com/>
Bagaimanapun juga si naga sakti atau locianpwee yang tempo hari pernah
ditemuinya di taman belakang toko buku itu tidak berbohong kepadanya
ketika mengunakan istilah „kami‟. Yaa, Bagaimanapun saktinya locianpwee
itu, tidak mungkin ia memiliki ilmu memecah diri.
Puas dengan analisanya, Tan Leng-ko menutup buku jurnal kerja yang
dipegangnya. Tanpa ia sadari, tangannya berhenti bergerak ketika matanya
membaca sesuatu yang sempat membuat mulutnya mengeluarkan suara tawa kecil.
Pedang orang itu bagaikan seekor ular beracun yang keluar dari liangnya
langsung mematuk, menusuk ke dada Tan Leng-ko. Belum cahaya pedang yang
berkelebat tiba, Tan Leng-ko dapat merasakan hawa dingin yang sangat
tajam menyayat tubuhnya.
Tentu saja serangan mematikan itu membuat Tan Leng-ko terkejut, cepat ia
menimpuk buku jurnal yang dipegangnya menyambut tusukkan pedang itu.
Dalam sekejap buku kerja itu hancur berkeping-keping terkena hawa
pedang. Tapi bukan lemparannya tidak berguna, sesaat hawa pedang
tersebut melemah, memberi kesempatan yang cukup bagi Tan Leng-ko untuk
menjatuhkan diri berguling kesamping.
Sebelum Tan Leng-ko menempatkan diri di posisi yang lebih baik, kembali
pedang orang itu berputar mengikuti gerak badannya. Ujung pedang lawan
yang sangat tipis lagi tajam mengancam bit-kian-hiat, hiat-to mematikan
di depan dada Tan Leng-ko. Serangan lawan selain cepat juga ganas sekali
sehingga tiada tempo bagi Tan Leng-ko untuk menangkis mempertahankan
diri. Melihat ujung pedang lawan mengancam dirinya, dengan sigap Tan
Leng-ko menekuk pinggangnya ke belakang sehingga badannya seperti papan
yang menggantung ditopang dengan kuda-kuda kakinya.
“Taak…!”
Serangan dahsyat yang disertai hawa pedang itu , dengan telak menghantam
patung Buddha yang berada di belakangnya. Orang berkedok hitam itu
terdengar seperti mendengus, ia menggerakkan pergelangan tangannya
memacul ke bawah. Hati Tan Leng-ko berdesir, ia cukup memahami tidak
akan pernah ada jurus pedang semacam itu. Gerakkan memacul seperti itu
merupakan gerakkan pedang tanpa jurus yang lebih banyak didasari
„bergerak sesuai dengan keadaan‟!
Terdengar suara siulan nyaring ketika Tan Leng-ko meraih senjatanya yang
melayang di udara sambil memutar tubuhnya menghantam goloknya ke batang
pedang lawan dengan pengerahan tenaga sakti sedapatnya.
“Trang!”
Beradunya tenaga sakti, golok dan pedang membuat orang berkedok hitam
itu terhuyung mundur sedangkan tubuh Tan Leng-ko mental menuju sudut
langit kamar. Tan Leng-ko mengatur tubuhnya yang terapung, kedua kakinya
menjejak pada sudut langit kamar, dengan tenaga tolakan ini tubuhnya
berganti arah meluncur balik. Cahaya golok meluncur keluar dengan
kecepatan luar biasa menebas ke depan. Segulung hawa dingin yang membeku
berupa selapis kabut cahaya golok menerjang ke arah lawannya.
Serangan Tan Leng-ko selain tepat juga lebih ganas, diam diam lawannya
merasa terperanjat ketika ia rasakan aliran darahnya serasa membeku,
tubuhnya menggigil kedinginan. Sukar baginya untuk mempertahankan diri,
sambil membentak dan mengerahkan tenaga sakti, cepat ia meloncat
menghindar. Sekalipun serangan golok yang dilancarkan Tan Leng-ko tidak
menemui sasaran, namun sudah cukup menggetarkan musuhnya yang amat
tangguh. Ternyata ronce hitam di sarung pedang orang berkedok itu sudah
terpapas putus!
Terdengar dua kali suara dentingan nyaring, golok dan pedang sudah
saling bersimpangan. Didalam bentrokkan pertama, kedua belah pihak sama
sama bertarung seimbang. Dibentrokkan berikutnya, orang berkedok hitam
itu nampak terhuyung tidak tahan menahan bacokan golok Tan Leng-ko yang
disertai pengerahan tenaga sakti penuh.
Diruang kerja Khu Pek Sim yang tidak terlampau luas dalam waktu singkat
berubah menjadi sebuah ajang pertempuran yang amat seru. Cahaya golok
dan bayangan pedang sudah menyelimuti seluruh tubuh kedua orang itu yang
bertarung diruang sempit sehingga orang lain sulit untuk menyaksikan
jurus jurus serangan yang dipergunakan kedua orang itu dan langkah tubuh
yang mereka gunakan. Orang berkedok itu tidak ingin menderita kerugian,
ia menggunakan kelincahan tubuh dan keanehan jurus pedangnya untuk
menyerang Tan Leng-ko. Tusukkan pedangnya yang disertai hawa dingin yang
menyayat bergulung menyerang Tan Leng-ko bagaikan amukkan hempasan ombak
yang saling menyusul tiada habisnya.
Ditengah seribu kerepotan, tiba-tiba Tan Leng-ko menemukan satu hal yang
membuatnya kegirangan. Tubuhnya dirasakan jauh lebih ringan, ayunan
goloknya membawa hawa dingin menusuk tulang yang mempengaruhi gerak
tubuh lawannya. Tangan kirinya yang melakukan totokkan dan cengkraman
mengandung hawa panas yang menghanguskan. Ia paham entah kenapa hawa
liar Hek Pek Coa ditubuhnya, telah berhasil melebur dengan Hek Yang Pek
Im Sinkangnya. Menyadari kemampuan tenaga saktinya diatas kemampuan
lawan, Tan Leng-ko mengubah siasat dengan menerkam lawan sambil
mengerahkan tenaga penuh mengadu senjata.
“Trangg!”
Kembali terdengar dentingan pedang beradu golok yang memekakkan. Tan
Leng-ko menyeringai kesakitan ketika beberapa bunga api memercik
mengenai punggung tangannya. Tapi dalam bentrokkan kali ini, si kedok
hitam tak mampu menahan getaran tenaga sakti yang terpancar dari golok
Tan Leng-ko. Pergelangan tangannya menjadi kaku dan linu walau ia sudah
mempergunakan segenap kekuatan yang dimilikinya. Pedangnya terlepas dari
genggaman dan mencelat ke udara. Tubuhnya cepat membalik, melenting ke
pintu, jelas sekali ia berniat untuk kabur.
Mendadak terdengar jeritan kaget dari pintu keluar. Terkesiap darah Tan
Leng-ko ketika melihat kemunculan Giok Si disaat yang tidak
menguntungkan. Orang berkedok hitam segera memanfaatkan situasi,
tubuhnya berkelebat ke belakang tubuh Giok Si, jari tangan kanannya
mengancam hiat-to mematikan di pelipis gadis malang itu yang tentu saja
menjadi ketakutan.
“Tentu saja kau akan membiarkan kupergi dari sini” ujar orang itu dengan
lembut setelah mengatur napasnya yang serabutan.
