Anda di halaman 1dari 105

PENDEKAR SAKTI 7

PENDEKAR SAKTI 7

Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena ini benar-benar tak pernah disangka-
sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada "pedang terbang" menuju ke dadanya. Ia cepat
melempar tubuh ke kiri akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang kalau tidak
pada saat itu, pedang yang meluncur tadi tahu-tahu berbunyi "tring...!" dan
menyeleweng ke pinggir!

Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda dan Oei Hwa yang melihat timpukan pedang
kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget
dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.

Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang bekerja dengan cepat dan diam-diam,
mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapapun juga. Tadi
ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak
mempergunakan pedang untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu
dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng.
Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia
menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah
berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang
berdekatan!

Setelah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menenggok ke arah
Kong Hoat. Alangkah kagetnya keetika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh
jala, dan pemuda ini mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak
tidak berani mendekat, hanya menambah jala untuk memperkuat kurungan sehingga
sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala. Ia benar-benar
seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta- ronta
tanpa dapat keluar dari jala, akan tetapi juga mereka yang menangkapnya tidak berani
turun tangan!

Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jal-jala itu. Para bajak
menyerbu, akan tetapi dengan amat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan
gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing
dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu. Akan tetapi, Kwan
Cu diam-diam mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang
ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam telah merobek jala
itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan
PENDEKAR SAKTI 7

ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala- jala itu telah robek dengan
mudah saja dia keluar dari situ.

"Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan marah dan
dayungnya mengamuk hebat sekali.

Kwan Cu kembali duduk di bawah dibawah pohon sambil menonton pertempuran. Ia


melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa dan Oei Liong, karena para
anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, Tidak berani lagi menghadapi gadis
perkasa itu. Adapun Kong Hoat juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil
menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat lalu
berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.

Pertempuran terpecah dua, Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat
mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini dan kepandaian
mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar
sedangkan Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.

Adapun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang
tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Oei Hwa.
Setelah kini tidak dikeroyok lagi. Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya demikian
cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tak lama kemudian ia menjerit,
terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui
Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!

Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya.
Pada saat itu, golok Oei Liong tengah menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah
kepala Kong Hoat, akan tetapi alangkah terkejut hati Oie Liong ketika tiba-tiba dia
merasa goloknya terlepas dari tangan dan ketika dia menengok, ternyata bahwa
goloknya itu telah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan
dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.

Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan
dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.

"Saudara Kong Hoat, mengapa kau bunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui
Ceng dengan suara tidak puas, karena ia menganggap perbuatan Kong Hoat ini
keterlaluan.

"Bun-lihiap, kejahatan seperti pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut
PENDEKAR SAKTI 7

akarnya. Kalau kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata
Kong Hoat.

Kata-kata ini segera terbukti karena para anak buah bajak yang melihat dua orang
pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir
kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar
itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.

"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."

Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar, Sui Ceng lalu tersenyum dan
berkata,

"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti
bagaimana harus melayani mereka itu."

Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan
dadanya, kemudian dia berkata,

"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini
masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara
hidupmu. Kami takkan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu
pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi,
jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu
yang sudah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami
masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!"
Setelah berkata demikian, Kong Hoat menggerakkan dayungnya ke arah sebatang
pohon. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh
dayung itu.

Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk menyatakan taat akan pesanan ini.

"Ketahuilah, bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi,


sedangkan aku sendiri biarpun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah
mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"

Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka
dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah
mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air,
karena selain sakti, juga pandai sekali dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar
PENDEKAR SAKTI 7

biasa.

"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa
orang bajak itu.

"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubah cara hidup kalian," kata pula Kong
Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar
dari dusun itu.

Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat lalu menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu,
katanya dengan sejujurnya.

"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang
luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mempunyai
keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian,
nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.

Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa

"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar
biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaian."

"Akan tetapi kau lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika
dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik.
Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan
pesat dalam ilmu silat. Eh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari Im-yang Bu-
tek Cin-keng. Betulkah ini?"

Merah wajah Kwan Cu. tadi dia sudah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka
kini dia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk
menyimpangkan perhatian Sui Ceng dia tiba-tiba berkata,

"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tidak mau
mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"

Sui Ceng benar saja lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng,
sebaliknya ia menggeleng-geleng kepala dan berkata,

"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini.
Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
PENDEKAR SAKTI 7

"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" tanya Kwan Cu dengan suara
girang karena dia berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-
yang Bu-tek Cin-keng.
Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang
itu.

"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada


di Goa Tengkorak."

Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, Maka dia lalu berkata
cepat.

"Aah, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kong- kong Lu Pin."

Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakn tentang kematian Lu Pin, akan tetapi
ditahannya bibir itu. Memang, biarpun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari
Menteri Lu Pin, namun Kwan Cu mengira bahwa kong-kongnya masih hidup, yakni
menurut anggapan orang-orang di dalam istana.

"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.

Kwan Cu nampak kecewa. "Benar katamu, Sui Ceng. Kau.......kau tentu tidak sudi
melakukan perjalanan bersamaku."

Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, memang kita tidak
mempunyai keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau
berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kong-kongmu itu lebih
dahulu."

"Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum.
Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."

"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.

"Selamat berpisah sampai berjumpa kembali," kata Kwan Cu tanpa memutar tubuh,
bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi. Akan tetapi tiba-tiba
Sui Ceng membalikan tubuhnya sambil berseru.

"Kwan..." Ia terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu


PENDEKAR SAKTI 7

ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat
kenyataan ini.

"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatau yang harus kita bicarakan agaknya?"

"Aku lupa untuk bertanya tentang sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata
sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya
menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keadan
kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling.......saling menikah?
Mengapa? Mengapa kau gembira?"

Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan berpengaruh itu.
Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak
bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seoang gadis yang
bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan
semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng! Terdorong oleh
kejujurannya, pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu
memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.

"Mengapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku.......aku
cinta kepadamu!"

Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda
yang demikian terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya,
mengaku cinta padanya. Akan tetapi ia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya
menyatakan kemarahan.

"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankaah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan
The Kun Beng?"

"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.

"Dan kau masih berani menyatakan ci.......cinta ...padaku?"

"Mengapa tidak?"

"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang,
bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Pula, terus terang saja kukatakan
PENDEKAR SAKTI 7

bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"

Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya
bibirnya tersenyum mengejek, "Hm, dan kaupikir bahwa kaulah orang yang paling
berharga untuk menjadi.........menjadi suamiku?"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."

Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar
mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"

"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."

"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."

“ Kau ingin sekali membunuhku?"

"Ya, kalau kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah hati
memburukkan nama orang lain di depanku."

"Dengan ang-kinmu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng.
Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"

Sui Ceng tertegun. "Selain sombong….. kau… kau… "

“Ya…."

"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, agaknya kau sudah sudah miring otakmu."
Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan
Kwan Cu.

Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.


"Benar-benarkah sudah miring otakku? Mengapa aku begini tergila-gila setelah
melihatnya? Ah…. jangan-jangan sudah miring benar-benar otakku…. " Sambil
menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ, langsung menuju
bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kong-kongnya, yakni
Menteri Lu Pin.

***
PENDEKAR SAKTI 7

Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.

"Kong-kong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam


itu!” Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi
karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu. Orang
ini adalah Lu Kwan Cu yang berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kong-kong
angkatnya telah meninggal dunia. Ketika memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui
bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, akan tetapi setelah dia membaca tulisan
berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, dia
melihat makam kong-kongnya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu. Mereka
itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Dan
keduanya merupakan orang-orang yang amat dijunjung tinggi dan dikasihani oleh Kwan
Cu. Kini keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan
hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi
berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.

Kemudian Kwan Cu meninggalkan goa itu setelah menutupi goa itu dengan batu-batu
dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh
cita-cita, dan dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas
kewajiban. Pertama-tama, dia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin
Sin-kai, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan
para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluar An Lu Shan dan akan
membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kong-kongnya, Menteri Lu Pin. Urusan
ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan
Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.

Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng.
Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari
yang lalu. Sui Ceng benar-benar telah menjadi seorang gadis yang melampaui
keindahan gadis dalam mimpinya. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan
hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng.
Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa
Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah
Kun Beng telah melakukan hal yang amat rendah terhadap Gouw Kui Lan? Tidak, Kun
Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya
perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.

Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak
menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan
musuh-musuh yang lain. la teringat kepada Lu Thong, cucu kong-kongnya yang berhati
PENDEKAR SAKTI 7

khianat itu, ia akan mempergunakan kekerasan, memaksa Lu Thong mengaku di mana


adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An
Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini
adalah keluarga An Lu Shan.

Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja dan berhasil menolong Kui Lan keluar dari
gedung An Kong, tembok kota raja dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa,
seekor burung pun agaknya tak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat
oleh para penjaga yang banyak jumlahnya dan yang melakukan penjagaan secara
bergilir .

Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak
mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati
penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga
dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapapun juga.

Ternyata bahwa kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang
bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan telah
berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri.
Kemudian Si Su Beng berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat
bantuan jago-jagonya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang
berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.

Biarpun diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena
pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak
berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya mencari
jalan untuk merampas kembali kedudukan yang dipertuan di Kerajaan Tang yang sudah
dirampasnya itu.

Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke
rumah gedung di mana tinggal An Kong pangeran botak putera An Lu Kui yang dulu
pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga
keturunan atau keluarga An Lu Shan maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia
macam An Kong itu memang sudah pantas kalau menerima hukuman mati, karena
hidupnya hanya mengotorkan dunia dan melakukan kejahatan dan kekejian belaka.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruang


tengah dia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang
dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu pernah
dikalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek
PENDEKAR SAKTI 7

Kauw, dua orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi
Kwan Cu bukan apa-apa. Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena
tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang,
akan tetapi dia juga teringat, akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman
keluarga An.

"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil
melayang ke bawah. Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan
pada balok melintang di bawah genteng dan kini tubuhnya melayang bagaikan seekor
garuda menyambar.

An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut
cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah
merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah
sekali.

"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas
lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.

