Anda di halaman 1dari 49

Goresan di Sehelai Daun

Pembunuh Berkedok Hitam

Lo Tong Bukan Suhu Khu Han-beng Yang Sebenarnya!

Sepotong kalimat sederhana ini berulang-ulang kali terngiang di kepala Tan Leng-ko.
Tidak dapat dipungkiri lagi, Lo Tong merupakan penjaga sebenarnya dari salinan
kitab-kitab silat itu, yang Tan Leng-ko tidak habis mengerti dengan kesaktian Lo
Tong, kenapa ia rela hanya menjadi seorang kacung-buku? Jika ia berniat untuk
menyusup masuk, dengan kesaktiannya ia dapat keluar-masuk memperoleh apa
yang diingininya tanpa diketahui oleh seorangpun. Lalu urusan apa yang
menahannya hingga ia tinggal bertahun-tahun di Lokyang Piaukiok? Lalu siapakah
jati diri si naga sakti yang sebenarnya? Apakah ia juga termasuk salah satu
penghuni Lokyang Piaukiok?

Pening Kepala Tan Leng-ko memikirkannya, hatinya terasa bimbang, mukanya


semakin pucat. Terlampau banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya dan
terlalu sedikit jawaban yang memuaskan hatinya.

Perlahan ia menarik napas dalam dalam mencoba menenangkan batin dan


menghibur diri.
"Urusan ini, toh aku dapat mencoba bertanya langsung padanya. Sedangkan
mengenai si naga sakti, bagaimanapun juga aku telah berhasil menangkap ekornya"
gumamnya sendirian.

Bagaimanapun juga si naga sakti atau locianpwee yang tempo hari pernah
ditemuinya di taman belakang toko buku itu tidak berbohong kepadanya ketika
mengunakan istilah 'kami'. Yaa, Bagaimanapun saktinya locianpwee itu, tidak
mungkin ia memiliki ilmu memecah diri.

Pencurian kitab-kitab tujuh perguruan jelas tidak mungkin dapat dilakukan oleh
hanya satu orang, seharusnya sedari dulu ia telah memikirkan hal ini. Seingat Tan
Leng Ko penanggalan yang tercatat di punggung salinan kitab Kun-lun-pay Hui-liong
Cap-sa-sik yang dilihatnya tempo hari di kamar Khu Han-beng, tidak terpaut terlalu
lama dengan tanggalan yang tertera di salinan kitab Thay-kek-kun milik Butong-pay.
Sedangkan lokasi ke dua tempat itu terlampau jauh, jelas pencurian kitab
perguruan besar tersebut tidak dapat dilakukan hanya oleh satu orang, melainkan
harus dilakukan oleh sekelompok orang, dan Lo Tong jelas merupakan salah satu
dari kelompok mereka. Sekaligus juga merupakan buntut baginya untuk melihat
kepala sinaga sakti.

Puas dengan analisanya, Tan Leng-ko menutup buku jurnal kerja yang dipegangnya.
Tanpa ia sadari, tangannya berhenti bergerak ketika matanya membaca sesuatu
yang sempat membuat mulutnya mengeluarkan suara tawa kecil.

Mendadak suara tawanya tenggelam ditelan desingan nyaring pedang yang sedang
dicabut dari sarungnya. Sesosok bayangan manusia tampak berkelebatan masuk,
dan dengan kecepatan bagaikan kilat menyerangnya dengan ganas!

Pedang orang itu bagaikan seekor ular beracun yang keluar dari liangnya langsung
mematuk, menusuk ke dada Tan Leng-ko. Belum cahaya pedang yang berkelebat
tiba, Tan Leng-ko dapat merasakan hawa dingin yang sangat tajam menyayat
tubuhnya.

Tentu saja serangan mematikan itu membuat Tan Leng-ko terkejut, cepat ia
menimpuk buku jurnal yang dipegangnya menyambut tusukkan pedang itu. Dalam
sekejap buku kerja itu hancur berkeping-keping terkena hawa pedang. Tapi bukan
lemparannya tidak berguna, sesaat hawa pedang tersebut melemah, memberi
kesempatan yang cukup bagi Tan Leng-ko untuk menjatuhkan diri berguling
kesamping.

Dengan gerakan kilat Tan Leng-ko melenting berdiri dan dengan tergesa-gesa ia
bergeser menjauh beberapa tindak, hampir ia menabrak patung Mik Lik-bud yang
terletak di samping rak lemari buku. Cepat ia menoleh, jarak diantara mereka cukup
dekat sehingga ia dapat melihat sepasang mata yang memancar sinar licik lagi
kejam tapi seperti juga keheranan di balik lelaki berkedok kain hitam yang
membungkus kepala penyerangnya itu.

Sebelum Tan Leng-ko menempatkan diri di posisi yang lebih baik, kembali pedang
orang itu berputar mengikuti gerak badannya. Ujung pedang lawan yang sangat
tipis lagi tajam mengancam bit-kian-hiat, hiat-to mematikan di depan dada Tan
Leng-ko. Serangan lawan selain cepat juga ganas sekali sehingga tiada tempo bagi
Tan Leng-ko untuk menangkis mempertahankan diri. Melihat ujung pedang lawan
mengancam dirinya, dengan sigap Tan Leng-ko menekuk pinggangnya ke belakang
sehingga badannya seperti papan yang menggantung ditopang dengan kuda-kuda
kakinya.
"Taak...!"

Serangan dahsyat yang disertai hawa pedang itu , dengan telak menghantam
patung Buddha yang berada di belakangnya. Orang berkedok hitam itu terdengar
seperti mendengus, ia menggerakkan pergelangan tangannya memacul ke bawah.
Hati Tan Leng-ko berdesir, ia cukup memahami tidak akan pernah ada jurus pedang
semacam itu. Gerakkan memacul seperti itu merupakan gerakkan pedang tanpa
jurus yang lebih banyak didasari 'bergerak sesuai dengan keadaan'!

Walau tenaga hentakkan pergelangan tangan bersifat lemah tapi dengan ketajaman
pedang lawan sudah lebih dari cukup untuk membinasakan dirinya. Dalam
perhitungan waktu yang lebih cepat daripada menuturkannya, Tan Leng-ko
mengerahkan tenaga dikedua pahanya mendorong tubuhnya ke belakang hingga
pundaknya menompang patung Mik Lik-bud yang setinggi dirinya. Meremang bulu
kuduk Tan Leng-ko ketika ia dapat merasakan dinginnya pedang lawan ketika
berkelebat disela-sela kedua kakinya. dengan sekuat tenaga, kaki kanannya cepat
ia ayunkan ke atas mengancam modal tunggal diantara belahan paha lawannya.
orang berkedok hitam itu memutar tubuh, kaki kirinya ditempatkan di belakang kaki
kanan sedangkan pedangnya menebas ke kanan. Situasi menjadi terbalik, justru
modal tunggal Tan Leng-ko yang sekarang terancam!

Tan Leng-ko menarik napas panjang sambil mengerahkan ginkang. Tendangan


kakinya yang barusan tidak mengenai sasaran menimbulkan daya lenting yang
mementalkan tubuhnya melengkung ke atas. Dengan dibantu kedua tangannya, ia
menekan perut buncit patung Mik Lik-bud sehingga tubuhnya melayang berjungkir
balik dengan kaki diatas. Mencelos hati Tan Leng-ko ketika merasakan goloknya
melorot turun, terlepas dari sarungnya. Dia juga dapat merasakan hawa pedang
lawan mengancam punggungnya.

Terdengar suara siulan nyaring ketika Tan Leng-ko meraih senjatanya yang
melayang di udara sambil memutar tubuhnya menghantam goloknya ke batang
pedang lawan dengan pengerahan tenaga sakti sedapatnya.
"Trang!"

Beradunya tenaga sakti, golok dan pedang membuat orang berkedok hitam itu
terhuyung mundur sedangkan tubuh Tan Leng-ko mental menuju sudut langit
kamar. Tan Leng-ko mengatur tubuhnya yang terapung, kedua kakinya menjejak
pada sudut langit kamar, dengan tenaga tolakan ini tubuhnya berganti arah
meluncur balik. Cahaya golok meluncur keluar dengan kecepatan luar biasa
menebas ke depan. Segulung hawa dingin yang membeku berupa selapis kabut
cahaya golok menerjang ke arah lawannya.

Serangan Tan Leng-ko selain tepat juga lebih ganas, diam diam lawannya merasa
terperanjat ketika ia rasakan aliran darahnya serasa membeku, tubuhnya menggigil
kedinginan. Sukar baginya untuk mempertahankan diri, sambil membentak dan
mengerahkan tenaga sakti, cepat ia meloncat menghindar. Sekalipun serangan
golok yang dilancarkan Tan Leng-ko tidak menemui sasaran, namun sudah cukup
menggetarkan musuhnya yang amat tangguh. Ternyata ronce hitam di sarung
pedang orang berkedok itu sudah terpapas putus!

Tan Leng-ko mendengus, sembari menggerakkan goloknya dengan serangan


susulan yang berbahaya. Melihat Tan Leng-ko memburu tiba serta menyerang,
orang itu tidak tinggal diam, pedang ditangannya memutar kencang, mengayun
dari bawah menebas ke atas, dalam sekejap ke dua belah senjata tersebut sudah
saling bentrokan satu sama lain.
"Traaang...traaang...!"

Terdengar dua kali suara dentingan nyaring, golok dan pedang sudah saling
bersimpangan. Didalam bentrokkan pertama, kedua belah pihak sama sama
bertarung seimbang. Dibentrokkan berikutnya, orang berkedok hitam itu nampak
terhuyung tidak tahan menahan bacokan golok Tan Leng-ko yang disertai
pengerahan tenaga sakti penuh.

Diruang kerja Khu Pek Sim yang tidak terlampau luas dalam waktu singkat berubah
menjadi sebuah ajang pertempuran yang amat seru. Cahaya golok dan bayangan

pedang sudah menyelimuti seluruh tubuh kedua orang itu yang bertarung diruang
sempit sehingga orang lain sulit untuk menyaksikan jurus jurus serangan yang
dipergunakan kedua orang itu dan langkah tubuh yang mereka gunakan. Orang
berkedok itu tidak ingin menderita kerugian, ia menggunakan kelincahan tubuh dan
keanehan jurus pedangnya untuk menyerang Tan Leng-ko. Tusukkan pedangnya
yang disertai hawa dingin yang menyayat bergulung menyerang Tan Leng-ko
bagaikan amukkan hempasan ombak yang saling menyusul tiada habisnya.

Tan Leng-ko kerepotan, ia harus mengakui keanehan jurus pedang lawan. Gerakkan
orang itu tidak hanya menusuk atau menebas, bahkan meliputi gerakkan
mengungkit, berubah arah menyerang lawan dari arah yang tidak terduga.
Nampaknya hanya jurus Ouw Yang Ci-to yang dapat menandingi keanehan gerak
pedang lawan tapi ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak akan
menggunakannya lagi.

Ditengah seribu kerepotan, tiba-tiba Tan Leng-ko menemukan satu hal yang
membuatnya kegirangan. Tubuhnya dirasakan jauh lebih ringan, ayunan goloknya
membawa hawa dingin menusuk tulang yang mempengaruhi gerak tubuh
lawannya. Tangan kirinya yang melakukan totokkan dan cengkraman mengandung
hawa panas yang menghanguskan. Ia paham entah kenapa hawa liar Hek Pek Coa
ditubuhnya, telah berhasil melebur dengan Hek Yang Pek Im Sinkangnya. Menyadari
kemampuan tenaga saktinya diatas kemampuan lawan, Tan Leng-ko mengubah
siasat dengan menerkam lawan sambil mengerahkan tenaga penuh mengadu
senjata.
"Trangg!"

Kembali terdengar dentingan pedang beradu golok yang memekakkan. Tan Leng-ko
menyeringai kesakitan ketika beberapa bunga api memercik mengenai punggung
tangannya. Tapi dalam bentrokkan kali ini, si kedok hitam tak mampu menahan
getaran tenaga sakti yang terpancar dari golok Tan Leng-ko. Pergelangan tangannya
menjadi kaku dan linu walau ia sudah mempergunakan segenap kekuatan yang
dimilikinya. Pedangnya terlepas dari genggaman dan mencelat ke udara. Tubuhnya
cepat membalik, melenting ke pintu, jelas sekali ia berniat untuk kabur.

"Masakkan kubiarkan kau merat dari sini" gusar Tan Leng-ko.

Mendadak terdengar jeritan kaget dari pintu keluar. Terkesiap darah Tan Leng-ko
ketika melihat kemunculan Giok Si disaat yang tidak menguntungkan. Orang
berkedok hitam segera memanfaatkan situasi, tubuhnya berkelebat ke belakang
tubuh Giok Si, jari tangan kanannya mengancam hiat-to mematikan di pelipis gadis
malang itu yang tentu saja menjadi ketakutan.