“Kalau kuboleh tahu, kenapa aku tidak akan membunuhnya?” tanya orang itu
dengan nada halus.
Melihat sikap orang itu yang melunak, Tan Leng Ko ikut melunakkan
sikapnya dan dengan lembut menjawab:
“Karena kau datang berniat untuk membunuhku, bukan dia”
Orang berkedok hitam itu terlihat mengangguk sambil berdiam diri. Tapi
tangannya tidak tinggal diam, tangan kirinya terlihat mencekeram leher
Giok Si dengan kuat.
Telinga gadis itu yang belum sembuh kembali mengeluarkan darah segar,
tenggorokkannya mengeluarkan suara tercekik.
“Krokk…krok!”
Orang berkedok hitam itu seperti menghela napas, ucapnya dengan tawar:
“Ada yang pernah bilang jalan pikiranku sangat ruwet, tak nyana kau
dapat menerkanya dengan tepat”
Tangan orang itu menggeser dari tenggorkan Giok Si, perlahan menyisir
rambut gadis malang itu yang basah menggumpal lengket terkena darah yang
mengucur tidak berhenti. Dengan nada gegetun, orang berkedok hitam itu
berkata:
“Konon perempuan termasuk kaum yang lemah. Apalagi perempuan yang sudah
terluka dan melemah kekurangan darah”
Diam diam hati Tan Leng Ko tersirap. Bukan karena ucapannya, tapi cara
nada ucapannya. Hanya orang berbahaya yang dapat berkata dengan cara
demikian. Menggunakan nada halus dan simpatik, yang membuat dirinya
sukar membantah ucapannya. Dan yang membuat perasaan Tan Leng Ko benar
benar terkejut, dia tidak dapat menyelami isi hati orang itu!
Orang itu benar benar tulus ketika memuji, benar benar memelas ketika
gegetun. Meninggalkan kesan, orang itu menyukai hal yang baik dan
membenci hal yang buruk. Tapi apa yang ia kerjakan sejauh ini
bertentangan dengan nilai tersebut. Benar benar seorang lawan yang
berbahaya!
Dengan nada terkejut orang itu bertanya kepada Tan Leng Ko:
“Benarkah ucapannya?”
“Benar!” tegas Tan Leng Ko.
Yang ditatap tidak tega, tapi sebelum Tan Leng Ko mengucapkan sesuatu,
dengan gerakkan perlahan seperti takut melukai, orang berkedok hitam itu
menolehkan kepala Giok Si kearahnya. Dengan lembut ia menghapus air mata
yang menetes itu, ujarnya dengan halus:
“Satu hal kau salah. Jawabannya barusan yang tegas dan menyakitkan
hatimu sebenarnya bertujuan untuk mengelabuiku. Jika dia tidak
mempedulikan nasibmu, tentu dia telah menyerangku semenjak tadi. Dia
tidak menyerang karena sangat memperhatikan nasibmu.”
Berubah hebat wajah Tan Leng Ko. Lawannya kali ini benar benar musuh
yang paling menakutkan yang pernah ia jumpai seumur hidupnya.
Orang berkedok hitam itu menatap Tan Leng Ko cukup lama, sebelum berkata:
“Kau akan membunuh diri?”
“Yaa! Aku akan membunuh diri”
Dengan cepat orang berkedok hitam menggerakkan jari tangan menutuk urat
gagu mencegah Giok Si untuk menyelesaikan ucapannya.
“Ssstt! Ketika lelaki sejati sedang berbicara, seharusnya perempuan
tidak ikut membuka mulut” ujar halus orang itu sambil meletakkan
telunjuknya dibibir Giok Si.
Cepat orang itu menarik tangannya ketika melihat Giok Si berusaha
menggigit. Sambil melirik ke jari tangannya, tiba-tiba orang itu berujar
sambil tersenyum:
“melihat bentuknya yang panjang dan lunak, nampaknya kau gemar untuk
memasukkannya ke dalam mulut”
Tan Leng-ko tidak tega melihat perubahan wajah Giok Si yang hatinya
seperti tertusuk belati tajam. Tapi sebelum ia mengatakan sesuatu orang
berkedok hitam itu mengalihkan perhatian kepadanya:
“Kutahu kau akan melakukannya. Kuyakin seorang lelaki sejati tidak
mungkin membiarkan seorang perempuan terancam tanpa melindunginya. Walau
terlihat bodoh, seorang lelaki sejati akan tetap melakukan apa yang
harus dia lakukan. Seorang lelaki…”
“Sebelum kumati, maukah kau lakukan satu hal untukku” potong Tan Leng Ko
tiba-tiba.
“Jika dapat kulakukan, tentu akan kulakukan” ujar orang itu dengan simpatik.
“Maukah kau tutup mulut! Ceramahmu tentang lelaki sejati membuat perutku
mual”
Tan Leng-ko menarik napas panjang, tidak ada kata kata lagi yang ia
dapat ucapkan. Matanya beradu pandang dengan Giok Si yang menatapnya
dengan pandangan yang ia sukar jelaskan. Tan Leng-ko merasa sedih, tapi
ia tidak mempunyai jalan lain kecuali mengandalkan kepandaiannya. Tiba
tiba teringat olehnya jurus ke tiga belas Ouw Yang Ci To yang baru
beberapa hari dilatihnya. Jurus yang paling sukar yang pernah dilatihnya
dan sebenarnya belum ia kuasai penuh. Jurus yang ketika dilancarkan
bagaikan gulungan cahaya perak yang melesat pesat seperti petir
menyambar, jurus golok terbang!
“Lagi lagi aku harus melanggar janji” keluh sedih Tan Leng-ko dalam
hati. Ia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak menggunakan Ouw Yang
Ci To…janji yang sudah beberapa kali ia langgar. Dia lebih suka mati
konyol ketimbang melanggar janji, tapi dia tidak dapat membiarkan Giok
Si tewas ditangan orang berkedok hitam ini. Satu kali ia berbuat salah
pada gadis itu, ia rasakan sudah terlampau banyak.
Udara dingin semakin membeku, orang berkedok itu diam diam terkejut
merasakan gulungan hawa kematian yang semakin menebal yang timbul dari
golok Tan Leng-ko.
“Atau kita tidak usah mati bersama, jika..” ucapannya terputus.
Ia dapat merasakan keadaan Tan Leng-ko seperti anak panah yang ditarik
kencang dibusurnya. Setiap saat dapat menyerang dengan kecepatan dan
kekuatan yang luar biasa dahsyatnya sehingga ia tidak berani sembarangan
bergerak. Sedikit ototnya mengejang percuma, ia dapat menemui ajalnya.
Orang berkedok itu diam diam menarik napas lega. Udara beku yang
menyesakkan ia rasakan menyurut, berkurang banyak.
Ia dapat merasakan Tan Leng-ko telah mengendurkan saluran tenaga saktinya.
“Jika kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur” jawabnya.
Kening Tan Leng-ko berkerut,
“Apa yang hendak kau tanyakan?” tanyanya heran.
“Dua titik di punggung tanganmu, apakah kau baru baru ini digigit seekor
ular?”
Melihat darah kental kembali merembes ke rambut Giok Si, Tan Leng-ko
menghela napas:
“Di dekat sebuah goa di atas bukit belakang” Tan Leng-ko menjawab sekenanya.
