu untuk melukiskan betapa berbahajanja benteng itu.

Diantara kesatria2 dan pahlawan2 itu tidak sedikit terdapat djago silat jang memiliki Ginkang jang tinggi, dengan mudah sadja mereka dapat mendaki bukit dan melintas kebalik gunung sana untuk menjelamatkan diri bila dikedjar musuh, tapi sebagian besar pahlawan lainnja tentu tak terhindar dari kebinasaan dibawah sendjata pasukan Liau jang sebentar lagi akan membandjir tiba itu.

Sementara itu pasukan Liau sudah makin dekat, hanja karena terhalang oleh keadaan pegunungan jang luar biasa itu, maka terpaksa mereka mesti menjempitkan kepungan mereka dari kanan dan kiri dan achirnja terpusat mendjadi satu djurusan terus menerdjang madju kedepan. Suara tambur bergemuruh memekak telinga. Saat itu jang terdengar hanja suara tambur perang, suara derap larinja kuda tertjampur suara gemerintjingnja suara pakaian

perang para peradjuritnja dan suara menderunja pandji2 tertiup angin, sebaliknja tak terdengar sama sekali berisiknja suara manusia, dari ini dapat dibajangkan betapa tegas dan keras disiplinnja pasukan Liau jang kuat itu.

Begitulah sebaris demi sebaris pasukan Liau terus mendesak madju kedepan benteng Gan-bun-koan. Sesudah mentjapai djarak kira2 satu panahan, lalu barisan2 itu berhenti. Sepandjang mata memandang, di-mana2 hanja tertampak pandji2 berkibar dan gemilapannja sendjata, entah berapa djumlahnja pasukan Liau jang datang itu.

Melihat keadaan sudah kepepet, Siau Hong merasa tidak dapat tinggal diam lagi. Segera ia berseru lantang: Harap para kawan tunggu sementara ditempatnja masing2 dan djangan sembarangan bergerak, biarlah Tjayhe bitjara sendiri dengan radja Liau. Dan tanpa peduli seruan Toan Ki dan A Tji jang mentjegah maksudnja itu, segera ia memutar kudanja dan dilarikan tjepat kearah pasukan Liau.

Siau Hong angkat kedua tangannja lurus keatas kepala sebagai tanda dia tiada membawa sesuatu sendjata. Lalu ia berteriak sekerasnja: Sri Baginda radja Liau jang mulia, Siau Hong ingin bitjara sedikit dengan engkau, harap engkau sudi tampil kemuka!

Dia bitjara dengan menggunakan tenaga dalam jang kuat, maka suaranja dapat berkumandang hingga djauh. Ratusan ribu peradjurit dan perwira Liau boleh dikata tiada satupun jang tidak mendengarnja dengan djelas. Mau-tak-mau setiap orang Tjidan itu berubah air mukanja.

Selang agak lama, mendadak terdengar suara gemuruh tambur dan terompet ditengah pasukan Liau, beratus ribu peradjurit Liau itu serentak menjiah kepinggir sebagai ombak terbelah kedua sisi. Maka tertampaklah delapan buah pandji kuning emas ber-kibar2 tertiup angin dan dilarikan kedepan oleh delapan orang kesatria penunggang kuda.

Dibelakang kedelapan pandji kuning itu menjusul barisan2 bersendjata tumbak, golok dan kapak, pemanah dan golok-tameng. Sesudah tampil kedepan, lalu barisan2 itu memisah kedua samping. Habis itu barulah tampak belasan djenderal dengan pakaian perang jang mentereng mengiringkan Yalu Hung-ki madju kedepan.

Serentak peradjurit2 Liau bersorak-sorai: Banswe! Banswe! (Banswe = Hidup).Demikian bergemuruhnja suara sorakan itu se-akan2 menggetarkan lembah pegunungan dan memetjah bumi.

Melihat perbawa musuh sedemikian hebat, keruan peradjurit Song jang mendjaga Gan-bun-koan itu mendjadi terpengaruh dan keder.

Waktu Yalu Hung-ki mendadak angkat golok mestika jang dipegangnja itu keatas, seketika suara gemuruh pasukannja lantas berhenti, bahkan suasana mendjadi sunji senjap, ketjuali suara ringkik kuda jang terkadang terdengar, boleh dikata tiada suara lain lagi.

Sesudah Hung-ki menurunkan kembali goloknja, tiba2 ia berseru kepada Siau Hong: Siau-tayong, Siau-hiante jang baik, kau bilang akan membawa pasukan Liau kedalam benteng, mengapa sampai saat ini pintu gerbang belum lagi dibuka?

Mendengar utjapan Yalu Hung-ki ini, segera djuru-bahasa jang berada diatas benteng lantas menterdjemahkan arti utjapan itu kepada Thio-tjiangkun, itu panglima pendjaga Gan-bun-koan.

Keruan pasukan Song diatas benteng itu lantas geger, be-ramai2 mereka mentjatji-maki dan mengutuki Siau Hong.

Siau Hong tahu maksud utjapan Hung-ki itu sengadja hendak mengadu-domba agar dia ditjurigai oleh pasukan Song dan tidak berani membuka pintu gerbang benteng untuk memasukkan pahlawan2 Tionggoan itu.

Segera Siau Hong melompat turun dari kudanja, ia melangkah madju sambil berkata: Baginda, Siau Hong merasa telah mengchianati budi kebaikanmu sehingga Baginda sendiri sampai madju sendiri kemedan perang, sungguh dosaku tak terbilang besarnja.

Baru sekian sadja dia bitjara, se-konjong2 dua sosok bajangan orang melajang lewat dikedua sisinja. Begitu tjepat kedua bajangan itu sebagai kilat, terus sadja mereka menerdjang kearah Yalu Hung-ki. Kiranja mereka adalah Hi-tiok bersama Toan Ki.