Akan tetapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji
kepandaiannya. la datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang
membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia. Begitu melihat kebutan
dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja dia sudah melihat dari
pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Tingkat kepandaian pemuda ini setelah
menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng memang tak dapat diukur lagi
tingginya. Ia sudah mengatahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat,
maka menghadapi serangan dari An-kong, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya.
Dengan tangan kirinya, dia menggunakan gerak tipu Kong-ciak-siu-po (Burung Merak
Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak-sin-
na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata sebelum An Kong tahu apa yang
telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu. Pemuda sakti
ini tidak berhenti sampai di situ saja, dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak
lantai, tangan kanannya bergerak melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut, menghantam ke
arah kebutan yang memukul dari kanannya.

“Krak!" terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong disusul oleh
menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang dan roboh sambil
mengerang-erang kesakitan.

"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apakah antara kau dan aku maka datang-datang
PENDEKAR SAKTI 7

kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan amat kagum, akan tetapi
dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.

"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus
mati." Setelah berkata demikian, dari tempat dia berdiri, Kwan Cu mengarahkan
pukulan kepada pangeran botak itu. Biarpun jarak antara mereka ada dua tombak, dan
tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit
dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in-hoat-sut yang keluar dari
pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!

Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tak dapat
berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka
menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan. Namun Kwan Cu tentu
saja tidak gentar, dan dia pun tidak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut
pautnya dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak dua orang perwira itu roboh
tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Memang, dengan
penglihatannya yang sudah luar biasa, pula karena dia memiliki gerakan cepat sekali,
Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah
menotok mereka dengan kedua tangannya.

Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok, dijambaknya rambutnya


dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.

"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui ?" bentaknya setelah orang itu terbebas dari
totokan.

Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah banyak
pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang sudah menduduki tempat
cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah
yang bodoh dan canggung saja.

"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri " jawabnya perlahan.

"Di mana itu? Hayo kauantar aku!" Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu
bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar
dari ruang itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka
tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.

"Panggil An Lu Kui naik, lekas kalau minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam
PENDEKAR SAKTI 7

perlahan.
Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan
lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam,

"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!"
teriaknya.

Hening sesaat kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.

"Eh, eh, eh, bukankah di atas itu Cang-ciangkun? Mengapa tidak turun saja?" itulah
suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.

Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri lalu melompat
menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan
Cu mendahului, sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang
jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini cukup
membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.

Adapun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan,
menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan
sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan
tulang iga patah-patah!

"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang telah binasa oleh keluargamu!"
kata Kwan Cu. Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega
dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in-hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui,
panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.

Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah
dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antaranya adalah tosu-tosu yang
berjenggot panjang. Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu
bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah
Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian
Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi adalah seorang hwesio
berkepala gundul yang bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan
tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun
memiliki kepandaian tinggi.

"Eh, eh, eh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" seru Kiam Ki Sianjin kaget. "Anak
muda, bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu K wan Cu, yang dulu
PENDEKAR SAKTI 7

pernah menyerbu di istana ?”

Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Kau dan kawan-
kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"

Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum melihat sikap
pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.

"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai
hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."

Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng
Sian-jin, dia telah menjadi panas perutnya. Inilah seorang di antara mereka yang
mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu, maka
seketika itu juga dia mempunyai niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu
pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia mengikuti empat orang kakek itu
menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.
Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya
pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata akan tetapi matanya
melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.

"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu
Thong?” Kiam Ki Sianjin bertanya setelah dia mempersilakan pemuda itu duduk
menghadapi meja bundar yang terukir indah.

"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan
juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam
An Lu Shan dan kaki tangannya."

"Hm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu,
karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua,
sayang sekali masih ada seorang yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan
terakhir dari An Lu Shan."

"Siapakah dia ?" Kwan Cu mendesak karena dia memang tertarik mendengar bahwa
masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.

“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang
yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan- kawan."
PENDEKAR SAKTI 7

"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.

"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas
semua sampai habis!" kata Kiam Ki sianjin yang merasa diri amat cerdik telah dapat
mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang
yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan
menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena maklum
bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng
menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat
mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini bertemu dengan Kwan Cu, dengan
cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri
amat pandai.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini
tertawa bergelak.

"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata
yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan
perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas
rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, memualkan perutku benar! Aku
sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan
rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah
menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah
asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau
ini!"

Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan


karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan
yang setidaknya menikam ulu hati itu.

"Bangsat bermulut lancang! Kaukira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat
keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"

Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih
dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!" la melangkah maju
dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin,
mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga
suhu mengalami kebinasaan?"
PENDEKAR SAKTI 7

"Pinto (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup. Memang dia sudah
mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin- kai ini, maka dia sudah gentar
sekali.

“Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama
saja. Kau harus mampus, kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan
yang lain-lain!"

"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap
seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun.
Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan
tadi? Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana
kepandaianmu!"

Adapun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera
teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun
berkata,

“Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir
pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin
mencabut pedangnya dan bersikap gagah.

"Nanti dulu, Pek-eng Toyu, pinto yang menjadi tuan rumah dan pinto yang berhak
memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia
melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah
kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku
barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami
dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau
sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."

Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena
maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah
kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan
pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan
keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin.
Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan
rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan
kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam
PENDEKAR SAKTI 7

lagu yang hendak kaunyanyikan!"

Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan
pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk
pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku
cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulan-pukulan yang
aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,

"Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja
kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!" Kiam Ki
Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah
mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai
senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan
senjata tajam. la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan
perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik
ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan
senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la
sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja
Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam
ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,
maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,

"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!" Pemuda ini menoleh kepada Pek-
eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa
lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"

"Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil


mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki
Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya
dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk,menghindarkan diri,
tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan
penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki
Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula
untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya! Inilah yang dikehendaki oleh
Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat
melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia
PENDEKAR SAKTI 7

mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang
bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat
serangannya!

Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke


sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin
pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan
beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan
itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang
tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun
namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. oleh karena itu, ketika dahulu dia
dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali
karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu
melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan
memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekangnya.

Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan
seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia
hendak membalas kekalahannya yang dulu. Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan
tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat
mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tak salah
lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan
perabot rumah tangga ini. Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera
mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja,
melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu
mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!
Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian,
dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah
menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-yang Bu-tek Cin-
keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.

Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga
kewalahan. Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia
menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat
menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.


PENDEKAR SAKTI 7

"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan
kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan
dengan cepat dan bertenaga. Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu
dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

"Bagus sekali!" Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat
betapa dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.

Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu
secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan
oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu,
melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya! Ilmu
silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian
baiknya? Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam- diam
mengintainya?

Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi,
biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu
kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak
mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan
yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras.
Dua meja bertumbukan di udara.

"Krakkk!" Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa
kaki meja yang dipegang oleh kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya.
Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah
kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga "senjata" itu masih berada di
tangannya.

Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan
cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan
kirinya memukul meja dan berkat lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil
mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya. Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin
masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja
yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya
kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata,

"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan,
pinto minta pengajaran darimu." .
PENDEKAR SAKTI 7

Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan
tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka
dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-
benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku
mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia
masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas." Kwan Cu lalu menoleh
kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek,

"Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan
perhitungan!"

Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja
tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berkata
kepada Kwan Cu,

"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai,
kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya
pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang
membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu,
dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kauboleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin
atau kepada siapapun juga."

Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-
benar tidak berdosa.

"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"

"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar, akan tetapi pinto tidak menyaksikan
sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin. Sebetulnya, tosu
ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut
membunuh Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat
pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

"Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau
percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu,"
akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.

Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama
juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang
amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik. Kalau dia menolak
PENDEKAR SAKTI 7

untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia
akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan
orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar
pucat sebentar merah dia lalu berkata,

"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi
kehormatan dan nama baik pinto."

Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin
yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran,
biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah
memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau
bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani
mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali
Kwan Cu tertawa.

Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah


dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-
nyala dia berkata,

"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu
kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah
kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"

Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan
menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir,
aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga
sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena
Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.

Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak
terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil
tersenyum.

"Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan
watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah
murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"
PENDEKAR SAKTI 7

Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini
pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat
daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena
memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki
kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?" jawab Kwan Cu
acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.

Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki
Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai
tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar
dengan pemuda ini. Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-
kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia.
Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali
menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."

Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang
sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat
sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia
mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,

"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-
pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat
denganmu, apakah kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu
suka menghadapi hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena
memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orang- orang yang tiada urusan
dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh
Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!

"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda
berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan
memandang kepada Bian Ti Hosiang.

Hwesio ini mencabut pedangnya dan berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar
gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah
pedangmu yang kausembunyikan di balik jubahmu itu."
PENDEKAR SAKTI 7

Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari


kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Ia telah
mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya jika menghadapi musuh-
musuh besarnya. Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu
mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah
baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-
beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam. Kini hwesio gemuk
ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan
bahwa mata hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti
Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan
tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.

“Ah, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang
Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat {ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor
di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu
pedang lain? Apalagi di antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan
sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini." Kwan
Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini
tidak dirampas oleh bajak sungai.

Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda
yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-
kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi. Akan tetapi, di samping
kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai,
yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang
hanya memegang sebatang suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin
segera tersenyum berkata,

"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas
mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"

Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia
bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan
hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk
menimbulkan pengaruh lweekangnya,

"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!" Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan
ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga
kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu
Tian-kiam-kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu
PENDEKAR SAKTI 7

Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.


Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini
sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka
alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh
lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tian-kiam-kiat-
ciang yang sama baiknya dengan gerakannya. Bahkan pemuda yang bergerak
belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum
pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dulu digerakkan
menyamping membabat pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka
hwesio gemuk itu ketika pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan
didahului oleh suling itu.

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan Kwan Cu yang cerdik tentu saja
tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Namun dalam
pertemuan senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa
dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang
sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya
cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekangnya. Maka dia menjadi lebih
tabah menghadapi pedang lawan.

Bian Ti Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai
gerak tipu yang sama atau hampir sama atau hampir sama dengan Tian-kiam-kiat-ciang,
atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka
dia lalu memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-
khai-tiauw-yang (Bunga Mekar Menghadap Matahari). Ilmu pedang ini boleh dibilang
adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya
bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang
Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai-tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang
kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung mengitari tubuh Kwan Cu.