“Apakah racun ular itu yang menyebabkan tubuhmu belang dua warna?”
“Yaa, kurasa demikian. Aku sendiri kurang tahu dengan jelas”
Sepasang mata yang licik dari balik kedok hitam itu, menatap tajam Tan
Leng-ko seperti mengukur kebenaran ucapannya. Tiba tiba ia mengeluarkan
pertanyaan yang aneh:
“Kau tidak sendirian. Sebenarnya, aku pun juga sedang keheranan”
“Apa yang kau herankan” tanya Tan Leng-ko heran.
“Kenapa sedari tadi kau tidak pernah bertanya siapakah aku,kenapa hendak
membunuhmu, kenapa aku bertanya macam macam padamu?”
Kali ini Tan Leng-ko tidak menjawab, matanya menggeridip seperti banyak
yang ia pikirkan. Cukup lama keduanya terdiam.
“Sebenarnya ilmu apakah yang ditanya orang itu?” tanya Giok Si memecah
keheningan.
Air mata kembali menggenang di kelopak mata Giok Si. Dengan bibir
gemetar dia berkata:
“Saat ini, kau adalah satu satunya yang kuandalkan. Jika kau mati
terbunuh, aku…”
Giok Si tidak dapat menahan dirinya lagi, ia menubruk tubuh Tan Leng-ko
dan kembali menangis. Tan Leng-ko menghela napas, sekali lagi ia
membiarkan Giok Si menangis di dadanya.
“Orang itu tak akan mampu membunuhku” hiburnya.
Sekali lagi dua benda kenyal menekan dada Tan Leng-ko dan mengacaukan
pikirannya. Kembali ia mengalihkan perhatiannya ke ruang kerja Khu Pek
Sim yang berantakkan seperti kapal pecah. Diam diam ia mengeluh
menyaksikan buku jurnal kerja yang hancur berkeping-keping terkena hawa
pedang. Ketika matanya menerawang ke patung Mik Lik Bud, hatinya
bergidik melihat sebuah goresan menggaris miring di bagian dada sebelah
kiri, di sekitar jantung.
Walau goresan itu tipis sekali, Tan Leng-ko mengerti tentu dalam sekali.
Untung patung Mik Lik Bud itu terbuat dari kayu sehingga masih dapat
tersenyum penuh dengan kedamaian.
ooo0000ooo
PAGI HARI CAKRAWALA CERAH.
Langit terlihat terang membiru bersih dari awan, angin lembut bertiup.
Di pagi hari yang cerah, udara yang biasanya dingin, tidak biasanya
malah terasa sejuk menyegarkan. Anehnya, perasaan hati Tan Leng Ko
justru sedang gundah. Ia sedang menunggu di luar pintu gerbang, menunggu
Giok Si berganti pakaian. Entah kenapa, perempuan acap kali memerlukan
tempo yang cukup lama untuk mengganti pakaian. Mungkin sama lamanya
dengan lelaki ketika menggunakan kamar mandi terutama di pagi hari.
Entah apa ada kegiatan lain yang mereka lakukan. Atau apa masing masing
mempunyai kesibukan pribadi yang bersifat sebaiknya orang lain tidak
perlu tahu apa yang sebenarnya mereka kerjakan?
Tan Leng-ko sedang menunggu sambil merenung. Berapa hari belakangan ini,
boleh dibilang nasibnya lagi tidak mujur. Bukan saja seorang berkedok
hitam berusaha membunuhnya, malah hampir berhasil mengajak mati bersama
jika ia meneruskan niatnya membunuh Giok Si.
Ia tidak tahu siapa dan mengapa orang berkedok itu hendak membunuhnya.
Yang ia tahu orang berkedok hitam itu jelas bukan Pek Kian Si. Ronce di
sarung pedang Pek Kian Si sudah dicuri Giok Hui Yan, kalau toh sudah
diganti, Tan Leng Ko tidak yakin diganti dengan warna hitam. Lagipula
jurus pedang Pek Kian Si berbeda dengan serangan orang berkedok hitam
itu. Jurus orang berkedok itu lebih ganas, telengas dan hawa pedangnya
sudah mencapai dua jengkal tangan.
Siapa sebenarnya orang berkedok hitam itu? Dan kenapa ia mengenal dan
mencari Hek Pek Coa? Kenapa ia dapat memastikan ia pernah mempelajari
Hek Im Pek Yang Sinkang?
Tiba-tiba dahi Tan Leng Ko berkerut. Hanya dua cara untuk menjawab
pertanyaan pertanyaan ini. Pertama, orang berkedok hitam itu berhubungan
dengan locianpwee sakti itu. Tan Leng-ko menggeleng,
“Kemungkinan yang tidak terlalu mungkin” gumamnya.
Jika kelompok pencuri sakti itu hendak membunuhnya, cukup dengan satu
jurus tentu akan berhasil dan tidak perlu mengenakan kedok segala.
Tiba-tiba darah Tan Leng-ko berdesir. Hanya tersisa satu penjelasan yang
masuk akal, tidak kecil kemungkinan orang itu mempunyai hubungan dengan
Ngo Tok Kauw!
Hanya locianpwee sakti dan tentunya orang Ngo Tok Kauw yang dapat
mengenali ilmu Hek Im Pek Yang Sinkang. Bahkan Giok Hui Yan dapat
mengenali Hek Pek Coa, jelas tidak mengenal ilmu tersebut.
Yang Tan Leng Ko tidak habis pikir, bukankah Ngo Tok Kauw sudah habis
terbantai oleh Mi Tiong Bun? Jika ternyata masih bersisa, lalu untuk apa
berusaha membunuh dirinya yang tidak mempunyai perhitungan budi dan
dendam dengan mereka? apa karena kebetulan ia mengenal dan berhubungan
cukup dekat dengan putri ketua Mi Tiong Bun?
Diam-diam Tan Leng Ko mengeluh dalam hati. Tugasnya di Lok yang Piaukiok
adalah mengajar para piasu, bukan mengisi teka teki yang saling
menyilang. Pusing kepala Tan Leng Ko memikirkan hal ini, yang juga
membuatnya puyeng kepalanya, Lo Tong yang sedang ditunggu-tunggunya
ternyata tidak pulang! Sebenarnya hal ini memang masih dalam
perhitungannya, yang diluar dugaannya adalah perilaku Giok Si yang
memberatkan hatinya.
Malah dengan manja ia meminta Tan Leng Ko untuk menemani dirinya mencari
locianpwee sakti yang pernah menolongnya di goa bukit belakang sana.
Ketika ditanya untuk apa, Giok Si menjawab sudah berkali kali ia menjadi
korban penganiayaan, ia ingin meminta kepada locianpwee sakti itu agar
mengajarinya kepandaian membela diri.
“Lagipula kau memiliki kepandaian tinggi, sedikitnya aku harus menguasai
semacam kepandaian” kata Giok Si sambil tertawa jengah.
“Aku dapat mengajarimu” kata Tan Leng Ko yang tidak paham arti ucapan
Giok Si yang bermakna ganda.
Giok Si menolak secara halus, sambil menggeleng ia berkata:
“Seorang wanita tidak boleh terlalu tergantung kepada seorang lelaki.