Rupanja kedua orang itu melihat gelagat tidak menguntungkan urusan hari ini, harus berani bertindak lebih dahulu dengan menangkap radja Liau sebagai sandera (barang djaminan), dengan demikian barulah keselamatan orang banjak dapat terdjamin. Maka begitu saling memberi tanda, serentak mereka menerdjang madju dari kanan-kiri.

Ketika akan madju kedepan pasukan untuk menemui Siau Hong memangnja Yalu Hung-ki djuga sudah menduga kemungkinan saudara angkat akan menggunakan tipu lama ketika Siau Hong menawan Tjho-ong dan puteranja digaris depan waktu radja muda itu memberontak, maka sebelumnja Hung-ki djuga sudah bersiap siaga.

Benar djuga, sekali ia memberi aba2, serentak tiga ratus peradjurit bertameng lantas merubung madju. Tiga ratus buah tameng laksana dinding badja jang kuat telah mengadang didepan Yalu Hung-ki. Bahkan djago tumbak, djago kapak djuga serentak berbaris didepan barisan tameng itu.

Namun sekarang Hi-tiok bukan Hi-tiok djaman dulu lagi, dia sudah memperoleh adjaran murni dari Thian-san Tong-lo dan Li Djiu-sui, dia telah mejakinkan pula seluruh ilmu silat jang terukir didinding Leng-tjiu-kiong, betapa tinggi kepandaiannja sekarang boleh dikata tiada bandingannja dan dapat dikeluarkan sesuka hatinja menurut keadaan.

Sedangkan Toan Ki sekarang djuga lain Toan Ki jang dulu, dia sudah memperoleh antero tenaga murni Tjiumoti, betapa hebat Lwekangnja djuga susah diukur. Apalagi kalau dia sudah keluarkan langkah adjaib Leng-po-wi-poh, biarpun pendjagaan serapat badja djuga dapat ditembusnja.

Begitulah, maka dengan menjelinap kesana dan menerobos kesitu, dengan tjepat dan gesit sekali Toan Ki telah merangsang madju melalui peradjurit2 bertumbak dan berkapak, asal ada sedikit lubang sadja segera diterobos olehnja.

Para peradjurit Liau itu segera menggunakan sendjata mereka untuk membatjok dan menusuk, tapi perbuatan mereka itu berbalik tjelaka, bukan sadja luput mengenai Toan Ki, sebaliknja karena djarak diantara mereka sendiri terlalu dekat, sehingga hampir seluruhnja serangan mereka mengenai kawannja sendiri.

Adapun Hi-tiok djuga lantas bekerdja dengan tjepat, kedua tangannja menjambar kekanan dan kekiri, asal ada peradjurit Liau kena ditjengkeramnja, kontan terus dilemparkannja keluar barisan. Sambil melempar orang ia terus mendesak madju kearah Yalu Hung-ki.

Mendadak dua perwira Tjidan menerdjang madju, dua tumbak mereka menusuk berbareng kedadanja Hi-tiok. Se-konjong2 Hi-tiok melontjat keatas, kedua kakinja masing2 mengindjak diatas udjung tumbak musuh. Kedua perwira Tjidan itu mem-bentak2 sambil mengajun tumbak mereka dengan maksud hendak

mendjungkirkan Hi-tiok kebawah.

Tapi dengan memindjam daja guntjangan tumbak2 lawan, Hi-tiok terus melajang keatas udara untuk kemudian lantas menjambar keatas kepala Yalu Hung-ki.

Djadi jang satu selitjin belut dan jang lain setjepat burung terbang, tahu2 Toan Ki dan Hi-tiok sudah menerdjang sampai didekat radja Liau itu.

Keruan Hung-ki terkedjut, tjepat ia angkat golok-mestikanja dan membatjok kearah Hi-tiok jang sedang menubruk dari atas.

Tapi dari atas Hi-tiok sudah lantas mengulurkan tangannja dan menahan diatas golok-mestikanja, berbareng orangnja lantas meluntjur turun, dimana tangannja bergerak, dengan tjepat pergelangan tangan kanan Hung-ki sudah kena dipegang olehnja.

Dan pada saat jang hampir sama Toan Ki djuga sudah menjelinap tiba dari rintangan peradjurit2 Liau dan dapat mentjengkeram tangan kiri Hung-ki.

Ikutlah! bentak Toan Ki dan Hi-tiok berbareng. Segera mereka angkat tubuh Hung-ki dari atas kudanja dan melompat kedepan untuk dibawa lari setjepat terbang.

Ditengah djerit kaget dan kuatir perwira dan peradjurit Liau jang riuh ramai itu, seketika mereka mendjadi bingung karena radja mereka sudah kena ditawan musuh. Ada beberapa pengawal pribadi Hung-ki memburu madju hendak menolong, tapi semuanja kena ditendang mentjelat oleh Hi-tiok dan Toan Ki.

Karena berhasil menawan radja Liau, sungguh girang Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan. Mendadak mereka melihat Siau Hong telah memapak tiba, berbareng mereka lantas berseru: Toako!

Tak terduga mendadak Siau Hong menggerakkan kedua telapak tangannja berbareng, sekaligus ia serang kedua saudara angkat itu. Keruan Hi-tiok dan Toan Ki terkedjut, tampaknja daja pukulan Siau Hong sebagai gugur gunung dahsjatnja dan susah dielakkan pula. Terpaksa mereka angkat tangan masing2 untuk menangkis. Maka terdengarlah suara plak-plok dua kali, empat tangan beradu dan menimbulkan angin jang menderu keras.

Kesempatan itu segera digunakan oleh Siau Hong untuk memburu madju, ia tarik Yalu Hung-ki kearahnja.

Dalam pada itu pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan djuga telah membandjir madju dari arahnja masing2, jang satu pihak ingin merebut kembali radja mereka dan pihak lain ingin membantu Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki.