Untuk sesaat Kwan Cu melengak. Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai
memang benar-benar hebat luar biasa. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkangnya,
bergerakan memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil
kadang-kadang menyentuh pedang itu apabila terlalu mendekati tubuhnya. Juga dengan
gerakan Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang
dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan
pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia
hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.

Setelah menghadapi serangan belasan jurus, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera
PENDEKAR SAKTI 7

dapat mengenal “jiwa" atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu.
Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan
Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di goa Pulau Pek-hio-
to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga. Dengan girang dia lalu memuji,

"Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"

Akan tetapi, mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan
hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama betul seperti yang dimainkan oleh Bian Ti
Hosiang pada saat itu! Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia
tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia
mempergunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.

Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Ia mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi
pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu
tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui
lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!

"Eh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" katanya tanpa
menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak
tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.

Kwan Cu mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil
menjawab,

"Gerakan ilmu pedang tidak dimonopoli oleh Bu- tong-pai sendiri. Siapapun boleh saja
menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"

Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tjba mengubah ilmu silatnya dan kini
sulingnya diputar cepat.

"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kaupelajari dari Ang-bin Sin-kai?"

Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi
tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa
dingin mengurungnya dari semua penjuru.

"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu. Memang benar, dia telah
mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dulu pernah dia pelajari dari Ang-bin
Sin-kai. Akan tetapi setelah dia memiliki kepandaian aseli dari Im-yang Bu-tek Cin-
PENDEKAR SAKTI 7

keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali. Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih
hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-
heran dan kagum sekali. Dia sendiri takkan sanggup mainkan ilmu pedang itu seperti
yang dilakukan oleh Kwan Cu.

Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka.
Betapapun sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih
dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya
dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, makin kacaulah ilmu silat
itu. Sebaliknya, biarpun hanya mainan ilmu silat sederhana saja, kalau yang mainkan itu
sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna,
ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat. Apalagi Hun-khai
Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh
besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.

Setelah membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk
"memperkenalkan" kelihaian Ang-bin Sin-kai, Kwan Cu lalu menggunakan sulingnya
menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga tiba-tiba hwesio itu melompat
mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari
tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas!
Dengan lweekangnya yang tinggi, dia telah dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia
menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar
tidak mempunyai keinginan bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan
sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas

"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng kagum dan
takluk. Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah memiliki kepandaian yang
tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.

"Cianpwe terlalu memuji. Kalau Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boan-pwe
Sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?” jawab Kwan
Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur dan baik, tentu saja dia tidak
berani berlaku kasar.

Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia
telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta
perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.

"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi
pinto untuk beberapa belas jurus.”
PENDEKAR SAKTI 7

Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang ahli lweekang yang telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu
menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,

"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" ia tidak mau langsung bertanya kepada
tosu itu, karena untuk sikap yang kasar dan memandang rendah Kwan Cu juga
mengimbanginya.

"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."

Kwan Cu terkejut. Ia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan
Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai
adalah seorang tua yang bijaksana yang patut menjadi locianpwe, tidak tahu ada
hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"

Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi
mendongkol sekali. Ia membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suhengku. Kulihat
tadi kepandaianmu mengandalkan ginkang yang tinggi, marilah kita main-main sebentar
dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau dapat menandingi ilmu silat dari Kim-
san-pai."

"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri.
Majulah!” Kwan Cu menantang dan cara dia bicara berbeda dengan ketika dia
menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu
ini.

Bin Hong Siansu bertubuh jangkung kurus dan jenggotnya panjang sekali. Dengan
senyum mengejek dia lalu memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan
tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di pinggang.
Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).

Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lalu
meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!

Bin Hong Siansu melihat sikap pemuda ini menjadi amat mendongkol dan gemas.
Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat
berbahaya. Lawan yang menghadapinya dengan kuda-kuda biasa, betapapun
tangguhnya, akan dapat dia serang dengan hebat dan jarang sekali serangannya ini
gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu
PENDEKAR SAKTI 7

silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.

"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras dan tiba-tiba tangan kirinya yang tadi
dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu.
Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama,
kepalan tangan kananlah yang merupakan serangan penyebar maut, karena tangan kanan
ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu, siap dibuka untuk mencengkeram apabila
pukulan itu dielakkan atau ditangkis!

Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat
menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, maka dia tidak berani berlaku
gegabah. Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya sambil meloncat
mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu
itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!

Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, namun dia tidak
gentar. Ia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas
serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan
Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu
yang menyerang tentu saja meloncat ke depan. Namun jarak mereka masih saja sama,
belum pernah satu kalipun serangan tosu itu mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain
yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apabila melihat mereka berdua, tentu mengira
bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu
dihujani serangan. Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka
kagum sekali karena dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda
itu memang lebih tinggi daripada ginkang Bin Hong Siansu. Biarpun pemuda itu
meloncat sambil mundur atau menyamping, namun tosu itu yang meloncat ke depan
ternyata tak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh
dan luar biasa. Bin Hong Siansu mempunyai julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa
Bayangan) dan dari julukannya saja sudah dapat diduga bahwa ginkangnya luar biasa
tingginya. Namun menghadapi pemuda itu Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!

"Bocah siluman, kau pengecut!" tiba-tiba Bin Hong Siansu menghentikan serangannya
dan tidak mengejar lagi. "Kalau kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan
hanya melarikan diri!"

Kwan cu .tersenyum mengejek. “Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu? Kau ingin
aku membalas dan menyambut seranganmu? Baik, terimalah!" Dan pemuda itu lalu
mulai menyerang Bin Hong Siansu kini dia tidak mau meniru-niru lagi melainkan cepat
menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in-hoat-sut!
PENDEKAR SAKTI 7

Melihat datangnya pukulan tangan kanan Kwan Cu lambat saja dan merupakan ilmu
pukulan biasa Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang
dia belum pernah melihat Pek-in-hoat-sut, dan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw
juga jarang atau tidak pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang
yang pernah melihat, bahkan merasai kelihaian ilmu pukulan itu.

Melihat datangnya pukulan lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan
menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah urat nadi
di pergelangan tangan lawan.

"Brettt!" Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur, robekan kain
beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan
Cu yang telah mengebulkan uap putih.

Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum menyentuh tangan
pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek?

"Ilmu siluman… !" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya. Akan
tetapi, Kwan Cu sudah menjadi marah sekali mendengar hinaan dan melihat
kesombongan tosu itu. Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua
puluh satu dari Kong-ciak-sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang
menendang, sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin tiong Siansu.

Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit, "Aduuuhhh…
kurang ajar kau…. !"

Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang telah terjadi?
Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu telah mencengkeram dan mencabut sebagian
dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!

Biarpun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, namun tosu itu adalah
seorang yang dapat melihat keadaan. Kalau tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya,
bukan mencabut jenggot melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan
dapat mengelaknya. Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,

"Kau telah menghinaku, lain kali Kim-san-pai akan mencarimu!" Setelah berkata
demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata,

“Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima
PENDEKAR SAKTI 7

hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan
kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san." Sekali lagi
tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu
melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.

Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara
tenang, "Pinceng juga masih ada urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala
perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan."
Hwesio ini berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng telah
mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Lalu dia pun
melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.

Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, Kwan Cu tertarik hatinya. "Kiam Ki
Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?" .

Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, kemudian dia tersenyum dan
berkata,

"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."

“Musyawarah tentang apa?"

"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka
yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau
hendak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw? Nah, di puncak
itulah kau akan menjumpai mereka."

Berdebar hati Kwan Cu. Ia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak
perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.

"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, “juga terima kasih atas keteranganmu
tentang keturunan An Lu-Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."

Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau sudah berjasa
untukku."

Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu lalu melompat dan ketika dia sampai di
tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang
telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
PENDEKAR SAKTI 7

***

Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja daripada Kwan Cu. Akan
tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya
sebagaimana telah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-
hati dan setelah kehilangan pedangnya, ia ingin mencari senjata dulu, akan tetapi bukan
sembarang pedang. Untuk keperluan ini, beberapa malam ia telah menggeledah rumah-
rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang
mempunyai pedang pusaka. Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak
berhasil.

Hatinya kesal sekali dan pada hari ke lima itu, ia memasuki sebuah restoran besar.
Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua
yang suka mengobrol tentang keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri
keluarga istana. Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan telah
tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng.
Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk
bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari
Kerajaan Tang.

Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana
dan berhasil mencuri sebatang pedang dari gudang senjata. Pedang ini biarpun bukan
pusaka yang ampuh, namun merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat
daripada logam putih seperti perak. Dengan girang ia lalu membawa pedang itu dan
cepat didatanginya seorang tukang pandai pembuat pedang untuk membeli sarung
pedang baru. Ia bukan seorang bodoh dan tidak nanti ia mau menggunakan sarung
pedang aselinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka.
Setelah dimasukkan ke dalam sarung pedang baru, ia berani menggantungkan pedang
itu di pinggangnya.

Pada keesokan harinya, kembali ia mendatangi rumah makan itu untuk mendengar
berita. Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang
keributan di istana karena ada pedang yang tercuri. Pelayan itu tidak mencurigai Sui
Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar
yang sikapnya halus dan sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Pula, tentang
pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.

"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal
jendela dan pintunya tidak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik.
"Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat dipergunakan oleh pemimpin-
PENDEKAR SAKTI 7

pemimpin pejuang rakyat!"

Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum
bahwa biarpun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati
terhadap perjuangan rakyat!

Tiba-tiba. terdengar suara orang di pintu luar. "He, pelayan, sediakan meja dan masakan
yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"

Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang datang itu
bukanlah tamu kaya atau seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang
berpakaian seperti pengemis, celananya tambal-tambalan, bajunya sudah butut,
rambutnya dipotong pendek dan berdiri bagaikan rambut landak, demikian pula
jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum. Kalau pelayan itu
tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang
paling enak, adalah Sui Ceng tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya
saja sudah aneh. Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali. Akan tetapi rambut
dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan
dagunya. Melihat cambang seperti itu ia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan
tetapi sepasang mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa
dia memiliki kepandaian tinggi.