Sudah banyak hal yang kau lakukan untukku. Aku harus mempunyai kemampuan
untuk berusaha sendiri”
“Bagaimana caramu untuk membujuknya untuk mengajarimu?” tanya Tan Leng
Ko akhirnya tertarik ingin tahu.
“Jika dia seorang lelaki, tentu ada akalku untuk membujuknya”
Melihat tekad bulat Giok Si, Tan Lengko hanya dapat mengangkat bahu:
“Sudahlah, kau ganti pakaianmu dengan yang lebih ringkas. Kuantar kau ke
gua di bukit belakang”
Tenggelam hati Tan Leng Ko, cepat ia menelan ucapannya yang belum
selesai. Apa yang mesti ia perbuat pada perempuan ini? Ia tidak dapat
menyalahkan sikap wanita ini kepadanya. Giok Si kehilangan banyak boleh
dibilang gara gara dirinya. Balutan di tangan wanita ini masih bernoda
merah, rambut yang tergerai menutupi telinganya masih terlihat darah
kering, salahkah ia jika mengagumi pria yang membela dan siap mati
baginya? Tapi mungkinkah seorang wanita jatuh cinta dalam sekejap pada
pria yang baru saja dikenalnya? Tan Leng-ko tidak dapat menjawab.
Pengetahuannya mengenai kaum wanita memang tidak terlampau banyak.
“Maukah kau melupakan pembicaraan hal seperti ini?” pinta Tan Leng Ko
akhirnya.
“Hal apa? aku sudah tidak ingat” kata Giok Si sambil memaksakan diri
tersenyum manis. Susulan nada tertawanya sungguh menggiurkan. Kulit
wajahnya seperti mengeluarkan sinar lembut ketika ia tertawa.
Tertawa juga Tan Leng Ko melihat watak wanita ini yang mudah menangis,
dan mudah tertawa. Mengingatkan dirinya kepada Giok Hui Yan, tiba tiba
timbul sebuah perasaan rindu yang ia sukar jelaskan.
“Ayuh, kubopong kau biar cepat sampai ke goa di bukit belakang sana”
ujar Tan leng Ko mengusir pikirannya.
Giok Si merentangkan tangannya memeluk leher Tan Leng Ko yang memegang
punggung dan menaruh tangan kanan diantara lekukkan kakinya. Deru angin
kencang menerpa wajah Giok Si yang kemudian memejamkan mata. Hatinya
sedikit ngeri melihat Tan Leng-ko meloncat ke atas dahan pohon yang
cukup tinggi dan berlarian seperti berada di atas tanah datar saja.
Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di goa dimana Tan Leng Ko pernah
melihat Khu Han Beng berlatih. Mau tidak mau, Tan Leng Ko teringat macam
macam urusan. Ada beberapa hal yang menyenangkan Tan Leng Ko. Dengan
kepergian Lo Tong membawa salinan kitab kitab pusaka, dia tidak usah
menguatirkan perihal kitab kitab tersebut. Juga dia bisa lebih bebas
bertindak karena sudah tiada rahasia segala yang perlu ia jaga, dan yang
lebih penting Lok Yang Piukiok terhindar potensi malapetaka.
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, taring binatang itu kecil kecil,
ia seperti menyeringai padanya ketika memakan pucuk daun bambu muda yang
masih tersisa. Diam-diam Tan Leng Ko mengakui, binatang ini memang
terlihat lucu dan mengemaskan. Jika berukuran kecil mungkin cocok
menjadi boneka mainan anak kecil pikirnya.
Setelah matanya terbiasa dengan sedikit pantulan cahaya dari luar, Tan
Leng Ko dapat melihat goa itu ternyata tidak begitu dalam. Tidak ada
yang luar biasa dengan kondisi goa itu selain lembab, baunya juga tidak
sedap. Diam diam ia tertawa geli mengingat bau busuk di gang sempit toko
buku Gu-Suko. Tempat bersemayam locianpwee sakti itu nampaknya tidak
jauh dari bau tidak sedap. Entah itu suatu kebetulan atau suatu kegemaran?
Tiba tiba terdengar jeritan kaget Giok Si. Bagaikan kilat tubuh Tan Leng
Ko melesat menuju ke arah jeritannya. Mata Tan Leng Ko membelalak kaget
melihat seekor ular bersisik putih, kontras sekali dengan bola matanya
yang merah, melingkar tidak jauh dari tubuh Giok Si yang menggeletak di
tanah.
Melihat kedatangan Tan Leng Ko, ular itu mendongakkan kepalanya
memandang curiga. Terdengar suara desis diiringi uap putih yang keluar
dari mulut ular itu. Setengah badannya berdiri tegak, lidahnya keluar
masuk dari rongga mulut yang berwarna hitam. Lidah yang bercabang hitam
dan putih!
Tan Leng Ko pernah melihat ular sejenis ini, sejenis ular yang ujung
ekornya pipih melebar walau ekor ular ini tersembunyi, tertutup daun
daun bambu kering. Hanya ada satu hal yang dirasanya tidak beres,
setahunya ular Hek Pek Coa merupakan jenis langka yang rasanya jarang
diketemui berkeliaran di alam. Apakah ular ini terlepas dari rantainya?
Apakah telah terjadi sesuatu di toko buku itu? Rasanya tidak mungkin
dengan kesaktian locianpwee itu…Atau sinaga sakti itu dengan sengaja
melepaskan Hek Pek Coa kembali ke habitatnya di alam dan kebetulan telah
melepaskan ular itu di sekitar goa ini yang jarang dikujungi orang. Tan
Leng Ko tertegun. Masakkan ucapannya yang ngawur kepada orang berkedok
hitam itu ternyata sekarang menjadi kenyataan?
Tan Leng Ko tidak dapat berpikir lama lama lagi, cepat ia mencabut
goloknya siap membunuh ular itu.
“Jangan kau bunuh dia” seru Giok Si dengan nada lemah sambil menggeliat
kesakitan. Badannya dibagian sebelah kiri mengeluarkan asap tipis
seperti terbakar sedangkan separuh tubuh lainnya seperti dibungkus
lapisan es yang tebal.
Hati Tan leng Ko tenggelam melihat dua titik darah di punggung tangan
kiri Giok Si yang masih terbalut. Lekas ia menggebah ular beracun itu
yang menyelinap kabur, nampak ekornya yang mirip sirip ekor ikan
menghilang disela sela semak belukar.
Tan Leng Ko teringat dirinya yang juga melantur tidak keruan ketika
terkena racun Hek Pek Coa. Lekas ia bertukas:
“Benar, ilmu locianpwee itu khusus untuk menawarkan racun ini. Sekarang
kau harus mampu berkonsentrasi untuk mengikuti petunjukku”
Dengan susah payah Tan Leng Ko membantu mengalirkan hawa liar itu ke
tiga puluh enam nadi penting di tubuh Giok Si. Hampir ia tidak dapat
menguasai gelombang hawa panas dingin yang menerjang seperti hempasan
badai mengamuk, untung sinkangnya sudah mendapat banyak kemajuan.
Perlahan ia mmeberi petunjuk letak nadi yang diperlukan untuk
menyalurkan racun tersebut.