"Tentu saja kau akan membiarkan kupergi dari sini" ujar orang itu dengan lembut
setelah mengatur napasnya yang serabutan.

"Kuyakin kau tidak akan membunuh dia!"

Orang berkedok itu seperti tertegun. Sambil menganggukkan kepala ia memandang


Tan Leng Ko dengan sorot kekaguman. Dengan nada memuji ia berkata:
"Kau sungguh seorang hebat!"

Giliran Tan Leng Ko yang melenggong. Ia benar benar heran karena ia tidak
menyangka lawan akan memujinya.
"Apanya yang hebat?" tanyanya tak terasa.
"Nada ucapanmu membawa getar keyakinan tingkat tinggi. Aku bukan jenis yang
mudah dipengaruhi orang tapi entah kenapa akupun ikut percaya bahwa aku tidak
akan membunuhnya"

Kembali sorot matanya memancar kekaguman,


"Hanya orang hebat dan pintar yang mempunyai kemampuan seperti itu" terdengar
pujiannya sekali lagi.

Dipuji sedemikian rupa membuat perasaan Tan Leng Ko jengah, mukanya memerah,
ia sedikit salah tingkah. Kemarahannya tadi entah sudah menguap kemana.

"Kalau kuboleh tahu, kenapa aku tidak akan membunuhnya?" tanya orang itu
dengan nada halus.

Melihat sikap orang itu yang melunak, Tan Leng Ko ikut melunakkan sikapnya dan
dengan lembut menjawab:
"Karena kau datang berniat untuk membunuhku, bukan dia"

Orang berkedok hitam itu terlihat mengangguk sambil berdiam diri. Tapi tangannya
tidak tinggal diam, tangan kirinya terlihat mencekeram leher Giok Si dengan kuat.
Telinga gadis itu yang belum sembuh kembali mengeluarkan darah segar,
tenggorokkannya mengeluarkan suara tercekik.
"Krokk...krok!"

Muka Tan Leng Ko berubah hebat, cepat ia berseru:


"Kau boleh pergi, lepaskan dia!"

Dengan nada hambar orang berkedok itu berkata:


"Seperti yang barusan kau katakan, kudatang untuk membunuhmu. Jika tidak dapat
menggunakan pedang, nampaknya aku harus menggunakan dia"
"oOo, kau hendak menggunakan kesempatan ini untuk mengancamku, memintaku
untuk membunuh diri?"

Orang berkedok hitam itu seperti menghela napas, ucapnya dengan tawar:
"Ada yang pernah bilang jalan pikiranku sangat ruwet, tak nyana kau dapat
menerkanya dengan tepat"

Mendengar ucapan yang seperti ejekan itu, Tan Leng Ko melototinya sekejap.
Ujarnya perlahan:
"Jika kau katakan aku seorang pintar, bukankah dengan membunuh diri aku mirip
orang bodoh?"
"Kau lebih mirip seorang lelaki sejati. Sebab hanya seorang lelaki sejati yang
bersedia berbuat bodoh untuk membela kaum yang lemah"

Tangan orang itu menggeser dari tenggorkan Giok Si, perlahan menyisir rambut
gadis malang itu yang basah menggumpal lengket terkena darah yang mengucur
tidak berhenti. Dengan nada gegetun, orang berkedok hitam itu berkata:
"Konon perempuan termasuk kaum yang lemah. Apalagi perempuan yang sudah
terluka dan melemah kekurangan darah"

Diam diam hati Tan Leng Ko tersirap. Bukan karena ucapannya, tapi cara nada
ucapannya. Hanya orang berbahaya yang dapat berkata dengan cara demikian.
Menggunakan nada halus dan simpatik, yang membuat dirinya sukar membantah
ucapannya. Dan yang membuat perasaan Tan Leng Ko benar benar terkejut, dia
tidak dapat menyelami isi hati orang itu!

Orang itu benar benar tulus ketika memuji, benar benar memelas ketika gegetun.
Meninggalkan kesan, orang itu menyukai hal yang baik dan membenci hal yang
buruk. Tapi apa yang ia kerjakan sejauh ini bertentangan dengan nilai tersebut.
Benar benar seorang lawan yang berbahaya!

"Jam berapa sekarang?"

Orang itu mengeluarkan seruan heran mendengar pertanyaan Tan Leng Ko yang
tiba tiba dan tidak dapat ia duga arah pertanyaannya. Di luar dugaan justru
perempuan dipelukkannya yang memberi penjelasan dengan gumaman memilukan
tapi cukup jelas.
"Beberapa jam yang lalu, dia belum pernah mengenalku. Tentu saja ia enggan untuk
membunuh diri demi seseorang yang baru dia kenalnya. Tidak mungkin ia mau
mempedulikan nasibku. Apalagi aku hanya seorang pelacur yang sudah ludes modal
kerjanya. Kedatanganku kemari sebetulnya untuk mati ditangannya. Ia enggan
untuk melakukan, sungguh kebetulan jika kau hendak membunuhku"

Dengan nada terkejut orang itu bertanya kepada Tan Leng Ko:
"Benarkah ucapannya?"
"Benar!" tegas Tan Leng Ko.

Giok Si menatap Tan Leng Ko dengan terkejut. Ia tidak menyangka pemuda itu akan
menjawab secepat dan setegas itu. Dengan pandangan nanar ia terus menatap Tan
Leng Ko tanpa berkedip. Perlahan matanya mulai digenangi linangan air mata,
bibirnya digigit kencang hingga berdarah, entah karena menahan sakit atau entah
karena ia berduka.

Yang ditatap tidak tega, tapi sebelum Tan Leng Ko mengucapkan sesuatu, dengan
gerakkan perlahan seperti takut melukai, orang berkedok hitam itu menolehkan
kepala Giok Si kearahnya. Dengan lembut ia menghapus air mata yang menetes itu,
ujarnya dengan halus:
"Satu hal kau salah. Jawabannya barusan yang tegas dan menyakitkan hatimu
sebenarnya bertujuan untuk mengelabuiku. Jika dia tidak mempedulikan nasibmu,
tentu dia telah menyerangku semenjak tadi. Dia tidak menyerang karena sangat
memperhatikan nasibmu."

Berubah hebat wajah Tan Leng Ko. Lawannya kali ini benar benar musuh yang
paling menakutkan yang pernah ia jumpai seumur hidupnya.

"Kukabulkan permintaanmu!" seru Tan Leng Ko dengan muka pucat tapi dengan
tekad bulat.

Orang berkedok hitam itu menatap Tan Leng Ko cukup lama, sebelum berkata:
"Kau akan membunuh diri?"
"Yaa! Aku akan membunuh diri"

Dengan nada kuatir, Giok Si menjerit parau:


"Kau tidak boleh...!"

Dengan cepat orang berkedok hitam menggerakkan jari tangan menutuk urat gagu
mencegah Giok Si untuk menyelesaikan ucapannya.

"Ssstt! Ketika lelaki sejati sedang berbicara, seharusnya perempuan tidak ikut
membuka mulut" ujar halus orang itu sambil meletakkan telunjuknya dibibir Giok Si.
Cepat orang itu menarik tangannya ketika melihat Giok Si berusaha menggigit.
Sambil melirik ke jari tangannya, tiba-tiba orang itu berujar sambil tersenyum:
"melihat bentuknya yang panjang dan lunak, nampaknya kau gemar untuk
memasukkannya ke dalam mulut"

Tan Leng-ko tidak tega melihat perubahan wajah Giok Si yang hatinya seperti
tertusuk belati tajam. Tapi sebelum ia mengatakan sesuatu orang berkedok hitam
itu mengalihkan perhatian kepadanya:
"Kutahu kau akan melakukannya. Kuyakin seorang lelaki sejati tidak mungkin
membiarkan seorang perempuan terancam tanpa melindunginya. Walau terlihat
bodoh, seorang lelaki sejati akan tetap melakukan apa yang harus dia lakukan.
Seorang lelaki..."
"Sebelum kumati, maukah kau lakukan satu hal untukku" potong Tan Leng Ko tibatiba.
"Jika dapat kulakukan, tentu akan kulakukan" ujar orang itu dengan simpatik.
"Maukah kau tutup mulut! Ceramahmu tentang lelaki sejati membuat perutku mual"

Diluar dugaan orang itu terdengar tertawa kecil:


"Sebetulnya aku sendiripun merinding mengucapkannya."

Tan Leng-ko tidak memperdulikan orang itu, ia menatap Giok Si dengan pandangan
berduka yang juga menatapnya dengan linangan air mata. Dengan muka pucat Tan
Leng-ko menggumam:
"Kau matilah dengan tenang, kujamin dia akan juga mati kubunuh. Lalu aku akan
membunuh diri untuk menebus kematianmu"

Orang berkedok itu seperti terkejut mendengar perkataan Tan Leng-ko. Tapi setelah
berpikir sebentar, ia menganggukkan kepala, katanya:
"Yaa, caramu memang lebih baik. Semua tewas jauh lebih baik daripada mati konyol
sendirian"

Tan Leng-ko melotot kepadanya sekejap, kemudian ujarnya perlahan:


"Atau semuanya tetap hidup. Seperti kukatakan tadi. Kau pergi, dia bebas. Setiap
saat kau boleh mencoba membunuhku lagi. Hanya perlu kuberitahu padamu, Tak
lama lagi aku akan berangkat pergi ke Tiang-an, setiap saat kau boleh mencegatku
dijalan untuk membunuhku"
"Kenapa kau mengatakan tujuan perjalananmu?" tanya orang berkedok itu heran.
"Kau bertujuan untuk membunuhku. Akupun berniat untuk membunuhmu" jawab
Tan Leng-ko tawar.
"Hanya dengan mengatakan tujuanmu, kau tidak usah bersusah payah mencariku
untuk membunuhku?"
"Benar!"

Orang berkedok itu kembali mengangguk setuju, ujarnya:


"Yaa, kau memang pintar. Hanya ada satu hal yang kau lupakan"
"Apa yang kulupakan?"
"Seorang pembunuh ketika berniat membunuh, jika tidak berhasil maka siap untuk
dibunuh" kata orang berkedok itu sepatah demi sepatah.

Berubah hebat wajah Tan Leng-ko, bulu kuduknya merinding mendengar ucapan
dingin orang itu. Sambil menghela napas ia bertanya:
"Jadi kau lebih memilih kita semua mati bersama"
"Benar!"

Tan Leng-ko menarik napas panjang, tidak ada kata kata lagi yang ia dapat
ucapkan. Matanya beradu pandang dengan Giok Si yang menatapnya dengan
pandangan yang ia sukar jelaskan. Tan Leng-ko merasa sedih, tapi ia tidak
mempunyai jalan lain kecuali mengandalkan kepandaiannya. Tiba tiba teringat
olehnya jurus ke tiga belas Ouw Yang Ci To yang baru beberapa hari dilatihnya. Jurus
yang paling sukar yang pernah dilatihnya dan sebenarnya belum ia kuasai penuh.
Jurus yang ketika dilancarkan bagaikan gulungan cahaya perak yang melesat pesat
seperti petir menyambar, jurus golok terbang!

"Lagi lagi aku harus melanggar janji" keluh sedih Tan Leng-ko dalam hati. Ia pernah
berjanji pada dirinya untuk tidak menggunakan Ouw Yang Ci To...janji yang sudah
beberapa kali ia langgar. Dia lebih suka mati konyol ketimbang melanggar janji, tapi
dia tidak dapat membiarkan Giok Si tewas ditangan orang berkedok hitam ini. Satu
kali ia berbuat salah pada gadis itu, ia rasakan sudah terlampau banyak.

Perlahan ia mengatur pernapasannya, matanya menatap tajam leher lawannya


yang terlihat sebagian dari tempat ia berdiri. Tenaga saktinya ia kerahkan penuh
mengelilingi seluruh tubuhnya yang kemudian dia pusatkan di pergelangan
tangannya.

Udara dingin semakin membeku, orang berkedok itu diam diam terkejut merasakan
gulungan hawa kematian yang semakin menebal yang timbul dari golok Tan Lengko.
"Atau kita tidak usah mati bersama, jika.." ucapannya terputus.

Ia dapat merasakan keadaan Tan Leng-ko seperti anak panah yang ditarik kencang
dibusurnya. Setiap saat dapat menyerang dengan kecepatan dan kekuatan yang
luar biasa dahsyatnya sehingga ia tidak berani sembarangan bergerak. Sedikit
ototnya mengejang percuma, ia dapat menemui ajalnya.

"Jika apa?" tiba tiba Tan Leng-ko bertanya.

