Anda di halaman 1dari 885

KARYA: KHO PING HOO

koleksi e -books a. mudjahid chudari


emceha184@yahoo.com

JILID 1
MAO-MAO-SAN (Gunung Mao-mao) menjulang tinggi
sekitar empat meter dan puncaknya menembus awan."
Gunung ini terletak di sebelah dalam Tembok Besar, di
dekat perbatasan sebelah utara Propinsi Gan-su dan
Mongo-lia Dalam. Biarpun pegunungan ini terletak di
perbatasan, namun pegunungan ini tidak sepi benar.
Kota Tian-ju dan Gu-lang terletak di kakinya sebelah
barat dan utara, sedangkan dl kaki baglan timur terdapat
kota Jing-tai. Pegunungan Inl mempunyal tanah yang
subur, maka di kaki pegunungan dan di lereng-lereng
bagian bawah terdapat banyak dusun pertanian di mana
rakyat petani hidup cukup makmur, dalam arti kata tidak
pernah kekurangan makan. Akan tetapl di bagian lereng
sebelah atas sampal ke puncak, Mao-mao-san jarang
dikunjungi orang karena daerah ini penuh dengan hutan
belantara yang dihuni banyak binatang buas. Para
pemburu binatangpun hanya berani mencari untung
sampai di lereng pertengahan saja. Cerita tahyul beredar
di kalangan rakyat petani bah wa di dekat puncak Maomao-san terdapat seekor naga siluman yang amat jahat.
Kabarnya banyak pemburu yang beranl naik lebih tinggi,
2

lenyap tanpa menlnggalkan jejak dan dikabarkan men


Jadi mangsa naga slluman. Semenjak cerlta Itu terslar,
tidak ada seorangpun pemburu berani nalk mendakl
lereng yang berada dl pertengahan gunung.
Pagi itu hari dlmulal dengan cuaca yang amat cerah.
Matahari pagl bebas memuntahkan cahayanya,
membangunkan segala sesuatu yang malas terblus
malam dingin. Embun pagi membubung dari hutan-hutan
kemudian lenyap dibakar sinar mataharl yang mulal
terasa hangat. Burung-burung mulal sibuk, berkicau
sallng memberi salam, berloncatan darl dahan ke dahan,
merontokkan embun yang tadinya tergantung di ujungujung daun-daunan. Mereka ttu dengan riang gembira
menyambut sinar matahari dan bersiap-siap melakukan
pekerjaan mereka mencari makan. Binatang-binatang
hutan juga mulai meninggalkan sarang mereka untuk
mencari makan bagl dlri sendirl dan bagl anak-anak
mereka.
Bunga-bunga
bermekaran.
Kupu-kupu
beterbangan. Awan putlh tipis berbagai bentuk berarak di
angkasa. Semua bekerja! Matahari, awan, pohon-pohon,
bunga, embun, burung, kupu-kupu dan semua binatang
hutan. Mereka semua mulal sibuk bekerja mencari
makan, Memang sesungguhnya lah. Hidup adalah gerak
dan gerak yang pallng balk dan bermanfaat adalah bekerja. Seluruh alam dan Isinya tiada henti-hentinya
bekerja. Kekuasaan Tuhan selalu bekerja, tak pernah
berhenti sedetikpun juga. Kalau berhenti sedetik saja,
akan kiamatlah dunia ini.
Dari lereng dekat puncak, masih di bawah awan, klta
dapat melihat panorama yang teramat Indah. Sukar
dllukiskan kebesaran dan kelndahan alam. Sawah
ladang terbentang luas dl bawah kaki kita. Di sana-sini
tampak air berkilauan memantulkan sinar matahari
3

seperti
cermin-cermin.
Mata
dapat
menikmati
pemandangan yang amat indah. Telinga juga dapat
menikmati suara-suara merdu, kicau burung, desah
angin di puncak-puncak pohon, gemercik air. Hidung juga
dapat menikmati aroma yang amat segar, sedap dan
alami. Bau hutan, bunga, tanah basah, semua itu
demikian dekat dan dikenal penciuman kita. Udara
demikian sejuk segar, mengalir deras memenuhi paruparu, membawa kesehatan dan kenyamanan perasaan.
Indah dan nikmatnya hidup ini!
Di lereng bawah puncak yang amat sunyi itu dan yang
hampir tidak pernah dikunjungi orang, pada pagi hari itu
terjadl hal yang tldak seperti biasanya. Terdapat seorang
lakl-lakl berjalan seorang dlri menuruni puncak! Lakl-laki
itu melangkah seperti di luar kesadaran nya. Dia seolah
bersatu dengan alam di sekitarnya, matanya melahap
semua yang tampak, mata yang bersinar penuh bahagia,
mulutnya tersenyum. Pada saat seperti Itu, dia seperti
kehilangan jati dirlnya karena sudah bersatu dengan
alam. Dia adalah bagian dari pohon-pohon Itu, bagian
dari ratusan burung yang terbang di angkasa, bagian dari
sekumpulan kupu-kupu yang mencari madu diantara
bunga-bunga, sebagian dari embun yang masih
bergantung di ujungujung daun. Dia ber hentl melangkah.
Di depannya terdapat sebuah jurang ternganga. Di
bawah kaki nya, sinar matahari membentuk bayangbayang memberi gairah kehidupan kepada segala
sesuatu. Orang itu agaknya baru sadar akan dirinya dan
dlapun menghirllp napas dalam-dalam sehingga dada dan
perutnya mengembang. Seperti dengan sendirinya dia
berdongak ke langit, dan mulutnya berbisik.
"Terpujilah nama Yang
menclptakan semua inl."

Maha

Kasth,

yang

Dia lalu melangkah lagi, perlahan-lahan, dengan


santai. Dia seorang lakl-laki berusla kurang lebih lima
puluh tahun. Rambutnya yang panjang digelung ke atas
masih hitam semua. Wajahnya halus belum ada kerut
tuanya. Sepasang matanya mencorong tajam namun
lembut sekali. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu
tersenyum ramah dan penuh kesa-baran dan pengertian.
Wajahnya berbentuk bulat dengan dagu meruncing.
Tubuhnya sedang saja, tampak lemah. Pakaiannya
sederhana sekali, hanya se helai kain panjang kuning
yang dilibatlibatkan tubuhnya. Dia memakai sepatu kain
tebal yang bawahnya dilapisi besi sehingga awet sekali.
Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kuning
yang besar dan tampaknya berat.
Pria itu di waktu mudanya bernama Tiong Lee,
seorang ahli sastra yang mendalami tentang pelajaran
Khong-hu-cu, Lo-cu dan yang terakhir pelajaran Agama
Buddha. Seperti telah menjadi kebudayaan Cina di waktu
abad ke sebe las, ketlga agama ini berbaur dan filsafat
tiga agama Ini dlpilih yang cocok untuk menjadl dasar
kehldupan 'til Clna. Semenjak usla dua puluh lima tahun,
Tiong Lee yang tertarik untuk mendalaml pelajaran
Agama Buddha, melakukan perjalanan ke India seperti
pernah dilakukan oleh pendeta Hsuan Tsang pada abad
ke tujuh. Di negara pusat Agama Buddha itu Tiong Lee
mempelajari Aga-ma Buddha secara mendalam, dan
selaln itu, dia mempelajari pula tentang ilmu Yoga dan
pembangkitan kekuatan sakti dalam tubuh yang disebut
Kundalini Yoga. Juga dari para pertapa Hindu yang
memiliki kesaktian yang luar biasa, dia mempelajari
banyak ilmu sihir bersih yang berlawanan dengan ilmu
"sihir hitam yang biasanya dipergunakan untuk
melakukan kejahatan. Biarpun dia telah menjadi seorang
ahli dalani Agama Buddha, Tiong Lee tidak mencukur
5

rambiltnya, tidak menjadi hwesio (bhikkhu). Hanya


pakaiannya saja sederhana seperti pakai-an para
pendeta. Rarnbutnya digelung dan diikat dengan pita
kuning. Karena ke manapun dia pergi, dia mengajarkan
tentang kehidupan yang benar dan baik, maka dia
selanjutnya, setelah berusia lima puluh tahun, mendapat
sebutan Tiong Lee Cin-jin. Setelah berusia lima puluh
tahun dan sudah dua puluh lima tahun merantau ke India
dan Tibet, akhirnya
Tiong Lee Cin-jin melakukan perjalanan ke timur
untuk pulang ke Cina. Dia membawa banyak kitab-kitab
suci, baik darl Agama Buddha maupun Agama Hindu,
dengan maksud untuk dibawa pulang ke negerinya dan
diterjemahkannya agar dapat dipelajari banyak orang di
negerinya.
Pada pagi hari itu, perjalanannya dari dunia barat tiba
di pegunungan Mao-mao. Tertarik oleh keadaan gunung
itu, dia mendaki sampai ke puncak dan tinggal semalam
di puncak. Pagi itu dia menuruni puncak dan menikmati
keindahan alam. Dalam pesona kebesaran alam seperti
itu, teringatlah dia akan kalimat bijaksana yang sukar
dimengerti akan tetapi mudah dirasakan dalam keadaan
seperti keadaannya di saat itu. Kalimat itu berbunyi:
"Tidak memiliki apapun berarti memiliki segalanya!"
Kata memiliki yang pertama berarti kemelekatan
kepada sesuatu yang dipunyai, dan kemelekatan kepada
sesuatu, baik sesuatu itu orang, barang ataupun nama
dan kedudukan, pasti menda-tangkan sengsora
kehilangann. Adapun kata memlliki yang kedua berarti
manunggal, bersatu dengan segalanya. Kita da-pat
menikmati merdunya kicau burung di pohon dan indah
harumnya bunga tanpa takut kehilangan. Akan tetapi
6

sekali kita memiliki burung itu dan mengurungnya dalam


sangkar, atau memilikl tanaman bunga itu dan
mengelilinginya dengan pagar, sekali waktu kita akan
menderita kalau burung Itu hilang atau bunga itu dipetik
orang.
Tiong Lee Cln-jin tersenyum dan menundukkan
mukanya seolah menghitung langkahnya satu-satu.
Mempunyai akan tetapi tldak memilikl, itulah seninya
kehidupan. Mempunyat hanya secara lahiriah saja. Batin
ttdak memilikt dan tidak melekat sehingga tldak merasa
takut atau duka kalau kehilangan apa yang di-punyainya.
Hanya Yang Maha" 'iKuasa yang wenang memiliki segala
apa yang ada. Kita tidak memiiiki apa-apa. Semua yang
ada pada kita hanyalah pinjaman belaka. Bahkan badan
inipun bukan milik kita. Kita tldak kuasa atasnya. Bahkan
klta tldak kuasa untuk menghentikan tumbuhnya kuku
atau sehelai rambut. ADA yang menumbuhkan. Itulah
Tao. Itulah kekuasaan Tuhan yang tidak pernah berhenti
bekerja walau sedetikpun.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tampak dua
bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Tiong
Lee Cin-jin berdiri dua orang pria tua. Ke munculan
mereka yang seperti pandai menghilang atau terbang Itu
menyadarkan Tiong Lee Cin-jin bahwa dia berhadapan
dengan dua orang yang memlliki ilmu kesaktian tinggi.
Melihat dua orang itu, dia memandang penuh perhatian.
Orang pertama adalah seorang laki-laki yang usianya
tentu sudah enam puluh tahun lebih. Kumisnya yang
putih itu pendek saja, akan tetap! jenggotnya yang juga
su'dah putih itu tumbuh dari bawah tellnga kiri sampa! ke
bawah telinga kanan, lebat sekali. Rambut dan alls nya
yang tebal Juga sudah putih semua. Akan tetapl kulit
7

mukanya yang banyak kerutan ttu maslh nampak


kemerahan dan scgar. Dla mengenakan sebuah topl dari
bulu blnatang yang bentuknya seperti peci sederhana.
Dari potongan baju dan celananya yang juga sederhana,
Tiong Lee Cin-jln yang sudah banyak pengalaman itu
tahu bahwa pria itu ada lah seorang bersuku bangsa
Uigur. Orang kedua adalah seorang laki-laki yang lebih
tua lagl. Usianya tentu sekitar tujuh puluh tahun dilihat
dari mukanya yang penuh keriput. Matanya sipit,
kumisnya tipis saja, akan tetapi jenggotnya lebih tebal
daripada jenggot orang pertama, dan berwarna kelabu.
Kepalanya memakai kain kepala berwarna putih yang
dibelitkan seperti sorban. Dilihat dari cara dia berpakalan
Tiong Lee Cin-jin menduga bahwa kakek kedua ini tentu
bersuku , bangsa Hui, yang sebetulnya adalah bangsa
Han juga, akan tetapi yang sudah berabad-abad tinggal di
Mongolia Dalam. Dllihat dari sorban di kepalanya, dapat
diduga bahwa kakek Hul Ini beragama Islam. Memang
suku bangsa Hul sebagian besar adalah Muslim.
Mellhat dua orang yang leblh tua darlnya dan mereka
berdua Itu agaknya sengaja menghadang dl depannya,
Tiong Lee Cin-jin cepat memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan depan dada, lalu membungkuk
dan berkata dalam bahasa Han dengan ramah sambil
tersenyum.
"Selamat berjumpa, seudara tua yang baik! Semoga
Yang Maha Kuasa selalu memberkahi kalian berdua."
Kakek suku bangsa Uigur itu terkekeh dan dia
menggerak-gerakkan tongkatnya yang ternyata adalah
seekor ular cobra yang dlkeringkan ke atas lalu
menjawab. "Selamat bertemu, sobat!" katanya dalam
bahasa Han.
8

Kakek suku bangsa Hul memukui-mukulkan


tongkatnya yang terbuat darl se macam bambu yang
disebut Bambu Sislk Naga ke atas tanah lalu berkata
lantang. "Mualaikum salaam, serooga Allah memberkahi
anda! Bukankah anda yang ber nama Tiong Lee Cin-jin?"
kata pula kakek suku bangsa Hui itu dengan bahasa Han
yamg lancar pula.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Dia ttdak merasa heran
kalau kedua orang ini mengenal namanya, Bagi dia, tidak
ada yang aneh di dunia ini karena segala sesuatu itu
pasti ada alasan dan sebabnya. "Benar sekali, saya
adalah Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya, siapakah ji-wi
(anda berdua), datang darl mana hendak ke mana?"
"Aku bernama Ouw Kan datang dari Sin-kiang barat."
Kakek suku Uigur yang memegang tongkat ular berkata.
"Dan aku adalah Ali Ahmed dari pedalaman Mongol.
Kami berdua memang sengaja datang hendak bertemu
denganmu, Tiong Lee Cin-jin. Kami mendengar' bahwa
engkau baru pulang dari india dan akan lewat di daerah
ini, maka, karni sengaja datang menghadangmu," kata
kakek suku Hui.
Kembali Tiong Lee Cin-jin memberi hormat dengan
merangkap kedua tangan depari dada lalu berkata sambil
tersenyum. "Sungguh merupakan penghormatan besar
sekali bagiku. Setelah sekarang kita berjumpa di sini,
apakah kiranya yang dapat suya bantu dan lakukan untuk
ji-wi?"
"Heh-heh-heh, bagus sekali. Kiranya nama besar
Tiong Lee Cin-Jin sebagai seorang yang baik hati dan
pemurah bukanlah kabar kosong belaka!" kata Ouw Kan
9

sambil menggerakgerakkan tongkat ular cobranya.


"Anda memang dapat membantu kami, Tiong Lee Cinjin, yaitu berikan dan tinggalkan buntalan yang kau
gendong itu untuk kami."
Tiong Lee Cin-jin mengerutkan alis-nya. "Sahabat
berdua, isi buntalan ini hanya beberapa potong pakaian
pengganti dan kitab-kitab yang saya bawa dari India.
Kalau ji-wi menghendaki, silakan mengambil pakaian dan
sedikit bekal uang emas yang berada di buntalan, kemudian membiarkan saya melanjutkan perjalanan saya."
Suaranya masih tetap lembut; dan ramah karena
baginya, kehilangan pakaian dan uang emas tidak
menimbulkan masalah.
"Heh, Tiong Lee Cin-jin! Jangan bicara seenaknya
saja kamu! Apa kau kira kami berdua ini hanya sebangsa
perampok hina?" bentak Ouw Kan marah sam-bil
menudingkan tongkat ular cobranya ke arah dada Tiong
Lee Cin-jin.
"Lalu apa yang kau kehendaki, saudara Ouw Kan?"
tanya Tiong Lee Cin-jin.
"Tiong Lee Cin-jin, kami tidak menginginkan harta
benda milikmu. Haram bagiku untuk mengambil harta
orang lain. Kami hanya menghendaki agar engkau
meninggalkan kitab-kitab itu kepada kami!" kata Ali
Ahmed sambil menunjukkan telunjuknya ke arah
buntalan yang berada di punggung Tiong Lee Cin-jin.
"Aneh sekali permintaanmu itu, Saudara Ali Ahmed.
Kitab-kitab yang kubawa dari India ini adalah kitab-kitab
Agama Buddha dan Hlndu sedangkari engkau adalah
10

seorang Muslim. Apa gunanya kitab-kitab ini baglmu?"


tanya Ttong i Lee Cln-jin.
"Kami tidak Ingln mempelajari agama, akan tetapi
kami tahu bahwa banyak i kitab suci yang kaubawa itu
mengandung pelajaran tentang ilmu silat tinggi dan itmu
sihir. Bahkan ada sebuah kitab peninggalan Sang Budhi
Dharma menge-nai pelajaran silat yang sakti. Aku Sangat
membutuhkan kitab 'itu." kata Ouw Kan garang.
"Kitab peninggalan Tat Mo Couwsu (Budhi Dharma)
itu menurut surat wasiat guru besar itu diperuntukkan
biara Siauw-lim di Gunung Sung-san. Para fiwesio Siauwlim-pai yang berhak atas I kitab itu dan aku harus
menyerahkannya kepada mereka. Amat tidak baik mengambil hak milik orang lain."
"Tidak perduli. Tinggalkan buntalan itu!" bentak Ouw
Kan dan Ali Ahmed ! berbareng.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan ,menghela napas
panjang. Kemudian, per-lahan-lahan dia melepaskan
ujung kaln buntalan yang diikatkan di depan dadanya,
melepaskan gendongannya. Kemudian di-turunkan
gendongan itu dan diletakkan di atas tanah, di depannya.
Melihat ini, dua orang itu berpencar, melangkah maju
menghampiri dari kanan kirl. Tiba-tiba Ali Ahmed
menudingkan tongkat bambunya ke arah buntalan kain
kuning sambil berseru, "Terbanglah ke Sini!"
Tiba-tiba saja buntalan kain kuning itu melayang ke
atas seperti ada tangan tak tampak yang mengangkatnya.
Buntalan itu melayang perlahan ke arah Ali Ahmed.

11

Pada saat itu, Ouw Kan juga meng angkat togkat ular
cobranya dan. ber-teriak "Kembali kepadaku!" Tongkapya
ditudingkan ke arah buntalan yang sedang melayang ke
arah Ali Ahmed dan tlba-tiba saja buntalan itu beralih
arah, kini melayang ke arah Ouw Kan.
Ali Ahmed mengeluarkan suara menggeram. Tongkat
bambu di tangan kanannya tetap menuding ke arah
buntalan dan kini tongkat itu bergetar keras.
"Ke sini!" bentaknya . dari buntalan kain kuning ini
kembalt beralih arah, membalik ke arah kakek bersuku
bangsa Hui itu.
"Ke sini!" berrtaky Ouw Kan dan tong-kat ular
cobranya Juga tergetar hebat. Kini buntalan itu bergerak
ke kanan kirl seolah-olah terbetot oleh dua
kekuatandahsyat yang memperebutkanhya.
Tiong Lee Cin-jin yang menonton adu kekuatan sihir
ini tersenyum.
"Sungguh sayang sekali!" katanya lirih akan tetapi
suaranya mengandung ke kuatan sehingga dapat
terdengar jelas 61eh dua orang yang sedang
memperebutkan buntalan kain kuning dengan mengadu
tenaga sihir itu. "Kalian telah bersusah payah membuang
waktu bertahuntahun untuk menghimpun tenaga sakti.
Ternyata hari ini tenaga sakti itu hanya ka lian
pergunakan untuk menuruti nafsu Setan! Tidak sadarkah
kalian bahwa begitu kalian menuruti keinginan, berarti
kalian telah membiarkan diri dicengkerarn nafsu setan
dan akan menjadi permainannya? Sadarlah, wahai
kedua orang saudaraku, sebelum terlambat terjebak
bujukan iblis yang akan menyeret kalian ke dalam dosa
12

dan kesengsaraan!"
Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, kedua
orang seperti melepaskan bun-talan yang mereka
perebutkan sehingga buntalan itu meluncur ke bawah dan
jatuh ke atas tanah di depan Tiong Lee Cin-jin yang
sudah duduk bersila di atas rumput.
"Tiong Lee Cin-jin, kata-katamu menyesatkan. Aku
ingin mendapatkan kitab-i^ kitab untuk menemukan cara
menyempurnakan diri mencapai penerangan dan
kebahagiaan sejati!" kata Ouw Kan.
"Aku juga ingin mendapatkan ilmu agar kelak aku
dapat masuk sorga!" kata Ali Ahmed. "Aih, saudarasaudaraku yang baik!
Insaflah akan kesesatan kalian. Sadarilah bahwa
semua pelajaran dalam agama apapun juga pada
dasarnya sama, yaitu membiarkan jiwa yang rindu
kepada sumbernya seperti air rindu kepada samudera,
melalui pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan
benar, yang sifatnya membangun tidak meruntuhkan,
menjaga tidak merusak, membahagiakan dan tidak
menyengsarakan sesama hidup. Kita mempersiapkan diri
setiap saat untuk menjadi alat yang membantu pekerjaan
Kuasa Yang Maha Mulia pencipta alam semesta dan
semua isinya. Bagaimana kita dapat melaksanakan
semua ini? Melalui hati akal pikiran? Tidak niungkin. Hati
akal pikiran telah dijadikan sarang nafsu setan yang
selalu ingih mendapatkan sesuatu. Apakah itu harta, atau
nama besar, atau juga yang diinginkannya itu yang
dinamakan kesempurnaan, sorga dan sebagainya lagi,
semua itu sama saja. Yang diinginkan hati akal pikiran itu
ada lah yang diinginkan nafsu setan, yaitu kesenangan!
13

Baik itu dinamakan kesempurnaan atau kebahagiaan


atau sorga, kalau sudah diinginkan, dicari, maka se-mua
itu tiada lain hanyalah kesenangan. Kita membayangkan
kesenangan dalam s6rga atau kesempurnaan itu.
Kesenangan itul.ah yang menarik kita untuk mengejar dan
memperolehnya dan ini merupakan keinginan nafsu daya
rendah. Me-nuruti keinginan nafsu daya rendah ini
menyeret kita ke dalam kesesatan karena demi
mencapai apa yang kita inginkan kita akan melakukan
apapun juga tanpa mempertimbangkan apakah cara
yang ki ta pakai itu baik atau sesat."
"Heh-heh, Tiong Lee Cin-jin, penda-patmu itu bahkan
menyesatkan! Kalau kita tidak mempergunakan hati akal
pikiran, mengisinya dengan pengertian, ba-gaimana
mungkln kita dapat membedakan antara yang benar dan
yang salah? Tanpa pengetahuan tentang yang baik dan
yang buruk, bagaimana kita akan mam-pu melawan daya
pengaruh nafsu?" kata Ouw Kan.
"Hati akal pikiran memang merupakan anugerah
khusus bagi manUsia karena tan. pa itu klta akan hidup
tiada bedanya dengan hewan. Hati akal pikiran memang
perlu dipergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan
lewat pengalaman dan pelajaran karena kehidupan
manusia di dunia ini secara lahlriah membutuhkan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi kalau ilmu pengetahuan atau
kalau hati akal pikiran kita pergunakan untuk melawan
daya pe-ngaruh nafsu, kita akan kecelik! Coba
kumpulkan seluruh maling di dunia ini , dan tanya,
apakah ada seorang saja di antara mereka yang tidak
tahu atau tidak mengerti bahwa perbuatan mencuri itu
adalah perbuatan jahat dan tidak baik? Semua, tidak
terkecuali, tentu mengertl melalui hati akal plkirannya.
Akan tetapi, pengetahuan dan pengertian melalui hati
14

akal pikiran itu tidak dapat menghentikan perbuatan


mencuri itu! Sebaliknya malah. Hati akal pikiran yang
sudah menjadi sarang bagi nafsu daya rendah itu bahkan
menjadi pem-bela perbuatan mencuri itu dengan
membisikkan berbagai alasan. Aku terpaksa melakukan
ini, demi keluargaku, orang lain juga melakukan malah
lebih besar daripada aku. Demikian hati akal pikir-an
membisiki sehingga semua maling ti-dak merasa
menyesal, tidak bertobat malah semakin menjadi-jadi."
"Hemm, agaknya engkau sama sekali tidak memberi
jalan kepada orang yang berbuat dosa untuk bertaubat.
Kalau begitu, apakah yang harus dilakukan nianusia untuk
tidak melakukan kesesatan?" Ouw Kan mengejar.
"Apapun yang diusahakan untuk mengu bah, semua
usaha itu masih dalam lingkungan hati akal pikiran,
masih dalam lingkaran kekuasaan nafsu daya rendah
yang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik!
Pamrih-pamrih ini yang menje bak kita sehingga terjadi
lingkaran setan. Ingin lebih baik, iogin lebih
menyenangkan, ingin ini ingin itu yang akhirnya menyeret
kita ke dalam kesesatan-kesesatan baru yang lain lagi.
Tidak ada usa-ha hati akal pikiran yang akan berhasil.
Hanya ada satu saja kekuatan yang akan mampu
menundukkan nafsu daya rendah. Kekuatan itu bukan
lain adalah Kekuasa-an Yang Maha Kasih. Dengan
kekuasaan inilah kita akan dapat menalukkan natsu setan
yang bagaimana licik dan jahat-pun! Kekuasaan ini akan
memberi kekuatan kepada kita, akan menuntun kita.
Kekuatan ini muncul kalau kita menyerah kepada Yang
Maha Kuasa secara mutlak. Kalau hati sanubari kita
kosong dan terbuka, Kekuasaan Mutlak itu akan masuk,
membangkitkan jiwa kita, memberi-nya kekuatan dan
15

nafsu-nafsu daya ren dah akan kembali menduduki


tugasnya semula, yaitu menjadi pelayan kita, menjadi
hamba kita, bukan menjadi majikan kita."
"Semua uraianmu itu terdengar muluk-muluk dan
indah. Akan tetapi aku merasa tidak setuju ketika engkau
menyebutkan bahwa mencari sorga sama dengan
mencari harta. Semua orang, dari agama apa-pun juga,
merindukan sorga. Kenapa eng-kau berani merendahkan
sorga sedemiki-an rupa sehingga kausamakan dengan
har-ta benda?" Ali Ahmed bertanya sambil rnengerutkan
alisnya yang tebal.
"Saudaraku yang baik. Sorga atau har-ta benda
memang tidak ada bedanya ka-lau keduanya itu
dibayangkan sebagai se suatu yang akan mendatangkan
kesenang-an lalu dikejar-kejar. Yang mengingin-kan
kesenangan dan mengejar-ngejarnya adalah nafsu daya
rendah. Memang sifat nafsu itu demikian, mencari
kesenangan. Coba kita bertanya kepada diri sendiri.
Andaikata sorga itu dibayangkan sebagai sesuatu tempat
yang tidak enak, tidak menyenangkan, bahkan
menyakitkan, apa-kah kita masih akan mengejarnya?
Kurasa tidak akan ada seorangpun manusia
mengejarnya! Kalau klta membayangkan kesenangan,
apapun bentuknya, jelas bah-wa itu ulah, nafsu duniawi
dan kedagingan, karena segala macam bentuk
kesenangan adalah bentuk keenakan yang dapat
dirasakan 'jasmani selagi berada di dunia. Dan selama
ada kesenangan, disitu pasti ada pula kesusahan,
saudara kembarnya yang tak terpisahkan."
"Wah, Tiong Lee Cin-jin ini serigaja banyak bicara
untuk mengalihkan perhati-an kita dari buntalan kitabkitab itu, Ali Ajimed. Jangan dengarkan dia lagi!" kata
16

Ouw Kan dengan marah dan dia su dah bersiap dengan


tongkat ular cobranya.
Ali Ahmed juga melompat ke bela-kang dan
mengerutkan alisnya. "Benar, dia bahkan ingin
mempengaruhi, kita de ngan ajaran-ajaran sesat! Tiong
Lee Cin-jin kauserahkan atau tidak kitab-kitab itu?
Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?" Orang
bersuku bangsa Hui itu mengancam dengan tongkat
bambunya, yang diacungkan ke atas.
Tiong Lee Cin-jin yang masih duduk bersila itu
tersenyum dan melambaikan tangan kanannya ke arah
buntalan yang terletak di atas tanah di depannya. "Sudah
sejak tadi kulepaskan dari gendongan. Di antara kalian
berdua, entah siapa yang berjodoh memiliki kitab-kitab
itu."
"Aku yang berjodoh!" tiba-tiba Ouw Kan berseru dan
dia menggerakkan tangan kanan yang memegang
tongkat ular cobra. Dengan tongkatnya itu dia hen dak
mengambil buntalan kitab. Akan te tapi tongkat bambu di
tangan Ali Ah-med juga meluncur dan menangkis tong kat
ular cobra.
"Tidak, . aku yang berjodoh!" Orang Hui itu berseru.
"Trakkk!" Tongkat mereka bertemu dan sungguh hebat
sekali. Tongkat ular cobra kering dan tongkat bambu itu
keti-ka saling bertemu, terdengar suara nyaring dan
tampak bunga api berpijar seo-lah-olah yang bertemu itu
adalah benda yang terbuat daripada baja murni. Dari
kenyataan ini saja sudah dapat diketahui bahwa dua
orang Itu adalah orang-orang yang memilikl kesaktian.
Ouw Kan me nyerang dengan gerakan silat yang aneh
17

bagi Tiong Lee Cin-jin. Gerakan Ouw Kan yang bertubuh


sedang dan tegap ini meliuk-liuk seperti gerakan seekor
ular, cocok sekali dengan senjatanya, yaitu sebatang
tongkat ular cobra kering. Hebatnya, gerakannya yang
cepat dengan serangan yang tidak terduga-duga
datangnya itu diseling dengan suara mendesis-desis
yang keluar dari mulutnya yang diruncingkan, presis
seekor ular yang menyemburkan uap beracun. Namun,
lawannya, Ali Ahmed ternyata juga memiliki gerakan silat
yang hebat. Gerakan ke-dua kakinya jelas dipengaruhi
oleh ilmu Siauw-lim-pai Utara. Tongkat bambunya
menyambar-nyambar, diseling kedua kakinya silih
berganti yang tidak kalah bahayanya bagi lawan
dibanding tongkainya. Mereka bergerak cepat dan
tangkas, tong kat ular cobra dan tongkat bambu itu
lenyap bentuknya berybah menjadi gulungan sinar hitam
dan hijau. Hanya kadang-kadang kedua sinar Itu bertemu
dan meledaklah bunga api berpljar menyilaukan mata.'
Tlong Lee Cin-Jin masih tetap duduk bersila.
Buntalan kain kuningnya yaog kini diperebutkan orang itu
masih terletak di atas tanah, di depannya, Sejak tadi
Tiong Lee Cin-jfn menonton pertandingan itu dan diamdiam dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaian silat
dya orang itu sudah tinggi. Pantasnya iriereka itu datukdatuk persilatan di darah mereka sendiri. Dia tidak
merasa heran bahwa ada orang-orang dunia per silatan
mengetahui bahwa dia pulang ke Cina membawa kitabkitab pusaka. Orang orang dunia persilatan itu selalu
haus akan pusaka-pusaka yang sekiranya da-pat
membuat mereka menjadi semakin llhai, seperti senjatasenjata ampuh atau kitab-kitab pelajaran ilmu yang tinggi.
Perkelahian antara Ouw Kan dan Ali Ahmed itu
menjadi semakin seru. Kini keduanya tidak hanya
18

mengandalkan ilmu silat untuk saling serang, akan tetapi


juga mempergunakan ilmu sihir. Ketika Ouw Kan
mengeluarkan teriakan aneh, dari mulut ular cobra kering
yang menjadi tongkatnya itu menyambar uap hitam yang
berbau amis ke arah lawan! AU Ahmed tidak ingnjadi
gugup. Tangan kirinya terbuka mendorong ke depan dan
keluarlah uap putih dari telapak tangannya yang
menyambut uap hitam. Keduanya terdorong ke belakang
dan terhuyung. Akan tetapi mereka sudah dapat
mengatur keseimbangan tubuh mereka kembali dan
sudah siap untuk saling gempur, melanjutkan
pertandingan tadi. Akan tetapi tiba-tiba keduanya
tersentak kaget keti-ka mendengar suara tawa bergelak
yang datangnya seolah dari atas kepala mereka. Suara
tawa bergelak itu datang berge lombang, makin lama
makin kuat mengan dung daya serangan yang amat kuat
menerobos telinga mereka dan menjalar ke arah jantung!
Dua orang kakek itu kini berdiri, bersedakap,
memejanikan kedua mata mereka dan mengerahkan
seluruh tenaga sakti mereka untuk melindungi diri
mereka dari serangan suara tawa yang amat kuat itu.
Suara tawa seperti itu yang mengandung tenaga khikang yang amat kuat, dapat merusak jantung atau
setidaknya akan dapat mengacau jaringan syaraf di otak
sehingga dapat membuat orang menjadi gila!
Tlong Lee Cin-jin juga merasakan kehebatan
pengaruh suara tawa itu. Na-mun dengan wajah tetap
sabar dan te-nang, dengan bibir masih tersungging se
nyuman lembut, dia memejamkan kedua matanya dan
tenggelam ke dalam alam semesta. Suara tawa itu sama
sekali tidak mengganggunya karena dia seolah telah
bersatu dengan suara itu, hanyut bersama suara itu,
sedikitpun tidak menentang sehingga suara itu sama
sekali tidak mengganggu bahkan dia dapat mera sakan
19

keindahan dalam suara tawa yang bergelak-gelak dan


bergema itu. Inilah keadaan yang dinamakan "melebur
dan membaur dengan segala" sehingga tidak terjadi
pertentangan, seperti sebatang pohon liu (cemara) yang
tidak menentang datangnya badai sehingga meliuk-liuk
menurutkan dorongan angin dan sama sekali tidak patah
dahannya, tidak rontok daunnya, dan tetap utuh sampai
badai berlalu. Tidak seperti pohon siong yang kokoh
menyambut badai dengan mengandalkan kekuatannya
dan akhirnya tumbang dan roboh oleh hantaman badai
yang jauh lebih kuat daripada dirinya!
Tak lama kemudian, muncullah seorang kakek lain.
Kemunculannya aneh. Mula-mula tampak asap putih
bergulung-gulung, kemudian ketika asap membubung
dan menghilang, tampak kakek itu. Dia seorang kakek
berusia kurang lebih enam puluh tahun. Jubahnya seperti
ju-bah seorang hwesio, dari kain kuning ber-kotak-kotak
merah. Kepalanya memakai sebuah peci kuning pula,
menutupi kepala nya yang gundul. Tubuhnya tinggi
besar, perutnya gendut dan kancing jubahnya bagian
dada terbuka sehingga tampak dadanya yang gempal
dan bidang dan di atas ulu hatinya tumbuh rambut hitam
keriting. Kepala gundul yang tertutup peci kuning itu besar
dan bulat. Mukanya bundar dan segala anggauta tubuh
pendeta ini serba bundar. Sepasang matanya lebar dan
bulat, hidungnya juga besar, demikiap pula mulutnya,
lebar dan selalu menyeringai. Kedua daun telinganya
panjang dah lebar. Melihat pakaian kuning berkotakkotak merah dan tongkat panjang berkepala naga itu,
Tiong Lee Cin-jin tahu bahwa pendeta itu adalah seorang
pendeta Lama dari Tibet.
Setelah memperlihatkan diri, pendeta itu berdiri
tegak, tangan kirinya meme-gang tongkat kepala naga
20

yang tingginya sama dengan tinggi tubuhnya, dan dia


masih tertawa bergelak, akan tetapi tawanya wajar, tidak
lagi mengandung khi-kang yang memiliki daya serang
dahsyat seperti tadi.
Hua-ha-ha-ha, kiranya ada dua ekor anjing dari Sinkiang dan Mongol yang saling berebutan tulang di sini!
Kalian ini orang Uigur dan Hui, bukan?"
"Setan jahanam!" Ali Ahmed memaki marah karena
dikatakan anjing oleh pendeta itu. "Aku memang benar
datang dari Mongolia Dalam, namaku Ali Ahmed.
Siapakah engkau, manusia sombong?"
"Dan aku adalah Ouw Kan dari Sin-kiang. Engkaii ini
pendeta Lama harap jangan mencampuri urusan kami,"
bentak Ouw Kan.
"Ha-ha-ha, aku Jit Kong Lama nie'-mang suka
mencampuri urusan orang la-in kalau urusan itu
menyangkut diriku. Ketahuilah kalian, kitab-kitab dari
Barat itu hanya aku yang berhak memiliki dan tidak boleh
diambil siapapun Juga. Kali-an berdua lebih baik segera
mengelinding pergi dari sini sebeluni kepala kali-an yang
meiiggelinding terpisali dari tubuh kalian!" kata pendeta
yang bernama Jit Kong Lama itu. Namanya sungguh
besar karena Jit Kong berarti Sinar Matahari.
Ouw Kan dan An Ahmed yang tadi saling serang itu
marah sekali. Mereka untuk sementara melupakan
permusuhun di antara mereka dan bagaikan mondapat
komando, keduanya membanting tongkat mereka ke alas
tanah. Terdengar dua kali ledakan, asap mengepul,
tongkat le nyap dan berubah menjadi dua ekor bina tang
yang menyeramkan. tongkat ular cobra milik Ouw Kan
21

kini telah menjadi seekor ular cobra yang besar dan


panjang, yang mengangkat kepala dan lehernya ke atas
sehingga tegak, moncongnya agak terbuka, rnendesisdcsis dan ada uap hitam tersembur keluar dari
moncongnya, lidahnya keluar masuk adan sepasang
matanya seperti berapi. Ular cobra ini bergerak maju
hendak menyerang Jit Kong Lama. Adapun tongkat
bambu milik Ali Ahmed berubah menjadi seekor kelabang
yang juga besarnya hampir sa ma ular cobra itu, kulitnya
berwarna merah darah, kakinya yang amat banyak itu
bergerak-gerak,
sungutnya
meraba-raba
dan
moncongnya juga siap untuk mehggigit. Banyak kaki
yang bergerak-gerak itu membawa tubuh yang besar itu
maju dengan cepat ke arah Jit Kong Lama.
Melihat dua orang lawannya menyihir tongkat mere^a
mepjadi ular dan kela-bang yang akan menyerangnya, Jit
Kong Lama roenyeringat dan memandang rendah.
"Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak seperti itu kalian
pamerkan kepadaku?" katanya dan sekali dla melempar
tongkat kepala naga itu ke atas, tampak asap mengepul
dan tongkat Itu sudah ber ubah menjadi seekor burung
raJawali besar. Burung itu dengan ganas dan buas nya
sudah menyambar ke bawah dan menyerang ular cobra
dan kelabang itu dengan patuk dan cakarnya. Ular cobra
dan kelabang itu melawan mati-matian. Akan etapi
segera mereka menjadi kewalahan karena burung
rajawali itu menyambar nyambar dari udara sehingga
sukar bagi mereka untuk menyerangnya, sebaliknya
burung itu dapat menyerang kedua lawan-nya dengan
leluasa dari atas.
Tiong Lee Cin-jin tahu siapa Kong Lama itu. Ketika
meninggalkan dia dan kembali ke Cina, dia singgah di
22

Tibet dan mengadakan pertemuan dengan para pendeta


Lama, bahkan selama satu jam dia diberi kesempatan
untuk mengha-dap Dalai Lama. Dari para tokoh pende ta
Lairia di Tibet, dia mendengar bahwa ada beberapa
orang pendeta Lama di Ti-bet yang melakukan
penyelewengan. Mengumpulkan harta benda dari rakyat
untuk kepentlngan dlri sendiri dan melakukan
pelanggaran pantangan berdekatan dengan wanlta. Jtt
Kong Lama merupa-kan seorang di antara para pendeta
La-ma yang melakukan penyelewengan itu bahkan dia
merupakan seorang tokoh besarnya, Melihat adu
kekuatan sihir antara pendeta Lama Itu melawan datuk
darl suku bangsa Uigur dan Hul, tahulah dia bahwa Jit
Kong Lama jauh lebih kuat daripada dua orang
lawannya.
Dugaannya memang benar. Ketika Ouw Kan dan Ali
Ahmed melihat ular dan kelabang jadijadian milik mereka
itu kewalahan menghadapi serangan gen-car burung
rajawali, keduanya lalu meng-angkat tangan kanan ke
atas dan mengerahkan tenaga sihir mereka. Ular dan
kelabang itu tiba-tiba terbang ke bela-kang dan setelah
tiba di tangan mereka, berubah kembali menjadi tongkat
ular cobra dan tongkat bambu yang sudah lecet-lecet.
Sambil tertawa Jit Kong Lama ju-ga memanggil
burung rajawali jadi-jadi-an itu. Burung itu terbang ke
tangannya dan berubah pula menjadi tongkat pan-jang
berkepala naga.
"Kalian masih juga belum minggat darl sini?" tegurnya
dengan nada meman-dang rendah kepada dua orang
lawannya
itu'
23

Akan tetapi Ouw Kan dan Ali Ahmed adalah dua


orang yang di daerah tempat tinggalnya terkenal sebagai
datuk-datuk yang sukar dicari tandingannya. Maka tentu
saja mereka tidak mudah nie nyerah kalah. Biarpun tadi
dalam adu kekuatan sihir mereka harus mengakui
keunggulan Lama dari Tibet itu, namun mereka masih
beluin mau mundur. Sete-lah saling bertukar pandang,
seperti me-nyatukan keinginan untuk menandingi pen
deta Lama yang hendak menghalangi me reka
mengambil kitab-kitab pusaka, dua orang itu serentak
bergerak maju, cepat sekali mereka menerjang dan
menyerang Jit Kong Lama. Serangan mereka ini bukan
sekedar serangan dengan mempergu-nakan ilmusilat,
namun serangan yang diperkuat dengan ilmu sihir. Tubuh
mere ka lenyap dan hanya tongkat ular cobra dan tongkat
bambu itu saja yang tampak menyerang dan seperti
terbang ke arah tubuh Jit Kong Lama!
Namu pendeta dari Tibet itu tidak menjadi gentar. Dia
sendiri adalah seo-rang ahl! silat dan ahli sihir yang sudah
mencapai tingkat tinggi, maka diapun mengeluarkan
suara membaca mantram dan tiba-tiba tubuhnya juga
lenyap dan yang tampak hanya tongkat panjang
berkepala naga itu yang bergerak cepat me-nyambut
serangan dua batang tongkat yang mengeroyoknya itu.
Kalau saja di situ terdapat orang bia-sa yang
menyaksikan pertandingan itu, tentu akan bengong
terlongong saking herannya melihat ada dua batang
tong-kat pendek "berkelahi" mengeroyok seba-tang
tongkat panjang! Namun, Tiong Lee Cin-jin adalah
seorang yang telah menda-patkan gemblengan
bermacam ilmu sela-ma dua puluh lima tahun merantau
ke daerah barat, yaitu ke daerah Bhutan, India, Nepal,
Tibet dan bertahun-tahun merantau ke daerah Himalaya
24

dan berte-mu dengan banyak pertapa-pertapa sakti,


mempelajari banyak macam ilmu. Oleh karena itu,
biarpun tiga orang itu mempergunakan ilmu sihir dan
menghi-lang, dia masih dapat melihat mereka ketika
mereka bertanding memperguna kan tongkat mereka.
Dia melihat deng-an jelas pertandingan itu. Ouw Kan dan
Ali Ahmed memainkan tongkat, pendek mereka seperti
seorang bermain pedang, sedangkan Jit Kong Lama
memainkan tongkatnya yang panjang seperti orang
bermain silai tongkat dengan kedua ta-ngan.
Pertandingan itii seru dan dahsyat sekali. Ternyata
ketiganya merupakan ahli-ahli silat tingkat i tinggi.
Terutama sekali Jit Kong Lama. Ilmu silatnya dahsyat
sekali. Ketika de'ngan kedua tangan dia memainkan
tongkat kepala naganya, tiada ubahnya dia ba^aikan
seekor naga yang melayanglayang dan setiap gerak-an
tongkatnya mendatiangkan .angin yang menyambar kuat!
Dua orang yang mengeroyok itupun memiliki ilmu
silat yatig tinggi. Gerakan :mereka lincah dan tangkas,
serangan me-reka cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat. Namun, setiap- kaJi tong-kat ular cobra
atau tongkat bambu berte Inu tongkat panjang berkepala
naga, dua tongkat yang Jlebih, pe^ndek itu terpental
kuat.
Tiong Lee Cin-jin mengikuti jalannya pertandingan
dengan penuh perhatian.
Lambat laun, kedua orang pengeroyok itu mulai
terdesak hebat. Kini tiga tong ! kat itupun sudah lenyap
bentuknya. Yang tampak hanya dua gulungan sinar
pendek mengeroyok segulung sinar panjang. Namun
tentu saja pandang mata Tiong Lee Cin-jin yang tajam
terlatih itu dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan
25

baik. Suatu saat dia melihat tongkat ular cobra


menyambar dengan tusukan atau totokan ke arah leher
Jit Kong Lama. Tusukan itu berbahaya sekali kare-na
ujung tongkat yang menyerupai mu lut ular cobra yang
terpentang itu meng andung racun ular cobra yang amat
am puh. Tergores sedikit saja, racun akan memasuki
tubuh lewat luka goresan dan kalau racun sudah
mencapai jantung, ma tilah orang itu! Pada detik-detik
berikut nya, tongkat bambu di tangan Ali Ahmed juga
sudah menyambar dan melakukan totokan ke arah jalan
darah di lam-bung Jit Kong Lama! Inipun merupakan
serangan maut, karena kalau jalan darah itu sampai
terkena totokan tongkat yang dialiri sinkang (tenaga
sakti) itu maka pendeta Lama itu tentu akan boh dan
tewas seketika.
Tiong Lee Cin-jin maklum betapa deta Lama itu
berada dalam ancaman maut. Akan tetapi pendeta
gendut itu masih menyeringai. Tiba-tiba, secara ti-dak
terduga dan cepat sekali, tangan kirinya menangkap
ujung tongkat ular cobra dan kaki kirinya mencuat dalam
teii dangan kilat ke arah lengan tangan ka nan Ouw Kan
yang memegang tongkat. Begitu cepatnya tendangan itu
sehingga terpaksa Ouw Kan menarik tangarinya dan
pada saat itu Jit Kong Lama menge-rahkan tenaga
membetot tongkat ular cobra sehingga terlepas dari
pegangan Ouw Kan. Pada saat itu, tongkat bambu datang
meluncur ke arah lambung. jit Kong Lama tidak sempat
menangkis atau mengelak. Akan tetapi dia sedikit
memutar tubuhnya sehingga tongkat yang tadlnya
meluncur dan menyerang lambung, kini menusuk ke arah
perut yang gendut itu!
"Cappp ........ !" Tongkat bambu itu me-nancap di
perut Jit Kong Lama yang gendut. Ali Ahmed sudati
26

rnengeluarkan seruan gembira karena mengira


tongkatnya telah memasuki perut lawan. Akan teta pi
Tiong Lee Cin-jin berpendapat lain.
Jit Kong Lama menyeringai lebar, tangan kirinya
melontarkan tongkat ular cobra ke arah Ouw Kan.
Tongkat melun-cur seperti anak panah menyambar, ke
arah dada pemiliknya. Ouw Kan terkejut dan cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja ujung tongkat
menyerempet pundaknya.
"Aduh ........ !" Ouw Kan terhuyung. Pada saat itu, Jit
Kong Lama berseru nyaring, "Pergilah!" Tiba-tiba
perutnya bergerak mengembung dan tongkat bambu
yang masih dipegang oleh Ali Ahmed Itu sepertl dldorong
keras. Tubuh orang suku Hui itu Ikut terdorong sehingga
ia roboh terjengkang. Cepat dia bangkit dan mukanya
menjadi pucat, di ujung biblrnya tampak darah sehingga
mudah diketahul bahwa Ali Ahmed telah menderita luka
dalam. Sementara itu, Ouw Kan cepat menelan pel obat
penawar racun tongkat ular cobranya sendiri yang telah
melukai pundak dan meracuninya. Dua orang itu kini
maklum mereka tidak mungkin akan mampu menandingi
Jit Kong Lama, maka keduanya tanpa berun-ding lagi
sudah berloncatan jauh meninggalkan lereng itu!
"Hua-ha-ha-ha-ha! Cacing-cacing ta nah seperti itu
berani menjual lagak hendak memiliki kitab-kitab pusaka
yang su ci! Jit Kong Lama tertawa dan setelah berkata
demikian, di& memutar tubuh-nya dan menghampiri Tiong
Lee Cin-Jin. Setelah mengamati pria yang masih du duk
bersila itu sesaat lamanya, kemudi-an dia memandang ke
arah buntalan kain kuning di depan orang itu, Jit Kong
Lama bertanya, "Engkaukah yang berna ma Tiong Lee
Cin-jin dan yang telah berhasil mengumpulkan banyak
27

kitab pusa ka penting untuk kaubawa ke Ttonegoan


(Cina)?"
Tiong Lee Cin-jin perlahan-lahan bangkit berdiri.
mengebutkan kain yang membalut tubuhnya bagian
bawah yang kotor terkena debu, kemudian mengangkat
kedua tangan kedepan dada menyembah sebagai salam.
"Selamat berjumpa, Jit Kong tLama, semoga Yang
Maha Kasih memberkatimu!"
"Hua-ha-ha! Tentu saja Yang Maha Kasih selalu
memberkati aku. Buktinya baru saja aku dapat
mengalahkan dap mengusir dua orang jahat itu!"
"Bukan, sayang sekali bukan kekuasaan Yang Maha
Kasih yang tadi menibantumu mengalahkan Ouw Kan
dan Ali Ahmed, Jit Kong Lama. Yang membantumu
adalah ilmuilmumu sendiri yang, didorong oleh nafsu
setan yang menguasai dirimu," kata Tiong Lee Cinjin
dengani sikap tenang dan suaranya terdengar lembutpenuh kesabaran.
Sepasang mata yang besar bulat itu mencorong, alis
yang tebal itu berkerut, lubang hidung yang lebar itu
kembang kempis. "Apa kaubilang? Apa maksudmu
mengatakan bahwa kemenanganku tadi didorong nafsu
setan? Jangan seenaknya engkau bicara, Tiong Lee Cinjin!"
"Tindakan dua orang tadi yang hendak menggunakan
kekerasan untuk merampas kitabkitabku jelas terdorbng
nafsu setan, ingin memiliki barang yang sama sekali
bukan hak mereka. Lalu engkau muncul dan engkau
menentang mereka, bertanding dan mengalahkan
28

mereka. Bukiankah perbuaianmu itupun terdorong nafsu


yang sama, ingin memiliki kitabkitab-ku seperti yang
kaukatakan kepada mereka tadi?"
Jit Kong Lama tertawa bergelak se-hingga perutnya
yang gendut itu bergo-yang-goyang. "Hua-ha-ha-ha!
Engkau keliru, Tiong Lee Cin-jin. Aku memang
menginginkan beberapa buah kitab, akan tetapi bukan
dengan cara merampok atau merampas, melainkan
sebagai imbalan. Aku telah menyelamatkan engkau dari
perampokan yang dilakukan dua orang tadi, maka tentu
saja aku berhak mem-peroleh imbalan darimu. Aku tidak
min-ta imbalan apa-apa kecuali beberapa bu-ah kitab
yang akan kupilih di antara ki-tab-kitabmu, Tiong Lee Cinjin. Ha-ha-ha-ha!'
"Menolong dengan pamrih memperoleh imbalan itu
bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan,"
kata Tiong Lee Cin-jin lembut, seperti memberl nasihat
kepada muridnya.
"Ha-ha-he! Sebaliknya ditolong akan tetapi tidak mau
memberi keuntungan kepada si penolong, itu namanya
tidak mengenal budi! Sudahlah, aku akan me-nulih sendiri
kitab-kitab mana yang akan kuambil sebagai imbalan
pertolonganku tadi, Tiong Lee Cin-jin."
Tiong Lee Cin-jin melangkah maju dan dengan tangan
kanannya dia mengusap buntalan kain kuning berisi kitabkitabnya. "Semua kitabku berada di dalam buntalan ini,
Jit Kong Lama," katanya.
"Akan kupilih, yang mana kusukai akan kuambil!"
kata -Jit Kong Lama. Dia menancapkan tongkat kepala
naganya di atas tanah lalu berjongkok untuk mern buka
29

empat ujung kain kuning yang disimpulkan di atas


tumpukan kitab itu. Akan tetapi terjadi keanehan. Jari-jari
kedua tangannya yang kuat sekali itu ti-dak mampu
membuka ikatan keempat ujung kain kuning yang
disimpulkan secara sederhana itu! Betapapun dia
rnengerahkan tenaga mencobanya, tetap saja jari-jari
.tangannya tidak mampu membukanya, seolah-olah
semua jari tangannya kehilangan tenaganya dan menjadi
kaku atau lumpuli! Jit Kong Lama menjadi heran lalu
penasaran dan marah sekali. Dia mengerJlikan sin-kang
(tenaga sakti) sekuatnya, namun tetap saja jari-jarinya
seperti mogok, tidak dapat membuka simpul Kemudian
dia mengerahkan ke-kuatan sihirnya. Sama saja. Jari-jari
kedua tangannya seolah-olah memang tidak mau
membuka simpul itu.
"Keparat!"
Dia
melompat
bangun,
ber-diri
menghadapi
Tiong
Lee
Cin-jin.
"Eng-kau
mempergunakan ilmu siluman mencegah aku membuka
buntalan kain ini!" bentaknya marah, matanya melotot dan
mukanya berubah merah.
"Jit Kong Lama, aku sama sekali tidak
mempergunakan
.ilmu
apa-apa.
Aku
hanya
menyesuaikan diri, menerima keadaan dengan
penyerahan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau Yang
Maha Kuasa tidak menghendaki engkau membuka
buntalan itu, biar engkau mempergunakan kekuatan
apapun yang ada di dunla engkau tidak akan mampu
membukanya," kata Tiong Lee Cin-jin dengan tenang
dan penuh kesabaran.
"Tiong Lee Cin-Jin, engkau menantang aku, Jit Kong
Lama? Apaknh aku. harus mempergunakan kekerasan
terhadapmu untuk memiliki kitab-kitab ini.
30

"Tidak ada yang menantangmu selain nafsumu


sendiri, Jit Kong Lama. Orang hanya memetik hasil yang
ditanamnya. Menanam kekerasan akan memetik sendirl
akibatnya."
"Sombong! Lihat naga hitamku menerkammu!"
Setelah membentak demikian Jit Kong Lama
melontarkan tongkat kepala naga itu ke atas. Terdengar
bunyi ledakan. Tongkat itu berubah menjadi asap hltam
dan dari asap hitam itu mun-cul seekor naga yang
menyeramkan. Matanya berkilat, moncongnya terbnka me
nyemburkan api, kedua lubang hidungnya mendengus
mengeluarkan asap, cakar kedua kaki depannya siap
inenerkam dan naga itu meluncur turun menerjang Tiong
Lee Cin-jin dengan buas itu serta masih ditambah suara
gemuruh yang keluar dari mulut naga itu sehingga dapat
meng getarkan dan menakutkan hati orang yang paling
tabah sekalipun.
Namun Tiong Lee Cin-jin adalah seorang yang sudah
mencapai tingkat ke-jiwaan yang amat tinggi. Dalam
keadaan bagaimanapun dia sudah menyerah total
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan
sedemikian mutlak sehingga meniadakan akunya,
mengesampingkan nafsu-nafsunya dan yang bekerja
pada dirinya pada saat itu bukan lagi hati akal pikirannya
melainkan sepenuhnya diisi oleh Kekuasaan Tuhan yang
n-ienga-lir masuk ke dalam jiwa raganya. Kalau sudah
demikian, maka bukan lagi dia se bagai manusia dengan
hati akal pikiran-nya, melainkan Roh Kekuasaan Tuhan
yang bekerja menanggulangi apa saja yang datang
menimpa dirinya.
Tiong Lee Cin-jin yang diserang oleh naga hitam jadijadian itu membungkuk, tangan kanannya mengambil
31

segenggam tanah lalu melontarkan tanah itu kepada


naga hitam yang hendak menerkamnya,
mulutnya berkota lembut namun penuh wibawa yang
menggetarkan, "Berasal dari tanah keinbali kepada
tanah!"
Segenggarn tanah itu meluncur tepat mengenai
kepala naga yang sedang menerkam itu.
"Blarrrr ........ !" Terdengar ledakan disusul asap hitam
bergulung-gulung. Naga', itu terjatuh ke atas tanah dan
begitu tiba di atas tanah naga hitam itu telah berubah
kembali menjadi' tongkat berkepala naga milik Jit Kong
Lama.
Pendeta Lama itu terkejut dan marah bukan main.
Diarnbilnya tongkatnya dan ditancapkan tongkatnya itu
ke atas tanah lalu dia membentak, "Tiong Lee Cin-jin,
apa engkau menghendaki ? aku membunuh mu dengan
tanganku ini? Lihat, apakah kepalamu lebih kuat
daripada batu ini?" Dia menggosok-gosok kedua telapak
tangannya. Uap putih mengepul dari kedua tangannya
yang kini, menjadi keme-rahan seperti bara api. Dia lalu
meng hampiri sebuah batu sebesar kerbau yang terletak
tak jauh dari situ. Dia mengangkat kedua tanganhya,
berganti menghantam ke arah batu.
"Darr-darrr!" Batu sebesar kerbau itu hancur
berkeping-keping terkena hantam-an kedua tangannya.
Sungguh sebuah kekuatan yang amat dahsyat!
"Nah, Tiong Lee Cin-jin! Kauserahkan baik-baik
semua kitab itu kepadaku
atau aku harus
menghancurkan dulu kepalamu dengan tanganku?"
32

bentaknya sambil mengharnpiri Tiong Lee Cin-jin.


"Aku tidak menghalangi engkau meng ambil kitab,
namun kuperingatkan bahwa kitab-kitab ini bukan hak
milikmu dan kalau engkau hendak nekat mengambilnya,
hal itu sama saja dengan perampas-an dan tentu saja hal
itu amat ttdak baik dan tidak patut dilakukan seorang
pendeta sepertimu, Jit Kong Lama. Sepuluh ribu ayat kitab
suci engkau hafal kan, namun satu saja tidak
kaulaksanakan, apakah artinya semua jerih payahmu
itu?"
"Manusia sombong, engkau patut dihajar!" bentak Jit
Kong Lama dan dia lalu mengayun tangan kanannya ,
yang merah seperti bara api, menampar ke arah muka
Tiong Lee Cin-jin. Dapat dibayangkan betapa kepala itu
akan hancur lebur dihantam tangan yang telah membuat
batu besar pecah berkeping-keping ketika dipukul tadi!
Namun, Tiong Lee Cin-jin sedikitpun tidak membuat
gerakan mengelak atau menangkis, melainkan diam saja,
hanya matanya meman-dang dengan sinar lernbut tajam
kepada penyerangnya.
"Wuuuutttt ........ !" Terjadi keanehan yang luar biasa.
Tangan itu menyambar ke arah pelipis kiri kepala Tiong
Lee Cin-jin. Rambut kepala Tiong Lee Cin-jin sudah
berkibar tertiup angin pukulan dahsyat itu. Akan tetapi
ketika tangan itu sudah mendekati kepala, tinggal
sejengkal lagi, tiba-tiba saja tangan itu luncurannya
menyimpang dan membelok tidak mengenai sasarannya!
Jit Kong Lama terkejut dan heran. Dia merasa seolah
tangannya itu tertolak atau tertangkis oleh 'hawa yang
lunak namun berat dan kuat bukan main, merasa seolah
tangannya digerakkan dalam air. Dia menjadi penasaran
dan tangan kiirinya menyusul, kini tangan kiri itu
33

menyodok atau menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah


dada lawan.
"Wuuuuttt....!" Kembali yang dlserang diam saja,
hanya memandang dengan senyumnya yang lembut.
Untuk kedua kalinya tangan Jit Kong Lama tidak
mengenai sasaran. Tusukan tangan itupun seolah
meleset karena tertepis hawa yang lunak berat dan kuat.
Jit Kong Lama melangkah mundur, matanya yang
sudah besar itu dilebarkan terbelalak. Dia adalah
seorang yang sudah mempelaj'ari banyak ilmu dan
sudah mempunyai banyak pengalaman ber tanding
melawan orang-orang sakti. Akan tetapi belum pernah dia
mengalami hal seperti ini! Kalau Tiong Lee Cin-jin mem
buat gerakan mengerahkan tenaga sakti untuk
menangkis serangannya, bahkan kalau Tiong Lee Cin-jin,
menggunakan ilmu kekebalan untuk menerima serangannya, hal itu tidak akan mengherankannya. Akan tetapi
lawannya ini tidak membuat gerakan apapun, juga tidak
melakukan sihlr, tidak membaca mantera, bahkan sama
sekali tidak mengeluarkan tanda-tanda melawan
serangannya. Akan tetapi, dua kali pukulannya yang dia
tahu amat ampuh itu tidak dapat menyentuh tubuh lawan.
Dia merasa seperti ada dinding hawa yang aneh
menyelimuti tubuh Tiong Lee Cin-jin, atau seolah
tangannya yang tidak mau memukul orang itu!
"Keparat! Lawanlah aku dengah ilmumu, jangan
menggunakan ilmu siluman!" bentaknya marah.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan menjawab dengan
suara yang halus.

34

"Jit Kong Lama, semua ilmu menjadi ilmu siluman


yang jahat kalau dipergunakan untuk berbuat sewenangwenang, menyerang untuk menyakiti atau membunuh
orang yang sama sekali tidak bersalah. Renungkanlah itu
dan sadarlah. Mari kita berpisah sebagai saudara, bukan
sebagal musuh."
Igi
Akan tetapi bagi Jit Kong Lama yang is belum pernah
dikalahkan orang, belum pernah pula mengalah terhadap
orang lain, ucapan Tiong Lee Cin-jin dianggap sebagai
ejekan yang merendahkan atau mengliinanya. Orang
yang menganggap' diri sendiri terlalu tinggl dan terlalu
penting selalu mudah tersinggung. Dia menyambar
tongkat kepala naga yang tadi ditancapkan di atas tanah
dan membentak.
"Kita berpisah sebagai saudara kalau engkau
menyerahkan kitab-kitab itu ke-padaku! Kalau tidak, kita
tetap akan berpisah sebagai musuh dan sebelum
berpisah, aku akan menghancurkan dulu ke-palamu!"
ucapan ini ditutup oleh sambar an tongkat kepala naga
itu. Terdengar bunyi desir angin mengiuk dan ujung
tongkat menyambar ke arah kepala Tiong Lee Cin-jin.
Seperti tadi Tiong Lee Cin-ji" tidak menangkis maupun
mengelak melainkan diam saja, hanya memandang
dengan sorot rnatanya yang lembut dan mulutnya
fersenyum penuh kesabaran.
Tongkat menyambar dan tampaknya sekali ini ujung
tongkat akan mengenai sasaran. Akan tetapi setelah
hantaman tongkat itu tiba dekat kepala, hanya beberapa
senti meter lagi jaraknya, tiba-tlba tongkat itu membalik
35

seolah bertemu dengan benda tak tampak yang amat


keras dan kuat. Tongkat itu membalik dengan kekuatan
yang sama dan memukul ke arah kepala Jit Kong Lama
sendiri?' Jit Kong Lama terkejut dan cepat menggerakkan
tongkat sehingga luput menghantam kepalanya sendiri.
"Segala sesuatu kembali ke asalnya semula.
Kekerasanpun kembali kepada kekerasan. Lupakah
engkau akan kenyataan itu, Jit Kong Lama?"
Jlt Kong Lama berdiri terbelalak. Mukanya berubah
pucat. Kini terbukatah matanya. Yang melindungi Tiong
Lee Cin-Jin Itu bukanlah semacam ilmu yang dapat
dlpelaJarl manusia. Teringatlah dia akan dongeng yang
pernah didengarnya tentang kesaktian Sang Budhi
Dharma atau yang dikenal sebagai Tat Mo Couwsu.
Menurut dongeng, Sang Budhi Dharma juga memiliki
kesaktian seperti yang dthadapinya sekarang ini. Tanpa
bergerak menangkis atau mengelak, Sang ,Budhi
Dharma dapat terhindar dari segala macam serangan
berupa kekerasan yang datang dari luar dirinya. Ada
sesuatu yang melindunginya sehingga se-mua .
serangan tidak dapat menyentuh dirinya. Menurut
dongeng, sikap Sang Budhi Dharma itu disebut "Menyatu
de-ngan Alam". Dengan tidak mengadakan perlawanan,
maka dia terlindung oleh KEKUATAN GAIB yang
menggerakkan seluruh alam maya pada ini. Kekuatan
yang menumbuhkan segala sesuatu, ke-kuatan yang
mengguncang
air
samudera,
kekuatan
yang
menggerakkan awan-awan, kekuatan yang mengatur
segala sesuatu yang tampak maupun yang tidak tampak.
Kalau Kekuatan seperti itu melindungi seseorang, maka
kekuasaan apakah yang akan mampu menyentuh orang
itu?

36

Teringat akan ini, Jit Kong Lama mengerutkan


alisnya, memandang kepada pria setengah tua yang
berdiri dengan senyum lembutnya itu dengan gentar.
Kemudian, dengan tangan kanan meme-gang tongkat
kepala naga, dan tangan kiri dimi'ringkan ke depan dada,
dia ber-kata, "Tiong Lee Cin-jin, biarlah sekali ini aku
mengaku kalah. Akan tetapi ingat, aku adalah seorang
yapg tidak dapat begitu saja menerima kekalahan.
Tunggulah saatnya aku menemuimu atau muridmu untuk
membalas kekalahan hari ini!" Setelah berkata demikian,
tanpa menantl jawaban, tubuhnya melompat dan
terdengar bunyi ledakan. Asap mengepul tebal dan
ketika asap membuyar, pendeta Lama itu sudah tidak
tampak lagi bayangannya!
Tlong Lee Cin-jin menghela napas panjang,
mengambil buntalan kain kuning dan menggendongnya
kembali dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa.
Kemudian dia menghela napas panjang lagl dan berkata
seorang diri, lirih. "Sayang, orang-orang yang telah
menguasai
banyak
ilmu
setinggi
itu
tidak
mempergunakan ilmunya untuk menyebar benih
kebaikan di dunia. Sungguh sayang ........ !' Dia lalu
melangkah menurum lereng seolah tidak pernah terjadi
sesuatu. Ketika melangkah ini, kcpalanya bergoyanggoyang perlahan, matanya menerawang jauh dan dia
sendiri mendengar detak jantungnya berbisik "Tuhan Tuhan
Tuhan ........ " tiada henti-hentinya.
Anak-anak laki-laki itu berusia seki-tar sepuluh tahun.
Dia duduk di atas punggung seekor kerbau betina
dengan santai sambil meniup sebatang suling bambu.
Lagunya lagu kanakkanak dusun yang sederhana.
37

Namun karena ditiup di lereng pegunungan yang sunyi itu,


terde ngar mengalun indah. Di tempat yang sunyi hening
seperti itu, suara anjing menggonggong di kejauhanpun
terdengar menyenangkan hati. Bahkan suara daun dl
puncak pohon bergoyanggoyang me-nlmbulkan desah
gemerisikpun terdengar merdu menenangkan hati.
Tubuh anak itu sedang saja, kulitnya yang tampak
pada tubuh bagian atas yang telanjang itu karena dia
hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, tampak
kecoklatan terbakar terik matahari. Rambutnya dipotong
pendek. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar
sehingga mukanya teftutup bayangan caping. Wa-jah
anak itu tampan dan cerah, berben-tuk bulat telur dengan
dagu agak meruncing. Sepasnng alis matanya hitam
tebal melindungi sepasang mata yang bersinar terang
dan yang memandang dunia ini dengan berseri,
sepasang mata yang putihnya jernih dan hitamnya
legam.
Hidung
nya
mancung
dan
mulutnya
membayangkan kemauan yang kuat. Seperti kebanyakan
anak dusun, anak inipun membayangkan kejujuran dan
keterbukaan sehingga tampak bodoh.
Dia meniup suling dan tenggelam dalarn suara
sulingnya sendiri sehingga dia seperti lupa akan keadaan
dirinya, membiarkan kerbau yang ditungganginya itu
berjalan sendiri. Anak kerbau di belakangnya mengikuti
induk kerbau sambil terkadang berloncatan dan mencoba
segala macam rumput dan daun-daun yang ditemui di
jalan.
Tiba-tiba anak itu menghentikan tiupan sulingnya.
Kerbau induk itu berhenti dari makan rumput yang amat
subur dan gemuk yang tumbuh di situ. Anak ltu terbelalak
memandang ke kanan kiri. Baru dia menyadari bahwa dia
38

dlbawa kerbaunya sampai ke tepi hutan! Hutan yang


ditakuti semua penduduk dusun di kaki pegunungan.
Hutan terlarang dan yang kabarnya dihuni oleh para
siluman. Pimpinannya adalah seekor naga siluman yang
amat jahat!

JILID 2
"Belang, cepat klta turun, klta kemball!" Anak Itu
menendang-nendang dengan kakinya ke perut kerbau.
Akan tetapi dia melihat anak kerbau itu berloncatan dan
berlari memasuki hutan.
"Heii, Kecil! Cepat kembali, jangan masuk ke sana!"
teriaknya dan dia melompat turun dari punggung
kerbaunya dan berlari mengejar anak kerbau yang
berloncatan dan berlari masuk ke dalarn hutan seperti
anak kecil yang manja dan nakal.
Tiba-tiba anak yang mengejar' kerbaunya itu
terbelalak dan tersentak, berhenti darl larinya,
memandang dengan wajah |pucat ke depan. Tangan
kirinya masih menggapai ke depan untuk memanggll
kerbaunya dan tangan kanannya menutup mulut agar
tidak mengeluarkan teriakan. Apa yang dilihatnya
mendatangkan kengerian hebat dalam hatinya.
Selagi anak kerbau itu berloncatan, tiba-tiba dari atas
pohon besar yang tumbuh di situ, meluncur kepala seekor
ular yang luar biasa besarnya. Ular itu tergantung pada
dahan pohon, tubuhnya yang besar itu terjulur ke bawah
dan moncongnya yang terbuka lebar itu me nyambar dan
menggigit leher anak kerbau yang mengeluarkan suara
39

parau penuh kesakitan dan ketakutan. Ular yang


menggigit anak kerbau itu menarik nya ke atas dan anak
kerbau itu meronta ronta lemah dengan keempat kakinya.
Anak itu hampir berhenti bernapas. Ular itu besar
sekali. Panjangnya belasan meter dan tubuhnya sebesar
pohon siong. Setelah anak kerbau itu dibawa sampal ke
atas dahan, tubuh ular itu segera melingkarinya dan
menghimpitnya dengan kuat. Agaknya anak kerbau Itu
tewas seketlka oleh tekanan hlmpitan yang kuat Itu dan
tidak bersuara lagi, hanya ada dua kaki belakangnya
yang masih tampak itu berkelojotan dalam sekarat.
Anak itu menangis dan berlari keluar dari hutan, naik
ke atas punggurig induk kerbau dan turun lagi seperti
yane kebingungan, lalu menarik tanduk kerbau itu dan
diajaknya beriari cepat memng-galkan tepi hutan
menuruni lereng sambil menangis sesenggukan.
Setelah menuruni sebuah lereng, anak itu melihat
seorang laki-laki setengah tua berdiri di tengah jalan
setapak sambil memandangnya. Melihat ada orang
dewasa, anak itu menghentikan lari kerbaunya,
menghampiri orang itu dan berkat dengan suara
bercamlpur tangls.
Paman, tolonglah saya, paman .... tolonglah anak
kerbau saya...;"
Laki-laki itu adalah Tiong Lee C!n-Jin. Dia baru saja
turun dari lerene bagian atas setelah ditinggal pergl Jit
Kong Lama. Mellhat seorang anak laki-laki berlari-larl
menuntun kerbaunya sambil menangls, dia cepat
menghadang. Mendengar ucapan anak itu yang minta
tolong, dia menjulurkan tangan, mengelus kepala anak
40

itu dan bertanya dengan suara lembut.


"Tenanglah, anak yang baik. Apa yang terjadi dengan
anak kerbaumu?"
"Anak itu menengok ke belakang lalu menuding ke
arah hutan yang berada di lereng sebelas atasnya. "Ada
naga jahat ........ naga Itu menangkap anak kerbau saya
........ dl sana, di hutan
itu ........ !"
"Naga,..?" Tlong Lee Cln-Jln mengu-lang sambil
tersenyum. Mana mungkln ada naga di hutan itu atau di
mana sa-ja? Sepanjang pengetahuannya, naga hanya
terdapat dalam dongeng jaman dahulu, beribu tahun
yang lalu. Lalu dia menduga. "Maksudmu ular?"
"Bukan, bukan ular, akan tetapi naga. Mana ada ular
yang besarnya seperti itu? Paman, tolonglah saya. Kalau
saya tidak membawa pulang anak kerbau itu, tentu
majikan akan membunuh saya...."
"Hemm, mari kita lihat ke sana. Tambatkan saja
kerbaumu di slnl," kata Tiong Lee Cin-jin, Karena tidak
ingin kehllangan Induk kerbaunya, anak itu lalu mengikat
kerbau itu kepada sebatang pohon. Setelah Itu, bersama
Tiong Lee Cin-j'in dia mendaki lereng menuju ke hutan
tadi.
Ular itu masih berada dl atas dahan pohon.
Moncongnya terbuka lebar-lebar seperti akan 'robek
dalam usahanya me nelan badan anak kerbau yang
terlampau besar untuk moncongnya Itu. Tubuh ker-bau liu
sudah tertelan setengahnya dan. sedlklt dcini sedikit
41

badan anak kerbau Itu tergeser masuk. Agaknya akan


makan waktu lama sebelum anak kerbau itu dapat masuk
seluruhnya ke dalam perut ular. Tampak lehernya, di
mana bagian badan anak kerbau itu masuk, menggembung besar.
Anak itu menudingkan 'telunjuknya ke atas. "Itu dia!
Naga jahat itu mulai me nelan anak kerbauku! Tolonglah
anak kerbauku, paman!"
Tiong Lee Cin-Jln memandang dan dia merasa
kagum. Ular itu memang be-sar sekali, jarang dia melihat
ular sebe-sar itu dan gambar dan warna kulitnya indah.
"Itu bukan naga, itu seekor ular kembang," katanya.
Rasa ngeri lenyap dari hati anak itu ketika
mendengar bahwa binatang yang makan anak
kerbaunya itu bukan naga melainkan ular. Pada masa itu,
naga merupakan mahluk keramat bagi rakyat, mahluk
yang dihormati dan ditakuti, maka ketika tadi anak itu
menduga bah-wa anak kerbaunya dimakan naga, dia
menjadi ketakutan setengah mati. Seka-rang setelah dia
mendengar bahwa yang makan anak kerbaunya itu hanya
seekor ular, walaupun besar sekali, dia menjadi berani
dan marah.
"Ular? Ular keparat, ular jahat, lepaskan anak
kerbauku! Kubunuh engkau!" Dia mengambil sebuah batu
sebesar kepalan tangannya dan menyambitkan batu itu
ke atas, mengarah ular yang tampak nya sama sekall
tidak bergerak Itu, Sambltan itu luput dan anak itu sudah
me ngambll sebuah batu lagl. Akan tetapi Tiong Lee Clnjin memegang lengannya.

42

"Sabarlah, anak baik. Jangan ganggu dia! Lihat, dia


sedang menikmati makannya, mengapa diganggu?
Andaikata eng kau sedang makan masakan daging ayam
lalu datang seekor ular mengganggumu, bagaimana?"
Anak itu tercengang mendengar ucapan yang
dianggapnya aneh ini. Dia segera membantah. "Akan
tetapi, paman. Ular itu jahat sekali! Dia makan anak
kerbau-ku, dia kejam buas daft jahat!"
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. "Bagai-mana kalau ular
itu mengatakan kepada-mu ketika engkau sedang makan
daging ayam, 'Manusia itu jahat, kejam dan buas sekali.
Dia menyembelih ayam dan memasak lalu makan
dagingnya!' Nah, bagaimana jawabmu?"
"Akan tetapi, paman. Ayam meniang makanan
manusia!"
"Begitukah? Dengar, anak baik. He-wan-hewan kecil
seperti anak kerbau, kijang, kelinci dan yang lain-lain itu
me-;gs mang makanan ular itu. Kalau dia. tidak
mendapatkan makanan itu, dia akan mati kelaparan
karena dia tidak dapat makan rumput atau buah atau
daun-daunan. Dia makan anak 'kerbaumu bukan karena
buas, kejam, rakus atau jahat. Sama sekali tidak,
melainkan dia makan anak kerbaumu itu karena memang
itulah jenis snakanannya dan dia makan itu agar dia tidak
mati ketaparan. Ular, singa, harimau dan sejenisnya
hidup karena makan binatang lain yang lebih lemah dan
kecil. Lembu, kerbau, gajah dan sejenisnya makan
rumput dan sayur-sayuran. Kera, tupai dan sejenisnya
makan buah-biiahan. 'Sudah demikian kehendak Yang
Menciptakannya. Kalau tidak mendapatkan makan-an
khas mereka, mereka akan mati kela-paran. Coba ingat
43

baik-baik, hanya ma-nusla yang rakus, karena hampir


semua tumbuh-tumbuhan, semua buah-buahan, semua
binatang yang ada di dunia ini menjadi makanannya, baik
yang berada di darat, di udara, maupun di laut. Siapa
yang lebih buas dan kejam?"
Anak itu menjadi bengong dan sejenak lupa akan
anak kerbaunya. Dia menatap wajah Tiong Lee Cin-jln
dengan pandang mata polos dan penuh keheranan.
"Akan tetapi ........ engkau sendiri makan apa, paman?"
Tiong Lee Cin-jin tertawa. Suara tawanya lembut dan
sopan, tidak terbahak. "He-he-he, anak baik. Aku juga
seorang manusia, tentu saja makananku sama dengan
manusia-manusia lainnya."
,
"Kalau begitu mengapa paman men cela makanan
manusia?"
"Aku tidak bermaksud mencela, hanya ingin
mengingatkan engkau agar tidak menganggap ular itu
jahat dan buas ka-rena dia sudah makan apa yang
semestl nya dia makan. Dia tidak akan doyan makan
bakmi atau cap-jai!"
"Akan tetapi dia mengambil anak kerbau milik saya!
Bukankah itu berarti dia telah nnerampas dan
merampok?"
"Dia tidak mengenal Istllah hak milik, anak baik.
Semua hewan yang ber-ada di hutan, yang dapat
menjadi mangsa nya, bukan millk siapa-siapa. Dia tentu
menganggap anak kerbau itu bukan mi-lik siapa-siapa
44

dan sudah Sewajarnya ka-lau menjadi mangsanya untuk


mencegah dla kelaparan." Jadl sesungguhnya kesalahanmu sendlrl mengapa engkau meng-gembalakan
kerbau dl hutan Inl, anak baik. Tempat inl penuh.
blnatang llar, bu-kan tempat Juntuk menggembala
ternak."
Anak itu termanggu, lalu mengerutkan alisnya dan dia
menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, tampak bingung
dan sedih.
Tiong Lee Cin-jin juga ikut duduk di atas sebuah batu
tidak jauh dari anak itU. Diarii-diam dia memperhatikan.
Seorang bocah yang berwajah tampan, membayangkan
watak yang jujur dan bersih, seperti sebuah batu mulia
asell yang belum digosok. Sinar mata dan le-kukan mulut
itu menandakan bahwa anak ini mempunyai dasar watak
yang baik. Tubuhnya juga membayangkan tubuh yang
sehat, berdarah bersih. Perawakan-nya tegak lurus,
dadanya bidang dan pundaknya rata.
"Akan tetapi, paman. Biarpun sekarang saya dapat
mengerti bahwa ular itu ! memang sudah sewajarnya
makan anak kerbau saya dan dia tidak dapat dipersalahkan, bahwa hal ini terjadi karena kesalahan saya
sendiri, akan tetapi perbuatannya itu menimbulkan korban.
Korbannya adalah diri saya sendlri. Karena dla
menjadlkan anak kerbau itu sebagal mangsanya, maka
sayalah yang akan me-nanggung akibatnya, kalau tidak
mati saya sedikitnya akan mengalami dan siksaan.
Bahkan mungkin sekaii leblh. daripada itu. Akibatnya
dapat pula menyengsarakan kehidupan nenek saya yang
sudah tua itu."
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Tiong Lee Cin-jjn.
45

"Saya hanya bekerja sebagai penggembala kerbau


milik kepala dusun kami, paman. Kalau nanti saya pulang
tidak membawa anak kerbau itu, majikaiN saya tentu
akan marah sekali. Dia seorang yang amat, galak dan
keras, mem-punyai banyak tukang pukul. Saya tentup
akan disiksa dan mungkin dibunuh. Nenek saya juga
bekerja sebagai tukang cu-lP ci di rumah majikan saya itu
tentu akan menanggung akibatnya pula. takut untuk
pulang, paman." Anak tidak menangis lagi, akan tetapi
meng-ll gunakan punggung tangan kirinya untuk
mengusap beberapa tetes air mata yang meizgallr keluar
darl pelupuk matanya.
Hemm, dan ayah ibumu?"
"Mereka sudah tiada, paman. Ayah aan ibu telah
meninggal sejak saya berusia lima tahun dan sejak itu
saya hanya hidup berdua dengan nenek saya."
Tiong Lee Cin-jin menghela napas panjang. Betapa
banyaknya manusia yang hidup menderita karena
kemiskinan di dunia ini, disamping hanya beberapa
gelintir orang yang hidup berlebihan. Padahal, manusia
diciptakan hidup di dunia ini seharusnya dapat mengisi
hidupnya dcngan saling mengasihi, saling membantu,
menjadi alat dari Kekuasaan Tuhani agar bermanfaat
bagi orang-orang lain. Yang pandai rhembantu yang
bodoh dengan pemiklran, yang kuat membantu| yang
lemah dengan kekuatan, sedangkan yang kaya
membantu yang miskln dengan hartanya. Akan tetapi
apa yang dilihatnya sejak dari India ke Cina? Yang pintar
menipu yang bodoh, yang kuat menindas yang lemah,
yang kaya memperbudak yang mlskin.
"Sekarang

bagalmana?

Engkau

harus

pulang,
46

setidaknya untuk mengembalikan kerbau ini kepada


pemiliknya."
"Memang seharusnya begitu, paman. Akan tetapi
saya tidak berani pulang karena saya pasti akan dipukuli,
mungkin dibunuh oleh para tukang pukul Lurah Coa,
bahkan nenekku tentu tidak akan luput dari hukuman
pula."
"Jangan khawatir. Mari kuantar kau piilang darr aku
yang akan menjadi saksi bahwa anak kerbau itu dimakan
ular. Hayolah!"
Biarpun masih takut, mendengar ucapan dan melihat
sikap Tiong Lee Cin-jin yang meyakinkan hatinya itu, dia
menganggyk dan mengikuti orang tua itu keluar dari
hutan. Beberapa kali dia menenggok dan memandang ke
arah ular besar yang berusaha dengan tenahg un-tuk
menelan anak kerbau yang terlalu be-sar untuk
moncongnya itu.
Setelah tiba di lereng di mana tadi mereka berjumpa,
anak itu melepaskan Ikatan kerbaunya dan menuntunnya
menuruni lereng bersama Tiong Lee Cin-jin.
Pemandangan di bawah sana maslh tetap indah
mempesona, Sawah ladang yang luas hijau menguning
terbentang di bawah sana dan dari atas itu tampak
rumah-rumah dusun sederhana di antara pohonpohonan.
Tiong Lee Cin-jin memandang ke a-tas dan dia
tersenyum, matanya bersi-nar, wajahnya berseri. Dia
melihat awan putih yang membentuk seekor naga sedang
terbang melayang, seperti seekor Naga Langit yang
perkasa.
47

"Anak baik, siapa namamu?" tanya-nya sambil


berjalan di samping anak itu nieniti jalan setapak
menuruni lereng.
"Marga saya Souw dan nairfa saya Thian Liong,
paman."
Pria setengah tua itu melebarkan matanya dan
berdongak ke atas memao-dang awan yang berbentuk
naga itu. "Thian Liong (Naga Langit)? Souw Thian
Liong....?" Betapa kebetulan. Dia meli-hat Naga Langit di
angkasa yang dibentuk oleh awan dan nama anak ini
berarti Naga Langit pula!
"Ya benar, paman. Dan paman sendiri, siapa nama
paman?" tanya Thian Liong.
"Orang menyebutku Tiong Lee Cin-jin. Kulihat
engkau mempunyai sebatang suling yang terselip di ikat
pinggangmu.
Maukah engkau meniupnya dan memainkan sebuah
lagu untukku, Thian Liong?"
Anak itu memandang ke arah suling di pinggangnya
dengan sedih, lalu berdo-ngak memandang laki-laki itu
dan berka-ta, "Paman, bagaimana aku dapat rneniup
suling kalau hatiku sedih dan dihimpit perasaan takut
seperti ini?"
Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala Thian Liong.
"Jangan bersedih dan jangan takut, anak baik. Segala
urusan yang tidak mampu kau atasi, serahkan saja sepenuhnya kepada kekuasaan Tuhan. Keku-asaan Tuhan
yang akan mengaturnya dan tidak ada kekuatan apapun
48

di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah diatur


dan ditentukan oleh Tuhan'"
"Tuhan? Slapakah Itu Tuhan, paman?" Mereka sallng
.pandang dan slnar mata Tlong Lee Cln-jln bertemu
dengan sinar mata yang demikian polos dan Jernih. Dia
tersenyum. Ketidaktahuan yang murni dan suci. Seperti
seorang bayi. Manusia lahir tanpa disertai pengetaj?ii-an,
bahkan tidak mengenal Tuhan. Setelah pikirannya
bekerja, mulailah dia bertanya-tanya dan Jalan
plkirannya dlpe-ngaruhl darl pemberltahuan dari luar.
"Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, yang telah
menciptakan bumi, langit, angin, tumbuhtumbuhan,
mahluk hidup, bulan, matahari dan bintang. Segala yang
ada, segala yang tampak dan tidak tam-pak, semua ini
adalah ciptaan Tuhan. Bahkan engk'au dan aku inipun
ciptaan-Nya, Thian Liong, Mengertikah engkau?"
Thian Liong menggaruk kepalahya dan mengerutkan
alisnya, meniandang heran. "Akan tetapi orang-orang
bercerita kepa-da saya bahwa semua itu ada dewa yang
menjaganya, paman. Ada dewa mataharl, dewa bulan,
dewa bintang, dewa gunung, dewa sungal dan
seterusnya, demiklan yang saya dengar.
Tiong Lee Cln-jln mengangguk-aiiy-guk. Dia harus
memberi Jawaban yang se-suai dengan apa yang telah
didengar dan dipercaya anak ini, agar tidak membingungkan hatinya. "Katakanlah bahwa ada para dewa
dan para malaekat yang menjaga semua itu, akan tetapi
mereka itu adalah, pelaksana dari kekuasaan Tuhan,
Thian Liong. Mereka adalah hulubalang, pembantu dan
hamba Tuhan."

49

"Ah, paman. Kalau begitu Tuhan itu seperti Rajanya


dan para dewa itu para perajuritnya!"
Tiong Lee Cin-jin tersenyum dan mengangguk.
Biarlah, anak yang masih polos ini menganggopnya
begitu agar pi-kirannya tjdak menjadi bingung.
"Ya, begitulah kira-kira. Tuhan adalah. Raja dari
segala raja, penguasa langit dan bumi serta sekalian
isinya."
Mereka tiba di dusun dan mulailah Thian Liong
merasa takut lagi. WaJahnya pucat dan dia tampak
kebingungan. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin berhenti di
depan dusun itu dan bertanya, "Thian Liong, takutkah
engkau akan ancaman majikanmu?"
"Paman, aku tidak perduli akan keadaan diriku
sendiri. Biarlah kalau dia mau merighukum aku, menyiksa
atau membunuh sekalipun. Akan tetapi aku khawatir kalau
nenek yang sudah tua i-tu akan dihukumnya pula. Aku
kasihan .kepada nenekku, satu-satunya orang yang
kumiliki?"
Tiong Lee Cin-jin mengelus kepala anak itu. "Jangan
takut, Thian Liong. Ingatkah engkau akan Raja di atas
sega-la raja tadi?"
"Maksud paman.... Tuhan?"
"Benar. Serahkan segalanya kepada Tuhan yang
Maha Kuasa, Maha Adil Maha Kasih dan Maha Murah.
Dia yang akan melindungi engkau dan nenekmu kalau
engkau mau berserah kepadaNya."

50

"Benarkah itu, paman?"


"Tentu saja benar dan aku yang akan menanggung
bahwa hal itu benar adanya. Kalau engkau percaya dan
berserah diri, Tuhan tentu akan mengutus para dewa itu
untuk melindungimu dari gangguan orang jahat."
Wajah anak itu tampak lega dan sinar matanya tidak
ketakutan iagi. "Kalau begitu, aku akan berserah di-ri
kepadanya, paman." "Engkau tidak takut lagi?"
"Tidak, bukankah paman ada bersamaku? Dan para
Dewa diutus Tuhan untuk melindungi aku dan nenek. Aku
tidak takut lagi.
"Kalau begitu mari kita masuk dan menemui
majikanmu." Mereka me-masuki dusun. Thian Liong
menuntun kerbaunya berjalan di depan sebagai penunjuk
jalan.
Majikan anak itu adalah Lurah Coa Lun, seorang lakilaki berusia lima pu-luh tahun. Lurah Coa ini seolah
menja-di seorang raja k6cil di dusunnya, meru-pakan
orang paling kaya di situ. Semua orang di dusun itu takut
kepadanya, bahkan kehidupari mereka bergantung
kepada lurah ini. Hal itu karena semua pen-duduk telah
terikat hutang kepada lurah Coa. Ketika tiba musim
kemarau panjang, para petani itu terpaksa berhutang
kepada Lurah Coa untuk dapat menyambung hidup dan
sejak itu, hutang mere-ka tidak pernah dapat terlunasi
karena bunganya yang tinggi. Pencicilan hutang dan
bunganya berkejaran. Karena itu, semua penghuni dusun
itu seolah-olah telahy berada dalam cengkeraman
tangan Lurah Coa dan karena itu mereka semua mera-sa
takut dan hanya dapat menaati semua perintah sang
51

lurah. Selain itu, Lurah Coa juga memperkuat


kedudukannya dengan memelihara dua belas orang
jagoan tukang pukul sehingga tidak ada yang berani
mencoba untuk menentangnya.
Lurah Coa mempunyai tiga orang isteri. Akan tetapi
tiga o.rang isteri ini agaknya masih belum mampu
memuas-kan nafsunya. Dia seorang mata keran-jang
yang gila akan wanita muda dan cantik. Karena itu,
kehidupan para wani-ta muda yang memiliki wajah cantik
di dusun itu, balk ia masih gadis maupun sudah menjadi
isteri orang, tidak aman. Siapa yang diincer dan
dikehendaki sang lurah, pasti akan menjadi mangsanya.
Secara halus maupun kasar, lurah bejat moral itu pasti
akan mendapatkan wani-ta itu untuk beberapa lama
sampai dia merasa bosan dan melepaskannya kemba-li.
Karena itu, banyak suami yang mera-sa memiliki isteri
muda dan manis, di-am-diam pergi mengungsi, pindah
dari dusun itu. Juga banyak keluarga yang memiliki anak
gadis cantik, mengungsi-kan gadis itu keluar dusun.
Hampir semua sawah ladang yang berada (H ciusun
Itu dan sekltarnya, su-dah menjadi milik Lurah Coa.
Mereka yang dibebani hutang yang semakin membengkak, terpaksa merelakan tanahnya disita oleh sang
lurah dan mereka hanya menjadi buruh tani sang lurah
saja sehingga kehidupan mereka semakin ber-gantung
kepada sang lurah.
Ayah Souw Thian Liongbernama Souw Ki sudah
meninggal. dunia sejak Thian Liong berusia lima tahun.
Juga ibu anak itu sudah meninggal dunia. Kedua orang
suami Isteri itu meninggal dalam keadaan miskln dan
terserang penyaklt perut yang waktu Itu menjadl wabah
cH dusundusun sekltar daerah pegunungan Itu. Mereka
52

terserang penyaklt dan me-nlnggal dunia secara berturutturut. Yang selamat hanya' Thlan Liong dan nenek nya,
yaitu Nenek Souw ibu dari
mendi-ang Souw Ki. Sejak itu, dalam usia lima tahun,
Thian Liong hidup bersama neneknya. Nenek Souw yang
sudah amat itu bekerja keras untuk dimakan berdu^
aengan cucunya. Ia bekerja sebagai tukang cuci pakaian
di rumah keluarga Lu-rah Coa, dan setelah Thian Liong
beru-sia delapan tahun, Nenek Souw minta-kan
pekerjaan untuk cucunya itu kepada sang lurah.
Kebetulan lurah itu baru me-nyita seekor kerbau dari
seorang warga dusun yang tidak mampu membayar hutangnya, maka Thian Liong diberi peker-jaan
menggembala kerbau itu. Sebelumnya, Lurah Coa tidak
memelihara? kerbau karena dia telah iriempunyai banyak
buruh tani yang bekerja di sawah dan tidak memerlukan
kerbau lagi.
Kerbau itu dipelihara dengan baik o-leh Thian Liong,
gemuk dan sehat. Thian Liong amat menyayang kerbau
itu dan lebih-lebih lagi ketika kerbau itu melahirkan
seorang anak kerbau. Karena Itu, dapat dlbayangkan
betapa sedlh dan ju-ga takut rasa hatl Thlan Llong
menghadapi kemarahan Lurah Coa ketika ker-baunya
yang kecil dimakan ular raksasa. Dia amat
mengkhawatirkan nasib nenek-nya. Apalagi kalau
neneknya sampai dihukum, bahkan baru dipecat saja
kehl- i dupan mereka berdua akan terancam bahaya
kelaparan!
Lurah Coa menjadi marah sekali ke-tika dia dilapori
bahwa Thian Liong pu- jj lang tanpa anak kerbaunya. Dia
segera melangkah keluar dan matanya terbuka ? lebar,
.mukanya menjadi kemerahan keti- | ka dia rhelihat Thian
53

Liong berdiri di halaman rumah sambil menuntun induk


kerbau tanpa anak kerbau dan ditemani seorang laki-liaki
setengah tua yang ber-pakaian seperti seorang pendeta,
menggendong sebuah buntalan besar.
"Thian Liong, mana anak kerbaunya?" tanya sang
lurah dengan suara bentakan dan matanya meiotot. Lurah
itu bertubuh tinggi kurus, matanya sipit, daun telinganya
kecil seperti telinga tikus, hidungnya pesek dan mulutnya
lebar, dihias kumis kecil panjaftg menggantung di kanan
kiri mulut dan jenggotnya hanya beberapa helai saja.
Karena setiap kali diharuskan memberi penghormatan
yang berlebihan ter- | hadap Lurah Coa, maka Thian
Liong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang
lurah. "Ampunkan saya, tai-jin (tuan besar), anak kerbau
itu dimakan ular di hutan...."
"Ajaa,? Dimakan ular di hutan? Gila kamu! Mana bisa
anak kerbau dimakan ular ..di hutan. Memangnya kamu
menggembala kerbau di dalam hutan?"
"Ampun, taijin. Anak kerbau itu ber-lompatan dan
berlari memasuki hutan. Ketika saya mengejarnya, tahutahu ada ular menangkapnya dan memakannya."
"Bohong! Mana ada ular bisa makan anak kerbau
yang begitu besar? Tentu engkau sudah menjual anak
kerbau itu atau kausembunyikan! Hayo mengaku sa-J'a
atau dicambuki lebih dulu agar mau mengaku?"
Pada saat itu, dari dalam rumah tampak berlari keluar
seorang nenek yang sudah tua. Rambutnya sudah putih
semua, tubuhnya kurus kering seperti je-rangkong,
pakaiannya tua dan lusuh. Usianya tentu sudah hampir
54

delapan puluh tahun. la lari menghampiri Thian Liong


yang berlutut dan menubruk anak itu sambil menangis.
"Adub cucuku Thian Liong....! Apa yang telah rerjadl?
Orang bllang anak kerbau yang kaugembalakan hilang
dimakan ular? Betulkah itu, cucuku....?"
"Benar, .nek," kata Thian Liong mengangguk sambil
memandang wajah neneknya yang sudah basah air mata
itu dengan sedih.
"Aduh celaka, Thian Liong....!" la lalu berlutut di dekat
kakl Lurah Coa dan berkata dengan suara gemetar.
"Taijin.... ampunkan hambamu ini.... ampunkan cu-cu
hamba Thlan Liong....! Dia maslh kecll, dia masih
bodoh..., ampunkan dla taljin...."
"Mingglr kau! Thian Liong harus mengembalikan
anak kerbau itu atau aku akan mencambukinya sampai
dia mengaku di mana dia menyembunyikan anak kerbau
itu!" hardlk Lurah Coa dengan geram.
"Thian Liong....!" Nenek Souw menjerit dan menubruk
cucunya. Akan tetapiil ia bergulingan dan roboh. Thian
Liong cepat merangkul neneknya.
"Nenek....!" Anak itu berseru bingung melihat
neneknya megap-megap seperti ikan dilempar di
daratan.
"Thian Liong.... jaga.... dirimu.... ba-ik..,. baik...." lapun
terkulai lemas da-lam rangkulan cucunya.
"Nenek...,?" Thian Liong berteriak.
Tiong Lee Cin-jin mendekati anak itu, berjongkok dan
55

dia meraba leher,Nenek Souw. "Thian Liong, nenekmu


meninggal...." katanya terharu.
Me... .ninggal....?" Thian Llong me-mandang wajah
Tiong Lee Cin-jin terbelalak.
Tiong Lee Cin-jin mengangguk. "la meninggal karena
jantungnya lemah. la mati karena memang ia sudah tua
dan lemah, Thian Liong."
"Nenek....! Ahh, nenek....! !" Thian Liong menubruk
dan menanglsi neneknya, meratap-ratap.
Lurah Coa mengerutkan.. alisnya dan menjadi
semakin marah. Kematian nenek itu saja amat
merugikannya! Selain kehilangan tenaga kerja, diapun
terpaksa harus mengeluarkan uang untuk me-ngubur
Jenazah nenek itu. Semua ini gara-gara Thian Liong
yang melenyapkan anak kerbaunya!
"Beri hukuman anak keparat ini de-ngan dua puluh
kali cambukan!" bentak-nya kepada dua belas orang
tukang pukulnya yang sudah berkumpul di situ. Dua
orang di antara mereka melangkah ma-ju. Mereka adalah
dua orang algojo yang sudah biasa melaksanakan
per.infah untuk mencambuki orang. Mereka berdua menyeringai dan masing-masing memegang sebatang
cambuk yang besar. Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin
melangkah maju.
"Nanti dulu!" tegurnya dengan suara yang lembut
namun penuh wibawa. "Coa-chung-cu (Lurah Coa), anak
kerbau itu memang benar dimakan seekor Coa (u-lar),
kenapa anak ini yang dipersalahkan dan hendak
dicambuk? Dicambuk dua pu-luh kali dia akan mati.
56

Sepatutnya eng-kau sendiri yang dicambuk!"


"Apa
kaubilang?
Keparat,
berani
engkau
menghinaku?" Lurah itu merasa di-sindir seolaholah
orang berpakaian pende-ta, itu mengatakan bahwa dia
yang telah memakan anak kerbaunya. Nama marganya
Coa memang berbunyl sepertl huruf ular. "Kalau begitu,
blar engkau yang menanggung setengahnya. Hayo, kalian hukum cambuk mereka berdua, maslng-masing
sepuluh kali cambukan. Yang kuat agar pecah-pecah
kulit punggung ' mereka biar tahu rasa!"
Dua orang algojo itu mengangkat cambuk mereka,
siap untuk memukul Thian Liong dan Tiong Lee Cin-Jin
de-ngan cambuk mereka.
"Tar-tarrr! !" Dua batang cambuk me-ledak dl udara
lalu turun menyambar de-ngan cepat ke arah.... Lurah
Coa!
"Pratt! Pratt!! Aduh.... aduhh, gila kalian! Kenapa aku
yang dicambuk?" Lu-rah Coa mengaduh dan
berloncatan, akan tetapi cambuk-cambuk itu terus melecutinya dan dua orang algoJo itu mele-cut penuh
semangat!
"Aduh-aduh.... bunuh mereka! Bunuh mereka!" Lurah
Coa memerintahkan se-puluh orang jagoannya yang lain
untuk bertindak sambil dia menggeliat-geliat kesakitan.
Sepuluh orang tukang pukul itupun merasa terheranheran melihat dua orang rekan mereka malah
mencambuki majikan mereka. Mendengar perintah itu,
mereka menjadi bingung. Ada yang menganggap
perintah itu untuk membunuh dua orang rekan mereka,
57

ada pula yang mengang-gap perintah itu untuk


membunuh Thian Liong dan Tiong Lee Cln-jin. Mereka,
sepuluh orang, serentak bergerak. Mereka menganggap
bahwa dengan tangan kosong saja mereka akan mampu
membereskan orang-orang yang harus dibunuhnya.
Sepuluh orang itu serentak menerjang maju akan tetapi
kembali terjadi keanehan luar biasa yang disaksikan oleh
orang-orang yang sudah mulai berkumpul di halaman
rumah Lurah Coa meli-hat keributan itu. Sepuluh orang
itu sama sekali tidak menyerang Thian Liong dan Tiong
Lee Cin-jin, juga tidak menyerang dua orang algojo yang
masihaii mencambuki Lurah Coa, melainkan mereka itu
saling gebuk dan saling tendang di antara mereka
sendiri! Terdengar su-ara bak-bik-buk dan teriakanteriakan kesakitan dan kemarahan menjadi satu, hiruk
pikuk dan para penonton terbelalak keheranan.
Sementara itu, dua orang algojo masih asyik
menggerakkan cambuknya ke arah tubuh Lurah Coa
sambil menghitung.
"Tarr-tarrr! Ke enam! Tar-tarrr! Ke tujuh! Tar-tarrr!! Ke
delapan....!!"
Pemandangan itu sungguh luar biasa sekali. Thian
Liong masih merangkul dan menangisi neneknya. Tiong
Lee Cin-jin masih berjongkok dekat anak-anak itu dan
menoleh memandang orang-orang yang sedang sibuk
sendiri itu. Lurah Coa masih mengaduh-aduh dan
menggeliatgeliat, bajunya robek-robek dan punggungnya beriepotan darah karena kulit punggungnya pecahpecah oleh cambukan. Teriakannya sudah melemah dan
kini dia mengaduh sambil menangis. Sedangkan sepuluh
orang itu saling genjot, saling tonjok dan saling tendang.
Ramai sekali keadaannya, ramai dan kacau.

58

"Tarr-tarrr! Ke sembilan! Tarr-tarrr!! Ke sepuluh....! !"


Setelah dua orangalgo-jo itu masingmasing memukul
sepuluh kali, merekapun menghentikan cambukan
mereka. Kinl mereka berdlri memandang kepada Lurah
Coa dengan mata terbelalak seolah tldak percaya kepada
pandangan mata mereka sendlrl, Lurah Coa Itu
bergulingan di atas tanah dengan tubuh berkelopotan
darah dan agaknya mereka berdua baru menyadarl
dengan kaget sekali bercampur heran dan blngung
bahwa mereka tadi telah meneambukl Lurah Coa!
Sementara Itu, sepuluh orang yang sallng gebuk Itu
kinipun sudah lemas. Muka mereka benJol-benjol dan
matang biru, tidak ada seorangpun yang masih utuh
karena tadi mereka saling gebuk tanpa memilih kawan
maupun lawan. Sia-pa saja yang berada dl dekatnya
diserang. Dengan sendirinya mereka semua kebagian
pukulan atau tendangan. Dan anehnya, berbareng
dengan berhentinya dua orang tukang cambuk tadi,
sepuluh orang itupun berhenti saling serang dan mereka
mengerang kesakitan dengan mata terbelalak keheranan
karena baru sekarang mereka menyadari bahwa mereka
tadi telah sallng pukul antara rekan sendiri!
Lurah Coa sekarang telah bangun. Melihat dua orang
yang tadi mencambukinya berdiri dengan menundukkan
muka dan tampak ketakutan, kemarahannya me-muncak.
Biarpun seluruh tubuhnya nyerh dan pedlh perlh, dia lalu
merampas sebatang cambuk di tangan seorang di antara
dua algojo itu dan dia lalu mengayun cambuk,
mencambuki mereka berdua sekuat tenaganya!
"Tar-tar-tarrr....! !" Dia terus mencambuki sekuat
tenaga, mencambuki dua? orang tukang pukulnya itu
sekenanya, muka, kepala, dada sehfhgga dua orangl ,itu.
59

menggeliat-gellat dan meUndungl muka mereka dengan


kedua tangan. Bajir mereka berdua cablk-cablk dan kullt
mereka pecah-pecah, darah mulal mewarnai baju
mereka.
"Ampun, taijin.... ampun....!" Mereks berdua meratapratap akan tetapl Lurahj Coa mencambuki ferus sampai
dla kehabisan tenaga dan napasnya hamplr putur
barulah dia berhenti karena tidak kuat' lagi. Dia melempar
cambuknya dah dengan tubuh lunglai dia menjatuhkan
dirinya duduk di atas sebuah kursi.
Kini dia menyadari keadaan sepenuh-nya. Biarpun
masih tiada habis herannya melihat peristiwa yang telah
menimpa dirinya dan dua belas orang jagoannya, namun
kini dia mencurahkan seluruh pbr-hatiannya kepada
Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin. Dia masih belum
menyadfarij bahwa kehadiran pendeta asing itulah yang
menimbulkan peristiwa aneh tadi.
"Thian Liong! Engkau telah membikin ig hilang anak
kerbauku, untuk itu engkau akan dihukum! Dan engkau
pendeta a-sing, engkau inemasuki dusun kami dan
membuat onar di sini, membela anak yang bersalah ini.
Mungkin engkau telah bersekongkol dengan dia untuk
mencuri anak kerbauku. Karena itu engkaupun a-kan
dihukum!
"Lurah Coa, engkau masih belum me-nyadari
sikapmu yang sewenang-wenang itu? Perbuatanmu yang
suka menytksa orang kini berballk menimpa dirimu sendiri
dan engkau masih juga belum jera?" kata Tiong Lee Cinjin kepada kepala dusun itu.
Akan tetapi kepala dusun yang sudahj terlanjur
60

merasa seperti seorang raja kecil di dusunnya dan tidak


pernah ada o-rang berani menentangnya, menudingkan
telunjuknya kepada Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong,
lalu berseru kepada anak buahnya.
"Hayo kalian tangkap dua orang ini! Cepat!!"
Akan tetapi dua belas orang tukang pukul yang masih
belum hilang kaget mereka dan masih merasa nyeri-nyeri
seluruh tubuh mereka itu, hanya meman-dang dan tidak
ada yang berani berge-rak. Mereka adalah orang-orang
yang se-dikit banyak sudah mempunyai peng-alaman di
dunia kang-ouw dan mereka kini sudah dapat menduga
bahwa orang berpakaian seperti pendeta itu tentu seorang sakti maka terjadi peristiwa aneh-aneh seperti yang
tadl mereka alaml. Maka, mendengar perlntah majlkan
me-reka Itu, tidak ada seorangpun dl antara mereka yang
beranl bergerak.
"Hayo tangkap dua orang inl! Apakah kalian semua
sudah tuli?" bentak lagi lurah yang masih menggigit bibir
menahan rasa nyeri yang terasa di seluruh tubuhnya.
Mendengar perintah ulangan ini, dur belas orang
tukang pukul tidak bet'ani membangkang lagi dan mereka
sudah meraba gagang .golok yang tergantung di
pinggang.
Melihat ini, Tiong Lee Cin-jin memandang kepada
mereka dan berkata, "Kalian ini sebetulnya adalah
penjaga keamanan dusun, menjaga keamanan semua
penduduk dusun, bukan melaksanakan pe-rintah Lurah
Coa untuk memukul dan menyiksa orang. Apakah kalian
masih be-lum mau bertaubat dan hendak melan-jutkan
perkelahian di antara kalian sendiri menggunakan golok?"
61

Mendengar ucapan Tiong Lee Cin-jin itu, dua belas


orang tukang pukul klni yakln bahwa tadi mereka
bergontok-gontokan sendiri adalah karena dlpengaruhl
pendeta Inl, Mereka menjadl Jerlh, meng-geleng kepala
dan otomatis melepaskan lagl gagang golok mereka.
Mereka membayangkan betapa ngerinya kalau mereka
saling serang seperti tadi, kini mem-pergunakan golok.
Tentu akan banyak di antara mereka yang luka parah
atau bahkan tewas.
"Kalian masih belum turun tangan?" bentak pula
Lurah Coa.
"Lurah Coa, engkau sudah mendengar pengakuan
kami bah'wa anak kerbau itu dimakan ular dan engkau
masih belum mau percaya. Sekarang lihatlah sendiri,
juga kalian para tukang pukul! Ular raksasa itu kini
datang memperlihatkan diri kepada kalian agar kalian
dapat percaya!"
Tiong Lee Cin-jin menggapai dengan tangannya dan
Lurah Coa bersama dua belas orang tukang pukulnya
terbelalak, muka mereka pucat dan tubuh mereka
menggigil. Mereka melihat ada seekor ular yang besar
sekali, sebesar batang po-hon siong, merayap datang
menghampiri mereka! Para penduduk dusun yang
berkumpul di sltu tldak melihat ular Ini. Mereka menjadl
terheran-heran melihat dua belas orang tukang pukul itu
meng- i gigil ketakutan menghampiri Lurah Coa lalu
berdiri di belakangnya. Lurah itupun menggigil ketakutan.
Mereka mun-durmundur dan akhirnya menjatuhkan dirl
berlutut,
"Ampun.... ampunkan 'aaya...." Lurah Coa meratap.

62

AmpunRan kaml.... kaml tldak berani lagl...." Dua


belas orang Itupun berse-ru ketakutan, menghadap ka
arah Tiong Lee Cin-jln.
Tlong Lee Cin-jln menglbaskan ta-ngannya dan ular
itupun lenyap. Dla ia-lu bertanya kepada Lurah Coa dan
anak buahnya. "Benarkah kalian semua telah bertaubat
dan tidak akan mengulangi lagi sikap dan perbuatdn
kalian yang me-nindas rakyat dusun ini?"
"Saya tidak berani ..... ratap lurah Coa.
"Kami bertaubat...." Dua belas orang tukang pukul itu
serempak berseru ketakutan.
"Bagus. Bertaubat berarti membuka pintu yang
menuju jalan kebenaran. Na" mun bertaubat tidak ada
artinya sama sekall kalau hanya dlucapkan dengan
mulut, melainkan harus me.nei'nbua k@ dalam hati
sanubari dan tercermin dalam per-buatan. Tanpa
pelaksanaan dalam perbu-atan, bertaubat hanya
merupakan pema-nis bibir dan palsu belaka. Lurah 'Coa,
seorang lurah bukan seorang peinbesar yang hanrya
memperbesar perut sendiri, juga bukan seorang
penguasa yang mempergunakan kekuasaannya untuk
menindas orang lain dan mencari enaknya dan be-narnya
sendiri' Sedrang lurah adalah seo-rang pemimpin rakyat
yang berkewajiban iintuk membimbing rakyatnya ke arah
pembangunan dusun demi kesejahteraan rakyatnya,
inenjadi seorang bapak yang selalu memberi tauladan
kepada rakyat, kalau becdiri di depan memberi tauladan,
kalau berdiri di tengah bekerja sama de-ngan rakyat,
kalau di belakang menga-wasi dan memberi pengarahan.
Ingat, eng-kau bisa menjadf lurah karena ada rakyat
dusun, tanpa mereka engkau bukan apa-apa. Mulai
63

sekarang, jadilah pemim-pin rakyat yang baik.


Kembalikan sawah ladang mereka. Bebaskan hutanghutang mereka. Ulurkan tangan dan bantulah kalau ada
rakyat yang kekurangan. Kalau sudah begitu, seluruh
rakyat di dusun akan cinta dan taat kepadamu, bukaa
taati karena terpaksa dan takut. Sanggupkah engkau
membuktikan rasa bertaubatmu dengan semua anjuran
itu?"
"Saya sanggup," jawab Lurah Coa sambil
menundukkan kepalanya. Entah mengapa, mendengar
ucapan yang lembut namun penuh wibawa dan
menggores hatinya itu, Lurah Coa terlngat akan se-mua
tindakannya yang lalu, sadar akan semua perbuatannya
yang sewenangwenang dan diam-diam dia menangis.
"Dan kalian, orang-orang gagah yang tadinya
dianggap sebagai tukang-tukang pukul anak buah Lurah
Coa. Kalian adalah orang-orang yang sudah mempelajari
ilmu silat, orang-orang yang memiliki tenaga yang kuat.
Akan tetapi sayang, kalian meinpergunakan kelebihan ttu
untuk mendukung kesewenang-wenangan Lurah Coa.
Kalian menakut-nakutt rakyat dusun, kalian bahkan tidak
segan untuk memukuli dan menylksa mereka. Kalau
benar-benar kallan sudah bertaubat, mu-lai sekarang
jadilah pembantu lurah yang balk. Menjadl penjaga
keamanan dusun, keamanan rakyat dusun sehingga
kehidupan. di sini menjadi aman tenteram tidak ada
perbuatan kejahatan. Dengan demi-kian kalian akan
menjadi sahabat bahkan saudara dari rakyat dan mereka
akan me-rasa sayang dan segan kepada kalian, bu kan
takut lagi. Mereka tidak akan mellhat lagi kalian sebagai
iblis-iblis menggang-gu, melatnkan sebagai malaikatmalaikat pelindung. Nah, sanggupkah kalian menjadi
pelindung rakyat?"
64

"Kami sanggup!" seru dua belas orang itu serentak.


"Bagus, senang dan suka sekali hatiku mendengar
kesanggupan kalian semua. Sekarang aku hendak
bertanya kepadamu, Lurah Coa. Engkau tahu bahwa
Thian Liong hanya hidup berdua dengan neneknya dan
keadaan mereka miskin se-kali. Mereka mengandalkan
makan seharihari dari hasil bekerja mereka di rumahmu.
Sekarang Nenek Souw telah me-ninggal dunia, apa yang
akan kaulakukan?"
Lurah Coa mengangkat mukanya dan Tiong Lee Cinjin melihat berapa muka yang masih ada bilur-bilur bekas
cambukanitu kini tampak cerah dan tidak tertutup hawa
gelap seperti tadi.
"Sebelum saya menjawab, bolehkah kami semua
mengetahui lebih dulu siapa sebenarnya saudara pendeta
ini?"
"Orang menyebutku Tiong Lee Cin Jin seorang
perantau yang kebetulan lewat di sini."
Lurah Coa merangkap kedua tangan depan dada
memberi hormat lalu bang-kit berdiri. "Kiranya Cin-jin
seorang pen-deta yang sakti dan bijaksana. Maafkan
kami sekalian yang telah bersikap kurang hormat dan
telah berani bertindak jahat. Saya sudah bertaubat dan
menyadari do-sa-dosa saya, Cin-jin. Saya akan mengurus penguburan jenazah Nenek Souw se-baik-baiknya.
Adapun mengenai Thian Liong, saya akan memberinya
pekerjaan dan menganggap seperti anak angkat saya."
Tlong Lee Cin-jln mengangguk-ang-guk. "Bagus,
terima kasih atas kebaikan-rriu, Lurah Coa. Kalau untuk
65

selanjutnya engkau bersikap dan Berbuat seperti ini aku


percaya bahwa engkau akan dapat mencuci kotoran
yang timbul dari perbuatanmu yang sudah-sudah dengan
perbuatan baikmu yang akan datang. Nah, selamat
tinggal, aku hafus melanjutkan perjalananku." Setelah
berkata demillian Tiong Lee Cin-jin membahkan
tubuhnya dan melangkah keluar dari pekarang-an rumah
Lurah Coa.
Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong lari menghampiri
dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Lee
Cin-jin. "Suhu, perkenankanlah saya ikut suhu!" katanya
sambil membenturbenturkan dahinya di atas tanah.
"Thian Liong, jenazah nenekmu
dikebumikan," kata Tiong Lee Cin-jin.

masih

belum

"Sudah ada Lurah Coa yang menyanggupi untuk


mengurusnya, suhu. Biarkan saya ikut suhu."
"Akan tetapi aku hanyalah seorang perantau yang
tidak tentu tempat ting-galnya. Engkau akan lebih senang
ting-gal di sini" kata pula Tiong Lee Cin-jin.
Benar Thian Llohg. engkau tlnggal-lah di sini bersama
kaml. Aku akan flienganggapmu sebagai anak angkatku,"
kata Lurah Coa.
"Tidak, suhu. Satu-satunya orang yahg kumiliki di
dunia ini hanyatah nenekku. Sekarang ia sudah
meninggal dunia. Suhu telah menyelamatkan saya, maka
sekarang saya ingin ikut dan melayant su-hu untuk
selamanya. Saya bersedia hi-dup melarat bersama
suhu." Anak itu meratap.

66

Tiong Lee
Cln-jin
mengangguk-angguk dan
tersenyum. Dia sudah merasa bahwa anak ini berjodoh
dengannya dan amat baik kalau menjadi muridnya.
"Baiklah, engkau boleh ikut denganku, Thian Liong."
"Terima kasih, suhu!" Thian Liong lalu bangkit dan lari
menghampiri jenazah Nenek Souw dan berlutut di
sampingnya. "Nenek, perkenankan aku ikut dengan su-hu
Tiong Lee Cln-jin. Jangan khawatir, nek, jenazahmu akan
diurus sebaiknya oleh Lurah Coa. Selamat tinggal, nek."
Setelah mencium muka neneknya, dia lalu bangktt dan
berlarl mengejar Tlonga ' Lee Cln-jin yang sudah berjalan
mening-galkan pekarangan itu.
Lurah Coa mengikuti mereka dengan pandang
matanya sampai dua orang itu tak ta,mpak lagi. Dia lalu
inemerintah-kan orang-orangnya untuk mengurus jenazah
Nenek Souw baik-baik dan dia ma-suk ke dalam rumah
untuk mengobati lu-ka-Iuka lecutan di tubuhnya.
Semenjak hari Itu, Lurah Coa berubah sama sekali. Dla
berubah menjadi seorang lurah yang baik dan kehidupan
rakyat di du-sun itu menjadi benar-benar sejahtera dan
berbahagla. Dua belas orang jagoan Itu kinl menjadi
sahabat rakyat, menja-di penjaga keamanan dalam arti
yang sebenarnya. Setelah mengubah sama sekali jalan
hidup mereka, kini mereka mendambakan suatu
kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan
sebelumnya. Mereka merasa aman tenteram dalam hidup mereka, slkap dan pandang mata se-mua peududuk
terhadap mereka demiki-an ramah tulus dan hormat
yang tidafc dibuat-buat. Baru sekarang mereka
merasakan betapa membikin senang orang lain jauh lebih
menyenangkan daripada membikin susah orang lain.

67

***
Setelah berpuluh tahun berada dalam kekacauan dan
pertentangan karena Ci-na dikuasai Lima Dinasti yang
saling berperang dan berebutan kekuasaan, akhirnya
pada tahun 960 lahirlah Dinastl Sung yang berhasil
mempersafukan Cina kembali. Pendiri Dinasti Sung
adalah seorang panglima dari ,satu di antara dinastidinasti yang pada jaman Lima Di-nasti berkuasa di Cina,
yaitu Dinasti Chou. Panglima ini bernama Chao Kuang
Yin. Panglima Chao Kuan Yin ini men-Jadi kaisar yang
mendirikan Dinasti Sung dengan cara yang unik, a"eh dan
lucu. Pada masa itu, Dinasti CHou membutuhkan
seorang yang tepat untuk menjadi kaisar karena
kaisarnya yang sudah tua berada dalam keadaan sakit
payah. Yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah seorang pangeran yang masih kecil, seorang anak-anak!
Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan tidak puas
dalam ha-ti para perwira, Mereka lalu diamdiam '
mengadakan perundingan dan mengada-kan pemilihan
siapa kiranya yang pantas diturijuk untuk menjadi kaisar
baru. Me-reka dengan suara bulat memilih Pangli-ma
Chao Kuang Yin yang mereka kenal sebagai seorang
panglima besar ahli pe-rang yang pandai dan yang juga
bijaksa-na dalam pergaulannya dengan para pembesar
lainnya.
Pada suatu malam, selagi Panglima Chao Kuang Yin
masih tidur, para per" wira bawahannya dan para pejabat
tinggi memasuki kamarnya dan membangunkannya.
Panglima itu terbangun dan merasa kaget dan heran
sekali
melihat
para
per-wira
dan
pembesar
mengerumuninya.

68

"Heii, apa-apaan ini? Apakah terjadi. Mau apa kalian


menggugah ku??" tanya Panglima Chao Kuang Yin yang
lalu duduk di atas kursi, meman-dang kepada mereka
semua. Ternyata mereka telah menyalakan lampu
sehingga kamar itu menjadi terang. Dengan heran dia
melihat bahwa semua perwlra tinggi yang menjadi
pembantunya berada di situ, juga para pejabat tinggl
yang berkedudukan penting di pemerintahan.
Seorang perwira yang paling tinggl kedudukannya di
antara semua perwira, yaitu Perwira Ciang yang menjadi
pem-bantu utama Pangllma Chao Kuang Yln,
mengeluarkan sebuah jubah dan mengembangkan jubah
itu hendak menyelimutl kedua pundak Panglima Chao
Kuang Yin. Ketika melihat bahwa jubah itu adalah pakaian
kebesaran Kaisar, panglima itu cepat bangkit berdiri dan
menolak.
"Apa artinya ini? Apa maksud kalian?"
"Panglima Chao Kuang Yin, atas kesepakatan kami
semua, malam ini juga kami mengangkat paduka menjadi
kaisar kami yang baru!" kata Perwira Clang Sui.
Panglima Chao Kuang Yin membela-lakkan matanya
dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah. "Apa
kalian serriua sudah menjadi gila? Aku adalah seorang
panglima Kerajaan Chao yang setia kepada Kaisar! Aku
ttidak ingin menjadi pengkhianat!"
Panglima Chao, tenanglah dan pikirkan baik-baik.
justru karena paduka ada-lah seorang patriot sejati,
seorang yang setia kepada kerajaan, maka paduka harus menolong dan melindungi kerajaan kita. Kaisar yang
baru diangkat adalah seorang kanak-kanak, mana
69

mungkin dia dapat memerintah dengan baik dan


semestinya? Kalau dibiarkan saja keadaan ini, kerajaan
kita pasti akan ambruk dan siapa lagi yang dapat
menyelamatkan kerajaan ini kecuali paduka?"
"Tidak, aku tetap tidak mau!" bantah Panglima Chao
Kuang Yin.
Seorang perwira tinggi lain berseru, "Kalau Panglima
Chao Kuang Yin tidak^ 'mau, berarti dia. ingin melihat
kerajaari ini, hancur dan ini berarti dia seorang
pengkhlanat yang harus dlhukum mati!" Dia mencabut
pedangnya dan belasan orang perwira itu semua
mencabut pedang, termasuk para pejabat tinggi. Mereka
menodongkan pedang mereka kepada Panglima Chao
Kuang Yin yang terbelalak keheranan.
Seorang pejabat tinggi bagian Sastra dan Budaya
yang bernama Can Siong Tek berkata dengan suara
yang lembut, Hanglima Chao Kuang Yin, harap padu-ka
suka memperhatikannya baik-bark. Keadaan keraj-aan
dalam bahaya. Kaisar yang diangkat masih kanak-kanak
dan tentu dia akan dipengaruhi dan terjatuh ke dalam
tangan para menteri korup dan para thai-kam (laki-laki
kebiri) penjilat sehingga pemerintahan jatuh ke tangan
mereka. Dapat dipastikan kerajaan ini akan ambruk.
Sekarang paduka tinggal pillh. Mau menjadi kaisar untuk
menye-lamatkan negara dan rakyat, atau kalau paduka
menolak terpaksa kami bunuh karena paduka berarti
menentang keputusan kami."
Chao
Kuang Yin
berdiam
sampai la-ma,
mempertimbangkan dan berpikir-pikir. Dia tahu benar
bahwa kalau dia menolak dan melawan, dia pasti akan
tewas di tangan mereka inl. Bukan dia takut mati, akan
70

tetapi apa artinya ke-tnatiannya? Hal itu tidak akan


menolong keadaan kerajaan. Sebaliknya kalau dia hidup
dan mau menerima kedudukan kai-sar, dia dapat
berusaha untuk mempersa-tukan seluruh negeri dan
menyudahi'pe-rang saudara yang tiada henti-hentinya
menghantui dan menyengsarakan rakyat Jelata.
Akhirnya dia berkata, "Baiklah. Akan tetapi kalian
harus berjanji untuk mem-bantu aku memperkuat
kerajaan dan mempersatukan semua kekuatan yang
tadinya saling bertentangan."
"Hidup Kaisar!" Serentak mereka berseru dan
mengenakan jubah kaisar pada tubuh Panglima Chao
Kuang Yin.
Demikianlah, Panglima Chao Kuang Yin menjadi
kaisar dan dia mendirikan Dinasti Sung. Dia
menggunakan nama Kaisar Sung Thai Cu (960-976) dan
menjadi pendiri Dinasti Sung sebagai kaisar pertama.
Mulai saat itulah Dinasti Sung berdiri sampai tlga abad
lebih (960-1279).
Ternyata kemudian bahwa pilihan para perwira tinggi
dan pejabat tinggi itu tidak keliru. Panglima Chao Kuang
Yin yang kini menjadi Kaisar Sung Thai Cu ternyata
adalah seorang Kaisar yang a-mat cerdik pandai dalam
persoalan poli-tik, seorang yang bijaksana, tidak kejam
dan tidak sewenang-wenang. Pula, dia ada lah seorang
bangsa Han. Hal ini ditambah sikap dan sepak
terjangnya yang bijaksana membuat para kerajaan dan
pemerintahan lain tunduk kepadanya. Apalagi ?rak-yat
sudah bosan dengan peperangan yang tiada hentinya
selama puluhan tahun, bo~. san dengan pengaruh
kekuasaan suku-suku bangsa liar yang berebutan
71

kekuasaan. Para penguasa daerah yang tadinya, di


masa kekuasaan Lima Dinasti herdin sendiri sebagai
kerajaan-kerajaan kecil, ini satu demi satu menyatakan
taluk dan berdiri di bawah panji kerajaan Sung yang
dipimpin oleh Kaisar Sung Thai Cu. Kaisar Sung tetap
memberi kedudukan kepada para penguasa itu sebagai
pejabat tinggi darl KerajaanSung, Sebagai semacam
gubernur. Ada bebera-pa daerah yang tidak mau tunduk.
Mere-ka ini dengan mudah diserang dan dltak-lukkan.
Akan tetapi, bahkan kepada me-reka yang menentang
inipun Kaisar Sung Thai Cu bermurah'hati. Para
pemimpinnya tldak dihukum, bahkan setelah daerah itu
ditaklukkan, mereka tetap diang-kat menjadi pejabat.
Demikianlah, da-lam waktu beberapa tahun saja, seluruh
Cina telah dapat dipersatukan, dan seba-gian besar darl
mereka ditundukkan dengan cara halus. Hanya beberapa
daerah saja yang terpaksa diteklukkan dengan kekuatan
pasukan tentara.
Semenjak Dinasti Sung berdiri dengart kokohnya,
gangguan dari bangsa yang oleh rakyat Cina dlsebut
"bangsa liar" banyak berkurang. Gangguan yang masih'
ada hanya datang darl bahgsa Tatar yang mendirikan
Liao (sekarang Mancuria), dan 5 juga dari bangsa Hsia
Hsia di Barat Laut.
Kebesaran Dinasti Sung yang dapat mempersatukan
seluruh Cina itu hanya bertahan satu setengah abad
lamanya. Kemakmuran dan gangguan keamanan, yang
hanya sedikit itu membuat Kalsar Hui Tsung lengah.
Jerih payah yang dilakukan Kaisar Sung Thai Cu itu
akhirnya kandas dalam tahun 1121. Kaisar Hui Tsung
lengah, tidak begitu memperha-tikan ketika tetangganya
yang berada di utara, yaltu kerajaan Liao, telah di-serbu
dan dikuasai oleh bangsa Kin yang kuat. Setelah Bangsa
72

Kin menguasai keraJaan Liao (Mancuria), mereka


menghim-pun kekuatan besar sekali dan menyerbu
kerajaan Sung. Bala tentara Sung mengadakan
perlawanan hebat, namun akhirnya mereka dikalahkan
dan seluruh wila-, yah Sung bagian utara telah dikuasai
bangsa Kin. Kaisar Hui Tsung bahkan ditawan oleh
pasukan Kin.
Pemerintah Sung lalu melarikan dtipt ke selatan dan
kota raja pindah ke Lin-an (sekarang Hang-chow). Karena
kepindahan ini, maka Dinasti ini juga disebut Sung
Selatan.
Wilayah Dinasti Sung Selatan ini ber-.ada di sebelah
selatan Sungai Yang-ce dan karena tanah di daerah
selatan ini jauh lebih subur dibandingkan tanah di utara,
maka kerajaan Sung Selatan Ini tidaklah dapat dikatakan
mundur dalam hal kesejahteraan.
Kisah ini terjadi pada jaman Dinasti Sung Selatan dan
yang menjadi kaisarpun pada waktu itu adalah Kaisar Kao
Tsung, seorang keponakan dari Kaisar Hui Tsung yang
ditawan oleh suku bang-sa Khitan dari Kerajaan Kin.
Kaisar Kao Tsung bertekad untuk membalas dendam !
dan melakukan perang terhadap Bangsa Tartar Khltan
yang telah menguasai da-erah utara Sungai Yang-ce.
Kaisar Kao I Tsung menghimpun kekuatan, mengumumkan dan mengundang paramuda untuk masuk menjadi
tentara dan ikut berjuang mengusir bangsa liar yang
menguasai
tanah air bagiau, utara itu.
Demikianlah sekilas tentang keadaan Dinasti Sung
Selatan. Jatuhnya daerah utara dan kota raja yang
73

tadinya menja-di pusat kerajaan Sung, yaitu kota raja


Tiang-an atau Kaifeng, terjadi dalam ta-hun 1121.
***
Di lembah Sungai Yang-ce sebelah selatan, terdapat
sebuah kota kecil Cin-koan. Kota kecil ini cukup ramai
karena merupakan persinggahan para pedagang yang
mengangkut barang dagangan mere-ka melalui Sungai
Yang-ce. Daerah itu terkenal dengan rempa-rempanya.
Banyak pedagang datang ke kota Cin-koan untuk
membeli rempa-rempa dan ada pula yang datang
membawa dagangan ke kota itu berupa bahan pakaian
dan segala inacam keperluan lagi. Tidak mengherankan
ka-lau kota Cin-koan berkembang rnenjadi kota yang
ramai dan mulailah rumah pengihapan dan' rumah
makan bermunculan untuk menampung para pendatang
dan pedagang yang setiap hari memenuhi kota Cin-koan.
Dan tidak aneh' pula kalau ber-munculan pula tempattempat hiburan se-perti rurnah perjudian dan rumah
pelacuran. Para pedagang yang berada jauh darl rumah
dan yang memperoleh banyak ke-untungan itu haus
akan pelesiran dan mereka biasa membuang uang
secara royal;
Rumah pelesir Bunga Seruni merupa-kan tempat
pelesir yang terkenal di kota Cin-koan. Rumah pelesir ini
dikelola oleh seorang mucikari yang biasa dipang-gil Luma, seorang wanita gemuk berusia lima puluhan tahuri.
Pagi hari itu Lu ma sudah bangun dan setelah
melakukan pemeriksaan terhadap belasan orang' anak
buahnya, yaitu gadis-gadis penghibur' yang muda dan
cantik, menyuruh mereka agar tidak bermalas-malasan,
cepat maridi dan mengenakan pakaian bersih dan indah,
ia lalu memasuki sebuah kamar yang 'terpisah dan
74

berada di bagian belakang. Hari itu merupakan hari


istimewa ikare-na, ada serombongan pedagang dari
kotdlSS raja datang, Jumlah mereka ada tiga pu-luh
orang lebih dan ini merupakan reje-ki besar karena tentu
di antara mereka ada yang akan berpelesir di rumah
Bunga Seruni yang terkenal mempunyai banyak gadis
penghibur yang cantik itu. Lu-ma memasuki kamar di
belakang itu dan se-orang gadis berusia kurang lebih
delapan belas tahun menyambutnya. Gadis itu cu-kup
cantik dan pakaiannya sederhana, berbeda dengan para
gadis penghibur. Gadis itu adalah seorang gadis yatlm piatu, maslh terhitung keponakan Luma dan sudah
setahun -lamanya ia tlngga! dl rumah Lu-ma. Lu-ma amat
menyayang gadls yang datang darl dusun inl karena ia
rajin dan pandai merrtbawa di-ri. Saking sayangnya, Luma tidak me-meras tenaga gadis itu dan hanya kepa-da
pria-pria pilihan saja ia menyuruh gadis itu melayani
mereka. Pria yang lem-but dan royal, bukan sebangsa prla
ka-sar. Karena itu, biarpun ia menJ'adI seo-, rang gadis
penghibur atau pelacur, gadis itu tidak merasa terlalu
terslksa. la jarang diharuskan menerima taiAU, ha-nya
berapa hari sekali kalau kebetulan' ada pria yang menurut
Lu-ma pantas un-tuk dilayani keponakannya saja. Karena
tidak ingin rnemamerkan diri, maka gadis itu berdandan
secara sederhana saJa walaupun hal itu tidak
menyembunyikan ! kecantikannya. Gadis itu bernama
Liang Hong Yi, baru setahun tinggal di situ dan baru
beberapa bulan ia melayani laki-laki pilihan bibinya.
"Bibi,. sepagi ini sudah bangun?" Liang Hong Yi
menyambut bibinya sambilter-senyum. Gadis ini juga
sayang dan meng-hormati bibinya. Walaupun bibinya
menJadikan ia seorang pelacur, hal yang tidak mungktn
terelakkan lagi mengingat akan pekerjaan bibinya
sebagai mucika-ri, namun ia tahu bahwa bibinya sayang
75

kepadanya. la tidak diperas dan tidak harus melayani


sembarang pria, tidak harus melayani sebanyak mungkin
pria seperti para gadis penghibur itu.
"Duduklah, Hong Yi. Ada hal penting yang ingin
kubicarakan kepadamu," kata Lu-ma. Hong Yi yang baru
berusia dela-pan. belas tahun itu berwajah bulat te-lur,
dagunya runcing dan sepasang mata yang indah jeli
seperti mata burung da-ra itu dilindungi sepasang alis
yang hi-tam kecil panjang melengkung. Hidungnya kecil
mancung dan mulutnya manis sekali dengan blbir yang
selalu merah basah segar menantang. Setitik tahi la-lat
kecil hitam dl. dagunya menambah manis wajahnya yang
berkulit putih ke-merahan dan mulus. Rambutnya juga hitam lebat, dengan anak rambut halus berjuntai di sekitar
dahi dan pelipisnya. Tubuhnya ramping, akan tetapi tidak
ter-lalu kurus, bahkan padat dan sintal.
"Ada apakah, bibi?" tanya Hong Yi sambil duduk di
atas kursl berhadapan dengan bibinya, terhalang sebuah
meja kecil.
"Hong Yi, semalam aku bermimpi melihat engkau
terbang dan menari-nari di antara bintangbintang!"
Hong Yi tertawa dan menutupi mulutnya dengan
lengan baJunya. "Hi-hik, bibi ini aneh-aneh saja, Mungkin
bibi se-malam keenakan tidur karena hawa udara
memang dlngin malam tadi."
"Tidak, Hong Yi. Pagi tadi setelah terbangun, aku
segera mengadakan per-hitungan meramal dengan
mencocokan hari tanggal lahirmu dan aku mendapat
kenyataan bahwa engkau kelak akan hidup sebagai
orang besar!"
76

"Aih, bibi. Orang macam aku bagal-mana dapat


menjadi orang besar?" Tan-pa disengaja, ucapan yang
keluar dari bibir mungil itu bernada sedih.
Begitu mendengar ucapan keponakan-nya itu, Lu-ma
lalu meraih tangan Hong Yl yang terletak di atas meja.
"Maafkan bibimu, Hong Yi. Mulai sekarang aku berjanji
tldak akan menyuruhmu melayanl pria lagl."
Wajah yang manis itu memandang pada Lu-ma
dengan mata terbelalak dan suaranya terdengar,
gembira. "Benarkah itu, bibi?"
"Percayalah.. Aku bersumpah, akan tetapi kalau
engkau sudah menjadi orang besar, jangan kau lupakan
aku, Hpng Yi."
"Aku tidak pernah menyalahkan engkau karena aku
menjadi seorang pelacur di sini, bibi. Engkau amat baik
kepadaku dan aku tidak akan pernah melupakan
kebaikanmu itu."
"Nah sekarang engkau berdandanlah."
"Sepagi ini harus melayani seorang jpria, bibi?" Mata
yang indah itu menja-Sdi agak muram.
"Anak bodoh! Bukankah aku tadi sudah bersumpah
tidak akan menyuruhmu melayanl prla lagi? Tldak, bukan
melayani pria. Akan tetapi aku menghendaki engkau
pergi ke kuil Kwanim-bio di tepi kota untuk
bersembahyang dan mohon ramalan peruntunganmu."
Hong Yi tidak pernah menibantah perintah bibinya,
maka lapun mengangguk.
77

"Baiklah, bibi. Aku segera akan berdan-dan dan


berangkat." Pada saat itu, seorang pelayan wanita berdiri
di ambang pintu kamar itu dan berkata kepada Lll ma
bahwa ada tamu yang hendak bertemu.
"Engkau cepat berdandan dan berang kat, Hong Yi,"
kata Lu-ma yang lalu meninggalkan gadis itu.
Hong Yi segera berganti pakajan yang lebih baik
walaupun masih tetap bersahaja, tidak memakai terlalu
banyak perhiasan. Baru saja ia selesai berdandan, ia
mendengar suara ributribut dari depan, suara laki-laki
yang terdengar marah-marah. Ia cepat melangkah
keluar, berpapasan dengan pelayan yang ketakutan.
"Ada apa?" tanyanya kepada pelayan itu.
"Wah, celaka, nona Liang," kata pelayan itu. "Ada
dua orang tamu marah-marah!"

JILID 3
Terdengar hiruk pikuk seperti barang-barang
dibanting. Hong Yi cepat menuju ke ruangan depan.
Dilihatnya Lu-ma berdiri di sudut ruangan dengan muka
pucat ketakutan. Dua orang laki-laki berusia antara tiga
puluh sampai empat puluh tahun sedang mengamuk
membantingi kursi dan bangku sehingga kaki kursi dan
bangku itu patah-patah.
"Hentikan itu!" bentak Hong Yl lantang. "Apa yung
kalian lakukan Itu?"
"Hong Yi, jangan masuk. Pergilah darl slni!" Lu-ma
78

berseru sambll memberl tanda dengan tangannya agar


Hong Yl pergi. Akan tetapl Hong Yi malah memasukl
ruangan itu."
Dua orang laki-laki itu berhenti mengamuk dan kini
keduanya memandang kepada Hong Yl dengan penuh
perhatian dan keduanya menyeringai. Seorang di antara
mereka yang kepalanya botak darf hidungnya besar
melangkah maju dan berkata, "Aha, kiranya ini yang
bernama Hong Yi? Pantas, cantik dan manis. A-khirnya
engkau mau ketuar juga, sayang, untuk melayani kami
berdua!"
Orang kedua yang tubuhnya tinggi be-sar, matanya
lebar dan di dahinya terda-pat codet bekas luka
memanjang terta-wa. "Ha-ha, nenek ini hendak menjual
mahal. Kami berdua adalah kepala peng-awal dari kota
raja, dan sudah lama mendengar bahwa kembang dari
rumah pelesir Bunga Seruni, bahkan juga kem-bang dari
kota Cin-koan, bernama Hong Yi. Nah, kami ingln
dilayanl olehmu dan berapapun bayarannya akan kami
penuhi!"
"Aku adalah Hong Yi, dan kalau bibi Lu-ma
mengatakan tldak kepada ta-mu, blar dlbayar berapapun
aku tldak akan mau melayaninya. Blbl Lu-ma su-dah
tidak membolehkan kellan mengejak aku, maka kelian
tldak boleh memaksa. Mengapa kalian mengamuk
seperti orangorang glla dan merusak prabotan di sl-ni?
Hayo cepat ganti kerusakan ini! Coba kuhitung.... kalian
ganti lima puluh tail perak. Cepat bayar dan pergilah dari
sini dan jangan sekali-kali berani datang lagi!" Ucapan
Hong Yi itu bernada memerintah dan mengancam! Lu-ma
membelalakkan matanya, heran dan terkejut, juga
khawatir melihat sikap dan mendengar ucapan Hong Yi
79

itu. Anak ini mencari penyakit, pikirnya.


"Ha-ha-ha, cantik manis dan galak! A-ku senang
semangat itu. Engkau seperti seekor kuda betina liar dan
aku suka menundukkan kuda betina liar. Kami akan
membayar gantl rugi setelah engkau me-layanl dan
menghlbur kami berdua sela-ma tiga hari tiga malam.
Marilah, manis, mari kita bersenang-senang!" kata si kepala botak hidung besar yang tubuhnya pendek gendut.
Berkata demikian dia su-dah melangkah lebar
menghampirl Hong Yi dan
kedua lengannya
dlkembangkan slap untuk merangkul tubuh yang denok
itu.
Akan tetapl dengan gerakan yang genit sekall' Hong Yl
miringkan tubuh ke samping sehingga rangkulan itu luput
dan dari sainping tangannya menyambar dengan
tamparan keras ke arah kepala si botak.
"Plak'" Keras sekali tamparan itu dan tubuh si botak
itu terpelanting roboh. Lu-ma terbelalak dan kedua
tangan me-nutupi mulutnya yang ternganga agar ia tidak
mengeluarkan suara. la merasa se-perti sedang mimpi!
Bagaimana mungkin keponakannya yang biasanya lemah
lembut dan tampak lemah itu dapat membuat si gemuk
pendek itu terpelanting ro-boh?
Si codet yang tinggi besaritu marah sekali melihat
kawannya ditampar sehing-ga roboh. "Berani engkau
memukul te-manku!" bentaknya dan tangan kanannya
meluncur cepat. Lengan yang panjang itu penuh dengan
tenaga raksasa dan tangan dengan Jari-Jarl panjang Itu
mencengkeram ke arah pundak kirl Hong Yl. Akan tetapi
Hong Yl memutar tubuh menge-lak sehlngga
cengkeraman Itu luput, ke-mudian tangan kirinya
80

menangkap pergelangan tangan lawan Itu dan sekali


memutar tubuh sambil mengerahkan tenaga menyentak,
tubuh sl-Codet yang tinggi besar Itu melayang dengan
kaki di atas melalui atas pundak Hong Yi kemudian
terbanting ke atas lantai sampai terde-ngar bunyi
berdebuk!
Dua orang kepala pengawal yang biasanya menjadi
jagoan itu tentu saja merasa penasaran bukan main.
Mereka yang blasanya ditakuti orang itu kinl roboh dalam
segebrakan saja oleh seorang pelacur muda! Karena
penasaran dan malu, mereka menjadl marah. Setelah
bangkit berdiri, keduanya lalu mencabut pedang yang
tadlnya tergantung dl punggung me-reka. Dengan
pedang terhunus yang ber-kilauan mereka berdua
menghadapi Hong Yi.
"Hong Yi, larilah....!" Lu-ma menjerit dengan tubuh
menggigil. la merasa ngeri sekali dan tidak ingin melihat
keponakannya yang disayangnya itu. terbunuh secara
mengerikan.
Hong Yi menoleh ke arah Lu-ma sam-bil tersenyum
tenang. la girang melihat betapa bibinya itu
mengkhawatirkannya. "jangan takut, bibi. Dua ekor anjing
busuk tni itnemang sudah sepatutnya dihajar.
Mendengar mereka dimaki sebagai anjing busuk, dua
orang itu menjadi mata gelap saking marahnya.
"Mampus kau!" bentak si codet dan dia sudah
menyerang dengan pedangnya yang menyambar dan
membacok ke arah leher yang berkulit putih mulus itu.
Se-mentara si botak gendut juga sudah menggerakkan
pedangnya menusuk ke arah da-da. Agaknya dua orang
81

ini sudah menja-dl mata gelap dan bernafsu sekali untuk


membunuh gadls yang molek Itu.
Namun Hong Yi, di luar persangkaan Lu-ma dan para
gadls penghibur yang mengintal dan menonton keributan
itu, dengan tenang namun cepat sekali seper-ti gerakan
seekor burung walet, melang-kah ke sana-sini. Langkahlangkahnya a-neh namun nyatanya dua pedang itu ti-dak
mampu menyentuhnya! Dua orang pe-nyerangnya
menjadi semakin penasaran dan mereka mengamuk,
menyerang seca-ra membabi buta. Dua batang pedang
perkelebatan menjadi gulungan sinar yang menyilaukan
mata. Namun tetap saja dua batang pedang itu tidak
mampu menyen-tuh tubuh Hong Yi yang seolah telah
berubah menjadi bayangan yang tidak mungkin dapat
dibacok atau ditusuk pe- 'fiS dang! Semua mata yang
menonton pertandingan itu, yang mula-mula meman-dang
ngeri membayangkan tubuh yang padat ramping itu akan
roboh mandi darah, sekarang memandang dengan takjub
dan kagum.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring suara Hong Yi.
"Lepaskan pedang!" Kedua tangannya menyambar
dengan tangan terbuka miring, seperti golok membacok
hampir berbareng ke arah dua pergelang-an tangan.
"Dukk!! Dukk"" Dua batang pedang terlepaa dari
pegangan dan dua orang pe-ngeroyok itu menarik tangan
kanan me-reka karena merasa seolah tulang pergelangan tangan itu patahpatah.
Hong Yi tidak berhenti sampai di situ. Kedua kakinya
yang kecil panjang itu mencuat bergantian, yang kiri
menyambar ke arah kepala si pendek gendut disusul kakl
kanari menyambar ke arah dada si tinggi besar.
82

"Dess....! Dess....!" Dua orang itu terjengkang dan


terbanting keras ke atas lantai. Sejenak mereka merintih,
lalu bangkit duduk. Si pendek botak meme-jamkan mata
karena kepalanya puyeng dan segala tampak berputaran.
Si tinggi besar memegangi dadanya dan menekafl
dengan kedua tangan karena dadanya te-rasa sesak
bernapas!
Dengan kaki kirinya Hong Yi mencu-kil sebatang
pedang yang terlepas tadi. Pedang melayang ke atas
disambar de-ngan tangan kanannya. Kemudian ia mencukil pedang kedua yang disambar tangan kirinya.
Dengan sepasang pedang di ta-ngan ia menghampiri dua
orang yang ma-sih duduk berdekaian itu dan ujung
pedang itu menodong leher mereka, Ujung pedang yang
runcing menekan kultt le-her mereka.
"Bersiaplah kalian untuk mampus!" bentak Hong Yi
yang kini dari seorang gadis yang lemah lembut berubah
menja-di seorang gadis yang tampak gagah perkasa.
Dua orang jagoan itu menggigil keta-kutan.
"Ampun.... ampunkan kami...." me-reka bermohon
dengan suara meratap, si botak masih puyeng dan si
codet ma-sih terengah-engah.
"Kalau begitu hayo cepat keluarkan lima puluh tail
perak untuk mengganti .prabotan yang rusak kemudian
cepat minggat dari sini'." bentak Hong Yi.
Biarpun napasnya masih terasa sesak, si tinggi besar
dengan jari-jari tangan gemetar mengambil kantung
uangnya dan mengeluarkan lima puluh tail perak. Uang ku
diletakkannya di atas lantai di depannya.

83

"Sekarang pergilah dan jangan berani muncul lagi di


sini. Kalau lain kali muncul lagi, kedua tangan kalian akan
kubun-tungi!" hardik Hong Yi sambil menen-dang dua
kali. Tubuh dua orang jagoan ri itu terpental dan terguling
keluar dari pintu ruangan depan. Mereka segera bangkit,
si codet tinggi besar masih menekan dadanya dan si
botak pendek gendut masih memegangi kepalanya.
Kemudian mereka lari pontang-panting mening-galkan
rumah pelesir itu.
"Hong Yi....!" Lu-ma menghampiri gadis itu dan
merangkulnya. Hong Yi melempar sepasang pedang ke
atas lantai dan menghibur Lu-ma yang menangis.
"Sudahlah, bibi. Bahaya sudah lewat dan aku yakin
dua orang jahat itu tidak akan berani datang mengacau
lagi."
"Hong Yi, mari.... aku mau bicara...." kata Lu-ma. la
rnemberi Isarat kepada seorang gadis anak buahnya
untuk menyimpan uang lima puluh tail perak itu dan ia
lalu menggandeng tangan Hong Yi memasuki kamarnya.
Setelah menutupkan daun pintu ia mengajak Hong Yi duduk berhadapan.
"Hong Yi, engkau sungguh mengheran-kan dan
mengejutkan hatiku. Bagaimana engkau mampu
mengalahkan dua orang jahat tadi? Bagaimana engkau
yang biasanya lemah ini mendadak dapat berubah
ttienjadi seorang pendekar wanita?"
Hong Yi tersenyum. "Aku bukan seo-rang pendekar
wanita, bibi. Aku hanya pfernah belajar ilmu silat dari
seorang nikouw (bikkhuni) perantau yang dahulu tinggal
di dusun kami selama tujuh ta-hun."
84

"Akan tetapi engkau tidak pernah me-ngatakan hal itu


kepadaku
dan
engkau
juga
belum
pernah
memperlihatkan kepandaian silatmu sama sekali."
"Ilmu silat bukan untuk pamer, bibi, melainkan untuk
membela diri kalauu terancam bahaya."
"Akan tetapi engkau.... ahh, betapa menyesal aku....
kenapa engkau menurut saja ketika aku ........
menyuruhmu melayani para pria itu? Kenapa tidak kau
tolak? Ahh ........ aku sungguh
menyesal sekali ........ "
"Sudahlah, bibi. Engkau telah menolongku. Engkau
telah mengur'us pemakam-an orang tuaku dan engkau
mau menampung diriku yang yatim piatu dan seba-tang
kara. Kalau tidak ada engkau tentu aku akan menjadi
seorang gadis yang terlantar dan entah bagaimana
nasibku. Eng-kau amat baik kepadaku, maka tentu sa-ia
aku menurut akan segala perintahmu. Aku tahu engkau
menyayangku.. dan tidak ingin menjadikan aku seperti
para gadis penghibur yang lain. Engkau memilih pria-pria
terbaik untukku. Dan me-mang mereka itu bersikap
lembut, meng-hormati dan menghargaiku. Aku tidak
menyesal, bibi."
"Engkau seorang gadis yang luar biasa, Hong Yi. Aku
agak terhibur mengingat bahwa aku telah bersumpah
untuk tidak menyuruh engkau melayani pria lagi.
Sekarang, pergilah ke kuil itu, Hong Yi dan
bersembahyanglah. Mintalah berkah dari Kwan Im Posat
dan mintalah petunjuk dan ramalan. Apakah engkau
perlu ditemani?"

85

"Tidak usah, bibi. Aku akan pergi sen-diri, aku dapat


menjaga diri."
Dengan membawa perlengkapan sem-bahyang
seperti hioswa (dupa biting), li-lin dan sebagainya, Hong
Yi lalu berang-kat ke Kwan-im-bio yang berada di ujung
kota Cin-koan sebelah selatan. Seorang nikouw tua lalu
menyambutnya dan Hong Yi lalu bersembahyang.
Kemudian ia minta ramalan dan setelah mengocok tabung
tempat nomor ramalan dan sebuah nomor keluar, nlkouw
pelayan mengambllkan ramalan tertulis itu dan
memperlihatkannya. Biarpun Hong Yi seorang gadis kelahiran dusun, namun mendiang ayahnya adalah
seorang terpelajar miskin dan ayahnya dahulu
mengajarinya ilmu membaca dan menulis. Bahkan ketika
menjadi murid Bian Hui Nikouw selama tujuh tahun, ia
selain dilatih ilmu silat, juga me-nerima pelajaran
membaca kitab-kitab agama oleh gurunya itu. Maka gadis
ini-pun pandai membaca dan menulis. la membaca
ramalan tertulis itu.
"Harimau Putih bukan untuk ditakuti seyogyanya
menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han
bersamanya berjaya di Lin-an."
Biarpun dapat membaca sajak ramaian itu Hong Yi
tidak mengerti apa maksudnya. la tidak tahu apa yang
dimaksud-kan dengan Harimau Putih dan siapa pu-la
orang bermarga Han yang harus ds-ajaknya pergi ke kota
raja itu. Akan tetapi karena kepergiannya ke kuil minta
ramalan itu bukanlah kehendak yang timbul dari hatinya
sendiri melainkan untuk memenuhi permintaan Lu-ma,
maka ia-pun tidak mengambil pusing lagi lalu berpamit
dari nikouw pelayan dan menu-ju pulang. Kuil Kwan-imbio itu terletak di ujung kota yang sepi dan sebelum ti-ba
86

di perumahan kota ia harus melewati sebuah ladang


yang cukup luas dan bagian pinggir kota di situ sepi tak
banyak dilewati orang.
Selagi ia berj'alan di bawah sinar ma-tahari yang mulai
tinggi, tiba-tlba ia terkejut bukan main karena di atas jalan
raya itu tampak seekor binatang mengha-dang
perjalanannya. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia
makin heran dan terkejut karena binatang Itu adalah
seekor harlmau yang bulunya berwarna putlhl Sebagal
seorang yang memiliki llmu silat yang cukup tangguh dan
penuh kepercayaan kepada diri sendiri dalam menghadapi bahaya, Hong Yi cepat membungkuk dan
mengambil dua buah batu sebesar kepalan tangannya. la
tidak memegang senjata dan inaklum bahwa harimau
adalah sebangsa binatang buas yang amat kuat dan
berbahaya. Dua buah batu itu cukup lumayan untuk
dipakal membela diri. Otomatis ia teringat akan isi
ramalan dari kuil Kwan-im-bio tadi. Ramalan itu
menyebutkan tentang harimau putih! Apa katanya tadi?
"Harimau putih bukan untuk ditakuti!"
Tidak, ia tidak takut. la teringat bahwa anjing yang
galakpun biasanya takut kalau disabit batu, terutama
kalau sambitan itu mengenai tubuhnya. Mungkin harimau
inipun akan ketakutan kalau ia sambit dengan batu,
pikirnya. Setelah berpikir demlklan, Hong Yl mengambll
ancang-ancang, membidik ke arah sasaran lalu
dilontarkan sepotong batu ke arah tubuh harimau itu.
"Wuuuttt.... dukkk!" Sambitan itu tepat nlengenai
perut harimau putih. Blna-tang- langka Itu terkejut lalu
melompat dan melarikan dlri ke kiri. Hong Yi yang masih
mempunyai sepotong batu lagi', mengejar dan
menyambitkan batu kedua. Harimau itu melompat ke
87

balik semaksemak dan menghilang. Hong Yi


menghampiri semak-semak setelah memungut sepotong
batu lagi dari jalan. Berindap-indap ia menghampiri
semak-semak dan... ia tertegun. la tidak melihat harimau
atau binatang apapun juga, akan tetapi di balik semaksemak itu, di atas rumput hiJau yang tebal, ia melihat
seorang pria muda bangkit dari tidurnya, duduk dan
menggeliat seperti seekor harimau. Pemuda itu berusia
kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh jangkung
dan tegap, ketika menggeliat itu tampak kedua
lengannya yang berotot. Wajahnya juga membayangkan
kegagahan dan kejan-tanan. Di dekatnya terdapat
sebuah buntalan kain kuning. Rambutnya yang hi-tam
panjang itu ditekuk ke atas dan diikat dengan sehelai
kain biru.
Tentu saja Hong Yi merasa kikuk dan tidak enak. la
khawatir akan disangka mengintai orang tidur. Maka
lapun melangkah mundur dan karena pemuda itu tidak
langsung menghadaplnya, maka ia dapat mundur tanpa
terlihat.
Ketika ia telah tiba di jalan raya la-gi, ia mendengar
suara orang dari depan. la memandang dan melihat tujuh
orang datang dengan cepat ke arahnya. la ti-dak
menyangka buruk dan mengira mereka itu adalah orangorang. yang hendak pergi ke kuil. la tidak menaruh
perhatian, apalagi karena ia masih merasa he ran akan
peristiwa tadi. Ke manakah perginya harimau putih yang
aneh tadi? Dan orang itu! Mengapa harimau putih itu tidak
mengganggu orang itu? Pada hal ia melihat betul betapa
harimau itu lenyap di balik semak-semak dan orang lakilaki itupun tidurnya di belakang semak-semak. Ketika
harimau putih tadi

88

melompat ke balik semak-semak, sepantasnya


menimpa tubuh laki-laki yang se-dang tidur itu. Apakah
laki-laki itu terbangun karena terinjak harimau?
Rombongan orang itu sudah tiba di depannya dan ia
mendengar suara orang, "Inilah gadis siluman itu! Inilah
pelacur laknat itu!"
Hong Yi terkejut dan rnemperhatikan. la segera
mengenal si muka codet yang s bertubuh tinggi besar
tadi dan si botak yang bertubuh pendek gendut. Dua
orapg yang pagi tadt mengamuk di rumah pelesir Bunga
Seruni dan yang telah dirobohkan dan diusirnya. Dan dua
orang itu ki-pi datang bersama tujuh orang lain, en-tah
hendak melakukan apa. Akan tetapi melihat sikap
mereka ia dapat menduga bahwa mereka tentu tidak
berniat baik terhadap dirinya. la pura-pura tidak
mengenal mereka dan menggerakkan kaki untuk pergi
dari situ.
"Hei, berhenti dulu! Jangan pura-pura tidak mengenal
kami. Bukankah engkau pelacur Hong Yi yang pagi tadi
melawan kami di rumah pelesir Bunga Seruni?" ta-nya si
botak gendut dengan sikap beringas.
Hong Yi masih bersikap tenang walau-pun ia maklum
bahwa dua; orang itu jelas mencarinya untuk niembalas
dendam dengan mengerahkan teman-temannya. "Benar,
aku Liang Hong Yi. Aku telah menghajar kalian berdua
yang telah membikin ribut dan mengacau di rumah
hiburan Bunga Seruni!. Sekarang kalian berdua mau
apa?"
Si muka codet tinggi besar itu berka-ta kepada
seorang di ancara mereka, "Twako kakak terbesart, inilah
89

gadis siluman itu! Harap twako cnemberi hajaran


kepadanya agar la tidaik menjadi sombong!"
Orang te mengangguk-angguk, lalu melangkah maju
menghadapi Hong Yi.
"Nona engkau masih muda dan cantik dan kabarnya
engkau seorang pelacur yang biasa melayani dan
menghibur kar . um pria. Akan tetapi kenapa engkau
mengandallcan sedikit ilmu silatmu memu-kul dua orang
rekanku ini?" tanya orang itu.
Hong Yi memandang orang itu penuh perhatiah. Dia
seprang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Tubuhnya jangkung kurus dan pakaiannya mewah,
sikapnya halus akan tetapi sepasang matanya bersinar
tajam, muka berwarna agak kuning. Biarpun Hong Yi
belum ba-nyak pengalamannya di dunia persilatan, akan
tetapi ia pernah digembleng seorang, guru yang baik
yang banyak mencerita-kan keadaannya tentang ciri-ciri
orang kang-ouw maka melihat orang tinggi kurus itu,
iapun dapat menduga bahwa orang ini tentu seorang ahli
Lweekang(tenaga dalam) yang tangguh. Maka ia
bersikap waspada.
"Orang-orang seperti mereka berdua itu tidak pernah
akan mengakui kesalah-annya sendiri, melainkan
menjatuhkan ke-salahan kepada orang lain dan
membenar-kan diri mereka sendiri. Engkau mau ta-hu
kenapa aku memukul dua orang itu? Mereka telah
membuat kekacauan di Ru-mah Pelesir Bunga Seruni
dan hendak' memaksa aku melayani mereka. Ketika
ditolak mereka mengamuk dan merusak prabot rumah itu.
Aku hanya minta agar mereka membayar ganti rugi, akan
teta-pi mereka malah mengeroyokku. Tidak-kah itu sudah
90

pantas kalau aku memberi sedikit pelajaran kepada


mereka?"
"Hemm, akan tetapi bukankah engkau seorang
pelacur yang harus melayani setiap orang laki-Iaki yang
menginginimu dan mampu membayarmu?"
Hong Yi; mengerutkan alisnya dan kulit kedua pipinya
menjadi merah..
"Pelacur juga seorang manusia! Ia memang penjual
jasa, akan tetapi secara suka rela dan tanpa ada
paksaan. la berhak memilih dan menolak orang yang
disukainya atau untuk dilayaninya!"
Si jangkung kurus itu mengerutkan alisnya. "Hemm,
engkau memang seorang perempuan yang sombong.
Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang
perempuan, aku akan mengampunimu ka-lau engkau
suka berlutut dan ipinta am-pun kepada dua orang
rekanku ini. Kalau tidak, terpaksa aku Tiat-jiauw-eng
(Garuda Cakar Besi) Ban Hok akan memberi hajaran
keras kepadamu!"
Hong Yi tahu dari julukan orang itu bahwa dia
tentulah seorang ahli silatS bertenaga dalam yang
mengandalkan keampuhan jari-jari tangannya yang
membentuk cakar. Otomatis pandang matanya tertuju
kepada tangan orang itu dan ia melihat bahwa ujung jarijari tangan itu tampak menghltaml Akan tetapl ia teringat
akan pesan gurunya, Bian Hui Ni-kouw, dahulu. "Jangan
blarkan rasa takut dan sombong menguasai hatimu kalau
engkau berhadapan dengan seorang lawan. Rasa takut
melemahkan
dan
kesombongan
membuatmu
memandang rendah lawan dan engkau akan menjadi le91

ngah. Hadapi kekerasan dengan kelembutan. Hindarkan


perkelahian, keCuali kalau engkau terpaksa karena
diserang."
"Paman Ban Hok, kalau aku memang bersalah,
kepada seorang anak kecil seka-lipun akU bersedia
untuk minta maaf. Akan tetapi terhadap kedua orang ini,
aku sama sekali tidak bersalah. Merekatah yang
menyerangku. Tidak mungkin aku minta maaf.
Kepadamupun aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin
berkelahl , dan harap engkau sebagai seorang tokoh
kangouw suka mengerti dan memaafkan aku.
Mendengar ucapan ini, Tiat-jiaw-eng Ban Hok tampak
meragu. la adalah seorang piauw-su (pengawal barang
kirlman) yang terkenal dl kota raja dan dia diangkat
sebagal sesepuh oleh para piauwsu i yang mengawal
barang ke kota Cin-koan ini. Tldak enak rasanya kalau
sebagai se-orang tokoh kang-ouw dia harus mende-sak
seorang wanita yang masih begitu muda lagi. Dia
menoleh kepada dua orang kawannya itu dan berkata,
"Sudahlah, kurasa tidak ada gunanya urusan ini
diperpanjang. la hanya seorang wanita muda dan
seorang gadis penghibur pula. Alasannya memang
masuk akai. Kalian tidak berhak memaksa seorang gadis
penghibur melayani kalian kalau ia tidak suka. Jual beli
memang dasarnya suka rela. Ka-lau si penjual tidak mau
menjual barang dagangannya, si pembeli tidak boleh
me~ maksa. Sebaliknya kalau si pembeli tidak mau
membeli, si penjualpun tidak boleh memaksanya.
Sudahlah, habiskan saja urusan ini;
"Akan tetapi, Ban-twako! Kami telah dihina oleh
perempuan hina ini! Apakah twako sebagai sesepuh
kami tidak hendak membela kami?" teriak si codet tinggi
92

besar. '
'"Ya, apa artinya kami mempunyai seorang sesepuh
kalau tidak mau bertindak melihat kami diperhina orang?
Ataukah Ban-twako merasa takut melawan gadis hina
ini?" teriak pula Si gendut pendek.
Mendengar ucapan dua orang itu, Ban Hok merasa
panas hatinya juga.
"Baiklah, aku akan membalaskan keka-lahan kalian.
Akan tetapi aku tidak mau mencederai seorang
perempuan. Nona, mari kita main-main sebentar. Hendak
kulihat sampai di mana kelihaianmu!" Se-telah berkata
demikian, Ban Hok melang-kah maju menghampiri Hong
Yi dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
terpentang lebar, kedua tangan membentuk cakar dan
bergerak-gerak menyilang. Jari-jari tangannya yang
membentuk cakar itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
Hong Yi waspada. la maklum bahwa sekali ini ia
menghadapi seorang lawan tangguh. lapun memasang
kuda-kuda miring, tangan kanannya di pinggang, tangan
kiri seperti menyembah di depan dada. Inilah pembukaan
jurus yang disebut Menyembah Kwan Im Dengan Satu
tangan'.
"Aku tidak ingin berkelahi, akan teta-pi kalau diserang,
terpaksa aku membe-la diri," katanya tenang.
Tiat-jiauw-eng Ban Hok maklum bahwa gadis itu tidak
mau mulai menyerang lebih dahulu, maka diapun
berseru, "Li-hat seranganku!" dan diapun menerjang
maju, cakar kirinya mencengkeram ke arah pundak
kanan gadis itu. Namun dengan cekatan sekali Hong Yi
93

mengelak, miringkan tubuh dan cengkeraman itupun


luput. Akan tetapi dengan amat cepatnya, cakar kanan
Ban Hok menyusul, mencengkeram ke arah kepala!
Kembali Hong Yi mengelak dan iapun t membalas
dengan tendangan dari samping ke arah larribung lawan.
"Wuuuttt....!" Ban Hok menangkis dengan lengan
kirinya dan Hong Yi merasa betapa kakinya terpental dan
tergetar. Benar dugaannya. Orang tinggi kurus itu adalah
seorang ahli tenaga dalam yang amat kuat. la tahu
bahwa kalau mengadu tenaga, ia akan kalah, maka
iapun mempergunakan kelebihannya yang dapat
diandalkan, yaitu ginkang (ilmu mering-ankan tubuh).
Dari gurunya, ia memang mendapatkan ilmu gin-kang
yang cukup hebat sehingga ia mampu bergerak dengan'
amat cepatnya sepertl seekor burung walet.
Terjadilah pertandlngan yang seru. Ban Hok yang
tadinya agak memandang rendah kepada gadis pelacur
itu, merasa kecelik dan menjadi penasaran sekali.
Tadinya dia mengira bahwa dalam bebera-pa jurus saja
dia akan mampu mengalahkan Hong Yi. Dia hanya ingin
meroboh-kan gadis itu tanpa melukainya, hanya ingin
mengalahkan untuk menebus kekalahan kedua orang
rekannya. Tidak tahunya, telah lewat dua puluh jurus dan
sama sekali serangannya belum ada yang mampu
menyentuh tubuh gadis itu, bahkan diapun harus berhatihati sekali karena serarrgan balasan gadis itu cukup
berbahaya.
Kini saking penasaran dia menjadi marah dan tidak
ragu-ragu lagi untuk menyerang dengan pengerahan
seluruh tenaganya. Kalau perlu dia harus merobohkan
dan melukai gadis im untuk memper-oleh kemenangan'
94

Tiba-tiba si codet dan si botak, di-ikuti pula oleh enam


orang teman mereka, semua berjumlah delapan orangi
telah mcnyerbu dan mengeroyok Hong Yl, bahkan
mereka mempergunakan golok dan pedang untuk
menyerang gadis itu!
'"Jangan keroyok! Mundur!" teriak Tiat-jiauw-eng Ban
Hok. Akan tetapi delapan orang kawannya itu tidak mau
mundur bahkan menyerang membabi buta kepada Hong
Yi yang terpaksa harus mengerah-kan gin-kangnya untuk
berkelebat dan menghindarkan diri dari hujan serangan
pedang dan golok! Kini Hong Yi oerada dalam bahaya
maut!
Pada saat itu, terdengar suara lantang dan terdengar
seperti gerengan harimau. "Pengecutpengecut hina!
Dengan mengandalkan banyak orang mengeroyok
seorang gadis! Tak tahu malu dan patut dihajar!"
Sesosok bayangan berkelebat dan orang itu
menggerakkan tangan kakinya. Terdengar teriakanteriakan kesakitan dan em-pat orang pengeroyok
terpelanting roboh terkena tendangan dan tamparan
orang yang datang membantu Hong Yi itu! Hong Yi
merasa girang dan iapun berge-rak cepat. merobohkan
dua orang pengeroyok dengan tendangannya. Pada saat
itu, orang ke tujuh dan delapan juga ro-boh terpelanting
oleh tamparan tangan penolongnya. Kini tinggal Tiatjiauw-eng . Bah Hok sendiri yang masih belum roboh dan
tokoh ini menjadi marah sekali melihat delapan orang
rekannya sudah terpelanting dan agakhya menderita luka
pukulan yang cukup parah sehingga mereka tidak dapat
segera bangkit.
"Mundurlah, nona. Biar kuhadapi orang ini." Laki-laki
yang menolong Hong Yi itu berkata tanpa menoleh
95

kepada gadis itu. Hong Yi melompat ke belakang,


berjaga-jaga agar delapan orang yang sudah roboh itu
tidak melakukan pengeroyokan. Ketika.ia memandang
dengan penuh perhatian, ia tertegun heran. la mengenal
wajah itu! Dia pemuda yang tadi terbangun dari tidurnya
di balik semak-semak, pemuda yang disangkanya
terbangun dari tidur karena terijak harimau putih yang
dikejarnya!
"Orang muda yang lancang, siapakahgg engkau yang
berani mencampuri urusan kami?" bentak Ban Hok yang
merasa penasaran dan marah sekali.
Pemuda itu menggeram. Suaranya dalam dan
menggetarkan jantung. "Kalau urusan kalian itu patut, aku
Han Si Tiong tidak akan sudi mencampuri. Akan tetapi
kalian ini pengecutpengecut hina me-ngeroyok seorang
gadis. Tentu saja aku mencampurinya!"
"Manusia sombong! Engkau belum me-ngenal
kelihaian Tiat-j'iauw-eng Ban Hok! Sambut seranganku!"
Ban Hok sudah me-liyerang dengan ganas sekali karena
sekali ini dia marah dan ingin merobohkan pemuda yang
telah
membuat
teman-temannya
berpelantingan.
Pemuda yang bernama Han Si Tiong itu mengelak dan
membalas dengan tidak kalah cepat dan kuatnya. Terjadi
pertandingan yang lebih hebat lagi.
Mendengar pemuda itu menyebut namanya Han Si
Tiong, Hong Yi kembali tertegun. la teringat akan ramalan
di kuil Kwan-im-bio tadi. Dalam sajak ramalan itupun
disebut-sebut tentang seorang bermarga Han! la
mengingat bunyi sajak itu.
"Harimau putih bukan untuk ditakuti seyogianya
96

menjadi teman sejati temuilah seorang bermarga Han


bersamanya berjaya di Lin-an."
Hong Yi menonton pertandingan itu dengan bengong.
Mengapa begitu kebetulan? Pada hari itu juga ia melihat
seekor harimau putih dan bertemu dengan seorang
bermarga Han, cocok sekali dengan bunyi ramalan tadi!
la memperhatikan pemuda yang menolongnya itu. Dia
seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berkulit agak
gelap karena banyak tersorot sinar matahari. Wajahnya
tidak terlalu tampan namun membayangkan kejantanan
dan tampak gagah sekali. Usianya sekitar dua puluh lima
tahun. Pakaiannya dari kain kasar dan sederhana sekali,
sudah agak lapuk pula menandakan bahwa pemuda itu
adalah seorang miskin. Punggungnya menggendong
sebuah buntalan dari kain kuning. Ini menunjukkan
bahwa pemuda itu seorang yang sedang melakukari
perjalanan jauh, seorang perantau.
Hong Yi memperhatikan gerakan silat pemuda itu.
Walaupun dia bertangan kosong menghadapi lawannya
yang memiliki sepasang tangan membentuk cakar yang
menggiriskan, namun dia sama sekali tidak terdesak.
Hong Yi mengenal gerakan yang kokoh dari pemuda itu
sebagai ilmu silat Siauw-lim-si. Ilmu silatl yang ia pelajari
dari Bian Hui Nikouw juga bersumber dari ilmu silat
Siauw-lim-pai walaupun sudah bercampur dengan ilmu
silat lainnya.
Perkelahian itu berlangsung semakin seru. Hong Yi
melihat betapa pemuda itu berani menangkis
cengkeraman cakar tangan Ban Hok yang mengandung
tenaga dalam amat kuat itu, dan setlap kali lengan
mereka beradu, ia melihat betapa lengan Ban Hok
terpental. Ini menunjukkan bahwa pemuda itupun
97

memiliki tenaga dalam yang amat kuat, bahkan mungkin


lebih kuat daripada tenaga dalam yang dimiliki lawannya.
Sudah tigaj puluh Jurus mereka bertandlng dan Tiatjiauw-eng Ban Hok mulai terdesak oleh tendangantendangan dahsyat pemuda itu yang menjadi ciri khas
dari ilmu silat Siauw-lim-pai Utara.
"Haiiiitt....!'." Tiba-tiba Ban Hok menyerang lagi
dengan kedua tangannya yang membentuk cakar elang,
pemuda yang bernama Han Si Tiong itu memutar tubuh
mengelak, kemudian dengan putar-an tubuhnya yang
dilakukan dengan cepat, kakinya mencuat dan terayun
cepat sekali menyambar ke arah kepala lawan. Cepat
bukan main kaki kanan itu menyambar dengan posisi
membalik. Inilah jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti
Melecutkan Ekornya). Ban Hok terkejut dari mencoba
untuk mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang.
"Bukk!" tendangan kilat itu tidak mengenai kepalanya
akan tetapi masih me-l ngenai pundaknya sehingga dia
terpelanting roboh. Dia bangkit lagi dengan meringis
kesakitan, kemudian melihat betapa teman-temannya
sudah menjauhkan diri, diapun maklum bahwa dia tidak
a-kan mampu mengalahkan pemuda itu.
Sebagai seorang piauwsu terkenal Ban Hok juga
memiliki pengetahuao tentang sopan santun dunla
persilatan. Dia meng-angkat kedua. tangan depan dada
memberi hormat kepada Han ,Si Tiong dan berkata,
"Engkau lihai sekali,
maafkan kelancangan
mengeroyok nona ini,
kehendakku." Setelah
membalikkan tubuhnya

sobat. Aku mengaku kalah dan


teman-tenianku yang tadi
hal itu terjadi bukan atas
berkata demikian, dia la-lu
dan pergi. Setelah bertemu
98

dengan rekannya, Tiatjiauw-eng Ban Hok memaki


mereka habis-habisan. Bagi seorang kang-ouw, ka-lah
menang dalam sebuah pertandingan adalah hal biasa,
akan tetapi para rekan-nya itu telah membuat dia malu
karena mereka tadi melakukan pengeroyokan, apa lagi
yang dikeroyok adalah seorang gadis muda! Sudah
kalah, mendapat malu dan nama buruk pula!
Sementara itu, melihat betapa pemuda itu telah dapat
mengusir pergi. orang-orang yang tadi menggan'ggunya,
Liang Hong Yi segera maju menghampiri dan memberi
hormat.
"Tai-hiap (pendekar besar), saya Liang Hong Yl
mengucapkan banyak terlma ka-sth atas pertolongan taihiap. Tanpa ban-tuan tai-hiap, entah bagaimana nasibku
tadi."
Han Sl Tiong memandang Hong Yi dan dia merasa
kagum sekali. tak disankanya bahwa gadis yang
dikeroyok banyak laki-laki tadi, yang melakukan
perlawanan dengan gigih dan cukup tangkas, cer-nyata
seorang gadis yang begini cantik jelita!
"Nona Liang Hong Yi, harap jangan sebut aku taihiap. Aku seorang pemuda dusun biasa yang sedang
merantau, namaku Han Si Tiong. Sebut saja namaku
tanpa taihiap, nona niembuat aku menjadi malu dengan
sebutan itu."
Hong Yi tersenyum manis, hatinya tertarlk sekall.
Pemuda ini gagah perkasa, biarpun tutur sapanya
sederhana dan bahkan agak-kasar, namun seluruh sikap
dan pribadinya membayangkan keterbukaan, kejujuran
dan kesederhanaan. Alangkah jauh bedanya dengan
99

para pemuda yang dikenalnya atau yang diperkenalkan


Lu-ma kepadanya, bahkan yang telah dilayaninya.
Mereka itu pada umumnya pe-muda yang tampan, kaya
raya, pesolek, berlagak dan pura-pura. lapun dapat
menerima sikap jujur itu dengan gembira dan berkata
sambil tersenyum manis.
"Baiklah, aku akan menyebutmu koko (kakak) Han Si
Tiong. Akan tetapi, Tiong-ko (kakak Tiong), engkaupun
harap jangan menyebutku nona. Akupun hanya
seorang.... gadis biasa saja yang tidak pantas menerima
penghormatan dari seorang gagah sepertimu."
"Aku akan menyebutmu adik. Yi-moi (adik Yi),
bagaimana engkau seorang ga-dis berada di sini seorang
diri dan dikeroyok oleh segerombolan orang jahat tadi?"
"Aku.... aku.... diganggu mereka dan karena tidak mau
melayani, mereka lalu mengeroyokku. Tiong-ko, banyak
terima kasih atas pertolonganmu tadi." Tentu 'eaja saja
Hong Yi merasa rikuh sekali un-tuk mengaku terus terang
apa yang men-jadi sebab perkelahiannya dengan orangorang tadi. Kalau menceritakan dengan terus terang, ia
akan terpaksa harusmenceritakan bahwa la adalah
seoran^ pelacur!
"Ah. Yi-mof, tidak perlu dibicarakan lagi hal itu. Kalau
seorang laki-laki melihat wanita dikeroyok banyak lakiiaki tanpa turun tangan menolong, dia adaiah seorang
pengecut dan aku tidak mau disebut seorang pengecut.
Sekarang, mari kuantar engkau pulang. Di manakah
rumahmu?"
Hong Yi menuding ke depan di mana sudah tampak
tembok kota Cin-koan. "Rumahku di kota Cin-koan itu,
100

akan tetapi terima kasih, Tiong-ko, engkau tidak perlu


menyusahkari diri mengantar aku pulang."
"Sama sekali tidak menyusahkan diri, Yi-moi, Aku
mengantarmu sampai ke ru" niah dengan selamat. Aku
khawatir ka-lau orang-orang jahat tadi akan kembati
inenghadang dan mengganggumu. Aku harus mengantar
dan mengawalmu, Yi-moi," kata Han Si Tiong dengan
suara tegas.
Hong Yi menghela napas panjang. la merasa kasihan
kepada pemuda gagah itu kalau sampai ketahuan orang
bahwai pemuda itu mengantar ia, seorang pelacur
pulang. Untuk membuat pemuda itu mundur, terpaksa ia
harus mengaku siapa dirinya.
"Tiong-ko, ketahuilah bahwa akii.... aku.... tidak
sepantasnya engkau antarkan pulang. Aku tidak berharga
untuk kaukawal, Tiong-ko. Hal itu hanya akan
merendahkan
namamu
dan
mencemarkan
kehormatanmu."
Han Si Tiong terbelalak, lalu mengerutkan alisnya
yang hitam tebal. "Eh, apa maksudmu kata-katamu itu, Yimoi? Apa artinya itu?"
"Tiong-ko, ketahuilah, aku sama sekali bukan
seorang gadis terhormat seperti yang kausangka. Aku....
aku.... hanya seorang gadis pelacur....! Dua orang di
antara mereka tadi hendak memaksaku me-layani
mereka dan aku menolak, maka mereka menjadi marah
dan hendak me-ngeroyokku... nah, engkau tahu
sekarang siapa diriku, karena itu tidak sepantasnya
engkau mengantar aku.... selamat tinggal Hong Yi lalu
membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan
101

Si Tiong menuju ke kota Cin-koan.