Secara teratur ia mengalirkan hawa saktinya yang mengalir halus tapi
kuat membimbing dan menguasai hawa liar itu. Sering kali Giok Si
mengerang kesakitan, bibirnya kering pecah-pecah, kulit wajah kirinya
yang halus mengelupas kepanasan. Beberapa kali erangan Entah sudah
berapa ratusan kali hawa gabungan itu mengitari tubuh Giok Si. Tan Leng
Ko baru menarik tangannya yang bergemetaran, mukanya juga pucat. Tidak
sedikit tenaga saktinya yang berhamburan berlebihan. namun ia dapat
menarik napas lega ketika mendengar suara dengkur Giok Si yang tertidur!
baru ia sadari hari telah menjelang malam. Tan Leng Ko membopong Giok Si
pulang dengan diterangi bintang bintang yang banyak bertaburan di langit.
oooooOOOOOooooo
Sudah beberapa hari lamanya Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng menempuh
perjalanan. Mo Tian Siansu beranggapan daya tubuh Khu Han Beng tidak
sekuat dirinya, maka boleh dibilang perjalanan mereka tidak cepat. Hari
menjelang sore, pada saat mereka memasuki sebuah dusun kecil. Dahi Mo
Tian Siansu berkerenyit ketika ia mendapati semua warung makan tutup,
tidak ada yang buka. Selain itu juga ia rasakan kesunyian yang luar
biasa, seperti mendadak dusun kecil ini ditinggalkan oleh penghuninya.
Setelah kuda mereka menikung ke kanan, di deretan ketiga sebelah kanan,
mereka melihat seorang nenek tua yang duduk di kursi goyang di depan
rumah gubuknya. Menurut keterangan nenek tua tersebut, hari ini sedang
diadakan perlombaaan kayuh perahu yang dihiasi sedemikian rupa hingga
berbentuk seekor naga. Perlombaan itu diadakan untuk menghormati Sian
Liong Kang, dewa naga penunggu sungai yang dipercayai sebagai pemberi
berkah sekaligus pemberi petaka bagi penduduk yang tinggal di bentaran.
Perayaan yang dilakukan setiap setahun sekali oleh penduduk setempat,
tentu saja mengundang banyak pengunjung. Tidak heran dusun ini terasa
sepi sekali.
Khu Han Beng menatap lekat-lekat, seperti tertarik terhadap nenek tua
tersebut. Cukup lama percakapan antara nenek tua itu dengan Mo Tian
Siansu, tapi tidak sekalipun bocah itu melihat nenek tua itu berkedip.
Mata nenek tua itu juga nampak janggal. Selain bewarna kelabu keputihan,
juga terlihat mati, tidak mengandung suatu perasaan. Sangat bertolak
belakang dengan nada suaranya yang ramah.
“Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan keramaian?” tanya Khu Han
Beng tak tahan.
Mendengar pertanyaan Khu Han Beng, muka Mo Tian Siansu berubah hebat,
cepat ia meminta maaf pada nenek tua itu dan menegur murid keponakkannya.
“Jika kau belum pernah melihat seorang buta, tentu belum pernah
menyaksikan perayaan tersebut. Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan?”
Seperti menyadari akan satu hal, muka Khu Han Beng sedikit memerah.
Dengan kikuk ia bertanya:
“Apakah suara keramaian yang lapat lapat terdengar dari kejauhan itu?”
Tiba-tiba nenek tua itu mengisyaratkan Khu Han Beng agar mendekat. Mo
Tian Siansu mengerenyitkan alisnya. Ia tidak begitu mengerti kenapa
nenek tua tersebut perlu berbisik kepada murid keponakannya. Ia juga
tidak mengerti suara keramaian apa yang mereka maksud sebab ia tidak
mendengar suara apapun. Yang lebih ia tidak habis mengerti, ternyata
setelah dibisiki wajah Khu Han Beng terlihat lebih bingung dari dirinya.
Setelah pamitan, mereka menghela kuda, Khu Han Beng memimpin jalan
menuju ke tepi sungai. Tak tahan Mo Tian Siansu bertanya:
“Jika hanya arah petunjuk jalan, kau tentu tidak terlihat bingung
seperti tadi” gumam Mo Tian Siansu.
“Sebab ia juga berkata satu hal yang aku tidak paham” ujar Khu Han Beng
perlahan.
“Soal apa?”
“Nenek itu mengatakan ia telah buta dari semenjak kecil dan selama ini
dapat hidup berbahagia. Ia ingin aku tidak melupakan hal itu”
Mau tidak mau Mo Tian Siansu ikut bingung, ia juga tidak mengerti maksud
nenek tua tersebut.
“Ia berniat baik. Paling tidak, itu sebuah nasehat yang baik sekali”
akhirnya ia berkata pelan.
oooooOOOOooooo
“Kegiatan perlombaan ini mirip dengan upacara kayuh perahu naga yang
sering dilakukan di seluruh Tionggoan, rupanya baru pertama kali kau
saksikan”
“Yaa, memang pertama kali bagiku” jawab Khu Han Beng likat.
Juga pengalaman pertama melihat nenek buta pikir Mo Tian Siansu tapi
melihat bocah itu seperti malu, cepat ia mengajak Khu Han Beng berdiri
di pinggir sungai yang becek dan berlumpur untuk menyaksikan perlombaan
yang baru saja dimulai. Sekitar enam perahu besar yang berjajar memenuhi
lebarnya sungai. Setiap perahu memuat sekitar dua puluh lima pasang
pengayuh ditambah satu orang yang duduk dibelakang untuk mengemudi dan
satu orang pemukul gendang yang duduk di bagian tengah.
Suara riuh dan tepuk tangan penonton membingungkan Khu Han Beng yang
menonton. Perkelahian di tengah sungai sudah melibatkan keenam perahu
peserta. Mereka tidak hanya menyerang perahu calon pemenang, mereka juga
menyerang satu dengan yang lain. Dalam sekejap saja, sudah tiga perahu
yang terbalik, beberapa puluh orang yang terlempar keluar dari perahu
berteriak ketakutan, tergulung arus sungai yang deras dan dingin.
Anehnya, para penonton di bentaran sungai seperti tidak berminat
menolong mereka, malah melempari mereka yang tenggelam dengan kueh
lemper yang dibungkus daun.
“Kuheran kenapa susiok tidak menolong mereka” gumam Khu Han Beng
mengakui. Semestinya, sudah sepatutnya seorang bhiksu saleh dari
Siaulimsi membantu orang yang sedang kesusahan. Dengan muka sedih, Mo
Tian Siansu menjawab:
“Bukan aku tidak ingin, hanya aku tidak boleh menolong mereka”
“Karena penduduk ditempat ini akan marah padaku jika kuturun tangan.
Mereka beranggapan jika ada yang mati tenggelam maka hal ini sudah
menjadi kehendak dewa naga yang memilih beberapa manusia sebagai tumbal”
“Bukankah orang orang yang malang itu, keluarga mereka sendiri?” tanya
Khu Han Beng terkesiap.
“Benar! Tapi tradisi ini sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Tiada
yang berani menolong walau kerabatnya sendiri. Tidak ada yang berani
melanggar atau ikut campur melawan takdir yang sudah ditentukan”
“Pernah kubaca di sebuah kitab, jika kita melakukan hal yang benar
seperti menolong orang, bukankah dapat tidak usah memperdulikan pendapat
orang lain”
Mo Tian Siansu tersenyum mendengar uraian Khu Han Beng yang seperti
bernada menyindir.