Orang berkedok itu diam diam menarik napas lega. Udara beku yang menyesakkan
ia rasakan menyurut, berkurang banyak.
Ia dapat merasakan Tan Leng-ko telah mengendurkan saluran tenaga saktinya.
"Jika kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur" jawabnya.

Kening Tan Leng-ko berkerut,


"Apa yang hendak kau tanyakan?" tanyanya heran.

"Dua titik di punggung tanganmu, apakah kau baru baru ini digigit seekor ular?"

Tan Leng-ko melengak heran, diam diam ia terkejut mendengar pertanyaan yang
dirasakan terlalu tepat baginya. Tak Terasa ia menggumam:
"Aneh, biasanya jarang sekali seorang lelaki memperhatikan punggung tangan
seorang lelaki lain"
"Kau bicara ngawur apa?!" bentak sikedok hitam sambil mempererat cekikkannya
sehingga Giok Si kesakitan. Cepat Tan Leng-ko menukas:
"Yaa, beberapa minggu yang lalu, aku pernah digigit seekor ular beracun yang aneh.
"Bagaimana bentuk ular itu?"
" Selain ekornya berbentuk pipih, cabang lidahnya juga tidak umum, yang satu
berwarna hitam, dan yang satu lagi berwarna putih"
"Apakah ular Hek Pek Coa?" tanya orang itu dengan nada gemetar.
"Apakah ular itu Hek Pek Coa atau tidak, aku tidak tahu" jawab Tan Leng-ko semakin
heran.
"Dimana kau digigit ular itu?" tanya sikedok hitam tanpa dapat menyembunyikan
nada suaranya yang gembira.
"Kenapa kau menanyakan hal ini?" tanya Tan Leng-ko yang menjadi tertarik
berbareng semakin terkejut.
"Jika kau sedang mencekik istriku tentu aku akan menjawab pertanyaanmu,
sebaiknya kau jawab saja pertanyaanku" ancam sikedok hitam.

Melihat darah kental kembali merembes ke rambut Giok Si, Tan Leng-ko menghela
napas:
"Di dekat sebuah goa di atas bukit belakang" Tan Leng-ko menjawab sekenanya.
"Apakah racun ular itu yang menyebabkan tubuhmu belang dua warna?"
"Yaa, kurasa demikian. Aku sendiri kurang tahu dengan jelas"

Sikedok hitam mendengus perlahan, jengeknya:

"Sudah kukatakan kau harus menjawab dengan jujur. Bukankah belang ditubuhmu
disebabkan kau telah mempelajari sebuah ilmu?"

Tan Leng-ko terkesiap, kembali ia menghela napas:


"Jika kau mengetahui lebih jelas daripadaku, untuk apalagi kau tanyakan padaku?"
"Darimana kau memperoleh ilmu itu?" desak orang berkedok hitam itu.
"Ketika aku keracunan setelah dipatuk ular itu, seorang locianpwee sakti tiba tiba
muncul di belakangku dan menyuruhku bersila. Ia menyuruhku untuk mengerahkan
tenaga sakti dan mengikuti perintahnya. Aku yang setengah sadar keracunan, tentu
saja mengikuti petunjuknya"
"Siapa dia, bagaimana rupanya?"
"Aku tidak tahu. Ketika kuterjaga dari pingsan, beliau sudah pergi. Aku pun belum
mengucapkan terima kasih"

Orang berkedok hitam itu mendengus:


"Selain racun Hek Pek Coa, apakah belakangan ini kau terkena racun lain?"

Tan Leng-ko semakin heran, banyak pertanyaan menumpuk dibatinnya.


"Aku rasa tidak" akhirnya ia menjawab setelah termenung sejenak.
"Darimana kau tahu dengan pasti?"
"Sebab aku tidak merasakan kelainan di tubuhku"

Tak terasa orang berkedok hitam itu berseru keheranan:


"Aneh! Kenapa belang-belang ditubuhmu mendadak menghilang?"
"Aku sendiripun sedang keheranan. Kau harus percaya padaku. Aku benar benar
tidak tahu"

Sepasang mata yang licik dari balik kedok hitam itu, menatap tajam Tan Leng-ko
seperti mengukur kebenaran ucapannya. Tiba tiba ia mengeluarkan pertanyaan
yang aneh:
"Kau tidak sendirian. Sebenarnya, aku pun juga sedang keheranan"
"Apa yang kau herankan" tanya Tan Leng-ko heran.
"Kenapa sedari tadi kau tidak pernah bertanya siapakah aku,kenapa hendak
membunuhmu, kenapa aku bertanya macam macam padamu?"

Dengan nada dingin Tan Leng-ko menjawab:


"Ketika aku sedang mencekik binimu, tentu aku akan banyak bertanya... Sekarang
aku tidak bertanya karena tidak yakin kau mau menjawab, lagipula.."
"Lagipula apa?"
"Sudah kukenali siapa dirimu"
"Kau kenali diriku?" tanya orang berkedok hitam itu dengan terkejut.

Tan Leng-ko mengangguk:


"Tidak kusalahkan kau jika berminat membunuhku. Hanya kusalahkan caramu
berpakaian. Kau mengenakan pakaian hitam di siang hari, jika kau bukan pembunuh
terbodoh yang pernah kujumpai, atau kau adalah Pek Kian Si yang memiliki dendam
kesumat padaku hingga tidak sabar menunggu datangnya malam"

Orang berkedok hitam itu mengeluarkan tawa bernada dingin. Tiba-tiba ia


melempar tubuh Giok Si ke arah Tan Leng-ko yang segera menangkapnya. Baru Tan
Leng-ko hendak bergerak menyusul orang berkedok hitam itu, dua benda kenyal
yang padat mendadak menekan tubuh Tan Leng-ko. Giok Si yang memeluk erat
dirinya, menyembunyikan mukanya menangis tersedu-sedu di dada Tan Leng-ko
yang bidang. Bau harum dari tubuh Giok Si membuat jantung Tan Leng-ko berdegup
kecang, segera ia mengalihkan perhatiannya melirik ke pintu, sikedok hitam sudah
menghilang entah kemana.

"Apakah kau dilukai olehnya?" tanya Tan Leng-ko dengan lembut.

Giok Si menggelengkan kepalanya perlahan, isak tangisnya semakin keras.


"Syukurlah, kalau kau tidak kurang apa" ujar Tan Leng-ko lega.

Tan Leng-ko membiarkan Giok Si menangis di dadanya. Ia cukup paham tiada


manusia yang tidak pernah menangis, apalagi perempuan.

Menangis memang suatu perbuatan manusia yang bersifat rada ganjil. Ketika
seorang bayi dilahirkan, tangisannya malah membuat orang tuanya tertawa. Ketika
bayi itu sedang sakit, tangisannya dapat membuat orang tuanya menjadi sedih. Tapi
tidak jarang tangisan rewel seorang bayi dapat menjengkelkan orangtuanya. Tiga
tangisan dengan proses yang sama, anehnya dapat memancing tiga perasaan yang
berbeda. Keanehannya malah bertambah, karena menangis juga dapat mengurangi
perasaan tertekan.

Setelah puas menangis, Giok Si menarik kepalanya dengan tersipu-sipu, ia


mendorong tubuh Tan Leng-ko perlahan seperti baru menyadari telah berada di
pelukkannya.

"Benarkah ia Pek Kian Si yang telah melukai diriku?" tanyanya dengan muka masih
memerah.
"Kurasa bukan"

Paras Giok Si yang tadinya keheranan berubah seperti memperoleh sebuah


pengertian, ujarnya:
"Kau sengaja berkata demikian agar dia berlega hati, kau mencurigai orang yang
salah. Apakah kau sudah mengetahui siapa dia sebenarnya?"

Tan Leng-ko menggeleng, ia hanya berkata:


"Aku tidak kenal dia, dan tidak mengerti kenapa ia ingin membunuhku. Hanya yang
kuherankan bukan itu"
"Apa yang kau herankan?"

Tan Leng-ko tidak segera menjawab. Setelah termenung sejenak, ia menjawab


perlahan:
"Tidak seharusnya ia pergi begitu cepat"

Giok Si tertawa, katanya:


"Dia sudah kau kalahkan, jika tidak merat kabur, lalu apa yang mesti ia lakukan. Dia
kan tahu kau tidak mungkin mengundangnya minum arak"

Kali ini Tan Leng-ko tidak menjawab, matanya menggeridip seperti banyak yang ia
pikirkan. Cukup lama keduanya terdiam.
"Sebenarnya ilmu apakah yang ditanya orang itu?" tanya Giok Si memecah
keheningan.

Dengan menghela napas, Tan Leng-ko menjawab:


"Sebuah ilmu yang berguna untuk menawarkan racun khususnya racun Hek Pek
Coa"
"Benarkah kau mempelajari ilmu itu dari seorang locianpwee atau kau hanya
mengatakan demikian untuk menipunya"
"Kenapa kau menanyakan urusan ini?"
"Bukan tidak mungkin kau memperoleh ilmu ini dari sebuah kitab, jika demikian
keadaanmu berbahaya sekali"
"Berbahaya?"

Dengan pandangan kuatir, Giok Si menjawab:


"Mungkin sekali dia akan berusaha menjebak kemudian menyiksamu untuk
mendapatkan kitab itu, aku tidak ingin kau mengalami suatu kejadian yang buruk"

Dengan nada menghibur Tan Leng-ko berkata:


"jangan kau kuatir! Aku tidak memiliki kitab itu lagipula ada kitab atau tidak
nampaknya orang berkedok itu telah bertekad untuk membunuhku"

Air mata kembali menggenang di kelopak mata Giok Si. Dengan bibir gemetar dia
berkata:
"Saat ini, kau adalah satu satunya yang kuandalkan. Jika kau mati terbunuh, aku..."

Giok Si tidak dapat menahan dirinya lagi, ia menubruk tubuh Tan Leng-ko dan
kembali menangis. Tan Leng-ko menghela napas, sekali lagi ia membiarkan Giok Si
menangis di dadanya.
"Orang itu tak akan mampu membunuhku" hiburnya.

Sekali lagi dua benda kenyal menekan dada Tan Leng-ko dan mengacaukan
pikirannya. Kembali ia mengalihkan perhatiannya ke ruang kerja Khu Pek Sim yang
berantakkan seperti kapal pecah. Diam diam ia mengeluh menyaksikan buku jurnal
kerja yang hancur berkeping-keping terkena hawa pedang. Ketika matanya
menerawang ke patung Mik Lik Bud, hatinya bergidik melihat sebuah goresan
menggaris miring di bagian dada sebelah kiri, di sekitar jantung.

Walau goresan itu tipis sekali, Tan Leng-ko mengerti tentu dalam sekali. Untung
patung Mik Lik Bud itu terbuat dari kayu sehingga masih dapat tersenyum penuh
dengan kedamaian.

ooo0000ooo
PAGI HARI CAKRAWALA CERAH.

Langit terlihat terang membiru bersih dari awan, angin lembut bertiup.
Di pagi hari yang cerah, udara yang biasanya dingin, tidak biasanya malah terasa
sejuk menyegarkan. Anehnya, perasaan hati Tan Leng Ko justru sedang gundah. Ia
sedang menunggu di luar pintu gerbang, menunggu Giok Si berganti pakaian. Entah
kenapa, perempuan acap kali memerlukan tempo yang cukup lama untuk
mengganti pakaian. Mungkin sama lamanya dengan lelaki ketika menggunakan
kamar mandi terutama di pagi hari. Entah apa ada kegiatan lain yang mereka
lakukan. Atau apa masing masing mempunyai kesibukan pribadi yang bersifat
sebaiknya orang lain tidak perlu tahu apa yang sebenarnya mereka kerjakan?

Tan Leng-ko sedang menunggu sambil merenung. Berapa hari belakangan ini, boleh
dibilang nasibnya lagi tidak mujur. Bukan saja seorang berkedok hitam berusaha
membunuhnya, malah hampir berhasil mengajak mati bersama jika ia meneruskan
niatnya membunuh Giok Si.

Ia tidak tahu siapa dan mengapa orang berkedok itu hendak membunuhnya. Yang ia
tahu orang berkedok hitam itu jelas bukan Pek Kian Si. Ronce di sarung pedang Pek
Kian Si sudah dicuri Giok Hui Yan, kalau toh sudah diganti, Tan Leng Ko tidak yakin
diganti dengan warna hitam. Lagipula jurus pedang Pek Kian Si berbeda dengan
serangan orang berkedok hitam itu. Jurus orang berkedok itu lebih ganas, telengas
dan hawa pedangnya sudah mencapai dua jengkal tangan.