Akan tetapi ia mendengar langkah kaki di
belakangnya. Hong Yi menengok dan ternyata pemuda itu
berjalan mengikutinya tanpa bicara.
"Eh, Tiong-ko,j mengapa engkau mengikuti aku?"
"Aku harus mengawalmu pulang, jawab pemuda itu
singkat. "Akan tetapi aku.... aku...."
"Engkau juga seorang manusia, bukan? Selama
engkau seorang manusia, engkau tidak ada bedanya
dengan aku."
Hong Yi menghela napas dan melanjutkan
langkahnya, tetap diikuti oleh Si Tiong. "Akan tetapi,
pekerjaanku...."
"Aku tidak menilai manusia dari pekerjaannya,
kedudukannya, atau keadaan harta dan kepintarannya,
melainkan dari sikap dan perbuatannya. Dan aku melihat
sikap dan tindakanmu terhadap orang-orang jahaf tadi
cukup baik dan mengagumkan, Yi-moi."
"Tiong-ko...." Hong Yi berkata lirih lalu diam dan
melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Si Tiong. Mereka
tidak bercakap-cakap lagi tenggelam dalam lamunan
masing-masing. Han Si Tiong yang sudah berusia dua
puluh lima tahun itu belum pernah bergaul dan
berdekatan dengan wanita, bahkan belum pernah
merasa ter-tarik kepada wanita. Akan tetapi sekali ini dia
merasa tertarik dan kagum sekali kepada Hong Yi. Bukan
saja tertarik dan kagum akan kecantikan gadis itu dan kegagahannya berani melawan pengeroyok-an banyak laki102

laki, akan tetapi juga ka-gum mendengar pengakuan


gadis itu bah-wa ia seorang pelaCur. Pengakuan ini saja
membuktikan bahwa gadis ini berwatak jujur dan tidak
menyembunyikan kea-daan dirinya agar dianggap
terhormat. Dan dia melihat dan merasakan bahwa
biarpun gadis ini mengaku dirinya seba-gai pelacur,
namun sikapnya sama sekali tidak membayangkan
sebagai seorang wa-nita yang tidak mengenal
kesusilaan. Ke-nyataan ini membuat hati Si Tiong
menjadi penasaran dan dia ingin sekali mengetahui
mengapa seorang gadis seperti' Liang Hong Yi ini
sampai menjadi seo-rang wanita penghibur pria.
Hong Yl juga; melamun dan jantungnya merasa
berdebar-debar. la sendiri belum pernah jatuh cinta
kepada seorang pria. Biarpun ia terpaksa menyerahkan
diri untuk melayani pria, namun hal itu hanya dilakukan
tubuhnya saja. Perasaan hatinya tidak pernah tersentuh
oleh cinta nafsu. Sekarang, setelah ia mengetahui isi
ramalan dari Kwan-im-bio ten-tang pertemuannya
dengan harimau putih dan seorang laki-laki bermarga Han
yang kemudian menjadi kenyataan, hatinya terguncang.
la merasa seolah-olah kemunculan pemuda ini
mempunyai arti yang penting sekali dalam kehidupannya,
seolah-olah pemuda ini akan mendatangkan perubahan
besar dalam hidupnya. la sendiri tidak tahu apakah ia
jatuh cinta, akan tetapi yang jelas, ia merasa kagum dan
berhutang budl kepada si Han Tiong yang kinl
mengawalnya dengan Jangkah tegap di belakangnya.
Baru saja Hong Yi tiba di depan pih-tu rumah pelesir
Bunga Seruni, Lu-ma sudah menyambut dengan wajah
berseri dan iriata mengandung penuh pertanyaan dan
harapan. Saking tegangnya, la hanya memperhatikan
Hong Yi dan seolah ti-dak melihat bahwa gadis itu datang
103

ber-sama. Han Si Tong.


"Bagaimana, Hong '1, ramalan apa
kaudapatkan?" tanyanya penuh fce-inginan tahu.

yang

Hong Yi tersenyum dan menoleh ke-pada Si Tiong lalu


memperkenalkan pemuda itu. "Bibi, taihiap (pendekar
besar) ini adalah Han Si Tiong yang telah menyelamatkan
aku ketika para piauwsu tadi mengeroyokku di jalan
bersama teman-temannya. Tiong-ko, ini adalah bibi-ku Luina."
Barulah Lu-ma memperhatikan pemuda itu dan
mendengar bahwa pemuda itu telah menyelamatkan
Hong Yi dari pe-ngeroyokan banyak orang, ia bersikap ramah dan hormat walaupun alisnya berke-rut melihat
pemuda itu berpakaian kain kasar sederhana karena
biasanya para pria yang berkunjung ke situ semua
berpakai-an mewah dan indah.
"Ah, Han-taihiap, silakan masuk dan silakan duduk." la
mempersilakan pemuda itu masuk ke ruangan tamu.
Mereka bertiga memasuki ruangan tamu dan ketika Si
Tiong melihat beberapa orang gadis muda dan cantik
berpakaian indah duduk di ruangan itu, dia menjadi ragu
dan memandang kepada Hong Yi.
"Yi-moi, maafkan aku. Karena engkau sudah sampai
di rumah dengan sela mat, maka aku mohon pamit,
hendak melanjutkan perjalananku." Dia dapat men-duga
bahwa empat orang gadis cantik yang tersenyumsenyum manis itu tentulah para gadis penghibur.
Walaupun dia sendiri belum pernah berkunjung ke rumah
hiburan, namun dia pernah mendengar tentang rumah
pelacur semacam itu.
104

Hong Yl terkejut mendengar inl. "Nanti dulu, Tiongko. Harap engkau su-ka duduk dulu...." Hong Yi melihat
betapa pemuda itu melirik ke arah para ga-dis penghibur
dengan alis berkerut dan tahulah ia mengapa pemuda itu
tergesa-gesa hendak pergi. la membei isarat kepada
empat orang gadis itu untuk me-ninggalkan ruangan
tamu. Empat orang gadis itu mengerti dan sambil
tersenyum sinis mereka lalu meninggalkan ruangan .
tamu dan memasuki ruangan dalam.
"Silakan, Tiong-ko. Silakan duduk dulu, Aku akan
bicara dengan Bibi Lu-ma sebentar." Hong Yi bertepuk
tangan dan muncullah seo.rang pelayan wanita setengah tua. "Bibi, hidangkan minuman dan makanan kering
untuk tamu!" Setelah mengangguk lagi kepada Si Tiong,
Hong Yi lalu menarik tangan Lu-ma, diajak masuk ke
dalam kamarnya.
"Bibi, telah terjadi hal yang aneh dan luar biasa sekali
padaku!" kata Hong Yi sambil duduk di atas kursi dalam
kamarnya dan Lu-ma duduk di sebelahnya.
"Apa yang telah terjadi? Engkau tampak begini tegang
dan gembira," tanya Lu-ma yang memang sudah ingin
sekall mendengar apa yang- dialami Hong Yi ke-tika
pergl ke kuil Kwan-im-bio. .
"Aku telah sembahyang di kutl:dan minta ramalan
dan inilah hasil ramalan itu." la mengeluarkan sehelai
kertas lalu membacanya dengan lirih agar jangan sampai
terdengar dari luar kamar.
"Harimau Putih bukan untuk ditakutt seyogianya
menjadi tenwn sejati temmlah seorang bermarga Han
bersamanya berjaya di Lin-an.
105

Wah. menarik sekali. Tapi, apanya vang luar biasa


dan aneh?"
"Begini, bibi. Ketika aku pulang dan berada di jalan
sunyi, tiba-tiba aku melihat seekor harimau putih yang
besar.
"Ehh? Lalu bagaimana?" Lu-ma semakin tertarik.
"Karena takut kalau-kalau hanimau putih itu
menyerangku, aku lalu menyambitnya dengan batu. Dia
lan ke belakang semak-semak dan ketika aku menge]arnya, dia lenyap dan di belakang semak semak itu aku
melihat seorang pemuda terbangun dari tidurnya. Kukira
dia tenn jak harimau itu, akan tetapi hanmaunya lenyap.
Hemmm, mungkin harimau putih itu semangatnya
yang keluar ketika dia ter tidur kata Luma. "Kemudian
bagaimana?.
"Aku lalu melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba muncul
delapan orang, di antaranya dua orang piauw-su
(pengawal barang) yang kuhajar di sini, dan mereka
mengeroyokku. Aku tentu celaka kalau saja tidak ditolong
orang. Dan engkau tahu, bibi,' siapa penolong itu? Dia
bukan lain adalah pemuda yang kulihat terba-ngun dari
tidur di belakang semak-semak di mana harimau putih itu
lenyap! Dan yang lebih aneh lagi, namanya Han Si Tiong,
dia bermarga Han seperti yang dikatakan ramalan Kwanim-bio itu! Dan dia itulah orangnya!" Hong Yi menudingkan telunjuknya ke arah luar di mana si Han Si Tiong
duduk di ruangan tamu.
Lu-ma terbelalak. "Wah.... cocok be-nar, coba,
bagaimana bunyi ramalan itu tadi? Harimau putih bukan
106

untuk ditakuti seyogianya menjadi teman sejati, temui-lah


seorang bermarga Han, bersamanya berjaya di Lin-an.
Hemm, sungguh cocok pula dengan mimpiku. Hong Yi,
tidak salah lagi, dialah jodohmu dan engkau a-kan
menjadi orang besar kelak bersamanya kalau kalian
berdua pergi ke Lin-an!.
Tapi, bibl...." terkejut juga hati Hong Yl mendengar
ucapan itu karena sebelumnya lak pernah sedikitpun
terpikir, olehnya tentang kemungkinan perjodohan
dengan seorang lakilaki.yang baru saja dijumpainya.
"Tapi apa lagl, Hong Yi? Biarpun aku baru melihat
sekejap, dia masih muda bertubuh tegap dan wajahnya
tidak buruk apalagi dla adalah seorang pendekar yang
telah menolongmu. Apakah engkau tidak mau menjadi
isterinya?"
Hong Yl menghela 'napas panjang. "Entahlah, bibi,
akan tetapi yang perlu dlpertanyakan, apakah dia mau
menjadl suamiku?"
"Kalau begitu, berarti engkau mau menjadl isterinya,
bukan? Biarkan aku bertanya kepadanya sekarang juga.
Hong Yl, firasatku mengatakan bahwa kelak engkau akan
dapat hidup mulia bersamanya. Semua cocok dengan
mimpiku dan cocok pula dengan ramalan Kwan-im-bio"
Tanpa menanti jawaban Hong Yi wanita itu lalu
melangkah keluar dari kamar Hong Yi menuju ke
ruangan tamu. Hong Yi tidak mencegah. la hanya pasrah. Bukankah jauh lebih baik menjadi isteri seorang
pendekar budiman yang ga-gah perkasa daripada
menjadi seorang pelacur hina? Pelacur hina? Hong Yi
ter-cenung dan melamun. Pertanyaan ini selalu
menggores kalbunya. Pelacur dianggap oleh umum
107

sebagai wanita yang kotor, rendah, dan hina, bahkan


nyaris tidak dipandang sebagai manusia lagi, melainkan
sebagai sampah masyarakat yang selalu dikutuk dan
dimaki. Orang tidak perduli dan tidak mau tahu lagi
tentang. alasan mengapa para wanita itu menjadi
pelacur. la sendiri yang langsung terjun, ke dalam dunia
pelacuran, walaupun belum lama dan hanya jarang saja
ia diharuskan melayani pria, ia mengenal kehidupan
mereka dan tahu mengapa mereka itu terpaksa menjadi
pelacur. Sebagian besar dari mereka adalah korban
kemelaratan, korban kelemahan mereka dan korban lakilaki! Septerti Siu Lin itu, la anak keluarga miskin di dusun
yang sudah tenggelam dalam hutang sampai ke leher
mereka. Ayahnya terpaksa mentegakan hati menjual
anak perempuannya itu ke rumah hiburan yang dikelola
Lu-ma. Hasil penjualan gadisnya itu untuk melunasi
hutang-hutangnya, menepus sepetak sawah yang
digadaikan sehingga keluarga itu dapat lagi bercocok
tanam dan menghidupi semua anggauta keluarga.
Penghasilan inipun masih tidak mencukupi kebutuhan
perut suami isteri dengan sisa lima orang anak itu
sehingga Siu Lin harus membantu keluarga orang
tuanya, menyisihkan sebagian hasil pekerjaannya
menjual diri untuk memungkinkan adik-adiknya makan
setiap hari.
Gadis penghibur yang bernama Si Hu itu tidak lebih
baik nasibnya daripadaj Siu Lin. Kalau Siu Lin menjadi
korban kemelaratan orang tuanya, Si Hu menjadi korban
kejahatan dan kekejaman laki-laki. lapun dari keluarga
melarat dan ketika ia berusia tujuh belas tahun, pada
suatu hari yang naas baginya ia diperkosa oleh seorang
penjahat. Penjahat itu kemudian melarikan diri
meninggalkan Si Hu yang bukan hanya kehilangan
kehormatannya melainkan juga kehilangaft nama baik.
108

Peristiwa itu membuat ia dicemoohkan dan dipandang


rendah orang karena ia sudah bukan perawan lagi. Kaum
wanita mencibirkan bibir kepadanya, dan kaum pria
bersikap kurang ajar dan berusaha untuk menggoda dan
menggang-gunya, menganggap ia seorang wanita
murahan! Dalam keadaan seperti itu, pa-ra pemuda yang
tadinya menaruh perha-tian untuk mempersuntingnya
sebagai isteri, satu demi satu mengundurkan diri dan
mereka itu tidak lagi berhasrat un-tuk memperisteri Si Hu,
melainkan Untuk menjinai dan mempermainkannya.
Lebih menghancurkan hatinya lagi, orang. tuanya merasa
malu dan akhirnya iapun, meninggalkan dusunnya dan
ditampung oleh Lu-ma untuk menjadi gadis penghibur
atau pelacur.
Kui Nio lain lagi. la sudah bertunang-an. Akan tetapi
ketika tunangannya me-rayunya, ia jatuh dan
menyerahkan dirinya digauli tunangannya sebelum
mereka menikah. Kemudian, bagaikan seekor kumbang
yang telah menghisap sari madu setangkai bunga,
tunangannya itu meninggalkannya begitu saja! Karena
keadaannya yang sudah tidak perawan lagi itu tidak
memungkinkan ia untuk dapat mem-peroleh suami lagi,
ia melarikan diri dari dusunnya untuk menghindarkan aib
dan malu dan akhirnya karena ia butuh san-dang pangan
dan tidak dapat bekerja lain, tidak bermodal uang,
terpaksa ia . menjadi pelacur bermodalkan tubuhnya
yang masih muda dan segar dan wajahnya yang cukup
manis. Kui Nio inipun menjadi pelacur akibat kejahatan
laki-laki.
Siok Li dan Ceng Nio keduanya ada-lah janda muda
beranak satu yang diceraikansuami mereka. Sebagai
janda de-ngan anak satu mereka harus mencukupi
kebutuhan anak dan diri mereka sendiri. Merekapun tidak
109

dapat bekerja lain kecu-, ali memperdagangkan dirinya.


Kembali kedua orang inipun menjadi korban pria yang
tidak bertanggung jawab.
Memang ada beberapa orang gadis penghibur, tidak
banyak jumlahnya, yang terjun ke dunia pelacuran karena
ingin hidup kecukupan, ingin mencari uang dengan
mudah. Ada pula, dan yang ini ha-nya sedikit sekali
jumlahnya, yang menjadi pelacur selain mencari uang
mudah, juga untuk mencari kesenangan dan kepuasan
diri.
Akan tetapi, apapun alasannya orang tidak mau
mengerti dan tetap saja pelacur selalu dipandang rendah
dan hina. Sedangkan, anehnya, para laki-laki yang
datang melacur, sama sekali tidak dipan-dang rendah
atau hina! Padahal, dalam pandangan Hong Yi, para pria
yang da-tang untuk melacur itu jauh lebih ren-dah dan
hina ketimbang pelacurnya! Se-jahat-jahat dan sejelekjeleknya pekerj a-an seorang pelacur, ia masih
mempunyai mengandung banyak jasa. la menghibur hati
pria yang sedang kesepian, ia menjadi tempat
penampungan dan pelarian ba-gi pria yang sedang
berduka atau patah hati, iapun menjadi tempat
penyaluran nafsu yang kalau tidak tersalur dapat sa-ja
menimbulkan adanya perkosaan atau perjinaan.
Betapapun rendahnya dipandang orang, apa yang ia
lakukan adalah sebuah pekerjaan, sumber nafkah, dan
dalam melakukan pekerjaan itu ia tidak mengkhianati
siapa-siapa, iapun tidak memaksa orang untuk membeli
tubuhnya. Semua terjadi dengan suka rela dan senang
hati. Sebaliknya, para pria yang datang melacur tetap
dihormati orang. Padahal apa yang mereka lakukan? Pria
melacur karena iseng dan semata-mata untuk rrien-cari
kesenangan dan melampiaskan nai-sunya. Dan yang
110

lebih jahat lagi, dia mengkhianati tunangannya atau


isterinya yang setia menunggunya di rumah!
Hong Yi menghela napas panjahg. la menyadari
sepenuhnya bahwa meladur a-dalah pekerjaan yang
rendah dan hina. Akan tetapi apa daya seorang wanita?'
la sendiri seorang yatim piatu yang su-dah tidak
mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. la tidak tahu
bagaimana harus mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada waktu itu,
lapangan kerja untuk wanita amatlah sempit dan sulit.
Paling bisa seorang gadis akan diterima sebagai
pembantu ru-mah tangga, pelayan. Dan bukan rahasia
lagi bahwa pembantu wanita yang muda, apalagi cantik,
pasti akan menjadi per-mainan majikan prianya!
Akibatnya lebih payah lagi Seorang pelacur setidaknya
masih dapat memilih pria mana yang a-kan dilayaninya.
Akan tetapi seorang pe-layan rumah tangga? la tiada
ubahnya seorang budak belian.
Kembali Hong Yl menghela napas panjang. Apapun
alasannya, seorang pela-cur tetap saja dipandang
rendah oleh umum. la sendiri seorag pelacur, walau-pun
keadaannya jauh lebih baik dibandingkan para gadis
pelacur lainnya karena Lu-ma sayang kepadanya, namun
te-tap saja ia aeorang pelacur. Laki-lakl ha-nya sayang
dan
suka
kepadanya
sebagat
malnan
yang
menyenangkan,. yang meng-' hlbur, akan tetapi tentu
saja tldak akan ada laki-laki yang menghormatinya dan
rrtau menerimanya sebagai seorang isteri! Dan sekarang
Lu-ma, bibinya itu, hendak menjodohkan ia dengan Han
Si Tiong! Mana mungkin pemuda itu sudi menerimanya
sebagai seorang isteri? Biarpun pemuda itu tampak
miskin, namun la seorang pemuda gagah perkasa,
seorang pendekar! Kalau tadi Han Si Tiong tidak
111

memandang rendah kepadanya dan mau mengantarnya


pulang walaupun la sudah/Hg mengaku bahwa ia
seorang pelacur, hal itu tentu hanya terdorong oleh
kepende-karannya yang ingin menolong seorang wanita
yang diganggu orang-orang jaha'. Akan tetapi menjadi
suaminya? Ah, rasa-nya tidak mungkin!
Pada saat itu, di ruangan tamu, Han Si Tiong
memandang wajah Lu-ma dengan kedua mata terbelalak
dan hampir tidak dapat percaya akan apa yang
didengarnya.
"Bibl Lu, tak salahkah apa yang kudengar darimu tadi?
Coba ulangi lagi apa yang kauusulkan tadi, bibi. Aku
khawatir kalau aku salah mendengar'." kata pemu-da itu
sambil menatap wajah wanita itu penuh selidik.
"Engkau tidak salah dengar, Han-tai-hiap. Ketahuilah,
Liang Hong Yi adalah keponakanku yang kusayangi
seperti anak kandungku sendiri. Sudah lama aku
mengiginkan agar ia dapat berjodoh denganseorang
pemuda yang baik, yang akan dapat melindunginya.
Setelah bertemu deganmu, kami yakin bahwa engkaulah
orangnya yang kami tungu-tunggu, eng-kaulah jodoh
yang terbaik untuk Hong Yi, taihiap."
Karena sudah mendengar untuk kedua kalinya, Si
Tiong tidak terkejut lagi, akan tetapi tetap saja masih
merasa heran dan ragu. Usul ini terlalu tiba-tiba datangnya dan sama sekali tidak tersangka-sangka.
"Akan tetapi...."
Lu-ma mengira bahwa keraguan Sl Tiong itu karena
mengingat akan peker'" Jaan Hong Yi, maka iapun cepat
112

memotong, "Han-taihiap, Hong Yl adalah keponakanku


sendiri dan aku amat sayang ykepadanya. Karena itu,
biarpun ia pernah melayani pria, akan tetapi selalu
kupilihkan pria yang terbaik untuknya dan Itupun Jarang
sekali terjadl. la bukan sepertl para gadls penghlbur
lalnnya, taihiap.
"Bukan Itu maksudku bibl. Akan tetapi.... ketahuilah
bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak memiliki
apa, rumah tiada, uang tiada, bahkan kerjaanpun sedang
kucari. Baru saja aku ditinggal mati ibuku dan ayahku....
sejak aku berusia sepuluh tahun telah mening-galkan
ibuku dan aku. Aku seorang yang hidup sebatang kara,
miskin dan papa, bibi. Bagaimana aku dapat berjodoh
dengan adik Hong Yi? Bagaimana aku dapat menikah
dengan keadaanku seperti ini?"
Lega rasa hati Lu-ma mendengar ucapan pemuda itu.
Tadinya ia khawatir pemuda itu menolak karena Hong Yi
adalah seorang pelacur, akan tetapi ternyata tidak.
Bahkan pemuda itu merasa dirinya tidak berharga karena
yatim piatu dan miskin.
"Oooh, kalau soal itu, taihiap tidak usah khawatir dan
tidak perlu repot repot kami mengharapkan jodoh Hong
Yi seo-rang pria yang baik dan bertangung ja-wab. Kami
tidak men'cari pria yang kaya. jangan khawatir, Han taihiap, kaml tidak mengharapkan emas kawin sekepingpun darimu, bahkan untuk semua keperluan perayaan,
termasuk pakaian untuk sepasang mempelai, kami
sendiri yang akan membeayainya. Hanya satu yang ingin
kami ketahui, taihiap. Sebetulnya engkau sedang menuju
ke manakah dalam perantauanmu ini?"
"Aku hendak mencari pekerjaan ke kota Lin-an (Hang113

chow) di selatan bibi." Lu-ma hampir bersorak. Cocok


sekalij dengan ramalan Kwan-im-bio itu.
"Bagus! Aku yakin bahwa bersama Hong Yi, engkau
akan dapat memperoleh kedudukan yang baik dan tepat
di Lin-an. Kita rayakan pernikahan kalian di sini, kemudian
kalian berdua berang-kat ke Lin-an!"
Ketika Hong Yi mendengar dari Lu-ma bahwa Han Si
Tiong sudah menyetu-jui perjodohan itu, diam-diam
merasa gi-rang sekali. Akan tetapi ia adalah seo-rang
gadis yang bijaksana dan ia tidak puas dengan
keterangan Lu-ma begitu sa-ja. Setelah mendengar dari
Lu-ma bahwa Si Tiong sudah setuju, ia langsung menemui pemuda itu yang masih duduk di ru-angan tamu.
Biarpun merasa rlkuh dan canggung karena mahi,
Hong Yi duduk di depan pemuda itu, terhalang meja dan
sejenak mereka saling pandang. Kemudian Hong Yi,
setelah menatap pemuda itu penuh selidik seolah hendak
menjenguk ke dalam dadanya, berkata lirih.
"Tiong-ko, sudah bulatkah keputusanmu bahwa
engkau sudi menerimaku sebagai isterimu? Sudah
kaupikirkan masak-masak dan engkau tidak akan
menyesal di kemudian hari? Ingat, Tiong-ko, aku adalah;
seorang...,
"....huussshhh ........ Yi-moi, aku tidak mau dengar itu.
Bagiku, engkau seorang gadis yang baik dan halus budi,"
potong Si Tiong.
"Akan tetapi, engkau seorang pendekar gagah
perkasa, sedangkan aku... "

114

"Engkaupun seorang gadis yang gagah perkasa, Yimoi. Begitu bertemu dengan-liatt, aku merasa kagum dan
suka. Maka, ketika bibi Lu mengusulkan tentang
perjodohan denganmu, aku merasa seolah-olah
kejatuhan rembulan! Aku hanya masih me-ragu apakah
kelak engkau tidak akan menyesal menjadi isteriku, Ylmot. Aku seorang yang hidup sebatangkara, tidakmempunyai apa-apa, tidak ada keluarga, tidak ada rumah,
bahkan belum mempunyai pe~ kerjaan! Bagaimana
engkau dapat hidup berbahagia menjadi isteri seorang
pengangguran seperti aku?"
"Akan tetapi tidak selamanya engkau menganggur,
Tiong-ko. Kata bibi Lu-ma, engkau akan pergi ke Lin-an
untuk mencari pekerjaan."
"Benar, Yi-moi. Setelah melangsungkan pernikahan,
aku akan berangkat ke Lin-an untuk mencari pekerjaan.
Aku mendengar pemerintah kerajaan membu-tuhkan
perajurit."
"Bagus aku akan ikut denganmu, Tiong-ko. Aku akan
membantumu sekuat tenaga dan aku akan berusaha
menjadi isterimu yang baik."
"Aku senang Yi-moi. Mudah-mudahan engkaupun
tidak akan kecewa memilih aku sebagai suamimu."
Tidak ada janji muluk-muluk di anta-ra mereka, tidak
ada ucapan pernyataan cinta, namun pandang mata
mereka
menyinarkan
hasrat
untuk.
saling
membahagiakan. Hasrat ini sudah cukup kuat se-bagai
pengikat batin bagi .dua orang yang akan hidup bersama
selamanya, jauh lebih kuat dari pada ikatan cinta yang
hanya didasari nafsu tertarik oleh keindah-an rupa atau
115

berkilaunya kedudukan atau harta benda.


Upacara dan perayaan pernikahan itu diadakan
secara sederhana namun cukup meriah. Lu-ma
mengundang para langganan yang baik dan sopan saja.
Memang aneh bahwa sebuah rumah hiburan menjadi
tempat perayaan pernikahan sepasang pengantin, apa
lagi yang mempunyai kerja adalah sang mucikari sendirl
dan yang dlnikahkan adalah Liang Hong Yi yang bagl
beberapa orang laki-laki tertentu, kebanyakan para
bangsawan yang mengagumi Hong Yi, merupakan
seorang gadis yang arnat menawan hati. Seorang di
antara para bangsawan yang pernah dilayani Hong Yi
adalah Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang). Dia merasa
gemblra dan terharu mendengar Hong Yl menlkah. Dla
memerlukan datang menghadiri perayaan dan ketika
mendengar bahwa suami Hong Yi adalah seorang
pendekar yang hendak mencari pekerjaan ke kota raja
Lin-an, dia lalu menulis sesampul surat dan
menyerahkannya kepada Hong Yi dan Tiong yang duduk
di pelaminan.
"Aku hanya dapat memberi ini sebagai sumbangan,
mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kalian. Selamat
menem-puh hidup baru di kota raja!" kata pemuda
bangsawan itu.
"Terima kasih, Kongcu." kata Hong Yi dan Si Tiong
juga mengucapkan terima-kasih.

JILID 4
Surat itu untuk Ciang Goanswe (Jenderal Ciang), dia
116

pamanku dan mungkin dia akan dapat membantu." kata


pula Ciang Kbngcu lalu dia kembali ke tempat duduknya.'
Setelah menikah, kedua mempelai itu membuat
persiapan untuk melakukan perjalanan ke Lin-an. Mereka
tinggal di rumah pelesir Bunga Seruni dalam kamar Hong
Yi selama sepekan. Keduanya merasa berbahagia sekali
karena setelah menikah mereka berdua merasa cocok
satu sama lain, merasa betapa masing-masing dihargai
dan dihormati, dilayani dan diperlakukan dengan penuh
kelembut-an
dan
kemesraan
sehingga
dari
penghormatan dan kemesraan ini bertunaslah cinta kasih
yang mendalam. Lu-ma ikut sibuk membuat persiapan.
Wanita yang amat menyayang Hong Yi itu
mempersiapkan segala macam perbekalan. Dengan hati
tulus ia menguras uangnya untuk membelikan . pakaian
secukupnya untuk sepasang suami isteri itu.i Bahkan
untuk melakukan perJalanan yang cukup Jauh itu ia
menyewa sebuah kereta yang tentu saJa cukup mahal.
Pada hari terakhlr Heberangkatan mereka, tlada hentlnya
Lu-ma menyusut alr matanya.
Setelah selesai berkemas dan bararig-barang yang
hendak dibawa sudah dlma-sukkan kereta yang dikusiri
seorang laki-laki setengah tua, Lu-ma merangkul dan
menciumi pipi Hong Yl yang juga basah alr mata. Gadis
ini pun terharu sekali menlnggalkan blblnya yang amat
menya-yangnya.
"Hong Yi, dan engkau Juga Si Tiong, kuingatkan lagi
pesanku kepada kalian. Kalau kalian sudah tiba di Lin-an,
jangan lupa memberi kabar kepadaku. Cerita-kan
bagaimana keadaanmu dan apakah sudah memperoleh
pekerjaan. Si Tiong, jaga baik-baik isterimu, dan Hong Yi,
kalau kalian sudah mapan di Lin-an, jem-putlah aku.
117

Engkaulah satu-satunya orang yang kumiliki, engkau


satu-satunya keponakan, juga anakku. Aku ingin melihat
mimpiku menjadi kenyataan dan hidup bersamamu,
mengasuh anak-anakmu." Lu-ma menangis dan
menciuml Hong Yi. Sembilan orang gadls penghibur juga
keluar untuk mengucapkan selamat jalari dan hampir
semua dari mereka menangis terharu. Mereka semua
merasa nelangsa, merasa kesepian dan merasa betapa
seng sara hidup mereka dan diam-diam mereka merasa
iri terhadap Hong Yi yang memperoleh kebahagiaan dl
samping seorang suami.
Setelah puas mengucapkan selamat tinggal dan
berpelukan dengan mereka semua, akhlrnya Hong Yi dan
Sl Tiong memasuki kereta yang segera bergerak
meninggalkan Rumah Hiburan Bunga Seruni, diiringi
tangis Lu-ma dan lambaian tangan para gadis penghibur.
Kereta te-rus meluncur keluar dari kota Cin-koan menuju
ke kota raja Lin-an.
***
Seperti telah disinggung sedikit di ba-gian depan kisah
ini, Kerajaan Sung yang didirikan oleh Panglima Chao
Kuang Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama dari
Kerajaan Sung berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, yang
dengan susah payah telah mempersatukan kembali
daratan Cina pada tahun 960, seratus enam puluh ta-hun
kemudian, yaitu pada tahun 1 12'6, terpaksa harus
berantakan dan kehilangan . hampir separuh wilayahnya
sebelah utara.
Mula-mula, bangsa yang dianggap bangsa liar, yaitu
bangsa Nunchen atau juga dikenal sebagai bangsa Kin
atau Kim (Emas) yang tinggal di lembah Su-ngai Sungari
118

di Mancuria, menghimpun kekuatan besar yang dahsyat


dan mereka menyerang Kerajaan Liao, yaitu bangsa
Khitan. Setelah melalui perang sengit, akhirnya Bangsa
Kin berhasil menalukkan kerajaan bangsa Khitan yaitu
Kerajaan Liao. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1124 dan
slsa bangsa Khitan yang tidak tewas melarikan diri ke
barat dan meng-ungsi ke Turkefitan Barat. Di sana bangsa Khitan tinggal di Lembah Ili dan kemudian mereka
dikenal sebagai orang Kerait, Karakitan, Kitai atau Catai.
Mereka mendirikan kerajaan kecil yang bertahan sampai
akhirnya musna karena kebangkitan bangsa Mongol
kelak.
Pada waktu itu yang menjadi kaisar dalam Kerajaan
.Sung adalah Kaisar Hui Chung. Kaisar ini berwatak
lemah dan banyak menggantungkan keputusannya
kepada perdana menterinya, yaitu Cai Ching. Kaisar Hui
Chung dan para pena-sehatnya bersikap tidak acuh
terhadap peristiwa penalukan Kerajaan Liao oleh bangsa
Kin itu.
Ketika Kerajaan Liao sudah hampir|| dikuasai
seluruhnya oleh bangsa Kin, Gubernur Ping Chou
sebagai pertahanan Kerajaan Liao. terakhir, tidak mau
tunduk kepada bangsa Kln, melalnkan menyerah-kan
daerah Itu kepada Kaisar Hui Cung. Tanpa berplklr
panjang Kalsar Hui Cung menglkutl naslhat Perdana
Menterl Cai Chlng, menerlma pengoperan kekuasaan
atas daerah Plng Chou dan mengirlm pasukan untuk
menjaga daerah yang dimasukkan ke wilayah Kerajaan
Sung Itu. Hal ini membuat bangsa Kin marah sekali dan
mereka lalu menyerbu ke selatan. Gelom bang pasukan
yang besar dan amat kuat, penuh dengan semangat
berkobar menyer-bu kerajaan Sung sampai ke kota raja!
Kembali Kaisar Hui Cung yang lemah itu mengikuti
119

nasihat Perdana Menteri Cai Ching dan memberi upeti


dalam jumlah besar kepada pimpinan pasukan Kin.
Tanda taluk ini memuaskan bangsa Kin yang menarik
kembali pasukannya, kembali ke utara.
Para menteri protes kepada Kaisar Hui Cung tentang
tlndakan atau nasihat , Perdana Menterl Cai Ching yang
men-datangkan keruglan besar kepada keraj a-an. Atas
desakan para menterl, Perdana Menteri Cal Chlng lalu
dlhukum buang karena dla dianggap yang bertanggung
Jawab acas malapetaka yang menlmpa kerajaan Sung.
Akan tetapl Kalsar Hul Cung yang tldak memlllkl
pendlrian te-gas Itu kembal! melakukan kesalahan yang
besar sekali. Dia kemball mengikutl nasihat para pejabat
tinggi yang meng-gantikan kedudukan Perdana Menterl
Cai Ching. Para menterl Itu menasihatkan bahwa Kaisar
Hul Cung tldak seharusnya mengalah kepada bangsa
Kln yang Itar. Membay&r upetl kepada mereka berartl
menerima penghtnaan maka sudah sepatutnya kalau
mengirim pasukan mengejar dan menyerang mereka
untuk memba las penghinaan dan mempertahankan kehormatan kerajaan Sung. Kaisar Hui Cung tanpa berpikir
panjang menerima nasihat ini dan mengirim pasukan
melaku kan pengejaran terhadap pasukan Kin yang
ditarik mundur lalu menyerangnya. Tentu saja 'bangsai
Kin menjadi marah sekali. Mereka menghimpun kekuatan
besar dan kembali lagi ke selatan. Terjadi perang besarbesaran dan akibatnya kota raja Kai Feng jatuh ke
tangan bangsa Kin dan Kaisar Hui Cung bersa-ma
kurang lebih tiga ribu orang pembesar kerajaan Sung
dibawa sebagai tawan-an perang! Sisa keluarga istana
bersama pasukan Sung yang kalah perang melarl-kan
diri ke selatan, terus dikejar oleh pasukan Kin sampai
menyeberangi Sungai Yangce dan tiba di kota Hangchou dan Ning-po. Mulal seat itulah Kerajaan Sung
120

kehllangan wllayah yang luas sekali di begian utara.


Perlstlwe ini terjadi mulal tahun 1 126'sampai 1129. Mulal
waktu Itulah Kerajaan Sung mendapat ebutan Sung
Selatan dan kota rajanya bernarna Lln-an (Hang-chouw).
Kaisar Kao Tsung (1127-1162) beruaa-ha keras
untuk melawan kekuasaan bang-sa Kin. Dia
mengumumkan panggilan ter-hadap para patriot yang
gagah perkasa untuk berbakti kepada negara dan bangsa, untuk memperkuat barisan kerajaan.
Pada suatu hari, sebuah kereta yang ditarik dua ekor
kuda memasuki pintu gerbang utara kota raja Lln-an.
Melihat dua ekor kuda yang tampak kelelahan dan kereta
yang kotor berdebu, mudah diduga , bahwa kereta itu
tentu telah melaku-kan perjalanan yang jauh. Setelah
tiba di tengah kota, kereta itu berhenti dan kusirnya turun
lalu memegangi kendall kuda.
"Sicu, kita sudah masuk kota raja dan berada di
tengah kota. Hanya sampal dl sini saya mengantar sicu
berdua." Kata kusir itu kepada penumpangnya. Penumpang kereta itu bukan lain adalah Han Si Tiong dan
isterinya, Liang Hong Yi. Si Tiong membuka tirai kereta
dan memandang keluar. Kereta itu berhenti di depan
sederetan pertokoan,
"Paman, bawalah kami ke sebuah rumah penginapan
agar tidak susah lagi kami mengangkut barang-barang
bawaan kami." kata Si Tiong kepada kusir.
Kusir itu naik kembali dan mehjalan-kan kereta.
Sudah beberapa kali dia berkunjung ke kota raja Lian-an
sehingga dia tahu di mana adanya rurnah penginapan.
Setelah tiba di pekarangan sebuah rumah penginapan, si
121

Tiong dan Hong Yi menurunkan barang-barang bawaan


mereka dari kereta. Setelah menerima uang pembayaran
sewa kereta, kusir lalu menjalankan
keretanya keluar dari pekarangan rumah penginapan
itu. Si Tiong dan Hong Yi mengangkuti barang-barang
mereka, dibantu seorang pelayan rumah penginapan.
Setelah mendapatkan sebuah kamar, mereka membawa
barang-barang itu masuk kamar mereka.
Setetah mandi, bertukar pakaiari ber-sih dan sarapan
di dalam rumah makan yang menjadi bagian dari rumah
pengi-napan itu juga, suami isteri itu keluar dari rumah
penginapan itu. Di jalan raya depan rumah penginapan itu
amat ramai orang berlalu lalang dan banyak di anta-ra
mereka adalah pemuda-pemuda yang bersikap gagah.
Mereka adalah orang-orang yang datang ke kota raja
karena tertarik oleh pengunguman pemerintah yang
membutuhkan orangorang gagah untuk menjadi perajurit
pasukan kerajaan.
"Yi-moi, keluarkan surat itu. Sebaiknya kita mencari
alamat Ciang-goanswe itu." kata Si Tiong kepada
isterinya yang menyimpan surat pemberian Ciang Kongcu yang menjadi tamu dalam perayaan pernikahan
mereka tempo hari.
"Apakah tidak lebih baik kita berjalan jalan dan
melihat-lihat lebih dulu. Tiong-ko?"
"Tldak, Yl-moi. Kita harus dapat me-nemukan alamat
itu dan menghadap Jenderal Ciang lebih dulu." kata Si
Tiong dengan suara tegas sambil menatap tajam wajah
isterinya. Tatapan mata yang me-ngandung penuh kasih
sayang, namun ju-ga mengandung keteguhan kemauan
122

ke-ras. Hong Yi tersenyum.


"Kenapa begini tergesa-gesa, Tiong-ko?"
"Tidak tergesa-gesa, Yi-moi. Akan tetapi kita harus
lebih mementingkan pekerJaan daripada kesenangan.
Kalau urusan kita telah selesai dan kita berhasil
memperoleh pekerjaan, masih banyak se-kali waktu bagi
kita untuk bersenang-senang dan berpelesir di kota raja
ini. Bukankah engkau pikir juga begitu?"
Mendengar ucapan yang beralasan ku-at dan tidak
dapat dibantah namun di-ucapkan dengan lembut dan
dengan se-nyum membayang di mulut dan mata sua
minya, Hong Yi hanya dapat mengangguk angguk dan
tersenyum. la merasa senang sekali menemukan suatu
sisi lain yang mengagumkan hatinya dari laki-laki yang
menjadi suaminya ini, yaitu slkap tegas dan kemauan
yang teguh.
"Baiklah, suamlku. Isterlmu tnl selalu siap untuk
melaksanakan semua kehen-dakpu^katanya gembira.
"Nanti dulu, isteriku yang bijak! Aku tidak ingin
melihat isteriku tercinta se-perti seekor domba yang
menurut ke mana saja engkau digiring. Engkau harus
mempunyai pandangan dan pendirian sen-diri dan dapat
membantu dan mengingat-kan aku kalau aku mengambil
keputusan yang keliru. Kalau engkau hanya mengekor,
bagaimana kalau keputusanku keliru? Tentu kita berdua
akan keliru pula."
Hong Yi memperlebar
semakin bangga dan kagum.

senyumnya.

la

merasa

123

"Jangan khawatir, suamiku. Aku akan membantumu


sekuat kemampuanku. Kita bekerja sama, bahu
membahu, berat sa-ma dipikul, ringan sama dijinjing,
senang sama dinikmati, susah sama ditanggung."
Bagus! Aku merasa bahagia sekali, Yi-moi, karena
aku semakin ,yakin bahwa aku tidak salah memilih isteri,
Nah sekarang kita lihat, alamat Jenderal Ciang itu.
Hong Yi mengeluarkan sesampul surat pemberiari,
Ciang Kongcu. Jenderal Ciang Sun Bo, seperti yang
tertulls pada sampul surat Itu, tlnggal dl baglan barat kota
raJo. Mereka lalu aegera menuju ke sana seielah
bertanya kepada penduduk di mana rumah jenderal Itu.
Ketlka mereka berdua berjalan ke arah barat, mereka
mellhat banyak lakl-lakl muda juga berjalan menuju ke
arah itu.
Setelah ttba dekat gedung besar dikelilingi pagar
tembok tinggi itu mereka berdua mendapat kenyataan
bahwa para orang muda itupun mempunyai tujuan yang
sama dengan mereka, yaitu mendaftarkan dtri masuk
menjadi perajurit.
Mereka semua memasuki pintu gerbang yang dijaga
oleh seregu perajurit. Berbondongbondong para pemuda
itu masuk dan berantri dalam ruangan depan di mana
terdapat seorang petugas yang mendaftar nama mereka
satu demi satu. Yang sudah didaftar namanya lalu
dipersilakan masuk ke dalam ruangan lain untuk menjalani
pemeriksaan badan, riwa-yat dan lain-lain. Ketika Si
Tiong dan Hong Yi ikut antri di ruangan depan, tentu saja
Hong Yi menjadi perhatian semua orang. Bukan hanya
karena ia se-orang wanita yang cantik, melalnkan
terutama sekall karena semua pendaftar adalah kaum
124

prla, tldak pernah ada seorang wanita yang Ikut


mendaftarkan dirl menjadl seorang calon perajurit. Hong
Yi merupakan wanita satu-satunya, maka teritu saja ia
menimbulkan keheranah akan tetapi juga kegembiraan
bagi para pria muda yang berada di situ.
Kaisar Kao Tsung memang bersenia-; ngat sekaln
untuk menyerang Kerajaan Kin di utara. Hal ini adalah
karena dia merasa sakit hati, bukan hanya mendendam ;
karena bangsa Kin sudah merebut wila-yah utara yang
luas sekali sehingga dia terpaksa harus melarikan diri
sampai ke Hang-couw, akan tetapi terutama se-kali
karena ayahnya, Kaisar Hui Cung, ditawan oleh mereka
sehingga meninggal dunia dalam tawanan. Kaisar Kao
Cung (Kao Tsung) ingin merebut kembali wila-yah utara
atau setidaknya ingin menyerang dan membalas dendam
atas kekalahan Kerajaan Sung. Karena itu dia sendiri
membuat pengumuman mengundang para muda untuk
menjadi perajurit, bahkan memerintahkan panglimanya
yang paling setia, yaitu Jenderal Gak Hui, untuk
menyusun pasukan istimewa yang dipimpin oleh para
pendekar yang berke-pandalan tinggi. Beberapa orang
pangli-ma mendapat tugas menerima dan menampung
para pemuda yang datang men-daftarkan diri, dan
mereka yang ditugaskan itu, diantaranya adaJlah
Jenderal Ciang Sun Bo.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi tiba gi-lirannya
mendaftar, petugas memandang mereka dengan alls
berkerut. "Kalian maju berdua, siapa yang hendak
mendaf-tarkan diri?" tanyanya sambil menatap wajah
Hong Yi yang cantik dengan kagum.
"Yang .mendaftarkan diri adalah kaml berdua." Jawab
Si Ttong dengati tenang. Petugas Itu menatap wajah Si
125

Tiong, lalu kembali dla memandang Hong Yi. "Siapakah


ia ini? Adlkmu?'
"la adalah isteriku."
Petugas itu mengerutkan alisnya "Kami belum pernah
menerima seorang wanita menjadi peraJurit. Juga kaml
tidak dapat menerima seorang perajurit yang membawa
serta isterinya! Engkau ini hendak berperang ataukah
hendak ber bulan madu?"
Ucapan itu memancing tawa riuh rendah dari para
calon perajurit yang berada di ruangan itu. Mendapat
sambutan tawa, petugas itu merasa diriiya lucu dan
menjadi pusat perhatian, maka dia menjadi semakin
berani dan' berkata' lagi, "Kalau untuk mendaftar.k:an diri
saja eng-kau takut dan minta ditemani dan dian-tar isteri,
apalagi kalau berperang. Le-bih baik engkau
pulang saja dan sembu-nyi dalam kamar bersama
isterimu, le-bih enak dan asyik!" Kembali ucapannya
disambut tawa. Wajah Si Tiong sudah be-rubah
kemerahan, akan tetapi Hong Yi menyentuh lengannya
memberi isyarat agar suaminya
bersabar. la
mengeluarkan sampul surat dari Ciang Kongcu dan
menyodorkannya kepada petugas itu.
"Leluconmu itu akan kusampaikan nanti kepada
Jenderal Ciang. Hendak kulihat apa yang akan dia
lakukan setelah mendenar kelakarmu yang tidak lucu
kepada kami itu!" kata Hong Yi dengan suara dibuat
bernada mengancam. Petugas menerima sampul surat itu
dan setelah dia mernbaca tulisan di sampul, dia
terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. Surat itu
ditujukan kepada atasannya, Jenderal Ciang, datang dari
126

keponakan jenderal itu yang tlnggal di kota Cin-koan. Dia


cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya dan
merangkapkan kedua tangan dl depan dada, memberi
hormat terbongkok-bongkok kepada Hong Yi dan Sl
Tiong dan suaranya agak gemetar ketika dla bicara.
"Maafkan,.... eh, ampunkan saya.... karena tldak tahu
bahwa jiwi (anda ber-dua) adalah kerabat dari Cianggoanswe, maka saya telah berani kurang ajar dan
berkelakar, Ampunkan saya ........ mulut ini patut
ditampar...." Petugas itu lalu menampari kedua pipinya
dengan kedua tangan sehingga terdengar suara plakplik-plok. Semua orang tertawa melihat ulah petugas
yang ketakutan itu. Hong Yi ju-ga tersenyum geli dan
merasa kasihan kepada petugas itu.
"Sudahlah, kami memaafkanmu."
Petugas itu berhenti menampari muka sendiri, kedua
pipinya menjadi merah ka-rena tamparan itu dan dengan
suara memohon dia berkata, "Akan tetapi saya mohon
agar ji-wi tidak melaporkan perbuatan saya tadi kepada
Ciang-goan-swe...."
"Kami berjanji tidak akan melaporkan, akan tetapi
cepat sekarang bawa kami menghadap beliau." kata pula
Hong Yi yang mendahului suaminya karena ia takut
kalau-kalau suaminya tidak sesa-bar ia dan akan marah
kepada petugas itu.
"Baik, silakan tunggu sebentar, silakan duduk di sini,
saya akan melaporkan dulu kepada Ciang-ciangkun
(Panglima Ciang)." kata petugas itu sambil membungkukbungkuk. Hong Yi duduk di atas kursi petugas tadi dan Si
Tiong hanya berdiri saja karena memang tidak ada
127

tempat duduk lain. Semua pemuda yang berada di situ


kini memandang ke arah mereka, terutama kepada Hong
Yi. Wanita ini duduk dengan tenang sambil tersenymnsenyum. Para pemuda itu memandang ka-gum, akan
tetapi mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata
setelah tadi mendengar bahwa suami .isteri itu masih kerabaf sang jenderal'!
Tak lama kemudian petugas tadi su-dah muncul
kembali dan wajahnya tersenyum cerah ketika dia
menghampiri Si Tiong dan Hong Yi. "Jiwi dipersilakan
menghadap Cianggoanswe. Mari, silakan mengikuti
saya."
Petugas itu sendiri lalu mengantar su-ami isteri itu
masuk ke sebelah dalam gedung besar itu. Dalam
perjalanan ke dalam ini dia sempat berbisik, "Harap ji-wi
tidak melupakan janji jiwi dan tidak melaporkan
perbuatan saya tadi kepada Jenderal Ciang."
Si Tiong berkata dengan tegas sambil mengerutkan
alisnya. "Jangan ulangi lagi urusan itu. Kami sudah
berjanji dan seorang gagah akan selalu memegang
janjinya!"
Setelah tiba di dalam sebuah ruangan yang luas dan
tampak sunyi, petugas itu masuk seorang diri
meninggalkan SUarrii isteri itu di niar pintu. Si Tiong dan
Hong Yi mendengar percakapan pendek mereka yang
berada di dalam ruangan. "Lapor, tai-ciangkun. Suami
isteri yang
membawa suyat sudah tiba di sini." kata petugas itu.
Suruh mereka masuk!" terdengar suara yang keras
128

dan memerintah.
Petugas itu keluar dan mempersilakan suami isteri itu
masuk, lalu dia pergi keluar lagi. Si Tiong dan Hong Yi
masuk ke dalam ruangan itu dan melihat bahwa yang
berada di dalam ruangan itu hanya seorang laki-laki saja.
Dia seorang laki-laki tinggi besar, berkulit agak
kehitaman dan gagah, berusia sekitar lima puluh tahun.
Dengan pakaian panglima yang mentereng, pria itu
tampak gagah sekali dan berwibawa. Matanya yang lebar
itu segera menyambut Hong Yi dengan pandang mata
yang membuat Hong Yi merasa tldak enak hati. Biarpun
belum lama ia menjadi gadis penghibur dan tidak sangat
banyak melayani pria, namun ia sudah hafal akan
pandang mata pria seperti mata panglima itu. Pandang
mata yang mengandung nafsu berahi besar. Seorang
pria mata keranjang! Melihat betapa mata yang lebar itu
memandang kepadanya penuh Kaguicq tanpa disembunyikan, Hong Yi menundukkan pandang matanya
Si Tiong juga melihat pandang mata panglima itu, akan
tetapi kini dia sudah mulai terbiasa. Di sepanjang
perjalanannya dari kota Cin-koan ke kota raja, hampir
semua pria memandang isterinya seperti itu. Dia tahu
benar bahwa isterinya memang cantik menarik, maka dia
tidak dapat terlalu me-nyalahkan pandang mafa para pria
itu, bahkan kini ada perasaan bangga timbul dalam
hatinya kalau ada pria memandang isterinya dengan
kagum. Tadinya di ruangan pendaftaran dia diam-dia:m
menikmati rasa bangganya melihat senriia pemuda
memandang Hong Yi dengah kagum. Hatinya berbisik
bangga "Wanita inl isteriku! Milikku sendiri!"
Si Tiong dan Hong Yl kini sudah berdiri di depan
Jenderal Ciang dan mereka mengangkat tangan depan
dada memberi hormat. Panglima itu membalas dengan
129

lambaian tangan sambil lalu seperti biasa sikap


kebanyakan pembesar terhadap orang-orang yang
dianggapnya jauh berada di bawahnya.
"Duduklah kalian!" katanya sambil menunjuk ke arah
kursi-kursi yang berjajar di depannya. Si Tiong dan Hong
Yi , mengucapkan terima kasih lalu duduk berjajar di
depan panglima itu. Kembali panglima itu memandang
kepada Hong Yi penuh perhatian, kemudian memandang kepada Si Tiong dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah namamu?" tanyanya, sambil memandang
kepada Si Tiong, "Nama saya Han Si Tiong, ciangkun."
Jawab Si Tiong dengan sikap tenang.
"Dan engkau siapa, nona?" panglima ttu bertanya, kini
memandang kepada Hong yi, mata dan mulutnya
tersenyum rarnah, dan suaranya leblh lembut.
Mendengar ia dlsebut nona, Hong Yi lalu menjawab,
"Nama saya Liang Hong Yi, isterinya, ciangkun."
"Hemm, menurut petugas tadl, kalian datang
membawa surat dari Ciang Kongcu di Cin-koan,
benarkah itu? Mana suratnya?"
Hong
Yi
yang
membawa surat itu
lalu
mengeluarkannya dan ia bangkit ber-dlri dari kursinya,
menghampiri panglima itu dan menyerahkan suratnya.
Ketika menerima surat itu, jari-jari tangan pang-lima itu
menyentuh jari tangan Hong Yi dan ia tahu bahwa
sentuhan itu sama sekali bukan kebetulan melainkan
ditakukan dengan sengaja. Panglima itu agaknya
mempergunakan kesempatan ttu untuk menyentuhnya
dan hal inl saja sudah membuktikan bahwa laki-laki itu
130

adalah seorang mata keranjang.


Panglima Ciang membuka sampul. Itu dan membaca
suratnya. Surat itu menga-takan bahwa Ciang Kongcu
mengenal ba-ik Liang Hong Yi dan dia mengharapkan
agar pamannya, Panglima Ciang Sun Bo suka membantu
Hong Yi dan suaminya yang hendak bekerja menjadi
perajurit di kota raja. Juga dalam surat itu Ciang Kongcu
memberitahu pamannya bahwa' suami Hong Yi adalah
seorang pendekar.
Setelah membaca surat itu, Panglima Ciang
mengangguk-angguk. Pertanyaan pertama yang keluar
dari mulutnya membuat Hong Yi terkejut.
"Nona Liang Hong Yi, bagaimana Ciang Kongcu
dapat mengenalmu dengan baik?"
Hong Yi sempat tertegun. Tentu saja ia tidak mungkin
dapat menjawab bahwa ia pernah melayani kongcu itu
sebagai seorang wanita penghibur! Akan tetapi hanya
sejenak ia tertegun, lalu dengan tenang ia menjawab.
"Ciang Kongcu terkenal di kota Cin-koan kami
sebagai seorang kongcu yang budiman dan hampir
semua orang mengenalnya, ciangkun. Ketika kami
merayakan hari pernikahan kami, Ciang Kong-cu hadir
pula sebagai tamu undangan dan ketika dia mendengar
bahwa kami berdua akan pergi mencari pekerjaan, Ciang
Kongcu lalu memberi surat ini kepada kami."
Ciang Goanswe mengangguk-angguk lagi dan
mengerutkan alisnya. Pertanyaannya yang kedua Juga
membuat kedua orang suami isteri itu tertegun.

131

"Han Si Tiong, benarkah engkau seorang pendekar


yang pandai ilmu silat"
Si Tiong agak tersipu. "Ciangkun, saya hanyalah
seorang biasa saja akan tetapi saya akan selalu berada di
pihak yang menjunjung tinggi kebenaran dan 1 keadilan,
menentang kejahatan."
"Ilmu silat aliran manakah yang kau pelajari?" "Ilmu
silat Siauw-lim-pai aliran uta-i ra, ciangkun."
"Dan engkau ingin menjadi seorang perajurit? Kalau
benar, apa alasanmu ingin menjadi perajurit?"
"Saya ingin menjadi perajurit untuk membantu
kerajaan menghadapi bangsa Kin yang biadab, un.tuk
membela bangsa dan tanah air." kata Si Tiong dengan
gagah dan penuh semangat.
"Bagus, engkau dapat diterima sebagai perajurit. Hal
itu dapat kami atur. Dan engkau, nona, mengapa engkau
ikut pula mencari pekerjaan? Apakah engkau Juga ingin
menjadi perajurit?" Panglima itu tersenyum sinis. "Sayang
sekali, kami belum membentuk sebuah pasukan wanita"
Hemm, sudah tahu ia isteri orang, masih saJa
memanggil nona, pikir Hong YL Akan tetapi ia tidak
perduli dan menjawab, "Saya juga ingin berjuang
membela negara dan bangsa membantu suami saya,
ciangkun."
"Ehh? Apakah engkau juga pandai ilmu silat?" ,
"Saya pernah belajar dari subo (ibu guru) Bian Hui
Nikouw selama beberapa tahun."
132

"Bagus kalau begitu! Nah, Han Si ^Tiong, engkau


sekarang pergilah ke ru-angan depan tadi untuk
melengkapi pen-daftaran kalian dengan data-data
lengkap., Kalian dapat kami terima.
Akan tetapi Liang Hong Yi biar di sini dulu, aku masih ingin memeriksanya. Nah, pergilah!" Panglima tinggi
besar itu menuding ke arah pintu. Si Tiong terpaksa
bangkit dan keluar dari ruangan itu. Biarpun dia me-rasa
heran mengapa isterinya ditahan, dia tidak merasa
khawatir karena dia percaya bahwa isterinya cukup
mampu untuk membela diri.
Setelah ditinggal suaminya, Hong Yt' duduk sambil
menundukkan mukanya. Si-kapnya tenang saja
walaupun sesungguh-nya hatinya mulai merasa curiga
dan khawatir.
"Nona Liang Hong Yi, kenapa engkau menundukkan
muka saja? Apakah engkau merasa malu kepadaku?
Seorang calon perajurit tidak boleh malu-malu!" kata ,
Ciang-goanswe.
Hong Yi mengangkat muka meman-dang wajah
pangljma itu. la melihat je-las sekali dari sinar mata lakilaki itu bahwa panglima itu memang mempunyai niat tidak
sopan terhadap dirinya.
"Saya tidak malu, ciangkun. Akan tetapi mengapa
ciangkun menahan saya dif sini? Apa lagi yang hendak
ciangkun tanyakan?"
"Aku harus mengujimu lebih dulu sebelum
menerimamu sebagai perajurit, nona. Aku harus yakin
dulu bahwa engkau benar-benar memiliki kepandaian
133

silat yang memadai untuk ikut bertempur. Kalau engkau


ternyata seorang wanita lemah, tentu saja aku tidak
boleh menerimamu karena hal itu berarti mengantarmu
untuk dibantai musuh. Nah, aku hendak menguji ilmu
silatmu. Bersediakah engkau?"
Hong Yi bangkit berdiri. "Tentu saja saya siap,
ciangkun!" katanya dengan lega karena kalau hanya diuji
ilmu silatnya, tentu saja ia siap dan ia penuh
kepercayaan kepada diri sendlri bahwa kepandaiannya
akan cukup memadai karena selania bertahun-tahun
Bian Hui Nikouw menggemblengnya dengan sungguhsungguh dan ia juga berlatih dengan tekun.
Ciang-ciangkun bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu
melangkah ke tengah ruangan. "Ke sinilah, nona. Kalau
engkau dapat menahan sepuluh Jurus seranganku berarti
engkau lulus dan sudah pantas i untuk menjadi
komandan regu."
Hong Yi menghampiri panglima itu, berdiri di
depannya dan memasang kuda-kuda dengan kedua kaki
ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kedua lengannya
disilangkan di depan dengan jari-jari tangan terbuka.
Itulah pembukaan jurus Garuda Mengatupkan Sepasang
Sayapnya.
"Saya sudah siap, ciangkun." katanya.
Ciang Sun Bo adalah seorang laki-laki yang sejak
muda sudah berkecim-pung dalam dunia kemiliteran.
Sejak di utara dia sudah menjadi seorang koman-dan,
ikut pula berperang ketika Kerajaan Sung dlserang oleh
bangsa Kin. Dia. ikut pula mengundurkan dan melarikan
diri ke selatan dan karena ke&etiaannya dia diangkat
134

menjadi seorang jenderal.iSI Akan tetapi diapun terkenal


sebagai seorang lakl-laki mata keranjang. Maka, begitu
melihat Hong Yi yang cantik manis, hatinya tertarik untuk
mempermainkannya. Ciang Sun Bo adalah seorang ahli
silat yang bertenaga besar. Dengan tenaga raksasanya,
dalam pertempuran dia amat menggiriskan musuhmusuhnya. Golok besarnya yang berat itu berkelebatan
tak tertahankan lawan saking kuatnya senjata itu
digerakkan.
Setelah berdiri berhadapan dengan Hong Yi, Ciangciangkun lalu berseru, 'Llhat seranganku!" Tangan
kanannya yang besar dan berlengan panjang itu
meluncur ke arah pundak Hong Yi. Gerakannya
mencengkeram pundak itu mendatangkan angin yang
menyambar kuat. ong Yi cepat mengelak ke kanan
sehingga pundak kirinya terhindar dari cengkeranian.
Akan tetapi tangan kiri, panglima itu sudah meluncur ke
arah pe-rutnya! kembali Hong Yi menghindarkan diri
dengan elakan ke belakang.
"Bagus! Sambutlah serangan jurus kedua!" kata
panglima itu dengan gembira dan kini kedua lengannya
berkembang dan dia melakukan gerakan menubruk
seperti seekor biruang menerkam mangsanya. Hong Yl
kembali mengelak dengan loncatan ke belakang.
Panglima atau Jenderal Ciang menjadi kagum dan dia
melanjutkan serangannya yang menjadi semakin dahsyat.
Hong Yi mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) dan selalu mengetak dengan amat cepatnya,
bagaikan gerakan seekor burung walet sehingga sertua
serangan itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Setelah
menyerang sebanyak tujuh jurus, Panglima Ciang
berhenti dan berkata.
135

"Nona, kalau seorang peraJurit dalam pertempuran


selalu mengelak, akhirnya dia akan mati terkena
serangan musuh. Sebagai seorang perajurit yang
bertempur, engkau harus membalas, jangan hanya
mengelak saja!"
Mendengar ini, Hong Yi latu bergerak menyerang.
Akan tetapi karena yang di-serangnya itu adalah seorang
panglima yang mengujinya dan pertandingan itu ha-nya
merupakan ujian terhadap kemampuan-nya, maka tentu
saja gerakan serangannya itu tidak didukung tenaga
sepenuhnya dan dilakukan lambat saja. Tangan j
kanannya, dengan jari terbuka, menampar ke arah dada
panglima Ciang. Akan tetapi, tiba-tiba panglima itu
bergerak cepat menyambut serangan tangan Hong Yi
dengan sambaran tangan kanan yang menangkap
pergelangan tangan kanan Hong Yi dan dengan
sentakan tenaga raksasa yang amat kuat dia sudah
memuntir lengan kanan wanita itu dan terus menelikung
lengan Hong Yi ke belakang tubuh. Tubuh Hong Yi
berputar dan kini panglima itu mendekap tubuhnya dari
belakang dan jari-jari tangan kiri panglima itu dari
belakang menggerayangi dan meremas buah dadanya!
Hong Yi terkejut dan marah sekali. la tadi memang
mengalah karena tentu saja tidak mau menyerang benarbenar agar jangan sampai serangannya mengenai tubuh
Ciang-ciangkun, apa lagi sampai mengalahkannya. Akan
tetapi ternyata sikapnya yang mengalah itu bahkan
disalah gunakan panglima itu yang berbuat kurang ajar
kepadanya. Karena terkejut merasa betapa buah
dadanya diremas, Hong Yj mengerahkan tenaganya,
mernutar tubuh ke kiri dengan tiba-tiba dan dengan
hentakan keras la menggerakkan siku lengan kirinya ke
belakang menghantam dada panglima itu.
136

"Dukkk....! !" Keras sekali siku kiri Hong Yi itu,


menghantam dada Panglima Ciang sehingga tubuh
panglima itu terjengkang, mulutnya mengeluarkan
keluhan mengaduh. Hortg Yi sudah tidak mau
memperdulikannya lagi dan wanita ini lalu berlari keluar
ruangan itu menuju ke ruangan depan ke mana
suaminya pergi.
"He, tunggu, keparat!" Panglima Ciang memaki
marah dan mengejar. Ketika Hong Yi memasuki ruangan
depan, ia mellhat suaminya sedang berdiri di depan
petugas yang agaknya menanyakan segala macam data
tentang diri mereka. Hong Yi berlari masuk, mengejutkan
sernua orang,
"Yi-mol, ada apakah?' Si Tiong bertanya heran. Akan
tetapl Hong Yi sudah , menyambar tangannya dan
menarlknya.
"Mari, Tlong-ko, klta pergi saja dari tempat ini!" Hong
Yl menarik tangan suaminya yang terpaksa mengikutlnya.
Mereka berlari keluar dari ruangan itu dan tiba di
pekarangan gedung. Akan tetapi pada saat itu, Panglima
Ciang keiuar pula dari ruangan itu dan berteriak kepada
para perajurit penjaga di luar yang berjumlah lima belas
orang.
"Tahan mereka! Tangkap mereka!" Lima belas orang
perajurit itu mendengar aba-aba panglima atasan
mereka, serentak bergerak dan mereka sudah
mengepung Si Tiong dan Hong Yi. Suami isteri itu
terkepung dan mereka siap membela diri dan berdlri
saling membelakangi.
"Ciangkun, apa kesalahan kami? Mengapa kami
137

hendak ditangkap?" Si Tiong berteriak kepada panglima


itu dengan penasaran.
"Tiong-ko, kita tldak bersalah apapun. Aku tidak
melakukan kesalahan, percayalah kepadaku!" kata Hoog
Yi lirih kepada suaminya.
"Tangkap mereka, jebloskan mereka dalam penjara!"
teriak Panglima Ciang dengan marah. Lima belas orang
peraju-rit itu serentak menyerbu dan tangan-tangan
mereka berserabutan hendak me-nangkap Si Tiong dan
Hong Yi. Suami isteri itu tentu saja tidak membiarkan
dirinya ditangkap. Mereka mengelak, menangkis bahkan
menarnpar dan menendangi mereka sehingga para
perajurit itu berpelantingan.
Melihat ini, Panglima Ciang menjadi semakin marah.
"Pergunakan senjata, kalau perlu bunuh mereka!" Dia
sendiri sudah mencabut golok besar yang berai dan
berkilauan. Para perajurit yang mendengar perlntah ini
segera mencabut senjata tajam masing-masing.
Pada saat itu terdengar suara bentak-an
menggeledek, "Tahan! Jangan bergerak semua!"
Semua orang menengok dan terkejutlah Panglima
Ciang ketika melihat siapa yang mengeluarkan bentakan
itu. Si Tiong dan Hong Yi juga cepat menengok dan
mereka melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap
berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya gagah dan
berwibawa, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
panglima berkedudukan tinggi. Di belakang panglima ini
berdiri tujuh orang perwira tinggi lainnya.
Panglima Ciang Sun Bo tergopoh-gopoh menyambut
138

panglima itu dan memberi hormat sambil menyebut, "Gak


Tai-clangkun (Panglima Besar Gak)!"
Mendengar sebutan ini, Si Tiong dan Hong Yi
memandang kagum. Biarpun belum pernah bertemu,
namun kedua suami isteri itu pernah mendengar nama
Pangllma Gak Hui yang terkenal di seluruh negeri sebagai
seorang panglima yang gagah perkasa, bijaksana dan
arnat setia kepada negara, setia kepada Kerajaan Sung.
"Panglima Ciang, apa yang terjadi di sini? Mengapa
engkau dan para perajurit mengeroyok dua orang muda
ini?" Dia memandang ke arah Si Tiong dan Hong Yi.
Panglima Ciang tampak gugup. ".... anu, Tai-ciangkun,
ia.... wanita ini melawan dan suaminya itu menibantu.."
Pangllma Gak Hul memandang kepada Sl Tiong, lalu
kepada Hong Yl dan diam-dlam merasa heran mengapa
ada wanita cantik dalam kantor penerimaan calon
perajurit itu.
"Siapa nama kalian?". tanya panglima Gak Hui.
Si Tiong dan Hong Yi melangkah maju dan memberi
hormat kepada panglima yang terkenal itu. "Saya
bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteri saya bernama
Liang Hong Yi, taiciangkun."
"Hemm, Nyonya, benarkah
ciangkun? Kalau benar mengapa?"

melawan

Ciang-

Hong Yi sudah pernah bergaul dengan pria-pria


bangsawan, maka ia tidak malu-malu berhadapan
dengan seorang panglima besar. "Maafkan saya, tai139

ciangkun. Saya tidak bersalah. Saya dan suami saya


datang ke sini untuk mendaftarkan diri menjadi perajurit.
Kami ingin berjuang untuk membela nusa dan bangsa,
menentang bangsa Kiri yang menjajah tanah air kita.
Kami diterima Panglima Ciang, akan tetapi dia hendak
menguji ilmu silat saya dan dia.... dia bersikap tidak wajar
dan melanggar susila, maka terpaksa saya melawannya,
taiciangkun."
Jenderal Gak Hui mengerling ke arah Panglima
Ciang. Dia sudah lama mendengar tentang watak
rekannya ini yang terkenal mata keranjang, maka dia
sudah dapat rnembayangkan apa yang kiranya terjadi.
Dari sepak terjang suami isteri muda ketika dikeroyok
tadi, dia melihat bahwa mereka berdua, terutama si
suami, memiliki ilmu silat yang cukup ting-gi. Tentu
Pariglima Ciang bersikap tidak sopan terhadap wanita
cantik itu akan tetapi dia bertemu dengan batu, wanita itu
menolak dan melawan.
"Apa yang kaulakukan, Ciang-ciang-kun?" tegurnya
dengan suara tegas.
Panglima Ciang menjadi merah mukanya. Biarpun
Jenderal Gak Hui termasuk rekannya, namun Jenderal
Gak Hui lebih besar kekuasaannya dibandingkan dia dan
Juga jenderal itu menjadi kepercayaan kaisar.
"Saya.... saya telah menerima mereka, Gakciangkun. Saya.... saya hanya ingin menguji wanita itu,
baik ilmu silatnya maupun mentalnya karena tidak biasa
ada wanita mau menjadi perajurit."
"Hemm, sudahlah. Aku sendiri yang akan menerima
Han Si Tiong dan isterinya ini, menjadi pembantu140

pembantuku."
Bukan main girangnya hati Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi. Mereka tentu saja merasa bangga bukan main
dapat menjadi pembantu-pembantu Jenderal Gak Hui
yang amat terkenal dan dipuja rakyat Jelata itu. Jenderal
ini sudah terkenal sebagai pelindung rakyat Jelata yang
diganggu oleh para penjahat dan para perajurit Kerajaan
Kin di perbatasan. Jenderal Gak Hui melarang keras
pasukannya
mengganggu
rakyat,
bahkan
dia
memerintahkan pasukannya untuk membantu rakyat
dalam membangun dusun mereka yang rusak oleh
perang, dan menolong mereka apabila mereka
membutuhkan pertolongan.
"Banyak terima kasih, Gak tai-ciangkun!" Suami isteri
itui berseru sambil memberi hormat.
Setelah
menyelesaikan
kunjungannya
untuk
memeriksa
pelaksanaan
penerimaan
calon-calon
perajurit, Jenderal Gak Hui meninggalkan gedung
Panglima Ciang dan Si Tiong bersama isterinya diajak
serta.
Jenderal Gak Hui mengajak mereka ke markasnya
dan setelah melihat, mereka mendemonstrasikan
permainan silat mereka, Jenderal Gak Hui lalu mengangkat suami isteri itu menjadi perwira-perwira. Hong Yi tidak
dipisahkan dan suaminya, bahkan diangkat menjadi
pembantu perwira yang selalu mendampingi suaminya
dalam mernimpin pasukan. Tentu saja suami isteri ini
menjadi girang bukan main dan berterima kasih sekali
kepada keputusan Jenderal Gak Hui yang bijaksana.
Sewaktu mereka bertugas di kota ra-j'a,, pekerjaan
141

mereka adalah melatih ilmu silat Repada para perajurit.


Tugas ini mereka lakukan dengan penuh kesungguh-an
dan tekun sehingga para perajurit dalam pasukan
pimpinan mereka memperoleh kemajuan pesat dalam
ilmu silat dan olah keperajuritan. Tentu saja Jenderal Gak
Hui merasa puas dan girang bahwa dia tidak salah pilih
ketika
mengangkat
suami
isteri
itu
menjadi,
pembantunya. Dalam waktu singkat Han Si Tiong
mendapatkan kenaikan pangkat sehingga dia dan
isterinya dipercaya untuk memimpin pasukannya yang
berjumlah ribuan orang.
Setahun kemudian Hong Yi melahirkan seorang anak
perempuan. Tentu saja hal ini menambah kebahagiaan
mereka. Anak itu diberi nama Han Bi Lan dan mereka, lalu
mengirim utusan untuk menjemput Lu-ma karena Hong
Yi membutuhkan bantuan bibinya itu untuk rnerawat dan
mcngasuh Bi Lan. Pula ia merasa kasihan kepada
bibinya yang dulu memang menginginkan untuk ikut
dengannya kalau mimpinya sudah terujud, yaitu kalau ia
dan suaminya telah memper-oleh kedudukan dan
kemuliaan di kota raja Lin-an. Lu-ma datang dan ia
merasa berbahagia sekali. Biarpun di Cin-koan ia dapat
hidup berkecukupan sebagai pengelola rumah hiburan,
namun ia tidak pernah merasa berbahagia, apa lagi
setelah di tinggal pergi Hong Yi. la mencinta Hong Yi
seperti anak kandung sendiri dan kini ia hidup serumah
dengan Hong Yi dan suaminya, apa lagi ia kini
mempunyai momongan seorang cucu yang mungil! la
mendapatkan
kebahagiaan
yang
tidak
pernah
dirasakannya ketika ia tinggal di Cin-koan.
***
Kaisar Kao Tsung mengumpulkan para menteri dan
142

panglimanya
untuk
mengadakan
sidang
dan
mernbicarakan usul yang diajukan oleh Jenderal Gak Hui
kepada Kaisar. Persidangan itu dihadiri oleh semua
pejabat tinggi, sipil dan militer. Tentu saja Perdana
Menferi yang menjadi pembantu kaisar terpenting, hadir
pu-la. Perdana Menteri itu adalah Chin Kui. Menteri Chin
Kui adalah seorang laki-laki tinggi kurus berusia sekitar
lima puluh tahun. Mulutnya selalu condong terse-hyum
sinis, mukanya dan sepasang teli-nganya yang kecil
membuat wajah tttt mirip wajah tikus dengan kumisnya
yang jjarang dan menjuntai di kanan kiri mulutnya. Akan
tetapi sepasang mata yang kecil itu selalu bergerak,
membayangkan kecerdikan dan dia pandai membawa
diri, pandai mengambil hati. Dia pandai bica-ra dan dapat
mengambil hati Kaisar Kao Tsung sehingga dla amat
dipercaya.
Setelah persidangan dibuka menyambut munculnya
Kaisar Kao Tsung, dengan penghormatan kepada kaisar,
Kaisar Kao Tsung lalu berkata dengan suaranya yang
lembut. "Persidangan ini kami adakan untuk
membicarakan usul yang disampaikan Jenderal Gak Hui
kepada kami. Kami harap kalian dapat menyumbang
pemikiran bagaimana jalan terbaik yang harus diambil.
Jenderal Gak, harap engkau suka kemukakan usulmu
itu agar para menteri dan panglima dapat mende-ngarkan
lalu ikut membantu memikirkan."
Jenderal Gak Hui tnemberi hormat kepada kaisar,
mengucapkan terima kasih atas kesempatan bicara yang
diberikan, lalu dia bangkit dan menghadap ke arah para
menteri dan panglima. "Saudara-saudara, para menteri
dan panglima yang saya hormati. Saya telah
menghaturkan usul kepada Sribaginda Kaisar agar saya
143

diperkenankan menghimpun dan memim-pin barisan


untuk menyerang bangsa Kin dan mengusirnya dari
tanah air kita. Sekaranglah saat yang terbaik untuk
berge-rak dan mengusir mereka."
Kaisar Kao Tsung mengangkat tangan meniberi
isarat sehingga Jenderal Gak Hui menghentikan
ucapannya dan meni-beri hormat kepada kaisar lalu
duduk kembali.
"Jenderal Gak Hui, kami ingin sekali mendengar
alasanmu, mengapa engkau sekarang ini saat terbaik
untuk bergerak dan menyerang pasukan bangsa Kin.
"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, anggapan hamba ini
berdasarkan alasan-alasan yang amat kuat dan hamba
tidak akan berani mengajukan usul.kepada pa-duka katau
hamba tidak merasa yakin benar pertama dari para matamata dan penyelidik yang hamba kirim ke utara, hamba
mendapat keterangan bahwa keadaan bangsa Kin yang
menduduki da8 erah utara kini tidak terlalu kuat. Banyak
kekacauan terjadi karena rakyat memusuhi mereka dan
rakyat tidak mau membantu ransum mereka secara suka
rela. Dan kecuali itu, terjadi pertikaian dan perebutan
kekuasaan di antara para komandan yang menguasai
daerah jajahan mereka itu. Adapun alasan yang ke-dua,
hamba telah mempersiapkah pasu-kan dengan baik
sehingga terkumpul barisan yang berjumlah cukup
banyak. Selain itu, hamba juga membentuk pasukanpasukan inti yang dilatih ilmu silat dengan baik, bahkan
didukung para pendekar yang berjiwa patriot. Karena itu,
harhba yakin bahwa kalau hamba menibawa barisan
bergerak sekarang, hamba tentu akan berhasil
membinasakan dan memukui mundur mereka."

144

Kaisar Kao Tsung mengangguk-angguk sambil


tersenyum. "Bagus sekali, Jenderal Gak Hui. Kami
merasa setuju se-kali karena kamipun. sudah lama sekall
menanti-nanti saatnya untuk melihat bangsa Kin yang
biadab itu dihancurkan agar segala dendam sakit hati ini
dapat terbalas. Akan tetapi kami ingin mendengar
pendapat kalian. Kemukakanlah pendapat kalian agar kita
dapat memikirkan dan merundingkan bersama."
Sebagian besar para menteri dan panglima dengan
singkat namun tegas menyatakan mendukung usul dan
penda-pat Jenderal Gak Hui. Ketika tiba-tiba giliran
Panglima Ciang Sun Bo untuk menyatakan pendapatnya,
dia memberi , hormat kepada kaisar dan berkata,
"Hamba mohon ampun, Srlbaginda Yang Mulia. Bukan
sekali-kali hamba hendak menentang usul pendapat
Jenderal Gak Hui, akan tetapi hamba hanya mengingatkan agar paduka berhati-hati sekali dalam
mengambil keputusan untuk menyerang bangsa Kin.
Hamba mendengar dan agaknya semua orang juga
mengeta-hui bahwa balatentara Kin amatlah kuatnya
sehingga hamba khawatir kalau-kalau barisan kita tidak
akari mampu mengalahkan mereka."
Jenderal Gak Hui mengerutkan alisnya dan menoleh
kepada Panglima Ciang Sun Bo. "Ciangciangkun, kalau
engkau takut, Jangan ikut maju berperang!"
"Jenderal Gak Hui, biarkanlah semua orang
mengajukah pendapat mereka masing-masing." kata
Kaisar Kao Tsung.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia." kata Jenderal Gak
Hui sambil mengerut" kan alisnya dan menundukkan
mukanya. Dia tahu bahwa Panglima Ciang Sun Bo
145

sengaJa menentangnya karena memang ada perasaan


tidak suka antara dia dan Panglima Ciang, apa lagi
setelah 'kejadian beberapa tahun yang lalu, yaitu ketika
terjadi keributan di gedung panglim&' itu karena dia
hendak berbuat tidak sopan terhadap Liang Hong Yi
yang kini bersama suami wanita itu telah menjadi
pembantunya yang boleh diandalkan. Ka-rena jasa Han Si
Tiong dan Liang Hong Yi itulah maka kini dapat dibentuk
pasu-kan khusus yang kuat sehingga membesarkan
hatinya untuk menyerang .bangsa Kin di utara.
Tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui yang sejak tadi
hanya diam mendengarkan saja, berkata dengan
suaranya yang halus namun cukup lantang.
"Yang Mulia, hamba kira apa yang dikatakan
Panglima Ciang Sun Bo tadi sama sekali tidak keliru dan
patut untuk diperhatikan dan direnungkan. Semua orang
tahu betapa kuatnya balatentara Kin. Tentu paduka tidak
lupa bahwa ke-jatuhan Sung di utara justeru karena
pasukan-pasukan kita yang lebih dulu menyerang
balatentara Kin. Hal itu yang menyababkan bangsa Kin
menyerang terus sampai ke selatan. Tentu paduka tidak
lupa akan kesalahan taktik yang diusulkan Perdana
Meoteri Cai Ching ketika itu. Dia mengusulkan kepada
mendiang Kaisar Hui Tsung untuk mengejar dan
menyerang barisan Kin di utara sehing-ga para pimpinan
Kin 'menjadi marah la-lu berbalik menyerang kita sampai
ter-paksa kerajaan diungsikan ke sini. Yang Mulia,
sebaiknya jangan mengganggu harimau yang sedang
tidur. Saat ini bangsa Kin tenang-tenang saja tidak
mengganggu kita, mengapa kita mendahului menyerang
mereka?"
Kaisar

Kao

Tsung

mengerutkan

alisnya

dan
146

memandang kepada Perdana Menterinya itu dengan


heran. "Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana engkau
dapat berkata begitu? Apakah kalau menurut engkau,
kami tidak usah memusuhi bangsa Kin, tidak usah
membalas dendam atas kematian ayahanda kami, tidak
berusaha untuk merebut kembali wilayah Sung yang telah
dirampasnya? Begitukah?" Dalam suara Kaisar Kao
Tsung terkandung kemarahan.
"Ampun, Yang Mulia. Sama sekali tidak demikian
maksud hamba. Akan tetapi, kita tidak bisa selalu
mengandalkan kekuatan tenaga. Kekuatan tenaga kasar
tanpa dibantu pemikiran yang mendalam dan cerdik
dapat menggagalkan semua usaha. Kalau kita hendak
menyerang Bangsa Kin, kita harus mempergunakan
perhitungan yang tepat, tidak sembrono. Mohon Paduka
bayangkan, kalau sembrono lalu serangan itu gagal
sama sekali, bahkan mengakibatkan balatentara
menyerbu ke selatan dan menguasai seluruh negeri,
bukankah hal itu akari merupakan suatu malapetaka
yang mengerikan? Hamba sekarang hendak bertanya
kepada Jenderal Gak Hui. Dia yang mengusulkan
penyerangan ke utara ini. Kalau sampai penyerangan
gagal dan akibatnya seperti yang hamba khawatirkan itu,
lalu siapa yang akan bertanggung jawab?"
Mendengar ucapan itu, Kaisar Kao Tsung menoleh
kepada Jenderal Gak Hul. Wajah Jenderal Gak Hul
menjadl merah dan hatlnya yang keras dan penuh
kesetiaan kepada Kerajaan Sung menjadi panas.
"Hamba tidak akan gagal, Yang Mulia!" katanya
kepada kaisar yang memandang kepadanya.
"Akan tetapi tidak ada yang pasti di dunia ini, Gak
147

Ciangkun. Hidup kitapun tidak bisa dipastikan kapan


berhentinya. Bagaimana kalau engkau gagal, kalah dalam perang melawan balatentara Kin? Bagaimana
pertanggungan jawabmu ter-hadap Yang Mulia, terhadap
bangsa dan terhadap kerajaan?" Suara Perdana Men-teri
Chin Kui mengandung tantangan dan ejekan. Jenderal
Gak Hui merasa dada-nya seolah hendak meletus saking
marahnya. Akan tetapi di depan kaisar dia tidak berani
memperlihatkan kemarahan dan menahan perasaannya.
Apa yang hen-dak dia lakukan adalah demi kepentingan
kerajaan dan bangsa, akan tetapi kegagalannya akan
ditimpakan kepada dia seorang!
"Kalau saya gagal, saya bersedia untuk dipecat dan
dijatuhi hukuman yang pallng berat, Chintaijin (Pembesar
Chln)l" katanya sambll memandang wajah Perdana
Menterl itu dengan slnar mata tegas dan keras.
"Bagus! Tentu saja kalau gagal engkau tidak cukup
mengucapkan maaf lalu lepas tangan. Engkau
mempermainkan nasib kerajaan dan bangsa dalam
usulmu ini, Ciang-kun!"
"Sudahlah, Perdana Menteri Chin Kui!" kata Kaisar
Kao Tsung.
"Jenderal Gak Hui sudah menyatakan pendapat dan
kesanggupan pertanggungan jawabnya dan kami
mengenal dia sebagai seorang gagah yang selalu
memegang teguh kata-katanya. Kami juga percaya
bahwa dia tentu akan berhasil. Karena itu, kami
memutuskan menerima usulmu, Jenderal Gak Hul.
Laksanakanlah seperti yang kaurencanakan itu!"
"Terima kasih atas kepercayaan paduka dan hamba
148

siap melaksanakan perintah, Yang Mulia!" Kata Jenderal


Gak Hui dengan suara tegas yang mengandung
kegembiraan. Persidangan dibubarkan dan Jenderal Gak
Hui cepat kembali ke markasnya. Dia segera memanggll
semua pembantunya, yaltu para perwlra yang menjadl
komandan darl pasukanpasukannya. Setelah mereka
berkumpul, di anta-ra mereka terdapat Han Si Tiong dan
isterinya, Liang Hong Yi, Jenderal Gak menceritakan
tentang persetujuan kaisar yang menerima usulnya untuk
melakukan penyerbuan ke utara, mengusir penjajah Kin.
Aku peringatkan kepada kalian bahwa kita semua
adalah pengemban-pengemban tugas yang mulia, yaitu
membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa.
Hidup yang sempurna berarti melaksanakan tugas
dengan baik karena hidup ini sendiri berarti memikul
tugas-tugas. Untuk dapat menjadi seorang ma-nusia
seutuhnya kita, harus dapat melak" sanakan semua
tugas itu dengan sebalk-baiknya. Tugas pertama dan
utama ada-lah tugas seorang manusia terhadap Tuhannya, yaitu menaati semua perintah Tuhan melalui
kitab agama maslng-maslng yang tentu bersumber
kepada keba" ikan dan hidup bermanfaat bagi mtnusla
dan dunla. Dalam tugas utama ini terca-kup tugas-tugas
lain yang banyak ma-camnya, misalnya tugas kewajiban
sebagai orang tua terhadap anak-anaknya, sebagai anak
terhadap orang tuanya, se1 bagai suami tcrhadap
isterinya dan sebaliknya, sebagai anggauta keluarga
terha-dap sanak keluarganya, sebagai guru ter-hadap
muridnya dan sebaliknya, sebagai anggaUta masyarakat,
sebagai sahabat, sebagai warga negara terhadap
negaranya dan sebagainya lagi. Termasuk tugas yang
sekarang kalian emban, yaitu tugas seorang perajurit
terhadap atasan dan pasukannya, sebagai seorang
patriot terhadap bangsa dan tanah airnya. Kalau hendak
149

menjadi seorang manusia seutuh-nya, maka, semua


tugas itu harus dilaksanakan dengan baik. Satu saja
tugas itu diabaikan, tentu dia tidak dapat menjadi
manusia baik yang seutuhnya! Biarpun semua tugas
yang kusebutkan tadi telah kalian laksanakan dengan
baik, namun kalau kalian tidak memenuhi tugas kali-an
sebagai seorang perajurit dan patriot, maka kalian tetap
akan menjadi orang yang tercela. Apa lagi kalau ada di
antara kalian yang mengkhianati perjuangan, nama
seorang pengkhianat akan dikutuk rakyat selama
hidupnya. Aku percaya bahwa kalian adalah patriot-patriot
yang "gagati perkasa, yang siap mempertaruhkan nyawa
demi keselamatan bangsa dan tanah air, demi
kehormatan Kerajaan Sung."
Setelah memberi penrigatan kepada pa-ra perwira itu,
Jenderal Gak lalu memba-gi-bagi tugas kepada mereka.
Setelah pertemuan itu dibubarkan, Jenderal Gak
memanggil Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke dalam
kantornya.
"Kalian telah berjasa besar dalam menggembleng
Pasukan Halilintar sehingga pasukan yang kalian pimpin
dapat di-jadikan pasukan inti yang akan mempelopori
dan memberi dorongan semangat kepada seluruh
barisan. Akan tetapi ja-sa kalian itu belum terbukti
manfaatnya bagi kerajaan. Sekarang tiba saatnya ka-lian
membuktikan bahwa kalian dan pasukan kalian benarbenar boleh diandalkan dan menjadi tulang punggung
seluruh barisan. Apakah kalian berdua sudah siap lahir
batin .untuk melaksanakan tugas yang amat penting
akan tetapi juga amat berbahaya ini?"
Dengan sikap tegak dan suara tegas suami isteri itu
menjawab serentak, "Kami siap melaksanakan tuga$, Tai150

ciangkun!"
Gak Hui memandang suami isteri itu dengan kagum
dan bangga. Tidak salah penilaiannya terhadap suami
isteri ini ketika pertama kali dia melihat mereka dalam
rumah Panglima Ciang Sun Bo. Han Si Tiong kini telah
menjadi seorang pria gagah perkasa berusia tiga puluh
tiga tahun, sedangkan Liang Hong Yi yang juga
berpakaian sebagai seorang perwira Itu tampak gagah
dan cantik manis da-lam usianya yang dua puluh enam
tahun.
"Sekarang kalian pulanglah dan mem-buat persiapan.
Seperti telah kita rencanakan tadi, besok pagi-pagi benar
sebelum fajar menyingsing, kita akan berangkat"
"Baik, tai-ciangkun!" kedua orang suami isteri itu
memberi hormat lalu ber-gegas pulang ke rumah mereka.
Sebagal perwira, mereka telah mendapatkan rumah
tinggal sendiri di mana mereka tinggal bersama anak
tunggal mereka, Han Bi Lan yang kini sudah berusia tujuh
tahun dan Lu-ma yang kini tampak selalu gembira dan
tubuhnya menjadi' gemuk. Lu-ma inilah yang mengasuh
Bi Lan de-ngan penuh kasih sayang seorang nenek
apabila ayah ibu anak itu meninggalkan rumah untuk
bertugas.
Ketika Si Tiong dan Hong Yi melangkah masuk
melalui pintu depan, Bi Lan, anak perempuan berusia
tujuh tahun yang mungil dan manis itu, tiba-tiba
menyambut ayah ibunya dengan bentakan nyaring,
"Ayah ibu awas seranganku!" Dan anak itu dengan
gerakan yang gesit sekali' telah menyerang ayah ibunya
dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan.
Mulutnya yang kecil mungil berseru berulang-ulang,
151

"Haiiittt.... yaaattt?"
Si Tiong dan Hong Yi mengelak dan membiarkan
anak mereka melakukan serangan bertubitubi sampai
tujuh jurus. Kemudian Si Tiong menangkap lengan Bi Lan
dan mengangkat tubuh anak itu dan dipondongnya,
"Bagus, Bi Lan. Akan tetapi engkau harus berlatih
lebih tekun lagi." kata Si Tiong sambil mencium pipi
anaknya.
"Akan tetapi engkau juga tidak boleh melalaikan
pelajaranmu membaca dan menulis, Bi Lan." kata Hopg
Yi. Lu-ma muncul dari dalam. Badannya gemuk dan
sehat dan wajahnya penuh senyum. "Mana berani ia
melalaikan pela-jarannya? Selama ada aku di sisinya, ia
tidak akan berani bermalasmalasan!" Bi Lan cemberut
dan melapor kepada ibunya. "Ibu, nenek Lu galak dan
kejam! Kalau aku tidak menurut, ia tidak mau
melanjutkan dongengnya!"
"Bukan galak dan kejam, melainkan itu karena ia
sayang sekali kepadamu, Bi Lan. Nenek ingin engkau
menjadi seorang yang pandai dan berguna bagi manusia
dan dunia kelak." kata Hong Yi.
"Baiklah, nenekmu yang galak dan kejam ini malam
nanti akan melanjutkan dongengnya tentang nenek sihir
yang jahat itu." kata Lu-ma sambil tersenyum.
Bi Lan turun dari pondongan ayah-nya dan lari
menghampiri Lu-ma lalu memeluknya."Nenek Lu tidak
galak dan kejam, melainkan baik hati sekali! Aku sayang
padamu, nek. Malam nanti lanjutkan donggengnya, ya?"

152

Mei-eka semua tertawa menyaksikan k kemanjaan


anak itu. Si Tiong dan Hong Yi lalu berkemas dan setelah
makan malam mereka mengatakan kepada Lu-ma dan Bi
Lan bahwa besok pagi-pagi sekali se-belum fajar
menyingsing mereka akan berangkat bertugas dan sekali
ini mere-ka akan pergi untuk waktu yang lama dan belum
dapat ditentukan berapa lamanya.
"Kalian akan pergi ke inana dan me-lakukan tugas
apakah maka membutuh-kan waktu lama?" tanya Lu-ma.
"Kami akan memimpin pasukan menu-ju ke utara
untuk berperang mengusir bangsa Kin." kata Hong Yi.
Lu-ma
melompat
bangkit
dari
duduk-nya.
"Berperang....? Ahhh....!" Mata nenek itu terbelalak dan
alisnya berkerut, wajahnya membayangkan kekhawatiran
besar.
"Engkau kenapakah nek? Ayah dan ibu adalah
prajurit-prarajurit patriot yang gagah perkasa, tentu saja
mereka pergi berperang untuk mengu sir penjajah, kata
Bi Lan yang memang sejak kecil telah diberi pengertian
oleh ayah ibunya tentang kependekaran dan
kepahlawanan. kita sepatutnya merasa bangga, nek.
Lu-ma masih
bertempur....??"

tampak

gelisah.

"Akan

tetapi....

"Bibi ucapan Bi Lan. tadi benar sekali. Kami harus


bertempur membela bangsa dan tanah air. Karena itu
kami titip Bi Lan agar kau amati ia baik-baik selama kami
pergi."
"Ibu, aku ingin ikut berperang melawan Bangsa Kin !"
153

tiba-tiba Bi Lan berkata lantang.


Si Tiong tersenyum bangga. "Enskau masih terlalu
kecil. Bi Lan. Engkau harus belajar dan berlatih dengan
giat agar menJadi kuat dan mampu melawan musuh.
seKarang belum waktunya karena di pihak musuhpun
tidak ada anak kecilnya."
Kalau sudah besar aku boleh ikut bertempur, ayah?"
"Tentu saja! Engkau akan menjadi seorang pahlawan
yang gagah perkasa dan ditakuti musuh."
Setelah Bi Lan tidur, malam itu Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi bicara lebih serius kepada Lu-ma. "Kalau
terjadi apa-apa dengan kami, andaikata kami gugur dalam
perang, rawatlah Bi Lan baik-baik bibi. Di almari itu kami
tinggalkan seluruh harta milik kami, dapat engkau
pergunakan untuk membesarkan Bi Lan. Jangan lupa
untuk mengundang guru silat dan guru sastra untuk
mendidiknya." pesan Liang Hong Yi.
Lu - ma mengangguk - angguk sambil mengusap air
matanya. la tidak dapat menyembunyikan kegelisahan
hatinya. Ia amat sayang kepada Hong Yi, menganggap
wanita
itu
seperti
anak
kandungnya
sendlri.
Membayangkan Hong Yi bertempur dalam perang,
terluka atau bahkan tewas, hatinya merasa gelisah bukan
main. Melihat nenek itu menahan isak dan mengusap air
mata, Hong Yi merangkulnya"
"Tenanglah dan jangan khawatir, bibi. Kami akan
menjaga diri dengan hati-hati dan percayalah, Jenderal
Gak Hui akan membawa kami mencapai kemenangan
yang gemilang." kata Si Tiong dengan nada menghibur
154

dan membesarkan hati.


"Benar,
bi.
Jangan
khawatir
dan
jangan
memperlihatkan kesedihan kepada Bi Lan agar anak itu
tidak ikut khawatir dan bersedih. Kami berdua pasti akan
pulang dengan selamat." kata Hong Yi.
Akhirnya Lu-ma dapat menenangkan hatinya. Akan
tetapi malam itu ia tidak mau berpisah dari Bi Lan dan
menemani anak itu tidur di kamar Bi Lan

JILID 5
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri
itu
sudah
selesai
berkemas.
Ketika
saatnya
keberangkatan tiba, mereka memasuki kamar Bi Lan dan
ternyata Lu-ma juga sudah bangun sejak tadi. Mereka
menggugah anak itu. Anak itu malam tadi sudah
memesan dengan sangat kepada ayah ibunya agar dia
digugah kalau mereka hendak berangkat.
Bi Lan terbangun. Hong Yl merangkul anaknya.
"Anakku Bi Lan, engkau baik-balk menjaga dlrimu dl
rumah. Taati semua petunjuk nenekmu dan jangan lupa
untuk belajar dengan tekun, baik sastra maupun sllat."
"Jangan khawatir, Ibu." Dan ketlka la melihat Lu-ma
mengusap air matanya, Bi Lan menegur. "Eh, nenek
kenapa menangis? Jangan cengeng, nek dan Jangan
khawatir. Selama ayah dan ibu pergi, a-kulah yang akan
menjagamu!"
Si Tiong juga merangkul anaknya. "Bi Lan, ingat,
155

selama ayah dan ibu tidak berada di rumah, engkau


jangan nakal. Jangan suka berkelahi dengan anak-anak
lain."
"Ayah, ibu, kalau pulang jangan lupa membawa oleholeh!"
Hong Yi tersenyum. "Baik, akan tetapi oleh-oleh apa
yang kau inginkan, Bi Lan?"
"Aku ingin ayah dan ibu pulang membawa oleh-oleh
sebatang pedang bengkok milik seorang panglima
Bangsa Kin!"
Han Si Tiong saling bertukar pandang dengan Liang
Hong Yi. Keduanya mengangguk. "Baiklah, Bi Lan, aku
akan mengusahakan agar dapat merobohkan seorang
panglima Kin dan merampas pedangnya untukmu."
Suaml isterl Itu lalu meninggalkan rumah, dlantar
sampai keluar pekarang-an oleh Bi Lan dan Lu-ma. Bi Lan
meng-antar ayah ibunya dengan wajah cerah dan
pandang mata bangga, tidak sepertl Lu-ma yang
niengusap alr matanya yang selalu mengalir keluar dari
sepasang matanya.
Setelah suami isteri yang sering nengbk dan
melambaikan tangan menghilang di tikungan jalan, Bi
Lan menggandeng tangan neneknya dan mengomel.
"Aih, nenek ini cengengl benar sih! Sudah tua menangis!
Ayah dan ibu kan pergi berjuang, sepatutnya bergembira
dan berbangga, bukan menangis."
Lu-ma
rnengelus

menyusut air matanya dan tersenyum,


rambut kepala cucunya yang amat
156

disayangnya. "Aku juga gembira dan bangga, Bi Lan."


"Lalu kenapa nenek menangis?"
"Hemm, karena cengeng itulah!"
"Ehh ........ ?". Bi Lan.tldak mengerti bingung.
"Sudahlah, mari kita masuk ke rumah, mandi yang
segar, berganti pakaian lalu sarapan." Luma lalu
menggandeng tangan cucunya dan mereka memasuki
rumah yang bagl Lu-ma tibatiba teraaa sepi itu.
***
Sepasang suami isteri itu memang tampak gagah
sekali ketika mereka menunggang kuda memimpin
Pasukan Halilintar yang mereka bentuk. Terutama sekali
Liang Hong Yi tampak cantik dan juga gagah perkasa.
Dengan pakaian perang wanita yang baru berusia dua
puluh enam tahun ini tampak gagah dan melihat isteri
komandan mereka ini ikut me-mimpin pasukan di
samping suaminya, para perajurit anggauta Pasukan
Halilintar menjadi gembira dan bersemangat sekali!
Balatentara Kerajaan Sung itu dipimpin sendiri oleh
Jenderal Gak Hui. Setelah barlaan keluar darl kota raja,
Jenderal Gak Hul lalu membagi barisan besar itu menjadi
llma pasukan, dl antaranya Pasukan Halllintar yang
bertugas sebagal pendobrak dl garis terdepan. Pasukanpasukan Itu berpencar dan dlmaksudkan untuk
menyerang benteng pertahanan tentara Kin di utara dari
beberapa jurus-an. Siasat inl dilakukan untuk memecah
perhatian musuh, membuyarkan pemusat-kekuatan
musuh dan menimbulkan kesan seolah-olah yang
157

melakukan penyerbuan ke utara itu jauh lebih besar


jumlahnya dari pada yang sebenarnya.
Penyerbuan besar-besaran yang dilakukan barisan
yang dipimpin Jenderal Gak Hui Ini mengejutkan barisan
Kln. Apa lagi karena serbuan itu dilakukan darl berbagai
jurusan. Mereka melakukan perlawanan mati-matian dan
terjadilah pertempuran di mana-mana, pertempuran yang
dahsyat
Han Si Tiong memperlihatkan kegagahannya.
Pasukan Halilintar yang dipimpinnya merupakan pasukan
yang membuat pihak musuh berantakan dan terpaksa
mendatangkan bala bantuan lebih besar untuk
menghadapl pasukan istimewa yang dipimpin Han Si
Tiong dan isterinya. Liang Hong Yi bertempur di samping
suaminya, di setiap pertempuran wanita muda ini
mengamuk dengan pedangnya. Gelung rambutnya
terlepas dan rambutnya riap-riapan ketika ia mengamuk
dan merobohkan banyak lawan.
Ketika pertempuran sedang memuncak, tiba-tlba
Hong Yi melihat suaminya bertanding melawan seorang
lawan yang bertubuh tinggi besar dan melihat
pakaiannya dapat diketahui bahwa dia seorang
panglima. Panglima Kin ini memainkan sebatang pedang
bengkok dan dia lihai bukan main. Han Si Tiong sendiri
sampai kewalahan menghadapi lawan yang amat
tangguh ini. Dan sepak terjang panglima Kin ini agaknya
mendatangkan semangat yang berkobar di pihak
pasukan Kin. Apa lagi datang pasukan lain yang
membantu sehingga selain jumlah pasukan Kin lebih
besar, juga kedudukan mereka jauh lebih kuat. Pada
saat itu, Pasukan Halilintar berada di lereng sebuah bukit
dan mereka terkepung ketat oleh pasukan musuh.
158

Mereka terdesak hebat dan melihat ini, Han Si Tiong


bermaksud untuk mencari jalan terobosan agar
pasukannya dapat dlselamatkan dan untuk sementara
mun-dur dulu dari kepungan dari pada pasu-i kannya
hancur dibinasakan pihak lawan yang amat kuat. Juga
dia melihat beta" pa pasukannya sudah tampak
kelelahan dan semangat mereka sudah mulai lemah.
Karena perhatiannya terpecah, hampir saja lehernya
terkeria sabetan pedang panglima musuh yang
dilawannya. Dia cepat melompat ke belakang dan
memutar pedangnya sehingga tubuhnya terlindung dan
terpaksa dia mencurahkan seluruh perhatiannya lagi
menghadapi lawan yang tangguh itu. Karena desakan ini,
maka Han Si Tiong belum mendapat kesempatan untuk
memerintahkan pasukannya mundur.
Liang Hong Yi juga melihat keadaan Pasukan
Halilintar yang sudah terje-pit dan terdesak itu. la merasa
khawatir sekali melihat pasukan yang tampak kelelahan
dan kehilangan semangat. la tahu bahwa hanya ada satu
cara untuk menyelamatkan diri dan memenangkan
pertempuran berat sebelah itu, ialah dengan
meningkatkan semangat pasukannya sehingga berapiapi. Maka, ia lalu cepat berlari ke arah para perajurit yang
bertugas membawa bendera Pasukan Halilintar. Setelah
tiba dekat, ia berseru, "Be-rikan bendera dan genderang
itul" la merampas begitu saja bendera pasukan dan
sebuah genderang perang, lalu berlari ke arah puncak
buklt kecll tak jauh darl sltu. Setelah tlba dl puncak, la
menancapkan tihang bendera dl puncak, kemudian ia
memukul
gendereng
dengan
sekuat
teriaga,
menglayaratkan penyerbuan. Bunyl genderang bertalutalu, nyaring Ae-kali, mengejutkan Pasukan Halilintar
sendiri dan juga pihak lawan. Ketika pasu-kan Kin
melihat bahwa yang memukul genderang itu seorang
159

wanita yang ram-butnya riap-riapan dan berpakaian


seba-gai perwira, mereka menghujankan anak panah ke
arah Liang Hong Yi. Namun, Hong Yi mempergunakan
pedang di tangan kanan untuk menangkisi semua anak
panah yang menyambar ke arah tubuhnya sedangkan
tangan kirinya tetap memukuli genderang.
Melihat kegagahan Hong Yl, para perajurit Pasukan
Halilintar menjadi kagum dan bangga. Semangat mereka
terbakar berkobar-kobar dan mulut mereka mengeluarkan teriakanteriakan nyaring, kemudian bagaikan
kesetanan mereka mengarnuk! Hebat bukan main sepak
terjang para perajurit Pasukan Halilintar ini, bagaikan
halilintar menyambar-nyambar dan para perajurit Kin
roboh bergelimpang-an! Biarpun Hong Yi sudah
menghentikan pemukulan genderang, namun bunyi
genderang masih bertalu-talu karena ada perajurit
penabuh genderang yang meng-gantikannya. Hong Yi
sendiri lalu berlari menuruni bukit kecil itu. la melihat
betapa suaminya masih bertanding seru melawan
panglima Kin dan kini suaminya mulai terdesak dan
keadaannya berbahaya sekali. Maka, dengan pedang di
tangan Hong Yi melompat dan menerjang, membantu
suaminya menyerang panglima itu. Panglima itu terkejut
karena gerakan pedang Hong Yi cukup dahsyat. Dia
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu
pedangnya, namun menghadapi pengeroyokan suami
isteri itu, akhirnya dia roboh terkena tusukan pedang di
tangan Han Si Tiong. Tusukan itu mengenai dadanya dan
diapun roboh dan tewas.
"Pangeran Cusi gugur. .. .lt" terdengar seruan
beberapa orang perajurit Kin yang bertempur tldak jauh
dari situ. Berita inl terus menjalar dan robohnya panglima
Kin yang ternyata seorang pangeran ini membuat
160

pasukan Kin menjadi kacau dan panik.


Han Si Tiong teringat akan pesan puterinya. Dia lalu
mengambil pedang berinkok milik panglima atau
pangeran yang tewas. itu. Sebatang pedang yang indah
sekali, bergagang emas! Setelah membuka sarung
pedang yang tergantung di pinggang pangeran itu dan
menggantung pedang itu di pinggangnya sendiri,
bersama Hong Yi dia lalu terus memimpin pasukannya
untuk mendesak plhak iawan yang sudah menjadl panlk
Itu. Akhirnya pasukan Kin mundur melarlkan diri,
meninggalkan banyak kawan yang tewas. Pasukan
Halilintar yang mula-mula mengejar, berhenti atas
perintah Han Sl Tiong. Mengejar terus di daerah lawan,
selain membuat pasukannya yang sudah lelah sekali itu
kehabisan tenaga, juga ada bahayanya mereka akan
terjebak, Pasukan Halilintar bersorak menggegapgempita sebagai pernyataan kegembiraan mereka. Hong
Yl yang telah berhasil menlngkatkan semangat
pasukannya dengan cara yang gagah berani itu menjadl
bahan percakapan pasukan yang merasa kagum dan
bangga sekali.
Kemenangan demi kemenangan diperoleh barisan
yang dipimpin Jenderal Gak Hui dan Pasukan Halilintar
memegang peran penting dalam pertempuran yang
berhasil ini. Tentu saja Jenderal Gak Hui mencatat semua
jasa Han Si Tiong dan juga Liang Hong Yi.
Akan tetapi, selagi Jenderal Gak Hui mulai berhasil
dengan gerakan serangannya ke arah utara yang
dikuasai kerajaan Kin, tiba-tlba saja datang utusan Kaisar
Sung Kao Tsu yang membawa surat perintah kaisar untuk
Jenderal Gak HUl. Alangkah terkejut rasa hatl Jenderal
Gak Hul ketika membaca surat perintah Itu. Kalsar
161

memerintahkan agar dia menghentikan serangannya dan


segera menarlk barisannya kembali ke selatan. Rasa
kaget, heran, penasaran dan marah memenuhi hati
jenderal inl. Dia sudah mulai menyerang dan
mendapatkan banyak kemenangan dan kemajuan. Kalau
dia diberi kesempatan, bukan mustahil dia akan mampu
mengusir penjajah Kin keluar dari seluruh daerah Sung
yang dirampasnya karena di sepanjang daerah yang
dapat direbutnya, seluruh rakyat menyambutnya dengan
hangat dan siap membantunya! Dia dapat memperbesar
dan memperkuat barisannya sambil berperang. Akan
tetapi, tlba-tiba tanpa alasan apapun, Kaisar merintahkan
agar dia menghentikan gerakannya dan menarik kembali
pasukan-pasukannya ke selatan! Biarpun ha-tinya penuh
penyesalan, namun Gak Hui adalah seorang panglima
yang amat se-tia kepada Kerajaan Sung. Berarti dia
harus setia kepada Kaisar! Apapun perintah kaisar harus
dia taati, bahkan dia siap memberikan nyawanya kalau
hal itu dikehendaki oleh kaisar! Demikianlah kesetiaan
Jenderal Gak Hui yang disanjung dan dipuji rakyat jelata.
Jenderal Gak Hui sempat menitikkan air mata ketika dia
berada seorang diri dalam kamarnya pada saat dia
memerintahkan para perwiranya untuk menarik kembali
pasukan-pasukan di bawah komandonya.
Apakah yeng terjadi dl kota raja, terutama di lstana
Kaisar? Mengapa Kaisar Sung Kao Tsu memerlntahkan
Jenderal Gak Hul untuk menghentikan gerak-an
penyerbuannya menguslr pefijajah Kln yang sudah mulai
tampak hasllnya?
Semua ini adalah hasll persekutuan antara Raja Kin
dan Perdana Menteri Chin Kul yang sudah dijalin selama
bertahun-tahun. Perdana Menteri Chin Kui yang sudah
bersahabat dengan Raja Kin Ini selalu berusaha untuk
162

mencegah Kaisar Kao Tsu memerangi kerajaan Kin di


Sung Utara. Akan tetapi sekali ini dia tldak berhasil
sehingga Kaisar Kao Tsu mengljlnkan Jenderal Gak Hui
untuk mengadakan gerakan penyerbuan ke utarfl sepertl
yang diusulkan Jenderal Gak itu.
Serangan mendadak itu mengejutkan Raja Kln. Apa
lagi ketika seorang pa-ngeran tewas dalam pertempuran
itu. Dia menjadi marah sekali dan segera dia memerintahkan seorang menterinya untuk memanggil
seorang datuk yang tinggal dl Sln-kiang, Datuk ini bukan
lain adalah Ouw Kan, peranakan Uigur-Cina yang
berilmu tinggi dan datuk ini memang su-dah seringkali
dimintai bantuan untuk melaksanakan tugas yang berat
dengan imbalan besar. Pada bagian awal kisah ini kita
sudah mengenal Ouw Kan datuk darl Sin-kiang ini yang
mencoba untuk merampas kitab-kitab yang dibawa Tiong
Lee Cin-jin dari hegara India.
Tak lama kemudian Ouw Kan sudah datang
menghadap Raja Kin. Usianya se-kitar enam puluh dua
tahun. Rambut, .kumis dan jenggotnya sudah berwarna
putih. Tubuhnya sedang saja namun ma-sih tegak dan
tegap seperti tubuh se-orang muda. Tangannya selalu
membawa sebatang tongkat dari ular cobra kering.
Wajahnya tidak buruk, akan tetapi me-nyeramkan dan
sepasang matanya yang lebar itu bergerak liar. Raja Kin
me-nyambutnya dengan girang dan datuk ini dihormati,
diperbolehkan menghadap ra-ja sambil duduk di atas
kurst, menghadap Raja Kin.
"Apakah yang dapat saya lakukan untuk paduka?"
tanya Ouw Kan tanpa banyak upacara lagi. Memang
sikap datuk ini terhadap Raja Kin berbeda derigan sikap
para pembesar pada umumnya. Dia tidak pernah
163

memberl hormat secara berlebihan kepada siapapun


juga dan hal inipun dlmaklumi oleh Raja Kln.
"Kami membutuhkan bantuanmu, Ouw-sicu (orang
gagah Ouw), untuk urusan yang teramat penting. Engkau
akan kami beri surat kuasa dan pergilah ke Selatan ke
kota raja Hang-couw dan jumpal Perdana Menteri Chin
Kui. Atas nama kami tegurlah dia mengapa balatentara
Sung Selatan yang dlpimpin Jenderal Gak Hui sampal
menyerang ke utara. Katakan bahwa dla harus dapat
membujuk kaisar menghentlkan serangan itu, kalau tldak
kami akan memutuskan hubungan dan akan menyerang
ke selatan."
"Tugas itu mudah sekali, Sribaginda. Kenapa untuk
tugas sesederhana itu harus saya yang melakukannya?
Paduka dapat mengutus sembarang orang." kata Ouw
Kan yang merasa betapa tugas itu terlalu kecil tak berarti
bagi dirlnya yang biasa melakukan tugas-tugas yang
lebih besar dan sukar.
"Itu baru tugas pertama, Ouw-sicu. Ada tugas ke dua
yang amat penting dan berat. Kami kira hanya engkau
yang akan dapat melaksanakan dengan baik, Ouw-sicu."
kata Raja Kin.
"Nah itu yang saya sukai, Sribaginda. Apakah tugas
ke dua itu?"
"Ketahuilah bahwa dalam penyerbuan barisan
Kerajaan Sung Selatan, putera kami telah gugur dalam
pertempuran. Dia tewas di tangan perwira yang bernama
Han Si Tiong bersama isterinya yang bernama Liang
Hong Yi. Nah, engkau carilah mereka dan engkau tentu
tahu apa yang harus kaulakukan terhadap mereka untuk
164

membalas sakit hatlku karena kematian puteraku di


tangan mereka."
Ouw Kan mengangguk-angguk. Wajah-nya berseri
dan mulutnya yang dikelilingi kumis dan jenggot itu
tersenyum, hati-nya gembira. "Baik, Sribaginda. Harap
paduka tidak khawatir. Dua tugas Itu pasti akan dapat
saya laksanakan dengan baik. Kapan saya harus
berangkat?"
"Sekarang juga berangkatlah. Pilihlah kuda terbaik
dan di sepanjang perjalanan sampai ke tapal batas,
setiap orang pejabat tentu akan mengganti kudamu
dengan yang baru asal engkau tunjukkan surat kuasa dari
kami. Akan tetapi, Ouw sicu, jangan engkau melibatkan
diri dalam pertempuran karena hal itu akan menghambat
terlaksananya tugasmu yang penting. Berangkatlah dan
hadiah besar menantimu setelah engkau menyelesaikan
tugas itu dengan baik."
Ouw Kan menerima surat kuasa dari Raja Kin dan
berangkatlah dia menunggang seekor kuda pilihan yang
baik. Demikianlah, selagi di perbatasan masih terjadi
pertempuran, Ouw Kan memasuki kota raja Hang-couw
dan tidak sukar baginya untuk menemukan gedung
istana tempat tinggal Perdana Menteri Chin Kui.
Perdana Menteri Chin Kui tergopoh-gopoh menerima
utusan Raja Kin itu dan mengajaknya bercakap-cakap
dalam ruangan rahasia yang tertutup rapat. Dia pernah
bertemu dengan Ouw Kan sebagai utusan Raja Kin, apa
lagi ketika Ouw Kan memperlihatkan surat kuasanya, Chin
Kui percaya sepenuhnya kepada datuk itu. Dia
menyambut tamunya dengan jamuan makan. Setelah
mereka makan minum, Perdana Menteri Chin Kui lalu
165

menanyakan maksud kunjungan Ouw Kan.


"Saya datang diutus oleh Sribaginda Kerajaan Kin
yang marah sekali karena barisan Sung telah menyerang
daerah Kin dan saya diutus untuk menegur dan menanyakan kepada Chintaijin (Pembesar Chin) mengapa
hal seperti itu dapat ter-jadi. Sribaginda minta agar saya
menyampaikan kepada Chin-taijin bahwa kalau taijin
tidak segera membujuk Kaisar Sung agar cepat
menghentikan serangan dan menarik kembali pasukan
dari daerah Kerajaan Kin, maka Sribaginda akan
memutuskan hubungan dengan taijin dan akan
menyerang dan membasmi Sung Selatan!"
Wajah Chin Kui agak berubah pucat dan dia menelan
ludah beberapa kali sebelum menjawab. "Ouw-slcu,
harap sampalkan kepada Sribaginda. Saya mohon maaf
sebesar-besarnya atas penyerangan Itu. Percayalah,
saya sudah berusaha sekuatnya untuk mencegah
penyerangan itu, akan tetapi semua ini gara-gara si
kepala batu Jenderal Gak Hui. Dia dapat mempengaruhi
Kaisar sehingga Kaisar menyetujui penyerbuan itu. Akan
tetapi, saya akan berusaha matimatian untuk membujuk
Kaisar agar barisan itu ditarik kembali. Tunggu dan
lihatlah saja, saya yakin pasti akan berhasil."
"Hemm, saya harap saja janjimu ini akan dapat
dipenuhi dengan cepat, Chin-taijin. Karena kalau tidak,
tentu Sribaginda akan menganggap bahwa taijin
mengkhianati persahabatan. Nah, sekarang setelah saya
menyampaikan pesan Sribaginda, saya mohon dirl akan
melak-sanakan tugas lain. Saya minta tolong kepada
taijin agar suka memberitahu dl mana adanya rumah
seorang perwira yang bernama Han Sl Tiong, seorang
perwira dalam barisan yang tkut menyerbu ke utara."
166

"Han Sl Tiong? Ah, aku Ingat. Dia adalah perwira baru


yang ditugaskan membentuk Pasukan Halilintar.
Rumahnya berada dl sebelah barat Jembatan Rembulan,
di ujung selatan kota, Ouw-sicu."
"Terima kasih, taijin dan saya mohon pamit." Ouw
Kan bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan depan
dada sebagai penghormatan.
"Sebentar, sicu!" Perdana Menteri Chin Kui
mengambil sebuah kantung kain yang sejak tadi telah
dipersiapkan dan memberikan kantung itu kepada
tamunya. "Ini ada sedikit hadiah dari kami iintuk sicu."
Hadiah atau bingkisan seperti ini sudah biasa
diterima Ouw Kan, maka diapun tidak sungkan lagi,
menerima kantung kain yang cukup berat itu, lalu
membungkuk dan keluar dari gedung besar itu.
Tak lama kemudian Ouw Kan sudah tiba di depan
rumah Han Si Tiong. Dia menambatkan kudanya di
sebatang pohon, kemudian dia memasuki pekarangan
rumah itu. Seorang lakl-lakl setengah tua yang bekerja di
pekarangan Itu sebagai tukang kebun menghampirinya.
Melihat seorang kakek menggendong buntalan kain
kuning dan kepalanya memakai topi bulu, tukang kebun
itu segera bertanya dengan sikap hormat.
"Tuan mencari siapakah?"
Ouw Kan memandang tukang kebun jg itu lalu
menjawab, "Aku mencari tuan rumah, ada urusan penting
sekali."
167

"Wah, sayang sekali, tuan. Majikan, saya bersama


isterinya sedang pergi memimpin pasukan untuk
berperang mengusir penjajah Kin!" kata tukang kebun itu
dengan nada bangga.
Ouw Kan mengerutkan alisnya. "Hemm, mereka pergi
dan belum pulang? Kalau begltu, siapa saja yang tinggal
di rumah?"
"Tinggal nyonya tua dan nona kecil.
"Tolong panggll mereka keluar. Aku dapat
menyampaikan urusan penting ini kepada mereka saja."
Mellhat tamu itu sudah tua dan agaknya mempunyai
urusan penting, tukang kebun tidak curlga. "Baiklah, tuan.
Slla-kan duduk menunggu dl ruang tamu, sa-ya akan
melaporkan kepada nyonya tua."
Tukang kebun mengantar Ouw Kan fcgiemasuki
ruangan tamu yang berada di bagian luar rumah itu,
kemudian dia masuk ke dalam untuk melaporkan
kedatangan tamu itu kepada Luma. Ketika itu, Lu-ma
sedang bereda di dapur membantu pelayan wanita
setengah tua yang menjadi pelayan dalam keluarga itu.
Bi Lan juga membantu. Anak berusia tujuh tahun ini
memang ingin membantu segala pekerjaan yang
dilakukan neneknya. Mereka mempersiapkan masakan
untuk makan siang nanti. Ketika tukang kebun
melaporkan bahwa di ruang tamu menunggu seorang
tamu lakl-laki tua yang mengatakan ada urusan sangat
penting untuk dlsampaikan kepada Lu-ma, nenek ini lalu
mencuci tangannya.
"Slapakah, nek?"
168

"Tidak tahu siapa, mungkin tamu kenalan ayahmu."


kata Lu-ma, lalu ia melangkah keluar dari dapur menuju
ke ruangan tamu di depan. Bi Lan tidak mau ketinggalan,
menggandeng tangan neneknya, ikut pergi ke ruangan
tamu.
Setelah Lu-ma dan Bi Lan memasuki ruangan tamu,
mereRa1 meiihat seorang laki-laki tua duduk di atas kursi
dan memandang kepada mereka dengan sinar mata
penuh selldlk. Ouw Kan bangklt berdlrl. dan segera
bertanya. "Aku ingin bertemu dengan Han Si Tlong dan
laterl-nya. Dl mana mereka?"
Lu-ma menduga bahwa tentu kakete Inl kenalan balk
Haa Si Tiong, maka ia-pun menjawab, "Han Si Tlong dan
isteri-nya tldak ada di rumah, mereka pergl perang dan
belum pulang."
"Dan siapakah kalian ini?"
"Saya Lu-ma, bibi mereka dan ini Han Bi Lan, anak
tunggal mereka."
Ouw Kan memandang anak perempuan, Itu.
Sungguh seorang anak perempuani yang manis dan
mungil sekali. Kalau dia membunuh anak ini, hal Itu
sudah merupakan pembalasan hebat yang akan
menghancurkan hati Han Sl Tiong dan isterinya. Akan
tetapi dia meragu. Mungkin Sribaginda Raja Kin
mempunyai rencana lain dengan anak musuh-musuhnya
ini. Mungkin juga dapat dipergunakan untuk memaksa
suaml isteri itu datang! Sebaiknya dia cullk dan bawa
saja anak ini dan diserahkan kepada Sribaginda Raja
Kln. Setelah berpikir demikian, tiba-tiba dia menjulurkan
tangan kanannya hendak menangkap lengan Bi Lan.
169

"Eh....?" Ouw Kan terbelalak, kaget dan heran. Anak


perempuan kecil itu dapat mengelak sehingga
tangkapannya luput.
"Mau apa engkau?" bentak Bi Lan dan ia sudah
memasang kuda-kuda, siap untuk berkelahi! "Nek, dia ini
orang jahat, nek. Hati-hati, dia orang jahat!"
Ouw Kan merasa kagum juga. Hebat anak ini,
pikirnya. Selain memiliki ba-kat gerakan yang amat gesit,
juga tam-paknya cerdik bukan main. Maka dia lalu
melangkah maju dan RembaH tangannya menyambar. Bl
Lan mengelak, akan teta-pi apa artinya kegesitan
seorang anak perempuan berusia tujuh tahun terhadap
datuk yang sakti itu? Sekali jari tangan Ouw Kan
menyambar, Bi Lan sudah tertotok dan. terkulai. Akan
tetapi Ouw Kan menangkapnya sehingga anak itu tidak
sampal roboh dan sekali angkat, Bl Lan sudah berada
dalam pondongan lengan kinnya, terkulai lemas, tak
mampu bergerak atau bersuara!
Melihat ini, Lu-ma terbelalak dan ia marah sekali. Tadi
ketika cucunya berteriak mengatakan bahwa laki-laki itu
jahat, ia tentu saja tidak percaya. Akan tetapi sekarang ia
marah sekali. Bagaikan seekor singa betina direbut
anaknya, ia menyerbu dengan kedua tangan membentuk
cakar ke arah Ouw Kan.
"Mau apa engkau dengan cucuku? Le-paskan ia!
Lepaskan Bi Lan, engkau penjahat!"
Akan tetapi tangan kanan Ouw Kan yang memegang
tongkat ular cobra kering bergerak dan robohlah Lu-ma
tanpa dapat bersuara lagi karena totokan tongkat itu
mengenai ulu hatinya dan ia tewas seketika. Biarpun tidak
170

mampu bergerak dan bersuara, Bi Lan masih sadar dan ia


melihat dengan mata terbelalak betapa neneknya roboh
dan tak bergerak lagl. la tidak dapat mengeluarkan suara
tangis, akan tetapl dari kedua matanya bercucuran air
mata.
Pembantu wanita yang tadl dlpesan oleh Lu-ma untuk
mengeluarkan minuman untuk tamu, muncul di pintu. la
terbelalak melihat Lu-ma menggeletak di atas tanah dan
Bi Lan dipondong seorang kakek yang memegang
sebatang tongkat u-lar, dan anak itu menangis tanpa
suara. Po-ci dan cawan minuman yang dibawanya di
atas baki terlepas dari tangannya dan jatuh
tnengeluarkan bunyi berkerontang-an. Melihat ini,
sebelum pembantu vyani-ta jitu melarikan diri, Ouw Kan
kembali menggerakkan tongkatnya yang menyambar dan
mengenai leher wanita itu. Tanpa mengeluarkan suara
lagi wanita itupun roboh dan tewas seketika.
Setelah membunuh dua orang wanita lemah itu, Ouw
Kan lalu melangkah ke-luar sambil memondong Bi Lan
yang ma-kln deras tangisnya setelah melihat Lu-ma dan
pembantu rumah tangga itu di-bunuh kakek yang
menculiknya Karena khawatir kalau-kalau ada yang
melihatnya dan menjadi curiga melihat anak yang
dipondongnya itu mencucurkan air mata dan wajahnya
Jelas menunjukkan tangls walaupun tldak ada suara
keluar dari mulutnya, Ouw Kan menepuk tengkuk Bi Lan
ddn anak perempuan itu terkulai dan pingsan, seperti
tidur. Ouw Kan menyimpan tongkatnya, diselipkan di ikat
pinggangnya, kemudian dengan langkah lebar hendak
keluar dari pekarangan itu.
Akan tetapi, tukang kebun yang tadi pertama kali
menyambutnya, melihat dia tergesa-gesa keluar sambil
171

memondong Bi Lan. Tukang kebun itu tentu saja menjadi


curiga. Dia mengejar dan rnenghadang di depan kakek
itu.
"Heii! Mau kaubawa ke mana Nona'i Bi Lan itu?
Lepaskan!" Tukang kebun itu menerjang untuk
merampas Bi Lan dari tangan Ouw Kan. Datuk ini melihat
bahwa gerakan tukang kebun itu cukup kuat,
menunjukkan bahwa dia pandai bermain silat. Akan tetapi
tentu saja tingkat kepandaian tukang kebun itu tidak ada
artinya dibandingkan tingkat Ouw Kan. Menghadapi
terjangan tukang kebun itu, Ouw Kan menyambutnya
dengan ten-dangan kaki kanannya. Cepat dan kuat
sekali tendangan itu. Biarpun tukang kebun itu sudah
berusaha mengelak, tetap saja ujung sepatu Ouw Kan
masih menyambar iganya.
"Krekk....!" Tukang kebun itu terpelanting keras dan
roboh tak dapat bergerak lagi. Tulangtulang iganya
patah-patah dihantam tendangan kaki Ouw Kan! Karena
khawatir kalau banyak orang akan rnelihatnya, dan
merasa yakin bahwa tukang kebun itu juga tewas, Ouw
Kan lalu cepat keluar dari pekarangan itu. Dengan cepat
dia menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah utara.
Melihat seorang kakek menggendong seorang anak
perempuan yang agaknya sakit atau tertidur dipondong
dengan sikap penuh kasih sayang, tentu saja tidak ada
orang yang mencurigainya dan Ouw Kan dapat keluar
dari kota raja dengan aman.
Sementara itu, sepergi Ouw Kan, Perdana Menteri
Chin Kui lalu berusaha keras untuk membujuk Kaisar
Sung Kao Tsu, memperingatkan kaisar bahwa gerakan
penyerbuan yang dilakukan Jenderal Gak Hui itu
sesungguhnya salah sama sekali. Bangsa Kin yang
172

berada di utara selama ini tidak pernah mengganggu


daerah Sung di selatan sehingga kita berada dalam
keadaan tenteram penuh damal, dapat bekerja
membangun kembali kerajaan di daerah yang tanahnya
lebih subur. Mengapa sekarang mencari permusuhan?
Kalau nanti Kerajaan Kin membalas dan menyerbu ke
selatan, bukankah hal itu i akan mendatangkan
kesengsaraan?
"Hamba yang akan mengusahakan minta maaf dan
hamba berani menanggung bahwa Sribaginda Raja Kin
tidak akan melakukan balas dendam terhadap
penyerbuan itu, asalkan paduka segera memerintahkan
Jenderal Gak Hui agar menghentikan penyerbuan dan
menarlk kembali balatentara." Demikian Pefdana Menterl
Chln Kul mengakhlri bujukannya. Kalsar Kao Tsu
menurut, apa lagi ketika para menteri lain juga
mendukung usul Perdana Menteri Chin Kui. Juga pada
dasarnya Kaisar Kao Tsu mernang seorang yang tidak
suka perang. Maka, diapun segera mengambil keputusan
dan dikirimlah utusan dengan perintahnya kepada
Jenderal Gak Hui untuk menghenti-kan penyerbuan ke
utara dan menarik kembali barisannya ke daerah selatan.
Jenderal Gak Hui merasa kecewa, marah dan
menyesal sekall. Dla telah memenangkan pertempuran dl
banyak tempat dan sudah menguasal daerah yang luas.
Akan tetapi karena kesetiaannya, terpaksa dla
menlnggalkan daerah yang telah dlkuasainya itu dan
kemball ke selatan, diiringi tangis kecewa penduduk
daerah yang ditinggalkannya. Akan tetapi dia masih ragu
untuk pulang ke kota ra-Ja dan mendirikan perkemahan di
dae-rah tapal batas. Dia hanya mengutus pa-ra
perwiranya kembali ke kota ra|a dan mengantar laporan
tertulis yang dltujukan kepada Kaisar Kao Tsu.
173

Karena sudah tldak ada pertempuran lagi, Han Si


Tiong dan Liang Hong Yl Juga Ikut pulang dengan
sebagian darl pasukan dan para perwlranya. Kalau di
sepanjang perjalanan, pasukan yang pulang ke kota raja
membawa kemenang" an ini disambut oleh rakyat dengan
gem-bira, setelah memasuki kota raja, dari ( pihak
pemerintah malah tidak ada pe-nyambutan dan
suasananya dingin saja. Hal ini adalah karena perintah
dan pengaruh Perdana Menterl Chtn Kul yang
menganggap barlsan yang menang perang itu bahkan
meruglkan kerajaan!
Betapapun juga, ketika menerima para perwira yang
pulang dan menghadapnya, Kaisar Kao Tsu menerima
mereka dengan baik. Bahkan dla lalu memberi anugerah
pangkat kepada para perwira yang namanya disebut
dalam daftar Jasa yang dikirlm Jenderal Gak Hui. Karena
Han Sl Tiong dan Isterinya dipuji-puji oleh Jenderal Gak
Hul, maka Kaisar Kao Tsu memberl anugerah kedudukan pangllma muda kepada Han Si Tiong dan isterlnya
dan keduanya diangkat menjadi bangsawan! Suaml isteri
inl ialu pulang ke rumah mereka. Tadl bersama para
perwira lain, begitu masuk kota raja mereka langsung
menghadap kaisar. Ini merupakan peraturan datt tidak
boleh dilanggar oleh siapapun juga. Tentu saja mereka
merasa gembira sekali, teruta-ma sekali Hong Yi. Kalau
diingat bahwa tadinya ia hidup dalam rumah pelesir
asuhan Lu-ma dan walaupun ia tidak diperas, namun
tetap saja ia pernah menjadi seorang pelacur! Dan
sekarang, ia memperoleh seorang suami yang baik dan
yang mencintainya, tidak memandang rendah walaupun
suaminya tahu bahwa ia seorang bekas pelacur! Dan ia
telah mempunyai seorang anak yang manis pula.
Sekarang ditambah lagi anugerah dari Kaisar yang
mengangkat ia dan suaminya menjadi bangsawan!
174

Bangsawan yang ber-kedudukan terhormat sebagai


panglima muda! Semua ini sungguh cocok sekali dengan
ramalan yang ia dapatkan dari Kwan Im Bio, kuil dari
Sang Dewi Welas Asih itu. Dengan hati dipenuhi
kebanggaan dan kebahagiaan, bersama suaminya ia
pulang membawa hadiah pedang bengkok bergagang
emas untuk anak mereka.
Akan tetapi, alangkah heran rasa hatl mereka ketika
mereka tiba di depan rumah mereka. Keadaan tempat
tinggal mereka itu hampir tak dapat mereka kenali lagi.
Pekarangannya tak terawat, penuh dengan rumput liar
dan daun-daun, kering. Agaknya sudah lama sekali tidak'
pernah disapu dan dibersihkan. Dinding rumah itupun
kotor dan semua pintu dan jendela di depan tertutup.
Rumah itu tampak sunyi sekali. Sungguh aneh. Seluruh
penduduk kota raja sudah mendengar bahwa sebagian
pasukan yang pergi ber-perang sudah pulang. Mustahil
kalau Lu-ma, pelayan wanita, tukang kebun dan Bi Lan
belum mendengar akan kepulangan rnereka. Mereka
tidak ada yang menyambut?
Dengan hati merasa heran dan tidak enak suami
isteri itu berlari memasuki pekarangan. Setelah hampir
tiba di pin-tu depan, tiba-tiba muncul seorang perajurit dari
pintu samping. Melihat Han Si Tiong dan Liang Hong Yi,
perajurit itu memberi hormat. Tentu saja suami isteri ini
bertambah heran melihat adanya seorang perajurit di
situ.
Han Si Tiong cepat melompat ke depan perajurit itu.
"Hei, siapa engkau dan mengapa berada di sini?"
"Han-ciangkun, saya memang hari ini bertugas
menjaga rumah ciangkun ini." jawab perajurit itu.
175

"Menjaga rumah kami? Kenapa? Dan di mana puteri


kami? Di mana Lu-ma dan para pembancu?" tanya Sl
Tiong sambil mengerutkan alisnya.
Perajurit itu tampak bingung. Dia mengerti bahwa
suami isteri perwira ini belum tahu akan malapetaka yang
menimpa keluarga mereka dan agaknya da| menjadi
orang pertama yang harus rneo-j ceritakannya! Dia
merasa tidak enak sekali harus menyampaikan berita
yang menyedihkan itu.
"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini, ciangkun. Hanya
ada saya yang bertugas jaga hari ini. Kwe-ciangkun
atasan saya yang memerintahkan kami inelakukan
penjagaan di sini secara bergantian dan hari ini tiba
giliran saya."
"Akan tetapi kenapa? Apa yang telah terjadi? Ke mana
perginya semua peng-hunl rumah Ini? Di mana anakku?"
Liang Hong Yl yang sudah tldak sabar lagt bertanya,
suaranya mengandung kegelisahan.
Perajurlt itu menelan ludah beberapaj kali sebelum
menjawab, kemudian memberanikan diri menjawab,
"Ciangkun dan hujin, telah terjadi hal yang menyedihkan
di rumah ini, kurang lebih sebulan yang lalu...."
Han Si Tiong menangkap lengan perajurit itu dan
mengguncangnya. "Apa yang telah terjadi? Hayo cepat
ceritakan!"
Perajurit itu mengangguk - angguk. "Kurang lebih
sebulan yang lalu, di ru-mah ini telah ditemukan Lu-ma
dan pelayan wanita telah tewas, dan tukang kebun
terluka parah...."
176

"Dan anakku? Puteriku Bl Lan....??" teriak Hong Yi


wajahnya menjadi pucat sekali. "Ia.... ia.... hilang. Tidak
ada yang tahu ke mana...."
"Aihhh....!" Hong Yi sudah melompat ke serambi
depan dan mendorong dauh plntu depan. Pintu itu
terpalang dari dalam, akan tetapl dorongari kedua tangan
Hong Yl yang disertal tenaga saktl itu membuat palang
pintu jebol dan daun pintunya terbuka. Hong Yi berlari-lart
memerlksa semua bagian dalam rumah. Kosong! Benarbenar telah kosong, tidak ada seorangpun di situ.
Anakoya tidak ada di rumah itu!
"BiLan....! Bi Lan....!! Bibi Lu-ma...!!" la menjerit-jerit
mernanggil sambil ber-lari ke sanasini mencari-cari, akan
te-tapi tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba Si Tiong
merangkulnya dan melihat su-aminya, Hong Yi
merangkul dan menangis.
"Tiong-ko.... di mana Bi Lan? Dan BiBi Lu-ma? Apa
yang terjadi dengan me-reka?" la menangis tersedu-sedu
di atas dada suaminya.
Han Si Tiong mendekap kepala iste-rinya. "Yi-moi,
tenangkanlah hatimu, Yi-moi. Dalam keadaan seperti ini
kita harus menguatkan perasaan hati. Ingat sepak
terjangmu dalam pertempuran. Engkau seorang wanita
gagah perkasa, harus mampu dan kuat menghadapi
apapun juga. Tenangkanlah hatimu."
Hong Yi menumpahkan kegelisahan-nya melalui
tangis. Setelah tangisnya mereda dan ia mampu
menguatkan hati-nya, ia melepaskan rangkulannya.
Dengan wajah pucat dan sepasang mata merah, ia
bertanya kepada suaminya. "Tiong-ko, bagaimana
177

dengan Bi Lan? Apa yang terjadi dengan anak kita itu?"


"Tenangkan hatimu, Yi-moi. Aku sudah mendengar
cerita perajurlt itu. Bi-bi Lu-ma dan pelayan wanita telah
dibunuh orang. Tukang kebun kita terluka parah akan
tetapi kata perajurit itu, sebelum tukang kebun tewas, dia
sempat dibawa oleh Kwee-ciangkun. Dan anak kita
agaknya dibawa lari pembunuh itu."
"Ahh....! Siapakah yang melakukan ini? Aku
bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku
sendiri. Bi Lan, anak kita.... bagaimana nasibnya....?"
"Tenangkan hatimu. Setidaknya, aku yakin Bi Lan
masih hidup. Kalau penculik itu berniat membunuhnya,
tentu sudah dilakukannya seperti ketika dia membunuh
yang lain. Kalau dia menculik anak kita, itu berarti dia
menginginkan anak kita hidup-hidup dan selama Bi Lan
masih hidup, ada harapan bagi kita untuk dapat
berjumpa lagi dengannya."
,
"Akan tetapi, siapakah yang melakukan kekejian ini?
Siapa yang memusuhi kita seperti ini?"
"Kita tunggu saja. Aku sudah memerintahkan
perajurit tadi untuk mengundang Kweeclangkun ke sini.
Engkau tahu, Kwee-ciangkun adalah sahabat kita yang
baik. Tentu dia mengetahui lebih banyak dari tukang
kebun kita itu."
Tak lama kemudiari muncullah Kwee-clangkun.
Perwira Kwee ini tldak ikut pergi berperang karena dia
bertugas sebagal perwira pasukan penjaga kota raja. Dia
178

bersahabat balk dengan Han Si Tiong dan biarpun dia


tldak termasuk anak buah Jenderal Gak Hul seperti
halnya Sl Tlong, akan tetapl Perwlra Kwee Inl-pun
seorang yang tidak suka kepada Perdana Menterl Chin
Kui.
Begitu diterima oleh Si Tlong dan Hong Yi, Kweeciangkun merangkul sahabatnya itu.. "Han-ciangkun, aku
merasa ikut prihatin atas malapetaka yang menimpa
keluargamu selagi kalian pergi berjuang melawan
penjajah Kin." katanya terharu.
"Terima kasih, Kwee-fciangkuit. Duduklah dan
ceritakanlah sejelasnya kepa-da kami apa yang telah
terjadi dalam rumah kami ini ketika kami pergi
bertempur." kata Han Si Tiong.
Moreka bertlga duduk bertiadapan. Mirang lebih
sebulan yang lalu, tepat-nya mungktn srdah tiga puluh
lima hari, padu suatu pagi aku mendengar laporan dari
anak buahku yang melakukan peron-dten bahwa telah
terjadi pernbunuhan di rumahmu ini. Mula-mula yang
mengetahuinya adalah seorang tetanggamu yang
melihat tukang kebunmu menggeletak di pekarangan.
Mendengar bahwa pembunuhan itu terjadi di rumahmu,
aku sendiri lalu bergegas datang
melakukan
pemeriksaan. Ternyata bukan hanya tukang kebun yang
menggeletak dalam Keadaan terluka parah, melainkan
juga Lu-ma, bibi kallan Itu, dan wanita pembantu rutnah
tangga kallan telah menggeletak tewas di kamar tamu."
"Kwe-ciaogkun, siapa yang melakukan pembunuhan
keji ini? Dan apa yang terjadi dengan anakku Bi Lan?"
Hong Yi bertanya tak sabar.

179

"Tenanglah.
Yl-mol.
Biarkan
Kwee-ciangkun
melanluthan ceritanya." suaminya menenangkannya
Kwee-ciangkun yang bernama Kwee Gi itu, seorang
pria tinggi besar gagah berusia kurang lebih empat puluh
tahun, menghela napas panjang. dan memandang
dengan sinar mata penuh iba kepada Hong Yi. "Pada
saat itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bi Lan
yang tidak berada di rumah. Akan tetapi aku meli-hat
tukang kebun itu masih hidup, maka aku lalu menyuruh
orang memanggil tabib dan merawatnya. Setelah dia
siuman dari pingsannya, aku segera bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. .Sebelum dla tewas
karena luka parah, semua tulang iganya patah-patah, dia
bercerita kepadaku. Katanya pagi hari itu datang seorang
laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, rambut, kumis
dan jeriggotnya le-bat dan sudah putih semua,
mengenakan topl aslng sepertt yang biasa dipakal sukusuku asing di utara dan barat, memegang sebatang
tongkat ular kobra kering, wajahnya menyeramkan
dengan mata lebar dan liar, tubuhnya sedang dan tegap.
Tamu itu datang mencari kalian berdua. Ketika dijawab
bahwa kalian pergi, dia minta bertemu dengan siapa saja
yang berada di rumah. Tukang kebun itu lalu
memberitahu Lu-ma dan tukang kebun itu kembali ke
pekarangan depan, tldak tahu lagi apa yang terjadi di
dalam. Akan tetapi, tak lama kemudian dia me-lihat lakilaki tua itu keluar dari dalam rumah sambil memondong Bi
Lan yang tampak lemas dan anak itu me sangis tanpa
suara. Tukang kebun berusaha untuk merebut kembali
anak itu, akan tetapi penculik itu lihai sekali. Sebuah
tendangan yang amat kuat mematahkan tulang-tulang
iga tukang kebun itu sehing-ga dia roboh pingsan. Nah,
demikianlah ceritanya. Setelah menceritakan semua itu,
diapun menghembuskan napas terakhlr. Ketika aku
180

memeriksa Jenazah Lu-ma dan pelayan Itu, mereka


berdua tewas dengan luka di ulu hati dan di leher. Luka
itu kecil saja, agaknya tertusuk benda tumpul, akan tetapi
di sekitar luka itu berwarna menghitam. Tentu mereka
keracunan hebat sekali dan tewas seketika. Dari
kenyataan itu, jelas bahwa laki-laki tua itu seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Sunyi sekali setelah Kwee-ciangkun menyelesaikan
ceritanya. Suami isteri itu saling berpandangan dan
perlahan-lahan dari kedua mata Hong Yi kemba-li
menetes-netes air mata.
"Tiong-ko, kenalkah engkau dengan jahanam itu?"
tanya Hong Yi sanrbil menahan isak tangisnya.
Sambil mengerutkan alisrtya, Han Si Tiong
menggeleng kepala. "Aku tidak mengenalnya, tidak
pernah melihatnya, mendengarpun belum. Kenapa orang
yang tidak dikenal reelakukan semua kekejaman ini?"
"Akupun tidak mengenal orang dengan gambaran
seperti itu. Akan tetapi kenapa dia menculik anakku?"
Hong Yi mengepal kedua tangannya, kegelisahan,
kedukaan dan kemarahan memenuhi hatinya.
Kwee-clangkun menghela napas panjang. "Kiranya
tldak salah lagi kalau aku mengira bahwa perbuatan
orang yang keji ini tentu merupakan suatu balas dendam"
Akan tetapi kami berdua tidak mengenal orang
macam itu! Bagaimana dia dapat membalas dendam
kalau kita mengenalnyapun tidak? Ada urusan apa
antara orang itu dengan kami?" kata Hong Yi penasaran
sekali.
181

"Tidak selamanya orang yang menden-g dam kepada


kita turun tangan sendiri. Bisa saja dia menyuruh orang
lain yang lihai untuk melaksanakan balas dendamnya itu.
Mungkin saja orang yang membunuh bibi kalian dan
menculik puteri kalian adalah orang suruhan, seorang
pembunuh bayaran." kata Kwee Gi.
Han Si Tiong mengangguk-angguk "Apa yang
dikatakan Kwee-ciangkun itu benar sekali, Yimoi. Tentu
ada orang yang sakit hati kepada kita, yang secara
pengecut membalas dendam kepada keluarga kita.
Betapapun Juga, masih ada harapan bagl kita bahwa
mereka tidak akan mengganggu Bi Lan yang tidak
bersalah apapun kepada mereka."
"Perkiraanmu itu kurasa benar sekali Han-ciangkun.
Kalau pembunuh itu menginginkan kematian anakmu,
tentu hal itu telah dilakukannya di sini, tidak perlu
bersusah payah menculik anak itu keluar dari kota raja
yang tentu saja mengandung resiko ketahuan."
"Aku bersumpah akan mencari penculik itu,
membunuhnya dan merampas kembali anakku' Aku tidak
akan berhenti sebelum dapat menemukannya!" Hong Yi
berkata dengan tegas dan penuh kemarahan.
Si Tiong menghela napas panjang. "Tentu hal itu
akan kita lakukan, Yi-moi, akan tetapi harus dengan
persiapan matang dan sebagai seorang yang memegang
kewajiban, kita harus mengembalikan dulu kedudukan
yang dianugerahkan kepada kita. Ahh, sungguh bertubitubi malapeta-ka menimpa diri kami, Kwee-ciangkun.
Pertama, kami harus ikut berduka dan prihatin karena
Jenderal Gak dipaksa menghentikan gerakannya dan
menarik mundur pasukannya yang sudah mulai
182

memperoleh kemenangan. Kemudian setelah kami


pulang dengan hati berat, kami bahkan dihadapkan
dengan. peristlwa pembunuhan bibi daa dua orang
pembantu kami dan penculikan anak kami." Han Si Tiong
menarik napas panjang lagi dengan wajah diliputi
kedukaan.
"Aku mengerti, Han-ciangkun. Biar-pun engkau dan
isterimu mendapat anu-gerah pangkat panglima muda
dan men-jadi bangsawan, namun hati kalian diliputi
kedukaan. Aku juga mengerti akan keputusan Sribaginda
Kaisar yang mengejutkan itu, yang memerintahkan
Jenderal Gak menghentikan gerakan penyerbuan ke
utara dan menarik mundur tentara-nya. Semua ini garagara bujukan perdana Meteri Chin Kui dan antekanteknya sehingga Sri Baginda Kaisar mengambil
keputusan seperti itu. Djam-diam aku sendi-ri sudah
mengirim orang yang dapat ku-percaya untuk
mengabarkan tentang per-j buatan Perdana Menteri Chin
Kui ini kepada Jenderal Gak Hul." kata Perwira Kwee Gi.
"Hemm, begitukah?" Han 'Sl Tiong mengepal
tinjunya. "Kasihan Jenderal Gak yang gagah perkasa dan
budiman. Kasihan rakyat yang tinggal di sekitar
perbatasan sebelah utara yang tadinya sudah dibebaskan
oleh pasukan kita. Mereka mengantar penarikan mundur
pasu-kan di bawah pimpinan Jenderal Gak de-ngan ratap
tangis. Kalau begitu, untuk apa kami lebih lama lagi
bertugas sebagai perwira? Kwee-ciangkun, kami berdua
akan mengundurkan diri, kami akan pergi mencari puteri
kami sampai dapat kami temukan."
Kwee-ciangkun
dapat
memaklumi
ke-adaan
sahabatnya. Demikianlah, Han Si Tiong dan Liang Hong
Yi lalu mohon ijin untuk mengundurkan diri dan berhenti
183

dari jabatan mereka dengan alasan harus mencari puteri


mereka yang hilang diculik orang. Permohonan berhenti
Ini hanya sampai di tangan Jenderal Ciang Sun Bo yang
berhak menangani urusan Ini. Seperti kita ketahui,
Jenderal Ciang itil adalah anak buah Perdana Menteri
Chin Kui dan dia pernah bentrok dengan Si Tiong dan
Liang Hong Yi karena dia tertarik oleh kecantikan Hong Yi.
Dlu tidak berani mengganggu, suumi isteri itu karena
mereka menjadl para pembantu Jenderal Gak Hul, Oleh
karena itu membaca permohonan suami isteri itu untuk
berhenti dari pekerjaan mereka, tentu saja dia segera
menyetujui.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yl la-lu berkemas,
menjuali harta miliknya lalu meninggalkan kpta raja.
Mereka berdua merantau, mencari-cari puteri mereka.
Akan tetapi penculik itu sama sekali ti-dak meninggalkan
jejak sehingga mereka tidak tahu harus mencari ke
mana. Dari ciri-ciri penculik itu seperti yang diceritakan
oleh tukang kebun mereka kepada Kweeclangkun,
mereka mendengar keterangan dari orang-orang kangouw (su-ngai telaga, dunia persilatan) bahwa yang
dimaksud itu mungkin seorang datuk yang bernama Ouw
Kan dan berjuluk Toat-beng Coa-ong (Raja Lllar Pencabut
Nyawa). Akan tetapl selama bertahun-tahun Inl datuk Itu
hanya dlkenal ssbagai seorang yang datang darl Slnklang dan riamanya amat terkenal dl utara, dl daerah
yang klni dtduduki Kerajaan Kln. Karena itu Si Tiong dan
Hong Yi pergl merantau ke utara, lalu ke Sin-kiang.
Sampai hampir dua tahun mereka merantau dan mencarlcarl, akan tetapi semua usaha mereka sla-sia. Mereka
tldak dapat me-nemukan datuk yang mereka curigai Itu,
bahkan akhirnya di daerah Sin-kiang mereka mendengar
bahwa datuk itu mung-kin sekali sudah tewas, walaupun
tak se-orangpun dapat memastikan akan hal itu dan tidak
184

ada pula yang tahu di mana kuburnya. Juga tidak ada


orang yang da-pat mengatakan di mana adanya Bi Lan
yang diculik itu.
Akhirnya setelah semua usaha mereka sia-sia, Si
Tiong dan Hong Yi meng-hentikan usaha mereka
mencari puterl mereka. Dengan kecewa dan duka mereka lalu membeli sebidang tanah di dekat See-ouw (Telaga
Barat) dan hldup sebagai petani, mengasingkan diri dari
dunla ramai. Mereka hidup sederhana. Sang Waktu
akhirnya mengobati sakit hati dan kedukaan mereka.
Mereka menerima nasib dan hidup sebagai petani,
mendapatkan ketenterartian dan kedamaian di tempat
yang sunyi dan indah itu. Penduduk sekitar telaga yang
indah itu kadang melihat sepasang suami isteri ini
menunggartg keledai mereka di sepanjang tepi telaga
sambil menikmati pemandangan yang indah sekali dari
'tempat itu. Mereka hidup terasing dan jauh dari dusun,
seperti dua orang pertapa. Bah-kan para penduduk
dusun di sekitar tela-ga tidak pernah tahu bahwa
sepasang suami isteri itu adalah bekas panglima dan
telah memperoleh gelar bangsawan darl Kaisar Sung
Kao Tsu!
***
Apa yang terjadi dengan Bi Lan? Mari kita ikuti
perjalanan Ouw Kan datukr yang dikenal dengan julukan
Toat-beng Coa-ong itu, yang berhasil membawa Bi Lan
yang ditotok pingsan dan dipondongnya itu keluar pintu
gerbang kota raja sebelah utara. Orang-orang yang
melihatnya tentu menduga bahwa kakek itu memondong
cucunya yang sedang tldur.
Setelah tiba jauh darl kota raja, Ouw Kan menurunkan
185

Bi Lan dan membebaskan totokannya. Bi Lan yarig


merasa tubuhnya kaku dan lemah, jatuh terduduk. Kini ia
terbebas dari totokan, mampu bergerak dan
mengeluarkan suara. Begitu ia dapat menggerakkan
tangan kakinya, tanpa memperdulikan tubuhnya yang
masih terasa lemah, ia sudah meloncat bangun.
"Kakek jahat, engkau telah membu-nuh nenek,
pelayan dan tukang kebun ka-ni! Aku harus
niembalaskan kernattan mereka!" Setelah mengeluarkan
suara bentakan ini, ia lalu menerjang dan menyerang
kakek itu kalang kabut!
Akan tetapi apa artinya serangan se-orang anak
berusia tujuh tahun? Biarpun Bi Lan sejak kecil telah
digembleng dasar-dasar ilmu silat oleh ayah ibunya, namun tentu saja inenghadapi seorang datuk seperti Ouw
Kan, kepandaiannya itu sama sekali tidak ada artinya.
Sekali tangan kiri kakek itu menyambar, anak itu telah
terpelanting dan terbanting roboh.
"Hemm, anak bandel! Kalau engkau tidak mau
menaatiku dan berjalan sendiri dengan baikbaik, aku
akan membuatmu tidak dapat bergerak seperti tadi
kemudian aku akan menyeretmu!"
Bi Lan adalah seorang anak yang memiliki
keberanian besar. Mendengar ancaman itu ia sama
sekali tidak merasa takut, bahkan kini ia sudah bangkit
dan dengan nekat ia inenyerang lagi! Ouw Kan
menangkap lengan Bi Lan, akan tetapi anak itu cepat
mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kakek itu!
"Uhh'" Ouw Kan yang tidak mengira tergigit
tangannya. Karena merasa nyeri dia lalu mengibaskan
186

tangannya dan kembali Bi Lan terpelanting. Akan tetapi ia


bangkit lagi, mukanya merah karena marah dan ia sama
sekali tidak menangis,
"Kakek iblis! Kubunuh
kembali ia menerjang.

engkau!"

teriaknya

dan

Ouw Kan diam-diam merasa kagum akan kenekatan


dan keberanian anak itu akan tetapi dia juga merasa
terganggu. Kini dia menggerakkan tangan dan sekali jari
tangannya menotok, Bi Lan roboh dengan tubuh lemas
dan kaki tangan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat
mengeluarkan suara dan lapun memaki maki.
"Kakek Jahat! Kakek Iblls! Muka jelek, hatimu lebih
jelek lagi !"
"Hemm, engkau memang bandel dan keras kepala.
Engkau mencari sakit sendiri. Disuruh berjalan sendiri
baik-baik tidak mau, rasakan sekarang aku akan
menyeretmu!" Ouw Kan melepaskan pita rambut Bi Lan
sehingga rambut yang panjang itu terurai lepas.
Kemudian kakek itu menjambak rambut Bi Lan yang lebat
dan hitam, lalu menyeret tubuh yang telentang itu di
belakang.
Tentu saja Bi Lan merasa tersiksa sekali. Belakang
kedua lengan dan kakinya, juga punggung dan
pinggulnya, terasa sakit-sakit karena terseret dan
terantuk batu-batu di jalan. Tubuh bagian belakang itu
lecet-lecet, pakaiannya bagian belakang juga pecahpecah. Rasa pe-dih menusuk tulang. Akan tetapi ia
mengeraskan hatinya, tidak mau berteriak, tidak
mengeluh. Hanya matanya yang menjadi basah dan alr
mata turun ke atas kedua pipinya.
187

Setelah berjalan agak jauh, Ouw Kati merasa kesal


juga harus menyeret tubuh anak itu. Sama tldak enaknya
dengan memondong. Dia berhenti dan menoleh.
Dilihatnya anak itu sama sekali tidak mengeluh,
melainkan mengertakkan gigi dan kedua matanya
mengeluarkan air mata namun sedikitpun tidak terdengar
tangisnya. Anak yang luar biasa, pikirnya kagum. Bagian
belakang tubuh anak itu sudah lecet-lecet berdarah, akan
tetapl la tldak pernah mengeluh, dan sepasang mata
yang jeli itu memandang ke-padanya penuh kemarahan!
"Nah, tidak enak bukan kalau kuseret? Apa sekarang
engkau masih keras kepala dan tidak mau berjalan
sendiri?"
Bi Lan adalah seorang anak yang pemberani dan
keras hati, akan tetapi di samping itu ia juga seorang
anak yang cerdlk bukan main. Pikirannya berjalan cepat.
la sudah melihat untung ruginya. Kalau la berkeras tidak
menaati perintah penculikya, ia akan tersiksa, terluka dan
mungkin akan tewas. Kalau begitu, tentu ia tldak beri
kesempatan lagi untuk membalas semua kejahatan yang
telah dilakukan kakek itu. Sebaliknya kalau ia menaati,
selain penyiksaan yang menghina itu tidak perlu ia
rasakan, juga masih terbuka kesempatan baginya untuk
membalas dan kalau mungkin membunuh kakek ini.
Setelah pikiran secepat kllat ini bekerja, ia lalu
mengatakan keputusan hatinya.
"Baik, aku akan berjalan sendiri." Ouw Kan
tersenyum, merasa menang dan dia lalu membebaskan
totokannya sehingga Bi Lan mampu bergerak kembali. Bi
Lan maklum bahwa menyerang lagi dengan nekat akan
sia-sia belaka. la harus menekan kemarahannya dan
menahan
kesabarannya,
menanti
terbukanya
188

kesempatan yang baik untuk membalas dendam. la


bangkit dan merasa betapa bagian belakang tubuhnya
nyerl sekall, panas dan pedih sehingga tak tertahankan
lagi la menyeringai kesakltan.
Melihat inl, Ouw Kan yang merasa kagum dan suka
mellhat anak perempuan yang pemberanl dan tahan uji
itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya.
"Menghadaplah ke sana, akan kuobati lecet-lecet itu!"'
Bi Lan tidak membantah, lalu berdirl membelakangi
kakek itu. Ouw Kan membuka bungkusan yang terisi obat
bubuk berwarna kuning. Dia menaburkan bubuk kuning itu
pada luka-luka di bagian be-lakang tubuh Bi Lan. Anak
itu merasa betapa panas dan pedih di tubuhnya se-gera
hUang terganti rasa dingin dan nyaman.
"Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita." kata Ouw
Kan. Dia melangkah dan Bi Lan berjalan di sampingnya.
Setelah berjalan tanpa bicara beberapa lamanya, Bi Lan
lalu bertanya, mengatur agar kemarahan tidak muncul
dalam suaranya.
"Engkau ini siapakah, Kek?"
Ouw Kan tersenyum dan mengelus jenggot putihnya
yang lebat. Dari suaranya, anak ini sama sekali tidak
menunjukkan rasa takut. Sungguh seorang anak yang
luar biasa!
"Hemm, mau tahu slapa aku? Aku bukan orang biasa
saja. Namaku Ouw Kan, akan tetapi dunia persilatan
mengenal aku sebagai Toat-beng Coa-ong!"
"Pantas tongkatmu ular kering!" kata Bl Lan sambll
189

memandang ke arah tongkat yang kinl dipegang tangan


kanan kakek itu.
"Ha-ha, engkau cerdlk. Siapa nama-mu?"
"Namaku Han Bi Lan, kek."
"Han Bi Lan? Nama yang bagus." Ouw Kan
mengangguk-angguk. Datuk Ini adalah seorang yang
berwatak aneh dan terkenal kejam sekali. Dia dapat
membunuhi orang tanpa berkedipi Akan tetapi,
betapapun jahatnya, ada juga saatnya dia bersikap
seperti seorang manusia biasa yang dapat tertarik dan
merasa suka kepada seseorang seperti sekarang dia
merasa suka sekali kepatfa anak perempuan yang
dlcullknya ini. Sikap Bl Lan yang pemberanl Itu membuat
dia kagum dan suka.
"Akan tetapi, kek. Engkau yang tidak mengenal aku,
kenapa sekarang menculikku? Dan nenek Lu-ma,
pembantu rumah tangga dan tukang kebun kami, apa
kesalahan mereka terhadapmu? Kenapa mereka kau
bunuh?"
Dihujani pertanyaan ini, Ouw Kan tertawa. Dia adalah
seorang manusia yang tak pernah menyadari akan
kesalahannya. Dia percaya bahwa segala yang dia
lakukan adalah benar, tidak jahat, karena semua
perbuatannya itu ada alasannya! Nafsu daya rendah
memang menjadlkan hati akal pikiran sebagai sarangnya dan melalui hati akal pikiran inilah nafsu setan
membisikkan alasan-alasan untuk membenarkan segala
perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran. Setan
itu cerdik bukan main. Dia niembela se-mua perbuatan
sesat dengan alasan-alas-an yang tampaknya masuk
190

akal dan benar!


"Hemm, engkau ingin tahu mengapa aku melakukan
penculikan dan pembunuhan itu, Bl Lan? Semua Itu untuk
menghukum dosa yang dllakukan ayah ibumu? Mereka
telah membunuh Pangeran Cu Sl dalam pertempuran,
maka Sribaginda Raja Kin lalu menyuruh aku untuk
membalas dendam kematian puteranya."
"Akan tetapi, kenapa aku yang kau culik dan mereka
yang kau bunuh? Kami tidak mempunyai kesalahan
apapun!" Bi Lan membantah.
"Kalau ayah ibumu berada di rumah, tentu mereka
yang akan kubunuh. Akan tetapi mereka tidak berada di
rumah. Yang ada hanya engkau puteri mereka dan
orang-orang itu. Maka engkau yang kuculik dan mereka
kubunuh sebagai pembalasan atas kematian Pangeran
Cu Si."
Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda datang
dari belakang. Ouw Kan berhenti melangkah dan
menengok. Bi Lan juga memutar tubuh. Mereka melihat
seorang laki-laki menunggang kuda datang dari arah
belakang. Ouw Kan lalu berdiri di tengah jalan
menghadang dan mengangkat tangan kiri ke atas
sebagai tanda menghentikan penunggang kuda itu. Kuda
dihentikan, debu mengepul dan laki-laki itu melompat
turun dari atas punggung kudanya. Dia seorang laki-laki
kurang lebih empat puluh tahun dan me-lihat sebatang
golok yang terselip di punggungnya dapat diduga bahwa
dia se-orang yang siap menghadapi gangguan dengan
kekerasan. Seorang tokoh kang-ouw yang mengandalkan
ilmu silatnya untuk membela diri. Mukanya bulat,
tubuhnya kokoh dan sinar matanya mencorong.
191

Alisnya berkerut ketika ia memandang kakek yang


menghentikannya di tengah jalan itu. "Paman tua, ada
keperluan apakah engkau menghadang perjalananku?"
tanya laki-laki itu sambil memandang kepada Bi Lan yang
berdiri di tepi jalan. "Apakah ada sesuatu yang perlu
kubantu?"
"He-he, memang ada yang perlu Kau-bantu, sobat.
Aku sudah tua dan cucuku ini masih kecil. Kami
membutuhkan kudamu untuk melanjutkan perjalanan
kami. Maka, engkau lanjutkan perjatanan dengan jalan
kaki dan tinggalkan kudamu untuk kami pakai." kata Ouw
Kan dengan senyum.
"Dia bohong! Aku bukan cucunya. Dia bukan kakekku,
dia menculikku!" tiba-tiba Bi Lan berteriak. la melihat
sikap gagah laki-laki itu dan mengharapkan pertolongan
darinya.
Laki-laki itu mengerutkan alisnya semakin dalam dan
memandang kepada Ouw Kan dengan tajam penuh
selidik. "Ehh? Benarkah itu, paman tua?"
Sikap lembut Ouw Kan lenyap, ter-ganti pandang
mata mencorong dan sua-ranya juga ketus. "Jangan
mencampuri urusanku. Berikan saja kudamu itu
kepadaku!"
"Hemm, engkau sudah menculik seorang anak
perempuan dan kini hendak merampas kudaku? Orang
tua, jangan engkau berani main-main di depanku!
Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah orang yang
disebut Hui-liong Sin-to (Go-lok Sakti Naga Terbang)!
Minggirlah dan jangan ganggu. aku lagi dan biarkan aku
mengantarkan anak ini kembali ke orang tuanya. Barulah
192

aku mau mengampunimu!"


"Heh-heh-heh, kalau begitu terpaksa gku harus
membunuhmu!" kata Ouw Kan tertawa sambil
menggerakkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur ke
arah dada laki-laki itu. Akan tetapi orang yang mengaku
berjuluk Hui-liong Sin-to itu dengan tangkas dan gesitnya
menge-lak ke belakang dan sekali tangan kanannya
meraba punggung, tampak slnar berkelebat dan
sebatang golok yang amat tajam telah berada dl tangan
kanannya.
Ouw Kan tidak perduli. Serangan pertamanya yang
dapat dihindarkan lawan itu membuatnya penasaran dan
diapun menyerang lagi. Kini tongkat ular kobra itu
membuat gerakan melayang dan melingkar-llngkar
menyerang ke arah titik-titik jalan darah maut di bagian
tubuh lawannya. Hui-llong Sin-to terkeJut bukan matn,
mengenal serangan yang amat ber-bahaya. Dia cepat
memutar goloknya me-nangkls sambil mengerahkan
tenaga de-ngan maksud untuk mematahkan tongkat ular
kobra kerlng itu.
"Tranggg ........ ! !'' Tampak bunga apl ber-pijar dan
bukan tongkat ular itu yang patah, melainkan golok Itu
terpental dan hamplr saja terlepas dart tangan pemegangnya. Laki-laki itu terkejut bukan main. Dia adalah
seorang ahli silat yang kenamaan dan tergolong jagoan
sehingga memperoleh julukan Golok Sakti Naga
Terbang. Goloknya amat terkenal dan jarang
menemukan tanding. Akan tetapi sekali ini berhadapan
dengan seorang kakek, tongkat ular kering kakek itu
dapat membuat goloknya terpental! Tahulah dia bahwa
dia berhadapan dengan seorang lawan sakti. Akan tetapi
dia tidak mendapat kesempatan untuk berpikir karena
193

tongkat yang sudah berubah menjadi gu-lungan sinar


hitam itu sudah menyambar lagi ke arahnya.