Sudah tentu siapapun tidak menduga bahwa mendadak Siau Hong telah mengadu pukulan dengan kedua saudara-angkatnja. Karena itulah orang2 kedua pihak sama2 tertjengang.

Segera terdengar Siau Hong berseru lantang: Djangan bergerak, siapapun djangan bergerak, dengarkan dulu, aku ingin bitjara dengan radja Liau!

Serentak pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan berhenti di tempatnja masing2, kedua pihak sama2 kuatir membikin susah orangnja sendiri, maka mereka hanja ber-teriak2 sadja dari djauh dan tidak berani menerdjang madju, lebih2 tidak berani melepaskan panah.

Dalam pada itu Hi-tiok dan Toan Ki djuga telah menjingkir kira2 beberapa tindak dibelakangnja Yalu Hung-ki untuk mendjaga kalau2 radja Liau itu lari kembali kedalam pasukannja serta untuk merintangi bila ada djago Tjidan memburu madju hendak menolong radjanja.

Saat itu wadjah Yalu Hung-ki sudah putjat pasi, pikirnja: Watak Siau Hong ini sangat keras, aku telah mengurung dia didalam kerangkeng berterali besi dan menghina dia habis2an. Sekarang aku berbalik tertawan olehnja, tentu dia akan membalas dendam se-puas2-nja dan mungkin djiwaku takkan diampuni lagi olehnja.

Tak tersangka Siau Hong telah berkata: Baginda, kedua orang ini adalah saudara-angkatku, mereka takkan membikin susah padamu, djangan kau kuatir.

Hung-ki mendengus sekali dan tidak mendjawab, ia menoleh memandang sekedjap kepada Hi-tiok, lalu memandang sekedjap pula pada Toan Ki.

Djiteku ini bernama Hi-tiok-tju, adalah madjikan dari Leng-tjiu-kiong, dan Samte ini adalah Toan-kongtju dari keradjaan Tayli, demikian Siau Hong memperkenalkan. Nama2 mereka djuga pernah hamba tjeritakan kepada Sri Baginda.

Ja, ternjata tidak bernama kosong, benar2 sangat hebat! sahut Hung-ki sambil manggut2.

Kami akan segera melepaskan Sri Baginda kembali ke pasukanmu, tjuma kami ingin mohon sesuatu dari Baginda, kata Siau Hong pula.

Hung-ki hampir2 tidak pertjaja kepada telinganja sendiri. Pikirnja: Didunia ini masakah ada urusan sedemikian enaknja? Ah, ja, tahulah aku, mungkin Siau Hong sudah berbalik pikiran dan akan kembali padaku, maka ia akan mohon aku menganugrahi mereka bertiga dengan pangkat jang tinggi.

Maka dengan muka tersenjum simpul ia mendjawab: Kalian ada permohonan apa, sudah tentu aku akan memenuhi dengan baik.

Baginda sekarang telah mendjadi tawanan kedua saudara-angkatku ini, kata Siau Hong. Menurut peraturan bangsa Tjidan kita, untuk bisa bebas Sri Baginda harus memberi tebusan dengan sesuatu.

Seketika Hung-ki mengerut kening. Apa jang kalian kehendaki? tanjanja.

Maafkan kelantjangan hamba jang telah mewakilkan kedua saudara-angkatku untuk bitjara dengan terus terang, jang kami inginkan hanja suatu djandji Baginda sadja, sahut Siau Hong.

Kerut kening Hung-ki semakin rapat. Soal apa? tanjanja pula.

Kami hanja mohon Baginda suka berdjandji akan segera menarik mundur pasukanmu dan untuk selama hidup Sri Baginda akan melarang setiap peradjurit Liau mendekati perbatasan wilajah antara kedua negeri Liau dan Song.

Toan Ki sangat girang mendengar sjarat jang dikemukakan oleh Siau Hong itu.

Pikirnja: Asal pasukan Liau tidak melintasi wilajah perbatasannja dengan Song dan dengan sendirinja djuga tak dapat mengantjam negeri Tayli kami.

Karena itu, tjepat iapun berseru: Ja, betul, asal kau mau berdjandji dan segera kami akan melepaskan kau.

Tapi lantas teringat olehnja bahwa tertawannja radja Liau itu sebagian djuga berkat tenaga sang Djiko dan entah bagaimana pendapatnja tentang sjarat jang dikemukakan Siau Hong itu. Maka ia lantas bertanja kepada Hi-tiok:Djiko, tebusan apa jang kau inginkan dari radja Tjidan ini?

Hi-tiok menggeleng kepala, sahutnja: Akupun mengharapkan djandjinja itu sadja.

Air muka Hung-ki tampak bersengut, katanja: Hm, kalian berani memaksa dan mengantjam diriku? Dan bagaimana kalau aku menolak permintaanmu?

Djika begitu, tiada djalan lain, terpaksa gugur bersama, kata Siau Hong. Dahulu waktu kita mengangkat-saudara kita djuga pernah bersumpah untuk hidup dan mati bersama.

Hung-ki tertegun. Pikirnja: Siau Hong ini adalah seorang nekat jang tidak kenal apa artinja takut. Dia berani berkata dan berani berbuat, apa jang sudah diutjapkan selamanja dipegang teguh. Kalau aku menolak permintaannja, djangan2 dia benar2 menjerang diriku, sungguh tjelaka djika aku mesti binasa ditangan seorang nekat sebagai dia ini.

Karena itulah mendadak ia bergelak tertawa dan berseru dengan lantang: Dengan djiwaku Yalu Hung-ki ini dapat menjelamatkan ber-djuta2 djiwa dari rakjat kedua negara, haha, saudaraku jang baik, apa kau pandang djiwaku sedemikian tinggi nilainja?

Sri Baginda adalah orang jang diagungkan dinegeri Liau, diseluruh djagat ini masakah ada orang lain jang lebih tinggi nilainja daripada Baginda? sahut Siau Hong.

