Anda di halaman 1dari 14

BU KEK SIANSU

Karya Kho Ping Ho


JILID 2
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang
menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa
diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang
ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya
yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat
Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku
sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" Tiba-
tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twasuhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah
sejak dahulu mencuri hatinya. "Twa Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat
yang sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......" Dia
berdirisesunggukan. "Apa.....? Aku telanjang.....? Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara
dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dab celana luar dari
mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri.
Tentu saja agak kebesaran. "Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng......." Dia memandang
wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi. "Hi-hik,nah,begitu, tertawalah Twa-suheng,
tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan
kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan
terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-
suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang
pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di
dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-
bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal
menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung
karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak
menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang
bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah,
rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram,
mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset
terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini
tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya. Pada hari yang sama ketika
Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san,
terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di
daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama
sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki
lereng pertama dari pegunungan Jenghoasan sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan
wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik
yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada keriput mengganggu kulit
mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa
menantang dan seolaholah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang
memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan
kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu
tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan
langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan
kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutarsebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah
payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba
mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang
indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari
tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak
melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas
dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang
menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda
itu pun ketat sekali! Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang),
namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia
hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai
Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya
berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan
ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan
setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis
oleh siluman ini! Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali
tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis
wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah
saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja
dia pun mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib
dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh birahi! Dia
dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan
menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa
menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak
Pegunungan Jeng-hoasan di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh
mengunjungi pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi
merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat
yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini
terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan
pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-
tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah
datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang
berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi
orangorang kepercayaannya. Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini
dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah
mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar
sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan
tetapi, penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya
lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil
digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di
istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal
kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi
yang diperolehnya sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya
ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana pembesar itu.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak
harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat! Belasan tahun kemudian,
muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah
Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawanitu sehingga
menjadi orang buruan pemerintah. Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang
senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat
sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya
gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh
bocah ajaib itu. "Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya
selama mungkin. Hemmm..." Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi
kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima
orang lakilaki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar
dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si
tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga
puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti
melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati! "Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda
berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan
aku?" Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya
seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari
Rawa Bangkai?" Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti
dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, "kalau benar mengapa? Kalian ini
siapakah?" "Kami adalah Kee-san Ngo-hohan(Lima Pendekar dari Gunung Ayam)". "Kiam-mo
Cai-li mengeluarkan bunyi "tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan
berkata manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-
ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh
seperti aku." "Harap Toanio(Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu
siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa
kami memberanikan diri untuk menghadang." "Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin
manis dan kerling matanya makin memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-
tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu
Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka
yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong
maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf,
para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami
tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah
banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk
melindunginya." Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku
mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki
Jenghoa-san. Habis kalian mau apa?" Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka
membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa
kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!" "Hi-hi-hik, galak
amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh
gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!" "Hemm, habis
semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga
merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan
pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong. Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh
arti, bibirnya penuh tantangan. "Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!"
"Perempuan hina!" "Jalang!" "Siluman betina" Lima orang itu telah mencabut senjata masing-
masing yaitu senjata golok besar yang selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-
ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-
san-to-hoat yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan
darah yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.