Pelayan tua itu, benar seperti dugaan Sui Ceng, adalah seorang yang simpati kepada
perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat
maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.

"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan
untukmu. Perlukah aku mengeluarkan arak wangi? Akan tetapi harganya agak mahal,
seguci harganya….”

"Tak peduli berapa harganya keluarkan saja. Cukup ini untuk membayarnya?" Pemuda
itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya sama
dengan tiga jari tangan.

Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini
adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau
terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyap kecurigaannya dan
cepat-cepat dia berkata,

"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka
PENDEKAR SAKTI 7

umum, hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."

Pemuda itu menyimpan emasnya dantersenyum menyindir. "Segala macam pencopet,


maling dan perampok kecil siapakah yang takut? Nona itu biarpun hanya seorang gadis,
tidak takut rampok, apalagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan
ke arah Sui Ceng lalu membuang muka lagi.

Sui Ceng mengerutkan kening dan tadinya mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan
tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tidak jadi marah dan
perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.

Tak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda
seperti pengemis itu lalu makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani
tamu-tamu lain yang duduk meja jauh dari tempat itu.

Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,

"Tunggu saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi
tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, aku akan menenggak
darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu
seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam
mulut.

Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan
merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she
yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan
oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu?

Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkaa
restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia
melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan
masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan.
Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda
ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda
itu mengangguk ke kanan kiri lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang
emasnya, 1alu melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata
uang itu dengan wajah girang.

"Hm, siapakah dia? Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat
sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia mengancam Kwan Cu? Aku
PENDEKAR SAKTI 7

harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.

Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Ia sudah mendapatkan pedang yang
cukup lumayan, akan tetapi karena ia tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda
maksudnya untuk memasuki istana. Ia pun sudah mendengar bahwa keluar An Lu Shan
yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi
baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-
kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja dan cepat-
cepat ia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan
berjalan dengan gagah ke arah kota raja, dan langsung menuju ke restoran besar. Sui
Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.

Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda
jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh,
mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.

"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya telah dibunuh
orang!"

Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kaumaksudkan An Lu Kui dan An


Kong?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain
kita celaka."

Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa.
Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.

"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha, ha, ha, kalau daging mereka itu dimasak, biarpun
semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha, ha, ha!"

Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran
itu. Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik rumah, tidak berjauhan
dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, dia mengikutinya
dari jauh.

Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah tiba di depan sebuah rumah
gedung yang amat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah
PENDEKAR SAKTI 7

dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!

Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan
membentak.

"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar.
Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"

Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!"
Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan
itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah.
Mereka tak dapat berdiri lagi, mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian
tubuh yang terbanting keras.

Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia
telah melayang naik ke atas genteng. Ia hendak mengintai apa yang akan terjadi di
rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang
sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!

"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"

Tak lama kemudian Sui Ceng melihat dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua
jurusan. Yang seorang adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, datang dari
sebelah kiri rumah dan kedatangannya amat mencurigakan karena pemuda ini melompat
turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui
Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ. Orang ke dua adalah seorang
laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan
sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang
pelayan yang jalan terpincang-pincang.

Pada saat itu, terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda
jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan dan
dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar.
Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi? Siapakah tiga orang muda yang
kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu? Gadis ini karena
tahu bahwa orang-orang yang di bawah amat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di
atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di
situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.

"Hm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?" bentak pemuda yang
PENDEKAR SAKTI 7

bertubuh gagah.

Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah Mereka
saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.

"Ha, ha, ha, kaukah yang bernama Lu Thong? Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang
seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga
sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti
anjing itu harus dibikin rusak!"

Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas
pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.

"Ha, tepat sekali makian itu….. " katanya. perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga
terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri,
dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah
berhadapan mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.

"Bangsat busuk, siapakah kau? Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong?
Kau sudah bosan hidup agaknya!"

"Kau mau tahu namaku? Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku
mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi kau sebagai keturunan
terakhir bukannya bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat
sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han
Le.

"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut
menjadi murid jembel itu. Agaknya dia telah memberi pelajaran kepadamu bagaimana
caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.

Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali.
Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai,
yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), dia
segera mempergunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku
sebagai murid Ang-bin Sin-kai.

Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-
beng? Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu
untuk menghadapi lawannya. Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian
PENDEKAR SAKTI 7

mereka berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan
setiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat
merasai sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Hati Sui Ceng berdebar. Tanpa disengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara
murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong maupun Han Le telah
mewarisi kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seakan-akan mewakili Jeng-
kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua
orang kakek itu yang dahulu dilakukan sering kali, akan tetapi keduanya sama kuat dan
tidak ada yang pernah kalah. Sayangnya, akhir-akhir ini Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas
karena keroyokan. Kalau hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari
semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.

Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.

Dari atas genteng, sui Ceng tiada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu.
Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan
tenaga dalam yang dahsyat. Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang kuat sekali,
dan dia adalah seorarg ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia
dapat mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong
adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan
kehalusan dan kelemasan lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.

Akan tetapi, biarpun kedua orang muda itu belum dikenalnya, sekali mendengar
percakapan antara mereka tadi, simpati Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu.
Betapa tidak? Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang
telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat. Adapun Lu Thong
adalah murid Jeng-kin-jiu yang telah membantu penjajah, apalagi kalau diingat bahwa
Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh
penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.

Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan kini gerakannya amat aneh dan sukar
diduga lebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya
yang amat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main
mundur terus.

Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga
menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan
memuji,
PENDEKAR SAKTI 7

"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu belum pernah aku melihatnya! Saudara sin-kai
(pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"

Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia
menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!" kedua tangan itu
mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar
biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.
Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali. Han Le merasa betapa dari dua tangan lawan itu
menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan hebat.
Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biarpun dia
dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat
dia terlempar sampai tiga tombak lebih!

Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbareng dengan Sui
Ceng. Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya
lagi! Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong
dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda,
memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!

Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan
Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus
bergulingan sehingga terhindar dari pukulan- pukulan itu. Kemudian dia melompat
cepat dan dengan marah membentak,

"Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kaukira


aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!" Setelah berkata demikian, Lu Thong
berlari memasuki gedungnya dan tak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil
menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan hebat.

Sementara itu, Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu dengan
muka terheran. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat, tinggi pula.
Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di
dalam restoran, adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu
memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.

Adapun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling pandang, agaknya mereka seperti
pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bilamana. Sebelum mereka
keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia
lalu menyerang Han Le. Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil
merogoh ikat pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah
PENDEKAR SAKTI 7

kelihatan sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ternyata bahwa dia telah
membawa sebatang po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju
luarnya.

Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru
daripada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu
Thong memperlihatkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali. Sungguhpun permainan pedang
Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, namun pertahanan Lu Thong tidak dapat di-
bobolkan. Beberapa kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-
khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan
tiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi
bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri. la benar-
benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan
membuat lingkaran-lingkaran besar keci1, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang
kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata. Akan tetapi, setelah lawannya mundur,
Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali melawan
dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiki semacam ilmu pedang aneh yang
belum dipelajarinya sampai hafal benar.

Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat
Sui Ceng, memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat
berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar dia melangkah maju, menghadapi Sui
Ceng lalu menegur halus,

"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona ini nona Bun Sui Ceng murid dari
Kiu-bwe Coa-li?”

Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan
tetapi ia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,

"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li?
siapakah saudara?"

Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya
bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak makin tampan.

"Sekali bertemu aku sudah menduga! Apalagi menyaksikan cara kau menyerang
bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng…”
PENDEKAR SAKTI 7

Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Ia hanya
dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, “Ah… ahhh… " Bagaimana ia
takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah
tunangannya itu!
Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat
mencari jalan untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini. Katanya dengan wajah
berseri,

"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu


Thong. Mari kita bertiga berlumba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dulu!"
Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak
pendek.

Sui Ceng berani lagi mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat
mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan,
yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan tidak
menyenangkan hati. Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula sambil
mengangguk ia mencabut pedangnya. Keduanya lalu melompat dan menyerbu Lu
Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.

Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah amat tinggi, tidak kalah oleh tingkat
kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang.
Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali.
Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apalagi kini ditambah
oleh pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng. Mereka bertiga adalah murid-murid dari
tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapapun tangguh ilmu toyanya, dia
terdesak hebat sekali.

"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya


dengan nekat.

"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tak perlu ,menggunakan aturan lagi. Kau
lebih jahat daripada anjing penjilat atau ular!" seru Kun Beng sambil mempercepat
permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.

"Traaang! Traaang!" Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang dan
tombak Sui Ceng dan Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan
kuat sekali, toyanya terlepas, dari tangannya dan pada saat itu, Han Le dapat mengirim
tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong terlempar dan roboh dengan
sambungan lutut terlepas! Ia tak berdaya lagi dan meramkan mata sambil menggigit
PENDEKAR SAKTI 7

bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.

"Tahan dulu! Jangan bunuh dia !!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan tahu-tahu
ketika bayangan orang berkelebat, di depan Lu Thong telah berdiri seorang pemuda
yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.

Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan
lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, ia diam saja karena merasa
malu untuk menegur pemuda ini, apalagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan
hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh
itu.

"Hm, siapakah kau dan mengapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat
ini?” tanya Han Le penasaran dan sepasang matanya yang amat tajam menentang
pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan
dengan suara bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,

"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah
tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak
membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah
yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni
bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir daripada Menteri Lu Pin!"

"Kau mengoceh! Justeru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!"
seru Han Le yang sudah marah sekali. Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu
Thong, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang
serta tangannya yang sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Bukan
main marahnya pemuda jembel ini. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh
menghadapi Kwan Cu.

"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dulu!" Segera dia
menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat
berbahaya.

Kwan Cu mengelak cepat dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang
gagah perkasa ini. Karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai
Kiam-hoat yang dikenalnya baik, dia sengaja mengelak terus sambil memperhatikan
gerakan-gerakan pemuda itu.

Adapun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai
PENDEKAR SAKTI 7

murid Ang-bin Sin-kai, mengapa dengan Kwan Cu mereka tidak saling mengenal?
Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai? Gadis ini benar-benar merasa heran
sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.

Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong
itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui
Ceng.