Kembali Hung-ki tertawa, katanja: Djika demikian, dahulu orang Nuchen hanja minta tebusan padaku sebanjak 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda, penilaian mereka sesungguhnja terlalu dangkal, bukan?

Siau Hong membungkuk tubuh kepada kakak-angkat itu dan tidak mendjawab lagi.

Hung-ki tjoba menoleh kebelakang, tertampak djago pengawalnja jang paling dekat djuga lebih dari puluhan meter djauhnja, betapapun pasti susah untuk menolong dirinja. Mengingat djiwanja jang lebih berharga daripada segala benda apapun didunia ini, terpaksa Yalu Hung-ki menerima sjarat jang diadjukan Siau Hong. Segera ia mengeluarkan sebatang anak panah, ia angkat keatas, sekali tekuk, krak, patahlah anak panah itu terus dibuangnja keatas tanah sambil berkata: Kuterima sjaratmu!

Banjak terima kasih, Baginda, kata Siau Hong.

Segera Hung-ki memutar tubuh dan hendak melangkah pergi, tapi tertampak olehnja Hi-tiok dan Toan Ki masih mengawasi dirinja dengan sorot mata ber-api2 dan tiada tanda2 mau memberi djalan padanja. Terpaksa ia menoleh lagi memandang kepada Siau Hong, dilihatnja Siau Hong djuga diam sadja. Maka tahulah Hung-ki apa maksud mereka, terang mereka masih kuatir kalau2 dirinja mengingkar djandji hanja dengan utjapannja tadi.

Hung-ki lantas melolos golok-mestikanja dan diangkat tinggi keatas, lalu serunja keras2: Wahai, dengarkanlah para peradjurit dan perwira Liau!

Serentak terdengar tambur perang ditengah pasukan Liau bergemuruh ditabuh, lalu berhenti seketika.

Kemudian Yalu Hung-ki berseru pula: Sekarang djuga kuperintahkan menghentikan peperangan ini, negeri Song dan Liau adalah negeri bersaudara, maka hari ini djuga pasukan kita lantas ditarik mundur. Untuk selama hidupku ini aku melarang setiap peradjurit Liau melintasi perbatasan. ~ Habis berkata, ketika golok-mestikanja diturunkan, kembali tambur bergemuruh ditabuh lagi.

Dan baru sekarang Siau Hong membuka suara: Dengan hormat silakan Sri Baginda kembali ke pasukan!

Hi-tiok dan Toan Ki segera menjingkir kesamping dan memutar kebelakangnja Siau Hong.

Hung-ki merasa girang tempat berbahaja itu, didepan Siau Hong dan mungkin dan melangkah

dan malu pula. Meski ia ingin lekas2 meninggalkan tapi iapun tidak sudi mempertontonkan kelemahannja pasukan kedua pihak, maka ia berlaku tenang sedapat kembali kepihak pasukannja dengan pelahan2.

Segera berpuluh pengawal pribadinja melarikan kuda mereka memapak madju. Semula langkah Hung-ki masih pelahan, tapi tanpa merasa djalannja makin lama makin tjepat, sehingga achirnja kedua kakinja terasa lemas se-akan2 djatuh, djalannja mendjadi ter-hujung2, kedua tangannja bergemetar dan keringat memenuhi dahinja.

Ketika para pengawalnja sampai didepannja dan membawakan kuda tunggangannja, namun sekudjur badan Hung-ki sudah lemas semua rasanja, biarpun sebelah kakinja sudah mengindjak pelana, tapi tidak kuat mentjemplak keatas kudanja.

Tjepat dua pengawalnja menahan bahunja dan mengangkatnja keatas, dengan demikian barulah Hung-ki dapat naik keatas kudanja.

Melihat radja mereka telah kembali dengan selamat, serentak para peradjurit Liau ber-sorak2 lagi riuh rendah.

Dalam pada itu demi mendengar radja Liau memberi perintah kepada pasukannja untuk mundur dan menjatakan selama hidupnja akan melarang setiap peradjurit Liau melanggar perbatasan kedua negeri, maka baik tentera Song diatas benteng maupun para kesatria diluar benteng djuga serentak bersorak gembira.

Semua orang tjukup kenal sifat orang Tjidan jang kedjam dan suka membunuh, tapi selamanja dapat pegang djandji, apalagi sekarang radja Liau sendiri jang mengumumkan djandjinja didepan pasukan kedua pihak, kalau kelak mengingkar djandji, tentu diapun akan dipandang hina oleh rakjatnja sendiri dan tahta keradjaannja mungkin akan guntjang.

Begitulah dengan wadjah guram Yalu Hung-ki merasa malu benar2 karena telah memberikan djandji sebesar itu dibawah antjaman Siau Hong. Peristiwa ini benar2 sangat menurunkan perbawanja dan memerosotkan pamor keradjaan Liau. Tapi dari suara sorak-sorai sambutan pasukannja dapat dirasakan pula bahwa apa jang sudah terdjadi itu ternjata tidak mengurangi dukungan para peradjurit dan perwiranja kepadanja. Ketika ia memandang para peradjuritnja, tertampak wadjah setiap orang bertjahaja dan ber-seri2.

Rupanja para peradjurit itu demi mendengar pasukan mereka segera akan ditarik mundur sehingga terhindar dari kemungkinan mati dimedan perang dan tidak lama lagi akan dapat berkumpul kembali dengan sanak keluarganja, maka mereka mendjadi kegirangan.

Maklum, sekalipun orang Tjidan gagah berani, tapi siapapun tak dapat mendjamin akan mati-hidup setiap orang dimedan perang. Maka demi mendengar mereka akan terhindar dari bentjana perang, dengan sendirinja mereka sangat senang, terketjuali beberapa perwira diantaranja jang mengimpikan akan mengeduk keuntungan dan naik pangkat dalam peperangan itu.