Ia sengaja menyebut nama Pek Kian Si untuk mengalihkan perhatian orang


berkedok hitam itu, seperti ketika ia menyebut goa di bukit belakang. Ditinjau dari
nada gembira orang itu, nampaknya orang berkedok itu akan berusaha mencari Hek
Pek Coa disana. Orang itu tentu akan terbentur batunya jika bertemu dengan
locianpwee sakti itu. Tapi dengan kepergian Khu Han Beng, Tan Leng Ko tidak begitu
yakin beliau masih gentayangan di sana.

Siapa sebenarnya orang berkedok hitam itu? Dan kenapa ia mengenal dan mencari
Hek Pek Coa? Kenapa ia dapat memastikan ia pernah mempelajari Hek Im Pek Yang
Sinkang?
Tiba-tiba dahi Tan Leng Ko berkerut. Hanya dua cara untuk menjawab pertanyaan
pertanyaan ini. Pertama, orang berkedok hitam itu berhubungan dengan locianpwee
sakti itu. Tan Leng-ko menggeleng,
"Kemungkinan yang tidak terlalu mungkin" gumamnya.

Jika kelompok pencuri sakti itu hendak membunuhnya, cukup dengan satu jurus
tentu akan berhasil dan tidak perlu mengenakan kedok segala. Tiba-tiba darah Tan
Leng-ko berdesir. Hanya tersisa satu penjelasan yang masuk akal, tidak kecil
kemungkinan orang itu mempunyai hubungan dengan Ngo Tok Kauw!

Hanya locianpwee sakti dan tentunya orang Ngo Tok Kauw yang dapat mengenali
ilmu Hek Im Pek Yang Sinkang. Bahkan Giok Hui Yan dapat mengenali Hek Pek Coa,
jelas tidak mengenal ilmu tersebut.

Yang Tan Leng Ko tidak habis pikir, bukankah Ngo Tok Kauw sudah habis terbantai
oleh Mi Tiong Bun? Jika ternyata masih bersisa, lalu untuk apa berusaha membunuh
dirinya yang tidak mempunyai perhitungan budi dan dendam dengan mereka? apa
karena kebetulan ia mengenal dan berhubungan cukup dekat dengan putri ketua Mi
Tiong Bun?

Diam-diam Tan Leng Ko mengeluh dalam hati. Tugasnya di Lok yang Piaukiok adalah
mengajar para piasu, bukan mengisi teka teki yang saling menyilang. Pusing kepala
Tan Leng Ko memikirkan hal ini, yang juga membuatnya puyeng kepalanya, Lo Tong
yang sedang ditunggu-tunggunya ternyata tidak pulang! Sebenarnya hal ini
memang masih dalam perhitungannya, yang diluar dugaannya adalah perilaku Giok
Si yang memberatkan hatinya.

Untuk pertama kalinya dia merasakan tundingan, dan getokkan Hongnaynay lebih
menyenangkan. Dia lebih menyukai omelan Hongnaynay ketimbang sikap Giok Si
yang mengintil kemana dia melangkah.
Setelah ia menyelamatkan Giok Si dari sikedok hitam dan setelah menunjukkan
sikap bersedia mati bersama, sikap Giok Si terhadap dirinya berubah seperti sikap
seorang istri yang menghamba dan siap meladeni. Sikap ini yang membuatnya
tidak tahan!

Malah dengan manja ia meminta Tan Leng Ko untuk menemani dirinya mencari
locianpwee sakti yang pernah menolongnya di goa bukit belakang sana. Ketika
ditanya untuk apa, Giok Si menjawab sudah berkali kali ia menjadi korban
penganiayaan, ia ingin meminta kepada locianpwee sakti itu agar mengajarinya
kepandaian membela diri.
"Lagipula kau memiliki kepandaian tinggi, sedikitnya aku harus menguasai
semacam kepandaian" kata Giok Si sambil tertawa jengah.
"Aku dapat mengajarimu" kata Tan Leng Ko yang tidak paham arti ucapan Giok Si
yang bermakna ganda.
Giok Si menolak secara halus, sambil menggeleng ia berkata:

"Seorang wanita tidak boleh terlalu tergantung kepada seorang lelaki. Sudah
banyak hal yang kau lakukan untukku. Aku harus mempunyai kemampuan untuk
berusaha sendiri"
"Bagaimana caramu untuk membujuknya untuk mengajarimu?" tanya Tan Leng Ko
akhirnya tertarik ingin tahu.
"Jika dia seorang lelaki, tentu ada akalku untuk membujuknya"

Giok Si menghela napas sedih, lanjutnya perlahan:


"Tiada wanita yang bercita cita bekerja di tempat semacam Lampiun merah, tapi
nyatanya aku telah bertahun tahun bekerja disana. Berbagai macam lelaki yang
berdatangan kesana, sedikit banyak aku paham satu dua cara untuk membujuk
mereka"

Tan Leng Ko ikut menghela napas, katanya kemudian:


"Yang kukuatirkan beliau tidak bersemayam di gua bukit belakang sana, siapa tahu
ia hanya kebetulan lewat ketika menolongku"

Giok Si sedikit mengangguk, ujarnya:


"Walau kecil kemungkinannya, tapi sedikitnya aku harus mencoba"

Melihat tekad bulat Giok Si, Tan Lengko hanya dapat mengangkat bahu:
"Sudahlah, kau ganti pakaianmu dengan yang lebih ringkas. Kuantar kau ke gua di
bukit belakang"

Bagaimanapun juga Tan Leng Ko tidak dapat membiarkan Giok Si pergi sendirian ke
sana. Jika perhitungannya tepat, orang berkedok hitam itu tentu bergentayangan di
gua bukit belakang dan selain melindungi Giok Si, ia ingin membuat perhitungan
dengan orang itu.

Giok Si yang sedang ditunggu-tunggu Tan Leng Ko akhirnya muncul mengenakan


celana singsat. Jubahnya yang berwarna merah jambu membungkus ketat tubuhnya

yang padat. Lekukkan pinggulnya yang sempurna, pinggangnya yang kecil, postur
tubuhnya yang tegak semampai, dan wajahnya yang cantik benar benar
menunjukkan ia seorang wanita pilihan.

Melihat wajah Tan Leng Ko yang murung, Giok Si menghela napas:


"Dari sekian macam lelaki yang mengunjungi Lampiun Merah, tahukah kau jenis
mana yang paling menyebalkan?"
Tan Leng Ko menatap heran Giok Si yang bicara tidak jelas juntrungannya.
"Yang gemar menunggak alias tidak bayar" jawab Tan Leng Ko hambar.
"Walau menyebalkan, tapi paling tidak jenis lelaki semacam ini berkunjung dengan
niat melampiaskan hawa nafsu. Yang paling menyebalkan adalah jenis lelaki yang
berkunjung kesana dikarenakan telah jatuh cinta pada wanita yang menemaninya"
"Bukankah hal itu merupakan hal yang baik"
"Pernahkah kau jatuh cinta?" tanya Giok Si sambil memandang Tan Leng Ko dengan
tajam.

Tan Leng Ko tertegun, ia benar benar menyangka akan ditanya urusan semacam ini.
Lama ia terdiam, tidak menjawab. Ia tidak mengangguk, juga tidak menggeleng.
"Ketika seorang lelaki benar benar jatuh cinta, umumnya perbuatannya tiada yang
tepat, malah menjengkelkan. Kebanyakkan pebuatannya benar benar membuat
muak wanita yang dicintainya"
"Kenapa kau membicarakan hal ini?" tanya Tan Leng Ko tidak tahan dan juga tidak
paham.
"Karena aku baru menyadari satu hal. Ketika seorang wanita benar benar jatuh
cinta, ternyata perbuatannya juga menjengkelkan dan membuat murung lelaki yang
dicintainya" kata Giok Si dengan pandangan berkaca kaca.

Runyam perasaan Tan Leng Ko mendengarnya. Sekali lagi ia tidak menyangka


perempuan ini berani bicara blak-blakan urusan semacam ini. Dengan mengeraskan
hati ia berkata:
"Nampaknya kau salah paham. Ketika kukatakan siap mati bersamamu, hal ini
disebabkan..."

"Disebabkan sikapmu memang demikian. Kepada orang yang tidak kau kenalpun
kau akan bersikap demikian. Kupaham hal itu"
"Syukurlah jika kau memahami hal itu" kata Tan Leng Ko dengan lega.
"Apalagi kita baru saja kenal, tidak layak dan juga tidak pantas rasanya
membicarakan urusan cinta"

Tan Leng-ko mengangguk setuju.


"Yaa, memang tidak..."
"Aku juga paham, seorang wanita seperti barang bekas yang tidak ada harganya
lagi, sudah tidak patut membicarakan soal cinta" kata Giok Si dengan nada hambar.

Tenggelam hati Tan Leng Ko, cepat ia menelan ucapannya yang belum selesai. Apa
yang mesti ia perbuat pada perempuan ini? Ia tidak dapat menyalahkan sikap
wanita ini kepadanya. Giok Si kehilangan banyak boleh dibilang gara gara dirinya.
Balutan di tangan wanita ini masih bernoda merah, rambut yang tergerai menutupi
telinganya masih terlihat darah kering, salahkah ia jika mengagumi pria yang
membela dan siap mati baginya? Tapi mungkinkah seorang wanita jatuh cinta
dalam sekejap pada pria yang baru saja dikenalnya? Tan Leng-ko tidak dapat
menjawab. Pengetahuannya mengenai kaum wanita memang tidak terlampau
banyak.
"Maukah kau melupakan pembicaraan hal seperti ini?" pinta Tan Leng Ko akhirnya.
"Hal apa? aku sudah tidak ingat" kata Giok Si sambil memaksakan diri tersenyum
manis. Susulan nada tertawanya sungguh menggiurkan. Kulit wajahnya seperti
mengeluarkan sinar lembut ketika ia tertawa.

Tertawa juga Tan Leng Ko melihat watak wanita ini yang mudah menangis, dan
mudah tertawa. Mengingatkan dirinya kepada Giok Hui Yan, tiba tiba timbul sebuah
perasaan rindu yang ia sukar jelaskan.
"Ayuh, kubopong kau biar cepat sampai ke goa di bukit belakang sana" ujar Tan leng
Ko mengusir pikirannya.
Giok Si merentangkan tangannya memeluk leher Tan Leng Ko yang memegang
punggung dan menaruh tangan kanan diantara lekukkan kakinya. Deru angin
kencang menerpa wajah Giok Si yang kemudian memejamkan mata. Hatinya sedikit

ngeri melihat Tan Leng-ko meloncat ke atas dahan pohon yang cukup tinggi dan
berlarian seperti berada di atas tanah datar saja.

Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di goa dimana Tan Leng Ko pernah melihat
Khu Han Beng berlatih. Mau tidak mau, Tan Leng Ko teringat macam macam urusan.
Ada beberapa hal yang menyenangkan Tan Leng Ko. Dengan kepergian Lo Tong
membawa salinan kitab kitab pusaka, dia tidak usah menguatirkan perihal kitab
kitab tersebut. Juga dia bisa lebih bebas bertindak karena sudah tiada rahasia
segala yang perlu ia jaga, dan yang lebih penting Lok Yang Piukiok terhindar potensi
malapetaka.

Setelah menurunkan Giok Si, Tan Leng Ko memandang sekitarnya. Kecuali alang
alang yang sudah mati kedinginan, boleh dibilang tempat ini tidak berubah. Goa itu
kelihatan gelap dan sepi sekali. Di mulut goa kelihatan kotor sekali, jelas bukan
tempat yang layak untuk ditinggal seseorang. Seperti yang telah diduga Tan Leng
Ko, goa ini bukan tempat bersemayam locianpwee yang sakti itu.
"Kresek...!"
Mendadak terdengar suara ranting berderak, cepat Tan Leng Ko mengerahkan
tenaga sinkang sambil menoleh ke belakang. Nampak seekor beruang berjalan
perlahan diantara semak semak dan memanjat sebuah pohon. Binatang itu berbulu
putih, bercak hitam menodai di sekitar dua matanya, selain tidak terlihat ganas
malah kelihatan lucu dan menggemaskan.
"Sudah lama aku tidak merasakan nikmatnya telapak kaki beruang" gumam Tan
Leng Ko sambil menelan air liurnya. Tangannya memegang goloknya siap
membunuh binatang itu.
"Jangan kau bunuh dia!" teriak Giok Si kuatir.
"Kenapa jangan?" tanya Tan Leng Ko heran.
"Selain buah buahan, aku menyukai binatang, tapi bukan untuk sarapan. Kau tidak
boleh melukai binatang yang tidak bersalah padamu"
"Kau penyayang binatang?" seru Tan Leng Ko yang merasa aneh. Setahunya,
binatang seperti beruang dimanfaatkan kegunaannya. Selain dagingnya dimakan,
bulunya dapat dijadikan mantel pakaian. Gigi dan kukunya dapat dibuat kalung
perhiasan yang dapat melambangkan kejantanan pembunuhnya. Banyak manfaat
yang didapatkan dengan membunuh beruang itu, yang jelas ia tidak dapat melihat
manfaat binatang itu jika disayang.