"Ceng-moi, biar aku binasakan dulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le
membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak
menusuk dada Lu Thong.

"Trang!!" Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan
muka pucat dan mata terbelalak.

"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku? Apa artinya ini?"

"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita
dengarkan dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh
pengkhianat ini.”

Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan
kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.

"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu…. ??" tanyanya seperti kepada diri sendiri.

Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran- heran karena ketika Han Le yang
pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba
Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh, yakni
dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.

"Heeeeei …..! Berhenti dulu! Siapakah kau yang bisa mainkan Ilmu Pedang Hun-khai
Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te-sin-coan {Lingkaran Sakti
Langit Bumi) ini ?"

Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu
panas perutnya karena sebegitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang
bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya. Akan
tetapi ia terkejut sekali karena lawannya bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba
saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh
PENDEKAR SAKTI 7

lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!

"Nanti dulu, kau siapakah? Dari mana kau bisa mendapatkan Ilmu Pedang Hun-khai
Kiam-hoat? Dari mana pula kau bisa mainkan ilmu pedang berdasarkan Thian-te-sin-
coan? Hayo jawab!" Muka Kwan Cu menjadi tegang.

Han Le kaget bukan kepalang melihat betapa lawannya dengan satu kali gebrakan saja
setelah membalas serangan-serangannya telah berhasil merampas pedangnya. Ia masih
penasaran dan cepat tangan kanannya memukul dada Kwan Cu. Pukulan ini dahsyat
sekali dan hawa pukulan ini pun menurut petunjuk daripada ukiran-ukiran di dalam goa
Pulau Pek-hio-to! Kwan Cu cepat melompat ke belakang beberapa kaki jauhnya.

"Kau pernah apakah dengan suhu Ang-bin Sin-kai? Dan bagaimana kau bisa mainkan
ilmu silat yang terdapat di Pulau Pek-hio-to?" Kembali Kwan Cu mendesak.

Mendengar ini, Han Le menjadi pucat dan dia berdiri seperti patung dengan mata
terbelalak.

"Kau…..kau siapakah?”

"Aku murid Ang-bin Sin-kai, Lu Kwan Cu namaku."

Han Le mengeluarkan teriakan girang lalu dia menubruk dan berlutut di depan Kwan
Cu, memeluk kedua kaki pemuda itu.

"Aduh, Suheng! Suheng Lu Kwan Cu yang sudah lama kucari-cari! Tidak kusangka
dapat bertemu di sini. Harap Suheng mengampunkan kekurangajaranku " katanya.

Kwan Cu memegang kedua pundak Han Le dan sekali dia menggerakkan tangannya,
biarpun Han Le sudah mengerahkan lweekangnya, tetap saja pemuda jembel ini kena
ditarik naik dan terpaksa berdiri.

"Hayo bilang, kau siapa? Jangan main-main!" seru Kwan Cu.

"Siauwte adalah murid Ang-bin Sin-kai pula. Setelah Suheng pergi, suhu mengambil
aku bocah sengsara sebagai murid, kemudian suhu yang menyuruh aku menyusul
Suheng ke Pek-hio-to!"

Kwan Cu tercengang dan tak dapat berkata-kata saking herannya.


PENDEKAR SAKTI 7

"Kwan Cu, kau sudah lupa pulakah kepadaku?" tiba-tiba pemuda tampan yang dia lihat
berdiri di dekat Sui Ceng berkata. "Aku adalah The Kun Beng, murid Pak-lo-sian!"

Kwan Cu kembali berubah air mukanya dan dia memandang kepada Sui Ceng, hatinya
tidak karuan rasanya.

"Dia ini Bun Sui Ceng yang dulu itu, dia tunanganku " Kun Beng memperkenalkan.
"Koko !" Sui Ceng menegur tunangannya itu.

Hati Kwan Cu terpukul. Panggilan gadis itu dengan sebutan "koko" terhadap Kun Beng
terdengar begitu manis dan mesra, juga amat menusuk jantungnya. Ia memandang
kepada Kun Beng dengan wajah dingin karena dia teringat akan nasib Gouw Kui Lan.

Tanpa berkata sesuatu Kwan Cu menghampiri Lu Thong, lalu dia cepat mengetuk dan
mengurut kaki kakak angkatnya ini sehingga tersambung kembali lutut yang tadi
terlepas.

"Suheng, mengapa kau mencegah siauw-te membunuhnya?" Han Le bertanya.

"Dia ini patut dikasihani. Seluruh keluarganya telah musnah, dan dia tersesat karena
berada di lingkungan orang-orang yang berhati khianat. Lu Thong, apakah kau sekarang
sudah insyaf? Lihatlah mereka ini, mereka ini adalah orang-orang muda yang membantu
rakyat. Kau sebagai seorang pemuda Han yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa
kau tidak dapat mencontoh mereka? Mengapa kau tidak mau menyumbangkan tenaga
untuk tanah air dan bangsa? Ingatlah, kong-kong Lu Pin telah meninggal dunia dalam
keadaan amat mengenaskan. Seluruh keluargamu terbinasa pula. Tidak ingatkah kau
kepada ayah bundamu yang menjadi korban jahanam An Lu Shan?”

Menitik air mata dari kedua mata Lu Thong.

"Aku….. tadinya aku bermaksud mencapai kedudukan tinggi, sebagai kaisar aku akan
lebih mudah membalas musuh-musuhku…. menjunjung tinggi nama keluargaku,
mencuci noda mereka yang dianggap sebagai pemberontak….. "

"Kau keliru! Mereka bukan pemberontak, akan tetapi mereka tewas sebagai pahlawan-
pahlawan bangsa! Dan ke mana larinya cita-citamu yang terlalu muluk itu? An Lu Shan
terbunuh oleh puteranya sendiri, kemudian puteranya terbunuh pula oleh Si Su Beng.
Dan kau…… apakah kaukira akan dapat mengharapkan kurnia dari Si Su Beng?"

Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang dan terdengar Sui Ceng berseru,
PENDEKAR SAKTI 7

"Pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal kaisar) datang menyerbu!"

Empat orang muda itu bersiap-siap. Sui Ceng melintangkan pedangnya di depan dada.
Han Le memegang kembali pedangnya yang dia terima dari Kwan Cu. Kun Beng
memegang tombaknya erat-erat dan Kwan Cu juga bertolak pinggang dan sepasang
matanya bersinar-sinar.
Setelah menepuk-nepuk lututnya dan merasa bahwa lututnya dapat digerakkan biarpun
masih agak sakit, Lu Thong lalu mengambil toyanya yang tadi terlepas dari tangannya.

"Kau mau apa ?" bentak Sui Ceng sambil menodongkan pedangnya di dada Lu Thong.
Akan tetapi yang ditodong tidak menghiraukannya dan masih terus mengambil toyanya.

"Hendak kulihat apakah yang akan mereka lakukan di sini," katanya dengan suara
dingin dan matanya mengeluarkan sinar yang amat berlainan dari tadi.

"Lu Thong, keturunan pemberontak, menyerahlah! Kami datang atas nama kaisar untuk
menangkapmu!" terdengar teriakan komandan barisan Gi-lim-kun yang sudah datang di
luar pekarangan rumahnya.

"Apa kataku, Lu Thong? Kaisar begitukah yang hendak kaubela dengan


mempertaruhkan nyawa bangsamu?" kata Kwan Cu perlahan, akan tetapi cukup
membakar isi dada Lu Thong. Dengan muka merah dan mata melotot, toya dipegang
erat-erat, Lu Thong berteriak kepada barisan yang terdiri dari tiga puluh orang itu,

"Anjing-anjing keparat! Dengarlah baik-baik. Sekarang baru terbuka mataku dan kulihat
kepalamu semua bukan kepala manusia, melainkan kepala anjing-anjing penjilat. Dan
aku Lu Thong keturunan Lu Pin dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, mulai sekarang tugasku
ialah menghancurkan kepala-kepala anjing!" Sambil berkata demikian, dia memutar
toyanya dan berlari terpincang-pincang menyerbu barisan Gi-lim-kun. Kwan Cu segera
menyusulnya, setelah melirik ke arah Sui Ceng, Han Le, dan Kun Beng dengan pandang
mata penuh arti.

Tiga orang muda ini saling pandang dan diam-diam mereka membenarkan, pembelaan
Kwan Cu terhadap Lu Thong tadi, karena sekarang ternyata Lu Thong yang khianat
telah sekaligus berubah menjadi Lu Thong yang mengandung penuh dendam terhadap
penjajah yang sudah memusnahkan seluruh keluarga! Mereka pun lalu berlari menyusul
dan memutar senjata mengamuk dan menyerbu barisan Gi-lim-kun!

Mana bisa barisan Gi-lim-kun kuat menghadapi lima orang muda ini? Mereka ini adalah
PENDEKAR SAKTI 7

orang-orang muda murid tokoh-tokoh yang sakti, yang memiliki kepandaian luar biasa
sekali. Biarpun barisan Gi-lim-kun terdiri dari ahli-ahli silat yang pandai, namun
menghadapi serbuan lima orang muda ini, sebentar saja mereka menjadi kocar-kacir.
Mayat bergelimpangan yang amat mengerikan. Yang paling hebat amukannya adalah
Lu Thong. Toyanya menyambar-nyambar dan sedikitnya ada lima orang anggauta Gi-
lim-kun yang pecah kepalanya terkena pukulan toyanya!

Di antara mereka semua, hanya Kwan Cu seorang yang lain lagi sepak-terjangnya. ia
tidak tega menjadi alat ini, entah karena terdorong oleh keinginan mendapatkan harta,
atau pun terkena tipu dan bujukan maka mereka menjadi barisan Gi-lim-kun. Oleh
karena itu, pemuda ini hanya bergerak dengan tangan kosong dan dia cukup puas
asalkan dapat menotok roboh mereka itu tanpa membahayakan nyawa mereka. Han Le
agaknya juga tidak begitu kejam karena pedangnya hanya merobohkan orang dan
melukainya tanpa mematikan lawan. Sebaliknya, Sui Ceng benar-benar seperti gurunya.
Setiap kali pedangnya bergerak, seorang anggauta Gi-lim-kun menjerit kesakitan
dengan lengan putus, kaki putus, bahkan ada yang lehernya putus! Demikian pula Kun
Beng mengamuk, akan tetapi pemuda ini tidak seganas Sui Ceng atau Lu Thong.