Diam2 Hung-ki terkesiap: Kiranja semangat peradjurit2ku djuga sudah bosan perang, kalau aku berkeras mengerahkan mereka menjerbu keselatan, bukan mustahil akupun akan menderita kekalahan ~ Lalu teringat pula olehnja: Orang2 Nuchen itu benar2 sangat kurangadjar, mereka selalu merupakan antjaman dibelakang punggungku, maka aku harus menumpas dulu manusia2 biadab itu.

Segera ia mengatjungkan golok-mestikanja keatas dan berseru: Harap Pak-ih Tay-ong memberi perintah, barisan belakang segera berubah mendjadi barisan muka, kita langsung pulang ke Lamkhia!

Serentak genderang berbunji lagi dan meneruskan titah radja itu. Maka terdengarlah suara sorak-sorai gegap gempita jang makin mendjauh dan makin mendjauh.

Ketika Yalu Hung-ki berpaling, ia melihat Siau Hong masih berdiri ditempatnja tanpa bergerak sedikitpun, sorot matanja tampak tjemas.

Hung-ki tertawa dingin dan berseru: Siau-tayong, kau telah berdjasa besar bagi keradjaan Song, terang hadiah besar dan kedudukan tinggi sedang menantikan dirimu dalam waktu singkat.

Sri Baginda, mendadak Siau Hong mendjawab dengan suara keras: Sekali Siau Hong adalah bangsa Tjidan maka untuk selamanja djuga tetap bangsa Tjidan. Hari ini hamba telah memaksakan kehendak atas Baginda sehingga mendjadi seorang Tjidan jang maha berdosa, untuk selandjutnja apakah Siau Hong masih ada muka untuk hidup didunia ini!

Se-konjong2 ia djemput kedua potong panah patah jang dibuang Hung-ki tadi, sekali tenaga dalam dikerahkan, tjrat-tjrat, mendadak ia tikam ulu hati sendiri dengan kedua potong panah patah itu.

Hung-ki mendjerit kaget dan segera memutar kudanja dan dilarikan beberapa tindak, tapi lantas menghentikan kudanja lagi.

Kedjut Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan, berbareng mereka melompat madju sambil berteriak: Toako! Toako!

Namun kedua potong panah patah itu dengan tepat telah menantjap di ulu hati Siau Hong. Kedua mata sang Toako tertampak terpedjam rapat, njata orangnja sudah meninggal.

Tjepat Hi-tiok merobek badju sang Toako dengan maksud hendak memberi pertolongan kilat. Namun luka Siau Hong teramat parah, dengan tepat ulu hatinja tertembus kedua potong panah patah, terang susah untuk dihidupkan lagi. Terlihat diatas dada sang Toako sebuah kepala serigala jang menjeringai bertaring dan sangat buas tampaknja.

Hi-tiok dan Toan Ki menangis sedih dan memberi hormat terachir kepada sang Toako. Be-ramai2 anggota2 Kay-pang djuga berkerumun madju untuk memberi hormat.

Kiau-pangtju, seru Go-tianglo sambil me-mukul2 dadanja sendiri, meski engkau adalah orang Tjidan, tapi djauh lebih gagah dan lebih kesatria daripada orang2 Han jang tak berguna sebagai kami ini!

Para kesatria Tionggoan be-ramai2 djuga mengerumuni pahlawan pembela perdamaian itu dan ramai mempertjakapkannja. Ada jang bertanja: Kiau-pangtju ternjata benar adalah orang Tjidan? Djika demikian mengapa dia malah membela pihak Song kita?

Ja, tampaknja ditengah bangsa Tjidan djuga terdapat kaum kesatria dan pahlawan, demikian kata seorang lain.

Sedjak ketjil dia dibesarkan di-tengah2 bangsa Han kita, sehingga dapat menteladani budi luhur bangsa kita, sambung jang lain lagi.

Kalau kedua negara sudah berdamai dan dia sudah mendjadi djuru penjelamat

rakjat kedua pihak, mestinja dia toh tidak perlu membunuh diri, demikian pendapat jang lain.

Kau tahu apa? udjar kawannja. Meski dia berdjasa bagi keradjaan Song, tapi dia telah dipandang sebagai pengchianat dinegerinja sendiri. Djadi dia membunuh diri karena takut atas dosanja sendiri.

Takut dosa apa? Kesatria besar sebagai Kiau-pangtju masakah perlu merasa takut ? tukas kawannja tadi.

Sebaliknja Yalu Hung-ki mendjadi bingung sendiri demi menjaksikan Siau Hong telah membunuh diri. Pikirnja: Dia sebenarnja berdjasa bagi keradjaan Liau atau berdosa ? Dengan susah pajah dia telah mentjegah aku menjerang wilajah Song, sebenarnja dia berdjoang bagi orang Han atau bagi bangsa Tjidan ? Sedjak dia mengangkat-saudara dengan aku, selamanja dia sangat setia padaku. Hari ini dia telah membunuh diri didepan Gan-bun-koan, tampaknja bukan maksudnja karena kemaruk kepada kedudukan di negeri Song sana, habis .... habis apa sebabnja ?

Maka berderaplah beratus ribu telapak kaki kuda menudju keutara, para perwira Tjidan ber-ulang2 masih menoleh kebelakang untuk memandang tubuh Siau Hong jang menggeletak diatas tanah dan sudah tak bernjawa itu.

Terdengar pula suara berkaoknja burung, serombongan burung belibis sedang terbang dari utara lewat diatas kepala pasukan tentara dan menudju keselatan melintasi benteng Gan-bun-koan.

Makin lama makin mendjauh suara gemuruh derap pasukan Liau itu. Hi-tiok, Toan Ki dan lain2 masih berdiri ter-mangu2 disamping djenazah Siau Hong, ada jang menangis ter-gerung2, ada jang tjuma mentjutjurkan air mata dengan kepala menunduk.