"Bukankah ia sangat menarik" kata Giok Si sambil menatap beruang itu dengan
kagum.

Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam, taring binatang itu kecil kecil, ia seperti
menyeringai padanya ketika memakan pucuk daun bambu muda yang masih
tersisa. Diam-diam Tan Leng Ko mengakui, binatang ini memang terlihat lucu dan
mengemaskan. Jika berukuran kecil mungkin cocok menjadi boneka mainan anak
kecil pikirnya.

Tidak ingin mengecewakan Giok Si, Tan Leng Ko membatalkan niatnya membunuh
hewan itu. Dengan sikap waspada lalu ia memasuki goa gelap itu sendirian.

Setelah matanya terbiasa dengan sedikit pantulan cahaya dari luar, Tan Leng Ko
dapat melihat goa itu ternyata tidak begitu dalam. Tidak ada yang luar biasa
dengan kondisi goa itu selain lembab, baunya juga tidak sedap. Diam diam ia
tertawa geli mengingat bau busuk di gang sempit toko buku Gu-Suko. Tempat
bersemayam locianpwee sakti itu nampaknya tidak jauh dari bau tidak sedap. Entah
itu suatu kebetulan atau suatu kegemaran?

Tiba tiba terdengar jeritan kaget Giok Si. Bagaikan kilat tubuh Tan Leng Ko melesat
menuju ke arah jeritannya. Mata Tan Leng Ko membelalak kaget melihat seekor ular
bersisik putih, kontras sekali dengan bola matanya yang merah, melingkar tidak
jauh dari tubuh Giok Si yang menggeletak di tanah.
Melihat kedatangan Tan Leng Ko, ular itu mendongakkan kepalanya memandang
curiga. Terdengar suara desis diiringi uap putih yang keluar dari mulut ular itu.
Setengah badannya berdiri tegak, lidahnya keluar masuk dari rongga mulut yang
berwarna hitam. Lidah yang bercabang hitam dan putih!

Tan Leng Ko pernah melihat ular sejenis ini, sejenis ular yang ujung ekornya pipih
melebar walau ekor ular ini tersembunyi, tertutup daun daun bambu kering. Hanya
ada satu hal yang dirasanya tidak beres, setahunya ular Hek Pek Coa merupakan
jenis langka yang rasanya jarang diketemui berkeliaran di alam. Apakah ular ini
terlepas dari rantainya? Apakah telah terjadi sesuatu di toko buku itu? Rasanya
tidak mungkin dengan kesaktian locianpwee itu...Atau sinaga sakti itu dengan
sengaja melepaskan Hek Pek Coa kembali ke habitatnya di alam dan kebetulan
telah melepaskan ular itu di sekitar goa ini yang jarang dikujungi orang. Tan Leng Ko

tertegun. Masakkan ucapannya yang ngawur kepada orang berkedok hitam itu
ternyata sekarang menjadi kenyataan?

Tan Leng Ko tidak dapat berpikir lama lama lagi, cepat ia mencabut goloknya siap
membunuh ular itu.
"Jangan kau bunuh dia" seru Giok Si dengan nada lemah sambil menggeliat
kesakitan. Badannya dibagian sebelah kiri mengeluarkan asap tipis seperti terbakar
sedangkan separuh tubuh lainnya seperti dibungkus lapisan es yang tebal.
Hati Tan leng Ko tenggelam melihat dua titik darah di punggung tangan kiri Giok Si
yang masih terbalut. Lekas ia menggebah ular beracun itu yang menyelinap kabur,
nampak ekornya yang mirip sirip ekor ikan menghilang disela sela semak belukar.

Dengan nada kuatir Tan Leng Ko memaksa Giok Si untuk bersila.


"Satukan hawa racun itu ke urat nadi Khi Hay, kemudian alirkan perlahan ke Hwee
Tie" perintah Tan Leng Ko kedua tangannya ia tempelkan ke punggung wanita itu
menyalurkan tenaga sinkang.
"ilmuu... itu...locianpweeee...Hek-Im..." igau Giok Si lemah.

Tan Leng Ko teringat dirinya yang juga melantur tidak keruan ketika terkena racun
Hek Pek Coa. Lekas ia bertukas:
"Benar, ilmu locianpwee itu khusus untuk menawarkan racun ini. Sekarang kau
harus mampu berkonsentrasi untuk mengikuti petunjukku"
Dengan susah payah Tan Leng Ko membantu mengalirkan hawa liar itu ke tiga
puluh enam nadi penting di tubuh Giok Si. Hampir ia tidak dapat menguasai
gelombang hawa panas dingin yang menerjang seperti hempasan badai
mengamuk, untung sinkangnya sudah mendapat banyak kemajuan. Perlahan ia
mmeberi petunjuk letak nadi yang diperlukan untuk menyalurkan racun tersebut.
Secara teratur ia mengalirkan hawa saktinya yang mengalir halus tapi kuat
membimbing dan menguasai hawa liar itu. Sering kali Giok Si mengerang kesakitan,
bibirnya kering pecah-pecah, kulit wajah kirinya yang halus mengelupas kepanasan.
Beberapa kali erangan Entah sudah berapa ratusan kali hawa gabungan itu
mengitari tubuh Giok Si. Tan Leng Ko baru menarik tangannya yang bergemetaran,
mukanya juga pucat. Tidak sedikit tenaga saktinya yang berhamburan berlebihan.
namun ia dapat menarik napas lega ketika mendengar suara dengkur Giok Si yang
tertidur!

baru ia sadari hari telah menjelang malam. Tan Leng Ko membopong Giok Si pulang
dengan diterangi bintang bintang yang banyak bertaburan di langit.

oooooOOOOOooooo
Sudah beberapa hari lamanya Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng menempuh
perjalanan. Mo Tian Siansu beranggapan daya tubuh Khu Han Beng tidak sekuat
dirinya, maka boleh dibilang perjalanan mereka tidak cepat. Hari menjelang sore,
pada saat mereka memasuki sebuah dusun kecil. Dahi Mo Tian Siansu berkerenyit
ketika ia mendapati semua warung makan tutup, tidak ada yang buka. Selain itu
juga ia rasakan kesunyian yang luar biasa, seperti mendadak dusun kecil ini
ditinggalkan oleh penghuninya. Setelah kuda mereka menikung ke kanan, di
deretan ketiga sebelah kanan, mereka melihat seorang nenek tua yang duduk di
kursi goyang di depan rumah gubuknya. Menurut keterangan nenek tua tersebut,
hari ini sedang diadakan perlombaaan kayuh perahu yang dihiasi sedemikian rupa
hingga berbentuk seekor naga. Perlombaan itu diadakan untuk menghormati Sian
Liong Kang, dewa naga penunggu sungai yang dipercayai sebagai pemberi berkah
sekaligus pemberi petaka bagi penduduk yang tinggal di bentaran. Perayaan yang
dilakukan setiap setahun sekali oleh penduduk setempat, tentu saja mengundang
banyak pengunjung. Tidak heran dusun ini terasa sepi sekali.

Khu Han Beng menatap lekat-lekat, seperti tertarik terhadap nenek tua tersebut.
Cukup lama percakapan antara nenek tua itu dengan Mo Tian Siansu, tapi tidak
sekalipun bocah itu melihat nenek tua itu berkedip. Mata nenek tua itu juga nampak
janggal. Selain bewarna kelabu keputihan, juga terlihat mati, tidak mengandung
suatu perasaan. Sangat bertolak belakang dengan nada suaranya yang ramah.

``Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan keramaian?'' tanya Khu Han Beng tak
tahan.

Mendengar pertanyaan Khu Han Beng, muka Mo Tian Siansu berubah hebat, cepat
ia meminta maaf pada nenek tua itu dan menegur murid keponakkannya.

Nenek tua tersebut mengeluarkan suara tawa kecil seperti menemukan sesuatu hal
yang lucu. Katanya kemudian:

``Jika kau belum pernah melihat seorang buta, tentu belum pernah menyaksikan
perayaan tersebut. Kenapa kau sendiri tidak ikut menyaksikan?''

Seperti menyadari akan satu hal, muka Khu Han Beng sedikit memerah. Dengan
kikuk ia bertanya:

``Apakah suara keramaian yang lapat lapat terdengar dari kejauhan itu?''

``Yaa, memang suara itu''

Tiba-tiba nenek tua itu mengisyaratkan Khu Han Beng agar mendekat. Mo Tian
Siansu mengerenyitkan alisnya. Ia tidak begitu mengerti kenapa nenek tua tersebut
perlu berbisik kepada murid keponakannya. Ia juga tidak mengerti suara keramaian
apa yang mereka maksud sebab ia tidak mendengar suara apapun. Yang lebih ia
tidak habis mengerti, ternyata setelah dibisiki wajah Khu Han Beng terlihat lebih
bingung dari dirinya.

Setelah pamitan, mereka menghela kuda, Khu Han Beng memimpin jalan menuju ke
tepi sungai. Tak tahan Mo Tian Siansu bertanya:

``Darimana kau tahu tempat perayaan itu?''

Setelah termenung sejenak Khu Han Beng menjawab:

``Bukankah nenek tua itu telah berbisik padaku''

``Jika hanya arah petunjuk jalan, kau tentu tidak terlihat bingung seperti tadi''
gumam Mo Tian Siansu.

``Sebab ia juga berkata satu hal yang aku tidak paham'' ujar Khu Han Beng
perlahan.

``Soal apa?''

``Nenek itu mengatakan ia telah buta dari semenjak kecil dan selama ini dapat
hidup berbahagia. Ia ingin aku tidak melupakan hal itu''

Mau tidak mau Mo Tian Siansu ikut bingung, ia juga tidak mengerti maksud nenek
tua tersebut.

``Ia berniat baik. Paling tidak, itu sebuah nasehat yang baik sekali'' akhirnya ia
berkata pelan.

oooooOOOOooooo

Tersungging sebuah senyum kecil di ujung bibir Mo Tian Siansu melihat


kegembiraan Khu Han Beng ketika mata bocah itu berbinar binar menyaksikan
keramaian. Namun kening bhiksu tua itu juga nampak berkerut, bagaimanapun juga
seharusnya bocah yang dibesarkan di kota Lokyang yang termasuk kota besar tidak
patut bereaksi seperti pertama kali melihat keramian. Tidak salah ucapan piasu sheTan itu yang pernah mengatakan bocah ini jarang keluar kamar.

"Kegiatan perlombaan ini mirip dengan upacara kayuh perahu naga yang sering
dilakukan di seluruh Tionggoan, rupanya baru pertama kali kau saksikan"

"Yaa, memang pertama kali bagiku" jawab Khu Han Beng likat.

Juga pengalaman pertama melihat nenek buta pikir Mo Tian Siansu tapi melihat
bocah itu seperti malu, cepat ia mengajak Khu Han Beng berdiri di pinggir sungai
yang becek dan berlumpur untuk menyaksikan perlombaan yang baru saja dimulai.

Sekitar enam perahu besar yang berjajar memenuhi lebarnya sungai. Setiap perahu
memuat sekitar dua puluh lima pasang pengayuh ditambah satu orang yang duduk
dibelakang untuk mengemudi dan satu orang pemukul gendang yang duduk di
bagian tengah.

"Nampaknya pemukul gendang mempunyai kegunaan lain, selain untuk memberi


semangat" ujar Khu Han Beng dengan nada bergairah.

"Benar! dia malah dianggap jantung sekaligus pemimpinnya. Irama ketukkan


gendangnya menentukan keseragaman kayuh yang menentukan lajunya kecepatan
perahu" ujar Mo Tian Siansu menerangkan.

Khu Han Beng mengangguk, kemudian katanya:

"Kukira posisinya yang ditengah mempermudah pengayuh yang di depan maupun


yang dibelakangnya untuk mendengar tabuhannya"

"Yaa, karena ia harus memperhitungkan arah dan kecepatan angin, derasnya arus
sungai, dan perubahan riak air yang menentukan laju perahu otomatis
mempengaruhi irama tabuhannya yang kadang cepat, kadang perlahan"

Selagi mereka asyik bercakap-cakap, nampak keenam perahu tersebut yang


berjarak ketat satu sama lain sudah mendekati batas final. Tiba tiba terjadi satu
kejadian yang diluar dugaan Khu Han Beng. Pengayuh pengayuh yang berada di
perahu perahu yang tertinggal di belakang, beramai ramai menimpukki batu ke
perahu yang berada di paling depan. Bahkan beberapa orang menggunakan galah
bambu panjang untuk membalikkan perahu, malah ada yang menyerang pengayuh
pengayuh di perahu calon pemenang.