Akan tetapi, lima orang jago muda ini mengamuk di tengah-tengah kota raja dan hal ini
bukanlah merupakan pekerjaan main-main yang mudah saja. Tak lama kemudian,
datanglah barisan baru yang jauh lebih kuat daripada barisan Gi-lim-kun yang sudah
dapat diobrak-abrik, karena barisan ini adalah barisan Si-wi, yakni pengawal pribadi
kaisar, dan dipimpin pula oleh Kiam Ki Sianjin, dan panglima-panglima yang
berkepandaian tinggi!

Pertempuran berjalan makin hebat. Kwan Cu yang mengetahui bahwa bagi empat orang
kawannya, Kiam Ki Sianjin terlampau tangguh, cepat mencabut sulingnya dan
menghadapi kakek ini. Akan tetapi tetap saja empat orang kawannya menjadi terkurung
seperti tadi, dan terpaksa bersilat cepat untuk melindungi tubuh daripada hujan senjata
lawan yang amat banyak jumlahnya itu. Akan tetapi, sebagai ahli-ahli silat tinggi,
mereka otomatis tahu bagaimana caranya untuk melayani keroyokan yang demikian
banyaknya. Tanpa ada yang mengomando, mereka otomatis berkelahi berdekatan satu
sama lain, bahkan lalu membuat lingkaran dengan punggung dihadapkan kepada kawan
sendiri sehingga mereka merupakan lingkaran segi empat yang tak dapat diserang dari
belakang! Dengan jalan ini, Lu Thong, Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le dapat
mempertahankan diri dengan kuatnya dan kadang-kadang terdengar pekik orang dan
terjungkalnya seorang anggauta Si-wi.

Namun, Sui Ceng amat kecewa tidak melihat Kwan Cu berada di lingkaran mereka itu.
Hal ini adalah karena Kwan Cu sengaja menghadapi Kiam Ki Sianjin, mencegah kakek
PENDEKAR SAKTI 7

ini ikut menyerang empat orang kawannya. Sui Ceng mengira bahwa karena
kepandaiannya tidak tinggi, kwan Cu sudah tertawan atau melarikan diri. Ia menggigit
bibir dengan gemas kalau memikirkan bahwa pemuda itu sudah melarikan diri
meninggalkan kawan-kawannya. Ia tidak tahu bahwa kepandaian Kwan Cu sudah tinggi
sekali. Kemenangan Kwan Cu atas Han Le tadi tidak membikin dia merasa heran karena
sebagai murid-murid seguru, tentu saja Kwan Cu sudah mengetahui semua cara bersilat
dari Han Le dan dapat memenangkannya! Demikian pula Kun Beng sama sekali tidak
mengira bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi. Hanya Han Le dan Lu Thong
yang mengetahuinya baik-baik. Lu Thong yang sudah pernah merasai kelihaian Kwan
Cu, adapun Han Le lebih-lebih lagi. Tidak saja dia sudah dapat menduga bahwa
suhengnya yang sudah tinggal di Pulau Pek-hui-to itu telah mempelajari ilmu kesaktian
yang luar biasa, juga tadi dia telah merasai sendiri kehebatan kepandaian suhengnya.

Makin lama kurungan makin rapat. Pihak pengeroyok memang luar biasa banyaknya.
Roboh satu datang dua, roboh lima datang sepuluh. Empat orang jago muda itu sudah
bertempur tiga jam lebih dan mereka mulai lelah sekali. Apalagi Lu Thong lututnya
terasa sakit dan dia menjadi makin lambat gerakannya. Akhirnya, sebuah tusukan
tombak melukai pahanya dan dia terhuyung-huyung roboh. Baiknya Han Le cepat
menyambar tangannya dan menariknya ke dalam lingkaran, sehingga tubuh Lu Thong
terlindung oleh tiga orang muda itu.

Di lain fihak, Kwan Cu yang tadinya menghadapi Kiam Ki Sianjin, sekarang ternyata
telah dikeroyok tiga orang, yakni Kiam Ki Sianjin sendiri dan dua orang panglima yang
lihai sekali ilmu goloknya. Kwan Cu melayani mereka dengan gagah dan sedikit pun
tidak terdesak, bahkan pada jurus ke lima puluh lebih, dia berhasil merobohkan seorang
panglima dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut. Namun, sebagai gantinya datang
pula dua orang panglima lain, sedangkan Kiam Ki Sianjin masih terus melawannya
dengan amat kuatnya, dan kali ini agaknya tidak mudah bagi Kwan Cu untuk
mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

Sui Ceng, Kun Beng dan Han Le sudah lelah dan mulai terdesak. Biarpun korban fihak
musuh yang jatuh tak terhitung banyaknya, namun setiap kali ada yang jatuh, mereka
yang jatuh diangkat pergi dan sebagai gantinya datang pengeroyok-pengeroyok lain
yang masih segar dan memiliki kepandaian silat tinggi juga. Tiga orang muda ini
maklum bahwa kalau diteruskan, mereka pasti akan celaka semua. Kini mereka tidak
begitu mudah lagi menjatuhkan lawan, karena para pengeroyok kini terdiri dari orang-
orang yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat lumayan.

Kwan Cu maklum pula akan hal ini. Tiba-tiba pemuda ini menyimpan sulingnya dan
ketika dua orang panglima menyerang dari kanan kiri dan Kiam Ki Sianjin mendesak
PENDEKAR SAKTI 7

dari depan, dia melayani dua orang panglima yang bergolok itu dengan Ilmu Silat Kong-
ciak-sin-na, sedangkan terhadap Kiam Ki sianjin dia melancarkan pukulan-pukulan Pek-
in-hoat-sut. Tosu itu sudah cukup mengenal kelihaian lengan tangan yang mengebulkan
uap itu, maka cepat-cepat dia menjatuhkan diri untuk menyimpan napas dan
mengerahkan lweekang agar dia cukup kuat menghadapi serangan ilmu pukulan Pek-in-
hoat-sut, akan tetapi dua orang panglima yang belum mengenal Kwan Cu baik-baik,
terus mendesak pernuda itu. Dan sebelum mereka tahu bagaimana terjadinya, pundak
mereka telah terkena cengkeraman IImu Silat Kong-ciak-sin-na dan golok mereka
terlempar. Kwan Cu tidak mau berlaku kepalang tanggung. Ia mengangkat tubuh dua
orang ini, yang seorang dia lemparkan ke arah Kiam Ki Sianjin dan menggunakan
kesempatan itu untuk memutar-mutarkan orang ke dua dan membobolkan kepungan
yang mengurung tiga orang kawannya yang masih melawan mati-matian.

"Kawan-kawan, mari kita pergi!" katanya setelah berhasil menyerbu dan memasuki
kurungan.

Sui Ceng dan Kun Beng tertegun melihat bahwa Kwan Cu ternyata masih hidup dan
berada di situ, dan diam-diam Sui Ceng merasa girang sekali. Ternyata pemuda ini tidak
melarikan diri seperti yang tadi ia khawatirkan. Kemudian Kwan Cu melihat Lu Thong
yang terduduk dan luka kakinya. Cepat Kwan Cu melemparkan panglima itu kepada
Kun Beng dan berkata,

"Kun Beng, kauterima ini dan pergunakan sebagai senjata mencari jalan keluar. Aku
akan menggendong Lu Thong!"

Kun Beng menyambut datangnya tubuh panglima itu dengan tangan kiri dan sekali dia
mengulur tangan, dia telah berhasil membekuk batang leher panglima itu yang masih
hidup akan tetapi sudah tidak berdaya karena jalan darahnya telah ditotok oleh Kwan
Cu.

"Lebih baik kalian juga menangkap seorang lawan untuk dijadikan senjata!" kata Kun
Beng.

Sui Ceng dan Han Le mengerti apa yang dikehendaki oleh kawan ini. Dengan cepat
mereka mendesak maju dan sebentar saja Han Le dan Sui Ceng sudah dapat menangkap
masing-masing seorang pengeroyok dan mengamuklah tiga orang ini, mencari jalan
keluar, membobolkan kurungan sambil memutar-mutar tubuh lawan yang mereka
pegang kakinya!

Dalam pengamukan ini, Sui Ceng, Han Le dan Kun Beng lagi-lagi kehilangan Kwan
PENDEKAR SAKTI 7

Cu. Ke mana perginya pemuda itu? Setelah mengempit tubuh Lu Thong dengan tangan
kirinya, Kwan Cu melompat cepat melalui kepala para pengurung itu dan dia sengaja
melarikan di dekat Kiam Ki Sianjin yang menyumpah-nyumpah marah melihat kawan-
kawannya dibikin kocar-kacir oleh tiga orang muda itu.

"Bodoh, goblok! Menghadap tiga orang saja tidak becus menangkap dan mengalahkan."
Tosu ini memaki-maki anak buahnya.

"Locianpwe, mereka menggunakan kawan kami sebagai senjata untuk mengamuk,"


jawab seorang perwira Si-wi.

“Bodoh! Bacok mampus saja semuanya, biar kawan sendiri kalau sudah mereka
tangkap, perlu apa takut membacoknya?"

Demikianlah, para Si-wi itu lalu mengepung kembali dan kini mereka menggunakan
senjata untuk menangkis dan membacok tiga orang muda itu sehingga senjata mereka
tentu saja mengenai kawan sendiri yang diputar-putarkan oleh tiga orang muda perkasa
itu. Melihat kenekatan para pengeroyok ini, Sui Ceng dan kawan-kawannya terkejut.
Tentu saja mereka lalu melemparkan orang yang mereka pegang karena tubuh orang itu
hancur terkena hujan senjata kawan-kawan sendiri dan mulailah menangkap lain orang
untuk dijadikan senjata. Biarpun mereka agak lambat maju, namun mereka dapat juga
menipiskan kepungan dan keadaan mereka tidak terdesak seperti tadi. Apalagi sekarang
mereka tidak perlu melindungi Lu Thong seperti tadi.
"Eh, mana Kwan Cu…?” tanya Sui Ceng yang merasa heran sekali. Tadi Kwan Cu
berada di dalam kepungan, jadi di belakangnya, juga di belakang Kun Beng dan Han Le,
karena Kwan Cu menghampiri Lu Thong yang berada di tengah-tengah. Akan tetapi
mengapa sekarang Kwan Cu dan Lu Thong sudah lenyap dari situ? Juga kedua orang
kawannya tidak tahu kemana perginya Kwan Cu mengempit tubuh Lu Thong, akan
tetapi oleh karena mereka selalu menghadapi keroyokan musuh, mereka tidak sempat
melihat Kwan Cu yang melompat cepat sekali melalui kepala mereka dan para
pengeroyok!