Tiba2 terdengar djerit lengking seorang wanita muda : Minggir ! Minggir! Semuanja minggir! Kalian sudah menjebabkan kematian Tjihuku, tapi masih pura2 menangis apa segala disini, apa gunanja ?

Sambil berkata wanita muda itu sembari men-dorong2 minggir orang banjak jang berkerumun disekitar djenazah Siau Hong. Siapa lagi dia kalau bukan A Tji ?

Hi-tiok dan lain2 sudah tentu tidak pikirkan utjapan anak dara jang sebenarnja menjinggung perasaan itu, maka mereka lantas sama menjingkir memberi djalan kepada A Tji.

Untuk sedjenak A Tji ter-mangu2 memandang djenazah Siau Hong, kemudian ia berkata dengan suara halus: Tjihu, orang2 ini semuanja orang busuk, kau djangan gubris pada mereka, hanja A Tji sadja jang benar2 berlaku baik kepadamu.

Habis berkata ia terus berdjongkok untuk memondong djenazah Siau Hong. Tapi tubuh Siau Hong sangat tinggi dan besar, separo badannja terpondong, tapi kedua kakinja tetap terseret diatas tanah.

A Tji berkata pula: Tjihu, aku tahu sekarang kau baru menurut padaku, biarpun kupondong dirimu djuga, kau tak mendorong pergi aku lagi. Ja, harus beginilah memangnja!

Hi-tiok dan Toan Ki saling pandang sekedjap, pikir mereka: Agaknja dia terlalu berduka sehingga pikirannja berubah kurang waras.

Lalu Toan Ki tjoba menghiburnja dengan suara halus: Adikku, setjara kesatria Siau-toako telah gugur, orang meninggal toh tak dapat hidup kembali, hendaklah kau... kau ...

Tapi A Tji lantas mendorong minggir sambil membentak: Djangan kau merebut Tjihuku, dia adalah milikku, siapapun tidak boleh menjentuhnja!

Toan Ki menoleh dan mengedipi Bok Wan-djing.

Wan-djing paham maksudnja dan segera mendekati A Tji, katanja dengan pelahan: Adik ketjil, Siau-toako telah wafat, marilah kita berunding tjara bagaimana sebaiknja untuk memakamkan dia ....

Tak terduga mendadak A Tji mendjerit tadjam sehingga Bok Wan-djing terkaget dan tersentak mundur.

Pergi! Pergi! Enjahlah semua! demikian seru A Tji. Kaum lelaki bukan manusia

baik, kaum wanitanja djuga bukan orang baik! Kau bermaksud meratjuni Tjihuku, kau suruh dia minum arak sehingga tak bisa berkutik. Hm, djika kau berani mendekat segera akan kubunuh kau lebih dulu.

Keruan Bok Wan-djing mengerut kening dan geleng2 kepala kepada Toan Ki.

Pada saat itulah tiba2 dilereng bukit disisi kiri benteng Gan-bun-koan sana ada suara teriakan orang: A Tji! A Tji! Ha, aku sudah mendengar suaramu! Dimanakah engkau sekarang? Dimana?

Suara itu kedengaran sangat memilukan hati, banjak diantara kesatria Tionggoan itu mengenal suara orang itu, jaitu orang jang pernah mendjadi Pangtju dari Kay-pang dan memakai nama samaran sebagai Ong Sing-thian, aslinja bernama Yu Goan-tji.

Waktu semua orang memandang kearah datangnja suara, maka tertampaklah kedua tangan Goan-tji masing2 memegangi sebatang tongkat bambu, tongkat kiri dipakai sebagai alat pentjari djalan, tongkat kanan sebaliknja menumpang diatas pundak seorang laki2 setengah umur dan sedang muntjul dari kelokan gunung sana.

Hi-tiok dan lain2 mendjadi ter-heran2. Waktu mereka memperhatikan silelaki setengah umur, kiranja dia adalah Oh-lotoa jang ditugaskan mendjaga Leng-tjiu-kiong oleh Hi-tiok.

Wadjah Oh-lotoa tampak kurus putjat, badjunja tjompang-tjamping dan memperlihatkan sikap jang penasaran karena terpaksa.

Maka tahulah Hi-tiok dan lain2. Rupanja Oh-lotoa telah dipaksa oleh Goan-tji jang sudah buta itu agar membawanja pergi mentjari A Tji. Bukan mustahil sepandjang djalan Oh-lotoa telah banjak menderita siksaan Goan-tji.

Untuk apa kau datang kesini? demikian tiba2 A Tji mendamperat dengan gusar. Aku tidak ingin melihat kau, tidak ingin melihat kau lagi!

Sebaliknja Goan-tji mendjadi girang, serunja: Ha, engkau ternjata benar berada disini. Aku dapat mengenali suaramu, achirnja aku dapat menemukan dikau! ~ Dan ketika dia dorong tongkatnja sedikit, tanpa kuasa lagi Oh-lotoa lantas berlari kedepan setjepat terbang.

Tjepat sekali datangnja Goan-tji dan Oh-lotoa itu, hanja dalam sekedjap sadja sudah sampai disamping A Tji.

Hi-tiok, Toan Ki dan lain2 sedang dalam keadaan tak berdaja, demi nampak datangnja Yu Goan-tji, mereka pikir pemuda ini rela mengorbankan kedua bidji matanja untuk A Tji, dengan sendirinja mereka mempunjai hubungan jang sangat baik, maka boleh djadi pemuda buta ini akan dapat menjadarkan A Tji. Sebab itulah Hi-tiok dan lain2 lantas menjingkir beberapa tindak lebih djauh dan tidak ingin mengganggu pertjakapan kedua muda-mudi itu.