Suara riuh dan tepuk tangan penonton membingungkan Khu Han Beng yang
menonton. Perkelahian di tengah sungai sudah melibatkan keenam perahu peserta.
Mereka tidak hanya menyerang perahu calon pemenang, mereka juga menyerang
satu dengan yang lain. Dalam sekejap saja, sudah tiga perahu yang terbalik,
beberapa puluh orang yang terlempar keluar dari perahu berteriak ketakutan,

tergulung arus sungai yang deras dan dingin. Anehnya, para penonton di bentaran
sungai seperti tidak berminat menolong mereka, malah melempari mereka yang
tenggelam dengan kueh lemper yang dibungkus daun.

Khu Han Beng melirik susioknya sekejap dengan pandangan bertanya. Mo Tian
Siansu menghela napas, kemudian katanya:

"Kau tentu heran, kenapa tidak ada yang menolong"

"Kuheran kenapa susiok tidak menolong mereka" gumam Khu Han Beng mengakui.
Semestinya, sudah sepatutnya seorang bhiksu saleh dari Siaulimsi membantu orang
yang sedang kesusahan. Dengan muka sedih, Mo Tian Siansu menjawab:

"Bukan aku tidak ingin, hanya aku tidak boleh menolong mereka"

"Kenapa?" tanya Khu Han Beng heran.

"Karena penduduk ditempat ini akan marah padaku jika kuturun tangan. Mereka
beranggapan jika ada yang mati tenggelam maka hal ini sudah menjadi kehendak
dewa naga yang memilih beberapa manusia sebagai tumbal"

"Bukankah orang orang yang malang itu, keluarga mereka sendiri?" tanya Khu Han
Beng terkesiap.

"Benar! Tapi tradisi ini sudah berlangsung ribuan tahun lamanya. Tiada yang berani
menolong walau kerabatnya sendiri. Tidak ada yang berani melanggar atau ikut
campur melawan takdir yang sudah ditentukan"

"Pernah kubaca di sebuah kitab, jika kita melakukan hal yang benar seperti
menolong orang, bukankah dapat tidak usah memperdulikan pendapat orang lain"

Mo Tian Siansu tersenyum mendengar uraian Khu Han Beng yang seperti bernada
menyindir.

"Ucapan bagus! Tapi ada satu hal yang patut kau ketahui. Kau harus dapat
menghargai kepercayaan orang lain walau bertentangan dengan kepercayaanmu.
Kau tidak boleh melanggar kepercayaan orang lain secara paksa walau kau anggap
kepercayaan mereka salah, bagaimanapun juga mereka mempunyai hak untuk
salah"

Tiba tiba terdengar suara jeritan dan makian penonton, Khu Han Beng dan Mo Tian
Siansu mengalihkan pandangan ke tengah sungai yang entah darimana telah
muncul sebuah kapal berukuran besar yang melaju cepat melawan arus sehingga
menimbulkan ombak besar yang membalikkan sisa perahu perlombaan. Mo Tian
Siansu mengeluarkan seruan tertahan, tubuhnya mendadak mengapung ke sebuah
pohon gundul yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya mematahkan
sebuah dahan kecil, dan ketika tubuhnya melayang turun jatuh ke sungai, kembali
ia mematahkan potongan ranting kecil yang dengan cepat ia lemparkan ke
permukaan air.

Ujung kakinya cepat menotol potongan ranting tersebut sebagai pijakkan sehingga
kembali tubuhnya mengudara sejauh dua tumbak, mengarah kepada korban yang
berjarak masih puluhan tombak dari dirinya, mereka berkutet dipermainkan arus
sungai. Baru dua tiga kali lompat, Mo Tian Siansu menghentikan lompatannya.
Tubuhnya terapung diatas ranting kecil, naik turun mengikuti riak air. Mulutnya
menyeringai kesakitan, ia belum sehat benar dan telah memaksakan diri
mengerahkan tenaga sakti yang ia rasakan menyusut banyak.

Tiba tiba matanya membelalak lebar ketika ia menyaksikan lima bayangan tubuh
yang berkelebat cepat dari kapal laut itu menuju para korban. Seperti pemain
akrobatik, dengan manis kaki mereka menutul dayung dayung pengayuh yang
terlempar terapung. Ketika tubuh mereka berjungkir balik, tangan mereka meraih
dayung tersebut yang kemudian digunakan untuk memukul permukaan air, dan
menggunakan daya tolak pukulan untuk memantulkan tubuh mereka beberapa
tombak mendekati para korban.

Tiga orang dari mereka, menggunakan dayung tersebut untuk mencungkil di ujung
ujung, dan di bagian tengah perahu yang terbalik. Daya cungkil yang luarbiasa

kuatnya mengangkat perahu panjang tersebut sekitar tiga kaki di udara,


menumpahkan air yang memasukki perahu dan mendarat dengan posisi tepat
seperti dibalikkan oleh tangan. Ketika perahu tersebut masih menumpahkan air,
tubuh tiga orang tersebut sudah bergerak menuju perahu lain yang masih terbalik
dan dengan gerakkan kilat mereka mengulang hal yang sama.

Sedangkan dua orang lain menggunakan dayung yang mereka pegang untuk
mengungkit korban yang tenggelam, yang kemudian melayang persis ke perahu
yang sudah tidak terbalik. Kecekatan mereka bekerja, ketepatan waktu dan
keserasian kerja sama mereka belum lagi penggunaan tenaga yang pas benar
benar merupakan suatu pertunjukkan kemampuan yang luar biasa. Mau tidak mau
timbul kekaguman dihati Mo Tian Siansu, ia paham pekerjaan itu walau kelihatan
mudah sebetulnya suatu perbuatan yang sukar sekali.

Ketika perahu tersebut sudah dalam keadaan terapung kembali, arus sungai telah
merubah posisinya, toh mereka dapat memperhitungkannya dengan tepat,
ungkitan para korban melayang ke perahu tersebut, mendarat dengan perlahan dan
tidak ada satupun yang meleset. Dalam sekejap puluhan korban telah berhasil
mereka selamatkan, tubuh lima orang itu menggunakan cara yang sama kembali
melayang ke kapal berukuran besar tersebut. Mo Tian Siansu menghela napas,
sambil menahan sakitnya ia mengerahkan ginkangnya, dibantu dengan potongan
ranting kecil melayang turun di sebelah Khu Han Beng yang memandangnya
dengan pandangan bertanya.

"Omitohud! Pinceng tidak tahu siapa mereka, hanya ginkang mereka sudah
mencapai tingkatan tertinggi, tataran 'lari diatas rumput'" Ujar Mo Tian Siansu
dengan nada kagum.

Satu orang saja yang mencapai tingkatan itu sudah sukar dicari. Dari kapal tersebut
malah muncul lima orang, entah dari golongan mana mereka? Matanya menatap
kapal tersebut yang melaju cepat walau melawan arus melewati mereka. Posisi
kapal tersebut jauh di tengah sungai sehingga Mo Tian Siansu tidak dapat melihat
raut wajah mereka, hanya ia dapat melihat puluhan orang berdiri di ajungan kapal.

"Yang kuherankan, kenapa susiok mendadak berubah pikiran hendak menolong


mereka?"

Sambil tersenyum Mo Tian Siansu menjawab:

"Yang hendak kutolong adalah korban yang jatuh disebabkan kapal itu. Korban
tersebut tidak berhubungan dengan adat istiadat, maka wajib bagi kita untuk
menolong"

Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian mengangguk menerima pendapat


susioknya. Sambil ikut tersenyum ia berkata:

"Kukira mereka datang dari luar Tionggoan"

"Kenapa kau menduga begitu?" "Susunan layar di tiga tiang kapal tersebut seperti
gambar yang pernah kulihat disebuah buku, jelas menunjukkan sebuah kapal laut.
Lagipula mereka menolong semua orang, nampaknya mereka tidak mengetahui
adat istiadat di daratan Tionggoan"

Mo Tian Siansu berseru kaget.

Perhitungan Khu Han Beng bukan tidak mungkin, apakah mereka rombongan dari
Lamhaybun? Ditinjau dari kemampuan lima orang tersebut bukan hal yang tidak
mungkin pikirnya dalam hati dengan jantung berdebar debar.

Ia menatap Khu Han Beng dengan kagum, ia benar benar tidak menyangka
kecerdasan daya pikir bocah ini. Selain pintar, pengetahuan dari hasil baca bukunya
juga luas. Yang dipandang, sedang memandang kapal laut tersebut dengan dahi
berkerut.

"Ternyata memang benar ada" gumam Khu Han Beng dengan nada tertahan.

"Apanya yang ada?" tanya Mo Tian Siansu heran.

Khu Han Beng menatap susioknya sejenak, kemudian katanya perlahan:

"Kukira tadinya semua orang mempunyai mata berwarna malam, ternyata bukan
sebuah dongeng mata seseorang mirip sehelai daun"

Mo Tian Siansu mengangguk sekenanya, ia tidak begitu mengerti ujung pangkal


ucapan bocah itu yang terdengar janggal. Matanya beralih memandang Kapal laut
tersebut yang berlayar kian menjauh sehingga terlihat semakin mengecil.

Yang Mo Tian Siansu dan Khu Han Beng tidak ketahui, ternyata di kapal laut itu pun
terjadi sebuah percakapan.

"Tidak rendah ginkang hweesio tua itu" ujar si kurus pendek berkepala botak, salah
satu dari lima orang yang menolong para korban.

"Ditilik dari pakaiannya tentu seorang tokoh Siaulimpay" terdengar suara merdu,
berartikulasi menjawab. Sikurus pendek menatap siocianya yang masih berusia
muda sekali, bertubuh tinggi semampai, berjari lentik, kulit tangannya putih halus
kemerahan seperti memancarkan cahaya lembut. Sayang sebagian mukanya
tertutup cadar, sebuah cadar yang berwarna hijau.

"Pantas, dia berkemampuan hebat"

"Yaa, memang lumayan" jawab gadis bercadar hijau itu tawar.

"Yaa, dibandingkan siocia, tentu saja kepandaiannya tidak berarti" Sigadis bercadar
hijau yang dipanggil siocia oleh si kurus pendek seperti menghela napas, kemudian
mengatakan sesuatu yang terdengar janggal:

"Justru bocah tanggung disampingnya itu yang mungkin harus diperhitungkan


kemampuannya"

"Maksudmu? Masakkan bocah itu memiliki kepandaian yang lebih hebat dari
Hweesio Siaulimpay?" tanya si kurus pendek dengan nada heran.

"Di pinggiran sungai becek dan basah, sepatu hweesio itupun nampak terciprat dan
terendam lumpur justru sepatu bocah itu nampak masih bersih seperti baru disemir.
Sepatunya tidak terendam becek melainkan ia dapat berdiri seenaknya di atas
permukaan lumpur tanpa bergerak. Hanya ginkang yang sudah mencapai tataran
'ringan tiada beban, lenggang tanpa rintang' yang dapat melakukan hal itu. Suatu
tingkatan yang lebih tinggi dari 'lari diatas rumput'."

Setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan dengan menggumam perlahan:


"Benar benar diluar dugaanku, di Tionggoan ada yang sudah mencapai tataran ini,
apalagi hanya seorang bocah. Sayang dia sedang menengok kesamping,aku tidak
sempat melihat wajahnya"

Si kurus pendek cukup kenal sifat Siocianya yang hampir tidak pernah memuji
orang. Jika bocah itu sampai dipuji, hal itu saja sudah diluar dari kebiasaan. Tak
terasa ia menatap dengan terkesima. Siocianya terlihat termenung, keningnya
berkerut, matanya yang mencerminkan kecerdasan yang luar biasa, nampak
mencorong tajam. Sepasang mata yang bergemelapan indah seperti embun di atas
daun yang tertimpa cahaya matahari. Sepasang mata yang berwarna hijau... mirip
sehelai daun segar.

ooooo0000ooooo

MALAM HARI CAKRAWALA TIDAK CERAH.

Langit gelap diselimuti oleh awan, tidak nampak sinar bulan atau cahaya bintang
yang biasanya bertaburan. Di pinggiran sebuah tebing batu yang menjulang tinggi,
Mo Tian Siansu yang tertidur dalam posisi bersila, perlahan membuka matanya. Ia
terbangun bukan disebabkan dinginnya angin malam yang berhembus kencang,

melainkan ia terjaga dikarenakan mendengar suara isakkan tertahan. Dengan


tatapan penuh kasih ia menatap Khu Han Beng yang berbaring tidur di sebelah api
unggun.