Adapun Kwan Cu sebagaimana dituturkan di atas, sengaja lari membawa Lu Thong


mendekati Kiam Ki Sianjin. Tentu saja melihat pemuda itu mengempit tubuh Lu Thong,
Kiam-Ki-Sianjin cepat mengejar dengan pedang di tangan.

“Bangsat Lu Kwan Cu, ternyata engkau hendak mati-matian membela pemberontak!”


serunya.

Kwan Cu tersenyum sindir. “Kiam Ki Sianjin, dia ini adalah keturunan menteri Lu Pin,
PENDEKAR SAKTI 7

bagaimana aku takkan membelanya?” Pemuda ini menyimpan sulingnya dan kini tahu-
tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang bercahaya gemilang. Inilah
Liong-coan-kiam, pedang peninggalan Menteri Lu Pin yang sengaja diberikan
kepadanya.

Kiam Ki Sianjin tertegun dan merasa agak jerih. Baru sekarang dia melihat pemuda ini
memegang pedang. Biasanya, dengan tangan kosong atau paling-paling dengan
sebatang suling di tangan, pemuda itu sudah terlampau tangguh baginya, apalagi
sekarang memegang sebatang pedang mustika!

"Kiam Ki Sianjin, apakah kau tidak melihat siapa adanya pendekar-pendekar muda itu?
Lihatlah baik-baik, gadis perkasa itu adalah murid tunggal dari Kiu-bwe Coa-li, pemuda
bertombak itu adalah murid terkasih dari Pak-lo-sian Siang-koan Hai, dan pemuda
sederhana itu adalah suteku! Aku tanggung bahwa kalau kau terus mengurung mereka,
semua anak buahmu akan hancur lebur. Dan bukan itu saja, kalau sampai mereka
terluka, tentu para Locianpwe itu akan bersumpah membalas dendam kepadamu."

"Habis, apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin memandang tajam.

"Kalau kau hendak menghalangi mereka lari, kau tahu bahwa aku akan menyerangmu
mati-matian dan mungkin sekali aku akan dapat menewaskan engkau. Akan tetapi kalau
kau mau melepaskan mereka lari, kita kelak akan dapat bertemu pula dan aku takkan
melupakan maksud baikmu ini."

Sampai beberapa lama Kiam Ki Sian-jin diam saja, matanya memandang ke arah tiga
orang muda yang tengah mengamuk hebat mencari jalan keluar. Memang sepak terjang
mereka hebat sekali dan sekarang pun para anak buahnya sudah mulai kocar-kacir.
Akhirnya dia mengangguk dan Kwan Cu girang sekali.

"Terima kasih, Kiam Ki Sianjin. Kau ternyata berpemandangan jauh.” Ia lalu membawa
Lu Thong melompat ke barat!

"Sui Ceng, Kun Beng dan Sute! Lari melalui pintu barat!"

Tiga orang muda itu ketika mendengar seruan Kwan Cu yang tiba-tiba ini, menjadi
terheran, akan tetapi mereka lalu memutar senjata memaksa para Si-wi yang masih
berani mengeroyok untuk mundur dan larilah mereka ke barat. Kwan Cu sudah tidak
kelihatan lagi oleh mereka. Aneh sekali, setelah mereka tiba di dinding sebelah barat, di
situ tidak kelihatan ada musuh, maka mudah saja mereka melompati tembok itu. Dan
ternyata bahwa Kwan Cu sudah berada di bawah tembok sambil mengempit Lu Thong.
PENDEKAR SAKTI 7

"Kau sudah di sini ?" tanya Kun Beng tak mengerti. Juga Sui Ceng terheran, akan tetapi
Han Le diam-diam makin kagum akan kepandaian suhengnya itu.

Kiam Ki Sianjin memenuhi janjinya. Ia tidak memberi perintah kepada anak buahnya
untuk mengejar, melainkan menyuruh mereka merawat kawan-kawan yang luka serta
mengurus mayat mereka yang tewas. Oleh karena itu, kawanan orang muda perkasa itu
dengan mudah dapat melarikan diri keluar dari kota raja dan memasuki hutan sebelah
barat. Dengan Kwan Cu di depan, mereka berlari terus sampai jauh dari kota raja.
Kemudian mereka berhenti dan Kwan Cu segera mengambil saputangan untuk
membalut luka di paha Lu Thong dan setelah mengurut serta menotok jalan darah di
kaki pemuda ini, Lu Thong dapat berdiri dan berjalan pula, sungguhpun masih terasa
amat sakit pahanya yang terluka itu.

"Kwan Cu, kau cerdik sekali, bisa mencarikan jalan keluar yang tak terjaga untuk kita,"
kata Kun Beng memuji dan bibirnya tersenyum kalau dia mengingat betapa bodohnya
pemuda itu diwaktu masih kecilnya. "Kwan Cu, pertemuan kita dalam keadaan yang
menguntungkan telah membuat kita bertemu sebagai sahabat, aku senang sekali akan
hal ini. Sekarang, biarlah kita berpisah dan kelak aku mengharapkan sekali
kedatanganmu untuk menghadiri….. pernikahan kami.” Sambil berkata demikian,
pemuda yang tampan itu melirik ke arah Sui Ceng. Gadis itu menjadi jengah dan malu,
mengerling tajam dan menegur tunangannya dengan pandangan matanya itu.

Akan tetapi tak seorang pun tahu betapa mendongkol dan marah hati Kwan Cu terhadap
Kun Beng. Ingin dia menceritakan tentang Gouw Kui Lan, ingin dia menampar muka
pemuda yang tampan itu. Akan tetapi Kwan Cu dapat menekan nafsunya dan dia hanya
tersenyum dan mengangguk tanpa menjawab sesuatu.

“Ceng-moi, marilah kita pergi,” ajak Kun Beng kepada Sui Ceng dengan suara mesra.

“Ke…..manakah? Aku….aku hendak kembali mencari Suthai.”

“Hendak menemui Kiu-bwe Coa-li Suthai? Baiklah, mari kita bersama menjumpainya,
memang perlu kita memberitahukan kepada gurumu tentang penetapan hari
pernikahan.”

Sui Ceng makin merah mukanya. Untuk sekejap ia melirik kearah Kwan Cu dan bukan
main heran hatinya melihat pandangan mata Kwan Cu yang berapi-api ditujukan kepada
Kun Beng yang demikian mengerikan dan dia bergidik. Alangkah anehnya Kwan Cu
setelah dewasa, aneh dan menarik hati. Akan tetapi pandang mata itu membayangkan
PENDEKAR SAKTI 7

kebencian yang hebat dan Sui Ceng merasa tidak enak hati.

"Marilah," katanya perlahan dan ia lalu melompat tanpa berpamit kepada Kwan Cu atau
yang lain-lain, sedangkan Kun Beng juga melompat menyusul dengan wajah berseri-
seri.

Kwan Cu menggigit bibirnya dan mengepal tinjunya, memandang ke arah perginya dua
orang itu tanpa bergerak seperti patung. Lu Thong yang kini sudah terbuka matanya dan
sadar akan kesesatannya, duduk memisahkan diri di bawah pohon. Dia merenungkan
dan kadang-kadang menggigit bibir, mengepalkan tinju, wajahnya pucat seperti seorang
yang kehilangan semangatnya.

"Suheng." Han Le menegur Kwan Cu yang masih berdiri seperti patung itu. Kwan Cu
tersadar dan cepat menoleh wajahnya merah sekali ketika dia melihat pandang mata
pemuda itu. Mata itu seakan-akan dapat membaca isi hatinya.

"Suheng, mengapa kau kelihatan berduka?"

Kwan Cu menjadi sadar betul-betul dan dengan tersenyum dia lalu memegang lengan
pemuda itu.

"Tidak apa-apa, Sute. Sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau bisa menjadi murid
suhu, semenjak kapan kau belajar ilmu silat kepada suhu dan bagaimana pula kau bisa
mainkan ilmu silat yang hanya terdapat di atas Pulau Pek-hui-to?"

Karena melihat Lu Thong masih duduk melamun seorang diri, kedua orang pemuda ini
lalu duduk di atas batu dan berceritalah Han Le.

"Aku adalah seorang anak sengsara. Kedua orang tuaku menjadi korban perang dan
mereka tewas oleh bala tentara pemberontak An Lu Shan. Baiknya ketika aku sedang
dikeroyok oleh balatentara pemberontak dan hampir mengalami kebinasaan, datanglah
suhu yang menolongku. Hal itu terjadi tidak lama setelah kau berpisah dari suhu. Suhu
lalu mengambil murid kepadaku. Sebelum itu aku adalah anak murid dari Kun-lun-pai,
dan karena semenjak kecil aku sudah belajar ilmu silat, tidak sukar bagiku untuk
menerima gemblengan dari suhu. Kemudian, suhu mendengar tentang jatuhnya
pemerintah Tang dan didudukinya kerajaan oleh An Lu Shan. Suhu marah dan hendak
memberi hajaran kepada orang-orang kang-ouw yang membantu pemberontak. Aku
hendak ikut, akan tetapi dilarangnya dengan alasan bahwa kepandaianku masih jauh
daripada mencukupi untuk berhadapan dengan tokoh-tokoh kang-ouw itu. Bahkan suhu
lalu menyuruh aku menyusulmu ke Pulau Pek-hui-to. Akan tetapi ketika tiba di pulau
PENDEKAR SAKTI 7

itu, kau tidak ada dan aku mendapatkan ukiran-ukiran di dalam goa. Karena tertarik aku
lalu berlatih seorang diri mempelajari semua ukiran itu dan mendapat kenyataan bahkan
semua itu adalah pelajaran ilmu silat yang luar biasa sekali, akan tetapi sukar sekali
dipelajarinya. Suheng, melihat ilmu silatmu, agaknya kau sudah dapat memecahkan
semua rahasia dari pelajaran itu, bukan?"