Maka terdengar Goan-tji telah menjapa: Nona A Tji, engkau baik2 sadja bukan? Apa ada orang berani membikin susah padamu? ~ Meski selebar mukanja sudah rusak, tapi dari nada utjapannja itu terang sekali dia merasa sangat girang dan penuh perhatiannja kepada sianak dara.

Aku telah dibikin susah oleh orang lain, apa jang hendak kau lakukan? sahut A Tji. Siapakah dia? tjepat Goan-tji menegas. Lekas nona katakan padaku, biar aku akan menghadjarnja sampai mampus!

A Tji tertawa dingin, katanja sambil menundjuk para hadirin jang berada disekitarnja: Itulah, mereka semuanja telah membikin susah padaku, sekaligus boleh kau membunuh habis mereka!

Baik, sahut Goan-tji. Lalu ia bertanja kepada Oh-lo-toa: Hei, lau-Oh (Oh si tua), orang2 matjam apakah jang telah berani membikin susah kepada nona A Tji itu?

Wah, banjak sekali djumlahnja, engkau tak sanggup membunuh mereka, sahut Oh-lotoa.

Biarpun tak dapat djuga akan kulakukan, kata Goan-tji. Habis, siapa suruh mereka berani main gila kepada nona A Tji?

Tiba2 A Tji berkata lagi dengan gusar: Sekarang aku sudah berada bersama dengan Tjihu, untuk selandjutnja kami takkan berpisah lagi selamanja. Nah, lekas enjahlah kau, aku tak ingin melihat kau pula.

Sungguh sedih Goan-tji bukan buatan, katanja: Dja... djadi engkau tak... takkan menemui aku lagi.... ?

Ja, ja, tahulah aku, bidji mataku ini adalah pemberianmu, seru A Tji dengan suara keras. Tjihu mengatakan aku telah utang budi kepadamu, maka aku diharuskan melajani kau dengan baik. Tapi aku djusteru tidak suka.

Habis berkata, mendadak tangan-kanannja terus mentjongkel kedalam matanja sendiri, terus dikorek keluar bidji matanja, lalu dilemparkannja kepada Goan-tji sambil berteriak: Ini, kukembalikan padamu! Sedjak kini aku tidak utang apa2 lagi padamu dan Tjihu tak dapat memaksa aku mengikuti kau pula.

Meski kedua mata Goan-tji sudah buta, tapi demi didengarnja djerit kaget orang2 jang berada disekitarnja, suaranja penuh rasa kuatir dan ngeri, maka tahu djuga dia apa jang telah terdjadi. Dengan suara parau ia berteriak: O, nona A Tji, nona A Tji!

Tapi begitu bidji mata sendiri sudah dikorek keluar, segera A Tji memondong djenazah Siau Hong dan melangkah kedepan sambil berkata dengan suara halus mesra: Tjihu, sekarang kita tidak utang apa2 lagi kepada siapapun. Dahulu aku telah melukai kau dengan djarum berbisa, tudjuanku jalah ingin engkau selalu berdampingan dengan aku. Dan sekarang barulah tjita2ku itu terkabul. ~ Sambil bitjara ia terus melangkah semakin djauh kedepan dengan memondong djenazah Siau Hong.

Melihat darah bertjutjuran dari tjekung matanja A Tji hingga membasahi mukanja jang putih tjantik itu, hati semua orang merasa ngeri dan kasihan pula. Maka ketika melihat anak dara itu berdjalan mendekat semua orang lantas menjingkir kesamping.

A Tji berdjalan lurus kedepan dan pelahan2 sampai ditepi djurang.

Semua orang mendjadi kuatir dan segera ber-teriak2: Berhenti! Awas, didepan adalah djurang jang tjuram!

Bahkan Toan Ki djuga terus memburu madju sambil berseru: Awas adikku, djang ... ~ Namun sudah terlambat, A Tji masih melangkah lurus kedepan, mendadak kakinja mengindjak tempat kosong dan terdjerumuslah anak dara itu bersama djenazah Siau Hong kedalam djurang jang tak terkirakan dalamnja itu.

Tepat pada saat itu Toan Ki djuga telah memburu sampai ditepi djurang tjepat ia ulur tangannja untuk mendjambret, tapi jang kena hanja setjabik kain badju adik perempuannja itu dan orangnja tetap terdjerumus kebawah.

Waktu Toan Ki melongok kedalam djurang, jang tertampak hanja awan belaka jang menutup rapat dipermukaan djurang sehingga tidak diketahui betapa dalamnja djurang itu, bajangan A Tji dan Siau Hong dengan sendirinja tak terlihat sedikitpun.

Para kesatria jang berdiri ditepi djurang semuanja ikut menghela napas gegetun, lebih2 jang berilmu silat agak rendahan mendjadi ngeri membajangkan betapa dalam dan terdjalnja djurang.

Hian-to dan beberapa kawannja jang berusia lebih landjut, mengetahui tjerita tentang dahulu Hian-tju, Ong-pangtju dan lain2 pernah menjergap djago2 Tjidan diluar Gan-bun-koan dan ibunja Siau Hong djusteru terkubur didasar djurang itu. Tak terduga bahwa beberapa puluh tahun kemudian Siau Hong dan A Tji djuga terkubur pula didalam djurang itu.

Pada saat lain tiba2 terdengar suara genderang berbunji diatas benteng, perwira jang menjampaikan perintah komandannja tadi sedang berseru pula kepada para kesatria: Atas perintah Thio-tjiangkun, panglima militer benteng Gan-bun-koan, bahwasanja kalian ternjata bukan mata2 musuh dari negeri Liau, maka kalian dapat diidjinkan masuk benteng, tapi kalian harus taat kepada undang2 dan berlaku sopan-santun, dilarang membikin rusuh dan mengatjaukan suasana tenteram, hendaklah kalian maklum.

Tapi para kesatria diluar benteng serentak mendjawab dengan mentjatji-maki, ada jang berteriak: Persetan dengan perintah panglimamu itu, biarpun mati djuga kami tidak sudi masuk kedalam benteng jang didjaga pembesar andjing matjam kalian itu!