Kebetulan wajah bocah itu menghadap ke arahnya, wajah yang biasanya


mencerminkan keteguhan hati entah kenapa saat ini mengandung kesedihan hati.
Mo Tian Siansu dapat melihat linangan air yang menetes dari mata bocah itu.
Menyaksikan Khu Han Beng menangis di dalam tidurnya, rasa haru memenuhi
rongga hati Mo Tian Siansu. Dalam beberapa hari mereka menempuh perjalanan,
lebih dari satu kali Mo Tian Siansu mendengar Khu Han Beng mengigau dalam
tidurnya. Kadang bocah ini menyebut yayanya, acap kali ia menyebut ayah ibunya
di dalam mimpi. Pernah ia mencoba bertanya apa gerangan yang diimpikan oleh
Khu Han Beng tapi bocah itu hanya diam saja, enggan menjawab. Walau bergaul
belum cukup lama, Mo Tian Siansu cukup mengetahui bocah ini tidak gemar
berbicara, tetapi ketika berbicara juga tidak mirip bicara seorang bocah! Teringat
oleh Mo Tian Siansu ketika bermalam di pinggir sungai tempo hari, bocah itu seperti
terpekur menatap bulan yang saat itu berbentuk sabit sambil menyantap bekal
makanan.

"Apa yang sedang kau lamunkan?" tanya Mo Tian Siansu memecah keheningan.

Khu Han Beng menatap susioknya sejenak, kemudian menjawab:

"Aku sedang memikirkan satu hal yang kuanggap rada janggal"

"Hal apa?"

"Kadang bulan berbentuk purnama dan kadang berbentuk sabit seperti sekarang,
kuheran apa yang menyebabnya berubah sedemikian rupa"

Diam diam Mo Tian Siansu terhenyak heran. Dia yang jauh lebih tua, lebih sering
melihat perubahan itu malah tidak pernah berpikir mengenai hal itu.

"Omitohud! Pinceng tidak tahu apa penyebabnya tapi pinceng pikir, itulah
kekuasaan Thian yang Maha Besar" jawab Mo Tian Siansu sedapatnya.

Khu Han Beng mengangguk tak acuh, mendadak matanya seperti mengeluarkan
kilatan cahaya aneh. Ujarnya perlahan: "Mungkin bentuk bulan itu tidak berubah,
hanya terlihat berbentuk sabit karena ditutupi oleh bayangan bumi itu sendiri yang
berbentuk bulat"

"Darimana kau tahu bumi berbentuk bulat?" seru Mo Tian Siansu heran. Agak ragu
Khu Han Beng menjawab: "Aku tidak tahu, hanya pernah kubaca sebuah kitab kuno
yang menyatakan bumi seperti bagian telur yang kuning berbentuk bulat"
"Omitohud! Permukaan bumi nan luas sekali, rasanya janggal sekali jika penulis
kitab itu mengetahui bentuk bulat bumi seperti kuning telur"

"Yaa, isi kitab itu memang rada aneh. Malah ada halaman lain yang menyebutkan
cara membuat alat untuk mendeteksi gempa"

"Apakah kitab itu ditulis oleh Zhang Heng?" tanya Mo Tian Siansu tertarik.

Khu Han Beng mengangguk, "Apakah ia sangat terkenal?" katanya berbalik tanya.

Tak terasa Mo Tian Siansu menarik napas dalam dalam, katanya:

"Dia adalah penasehat andalan kaisar di jaman dinasti Han. Walau sekarang tidak
banyak orang yang mengenal namanya, tapi tidak sedikit orang yang telah ia
selamatkan dari bencana gempa melalui alat buatannya"

Selesai berkata, Mo Tian Siansu menatap Khu Han Beng dengan tatapan kagum. Ia
benar benar tidak menyangka bocah ini pernah membaca karya tulis Zhang Heng!

"Darimana kau peroleh kitab langka itu?"

"Kubeli dari sebuah toko buku" jawab Khu Han Beng singkat.

Igauan Khu Han Beng yang menggumam tidak jelas, menyadarkan Mo Tian Siansu
dari renungannya. Tak terasa ia menarik napas dalam dalam sambil memerhatikan
bulan yang telah menampakkan diri dan menerangi jagad raya dengan cahayanya
yang lembut. Ia tahu dari posisi bulan yang miring, hari sudah menjelang subuh. Mo
Tian Siansu merapatkan jubahnya, malam yang cerah di musim gugur, entah
kenapa biasanya jauh lebih dingin dibanding malam yang berawan. Setelah
menghela napas, kembali ia melirik ke wajah Khu Han Beng yang masih tertidur.

Nampak air mata bocah itu sudah mengering, terlihat bola matanya yang bergerak
gerak cepat dibalik kelopaknya. Hanya raut wajahnya tetap tidak berubah, tetap
seperti mengandung kedukaan yang dalam. Memang ada segelincir orang yang
mampu menyembunyikan perasaan batinnya sehingga tidak terlihat di wajahnya.
Hampir mustahil bagi orang lain untuk mengetahui apakah ia sedang marah,
gembira, atau sedang sedih.

Semuda ini, Khu Han Beng sepertinya sudah mampu melakukan hal demikian.
Hanya betapa pun hebatnya seseorang menguasai perubahan wajahnya, ekspresi
wajah seseorang ketika sedang tidur tidak mungkin berbohong. Eskpresi wajah Khu
Han Beng ketika sedang tidur dapat mencerminkan perasaan batin yang
sebenarnya. Mo Tian Siansu yakin ada sesuatu beban yang menekan dibatin bocah
ini.

"Entah apa yang disedihkan bocah ini" gumam Mo Tian Siansu dengan hati
terenyuh. Ia sangat menyukai Khu Han Beng, sayang tidak banyak yang ia dapat
lakukan. Bocah itu selain jarang berbicara dan jika berbicara juga membicarakan hal
yang umum hampir tidak pernah menceritakan perihal pribadinya.

Entah kenapa, sedikitnya setiap kali ada kesempatan Mo Tian Siansu berusaha
untuk menyenangkan Khu Han Beng. Ada perasaan kuat yang mendorongnya untuk
melakukan hal itu. Semacam insting untuk melindungi, mungkin timbul dikarenakan
tidak sepatutnya bocah semuda ini tidur dengan muka muram, bahkan napasnya
semakin lama semakin memburu kencang. "Yaya!"jerit Khu Han Beng yang tiba tiba
terjaga dari tidurnya.

Terkejut Mo Tian Siansu melihat wajah Khu Han Beng yang pucat dihiasi butiranbutiran keringat sebesar jagung. Cepat ia menenangkan Khu Han Beng dengan
suara halus.

"Kau sedang bermimpi...Hanya sebuah mimpi buruk, tidak lebih"

Khu Han Beng menatap susioknya dengan pandangan nanar. Jantungnya berdegup
kencang, disela-sela napasnya yang terengah-engah, ia berkata dengan nada
parau:

"Aku...Aku bermimpi tentang yaya-ku"

Hatinya tidak tenang, dia seperti mempunyai firasat ganjil. Jika terjadi sesuatu hal
yang buruk menimpa kakeknya, bukan saja ia akan kehilangan satu satunya
anggota keluarga yang ia miliki. Ia pun tidak akan pernah mengetahui asal usulnya.
Apapun juga, ia harus segera menyusul yaya-nya ke Po-Ting. Baru saja ia ingin
mengutarakan niatnya, mendadak terdengar suara gemuruh yang pekak, tanah
yang didudukinya bergetar keras. Khu Han Beng merasa tubuhnya terombang
ambing seakan-akan sedang berada di atas sebuah perahu. Tanah yang di
dudukinya berguncang hebat. Sebuah celah yang cukup lebar melata bergerak
cepat merekah seperti ular membelah tanah di sebelah kirinya.

"Awas!" teriak Mo Tian Siansu kuatir. Khu Han Beng merasakan angin dingin
mendesir dari atas kepalanya, ia mendongakkan dengan mata membelalak. Dari
pantulan api unggun terlihat batuan-batuan sebesar rangkulan tangan jatuh dengan
cepat mengarah ke dirinya. Mo Tian Siansu cepat mengumpulkan tenaga
mengerahkan Siau Thian Sinkang, tiba-tiba ia mengeluarkan seruan lirih. Betapa
terkejut ketika ia menyadari aliran tenaga sinkangnya seperti tetesan air, tidak
deras seperti biasanya. Ia tahu luka dalamnya yang belum sembuh benar
mempengaruhi Sinkangnya. Ia telah merasakan Sinkangnya menyusut banyak
ketika mencoba menolong nelayan yang tenggelam. Tapi kali ini, tenaganya seperti
hilang, seperti tenggelam di lautan yang dalam. Sambil menggertak gigi, tidak
hanya menggunakan tangan, Mo Tian Siansu menggunakan bahunya untuk
mendorong bongkahan batu yang jaraknya tinggal satu kaki dari tubuh Khu Han
Beng.

"Buumm!"

Gumpalan darah segar keluar dari mulut Mo Tian Siansu, tubuhnya terhuyung ke
belakang. Usahanya menyelematkan Khu Han Beng berhasil, bongkahan batu itu
bergeser menimpa tumpukkan api unggun, mengeluarkan dentuman suara keras
dan memadamkan penerangan.

Khu Han Beng melompat bangun, mendekati Mo Tian Siansu yang duduk terengah
dengan tubuh gemetaran.
"Seharusnya susiok tidak perlu melakukan hal itu. Aku dapat menyelamatkan diri"
kata Khu Han Beng dengan nada menyesal.
"Pin...ceng tidak mungkin membiarkan kau terluka" serak Mo Tian Siansu sambil
tersenyum kemudian terkulai roboh.

Khu Han Beng tertegun, ia tidak begitu mengerti kenapa susioknya pingsan hanya
karena memukul sebongkah batu. Setelah menyenderkan tubuh Mo Tian Siansu
disebuah batu besar, ia melirik sekejap pada sekitarnya yang porak poranda seperti
digaruk oleh tangan raksasa. Dengan ringan ia berloncatan diantara serakan
bongkahan batu batu memasuki hutan yang tidak terlalu jauh. Ia perlu mencari
kayu bakar untuk penerangan, mengganti bekas api unggun yang terpuruk. Baru
beberapa ranting ia kumpulkan, pendengarannya yang tajam menangkap suara lirih
desingan pedang yang ditarik dari sarungnya.

Seseorang berkedok hitam menghunus sebilah pedang, menyerang dari atas pohon
mengancam jantung Mo Tian Siansu. Dengan kecepatan luar biasa, Khu Han Beng
mengerahkan ginkangnya secepat mungkin. Melihat seorang bocah yang entah
muncul darimana tahu-tahu berdiri diantara Mo Tian Siansu dan pedangnya, orang
berkedok hitam itu tidak menghentikan tusukkannya malah menambah kecepatan
ayunan pedangnya sambil menjengek:

"Biar kau ikut mampus sekalian"

Khu Han Beng dengan tenang menatap ujung pedang lawan yang mengancam ke
arah dadanya. Ketika ujung pedang tinggal sejengkal jari, tiba tiba dengan gerakkan

yang mudah diikuti pandangan mata, jari telunjuk Khu Han Beng menjentik
perlahan.

Tiba-tiba seruan kaget keluar dari mulut si kedok hitam, berbareng matanya
melotot terkejut bercampur ketakutan.
"Ting...! Kraak...!"

Bukan saja jentikkan jari bocah itu sangat tepat, bahkan mengandung daya dorong
balik yang kuat luar biasa. Pedang orang berkedok hitam itu patah puluhan keping
banyaknya dan mencelat kemana-mana, malah ada beberapa keping yang
menancap di tubuhnya.

Tangan kanannya patah terdorong balik secara paksa oleh arus tenaga balik yang
sukar dilukiskan kekuatannya. Sisa gagang pedang ditangannya terlepas,
menancap pada sebuah pohon. Mimpi pun orang kedok hitam itu tidak menyangka
bakal menderita kekalahan dalam satu gebrakkan saja, kekalahan semacam ini
benar-benar suatu kejadian yang aneh dan sama sekali diluar dugaannya,

"Kau.,..kau seharusnya tidak menguasai ilmu silat?!" seru orang berkedok hitam itu
dengan tercengang, takut bercampur kesakitan.

Dia paham sekali walau pedangnya bukan pedang mustika tapi dibuat dari baja
pilihan. Dia sendiri yang memimpin proses pembuatan pedang tersebut. Selain dia
memakai tenaga pengrajin besi yang paling ahli, juga dia memerlukan 42,990 kati
baja pilihan hanya untuk membuat sebilah pedang!