JILID 6
Hui-Liong Sin-To terpaksa menangkis lagi sambil
terhuyung ke belakang. Ouw Kan menggerakkan tangan
kirinya, dengan telapak tangannya dia men dorong ke
arah dada lawan.
"Robohlah!" bentaknya.
Serangkum tenaga dahsyat menyambar dan tubuh
orang itu terpental ke be!akang dan terbanting roboh.
Goloknya terlepas darl tangannya dan tubuh itu terkulal
lemas. Matanya terbelalak memandang Ouw Kan yang
berdlrl sambll tersenyum mengejek. Telunjuk tangan
kanannya dlangkat menuding dan rnulutnya yang
mengeluarkan darah segar bertanya, "Siapa.... siapa
........ engkau ........ ?"
"Toat-beng Coa-ong Ouw Kan namaku!" kata Ouw
Kan. Orang Itu tampak terkejut sekali. , "Toat-beng Coaong ........ ? Ahhhh .... mati aku ........ !" Dia terkulai lagi
dan diam tak bergerak, tewas seketika karena pukulan
Ouw Kan tadi mengandung hawa beracun yang amat
dahsyat.
Bi Lan menonton dengan mata terbe-lalak dan hatl
merasa ngeri. Kjni sadarlah anak inl bahwa penculiknya
adalah seorang yang saktl dan berbahaya sekall. Tahulah
la bahwa la tidak mungkin akan dapat terlepas darl
cengkeraman kakek inl mempergunakan kekerasan. la
194

mena-han kebenciannya yang makln mendalam melihat


betapa kakek Itu demlkian mudah nya membunuh orang,
hanya untuk merampas kudanya.
Ouw Kan menghampiri Bi Lan dan tersenyum, lalu
berkata dengan nada bangga. "Hah, orang macam itu
berani melawan aku! Mencari mampus sendlri. Hayo, Bi
Lan, kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang
kuda."
Bi Lan tldak membantah ketika la diangkat dan
didudukkan dl atas pung-gung kuda. Kemudian kakek Itu
melompat dan duduk di belakangnya. Kuda dilarikan
meninggalkan tempat itu. Bi Lan menoleh memandang
ke arah pemilik kuda yang menggeletak tanpa nyawa di
atas tanah dan ia mulai merasa ngerl.
"Bl Lan, kalau engkau bertemu orang mengatakan
bahwa aku menculikmu laiu orang Itu menantangku, dia
tentu akan matl dl tanganku dan engkaulah yang
menyebabkan kematlannya Itu," kata Ouw Kan.
Bl Lan merasa ngerl, Kakek inl lihal bukan maln dan
ia tahu bahwa ucapen kakek itu bukan sekedar gertak
kosong belaka.
"Habls, apa yang harua kukatakan kepada orang?
Engkau memang menculikku." Jawabnya. "Engkau akan
membawaku ke mana, kek? Apa yang akan kaulakukan
denganku? Kalau engkau hendak membunuhku, kenapa
tldak kaulakukan sekarang?"
"Heh-heh, aku suka melihatmu dan sayang kalau
engkau dibunuh, Bl Lan. Aku akan membawamu ke utara
dan me-nyerahkanmu kepada Srlbaginda Raja Kin yang
195

kematian puteranya. Terserah kepadanya apa yang akan


clilakukannya terhadap dirimu."
Bi Lan mengerutkan 'altsnya. Hatiriya merasa
khawatir sekali. Raja Kin itu mendedam sakit hati kepada
ayah ibunya yang telah membunuh puteranya da-lam
perang. Kalau ia terjatuh ke tangan raja itu, teittu akan
celaka hidupnya. Raja itu tentu akan melampiaskan
dendamnya. Mungkin ia akan dibunuh, atau disiksa. Atau
la akan disandera dan dijadikan umpan untuk
memancing datangnya ayah ibunya! Ah, gawat sekali
kalau begitu. Akan tetapi ia diam saja.
Siang hari itu panasnya bukan main. Ouw Kan
menghentikan kudanya dan mereka turun dari atas
punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada
sebatang pohon, Ouw Kan mengajak Bl Lan duduk dl
bawah pohon yang teduh. Jalan pegunungan itu sunyi
sekali.
"Perutku lapar, kita makan dulu." katanya dan dia
mengeluarkan ssebuah bung kusan yang berisi roti kering
dan daging kering. "Kita makan seadanya dan minum
anggur ini." Ternyata kakek itu membawa seguci anggur.
"Aku tidak suka minum anggur. Di sana ada alr, aku
ingln minum air." kata Bi Lan, menunjuk ke arah alr yang
mengucur darl celah-celah batu padas.
Karena ia tldak Ingin kelaparan dan, kehabisan
tenaga, Bl Lan makan rotl dan daglng kerlng, dan mlnum
alr yang ditampung dengan kedua tangannya. Ouw Kan
endlrl makan rotl dan daging kerlng lalu la minum
anggur sampai habls setengah guci.

196

Dalam. keadaan hampir mabuk dia lalu merebahkan


diri di atas rumput dl bawah pohon Itu dan sebentar saja
dia sudah tldur mendengkur!
Bi Lan duduk dl rumput dan memandang kakek Itu
dengan Jantung berdebar. Inilah aaatnya, piklrnya. Saat
yang memberl kesempatan kepadanya untuk meloloskan
diri, untuk melarlkan diri! la menanti sampai dengkur
kakek itu terdengar teratur dan panjang-panjang, tanda
bahwa tidurnya sudah pulas benar. la bangkit berdirl,
perlahan-lahan sambil terus mengamati kakek itu. Tidak
ada tanda-tanda bahwa kakek itu memperhatikannya. la
memutar tubuhnya, kemudian berjingkat rnelangkah
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi baru belasan
langkah ia berjalan, tiba-tiba tubuhnya seperti ditarik oleh
kekuatan yang taktam-pak sehingga ia terhuyung ke
belakang dan jatuh terduduk di tempatnya yang tadi! la
memutar tubuh melihat beta-pa kakek itu masih
mendengkur! Bi Lan menjadi penasaran sekali. Kembali
ia bangkit berdiri dengan hati-hati dan kini ia melangkah
meninggalkan tempat itu sambil mundur, matanya tetap
meman-dang ke arah kakek yang masih tidur
mendengkur.
Setelah mundur belasan langkah, la irtelihat kakek
yang maslh mendengkur itu tlba-tiba menggerakkan
tangan ke arahnya dan .... kembali ada tenaga yang
amat kuat menariknya ke depan. Betapa-pun ia berusaha
untuk bertahan, tetap saja tubuhnya tertarlk kembali ke
depan dan ia jatuh terduduk di tempatnya yang tadi, tak
jauh dari tubuh kakek yang re-bah telentang dan tidur
mendengkur itu!
Hati Bi Lan menjadi gemas sekali. Mengertilah ia
bahwa kakek sakti itulah yang membuat tubuhnya selalu
197

tertarik kembali. Entah bagaimana, dalam keada-an tidur


mendengkur kakek itu mampu mencegahnya melarikan
diri! Kempirah-an membakar hatinya. Sekaranglah
kesempatan itu terbuka baginya. Makin lama ia akan
semakin jauh di daerah uta-ra dan akan makin kecillah
harapar untuk dapat meloloskan diri. Kalau kakeK ini,
biarpun dalam tidur, dapat menghalanginya melarikan
diri, satu-satunya jalan harus membunuhnya lebih dulu!
Bi Lan menjadi nekat. Di dekatnya terdapat seborgkah
batu sebesar kepalanya. la mengambil. batu itu dan
mengangkatnya dengan ke-dua tangannya. Lalu ia
menghampiri Ouw Kan. Dengan mengerahkan seluruh
tena-ganya ia membanting batu itu, menimpakannya ke
arah muka Ouw Kan yang tidur telentang di atas rumput!
"Wuuuttt.... bukkkk!" sungguh aneh. Dia masih
mendengkur, akan tetapi ketika batu ttu menlmpa,
kepalanya bergerak ke samping sehingga batu itu
menghantam tanah, tidak mengenai mukanya! Bi Lan
menjadi penasaran sekali. Diambilnya lagi batu itu dan
ditimpakan lagi ke arah muka. Namun, sampai tiga kali ia
mengulang, tetap saja hantamannya itu . tidak pernah
mengenai muka kakek itu. Bi Lan menjadi penasaran
sekali dan untuk ke empat kalinya ia menimpakan batu
itu sekuat tenaga ke atas dada Ouw Kan! Sekali ini kakek
itu tidak dapat mengelak dan batu itu tepat menehantam
dadanya.
"Bukkk....! !" Bi Lan terpental sampai tiga meter,
seperti dilontarkan tenaga yang amat kuat dan batu itu
terlepas dan kedua tangannya, terpental lebih jauh lagi.
Tubuh Bi Lan terbanting keras ke atas tanah sehingga
pinggulnya tera-sa nyeri.
Ouw Kan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua
198

matanya seperti orang baru bangun tidur, memandang


kepada Bi Lan. lalu bangkit berdiri. Bi Lan juga bangkit
berdin walaupun pinggulnya terasa nyeri. la maklum
bahwa ia tidak mungkin da-pat terbebas dari kakek ini.
Kesempatan baik tadi telah ia pergunakan, akan tetapi
ternyata kakek itu seorang yang a-mat sakti. Sedang
dalam keadaan tidur saja kakek itu dapat menggagalkan
usahanya menyferang untuk membebaskan diri, apalagi
dalam keadaan sadar. Dan ia dapat membayangkan
betapa ngeri na-sibnya kalau terjatuh ke dalam tangan
Raja Kin yang mendendam kepada ayah ibunya.
"Tidak! Aku tidak mau kaubawa lagi! Biar kaubunuh
aku, aku tetap tidak mau ikut denganmu!" teriak Bi Lan
dengan nekat.
Ouw Kan tertawa bergelak. Dia me-rasa semakin
suka kepada anak yang pemberani, nekat dan tidak takut
mati ini. "Ha-ha-ha, Bi Lan. Apa kaukira engkau akan
dapat- menolak kalau aku membawamu pergi?" Dia lalu
berkemak-kemik membaca mantera dan mengerah-kan
kekuatan sihirnya, lalu berkata de-ngan suara yang lembut
namun mengan-dung wibawa yang kuat sekali. "Bi Lan,
anak baik! Ke sinilah, engkau harus patuh dan ikut
denganku, ke manapun kubawa engkau pergi!"
Ada sesuatu yang teramat kuat mendorong Bi Lan,
baik mendorong hatinya dan kedua kakinya sehingga ia
me!angkah maju, menghampiri kakek itu. Akan tetapi baru
tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara tawa
yang nyaring dan tiba-tiba saja kekuatan yang
mendorong Bi Lan itu lenyap.
"Tidak, tidak!" Bi Lari berhenti dan menggeleng
kepalanya. "Aku tidak sudi ikut denganmu. Engkau kakek
199

jahat, telah membunuh nenek, pelayan dan tukang kebun


kami. Aku benci padamut"
Ouw Kan merasa terkejut sekali melihat betapa
pengaruh sihirnya atas diri anak itu punah. Dia tahu
bahwa suara tawa tadilah yang memunahkan kekuatan
sihirnya. Dia merasakan getaran he-bat terkandung
dalam suara tawa itu.
"Omitohud! Toat-beng Coa-ong Ouw Kan di manamana mendatangkan kekacauan belaka. Anak sekecil
inipun hendak dipaksanya. Uih, sungguh mernalukan
sekali seorang datuk besar sampai dimakl-maki anak
kecil!"
Ouw Kan cepat memutar tubuh ke kanan dan dia
melihat kakek itu! Seo-rang kakek yang berusia sekitar
enam puluh tahun, berjubah kuning dengan kotak kotak
merah, kepalanya gundul mengenakan peci kain kuning.
Tubuhnyating-gi besar berperut gendut dan bajunya tidak
terkancing sehingga dadanya tampak. Mukanya bulat
dan semua anggauta tu-buh kakek ini tampak kebulatbulatan. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat
panjang berkepala naga. Tentu saja Ouw Kan menjadi
terkejut dan juga marah sekali. Baru beberapa bulan dia
bertemu dengan kakek ini yang bukan lain adalah Jit
Kong Lama, pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti itu.
Per-nah dia dan Ali Ahmed datuk suku Hui itu
berhadapan dengan Jit
Kong Lama dan memperebutkan kitab-kitab yang
dibawa Tlong Lee Cin-jin dan dia bersama Ali Ahmed
kalah melawan kakek gundul dari Tibet Inl.
"Jit Kong Lama!" Ouw Kan membentak marah. "Tidak
200

malukah engkau seba-gai seorang datuk besar hendak


mencampuri urusan orang lain? Urusanku dengan anak
ini sama sekalt ttdak ada ahgkui pautnya dengan dirimu,
karena itu pergilah dan jangan mengganggu kami!"
"Ha-ha-ha! Ouw Kan, pinceng (aku) tidak sudi
mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi pinceng ingin
inencampuri urusan anak ini. Kalau ia memang suka
kaubawa pergi, pinceng tidak akan peduli. Akan tetapi
kalau ia tidak mau kau bawa pergi, setelah ada pinceng di
sini, engkau tidak boleh memaksanya."
Mendengar ucapan hwesio gundul berjubah aneh itu,
Bi Lan cepat berkata dengan lantang. "Losuhu yang baik,
dia itu orang jahat sekali!" Telunjuknya menuding ke arah
muka Ouw Kan. "Aku tidak sudi ikut dengan dial" .
Jit Kong Lama tertawa lagi. "Ha-ha-ha, Ouw Kan,
engkau sudah mendengar sendiri dengan jelas! Anak Ini
tidak tnau ikut denganmu, maka pergilah' linggal-kan ia
dan jangan menggunakan paksaan
Ouw Kan menjadi marah bukan main. la amat
membutuhkan diri Bi Lan untuk dijadikan bukti
keberhasilan tugasnya kepada Raja Kin. Dia tidak berhasil
membunuh Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, sekarang
harus gagal lagi menculik anak mereka. Membunuhi
nenek dan dua pela-yan itu, tentu saja tidak ada artinya
bagi pembalasan dendam kematian Pangeran Cu Si.
Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh. Baru beberapa
bulan yang lalu, bersama Ali Ahmed sekalipun mere-ka
tidak mampu menandingi Jit Kong Lama. Apalagi
sekarang harus melawan seorang diri! Dia tidak sebodoh
itu untuk mencari penyakit melawan orang yang jauh
lebih, kuat dari padanya.
201

"Anak ini aku yang membawanya sampai di sirai.


Kalau ia tidak mau ikut, biar ia $rarnpus saja!" Setelah
berkata demikian, tiba-tiba dengan gerakan ce-pat sekali
tubuhnya sudah melompat ke arah Bi Lan dan tongkat
ular kobra itu meluncur ke arah kepala anak perempuan
itu.
"Trakkk!" tongkat itu bertemU ujung tongkat naga di
tangan Jit Kong Lama sehingga terpental dan tubuh Ouw
Kan agak terhuyung ketika ia terdorong ke belakang.
"Omitohud! Apa kaukira pinceng ini patung? Anak ini
tidak sudi kau bawa, apalagi kaubunuh! Karena ia tidak
mau, pinccng harus membelanya!" Jit Kong Lama
melintangkan tongkat kepala naga di depan dadanya.
Ouw Kan memandang dengan mata berapi, akan
tetapi dia menahan diri dan tidak berani menyerang. "Jit
Kong La-ma, sekali ini aku mengalah kepadamu. Akan
tetapi ingatlah bahwa aku bertttgas sebagai utusan
Sribaginda Raja Kin dan campur tanganmu ini berarti
engkau telah berdosa terhadap KeraJaan Kin!"
"Ha-ha-ha, ancamanmu itu tidak ada artinya bagi
pinceng. Pinceng bukan war-ga negara Kin, maka
pinceng tidak berdosa kepada kerajaan manapun!"
Setelah melotot kepada pendeta Lama dan Bi Lan,
Ouw Kan lalu memutar tubuhnya, berlari ke arah kuda
yang dltam-batkan pada batang pohon, melepas kendali
kuda lalu melompat ke atas punggung binatang itu dan
cepat meninggalkan tempat itu.
Kini pendeta Lama itu berdiri berhadapan dengan Bi
Lan. Mereka saling pan-dang dan memperhatikan.
202

Sebagai anak Cerdik Bi Lan tahu bahwa kakek gundul ini


telah menolongnya dan ia ha-rus berterima kasih
kepadanya. Maka ia-pun maju menghampiri dan
menjatuhkan diri berlutut di depan Jit Kong Lama.
"Losuhu telah menolong saya dan membebaskan saya
dari tangan pembunuh dan penculik itu. Saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada losuhu."
Jit Kong Hwesio membungkuk ctan menggunakan
tangan kirinya untuk mera-ba-raba dan menekan-nekan
kepala, kedua pundak dan punggung Bi Lan. Anak itu
merasa heran dan tidak enak diraba-raba seperti ku, akan
tetsipi ia diam saja.
"Bangkitlah, anak baik. Siapa namattiu dan di mana
tempat tinggalmu?"
Bi Lan bangkit berdiri. "Saya bernama Han Bi Lan
dan tempat tinggal saya dl kota raja Hangchou."
"Omitohud! Begitu jauhnya dia membawamu? Dari
Hang-chou ke sini? Wah, perjalanan dari sini ke Hangchou dengan" berjalan kaki akan makan waktu puluhan
hari! Bagaimana engkau akan dapat pulang sendiri, Bi
Lan? Di dalam perjalanan sejauh itu, engkau tentu akan
bertemu banyak orang jahat. Engkau mungil dan cantik,
tentu banyak orang jahat tidak akan
melepaskanmu begitu saja."
Mendengar ini, kembali" Bi Lan men-jatuhkap dirinya
berlutut. "Lo-suhu, mohon losuhu jangan kepalang
menolong saya. Kalau losuhu sudi menolong saya
mengantarkan saya pulang ke Hang-chou, pasti saya
akan sampai di rumah dengan selamat dan kedua orang
203

tua saya tentu akan berterima kasih sekali kepada


losuhu." Bi Lan belum mau menyebutkan nama ayah dan
ibunya, karena la beluin mengenal slapa sebenarnya
kakek Inl dan la tldak tahu apakah kakek ini tidak
memusuhl ayah Ibunya.
"Omltohud ........ untuk melindungimu engkau harus
menjadi muridku dan pinceng melihat
engkau bertulang baik, pantas menjadi muridku ........
"
"Teecu suka menjadi murid suhu!" Cepat Bi Lan
menyambar tawaran ini.
"Omitohud! Tidak ringan syaratnya untuk rtienjadi
muridku, Bi Lan. Sampai hari ini pinceng belum pernah
menerinia murid dan kalau engkaii memang berjodoh
menjadi muridku, engkau harus memenuhi syarat itu."
"Apakah syarat itu, suhu? Teecu (murid) tentu akan
bersedia untuk memenuhl-nya!" kata Bi Lan dengan
penuh semangat.
"Ada dua syarat yang harus kaupenuhi. Pertama,
engkau harus mengikuti aku selama sepuluh tahun dan
selama itu engkau tidak boleh pergi ke manapun juga,
tidak boleh pulang ke rumah orang tuamu. Dan syarat ke
dua, setelah sepuluh tahun menjadi muridku, engkau
boleh pergi dan pulang kepada orang tuamu, akan tetapi
engkau harus mencari sampai ketemu dan membunuh
seorang musuh besarku yang bernama Tiong Lee Cin jin.
Nah, sanggupkah engkau memenuhi. kedua syarat itu?"
Bi Lan yang masih berlutut itu tertegun. Syarat ke dua
204

itu tidak perlu ia ragukan lagi. Siapapun musuh gurunya,


sudah menjadi kewajibannya untuk menentang musuh
besar gurunya. Akan tetapi syarat pertama itulah yang
berat. la ta-di mau menjadi murid Lama itu agar ia dapat
cepat diantar pulang. Akan tetapi syarat itu menghendaki
agar selama se-puluh tahun ia tidak boleh pulang ke
rumah orang tuanya! la mempertimbang-kan syarat itu.
Kalau ia menolak, ia harus pulang sendiri, padahal Hangchou begitu jauh, perjalanan begitu lama dan hampir
dapat dipastikan ia akan celaka di tangan orang-orang
jahat di sepanjang perjalanan jauh itu. Kalau ia
menerinna, biarpun selama sepuluh tahun ia berpisah
dari orang tuanya, akan tetapi setelah sepuluh tahun
lewat, ia akan dapat bertemu kembali dengan mereka.
Selain itu, ia akan mendapatkan ilmu-ilmu yang tinggi
dari gurunya.
"Hei, bagaimana ini? Kenapa diam saja? Kalau tidak
mau, sudahlah, pinceng inau pergi." "Mau, suhu, teecu
mau dan sanggup!" teriak Bi Lan cepat
"Benarkati
engkau
sanggup?
Kalau
bersumpahlah, disaksikan Langit dan Bumi!"

begitu,

Sejak kecil Bi Lan sudah diajar sastra oleh kedua.


orang tuanya, maka ia pernah membaca tentang orang
bersumpah. Sambil masih berlutut ia merangkap kedua
tangan dan mengangkatnya ke atas, lalu bersumpah
dengan suara lantang, "Disaksikan Langit dan Bumi, saya
Han Bi Lan bersumpah akan menjadi murid dari suhu
........ Jit Kong Lama...." Sampai di sini Bi Lan menoleh
kepada kakek itu dan Jit Kong Lama menganggukkan
kepala
membenarkan. " ........ saya akan menaati
205

semua perintahnya, selama sepuluh tahun tidak akan


meninggalkannya dan setelah tamat belajnr saya akan
pergl mencarl dan membunuh musuh besar suhu yang
bernama Tlong Lee Cin-jtn!"
Jlt Kong Lama tertawa dan mengang-guk-angguk
dengan gamblra sekali. Tadl dia telah meraba dan
inenekan kepala dan tubuh anak itu dan dia mendapat
kenyataan bahwa Bi Lan adalah seorang anak
perempuan yang bertulang baik dan berbakat sekali. la
akan menjadi seorang murld yang baik sekali. Watak
datuk inl? memang aneh. Dia tidak ingin tahu siapakah
orang tua anak itu. Dia tidak perduli. Yang penting
baginya adalah anak itu, bukan orang tuanya. Maka
diapun tidak bertanya lagi siapa ayah ibu anak itu dan Bi
Lan juga diam saja.
"Mari kita pergi, Bi Lan." Jit Kong Lama menggandeng
tangan anak itu dan dia berlari cepat sambil
menggandeng. Bi Lan terkejut sekali. la merasa tubuhnya seperti melayang karena kedua kakinya kadang tidak
menginjak tanah. Saking cepatnya mereka meluncur, Bi
Lan memejamkan kedua matanya, apa lagi kalau kakek
itu membawanya melompatl jurang yang lebar dan dalam.
Jlt Kong Lama tldak berani kembali ke Tlbet dan dia
membawa Bi Lan ke sebuah di antara puncak-puncak
yang terpencll di Pegunungan Kun-lun-san. Dusun-dusun
kecil di sekitar tempat itu dihuni sedikit penduduk yang
bekerja sebagai petani dan mereka menganggap Jit
Kong Lama sebagai seorang pendeta yang bertapa di
puncak itu, ditemani seorang murid perempuan. Jit Kong
Lama dan Bi Lan hidup secara sederhana di puncak itu
dan mulai hari itu dia menggembleng muridnya dengan
tekun. Bi Lan juga berlatih dengan rajin sekali. Anak
206

perempuan kecil itu sudah mempunyai cita-cita untuk


menjadi seorang pendekar wanita agar kelak, selain
dapat inembalas dendam gurunya terhadap musuh
besarnya, juga ia ingin mencari Ouw Kan untuk
membalaskan kematian neneknya, juga pelayan dan
tukang kebun mereka. Cita-cita inilah yang membuat anak
itu bertahan dan belajar dengan penuh semangat
walaupun terkadang ia merasa rindu sekali kepada ayah
ibunya,
***
Kalau tidak diperhatikan tidak dlrasakan, sang waktu
melesat dengan amat cepatnya, lebih cepat daripada
apapun Juga. Tanpa terasa, bertahun-tahun lewat seolah
baru beberapa hari saja. Seorang tua yang mengenang
masa kanak-kanaknya, merasa seolah masa itu baru
iewat beberapa hari saja, padahal sudah pdluh-an tahun
berlalu. Sebaliknya kalau diperhatikan dan dirasakan,
sang waktu merayap lebih lambat daripada siput
sehingga sehari rasanya seperti sebulan. Menanti?
sesuatu atau seseorang yang terlambat satu jam saja
rasanya seperti sudah terlambat sehari!
Demikianlah, tanpa terasa sepuluh tahun telah lewat
sejak Souw Thian Liong mengikuti Tiong Lee Cin-jin
sebagai murid pertapa yang sudah berkelana itu. Tiong
Lee Cln-jin mengajak Thlan Liong pergi ke Puncak
Pelangi, sebuah di antara banyak puncak di Pegunungan
Gobi. Di puncak yang indah namun sunyi ini Tiong Lee
Cln-Jin membangun sebuah pondok dari kayu dan
barnbu yang sederhana namun kokoh kuat. Dlbantu
Thlan Liong, dia membersihkan pondok itu dan bekerja
mencangkul dengan tekun setiap hari sehingga beberapa
bulan kemudian di depan dan kanan kiri pondok terdapat
207

taman yang penuh tanaman bunga beraneka warna dan


belakang pondok terdapat sebuah kebun yang luas. Dia
mena-nam segala macam sayuran, pohon-pohon buah
dan juga tanaman obat-obatan.
Tiga empat tahun kemudian, karena kebiasaan dan
kesukaan Tiong Lee Cin-jin menolong dan mengobati
penduduk dusun sekitar puncak itu yang menderita sakit,
dan pengobatannya itu selalu berhasil menyembuhkan,
maka dla dikenal sebagai Tabib Dewa! Kemudian
berdatanganlah para penduduk membawa orang sakit ke
Puncak Pelangi untuk minta obat kepada Tabib Dewa.
Setelah dibutuhkan banyak orang, Tiong Lee Cin-jin
menanam lebih banyak lagi tumbuh-tumbuhan yang
mengandung ,obat.
Thian Liong digembleng ilmu silat setiap hari. Anak ini
memang rajln sekali, bukan hanya rajin berlatih silat,
melainkan juga rajin membantu suhunya sehingga diapun
hafal akan semua jenis tanaman obat. Akhirnya Thian
Liong juga mempelajari ilmu pengobatan dan suhunya
yang bijaksana juga mengajarkan ilmu sastra kepadanya.
Demikianlah, setelah lewat sepuluh tahun, Thian Liong
telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh
tahun. Bentuk tubuhnya sedang dan tegap, kulitnya putih
karena sejak kecil tinggi di puncak bukit. Rambutnya
hitam panjang dan lebat, alisnya berbentuk golok,
matanya tajam mencorong namun bersinar lembut,
hidungnya
mancung
dan
mulut-nya
selalu
membayangkan senyum penuh pengertian dan
kesabaran. Mukanya agak bulat namun dagunya runcing.
Lang kahnya tenang dengan tubuh tegak. Pa-kaian dan
sikapnya yang bersahaja dan rendah hati itu sama sekali
tidak menunjukkan bahwa pemuda ini seorang yang
208

telah memiliki ilmu yang tinggi, yang membuat dia


menjadi seorang sakti yang lihai sekall. Kerendahan
hatinya itu wajar, sudah lahlr batin dan mendarah daglng,
karena sudah meresap benar ke dalam Jiwanya nasihat
gurunya yang beru-lang kali sejak dia pertama kali
menjadi muridnya.
"Ingat selalu, Thian Liong. Kita manusia ini hanya
merupakan seonggok darah daging dan tulang yang
lemah dan tidak bisa apa-apa kalau tidak ada Kekuasaan
Tuhan yang bekerja dalam diri kita. Karena itu ingatlah
selalu bahwa apapun yang dapat kita lakukan dalam
hidup ini, baik melalui pikiran, kata-kata dan perbuatan,
semua itu hanya mungkin kare-na Kemurahan Tuhan.
Tuhanlah yang Maha Kuasa, Maha Pintar, Maha Bisa,
Maha Ada, dan Maha Segalanya sejak dahulu, sekarang,
kelak dan selama-lamanya. Kita ini hanya menjadi
alatNya. Maka ingatlah selalu agar engkau menjadi alat
Tuhan yang baik, karena kalau tidak, besar bahayanya
onggokan darah daging dan tulang ini akan diperalat oleh
Iblis."
Nasihat ini sudah meresap dalam jiwa dan hati
sanubari Thian Liong, maka dia selalu merasa bahwa
dirinya tidak bisa apa-apa dan kalaupun ada yang dapat
dia lakukan, hal itu dapat terjadi karena Kekuasaan
Tuhan yang membimbingnya.
Thian Liong mendapat kemajuan pesat dalam ilmu,
sastra karena gurunya memiliki banyak kitab kuno yang
harus dibacanya sampai habis. Kitab pelajaran filsafat
dan agama telah dibacanya semua dan sering kali Tiong
Lee Cin-jin mengajak dia merenungkan dan mempelajari
inti pelajaran kitab-kitab itu. Thian Li-ong tahu bahwa
gurunya itu condong kepada To-kauw (Agama To) dan
209

pandangan hidupnya banyak dipengaruhi filsafat da-lam


Kitab To-tek-keng. Akan tetapi gurunya juga tidak
mengesampingkari ajaran-ajaran dari semua agama lain.
Diambilnya ajaran-ajaran yang seirama, dan ini banyak
sekali, dari agamaagama itu dan dikesampingkannya
sedikit perbedaan yang ada mengenai sejarah,
kepercayaan, dan upacara.
"Ketahuilah Thian Liong. Yang kita sebut Thian,
Tuhan Yang Maha Kuasa itu mutlak Maha Ada dan Maha
Benar. Kalau orang-oraog saling membicarakan dan
mempertentangkan maka akan tim-bul bentrokan dan
perselisihan. Hal ini terjadi karena mempertentangkan itu
adalah hati akal pikiran kita yang sudah diperalat nafsu.
Hati akal pikiran kita terlalu kecil sekali untuk dapat
mengu-kur Keberadaan, Kebesaran, dan KebenaranNya. Hati-akal-pikiran hanya akan membentuk aku
ya.ng selalu minta dibe-narkan, aku yang selalu merasa
pintar, selalu merasa benar sendiri, paling me-ngerti. Siaku yang sesungguhnya bukan lain adalah nafsu, kuasa
iblis.
Bagaimana
mungkin
kebenaran
hendak
diperebutkan? Memperebutkan kebenaran itu sendiri
sudah jelas tidak benar! Semua agama mengajarkan
manusia untuk hidup baik dan bermanfaat bagi dunia dan
manu-sia dan semua agama itu benar adanya karena
merupakan wahyu dari Tuhan untuk membimbing
manusia agar tidak tersesatdan agar tidak melakukan
kejahatan. Tbntu saja ketika wahyu dlturunkan, manusia
menerimanya
disesualkan
dengan
jamannya,
kebudayaan bangsanya pada waktu itu, dengan
tradisinya dan segalanya. Hal ini tentu akan membuat
wahyu-wahyu itu tampak berbeda pada lahirnya.
Pakaiannyg saja yang berbeda, bahasanya, dan setelah
lewat ratusan atau ribuan tahun mungkin pula terjadi
perubahan-perubahan dalam bahasa dan penafsirannya.
210

Kenapa mesti dicari perbedaannya? Kenapa mesti


dipertentangkan? Kenapa mesti membenarkan agama
sendiri dan menyalahkan agama yang lain? Tuhan hanya
satu. Bahkan satu dl antara jutaan ciptaanNya, yaitu
matahari, manfaatnya untuk semua manusia di
permukaan bumi, apalagt Tuhan sendiri! Tuhan Yang
Maha Esa adalah Tuhan semua manusia, tak perduli
berbangsa atau beragama apapun, bahkan Tuhan semua
mahluk, yang tampak maupun yang tidak tampak, yang
bergerak maupun yang tidak bergerak! Lihatlah sebintik
lumut. Begitu kecil tak berarti, namun Kekuasaan Tuhan
berada dalam dirlnya, karena itu ia hldup!"
"Suhu, semua itu telah dapat teecu mengerti. Yang
membuat teecu masih belum jelas adalah ucapan suhu
dahulu bahwa kita tidak akan dapat merasakan
bekerjanya Kekuasaan Tuhan dengan jelas, tidak akan
dapat mengerti kalau ? menggunakan hati akal pikiran
kita. Lalu untuk mengerti kita harus bagaimana?"
"Hati akal pikiran itu hanya merupakan gudang
penyimpan segala macam pengalaman. la hanya akan
mengetahui dan rnengerti apa yang tersimpan dalam
ingatannya saja. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa. Coba
kau cari seorang yang belum pernah kau kenal, tidak kau
ketahui namanya, tidak kauketahui di mana tinggalnya,
dapatkah engkau? Tidak mungkin, bukan? Itu baru
mencari seorang manu-sia! Apalagi mencari Tuhan dan
KekuasaanNya! Bagaimana hati akal pikiran akan dapat
menemukannya? Nah, karena itu hentikanlah mencari
dengan hati akal pikiran, biarkan hening dan rohmu yang
akan dapat berhubungan dengan Tuhan. Tuhan itu ROH
adanya, bukan mahluk. Melihat kekuasaannya? Buka
saja panca inderamu dan perhatikan sekelilingmu. Dl
mana-mana di luar dirimu dan di dalam dirlmu, Kekuasaan
211

itu tak pernah berhenti bekerja! Berkah itu terus mengalir


tiada hentinya. Lihatlah betapa sebentar saja Kekuasaan
itu, atau yang disebut To (Jalan) itu berhenti, akan
musnalah alam semesta ini! Matamu dapat melihat,
hidungmu dapat mencium, telingamu dapat mendengar,
jantungmu berdetik, rambutmu tumbuh dan segalanya
itu,
pekerjaan
siapakah?
Dapatkah
engkau
menghentikan tumbuhnya sehelai saja dari rambut di
tubuhmu?"
Percakapan seperti inilah yang rnepi-i buat Thian
Liong menjadi rendah hati menghadap Tuhan dan
menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingan
KekuasaanNya.
Pada pagi hari itu, setelah melayani gurunya makan
pagi dan telah selesai mencucl peralatan makan, Tiong
Lee Cin jin memanggilnya. Suhunya sudah duduk di
serambi depan pondok mereka, duduk di atas sebuah
bangku bambu Tiong Lee Cin-Jin tampak termenung.
Thian Liong menghampiri gurunya dan duduk dl atas
bangku di depan kakek itu sambil memandang gurunya.
Gurunya sekarang tampak segar dan sehat walaupun
usia-nya sudah enam puluh tahun. Sepahang matanya
tajam bersinar penuh wibawa, senyumnya tak pernah
meninggalkan bibirnya. Rambutnya sudah, dlhiasi uban,
diikat dengan pita kuning. Pakaian-nya sederhana sekali,
hanya kain kuning yang dilibatkan di tubuhnya. WaJah itu
tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Thian
Liong tahu bahwa ini adalah hasil dari ketenangan batin
yang tak pernah dilanda permasalahan hidup. Bukan
berarti bahwa gurunya tidak pernah menghadapi
kesukaran-kesukaran hldup. Sama sekali bukan. Seperti
ucapan guru-nya. Manusia hidup tak mungkin terbebas
daripada masalah susah senang selama dia masih
212

mempergunakan pikiran ! karena susah senang ini


memang perma-inan pikiran. Apabila hati akal pikiran
tidak bekerja, misalnya di waktu tidur, maka manusia tidak
akan lagi merasakan susah atau senang. Gurunya sudah
memiliki batin yang kokoh kuat, tenang dan seperti
gunung karang, tidak tergoyahkan oleh hantaman
gelombang suka dan duka. Gurunya menghadapi semua
peristiwa yang menimpa dirinya sebagai suatu hal yang
wajar saja sehingga da-pat menerimanya sambil
tersenyum, tidak mempengaruhi perasaan batinnya.
Tidak ada lagi rugi untung bagi Tiong Lee Cin-jin. Bahkan
tidak ada lagi susah senang yang mengikuti batinnya.
Semua keadaan diterima dengan tenang dan seperti
gunung karang menerima gelombang, susah senang
lewat begitu saja tanpa bekas.
"Suhu memanggil teccu?'" tanya Thian Liong.'
Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar
mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan
sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun
juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu.
Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid
tunggalnya inj dan dia melihat kemajuan yang luar biasa
pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di
waktu muda tidak memilikjl bakat sehebat muridnya ini.
Dalam sepuluh tahun,
Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu
yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat
lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat
menghimpun tena-ga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-dalam mengenai
soal kerohanian. Bagai-raanapun juga, kebanggaan ini
hanya ter-dorong oleh kepuasan hatinya imelihat
213

kemajuan muridnya, sama sekali tidak n?embuat dia


menjadi sombong atau ting-gi hati, lebih tepat sebagai
perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat
hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan.
"Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa
maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung,
aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau
mempelajari ilmu dariku."
Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan
hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan
masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya
akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh
tahun.
"Apakah suhu maksudkan bahwa wak-tunya telah tiba
bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan
suara tenang dan sikap biasa saja.
Gurunya mengangguk-angguk. "Benar, Thian Liong.
Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu
berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang
abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi
kehidupan ini. Seka-rang tiba saatnya bagi kita untuk
saling berpisah, Thian Liong. Erigkau perlu untuk turun
gunung dan mempraktekkan se-mua teori pelajaran yang
pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa
diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah
selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku
juga akan memberi beberapa tugas untuk itu."
"Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu
dan ceecu akati sela-lu ingat akan semua nasehat suhu
214

dan akan melaksanakannya dalam langkah ke-hidupan


teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada
teecu?"
"Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu
setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh
tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan,
membela mereka yang lemah tertindas dan menentang
mereka yang kuat kuasa dan sewenang-wenang.
Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti
kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan
menghadapi kemurkaan ba.ngsa Kin. Itu merupakan
tugas umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang
hidupmu. Aku masih mem-punyai dua buah tugas
untukmu. Perta-ma, ada beberapa bingkisan kitab yang
harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai,
Ketua Partai Kun-lun-pai, dan ketua partai Bu-tong-pai.
Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat
mereka, untuk memperdalam dan mema-tangkan ilmu
mereka. Kemudian, sisa ki-tab-kitab agama dan filsafat
agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao
Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau
harus berusaha urituk menyelamatkan Kerajaan Sung
dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui.
"Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka
teecu harus menentangnya, suhu?"
"Aku belum menceritakan kepadamu terttang
Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian
Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil rnem-bujuk
Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya
melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas
kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin.
215

Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jen-deral Gak Hui


telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam
banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi?
Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk
memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan
serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!"
"Akan tetapi mengapa begitu, suhu?"
"Menurut berita rahasia yang sempat kudengar,
agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan
Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka
perdana meneri yang khianat itu mem-bujuk kaisar dan
karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka
kaisar berhasil dibujuknya.
"Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik
mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran.
"Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang
amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan
kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mema-tuhi
perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya
walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya
dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal
itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia
tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya
ke selatan, melainkan membuat perkemahan di
perbatasan."
"Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan
Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik
napas panjang. "Kemudian apa yang terjadi selanjutnya,
suhu?"

216

"Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi


terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui
ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan
dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut
pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap
membantu pasukan Sung dan setelah mereka
ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah
yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan
kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak
berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat
kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan
alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok,
memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang
mereka lakukan."
"Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah
menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih
kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai
akal pikiran."
"Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui
mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan
kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan
perintah kaisar yang melarangnya menyer-bu ke utara.
Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk,
membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan
Kerajaan Kin."
"Sungguh seorang panglima yang men-cinta
bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji
dengan kagum.
"Memang
begitulah.
Akan
tetapi
akibatnya
menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin
Kui menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar,
217

mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang


perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas
dihukum mati."
"Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah
perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah
perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan
setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata
Thian Liong penuh harapan,
Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas
panjang. "Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong.
Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah
oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu
berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan
hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia
menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri
walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk
mencegahnya. Bahkan kawankawannya terdekat yang
bertekad hen-dak menyelamatkannya dari hukuman mati,
bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui
sebagai orang- orang yang tidak setia kepada kaisar!
Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu,
panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah
menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi
korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui."
Thian Liong menghela napas panjang. "Ahh,
sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan
teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan
berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang
suhu berikan kepada teecu."
"Sekarang

kauambillah

peti

dari

kolong
218

pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee


Cin-jin. Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar
gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti
itu di depan gurunya.
Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu.
Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia
mengeluarkan tiga buah kitab.
"Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi
pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan
kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang
berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari
isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan
pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Butong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Butong-pai.
Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat, agar
kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu
mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab.
"Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan
kepada Sribaglnda Kaisar untuk menambah pelajaran
ahlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama
pedang itu yang ter ukir di pangkalnya."
Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu
ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat
dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia
melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu
dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak
lebar karena keheranan. Dia membaca namanya sendiri
di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia
menyarungkan pedang itu kembali dan memandang
219

kepada gurunya
pertanyaan.

dengan

sinar

mata

mengandung

Tiong Lee Cin-jin tersenyum, "Begitulah aku dahulu


ketika untuk pertama kali mendengar engkau
menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang
ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika kita
pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa
mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang
sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian
yang menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang
namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar
namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga
Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku
mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini
kepadamu."
"Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu
selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita
dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda
apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk
rnembantu dan menjadi senjata kita."
"Benar sekali dan kenyataannya memang masih
seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah
kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan
benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini
tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin
pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar
pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh
orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya
bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat
dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air
rendamannya dapat menawarkan segala macam racun."
220

"Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat,


suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan
karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan
berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja menjadi
gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang
tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang
dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk
berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu,
dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama,
juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat
bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan
dan hidup seorang diri, tidak akan ada yang membantu
bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan
tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat
Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga
perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak
terdengar pada suaranya.
"Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini
juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai
perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan
kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua
pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun
dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh
kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan."
"Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas,
mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu
buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong-kiam
yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia
masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang
pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong
buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan
dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya.

221

"Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?"


"Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong." "Suhu, teecu
mohon pamit."
"Mendekatlah,
memelukmu."

Thian

Liong.

Blarkan

aku

Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu


merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam
rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih
sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh
mereka, membuat tubuh mereka gemetar.
"Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong.
Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua
tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas
Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la-hir
batinmu sendiri."
"Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu
menjaga dirl baik-baik. Selamat tinggal, suhu."
"Selamat jalan, muridku."
Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti
pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari
pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat
gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong
melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan
seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut
dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat
meninggalkan Puncak Pelangi.
Tiong Lee Cin-jin memandang bayangan muridnya
sampai lenyap dltelan pohon-pohon. Dia masih
222

tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. Dia


berkejap sehingga ada dua titik alr mata turun di atas
kedua pipinya. Diusapnya air mata itu dengah tangan
kanan, kemudi-an dipandangnya tangan yang basah
terkena air mata dan Tlong Lee Cln-jln tiba-tiba tertawa
bergelak. Dia mentertawakan ulah nafsu yang
mendatangkan iba diri dan mentertawakan kelemahan
itu, Kemudian sambil masih tertawa dla masuk lagi ke
dalam rumah dan duduk bersila di atas pembaringan, lalu
bernyanyi dengan suara lantang.
"Setelah men genal keindahan
dengan sendirinya men genal keburukan, setelah
Cahu akan kebaikan
dengan sendirinya tahu pula akan keJahatan.
Sesungguhnya
ada dan tlada saling melahlrkan
sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan
pendek saling men gadakan
tinggi dan rendah saling menunjang sunyi
dan suara saling men gisi dahulu dan kemudian
saling menyusul.
Itulah sebabnya para bijaksana
bekerja tanpa pamrih men gajar tanpa bicara.
Se gala terjadi tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa
dia in gin memilikinya berbuat tanpa dia menjadi
223

sandarannya.
Walau berjasa dia tidak menuntut
Justeru tidak menuntut maka takkan musna .
Suara nyanyian Tiorig Lee Cin-jin yang mengambil
ayat-ayat dari kitab To-tek-keng ini perlahan saja, akan
tetapi karena suara itu didorong tenaga khi-kang yang
amat kuat, maka suara itu mengandung getaran kuat dan
terdengar pula oleh Thian Liong yang sedang melangkah
cepat menuruni Puncak Pelangi. Mendengar nyanyian
yang sudah dikenalnya itu Thian Liong tersenyum dan
dia mempercepat langkahnya menuruni puncak.
***
Untuk memenuhi tugas dari gurunya, Thian Liong lalu
melakukan perjalanan ke Kun-lun-san. Tempat ini yang
paling jauh di antara yang lain, maka dia lebih dulu
hendak pergi ke Kunlun-pai untuk menyerahkan Kitab
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang berada dalam
buntalan kain kuning di punggungnya. Setelah itu, baru
dia akan pergi ke Bu-tong-pai dan Siauw-limpai.
Kemudian yang dia akan pergi ke kota raja Hang-chou,
menghadap Kaisar Sung Kao Tsu dan menyerahkan tiga
belas buah kitab. Setelah semua kitab dapat dia
serahkan ke-pada mereka yang berhak menerimanya,
baru dia akan menyelidiki tentang Perdana Menteri Chin
Kui dan kalau ternyata pembesar itu masih merupakan
pembesar lalim yang mengancam keselamatan kerajaan,
dia akan menentangnya sekuat tenaganya.
Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh dan
melelahka'n, melalui gu-run dan pegunungan, akhirnya
224

pada suatu hari dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun. Ada


sebuah jalan raya yang cukup lebar menuju ke barat dan
jalan ini yang biasa dipergunakan para rombongan pedagang yang membawa barang dagangan mereka dari dan
ke daerah barat, menuju Tibet, terus ke selatan ke
Kerajaan Bhutan Nepal, dan India. Jalan itu seringkali
sunyi, baru ramai kalau musim panas tiba dan para
pedagang banyak yang rnelaku-Kari perjalanan dalam
rombongan yang dikawal dengan kuat. Pada hari-hari
biasa, yang melewati Jalan itu hanyalah penduduk
dusun-dusun sekltarnya, para petani, pemburu, dan
pencari hasil hutan.
Pagi harl itu Thian Liong berJalan dlatas Jalan besar,
menanti-nantl kalau ada orang yang dapat dla tanyal tentang Kun-lun-paL Dia sudah kehablsan bekal. Uangnya
yang dia dapat dari gu-runya tidak berapa banyak dan
sudah ha-bis untuk membeli makanan dalam. perjatanan
selama ini. Gurunya pernah ber-pesan kepadanya untuk
kebutuhan hidup-nya dia harua mencarl uang dengan bekerja. BekerJa apa SaJa asalkan tidak merugikan orang.
Tentu
saJa
dengan
mempergunakan
ilmu
kepandaiannya, de-ngan mudah dia akan dapat
mengambil uang milik orang tain, akan tetapi hal itu
berarti merugikan orang lain dan tentu saJa dia tidak
akan sudi melaku-kan perampokan atau pencurian. Akan
teCap! pagi ini uangnya sudah habis sa-ma sekali, maka
dia tidak dapat membeli bekal makanan ketika melewatl
sebu-ah dusun pagi tadi.
Ketika dia tlba dl sebuah Jalan yang terletak di
tempat tinggi, dia melihat jauh di depan ada debu
mengepul dan terlihat gerakan banyak orang sedang
bertempur. Mellhat adanya beberapa buah gerobak
berdlrl tak Jauh dari tempat pertempuran Itu, Thian Liong
225

dapat menduga bahwa sepihak dari mereka yang


bertempur Itu tentu rombongan pedagang. Teringatlah
dia akan cerita guru-nya bahwa para pedagang Jarak
Jauh Itu blasanya dlkawal oleh orangorang yang pandal
ilmu silat karena banyak penJahat yang berusaha untuk
merampok barahg dagangan yang berharga mahal stu.
Thian Llong lalu berlari cepat menurunl lereng Itu dan
sebentar saja dia sudah tiba dl tempat pertempuran. Dia
meli-hat lima orang yang berpakalan sebagai saudagar
berdiri ketakutan dekat lima buah kereta penuh barang,
bersama lima orang kusir kereta yang Juga menon-ton
perkelahlan dengan slkap ketakutan.
Thlan Llong memandang ke arah mereka yang
berkelahi. Ternyata yang berkelahi hanya dua orang lakilaki yang dikeroyok oleh belasan orang yang berpakaian
sebagai pengawal. Akan tetapi dua orang yang bersilat
pedang itu lihai bukan main. Dikeroyok belasan orang,
mereka sama sekali tidak terdesak, bahkan para
pengeroyok yang kocar-kacir dan sudah ada iima orang di
antara mereka roboh mandi darah.
Karena tidak tahu persoalannya, Thlan Liong merasa
ragu untuk bertindak. Dia tidak tahu slapa yang berada di
pihak yang jahat sehingga dia meragu siapa yang harus
dibelanya. Thian Llong lalu menghampiri lima orang
saudagar yang bersama lima orang sais berdiri diekat
kereta.
"Sobat-sobat, apakah yang terjadi?" dia bertanya.
Para saudagar yang tadinya takut melihat Thlan Liong
mendekati mereka karena mengira karena pemuda itu
kawan para perampok, menjadi lega mendengar
pertanyaan itu. Akan tetapi karena pemuda itu tampak
hanya seperti seorang pemuda dusun yang bersahaja
226

dan lemah, merekapun tldak dapat mengharapkan


bantuan darlnya.
"Orang muda, pergilah cepat. Dua orang itu adalah
perampok yang hendak merampas barang kami dan
belasan orang itu adalah para piauwsu (pengawal
barang) yang melindungi kami." jawab seorang kusir
yang berdiri paling dekat dengan Thian Liong.
Mendengar ini, Thian Liong tldak ragu lagi pihak
mana yang harus dia bantu Dia memandang ke arah
perkelahian. Dua orang itu memang lihai sekali. Para
piauwsu yang juga mempergunakan pedang sebagai
senjata, sudah kewalahan dan terdesak ke belakang.
Dua orang itu berusia kurang lebih einpat puluh tahun,
orang pertama bertubuh tinggi kurus dengan muka
berbentuk meruncing seperti muka tikus dan orang ke
dua bertubuh pendek gendut namun gerakannya tidak
kalah cepat dibandingkan kawannya. Kedua orang itu
mengenakan pakaian yang sama, seluruhoya berwarna
hitam dari sutera halus dan di bagian dada ada, gambar
seekor burung rajawali putih.
Thian Liong lari menghampiri pertempuran itu dan
mengerahkan tenaga sakti lalu berseru, "Hentikan
pertempuran dan tahan senjata!"
Seruannya ini mengandung kekuatan yang memaksa
mereka yang sedang bertempur itu masing-masing
menahan gerakan dan berlompatan mundur sehingga
otomatis pertempuran itu terhenti. Dan orang berpakaian
hitam itupun berlompatan ke belakang dengan wajah
terheranheran. Mereka semua kini memutar tubuh
menghadapi Thian Liong dengan sinar mata heran dan
juga penasaran.
227

Seorang di antara dua orang perampok itu, yang


bertubuh tinggi kurus dan bermuka tikus membawa
sebuah kantung kain biru yang diikatkan di
punggungnya. Dia yang kini membentak kepada Thian
Liong,
"Heh, orang muda! Mau apa engkau menghentikan
perkelahian kami?"
Thian Liong berkata dengan sabar, "Sobat, aku
mendengar bahwa kalian berdua merampok para
saudagar ini sehingga di antara kalian semua terjadl
perkelahian yang mengaklbatkan luka bahkan mungkln
kematian. Kenapa kalian berdua melakukan kejahatan
ini? Kalau memang kalian rnembutuhkan sumbangan,
saya kira kalian dapat memlntanya darl para saudagar ini
dan mereka tentu tldak akan menolak kalian untuk
memberi sumbangan."
Dua orang perampok itu terbelalak keheranan,
keduanya saling pandang kemudian mereka tertawa geli
melihat ulah pemuda yang mereka anggap tolol itu. "Hei,
bocah tolol! Menggelindinglah pergi dan jangan
mencampuri urusan kami. Kami adalah orang-orang Pek
tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) dan kami akan
membunuhmu pula kalau engkau tidak cepat pergi dari
sini!"
Setelah berkata demikian, dua orang itu audah
menerjang lagi, menyerang pa-ra piauwsu yang tinggal
berjumlah tiga belas orang itu. Para piauwsu juga
menggerakkan pedang mereka dan kembali mereka
berkelahi. Suara pedang bertemu pedang berdentlngan
dan dua orang yang mengaku sebagal orang-orang Pektiauw-pang itu mengamuk.
228

Thian Liong tertegun, kecewa bahwa dua orang itu


Udak mendengar nasihat-nya. Akan tetapi sebelum dia
turun tangan, tiba-tiba tampak bayangan merah muda
berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang
gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda.
Gadis itu berusia kurang lebih tujuh belas tahun, cantik
jelita seperti dewi, dan sepasang matanya mengeluarkan
sinar mencorong dan mata itu jeli dan tajam bukan main.
la berdiri disitu, tangan kiri bertolak pinggang, tangan
kanan memegang sebatang ranting pohon yang masih
ada daunnya, lalu terdengar suaranya melengking.
"Sudah lama kudengar akan kejahatan Pek-tiauwpang! Sekarang aku melihat sendiri dua orang Pek-tiauwpang merampok. Nonamu ini tidak akan mengampuni
kalian!" Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak
cepat sekali seperti seekor burung terbang dan ia sudah
melayang dan menyerang dengan ranting pohon itu ke
arah si pendek gendut! Biarpun ranting itu hanya sebesar
ibu Jari kaki, dan panjangnya hanya satu meter, akan
tetapi ketika menyambar ke arah kepala perampok
pendek gendut, terdengar suara bercuitan dan ranting itu
berubah menjadi slnar kehijauan yang menyambar ke
arah jalan darah di leher si pendek gendut. Jagoan Pektiauw-pang ini terkejut bukan main karena dia dapat,
merasakan, sambaran angin serangan yang dahsyat
mengarah lehernya. Itu merupakan serangan maut'
Cepat' dia mengelak dan melompat ke belakang, akan
tetapi ada sehelai daun yang terlepas dari ran-ting itu
dan terbang menampar pipinya,
"Plakk!" Biarpun hanya sehelai daun basah yang
mengehai pipinya, akan tetapi terasa cukup nyeri, panas
dan pedih. Si pendek gendut menjadi marah sekali. Dia
mengeluarkan gerengan dan memu-tar pedangnya,
229

menyerang ke arah gadis berpakaian merah muda itu.


Pedangnya menjadi stnar putih bergulung-gulung yang
menyerbu ke arah gadis itu. Akan tetapi dengan indahnya
gadis itu beriompatan menghindar dan terdengar ia
mengeluarkan suara tawa merdu yang mengejek. "Hi-hik,
manusia macam katak buduk beranl melawan nonamu?
Engkau sudah boaen hldup!" Rantlng dl tangan pdii itu
membalaa, rnenyambar-nyambar, akan tetapl si pendek
gendut Itupun lihai. Dia dapat menangkls dengan pedang
dan ba-las menyerang. TerJadi perkelahian seru di
antara mereka.
Sementara itu, tiga belas orang piauwsu yang melihat
betapa si pendek gendut sudah berkelahi melawan gadis
baju merah muda yang membantu mereka, kini menyerbu
dan mengeroyok si muka tikus!
Perampok tinggi kurus bermuka tikus ini mengerutkan
alisnya, memutar pedang melindungi dirinya. Dia tahu
bahwa ka-lau dia seorang diri harus menghadapi
pengeroyokan tiga belas orang piauwsu itu, dirinya dapat
terancam bahaya. Dia melirik ke arah temannya dan
mendapat kenyataan bahwa gadis muda itu llhai sekali,
bahkan dengafl sepotong rantlng agaknya dapat
membuat kawannya repot sekali. Tiba-tiba sl tingg! kurus
melompat Jauh ke belakang dan melarikan diri!
Terdengar teriakan yang keluar dari kelompok
saudagar itu. "Tolong! Dia membawa semua uang kami
dalam kantung biru itu! Kejar dia ........ ! !"
Para piauwsu mengejar, akan tetapi ternyata orang
tinggi kurus itu larinya cepat sekali. Melihat dan
mendengar ini, Thian Liong lalu melompat ke depan dan
melakukan pengejaran. Para piauwsu menghentikan
230

pengejaran mereka karena mereka teringat akan


keselamatan lima orang saudagar yang harus mereka
lindungi. Mereka kembali ke tempat itu dan melihat gadis
berpakaian merah muda itu masih bertanding melawan
perampok gendut pendek, mereka menonton sambil
bersiap-siap. Sebagian dari mereka merawat lima orang
kawan yang terluka.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu berlari
cepat yang nsenibuat tubuhnya meluncur seperti terbang
ketika melakukan pengejaran, sebentar saja Thian Liong
sudah dapat menyusul perampok tinggi kurus bermuka
tikus yang melarikan diri itu.
"Perlahan dulu, sobat!"
Si tinggi kurus itu terkejut bukan main mendengar
ucapan ini dan dia melihat bayangan orang berkelebat,
tahu-tahu di depannya telah berdiri pemuda yang tadi
mencela dia dan temannya karena melakukan
perampokan! Tadinya dia terkejut mengira bahwa yang
dapat menyusulnya adalah gadis yang amat lihai itu.
Akan tetapi ketlka mendapat kenyataan bahwa
pengejarnya hanyalah pemuda tadi yang tampak biasa
saja, dia menjadi marah sekali.

JILID 7
Mampuslah Bentaknya dan dia sudah menyerang
dengan bacokan pedangnya ke arah leher Thian Liong.
Orang itu sudah membacok dengan sekuat tenaga dan
sudah merasa cepat sekali. Namun bagi mata dan telinga
Thian Liong yang terlatih baik, bacokan itu datangnya
231

lambat dan lemah saja. Maka dengan mudah dia


mengelak dengan miringkan tubuhnya sehingga bacokan
meluncur lewat mengenai tempat kosong.
Sobat, aku tidak mau berkelahi denganmu. Aku
hanya menghendaki agar engkau menyerahkan buntalan
biru itu. kata Thian Liong tenang.
Si tinggi kurus itu menghentikan gerakannya. "Apa?
Engkau juga menghendaki uang ini? Kalau begitu, kita
adalah
rekan
segolongan,
mengapa
engkau
menggangguku? Kalau engkau minta bagian, katakan
saja dan aku pastl akan memberimu."
Thlan Liong menggeleng kepalanya. "Tldak, aku tldak
menginginkan uang itu Akan tetapi uang itu harus
dlkemballkan
kepada
pemlliknya
yang
merasa
kehllangan. Serahkan buntalan itu kepadaku dan aku
tidak akan menahanmu lagi."
"Engkau minta ini? Nah, terimalah!" Si muka tikus
membentak akan tetapl bukan buntalan itu yang dia
berikan, melainkan pedangnya sudah menyambar lagi
dengan cepat karena dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Akan tetapi dengan tenang namun jauh lebih
cepat Thian Liong miringkan tubuhnya, membuat langkah
ke depan mengitari tubuh lawan, tangan kirinya menepis
tangan lawan yang memegang pedang sedangkan
tangan kanannya meraih ke arah punggung perampok
muka tikus itu.
"Dukk ........ ! Aduhh ........ brettt'!" Tubuh perampok
itu terhuyung dan buntalan yang tadinya tergantung di
punggungnya telah berpindah ke tangan Thian Liong.

232

Perampok itu marah sekali. Tentu saja dia tidak rela


buntalan biru berisi uang emas dan perak itu direbut
begitu saja. Biarpun tangan kanannya terasa ngilu ditepis
tangan Thlan Llong tadi, namun kemarahan membuat dla
tldak merasakan Ini dan dla sudah menerjang lagi seperti
kesetanan.
"Kembalikan bungkusan itu!" terlaknya.
"Benda ini bukan milikmu." kata Thian Liong dan
tubuhnya bergerak cepat mengelak dari sinar pedang
yang menyambar-nyambar. Sampai belasan kali pedang
itu menyambar namun tak pernah dapat menyentuh
ujung baju Thian Liong. Melihat kenekatan orang itu,
Thian Liong menyadari bahwa penjahat seperti ini sukar
untuk diharapkar kesadarannya tanpa memberi hajaran
kepadanya.
"Slnggg....!" Pedang menyambar lagl membabat ke
arah pinggang kiri Thian Liong. Pemuda Itu
menggerakkan kaki kirinya yang mencuat ke depan
menyambut serangan itu. Ujung kakinya menendang
pergelangan tangan yang memegang pedang. Pedang
terlepas dan terpental jauh dan sebelum si muka tikus
hilang kagetnya, kaki kanan Thian Liong mencuat.
"Dukkk!" Kaki itu menyambar dada dan tubuh
perampok bermuka tikus itu terjengkang dan terbanting
roboh. Sambil meringis kesakitan dia merangkak bangun.
Kini maklumlah dia bahwa pemuda ini lihai sekali dan
kalau dia melawan terus, berarti dia mencari penyakit.
Maka setelah dapat bangkit berdiri dan kepeningan kepala
serta kesesakan napasnya mereda, dia lalu melarikan diri
meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri dengan
sikap tenang. Setelah melihat penjahat itu pergi, diapun
233

lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat di


mana terjadi perampokan tadi.
Sementara itu, Bi Lan masih bertanding seru
melawan perampok yang bertu-buh gendut. Dia termasuk
seorang tokoh Pek-tiauw-pang dan tingkat kepandaianya
sudah cukup tinggi. Ilmu pedangnyapun lihai. Pedangnya
berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun,
dia merasa penasaran sekali karena betapapun cepatnya
dia memutar pedangnya, sama sekall tidak pernah dapat
menyentuh ujung baju gadls remaja yang menjadl
lawannya. Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.
Bagaimana mungkln dia, seorang jagoan darl
perkumpulan Pektiauw-pang, kini tidak mampu
mengalahkan seorang gadis yang usianya baru kurang
lebih tujuh belas tahun dan yang hanya menghadapi
pedangnya dengan sebatang ranting kecil? Dia sama
sekali tidak tahu bahwa gadis remaja itu adalah murid
manusia saktl Jit Kong Lama pendeta Lama dari Tibet
yang amat sakti dan yang telah menggembleng murid
perempuannya itu selama sepuluh tahunl Kalau Bi Lan
menghendakl, dalam satu dua jurus saja ia tentu mampu
merobohkan lawannya. Akan tetapi dasar ia memiliki
watak yang llncah gemblra, jenaka dan nakal, di samping
galak dan cerdik, gadis itu sengaja hendak
mempermainkan lawannya.
"Singg....!" Pedang sl gendut menyambar ke arah
lehernya. Bi Lan denganmudah mengelak ke belakang
dan ujung rantingnya menyambar.
"Brettt....! !" ujung ranting itu menebas dari atas ke
bawah dan rontoklah semua kancing baju si gendut
sehingga baju itu seketika terbuka memperlihat-kan dada
dan perutnya yang gendut se-kali dan berkulit putih.
234

"Hiiih, seperti babi kamu!" Bi Lan berkata mengejek


dan belasan orang piauwsu yang menonton perkelahian
itu tak dapat menahan tawa mereka. Si gendut menjadi
marah bukan main. la merasa dipermainkan, dihina dan
dijadikan buah tertawaan semua orang itu.
"Bocah jahanam, mampus kau!" bentaknya dan
kembali pedangnya menyambar dahsyat, kini menusuk ke
arah ulu hati gadis itu. Bi Lan menekuk lutut,
merendahkan tubuhnya dan ketika pedang meluncur
lewat atas kepalanya, dari bawah ranting di tangannya
meluncur ke depan.
"Bret....!" Kini tali celana si gendut itu yang putus
semua dan tak dapat dicegah lagi, celana itu lepas dari
perut yang gendut dan melorot turun!
"Hihhh! Menjijikkanl" Bi Lan memejamkan mata dan
memutar tubuh membelakangi lawannya yang kini
telanjang sambil menutupl mukanya dengan tangan kiri.
Suara tawa meledak bahkan ada yang terpingkal-pingkal
mellhat Si gendut kedodoran dan repot mengangkat
celananya ke atas.
Muka Si gendut menjadl merah sekali seperti kepiting
direbus. Akan tetepi ketika dia melihat Bi Lan berdiri
membelakanginya,
ia
tak mau
menyia-nyiakan
kesempatan balk untuk membalas penghinaan yang luar
biasa itu, Cepat sekali dengan tangan kiri menahan
celananya agar jangan merosot turun, tangan kanannya
menggerakkan pedangnya hendek memenggal leher
gadis itu dari belakang.
"Wuuutt ........ crott! !" Tubuh si gendut terkulai roboh
dan darah bercucuran muncrat dari dadanya yang
235

berlubang tertusuk ujung ranting yang tadi secepat kilat


ditusukkan Bi Lan sambil membalikkan tubuh, tepat
memasuki dada si gendut selagi pedangnya masih
terangkat ke atas. Gerakan Bi Lan cepat bukan main
sehingga lawannya tidak sempat mengelak atau
menangkis tagi. Karena ranting itu telah menembus
jantungnya, maka begitu terkulai roboh si gendut segera
tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Bi Lan membuang
rantingnya yang berlumur darah dan sama sekali tidak
melirik lagi ke arah lawan yang telah tewas itu.
Lima orang pedagang yang usianya sudah setengah
tua kini berani keluar dari dalam kereta dan mereka
menghampiri Bi Lan dengan sikap hormat. Pada saat itu
Thian Liong datang berlari cepat dan dia membawa
sebuah kantung kain berwarna biru yang tampaknya
berat. Thian Liong menghampiri lima o-rang pedagang
itu. Dia dapat menduga bahwa tentu lima orang itu yang
memiliki barang-barang yang dikawal karena pakaiannya
berbeda jauh dari para piauwsu.
"Ini rnlllk kalian yang tadi dilarikan perampok,
Terimalahl" Lima orang pedagang itu tampak girang
sekall. Seorang dari mereka menerima kantung biru itu
dan mereka berlima segera memberi hormat kepada
Thian Liong dan Bi Lan. Mereka semua menyangka
bahwa pemuda dan gadis itu tentu merupakan pasangan
karena mereka datang pada saat yang sama dan
keduanya merupakan orang-orang lihai yang telah
menolong mereka.
Seorang dari lima orang saudagar itu mewakili
ternan-temannya dan berkata kepada sepasang muda
mydi itu dengan sikap hormat. "Tai-hiap (pendekar besar)
dan
li-hiap
(pendekar
wanita)
berdua
telah
236

menyelamatkan nyawa dan harta kami. Untuk itu kami


semua mengucapkan banyak terima kasih dan kami
harap tai-hiap berdua sudi menerima sedikit sumbangan
dari kami ini sebagai tanda terima kasih kami." Saudagar
yang berjenggot panjang itu membuka kantung blru dan
mengeluarkan segenggam uang emaa, dlserahkan
kepada Thian Liongl
Thian Liong mengerutkan alisnya dan menggoyang
tangan kanan menolak. "Tidak, apa yang kami lakukan
sudah merupakan kewajiban kami, kami tidak
mengharapkan upah!"
Akan tetapi Bi Lan sudah melangkah maju dan sekali
tangannya bergerak, ia. sudah menampar tangan yang
menggenggam uang emas itu sehingga saudagar itu
berteriak kesakitan dan uang emasnya berhamburan di
atas tanah.
"Engkau ini sungguh seorang yang sama sekali tidak
mengenal budi, sudah ditolong malah balas menghina
dengan menyerahkan segenggam uang! Lupakah kalian
bahwa kami berdua bukan hanya telah menyelamatkan
harta bendamu akan tetapi juga nyawa kalian berlima
dan belasan orang pengawal kalian? Apakah nyawa
kalian semua harganya hanya segenggam uang emas
ini? Betapa murahnya nyawa kalian!"
Lima orang saudagar itu terkejut sekali dan menjadi
ketakutan. Si Jenggot panjang yang agaknya menjadl
pemimpln mereka, cepat membungkuk-bungkuk kepada
Bi Lan, memberl hormat dan berkata dengan suara
mengandung penuh penyesalan.
"Ampunkan kami, li-hiap. Kami memang bersalah.
237

Sekarang katakanlah apa yang li-hiap kehendaki dan


kami pasti akan memenuhi permintaan li-hiap untuk
niembalas budi li-hiap."
Sebetulnya kami tidak mengharapkan apa-apa
seperti dikatakan tai-hiap ini. Kami bukan pengawal
kalian yang kalian gaji. Kami membunuh dan mengusir
penjahat, menyelamatkan kalian hanya karena hal itu
sudah merupakan kewajiban para pendekar! Akan tetapi
mengingat bahwa nyawa kalian telah diselamatkan,
apakah tidak sepantasnya kalau nyawa kalian dihargai
sedikitnya. Separuh dari isi kantung uang itu?"
Mendengar ini, Thian Liong mengerutkan alisnya
akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa. Sementara
itu, lima orang saudagar itu membungkuk-bungkuk dan si
jenggot panjang cepat berkata, "Tentu saja, li-hiap!
Tuntutan itu lebih darl pada pantasl" Dia lalu mengambil
sebuah kantong kosong lalu memindahkan sebaglan isi
kantung biru ke kantung yang kosong, bahkan dla sengaja
memlllh emasnya saja. Setelah emas separuh kantung
biru itu dlpindahkan, dia lalu meletakkan kantung yang
teriri emas itu ke atas tanah di depan Bi Lan sambil
berkata, "Silakan, li-hlap. Bingkisan yang tldak seberapa
ini kaml berikan kepada jl-wl (kallan berdua) dengan hati
rela dan ikhlas. Sekarang kami mohon dlri hendak
melanjutkan perjaianan kami."
Tergesa-gesa lima orang saudagar yang ketakutan
melihat Bi Lan marah tadi lalu memberi isarat kepada
para piauwsu dan tak lama kemudian kereta mereka
bergerak meninggalkan tempat itu.
Thian Liong masih berdiri berhadapan dengan Bi Lan.
Kantung berisi uang emas itu masih tergeletak di atas
238

tanah, di antara mereka. Mereka saling padang dan baru


sekarang Thian Liong dapat mengamati Wajah gadis
berpakaian serba merah muda itu. Dan dia menjadi
kagum dalam hatinya walaupun kekaguman itu tidak
tampak pada wajahnya yang tetap tenang. Siapa yang
tidak kagum melihat gadis remaja yang jelita itu?
Usianya paling banyak baru tujuh belas tahun, akan
tetapl ilmu silatnya sungguh hebat! Pakaian sutera serba
merah muda itu sesuai sekali dengan tubuhnya yang
ramping dan kulitnya yang putlh mulus itu tampak
semakin bersih dan lembut dlpadu dengan sutera merah
yang membungkusnya. Rambut di kepalanya hitam lebat
dan panjang, digelung dengan indahnya dan dihias tusuk
sanggul dari emas berbentuk burung kecil bermata
merah. Sinom (anak rambut) lembut halus melingkarlingkir di dahi dan pelipisnya. Sepasang telinga yang
Indah bentuknya itu terhias anting-anting membuatnya
tampak lucu dan kekanak-kanakan. Dahi yang halus
putlh itu tampak semakin mulus karena sepasang alisnya
amat hitam, menjelirit kecil melengkung, melindungi
sepasang
mata
yang seperti
bintang kejora,
pandangannya tajam dan penuh gairah hidup, penuh
semangat. Hidungnya yang mancung serasi sekali
dengan mulutnya yang menggairahkan, dengan bibir
yang indah dan kemerahan tanpa glncu, dihias pula
sepasang lesung pipit di kanan kiri. Dagunya meruncing.
Kulitnya putih mulus dan tubuh yang mulai dewasa itu
seperti bunga se-dang mekar atau buah sedang ranum,
dengan lekuk lengkung yang menggiurkan. Pendeknya,
seorang gadis remaja yang cantik jelita! Akan tetapi
pandang mata Thian Liong tampak tak senang ketika dia
melirik ke arah kantung uang. Sungguh sayang, gadis
secantik itu ter239

nyata mata duitan!


"Memalukan," katanya lirih namun penuh teguran,
"Menerima upah untuk menolong orang. Seperti tukang
pukul saja."
Gadis itu membelalakan matanya dan kini matanya
tampak lebar sekali, membuat wajahnya tampak lucu.
Akan tetapi setelah melebarkan mata, ia lalu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong, bibirnya
cemberut. Jelas sekali tampak bahwa ia marah!
"Apa kau bilang? Memalukan? Engkau munafik!" la
memaki.
"Munafik? Aku?" Thian Ltong melongo heran dan
kaget dimaki munafik. "Ya engkau munafik. Coba Jawab,
apakah engkau memillki banyak uang?" Thlan Liong
menggeleng kepalanya. 'Tldak sama sekali."
"Jawab lagi, Apakah engkau tldak membutuhkan
makan, pakaian, dan tempat tinggal untuk melewatkan
malam?"
"Tentu saja aku membutuhkan."
"Jawab lagi. Kalau engkau lapar, apakah engkau
mengemis makanan ataukah mencuri makanan? Kalau
pakaianmu rusak, kulihat sepatumu itu sudah butut sekali
dan perlu diganti, dari mana engkau akan mendapatkan
semua itu? Mencuri? Dan kalau engkau menginap dl
rumah penglnapan, apakah setelah bermalam paglnya
engkau lalu minggat tanpa membayar? Hayo jawab!
Untuk semua itu engkau membutuhkan uang ataukah
tidak?"
240

Diberondong begitu dan melihat sikap gadis itu


membusungkan dadanya seperti menantang, Thian Uong
gelagapan dan menelan ludah sebelum menjawab
"Ya.... eh, tentu
membutuhkan uang."

saja

untuk

semua

itu

aku

"Bagus, ya? Engkau butuh uang pada hal engkau


tidak punya uang, dan seka-rang ada orang yang
memberimu uang, engkau pura-pura menolak dan berani
mengatakan i-nemalukan. Apa lagi nama-nya itu kalau
bukan inunafik?"
"Akan tetapi aku menolong mereka bukan untuk
mendapatkan bayaran uang!" Thian Liong membantah.
"Berlagak suci! Kita tidak rninta uang. Mereka yang
memberikan kepada kita karena mereka hendak
membalas jasa. Uang ini sudah sepantasnya menjadi
milik kita. Apa artinya uang sebegini dibandingkan
dengan harta kekayaan dan nyawa mereka berlima itu? Ini
adalah uang halal, sama sekali tidak haram, tahu?" Bi Lan
lalu membuka kantung1 itu, menuangkan isinya ke atas
tanah la-lu membagi potongan-potongan emas itu
menjadi dua. Yang setengah bagian ia masukkan ke
dalam buntalan kuning berisi pakaiannya, dan yang
setengahnya lagi ia masukkan kembali ke dalam kantung
biru.
"Nah, yang itu bagianmu. Ambillah!" katanya sambil
menudingkan telunjuk kirinya yang kecil mungil ke arah
kantung biru itu. Akan tetapi Thian Liong tidak
mengacuhkan kantung itu, melainkan menghampiri mayat
perampok gendut yang tewas oleh ranting di tangan Bi
Lan tadi. Dia membungkuk untuk memungut pedang milik
241

perampok gendut yang tewas itu dan mulailah dia


menggunakan pedang itu untuk menggali tanah.
Melihat pemuda itu tidak mengacuhkannya dan
malah menggali lubang di tanah, Bi Lan menjadi
penasaran. la menghampiri pemuda itu dan menegur,
"Hei, apa-apaan yang kaulakukan ini?"
Thian Liong yang sejak tadi menahan kedongkolan
hatinya terhadap gadis Itu, menghentikan pekerjaannya
dan dia berdiri menghadapi Bi Lan, memandang dengan
slnar mata tajam mengaridung marah dan berkata,
suaranya maslh lirih dan lembut, namun mengandung
nada suara teguran keras.
Nona, engkau masih amat muda namun telah
memillkl llmu kepandalan tlnggi. Sungguh sayang sekali
bahwa engkau terlalu kejam!"
Kini gadis itu yang terbelalak, ka"et dan heran, lalu
alisnya berkerut dan la, inenjadi marah. "Aku kejam?"
"Ya, engkau kejam! Engkau telah memburiuh orang ini
padahal tanpa membunuhnyapun, dengan mudah engkau
akan dapat mengalahkannya!" kata Thian Uong
penasaran, lalu melanjutkan pekerjaannya menggali
lubang kuburan.
"Kalau engkau bilang aku kejam, maka aku katakan
engkau ini tolol! Tolol, bodoh, munafik!" Gadis itu memakimaki karena ia menganggap pemuda itu memakinya
kejam. "Aku membunuhnya kau katakan kejam? Apa
kaukira dia itu orang lemah-lembut dan baik hati?
Ketahuilah, tolol, bahwa diapun berusaha membunuh
para piauwsu dan saudagar itu dan kalau tidak ada aku,
242

tentu semua orang itu celah dlbunuhnya! Dia itu


pembunuh kejaml"
Thlan Llong menunda penggaliannya dan manoleh
kepada gadis itu, klni suaranya terdengar tegas. "Dia
pembunuh orang dan jahat? Akan tetapi engkau juga
membunuhnya. Apa bedanya antara kalian berdua? Apa
kau ingin kusamakan dengan perampok yang kau bunuh
ini?"
"Jelas beda! Tolol dan bodoh sekali kalau tidak
melihat bedanya! Dia menyerang dan membunuh orangorang yang tidak bersalah, dia menggunakan
kepandaiannya untuk melakukan kekerasan dan
mencelakai1 orang! Sedangkan aku, aku menggunakan
kepandaian untuk menentang kejahatan, aku membunuh
orang yang jahat berbahaya bagi orang-orang lain yang
tidak berdosa! Dia penjahat dan aku pendekar, itulah
perbedaannya!" Bi Lan membentak marah dan ia membanting-banting kaki saking jengkelnya disamakan dengan
perampok jahat!
Akan tetapi Thiah Liong juga sudati' merasa jengkel
dan tidak mau mengalah. "Engkau dapat berbuat lebih
baik dari itu, nona. Engkau akan benar-benar ber-Jasa
besar kalau engkau hanya mengha-Jar penjahat ini,
'membuatnya jera dan berhasil menasehatlnya agar dia
kembali ke jalan benar. Akan tetapl membunuhnya?
Engkau tldak mampu memberi hidup, maka juga tldak
berhak mematikan.
Setelah berkata demikian, Thian Liong melanjutkan
pekerjaannya menggali iubang kuburan. Bi Lan
membantlng-banting kaki dengan gemas, kedua
tangannya terkepal akan tetapi tidak menyerang karena
243

ia melihat pemuda itu sibuk bekerja. "Engkau.... cerewet


dan bawel! Huh, aku muak dan benci melihatmu! !"
Thian Liong tertawa dan kembali menunda
pekerjaannya, lalu menoleh ke arah gadis itu. "Akan tetapl
aku suka dan kasihan padamu."
Bl Lan mendengus dan memutar tubuhnya, terus
melangkah pergi, diikuti suara tawa Thian Liong yang
dapat menguasai perasaannya dan kini melihat betapa
lucu keadaan mereka. Baru bertemu, bekerja sama
menolong rombongan saudagar menentang penjahat,
lalu bercekcok! Padahal mereka belum saling
memperkenalkan dlri, namanyapun tidak tahu. Setelah
gadls itu pergi, baru dia teringat betapa jelita dan
menariknya gadis itu dan betapa lihai ilmu silatnya.
Berwatak pendekar pula, atau setidak-nya merasa
menjadi pendekar. Sayang, galaknya bukan kepalang,
seperti seekor harimau betina! Dia masih tersenyumsenyum ketika melanjutkan pekerjaannya. Setelah lubang
itu cukup dalam, dia lalu mengubur jenazah penjahat
gendut itu, menimbuni jenazah dalam lubang,
menancapkan pedang itu di atas gun-dukan tanah
kuburan, baru dia membersihkan kedua tangannya,
mengambil bun-talannya yang tadi dia letakkan di bawah
pohon tak jauh dari situ. Dia tidak menengok ke arah
kantung biru yang berisi setengah jumlah uang emas
yang ditinggalkan gadis itu. Ketika membungkuk hendak
mengambil buntalan pakaian dan kitab-kitabnya, dia
melihat buntalannya itu menonjol dan tampak lebih besar
dari biasanya. Dia merasa heran lalu membuka ujung
kain buntalan yang tadi-nya diikat. Ternyata buntalan
atau kan-tung biru berisi uang emas itu telah berada
dalam buntalannya! Cepat dia menoleh ke arah tempat;
di inana kantung biru tadi ditinggalkan gadis itu dafi
244

kantung itu telah lenyap. Kiranya diam-diam kantung itu


telah dimasukkan ke dalam buntalannya oleh gadis itu!
Bukti bahwa gadis itu dapat melakukan inl . tanpa
diketahuinya, agaknya ketika dial?, sedang asik menggali
lubang, menunjuk- te kan bahwa gadis itu memang lihai
sekali. Sejenaki Thian Liong termangu dan ragu-ragu
apakah akan menerima uang itu ataukah tidak. Kalau dia
tidak meneri-manya dan meninggalkan di tempat itu,y
apa gunanya? Jangan-jangan malah dlte-iK mukan
orang-orang Jahat, karena yang berkeliaran dalam
tempat liar dan sunyl sepertl itu biasanya hanyalah
orang-orangSs sesat. Kalau diterimanya dan menjadi
miliknya, apa salahnya? Gadis itu benar juga. Harus
diakui bahwa dia membutuhkan uang untuk membeayai
perjalanannya. Dia butuh uang untuk membeli pengganti
pakaian, untuk membeli makan setiap hari, dan untuk
membayar sewa kamar untuk bermalam. Dan uang itu
memang bukan uang haram, melainkan pemberian para
saudagar yang memberinya dengan rela dan senang
hati. Dla menghela nepas panjang lalu menglkatkan
ujung buntalannye kemball, kemudian menggendong
buntalan itu dan mulai mendaki sebuah puncak yang
menurut keterangan penduduk di lereng bawah, adalah
tempat tinggal Kun-lun-pai.
Tiba-tiba dia menahan langkahnya. Dia hendak ke
Kun-lun-pal, kemudian ke Bu-tong-pai dan ke Siauw-limpai untuk menyerahkan kitab-kitab atas perintah gurunya.
Kitab-kitab itu menurut gurunya amat penting bagi ketiga
partai persilatan itu. Kitab-kitab itu dia simpan dalam
buntalan pakaiannya dan tadi bun-talan pakaiannya telah
dibuka oleh gadls itu! Ah, siapa tahu? Banyak tokoh
persi-latan yang menginginkan kitab-kitab itu. demikian
gurunya berpesan dan agar dia berhati-hati menjaganya
karena bukan tidak mungkin akan ada tokohtokoh kang245

ouw yang lihai akan mencoba merampasnya kalau


mereka mengetahui bahwa dia membawa kitab-kitab itul
Ah gadis itu! Siapa tahu?
Dengan jantung berdebar dan perasaannya tegang
Thian Liong lalu menurunkan buntalannya dan
membukanya. Dia cepat memeriksa isinya dan.
Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat ketika melihat bahwa
yang berada dalam buntalannya kini hanya ada dua buah
kitab, yaitu Kitab Sam-jong Cin-keng untuk diberikan
kepada ketua Siauw-lim-pai dan Kitab Kiauw-ta Sin-na
untuk Bu-tong-pai. Kitab ke tiga, yaitu Kitab Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat untuk Kun-lunpai telah lenyap! Dia
mencari-cari, membolak-balik pakaiannya, namun tetap
saja kitab kuno itu tidak dapat ditemukan! Dia teringat
bahwa tadinya kitab itu berada paling atas di antara tiga
buah kitab itu karena memang kitab itu tadinya akan dia
serahkan paling dulu kepada Kun-lun-pai!
"Celaka!" Dia berseru dan mengepal tinju. Siapa lagi
kalau bukan gadis galak itu yang mengambilnya?
Agaknya ketika membuka buntalan dan memasukkan
kantung uang, ia melihat kitab itu berada paling atas dan
gadis itu lalu mengambilnya dan membawanya pergi.
"Bocah liar! Kalau bertemu, akan kutampari
pinggulnya sedikitnya sepuluh kali!" kata Thian Liong
gemas. Akan tetapi dia lalu tertegun. Bagaimana
mungkin bisa bertemu? Ke mana dia harus mencari?
Gadis itu asing sama sekali. Dia tidak mengetahui
namanya, apalagi tempat tinggalnya! Sialan! Tiga tugas
pertama telah gagal satu! Apa yang akan dikatakan
kepada gurunya? Ah, dia merasa kecewa dan malu.
Akan tetapi dia harus bertanggung jawab! Dia harus
mencari gadis itu dan merampas kembali kitab untuk
246

Kun-lun-pai, tidak lupa menghukum gadis itu dengan


sepuluh kali tamparan pada pinggulnya! Sekarang, tugas
utamanya, dia harus menemui Ketua Kun-lun-pai dan
melaporkan tentang kehilangan kitab itu. Dia harus
bertanggung jawab dan siap menerima celaan dan
teguran dari ketua Kun-lunpai. Dia memang bersalah,
tidak hati-hati dan lengah sehingga kitab yang amat
penting dan berharga itu dapat dicuri orang. Dia
mengikatkan kembali buntalannya, menggendongnya dan
mengerahkan tenaga mempergunakan ilmu berlari cepat
sehingga larinya seperti terbang mendaki puncak menuju
ke kompleks kuil dan bangunan Kun-lun-pai yang berada
di puncak itu.
Karena Thian Liong menggunakan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) untuk berlari cepat mendaki puncak
sebentar saja dia sudah tiba di puncak dan dia melihat
sekumpulan bangunan besar yang luas, dikelilingi pagar
tembok yang cukup tinggi dan kokoh. Dia lalu berlari ke
depan, di mana terdapat sebuah pintu gerbang yang
besar. Baru saja dia berhenti berlari, tibatiba terdengar
bentakan nyaring di belakangnya.
"Siapa kau? Mau apa kau berkeliaran di sini?"
Thian Liong terkejut. Dia tidak mendengar ada orang
datang. Ini membuktikan bahwa orang itu tentu memiliki
ginkang hebat. Cepat dia memutar tubuh dan
berhadapan dengan seorang wanita berusia kurang lebih
lima puluh tahun. Rambutnya sudah bercampur uban dan
digelung ke atas diikat kain kumng yang lebar hampir
menutupi seluruh kepalanya.
Pakaiannya sederhana seperti pakaian seorang
pertapa atau pendeta. Juga pakaiannya terbuat dari kain
247

kuning yang kasar dan murah. Sebatang pedang


tergantung di punggungnya, pedang dengan ronce-ronce
berwarna putih.
Thian Liong yang selain menerima pendidikan ilmu
silat tinggi juga menerima pendidikan kerohanian yang
mendalam disertai tata susila tinggi, cepat memberi
hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang wanita sakti.
"Locianpwe (orang tua gagah), maafkan saya. Saya
sengaja datang berkunjung untuk menghadap Ketua Kunlun-pai." Dia merangkap kedua tangan depan dada
sambil membungkuk hormat.
Akan
tetapi
wanita
itu,
yang
wajahnya
membayangkan
kegalakan
dan
sinar
matanya
mencorong masih mengerutkan alisnya. "Huh, kamu
seorang laki-laki berani mendatangi bagian asrama
wanita, tentu mengandung niat kurang sopan. Kamu
mengandalkan kepandaianmu untuk berlaku kurang ajar,
ya?'
"Ah, tldak lama sekali, locianpwe!" seru Thian Liong
dengan kaget. "Saya tldak tahu bahwa ini asrama
wanlta....!"
"Bohong! Hendak kulihat sampai dl mana
kelihaianmu maka kamu berani muncul di depan asrama
kami! Sambutlah!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba
saja wanita itu sudah menyerang dengan tamparan
tangan kirinya. Tamparan tangan terbuka itu cepat sekali
dan membawa angin pukulan yang kuat, mengarah
pelipis Thian Liong sehingga merupakan serangan
berbahaya yang dapat mendatangkan maut!
248

Diam-diam Thian Liong merasa heran dan juga


penasaran. Bagaimana seorang wanita yang berpakatan
seperti pertapa atau pendeta, tabiatnya demikian keras,
berprasangka buruk dan menyerang orang tak bersalah
dengan serangan maut? diapun cepat mengelak mundur
sehingga tamparan itu luput.
"Locianpwe, saya bukan musuh dan tldak berniat
buruk." Thian Liong mencoba untuk mengingatkan wanita
itu.
sambut ini....! !" Wanita itu bahkan menyerangnya
lagi, kini menggunakan pukulan yang mengandung sinkang (tenaga aakti). Pukulan jarak Jauh ini cukup
dahsyat. Angin menyambar dan hawa pukul-an yang kuat
menerpa ke arah Thian Liong. Melihat bahaya ini,
terpaksa pe-muda itu mengerahkan tenaga dan
mendorong ke depan untuk menyambut serangan lawan.
"Syuuuuttt.... dessss....! !" Dua tenaga yang kuat
bertemu di udara dan akibatnya, tubuh pendeta wanita itu
terdorong ke belakang dan la terhuyung-huyung,
sedangkan Thian Llong maslh berdlri tegak.
Wanita Itu terkejut. la adalah tokoh Kun-lun-pai
tingkat tiga, kepandaiannya hanya di bawah tingkat ketua
dan wakil ketua. Akan tetapi dalam adu tenaga sakti
melawan seorang pemuda, ia terdorong dan terhuyung! la
terkenal berwatak, keras, maka kekalahan dalam adu
tenaga ini bahkan membuatnya penasaran dan semakin
marah.
Sratt
........ " tampak sinar putih berkelebat
menyilaukan mata dan sebatang pedang mengkilat telah
berada di tangan kanan wanita itu. Cara ia mencabut
249

pedang
dari
punggung
sedemikian
cepatnya,
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang
pandai.
"Cabut pedang atau senjatamu yang lain! Mari kita
mengadu kemahiran memainkan senjata!" kata wanita itu
dengan ketus.
"Locianpwe, sekali lagi saya harap jlocianpwe tidak
salah sangka. Saya bukan musuh Kunlun-pai. Kalau
locianpwe masih berkeras hendak menyerang dan
membunuh orang tidak bersalah, silakan!"
Setelah berkata demikian, Thian Liong berdiri tegak,
memejamkan mata, menenggelamkan segala kegiatan
jasmani ke dalam kehampaan, hati akal pikirannya tidak
bekerja, lahir batin menyerah kepada Kekuasaan Tuhan
seperti yang telah dilatihnya bertahun-tahun di bawah
bimbingan Tiong Lee Cin-jin.
"Engkau menantang maut? Apa kau kira aku tldak
berani membunuh orang luar yang melanggar pantangan,
mengunjungi asrama murid-murid wanita Kun lun-pai?
Sambut ini! Nenek itu menerjang maju dan pedangnya
berkelebat ke arah leher Thlan Llong.
"Slnggg....!" saklng kuatnya pedang dlgerakkan,
terdengar suara berdesing ketika senjata Itu menyambar
ke arah leher Thian Llong.
"Wuuutt....!" Wanita itu terkejut bu-kan main karena
ketika pedangnya me-nyambar ke arah leher pemuda itu,
tiba-tiba pedangnya terpental sepertl tertolak tenaga tak
tampak yang lentur dan kuat sehingga tenaganya yang
mendorong pedangnya itu memballk! Pemuda itu masih
250

berdiri sambll menundukkan muka dan kedua matanya


terpejam, mulutnya tersenyum dan wajahnya tampak
demiklan tenang dan tenteram, seperti wajah orang yang
sedang tidur pulaa. la merasa penasaran sekali dan
mepyerang lagi dengan pedangnya. Namun setiap kali
membacok atau menusuk, pedangnya selalu terpental.
Makiri kuat ia menyerang, semakin kuat lagi tenaga yang
membuatnya terpental karena tenaga membalik.
Tiba-tiba terdengar seruan lembut. "Ngo-sumoi (adik
seperguruan ke lima), hentikan itu!"
Mendengar seruan im, nenek itu melompat mundur,
napasnya terengah dan wajahnya merah sekali. Thian
Liong membuka matanya memandang dan dia melihat
seorang pendeta wanita berpakalan serba putih berdlri di
depannya. Wanita ini usianya sudah enam puluh lebih,
namun wajahnya masih tampak segar dan slnar matanya
lembut. Begitu bertemu pandang, Thian Liong merasa
tunduk dan tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang nenek yang sakti dan yang telah mampu
mengendalikan nafsu-nafsunya sendirl. Maka dia cepat
memberi hormat, mengangkat kedua tangan ke depan
dada.
"Loclanpwe, saya mohon maaf sebanyaknya kalau
kunjungan saya kesini hanya mendatangkan keributan
dan gangguan."
Pendeta wanita itu tersenyum dan wajahnya tampak
jauh leblh muda ketl" ka la tersenyum. "Ah, slcu (orang
muda gagah), kamilah yang sepatutnya mlnta maaf atas
slkap sumol Biauw In yang keras terhadapmu tadi. Akan
tetapi siapakah engkau, sicu? Dan ada keperluan apakah
engkau datang ke tempat kaml ini?"
251

"Nama saya Souw Thian Liong dan kedatangan saya


ini untuk memenuhl perintah guru saya."
"Hemm, kaml melihat tadl bahwa engkau telah
mencapal tingkat tertinggl dari tenaga sakti. Siapakah
gurumu?"
"Suhu disebut Tiong Lee Cin-jin."
"Sian-cai (damai)....!" Nenek itu berseru dan
wajahnya tampak terkejut dan berseri. "Kiranya Tiong
Lee Cin-jin yang bijaksana yang mengutus muridnya
datang berkunjung?" Nenek itu menoleh kepada
sumoinya yang galak tadi. "Biauw In Su.moi, lihat apa
yang telah kau lakukan tadi? Engkau menyerang murid
Tiong Lee Cin-jin'"
Wanita galak itu tampak kaget dan wajahnya menjadi
agak pucat. "Aku.... aku tidak tahu....
"Loclanpwe, kejadian tadi harap dilupakan saja,
Sayalah yang bersalah dan mlnta maaf." kata Thlan
Liong yang merasa tldak enak mendengar teguran itu.
"Souw-sicu, sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau
pantas menjadi murid Tiong Lee Cinjin yang bijaksana.
Katakanlah, tugas apa yang diberikan gurumu kepadamu
sehingga engkau datang ke slni?"
"Maaf, loclanpwe. Sesual dengan perintah suhu, saya
hanya dapat membicarakan urusan itu kepada para
pimpinan Kun-lun-pai, yaitu Kui Beng Thai-su atau Hui In
Slan-kouw saja."
Nenek itu tersenyum. "Kui Beng Thai-su adalah ketua
252

umum Kun-lun-pai dan Hui In Siankouw adalah sumoinya


yang memimpin para murid wanita. Akulah Hui In
Siankouw dan ia ini seorang sumoiku bernama Biauw In
Suthai."
"Ah, kiranya locianpwe adalah Hui In Sian-kouw.
Terimalah hormat saya." Thian Liong memberi hormat
lagi,
Hul ln Sian-kouw tersenyum dan berkata. "Souw-sicu,
harap kelak sampaikan maaf kami kepada suhumu dan
jangan menertawakan kami. Kami rnempunyai peraturan
bahwa laki-laki tidak boleh memasuki asrama para murid
wanita Kun-lun-pai. Oleh karena itu, terpaksa kami tidak
dapat mempersilakan engkau memasuki asrama dan
hanya dapat menyambutmu di sini saja."
"Tidak mengapa, locianpwe. Saya menghormati
peraturan itu."
"Kalau begitu, mari kita duduk dan bercakap-cakap di
sana." Hui In Sian-kouw menunjuk ke arah kiri di mana
terdapat sekumpulan batu yang putih bersih. Agaknya
batu-batu itu memang dira-wat dan dijadikan tempat
untuk duduk bersantai. Thian Liong mengikuti dua orang
pendeta wanita itu dan mereka lalu duduk di atas batu
sallng berhadapan.
"Nah, sekarang sampaikan pesan Tiong Lee Cln-Jln
itu kepadaku, Souw-sicu. Aku yang akan menyampaikan
kepada suheng (kakak seperguruan) Kui Beng Thaisu."
Thian Llong menghela napas panjang "Sungguh!
sayang sekali. Saya yang semesiinya membawa kabar
gembira untuk locianpwe, karena kelalaian saya, telah
253

membuat
kabar
menyenangkan."

itu

berubah

menjadi

tldak

Hul In Slankouw tetap tersentum. "Apapun yang


terjadl, terjadilah, Souw-slcu. Tidak ada kejadian baik atau
buruk, sebelum pikiran kita menilai didasari kepentingan
pribadi. Ceritakanlah tanpa ragu. Kaml siap menerima
yang ,dianggap paling buruk sekallpun."'
Thian Libng mengangguk kagum. Tak salah
penilaiannya tentang pendeta wani-ta ini. Seorang yang
arlf bijaksana. Maka diapun bercerita dengan lapang
dada. "Saya dlutus suhu untuk mengantarkan sebuah
kltab untuk Kun-lun-pal yeng harus saya serahkan sendlri
kepada Kui Beng Thai-su atau kepada Hui In Slan-kouw
dan kebetulan sekall kini saya berhadapan dengan
locianpwe sendiri."
"Ah, sebuah kltab dari Tiong Lee Cin-Jin untuk Kunlun-pai? Souw-sicu, apakah nama kitab itu?" Tiba-tiba
Biauw In Suthai bertanya dengan nada suara gembira.
Agaknya ia tetah melupakan kemarahannya tadi dan kini
merasa gembira sekali mendengar bahwa Kun-lun-pai
akan mendapatkan sebuah kitab dari Tiong Lee Cin-jin
yang namanya terkenal di antara semua tokoh besar
dunia persilatan itu.
"Nama kitab Itu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat." kata
Thian Liong.
"Alhh! Itu kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang khusus
diciptakan untuk murid wanita dan kitab itu lenyap
ratusan tahun yang lalu, kabarnya dicuri seorang pertapa
sakti yang jahat!" seru Hui In Sian-kouw kagum. "Dan
sekarang Tiong Lee Cin-jin dapat menemukannya
254

kembali dan hendak mengembalikan kepada Kun-lunpai? Betapa bijaksananya Tiong Lee Cin-jin."
"Souw-sicu, cepat keluarkan kitab itu dan berikan
kepada Hui In Suci (kakak perempuan seperguruan Hui
In)!" kata Biauw In Suthai tidak sabar lagi karena ingin
segera melihat kitab pusaka Kun luni-pai itu.
"Bersabarlah, sumoi. Berilah waktu kepada Souw-sicu,
agaknya dia masih hendak bercerita." kata Hui In Siankouw dengan tenang dan sabar.
"Sesungguhnya banyak yang harus saya ceritakan,
locianpwe. Akan tetapi yang terpenting unluk saya
beritahukan adalah bahwa kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat itu, ketika saya berada dl lereng bawah
pegunungan Kun-lun-san ini lenyap dicurl orang."
"Apa....??" Biauw In Suthal melompat berdiri. "Tidak
mungkin!" Tentu engkau bohong dan ingin menguasai
kitab itu untukmu sendiri!"
"Sumoi, Jangan sembarangan bicara!" Hui In Siankouw menegur adik seperguruannya.
"Suci, semua laki-laki di dunia ini mana ada yang
dapat dipercaya? Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi,
mana mungkin kitab itu dicuri orang? Coba kuperiksa
buntalannya!" Biauw In Suthai melompat ke arah
buntalan pakalan Thian Liong yang tadi diturunkan
pemuda itu ketlka hendak duduk di atas batu.
Melihat ini, Thian Liong membiarkan saja. Hui In Siankouw juga tidak keburu melarang sumolnya yang sudah
membuka buntalan pakaian itu.
255

"Suci ini ada dua buah kitab!" seru Biuaw In Suthai


sambil memperlihatkan dua buah kitab tua yang
diambilnya dari buntalan itu.
"Itu adalah Kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-limpai dan kitab Kiauw-ta Sin-na milik Bu-tong-pai. Kedua
kitab itu harus saya serahkan kepada pemilik masingmasing, seperti juga kitab milik Kun-lun-pai yang hilang."
"Sumoi, kembalikan dua buah kitab itu. Kita tidak
berhak menyentuhnya." perintah Hui In Sian-kouw dan
Blauw In Suthai mengembalikan dua buah kitab itu. Akan
tetapi ia terus mencari dan membuka kantung biru.
"Hei, lihat, suci! Banyak emas di sini, Tentu dia telah
menjual kitab klta itu dan mendapatkan banyak emas.
Hayo kau mengaku saja! Kepada siapa kltab kami itu kau
jual!" Biauw In Suthai sudah mencabut lagi pedangnya
dan mengancam Thian Liong.
"Sumoi, sirnpan pedangmu dan mundur!" Hui In Siankouw menegur sumoinya dan Biauw In Suthai
menyarungkan lagi pedangnya dan melangkah mudur
dengan mulut cemberut dan matanya mencorong galak
memandang Thian Liong. Hui In Sian-kouw memandang
pemuda Itu. "Souw-sicu, apakah penjelasanmu tentang
ini semua?"
Thian Liong menghela napas panjang. "Saya tadi
belum selesai bercerita, loclanpwe. Tadi ketika saya
melakukan perjalanan dan tiba di jalan raya di lereng
bukit sebelah bawah, saya melihat serombongan lima
orang saudagar dlkawal belasan orang piauwsu sedang
diganggu dua orang perampok. Dua orang perampok ttu
lihai dan para piauwsu agaknya akan kalah dan terbunuh
256

semua. Saya lalu membela mereka yang dlrampok dan


pada saat itu muncul pula aeor.ang gadls yang llhai, la
Juga membantu para piauwsu dan menewaskan seorang
di antara dua perampok itu. Perampok ke dua melarikan
sekantung emas dan saya mengejarnya dan berhasil
mengambil kembali kantung yang dibawanya lari. Ketika
saya mengembalikan kantung emas itu kepada para
saudagar, mereka lalu menyerahkan setengah isi
kantung itu kepada kami berdua, yaitu saya dan nona itu.
Setelah
para
saudagar
dan
rombongannya
meninggalkan tempat itu, saya lalu mengubur mayat
perampok yang terbunuh oleh gadis itu. Di antara kami
terjadi perselisihan paham karena saya mencelanya yang
telah membunuh perampok itu. la marah-marah dan
pergl membawa separuh uang yang ditinggalkan
saudagar, yang separuh lagi ia berikan kepada saya.
Nah, ketika saya sibuk menggali lubang untuk mengubur
jenazah itulah, saya lengah. Tahu-tahu kantung uang
emas yang tadinya saya tolak itu telah berada dalam
buntalan pakaian inl dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat yang berada di tumpukan paling atas, telah lenyap."
"Gadis Itu tentu cantik jelita, bukan?" Tiba-tiba Biauw
In Suthai bertanya, nadanya mengejek.
"Memang ia cantik jelita dan usianya kurang lebih
tujuh belas tahun," kata Thian Liong sejujurnya.
"Nah Itulah, laki-laki semua mata keranjang! Tentu
mellhat gadis cantlk itu, dia tergila-gila dan untuk
menyenangkan hatinya, dia memberikan kitab itu
kepadanya. Suci, pemuda ini harus bertanggung jawab,
dia harus mengembalikan kitab itu kepada kita!"
"Sumoi, tidak malukah engkau berkata seperti itu?
257

Kitab itu memang millk Kun-lun-pai, akan tetapi telah


ratusan tahun hilang dan kita tldak dapat menemukannya
kembali. Tlong Lee Cinjin berhasil mendapatkannya
kembali dan hendak menyerahkan kepada kita. Souwalcu kehilangan kitab itu, dlcuri oleh orang laln.
Bagalmana kita dapat menimpakan tanggung jawab
kepadanya untuk mengemballkan kitab itu kepada kita?
Sudahlah, aku melarangmu bicara lagi"
Mendengar teguran keras dari Hui In Siankouw,
Biauw In Suthai mengerutkan alishya dan mukanya
menjadi buruk sekali karena ia cemberut. "Suci terlalu
membela laki-laki ini. Biar aku melapor kepada toa-suheng
(kakak seperguruan pria tertua)!" Setelah berkata
demikian, pendeta wanita yang galak itu lalu
meninggalkan tempat itu untuk pergi ke asrama baglan
putera di balik bukit.
Hui In Siarikouw menghela napas panjang. "Souwsicu, maafkan sikap sumoi Biauw In Suthai. la memang
keras hati. Sungguh aku merasa tidak enak kepadamu,
sicu."
"Tidak mengapa, locianpwe. Memang sudah
sewajarnya kalau ia marah karena saya memang
bersalah. Saya telah le-ngah sehingga kitab itu lenyap
dicuri orang. Sudah semestinyalah kalau saya
bertanggung jawab. Saya berjanji akan mencari kitab itu
sampal dapat dan setelah saya temukan, tentu akan
saya serahkan kepada locianpwe di slni."
Pendeta wanita itu tersenyum dan menganggukangguk. "Dari sikapmu sebagai murid, kami dapat menilai
betapa bijaksananya Tlong Lee Clnjln, Souw-sicu,
Siapakah nama gadis yang mencuri kiiab itu?"
258

"Saya tidak tahu namanya, locianpwe, kaml tidak


sempat berkenalan. Akan tetapi sayapun tidak berani
mengatakan bahwa ia yang mencuri kitab itu karena tldak
ada buktlnya. Bagaimanapun juga, saya akan berusaha
sekuat kemampuan saya untuk mencari kitab itu."
"Kami percaya bahwa engkau akan berhasil, sicu,
dan sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas
usahamu mencari kitab itu. Tldak lupa, sampaikan terima
kasih Kun-lun-pai yang sebesar-besarnya kepada
gurumu Tiong Lee Cin-Jln yang sudah menemukan kttab
kaml yang hilang itu dan berusaha mengembalikannya
kepada kami. Sampaikan hormat ku kepada beliau."
"Baik, loclanpwe, akan saya sampaikan kalau saya
sudah menyelesaikan tugas-tugas saya dan bertemu lagi
dengan suhu. Sekarang, saya mohon pamit dan terima
kaslh atas pengertlan locianpwe yang sudah memberl
maaf atas kelengahan saya sehingga kltab untuk
locianpwe itu sampai hilang."
"Selamat jalan, sicu, dan berhati-hatilah dalam
perjalanan. Semua prang mengetahui bahwa para datuk
dan tokoh kang-ouw ingin sekali merampas kitab-kitab
yang didapatkan oleh Tiong Lee i! Cin-jin dari dunia
barat. Sicu yang masih membawa dua kitab, tentu tidak
akan terlepas dari incaran mereka."
"Terima kaslh, loclanpwe, atas nasihat itu. Selamat
tinggal."
Thian Liong menggendong buntalan-nya memberi
hormat lalu pergi menuruni puncak itu. Akan tetapi, ketika
dia tiba di lereng gunung ke dua dari'puh-cak, dia melihat
Biauw In Suthai meng-hadang perjalananh^a dan
259

pendeta wanita itu ditemani dua orang gadis yang berpakaian serba kuning. Dua orang gadis itu berusia kurang
lebih delapan belas tahun, keduanya bertubuh rarnping
berkulit pu-tih mulus dan keduanya cantik manis. Hanya
bedanya, yang seorang lebih jang-kung dengan wajah
bulat dan yang kedua agak lebih pendek dan lebih muda
dengan wajah bulat telur. Rambut mereka di gelung ke
atas dengan kain berwarna kuning yang lebar. Di
panggung mereka tergantung sebatang pedang.
Blarpun Blauw In Suthal tadl berslkap galak
kepadanya, Thian Liong tidak mendendam dan mellhat
nenek Itu berdirl menghadang perjalanan bersama dua
orang gadis itu, dla cepat menghampirl dan memberi
hormat.
"Locianpwe, saya mohbn diri hendak meninggalkan
Kun-lun-san, harap locianpwe suka memberi jalan."
Akan tetapl Biauw In Suthal bertolak pinggang dan
memandang pemuda itu dengan marah. "Souw Thian
Liong, engkau sudah tahu akan kesalahanmu! Engkau
sebagai seorang laki-laki telah berani lancang datang ke
asrama puteri Kun lun-pai. Karena itu sebelum kami
menguji kepandaianmu, kami tidak akan membiarkanmu
pergi. Tadi kami melihat sebatang pedang dalam
buntalanmu.
Hayo
keluarkan
pedangmu.
Kami
menantangmu untuk mengadu silat pedang!" Nenek itu
menantang.
Thian Liong mengerutkah alisnya. "Akan tetapi,
loclanpwe, saya tidak ingin bertanding dengan siapapun,
saya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun."
"Enak saja! Engkau melanggar daerah terlarang bagi
260

prla, dan engkau telah membikin lenyap kttab pusaka


Kun-lun-pai Engkau harus menerima tantangan kaml ini.
Aku tldak ingln dlanggap sebagai orang tua yang
menghina anak muda. Karena itu, muridku inl akan
mewaklll aku mengujl llmu pedangmu. Kim Lan,
bersiaplah engkau!"
Gadis yang lebih tinggi bermuka bulat itu tiba-tiba
menjadi merah wajahnya dan ia tampak semakin cantik.
Ia mengangguk menerima perintah gurunya dan sekali
tangan kanannya bergerak, tampak sinar berkelebat dan
Thian Liong segera mengenal pedang itu sebagai
pedang bersinar putih yang tadi dipergunakan Biauw In
Suthai. Dengan gerakan indah dan gagah gadis cantik
bernama Kim Lan ini menggerakkan pedangnya
menunjuk ke atas, lalu pedangnya berkelebat seperti kitat
menyambar, menjadi sinar menyilaukan dan ia sudah
rnemasang kuda-kuda dengan pedang bersenibu-nyi di
bawah lengan kanan, tangan kiri melingkar depan dada.
Gayanya indah dan gagah sekali.
"Sicu, silakan!" kata Kim Lan, suaranya merdu namun
mengandung tanteng-an dan kekerasan hati, sinar
matanya tajam menyambar ke arah wajah Thian Liong.
Tentu saja pemuda itu menjadi ragu. Dia tidak ingin
berkelahi, apa lagi melawan seorang gadis yang tidak
dikenalnya sama sekali, yang tidak mempunyai urusan
apapun juga dengan dirinya. Melihat keraguan ini, Biauw
In Suthai segera berkata nyaring.
"Souw Thian Liong, engkau mengaku murid Tiong
Lee Cin-jin yang terkenal, akan tetapi engkau pengecut
kalau tidak berani menghadapi tantangan muridku Klm
Lan. Ambil pedangmu dan coba kita sama mellhat apakah
engkau mampu menandingi Tian-lui-kiam-sut , (Ilmu Pe261

dang Kilat Guntur)! Kalau engkau dapat menang


melawan Kim Lan, berarti engkau pantas berkunjung ke
markas puteri Kun-lun-pai karena engkau menjadi
keluarga sendiri.
Akan tetapi kalau engkau kalah, kami akan
membiarkan engkau pergi dan ternyata nama besar
Tiong Lee Cin-jin hanya kosong belaka!"
Wajah Thian Liong berubah agak merah. Terlalu sekali
nenek ini, pikirnya! Dia dipaksa untuk melawan karena
kalau tidak, dia akan dianggap sebagai pe-ngecut dan
berarti dia akan merendahkan nama besar gurunya yang
amat dihormat di dunia kang-ouw. Dia terpaksa, mau
tidak mau, harus melayani tantangan itu. Dia merasa
serba salah. Dilayani, dia merasa tidak semestinya
karena dia tidak mempunyai permusuhan dengan
mereka dan tidak ingin menghina Kun-lun-pai dengan
mengalahkannya. Kalau tidak dllayani, dia dianggap
pengecut dan na-ma besar gurunya terseret turun. Selain
itu, dia juga ingin sekali melihat sampai di mana
kehebatan Ilmu Pedang Kilat Guntur itu. Dia pernah
mendengar dari gurunya bahwa ilmu pedang Itu
merupakan llmu puiaka dan andalan Kun-lun-pai dan
bahwa hanya murldmurld tertinggl saja yang berhak
menguasal llmu pedang itu. Gadis ini masih amat muda
paling banyak sembilan belas tahun usianya, akan tetapi
sudah menguasai Tian-lui-kiam-sut, berarti ia seorang
murid Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya. Timbul
keinginannya untuk menguji kehebatan ilmu pedang itu!
Setelah menghela napas panjang, Thian Liong
melepaskan gendongannya ke atas tanah, membuka
buntalan, mengambil pedangnya dan mengikatkan lagi
buntalan itu dengan teliti karena dia tidak mau lagi
262

kehilangan dua buah kitab untuk Siauw-lim-pai dan Butong-pai itu, kemudian ia mencabut pedangnya,
melempar sarung pedang di atas buntalan pakaian dan
menghampiri Kim Lan dengan pedang di tangan. Pedang
Thian-liong-kiam itu adalah sebatang pedang kuno,
berbentuk seekor naga gagangnya merupakan ekornya.
Dia berdiri santai, pedang di tangan kanan itu tergantung
ke bawah. Sama sekall dla tldak membu-at pasangan
kuda-kuda,
"Baiklah, kalau locianpwe memaksa. Sllakan, nona,
saya sudah slap melayani nona." katanya.
Biauw In Suthai dan gadis ke dua melangkah mundur
dan menonton di pinggir. Melihat Thian Liong sudah
mencabut pedang dan mengatakan siap wa-laupun
sikapnya masih santai, Kim Lan lalu membentak dengan
suara nyaring.
"Lihat serangan pedangku!" Setelah memberi
peringatan, barulah ia bergerak. Dan serangannya
memang hebat sekali. Begitu ia menerjang maju,
pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar seperti
kilat dan ia telah menghujani Thian Liong dengan
serangkai serangan kilat yang dahsyat! Thian Liong
merasa kagum. Cepat dia menggunakan ginkang untuk
berkelebatan mengelak dari semua serangan. Timbul
kegembiraan hatinya. Ilmu pedang yang dimainkan gadis
bernama Kim Lan itu memang hebat sekali dan gadls Itu
benar-benar telah menguasai llmu pedangnya dengan
baik. Pedang kilat itu seolah telah menyatu dengan
dirlnya.
Sampai belasan jurus Thlan Liong menghindarkan
dirl dari sambaran pedang dengan elakanelakan cepat.
263

Namun dia tahu bahwa dla tidak mungkin meng-andalkan


elakan saja untuk menghindarkan diri dari serangan yang
bertubi-subi datangnya Itu. Maka, ketlka dla terdesak,
mulallah dla menggerakkan Thian-Liong-kiam di tangan
kanannya. Akan tetapi tentu saja dla membataal
tenaganya karena dia tidak ingin membikin rusak pedang
lawan, juga tidak ingin membikin malu gadis itu dengan
tolakan tenaga saktinya. Dia menangkls dengan tenaga
terbatas.
"Tranggg....!" Dua pedang bertemu dan tampak
bunga api berpijar menyilaukan mata. Gadls itu cepat
memeriksa pedangnya. la merasa lega melihat
pedangnya tidak rusak, juga lega karena merasa betapa
tenaganya
seimbang
dengan
tenaga
lawan.
Pertandingan dilanjutkan dan kini Thian Liong terkadang
membalas dengan serangan pedangnya. Pertandingan
itu tampak ramai dan seimbang. Hal ini terjadi tentu saja
karena Thian Liong banyak mengalah. Dia tidak ingin
membikin malu gadis itu maka sengaja membuat
pertandingan itu tampak seru dan ramai seolah
kepandalan mereka seimbang. Tentu saja dlapun tldak
mau kalau sampai dia kalah, karena hal iu akan
merendahkan nama beaar gurunya. Tldak, dia harus
menang, akan tetapl kemenangan melalul pertandlngan
yang seimbang dan ramai.
"Hailiiittt....! !" Tlba-tiba Kim Lan merendahkan
tubuhnya setengah berjong-kok dan pedangnya
menyambar-nyambar ke arah kedua kaki Thian Liong.
Pedang itu diputar-putar merupakan gulungan sinar putlh
yang mengancam kedua kaki lawan. Thlan Liong
berloncatan untuk menghindarkan diri dari serangan ke
arah kedua kakinya itu. Untuk menghentikan desakan
lawan, dia menyerangkan pedang nya dari atas dan
264

pedang Thianliong-kiam berkelebat. Ujung kain pengikat


ke-pala Kim Lan terbabat putus dan sehelai kain kuning
melayang ke bawah. Gadis itu terkejut dan mengubah
serangannya. Kini ia berdiri lagi dan pedangnya
menyambar-nyambar ke arah leher lawan.
"Trang-trang-tranggg..., tiga, kali berturut turut kedua
pedang bertemu dl udara dan keduanya melompat ke
belakang. Lima puluh jurus telah lewat dan Thlan Llong
merasa bahwa sudah cukup lama dla mengalah. Ketika
pedang kilat itu meuncur menyambar dengan tusukan ke
arah dadanya, dia hanya sedikit miringkan tubuhnya dan
mengangkat lengan kirinya. Pedang itu meluncur dekat
sekali dengan iga kirinya dan pada saat itu, lengan
kirinya turun mengempit pedang lawan! Kim Lan terkejut
dan mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya
yang tampaknya seolah menancap di dada lawan itu.
Akan tetapi tiba-tiba Thian Liong mengetuk siku
kanannya. Seketika lengan kanannya kehilangan tenaga
dan sebelum gadis itu dapat mengatasi keadaannya
tangan Thian Liong yang memegang pedang itu telah
mendorong pundak kiri Kim Lan sehingga tubuh gadis itu
terhuyung ke belakang dan pedangnya tertinggal,
dikempit oleh lengan kiri pemuda itu!
Keadaan ini jelas membuktikan bahwa Kim Lan telah
kalah. Thian Liong cepat mengambtl pedang gadis itu,
memegang ujungnya dan menyodorkan gagangnya
kepada Kim Lan.
"Terimalah pedangmu dan maafkan aku, nona."
ucapannya itu dikeluarkan dengan tulus. Kim Lan
menerima pedang itu dan tiba-tiba ia menjatuhkan diri
bersimpuh di atas tanah dan menangis tentu saja Thian
Liong menjadi bengong melihat hal ini.
265

Anehnya, Biauw In Suthai menghampirinya. Thian


Liong sudah bersiap siaga untuk melindungi dirinya kalau
diserang tiba-tiba oleh pendeta wanita yang galak ini.
Akan tetapi anehnya, Biauw In Suthai tersenyum dan
berkata dengan suara girang.
"Souw" Thian Liong, kiong-hi (selamat)! Kami
mengucapkan selamat!" "Selamat? Untuk apa?" Thian
Liong bertanya, tidak mengerti.
"Selamat karena engkau telah membuktikan bahwa
engkau murid yang mengagumkan dari Tlong Lee Cln-jln,
engkau telah menang dalam pertandingan ini dan
engkau telah memperoleh seorang isteri yang baik dan
cocok sekali bagimu."
Thian Liong terbelalak semakin heran. "Isteri? Apa....
apa maksud locianpwe?" Nenek itu menunjuk Kim Lan
yang masih bersimpuh dan menangis menutupi muka
dengan kedua tangannya. "Lihat itu, calon isterimu
menangis karena haru dan bahagia!"
"Locianpwe, apa maksudmu? Saya.... saya tidak...."
dia bingung harus berkata apa.
Biauw In Suthai tertawa dan melihat nenek itu tertawa
Thian Liong merasa aneh sekali. Nenek yang galak dan
keras seperti batu karang itu dapat terta-wa, akan tetapi
hanya mulutnya yang menyeririgai tertawa, matanya sama
sekali tldak ikut tertawa. Mata itu tetap memandang
dengan sinar yang keras.
"Heh-heh-hl-hl-hlk. Makaudku....? Itu urusan orang
muda. Engkau boleh bicara sendtrl dengan Klm Lan!"
Setelah berkata demikian, pendeta wanita itu melangkah
266

pergi meninggalkan Thian Liong yang masih berdiri


bengong.
Setelah nenek itu pergi, Thiar Liong memandang
kepada gadis yang masih du-duk bersimpuh dan
menangis tanpa suara itu. Kemudian dia memandang
kepada gadis ke dua yang berdiri di dekat gadis yang
menangis dan kebetulan gadis itu juga sedang
memandang kepadanya Gadis yang bermuka bulat telur
dan bertubuh mungil ini wajahnya sama cantik dengan
gadis
pertama. Bedanya, gadis yang .lebih pendek ini
wajahnya tidak membayangkan kekerasan seperti yang
lain. la bahkan memandang kepada Thian Liong dengan
sinar mata kagum dan lembut, dan bibirnya
mengembangkan senyum. Melihat sikap ini, Thian Liong
yang tidak berani bertanya kepada gadis yang menangis,
lalu bertanya kepada gadis ke dua itu.
"Nona, apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh
loclanpwe tadi? Sungguh matl saya tldak mengertl sama
sekali"
Gadis itu menoleh kepada gadls yang masih duduk
bersimpuh dan biarpun sudah tidak menangs lagi namun
masih menutupi mukanya dengan kedua tangan seperti
orang yang merasa malu. "Sucl (kakak seperguruan,
bolehkah aku mewakilimu menceritakan apa artinya
semua ini kepada Souw-sicu?"
Gadis yang bernama Kim Lan mengangguk. Gadis
mungil itu lalu melahgkah maju rnenghampiri Thian Liong
dan la berkata dengan suara merdu. "Kami berdua
adalah murid Kun-lun-paii di bawah asuhan guru karni
267

Biauw In Suthai. Inl adalah enci Kim Lan dan aku


bernama Ai Yin. Ketahuilah, sicu, kami berdua telah
disumpah oleh guru kami ketika kami menerima pelajaran
ilmu pedang Tian-lui-kiam-sut (Ilmu Pedang Kilat Gun-tur)
bahwa kami hanya boleh menikah kalau...."
"Sumoi....!" Kim Lan menegur sumoinya dan ia kini
bangkit berdiri, akan tetapi tidak berani menatap wajah
Thian Liong, melainkan memandang wajah sumoinya.
"Suci, kalau aku tldak menceritakan semuanya,
bagaimana
Souw-sicu
akan
dapat
mengertl
persoalannya? Karena dia merupakan orang yang
tersangkut, tiada salahnya dia mengetahui rahasia kita."
Sejenak Kim Lan termangu-mangu, lalu melirik malumalu ke arah Thian Liong, kemudlan mengangguk dan
berkata lirih, "Balk, teruskanlah."
Thian Llong merasa tidak enak. "Nona, kalau kalian
mempunyai rahasia, tidak perlu kalian ceritakan padaku.
Akupun tidak ingin mendengar tentang rahasia orang
lain."
"Souw-slcu, rahasia kami ini sekarang telah
melibatkan dirimu, maka engkau harus mendengarnya."
"Hemm, kalau engkau dengan suka rela hendak
menceritakan kepadaku, silakan." kata Thian Liong yang
sebetulnya ingin sekali tahu akan sikap 8iauw In Suthai
tadi.
"Seperti kukatakan tadi, kami berdua telah disumpah
oleh guru kami. Kami tidak boleh berhubungan dengan
pria, bahkan tldak boleh berdekatan. Subo (ibu guru)
268

mungkin akan rnembunuh kami kalau melihat kami akrab


dengan pria. Kami disumpah bahwa kami hanya boleh
menikah kalau ada pria yang dapat mengalahkan Ilmu
Pedang Kilat Guntur kami. Pria yang dapat mengalahkan
kami harus menjadi suami kami. Karena itu, ketika
engkau mengalahkan suci Kim Lan, berarti engkau
menjadi jodoh atau calon suami suci Kim Lan, Souwsicu."
Thlan Liong terbelalak, terkejut dan heran. "Akan
tetapi ........ bagaimana mungkln ada aturan sepertl itu?
Pernikahan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak,
harus ada persetujuan kedua pihak. Sedangkan aku....
aku sama sekali belum mempunyai keinginan bahkan
belurn pernah berpikir untuk menikah!"

JILID 8
Akan tetapi engkau harus menerima suci Kim Lan
menjadi isterimu, sicu. Harus!" kata Ai Yin. Kata terakhir
itu mengandung tekanan kuat sekali.
"Harus?" Thian Liong mengerutkan alisnya yang tebal
dan memandang Ai Yin dengan sinar mata mengandung
rasa penasaran. "Siapa yang mengharuskan?"
"Sumpah , kami yang mengharuskan. Tidak ada
pllihan lain bagi suci Kim Lan. Menurut sumpah kaml,
kami harus menikah dengan lakl-lakl yang mampu
mengalahkan llmu pedang kami!"
"Aturan gila! Sumpah macam apa itu? Bagaimana
kalau laki-laki yang mengalahkan kalian itu sudah tua
269

dan sudah beristeri?"


"Itu merupakan kekecualian. Sumpah kami hanya
menyangkut pria yang belum berkeluarga, tua muda tidak
masuk hitungan. Dan kami percaya bahwa eng-kau
belum berkeluarga, sicu."
"Hemm, aneh. Bagaimana kalau pria yang
mengalahkan kalian Itu tidak bersedia menikah dengan
kalian?"
"Menurut sumpah kaml, kalau begltu masalahnya,
kaml harus membunuh pria itu! Jadi tldak ada pilihan laln
bagl suci Kim Lan. la harus menlkah denganmu atau
kalau sicu menolak, la harus mem-bunuhmu!" kata Ai
Yln.
Thian Llong terkejut sekall. "Gila be-narl Belum pernah
aku mendengar aturan yang leblh gila darl pada Inl. Aku
sama sekall tldak ada kelnglnan untuk menlkah,
bagalmana mungkln aku dlpaksanya? Tentu aaja aku
menolak untuk memenuhl aturan glla-gilaan Ini. Aku tldak
mau menlkah dengan siapapun!"
Tlba-tlba Klm Lan memandangnya dan berkata,
suaranya mengandung kekerasan. "Kalau engkau
menolak, Souw Thian Liong, berartl penghinaan yang
tlada taranya bagiku. Aku akan membunuhmu atau
engkau harus membunuhku karena engkau telah
menodai dan mencemarkan nama dan kehormatankul"
Thian Llong membelalakkan matanya. Aih! Apa pula
ini? Aku tidak pernah menyentuhmu, bagalmana engkau
dapat mengatakan bahwa aku menodal dan
mencemarkan kehormatanmu?"
270

"Ini sudah menjadl sumpahku. Tidak ada plllhan lain


baglku. Aku harus menjadl isterimu atau terpaksa aku
akan mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata
demikian Kim Lan mencabut pedangnya.
"Wah. ini gllal Nona Klm Lan. engkau tldak aan
memang melawan aku, dan aku dapat lari
meninggalkanmu dengan mudah. Engkau tldak akan
dapat mengejar atau membunuhku."
"Aku akan terus mencarlmu, memperdalam llmuku
dan selalu berusaha untuk membunuhmu!" kata Kim Lan.
"Dan aku akan membantu suci untuk membunuhmul"
kata pula Ai Yin sambil inencabut pedangnya.
"Wah-wah, kalian inl sudah tidal waras lagl. Nonanona, kalian adalah, orang-orang muda, bagaimana
berpendirian begini kolot? Perjodohan hanya ditentukan
oleh cinta atau kesepakatan kedua pihak, sama sekali
tidak boleh main paksa."
"Kita diikat oleh sumpah!" jawab kedua orang gadis
cantik itu berbareng.
"Kalau engkau tetap gagal dalam usahamu untuk
membunuhku, bagaimana, nona Kim Lan?" Thian Liong
bertanya.
"Kalau selalu tetap gagal, tidak ada jalan lain bagiku
kecuali membunuh diri atau dibunuh guruku."
"Gila....! Thian Liong berteriak. "Kalian gadis-gadis
muda sudah menjadi korban keganasan seorang nenek
gila!"
271

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Biauw In


Suthai sudah berada di depan Thlan Llong. "Bocah she
Souw! Engkau berani memaki aku nenek glla? Murldmuridku memenuhi sumpahnya, berarti mereka adalah
orang-orang gagah sejatl yang setia kepada gurunya.
Akulah yang akan membantu Kim Lan membunuhmu
kalau engkau menolak menjadi suaminya!"
"Dunia sudah miring! Kalian orang-orang tidak
waras!" Thian Liong berseru sambil menyambar buntalan
pakaiannya dengan tangan kiri dan siap membela dlri
dengan pedang Thlan-llong-klam di tangan kanan.
"Bunuh Jahanam ini" Biauw In Suthai berteriak dan
tlga orang wanlta itu menggerakkan pedang di tangan
mereka. Tampak tiga sinar kilat menyambar dengan
dahsyat ke arah Thian Liong. Demikian cepat seperti kilat
menyambarnya tiga pedang itu sehingga Thian Liong
terpaksa membuang diri ke belakang lalu bergulingan
menjauh dan cepat dia melompat bangkit kembali.
Melihat tiga orang wanita Itu sudah hendak
menerjangnya lagi dengan pedang diputar di atas kepala,
Thian Liong cepat menyimpan pedangnya dan
mengerahkan tenaga sakti, mendorong ke arah mereka
dengan kedua telapak tangan.
"Wuuutttt....! !" Angin yang kuat sekali menerpa tiga
orang wanita itu. Mereka merasa terkejut sekali dan
berusaha menahan, namun mereka tidak kuat dan tetap
saja tubuh mereka terdorong angin dan terhuyunghuyung ke belakang. Bahkan Ai Yin yang agaknya paling
lemah dl antara mereka bertiga, terguling roboh.
Walaupun mereka tldak terluka, namun mereka terkejut
sekali dan ketlka mereka memahdang ke depan, ternyata
pemuda itu telah menghilang dari sltu.
272

Melihat itu, Kim Lan menjatuhkan diri berlutut dl depan


kaki subonya dan menangis. "Subo, teecu (murid) dltolak
seorang iaki-laki dan teecu tidak mampu membunuhnya.
Sllakan subo menghukum dan membunuh teecu, teecu
pasrah...."
Blauw In Su-thai menghela napaa panjang. tangan
kanan maslh memegang pedangnya. Pada saat itu, Ai
Yin yang mencinta suclnya Juga ikut berlutut di depan
kaki Biauw In Suthai dan berkata, "Subo, sucl tidak
bersalah. Ia sudah berusaha membunuh Souw Thlan
Liong, bahkan teecu dan subo sendirl juga sudah
membantunya. Namun, orang itu terlalu tangguh."
"Hemm, menurut sumpahmu sendlri, laki-lakl itu
adalah jodohmu dan kalau dla menolak, engkau
berusaha
untuk
membunuhnya.
Pergilah
dan
usahakanlah agar engkau dapat membunuh dia, dan
jangan sekali-kali engkau berani kembali menghadapku di
sini sebelum engkau mampu membunuhnya!" kata nenek
itu, kemudian sambil mendengus marah, ia memutar
tubuhnya dan menlnggalkan tempat itu.
Kim Lan masih terisak dan mengha-pus air matanya.
Mukanya menjadi pucat dan ia memandang wajah
sumoinya de-ngan sedih. "Sumoi, selamat tinggal, aku
hendak pergi dan berusaha memenuhi sumpahku,
sampai aku berhasil atau mati." Setelah berkata
demikian, Klm Lan memballkkan tubuhnya dan berlart
cepat meninggalkan sumolnya.
"Sucl, tunggu....ll" Ai Yln melompat dan melakukan
pengejaran. Klm Lan berhentl. Mereka berdlri
berhadapan. "Ada apakah, sumoi?" "Sucl, aku Ikut pergl
denganmu."
273

Kim Lan membelalakkan matanya, kemudian


mengerutkan allsnya yang Indah bentuknya. "Ah, sumol!
Engkau tidak boleh! Subo akan marah sekali kepadamu'"
"Biarlah, suci. Aku tidak tahan lagi dihantui sumpah
kita itu, apalagi setelah melihat akibatnya kepadamu! Aku
tidak mau kelak sepertimu, suci. Dan ingat, yang
disumpah subo hanyalah kita berdua, karena itu aku
harus membantu-mu dan membelamu. Bukankah engkau
akan membelaku juga kalau aku tertimpa masalah
seperti engkau sekarang ini? Suci, kita berdua sudah
yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kita
berdua sudah seperti saudara sendiri, sejak kecil hidup
bersama. Ah, kalau aku tahu akan begini jadinya, dahulu
aku tidak akan mau bersumpah, biar tidak menguasai
Tian-lui-kiam-sut juga tidak mengapa."
"Sumoi....!" Kedua orang gadis itu berangkulan dan
menangis. Tak lama kemudian, dua orang gadis Itu sudah
menuruni lereng pegunungan Kun-lun-san. Ai Yin ikut
pergi bersama sucinya untuk. membantu sucinya
mencari Thian Liong, untuk membunuh pemuda itu atau
kalau: gagal mereka yang akan dibunuh guru mereka!
Tentu saja, kecuali kalau pemuda itu mau menikahinya.
Sementara itu, dl balik sebuah batu besar, Biauw In
Suthai berdiri dan dengan punggung tangan kirinya ia
mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa
butir air mata yang membasahi pelupuk matanya. Nenek
yang keras hati seperti baja itu menangis, walaupun tak
bersuara dan hanya beberapa butir air mata membasahi
pelupuk matanya! Kalau saja ada murid Kun-lun-pai
melihatnya, pasti mereka akan menjadi gempar dan
terheran-heran. Hati Biauw In Suthai terkenal keras dan
kaku, bahkan ketika ia kematian gurunyapun tak sebu-tir
274

alr mata keluar dari matanya yang selalu bersinar keras.


Akan tetapi pada saat itu, di mana tidak ada orang lain
menyaksikannya, ia merasa hatinya se-perti ditusuktusuk pedang dan ia tidak dapat menahan ketika
beberapa butir air mata membasahi kedua matanya.
Itupun cepatcepat butir-butir air mata itu dihapusnya.
Kemudlan dengan tubuh terasa lemah lunglal ia
menjatuhkan dlrl duduk dl atas tanah berumput dan
berslla. Plklrannya melayang-layang ke masa la-lu.
Ia pernah muda. Lama sebelum menjadi pendeta dan
tokoh besar tingkat tiga Kun-lun-pal. la pernah Jatuh
clnta. Bahkan tlga kali la jatuh clnta! Namun ke tiga
kallnya gagal. Selalu saja la dlsila-siakan, ditinggal pergi
suaminya yang menikah dengan wanlta lain. la merasa
seakan bunga layu yang dibuang setelah sarl madunya
dihlsap habis. la tldak pernah mempunyai anak darl tlga
kali menjadi isteri orang. Mulailah la merasa bencl
kepada laki-laki. Demiklan mendalam rasa sakit hatinya
sehingga la memperdalam ilmu silatnya dan setelah
menjadi seorang ahli silat yang pandai, ia mencari ketiga
orang laki-lakl bekas suaminya yang menyianyiakan dan
membunuh mereka! Kemudian sebagai seorang
pendekar wanita, ia melanglangbuana dan selalu
membunuh penjahat tanpa ampun. Akan tetapi yang
dibunuhnya selalu prial Prla yang menjadl penjahat,
terutama sekall la selalu memburu para jai-hwa-cat
(penjahat pametik bunga atau pemerkosa wanlta) dan
tanpa ampun membunuhnya dengan sadis!
la
baru
menghentikan
kebiasaannya
yang
menggemparkan dunla perailatan itu setelah ta bertemu
dengan Kut Beng Thalsu yang sekarang menjadl Ketua
Umum Kun-lun-pal. la dlkalahkan dengan mudah oleh
pendeta Kun-lun-pal itu, bahkan lalu menerlma
275

bimblngan dalam llmu silat dan juga tentang kerohanlan.


Akhirnya, karena ia maJu sekali, bukan saja dalam llmu
sllat, melainkan juga dalam soal kerohanian sehlngga la
tldak lagi menjadl ganas dan kejam, bahkan pantang
untuk sembarangan membunuh, Kui Beng Thaisu yang
melihat bakat baik darl wanlta ini untuk menjadl pelatlh
llmu sllat, alu mengangkatnya sebagai pimpinan bagian
murid Kun-lun-pai wanita, menjadi pembantu Hui In
Siarikouw yang menjadi ketua bagian murld wanita.
Kemudian Biauw In Suthai memlllh dua orang gadis
yatlm piatu menjadi murid pribadinya, yaitu Kim Lan dan
Ai Yin. Selama hampir sepuluh tahun ia mendidik dua
orang gadis ini, bahkan menurunkan ilmu pedang Tianlui-kiam-sut yang tidak dapat diajarkan kepada
sembarang murid. Untuk itu, ia mengharuskan dua orang
murid ini melakukan sumpah seperti yang telah kita
ketahui. Sumpah itu menunjukkan betapa benci ia
kepada kaum pria dan sesungguhnya ia tidak rela kalau
dua orang murid yang disayangnya seperti anak-anaknya
sendiri itu menjadi isteri orang hanya dengan bahaya
kelak akan mengalami nasib seperti dirinya, yaitu disiasiakah suami dan ditinggal pergi! Kalau ada pria yang
mampu mengalahkan Thian-lui-kiam-sut, berarti pria itu
sakti dan hal ini dapat menguntungkan ia atau pihak Kunlun-pai. Pria yang menjadi suami muridnya itu dapat
mengajarkan
ilmuilmunya
yang
sudah
dapat
mengalahkan Tian-lui-kiam-sut sehingga mutu ilmu silat
Kun-lunpai dapat meningkat. Akan tetapi kalau pria itu
menolak mengawini murid yang dikalahkannya, muridwa
harus membunuh laki-laki itu. Inilah merupakan jalan
baginya untuk membalas dendamnya kepada kaum pria
yang dibencinya! Juga untuk menguji kesetiaan dua
orang murid yang dikasihinya itu. Semua ilmunya telah ia
berikan dan ia menuntut agar dua orang muridnya itu
276

berbakti dan setia kepadanya.


Akan tetapi, ketika diam-diam ia mengintai dan melihat
betapa dua orang muridnya itu pergi meninggalkannya
untuk berusaha mengejar dan membunuh Souw Thian
Liong. hati pendeta wanita itu merasa sedih sekali.
Dendam sakit hati merupakan racun jahat yang akan
merusak batin sendiri. Dendam sakit hati menimbulkan
kebencian
dan
nafsu
kebencian
membuahkan
kekejaman, menghilangkan prikemanusiaan karena
kebencian bagaikan api baru dapat dipadamkan oleh
tindakan buas untuk menda-tangkan siksaan bahkan
pembunuhan ter~ hadap orang yang dibenci. Namun
yang diderita oleh Biauw In Suthai bukan ha-nya dendam
kebenclan karena disia-siakan pria selama tlga kali saja,
terutama sekali dendam ini dikobarkan karena pada
terakhir kalinya, yaitu ketika ia bertemu dengan pria ke
empat dan ia jatuh cinta secara mendalam, pria itu tidak
membalas cintanya karena medgetahui bahwa ia telah
menjadi janda tiga kali! Kekecewaan ini merupakan
puncak pen-deritaannya karena harus diakuinya bah-wa
pada pria ke empat ini ia benar-be-nar jatuh cinta.
Selagi Biauw In Suthai tenggelam ke dalam
kesedihan, tiba-tiba ia mendengar teguran suara yang
lembut.
"Biauw In, ada apakah dengan engkau ?.
Nenek itu terkejut bukan maln. Orang datang begitu
dekat dl belakangnya dan ia tldak mengetahuinya! Hal Ini
menunjukkan betapa hebat gln-kang (llmu merlngankan
tubuh) orang Itu. Akan tetapi ketlka ia bangklt dan
memutar tubuh, la mellhat bahwa dl situ telah berdiri
277

seorang kekek yang Jangkung kurus, berJenggot


panjang, berambut putlh, yang bukan lain adalah Kul
Beng Thaisu sendirl, Ketua Umum Kun-lun-pai, penolong
dan juga pembimbingnya. la maklum bah-wa kepada
kakek ini ia tidak dapat menyembunyikan sesuatu. Kakek
iitu andah berada di situ, tentu telah mengetahui akan
kepergian dua orang muridnya tadi, bahkao mungkin
sudah mengetahui pula tentang Souw Thian Liong!
Maka, iapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu, menahan tangisnya. Saking sedihnya, ia tidak
dapat mengeluarkan kata-kata.
"Sumoi, tenangkan batlnmu dan ceritakanlah
kepadaku, apa yang telah cerja-di sehingga engkau
tenggelam dalam kesedlhan?" Kul iBeng Thalsu adalah
orang yang menyadarkan nenek itu yang dahulu maalh
seorang wanlta muda berusla tlga puluh tahun bernama
Blauw In. Juga dla yang memberl pendidlkan dan blmblngan kepadanya. Akan tetapl karena pada waktu Itu
gurunya maslh hldup dan Blauw In diterima sebagal
murld Kun-lun-pai, mellhat tlngkat kepandaiannya sudah
tinggl, maka dia menyebut sumol (adik perempuan
seperguruan) kepada Blauw In Suthai dan nenek inl
menyebutnya suheng (kakak laki-laki seperguruan).
Dan setelah guru mereka meninggal, Kui Beng
Thaisu menggantikan kedudukan ketua dan dia
mengangkat Biauw In Suthai menjadi wakil ketua bagian
murid wanita.
Biauw In Suthai menenangkan hatinya dan beberapa
kali menghirup napas panjang sambil mengheningkan
cipta. Se-telah merasa hatinya tenang, ia bangkit berdiri
dengan perlahan.

278

"Mari duduk di sana dan engkau ke-luarkanlah semua


masalah yang merlsau-kan hatimu, sumoi," kata kakek
itu. Biauw In Suthai mengangguk dan kedua-nya lalu
menghampiri sekumpulan batu tak jauh dari situ lalu
masing-masing du-duk di atas sebuah batu.
"Maafkan kelemahanku, suheng. Semua itu terjadi
demikiah cepatnya dan dalam waktu singkat terjadi
demikian banyak perubahan. Mula-mula aku melihat
munculnya seorang pemuda di depan asrama puteri para
murid Kun-lun-pai. Tentu saja aku curiga kepadanya dan
selain
menergurnya
aku
juga
menguji
ilmu
kepandaiannya karena kulihat dia memiliki ilmu berlari
cepat yang hebat."
"Sian-cai (damai) ........ Kenapa engkau masih juga
belum dapat melunakkan hatimu yang keras itu, sumoi?"
"Aku berniat mengujinya saja, suheng. Ternyata dia
memang lihai sekali. Suci Hui In Siankouw datang dan
melerai. Atas pertanyaan suci, pemuda itu mengaku
bernama Souw Thian Liong dan dia murid Tiong Lee Cinjin."
"Murid Tiong Lee Cin-jin? Ahh, tidak aneh kalau dia
lihai sekali. Akan tetapi apa keperluan murid Tiong Lee
Cin-jin datang berkunjung?"
"Tadinya dia memang hendak menghadap suheng,
akan tetapi dia tersesat ke asrama bagian puteri. Suci
Hui In mewakili suheng dan dia bercerita kepada suci,
bahwa dia diutus Tiong Lee Cin-jin untuk menyerahkan
sebuah kitab kepada suheng. Kitab itu bukan lain adalah
Kitab Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat,"

279

"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru kagum. "Jadi


Tiong Lee Cin-jin telah berhasil menemukan kitab pusaka
kita yang telah hilang ratusan tahun yang lalu itu dan
mengembelikan kepade klta? Bukan malnl Sungguh
beliau seorang yang sakti den bljakaana sekali!"
"Akan tetapl kelanjutan ceritaku tidak begltu
menyenangkan, suheng. Pemuda she Souw itu
mengatakan bahwa baru saja kitab pusaka kita itu dicuri
orang."
"Sian-cai;...! Slapa yang mencurinya?"
"Itulah, suheng, Dla sendiri tidak tahu slapa yang
mencurinya. Aku menganggap dia berbohong dan
hendak menyembunylkan kitab itu. Aku hendak
menyerangnya dan memaksanya mengaku dl mana kitab
itu, akan tetapi sucl Hui In melarangku."
"Sucimu benar, sumoi. Pemuda Itu tidak mungkin
menyembunyikannya. Dia sudah berani datang
menceritakan tentang kehilangan kitab itu, berarti dia
jujur. Apakah dia tidak mengatakan pertanggunganjawabnya atas kehilangan itu?"
"'Dia mengatakan bahwa dia akan mencari kitab itu
sampai dapat."
"Nah, Itu sudah cukup. Kltab pusaka Itu sudah ratusan
tahun lenyap. Tlba-tlba saja ditemukan Tlong Lee Cin-Jln
yang mengutus murldnya untuk mengembalikan kepada
klta. Kalau kltab itu dlcurl orang, hal itu merupakan
sebuah kecelakaan. Tiong Lee Cln-Jin adalah seorang
yang sakti dan bijak, tentu murid-nya juga seorartg yang
gagah perkasa. Lalu, apa yang menyebabkan engkau
280

bersedih?"
Biauw In Suthai menduga bahwa suhengnya tentu
sudah tahu akan kepergian dua orang muridnya, bahkan
mungkin tahu pula akan pertandingan tadl.
"Ketika Souw Thian Llong turun dari puncak, aku
bersama Kim Lan dan Ai, Yin sengaja menghadangnya,
suheng."
"Hemm, apa lagi yang kaulakukan bersama dua
orang muridrnu itu, sumoi?"
"Aku menantang pemuda itu untuk bertanding
pedang melawan muridku Kim Lan. Muridku itu sudali
dewasa, sudah berusia sembilan belas tahun, dan pemuda murid Tiong Lee Cin-jtn itu memiliki ilmu kepandaian
tlnggi, suheng. Aku yakin bahwa pemuda itu pasti dapat
mengalahkan Kim Lan dan aku ingin dia menjadi jodoh
Kim Lan."
Kui Beng Thaisu mengerutkan alisnya yang putih. Dia
memandang sumoinya dengan sinar mata lembut namun
penuh keheranan.
"Hemm, kalau hendak menjodohkan muridmu,
kenapa harus mengadu 'mereka? Apakah maksudmu
sebenarnya, sumoi?"
Nenek itu menundukkan mukanya. Terpaksa ia harus
menceritakan rahasia-nya dengan dua orang muridnya
itu. Suaranya lirih ketika ia menjawab, "Ketika dua orang
muridku berlatih Tian-lui-kiam-sut mereka telah
bersumpah bahwa mereka hanya mau menikah dengan
pria yang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka itu."
281

"Hemm, bagaimana engkau dapat menyuruh mereka


bersumpah seperti itu? Bagaimana kalau pria yang
mengalahkan mereka itu tidak mau menikah dengan
mereka?"
Suara Biauw In Suthai semakin lirih ketika menjawab,
"Kalau pria yang mengalahkan mereka tldak mau
memperistri mereka, maka mereka harus membalas
penghinaan itu dengan membunuhnya!"
"Siancai....!" Kui Beng Thaisu berseru dan alisnya
berkerut. "Kemudlan bagaimana?"
"Kim Lan bertanding dengan Souw Thian Liong dan
la kalah. Karena pemuda itu menolak untuk berjodoh
dengannya, Kim Lan, menyerangnya dan hendak
membunuhnya memenuhi sumpahnya, akan tetapi
pemuda itu melarikan diri. Kini Kim Lan dan Ai Yin ........
mereka.... pergi untuk mencari dan membunuh pemuda
itu...."
Kui Beng Thaisu terkejut dan menggeleng-geleng
kepalanya sambil mengelus jenggotnya yang putih
panjang. Kemudian dia mengangguk-angguk.
"Hemm, tidak kusangka bahwa penyakit dendammu
terhadap kaum pria ternyata telah berakar dalam batinmu
sehingga diam-diam telah meracunimu. Racun itu pada
akhirnya akan merusak dirimu sendiri. Buktinya sekarang
telah mengorbankan kedua muridmu yang kausayang
seperti anak-anakmu sendiri. Ah, Biauw In sumoi, kiranya
semua pelajaran yang tclah kuberikan kepadamu selama puluhan tahun ini, hanya mampu menghilangkan
kebuasanmu saja, akan tetapi tidak pernah dapat
melenyapkan dendanimu terhadap pria. Alangkah
282

sayangnya. Aku, aingguh merasa kecewa sekali, sumoi.


Engkau tega mengorbankan muridmu sendiri untuk
melamplas-kan dendam hatlmu terhadap prla."
Mendengar ucapan suhengnya yang sudah
dlanggapnya sebagal gurunya sendlri, penolongnya dan
orang yang selama kurang teblh dua puluh tahun
memblm-blngnya, yang cllkeluarkan dengan nada ledlh
Itu, Biauw In Suthai menundukkan mukanya yang
menjadi pucat dari la menguatkan perasaannya agar
jangan sampal menangis.
Maafkan aku, suheng. Maafkan aku. Setelah kedua
orang muridku pergl, baru aku menyadarl bahwa aku
telah membuat mereka menderital Aku telah membuat
dua orang yang kusayang seperti anak-anakku sendiri itu
hidup merana. Sesungguhnya, selama ini aku sudah
berusaha untuk menekan nafsu dendam kebencianku.
Aku menyumpah kedua orang muridku itu hanya untuk
menjaga agar mereka berdua memperoleh suami yang
berilmu tinggi, yang lebih tangguh daripada mereka. Aku
ingin mereka mendapatkan suami seorang pendekar.
Akan tetapi setelah aku mendengar bahwa Souw Thian
Liong itu murid Tiong Lee Cin-jin.... ah, aku menjadi lupa
diri, terbakar oleh perasaan sakit hatiku...."
"Eh? Apa hubungan sakit hatimu dengan Tiong Lee
Cin-jin?" tanya ketua Kun-lun-pai itu dengan heran.
Biauw In Suthai tetap menundukkan mukanya dan
menjawab dengan lirih. "Tiong Lee .... Bu Tiong Lee....
dialah laki-laki terakhir dalam hidupku, dialah yang
mengobarkan sakit hatiku terhadap tiga orang suamiku
yang terdahulu seperti yang pernah kucerltakan kepada
suheng...."
283

"Siancai....! Jadl Tlong Lee Cin-jin di waktu beliau


masih muda itukah pria yang pernah membuat engkau
jatuh cinta, kemudian engkau kecewa dan patah hati
karena dia tidak membalas cintamu, bahkan
meninggalkanmu begitu saja? Biauw In, Biauw In!
Sungguh engkau telah tersesat jauh. Bagaimana
mungkin engkau dapat mengharapkan seorang pemuda
arif bijaksana sepertl Tiong Lee Cin-lin untuk jatuh cinta
padamu? Beliau adafah seorang yang menyerahkan
seluruh kehidupannya untuk mengembangkan pelajaran
tentang agama, tentang rohaniah, dan beliau adalah
seorang manusia yang telah mampu menundukkan
semua nafsu daya rendah dalam dirinya. Jadi, engkau
ingin murid-muridmu dapat membunuh Souw Thian Liong
karena dia itu murid Tiong Lee Cin-jin, untuk
melampiaskan sakit hati dan kekecewaanmu?"
"Maafkan aku, suheng. Sesungguhnya, bukan itu
satu-satunya tujuanku. Andaikata pemuda itu menerima
dan mau menJadi suami KlmLan, berartl aku ber-besan
murid dengan Tiong ! Lee Cin-jin dan Kun-lun-pal menjadi
bertambah kuat karena mendapat tambaha'n tlmu melalui
suami Kim Lan,j Akan tetapi pemuda itu menolak
sehingga Kim Lan pergi hendak mencari dan
membunuhnya, dan Ai Yin ikut sucinya untuk
membantu."
"Hemm, dorongan nafsu dendam kebencianmu telah
membuat engkau men-jadi seorang wanita yang tidak
berperasaan dan tidak berperikemanusiaan lagi,
membuat engkau tega untuk mengorban-kan muridmurid sendiri, tega pula un-tuk menyuruh murid-muridmu
membunuh orang-orang tidak berdosa. Sekarang nafsu
jahatmu telah terlaksana, engkau membuat muridmuridmu bermusuhan dengan murid Tiong Lee Cin-jin.
284

Seharusnya engkau merasa puas dan setan dalam dirimu


bersorak-sorai kegirangan, mengapa engkau malah
menjadi sedih dan menangis?"
Biauw In Suthal tidak kuat bertahan lagi. la turun dari
atas batu dan menja-tuhkan diri berlutut di depan batu
yang diduduki Kui Beng Thaisu sambil menangis. Kini
tangisnya adalah tangis aseli, tangis wajar seorang
wanita tua yang merasa sedih dan penuh penyesalan
diri, terisakisak dan alr mata bercucuran darl kedua
matanya, mengallr di sepanjang pipinya yang pucat.
Seolah-olah bendungan yang dibentuk oleh kekerasan
hatl se-jak bertahun-tahun dan menjadi bepdung-an baja
yang amat kuat itu tiba-tiba pe-cah dan wanita itu
menangis sampai sesenggukan. Beberapa lamanya Kui
Beng Taisu hanya memandang sambil mengelus
jeriggotnya yang putih panjang, meng-angguk-angguk
sendiri karena diam-diam dia maklum bahwa akhirnya dia
berhasil mencairkan hati yang mengeras seperti baja itu.
Dia maklum bahwa tangislah merupakan obat yang amat
manjur bagi penyakit yang diderita sumoi-nya itu. Kalau
tidak dapat menangis, terdapat ancaman bahaya besar
bagi kesehatan wanita itu. Kehancuran perasaan sehebat itu dapat membuat ia jatuh sakit berat atau bahkan
mendatangkan gun-cangan dan tekanan batin yang
dapat membuat ia menjadi gila.
Blauw In Suthal sepuasnya menumpah-kan semua
penyesalan dan kesedihan hatlnya mclalul tanglsnya.
Satelah hatlnya terasa rlngan dan tangianyra meredo, la.
mengusap mukanya yang basah Itu dengan ujung lengan
bajunya yang sudah basah pula, kemudian ia berkata
llrih.
"Suheng, anipunkan aku, suheng...."
285

"Engkau tahu, sumoi bahwa engkau tidak bersalah


kepadaku. Engkau bersalah kepada Thian (Tuhan) dan
kepadanyalah engkau harus minta ampun. Akan tetapl
minta ampun saja tidak ada gunanya, sumoi.
Permohonan arnpun kepada Tuhan haruslah disertai
pertaubatan dan taubat yang sesungguhnya bukan
hanya timbul dalam hati dan pikiran, bukan hanya
terucapkan oleh mulut, melainkan harus dibuktikan dalam
tindakan, dalam perbu-atan. Hati dan pikiranmu haruslah
dicucl bersih dari dendam saklt hati itu dan
pertaubatanmu harus terbukti dengan tidak mengulangi
lagi plkiran dan perbuatan yang telah kaulakukan itu.
Inipun belum cukup. Kesadaranmu dan penyesalang
hatimu harus dibuktikan dengan relanya engkau
menerlma hukuman atas segala kesalahanmu Itu dalam
bentuk keprihatinan. Kalau tidak, maka semua
penyesalanmu itu tidak ada gunanya karena akar
kebencian masih tetap hidup daiarn batinmu dan
sewaktu-waktu dapat menumbuhkan tunas baru."
"Aku mengerti, suheng, dan aku siap menerima
hukuman apapun yang suhertg berikan kepadaku."
"Bagus kalau begitu. Mulai hari ini engkau harus
tinggal dalam pondok peng-asingan selama tiga tahun!"
Biauw In Suthai menundukkan muka-nya. "Aku
menerima hukuman itu dengari rela, suheng."
"Sukurlah kalau begitu. Nah pergilah ke pondok
pengasingan' kita dan sampai gbertemu kembali tiga
tahun kemudian."
Biauw In Suthai memberi hormat lalu berjalan pergi
mendaki puncak sambil iinenundukkan mukanya. Tentu
286

saja ia mengenal pondok pengasingan itu. Merupakan


sebuah pondok terpencil agak jauh di belakang kompleks
bangunan Kun-lun-pai, sebuah pondok sederhana dan
kosong di mana seorang murid yang terhukum harus
melewatkan hari-harinya dengan berprihatin dan
bersamadhi, tldak diperkenankan meninggalkan pondok
yang sunyi itu sebelum masa huk'umannya ha-bis.
Menyepi sendiri dan untuk makanan-nya yang sederhana,
setiap pagi seorang murid bertingkat paling rendah
mengantarkan makanan itu dan menaruhnya di depan
pintu.
Kui Beng Thaisu merigikuti bayangan sumoinya
dengan pandang mata, kemu-dian dia mengelus
jenggotnya dan meng-hela napas panjang.
"Sian-cai ........ semoga Thian menolongnya dan
membebaskannya dari tekanan nafsu kebencian."
Thian Liong tiba di daerah Pegunungan Bu-tong-san.
Karena senja telah tiba, ketika dia memasuki sebuah
dusun yang cukup besar dan di sltu terdapat sebuah
rumah pengihapan sederhana, dia memasuki rumah
penginapan merangkap rumah makan Itu. Tadinya dia
mengira bahwa tempat Itu hanya merupakan rumah ma
kan dan dia hanya ingin makan dan bertanya-tanya di
mana dia bisa mendapat-kan tempat untuk bermalam.
Pelayan yang menyambutnya tersenyum mendengar
pertanyaannya.
"Tuan mencari tempat untuk menginap? Di sinilah
tempatnya. Kami mem-punyai beberapa buah kamar
yang kartii sewakan kepada para tamu dari luar dusun.
Selain di sini tidak ada tempat lain yang menyewakan
kamar!"
287

Thian Liong menjadi girang. Dia tidak jadi memcuri


makanan karena hendak mandi lebih dulu, dan dia minta
diantar ke sebuah kamar yang akan disewanya untuk
malam itu. Ternyata kamar itu walaupun kecil namun,
bersih dan tempat tidurnya yang sederhana Juga cukup
bersih. Ada pula karriar mandi di situ dan Thian Liong
segera mandi dan ber-ganti pakaian bersih. Dia bersiapsiap untuk keluar dari kamar menuju ke rumah makan
yang berada di ruangan depan. Dia harus membawa
kantung uang emas dan pedangnya, karena kalau
ditinggalkan di dalam kamar, ada kemungkinan barangbarang berharga itu akan dicuri orang. Dia mengikatkan
pedang di belakang punggungnya dan mengikatkan
kantung emas di pinggangnya, meninggalkan buntalan
pakaiannya dl atas meja dalam kamar. Pada saat itu dia
mendengar suara merdu wanita di luar kamarnya, bicara
dengan suara pelayan yang telah menerimanya tadi.
Berdebar rasa jantung Thian Liong. Segera dla
teringat akan gadis yang dijumpainya di Kunlun-san
dahulu Itu, maka cepat dia membuka daun pintu
kamarnya dan melangkah keluar. Hampir saja dia
bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian serba
hljau. Namun dengan gerakan ringan dan gesit sekall
gadis Itu inengelak dan mencondongkan tubuh ke klri
sehlngga tidak terjadl tabrakan. Thian Llong menclum
bau harum bunga mawar ketlka gadls Itu membuat
gerakan menghindar.
"Ah, maafkan aku, nona!" katanya dan dia melihat
bahwa gadls ini bukan gadis yang dljumpalnya dl Kunlun-san dahulu itu. Memang keduanya sebaya, kurang
lebih delapan belas tahun, sama-sama cantik jelita,
wajahnya agak bulat, me-miliki daya tarik yang kuat,
terutam.a sekali sepasang matanya yang indah dengan
288

kerling tajam memikat dan bibirnya yang menggairahkan


dengan senyumnya yang semanis madu.
Gadis itu memandang wajah Thian Liong yang
tampan dan ia tersenyum. Manis sekali! Thian Liong
memandang, dalam hatinya merasa kagum dan juga
heran bagaimana dalam sebuah dusun di kaki
pegunungan itu dia dapat bertemu dengan seorang gadis
seperti itu. Jelas bukan seorang gadis dusun yang
sederhana. Rambut yang hitam lebat itu digelung indah
ke atas dan dihias setangkai bunga mawar merah.
Kalung, anting-anting dan gelang emas bertabur permata
meng-hias tubuhnya yang padat langsing. Di
punggungnya, di bawah sebuah buntalan pakaian dari
kain kuning, tampak ga-gang sepasang pedang.
"Tidak mengapa," kata gadis itu dengan suara merdu
dan senyumnya meng-hias bibir yang merah basah,
"masih un-, tung kita tidak bertabrakan!"
"Maafkan," kata lagi Thian Liong dan dia melanjutkan
langkahnya menuju ke depan. Dia mendengar pelayan itu
berkata kepada gadis tadi.
"Inilah kamar nona," kata pelayan itu.
"Sunyi benar rumah penginapan ini" kata gadis itu.
"Hari ini memang sepi, nona. Tamunya hanya nona
dan tuan tadi, yang hampir bertabrakan dengan nona.
Biasanya ramai, sampai sepuluh buah karnar kami penuh
semua."
"Sudah, tinggalkanlah aku."

289

"Baik, nona. Kalau nona hendak makan, silakan pergi


ke rumah makan kami, di bagian depan bangunan ini."
kata pelayan itu yang segera pergi.
Thian Liong tidak memperdulikan mereka lagi dan
memasuki rumah makan sederhana itu. Dia duduk
menghadapi meja dan memesan nasi dan dua macam
masakan sayur dan daging ayam. Untuk mlnumnya dia
memesan alr teh.
Ketika dia duduk termenung menanti datangnya
makanan yang dipesannya, ti-ba-tiba terdengar suara
merdu di belakangnya. "Wah, agaknya tamunya hanya
klta berdua! Bagaimana kalau aku juga makan di meja
ini? Agar ada teman bercakap-cakap."
Thian Liong menoleh dan bangkit ber-dlri ketika
melihat bahwa yang bicara adalah gadis tadi. Buntalannya
sudah ti-ak ada, tentu ditinggalkan di dalam kamar
seperti yang dia lakukan. Siang-kiam (sepasang pedang)
itu kini tergantung di pungungnya dan di pinggangnya
tergantung beberapa buah kantung kain. Pakaiannya
yang serba hijau itu bersih dan terbuat dari sutera yang
halus. Bunga mawar merah di rambutnya ,serasi sekali
dengan pakaiannya yang hijau.
Thian Liong tercengang keheranan mendengar gadis
itu ingin duduk semeja dengan nya untuk makan dan
bercakap-cakap. Darl sikap yang berani dan tidak malumalu ini dia dapat mengambil kesimpulan bahwa gadis ini
seorang gadis yang biasa melakukan perjalanan di dunia
per-silatan dan seorang gadis yang sikapnya terbuka dan
tidak terikat oleh segala macam peraturan dan
peradatan.

290

"Oh, silakan, nona. Silakan!"


Gadis itu tampak gembira sekali dan ia lalu menarik
sebuah kursi dan duduk berhadapan dengan Thian
Liong, terha-lang meja yang tldak berapa besar se"
hingga mereka saling berhadapan dalam jarak dekat,
hanya satu meter lebih. Berdebar juga rasa jantung dalam
dada Thian Liong. Gadis itu demikian dekat dengannya
dan kembali hidungnya tnenang-kap keharuman bunga
mawar. Bagaima-na mungkin setangkai bunga mawar
yang menghias kepala gadis itu dapat mena-burkan
keharuman
demikian
semerbak?
Gadis
itu
menggapaikan tangan memang-gil pelayan yapg segera
datang meng-hampiri.
"Aku memesan makanan yang sama dengan yang
dipesan tuan ini. Dan ja-ngan lupa, sediakan seguci kecil
anggur yang paling baik."
Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan
mereka. "Akan tetapi aku hanya memesan minuman air
teh, nona."
Gadis itu mengerling dengan matanya yang indah.
Kerling tajam memikat disertai senyum manis, alisnya
bergerak tanda heran. "Akan tetapi mengapa? Hawanya
begini dingin, sebaiknya minum arak atau anggur yang
dapat mengha-ngatkan badan."
"Aku.... aku tidak pernah minum arak."
Sepasang alis itu kini bergerak naik bersama kedua
matanya yang terbelalak lebar. "Sungguh aneh! Baru
sekarang aku mendengar seorang laki-laki tidak pernah
minum arak! Padahal melihat engkau membawa
291

sebatang pedang di punggungmu, mestinya engkau


seorang kangouw (dunia persilatan) yang tidak asing
dengan arak atau anggur."
Thian Liong tersenyum. "Arak dapat membuat orang
mabok dan mabok membuat orang kehilangan akal dan
pertimbangan sehingga dia dapat melakukan hal-hal yang
tidak baik."
"Hi-hi-hik!" Gadis itu tertawa, tawanya lepas sehlngga
kedua biblr Itu merekah, tampaklah deretan gigi yang rapl
dan putih bersih. "Orang minum arak harus dapat
menyesuaikan dengan kekuatan minumnya sehingga
tidak dapat sampai mabok; Aku sendiri selama hidupku
bekum pernah mabok, beberapa banyakpun anggur atau
arak yang kuminum!"
"Silakan nona kalau hendak minum anggur, bagiku
cukup air teh hangat saja!" kata Thian Liong yang tidak
ingin mencela kebiasaan minum arak gadis itu.
Beberapa lamanya mereka hanya duduk, menanti
datangnya makanan yang dlpesan, tidak bicara apapun,
Gadis itu mengamati wajah Thian Liong dengan penuh
perhatian. la melakukan itu tanpa pura-pura dan dengan
terang-terangan. Dl lain pihak, Thian Liong yang tahu
bahwa gadis itu memandangnya penuh perhatian,
menjadi salah tlngkah. Dia selalu mengelak untuk beradu
pandang dan diam-diam dia memperhatikan bajunya,
apakah ada yang tidak beres dengan pakaiannya. Dia
merasa rikuh, canggung dan tidak enak diamati seperti
itu. Maka, dla menghela napas lega ketika pelayan datang
membawa pesanan nasi dan masakan untuk mereka.
Melihat bahwa yang dipesan pemuda Itu hanyalah
292

nasi dan dua macam masakan sayur dan daging ayam,


gadis itu mengerutkan alisnya.
"Hanya ini?" .tegurnya kepada pelayan.
"Itulah yang dipesan oleh tuan Inl, nona." kata
pelayan.
"Hayo cepat tambah masakan Ikan sirip kuning saus
tomat, goreng burung dara, udang masak jamur, kepiting
goreng telur. Cepat, berapapun akan kubayar!"
Pelayan Itu memandang bodoh. ""Wah, pesanan
nona terlalu mewah. Mana di dusun ada udang dah
keplting? Ikan slrlp kunlngpun tidak ada, yang ada hanya
ikan lee-hl biasa. Burung dara juga tldak ada, adanya
ayam atau bebek."
"Wah, brengsek! Ya sudah, cepat sediakan segala
macam masakan yang ada di sini! Ikan lee-hi, ayam dan
bebek, apa saja. Cepat!"
"Baik, nona." Pelayan itu cepat mengundurkan dirl
untuk menyampaikan pesan itu kepada tukang masak.
Melihat semua itu, Thian Liong tersenyum, kemudian
berkata, "Mari, nona, Silakan makan, selagi sayurnya
masih panas."
Ya, akan tetapi makannya perlahan-lahan saja
sambil menunggu masakan lain yang kupesan."
"Bagiku ini saja sudah cukup." katag Thian Liong
sambil mengambil sepasang sumpit bambu yang
disediakan di atas meja. Gadis itupun memilih sepasang
sumpit dengan hati-hati, mencari yang bersih, kemudian
293

dia berkata.
"Tapi aku sudah memesan masakan-masakan laln
untuk kita berdua!"
Thlan Llong tldak menjawab, akan tetapl diam-diam
dla merasa tldak enak juga kalau tldak ikut makan begltu
banyak maaakan yang telah dipesan oleh gadis itu. Agar
jangan mengecewakan hati gadis itu yang agaknya
hendak menjamunya, diapun makan perlahan dan
sedikit-sedikit untuk menanti masakan-masakan baru
yang dipesan. Gadis itu minum anggur dengan lahap,
menuangkan anggur ke dalam cawannya dan minum
minuman keras itu seperti minum air saja. Beberapa kali
ia menawarkan kepada Thian Liong, namun pemuda itu
selalu menolak. dengan lembut dan mengucapkan terima
kasih. Bau anggur yang harum sedap itu memang
merangsang seleranya, akan tetapi dla tidak mau
mencoba-coba. Gurunya, Tiong Lee Cln-jin, pernah
mengatakan bahwa minuman keras itu amat berbahaya
karena dapat membuat orang ketagihan dan menjadi
pemabok. Seolah dapat mendengar suara hatinya, tibatiba gadls itu berkata.
"Anggur inl merupakan minuman yang menyehatkan,
asal saja peminumnya mengenal batas kekuatannya.
Kalau melampauhi batas kekuatannya, memang dapat
menjadi
racun.
Bahkan
semua
obat
yang
menyembuhkan sekallpun, kalau terlalu banyak dimlnum
dapat menjadl racun yang membahayakan kesehatan!"
Masakan-masakan yang dipesan diantar datang dan
gadis itu mempersilakan Thian Liong makan masakan
baru itu. Setelah menghabiskan setengah guci anggur
gadis itu menjadi semakin akrab dan hangat,
294

la kembali niinum anggur dari cawannya sambil


menatap wajah pemuda yang duduk di depannya.
Kemudian ia berkata setelah mengusap bibirnya dengan
sehelai saputangan.
"Sungguh aneh sekali keadaan kita berdua ini.
Tinggal di bawah satu atap, bahkan makan bersama di
satu meja, dan kita belum mengenal nama masingmasing! Bukankah ini aneh sekali? Kalau ada orang
melihat kita dan mendengar bahwa kita tidak saling
mengenal, pasti dia tidak percaya!"
Thian Liong menghablskan makanan terakhir dalam
mulutnya lalu minum air tehnya dan mengusap bibirnya
dengan ujung lengan bajunya. Dla maklum akan apa
yang terkandung dalam ucapan gadis itu, maka dia lalu
memperkenalkan namanya.
"Namaku Souw Thian Liong, seorang yatlm piatu
yang sedang mengembara."
"Souw Thian Liong? Namamu gagah sekall, segagah
orangnya! Engkau tentu lebih tua beberapa tahun dari
aku, maka aku akan menyebutmu Llong-ko (ka-kak
Liong). Engkau tidak berkeberatan, bukan?"
Thian Liong tersenyum. "tentu saja tldak."
"Engkau datang darl mana, Liong-ko? Dl mana
tempat tlnggalmu dan kalau engkau yatlm piatu, siapa
saja keluargamu? Engkau sudah berkeluarga beristeri
dan mempunyal anak, bukan? Dan sekarang hendak
pergi ke mana?"
Dlberondong pertanyaan itu, Thlan Llong tersenyum.
295

Gadis ini lincah, mengingatkan dia akan gadis yang


dijumpatnya di Kun-lun-san. Akan tetapi gadis berpa"
kaian serba merah muda itu galaknya bukan alang
kepalang, sedangkan gadis berpakaian serba hijau
dengan setangkai bunga mawar di kepalanya inl
tampaknya leblh ramah dan tldak galak.
"Wah, harus satu demi satu aku menjawab hujan
pertanyaanmu itu. Tentang keluarga, aku sudah tidak
mempunyai sanak keluarga lagi. Aku hldup sebatang
kara, tentu saja belum mempunyai isteri atau anak.
Tempat tlnggalku? Aku tidak mempunyal tempat tinggal
yang tetap. Dunta inl tempat tlnggalku, langit atap
rumahku dan bumi lantalnya! Darl mana aku datang dan
ke mana hendak pergi? Yah, katakanlah datang dari
belakang dan hendak pergi ke depan."
"Hl-hlk engkau lucu, Llong-ko! Burung mempunyal
sarang, ular mempunyal lubang, harlmau mempunyal
guha, semua mahluk memlllkl tempat tinggal. Maaa
engkau aeorang manusia tidak? Dan hari inl engkau
berada dl kaki pegunungan Bu-tong-aan, tentu
mempunyai tuuan hendak ke mana?"
Thian Liong terlngat akan gadis yang dia duga telah
mengambil kitab pusaka milik Kun-lunpal. Dia harus
berhati-hati. Dia belum mengenal siapa sebenarnya
gadls ini. Siapa tahu diamdiam gadis ini berniat untuk
merampas dua buah kitab yang masih berada dalam
kantung emas yang tergantung di pinggangnya. Maka dia
tidak menjawab dan mengalihkan perhatian.
"Ah, engkau tidak adil, nona. Engkau telah
menghujaniku
dengan
pertanyaan
dan
aku
memperkenalkan diriku. Akan tetapi engkau belum
296

memperkenalkan dirimu sehingga namamupun aku


belum tahu."
"Hemm, engkau ingin mengenal nama-ku? Aku
bernama Thio Siang In dan karena aku menyebutmu
Liong-ko, maka engkau boleh menyebutku In-moi (adik
ln)."
"Thio Siang In? Wah, namamu indah, seindah....
orangnya!" Thian Liong sengaja membalas, untuk
menyenangkan hati gadis itu dan untuk menyimpangkan
per" hatian agar gadis itu tidak banyak ber-tanya tentang
dirinya.
Gadis itu tersenyum dan matanya yang indah
mengerling tajam. "Ah, kiranya engkau seorang yang
pandai pula merayu, Liong-ko."
"Tidak, In-moi. Aku hanya bicara sejujurnya. Lalu, di
mana tempat tinggalmu dan siapa keluargamu?
Ceritakanlah selengkapnya tentang dirimu."
"Engkau
benar
mengetahuinya?"

hendak

mendengar

dan

"Benar-benar, In-moi. Bukankah kita telah berkenalan


dan menjadi sahabat?" "Baiklah. Aku berusla delapan
belas tahun.... dan engkau ..."
"Aku berusia dua puluh tahun." sambung Thian
Liong.
"Tepat seperti dugaanku. Engkau tentu leblh tua
dariku. Aku tinggal di sebuah dusun di Slnklang.
Bersama Ibu kandungku, seorang puterl Kepala Suku Ul297

gur. Ayahku.... ayahku.... entahlah, kata Ibu ayahku telah


lama pergi ketika aku masih dalam kandungan.... ah,
heran sekali!" Tlba-tiba gadls Itu bangkit berdiri dan
memandang kepada Thlan Liong dengan mata terbelalak.
"He, kenapa?" Thian Llong bertanya heran.
"Heran sekall! Kenapa beginl aneh? Ibu memesan
agar aku merahasiakan tentang ayahku, akan tetapi tibatiba saja aku menceritakannyai kepadamu!"
"Kalau tidak kauceritakan juga tidak mengapa.
Bagaimanapun juga, aku tidak suka mendengar seorang
suami meninggalkan isterinya begitu saja selagi anak-nya
berada dalam kandungan!"
"Tidak! Engkau salah sangka! Ayah kandungku itu
pergi karena dia terpaksa. Menurut cerita ibuku, kalau
ayahku tidak pergi melarikan diri, dia dan ibuku tentu
akan mati."
"Eh! Kenapa begitu?"
Siang In menghela napas panjang dan 'memandang
wajah Thian Liong dengan heran. "Sungguh mati, tak
tahu aku me-ngapa aku harus menceritakan semua rahasia ini kepadamu yang baru saja kuke-nal? Liong-ko,
tak perlu kau tahu segalanya, cukup kalau kau ketahul
bahwa ibuku adalah seorang puteri bangsa Ulgur den
ayahku seorang Han. Nah, aku tlnggal dengan Ibuku dan
aku menjadi murid darl paman tua (uwa), kakak ibu
sendirl. Akan tetapl biarpun aku maslh mempunyal
seorang ibu pada saat inl aku juga sebatang kara karena
aku sudah pergi merantau meninggalkan kampung
halam-an di Sin-kiang setahun yang lalu. Jadi, kita ini ada
298

persamaan, sama-sama pe-rantau, beratap langit


berlantai bumi." Gadi ini tertawa lepas dan mau tidak mau
Thian Liong ikut pula tertawa karena tawa yang wajar
terbuka dan mengandung getaran gembira seperti itu
amat menular!
Tiba-tiba ada sinar menyambar ke arah mereka.
Thian Liong dapat melihat dengan jelas bahwa benda
berkilat itu meluncur dan menyambar ke arah meja di
depan mereka. Dia yakin benar bahwa benda yang
ternyata sebatang hui-to (pisau terbang) kecil itu tidak
mengarah tubuh mereka, melainkan menuju ke arah
meja. Akan tetapi Thio Slang In sudah menggunakan
sepasang sumpit di tangan kanannya untuk menjepit
pisau terbang itu! Gerakannya demikian cepat sehing-ga
Thian Liong merasa kagum bukan main. Gadis peranaan
Uigur ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
dan memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Kalau tidak
demikian, tidak munglkin ia mampu menangkap pisau
terbang itu hanya dengan jepitan sepasang sumpitnya.
Dengan tenang Siang In mengambil sehelai kertas
yang tertancap pisau itu, lalu melempar pisau itu dengan
gerakan tangan kiri ke atas. Matanya hanya mengerling
sebentar ketika ia menggerakkan tangan kiri.
"Wuuuttt.... capppp!" Pisau kecil itu terbang meluncur
ke atas dan menancap di tiang kayu, tepat mengenai
perut sebuah cecak yang sedang merayap di Uang itu.
Tubuh cecak itu terpaku pada tiang!
Thian Liong memejamkan matanya, merasa ngeri
melihat perut cecak itu tertusuk pisau dan terpantek pada
tiang. Walaupun yang terbunuh itu hanya seekor cecak,
namun dia merasa ngeri dan betapa kejamnya gadis
299

cantik ini mem-bunuh seekor cecak yang tidak bersalah


apaapa.
Ketika Thian Liong membuka mata-nya memandang
kepada Siang In gadis itu tampak terseyuffl Jnepgejek
dan melempapkan kertas itu ke atas meja.
'Hemm,
orang-orang
Bu-tong-pai
som-bong!
Dikiranya aku gentar menghadapi Thai-kek Sinkiam
mereka?" Ketika ia melihat Thian Liong memandang ke
arah kertas di atas meja itu, Siang In berkata. "Bacalah,
tidak ada rahasia. Bahkan kalau engkau mau, engkau
boleh ikut dan menjadi saksiku."
Biarpun kejadian itu amat menarik hati Thian Liong,
dia tidak akan berani membaca surat yang dikirim secara
isti-mewa itu, tidak mau mencampuri urus-an prbadi
orang kalau saJ'a gadis itu ti-dak menyuruhnya membaca.
Dia mengam-bil kertas putih itu dan membaca tulisan
yang bergaya gagah itu. Dia dapat men-duga bahwa
penulis surat itu sengaja memamerkan tenaga dalamnya
melalui tulisannya sehingga gaya tulisannya amat kuat,
coretan-coretan itu tajam dan run-cing sehingga tarnpak
indah dan gagah.
Ang-hwa Sian-li, kami tidak ingln membuat keributan
di tempat umum. Kalau engkau berani, datanglah besok
pagi-pagi di hutan cemara sebelah utara dusun ini dan
kita mengadu kepandaian. Kalau engkau tidak datang,
berarti engkau hanya seorang pengecut!
Bu-tong-pai
Setelah membaca surat itu, Thian Liong memandang
wajah Slang !n dan bertanya, "In-moi, siapakah itu Ang300

hwa Sian-li?"
Siang In tersenyum dan tnenggunakan tangan kirinya
untuk menyentuh bunga mawar merah di kepalanya.
Thian Liong memandang ke arah bunga itu dan
mengertilah dia mengapa Siang In mempunyai julukan
Ang-hwa Sian-li (Dewl Bunga Merah). Memang gadis itu
cantik jelita seperti gambar dewi dan agaknya selalu
menghias rambutnya dengan se-tangkai bunga mawar
merah.
"Akulah yang dimaksudkan. Karena aku Jarang
memperkenalkan namaku yang sesungguhnya, dan
selama inl baru kepadamulah aku memberltahukan
namaku, maka orangorang yang pernah berurusan
denganku menyebutku Ang-hwa Sian-li."
Thian Liong mengambil kesimpulan. "In-moi, kalau
orang-orang menyebutmu Dewi Bunga Merah, hal itu
tentu karena engkau telah melakukan perbuatanperbuatan yang baik untuk menolong orang. Sebutan
Dewi itu merupakan pujian. Ka-lau orang suka
melakukan kejahatan, tentu akan diberi julukan Iblis atau
Silu-man."
Gadis itu tersenyum. "Terima kasih kalau engkau
berpendapat begitu, Liong-ko. Aku tidak tahu apakah aku
ini jahat atau baik. Yang jelas, kalau ada orang lemah
tertindas membutuhkan pertolongan, tentu aku akan
menolongnya.
Sebaliknya
kalau
ada
orang
mengandalkan ke-kuatannya untuk menindas orang lain,
pasti aku akan menentangnya dan tidak akan segan
untuk membunuh dan inem-basmi mereka!"
Thian Liong dapat menduga bahwa Ang-hwa Sian-li
301

ini tentulah seorarig ga-dis yang berwatak pendekar.


