Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi
meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian
Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang. Liu Bwee memandang
dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar
persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun suaminya masih
hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan
dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan
anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja
meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-
laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba
mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang
ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa
mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih
menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita
memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai
berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak
segelap tadi!" Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti.
Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin
Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang
masih menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri. "Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah
melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-
anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi
pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan
perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada
batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee
lenyap tak meninggalkan bekas. "Liu-toanio, mari kita berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee
memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....? Apa
maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk
menerima penghinaan saja." "liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup
sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang
akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat
Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah
dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan
suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan
kupertaruhkan nyawaku untuk itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran,
bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw
Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako.... mengapa kau
melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian?
Mengapa engkau begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas
dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat
tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan
dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau
begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau
begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku
yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi
kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak
mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya
Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang
menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang
memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya,
apalagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang
telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi. Di
samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti
mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela
membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang
seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan
mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam
karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu dengan
sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf
sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu." Liu Bwee
menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki
sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah
kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan
keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali
pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu
bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan
gerakan kepalanya menggeleng. Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri
dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu
didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es
yang biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena sering
kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang
belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada
Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang
sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau
lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas
permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan
perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu
bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di sana," katanya
dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu
akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir
suaminya. Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar
tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak
tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat
perahunya. Pria ini pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka
sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah tanjakan dan
tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat
sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan bangunan-bangunan mereka..... mengapa lenyap?
Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari
mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang
mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang
sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini
segera dapat menduga apa yang telah terjadi. "Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?" Liu
Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.
Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan
memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian
Kok berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa
yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum
pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai,
tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee
ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....!
Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee
mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis
sesenggukan. "Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih
dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. kalau ada penghuninya yang
selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai
seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian
tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang kehilangan ingatan Liu
Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok
merasa kasihan sekali akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri
Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja. "Ohhh.... mereka
semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi,
tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-
olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari
tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya
bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara
mengukir batu itu dengan jari tangannya! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah
menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas
kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!" Liu
Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang.
Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian
Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di
dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benarbenar
hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu. "Jelas
bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati. Liu Bwee tersadar.
Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya
pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat
membayangkan apa yang terjadi. "Duhai suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya
diantara isak tangisnya. Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun
dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan
mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan
tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee
menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di
bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga
terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya
tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, "Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian
menghukum aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu
tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya
tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya
menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke
dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh
kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat.
Dengan tergesa-gesa, Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat
mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang
dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokan
obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran
sinkangnya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga
agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh
dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok
yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah
sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang
menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat
bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia
pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan
tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali,
maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya. "Berapa lamakah aku pingsan di sini,
Toako?" "Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini
engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?" "Hemmm...., tak perlu
dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga
kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan
suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang
pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu,
legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es,
disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau
kosong ini." Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas
membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian
Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee
menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata.
Dia mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan pengikat rambut anaku!
Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana
menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar,
tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu.
Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong? "Tidak
salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu
dengan puteriku, Ouw-twako." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu
adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di
dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama
The Kwat Lin itu." "Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan
pengejaran ke daratan besar." Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak
keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?" Liu Bwee
menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan
khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di
Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah wanita itu,
Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio,
jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku
menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan." Berseri
wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih, akan
tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata
demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan
engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak
mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi
kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-
limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku
untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang
wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi
serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu
itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku." Berangkatlah kedua orang ini
meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia bekas
permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu
maka dia tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu
mengarungi lautan luas itu berjalan lancar. "Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si
Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas
Pendekar) dari Butong-pai? kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya
kami menyerah? sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi
besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang
kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan
rasa takut biarpun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian
seragam dan bersenjata lengkap, bahkan mereka mengejek dan menantang komandan pasukan
yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan. Mereka
terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian
sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap
menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu. Cap-pwe
Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tongsan ini adalah murid-murid dari Kui Tek
Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-
tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang-orang
gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin merebut kekuasaan di
Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak
seperguruan mereka, akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan
melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat
pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat
berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para
tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh
Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-
tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun,
sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan
"kebersihannya" dengan jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya
dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan
karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang
pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah
mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak
membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah, maka
dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu.
Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di
utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan
belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-
matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang
pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan
aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-
hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pedekar itu
terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah
pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki
kepandaian tinggi dan para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka
melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan
seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe
Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun
dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga
empat orang lawan, mereka mempertahankan diri dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus,
mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang
mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak
pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda
darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka
yang masih bertempur. Diantara lima puluh lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih
yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat.
Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong,
mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak
membiarkan seorang pun meloloskan diri. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan
muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta
mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka.
Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-
hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar,
bahkan menambah kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera
terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar. Pertempuran yang berat
sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari
dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula
dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka
itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu
Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar
dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan
utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini
penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati
mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata lirih. "Hemm, memang sudah banyak
kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang-
binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat
perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang
amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama
sekali." "Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat
pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji
kegagahan mereka, biarpun dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun
tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu
mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita
bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara
melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam
segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw
Sian Kok merobohkan enam orang yang dilemparlemparkan seperti orang membuang rumput-
rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas orang pendekar itu melirik dan
menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-
laki dan wanita asing yang tibatiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa
lihainya! Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang
tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali.
Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat
mata tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan
tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap tombak
itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan tombak sehingga
gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam
tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali
orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik dan dengan
pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau
terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap
lawan yang berani menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini
amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan
telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang
pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak
kuat dan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka! Delapan belas orang pendekar
itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah
betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di
depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok
dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami
delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-
wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing
pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" Liu Bwee hanya
memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus
jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada
artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami
mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama
hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?"