“Ucapan bagus! Tapi ada satu hal yang patut kau ketahui. Kau harus dapat
menghargai kepercayaan orang lain walau bertentangan dengan
kepercayaanmu. Kau tidak boleh melanggar kepercayaan orang lain secara
paksa walau kau anggap kepercayaan mereka salah, bagaimanapun juga
mereka mempunyai hak untuk salah”
Tiba tiba terdengar suara jeritan dan makian penonton, Khu Han Beng dan
Mo Tian Siansu mengalihkan pandangan ke tengah sungai yang entah
darimana telah muncul sebuah kapal berukuran besar yang melaju cepat
melawan arus sehingga menimbulkan ombak besar yang membalikkan sisa
perahu perlombaan. Mo Tian Siansu mengeluarkan seruan tertahan, tubuhnya
mendadak mengapung ke sebuah pohon gundul yang tidak jauh dari tempatnya
berdiri. Tangannya mematahkan sebuah dahan kecil, dan ketika tubuhnya
melayang turun jatuh ke sungai, kembali ia mematahkan potongan ranting
kecil yang dengan cepat ia lemparkan ke permukaan air.
Sedangkan dua orang lain menggunakan dayung yang mereka pegang untuk
mengungkit korban yang tenggelam, yang kemudian melayang persis ke
perahu yang sudah tidak terbalik. Kecekatan mereka bekerja, ketepatan
waktu dan keserasian kerja sama mereka belum lagi penggunaan tenaga yang
pas benar benar merupakan suatu pertunjukkan kemampuan yang luar biasa.
Mau tidak mau timbul kekaguman dihati Mo Tian Siansu, ia paham pekerjaan
itu walau kelihatan mudah sebetulnya suatu perbuatan yang sukar sekali.
Ketika perahu tersebut sudah dalam keadaan terapung kembali, arus sungai
telah merubah posisinya, toh mereka dapat memperhitungkannya dengan
tepat, ungkitan para korban melayang ke perahu tersebut, mendarat dengan
perlahan dan tidak ada satupun yang meleset. Dalam sekejap puluhan
korban telah berhasil mereka selamatkan, tubuh lima orang itu
menggunakan cara yang sama kembali melayang ke kapal berukuran besar
tersebut. Mo Tian Siansu menghela napas, sambil menahan sakitnya ia
mengerahkan ginkangnya, dibantu dengan potongan ranting kecil melayang
turun di sebelah Khu Han Beng yang memandangnya dengan pandangan bertanya.
“Omitohud! Pinceng tidak tahu siapa mereka, hanya ginkang mereka sudah
mencapai tingkatan tertinggi, tataran „lari diatas rumput'” Ujar Mo Tian
Siansu dengan nada kagum.
Satu orang saja yang mencapai tingkatan itu sudah sukar dicari. Dari
kapal tersebut malah muncul lima orang, entah dari golongan mana mereka?
Matanya menatap kapal tersebut yang melaju cepat walau melawan arus
melewati mereka. Posisi kapal tersebut jauh di tengah sungai sehingga Mo
Tian Siansu tidak dapat melihat raut wajah mereka, hanya ia dapat
melihat puluhan orang berdiri di ajungan kapal.
“Yang kuherankan, kenapa susiok mendadak berubah pikiran hendak menolong
mereka?”
“Yang hendak kutolong adalah korban yang jatuh disebabkan kapal itu.
Korban tersebut tidak berhubungan dengan adat istiadat, maka wajib bagi
kita untuk menolong”
“Kenapa kau menduga begitu?” “Susunan layar di tiga tiang kapal tersebut
seperti gambar yang pernah kulihat disebuah buku, jelas menunjukkan
sebuah kapal laut. Lagipula mereka menolong semua orang, nampaknya
mereka tidak mengetahui adat istiadat di daratan Tionggoan”
Perhitungan Khu Han Beng bukan tidak mungkin, apakah mereka rombongan
dari Lamhaybun? Ditinjau dari kemampuan lima orang tersebut bukan hal
yang tidak mungkin pikirnya dalam hati dengan jantung berdebar debar.
Ia menatap Khu Han Beng dengan kagum, ia benar benar tidak menyangka
kecerdasan daya pikir bocah ini. Selain pintar, pengetahuan dari hasil
baca bukunya juga luas. Yang dipandang, sedang memandang kapal laut
tersebut dengan dahi berkerut.
“Ternyata memang benar ada” gumam Khu Han Beng dengan nada tertahan.
Yang Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng tidak ketahui, ternyata di kapal
laut itu pun terjadi sebuah percakapan.
“Tidak rendah ginkang hweesio tua itu” ujar si kurus pendek berkepala
botak, salah satu dari lima orang yang menolong para korban.
“Maksudmu? Masakkan bocah itu memiliki kepandaian yang lebih hebat dari
Hweesio Siaulimpay?” tanya si kurus pendek dengan nada heran.
“Di pinggiran sungai becek dan basah, sepatu hweesio itupun nampak
terciprat dan terendam lumpur justru sepatu bocah itu nampak masih
bersih seperti baru disemir. Sepatunya tidak terendam becek melainkan ia
dapat berdiri seenaknya di atas permukaan lumpur tanpa bergerak. Hanya
ginkang yang sudah mencapai tataran „ringan tiada beban, lenggang tanpa
rintang‟ yang dapat melakukan hal itu. Suatu tingkatan yang lebih tinggi
dari „lari diatas rumput‟.”
Si kurus pendek cukup kenal sifat Siocianya yang hampir tidak pernah
memuji orang. Jika bocah itu sampai dipuji, hal itu saja sudah diluar
dari kebiasaan. Tak terasa ia menatap dengan terkesima. Siocianya
terlihat termenung, keningnya berkerut, matanya yang mencerminkan
kecerdasan yang luar biasa, nampak mencorong tajam. Sepasang mata yang
bergemelapan indah seperti embun di atas daun yang tertimpa cahaya
matahari. Sepasang mata yang berwarna hijau… mirip sehelai daun segar.
ooooo0000ooooo
Langit gelap diselimuti oleh awan, tidak nampak sinar bulan atau cahaya
bintang yang biasanya bertaburan. Di pinggiran sebuah tebing batu yang
menjulang tinggi, Mo Tian Siansu yang tertidur dalam posisi bersila,
perlahan membuka matanya. Ia terbangun bukan disebabkan dinginnya angin
malam yang berhembus kencang, melainkan ia terjaga dikarenakan mendengar
suara isakkan tertahan. Dengan tatapan penuh kasih ia menatap Khu Han
Beng yang berbaring tidur di sebelah api unggun.
“Hal apa?”
Diam diam Mo Tian Siansu terhenyak heran. Dia yang jauh lebih tua, lebih
sering melihat perubahan itu malah tidak pernah berpikir mengenai hal itu.
“Omitohud! Pinceng tidak tahu apa penyebabnya tapi pinceng pikir, itulah
kekuasaan Thian yang Maha Besar” jawab Mo Tian Siansu sedapatnya.
Khu Han Beng mengangguk tak acuh, mendadak matanya seperti mengeluarkan
kilatan cahaya aneh. Ujarnya perlahan: “Mungkin bentuk bulan itu tidak
berubah, hanya terlihat berbentuk sabit karena ditutupi oleh bayangan
bumi itu sendiri yang berbentuk bulat”
“Darimana kau tahu bumi berbentuk bulat?” seru Mo Tian Siansu heran.