"Akan tetapi, tnengapa pihak Bu-tong-pai meniusuhi dan
menantangmu? Menurut apa yang kudengar, Bu-tong-pai
adalah perguruan silat kaum pendekar. Padahal engkau
sendiri, menurut perkiraanku, adalah seorang pendekar
wanita."
"Aku tidak tahu apakah aku ini seorang pendekar
atau bukan dan akupun tidak perduli apakah Bu-tong-pai
itu perguruan silat kaum pendekar atau bukan Akan
tetapi yang kutahu, ada orang-orang Bu-tong-pai yang
sombong dan karenanya aku menentang mereka.
Setelah aku mengalahkan mereka, agaknya mereka
merasa penasaran dan mengirim surat tantangan ini.
Huh, tak tahu malu!" Gadis itu mengambil cawannya
yang diisli penuh anggur lalu meminumnya.
Thian Liong berpikir sejenak. Memang, tidak semua
pendekar bersikap baik. Tentu ada pula yang kasar dan
ada pula yang tinggl hatl dan sombong. Dia ter-Ingat
akan slkap Biauw In Suthai, tokoh Kun-lun-pai itu. Kunlun-pal, seperti juga Bu-tong-pai, dikenal sebagai sebuah
perguruan silat kaum pendekar Karena itu mungkin,
maka gurunya mau bersusah payah mendapatkan
kembali kitab-kitab mereka dan mengembalikannya kepada mereka. Ternyata Biauw In Suthai juga tidak
bersikap baik, melainkan ga-lak dan angkuh bukan main.
"In-moi, maukah engkau menceritakan kepadaku
sebab-sebab pertentangan itu? Apakah yang telah
terjadi?"
Gadis itu meletakkan cawan yang te-lah kosong ke
atas meja. Kedua pipinya kemerahan, tanda bahwa
minuman itu telah mulai mempengaruhinya. "Sungguh
302

aku merasa heran sekali, mengapa terhadapmu aku


seakan tidak dapat meraha-siakan sesuatu. Aku bahkan
ingin menceritakan segalanya kepadamu. Terjadinya
siang tadi di sebuah lereng." Siang In lalu menceritakan
pengalamannya.
Pada siang hari itu Thio Siang In yang melakukan
perjalanan perantauan-nya dari Sin-kiang menuju ke
timur, tiba di luar sebuah dusun di sebuah lereng
pegunungan Bu-tong-san, Telah setahun lebih ia
meninggalkan rumah ibunya di Sin-kiang untuk merantau
dan di sepanjang jalan ia selalu membela yang lemah
tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang.
Karena
kelihaiannya,
sepak
terjangnya
menggegerkan dunia kang-ouw di sebelah barat dan
segera orang-orang yang tidak pernah mendengar ia
memperkenalkan nama, memberi julukan Ang-hwa Sianli kepadanya kare-na gadis jelita dan gagah perkasa ini
selalu memakai setangkai bunga merah pa-da
rambutnya. Setelah mendengar julukan ini, Siang In
menerimanya, bahkan ia lalu memperkenalkan dirl kalau
hal ini diperlukan, sebagai Ang-hwa Sian-li!
Selagi ia berjalan santai di lereng itu, dan tiba di luar
sebuah dusun, ia melihat seorang lakilaki berusia sekitar
empat puluh tahun, berlutut dan me-nangis minta-minta
ampun kepada dua orang pemuda yang berusia kurang
leblh dua puluh lima tahun dan tampak gagah perkasa.
"Ampun, tai-hlap (pendekar besar).... Ampunkan
saya....! Semua ini saya laku-kan karena terpaksa.... saya
harus membeayai, anak yang sedang sakit parah....
"Alasan! Dasar pencuri hina!" bentak seorang di
303

antara dua pemuda itu yang bertubuh tinggi besar, lalu


sekali kakinya menendang, orang yang berlutut itu
terpental dan bergulingan.
"Aduh"" ampun ........ - biarlah saya kem-ballkan
semua ini...." Orang itu mengeluarkan beberapa buah
benda terbuat da-n perak, yaitu cawan piring dan alatalat sembahyang. "Saya kembalikan semua inidan
ampunilah saya...." kembali orang itu berlutut, merintih
dan mulutnya mengeluarkan darah.
Pemuda ke dua yang tubuhnya tinggi kurus
melangkah maju menghampiri. Pencuri busuk! Tidak
mengenal budi! betelah bertahun-tahun kami beri makan
dan upah, masih juga mencuri dan mencoba minggat!
Orang seperti engkau ini harus dihajar!" Dia sudah
mengangkat tangan kanannya untuk memukul.
Siarig In yang melihat semua ini mem-bentak nyaring,
"Tahan! Jangan pukull"
Pemuda tinggi kurus itu menahan pukulannya dan
memutar tubuhnya. Demi-kian pula pemuda tinggi besar
itu juga menoleh. Keduanya memandang dan tercengang melihat seorang gadis cantik sekali berdiri di
situ. Siang In adalah seorang gadis yang cantik jelita,
maka ti-dak aneh kedua orang pemuda itu terpe-sona
dan sikap mereka berubah sama se-kali. Kalau tadi
mereka kelihatan galak, kini keduanya tersenyum dan
menghampiri Siang In.
Siang In memandang kepada dua o-rang pemuda
yang menghampirinya itu dengan alis berkerut. Setelah
dua orang itu berhadapan dengannya, Siang In menegur
dengan ketus.
304

"Lagak kalian ini seperti orang-orang gagah,


membawa pedang dan berpakaian seperti pendekar!
Akan tetapi yang kuli-hat ternyata kalian hanya orangorang yang suka mempergunakan kekuatan un-tuk
menindas dan menghina yang lemah!"
Pemuda tinggi besar itu segera meng-angkat kedua
tangan depan dada memberi hormat, diturut oleh
pemuda tinggi kurus. "Maaf, nona. Agaknya engkau
salah paham. Kami berdua adalah pendekar-pendekar
yang selalu menentang penjahat. Orang ini adalah
seorang maling jahat, seorang yang tidak mengenal budi.
Selama beberapa tahun dia menjadi tukang kebun
perguruan kami, diberi upah dan makan, akan tetapi apa
yang dia lakukan? Dia minggat dan membawa lari alatalat sembahyajng yang terbuat dari perak. Karena itu,
kami menghajarnya!"
Siang In mencibirkan bibirnya yang merah. "Huh,
pendekar macam apa itu? Memukuli orang yang lemah!
Aku mendengar sendiri bahwa dia melakukan pencurian
itu karena terpaksa, karena ingin membeayai pengobatan
anaknya yang sakit. Sepantasnya sebagai pendekar,
kalian menolongnya, bukan memukulinya. Tak tahu
malu!"
"Nona!" Pemuda tinggi kurus memprotes. "Kami
adalah murid-murid Bu-tong-pai'"
"Aku tidak perduli kalian Inl murld-murid Bu-tong-pai
atau murid perguruan apapun juga. Kalau jahat dan
sewenang-wenang tentu akan kutentang!"
"Nona, dia itu pencuri! Apa engkau hendak membela
pencuri?" tanya yang tinggi besar, mulai marah.
305

Kehormatannya tersinggung karena gadis itu tidak


menghargai Bu-tong-pai dan kekagumannya akan
kecantikan gadis itu mulai memudar, terusir oleh
kemarahan.
"Bagiku dia orang lemah tertindas dan kaiian orangorang kuat yang sewenang-wenangl Aku pasti
membelanya dan menentang kalian!"
"Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri
urusan kami murid-murid Bu-tong-pai?" bentak yang
tmggi kurus.
Siang In terseyum mengejek. "Orang menyebutku
Ang-hwa Sian-li, dan kalian cepatlah pergi dari sini,
tinggalkan orang itu kalau kalian tidak ingin kuhajar!"
"Engkau gadis usil, suka mencampuri urusan orang
lain dan sombong! Kalau aku memukuli pencuri itu,
engkau mau apa?" bentak pula si tinggi kurus dan dia
sudah melompat ke depan dan tal! ngannya terayun
memukul ke arah tukang kebun itu.
"Dukk!" Lengannya tertangkis oleh lengan Siang In.
Lengan yang mungil berkulit halus dari gadis itu ternyata
mengandung tenaga sinkang kuat sehlngga pemuda
tinggi kurus merasa tulang lengannya seperti patah dan
terasa nyeri sekali. Dia menj'adi marah.
"Berani engkau melawan aku'?" "Kenapa tidak?"
Siang In mengejek. "Biar ada sepuluh orang
macaniengkau, aku tidak akan takut!"
"Kami orang-orang Bu-tong-pai bukan pengecut yang
suka main keroyok! Sam-but seranganku!" Pemuda tinggi
306

kurus itu membentak dan dia menyerang dengan


dahsyat, kedua tangannya bergerak hampir berbareng,
susul menyusul, yang klri menyambar ke pelipis kanan
Siang In dan yang kanan menonjok ke arah perutnya!
Serangan ini dahsyat sekali, datangnya cepat dan
mendatangkan angin pukulan kuat.
Namun Siang In tenang saja menghadapi serangan
dua tangan lawan itu. Dengan tangan kirinya dia
menangkis tonjokan ke arah perutnya, dan tangan
kanannya menyambar ke atas dengan jari terbuka,
menyambut tangan kiri pemuda Itu dengan tebasan dari
bawah ke arah pergelangan tangan. Pemuda itu terkejut
sekali. Tangan kanannya yang menonjok ke perut
kembali bertemu lengan yang terasa keras seperti baja,
dan kini lengan kirinya yang menyerang pelipis bahkar
terancam tebasan tangan lawan. Cepat dia menarik
kembali tangan kirinya dan kaki kanarinya menendang.
Kaki itu de-ngan kecepatan kilat mencuat ke arah dada
Siang In. Gadis itu miringkan lalu memutar tubuh dan
ketika kaki menyambar lewat, didorongnya tunut kaki itu
dengan tangan kirinya. Demikian kuat do-rongan itu
sehingga pemuda itu tidak mampu menahan. dirlnya.
Terbawa oleh tenaga tendangannya sendlri ditambah
tenaga dorongan Siang In, tubuhnya melayang ke depan.
Untung dia masih dapat melakukan gerakan pok-sai
(salto) sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting.
Setelah dua kali lengannya tertangkis sehingga terasa
nyeri sekali dar hamplr saja tadl dla roboh terbanting,
pemuda tlnggl kurus itu mulai. terbuka matanya bahwa
gadis cantlk Itu llhal bukan main. Temannya, pemuda
tinggi besar, agaknya juga dapat melihat hal ini maka
diapun melompat ke depan dana berseru kepada
pemuda tinggi kurus.
307

"Sute (adik seperguruan), mundurlah dan biar aku


yang menghadapi perempuan sombong ini!" Melihat
suhengnya maju, pemuda tinggi kurus lalu melangkah
mundur.

JILID 9
Si Pemuda tlnggl besar melangkah maju dan
mencabut pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika
pedang dicabut dan pemuda tlnggi besar itu berkata,
"Nona, suteku telah kalah bertanding tangan kosong
denganmu. Sekarang aku menantangmu untuk mengadu
ilmu pedang, tentu saja kalau engkau berani."
Slang In mencibirkan bibirnya. "Bocah Bu-tong-pai
sombongl Aku pernah mendengar bahwa Bu-tong-pal
terkenal dengan ilmu pedangnya Thal-kek Sin kiam! Akan
tetapi aku tidak takut'" Setelah berkata demikian, dua
tangan gadis Itu bergerak ke arah belakang punggung
dan tampak dua sinar pedang berkelebat ketika la sudah
mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di
punggungnya, tertindih buntalan pakaian. Sepasang
pedang itu kecil dan panjang, tampak ringan sekali, akan
tetapi ketika dicabutnya terdengar bunyi berdesing
nyaring.
Mellhat gadis Itu sudah siap dengan siang-kiam
(sepasang pedang) di kedua tangannya, pemuda tlnggl
besar itu membentak, "Sambut pedangku!" dan dia sudah
menyerang dengan cepat dan dahsyat, Slang In
menangkis pedang yang menyambar ke arah lehernya
itu.

308

"Crlnggg....!" Tampak bunga api berpijar dan pemuda


itu segera memutar pedangnya untuk mendesak lawan
dengan serangkaian serangannya, pedang dl tangannya
berubah menjadl slnar bergulung gulung. Akan tetapl
dengan tenang sekali Siang In menyambut serangan Itu
dengan gerakan kedua pedangnya yang membentuk dua
lingkaran sinar yang dapat menghadang dan menangkis
semua serangan lawan. Gadis itu telah memainkan Toatbeng Siang-kiam (Pedang Pasangan Pencabut Nyawa)
yang amat hebat. Dari dua lingkaran sinar kuning itu
terkadang tampak sinar kilat mencuat dan menyambarnyambar. Melihat ini, pemuda tinggi besar itu terkejut
bukan main dan sebentar saja, dalam belasan jurus
kemudlan, dia telah terdesak hebat sehlngga kini hanya
dapat memutar pedang melindungl dlrlnya dan tldak
mampu balas menyerang.
"Hallllttt.... !l" Tiba-tiba gadis membentak, dua
llngkaran slnar pedangnya Itu membuat gerakan
mengguntlng.
"Tranggg.... trakkkl" Pemuda tinggi besar itu terkejut
bukan main karena pedangnya telah digunting oleh
sepasang pedang lawan dan patah menjadi dua potong!
Sebelum hilang rasa kagetnya, kaki Siang In mencuat
dan menendang dadanya.
"Dess...l" Tubuh pemuda tinggi besar itu terjengkang
roboh!
Sutenya segera membantunya untuk bangkit berdirl
dan mereka memandang gadls itu dengan sinar mata
marah dan penasaran. Siang In mencibirkan blbirnya dan
sekall dua tangannya bergerak ke belakang punggung,
sepasang pedangnya sudah tersimpan kemball.
309

"Hemm, sepertl itu sajakah Thal-kek Sin-kiam yang


digembar-gemborkan oleh Bu-tong-pai?" ia mengejek.
"Ang-hwa Sian-li! Tingkat kami masih terlampau
rendah untuk mempelajari Thai-kek Sinkiam. Tunggu
sajalah. Sekali Thai-kek Sin-kiam dimainkan, engkau
akan dihajar dan semua kesombonganmu akan
terhapus!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar
itu menarik tangan sutenya dan diajak pergl.
Laki-lakl yang tadl dihajar dua orang murld Bu-tongpai itu lalu menghamplrl Siang In dan memberl hormat.
"Terima kaslh atas pertolongan Lihlap. Nama Ang-hwa
Sian-Li takkan saya lupakan selamanya. Akan tetapi saya
memang bersalah, Lihiap (pendekar wanita). Saya kinl
menyadarl bahwa sebetulnya saya tldak perlu mencurl.
Kalau saya berterus terang mlnta bantuan, tentu para
plmpinan Bu-tong-pai akan menolong saya. Saya harus
mengembalikan semua Ini kepada BU-tong-pai!" Setelah
berkata demikian, orang itu membungkus kembali
barang-barang itu dalam kain dan hendak pergi
meninggalkan Siang In.
"Tunggu dulu, paman!"' Siang In ambil sepotong emas
dari kantung uangnya dan memberikan kepada orang itu.
"Ini, pergunakan
pengobatan anakmu."

emas

ini

untuk

membiayai

Orang itu menerima pemberian itu dengan terharu dan


berulang kall dia memberl hormat dan membungkukbung-kuk. "Terima kasih, lihiap, terima kasih." Lalu dla
pergl untuk mengembalikan barang-barang yang
dicurinya itu kepada Bu-tong-pai.

310

Siang In menghentikan ceritanya dan mlnum anggur


terakhir darl gucinya yang kinl telah kosong.
"Demlklanlah, Liong-ko. Aku melanjutkan perjalanan dan
tiba di dusun ini, kebetulan bertemu denganmu dan tadl
tentu mereka yang melontarkan surat dengan pisau Itu."
Sejak tadi Thian Llong mendengarkan dengan penuh
perhatian dan dia dapat menarlk kesimpulan bahwa dua
orang rnurid Bu-tong-pai itu bukan orang-orang jahat,
hanya sikap mereka terhadap tukang kebun yang
mencuri benda-benda perak itu terlalu keras. Dia
khawatir kalau kesalah-pahaman inl menjadi permusuhan
yang meruncing, maka dia lalu berkata, "In-moi, kukira
semua itu hanya merupakan kesalah-pahaman saja.
Sikap dua orang murid Bu-tong-pai itu memang terlalu
keras dan mereka patut ditegur. Akan tetapi urusan
sekecil itu tldak semestlnya kalau dijadikan sebab
permusuhan antara engkau dengan mereka. Kebetulan
sekali akupun ada urusan untuk menemul para plmplnan
Bu-tong-pai, maka biarlah besok pagl aku menemanimu
dan aku akan menjadi penengah untuk mendamaikan
kallan."
"Akan tetapi aku ditantang, Liong-ko, dan aku tldak
takut melawan mereka!" kata Slang In penasaran. "Kalau
engkau mendamaikan kaml, jangan-jangan mereka
menglra bahwa aku takut!"
Thlan Liong tersenyum. "Tldak, In-moi. Aku tldak akan
mendatangkan kesan seolah-olah engkau takut."
"Sudahlah, kita llhat saja besok. Aku Ingln
berlstlrahat, ingin mandl yang segar kemudian tidur yang
nyenyak, tldak memikirkan apa-apa lagi. Soal besok
bagalmana besok sajalah. la menggapal pelayan.
311

"In-mol, blarkan aku yang membayarnya." kata Thian


Liong.
"Ah, aku tahu bahwa engkau mempunyal banyak
emas dalam kantungmu itu, Llong-ko. Akan tetapi
masakan ini sebagian besar aku yang memakan, maka
harus aku yang membayarnya."
Pelayan datang. Siang In membayar harga makanan
dan mlnuman, lalu mereka masuk ke dalam dan menuju
ke kamar masing-masing. Thian Liong duduk dalam
kamarnya dan termenung. Dalam waktu singkat, secara
berturut-turut dia bertemu dengan wanita-wanita yang
terlibat urusan dengan dirinya. Baru saja tamat belajar
dan turun gunung melaksanakan tugas yang diberikan
gurunya, dia mengalami hal-hal aneh dan serius dengan
tiga orang wanita! Pertama, dengan gadis berpakalan
merah muda di kaki Pegunungan Kun-lun-san itu, gadis
yang dta hampir yakin tentu yang telah mengambil kitab
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia
serahkah kepada pimpinan Kun-lun-pai. Gadis yang tldak
dia ketahui namanya, namun yang harus dia cari untuk
minta kembali kitab itu sebagai pertanggungan jawabnya
terhadap Kun-lun-pai. Kemudian, pertemuannya dengan
Biauw In Suthai yang kemudian melibatkan diri gadis ke
dua, Kim Lan, dengannya karena oleh pendeta wanita
itu, Kim Lan diharuskan menjadi isterinya dan kalau dia
menolak, gadis itu harus membunuhnya! Dan ketiga,
pertemuannya dengan Thio Siang In yang berjuluk Anghwa Sian-li ini. Pertemuan inl agaknya Juga melibatkan
dlrlnya karena gadis itu hendak bertandlng dengan pihak
Bu-tong-pal dan dia tldak mungkin tinggal diam saja!
Alangkah anehnya semua pengalaman Itu.
Malam Itu Thian Llong hanya duduk borsamadhi.
312

Dengan demlkian, sungguh pun tubuhnya mengaso


seluruhnya, namun kesadaran dan kewaspadaannya
selalu siap. Dia khawatir kalaukalau terjadl sesuatu yang
tidak baik atas dlrl gadls yang tidur dl kamar sebelah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Thian Liong sudah
membuka pintu kamarnya. Dia melihat Siang In sudah
bangun. Ketika dia keluar dari kamar, dia mehhat gadis
itu duduk di atas bangku depan kamar dan ternyata gadis
itu sudah tampak segar. Sudah mandi dan bertukar
pakaian, rambutnya disisir rapi dan setangkai bunga
mawar merah segar menghias rambutnya. Bunga itu baru
mekar setengahnya dan masih segar sekali, tampaknya
baru saja dipetiknya.
la mengangguk dan tersenyum kepadanya. "Baru
bangun, Liong-ko? Cepatlah mandi, aku menantimu
untuk sarapan pagi. Aku sudah memesan kepada pelayan
agar dipersiapkan bubur ayam panas dan lezat!"
Diam-diam Thian Llong merasa kagum. Gadis itu
sama sekali tidak tampak tegang, bahkan santai saja
seperti orang menghadapi hari yang penuh suka cita,
Padahal ia menghadapi tantangan yang berat dari Butong-pai! Dla mengangguk lalu pergi ke kamar mandi
membawa pakaian pehgganti.
Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk
santai di dalam ruangan depan." yang biasanya
dipergunakan untuk nnpah makan. Akan tetapi hari
masih terlalu pagi. Ruangan itu bahkan bagian depannya
masih ditutup dan belum ada yang bekerja. Hanya
rnereka berdua ,yang duduk di situ dan pelayan tua yang
tadi terpaksa memasakkan bubur ayam berada di dapur
setelah menghidangkan ma-kanan itu di atas meja
313

mereka. Mereka berdua makan tanpa banyak cakap.


Sehabis makan, baru Siang In berkata. Nah,
sekarang aku berangkat. Apakah engkau jadi ikut?"
Pertanyaannya datar saja, seolah tidak ada bedanya
baginya apakah Thian Liong hendak menemaninya
ataukah tidak,
"Tentu saja aku ikut karena tanpa ada urusanmupun
pagi ini aku harus berkunjung ke Butong-pai untuk
sebuah urusan penting."
"Urusan penting?" Siang In mengamatl wajah
pemuda itu penuh selldik. Ketika pandang matanya
bertemu dengan sinar mata Thian Liong, ia berkata,
"Sudahlahl Kalau itu merupakan rahasia tidak perlu
diberitahukan kepadaku. Mari kita berangkat!"
Seperti halnya Siang Iri, Thian Llong juga membawa
semua barangnya, dimasukkan dalam buntalan pakaian
lalu menggendongnya dan kembali gadis itu memaksa
untuk membayar harga bubur dan sewa kamar mereka.
Thian Liong tidak dapat membantah. Mereka lalu
meninggalkan dusun itu, menuju ke Bukit Cemara yahg
sudah tampak dari luar dusun itu, di sebelah utara, Di
bukit itu tampak sebuah hutan cemara yang sunyi. Bukit
itu sudah termasuk daerah Bu-tong-pai.
Baru saja kedua orang muda itu memasuki hutan
cemara, tampak dua orang pemuda, seorang tinggi besar
dan seorang lagi tinggi kurus, sudah berada di situ.
Melihat dua orang pemuda itu, Siang In cepat
menghampiri dan setelah ia berdlri di depan mereka, ia
tertawa mengejek

314

"Kallan berdua masih berani muncul? Apakah kalian


yang hendak maju menandinigi aku, dan sekarang kalian
hendak maju mengeroyokku? Hemm, kalian berdua
belajarlah dengan tekun selama sepuluh tahun lagi baru
agak pantas untuk menandingiku!" Thian Liong
mengerutkan alisnya. Siang In terlalu memandang
rendah dua orang pemuda itu dan sikap seperti itu amat
tidak baik.
Pemuda tinggi besar itu menjawab dengan ketus.
"Perempuan sombong! Kami bukan golongan pengecut
yang suka main keroyok! Engkau kemarin memandang
rendah ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam dari perguruan
kami. Sekarang kami mendatangkan orang yang telah
mem-pelajari ilmu pedang itu untuk menghadapimu."
Pemuda Itu lalu memutar tubuhnya dan berseru nyaring.
"Supek (uwa guru)! Harap supek datang ke sinl. Gadis
sombong itu telah datang!"
Tiba-tiba tampak bayangan putlh berkelebat dan
tahu-tahu di sltu telah berdiri seorang lakilaki berusia
kurang leblh enam puluh tahun. Alis, kumis dan
jenggotnya yang panjang masih hitam, akan tetapi
rambut di kepalanya sudah putih semua! Pakalannya darl
kain katun sederhana seperti pakaian pertapa. Di
punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce
kuning. Melihat cara orang ini muncul, Thian Liong
maklum bahwa, dia memiliki gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang tinggi dan tentu orang ini lihai sekali.
Tubuhnya sedang namun tegap dan wajah yang
berbentuk persegi dengan jenggot panjang itu juga
tampak berwibawa. Akan tetapi Siang In tetap tersenyum
dan memandang ringan.
"Apakah nona yang berjuluk Ang-hwa Slan-li dan
315

yang memandang rendah ilmu pedang Thal-kek Sln-klam


kaml?" Orang berambut dan berpakalan serba putih itu
bertanya, sikapnya tenang dan agaknya dia seorang
penyabar.
"Benar, akulah yang disebut Ang-hwa Slan-11. Dan
engkau inl slapakah? Apakah engkau ketua Bu-tong-pai
dan siapa namamu?" tanya Siang In, slkapnya blasa saja
seolah ia berhadapan dan bicara dengan .orang seusia
dan setingkat dengan nya.
"Locianpwe, saya Thian Liong hendak menjadi
penengah dan mendamalkan.
"Liong-ko! Biarkan aku menyelesaikan dulu urusanku
dan jangan engkau mencampuri. Setelah aku aelesai,
baru engkau boleh berurusan dengan mereka!" Siang In
berseru keras sehingga kata-kata Thian Liong terpotong.
"Siancai, nona yang berwatak keras!" kata tokoh Butong-pai itu dengan senyum sabar. "Aku bukan Ketua Butong-pai, aku hanyalah pembantunya yang nomor tiga
saja dan aku hanya ingat nama julukanku, yaitu Pek Mau
San-jin (Orang Gunung Berambut Putih). Aku baru
berhasil menguasai ilmu pedang Thai-kek Sin-kiam
sepertiga baglan saja, akan tetapi aku ingin mencoba
kehebatan Sepasang pedangmu yang menurut murid
keponakanku ini hebat sekali." Setelah berkata demikian,
Pek Mau San-jin mencabut pedang beronce merah dari
punggungnya. Slnar berkilat ketika pedarig itu tercabut.
Dia berdiri tegak dan pedang itu dipegang oleh tangan
kirinya, gagang di bawah dan ujung pedang menempel
pundak kirinya. Kemudian dia mengangkat kedua tangan
ke atas berbareng menurunkan kedua tangan kakl kiri
melangkah ke depan, pedang di tangan kiri tetap di bawah
316

lengan, telunjuk dan jari tangan kanan menunjuk ke


depan. Inilah gerakan pembukaan yang dinamakan Sianjin Ci-lu (Dewa Menunjuk Jalan) kemudian dia melangkah
dengan kaki kanan ke depan memutar tubuh ke kanan
pienghadapi Siarig In, kedua lengan dikembangkan lalu
kaki kilri ditekuk berlutut, kedua tangan tetap
dikembangkan.
"Ang-hwa Sian-Li, aku sudah, silap menandingi ilmu
sepasang pedangmut" kata Pek Mau San-jin tenang.
Melihat pembukaan yang sederhana ini, Siang ln
tersenyum mengejek. Kedua tangannya meraih ke
belakang dan tampak dua sinar kllat ketlka siang-kiam
(sepasang pedang) itu telah berada dl kedua tangannya.
la memasang kuda-kuda yang kokoh, kedua kaki
menyilang, pedang kiri diangkat ke atas belakang kepala,
pedang kanan mellntang depan dada. Slkapnya gagah
dan indah.
Akupun telah siap. Perlihatkan ilmu pedangmu, Pek
Mau San jlnl" Slang In menantang,
"Engkau adalah tamu. Persilakan menyerang leblh
dulu!" kata Pek Mau San-lin, kini bergerak berdiri, kedua
tangan bertemu di depan leher dan gagang pedang itu
dari tangan kiri sudah berpindah ke tangan kanan. Thian
Liong memperhatikan semua gerakan tosu itu dan dia
merasa kagum. Biarpun gerakan pembukaan tadi hanya
sederhana, namun gerakan itu dennkian lembut dan
lentur, sambung menyambung seperti gelombang lautan,
isi mengisi dan dia tahu bahwa dl dalam kelembutan itu
terkandung kekuatan yang amat dahsyat! Dia
mengkhawatirkan Siang In. Sekali ini, gadis ini benarbenar berhadapan dengan seorang ahli silat tingkat tinggi
317

dan yang paling berbahaya adalah bahwa agaknya gadis


itu tidak mengetahui akan hal itu sehingga memandang
ringan. Diapun membayangkan ilmu pedang yang hebat
itu. Kalau tosu yang baru memiliki sepertiga bagian saja
sudah mampu bergerak seperti itu, apalagi yang telah
menguasai sepenuhnya!
"Baiklah! Sambut serangan pedangku!" Siang In
membentak dan sepasang pedangnya berubah menjadi
dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Serangan gadis itu memang hebat dan hal ini sudah
diduga sejak semula oleh Thian Liong. Gadis itu agaknya
telah digembleng oleh seorang guru yang sakti. Akan
tetapi yang membuat dia heran, kagum dan terkejut
adalah ketika melihat sambutan tosu itu atas semua
serangan gadis itu. Tosu itu bergerak begitu lembut
bahkan tampak lambat, matanya seperti setengah
terpejam, namun gerakan pedangnya itu mendatangkan
hawa dahsyat dan kuat sehingga semua serangan
sepasang pedang Siang In selalu tertangkis dan
terpental. Dia melihat betapa gerakan seluruh tubuh tosu
itu seperti otomatis, seperti tidak dikendalikan lagi oleh
pikiran, seolah-olah seluruh bagian tubuhnya menjadi
peka sekali seperti memillki mata di manamana.
Gerakan-nyapun sambung-menyambung dengan lembut
dan lenturnya. seperti orang menari saja, menari di
angkasa, di antara awan. tampaknya sama sekali tidak
mempergunakan tenaga kasar. Seolah-olah -gerakan
tubuh tosu itu digerakkan oleh tenaga yang amat lembut
namun amat dahsyat. Dan diapun mengerti! Tosu itu
seperti bersilat dalam keadaan samadhi, atau
bersamadhi dalam silat! Hati akal pikiran tidak berulah
dan gerakannya dipimpln oleh kekuasaan gaib, seperti
kalau dia berada dalam puncak penyerahannya kepada
318

Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Tiong Lee Cin-jin!


Ilmu yang amat hebat, pikirnya.
Thian Liong mengikuti seiriua gerak-n perkelahian
itu dengan seksama. Pertandingan yang hebat dan seru.
Gadls itupun ternyata seorang yang memillkl llmu pedang
pasangan yang lihai sekall, berbahaya dan ganas
sehingga setlap sambaran pedangnya merupakan
cengkeraman maut. Dan tosu Itu ternyata tidak
berbohong ketlka mengatakan bahwa dia hanya
menguasai sepertlga saja darl ilmu pedang Thai-kek Sinkiam. Jurusnya tidak banyak dan diulang-ulam, akan
tetapi anehnya, dengan jurus yang tidak banyak itu dia
sudah mampu menahan semua serangan Siang In. Dan
karena gerakannya seperti gelombang lautan, begitu
lentur lembut dan otomatis seolah tidak mengeluarkan
tenaga, setelah lewat lima puluh jurus, Siang In mulai
berkeringat dan lelah, sebaliknya lawannya yang jauh
lebih tua itu masih bergerak dengan tenang seperti pada
permulaannya.
Tahulah Thian Liong bahwa kalau pertandingan itu
dilanjutkan, akhirnya Siang In tentu akan kalah. Dia lapat
membayangkan betapa marah dan penasaran hati gadis
yang keras ini kajau sampai kalah. Mungkin ia akan
menjadi nekat dan mengadu nyawa!
Tiba-tlba Slang In yang mulai kelelahan itu
mengebutkan
sehelai
saputangan
merah
yang
tergantung dl gagang pedangnya dan slnar-sinar kecil
hitam meluncur ke arah lawannya. Thian Mong yang
sejak tadi memperhatikan pertandingan itu, terkejut dan
cepat dia menggerakkan tangannya mendorong ke arah
sinar-sinar hitam itu.

319

Pek Mau San-jin juga terkejut dan dia sudah secara


otomatis merribuang diri ke belakang. Narnun, dia akan
tetap menjadi korban jarum beracun kalau saja tidak ada
sambaran angin yang kuat dari samping yang
meruntuhkan semua jarum halus itu. Thian Liong yang
telah menyelamatkan tOsu itu segera melompat di tengah,
antara niereka dan berseru nyaring dan penuh wibawa,
"Tahan, hentikan perkelahian!"
Dalam suara Thian Liong terkandung wibawa yang
amat kuat sehinga Siang In yang biasanya keras hati dan
tidak dapat menurut kemauan sembarang orang itu,
entah bagaimana, menghentikan gerakannya dan bahkan
mundur lima langkah ke belakang. Demikian pula, Pek
Mau San-jin yang maklum bahwa hampir saja dia
menjadi korban senjata rahasia, melompat ke belakang.
Thian Liong menghampiri dan berhadapan dengan
Pek Mau San-jin, lalu memberl hormat dan berkata,
"Totiang (bapak pendeta), apa gunanya semua pertikaian
ini? Saya klra di antara Butong-pai dan Ang-hwa Sian-li
hanya terdapat kesalah-pahaman belaka."
Pek Mau San-jin mengerutkan alisnya dan
memandang pemuda itu penuh selidik. Dia tidak
mcngenal pemuda itu dan tidak tahu apakah pemuda itu
kawan atau lawan. Karena pemuda itu muncul bersama
Ang-hwa Sian-li, maka dia tentu saja menaruh curiga.
"Orang muda, siapakah engkau dan mengapa
mencampuri urusan kami dan Ang-hwa Sianli?"
"Saya bernama Souw Thian Liong dan saya diutus
suhu untuk menghadap Ketua Bu-tong-pai untuk urusan
yang amat penting."
320

"Siapa gurumu yang mengutusmu kesini?"


Biarpun dl situ ada Siang In, terpaksa dia
memperkenalkan gurunya. "Suhu adalah Tiong Lee Clnjin...."
"Wah, Liong-ko! Suhumu Tiong Lee Cin-jin yang
amat terkenal itu? Kenapa tldak kau katakan kepadaku?"
seru Siang In dengan heran. Dalarn perantauannya yang
baru setahun itu, sejak dari Sin-kiang, ia sudah
mendengar banyak tentang Tlong Lee Cin-jin yang
disebutsebut sebagai seorang yang sakti dan bijaksana,
bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang
manusia dewa!
Juga Pek Mau San-jin terbelalak. "Murid Tiong Lee
Cin-jin? Ah, kalau begitu kata-katamu patut didengar,
Souw-sicu. Akan tetapi engkau tadi mengatakan bahwa
antara kami dan Anghwa Slan-li hanya terjadi kesalahpahaman. Kami tidak menganggapnya demikian karena
gadis ini telah memandang rendah ilmu pedang Thai-kek
Sin-kiam kami."
"Siapa bilang aku memandang rendah? Mellhatpun
baru sekarang ketika engkau memalnkannya. Bagaimana
aku bisa memandang rendah ilmu pedang yang belum
pernah kulihat? Setelah kulihat tadi, biarpun engkau baru
menguasai sepertiganya, harus kuakui bahwa Thai-kek
Sin-kiam memang hebat seperti yang pernah kudengar."
kata Siang In. Pek Mau San-jin menoleh ke arah dua
orang murid keponakannya yang berdiri sambil
menundukkan muka mereka. Kemudian dia memandang
kepada Siang In dan berkata, "Akan tetapi engkau telah
rnenantang Bu-tong-pai untuk mengadu ilmu pedang!"

321

Siang In melangkah maju mendekat dan


menudingkan telunjuknya ke arah muka Pek Mau Sanjin. "Hei, Pek San-jin, jangan engkau sembarangan
menuduh tanpa bukti. Itu namanya fitnah, tahu?"
Thian Liong berkata kepada tosu itu. "Ang-hwa Sian-li
berkata benar, totiang. la tidak menantang, melainkan
dltantang. Inllah buktinya." Setelah berkata demikian,
Thlan Llong mengeluarkan pisau terbang dan surat
tantangan Itu, diberikan kepada Pek Mau San-jin. Siang In
sendiri memandang heran, tldak tahu bahwa pemuda itu
ternyata telah mengambil surat dan pisau yang sudah ia
buang. Pisaunya ia lempar menancap di tiang
membunuh seekor cecak dan surat itu ia buang begitu
saja. Kiranya Thian Liong mengambil dan menyimpannya,
dan sekarang dapat dijadikan bukti kebenaran
omongannya!
Pek Mau San-jin menerima surat dan pisau itu, alisnya
berkerut dan dia lalu memutar tubuh menghadapi dua
orang murid keponakannya yang berdiri di belakangnya.
"Kalian berdua, ke sinilah dan berlutut!" perintahnya.
Suaranya masih lembut akan tetapi sekarang
mengandung nada yang penuh penyesalan dan teguran.
Dua orang murid itu melangkah maju dan menjatuhkan
diri berlutut di depan Pek Mau San-jin, wajah mereka
pucat dan mereka rnenundukkan muka.
Pek Mau San-jin menghadapi Ang-hwa Sian-li dan
Thian Liong, lalu berkata, "Maafkan pinto yang mudah
terbujuk dan salah sangka, nona. Sekarang harap
ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan dua
orang murid keponakan kaml Inl."

322

Siang In tersenyum mengejek. "Cerita mereka tentu


lain lagi Dengarkan baik-baik, Pek Mau San-jin. Ketika
aku sedang berjalan, aku mellhat seorang laki-laki lemah
dipukuli oleh dua orang ini. Aku lalu maju melerainya,
akan tetapi mereka marah dan mengatakan aku membela
pencuri. Aku bukan membela pencuri, hanya membela
orang lemah yang dipukuli orangorang yang
mengandalkan kekuatan mereka. Kami lalu bertanding
dan aku mengalahkan mereka berdua. Tukang kebun
yang mencuri barang-barang perak untuk membiayai
anaknya yang sakit itu menyatakan penyesalannya dan
berjanji hendak mengembalikan barangbarangnya yang
dicurinya. Aku lalu pergi dan bermalaml di dusun sebelah
selatan itu. Akan tetapi malah tadi ada yang melempar
pisau dan surat itu ke atas meja makanku. Nah, itulah
yang terjadi, Pek Mau San-jin."
Pek Mau San-jin kembali menghadapi dua orang
murid keponakan yang masih berlutut di depannya itu.
"Hemm, murid Bu-tong-pai rnacam apa kalian ini? Kalian
bertindak kejam memukuli tukang kebun yang terpaksa
mencuri barang-barang perak itu! Tahukah kalian?
sebelum aku datang ke sini, pangcu (ketua)
memberitahukan bahwa semalam tukang kebun itu
datang menghadap dan mengembalikan barang-barang
yang dicurinya sambil mohon ampun! Apakah kalian
dapat mengembalikan dan menebus apa yang telah
kalian lakukan kepada dia? Memukuli dan menyiksanya?
Itu kesalahanmu yang pertama!"
"Ampun, supek, teecu (murid) berdua terburu nafsu,
terdorong kemarahan karena dia telah melakukan
pencurian." kata murid yang bertubuh tinggi kurus.
"Hemmm,

kapan

para

gurumu

di

Bu-tong-pai
323

mengajar kalian untuk bertindak kejam? Apa lagi terhadap


seorang pembantu yang miskin, yang terpaksa
melakukan pencurian untuk membeayai pengobatan
anaknya! Dan kesalahanmu yang ke dua. Kalian melapor
kepadaku bahwa Ang-hwa Sian-Li telah menghina Butohg-pal dan memandang rendah ilmu pedang Thai-kek
Sin-kiam, padahal ia tidak melakukan hal itu. Kalian
berani membohongiku!"
"Supek, teecu berdua melakukan itu agar supek mau
membela teecu berdua dan membalas kekalahan kami."
Kata pemuda tinggi besar.
"Huh, kalian mengaku mund Bu-tong-pai yang gagah
perkasa, akan tetapi setelah kalah kalian tidak mau
secara jantan mengakui kekalahan kalian. Sebaliknya
berbohong untuk memanaskan hatiku dan sekarang
kalian hanya membikin malu kepadaku! Dan yang ketiga,
lebih membuat aku malu lagi. Kalian telah mengirim
tantangan kepada Ang Hwa Sian-li. akan tetapi kepadaku
kalian melapor bahwa pagi ini Ang-hwa Sian Li yang
menantangku! Murid macam apa kalian ini.
Dua orang itu sambil berlutut memberi hormat dan
dengan suara berbareng mereka berkata, "Ampunkan
teecu, supek ....
Thian Liong berkata kepada Pek Mau San Jin,
Sudahlah, locianpwe, saya harap urusan ini dianggap
tidak ada saja. Bagaimanapun, locianpwe maupun Ang
hwa Sian Li tidak terluka. Harap locianpwe mengampuni
dua orang saudara inl...."'
"Apa" Siang In membentak dengan suara nyaring.
"Kesalahan mereka bertumpuk tiga lapis dan engkau
324

mintakan ampun? Sebagai guru yang baik, sudah


sepantasnya menghukum muridmurid yang bersalah.
Kalau tidak, bagaimana sang guru aktin mempunyai
wibawa terhadap murid-muridnya? Dia akan dicemooh
dan para murid akan menjadi semakin berani dan kurang
ajar!"
Pek Mau bun-jin tersenyum akan tetapi kedua pipinya
menjadi agak merah. Dia merasa malu sekali. "Kalian
cepat kembali dan masuklah ke ruangan hukuman
menanti keputusan Pang-cu (Ketua) dan jangan keluar
dari ruangan itu sebelum diperintah!"
"Baik, supek." kata dua orang pemuda itu dan
mereka lalu memberi hormat, berdiri dan pergi dari situ
dengan kepala ditundukkan. Pek Mau San-jin lalu
mengangkat kedua tangan depan dada, berkata kepada
Siang In.
"Ang-hwa Sian-li, engkau masih muda akan tetapi
sudah
memiliki
kepandaian
tinggi
dan
juga
berpemandangan jauh.
Ucapanmu tentang dua murid kami itu memang
benar, dan kami minta maaf atas kesalahan mereka
terhadapmu."
Biarpun wataknya keras dan liar, namun puteri cucu
kepala Suku Uigur ini selain ilmu Silat, juga mendapat
pendidikan kebudayaan yang cukup dari ibunya. la,
pandai membawa diri dan kalau orang bersikap baik dan
lembut kepadanya iapun tidak kalah lembut akan tetapi
kalau ada yang mengasarinya, ia pandal juga bermain
kasar dan keras. Siang In membalas penghormatan
tokoh Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum
325

manis..
"Totiang terlalu memuji. Saya yang muda mendapat
pelajaran dan pengalaman yang baik sekall dengan
bertanding melawan totlang. Yang bersalah sudah
dihukum, itu sudah cukup bagi saya, tidak ada yang perlu
dimaafkan, totiang."
"Akan tetapi, kaml mengundang Souw Sicu sebagal
murid Tiong Lee Cin-jin untuk bertemu dengan ketua
kami, dan kami juga mengundang engkau, nona."
"Akan tetapl, aku tidak mempunyai urusan dengan
Ketua Bu-tong-pai seperti halnya saudara Souw Thian
Liong ini!" kata Siang In, dan ucapan ini hanya untuk
pemanis bibir saja karena sebetulnya di dalam hatinya ia
ingin sekali ikut Thian Liong menemui ketua Bu-tong-pai
untuk mengetahui keperluan apa yarig membawa
pemuda itu menemuinya. Biarpun baru menduga, Siang
In yakin bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang? tinggi.
Hal ini terbukti ketika pemuda itu memukul runtuh jarumjarum beracunnya sehingga menyelamatkan Pek Mau
San-jin. Hanya orang yang memiliki sin-kang (tenaga
sakti) amat kuat saja yang mampu memukul runtuh
jarum-jarumnya dari jauh, menggunakan sambaran hawa
pukulan.
"Kami sungguh mengundangmu, Ang-hwa Sian-li.
Kalau ketua kami mendengar akan perbuatan tak terpuji
dari dua orang murid kami kepadamu, lalu aku tidak
mengundangmu, tentu beliau akan marah dan
menegurku sebagai tidak mengenal sopan santun.
Karena itu, deml menjaga agar aku tldak mendapat
teguran dari ketua kaml, kuharap engkau suka menerima
undanganku untuk bersama Souw-sicu menemui Pangcu
326

kami."
Siang In menoleh kepada Thian Liong dan
tersenyum, seolah hendak mengatakan melalui pandang
mata dan senyumnya bahwa ia "terpaksa" ikut
berkunjung ke Bu-tong-pal! "Wah, kalau begitu, baiklah,
totiang. Kalau aku tidak menerima undanganmu, berarti
aku yang tidak mengenal sopan santun."
Tosu itu tertawa dan mereka bertiga lalu berjalan
mendaki lereng menuju ke sebuah puncak bukit di maha
perkampungan Bu-tong-pai berada.
Pada waktu itu. yang menjadi ketua Bu-tong-pai
adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang
biasa disebut Ciang Losu. (Guru Tua Ciang). Nama
lengkapnya adalah Ciang Sun dan hanya dia seoranglah
yang menguasai Thai-kek Sin-kiam sebanyak delapan
bagian. Sebelum dia juga tidak ada yang dapat
menguasai Thai-kek Sin-kiam secara lengkap karena
kitab pusaka pedang itu hilang tak tentu rlmbanya hampir
seratus tahun yang lalu. Namun akhirakhlr ini kesehatan
Ciang Losu amat mundur. Kekuatan tubuhnya dlgerogotl
usia sehingga dia lebih banyak bersamadhi dari pada
melakukan kegiatan mengurus perguruan Bu-tong-pai.
Untuk itu dia menugaskan para sutenya, di antaranya
Pek Mau San-jin yang merupakan sutenya yang paling
muda. Maka tidak aneh kalau Pek Mau San-jin hanya
mencapai tingkat ke tiga saja di perguruan itu.
Ketika Ciang Losu yang tua itu mendengar bahwa
murid Tiong Lee Cin-jin diutus gurunya untuk
mengunjunginya, dia merasa gembira dan segera keluar
menyambut. Sudah lama dia merasa kagum sekali
mendengar nama Tiong Lee Cin-jin dan biarpun yang
327

datang sekarang hanya seorang muda, akan tetapi


karena dia menjadi murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin
yang sengaja datang berkunjung, dia merasa girang
sekali.
Thian Liong dan Siang In yang mengikuti Pek Mau
San-jin memasuki bangun-an induk dari perkqinpungan
Bu-tong-pai melihat munculnya seorang kakek tinggl
kurus, rambut dan jenggotnya yang panjang sudah
berwarna putih seperti benang perak, pandang matanya
lembut dan mulutnya terhias senyum sabar, segera
memberi hormat. Mereka menduga bahwa kakek ini tentu
ketua Bu-tong-pai dan dugaan mereka benar. Pek Mau
San-jin yang tadi menyuruh seorang murid yang
dijumpainya di pintu gerbang. untuk melapor kepada
Ciang Losu akan kunjungan murid Tiong Lee Cin-jin,
segera memperkenalkan.
"Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), ini adalah
sicu (orang gagah) Souw Thian Liong murid dan utusan
Tiong Lee Cin-jin, dan yang ini adalah Ang-hwa Sian-li.
Souw-sicu dan Ang-hwa Sian-li, inilah ketua Bu-tong-pai
kami, suheng Ciang Losu."
"Harap 'loclanpwe (orang tua gagah) sudi memaafkan
kalau kedatangan kami mengganggu ketenangan
toclanpwe." kata Thian Liong dengan slkap hormat.
"Sian-cai, sikap Souw-sicu saja cukup menjadi bukti
betapa bijaksananya Tiong-Lee Cin-jin yang kami
hormati. Mari, orang-orang muda gagah, silakan masuk,
kita bicara di dalam." 'kata Ciang Losu dengan wajah
ceria.
Mereka berempat masuk dan duduk di ruangan dalam
328

yang tertutup. Seorang murid menyuguhkan air teh lalu


keluar lagi.
"Nah sekarang kita dapat bicara de-ngan leluasa di
sini. Ceritakanlah, apa yang membawa kalian berdua
orang-orang muda gagah datang berkunjung ke Bu-tongpai dan menemui pinto (saya)."
"Saya tidak mempunyai keperluan apa-apa,
locianpwe. Saya datang untuk memenuhi udangan Pek
Mau San-jin." kata Siang In sambil memandang kepada
pembantu ketua Bu-tong-pai itu.
Pek Mau San-jin segera menerangkan kepada
suhengnya. "Suheng, Souw-sicu datang dan minta
menghadap suheng karena dia diutus oleh gurunya
untuk memblcarakan sesuatu yang penting dengan
suheng. Adapun nona Ini, ada sesuatu terjadi antara
Ang-hwa Sian-li ini dan dua orang murid kita yang
membuat merasa tidak enak dan mengundangnya."
Dengan singkat Pek Mau San-jin lalu menceritakan
tentang peristiwa yang di alami Siang In dan dua orang
murid Bu-tong-pai yang menjadi gara-gara bentrok-aTi
antara Pek Mau San-jin dan gadis perkasa itu.
"Saya telah menyuruh dua orang murid itu menanti di
ruangan hukuman, menanti keputusan suheng." Pek Mau
San-jin mengakhiri ceritanya.
Ciang Losu mengangguk-angguk. Wajah yang penuh
kesabaran itu sama sekali tidak memperlihatkan
kemarahan hatinya. "Anak-anak itu harus dihukum.
Laksanakan hukuman itu sekarang juga, sute. Mereka
harus melakukan samadhi selama tiga bulan. hanya
berhenti seharl sekali untuk makan. Dengan demikian
329

kita harapkan mereka akan


kekejaman dari hati mereka.

dapat menghilangkan

"Baik, suheng, akan saya laksanakan sekarang juga."


Pek Mau San-jin memberl hormat lalu menlnggalkan
ruangan itu.
Setelah sutenya pergi, Ciang Losu berkata kepada
Slang In dan Thian Liong
"Kalian lihat, betapa sulitnya mengalahkan musuh
utama dalam hidup ini. Musuh utama itu adalah dirinya
sendiri, nafsu-nafsunya sendiri. Ang-hwa Sian-li...."
"Locianpwe, nama saya adalah Thio Siang In, saya
merasa malu kalau lo-cianpwe yang menyebut saya
dengan julukan kosong itu." kata Siang In.
Ciang Losu tersenyum lebar memperlihatkan rongga
mulut yang sudah tidak ada giginya lagi. "Nona Thio
Siang In, pinto lihat bahwa di balik kekerasan hatimu
terdapat kerendahan hati dan kejujuran. Maafkanlah ulah
kedua orang mu-rid Bu-tong-pai kami."
"Tidak mengapa, locianpwe. Mereka sudah dihukum
dan kalau mereka dapat mengubah sikap, saya ikut
merasa girang."
"Sekarang, pinto ingin mendengar darimu, Souw-slcu.
Tiong Lee Cin-Jln mengutus engkau datang menemul
plnto, sebetulnya membawa keperluan apakah?"
"Locianpwe, saya diutus suhu untuk menyerahkan
sebuah kitab kepada lecianpwe, karena menurut suhu,
kitab itu adalah hak milik Bu-tong-pal." Setelah berkata
330

demikian, Thian Llong menurunkan buntalan pakalannya


dari punggung dan membuka buntalan itu.
"Ah, bukan main! Tiong Lee Cin-jin menemukan kitab
kami dan mengembalikan kepada kami? Sungguh mulia,
sungguh bljaksana!" kata Ciang Losu dengan wajah
berseri, tampaknya gembira sekali.
Thian Liong mengambll Kitab Kiauw-ta Sin-na dari
dalam buntalan. Kitab ini agak tebal dan sudah tua sekali.
"Inilah kitab itu, locianpwe, harap sudi menerimanya."
"Terima kasih....!" Kakek itu menerima kltab, lalu
dibuka. Setelah melihat islnya, dia berkata, "Sian-cai ........
Kiranya Kitab Kiauw-ta Sin-na yang hilang lima puluh
tahun yang lalu!"
"Loclanpwe telah menerima kembali kltab yang telah
lama hilang, kenapa malah tampak kecewa?" tiba-tiba
Siang In bertanya.
"Eh.... ahh....? Nona Thio Siang In sungguh memiliki
penglihatan yang amat tajam!" seru Clang Losu sambil
tersenyum dan memandang kagum. "Sesungguhnyalah,
pinto merasa kecewa melihat bahwa yang dikirim oleh
Tiong Lee Cin-jin adalah Kitab Kiauw-ta Sin-na, bukan
Kitab Thal-kek Sin-kiam yang hilang seratus tahun yang
lalu sepertl yang tadi kusangka dan harapkan."
"Suhu pernah bercerita kepada saya, locianpwe,
bahwa dalam perjalanannya, suhu jUga berusaha
mendapatkan kembali kitab pusaka milik Bu-tong-pai itu,
akan tetapi menurut suhu, tidak ada seorangpun di dunia
barat yang tahu tentang Kitab Thai-kek Sin-kiam itu."
331

Kata Thian Liong.


"Ah, tidak mengapa, Souw-sicu. Kitab Kiauw-ta Sin-na
ini juga merupakan kitab pusaka kami yang penting.
Harap sampaikan ucapan terima kasih dan seluruh
anggauta dan pipipinan Butong-pai."
"Baik, locianpwe, akan saya sampaikan kepada suhu
pesan locianpwe." Kata Thian Liong.
"Bu-tong-pai tidak dapat membalas apa-apa atas
kemuliaan hati dan kebijaksanaan Tiong Lee Cin-jin. Kami
hanya dapat mendoakan semoga Tiong Lee Cin jin
berusia panjang dan hidup penuh kebahagiaan." kata
pula kakek itu.
"Terima kasih, lo-cian-pwe." Dua orang muda itu laki
berpamlt dari Ketua Bu-tong-pai yang sudah tua itu. Di
pintu depan mereka disambut oleh Pek Mau San-jin yang
mengantar mereka sampai keluar pintu gerbang Bu-tongpai. Setelah mengucapkan terima kasih atas sambutan
Bu-tong-pai yang baik, Thian Liong dan Siang In lalu
meninggalkan perguruan silat yang terkenal itu dah
menuruni puncak bukit.
Setelah tiba di kaki bukit, Siang In mengajak pemuda
itu berhenti dan la bertanya. "Liong-ko, urusan di Bu-tong
pai sudah beres. Sekarang, engkau hendak pergi ke
manakah?"
"Aku sekarang akan pergl ke Siauw-Lim-pal." jawab
Thian Liong sejujurnya.
"Wah? Bukankah kuil Siauw-Lim-pai itu jauh sekali
dari sini? Mau apakah engkau pergi ke perguruan332

pergurUan silat? Tadl ke Bu-tong-pai dan sekarang


hendak ke Siauw-lim-pi. Apakah juga engkau ke sana
untuk menyerahkan kitab pusaka Siauw-lim-pai?"
Thian Liong mengangguk. "Tldak salah dugaanmu,
In-moi. Aku memang sedang melaksanakan perlntah
suhu untuk menyerahkan kltab-kitab pusaka kepada
pemiliknya yang berhak."
"Suhumu Tiong Lee Cin-jin ttu aneh sekali! Aku
sudah mendengar bahwa dla merantau ke dunia barat
selama puluhan tahun dan berhasil mendapatkan banyak
kitab penting. Kenapa sekarang kitab-kitab itu dibagibagikan?"
"Bukan begitu, In-moi. Dalam perantauannya ke barat
untuk memperdalam ilmu, suhu menemukan kitab-kitab
para perguruan silat yang dulu dicuri orang. Suhu
berhasil merampasnya kembali dan karena kitab-kitab itu
ada yang berhak memiliki, maka suhu mengutus aku
untuk mengembalikan kitab-kitab itu kepada yang berhak.
Bukankah hal itu sudah wajar dan semestinya?"
"Sama sekali tidak wajar. Kalau suhumu yang
menemukan dan merampasnya kembali, semestinya
kitab-kitab itu menjadi hak milik suhumu! Enak saja para
ketua perguruan silat itu menerima kembali kitab mereka
tanpa merasa bersusah payah! Ah, sudahlah, memang
aku sudah mendengar bahwa Tiong Lee Ctn-jin itu
orangnya aneh luar biasa. Tapi kulihat engkau ini orang
biasa saja, seperti juga aku. ngomong-omong, berapa
banyak sih kitab yang harus kau kembalikan kepada para
ketua perguruan silat itu, Liong-ko?"
"Hanya tiga buah kitab, In-moi. Sebuah untuk
333

diserahkan kepada Ketua Kun-lun-pai, sebuah untuk


Ketua Bu-tong-pai dan yang sebuah lagi harus
kuserahkan kepada Ketua Siauw-lim pai."
"Hemm, baglan Bu-tong-pal gudah kauserahken.
Apakah kiinb untuk Kun-lun-pal juga sudah kauberikan
kepada ketuanya?" Thian Llong menggeleng kepala dan
menghela napas panjang. "Itulah yang merisaukan
hatiku, In-mol. Kltab untuk Kun-lun-pai Itu dicuri orang
dalam perjalananku."
"Waah...! Dicuri orang? Apa namanya kitab pusaka
Kun-lun-pai itu, Liong-ko? Siapa tahu aku dapat
membantumu mencarinya."
"Kitab itu berjudul Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat."
"Dan siapa pencurinya?" "Itulah yang memusingkan.
Pencurinya seorang gadis, aku akan dapat mengenal
wajahnya, akan tetapi sayang, aku tidak tahu namanya."
"Hemm, bagaimana seorang gadis mampu mencuri
kitab pusaka itu darimu? Coba gambarkan bagaimana
gadis itu. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengannya
dan dapat merampas kitab yang dicurinya itu!" kata Siang
In penuh semangat.
la masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun
usianya. Pakaiannya serba merah muda. la lincah
jenaka, bengal, galak dan cerdik."
"Wajahnya, bagaimana rupanya?" '
"Hemm, wajahnya bulat telur, rambutnya hitam
panjang, kalau tertawa timbul lesung pipit di kedua
334

pipinya...."
"la cantik?"
"Cantik sekali, pinggangnya
meruncing, kulitnya putih ........ "

ramping,

dagunya

"Hemm, cantik mana kalaU dibandingkan ........ aku?"


Thian Liong menatap wajah di depannya. "Wah ........
sukar menilai, In-moi. Engkau juga cantik sekali, sukar
rnengatakan siapa di antara kalian yang lebih cantlk. Usia
kalian juga sebaya dan ilmu silat kalian juga sama
lihainya."
"Tentu Kun-lun-pai marah sekali mendengar kitab
pusaka mereka dicuri orang. Apakah mereka sudah
tahu?"
"Memang mereka tadinya marah sekali. Akan tetapi
akhirnya Kui Beng Thaisu, ketua Kunlun-pai dapat
menerima kenyataan dan akupun sudah berjanji
kepadanya untuk berusaha mencari dan menemukan
kembali kitab pusaka, Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu."
"Kitab pusaka Bu-tong-pai tadi adalah Kitab Kiauw-ta
Sin-na. Lalu sekarang tinggal sebuah, yaitu kitab pusaka
yang akan kauserahkan kepada Siauw-lim-pai. Apakah
nama kitab itu, Liong-ko?" Sepasang mata bintang itu
memandang ke arah buntalan pakaian di punggung
Thian liong.
"Namanya Kitab Sam-jong Cin-keng."
Menurut keterangan suhu, kitab ini mengandung ilmu
yang diciptakan sendiri oleh Dewa Jilai-hud!"
335

"Wah, aku ingin sekali melihatnya! Liong-ko yang baik,


tolong perlihatkan kitab itu padaku, sebentar saja!" Gadis
itu mendekat
"Wah, tidak boleh, In-moi!"
"Aih! Masa hanya melihat saja tidak boleh?"
"Suhu memesan agar aku jangan memberikan kitabkitab itu kepada siapa saja kecuali kepada para ketua
yang berhak menerimanya."
"Akan tetapl aku hanya ingin pinjam sebentar, melihatlihat lainnya untuk menambah pengetahuan dan
pengalamanku. Sebentar saja, nantl kukemballkan,"
"Maaf, In-mol, aku tidak dapat memenuhl
permlntaanmu. Suhu berpesan agar aku menjaga kitabkitab Itu dengan taruhan nyawaku."
Walah gadis Itu berubah merah, matanya bersinarsinar mengandung kemarahan. "Hemm, buktlnya sebuah
di antara tiga buah kitab itu hilang!"
"Hal itu terjadl karena aku lengah dan gadis Itu
mencurlnya."
"Benarkah? Apakah tidak karena engkau tergila-gila
oleh kecantikannya dan engkau meminjamkan kltab itu
kepadanya lalu ia melarlkan diri membawa kitab itu?"
"Sama sekali tidak, In-mol. Engkau, juga cantik, akan
tetapi tetap saja aku tidak berani meminjamkan kitab ini
padamu. Maafkan saja."
"Bagaimana

kalau

ada

orang

menggunakan
336

kekerasan untuki merampas kitab" Tentu saja akan


kulawan dan kupertahankan."
"Kalau
begitu
karena
engkau
tidak
mau
meminjamkannya, aku akan merampasnya dengan
kekerasan. Lawanlah aku!" Setelah berkata demikian,
dengan cepat sekall Siang In sudah menerjang pemuda
itu dan tangan kirinya menotok ke arah dada sedangkan
tangan kanahnya mencengkeram ke arah buntalan yang
tergantung di punggung Thlan Liong.
Thian Liong terkejut sekali dan cepat dia mengelak
dengan loncatan ke belakang. Dia merasa kecewa dan
marah. Kenapa setiap kali bertemu dengan gadis cantik,
selalu dia menghadapi kesulitan dan persoalan? Pertama
bertemu gadis Jelita berpakaian merah muda itu yang
kemudian mencuri kitab pusaka Kun-lun-,pai dari
buntalan pakaiannya sehingga dia mengalami kesulitan.
Kemudian dfa bertemu dengan Kim Lan, murid Kun-lunpai yang cantik itu, yang hendak memaksanya agar dia
menjadl suami gadis itu! Dan sekarang ini, dia
menghadapi Ang-hwa Sian-Ii Thlo Siang In yang ayu
manls, dan lagi-lagi dla menghadapi kesulitan karena
gadis inl hendak memaksanya meminjamkan kitab
pusaka StauW-lim-pai!
"In-moi, jangan begitu! Kitab ini bukan milik klta. Kita
tidak berhak ........ .
"Cukup! Berikan kepadaku atau aku terpaksa akan
merampasnya dengan kekerasan!" .
"Tidak boleh, In-moi!" kata Thian Liong yang mulai
merasa panas juga perutnya.

337

Hyaaaattt...." Slang In menerjang dengan cepat.


Serangannya kuat bukan main dan kedua lengannya
dikembangkan dan menyerang secara tiba-ttba dari
samping, sepertl sepasang sayap, kedua kakinya
berjingkat dan berloncatan, sepertl gerakan seekor
burung. Memang gadis ini telah menyerang dengan
memainkan ilmu silat Kong-ciak Sin-kun, (Silat Sakti
Burung Merak). Gerakannya indah dan aneh, akan tetapl
berbahaya sekali karena kedua tangan dan kedua kaki
itu menyerang secara bergantian secara tiba-tiba dan tak
tersangkasangka!
Thian Llong berslkap hati-hatl. Gerakan serangan
gadis ini dahsyat juga walaupun ketika diam-diam dia
membandingkan,
belumlah
sedahsyat
tingkat
kepandaian gadis baju merah yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai Itu. Dia mengerahkan ilmu meringankan diri
dan mengelak dari semua serangan. Tubuhnya
berkelebatan, berubah menjadi bayangan yang tidak
mungkin dapat dilanda pukulan atau tendangan. Siang In
terkejut. Belum pernah la melihat gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) sehebat ini. Kedua matanya sampai
menjadi kabur saking cepatnya bayangan Thian Llong
bergerak.
Siang In menjadi periasaran. Tiba-tiba ia sudah
mencabut saputangan merah dan sekali mengebut
dengan saputangan, belasan batang jarum kecil lembut
menyambar ke arah tubuh Thlan Liong.
"Haiiit!"
"Ahhh!" Thian. Liong mendorong dengan telapak
tangannya dan Jarum-jarum itupun runtuh semua. Akan
tetapi kini gadis itu telah menyerangnya dengan cepat
338

dan sekali ini kedua tangannya melakukan totokantotokan ke arah jalan darah maut di seluruh tubuh Thian
Liong. Itulah ilmu totok Im-yang Tiam-hoat, yang
dtpergunakan Siang In setelah Ban-tok-ciam (Jarum
Selaksa Racun) yang dikebutkan dengan saputangan
merah tadi gagal.
"Hemm....!" Thian Liong menghadapi serangan baru
ini dengan kagum. Gadis tni memang lihai, memiliki
beberapa macam ilmu silat yang ampuh. Akan tetapi,
seperti juga jarum-jarum beracunnya, ilmu totok inipun
bersikap kejam karena setiap serangan merupakan
serangan maut. Dia mengelak dan terkadang menangkis
dengan membatasi tenaganya sehingga Siang In hanya
merasa betapa lengannya tergetar hebat kalau tertangkis
lengan pemuda, akan tetapi ia tidak sampai cidera patah
tulang. Setelah setnua serangannya gagal sama. sekali
dan pemuda itu belum juga satu kali membalas
serangahriya, tahulah Siang In bahwa tingkat
kepandaiannya kalah jauh. Semua serangannya tadi
gagal dan sampai sekilan lamanya Thian Liong tidak
pernah membalas. Hal ini berarti pemuda itu mengalah
terhadapnya. Akan tetapi ia memang keras hati, tidak
mau mengaku kalah begitu saja.
"Srat-sing....!" Dua sinar berkelebat dan gadis itu
sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang
tergantung di punggungnya. Dua batang pedang yang
Berkilauan berada di kedua tangannya.
Akan tetapi ia tidak segera menyerang.
"Hayo, cabut pedangmu! Hendak kulihat apakah
engkau mampu menandingi sepasang pedangku!"
tantang Siang In sambil mengerutkan alisnya karena ia
339

masih marah oleh penolakan Thian Liong yang tldak mau


meminjamkan kitab pusaka Siauw-lim-pai untuk
dilihatnya.
"Sudahlah, In-moi, mengapa engkau berkeras
menantangku bertanding? Kita Inl bukan musuh,
melalnkan sahabat, bukan? Aku girang dan berterilma
kaslh sekall atas semua slkapmu kepadaku yang amat
balk dan bersahabat selama ini. maka, kuminta
kepadamu, hentikanlah pertandlngan inl."
"Hemm, Souw Thtan Llongl Engkau mengaku bahwa
aku bersikap balk dan. bersahabat, akan tetapi
seballknya, bagaimana sikapmu? Engkau pelit dan tldak
percaya kepadaku seliingga memperlihatkan kitab
pusaka itu engkau tolak? apakah artinya persahabatan
bagimu?"
"In-moi, kitab ini bukan milikku dan aku harus mentaati
pesan dan perintah suhu. (Bagaimana aku dapat disebut
seorang berbakti kalau aku melanggar pesan, suhu yang
tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada orang lain
kecuali kepada Ketua Siauw-lim-pai? In-moi, maafkan
aku. Engkau boleh minta yang lain, akan tetapi jangan
minta aku melanggar larangan suhu."
"Cukup. Aku tetap ingin menguji kepandaianmu dan
engkau coba bandingkan, siapa di antara aku dan gadls
yang mencurl kitab pusaka Kun-lun-pai yang lebih lihai
Pergunakan pedangmu. Aku tldak sudi bertanding
dengan orang yang bertangan kosong melawan
sepasang pedangkul"
Thian Liong menghela napas panjang. Gadis Inl
sama keras hatinya dengan gadis baju merah yang
340

mencurl kltab pusaka Kun-lun-pal itu. Kalau tldak dlturutl


tantangannya, la tentu akan mendesak terus. Diapun
mencabut Thian-llong-kiam dan melintangkan pedang itu
di depan dadanya.
Kalau demikian kukuh kehendakmu, baiklah, In-moi.
Akan kulayani permainan pedangmu." kata Thian Liong
dengan sikap tenang.
"Lihat , seranganku. Haaaiiiit" Dua batang pedang di
kedua tangan Siang In itu berubah menjadi dua gulungan
sinar yang menyambar ke arah Thian Llong. Pemuda ini
cepat
melangkah
mundur
dan
mengelebatkan
pedangnya, membentuk sebuah lingkaran, sinar yang
melindunginya. Dia melihat betapa gerakan pedang di
kedua tangan gadis itupun ganas sekali. Sepasang
pedang itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular
cobra yang liar dan ganas. Setiap tusukan atau bacokan
mengarah bagian tubuh berbahaya sehingga setiap
serangan merupakan ancaman maut bagl lawan. Inilah
Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut
Nyawa), ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas.
Akan tetapi Thian Liong menghadapi serangkaian
serangan gadis itu dengan tenang. Gerakannya tenang
dan mantap dan setiap kali sinar pedangnya bertemu
dengan dua gulungan sinar pedang lawan sepasang
pedang di tangan Siang In terpental. Akan tetapi hal ini
bahkan membuat Siang In menjadi semakin penasaran
dan ia mengamuk terus, menyerang dengan sekuat
tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Seperti tadi ketika mereka bertanding dengah tangan
kosong, kini Thian Liong juga selalu mengalah, hanya
mengelak dan menangkis saja. Tiga puluh jurus telah
341

lewat dan selalu Siang In yang rne-nyerang sedangkan


Thian Liong hanya melindungi dirinya. Hal ini membuat
Siang In menjadl semakin penasaran. la merasa
dipandang rendah dan hal ini menyinggung harga
dirinya.
"Hayo balas, pertandingan macam apa ini kalau
engkau hanya mengelak dan menangkis saja?"
bentaknya dan darl suaranya terdengar bahwa ia marah
dan penasaran sekali.
Thian Llong merasa serba, salah. Untuk menyerang
tentu saJa dia tidak tega, akan tetapl kalau dia tldak
menyerang, dia tahu bahwa gadis Itu menjadi pena-saran
dan merasa dipandang rendah. "In-moi, jaga
seranganku!" Thian Liong berseru dan gulungan sinar
pedangnya menjadi lebar sekali. Angin mendesir-desir
dan pedang Thian-liong-kiam, mengeluarkan suara
berdesing-desing, bagaikan gelombang samudera dalam
badai menerjang ke arah Siang In. Gadis itu terkejut
bukan main dan cepat Ia mengerahkan tenaga dan
memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya
dari hantaman gelombang sinar pedang yang amat
dahsyat itu.
Akan tetapi begltu kedua pedangnya bertemu dengan
gulungan sinar pedang yang menerjangnya, hampir
Siang In menjerit karena kedua pedangnya terasa seperti
tergutung gelombang sinar, dlputar dan dlrenggut dari
kedua tanganhya, la mempertahankan dengan
pengerahan tenaga, namun tetap saja kedua pedangnya
terenggut lepas dari kedua tangannya.
Tentu saja ia terkejut dan cepat melompat ke
belakarig dan ia melihat Thian Llong yang memutar
342

pedangnya itu tlba-tlba menggerakkannya ke bawah dan


........ cappp! Dua batang pedangnya meluncur dan
menancap di atas tanah, dl depan kakinya!
"Ilmu silat sepasang pedangmu hebat, In-moi,
membuat aku cukup kerepotan." kata Thlan Llong
sejujurnya tanpa bermaksud mengejek karena memang
dia menganggap ilmu pedang tadi berbahaya sekali.
Akan tetapi Stang In tidak menjawab, melainkan
cepat la mengambil sepasang pedangnya dengan kedua
tangan, kemudian ia meloncat dan berlari pergi
meninggalkan Thlan Llong. Pemuda itu hanya dapat
mengikutl bayangan gadls Itu dengan pandang matanya
dan dia mendengar isak tertahan. Gadls itu
meninggalkannya sambll menangls! Thian Liong
menyimpan pedangnya dan dla berdlrl termenung. Dla
merasa heran dan tldak mengertl, Dua kall dia bertemu
dangan dua orang gadis yang cantlk jelita dan
berkepandalan tinggi dan kaduanya rnemiliki watak yang
aneh.
Keduanya keras hati, ganas dan kejam, akan tetapi
keduanya Juga menentang kejahatan seperti pendekarpendekar wanita! Sungguh sukar menyelami watak
kedua orang gadis itu. Akan tetapi dla-pun harus
mengakui dalam hati bahwa bflru sekarang secara
berturut-turut dla rnerasa tertarik kepada wanlta. Wajah
gadis baju merah dan wajah Slang In silih berganti
membayang di depan matanya. Dia mengheia napas dan
melanjut" kan perjalanannya menuju ke Siauw-lim"
Siauw-lim-pai merupakan perguruan silat yang
terkenal sekali, bukan saja sebagai sebuah perguruan
silat yang dipimpin orang-orang saktl, akan tetapi juga
343

sebagai pusat perkembangan Agama Buddha yang


dlpimpin para hwesio (pendeta) yang beribadat. Biarpun
para murld yang sudah lulus dan tldak tinggal lagi di
perumahan Siauw-llm-si (Kuil Siauwlim) yang biasa. Itu
tidak diharuskan jadi pendeta, namun semua murid yang
masih belajar ilmu silat dl Kuil Siauw-lim dlharuskan
hidup sebagai murid Buddha yang patuh dan baik. Selagi
mereka belajar dalam kuil besar yang merupakann
kornpleks perumahan luas itu, para murid harus
merelakan kepala mereka digunduli seperti para pendeta
dan hldup sederhana, pantang raakanan berjiwa dan
minuman keras.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-llin-pai
adalah Hui Sian Hwesio yang usianya sudah enam puluh
lima tahun. Hwesio ini bertubuh tinggi besar dan gemuk,
berkulit putih dengan muka bulat dan alisnya tebal.
Sikapnya lemah lembut dan walaupun dla merupakan
orang nomor satu di Slauw-Lim-pai namun dia jarang ikut
membimblng para murld dalam hal llmu sllat. Dla leblh
mengutamakan pelajaran Agama Buddha dan lebih
sering duduk bersamadhi seorang dlri. Adapun yang
sibuk mewakilinya mengurus persoalan Slauw-lim-pal
dan mengawasi para murid kepala adik-adik
seperguruannya melatlh llmu silat kepada para murid,
adalah Cu Slan Hweslo. Dia menjadi wakll ketua dan adlk
seperguruan Hul Slan Hweslo. Cu Slan Hwealo yang
berusla enam puluh tahun ini berkullt agak hitam,
hldungnya mancung dan bentuk waJahnya leblh mlr(p
orang India. Memang dla merupakan seorang peranakan
India, bahkan lama dia memperdalam pengetahuan
agamanya di India. Tubuhnya tinggi kurus dan walaupun
dia merupakan sute (adik seperguruan) Hut Slan Hwesto
dan tingkat kepandaian silatnya masih di bawah tingkat
sang ketua, namun Cu Slan Hwesip terkenal sebagai
344

seorang hwesio yang tangguh dan lihai sekall ilmu


sllatnya.
Pada auatu pagi, seperti blasa, sudah terjadl
keslbukan dalam kompleks perumahan Slauwllm-pal
yang luas itu. Para murld yang tidak kurang dari lima
puluh orang jumlahnya, seJak pagi sudah mengerjakan
kewajlban masing-maslng. Mereka bekerja secara
bergiliran. Yang mendapat tugas mengangkut alr darl
sumber alr ke dapur dan tempat mandi sudah bekerja
keras memikul air rnenggunakan tong-tong alr. Ada pula
yang membelah batang pohon menjadi potongan kayukayu bakar. Ada pula yang bertugas mencarl kayu di
hutan sebelah. Ada yang bekerja di ladang di mana
mereka menanam sayur-sayuran, Ada pula yang
bertugas membersihkan seluruh komplteks, ada yang
menyapu, ada yang membersihkan jendelajendela dan
pintu-pintu. Pendeknya, sejak pagi tidak ada murldnya
yang menganggur. juga di dapur terdapat keslbukan dari
mereka yang bertugas memasak makanan. Ada pula
rombongan yang pagi Itu bertugas untuk mempelajari
kltab-kitab agama dan menghafalkan doa-doa, dan ada
pula rombongan yang bertugas untuk berlatlh silat di lianbu-thla (ruangan berlatlh silat), sebuah ruangan yang
luas di mana puluhan murld dapat berlatih secara
berbareng. Dari ruangan ini terdengar suara-suara
bentakan mereka. Akan tetapl dalam ruangan laln, agak
jauh darl ruangan berlatlh silat, terdapat sebuah ruangan
yang khusus untuk berlatlh samadhi dan ruangan ini
tenang sekali.
Setelah matahari naik agak tlnggl, Ilma orang murld
Slauw-lim-pal yang bertugas Jaga di plntu gapura
kompleks perumahan Siauw-llm-sl menerima kunjungan
seorang tamu. Lima orang murld yang berusia antara dua
345

puluh sampal tiga puluhi tahun itu menyambut datangnya


tamu tak dikenal ini dengan slkap hormat dan ramah,
sikap yang diajarkan oleh para pimpinan mereka. Orangorang muda dengan kepala gundul dan pakaian
sederhana kini bangkit dari duduknya di dalam gardu
penjagaan dan melangkah keluar gardu menyambut
tamu itu. Tamu itu adalah seorang pria berusia kurang
lebih lima puluh tahun. Tubuhnya sedang namun tampak
kokoh kuat. Wajahnya. yang dihias kumls tipis Itu gagah
perkasa, sinar matanya mencorong. Pakaiannya rlngkas,
sepertl yang blaaa dlpakai kaum persllatan. Sebatang
padang beronce biru tergantung dl punggunnya sehihgga
mudah sekali diduga bahwa pria Itu tentulah seorang ahll
silat atau sebutan umumnya orang kang-ouw (sungal
telaga) atau orang bu-lim (rimba persilatan). Seorang
murid tertua darl llma orang Itu, berusia tiga puluh tahun,
cepat mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai
penghormatan dan dia bertanya.
"Slapakah saudara yang datang berkunjung dan
keperluan apakah yang membawa saudara datang ke
Siauw-Lim-Si?"
Akan tetapi pria Itu tidak membalas penghormatan
murid Siauw-lim-pal itu, bahkan dia memandang dengan
alls berkerut, tanda bahwa hatinya tidak merasa senang.'
"Kalian berlima tentu murid-murid Siauw-lim-pai,
benarkah?" Suaranya juga terdengar tidak ramah,
bahkan agak ketus.
"Benar, kami adalah murid-murld Siauw-llm-pal."
jawab lima orang muda itu, mulal merasa penasaran
melihat sikap tamu yang tidak ramah Itu.

346

"Nah, cepat panggil Ketua Siauw-Lim-pai ke sini


untuk menemul aku! Aku Ingln bicara dengan dial"
Llma orang murld, Stauw-llm-pai Itu tentu saja
mengerutkan alis dan merasa tidak senang. Tamu ini
sungguh lancang dan tidak sopanl Masa berani
mengeluarkan perintah memanggil ketua mereka begitu
saja? Memangnya siapa sih dia. Akan tetapi, murld tertua
mewakili teman-temannya karena dialah yang bertugas
sebagai kepala jaga. Dia masih dapat bersikap sabar.
"Sungguh tidak mudah untuk menghadap ketua kami.
Seorang tamu harus memberitahu nama dan alamat, apa
keperluannya agar kami dapat melapor ke dalam,
kemudian tergantung keputusan ketua kami apakah
beliau dapat menerima tamu itu menghadap atau tldak."

JILID 10
Aku bukan tamu!" Pria itu membentak marah. "Tidak
perlu menghadap ketua kalian. Dialah yang harus keluar
menemui aku karena aku hendak menuntut dia! Hayo,
kalian beritahukan ketua kalian agar keluar menemui aku.
Ketua kalian Hui Sian Hwesio, bukan?" Murid-murid
Siauw-lim-pai itu rnulai marah. Orang ini sudah
keterlaluan.
"Tidak bisa! Kami tidak blsa memenuhi permintaanmu
yang melanggar peraturan kami itu!" kata kepala jaga
dengan suara mulai ketus.
"Kalian tidak blsa memanggil ketua kalian keluar?
Kalau begitu, aku akan memanggilnya sendiri!" Setelah
347

berkata demikian, pria itu memasuki pintu gapura dan


melangkah memasuki pekarangan kuil yang luas itu.
Akan tetapi dengan tangkas lima orang murid penjaga itu
melompat dan menghadang didepannya.
"Maaf, sobat. Sesual dengan peraturan kami, tak
seorangpun orang luar boleh memasukl pekarangan
sebelum memperoleh persetujuan. Dan kaml tldak dapat
menyetujui engkau menyelinap masuk begltu saja tanpa
memperkenalkan dlrl dan tanpa memberi tahu
keperluanmu!"
"Hemm, kalian berani melarangku? Coba hendak
kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku. Murld
Slauw-llm-pai sekarang memang sudah menjadi orangorang jahat yang patut dihajar!" Setelah berkata
demlkian, orang itu melangkah maju terus tanpa
menghiraukan mereka berlima yang menghadangnya.
Tentu saja lima orang murid Siauw-lim-pai itu menjadi
marah sekali, Mereka menggerakkan tangan untuk
mencegah dan menangkap orang yang tidak tahu aturan
itu. Akan tetapi orang itu menggerakkan kaki tangannya
dengan cepat dan.... lima orang murid Siauw-llm-pal itu
berpelantingan roboh ke kanan kiri, Cepat sekall gerakan
kaki tangan orang Itu yang sudah membagi-bagi
tamparan dan tendangan sehingga tidak dapat
dihindarkan oleh lima orang murid Slauw-lim-pai itu.
Setelah merobohkan lima orang murid Slanw-llm-pal, dia
melangkah terus menuju ke anak tangga yang
merupakan bagian terdepan dari kuil besar.
Setelah tlba dl bawah kuil, dia berhenti dan
mendengar teriakan-teriakan para murid yang tadl
dirobohkan. Dia tidak perduli berdiri dengan kedua kaki
348

terpentang lebar, kedua tangannya bertolak plnggang


dan dia berteriak. Suaranya terdengar nyaring sekali
karena dla mengerahkan khi-kang yang membuat|
suaranya melengklng.
"Hui Sian Hwesio, keluarlah untuk berbicara! !"
Keadaan menjadl gempar, Para murid Siauw-lim-pai
meninggalkan pekerjaan masing-masing dan berbondong
mereka menuju ke pekarangan kuil. Akan tetapi mereka
tidak berani turun tangan dan hanya berdiri menanti
perintah dari pimpinan mereka. Tidak kurang dari empat
puluh orang murid telah berkumpul di anak tangga
serambi depan dan di pekarangan. Namun pria itu tidak
tampak takut, bahkan tersenyum mengejek dan
mengulang teriakannya tadi.
Tiba-tiba muncul seorang hwesio berusia kurang lebih
lima puluh tahun dl serambi depan dan dengan langkah
lebar hwesio itu menuruni anak tangga. Para murid
Siauw-lim-pai merasa lega karena hwesio pendek gendut
yang muncul ini adalah pelatih mereka dalam ilmu silat.
Hwesio ini bernama Ki Sian Hwesio, merupakan sute
(adik seperguruan) termuda dl antara para plmplnan
Slauw-llm-si, akan tetapl karena ilmu silatnya tangguh,
maka dia dipilih oleh Hui Sian Hwesio sebagai pelatih,
membantu Cu Slan Hwe-slo. Mellhat ribut-ribut Ki Sian
Hweslo cepat keluar dan klnl berhadapan dengan pria itu.
Lima orang murid yang tadi berjaga dan dirobohkan tamu
aneh itu, segera mendekati Ki Sian Hwesio dan kepala
Jaga itu melapor.
"Suhu tamu ini tidak memperkenalkan dirinya,
memaksa masuk untuk menemui ketua dan telah
merobohkan teecu (murid) berlima."
349

Ki Slan Hwesio mengerutkan alisnya menatap wajah


pria yang masih tampak marah itu. "Sobat, seorang tamu
sepatut-nya tunduk terhadap tata tertib pihak tuan rumah,
bukan memaksa masuk dan berterlak-teriak di sini.
Siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau
berkunjung ke Siauw-lim-pai?"
"Aku Ingin bertemu dan bicara sendiri dengan Ketua
Siauw-lim-pai! Apakah engkau ini wakil dari ketua?" orang
itu bertanya.
Ki Sian Hwesio menggeleng kepalanya. "Bukan, akan
tetapi...."
"Kalau begltu pergilah dan panggil ketua atau wakil
ketua kalian untuk bi-cara denganku!" potong prla itu
ketus.
"Pinceng (aku) memang bukan ketua atau wakll
ketua, akan tetapi plnceng berhak dan berkewajiban
untuk atas na-ma Siauw-lim-pai mengusir orang tidak
tahu aturan yang berani lancang mengacau dl sini!"
Sinar mata tamu itu mencorong ketika dia mendengar
ucapan ini. Dia menatap wajah hwesio yang pendek
gendut itu dan berkata, "Hemm, ingin kulihat bagaimana
engkau akan mampu mengusir aku dari tempat ini!"
Karena sudah jelas bahwa tamu ini melanggar
peraturan Siauw-lim-pal, bahkan telah merobohkan lima
orang murid, Kl Slan Hwesio tidak ragu-ragu lagl untuk
bertlndak.
"Manusia sombong, sambutlah serangan pinceng ini!"
bentak hweslo gendut pendek Itu dan dla sudah
350

menyerang dengan dahsyatnya. Blarpun tubuhnya


pendek gendut, Ki Stan Hwesio dapat bergerak dengan
cepat sekali dan pukulannya mengandung tenaga besar.
Hwesio ini lebih suka melatlh ilmu sllat Siauw-lim-pai
aliran utara yang mengutamakan kecepatan dan
kekuatan, maka serangannya itu cepat namun dahsyat
sekali. Sambaran kepalan tangannya mendatangkan
angin bersuitan.
Akan tetapi agaknya tamu yang belum juga
memperkenalkan namanya itu memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi. Pantas kalau dia berani bersikap demikian
kasar dan berkunjung ke Siauw-lim-pai yang menjadi
pusat para pendekar silat. Menghadapi serangan Ki Sian
Hwesio itu, dengan tenang namun Hncah sekali dia
mengelak ke samping dan se-lagi tangan hwesio itu
meluncur luput, dia sudah membalas dengan tamparan
tangan terbuka ke arah ubun-ubun kepala Ki Sian
Hwesio yang jauh lebih pendek itu.
"Wuuuttt ........ dukk!" Kl Sian Hwesio menangkis ke
atas dan dua lengan ber-temu dengan kuatnya. Aklbat
benturan kedua lengan ini, dua orang itupun terhuyung ke
belakang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga mereka
seimbang.
Ki Slan Hwesio menjadi penasaran dan diapun
melakukan serangan dengan gencar dan bertubi-tubi,
memainkan ilmu silat Slauw-lim-pai yang kokoh kuat.
Akan tetapi ternyata lawannya juga lihai sekali, mampu
menandinginya, bukan saja mampu menghindarkan
kakinya dari tangkapan, akan tetapi lawannya
bergulingan dan ketika kakinya turun kembali, tak dapat
dihindarkan lagi kakinya dapat dicengkeram! Sebelum
dia sempat meronta, de-ngan gerakan yang aneh namun
351

kuat sekali lawannya menggeliat, kedua- ta-ngannya


disentakkan dan tiibuh Ki Sian Hwesio terlempar
beberapa meter dan jatuh (erbanting di atas tanah.
Demikian kuat bantingan itu sehingga tulang pun-dak
kirinya patah! Itu adalah ilmu gulat dari bangsa Mancu!
Melihat betapa pelatih mereka terbanting keras dan
hanya dapat bangkit duduk sambil mengeluh, para murid
Siauw-lim-pai menjadi marah dan mereka sudah siap
untuk mengeroyok tamu itu. Akan tetapi pada saat itu
terdengar suara nyaring berwibawa.
"Semua murid mundur!"
Ternyata yang membentak Inl adalah Cu Sian
Hwesio yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam.
Mendengar ini, para murld tidak jadl mengepung dan
melangkah mundur, memberi ruangan ke-pada wakil
ketua SiauW-lim-pal. Cu Sian Hwesio melangkah maju
turun dari anak tangga dan berdiri berhadapan dengan
tamu itu.
"Omitohud!" kata Cu Sian Hwesio sambil merangkap
kedua tangan di depan dada memberi salam sembah.
"Pinceng melihat ada gerakan silat Kong-thong-pai dalam
permainan sicu (orang gagah). Selama ini tidak pernah
ada permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Kongthongpai, kenapa sicu datang membikin ribut di sini?",
"Ini adalah urusan pribadiku dengan orang Siauw-limpai, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
perguruan silat manapun!" kata pria itu ketus.
"Omitohud, agaknya sicu marah sekali! Siapakah
nama sicu yang terhormat, dan ada urusan apakah
antara sicu dengan Siauw-lim-pai?" tanya Cu Sian
352

Hwesio, suaranya tetap tenang dan sabar.


"Engkau siapa?" tanya orang itu, suaranya masih
mengandung kemarahan. "Aku hanya Ingin bicara dengan
Ketua Siauw-lim-pai!"
"Ketua Siauw-llm-pat sedang bersamadhi, tidak boleh
diganggu. Pinceng adalah Cu Sian Hwesio, Wakil Ketua
Siauw-lim-pai dan semua urusan dengan Siauw-lim-pai
dapat diselesaikan dengan pinceng. Suheng Hui Sian
Hwesio selaku iyKetua Siauw-lim-pai telah menugaskan
pinceng untuk menangani semua urusan mengenai
Siauw-lim-pai."
Sikap orang itu agak berubah. Dia kini mengangkat
kedua tangan membalas salam Cu Sian Hwesio dan
berkata, tidak seketus tadi. "Bagus, kalau begitu, aku
boleh berurusan denganmu. Namaku Kwee Bun To dan
baru beberapa bulan tinggal di dusun kaki bukit ini untuk
mengundurkan diri dari keramaian kota dan hidup
tenteram dengan anak tunggalku, seorang gadis. Kami
memilih tinggal di kaki bukit ini karena mengira bahwa
dekat dengan Siauw-limpai, tentu kehidupan di sini aman
dan tenteram. Siapa kira justeru Siauw-lim-pai yang telah
menghancurkan
kebahagiaan
hidup
kami
dan
menghancurkan kehidupan anak kami yang telah
dewasa!" Orang yang mengaku bernama Kwee Bun To
Ini mengepal tinju dan mengamang-amangkan ke atas
"Aku bersumpah untuk menangkap murid Siauw-Lim-pai
itu, membelah dadanya mengeluarkan jantungnya dan
menginjak-injak kepalanya sampai hancur lebur!"
Para murid Siauw-lim-pai bergidik mendengar sumpah
yang mengerikan itu. Akan tetapi Cu Sian Hwesio tetap
tenang dan dia tersenyum sabar.
353

"Omitohud! Agaknya Kwee-sicu menderita dendam


saklt hati yang teramat besar. Akan tetapi, apakah
sebenarnya yang telah terjadi dan apa hubungannya
dengan murid Siauw-limpai?"
"Hemm, agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai hanya
dapat mengajarkan siiat dan doa-doa saja, akan tetapi
tidak mampu mengawasi kelakuan para muridnya. Nah,
dengarlah kalian semua, ol-ang-orang Siauw-lim-pai!
Malam tadi, seorang laki-laki telah menyelinap masuk
kamar anak perempuanku, menotoknya kemudian
memperkosanya! Dan jahanarn keparat busuk itu adalah
seorang murid Siauw-lim-pai!"
Semua orang terkejut. Omitohud!" seru Cu Sian
Hwesio. "Nanti dulu, Kwee-sicu. Bagaimana engkau
dapat mengatakan bahwa dia adalah murid Siauw-limpai?"
"Kebetulan aku terbangun malam tadi cteo aku
mendengar gerakan orang dalam rumah. Aku keluar dari
kamarku dan sempat melihat sesosok bayangan
berkelebat keluar dari kamar anakku. Aku mengejarnya
dan setelah tiba di luar, aku menyerangnya. Kami
berkelahi dan dia dapat melarikan diri Keparat!"
"Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa dia murid
Siauw-lim-pai? Apakah slcu dapat mengenal mukanya?"
"Tidak, cuaca terlalu gelap, aku hanya dapat menduga
bahwa dia tentu seorang lakl-laki yang masih muda."
"Akan tetapl bagaimana sicu mengetahul bahwa
orang itu telah ........ menodai anakmu?"

354

"Aku kemudian mendapatkan anakku dalam keadaan


tertotok dan menjadi korban perkosaan. Ah, aku harus
dapat menemukan jahanam terkutuk itu!"
"Nanti dulu, Kwee-sicu. Engkau tadi menceritakan
hahwa keadaan cuaca gelap sehingga engkau ttdak
dapat mengenal mukanya. Akan tetapi bagaimana engkau
dapat begitu yakin bahwa pemerkosa itu adalah murid
Siauw-lim-pai?"
"Buktinya sudah jelas! Ketika aku berkelahi dengan
dia,
aku
mengenal
jurus-jurusnya.
Jelas
dia
mempergunakan Jurus sllat Lo-han-kun (Silat Orang Tua
Gagah) dari Slauw-lim-pai. Tidak salah lagi! Aku berani
bersumpah!"
"Omitohud, urusan ini menjadl amat ruwet dan sulit.
Kalau engkau tldak mengenal mukanya, lalu bagaimana
pinceng dapat menerima tuduhanmu bahwa dia itu murid
Siauw-lim-pai? Bukti ilmu silat itu sama sekali tidak kuat,
sicu. Semua orang, biarpun bukan murid resmi Siauwlim-pai, dapat saJa mempelajarinya."
"Tidak, aku yakin dia murid di sini. Pertama, jurus
silatnya tadi. Ke dua, bukankah Siauwlim-si yang paling
dekat dengan dusun kami? Karena itu, aku sengaja
datang ke sini untuk menuntut kepada ketua atau
kepadamu sebagai wakil ketua, untuk menangkap dan
menyerahkan muridmu yang Jahanam itu kepadaku!
"Akan tetapi bagaimana plnceng dapat menangkap
orangnya kalau pinceng tidak tahu siapa orang itu?
Rasanya tidak mungkin menangkapnya karena engkau
tidak memberi tanda-tanda tertentu dari orang itu. Kami
tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, Kwee-sicu.
355

Permintaanmu itu tidak masuk akal. Kami tak mungkin


melakukan penangkapan atau tuduhan kepada muridmurid kami sendiri tanpa adanya bukti yang nyata."
"Hemm, kalau begitu, terpaksa aku akan melakukan
pembalasan dengan cara-ku sendiri. Sebulan sekali aku
akan membunuh seorang murid Siauw-lim-pai dan aku
baru berhenti kalau Siauw-lim-pai sudah menyerahkan
jahanam keparat ter-kutuk itu kepadakui"
"Omitohud! Engkau saitta sekall tidak boleh
melakukan hal itu, sicu! Itu kejam dan tidak adil namanya
dan pinceng pasti akan mencegahya!" seru Cu Sian
Hwe-sio.
"Bagus engkau hendak melindungi dan membela
Jahanam busuk itui' Jangan dikira aku takut kepadamu,
Cu Sian Hwe-sio!" Kwee Bun To bersikap siap untuk
bertandlng.
Pada saat itu, seorang pemuda menghampiri Cu Sian
Hwesio dan memberi hormat kepada hwesio bermuka
hltam tinggi kurus itu.
"Susiok!"
Cu Sian Hwesio memandang. Pemuda itu berusia
kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya bulat
dengan kulit muka putih bersih, alisnya tebal hitann.
Seorang pemuda bertubuh sedang tegap yang berslkap
lembut dan wajahnya tampan gagah. Sepasang matanya
tajam dan mulutnya selalu dihias senyum ramah.
"Ah, kiranya engkau, Cia Song!" seru Cu Sian Hwesio
gembira. Cia Song adalah seorang murid Siauw-lim-pai
356

yang berbakat dan yang dulu dilatih oleh Hul Sian


Hwesio sendiri sehingga tingkat kepandaiannya lebih
tinggi daripada murid-murid lain. "Tunggulah dulu,
pinceng hendak menyelesaikan urusan dengan Kweesicu ini."
"Teecu (murid) sudah mendengar semua yang
dipertengkarkantadi,
susiok
(pa-man
guru).
Perkenankanlah teecu mewakili susiok dan Siauw-lim-pai
untuk menghadapi Kwee-kauwsu (guru silat Kwee) ini.
Cu Sian mengangguk. Dia memang segan untuk
berurusan dengan seorang yang sedang dimabok
dendam dan kemarahan itu dan dia mengenal Cia Song
sebagai seorang pemuda yang pandai dan bijaksana
sehingga suhengnya, yaitu Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian
Hwesio sering memuji-muji muridnya itu. Dia
mengangguk-angguk lalu mundur beberapa langkah,
membiarkan Cia Song mewakilinya.
Pemuda itu kini dengan tenang talu berdiri
menghadapi Kwee Bun To, ditonton oleh semua murid
Siauw-lim-pai yang mengenal pemuda yang mereka
kagumi sebagal seorang jagoan muda Siauw-lim-pal itu.
Kwee Bun To juga memandang penuh perhatian. Pemuda
Itu tampan gagah, slkapnya tenang dan lembut,
wajahnya ramah, pakaiannya tidak terlalu mewah namun
bersih sekali dan rapi, sepatunya dari kulit hitam
mengkilap dan dipunggungnya tergantung pedang
beronce merah.
Cia
tangan
engkau
dengan

Song memberl hormat dengan merangkap


di depan dada. "Kwee-kauwsu, saya harap
suka bersikap tenang dan sabar, karena hanya
sikap seperti itu persoalan dapat diselesaikan
357

dengan baik."
Kwee Bun To mengerutkah alisnya. Baru beberapa
bulan dia pindah ke dusun di kaki bukit, dusun yang
menjadi tempat asalnya. Tadinya dia memang seorang
guru silat yang cukup terkenal di wilayah utara. Akan
tetapi, ketika wilayah Cina Utara dikuasai oleh bangsa
Yucen yang mendirikan Kerajaan Kin, sedangkan
Kerajaan Sung terpaksa pindah ke sebelah selatan
Sungal Yang-ce, guru silat Kwe Bun To terpaksa
membubarkan perguruannya. Dia tldak mau tunduk
kepada bangsa Yucen dan melarlkan diri. Dalam pelarlan
yang dilakukan bersama isteri dan anak tunggalnya itu,
isterinya meninggal dunia karena menderita kaget dan
sakit berat. Akhlrnya dia tinggal di dusun di kaki bukit itu,
berdua dengan Bi Hwa, puterinya yang sudah berusla
tujuh belas tahun. Tak pernah dia mem-perkenalkan diri
sebagai guru silat, akan tetapi bagaimana pemuda ini
dapat menyebutnya kauw-su (guru silat)?
"Bagaimana engkau tahu bahwa aku adalah seorang
guru silat? Siapakah engkau, orang muda?" tanya Kwee
Bun To sambil memandang tajam penuh selidik.
Cia Song tersenyum ramah. "Nama saya Cia Song
dan sebagai seorang mu-rid Siauw-lim-pai, saya merasa
berkewa-jiban untuk mewakill suhu, susiok dan semua
saudara di Siauw-lim-pai untuk membereskan persoalan
ini denganmu, Kwee-kauwsu. Selama ini saya rnerantau
ke wilayah utara dan mendengar banyak hal, juga
tentang Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih)
yang anda pimpin di kota raja akan tetapi terpak-sa
dibubarkan setelah bangsa Yucen menguasai daerah
utara."

358

"Hemm, engkau mengetahui banyak hal. Akan tetapi,


apa yang dapat kau lakukan mengenai persoalanku ini,
sedangkan para plmpinan Slauw-lim-pai sendiri agaknya
tidak mampu memecahkannya? Keluargaku telah
tertimpa malapetaka dan aku hanya menghendaki agar
Siauw-Lim-pai menyerahkan jahanam terkutuk itu. Kalau
hal itu tidak dapat dilakukan terpaksa aku akan
melakukan pembalasan dengan caraku sendiri, yaitu
setiap bulan aku akan membunuh seorang murid Siauwlim-pal untuk melampiaskan dendam keluargaku!"
"Kwee-kauwsu,
saya
harap
anda
da-pat
menyabarhan dan menenangkan hati, tidak menuruti
nafsu amarah karena dendam yang membakar hati.
Jalan yang anda tempuh itu hanya akan memperbebar
dendam mendendam dan permusuhan yarig tldak akan
menguntungkan kedua pihak. Ketahuilah, Kwee-kauwsu,
para murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang
digembleng lahir batinnya, kiranya tidak mungkin
melakukan hal serendah itu. Lebih besar lagi
kemungkinannya bahwa pelakunya adalah orang yang
memusuhi Siauw-lim-pai. Dia telah nrempelajari Lo-hankun dan mengunakan itu untuk mengadu domba antara
Siauw-limpal dan anda, Juga untuk merusak nama baik
Siauw-lim-pai. Karena itu, saya mempunyai usul yang
jauh lebih baik daripada apa yang hendak anda lakukan
sebagai balas dendam itu.,"
Sikap sopan dan ucapan yang ramah lembut itu agak
mendinginkan hati Kwee Bun To yang dibakar api
keirtarahan. "Hemm, orang muda, usul apakah yang
hendak kauaampalkan kepadaku?"
"Begini, Kwee-kauwsu. Aku berjanji akan mencari
pemerkosa itu sampai dapat kubekuk batang lehernya!
359

Kalau aku berjanji untuk menangkap dan menyeret orang


itu
kepadamu,
maukah
engkau
membatalkan
ancamanmu untuk membunuhi para murid Siauw-lim-pai
itu?"
"Hemm, Cia Song, jawabanmu ini ja-E uh lebih baik
daripada jawaban mereka tadi. Setidaknya engkau
berjanji untuk menangkap jahanam itu, tidak perduli itu
murid Siauw-limpai atau bukan. Baik, aku memberi waktu
satu bulan kepadamu. Kalau dalam waktu sebulan
engkau belum mampu menyerahkan jahanam itu,
terpaksa aku menggunakan caraku sendiri untuk
mernbalas dendaml"
"Baik, Kwee-kauwau. Akan tetapi untuk mencari
pemerkosa itu, saya harus bisa mendapatkan keterangan
dan penjelasan dari puterimu tentang orang itu
setidaknya ciri-ciri yang dapal diceritakan puterimu agar
mudah bagiku untuk mencari orangnya."
"Baik, hal itu mudah diilakukan. Akan tetapi aku
masih belum yakin engkau akan mampu menangkap
jahanam itu sebelum menguji kemampuanmu. Karena
itu, terimalah seranganku sekali saja. Kalau engkau
mampu menahan, baru aku dapat menerima usulmu.
Beranikah engkau menyambut seranganku?"
Cia Song tersenyum. "Kalau itu yang anda kehendaki,
silakan,
Kwee-kauwsu.
Saya
siap
menyambut
pukulannlu."
"Cia Song berhati-hatilaht" Seru Cu Sian Hwesio
khawatir. Akan tetapi murid keponakannya itu menoleh
sambil tersenyum kepadanya.

360

"Susiok, teecu hendak membantu Kwee-kauwsu,


tentu dia tidak ingin mencelakai teecu."'
"Cia Song, bersiaplah dari sambut seranganku ini!"
Kwee Bun To membentak nyaring. Cia Song cepat
menghadapinya dan melihat guru silat itu, menyerangnye
dengan dorongan kedua telapak tangan, diapun cepat
menekuk kedua lututnya dan membuat gerakan serupa,
yaitu rnendorongkan kedua telapak tangannya ke depan
untuk menyambut serangan jarak jauh yang mengandung
hawa pukulan dahsyat itu.
"Wuuuuttt.... blarr'r....!" Dua hawa pukulan yang
dahsyat dan kuat bertemu di antara mereka dan Kwee
Bun To terdorong mundur sampai tiga langkah! Dia
terkejut sekali. Biarpun dla tadl tidak ingin membunuh
pemuda yang bermaksud membantunya itu, namun dia
telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya, dan
ternyata pemuda itu mampu mendorongnya sampai tiga
langkah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tena-ga
saktl pemuda itu lebih kuat darlpada tenaga Ki Sian
Hweslo yang tadi bertanding melawannya. Hal ini
menimbulkan kepercayaan dalam hatinya. Siapa tahu,
mungkin pemuda ini yang akan mampu menangkap
jahanam yang telah memperkosa puterinya.
"Cia Song, aku menanti kunjunganmu untuk
mendengar keterangan dari anakku. Cu Sian H.vesio,
sampaikan pernyataan maafku kepada Ketua Siauw-limpai atas gangguanku yang terpaksa kulakukan ini."
Setelah berkata begitu, guru silat yang menderita pukulan
batin hebat itu lalu memutar tubuhnya dan meninggalkan
tempat itu dengan cepat.
"Omitohud!" Cu Sian Hwesio berseru. "Orang yang
361

sedang penuh duka dan kemarahan, ditekan dendam


sakit hati yang hebat seperti dia, menggelapkan semua
pertimbangan dan dia dapat menjadi orang yang
berbahaya sekali! Untung engkau dapat meredakan
kemarahannya dan menanamkan kepercayaan dalam
hatinya. Cia Song. Mari, mari kuhadapkan engkau kepada
suheng Hui Sian Hwesio."
"Baik.'susiok."
Akan tetapi baru saja kedua orangitu melangkah
hendak memasuki kuil, dua orang rnurid Siauw-Iim-pai
yang tadi melakukan penjagaan di pintu gerbang, datang
berlari-lari dan melapor kepada Cu Sian Hwesio bahwa
ada seorang tamu hendak menghadap Ketua Siauwlimpai.
"Ehh? Siapa lagi yang akan menghadap ketua?"
tanya Cu Sian Hwesio dengan heran.
"Tamu yang ini mematuhi aturan, suhu. Dia masih
muda, mengaku bernama Souw Thian Liong dan dia
adalah murid dan utusan Tiong Lee Cin-jin mohon
menghadap ketua karena membawa pesan penting dari
Tiong Lee Cin-jin."
Wajah yang berkulit hitam itu berse-ri dan sepasang
rnata itu bersinar-sinar. "Tiong Lee Cinjin? Omitohud....!
Kalau dia murid manusia bijaksana itu, tentu saja suheng
Hui Sian Hwesio mau menerimanya! Persilakan dia
masuk dan sekalian akan pinceng hadapkan suheng
bersama Cia Song."
Dua orang murid itu berlari menuju ke luar dan tak
lama kemudian mereka mengantar Thian Liong ke depan
362

Cu Sian Hwesio. WakUketuaini mengamat?" orang muda


yang datang dan memberi hormat kepadanya. Seorang
pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun,
bertubuh sedang dan berwajah tampan dengan kulit
putih bersih. Mata pemuda itu mencorong namun
bersinar lembut, hidungnya mancung, mulutnya selalu
menyungging senyum. Pakaiannya sederhana dan dia
menggendong sebuah buntalan pakaian. Pemuda ini
mirip Cia Song, pikir Cu Sian Hwesio, hanya lebih muda.
"Locianpwe, mohon maaf sebesarnya kalau
kedatangan saya mengganggu ketenteraman di sini.
Kalau tidak membawa perintah suhu, sungguh saya tidak
berani mengganggu tempat suci ini."
Cu Sian Hwesio merangkap kedua tangan di depan
dada dan tersenyum. "Omi tohud!" Dia berseru. Pinceng
merasa berbahagia sekali. Siauw-lim-pai telah mendapat
kehormatan besar menerima kunjungan murid atau
utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin! Mari, Souw-taihiap
(pendekar besar Souw), mari pinceng antarkan engkau
menghadap suheng Hui Sian Hwesio ketua Siauw-limpai."
"Mari, Souw-siauwte (Saudara Muda Souw), kita
menghadap suhu. Kebetulan sekali saya iuga hendak
menghadap beliau dan kita dapat bersama-sama
menghadap suhu. Perkenalkan, saudara Souw Thian
Liong, saya bernama Cia Song, seorang di antara muridmurid Suhu Hui Sian Hwesio."
Sikap yang ramah terbuka itu menye-hangkan hati
Thian Liong dan dia merangkap kedua tangan di depan
dada dengan hormat. Pemuda itu menyebutnya saudara
muda, dan memang pemuda tampan gagah murid ketua
363

Siauw-lim-pai itu! tentu beberapa tahun lebih tua darinya.


"Saya senang sekali dapat berkenalanj denganmu
Cia-twako (kakak Cia), dan saya merasa terhormat sekali
akan dapat menghadap locianpwe Hui Sian Hwesio."
"Marilah, Souw-taihiap dan Cia Song. Biarpun
suheng Hui Sian Hwesio jarang sekali mau bertemu
dengan orang lain, akan tetapi pinceng yakin bahya
sekali ini dia akan suka sekali untuk bertemu dengan
kalian." kata Cu Sian Hwesio. Mereka bertiga memasuki
kompleks bangunan Siauw-Lim-pai yang luas dan setelah
tiba di sebuah ruangan tertutup yang sunyi, di mana tidak
tampak seorangpun hwesio, Cu Sian Hwesio merangkap
kedua tangan di depan dada, berdiri agak mem-bungkuk
dengan hormat di luar pintu ia-lu berkata dengan nada
suara lembut.
"Suheng yang mulia, perkenankanlah pinceng
menghadapkan murid Cia Song dan talhiap Souw Thlan
Liong murid atau utusan yang mulia Tiong Lee Cin-jin
kepada suheng!"
Sunyi menyambut ucapan Cu Sian Hwesio itu.
Kemudian terdengar jawaban suara yang lembut sekali
dari dalam, namun suara lembut Itu terdengar oleh Thlan
Liong seolah ada orang berblsik di dekat telinganya.
Dengan kagum dia mengerti bahwa suara itu dibawa
tenaga dalam yang amat kuat, menembus segala apa
yang menghalang di depan.
"Omltohud! Mimpi apa plnceng semalam sehingga
yang mulia Tiong Lee Cin-Jin mengutus murldnya datang
ke slni?"

364

Belum habis kalimat itu terucapkan, daun pintu itupun


bergerak sepertl terbuka dari dalam. Akan tetapi Thian
Liong tldak melihat adanya orang yang membuka daun
pintu itu dan hembusan angin lembut namun kiiat terasa
olehnya. Tahulah dla bahwa pintu itu dibuka dengan
dorongan angin itu dari jauh. Dan ketika dia memandang
ke dalam ruangan itu, jauh di tehgah ruangan yang luas
itu tampak duduk seorang hWesio. Usianya sekitar enam
puluh tahun lebih, sedikitnya enam puluh lima tahun,
tubuhnya gemuk tinggi besar seperti tubuh Arca Ji-laihud, mukanya bulat penuh senyum cerah dan alisnya
tebal, matanya bersinar lembut. Hwesio itu duduk bersi-la
di atas dipan kayu. Agaknya hwesio itu tadi membuka
daun pintu dengan dorongan tangan yang menimbulkan
angin lembut yang kuat. Hal ini saja membuktikan betapa
tinggi ilmu kepandaian hwe-sio itu yang sudah mampu
mengatur tenaga saktinya sedemikian rupa seolah
tenaga saktinya itu merupakan sebagian anggota
tubuhnya yang dapat melakukan apa-apa dari jarak jauh.
"Silakan masuk, Souw-taihiap dan kalian juga, Cia
Song dan Cu Sian Hwe-sio." kata hwesio tua itu sambil
menggapai dengan tangan kanannya.
Tiba-tiba Thian Liong menjatuhkan diri berlutut
menghadap ke arah hwesio tua yang dia yakin tentu Hui
Sian Hwe-sio adanya. Tadi ketika Cu Sian Hwesio
menyebutnya taihiap (pendekar besar), walaupun hatinya
merasa tak enak, dia menerima saja. Akan tetapi ketika
ketua Siauw-lim-pai menyebutnya demikian, dia merasa
berat sekali untuk menerimanya, maka dia segera
menjatuhkan diri berlutut.
"Harap iocianpwe sudi memaafkan teecu (murid).
Sungguh teecu tidak berani menerima sebutan taihiap
365

dari locianpwe. Nama teecu Souw Thian Liong dan teecu


akan merasa senang sekali kalau locianpwe menyebut
naroa teecu begitu saja.
Hwesio tua itu tertawa lembut dan mengelus
jenggotnya yang menutupi le-hernya. Dia tidak berkumis
dan gundul, akan tetapi jenggotnya yang sudah,
berwarna dua itu cukup panjang.
"Omitohud! Yang mulia Tlong Lee Cin-jin telah
memberi bimbingan luar dalam kepadamu, membuat
pinceng merasa kagum sekali. Bangkit dan masuklah
Thian Lioug dan jangan banyak sungkan. Sebagai murid
yang mulia Tiong Lee Cin-jin, engkau patut kami anggap
sebagai golongan sendiri."
"Terima kasih, locianpwe." kata Thian Liong dan
diapun mengikuti Cu Sian Hwe-sio dan Cia Song
memasuki ruangan itu. Setelah berhadapan dengan
hwesio itu, Hwesio berdiri di pinggiran sedangkan dua
orang muda itu langsung berlutut di depan Hui Sian
Hwesio.
Hul Slan Hweslp memandang kepada dua orang
pemuda yang berlutut sambll menundukkan muka
mereka Itu dan mengangguk-angguk sambil tersenyuin
dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.
"Cia Song coba angkat mukamu dan pandang
pinceng! perintahnya dengan suara lembut. Cia Song
menurut, mengangkat mukanya dan menatap wajah
suhunya, bertemu pandang mata sejenak lalu dia
menunduk kembali.
"Omitohud! Bagus sekali, engkau telah mendapatkan
366

banyak sekali kemajuan, hanya saja engkau harus


banyak mengurangi kekerasan hatimu dengan banyak
melakukan latihan siulian (samadhi) dan pengendalian
nafsu."
"Baik, suhu. Teecu menaati perintah? suhu." jawab
Cia Song lirih.
"Sudah bertahun-tahun engkau pergi berkelana.
Sekarang datang ke Siauw-lim-si (kuil Siauwlim)
membawa keperluan penting apakah?"
"Teecu merasa rindu kepada Siauw-lim-si, kepada
suhu, para su-siok (paman guru) dan semua saudara,
maka teecu sengaja datang berkunjung, suhu." jawab
Cia Song dengan hormat.
"Maaf, suheng. Pinceng ingin menyampaikan laporan
tentang jasa murid Cia Song yang telah menyelamatkan
Siauw-lim-pai dari keributan yang baru saja terjadi." kata
Cu Sian Hwesio.
"Keributan? Apakah yang telah terjadi, sute (adik
seperguruan)?"
"Baru saja kita kedatangan seorang guru silat dari
Pek-eng Bu-koan bernama Kwee Bun To. Dia marahmarah dan menuntut agar kita menyerahkan seorang
murid Siauw-lim-pai yang katanya telah memperkosa
seorang puterinya."
"Omitohud! Semoga Tuhan mengampuni kita!
Siapakah murid Siauw-lim-pai yang melakukan perbuatan
hina itu, sute?"

367

"Kauwsu (guru silat) Kwee Bun To itu tidak


mengetahui siapa orangnya."
"Hemm, kalau begitu bagaimana dla dapat
mengatakan bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim?"
"Menurut ceritanya, malam itu puterinya diperkosa
orang dan dia bertemu dengan pelakunya. Di malam
gelap itu dia menyerang dan orang muda yang
melakukannya itu melawannya dengan menggunakan
ilmu silat Lo-han-kun yang dikenalnya. Maka dia
mengatakan dengan pasti bahwa pelakunya adalah
murid Siiauw-lim-pai."
"Omitohud! Bagaimana dapat terjadi hal seperti ini?
Lalu bagaimana sute?"
"Dia menuntut agar kita menyerahkan pelaku itu,
kalau tidak dia akan membunuhi murid Siauw-lim-pai
satu demi satu. Hampir saja pinceng sendiri bertanding
dengan dia, akan tetapi lalu muncul murid Cia Song yang
melerai dan menyabarkan Kwee Bun To. Cia Song
menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menangkap
pelaku perkosaan itu dalam waktu satu bulan. Kwee Bun
To menerima janji itu dan mengundurkan diri sehingga
Siauw-lim-pai terhindar dari keributan."
Hui
Sian
Hwesio
mengangguk-angguk
dan
memandang kepada muridnya. "Cia Song, engkau
berjanji kepada Kwee-kauwsu untuk menangkap pelaku
itu dalam sebulan, apakah engkau mengetahui siapa
pelakunya?"
"Teecu belum mengetahuinya, suhu."

368

"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau berani


berjanji hendak menangkapnya?" "Akan teecu selidiki
sampai teecu berhasil menangkapnya."
"Apakah engkau percaya bahwa pelakunya adalali
seorang murid Siauw-lim-pai?"
"Teecu tidak percaya. Mungkin saja orang lain yang
sengaja menggunakan ilmu silat Lo-hankun untuk
menyembunyikan diri dan menjatuhkan kesalahan
kepada Siauw-lim-pai. Teecu akan menyelidikinya,
suhu."
"Omitohud! Sikapmu itu memang baik sekali dan
telah menyelamatkan Siauw-lim-si dari keributan dan
permusuhan. Akan tetapi juga merupakan tindakan yang
gegabah! Seorang laki-laki sekali berJanJi harus
dipenuhi dan engkau su-dah berjanji akan menangkap
pelaku itu, maka janji itu harus kau penuhi! Bagai-mana
kalau sampai sebulan engkau be-lum dapat menemukan
pelaku kejahatan itu?"
"Kalau
sampai
teecu
gagal,
teecu
akan
mempertanggung-jawabkan kepada kauwsu Kwe Bun To,
suhu."
"Bagus, bagus sekali! Seorang laki-laki harus
memenuhi janjinya dan harus berani mempertanggungjawabkan semua .tindakannya! Engkau pantas menjadi
seorang murid Slauw-lini-pai." Hui Sla Hwesio niemuji,
mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, lalu
memandang kepada Thian Liong. Diam-diam dia merasa
bangga dan girang karena utusan Tiong Lee Cin-jin
mendengarkan semua percakapannya depgan Cia Song.
Sungguh membanggakan hati kalau Tiong Lee Cin-jin
369

mendengar akan kegagahan murid Siauw-limpai!


"Souw Thian Liong, sekarang pinceng beralih
kepadamu. Engkau sebagai murid Tiong Lee Cin-jin
diutus berkunjung ke Siauw-lim-si membawa berita
penting apakah? Ada petunjuk apakah dari guru?"
Thlan Liong memberl Hormat sambll berlutut.
"Loclnpwe, teecu diutus oleh suhu untuk pertama-tama
menyampaikan salam hormat suhu kepada locianpwe."
"Omitohud! Tiong Lee Cin-jin yang terhormat
sungguh biJaksana dan baik hati. Salamnya pinceng
terima dengan rasa bahagia dan kelak kalau engkau
bertemu dengan beliau, sampaikan salam dan hormat
plnceng yang mendalam untuk beliau."
"Teecu akan menyampaikan pesan lo-cianpwe. Dan
tugas teecu yang kedua adalah untuk menyerahkan
sebuah kitab yang ditemukan suhu di dalam
perjalanannya ke barat yang menurut suhu kitab itu
adalah hak milik Siauw-lim-pai." Setelah berkata demikian,
Thian Liong mengeluarkan kitab Sam-jong Cin-keng yang
tua itu dan dengan kedua tangan dia menyerahkannya
kepada Hui Sian Hwesio.
Hwesio tua itu nienerima kitab itu, membuka-buka
lembarannya dan membelalakkan matanya seolah tidak
percaya akan apa yang dilihatnya, lalu meletakkan kitab
di atas pahanya dan dia merangkap kedua tangan depan
dada. "Omitohud....! Seperti dalam mimpi saja rasanya
saat ini pinceng dapat memegang kitab Sam-jong Cinkeng yang sudah hilang puluhan tahun ini! Sungguh luar
biasa sekali kebijaksanaan yang mulia Tiong Lee Cin-jin.
Setelah menemukan kitab ini, dia masih bersusah payah
370

mengutus muridnya untuk mengembalikannya kepada


kami! Bukan main! Mana mungkin di dunia ini ada
seorapg yang demikian jujur dan mulia seperti dta?
Tidak, ini tidak mungkin! Dia yang menemukan setelah
puluhan tahun Siauwlim-pai hilang harapan dan tidak
mencari lagi, maka dialah yang berhak atas kitab ini!"
"Akan tetapi, suheng! Kitab Sam-jong-cih-keng adalah
sebuah kitab pusaka Siauw-lim-pai, menjadi hak milik kita
sepenuhnya!" seru Cu Sian Hwesio.
"Maafkan teecu, suhu. Teecli kira sudah sepatutnya
kalau yang rnulia Tiong Lee Cin-jln mengembalikan kitab
Sam-jong-cin-keng, itu kepada Siauw-lim-pai. Kalau
teecu sendiri menemukan kitab milik perguruan lain,
tentu juga akan teecu kembalikan kepada perguruan
yang berhak. Teecu yakin bahwa kalau suhu memberlkan
kitab Sam-jong-cln-keng itu kepada yang mulla Tlong Lee
Cln-jln, sudah pastl beliau akan menolaknya."
Biarpun sute dan muridnya mengemukakan pendirian
mereka yang pantas dan kuat, namun Hui Sian Hwesio
tetap mengambll kltab Itu dan menyerahkan kepada
Thian Liong sambil berkata.
"Souw Thlan Llong, terimalah kitab inl dan katakan
kepada gurumu bahwa plnceng memberikan kitab ini
kepadanya, karena plnceng menganggap dlalah yang
berhak memlllkinya."
Thian Liong tidak berani menerimanya, cepat memberi
hormat dan berkata, "Maafkan teecu, locianpwe. Teecu
pikir apa yang dikatakan locianpwe Cu Sian Hwe-sio dan
twako Cia Song tadi benar dan tepat, Kitab ini dahulu
adalah milik Siauw-lim-pai dan sampai sekarangpun
371

menjadi hal millk Slauw-lim-pai, maka teecu harap


sudllah klranya locianpwe suka menerimanya."
"Omitohud, pinceng selalu bertindak menurutkan
naluri hati nurani. Sekarang begini saja, Souw Thian
Liong. Pinceng melihat kenyataan bahwa engkau
seorang murid yang amat baik dari Tiong Lee Cin-jin. Kita
ambil jalan tengah saja. Pinceng mau menerima kitab ini
sebagal hadiah dari Tiong Lee Cin-jin, akan tetapi karena
Tiong Lee Cin-jin sebagai penemunya juga berhak maka
pinceng akan mengajarkan ilmu yang terkandung dalam
kitab ini kepadamu sebagai ganti murid Tiong Lee Cin-jin.
Kalau begitu, barulah enak rasa, hati pinceng terhadap
Tiong Lee Cin-jin."
Thian Liong terkejut sekali. "Akan tetapi.... teecu tidak
berhak dan tidak berani menerimanya, locianpwe...."
"Hemm, kalau engkau tidak mau menerima pelajaran
ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng ini, terpaksa pinceng
juga tidak mau menerimanya dan bawalah kembali kitab
ini kepada gurumu. Pinceng tidak ingin disebut orang
yang mau enaknya sendiri, tidak mengeluarkan
setetespun keringat namun menikmati ha-silnya. Nah,
bawalah kitab itu dan pergilah!"
Thian Liong menjadi bingung. Dia masih belum
menerima kitab itu. "Aduh, locianpwe, teecu menjadi
bingung dan tldak tahu harus berbuat apa. Kalau teecu
harus membawa kembali kitab ini tentu suhu merasa tldak
senang. Seballknya kalau teeeu menerima usul
locianpwe, sungguh teecu merasa tidak enak kepada
semua murid Siauw-lim-pai."
"Omitohud, engkau terlalu halus budi dan sungkan,
372

Thian Liong. Tidak ada perasaan tidak enak kalau


engkau sudah pinceng terima sebagai muridku! Siapa
yang akan menyalahkanmu kalau sebagai murid pinceng
engkau mempelajari ilmu yang menjadi pusaka Siauw-limpai? Ataukah.... engkau menganggap pinceng tidak
pantas menj'adi gurumu ke dua se-telah gurumu Tiong
Lee Cin-jin?"
Diam-diam Thian Liong? merasa girang sekali. Dari
gurunya dia sudah mendengar bahwa ketua Siauw-limpai ini adalah seorang yang memiliki kesaktian, maka
alangkah beruntungnya kalau dia diterima menjadi murid
dan akan diberi pelajaran dari kitab pusaka Sam-jong-cinkeng ttu. Akan tetapi yang membu-at dia meragu adalah
kalau-kalau dia a-kan dlharuskan tlnggal terlalu lama dl
Kull Siauw Lim.
"Terima kasih atas kemurahan hatl suhu," katanya,
tanpa ragu-ragu menyebut suhu kepada hwesio tua itu.
"Akan tetapi, teecu telah mendapatkan tugas dari suhu
Tiong Lee Cin-jin untuk membela Kerajaan Sung dan
menentang kekuasaan menteri jahat yang mengacaukan
negara. Kalau teecu harus menjadi murid dan tinggal lama
di Siauw-lim-si, bagaimana teecu akan dapat
melaksanakan tugas itu?"
"Omitohud! Jalan pikiran Tiong Lee Cin-jin ternyata
tidak berbeda dengan jalan pikiran pinceng. Yang dia
maksudkan tentu agar engkau menentang kekuasaan
Perdana Menteri Chin Kui, bukan? Jangan khawatir,
Thian Liong. Pinceng berjanji hanya akan mengajarkan isi
kitab yang ditemukan kembali oleh gurumu pertama ini
dan mengingat bahwa, engkau tentu telah memiliki dasar
yang amat kuat, maka pinceng yakin bahwa dalam
beberapa bulan saja engkau tentu akan mampu
373

menguasainya dengan baik."


Demikianlah, mulai hari itu Thian Liong tlnggal dl kull
Siauw-lim dan dl bawah blmbingan Hui Sian Hwesio
sendiri dia mempelajarl dan berlatlh ilmu silat
berdasarkan kltab pusaka San-jong Cin-keng yang
menurut dongeng diciptakan sendiri oleh Ji-lai-hud!
Sementara itu, Cia Song yang memiliki tugas berat untuk
rnenangkap pemerkosa puteri Kwee Bun To seperti yang
sudah dia janjikan, juga meninggalkan kuil untuk
melaksanakan tugasnya.
Sebulan lewat dengan cepatnya dan Thian Liong
mendapat kenyataan yang iuar biasa dan menyenangkan
hatinya. Setelah berlatih siu-lian (bersamadhi) dan
pernapasan menurut ilmu yang diajarkan Hui Sian Hwesio
menurut Kitab Sam-jong Cin-keng, dia merasa bahwa
tenaga dalam yang sudah dikuasainya dan berpusat di
bawah pusar itu kini menjadi bertambah kuat. Ilmu silat
yang terkandung dalam kitab itu hanya ada delapan jurus
pokok. Akan tetapi delapan Jurus pokok ini mengandung
tenaga saktl yang amat dahsyat dan juga memungklnkan
perkembangan menurut bakat yang menguasai.
Pada suatu malam, Thlan Llong rebah di etas
pembaringan dalam kamarnya dl kuil itu. Seperti biasa,
waktu malam Itu dia membaca Kltab Sam-j ong- Clnkeng dan melatlh siu-lian karena dl waktu siang dia
berlatlh gerakan silat di bawah bimbingan Hui Sian
Hweslo. Setelah merasa lelah dan mengantuk, dla
menyimpan kitab itu dalam sebuah almarl yang terdapat
di sudut kamarnya dan diapun merebahkan dlrlnya ke
atas pembaringan untuk tidur.
Menjelang tengah malam keadaan kull itu sunyl
374

sekali. Semua hweslo sudah tldur. Sesosok bayangan


hltam yang gerakannya llncah dan ringan sekali dengan
mudahnya karena dia menggunakan tenaga sin-kang
yang amat kuat, membuka jendela kamar Thian Liong
tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Dia melompat ke
dalam kamar melalui jendela yang terbuka itu dan
gerakannya benar-benar ringan seperti seekor kucing
melompat sehingga ketlka kedua kakinya hlnggap di atas
lantai kamar yang gelap itu, tidak terdengar suara
sedlkitpun. Dia lalu bergerak ke depan, perlahan-lahan
dan hati-hati sekali, dalam kegelapan itu dia menghampiri
almari dan membukanya. Dengan meraba-raba dia dapat
menemukan Kitab Sam-jong Cinkeng dan cepat
meninggalkan kamar melalui jendela yang terbuka. Akan
tetapi karena tergesa-gesa kakinya melanggar kaki meja
sehingga terdengar sedikit suara berderit. Secepat
burung terbang, tubuhnya sudah melayang melalui
jendela.
Sedikit suara itu cukup untuk membangunkan Thian
Liong. Nalurinya yang kuat dan peka membuat Thian
Liong menyadari bahwa ada hal tidak wajar terjadi dalam
kamarnya. Dia menengok dan melihat bayangan
berkelebat keluar dari jendela yang terbuka. Otomatis
seluruh syaraf dalam tubuh Thian Liong bekerja. Seketika
dia tahu bahwa ada orang memasuki kamarnya dan
diapun segera dapat menduga bahwa orang itu tentu
mencuri Kitab Sam-jong Cln-keng. Kalau bukan kitab itu
yang dlcuri, apa lagi? dia segera menyambar Thian-liongkiam yang diselipkan di bawah bantal, lalu sekali
melompat tubuhnya sudah melayang keluar jendela
melakukan pengejaran sambil menyelipkan pedang di
ikat pinggangnya.
Dalam keremangan sinar lembut jutaan bintang di
375

langit hitam Thian Liong melihat sosok bayangan itu di


atas genteng kuil besar. Diapun melompat dan mengejar.
Dia mengerahkan seluruh gin-kangnya (ilmu meringankan
tubuhnya) dan berhasil mendahului dan menghadang
orang yang berpakaian serba hitam dan mukanya
memakai kedok hitam itu. Hanya sepasang matanya saja
yang tampak melalui lubang pada kedok, sepasang niata
yang bersinar tajam. Diapun melihat bahwa pencuri
berkedok hitam itu membawa sebuah kitab di tangan
kirinya. Biarpun cuaca remang-remang Thian Liong tehu
benar bahwa kitab itu bukan laln adalah Kltab Sam-jong
Cln-keng yang sedang dipelajarlnya di bawah plmpinan
Hul Sian Hwesio.
"Pencuri! Kembalikan kitab itu!" Thian Liong
membentak, suaranya melengking menembus malam
sunyi.
Pencuri itu agaknya terkejut melihat Thian Liong
dapat bergerak sedemiklan cepatnya dan tahu-tahu telah
menghadang di depannya. Tanpa banyak cakap lagi dia
lalu menerjang maju, kepalan kanannya menyambar ke
arah dada Thian Liong. Pukulannya cepat sekali dan juga
mengandung tenaga yang amat kuat. Thian Liong
mengenal pukulan ampuh, maka dia miringkan tubuh
sambil menangkis dari samping.
"Dukk!" Keduanya terguncang oleh pertemuan kedua
lengan itu dan pencuri itu mengeluarkan seruan kaget,
namun dengan kecepatan yang luar blaaa kaki klrlnya
meneuat dalam tendangan yang menyambar ke arah
lambung Thlan Liong.
Thlan Uong maklum bahwa pencurl itu adalah
aeorang yang memlllkl ilmu kepandaian silat tinggi. Dla
376

sudah waspada dan begltu kaki lawan menyambar,


dlapun sudah menghlndar ke kiri. Pencurl itu
memballkkan tubuh untuk melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau? Kembalikan kitab itu!"
Thian Liong mengerahkan gin-kangnya dan dia melompat
tinggi mengejar. Ketika berada di atas pen-curi itu,
tangannya
menyambar
ke
bawah,
yang
kiri
mencengkeram ke arah kepala pencuri itu dan yang
kanan menyambar untuk merampas kitab dari tangan kiri
lawan.
"Uhh....!" Pencuri itu makin terkejut dan cepat
merendahkan diri mengelak sambii melompat ke
samping sehingga serangan Thian Liong luput walaupun
hampir saja kitab itu dapat direbutnya. Pencuri itu
agaknya menjadi marah sekali karena hampir saja kitab
itu teram-pas oleh Thian Liong. Mereka kini berhadapan
dalam jarak kurang lebih empat meter. Tiba-tiba pencuri
itu menggunakan tangan kanannya untuk diputar-pu-tar
dan tubuhnya merendah, kedue lutut ditekuk hamplr
berjongkok dan tiba-tiba tangan kanannya itu didorongkan
ke arah Thlan Liong sambil membentak keras.
"Haaiiiilittt....!" Dari tangan kanan yang didorongkan
itu keluar uap hiiam!
Thlan Liong terkejut. Orang itu menyerangnya
dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan melihat uap
hitam itu sangat boleh jadi tenaga dorongan itu
mengandung hawa beracun yang berbahaya. Thian Liong
segera mengerahkan tenaganya pada lengan kirinya dan
miringkan tangan kiri ke depan dada, lalu mendorong ke
depan rnenyambut serangan lawan.

377

"Wuuuuttt.... bressss....! !" Dua tenaga bertemu dan


uap hitam itu membuyar, tubuh pencuri itu terhuyung ke
belakatig. Thian Liong tidak mau menyia-nyiakan waktu
lagi. Tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan sekali
sambar dia sudah berhasil merampas Kitab Sam-jong
Cinkeng itu dari tangan si pencuri. Akan tetapi, sungguh
tak disangka sama sekali tubuh pencuri itu bergulingan
dan tahu-tahu kitab itu dapat dirampas kembali! Thian
Liong terkejut karena tidak menyangka pencuri itu
memiliki kegesitan yang demikian luar biasa, dan tubuh
yang bergulingan itu amat cepatnya. Dia segera terlngat
akan hasil llmu yang dilatihnya dari kitab Sam-jong Clnkeng, maka untuk merampas kembali kitab itu, dia
mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan kirinya
untuk menyerang, mencengkeram ke arah leher lawan.
Pencuri itu agaknya maklum akan kelihaian Thian Liong,
maka dia bermaksud mengelak dan melarikan diri. Akan
tetapi, alangkah kagetnya ketika dia mengelak, lengan
Thian Liong itu dapat mulur (memanjang) seperti karet
dan tahu-tahu telah merampas lagi kitab dari tangannya!
Thian Liong merasa gembira karena ternyata ilmu
mengulur tangan sehingga memanjang satu meter lebih
itu telah berhasil dia kuasai dan kini telah
memperlihatkan hasilnya!
Pencuri itu marah sekali. Dia sudah bersiap untuk
menyerang lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar
terlakan beberapa suara, "Tangkap penjahat....!"
Mendengar teriakan-teriakan itu, si pencurl terkejut
dan dia melompat Jauh dengan gerakan cepat sekall dan
menghilang dalam kegelapan yang remang-remang.
Thian Liong tldak mengejar karena kitab yang dlcuri itu
telah dapat dirampasnya kembali. Dia segera melompat
turun dari atas genteng kuil besar dan di bawah sudah
378

berkumpul banyak hwesio, di antaranya terdapat Ki Sian


Hwesio.
"Souw-sicu, apakah yahg terjadl? Kenapa tadi ada
murid-murid yang berteriak tangkap penjahat?" tanya Kl
Sian Hwesio, pelatih para murid Siauw-lim-pai itu.
"Suhu, tadi ada orang berpakaian serba hitam di atas
genteng, bertandlng dengan Souw-sicu, maka kaml
berteriak-teriak." kata seorang murid Siauw-lim-pai.
Tlba-tlba muncul Cu Slan Hwesio, wakil Ketua Slauwlim-pal dan dia segera berkata, "Souwsicu, tadi pinceng
mendengar suara ribut-ribut dan segera mengejar naik ke
atas atap. Akan tetapi penjahat itu telah melarikan diri
dengan cepat dan kebetulan pinceng bertemu dengan
Cla Song, maka pinceng menyuruh dia untuk melakukan
pengejaran. Apa yang telah dilakukan penjahat itu?"
"Dia memasuki kamar teecu dan mencuri Kitab Samjong Cin-keng, Susiok (paman guru). Teecu terbangun
dan segera mengejarnya. Kami bertanding di atas atap
dan teecu beruntung dapat merampas kembali kitab ini,
akan tetapi dia mendengar suara ribut-ribut dan
melarikan diri." kata Thian Liong sambil memperlihatkan
kitab yang telah dapat dirampasnya kembali,
"Omitohud! Untung engkau dapat merampasnya
kembali. Sekarang lebih baik jangan ributribut dan jangan
mengagetkan ketua, kita tunggu saja di ruangan ini
sampai Cia Song kembali dari pengejarannya." kata wakil
ketua itu dan mereka semua duduk di ruangan itu. Thian
Liong menceritakan lagi peristiwa pencurian dalam
kamarnya itu.

379

Tak lama kemudian, tiba-tiba tampak sosok


bayangan orang berkelebat. Semua orang menoleh dan
memandang dan ternyata yang datang itu, adalah Cia
Song. Cu Sian segera bangkit berdlri, menyambut
pemuda tampan dan gagah itu dengan pertanyaan,
"Bagaimana, Cia Song, berhasilkah engkau menangkap
penjahat itu
Cia Song mengerutkan alisnya dan memandang
kepada Thian Liong dengan menyesal. Kemudian dia
berkata kepada sang wakil ketua. "Sayang sekali, susiok,
teecu tidak berhasil menangkapnya. Teecu memang
dapat menyusulnya dan kami bertanding mati-matian.
Ternyata penjahat itu lihai bukan main. Dengan
mengerahkan seluruh kemampuan, teecu hanya berhasil
merenggut topeng kain hitam yang menutupi wajahnya,
akan tetapi dia melompat jauh dan menghilang dalam
kegelapan pohon-pohon di luar kuil kita." Pemuda itu
mengambil sehelai kain hitam dari saku bajunya dan
menyerahkan kain itu kepada Cu Slan Hwesio.
Pendeta itu menerima kain hitam yang tldak terlalu
lebar itu dan mengamatlnya. Hanya kaln blasa yang
dlpergunakan untuk menutup muka dan kepala dengan
dua lubang di bagian mata. "Kalau begitu, engkau tentu
telah melihat dan mengenal muka penjahat itu!" kata Cu
Slan Hwesio girang.
Cia Song mengerutkan alisnya dan menggeleng
kepala. "Sayang sekali tidak, susiok. Teecu dapat
mgnyusulnya setelah berada di luar kull dan kaml
bertandlng dl kegelapan bayangbayang, pohon, lebih
mengandalkan pendengaran daripada penglihatan. Ketika
teecu berhasil merenggut lepas topengnya, teecu tidak
dapat melihat mukanya dalam kegelapan dan dia cepat
380

melarikan diri."
"Cia-twako, apakah dia seorang wanita?" tanya Thian
Liong.
"Souw-sute (adik seperguruan Souw), kenapa engkau
masih menyebut twako (kakak) kepadaku? Bukankah aku
ini sekarang termasuk menjadi suhengmu?"
"Maafkan, suheng. Apakah pencuri tadi seorang
wanita?" Pertanyaan ini diajukan Thian Liong karena dla
teringat akan dua orang gadis, yaitu gadis berpakaian
merah yang telah mencurl Kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat millk Kun-lun-pai yang belum dia ketahui
namanya dan yang seorang lagi Ang-hwa Sian-li Thio
Siang In yang juga berminat untuk pinjam Kitab Sam-jong
Cin-keng.
Mendengar perkataan ini, Cia Song dan juga Hui
Sian Hwesio memandang heran.
"Sudah kukatakan bahwa aku tldak dapat melihai
mukanya di tempat gelap Souw-sute. Melihat kelincahan
gerakannya, mungkin saja ia seorang wahita. Aku tidak
tahu jelas. Bagaimana pendapatmu? Bukankah engkau
juga sudah bertanding melawannya?"
Thian Liong menggeleng kepala dengan ragu. Dia
Juga tidak dapat menentukan. Pencuri itu jelas lihai
sekali, akan tetapi gerakannya dalam bersilat tidak sama
dengan gerakan Siang In.
"Mengapa engkau menduga bahwa pencuri itu
seorang wanita, Souw-sicu?" Hwesio itu masih menyebut
Thian Liong dengan sebutkan itu karena dia merasa
381

sungkan mengingat bahwa Thian Liong adalah murid dan


juga utusan Tiong Lee Cinjin yang amat dihormatinya.
"Teecu hanya nienduga saja, susiok. Bolehkah teecu
meminjam sebentar kain topeng itu?"
"Ini, slmpanlah. Engkau yang digapg-gu pencuri, blar
engkau yang menyimpan topeng ini. Siapa tahu dari
topeng ini kelak engkau akan dapat menemukan
pencurinya." kata Cu Sian Hwesio sambil tersenyum dan
menyerahkan kain itu kepada Thian Liong. Thian Liong
menerirnanya dan tak lama kemudian Cu Sian Hwesio
menyerukan kepada semua orang untuk kembali ke
kamar
masing-masing.
Akan
tetapi
dia
juga
memerintahkan para murid untuk malam itu melakukan
penjagaan dan perondaan secara bergilir.
Setelah para murid pergi dan di situ hanya tinggal
Thian Liong, Cia Song dan Cu Sian Hwesio bertiga,
pendeta itu bertanya kepada Cia Song. "Cia Song,
bagaimana hasilnya dengan usahamu mencari
pemerkosa puteri Kwee-kauwsu itu? Sekarang sudah
tiba waktu yang dijanjikan. Kalau pinceng tidak salah
meng-hitung, pada hari esok tentu guru silat itu akan
datang menagih janji."
"Ah, jangan-jangan...." Thian Liong menahan katakatanya.
"Apa maksudmu, Souw-sicu?" "Maksud teecu,
jangan-jangan pemerkosa dan pencuri itu sama
orangnya!"
"Hemm, benar juga! Susiok, harap jangan khawatir.
Teecu sudah melakukan penyelidikan dan sudah dapat
382

menemukan jejak pemerkosa itu. Mungkin juga dia


pencuri kitab tadi. Teecu pasti akan dapat
menghadapkannya ke depan Kwee-kauwsu pada besok
pagl. Sekarang juga teecu akan melanjutkan
penyelidikan dan menangkap orangnya agar besok dapat
teecu hadapkan kepada Kwee-kauwsu." kata Cia Song
dengan suara mantap.
"Omitohud! Sukurlah kalau begitu. Akan tetapi.... dia....
dia bukan murid Siauw-lim-pai?" tanya pendeta itu agak
khawatir.
"Bukan, susiok. Dia bukan murid Siauw-lim-pai,
hanya saja dia agaknya dapat mencuri ilmu Lo-han-kun
dan
menggunakannya
sehingga
Kwee-kauwsu
menyangka bahwa dia murid perguruan kita."
"Sukurlah. Pinceng dapat tidur nye-nyak malam ini."
kata Cu Sian Hwesio dan mereka lalu berpisah. Hwesio
itu dan Thlan Liong kembali ke kamar masing-masing
sedangkan Cia Song keluar dari kuil untuk melacak
pemerkosa yang d carinya.
Pagi hari itu keadaan, di Siauw-lim-si seperti biasa.
Matahari pagi bersinar lembut dan hangat, mepghidupkan
sega-la yang tampak. Para hwesio murid Siauw-iim-si juga
sibuk dengan tugas pekerjaan mereka sehari-hari. Akan
tetapi biar keadaan sama dengan pagi-pagi yang lalu,
namun suasananya sungguh berbeda. Dalam hati para
hwesio itu terda-pat kegelisahan. Semua orang tahu
bahwa hari ini adalah hari yang dijanjikan bagi guru silat
Kwee Bun To. Tiga puluh hari telah berlalu dan agaknya
Cia Song, murid andalan Siauw-lim-pai itu agaknya belum
juga dapat menangkap penjahat perperkosa puteri Kwee
Bun To itu. Dan kafau sampai hari ini Cia Song belum
383

juga dapat menyerahkan pemerkosa itu, tentu guru silat


Kwee Bun To akan mengamuk dan membunuhl murldmurid Slauw-llm-pal! Karena itu, suaeana amat
menegangkan hati dan blarpun para hwe-sio itu
melaksanakan tugas mereka masing-masing dan tidak
ada yang menyebut-nyebut urusan dengan Kwee Bun To
namun
diam-diam
mereka
sudah
bersiap-siap
menghadapi kalau-kalau guru silat itu akan mengamuk.
Matahari telah naik tinggi dan Cla Song yang diharapharapkan kedatangannya tnasih belum juga tampak
batang hi-dungnya. Cu Sian Hwesio dan pembantu-nya,
Ki Sian Hweslo yang biasarya tenang itu kini juga mulal
menjadi gelisah. Mereka sudah menanti di pendopo kuil
besar, duduk menunggu kemunculan Cla Song.
"Kenapa Cia Song belum juga datang, suheng?"
tanya Ki Slan Hweslo.
Cu Sian Hwesio menghela napas "Pinceng juga
merasa heran. Malam tadi dia mengatakan bahwa pagi
ini dia pastl akan datang membawa penjahat itu.''
"Bagaimana
menuntut?"

kalau

Kwee-kauwsu

datang

dan

"Tenanglah, sute. Kita melihat bagaimaria nanti saja.


Apapun yang terjadi akan pinceng hadapi." kata Ci Sian
Hwesio. "Mari kita menanti di dalam saja sambil
bersamadhi menenangkan hati agar nanti kuat
menghadapi apapun juga. Mereka berdua lalu masuk ke
dalam kuil.

384

JILID 11
Tak lama kemudian suasana menjadi semakin
menegangkan ketika terdengar orang berteriak dengan
suara lantang sekali dan gemanya berkumandang di
seluruh kompleks bangunan kuil Siauw lim.
"Heii! Para pimpinan Siauw-lim-pai! Hayo serahkan
penjahat laknat itu kepadaku atau mulai hari ini aku akan
membunuh seorang murid Siauw-lim-pai setiap hari!"
Pada saat itu Thian Liong sedang menerima petunjuk
dari Hui Sian Hwesio mengenai jurus ke lima dalam kitab
Sam-jong Cin-keng. Selama satu bulan Ini dia baru
berhasll menguasai empat jurus saja. Ketlka suara
lantang itu berkumandang sampai ke dalam ruangan
yang menjadi kamar sang ketua, Hul Sian Hwesio
menunda pelajaran itu dan berkata kepada Thian Liong.
"Thian Liong, keluarlah dan llhat apa yang terjadi.
Bantulah Siauw-llm-pai kalau terancam, akan tetapi
jangan menggunakan kekerasan agar tldak menimbulkan
permusuhan."
"Balk, suhu," Thian Liong lalu keluar darl ruangan itu
dan menuju ke pendopo. Ketika tlba dl pendopo, dla
melihat semua murld Siauw-Lim-pal sudah berkumpul dl
sltu dan mereka semua tampak tegang. Cu Slan Hweslo
dan Ki Sian Hweesio juga sudah berdirl dl pendopo.
Di bawah anak tangga pendopo Itu berdlrl aeorang
lakl-lakl beruala sekltar lima puluh tahun. Tubuhnya
sedang saja, namun tegap dan tampak kokoh dan
gagah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang
beronce biru. Dia tampak marah. Kumisnya yang tipts itu
bergerak-gerak, matanya mencorong tajam ketika dla
385

menyapu tempat
mencarl-carl.

itu

dengan

ge|andang

matanya,

"Di mana dia, Cia Song yang telah terjanjl sebulan


yang lalu untuk menghadapkan keparat yang
memperkosa puteriku itu? Hayo cepat suruh dla keluar
menemuiku untuk mempertanggung-jawabkan janjinya
kepadaku!"
Cu Sian Hweslo melangkah maju menurunl anak
tangga dan berhadapan dengan Kwe Bun To. Dia
merangkap tangan dl depan dada dan berkata dengan
suara lembut, "Omltohud, selamat datang, Kwee-kauwsu.
Hendaknya dlketahuil bahwa sejak malam tadi Cla Song
teleh pergl untuk menangkap. penjahat itu,. Menurut
katanya, pagi ini dia akan menghadapkan penjahat itu
kepadamu di slni. Harap kauwsu bersabar dan menanti
kedatangannya."
"Hemm, sudah sebulan aku bersabar. Malam itu Cia
Song sudah datang berkunjung dan mendengor
keterangan anakku tentang peristiwa terkutuk itu dan dla
mengulang janjinya dalam waktu sebulan dia akan
menangkap
penjahatnya
dan
menyerahkannya
kepadaku. Apakah dla hanya pendusta besar?" Guru
silat itu tampak marah sekall. Thian Liong menghampiri
dan berdiri di dekat Ki Sian Hweslo, siap untuk membantu
kalau guru silat itu mengamuk.
"Omitohud, tidak ada murid Siauw-lim-pai yang
melakukan kejahatan, apa lagi memperkosa wanita dan
tidak ada yang menjadi pendusta, Kwee Kauwsu.
Pinceng harap engkau suka bersabar dan menunggu
sejenak." kata Cu Sian Hwesio.

386

"Aku tidak mau bersabar lagi! Aku tidak mau


menunggu lagi!" Guru silat itu membentak marah.
Pada saat itu terdengar teriakan dari luar kuil, "Kweekauwsu, aku datang!" Para hwesio girang mengenal
suara ini, suara Cia Song! Tak lama kemudian tampak
pemuda itu berlari datang sambil menggandeng tangan
seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun.
Pemuda itu bertubuh sedang, wajahnya bersih tidak
berkumls atau berjenggot akan tetapl wajah Itu tak dapat
dlsebut tampan. Hldungnya pesek dan blblrnya tebal,
matanya sipit sepertl terpejam. Setelah berlarl
menggandeng tangan o" rang itu dan tiba di depan Kwee
Bun To, Cia Song mendorong pemuda Itu ke depan
sehlngga orang itu jatuh berlutut di depan guru silat yang
mengamatinya dengan sinar mata tajam.
"Inilah orang yang engkau cari itu, Kwee-kauwsu."
kata Cia Song tegas. "Terbuktilah sekarang bahwa
pelakunya bukan murid Siauw-lim-pai!"
Orang itu berlutut dan tampak ketakutan sekali.
Matanya yang sipit dia coba untuk dibelalakkan, dan
tubuhnya gemetaran. Setelah mengamati beberapa
lamanya, Kwee Bun To mengerutkan alisnya dan
bertanya, "Orang macam ini ....??" Lalu dia berkata
kepada orang itu membentak, "Siapa namamu?"
Akan tetapi orang itu tidak menjawab hanya memberi
hormat dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Hemm, dia gagu?" tanya Kwee Bun To.
"Tidak, Kwee-kauwsu, aku telah menotoknya!" Setelah
berkata demikian, Cia Song lalu menotok tengkuknya dan
387

orang , Itu terbatuk-batuk.


"Hei, siapa namamu?" kemball Kauw-su (guru silat)
Kwe Bun To membentak. "Na.... nama saya.... Giam
Ti...." kata orang itu dengan suara gemetar.
"Dia mempunyai alias Hui-houw-ong (Raja Macan
Terbang) dan menjadi kepala gerombolan di Bukit Angsa,
Kwe-kauwsu." Cia Song menjelaskan. Kwee Bun To
mengerutkan alisnya. Engkau sudah beristeri?" tanya
guru silat itu ketus.
Orang yang bernama Giam Ti dan berjuluk keren itu
diam saja, hanya mendekam seperti macan kelaparan.
"Plak!" Cla Song menampar pundaknya. "Hayo jawab
sejujurnya!"
Glam Ti meringis, agaknya tamparan itu terasa nyeri
dan diapun mengangguk-angguk. "Su....dah,... saya....
sudah beristerl...."
"jahanam busuk! Engkau sudah beristerl dan engkau
berani memasuki kamar anakku, menotoknya lalu
memperkosanya? Hayo jawab!" Kwee Bun To
menghardlk.
"Saya.... saya...."
Cia Song menekan pundak orang itu. "Hayo,mengaku,
atau engkau ingin kusiksa lebth dulu?" Tekanan pundak
itu mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Rasa
jantung orang itu sepertl dltusuk ratusan batang jarum
sehingga dia merintih lemah.
"Ya....

ya....

saya....

saya

yang
388

melakukan...perkosaan... itu....!" "Keparat terkutuk!" Kwee


Bun To menampar.
"Plakkkk!" tangan yang kokoh tegang itu menampar
pipi. Giam Ti terpelanting dari tempat dia berlutut dan
bibirnya yang tebal pecah berdarah. Dia mengaduh dan
mencoba bangkit, akan tetapi Kwee Bun To kembali
mengayun kaki menendang, mengenai dadanya.
"Dessss....!" Tubuh Glam Tl terjengkang dan dla
muntah darah. Akan tetapl Thian Liong merasa heran
mengapa guru sllat itu membatasl pukulan dan
tendangannya. Kalau guru silat yang lihai itu
menghendaki, sekali tampar saja kepala orang itu pasti
akan pecah. Akan tetapi ternyata tamparan dan
tendangan itu tidak membuat Giam Ti tewas dan ini
merupakan bukti bagi Thian Liong bahwa guru silat itu
sengaja tidak membunuh orang itu. Atau pemerkosa itu
yang memiliki slnkang yang cukup, tinggi sehingga dia
dapat melindungi dirinya dengan kekebalannya.
Tiba-tiba Thian Liong terkejut sekali ketika dia melihat
Cia Song tiba-tiba menerjang maju dan mengayun
tangan terbuka memukul ke arah kepala Giam Ti.
"Wuuuttt.... prakkk!" Tangan itu menghantam kepala
Giam Ti. Orang itu terpelanting roboh dan tidak mampu
bergerak lagi, tewas dengan kepala retak!
Kwee Bun To terbelalak. Agaknya dia juga terkejut
sekali seperti Thian Liong. Juga Cu Sian Hwesio
mengerutkan alisnya.
"Omitohud....! Cia Song, mengapa engkau lakukan
itu? tegurnya. "Cia-sicu, kenapa engkau membunuhnya?"
389

Kwee Bun To juga menegur. Cia Song menghela napas


panjang.
Susiok, maafkan teecu karena teecu tak dapat
menahan amarah terhadap penjahat ini. Teecu merasa
sakit hati karena dia melakukan perbuatan keji dan
melempar fitnah kepada murid Siauw-lim-pai. Kweekauwsu,
kenapa
engkau
menegur
aku
yang
membunuhnya? Aku juga mendendam kepadanya dan
bukankah engkau juga sedang menyiksanya untuk
membunuhnya? Aku tidak suka melihat orang disiksa,
kalau memang dia jahat dan hendak dihukum bunuh,
segera lakukan saja dan tidak perlu menyiksanya. Itu
terlalu kejam bagiku."
"Omitohud....! Bagaimanapun juga, ada benarnya
pendapat Cia Song tadi. Menyiksa dulu sebelum dibunuh
amatlah kejamnya. Kwe-kauwsu, sekarang pelaku
kekejian itu sudah tertangkap dan sudah dihukum mati
sehingga jelas bahwa di antara engkau dan kami tidak
ada urus-an apapun. Harap engkau suka meninggalkan
btara kami dengap damai dan sebagai seorang sahabat."
kata Cu Sian Hwesio sambil memberi hormat kepada guru
silat itu. "Biarlah kami yang akan mengurus jenazah Giam
Ti ini."
Kwe Bun To mengerutkan alisnya dan memandang
kepada mayat kepala gerombolan itu. "Memang urusan
antara kita sudah beres dan ternyata murid Siauw-lim-pai
tidak bersalah. Maafkan slkapku tadi. Akan tetapi,
sungguh menyesal sekali bahwa Cia-sicu membunuh
orang ini. Itu lancang dan tergesa-gesa namanya"
Cia Song melangkah maju menghadap guru silat itu.
"Maaf, Kwee-kauwsu. Bagaimana engkau dapat
390

mengatakan aku lancang dan tergesa-gesa? Aku tidak


membunuh dia karena kesalahannya kepadamu,
melainkan aku membunuhnya karena dia melempar
fitnah kepada Siauw-liin-pai! Dan aku tidak tergesa-gesa,
karena aku membunuhnya setelah melihat engkau juga
sedang menyiksanya dan hendak membunuhnya.
"Hemm, siapa bilang aku mau membunuhnya? Aku
tadi hanya ingin menghajarnya, tidak membunuhnya."
"Akan tetapi mengapa? Bukankah dia .. dia telah
menodai puterimu?"
"Justeru itulah! Kalau dia mati, lalu bagaimana
dengan nasib anakku? Tadinya mauku agar dia
mempertanggung-jawabkan
perbuatannya
dan
mengawini anakku!'"
"Omitohud! Kenapa tidak engkau katakan sejak
semula, Kwee-kauwsu? Kalau Cia Song tahu, pinceng
yaktn diftl tidak akan membunuhnya'." kata Cu Sian
Hwesio.
"Benar sekali. Ah, maafkan aku, Kwee-kauwsu. Siapa
yang dapat mengira bahwa engkau akan mengambil dia
sebagai mantu. Dia? Orang jahat terkutuk ini menjadi
mantumu, menjadi suami nona Kwee Bi Hwa? Sungguh
tidak patut orang macam dia mendapat kehormatan
seperti itu! Sungguh sama sekali tidak pernah kusangka,
maka maafkan aku, Kwee-kauwsu."
Kwee Bun To menghela napas panjang. "Sudahlah,
semua sudah terjadi. Agaknya memang nasib keluarga
kami yang buruk. Selamat tinggal!" Guru silat itu lalu
melangkah pergl, langkahnya loyo menunjukkan bahwa
391

perasaan hutinya sedang gundah memikirkan nasib


puterinya.
Setelah terjadinya peristiwa itu, Thian Liong masih
tinggal di biara Siauw-lim selama dua bulan lagi.
Sedangkan Cia Song telah meninggalkan Siauw-lim-pai
untuk merantau dan melakukan tugas sebagai pendekar
yang membela keadilan dan kebenaran, menentang yang
jahat dan membela yang lemah.
Thian Liong membutuhkan waktu tiga bulan untuk
mempelajari ilmu dari Kitab Sam-jong Cin-keng. Setelah
melihat bahwa Thian Liong benar-benar sudah
menguasai ilmu itu, Hui Sian Hwesio memanggilnya
menghadap dan hwesio itu berkata, "Souw Thian Liong,
pelajaranmu telah selesai. Lega hati pinceng bahwa
murid Tiong Lee Cin-jin telah menguasai ilmu dari kitab
yang da temukan. Dengan begini, selain dapat
membalas budi kebaikan Tiong Lee Cin-jin yang telah
mengembalikan kitab pusaka Siauw-lim-pai, juga Siauwlim-pai telah membuktikan .bahwa kami bukanlah partai
yang serakah dan tidak pelit untuk membagi ilmu kepada
sahabat baik."
"Akan tetapi sekarang teecu bukan orang luar, suhu,
melalnkan juga murid Siauw-lim-pai."
"Ha-ha, omltohudt Bagus sekalt kalau engkau
merasa demikian, Thian Liong, Memang, pinceng sudah
mengakui engkau menjadi murid pinceng dan selanjutnya
dalam sepak terjangmu, jangan lupa bahwa engkau
selain murid Tiong Lee Cin-jin, juga murid Siauw-limpai.
Kalau kelak engkau mempergunakan ilmu dari Sam-jong
Cin-keng untuk melakukan perbuatan jahat, terpaksa
pinceng sendiri yang akan mencari dan menghukummu.'"
392

"Peringatan dan nasihat suhu akan selalu teecu ingat


dan laksanakan dengan baik."
"Pinceng yakln dan percaya kepada-mu. Nah,
sekarang,
berangkatlah
engkau
melanlutkan
perjalananmu dan sampatkan salam hormat pinceng
kepada yang mulia Tiong Lee Cin-jin. Engkau pernah
bercerita bahwa kitab pusaka Kun-lun-pai yang
ditemukan gurumu dan yang harus kaukembalikan
kepada Kun-lun-pai telah dicuri orang dari tanganmu.
Pinceng anjurkan agar engkau carl kitab itu sampal
dapat, Thian Liong. Karena itu merupakan tanggung
Jawabmu dan agar jangan mengurangl artl kebaikan
yang ditunjukkan oleh yang mulia Tiong Lee Cin-jin."
"Baik, suhu. Memang teecu sudah mengambil
keputusan untuk mencari kitab itu sampai dapat dan tldak
akan kembali kepada suhu tlong Lee Cln-jin sebelum
kitab Itu dapat teecu temukan, dan teecu serahkan
kepada Kun-lun-pai."
Thian Liong lalu betpamit dari semua . Hwesio di biara
itu dan meninggalkan Siauw-lim-si, berjalan kaki dan
menggendong buntalannya.
**
Kakek Itu telah berusia kurang lebih tujuh puluh
tahun. Tubuhnya besar gendut dan tinggi. Biarpun
usianya. sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan subur,
juga wajahnya yang bundar gemuk itu belum dihias
keriput. Kepalanya yang gundul itu memakai sebuah peci
berwarna kuning dan jubahnya kunlng dengan kotakkotak tnerah. Dari pakaiannya inl mudah diketahui bahwa
dia adalah seo-rang pendeta Lama, yaitu pendeta Bud393

dhis dari Tibet. Mengherankan sekaH melihat seorang


pendeta Tibet berada di sebuah di antara puncak-puncak
pegunungan Kun-lun. Bahkan sudah kurang lebih sepuluh
tahun pendeta Lama itu bersem-bunyi di puncak Kun-lunsan. Pendeta Lama ini bukan laln adalah Jlt Kong Lama.
Sepertl sudah dlcerltakan di baglah depan kisah inl,
Jit Kong Lama adalah seorang pendeta pelarlan darl
Tibet. Karena melakukan penyelewengan, hidup
bersenang-senang menuruti nafsu, dia terancam
hukuman dari Dalai Lama dan terpaksa dia melarikan diri
dar tidak berani kembali ke Tibet: Dia juga gagal untuk
merebut kitab-kitab pusaka dari tangan Tiong Lee Cin-jin.
Kemudian dia menyelamatkan Han Bi Lan yang berusia
tujuh tahun dari tangan penculik anak itu, yaitu Ouw Kan,
tokoh atau dukun dari Suku Uigur. Kemudian, dia
mengambil Bi Lan sebagai muridnya dan sudah sepuluh
tahun gadis itu menjadi rnuridnya. Dalam usianya yang
sudah tua, Jit Kong Hwesio yang dulu hidup malang
melintang mengandalkan kesaktiannya dan banyak
mengalami suka duka dan pertentangan, merasa
berubah hidupnya ketika bersama Bi Lian bersembunyi di
puncak Kun-lun-san. Dia merasa tenteram dan damai,
dan dia merasa amat sayang kepada Bi Lan.
Matahari telah condong ke barat. Burung-burung
beterbangan pulang sarang Jit Kong Lama duduk di
depan pondok kayu dan menatap ke depan, termenung.
Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah tiga hari Bi Lan
pergi meninggalkan pondok. Pamitnya hanya untuk
bermalnmain di sekitar pegunungan Kun-lun-san. Dia
merasa yakin bahwa muridnya itu tidak akan
meninggalkannya tanpa memberita-hu. Karena itulah dia
merasa tidak enak khawatir kalaukalau muridnya itu
meng-alami
halangan.
Memang,
dia
sudah
394

menggembleng Bi Lan selama hampir sepuluh tahun. Dia


telah mengajarkan semua ilmunya yang terampuh dan
gadis yang kini berusia tujuh belas tahun itu kini telah
menjadi seorang yang tangguh dan tidak sembarangan
orang akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dia
tahu bahwa betapapun lihainya, Bi Lan hanyalah seorang
gadis muda yang kurang pengalaman, walaupun dia tahu
bahwa muridnya itu memiliki kecerdikan yang luar biasa.
"Suhu ........ ! Aku datang ........ '!" Tiba-tiba terdengar
suara melengking dari jauh dan Jit Kong Lama tersenyum
mengenal suara muridnya. Gadis itu telah menjadi begitu
manja kepadanya, bahkan begitu akrabnya sehingga
berani beraku dan berengkau kepadanya! Diapun
menganggap gadis itu seperti anaknya sendiri yang tidak
pernah dipunyainya.
Segera tampak Bi Lan berlarian seperti terbang
mendaki lereng-lereng puncak terakhlr. Tak lama
kemudian la sudah berdlrl di depan Jlt Kong Lama
dengan senyumnya yang cerah dan manis. jit Kong Lama
mendadak melihat segala, sesuatu menjadl cerah dan
indah.
"Bi Lan, ke mana saja engkau selama tiga hari ini?
Engkau membikin aku gelisah saja!" kakek itu menegur,
akan tetapi sambil tersenyum lebar.
"Aih, suhu. Mengapa mengkhawatirkan aku? Aku
bukan anak kecil lagi. Dan pula, tidak percuma selama ini
aku berguru kepadamu! Aku dapat menjaga diri. Aku
membawa kabar gembira, suhu. Aku menemukan sebuah
kitab pusaka pelejaran silat yang langka, kuno dan ampuh
sekali! Akan tetapi setelah kupenksa isinya, aku menjadi
bingung. Bahasanya kuno banyak huruf yang tidak
395

kumengerti. Karena itu, aku harap


membimbingku mempelajari ilmu silati itu."

suhu

suka

"Eh? Kitab pusaka? Coba perlihatkan padaku!" kata Jit


Kong Lama sambil ter-senyum dan mengira muridnya
bicara berlebihan. Bi Lan mengambil kitab dari
buntalannya dan menyerahkannya kepada gurunya.
Jlt Kong Lama menerima kitab itu dan membukabuka lembarannya. Bi Lan berdiri memandang dan
merasa glrang dan bangga melihat kakek itu
membelalakkan mata dan tampak terkejut dan heran
sekali.
"Omitohud....!" Saking kaget dan herannya, Jit Kong
Lama mengucapkan pujian ini yang selama sepuluh
tahun ini hampir terlupa olehnya. "Ini adalah Kitab Ngoheng Lian-hoan Kunhoat, kitab pusaka milik Kun-lun-pai!
Dari mana engkau mendapatkan kitab ini, Bi Lan?
Engkau tidak mencurinya dari Kun-lun-pai, bukan?"
Bi Lan memandang gurunya dengan bibir cemberut
manja. "Aih, suhu. Aku tidak mencurinya, hanya
meminjaiTi. Kalau aku sudah selesai mempelajarinya,
pasti kukembalikan kepada Kun-luri-pai kalau memang
kitab ini milik Kun-lun-pai."
"Kitab pusaka ini memang merupakan puaaka Kunlun-pai yang amat lang-ka!" Kakek itu mengahggukangguk dan membalik-balikkan lembaran kitab itu.
"Sungguh pelajaran silat yang hebatl Sayang aku sudah
terlalui tua untuk mempelajarinya."
"Aku mendapatkannya bukan untukmu, suhu, akan
tetapi untuk aku sendiri. Asal suhu mau membimbingku
396

dan memberi penjelasan,


menguasai ilmu itu."

aku

tentu

akan

dapat

"Baiklah. Akan tetapi setelah selesai harus kau


kembalikan. Kalau sampai Kun-lun-pai mengetahui
bahwa engkau mengambil kitab pusaka mereka, engkau
tentu akan dimusuhi dan.... wah, berat sekali kalau harus
bermusuhan dengan sebuah partai persilatan sebesar
Kunlun-pai yang mempunyai banyak sekali orang-orang
sakti!"
"Aku pasti akan rnengembalikannya kelak, suhu.
Sekarang, ajarilah aku!" .
Setelah menyimpan buntalan pakai.an-nya dalam
kamar, mulailah Bi Lan dilatih oleh Jit Kong Lama
menurut kitab itu. Mula-mula dia memberi petunjuk
seperti yang tertulis di halaman pertama.
"Kitab ini mengandung ilmu silat tangan kosong yang
disebut Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat acau singkatnya
Ilmu Silat Berantal Lima Unsur utama, yaltu, alr, apl,
logam dan kayu. Lima unsur inl mempunyai hubungan
erat satu sama lain dan hubungan inl mengatur
keseimbangan. Tanah mengalahkan air, alr mengalahkan
api, api mengalahkan logam, logam mengalakan kayu
dan kayu mengalahkah tanah. Juga kebalikannya,
mereka saling menunjang. Kelimanya saling melengkapi
sehingga mengatur keseimbangan dan kesempurnaan
keadaan di bumi. Tanah berkedudukan di tengah, logam
dl utara, kayu di selatan, air di ba-wah dan api di timur.
Tubuh kita merupakan alam kecil yang juga terikat pada
hukum gerakan kellma unsur itu" Demi-klanlah, semalam
suntuk Jit Kong Lama menjelaskan tentang Ngo-heng
(Lima Unsur Pokok) kepada murldnya. Kemudian pada
397

hari-harl selanjutnya dia inulal memblmblng Bi Lan


berlatih ilinu silat yang luar biasa dan yang menjadi pusaka perguruan Kun-lun-pai. Pada waktu itu, jarang ada
murid Kun-lun-pai yang mengenal ilmu silat Ngo-heng
Lian-hoan Kunhoat karena kitab itu telah hilang seratus
tahun lebih. yang lalu. Bahkan ketua Kun-lun-pai saat itu,
Kui Beng Thaisu yang berusia tujuh puluh tahun, hanya
menguasai tidak lebih dari tujuh bagian saja dari ilmu itu.
Demikianlah dengan amat tekun dan tldak mengenal
lelah Bi Lan mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka itu.
Saking tekunnya, setiap hari ia berlatih tanpa mengenal
waktu sehingga waktu meluncur dengan cepat tanpa ia
sadari dan tahu-tahu setahun sudah berlalu sejak ia
mempelajari ilmu silat itu. Setelah setahun berlatih keras,
barulah. Ia berhasil menguasal. seluruh ilmu silat itu.
Pagi hari itu Jlt Kong Lama sudah bangun dan mandi
sehingga dia tampak segar. Namun ada sesuatu dalam
sinar matanya yang mengandung kemuraman. Wajah
bulat gemuk yang biasanya selalu di-hias senyum itu
pagi ini tampak lesu. Dia duduk menanti Bi Lan yang
pagipagi sekali tadi sudah mandi dan sekarang sedang
sibuk di bagian belakang pondok kayu itu menyiapkan
minuman pagi untuknya. Akhirnya Bi Lan memasuki
ruangan depan dan meletakkan sebuah poci air teh dan
cawannya ke atas meja sambil berkata, "Minumlah, suhu,
selagi air teh ini masih panas." Dara itu kemndian hendak
kembali ke belakang.
"Bi Lan, duduklah, aku ingin bicara denganmu." kata
jit Kong Lama.
Bi Lan menahan langkahnya, lalu kembali dan duduk
di seberang meja. la memandang wajah gurunya dan
398

baru melihat wajah yang muram dan kehilangan


kecerahannya itu.
"Eh? Ada apakah, suhu? Suhu tampaknya sedang
memikirkan sesuatu dan merasa tidak gembira."
tegurnya.
"Bi Lan, engkau telah berhasil menguasai Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat, rnaka stidah sepahtasnya dan tiba
saatnya bagimu untuk mengemballkan kitab pusaka itu
kepada Kun-lunp
"Ah, tentu saja, suhu! Memang akupun sedang
memikirkan hal itu dan besok atau lusa aku akan
mengembalikarinya ke sana. Akan tetapi hal itu tidak perlu
disedihkan, bukan? Kitab pusaka itu memang hak milik
mereka dan akukan sudah menguasai seluruhnya?"
"Aku tidak menyedihkan hal itu, Bi Lan, Akan tietapi
tahukah engkau babwa engkau sudah sebelaa tahun
mempelajarl llmu darlku?"
Bi Lan mengangguk. "Aku tahu, suhu. Setahun yang
lalu, ketika aku belum menemukan kitab Ngo-heng Llanhoan Kun-hoat, aku sudah sepuluh tahun berada di sini
bersamamu dan sudah selesai belajar."
"Kau tahu apa artinya itu? Apakah engkau lupa akan
janjiku kepadamu dulu?"
"Aku tidak lupa, suhu. Suhu akan mengajarku selama
sepuluh tahun. Karena itulah, setahun yang lalu aku
sengaja turun dari sini dan selama tiga hari bermaln-main
399

di sekitar Kun-lunsan. Kemudlart aku mendapatkan kitab


itu dan ingin sekali mempelajarinya sehlngga aku tinggal
setahun lagi di sini. Berarti aku sudah sebelas tahun
tinggal bersama suhu. Aku tahu bahwa sudah tiba
saatnya aku harus turun gunung, mencari orang tuaku,
membalaskan kematian Nenek Lu-ma yang dibunuh oleh
tokoh Uigur yang bernama Ouw Kan seperti yang suhu
pernah ceritakan, dan iuga tidak lupa mencari musuh
suhu yang bernama Tiong Lee Cinjin untuk
membunuhnya. Akan tetapi, mengingat bahwa suhu
sekarang telah begini tua, bagaimana aku tega untuk
meninggalkanmu hidup seorang diri disini?"
Wajah yang bulat itu kini berseri kembali, mulutnya
tersenyum dan Jit Kong Lama menjulurkan kedua
tangannya di atas meja, menangkap tangan Bi Lan dan
menggenggamnya.
"Terima kasih, Bi Lan. Tidak percu-ma aku dahulu
menyelamatkanmu, tidak sia-sia aku mendidikmu selama
sebelasg tahun. Aku telah mendapatkan hadiah yang
teramat besar dan tak ternilai harganya, hadiah yang
mendatangkan iteba-hagiaan yang tak pernah kurasakan
selama, hidupku, yaitu kasih sayangmu, Bl Lan. Selama
ini engkau menyayangku se~ perti ayahmu sendiri,
memasak, mencuci pakaian untukku. Engkau begitu
manis, seperti matahari dalam hidupku. Ah, terima kasih
Bi Lan." Sepasang mata kakek itu menjadi basah.
Bi Lan tersenyum. "Aih, suhu ini, ada-ada saja!
Sudah tentu saja aku sayang kepada suhu! Suhu bukan
hanya menjadi guruku, juga menjadi pengganti orang
tuaku, suhu mendidikku dengan pe-nuh kasih sayang,
tentu saja aku sayang kepada suhu. Karena itu pula aku
tidak tega meninggalkanmu, suhu."
400

"Tidak, Bi Lan. Aku selama sebelas tahun ini juga


belajar dengan tekun, be-lajar untuk menguasai nafsunafsu keinginanku sendiri, keinginan yang mengejar
kesenangan hati bagiku sendiri. Nafsu keinginan untuk
menang sendiri inilah yang dulu ipenyeretku ke dalart
kesesatan sehingga terpaksa aku harus meninggalkan
Tibet. Dan sekarang aku juga telah tamat belajar seperti
engkau, Bi Lan. Aku menemukan jawabannya bahwa hanya dengan kasih sayang murni terhadap segala sesuatu
yang tampak dalam dunia ini, terutama terhadap sesama
manusia, maka aku akan mampu menundukkan nafsunafsuku sendiri. Dengan mengesampingkan kepentingan
pribadi dan mendahulukan kepentingan orang lain, maka
nafsu dalam diriku akan menjadi jinak.
Aku tidak mau menuruti keinginan hati sendiri dengan
menahanmu di sampingku. Tidak, engkau harus turun
gunung engkau harus mencari orang tuamu dan
menentang si jahat Ouw Kan. Dan engkau tidak perlu lagi
mencari Tiong Lee Cin-jin karena akulah yang bersalah
terhadap dia. Pergilah, Bi Lan, pergilah tinggalkan aku
dan doa restuku selalu menyertaimu." Kakek itu
melambaikan tangan ke arah luar pintu pondok.
"Akan
tetapi,
bagaimana
aku
akan
tega
meninggalkanmu seorang diri di sini, suhu? Suhu sudah
tua, siapa yang akan membuatkan air teh? Siapa yang
akan memasakkan makanan? Siapa yang akan
mencucikan pakaian suhu dan siapa yang akan merawat
dan membersihkan isi rumah dan halaman?"
Kakek itu tersenyum. "Jangan khawatir, aku dapat
melakukannya sendiri. Dahulu, sebelum engkau menjadi
muridku, akupun hidup seorang diri."