"Siaaaattt...singg...siang..." "Ha-ha, bagus! kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu
lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!" Kiam-
mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hiatmnya berkembang terbuka. Payung itu merupakan
senjata isimewa, terbuat dari baja yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan
sudah dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun
ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun
dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai. "Trang-trangtrang...!!" Bunga api berpijar
ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung
yang berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya
dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu. "Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu
baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai
dimana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"
"Perempuan rendah!" Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar
dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah benda
hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengudar gelung rambutnya dan ternyata
rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan
harum baunya, bahkan bukan itu saja keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai
senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san
ngo-hohan! Sebelum orang ini ssempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak
menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring. "Krekk!" Laki-laki itu mengeluh dan
roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan istimewa yang membuat
tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar. Empat orang lainnya
terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri
mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh! Namun orang yang
mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau
dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang panjang itu
mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak
menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk
mempermainkan mereka. "Mampuslah!" Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika
goloknya ditangkis, cepat dia "memasuki" lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena
tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bagian
dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang
amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak
akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu. "Cusss...!" tiga buah jari tangan itu
tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat,
sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihh, kau
bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!" Tentu saja pendekar
ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetapi juga penasaran. Ilmu totok yang
dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah
yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-
apa, bahkan menyindirnya dan dianggap dia mencolek dada? Dengan marah dia menerjang lagi
bersama tiga orang sutenya. "Sudah cukup, sudah cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!" Tiba-
tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam
menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan
dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti
orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka! Orang termuda dari mereka kaget
setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi
gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki, "Perempuan hina, pelacur
rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!" "Aihhh... kau
penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!" Golok itu tertangkis
oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum laki-laki itu dapat mengelak,
sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat
tenaga untuk melepaskan libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu
wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan tahu-
tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup
seperti ularular hitam yang kuat. "Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu
dihajar agar tidak suka memaki lagi!" Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi,
akan tetapi libatan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian
rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu
sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang
membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh
dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan napasnya tak dapat lancar,
maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar. "Aihhh, kau perlu diberi sedikit hajaran,
Tampan!" Empat orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian
betapa wanita iut kini mendekatkan muka sute mereka yang termudda, kemudian membuka
mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu.Mereka
melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute mereka terbelalak,
namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang
lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji
seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang
terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu! Mereka berempat hanya
melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu
memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka makin pucat dan
mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat.
Agaknya wanita itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia
melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda. Dapat
dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh
warna merah darah! "Sute...!!!" Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki
tangan mereka. Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot
memandang ke arah para suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan
ketika wanita itu kelihatan jelas menghisaphisap lehernya ternyata bahwa urat besar di lehernya
telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah
yang membanjir keluar dari urat di leher itu! Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan
pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang
termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li
melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu tergulig roboh, terlentang dengan muka pucat dan
napas terengah-engah. 'Sute...!" Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka
melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk
menjilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya
kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati
empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang
mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua
tangannya bergerak -gerak dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak.
Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia
membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia
bertelanjang bulat sama sekali di depam empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan
ngeri dan sebal! "Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan
membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan
cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian." "Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini
orang-orang apa? Kami adalah murid Hoa-san-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik
mampus daripada memenuhi seleramu yang terkutuk melayani nafsu berahimu yang menjijikan!"
kata empat orang itu saling susul dan saling bantu. Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Hi-hik,
begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!" Dia lalu membungkuk
dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri
menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil, menggigit
bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat
melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun
dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya
terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu
dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang
masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka melihat Sute mereka itu seperti
seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh gairah nafsu! Dengan mata
terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua lengan terbuka,
bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian
mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memjamkan
mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti
bahwa Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan
oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute mereka yang diamuk
pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah
dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghisap darahnya sepuas hatinya. Dapat diduga
lebih dahulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya
apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari
tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh
kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat
semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat
diinginkan. Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan.
Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke
sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka
yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja. Kwa Sin Liong, atau yang lebih
terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya
matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-
orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita. Sin
tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit yang mereka
derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada
sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah itu dengan sinar
mata penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang wajah Sintong itu saja, mereka
sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka. Seolah-olah ada wibawa yang keluar
dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu
saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan
dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat
yang manjur. Dan bocah ajaib itu memang bukanlah seorang dukun yang menggunakan
kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan
yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat mengandung
khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu. Tiba-tiba terdengar
nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga in Liong, bocah ajaib
itu, berhenti sebentar
mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang
aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan
menggeleng-geleng kepala. "Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga
tentu tidak akan dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Huh-ha-ha, benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun
juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!" Terdengar jawaban dan
tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya, tongkatnya
ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan
tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-
jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong,
roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam
kepala mereka! "Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong lihat ini!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik
yang bukan lain adalah Kiammo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke
arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang lima
orang teman mereka yang telah tewas. "Cuat-cuat-cuat...!" Dari ujung payung itu meluncur sinar-
sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak
bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung
payung itu! Sejenak Sin Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di
sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang
dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan
suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat-jiu Kai-ong
dan Kiam-mo Cai, "Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian
amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang.
Bocah itu memandang kepada sebelas mayat dan sesenggukan menangis. "Hi-hi-hik, Sin-tong
yang baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu,"
kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan
membayangkannya ketakutan. Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air
matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan
ketakutan, "Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!" "Haha-ha! Benar hebat!
Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?" Pat-jiu Kai-ong menegur. "Apa kau
menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?" Kiam-mo Cai-li menyambung. "Mereka
sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, kau
menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian." Dua orang tokoh sesat itu terbelalak
heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib
ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat
menyerbu ke depan hendak menubruk SinLiong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar
mata sedikitpun tidak membayangkan rasa takut! "Desss......!" Karena gerakan mereka
berbarengan, disertai rasa khawatir kalaukalau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu
Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sintong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak
hendak menangkap Sin-tong karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong
dengan kedua tangannya ke arah Patjiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita
iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar,
maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya
merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang! Sejenak mereka saling
berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa, "Ha-ha-
yha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!" "Pat-jiu Kai-ong, selama ada
aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong dari tanganku!" Wanita itu berkata
dan memandang tajam,
siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu. "Aha, Kiam-mo Cai-li,
sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan ilmuku..."
"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa
mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan
sumsumnya. Jangan Sintong!" "Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu
mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan
memuaskan hatimu. Apa sukarnya bagimu mencari orangorang muda yang kuat dan
menyenangkan?" "Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk
memperebutkannya dengan kepandaian!" "Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba
kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!" Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang
dari Rawa Bangkai sudah tak dapan menahan kemarahannya melihat ada orang berani
merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang
istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu. "Trakkk!" Pat-jiu
Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat
keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke depan, tongkatnya
berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ganas. "Trakk! Trakkk!!" Dua kali
senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam
mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka
berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tibatiba mereka melangkah
mundur dan memandang tajam karena berturut-turut ditempat itu telah muncul lima orang kakek
yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul
seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ
sambil memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiammo Cai-li dengan bermacam sikap. Ketika
dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka
terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun
melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang
kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki
nama besar sebagai orang-orang sakti. Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek
tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya
bahwa di tempat yang penuh damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh
ketentraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman
manusia ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih
hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh
dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya
dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima
orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh
perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Orang pertama adalah seorang
kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan
Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang
menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha,
kiranya bukan hanya orang gagah saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan
sungguhpun tentu mempunyai niat lain!" Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiammo
Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terangterangan. Orang ini
bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia lebih
terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang
sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan
selain itu, juga dia amat jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu
silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah
ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilmu Pedangnya Ban-
tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu dimana tempat
tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncul dimana saja secara tak terduga-
duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga. "Huhh, bekas Suteku yang
tetap goblok!" kata orang kedua. "Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini.
Jembel busuk itu tentu ingin menghisap darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu
Iblisnya Hiat-Ciang Hoatsut. Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari
kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu
malu untuk menyangkal!" Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek
yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai bekas
sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak
mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-geriknya ketika bicara
seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kadang menggaruk-garuk kepala atau
pantatnya, matanya liar memandang ke kanan-kiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-
tok (Racun Langit), bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal
racun sesuai dengan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau
Cee Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri nama Kim-kauw-
pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang
meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama Sin-kauwkun(Ilmu Silat Monyet Sakti).
Seperti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu
lagi nama aslinya, yaitu Bhong Sek Bin. "Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala
macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras,
pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya
Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari
Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan. Di
tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai
seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun
terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli
silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang
sudah mendarah daging di tubuhnya. Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan,
sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah
menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang
mauwpit alat tulis pena panjang. "Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini,
tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-
ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku." Pat-jiu Kai-ong
sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya.
Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama,
merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini.
Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul
manis sekali dia bertanya, "Harap maafkan, kana tetapi siapakah saudara yang manis budi dan
yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu(Sastra dan silat) yang tinggi ini?" Laki-laki itu
tersenyum dan menjawab halus, "Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar
Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di Beng-san." Kiam-mo Cai-li kembali menjura,
tersenyum dan berkata, "Aihhh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw
Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang
mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Bengsan. Mudah-
mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi
tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu
sopan santun!" Ucapan terkhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang
kasar-kasar tadi. Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh
tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim
(Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-
goyang menipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu
sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak
dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)! Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap, sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh, namun tampaknya meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah
kehabisan Yang paling lurus, kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang
paling fasih, kelihatan gagu. Api panas dapat mengatasi dingin, air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang dapat memberkati dunia!" "Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah
lam-hai Seng-jin (Manusia SaktiLaut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tekkheng agaknya telah
menjadi semacam cap Anda, ha-haha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek. Tosu itu
berkata , "Siancai! Pat-jiu Kaiong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan
bodoh." "Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang tidak tahu
bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki
sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian
butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya." "Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu
berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng
tidak sabar. "Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Patjiu Kai-ong dan Kiam-
mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong
dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!" "Tee-tok, urusan itu
adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan
senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang. "Bukan
urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu
masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan
dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di
antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal
sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng
aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring. "Teetok, jangan sombong kau! Mengenai
kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu
diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masingmasing hendak memiliki Sin-tong, Untuk
kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini
lima orang yang mengaku sebagai tokohtokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak
mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua. Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak
takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya
perbuatan itu. Terutama sekali Ginsiauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan
pengeroyokan!" kata Kiammo Cai-li yang cerdik. "Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!"
Tee-tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun
cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!" "Tee-tok,
buktikan omonganmu!" Kiammo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju. "Eh-eh, nanti
dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau
ketinggalan!" kata Pat-jiu Kaiong mencela. "Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli
oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!"
Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan
dada. "Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "Harap
Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua
harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya
saling baku hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin
memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan
Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia
hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau
mencampuri, Bagaimana?" "Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok. "Aku
pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui
keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras
agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud
hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau
hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!" Tentu saja
dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang
licik itu. "Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan
tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.
"Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!" "Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas
membentak. "Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-
benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar
sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong." Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang
masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku
tujuh orang itu. "Sin-tong yang baik. Lihatlah, kau satu-satunya wanita di antara kami bertujuh.
Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak,
kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah
anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan
seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau
akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!" Sin Liong mengangkat
muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga
tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik
bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum
dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan
tidak dapat menjawab. "Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-
san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau
seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engaku akan
menjadi raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu
ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan
Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!" Kembali Sin-
tong memandang wajah itu dan diamdiam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang
dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja
pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya. "Anak ajaib, anak
baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang
mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah
melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu
sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong."
"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah
menghadapi anakanak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah
kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok.
Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong." "Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak
pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku
percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng,
akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan
merajai dunia kang-ouw, Sin-tong." "Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang
Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku
berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!" "Siancai...siancai..! Kaudengarlah
mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan
duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto
(aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru
Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan
besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-
hai Sengjin, Sin-tong!" Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk
bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar
memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan
penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun
juga diantara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu
membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal
disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-
mayat yang patut dikasihani ini." "Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata
Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar. "Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh
mengganggunya!" bentak Thian-tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang diantara kita
secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus
diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah
menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan
ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak meimiliki Sin-
tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain. "Mana bisa diatur begitu?"
bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-
mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus
menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!" "Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li,
wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi
pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Sengjin. Dalam pertempuran seperti itu,
siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama.
Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan
demikian, satu-satunya orang yang kelaur sebagai pemenang, Jelas dia telah lihai daripada yang
lain." Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan senjata
masingmasing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling lirik , siap untuk
menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar
merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh! Sin Liong yang masih duduk bersila,
memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai
menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka
demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar
senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa. Memang hebat
pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang
musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong
dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong
terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga
sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang
Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga
seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kaiong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-
mo Cai-li yang benarbenar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang tertentu, melainkan
berlarian berputarputar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun
itdak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk
membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang diantara
mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan
"mengeroyok" tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu
rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong
oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan
senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan
kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri dengan pedang payungnya, dan membalas
serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap. Sin Liong menjadi bengong.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas
cabang pohon besar yang tumbuh dekat medan pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke
arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain
putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencoratcoret di
atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang
menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran
itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya
seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan
seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya
tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan
terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat
terpelihara sehingga mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya
bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh
orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang
berkelebatan hampir tak tampak itu? Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya
memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa
tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok
di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga
berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan
Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar samapi muntahkan darah
namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.
Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya,
menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon,
memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang
turun. "Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila
memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!"
Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka
itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan singkang yang amat kuat,
sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama
sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih duduk bersila. Dengan hati tegang mereka lalu
meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah
laki-laki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang
mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.

Anda mungkin juga menyukai