Agak ragu Khu Han Beng menjawab: “Aku tidak tahu, hanya pernah kubaca
sebuah kitab kuno yang menyatakan bumi seperti bagian telur yang kuning
berbentuk bulat” “Omitohud! Permukaan bumi nan luas sekali, rasanya
janggal sekali jika penulis kitab itu mengetahui bentuk bulat bumi
seperti kuning telur”
“Yaa, isi kitab itu memang rada aneh. Malah ada halaman lain yang
menyebutkan cara membuat alat untuk mendeteksi gempa”
“Apakah kitab itu ditulis oleh Zhang Heng?” tanya Mo Tian Siansu tertarik.
Selesai berkata, Mo Tian Siansu menatap Khu Han Beng dengan tatapan
kagum. Ia benar benar tidak menyangka bocah ini pernah membaca karya
tulis Zhang Heng!
“Kubeli dari sebuah toko buku” jawab Khu Han Beng singkat.
Igauan Khu Han Beng yang menggumam tidak jelas, menyadarkan Mo Tian
Siansu dari renungannya. Tak terasa ia menarik napas dalam dalam sambil
memerhatikan bulan yang telah menampakkan diri dan menerangi jagad raya
dengan cahayanya yang lembut. Ia tahu dari posisi bulan yang miring,
hari sudah menjelang subuh. Mo Tian Siansu merapatkan jubahnya, malam
yang cerah di musim gugur, entah kenapa biasanya jauh lebih dingin
dibanding malam yang berawan. Setelah menghela napas, kembali ia melirik
ke wajah Khu Han Beng yang masih tertidur.
Nampak air mata bocah itu sudah mengering, terlihat bola matanya yang
bergerak gerak cepat dibalik kelopaknya. Hanya raut wajahnya tetap tidak
berubah, tetap seperti mengandung kedukaan yang dalam. Memang ada
segelincir orang yang mampu menyembunyikan perasaan batinnya sehingga
tidak terlihat di wajahnya. Hampir mustahil bagi orang lain untuk
mengetahui apakah ia sedang marah, gembira, atau sedang sedih.
Semuda ini, Khu Han Beng sepertinya sudah mampu melakukan hal demikian.
Hanya betapa pun hebatnya seseorang menguasai perubahan wajahnya,
ekspresi wajah seseorang ketika sedang tidur tidak mungkin berbohong.
Eskpresi wajah Khu Han Beng ketika sedang tidur dapat mencerminkan
perasaan batin yang sebenarnya. Mo Tian Siansu yakin ada sesuatu beban
yang menekan dibatin bocah ini.
“Entah apa yang disedihkan bocah ini” gumam Mo Tian Siansu dengan hati
terenyuh. Ia sangat menyukai Khu Han Beng, sayang tidak banyak yang ia
dapat lakukan. Bocah itu selain jarang berbicara dan jika berbicara juga
membicarakan hal yang umum hampir tidak pernah menceritakan perihal
pribadinya.
Terkejut Mo Tian Siansu melihat wajah Khu Han Beng yang pucat dihiasi
butiran-butiran keringat sebesar jagung. Cepat ia menenangkan Khu Han
Beng dengan suara halus.
Hatinya tidak tenang, dia seperti mempunyai firasat ganjil. Jika terjadi
sesuatu hal yang buruk menimpa kakeknya, bukan saja ia akan kehilangan
satu satunya anggota keluarga yang ia miliki. Ia pun tidak akan pernah
mengetahui asal usulnya. Apapun juga, ia harus segera menyusul yaya-nya
ke Po-Ting. Baru saja ia ingin mengutarakan niatnya, mendadak terdengar
suara gemuruh yang pekak, tanah yang didudukinya bergetar keras. Khu Han
Beng merasa tubuhnya terombang ambing seakan-akan sedang berada di atas
sebuah perahu. Tanah yang di dudukinya berguncang hebat. Sebuah celah
yang cukup lebar melata bergerak cepat merekah seperti ular membelah
tanah di sebelah kirinya.
“Awas!” teriak Mo Tian Siansu kuatir. Khu Han Beng merasakan angin
dingin mendesir dari atas kepalanya, ia mendongakkan dengan mata
membelalak. Dari pantulan api unggun terlihat batuan-batuan sebesar
rangkulan tangan jatuh dengan cepat mengarah ke dirinya. Mo Tian Siansu
cepat mengumpulkan tenaga mengerahkan Siau Thian Sinkang, tiba-tiba ia
mengeluarkan seruan lirih. Betapa terkejut ketika ia menyadari aliran
tenaga sinkangnya seperti tetesan air, tidak deras seperti biasanya. Ia
tahu luka dalamnya yang belum sembuh benar mempengaruhi Sinkangnya. Ia
telah merasakan Sinkangnya menyusut banyak ketika mencoba menolong
nelayan yang tenggelam. Tapi kali ini, tenaganya seperti hilang, seperti
tenggelam di lautan yang dalam. Sambil menggertak gigi, tidak hanya
menggunakan tangan, Mo Tian Siansu menggunakan bahunya untuk mendorong
bongkahan batu yang jaraknya tinggal satu kaki dari tubuh Khu Han Beng.
“Buumm!”
Khu Han Beng melompat bangun, mendekati Mo Tian Siansu yang duduk
terengah dengan tubuh gemetaran.
“Seharusnya susiok tidak perlu melakukan hal itu. Aku dapat
menyelamatkan diri” kata Khu Han Beng dengan nada menyesal.
“Pin…ceng tidak mungkin membiarkan kau terluka” serak Mo Tian Siansu
sambil tersenyum kemudian terkulai roboh.
Khu Han Beng tertegun, ia tidak begitu mengerti kenapa susioknya pingsan
hanya karena memukul sebongkah batu. Setelah menyenderkan tubuh Mo Tian
Siansu disebuah batu besar, ia melirik sekejap pada sekitarnya yang
porak poranda seperti digaruk oleh tangan raksasa. Dengan ringan ia
berloncatan diantara serakan bongkahan batu batu memasuki hutan yang
tidak terlalu jauh. Ia perlu mencari kayu bakar untuk penerangan,
mengganti bekas api unggun yang terpuruk. Baru beberapa ranting ia
kumpulkan, pendengarannya yang tajam menangkap suara lirih desingan
pedang yang ditarik dari sarungnya.
Khu Han Beng dengan tenang menatap ujung pedang lawan yang mengancam ke
arah dadanya. Ketika ujung pedang tinggal sejengkal jari, tiba tiba
dengan gerakkan yang mudah diikuti pandangan mata, jari telunjuk Khu Han
Beng menjentik perlahan.
Bukan saja jentikkan jari bocah itu sangat tepat, bahkan mengandung daya
dorong balik yang kuat luar biasa. Pedang orang berkedok hitam itu patah
puluhan keping banyaknya dan mencelat kemana-mana, malah ada beberapa
keping yang menancap di tubuhnya.