401

"Akan tetapi suhu sekarang sudah tua sekali. Ah,


begini saja baiknya, suhu.. Mari suhu ikut bersama aku
pergi ke Lin-an. Di kota raja itu orang tuaku memiliki
rumah yang cukup besar. Suhu dapat tinggal bersama
kami di sana!"
Jit Kong Lama menggeleng kepala sambil tersenyum.
Tidak, Bi Lan. Aku harus kembali ke tempat asalku."
"Apa? Ke Tibet? Akan tetapi suhu akan dimusuhi di
sana!" kata Bi Lan yang sudah pernah mendengar cerita
gurunya bahwa gurunya seorang pelarian dari Tibet.
Jit Kong Hwesio tersenyum lebar. "Sekarang aku
mengerti bahwa aku tidak akan dapat melarikan diri dari
jangkauan karma. Aku tahu bagaimana untuk
menghadapi para pendeta Lama di Tibet, yaitu dengan
kasih sayang! Aku sudah tua, kalau mereka ingin
membunuhku, silakan. Akan tetapi aku tetap akan menghidupkan kasih sayang di dalam hatiku. Sudahlah, Bi
Lan. Keputusanku sudah tetap. Engkau harus turun
gunung dan jangan meinikirkan aku lagi. Tugasmu di
masa depan masih banyak sekali dan jauh lebih penting
daripada memikirkan tentang diriku."
Bl Lan tidak dapat membantah lugi. la lalu
membungkus semua pakalannya dalam sebuah
buntalan. la tidak membawa senjata karena memang
tidak memiliki senjata. Gurunya mengajarkan ilmu-ilmu
silat tinggi sehingga benda apapun di tangannya dapat
dipergunakannya sebagai senjata, terutama sekali
sepotong kayu yang menjadi senjata tongkat. Setelah
siap berkemas, ia menghampiri gurunya. Mereka berdirl
berhadapan di depan pintu pondok karena kakek itu
mengantar muridnya sampai di depan pintu. Mereka
402

saling berhadapan.
Bi Lan memandang wajah yang bulat dan yang
tersenyum itu, namun ia melihat mata Itu demikian sayu.
"Selamat tinggal, suhu." katanya lirih.
"Selamat jalan, Bi Lan. Semoga hidupmu selalu
bahagia, muridku.... anakku...." Bi Lan mengeraskan
hatinya namun tidak dapat menahan keharuan hatinya.
"Suhu....!" la berseru dan merangkul kakek itu. Jit
Kong Lairta juga merangkul Bi Lan dan mengelus kepala
gadis itu dengan tangannya.
"Berangkatlah, anakku, jangan memperlihatkan
kelemahan hati seperti ini." katanya menghibur. Bi Lan
menangis sejenak, terisak di dada gurunya. Kemudian ia
menguatkan hatinya dan tiba-tiba ia teringat betapa
selama ini ia bersikap akrab dan tidak menghomati
gurunya, maka ia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kaki gurunya.
"Suhu...." ia merangkul kedua kaki gurunya.
Jit Kong Lama mengejap-ngejapkan mata untuk
mengusir dua titik air mata , dari pelupuk matanya.
Kemudian dia membungkuk, memegang kedua pundak
gadis itu dan menariknya berdiri. Kakek Itu menepuknepuk pundak Bi Lan dan tersenyum lebar. "Aih, engkau
membikin aku malu saja mempunyal murid yang
cengeng! Hei Bi Lan, sama-sama menggerakkan mulut
dan mengeluarkan suara, mengapa tidak tertawa saja
daripada menangis? Tertawa lebih enak dilihat dan
didengar, ha-ha-ha-ha"

403

Bi Lan segera tersenyum. Biasanya, setiap hari,


gurunya ini memang selalu berkelakar dan tertawa.
Kedua orang Itu tertawa dan aneh sekall melihat mereka
tertawa dengan kedua mata basah.
"Selamat tinggal, suhu, selamat berpisah. Aku
sayang kepadamu, suhu!" "Selamat jalan, selamat
berpisah. akupun sayang kepadamu, Bi Lan!"
Bi Lan lalu melompat pergi. Pada sebuah tikungan, ia
menoleh dan melambaikan tangan dibalas oleh gurunya
yang masih tertawa!
Setelah Bi Lan pergi meninggalkahi pondok kayu di
sebuah di antara puncak-puncak Kunlun-san, Jit Kong
Lama juga meninggalkan pondok itu. Kakek ini tidak
membawa apa-apa kecuali tongkat panjang berkepala
naga. Dia menurunt puncak dan menuju ke barat karersa
dia inengambil keputusan untuk kembali ke Tibet, siap
menyambut apapun yang akan menimpa dirinya.
Pada sore harinya setelah Jit Kong Lama pergi,
muncul seorang laki-lakl berusia kurang lebih empat puluh
tahun, berkepala gundul dan memakai peci kuning,
berjubah pendeta Lama dan membawa sebatang pedang
di pungungnya. Pendeta Lama ini bertubuh kekar,
wajahnya penuhbrewokj ,dan matanya menyeramkan,
mencorong seperti mata harimau. Mulut dan matanya
menibayahgkan keke-rasan hati. Dia menendang daun
pintu pondok sampai jebol, lalu masuk dan memeriksa ke
dalam pondok itu. Tak lama kemudian dia keluar lagi,
bersungut-sungut karena tidak menemukan seorangpun
di sana. Dia lalu mengamuk. Kedua kakinya menendangi
pondok kayu itu. Terdengar suara hiruk pikuk dan pondok
kayu itupun ambruk. Tihang-tihang kayunya patah-patah.
404

Atapnya ambruk dan rata dengan tanah. Setelah


melampias-kan kemarahannya kepada pondok kosong
itu, diapun segera memutar tubuh meninggalkan pondok
lalu menggunakan ilmunya berlari cepat sekali menuju ke
markas. Kunlun-pai.
Sementara itu menjelarig tengah hari, para murld
Kun-lun-pai laki maupun wanita, sedang sibuk bekerja.
Ada yang bekerja dalam kompleks perkampungan Kunlun-pai, ada pula yang bekerja di ladang. Seperti biasa,
lima orang murid laki-laki duduk di gardu penjagaan di
pintu gerbang Kun-lun-pai.
Pada siang hari itu, Hui In Sian-kouw, Ketua Kun-lunpai bagian wanita datang berkunjung ke kuil induk dan
mengadakan percakapan dengan Kui Beng Thaisu,
Ketua umum Kun-lunpai yang menjadi suhengnya. Hui In
Sian-kouw se-perti biasa melaporkan keadaan para murid wanita, dan menceritakan bahwa sumoinya (adik
perempuan seperguruannya.) Biauw In Suthai yang
menjalani hukuman prihatin di pondok pengasingan
tekun bersamadhi. Sudah
setahun leblh Biauw In Suthai dan menurut
hukumannya, ia masih harus berprihatin di pondok
pengasingan itu selama dua tahun lagi.
"Biarlah, Biauw In sumoi memang membutuhkan itu
untuk dapat melunakkan kekerasan hatinya yang luar
biasa.
Mudah-mudahan saja sekali ini usahanya berhasil."
kata Kui Beng Thaisu sambil mengelus jenggotnya yang
panjang dan putih. "Akan tetapi, apakah kedua orang
muridnya itu belum juga pulang?"
405

Hui In Siankouw menghela napas dan menggeleng


kepalanya. "Kasihan Kim Lan dan Ai Yin.
Sudah setahun lebih Kim Lan pergi mencari Souw
Thian Liong. Bagaimana mungkin ia akan mampu
membunuh Thian Liong, biar ia dibantu Ai Yin sekalipun?
Tingkat kepandaian Thian Liong jauh lebih tinggi."
"Ya, memang kasihan mereka itu menjadi korban
kekerasan hati guru mereka. Akan tetapi yang pinto (aku)
herankan, mengapa sampai sekarang Thian Liong belurn
JugaJ datang ke sini menyerahkan kitab pusaka kita?
Apakah dia belum berhasil menemukan kitab yang
'katanya dicuri orang itu?"
"Pinni (aku) juga heran, suheng. Menurut
penglihatanku, murid Tiong Lee Cin-jin itu bijaksana dan
dapat dipercaya sepenuhnya. Akan tetapi sampai kini dla
belum juga datang. Mungkin pencuri kitab itu lihai sekali
sehingga dia belum dapat menemukannya, suheng."
Pada saat itu, tiba-tiba seorang murid Kun-lun-pai
memasuki ruangan itu dan melihat bahwa Kui Beng
Thaisu dan Hui In Sian-kouw sedang duduk bercakapcakap, dia segera berlutut.
"Mohon ampun, losuhu, lo-suthai, kalau teecu
mengganggu...." katanya gagap. Wajah murid berusia
tiga puluhan tahun ini tampak pucat.
"Tenanglah dan bicara dengan jelas, Apa yang terjadi
maka engkau segelisah ini?" tanya Kui Beng Thaisu.
"Di luar pintu gerbang datang seorang pendeta Lama
yang berkeras ingin masuk untuk bertemu dengan
406

pimpinan Kun-lun-pai. Teecu berlima melarangnya dan


ingin melapor lebih dulu ke dalam, akan tetapi dia
memaksa dan merobohkan teecu berlima. Dia memaksa
masuk dan kini dia dihadapi ketiga suhu di pekarangan
depan."
"Hemm, seorang pendeta Lama? Mengapa seorang
pendeta Lama datang membawa kekerasan? Aneh
sekali! Mari, sumoi, kita melihat ke sana!"
Hui In Sian-kouw mengangguk dan keduanya segera
keluar diikuti murid yang melapor tadi. Setelah tiba di
depan beranda, mereka melihat seorang yang ber-kepala
gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama berusia
empat puluh tahun lebih, tubuhnya kekar mukanya
brewokan dan kulitnya coklat gelap seperti kulit orang
India, sedang dikeroyok oleh tiga orang tosu (pendeta To)
yang menjadi guru-guru pelatih para murid Kun-Lun-pai
bagian pria. Tiga orang sute termuda dari Kui Beng Thaisu
yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu masingmasing menggunakan sebatang pe-dang dan ketiganya
menyerang pendeta -Lama itu dengan Ilmu pedang Kunlun-pal yang dahsyat, yaitu Tian-lui Kiam-sut (Ilmu
Pedang Kilat Guntur). Akan tetapi, pendeta Lama itu
hanya menggunakan kedua ujung bajunya yang longgar
dan panjang uhtuk melawan. Kedua ujung bajunya itu
menyambar-nyambar dan ftiendatangkan angtn dahsyat
yang kuat sekall sehingga terdengar suara berdesir-desir.
Ketika pendeta Lama itu melihat munculnya Kui Beng
Thaisu dan Hui In Sian-kouw, dia secara tiba-tiba
mengebutkan kedua ujung lengan bajunya ke arah tiga
orang pengeroyoknya. Tiga orang tosu itu cepat
menyambut dengan pedang mereka.

407

"Wuuuuttt.... plak-plak-plak....!" Ttga orang tosu itu


terjengkang dan terhuyung ke belakang ketika pedang
mereka bertemu dengan ujung lengan baju.
!"Siancai ........ i Kalian berttga mundur-, lah, sute.
Sungguh tidak patut menyam-but kunjungan rekan dari
Tibet dengan pedang di tangan!" kata Kui Beng Thai-su
yang berdlrl di atas tangga bersnda itu. Tiga orang
sutenya segera 'mundur dan berdiri dt bawah tangga,
menantl perintah.
Pendeta Lama ttu tersenyum mengejek memandang
kepada Kui Beng Thaisu dan Hui In" Siankouw. "Kami
bukan rekan kalian!"
Kui Beng Thaisu berkata hormat namun tegas,
"Sobat. klta sama-sama bertugas untuk mengajarkan
kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran kepada
manusia, maka kita adalah rekan. Mengapa engkau
mengatakan bahwa engkau bukan rekan kami?"
"Hemm, dengan siapakah aku berhadapan? Apakah
kalian berdua ini yang menjadi pirnpinan Kun-lun-pai?"
tanya pendeta Lama itu.
"Perkenalkan. Pinto adalah Kui Beng Thaisu, ketua
umum Kun-lun-pai dan ini adalah sumoi Hui In Sian-kouw,
ketua bagian wanita. Siapakah engkau, sobat?"
"Aku berjuluk Gwat Kong Lama dari Tibet,! utusan
istimewa dari Yang Mulia Dalai Lama di Lhasa."
"Siancai....! Kiranya engkau adalah utusan istimewa
dari Dalai Lama! Kami merasa terhormat sekali menerima
kunjunganmu." kata Kui Beng Thaisu.
408

"Hemm, Kui Beng Thaisu, kalian mengaku


mengajarkan kebaikan dan menunjukkan jalan kebenaran
kfepada manusia, akan tetapi apa yang kalian ajarkan' itu
tidak cocok dengan perbuatan kalian sebagai pimpinan
Kun-lun-pai!"
"Gwat Kong Lama!" bentak Hul In Sian-kouw,
kehilangan kesabaran. "Kalau kedatanganmu ini
bermaksud baik, tidak semestinya engkau mengeluarkan
kata-kata celaan tanpa bukti itu! Pergilah dari sini, Kami
tidak suka berurusan dengan orang kasar sepertimu!"
"Hemm,
kalian
menyangkal?
Kalau
telah
menyembunyikan seorang pendeta Lama yang telah
bertahun-tahun menjadi buruggn kami. Yang Mulia Dalai
Sama mengutas aku untuk menangkap buruan itu dan
menurut penyelidikanku, dia bersembunyi di Kun-lun-sah.
Kemarin sore aku menelusuri pondoknya di sebuah
puncak pegunungan Kun-lun ini, akan tetapit dla telah
kabur. Bukankah itu berarti bahwa Kun-lun-pai sengaja
melindungi buronan kami? Hayo cepat akui di mana
adanya Jit Kong Lama, buruan kami Itu!"
"Sial ....!" seru Kui Beng Thaisu. "Kami tidak
mengenal Jit Kong Lama, tidak tahu bahwa dia tinggal di
daerah Kun-lun-san. Kami juga tidak tahu sekarang dia
berada di mana."
"Gwat Kong Lama, tuduhanmu sungguh kasar. Kami
memang tidak tahu, akan tetapi andaikata kami tahu juga,
tidak akan kami beritahukan kepadamu yang bersikap
sekasar ini !" kata Hui In Sian-kouw dengan hada suara
marah.
Mendengar ini, Gwat Korig Lama memandang
409

dengan mata mencorong kepada Hui In Siankouw.


"Bagus, kalau begi-tu aku akan menggeledah seluruh
peru-mahan Kun-lun-pai dan akan, mencarl sendiri. Aku
yakin dia kalian sembunyikan di sini!" Setelah berkata
demikian, Gwat Kong Lama melangkah lebar hendak
memasuki kuil besar. Akan tetapi cepat tubuh Hui In
Sian-kouw berkelebat dan wanita berusia enam puluh
satu tahun ini telah menghadang di depan pendeta Lama
itu.
"Berhentl!" bentaknya. "Siapapun tidak
memasuki perkampungan kami tanpa ijin'"

boleh

"Ho-hp, bagus sekali! Aku memang ingin sekali


melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandalan para
pimpinan Kun-lun-pai. Cabut senjatamu Hui In Sian-kouw
dan mari kita bertanding untuk menentukan siapa di
antara kita yang lebih unggul. Kalau aku nienang, aku
akan menggeledah perkampungan Kun-lun-pal inl.
Sebaliknya kalau aku kalah, aku akan pergi tanpa
banyak cakap lagi."
"Gwat Kong Lama, kami tidak pernah bermusuhan
dengan para pendeta Lama di Tibet, karena itu pinni tidak
ingin rnenggunakan senjata untuk bertanding. Cukup
dengan tangan kosong saja untuk membuktikan siapa di
antara kita yaog lebih benar."
"Bagus! Engkau hendak mengandalkan kun-hoat
(ilmu silat) dari Kun-lun-pai? Mari, kita lihat siapa yang
lebih tangguh. Pendeta Lama berkulit' kehitaman Itu
memasang kuda-kuda dengan berdirl dengan kedua kaki
berdiri di atas ujung jari dan kedua tangan menyembah di
depan dada.

410

Hui In Siankouw juga memasang ku-da-kuda ilmu


silat Kun-lun-pai dengati mengembangkan sedikit kedua
kaki dan kedua tangannya dikembangkan lebar dl depan
dan belakang tubuhnya.
"Hui In Siankouw, aku telah siap. Mulailah!" tantang
Gwat Kong Lama. "Engkau adalah tamu, silakanf mulai
dulu!" kata Hui In Siankouw.
"Baik, lihat seranganku!" Lama itu berseru dan tibatiba dia sudah menerjang maju, kedua tarigannya
bergerak cepat melakukan serangan beruntun dari kanan
kiri. Hui In Sian-kouw adalah ketua Kun-lun-pai bagian
wanita, tehtu sa-ja ilmu silatnya sudah matang dan tinggi.
Dengan gerakan cepat ia Wengelak ke belakang dan
memutar- tub.(A untuk balas menyerang. Akan tetapi
pendeta Lama itu telah menyusulkan tendangan bertubitubi dengan kedua kakinya. Kem-bali Hui In Sian-kouw
bergerak lincah untuk mengelak. Setelah mendapat
kesempatan melepaskan diri dari kurungan serangan
beruntun lawannya, ia membalas dengan serangan
tangan kirinya yang menusuk ke arah lambung dengan
jari-jari, tangan terbuka.
"Syuuuttt .. plakk!" Tubuh Hui In Sian-kouw terdorong
ke belakang ketikal serangannya itu ditangkis oleh lawan.
Tahulah ia bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat. Terdengar pendeta Lama itu tertawa mengejek
danj kini dia menerjang dengari dahsyat dan ganas sekali.
Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendesak Hul In
Sian-kouw sehingga ia
tidak mampu membalas. Akan cetapi, wanita ini
mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya)
dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-bayang
411

yang dengan cepat dapat menghindarkan dlri dari semua


serangan Gwat Kong Lama. Dengan sendirinya Hui In
Siankouw terdesak terus oleh lawannyal yang sering
tertawa mengejek. Akan tetapi karena Hui In Sian-kouw
memilikl ginkang yang istimewa, piaka betapa gencar dia
mendesaknya, belum juga ada pukulan atau tendangan
yang dapat mengenai sasaran. Gwat Kong Lama merasa
seolah-olah dia menyerang sebuah bayang-bayang saja!
Dia menjadi marah dan penasaran. Dia mulai
memperhati-kan gerakan Hui In Sian-kouw yang
demikian ringan dan tahulah dia ilmu silat apa yang
mendasari gerakan pendeta wanita itu. Maka tiba-tiba
Gwat Kong La-ma mengubah gerakannya dan dia mein-^
bentak nyaring.
"Sambutlah ini!"
Hui In Sian-kouw terkejut sekali ketika menghadapi
serangan yang seperti menyambung gerakannya sendiri,
dan pada dasarnya menutup semua gerakannya.
Serangan dahsyat menyambar dan ketika dia menghindar
dengan elakan cepat tahu-tahu tangan pendeta Lama itu
telah mengancam pelipis kirinya.'
Kui Beng Thaisii, ketua Kun-lun-pai yang sudah
berusia lebih dari tujuh puluh tahun terkejut. Sejak tadi
dia menonton pertandingan itu hatinya merasa lega
karena dia merasa yakin bahwa gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) sumoinya cukup tangguh untuk dapat
menghindarkan diri dari ancaman serangan pendeta
Lama itu. Akan tetapi dla terkejut ketika melihat
perubahan
gerakan Gwat Kong Lama. Biarpun hanya tinggal
lima atau enam bagian saja dari ilmu silat pusaka Kun412

lun-pai itu yang masih diingatnya, namun dia tahu bahwa


pendeta Lama itu kini menyerang sumoinya dengan ilmu
silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat! Pa-dahal kitab itu
sudah lama hilang dari Kun-lun-pai dan setahun yang
lalu, murid Tiong Lee Cin-jin yang bernama Souw Thian
Liong itu datang dan mengatakan bahwa sebetulnya dia
diutus suhunya untuk mengembalikan kitab yang hi-lang
itu dan yang ditemukan Tiong Lee Cin-jin dalam
perjalanannya ke barat, akan tetapi bahwa kitab itu
hilang, ada yang mencurinya. Kini tibatiba muncul
seorang pendeta Lama yang menyerang sumoinya
dengan menggunakan jurus ilmu silat Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat! Tentu saja Hui In Sian-kouw terdesak
karena ilmu itu merupakan dasar dari ilmu-ilmu
perguruan Kun-lun-pai sehingga seolah dasar gerakan
pendeta wanita itu tertutup atau mendapatkan imbangan
dari gerakan pendeta Lama bermuka brewok itu.
"Pergilah!" tiba-tiba Goat Kong Lama membentak,
tangan kanannya mendorong dan biarpun Hui In Siankouw sudah cepat mengelak, namun tetap saja pundak
kirlnya terkena dorongan itu dan tubuh pendeta wanita ini
terhuyung ke belakang dan untung saja mempunyai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga
sebelum roboh terjengkang ia sudah dapat berjungkir
balik tiga kali ke belakang sehingga tidak sampai jatuh.
Wajahnya menjadi pucat dan dengan jujur ia merangkap
kedua tangan depan dada dan berkata lirih.
"Siancai....! Aku mengaku kalah." Kui Beng Thaisu
menghampiri pendeta Lama itu.
"Goat Kong Lama, engkau suqgguh keterlaluan. Tidak
malu melawan kami dengan llmu kami sendlri yang
kitabnya hilang."'
413

"Tidak perlu banyak blcara lagi, Kul Beng Thaisu. Aku


hanya akan menggeledah dan mencari kalau-kalau kalian
menyembunyikan orang yang kucari itu dl dalam kuilmu.
"Hemm, jangan harap engkau akan dapat menghina
pergunlan Kun-lun-pai selama pinto (aku) masih berada di
sini!" Kui Beng Thaisu yang biasanya penyabar itu kini
berkata dengan muka merah karena pendeta Lama ini
agaknya sama sekali tidak percaya kepadanya dan h^ndak memasuki kuil tanpa ijin yang ber-arti suatu
pelanggaran dan penghinaan.
"Kalau begitu, terpaksa akupun harus merobohkanmu,
Kui Beng Thaisu!" kata pendeta Lama itu dan kedua
orang pendeta itu sudah siap untuk saling serang. Akan
tetapi pada saat itu terdengar su-ara lembut namun
nyaring berwibawa.
"Tahan! locianpwe Kui Beng Thaisu, silakan
locianpwe (orang tua gagah) mundur. Akulah lawan
pendeta asing ini!" Sesosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu seorang gadis cantik berpakaian merah muda
telah berdiri di depan Goat Kong Lama.
Melihat bahwa yang datang hanyalah seorang gadis
yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun
usianya, tentu saja Kui Beng Thaisu tidak percaya bahwa
gadis semuda ini akan mampu menandlngi Goat Kong
Lama yang selain memillkl tingkat kepandaian tinggi, juga
mcmiliki banyak pengalaman. Bahkan sumoinya saja
tidak mampu menandinginya, apa lagi gadis semuda ini.
Selain itu, dia tidak mengenal gadis asing ttu, bagaimana
dia dapat membiarkan gadis itu mencampuri urusan Kunlun pai dengan pendeta Lama itu.

414

"Nona, terima kasih atas pembelaanmu. Akan tetapi,


harap engkau murdur dan jangan mencampuri urusan
Kun-lun-pai yang membela diri terhadap desakan Gwat
Kong Lama Inl. Kaml sungguh akan merasa amat
menyesal kalau sampal engkau sebagai orang luar
terluka atau cldera karena membela Kun-lun-pai." kata
pendeta ketua Kun-lun-pai itu deingan suara lembut.
"Loclanpwe, maafkan aku. Sesungguhnya masih
terhltung cucu murid locianpwe sendirl. Aku sengaja
datang
untuk
menghadap
loclanpwe
dan
memperkenalkan dirl. Akan tetapi aku tadl melihat
pendeta Lama inl menyerang Kun-lun-pai, karena itu aku
harus menandinglnya. Locianpwe saksikan saja, aku
pasti akan mempergunakan ilmu silat Kun-lun-pai dan
tidak berani mempergunakan ilmu silat lain." Gadis itu
berkata lantang. Gadis ini bukan lain adalah Han Bi Lan.
(Seperti kita ketahui, Bi Lan berpisah dari gurunya dan
oleh gurunya ia diharuskan merigembalikan kitab puSaka
Kun-lun-pai, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang
dulu, setahun yang lalu dicurinya dari buntalan pakaian
Thian Liong. Kini la telah mempelajari dan menguasal
ilmu itu sepenuhnya. Ketika tadi ia datang ke Kun-lun-pai
ia sempat menyaksikan kunjungan Goat Kong Lama.
Melihat Gwat Kong Lama mengalahkan Hui In Sian-kouw
dengan menggunakan jurus-jurus dari Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat, ia merasa penasaran sekali. la merasa
bersalah. Karena ia mencuri kitab itu, maka pendeta
wanita itu tidak dapats menguasai ilmu itu dan dikalahkan
pendeta Lama itu justru menggunakan Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat. la ingin menebus kesalahannya, maka
cepat ia menawarkan diri untuk menandingi pendeta
Lama itu.
Mendengar gadis itu mengaku sebagai murid Kun415

lun-pai, Kui Beng Thai-!u menoleh kepada Hui In Siankouw yang juga memandangi kepada Bi Lan dengan
heran. "Sumoi, apakah engkau mengenal nona ini
sebagai murid Kun-Lin pai. Hui In Sian-kouw menggeleng
kepalanya tanpa menjawab karena ia merasa heran dan
juga kagum sekali akan keberariian gadis muda itu. Gadis
itu tadi tentu melihat ia dikalahkan pendeta Lama itu,
mengapa ia masih nekat hendak menandingi Goat Kong
Lama dan berjanji akan melawan pendeta itu dengan
ilmu silat Kun-lun-pai? Ilmu silat Kun-lun-pai yang mana
mampu menandingi Goat Kong Lama, kecuali Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat selengkapnya atau ilmu simpanan
yang masih dirahasiakan suhengnya sebagai ketua Kunlun-pai?
Sementara itu, Goat Kong Lama sudah tidak sabar
lagi. Melihat sikap ngotot para pimpinan Kun-lun-pai yangmelarang dia melakukan penggeledahan ke dalam
bangunan-bangunan
Kun-lun-pal,
semakin
besar
kecurigaannya bahwa yang dicarinya, Jit Kong Lama,
pasti bersembunyi di dalam kuil itu.
"Hei, bocah!" tegurnya kepada Bi Lan. "Engkau anakanak jangan turut campur. Aku hanya akan menggeledah
kuil ini untuk mencari seseorang yang kuduga tentu
bersembunyi di sini, akan tetapi para pimpinan Kun-liln-pai
ini menghalangi aku. Minggirlah dan jangan mencari
penyakit!"
Tiba-tiba Bi Lan mengerutkan alisnya. Pendeta ini
adalah seorahg pendeta Lama, seperti suhunya. Juga
namanya Goat Kong Lama, mirip nama suhunya Jit Kong
Lama! Janganjangan yang dicari pendeta Lama ini adalah
suhunya? Apakah ada hubunganantara gurunya dan
pendeta Lama ini? Akan tetapi usia mereka jauh
416

berbeda. Pendeta Lanta ini berusia sekitar empat puluh


dua tahun, sedangkan suhunya sudah berusia tujuh
puluh satu tahun!
"Heh, Goat Kong Lamal Engkau sendlrl belum begitu
tua, jangan berlagak seperti seorang kakek-kakek!
Apakah yang kaucari itu bernama Jit Kong Lama?
Goat Kong Lama memandang Bi Lan dengan mata
terbelalak. "Omitohud! Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Tak penting bagaimana aku bisa tahu, akan tetapi
kiranya hanya akulah satu-satunya orang yang tahu di
mana adanya orang yang kaucari itu. Beliau tidak berada
di dalam kuil ini!"
"Hah? Engkau tahu? Katakan, nona, di mana dia?"
tanya Goat Kong Lama dengan penuh semangat dan
harapan. "Aku melakukan perjalanan ribuan Li jauhnya
hanya untuk mencari dia'."
"Katakan dulu, apamukah Jit Kong Lama itu?"
"Dia adalah supekku (uwa guruku). Bi Lan teringat
akan pengakuan suhunya bahwa dulu suhunya adalah
seorang yang sesat dan berdosa. Pantas memilikl murid
keponakan sekasar ini!
"Hemm, kiranya dia itu uwa gurumu? Lalu mau apa
engkau mencarinya Bi Lan mendeaak, ingin tahu apakah
orang ini kawan ataukah lawan gurunya karena gurunya
pernah mencerltakan bahwa gurunya merupakan
seorang pelarian dari Tibet dari dimusuhi para pendeta
Lama di sana.

417

"Ih, engkau ini bocah perempuan cerewet amaT sih?


Hayo katakan di mana adanya Jit Kong Lama!" bentak
Goat Kong Lama kehabisan kesabaran.
"Tidak akan kukatakan kalau engkau belum
menjawab pertanyaanku. ini. Mau apa engkau
mencarinya?"
Goat Kong Lama menjadi merah mukanya. Dia
marah sekali, akan t6tapi merasa tidak mampu menang
berbantahan dengan gadis yang lincah dan pandai blcara
itu, maka diapun menjawab dengan nada kasar dan
keras. "Aku akan menangkap pengkhianat itu,
menyeretnya kembali ke Tibet hidup atau mati!"
Tentu saja Bi Lan marah sekali mendengar orang ini
hendak menyeret suhunya. Akan tetapi ia menahan
perasaannya dan tersenyum mengejek.
"Hemm, begitukah? Kurasa engkau tidak akan becus
melakukan itu!"
Bocah! Jangan mempermalnkan aku! Hayo katakan
dl mana adanya Jtt Kong Lama!" bentak Goat Kong Lama
sambll melangkah maju mendekat.
"Sekarang begini saja, Goat Kong Lama. Engkau
lancang berani menyerbu Kun-lun-pai, maka aku sebagai
murid Kun-lun-pai menantangmu bertanding, mewakili
para pemimpin Kun-lun-pai. Kalau engkau dapat
mengalahkan aku, barulah aku akan memberi tahu
kepadamu di mana adanya Jit Kong Lama. Akan tetapi
kalau engkau yang kalah engkau Harus mohon maaf
kepada locianpwe Kui Beng Thaisu. Beranikah engkau
menerima tantanganku ini?"
418

Kui Beng Ttiaisu, Hui In Sian-kouw dan para murid


Kun-lun-pai yang sekarang telah berkumpul di
pekarangan itu, terkejut dan heran melihat keberanian
gadis muda itu yang seolah mempermainkan pendeta
Lama yang amat lihai itu. Mendengar bahwa gadis itu
mengetahui di mana adanya orang yang dicari Goat Long
Lama, maka ini berarti bahwa gadis itu mempunyai urusan
langsung dengan pendeta Lama itu, bukan sekedar
mencampuri urusan Kun-lun-pai. Karena itu Kui Beng
Thaisu tidak mempunyai alasan untuk melarang gadis itu
menandingi Goat Kong Lama. Pendeta Lama itu sendiri
mendengar tantangan Bi Lan, tersenyum mengejek.
"Heh-heh, baik, kuterima tantaniganmu. Katakan dulu
siapa namamu, agar aku mengetahul dengan siapa aku
bertandlng."
"Namaku Han Bi Lan. Nah, bersiaplah engkau untuk
mohon maaf kepada pimpinan Kun-lunpai !"
"Nanti dulu! Taruhannya harus ditambah. Kalau
engkau yang kalah, selain engkau mengatakan di mana
adanya Jit Kong Lama, juga engkau harus menjadi
penunjukan jalan dan mengantar aku sampai aku dapat
menemukan orang itu!" Sambil berkata demikian,
pendeta Lama itu tersenyum, senyum yang mengandung
ejekan yang kurang ajar. Semua orang dapat merasakan
bahwa ucapan pendeta Lama itu mengandung arti
bahwa kalau ia kalah Bi Lan harus menemaninya, tentu
saja dengan maksud yang tidak senonoh terbukti dari
senym dan panjdangan mata itu.
Wajah Bi Lan menjiadi merah. Akari tetapi dasar ia
seorang gadis yang lincah, nakal, cerdlk dan pandai
.bermaln kata-kata, maka la berkata, Akupun menambah
419

taruhan Ini. Kalau engkau yang kaiah, engkau harus


mohon maaf kepada locianpwe Kui Beng Thaisu dengan
berlututl"
Goat Kong Lama yang memandang rendah kepada Bi
Lan dan merasa yakin bahwa dia pastl akan mampu
mengalahkan gadls muda Itu, mengangguk. "Balk, janji
taruhan ini disaksikan orang banyak dan harus dipenuhi!"
Bi Lan juga tersenyum, lalu ia menanggalkan
pakaiannya dan meletakkan dl atas lantai, dekat tempat
Kul Beng Thalsu dan Hui In Slan-kouw berdiri. Kemudlan
ia menghadapl pendeta Lama itu dan berkata, "Nah, aku
sudah slap, Goat Kong Lama. Mulailah karena engkau
yang mendatangkan keributan ini!"
Goat Kong Lama ingin cepat menye-lesaikan
pertandingan itu, maka dia sudah cepat menyerang dan
dia langsung menggunakan jurus Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat mengingat tadi dia mengaiahkan Hui In Siankouw dengan ilmu silat ini. Dia yakin bahwa dengan ilmu
pusa-ka Kun-lun-pai sendiri ini yang telah lama hilang
dari perguruan Kun-lun-pai, akan mudah sekali baginya
untuk mengalahkan Bi Lan sebagai murid muda Kun-lunpai.
"Hiiyyeeehhh!" bentaknya dan lengannya yang kekar
panjang itu sudah menyambar ke arah dada gadis itu
dengan cengkeraman. Sebuah serangan berbahaya dan
juga tidak sopan! Kui Beng Thaisu yang mengenal jurus
ilmu silat pusaka itu memandang dengan penuh perhatian
dan sepasang alisnya berkerut. Bagaimana mungkin
gadis muda itu akan mampu bertahan menghadapi
serangan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu?
Dia sendiripun hanya sempat mem-pelajari ilmu itu
420

sebanyak lima atau enam bagian saja dan melihat


gerakan pendeta Lama itu, biarpun agaknya dia juga
belum menguasai ilmu itu sepenuhnya, namun
setidaknya sudah menguasai lima bagian dan hal ini saja
sudah cukup membuat dia lihai sekali. Bahkan Hui In
Sian-kouw juga tadi tidak mampu menandinginya.
"Heiiittt....! !" Bi Lan berteriak melengking dan
tubuhnya sudah mengelak dengap cepat dan mudah.
Tentu saja mudah baginya karena ia sudah menguasai
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, maka jurus
serangan yang amat dikenalnya itu tentu saja dengan
mudah dapat dihindarkannya. la tahu ke mana lawan
akan nienyerang dan bagaimana perkembangan
serangan selanjutnya. Serangan dari ilmu silat ini
memang beratai dan di sinilah terletak kehebatannya.
Begitu cengkeraman tangan kiri Goat Kong Lama tadi
luput, tangan kanannya sudah menyambung dengan
tamparan ke arah leher dan ini diikuti pula dengan
tendangan kedua kaki secara bergantian! Hebat
serangan beruntun ini, akan tetapi karena sudah hafal
maka Bi Lan mudah saja menghindarkan diri. la juga
bergerak dengan ilmu silat yang sama dan gerakantiya
juga berantal. Begitu menghindarkan diri dari tendangan
bertubl Itu, ia menyambung elakannya dengan serangan
balik. Tiba-tiba saja tangan kirinya membuat gerakan
memotong dengan tangan miring seperti orang
menggunakan golok menebang pohon ke arah kaki yang
meluncur lewat samping tubuhnya!
Goat Kong Lama terkejut sekali. Cepat dia menarik
kembali kakinya, akan tetapi Bi Lan sudah menyambung
serangannya dengan totokan ke arah dada dan serangan
inipun dlsambung dengan tendangan kaklnya yang
menyambar ke arah pusar. Goat Kong Lama menjadi
421

heran dan bingung dan terpaksa dia menibuang tubuh ke


belakang dan bergulingan dl atas tanah karena hanya itu
satu-satunya cara untuk mematahkan rangkaian
serangan gadls Itu. Dla melompat bangun dan berdlrl
dengan mata terbelalak memandang lawannya Itu.
Dalam segebrakan saja dia hampir kalah oleh gadis yang
Juga mempergunakan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat!
Sementara itu, Kui Peng Thaisu dan Hui In Siankouw saling pandang dengan terheran-heran. Gadis itu
memainkan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dengan
gerakan yang sempurnal Akan tetapi mereka tahu benar
bahwa tidak ada murid Kun-lun-pai, apa lagi yang begitu
muda, yang menguasai ilmu pusaka yang telah lama
hilang itu. Bahkan Kui Beng Thalsu sendlrl hanya
menguasai paling banyak enam bagian dan Hui In Siankouw paling banyak tiga baglan saja. Biauw In Su-thal
bahkan tidak pernah mempelajarinya. Akan tetapi Goat
Kong Lama menguasai ilmu itu dengan baik dan kini
gadis muda itu bahkan menguasainya lebih baik lagi!
Setelah tahu bahwa gadis muda yang dipandang
rendah itu ternyata dapat bersllat dengan ilmu Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat secara sempurna, Goat Kong Lama
maklum bahwa dia tidak akan menang kalau
menggunakan ilmu itu. Kalau ingin menang, dia harus
mempergunakan ilmunya sendiri dan dia ingin
mempermalukan gadis itu dengan menggunakan ilmu
sihirnya. Maka, mulutnya berkemak-kemlk dan sepasang
matanya sepertl mencorong menatap wajah Bi Lan.
Gadis Itu mendengar mantram yang dlucapkan lirih oleh
Goat Kong Lama. la tersenyum. Tentu saja ia mengenal
baik penggunaan sihir melalui pandang mata dan suara
itu. lapun diam-diam mengerah kan tenaga batin seperti
422

diajarkan gurunya, dengan berani membalas tatapan


mata Goat Kong Lama. Diam-diam pendeta Lama itu
terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu juga
mencorong dan berani menyambut sinar matanya yang
penuh kekuatan sihir, Bahkan sambil tersenyum!

JILID 12
Goat Kong Lama lalu mengembangkan kedua
lengannya, dan perlahan-lahan kedua tangannya
bergerak ke atas kepala dalam bentuk sembah,
kemudian didorongkan ke depan dan mulutnya
mengeluarkan dengungan aneh. Tiba-tiba ada angin
menyambar ke depan. Angin itu berpusing dan
menerjang Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan merangkap kedua
tangan depan dada seperti sembah, kedua matanya
terpejam. la membiarkan angin itu berpusing di sekitar
tubuhnya. Angln berpusing kuat dan membawa tanah
dan debu ke atas, akan tetapi tidak kuat mengangkat
tubuh
Bi
Lan.
Kini
perlahan-lahan
Bi
Lan
mengembangkan kedua tangannya dan mendorong ke
depan. Angin berpusing itu kini meninggalkannya dan
membalik menyerang Goat Kong Lama! Pendeta Lama
itu terkejut. Tubuhnya hamplr terpelanting oleh putaran
angln dan cepat dla menghentlkan sihirnya. Angin
berhentl dan wajah pendeta Lama Itu menjadl pucat.
Goat Kong Lama mengerahkan tenaganya dan
membentak dengan auara menggetar penuh wibawa.
"Han Bi Lan, berlututlah engkau"
Bi Lan juga mengerahkan tenaga ba-tin dalam
suaranya ketika ia berkata, "Siapa yang berlutut? Aku
423

ataukah engkau? Yang pasti engkau, Goat Kong Lama.


Hayo, berilah contoh!"
Goat Kong Lama terkejut karena tiba-tiba tanpa dapat
ditolaknya lagi, kedua lututnya menjadi lemas dan dia jatuh berlutut. Akan tetapi dia segera me-nyadari keadaan
yang tidak wajar ini dan cepat meloncat berdiri lagi.
Terdengar suara tawa dari para murid Kun-lun-pai yang
merasa senang melihat pendeta La-ma itu dipermainkan.
Sementara itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw
menjadi semakin heran. Mereka tahu bahwa dua orang
itu tadi mengadu kekuatan sihir. Siapakah gadis muda
yang selain menguasal Ngo-heng Llan-hoan Kun-hoat
juga memilikl llmu slhlr yang demlkian kuai inl?
Goat Kong Lama maklum bahwa dengan slhlrpun dia
tldak akan mampu mengalahkan gadls aneh ini. Maka
sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, dia segera
menerjang ke depan dan menyerang gadis itu dengan
cepat. Semua serangan dilakukan dengan kedua tangan
terbuka dan miring, seringkali gerakannya seperti orang
menyembah dan gerakan silatnya lemah lembnt, namun
setiap sambaran tangan yang menerjang meng-andung
tenaga yang kuat. Bi Lan segera mengenal ilmu silat
Kwan Im Sin-caang (Tangan Sakti Dewi Kwan Im) itu.
Untuk menyenangkan hati para pimpinan Kun-lun-pai, ia
tetap memainkan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat. Terjadilah pertandingan hebat dan seru. Tentu saja
pihak Bl Lan lebih untung. la mengenal dan hafal sekali
ilmu silat Kwan Im Sin-ciang yang diajarkan Jlt Kong
Lama kepadanya. Maka menghadapl serangan dengan
ilmu silat ini tentu saja ia sudah mengenal lika-liku dan
perkembangannya sehingga mudah menghindarkan diri.
Sebaliknya, Goat Kong Lama yang tidak menguasai Ngoheng Lian-hoan Kun-hoat sepenuhnya, hanya mengu424

asai setengahnya saja, menjadi repot menghadapi


desakan Bi Lan.
Beberapa kali kaki atau tangan gadis itu mengenai
sasaran, akan tetapi Goat Kong Lama melindungi dirinya
dengan ilmu kebal yang kuat sehingga dia tidak sampai
roboh. Selain itu, juga Bi Lan tidak menggunakan tenaga
sepenuhnya karena bagaimanapun juga, gadis ini tahu
bahwa lawannya adalah murid keponakan suhunya
sehingga masih terhitung saudara seperguruan sendiri.
Akan tetapi mellhat Goat Kong. Lattia belum juga
mau mengaku kalah walau-pun sudah beberapa kali
terkena tendangan atau tamparannya, Bi Lan menjadi
marah juga. Orang ini tak tahu diri, pikirnya dan perlu
diberi hajaran yang leblh keras.
"Haiiittt.... Ia menyerang dengan serangkaian
serangan dari Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang
sambung menyambung. Goat Kong Lama berusaha
untuk mempertahankan diri dengan tangkisan dan
elakan, akan tetapi karena Jurus yang dipergunakan Bi
Lan int meru-; pakan jurus-jurus llmu sllat yang belum
pernah dipelajarinya, maka dia menjadi bingung tidak
mengenal
perkembangannya
dan
tidak
dapat
menghindarkan diri lagt ketika kaki kiri gadis itu mencuat
dengan cepat dan kuat ke arah dada kanannya. Sekali ini
Bi Lan mengerahkan tenaga sln-kangnya.
"Desss,...!" Biarpun Goat Kong ama telah mellndungi
dirlnya dengan ilmu kebalan, namun tendangan itu terlalu
kuat menembus kekebalannya dan diapun terjengkiing
dan terbantlng jatuh. Dia merasa dada kanannya nyeri
dan ketika dirabanya, tahulah dia bahwa sebuah tulang
iganya patah.
425

Goat Kang Lama terkejut dan merasa penasaran


sekall. Menang kalah merupakan hal blasa dalam
pertandingan silat, akan tetapi dia merasa dipermalukan
dl depan semua anggauta Kunlun-pai yang berkumpul di
situ dan yang kini semua tersenyum gembira melihat
kemenangan Bi Lan. Dia meraba punggung-nya dan
sratt...! Tangan kanannya telah mencabut pedang.
Pada saat itu, Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw
melompat ke depan. "Siancai....! Goat Kong Lama,
pertandingan
ini bukan permusuhan, mengapa
menggunakan senjata? Kalau engkau menggunakan
senjata, terpaksa kami akan rnengusirmu dengan
kekerasan! Engkau jelas telah dikalahkan seorang murid
Kun-lun-pai, mengapa masih nekat? Han Bi Lan, sebagai
murid Kun-lun-pai, engkau kami minta untuk
menceritakan di mana adanya pendeta Lama yang dicari
Goat Kong Lama Itu agar tidak ada urusan lagi antara
Kun-lun-pal dan dla."
Bl Lan menghadapi Goat Kong Lama yang terpaksa
menyarungkan kemball pe-dangnya karena kalau sampai
para pimpinan Kun-lun-pai marah dan turun tangan, tak
mungkin dia akan dapat lolos. Baru melawan gadis itu
saja sudah berat sekali.
Goat Kong Lama. Kalau engkau merasa sebagai
orang gagah kenapa tldak memenuhi, Janjlmu tadl?
Engkau telah kalah dan engkau harus mohon ampun
kepada pimplnan Kun-lunpal. Setelah itu baru akan dapat
kuberitahu dimana adanya Jit Kong Lama.
Goat Kong Lama tidak dapat menyangkal lagl akan
kekalahannya tadi, maka dengan muka merah dia lala
menjatuhkan dirl berlutut menghadap Kui Beng Thaisu
426

dan berkata, "Kui Beng Thaisu, pinceng (aku) bersalah


dan minta maaf."
"Sudahlah, Goat Kong Lama. Kami tidak dapat
menerima penghormatah seperti ini. Semua itu hanya
kesalahpahaman belaka. Yang sudah biarlah berlalu.
Bangkitlahl" Ketua Kun-lunpai itu menggerakkan tangan
kanannya ke depan dan Goat Kong Lama merasa ada
angln amat kuat menyambar dan seolah mengangkatnya
sehlngga dia terpaksa bangklt berdiri. Dia terkejut sekali
dan menyesal bahwa tadl dia terlalu memandang rendah
orang. Ternyata ketua Kun-lun pai yang sudah tua inl
memillkl tenaga sakti yang luar biasa!
"Han Bl Lan, sekarang katakan dl mana adanya Jit
Kong Lama." katanya kepada Bi Lan, kini lenyaplah
sikapnya yang angkuh tadi.
"Dia sudah pergi ke barat, hendak kembali ke Tibet
dan menyerahkan diri kepada para pimpinan Lama di
sana." kata Bl Lan dan dalam suaranya terkandung
kesedihan mengenang gurunya yang disayangnya itu.
Pendeta Lama itu memandang kepadanya dengan
alis berkerut dan sinar matanya membayangkan ketidakpercayaannya. "Bagaimana aku dapat mempercayai
keterangan itu?"
"Engkau harus percaya
muridnya!" kata Bi Lan.

karena

aku

adalah

"Engkau.... engkau.... muridnya?" kata Goat Kong


Lama dengan mata ter-belalak. "Tapi.... engkau tadl
melawanku dengan Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat....!"

427

"Benar. Aku juga murid Kun-lun-pal. Akan tetapi Jit


Kong Lama juga guruku. Kau lihat ini!" kata gadl? itu dan
ia segera membuat gerakan silat dengan kedua tangan
miring seperti orang memuja.
"Kwan Im Sin-ciang (Tangari Sakti Dewi Kwan
Im)....!" seru Goat Kong Lama.
"Dan lihat ini!" Bi Lan memungut sebatang ranting
kayu lalu bersilat beberapa jurus dengan ranting kayu itu.
"Kim Bhok Sin-tung-hoat (Ilmu Tongkat Sakti Kayu
Emas)'." kembali Goat Kong Lama berseru. "Kau ........
kau benar muridnya!"
"Nah, percayakah engkau sekarang?'"
Suhu Jit Kong Lama sudah pularig ke Tibet untuk
menyerahkan diri, bertaubat dan menebus semua
dosanya. Pergilah!"
Goat Kong Lama mengangguk-angguk, mengangkat
kedua tangan depan dada, menghadapi pimpinan Kunlun-pai, membungkuk lalu berkata "Omitohud! Pinceng
mohon maaf dan mohon diri!" Setelah berkata demikian,
pendeta Lama itu memutar tubuhnya lalu berlari cepat
seperti terbang meninggalkan tempat itu.
Kini Bi Lan menghadapi Kui Beng Thaisu dan Hui In
Sian-kouw. Dua orang pimpinan Kunlun-pai itu menatap
wajah Bi Lan dengan penuh keheranan. Mereka merasa
penasaran sekali. Murid pendeta Lama Tibet dan
sekaligus juga murid Kun-lun-pai yang dibuktikannya
dengan kemahiran ilmu silat pusaka Kun-lun-pai! Banyak
pertanyaan yang memenuhi hati Kui Beng Thaisu.
428

Betapapun Juga, gadis ini telah membela nama Kun-lunpai dengan mengalahkan Goat Kong Lama tadi. Dan
untuk
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
yang
memenuhi hatinya, dia merasa tidak leluasa karena di
sltu berkumpul semua murid Kun-lun-pai. "Nona Han Bi
Lan, engkau tadi me-ngatakan bahwa engkau datang ini
untuk menghadap kami?" tanya ketua Kun-lun-pai itu.
"Benar, locianpwe." jawab
menghampiri buntalan pakaiannya.

Bi

Lan

sambil

"Kalau begitu, mari kita masuk dan bicara di dalam."


ajak ketua Kun-lun-pai itu. Bi Lan mengangguk dan ia
mengikuti Kui Beng Thaisu dan Hu in Sian-kouw
memasuki kuil.
Setelah mereka duduk dalam ruangan tengah yang
tertutup, Bi Lan meletakkan buntalan pakatannya di atas
meja. "Nah, sekarang janganlah membuat kami terlalu
lama keheranan dan menduga-duga, nona Han Bi Lan.
CeritaKanlah mengapa engkau datang ke Kun-lun-pai
dan hendak bertemu dengan kami?" tanya Kui Beng
Thaisu.
"Dan bagaimana pula engkau mengaku sebagai murid
Kun-lun-pai dan menguasai, Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat?" tanya pula. Hui In Sian-kouw.
Bi Lan tersenyum, akan tetapi menghela napas
panjang. "Panjang ceritanya dau sebelumnya saya harap
locianpwe pimpinan Kun-lun-pai suka memaafkan saya.
Saya sudah sebelas tahun lamanya ikut suhu Jit Kong
Lama yang mengasingkan diri di sebuah puncak Kun-lunsan, mempelajari ilmu-ilmu dari suhu. Beberapa hari yang
lalu, saya berpisah dari sUhu yang ingin kembali ke Tibet,
429

Tugas saya yang pertama adalah berkunjung ke Kun-lunpai, menghadap para pimplnan Kun-lun-pai. Akan tetapi
baru saja tiba di pekarangan kuil saya melihat Goat Kong
Lama, mendengar pembicaraannya dan melihat betapa
dia menantang bertanding kepada para pimpinan Kunlun-pai. Karena itulah maka saya memberanikan diri
menghadapinya untuk membela Kun-lun-pai karena saya
merasa sebagai kewajiban saya membe-la Kun-lun-pai."
"Tapi..,. engkau menguasai
kami...." kata Hui In Sian-kouw.

ilmu

si-lat

pusaka

Bi Lan tersenyum. "Terjadinya kurang lebih setahun


yang lalu. Pada suatu hari saya bertemu dengan seorang
pemuda sombong. Ketika melihat bahwa dia membawa
kitab-kitab kuno dalam buntalan pakaiannya, saya lalu
meminjam sebuah kitab tanpa dia ketahui."
"Siancai! Itu namanya mencuri!" se-ru Hui In Siankouw.
Bi Lan tersenyum manis memandang wajah pendeta
wanita itu dan matanya. bersinar-sinar nakal. "Saya
hanya ingin memberi pelajaran padanya agar dla ti-dak
sombong. Biar tahu rasa dia! Ketika saya melihat bahwa
kitab itu berisi pelajaran ilmu silat, saya tertarik sekall dan
saya mendengar darl suhu bahwa kltab Itu adalah kltab
pusaka mlllk Kun-lun-pal. Saya mengambll keputusan
untuk memlnjam kitab itu dan di bawah bimbingan dan
petunjuk suhu, saya mempelajari dan melatihnye selama
setahun. Karena saya memang merasa pinjam, maka
setelah selesai saya pelajari dan saya kuasai, begitu
berpisah dari suhu, saya langsung tnenghadap pimpinan
Kun-lun-pai untuk mehgembalikan Kitab Ngo-heng Lianhoan Kunhoat ini." la membuka buntalan pakaiannya
430

mengambil kitab itu dan menyerahkannya kepada Kui


Beng Thaisu.
Kui Beng Thaisu menerima kitab itu memeriksanya
sebentar dan dia mengangguk-angguk, "Sian-cai....!
Memang inilah kitab kaml yang hilang puluhan tahun yang
lalu itu. Nona Han Bi Lan, pemuda yang kaumaksudkan
itu adalah murid dari Tiong Lee Cin-jin yang bermaksud
mengembalikan kitab itu kepada kami. Dia melaporkan
bahwa kitab itu hilang dalam perjalanan. Kiranya engkau
yang mengambllnya."
"Saya memlnjamnya, locianpwe, dan harl Inl saya
kembalikan. Harap Locian-pwe suka memaafkan saya."
"Kaml memaafkanmu, nona. Bagaimanapun juga,
engkau sudah berani membela Kun-lun-pai dengan
taruhan nyawa dan mengaku sebagai murid Kun-lun-pai.
Kalau engkau murid Kunlun-pai, maka mempelajari Ngoheng Lian-hoan Kun-hoat tentu tidak bersalah karena
tingkat kepandaianmu juga sudah memadai. Karena itu,
engkau baru sah kami terima sebagai murid Kun-lun-pai
kalau engkau mengakui pinto (aku) sebagai guru dan. ini
adalah Hui In Siankouw, sumoiku yang menjadi ketua
kun-lun-pai bagian wanita, jadi ia juga gurumu."
Bi Lan mengerti apa yang dirnaksudkan kakek itu,
maka iapun segera berlutut memberi hormat kepada
kedua orang tua itu, memberi hormat kepada Kui Beng
Thaisu dan menyebut "suhu" lalu kepada Hui In Siankouw dengan menyebut "subo (ibu guru)". Hui In Siankouw menyentuh kedua pundak Bi Lan dan pienyuruhnya
bangkit dan duduk kembali.
Setelah kedua orang ketua Kun-lun-pai ini menerima
431

Bi Lan sebagai murid Kun-lun-pai, gadis itu lalu


diperkenalKan kepada semua murid Kun-lun-pai. Semua
murid merasa girang dan kagum mempunyai saudara
seperguruan yang demikian lihai. Hui In Sian-kouw tidak
lupa untuk rnemperkenalkan Bi Lan kepada Biauw In
Suthai yang masih menjalani hukuman dalam Pondok
Pengasingan. Pendeta wanita ini ketika diberitahu
tentang Han Bi Lan yang telah membela Kun-lun-pai dan
kini diakui sebagai murid yang sah dari Kun-lun-pai, mau
menerima Bl Lan berkunjung kepadanya di Pondok
Pengasingan.
Bi Lan memasuki pondok yang sepi itu dan segera
berlutut menghadap pendeta wanlta yang juga duduk dl
atas lantai sambil bersila itu. Bi Lah sudah mendengar
tentang Biauw In Su-thal yang menjalani hukuman dan ia
merasa kasihan kepada pendeta wanlta yang masih
tampak berwajah manls itu. Baru mengaslngkan dlrl
selama setahun saja wajah Biauw In Suthai sudah
berubah, tidak ada garis-garls yang menunjukkan
kekerasan hatlnya lagl pada wajahnya.
"Bibi guru ........ 1" Bi Lan menegur ragu.
Blauw In Suthal membuka mata, memandang kepada
Bi Lan dan ia tersenyum kagum. "Ah, engkau cantik jelita
dan lincah sekali! Engkau yang bernama Han Bi Lan dan
yang telah membela Kun-lun-pai dan mengalahkan
pendeta Lama yang amat lihai? Setelah berkunjung ke
sini dan mengembalikan kitab engkau lalu hendak pergl
ke mana, Bi Lan?"
"Saya akan melanjutkan perjalanan saya, bibi guru.
Saya akan kembali ke rumah orang tua saya di Liang-an
(Hang-chouw)."
432

"Ah, ke kota raja kerajaan Lam Sung (Sung Selatan)?


Jauh sekali. Bi Lan, engkau adalah murid Kun-lun-pai
yang telah menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat,
berarti tlngkat kepandaianmu sudah tinggi sekali. Aku
ingin minta bantuanmu, maukah engkau menolongku, Bi
Lan?"
Bi Lan merasa heran sekali. Bantuan apa yang
dibutuhkan pendeta wanita ini? la hanya mendapat
keterangan dari para murid Kun-lun-pai dan juga dari Hui
In Sian-kouw bahwa Biauw In Suthai ini sedang
merijalani hukuman dan diharuskan tinggal di Pondok
Pengasingan untuk bersamadhi dan bertaubat. Kini wanita
yang sudah menjalani hukuman selama setahun itu ingin
minta pertolongannya!'
"Bibi guru, tentu saja saya suka me-nolongmu, asal
saja tidak melanggar peraturan Kun-lunpai dan tidak
berlawanan dengan hati nurani saya sendiri." jawabnya
hati-hati. Biauw In Suthai mengangguk-angguk.
"Bagus sekali. Memang demikianlah seharusnya
seorang pendekar dan murid Kun-lun-pai yang baik.
Tidak seperti aku dahulu yang hanya menurutkan gejolak
perasaan hati sendiri. Kekerasan hatiku membuat dua
orang murid yang kusayangi sekarang Ini, pergi mencarl
seseorang untuk membunuhnya dan aku mlnta
bantuanmu, yaitu apabila dalam perjalananmu engkau
menjumpai mereka, sampaikanlah pesanku bahwa
peraturan pernikahan itu sekarang sudah kubatalkan dan
katakan agar mereka berdua tidak lagi berusaha
membunuh laki-laki itu"
Bl Lan mendengarkan dengan heran. "Bibi guru,
apakah bibi guru tldak mau memberi penjelasan kepada
433

saya agar saya mengerti duduknya perkara? Siapakah


kedua orang murid bibi guru itu dan siapa pula laki-laki
yang hendak mereka bunuh itu? Mengapa pula hendak
mereka bunuh?"
Biauw In Suthai menghela napas panjang. "Baiklah,
akan kujelaskan, Bi Lan. Setahun yang lalu, muridku Kim
Lan dalam pertandingan silat dikalahkan seorang pemuda.
Sudah 'menjadi peraturanku ketika itu bahwa muridku
yapg kalah oleh seorang pria harus menjadi isterinya.
Kalau pria itu menolaknya, maka muridku harus
membunuh prla itu. Kiiri Lan kalah dan pria itu menolak
menjadi .suaminya, maka Kim Lan lalu pergi untuk
mencari pemuda itu dan membunuhnya. Ai Yin, muridku
yang kedua, ikut pergi bersama sucinya (kakak
seperguruannya). Pemuda itu bernama Souw Thian
Liong, murid Tiong Lee Cin-jin."
"Murid Tiong Lee Cin-jin? Bibi maksudkan, peniuda
itu yang tadinya membawa kitab untuk diserahkan
kepada pimpinan Kun-lun-pai?" Bi Lan teringat akan
Souw Thian Liong yang tadinya belum ia ketahui
namanya.
"Benar, Bi Lan. Dialah orangnya yang telah
mengalahkan Kim Lan akan tetapi tidak mau menjadi
suaminya."
"Tapi ........ tapi, bibi! Bagaimarta ada aturan seperti
itu? Kalau kalah harus menjadi isteri orang yang
mengatahkan dan kalau pria itu menolak atau dibunuh?
Aneh sekali peraturan itu bibi. Maafkan saya, akan tetapi
bagaimana mungkin perjodohan dapat dipaksakan sepertl
Itu?" kata Bi Lan sambil menahan tawa karena hatinya
merasa geli. Peraturan itu dianggapnya konyol.
434

Biauw In Suthai menghela napas panjang. "Sekarang


akupun dapat melihat betapa bodohnya peraturan yang
kubuat menurutkan perasaan hari itu. Karena itu, suheng
menegurku dan menyuruhku bertaubat di sini selama tiga
tahun. Aku menyesal, maka tolonglah aku, Bi Lan. Kalau
engkau bertemu dengan Kim Lan dan Ai Yin, cegah
mereka membunuh Souw Thian Liong dan katakan
bahwa peraturanku itu sudah kucabut."
Bi Lan mengangguk. "Baiklah, bibi. Mudah-mudahan
saya akan dapat bertemu dengan mereka."
Setelah meninggalkan Pondok Penga-singan itu, Bi
Lan tak dapat menahan rasa geli hatinya dan ia tertawa
sendiri. Peraturan yang aneh! Dalam pertanding-an
sudah dikalahkan pemuda itu, bagai-^inana dapat
membunuhnya? Hemm, jadi pemuda itu bernama Souw
Thian Liong, .murid Tiong Lee Cin-jin? Ilmu silatnya
memang hebat dan ia sudah menyaksi-kannya sendiri
ketika pemuda itu meno-. long para saudagar yang
diganggu 'pe-rampok-perampok llhai.
Setelah tinggal dl Kun-lun-pai selama dua harl, Bi Lan
lalu berpamlt untuk melanjutkan perjalanannya. la Ingin
menjenguk ayah Ibunya dl kota raja dan hatinya
berbahagia sekali membayangkan ia akan bertemu dan
berkumpul kenbali dengan orang tuanya. Tentu selama
ini
orang
tuanya
amat
mengkhawatirkan
keselamatannya. la membayangkan betapa akan
gembiranya hati ayah ibunya kalau bertemu dengannya.
Dan iapun akad mencari Ouw Kan yang telah membunuh
Lu Ma, pelayan tua yang setia dan yang menurut ibunya
masih bibi ibunya sendirl dan yang amat mencintanya. la
rnasih ingat bahwa ayah ibunya adalah orangorang
gagah
yang
memimpin
pasukan
dan
ketlka
435

menlnggalkannya, mereka berangkat untuk perang


membantu pasukan besar Jenderal Gak Hui. lapun teringat bahwa ia pesan kepada ayahnya untuk membawa
oleh-oleh sebatang pedang bengkok yang biasa dipakai
perwira Kerajaan Kin. Bi Lan tersenyum kalau ingat akan
hal ini. Apakah kini ayahnya sudah membawakan oleholeh itu dan maslh menyimpannya?
***
"Tidak, ayah ........ tidak ........ aku tidak percaya!"
Gadis itu menangis sesenggukan. la adalah Kwee Bi
Hwa, berusia kurang lebih sernbilan belas tahun. Gadis
ini hlemiliki wajah yang manis sekali, kecantikan yang
khas, tidak seperti perempuan bangsa Han lainnya.
KeJelitaannya terasa asing. Memang sesungguhnya, ada
kecantikan suku Mancu dalam dirinya. "Ayahnya, Kwee
Buh To, adalah seorang peranakan Mancu yang menjadi
guru silat dari perguruan silat Pek-eng Bukoan
(Perguruan Silat Garuda Putih) dan tlnggal d! daerah
utara. Isteri Kwee Bun To Juga seorang wanita Mancu,
maka tldak mengherankan kalau kecantikan yang dimiliki
Kwee B Hwa adalah kecantlkan peranakan Han dan
Mancu. Ketlka bangsa Yu-cen nenguasai daerah utara
dan mendirikan dinasti Kin, Kwee Bun To melarikan diri,
membawa istri dan seorang anaknya. Akan tetapi
isterinya mati dalam perjalanan dan akhirnya dia tlnggal
dl pegunungan dekat Siauw-Lim-pai.
Seperti telah dlceritakan di bagian depan, pada suatu
malam seseorang me" tnasuki kamar Bi Hwa,
menotoknya dan memperkosanya. Kwee Bun To marah
sekall dan menyerbu Siauwlim-sl karena merasa yakin
bahwa pelakunya adalah murid Siauw-lim-pai. Akan
tetapi kemudian ternyata bahwa pelakunya yang berhasil
436

ditangkap Cia Song, murid Siauw-lini-pai yang llhai itu,


adalah seorang kepala perampok dan pemerkosa itu
kemudian dibunuh Cia Song. Dengan hati sedih Kwee
Bun To pulang dan menceritakan hal itu kepada puterinya.
Bi Hwa menyambut cerita ayahnya itu dengan tangis.
Kwee Bun To memandang puterinya dan menghela
napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada puterinya
yang tersayang. Puterlnya adalah satu-satunya orang
yang dia miliki di dunla ini, satu-satunya orang yang paling
dekat dengan hatinya. Dla mau berkorban apa saja, kalau
perlu nyawanya, untuk puterinya.
"Bi Hwa, percayalah, akupun menyesal bukan main.
Tadinya aku bermaksud minta pertanggungan lawab
Giam Ti dan ia harus menikahimu untuk mencucl aib.
Akan tetapi murid Siauw-lim-pai Itu terlanjur turun tangan
membunuhnya.
Bl
Hwa
sudah
menguatkan
hatlnya
dan
menghentlkan tanglsnya, la meng-angkat mukanya yang
agak pucat dan sepaaang matanya yang merah karena?
tangls. "Ayah, aku sukar dapat percaya bahwa pelakunya
adalah seorang kepala perampok. Bagaimana dia beranl
mengganggu keluarga ayah?"
"Anakku,
bagaimana
aku
tldak
akan
mempercayanya? Ketika dia ditangkap Cia Song murid
Siauw-lim-pai itu dan dihadapkan padaku, penjahat itu
telah mengaku sendlri. Dan Ingat, dia bukan kepala
perampok biasa. Dia menJadl kepala gerombolan yang
bersarang di Buklt Angsa tak jauh dari sini. Julukannyai
Hui-houw-ong (Raja Harimau Terbang) sedikitnya
menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi
juga."
437

"Aku masih merasa penasaran, ayah. Orang itu


sangat lihai. Ketika memasuki kamarku, sama sekali aku
tidak mendengar apa-apa. Hal inl menunjukkan dia tentu
memiliki gin-kang (ilmu me-ringankan tubuh) yang
sempurna. Paria hal, aku biasanya peka sekali, sedikit
saja suara mencurigakan sudah cukup untuk
membangunkan aku. Dan totokannya itu! Benar-benar
melumpuhkan seluruh tubuhku. Bukan main lihainya'."
"Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu penasaran lagi.
Bagaimanapun juga, pelakunya sudah mengaku dan
sudah terhukum mati. Aku merasa lelah sekali lahir batin,
periu mengaso." kata Kwee Bun To sambil memasuki
kamarnya.
Bi Hwa. masih duduk termenung. Ia merasa menyesal
sekali, dan
kecewa
mendengar bahwa yang
memperkosanya dahulu adalah seorang kepala
perampok, seorang penjahat. Kalau saja pelakunya itu
seotang murid Siauw-lim-pai, seorang pendekar seperti
yang disangkanya semula, tentu ia tidak akan merasa
sehina itu. Akan tetapi seorang kepala perampok?
Andaikata penjahat Itu tertangkap hldup-hldup pun ia
tidak akan sudi menjadl isteri seorang kepala perampoki
Akan tetapi hatinya masih belum puas.
la masih penasaran sekali. la masih ingat benar. Pria
yang memperkosanya malam itu, walaupun dalam
keadaan gelap dan ia sama sekali tidak dapat melihat
wajahnya, namun tidak mungkin laki-laki Itu seorang
penjahat yang kasar dan kejam. Biarpun tidak
mengucapkan sepatahpun kata, biarpun la tldak dapat
melihat orangnya, namun lakl-lakl itu demlkian lemah
lembut! Tidak mungkin dia seorang kepala perampok,
seorang penjahat yang kasar dan kejam!
438

la harus menyelidikinya sendiri! Ayahnya kadang


terlalu keras, lebih banyak penggunakan tenaga daripada
akal. Timbullah semangat Bi Hwa dan pada keesokan
harinya, Kwee Bun To mendapatkan kamar anakpya
kosong dan hanya menemukan sepucuk surat tulisan
tangan anaknya yang ditujukan kepadanya.
Ayah,
Saya pergi merantau untuk menghibur hati yang
gundah. Harap ayah Jangan mencari saya karena saya
tidak akan pulang sebelum kedukaan ini lenyap.
Kalau sudah tiba saatnya saya pasti pulang;
Anak:
Kwee Bi Hwa.
Pada saat Itu muncul keinginan Kwee Bun To untuk
mengejar anaknya, dan mencegahnya pergi. Dia sudah
melompat keluar kamar dan hendak lari mengejar keluar
rumah, Akan tetapi setibanya di luar rumah, dia berhenti
dan sekali lagi dibacanya surat anaknya. Dia
menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang,
lalu menyimpan surat itu dan masuk kembali ke dalam
rumah. Tidak dia tidak akan melakukan pengejaran. Dia
mengenal baik puterinya itu. Di balik kelembutannya,
anak itu mempunyai hati yang keras, tekad yang bulat
seperti yang dimiliki kaum wanita suku Mancui pada
umumnya. Anaknya sudah mengambil keputusan untuk
pergi merantau dan ia tidak akan mau dicegah, tidak
akan dapat dilarang ataupun dibujuk. Apa lagi anaknya
itu bukan seorang wanita lemah. Sejak kecil sudah
belajar dan berlatih silat dengan baik dan termasuk
439

seorang yang berbakat. Anaknya tidak akan mudah


diganggu orang jahat. la pandai menjaga dan membela
diri. Hal itu tidak perlu dia khawatirkan. Dia ha-nya
merasa sedih harus berpisah dari puterinya. Akan tetapi
dia maklum bahwa kalau dia menghalangi niat puterinya,
hal itu akan membuat Bi Hwa marah dan berduka. Maka,
dengan hati berat ayah ini mengambil keput.usan untuk
rnenanti saja di situ sampai puterinya pulang.
Pada keesokan harinya, Kwee Bi Hwa berjalan
seorang diri mendaki lereng dekat puncak Bukit Angsa.
Tidak sukar ba-ginya untuk menemukan bukit ini yang
tidak berada terlalu jauh dari tempat tinggalnya yang
berada di bukit lain dari pegunungan itu. Bukit Angsa itu
dard jauh sudah tampak. Blarpun tlngginya ti-dak banyak
bedanya dengan buklt-buklt lain yang memenuhl daerah
pegunungan iltu, namun Bukit Angsa mempunyai cirl
yang khas, yaitu bentuk puncaknya. Puncak bukit
dengan pohon-pohon besar itu, tampak dari jauh
membentuk seekor angsa!
Setelah Bl Hwa tiba dl dekat puncak tlba-tlba
berkelebatan bayangan belasan orang dan dia sudah
dik-epung oleh orang-orang yang tampak bengis
menyeramkan. Mereka aemua membawa sebaiang golok
dengan tangan kanan. Dl baju mereka baglan dada
terdapat luklsan seekor harimau terbang! Tahulah Bi Hwa
ia berhadapan dengan gerombolan yang dipimpin oleh
Hui-houw-ong Giam Ti, pemlmpin Gerombolan Harimau
Terbang. Seorang di antara mereka, yang agaknya
menjadl pemimpin, ketika melihat sebatang ipedang
tergantung dl punggung gadis manis itu. bersikap hatihati dan dia melangkah maju menghadapi Bi Hwa dan
bertanya.

440

"Nona, siapakah engkau dan apa kehendakmu datang


dan melanggar daerah kekuasaan kami?"
"Tidak perlu kalian tahu siapa aku. Aku sengaja
datang ke sini hendak mencari keterangan tentang
seorang yang bernama Hui-houw-ong Giam Tl." kata Bi
Hwa.
Mendengar jawaban ini, orang-orang itu tampak
terkejut dan marah. Mereka mengepung ketat dan siap
dengan golok mereka.
"la mata-mata musuhi"
"Bunuh ia untuk menyembahyangi arwah Giam Toako!"
Lima belas orang itu serentak menyerbu. Bi Hwa dari
segala jurusan. Bi Hwa menggerakkan tangan kanannya
dan tampak sinar berkilat ketika ia mencabut pedang.
Kemudian sinar pedangnya bergulung-gulung ketlka ia
menyambut serangan,mereka. Sinar pedang itu
menyambar-nyambar . dilkuti tamparan tangan kirl dan
tendangan kaklnya. Terdengar terlakan para pengeroyok
dan merekapun roboh berpelantingan, terkena tamparan
atau tendangan, sedangkan golok mereka patah dan
terpental ketika bertemu sinar pedang. Lima belas orang
itu terkejut bukan main dah mereka menjadi ketakutan lalu
melarikan diri pontang panttng ke arah puncak.
Bi Hwa melakukan pengejaran ke puncak Bukit
Angsa. Di puncak la menemukan sarang gerombolan
yang merupakan sebuah perkampungan dengan rumahrumah kayu sederhana.' Ketika ia memasuki
perkampungan itu, di situ tampak sepi. Semua-pondok
441

tertutup pintu dan jendelanya. Akan tetapi ia maklum


bahwa para anggauta gerombolan itu masih berada di
situ, bersembuyi dalam rumah-rumah yang tertutup.
Bi Hwa mellhat sebuah rumah yang paling besar di
antara rumah-rumah lain. la menghampiri rumah besar
itu, berdirl di depannya lalu berseru sambll mengerahkan
sin-kangnya sehlngga suaranya terdengar melengklng
nyarlng dan menggetar dl seluruh perkampungan itu.
"Hel, semua anggauta gerombolan Macan Terbang,
keluarlah
Aku tidak Ingin
mencelakai
kalian.
Kedatanganku hanya ingin minta keterangan dari kalian!
Hayo keluar, kalau tidak aku akan marah dan akan
kubakar seluruh perkampungan ini!"
Gertakannya berhasil. Rumah-rumah mulai membuka
pintunya dan bermunculanlah para anggauta gerombolan
yang tadi mengeroyoknya dan bersama mereka keluar
pula wanitawanita dan kanak-kanak, yaitu keluarga
mereka. Setelah pemimpin mereka menjatuhkan diri
berlutut, semuanya lalu berlutut bersama keluarga
mereka. Jumlah para anggauta gerombolan itu sebanyak
dua puluh orang lebih dan keluarga mereka lebih banyak
lagi.
"Li-hiap (pendekar wantta), ampunkan kami...." kata
pemimpin gerombolarr itu. Bi Hwa memperhatikan
seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh
llma tahun yang menuntun seorang anak perempuan
berusia sekitar empat tahun keluar dari rumah besar,
diikuti beberapa orang wanita berpakaian. pelayan.
Wanita inipun mengajak anaknya menjatuhkan diri
berlutut.

442

"Aku tidak akan mencelakai kalian asalkan kalian


mau memberitahu padaku dengan sejujurnya tentang
Hui-houw-ong Giam Ti. Siapa di antara kalian yang dapat
memberi keterangan yang lengkap tentang dia?
"Saya dapat, lihiap. Saya Giam Kui, adik kandung
kakak Giam Ti." kata laki-laki berusia dua puluh tujuh
tahun yang tadi bersikap sebagai pimpinan gerombolan
itu.
"Saya juga bisa, lihiap. Saya adalah isteri Hui-houwong Giam Ti." kata wanita cantik tadi dengan suara
lembut.
"Baik, kalian berdua boleh menjawab semua
pertanyaanku dengan sejujurnya. Dan yang lain
bubarlah, lakukan pekerjaan kalian masing-masing."
Semua anggauta gerombolan tampak lega dan
mereka lalu bubaran. Isteri Giam Ti bangkit dan berkata,
"Li-hiap, mari silakan masuk rumah agar kita lebih
leluasa bicara."
Bl Hwa mengangguk dan ia laiu diiringkan Nyonya
Giam Ti yang memondong anaknya, dan Giam Kui. Para
pelayan terus masuk ke belakang untuk mempersiapkan
minuman, sedangkan Bi Hwa dipersilakan duduk di
ruangan depan.
"Sekarang katakan, di mana adanya Hui-houw-ong
Giam Ti?" tanya Bi Hwa sebagai pancingan.
Isteri dan adik mendiang Giam Ti itu tampak terkejut
dan saling pandang dengan heran.

443

"Akan tetapi ........ lihiap.... dia sudah mati...." kata


Nyonya Giam Ti dengan suara terisak. Apa yang telah
terjadi dengan dia? Coba ceritakan dengan sejelasnya
Jangan berbohong!"
Nyonya Giarii Ti menoleh kepada adik iparnya dan
berkata, "Adik Giam Kui, engkau yang lebih tahu duduk
persoalannya. Engkau ceritakanlah kepada lihiap." Giam
Kui mengangguk lalu berkata.
"Kejadian itu baru beberapa hari yang , lalu, lihiap.
Seorang pemuda yang amat lihai datang ke
perkampungan kami ini dan dia mengamuk, merobohkan
kami semua, termasuk kakak saya Giam Ti. Kemudian
dia memaksa kakak saya untuk ikUt dengannya dan
melaksanakan semua perintahnya dengan ancaman
bahwa kalau kakak saya tidak mau menurut, dia bukan
saja akan membunuh kakak Giam Ti, akan tetapi dia juga
akan menyiksa dan membunuh kakak ipar ini dan
anaknya. Karena tidak mampu melawan dan takut akan
ancaman itu, kakak Giam Ti pergi dengan dia." Giam Kui
menghentikan ceritanya dan memandang wajah Bi Hwa
seolah dia sebetulnya tidak perlu bercerita karena gadis
perkasa di depannya itu tentu telah mengetahui semua
peritiwa itu.
"Hemm, begitukah? Tahukah engkau siapa nama
pemuda itu?" tanya Bi Hwa. Dua orang itu saling pandang
lagi dan menggeleng kepala.
"Kami semua tidak ada yang tahu siapa dia, li-hiap.
Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah sikap dan
gerak geriknya halus, akan tetapi dia lihai bukan main.
Usianya sekitar dua putuh. lima tahun." kata Giam Kui.

444

"Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Bi Hwa.


"Kakak saya tidak pulang malam itu dan pada
keesokan harinya, ada utusan dari Siauw-lim-si yang
mengabarkan bahwa kakak saya telah tewas dan kami
disuruh mengambil jenazahnya yang telar berada di luar
kuil." kata Giam Kui dan kakak iparnya menangis terisak.
"Sekarang katakan, bagaimanakah tingkat ilmu silat
Giam Ti itu? Apakah dia lihai sekali? Apakah tingkatnya
jauh lebih tinggi dibandingkan tingkatmu?" tanya Bi Hwa
kepada Giarn Kui.
Li-hiap, dia adalah kakak saya dan juga kakak
seperguruan saya. Memang tingkat kepandaiannya lebih
tinggi dari pada tingkat saya, akan tetapi tidak jauh
selisihnya."
Mendengar ini Bi Bwa mengerutkan alisnya. Tingkat
ilmu silat Giam Kui ini tidak berapa tinggi, dalam dua tiga
gebrakan saja roboh olehnya. Kalau tingkat kepandaian
Giam Ti hanya sedikit lebih tinggi dari adiknya ini, tidak
mungkin di malam itu mampu memasuki kamarnya tanpa
terdengar dan dapat menotoknya.
"Jawablah sejujurnya, apakah lebih sebulan yang lalu
dia pernah menyerbu rumah Kwee Bun To yang berada di
puncak bukit sana itu? Pada malam hari dia melakukan
penyerbuan itu?"
Giam Kui mengerutkan alisnya dan menggeleng
kepalanya. "Ah, tidak sama sekali, lihiap. Terus terang
saja, walaupun kami suka melakukan pekerjaan
merampok, namun kami tidak pernah menggapggu
penduduk sekitar pegunungan ini. Kami takut kepada
445

Siauw-lim-pai dan kami hanya minta sumbangan dari


orang-orang luar yang kebetulan lewat di daerah ini."
"Hemm,! pertanyaan terakhir dan kuharap kallan
menjawab dengan terus terang karena Jawaban ini
penting bagi penyelidikanku. Apakah Glam Tl seorang
laki-laki yang mata keranjang dan suka mengganggu
wanlta?"
"Ah, sama sekall tidak" Nyonya Glam Ti tiba-tiba
berterlak. "Mendiang suamlku adalah seorang suaml
yang baik. Dia amat mencinta saya dan mencinta anak
kami!"
Bi Hwa merasa sudah cukup mendapatkan
keterangan yang memuaskan hatinya. la bangkit berdiri
dan berkata kepada Giam Kui. "Nah, cukuplah
keterangan kalian. Terima kasih dan aku berpesan
kepada semua ahggauta gerombol-an ini untuk
mengubah cara hidup dan cara kerja kalian. Hentikanlah
pekerjaan kalian merampok itu. Giam Kui, engkau
pimpinlah anak buahmu untuk bekerja sebagai petani
dengan rajin. Kulihat bukit ini memiliki tanah yang amat
subur. Kalau kalian rajin dan tekun, bertani di sini tentu
akan mendatangkan hasil yang cukup baik. Juga
terdapat banyak binatang buruan dalam hutan-hutan di
pegunungan ini. Kalian dapat juga menjadi pemburu
binatang. Kulit dan daglngnya dapat kalian jual. Jangan
melakukan kejahatan lagi karena kalau kalian masih tidak
mau mengubah jalan hidup kalian, pada suatu hari tentu
akan muncul pendekar yang membasmi kalian. Bahkan
aku sendlrl kalau kelak mendapatkan kalian masih
menjadi gerombolan perampok, tentu takkan tlnggal diam
dan takkan memberi ampun."

446

"Baik, lihlap, kami akan mentaati pesan lihiap." kata


Giam Kui yang memang sudah merasa jerih melihat
kematian kakaknya.
Bi Hwa meninggalkan Buklt Angsa dengan hatl puas.
Yakinlah kini hatinya bahwa yang memperkosanya dahulu
Itu jelas bukan Hul-houw Giam Tl.
Sambil berjalan menuruni bukit itu Bi Hwa termenung.
Akan tetapi mengapa Giam Ti mengaku di depan
ayahnya bahwa dia yang melakukan pemerkosaan itu?
pan mengapa murid Siauw-lim-pai itu menangkapnya?
Kemudian malah membunuhnya? Tidak salah lagi,
pikirnya. Pasti ada rahasia di balik peristiwa ini dan satusatunya orang yang patut dicurigainya adalah murid
Siauw-lim-pai itu. la sudah melihat pemuda itu. Pemuda
yang tampan dan halus budinya. Dan menurut ayahnya,
pemuda itu yang bernarna Cia Song, memiliki tingkat
ilmu silat amat tinggi!
Bi Hwa mengepal kedua tangannya. Tak salah lagi!
Tentu Cia Song itulah pelakunya! Ketika ayahnya
menuntut ke Siauw-lim-pai, Cia Song berjanji kepada
ayahnya untuk dalam waktu sebulan menangkap pelaku
pemerkosaan itu. Cia Song juga datang ke rumahnya
untuk mendengar sendiri keterangan dari mulutnya.
Semua itu hanya untuk mengelabuhi ayahnya saja.
Tentu pemuda itu menangkap Giam Ti dan memaksa
kepala gerombolan itu untuk mengaku bahwa dialah
pelakunya. Agaknya Giam Ti terpaksa membuat
pengakuan palsu karena takut kalau-kalau isteri dan
anaknya dibunuh seperti yang diancamkan Cia Song
ketika datang dan menangkapnya. Setelah Giam Ti
terpaksa mengakui perbuatannya yang sebenarnya tidak
dilakukan-nya untuk melindungi isteri dan anaknya, Cia
447

Song lalu membunuhnya agar rahasianya tidak ada yang


rnengetahui dan membocorkannya.
"Pasti begitulah yang telah terjadi'" desis mulut Bi
Hwa dan ia. mengepal lagi tangan kanannya. "Cia Sohg,
engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu.
Aku akan mencarimu dan sampai mati aku tidak akan
berhenti mencarimu sampai aku dapat bertemu denganmu!" Setelahimengambilkeputusan ini dalam hatinya, Bi
Hwa lalu melanjutkannya berlari cepat, dan kedua
matanya menjadi basah.
***
Bi Lan memasuki kota raja Lin-an yang merupakan
ibu kota Kerajaan Sung Selatan dengan berjalan
perlahan-lahan. la tidak mengacuhkan pandang mata para pria di jalanan yang ditujukan kepadanya karena hal
itu sudah biasa baginya. Semenjak berpisah dari Jit Kong
Lama dan turun gunung, di setiap kota dan dusun yang
dilewatinya, ia selalu melihat mata para pria yang
memandang kepadanya dengan kagum.- Ia tidak
memperdulikan lagi pandang mata mereka itu karena ia
sendiri sedang asik terkagum-kagum melihat bangunanbangunan besa? di kota raja Lin-an. Ketika ia
menlnggalkan kota raja, dilarikan oleh kakek Ouw Kan
yang menculiknya, ia baru berusia tujuh tahun. Selama
lebih dari sebelas tahun la meninggalkan kota ini, dan
sekarang ia memasuki kota ini dengan rasa kagum brkan
main. Segalanya sudah berubah. Bangunan-bangunan
besar dan indah. Taman-taman yang luas. Toko-toko
penuh
bermacam-macam
barang.
rumah-rumah
penginapan dan rumah-rumah makan. la menjadi
bingung dan tidak mengenal jalan. la sudah lupa di mana
letak rumah orang tuanya! "
448

Kemudian ia teringat. Rumah orang tuanya berada di


sebelah barat istana raja. Tidak begitu jauh dari istana,
sekitar satu kilometer saja jauhnya. Teringat akan ini, ia
lalu mencari istana kaisar. Dengan bertanya-tanya,
mudah saja.! ia menemukan bangunan-bangunan megah
istana itu. Dari sini diambilnya jalan yang menuju ke
barat. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, ia menjadi
bingung lagi karena rumah-rumah di situ sudah banyak
berubah ia tak dapat mengenal lagi yang mana rumah
orang tuanya. Hatinya yang tadinya semakin tegang
setelah ia mengambil jalan inl, berubah menjadi bingung.
Yang mana rumah orang tuanya?
la berhenti di depan sebuah rumah besar yang
tampaknya baru. Pekarangan rumah itu mirip dengan
pekarangan rumah orang tuanya dahulu. Dan bentuk
rumahnya juga sama, hanya yang ini tampak baru. Ah,
tak salah lagi. Inilah ru-mah orang tuanya. Pohon tua di
sebelah kiri itu, di mana ia sering bermain, masih ada.
Dengan hati gembira penuh harapan Bi Lan memasuki
pekarangan itu. Karena hatinya tegang dan pandang
matanya ditujukan penuh perhatian ke arah bangunan, ia
tidak tahu bahwa sejak tadi beberapa pasang mata
menatap dan mengikuti gerak-geriknya dari sebuah
gardu penjagaan yang terdapati di peka-rangan itu.
Bi Lan melangkah masuk. "Hei, nona! Berhenti!"
terdengar bentakan dan tiba-tiba dari sebelah kanannya
muncul litna orang berpakaian perajurit yarig membawa
tombak, langsung mereka itu berdiri .menghadang di
depannya, memandang dengan sikap keren akan tetapi
mulut mereka menyeringai secara kurang ajar.
Bi Lan memandang mereka dengan heran. Dahulu,
449

rumah orang tuanya tidak dijaga oleh perajurit, maka ia


menjadi ragu lagi apakah ia memasuki pekarangan
rumah, yang kellru.
Seorang perajurit jangkung dan agak-pya menjadi
kepala penjaga, mengamati wajah dan tubuh Bi Lan
dengan pandang mata "lapar", kemudian bertanya
dengan suara keren. "Nona manis, engkau tidak boleh
memasuki pekarangan ini begitu saja tanpa ijln dari kami!
Engkau siapakah dan apa kehendakmu memasuki
pekarangan ini?"
Melihat sikap yang ceriwis itu, Bi Lan tldak mau
memperkenalkan namanya. Langsung saja ia bertanya.
"Bukankah ini rumah Perwira Han Si Tiong?"
Si jangkung itu memandang kepada Bl Lan dengan
mata terbuka lebar karena heran, lalu menoleh kepada
teman-temannya dan tertawa, diikuti suara tawa temantemannya. Mereka adalah perajurit-perajurit yang berusia
antara dua puluh dua dan dua puluh lima tahun,
Tentu saja mereka tidak mengenal nama itu karena
pada waktu Perwira Han Si Tiong tinggal di situ, belasan
tahun yang lalu, mereka masih kecil dan belum menjadi
perajurit.
"Ha-ha-ha, nona manis, apakah engkau bermimpi?"
kata si jangkung sambil menengok ke arah rumah yang
ditunjuk oleh Bi Lan. "Gedung ini adalah milik dan tempat
tinggal Ciang Kongcu (Tuan Muda Ciang) dan kami tidak
mengenal Siapa itu Perwira Han Si Tiong!"
Bi Lan mengerutkan alisnya. Setelah klni melihat
450

keadaan pekarangan dan ru-mah gedung itu, walaupun


terdapat banyak perubahan, namun ia merasa yakin
bahwa inilah rumah orang tuanya. la memandang lima
orang perajurit dan maklum bahwa mungkin mereka inl
tidak tahu apa yang terjadi sebelas tahiin lebih yang lalu
karena pada waktu itu mereka ini tentu belum menjadl
perajurlt. Akan tetapl, penghunl baru rumah inl tentu tahu
di mana adanya orang tuanya. Mungkin saja orang
tuanya sudah plndah tempat atau dltugaskan di kota lain.
"Kalau begitu aku akan bertemu dengan Ciang
Kongcu." kata Bl Lan.
Mendengar Ini, lima orang perajurit itu menyerinyai
semakin lebar. "Wah, ini namanya domba muda gemuk
menghampiri harimau yang sedang lapar! Engkau akan
ditelannya bulatbulat!" kata seorang perajurit.
Si jangkung tertawa, "Ha-ha, itu benar, nona. Engkau
begini cantik, begini lembut. Daripada daglngmu yang
lembut dicabik-cabik harimau kelaparan, lebih baik
engkau kujadikan isteriku. AKU ftasih perjaka ting-ting
dan sebentar lagi naik pangkat. Marl kita bicara di dalam
gardu, biar lebih bebas, leluasa aan asik."
Si jangkung itu menjulurkan tangan-nya menangkap
pergelangan tangan kanan gadis itu dan hendak
menarlknya untuk diajak memasuki gardu penjagaan,
ditertawakan oleh empat orang temannya. Bi Lan menjadi
marah Sekali. Sekali menggerakkan tangan kanannya, ia
sudah menusuk lambung orang itu dengan jari-jari
tangannya.
"Hukk....!" Tubiih si jangkung ditekuk ke depan
karena perutnya terasa nyeri bukan main dan ketika dia
451

membungkuk itu, Bi Lan menangkap dan menjambak


rambutnya sehingga topi seragamnya terlepas dan
rambutnya terurai. Bi Lan menjarnbak rambut dan
menekan kepala itu sehingga si jangkung mengaduhaduh dan kepalanya tertekan ke bawah, tak dapat
meronta karena dia masih menderita nyeri hebat pada
perutnya yang disodok tadi! Empat orang temannya
terkejut dan cepat mereka itu menerjang maju, hendak
memukul dengan tombak mereka. Akan tetapi, Bi Lan
menggerakkan tangan kiri dan kaki kanait enipat kali.
Empat orang perajurit itupun roboh terbariting dengan
keras, tombak mereka. terpental dan terlepas. Sekali
sambar, Bi Lan telah merampas tombak dari tangan si
jangkung, kemudian melepaskan jambakan dan
menggunakan kaki kiri menginjak kepala itu dari
belakang sehingga muka si jangkung tertekan dan
mencium tanah!
Bi Lan menodongkan ujung toitibak runcing itu pada
punggung si jangkung, menghardik. "Berani engkau
kurang ajar kepadaku?"
Si jangkung ketakutan dan tanpa terasa celananya
menjadi basah. "Ampun, nona, ampunkan saya.... saya
tidak beranl lagi...."
Empat perajurit lain merangkak bangun dan
merekapun tidak berani menye-rang melihat betapa nona
itu ternyata lihai bukan main dan kini mengancam
komandan mereka dengan tombak.
"Hayo cepat antar aku menewui penghuni rumah ini.
Jangan banyak tingkah kalau engkau tldak ingin
tombakmu . Ini menembus dadamu!" Bi Lan menghardik
sambil melepaskan tekanan kakinya pada kepala orang
452

Itu.
"Baik.... baik.;..nona....'" Si jangkung merangkak dan
bangkit berdiri sambil meringis dan memegangi perutnya
yang masih nyerl, Mukanya, terutama bibir dan
hidungnya, berlepotan tanah.
"Hayo maju!" Bi Lan menodongkan tombaknya di
punggung si jangkung Itu yang berjalan menuju ke gedung
dengan agak terpincang dan muka ditundukkan. Dia
merasa takut sekali karena ujung tombak yang runcing itu
terasa benar menekan punggungnya.
Setelah mereka tiba di pendapa, tiba-tiba pintu depan
rumah gedung itu terbuka dari dalam dan muncullah
empat orang laki-laki dari dalam. Bi Lan memandang
penuh perhatian. Seorang dari mereka adalah pria
berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian gagah dan
indah, pakaian seorang panglima perang, bertu-buh
tinggi besar dan pandang matanya angkuh seperti
pandang mata seorang yang sadar dan bangga akan
kedudukan dan kekuasaannya. Orang ke dua juga
berpakaian seperti seorang panglima, ha-nya tidak
sementereng pakaian panglima tlnggi besar itu. Usia
orang ke dua itu sekitar lima puluh tahun, tubuhnya tinggi
kurus, mukanya begitu kurus mirtp muka tikus, akan tetapi
matanya tajam dan bergerak-gerak membayangkan
kecerdikan. Orang ke tiga berpakaian seperti seorang
tosu (pendeta Agama To) tubuhnya pendek gendut,
tampak lucu. Usianya sekitar enam puluh lima cahun,
mukanya berwarna kekuningan, muiutnya tersenyum
mengejek dan pandang mata-nya agak memandang
rendah segala sesuatu. Adapun orang ke empat masih
muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar,
wajahnya tampan dan gagah dengan alisnya yang hitam
453

tebal.
Dia berpakaian seperti seorang pemuda bangsawan,
pakaiannya indah dan dia pesolek, rambutnya licin
berminyak, bahkan kulit mukanya ada tanda-tanda bekas
bedak. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang
yang sarungnya cerukir indah.
"Apakah aku berhadapan dengan pemilik dan
penghuni rumah ini?" tanya Bi Lan sambil memandang
empat orang itu.
Orang muda bangsawan itu melangkah maju. "Nona,
akulah pemilik rumah ini. Nona slapakah dan ada
keperluan apakah mencarl aku?"
Mendengar ini, Bi Lan mengayunkan kaki
menendang dan perajurit jangkung itu terlempar dan
jatuh terbantihg bergulingan. Bi Lan melemparkantombak itu ke dekat orang itu sambil membentak,
"Pergilah!" Tombak itu menancap di atas tanah, dekat si
jangkung yang terlempar keluar ke pekarangan.
Setelah itu Bi Lan menghadapi empat orang itu.
Sikapnya tenang saja biar" pun ia berhadapan dengan
orang-orang yang melihat pakaiannya tentu merupakan
orang-orang berkedudukan tinggi.
"Jadi engkaukah yang sekarang menempati rumah
ini?" tanya Bi Lan sambil memandang kepada pemuda
tinggi besar itu. la sudah dapat menduga agaknya orang
inl yang tadi oleh para perajurit penjaga disebut sebagai
Ciang Kongcu.
"Benar aekali, nona. Aku, Ciang Ban, yang menjadi
454

penghuni rumah ini. Apakah yang dapat aku bantu


untukmu?" Ciang Ban, atau lebih dikenal sebagai Ciang
Kongcu, berkata sambil tersenyum ramah setelah dia
melihat jelas betapa cantik jelitanya gadis itu. Diapun
melihat betapa gadis itu lihai dan kuat sekali, tidak hanya
dapat memaksa kepala jaga mengantarnya, akan tetapi
juga dari tendang-annya tadi tahulah dia bahwa gadis itu
memiliki ilmu silat yang tangguh.
"Aku ingin mengetahui tentang penghuni lama rumah
ini, yaitu Perwira Han Si Tiong dan isterinya. Kalau
mereka tidak tinggal di sini lagi, di mantakah mereka
sekarang berada?"'
Mendengar pertanyaan ini, Ciang Kongcu menoleh
kepada tiga orang lain yang keluar bersamanya,
kemudian panglima yang tinggi besar dan berpakaian
indah mewah itu berkata, "Perwira Han Si Tiong? Ah,,
tentu saja kami mengenalnya dengan baik, nona. Dia
adalah rekan dan sahabat kami. Akan tetapi, siapakah
engkau, nona?"
Mendengar bahwa panglima tua tinggi besar itu
mengaku sebagai sahabat ayahnya dan hal ini
sewajarnya karena mereka sama-sama perwira kerajaan,
Bi Lan segera menjawab, "Saya adalah Han Bi Lan, dan
saya ingin mengetahui di mana adanya ayah dan ibu
saya."
"Ahh! Kiranya engkau puteri Han ciangkun yang
diculik penjahat ketlka masilh kecil? Senang sekall kami
mellhat engkau dalam keadaan selamat, nona Han. Akan
tetapl marllah klta masuk dan bicara di dalam tldak
pantas kita bicara sambil berdiri di luar."

455

"Terima kasih, kata Bi Lan dan ia mengikuti mereka


masuk ke ruangan dalam yang luas. Begitu memasuki
rumah itu, Bi Lan merasa terharu karena rumah di mapa
ia dilahtrkan dan dibesarkan sampai berusia tujuh tahun.
Setelah memasuki rumah itu, ia yakin benar bahwa ini
rumah orang tuanya dahulu walaupun prabot rumahnya
telah diganti dengan barang-barang yang indah dan
mahal.
Setelah mereka Han Bi Lan dan empat orang itu
duduk, Ciang Ban atau Ciang Kongcu memperkenalkan
tiga, orang lainpya kepada gadis itu. "Han Siocla (Nona
Han), perkenalkan. Ini adalah ayahku bernama Ciang
Sun Bo atau disebut Ciang Goan-swe (Jenderal Ciang),
sekarang menduduki jabatan panglima besar." Bi Lan
memandang kepada panglima yang tinggi besar itu.
Ciang
Goan-swe
mengangguk
dan
tersenyum
kepadanya.
"Ha-ha, Han Siocia. Aku adalah sahabat baik ayahmu.
Agaknya engkau telah lupa kepadaku, akan tetapi aku
masih ingat kepadamu yang ketika itu masih kecil. Engkau
baru berusia tujuh tahun ketika engkau dilarikan penculik.
Kami telah mengerahkan pasukan penyelidik untuk
mencarimu, namun tidak berhasil."
"Dan ini adalah Lui Ciangkun (Perwira. Lui), pembantu
ayahku." Ciang Kongcu memperkenalkan perwira tinggi
kurus bermuka tikus itu.
"Nama lengkapnya Lui Wan
"Han Soicia, akupun mengenal baik ayahmu, Perwira
Han Si Tiong yang gagah itu." kata Lui Ciangkun dengan
pandang matanya yang cerdik. Bi Lan hanya mengangguk
456

karena semua itu tidak ingin ia ketahui. Yang ingin ia


ketahui adalah di mana ia dapat bertemu dengan orang
tuanya.
"Dan totiang (bapak pendeta) ini adalah Hwa Hwa Cinjin. Dia adalah guruku, Han Siocia." Clang Kongcu
memperkenalkan pendeta itu.
"Siancai! Han siocia adalah seorang gadis yang cantik
dan gagah perkass sekali. Pinto (aku) senang dapat
bertemu denganmu."
"Terima kasih atas perkenalan ini, Ciang Kongcu.
Akan tetapi saya ingin sekali mengetahui di mana saya
dapat bertemu dengan ayah ibu saya."
Ciang Kongcu tidak menjawah melainkan menoleh
kepada ayahnya. Ciang Goanswe kini yang menjawab
pertanyaan Bi Lan, sedangkan Ciang Kongcu memberi
isarat kepada tiga orang itu. Lul Ciangkun segera bangkit
dan berkata, "Saya akan menyampalkan perintah Ciang
Kongcu." Perwira tinggi kurus ini lalu pergi ke belakang.
"Han Siocla," kata Ciang' Goanswe. "Kiranya akulah
yang lebih tahu akan keadaan orang tuamu daripada
sernua orang yang berada di sini karena ayahmu masih
terhitung pembantuku. Kurang lebih sebelas tahun yang
lalu, Han-ciang-kun dan isterinya berangkat ke
perbatasan utara untuk memimpin Pasukan Halilintar
berperang melawan musuh di utara."
Bi Lan mengangguk tak sabar. "Saya maslh ingat
akan semua itu, Clang Goanswe, Ketika ayah ibu pergi
berperang, datang si jahanam Ouw Kan yang berjuluk
Toat-beng Coa-ong Itu ke rumah ini, membunuh Luma
457

dan tukang kebun yang tidak berdosa, lalu mencullk


saya.
Clang Goan-swe mengangguk-angguk. "Benar,
agaknya orang tuamu mempunyai musuh yang hendak
membalas dendam, akan tetapi karena orang tuamu tidak
berada di rurrtah, maka musuh itu lalu menculikmu. Kami
telah mengerahkan pasukan untuk mencari, namun sia
sia sehingga kami putus asa. Maka, bukan main girang
rasa hati kami ketika hari ini tiba-tiba engkau muncul
dalam keadaan sehat dan selamat, Han Siocia. kami
sudah menganggap keluargamu seperti keluarga
sendiri!"
"Tapi di manakah sekarang orang tua-ku, Ciang
Goan-swe?" tanya Bi Lan tak sabar.
Jenderal
Ciang
menghela
napas
panjang.
"Sesungguhnya, hal itu kami tidak mengetahulnya. Ketika
mereka pulang setelah menang dalam perang, mereka
kami beritahu tentang peristiwa di rumah ini, bahwa
engkau dlculik penjahat tanpa kami ketahui siapa
penculik itu. Ayah ibumu lalu pergl darl slnl, katanya
hendak mencarlmu dan ayahmu bahkan mengembalikan
pangkatnya kepada Sribaginda Kaisar karena dla akan
pergi mencarimu. Dan sampal sekarang orang tua-mu itu
tidak pernah kembali ke sini. Kami prihatin sekali, Han
Siocia, akan tetapi setelah kini engkau kembali dalam keadaan selamat kami merasa girang bukan maln. Tentang
orang tuamu, jangan khawatir, kami tentu akan menyebar
pe-nyelidik ke seluruh penjuru untuk mencari mereka
sampai dapat ditemukanl"
Bi Lan merasa girang dengan janjl ini. Memang akan
sukarlah baginya mencari orang tuanya kalau ia tidak
458

tahu ke mana mereka pergi. Kalau Jenderal Ciang


menyebar banyak penyelidik, tentu hasilnya akan jauh
lebih baik.#
la bangkit berdiri dan merangkap ke-dua tangan
depan dada. "Terima kaslh, Goan-swe."
Jenderal Ciang melambaikan tangan menyuruh gadis
itu duduk kembali. "Aih, nona, atau lebih baik kusebut Bi
Lan saja. Orang tuamu sudah seperti saudara denganku,
maka engkau kuanggap sebagai keponakanku sendiri.
Jangan sebut aku Goanswe, cukup dengan Paman
Ciang saja!"
Kalau begitu, aku adalah toa-ko (kakak) bagimu dan
pngkau siauw-moi (adik perempuan) bagiku!" kata Ciang
Kongcu sambil tersenyum,
Pada saat itu, Kui Ciangkun memasuki ruangan itu
diikuti beberapa orang pelayan wanita yang membawa
hidangan yang maslh mengepul,
Melihat ini, Bi Lan berkata, "Aih, Paman Ciang, tidak
perlu repot-repot...." ,
"Sama sekali tidak repot, Bi Lan. Saking gembiranya
hati kami, melihat engkau muncul dalam keadaan
selamat dan sehat seolah-olah kami melihat seorang
keponakan yang telah mati hidup kembali, maka kami
ingin menyambutmu dengan pesta dan piakan bersama!
Mari, jangan sungkan-sungkan!" kata Jenderal Ciang
dengan gembira sambil menuangkan anggur ke dalam
cawan di depan Bk Lan.
Bi Lan bangkit berdiri. "Maafkan saya, paman.
459

Saya.... saya ingin ke kamar mandi sebentar."


Jenderal Ciang tersenyum dan mengangguk maklum.
Tentu gadis itu ada keperluan ke kamar mandi, mungkin
hendak membuang air kecil. Maka dia menoleh kepada
seorang pelayan wanita.
"Antarkan Nona Han ke kamar mandi.
Pelayan itu lalu menghampiri Bi Lan yang bangkit
berdiri dan mengikuti pelayan itu masuk ke bagian dalam.
Kamar mandi rumah gedung itu masih di tempat yahg
dulu. Ada dua buah. Yang besar untuk keluarga dan yang
kecil untuk para pelayan. Bi Lan memasuki kamar mandi
yang besar dan menutup daun pintunya.
Setelah Bi Lan kembali ke ruangan tamu, hidangan
sudah lengkap di atas meja. Uap yang sedap memenuhi
ruangan itu. Bau sedap masakan bercampur dengan bau
harum minuman anggur dan arak.
"Mari kita minum untuk menyambut keponakanku
Han Bi Lan dan imengucapkan selamat datang!" kata
Jenderal Ciang sambil mengangkat cawan araknya.
Semua prang mengangkat cawan masing-masing dan
minum untuk kehormatan Bi Lan. Gadis ini merasa
gembira juga men-dapatkan ppnyambutap geramah ku,
Maka, iapun tidak sungkan-sungkaqi lagi ketika mereka
mulai makan minum dengan gembira.

JILID 13
Makan minum bersama lima orang itu berlangsung
460

gembira. Diam-diam Bi Lan merasa heran betapa Hwa


Hwa Cin-jin makan daging dan minum arak dengan
lahapnya! Akan tetapi ia teringat akan gurunya sendiri.
Gurunya juga seorang pendeta Lhama yang lajimnya
berpantang makan makanan berjiwa dan minumminuman keras, akan tetapi gurunya melanggar
pantangan itu. Banyak pendeta yang melanggar
pantangan, baik secara terbuka maupun sembunyisembunyi. Agaknya Hwa Hwa Cin-jin ini seperti gurunya,
melanggar pantangan secara terbuka dan seenaknya
saja. Sambil makan minum, Jenderal Ciang bertanya
kepada Bi Lan.
Kami ingin sekali mengetahui pengalamanmu, Bi
Lan. Kami tadinya sudah putus asa mendengar engkau
dilarikan penculik dan kami tidak berhasil mencarimu.
Tahu-tahu setelah sebelas tahun engkau hilang, hari ini
engkau muncul dalam keadaan selamat dan sehat.
Apakah yang terjadi denganmu?
Melihat keramahan dan kebaikan sikap tuan rumah,
Bi
Lan
tidak
keberatan
untuk
menceritakan
pengalamannya. Saya dilarikan penculik itu dengan
cepat keluar kota raja.
Apa engkau tahu siapa penculik itu dan mengapa
pula dia menculikmu? tanya Jenderal Ciang.
Bi Lan mengangguk. Dia mengaku terus terang
bahwa dia adalah Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan dia
diutus oleh Raja Kin untuk membunuh ayah dan ibu
sebagai balas dendam karena ayah telah menewaskan
Pangeran Cu Si, putera Raja Kin, dalam perang. Karena
ayah dan ibu tidak ada, maka Ouw Kan lalu menculikku
dengan niat untuk menyerahkan saya kepada Raja Kin.
461

Hemm, jahat......, jahat! kata Jenderal Ciang.


Kemudian bagaimana Bi Lan?
Dalam perjalanan itu, saya ditolong oleh Suhu Jit
Kong Lhama yang mengalahkan Ouw Kan dan
selanjutnya saya ikut suhu untuk mempelajari ilmu silat
sampai sebelas tahun lamanya. Setelah selesai belajar,
saya lalu berpisah dari suhu dan datang ke ibu kota Linan ini untuk mencari ayah ibu.
Hemm, jadi engkau selama ini menjadi murid Jit
Kong Lhama? Ke mana saja engkau dibawanya?
Suhu mengajak saya mengasingkan diri di sebuah
bukit di pegunungan Kun-lun-san.
Ah, begitu jauh? Pantas saja usaha kami mencarimu
tidak berhasil. Dan di mana sekarang adanya Jit Kong
Lhama?
Suhu sudah kembali ke Tibet.
Siancai......! Kiranya nona menjadi murid Jit Kong
Lhama! kata Hwa Hwa Cin-jin. Pantas nona amat lihai
pinto (saya) sudah mendengar akan nama besar gurumu
itu, nona!
Akhirnya perjamuan makan itu selesai. Bi Lan makan
sampai kenyang dan ia sudah minum cukup banyak
anggur, minuman yang tidak biasa memasuki perutnya.
Tiba-tiba gadis itu mengangkat tangan kiri menutupi
mulutnya yang menguap. Tak dapat ia menahan untuk
tidak menguap. Rasa kantuk yang kuat sekali
menguasainya. Ia bangkit akan tetapi terkulai dan jatuh
terduduk kembali. Kantuknya tak tertahankan dan
462

akhirnya gadis itu merebahkan kepalanya di atas meja,


berbantal lengannya sendiri dan dari pernapasannya
yang lembut mudah diketahui bahwa ia telah tertidur!
Jenderal Ciang bertepuk tangan, lalu dia menjulurkan
tangannya dan mengguncang pundak gadis itu. Namun
Bi Lan tetap tidur pulas, agaknya tidurnya nyenyak sekali.
Ha-ha-ha, bagus sekali, Cin-jin. Pekerjaanmu
berhasil baik sekali! dia memuji sambil memandang
kepada Hwa Hwa Cin-jin karena dia tahu bahwa tosu
itulah yang menaburkan bubuk putih ke dalam cawan
anggur gadis itu ketika tadi Bi Lan pergi ke kamar mandi.
Ha-ha, racun pembius pinto tidak akan ada yang
mampu menahannya, Ciang-goanswe. Biar seekor gajah
sekali pun akan tertidur pulas kalau menelan racun
pembius buatan pinto, kata Hwa Hwa Cin-jin dengan
bangga.
Goanswe, saya kira gadis ini sebaiknya cepat
dibunuh saja. Ia puteri Han Si Tiong dan ini berbahaya
sekali. Kalau sampai ia mengetahui bahwa Toat-beng
Coa-ong Ouw Kan itu ada hubungannya dengan kita dan
bahwa kita memusuhi Han Si Tiong, tentu ia hanya akan
menimbulkan kesulitan bagi kita, kata Lui To.
Jenderal Ciang mengangguk-angguk. Ya, engkau
benar, Lui-ciangkun. Sejak dulu Han Si Tiong
menentangku, bahkan dia menjadi pembantu setia dari
mendiang Jenderal Gak Hui. Tadinya aku mengira dia
sudah mati atau menjadi tawanan Raja Kin, karena Toatbeng Coa ong Ouw Kan tidak pernah memberi kabar.
Kiranya gadis ini ditolong dan menjadi murid Jit Kong
Lhama! Ia lihai sekali berbahaya, memang sebaiknya
463

kalau dibunuh saja.


Tapi, ayah, di manakah sebetulnya ayah ibu gadis
ini? tanya Ciang Ban, matanya memandang gadis yang
tertidur itu dengan mata lahap.
Siapa
tahu
mereka
di
mana?
Mereka
mengembalikan pangkat kepada Sribaginda Kaisar,
mengundurkan diri dan sampai sekarang tidak ada yang
tahu mereka berada di mana. Kalau saja kita tahu, tentu
aku telah mencari jalan untuk membasmi mereka.
Perdana Menteri Chin Kui sendiri pernah membicarakan
mereka dan beliau juga menghendaki agar para pengikut
mendiang Jenderal Gak yang setia itu dibasmi semua
karena hanya akan mendatangkan kesulitan saja.
Goanswe, tak perlu repot-repot membunuh gadis ini.
Sekali menggerakkan tangan saja ia akan mati. Biarlah
pinto membunuhnya sekarang juga selagi ia masih tidur
pulas, kata Hwa Hwa Cin-jin sambil bangkit berdiri dan
dia sudah mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk
menotok jalan darah maut di tubuh Bi Lan.
Nanti dulu, suhu! tiba-tiba Ciang-kongcu bangkit
dan menjulurkan tangan mencegah niat gurunya. Ayah,
aku merasa sayang sekali kalau gadis sejelita ini,
dibunuh begitu saja. Berikan ia kepadaku, ayah. Setelah
aku merasa puas dengannya, tentu akan kubunuh!
Jenderal Ciang memandang puteranya dan mengelus
jenggotnya sambil tersenyum. Dia ingat kepada putera
tunggalnya ini dan dia tahu bahwa puteranya itu memiliki
kesukaan yang tiada bedanya dengan kesukaannya
sendiri di waktu muda. Akan tetapi hati-hatilah, Ciang
Ban. Gadis ini adalah murid Jit Kong Lhama dan ia lihai
464

dan berbahaya sekali!


Ciang-kongcu menyeringai lebar. Ha-ha, ayah. Aku
mempunyai banyak cara untuk dia membuat ia tak
berdaya dan tunduk kepadaku. Dengan totokan, dengan
mengikat tangannya, atau dengan memberinya obat
perangsang......
Hemm, sesukamulah. Hanya jangan engkau lengah.
Nah, bawalah ia pergi ke kamarmu! kata Jenderal yang
mewariskan watak jahatnya kepada anak tunggalnya itu.
Ciang Ban yang sudah terlalu banyak minum arak
sehingga mukanya merah itu tersenyum senang. Dia
bangkit dan menghampiri Bi Lan yang masih tidur.
Marilah, manisku. Mari kita bersenang-senang! kata
Ciang Ban dan tanpa malu-malu kepada ayahnya, Luiciangkun dan gurunya, pemuda ini hendak merangkul
gadis itu, memondongnya dan membawanya ke kamar
tidurnya yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dia
mendorong daun pintu terbuka lalu masuk dan
mendorong daun pintu kamar itu tertutup kembali dari
dalam tanpa menguncinya.
Tubuh Bi Lan terasa lunak, kenyal, hangat dan
menyebarkan keharuman dari pakaian dan rambutnya
yang membuat Ciang Ban merasa semakin terbakar dan
berkobar oleh nafsu berahinya. Melihat ulah puteranya
itu, Jenderal Ciang malah tertawa geli.
Lui-ciangkun atau Lui To yang memang berwatak
penjilat itu ikut tertawa bergelak dan Hwa Hwa Cin-jin
yang memang berwatak cabul dan mata keranjang diamdiam merasa iri kepada Ciang-kongcu atau Ciang Ban.
465

Tentu kalau bisa, ingin sekali dia menggantikan pemuda


itu, mempermainkan gadis muda belia itu sepuasnyapuasnya dulu sebelum dibunuh!
Dengan muka kemerahan dan napas terengah-engah
terbakar nafsu, Ciang Ban melempar tubuh Bi Lan ke
atas pembaringan, kemudian bagaikan seekor singa
kelaparan menerkam seekor domba, dia melompat dan
menubruk ke arah gadis yang terlentang di atas
pembaringan itu.
Wuuuuttt...... desss!! Ciang Ban mengaduh
ketika perutnya disambut tendangan sebatang kaki yang
mungil namun yang kekuatannya seperti sepotong baja.
Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh berdebuk ke
atas lantai kamar! Kiranya Bi Lan sama sekali tidak
pingsan atau mabok seperti yang mereka semua kira.
Han Bi Lan adalah murid Jit Kong Lhama yang amat
disayang datuk ini. Maka, selain ilmu-ilmu silat tinggi ia
juga telah mempelajari segala macam ilmu sihir dan ilmu
sesat dari datuk itu, termasuk ilmu tentang penolakan
segala macam racun yang biasa dipergunakan oleh
golongan sesat untuk menjatuhkan lawan secara licik.
Ilmu sihirpun dikuasai oleh gadis ini. Dan iapun seorang
gadis yang amat cerdik. Maka, ketika ia diterima dengan
amat ramah oleh Ciang Ban dan Jenderal Ciang, juga
melihat wajah Lui To dan terutama Hwa Hwa Cin-jin yang
sinar matanya penuh kelicikan dan kepalsuan, ia sudah
merasa curiga.
Diam-diam ia merasakan dan menyelidiki dengan
lidahnya sebelum ia makan minum dan ia mendapat
kenyataan bahwa makanan dan minuman itu tidak
mengandung racun. Bagaimanapun juga, ia tetap
466

berhati-hati, maka ketika ia permisi ke kamar mandi, di


sana ia menelan sebutir pel merah, yaitu obat penolak
racun untuk berjaga-jaga. Maka ketika ia minum lagi dan
lidahnya merasakan sesuatu yang tidak wajar pada
minumannya itu, ia menelannya saja seolah-olah tidak
tahu apa-apa.
Setelah yakin bahwa minumannya mengandung obat
pembius, Bi Lan pura-pura tertidur atau pingsan. Ia ingin
tahu apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan
mereka bicarakan. Setelah ia pura-pura pingsan,
barulah ia mendengar pembicaraan mereka dan dengan
kemarahan yang ditahan-tahan ia mengetahui bahwa
mereka semua adalah orang-orang yang memusuhi
ayahnya, bahkan mereka mempunyai hubungan dengan
Ouw Kan, datuk suku Uigur yang dulu membunuh
neneknya dan menculiknya.
Baru setelah tahu apa yang hendak dilakukan Ciang
Ban terhadap dirinya, ketika pemuda bangsawan itu
menerkam dirinya, Bi Lan menyambut dengan tendangan
kakinya yang tepat mengenai perut pemuda itu. Ciang
Ban mengaduh dan terjengkang lalu terbanting ke atas
lantai. Akan tetapi pemuda ini bukan seorang lemah. Dia
adalah murid dari Hwa Hwa Cin-jin, maka biarpun dia
merasa perutnya mulas, dia memaksa diri melompat
bangun sambil mencabut pedangnya yang belum keburu
dia tanggalkan saking nafsunya sudah memuncak tadi.
Bi Lan sudah melompat turun dari atas pembaringan.
Ciang Ban berteriak memberi isyarat kepada mereka
yang berada di luar kamar, lalu dia membentak dan
menyerang gadis itu dengan pedangnya. Dia
menusukkan pedangnya lurus ke depan mengarah dada
gadis itu dengan jurus serangan Tit-ci-thian-lam
467

(Tudingkan Telunjuk ke Arah Selatan). Pedangnya


meluncur cepat sekali dan seolah sudah pasti akan
menembus dada Bi Lan. Namun Bi Lan merendahkan diri
sehingga pedang itu meluncur ke atas kepalanya dan
dari bawah, kedua tangannya bergerak cepat seperti dua
ekor ular menyambar ke atas. Tangan kanannya
memukul ulu hati lawan dan tangan kirinya merampas
pedang.
Ngekk.. uhhh..! Betapapun lihainya Ciang Ban,
namun sekali ini dia bertemu lawan yang jauh lebih tinggi
tingkat ilmu silatnya. Dia merasa ulu hatinya seperti
ditotok toya baja, membuat dia tak dapat bernapas dan
tiba-tiba saja pedang di tangan kanannya sudah
direnggut lepas dari tangannya. Totokan pada ulu
hatinya itu mendatangkan rasa nyeri yang hebat
sehingga tubuhnya terhuyung ke arah pintu.
Bi Lan melompat ke depan, pedang rampasannya
menyambar, disusul tendangan kakinya.
Crakk...... desss......!
Jenderal Ciang, Lui-ciangkun, dan Hwa Hwa Cin-jin,
ketiganya adalah orang-orang yang tangguh, terutama
sekali Hwa Hwa Cin-jin, terkejut mendengar teriakan
Ciang Ban tadi. Mereka bertiga lari menuju ke pintu
kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba pintu kamar tertabrak
sesuatu dan terbuka. Dan tubuh Ciang Ban melayang
dan roboh di depan kaki tiga orang itu, disusul
melayangnya kepala pemuda itu yang sudah terlepas
dari lehernya. Darah membanjiri lantai dan tiga orang itu
terbelalak.
Dapat dibayangkan betapa marah hati Jenderal
468

Ciang melihat puteranya sudah menggeletak menjadi


mayat dengan kepala terpisah. Demikian pula dengan
Hwa Hwa Cin-jin dan Lui To. Otomatis mereka bertiga
mencabut pedang masing-masing dan hendak menyerbu
ke dalam kamar.
Akan tetapi pada saat itu, Bi Lan yang tidak ingin
dikeroyok dalam sebuah kamar sempit, sudah melayang
keluar dari dalam kamar. Tanpa banyak cakap saking
marahnya, Jenderal Ciang sudah menerjangnya dengan
pedangnya yang panjang dan tebal.
Bi Lan dengan mudahnya mengelak, akan tetapi
pada saat itu Hwa Hwa Cin-jin sudah menyerang pula
dan serangan tosu sesat ini jauh lebih berbahaya
dibandingkan serangan Jenderal Ciang Sun Bo bahkan
lebih berbahaya daripada gerakan Lui To yang juga
mulai menyerang Bi Lan. Namun, setelah mempelajari
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, kitab
yang dicurinya dari tangan Thian Liong itu, Bi Lan
memiliki gerakan kaki yang aneh dan gesit luar biasa.
Dengan beberapa lingkaran gerakan kaki saja ia sudah
dapat menghindarkan diri dari serangan pedang tiga
orang pengeroyoknya.
Kini, gadis yang tidak pernah memegang senjata,
akan tetapi yang pandai mempergunakan senjata apa
saja itu, telah merampas pedang milik Ciang Ban yang
dibunuhnya. Kini ia memainkan pedang rampasan itu
dengan Kwan Im Sin-kiam (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im).
Ilmu ini walaupun disebut ilmu pedang, namun Bi Lan
dapat mempergunakan senjata apa saja, misalnya
sebatang ranting kayu, untuk mainkan ilmu silat itu. Juga
ia mahir ilmu Kim-bhok Sin-tung-hoat atau Ilmu Tongkat
Sakti, akan tetapi ia pun dapat mempergunakan segala
469

macam benda untuk memainkan ilmu silat ini.


Setelah
pedangnya
bergulung-gulung
dalam
permainan Kwan Im Sin-kiam, tiga orang pengeroyoknya
terkejut. Bayangan gadis itu lenyap dan yang tampak
hanya gulungan sinar pedang yang seperti gelombang
samudera menggulung ke arah mereka.
Hwa Hwa Cin-jin masih dapat melindungi dirinya
dengan putaran pedangnya sambil terus mundur, akan
tetapi tidak demikian dengan Ciang Sun Bo atau jenderal
Ciang. Dia menjerit ketika pedang puteranya yang
dipegang Bi Lan itu menusuk ke dalam dadanya yang
mengakibatkan dia roboh dan tewas seketika. Robohnya
jenderal ini disusul robohnya Lui To atau Lui-ciangkun
yang tersabet lehernya dan roboh mandi darah, tewas
pula. Melihat ini, Hwa Hwa Cin-jin berteriak-teriak sambil
melompat jauh melarikan diri.
Bi Lan melihat banyak perajurit pengawal berlarian
datang, maka iapun lalu melompat ke ruangan samping
yang terbuka, lalu tubuhnya melayang ke atas genteng.
Para perajurit melakukan pengejaran, namun sebentar
saja Bi Lan sudah lenyap dari tempat itu.
Namun di dalam gedung Jenderal Ciang terjadi
kegemparan dan karena yang terbunuh adalah Jenderal
Ciang, Perwira Lui, dan Ciang-kongcu, tentu saja hal ini
menimbulkan kegemparan dan tak lama kemudian, kota
raja penuh dengan perajurit yang melakukan pencarian
dan pengejaran. Setiap Iorong jalan dijaga, sehingga Bi
Lan menjadi bingung, tak ada jalan sama sekali untuk
keluar dari kota raja.
Karena rumah gedung bekas tempat tinggal ayahnya
470

yang kini ditempati Jenderal Ciang itu tidak jauh dari


istana, maka ketika ia dihadang di sana-sini, terpaksa ia
menyelinap ke sebuah lorong yang menembus ke arah
istana. Di lorong ini tidak ada perajurit mencari atau
berjaga karena siapa mengira bahwa si pengacau yang
melakukan pembunuhan besar-besaran di rumah
Jenderal Ciang akan berani melarikan diri ke daerah
istana?
Sejak tadi udara diliputi mendung dan pada saat Bi
Lan memasuki lorong itu, masih bingung bagaimana ia
akan dapat melarikan diri keluar kota raja, tiba-tiba hujan
turun dengan derasnya. Hal ini agak menolongnya
karena para perajurit penjaga keamanan kota yang
dikerahkan untuk mengejar dan menangkap pembunuh,
banyak yang berteduh di emper-emper rumah dan
menghentikan pencarian mereka. Akan tetapi Bi Lan
harus bergerak hati-hati, sambil sembunyi-sembunyi
karena ia tahu bahwa biarpun mereka tidak mencari dan
berlalu lalang di jalan, mata para perajurit itu tentu
dengan penuh perhatian melihat ke arah orang-orang
yang berani menempuh hujan di jalan.
Tiba-tiba saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang
laki-laki berusia hampir enampuluh tahun yang
berpakaian sebagai seorang panglima. Inilah jalan satusatunya untuk dapat lolos dari kota raja, pikir Bi Lan. Ia
masih memegang pedang rampasan dari tangan Ciangkongcu tadi. Bagaikan seekor burung ia melompat keluar
dan tahu-tahu ia sudah berada di depan panglima itu dan
ujung pedangnya sudah menempel di tenggorokan orang
itu. Sang panglima terkejut bukan main, terbelalak
memandang, akan tetapi setelah melihat wajah gadis itu,
wajahnya berseri-seri penuh harapan.

471

Bi Lan......, engkau tentu Han Bi Lan puteri Han Si


Tiong, bukan? Engkau yang telah mengamuk di rumah
Jenderal Ciang?
Tentu saja Bi Lan terkejut dan heran bukan main.
Eh......, bagaimana engkau bisa tahu......?
Bi Lan, lupakah engkau kepadaku? Aku Kwee Gi,
Panglima Kwee Gi, sahabat baik Han Si Tiong. Mari, mari
cepat ikut aku, engkau harus bersembunyi, nanti saja kita
bicara. Cepat pakai ini! Panglima itu melepaskan
mantelnya yang lebar lalu menyerahkannya kepada Bi
Lan.
Gadis itu menutupi kepala dan badannya dengan
mantel yang lebar ini, kemudian tanpa banyak cakap lagi
ia membiarkan dirinya digandeng panglima itu melewati
lorong-lorong yang sepi, kemudian memasuki rumah
gedung dari pintu belakang.
Kini ia teringat akan Panglima Kwee Gi yang dulu
seringkali datang bertamu ke rumah orang tuanya,
bahkan sudah beberapa kali ia diajak ibunya berkunjung
ke rumah sahabat ayahnya itu. Setelah teringat, tentu
saja ia percaya sepenuhnya kepada panglima yang ia
tahu merupakan sahabat baik ayahnya.
Setibanya di ruangan dalam, seorang pemuda tinggi
besar muncul dan dia memandang heran melihat
ayahnya bersama seorang gadis memasuki ruangan
dalam itu.
Ayah, siapa nona ini, dan mengapa!
Cun Ki, ini adalah Bi Lan, puterinya pamanmu Han
472

Si Tiong pemimpin Pasukan Halilintar yang terkenal itu.


Ingat? Bi Lan, ini adalah Kwe Cun Gi, anak kami. Kalian
sudah bersahabat dulu ketika masih kecil.
Oh......! Kau Bi Lan...... yang dulu nakal dan manja
itu? seru pemuda tinggi besar berwajah tampan yang
usianya sekitar duapuluh tahun itu.
Dan engkau...... kakak Cun Ki yang dulu suka
menggodaku. Engkau yang nakal sekali! kata pula Bi
Lan.
Akan tetapi kabarnya engkau hilang diculik dan......
Cun Ki, tahan dulu bicaranya. Keadaan genting
sekali. Bi Lan sedang dikejar-kejar seluruh perajurit
penjaga keamanan di kota raja. Cepat kau keluar dan
jaga agar jangan ada orang memasuki rumah kita. Atur
para pengawal untuk berjaga ketat dan kalau ada yang
mencariku, katakan aku sibuk memimpin pasukan di luar
untuk mencari pembunuh.
Cun Ki membelalakkan matanya. Ah, aku
mendengar tentang itu...... jadi.. engkaukah yang telah
mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap
Jenderal Ciang, Ciang Ban, dan Perwira Lui To itu?
Cun Ki, jangan banyak cakap! Cepat laksanakan
perintahku! Nanti saja kalau mau bicara!
Baik, ayah. Pemuda itu lalu dengan gerakan yang
gesit keluar dari ruangan dalam.
Panglima Kwee Gi membawa Bi Lan memasuki
sebuah kamar, lalu berkata.
473

Engkau tinggallah di sini sebentar, aku akan


memanggil bibimu.
Bi Lan mengangguk. Ia tahu bahwa keadaannya
berbahaya sekali. Kalau tidak ada Panglima Kwee yang
melindunginya, kiranya akan sukar lolos dari kota raja
yang kini semua pintu gapuranya pasti sudah terjaga
ketat.
Tak lama kemudian, nyonya Kwee bersama
suaminya muncul. Bi Lan segera mengenal wanita
setengah tua yang masih tampak cantik itu. Nyonya
Kwee juga mengenalnya dan mereka berangkulan.
Aih, Bi Lan. Engkau lenyap begitu saja sebelas
tahun yang lalu dan kini muncul secara mengejutkan
pula. Nyonya itu lalu mengajak Bi Lan duduk di atas
kursi dan daun pintu kamar itu ditutup rapat-rapat.
B Lan, mulai hari ini engkau bersembunyi dulu di
sini. Kepada para pelayan, kami akan memberitahukan
bahwa engkau adalah seorang keponakan kami bernama
Kwee Ciok Li. Ayahmu adalah adikku yang tinggal jauh di
dusun sebelah selatan. Engkau tidak usah keluar dari
rumah agar tidak berjumpa orang lain. Nanti kalau
keadaan sudah aman, kita mencari jalan agar engkau
dapat keluar dari kota raja.
Ah, Paman Kwee, sungguh beruntung sekali aku
bertemu dengan paman dan bibi. Paman telah menolong
dan menyelamatkan nyawaku.
Hemm, jangan berkata begitu. Tadi, begitu
mendengar berita bahwa jenderal Ciang dan puteranya,
juga Perwira Lui mati terbunuh seorang gadis cantik, aku
474

segera dapat menduga bahwa agaknya engkaulah


orangnya. Karena itu, ketika mendapat perintah untuk
mengerahkan pasukan melakukan pencarian, aku sendiri
lalu memisahkan diri dan mencarimu. Beruntung aku
menemukan engkau sebelum yang lain menemukanmu.
Sekarang, ceritakanlah siapa yang dulu membunuh
nenekmu dan melukai tukang kebun dan apa yang terjadi
selanjutnya denganmu?
Maaf,
paman.
Sebelum
aku
menceritakan
pengalamanku, aku ingin lebih dulu mendengar tentang
ayah ibuku. Untuk itulah aku datang ke kota raja, untuk
mencari orang tuaku.
Pada saat itu Kwee Cun Ki melangkah masuk dan
dengan singkat melaporkan bahwa penjagaan telah
diatur sebaik mungkin. Setelah itu dia mengambil tempat
duduk untuk ikut mendengarkan.
Panglima Kwee Gi menghela napas ketika,
mendengar pertanyaan gadis itu tentang orang tuanya.
Dia menggeleng kepala dan berkata.
Bi Lan, ketika ayah dan ibumu pulang dari perang
mereka mendapatkan engkau telah hilang diculik orang.
Mereka lalu berusaha mencarimu. Bahkan akhirnya
ayahmu, Han Si Tiong mengembalikan pangkatnya
kepada pemerintah dan bersama isterinya lalu
meninggalkan kota raja. Kepadaku mereka hanya
mengatakan bahwa mereka hendak mencarimu sampai
dapat. Sungguh menyesal sekali, Bi Lan, aku sendiri
tidak dapat mengatakan di mana mereka berada karena
sudah bertahun-tahun mereka tidak memberi kabar
kepadaku.

475

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya kecewa akan


tetapi ia tidak dapat menyalahkan panglima yang menjadi
sahabat ayahnya itu.
Biarlah aku akan membantumu mencari mereka,
Lan-moi, kata Cun Ki.
Terima kasih, Ki-ko (kakak Ki), kata Bi Lan.
Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi
dengan dirimu, Bi Lan. Kami semua ingin sekali
mengetahuinya.
Ketika itu, aku diculik dan dilarikan oleh datuk sesat
Ouw Kan. Dia menculikku untuk membalas dendam atas
perintah Raja Kin karena ayah telah membunuh
puteranya, Pangeran Cu Si, dalam perang. Ouw Kan
hendak menyerahkan aku kepada Raja Kin. Di tengah
jalan kami bertemu dengan Jit Kong Lhama dan pendeta
Lhama itu berhasil mengalahkan Ouw Kan dan sejak itu
aku menjadi murid Jit Kong Lhama.
Pantas engkau menjadi lihai sekali, Lan-moi! Cun Ki
memuji, padahal dia belum melihat sampai di mana
kelihaian gadis itu.
Aku juga menjadi murid Kun-lun-pai, kata Bi Lan
cepat agar diketahui bahwa ia bukan hanya menjadi
murid datuk sesat itu, namun juga murid partai Ku-lun-pai
yang terkenal! Setelah tamat belajar, aku lalu cepat
pergi ke kota raja untuk pulang ke rumah orang tuaku.
Akan tetapi ternyata yang tinggal di sana adalah keluarga
Jenderal Ciang Sun Bo. Bersama puteranya yang
bernama Ciang Ban, dan seorang perwira bernama Lui
To dan seorang pendeta tosu guru Ciang Ban bernama
476

Hwa Hwa Cin-jin. Jenderal Ciang menyambutku dengan


ramah. Dia mengatakan bahwa dia adalah sahabat baik
ayah, maka dia menerimaku dengan baik, bahkan lalu
mengadakan perjamuan makan untuk menyambut
kedatanganku. Kami makan minum dan minumanku
dicampuri obat bius.
Jahat sekali! Kwee Cun Ki berseru marah.
Aku sudah menaruh kecurigaan maka diam-diam
aku telah menjaga diri dan minum obat penawar racun.
Aku lalu pura-pura pingsan terbius. Dalam keadaan itulah
aku mendengar mereka bicara dan aku tahu bahwa
mereka itu sebetulnya bersekutu dengan datuk jahat
Ouw Kan yang dulu menculikku, berarti bersekutu
dengan Raja Kin dan mereka adalah orang-orang yang
memusuhi ayahku. Mereka hendak membunuhku, akan
tetapi Ciang Ban yang terkutuk itu lalu memondongku ke
dalam kamar dengan maksud kotor dan hina. Aku tidak
dapat menahan kemarahanku lagi dan kubunuh pemuda
itu. Jenderal Ciang, Perwira Lui To dan Pendeta Hwa
Hwa Cin-jin menyerangku. Aku berhasil membunuh
jenderal Ciang dan Perwira Lui, akan tetapi Hwa Hwa
Cin-jin dapat melarikan diri. Karena banyak perajurit
pengawal bermunculan, aku lalu melarikan diri.
Kwee Gi mengangguk-angguk. Hemm, akhirnya
mereka menerima hukuman juga dan tewas di tanganmu,
Bi Lan. Jenderal Ciang itu memang merupakan antek
Perdana Menteri Chin Kui.
Siapa itu Perdana Menteri Chin Kui, paman?
Dialah yang menjadi biang keladi semua ketidakamanan dan kekacauan. Dia berhasil mempengaruhi
477

kaisar dan perdana menteri itu bersekongkol dengan


bangsa Kin di utara. Bahkan dia pula yang telah
melakukan fitnah kepada jenderal Gak Hui pahlawan
besar yang amat dihormati dan dibantu ayahmu. Han Si
Tiong dan isterinya mengundurkan diri dari jabatannya,
bukan hanya karena kehilangan engkau, akan tetapi
terutama sekali karena kecewa melihat jenderal Gak Hui
difitnah dan Kaisar berpihak kepada pengkhianat macam
Chin Kui.
Pantas Ouw Kan diutus raja Kin untuk
mencelakakan ayahku, kiranya juga dikarenakan ayah
menjadi pembantu setia Jenderal Gak Hui, kata Bi Lan
gemas.
Begitulah. Kita semua mengetahui bahwa Chin Kui
seorang pengkhianat yang bersekongkol dengan
penjajah Kin yang menguasai daerah utara Sungai Yangce. Bangsa Kin menguasai daerah itu dan Chin Kui telah
membujuk kaisar agar tidak melawan, bahkan berbaik
dengan penjajah mengirim upeti setiap tahun. Semua itu
tentu ada imbalannya dan semua orang tahu betapa
kaya rayanya Perdana Menteri Chin Kui itu.
Hemm, kenapa ada pengkhianat macam itu di
kerajaan tidak ada yang menentang? Kenapa kaisar
begitu bodoh? Apa tidak ada pejabat tinggi yang setia
kepada negara dan berusaha menentang perdana
menteri jahat itu? tanya Bi Lan penasaran.
Kwee-ciangkun menghela napas panjang. Apa yang
dapat kami lakukan? Dia memiliki kekuasaan yang besar,
bahkan kaisar sendiri selalu menuruti kata-katanya.
Menentang dia, bisa berarti menentang pemerintah,
menentang kaisar sendiri, dan akan berhadapan dengan
478

pasukan pemerintah.
Kalau begitu, sebaiknya orang seperti itu
dibinasakan saja! Aku sanggup melakukannya, paman!
kata Bi Lan penuh semangat.
Panglima Kwee tersenyum dan mengangguk-angguk.
Engkau memang pantas menjadi puteri Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi, Bi Lan! Semangatmu besar dan
keberanianmu menakjubkan. Akan tetapi aku harus
melarangmu. Entah sudah berapa banyak orang-orang
gagah melakukan usaha itu, namun semua gagal dan
bahkan mereka yang tewas. Perdana Menteri Chin Kui
menjaga dirinya dengan ketat. Pasukan pengawal
khusus yang terdiri dari jagoan-jagoan, di antaranya
didatangkan dari utara, selalu melindunginya siang
malam. Betapapun tinggi kepandaian silatmu, tidak
mungkin menembus pertahanan yang amat kuat itu.
Hemm, kalau begitu, apakah orang macam itu
dibiarkan saja mengkhianati tanah air dan bangsa? Bi
Lan penasaran.
Tidak, Bi Lan. Kami, orang-orang setia kepada
Kerajaan Sung, tidak tinggal diam. Kami sudah
menyusun kekuatan dan kami sedang berusaha untuk
mendapatkan bukti-bukti penyelewengannya, baik
penyelewengannya dalam korupsi uang negara,
pemerasan terhadap para bangsawan dan hartawan,
pajak-pajak gelap yang dilakukannya, yang hasilnya
masuk kantungnya sendiri, juga kami sedang
mengumpulkan
bukti
penyelewengannya
tentang
persekongkolannya dengan Bangsa Kin. Bukti bahwa dia
menerima banyak hadiah dari Bangsa Kin. Semua itu,
kalau sudah dapat dikumpulkan, akan kami haturkan
479

kepada Sribaginda Kaisar. Dengan demikian maka kaisar


yang akan bertindak. Kecuali dengan jalan itu, amat
sukar untuk mengalahkan Chin Kui yang memiliki
kekuasaan dan pengaruh besar sekali. Satu-satunya
orang yang akan mampu menundukkan hanyalah kaisar
sendiri.
Bi Lan mengangguk-angguk. Ah, begitukah, paman?
Kalau begitu, dalam hal ini aku tidak dapat membantu.
Aku ingin segera keluar dari kota raja, paman, untuk
mencari ayah dan ibuku.
Tentu saja, akan tetapi bersabarlah. Sekarang
sedang hangat-hangatnya pasukan mencarimu. Perdana
Menteri Chin Kui sendiri tentu marah dan merasa
kehilangan karena Jenderal Ciang dan Perwira Lui
merupakan pembantu-pembantunya yang setia. Tunggu
sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah dingin
dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah
lolos dari kota raja, barulah aku akan mengatur agar
supaya engkau dapat keluar dari kota raja.
Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat
memberi petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang
tuaku sekarang?
Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela
napas. Aku sudah berusaha menyebar orang-orangku
untuk mencari, namun tidak berhasil menemukan jejak
mereka. Aku hanya mempunyai satu perkiraan, yaitu
besar sekali kemungkinannya mereka pergi ke utara
untuk mencari Ouw Kan karena mendengar akan ciri-ciri
penculik itu dari tukang kebun yang belum terbunuh mati,
kami sudah dapat menduga bahwa pelakunya adalah
Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong. Dia adalah
480

seorang suku bangsa Hui dan berasal dari Sin-kiang. Kini


dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena
itu besar kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara,
atau ke Sin-kiang.
Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di
dalam rumah Panglima Kwee dan dalam waktu seminggu
itu, hubungannya dengan keluarga itu menjadi akrab.
Terutama sekali Kwee Cun Ki. Pemuda itu nampak
benar-benar tertarik kepada Bi Lan, bahkan berulang kali
dia mengatakan kepada gadis itu bahwa dia ingin
menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan
Sin-kiang.
Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee
mengatakan kepada Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba
bagi Bi Lan untuk diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki
mengulangi keinginannya itu kepada Bi Lan, di depan
ayah ibunya. Lan-moi, sekali lagi aku minta agar engkau
suka kutemani untuk mencari orang tuamu. Melakukan
perjalanan seorang diri di daerah musuh itu sungguh
amat berbahaya bagimu.
Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa
putera tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di
dalam hati, mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi
mantu mereka. Kwee Gi segera berkata, Kami setuju
kalau Cun Ki menemanimu, Bi Lan. Dengan bantuannya,
tentu akan lebih mudah menemukan orang tuamu.
Benar, Bi Lan, kata Nyonya Kwee. Dengan adanya
Cun Ki yang menemanimu, hati kami tidak akan merasa
gelisah seperti kalau engkau pergi seorang diri. Seorang
gadis merantau seorang diri tanpa kawan di tempat yang
jauh itu, apalagi di daerah musuh, sungguh hatiku akan
481

merasa gelisah selalu. Engkau sudah kuanggap seperti


anak sendiri, Bi Lan.
Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan
isyarat yang jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak
mantunya. Akan tetapi Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat
menjawab.
Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan
juga Ki-twako. Kalian telah menolongku dan bersikap
baik sekali kepadaku. Untuk itu aku mengucapkan
banyak terima kasih. Akan tetapi, aku ingin melakukan
perjalanan seorang diri. Terima kasih atas penawaranmu
untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa aku
masih
mempunyai
tugas
pribadi
yang
harus
kuselesaikan. Kelak, kalau semua tugas dan urusanku
sudah selesai, aku pasti akan datang berkunjung untuk
mengucapkan terima kasihku.
Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki
tidak berani memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan
main. Dia tadinya mengharapkan bahwa kalau
melakukan perjalanan bersama, gadis yang membuatnya
tergila-gila itu akan tergerak hatinya dan akan membalas
cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan berkeras tidak mau
ditemani, tentu saja dia tidak berani memaksa yang akan
membuat gadis itu marah.
Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja
dipersiapkan. Sebuah kereta berhenti di depan gedung
keluarga panglima Kwee. Kusirnya seorang laki-laki yang
masih muda, berwajah tampan. Tak lama kemudian,
Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan di belakang
kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal
menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat
482

dan keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah utara.


Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera
memberi hormat ketika melihat bahwa penumpang kereta
itu adalah Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah
Perdana Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan
mengawasi. Kalau ada mereka, biarpun yang lewat itu
Panglima Kwee, tentu mereka akan melakukan
pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian
pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu telah
lewat dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya.
Dianggap sudah kabur dari kota raja, maka kini di pintu
gerbang hanya dijaga para perajurit keamanan biasa.
Panglima Kwee adalah komandan pasukan
keamanan, maka tentu saja para perajurit percaya
kepadanya dan setelah memberi hormat, para penjaga
itu membiarkan kereta dan pengawalnya lewat keluar
dari pintu gerbang.
Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang
kepercayaan Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba
jauh dari pintu gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan
berhenti. Seorang pengawal muda turun dari atas
kudanya, menanggalkan pakaian luarnya dan kini
mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai
kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu bukan
lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir. Semua
perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan
pakaian yang disembunyikan dalam kereta. Dalam
buntalan itu, selain pakaiannya, juga ada sekantung
uang emas sebagai bekal, merupakan hadiah dari
Panglima Kwee.
483

Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi


hormat kepada Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan
lalu menunggangi kuda yang tadi ditunggangi pengawal
yang kini menjadi kusir, dan gadis itupun membedal
kudanya, membalap ke arah utara, diikuti pandang mata
Panglima Kwee Gi dan isterinya. Kekecewaan dan
keharuan membayang dalam pandang mata suami isteri
itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada di
rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis
itu telah pergi, menuju ke seberang utara yang dikuasai
bangsa Kin, tempat berbahaya sekali dan entah mereka
akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu ataukah tidak.
***
Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil
melamun. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali
karena sebuah di antara tugas yang diberikan kepadanya
oleh gurunya telah gagal. Dia telah berhasil
menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu Sian
Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung
diberi kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh
ketua Siauw-lim-pai sehingga dia memperoleh kemajuan
besar dalam ilmu silatnya. Kemudian dia juga telah
menyerahkan kitab Kiauw-ta Sin-na kepada Ciang Losu
ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab yang ketiga, yaitu
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya dia
berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai seperti yang
diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar
berpakaian merah muda itu.
Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat
merebut kembali kitab itu dan menyerahkannya kepada
yang berhak, yaitu kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia
tidak mengenal siapa gadis itu, siapa namanya dan ke
484

mana harus mencarinya!


Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu
dan mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
kepada Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia
mengabaikan perintah gurunya dan dia merasa
berhutang kepada Kun-lun-pai. Wah, gadis berpakaian
merah muda itu! Gemas sekali dia! Awas kau, kalau
dapat kutemukan, bukan saja kitab itu kurampas darimu,
juga engkau patut diberi hajaran. Akan kupukul pantatmu
sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang bapak
memukul pantat anaknya yang nakal ketika dia
berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau!
Demikian gemas rasa hati Thian Liong sehingga dia
bersungut-sungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling!
Kurang ajar betul.
Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang
tadinya dia membayangkan sebagai wajah setan,
berubah dan tampaklah wajah lain. Wajah seorang gadis
lain yang berpakaian serba hijau dan memakai bunga
mawar merah di rambutnya. Wajah Thio Siang In yang
berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu ini sama
liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa
ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai
dan pinjamnya pakai memaksa lagi!
Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar
gadis itu dengan mengalahkannya sehingga ia pergi
dengan marah marah. Tidak sekurang ajar gadis baju
merah muda yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai! Ah,
kenapa nasibnya begini? Bertemu dengan dua orang
gadis liar yang sama-sama membikin dia pusing dan
marah. Tiba-tiba terbayang wajah seorang gadis lain!
Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin,
485

menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil


mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau
dia menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus
membunuhnya dan kalau gagal, harus membunuh diri
sendiri atau akan dibunuh gurunya! Aturan mana ini? Si
nenek yang menjadi guru Kim Lan dan sumoinya yang
bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila, mengadakan
peraturan seperti itu kepada murid-murid wanitanya. Gila!
Apakah para wanita itu sudah gila semua?
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong
mengambil keputusan untuk melaksanakan dua
kewajiban yang dipesan oleh gurunya. Pertama, dia
harus merebut kembali kitab pusaka milik Kun-1un-pai
itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia membantu
Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya. Dia
mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama
Perdana Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan
berkhianat dan yang telah mempengaruhi kaisar. Dia
diberi tugas untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari
pengaruh para pembesar yang jahat. Akan tetapi, yang
lebih dulu harus dia kerjakan adalah mencari gadis setan
berbaju merah itu untuk merampas kembali kitab pusaka
Kun-lun-pai!
Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis
berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah
jenaka memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan
kejam. Begitu saja membunuh orang, biarpun yang
dibunuhnya itu seorang penjahat. Akan tetapi ilmu
silatnya amat hebat. Hanya dengan sebatang ranting, ia
mampu mempermainkan si gendut, perampok lihai itu,
bahkan membunuhnya. Permainan rantingnya mirip ilmu
pedang.

486

Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan


matanya untuk membayangkan kembali gerakan gadis
baju merah itu ketika bertanding melawan perampok
gendut. Dia banyak tahu akan aliran ilmu silat dari
gurunya. Gurunya pernah membeberkan rahasia dasar
gerakan silat perguruan-perguruan besar, bahkan ilmu
silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti ilmu silat
yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi, Mancu, Mongol
dan lain-lain.
Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki
gadis baju merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat
dan berputar. Itu adalah gerakan dasar ilmu silat aliran
Tibet yang diajarkan pendeta Lhama di Tibet. Gurunya,
Tiong Lee Cin-jin sudah pernah bertahun-tahun tinggal di
Tibet dan mempelajari ilmu silat dari suku bangsa itu.
Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang
mencuri kitab Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kunlun-pai itu ada1ah seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin
ia murid seorang tokoh pendeta Lhama yang sakti.
Karena itu, dia harus mencari ke daerah utara, daerah
yang diduduki bangsa Kin karena besar kemungkinan
gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula, dalam
perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu
melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat
pribumi Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak
dibutuhkan rakyat yang terjajah daripada di selatan.
Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke
daerah yang dikuasai pemerintah bangsa Kin.
Sesungguhnya, kerajaan Kin tidaklah begitu kuat.
Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini bertahta di kota
raja baru Nan-king mengerahkan para panglimanya
seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke utara dan
487

melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka


akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan
tetapi, Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu
dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan antekanteknya yang menakut-nakuti kaisar, yang mengatakan
bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan sebagainya, maka
Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah melakukan
perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di sebelah
selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang
daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah
utara, namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini
menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah
berjaya.
Benar saja seperti yang telah didengar dalam
perjalanannya, ketika memasuki daerah jajahan itu,
Thian Liong melihat keadaan rakyat yang hidup
menyedihkan. Bukan hanya banjir besar di musim hujan
dan kekeringan di musim panas yang membuat mereka
hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup untuk makan
secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih daripada itu
adalah tekanan dari para pembesar yang membuat
mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para
pedagang ditekan dengan pajak yang luar biasa
besarnya, yang memaksa banyak pedagang kecil
menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang besar dan
mampu menyogok para pembesar saja yang dapat
hidup.
Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik.
Hampir setiap orang kepala dusun, sikapnya seolah
menjadi raja kecil yang menentukan mati hidupnya tiap
warga dusun! Sang kepala dusun berhak menentukan
apa saja. Keputusan pribadinya menjadi hukum tak
tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada satupun yang
488

salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar dan


harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok
terang-terangan yang disebut menyita barang mereka
yang berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang
disebutnya menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun
berani menentang kehendaknya kalau orang itu masih
ingin hidup. Kalau kepala dusunnya seperti itu, kaki
tangannya lebih mengerikan lagi!
Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian
Liong bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu
turun tangan memberi hajaran kepada mereka yang
bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan
dan kekerasan, dan menolong mereka yang tertindas
dan
lemah
tak
berdaya.
Dia
tidak
pernah
menyembunyikan namanya dan mengaku bernama
Thian
Liong setiap
kali
perbuatan gagahnya
menggegerkan sebuah dusun atau kota. Sebentar saja
dia dianggap sebagai Si Naga Langit (Thian Liong)
seolah-olah mahluk yang menjadi lambang kebesaran
dan kesaktian itu turun dari langit untuk membela dan
menolong rakyat yang menderita!
Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong
bertanya-tanya, mencari keterangan tentang seorang
gadis yang cantik jelita dan yang pakaiannya serba
merah muda. Akan tetapi sampai hari ini, ketika dia
menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san, tidak
ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya
tentang gadis itu.
Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar
dan ramai di kaki bukit, Thian Liong segera
memasukinya. Dusun itu tampak cukup ramai dan tidak
seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang pernah
489

dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak


tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun
lain sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu
dengan pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah
pembesarnya karena takut kepada atasan yang sewaktuwaktu dapat melakukan pemeriksaan, tidak seperti
dusun-dusun yang jauh, yang tak pernah dilalui pejabat
pejabat yang memeriksa keadaan di dusun-dusun.
Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena
tampak ramai, banyak toko dan bahkan ada rumah
makan dan rumah penginapan, walaupun sederhana. Dia
mendapat harapan untuk mendengar berita tentang
gadis baju merah di tempat ini. Hari sudah siang dan
Thian Liong merasa perutnya lapar karena sejak kemarin
malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat makan
karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan
tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang
kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.
Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih
empatpuluh tahun, menyambutnya dengan senyum
ramah.
Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa? Dan
minum?
Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air
teh saja.
Air teh? Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang
lezat! pelayan itu menawarkan.
Terima kasih, paman. Aku...... eh, aku tidak biasa
minum arak, takut mabok, jawab Thian Liong sambil
490

tersenyum.
Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah
minum arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali
anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa bikin
jengkel orang tua saja! Pelayan itu menggeleng-geleng
kepala lalu pergi untuk menyediakan makanan yang
dipesan Thian Liong.
Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul
niatnya untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu
untuk bercakap-cakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis
yang dicarinya. Apalagi saat itu, rumah makan sepi tidak
tampak tamu lain.
Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk
sayur, sepoci teh dengan cawannya, Thian Liong
mengajaknya bicara sambil makan.
Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh.
Nanti kalau ada tamu boleh paman tinggalkan aku.
Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang
dan setelah minum teh secawan, Thian Liong bertanya,
Paman, aku ingin sekali bertanya. Apakah paman
pernah melihat seorang gadis cantik berpakaian serba
merah muda, punya lesung pipit di kanan kiri bibirnya
dan...... gadis itu pandai ilmu silat?
Pelayan itu mengerutkan alisnya. Gadis cantik jelita
dan pandai ilmu silat? Wah, ada, benar tentu ia yang kau
maksudkan itu! Masih muda belia, senyumnya semanis
madu, kerling matanya seperti kilat menyambar, kalau
tertawa semua bunga bermekaran, matahari bersinar
semakin terang!
491

Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia,


paman?
Tapi pakaiannya bukan serba merah muda,
melainkan putih, sutera putih halus dengan perhiasan
gemerlapan. Memang ada yang merah, akan tetapi
bukan pakaiannya melainkan sabuknya, sabuk sutera
merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun seperti
burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek
hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!
Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah
makan dan pelayan itu cepat bangkit. Maaf, siauw-ko,
ada tamu! Bergegas dia menyambut rombongan terdiri
dari empat orang itu. Seorang laki-laki muda berusia
duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik berusia sekitar
duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua sekitar
limapuluh tahun.
Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk
menghadapi sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga
meja dari tempat Thian Liong makan. Thian Liong tidak
memperhatikan mereka yang tampaknya seperti
penduduk biasa. Dia sedang melamun, merenungkn
cerita pelayan tadi.
Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong
Putih itu gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kunlun-pai. Walaupun sama cantik dan sama pandai silat,
namun pakaiannya jauh berlainan. Maling wanita itu
berpakaian serba merah muda, kalau yang diceritakan
pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula, maling wanita
itu tidak memegang senjata, ketika membunuh
perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting.
Akan tetapi Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai
492

sabuk sutera merah!


Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia
merasa tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti
warna pakaiannya? Atau, setidaknya, mungkin sebagai
sama-sama wanita pandai ilmu silat, Burung Hong Putih
ini mengenal gadis berpakaian merah muda.
Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara
duapuluh lima sampai duapuluh tujuh tahun memasuki
rumah makan itu. Melihat betapa mereka berdua berjalan
terhuyung sambil menyeringai dan tertawa-tawa, mudah
diduga bahwa keduanya sudah mabok.
Kita baru saja minum, masa mau minum lagi......?
kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
kurus.
Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling
enak di dunia! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi
bakso komplit dua porsi! Cepat......!! Dua orang itu lalu
mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan
dengan meja rombongan pertama. Pelayan setengah tua
itu agaknya mengenal mereka karena dia bergegas
menghampiri meja itu dan menggunakan kain lap untuk
membersihkan meja itu.
Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Bankongcu (Tuan Muda Ban). Silakan duduk, silakan
duduk...... kata pelayan itu dengan sikap hormat.
Cerewet! bentak si tinggi kurus yang disebut Bouwkongcu. Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua
mangkok, bodoh! bentak Ban-kongcu yang tubuhnya
tinggi besar dan sikapnya kasar.
493

Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)......


pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua
orang muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia
berbisik, hemm...... mereka putera kepala Dusun Bouw
dan Kepala Keamanan Ban......
Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka
mengeluarkan sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu
dan bergantian minum lagi sambil tertawa-tawa.
Ehh? Manis sekali! Tiba-tiba Bouw-kongcu yang
tinggi kurus itu memandang kepada gadis cantik yang
duduk bersama rombongan pertama tadi. Gadis itu
menundukkan mukanya.
Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita
makan minum, kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri.
Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini...... si manis
itu...... heh-heh.
Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu
lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja rombongan
empat orang itu. Dia langsung menghampiri nona tadi
dan berkata.
Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau
makan minum bersama kami. Hayo, manis!
Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng
kepala.
Pemuda itupun
setengah tua.

bangkit

berdiri,

diikuti

laki-laki

Sobat, apa artinya ini? Kami tidak mengenal anda,


494

jangan paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak


sopan namanya! kata pemuda itu dengan sikap marah.
Juga laki-laki setengah tua itu marah.
Jangan ganggu anakku! bentaknya.
Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan
dusun itu, membelalakkan matanya yang sudah lebar,
memandang kepada ayah dan puteranya itu bergantiganti. Ha-ha, kalian berani menentangku, ya? Kalian
belum mengenal siapa aku dan siapa Bouw-kongcu itu?
Sabarlah, sobat, ayah pemuda itu mencoba untuk
menyabarkan Ban Gu. Kami sekeluarga baru saja tiba di
kota Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian
berdua dan kamipun tidak melakukan kesalahan apapun.
Karena itu, harap jangan ganggu puteri saya, jangan
ganggu kami yang hanya ingin makan di sini.
Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan
Keamanan di sini dan Bouw-kongcu adalah putera
kepala daerah yang berkuasa di sini, tahu? Hayo! nona
ini harus menemani kami makan minum dan siapapun
tidak boleh menghalangi! Setelah berkata demikian, Ban
Gu menangkap pergelangan tangan gadis itu dan
menariknya berdiri.
Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah.
Engkau kurang ajar, hendak menghina adikku? Dia
maju dan hendak menangkap pundak Ban Gu untuk
ditariknya agar terlepas dari adiknya. Akan tetapi
agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu silat. Sekali
dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting roboh.
Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu
495

menarik puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu


mengayun tangan dan laki-laki setengah tua itupun
terpelanting menabrak kursi. Sambil terbahak Ban Gu
menangkap lagi tangan gadis itu dan menyeretnya
menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu sambil
menyeringai senang.
Ting-yi......! Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah
tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang.
Gadis itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu
mengangkatnya dan memaksanya duduk di atas kursi di
samping Bouw-kongcu.
Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat
menahan kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri
karena terdengar derap kaki kuda di luar rumah makan
dan seorang gadis berpakaian serba putih berkilau
melompat turun dari punggung kuda. Thian Liong yang
tadinya sudah bangkit berdiri untuk menghajar dua orang
pemuda berandalan itu duduk kembali saking heran dan
kagumnya. Gadis ini benar-benar mengingatkan dia akan
gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai.
Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama, wajahnya
memang agak beda, akan tetapi keduanya sama cantik
dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong,
bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali.
Tanpa disadarinya, Thian Liong mengamati dengan
penuh perhatian.
Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun,
pakaiannya dari sutera putih bersih berkilauan, pinggang
ramping itu dililit sabuk merah. Rambutnya dikuncir tebal
panjang diberi pita merah dan di atas kepalanya terhias
sebuah perhiasan berbentuk burung Hong putih dari
perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya gadis
496

itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan


julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi
julukan kepadanya karena di antaranya melihat
perhiasan itu.
Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti
biasa kulit wanita dari utara. Matanya mencorong seperti
bintang dan senyumnya yang manis itu mengandung
kenakalan. Tubuhnya yang ramping padat itu amat
menggairahkan, dengan lekuk lengkung yang sempurna.
Pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang wanita
bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu indah pada
leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit
berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi
membungkus betis (sepatu boot). Gadis itu melompat
turun dan berlari memasuki rumah makan dan tangan
kanannya masih memegang sebatang pecut kuda.
Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang
membikin ribut? suaranya nyaring dan merdu dan
biarpun ia bicara dalam bahasa pribumi Han, namun
terdengar lucu karena aksennya asing suku bangsa Kin.
Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah
bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka
bertiga yang melihat wanita itu datang dengan sikap
demikian anggun dan berwibawa, mereka bertiga hanya
dapat menuding ke arah gadis yang masih duduk
ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang duduk di
kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel dan
meraba-raba dengan tangan mereka.
Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga
orang itu dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang
duduk di antara dua orang pemuda yang jelas sedang
497

berbuat tidak sopan kepadanya, meraba-raba dada dan


menowel dagu dan pipi.
Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang
membikin ribut di sini? bentak gadis itu sambil
menghampiri meja di mana Bouw Kui, putera kepala
daerah, dan Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan
kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.
Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara
wanita memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat
mereka bangkit dan memutar tubuh menoleh dan
memandang. Keduanya terbelalak kagum.
Huihhh! Alangkah cantiknya! kata Bouw Kui sambil
menyeringai kagum.
Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya
yang itu, yang ini untukku! kata Ban Gu.
Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan
penakut itu untukmu, aku memilih yang baru datang dan
pemberani ini! kata Bouw Kui.
Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di
dekat meja Thian Liong.
Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan
celaka! bisiknya dan Thian Liong menonton dengan
ingin tahu sekali.
Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian
menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun seratus kali,
atau, aku akan menyiksa kalian sampai mampus! bentak
gadis itu sambil bertolak pinggang.
498

JILID 14
Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah
juga. Heh, jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah
engkau siapa kami? Toako, ini adalah Bouw-kongcu,
putera kepala daerah Bouw! Dan aku adalah Ban Gu,
putera kepala pasukan keamanan kota ini. Berani
engkau memaki kami? Kau bisa kutangkap dan
kumasukkan penjara!
Memaki kalian? Menyiksa dan membunuh kalian pun
aku berani, kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda di
tangannya menyambar ke depan. Cepat sekali ujung
cambuk itu menyambar, seperti kilat menyambar.
Tar-tarrr......!! dua kali cambuk itu menyambar dan
dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan
mendekap muka mereka yang tampak ada balur
memanjang merah dan berdarah! Tentu saja mereka
marah sekali. Mereka berdua pernah belajar silat, apalagi
Ban Gu yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan
dia terkenal sebagai pemuda ugal-ugalan yang suka
mengandalkan kekuatannya dan terutama kedudukan
ayahnya.
Perempuan gila......!! Dia membentak dan tangan
kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia
melompat ke depan dan menyerang dengan goloknya.
Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah
mencabut goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis
yang ketakutan itu segera berlari menghampiri orang
tuanya dan mereka berempat segera pergi dari situ,
keluar dari rumah makan tanpa pamit karena merekapun
belum makan apa-apa. Mereka merasa lebih cepat
499

mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.