Bisa dibayangkan betapa bingung dan ngeri perasaan hatinya melihat pedangnya
patah berkeping-keping hanya disebabkan sebuah jentikkan jari. Jentikkan jari itu
selain tidak cepat juga bukan ditujukan kepada batang pedang, melainkan tepat
pada ujung pedang yang sedang menusuk melebihi kecepatan terbangnya seekor
burung!

Khu Han Beng tidak menjawab hanya menatap orang berkedok hitam itu dengan
dingin. Dengan jeritan jeri orang berkedok hitam itu mengerahkan ginkang

melarikan diri. Baru ia melompat beberapa tindak, ia menghentikan gerakannya.


Meremang bulu kuduk tubuhnya ketika melihat Khu Han Beng mendadak sudah
berdiri enam langkah tepat di hadapannya. Cepat ia membalikan tubuh dan berlari
sekuat tenaga, namun usahanya sia-sia, kembali ia melihat Khu Han Beng
menghadangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan? Apakah kau hendak membunuhku...kenapa kau
hendak membunuhku?" tanya orang itu dengan suara gemetar ketakutan.

"Bukankah kau tadi hendak membunuh orang?" tanya Khu Han Beng tiba tiba.

"Be...benar! ``

"Bukankah tadi kau tidak menerangkan sebabnya" Orang berkedok hitam itu
terdiam, sambil memegang tangannya yang patah meringis kesakitan.

Dengan nada hambar Khu Han Beng melanjutkan:

"Tidak seharusnya kau bertanya padaku"

Orang berkedok hitam itu gelisah bukan main ketika Khu Han Beng mendekati
dirinya. Ia paham sukar sekali untuk meloloskan diri, cepat ia berteriak:
"Mo Tian Siansu keracunan! Aku tahu cara mengobatinya"

Khu Han Beng menghentikan langkahnya, ia berpikir sejenak sebelum berkata:


"Darimana kau tahu ia keracunan?"
"Coba kau pikirkan. Tidak mungkin seorang bhiksu sakti dari Siaulimpay muntah
darah, hanya gara gara memukul sebongkah batu. Ia terluka disebabkan tenaga
saktinya telah menyusut hilang terkena racun"

Rupanya orang berkedok hitam itu turut menyaksikan peristiwa tersebut. Khu Han
Beng mendongakkan kepala, hanya tebing di atas yang cocok menjadi tempat
persembunyian orang berkedok ini hingga lolos dari pengamatannya. Entah
bagaimana cara orang ini lolos dari bencana gempa tadi.

Setelah termenung beberapa saat. Katanya perlahan:


"Sebagai imbalan kau ingin kubebaskan pergi"
"Benar"

Keringat dingin keluar dari tubuh orang berkedok hitam ketika melihat Khu Han
Beng termenung tidak segera menjawab. Dengan nada gemetar ia bertanya:
"Masakkan kau enggan menolongnya?"
"Yaa, sebetulnya aku tidak terlalu ingin"
"Kau...?" seru orang berkedok hitam itu dengan heran berbareng terkejut. Bocah ini
berjalan bersama dengan bhiksu itu jelas mempunyai hubungan yang tidak biasa.
Sungguh diluar dugaannya bocah semuda ini memiliki hati yang tega.

"Jika ia tewas, urusanku tentu lebih mudah" gumam Khu Han Beng tak terasa. Ia
bukan tidak mau menolong Mo Tin Siansu, hanya jika susioknya tewas ia akan dapat
segera menyusul yaya-nya ke Po-Ting.

Orang berkedok hitam itu paham, jika Mo Tian Siansu tewas, dilihat dari ketegaan
bocah ini jangan harap dirinya bisa selamat.

"Bukankah barusan ia telah menyelamatkan dirimu" bujuknya mengingatkan.

"Aku dapat menyelamatkan diri. Sebetulnya, ia tidak perlu menolongku" sesal Khu
Han Beng sambil menghela napas. Hal inilah yang menimbulkan pertentangan di
batin Khu Han Beng. Jika ia menolong susioknya, tentu akan menyita waktu yang
tidak sebentar. Lagipula perasaanya mengatakan makin lama ia mengulur waktu,
kakeknya lebih banyak celakanya daripada selamat. Jika ia pergi menyusul yayanya, Mo Tian Siansu tentu akan tewas. Urusan mana yang lebih penting? Urusan

yang menyangkut hubungan darah, atau kewajiban menolong? Lama ia termenung.


Urusan ini benar benar menyulitkannya untuk mengambil keputusan.

Lama mereka terdiam. orang berkedok hitam itu menggunakan kesempatan untuk
mengikat tangannya yang patah.
"Baik! Kau boleh menyembuhkannya" akhirnya Khu Han Beng memutuskan.

Badan orang berkedok hitam itu seperti mengendur lega. Beriringan mereka
kembali ke tempat Mo Tian Siansu bersender. Dengan agak ragu, orang berkedok
hitam itu bertanya:
"Darimana kutahu kau akan membiarkanku pergi setelah mengobatinya?"
"Kau tidak tahu"
"Kuingin kau bersumpah"

Khu Han Beng seperti mengeluarkan suara tertawa tertahan, katanya:


"Tak kusangka kau masih percaya dengan sumpah yang tiada harganya"
"Kuingin kau bersumpah mengatas namakan ibumu" kata orang berkedok hitam itu
sepatah demi sepatah.

Mendadak raut wajah Khu Han Beng berubah hebat. Dengan dingin ia berkata:
"Kau tidak perlu mengobatinya, dan tidak usah pergi. Sebaiknya kau mati saja"
"Kau...kau... tidak perlu bersumpah, aku akan mengobatinya sekarang juga" tukas
orang berkedok hitam itu dengan nada kuatir.

Cukup lama Khu Han Beng memandang orang berkedok hitam itu dengan penuh
selidik, sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. Diam diam orang berkedok
hitam menarik napas lega, lekas ia mengeluarkan sebuah toples kecil dari saku
dalamnya dan menuangkan satu butir pil berwarna merah yang langsung dijejalkan
kemulut Mo Tian Siansu.

Rona hitam di wajah Mo Tian Siansu perlahan menghilang walau masih terlihat
pucat. Pernapasannya masih berat, setelah ditunggu sekian lama ia masih belum
sadarkan diri.
"Kenapa kondisinya masih belum membaik?"
"Aku hanya mampu menawarkan racunnya. Untuk luka dalamnya yang parah, kau
harus membawanya ke sepasang tabib di gunung Pek Hoa-san"

Khu Han Beng menimbang ucapan orang berkedok hitam itu,kemudian katanya:
"Buka kedok mukamu!"

Orang berkedok hitam nampak enggan melakukan. Katanya:


"Tiada yang istimewa di wajahku, kenapa kau ingin melihatnya?"

Mendadak Tubuh Khu Han Beng berkelebat, dalam sekejap tangannya memegang
kedok hitam dan toples kecil berisi obat anti racun. Orang itu ternyata seorang
pemuda, berwajah tampan, berbibir tipis hanya sorot matanya yang terkesan licik
nampak jelalatan ketakutan berbareng terkejut.

"Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa di wajahmu, kenapa kau enggan kulihat
wajahmu?"
"Dia tidak mengenal diriku" jerit pemuda itu dalam hati. Hatinya lega bukan main.
Cepat ia menjawab:
"Apakah kau benar benar tertarik ingin tahu urusan pribadiku?"

Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian katanya:


"Semestinya aku bertanya padamu, kenapa kau ingin membunuhnya? Kenapa kau
mengetahui ia terkena racun bukan luka disebabkan gempa? Tetapi saat ini aku
memang tiada waktu untuk mengurusmu. Suatu waktu aku tentu akan mencarimu.
Kau boleh meninggalkan tempat ini"

Kembali pemuda itu menarik napas lega, tak tahan mulutnya menyungging
senyuman:
"Sampai mampus kau tidak bakal dapat mencariku" cemoohnya dalam hati.

Seperti memahami arti senyuman pemuda itu, Khu Han Beng menukas perlahan:
"Aku yakin dapat mencarimu"
"Kau tidak kenal diriku, tidak tahu dimana aku tinggal, bagaimana kau dapat
mencariku" tanya pemuda itu tidak tahan.
"Sebab kau telah salah ucap"
"Apa yang salah kuucapkan?"
"Tidak semestinya kau mengatakan aku seharusnya tidak mengerti silat"
"Maksudmu?"
"Walau aku tidak mengenalmu, kuyakin kau mengenalku. Kau mengenalku tidak
bisa silat makanya kau mengatakan kata 'seharusnya'. Sedikit yang mengenalku
tidak bisa silat, sedangkan aku jarang sekali keluar kamar. Ruang lingkup
mencarimu sangat terbatas. Makanya kuyakin pasti dapat menemukanmu"

Kembali sinar mata orang itu megeluarkan cahaya ketakutan.


"aku tidak berbohong di Pek Hoa-san benar benar ada tabib itu...''
"Yaa, kutahu kau mengatakan yang sebenarnya''

Pemuda itu menatap Khu Han Beng sejenak. Dengan agak ragu ia bertanya:
"Maukah kau kembalikan barangku?"

Pemuda itu menangkap kedok hitam miliknya yang dilempar oleh Khu Han Beng.
"Seingatku, toples kecil itu juga aku yang punya"
"tentu kau salah ingat" kata Khu Han Beng lembut.

Dengan jantung berdegup, pemuda itu berkata:


"Yaa, kuyakin tentu terjatuh di tengah jalan, kumohon diri untuk mencarinya"

Khu Han Beng memandang pemuda itu menghilang di telan kegelapan malam.
Perlahan ia menoleh ke arah Mo Tian Siansu. Ia harus lekas membawa susioknya ke
gunung Pek Hoa-san.

Tiba-tiba ia tertegun, baru teringat olehnya dia tidak tahu lokasi gunung itu.
Bagaimanapun juga ia kurang pengalaman, ia lupa bertanya pada pemuda itu.
Dahinya berkerut, ia berpikir keras mencoba mengingat buku yang mengandung
peta Tionggoan yang pernah dibacanya. Setelah mengira-ngira lokasinya sekarang,
perasaannya mengatakan untuk menuju ke Pek Hoa-san ia harus menempuh arah
ke Barat.

Khu Han Beng memandang langit yang kembali mendung gelap tanpa cahaya bulan
maupun bintang yang bisa menunjukkan arah. Ia mulai mengomeli dirinya, tadi ia
benar-benar tidak memperhatikan arah terbenamnya matahari. Apa yang harus
dilakukannya sekarang? Menunggu hingga datangnya pagi baru menempuh
perjalanan? Ditilik dari kondisi Mo Tian Siansu yang parah, Khu Han Beng menyadari
ia tidak boleh membuang waktu.

Mendadak ia membungkukkan badan memunguti beberapa potong pecahan


pedang. Kedua tangannya meremas, kemudian memilin seperti menggenggam nasi
lunak yang baru saja matang. Sungguh mengagumkan, potongan potongan pedang
yang terbuat dari baja terlebur menjadi satu. Berbentuk seperti sebuah sendok
makan dimana bagian ujung atasnya meruncing. Khu Han Beng memilih sebuah
batu ukuran segenggam tangan yang tidak terlalu besar.

Kembali ia mengerahkan tenaga saktinya memapas dengan sisi tapak tangannya


bagian atas permukaan batu hingga menjadi licin seperti telah dibilah oleh pedang
tajam. Dari kantung makanannya, ia mengeluarkan sepotong daging kering dan
mengeluarkan hawa yang-kang hingga lemak daging tersebut menetes dibagian
licin permukaan batu. Dengan hati-hati ia meletakkan sendok baja itu diatas cairan
lemak. Nampak sendok baja itu bergerak memutar perlahan kemudian berhenti.
Khu Han Beng tersenyum senang, dari buku yang pernah dibacanya, ia paham

ujung runcing yang melengkung dari sendok baja itu akan selalu menunjuk arah
selatan.

Lekas ia memasukkan batu dan potongan baja itu ke sakunya dan memanggul
tubuh Mo Tian Siansu hendak diletakkannya diatas pelana kuda. Lagi lagi ia
tertegun, kembali ia kecolongan. Kedua tunggangannya telah menggeletak mati
dengan leher tertembus pedang, nampak sisi lehernya jebol beruaran, berlobang
sebesar mangkuk. Nampaknya pemuda itu seorang pembunuh yang
berpengalaman. Sebelum membunuh korbannya, telah lebih dahulu menutup jalan
keluar calon korbannya. Mulut Khu Han Beng bersuit nyaring yang menggetarkan
tebing sekitarnya. Ia telah mengerahkan hawa murni untuk mengitari tubuhnya
belasan kali, kemudian dengan memikul Mo Tian Siansu, tubuhnya melesat secepat
terbang, hilang ditelan kegelapan malam menuju arah barat.

oooooOOOOooooo

Bersambung

Anda mungkin juga menyukai