Tangan kanannya patah terdorong balik secara paksa oleh arus tenaga
balik yang sukar dilukiskan kekuatannya. Sisa gagang pedang ditangannya
terlepas, menancap pada sebuah pohon. Mimpi pun orang kedok hitam itu
tidak menyangka bakal menderita kekalahan dalam satu gebrakkan saja,
kekalahan semacam ini benar-benar suatu kejadian yang aneh dan sama
sekali diluar dugaannya,
Khu Han Beng tidak menjawab hanya menatap orang berkedok hitam itu
dengan dingin. Dengan jeritan jeri orang berkedok hitam itu mengerahkan
ginkang melarikan diri. Baru ia melompat beberapa tindak, ia
menghentikan gerakannya. Meremang bulu kuduk tubuhnya ketika melihat Khu
Han Beng mendadak sudah berdiri enam langkah tepat di hadapannya. Cepat
ia membalikan tubuh dan berlari sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia,
kembali ia melihat Khu Han Beng menghadangnya.
“Apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau hendak membunuhku…kenapa kau
hendak membunuhku?” tanya orang itu dengan suara gemetar ketakutan.
“Bukankah kau tadi hendak membunuh orang?” tanya Khu Han Beng tiba tiba.
“Be…benar! “
“Bukankah tadi kau tidak menerangkan sebabnya” Orang berkedok hitam itu
terdiam, sambil memegang tangannya yang patah meringis kesakitan.
Orang berkedok hitam itu gelisah bukan main ketika Khu Han Beng
mendekati dirinya. Ia paham sukar sekali untuk meloloskan diri, cepat ia
berteriak:
“Mo Tian Siansu keracunan! Aku tahu cara mengobatinya”
Keringat dingin keluar dari tubuh orang berkedok hitam ketika melihat
Khu Han Beng termenung tidak segera menjawab. Dengan nada gemetar ia
bertanya:
“Masakkan kau enggan menolongnya?”
“Yaa, sebetulnya aku tidak terlalu ingin”
“Kau…?” seru orang berkedok hitam itu dengan heran berbareng terkejut.
Bocah ini berjalan bersama dengan bhiksu itu jelas mempunyai hubungan
yang tidak biasa. Sungguh diluar dugaannya bocah semuda ini memiliki
hati yang tega.
“Jika ia tewas, urusanku tentu lebih mudah” gumam Khu Han Beng tak
terasa. Ia bukan tidak mau menolong Mo Tin Siansu, hanya jika susioknya
tewas ia akan dapat segera menyusul yaya-nya ke Po-Ting.
Orang berkedok hitam itu paham, jika Mo Tian Siansu tewas, dilihat dari
ketegaan bocah ini jangan harap dirinya bisa selamat.
Badan orang berkedok hitam itu seperti mengendur lega. Beriringan mereka
kembali ke tempat Mo Tian Siansu bersender. Dengan agak ragu, orang
berkedok hitam itu bertanya:
“Darimana kutahu kau akan membiarkanku pergi setelah mengobatinya?”
“Kau tidak tahu”
“Kuingin kau bersumpah”
Mendadak raut wajah Khu Han Beng berubah hebat. Dengan dingin ia berkata:
“Kau tidak perlu mengobatinya, dan tidak usah pergi. Sebaiknya kau mati
saja”
“Kau…kau… tidak perlu bersumpah, aku akan mengobatinya sekarang juga”
tukas orang berkedok hitam itu dengan nada kuatir.
Cukup lama Khu Han Beng memandang orang berkedok hitam itu dengan penuh
selidik, sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. Diam diam orang
berkedok hitam menarik napas lega, lekas ia mengeluarkan sebuah toples
kecil dari saku dalamnya dan menuangkan satu butir pil berwarna merah
yang langsung dijejalkan kemulut Mo Tian Siansu.
Khu Han Beng menimbang ucapan orang berkedok hitam itu,kemudian katanya:
“Buka kedok mukamu!”
Orang berkedok hitam nampak enggan melakukan. Katanya:
“Tiada yang istimewa di wajahku, kenapa kau ingin melihatnya?”
Mendadak Tubuh Khu Han Beng berkelebat, dalam sekejap tangannya memegang
kedok hitam dan toples kecil berisi obat anti racun. Orang itu ternyata
seorang pemuda, berwajah tampan, berbibir tipis hanya sorot matanya yang
terkesan licik nampak jelalatan ketakutan berbareng terkejut.
“Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa di wajahmu, kenapa kau enggan
kulihat wajahmu?”
“Dia tidak mengenal diriku” jerit pemuda itu dalam hati. Hatinya lega
bukan main. Cepat ia menjawab:
“Apakah kau benar benar tertarik ingin tahu urusan pribadiku?”
Kembali pemuda itu menarik napas lega, tak tahan mulutnya menyungging
senyuman:
“Sampai mampus kau tidak bakal dapat mencariku” cemoohnya dalam hati.
Seperti memahami arti senyuman pemuda itu, Khu Han Beng menukas perlahan:
“Aku yakin dapat mencarimu”
“Kau tidak kenal diriku, tidak tahu dimana aku tinggal, bagaimana kau
dapat mencariku” tanya pemuda itu tidak tahan.
“Sebab kau telah salah ucap”
“Apa yang salah kuucapkan?”
“Tidak semestinya kau mengatakan aku seharusnya tidak mengerti silat”
“Maksudmu?”
“Walau aku tidak mengenalmu, kuyakin kau mengenalku. Kau mengenalku
tidak bisa silat makanya kau mengatakan kata „seharusnya‟. Sedikit yang
mengenalku tidak bisa silat, sedangkan aku jarang sekali keluar kamar.
Ruang lingkup mencarimu sangat terbatas. Makanya kuyakin pasti dapat
menemukanmu”
Pemuda itu menatap Khu Han Beng sejenak. Dengan agak ragu ia bertanya:
“Maukah kau kembalikan barangku?”
Pemuda itu menangkap kedok hitam miliknya yang dilempar oleh Khu Han Beng.
“Seingatku, toples kecil itu juga aku yang punya”
“tentu kau salah ingat” kata Khu Han Beng lembut.
Khu Han Beng memandang pemuda itu menghilang di telan kegelapan malam.
Perlahan ia menoleh ke arah Mo Tian Siansu. Ia harus lekas membawa
susioknya ke gunung Pek Hoa-san.
Khu Han Beng memandang langit yang kembali mendung gelap tanpa cahaya
bulan maupun bintang yang bisa menunjukkan arah. Ia mulai mengomeli
dirinya, tadi ia benar-benar tidak memperhatikan arah terbenamnya
matahari. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menunggu hingga
datangnya pagi baru menempuh perjalanan? Ditilik dari kondisi Mo Tian
Siansu yang parah, Khu Han Beng menyadari ia tidak boleh membuang waktu.
Lekas ia memasukkan batu dan potongan baja itu ke sakunya dan memanggul
tubuh Mo Tian Siansu hendak diletakkannya diatas pelana kuda. Lagi lagi
ia tertegun, kembali ia kecolongan. Kedua tunggangannya telah
menggeletak mati dengan leher tertembus pedang, nampak sisi lehernya
jebol beruaran, berlobang sebesar mangkuk. Nampaknya pemuda itu seorang
pembunuh yang berpengalaman. Sebelum membunuh korbannya, telah lebih
dahulu menutup jalan keluar calon korbannya. Mulut Khu Han Beng bersuit
nyaring yang menggetarkan tebing sekitarnya. Ia telah mengerahkan hawa
murni untuk mengitari tubuhnya belasan kali, kemudian dengan memikul Mo
Tian Siansu, tubuhnya melesat secepat terbang, hilang ditelan kegelapan
malam menuju arah barat.
oooooOOOOooooo
Bersambung