Tar-tar-tar-tarrrr......! Pecut itu meledak-ledak.
Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis
itu. Gerakan perutnya itu bukan gerakan sembarangan,
melainkan gerakan tangan yang memiliki tenaga sinkang
(tenaga sakti) yang amat kuat sehingga pecut yang
hanya terbuat dari bambu itu kini berubah menjadi
senjata yang kuat menangkis sambaran golok tanpa
menjadi rusak!
Trang-tranggg......! Dua kali pecut itu meledak lagi,
tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang
pemuda yang memegang golok. Golok itu terlepas dan
jatuh berkerontangan di atas lantai. Kini pecut itu menarinari, meledak-ledak dan tubuh dua orang pemuda
menjadi bulan-bulanan pecut.
Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua
ekor monyet menari karena tubuh mereka dihujani
lecutan cambuk yang merobek-robek pakaian dan kulit
tubuh mereka sehingga tubuh mereka itu kini mandi
darah! Mereka merasa betapa tubuh mereka nyeri semua
perih-perih dan panas, sakit sampai menusuk ke dalam
tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan tanpa malumalu lagi mereka berlutut dan menyembah-nyembah
sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor
ayam makan padi sambil merintih-rintih.
Aduh...... ampun...... ampun.. jangan bunuh......!!
Keduanya minta-minta ampun.
Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak
tempat dijuluki Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong
500

Putih! Ia menghentikan cambukannya, hidungnya


mendengus dan ia segera berkata kepada Ban Gu.
He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil
Kepala Daerah Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan
datang ke sini. Cepat dan tikus she Bouw ini biar berlutut
terus di sini sampai kamu kembali bersama dua tikus
yang kupanggil itu!
Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang
sekali, akan memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru
tahu rasa engkau, perempuan iblis, pikirya. Dia
mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berlari dengan
terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa nyeri semua,
seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.
Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi
tentu saja mereka tidak berani mendekat, hanya
menonton dari jarak agak jauh sehingga rumah makan itu
tampak sepi ditinggalkan orang. Bahkan mereka yang
melalui jalan di depan rumah makan itu tidak berani
lewat.
Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang
karena kalau sang pembesar yang merupakan raja dan
panglimanya itu muncul bersama pasukannya, tentu
gadis itu akan celaka. Akan tetapi mereka yang sudah
pernah melihat sepak terjang Burung Hong Putih, diamdiam merasa gembira sekali dan tahu bahwa mereka
akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati
mereka yang selama ini banyak mengalami penindasan
itu.
Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang
pembesar itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan agar
501

mereka cepat tiba di tempat itu, kedua orang pembesar


itu naik sebuah kereta dan di belakang kereta terdapat
duapuluh orang lebih perajurit penjaga keamanan yang
biasanya
suka
dipergunakan
untuk
melakukan
pembersihan kepada rakyat jelata untuk memaksa
mereka membayar pajak atau melakukan apa saja yang
dikehendaki kepala daerah atau komandan pasukan itu.
Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban
Gu yang tidak sempat berganti pakaian, masih
berpakaian koyak-koyak dan tubuh berlumuran darah,
turun diikuti oleh ayahnya yang bertubuh tinggi besar
berperut gendut sekali, berpakaian sebagai seorang
perwira yang serba gemerlapan dan gagah. Wajah Ban
Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh brewok
sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu sudah
membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan
galak. Orang kedua, usianya sebaya dengan Ban Ho
Tung, adalah Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang
berpakaian sebagai seorang bangsawan, tubuhnya tinggi
kurus, kumisnya seperti tikus dan sikapnya angkuh dan
sombong sekali, jalannya saja dibuat-buat segagah
mungkin, namun malah tampak lucu karena tubuhnya
yang kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.
Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak
itu? tanya Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada
puteranya,
sikapnya
petentang-petenteng
(membusungkan dada menantang).
Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah, kata
Ban Gu sambil menuding ke dalam.
Siapa mencari aku? terdengar bentakan nyaring
merdu dan dari dalam rumah makan itu melangkah
502

keluar gadis berpakaian putih itu. Tangan kanannya


memegang pecut dan ujung pecut melingkar di leher
Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu berjalan
dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.
Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut! Gadis itu
membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada
Ban Gu.
Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah
sekali. Dia kini tidak merasa takut lagi. Bukankah ada
ayahnya dan ada Bouw-taijin beserta duapuluh lebih
perajurit di belakangnya?
Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti
Wuuuttt...... tarrrr......!! Pecut itu sudah melayang
dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik
tubuh Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam
keadaan berlutut! Ban Gu menjadi pucat dan dia
berteriak-teriak.
Tolooonggg......, ayah, toloonggg......!
Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek,
mengandalkan kedudukan orang tua untuk menghina
wanita-wanita. Kalian sudah sepantasnya dihajar!
Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan
cambuknya dua kali.
Tarrrr!! Tarrr!!
Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap
pinggir kepala yang berdarah-darah karena daun telinga
kanan mereka telah putus terpenggal ujung cambuk dan
503

kini dua potong daun telinga itu menggeletak di atas


tanah! Keduanya lalu merangkak melarikan diri ke arah
orang tua mereka.
Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan
menghina putera kami? Kami adalah kepala daerah di
Leng-ciu ini!
Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan
di Leng-ciu. Engkau telah berani menghina kami, berarti
engkau sudah bosan hidup! bentak pula Ban Ho Tung
sambil mencabut pedangnya lalu dia memberi isyarat
kepada duapuluh empat orang anak buahnya untuk
menangkap atau mengeroyok gadis berpakaian putih itu.
Para perajurit yang sudah turun dari kuda masing-masing
maju mengepung.
Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti
suara burung dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat
pinggang, yang berupa sabuk sutera merah. Ketika para
perajurit menyerbu, ia bergerak bagaikan seekor burung
cepatnya. Tubuhnya melesat dan seolah lenyap,
merupakan bayangan yang berkelebatan di antara
gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar.
Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para
perajurit itu roboh berpelantingan ketika mereka
disambar sinar merah dari sabuk sutera merah yang
digerakkan secara amat lihai itu. Diam-diam Thian Liong
yang keluar dan ikut nonton perkelahian itu merasa
kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini, biarpun
gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan tingkat
ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah
muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In,
agaknya tidak kalah atau sukar ditentukan siapa yang
paling lihai di antara mereka!
504

Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit


itu, Si Burung Hong Putih melihat betapa dua orang
pembesar itu ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan
tetapi ia melompat mengejar, dan sinar merah sabuk
suteranya meluncur ke depan. Tahu-tahu leher kedua
orang itu telah terbelit ujung sabuk yang ternyata menjadi
panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu roboh
terguling-guling ke arah kakinya!
Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih
terbelit ujung sabuk merah. Pembesar Bouw yang
berwatak angkuh dan sombong, biarpun ketakutan
setengah mati melihat puteranya terpotong daun telinga
kanannya dan semua perajurit pengawalnya dihajar
sampai berjatuhan, namun masih mencoba untuk
menggertak gadis itu.
Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan
kerajaan akan datang, menangkapmu sebagai seorang
pemberontak yang jahat!
Srattt......! Gadis itu menggerakkan tangan kirinya
dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir
gambar seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan
ukiran naga itu terbuat dari emas!
Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?
Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang
bengkok yang diukir gambar naga dari emas itu, seketika
mata mereka terbelalak dan wajah mereka menjadi
pucat, tubuh mereka gemetar dan kedua kaki menggigil.
Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu,
membentur-benturkan dahi di tanah sambil berkata
dengan suara penuh ketakutan.
505

Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu


bahwa paduka yang mulia adalah......
Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua
mengakui dosa-dosa kalian? bentak gadis itu sambil
mengancam
dengan
pedang
bengkoknya
dan
melepaskan sabuk sutera merahnya dari leher mereka.
Hamba...... hamba...... tidak tahu kesalahan dan
dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia......
Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu
yang berlutut lalu menyebut yang mulia kepada nona itu,
Bouw Kui dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan
ketakutan, lalu ikut berlutut mendekam di atas tanah,
tidak berani bergerak, bahkan menahan napas agar
tubuh mereka tidak membuat gerakan.
Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga
ketakutan dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara
mereka yang sudah lama menjadi perajurit mengenal
pedang bengkok dengan ukiran naga emas itu. Itu
adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan oleh
Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu boleh
menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa
lebih dulu minta ijin dari Kaisar!
Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian
berdua adalah orang-orang pribumi yang dipercaya oleh
Sribaginda, diberi kedudukan dan kekuasaan untuk
mengatur rakyat di daerah kalian, menjaga keamanan
dan mengusahakan kesejahteraan dan ketenteraman
bagi rakyat. Akan tetapi ternyata kalian menindas rakyat,
bangsamu sendiri, dan membiarkan anak-anak kalian
menjadi pemuda berandalan yang jahat dan kejam. Dan
sekarang kalian masih bertanya dosa apa yang kalian
506

lakukan? Hayo jawab!


Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan.
Hamba layak dihukum...... akan tetapi hamba mohon
beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan
melakukan penindasan lagi, akan melaksanakan tugas
kewajiban hamba sebaik-baiknya.
Hemm, benarkah itu? Kalian akan berusaha agar
kehidupan rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan
makmur? Kalian akan bertindak seadil-adilnya?
Hamba bersumpah! Dua orang pembesar itu
menjawab dengan berbareng.
Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang
melihat kejadian ini dari jauh itu, ia menuding ke arah
banyak orang yang berdiri di kejauhan, biarlah sekarang
aku memberi hukuman ringan kepada kalian! Berkata
demikian, secepat kilat sinar pedang berkelebat dan dua
orang pembesar itu mengaduh dan memegangi tangan
kiri mereka yang sudah kehilangan jari kelingking
masing-masing, terbabat putus oleh pedang yang amat
tajam itu. Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang
kuambil, lain kali kalau aku masih mendengar atau
melihat kalian berlaku sewenang-wenang kepada rakyat,
kalian akan kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota
raja, atau kalau aku tidak sabar, akan kupenggal leher
kalian di sini juga!
Ampunkan hamba! Dua orang itu menyembahnyembah. Dua orang putera mereka juga menyembahnyembah ketakutan.
Gadis

itu

menyarungkan

lagi

pedangnya

dan
507

melibatkan sabuk sutera merah di pinggangnya, lalu


menghampiri kudanya, melompat ke punggung kuda dan
menjalankan kudanya meninggalkan tempat itu. Ketika ia
melewati orang-orang yang berkerumun nonton dari
kejauhan, ada yang berseru, Hidup Pek Hong Niocu.!
Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru,
Hidup Pek Hong Nio-cu!!
Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan
membedal kudanya meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak
tahu bahwa ada bayangan orang berkelebat dan
mengikutinya keluar dari pintu gerbang kota sebelah
utara.
***
Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah
seorang puteri kaisar yang lahir dari seorang selir kaisar
yang cantik. Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa
China aseli yang menyebut dirinya bangsa Han). Biarpun
ia hanya puteri seorang selir, namun karena selir itu
menjadi kesayangan kaisar Dinasti Kin, maka tentu saja
anak perempuan ini juga amat disayang dan dimanja
kaisar.
Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki
watak yang begal dan lincah seperti seorang anak lakilaki. Dalam usia lima tahun saja, ia sudah berani
menunggang kuda dan membalapnya, berlumba dengan
para putera bangsawan, bahkan yang usianya lebih tua
dari padanya. Ia suka pula bermain panah-panahan
sehingga sejak kecil dapat melepaskan anak panah
dengan jitu.
508

Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia


sepuluh tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri
Moguhai yang berusia enam tahun juga tidak mau
ketinggalan, ikut-ikutan berlatih ilmu silat. Tentu saja guru
silatnya tidak berani melarang karena ia puteri kaisar,
pula ketika guru-guru silat melihat betapa bocah
perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka
bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat
kepadanya. Maka tidak mengherankan apabila Puteri
Moguhai memperoleh kemajuan pesat dan setelah
berusia sepuluh tahun, dalam latihan, ia dapat
mengalahkan murid-murid pria yang usianya lebih
beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja
menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba
untuk menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada
sang puteri, bukan hanya karena senang mempunyai
murid demikian cerdiknya, melainkan tentu saja ada
pamrih untuk menyenangkan hati sang kaisar!
Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada
suatu hari, ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke
dalam taman istana yang luas. Cuaca remang-remang,
akan tetapi ia masih dapat menikmati bunga-bunga yang
bermekaran karena waktu itu musim semi telah tiba.
Ketika ia mendekati sebuah pondok yang berada di
tengah taman itu, pondok kecil tempat peristirahatan
keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya memasuki
pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak
olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!
Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan
belum dapat menduga apa-apa yang melanggar susila.
Ia hanya merasa heran sekali, akan tetapi tidak berani
mendekati pondok, hanya merunduk-runduk lebih dekat
lalu bersembunyi di balik semak-semak di samping
509

pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan maksud


agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar
dari pondok. Di atas pondok itu tergantung sebuah lampu
sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia
mendekam di situ, hati-hati sekali tidak berani banyak
bergerak, bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia
hanya mengusir nyamuk itu, tidak berani menamparnya.
Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang
Ibu Puteri Moguhai yang dulu adalah seorang wanita
pribumi bernama Tan Siang Lin. Kini ia adalah seorang
selir terkasih dari Kaisar Kin. Usianya sekitar duapuluh
delapan tahun namun masih tampak cantik jelita dan
gerak-geriknya lembut, seperti seorang gadis muda.
Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi
lampu gantung itu bersama seorang pria. Laki-laki itu
berpakaian sederhana, tubuhnya sedang namun tegap,
wajahnya bersih, tampan dan senyumnya menawan,
sikapnya juga lembut dan sinar matanya mencorong.
Begitu memasuki pondok dan daun pintunya ditutup, selir
kaisar itu lalu mengeluh.
Sie-koko (Kanda Sie)! Dan ia sudah menubruk
hendak merangkul pria itu. Akan tetapi pria itu
menyambut dengan memegang dan menahan kedua
pundak wanita itu, lalu berkata dengan suara halus
namun penuh wibawa.
Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau
adalah isteri seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku
tidak ingin melihat engkau menjadi seorang isteri yang
melakukan hal tidak pantas dan mengkhianati suami.
Mari, duduklah, kita bicara baik-baik dan pantas. Dia
mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi,
510

sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan


Siang Lin atau yang kini menjadi selir kaisar itu menggigit
bibir dan mengusap beberapa butir air mata yang
menetes di atas kedua pipinya.
Akan tetapi, Sie-ko, aku...... aku rindu padamu......
apakah engkau tidak cinta lagi padaku, koko? Dalam
suara itu terkandung kesedihan yang ditahan-tahan.
Laki-laki itu menghela napas panjang. Lin-moi,
justeru karena aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku,
maka aku tidak ingin melihat engkau menyimpang dari
kebenaran. Aku ingin melihat engkau bahagia sebagai
seorang isteri kaisar yang dimuliakan, dihormati, dan
bersih dari pada noda.
Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman
ini, koko? Pada hal kunjunganmu ini berbahaya sekali,
kalau sampai ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa
maksudmu berkunjung ini, kalau bukan karena rindu
padaku seperti juga aku merindukanmu?
Laki-laki itu tersenyum. Aku hanya ingin
menyaksikan sendiri bahwa engkau hidup bahagia di sini,
Lin-moi. Aku mendengar dan kini melihat sendiri bahwa
engkau menjadi seorang selir yang dikasihi kaisar,
dihormati dan dimuliakan orang, walaupun engkau
seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang......
siapa lagi nama anak itu?
Puteri Moguhai
Ya, nama yang indah, walaupun agak asing
terdengarnya. Aku mendengar pula tentang anak itu.
Kabarnya ia cerdik sekali dan berbakat baik dalam ilmu
511

silat. Karena itu, kedatanganku ini untuk menyerahkan


kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah anak itu berusia
empatbelas tahun dan sudah memiliki dasar ilmu silat
yang baik, kau berikan kitabkitab ini dan suruh ia
melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas
dalam kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan
kepadanya, Lin-moi, dan ini, suruh ia kelak selalu
memakai ini dan semoga Tuhan selalu melindunginya.
Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah
perhiasan rambut berbentuk burung Hong dari perak
dengan mata mirah. Ia menerimanya dengan terharu
sekali.
Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah
engkau menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan
menjaga puterimu. Pria itu bangkit berdiri dan hendak
melangkah ke pintu.
Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin
kuceritakan padamu...... ini...... merupakan rahasia
pribadiku...... dan hanya engkau saja yang boleh
mendengarnya.
Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang
Lin dengan sinar mata mencorong. Apakah itu, Lin-moi?
Ketika aku melahirkan...... sebetulnya anakku itu
terlahir kembar, keduanya perempuan......
Pria itu membelalakkan kedua matanya. Kembar?
Dan...... yang seorang lagi?
Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah
seorang wanita tua yang menjadi bidan, dan ditemani
512

seorang sahabat baikku. Ia seorang janda pangeran,


suaminya sudah mati dan ia tidak mau menikah lagi,
pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku. Kami
menjadi sahabat yang akrab sekali, bahkan telah
bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri
kepala suku bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika
melihat aku melahirkan bayi perempuan kembar, Miyana
menangis dan mengatakan kepadaku bahwa kaisar
adalah seorang yang percaya bahwa anak kembar
wanita akan membawa malapetaka maka besar
kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas
usul Miyana, anak yang satunya lagi ia selundupkan
keluar dari kamarku sehingga aku dianggap melahirkan
seorang anak perempuan saja, yaitu Moguhai itulah.
Bidan tua itupun dipesan menyimpan rahasia, akan tetapi
beberapa hari kemudian ia mati karena sakit mendadak.
Aku menduga bahwa itu perbuatan Miyana yang takut
kalau-kalau bidan itu membuka rahasia.
Pria itu mengangguk-angguk. Hemm, lalu...... anak
yang satunya lagi itu?
Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda,
pulang kepada orang tuanya, kepada ayahnya yang
menjadi kepala suku Uigur. Tentu saja anak itu diamdiam dibawanya dan sampai sekarang aku tidak pernah
lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah, itu, koko,
dan hanya engkau seorang yang mengetahui.
Pria itu menghela napas panjang. Aih, sungguh
nasib mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah
hukuman akibat dosa kita herdua? Nah, terima kasih atas
semua ceritamu, Lin-moi dan jangan lupa berikan kitabkitab itu kepada Moguhai. Sekarang aku pergi.

513

Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu.


Moguhai yang mengintai di luar melihat mereka keluar
dan ia menatap wajah pria itu dengan penuh perhatian.
Ia melihat mereka berdiri berhadapan di luar pintu, lalu
pria itu memegang pundak ibunya dan berkata dengan
suara lirih, Nah, selamat tinggal, Lin-moi, semoga
engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!
Selamat jalan, Sie-koko...... jaga dirimu baik-baik!
kata ibunya dengan suara mengandung isak.
Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali
berkelebat dia telah lenyap dari situ. Moguhai terbelalak!
Setankah yang dilihatnya tadi? Kalau manusia, mana
mungkin menghilang begitu saja? Ibunya bergaul dengan
setan yang disebutnya Sie-koko?
Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis
cilik itu lalu lari menghampri ibunya.
Ibu!
Eh, engkau Moguhai? Dari mana engkau......?
Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira
anaknya muncul begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu
telah melihat......
Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?
Ehh? Setan......?
Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang
ibu sebut Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti
setan!
Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya
514

masuk ke dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata


dengan nada suara serius.
Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang
pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia
seorang sakti, Moguhai dan dia...... dia itu dahulu
menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan
kitab-kitab dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau
kelak engkau mempelajari tiga buah kitab ini, berarti dia
itu juga gurumu, Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku,
jangan katakan tentang dia itu kepada siapapun juga.
Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu ini tentu akan
dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak akan
terluput dari hukuman.
Akan tetapi kenapa, ibu? Ayahanda Kaisar tentu
tidak akan marah mendengar aku mendapatkan seorang
guru yang sakti.
Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang
pendekar bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh
curiga dan mengira dia itu mata-mata dari kerajaan Sung
yang akan menyelidiki istana. Karena itu, demi
keselamatan kita sendiri, jangan katakan kepada
siapapun juga. Engkau berjanji?
Moguhai mengangguk-angguk. Baik, ibu.
Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa
laki-laki, yang memberi kitab kepadanya itu adalah
Paman Sie dan ia tidak pernah bertemu lagi
dengannya. Tiga kitab itu merupakan kitab-kitab
pelajaran ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang pertama
mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang
(tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam
515

yang hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti, untuk


membuat dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti
terbang. Kitab kedua berisi pelajaran ilmu silat yang
menggunakan senjata sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai
dengan sehelai sabuk sutera panjang merah.
Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang
yang aneh akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang
Sin-coa-kiamsut (Ilmu Pedang Ular Sakti) yang
dimainkan dengan pedang bengkoknya, pedang khas
bangsa Kin sehingga kini, setelah berusia sembilanbelas
tahun, Moguhai menjadi seorang gadis yang lihai bukan
main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong Nio-cu
atau Nona Burung Hong Putih karena perhiasan
rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata
mirah!
Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan
kota Leng-ciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri
Kaisar, namun ia berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya
yang sering menceritakan tentang sepak terjang para
pendekar persilatan yang selalu berjuang untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, selalu menentang
kejahatan, melawan para penindas dan membela rakyat
kecil yang tertindas. Karena itulah, ia seringkali
meninggalkan istana dan merantau ke daerah-daerah.
Setiap bertemu kejahatan, ia pasti menantang yang jahat
dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang
korup menerima hajaran keras darinya dan banyak
gerombolan penjahat
dibasminya.
Kaisar
yang
mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga,
maka lalu menghadiahkan pedang bengkok berukir naga
emas yang menjadi tanda kuasaan besar. Semua
516

pembesar maklum bahwa pemilik pedang naga emas itu


berkuasa seperti kaisar sendiri, boleh menghukum atau
membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!
Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya
dengan santai keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dari belakangnya dan tahu-tahu di
tengah jalan berdiri seorang pemuda. Jalan itu sepi, tidak
ada orang lain kecuali mereka berdua. Pemuda itu berdiri
tegak di tengah jalan, jelas menghadang perjalanan
kudanya.
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia
memperhatikan
seorang
pemuda
biasa
saja,
menggendong buntalan seperti orang-orang yang
melakukan perjalanan jauh, pakaiannya sederhana dan
wajah pemuda itupun biasa saja walaupun dapat dibilang
tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau
mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!
Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak
lewat? Apa ingin tertubruk kuda! tegurnya.
Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia
lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil
membungkuk sedikit sebagai penghormatan.
Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu......
Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?
Pek Hong Nio-cu menegur, agak kesal karena
perjalanannya terganggu.
Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan
engkau menghajar orang pembesar brengsek di kota
517

Leng-ciu tadi! Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi,


nona. Aku merasa kagum sekali kepadamu!
Hemm, aku tidak butuh pujianmu! bentak Pek Hong
Nio-cu karena sudah sering ia mendengar laki-laki
memujinya yang sebetulnya hanya merupakan rayuan
untuk menyenangkan hatinya. Ia sudah mendapatkan
kenyataan bahwa semua adalah perayu-perayu gombal
kalau sudah berhadapan dengan wanita cantik!
Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara
sebenarnya!
Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu.
Apa maksudmu menghadang perjalananku? Minggir,
atau kutabrak engkau!
Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau
beraksi, aku mengira bahwa engkau adalah seorang
gadis yang pernah kukenal, gadis yang mencuri
pusakaku.
Tikus busuk! Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya
berwatak keras dan galak itu sudah melompat turun dari
punggung kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia
mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon di tepi
jalan dan cepat ia kini berdiri menghadapi Thian Liong
dengan sikap menantang. Kurang ajar, berani engkau
mengira aku sebagai pencuri?
Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak.
Bukan, gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah,
pencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kunlun-pai itu. Hanya bentuk tubuhnya saja yang sama, juga
sama-sama cantik jelita.
518

Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian


Liong memandang wajahnya dengan penuh perhatian,
dia terbelalak. Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam
dan senyum mengejek itu, dan terutama tahi lalat di
ujung bibir kanan itu! Tak salah lagi! Siapa, lagi kalau
bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In? Memang benar,
Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau, akan tetapi
pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna hijau kini
menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah lagi!
Thian Liong tertawa dan melangkah maju lalu
menudingkan telunjuknya ke arah hidung gadis itu.
Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?
Ngawur! Siapa itu Thio Siang In? Pek Hong Nio-cu
membentak kehilangan kesabaran karena menganggap
pemuda itu main-main.
Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa
kepadaku? Atau pura-pura lupa? Aku Souw Thian Liong!
Jangan marah kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu.
Kitab itu sudah kukembalikan yang berhak, yaitu Siauwlim-pai yang menjadi pemilik sah. Maafkan kalau dulu
aku tidak dapat meminjamkannya kepadamu, In-moi.
Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan
kurang ajar kepadaku. Sambut ini! Bentak Pek Hong
Nio-cu ia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah
ulu hati Thian Liong.
Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian
Liong cepat mengelak mundur. In-moi, aku tidak mainmain, dan aku tidak ingin berkelahi denganmu.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang
519

semakin ganas dan gencar. Serangan-serangan gadis itu


sungguh tak boleh dipandang ringan karena pukulannya
mengandung tenaga sakti yang amat kuat.
Thian
Liong
menjadi
terkejut
dan
timbul
kegembiraannya untuk menguji kembali kepandaian
gadis ini yang dulu pernah dia kalahkan. Siapa tahu
Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru yang lebih
lihai. Maka dia cepat mengelak dan membalas serangan
lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.
Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan
heran. Pemuda yang disangkanya pemuda dusun biasa
itu ternyata bukan main. Tidak saja dapat menghindarkan
serangannya yang cepat dan bertubi, bahkan mampu
membalas dengan tamparan yang mengandung tenaga
sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu menjadi penasaran
sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan
menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Thian
Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun
menyambut dengan tangkisan sambil mengerahkan
sinkangnya pula.
Wuuuttt...... dukkk! Tubuh Pek Hong Nio-cu
terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak
dan menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya
mundur selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas
bahwa ia kalah kuat.
Srettt......!! Tampak gulungan sinar merah
berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu
sinar itu mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian
Liong. Itulah senjata sabuk merah yang telah diloloskan
Pek Hong Nio-cu dari pinggangnya.

520

Hyaattt! Sinar merah itu menyambar cepat


sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan
berbahayanya senjata sabuk sutera merah itu, sudah
cepat merendahkan dirinya sehingga sabuk itu lewat di
atas kepalanya. Begitu sinar itu lewat di atas kepala,
tangan Thian Liong menyambar dan ujung sabuk sudah
dapat dipegangnya!
Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik
sabuknya, namun tetap saja ujung sabuk berada di
tangan Thian Liong, tak dapat terlepas dari
pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali cepat ia
maju dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh
Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya
yang bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu
sehingga gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan
tangan Thian Liong. Ia membetot sekuat tenaga.
Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah
itu putus. Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka
tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dan otomatis
tubuh Pek Hong Nio-cu terjengkang ke belakang. Thian
Liong terkejut karena gadis itu tentu akan terbanting
jatuh. Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh yang padat
langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke belakang
sampai lima kali dengan indahnya dan tidak terbanting
sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan
sabuk sutera itu telah dilibatkan kembali ke pinggangnya.
Agaknya sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat
menyimpan kembali sabuknya.
Hebat! Thian Liong memuji kagum.
Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
yang bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin
521

marah. Pek Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong


itu sebagai ejekan dan kini begitu tangan kanannya
bergerak, ia sudah mengeluarkan pedang bengkoknya
yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya!
Manusia sombong! bentak gadis itu, kemarahannya
memuncak karena dua kali ia telah kalah, pertama dalam
ilmu silat tangan kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang
bersenjatakan sabuk sutera merah tidak mampu
mengalahkan pemuda yang bertangan kosong itu. Kalau
memang engkau gagah, cabut pedangmu dan lawan
pedangku ini!
Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi
menimbulkan permusuhan yang berlarut-larut dengan
gadis yang galak, lihai dan jelas berjiwa pendekar yang
tadi menentang pembesar-pembesar jahat sewenangwenang itu. Dan diapun mulai curiga. Dia sama sekali
tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas Thio Siang In
yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias
mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan tetapi
selain tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata
sepasang pedang.
Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar,
pakaiannya serba putih, bersenjata sabuk sutera merah,
dan pedangnya bukan sepasang pedang melainkan
sebatang pedang bengkok! Selain itu, ketika tadi
bertanding, dia melihat ilmu silat mereka juga sama
sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang itu
memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas
dan keji seperti yang biasa dipergunakan orang-orang
golongan sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang
dimainkan Pek Hong Nio-cu ini memiliki dasar yang
bersih. Ternyata ilmu silat antara kedua orang gadis itu
522

sama sekali berbeda, walaupun tingkatnya kira-kira


hampir sama.
Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu
menjura dengan hormat. Maafkan aku, nona, kalau aku
telah salah mengenal orang. Biarpun nona serupa benar,
bahkan persis, seorang gadis bernama Thio Siang In
yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, namun senjata dan ilmu
silat nona sama sekali berlainan. Karena itu aku mulai
yakin bahwa aku telah salah mengenal orang. Karena itu,
harap engkau suka maafkan aku karena aku tidak
bermaksud buruk terhadap dirimu.
Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata
mencorong. Mulutnya merengut dan kembali jantung
Thian Liong berdebar. Kalau cemberut marah seperti itu,
sungguh persis sekali gadis ini dengan Thio Siang In.
Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu juga cemberut
seperti ini ketika dia marah kepadanya!
Engkau
sudah
memamerkan
kepandaian
mengalahkan aku dua kali dan masih bilang tidak berniat
buruk terhadap aku? Hayo cabut pedangmu dan jangan
kepalang kalau hendak mengujiku. Sebelum engkau
dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih belum
mengaku kalah!
Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan
denganmu. Aku Souw Thian Liong mengaku bersalah
dan mohon maaf, kembali pemuda itu berkata.
Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang
selama ini disohorkan orang maka engkau menjadi begini
sombong! Kalau engkau tidak mau mencabut pedangmu,
terpaksa aku akan menyerangmu juga! Lihat pedang!
523

Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang


bengkoknya dan begitu menyerang, ia sudah
mengeluarkan jurus yang lihai dari ilmu pedang Sin-coa
Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong (Ular Sakti Keluar
Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar terang
meluncur ke arah dada Thian Liong!
Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong
dan sabuk sutera merah gadis itu baginya masih belum
merupakan serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi
serangan pedang bengkok ini sama sekali tidak boleh
dipandang ringan. Maka, dia cepat melompat ke
belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.
Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek
Hong Nio-cu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi.
Pedangnya membuat gerakan seperti seekor ular dan
tahu-tahu pedang itu mematuk dari samping.
Serangannya tak terduga-duga dan gerakannya selain
cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong
mengandalkan
gin-kang
untuk
mengelak
dan
berlompatan ke sana-sini. Akan tetapi bayangan
tubuhnya dikejar terus oleh gulungan sinar mengkilat
pedang bengkok itu. Ketika pedang bengkok itu
menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari
samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan
pedangnya.
Tranggggg! Bunga api berpijar terang ketika
dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah
sebatang pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang
bengkok pemberian kaisar itupun ampuh sekali sehingga
tidak menjadi rusak. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu
merasa betapa tangannya yang memegang pedang
gemetar dan terguncang hebat.
524

Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui


bahwa lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benarbenar lihai sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis
yang keras kepala, ia tidak mau mengaku kalah dan
menyerang terus dengan mengeluarkan semua
kemampuannya.
Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis
itu. Dia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis
itu benar-benar merupakan ilmu pedang tingkat tinggi
yang hebat sekali. Hanya sayang, agaknya gadis ini
belum menguasai benar ilmu pedang itu, belum matang
permainannya. Andaikata gadis itu sudah menguasai
sepenuhnya, Thian Liong maklum bahwa pedangnya itu
akan merupakan bahaya besar bagi lawannya.
Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu
atau yang nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima
ilmu pedang itu dari pamannya, yaitu yang oleh ibunya
disebut sahabat she Sie, yang memberikan tiga kitab
ilmu silat kepadanya, juga hiasan rambut burung Hong
Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan ilmu
pemberian Paman Sie itu dari orang lain, terpaksa
melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah
pimpinan seorang ahli sehingga ia tidak dapat
menguasai ilmu itu sepenuhnya.
Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis
itu. Dia tidak ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau
mengalahkan secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka
setelah bertanding ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba
Thian Liong mengerahkan sin-kangnya, membuat
pedang lawan melekat pada pedangnya. Pek Hong Niocu terkejut dan mencoba membetot lepas pedangnya,
namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong membentak.
525

Lepas! Dia menggerakkan pedangnya dengan


sentakan dan Pek Hong Nio-cu tidak dapat
mempertahankan pedangnya lagi. Pedang itu seperti
direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang ke atas.
Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang
sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Niocu dapat menangkapnya dengan tangan kanannya.
Wajahnya berubah merah sekali dan ia menyimpan lagi
pedangnya di sarung pedangnya.
Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura
dengan kedua tangan dirangkap di depan dada dan
membungkuk hormat.
Harap engkau suka maafkan aku, nona.
Sesungguhnya aku tidak bermaksud untuk bertanding
denganmu dan aku tadi tidak berbohong ketika
mengatakan bahwa engkau sungguh serupa benar
dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In
yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan
kesalahanku mengenal orang, nona.
Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya
menurunkan kadar kemarahan dan rasa penasaran di
hati Pek Hong Nio-cu. Ia memandang pemuda itu dengan
penuh perhatian, diam-diam merasa kagum karena
pemuda itu benar-benar telah mengalahkannya. Begitu
sederhana dan rendah hati, akan tetapi sesungguhnya
memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa
ilmu kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh
lebih tinggi daripada kepandaianku, bukan? kata Pek
Hong Nio-cu dengan suara mengandung kepahitan.

526

Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian


kalian berimbang, bahkan, aku mau berterus terang,
kalau ilmu pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya
dan kaulatih dengan sempurna, jangankan Ang Hwa
Sian-li, bahkan aku sendiri belum tentu dapat menang
melawanmu.
Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa
bulan ini ia sudah mendengar akan ketenaran nama Si
Naga Langit yang disohorkan sebagai seorang pendekar
yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi biasanya,
begitu yang ia dengar, para pendekar itu selain menjadi
pembela kebenaran dan keadilan, juga bersikap
memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai seorang
yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja
merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu
yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai
seorang puteri Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa
Nuchen yang mendirikan wangsa Kin, tentu saja ia
merasa tidak senang kalau para pendekar menentang
dan memusuhi pemerintah bangsanya! Memang, iapun
tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi, seorang
wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah
Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!
Souw Thian Liong, benarkah engkau yang
disohorkan orang dengan sebutan Si Naga Langit? Pek
Nio-cu bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda itu.
Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa
rikuh juga dengan namanya yang disohorkan orang itu.
Semua sepak terjangnya hanya didorong sebagai
kewajibannya semata, sama sekali bukan untuk mencari
ketenaran nama. Yah, begitulah orang-orang menyebut
saya, padahal itu adalah nama aseli saya, katanya malu527

malu.
Jadi engkau seorang pendekar yang malang
melintang di dunia kang-ouw, menentang kejahatan dan
membela kebenaran dan keadilan?
Akan kuusahakan semampuku untuk membela
kebenaran dan keadilan yang sudah menjadi
kewajibanku, Pek Hong Nio-cu. Memang untuk itulah aku
dengan susah payah mempelajari ilmu silat.
Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban
pula untuk menentang dan memusuhi pemerintah
Kerajaan Kin? gadis itu mendesakkan pertanyaan ini.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran
ketika pemuda itu menggeleng kepalanya lalu menghela
napas. Kerajaan Sung Utara telah kalah dan kekalahan
itu harus diakui. Urusan negara diselesaikan oleh negara
melalui perang. Apa artinya bagi perorangan untuk
melawan balatentara negara? Tidak, Pek Hong Nio-cu,
aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin kalau
negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan
menjadi perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak
mencampuri. Aku menentang bangsa apa saja yang
bertindak sewenang-wenang dan jahat. Biar bangsaku
sendiri, kalau dia melakukan kejahatan tentu akan
kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada di
pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali
dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Niocu.
Tindakan yang mana? tanya gadis itu, semakin
tertarik.

528

Engkau telah membela seorang gadis pribumi


dengan keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda
putera pembesar, bahkan menghajar para pengawal
mereka, kemudian engkau memberi hajaran keras
kepada dua orang pembesar Kerajaan Kin. Tindakanmu
itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pendekar dan
bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa
pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalaukalau mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah
aku merasa kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu.
Pek
Hong
Nio-cu
mengerutkan
alisnya.
Pembesarku? Apa maksudmu dengan kata itu, Souw
Thian Liong?
'Thian Liong tersenyum. Engkau tidak perlu
bersembunyi lagi, Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat
menduga siapa engkau sebenarnya.
Hemm, begitukah? Coba katakan, siapa aku? kata
gadis itu dengan kepala ditegakkan, anggun menantang.
Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang
berkedudukan tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru
menduga, engkau tentu puteri dari istana, puteri Kaisar
Kerajaan Kin sendiri.
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu
berkilat, dan hati Pek Hong Nio-cu semakin tertarik.
Selama ini tidak ada orang yang tahu bahwa ia adalah
puteri kaisar. Ketika ia memperlihatkan pedang bengkok,
dua orang pembesar itupun hanya tahu bahwa ia
mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk menghukum
siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun tidak
tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri
529

kaisar.
Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw
Thian Liong? tanyanya.
Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan
sikap seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau
seorang puteri bangsawan tinggi. Kemudian, setelah
engkau memperlihatkan pedang bengkok itu kepada dua
orang pembesar brengsek, mereka berlutut ketakutan.
Berarti pedang itu menjadi tanda kekuasaanmu yang
amat tinggi. Setelah engkau mencabut pedang itu dan
kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas pada
pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga
merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan
pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki
seorang kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu
engkau mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri.
Demikianlah, aku dapat menduga bahwa engkau adalah
puteri Kaisar Kerajaan Kin, melihat bahwa pakaianmu
adalah pakaian seorang puteri bangsa Kin, Pek Hong
Nio-cu.
Pek Hong Nio-cu kini memandang
pemuda itu. Harus ia akui bahwa dalam
masih kalah jauh dibandingkan pemuda
pemuda itu juga cerdik sekali sehingga
bahwa ia adalah puteri kaisar sendiri.

kagum kepada
hal ilmu silat, ia
itu dan ternyata
dapat menduga

Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga


mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong.
Aku girang dapat berkenalan dengan seorang pandai
sepertimu, apa lagi aku sudah mendengar bahwa engkau
adalah seorang pendekar penentang kejahatan yang
dikenal sebagai Si Naga Langit!
530

Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis.


Hilang kini kesan angkuh dan galak dan wajah itu
menjadi cantik jelita dan manis sekali. Kembali Thian
Liong terheran-heran karena dia ingat benar bahwa gadis
di depannya itu adalah wajah Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In! Pandang mata penuh keheranan dan penasaran dari
mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh sang puteri.
Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau
memandangku seperti itu? ia menegur, alisnya berkerut.
Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat
menjura dengan hormat. Maafkan saya, tuan puteri......!
Hushh......, jangan sebut aku seperti itu. Biarpun
engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan
sebut-sebut itu dan anggap saja engkau berhadapan
dengan Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita
biasa, bukan seorang puteri kaisar!
Thian Liong tersenyum maklum. Baiklah, Pek Hong
Nio-cu, dan maafkan aku tadi yang memandangmu
dengan penuh perasaan heran dan juga penasaran.
Sesungguhnyalah, wajahmu, gerak-gerikmu, tiada
bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio
Siang In yang menyamar, aku tentu percaya
sepenuhnya.
Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan
tampaknya ia tertarik sekali. Hemm, coba perhatikan
dengan seksama. Sama benarkah aku dengan gadis
bernama Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu?
Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya.
531

Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah


dan bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya.
Yang beda hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut
senjatanya, juga gaya bahasanya.
Bagaimana perbedaannya?
Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba
hijau dan rambutnya terhias bunga mawar merah.
Senjatanya juga sebatang pedang dan gerakan silatnya
sungguh berbeda dengan gerakanmu, ilmu silatnya
bersifat keji seperti biasa dimiliki golongan sesat. Akan
tetapi ia sendiri bukan seorang gadis jahat yang sesat.
Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya agak keras dan
galak dan gaya bicaranya seperti logat orang-orang dari
daerah barat.
Ia itu seorang...... sahabat baikmu? tanya Pek Hong
Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan.
Thian Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon
yang menonjol di atas tanah.
Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa
ketika aku berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai
perkelahian antara ia dan pihak Bu-tong-pai karena salah
paham. Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang
perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li di Bu-tong-pai di
mana gadis itu berselisih dengan orang-orang Bu-tongpai karena kesalahpahaman mereka.
Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena
aku belum pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai, kata
Pek Hong Nio-cu. Akan tetapi tadi engkau mengira aku
seorang gadis yang mencuri kitab pusakamu. Apa artinya
itu? Apakah Thio Siang In itu mencuri kitab pusakamu?
532

Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang


mencuri kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain.
Tadinya aku mengira engkau adalah ia karena
perawakan kalian mirip. Gadis itu berpakaian serba
merah muda, juga cantik jelita, cerdik, galak. Gerakan
ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet. Ia lihai
sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya
kuserahkan kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lunpai. Akan tetapi kitab itu dicurinya dan aku sekarang
sedang mencari gadis itu untuk merampas kitab itu
kembali.
Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana
engkau selalu bentrok dengan gadis-gadis cantik yang
lihai! Tadi engkau juga mengatakan bahwa engkau
bentrok dengan Thio Siang In itu karena ia juga ingin
pinjam kitab!
Thian Liong menghela napas panjang. Memang
nasibku yang buruk. Thio Siang In hendak memaksa
pinjam kitab Sam-jong Cin-keng yang harus kuserahkan
kepada Siauw-lim-pai. Maka kami bertanding dan aku
menyesal sekali kenapa aku harus selalu bertanding
dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang di sini aku
harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong Niocu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua
gadis cantik yang lihai.
Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian
Liong. Aku bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk
apa sih engkau membagi-bagikan kitab? Kepada Butong-pai dan kepada Siauw-lim-pai, mungkin kepada
partai persilatan lain? Kenapa engkau membagi-bagikan
kitab kepada mereka?
533

Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan


hatinya merasa girang. Gadis baju merah itu telah
mencuri kitab milik Kun-lun-pai sehingga dia kini harus
bersusah payah mencarinya, pada hal dia tidak tahu
siapa nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya. Dan
Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak memaksa
pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa
mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan
menangis dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini,
puteri kaisar Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan
mengatakan kagum!
Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku
mendengar bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah
kuceritakan mengapa aku membagi-bagi kitab kepada
para pimpinan partai persilatan. Semua itu adalah atas
perintah guruku. Ketika aku turun gunung, suhu
menyerahkan tiga buah kitab kepadaku untuk diberikan
kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab Sam-jong
Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na
kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya
dicuri orang dari pemiliknya masing-masing dan
kebetulan suhu yang dapat menemukannya kembali dan
menyuruh aku mengembalikannya kepada yang berhak.
Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju merah yang tidak
kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah
kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula
kitab Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai.
Tadinya Ang Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam
kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dengan
paksa kepadaku, akan tetapi kutolak sehingga kami
bertanding dan ia pergi dengan meninggalkan kebencian
kepadaku. Sekarang, terpaksa aku harus mencari gadis
534

baju merah untuk minta kembali kitab milik Kun-lun-pai


itu.
Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?
Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa)
bernama Tiong Lee Cin-jin.
Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa
itu? Aku sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas
engkau begini lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa
itu. Kau tahu, Thian Liong, ketika di istana ayahku
berjangkit penyakit yang amat berbahaya sehingga
banyak yang sakit pagi sorenya mati dan sakit sore
paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota
raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak
seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat
bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan
obat itu.
Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita
itu karena memang gurunya sering melakukan hal-hal
yang aneh dan dia tahu bahwa bagi gurunya, semua
manusia itu, bangsa apapun juga, sama saja dan siap
menjulurkan tangan menolong.
Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga,
katanya pendek.
Wah, melihat engkau membagi-bagikan ilmu silat,
aku jadi teringat kepada Paman Sie!
Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu
dan bertanya, Paman Sie? Siapakah dia?

535

Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum.


Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan
dia juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi
tiga buah kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua
daripada engkau, Thian Liong.
Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau
sesungguhnya puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku
mengetehui siapa namamu?
Namaku adalah Puteri Moguhai.
Dan gurumu?
Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie
yang memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih
sendiri ilmu-ilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang
pertama, yang mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku
adalah jagoan-jagoan istana.
Thian Liong mengangguk-angguk. Pemanmu itu
tentu seorang yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek
Hong Nio-cu, kalau ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu
kaulatih di bawah bimbingan seorang guru pandai, tentu
engkau akan menguasainya dengan baik dan kurasa
dengan itu akan sukar dicari orang yang akan mampu
menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat,
dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya
sayang engkau belum menguasainya secara matang.
Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa
girang bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat
memberi petunjuk kepadaku.
Ah mana mungkin, Nio-cu? Yang dapat memberi
536

petunjuk tentu hanya pamanmu itu yang tentu sudah


menguasai tiga kitab yang diberikan kepadamu.
Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian
Liong?

JILID 15
Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis
baju merah yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya
berdasar aliran Tibet, aku akan mencari ke barat.
Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan
melakukan perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sinkiang terdapat seorang pamanku, Pangeran Kuang yang
memimpin pasukan yang berjaga di perbatasan. Aku
akan menemui dia untuk suatu keperluan penting sekali
dan mungkin saja dia yang mempunyai banyak
pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu
tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita
dapat melakukan perjalanan bersama.
Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh.
Melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang
demikian cantik jelita, puteri kaisar pula?
''Akan tetapi.. dia meragu.
Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan
perjalanan bersama seorang puteri kerajaan bangsa
Nuchen yang memusuhi bangsa Han? Katakan saja
terus terang! kata Nio-cu sambil memandang tajam.
537

Thian Liong menggeleng kepalanya. Tidak, Nio-cu.


Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan
perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi apa
akan kata orang kalau aku, seorang pemuda, melakukan
perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis......?
Dia menahan mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.
Apa salahnya? Yang penting kita bersahabat dan
tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada
mulut usil bicara sembarangan, biar kupukul hancur
mulut itu!
Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat
mencari alasan untuk menolaknya? Dia tidak berdaya
menghadapi gadis yang berhati keras namun tidak dapat
dibantah karena ucapannya memang benar itu.
Baiklah kalau engkau memang menghendaki
demikian. Akan tetapi kuperingatkan, melakukan
perjalanan bersama aku tidak akan menyenangkan
karena aku seorang yang miskin dan biasa hidup
sederhana, terkadang harus melewatkan malam di
tempat terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan
di bawah pohon. Mana mungkin engkau dapat
melakukan perjalanan seperti itu?
Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya
mengingatkan Thian Liong kepada Ang Hwa Sian-li.
Alangkah miripnya. Sama-sama begitu bebas kalau
tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu seperti gadis
Han pada umumnya. Bebas membuka mulut sehingga
tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara,
bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah
muda.

538

Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat


kotor seperti itu! katanya setelah tawanya reda. Akan
tetapi akupun tidak perlu harus sengsara seperti itu. Kau
tahu, aku membawa cukup banyak emas untuk membeli
segala keperluan kita di dalam perjalanan, dan pedangku
ini dapat membuat semua pembesar di daerah bertekuk
lutut dun melayani segala keperluanku. Maka, kalau kita
melakukan perjalanan bersama, perlu apa kita harus
bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi? Mari
kita berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat
sebuah dusun dan kita dapat membeli seekor kuda
untukmu.
Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis
itu, akan tetapi dia tidak dapat membantah.
Bagaimanapun juga, gadis itu adalah puteri kaisar, tentu
saja kaya raya dan memiliki kekuasaan tinggi. Diapun
lalu berjalan cepat di samping kuda yang ditunggangi
Pek Hong Nio-cu.
***
Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan
Sung Selatan dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara.
Keduanya berjalan kaki dan melihat langkah mereka
yang tegap dan gesit, apalagi melihat pedang yang
tergantung di punggung mereka, mudah diduga bahwa
mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw yang
pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun,
bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping. Yang
kedua lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang
berbentuk bulat telur, usianya sekitar sembilanbelas
tahun. Keduanya memiliki wajah cantik dan bentuk
tubuhnya yang menggiurkan sehingga di dalam
perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang
539

dengan kagum. Namun jarang ada yang berani


mengganggu mereka, melihat pedang yang tergantung di
pungung mereka.
Mereka memang bukan gadis sembarangan,
melainkan dua orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu
silat, terutama lihai ilmu pedang mereka. Yang pertama
adalah Kim Lan dan yang kedua adalah su-moinya (adik
seperguruannya) Ai Yin.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena
dikalahkan oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah
yang diharuskan oleh guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim
Lan harus menjadi isteri Thian Liong dan kalau Thian
Liong menolak, Kim Lan harus membunuhnya! Sakit hati
karena cintanya ditolak pria, membuat Biauw In Su-thai
mengambil sumpah para murid wanitanya seperti itu.
Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng Thaisu
ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di
pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah
terlanjur pergi untuk mencari dan membunuh Thian Liong
yang menolak menjadi suaminya. Ai Yin yang amat
mencinta sucinya (kakak seperguruannya) ikut pergi
bersama Kim Lan.
Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama
hampir dua bulan Kim Lan belum juga dapat menemukan
Thian Liong. Ia lalu mengajak su-moinya untuk pergi
mengunjungi bibinya yang tinggal di dusun Lui-touw di
Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Ai Yin
menurut saja kepada sucinya.
Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal
bibimu itu enak, lebih baik kita tinggal saja di sana dan
tidak usah ke Kun-lun-pai, tidak perlu bersusah payah
540

mencari Souw Thian Liong. Mencari seseorang yang


tidak diketahui ke mana perginya, mana mungkin? Ke
mana kita harus mencarinya? Kita hidup di dusun saja
bertani, suci, kata Ai Yin.
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di
pinggir sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat
panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan sejak
pagi tadi.
Kim Lan menyusut keringat dari lehernya,
memandang wajah su-moinya dengan alis berkerut dan
pandang mata sedih. Lalu ia menghela napas panjang.
Aih, mana bisa begitu, su-moi? Kita berdua sudah yatim
piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik oleh subo
Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo menganggap
kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti orang
tua kita. Bagaimana kita dapat menjadi murid murtad?
Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan
seorang gagah mengingkari sumpahnya sendiri!
Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar
derap kaki banyak kuda mendatangi dari utara. Setelah
dekat ternyata mereka adalah sepasukan perajurit terdiri
dari duapuluh empat orang, dipimpin oleh dua orang
perwira. Dari pakaian seragam mereka mudah diketahui
bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Kin yang
menguasai daerah sebelah utara Sungai Yang-ce. Ketika
dua orang perwira itu melihat dua orang gadis yang
duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera
mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya
berhenti. Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini
menimbulkan debu mengepul tinggi di siang hari terik itu.
Menyebalkan! kata Kim Lan yang pemarah dan ia
541

bangkit berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya


dengan sehelai saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung
dan mulut, dan bangkit berdiri pula.
Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah
melihat bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya
berdua saja, maka timbul keisengan mereka. Dua orang
perwira itu segera saling bicara, kemudian sambil tertawa
keduanya melompat turun dari atas kuda masing-masing
dan melangkah dengan gagah menghampiri Kim Lan dan
Ai Yin. Dua losin perajurit itupun berlompatan dari atas
kuda mereka, tertawa-tawa melihat tingkah kedua orang
pimpinan mereka yang mereka anggap lucu. Sudah
berbulan-bulan mereka meronda di perbatasan dan haus
akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai
hiburan yang menarik.
Kim Lan berbisik kepada su-moinya. Su-moi, hatihati, mereka itu agaknya mencari perkara.
Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian.
Dua orang perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih,
yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka merah
halus, sedangkan yang kedua bertubuh lebih pendek
gempal dengan muka penuh brewok. Dengan langah
gagah dibuat-buat kedua orang perwira itu menghampiri
dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin sudah
melepaskan tangan dari muka mereka sehingga
tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira
itu memandang penuh gairah dan menyeringai lebar.
Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu
cengar-cengir memandang kepada dua orang gadis itu
dan yang tinggi besar itu bertanya kepada Kim Lan.

542

Nona berdua siapakah dan mengapa berada di


sini?
Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada
dasarnya Kim Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia
menjawab dengan sikap galak dan suara ketus. Kami
berada di tempat umum dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kalian. Ada urusan apa engkau bertanya-tanya?
Ha-ha-ha! Perwira tinggi besar itu tertawa dan
menoleh kepada temannya yang brewokan. Lihat,
betapa galaknya nona ini! Wah, aku suka yang galakgalak begini, makin liar semakin menyenangkan. Ha-haha! Biarlah engkau mendapat yang satunya itu, Koan-te
(adik Koan)!
Ha-ha-ha! Yang brewokan juga tertawa senang.
Aku lebih suka yang sikapnya halus ini!
Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan
kami, bersenang-senang daripada kesepian di sini!
Setelah berkata demikian, perwira tinggi besar
menjulurkan tangannya hendak mengusap pipi Kim Lan.
Bukan main marahnya Kim Lan. Wwuutt...... plak!
Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan
tangannya, mengenai pipi si perwira tinggi besar
sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Agaknya
perwira itu memiliki tubuh yang kuat maka tamparan itu
hanya membuatnya terhuyung.
Jahanam, engkau bosan hidup! Kim Lan
membentak dan sekali tangannya bergerak, ia sudah
mencabut pedangnya. Ai Yin juga sudah mencabut
pedangnya dan kedua orang gadis itu sudah siap
543

memasang kuda-kuda dengan gagahnya!


Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si
tinggi besar yang kena ditampar pipinya. Dia juga
mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, diikuti
perwira yang brewok. Berani kalian melawan kami!
Kalian tentu mata-mata dari pemberontak di Kerajaan
Sung Selatan! kata si perwira tinggi besar.
Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin
Kui, kalian tentu akan ditangkap dan dihukum berat! kata
pula perwira brewokan dan mereka berdua memberi
isyarat kepada para anak buahnya. Dua losin perajurit itu
sudah bergerak maju mengepung dengan senjata tajam
di tangan.
Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang
pedang kalian dan menyerah, atau kalian akan mati
dengan tubuh hancur! bentak pula perwira tinggi besar.
Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus
oleh pedang kami! bentak Kim Lan dan iapun sudah
menerjang maju dengan gerakan pedangnya, menyerang
Perwira tinggi besar.
Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan
pedangnya Menyerang perwira brewokan. Gerakan
pedang dua orang gadis murid Kun-lun-pai ini hebat
bukan main, cepat dan dahsyat karena mereka mainkan
Tian-lui-kiamsut (ilmu Pedang Kilat Guntur). Dua orang
perwira itu cepat menggerakkan golok mereka
menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut
menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajuritperajurit lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis
itu menghadapi pengeroyokan duapuluh empat orang
544

perajurit yang dipimpin dua orang perwira itu.


Dengan memainkan pedang mereka menggunakan
ilmu pedang andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut, Kim
Lan dan Ai Yin mengamuk bagaikan dua ekor singa
betina yang haus darah. Para murid wanita Kun-lun-pai
yang langsung di bawah bimbingan Biauw In Su-thai
memang sudah terbiasa dengan sifat galak dan keras
guru mereka itu sehingga mereka sendiri rata-rata
memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan para murid
wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang
berwatak lembut, merekapun rata-rata berwatak lembut.
Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan
Biauw In Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin lebih
lembut dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka
berdua mengamuk dengan pedang mereka dan sebentar
saja sudah ada empat orang perajurit terjungkal mandi
darah dan pedang kedua orang gadis itu sudah mulai
berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang perwira itu
kiranya bukan orang-orang lemah. Mereka berdua
merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu
oleh banyak perajurit cukup merepotkan Kim Lan dan Ai
Yin yang mulai terdesak karena hujan serangan para
pengeroyoknya yang jauh lebih banyak itu.
Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang
perajurit lagi, namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa
lelah sekali. Mereka terpaksa harus saling membelakangi
agar tidak dapat diserang dari belakang dan mereka
hanya dapat mempertahankan diri, memutar pedang
untuk menghalau semua senjata yang datang
menyerang seperti hujan itu.
Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka
545

kehabisan tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak


mempunyai kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka
dapat melarikan diri, pasukan itu dapat mengejar mereka
dengan naik kuda. Tidak ada jalan lain, mereka harus
melawan terus mempertahankan diri sampai akhir.
Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak
menghendaki mereka berdua mati begitu saja. Kepung
terus, jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!
teriak dua orang perwira itu.
Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lunpai itu. Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh
segerombolan orang ini, mereka berdua menjadi ngeri.
Lebih baik mati daripada tertawan hidup-hidup, pikir
mereka sambil mengamuk terus.
Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis
itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Ji-wi Li-hiap
(Dua Nona Pendekar) jangan khawatir, mari kita basmi
tikus-tikus busuk ini!
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu
beberapa orang perajurit Kin terpelanting, diterjang
seorang pemuda yang gerakannya amat dahsyat.
Pemuda itu berusia sekitar duapuluh enam tahun,
berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan dengan alis
tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah.
Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi.
Dia memegang sebatang pedang dengan ronce merah.
Begitu dia menerjang dengan pedangnya, empat orang
perajurit berpelantingan.
Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika
pemuda itu dengan gerakan pedangnya yang amat
546

dahsyat kini menerjang kepada dua orang perwira dan


dalam beberapa jurus saja dua orang perwira itu
terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja para
perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya, Kim
Lan dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka
berdua mengamuk dan sudah merobohkan empat orang
pengeroyok lagi.
Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu
melarikan diri, berloncatan ke atas punggung kuda
mereka dan membalapkan kuda meninggalkan tempat
yang berbahaya itu, meninggalkan mayat-mayat dua
orang perwira dan kawan-kawan mereka.
Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda
yang telah menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya
yang bagi mereka lebih mengerikan dari pada maut itu.
Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada
memberi hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin.
Terima kasih atas bantuan tai-hiap (pendekar besar)
yang telah menyelamatkan kami berdua dari
pengeroyokan pasukan itu.
Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu
dengan sikap halus dan senyum ramah dia menjawab,
Harap ji-wi lihiap (pendekar wanita berdua) tidak
bersikap sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
saling bantu menentang kejahatan. Mari kita bicara di
tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk bicara, pula
kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala bantuan
yang besar jumlahnya, kita bisa repot.
Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan
sikapnya yang hormat mengajak kedua orang gadis
547

meninggalkan tempat itu dan memasuki hutan. Kim Lan


dan Ai Yin mengerti bahwa ucapan pemuda itu memang
benar, maka merekapun mengikuti pemuda itu dan
sebentar saja mereka bertiga yang mempergunakan ilmu
berlari cepat sudah meninggalkan tempat di mana mayatmayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka berhenti
di bagian terbuka dalam hutan itu.
Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman,
kata pemuda itu. Perkenalkan, nona berdua, namaku
Cia Song, seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak
salah lihat, permainan pedang kalian tadi adalah dari
Kun-lun-pai. Benarkah?
Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar
Cia)......
Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita
murid-murid dua partai persilatan besar yang
segolongan, jadi seperti saudara saja. Kalian seperti
adik-adikku seperguruan sendiri.
Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)! kata
Ai Yin kagum.
Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim
Lan dan ini su-moiku (adik seperguruanku) bernama Ai
Yin, murid-murid Kun-lun-pai.
Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat
bertemu dan berkenalan dengan kalian di sini. Akan
tetapi, bagaimana sampai kalian berdua dikeroyok tikustikus tadi? tanya Cia Song, murid Siauw-lim-pai yang
pernah kita kenal.

548

Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah


bertemu dengan Thian Liong ketika Thian Liong
berkunjung ke Siauw-lim-pai untuk menyerahkan kitab
Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian Hwesio. Cia Song
inilah yang dulu menangkap kemudian membunuh Huihouw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai pemerkosa
Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.
Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba
di sini ketika rombongan pasukan itu muncul dan mereka
hendak ganggu kami, maka kami melawan dan
dikeroyok, kata Ai Yin. Gadis ini diam-diam kagum
kepada Cia Song yang tampan dan gagah, dan yang
telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.
Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini,
ada urusan apakah, kalau aku boleh bertanya? Siapa
tahu, aku dapat membantu kalian, kata Cia Song
dengan sikapnya yang lemah lembut dan ramah.
Kim Lan dan Ai Yin saling berpandangan dan mereka
setuju untuk berterus terang kepada pemuda yang
menarik hati dan menyenangkan itu. Siapa tahu dia
dapat membantu dan menemukan orang yang mereka
cari-cari.
Cia-twako sesungguhnya aku sedang mencari
seseorang dan su-moi ini ikut denganku. Susahnya, aku
tidak tahu ke mana harus mencari seseorang itu, kata
Kim Lan.
Hemm, siapakah orang yang kaucari itu, Lan-moi?
Barangkali saja aku mengenalnya, tanya Cia Song
sambil lalu karena sesungguhnya dia tidak tertarik
kepada orang yang dicari kedua orang gadis cantik ini.
549

Akan tetapi jawaban Kim Lan sungguh tak disangkasangka dan amat mengejutkan hatinya. Cia-twako,
engkau tentu tidak mengenalnya. Dia adalah seorang
pemuda yang bernama Souw Thian Liong.
Souw Thian Liong......? tanya Cia Song, tertarik
sekali.
Apakah engkau mengenal dia, Cia-twako? Tanya Ai
Yin.
Hemm, bukankah yang kalian maksudkan itu, Souw
Thian Liong murid dari Tiong Lee Cin-jin?
Benar sekali, twako! seru Kim Lan girang. Apakah
engkau tahu di mana dia?
Cia Song mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu di
mana Thian Liong berada! Di Siauw-lim-si dia sudah
bergaul akrab dengan Thian Liong dan ia mendengar
bahwa sebuah di antara kitab-kitab pelajaran ilmu silat,
yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang merupakan
kitab pusaka Kun-lun-pai, yang seharusnya oleh Thian
Liong dikembalikan kepada Kun-lun-pai, telah dicuri
seorang gadis berpakaian merah yang tidak diketahui
siapa nama dan di mana tempat tinggalnya. Dia tahu
pula bahwa setelah pergi dari Siauw-lim-si, Thian Liong
tentu akan mencari gadis pencuri kitab itu sampai dapat
ditemukan untuk merampas kembali kitab pusaka Kunlun-pai.
Diam-diam tanpa diketahui Thian Liong, Cia Song
membayangi pemuda itu karena timbul keinginannya
untuk menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai itu! Dia tahu
bahwa Thian Liong berada di kota Kiang-cu, tak jauh dari
550

tempat itu dan Thian Liong dilihatnya telah menyewa


sebuah kamar di rumah penginapan. Karena memang
niatnya hendak mendahului Thian Liong menemukan
gadis yang mencuri kitab pusaka Kun-lun-pai, maka
selagi Thian Liong berada di kota itu, dia sengaja keluar
kota untuk menyelidiki kalau-kalau gadis berpakaian
merah itu berada di sekitar daerah itu dan kebetulan dia
melihat Kim Lan dan Ai Yin yang dikeroyok perajurit Kin.
Mungkin aku dapat membantu kalian mendapatkan
Souw Thian Liong. Akan tetapi aku juga ingin sekali
mengetahui, mengapa kalian mencari dia?
Suci Kim Lan yang mencarinya, twako. Dia adalah
calon suami suci! kata Ai Yin.
Cia Song terkejut dan memandang wajah Kim Lan
yang berubah kemerahan. Ah, jadi engkau telah
bertunangan dengan Souw Thian Liong, Lan-moi?
Sungguh tidak kusangka! Kalau begitu, kiong-hi
(selamat)! Cia Song memberi selamat dengan menjura.
Akan tetapi, kenapa sekarang engkau mencari dia
sampai ke sini? Apakah dia pergi tanpa pamit dan ada
urusan yang amat penting? Katakanlah terus terang
karena aku adalah kenalan baiknya dan aku pasti akan
dapat menemukan untukmu.
Dengan muka masih kemerahan, Kim Lan berkata,
Sebetulnya, dia...... memang melarikan diri dan aku ingin
bertemu dengan dia untuk minta keputusannya apakah
dia mau menjadi suamiku atau kalau tidak......
Hemm, kalau tidak bagaimana? kejar Cia Song
yang menjadi semakin heran.

551

Kalau tidak aku...... aku harus membunuhnya!


Cia Song terbelalak heran. Bagaimana pula ini?
tanyanya dengan heran. Apa yang terjadi, Lan-moi?
Pendeknya, bagiku hanya ada dua pilihan. Dia mau
menjadi suamiku atau kalau dia menolak, aku harus
membunuhnya! kata pula Kim Lan.
Cia Song mengerutkan alisnya, lalu dia menganggukangguk. Hemm, begitukah? Jadi dia dan engkau......
hemm, dia telah......
Tidak, tidak begitu, Cia-twako! bantah Ai Yin yang
tahu apa yang diduga pemuda itu. Tidak pernah ada
hubungan apapun antara Souw Thian Liong dan suci.
Akan tetapi suci harus melakukan itu untuk memenuhi
sumpahnya, sumpah kami.
Sumpah? Aku tidak mengerti...... kata Cia Song,
semakin heran.
Kim Lan menghela napas panjang lalu berkata,
Begini, Cia-twako. Karena engkau bersikap baik kepada
kami, biarlah kami anggap saudara sendiri dan engkau
boleh mengetahui persoalannya. Kami, murid-murid
subo, sudah disumpah oleh subo bahwa kami tidak boleh
menikah dengan pria kecuali kalau ada pria yang
mengalahkan kami dalam pertandingan dan kalau pria itu
menolak, kami harus membunuhnya. Kebetulan Souw
Thian Liong mengalahkan aku dalam pertandingan, akan
tetapi dia menolak untuk menjadi suamiku, bahkan lalu
melarikan diri. Karena itu aku harus mencarinya dan
minta kepastian darinya.

552

Cia Song mengangguk-angguk, diam-diam dalam


hatinya dia tertawa mendengar tentang sumpah yang
aneh itu. Hemm, begitukah? Apakah semua murid
wanita Kun-lun-pai harus bersumpah seperti itu?
Tidak, twako, kata Ai Yin. Hanya subo Biauw In Suthai yang mempunyai peraturan seperti itu dan kami
sebagai murid-muridnya harus memenuhi sumpah kami.
Hemm, aku pernah mendengar bahwa Souw Thian
Liong datang ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan sebuah
kitab pusaka. Benarkah begitu? tanya Cia Song.
Ah, engkau tahu juga akan hal itu, Cia-twako? kata
Kim Lan. Memang benar, akan tetapi menurut
pengakuannya, kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu
telah dicuri orang.
Hemm, itu menurut pengakuannya, ya? Aku sudah
curiga kepadanya, aku sudah menduga bahwa Souw
Thian Liong sebetulnya bukan orang baik-baik. Kitab
pusaka Kun-lun-pai itu tentu ingin dia kuasai sendiri dan
dia berbohong mengatakan bahwa kitab itu dicuri orang
agar mendapat kesempatan untuk mempelajarinya
sendiri. Dan kalau dia memang seorang gagah, tentu dia
menghormati
sumpahmu,
Lan-moi.
Bukankah
mengalahkanmu lalu meninggalkan pergi, membiarkan
engkau
kebingungan
dengan
sumpahmu.
Dan
sementara ini, apa kalian tahu apa yang sedang ia
lakukan? Hemm, aku melihat dia berhubungan dengan
seorang puteri bangsawan Nuchen.
Apa? maksudmu, seorang puteri
kerajaan Kin? tanya Ai Yin penasaran.

bangsawan

553

Ya, aku melihatnya sendiri. Dia sekarang berada di


kota Kiang-cu, tak jauh dari sini dan dia telah menyewa
kamar di sebuah penginapan bersama puteri bangsawan
Kerajaan Kin itu.
Tak tahu malu! kata Ai Yin, hatinya ikut panas
mendengar betapa pemuda yang telah mengalahkan
sucinya dan menolak menikah dengan Kim Lan itu kini
bergaul dengan seorang wanita Kin, bahkan bersamasama menginap di sebuah rumah penginapan.
Cia-twako, tolonglah tunjukkan tempatnya. Aku
harus menemuinya untuk memenuhi sumpahku! kata
Kim Lan dengan muka berubah kemerahan karena
hatinya juga mulai merasa panas.
Cia Song memang tidak berbohong. Dia melihat
betapa Thian Liong berkenalan dengan Pek Hong Niocu. Biarpun dia sendiri tidak mengenal Pek Hong Nio-cu,
akan tetapi dari pakaiannya dan dari keterangan orang di
jalan yang dia tanyai, tahulah dia bahwa Pek Hong Niocu adalah seorang puteri bangsawan yang selain lihai
silatnya, juga memiliki kekuasaan besar sehingga ditakuti
dua orang pembesar di kota Leng-ciu itu.
Diam-diam dia membayangi dan melihat Thian Liong
bergaul akrab dengan Pek Hong Nio-cu. Diam-diam dia
sendiri juga kagum kepada gadis cantik jelita yang lihai
itu. Pula, kedatangannya di daerah yang diduduki
Kerajaan Kin juga bukan semata-mata hendak
membayangi Thian Liong dan kalau mungkin dapat
menguasai kitab pusaka Kun-lun-pai yang katanya dicuri
seorang gadis baju merah itu. Akan tetapi dia memiliki
tugas pribadi yang teramat penting.

554

Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke sana,


akan tetapi kalian harus menaati petunjukku karena kalau
tidak, keadaannya malah tidak menguntungkan, bahkan
berbahaya sekali untuk kita semua. Ketahuilah, Souw
Thian Liong seperti kalian sudah mengetahui, adalah
seorang yang lihai sekali. Biarpun aku kiranya dapat dan
mampu menandinginya, akan tetapi temannya itu, gadis
bangsawan Kin itu, ia juga seorang yang lihai bukan
main. Ia berjuluk Pek Hong Nio-cu dan memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Kami tidak takut! kata Kim Lan.
Biar kami hajar sekalian gadis kerajaan musuh itu!
kata pula Ai Yin.
Wah, kalian ini agaknya sudah lupa berada di
mana! kata Cia Song sambil tersenyum. Kita berada di
daerah yang dikuasai Kerajaan Kin, hal ini harus kalian
ingat benar. Di mana-mana terdapat pasukan Kin. Kalau
kita bentrok begitu saja melawan puteri bengsawan Kin
itu, kemudian ia mendatangkan pasukan yang besar
jumlahnya, celakalah kita!
Dua orang gadis itu saling pandang dan baru
menyadari kesalahan mereka. Habis, lalu apa yang
harus kita lakukan, twako? tanya Kim Lan, bingung.
Nah, karena itu kukatakan tadi bahwa kalian harus
menaati petunjukku. Kalian jangan tergesa-gesa turun
tangan. Nanti kita memasuki kota Kiang-cu, kita
menyewa kamar rumah penginapan, lalu aku akan
menemui Thian Liong yang sudah kukenal baik. Aku
akan membujuk dia agar dia mau menerimamu sebagai
isterinya sehingga engkau tidak akan melanggar
555

sumpahmu, Lan-moi. Kalau dia dapat kubujuk, maka


segalanya menjadi beres. Kalau dia menolak, aku akan
mencoba memancingnya keluar kota dan di tempat
sunyi, tanpa ditemani Pek Hong Nio-cu, kita dapat
memaksa dan menyerang dia.
Kita? Kim Lan bertanya.
Ya, aku akan membantumu, Lan-moi. Kalau tidak,
bagaimana kalian akan mampu mengalahkannya?
Diam-diam Kim Lan berterima kasih sekali kepada
Cia Song dan Ai Yin menjadi semakin kagum kepadanya.
Mereka bertiga lalu meninggalkan hutan itu dan menuju
kota Kiang-cu yang jaraknya hanya belasan lie (mil) dari
situ.
***
Souw-sute (adik seperguruan Souw)..!
Mendengar seruan itu, Thian Liong yang bersama
Pek Hong Nio-cu berjalan keluar dari rumah penginapan
itu terkejut dan menengok.
Eh, suheng (kakak seperguruan) Cia Song......! Dia
berseru heran sekali ketika mengenal Cia Song. Sejak
dia diberi pelajaran ilmu silat dari kitab Sam-jong Cinkeng oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, Thian
Liong diakui sebagai murid Siauw-lim-pai dan karena itu
Cia Song menyebutnya sute (adik seperguruan) dan dia
menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Cia
Song.
Cia Song melangkah cepat menghampiri Thian Liong
556

yang berdiri di samping Pek Hong Nio-cu. Gadis inipun


memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada
pemuda tampan gagah yang menegur Thian Liong
sebagai sutenya.
Aih, Souw-sute, senang sekali kejutan ini bagiku,
bertemu denganmu di tempat ini! kata Cia Song,
kemudian seolah baru melihat Pek Hong Nio-cu yang
berdiri di samping Thian Liong, dia menyambung ragu,
dan...... maaf, kalau boleh aku mengetahui, siapakah
nona yang terhormat ini?
Melihat di ruangan depan rumah penginapan itu
terdapat tamu-tamu yang mulai memperhatikan mereka,
Thian Liong segera berkata, Suheng, marilah kita bicara
di dalam. Marilah Nio-cu. Ajaknya kepada Pek Hong
Nio-cu. Mereka bertiga lalu memasuki rumah penginapan
dan tak lama kemudian mereka bertiga memasuki kamar
Thian Liong dan duduk berhadapan terhalang meja.
Cia-suheng, lebih dulu perkenalkan. Ini adalah Pek
Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang terkenal di
daerah ini. Nio-cu, ini adalah suheng Cia Song, murid
suhu Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai.
Dengan sikap lembut dan hormat Cia Song bangkit
berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu yang
dibalas oleh Pek Hong Nio-cu dengan sikap anggun dan
angkuh. Melihat sikap wanita itu, makin yakinlah hati Cia
Song bahwa Pek Hong Nio-cu tentulah puteri seorang
pembesar tinggi kedudukannya.
Souw-sute, tidak kusangka akan dapat bertemu
denganmu di sini. Engkau...... eh, kalau boleh aku
bertanya, engkau dan nona Pek Hong Nio-cu hendak
557

pergi ke manakah?
Saudara Cia Song tidak usah sungkan, sebut saja
aku Nio-cu, kata gadis itu dengan sikap wajar. Kembali
Cia Song mendapat kenyataan betapa dalam ucapannya
itu gadis ini memiliki wibawa dan keanggunan yang amat
kuat.
Ah, terima kasih, Nio-cu, katanya.
Cia-suheng, tentu engkau masih ingat bahwa kitab
pusaka milik Kun-lun-pai dicuri orang.
Ah, pencuri wanita baju merah yang tidak kaukenal
siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya itu?
sambung Cia Song.
Benar, suheng. Aku hanya ingat bahwa gerakan
silatnya memiliki dasar ilmu silat Tibet. Karena itu, aku
hendak mencari ke daerah barat dan kebetulan Pek
Hong Nio-cu ini juga hendak melakukan perjalanan ke
perbatasan Sin-kiang, maka kami melakukan perjalanan
bersama. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah
suheng?
Ah, aku...... aku hanya hendak melihat-lihat keadaan
di utara ini saja. Akan tetapi tiba-tiba aku mendapatkan
suatu urusan yang teramat penting, yang menyangkut
pribadimu. Aku.. hem, agaknya urusan ini hanya dapat
kaudengarkan sendiri saja, sute......
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Pek Hong Nio-cu
bangkit berdiri dan berkata kepada Thian Liong, Thian
Liong, engkau bicarakanlah urusan pribadimu dengan
saudara Cia Song. Aku hendak keluar sebentar. Nanti
558

kita bertemu lagi!


Maafkan aku, Nio-cu, kata Cia Song.
Ah, tidak mengapa! kata Pek Hong Nio-cu dan
gadis ini segera melangkah keluar dari kamar itu.
Thian Liong mengerutkan alisnya, merasa tidak enak
karena dia maklum bagaimana perasaan Pek Hong Niocu mendengar kata-kata Cia Song yang jelas hendak
membicarakan sesuatu yang dirahasiakan bagi orang
lain itu.
Cia-suheng, sebetulnya ada apakah maka engkau
bicara seperti ada rahasia besar? tanya Thian Liong.
Tentu saja Nio-cu menjadi tidak enak dan pergi
meninggalkan kita.
Maafkan aku, Souw-sute. Akan tetapi aku tidak
mengada-ada.
Memang ada
hal yang harus
kuberitahukan kepadamu seorang diri saja dan amat
tidak enak kalau sampai terdengar orang lain, apa lagi
oleh seorang gadis seperti Nio-cu tadi.
Akan tetapi ada urusan apakah, suheng? Aku tidak
merasa mempunyai urusan pribadi yang harus
disembunyikan dari orang lain! kata Thian Liong
penasaran.
Hemm, Souw-te, ingatkah engkau akan nama Kim
Lan dan Ai Yin?
Kim Lan dan Ai Yin? Thian Liong mengingat-ingat.
Tentu saja mudah baginya mengingat dua nama gadis itu
yang membuatnya penasaran setengah mati. Kim Lan
559

dan Ai Yin pernah mengeroyoknya, bahkan dibantu guru


mereka, Biauw In Su-thai, dan hendak memaksanya
untuk menikah dengan Kim Lan! Sumpah aneh dan gila
itu!
Maksudmu...... dua orang murid wanita dari Biauw In
Su-thai, tokoh Kun-lun-pai itu?
Hemm, ternyata engkau masih ingat dengan baik.
Ya, mereka itu mencarimu dan ingin memaksamu
menikah dengan Kim Lan dan kalau engkau tidak mau
menjadi
suaminya,
mereka
berdua
hendak
membunuhmu!
Hemm, sumpah gila itu? Aku sudah tahu, suheng,
dan aku tidak perduli. Salah mereka sendiri kenapa
mereka mau membuat sumpah gila itu? Aku tidak ingin
menjadi suaminya Kim Lan atau suami siapapun juga.
Biarkan saja mereka mengancam akan membunuhku.
Bagaimanapun mereka berada jauh di Kun-lun-pai!
Cia Song tersenyum. Siapa bilang mereka berada
jauh di Kun-lun-pai? Mereka berada dekat sekali, sute.
Mereka berada di sini, di kota ini!
Thian Liong terkejut. Berita ini benar-benar
mengejutkan, tidak pernah disangkanya. Di sini? Di
mana mereka? Biar kutemui mereka dan akan
kujelaskan, kusadarkan mereka bahwa sumpah mereka
itu benar gila dan tidak ada artinya!
Sssttt, tenanglah, Souw-sute. Aku telah bertemu
secara kebetulan dengan mereka. Mereka dikeroyok
segerombolan penjahat dan aku kebetulan lewat dan
membantu mereka. Mereka lalu menceritakan semuanya
560

tentang urusan Kim Lan denganmu dan Kim Lan sudah


mengambil keputusan nekad, yaitu mengajak engkau
menikah dan kalau engkau tidak mau, ia dan Ai Yin akan
mengeroyokmu dan membunuhmu!
Aku tidak takut, Cia-suheng. Engkau bantulah aku
menyadarkan mereka dari sumpah gila itu. Kalau mereka
hendak mengeroyokku, aku dapat mengatasi mereka.
Hemm, mudah saja kau bicara. Dan apa yang dapat
kaulakukan kalau mereka membunuh diri?
Thian Ltong terbelalak, Membunuh diri?
Nah, ini agaknya yang kau tidak ketahui, Souw-sute.
Kim Lan mengatakan kepadaku bahwa kalau engkau
menolak. Ia dan Ai Yin akan mengeroyokmu. Kalau
mereka kalah, mereka akan membunuh diri di depanmu,
karena kalau tidak, mereka juga akan dibunuh oleh guru
mereka.
Gila betul..!!
Gila atau tidak, apa yang dapat kaulakukan kalau
mereka membunuh diri? Berarti mereka mati karena
engkau, sute. Sama saja dengan engkau yang
membunuh mereka.
Wah-wah, cialat (celaka) kalau begitu! Thian Liong
bingung. Lalu apa yang harus kulakukan, suheng?
Apa lagi? Ya harus menjadi suami Kim Lan, itu jalan
yang paling aman.
Aih, mana bisa begitu, Cia-suheng. Kalau setiap ada
gadis mengancam bunuh diri kalau tidak dinikahi, bisa
561

repot! Tolonglah, suheng, berikan aku nasihat,


bagaimana sebaiknya yang harus kulakukan. Apakah
tidak baik kalau kutemui mereka dan kubujuk dan
nasihati agar mereka tidak usah memenuhi sumpah
mereka yang gila-gilaan itu? tanya Thian Liong yang
benar-benar merasa bingung sekali.
Cia Song meraba-raba dagunya dan berpikir-pikir.
Kukira itu tidak baik, sute. Engkaulah orang yang
mereka cari. Kalau engkau yang menemui mereka dan
menasihati, jelas mereka menganggap engkau terangterangan menolak dan hal itu akan membuat mereka
menjadi sakit hati dan lebih marah lagi. Soal membujuk
dan menasihati mereka, kurasa aku akan lebih berhasil.
Pertama, bukan aku orang yang mereka kejar, kedua
kalinya, bagaimanapun juga mereka berhutang budi
padaku.
Dan aku? Bagaimana dengan aku? Apa yang harus
kulakukan?
Hemm, tidak ada jalan lain, sute. Sebaiknya engkau
cepat pergi meninggalkan kota ini. Jangan sampai
mereka mengetahui bahwa engkau berada di sini.
Jangan sampai mereka melihatmu! Lebih cepat engkau
lari lebih baik, lebih jauh dari mereka lebih baik!
Begitukah, suheng? Hemm, agaknya memang
sebaiknya begitu. Terima kasih, Cia-suheng, engkau
telah menolongku! kata Thian Liong dengan girang.
Sudahlah, Souw-sute. Sekarang aku mau cepat
menghampiri mereka dan akan kujaga agar mereka
jangan meninggalkan rumah penginapan sehingga tidak
akan bertemu denganmu. Akan tetapi, sore ini juga
562

engkau harus meninggalkan kota ini.


Baik, akan kuusahakan, suheng. Terima kasih!
Cia Song segera meninggalkan rumah penginapan
itu dan bergegas dia pergi ke rumah penginapan di mana
dia dan kedua orang murid wanita Kun-lun-pai menyewa
dua buah kamar, untuk dia dan untuk mereka berdua.
Rumah penginapan itu berada di sudut kota Kiang-cu,
jauh dari rumah penginapan di mana Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu bermalam.
Tak lama setelah Cia Song pergi, muncullah Pek
Hong Nio-cu. Ternyata gadis itu tidak pergi jauh, hanya
duduk di rumah makan yang berada di depan rumah
penginapan itu. Setelah ia melihat Cia Song pergi, cepat
ia menemui Thian Liong.
Thian Liong, biarpun Cia Song itu suhengmu, akan
tetapi terus terang saja aku tidak suka padanya, kata
Pek Hong Nio-cu sejujurnya.
Eh, Nio-cu. Kenapa begitu? Dia memang bukan
suhengku secara langsung, hanya karena kebetulan Hui
Sian Hwesio melatih sebuah ilmu kepadaku, maka aku
lalu dianggap sebagai sutenya. Akan tetapi, dia orang
baik, Nio-cu, bahkan baru saja dia telah menolong aku
keluar dari keadaan yang amat menyulitkan diriku.
Hemm, kalau engkau juga hendak merahasiakan
urusan besar dan penting pribadimu itu, tidak perlu
kaubicarakan denganku! kata Pek Hong Nio-cu ketus.
Pendeknya aku tidak suka padanya, mungkin katakatanya yang terlalu manis, sikapnya yang terlalu manis,
sikapnya yang terlalu sopan, dan pandang matanya yang
563

terkadang aneh. Aku tidak percaya orang itu, Thian


Liong.
Maafkan dia kalau tadi dia merahasiakan urusan itu,
Nio-cu. Akan tetapi aku tidak perlu merahasiakannya
kepadamu karena urusan itu aneh dan lucu dan juga
terpaksa
aku
harus mengajak
engkau
untuk
meninggalkan kota ini sekarang juga.
Hemm, kenapa
mengerutkan alisnya.

begitu?

Pek

Hong

Nio-cu

Nio-cu, mari kita bicara di dalam agar jangan


terdengar orang lain. Thian Liong mengajak dan Pek
Hong Nio-cu tanpa rikuh-rikuh lagi lalu mengikuti Thian
Liong masuk kamar pemuda itu dan membiarkan daun
pintu kamar terbuka sehingga mereka akan dapat melihat
kalau ada orang mendekati kamar itu. Setelah mereka
duduk, Thian Liong lalu menceritakan tentang sumpah
Kim Lan pada subonya dan betapa sekarang Kim Lan,
dibantu su-moinya yang bernama Ai Yin, mencarinya
sampai ke kota Kiang-cu itu dan hendak memaksa dia
mengawininya, kalau dia menolak, mereka akan
mengeroyok dan membunuhnya!
Hemm, dan engkau tidak mau menjadi suami Kim
Lan itu? tanya Nio-cu.
Tentu saja aku tidak mau. Aku sama sekali belum
mempunyai pikiran untuk mengikatkan diriku dengan
sebuah perjodohan. Kalau aku mau tentu aku tidak akan
melarikan diri dari mereka.
Dan engkau takut menghadapi pengeroyokan dua
orang gadis itu? Apakah mereka lihai sekali?
564

Tidak, aku tidak takut. Kurasa aku dapat mengatasi


mereka, Nio-cu, kata Thian Liong sejujurnya.
Hemm, kalau begitu mengapa engkau harus cepatcepat melarikan diri? Kalau mereka menyerangmu, lawan
saja dan hajar perempuan-perempuan tidak tahu malu
itu!
Ah, engkau tidak tahu, Nio-cu. Masalahnya tidak
sesederhana itu. Tadi suheng Cia Song memberi tahu
bahwa Kim Lan sudah mengatakan kepadanya bahwa
kalau ia dan su-moinya tidak dapat membunuhku,
mereka akan membunuh diri di depanku.
Perempuan-perempuan gila! desis Pek Hong Niocu.
Mereka itu terpaksa, Nio-cu. Mereka sudah
bersumpah kepada guru mereka dan andaikata mereka
tidak membunuh diri, merekapun akan dibunuh guru
mereka sendiri.
Huh, orang-orang gila! Mengapa engkau perduli
amat? Kalau mereka mau bunuh diri, biarkan saja, bukan
urusanmu!
Ah, bagaimana aku dapat membiarkan hal itu terjadi,
Nio-cu? Kalau mereka membunuh diri karena tidak dapat
mengalahkan aku, berarti mereka mati karena aku. Sama
saja dengan aku yang membunuh mereka.
Huh, habis apakah selama hidupmu engkau akan
terus berlari-larian menjadi buruan mereka? Gila!
Tidak, Nio-cu. Suheng Cia Song sudah berjanji
565

bahwa dia akan membujuk mereka untuk


melanjutkan pelaksanaan sumpah mereka itu.

tidak

Perempuan dari manakah mereka itu? Begitu tidak


tahu malu!
Mereka bukan perempuan sembarangan, Nio-cu.
Mereka adalah murid-murid Kun-lun-pai dan subo
merekalah yang gila, menyuruh mereka bersumpah
seperti itu.
Tidak perduli mereka itu murid partai mana,
kelakuan mereka itu memalukan! Jadi engkau tetap akan
melarikan diri meninggalkan kota ini sekarang?
Benar, Nio-cu. Terpaksa, maafkan aku.
Tidak, aku tidak mau pergi sekarang! kata wanita itu
dengan suara tegas.
Nio-cu, sekali ini harap engkau suka mengalah,
pinta Thian Liong.
Tidak, aku baru mau berangkat
Kalau engkau takut bertemu mereka,
saja di kamar, jangan keluar-keluar.
melihat orang-orang macam apa sih
lun-pai itu!

besok pagi-pagi.
malam ini tinggal
Aku ingin sekali
murid-murid Kun-

Aih, Nio-cu, harap jangan membuat gara-gara


dengan mereka. Urusanku dengan mereka sudah cukup
membuat aku pusing.
Siapa mau cari gara-gara dengan mereka? Aku
hanya ingin melihat macam apa mereka itu dan aku
hanya mau pergi besok pagi-pagi. Terserah kalau
566

engkau mau pergi sekarang! Setelah berkata demikian,


dengan sikap marah Pek Hong Nio-cu meninggalkan
kamar itu.
Thian Liong menghela napas dan menutup daun
pintu kamarnya, lalu merebahkan tubuhnya di atas
pembaringan. Pikirannya pusing! Para wanita itu, selalu
membikin pusing saja!
Mula-mula gadis baju merah. Lalu Ang Hwa Sian-li
Thio Siang In. Kemudian Kim Lan dan sekarang diapun
pusing melihat sikap keras Pek Hong Nio-cu! Mengapa
mereka semua keras kepala? Terpaksa dia mengalah
kepada Pek Hong Nio-cu. Malam ini dia tidak akan keluar
kamar. Dia akan bersembunyi saja di dalam kamarnya
dan besok pagi-pagi berangkat meninggalkan kota
Kiang-cu itu bersama Pek Hong Nio-cu. Puteri itu telah
membeli seekor kuda untuknya dan dua ekor kuda
mereka berada di kandang rumah penginapan.
Terpaksa dia juga tidak keluar untuk makan malam.
Akan tetapi malam itu daun pintu kamarnya diketuk
pelayan yang mengantarkan makanan dan minuman
untuknya. Nio-cu yang memerintahkan untuk mengantar
ini kepada sicu (tuan), kata pelayan itu.
Thian Liong tersenyum dan kejengkelannya terhadap
Pek Hong Nio-cu mereda. Puteri itu ternyata
memperhatikan kebutuhan makannya juga. Akan tetapi
malam itu dia tidak mau keluar kamar, khawatir kalaukalau sampai ketahuan oleh Kim Lan dan Ai Yin.
***
Kembalinya

Cia

Song

ke

rumah

penginapan
567

disambut oleh dua orang gadis murid Kun-lun-pai dengan


hati ingin tahu sekali. Apa lagi Kim Lan, ia segera
menyongsong kedatangan Cia Song dengan pertanyaan
yang dilakukan dengan hati berdebar tegang.
Bagaimana, Cia-twako? Apakah engkau berhasil
bertemu dia?
Cia Song tersenyum dan mengangguk. Beres! Aku
sudah bertemu dengan Souw Thian Liong dan setelah
aku membujuk dan berbantahan dengan dia, akhirnya
dia menyatakan bersedia bertemu denganmu, Lan-moi.
Ah, dia mau menikah dengan suci, twako? tanya Ai
Yin girang.
Dia tidak mengatakan begitu, akan tetapi dia
bersedia mengadakan pertemuan dengan kalian untuk
membicarakan hal itu baik-baik. Aku yakin akhirnya dia
akan mau menerimanya juga.
Mana dia sekarang, Cia-twako? Kenapa tidak datang
bersamamu? tanya Kim Lan tidak sabar karena ia ingin
segera mendapat keputusan akan masa depannya.
Dia tidak dapat datang sekarang seperti kukatakan
kepada kalian, dia bersama puteri bangsawan Kin itu.
Akan tetapi dia bilang bahwa malam ini dia pasti datang
mengunjungi kalian. Karena itu, kalian siap saja
menerima kunjungannya malam ini. Setelah berkata
demikian, Cia Song mengajak dua orang gadis yang
sudah mandi dan berganti pakaian itu untuk makan
malam.
Mari

kita

makan

minum

untuk

merayakan
568

keberhasilanku membujuk Souw Thian Liong! katanya


dan mereka memasuki rumah makan.
Pemuda itu memesan bermacam masakan dan arak
wangi. Untuk menyenangkan hati Cia Song yang mereka
anggap sudah menolongnya dengan sungguh-sungguh
itu, Kim Lan dan Ai Yin memaksa diri ikut merayakan
keberhasilan itu. Bahkan mereka tidak dapat menolak
ketika beberapa kali Cia Song mengajak mereka minum
arak sehingga setelah perjamuan makan itu selesai, dua
orang gadis itu merasa agak pening karena pengaruh
arak yang cukup keras. Wajah mereka menjadi
kemerahan dan keadaan setengah mabok membuat
mereka gembira dan mudah terkekeh senang. Dengan
langkah agak tidak tetap kedua orang gadis itu lalu diajak
kembali ke rumah penginapan oleh Cia Song.
Sekarang kalian tunggu saja dalam kamar. Nanti
kalau keadaan sudah agak sepi, tentu dia akan datang
berkunjung. Sebaiknya pintu kamar kalian ditutup saja,
jangan dipalang dari dalam sehingga kalau dia datang,
aku mudah memberitahu kalian tanpa harus menggedor
daun pintu. Maklum, Souw Thian Liong menghendaki
agar orang lain tidak ada yang tahu akan persoalan dia
dan kalian.
Dua orang gadis itu mengangguk, kemudian mereka
memasuki kamar dan menutupkan daun pintu kamar
tanpa memalangnya dari dalam. Pengaruh arak
membuat mereka agak pening dan mengantuk. Mereka
lalu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa
mematikan lilin besar yang bernyala menerangi kamar
itu, dan tanpa membuka sepatu. Karena merasa yakin
bahwa Cia Song tidak berbohong dan bahwa pemuda itu
tentu menunggu kedatangan Souw Thian Liong dan akan
569

memberitahu mereka, maka dua orang gadis itu


berbaring dengan santai dan akhirnya tak kuasa
menahan kantuk dan tertidur.
Cia Song memang tidak tidur. Dia duduk di dalam
kamarnya yang bersebelahan dengan kamar dua orang
gadis itu.
Dia menelan sebutir obat pulung berwarna merah.
Obat ini adalah obat penawar minuman keras sehingga
minuman beberapa cawan arak di rumah makan tadi
tidak mempengaruhinya dan dia tetap sadar. Tiba-tiba
pendengarannya yang terlatih dapat menangkap suara
lembut yang datangnya dari atas genteng. Dia terkejut
dan menduga-duga. Benar-benarkah Thian Liong datang
berkunjung? Kalau benar, gila orang itu. Bukankah dia
sudah memesan agar Thian Liong segera melarikan diri
meninggalkan kota Kiang-cu?
Dia tetap waspada dan segera menyelinap keluar lalu
melompat ke atas genteng melalui bagian belakang. Dia
akhirnya dapat melihat sesosok bayangan mendekam di
atas kamar Kim Lan dan Ai Yin. Jantung Cia Song
berdebar tegang. Benarkah Thian Liong datang
berkunjung? Dan kalau benar dia yang datang, kenapa
caranya seperti itu, mengintai dari atas dan membuka
genteng seperti kelakuan seorang pencuri?
Dia hendak menegur dengan bentakan, akan tetapi
ditahannya karena setelah dapat melihat lebih jelas, dia
mendapatkan bahwa orang itu berpakaian serba putih
dan ketika berjongkok, pinggulnya berbentuk bulat indah
dan pinggangnya ramping. Seorang wanita! Ah, dia
teringat sekarang. Bayangan itu tentulah Pek Hong Niocu, gadis bangsawan Kin itu! Mau apa dara itu datang
570

seperti pencuri? Karena cuaca memang gelap, dia tidak


melihat betapa Pek Hong Nio-cu melemparkan sesuatu
ke dalam kamar dari lubang genteng yang dibuatnya.
Cia Song bergerak mendekati. Gerakannya itu
agaknya terdengar oleh Pek Hong Nio-cu. Gadis ini cepat
menutupkan kembali genteng yang dibukanya dan
tubuhnya berkelebat cepat menghilang dari tempat itu.
Cia Song kagum melihat gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang hebat dari gadis itu. Akan tetapi dia tidak
melakukan pengejaran. Untuk apa? Dia mempunyai
rencananya sendiri dan kemunculan orang tadi bahkan
membantu rencananya. Tak lama kemudian, menjelang
tengah malam setelah keadaan menjadi sunyi sekali
dan dia yakin bahwa dua orang gadis murid Kun-lun-pai
itu tertidur dalam penantian mereka, dia menghampiri
kamar itu, mendorong daun pintu terbuka, menggunakan
sin-kang (tenaga sakti) dari jauh meniup padam lilin di
atas meja, menutupkan daun pintu, memalangnya dari
dalam, lalu berjingkat menghampiri pembaringan.
Kim Lan dan Ai Yin terbangun dan terkejut. Mereka
hendak meronta, akan tetapi mereka hanya dapat
menggerakkan kaki tangan dengan lemah sekali, tanpa
tenaga. Jalan darah mereka telah tertotok secara lihai
sekali sehingga mereka tidak mampu mengerahkan
tenaga dan tubuh mereka menjadi lemas! Mereka
hendak berteriak, akan tetapi dengan kaget mendapat
kenyataan bahwa leher mereka telah tertotok sehingga
mereka tidak mampu mengeluarkan suara! Keadaan
kamar dan sedikit cahaya yang menerobos melalui celahcelah di atas jendela, yang datangnya dari sinar lampu di
luar, hanya membuat keadaan dalam kamar itu remangremang, namun terlalu gelap untuk melihat jelas.
571

Kemudian, dapat dibayangkan betapa kaget dan


ngeri rasa hati kedua orang gadis Kun-lun-pai itu ketika
mereka berdua melihat bayangan seorang laki-laki dalam
kamar mereka. Biarpun mereka tidak dapat melihat jelas
wajah dan bentuk tubuh orang itu, namun mereka dapat
melihat garis bayangan seorang laki-laki. Kemudian,
bayangan itu mendekati mereka. Mereka hendak
melompat dan meronta, namun hanya mampu
menggerakkan tangan dan kaki dengan lemah saja,
tanpa tenaga.
Dan ketika laki-laki itu menyentuh mereka, dunia
bagaikan kiamat bagi dua orang gadis itu! Mereka tidak
dapat melawan, tidak dapat menggunakan tenaga.
Mereka hanya mampu menangis tanpa dapat
mengeluarkan suara, hanya air mata yang bercucuran
dan akhirnya mereka jatuh pingsan. Terlalu ngeri
malapetaka yang menimpa diri mereka sehingga tak
tertahankan lagi. Sebelum ketidak-sadaran menyelimuti
mereka, kedua orang gadis itu mendengar suara laki-laki
itu berbisik sinis.
Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong? Suara itu
disusul tawa lirih laki-laki itu dan selanjutnya mereka
tidak mendengar apa-apa lagi karena keduanya jatuh
pingsan.
Kalau keadaan sudah terbalik, yaitu kalau manusia
yang sesungguhnya menjadi majikan dari nafsu-nafsunya
sendiri yang menjadi hamba atau pelayannya itu malah
menjadi hamba dari nafsu-nafsunya maka segala macam
perbuatan keji dan terkutuk dapat saja dilakukan manusia
itu! Manusia terlahir di dunia memang sudah disertai
nafsu-nafsunya sebagai pelayan, sebagai penggerak
hidupnya,
pendorong
semangat
dan
memberi
572

kemungkinan manusia menikmati kehidupannya di dunia.


Kita tidak mungkin dapat hidup wajar tanpa disertai
nafsu-nafsu kita, alat-alat hidup atau hamba-hamba kita
yang amat penting ini. Akan tetapi, kita sama sekali tidak
boleh lengah. Iblis mengetahui bahwa kita tidak dapat
hidup tanpa nafsu, karena itu iblis mempergunakan
nafsu-nafsu ini untuk menyeret kita ke dalam lembah
dosa. Dengan umpan kesenangan-kesenangan duniawi,
yang serba enak dan nikmat, maka nafsu-nafsu manusia
berkobar dan dari keadaan sebagai hamba, nafsu
berbalik menjadi majikan.
Manusia menjadi hamba, hidupnya sepenuhnya
bergantung kepada ulah nafsu sehingga untuk
mendapatkan kesenangan dan kenikmatan seperti yang
dipamerkan dan dibisikkan iblis melalui nafsu akal
pikiran, manusia tidak segan-segan melakukan apa saja.
Rusaklah semua pertimbangan, patahlah semua ukuran
manusiawi, dan manusia tiada ubahnya sebagai binatang
yang hanya bergerak dalam hidup sebagai abdi nafsunafsunya sendiri.
Seperti juga nafsu lain, nafsu berahi merupakan
nafsu alami yang murni, bahkan suci karena nafsu berahi
selain menjadi puncak pernyataan rasa kasih sayang
yang paling dalam, juga menjadi sarana perkembangbiakan segala mahluk hidup termasuk manusia. Tidak
ada yang buruk atau kotor dalam nafsu ini. Akan tetapi ia
akan menjadi buruk, kotor, busuk dan keji apabila ia telah
menjadi alat iblis untuk menguasai manusia. Yang
tadinya bersih murni seperti malaikat berubah menjadi
kotor dan jahat seperti iblis! Kalau manusia yang
diperhamba nafsu berahi, iblis menang dan si manusia
melakukan segala hal yang amat keji seperti perjinahan,
573

pelacuran, bahkan perkosaan!


Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, begitu
mereka dapat mempergunakan tenaga, kedua orang
gadis murid Kun-lun-pai itu berloncatan turun dari
pembaringan. Air mata mereka sudah terkuras habis
sepanjang malam setelah mereka siuman dari pingsan.
Tangis tanpa suara, bercucuran seperti hujan. Setelah
dapat menggunakan tenaga dan dapat bersuara lagi,
keduanya sambil terisak cepat membereskan pakaian
mereka, kemudian sambil menahan jerit mereka saling
berangkulan. Saling bertangisan dan menangisi nasib diri
sendiri yang terkutuk!
Jahanam Souw Thian Liong..! Ai Yin menangis
tersedu-sedu namun menjaga agar supaya tangisnya
jangan sampai terdengar orang.
Lebih baik aku mati saja......! Kim Lan tiba-tiba
melompat ke dekat meja, mencabut pedangnya yang
terletak di atas meja dan berniat menghabisi nyawanya
sendiri.
Akan tetapi Ai Yin melompat dan merangkulnya,
memegangi lengan yang memegang pedang. Tunggu
suci. Kenapa engkau begitu bodoh? Kita harus
membalas dendam ini! Kita harus membunuh iblis itu,
baru boleh membunuh diri. Mari kita selidiki!
Kim Lan teringat dan ia meletakkan pedangnya di
atas meja. Wajahnya pucat sekali dan ia mengepal tinju.
Engkau benar, su-moi. Aku bersumpah tidak akan
berhenti sebelum membunuh iblis busuk Souw Thian
Liong!

574

Ai Yin sudah berdiri dekat jendela. Lihat, suci.


Jendela ini dipaksa terbuka dari luar, kaitannya putus.
Jahanam itu tentu masuk dan keluar dari jendela. Ia
membuka daun jendela sehingga cahaya lampu kini
menyinar ke dalam.
Lihat, ini ada surat! kata Kim Lan.
Ai Yin menghampiri. Kini setelah kamar agak terang
oleh sinar lampu dari luar jendela, mereka melihat
sehelai kertas bersurat di atas meja, tertancap sebilah
pisau runcing. Keduanya lalu membaca kertas itu.
Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu
malu! Memaksa seorang menjadi suaminya.
Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kunlun-pai?
Demikian bunyi surat itu, tanpa tanda tangan. Kim
Lan hendak meremas surat itu, akan tetapi Ai Yin
berkata, Jangan merusak surat itu, suci. Itu dapat kita
jadikan bukti dan kita perlihatkan kepada para suhu dan
subo di Kun-lun-pai!

JILID 16
Kim Lan lalu melipat dan menyimpan surat itu.
Sekarang mari kita cari Cia-twako! Barangkali dia
mengetahui sesuatu tentang jahanam itu! kata Kim
Lan.
Benar juga, kata Ai Yin. Kenapa Cia-twako tidak
memberi tahu kita tentang kedatangan jahanam itu?
575

Mungkin dia tidak tahu. Bukankah jahanam itu


datang masuk dan keluar melalui jendela? Mari kita tanya
Cia-twako! Dua orang gadis itu setelah membereskan
pakaian mereka lalu bergegas keluar dan mengetuk
daun pintu kamar Cia Song.
Karena dua orang gadis itu mengetuk pintu dengan
gencar, Cia Song terkejut dan ketika dia membuka pintu,
dua orang gadis itu melihat wajah yang pucat dan rambut
pemuda itupun kusut.
Eh, Lan-moi dan Yin-moi,
tanyanya dengan kaget.

ada

apakah......?

Cia-twako, apakah engkau melihat dia? tanya Kim


Lan yang matanya masih merah dan bengkak, seperti
juga mata Ai Yin karena keduanya terlalu banyak
menangis.
Ah, maksudmu Souw Thian Liong? Hemm, keparat
itu tidak memegang janji. Dia tidak jadi datang, bukan?
Semalam aku sempat melihat dia.
Di mana? Di mana engkau melihat dia, twako?
tanya Ai Yin.
Semalam aku mendengar suara di atas genteng.
Aku naik ke atas dan melihat sesosok bayangan di atas
genteng, tepat di atas kamar kalian. Akan tetapi begitu
melihatku, dia menutup kembali genteng lalu pergi
menghilang dalam gelap. Dia tidak jadi berkunjung
kepada kalian, bukan?
Dua orang gadis itu saling pandang dan keduanya
merasa yakin bahwa yang dilihat Cia Song itu pastilah
576

Souw Thian Liong yang kemudian berhasil memasuki


kamar mereka, menotok mereka sehingga mereka tidak
berdaya lalu melakukan kekejian terkutuk terhadap
mereka.
Eh, kenapa kalian....... heran, kalian begini pucat
dan....... mata kalian itu. Kalian habis menangis? Apakah
yang telah terjadi, Lan-moi dan Yin-moi?
Melihat dua orang gadis itu tampak kebingungan dan
seperti hendak menangis lagi, Cia Song berkata, Mari,
kita masuk saja dan bicara di dalam. Dua orang gadis
yang juga khawatir kalau ada orang lain melihat keadaan
mereka itupun tidak membantah dan memasuki kamar
Cia Song. Mereka duduk di sekeliling meja dan kembali
Cia Song bertanya.
Sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Kalian
tampak begitu pucat, bingung dan menangis. Ada
apakah?
Dua orang gadis itu kini tidak dapat menahan lagi
tangis mereka. Mereka menangis sesenggukan dan
menahan agar tidak bersuara. Kim Lan mengeluarkan
lipatan kertas dan menyerahkannya kepada Cia Song
tanpa berkata-kata.
Cia Song membaca tulisan di surat itu dan alisnya
berkerut.
Jahanam busuk! Berani dia menghina kalian dengan
mengirimkan surat ini kepada kalian? kata Cia Song
dengan nada suara marah sekali.
Bukan hanya itu, twako, Ai Yin berkata sambil
577

menangis. Lebih celaka lagi......


Apa maksudmu, Yin-moi? Apa yang terjadi? tanya
Cia Song.
Dia...... dia memasuki kamar kami dari jendela..
dan....... dan dia telah memperkosa kami.......
Cia Song melompat bangun. Apa?? Dan kalian tidak
melawan?
Bagaimana kami dapat melawan? Dia telah lebih
dulu menotok kami sehingga kami tidak mampu
melawan, tidak mampu berteriak kata Kim Lan.
Dan surat ini? tanya Cia Song.
Dia tinggalkan surat di atas meja, ditusuk dengan
pisau ini, kata Kim Lan, mengeluarkan pisau runcing
yang disimpannya. Cia Song mengamati pisau itu.
Hemm, kalian melihat dia?
Lilin dipadamkan, keadaan dalam kamar gelap,
hanya remang-remang kami melihatnya. kata Ai Yin.
Begaimana kalian dapat yakin bahwa dia adalah
Souw Thian Liong? desak Cia Song.
Kami yakin dia itu jahanam Souw Thian Liong. Dia
bahkan mengaku sendiri, kata Kim Lan gemas.
Mengaku? Bagaimana dia mengaku? kejar Cia
Song.
Dia berbisik Kalian ingin mengenal Souw Thian
578

Liong? begitulah bisiknya lalu dia tertawa. Iblis jahanam


terkutuk itu. Aku harus membunuhnya! kata pula Kim
Lan penuh dendam.
Keparat busuk! Betapa keji dan jahatnya dia! Ah,
kalau saja aku tahu dia begitu jahat! Lalu, apa yang akan
kalian lakukan sekarang? tanya Cia Song.
Kami akan laporkan penghinaan ini kepada suhu
dan subo di Kun-lun-pai. Penghinaan ini bukan hanya
urusan pribadi, melainkan sudah menghina pula Kun-lun-pai! kata Ai Yin.
Benar sekali itu! Aku juga akan melaporkan
kejahatan Souw Thian Liong ini kepada suhu di Siauwlim-pai. Bagaimanapun dia sudah diakui sebagai murid
Siauw-lim-pai, maka berarti dia telah mencemarkan
nama baik Siauw-lim-pai. Jangan khawatir, kelak aku
yang akan menjadi saksi tentang kejahatannya itu, Lanmoi dan Yin-moi! kata Cia Song penuh semangat.
Terima kaslh, Cia-twako. Dengan bukti surat ini,
kesaksian kami berdua dibantu kesaksianmu, semua
orang tentu percaya. Jahanam busuk itu harus
membayar kejahatannya! kata Kim Lan.
Kelau begitu, sekarang klta saling berpisah, Lan-moi
dan Yin-moi. Aku akan pergi melaporkan kejahatan Souw
Thian Liong ke Siauw-lim-pai, sedangkan kalian kembali
ke Kun-lun-pai untuk melaporkan kepada para guru
kalian, kata Cia Song.
Dua orang gadis itu menerima baik usul ini dan pada
pagi hari itu juga, mereka saling berpisah. Kim Lan dan
Ai Yin melakukan perjalanan ke Kun-lun-pai. Mereka
579

menanggung derita batin yang hebat, dan gairah hldup


mereka hanya terdorong oleh keinginan membalas
dendam kepada Souw Thian Liong.
***
Cia Song memasuki kota Ceng-goan yang
merupakan kota besar kedua setelah kota raja Peking
di sebelah utaranya. Tanpa ragu-ragu dia memasuki
halaman sebuah gedung besar yang berada di ujung
barat kota. Dua orang perajurit Kin keluar dari gardu
penjagaan dan menghadangnya. Cia Song tersenyum,
mengeluarkan sebuah kartu merah dari saku bajunya
dan memperlihatkan kepada mereka. Dua orang
perajurit itu memberi hormat dan mempersilakan Cia
Song masuk ke ruangan depan gedung besar itu.
Seorang perajurit lain menyambutnya dan setelah
melihat kartu merah yang diperlihatkan Cia Song,
perajurit itu lalu mengantarkan Cia Song memasuki
sebuah ruangan tamu di sebelah kanan depan gedung
itu. Kemudian perajurit itu melaporkan ke dalam.
Cia Song memasuki ruangan tamu yang luas dan
mewah sekali. Dia memandang kagum kepada hiasan
dinding berupa lukisan-lukisan dan tulisan bersajak.
Tak lama kemudian dua orang muncul dari pintu sebelah
dalam. Cia Song cepat memutar tubuh dan setelah
berhadapan dengan mereka, dia cepat memberi hormat
dengan membungkuk dalam-dalam dan merangkap
kedua tangan di depan dada kepada seorang di antara
mereka yang mengenakan pakaian sebagai seorang
bangsawan tinggi bangsa Kin.
Hamba mohon beribu ampun kalau berani datang
menghadap
tanpa
paduka
panggil
sehingga
580

mengganggu waktu paduka yang amat berharga,


Pangeran.
Laki-laki berpakaian bangsawan tinggi itu bertubuh
tinggi kurus dan pakaiannya mewah, usianya sekitar
limapuluh tahun, wajahnya tampan namun tampak licik
dan cerdik pada pandang mata dan senyumnya yang
khas. Jenggotnya panjang dan kumisnya dicukur
pendek.
Jari-jari
tangannya
berkuku
panjang
terpelihara. Dia adalah Pangeran Hiu Kit Bong, kakak
dari kaisar Kerajaan Kin yang berkedudukan tinggi
karena sebagai kakak tiri kaisar yang terlahir dari ibu
selir, dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan dan juga
Penasihat kaisar.
Gedung di kota Ceng-goan merupakan rumah
peristirahatannya dan sering kali Pangeran Hiu Kit Bong
ini beristirahat di gedungnya itu, meninggalkan kota raja
yang bising di mana dia sibuk dengan tugas-tugasnya.
Adapun orang kedua yang muncul bersamanya
berpakaian sebagai seorang panglima perang, usianya
sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan
gagah, tampak bertubuh kuat.
Ah, Cia-sicu (orang gagah Cia), selamat datang.
Kami girang menerima kunjunganmu. Silakan duduk,
sicu! kata Pangeran Hiu Kit Bong dengan ramah.
Mereka bertiga lalu duduk mengelilingi sebuah meja
besar.
Cia-sicu lebih dulu perkenalkan. Ini adalah panglima
Kiat Kon seperti yang pernah kuceritakan kepadamu.
Dan Kiat-ciangkun, inilah sicu Cia Song, orang
kepercayaan yang menjadi utusan rahasia Perdana
Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung Selatan. Pangeran
581

itu memperkenalkan.
Cia Song cepat bangkit berdiri dan memberi hormat
kepada panglima tinggi besar itu. Terimalah hormat
saya, ciangkun. Sudah lama saya mendengar dan
mengagumi nama besar ciangkun!
Jenderal tinggi besar itu tersenyum, senang melihat
sikap Cia Song yang demikian ramah. Ha-ha, terima
kasih, Cia-sicu. Akupun sudah banyak mendengar
tentang jasamu. Silakan duduk!
Cia Song duduk kembali. Seorang pelayan masuk
membawa minuman sehingga percakapan mereka
terhenti. Setelah pelayan pergi, Pangeran Hiu Kit Bong
bertanya kepada Cia Song.
Cia-sicu, kabar apa yang kaubawa dari selatan?
Kalau engkau datang barkunjung secara tiba-tiba
begini, tentu engkau membawa berita penting sekali.
Cia Song yang menjadi murid yang disayang oleh
Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, yang dikenal
sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai itu, ternyata
memiliki peran ganda dalam hidupnya. Di satu pihak,
umum mengenalnya sebagai seorang pendekar Siauwlim-pai yang suka membela kebenaran dan keadilan,
sebagai murid Hui Sian Hwesio. Akan tetapi di lain
pihak, secara rahasia dan sama sekali tidak diketahui,
bahkan tidak pernah disangka oleh para golongan
bersih, diam-diam Cia Song telah berguru kepada Ali
Ahmed, seorang datuk bangsa Hui yang berasal dari
Mongolia Dalam.
Dengan ilmu-ilmu yang dlpelajarinya dari datuk
582

bangsa Hui itu, yaitu ilmu silat dan sihir, Cia Song
menjadi semakin lihai. Akan tetapi dia amat cerdik dan
tidak pernah dia menonjolkan atau memperlihatkan ilmuilmu asing itu. Hanya dia pandai memasukkan tenagatenaga yang dahsyat dari ilmu barunya ke dalam ilmu
silat
Siauw-lim-pai
yang
dikuasainya,
pandai
menggabung ilmu-ilmu dari Ali Ahmed dengan ilmu
silatnya sendiri sehingga tidak kentara bahwa dia
mempergunakan ilmu yang asing. Dan mulailah dia
dikenalkan oleh Ali Ahmed kepada Pangeran Hiu Kit
Bong.
Pergaulan dengan orang-orang yang menjadi hamba
nafsu, orang-orang yang selalu hanya mengejar
kenikmatan dan kesenangan daging dan dunia, menyeret
Cia Song ke lembah hitam. Dia sudah mengesampingkan
pelajaran tentang ke-bajikan yang dulu dia pelajari dari
Hui Sian Hwesio dan mulailah dia menjadi hamba
nafsunya, sering melakukan perbuatan-perbuatan yang
sesat.
Bahkan dia kemudian oleh pergaulan itu
diperkenalkan kepada Perdana Menteri Chin Kui yang
bersekutu
dengan
Kerajaan
Kin,
yang
telah
mempengaruhi Kaisar Sung agar berbaik dengan
Kerajaan Kin, bahkan tidak segan-segan Kaisar Sung
mengirim upeti sebagai tanda damai dengan Kerajaan
penjajah itu! Sebentar saja Cia Song telah menjadi orang
kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dan menjadi
utusan rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali para
sekutunya bahwa Cia Song telah menjadi antek
perdana menteri korup yang telah mempengaruhi dan
menguasai kaisar Sung itu!
Mendapat pertanyaan dari Pangeran Hiu Kit Bong,
583

Cia Song mengangguk-angguk. Kini terjadi perubahan


besar dalam hubungan gelap antara Perdana Menteri
Chin Kui dan Kaisar Kerajaan Kin. Karena Kaisar
Kerajaan Kin mulai tidak percaya kepada Perdana
Menteri
Chin
Kui,
maka
diam-diam
timbul
kerenggangan. Dalam keadaan seperti itu, terjalinlah
persekutuan antara Perdana Menteri Chin Kui dengan
Pangeran Hiu Kit Bong. Pangeran ini sudah lama
merencanakan hendak menggulingkan Kaisar Kin, yaitu
adik tirinya dan menduduki tahta kerajaan Kin sendiri!
Untuk itu, dia sudah menghimpun tenaga di kota raja
Peking, bersekutu dengan beberapa orang perwira
yang dipimpin oleh Jenderal Kiat Kon.
Jenderal ini hanya memperoleh kedudukan yang
paling rendah di antara jajaran para panglima. Karena
inilah maka dia tergiur oleh bujukan Pangeran Hiu Kit
Bong yang menjanjikan kedudukan Panglima tertinggi
kepadanya kalau usaha mereka merebut tahta kerajaan
berhasil. Bahkan Pangeran Hiu Kit Bong mengadakan
persekutuan gelap dengan Perdana Menteri Chin Kui
dari kerajaan Sung Selatan melalui Cia Song yang lebih
dulu mengenal Pangeran Hiu Kit Bong.
Berita dari selatan yang hamba bawa kurang begitu
menggembirakan, Pangeran. Saat ini banyak para
pendekar mulai memperlihatkan sikap menentang
Perdana Menteri Chin Kui secara berterang. Semua ini
sesungguhnya disebabkan kekeliruan Perdana Menteri
sendiri yang dulu tergesa-gesa mengusahakan
pembunuhan terhadap Jenderal Gak Hui. Akibatnya,
para pendekar dan juga banyak pejabat tinggi yang
menghormati dan kagum kepada Jenderal Gak Hui,
merasa sakit hati kepada Perdana Menteri Chin Kui. Hal
ini bukan saja menyurutkan pengaruhnya, bahkan juga
584

Sribaginda mulai berubah sikapnya terhadap Perdana


Menteri.
Mendengar laporan ini, Panglima Kiat Kon berkata
dengan suaranya yang besar parau. Ah, mudah saja itu!
Kenapa pusing-pusing? Bukankah Perdana Menteri
Chin Kui mempunyai banyak jagoan yang lihai? Suruh
saja para jagoannya itu bertindak dan membunuhi
mereka yang menentangnya. Habis perkara!
Hemm, tidak begitu mudah, ciangkun. Di antara
para pendekar itu terdapat banyak orang yang lihai, kata
Cia Song.
Ah, memang repot menghadapi ahli-ahli silat
petualang itu! kata Pangeran Hiu Kit Bong. Kami sendiri
di sini pusing oleh seorang puteri yang pandai ilmu silat.
Ilmu silatnya tinggi dan puteri itu benar-benar merupakan
batu sandungan bagi kami. Kalau ia berada dekat
dengan ayahnya, yaitu Sribaginda, akan sukarlah
untuk mengganggu Sribaginda.
Diam-diam Cia Song menjadi heran. Seorang puteri
raja Kin memiliki ilmu silat tinggi?
Siapakah puteri itu, Pangeran? Hamba tertarik
sekali mendengar bahwa ada puteri Sribaginda Raja Kin
amat lihai ilmu silatnya.
Namanya Puteri Moguhai. Akan tetapi kami kira
nama itu tidak ada artinya dan tidak terkenal bagimu.
Akan tetapi ada julukannya yang lain dan mungkin saja
engkau pernah mendengar nama julukan itu. Puteri
Moguhai adalah Pek Hong Nio-cu. Pernahkah engkau
mendengar nama itu?
585

Ohhh! Cia Song terkejut. Sama sekali tidak


pernah disangkanya bahwa Pek Hong Nio-cu yang
pernah dilihatnya itu adalah Puteri Moguhai, puteri Raja
Kin! Jadi Pek Hong Niocu itu Puteri Moguhai, puteri
Sribaginda Kerajaan Kin?
Nah, engkau mengenalnya, Cia-sicu. Gadis itu
sungguh membuat kami pusing. Ia bahkan pernah
menghajar beberapa orang pejabat yang menjadi
pembantu--pembantuku. Ia tidak takut siapapun dan ini
tidak aneh karena ia memegang pe-dang emas dari
Kaisar sebagai tanda kekuasaan. Tidak ada pejabat yang
berani menentangnya karena sebagai pemilik pedang
emas, ia mewakili kehadiran kaisar sendiri. Dan
beberapa kali ia memperlihatkan sikap tidak suka dan
menentangku. Kalau gadis itu tidak dibinasakan, kelak
ia akan menjadi penghalang besar bagi gerakan kita
bersama.
Ah, hamba tahu di mana adanya Pek Hong Nio-cu,
Pangeran! Belum lama ini hamba bertemu dengannya. Ia
sedang melakukan perjalanan bersama seorang pemuda
yang hamba kenal. Mereka sedang menuju ke barat,
hamba bertemu dengan mereka di kota Kiang-cu.
Hemm, menuju ke barat. Ah, tidak salah lagi. Puteri
Moguhai tentu akan berkunjung ke perbatasan Sin-kiang
di mana adik tiriku, Pangeran Kuang, menjadi komandan
pasukan yang menjaga di tapal batas barat. Wah, harus
dicegah! Moguhai tentu mempunyai maksud tertentu
hendak menghubungi Pangeran Kuang dan ini
berbahaya. Pangeran Kuang merupakan orang yang
amat setia kepada Sribaginda. Cia-sicu, maukah
engkau membantu kami?

586

Tentu saja, Pangeran. Bukankah selama ini hamba


membantu paduka dan Perdana Menteri Chin Kui?
Ya, kami menghargai semua bantuanmu, Cia-sicu.
Akan tetapi permintaan bantuan kami kali ini istimewa,
penting dan juga berat. Yaitu maukah engkau mengejar
dan membunuh Puteri Moguhai yang berarti akan
melancarkan jalannya semua rencana kami?
Cia Song terkejut bukan main. Kalau dia disuruh
membunuh orang lain, tentu akan segera dia sanggupi
dan baginya merupakan pekerjaan yang tidak terlalu
sukar dilaksanakan. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu? Dia
belum tahu sampai di mana kelihaian gadis yang
kecantikannya pernah membuat dia tergila-gila begitu
melihatnya itu. Akan tetapi ketika Pek Hong Nio-cu
berada di atas genteng penginapan, ketika gadis itu
melemparkan surat dan pisau ke atas meja Kim Lan dan
Ai Yin, dia melihat gerakan Pek Hong Nio-cu ketika
melarikan diri begitu cepat dan ringan. Harus diakui
bahwa gadis bangsawan itu memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang hebat dan mungkin saja ilmu
silatnya juga lihai sekali.
Bagaimana, Cia-sicu? Sanggupkah
Pangeran Hiu Kit Bong mendesak.

engkau?

Cia Song menghela napas panjang lalu menjawab,


Tugas itu berat sekali, pangeran.
Hemm, engkau hendak mengatakan bahwa engkau
merasa jerih kepada Puteri Moguhai? tanya pangeran
itu.
Sama

sekali

tidak,

Pangeran.

Mungkin

ilmu
587

kepandaiannya tinggi, akan tetapi hamba tidak takut


kepadanya. Akan tetapi, hamba melihat bahwa Pek Hong
Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda,
dan pemuda inilah yang merupakan lawan yang amat
berat karena hamba sudah mengenalnya dan tahu
betapa tangguhnya dia.
Hemm, siapakah pemuda itu? tanya Pangeran Hiu
Kit Bong dengan alis dikerutkan.
Namanya Souw Thian Liong, Pangeran. Dia adalah
murid Tiong Lee Cin jin.
Cia-sicu jangan takut. Kami tidak ingin engkau turun
tangan seorang diri. Kami selalu ingin keyakinan bahwa
kami pasti berhasil sebelum melakukan sesuatu. Kami
akan mempersiapkan sebuah pasukan khusus, pasukan
istimewa terdiri dari dua losin orang yang dipimpin oleh
lima orang jagoan kami yang lihai dan boleh diandalkan
kemampuannya. Mereka bukan saja pandai ilmu silat dan
amat tangguh, akan tetapi juga merupakan ahli-ahli
mengatur siasat pertempuran. Dengan bantuan mereka,
engkau tidak perlu ragu dan khawatir. Pasti rencana kita
berjalan dengan baik dan lancar.
Cia Song sudah tahu benar betapa tinggi ilmu
kepandaian Thian Liong. Bahkan pemuda itu masih
menerima pelajaran ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng
dari Hui Sian Hwesio, hal yang membuat dia merasa iri
hati sekali. Dan walaupun dia belum mengukur sampai di
mana tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu, dia dapat
menduga bahwa gadis itu pasti bukan lawan yang mudah
dikalahkan. Karena itu, untuk memperoleh keyakinan, dia
harus menguji dulu sampai di mana kelihaian lima orang
jagoan yang hendak diperbantukan padanya itu.
588

Sedikitnya lima orang pembantu itu harus mampu


menandinginya, barulah bantuan mereka dan dua losin
perajurit pilihan akan ada artinya.
Maaf, pangeran. Akan tetapi siapakah lima orang
jagoan yang akan diperbantukan kepada hamba itu?
Hamba tetap merasa ragu sebelum menguji sampai di
mana kemampuan mereka.
Pangeran Hiu Kit Bong tidak marah, malah
tersenyum. Kehati-hatian Cia Song itu menyenangkan
dia karena ini berarti bahwa pemuda itu seorang yang
teliti dan boleh diandalkan akan berhasil dalam
melaksanakan tugasnya.
Mereka adalah bekas pengawal-pengawal pribadi
Sribaginda sendiri. Karena melakukan pelanggaran
kesusilaan di istana, mereka diusir dari istana. Kami
menampung mereka dan mereka memang mempunyai
perasaan dendam kepada Sribaginda, maka dapat
merupakan pembantu-pembantu yang setia. Mereka
adalah jagoan-jagoan yang telah menguasai banyak
ilmu, bukan saja ilmu silat aliran utara, akan tetapi juga
menguasai ilmu gulat dari Mongolia dan ilmu silat dari
Jepang. Dan mudah saja untuk menguji mereka karena
dapat segera dipanggil ke sini. Setelah berkata
demikian, Pangeran Hiu Kit Bong mengutus seorang
perajurit untuk memanggil lima orang jagoannya itu.
Sambil menanti datangnya lima orang jagoan itu, mereka
bertiga bercakap-cakap dan mengatur siasat selanjutnya,
bukan hanya untuk membunuh Pek Hong Nio-cu,
melainkan juga untuk gerakan pemberontakan dan
menggulingkan kedudukan Kaisar Kin.
Cia Song yang teringat akan kecantikan Pek Hong
589

Nio-cu yang membuat dia tergila-gila dan bangkit


gairahnya, mengajukan usul kepada Pangeran Hiu Kit
Bong. Pangeran, menurut pendapat hamba, akan lebih
baik apabila Puteri Moguhai itu tidak dibunuh, melainkan
ditawan saja.
Eh? Kenapa begitu? Ia akan menjadi batu
sandungan bagiku, mengganggu kelancaran rencanaku.
Tidak, ia harus dibunuh, Cia-sicu. Untuk membunuh
puteri itulah kami minta bantuanmu!
Harap paduka pertimbangkan dulu usul hamba.
Kalau puteri itu dibunuh paduka hanya mendapatkan
satu keuntungan yang tidak begitu berharga. Akan tetapi
kalau ia ditawan, berarti paduka memperoleh dua
keuntungan, seperti sebatang pedang yang tajam kedua
sisinya, satu kali bergerak mendapatkan dua yang amat
baik.
Hemm, apa maksudmu, sicu?
Begini, Pangeran. Hamba akan menawan Puteri
Moguhai itu dan dengan tawanan yang amat penting itu,
paduka dapat menjadikan ia sebagai sandera dan
paduka dapat mengancam agar Sribaginda suka
menyerahkan tahta kepada paduka untuk ditukar dengan
nyawa puteri Sribaginda. Dengan demikian, paduka akan
dapat mengambil alih singasana tanpa banyak
kesukaran lagi.
Mendengar usul ini, Pangeran Hiu Kit Bong tertegun
dan saling pandang dengan Panglima Kiat Kon yang
menjadi sekutu utamanya dalam ambisinya merebut
kekuasaan kerajaan Kin. Keduanya saling pandang lalu
mengangguk-angguk.
590

Siasat itu sungguh hebat dan baik sekali, Pangeran!


kata Panglima Kiat Kon.
Pangeran Hiu Kit Bong juga mengangguk-angguk
dan tersenyum kepada Cia Song. Bagus, Cia-sicu,
gagasanmu itu cemerlang sekali! Kenapa aku tidak
berpikir sejauh itu? Ha-ha-ha, tidak percuma Perdana
Menteri Chin Kui mengangkatmu menjadi penghubung
antara kami! Baik, siasatmu itu baik dan harus
dilaksanakan begitu. Puteri Moguhai, keponakan tiriku
itu, si cantik yang liar itu, jangan dibunuh, melainkan
ditangkap dan dijadikan sandera! Bagus sekali!
Akan tetapi, Pangeran. Biarpun gagasan itu bagus
dan sudah sepatutnya dilaksanakan, akan tetapi tetap
saja kita harus menyusun kekuatan pasukan yang besar.
Siapa tahu Sribaginda akan nekat dan tidak mau
menyerahkan mahkota sehingga kita terpaksa harus
menggunakan kekerasan, menyerbu istana dan untuk itu
kita memerlukan pasukan yang amat kuat, kata
Panglima Kiat Kon.
Pangeran Hiu Kit Bong mengangguk-angguk setuju.
Mereka lalu bercakap cakap dan berunding, mencari
siasat-siasat terbaik. Ada dua tujuan terpenting yang
hendak dicapai oleh persekutuan antara Pangeran Hiu
Kit Bong dan Perdana Menteri Chin Kui. Pertama,
mahkota kerajaan Kin harus terjatuh ke tangan Pangeran
Hiu Kit Bong dan kedua, kedudukan Perdana Menteri
Chin Kui harus diperkuat dengan disingkirkannya mereka
yang menentang kekuasaannya sehingga dia dapat
makin kuat mencengkeram Kaisar Sung dalam
kekuasaannya. Dengan demikian, maka Kerajaan Kin
akan dapat tetap bersahabat dengan Kerajaan Sung
Selatan.
591

Percakapan mereka terhenti ketika muncul lima


orang memasuki ruangan itu. Mereka segera memberi
hormat kepada Pangeran Hiu Kit Bong dengan
membungkuk dalam-dalam.
Pangeran Hiu Kit Bong tersenyum gembira
menyambut mereka. Ah, kalian telah datang?
Duduklah! Dia mempersilakan mereka duduk dan lima
orang itu lalu duduk di atas kursi-kursi yang sudah
tersedia di depan pangeran itu. Cia Song memandang
mereka dengan penuh perhatian.
Pangeran Hiu Kit Bong lalu memperkenalkan Cia
Song kepada mereka. Nah, kalian berlima kenalkanlah.
Ini adalah pendekar besar Cia Song yang menjadi orang
kepercayaan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan
Sung!
Lima orang itu agaknya sudah pernah mendengar
nama Cia Song, maka mereka lalu bangkit dan memberi
hormat kepada Cia Song, juga dengan membungkuk
dalam-dalam. Cia Song membalas dengan merangkap
kedua tangan depan dada. Dia pernah melihat cara
penghormatan membungkuk seperti itu, yakni kebiasaan
orang-orang Jepang. Agaknya lima orang ini pernah
berguru kepada orang Jepang, pikirnya dan perkiraan ini
agaknya tidak salah karena diapun melihat betapa di
pinggang mereka berlima itu tergantung sebatang
pedang samurai, yaitu pedang bangsa Jepang yang
bentuknya agak melengkung, gagangnya agak panjang
sehingga dapat dipegang kedua tangan dan hanya
bermata sebelah seperti golok.
Pangeran Hiu Kit Bong memperkenalkan lima orang
jagoannya kepada Cia Song. Cia Song memperhatikan
592

mereka. Orang pertama bernama Con Gu, berusia


empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya
panjang dan berwarna kuning sekali. Orang kedua
bernama Koi Cu, usianya empatpuluh tiga tahun,
bertubuh pendek gendut dan kepalanya botak. Orang
ketiga bernama Jiu Hon, berusia empatpuluh tahun,
bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok
menyeramkan. Orang keempat bernama Kian Su,
usianya tigapuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan
wajahnya bersih tampan. Adapun orang kelima bernama
Hayasi, berusia tigapuluh tahun, tubuhnya pendek
dengan kaki tangan pendek akan tetapi kokoh berotot.
Mereka berlima itu memiliki mata yang tampak cerdik,
bersinar tajam dan dari sikap mereka mudah diduga
bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh.
Mereka berlima memiliki sebatang pedang samurai. Koi
Cu dan Hayasi yang bertubuh pendek membawa pedang
samurai mereka di punggung, akan tetapi tiga orang
yang lain menggantung pedang samurai mereka di
pinggang.
Paduka memanggil kami menghadap, ada tugas
apakah yang harus kami laksanakan, Pangeran? tanya
Con Gu, orang tertua yang agaknya juga menjadi juru
bicara mereka berlima.
Ada tugas penting sekali untuk kalian berlima. Tugas
itu sebetulnya sudah kami serahkan kepada Cia-sicu,
akan tetapi karena tugas itu berbahaya dan akan
menghadapi lawan yang amat kuat, maka kami
membutuhkan bantuanmu yang akan memimpin dua
losin perajurit pilihan untuk membantu tugas Cia-sicu,
kata Pangeran Hiu Kit Bong.

593

Bolehkah kami mengetahui, tugas apa yang harus


kami lakukan, Pangeran? tanya Con Gu.
Kalian berlima dan pasukan yang kalian pimpin
harus membantu Cia-sicu untuk menangkap seseorang.
Menangkap seorang saja mengapa harus memakai
begitu banyak orang? Hayasi bertanya dan logat
bicaranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang
berbangsa Jepang.
Yang harus ditangkap adalah Puteri Moguhai yang di
luar istana terkenal sebagai Pek Hong Nio-cu! kata
Pangeran Hiu Kit Bong.
Lima orang itu terkejut sekali. Oh......! Sang Puteri
Moguhai.......? kata Con Gu, lalu dia menganggukangguk. Pangeran, kami tahu bahwa Puteri Moguhai
memang memiliki kepandaian tinggi dan lihai sekali.
Memang harus hamba akui kalau kami berlima maju
satu-satu, agaknya masih akan sukarlah menangkapnya.
Akan tetapi kalau kami berlima maju, agaknya sudah
pasti kami dapat menangkapnya. Mengapa harus
menyusahkan Cia-sicu dan bahkan ditambah dua losin
perajurit lagi?
Wah, tidak semudah itu, Con Gu! kata Pangeran
Hiu Kit Bong. Ketahuilah bahwa selain Puteri Moguhai
sendiri seorang yang tangguh, ia ditemani oleh seorang
pemuda yang namanya....... eh, siapa tadi namanya, Ciasicu?
Namanya Souw Thian Liong, Pangeran.
Ya, temannya itu bernama Souw Thian Liong dan
594

menurut keterangan Cia-sicu, pemuda itu lihai sekali


karena dia adalah murid Tiong Lee Cin-jin.
Lima orang jagoan itu saling pandang dan dari sinar
mata mereka Cia Song tahu bahwa mereka terkejut dan
gentar mendengar nama Tiong Lee Cin-jin yang dikenal
sebagai seorang manusia setengah dewa itu!
Kami akan membantu Cia-sicu sekuat tenaga kami!
kata Con Gu.
Karena menghadapi pekerjaan penting, Cia-sicu
masih ragu apakah bantuan kalian berlima berikut dua
losin perajurit pilihan sudah cukup. Oleh karena itu, untuk
menyakinkan hatinya, dia minta agar diperbolehkan
menguji ketangguhan kalian berlima.
Mendengar ucapan pangeran itu, kelima orang
jagoan mernandang kepada Cia Song dengan sinar mata
tajam.
Bagaimana, sobat-sobat? Apakah kalian tidak
keberatan kalau aku hendak menguji ilmu silat kalian?
tanya Cia Song.
Lima orang itu menggeleng kepala dan Con Gu
berkata sambil tersenyum.
Tentu saja tidak, Cia-sicu. Kami siap untuk diuji
sewaktu-waktu.
Pangeran Hiu Kit Bong tertawa. Ha-ha, bagus.
Waktunya sekarang saja dan ruangan ini kiranya cukup
luas untuk dipakai sebagai tempat ujian bertanding.
Bagaimana pendapatmu, Cia-sicu?
595

Cia Song bangkit berdiri. Memang cukup luas,


Pangeran. Marilah, sobat-sobat, kita mulai saja. Dia lalu
melangkah ke tengah ruangan yang luas.
Con Gu juga bangkit dan setelah membungkuk di
depan sang pangeran, diapun melangkah lebar
menghampiri Cia Song, setelah berhadapan lalu berkata,
Cia-sicu, kami telah siap. Biarlah saya yang maju
pertama untuk menerima ujian.
Bukan satu-satu, maksudku kalian berlima maju
berbareng. Aku ingin melihat apakah kalau kalian maju
berbareng cukup kuat untuk melawan musuh yang
tangguh.
Kami berlima maju berbareng? Mengeroyokmu,
sicu? Ah, jangan bergurau! kata Con Gu sambil tertawa
dan empat orang rekannya juga tertawa lirih karena
mereka berada di depan Pangeran.
Aku sama sekali tidak bergurau. Ketahuilah bahwa
lawan-lawan yang akan kita hadapi sungguh tangguh
dan lihai sekali, maka aku harus yakin bahwa kalian
cukup kuat untuk menandingi seorang di antara mereka.
Nah, marilah, kalian berlima maju berbareng dan jangan
sungkan mengeroyok aku, keluarkan semua kemampuan
kalian agar aku dapat merasa yakin sehingga tugas kita
akan dapat terlaksana dengan hasil baik.
Hayolah, kalian berlima jangan ragu. Turuti perintah
Cia-sicu. Dalam tugas dia adalah pemimpin kalian! kata
Pangeran Hiu Kit Bong.
Mendengar perintah pangeran, tentu saja lima orang
itu tidak berani membantah lagi dan empat orang jagoan
596

yang lain segera bangkit berdiri dan menghampiri Cia


Song. Mereka berlima berdiri berjajar menghadapi Cia
Song dengan sikap masih ragu-ragu. Mereka adalah
jagoan-jagoan pilihan, bahkan pernah menjadi pengawal
pribadi Raja Kin yang jarang menemui tanding.
Bagaimana
sekarang
mereka
berlima
disuruh
mengeroyok seorang lawan saja? Bagi mereka, hal ini
memalukan sekali. Andaikata mereka menang sekalipun,
tidak dapat dibanggakan. Akan tetapi karena pangeran
yang memerintah dan Cia Song juga hanya bermaksud
untuk menguji, maka mereka berlima siap.
Melihat mereka berdiri berjajar, bukan mengepung
seperti lima orang yang hendak mengeroyok, Cia Song
maklum bahwa mereka masih merasa sungkan. Dan dia
maklum akan perasaan mereka. Mereka adalah jagoanjagoan istana Kin dan usia mereka juga lebih tua
daripada dia, maka tentu saja mereka sungkan untuk
melakukan pengeroyokan.
Sekarang begini saja, katanya, agar kalian tidak
merasa sungkan, biarlah kalau sampai robek sedikit
pakaianku terkena ujung pedang kalian, kuanggap kalian
sudah lulus ujian dan dapat mengalahkan aku. Nah,
sekarang aku hendak bertanya dan kuharap kalian
menjawab
sejujurnya.
Aku
ingin
agar
kalian
mengeluarkan ilmu kalian yang paling ampuh. Kalau
kalian maju berlima, kalian hendak mempergunakan ilmu
pedang apakah yang kalian anggap paling ampuh?
Sesungguhnya, Cia-sicu. Kami berlima malu untuk
maju berbareng dan mengeroyokmu. Akan tetapi karena
Pangeran telah memerintahkan dan sicu hanya ingin
menguji, maka apa boleh buat, kami akan menaati
perintah. Kami masing-masing mempunyai keistimewaan
597

sendiri, akan tetapi kalau kami maju bersama, kami telah


menciptakan permainan pedang gabungan yang kami
namakan Ngo heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima
Unsur). Dengan memainkan Ngo-heng Kiam tin, kami
berlima belum pernah terkalahkan.
Bagus! Aku menghendaki agar kalian berlima
mengeroyok aku dengan Ngo heng Kiam-tin itu dan
jangan sungkan. Serang aku sekuat kalian dan kalahkan
aku secepat mungkin. Aku percaya bahwa ahli-ahli
pedang seperti kalian tentu tidak akan salah tangan,
tidak akan melukai tubuhku, cukup dengan merobek
pakaianku saja. Cia Song bicara sambil tersenyum
ramah, sama sekali tidak terkandung nada atau sikap
mengejek.
Baiklah, Cia-sicu. Maafkan kami. Con Gu
memandang kepada empat orang rekannya dan mereka
berlima lalu menggerakkan tangan kanan. Tampak
kilatan lima sinar ketika mereka telah mencabut pedang
samurai mereka masing masing. Lima batang pedang
panjang yang agak melengkung itu berkilauan dan ini
menunjukkan bahwa pedang-pedang itu amat tajam.
Ketika dicabut dengan amat cepatnya, terdengar suara
berdesing yang menandakan bahwa lima orang itu
memiliki tenaga yang kuat. Setelah mencabut pedang
samurai masing-masing, lima orang itu lalu mulai
melangkah dengan geseran-geseran kaki dan mereka
telah mengepung Cia Song dari lima penjuru.
Bersiaplah, Cia-sicu! kata Con Gu yang memberi
kesempatan kepada Cia Song untuk mengeluarkan
senjatanya.
Dari gerakan mereka saja Cia Song maklum bahwa
598

akan sukar menandingi mereka berlima kalau dia


bertangan kosong. Maka diapun segera mencabut
pedang yang berada di punggungnya, sebatang pedang
beronce merah. Dia mencabutnya dengan perlahan lalu
melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun dia
tidak memasang kuda-kuda secara khusus, namun Cia
Song bersikap hati-hati dan waspada karena dia maklum
bahwa lima orang lawannya ini benar-benar tangguh. Dia
harus menjaga agar dia jangan sampai kalah atau kalau
dikalahkan juga dia harus dapat melakukan perlawanan
yang cukup kuat dan seimbang.
Setelah melihat Cia Song mencabut pedang, Con Gu
mewakili rekan-rekannya bertanya, Cia-sicu, apakah
kami sudah boleh mulai menyerang?
Boleh, silakan, aku sudah siap! kata Cia Song.
Sambut serangan Unsur Swee (Air)! bentak Con Gu
dan dia menyerang dari depan Cia Song. Pedang
samurainya menyambar dan gerakannya bergelombang
seperti ombak sehingga cocok sekali kalau Con Gu
memperkenalkan dirinya sebagai pemain Unsur Air
dalam Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur)
itu. Cia Song sengaja menggunakan pedangnya
menangkis dengan pengerahan tenaga karena dia
hendak mengukur tenaga Con Gu melalui serangan
pedang samurainya itu.
Tranggg!! Pedang samurai itu tergetar dan Con Gu
melangkah ke belakang lima kali. Cia Song juga
merasakan pedangnya tergetar dan tahulah dia bahwa
tenaga Con Gu cukup kuat walaupun masih jauh kalau
dibandingkan dengan sin kang (tenaga sakti) yang
dikuasainya.
599

Cia-sicu, sambut serangan Unsur Hwe (Api)! teriak


Koi Cu yang berkepala botak dan bertubuh pendek
gendut dari sebelah kanan Cia Song. Pedang Samurai
yang terlalu panjang bagi tubuh yang pendek itu
menyambar lurus, dari bawah ke atas seperti
berkobarnya api dan gerakannya dahsyat sekali. Cia
Song sudah mengukur kekuatan Con Gu dan dia
menduga bahwa tentu tenaga orang pertama itu yang
paling kuat di antara mereka berlima. Maka dia
menghadapi serangan Unsur Api ini dengan
mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya. Dia
mengelak sehingga pedang Koi Cu menyambar di
samping tubuhnya.
Sambut serangan Unsur Bhok (Kayu)! teriak Jiu
Hon yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
brewok. Orang ketiga ini menyerang dari belakang, maka
Cia Song memutar tubuhnya, menggeser kakinya dan
melihat pedang samurai Jiu Hon menusuk ke arah
lambungnya. Cia Song memiringkan tubuhnya dan
menggunakan pedangnya untuk menangkis dari samping
sehingga serangan Jiu Hon gagal, pedang samurainya
terpental.
Awas serangan Unsur Kim (Emas, logam)! bentak
Kian Su, orang keempat yang berwajah tampan.
Pedangnya meluncur dan menyerang dari sebelah kiri
tubuh Cia Song. Kembali Cia Song mengelak dengan
mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
tinggi tingkatnya.
Sambut serangan Unsur Tho (Tanah)! bentak
Hayasi. Orang yang paling pendek ini menyerang dan
pedangnya berputar menyerang ke arah kedua kaki Cia
Song. Serangannya tidak kalah dahsyat dibandingkan
600

empat orang rekannya. Cia Song dengan tenang namun


cepat meloncat untuk menghindarkan serangan itu.
Setelah lima orang itu masing-masing mengeluarkan
jurus serangannya secara bergiliran dan semua
serangan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Cia
Song mereka berlima maklum bahwa Cia Song benarbenar lihai, maka mereka tidak merasa ragu lagi untuk
mengeroyok. Con Gu memberi isyarat kepada empat
orang rekannya dan mulailah mereka berlima menyerang
dari lima penjuru dengan berbareng! Serangan mereka
datang bergelombang dan bertubi-tubi, dan hebatnya
serangan mereka itu saling menunjang, saling
melengkapi sesuai dengan watak ngo-heng (lima unsur)
sehingga serangan beruntun yang saling menunjang dan
saling melengkapi akan tetapi yang sifatnya juga saling
berlawanan itu menjadi membingungkan, aneh dan
dahsyat sekali!
Diam-diam Cia Song terkejut. Dia tahu bahwa kalau
mereka itu maju satu demi satu, tidak begitu sukar
baginya untuk mengalahkan mereka. Akan tetapi,
dengan maju bersama membentuk Barisan Pedang Lima
Unsur, mereka sungguh merupakan lawan yang tangguh
dan amat berbahaya. Untuk dapat melakukan
perlawanan yang kuat, Cia Song segera memainkan ilmu
silat gabungan, yaitu pada dasarnya merupakan ilmu silat
pedang
aliran
Siauw-lim-pai,
akan
tetapi
dia
memasukkan unsur ilmu yang dipelajarinya dari Ali
Ahmed, datuk suku bangsa Hui itu. Ilmu pedang menjadi
aneh namun kuat sekali. Tubuh Cia Song lenyap
dibungkus sinar pedangnya yang bergulung-gulung dan
berkelebatan, bukan hanya sinar pedang itu menangkis
lima batang pedang samurai yang mengancamnya dari
lima jurusan yang kadang berputaran, namun juga
601

mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya!


Pangeran Hiu Kit Bong yang hanya menguasai ilmu
silat yang rendah, tidak dapat mengikuti jalannya
pertandingan. Gerakan enam orang itu terlampau cepat
baginya sehingga pandang matanya menjadi kabur.
Kilatan sinar pedang yang mencuat ke sana-sini, kadang
bergulung gulung, diseling suara berdentangan nyaring
membuat dia hanya dapat memandang kagum.
Bagaimana pendapatmu, ciangkun?
Dia bertanya kepada Panglima Kiat Kon yang juga
menonton pertandingan itu dengan tertarik sekali. Tingkat
kepandaian silat panglima ini juga sudah cukup tinggi,
seimbang dibandingkan tingkat masing-masing anggauta
Ngo-heng Kiam-tin itu, maka dia dapat mengikuti
pertandingan itu dan menjadi amat kagum melihat betapa
Cia Song dapat mempertahankan diri bahkan
mengimbangi serangan gabungan yang dahsyat itu. Dia
sendiri akan kalah dalam waktu pendek kalau harus
menandingi pengeroyokan Ngo-heng Kiam-tin itu.
Hebat, Pangeran. Ngo-heng Kiam-tin memang
dahsyat sekali, akan tetapi kepandaian Cia-sicu juga luar
biasa sehingga dia mampu mengimbangi pengeroyokan
itu, katanya sambil mengangguk angguk dengan hati
kagum.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Semua
serangan dari barisan pedang lima orang itu dapat
dihindarkan dengan baik oleh Cia Song, biarpun
serangan itu datang bergelombang dan bertubi-tubi.
Akan tetapi serangan balasan dari Cia Song juga selalu
dapat ditangkis. Kalau Cia Song hendak mengandalkan
602

kelebihan tenaganya, diapun gagal karena yang


menangkis pedangnya tentu sedikitnya dua orang,
bahkan kadang tiga-empat pedang samurai sekaligus
menyambut pedangnya sehingga kelebihan tenaganya
diimbangi tenaga gabungan para pengeroyok. Sampai
seratus jurus mereka bertanding dan belum tampak siapa
yang akan keluar sebagai pemenang.
Cia Song merasa sudah cukup menguji jagoan itu
dan dia merasa girang. Ternyata Ngo-heng Kiam-tin
memang tangguh dan boleh diandalkan. Dibantu lima
orang seperti ini, apalagi yang memimpin dua losin
perajurit pilihan, dia akan merasa kuat menghadapi Pek
Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong. Maka dia ingin
menyudahi ujian itu. Akan tetapi dasar dia memiliki watak
yang sombong, walaupun disembunyikan di balik
sikapnya yang halus dan sopan, maka dia tidak akan
merasa puas kalau tidak lebih dulu mengalahkan mereka
agar dia memperoleh kesan yang baik dan agar lima
orang itu tunduk kepadanya sehingga dapat menjadi
pembantu-pembantu yang taat kepadanya.
Diam-diam Cia Song mengerahkan tenaga saktinya
dan mempergunakan ilmu pukulan jarak jauh bercampur
kekuatan sihir yang dipelajarinya dari Ali Ahmed.
Hyaaaattt....... ahhhh! Tangan kirinya mendorong ke
depan dan tubuhnya berputar sehingga sasaran pukulan
jarak jauh itu diarahkan kepada lima orang pengeroyok
yang mengepungnya. Dari telapak tangan kirinya keluar
asap hitam yang menyambar ke arah lima orang itu.
Terdengar teriakan-teriakan kaget dan lima orang itu satu
demi satu terhuyung ke belakang. Cia Song bergerak
cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dan ketika
dia melompat agak ke belakang menjauhi mereka, lima
603

orang itu melihat betapa ujung baju mereka telah


terbabat putus oleh sinar pedang Cia Song selagi mereka
terhuyung tadi!
Lima orang itu membungkuk sampai dalam dan Con
Gu mewakili para rekanrrya berkata, ilmu pedang Ciasicu hebat bukan main! Kami mengaku kalah!
Cia Song menyimpan kembali pedangnya dan
berkata, Ngo-heng Kiam-tin amat tangguh. Aku girang
sekali mendapatkan pembantu seperti kalian berlima!
Mendengar ini, Pangeran Hiu Kit Bong dan Panglima
Kiat Kon bertepuk tangan.
Kami girang sekali bahwa mereka berlima lulus
ujian, Cia-sicu. Bagaimana pendapat sicu? Apakah
ditemani mereka yang akan memimpin dua losin perajurit
pilihan dianggap cukup kuat?
Lebih dari cukup, Pangeran. Dengan bantuan
mereka dan dua losin perajurit pilihan, hamba yakin kami
dapat menangkap Puteri Moguhai dan Souw Thian
Liong.
Bagus! Duduklah kalian berenam! kata Pangeran
Hiu Kit Bong. Akan tetapi kalau Puteri Moguhai jangan
dibunuh, sebaliknya pemuda lihai yang menjadi
temannya itu harus dibunuh karena dia membahayakan
kita.
Tidak, Pangeran. Souw Thian Liong juga akan
hamba tangkap karena dia harus memperhitungkan
dosa-dosanya kepada Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Dia
harus menerima hukumannya, kata Cia Song.
604

Hemm, apa sih yang dilakukannya? Ah, sudahlah,


bukan urusan kami. Terserah kepadamu kalau engkau
hendak menangkap pemuda itu, Cia-sicu. Yang
terpenting bagi kami adalah menawan Puteri Moguhai
untuk dijadikan sandera, kata Pangeran Hiu Kit Bong.
Setelah mengadakan perundingan matang dan
membuat persiapan, berangkatlah Cia Song bersama
kelima Ngo-heng Kiam-tin, memimpin dua losin perajurit
yang terlatih baik dan rata-rata pandai ilmu silat
melakukan pengejaran kepada Puteri Moguhai dan Souw
Thian Liong yang menuju ke barat. Mereka menunggang
kuda-kuda pilihan sehingga dapat melakukan perjalanan
cepat.
***
Souw Thian Liong mendapat kenyataan yang amat
menyenangkan hatinya. Setelah melakukan perjalanan
dengan Pek Hong Nio-cu selama hampir sebulan
lamanya, dia mendapat kenyataan betapa amat
menggembirakan perjalanan itu.
Pek Hong Nio-cu ternyata merupakan teman
seperjalanan yang amat baik. Wataknya gembira, pandai
bicara dan di mana saja pendekar wanita yang
sesungguhnya puteri raja ini memperlihatkan watak
aselinya yang mengagumkan. Ia ramah terhadap rakyat
jelata, murah hati dan siap menolong rakyat yang hidup
sengsara. Ringan tangan menghajar orang orang yang
mengandalkan kekerasan dan kekuasaan untuk
menindas rakyat. Terutama sekali ia amat keras terhadap
para pembesar kecil yang bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyat. Dan di mana saja, para pembesar itu
selalu mati kutu dan ketakutan setelah memperlihatkan
605

pedang bengkok dari emas yang menjadi lambang


kekuasaan Kaisar kerajaan Kin. Puteri raja ini selain
cantik jelita dan menarik hati, juga gagah perkasa dan
memiliki watak yang budiman.
Di lain pihak, diam-diam Pek Hong Nio-cu juga
kagum bukan main kepada Thian Liong. Pemuda itu
selalu sopan dan penuh perhatian. Tidak pernah
sedikitpun mernperlihatkan watak mata keranjang, tidak
pernah mencoba untuk merayunya seperti yang banyak
ditemui pada diri para pria kalau bertemu dengannya.
Sungguh seorang pemuda yang hebat, berjiwa pendekar
dan juga pandai bicara dan suka berkelakar dengan
sopan.
Seperti kita ketahui, ketika mereka berdua tiba di kota
Kiang-cu dan bermalam di sebuah rumah penginapan,
Cia Song menemui Thian Liong dan membujuk agar
Thian Liong segera meninggalkan kota itu karena Kim
Lan dan Ai Yin mencarinya untuk memaksa Thian Liong
menikahi Kim Lan atau kalau tidak mau, dua orang gadis
itu hendak membunuhnya.
Setelah Cia Song pergi, Pek Hong Nio-cu mendengar
dari Thian Liong tentang gadis murid Kun-lun-pai yang
hendak memaksa dia mengawini dengan alasan bahwa
gadis itu sudah bersumpah akan berjodoh dengan pria
yang dapat mengalahkannya. Kalau dia tidak mau, Thian
Liong akan dibunuhnya! Mendengar ini, Pek Hong Nio-cu
marah sekali.
Malam itu, tanpa setahu Thian Liong, Pek Hong Niocu pergi mengunjungi rumah penginapan di mana Kim
Lan dan Ai Yin bermalam. Ia melemparkan surat
celaannya yang disambitkan ke atas meja dengan
606

sebuah pisau lalu meninggalkan atap rumah penginapan


itu karena ia melihat bayangan orang. Dan pada
keesokan harinya, Thian Liong mengajaknya segera
pergi meninggalkan kota Kiang-cu.
Pemuda ini ingin menghindarkan diri dari kejaran dua
orang gadis Kun-lun-pai itu. Pek Hong Nio-cu juga tidak
pernah bicara tentang dua orang gadis itu juga tidak
pernah menceritakan tentang perbuatannya mengirim
surat teguran yang isinya rnencela murid wanita Kun-lunpai sebagai wanita yang tidak tahu malu hendak
memaksa seorang pria menjadi suaminya!
Matahari telah naik tinggi dan udara lumayan
panasnya. Mereka berdua menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan, menyusuri sepanjang tepi Sungai Han,
yaitu sungai yang menjadi cabang Sungai Yang-ce yang
besar. Pemandangan alamnya di lembah sungai itu amat
indah. Daerah ini termasuk daerah yang kecil jumlah
penduduknya sehingga tempat yang mereka lalui itu
sunyi. Thian Liong menjalankan kudanya di sebelah kiri
kuda yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu. Dua ekor kuda
itu
berjalan
seenaknya
karena
dua
orang
penunggangnya tidak ingin memaksa binatang yang juga
sudah tampak kelelahan itu. Thian Liong melamun.
Dia melamun tentang keadaan dirinya. Sungguh tak
pernah disangkanya sama sekali bahwa dia akan
melakukan perjalanan berdua saja dengan puteri Raja
Kin! Dan perjalanan bersama itu sudah dilakukan selama
kurang lebih satu bulan! Sungguh amat mengherankan
dan tentu banyak yang tidak percaya kalau dia bercerita
kepada orang lain. Dia disambut oleh pejabat-pejabat
pemerintah Kin di sepanjang jalan dengan sikap hormat
sekali karena dia diperkenalkan oleh Puteri Moguhai atau
607

Pek Hong Nio-cu sebagai sahabatnya. Dan puteri itu


begitu manis, begitu ramah dan akrab dengan dia. Akan
tetapi yang menunggang kuda di sisinya ini adalah
seorang puteri bangsawan tinggi, Puteri Raja Kin
sedangkan dia apa? Seorang pemuda yatim piatu yang
bodoh dan miskin, rumahpun tidak punya! Akan tetapi
Thian Liong tidak merasa rendah diri. Mengapa rendah
diri?
Dia tidak mempunyai pamrih apapun dalam
persahabatannya dengan Pek Hong Nio-cu. Memang
harus dia akui bahwa dia amat tertarik, kagum dan suka
sekali kepada gadis bangsawan ini. Sungguh jauh
bedanya gadis ini dibandingkan gadis-gadis yang pernah
dia jumpai. Berpikir sampai di sini, terbayang olehnya
wajah seorang gadis yang manis. Wajahnya bulat telur,
rambutnya hitam panjang dengan anak rambut melingkar
di dahi dan pelipis. Dahinya halus dan putih sekali,
dengan alis hitam kecil panjang dan tebal, matanya
seperti sepasang bintang, bersinar tajam dan penuh
gairah hidup, hidungnya mancung dan mulutnya amat
menggairahkan, dengan bibir merah basah dan lesung
pipit menghias kanan kiri mulut itu. Dagunya runcing dan
kulitnya putih mulus. Tubuhnya padat ranum dengan
pinggang ramping.
Gadis yang lincah dan liar, galak penuh semangat,
berpakaian merah muda. Gadis yang telah mencuri kitab
Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari buntalan pakaiannya,
kitab yang seharusnya dia serahkan kepada para ketua
Kun-lun-pai seperti yang dipesan gurunya. Gadis cantik
jelita dan juga gagah perkasa. Akan tetapi sayang, ia
mencuri kitab, dan lebih sayang lagi, dia tidak tahu siapa
nama gadis itu dan di mana tempat tinggalnya.
Perjalanannya ke barat inipun untuk mencari gadis
608

pencuri itu. Dia hanya menduga bahwa gadis itu tentu


berada di daerah barat mengingat bahwa ilmu silatnya
seperti ilmu silat aliran Tibet.
Kalau dibuat perbandingan antara gadis baju merah
itu dengan Pek Hon g Nio-cu, alangkah jauh bedanya.
Memang mereka berdua sama sama cantik menarik,
sama-sama gagah perkasa, bahkan sama-sama lincah,
agak liar dan galak bersemangat. Akan tetapi gadis baju
merah yang liar itu adalah seorang gadis kang-ouw tulen
dan seorang pencuri, sebaliknya Pek Hong Nio-cu adalah
seorang puteri raja yang baik hati. Akan tetapi aneh, dia
sukar dapat melupakan gadis baju merah itu dan kalau
teringat padanya, jantungnya berdebar dan wajahnya
berseri. Padahal, dia berjanji kalau dapat menemukan
gadis baju merah itu, akan direbahkan gadis itu
menelungkup di atas kedua pahanya lalu akan
ditamparnya pinggul gadis itu seputuh kali seperti orang
mengajar anaknya yang nakal!
Kemudian, bayangan wajah gadis baju merah yang
mencuri kitab milik Kun-lun pai itu terganti wajah seorang
gadis lain. Wajah yang setelah kini terbayang olehnya,
makin tampak betapa wajah itu tidak ada bedanya
dengan wajah Pek Hong Nio-cu! Dia mencoba untuk
mencari perbedaan antara dua wajah itu. Namun,
seingatnya, tidak ada bedanya sama sekali! Wajah Thio
Siang In yang berjuluk Ang-hwa Sian-li, gadis yang suka
memakai pakaian serba hijau itu.
Ada bunga mawar merah di rambutnya. Cantik jelita
dan cerdik sekali. Juga amat lihai ilmu silatnya.
Hebatnya, seingatnya Thio Siang In juga mempunyai
setitik tahi lalat di dekat mulutnya, di ujung bibir, sama
dengan Puteri Moguhai! Kedua wajah itu serupa benar.
609

Kalau ada perbedaan yang sangat mencolok adalah


warna dan bentuk pakaian mereka. Pek Hong Nio-cu
berpakaian serba putih dan Ang-hwa Sian-li berpakalan
serba hijau. Akan tetapi, walaupun tidak sampai mencuri
seperti yang dilakukan gadis baju merah, Thio Siang In
itupun seorang gadis yang ugal-ugalan. Hendak
meminjam kitab Sam-jong-cin-keng milik Siauw-lim-pai
dengan paksa! Ketika dia tidak mau menyerahkan kitab
itu, Ang-hwa Sian-li Thio Siang In marah dan mengajak
bertanding! Sayang sekali, padahal gadis itu gagah
perkasa dan tadinya sudah menjadi teman akrab
dengannya. Seperti juga bayangan gadis baju merah,
bayangan Ang-hwa Sian-li ini selalu muncul dalam
ingatannya.
Kemudian teringat dia akan wajah Kim Lan, murid
Kun-lun-pai
itu,
bersama
su-moinya
(adik
seperguruannya) yang bernama Ai Yin. Mereka juga
gadis-gadis manis, cantik menarik, gagah perkasa dan
sebagai murid-murid Kun-lun-pai, tentu saja kepandaian
mereka tinggi dan watak mereka seperti pendekar. Akan
tetapi sayang, terutama sekali Kim Lan, gadis cantik itu
diikat sumpah yang aneh sehingga ketika kalah
bertanding melawannya, kini mengejarnya untuk
memaksa dia mengawininya dan kalau dia menolak, dia
akan dibunuhnya!
Thian Liong menghela napas panjang. Aneh-aneh
saja pengalamannya dengan gadis-gadis itu! Dan
biarpun mereka, yang tiga orang itu, gadis baju merah,
Ang-hwa Sian-li, dan Kim Lan tidak dapat disamakan
dengan Pek Hong Nio-cu yang anggun, bangsawan
tinggi dan tidak ada kesalahan kepadanya, namun tetap
saja ada rasa suka pula dalam hatinya terhadap mereka.
Dan wajah mereka selalu bermunculan dalam
610

kenangannya.
Souw Thian Liong, kenapa engkau menghela napas
panjang setelah sejak tadi melamun seorang diri? tibatiba suara Pek Hong Nio-cu menyadarkan dan seolah
menyeret dia kembali ke alam sadar.
Eh? Apa maksud paduka, Puteri? tanya Thian Liong
gagap, seperti orang baru bangun tidur.
Hushh! Berapa kali aku memperingatkan agar
engkau jangan menyebut aku paduka dan puteri, kecuali
kalau berhadapan dengan para pembesar dan dalam
suasana resmi! tegur Pek Hong Nio-cu dengan alis
berkerut. Dalam percakapan pribadi, aku ini bukan lain
adalah Pek Hong Nio-cu, seorang sahabat yang
sederajat denganmu.
Ah, maafkan, Nio-cu. Aku memang pelupa, akan
tetapi apa yang kau maksudkan dengan pertanyaanmu
tadi?
Hemm, bagaimana sih pertanyaanku tadi, Thian
Liong?
Thian Liong menggeleng kepalanya. Aku tidak tahu,
tidak ingat lagi.
Nah, itu tandanya bahwa engkau tenggelam ke
dalam lamunanmu, kata Pek Hong Nio-cu sambil
menahan dan menghentikan kudanya. Melihat ini, Thian
Liong juga menghentikan kudanya. Thian Liong, sejak
tadi aku melihat engkau melamun dengan pandang mata
kosong, kadang tersenyum-senyum dan kemudian
engkau menghela napas panjang. Nah, tadi aku bertanya
611

mengapa engkau melamun terus dan menghela napas


panjang?
Ah, itukah yang kautanyakan? Nio-cu, marilah kita
mengaso dan berteduh di bawah pohon itu, kata Thian
Liong.
Baiklah, memang sinar matahari panas bukan main
dan kuda kita juga sudah lelah, kata Pek Hong Nio-cu.
Mereka menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh
di tepi Sungai Han, turun dari kuda dan menambatkan
kuda di batang pohon kecil tak jauh dari situ. Kota Yunsian berada tidak jauh lagi di depan. Sebelum sore kita
sudah dapat memasuki kota itu.
Nio-cu, agaknya engkau mengenal betul daerah ini,
kata Thian Liong.
Tentu saja, sudah beberapa kali aku mengunjungi
Paman Kuang yang memimpin pasukan menjaga
perbatasan. Tapi, engkau belum menjawab pertanyaan
tadi, Thian Liong.
Pemuda itu duduk di atas batu di bawah pohon yang
teduh itu dan Pek Hong Nio-cu juga duduk di atas batu di
depannya. Pemandangan di situ amat indah. Di dekat
mereka, hanya empat meter jauhnya, tampak Sungai
Han mengalirkan airnya yang masih jernih dengan
tenang.
Di tepi sungai, kanan kiri, tumbuh subur segala
macam pohon dan semak. Sebuah perahu terapung di
tepi sungai tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang
pengail duduk di atas perahu itu, duduk seperti patung,
612

memegangi tangkai pancingnya, bahkan menengokpun


tidak ketika Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berhenti di
bawah pohon. Dia tenggelam ke dalam keasyikan
memancing ikan.
Pengail itu memakai caping lebar akan tetapi sedikit
bagian mukanya kelihatan dan ternyata dia adalah
seorang laki laki yang sudah tua. Thian Liong, dan Pek
Hong Nio-cu tidak memperdulikan kakek itu yang dari
bentuk capingnya dapat diduga bahwa dia tentu seorang
bersuku bangsa Hui.
Aku harus menjawab bagaimana, Pek Hong Nio-cu?
Aku tadi memang sedang melamun. Panasnya sinar
matahari dan kuda kita yang berjalan perlahan
membuat aku mengantuk lalu melamun.
Hemm, melamun sambil cengar-cengir, tersenyum
dan menghela napas. Apa saja sih yang kaulamunkan?
Tentu saja Thian Liong merasa malu untuk
menceritakan bahwa tadi dia melamun, membayangkan
gadis-gadis yang pernah berurusan dengannya! Ah, aku
melamun tentang masa laluku sampai saat ini.
Kenapa senyum-senyum dan menghela napas
segala? Seperti orang bergembira kemudian bersedih!
desak puteri itu.
Aku bergembira ketika teringat ketika aku masih
kanak-kanak lalu bersedih kalau mengingat keadaanku
sekarang, mengejar pencuri kitab yang tidak kuketahui
namanya dan kuketahui tempat tinggalnya. Kitab itu
harus kudapatkan kembali untuk kuserahkan kepada
yang berhak di Kun-lun-pai, kalau tidak berarti aku
613

gagal melaksanakan perintah suhu.


Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu penuh
perhatian. Agaknya hatinya tertarik sekali. Souw Thian
Liong, maukah engkau menceritakan rlwayatmu ketika
engkau masih kecil, tentang orang tuamu, tentang
gurumu? Aku sudah lama mendengar tentang Tiong
Lee Cin-jin yang sangat terkenal sebagai seorang yang
sakti berilmu tinggi, juga yang dikenal sebagai Tabib
Dewa, suka menolong siapa saja tanpa pilih bulu.
Bahkan semua keluarga ayahku di istana mengenal
nama itu dan merasa kagum.
Tidak ada apa-apa yang menarik tentang diriku, Niocu. Aku seorang anak desa yang tlnggal di sebuah dusun
kecil di lereng Mao-mao-san. Ketika berusia lima tahun,
ayah ibuku meninggal dunia karena wabah penyakit
perut yang mengamuk di dusun kami.
Aduh, kasihan sekali engkau, Thian Liong. Dalam
usia lima tahun sudah piatu, ditinggal mati ayah ibu, kata
Pek Hong Nio-cu sambil memandang wajah Thian
Liong dengan iba.
Aku hidup berdua dengan nenekku dan setelah
berusia sepuluh tahun aku bekerja kepada Lurah Coa di
dusun kami. Pekerjaanku menggembala kerbau.
Pek Hong Nio-cu tersenyum lebar. Ah, aku teringat
akan dongeng Ibuku. Ketika aku masih kecil ibu
mendongeng tentang seorang pemuda penggembala
kerbau yang dengan tiupan sulingnya menarik perhatian
seorang bidadari sehingga bidadari turun dari langit
kemudian menjadi isteri si penggembala kerbau.

614

JILID 17
Thian Liong tertawa. Ha-ha, kalau meniup suling
akupun bisa, akan tetapi mana mungkin ada bidadari
memperhatikan aku?
Hemm, siapa tahu? Engkau juga seorang
penggembala kerbau yang istimewa, Thian Liong.
Lanjutkan ceritamu yang menarik sekali itu.
Thian. Liong merasa heran. Bagaimana kisah tentang
seorang penggembala kerbau saja menarik hati gadis
ini? Akan tetapi segera dia teringat bahwa gadis ini
adalah seorang puteri raja, tentu saja tertarik mendengar
akan kehidupan seorang penggembala seperti juga
seorang penggembala akan tertarik mendengar akan
kehidupan seorang puteri raja. Setiap orang selalu
tertarik akan hal yang baru, akan hal yang tak pernah
dialaminya atau keadaan yang berlawanan dengan
keadaannya sendiri.
Ketika aku berusia sepuluh tahun, pada suatu hari
aku menggembala kerbau dan kebetulan aku bertemu
dengan suhu Tiong Lee Cin-jin. Nenekku yang sudah
berusia delapanpuluh tahun, meninggal dunia dan aku
lalu ikut dan menjadi murid suhu. Selama sepuluh tahun
aku mempelajari ilmu dari suhu. Kemudian, setahun lebih
yang lalu, suhu menyuruh aku turun gunung dan aku
diberi tugas untuk menyerahkan kitab-kitab kepada Butong-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang sekali,
kitab untuk Kun-lun-pai itu dicuri gadis baju merah yang
kini sedang kucari itu. Nah, itulah riwayatku, Nio-cu.
Sekarang akupun ingin mendengar riwayat seorang
615

puteri raja, kalau saja engkau tidak keberatan untuk


menceritakan kepada seorang penggembala kerbau.
Pek Hong Nio-cu tertawa. Heh-heh, engkau
membalas atau menagih? Riwayatku ketika masih kecil
lebih tidak menarik lagi. Aku hidup di dalam istana, serba
tertutup, tidak bebas seperti engkau. Ke mana-mana
dikawal, sungguh menyebalkan. Akan tetapi untung
bagiku, ayahku memberi kebebasan kepadaku setelah
aku remaja, bahkan mengijinkan aku mempelajari segala
macam ketangkasan. Menunggang kuda sudah bisa
kulakukan sejak aku berusia lima tahun. Akan tetapi
masih kalah olehmu. Engkau berani menunggang kerbau
sejak kecil, sedangkan aku, sampai sekarangpun nanti
dulu kalau disuruh menunggang kerbau!
Siapakah yang mengajarimu ilmu silat sehingga
engkau kini memiliki kepandaian yang tinggi?
Guruku banyak sekali. Jagoan istana yang mana
saja tentu akan mengajarkan ilmu silatnya kepadaku
kalau aku memberitahu ayah. Ayah yang memerintahkan
mereka untuk mengajariku dengan baik.
Wah, agaknya engkau seorang anak yang manja
dan nakal! kata Thian Liong sambil tertawa.
Pek Hong Nio-cu juga tertawa dan bukan main
manisnya kalau puteri ini tertawa. Tawanya bebas
sehingga tampak deretan giginya yang putih rapi seperti
mutiara dan lidahnya yang kecil merah sehat.
Memang aku dimanja olah ayahku akan tetapi aku
tidak nakal! katanya. Dan guruku yang terakhir malah
belum pernah berhadapan muka dan belum pernah
616

bicara dengan aku, sungguhpun aku pernah melihatnya


satu kali.
Lho, bagaimana mungkin? Lalu bagaimana dia
kauanggap sebagai gurumu dan bagaimana pula caramu
mempelajari ilmunya? tanya Thian Liong heran.
Begini ceritanya. Pada suatu waktu, aku melihat
ibu....... bicara dengan seorang laki-laki dalam taman.
Aku tidak berani mengganggu dan ketika aku bertanya
kepada ibu, ibu hanya menceritakan bahwa laki-laki itu
adalah seorang sahabat lama dan aku disuruh
menyebutnya paman Sie. Paman Sie itu menurut ibuku,
menjadi guruku juga karena dia telah memberikan tiga
buah kitab pelajaran silat seperti yang pernah
kuperlihatkan padamu dan sebuah perhiasan rambut
yang kupakai ini. Pek Hong Nio-cu meraba perhiasan
rambut berbentuk burung Hong yang berada di
kepalanya.
Hemm, jadi karena engkau memakai perhiasan itu
maka engkau mendapat julukan Pek Hong Nio-cu (Nona
Burung Hong Putih?
Kira-kira begitulah, akan tetapi ibuku memesan agar
aku merahasiakan dari siapa juga tentang kunjungan
Paman Sie itu. Bahkan kepada ayahpun aku tidak
menceritakannya.
Akan
tetapi
menceritakan?

kenapa

kepadaku

engkau

Ah, entahlah. Aku percaya padamu, Thian Liong.


Dan pula, aku kira ibuku melarang aku bercerita karena
ibuku adalah seorang wanita berbangsa Han dan
617

agaknya Paman Sie itu juga berbangsa Han. Aku tidak


menceritakan kepada seorangpun dari bangsa Nuchen
(Kin) dan aku hanya bercerita kepadamu karena engkau
adalah seorang pemuda Han juga dan aku percaya
sepenuhnya kepadamu.
Terima kasih, Nio-cu. Apakah semenjak itu engkau
tidak pernah bertemu atau melihat Paman Sie itu?
Tidak pernah. Aku amat berterima kasih kepadanya
karena setelah aku mempelajari ilmu-ilmu dari kitabnya,
aku memperoleh kemajuan pesat. Aku ingin sekali
bertemu dan menghaturkan terima kasih kepadanya,
akan tetapi aku tidak tahu di mana dia. Bahkan ketika
aku bertanya kepada ibu, Ibu juga tidak mengetahuinya
dan hanya mengatakan bahwa Paman Sie adalah
seorang perantau besar.
Tiga buah kitab pelajaran ilmu silat itu memang
mengandung pelajaran ilmu silat yang amat hebat, Niocu. Paman Sie itu tentu seorang yang berilmu tinggi.
Oya, kalau Ibumu seorang wanita Han, siapakah
namanya?
Namanya Tan Siang Lin. Nama yang bagus, bukan?
Dan engkau nanti setelah berhasil menemukan gadis
pencuri kitab dan merampasnya lalu mengembalikan
kepada Kun-lun-pai, lalu apa selanjutnya yang akan
kaulakukan, Thian Liong?
Suhuku masih memberi sebuah tugas lain yang tidak
kalah pentingnya. Aku harus membantu para pendekar
yang berusaha menyelamatkan Kerajaan Sung dari
cengkeraman kekuasaan Perdana Menteri Chin Kui.