Tjoba kalau pembesar andjing itu tidak bersikap plintat-plintut, tentu djuga Siau-tayhiap takkan tewas seperti sekarang ini! demikian ditambahkan seorang kesatria lain.

Begitulah be-ramai2 para kesatria mentjatji-maki sambil menuding perwira diatas benteng itu. Sedangkan Hi-tiok dan Toan Ki telah berlutut dan memberi hormat kearah djurang, lalu pergilah mereka dengan mendaki gunung dan melintasi bukit tanpa menghiraukan siperwira jang mentjak2 diatas benteng karena ditjatji-maki oleh para kesatria itu.

Apa jang terdjadi diluar Gan-bun-koan ini lantas digunakan baik oleh panglima pendjaga benteng itu untuk membuat laporan kilat ke kotaradja, katanja dia telah memimpin sendiri pasukannja dan bertempur mati2an selama beberapa hari menghadapi pasukan Liau jang berdjumlah ratusan ribu orang, berkat lindungan Thian dan Sri Baginda serta semangat tempur para peradjurit, perwira dan bintara, achirnja berhasil membinasakan Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang bernama Siau Hong dan radja Liau Yalu Hung-ki kemudian mengundurkan diri dengan kekalahan habis2an.

Radja Song sangat girang mendapat laporan itu, segera ia mengirimkan firman jang memberi penghargaan se-tinggi2nja kepada para peradjurit, perwira dan bintara, pangkat mereka seluruhnja dinaikkan setingkat disertai hadiah2 jang besar. Para pembesar dipemerintah pusat djuga tidak ketinggalan untuk merajakan kemenangan itu setjara besar2an.

Sementara itu Toan Ki telah ambil perpisahan dengan Hi-tiok ditengah djalan, bersama Bok Wan-djing, Tjiong Ling, Hoan Hwa, Pah Thian-sik dan lain2, mereka lantas pulang ke Tayli.

Setiba didalam wilajah negeri Tayli, djauh2 tjalon permaisuri Ong Giok-yan dan para pembesar sudah menantikan dan menjambut mereka. Ketika Toan Ki bertjerita tentang Siau Hong dan A Tji, Giok-yan mendjadi terharu dan menangis, semua orangpun ikut berduka.

Rombongan mereka terus menudju keselatan, karena Toan Ki tidak ingin membikin kaget kepada penduduk setempat maka rombongannja tidak mengenakan pakaian kebesaran, tapi tetap menjamar sebagai kaum saudagar dan orang pelantjongan.

Sepandjang djalan tiada terdjadi apa2, achirnja sampailah mereka diluar kota-radja Tayli. Toan Ki ingin pergi ke Thian-liong-si lebih dulu untuk menjampaikan sembah bakti kepada Koh-eng Taysu dan paman bagindanja, Toan Tjing-bing.

Tatkala itu sudah mendjelang magrib, hari sudah mulai gelap. Ketika lalu disebuah hutan didekat Thian-liong-si, tiba2 ditengah hutan itu terdengar suara teriakan seorang anak ketjil: Sri Baginda, Paduka Jang Mulia, nah, aku sudah menjembah padamu, mengapa aku tidak diberi permen?

Toan Ki dan lain2 mendjadi ter-heran2. Mengapa ditempat ini, bahkan seorang anak ketjil dapat mengenali penjamarannja.

Tanpa merasa rombongan mereka lantas membelok kedalam hutan itu untuk melihat siapakah sebenarnja anak ketjil itu. Tapi mendadak terdengar pula seorang sedang berkata: Kalian harus berseru: Dirgahajulah! Semoga Sri Baginda hidup bahagia dan pandjang umur! Habis itu barulah akan kuberi permen.

Suara orang itu terdengar sudah sangat dikenal mereka. Itulah Bujung Hok adanja.

Toan Ki dan Giok-yan terkedjut, tjepat kedua orang bergandeng tangan dan bersembunji dibalik pohon sambil memandang kearah datangnja suara itu. Maka tertampaklah Bujung Hok sedang duduk diatas sebuah kuburan, kepalanja memakai kopiah radja buatan dari kertas dan sikapnja dibikin keren.

Didepannja ada tudjuh atau delapan orang anak kampung sedang berlutut dan be-ramai2 lagi mengutjapkan: Dirgahaju! Sri Baginda bahagia, pandjang umur!

Sambil ber-teriak2 tak keruan menirukan apa jang diadjarkan Bujung Hok tadi sambil tiada hentinja menjembah, malahan sudah ada jang mendjulurkan tangannja sambil berkata: Mana permennja? Mana permennja?

Terdengar Bujung Hok telah mendjawab: Para pengabdiku, silakan bangun. Sekarang keradjaan Yan kita sudah kubangkitkan kembali dan aku sudah naik tahta, dengan sendirinja para pengabdiku akan mendapat gandjaran jang setimpal menurut djasa masing2.

Lalu ia merogoh keluar segenggam permen dan di-bagi2kan kepada anak2 ketjil tadi.

Anak2 itu ber-djingkrak2 kegirangan sambil berlari pergi, semuanja ber-teriak2: Besok kita akan datang minta permen lagi!

Maka tahulah Giok-yan bahwa pikiran sang Piauko sudah tidak waras lagi karena gila hormat dan mengimpikan mendjadi kaisar, tapi tak terkabul. Sungguh hati Giok-yan tak terkatakan dukanja.

Pelahan2 Toan Ki menarik tangan sang kekasih, ia memberi isjarat tangan dan

semua orang lantas mundur keluar hutan setjara diam2.

Bujung Hok terlihat masih duduk diatas kuburan tadi dan mulutnja tampak berkomat-kamit tak ber-henti2 entah sedang mengotjeh apa ..........

Tamat

Anda mungkin juga menyukai