618

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ah, aku tahu


siapa itu Perdana Menteri Chin Kui. Dia banyak
membantu Kerajaan Kin, akan tetapi ibuku seringkali
bilang bahwa Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan
Sung itu adalah seorang pengkhianat besar dan seorang
jahat. Bahkan akhir-akhir ini ayahku, Raja Kerajaan Kin,
juga mengecamnya dan pernah bilang kepadaku bahwa
Chin Kui adalah seekor ular kepala dua yang berbahaya
dan tidak boleh dipercaya. Sebagai perantara hubungan
Kerajaan Kin dan Kerajaan Sung, Chin Kui itu sering kali
menjegal dan telah ketahuan bahwa dia juga mencuri
sebagian dari hadiah-hadiah yang dikirimkan oleh Raja
Sung untuk Raja Kin. Maka, sekarang ayahku mulai tidak
percaya dan merenggangkan hubungannya dengan
pembesar Chin Kui itu.
Wah, agaknya engkau mengerti banyak tentang
keadaan politik kerajaan Kin, Nio-cu! kata Thian Liong
sambil memandang kagum. Ternyata gadis ini memiliki
banyak
kemampuan
dan
pengetahuan
yang
mengejutkan. Biasanya wanita jarang ada yang mau tahu
tentang pemerintahan.
Tentu saja, Thian Liong. Akupun bertanggung jawab
atas keselamatan pemerintahan Kerajaan Kin yang
dipimpin ayah, bukan? Malah diam-diam akupun
melakukan penyelidikan dan selalu menentang dan
memberantas para pembesar Kin yang lalim, tidak jujur
dan tidak setia. Aku tahu pula bahwa diam-diam ada
persekutuan di kota raja dan aku mendengar bahwa
persekutuan untuk memberontak itu dibantu pula oleh
pembesar Chin Kui dari Kerajaan Sung.
Ah, begitukah?

619

Karena itulah aku sekarang pergi ke barat untuk


mengunjungi Paman Pangeran Kuang yang menjadi
panglima yang memimpin bala tentara yang menjaga
perbatasan. Aku akan menceritakan semua itu kepada
Paman Pangeran Kuang karena dia adalah seorang ahli
yang setia kepada ayah dan menjadi komandan pasukan
besar dan kuat. Dia tentu akan datang ke kota raja
membawa pasukannya untuk menghancurkan komplotan
pemberontak itu.
Siapakah yang memimpin persekutuan untuk
memberontak, Nio-cu? Thian Liong merasa heran.
Ternyata Kerajaan Kin yang merupakan kerajaan bangsa
Nu-chen yang menjajah dan terkenal kuat itupun
keadaannya sama saja dengan kerajaan Sung yang
karena penyerangan bangsa Nuchen terpaksa pindah ke
sebelah selatan Sungai Yang-ce, yaitu ada saja orangorang yang berkhianat. Atau, barangkali aku tidak boleh
mengetahui?
Ah, aku percaya padamu, Thian Liong. Engkaupun
tadi sudah bicara blak blakan tentang Perdana Menteri
Chin
Kui
kepadaku.
Penggerak
persekutuan
pemberontak itu adalah seorang pangeran juga, jadi
masih pamanku sendiri, paman tiri. Dia bernama
Pangeran Hiu Kit Bong. Akan tetapi karena belum
mendapatkan bukti bahwa dia akan memberontak dan
menyusun kekuatan secara diam-diam, bahkan mungkin
sekali mengadakan persekutuan dengan Chin Kui, maka
aku tidak dapat berbuat sesuatu. Melapor kepada
ayahpun pasti tidak akan dipercaya kalau tidak ada
buktinya. Karena itu, jalan satu-satunya adalah
menceritakan kepada Paman Pangeran Kuang yang
tentu akan dapat membasmi para pemberontak.

620

Hemm, kalau ada kesempatan, aku siap untuk


membantumu, Nio-cu, kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menatap wajah Thian Liong, seolah
ingin menjenguk isi hati pemuda itu. Akan tetapi, Thian
Liong, engkau seorang pemuda berbangsa Han!
Hemm, kalau begitu, kenapa Nio-cu?
Bagaimana engkau akan membela kepentingan
kerajaan
Kin?
Bukankah
kerajaan
Kin
telah
menyebabkan kerajaan Sung mengungsi ke selatan?
Apakah engkau tidak mendendam kepada bangsa
Nuchen yang mendirikan kerajaan Kin yang menjajah
tanah airmu?
Thian Liong merasa heran. Bagaimana puteri raja Kin
dapat berkata begitu ke-padanya? Ini tentu pengaruh ibu
puteri itu, yang juga seorang wanita berbangsa pribumi
Han.
Suhu mengajarkan kepadaku agar aku tidak
mencampuri urusan antara kerajaan Kin dan kerajaan
Sung. Menurut suhu, yang terpenting adalah
menyejahterakan kehidupan rakyat, melenyapkan
kejahatan dan kebodohan. Karena kalau rakyat hidup
sejahtera dan kejahatan dapat dlbasmi atau setidaknya
dikurangi, maka negara akan menjadi kuat. Kalau para
pejabat melakukan tugasnya dengan jujur dan setia,
mementingkan kebutuhan rakyat jelata, maka rakyat
pasti akan mendukung pemerintah dan pemerintah
menjadi kuat. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau para
pejabat saling berebutan kekuasaan dan harta benda,
tanpa memperdulikan rakyat bahkan menindas rakyat,
pasti pemerintah yang tidak didukung rakyat akan
621

menjadi lemah dan mudah dikalahkan musuh, seperti


halnya kerajaan Sung dahulu. Mengingat akan ajaran
suhu itu, aku tidak mau mendendam kepada kerajaan
Kin, bahkan aku siap membantu selama kerajaan Kin
mempunyai pemeritahan yang baik dan yang
memperhatikan kepentingan rakyat jelata.
Bagus! Akupun berpendirian seperti engkau, Thian
Liong. Apalagi aku mempunyai darah campuran, ayahku
orang Nuchen dan ibuku orang Han. Kalau engkau mau
membantu aku menentang pemberontak di kerajaan Kin,
kelak aku pasti akan membantumu untuk menentang
kekuasaan Chin Kui yang berkhianat terhadap kerajaan
Sung.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki banyak kuda.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu duduk dengan tetap
tenang dan memandang ke arah rombongan berkuda
yang mengakibatkan debu mengepul itu. Akan tetapi
ketika rombongan itu tiba di dekat mereka, terdengar
seruan nyaring.
Berhenti......!!
Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong masih duduk
dengan tenang walaupun kini mereka memandang
kepada rombongan itu dengan penuh perhatian. Mereka
melihat bahwa mereka semua terdiri dari sekitar
tigapuluh orang akan tetapi tidak dapat dilihat jelas wajah
mereka karena debu mengepul dan banyak di antara
mereka yang wajahnya tertutup debu seperti dibedaki.
Akan tetapi melihat pakaian seragam pasukan itu,
Pek Hong Nio-cu mengenal mereka sebagai pasukan
kerajaan Kin. Maka ia cepat bangkit dan melangkah maju
622

menghadapi mereka.
Kembali terdengar aba-aba dan semua perajurit
berlompatan turun dari atas kuda mereka. Beberapa
orang di antara mereka yang bertugas mengatur kuda
segera mengumpulkan kuda-kuda itu agak menjauh dan
menambatkannya pada pohon pohon.
Lima orang jagoan yang memimpin pasukan itu cepat
maju dan berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu. Tentu
saja puteri ini segera mengenal mereka karena dahulu,
ketika ia masih remaja dan lima orang itu masih menjadi
pengawal-pengawal pribadi Raja Kin, ia pernah juga
menerima pelajaran silat dari mereka. Akan tetapi
kemudian lima orang ini melakukan pelanggaran dan
dikeluarkan dari istana. Maka, tentu saja Pek Hong Niocu tidak lagi menganggap mereka sebagai guru, bahkan
memandang mereka sebagai orang-orang yang jahat
dan khianat.
Dengan alis berkerut Pek Hong Nio-cu memandang
lima orang yang berdiri dengan sikap sungkan itu, lalu ia
menegur mereka. Mau apa kalian datang ke sini? Hayo
pergi dan jangan mengganggu aku!
Bagaimanapun juga, Puteri Moguhai amat terkenal
dan disegani segenap orang di kerajaan Kin. Ia memiliki
wibawa yang amat kuat sehingga ketika puteri itu
membentak mereka, lima orang jagoan itu menjadi
gentar dan mereka saling pandang, menjadi salah
tingkah.
Con Gu mewakili rekan-rekannya berkata kepada
Pek Hong Nio-cu setelah membungkuk dalam-dalam.
Harap paduka maafkan kami kalau kami mengganggu.
623

Kami melaksanakan perintah Sri baginda Kaisar untuk


mengajak paduka pulang ke kotaraja.
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Kenapa aku
harus pulang? Apa yang terjadi di istana? terkandung
kekhawatiran dalam suaranya.
Kami tidak tahu, tugas kami hanya mengajak paduka
segera kembali ke kota raja, kata Con Gu.
Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis yang cerdik.
Ia berpikir, kalau ayahnya memanggilnya puIang, tidak
mungkin ayahnya mengutus lima orang ini. Apa lagi
pasukan itu bukan pasukan pengawal istana karena ia
tidak mengenal mereka. Ada sesuatu yang ganjil di sini,
sesuatu yang agaknya tidak beres.
Kalau Sribaginda memanggil aku pulang dan
memerintahkan kalian menjemputku, perlihatkan padaku
surat perintahnya! katanya sambil menatap tajam wajah
Con Gu.
Con Gu menjadi salah tingkah dan kembali dia saling
pandang dengan empat orang rekannya dan tampak
bingung. Akan tetapi...... Dia berkata gagap.
Tidak ada tapi, cepat keluarkan surat perintah
Sribaginda Kaisar! bentak Pek Hong Nio-cu sambil
menghunus pedang bengkok dari emas yang menjadi
tanda kekuasaannya sebagai wakil Kaisar itu.
Con Gu menjadi semakin bingung. Akan tetapi tibatiba Koi Cu, orang kedua dari lima jagoan itu, yang lebih
tabah, berkata, Surat perintahnya berada di tangan
Pangeran Hiu Kit Bong dan kami menerima perintah dari
624

beliau. Harap paduka menurut dan ikut saja dengan


kami!
Wajah Pek Hong Nio-cu yang putih itu kini berubah
kemerahan,
sinar
matanya
menyambar
penuh
kemarahan. Keparat! Kalian tidak melihat pedang
kekuasaan ini? Aku tidak mau pulang bersama kalian,
habis kalian mau apa?
Melihat keberanian Koi Cu tadi, kini Con Gu pulih
kembali ketabahannya dan dia berkata, Kalau paduka
menolak, terpaksa kami menggunakan kekerasan.
Berani kalian melawan aku yang membawa pedang
kekuasaan ini? Berarti kalian berani melawan Sribaginda
Kaisar, berarti kalian pengkhianat dan pemberontak!
Kami hanya melaksanakan perintah Pangeran Hiu
Kit Bong! kata Con Gu.
Kalau begitu paman Pangeran Hiu Kit Bong itu yang
hendak memberontak! Aku tetap tidak mau ikut kalian
pulang. Hendak kulihat kalian dapat berbuat apa
terhadapku! Pek Hong Nio-cu membentak marah.
Kalau begitu, terpaksa kami akan menangkap
paduka! Con Gu berkata dan dia memberi isyarat.
Dua losin perajurit itu lalu bergerak mengepung
kanan kiri dan depan Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong
yang masih duduk. Di belakang kedua orang muda ini
adalah sungai sehingga mereka tidak mendapatkan jalan
keluar, sudah terkepung rapat. Thian Liong lalu
melompat dan berdiri di sisi Pek Hong Nio-cu. Tadi dia
diam saja karena tidak ingin mencampuri Pek Hong Nio625

cu yang bicara dengan pimpinan pasukan kerajaan Kin


dan dia merupakan orang luar. Akan tetapi melihat
perkembangannya,
mau
tidak
mau
harus
mencampurinya.
Hei, apakah kalian berlima ini tidak malu? Yang
hendak kalian lawan ini adalah puteri Sri Baginda Kaisar
kerajaan Kin, junjungan kalian sendiri! Berarti kalian ini
terang-terangan menjadi pengkhianat dan pemberontak!
kata Thian Liong sambil memandang tajam mereka
berlima.
Tiba-tiba dari belakang pasukan itu menerobos
seorang pemuda yang pakaiannya menunjukkan bahwa
dia bukan anggauta pasukan.
Souw Thian Liong, engkau harus kutangkap untuk
menerima pengadilan di depan para ketua Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai! bentak pemuda itu yang bukan lain
adalah Cia Song yang tadi memang bersembunyi di
belakang pasukan.
Melihat pemuda itu, Thian Liong terbelalak kaget dan
heran bukan main.
Cia-suheng (kakak seperguruan Cia)! Engkau di sini,
bersama pasukan pengkhianat ini? Apa artinya ini,
suheng?
Tak usah engkau mengurus hal itu. Menyerahlah
engkau untuk kubawa menghadap para ketua Siauw-limpai dan Kun lun-pai untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatanmu!
Perbuatan apakah itu, Cia-suheng? Thian Liong
626

bertanya, heran dan penasaran.


Jangan pura-pura bertanya! Menyerah saja dan
engkau akan diadili!
Pek Hong Nio-cu berseru keras, Ah, sekarang aku
tahu, Thian Liong. Orang yang kausebut suhengmu ini
tentulah utusan Perdana Menteri Chin Kui untuk
menghubungi pengkhianat Pangeran Hiu Kit Bong itu!
Thian Liong terbelalak memandang kepada Cia
Song. Ah! Benarkah engkau menjadi anak buah
Perdana Menteri Chin Kui dan bersekutu dengan
pangeran yang memberontak di kerajaan Kin? Ciasuheng, bagaimana engkau bisa.......
Tangkap mereka! Keroyok pemuda itu, biar aku yang
menangkap Pek Hong Nio-cu! kata Cia Song dan dia
sudah menerjang maju, menyerang Pek Hong Nio-cu
dengan pedang beronce merah yang dia cabut dari
punggungnya.
Tranggg......! Pek Hong Nio-cu menangkis dan
keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar,
menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga sin-kang
yang tidak berselisih jauh kekuatannya.
Sementara itu, lima orang jagoan Kin itu sudah
membentuk Ngo-heng Kiam-tin mengeroyok Thian Liong.
Melihat hebatnya barisan pedang itu, yang masing
masing anggautanya menggerakkan pedang samurai
dengan dahsyat sekali, Thian Liong juga mencabut
Thian-liong-kiam dan memutar pedangnya untuk
melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya
bertubi-tubi dari lima jurusan itu.
627

Thian Liong maklum bahwa dia menghadapi orangorangnya para pengkhianat, baik pengkhianat kerajaan
Sung maupun pengkhianat kerajaan Kin dan pasti
mereka itu tidak mempunyai niat baik terhadap Pek Hong
Nio-cu. Akan tetapi dia merasa heran sekali mengapa
Cia Song yang sama sekali tidak diduganya telah
menjadi antek Chin Kui dan bersekongkol dangan
pengkhianat kerajaan Kin kini hendak menangkapnya
untuk dihadapkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai untuk diadili! Apa yang terjadi? Dia tidak
melakukan
sesuatu
kesalahan
terhadap
dua
perkumpulan besar itu! Karena merasa penasaran, Thian
Liong lalu mengamuk.
Thian-liong-kiam di tangannya berubah menjadi sinar
bergulung-gulung sehingga Ngo-heng Kiam tin itupun
tidak mampu mendesaknya dan serangan mereka selalu
terpental apabila bertemu dengan sinar pedang itu. Akan
tetapi Thian Liong juga mendapat kenyataan bahwa
barisan pedang yang terdiri dari lima orang itu tak boleh
dipandang ringan. Kerja sama mereka rapi sekali, saling
melindungi dan saling memperkuat daya serang
sehingga dia harus berhati-hati.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu menjadi marah
sekali ketika Cia Song berkata dengan suara merayu,
Ah, puteri jelita, sebaiknya engkau menyerah saja
daripada kulitmu yang putih mulus itu menjadi lecet.
Sayang kalau engkau sampai terluka, manis.
Singgg......! Itulah jawaban Pek Hong Nio-cu.
Pedangnya menyambar dahsyat sehingga Cia Song
menjadi terkejut sekali dan dia harus cepat mengelak
sambil menggerakkan pedangnya menangkis.

628

Cringgg......! Akan tetapi begitu tertangkis, pedang


di tangan Pek Hong Nio cu itu telah menyambar lagi,
sekali ini dengan babatan seperti kilat menyambar ke
arah leher lawan!
Cia Song kembali harus melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri, kemudian mau tidak mau dia
membalas dengan serangannya karena tak mungkin
melawan gadis ini hanya dengan bertahan saja. Pek
Hong Nio-cu terlalu tangguh untuk dilawan dengan
seenaknya. Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmunya untuk dapat mengimbangi
gadis bangsawan itu. Bahkan ketika dia mencoba untuk
mempergunakan ilmu sihirnya, mengeluarkan bentakan
dengan suara yang mengandung sihir dan dayanya
melumpuhkan, Pek Hong Nio-cu sama sekali tidak
terpengaruh. Hal ini adalah karena dara itu juga telah
menghimpun tenaga sakti yang kuat sehingga dapat
menolak pengaruh sihir lawan.
Melihat betapa tidak mudah baginya untuk
mengalahkan Pek Hong Nio-cu, apalagi menangkapnya,
dan melihat pula sekelebatan betapa keadaan Ngo-heng
Kiam-tin juga tidak lebih baik karena mereka itu agaknya
bahkan kewalahan menghadapi gulungan sinar pedang
Thian Liong, Cia Song lalu berseru kepada pasukan yang
terdiri dari dua losin perajurit itu.
Pasukan bergerak, serbu......!!
Dua losin perajurit itu bergerak, terpecah menjadi dua
bagian. Selosin perajurit mengeroyok Thian Liong dan
yang selosin lagi mengeroyok Pek Hong Nio-cu.
Pek

Hong

Nio-cu

yang

mendapatkan

lawan
629

seimbang, bahkan merasa betapa Cia Song merupakan


lawan yang amat tangguh, menjadi marah sekali ketika
selosin orang perajurit itu membantu Cia Song
mengeroyoknya. Ia berseru melengking dan pedangnya
yang membentuk sinar keemasan itu menyambarnyambar.
Dua orang perajurit mengaduh dan terpelanting
roboh. Melihat ini, Cia Song memperhebat desakannya
dan para perajurit yang mengeroyok mulai khawatir.
Mereka adalah perajurit pilihan, namun dalam beberapa
jurus saja gadis itu telah mampu merobohkan dua orang!
Thian Liong juga mempercepat gerakan pedangnya
setelah selosin orang perajurit ikut mengeroyok.
Menghadapi Ngo heng Kiam-tin dia masih dapat
mengatasi mereka, akan tetapi sebelum dapat
merobohkan lima orang samurai itu, kini maju selosin
perajurit mengeroyoknya. Maka dia segera menerjang
dan tiga orang perajurit roboh oleh sambaran sinar
pedangnya.
Tiba-tiba Cia Song mengeluarkan aba aba. Memang
dialah sebenarnya yang menjadi pemimpin pasukan itu
dan Ngo heng Kiam-tin hanya menjadi pembantupembantunya. Setelah dia mengeluarkan aba-aba, sisa
perajurit yang masih sembilanbelas orang itu segera
mengeluarkan jaring yang memang sudah dlpersiapkan
dan mereka adalah perajurit-perajurit yang terlatih
menggunakan senjata istimewa ini. Begitu mereka
menyerang maka jaring-jaring ditebarkan ke arah Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu! Dua orang muda itu
mengelak ke sana-sini dan menggunakan pedang untuk
menangkis dan merobek jaring yang menyambar. Akan
tetapi mereka terkejut karena ternyata jaring-jaring itu
630

terbuat dari tali istimewa yang tidak mudah dirusak


senjata tajam!
Akhirnya tubuh Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
tertangkap jaring! Thian Liong mengerahkan tenaga
saktinya, meronta dan menggerakkan pedangnya. Dua
orang yang berhasil menangkapnya dengan jaring dan
memegangi tali jaring itu, disambar sinar pedangnya
yang mencuat keluar dari jaring. Dua orang ftu
terpelanting roboh. Thian Liong meronta keluar dari
selimutan jaring-jaring itu.
Dia melihat betapa Pek Hong Nio-cu juga tertangkap
oleh dua jaring dan dara itu meronta-ronta, mengamuk
dengan pedangnya namun tidak dapat melepaskan
dirinya. Melihat ini, Thian Liong mengeluarkan pekik
melengking dan getaran suara pekik yang amat lantang
ini membuat pengeroyok mundur beberapa langkah. Dia
lalu melompat mendekati Pek Hong Nio-cu. Pedangnya
digerakkan menangkis sambaran pedang Cia Song.
'Tranggg......! Bunga api berpijar dan Cia Song
terpental mundur beberapa langkah. Biarpun tubuhnya
sudah diselimuti jaring, namun Pek Hong Nio-cu masih
dapat melindungi dirinya dengan pedangnya yang dapat
keluar dari sela-sela tali jaring. Thian Liong mendesak
maju dan begitu pedangnya berkelebat, dua orang
perejurit yang menangkap Pek Hong Nio-cu dengan
jaring mereka terpelanting roboh. Thian Liong cepat
membuka tali jaring dan menyambar tangan Pek Hong
Nio-cu. Keadaannya terlalu berbahaya setelah para
perajurit mempergunakan senjata jaring itu.
Kita pergi! katanya dan dia mengajak Pek Hong
Niocu melompat ke tepi sungai lalu sekali menggerakkan
631

kaki, mereka berdua melompat ke atas perahu di mana


kakek tadi masih memegang tangkai pancingnya dengan
tenang seolah tidak mendengar atau melihat adanya
pertandingan di dekat sungai. Dengan ginkangnya yang
tinggi, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu dapat hinggap
di atas perahu pengail ikan itu tanpa mengakibatkan
perahu itu oleng terlalu kuat.
Maafkan,
paman.
Kami
perahumu...... kata Thian Liong.

menumpang

di

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pengail ikan


yang tua itu tiba-tiba saja menggerakkan kedua
tangannya mendorong ke depan, ke arah Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu. Dorongan itu mendatangkan angin
yang dahsyat. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berusaha menangkis, namun karena mereka berdiri di
atas perahu yang kecil, maka tak dapat dihindarkan lagi
tubuh mereka terdorong dan keduanya terjengkang dan
terjatuh ke dalam air!
Mereka memang tidak sampai terluka oleh serangan
pukulan jarak jauh, akan tetapi mereka terjatuh ke dalam
air yang dalam. Keduanya hanya dapat berenang
sekadar tidak tenggelam saja. Akan tetapi ketika mereka
berusaha berenang, para perajurit berloncatan ke dalam
air dan tak lama kemudian, Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu merasa betapa kaki mereka dipegang orang dari
bawah dan tubuh mereka diseret ke dalam air!
Tentu saja mereka terkejut bukan main dan berusaha
melepaskan kaki mereka yang dipegang orang. Akan
tetapi, kini yang memegangi kaki mereka bertambah
banyak. Di darat boleh jadi mereka merupakan orangorang yang amat lihai. Akan tetapi dalam air, mereka tak
632

mampu berbuat banyak karena melawan air agar tidak


tenggelam saja sudah membutuhkan sebagian besar
tenaga mereka. Karena itu, ketika kaki mereka dipegang
banyak orang yang memang merupakan pakar dalam air,
mereka tidak berdaya. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berusaha untuk menahan napas, namun mereka menjadi
lemas dan akhirnya tak dapat meronta lagi dan mereka
berdua dibelit-belit tali yang kuat lalu dinaikkan ke darat
dalam keadaan setengah pingsan!
Karena Cia Song tidak menghendaki mereka mati,
maka dia lalu memerintahkan para perajurit yang ahli
dalam menolong orang yang hanyut dalam air untuk
menyelamatkan dua orang tawanan itu. Tubuh Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu ditelungkupkan dan banyak
air yang tertelan dapat dikeluarkan melalui mulut.
Akhirnya kedua orang tawanan itu sadar betul.
Thian Liong melihat bahwa dia dan Pek Hong Nio-cu
sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan tubuh
mereka tidak dapat digerakkan karena agaknya telah
ditotok secara lihai sekali. Dia menduga bahwa yang
menotok jalan darah mereka tentulah Cia Song. Dia tidak
berkata apa-apa hanya memandang mereka yang berdiri
menghadapinya. Dia melihat lima orang yang
membentuk
Ngo-heng
Kilam-tin
yang
tadi
mengeroyoknya dan di samping mereka berdiri Cia Song
yang memandang kepada Pek Hong Nio-cu dengan
mulut menyeringai.
Dan di sebelah murid Siauw-lim-pai yang menjadi
antek Chin Kui dan bersekongkol dengan para
pengkhianat kerajaan Kin itu berdiri seorang kakek yang
bukan lain adalah tukang pancing tadi! Kiranya kakek
tukang pancing itu merupakan seorang di antara mereka,
633

bahkan yang mengejutkan hati Thian Liong adalah ketika


Cia Song bicara kepada kakek itu dan menyebutnya
suhu. Jadi, di samping menjadi murid Siauw-lim-pai,
diam-diam Cia Song telah berguru kepada kakek ini yang
belum dia ketahui siapa orangnya.
Suhu, sungguh kebetulan sekali suhu berada di sini.
Teecu (murid) tadi sama sekali tidak mengenal suhu
yang teecu kira seorang pemancing ikan biasa. Maafkan
teecu dan terima kasih atas bantuan suhu sehingga
mereka berdua ini dapat ditangkap, kata Cia Song yang
membuat Thian Liong keheranan dan kini dia mengamati
kakek itu.
Kakek yang memakai caping lebar itu sudah tua,
kurang lebih delapanpuluh tahun usianya. Tubuhnya
tinggi kurus dan sikapnya lemah lembut. Dia memegang
sebatang tongkat bambu.
Kakek itu tertawa lirih. Heh-heh, memang akhir-akhir
ini aku sedang suka hidup di atas perahu dan setiap hari
memancing ikan. Cia Song, aku dengar tadi semua
pembicaraan. Jadi Pek Hong Nio-cu yang namanya
terkenal itu adalah puteri Kaisar kerajaan Kin? Bukan
main! Dan pemuda ini, ilmu silatnya hebat sekali. Murid
siapakah dia?
Suhu, dia itu Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cinjin, jawab Cia Song.
Eh? Murid Tiong Lee Cin-jin? Kalau begitu mengapa
tidak kau bunuh saja dia? Kalau dibiarkan hidup, kelak
akan menjadi bahaya besar bagimu. Ilmu kepandaiannya
lihai sekali, engkau tidak akan menang melawannya.
Kalau tidak dibantu air sungai ini, mustahil engkau dapat
634

menangkapnya. Kakek itu menggunakan tangan kiri


mengelus jenggotnya yang tebal dan sudah berwarna
putih.
Tidak, suhu. Teecu akan membawanya menghadap
para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang akan
mengadili dan menghukumnya.
Lalu apa yang hendak kaulakukan dengan puteri
ini? tanya pula kakek itu.
Ia akan kami bawa kepada Pangeran Hiu Kit Bong
untuk dijadikan sandera. Suhu, kalau suhu tidak ada
urusan sesuatu, marilah suhu ikut dengan teecu.
Sebaiknya kalau suhu membantu Pangeran Hiu Kit Bong
agar kelak di hari tua suhu akan mendapatkan kemuliaan
dan kehormatan.
Ha-ha, baiklah, Cia Song. Akupun sudah mulai
bosan memancing ikan setiap hari. Aku ikut denganmu,
kata kakek itu lalu dia membuang pancing dan
capingnya. Ternyata di bawah capingnya itu dia memakai
sebuah sorban berwarna putih.
Pada saat itu Pek Hong Nio-cu baru sadar betul dan
begitu ia sadar, ia lalu mencaci maki. Jahanam keparat
kalian para pengkhianat! Kalau Sribaginda mendengar,
kalian tentu akan mendapatkan hukuman siksa sampai
mati! Dan kamu, tua bangka keparat, aku tahu siapa
kamu! Kamu adalah Ali Ahmed, datuk bangsa Hui yang
sudah terkenal jahat dan kejam. Engkau manusia
terkutuk, sudah tua bangka mau mati masih tidak
mencari jalan terang. Matimu tentu akan tersiksa dan
engkau akan masuk neraka jahanam!

635

Cia Song memerintah anak buahnya. Bawa kereta


itu ke sini!
Ternyata rombongan itu sudah mempersiapkan
sebuah kereta untuk mengangkut kedua tawanan
mereka. Setelah kereta yang ditarik dua ekor kuda itu
datang, Cia Song berkata kepada Con Gu. Paman Con
Gu, kau angkat Thian Liong dan aku yang mengangkat
sang puteri, kita masukkan mereka dalam kereta. Dan
suhu, teecu harap suka duduk dalam kereta agar tidak
lelah dalam perjalanan dan sekalian suhu menjaga dua
orang tawanan ini agar tidak sampai lolos.
Hu-hu-ha-ha, baik, baik. Aku senang naik kereta,
kata kakek itu yang bukan lain adalah Ali Ahmed yang
sepuluh tahun lebih yang lalu pernah mencoba untuk
merampok kitab-kitab dari Tiong Lee Cin-jin. Dia
memang menjadi guru dari Cia Song selama beberapa
tahun.
Thian Liong diangkut oleh Con Gu, dibantu oleh Koi
Cu, dan memasukkan pemuda itu ke dalam kereta. Cia
Song sendiri memondong tubuh Pek Hong Nio-cu dan
dia sengaja mendekap tubuh yang lunak hangat itu kuatkuat ke dadanya, membuat jantungnya berdebar keras
dibakar gairah berahinya.
Pek Hong Nio-cu tidak dapat meronta karena seluruh
tubuhnya, dari kaki sampai ke dada, dibelit tali dan kaki
tangannya diborgol kuat-kuat. Hanya matanya yang
memandang kepada Cia Song dengan kebencian yang
meluap-luap. Melihat sinar mata ini, kuncup juga hati Cia
Song dan dia mencoba mengambil hati.
Pek Hong Nio-cu, kalau engkau bersikap manis
636

kepadaku, aku jamin engkau akan diperlakukan dengan


baik dan tidak akan ada yang berani mengganggumu.
Siapa sudi mendengar ocehanmu! kata sang puteri
dengan marah.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu didudukan di
dalam kereta, berdampingan menghadap ke belakang
sedangkan Ali Ahmed duduk di bangku di depan mereka.
Begitu duduk dan bersandar, kakek tua renta itu segera
tertidur sambil memegang tongkat bambunya. Akan
tetapi baik Thian Liong maupun Pek Hong Nio cu maklum
bahwa kakek itu tidak kehilangan kewaspadaannya dan
selalu memperhatikan gerak gerik mereka berdua.
Nio-cu aku menyesal sekali bahwa engkau sampai
menjadi tawanan seperti ini. Semua ini gara-gara orang
yang selama ini kuanggap sebagai suhengku (kakak
seperguruanku). Tidak tahunya dia seorang murid Siauwlim-pai yang berkhianat, tidak saja terhadap Siauw-limpai, akan tetapi bahkan terhadap bangsa dan negara.
Tidak usah menyesal, Thian Liong. Kalau ada yang
menyesal, maka akulah orangnya. Kalau engkau tidak
melakukan perjalanan bersama aku, engkau tentu tidak
akan mengalami seperti sekarang ini.
Hemm, aku masih tidak mengerti mengapa jahanam
itu menangkap aku. Engkau...... tidak takut, Nio-cu?
Dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan
tidak berdaya seperti puteri yang gagah perkasa itu
masih dapat tersenyum manis sekali. Takut? Bukankah
engkau pernah rnengatakan bahwa hidup atau matinya
seseorang itu berada di tangan Yang Maha Kuasa?
637

Mengapa mesti takut? Kalau Yang Maha Kuasa


menghendaki kita mati, siapa yang akan mampu
mencegahnya, dan kalau Dia menghendaki kita hidup,
siapa yang akan mampu membunuh kita?
Bagus! Engkau benar, Nio-cu. Akan tetapi, apakah
engkau tidak putus harapan?
Mengapa putus harapan? Selama masih hidup, kita
masih dapat berusaha untuk mengatasinya. Putus
harapan berarti sudah menyerah sebelum berusaha. Aku
tidak akan pernah putus harapan selagi masih hidup.
Thian Liong merasa kagum akan tetapi diam-diam dia
merasa khawatir bukan main. Bukan khawatir kalau
puteri itu akan dibunuh, melainkan khawatir akan bahaya
yang lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri.
Cara Cia Song memandang sang puteri tadi, cara dia
memondong dan mendekapnya yang sempat dilihatnya,
membuat dia merasa khawatir sekali. Dia dapat
merasakan betapa pemuda sesat itu memandang Pek
Hong Nio-cu seperti seekor serigala memandang seekor
kelinci!
Setelah rombongan itu berjalan sekitar dua jam
mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Akan
tetapi terdapat sebuah jalan yang cukup lebar dalam
hutan itu, jalan yang dibuat oleh pasukan kerajaan Kin
untuk membuat hubungan dari daerah perbatasan
sampai ke kota raja menjadi lancar. Juga para pedagang
yang suka melakukan perjalanan dalam rombongan
besar, yaitu dalam kafilah, membawa barang-barang
dagangan dari timur ke barat dan sebaliknya, amat
memerlukan jalan raya ini sehingga merekapun turun
tangan mengeluarkan biaya untuk memperbaiki jalan itu
638

sehingga kini jalan itu merupakan jalan yang cukup lebar


dan nyaman.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu lie (mil)
rombongan pasukan yang dipimpin Cia Song itu
memasuki hutan, tiba tiba saja terdengar suara berisik di
depan dan mereka segera menahan kuda masingmasing. Kereta yang berada di tengah-tengah
rombongan itupun dihentikan karena mereka semua
melihat sebatang pohon besar tumbang menimbulkan
suara berisik dan jatuh berdembum melintang dan
menghalangi jalan!
Semua orang merasa heran dan mendekati pohon
yang tumbang itu. Pohon itu besar dan cabangnya
malang melintang memenuhi jalan. Bagi kuda-kuda tentu
dapat mengambil jalan melalui pohon-pohon di tepi jalan,
akan tetapi karena pohon-pohon itu berdekatan dan lebat
sekali, juga banyak semak belukar, maka tidak mungkin
bagi kereta untuk mendapatkan jalan lain kecuali jalan
yang terhalang pohon roboh itu,
Cepat singkirkan pohon itu! Cia Song memberi
perintah.
Para perajurit segera turun tangan dan beramairamai mereka memotongi batang pohon dan menariknya
ke tepi jalan. Pekerjaan itu memakan waktu satu jam
lebih, barulah kereta dapat lewat. Akan tetapi, baru saja
kereta bergerak, belum ada duapuluh tombak jauhnya,
kembali sebatang pohon di depan mereka roboh
melintang di jalan!
Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin mulai
curiga. Robohnya pohon pertama mereka anggap
639

sebagai hal yang kebetulan saja karena mungkin batang


pohon itu sudah keropos. Akan tetapi robohnya pohon
kedua ini tak mungkin hanya kebetulan saja. Mereka
berenam, juga para perajurit, memandang ke sekeliling.
Akan tetapi tidak tampak bayangan seorangpun manusia
lain di sekitar tempat itu.
Karena tidak dapat ditemukan orang lain yang
mungkin menjadi penyebab tumbangnya pohon itu,
terpaksa Cia Song kembali memerintahkan para perajurit
untuk menyingkirkan pohon kedua yang roboh itu. Dia
kini melihat hal yang membuat dia bergidik dan merasa
seram. Kalau pohon pertama itu tumbang dan patah
batangnya, pohon kedua ini tumbang dan jebol berikut
akar-akarnya! Tenaga apa yang mampu merobohkan
pohon sebesar itu sampai jebol berikut akarnya? Seekor
gajahpun belum tentu mampu melakukannya!
Kembali waktu lebih dari satu jam dipergunakan
untuk menyingkirkan pohon kedua. Akan tetapi baru saja
pohon itu disingkirkan, terdengar lagi bunyi berisik dan
pohon berikutnya di depan yang lebih besar lagi tumbang
melintang di pinggir jalan!
Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada
yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya
tidak
mungkin
ada
manusia
yang
sanggup
merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana
gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak
begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi.
Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan
Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang
puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin
bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut-turut itu
640

bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi


pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang menawan
mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka.
Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu!
Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan,
katanya.
Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta
sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia
menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata,
Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang kuat
merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir
maupun batin, kecuali.......
Kecuali siapa, suhu?
Hemm, kecuali setan itu.
Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima
orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah
orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan
ketahyulan semacam itu seperti hampir semua orang
pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song
segera menghadap ke arah depan, ke arah pohon yang
tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut.
Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap
maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba
berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan
bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah kami melewati
jalan ini!
Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua
perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang
641

Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut


menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya
Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang
pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang
masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri.
Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak
maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja
muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan
menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon
benar-benar setan atau mahluk halus.
Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta
maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk
menghormati penguasa hutan itu, Cia Song kembali
menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan pohon
ketiga itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar
suara Pek Hong Nio-cu.
Pengkhianat-pengkhianat jahanam!
Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh
mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka
melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri
di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu.
Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah
ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah
memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah
merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di
atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda.
Otomatis dia menoleh ke arah kudanya yang
ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedangpedang itu sudah tidak berada di sela kudanya!

642

Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang


merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed
turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat sinar
berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu
ikatan tangan mereka telah putus dan pedang mereka
dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan
tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan
mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang
mengikat tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka
turun dari kereta dengan pedang masing-masing di
tangan, lalu Pek Hong Nio-cu mengeluarkan bentakan
marah itu.
Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat
betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah
memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata
dengan gurunya. Suhu, harap suhu cepat robohkan
mereka!
Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek
itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut
melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari
belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena
sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan
yang membuat hatinya merasa jerih. Kini, mendengar
permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri
sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia lalu
menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu.
Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam
bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga.
Mulutnya berkemak-kemik membaca mantra dan dia
mengerahkan ilmu sihirnya.
Bummm......! Tampak asap hitam mengepul dan
643

tiba-tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan


dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah
berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke
arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan
sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan
moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan
mahluk itu menyemburkan api!
Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah
bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam
kepala naga jadi-jadian itu.
Darrr! Naga itu terpental dan asap hitam
mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik
naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed.
Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah
seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih,
tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya
terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai
sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat
pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut
penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu
bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis
atau jenggot.
Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu
berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua tangannya
didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung
menyambar ke arah laki laki itu, membawa angin pukulan
yang dahsyat sekali dan berhawa panas.
Siancai......! Laki-laki itu berkata lirih dan tangan
kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan
jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed.
644

Blarrrr......! Hawa pukulan berasap hitam yang


dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan
membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia
tidak bergerak lagi.
Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan
alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas!
Agaknya kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya
itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima
tenaganya sendiri yang membalik.
Suhu......! Thian Long berseru ketika melihat lakilaki berpakaian kuning itu.
Paman Sie......! Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu
memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu,
lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya
bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia sudah
lenyap dari sana.
Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiamtin segera mengerahkan semua perajurit untuk
menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka.
Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu
mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak
batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah
melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian
Liong menyebut suhu kepada laki-laki setengah tua
yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa
kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan
dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ!
645

Demikianlah memang watak seorang yang berbudi


rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan
tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat,
rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada
gurunya yang tewas!
Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka
andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu
tidak muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang
Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja
mereka menjadi makanan lunak bagi Pek Hong Nio-cu
dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu
sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit
yang tadi menjadi kusir kereta.
Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka
hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan
Pangeran Hiu Kit Bong! Tentu saja Thian Liong berseru
begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu
menyebar maut.
Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran
ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk,
pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa
membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak
orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan
duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan,
tendangan, atau terluka oleh pedang.
Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa
oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka
semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena
sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin dapat
melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap
Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali. Dari sikap
646

puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah


Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh
Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada
mereka yang menjadi kaki tangan pemberontak.
Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas
pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh
Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng
pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga
setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya
mereka tiba di benteng itu.
Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu
suhumu? tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan
menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan
penjaga perbatasan.
Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa
kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau
menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie
seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?
Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku
melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak
melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu
diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman
Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini
dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat. Akan
tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu
saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk
bertemu dan bicara dengannya?
Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang
yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat
647

berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah


tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan guruku
dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan
tetapi sungguh aku heran, bagaimana guruku itu menjadi
sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie?
Sungguh aku tidak mengerti.
Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga)
gurumu itu? tanya Pek Hong Nio-cu.
Thian Liong menggeleng kepalanya.
Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya.
Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan
berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau
juga tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya.
Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa
heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga
sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata
adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai
sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya
Paman Sie yang juga menjadi guruku.
Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti
akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang,
engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?
Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang
bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar,
orang-orang ini dapat menjadi saksi penting bagi
pengkhianatan
Pangeran Hiu Kit Bong yang
memberontak. Aku akan minta Paman Kuang
secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya
untuk menumpas para pemberontak.
648

Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang


yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas
menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga
heran.
Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan
begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan
begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula
pemuda ini? Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh
tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan
berwajah tampan, bertubuh tinggi besar.
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum.
Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu
dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang
orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman.
Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. Ah,
sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini
sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam
dan engkau juga, orang muda. Dia menyuruh para
pengawal untuk mengurus tawanan.
Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk
berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia
tahu bahwa waktunya mendesak sekali.
Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini
adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang
membantuku menghadapi para pengkhianat itu!
Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu
adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang
berkhianat dan merencanakan pemberontakan!
Pangeran Kuang membelalakkan matanya. Apa?
649

Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?


Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan
kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini
diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap
aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri baginda
untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini
dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada bantuan Souw
Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka.
Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat
menyelamatkan
kerajaan
dan
membasmi
para
pemberontak. Cepat paman kerahkan pasukan dan
kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalaukalau kita terlambat. Aku khawatir akan keselamatan
ayah.
Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah
bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya,
seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima
oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan
kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi
kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan merangkap
penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong
hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang
yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka
dan pengkhianat!
Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran
Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti
itu! kata Pangeran Kuang. Baiklah, aku akan
mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang
juga!
Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan
sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan
650

pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin


pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek Hong
Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan,
membalapkan kuda pilihan yang diberikan Pangeran
Kuang kepada mereka berdua.
***
Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong
dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang
begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat
gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri yang
membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya,
sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri.
Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan
kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah
dewa yang sakti itu!
Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan
Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat
malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan
muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit Bong
menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja
dengan marah sekali.
Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah
tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau
gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam
bencana. Celaka!
Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa
di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran!
Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian
Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan
651

hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah


jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu
kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya
sendiri, tewas ketika menyerangnya!
Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil
pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang
para panglima sekutunya untuk malam itu juga datang
berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah
semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong
berkata.
Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi
ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang.
Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan
pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita
tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita
mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu
istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita
terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun
Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak
akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar.
Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan
orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal
itu akan membuat sekutunya gentar dan patah
semangat.
Setelah berunding bagaimana caranya melakukan
pengepungan terhadap istana, para Panglima yang
dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung
Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan pasukan
masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira,
dikepalai Panglima Kiat Kon.

652

Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai


pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia
Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan
dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk melapor
kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia
merasa sungkan juga karena dia telah gagal menangkap
Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin
tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena
rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena
itulah maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan
serangan mendadak sebelum terlambat.
Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu
mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang
diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga
dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi
melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit
Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia
kepada Kaisar kerajaan Kin.
Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari
itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih
setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan
seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam-diam
Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang
tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah sekali.

JILID 18
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang
tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara
mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana
muncul pasukan lain yang menghadang. Terjadilah
653

pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu


Kit Bong terkejut dan marah sekali melihat betapa istana
dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya
bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan
rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan
melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja!
Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong
keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin
Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song
yang ingin menebus kegagalannya memperlihatkan
kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong
dia mengamuk dengan pedangnya dan banyak tentara
pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di
tangannya.
Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih
banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun
pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekanrekannya itu melakukan perlawanan mati-matian! Maka,
setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari
lamanya, pasukan pemberontak belum juga dapat
menduduki istana.
Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng
istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas,
semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat
benteng istana dengan balok-balok yang kokoh. Malam
itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran,
memberi kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat
dan merawat luka-luka mereka.
Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir
sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi
mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan
654

para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa kalau


siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka
sekarang semua perajurit pembela kaisar sudah mundur
memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah
ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan benteng
istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti
pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan
pemberontak tentu akan menyerbu istana!
***
Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di
langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa
udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan
kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari tadi
bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh
pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan sepanjang
malam dan para penjaga itu bergiliran.
Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu,
tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu
meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena
saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada penjaga
dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh
kedua bayangan itu melayang ke atas tembok benteng
lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka
menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama
kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas
wuwungan istana!
Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat
Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa
dari Pangeran Hiu Kit Bong.
Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan
655

mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar.


Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini
akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai.
Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini
engkau akan melaksanakan dengan baik dan berhasil,
Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap
Puteri Moguhai, kata Pangeran itu.
Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia
sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan
banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja
pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya
menangkap Puteri Moguhai.
Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?
Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan
lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan
Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian
kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri
Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil,
berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau
pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak
dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita
yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar.
Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!
kata Panglima Kiat Kon dengan tegas. Kalau Cia-sicu
menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan
dengan berhasil baik!
Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu? tanya
Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda
itu dengan tajam.
656

Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali,


akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia
mengangguk dan menjawab, Saya sanggup, hanya
tidak berani memastikan hasilnya karena di istana tentu
diadakan penjagaan kuat.
Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia
Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil
melompati benteng tanpa diketahui perajurit pembela
kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan
istana!
Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk
Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di
mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu
mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng
wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri!
Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi ketika
mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka
tidak mendengar apapun.
Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa
langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak
dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih
mampu bertahan agar tidak terjatuh.
Eh, apa ini, sicu?
Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang.
Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja...
Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada
benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat
mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu
657

tetap saja mengenai pundak mereka seolah benda hidup


yang terbang mengejar ketika mereka mengelak.
Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang
terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu
untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan
lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke atas
genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil
yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut bukan main.
Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang
luar biasa sehingga mereka tidak mampu mengelak.
Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang
sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali
kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang
mengganggu mereka itu.
Ciang-kun, kita pergi. Cepat! kata Cia Song yang
menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul
dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang
perajurit, akan celakalah mereka! Keduanya lalu cepat
meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang
mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan keluar dari
benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng,
dalam kegelapan malam itu Panglima Kiat kon tidak
dapat menemukan Cia Song.
Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak
menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diamdiam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali.
Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong
karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini.
Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong,
menceritakan tentang kegagalannya. Entah siapa yang
mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia
658

seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.


Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu,
Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian
saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak
mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh.
Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana.
Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. Sialan, gagal
lagi! Mana orang she Cia itu?
Ketika saya melompat keluar dari benteng istana,
Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi
meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu
dengan paduka.
Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu
memerintahkan
sekutunya
untuk
mempersiapkan
pasukan dan besok pagi pagi melakukan penyerangan
besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng
istana harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat
ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran
Kuang keburu datang dan menyerang mereka.
Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya
rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi
yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil
daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song
dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini
telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi
kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang
pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan
membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu
memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam
itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka
yang disandera akan dibunuh!
659

Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan


semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam.
Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti
biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu dengan
wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para
isteri dan puteri istana ada yang terisak perlahan. Mereka
semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi
mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan
pemberontak.
Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali
tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan
kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang
gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali
mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya,
orang yang telah diberikan kedudukan tinggi, memimpin
pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah
disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia
tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang
kini tidak berada di istana.
Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia
berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu
percaya
kepadanya.
Akan
tetapi
dia
malah
menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu
berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu
menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang dan
ketika dia melayangkan pandang matanya kepada
belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin,
ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya
selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang kelihatan
tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap
tenang dan anggun sehingga kaisar teringat kembali
kepada puteri mereka.

660

Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak


berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi? tanya
kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini.
Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi
wanita ini seringkali menengok dan memandang kepada
suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga
melihat pria yang menjadi suaminya itu sama sekali tidak
tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang
amat gawat dan berbahaya itu.
Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui
sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana.
Kaisar mengangguk-angguk. Aku percaya bahwa
Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini
dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita
semua.
Semoga saja demikian, Sri Baginda, kata Tan Siang
Lin.
Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang
perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi
keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di
tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang
terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena
mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan
pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga
kaisar dengan taruhan nyawa.
Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu,
yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam
jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat
pedang menyerbu ke arah Kaisar!
661

Ampunkan hamba, Sri Baginda! seru yang seorang.


Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh
paduka! seru orang kedua.
Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit
pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah
karena dua orang itu sudah menyerang kaisar.
Seorang membacokkan pedang dari atas, orang
kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba
dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua
sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang
perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka
berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka terlepas
dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan
dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan
masing masing di mana menancap sehelai daun hijau!
Para perajurit segera berlompatan dan meringkus dua
orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar
itu.
Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya,
memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi
meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya
bersinar dan ia berseru girang.
Sie-ko (kanda Sie)......! Akan tetapi ia sadar dan
menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas.
Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku! kata
kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik
oleh peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di
depan kaisar di mana mereka menyembah-nyembah dan
menangis!
662

Ampun, Yang Mulia..! Ampunkan hamba berdua


yang terpaksa...... mereka mengeluh dalam tangisan
mereka.
Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan
pengkhianatan hendak membunuh kami? bentak kaisar.
Seorang dari mereka menyembah dan berkata
ketakutan, Hamba berdua terpaksa melaksanakan
perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh
paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga
hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh.
Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai
daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan
lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub.
Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap pada
lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal
membunuh kaisar? Pada hal daun hijau basah itu lunak
dan lentur!
Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh,
kata kaisar kepada para pengawalnya.
Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai
menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi
dua orang perajurit memegang lengan mereka dan
menarik mereka keluar dari ruangan itu.
Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, Dinda Siang
Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan
memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu?
Apakah engkau melihat seseorang?
Wajah Siang Lin berubah kemerahan. Hamba tidak
663

melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat


menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia
pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya dialah
kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya
dengan menggunakan sehelai daun.
Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu? tanya
kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia
sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa
terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat.
Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa
serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan
kaisar yang menjadi suaminya itu.
Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu
bermarga Sie, Sri baginda.
Hemm, mengapa dia melindungiku secara diamdiam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat
memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang
ini.
Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari
jendela.
Seorang
perajurit
pengawal
cepat
menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas
putih.
Apa itu? tanya kaisar.
Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia, kata
pengawal itu.
Cepat bawa ke sini! perintah Sri Baginda dan
perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada
664

kaisar.
Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri.
Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan
suara lantang.
Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami
berterima kasih sekali padamu!
Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat
itu kepada Siang Lin yang segera membacanya.
Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking
bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis itu.
Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke
kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.
Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula
Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang
setelah membacanya menyerahkan kepada para selir.
Mereka bergantian membaca dan semua wajah menjadi
berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka.
Pasukan penolong yang dipimpin pangeran Kuang dan
Pureri Moguhai akan menolong mereka!
Biar aku sendiri yang memimpin pertahanan istana!
Kaisar timbul semangatnya dan diapun keluar dari
ruangan itu menemui para perwira yang setia kepadanya
untuk
mengawasi
sendiri
pasukan
yang
mempertahankan istana. Dengan munculnya kaisar
sendiri ke tengah-tengah mereka, para perajurit yang
membela kaisar bersorak gembira dan semangat mereka
berkobar, apalagi ketika mereka mendengar bahwa bala
bantuan segera datang!
665

Pada keesokan harinya, diiringi sorak yang gegap


gempita dan bunyi terompet, tambur dan canang,
pasukan pemberontak menyerbu dan berusaha
mendobrak pintu gerbang tebal yang terbuat dari baja itu.
Ada pula yang mempergunakan tangga untuk naik ke
atas tembok benteng istana. Pasukan pembela kaisar
menyambut dari dalam dan terjadilah pertempuran yang
seru dan mati-matian.
Anak panah meluncur dari luar dan dari dalam seperti
hujan. Bunyi denting beradunya senjata bercampur
sorak-sorai dan teriakan-teriakan marah, jerit-jerit
kesakitan membubung bersama debu yang mengepul
tebal. Darah mulai berceceran membasahi bumi. Perang!
Puncak ulah nafsu yang menguasai hati dan pikiran
manusia, membuat manusia bahkan lebih ganas
daripada binatang.
Karena jumlah pasukan pemberontak hampir tiga kali
lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar,
maka tentu saja pihak pembela kaisar mulai kewalahan
dan terdesak hebat. Bahkan pihak penyerang sudah
banyak yang dapat naik ke atas tembok benteng dan di
sana sudah terjadi pertempuran seru. Pintu gerbang
mulai didekati pasukan pemberontak dan mereka
mempergunakan kayu balok besar yang digotong
beramai-ramai untuk mendobrak pintu gerbang baja.
Suaranya nyaring menggelegar setiap kali ujung balok itu
menghantam pintu gerbang.
Para perajurit pembela kaisar menggunakan segala
daya untuk mempertahankan pintu gerbang itu dengan
mengandalkan benda-benda berat. Namun, mereka
kalah kuat karena kalah banyak dan akhirnya, pintu
gerbang yang tebal dan besar itu jebol dan roboh ke
666

dalam mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan belasan


orang perajurit di sebelah dalam yang tadi
mempertahankan pintu itu, tertimpa pintu besi yang amat
berat itu sehingga tewas terhimpit.
Para perajurit pemberontak menyerbu melalui pintu
gerbang yang sudah terbuka itu bagaikan air bah
mengamuk. Perajurit pembela kaisar yang berada di
sebelah dalam menyambut dan terjadilah pertempuran
seru. Karena lubang pintu itu tidak terlalu besar, hanya
sekitar tiga tombak lebarnya, maka para penyerbu itu
tidak dapat masuk terlalu banyak dan hal ini membuat
pertahanan sebelah dalam masih kuat. Puluhan orang
perajurit penyerbu yang berhasil masuk disambut oleh
ratusan orang perajurit pembela kaisar dan yang di luar
terhalang oleh yang berada di depan.
Karena itu untuk sementara pertahanan masih kuat.
Betapapun juga keadaan sudah sangat gawat karena
dapat diramalkan bahwa tidak lama lagi pasti pasukan
pemberontak akan dapat menyerbu ke dalam bangunan
istana.
Kaisar memimpin sendiri para perajurit yang setia
kepadanya. Dia memberi komando. Ada yang
menyambut serbuan lewat pintu gapura atau gerbang
yang sudah roboh daun pintunya, ada yang
diperintahkan tetap menjaga di atas tembok benteng
untuk menghalau musuh yang memasuki benteng lewat
tembok.
Pada saat yang amat gawat itu, tiba tiba terdengar
sorak-sorai bercampur suara terompet, genderang dan
canang. Para perajurit pemberontak terkejut sekali dan
tiba-tiba mereka menjadi kacau-balau ketika diserang
667

oleh pasukan yang baru datang, pasukan yang dipimpin


oleh Pangeran Kuang dan Puteri Moguhai bersama
Thian Liong!
Puteri Moguhai didampingi Thian Liong mengamuk,
membuka jalan berdarah memasuki kerumunan perajuritperajurit pemberontak, merobohkan siapa saja yang
menghalangi mereka. Melihat betapa pintu gerbang yang
sudah terbuka itu penuh orang, mereka berdua lalu
melompat ke atas tembok benteng.
Para perajurit pembela kaisar yang bertempur di atas
tembok benteng melihat datangnya pasukan penolong
itu. Ketika mereka melihat dua orang melompat ke atas
benteng dan mengenal seorang di antara mereka adalah
Puteri Moguhai, mereka bersorak dan semangat mereka
berkobar. Apalagi ketika Puteri Moguhai dan Thian Liong
mengamuk, merobohkan banyak perajurit pemberontak
yang berhasil naik ke atas benteng, mereka pun bersorak
sambil mengamuk.
Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke
dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau
Moguhai itu memasuki istana. Para perajurit pengawal
kaisar yang melihat sang puteri, juga bersorak gembira.
Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan
Pangeran Kuang sudah berada di luar dan sedang
menyerang pasukan pemberontak.
Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di
mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan
Siang Lin lari menyambut.
Moguhai!

668

Ibu......! Mereka berangkulan. Semua keluarga


selamat, bukan?
Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira
sekali melihat puterinya datang bersama pasukan
Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang
masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis surat
itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua
orang penyerang suaminya dengan sambitan daun?
Di mana Sri Baginda? tanya Moguhai ketika tidak
melihat ayahnya, di antara mereka.
Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul
Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata,
Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan
melawan serbuan pemberontak.
Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong! kata Puteri
Moguhai kepada pemuda itu.
Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja,
gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah
kepada para perwira pasukan yang mempertahankan
benteng. Serbuan Pasukan yang datang membuat kaum
pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam
juga sudah mendengar akan datangnya pasukan
Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat
mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan yang
berada di dalam benteng istana.
Sri Baginda......! seru Puteri Moguhai dengan hati
bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi
dorongan semangat kepada para perajurit.

669

Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu


berseri melihat puterinya. Ah, Moguhai! Kedatanganmu
bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh
tepat pada waktunya! Kami semua merasa gembira
sekali!
Biarlah
pasukan
Paman
Pangeran
Kuang
menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu
paduka sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso
dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini
yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!
Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong
memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada dan membungkuk sampai dalam.
Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat, kata Kaisar
dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang
pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah
meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak dekat
ke manapun kaisar pergi.
Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu
pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para
pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak
dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi panik dan
banyak di antara mereka terluka atau tewas.
Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan
mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor
harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung.
Ambisinya adalah umntuk menjadi panglima besar kalau
Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana.
Tadi penyerbuan mereka sudah hampir berhasil. Akan
tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran
670

Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara pasukan


dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengahtengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin
keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan
diri. Sudah kepalang karena andaikata dia dapat
melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput dari
hukuman. Maka dia mengamuk dengan pedangnya yang
besar dan berat dan sudah banyak perajurit pembela
kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan
pedangnya.
Tiba-tiba
pedangnya
tertangkis
ketika
dia
membabatkan ke arah seorang perajurit musuh
berikutnya.
Trangggg......! bunga api berpijar dan Kiat Kon
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak
tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali
sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi
dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan
cepat memandang ke kanan untuk melihat siapa yang
menangkis pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang
yang
memegang
pedang
bengkok
menangkis
serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri
Moguhai yang berdiri di depannya dengan mata bersinar
penuh kemarahan.
Puteri...... Moguhai..! dia berseru gagap.
Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!
bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai. Sri
Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu,
akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi
pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak
dapat mengampunimu lagi? Setelah berkata demikian,
671

Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.


Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri
ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak
ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar
sudah berada di mana-mana dan kiranya tidak mungkin
melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang
pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan tetapi itu
dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia
telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya
daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu
melawan mati-matian.
Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh
dari situ, seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun
yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan
berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan bahwa dia
seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan
pedang di tangan. Lima orang pengawal melindunginya,
melawan para perajurit istana yang mengepung
bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang pengawal itu
cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh
amukan lima orang yang memegang golok besar itu.
Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat
akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah
digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus
berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah
pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu.
Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua orang
pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan
tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua
orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong
menerjang ke depan. Pangeran Hiu Kit Bong mencoba
untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi
672

sekali menampar dengan tangan kirinya, pedang itu


terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kitat
Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit
Bong tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu
membawa tubuh Pangeran itu melompat ke atas tembok
benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil
mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar
lantang sampai jauh.
Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini!
Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin
mati cepat lempar senjata dan menyerah!!
Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua
orang. Akan tetapi karena semua perajurit pemberontak
tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang
menawan Pangeran Hiu Kit Bong, maka mereka menjadi
ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat,
melompat ke atas tembok benteng dan ternyata ia adalah
Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil merobohkan
Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang
menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri
di dekat Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit
Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu
berteriak melengking.
Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong,
lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak,
kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak
telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga sudah
tewas!
Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal
Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit
Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus
673

asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata mereka


dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.
Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang
lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak
dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng
pasukan yang tadi membela kaisar.
Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke
dalam benteng. Para perajurit melakukan penangkapanpenangkapan teradap mereka yang menjadi kaki tangan
Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah pimpinan para
panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang
bertugas membersihkan benteng istana, merawat yang
terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.
Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang
pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya,
dengan kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada
kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan
Thian Liong. Semula Thian Liong tidak ingin menghadap
kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan jasa
untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu
memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri
Moguhai berkata.
Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku
menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami,
sudah sepantasnya kalau ayah bertemu dan
mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu
aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis
berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!
Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka
diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang
674

menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu


menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal. Dia
memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan
yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah tanah air
bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa
bersalah. Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin
sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan
Sung. Kalau sekarang dia membantu kerajaan Kin
adalah karena dia memihak yang benar dan menentang
para pemberontak yang tentu saja merupakan pihak
yang tidak benar karena memberontak. Apalagi kalau
diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit Bong, pengkhianat dan
pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri
Chin Kui yang harus ditentangnya karena pembesar itu
hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk
kepada Kaisar kerajaan Sung.
Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana
Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari
menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya.
Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya
dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para
tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri berlutut
di depan kaisar.
Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan
kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak
akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai
penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan dengan
kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang
menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua tangan
depan
dada
sambil
membungkuk
sebagai
penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan
berkata lirih.

675

Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong


yang membantu kita dan dia pula yang menangkap
Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan
pemberontak dapat dihentikan.
Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang
pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan
memandang kepada Thian Liong lalu menganggukangguk. Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau
juga, Pangeran Kuang!
Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para
pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah
mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak
mengalami perubahan. Kalau dahulu dia terkenal keras,
kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia
terima dari Tan Siang Lin sehingga dia menjadi seorang
penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua orang tentu
mengira bahwa kaisar akan menghukum mati pimpinan
pemberontak itu
Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang
diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para
sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan
dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah
utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang
masih terbelakang di sana sehingga tidak ada
kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang
tidak baik.
Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang
melaporkan gerakannya menumpas pemberontak,
dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian
Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng Kiam-tin
dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit
676

Bong untuk membunuh Moguhai, sampai pengerahan


pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil
membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.
Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran
Puteri Moguhai untuk menceritakan pengalamannya
bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau
Puteri Moguhai menarik perhatian semua keluarga istana
yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali. Setelah
mendengar betapa Souw Thian Liong, seorang pemuda
pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar,
Kaisar segera berkata sambil memandang kepada Thian
Liong dengan senyum ramah.
Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami
mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan,
apa yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti
akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu.
Thian Liong cepat memberi hormat. Maafkan hamba,
Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba
sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang
hamba lakukan itu sama sekali bukan perbuatan jasa
atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan
imbalan, melainkan sudah menjadi kewajiban hamba
untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba menolak
anugerah
dari
Paduka,
hanya
hamba
tidak
mengharapkan imbalan apa pun.
Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa
kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati,
dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan
merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba mempunyai
cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang
mencari seorang gadis berpakaian merah yang telah
677

mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas


untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di kerajaan
Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya,
dengan demikian hamba dapat membalas budi
kebaikannya, kata Puteri Moguhai kepada kaisar.
Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama
Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga,
Chin Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi
kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara Sung
yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat
pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan
gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau
kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan
Cina bagian utara. Chin Kui yang berhasil membujuk
Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin,
bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada
kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia melihat
kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi
sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya
sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.
Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan
Sung hendak ditentang? tanyanya sambil memandang
kepada puterinya.
Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya. Sri
Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya
karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar
yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung. Selain
itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran
Hiu Kit Bong yang memberontak kepada paduka.
Kaisar mengerutkan alisnya. Bersekutu dengan
pemberontak? Dia memandang puterinya dengan sinar
678

mata penuh keheranan. Apa buktinya kalau


bersekutu dengan pemberontak?

dia

Buktinya sudah jelas, Sri Baginda, kata Puteri


Moguhai. Cin Kui memang diam-diam menjalin
persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang
paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan yang
bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba
hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa
paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu
Kit Bong.
Kaisar
mengangguk-angguk
dan
mengelus
jenggotnya. Hemm, aku memang sudah tahu bahwa
Chin Kui adalah seorang yang licik dan curang, sama
sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada
kami agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan
merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao
Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian
yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan
Sung.
Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa
pasukan untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol
dengan pemberontak itu? tiba-tiba Pangeran Kuang
mengusulkan.
Kaisar menggeleng kepala. Tidak boleh, adinda
pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan,
hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan
kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak
mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao
Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan dalam
negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak
mencampurinya.
679

Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba


seorang diri yang pergi membantu Souw Thian Liong,
hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai
tindakan pribadi hamba. Hamba ingin membalas budi
kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak
melarang hamba.
Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu,
Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu
selama ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga
mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak
pernah melarangnya.
Baiklah, engkau pergilah
membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk
segera pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini
sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun
dan sudah tiba masanya bagimu untuk menikah!
Aihh paduka..! Hamba.. belum ingin
menikah, kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap
sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.
Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong
terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari karena
gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada
keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan mereka
untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong
menuju ke selatan.
Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap
dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang
Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya
akan pergi ke selatan membantu Thian Liong menentang
Perdana Menteri Chin Kui.
Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah
680

sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau


orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau
adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan dimusuhi
dan amatlah berbahaya bagimu.
Moguhai merangkul ibunya. Jangan khawatir, ibu. Di
dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi
di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di
selatan nanti orang-orang akan mengenal aku sebagai
Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui
bahwa aku adalah Puteri Moguhai.
Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya.
Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada orangorang lain?
Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik
dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah
tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu.
Tan Siang Lin menghela napas panjang. Bagaimana
pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau
telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun
di selatan sana banyak terdapat penjahat yang sakti.
Moguhai tersenyum. Ibu tidak perlu khawatir. Selain
aku sendiri mampu membela dan menjaga diri, juga ada
Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu. Lihai dan
bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya
adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan lain
adalah Tiong Lee Cin-jin!
Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak
dan mulutnya mengeluarkan seruan, Ahh......! ketika ia
681

mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu


menundukkan mukanya dan diam saja.
Moguhai memperhatikan sikap ibunya. Ibu, ada satu
hal yang merupakan kejutan besar.
Hemm, apakah itu, anakku?
Aku telah bertemu dengan paman Sie!
Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui
bahwa yang kautemukan itu Paman Sie?
Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah
melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman
beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie
yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan rambut ini
kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan
kami ketika aku dan Thian Liong tertawan kaki tangan
pemberontak.
Ah......! Selir kaisar itu memandang wajah puterinya.
Dan dia menemuimu, bicara denganmu?
Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di
kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku dan
Thian Liong. Kini gadis itu memandang wajah ibunya
dengan tajam. Dan ada satu lagi kejutan besar, ibu.
Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai
perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum
dan berkata, Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa
lagi yang hendak kauceritakan, Moguhai?
Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin,
guru Souw Thian Liong!
682

Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan


pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas
menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa
paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan Tan Siang Lin
masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya.
Bagaimana engkau dapat
paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?

memastikan

bahwa

Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian


Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya
dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cinjin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong Lee
Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan
mengetahui, bukan?
Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak
menjawab dan hanya menundukkan mukanya, kemudian
malah melamun dan kedua matanya menjadi basah!
Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia biasanya manja
kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang
yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin sekali
menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.
Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan
rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu.
Tan Siang Lin menggeleng kepalanya. Tidak, tidak
ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu
mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah
menyelamatkan engkau. Diapun sudah menyelamatkan
ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang
pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan Pangeran
Hiu Kit Bong.

683

Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak


bercerita tentang hal itu! kata Moguhai, ikut gembira
karena bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan
Paman Sie yang telah memberi tiga kitab pelajaran ilmu
silat tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia
sebagai gurunya walaupun ia belum pernah bertemu dan
bercakap-cakap.
Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena
masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu
berhubung dengan pemberontakan itu.
Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya
peristiwa itu, Ibu?
Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan
dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang
harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak
mundur sehingga hanya menjaga di dalam benteng
istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak
terjadi pertempuran akan tetapi kami semua dapat
menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu
akan menyerang lagi.
Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu,
dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka
telah menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena
serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak ada
yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi
tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau meluncur
masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang
senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu
terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya
dan ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah
dua helai daun hijau!
684

Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata


kagum. Hebat! Bukan main! Daun basah dapat
dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah
saktinya!
Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu
melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan
aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar
jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di
mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela
melayang sehelai kertas bersurat. Tan Siang Lin lalu
mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya
dan menyerahkannya kepada Moguhai. Inilah suratnya,
masih kusimpan.
Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat
menerima surat itu dan membuka lipatan lalu
membacanya.
Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke
kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana
sampai mereka datang.
Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh
Paman Sie? tanya puteri itu.
Ibunya mengangguk. Aku yakin
mengenal tulisannya yang indah itu.

sekaIi.

Aku

Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan


antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak
begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan
Paman Sie! Apakah mereka itu pernah saling bersuratsuratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena
takut menyinggung perasaan ibunya dengan dugaan
685

yang terlalu jauh itu.


Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu
melakukan perantauan jauh ke barat sampai belasan
tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab
milik aliran-aliran persilatan yang dulunya hilang. Dia
mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya.
Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab pelajaran
ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian
mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua
itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie
itu adalah Tiong Lee Cin-jin?
Tan Siang Lin menghela napas. Mungkin sekali
demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan
kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin
walaupun eh, dia juga telah pergi selama belasan
tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa.
Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu
setelah belasan tahun saling berpisah?
Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela
napas.
Sudahlah,
Moguhai.
Jangan
banyak
membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain,
disangkanya nanti ada apa-apa...
Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan
Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu.
Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa
Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia
adalah sahabat baik ibumu.
Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya
686

berkata demikian iapun membelokkan percakapan


tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie
lagi. Setelah melepaskan kerinduannya kepada keluarga
istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong
melakukan perjalanan ke Selatan.
***
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita
sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan
perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah
mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di
sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan
jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah kerajaan
Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat
Yang-ce.
Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin,
yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak
menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu
disambut dengan penuh kehormatan setelah para
pembesar
setempat
mengetahui,
dari
pedang
kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan
perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu
menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan
pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat
dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia segera turun
tangan memberi hajaran dan memperingatkan mereka
dengan keras.
Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang,
kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di
daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah
Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih dekat
dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw)
687

yaitu kota raja Sung karena daerah timur itu merupakan


tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak
sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu akan
mengalami banyak gangguan dan bahaya.
Karena malam tadi mereka berdua melakukan
perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan
purnama, mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek
Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini menjadi
penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya,
untuk mencari rumah penginapan agar mereka dapat
beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung,
atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti
pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para
gadis pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia
mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen
(Yuchen), hal itu akan menimbulkan banyak masalah dan
mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.
Pek
Hong
Nio-cu
yang
memang
sudah
mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian
gadis Han, akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera
putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih
dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan
dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han.
Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama
sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis
pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja,
karena ia memang amat cantik jelita, maka di mana saja,
orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan
memandang dengan kagum.
Mereka berdua turun dari atas punggung kuda
mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka.
688

Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah


penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus
penginapan yang duduk di belakang meja penerima
tamu.
Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat
perbatasan itu bahwa para tamu harus memperkenalkan
namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang.
Namaku Souw Thian Liong dan nona ini adalah adikku,
Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota
raja.
Mereka menyewa dua buah kamar yang
berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masingmasing untuk tidur karena merasa lelah dan mengantuk.
Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun
dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi dan
menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan
yang berada di samping rumah penginapan dan
memesan makanan.
Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tibatiba mereka dan semua orang yang sedang makan
dalam rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya
serombongan orang yang ternyata adalah perajuritperajurit berpakaian seragam dan jumlah mereka ada
belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang
bertubuh tinggi besar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang
dan memandang kepada perwira yang memimpin
pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah
penginapan yang juga tampak memasuki rumah makan
dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan
telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
689

Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira


itu segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong,
diikuti belasan orang anak buahnya.
Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan
mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah
cepat-oepat menghentikan makan mereka dan
membayar harga makanan di meja pengurus rumah
makan. Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan
datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin
tersangkut.
Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan
Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu.
Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan
berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.
Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti
serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka,
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja.
Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh
mengangkat cangkir air tehnya dan minum.
Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang
berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan
mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada
Thian Liong lalu bertanya dengan suara parau dan
sikapnya kasar.
Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian
Liong?
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa
tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat
kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap
690

tenang menjawab. Benar, aku bernama Souw Thian


Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?
Bagus! Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti
belasan orang anak buahnya yang juga mencabut golok
mereka.
Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus
menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu
menggunakan kekerasan!
Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong
Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan
pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata
ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah dan
mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh
dari poci memenuhi cangkirnya.
Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun.
Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan dulu
apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku
menyerah dengan senang hati untuk kautangkap, kata
Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di
hatinya dalam ucapan atau sikapnya.
Perwira tinggi besar itu tertawa. Ha-ha-ha, engkau
masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang
buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang
menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau hendak
memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah
kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan Nona
inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu,
apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu
tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!
Perwira itu lalu menoleh kepada anak buahnya.
691

Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!


Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah
menggerakkan cangkir tehnya dan air . teh dari cangkir
itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.
Ah...... aduh......! Perwira itu meraba mukanya yang
terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas
tersiram air teh yang masih panas! Serang mereka!
bentaknya sambil menggosok-gosok matanya yang
belum dapat dibuka.
Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan
menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu!
Nio-cu, jangan bunuh orang! Thian Liong berseru
kepada gadis itu.
Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya.
Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga
empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang
muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka bergerak
cepat. Terdengar teriakan teriakan mengaduh disusul
golok beterbangan lepas dari tangan para perajurit dan
tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi
dalam ruangan rumah makan itu!

JILID 19
Si perwira yang belum sempat dapat membuka
matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.
Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara
692

berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan


terbanting ke atas lantai. Dia mengaduh dan memegangi
perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-lilit. Mungkin
usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua
orang muda itu mengamuk dan dengan tamparan dan
tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang
perajurit itupun sudah dapat mereka robohkan.
Kita pergi! kata Thian Liong dan mereka berdua
cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah
penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian
mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu sudah
tidak ada lagi!
Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah
menangkap leher baju pengurus rumah penginapan dan
membentak, Katakan di mana buntalan pakaian kami!
Dia mengguncang orang itu yang menjadi ketakutan.
Maaf...... kami...... kami tidak berdaya...... buntalanbuntalan itu telah disita perajurit......!
Keparat! Pek Hong Nio-cu berseru marah.
Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!
Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa
pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi
dibawa ketika makan sehingga yang tersita hanya
pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka
melihat empat orang perajurit seclang menuntun kuda
mereka. Mereka menjadi marah dan melompat ke depan,
merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu
keduanya melompat ke atas punggung kuda dan
membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.
693

Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah


timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun.
Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang
sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat turun dari
kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi
telah membalapkan kuda selama beberapa jam. Matahari
mulai condong ke barat.
Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan
lehernya, menggunakan sehelai saputangan.
Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong.
Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah menganggap
engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata
Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau membantu kami di
sana.
Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu
kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan di
sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu
fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran, bagaimana
mereka bisa tahu?
Pek Hong Nio-cu tersenyum. Aku tahu, Thian Liong.
Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan fitnah
ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah
kerajaan Sung.
Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat
sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan. Dialah
sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek
Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku masih
sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang
saja yang entah bagaimana memang membenciku.

694

Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan


itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti karena
pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang.
Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau
tidak salah, itu adalah kota Ki-bun.
Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di
luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa
namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah
sehingga di kota Ki-bun engkau juga akan dikejar-kejar,
kita lebih mudah untuk melarikan diri, kata Pek Hong
Nio-cu.
Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka
menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka
lalu menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek
petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua
berjalan memasuki kota Ki bun. Mereka meninggalkan
pedang agar tidak menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan
aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong
berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus
pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong di
punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi
ke sebuah rumah penginapan dan dengan sengaja Thian
Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada
pengurus rumah penginapan. Mereka lalu makan di
rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk
melewatkan malam dalam dua buah kamar yang mereka
sewa.
Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga.
Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan
695

mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut


sepatu agar kalau ada apa-apa mereka dapat cepat
melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru
mereka beli sore itu. Mereka menunggu dengan tenangtenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap
waspada sehingga biarpun tertidur, mereka peka sekali.
Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama.
Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian
Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang
sudah mencatat nama Souw Thian Liong sebagai
buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua
penginapan. Begitu mengetahui bahwa tamunya
bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan
segera melaporkan kepada komandan pasukan
keamanan setempat. Komandan itu segera membawa
tigapuluh orang anak buahnya dan pasukan ini
mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu berada.
Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu
kamar Thian Liong.
Tok-tok-tok!
menyerahlah!

Souw

Thian

Liong,

keluar

dan

Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian


Liong segera menyambar buntalan pakaian dan
digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong
Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan membuka
daun pintu dan menerjang keluar.
Tangkap! Serang mereka! Komandan pasukan itu
memberi aba-aba.

696

Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan


golok di tangan. Akan tetapi, seperti sudah mereka
sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak
melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang
keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang
dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang berani
menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu
bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh ke
depan, keluar dari rumah penginapan itu. Komandan
pasukan berteriak-teriak, memberi aba-aba pengejaran
dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu mempergunakan ilmu berlari
cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang
dalam kegelapan malam karena bulan belum muncul.
Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan
ngawur mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga
penduduk kota Ki-bun menjadi geger.
Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota.
Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak
kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan
gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan
jumlah yang amat banyak.
Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima
kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani bertanya
ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu
melanjutkan perjalanan mereka.
Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama
Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua
kota sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat
yang jahat dan berbahaya!
Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan
697

fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu ke


semua kota, dan bagaimana pula para pembesar
setempat percaya akan keterangan palsunya itu? kata
Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan
perjalanan setelah meninggalkan kota Ki-bun.
Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song
tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah
bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui
yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal yang
terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui
yang menyebarluaskan fitnah itu melalui para pembesar.
Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu
saja dia dapat memerintahkan para pembesar untuk
menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk
Kaisar Sung Kao Tsu dengan meyakinkan hati kaisar itu
bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat
sehingga kaisar sendiri yang mengeluarkan perintah
penangkapan atas dirimu.
Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal
tinjunya. Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana
Menteri Chin Kui!
Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong.
Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota
raja lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan
memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk
menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu.
Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan
dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana
terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi ilmunya?
Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Niocu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu
698

bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang


Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus mencari
Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah
seorang pengkhianat Siauw-lim-pai dengan menjadi
murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah
mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia juga membantu
pemberontakan
di
kerajaan
Kin.
Aku
harus
menangkapnya dan membawanya ke Siauw-lim-pai agar
dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai.
Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu,
Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan
dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk
menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?
Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia
maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan
apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan
tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku
dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu
bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?
Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting,
sekarang kita harus menghindari kota-kota besar. Tidak
mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa
engkau dinyatakan buron oleh pemerintah. Kita melewati
desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis
baju merah yang telah mencuri kitabmu. Nanti kita
mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja
tentang Chin Kui dan Cia Song. Kurasa untuk menentang
Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang
diri saja. Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan
pasukan.
Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia
699

kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu


silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga
berpandangan luas dan agaknya dapat membuat
perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun
agaknya
pengertiannya
tentang
seluk
beluk
pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.
Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang
membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku
sendiri menjadi bingung melihat pemerintah menganggap
aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap.
Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri
yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar
dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar
bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-mata
kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya
fitnah yang dilakukan seorang yang jahat, yaitu Cia Song
yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin
Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus yakin bahwa
akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka.
Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi
orang buruan pemerintah tanpa melakukan kesalahan
apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia
berhutang budi kepada gurunya dan dia selalu menaati
perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia
menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang berhak.
Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan
mengalami kegagalan karena sebuah kitab milik Kun lunpai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia
belum dapat menemukannya kembali untuk diserahkan
kepada Kun-lun-pai. Kemudian, perintah kedua agar dia
membela kerajaan dan menentang Perdana Menteri Chin
Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia dianggap
700

pengkhianat oleh kerajaan Sung dan menjadi orang


buruan yang dikejar-kejar dan hendak ditangkap
pemerintah.
Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri
sendiri. Dia merasa malu kepada gurunya yang demikian
baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu
terancam bahaya dan tertawan oleh pemberontak
kerajaan
Kin,
gurunya
itu
muncul
dan
menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang
berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua
kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu
sekali.
Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak
bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba.
Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanakkanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan
sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat).
Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu. Maukah
engkau mengajak aku ke sana?
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang
manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak
tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan
perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja Kerajaan
Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah
Telaga Barat.
***
Sepasang suami isteri yang menunggang kuda,
menjalankan
kudanya
perlahan-lahan
menyusuri
sepanjang tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas
701

itu.
Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit,
tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu
menghangatkan tubuh dan hati kedua orang suami isteri
yang menunggang kuda dengan santai itu. Mereka
menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah
merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun mereka
seringkali melakukan perjalanan seperti itu.
Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun,
akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya.
Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan
ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya biasa
saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan
tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada sikap tubuh
dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan
kegagahan. Sebatang pedang yang berada di
pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang
seorang yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi
komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam
barisan yang dipimpin mendiang Jenderal Gak Hui yang
amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong
yang sudah kita kenal dalam bagian awal kisah ini.
Adapun isterinya, yang menunggang kuda di
sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar
tigapuluh delapan tahun. Wajahnya cantik manis,
berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang
membuat ia tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat
di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini
membawa pedang di punggungnya.
Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut
702

berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui,


melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan. Suami
isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat
kemenangan dan jasa, akan tetapi tiba-tiba saja
mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari
kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini adalah
akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada
Kaisar yang menghentikan perang terhadap kerajaan
penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin
Kui berhasil membujuk Kaisar dan menjatuhkan fitnah
kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah
perkasa dan setia ini dihukum mati.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah
pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si,
pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang
bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya, Han
Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun
dan yang memang memesan kepada ayahnya agar
dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika
mereka berdua pulang ke Lin-an, mereka mendapatkan
bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang
dan puteri mereka itu lenyap diculik pembunuh itu!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk
mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua usaha
bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar
betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi hukuman mati.
Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak
mau kembali ke kota raja, tidak mau mengabdi kepada
Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya
dengan sia-sia, akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun
Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah,
mendirikan rumah sederhana dan menjadi petani.

703

Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalanjalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada
seorangpun penduduk daerah telaga itu yang
mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut
Han-sicu dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Hantoanio adalah suami isteri yang dulu pernah memimpm
Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk hanya
mengenal mereka sebagai seorang gagah yang
memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu
menjadi aman dan tidak ada lagi perampok yang suka
mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati
semua orang yang tinggal sekitar Telaga Barat.
Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong
Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga. Ketika
mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu
berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil) di tepi
telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua
ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan
mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan
ketakutan.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat
turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang
kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka.
Akan tetapi pada saat itu, seekor ular kobra melompat
dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah
menyambar, ular itu menggigit kaki kedua ekor kuda itu.
Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali
yang dipegang Han Si Tiong dan Liang Hong Yi putus.
Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa
tombak jauhnya mereka Iari, mereka lalu roboh terguling
dan tewas seketika!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat
704

kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka mencabut


pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan
tetapi tiba-tiba ular kobra itu melayang ke bawah pohon
besar.
Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak
kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap
seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu
ular kobra yang tadi menggigit mati dua ekor kuda
mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular
kobra kering! Suami isteri itu, dengan pedang masih di
tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh
perhatian.
Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh
tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang lebat
sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu
ditutupi sebuah topi yang biasa dipakai oleh suku bangsa
Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih
membayangkan ketegapan dan kekuatan. Wajah yang
berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan,
terutama karena sepasang matanya liar, bergerak gerak
ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung
kekuatan dan wibawa.
Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon
besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri,
bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan
seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah mati dan
kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah
tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.
Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah
mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan
menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati
705

keracunan? Mereka berdua adalah ahli-ahli silat yang


pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka
maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang ahli
sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir saja
ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup! Han
Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang
pandai, maka diapun mengangkat kedua tangan depan
dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.
Lo-cianpwe, kami suami isteri merasa heran dan
tidak mengerti mengapa lo-cianpwe membunuh dua ekor
kuda kami? Apakah kesalahan kami? tanya Han Si
Tiong, menahan kemarahannya.
Kakek itu terkekeh dan menudingkan tongkatnya ke
arah Han Si Tiong lalu memukul-mukulkan tongkat itu ke
atas tanah. He-he-he! Dia bertanya apa kesalahannya?
Kalian adalah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang
duabelas tahun lalu memimpin Pasukan Halilintar di
bawah mendiang Jenderal Gak Hui, bukan?
Karena kakek itu sudah mengetahui hal itu, Han Si
Tiong tidak menyangkal lagi. Benar, kalau begitu,
kenapa?
Wajah yang tadinya tertawa itu tiba tiba berubah
cemberut dan tambah menyeramkan. Sepasang mata itu
semakin lebar melotot dan sinarnya berapi-api.
Han Si Tiong! Engkau dan isterimu membuat
hidupku merana selama belasan tahun ini. Engkau
mempermalukan aku, membuat aku tampak rendah di
mata dunia kang-ouw dan terutama di dalam pandangan
Kaisar Kerajaan Kin sehingga aku tidak berani
menemuinya. Selama belasan tahun ini kerjaku hanya
706

merantau untuk mencari kalian berdua dan membalas


dendam! Hari ini aku dapat bertemu kalian dan memang
aku sengaja menghadangmu di tempat sepi ini. Sekarang
tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam. Kalian
harus mati di tanganku!
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi adalah suami isteri
gagah perkasa yang pernah maju perang, bahkan
menjadi pemimpin dari Pasukan Halilintar, pasukan yang
terkenal gagah berani sebagai bagian dari bala tentara
yang dulu dipimpin Jenderal Gak Hui. Mereka berdua
sering terancam maut dalam perang melawan pasukan
Kin. Tentu saja mendengar ancaman itu mereka sama
sekali tidak merasa gentar. Bagi bekas pejuang seperti
mereka, mati dalam pertempuran bukan hal aneh yang
perlu ditakuti. Akan tetapi mereka merasa penasaran
sekali karena mereka sama sekali tidak tahu mengapa
kakek ini mendendam kepada mereka, dan mengancam
akan membunuh mereka. Padahal, mereka sama sekali
tidak pernah mengenalnya!
Nanti dulu, lo-cianpwe. Sebetulnya siapakah locianpwe ini dan apa sebabnya maka lo-cianpwe
mendendam kepada kami suami isteri, padahal kami
sama sekali tidak kenal dengan lo-cianpwe? Apa artinya
ketika lo-cianpwe mengatakan bahwa kami membuat
hidup lo-cianpwe merana selama belasan tahun? Kami
sungguh tidak mengerti dan tidak pernah merasa
bermusuhan dengan lo-cianpwe, kata Han Si Tiong
dengan suara dan sikap masih menghormat.
Ha-ha-ha, baik! Kalian memang berhak mengetahui
agar jangan mati menjadi setan-setan penasaran. Aku
adalah Ouw Kan datuk dari Uigur yang lebih dikenal
dengan julukan Toat-beng Coa ong (Raja Ular Pencabut
707

Nyawa)! Aku adalah orang yang dekat dengan Kaisar


Kerajaan Kin dan dihormati olehnya. Belasan tahun yang
lalu, ketika kalian memimpin Pasukan Halilintar dalam
perang di perbatasan, dalam sebuah pertempuran kalian
telah membunuh Pangeran Cu Si, putera Kaisar
Kerajaan Kin. Nah, Kaisar Kin minta kepadaku untuk
mencari kalian yang sudah kembali ke selatan dan
membunuh kalian untuk membalas dendam atas
kematian Pangeran Cu Si yang kalian bunuh dalam
pertempuran.
Akan tetapi peristiwa itu terjadi dalam perang. Kami
tidak membunuh orang karena urusan pribadi. Dalam
perang, semua orang hanya melaksanakan tugasnya
sebagai perajurit dan pertempuran dalam perang berarti
membunuh atau dibunuh. Bagaimana kematian dalam
perang bisa mendatangkan dendam pribadi? bantah
Han Si Tiong.
Hemm, yang kalian bunuh itu bukan perajurit biasa,
melainkan pangeran, putera Kaisar Kin! Kaisar Kin lalu
memanggil aku dan minta kepadaku agar aku membunuh
kalian. Akan tetapi ketika aku tiba di rumah kalian, di Linan (Hang chouw) kota raja Kerajaan Sung, kalian tidak
berada di rumah dan belum kembali dari perbatasan.
Yang ada hanyalah puteri kalian, maka aku lalu menculik
puteri kalian itu.
Kakek jahat! Kiranya engkau yang menculik anak
kami dan membunuh Lu-ma! Hayo katakan, di mana
sekarang Bi Lan anakku! Liang Hong Yi berseru marah
sekali.
Aku menculiknya untuk menyerahkan anak itu
kepada Kaisar Kin agar dia puas dan boleh melakukan
708

apa saja terhadap anak dari suami isteri yang telah


membunuh puteranya. Akan tetapi di tengah perjalanan,
anak itu lolos dari tanganku. Hal ini membuat aku merasa
malu sekali kepada Kaisar Kin. Aku cepat kembali ke Linan, akan tetapi kalian sudah pergi. Peristiwa itu membuat
aku merasa malu untuk bertemu Kaisar Kin. Aku selama
bertahun-tahun ini merantau ke mana-mana, hanya untuk
dapat menemukan kalian dan membunuh kalian agar aku
ada muka untuk bertemu dengan Kaisar Kin yang sudah
mempercayaiku dan baru hari ini dapat menemukan
kalian. Karena itu, bersiaplah kalian umtuk mampus di
tanganku!
Nanti dulu, Toat-beng Coa-ong! kata Han Si Tiong.
Sebelum engkau menyerang kami, katakan dulu di
mana adanya anak kami itu sekarang!
Tentu saja datuk itu merasa malu untuk menceritakan
bahwa Jit Kong Lhama telah merampas anak itu dari
tangannya setelah dia kalah melawan pendeta Lhama
dari Tibet yang lihai itu.
Sudah kukatakan bahwa ia lolos dari tanganku dan
aku tidak tahu di mana ia berada. Sambutlah ini!
Hyaaaattt......!!
Toat-beng Coa-ong sudah menyerang dengan
tongkat ular kobra kering. Gerakannya cepat dan kuat
bukan main sehingga tongkat itu mengeluarkan suara
bersuitan ketika menyambar ke arah Han Si Tiong.
Pendekar ini melompat ke belakang dan mencabut
pedangnya. Liang Hong Yi juga sudah mencabut
pedangnya. Melihat suaminya diserang, ia lalu
menggerakkan pedangnya dan menyerang datuk Uigur
itu dari samping. Pedangnya berkelebat membacok ke
709

arah kepala Ouw Kan. Datuk ini menggerakkan tongkat


ularnya dari bawah untuk menangkis sambil
mengerahkan senjatanya.
Singg...... tranggg......!! Pedang itu terpental dan
Liang Hong Yi melompat ke belakang dengan kaget
sekali. Hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan
karena ketika pedangnya tertangkis tongkat ular, telapak
tangannya terasa panas dan pedih sekali. Tahulah ia
bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai.
Melihat isterinya melompat ke belakang dengan
wajah menunjukkan kekagetan, Han Si Tiong cepat
melompat ke depan dan menusukkan pedangnya ke
arah lambung Ouw Kan. Namun, datuk itu memutar
tubuh ke kanan menghadapi Han Si Tiong. Tongkat ular
kobra itu diputar cepat membentuk gulungan sinar hitam
yang menangkis pedang Han Si Tiong yang
menyerangnya.
Cringgg......! Kembali terdengar dentingan nyaring
ketika dua senjata bertemu dan Han Si Tiong juga
merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Diapun
maklum bahwa kakek itu sungguh lihai dan dalam adu
senjata tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah
kuat dalam hal tenaga sakti.
Maklum
bahwa
kepandaiannya
kalah
jauh
dibandingkan Ouw Kan, Liang Hong Yi terpaksa tidak
berani mendekat, hanya membantu saja suaminya
dengan sekali-kali menyerang lawan dari belakang atau
samping. Yang menghadapi Ouw Kan dari depan adalah
Han Si Tiong. Suami isteri itu maklum bahwa mereka
berdua tidak akan mampu mengalahkan lawan, akan
tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali
710

melawan dan membela diri mati-matian. Tidak mungkin


melarikan diri dari lawan yang amat tangguh itu.
Han Si Tiong mengeluarkan segala kemampuannya,
dibantu oleh Liang Hong Yi, namun setelah lewat
limapuluh jurus, perlahan-lahan suami isteri itu terdesak
hebat dan agaknya kematian mereka hanya menunggu
beberapa saat lagi saja. Mereka sudah kewalahan dan
hanya dapat melindungi diri dengan memutar pedang,
sama sekali tidak mampu menyerang lagi. Keadaan
mereka gawat sekali.
Melihat suaminya terdesak hebat, Liang Hong Yi
menjadi nekat dan ia menyerang dengan pedangnya,
menusuk ke arah lambung Ouw Kan sambil membentak
nyaring.
Haiiiittt......! Pedangnya meluncur seperti anak
panah terlepas dari busurnya. Ouw Kan miringkan
tubuhnya, tongkatnya menangkis dengan gerakan
memutar sehingga pedang itu terpental dan terlepas dari
tangan Liang Hong Yi. Tiba-tiba kaki kiri Ouw Kan
mencuat dan menendang ke arah perut wanita itu. Liang
Hong Yi miringkan tubuh mengelak, akan tetapi ujung
tongkat Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerempet
pahanya dan wanita itu terpelanting jatuh.
Ouw Kan maju menghantamkan tongkat ularnya.
Trang......!! Pedang di tangan Han Si Tiong
menangkis untuk menyelamatkan nyawa isterinya. Akan
tetapi pertemuan dua senjata itu membuat Han Si Tiong
terpaksa melepaskan pula pedangnya karena tangannya
terasa panas sekali.

711

Kembali tongkat itu berkelebat untuk membunuh


Liang Hong Yi yang masih duduk di atas tanah karena
pahanya yang terkena tongkat ular itu terasa panas dan
nyeri bukan main. Melihat berkelebatnya sinar hitam ke
arah dadanya, wanita itu tak dapat mengelak lagi dan
sudah siap menerima datangnya maut.
Singgg...... tranggg......! Toat-beng Coa ong Ouw
Kan terkejut bukan main.
Tangkisan pada tongkatnya itu membuat tongkatnya
terpental dan dia melompat jauh ke belakang. Ketika dia
memandang, di sana telah berdiri seorang pemuda yang
memegang sebatang pedang dan agaknya pemuda itu
yang tadi menangkis tongkatnya dengan pedang yang
dipegangnya. Di samping pemuda itu berdiri seorang
gadis yang cantik jelita, yang memandang kepadanya
dengan penuh perhatian. Juga gadis itu membawa
sebatang pedang di punggungnya.
Puteri Moguhai memang sengaja menyamar sebagai
seorang gadis Han dan karena pedang bengkok sebagai
tanda kekuasaan pemberian kaisar itu tidak akan ada
gunanya bagi orang-orang di Negeri Sung, maka ia tidak
membawanya dan sebagai gantinya ia membawa
sebatang
pedang
biasa
untuk
melengkapi
penyamarannya.
Melihat kakek itu, Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu segera mengenalnya. Walaupun sudah sepuluh tahun
lebih tidak pernah berjumpa, akan tetapi ia masih ingat.
Ketika itu ia baru berusia kurang lebih delapan tahun dan
ia sering melihat kakek itu datang berkunjung
menghadap ayahnya. Iapun masih ingat bahwa kakek
bangsa Hui itu adalah seorang datuk persilatan yang lihai
712

dan bernama Ouw Kan. Akan tetapi tentu saja ia tidak


mau memperkenalkan diri karena ia sedang menyamar
sebagai seorang gadis Han dan pula urusan datuk itu
sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Ketika tadi ia dan Thian Liong datang ke tempat itu dan
melihat seorang wanita terancam bahaya maut, Thian
Liong segera melompat dan menyelamatkannya dengan
menangkis tongkat ular maut itu.
Toat Beng Coa-ong Ouw Kan marah bukan main.
Dengan tongkat ular kobranya, dia menuding ke arah
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu lalu membentak
marah.
Hemm, bocah-bocah lancang! Berani betul kalian
hendak menentang aku, Toat-beng Coa-ong? Kakek itu
hendak menggertak dengan nama julukannya yang
terdengar menyeramkan dan sudah amat terkenal di
dunia kang-ouw itu.
Thian Liong menjawab dengan sikap tenang. Locianpwe, kami sama sehali tidak menentangmu.
Tidak menentang? Engkau sudah mencampuri
urusanku dan berani menangkis tongkatku dan kaubilang
tidak menentang?
Maaf, lo-cianpwe. Maksudku bukan menentang,
hanya karena melihat ada seorang wanita hendak
dibunuh dengan kejam, maka kami tidak mungkin
membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan
mencegahnya.
Heh! Berarti kalian berani mencampuri urusanku,
menghalangi tindakanku dan itu sama saja dengan
713

menentangku. Karena itu, kalian juga akan mampus


bersama mereka berdua, akan tetapi sebelum mati,
beritahukan dulu nama kalian agar jangan mati tanpa
meninggalkan nama! Ouw Kan membentak dengan
sikap galak!
Pek Hong Nio-cu tidak dapat menahan kesabarannya
lagi. Ia hanya tahu bahwa Ouw Kan suka menjadi tamu
ayahnya dan hubungan mereka tampak akrab, akan
tetapi ketika itu ia masih kecil dan tidak tahu orang
macam apa adanya Ouw Kan. Akan tetapi melihat
sikapnya sekarang, ia dapat menduga bahwa Ouw Kan
seorang yang berwatak kejam dan sombong. Maka ia
lalu maju dan berkata dengan nyaring.
Hei, tua bangka sombong! Kamu sudah tua hampir
mati tidak mencari jalan yang terang, malah kejam dan
sombongnya setengah mati. Apa kaukira nama Raja Ular
Pencabut Nyawa itu membikin kami merasa takut ?
Bukalah mata dan telingamu lebar-lebar dan dengarkan.
Aku bernama Sie Pek Hong dan dia ini bernama Souw
Thian Liong. Lebih baik kamu cepat pergi dari sini dan
jangan ganggu paman dan bibi ini kalau kamu tidak ingin
lebih cepat mampus!
Thian l.iong sendiri terkejut mendengar kata-kata Pek
Hong Nio-cu yang demikian pedas dan menusuk
perasaan. Dia mengenal gadis itu sebagai seorang yang
keras hati dan tak mengenal takut, akan tetapi sekali ini,
ucapannya sungguh membuat orang menjadi marah
sekali dan dia tahu bahwa kakek ini bukan lawan
sembarangan melainkan seorang yang sakti. Akan tetapi
karena ucapan itu sudah dikeluarkan, dia diam saja dan
hanya dapat menunggu dan melihat reaksi kakek itu.
Juga dia merasa heran mengapa tiba-tiba Pek Hong Nio714

cu atau Puteri Moguhai itu menggunakan nama Sie Pek


Hong.
Ouw Kan kini memandang kepada Pek Hong Nio-cu
dan bertanya dengan pandang mata penuh selidik.
Kamu bukan orang selatan. Kamu tentu dari kerajaan
Kin di utara! Siapa kamu sebenarnya?
Pek Hong Nio-cu tersenyum mengejek.
Tidak perduli aku datang dari mana, dari utara,
selatan, barat maupun timur, yang jelas aku benci
kepada orang kejam dan sombong macam kamu!
Ouw Kan yang sudah marah itu kini menjadi semakin
geram. Kemarahannya memuncak karena dia dihina oleh
gadis muda itu. Maka dia cepat mengerahkan kekuatan
sihirnya, menudingkan tongkat ular itu ke arah Pek Hong
Nio-cu dan terdengar suaranya membentak nyaring
penuh wibawa.
Pek Hong! Aku adalah Toat-beng Coa-ong Ouw
Kan, junjunganmu! Hayo cepat berlutut dan menyembah
kepadaku!
Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang amat
kuat dan Pek Hong Nio-cu tidak mampu bertahan lagi.
Semua perlawanan dalam batinnya seperti lumpuh dan
kedua kakinya seperti dipaksa untuk berlutut. Akan tetapi
sebelum ia berlutut di atas tanah, baru bergetar dan
bergoyang tubuhnya, terdengar suara Thian Liong
memasuki telinganya dan menembus ke dalam batinnya
bagaikan secercah sinar memasuki ruangan batinnya
yang mendadak gelap tadi.

715

Nio-cu, bangkit dan mundurlah!


Pek Hong Nio-cu sadar kembali dan ia cepat
melangkah
mundur
karena
menyadari
betapa
berbahayanya lawan yang selain tinggi ilmu silatnya, juga
memiliki ilmu sihir yang amat kuat itu. Thian Liong
melangkah maju menghadapi Ouw Kan dan mereka
berdua saling pandang. Biarpun mereka berdua hanya
berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan,
namun sesungguhnya terjadi adu kekuatan batin antara
kedua orang ini. Ouw Kan mencoba untuk
mempengaruhi pemuda itu melalui pandang matanya,
dan Thian Liong melawannya dengar kekuatan batinnya.
Akhirnya Ouw Kan merasa pemuda itu tidak dapat
dikuasainya dengan ilmu sihirnya, bahkan tadi pemuda
itu telah berhasil melumpuhkan serangan sihirnya yang
ditujukan kepada gadis itu. Karena itu, dia lalu
mengerahkan lagi kekuatan batinnya, lalu melemparkan
tongkatnya ke atas dan dia berseru kepada Thian Liong.
Sambut seranganku! Tongkat itu melayang ke atas,
lalu menukik dan seolah ular kobra itu hidup kembali,
meluncur ke arah Thian Liong. Tadi, dengan ilmu ini
tongkat itu telah membunuh dua ekor kuda sebelum
terbang kembali ke tangan Ouw Kan. Serangannya
yang masih menggunakan ilmu sihir ini memang
berbahaya sekali. Tadi Ouw Kan tidak mempergunakan
ilmu ini menghadapi Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
karena dia merasa yakin bahwa dua orang itu bukan
lawannya dan lebih memuaskan baginya kalau dia
membunuh mereka dengan tangannya sendiri, tidak
melalui sihir. Akan tetapi lawannya sekarang, pemuda itu
adalah lawan yang tangguh sekali, maka dia hendak
mencoba menyerangnya dengan keampuhan tongkat
716

ularnya didorong kekuatan sihirnya.


Thian Liong maklum bahwa serangan tongkat ular itu
bukan serangan yang wajar, melainkan mengandung
kekuatan sihir. Oleh karena itu dia maklum bahwa kalau
mempergunakan kekerasan dia akan terancam bahaya.
Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya,
dikumpulkan di kedua tangannya lalu dia mendorong ke
depan, menyambut luncuran tongkat ular itu sambil
berseru nyaring.
Hyaaaatt...... blarrr......!! Tongkat yang berubah
menjadi ular hidup itu diterjang gelombang hawa pukulan
dahsyat dan terpental ke atas, lalu terjatuh kembali ke
tangan Ouw Kan dalam bentuk semula, yaitu seekor ular
kobra kering yang menjadi tongkat!
Keparat busuk, mampuslah! Ouw Kan kini yang
sudah marah sekali melompat dan menerjang ke arah
Thian Liong dengan serangan tongkatnya.
Tranggg......! Kini pedang Pek Hong Nio-cu yang
menangkis tongkat itu dan Ouw Kan juga mendapat
kenyataan bahwa gadis muda itupun memiliki tenaga
yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya
sendiri! Begitu menangkis tongkat, pedang di tangan Pek
Hong Nio-cu sudah membalik ke bawah menusuk ke
arah perut lawan. Ouw Kan terkejut dan cepat memutar
tongkat ularnya ke bawah sehingga kembali pedang dan
tongkat
beradu
sehingga
mengeluarkan
suara
berdencing nyaring.
Ouw Kan kini menyerang dengan tongkatnya,
menyambar ke arah kepala gadis itu, dan tangan kirinya
juga memukul dengan dorongan ke arah Thian Liong.
717

Thian Liong menyambut pukulan jarak jauh itu


dengan dorongan tangannya sendiri, sedangkan Pek
Hong Nio-cu kembali menangkis dengan pedangnya.
Tranggg......! Tubuh Ouw Kan terhuyung oleh
dorongan tangan Thian Liong yang menyambut
serangannya tadi. Tentu saja dia kalah kuat, apalagi
karena pada saat itu, dia membagi tenaganya, yang
kanan memegang tongkat menyerang Pek Hong Nio-cu
sedangkan yang kiri menyerang Thian Liong dengan
pukulan jarak jauh.
Toat-beng Coa-ong Ouw Kan kini maklum benar
bahwa kalau dia nekat melawan dua orang muda remaja
ini, dia akan kalah, belum lagi diperhitungkan kalau Han
Si T'iong dan Liang Hong Yi membantu dan
mengeroyoknya. Maka, begitu terhuyung, dia sengaja
menjatuhkan diri dan bergulingan. Tangan kirinya
mencengkeram tanah dan pasir lalu dia menyambitkan
pasir itu ke arah dua orang lawannya. Thian Liong
berseru kepada Pek Hong Nio-cu.
Nio-cu, awas......! Gadis itupun cepat mengelak
ketika ada sinar lembut hitam menyambar. Thian Liong
menduga bahwa kakek yang julukannya Raja Ular itu
tentu ahli racun dan bukan mustahil kalau pasir yang
disambitkannya itu mengandung racun pula.
Ketika dua orang muda yang lihai itu mengelak
dengan meloncat ke samping, Ouw Kan lalu meloncat
berdiri dan lari secepatya meninggalkan tempat itu.
Pek Hong Nio-cu yang marah kepada kakek itu
hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar
suara wanita mengaduh dan Thian Liong tidak jadi
718

mengejar.
Nio-cu, tidak perlu dikejar, orang itu curang dan licik
sekali, berbahaya kalau engkau mengejar seorang diri.
Pek Hong Nio-cu tidak jadi mengejar dan ketika dara
ini menengok ia melihat Thian Liong sudah berjongkok di
dekat laki laki setengah tua yang merangkul wanita yang
mengaduh-aduh itu. Ternyata sedikit luka di paha Liang
Hong Yi itu kini membuat pahanya menghitam dan
membengkak dan terasa nyeri dan panas bukan main.
Melihat ini, Thian Liong segera berkata kepada lakilaki itu. Paman, biarkan aku mencoba untuk
mengobatinya. Luka ini mengandung racun ular yang
berbahaya!
Han Si Tiong mengangguk dan Thian Liong sudah
mencabut lagi Thian-liong-kiam lalu berkata kepada Han
Si Tiong.
Harap paman robek saja celana itu di bagian yang
terluka.
Dalam keadaan seperti itu, Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi tidak memperdulikan tentang kesopanan lagi.
Keadaan yang membahayakan nyawa Liang Hong Yi itu
merupakan keadaan darurat, maka Han Si Tiong lalu
merobek celana di bagian paha yang terluka. Lukanya
sebetulnya tidak besar, bahkan hanya tergores dan
pecah kulitnya sehingga berdarah. Akan tetapi racun
pada tongkat ular kobra itu membuat kulit pahanya
berubah menghitam dan membengkak.
Souw Thian Liong lalu mempergunakan pedang
719

Thian-liong-kiam seperti yang diajarkan gurunya. Dia


menggores luka kecil itu sehingga melebar dan
mengeluarkan darah menghitam. Lalu pedang itu
ditempelkan pada luka yang berdarah.
Pedang itu memang merupakan benda pusaka yang
mengandung daya sedot terhadap racun. Perlahanlahan, pedang yang putih bersih itu mulai berubah hitam
dan paha itupun perlahan-lahan berubah putih mulus
seperti semula. Ini berarti bahwa hawa beracun itu telah
dihisap oleh Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) yang
kini berubah hitam. Setelah paha yang terluka itu tidak
ada tanda hitam lagi, Thian Liong menghentikan
pengobatannya. Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa
girang sekali.
Ini aku mempunyai obat luka yang manjur sekali.
Pakailah ini, bibi, kata Pek Hong Nio-cu sambil
membuka sebuah bungkusan obat bubuk putih. Ketika
bubuk putih itu ditaburkan di atas kulit paha yang robek
oleh ujung Thian-liong-kiam tadi, Liang Hong Yi merasa
betapa luka itu kini sejuk dan rasa nyerinya lenyap sama
sekali. Setelah pengobatan selesai, Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi mengucapkan terima kasih kepada Souw
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
Kalau kalian berdua orang-orang muda yang
berkepandaian tinggi tidak muncul, tentu sekarang kami
berdua sudah menjadi mayat, terbunuh oleh Toat-beng
Coa-ong Ouw Kan itu. Kami berterima kasih sekali
kepada kalian yang sudah menyelamatkan nyawa kami.
kata Han Si Tiong. Perkenalkan, Souw-sicu dan Peksiocia, aku bernama Han Si Tiong dan ini adalah isteriku
bernama Liang Hong Yi. Kami tinggal di dusun Kian
cung, tak jauh dari telaga ini. Mari, kami mengundang
720

kalian berdua untuk singgah di rumah kami. Di sana kita


dapat bicara dengan leluasa.
Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu
dan pemuda itu melihat kawannya mengangguk.
Baiklah, paman Han. Kamipun ingin sekali
mengetahui akan peristiwa tadi, kata Thian Liong dan
dia bersama Pek Hong Nio-cu lalu mengikuti kedua
orang suami isteri itu.
Pondok tempat tinggal suami isteri itu berada di
tengah dusun Kian-cung dan merupakan pondok yang
cukup mungil, dengan taman bunga di sebelah kiri rumah
yang terpelihara baik. Han Si Tiong memberi tahu
seorang pembantunya, laki-laki berusia sekitar limapuluh
tahun, agar mengajak beberapa orang tetangga untuk
mengubur dua ekor kuda mereka yang mati di dekat
telaga. Kemudian dia dan isterinya mempersilakan dua
orang tamu muda itu memasuki ruangan dalam dan
mereka duduk mengelilingi meja bundar dari marmer.
Liang Hong Yi lalu menghidangkan arak, akan tetapi
karena Thian Liong tidak biasa minum arak, nyonya
rumah itu atas permintaan Thian Liong lalu
menghidangkan air teh.
Nah, paman dan bibi, sekarang ceritakanlah tentang
penyerangan yang dilakukan Toat-beng Coa-ong Ouw
Kan tadi. Mengapa dia hendak membunuh paman dan
bibi? Kami ingin sekali mengetahui sebabnya, kata Pek
Hong Nio-cu setelah minum secawan arak.
Han Si Tiong menghela napas panjang sebelum
menjawab. Kami sendiri tadinya juga merasa heran.
Ketika kami berdua menunggang kuda, berjalan-jalan di
721

sekeliling telaga, tiba-tiba dua ekor kuda kami diserang


ular dan roboh mati.
Ular itu kembali ke tangan kakek itu dan berubah
menjadi tongkat. Kami baru tahu setelah dia
memperkenalkan dirinya dan menceritakan mengapa dia
hendak membunuh kami. Sebelumnya kami sama sekali
tidak pernah mengenalnya dan belum pernah berjumpa
dengannya.
Toat-beng Coa-ong itu adalah seorang datuk suku
bangsa Hui yang tinggal jauh di utara, bagaimana dia
dapat mendendam kepada paman dan bibi? tanya Pek
Hong Nio-cu.
Peristiwa itu sebenarnya terjadi kurang lebih sebelas
tahun lebih yang lalu, Ketika itu kami berdua ikut
berjuang memimpin Pasukan Halilintar di bawah
mendiang Jenderal Gak Hui. Pasukan kami bertempur
melawan pasukan Kin di perbatasan dan dalam sebuah
pertempuran, kami berhasil menewaskan seorang
pangeran Kin yang bernama Pangeran Cu Si.
Hemm, begitukah? kata Pek Hong Nio-cu. Ia masih
ingat. Ketika itu ia berusia kurang lebih delapan tahun.
Pada suatu hari, pasukan membawa pulang jenazah
Pangeran Cu Si, kakak tirinya yang tewas dalam perang
melawan pasukan Sung. Seluruh keluarga istana
berkabung.
Thian Liong merasa tidak enak mendengar cerita itu
karena dia dapat menduga bahwa Pangeran Cu Si itu
pasti masih ada hubungan keluarga dengan Pek Hong
Nio-cu!

722

Akan tetapi karena perasaan kedua orang muda itu


tidak mengubah sikap dan air muka mereka, Han Si
Tiong melanjutkan ceritanya.
Kami sama sekati tidak mengira bahwa kematian
pangeran itu dalam perang telah membuat Raja Kin
mendendam kepada kami. Dia menyuruh Ouw Kan tadi
untuk mencari kami di Lin-an dan membunuh kami. Akan
tetapi ketika dia mendatangi rumah kami, kami masih
belum kembali dari perbatasan. Dia lalu menculik anak
tunggal kami yang bernama Han Bi Lan, ketika itu ia
berusia tujuh tahun, dan membunuh pengasuhnya.
Ketika kami pulang, kami terkejut dan sejak itu kami lalu
meninggalkan Lin-an, meninggalkan pekerjaan kami
sebagai perwira dan kami pergi merantau untuk mencari
anak kami yang diculik. Akan tetapi semua usaha kami
sia-sia dan akhirnya kami menetap di sini untuk hidup
dengan tenang di tempat sunyi ini.
Kembali Han Si Tiong menghentikan ceritanya,
karena terkenang kepada puterinya, dia merasa berduka.
Melihat suaminya menundukkan muka dengan sedih,
Liang Hong Yi lalu melanjutkan cerita suaminya itu.
Tadi ketika kami berjalan-jalan, kuda kami dibunuh
Ouw Kan dan dia memperkenalkan dirinya. Dia bercerita
bahwa setelah menculik anak kami itu, di dalam
perjalanan anak kami itu lolos dari tangannya. Dia tidak
mau menceritakan bagaimana lolosnya dan di mana
anak kami sekarang. Dia hanya bilang bahwa karena
gagal membunuh kami dan gagal pula membawa anak
kami, dia merasa malu kepada Raja Kin dan selama
sebelas tahun ini dia mencari-cari kami tanpa hasil.
Akhirnya dia menemukan juga tempat ini dan sengaja
datang untuk membunuh kami. Begitulah ceritanya.
723

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mendengarkan


penuh perhatian. Setelah suami isteri itu selesai
bercerita, Thian Liong diam saja karena dia masih
merasa tidak enak terhadap Pek Hong Nio cu. Gadis
itupun sejenak diam saja, lalu berkata, suaranya wajar
dan lantang.
Gugurnya seseorang dalam perang tidak semestinya
mendatangkan dendam pribadi! Paman dan bibi hanya
menjalankan tugas sebagai perwira dalam perang dan
kematian Pangeran Cu Si itu adalah hal yang wajar dan
dapat terjadi kepada siapa saja yang maju perang. Tidak
perlu disesalkan, apalagi dijadikan dendam pribadi.
Dalam hal ini, Raja Kin tidak benar kalau merasa sakit
hati dan hendak membalas dendam. Apalagi Ouw Kan
itu, dia yang telah menculik puteri paman dan bibi malah
kini hendak membunuh, sungguh jahat dan kejam dia!
Thian Liong merasa lega dan senang sekali hatinya
mendengar ucapan Pek Hong Nio-cu. Sungguh seorang
gadis yang berwatak adil dan membela kebenaran dan
keadilan! Setelah mendengar pendapat gadis itu, baru
dia berani bicara.
Paman Han Si Tiong berdua, karena sekarang Toatbeng Coa-ong Ouw Kan sudah mengetahui bahwa
paman tinggal di sini, maka keselamatan paman berdua
tentu terancam. Bagaimana kalau dia sewaktu-waktu
datang lagi dan menyerang paman berdua? Lebih baik
paman berdua meninggalkan tempat ini dan pindah ke
tempat lain.
Han Si Tiong menghela napas panjang. Berpindahpindah dan selalu bersembunyi ketakutan? Tidak, Souwsicu. Kami bukan pengecut yang melarikan diri ketakutan
724

dikejar-kejar orang jahat. Kalau dia datang lagi dan


menyerang, akan kami hadapi dan lawan mati-matian!
Kami sudah menderita sebelas tahun lebih karena
kehilangan anak tunggal kami. Kami tidak takut mati!
Benar sekali ucapan suamiku. Bi Lan anak kami
sudah hilang belasan tahun lamanya, entah masih hidup
ataukah sudah mati. Kematian bukan hal menakutkan
bagi kami. Akupun tidak mau menjadi pelarian,
bersembunyi ketakutan dikejar-kejar iblis itu, kata Liang
Hong Yi dengan sikap gagah.
Pek Hong Nio-cu merasa kagum bukan main.
Jelaslah bahwa suami isteri ini benar-benar orang gagah
perkasa, pendekar sejati. Ia lalu pinjam alat tulis dan kain
putih kepada Liang Hong Yi, kemudian ia membuat
tulisan corat-coret di atas kain putih dan melipat kain itu,
menyerahkannya kepada Liang Hong Yi.
Bibi dan paman memang orang-orang gagah
perkasa, membuat aku merasa kagum sekali. Kain
bertulis ini harap diperlihatkan kepada Toat-beng Coaong kalau dia berani mengganggu lagi. Mudah mudahan
melihat kain putih ini, dia takkan berani mengganggu lagi
kepada paman berdua.
Suami isteri itu tentu saja merasa heran dan tidak
mengerti, akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau
menolak pemberian penolong mereka. Mereka berdua
hanya memandang saja kepada Pek Hong Nio-cu
dengan sinar mata penuh pertanyaan yang tidak berani
mereka keluarkan dengan ucapan. Melihat ini, Thian
Liong berkata kepada mereka.
Paman Han Si Tiong berdua, harap paman terima
725

saja dan simpan pemberian Pek Hong itu. Percayalah


kain putih bersurat itu kelak akan berguna sekali dan
besar kemungkinannya akan menyelamatkan paman
berdua dari ancaman Toat-beng Coa-ong.
Mendengar ucapan pemuda yang amat lihai itu, Han
Si Tiong dan Liang Hong Yi tidak ragu lagi.
Nona Pek Hong, banyak terima kasih atas segala
kebaikanmu.
Pek Hong Nio-cu tersenyum manis. Tidak perlu
berterima kasih, bibi. Sudah sewajarnya, bukan, kalau
kita saling tolong menolong?
Liang Hong Yi mengamati wajah gadis itu dan
menghela napas panjang lalu berkata, Aahhh...... kalau
saja kami dapat menemukan Bi Lan anak kami, tentu
sudah sebesar engkau inilah
Bibi, kami akan membantu mendengar-dengar
dalam perjalanan kami, siapa tahu kami akan bertemu
dengan puteri bibi dan akan kami beritahukan kepadanya
bahwa bibi dan paman tinggal di dusun Kian-cung ini,
kata Thian Liong yang merasa iba kepada wanita itu.
Han Si Tiong adalah seorang yang berwatak jujur dan
kejujurannya ini menyebabkan dia terkadang bersikap
begitu terbuka sehingga dapat mendatangkan kesan
kasar. Sejak kemunculan dua orang muda penolongnya
itu, dia merasa heran sekali terhadap gadis itu. Biarpun
wajahnya memang wajah gadis Han yang amat cantik,
akan tetapi nada bicaranya asing, jelas menunjukkan
bahwa gadis itu datang dari utara. Selain sikapnya juga
begitu pemberani dan berwibawa, juga apa yang
726

diberikannya tadi, sehelai kain bersurat yang katanya


dapat mencegah Ouw Kan mengganggu mereka, benarbenar mendatangkan kecurigaan kepadanya. Bukan
merupakan prasangka buruk karena sudah jelas gadis itu
menolongnya, akan tetapi kejanggalan itulah yang
membuat dia penasaran.
Terima kasih atas kebaikan sicu (tuan muda gagah)
Souw Thian Liong dan siocia (nona) Sie Pek Hong.
Setelah kami menceritakan semua riwayat kami, maka
kami harap kalian, terutama Nona Sie Pek Hong, suka
menceritakan siapa sebetulnya nona ini. Nona Sie,
siapakah sebenarnya nona?
Pek Hong Nio-cu tersenyum. Aku adalah Sie Pek
Hong, lalu engkau kira aku ini siapa, Paman Han Si
Tiong? Gadis ini memang suka bergurau dan menggoda
orang.
Han-koko, kenapa engkau mendesak Nona Sie?
Apakah engkau mencurigainya? Itu tidak pantas sekali!
Liang Hong Yi mencela suaminya.
Aku tidak berprasangka buruk, bantah Han Si
Tiong, lalu dia memandang wajah Pek Hong Nio-cu. Aku
curiga melihat penampilanmu, bicaramu, dan lebih-lebih
setelah engkau memberi kain bersurat itu kepada kami
untuk diperlihatkan kepada Toat-beng Coa-ong.
Hemm, lalu menurut paman, siapakah aku ini?
Katakan saja, paman, aku juga suka kejujuran dan
keterbukaan dan aku tidak akan marah.
Logat bicaramu jelas menunjukkan bahwa engkau
datang dari utara, nona. Penampilanmu, gerak gerik dan
727

cara bicaramu menunjukkan bahwa nona adalah seorang


bangsawan. Dan Ouw Kan menurut pengakuannya
adalah seorang kepercayaan Kaisar Kin yang tentu saja
memiliki kekuasaan besar di kerajaan Kin. Kini, nona
meninggalkan tulisan yang akan dapat mencegah Ouw
Kan mengganggu kami. Itu berarti bahwa dari tulisan itu
Ouw Kan akan mengenal nona dan kalau dia menaati
surat nona, berarti nona memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi daripada dia. Semua kenyataan ini membuat aku
mengambil kesimpulan bahwa nona tentu seorang puteri
bangsawan tinggi sekali, bahkan aku tidak akan heran
kalau nona ini seorang puteri kaisar......
Liang Hong Yi terkejut dan berseru, Ia puteri Kaisar
Kin? Kalau begitu...... ia...... ia saudara dari Pangeran Cu
Si? Kalau begitu celaka......
Pek Hong Nio-cu tertawa. Hi-hik, jangan khawatir,
bibi. Aku tahu siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
Thian Liong, Paman Han Si Tiong ini hebat sekali. Kupikir
tidak perlu merahasiakan diriku di depan mereka. Paman
Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi, biarlah aku
mengaku terus terang sebagai pernyataan kagumku
terhadap kecerdikan Paman Han Si Tiong. Semua
dugaan paman tadi memang benar. Aku adalah Puteri
Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin di utara, akan tetapi
di luar istana aku terkenal dengan sebutan Pek Hong
Nio-cu.
Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami bersikap
kurang hormat terhadap Tuan Puteri...... Liang Hong Yi
berseru sambil memberi hormat dengan membungkuk
dalam sekali. Han Si Tiong juga memberi hormat, lalu
berkata ragu.

728

Kalau begitu, paduka adalah saudara dari mendiang


Pangeran Cu Si!
Akan tetapi aku tidak berpikir sepicik orang lain. Biar
ayahku sendiri, aku menganggap beliau itu keliru.
Pangeran Cu Si memang kakakku, berlainan ibu. Aku
menganggap dia gugur dalam perang membela negara.
Dia tewas sebagai seorang patriot. Aku tidak perduli
siapa yang membuatnya tewas dalam perang. Tidak ada
alasan untuk mempunyai dendam pribadi. Adapun
tentang Ouw Kan, aku memang sudah tahu bahwa dia
orang yang licik dan kejam. Karena itu, dalam urusannya
dengan paman dan bibi, tentu saja aku berpihak kepada
paman berdua. Nah, aku sudah bicara secara jujur.
Harap paman dan bibi sekarang menganggap aku
sebagai Sie Pek Hong sahabat Souw Thian Liong dan
tidak menyebut nyebut lagi tentang Puteri Kerajaan Kin.
Han Si Tiong mengangguk-angguk. Baiklah, nona
Sie, kami akan memenuhi permintaanmu. Dia lalu
menoleh kepada Thian Liong. Akan tetapi, Souw-sicu,
bagaimana engkau mengajak...... nona Sie ini ke daerah
ini? Hal itu tentu saja berbahaya sekali baginya.
Hemm, bahaya tidak mengancamnya, paman.
Bahkan sebaliknya, aku yang terancam bahaya di manamana. Aku sekarang menjadi orang buruan pemerintah
kita.
Eh, kenapa begitu sicu? tanya Liang Hong Yi heran.
Semua ini tentu akal muslihat si jahanam Chin Kui,
perdana menteri busuk itu! kata Pek Hong Nio-cu
gemas.

729

Wah, agaknya kalian dimusuhi oleh Chin Kui? Kalau


begitu kita berada di pihak yang sama. Kami juga tidak
suka kepada perdana menteri jahat yang telah
menyebabkan kematian Jenderal Gak Hui. Kami juga
menentang Chin Kui. Akan tetapi bagaimana engkau
juga bermusuhan dengan dia, nona?
Panjang ceritanya, paman, kata Thian Liong.
Kemudian dia menceritakan tentang pemberontakan
Pangeran Hiu Kit Bong di Kerajaan Kin. Dia sedang
berada di sana dan terlibat dalam pembelaan Kerajaan
Kin dari usaha pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong.
Pangeran pemberontak itu bersekutu dengan Perdana
Menteri Chin Kui yang diwakili oleh Cia Song. Akhirnya
pemberontakan itu dapat dihancurkan.
Akan tetapi Cia Song dapat melarikan diri dan dia
tentu melaporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui
bahwa saya telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dan
menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Melihat betapa para
pejabat dan perajurit berusaha menangkap saya, maka
mudah diduga bahwa Perdana Menteri Chin Kui tentu
berhasil membujuk Kaisar untuk mengeluarkan perintah
agar saya dijadikan orang buruan dan ditangkap, mati
atau hidup. Padahal, saya membantu Kerajaan Kin
hanya dalam menghadapi pemberontak yang bersekutu
dengan Chin Kui. Demikianlah ceritanya. Kaisar Kerajaan
Kin menganggap saya berjasa, maka ketika saya
meninggalkan utara untuk menentang Chin Kui, dan
Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu menyatakan
hendak membantu saya, Raja Kin menyetujui. Nah, itulah
sebabnya puteri...... eh, Pek Hong Nio-cu ini sekarang
berada di sini. Kami tidak jadi memasuki kota raja setelah
beberapa kali kami diserang pasukan kerajaan yang
730

hendak menangkap kami.

JILID 20
Aih..! Penasaran sekali! Ini semua tentu gara-gara
fitnah yang disebarkan si jahanam Chin Kui, pengkhianat
itu! Jangan khawatir, Souw-sicu. Aku akan membantumu.
Aku mempunyai banyak kawan seperjuangan di kota raja
dan kami semua menentang Chin Kui. Akan kami
beberkan semua rahasia jahatnya, bersekongkol dengan
pemberontak
di
Kerajaan
Kin
dan sekiranya
pemberontakan itu berhasil, tentu dia akan mempunyai
rencana jahat lainnya.
Terima kasih, paman. Akan tetapi kami harap paman
tidak merepotkan diri karena berarti paman juga terjun ke
dalam bahaya, kata Thian Liong.
Kita sama lihat saja nanti. Yang jelas, kita bersatu
hati menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh Chin
Kui yang amat jahat! kata pula Han Si Tiong.
Setelah menginap satu malam di rumah bekas
pemimpin pasukan Halilintar itu, pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
meninggalkan dusun Kian-cung. Setelah matahari naik
tinggi, mereka sudah jauh meninggalkan Telaga Barat
dan mereka berhenti di bawah pohon tepi jalan yang sepi
itu. Mereka melepaskan lelah, juga memberi kesempatan
kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan
makan rumput. Ketika berada di rumah Han Si Tiong,
pendekar yang memelihara belasan ekor kuda itu
memberi mereka dua ekor kuda yang baik sekali sebagai
731

pengganti dua ekor kuda mereka yang sudah kelelahan


karena melakukan perjalanan jauh.
Thian Liong, sekarang kita akan ke mana? tanya
Pek Hong Nio-cu sambil menatap wajah Thian Liong
yang agak suram.
Aku sedang memikirkan hal itu baik-baik, Nio-cu.
Tugasku sekarang adalah mencari gadis pencuri kitab
milik Kun-lun-pai dan membantu Kerajaan Sung agar
terlepas dari cengkeraman si jahat Chin Kui. Kiranya
akan sukar sekali mencari gadis pakaian merah itu
karena kita tidak tahu di mana tempat tinggalnya dan ke
mana ia pergi. Maka, tinggal tugas kedua yang paling
penting itu, ialah menentang Chin Kui. Untuk itu, aku
harus pergi ke kota raja!
Akan tetapi engkau menjadi buruan pemerintah,
Thian Liong dan kalau engkau ke kota raja, bukankah
hal itu sama saja dengan mencari penyakit?
Ucapanmu itu memang benar, Nio-cu......
Thian Liong, jangan sebut aku Nio-cu di sini. Orang
akan menjadi curiga. Sebut saja Pek Hong. Namaku Sie
Pek Hong, kau ingat?
Thian Liong tersenyum. Hemm, aku
bagaimana engkau tiba-tiba memakai she Sie!

heran

Ketika memperkenalkan diri kepada Paman Han,


aku teringat bahwa aku harus mempunyai she (marga),
aku lalu ingat Paman Sie yang amat baik dan yang
kuanggap sebagai guruku, maka aku lalu menggunakan
nama marganya. Dan aku menggunakan nama julukanku
732

sebagai nama, menjadi Sie Pek Hong. Bagus, bukan?


Hemm, bagus sekali nama itu, Nio-cu......
Heitt! Lupa, lagi!
O ya, biar kusebut kau Hong-moi (adik Hong) saja,
bagaimana?
Ah, aku senang sekali. Dan aku menyebut engkau
Liong-ko, bukankah kita menjadi seperti kakak dan adik?
Kakak dan adik seperguruan? Ah, aku masih heran
dan bingung memikirkan, Nio...... eh, Hong-moi. Ketika
suhu muncul menolong kita, engkau menyebutnya
Paman Sie. Siapakah yang salah lihat? Engkau atau
aku? Menurut penglihatanku, itu suhu. Jelas sekali. Aku
tidak mungkin salah lihat!
Dan akupun tidak mungkin salah lihat, Liong-ko.
Dia itu jelas Paman Sie yang pernah kulihat di taman
istana ketika bertemu dengan ibuku. Dia jelas Paman
Sie yang memberi tiga buah kitab dan hiasan rambut ini
kepadaku! gadis itu berkata kukuh.
Hemm, apakah mungkin Paman Sie itu adalah
guruku, Tiong Lee Cin-jin yang dijuluki Yok-sian (Tabib
Dewa)? Akan tetapi kalau memang keduanya itu satu
orang, kenapa ilmu silatmu berbeda dengan ilmu
silatku?
Liong-ko, engkau sendiri bercerita padaku bahwa
gurumu itu menyuruh engkau membagi-bagikan kitab
pelajaran ilmu silat kepada partai-partai persilatan......
Bukan membagi-bagi, Hong-moi, melainkan kitab733

kitab itu yang memang menjadi hak milik partai-partai itu


yang kehilangan kitab mereka puluhan tahun yang lalu.
Itu berarti bahwa gurumu memiliki banyak kitab
pelajaran ilmu silat, maka apa anehnya kalau dia juga
memberi aku tiga kitab pelajaran ilmu silat yang lain
daripada yang diajarkan padamu? Aku hampir yakin
bahwa Paman Sie itu juga Tiong Lee Cin-jin gurumu itu!
Kemungkinan itu ada saja, Hong-moi, atau ada dua
orang yang mirip satu sama lain. Sekarang kita bicara
tentang perjalanan kita, Hong-moi. Seperti kukatakan
tadi, aku harus pergi ke kota raja. Kalau tidak, bagaimana
aku dapat membantu kerajaan agar terbebas dari
pengaruh kekuasaan Chin Kui?
Akan tetapi engkau sedang dikejar-kejar, Liong-ko!
Tentu sebelum engkau dapat memasuki kota raja,
engkau sudah dikepung dan ditangkap pasukan
pemerintah!
Aku dapat menyamar, Hong-moi. Dengan
memasang jenggot dan kumis palsu, aku dapat
memasuki kota raja. Bagaimanapun juga, hanya namaku
yang menjadi buruan pemerintah. Wajahku tidak ada
yang mengenal, kecuali tentu saja Cia Song. Mungkin
para perwira pasukan hanya mendengar gambaran
tentang diriku, maka kalau aku mengubah sedikit
wajahku, tentu tidak ada yang mengenalku.
Hei, kebetulan sekali, Liong-ko. Aku dulu pernah
mempelajari merias wajah para pemain panggung. Aku
dapat memasang jenggot dan kumis palsu pada
wajahmu dan ditanggung tidak dapat dilepas kecuali
memakai obatku karena rambut-rambut itu menempel
734

kuat di wajahmu! Akan tetapi kalau kita sudah dapat


memasuki kota raja, lalu apa yang akan kaulakukan?
Hal itu bagaimana nanti saja kalau kita sudah
berhasil memasuki kota raja, Hong-moi.
Mereka lalu memasuki hutan di depan dan di tempat
tersembunyi itu Pek Hong merias wajah Thian Liong
dengan kumis dan jenggot palsu yang diambil dari rambut pemuda itu sendiri.
Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan
dan kini Thian Liong telah berubah menjadi seorang yang
berkumis dan berjenggot, membuat dia tampak lebih tua
daripada biasanya. Mereka menunggang kuda menuju
ke arah kota raja Lin-an.
Engkau harus mengganti namamu, Liong-ko.
Benar sekali, Hong-moi. Mulai sekarang aku
bernama San Lam dengan nama marga Mou.
Pek Hong tersenyum. Mou San Lam berarti Putera
Gunung Mou? Kenapa memakai nama begitu, Liong-ko?
Eh, jangan sebut Liong-ko lagi. Sebut Lam-ko agar
tidak terbuka rahasiaku. Ketahuilah, di waktu kecil aku
tinggal di lereng Mao-mao-san (Gunung Mao-mao),
jadi tepat kalau aku memakai nama Putera Gunung Mou,
bukan?
Pek- Hong tertawa. Heh-heh, engkau pandai
mencari nama yang tepat, Liong eh, Lam-ko. Mari
kita cepat melanjutkan perjalanan.
Mereka lalu membalapkan kuda mereka dan benar
735

saja, setelah Thian Liong mengubah mukanya dan


menggunakan nama Mou San Lam, tidak ada yang
men-curigainya sampai akhirnya mereka tiba juga di Linan, kota raja Kerajaan Sung.
***
Dua hari setelah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
pergi meninggalkan rumah mereka, Han Si Tiong dan
isterinya, Liang Hong Yi, segera berkemas, membawa
bekal pakaian dan uang, lalu keduanya menunggang
kuda berangkat menuju ke Lin-an. Telah hampir
duabelas tahun mereka meninggalkan kota raja, maka
perjalanan menuju ke Lin-an merupakan perjalanan yang
membangkitkan kenangan masa lalu. Mereka masih,
mengenal jalan raya menuju kota raja dengan baik dan
diam-diam merasa sedih melihat betapa dusun-dusun
bukan saja tidak ada kemajuan.
Rumah-rumah rakyat sama sekali tidak tampak
mendapat perbaikan, bahkan di mana-mana mereka
mendengar rakyat berkeluh kesah, wajah-wajah para
petani yang muram dan hampir setiap orang yang
mereka tanyai mengeluh tentang beratnya pajak yang
harus mereka bayar. Hampir setiap kepala dusun
menekan dan memeras penduduknya dan kalau Han Si
Tiong dan isterinya menyelidiki kepala dusun itu,
mereka mendapat kenyataan bahwa kepala dusun itupun
ditekan dan diperas oleh atasannya dengan ancaman
dicopot kedudukannya kalau mereka itu tidak dapat
menyetorkan hasil yang sudah ditentukan banyaknya.
Han Si Tiong maklum bahwa semua ini akibat
pemerasan yang dilakukan Perdana Menteri Chin Kui
dan para pembesar yang menjadi kaki tangannya. Dia
736

merasa sedih sekali karena agaknya Kaisar sudah tidak


mempunyai wibawa lagi, sehingga semua rakyat
membenci Kaisar yang dianggap menindas rakyat
dengan peraturan-peraturan yang menekan itu. Padahal,
Han Si Tiong dan isterinya tahu betul bahwa semua
peraturan yang menindas rakyat ini adalah buatan
Perdana Menteri Chin Kui dan kaki tangannya. Pajak
yang ditentukan oleh Kaisar, yang cukup adil bagi rakyat
yang berpenghasilan besar, ditambah sedemiklan rupa
oleh Chin Kui, bahkan mereka yang berpenghasilan
kurang sekalipun tetap saja dikenakan pajak, dan semua
kelebihan yang ditambahkan itu tentu saja masuk
kantong Chin Kui dan para pembesar yang menjadi kaki
tangannya.
Setelah memasuki kota raja, Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi bermalam di sebuah rumah penginapan. Mereka
tidak mencari bekas rumah mereka karena mereka tahu
bahwa bekas rumah pemberian pemerintah itu kini tentu
ditinggali perwira lain. Juga mereka belum berkunjung
kepada sahabat baik mereka, Kwee-ciangkun
(Panglima Kwee) yang menjadi komandan penjaga
keamanan kota raja. Mereka hendak melihat keadaan
dulu, baru akan berkunjung ke rumah sahabat baik
mereka itu.
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merasa aman.
Sebetulnya mereka berdua sama sekali tidak mempunyai
musuh, kecuali tentu saja Chin Kui. Mereka
mendengar bahwa perdana menteri itu amat membenci
mendiang Jenderal Gak Hui dan kabarnya malah selalu
berusaha untuk membasmi semua pengikut setia
jenderal besar itu. Han Si Tiong merasa sudah berjasa
terhadap Kerajaan Sung, maka tidak semestinya kalau
dia dan isterinya takut berada di kota raja. Apa lagi
737

mereka sudah hampir duabelas tahun meninggalkan kota


raja.
Dahulu ketika mereka masih memimpin Pasukan
Halilintar, maka mereka terkenal dan hampir semua
perajurit kerajaan mengenal mereka. Akan tetapi
sekarang siapa yang mengenal mereka? Wajah mereka
telah menjadi lebih tua. Kalau dulu, duabelas tahun yang
lalu wajah Han Si Tiong bersih tanpa kumis atau
jenggot, sekarang dia berkumis dan berjenggot. Juga
Liang Hong Yi lebih tua dan sekarang wanita itu agak
kurus
karena
selama
bertahun-tahun
prihatin
memikirkan puterinya yang hilang.
Selama dua hari Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
mencari keterangan dan mereka mendengar bahwa
sahabat baik mereka, Panglima Kwee Gi masih
menduduki jabatannya yang lama, yaitu komandan
pasukan penjaga keamanan kota raja. Biarpun di dalam
hatinya Kwee-ciangkun ini tidak suka, bahkan
membenci Chin Kui seperti banyak pejabat tinggi yang
setia kepada Kaisar lainnya, namun dia tidak
memperlihatkan sikap tidak suka ini secara berterang
sehingga Chin Kui tidak menyangka bahwa Kweeciangkun membencinya. Chin Kui tidak mengganggunya,
apa lagi Kwee-ciangkun merupakan panglima yang
dipercaya Kaisar karena jasanya sudah banyak sekali.
Setelah mendengar keterangan tentang sahabatnya
itu, Han Si Tiong lalu mengajak isterinya untuk pergi
mengunjungi sahabatnya itu. Pada hari ketiga, pagipagi mereka keluar dari rumah penginapan dengan jalan
kaki, hendak mengunjungi Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong dan isterinya sama sekali tidak
738

menyangka bahwa semenjak mereka memasuki kota


raja, beberapa pasang mata telah memperhatikan
mereka dan beberapa orang telah membayangi dan
mengawasi setiap gerak-gerik mereka. Empat orang ini
adalah kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui yang
memang disebar di seluruh kota raja untuk menyelidiki
setiap orang yang memasuki kota raja! Maka, tidak
mengherankan apa bila dalam waktu satu hari saja, Chin
Kui sudah mengetahui Han Si Tiong dan Liang Hong Yi,
bekas pimpinan Pasukan Halilintar yang terkenal setia
kepada mendiang Jenderal Gak Hui itu kini telah
kembali ke kota raja. Tentu saja dia tidak tinggal diam
dan cepat memerintahkan tiga orang jagoannya yang
dapat diandalkan, yaitu Hwa Hwa Cin-jin, bekas jagoan
guru mendiang Ciang Bun putera mendiang Ciang Sun
Bo atau Jenderal Ciang.
Seperti kita ketahui, Jenderal Ciang dan puteranya itu
tewas di tangan Han Bi Lan dan Hwa Hwa Cin-jin
berhasil lolos. Lalu tosu sesat ini ditampung oleh Chin
Kui. Selain Hwa Hwa Cin-jin, ada lagi orang kakak adik
seperguruan yang menjadi jagoan andalan Perdana
Menteri Chin Kui. Mereka adalah Bu-tek Mo-ko (Iblis
Jantan Tanpa Tanding) Teng Sui yang bertubuh tinggi
kurus berusia sekitar limapuluh tahun, dan Bu-eng Moko (Iblis jantan Tanpa Bayangan) Gui Kong yang
bertubuh pendek gendut.
Mereka bertiga itu mendapat tugas untuk membunuh
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Karena Chin Kui juga
sudah tahu akan kemampuan ilmu silat suami isteri itu,
maka dia merasa yakin bahwa tiga orang jagoannya itu
pasti akan dapat membina-sakan mereka. Dia tidak mau
mengirim banyak pasukan, karena hal itu akan menimbulkan kegemparan. Suami isteri itu telah dikenal
739

rakyat dan dahulu nama mereka banyak dipuji-puji,


bahkan Kaisar sendiri pernah menyatakan kekagumannya kepada suami isteri pimpinan Pasukan Halilintar itu.
Kalau mereka berdua itu dikeroyok pasukan, tentu akan
menimbulkan kegemparan.
Suami isteri itu berjalan santai menuju ke rumah
gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi. Ketika mereka
tiba di bagian jalan yang sunyi, tiba-tiba mereka melihat
tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Suami
isteri itu memperhatikan dan merasa belum pernah
mengenal mereka. Yang seorang berpakaian seperti
seorang tosu. Jenggotnya panjang dan tubuhnya agak
pendek dengan perut gendut. Mukanya berwarna
kekuningan dan mulutnya tersenyum mengejek. Di
punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang
kedua bertubuh jangkung kurus, mukanya seperti
tengkorak dan diapun mempunyai sebatang pedang
yang digantung di pinggang. Orang ketiga bertubuh
pendek gendut dan membawa golok yang digantung di
punggung. Kakek pertama itu berusia sekitar enampuluh
lima tahun sedangkan orang terakhir berusia antara
limapuluh dan empatpuluh delapan tahun.
Mereka itu adalah Hwa Hwa Cin-jin, Bu-tek Mo-ko,
dan Bu-eng Mo-ko yang sengaja menghadang di jalan
sepi itu.
Setelah suami isteri itu melangkah dan tiba di depan
mereka, Hwa Hwa Cin-jin menegur sambil tersenyum
mengejek dan memandang rendah.
Bukankah kalian berdua ini suami isteri Han Si Tiong
dan Liang Hong Yi?

740

Karena tidak menduga buruk, dan memang dia


seorang yang jujur, Han Si Tiong menjawab. Benar
sekali. Totiang (bapak pendeta) siapakah dan ada
keperluan apakah sam-wi (anda bertiga) menghadang
perjalanan kami?
Begitu mendengar jawaban itu, tiga orang yang
ditugaskan membunuh suami isteri itu segera mencabut
senjata mereka dan Hwa Hwa Cin-jin berseru, Kalian
harus mati di tangan kami! Tiga orang itu sudah
menyerang dengan cepat dan ganas sekali. Suami isteri
itupun cepat mencabut pedang mereka dan sambil
melompat ke belakang mereka menangkis serangan itu.
Liang Hong Yi menangkis pedang Hwa Hwa Cin-jin
yang menyambar ke arah lehernya sedangkan Han Si
Tiong memutar pedangnya untuk menangkis sambaran
pedang dan golok dua orang jagoan yang di dunia kangouw dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang lblis
Jantan).
Tranggg......! Trangggg!! Bunga api berpijar dan
suami isteri itu terhuyung ke belakang. Terutama sekali
Liang Hong Yi. Pertemuan pedang itu hampir saja
membuat pedangnya terlepas dan ia merasa betapa
telapak tangannya menjadi panas dan pedih sekali.
Hampir saja wanita itu terjengkang, akan tetapi Han Si
Tiong yang juga kalah kuat dan terhuyung dan
menyambar tangannya dan mencegah isterinya terjatuh.
Tiga orang jagoan itu tertawa senang. Tadinya
mereka khawatir kalau-kalau suami isteri itu memiliki
kepandaian yang terlalu kuat bagi mereka sehingga
sukar dibunuh. Akan tetapi ternyata dalam segebrakan
saja, suami isteri itu telah terhuyung dan hampir roboh!
741

Mereka bertiga tertawa dan mendesak lagi. Suami isteri


itu repot sekali berloncatan ke sana-sini menghindarkan
diri dan terkadang mereka terpaksa menggunakan
pedang menangkis.
Liang Hong Yi jelas bukan lawan Hwa Hwa Cin-jin.
Tingkatnya kalah jauh sehingga ia repot sekali harus
menghindarkan diri dari desakan pedang Hwa Hwa Cinjin yang seolah hendak mempermainkan calon
korbannya. Sementara itu, kalau dibuat perbandingan,
tingkat kepandaian Han Si Tiong seimbang dengan Butek Mo-ko atau Bu-eng Mo-ko.
Kalau bertanding melawan seorang dari mereka tentu
akan ramai sekali dan belum tentu dia kalah. Akan tetapi
dikeroyok dua, dia menjadi kerepotan dan seperti
isterinya, diapun hanya mampu mengelak dan
menangkis.
Cringgg...... trak......! Trakk......!
Suami isteri itu melompat ke belakang dengan wajah
berubah pucat. Tiga orang itu tertawa-tawa melihat
betapa pedang suami isteri itu telah patah. Mereka siap
untuk mengirim serangan maut.
Tahan! bentak Han Si Tiong. Kami bukan orangorang yang takut mati. Akan tetapi katakan dulu, siapa
kalian dan mengapa kalian hendak membunuh kami?
Tiga orang pembunuh itu saling pandang lalu tertawa
bergelak. Mereka memang dipesan agar jangan
memberitahukan hal itu, khawatir kalau didengar orang
lain dan mereka yang kagum terhadap suami isteri itu
tentu akan merasa tidak senang kalau mendengar bahwa
742

suami isteri itu dibunuh atas perintah Perdana Menteri


Chin Kui. Maka, tiga orang itu hanya tertawa lalu mereka
menerjang ke depan untuk mengirim serangan maut
dengan senjata mereka kepada suami isteri yang sudah
tidak berdaya itu.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawa
suami isteri itu, tiba tiba tampak dua sosok bayangan
berkelebat bagaikan dua ekor burung garuda
menyambar.
Tranggg......! Cringgg !!
Hwa Hwa Cin-jin terkejut bukan main ketika
pedangnya terpental karena ditangkis sebatang pedang
lain yang gerakannya amat cepat dan kuat sekali. Dia
cepat memandang dan ternyata yang menangkisnya
adalah seorang gadis yang cantik jelita dan kini gadis itu
berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan.
Sementara itu, Siang Mo-ko juga terkejut bukan main
karena senjata mereka bertemu dengan pedang yang
demikian kuat dan tajam sehingga ketika mereka melihat,
ujung pedang Bu-tek Mo ko dan ujung golok Bu-eng Moko telah rompal!
Sementara itu, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi
girang bukan main ketika pada saat kematian sudah di
depan mata, ada dua orang penolong muncul dan
menangkis serangan maut tiga orang lawan mereka itu.
Mereka berdua segera mengenal gadis yang mengaku
bernama Sie Pek Hong namun sesungguhnya puteri
Kaisar Kin itu, yang muncul bersama seorang laki-laki
berkumis dan berjenggot tebal. Akan tetapi ketika mereka
melihat dengan penuh perhatian, mereka segera
mengenal bahwa orang berkumis dan berjenggot itu
743

bukan lain adalah Thian Liong. Tentu saja mereka


menjadi girang sekali, akan tetapi melihat betapa
pemuda itu menyamar, mereka tidak mau memanggil
namanya.
Sementara itu, Pek Hong Nio-cu yang sudah marah
sekali, tanpa banyak cakap lagi sudah bergerak ke
depan, menerjang Hwa Hwa Cin-jin dengan serangan
pedangnya. Juga Thian Liong sudah memutar
pedangnya menyerang dua orang Siang Mo-ko.
Serangan Thian Liong demikian hebatnya sehingga
terdengar suara berdencing nyaring ketika dua orang itu
menangkis pedang Thian-liong-kiam.
Cringggg......! Dua orang itu terhuyung dan kini
pedang dan golok mereka patah di bagian tengahnya.
Dua kali Thian Liong menendang dan dua orang kakak
beradik seperguruan itu tak mampu menghindarkan diri
lagi sehingga mereka terguling roboh. Mereka
merangkak bangun dan melihat betapa Hwa Hwa Cin jin
juga repot menghadapi serangan gadis cantik itu, mereka
berdua segera berseru.
Cin-jin, lari! Kita mencari bantuan!
Mendengar ini. Hwa Hwa Cin-jin maklum bahwa
keadaannya berbahaya sekali, maka diapun melarikan
diri bersama dua orang Siang Mo-ko untuk mencari
bantuan.
Melihat tiga orang itu melarikan diri dan berteriak
bahwa mereka akan mencari bala bantuan, Han Si Tiong
berbisik kepada isterinya. Cepat ajak mereka lari ke
rumah Kwee-ciangkun!

744

Liang Hong Yi maklum akan maksud suaminya.


Mereka lari menghampiri dua orang muda itu dan Han Si
Tiong memegang tangan Tian Liong sedangkan Liang
Hong Yi memegang tangan Pek Hong, lalu menarik
mereka untuk cepat berlari memasuki lorong kecil.
Cepat lari bersama kami sebelum mereka kembali
membawa pasukan!
Thian Liong dan Pek Hong maklum akan maksud
mereka dan menurut saja. Tak lama kemudian mereka
memasuki sebuah pintu kecil yang merupakan pintu
belakang gedung tempat tinggal Panglima Kwee Gi.
Pintu kecil ini merupakan pintu untuk para pelayan kalau
hendak bepergian ke luar gedung untuk suatu keperluan.
Han Si Tiong dan isterinya masih hapal akan
keadaan rumah ini, maka tanpa ragu-ragu mereka
memasuki pintu kecil itu dan menutupkannya kembali.
Dua orang pelayan wanita yang berada di bagian
belakang rumah itu terkejut sekali melihat masuknya
empat orang dari pintu itu.
Mereka hendak menjerit, akan tetapi cepat sekali Pek
Hong dan Liang Hong Yi menangkap dan menutup mulut
mereka dengan tangan.
Jangan berteriak! Kami bukan orang jahat. Kami
adalah sahabat Kwee-ciangkun yang membutuhkan
perlindungan karena dikejar orang-orangnya Perdana
Menteri Chin Kui. Cepat bawa kami ke dalam bertemu
dengan Kwee-ciangkun atau Kwee-hujin (Nyonya
Kwee}! kata Liang Hong Yi.
Dua orang pembantu itu masih ketakutan. Pada saat
745

itu dari dalam muncul seorang pemuda yang tinggi besar


dan tampan, berusia sekitar duapuluh tahun.
He, ada apa ini? Siapa kalian berempat? Pemuda
yang bukan lain adalah Kwee Cun Ki itu membentak dan
meraba gagang pedangnya.
Kwee-kongcu...... mereka ini menerobos masuk......
mengaku sahabat Thai-ciangkun (panglima besar)......
seorang di antara dua pelayan itu berkata gagap.
Mendengar ini Han Si Tiong cepat berkata. Ah,
Kwee-kongcu? Engkau ini tentu Kwee Cun Ki, bukan?
Liang Hong Yi juga berseru girang, Benar, dia pasti
Cun Ki! Cun Ki, lupakah engkau kepada kami? Ini adalah
pamanmu Han Si Tiong dan aku
Ah, engkau bibi Liang Hong Yi! Paman Han,
bagaimana saya dapat mengenal paman kalau sekarang
berjenggot dan berkumis seperti ini? Cun Ki berseru
girang, lalu memandang kepada Thian Liong dan Pek
Hong. Dan mereka ini siapa, paman?
Cun Ki, nanti saja kita bicara dan kuperkenalkan.
Sekarang cepat ajak kami menemui ayah ibumu. Kami
dikejar-kejar kaki tangan Chin Kui!
Ah, marilah, paman! kata pemuda itu dan dia
mendahului mereka memasuki gedung meninggalkan
para pembantu rumah tangga yang merasa lega bahwa
tuan muda mereka mengenal baik para pendatang itu.
Kebetulan sekali Panglima Kwee Gi dan isterinya
berada di rumah. Mereka sedang duduk di ruangan
746

dalam ketika tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan putera


mereka, Kwee Cun Ki menerobos masuk diikuti empat
orang asing. Kwee-ciangkun bangkit berdiri dengan
terkejut dan heran. Dia tidak segera mengenal sahabat
baiknya itu.
Ayah, ibu, lihat siapa yang datang berkunjung!
Paman Han Si Tiong dan bibi Liang Hong Yi!
Barulah suami isteri itu mengenali suami isteri yang
menjadi sahabat baik mereka dan yang sudah belasan
tahun tidak pernah mereka temui dan tidak mereka
ketahui di mana tempat tinggalnya itu.
Han-siauwte (adik Han)......!
Kwee-twako (kakak Kwee)......!
Dua orang sahabat itu saling menghampiri dan
mereka segera berangkulan. Juga Liang Hong Yi
berangkulan
dengan
nyonya
Kwee.
Setelah
menumpahkan rasa rindu dan girang hati mereka, empat
orang tamu itu dipersilakan duduk.
Han-siauwte, siapakah orang muda dan nona ini?
tanya Kwee-ciangkun sambil memandang kepada Thian
Liong dan Pek Hong.
Nanti dulu, Kwee-twako. Sebelumnya ketahuilah
bahwa kami berempat tadi diserang oleh orang-orangnya
Chin Kui. Mereka lari memanggil bala bantuan dan kami
cepat melarikan diri ke sini! Mungkin mereka akan
mengejar dan mencari sampai ke sini!
Kwee-ciangkun

mengerutkan

alisnya

dan
747

mengangguk-angguk. Jangan khawatir, Han-siauwte.


Kalian bersembunyilah dalam ruangan rahasia, biar
diantar oleh isteriku. Aku akan keluar untuk menemui
mereka!
Kwee-hujin (Nyonya Kwee) lalu mengajak empat
orang itu ke ruangan belakang. Di dekat dapur, nyonya
itu menggerakkan sebuah patung yang berada di atas
meja dan dinding ruangan itu tiba-tiba terangkat naik dan
mereka lalu memasuki pintu rahasia itu. Setelah tiba di
dalam, dinding itu menutup kembali.
Ternyata ruangan di balik dinding ini cukup luas dan
Kwee-hujin mempersilakan empat orang itu duduk
mengelilingi sebuah meja besar dan iapun bercakapcakap dengan Liang Hong Yi.
Sementara itu Kwee-ciangkun keluar dari gedung dan
dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin Hwa Hwa
Cin-jin dan Siang Mo-ko. Dia mengenal tiga orang ini
sebagai jagoan-jagoan Perdana Menteri Chin Kui.
Eh, Totiang hendak ke manakah membawa pasukan
ini? tanya Kwee-ciangkun.
Para jagoan Perdana Menteri Chin Kui itu
mempunyai tugas rahasia dan tentu saja mereka tidak
ingin tugas itu diketahui oleh orang lain, apalagi diketahui
seorang panglima kerajaan.
Kami diutus Chin-taijin (Pembesar Chin) untuk
mencari penjahat-penjahat. Mereka merupakan dua
pasang lelaki perempuan yang masih muda dan
setengah tua. Kalau anak buah Kwee-ciangkun ada yang
melihatnya, harap cepat memberitahukan kami, jawab
748

Hwa Hwa Cin-jin.


Ah, begitukah? Baik totiang, akan kupesan kepada
anak buahku!
Mereka berpisah. Pasukan itu melanjutkan pencarian
mereka dan Kwee-ciangkun kembali ke rumahnya.
Setelah tiba di rumah, cepat dia memasuki ruangan
rahasia itu di mana isteri dan empat orang tamunya telah
menunggu.
Benar saja, Han-siauwte. Tiga orang jagoan kaki
tangan Chin Kui itu membawa tiga losin orang perajurit
mencari kalian berempat. Sebaiknya kalian berdiam di
sini dan jangan keluar sampai keadaan di luar aman.
Setelah Kwee-ciangkun duduk menghadapi meja,
Han Si Tiong memperkenalkan. Twako perkenalkan.
Pemuda ini bernama Souw Thian Liong dan nona ini
bernama...... Sie Pek Hong. Mereka berdua sehaluan
dengan kita, menentang kelaliman Chin Kui. Tadi kami
berdua diserang oleh tiga orang jagoan kaki tangan Chin
Kui itu. Kami nyaris celaka. Untung muncul mereka
berdua ini sehingga para penyerang itu melarikan diri.
Sebelum mereka kembali membawa pasukan, aku
mengajak mereka lari ke sini. Setelah berkata demikian,
Han Si Tiong menoleh kepada Thian Liong dan Pek
Hong.
Souw-sicu dan Sie-siocia, perkenalkan. Tuan rumah
kita ini adalah Panglima Kwee Gi dan Nyonya Kwee, dan
pemuda gagah ini adalah putera mereka, Kwee Cun Ki.
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke depan
dada memberi hormat, diikuti oleh Pek Hong. Maafkan
749

kalau kami berdua mengganggu ketenteraman keluarga


ciang-kun, kata Thian Liong dengan sikap hormat.
Ah, sama sekali tidak mengganggu, Souw-sicu, kata
Kwee-ciangkun yang lalu memandang kepada Han Si
Tiong.
Han-siauwte, bagaimana asal mulanya maka engkau
dan isterimu, setelah menghilang selama belasan tahun,
tiba-tiba muncul di kota raja dan diserang oleh kaki
tangan Perdana Menteri Chin Kui?
Ceritanya panjang, twako, Han Si Tiong mulai
bercerita. Twako berdua tentu tahu bahwa semenjak
pulang dari perbatasan dan mendapat kenyataan betapa
bibi Lu-ma terbunuh dan anak kami diculik orang, kami
meletakkan jabatan dan meninggalkan kota raja. Selama
bertahun-tahun kami mencoba untuk mencari anak kami,
namun semua usaha kami sia-sia sehingga akhirnya
kami tinggal di tempat sunyi, di sebuah dusun dekat Seeouw (Telaga Barat). Kami sudah putus asa untuk dapat
menemukan Bi Lan, anak kami yang hilang itu
Kami tidak tahu apakah anak kami itu masih hidup
ataukah...... sambung Liang Hong Yi dengan suara
gemetar karena sedihnya.
Paman dan bibi! Adik Han Bi Lan masih hidup! tibatiba Cun Ki berseru, nada suaranya gembira.
Dua pasang mata itu terbelalak. Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi bangkit berdiri dengan wajah berubah
merah. Air mata bercucuran dari kedua mata Liang Hong
Yi dan sepasang mata Han Si Tiong juga menjadi basah.

750

Cun Ki, apa...... apa...... maksudmu......? tanya Han


Si Tiong gagap, seolah tidak percaya akan apa yang
didengarnya tadi.
Cun Ki berkata benar, siauw-te. Bi Lan masih hidup,
sehat bahkan kini ia menjadi seorang gadis yang lihai
sekali! kata Kwee-ciangkun.
Han Si Tiong melompat dan memegang kedua
lengan sahabatnya dengan erat, sedangkan Liang Hong
Yi sudah menubruk dan merangkul Nyonya Kwee sambil
menangis sesenggukan. Rasa bahagia yang terlalu
besar memukul perasaan mereka, mendatangkan
keharuan yang mendalam.
Ceritakan, twako, ceritakan tentang Bi Lan!
Tolong, Kwee-twako...... cepat katakan ...... di mana
anakku Bi Lan sekarang......? kata pula Liang Hong Yi di
antara tangisnya.
Pek Hong bangkit dan menghampiri Liang Hong Yi
yang masih merangkul nyonya Kwee sambil menangis.
Dengan lembut ia menarik pundak wanita yang menangis
itu, Tenangkanlah hatimu, bibi.
Benar, paman Han dan bibi, harap tenang dan
duduklah.
Tentu
Kwee-ciangkun
akan
segera
menceritakan tentang puteri paman dan bibi itu, kata
pula Thian Liong.
Suami isteri itu menyadari keadaan mereka. Mereka
duduk kembali dan Han Si Tiong berkata, Twako dan soso (isteri kakak), maafkanlah kelemahan kami.

751

Kwee Gi tersenyum. Tidak mengapa, siauw-te, kami


dapat memaklumi perasaan kalian yang dilanda
kegirangan dan keharuan. Kurang lebih dua bulan yang
lalu, puteri kalian Han Bi Lan memang datang di kota raja
ini dan ia sempat membikin geger kota raja.
Apa yang telah dilakukan anakku, Kwee-twako?
tanya Liang Hong Yi.
Ia datang ke kota raja untuk mencari kalian di rumah
kalian yang dulu. Akan tetapi rumah itu kini telah menjadi
tempat kediaman Jenderal Ciang Sun Bo dan ketika Bi
Lan datang berkunjung, Jenderal Ciang mengaku
sebagai sahabat kalian dan menerima Bi Lan dengan
ramah.
Huh, mana mungkin Jenderal Ciang yang jahat itu
menjadi sahabat kami? Dia bohong! kata Liang Hong Yi
gemas.
Memang dia berbohong, akan tetapi tentu saja Bi
Lan tidak tahu akan hal itu, maka dia menerima dengan
senang hati ketika keluarga Ciang itu menjamunya
dengan pesta makan. Ketika makan minum, mereka
menaruh racun ke dalam anggurnya untuk membuat Bi
Lan terbius dan pingsan......
Jahanam! Kubunuh itu Jenderal Ciang keparat!
Liang Hong Yi membentak dan mengepal tinju.
Pek Hong tersenyum geli. Nyonya itu wataknya
seperti ia, paling benci melihat kelicikan orang. Harap
bibi tenang karena melihat wajah Kwee-ciangkun, kukira
akhir ceritanya tidak begitu mengkhawatirkan.

752

Kwee Gi tersenyum. Penglihatan Nona Sie tajam


sekali. Memang benar, harap Han-siauwte berdua tidak
menjadi gelisah dulu. Bi Lan tidak akan dapat bertemu
dengan kami kalau dia sampai celaka di tangan mereka.
Ia memang jatuh pingsan dan ia sempat dipondong oleh
Ciang Ban ke dalam kamarnya. Akan tetapi Bi Lan
ternyata cerdik bukan main. Ia telah merasa curiga, maka
ia hanya pura-pura saja pingsan. Ia murid seorang ahli
racun, maka ia tentu saja tidak mudah diracuni orang.
Setelah tiba di kamar, melihat Ciang Ban bermaksud keji
kepadanya, ia lalu membunuh Ciang Ban. Jenderal
Ciang Sun Bo dan Lui-ciangkun, pembantunya yang
mengeroyok Bi Lan, dibunuh pula oleh puteri kalian itu,
dan Hwa Hwa Cin-jin berhasil lolos.
Hebat! Bagus sekali. Ah, Bi Lan anakku......! Liang
Hong Yi berseru dan ia menangis lagi, penuh
kegembiraan dan kebanggaan! Juga Han Si Tiong
meneteskan air mata karena girang dan bangga.
Sama sekali tak pernah dibayangkan bahwa puteri
mereka, anak tunggal mereka yang hilang itu, kini masih
hidup dan menjadi seorang pendekar wanita yang amat
lihai!
Bi Lan lalu dikepung banyak perajurit. Ia mengamuk
dan merobohkan banyak perajurit dan lolos dari rumah
Jenderal Ciang. Ia dikejar banyak perajurit dan sebentar
saja pasukan dikerahkan untuk mengejarnya. Aku
mendengar dari para penyelidikku bahwa yang
membunuh Jenderal Ciang dan puteranya, juga
membunuh Perwira Lui To dan banyak perajurit, adalah
Han Bi Lan, puteri kalian. Mendengar ini, aku terkejut dan
cepat aku keluar. Beruntung sekali aku bertemu dengan
Bi Lan di lorong sepi dan aku segera memperkenalkan
753

diri dan mengajaknya sembunyi di rumah kami ini.


Ah, lagi-lagi engkau yang telah menolong, twako.
Pertama engkau menyelamatkan Bi Lan dan hari ini
engkau menyelamatkan kami! kata Han Si Tiong
terharu.
Hemm, itulah gunanya persahabatan, siauwte. Kalau
bukan sahabat yang saling menolong, lalu siapa? Biar
kulanjutkan ceritaku tentang Bi Lan. Ia bersembunyi di
sini selama seminggu dan selama itu ia menceritakan
semua pengalamannya sejak ia diculik oleh Toat-beng
Coa-ong Ouw Kan. Ouw Kan datang ke rumah kalian di
sini lalu membunuh Lu-ma dan menculik Bi Lan. Di
tengah perjalanannya melarikan Bi Lan, Ouw Kan
bertemu dengan Jit Kong Lhama, datuk persilatan dari
Tibet dan pendeta Lhama ini merampas Bi Lan setelah
mengalahkan Ouw Kan. Sejak saat itu, Bi Lan menjadi
murid Jit Kong Lhama sampai sebelas tahun lamanya. Ia
mempelajari ilmu-ilmu silat, sihir dan juga tentang racun
dari Jit Kong Lhama sehingga menjadi lihai sekali. Ia
tinggal selama itu di sebuah puncak dari pegunungan
Kun-lun-san dan katanya akhir-akhir ini iapun menjadi
murid Kun-lun-pai.
Ahh, anak kita menjadi seorang yang lihai! Terima
kasih kepada Thian (Tuhan) ......! kata Liang Hong Yi.
Akan tetapi ke manakah Bi Lan pergi setelah
meninggalkan rumahmu ini, twako? tanya Han Si Tiong.
Kwee Gi menghela napas panjang.
Kami tidak tahu, siauw-te. Kami menyelundupkan ia
keluar kota raja setelah tinggal di sini selama satu
754

minggu. Ia tidak mengatakan ke mana akan pergi.


Sebetulnya kami bermaksud menahannya di sini karena
kami mempunyai niat untuk...... menjodohkan Bi Lan
dengan putera kami Cun Ki ini.
Ohhh...... kami akan senang sekali dan setuju
sekali! seru Liang Hong Yi.
Ya, tentu saja kalau Bi Lan juga menyetujui,
sambung Han Si Tiong sambil memandang kepada Kwee
Cun Ki.
Pemuda ini tampan dan tampak gagah perkasa,
cukup membanggakan kalau dapat menjadi mantu.
Mendengar percakapan tentang perjodohannya dengan
Bi Lan, gadis yang dikaguminya dan yang
membangkitkan rasa cintanya itu, Cun Ki hanya
tersenyum, dalam hatinya merasa girang mendengar
betapa ayah ibu Bi Lan tidak keberatan kalau dia
berjodoh dengan Bi Lan. Bahkan ibu gadis itu
menyetujui.
Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang
perjalananmu sampai ke sini, Han-siauwte, tanya Kwee
Gi.
Han Si Tiong memandang kepada Thian Liong dan
Pek Hong, lalu menjawab. Kwee-twako, sebetulnya
kedetangan kami berdua di kota raja ini erat
hubungannya dengan dua orang muda, Souw Thian
Liong dan Sie Pek Hong ini. Belum lama ini, tempat
tinggal kami diketahui oleh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan,
datuk yang membunuh Bibi Lu-ma dan menculik Bi Lan
itu. Karena dia gagal membunuh kami, bahkan gagal
pula menculik Bi Lan, dia malu bertemu dengan Kaisar
755

Kin yang mengutusnya membunuh kami. Kaisar Kin


merasa sakit hati mendengar betapa puteranya,
Pangeran Cu Si, tewas oleh kami dalam pertempuran di
perbatasan dahulu. Maka, Ouw Kan selama ini terus
mencari kami dan akhirnya dia menemukan kami di dekat
Telaga Barat. Kami nyaris tewas oleh datuk yang amat
sakti itu, akan tetapi kebetulan Souw-sicu dan Sie-siocia
ini muncul dan menolong kami, mengusir Ouw Kan yang
melarikan diri. Kemudian kami saling bercerita dan kami
berdua mendengar bahwa Souw-sicu sedang dikejarkejar pasukan kerajaan yang harus menangkap atau
membunuhnya karena dia dituduh sebagai seorang
pengkhianat yang menjadi kaki tangan Kerajaan Kin.
Padahal dia sama sekali tidak berkhianat, bahkan dia
hendak menentang Perdana Menteri Chin Kui. Tentu
Chin Kui yang melempar fitnah dan membujuk Sri
Baginda agar mengeluarkan perintah menangkap Souwsicu dengan tuduhan pengkhianat. Nah, karena kami
yakin bahwa dia bukan pengkhianat, maka kami sengaja
datang ke sini untuk minta bantuan twako mencari jalan
untuk menyakinkan Sri Baginda bahwa Souw Thian
Liong bukan pengkhianat dan tidak menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin seperti yang dituduhkan.
Panglima Kwee Gi kini memandang kepada Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong bergantian dengan sinar
mata penuh selidik.
Souw-sicu dan Sie-siocia, kami tidak mengenal
kalian, akan tetapi setelah mendengar cerita Han-siauwte
kami percaya sepenuhnya kepada kalian berdua. Kalau
sekiranya kami dapat membantumu agar terlepas dari
tuduhan itu, kami akan senang sekali membantu. Akan
tetapi tentu saja kami harus mendengar penjelasan
darimu apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga
756

kalian dituduh sebagai pengkhianat dan kaki tangan


Kerajaan Kin.
Thian Liong mengerutkan alisnya. Diapun belum
mengenal orang macam apa adanya Kwee Gi ini, maka
dia menoleh dan memandang kepada Han Si Tiong
dengan sinar mata bertanya. Han Si Tiong dapat
memaklumi perasaan pemuda itu, maka diapun berkata.
Souw-sicu, engkau dan nona Sie telah mempercayai
kami suami isteri dan kalau kalian kini mempercayai
Panglima Kwee Gi, kami yang menanggung bahwa
kepercayaanmu itu tidak keliru.
Mendengar ucapan Han Si Tiong itu, Thian Liong kini
memandang kepada Sie Pek Hong. Gadis ini tersenyum
dan berkata.
Liong-ko, aku juga dapat melihat dan merasa bahwa
Paman Kwee Gi adalah seorang yang baik dan
bijaksana, aku tidak keberatan kalau engkau
menceritakan segalanya kepadanya.
Lega hati Thian Liong mendengar ini. Dia lalu
memandang kepada Panglima Kwee dan berkata,
Kwee-ciangkun......
Nanti dulu, tadi nona ini sudah memberi contoh baik,
menyebut
Paman
Kwee
kepadaku.
Sebaiknya
engkaupun menyebut kami paman dan bibi saja, Souw
Thian Liong.
Senang hati Thian Liong melihat
mendengar ucapan yang ramah itu.

sikap

dan

757

Baiklah, Paman Kwee. Saya akan berterus terang


kepada paman dan bibi, seperti kami juga telah berterus
terang kepada Paman dan Bibi Han. Semula, saya
melakukan perjalanan ke utara untuk ...... Dia berhenti
karena dia tidak tahu atau belum ingin menceritakan
bahwa dia mencari gadis pencuri kitab yang kini dia
ketahui adalah Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong. Tidak
enak rasanya terhadap suami isteri Han itu kalau dia
menceritakan bahwa anak gadis mereka adalah seorang
pencuri!
Maksud saya...... saya melakukan perjalanan
merantau ke utara untuk meluaskan pengalaman dan
dalam perjalanan itu saya berkenalan dengan ia ini yang
menghajar para pembesar Kerajaan Kin yang menindas
rakyat. Saya mengenalnya sebagai Pek Hong Nio-cu,
yaitu nama julukannya sebagai seorang pendekar wanita
pembela kebenaran dan keadilan. Kemudian saya baru
mengetahui bahwa Pek Hong Nio-cu yang sekarang
menggunakan nama Han yaitu Sie Pek Hong ini bukan
lain adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kerajaan Kin.
Ahh......! Panglima Kwee dan isterinya berseru
kaget. Siapa orangnya yang tidak akan kaget mendengar
bahwa gadis yang kini berada di rumah mereka itu
ternyata adalah puteri Kaisar Kin? Mereka berdua kini
memandang kepada puteri itu dengan heran bercampur
kagum.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu yang menjadi perhatian
hanya tersenyum manis! Melihat betapa pandang mata,
suami isteri itu kini agak berbeda, pandang mata yang
menghormat, ia lalu berkata ramah.
Paman dan Bibi Kwee. Keadaan diriku ini harap
758

paman berdua rahasiakan. Anggap saja aku ini gadis


Han bernama Sie Pek Hong dan sebut saja namaku Pek
Hong. Dengan demikian paman berdua telah membantu
penyamaranku dan aku berterima kasih sekali
kepadamu.
Suami isteri itu saling pandang lalu pecah ketawa
Panglima Kwee. Ha-ha-ha, luar biasa sekali! Seperti
dongeng saja! Hebat, engkau hebat sekali dan kami
sungguh merasa kagum sekali padamu, Pek Hong!
Dan kepadamu juga aku minta hal yang sama, koko
Kwee Cun Ki, kata Pek Hong kepada pemuda tinggi
besar itu. Cun Ki tersipu dan diapun mengangguk.
Baik, percayalah kepadaku. Aku bukan seseorang
yang suka panjang mulut, Hong-moi.
Thian Liong tersenyum. Nah, Hong-moi, agaknya
kita berada di antara keluarga yang bijaksana dan patut
dihormati.
Pek Hong mengangguk dan Han Si Tiong tertawa
pula. Ha-ha-ha! Kepercayaan kalian berdua tidak sia-sia.
Aku jamin bahwa kalian akan aman berada di dalam
rumah Kwee-toako.
Kwee Gi tersenyum. Sudahlah, cukup semua pujian
itu. Sekarang, lanjutkan ceritamu, Thian Liong!
Setelah kami berdua berkenalan, kami sempat
tertawan oleh orang-orang yang sedang hendak
memberontak kepada Kerajaan Kin. Untung kami dapat
lolos. Dia tidak menceritakan tentang pertotongan yang
dilakukan suhunya yang menurut Pek Hong adalah
759

Paman Sie.
Kami mengetahui rahasia pemberontakan itu yang
diatur oleh Pangeran Hiu Kit Bong yang bersekongkol
dengan Perdana Menteri Chin Kui yang diwakili oleh
seorang pemuda bernama Cia Song. Kami berdua
menentang pemberontakan itu dan berhasil mengundang
pasukan yang berjaga di barat sehingga akhirnya
pemberontakan itu dapat ditumpas. Sayang bahwa Cia
Song, utusan Perdana Menteri Chin Kui itu dapat lolos
dan agaknya dia yang melapor kepada Chin Kui dan
mereka melempar fitnah kepada diriku sehingga aku
dijadikan orang buronan pemerintah Sung. Aku memang
membantu pemerintah Kerajaan Kin, akan tetapi
membantu dari ancaman pemberontak yang bersekutu
dengan Perdana Menteri Chin Kui.
Hemm, aku mulai mengerti duduknya perkara. Dan
Pek Hong, kenapa engkau meninggalkan...... istana dan
ikut Thian Liong ke sini, padahal di sini bahaya
mengancammu?
Pek Hong tersenyum. Liong-ko telah membantuku
menyelamatkan kerajaan ayah, karena itu, aku ingin
membalas
budinya
dan
ingin
membantu
dia
menyelamatkan Kerajaan Sung dari tangan Chin Kui
yang kotor. Mengingat bahwa Chin Kui bersekutu dengan
pemberontak di Kerajaan Kin, berarti dia juga musuhku,
bukan? Dan ayahku, Raja Kin, juga menyetujui
kepergianku ikut Liong-ko ke selatan.
Kalau begitu kita harus berbuat sesuatu untuk
membersihkan namamu, Thian Liong. Kalau tidak,
engkau akan menjadi buronan pemerintah dan hidupmu
tidak akan aman lagi.
760

Akan tetapi bagaimana caranya, Kwee-toako? Kalau


hanya Chin Kui yang mengerahkan orang-orangnya
untuk menangkap atau membunuh Thian Liong, hal itu
tidak terlalu berbahaya dan juga tentu saja dapat
dilawan. Akan tetapi kalau pengejaran itu atas perintah
Sri Baginda, tentu seluruh negeri akan mengawasi Thian
Liong dan kalau dia melawan pasukan pemerintah, tentu
dia akan dituduh sebagai pemberontak, kata Han Si
Tiong.
Tidak ada jalan lain kiranya kecuali satu, ialah
membunuh si jahat Chin Kui! kata Pek Hong.
Liang Hong Yi berseru, Tepat! Memang jahanam itu
harus dibunuh karena dialah biang keladi semua
kekacauan ini!
Panglima Kwee Gi menggeleng kepala sambil
tersenyum melihat dua orang wanita yang bersikap galak
seperti harimau betina itu.
Tidak begitu mudah membunuh perdana menteri itu.
Selain dia selalu dikawal oleh banyak jagoan yang
tangguh, juga dia mempunyai pasukan pengawal khusus
yang jumlahnya sampai seratus orang dan ke manapun
dia pergi selalu terlindung. Selain itu, aku mendengar
bahhwa di dalam gedungnya yang seperti istana itu
dipasangi banyak alat rahasia sehingga tidak mudah
mencari tempat persembunyiannya.
Kalau begitu kita tunggu sampai dia keluar dari
gedungnya dan kita menyergapnya! kata pula Pek
Hong. Kalau dia dilindungi seratus orang pengawal,
kukira Paman Kwee tentu dapat mengerahkan pasukan
yang lebih besar, mengingat paman menjadi komandan
761

pasukan keamanan kota raja!


Kembali Panglima Kwee tersenyum dan menggeleng
kepala walaupun dia kagum akan semangat yang
demikian hebat dari puteri Raja Kin itu. Hal itu tidak
mungkin dilakukan, Pek Hong. Waktu ini, pengaruh Chin
Kui terhadap Kaisar amat besar dan dia dipercaya penuh
sehingga kalau kita mengerahkan pasukan dan
membunuhnya, jelas kita akan dianggap sebagai
pemberontak terhadap kerajaan. Hal ini bahkan akan
membuat keadaan menjadi semakin buruk dan
merugikan bagi kita.
Kwee Cun Ki yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja, kini ikut merasa penasaran dan bertanya, Wah,
kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan, ayah?
Ya, apa yang harus kami lakukan sekarang, Kweetwako? tanya pula Han Si Tiong. Semua orang
memandang kepada Kwee Gi, menanti jawabannya
karena semua orang bingung dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan, kalau jalan jang diusulkan Pek
Hong tadi sama sekali tidak boleh dilakukan.
Panglima Kwee mengerutkan alisnya yang tebal,
kemudian setelah berpikir sejenak, dia berkata. Kupikir
sekaranglah saatnya yang tepat untuk bertindak. Aku
sudah mengumpulkan semua rekan pejabat yang
sehaluan untuk menentang Chin Kui, dan semua
panglima yang sehaluan sudah pula mempersiapkan
pasukan masing-masing untuk melawan kalau kalau Chin
Kui mempergunakan kekerasan dan mengerahkan
pasukan yang mendukungnya.
Dan apa yang dapat kami berempat lakukan untuk
762

membantu? tanya pula Thian Liong.


Dua hari lagi akan ada persidangan dan pada waktu
mana para pejabat tinggi dan panglima datang
menghadap Kaisar. Selama dua hari ini, aku akan dapat
mematangkan persiapan kami, akan kuajak semua rekan
untuk berunding. Kemudian, setelah saatnya menghadap
Kaisar tiba, kalian berempat, Han-siauwte dan isterimu,
Thian Liong, dan Pek Hong ikut bersamaku menghadap
Kaisar.
Heh?? Ini sama saja dengan menyerahkan diri!
Liong-ko sedang diburu pemerintah, kalau dia ikut
menghadap
Kaisar,
bukankah
itu
berarti
dia
menyerahkan diri dan akan ditangkap? seru Pek Hong
terkejut.
Memang, dan menyerahkan diri itu menunjukkan
bahwa Thian Liong bukan pengkhianat yang hendak
memberontak. Di depan Kaisar nanti aku yang akan
menjelaskan persoalannya ketika dia membantu Kaisar
Kin menghadapi pemberontakan yang bersekutu dengan
Chin Kui. Justru fitnah terhadap Thian Liong itu akan
kupergunakan untuk membongkar persekutuan Chin Kui
dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak
kepada Kaisar Kin. Dan semua rekan sehaluan yang
hadir akan mendukung laporanku kepada Kaisar.
Akan tetapi Perdana Menteri Chin Kui akan
membantah dan memutar-balikkan fakta, dan di antara
para pejabat yang menghadap tentu banyak pula kaki
tangannya yang akan mendukung semua laporannya,
kata Liang Hong Yi.
Benar sekali, hal itu sudah kami perhitungkan.
763

Akan tetapi kalau Kaisar lebih mempercayai Chin Kui


yang sudah menguasainya, tentu Kaisar akan
membenarkan perdana menteri itu dan Liong-ko akan
ditangkap dan dihukum! protes Pek Hong.
Kami sudah memperhitungkan demikian. Kalau
benar seperti yang kaukhawatirkan, Pek Hong, mungkin
Thian Liong dan engkau hanya akan ditahan dulu di
penjara istana. Aku mengenal watak Kaisar.
Sesungguhnya beliau seorang bijaksana, hanya
dipengaruhi Chin Kui. Kalau terjadi pertentangan
pendapat di antara para pejabat tinggi tentu dia tidak
akan tergesa-gesa menghukum kalian, melainkan
menahan dulu untuk dipertimbangkan lagi dan diselidiki
oleh Kaisar. Dan untuk sementara, tidak ada tempat yang
lebih aman bagi kalian berdua, atau mungkin berempat
dengan Han-siauwte dan isterinya kalau omongan Chin
Kui herhasil dipercaya Kaisar. Setidaknya di sana kalian
tidak akan dikejar-kejar lagi.
Akan tetapi, kalau kami dipenjara, tentu mudah bagi
Chin Kui untuk membinasakan kami! lagi-lagi Pek Hong
memprotes.
Jangan khawatir, Pek Hong. Kami sudah
memperhitungkan segala kemungkinan itu. Ketahuilah
bahwa kepala penjara istana adalah orang kita sendiri,
sehaluan dengan kita, menentang Chin Kui. Maka kalau
kalian ditahan di dalam penjara istana, aku yakin kalian
akan diperlakukan dengan baik dan keselamatan kalian
terjamin.
Lalu, kalau hal itu terjadi dan kami berempat ditahan
dalam penjara, kemudian selanjutnya bagaimana, Kweetwako? tanya Han Si Tiong.
764

Aku berpendapat bahwa engkau dan isterimu tidak


akan dapat difitnah Chin Kui, Hian-te. Kalian hanya
dimusuhi Chin Kui karena sebagai bekas bawahan
mendiang Jenderal Gak Hui kalian dianggap berbahaya.
Akan tetapi kalian tidak dipersalahkan pemerintah,
bahkan kalian sudah berjasa ketika balatentara Sung
melawan pasukan Kin di perbatasan. Kalian ikut
kuhadirkan di depan Kaisar hanya untuk menjadi saksi
betapa Chin Kui berniat jahat, hendak membunuh kalian
yang telah berjasa kepada negara. Setelah, andaikata,
benar-benar Thian Liong ditahan, tidak usah khawatir.
Selain kepala penjara istana merupakan orang kita
sendiri, juga kami akan berusaha menyadarkan Kaisar
dan siap bertindak kalau Chin Kui mempergunakan
kekerasan. Pendeknya, sekarang saatnya bagi kita untuk
melakukan perlawanan habis-habisan terhadap Perdana
Menteri Chin Kui.
Baiklah, Paman Kwee. Saya siap paman bawa
menghadap Kaisar! kata Thian Liong penuh semangat.
Dia teringat akan pesan gurunya agar dia membela
Kerajaan Sung dari pengaruh dan kekuasaan Perdana
Menteri Chin Kui.
Akupun siap! kata Pek Hong penuh semangat.
Empat orang yang dicari dam diburu kaki tangan
Perdana Menteri Chin Kui itu tinggal di ruangan rahasia
gedung Panglima Kwee sampai dua hari. Selama itu
Kwee-ciangkun mengadakan persiapan yang matang
dengan para rekannya. Mereka semua mempersiapkan
laporan dalam usaha mereka menjatuhkan Perdana
Menteri Chin Kui di depan Kaisar.
***
765

Ruangan persidangan dalam istana Kaisar Sung Kao


Tsung itu luas sekali. Biarpun puluhan orang yang
menduduki jabatan tinggi dan merupakan orang-orang
penting di Kerajaan Sung pada pagi hari itu berdiri
menanti munculnya Kaisar Sung Kao Tsung, namun
ruangan itu masih tampak lega karena ruangan itu akan
mampu menampung ratusan orang! Para pejabat militer
dan sipil sudah berdiri menanti dan mereka tidak berani
berisik, berdiri diam menanti dengan sabar. Di sekeliling
ruangan itu tampak para perajurit pengawal istana
berjaga, ada dua losin pasukan tombak dan dua losin
pasukan golok. Sebagian besar berjaga di luar ruangan.
Panglima Kwee berdiri di depan dan di samping
kirinya berdiri Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian
Liong, dan Sie Pek Hong. Pek Hong memandang ke
kanan kiri, memperhatikan ruangan sidang itu, agaknya
membandingkan dengan ruangan sidang di istana
ayahnya. Para pejabat tinggi yang menjadi rekan
Panglima Kwee, tidak merasa heran melihat kehadiran
empat orang pengikut Panglima Kwee ini. Akan tetapi
mereka yang menjadi sekutu Perdana Menteri Chin Kui,
memandang dengan curiga dan mereka itu saling
berbisik-bisik lirih.
Tak lama kemudian suara pelapor terdengar lantang
memenuhi ruangan itu.
Yang Mulia Kaisar telah tiba......!!
Suara itu seolah merupakan komando karena semua
orang yang berdiri di ruangan itu, menghadap singasana,
segera menjatuhkan diri berlutut dengan khidmat. Pek
Kong juga ikut berlutut karena ia sudah biasa dengan
adegan macam ini. Hanya biasanya, ia berdiri di samping
766

ayahnya, tidak ikut menghadap dan berlutut seperti ini.


Rombongan kecil itupun melangkah perlahan, masuk
ke ruangan dari pintu besar di samping singasana. Kaisar
Sung Kao Tsung berjalan perlahan dengan pakaian
gemerlapan, sikapnya anggun dan dia tersenyum melihat
para pejabat berlutut. Di belakangnya berjalan seorang
laki-laki berusia sekitar enampuluh dua tahun, akan tetapi
tampak jauh lebih tua daripada usianya. Wajahnya penuh
keriput dan rambutnya sudah putih semua. Aan tetapi
pakaiannya mewah sekali, tidak kalah oleh pakaian yang
dikenakan kaisar dan dan pandang mata maupun
senyum di wajahnya yang kurus itu tampak jelas
keangkuhannya dan kelicikannya.
Itulah Perdana Menteri Chin Kui yang seperti
biasanya dalam persidangan, selalu menghadap Kaisar
lebih dulu dengan alasan memberi laporan lengkap lebih
dulu sebelum kaisar dihadap semua pejabat tinggi. Di
belakang Perdana Menteri Chin Kui tampak beberapa
orang thai-kam (orang kebiri atau sida-sida) yang
menjadi pelayan pribadi kaisar dan paling belakang
berjalan selosin orang perajurit pengawal pribadi kaisar.
Begitu kaisar duduk di atas singasana, semua pejabat
tinggi yang menghadap segera berseru dengan suara
berbareng.
Ban-swe......
selaksa tahun!)''

ban-ban-swe......!

(Panjang

umur

Kaisar Sung Kao Tsung memberi isyarat dengan


tangan kanannya, dan seorang thai-kam pelayan pribadi
yang bertugas mengumumkan isyarat kaisar lalu berseru
lantang.

767

Para pejabat dipersilakan duduk!


Dalam persidangan umum, Para pejabat tetap berdiri,
akan tetapi kalau yang bersidang itu para pejabat tinggi,
maka disediakan tempat duduk untuk mereka. Peraturan
ini ditentukan kaisar mengingat bahwa dalam
persidangan para pembantu utamanya itu terkadang
makan waktu lama sehingga mereka akan kelelahan
kalau harus berdiri terus.
Para penghadap itu lalu mengambil tempat duduk
masing-masing, dan tempat duduk mereka itu sudah
ditentukan. Maka, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw
Thian Liong, dan Sie Pek Hong tentu saja tidak kebagian
tempat duduk dan mereka lalu berlutut di dekat tempat
duduk Panglima Kwee. Karena semua orang duduk dan
hanya empat orang itu berlutut, maka mereka menjadi
pusat perhatian.
Baru sekarang Perdana Menteri Chin Kui melihat
mereka. Dia tidak mengenal Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong, akan tetapi dia mengenal Han Si Tiong dan
isterinya, walaupun bekas perwira itu kini memelihara
kumis dan jenggot.
Tentu saja perdana menteri itu terkejut dan marah
bukan main, juga heran, akan tetapi dia tidak berani
membuat ribut di situ karena yang memusuhi suami isteri
itu adalah dia sendiri, dan kaisar bahkan tidak tahu
tentang suami isteri bekas pembantu mendiang Jenderal
Gak Hui itu.
Kaisar Sung Kao Tsung juga segera melihat empat
orang yang berlutut itu maka diapun merasa heran.
Melihat betapa empat orang yang berlutut dekat dengan
768

Kwee Gi, maka kaisar lalu bertanya kepadanya.


Kwee-ciangkun, siapa empat orang yang berlutut
itu?
Ampunkan hamba, Sri Baginda Yang Mulia, hamba
telah berani menghadapkan mereka berempat kepada
paduka di luar perintah paduka. Suami isteri ini adalah
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi yang pada duabelas
tahun yang lalu pernah menjadi pimpinan Pasukan
Halilintar yang telah berjasa memerangi balatentara Kin
di perbatasan.
Kaisar Sung Kao Tsung mengangguk-angguk dan
tersenyum. Hemm, rasanya pernah kami mendengar
tentang pasukan Halilintar yang gagah berani itu. Dan
dua orang muda ini, siapakah mereka?
Sri Baginda Yang Mulia, pemuda dan gadis ini
bernama Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong......
Wah, celaka! tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui
memotong. Sri Baginda, pemuda inilah pengkhianat itu,
antek Kerajaan Kin yang sudah hamba laporkan kepada
paduka. Inilah orang buruan kita, berani benar memasuki
ruangan ini, tentu berniat jahat terhadap paduka.
Pengawal, tangkap pemuda itu!
Kwee-ciang-kun cepat berlutut dan berkata, Ampun
Yang Mulia, hamba yang menanggung bahwa Souw
Thian Liong tidak akan berbuat jahat di sini.
Wah, ini jelas komplotan! Chin Kui berteriak-teriak.
Yang Mulia, mohon paduka berhati-hati, agaknya Kweeciangkun sudah bersekongkol dengan pengkhianat ini
769

dan dengan suami isteri bekas anak buah Jenderal Gak


Hui, tentu dengan niat untuk menjatuhkan Paduka dan
merebut kedudukan mahkota raja! Chin Kui
menudingkan tangannya kepada Kwee Gi dan empat
orang yang berlutut. Para pengawal cepat tangkap lima
orang itu sebelum mereka menyerang Sri Baginda!

JILID 21
Akan tetapi pada saat itu, lima orang panglima dan
lima orang pembesar sipil turun dari kursi mereka dan
maju lalu berlutut menghadap kaisar.
Sri Baginda Yang Mulia, kata seorang pembesar
sipil, Menteri Kebudayaan, yang sudah tua dan dihormati
kaisar, berkata mewakili sembilan orang rekannya.
Hamba para abdi setia paduka bertanggung jawab kalau
Kwee-ciangkun mempunyai niat jahat atau memberontak.
Mohon paduka sudi mendengarkan dulu semua
penjelasan sebelum menjatuhkan perintah menangkap
mereka. Hamba semua hanya merupakan abdi paduka
yang setia dan yang selalu menjaga keselamatan paduka
dan Kerajaan Sung.
Wah, ini pengkhianatan besar! Mereka semua
merupakan persekutuan pemberontak! Sri Baginda,
sebelum terlambat, mereka harus ditangkap dari dihukum
gantung! teriak Perdana Menteri Chin Kui.
Akan tetapi Kaisar Sung Kao Tsu, biarpun amat
percaya dan sudah berada dalam pengaruh perdana
menterinya yang dia anggap amat setia dan pandai,
meragukan ucapan itu sekali ini.
770

Kami kira mereka tidak akan memberontak. Bukan


begini sikap orang-orang yang hendak memberontak.
Biar kami memeriksa mereka.
Mendengar ucapan kaisar, itu, Kwee-ciangkun dan
rekan-rekannya tampak bergembira, akan tetapi Perdana
Menteri Chin Kui mengerutkan alisnya dan wajahnya
tampak muram dan penasaran sekali. Akan tetapi dia
tidak takut karena merasa betapa kaisar tentu lebih
percaya kepadanya daripada kepada yang lain, apa lagi
mengingat betapa kuat kedudukannya.
Kaisar Sung Kao Tsu memandang Thian Liong
dengan tajam lalu berkata, suaranya membentak. Hei,
orang muda. Kami mendengar bahwa engkau telah
berkhianat kepada Kerajaan Sung dengan membantu
Kerajaan Kin. Kamu menjadi mata-mata Kerajaan Kin
untuk menyelidiki kerajaan kami, benarkah itu?
Souw Thian Liong menjawab dengan hormat. Berita
itu hanya fitnah, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba
memang berada di utara, daerah Kerajaan Kin, dalam
perjalanan hamba mencari seorang maling yang mencuri
sebuah kitab pusaka dari hamba. Di sana hamba melihat
usaha
pemberontakan
terhadap
Kaisar
Kin.
Pemberontaknya adalah Pangeran Hiu Kit Bong dan
melihat ini hamba lalu membantu Kaisar Kin untuk
menghancurkan pemberontak. Hamba memang telah
membantu Kaisar Kerajaan Kin, akan tetapi bantuan itu
hanya untuk melawan pemberontakan di sana. Sama
sekali hamba tidak menjadi kaki tangan Kerajaan Kin,
apalagi untuk menjadi mata mata di sini.
Dia bohong, Sri Baginda! Hamba mendengar jelas
bahwa Souw Thian Liong ini telah menjadi kaki tangan
771

Kerajaan Kin, bahkan hamba mendengar keterangan dari


penyelidik hamba bahwa Souw Thian Liong bergaul
akrab dengan puteri Kaisar Kin!
Hei, Perdana Menteri Chin Kui! Siapa penyelidikmu
itu? Tentu dia bernama Cia Song, penjahat busuk itu,
bukan? Cia Song itu utusanmu dalam persekutuanmu
dengan pemberontak Pangeran Hiu Kit Bong, bukan?
Pek Hong berteriak.
Perempuan jahat! Jaga mulut busukmu! Sri Baginda,
perempuan ini telah menghina hamba, berarti
merendahkan paduka. Berani ia berteriak-teriak di depan
paduka. Tentu ia ini jahat sekali dan tentu dia tokoh di
utara yang menjadi mata-mata, teman baik pengkhianat
Souw Thian Liong.
Kaisar Sung Kao Tsu mengerutkan alisnya. Sudah
biasa dia mempercaya semua omongan perdana
menterinya, dan diapun merasa agak tersinggung dan
tidak senang melihat sikap Pek Hong yang begitu berani
seolah tidak perduli bahwa ia sedang berada di tengah
persidangan dalam istana, bukan dalam pasar atau di
jalan umuml Akan tetapi kaisar itu juga terkejut
mendengar ucapan gadis itu yang menuduh Perdana
Menteri Chin Kui bersekongkol dengan Pangeran Hiu Kit
Bong yang memberontak terhadap Kaisar Kin.
Sri Baginda Yang Mulia, apakah paduka lebih
percaya obrolan kosong gadis berlidah utara ini, matamata Kin ini, daripada keterangan hamba yang selalu
setia kepada paduka? Hamba bersumpah tidak pernah
berhubungan dengan pangeran manapun juga dari
kerajaan Kin, apalagi dengan pemberontak. Untuk apa
hamba
bersekutu
dengan
pemberontak?
Apa
772

keuntungan hamba? Harap paduka memberi hukuman


kepada perempuan yang menjatuhkan fitnah dan amat
jahat ini, juga kepada Souw Thian Liong ini!
Melihat kaisar bimbang, Panglima Kwee cepat
berkata, Mohon ampun Sri Baginda Yang Mulia. Kalau
memang kedua orang muda ini mempunyai niat jahat,
untuk apa mereka berdua berani datang menghadap
paduka? Hamba yang bertanggung jawab. Harap paduka
suka mempertimbangkan dan tidak tergesa gesa
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak
berdosa. Kalau paduka masih meragukan kebersihan
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, hamba usulkan
agar mereka berdua ini untuk sementara ditahan dulu
dalam penjara istana, kemudian paduka selidiki siapa
yang bersalah dan siapa yang benar, baru paduka
menjatuhkan keputusan hukuman kepada yang bersalah.
Harap paduka ampunkan hamba yang berani
mengajukan saran, akan tetapi semua ini hamba lakukan
demi mempertahankan kebijaksanaan dan keadilan
paduka.
Menteri Kebudayaan Pui yang tua itu mewakili
teman-temannya yang kesemuanya masih berlutut
bersama Panglima Kwee segera berkata, Hamba semua
abdi paduka yang setia mendukung saran dari Kweeciangkun, Yang Mulia.
Wah, kalian semua pengkhianat dan pemberontak!
Berani sekali kalian bersikap kurang ajar kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Sejak kapan pejabat-pejabat
macam kalian boleh memberi perintah kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Ini penghinaan namanya! Aku akan
membasmi para pengkhianat dan pemberontak! Para
pengawal, tangkap mereka para pengkhianat ini!
773

Perdana Menteri Chin Kui berteriak-teriak dengan marah


sekali, kemarahan yang timbul dari rasa gelisah melihat
betapa orang-orang itu berani hendak membongkar
rahasia dan kesalahannya di depan Sri Baginda Kaisar.
Sebagian dari para perajurit pengawal itu ada yang
telah dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan
menerima sogokan, akan tetapi karena Kaisar tidak
memberi tanda untuk bergerak menangkap, tentu saja
mereka tidak berani bergerak, menanti tanda dari Kaisar.
Hentikan semua perdebatan ini! Memusingkan kami
saja! kata Kaisar Sung Kao Tsu sambil mengerutkan
alisnya. Pengawal, tangkap Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong ini dan tahan mereka dalam penjara! Kami
akan mengambil keputusan kelak!
Empat orang pengawal memberi hormat, lalu mereka
maju menghampiri Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong
dan dengan tertib mereka berempat menyuruh kedua
orang muda itu berdiri dan mengawal mereka berdua
keluar dari ruangan itu. Karena memang sebelumnya
sudah direncanakan oleh Kwee-ciangkun, maka Thian
Liong dan Pek Hong tenang-tenang saja ketika dikawal
menuju ke penjara istana yang terletak di bagian
belakang bangunan istana yang luas itu. Bahkan ketika
meninggalkan ruangan itu, Pek Hong cengingisan,
senyum-senyum dan ketika melihat Perdana Menteri
Chin Kui memandang kepadanya, ia melotot dan
menjulurkan lidahnya kepada perdana menteri itu. Chin
Kui yang merasa diejek di depan para pejabat tinggi,
sukar sekali menahan kemarahannya dan dia
mengamangkan tinjunya ke arah Pek Hong yang dibalas
oleh gadis ini dengan meruncingkan bibirnya ke arah
Chin Kui.
774

Semua orang melihat hal ini dan diam diam mereka


heran akan keberanian gadis itu. Hanya Kwee Gi, Han Si
Tiong, dan Liang Hong Yi saja yang tidak merasa heran
karena mereka maklum bahwa gadis itu adalah puteri
Kaisar Kin, tentu saja tidak merasa rendah diri atau takut
menghadap semua penghuni istana termasuk kaisarnya
sendiri!
Biarpun belum ada keputusan hukuman Kaisar,
namun hati Chin Kui sudah merasa lega bahwa dua
orang itu telah ditahan dalam penjara. Untuk sementara
dia aman dan bukan merupakan pekerjaan sukar
baginya untuk membunuh dua orang muda berbahaya itu
setelah mereka berada dalam penjara.
Kini Kaisar Sung Kao Tsu memandang kepada Han
Si Tiong dan Liang Hong Yi, lalu bertanya. Kalian suami
isteri yang dulu menjadi pimpinan Pasukan Halilintar,
kami ingat bahwa setelah perang berhenti, kalian
mengundurkan diri dari jabatan. Sekarang apa kehendak
kalian, berani ikut Kwee-ciangkun menghadap dalam
persidangan ini tanpa kami panggil?
Ampunkan hamba berdua, Sri Baginda Yang Mulia.
Duabelas tahun yang lalu, hamba berdua mengundurkan
diri karena hamba berdua hendak mencari puteri hamba
yang diculik orang. Kemudian, karena merasa rindu
kepada para sahabat hamba di kota raja, hamba berdua
kembali ke sini untuk berkunjung kepada para sahabat,
terutama kepada Kwee-ciangkun yang sudah hamba
anggap sebagai saudara sendiri. Akan tetapi dalam
perjalanan, tiba-tiba saja hamba berdua diserang hendak
dibunuh oleh tiga orang jagoan yang diutus oleh Perdana
Menteri Chin Kui. Hamba berdua tidak melakukan
kesalahan apapun terhadap dia, akan tetapi kemudian
775

hamba mengetahui bahwa Perdana Menteri Chin Kui


memang hendak membasmi semua orang yang pernah
berjuang membela negara di bawah pimpinan mendiang
Jenderal Gak Hui.
Bohong, itu fitnah! Sri Baginda, harap jangan
percaya fitnah itu. Hei, orang she Han, apa buktinya
bahwa aku menyuruh orang untuk membunuh kalian?
Mana buktinya? Hayo tunjukkan buktinya, jangan bicara
bohong dan menyebar fitnah! bentak Chin Kui.
Buktinya memang tidak ada, akan tetapi saksinya
banyak. Pertama, saksinya adalah Souw Thian Liong dan
Sie Pek Hong tadi karena dua orang muda itulah yang
menyelamatkan kami berdua dan membuat para
pembunuh melarikan diri. Kemudian, ada lagi saksinya,
yaitu Kwee-ciangkun yang bertemu dengan tiga orang
pembunuh itu, yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin
dan Siang Mo ko, jagoan-jagoan yang engkau kirim untuk
membunuh kami! kata Liang Hong Yi dengan berani.
Bohong! Semua saksi itu adalah komplotan kalian
yang sengaja mengatur muslihat untuk menjatuhkan aku!
Sri Baginda Yang Mulia, Han Si Tiong dan isterinya ini
adalah dua orang yang jahat sekali. Paduka tentu sudah
mendengar bahwa Jenderal Ciang Sun Bo dan
puteranya, Ciang Ban, telah dibunuh orang. Paduka tahu
siapa
yang
membunuh
mereka?
Bukan
lain
pembunuhnya adalah seorang gadis bernama Han Bi
Lan, puteri dari suami isteri jahat ini!
Kaisar Sung Kao Tsu terkejut juga mendengar
ucapan Perdana Menteri Chin Kui ini. Dia memandang
kepada suami isteri itu dan bertanya, Han Si Tiong,
benarkah puterimu membunuh Jenderal Ciang dan
776

puteranya?
Benar, Yang Mulia. Jenderal Ciang dan puteranya
menipu puteri hamba. Mereka menjamu dan meracuni
puteri hamba, maka puteri hamba lalu membunuh
mereka yang jahat itu, jawab Han Si Tiong dengan
tenang.
Nah, laporan hamba benar, Sri Baginda. Kalau
puterinya pembunuh kejam, orang tuanya tentu bukan
orang baik baik dan mereka berdua ini harus dihukum!
teriak Perdana Menteri Chin Kui.
Kaisar Sung Kao Tsu benar-benar menjadi bingung
dan pusing. Baru sekali ini dalam persidangan terjadi
perbantahan dan percekcokan saling tuduh seperti itu.
Ampun, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba menjadi
penanggung jawab akan kebenaran keterangan Han Si
Tiong. Mendiang Jenderal Ciang Sun Bo adalah anak
buah Perdana Menteri Chin Kui, maka dia hendak
mencelakai puteri Han Si Tiong itu. Mohon kebijaksanaan
paduka untuk menyelidiki kebenaran laporan hamba ini,
kata Panglima Kwee dan sepuluh orang pejabat tinggi
itupun mengeluarkan pendapat mereka melalui Menteri
Kebudayaan Pui.
Hamba semua mendukung
Panglima Kwee Gi!

kebenaran

laporan

Kaisar dengan pusing mengangkat tangan sebagai


isyarat bahwa semua orang harus diam, kemudian dia
berkata. Kami akan menyelidiki siapa yang bersalah dan
siapa yang benar dalam hal ini. Untuk sementara, Han Si
Tiong dan isterinya ditahan seperti dua orang muda tadi.
777

Pengawal, tahan Han Si Tiong dan Liang Hong Yi ke


dalam penjara, pisahkan dari dua orang muda tadi!
Empat orang pengawal maju dan suami isteri itu lalu
digiring keluar dari ruangan itu menuju ke penjara istana.
Setelah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dibawa pergi
para pengawal, mulailah para pejabat tinggi, dipimpin
oleh
Panglima
Kwee
Gi,
berganti-ganti
dan
bersambungan, membuat pelaporan kepada Sri Baginda.
Semua memberi laporan yang membongkar keburukan
Perdana Menteri Chin Kui, ada yang melaporkan tentang
penindasan Chin Kui dan kaki tangannya terhadap rakyat
jelata dengan tindakan yang sewenang-wenang,
pemerasan melalui pajak yang berlebihan, sogok
menyogok, dan berbagai korupsi. Semua laporan itu
membongkar kenyataan yang sangat jauh bedanya
dengan laporan Chin Kui kepada Kaisar yang selalu baikbaik saja. Kwee-ciangkun sendiri melaporkan betapa
kehidupan Chin Kui amat berlebihan, istananya bahkan
lebih mewah daripada istana kaisar sendiri, kekayaannya
amat besar dan semua itu adalah hasil korupsi dan
pemerasan terhadap rakyat.
Tentu saja Perdana Menteri Chin Kui dengan
kemarahan meluap-luap berteriak-teriak menyangkal
semua tuduhan itu.
Sri Baginda Yang Mulia. Mereka semua ini, Kwee Gi
dan konco-konconya, adalah orang-orang yang tidak
senang dengan kekuasaan paduka sebagai raja! Mereka
tidak berani terang-terangan menyerang paduka, maka
mereka alihkan kepada hamba yang merupakan abdi
paling setia dari paduka. Mereka sengaja menjatuhkan
fitnah-fitnah keji untuk mengadu domba antara paduka
dengan hamba, semua itu ditujukan untuk melemahkan
778

kedudukan paduka. Kalau muslihat mereka berhasil


menjatuhkan hamba, barulah tiba giliran paduka karena
hamba sudah tidak ada lagi untuk membela paduka.
Mereka ini jelas bermaksud untuk memberontak dan
menggulingkan kekuasaan paduka, Sri Baginda! Setelah
Perdana Menteri Chin Kui berteriak demikian, para
sekutunya juga mendukung dan membenarkannya.
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dan sepuluh orang
rekannya membantah. Terjadi perbantahan dan masingmasing bahkan sudah menjadi panas dan hampir terjadi
perkelahian di depan Kaisar!
Kaisar Sung Kao Tsu bangkit berdiri, memegangi
kepala dengan kedua tangan dan membentak. Semua
diam! Apakah kalian semua sudah tidak menganggap
aku sebagai junjungan kalian lagi? Di dalam
persidangan, di depanku, kalian berani membikin ribut
seperti dalam pasar!
Semua pejabat lalu menjatuhkan diri berlutut dan
hampir berbareng mulut mereka, baik pihak Perdana
Menteri Chin Kui dan sekutunya, maupun pihak Kweeciangkun dan rekan-rekannya, berseru memohon ampun
kepada Sri Baginda Kaisar.
Sudah, aku sudah cukup pusing! Persidangan
ditunda sampai satu minggu, baru aku akan mengambil
keputusan!
Setelah berkata demikian, Kaisar Sung Kao Tsung
dengan kasar lalu bangkit dan melangkah keluar dari
ruangan sidang itu, diikuti para thaikam dan pengawal
pribadi. Agaknya kaisar memerintahkan dari sebelah
dalam kepada para perwira pengawal pribadi karena
779

setelah kaisar pergi, tak lama kemudian semua perajurit


pengawal berkumpul di ruangan sidang itu, melakukan
penjagaan kalau-kalau para pejabat tinggi itu membuat
ribut lagi.
Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya cepat
meninggalkan istana, demikian pula Perdana Menteri
Chin Kui keluar bersama kelompoknya yang terdiri dari
beberapa panglima dan menteri, berjumlah sekitar lima
belas orang. Para pejabat lainnya yang tidak memihak,
akan tetapi sebagaian besar adalah pejabat yang setia
kepada kaisar, juga bubaran.
***
Kedua pihak yang bertentangan itu masing-masing
berunding dengan kelompoknya. Pihak yang menentang
Chin Kui, dipimpin Kwee-ciangkun, segera membuat
persiapan dengan pasukan mereka, berjaga-jaga kalau
pihak lawan menggunakan kekerasan. Adapun Chin Kui
yang penasaran dan marah sekali, kemarahannya yang
timbul dari kekhawatiran, segera berunding pula dengan
sekutunya. Mereka semua merasa terancam. Kalau para
penentang itu berhasil, berarti kedudukan mereka goyah
dan penghasilan besar yang mengalir masuk secara
berlimpahan ke kantung mereka tentu saja akan berhenti
atau terganggu. Tak seorangpun di antara mereka rela
kehilangan kedudukan mereka yang tinggi.
Kedudukan atau jabatan tinggi berarti kekuasaan,
dan kekuasaan berarti melancarkan mengalirnya harta
yang
memasuki
kantung
mereka.
Kemuliaan,
kemewahan, dan kekuasaan yang membuat mereka
selalu menang selalu benar itu menjadi sebab utama
kemelekatan pinggul mereka kepada kursi kedudukan
780

sehingga
mereka
akan
mempertahankan
kursi
kedudukan itu dengan cara apapun juga, kalau perlu
dengan kekerasan, bahkan dengan taruhan nyawa
sekalipun!
Setelah berunding semalam suntuk, Chin Kui
mengumpulkan saran-saran dari para sekutunya,
kemudian dia mengambil keputusan dengan suara tegas.
Kita semua mengetahui bahwa kedudukan kita
terancam bahaya dengan adanya tuduhan dari Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga dari Han Si Tiong
dan isterinya. Celakalah kita kalau sampai Kaisar
mendapat bukti akan keterlibatan kita dengan
pemberontakan di Kerajaan Kin. Semua ini karena
keteledoran Cia Song sehingga mereka sampai
mengetahui bahwa aku mengirim Cia Song ke utara.
Karena itu, jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri
adalah membunuh empat orang tahanan itu. Setelah
mereka berada dalam tahanan, tidak begitu sukar untuk
membunuh mereka. Dan engkau, Cia Song, engkau
harus menebus keteledoranmu di utara itu. Engkau yang
harus melakukan pembunuhan terhadap mereka
berempat. Engkau boleh membawa bantuan dan jangan
sampai tugas itu gagal!
Cia Song yang memang telah merasa betapa dia
yang menyebabkan perdana menteri itu diketahui
mengadakan persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit
Bong yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin,
hanya dapat mengangguk menyanggupi.
Akan tetapi apa artinya kalau hanya membunuh
empat orang itu saja? Tentu Kaisar sudah kehilangan
kepercayaan kepada anda, Chin-taijin (pembesar Chin)!
781

kata seorang panglima yang bertubuh tinggi besar


bermuka hitam.
Anda benar, Lo-ciangkun. Sebagaimana diusulkan
oleh beberapa orang saudara tadi, sekali ini kita tidak
boleh bekerja kepalang tanggung. Selain menugaskan
Cia Song untuk membunuh empat orang tahanan yang
berbahaya bagiku itu, kita juga harus pada malam itu
juga membunuh kaisar. Kalau usaha itu berhasil baik,
kita harus menggunakan pasukan yang telah
dipersiapkan untuk menyerbu dan menduduki istana.
Kalau kaisar sudah tewas, tentu mereka itu tidak dapat
berbuat apa-apa. Akan tetapi kalau usaha membunuh
kaisar gagal kita harus bersabar, tidak boleh menyerbu
istana dan mencari jalan dan kesempatan lain yang lebih
menguntungkan. Bagaimanapun juga, kurasa kaisar
masih menaruh kepercayaan kepadaku karena semua
yang dituduhkan gerombolan pengacau itu belum dapat
dibuktikan.
Setelah
berunding
dengan
matang,
para
pemberontak ini bubaran untuk mempersiapkan diri
dengan tugas masing masing. Cia Song juga membuat
persiapan. Karena dia ketahuan sebagai penghubung
Chin Kui dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan
perdana menteri itu menyangkal, maka dia tidak boleh
memperlihatkan diri kepada umum dan diharuskan
bersembunyi di dalam ruangan rahasia dalam istana
Perdana Menteri Chin Kui.
Cia Song mengajak empat orang kaki tangan Chin
Kui yang telah diselundupkan dan menjadi perajurit
dalam pasukan pengawal istana untuk menemaninya
melaksanakan tugas pembunuhan terhadap empat orang
tahanan itu. Dia tidak mau mengajak jagoan-jagoan yang
782

berada di rumah Chin Kui karena kemungkinan ketahuan


lebih besar. Kalau mengajak empat orang itu, tentu akan
mudah menyusup ke dalam penjara istana dan dia dapat
menyamar sebagai seorang dari mereka.
Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko
yang ditugaskan untuk melakukan pembunuhan terhadap
kaisar! Tiga orang ini memang merupakan jagoan jagoan
kepercayaan Chin Kui dan ilmu kepandaian mereka
cukup tinggi sehingga perdana menteri itu menganggap
bahwa mereka cukup kuat untuk melakukan tugas itu
dengan berhasil baik.
Perdana Menteri Chin Kui adalah seorang yang licik
dan cerdik sekali. Dia selalu mendahulukan kepentingan
dan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam
setiap tugas yang diberikan kepada kaki tangannya, dia
selalu menjaga agar kalau tugas itu gagal, jangan
sampai namanya tersangkut. Oleh karena itu, ketika
memberi tugas kepada Cia Song untuk membunuh
empat orang tawanan di dalam penjara istana, juga
memberi tugas kepada Hwa Hwa Cin-jin dan kedua
Siang Mo-ko untuk membunuh kaisar dalam istana,
diam-diam dia menugaskan orang-orangnya yang telah
ditanam di istana sebagai pengawal-pengawal, untuk
membayangi mereka yang bertugas itu.
Dua orang diharuskan membayangi Cia Song dan
dua orang pula membayangi Hwa Hwa Cin-jin dan Siang
Mo-ko dengan pesan bahwa kalau sampai para petugas
itu gagal dan tidak mampu lolos dari dalam istana, maka
para petugas itu harus dibunuhnya. Tidak boleh sekalisekali ada yang tertangkap sehingga akan mengaku
bahwa mereka disuruh oleh Chin Kui!

783

Malam kedua setelah persidangan dalam istana yang


kacau dan penuh perdebatan dan percekcokan sehingga
membuat kaisar menjadi pusing dan marah itu adalah
malam yang sepi, gelap dan dingin. Hujan baru saja
berhenti setelah turun lebat sejak sore. Di luar rumah
basah semua dan udara menjadi bersih namun dingin
bukan main sehingga orang orang segan keluar rumah
dan membuat malam itu terasa sepi. Dalam cuaca
seperti itu, yang paling nyaman adalah tidur.
Di kompleks bangunan istana juga tampak sepi. Para
penjaga yang merupakan pengawal istana bagian luar
berjaga di gardu masing-masing dan agak malas
melakukan perondaan di malam yang dingin itu. Pula,
selama ini tidak pernah terjadi sesuatu di istana. Tidak
mungkin ada pencuri berani memasuki kompleks istana
yang terjaga oleh tiga lapis pasukan. Pertama, pasukan
pengawal luar istana, lalu ada pasukan pengawal dalam
istana dan pasukan pengawal keluarga kaisar. Masih ada
lagi pasukan pengawal bagian keluarga wanita istana
dan para perajurit di sini adalah para thai-kam (sida-sida,
kebiri).
Cia Song yang menyamar, berpakaian sebagai
perajurit pengawal bagian dalam, bersama empat orang
perajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Chin Kui,
berhasil masuk dengan mudah. Dia lalu bersama empat
perajurit itu melakukan perondaan.
Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko,
yaitu Bu-tek Mo-ko dan Bu-eng Mo-ko, masuk secara
menggelap. Mereka sudah mendapat keterangan
lengkap tentang jalan masuk ke taman istana melalui
pintu kecil di bagian belakang, setelah mereka dapat
melewati pintu gerbang benteng istana yang dijaga oleh
784

para perajurit kaki tangan Chin Kui yang memang


dipersiapkan malam itu bertugas jaga di situ.
Malam yang gelap dan sunyi amat membantu caloncalon pembunuh itu. Dengan mudah mereka dapat
mendekati sasaran masing-masing. Dengan jalan
meronda, Cia Song dan empat orang perajurit pengawal
itu akhirnya mengambil jalan menuju ke belakang di
mana terdapat sebuah bangunan yang menjadi tempat
tahanan istana yang penting.
Tepat seperti yang dikatakan Panglima Kwee, empat
orang yang ditahan di penjara istana itu mendapat
perlakuan baik sekali dari kepala penjara itu yang
mendukung perjuangan Panglima Kwee dan rekanrekannya dalam menentang Perdana Menteri Chin Kui.
Kepada
anak
buahnya
kepala
penjara
itu
memperingatkan.
Para tahanan ini adalah orang-orang gagah,
pendekar-pendekar dan mereka hanya ditahan selama
urusan mereka masih dipertimbangkan oleh Sri Baginda
Kaisar. Mereka belum dinyatakan bersalah, belum
dihukum. Maka kalau kalian memperlakukan mereka
berempat secara kasar, aku tidak akan mengampuni
kalian karena tentu Sri Baginda akan menyalahkan aku.
Aku yang bertanggung jawab di sini. Mengerti?
Tentu saja para anak buahnya takut untuk
membantah. Bagaimanapun juga, ucapan kepala penjara
itu benar. Oleh karena itu, Han Si Tiong, Liang Hong Yi,
Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong diperlakukan
dengan baik. Memang, kamar tahanan mereka itu kokoh
sekali, terbuat dari baja tebal dengan jeruji yang kokoh
dan tidak mungkin dipatahkan begitu saja. Akan tetapi
785

mereka diperlakukan dengan baik, tidak ada yang berani


mengejek atau menghina dan mereka tidak kekurangan
makanan dan minuman.
Thian Liong dan Pek Hong berada dalam satu kamar
tahanan dan Han Si Tiong berdua dengan isterinya.
Thian Liong merasa rikuh juga berada dalam satu
kamar dengan Pek Hong. Akan tetapi gadis itu bersikap
biasa. Juga dalam setiap kamar terdapat dua bangku
batu sebagai tempat tidur dan setiap kamar dilengkapi
dengan kamar mandi dan kakus lengkap. Biarpun para
penjaga bersikap baik, namun para tahanan itu tetap
waspada dan di waktu malam, tidur merekapun tidak
pulas benar. Sedikit suara saja cukup membangunkan
mereka.
Pada malam kedua yang sepi dan dingin itu, Thian
Liong duduk di atas pembaringan batu, bersila dan
menenangkan hati dan pikiran, mengumpulkan hawa
murni agar dia dapat selalu siap menghadapi segala
kemungkinan, baik ataupun buruk. Tiba-tiba dia
mendengar Pek Hong bersenandung. Lirih saja, akan
tetapi suaranya merdu dan lagunya terdengar asing,
akan tetapi indah. Thian Liong membuka mata dan
memandang.
Gadis itu duduk di atas pembaringan batunya yang
berada di dekat dinding seberang, kedua kakinya
digantung dan wajahnya tampak tenang saja. Diam-diam
dia merasa kagum. Gadis ini memang luar biasa. Menjadi
tahanan, dikeram dalam kamar penjara, sama sekali
tidak tampak sedih atau khawatir, malah bersenandung,
seperti orang yang sedang santai dan gembira. Padahal,
ia itu seorang puteri yang biasa hidup di dalam istana
786

yang indah dan mewah! Akan tetapi, Thian Liong segera


teringat bahwa Puteri Moguhai ini juga Pek Hong Nio-cu,
seorang pendekar wanita yang tentu saja biasa merantau
dan hidup dalam keadaan seadanya, bahkan tentu
pernah kekurangan makan dan tidur di mana saja,
mungkin di dalam hutan. Maka hilanglah rasa herannya
walaupun dia tetap saja masih merasa kagum.
Hong-moi kenapa engkau begini gembira? tanya
Thian Liong.
Gadis itu memandang kepadanya dengan senyum
manis sekali. Habis, apakah engkau lebih suka melihat
aku menangis, Liong-ko?
Mau tak mau Thian Liong tersenyum juga. 'Tentu saja
tidak, Hong-moi. Akan tetapi aku merasa kagum akan
ketenanganmu, dalam keadaan terancam begini engkau
masih dapat bersenandung dan tersenyum!
Karena aku yakin bahwa keadaan ini pasti tidak
akan selamanya dan hanya sementara saja.
Engkau yakin bahwa perjuangan Paman Kwee dan
rekan-rekannya akan berhasil? Kulihat Chin Kui itu
benar-benar telah mempengaruhi Kaisar.
Aku percaya kepada Paman Kwee, akan tetapi
bukan kepadanya dan para rekannya saja. Akupun yakin
bahwa ayahku tidak akan diam saja membiarkan aku
terancam bahaya, Liong-ko.
Eh? maksudmu?
Ayah percaya akan kemampuanku, akan tetapi dia
787

juga amat sayang kepadaku. Mengingat bahwa aku pergi


ke selatan, ke wilayah Kerajaan Sung, aku yakin bahwa
ayah tentu tidak akan melepaskan aku begitu saja dan
diam-diam tentu mengirim orang-orang untuk mengawasi
dan menjagaku sehingga kalau aku mendapatkan
kesulitan mereka akan dapat menolongku.
Hemm, kau pikir begitukah, Hong moi?
Bukan itu saja Liong-ko. Kau ingat ketika kita
terancam bahaya sewaktu kita tertawan kaki tangan
pemberontak di utara itu? Paman Sie menolong kita......
Maksudmu, suhu Tiong Lee Cin-jin?
Bukan, maksudku Paman Sie, sahabat ibuku dan
juga guruku! Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku
celaka.
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara demikian
penuh keyakinan sehingga Thian Liong terpengaruh dan
percaya juga. Diapun percaya bahwa gurunya adalah
seorang sakti yang dapat melakukan hal hal yang luar
biasa. Dia tidak mau berdebat dengan Pek Hong tentang
siapa penolong mereka dahulu itu, apakah gurunya
Tiong Lee Cin-jin ataukah paman gadis itu yang disebut
Paman Sie, ataukah keduanya itu memang sama
orangnya. Maka, diapun diam saja tidak mau membantah
dan keduanya kini duduk diam, seolah tenggelam ke
dalam lamunan masing-masing. Karena keduanya diam,
maka terasa sunyi sekali.
Hawa dingin menembus dinding tebal dan menyusup
ke dalam kamar tahanan itu. Thian Liong memandang
gadis itu. Gadis yang begitu cantik jelita, begitu lihai dan
788

juga gagah perkasa dan pemberani, seorang puteri


kaisar lagi! Dan sekarang, gadis itu meringkuk dalam
kamar tahanan duduk di tempat tidur batu yang dingin!
Semua ini karena gadis itu hendak membantunya untuk
membela Kerajaan Sung menentang Chin Kui!
Hong-moi, maafkan aku. Aku menyesal sekali,
Hong-moi. Setelah menghela napas berulang-ulang,
Thian Liong berkata lirih.
Gadis yang tadinya menundukkan mukanya itu, kini
mengangkat muka memandang. Apa maksudmu, Liongko? Maaf? Menyesal?
Ya, aku merasa menyesal sekali dan minta maaf
padamu karena sekarang engkau menderita dan
terancam bahaya hanya karena aku! Kalau engkau tidak
ikut dan membantuku, tentu engkau sekarang berada di
kamarmu sendiri, di istana ayahmu yang indah.
Sepasang alis hitam melengkung itu berkerut.
Sepasang mata bintang itu bersinar marah. Liong-ko,
apakah dahulu ketika engkau membantu aku
menghadapi pemberontak di utara lalu kita tertawan dan
terancam maut, aku juga minta maaf dan menyatakan
menyesal karena engkau membantuku? Kalau begitu
engkau merasa menyesal bahwa aku membantumu,
berarti engkau menyesal pula dahulu pernah membantu
aku!
Wah, sama sekali tidak, Hong-moi! Bukan begitu
maksudku......
Kalau tidak begitu, syukurlah dan jangan kita
bicarakan lagi hal itu! Pek Hong lalu memutar duduknya,
789

menghadap ke arah pintu baja di mana terdapat jeruji


baja yang kokoh dan mereka dapat memandang keluar
pintu melalui celah celah jeruji.
Thian Liong tahu bahwa gadis itu marah. Diapun
tidak berani lagi bicara dan merasa bahwa memang dia
tadi telah salah omong. Semestinya, penyesalan itu
untuk diri sendiri saja, disimpan di hati tidak dikeluarkan
melalui omongan. Diapun memandang ke luar pintu.
Malam makin larut. Penjara istana itu dijaga ketat
oleh lima orang secara bergiliran. Lima orang penjaga
yang baru saja mendapat giliran menggantikan lima
orang perajurit yang berjaga sejak sore tadi, masih
tampak segar dan belum mengantuk. Melakukan tugas
jaga di penjara itu, di waktu penjara ada penghuninya,
bukan merupakan pekerjaan berat.
Penjara itu kokoh kuat. Orang yang ditahan dalam
ruangan penjara itu tidak mungkin dapat membobol pintu
untuk melarikan diri. Juga teramat sukar bagi orang luar
untuk dapat memasuki penjara ini guna membebaskan
mereka yang ditahan. Penjagaan dari pintu gerbang
benteng istana sampai ke penjara itu melalui penjagaan
yang berlapis-lapis. Maka, lima orang perajurit pengawal
yang melakukan penjagaan inipun santai saja. Selama ini
belum pernah terjadi ada tahanan dapat kabur
meloloskan diri.
Apalagi sekarang penjara itu hampir kosong, hanya
terdapat dua pasang tahanan. Itupun, menurut kepala
penjara, bukan merupakan orang tahanan berbahaya
dan harus diperlakukan dengan sikap baik. Jadi, lima
orang itupun tidak mengkhawatirkan sesuatu. Empat
orang dari mereka segera asyik bermain kartu,
790

sedangkan yang seorang duduk melakukan penjagaan


kalau-kalau ada atasan mereka melakukan pemeriksaan,
agar dia dapat memperingatkan kawan-kawan yang
sedang bermain kartu.
Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu
berjalan dengan tenang menghampiri tempat penjagaan
di depan bangunan penjara. Perajurit yang melakukan
penjagaan segera berbisik ke arah teman-teman yang
sedang berjudi.
Ssstt...... ada yang datang!
Empat orang itu segera menyembunyikan kartu dan
mereka duduk seolah sedang melakukan penjagaan
ketat. Ketika perajurit yang menjadi kepala regu melihat
bahwa yang datang adalah lima orang perajurit
pengawal, dia bertanya heran.
He, kawan-kawan! Kami baru saja datang dan belum
waktunya diganti!
Cia Song yang berpakaian sebagai seorang perajurit
pengawal mendekati kepala regu dan berkata dengan
ramah, Kami hanya ditugaskan untuk melihat apakah
keadaan di sini baik-baik dan aman saja.
Empat orang perajurit pengawal yang menemani Cia
Song, seperti telah diatur sebelumnya, juga mendekati
para penjaga itu dengan ramah bersahabat.
Lima orang penjaga itupun tidak merasa curiga dan
mereka
menjadi
lengah.
Tiba-tiba
Cia
Song
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali.
Berturut turut dia menotok roboh tiga orang penjaga
791

tanpa mereka sempat berteriak karena mereka bertiga


telah terkena totokan ampuh sehingga mereka roboh
dalam keadaan pingsan. Dua orang penjaga lainnya
terkejut bukan main. Saking kagetnya, mereka tidak
mampu mengeluarkan suara dan pada saat itu, empat
batang golok menyambar dan merekapun roboh mandi
darah, tewas tanpa sempat berteriak.
Empat orang perajurit itu lalu mengayun golok
mereka, membunuh tiga orang perajurit penjaga yang
tadi roboh tertotok oleh Cia Song. Setelah yakin bahwa
lima orang penjaga itu tewas, Cia Song lalu memasuki
lorong di luar kamar-kamar tahanan, diikuti oleh empat
orang perajurit pengawal yang telah mengeluarkan
gendewa dan kantung penuh anak panah berukuran
kecil.
Semua ini memang telah dipersiapkan dengan baik
oleh Cia Song. Dia tahu betapa lihai Souw Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu. Dari keterangan Perdana Menteri
Chin Kui bahwa Souw Thian Liong ditemani seorang
gadis cantik yang bicaranya seperti orang utara, dia
seorang yang dapat menduga bahwa gadis itu tentulah
Puteri Kerajaan Kin yang juga mempunyai kepandaian
tinggi dalam ilmu silat itu.
Dia sekali ini tidak mau gagal lagi, maka dia telah
mempersiapkan diri dengan baik. Dia maklum biarpun
dua orang itu telah berada dalam sebuah kamar tahanan
yang kokoh dan tidak akan mampu keluar, namun
membunuh mereka bukan merupakan hal yang mudah.
Karena itu, tahu bahwa empat orang perajurit yang
menemaninya itu pandai mempergunakan senjata
panah, dia lalu membekali mereka dengan gendewa kecil
dan anak panah yang mengandung racun yang amat
792

kuat.
Kalau dua orang yang berada dalam ruangan itu di
berondong anak panah oleh empat orang perajurit dan
diapun membantu menyerang dari luar, mustahil bagi
Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu untuk dapat
menyelamatkan diri! Dia sudah memperhitungkannya
dengan matang. Dia menduga bahwa dua orang itu pasti
tidak membawa senjata untuk melindungi diri mereka dari
hujan anak panah dan di dalam kamar penjara itupun
tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan perisai.
Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi dia sudah
memperhitungkan bahwa Souw Thian Liong sendiri tidak
akan
dapat
mengelak
terus.
Tidak
mungkin
menghindarkan diri dari serbuan anak-anak panah dan
sebatang saja mengenai tubuhnya, cukup untuk
membunuhnya.
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong yang kebetulan
sedang menghadap dan memandang ke arah pintu yang
berjeruji, melihat munculnya lima orang yang berpakaian
perajurit itu di depan pintu. Tadinya mereka mengira
bahwa mereka adalah para penjaga yang melakukan
perondaan, akan tetapi ketika mereka melihat Cia Song,
keduanya terkejut bukan main.
Ha-ha-ha! Cia Song tertawa. Bersiaplah kalian
untuk mampus!
Jahanam busuk kau! Pek Hong memaki.
Akan tetapi Cia Song sudah memberi isyarat kepada
empat orang yang memang sudah mempersiapkan anak
panah mereka. Begitu mereka berempat bergerak, sinar793

sinar hitam meluncur masuk ke dalam ruangan tahanan


itu dan menyambar ke arah tubuh Thian Liong dan Pek
Hong yang masih duduk di atas pembaringan batu
masing-masing. Dua orang muda ini cepat melompat dan
mengelak. Akan tetapi empat orang perajurit yang
memang sudah tahu akan kelebihan dua orang yang
harus mereka bunuh, melepas lagi anak panah secara
bertubi-tubi. Thian Liong dan Pek Hong tidak dapat
berbuat lain untuk menghindarkan diri kecuali dengan
mengelak.
Mereka berloncatan ke sana-sini dengan cekatan
sekali. Dari bau anak panah hitam itu keduanya maklum
bahwa anak panah itu beracun, maka tentu saja mereka
tidak ingin terluka oleh senjata kecil beracun itu.
Melihat betapa dua orang itu dapat mengelak, Cia
Song berseru.
Arahkan kepada seorang saja!
Empat orang perajurit itu mengerti. Kalau mereka
berempat hanya menyerang seorang saja, maka akan
sukar sekali, bahkan tidak mungkin orang itu akan
mampu menghindarkan diri dari hujan anak panah
mereka berempat.
Akan tetapi sebelum penyerangan kepada seorang
saja ini dilakukan, tiba tiba ada angin menyambar dari
kanan. Angin itu demikian dahsyatnya sehingga empat
orang perajurit itu tidak dapat bertahan dan mereka
roboh bergulingan.
Cia Song sendiri juga terkejut, cepat menengok ke
kanan dan melihat betapa ada seorang laki-laki
794

mendorongkan tangan kirinya ke arah para perajurit itu.


Dia cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan
menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah
orang itu untuk menyambut pukulannya dan membuat
orang itu roboh.
Wuuuttt...... blarrr......! Dua tenaga sinkang bertemu
dan akibatnya, tubuh Cia Song terpental seperti daun
kering tertiup angin dan dia harus berjungkir balik sampai
lima kali agar tidak sampai terbanting jatuh. Cia Song
terkejut bukan main. Celaka, pikirnya, orang ini memiliki
tenaga sin-kang yang luar biasa, jauh lebih kuat daripada
tenaganya sendiri.
Dia melihat orang itu berkelebat seperti bayangbayang saja cepatya, menghampiri empat orang perajurit
yang roboh dan yang kini sedang merangkak bangun.
Cepat sekali bayangan itu bergerak di antara mereka dan
empat orang perajurit itu tertotok dan roboh terkulai, tak
mampu bergerak lagi.
Suhu......! Thian Liong berseru.
Paman Sie......! Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Cia Song terkejut setengah mati mendengar Thian
Liong menyebut suhu kepada orang itu. Jadi inikah tokoh
besar bernama Tiong Lee Cin-jin yang terkenal sebagai
seorang manusia setengah dewa yang dijuluki Yok-sian
(Dewa Obat) itu? Pantas dia memiliki tenaga sakti
sehebat itu. Cia Song menjadi ketakutan dan dia segera
melompat dan melarikan diri.
Bayangan yang ternyata seorang laki laki berpakaian
795

kuning berusia sekitar enampuluh dua tahun itu segera


membuka pintu tahanan dengan sebuah kunci yang
agaknya tadi dia ambil dari gardu penjaga penjara. Daun
pintu kamar tahanan itu terbuka dan Pek Hong Nio-cu
melompat keluar dan berseru penasaran.
Mari kita kejar jahanam itu!
Begitu keluar dari kamar tahanan, Thian Liong segera
menjatuhkan diri di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.
Jangan kejar! Yang terpenting sekarang, cepat
kalian ikut aku menyelamatkan kaisar! kata Tiong Lee
Cin-jin dan dia sudah berkelebat dan berlari keluar dari
rumah penjara, diikuti oleh Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu.
Sebentar saja mereka sudah memasuki istana dan
mendengar suara ribut ribut orang-orang berkelahi di
ruangan sebelah dalam. Thian Liong dan Pek Hong Niocu cepat berlari masuk dan setelah tiba di ruangan dalam
yang menjadi ruangan keluarga kaisar, mereka melihat
terjadi perkelahian seru di tempat itu. Tiga orang
mengamuk, dilawan oleh belasan orang perajurit
pengawal pribadi kaisar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera mengenal
tiga orang itu yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin,
Bu tek Mo-ko Teng Sui dan Bu-eng Mo-ko Gui Kong atau
yang dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang Iblis). Tiga
orang ini mengamuk dan sudah merobohkan beberapa
orang perajurit pengawal dan sisanya sudah terdesak
hebat. Di sudut ruangan itu tampak kaisar berdiri dengan
muka pucat dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi
kaisar yang hanya mengandalkan para perajurit
796

pengawal untuk melindungi dirinya.


Karena sisa perajurit pengawal sudah terdesak dan
semakin mundur ke arah kaisar yang berdiri di sudut,
keadaan gawat sekali bagi keselamatan kaisar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat mengambil
pedang para perajurit yang tewas, lalu mereka berdua
menyerbu ke depan dengan pedang mereka.
Tiga orang yang mengamuk dan yang bertugas
membunuh kaisar itu terkejut bukan main ketika melihat
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu menyerang mereka.
Menurut keterangan Perdana Menteri Chin Kui, dua
orang itu telah ditahan dalam penjara. Kenapa kini tibatiba muncul di situ? Hwa Hwa Cin-jin yang merasa jerih
terhadap Thian Liong, segera mendahului dan maju
menyerang dengan pedangnya sambil mencari
kesempatan untuk dapat melarikan diri. Akan tetapi Thian
Liong sudah memutar pedang dan menutup semua jalan
keluar. Sinar pedangnya bergulung-gulung menghadang
semua jalan keluar dan Hwa Hwa Cin-jin tidak dapat
berbuat lain kecuali melawan mati-matian.
Pek Hong Nio-cu yang marah melihat tiga orang itu
mengancam keselamatan nyawa kaisar, segera
menerjang dan menyerang Bu-tek Mo-ko (lblis Tanpa
Tanding) Teng Sui yang tinggi kurus dan yang
mengamuk dengan pedangnya. Melihat pedang
menyambar cepat dan kuat, Bu-tek Mo-ko terkejut dan
menangkis.
Tranggg......! Bunga api berpijar dan orang pertama
dari Siang Mo-ko itu terhuyung ke belakang. Dia terkejut
797

dan gentar, akan tetapi Pek Hong Nio-cu sudah


menerjang dan mendesak dengan pedangnya.
Orang kedua dari Siang Mo-ko, yaitu Bu-eng Mo-ko
(Iblis Tanpa Bayangan), tidak dapat membantu kedua
orang rekannya karena dia sendiri kini dikeroyok para
perajurit pengawal yang masih bersisa sembilan orang
itu. Tadi, ketika mereka bertiga menghadapi para
perajurit pengawal, mereka bertiga menang di atas angin
dan selain merobohkan enam orang perajurit pengawal,
mereka juga mendesak sembilan orang perajurit yang
lain. Akan tetapi kini Bu-eng Mo-ko harus menghadapi
sembilan orang perajurit itu seorang diri saja, maka
diapun terdesak hebat.
Pek
Hong
Nio-cu
mengerahkan
seluruh
kepandaiannya. Gerakannya cepat sekali dan juga
tenaga saktinya masih lebih kuat dibandingkan Bu-tek
Mo-ko Teng Sui sehingga Iblis Tanpa Tanding ini terus
mundur dan hanya mampu menangkis saja. Setiap kali
menangkis, dia pasti terdorong dan terhuyung ke
belakang. Dia menjadi panik dan setelah mendapat
kesempatan, dia melempar diri ke atas lantai dan
melompat untuk melarikan diri. Akan tetapi Pek Hong
Nio-cu membentak.
Hendak lari ke mana kamu? Makanlah pedang ini!
Ia melontarkan pedang itu yang meluncur bagaikan
sebatang anak panah menuju sasarannya, yaitu
punggung lawan.
Singgg...... cappp!! Pedang itu tepat mengenai
punggung Bu-tek Mo-ko Teng Sui, begitu kuatnya
lontaran itu sehingga pedang menancap di punggung
dan menembus ke dada! Tubuh Bu-tek Mo ko terjungkal
798

dan dia tewas seketika.


Bu-eng Mo-ko juga mengalami nasib tidak lebih baik
daripada rekannya. Dia sudah melawan mati-matian,
akan tetapi musuh terlalu banyak dan diapun semakin
panik ketika rekannya roboh. Pada saat itu, sebatang
pedang membacok betisnya dan diapun mengaduh dan
terpelanting roboh. Para perajurit itu menghujaninya
dengan pedang sehingga sebentar saja tubuh Bu-eng
Mo-ko Gui Kong yang pendek gendut itu tercabik-cabik
dan diapun tewas dalam keadaan mengerikan!
Hwa Hwa Cin-jin menjadi semakin panik melihat dua
orang rekannya roboh dan tewas. Karena merasa tidak
mungkin dapat meloloskan diri lagi, dan tidak ingin tewas
di tangan para perajurit yang tentu akan mencabik-cabik
tubuhnya, Hwa Hwa Cin-jin menggerakkan pedang di
tangannya ke arah lehernya sendiri. Diapun roboh mandi
darah dengan leher hampir putus!
Melihat tiga orang pembunuh itu telah tewas, kaisar
lalu menghampiri Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Dua
orang muda ini memberi hormat dengan membungkuk.
Kalian telah menyelamatkan kami. Kami tidak akan
melupakan jasa kalian, kata kaisar yang lalu diungsikan
ke ruangan lain oleh perajurit pengawal.
Mari kita tangkap mereka yang hendak membunuh
kita tadi untuk menjadi saksi! kata Thian Liong kepada
Pek Hong Nio-cu, sambil mencari-cari dengan pandang
matanya. Akan tetapi yang dicarinya, yaitu Tiong Lee
Cin-jin, sudah tidak tampak bayangannya lagi. Mereka
berdua segera berlari, kembali ke penjara untuk
menangkap empat orang yang tadi membantu Cia Song
799

menghujani mereka dengan anak panah dan mereka


dirobohkan oleh Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi ketika
mereka tiba di sana, mereka melihat betapa empat orang
itu telah tewas terkena senjata rahasia pisau beracun
yang menancap di tubuh mereka.
Hemm, tentu mereka ini dibunuh agar tidak
membuka mulut, kata Thian Liong dengan gemas.
Ternyata musuh amat licik. Mengirim empat orang
pembunuh ini dan agaknya telah diikuti orang lain yang
bertugas membunuh mereka kalau pekerjaan itu gagal.
Dengan demikian, tidak ada yang dapat menjadi saksi
untuk mengatakan siapa yang menyuruh mereka untuk
membunuh tawanan. Juga sayang sekali, tiga orang
datuk yang berusaha membunuh kaisar juga sudah
tewas sehingga dalang semua ini tetap dalam gelap,
tidak ada saksi yang dapat membongkar rahasianya.
Ah, sayang sekali. Jahanam Cia Song dapat lolos
dan tadi aku hendak menangkap Hwa Hwa Cin-jin, maka
aku sengaja tidak menurunkan serangan yang
mematikan. Sayang sekali diapun membunuh diri, tentu
agar tidak dipaksa mengaku siapa dalangnya. Sungguh
cerdik dan licik majikan mereka! kata Thian Liong.
Kalau tidak licik dan cerdik, tidak mungkin dapat
menjadi perdana menteri sampai sekian lamanya dan
dapat mempengaruhi kaisar, kata Pek Hong Nio-cu.
Kaupikir yang menjadi dalang adalah Chin Kui?
Siapa lagi kalau bukan tikus busuk itu! kata Pek
Hong Nio-cu, gemas dan benci kepada Perdana Menteri
Chin
Kui
yang
telah
bersekongkol
dengan
800

pemberontakan yang terjadi di kerajaan ayahnya.


Pada saat itu, terdengar suara gedobrakan dan cepat
mereka menengok. Ternyata ada tubuh seseorang
agaknya dilempar dari luar pintu penjara. Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu cepat melompat dan mendekati
orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki berusia kurang
lebih empatpuluh tahun, berpakaian serba hitam dan dia
dalam keadaan tertotok sehingga, tidak mampu
bergerak. Di baju bagian dadanya terpasang sehelai
kertas yang ada tulisannya.
Thian Liong cepat mengambil surat
membacanya bersama Pek Hong Nio-cu.
Hui-to-kui (Setan Pisau
membunuh empat orang itu.

Terbang)

itu

inilah

dan
yang

Suhu......! Thian Liong cepat melompat keluar


penjara, akan tetapi tidak melihat bayangan gurunya
yang dia tahu pasti yang menangkap penjahat berjuluk
Setan Pisau Terbang ini.
Dia kembali ke dalam dan mengambil kunci dari
gardu penjaga, lalu menyeret orang berpakaian hitam itu
dan bersama Pek Hong Nio-cu mereka menghampiri
kamar tahanan di mana Han Si Tiong dan isterinya
dikeram. Pek Hong Nio-cu membuka kunci pintu penjara
itu dan Thian Liong menyeret tawanannya ke dalam
kamar penjara, melemparnya ke sudut kamar.
Ah, Thian Liong, sejak tadi kami merasa tegang dan
khawatir melihat orang-orang menghujankan anak panah
ke kamar tahanan kalian. Apakah yang terjadi? Dan
siapa orang ini? tanya Han Si Tiong sambil menunjuk ke
801

arah orang yang berjuluk Hui-to-kui itu.


Dengan singkat Thian Liong menceritakan tentang
serangan kepada mereka berdua oleh Cia Song dan
empat orang temannya. Lalu betapa mereka ditolong
gurunya.
Suhu merobohkan mereka dan menyelamatkan
kami, paman.
Yang menyelamatkan kami adalah Paman Sie, kata
Pek Hong Nio-cu.
Siapakah Paman Sie itu, tuan puteri...... eh, nona
Pek Hong? tanya Liang Hong Yi yang hampir lupa
bahwa Puteri Kaisar Kin itu sedang menyamar sebagai
gadis Han bernama Pek Hong.
Dia adalah suhu Tiong Lee Cin-jin! kata Thian
Liong.
Pek Hong Nio-cu menoleh dan memandang kepada
Thian Liong yang juga sedang memandang kepada gadis
itu. Dua pasang sinar mata bertemu dan bertaut, akan
tetapi keduanya lalu tersenyum dan untuk sementara
mereka berdua menerima saja dulu bahwa Paman Sie
adalah Tiong Lee Cin-jin, jadi yang berulang menolong
mereka itu adalah Paman Sie alias Tiong Lee Cin-jin!
LaIu bagaimana? tanya Han Si Tiong dan isterinya.
Kami diberi tahu bahwa kaisar sedang terancam
bahaya. Kami lari ke sana dan melihat kaisar diancam
tiga orang tokoh sesat, yaitu Hwa Hwa Cin jin dan Siang
Mo-ko yang sedang mengamuk dilawan belasan orang
802

perajurit pengawal pribadi kaisar. Kami segera turun


tangan dan berhasil membunuh tiga orang itu.
Ah, syukurlah, Sri Baginda selamat! kata Han Si
Tiong. Akan tetapi siapakah yang mengirim para
pembunuh itu, yang hendak membunuh kalian berdua
dan juga membunuh Sri Baginda?
Kami menduga bahwa dalangnya tentu Chin Kui,
akan tetapi tidak ada bukti dan saksinya. Empat orang
anak buah Cia Song yang ditotok roboh, tahu-tahu
dibunuh orang, demikian pula tiga orang tokoh yang
hendak membunuh kaisar telah tewas. Akan tetapi
untung sekali, kembali suhu Tiong Lee Cin-jin...... atau
Paman Sie telah membantu kami, menangkap orang ini.
Dia ini Hui-to-kui dan dialah yang membunuh empat
orang itu. Maka kami lalu membawanya ke sini agar
paman berdua dapat menjaganya agar dia tidak sampai
lolos atau bunuh diri karena dia merupakan saksi yang
penting sekali.
Han Si Tiong mengangguk-angguk mengerti. Baik,
akan kami jaga baik-baik orang ini.
Tiba-tiba seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi
orang kepercayaan kaisar, seorang pelayan dalam,
datang dan menyampaikan perintah kaisar bahwa Souw
Thian Liong dan Pek Hong malam itu juga dipersilakan
pindah ke sebuah kamar tamu di istana, dan besok pagipagi akan dijemput pelayan untuk menghadap kaisar!
Thian Liong dan Pek Hong menghaturkan terima
kasih dan Thian Liong memesan kepada Han Si Tiong
dan isterinya agar menjaga baik-baik tawanan itu. Suami
isteri itu menerima tugas itu dengan gembira dan mereka
803

lalu mengikat kedua kaki tangan Hui-to-kui erat erat


sehingga penjahat itu tidak mungkin dapat meloloskan
diri.
This Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam itu.
Mereka mendapatkan dua buah kamar yang
berdampingan dan tentu saja mereka dapat mengaso
dan tidur dengan pulas dalam kamar yang indah bersih
itu.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar
pakaian, yaitu pakaian yang oleh utusan kaisar diambil
dari rumah Kwee-ciangkun untuk dua orang muda itu,
Thian Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam yang
menjemput mereka untuk menghadap Sri Baginda.
Mereka memasuki ruangan rahasia yang merupakan
kamar duduk pribadi kaisar dan dua orang muda itu
merasa heran akan tetapi juga girang bahwa selain
kaisar yang duduk di atas kursi kebesarannya, di situ
terdapat pula Kwee-ciangkun yang sudah lebih dulu
menghadap kaisar. Thian Liong dan Pek Hong lalu
memberi hormat dengan berlutut dan duduk di atas kursi
yang lebih rendah, sejajar dengan Kwee-ciangkun
karena kaisar menghendaki mereka duduk di atas kursi.
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, kami panggil
kalian berdua di sini untuk menceritakan dengan
sejujurnya apa yang telah terjadi tadi malam. Kweeciangkun sengaja kami panggil untuk menjadi saksi
mendengar keterangan kalian berdua, kata Kaisar
sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan
wajah cerah karena dia ingat benar bahwa tanpa adanya
dua orang itu yang membelanya, mungkin dia sudah
tewas di tangan tiga orang pembunuh lihai itu.
804

Ijinkan
hamba
yang
menjadi
pembicara
menceritakan apa yang telah terjadi semalam, Sri
Baginda, kata Thian Liong karena dia khawatir kalau
Pek Hong membuka suara, akan ketahuan bahwa ia
bukan seorang gadis Han.
Baik, ceritakanlah, kata kaisar.
Malam tadi, muncul Cia Song, pembantu Perdana
Menteri Chin Kui bersama empat orang anak buahnya.
Mereka menyerang hamba berdua dengan anak panah
dari luar kamar penjara dan ternyata mereka telah
membunuh lima orang perajurit yang berjaga di penjara.
Hamba berdua tidak dapat melawan dan hanya
menghindar dari serangan anak panah beracun yang
menghujani hamba. Untung dalam keadaan amat gawat
itu, muncul suhu hamba yang merobohkan empat orang
pemanah dan Cia Song melarikan diri dan lolos. Suhu
lalu membuka pintu penjara dan minta kepada hamba
berdua untuk cepat-cepat melindungi paduka yang
terancam bahaya. Hamba berdua lalu lari memasuki
istana dan melihat betapa tiga orang jahat itu mengamuk.
Hamba berdua lalu turun tangan sehingga tiga orang itu
dapat dibinasakan.
Tahukah engkau siapa tiga orang yang menyerang
dan hendak membunuh kami itu?
Hamba dan Sie Pek Hong pernah bentrok dengan
tiga orang itu, Sri Baginda. Mereka itu adalah Hwa Hwa
Cin jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang ketika itu
hendak membunuh Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang
Hong Yi.
Ampunkan

hamba

kalau

hamba

mohon
805

diperkenankan menambah sedikit keterangan Souw


Thian Liong, yang mulia, kata Kwee-ciangkun.
Boleh, katakanlah, Kwee-ciangkun, kata kaisar.
Tiga orang itu memimpin pasukan melakukan
pengejaran dan mencari empat orang pelarian, yaitu Han
Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek
Hong yang bersembunyi di rumah hamba. Ketika hamba
keluar, tiga orang itu mengatakan bahwa mereka mencari
empat orang penjahat atas perintah Perdana Menteri
Chin Kui.
Kaisar
mengangguk-angguk.
Mulai
goyah
kepercayaannya terhadap perdana menteri yang selalu
dipercayanya itu.
Baiklah, hal itu akan kami urus nanti. Sekarang, kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong. Untuk itu kalian berdua
boleh minta, imbalan jasa apa yang ingin kalian dapatkan
dari kami.
Sie
Pek
Hong
menggeleng-geleng
kepala
menandakan bahwa ia tidak minta apa-apa, akan tetapi
Thian Liong berkata, Sri Baginda yang mulia, sekiranya
paduka berkenan, hamba mohon, demi keselamatan
paduka dan kerajaan paduka, agar Perdana Menteri Chin
Kui diadili dan dijatuhi hukuman.
Kaisar menghela nepas panjang. Dia teringat, betapa
beberapa tahun yang lalu, dia menjatuhkan hukuman
kepada tiga orang pejabat tinggi karena mereka berani
mengajukan permintaan yang sama, yaitu agar Perdana
Menteri Chin Kui diadili! Pada waktu itu, kepercayaan
806

terhadap Chin Kui demikian besarnya sehingga dia


menganggap mereka itu melempar fitnah keji! Akan
tetapi sekarang, yang mohon agar Chin Kui diadili adalah
orang-orang muda yang baru saja menyelamatkan
nyawanya dari serangan orang orang yang menjadi anak
buah Chin Kui sehingga kepercayaannya terhadap
perdana menteri itu goyah.
Kita lihat saja nanti dalam persidangan, katanya.
Akan tetapi lepas dari persoalan yang menyangkut
Perdana Menteri Chin Kui, kami ingin memberi hadiah
kepada kalian berdua atas jasa kalian semalam. Nah,
apakah yang kalian minta?
Karena Thian Liong tidak mengharapkan imbalan
apapun, dia memberi isyarat dengan gerakan sikunya
kepada Pek Hong, barangkali gadis itu yang hendak
mohon sesuatu. Pek Hong lalu berkata dengan suara
lantang sehingga dialek utara terdengar jelas. Akan
tetapi karena ia seorang puteri kaisar, tentu saja katakatanya teratur baik sekali.
Hamba berdua menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga atas kebijaksanaan paduka yang berkenan
hendak memberi hadiah kepada hamba berdua. Namun
hamba juga mohon ampun beribu ampun bahwa hamba
berani menolak segala macam hadiah karena
sesungguhnya, apa yang telah kami lakukan itu sudah
merupakan kewajiban hamba, yaitu membela yang benar
dan menentang yang jahat, Sri Baginda yang mulia.
Kaisar tersenyum dan memandang kagum, akan
tetapi lalu bertanya. Sie Pek Hong, bicaramu
menunjukkan bahwa engkau orang dari daerah utara,
benarkah?
807

Yang Mulia, hamba memang dilahirkan dan tumbuh


dewasa di daerah Utara.
Kaisar
mengangguk-angguk.
Hatinya
merasa
gembira sekali dapat bicara leluasa dan akrab begini
dengan dua orang muda itu, suatu hal yang jarang sekali
terjadi karena biasanya dia hanya bicara dengan formal
dengan orang-orang sehingga suasananya menjadi
kaku. Dia memandang kepada dua orang muda itu dan
berkata dengan sikap ramah.
Souw Thian Liong, tadi engkau bercerita bahwa
kalian berdua diserang penjahat dan diselamatkan
gurumu dan gurumu pula yang membebaskan kalian dari
kamar tahanan agar kalian dapat menolong kami yang
terancam bahaya. Kalau begitu, jasa gurumu itu bahkan
lebih besar. Katakanlah, siapa gurumu itu?

JILID 22
Guru hamba seorang pertapa kelana yang bernama
Tiong Lee Cin-jin yang mulia, jawab Thian Liong.
Kaisar membelalakkan kedua matanya. Tiong Lee
Cin-jin? Kami pernah mendengar nama besarnya!
Bukankah dia yang dijuluki Yok-sian?
Benar, yang mulia?
Ah, pantas engkau yang masih begini muda
berkepandaian tinggi dan berwatak bijaksana, Souw
Thian Liong! Kiranya engkau murid Dewa Obat itu! Dan
bagaimana dengan engkau, Sie Pek Hong? Apakah
808

engkau juga murid Dewa Obat?


Guru hamba adalah Paman Sie, yang mulia.
Paman Sie? Siapa dia?
Paman Sie adalah orang yang telah membebaskan
hamba berdua dari kamar tahanan dan menyelamatken
hamba dari serangan panah penjahat dan yang
menyuruh hamba berdua cepat menyelamatkan paduka
dari ancaman bahaya, kata Pek Hong dengan lantang
dan dia menengok kepada Thian Liong dengan pandang
mata menantang!
Hei? Bagaimana ini? Bukankah tadi Souw Thian
Liong mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah
gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin? Sekarang engkau
mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah Paman
Sie, guru Sie Pek Hong!
Ampun, yang mulia, hamba berdua tidak
berbohong!
kata
Thian
Liong
cepat-cepat.
Sesungguhnya, ketika suhu Tiong Lee Cin-jin
menurunkan ilmu kepada Sie Pek Hong, beliau memakai
nama Paman Sie.
Ampun, Sri Baginda yang mulia. Keterangan Souw
Thian Liong itu kurang tepat dan terbalik. Yang benar,
ketika Paman Sie mengejarkan ilmu kepada Souw Thian
Liong, beliau memakai nama Tiong Lee Cin-jin! kata Sie
Pek Hong dan kembali ia mengerling kepada Thian Liong
dengan sinar mata menantang dan tidak mau kalahl
Mendengar ucapan dua orang muda itu dan melihat
betapa mereka saling berpandangan dengan sinar mata
809

tidak mau kalah, membuat kaisar tertawa bergelak.


Ha-ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda yang lucu!
Ingin sekali kami melihat bagaimana sikap guru kalian itu
kalau mendengar dirinya diperebutkan dengan dua
nama, ha-ha-ha!
Dalam kesempatan itu, kaisar tampak gembira dan
dia menyuruh dua orang muda itu tinggal di kamar-kamar
tamu dan menjadi tamu istana sambil menanti datangnya
saat persidangan dan menanti panggilan. Ketika Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong mohon agar mereka
diperkenankan membawa senjata mereka yang kemarin
dulu ditinggalkan dan disimpan di rumah Panglima Kwee,
kaisar segera mengijinkan. Setelah pertemuan itu
selesai, Kwee-ciangkun pulang dan tak lama kemudian
dia mengutus pengawalnya menyerahkan pedang Thianliong-kiam dan pedang bengkok kepada Thian Liong dan
Pek Hong.
Panglima Kwee Gi dan para panglima lain yang setia
kepada kaisar dan yang menentang Perdana Menteri
Chin Kui, diam-diam telah mempersiapkan pasukan yang
kuat untuk melindungi istana kalau-kalau Chin Kui dan
sekutunya
mengadakan
pemberontakan
dengan
menggunaken pasukan dari para panglima yang
bersekutu dengannya.
***
Hari dan saat yang ditunggu-tunggu oleh kedua pihak
yang bersengketa itu akhirnya tiba. Kaisar Sung Kao Tsu
memerintahkan mereka yang bersengketa menghadap di
persidangan. Tidak seperti biasa, sekali ini ketika
Perdana Menteri Chin Kui mohon menghadap sebelum
810

persidangan dimulai, kaisar tidak mau menerimanya dan


memerintahkan agar Chin Kui langsung menghadap di
ruang persidangan seperti para pejabat tinggi lainnya.
Hal ini tentu saja membuat Chin Kui curiga dan
merupakan tanda bahaya baginya. Maka diapun
menghubungi
sekutunya
untuk
bersiap
siaga
melaksanakan rencana mereka kalau-kalau dia kalah
dalam persidangan itu.
Semua pejabat tinggi sudah berkumpul di ruangan
persidangan dan ketika kaisar muncul, semua orang
memberi hormat seperti biasa. Dengan sendirinya kedua
pihak berikut sekutu mereka sudah mengambil tempat
yang berpisah, Kwee-ciangkun dan sekutunya berada di
bagian kanan sedangkan Chin Kui dan sekutunya berada
di bagian kiri ruangan itu.
Kaisar
membuka
persidangan
itu
dengan
mempersilakan Kwee-ciangkun yang bertindak sebegai
penuduh untuk bicara.
Kwee-ciangkun tetap dengan tuduhan semula, yaitu
menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekutu dengan
para pemberontak di Kerajaan Kin untuk menggulingkan
Kaisar Kin dengan pamrih agar kelak kaisar yang baru
Kerajaan Kin akan membantunya menggulingkan
pemerintah Kerajaan Sung.
Apa yang hamba laporkan ini bukan merupakan
tuduhan kosong, Sri Baginda yang mulia. Jelas bahwa
Perdana Menteri Chin Kui mengirim wakilnya yang
bernama Cia Song untuk bersekongkol dengen
Pangeran
Hiu
Kit
Bong
untuk
mengadakan
pemberontakan di Kerajaan Kin.

811

Setelah diberi kesempatan, Perdana Menteri Chin Kui


kukuh membantah dengan sikap angkuh. Semua itu
fitnah belaka, Yang Mulia. Hamba selalu setia kepada
paduka, siap mengorbankan nyawa demi paduka dan
Kerajaan Sung. Bagaimana mungkin hamba berkhianat?
Siapa itu Cia Song? Hamba tidak mengenalnya. Kalau
memang benar hamba mengirim orang bernama Cia
Song ke utara, silakan paduka memanggil orang itu untuk
menjadi saksi! Panglima Kwee dan kawan-kawannya ini
berani melempar fitnah kepada hamba, hal itu berarti
hendak mengadu domba dan jelas mereka hendak
memberontak terhadap paduka!
Pada saat itu, seorang pengawal memasuki ruangan
dan setelah memberi hormat kepada kaisar, dia
melaporkan bahwa telah datang seorang utusan dari
Kaisar Kin yang mohon untuk menghadap kaisar.
Sebetulnya utusan ini adalah Pangeran Kuang, adik tiri
Kaisar Kin dan kedatangannya sudah kemarin. Akan
tetapi telah diatur oleh kaisar sendiri agar utusan itu
menghadap pada saat persidangan itu.
Bawa dia masuk! perintah kaisar kepada pengawal.
Tak lama kemudian, Pangeran Kuang sudah
memberi hormat di depan kaisar, memperkenalkan diri
sebagai utusan Kaisar Kin dan menyerahkan segulung
surat.
Surat diterima dan dibaca sendiri oleh kaisar.
Kemudian kaisar menyerahkan gulungan surat itu
kepada seorang thai kam yang melayaninya dalam
urusan surat menyurat dan memerintahkan thai kam itu
untuk membacanya kuat-kuat agar semua orang
mendengarnya.
812

Dengan suara lantang thai-kam itu membacakan


surat dari Kaisar Kin. Surat itu jelas menyatakan bahwa
Perdana Menteri Chin Kui telah bersekongkol dengan
pemberontak di Kerajaan Kin dengan mengirim seorang
utusan bernama Cia Song. Dikatakan bahwa menurut
pengakuan para pemberontak, Perdana Menteri Chin Kui
bersekongkol dangan para pemberontak dengan pamrih
kalau pemberontakan itu berhasil, kelak para
pemberontak akan membantu Perdana Menteri Chin Kui
merampas tahta Kerajaan Sung!
Suasana menjadi sunyi sekali ketika thai-kam yang
bersuara lantang itu membacakan surat itu sampai habis.
Kaisar Sung Kao Tsu lalu memandang kepada Chin Kui.
Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana tanggapanmu
dengan surat dari Kaisar Kin ini?
Sri Baginda yang mulia! Semua ini adalah fitnah
yang sudah direncanakan lebih dulu oleh Panglima Kwee
dan sekutunya. Jelaslah bahwa justeru Panglima Kwee
yang bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk
menjatuhkan hamba sehingga Panglima Kwee dan
Kaisar Kin kini mengeroyok hamba dengan fitnah keji.
Hamba dituduh bersekutu dengan pemberontak di
Kerajaan Kin. Tidak masuk akal dan fitnah belaka.
Mengapa hamba harus membantu pemberontakan di
sana? Apa untungnya bagi hamba? Mereka melempar
fitnah keji bahwa hamba mengutus wakil yang bernama
Cia Song ke utara. Apa buktinya? Kenapa tidak
ditangkap saja itu Cia Song dan diseret ke sini agar dia
dapat menceritakan hal yang sebenarnya? Hamba tidak
mengenalnya! Selama ini hamba selalu setia dan tidak
pernah berbohong kepada paduka, Sri Baginda. Hamba
berani bersumpah bahwa hamba tetap setia dan jujur.
813

Mereka sengaja menjatuhkan fitnah! Setelah Chin Kui


selesai bicara, kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.
Kwee-ciangkun, sekarang giliranmu untuk memberi
tanggapan.
Sri Baginda yang mulia, pembelaan diri Perdana
Menteri Chin Kui itu hanya dibuat-buat. Telah terbukti
nyata bahwa dia adalah seorang pengkhianat yang
berhati palsu, pada lahirnya bersikap baik dan setia
kepada paduka, akan tetapi dalam batinnya dia seorang
pengkhianat besar. Hal ini telah dibuktikan dengan
peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, terjadi di
dalam istana. Perdana menteri yang khianat ini telah
mengirim orang-orang untuk membunuh Souw Thian
Liong dan Sie Pek Hong, juga mengirim pembunuh yang
nyaris dapat membunuh Sri Baginda Kaisar!
Semua orang yang mendengar tuduhan ini menjadi
terkejut dan terbelalak. Tentu saja Kaisar tidak terkejut
karena sudah mengetahui akan peristiwa yang memang
dirahasiakan itu.
Penasaran! Chin Kui berteriak. Sri Baginda yang
mulia, apakah paduka dapat menerima dan mendiamkan
saja fitnah-fitnah keji dan jahat yang mereka lontarkan
kepada hamba? Hamba menolak semua tuduhan itu
karena hamba tidak merasa melakukannya! Apa
buktinya, siapa saksinya untuk membenarkan semua
fitnah keji itu? Orang she Kwee, berani benar engkau
menyebar kebohongan keji di depan Sri Baginda yang
mulia!
Chin Kui tidak merasa kalah karena dia merasa yakin
bahwa orang-orang yang bertugas membunuh akan
814

tetapi telah gagal itu telah mati semua, kecuali Cia Song
yang dapat meloloskan diri dan sekarang telah pergi
entah ke mana. Karena yakin bahwa tidak mungkin ada
bukti dan saksinya, maka Chin Kui merasa tenang dan
menantang para penuduhnya.
Kwee-ciangkun berkata kepada kaisar, Ampun, Sri
Baginda yang mulia. Mohon perkenan paduka agar
hamba dapat mendatangkan Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong sebagai saksi.
Kaisar mengangguk dan Panglima Kwee lalu
memberi
isyarat
kepada
pengawal.
Pengawal
mengiringkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong
memasuki ruangan dan kedua orang muda itu segera
menghadap kaisar dan memberi hormat.
Pangeran Kuang memandang dengan mata
terbelalak kepada Sie Pek Hong dan tanpa disadari dia
berseru dengan girang.
Puteri Moguhai
Pek Hong Nio-cu yang memakai nama Sie Pek Hong
dan nama aselinya adalah Puteri Moguhai itu tersenyum.
Paman Pangeran Kuang! katanya.
Kaisar Sung Kao Tsu memandang heran.
Apa artinya ini? tanyanya kepada Pangeran Kuang.
Maafkan hamba, Sri Baginda. Gadis ini adalah
keponakan hamba. Ia adalah Puteri Moguhai, puteri Sri
Baginda Kaisar Kerajaan Kin.
815

Ahh......!
Puteri
Moguhai,
kenapa
engkau
menggunakan nama Sie Pek Hong dan tidak berterus
terang kepada kami bahwa engkau puteri Kaisar Kin?
Ampun, Sri Baginda, ceritanya agak panjang......
kata Pek Hong Nio-cu sambil tersenyum manis kepada
kaisar.
Sri Baginda, sekarang jelas sudah! Souw Thian
Liong ini datang bersama puteri Kaisar Kin, apa lagi
maksudnya kalau bukan hendak bersekongkol dengan
Kerajaan Kin untuk menjatuhkan paduka? Mereka sudah
mengatur semuanya. Mula-mula menyerang hamba,
untuk kemudian menjatuhkan paduka dan merampas
tahta! teriak Chin Kui yang merasa mendapat
kemenangan.
Kaisar mengangkat kedua tangan, memberi isyarat
agar mereka semua diam dan tidak ribut. Setelah
suasana menjadi tenang, Kaisar menoleh kepada
Panglima Kwee.
Kwee-ciangkun, coba jelaskan dan ceritakan tentang
laporanmu mengenai usaha pembunuhan di istana tadi!
Panglima Kwee dengan suara lantang, Sri Baginda,
yang lebih mengetahui dan mengalami sendiri peristiwa
itu adalah Souw Thian Liong dan...... eh, Puteri Moguhai
ini, maka hamba rasa seyogianya mereka yang
menceritakan terjadinya peristiwa itu sebenarnya.
Pek Hong Nio-cu tersenyum mendengar ini. Kaisar
mengangguk-angguk dan berkata kepada puteri itu.
Puteri Moguhai, sekarang ceritakanlah semuanya.
Mengapa engkau terlibat dalam urusan ini dan apa yang
816

telah terjadi beberapa malam yang lalu di dalam istana.


Pek Hong Nio-cu memberi hormat kepada Kaisar.
Hamba siap, Sri Baginda dan biarlah semua orang,
terutama Chin Kui si pengkhianat itu, mendengarkan
baik-baik! Suaranya lantang dan jelas biarpun katakatanya berdialek utara.
Seperti telah dilaporkan dalam persidangan yang
lalu, di Kerajaan Kin kami terjadi pemberontakan dan di
sana muncul orang yang bernama Cia Song yang
menjadi utusan Chin Kui untuk berhubungan dengan
pemberontak dan membantu usaha pemberontakan itu.
Saya, dibantu Souw Thian Liong berhasil menghubungi
Paman Pangeran Kuang yang mengerahkan pasukan
dan menghancurkan pemberontak. Sayang Cia Song
dapat meloloskan diri. Mengingat akan bantuan Souw
Thian Liong kepada kerajaan kami, juga karena ingin
menentang
Chin
Kui
yang
telah
membantu
pemberontakan di utara, saya mengambil keputusan
untuk membantu Souw Thian Liong. Karena itulah maka
saya ikut dengan dia datang ke Lin-an ini.
Bohong!
Kami
tidak
mencampuri
urusan
pemberontakan di Kerajaan Kin! teriak Chin Kui.
Diam! bentak kaisar yang marah melihat Chin Kui
yang berulang kali bersikap lancang. Lanjutkan, Puteri
Moguhai.
Sampai di sini kami dikejar-kejar anak buah Chin Kui
dan kami bertemu Paman Han Si Tiong dan isterinya,
lalu kami berempat bersembunyi di rumah Paman
Panglima Kwee. Setelah berunding, kami memutuskan
untuk menghadap Sri Baginda yang mulia untuk
817

membongkar pengkhianatan, kecurangan dan kejahatan


Chin Kui. Beberapa malam yang lalu, Cia Song dan
empat orang anak buahnya memasuki penjara dan
membunuh lima orang penjaga lalu menyerang kami
berdua dengan anak panah beracun yang dihujankan ke
arah kami dari luar pintu kamar tahanan. Untung muncul
Paman Sie...... sampai di sini Pek Hong Nio-cu
mengerling ke arah Thian Liong yang mengerutkan
alisnya akan tetapi pemuda itu diam saja. Untung
muncul Paman Sie yang merobohkan dan menotok
empat pemanah itu. Sayang kembali Cia Song dapat
meloloskan diri. Manusia iblis yang licik itu memang lihai.
Kami mendapat petunjuk dari Paman Sie, guruku, untuk
menyelamatkan Sri Baginda yang terancam bahaya.
Setelah kami berdua tiba di ruangan dalam, kami melihat
tiga orang datuk sesat, yaitu Hwa Hwa Cin-jin dan kedua
orang Siang Mo-ko, mengamuk dan hendak membunuh
Sri Baginda. Para perajurit pengawal sudah banyak yang
tewas dan mereka terdesak, Sri Baginda terancam. Kami
berdua lalu melawan tiga orang itu dan berhasil
merobohkan mereka. Ketika kami hendak menawan Hwa
Hwa Cin-jin, dia membunuh diri. Tiga orang itu adalah
orang-orangnya Chin Kui yang tadinya mengejar-ngejar
kami berempat sebelum kami bersembunyi di rumah
Panglima Kwee. Kami lalu kembali ke penjara untuk
menangkap empat orang pemanah yang tadinya ditotok
oleh guruku. Akan tetapi ternyata mereka telah tewas,
tentu terbunuh oleh orangnya Chin Kui agar mereka tidak
dapat mengaku dan membocorkan rahasia bahwa Chin
Kui yang mendalangi semua usaha pembunuhan itu!
Hemm, Chin Kui iblis tua yang khianat, hayo sangkal
kalau kamu bisa! kata Puteri Moguhai kepada Perdana
Menteri Chin Kui.
Sri Baginda, semua yang diceritakan itu isapan
818

jempol belaka. Andaikata benar ada pembunuh di istana,


jelas itu bukan hamba yang mendalanginya. Mungkin
buatan mereka saja untuk menjatuhkan hamba. Mana
bukti dan saksinya? Hamba menyangkal semua itu.
Hamba tidak tahu menahu dengan usaha pembunuhan
itu!
Kini Kaisar Sung Kao Tsu sudah tidak sabar lagi
mendengar bantahan dan penyangkalan Chin Kui yang
sudah jelas bersalah itu. Dia lalu bertepuk tangan tiga
kali dan berseru kepada pengawal.
Bawa masuk saksi terakhir itu!
Semua orang menengok ke arah pintu memandang
dua orang perajurit pengawal yang membawa masuk
seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun,
bertubuh tinggi kurus dan kedua lengan orang itu
dibelenggu ke belakang tubuhnya. Orang itu didorong
dan jatuh berlutut di depan Sri Baginda Kaisar. Melihat
masuknya orang ini sebagai saksi, Perdana Menteri Chin
Kui terbelalak dan mukanya seketika berubah pucat.
Sama sekali dia tidak menyangka bahwa jagoan yang
diutus membunuh para petugas pembunuhan itu kalau
mereka gagal, ternyata tertawan! Dia mengira bahwa
orang ini juga sudah tewas ketika tidak datang melapor
karena tidak ada berita dari para mata-matanya di istana
bahwa orang itu tertawan.
Siapa namamu? bentak kaisar.
Nama hamba Lui Ki, Sri Baginda yang mulia, kata
orang tinggi kurus itu.
Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana,
819

ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman


siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan
meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau
berbohong, hukumanmu akan semakin berat!
Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada
malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk mengawasi
mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua
orang tawanan, yaitu Souw Thian Liong dan Sie Pek
Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau
usaha pembunuhan itu gagal. Hamba diselundupkan
sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi
lima orang pembunuh itu dengan mudah. Ternyata
mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang
ditotok roboh oleh seorang kakek yang sakti. Ketika
ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba
membunuh empat orang pemanah akan tetapi petugas
utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak
mungkin membunuhnya karena ilmu kepandaiannya jauh
lebih tinggi dari kemampuan hamba. Setelah melakukan
pembunuhan terhadap empat orang itu, sebelum hamba
dapat melarikan diri, hamba roboh oleh kakek sakti itu
sehingga hamba tertawan. Demikianlah, Sri Baginda,
keterangan hamba yang sejujurnya dan hamba berani
bersumpah bahwa semua keterangan hamba itu benar
dan tidak bohong.
Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting,
Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yang mengutus
engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana
pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh tiga orang datuk
itu mencoba untuk membunuh kami?
Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang
ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar namun
820

cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir


dalam ruangan persidangan itu.
Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua
adalah Perdana Menteri Chin Kui!
Kini semua orang menoleh dan memandang kepada
Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah
pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi
menyangkal. Akan tetapi tiba tiba dia tertawa bergelak.
Ha-ha-ha-ha! Dia bangkit berdiri dan memandang
ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang berkuasa.
Pasukan-pasukan
pendukungku
saat
ini
telah
mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri Baginda dan
semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah
agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan dan
membantai kalian semua. Ha-ha-ha!
Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka
mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar istana,
suara tambur dan genderang dipukul gencar
menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak
pasukan! Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi
isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para
perajurit menggiring masuk belasan orang panglima
pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan kedua
tangan terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan
rekannya sudah lebih dulu mengadakan pembersihan
dan menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum
mereka sempat bergerak dengan pemberontakan
mereka!
Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang
panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di
821

depan kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya,


mengguncang hatinya dengan hebat, memporakporandakan semua harapan dan cita-citanya dan dia
merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam
kepalanya. Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut
bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya dan
mengacaukan hatinya.
Ha-ha-ha-ha......! Tiba-tiba dia tertawa terbahakbahak sehingga mengejutkan semua orang yang
memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
Hu-hu-hu-huuhh......! Tiba-tiba tawanya yang
bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu.
Semua orang menarik napas panjang. Perdana menteri
Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah menjadi
gila!
Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap
Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi
tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga,
kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee untuk
melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang
tadinya menjadi sekutu Chin Kui.
Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali
mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa
yang mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu
menolak dengan hormat. Setelah semua selesai, mereka
berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan
Liang Hong Yi meninggalkan istana. Suami isteri ini
berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu, dan mereka mengulang permintaan mereka
kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada
Han Bi Lan di mana mereka tinggal kalau kebetulan
822

dapat berjumpa clengan gadis itu.


Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu
berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke dusun
Kian cung di dekat Telaga Barat.
Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit
dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu gerbang
kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong
Nio-cu, Nio-cu, sekarang engkau hendak pergi ke
mana?
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia
menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk
berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri
kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus mengikuti
Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal
tertentu. Bahkan kemarin ketika Pangeran Kuang,
pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan
mengatakan bahwa ia akan pulang sendiri. Penolakan itu
ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari
Thian Liong yang dianggapnya sebagai seorang sahabat
yang baik sekali.
Aku hendak pulang ke utara, katanya dengan nada
suara datar. Dan engkau sendiri, hendak ke manakah,
Thian Liong?
Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan
pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya
kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan
sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu dan
membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari
pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi kitab
kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya,
823

masih ada satu yang belum dapat dia kembalikan, yaitu


kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai
yang dicuri gadis baju merah itu. Tugas utama sekarang
adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali
kitab untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Kunlun-pai.
Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?
Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras.
Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu
tadi mengajukan pertanyaan kepadanya. Apa? O ya,
aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau
tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah tugas
penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah
mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan kembali
kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas
kembali kitab itu dan mengembalikannya kepada Kunlun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu
kepadaku belum kulaksanakan dengan baik.
Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab,
ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai! kata Pek Hong Nio-cu
berkelakar.
Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya
kepadamu, bukan?
Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya
memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu
bertanya dengan nada serius. Thian Liong, katakan
sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang
menjadi sahabat ibuku dan juga yang memberi kitabkitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu juga,
824

Tiong Lee Cin-jin?


Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan
karena aku belum pernah melihat pamanmu itu. Akan
tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika
dia membebaskan kita dari kamar tahanan. Dia itu benarbenar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada
guruku sendiri yang telah mendidik aku selama sepuluh
tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia
menolongku dan menyuruh aku menolong Kaisar.
Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun
baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu ketika
dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah
dapat melupakan wajahnya. Yang menolong kita di utara
dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!
Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak
berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong.
Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga
guruku, dan suhu Tiong Lee Cin-jin itu juga pamanmu.
Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu,
engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku).
Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!
Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!
Dan aku akan menyebutmu sumoi!
Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu?
Ke mana engkau hendak mencarinya?
Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak
mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal
825

mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia


berada.
Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak
mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah
bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu
mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama di Tibet.
Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di
pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut pendapatku, ia
pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kunlun-pai dan daerah Tibet. Kukira engkau harus
mencarinya ke sana, suheng!
Thian
Liong
mengangguk-angguk.
Kurasa
pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya
di daerah barat itu, su-moi.
Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!
kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah
berseri.
Ahh? Thian Liong memandang gadis itu dengan
heran. Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke
utara, su-moi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu.
Pula, perjalananku mencari maling itu belum pasti berapa
lamanya!
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan
pandang mata tajam penuh selidik. Suheng, engkau
merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau
keberatan katakan saja!
Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi
tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak pernah
merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan
826

gadis yang baik budi, gagah perkasa dan menyenangkan


ini membuat perjalanannya tidak membosankan, bahkan
menggembirakan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Pek
Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin
pula. Tentu saja hal ini akan dipandang orang-orang
sebagai hal yang tidak pantas!
Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau
merasa keberatan katakan saja sejujurnya! Pek Hong
Nio-cu membentak sehingga Thian Liong terkejut dan
sadar dari lamunannya.
Eh...... ohh...... tidak sama sekali, su-moi. Aku
senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi
engkau harus pulang dan......
Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya
melalui daerah barat. Aku ingin membantumu
menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita
dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya berada
di sana dan kita minta bantuannya agar dia
mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan mencari
gadis pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu
itu. Persoalannya sekarang hanya, engkau memutuskan
boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu.
Kalau tidak boleh, sekarang juga kita berpisah dan aku
kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan
saling bertemu lagi......
Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi! potong Thian
Liong.
Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita.
Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet! Suara Pek Hong Niocu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya
827

bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga Thian Liong


terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali.
Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu
melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat
mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee-ciangkun
itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini seperti
berlumba berlari cepat menuju ke barat laut.
***
Setelah melakukan perjalanan berkuda selama
beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di
Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang
cerah mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan
sambil menikmati pemandangan alam yang indah di
daerah pegunungan itu.
Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cinling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya dan
memandang
ke
bawah
di
mana
terbentang
pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari
yang putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi
di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan kudanya
berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat
wajah gadis itu berseri, matanya berbinar dan mulutnya
tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga
memandang ke arah yang dipandang Pek Hong Nio-cu.
Aahhh..... gadis itu menarik napas panjang
setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum
menyaksikan pemandangan indah itu. Alangkah
indahnya......, bukan main...... sungguh luar biasa,
suheng, lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak
828

pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan bukitbukit itu...... ah, semuanya seolah tersenyum, begitu
hidup......
Thian Liong tersenyum. Su-moi, tahukah engkau di
mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?
Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar
matahari, lihat burung-burung kecil beterbangan...... ah,
semua inilah tempat keindahan!
Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam
hatimu!
Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?
Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia,
tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka segala
sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu
hujan atau dalam keadaan apa dan bagaimanapun, akan
tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan
ciri yang khas. Keindahan itu pencerminan kebahagiaan.
Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak
indah. Sebaliknya, kalau hati tidak tenteram bahagia,
terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah,
benci, dengki, iri, khawatir, takut, bingung, sedih dan
sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek
dan sama sekali tidak menyenangkan!
Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan
ucapan Thian Liong, kemudian berkata, Hemm, aku
mulai dapat mengerti apa yang kaumaksudkan, suheng.
Akan tetapi berilah contoh agar jelas!
Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak
829

indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja,


tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu
mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang tenteram
bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti
sahabat yang menyenangkan. Sebaliknya kalau hati
diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi,
hujan maupun panas tampak mengganggu, siang
maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu
orang, siapa saja, tampak menjengkelkan seperti musuh.
Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing
mendekat, kita ingin membelainya dengan hati sayang,
sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada
kucing mendekat, kita ingin menendangnya dengan
benci.
Pek Hong Nio-cu tersenyum. Wah, sekarang aku
dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng!
Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu
tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah
menyenangkan?
Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka
hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk
bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam
keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung atau rugi,
hati kita akan selalu tenteram bahagia.
Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit
dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat merasa
tenteram bahagia? gadis itu membantah.
Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah
kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan apapun
juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita
yakin bahwa Thian beserta kita, kesengsaraan badan
830

tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah


sebulatnya berdasarkan iman kepadaNya.
Hebat......! Dari mana engkau
pengertian seperti itu, suheng?

mendapatkan

Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk,


akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang membimbing
sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak
ada yang mustahil, tidak ada yang sukar bagi Thian. Di
dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram
bahagia, dalam keadaan apa dan bagaimanapun juga.
Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi
murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk
darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang
yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?
Thian Liong tersenyum dan menghela napas
panjang. Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang
bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah
meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja
juga dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya
meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati. Kita
manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi
dengan segala kelemahanku pula. Bukan Thian yang
menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang
menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret oleh nafsu
nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada
manusia yang sempurna di dunia ini, sumoi. Yang Maha
Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula
adalah sempurna, namun kesempurnaan itu dicemari
oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, sumoi, belajar dan mengajar diri sendiri agar selalu
mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas
831

kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa.


Mereka turun dari atas punggung kuda dan
membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau
segar. Tempat mereka berhenti itu merupakan padang
rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin
menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka
duduk di atas batu gunung.
Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru, Hei, itu ada
banyak orang mendaki ke sini, suheng!
Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja,
dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu ke
arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari
cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa mereka
bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga
wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit berdiri
dan berseru, Hei, mereka adalah orang-orang Siauwlim-pai dan Kun-lun-pai!
Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru, Dan itu
adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis Kunlun-pai tak tahu malu itu!
Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui
In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan Ai
Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget
dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio, dan
juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah
para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang dan para
tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa
832

lagi ini, pikirnya.


Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu
berbisik kepada Thian Liong.
Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song
membuat ulah lagi!
Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Niocu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil ketua
Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis
berkerut di depan kedua orang muda itu sedangkan di
samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In
Sian-kouw dan Biauw In Su-thai yang dari wajahnya
dapat diketahui bahwa mereka marah sekali. Cia Song
berdiri di belakang pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan
Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka.
Delapan orang tokoh lain sudah mengambil posisi
mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai
oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka Thian
I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil
membungkuk kepada kakek itu.
Suhu......, katanya dengan hormat.
Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!
bentak Cu Sian Hwesio. Engkau tidak pantas menjadi
murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan
murid, melainkan musuh Siauw lim-pai.
Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan
teecu (murid) maka pimpinan Siauw-lim-pai begini marah
kepada teecu? tanya Thian Liong, sikapnya masih
833

tenang karena dia tidak merasa melakukan kesalahan


apapun terhadap Siauw-lim-pai.
Engkau masih ada muka untuk bertanya apa
kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian
Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat!
Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan Kaisar
Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan
Sung! Itu semua masih ditambah lagi dengan
perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai
bekas murid Siauw-lim-pai, dosamu tidak dapat
diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-limpai, maka, kami datang sendiri untuk menghukummu!
kata Cu Sian Hwesio.
Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau
memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua
kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan
apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun-lun-pai yang
suhu anggap perbuatan keji itu? Thian Liong masih
bersikap tenang dan ia menggeleng kepala terhadap Pek
Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya
merah, sinar matanya berapi-api karena marah.
Keparat busuk kau! tiba-tiba Biauw In Su-thai yang
terkenal galak itu memaki sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Thian Liong. Engkau telah
melakukan perbuatan keji terhadap dua orang muridku ini
dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa
sama sekali? Perbuatan yang terkutuk itu harus dihukum
dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!
Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api
kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah,
memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan
834

Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan kata-kata


tajam.
Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan
nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan
kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang
terkenal besar itu? Kalian ini kakek-kakek dan neneknenek ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang
mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali tidak
mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan
fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian tidak pantas
menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!
Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lunpai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata yang
keras dan tajam menusuk perasaan itu.
Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin, bisik
Cia Song kepada dua orang gurunya.
Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona? tanya
Cu Sian Hwesio. Pantas saja Souw Thian Liong mau
menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh
kecantikanmu.
Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau
Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima penghinaan dari
seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti
kamu!
Su-moi......! Thian Liong mencegah dan menyentuh
lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu
mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian
Hwesio dengan marah. Cu Sian Hwesio berdiri dalam
jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia
835

juga marah mendengar omongan gadis itu.


Kau anak perempuan jahat! katanya dan tangan
kirinya dijulurkan ke depan.
Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah
dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio-cu.
Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu.
Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis tangan itu
sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang
menangkis.
Wuuuuttt...... plakkk! Dua tangan bertemu dan
dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali
tangannya yang mulur. Dia terkejut bukan main karena
tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat mengimbangi
tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio
menegurnya.
Sute, hentikan itu!
Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri
dengan alis berkerut.
Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami
dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?
tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut.
Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia
dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau
orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas.
Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang
bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga
lembut.
836

Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan


Ayahanda Kaisar kepadaku. Setelah berkata demikian,
ia menyimpan kembali pedang bengkoknya.
Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-limpai? Ia pernah mendengar cerita Thian Liong tentang
ketua ini.
Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau
menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan
menghukum seorang murid kami kalau tidak ada bukti
dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan
menjadi orang-orang berdosa kalau kami menjatuhkan
hukuman kepada orang yang tidak bersalah.
Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum
Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti dan
saksi bahwa dia benar bersalah?
Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!
Thian Liong mencegah Puteri Moguhai.
Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut
mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?
bentak Cu Sian Hwesio penasaran.
Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan
kepalanya dan membusungkan dadanya. Tentu saja aku
mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah
suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong Lee
Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!
Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang
tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu kuat
menolak serangannya.
837

Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong


Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu
terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan-tuduhan
tadi, kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan suaranya
yang lembut.
Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai
adalah saksi hidup karena aku mengalami semua
peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw
Thian Liong. Suheng sama sekali bukan pengkhianat
seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia
membantu aku untuk menentang dan menghancurkan
persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan
pemerintahan
ayahanda
kaisar.
Kami
berhasil
menghancurkan pemberontak. Jadi, suheng Souw Thian
l.iong
hanya
membantu
Kerajaan
Kin
untuk
menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat
diartikan bahwa dia mengkhianati Kerajaan Sung? Selain
itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum
mengetahui! Sekarang dengarkan baik-baik. Para
pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan
Perdana Menteri Chin Kui. Kami berdua melihat dan
bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke
utara untuk mendukung pemberontakan itu. Dan kalian
mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?
Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu telunjuk kirinya
menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di
belakang Hui Sian Hwesio.
Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!
Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali
para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai
menoleh ke belakang, memandang Cia Song.

838

Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu


Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri
dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap
siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Hui Sian Hwesio.
Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan
jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan berbalik
melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela
Thian Liong yang menjadi kekasihnya. Teecu
menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu
lebih percaya omongan puteri Kaisar Kin dan hendak
menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan
nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi murid Siauw-limpai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauwlim-pai sampai mati.
Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song.
Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan
tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja.
Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu yang
sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan
Thian Liong menjadi murid hanya dalam beberapa bulan
saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.
Hemm...! Pek Hong Nio-cu mendengus dengan
nada mengejek. Aku sering mendengar bahwa orang
kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh.
Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi pikun
sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis
cilik seperti Cia Song itu!
Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan
Siauw-lim-pai? Cu Sian Hwesio membentak dan ia
839

sudah menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu.


Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus
mampus! Cia Song juga sudah menerjang maju.
Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio
menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas
dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu
Sian Hwesio.
Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu
ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah
saling serang.
Tahan...! Hui In Sian-kouw berseru dan suara
wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid
wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa.
Kami yang berhak menghukum Souw Thian Liong!
Sute dan Cia Song, mundurlah! Hui Sian Hwesio
juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa mundur
dan perkelahian berhenti.
Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai
yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak.
Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun
pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di
pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi
setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil menangis
melaporkan kepada para pimpinan Kun lun-pai bahwa
mereka berdua telah diperkosa Souw Thian Liong, Kui
Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk
menemani Hui In Sian-kouw turun gunung mencari
pemuda itu dan menghukumnya.
840

Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini


bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan
dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio
yang juga mencari Souw Thian Liong untuk
menghukumnya karena pemuda yang sudah dianggap
murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang berarti
mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang
dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan Siauw-lim
pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya
dapat berhadapan dengan Souw Thian Liong dan Pek
Hong Nio-cu.
Souw Thian Liong! Engkau harus berani
mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk
terhadap dua orang murid kami! Biauw In Su-thai
berseru dan wanita galak ini sudah mencabut
pedangnya. Perbuatanmu yang terkutuk itu harus
ditebus dengan nyawamu!
Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang
murid Su-thai itu? tanya Souw Thian Liong tenang
sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang
memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata
berapi-api karena marah.
Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan
yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa
Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya,
perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu demikian
akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah
maju dan mencabut pedangnya pula, diikuti oleh Ai Yin.
Keparat keji! Kim Lan menudingkan pedangnya
dengan sikap galak. Engkau masih pura-pura bertanya?
Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap
841

kami berdua!
Thian Liong memandang heran. Perbuatan terkutuk?
Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?
Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua
memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang
mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw
Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang-cu itu,
engkau menotok kami berdua lalu...... lalu...... dengan
biadab engkau memperkosa kami! Setelah berkata
demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai
Yin.
Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu!
Apa buktinya? Siapa saksinya? kata Thian Liong
penasaran.
Buktinya? kata Kim Lan dengan suara parau karena
bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai surat dari
saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas.
Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja
kamar penginapan. Engkau bukan saja telah
memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat
menghina Kun-lun-pai!
Saksinya adalah aku! Tiba-tiba Cia Song berkata
lantang. Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu dua
orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiangcu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri Kin itu juga
berada di sana!
Biauw In Su-thai berteriak, Kim Lan! Ai Yin! Tak
perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini! Tokoh
842

Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin
sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan tiga orang
wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu
Pedang Kilat Guntur) itu.
Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya
dan melompat ke depan Thian Liong untuk melindungl
pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut
pedangnya itu. Pek Hong Nio cu bersiap melawan tiga
orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang
wanita itu menjadi semakin marah.
Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat
Guntur)! kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah bergerak
dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan tampak sesosok bayangan merah
berkelebat.
Tahan senjata! Dan di dekat Pek Hong Nio-cu,
berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai,
sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah
muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang mata
indah yang mencorong dan bentuk mulut yang
menggairahkan, Thian Liong terkejut.
Engkau......? dia membentak karena segera dia
mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lianhoan Kun hoat dari tangannya!
Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum
kepada Thian Liong berkata, Ya, aku! Aku pernah
bersalah kepudamu dan sekarang aku hendak menebus
kesalahan itu dengan membelamu!
Biauw In Su-thai membentak. Apa yang kaulakukan
843

ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah menodai
dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh
dia!
Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran.
Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri
sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik
membelanya?
Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua
dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah
seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu
kebenarannya! Gadis baju merah itu membantah.
Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun
mengandung teguran. Tuduhan itu sudah ada bukti dan
saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak
mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi murid yang ikut
mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai.
Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak
berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan
Kun-lun-pai tidak bertindak salah menghukum orang
yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw Thian
Liong adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah
berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-lun-pai
yang hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan
hukuman kepadanya sebelum jelas bukti-buktinya, gadis
itu membantah.
Bagus! Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji.
Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li (punya
aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai! Lalu Pek Hong
Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw. Apakah engkau
844

pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?


Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua
bagian murid wanita Kun-lun-pai, jawab pendeta wanita
itu.
Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu.
Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak
Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw
Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama sekali.
Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian
Liong karena surat itu adalah tulisanku yang sengaja
kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid
Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan tulisan suheng Souw
Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong?
Baik, akan kubacakan apa yang kutulis itu karena aku
masih ingat. Bunyinya tentu begini :
Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu.
Memaksa seorang la laki-laki menjadi suaminya.
Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lunpai?
Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan katakataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar diketahui
bahwa surat itu aku yang menulis!
Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kunlun-pai! bentak Biauw In Su-thai sambil mengelebatkan
pedangnya.
Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai,
bukan? Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari cerita
Thian Liong. Jadi engkau ini guru dua orang murid
perempuan itu, engkau yang memaksa mereka untuk
845

memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami


muridmu dan kalau suheng menolak harus dibunuh? Oh,
aturan mana itu?
Jahanam......! Biauw In Su-thai hendak menyerang
akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya.
Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar
kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi kesaksian
murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau
dan Souw Thian Liong berada di kota Kiang-cu ketika
peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu
terjadi, kata Hui In Sian-kauw.
Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan
tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan mereka
itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian
Liong malam itu sama sekali tidak keluar dari kamarnya,
sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng
malam itu tidak keluar dari kamarnya.
Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja
memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak
mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan
Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh mereka!
teriak Cia Song.
Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang
menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya
ketika dia mengejek dengan kata-kata: Kalian ingin
mengenal Souw Thian Liong, lalu dia tertawa lirih, kata
Kim Lan.
Teecu juga mendengar suaranya itu! kata pula Ai
Yin.
846

Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang


Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek
Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid
Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari serangan
Cia Song yang dahsyat. Thian Liong masih merasa ragu
untuk menggunakan pedangnya karena dia berhadapan
dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
yang dia hormati dan dia tahu bahwa mereka itu hanya
terkena hasutan Cia Song saja.
Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak
menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti
perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh! kata Hui
Sian Hwesio.
Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-limpai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja yang
tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh
Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah terpengaruh
kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin
maka mereka menyerang dengan dahsyat untuk
membunuh Souw Thian Liong.

JILID 23
Dengan marah Pek Hong Nio-cu menggerakkan
pedangnya untuk membela Thian Liong dari
pengeroyokan belasan orang yang semua memiliki
tingkat kepandaian silat yang sudah tinggi itu. Melihat
betapa Thian Liong dikeroyok belasan orang dan dibantu
oleh Pek Hong Nio-cu yang ia tadi dengar adalah Puteri
Moguhai dari Kerajaan Kin, Han Bi Lan tidak tinggal diam
dan iapun cepat mencabut pedangnya dan membela
847

Thian Liong. Gerakan Han Bi Lan ini dahsyat bukan main


dan ia sengaja menerjang ke arah para pengeroyok dari
Siauw-lim-pai karena untuk melawan orang-orang Kunlun-pai ia masih merasa sungkan.
Biarpun tingkat kepandaian tiga orang muda ini,
terutama sekali tingkat kepan-daian Souw Thian Liong
dan Han Bi Lan, sudah tinggi dan tangguh sekali, namun
mereka menghadapi pengeroyokan tigabelas orang yang
rata-rata juga menguasai ilmu silat tingkat tinggi.
Apalagi karena Thian Liong sendiri hanya bertahan,
tidak membalas kepada para pengeroyok lain kecuali
kepada Cia Song, maka tentu saja tiga orang muda ini
terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring dan tampak
bayangan hijau berkelebat memasuki perkelahian dan
terdengar suara seorang wanita.
Liong-ko (kakak Liong), jangan khawatir. Aku
datang membantumu! teriak seorang gadis berpakaian
serba hijau, dan ia sudah memegang Siang-kiam
(sepasang pedang) dan mengamuk, membantu Thian
Liong menghadapi para pengeroyok!
In-moi (adik In)! Thian Liong berseru dan hatinya
diliputi kebingungan karena dia telah membuat tiga
orang gadis, yaitu Pek Hong Nio-cu, Si baju merah, dan
Thio Siang In, terlibat dalam urusannya dengan Siauwlim-pai dan Kun-lun-pai, juga aneh sekali, pada saat
terdesak dan terancam seperti itu, Thian Liong teringat
akan persamaan wajah antara, Pek Hong Nio-cu dan
Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Dan sekarang dia
teringat bahwa wajah mereka berdua itu persis sama.
Bedanya hanya warna pakaian.
848

Kalau Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih, Ang


Hwa Sian-li berpakaian serba hijau. Selain pakaian, juga
cara menyanggul rambut mereka berbeda. Kalau rambut
Pek Hong Nio-cu digelung model Puteri Kin, rambut Ang
Hwa Sian-li model gadis Han. Masih ada lagi perbedaan
pada wajah yang dapat membuat dia bisa mengenal
mana yang satu dan mana yang yaitu pada letak tahi
lalat kecil hitam. Tahi lalat Pek Hong Nio-cu berada di
pipi kanan, sedangkan tahi lalat Ang Hwa Sian-li berada
di pipi kiri!
Singgg...... tranggg! Brettt! Thian Liong terkejut juga.
Dia menangkis dua pedang akan tetapi sebatang pedang
lain hampir saja mengenai dadanya. Dia masih dapat
mengelak dan bajunya yang terobek. Ini akibat dia
melamun dan membayangkan dua orang gadis yang
berwajah mirip satu sama lain itu!
Biarpun kini dibantu lagi oleh Ang Hwa Sian-li dan
tiga orang gadis jelita itu bersungguh-sungguh
melakukan pertawanan untuk membela Thian Liong,
tetap saja mereka berempat terdesak hebat. Apalagi
setelah Hui Sian Hwesio maju pula menyerang Thian
Liong. Pemuda itu tentu saja merasa sungkan untuk
melawan Hui Sian Hwesio dan hanya menghindarkan
diri dengan tangkisan dan elakan. Serangan para
pengeroyok lain dengan senjata dia hadapi dengan
tangkisan Thian-liong-kiam. Maka dia terdesak hebat.
Han Bi Lan yang paling tangguh di antara tiga orang
gadis yang membela Thian Liong, tiba-tiba harus
berhadapan
dengan
Hui
In
Sian-kouw
yang
menyerangnya dengan pedang. Sesungguhnya,
tingkat kepandaian Han Bi Lan pada saat itu masih
tidak tertandingi oleh Hui In Sian-kouw, akan tetapi
849

menghadapi serangan ketua Kun-lun-pai bagian wanita


ini, Han Bi Lan menjadi rikuh bukan main. Di antara
para pimpinan Kun-lun-pai, hanya dua orang yang dia
hormati, yaitu Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw.
Kini Hui In Sian-kouw menyerangnya, maka iapun hanya
berani menangkis dan mengelak. Padahal ia dikeroyok
banyak orang. Maka seperti Thian Liong, Bi Lan juga
hanya mampu bertahan dan terdesak hebat.
Secara tidak disengaja, Pek Hong Nio-cu dan Ang
Hwa Sian-li bersatu, saling membelakangi menghadapi
pengeroyokan sepuluh orang sehingga mereka
terlindung di bagian belakang atau saling melindungi.
Akan tetapi mereka berdua juga hanya mampu
menangkis dan tidak dapat membalas.
Dalam keadaan terancam bahaya, empat orang itu
menjadi nekat. Pada saat itu, terdengar seruan lembut,
namun suara itu menggetar udara dan mengguncang
jantung semua orang.
Sian-cai (damai)......! Kekerasan sama sekali bukan
cara terbaik untuk menye-lesaikan persoalan!
Hui Sian Hwesio sendiri, seorang yang paling tinggi
kedudukan dan tingkat ilmu kepandaiannya, melompat ke
belakang karena merasakan getaran yang amat kuat
terkandung dalam suara itu. Juga yang merasakan
guncangan jantung dan mereka juga melompat ke
belakang sambil menoleh dan memandang kepada
orang yang mengeluarkan kata-kata itu.
Orang itu berada dalam jarak belasan meter dari situ
dan kini dia melangkah dan menghampiri mereka dengan
tenang dan bibirnya tersenyum penuh kesabaran dan
850

pengertian. Pakaiannya hanya kain berwarna kuning


dilibat-libatkan ke tubuhnya. Rambut yang sudah
berwarna dua diikat dengan pita kuning pula. Walaupun
pakaiannya amat sederhana, namun tampak bersih.
Mukanya bulat dengan dagu meruncing, matanya tajam
mencorong namun lembut dan hidungnya mancung.
Laki-laki berusia enampuluh tahun lebih ini menunjukkan
bekas ketampanan. Tubuhnya sedang namun masih
tampak kuat. Dengan senyum yang khas dia
menghampiri mereka dan kata-katanya tenang lembut
namun terdengar jelas se-kali seolah dia bicara di dekat
telinga semua orang.
Betapa menyedihkan. Kejahatan dan ketidakadilan
hampir selalu berada di atas angin tanpa disadari oleh
manusia yang bersangkutan!
Suhu......! Thian Liong segera menjatuhkan diri
berlutut menghadap laki-laki yang bukan Iain adalah
Tiong Lee Cin-jin itu.
Paman Sie......! Pek Hong Nio-cu juga berseru dan
menghampiri orang itu, wa-jahnya berseri gembira.
Bangunlah, Thian Liong. Dan engkau, Moguhai,
mundurlah dulu, anak yang baik, biarkan aku
menghadapi mereka dan menyelesaikan persoalan ini,
kata Tiong Lee Cin-jin.
Pek Hong Nio-cu gembira sekali disebut anak yang
baik! Ia dan Thian Liong berdiri di dekat Han Bi Lan dan
Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis yang tadi membantu
mereka.
Terima kasih atas bantuan kalian berdua, kata Pek
851

Hong Nio-cu dengan ramah. Akan tetapi ketika ia beradu


pandang dengan Ang Hwa Sian-li, mereka berdua
terkejut dan terbelalak karena mereka merasa seolaholah memandang dirinya sendiri dalam cermin. Keduanya
menjadi salah tingkah, bingung dan juga tegang, lalu
mengalihkan perhatiannya memandang ke arah Tiong
Lee Cin-jin. Sementara itu, Thian Liong memandang
kepada Bi Lan dengan alis berkerut dan sinar mata
menegur, akan tetapi Bi Lan menyambutnya dengan
senyum mengejek!
Omitohud! kata Hui Sian Hwesio yang menghampiri
dan berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin, Kelirukah
pinceng kalau menduga bahwa yang datang ini adalah
Tiong Lee Cin-jin? Ketua Siauw-lim-pai ini mengangkat
kedua tangan depan dada dan memberi salam dengan
sembah.
Tidak keliru, memang saya yang disebut orang
Tiong Lee Cin-jin, Hui Sian Hwesio.
Omitohud! Pinceng mendapat kesempatan bertemu
muka untuk mengucapkan terima kasih atas
pengembalian kitab Sam-jong-cin-keng! kata ketua
Siauw-lim-pai itu.
Kami juga mengucapkan terima kasih atas
pengembalian kitab kami Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat, Cin-jin, kata Hui In Sian-kouw.
Tiong Lee Cin-jin menggoyang tangannya. Tidak
perlu berterima kasih kepada saya, karena sudah
sewajarnya dan seharusnya kalau kitab-kitab itu kembali
kepada pemiliknya yang sah. Kita bicarakan saja soal
lain. Saya melihat tadi betapa para pimpinan Siauw-lim852

pai dan Kun-lun-pai mengeroyok Souw Thian Liong yang


dibantu tiga orang gadis ini. Saya melihat betapa hal itu
memalukan, dan tidak pantas. Para pimpinan dua
perkumpulan besar mengeroyok empat orang muda!
Dengan wajah berubah kemerahan karena merasa
malu, Hui Sian Hwesio berkata, Omitohud! Urusan
kami dengan Souw Thian Liong merupakan urusan
seorang murid dengan perguruannya, Cin-jin.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum, Begitukah, Hui Sian
Hwesio? Berapa lama Thian Liong diangkat menjadi
murid Siauw-lim-pai? Berapa bulan? Harap diingat
bahwa Thian Liong menjadi murid saya selama sepuluh
tahun! Apakah kenyataan itu tidak membuat saya lebih
berhak mengurus persoalan murid saya ini dibandingkan
Siauw-lim-pai?
Omitohud, ucapan Cin-jin memang tak dapat
dibantah kebenarannya. Akan tetapi, Cin-jin, urusan ini
adalah urusan Thian Liong dengan Siauw-lim-pai. Dia
telah mencemarkan nama Siauw-lim-pai karena dia telah
diaku sebagai murid dan untuk itu tidak mungkin kami
mendiamkannya saja. Ada aturan dalam perkumpulan
kami bahwa murid yang melakukan perbuatan sesat
sehingga mencemarkan nama Siauw-lim-pai harus
dihukum.
Saya tidak ingin menentang peraturan Siauw-limpai, akan tetapi ada peraturan yang menjadi hukum
alam semesta, bahwa hanya yang bersalah saja yang
harus dihukum. Apakah Siauw-lim-pai hendak melanggar
hukum itu dan hendak menghukum orang yang tidak
bersalah? Di mana letak keadilan yang katanya se-lalu
dijunjung tinggi oleh para pendekar Siauw-lim-pai?
853

Omitohud, Tiong Lee Cin-jin, selamanya Siauw-limpai tidak akan menyalahi hukum itu. Yang dihukum
hanya yang bersalah dan Souw Thian Liong jelas
bersalah!
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar dan menudingkan
telunjuknya kepada Cia Song yang bersembunyi di balik
punggung Hui Sian Hwesio.
Yang melaporkan tentang semua kesalahan Thian
Liong itu tentu muridmu yang kini bersembunyi di
belakang punggungmu itu, bukan? Hui Sian Hwesio dan
semua yang hadir, dengarlah. Saya sendiri yang
menjadi saksi ketika Cia Song ini mewakili Perdana
Menteri Chin Kui membantu para pemberontak di utara,
sedangkan Thian Liong hanya membantu Puteri Moguhai
untuk
menghancurkan
pemberontakan!
Apakah
perbuatan itu kalian anggap suatu pengkhianatan terhndap Kerajaan Sung dan mencemarkan nama Siauw-limpai Bahkan Kaisar Sung Kao Tsu sendiri tidak
menganggap Thian Liong sebagai pengkhianat, bahkan
telah menerima Thian Liong dan Puteri Moguhai
sebagai tamu kehormatan yang sudah berjasa!
Mendengar ucapan ini, Hui Sian Hwesio, Cu Sian
Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai lainnya kini
memandang kepada Cia Song yang bersembunyi di
belakang Hui Sian Hwesio.
Cia Song! Hui Sian Hwesio berseru, suaranya
masih lembut namun nadanya menegur. Benarkah
semua yang pinceng dengar itu?
Cia Song hanya menunduk dengan wajah merah.
Pada saat itu Puteri Moguhai tertawa, suara tawanya
854

nyaring dan bebas.


Heh-heh-heh, kalian para pimpinan Siauw-lim-pai
memang seperti kanak-kanak yang mudah dibohongi,
seperti kataku tadi. Kalian hendak medengar cerita
yang bagus tentang muridmu yang bernama Cia Song itu
lebih lanjut? Dengar baik-baik. Si jahanam itu telah
menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui dan ikut
pula merencanakan pemberontakan! Dan siapa yang
menghalangi niat busuknya itu sehingga akhirnya Chin
Kui dan antek-anteknya tertangkap dan dijatuhi
hukuman? Yang membantu adalah suheng Souw Thian
Liong dan akulah yang membantunya. Bahkan semua
usaha pembelaan kami terhadap Kaisar itu tentu
mengalami kegagalan dan mungkin Kaisar sudah
terbunuh kalau saja Paman Sie atau Tiong Lee Cin-jin,
guru kami ini tidak menolong kami! Cia Song menjadi
antek Chin Kui, membantu pemberontakan di Kerajaan
Kin, kemudian setelah gagal, dia membantu Chin Kui
yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan Sung!
Nah, sekarang si-apakah yang menjadi pengkhianat dan
pantas dihukum? Suheng Souw Thian Liong ataukah Cia
Song?
Hui Sian Hwesio sendiri sampai membelalakkan
mata dan mukanya berubah pucat mendengar ucapan
Puteri Moguhai itu. Dia memutar tubuh menghadapi Cia
Song yang kini menjadi pucat wajahnya.
Cia Song, katakan, benarkah semua itu? Hui Sian
Hwesio membentak.
Pada saat itu Biauw In Su-thai berkata dengan suara
nyaring dan galak. Souw Thian Liong! Biarpun mungkin
engkau tidak bersalah terhadap Siauw-lim-pai, akan
855

tetapi engkau harus mempertanggung-jawabkan


perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid
kami!
Su-moi, mari kita membalas dendam! kata Kim
Lan kepada Ai Yin.
Mari, suci! kata Ai Yin.
Dua orang gadis itu dengan penuh kebencian karena
dendam sakit hati mereka, sudah menyerang ke arah
Thian Liong dengan pedang di tangan. Akan tetapi
berkelebat bayangan hijau dan bayangan putih. Ang
Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu seperti telah
bersepakat saja tahu-tahu telah menyambut serangan
dua orang gadis Kun-lun-pai itu dengan pedang mereka.
Terdengar suara gemerincing ketika pedang-pedang
mereka menangkis pedang dua orang murid Kun-lun-pai
yang merasa tangan mereka tergetar oleh tangkisan itu.
Thian Liong melompat ke depan. Su-moi dan In-moi,
tahan dan jangan berkelahi! Mendengar suara pemuda
itu, Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu melangkah
mundur.
Pada saat itu, Cia Song yang sudah tidak
mendapatkan jalan untuk menghindarkan diri dari
ancaman karena rahasianya telah terbongkar itu,
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
Melihat Hui Sian Hwesio berdiri di depannya dia lalu
mendorong dengan pukulan jarak jauh ke arah dada
hwesio tua itu. Dari kedua telapak tangannya
menyambar
asap
hitam
karena
dia
telah
mempergunakan ilmu Hek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan
Hitam) yang dipelajarinya dari Ali Ahmed, bangsa Hui
856

yang sakti itu.


Hui Sian Hwesio terkejut bukan main melihat
serangan itu.
Omitohud......! Dia cepat menggerakkan tangan
untuk menangkis. Akan tetapi karena tidak menyangka
akan diserang muridnya dari jarak dekat dan menggunakan ilmu pukulan asing pula, maka tangkisannya
kurang cepat dan asap hitam itu hanya sebagian saja
tertangkis, sebagian masih menyambar ke arah dadanya.
Omitohud......! Tubuh ketua Siauw-lim-pai yang
gemuk tinggi besar itu terhuyung dan dia lalu duduk
bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk menahan
gempuran hawa beracun yang memasuki dadanya!
Setelah memukul Hui Sian Hwesio, Cia Song
melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi tubuh Thian
Liong juga meluncur cepat dan dia sudah
menghadang Cia Song.
Manusia jahat hendak lari ke mana engkau! kata
Thian Liong.
Kedua orang muda ini saling berhadapan dengan
mata mencorong. Muka Cia Song menjadi merah sekali
karena dia merasa benci sekali kepada Thian Liong.
Orang inilah yang mencelakakan aku, pikirnya.
Cu Sian Hwesio, Ki Sian Hwesio dan para tokoh
Siauw-lim-pai marah bukan main melihat Cia Song tadi
menyerang Hui Sian Hwesio dan mereka kini menyadari
betul bahwa ternyata Cia Song yang menjadi
pengkhianat dan melemparkan fitnah kepada Souw
857

Thian Liong, lalu bergerak hendak maju mengeroyok


Cia Song. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin mengembangkan
kedua lengannya dan berkata.
Biarkan mereka berdua menyelesaikan sendiri
masalah mereka. Tidak baik kalau kita orang-orang tua
mengeroyok orang muda.
Ucapan ini membuat para pimpinan Siauw-lim-pai
terpaksa menahan amarah mereka terhadap Cia Song.
Mereka hanya menonton perkelahian yang akan terjadi
antara Cia Song dan Souw Thian Liong.
Sementara itu, melihat betapa Kim Lan, Ai Yin, Biauw
In Su-thai merasa penasaran dan tampak sekali mereka
itu siap mengeroyok Thian Liong, Han Bi Lan lalu berkata
dengan suara membujuk kepada mereka.
Saya kira sebaiknya Kun-lun-pai membiarkan saja
Souw Thian Liong me-nyelesaikan urusannya dengan
Siauw-lim-pai. Nanti masih ada waktu bagi kita un-tuk
menuntutnya, apabila benar-benar ternyata dia bersalah.
Para pimpinan Kun-lun-pai dapat menerima usul ini
karena bagaimanapun juga, mereka merasa lebih kuat
kalau Han Bi Lan berdiri di pihak mereka, kalau-kalau
terjadi pertentangan dan perkelahian.
Kini semua orang menujukan pandangan mata
mereka kepada dua orang muda yang saling
berhadapan. Mereka menonton dengan hati tegang,
terutama mereka yang sudah mengetahui bahwa Cia
Song adalah murid terpandai dari Siauw-lim-pai dan
agaknya dia memiliki ilmu lain yang bukan dari Siauwlim-pai sebagai-mana terbukti ketika dia menyerang Hui
858

Sian Hwesio tadi, pukulan jarak jauh dengan kedua


telapak tangan mengeluarkan asap hitam! Yang tampak
tenang-tenang saja hanyalah Tiong Lee Cin-jin, Pek
Hong Nio-cu, Han Bi Lan, dan Hui Sian Hwesio karena
mereka tahu akan kemampuan Thian Liong yang mereka
yakin pasti akan mampu mengalahkan Cia Song.
Cia Song sendiri sudah putus harapan untuk dapat
meloloskan diri dari situ. Semua tokoh Siauw-lim-pai kini
memusuhinya, dan di situ masih ada tiga orang gadis
lihai yang membela Thian Liong, juga ada Tiong Lee Cinjin yang sakti sekali. Keputus-asaan ini membuat dia
menjadi nekat dan ingin mengadu nyawa dengan Souw
Thian Liong yang dibencinya.
Sratt! Tampak sinar berkilauan ketika Cia Song
mencabut pedangnya yang beronce merah.
Mampuslah engkau, keparat! Cia Song tidak
memberi kesempatan kepada Thian Liong dan sudah
menerjang maju dengan gerakan cepat dan dahsyat.
Thian Liong mengelak ke kiri dengan gerakan ringan dan
tidak kalah cepatnya. Namun Cia Song membalik ke
kanan dan kembali pedangnya menyambar ke arah
leher Thian Liong.
Tranggg......!! Bunga api berpijar ketika Thian-liongkiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan
pertama tadi. Setelah menangkis, Thian Liong
membalas dengan serangan yang tidak kalah
dahsyatnya. Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring
dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis
serangan itu.
Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas
859

dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan


dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambarnyambar sampai terasa oleh mereka yang menonton,
padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini
dan para penonton ada belasan meter jauhnya.
Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut
itu mengamuk, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh
dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia
gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari dari Ali
Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh
yang mengandung tipu muslihat berbahaya. Namun
Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang
dan membalas dengan ilmu pedang Thian-liong-kiam-sut
(Ilmu Pedang Naga Langit).
Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka
seolah berubah menjadi dua bayangan yang
berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya
suara berdentang dan muncratnya bunga api itu saja
yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang
bertanding hebat sekali. Para penonton menahan napas
dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat
kemajuan muridnya yang telah mematangkan semua
ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orangorang yang tinggi ilmunya.
Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu
sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan samasama telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau
dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah menerima
ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi
mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng di bawah
bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih
tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia Song. Akan tetapi
860

dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat


mengimbangi lawannya, maka pertandingan itu menjadi
seru dan mati-matian.
Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus
dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian
Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai
membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan.
Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang
Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah lehernya,
dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan
kirinya menyambar, menotok siku kanan lawan.
Tukk! Aughh......!! Tangan kanan Cia Song terus
lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Dia
terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi,
Thian Liong tidak mengejar lawan yang bertangan
kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah
menyarungkan kembali Thian-liong-kiam!
Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung
pengkhianat itu dengan pedangmu! seru Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong
menyarungkan pedangnya.
Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa
mencelakakan dirinya sendiri! kata pula Ang Hwa Sian-li.
Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong
Souw Thian Liong jauh lebih unggul! kata Han Bi Lan
tertawa.
Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai
maupun Kun-lun-pai diam diam kagum akan sikap Thian
Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan
861

kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap gagah


seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan
kesempatan untuk menang.
Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia
Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa
kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat
dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas. Thian
Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu
kembali bertanding, kini dengan tangan kosong.
Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang
dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin
pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para
penonton yang menonton dengan jantung berdebar
tegang saking hebatnya perkelahian itu.
Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata
bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih
tinggi. Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia
hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang
mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar
bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti akan roboh
dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat,
yaitu mengadu nyawa dengan orang yang dibencinya ini.
Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil
melompat ke belakang, lalu kedua lengannya bergerak
dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak
dekat dengan ilmu Hek-in Hoat-sut. Asap hitam
menyambar dari kedua telapak tangannya.
Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak
tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian Liong
lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap
hitam itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.
862

Plakk......!! Dua pasang telapak tangan itu saling


bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti untuk
saling dorong dan saling mengalahkan!
Ketegangan memuncak di antara penonton
menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua
maklum bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam
saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan
saling menempel, mengeluarkan asap hitam, namun
sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati-matian
dan adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian
kepada yang kalah kuat!
Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song
mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau
Thian Liong tidak mampu menahan panas yang
membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio-cu
bergerak hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi
Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan menghadangnya
sambil berkata lembut namun berwibawa.
Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh
curang!
Paman Sie...... suheng...... dia......
Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya, kata
Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum.
Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia
mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya
sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan.
Entah mengapa, seolah ada daya yang saling menarik
antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka
berdua sama-sama merasa cemas menyaksikan Thian
863

Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia


Song.
Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat.
Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal
kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi
karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati hidupnya
setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia
Song mengerahkan seluruh tenaga sakti dan tiba-tiba
terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga
yang dikerahkan Cia Song, bajunya terobek, koyak-koyak
dan dadanya tampak karena bajunya terbuka.
Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi
mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak
memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang.
Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam
menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu.
Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong
kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia
Song terlempar ke belakang dan roboh terbanting. Dia
rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung mulutnya
keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya.
Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di
dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam
kaparat ini yang telah memperkosa kita! teriak Ai Yin
dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia Song yang
masih rebah tak berdaya.
Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari
menghampiri dan dara ini berteriak, Keparat Cia Song!
Engkau yang telah berbuat keji kepadaku!

864

Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi


Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia
Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang
mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal ini
terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song
sudah tercacah-cacah menjadi onggokan daging
berdarah-darah! Tiga orang gadis itu membacoki sambil
menangis dan air mata mereka bercucuran, darah korban
memercik ke pakaian mereka.
Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga
orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk
menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri!
Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak
tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas
pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu,
berkelebat sesosok bayangan yang merampas pedang
dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat.
Orang itu ternyata adalah Kwee Bun To, ayah Bi Hwa.
Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini
menangis dalam rangkulan tiga orang yang mencegah
mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Siankouw dan Kwee Bun To menghibur dan menasihati tiga
orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa
membunuh diri bukan perbuatan yang patut dilakukan
orang-orang gagah. Seorang pendekar bukan saja harus
menentang kejahatan, akan tetapi juga harus berani
menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh
diri hanya dilakukan para pengecut yang tidak berani
menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri
hidupnya.
Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio
865

menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin dan


merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak
kemerahan karena malu dan pandang matanya sayu
karena penyesalan. Omitohud......! Pinceng telah
bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak adil
telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw
Thian Liong. Tian Liong dan Cin-jin yang mulia, harap
maafkan pinceng sekalian.
'Siancai (damai)......! Manusia berbuat kesalahan, itu
biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya dan
berhasil menemukan hikmat dari kesalahan itu dan
bertaubat, itu adalah bijaksana! kata Tiong Lee Cin-jin
lirih seperti orang membaca sajak.
Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu
sekalian hanya tertipu, kata Thian Liong sederhana.
Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju
menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong.
Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua
orang muridku! kata Biauw In Su-thai. Kim Lan dan Ai
Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga
minta maaf.
Souw-taihiap...... maafkan kami...... isak mereka.
Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang
perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah.
Tidak bersalah apa? tiba-tiba Puteri Moguhai atau
Pek Hong Nio-cu berteriak. Mereka mengadakan aturan
gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak
bersalah?
866

Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah


merah sekali. Untuk itu akulah yang bersalah dan aku
telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak
bersalah karena mereka hanya menaati perintahku.
Akulah yang bersalah......
Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri
Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat ini, Pek
Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak
berani membantah akan tetapi juga merasa penasaran.
Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee
Cin-jin.
Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali
kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun-pai,
akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada
muridmu. Sungguh kami merasa malu dan menyesal
sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar.
Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan
kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan
Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia
yang dikuasai setan, tidak ada yang patut disalahkan,
tidak ada yang perlu dimaafkan.
Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa
sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai
segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain
pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee Bun To juga
mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis
pergi dari situ. Demikian pula Hui Sian Hwesio dan Cu
Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai
867

yang lain pergi setelah mereka membawa jenazah Cia


Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar
untuk diperabukan di tempat yang layak.
Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri
Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan
keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan
rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru
mereka mendapat kesempatan untuk saling pandang
dengan penuh selidik. Mereka saling pandang dengan
hati tertarik dan semakin menyadari betapa mereka itu
mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah
memandang bayangan sendiri dalam cermin, hanya
bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda!
Hei, engkau ini siapakah? Ang Hwa Sian-li akhirnya
bertanya lebih dulu.
Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja
tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat ia
bersikap agak angkuh, menjawab.
Kenapa tidak kauperkenalkan lebih dulu dirimu
kepadaku?
Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua
orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling
pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah.
Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka
berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu
segera menyambutnya dengan wajah berseri, Paman
Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat bicara
dengan ibuku di taman itu, bukan?
868

Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada


mereka berdua. Senyum dan pandang matanya
mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua
orang gadis itu.
Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling
bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan aku
akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian
berdua tidak akan merasa bingung dan heran lagi.
Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan
semua hal kepada kalian berdua.
Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan
meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan hutan
yang tidak jauh dari situ.
Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa
berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee
Cin-jin. Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa
bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang
diceritakan ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang
sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee Cinjin, juga ingin sekali mendengar apa yang akan
diceritakan orang sakti itu.
Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia
berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis
itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum,
hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu dan
pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda
itu, karena dengan bantuan itu berarti ia telah
membayar kesalahannya mencuri kitab itu dahulu!
Hei, kita berjumpa lagi! katanya sambil tersenyum
manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat pemuda itu
869

memandangnya dengan alis berkerut dan mulut


cemberut. Dan tidak menjawab ucapan yang gembira
tadi.
Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan
gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah
mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet
kehilangan ekornya itu!
Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah
yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat,
membuat dia setengah mati mencarinya ke mana-mana.
Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa kalau dia
bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab
yang dicurinya itu, juga gadis itu akan dia pukul
pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar
anaknya yang bengal!
Gadis jahat! dia menegur. Engkau telah mencuri
kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus
kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu
kepadaku!
Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan
tersenyum dan mengerling manja. Aih, masih marahkah
engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat
memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan kepada
para pimpinan Kun-lun pai......
Engkau
bohong!
Engkau
maling,
pembohong pula! bentak Thian Liong.

penipu,

Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar


dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini merupakan
peluapan perasaannya kalau ia marah.
870

Hemm, kaukira hanya engkau seorang saja yang


baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku
tidak bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada
ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai murid! Kau
masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi
bersusah
payah
membela
dan
membantumu
menghadapi mereka? Berarti aku sudah menebus
kesalahanku kepadamu!
Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw
kepada
gurunya
tadi.
Ketua
Kun-lun-pai
itu
mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini
berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah
menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak
berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan
tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih
belum hilang.
Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja
sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau
kesengsaraan yang harus kualami karena engkau
mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para pimpinan
Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah
merantau sampai ribuan lie ke utara dan barat untuk
mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu
dianggap sudah hilang hanya karena engkau
membantuku tadi!
Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi
Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil
membanting-banting
kaki
kiri,
ia
menudingkan
telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru
lantang. Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak
takut padamu! Mau bunuh? Silakan!

871

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau


aku dapat bertemu denganmu, engkau akan
kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul
pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!
Engkau berani? Bi Lan menantang. Coba, kalau
engkau berani!! Setelah berkata demikian, Bi Lan sudah
memasang kuda-kuda dengan sikap menantang sekali,
kedua lengan menyilang di depan dada dan jari
tangannya memberi isyarat tantangan agar Thian Liong
maju menyerangnya kalau berani!
Thian Liong menjadi semakin gemas. Bocah ini
sungguh kurang ajar dan tidak tahu diri, pikirnya.
Hemm, kaukira aku hanya menggertak sambal saja?
Tentu saja aku berani, mengapa tidak? Heiiittt......! Thian
Liong sudah menerjang untuk menangkap gadis itu.
Heeeeiiitt! Bi Lan mengelak dan kakinya mencuat,
menyambar dengan tendangan ke arah perut Thian
Liong!
Thian Liong terkejut karena dari sambaran tendangan
itu, dia tahu bahwa serangan gadis itu sungguh-sungguh
dan amat berbahaya. Dia semakin marah. Bocah ini
malah menyerangnya dengan serangan maut!
Kurang ajar! katanya dan dia mengelak sambil
berusaha menangkap kaki yang menendang itu.
Engkau yang kurang ajar! bentak Bi Lan yang cepat
menarik kembali sehingga tidak dapat ditangkap dan ia
lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Gadis ini
sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang pemuda
872

yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, maka begitu


menyerang ia langsung saja memainkan ilmu Ngo-heng
Lian-hoan Kun-hoat yang menjadi ilmu rahasia dan
simpanan para pimpinan Kun-lun-pai.
Thian Liong terkejut sekali. Ini bukan serangan mainmainan dan ilmu silat yang dimainkan gadis ini juga
bukan ilmu sembarangan! Cepat seperti kilat menyambar
dan membawa tenaga sakti yang amat kuat! Diapun
cepat memainkan ilmu silat Sam-jong Cin-keng yang
diajarkan Hui Sian Hwesio kepadanya.
Kalau dia menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari
gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, dia akan pasrah
sedemikian rupa sehingga tidak ada serangan lawan
yang akan mampu mencelakai dirinya. Aan tetapi
bagaimanapun juga, dia tidak mau melakukan ini dan
hendak melawan ilmu silat gadis itu dengan ilmu silat lain
yang tidak kalah ampuhnya. Diam diam dia merasa
kagum sekali kepada gadis ini. Tingkat kepandaiannya
jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Pek
Hong Nio-cu atau Ang Hwa Sian li!
Duk-duk-dukkkk!! tiga kali lengan mereka bertemu
dan tubuh Bi Lan terhuyung ke belakang. Ia semakin
marah dan tiba-tiba ia mendorongkan kedua telapak
tangannya ke arah Thian Liong.
Wuuuusshhhh! Angin yang amat dahsyat dan
mengandung hawa panas menyambar.
Thian Liong cepat menyambut dengan dorongan
kedua tangannya. Terjadi adu tenaga sakti. Akan tetapi
Thian Liong tidak mau mencelakai gadis itu, maka dia
menyambut dengan tenaga lunak sehingga akibatnya,
873

tenaga sakti Bi Lan seolah amblas ke dalam air dan


hilang tanpa bekas dan tidak menimbulkan kerusakan
apapun!
Kembali Bi Lan terhuyung karena tenaganya yang
bertemu kekosongan itu membuat ia terdorong. Ia
semakin marah dan begitu ia berkemak-kemik, keluarlah
asap hitam menyerang Thian Liong. Pemuda itu
mengibaskan lengan kirinya dan asap hitam itupun
membuyar. Bi Lan lalu mengeluarkan pekik melengking
dan Thian Liong merasa betapa pekik itu mengandung
getaran amat kuat yang membuat jantungnya
terguncang. Dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Bi
Lan bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi
juga menguasai ilmu sihir. Akan tetapi dengan kekuatan
batinnya, dia dapat menenteramkan jantungnya, bahkan
dia mendapat kesempatan untuk bergerak mendekat dan
secepat kilat tangannya berhasil nenotok jalan darah di
pundak Bi Lan.
Tukkk......!! Tubuh Bi Lan terkulai dan tentu ia sudah
roboh terguling kalau saja Thian Liong tidak cepat
menangkap lengannya. Pemuda itu lalu duduk dengan
kedua kaki di julurkan dan melintangkan tubuh Bi Lan
menelungkup di atas kedua pahanya.
Nah, bocah nakal, sekarang rasakan hukuman yang
sudah kujanjikan! kata Thian Liong, kemudian dia
menggunakan tangan kanannya untuk menampar
sepasang bukit pinggul yang menonjol itu sebanyak
sepuluh kali, lima di kiri dan lima di kanan.
Plak-plak-plak......
Setan kau! Monyet, anjing, babi, kuda, kucing, tikus
874

busuk kau.:.!! Bi Lan yang lemas tak mampu meronta


itu memaki-maki. Mungkin kedua bukit pinggulnya
menjadi merah sekali seperti kedua pipinya saat itu
saking marahnya.
Setelah menampar sepuluh kali, Thian Liong
melepaskan Bi Lan, bangkit berdiri dan menepuk pundak
gadis itu untuk membebaskannya dari totokan. Gadis itu
bangkit berdiri dan memandang Thian Liong dengan
mata bersinar. Dari pelupuk mata itu turun dua tetes air
mata.
Souw Thian Liong...! katanya dengan suara
mengandung dendam kemarahan. Awas kau......! Aku
akan memperdalam ilmuku dan kautunggu saja
pembalasan Han Bi Lan! Setelah berkata demikian, ia
memutar tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi mendengar disebutnya nama ini, Thian
Liong terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah
melewati Bi Lan dan berdiri menghadang di depan gadis
itu. Melihat ini, Bi Lan semakin marah dan berdiri dengan
mata mencorong.
Kau...... namamu...... Han Bi Lan??
Kalau benar kau mau apa?
Han Bi Lan, ayah ibumu, Paman Han Si Tiong dan
Bibi Liang Hong Yi mencari-carimu. Mereka tinggal di
dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat)......
Belum habis Thian Liong bicara, Bi Lan sudah
melompat dan berlari cepat meninggalkannya.

875

Sejenak Thian Liong hanya bengong memandang ke


arah larinya gadis itu. Hatinya mulai merasa menyesal.
Dia memang mendongkol dan gemas kepada gadis itu,
akan tetapi andaikata dia tadi tahu bahwa gadis itulah
puteri Han Si Tiong, tentu dia tidak akan melaksanakan
keinginannya menghajar gadis itu dengan menampari
pinggulnya sebanyak sepuluh kali! Akan tetapi semua itu
telah terlanjur dan dia merasa tidak enak sekali kepada
Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia menghela napas
panjang lalu duduk di atas batu, menanti munculnya
gurunya yang tadi mengajak Pek Hong Nio-cu dan Ang
Hwa Sian-li memasuki hutan di depan itu.
***
Kalau Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai tidak
merasa heran mendengar ajakan Tiong Lee Cin-jin untuk
mengikutinya masuk ke dalam hutan, Ang Hwa Sian-li
merasa heran dan bingung. Akan tetapi karena ia sudah
mendengar akan kesaktian tokoh yang dijuluki orang
Yok-sian (Tabib Dewa) itu, iapun mengikutinya tanpa
membantah.
Setelah menemukan tempat yang nyaman dalam
hutan itu, atas ajakan Tiong Lee Cin-jin, mereka bertiga
duduk saling berhadapan di atas batu. Sejenak Tiong
Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu dan
kedua matanya tampak basah. Dia menarik napas
panjang beberapa kali seolah hendak menenangkan
guncangan hatinya.
Kemudian dia mulai berkata, Aku mengajak kalian
berdua untuk bicara di tempat ini agar jangan sampai
terdengar orang lain. Tadinya aku ingin menyimpan
rahasia ini dari kalian, akan tetapi mengingat bahwa
876

kalian telah menjadi gadis-gadis dewasa yang telah


memiliki ilmu kepandaian yang dapat kalian andalkan,
dan melihat kalian berdua tadi saling berpandangan
dengan keheranan terbayang di wajah kalian, aku tidak
mungkin dapat menyimpan rahasia ini. Kalian berhak
untuk mengetahuinya. Sebelum aku melanjutkan,
hendaknya kalian lebih dulu menceritakan siapa nama
kalian yang sesungguhnya dan sedikit tentang orang tua
kalian. Pek Hong Nio-cu, engkau mulailah lebih dulu.
Pek Hong Nio-cu yang menganggap Tiong Lee Cinjin sebagai paman dan juga gurunya, segera menjawab.
Paman, nama saya yang aseli adalah Moguhai. Ayah
saya adalah Raja Kerajaan Kin dan ibu saya seorang
wanita Han bernama Tan Siang Lin.
Dan engkau? tanya Tiong Lee Cin jin kepada Ang
Hwa Sian-li.
Nama saya adalah Thio Siang In. Ayah saya
seorang pemburu bernama Thio Ki dan ibu says seorang
wanita Ui gur bernama Miyana. Menurut cerita ibu, ibu
saya adalah seorang puteri kepala suku Uigur.
Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. Mungkin
kalian akan lebih berbahagia kalau kalian tinggal sebagai
apa yang kalian ketahui sekarang, akan tetapi aku akan
merasa bersalah kalau tidak menceritakan kepada kalian.
Kalian berhak mengetahui dan semoga Tuhan
mengampuni aku dan memberkati kalian. Dengarlah
ceritaku ini, Siang In dan Moguhai!
Dua orang gadis itu saling pandang, lalu
mendengarkan dengan penuh perhatian dan keinginan
tahu.
877

Dengan suara tenang dan lembut, Tiong Lee Cin-jin


bercerita. Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu ada
sepasang orang muda yang saling jatuh cinta. Akan
tetapi karena pemuda itu miskin sekali, kedua orang tua
gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Bahkan
akhirnya gadis itu diminta oleh Raja untuk menjadi
selirnya. Dia berhenti sebentar dan kembali menghela
napas. Agaknya berat sekali rasa hatinya untuk
menceritakan apa yang dikatakan rahasia itu.
Akan tetapi, karena gadis itu amat mencinta si
pemuda, maka sebelum ia dibawa ke istana raja, ia
menyerahkan diri kepada kekasihnya sehingga ketika
akhirnya ia dibawa pergi ke istana untuk menjadi selir
raja, ia sudah mengandung.
Dua orang gadis itu merasa terharu, akan tetapi kalau
Moguhai merasa jantungnya berdebar tegang, adalah
Ang Hwa Sian-li yang merasa tidak mengerti, apa
hubungannya cerita itu dengan dirinya.
Nah, gadis itu menjadi selir terkasih dari raja. Ketika
ia melahirkan, sang raja menganggap anak yang
dilahirkan itu anaknya sendiri. Akan tetapi dia tidak tahu
akan sebuah rahasia lain lagi. Ketika gadis itu
melahirkan, ia melahirkn sepasang anak kembar.
Kini Ang Hwa Sian-li baru terkejut dan tegang, lalu
kedua orang gadis itu saling pandang dengan seribu
pertanyaan dalam pandang mata mereka.
Karena tahu bahwa Raja akan menganggap
kelahiran kembar itu suatu malepetaka dan mungkin
kedua anak akan dibunuh, maka ibu muda itu lalu cepat
menghubungi seorang sahabatnya terdekat, yaitu
878

seorang janda muda dan mereka berdua lalu membuat


persekutuan. Seorang dari anak kembar itu diserahkan
kepada si sahabat yang membawanya lari keluar dari
kota raja dan dilaporkan kepada Raja bahwa selirnya
hanya melahirkan seorang anak perempuan. Bidan yang
membantu kelahiran ternyata mati beberapa hari
kemudian tanpa ada yang mengetahui apa sebabnya.
Nah, Raja menganggap bahwa selirnya melahirkan
seorang anak perempuan. Dan janda muda yang
melarikan anak kembar yang kedua itu akhirnya menikah
dengan seorang laki-laki yang nenganggap anak bayi
bawaan isterinya itu sebagai anaknya sendiri. Diapun
tidak tahu akan rahasia anak kembar, hanya
menganggap bahwa bayi perempuan itu adalah bawaan
janda yang kini menjadi isterinya.
Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang
gadis itu yang kini tampak pucat. Kalian berdua dapat
mengerti dan menebak siapa sesungguhnya mereka
semua itu?
Dengan wajah pucat dan suara gemetar Puteri
Moguhai berkata. ...... gadis itu adalah ibu kandungku
dan raja itu adalah ayahku, Raja Kin! Akan tetapi dia
ternyata hanya ayah tiriku, ayah kandungku adalah
kekasih ibuku itu dia dia adalah...... engkau!
Dan gadis kembar yang dibawa janda itu adalah aku,
janda itu adalah ibuku yang kawin dengan ayahku.
Ternyata ibu dan ayahku bukan orang tuaku. Orang
tuaku adalah selir raja itu dan...... engkau......!
Dua orang gadis itu memandang kepada Tiong Lee
Cin-jin dengan sinar mata mencorong penuh selidik lalu
keduanya bertanya dengan suara hampir berbareng.
879

Benarkah itu??
Kini dua tetes air mata jatuh ke pipi Tiong Lee Cin-jin,
dan dia mengangguk angguk. Benar, kalian adalah
anak-anakku.
Ayah......! Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li,
dua orang gadis gagah perkasa dan berilmu tinggi itu
mendadak kehilangan kegagahan mereka. Mereka
menubruk dan merangkul Tiong Lee Cin jin dari kanan
dan kiri sambil menangis seperti dua orang gadis
cengeng dan manja!
Dengan mata basah Tiong Lee Cin-jin merangkul dua
orang gadis itu dan sejenak mereka bertiga tenggelam ke
dalam keharuan den kesedihan mengingat akan keadaan
mereka yang terpisah-pisah.
Engkau...... adik atau kakakku......? Ang Hwa Sian-li
kini saling berpelukan dan berciuman dengan Pek Hong
Nio-cu.
Siang In, engkau yang muda karena Moguhai lahir
lebih dulu, kata Tiong Lee Cin-jin. Mereka tenggelam ke
dalam keharuan dan kesedihan, akan tetapi juga pada
dasarnya merasa bahagia.
Sekarang bagaimana setelah kami mengetahui
rahasia ini, ayah? tanya Pek Hong Nio-cu sambil
memegangi tangan kanan Tiong Lee Cin-jin.
Apakah kami harus membuka rahasia ini kepada
ayah tiri kami? sambung Ang Hwa Sian-li, memegangi
tangan kiri ayahnya.

880

Untuk menjawab itu, aku ingin bertanya dulu kepada


kalian yang harus dijawab sejujurnya. Moguhai, apakah
Raja Kin dan keluarga di istana menyayangmu?
Pek Hong Nio-cu mengangguk. Mereke semua
menyayang saya, ayah. Bahkan Raja amat menyayang
saya.
Bagus! Dan bagaimana dengan engkau, Siang In.
Apakah Thio Ki dan Miyana menyayangmu?
Mereka amat sayang kepadaku, ayah.
Nah, kalau begitu, biarkanlah keadaan seperti itu.
Kalau kalian membuka rahasia ini, mungkin akan timbul
akibat-akibat yang tidak enak dan tidak baik. Kalian
dapat berhubungan seperti sahabat, dapat saling
mengunjungi dan tentu saja kalau kalian saling
mengunjungi, ibu kalian akan mengenal kalian sebagai
saudara kembar. Agar kesamaan kalian tidak terlalu
menyolok, tetaplah kalian berpakaian seperti ciri khas
kalian sekarang. Rahasia ini hanya diketahui oleh ibu
kalian masing-masing, dan oleh kita bertiga. Jangan ada
orang lain yang mengetahuinya.
Baik, ayah, kata mereka berbareng.
Dan jangan panggil ayah kepadaku. Panggil saja
Paman Sie, karena namaku memang dahulu Sie Tiong
Lee. Akan tetapi dalam hati aku tetap ayah kalian dan
kelak aku ingin menurunkan beberapa ilmu lagi kepada
kalian secara bergiliran. Sekarang, mari kita keluar dari
hutan menemui Thian Liong. Dia tentu sudah menunggu
kita.

881

Mereka semua bangkit berdiri. Eh, nanti dulu! kata


Ang Hwa Sian-li sambil tertawa cekikikan dan membuka
buntalan pakaiannya mengeluarkan sepasang pakaian
serba hijau persis seperti yang dipakainya karena
memang yang diambilnya itu pakaian penggantinya.
Nah, kau pakai ini, Pek Hong, kata Ang Hwa Sian-li.
Untuk apa, Ang Hwa? tanya Pek Hong Nio-cu.
Ha-ha, bagus sekali itu! tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin
tertawa. Bagus sekali kalau aku memberimu nama baru,
menggunakan nama julukan kalian. Moguhai kuberi
nama Sie Pek Hong dan Thio Siang In kuberi nama Sie
Ang Hwa!
Ketiganya tertawa senang.
Ang Hwa, untuk apa aku harus memakai pakaian
yang sama denganmu? Bukankah ayah...... eh, Paman
Sie tadi mengatakan agar kita memakai pakaian kita
sendiri agar persamaan antara kita tidak sangat
menyolok?
Aku ingin menggoda Thian Liong dan melihat
apakah dia dapat mengenal kita, kata Ang Hwa.
Pek Hong tertawa cekikikan dan iapun setuju, lalu
dipakainya pakaian itu. Gelung rambutnyapun diubah
dan dengan bantuan Ang Hwa, sebentar saja di situ ada
dua Ang Hwa Sian-li!
Tiong Lee Cin-jin hanya menggeleng geleng kepala
sambil tersenyum. Anak anaknya ini menjadi dua orang
gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, juga lincah
882

jenaka.
Souw Thian Liong masih duduk melamun ketika
mereka bertiga menghampiri dari belakang. Mendengar
langkah mereka, dia bangkit berdiri, memutar tubuh
dan...... menjadi bengong karena di depannya berdiri dua
orang Ang Hwa Sian-li. Wajahnya persis, pakaiannya
sama, bentuk rambutpun serupa, masing-masing
memakai bunga mawar merah di rambutnya dan
keduanya tersenyum manis kepadanya! Dia menjadi
bengong dan heran.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. Thian Liong, kami
hanya ingin mengujimu, apakah engkau dapat mengenal
yang mana Ang Hwa Sian-li yang aseli dan yang mana
Pek Hong Nio-cu?
Thian Liong tersenyum dan mnghampiri. Tentu saja
dia tahu karena dia masih ingat. Yang mempunyai tahi
lalat di pipi kiri adalah Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong
Nio-cu mempunyai tahi lalat di pipi kanan! Akan tetapi dia
tidak mau membuang kesukacitaan dalam hatinya
karena dia mengenal rahasia perbedaan mereka, yaitu
pada tahi lalat mereka. Biarlah dia disangka tidak tahu.
Dia lalu menunjuk kepada Pek Hong Nio-cu dan berkata
lantang.
Engkaulah Ang Hwa Sian-li yang aseli! Benar, kan?
Dua orang gadis itu tertawa girang akan tetapi tidak
menjawab. Merekapun merasa senang karena tidak
dapat menebak dan ingin menyimpan rahasia mereka.
Thian Liong, sekarang saatnya kita berpisah. Aku
harap engkau memperoleh banyak pelajaran tentang
883

semua pengalamanmu yang lalu dan di masa mendatang


akan berlaku hati-hati sekali karena di dunia ini lebih
banyak terdapat orang sesat daripada yang benar.
Mereka berdua ini akan pergi bersamaku, kembali ke
utara. Selamat berpisah, Thian Liong.
Thian Liong memberi hormat kepada gurunya.
Selamat jalan, suhu. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Niocu, selamat jalan dan terima kasih atas bantuan dan
semua kebaikan kalian selama ini kepadaku.
Dua orang gadis itu tersenyum manis.
Selamat tinggal, Souw Thian Liong! kata mereka,
lalu mereka mengikuti Tiong Lee Cin-jin menuju ke utara.
Thian Liong memandang ke arah mereka pergi,
sampai bayangan mereka menghilang di balik pohonpohon. Tiba tiba dia merasa kehilangan, merasa
kesepian dan sedih! Bayangan tiga raut wajah yang
cantik jelita dan memiliki daya tarik khas masing-masing
silih berganti muncul dalam ingatannya. Han Bi Lan, Ang
Hwa Sian-Ii, dan Pek Hong Nio-cu. Dan kini mereka
semua telah pergi meninggalkannya. Betapa dia sayang
kepada mereka. Sekarang dia seorang diri, sebatang
kara, kesepian.
Huh! Cengeng! Dia menepuk dahi sendiri lalu
melangkah pergi, senyumnya muncul kembali dan
langkahnya tetap.

TAMAT

884

885

Anda mungkin juga menyukai