Kwan Cu mengangguk. "Sute, ilmu silatmu sendiri sudah amat tinggi dan baik. Tidak
mudah untuk memecahkan rahasia ilmu silat itu, karena ketahuilah bahwa lukisan-
lukisan itu adalah petunjuk dari ilmu-ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-
tek Cin-keng."

Berseri wajah Han Le yang tampan. "Ah, kalau begitu benar kata suhu. Suheng telah
mewarisi ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng!" Wajahnya bersinar penuh
kekaguman.

Kwan Cu menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya, Sute.
Sepandai-pandainya orang, masih ada yang melebihinya, akhirnya dia akan mengaku
bahwa dia amat lemah apabila menghadapi musuh yang berada di dalam hati sendiri."
Kwan Cu termenung dan dia teringat akan Sui Ceng. Ia benar-benar jatuh cinta kepada
gadis itu, akan tetapi gadis itu telah bertunangan dengan Kun Beng. Hal inilah yang
menyakitkan hatinya. Andai kata gadis itu bertunangan dengan pemuda lain, agaknya
akan mudah baginya untuk menyerah dan berusaha melupakan gadis itu. Akan tetapi
Kun Beng? Nama ini membuat dia otomatis teringat akan Kui Lan dan timbullah
penasaran dan sakit hatinya. Tidak, Sui Ceng tidak boleh menikah dengan pemuda itu!

"Han Le, kau tentu akan membantu perjuangan rakyat bukan?”

"Tentu saja, Suheng. Orang tuaku tewas oleh penjajah dan aku belum puas kalau para
penjajah belum terusir dari negara kita."

"Bagus, kalau begitu kaubawalah Lu Thong. Obat satu-satunya bagi dia adalah
perjuangan membela tanah air dan bangsanya untuk menebus kesesatannya." Kwan Cu
menghampiri Lu Thong, diikuti oleh sutenya.

Lu Thong sudah sadar dari lamunannya dan dia memandang kepada Kwan Cu dengan
bibir tersenyum pahit.

"Kwan Cu, kau tentu cinta kepada Sui Ceng, bukan?"

Bukan main kagetnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Memang, berbeda dengan Kwan
PENDEKAR SAKTI 7

Cu atau Han le, Lu Thong sudah kenyang dengan pengalaman tentang hubungan pria
dan wanita, tentang kasih asmara dan tanda-tandanya. Biarpun dia hanya sekelebatan
saja melihat semua pertemuan dan percakapan itu, akan tetapi dia sudah dapat menduga
dengan tepat sekali.

"Lu Thong, omongan apakah yang kau keluarkan ini? Sekarang bukan waktunya bicara
yang bukan-bukan. Sebaliknya aku hendak bertanya kepadamu, apakah sekarang kau
sudah insyaf betul-betul dan sadar bahwa yang sudah-sudah kau telah tersesat jauh
sekali?"

Lu Thong menarik napas panjang. "Memang aku bodoh dan mudah tertarik oleh
kedudukan dan harta, Kwan Cu. Akan tetapi apakah yang dapat kulakukan sekarang?
Keluargaku telah terbinasa, dan kalau kuingat-ingat aku adalah anak yang paling
puthauw (tidak berbakti), anak durhaka." Tiba-tiba Lu Thong menangis sambil
menutupi kedua matanya dengan tangan.

Kwan Cu terharu. "Lu Thong, sudah menjadi kewajibanmu untuk menebus dosa itu dan
membalaskan sakit hati orang tuamu."

Lu Thong menurunkan tangannya, air matanya mengalir perlahan melalui pipinya.

"Apa dayaku? Musuh-musuhku adalah penjajah dan mereka amat kuat. Baru
menghadapi pasukan Si-wi saja, aku sudah terluka, apalagi kalau menghadapi barisan
penjajah? Pula di sana ada orang-orang sakti seperti Kiam Ki Sianjin dan lain-lain."

"Kau tidak berdiri sendiri, Lu Thong. Di fihak kita pun ada ratusan laksa rakyat yang
berjuang dengan penuh dendam terhadap penjajah. Sukakah kau membantu perjuangan
mereka?"

"Membantu para pemberontak?"

“Nah, itulah kepicikanmu, Lu Thong. Memang, pejuang-pejuang rakyat itu disebut


pemberontak oleh penjajah, akan tetapi bagaimana orang-orang gagah yang membela
tanah air dan bangsa dari tindasan penjajah asing disebut pemberontak? Insyaflah bahwa
para pejuang rakyat itu sudah dibikin sakit hati oleh penjajah."

Lu Thong melompat bangun. "Kau benar, Kwan Cu. Baik, aku bersedia untuk
membantu perjuangan rakyat dengan taruhan nyawaku."

Kwan Cu sebaliknya menjadi girang sekali. "Bagus, kalau begitu kau benar- benar
PENDEKAR SAKTI 7

saudaraku! Kau ikutlah dengan suteku ini dan dia akan membawamu ke tempat rakyat
yang sedang menyusun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Aku akan
menyusul kelak."

Maka berangkatlah Lu Thong dan Han Le, menuju ke markas pasukan pejuang rakyat
yang terdekat, karena memang sebelum pergi ke kota raja, Han Le sudah dengan aktif
sekali membantu para pejuang ini. Adapun Kwan Cu sendiri, tadinya dia berniat untuk
menyusul perjalanan Sui Ceng dan Kun Beng. Ingin sekali dia mencegah mereka
melakukan perjalanan bersama. Ingin sekali dia membongkar rahasia Kun Beng di
depan Sui Ceng, agar gadis yang dicintanya itu tahu betapa buruk watak tunangannya,
yang sudah merusak kehormatan seorang gadis yang menjadi adik dari suhengnya
sendiri! Akan tetapi, dia teringat akan tugas-tugasnya, yakni membalas sakit hati guru
dan kong- kongnya. "Urusan pribadi harus dikesampingkan," pikirnya dengan hati getir,
"lebih dulu aku harus mencari mereka yang telah menewaskan suhu, kemudian aku akan
mencari keturunan An Lu Shan yang tinggal seorang itu, yakni An Kai Seng." Kwan Cu
teringat akan tantangan, Pek-eng Sianjin, maka dia lalu menuju ke Bukit Leng-san.
Tadinya memang dia sudah mengeluarkan nama Pek-eng Sianjin dari daftar orang-
orang yang hendak dibalasnya karena membunuh suhunya. Hal ini karena dia sudah
mendengar sumpah Pek-eng Sianjin bahwa tosu ini tidak ikut mengeroyok dalam
pembunuhan Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi, sebaliknya Pek-eng Sianjin merasa terhina
dan menantangnya untuk datang ke Leng-san. Kalau dia tidak meladeni tantangan ini
yang diucapkan di hadapan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin, Bian Ti
Hosiang, dan Bin Ti Siansu, tentu namanya akan jatuh sebagai seorang muda pengecut.

"Aku harus memenuhi tantangannya lebih dulu baru aku akan mencari tempat tinggal
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan siluman Toat-
beng Hui-houw," pikimya sambil berlari cepat sekali ke selatan.

***

Di Bukit Leng-san, Pek-eng Sianjin sudah bersiap-siap menanti kedatangan Kwan Cu,
pemuda yang telah menghinanya di depan tokoh-tokoh besar. Di pegunungan ini, Pek-
eng Sianjin sudah kehilangan empat orang saudaranya yang terbunuh mati oleh Pak-lo-
sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai Lu Sin, telah membentuk pula sebuah
perkumpulan yang diberi nama Pek-eng Kauw-hwe (Perkumpulan Agama Garuda
Putih)! Ia mendapatkan tiga orang kawan, yakni dua orang tosu dan seorang hwesio
yang dikumpulkan di situ, selain untuk bersama-sama mengurus perkumpulan itu, juga
untuk menjadi kawannya menghadap Kwan Cu. Dua orang tosu itu memang sudah
mengangkat saudara dengan dia dan mengganti nama menjadi Thian-eng Sianjin dan Te-
eng Sianjin. Dua orang saudara ini memang tadinya adalah orang-orang kang-ouw dari
PENDEKAR SAKTI 7

kalangan jalan hitam, maka cocok sekali dengan Pek-eng Sianjin. Mereka adalah
pelarian dari Thian-san-pai, yang diusir dan tidak diakui lagi karena mereka telah
melakukan perbuatan jahat. Setelah bertemu dengan Pek-eng Sianjin, mereka menerima
pelajaran ilmu silat baru dan menjadi saudara angkat yang sehidup semati. Adapun
hwesio itu adalah Loan Kek Hosiang, seorang hwesio pelarian dari Siauw-lim-pai. Juga
seperti dua orang tosu tadi, hwesio ini telah melarikan diri karena terancam oleh fihak
Siauw-lim-pai yang hendak menghukumnya setelah dia melakukan perbuatan terkutuk,
yakni mengganggu anak bini orang!

Selain empat orang yang lihai ini, Pek-eng Sinjin juga menerima murid-murid yang
menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi yang paling mereka sayang adalah tiga
orang anak-anak yang usianya baru delapan sembilan tahun. Tiga orang anak kecil
inilah mereka harapkan untuk menggantikan kedudukan mereka kelak, maka mereka
bertiga, yakni Pek-eng Sianjin dan dua orang tosu lain, masing-masing mengambil
seorang anak menjadi muridnya dan melatih ilmu silat kepada mereka ini.
Pek-eng Sianjin adalah seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-koat, sedangkan Thian-eng
Sianjin memiliki ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat yang kini dia gabung pula dengan
Sin-eng Kiam-hoat, Te-eng Sianjin memiliki ilmu tombak yang lihai dari Thian-san-pai
pula. Adapun Loan Kek Hosiang juga memiliki ilmu pedang dari Siauw-lim-pai yang
kini dia tukar atau saling pelajari dengan ilmu pedang dari Pek-eng Sianjin. Mereka
selalu berlatih dengan giatnya, terutama sekali setelah mendengar bahwa tak lama lagi
akan datang seorang musuh besar dari Pek-eng Sianjin, ketua dari Pek-eng Kauw-hwe.

Ketika Kwan Cu mendaki Bukit Leng-san, dari kaki bukit itu kelihatannya sunyi saja.
Akan tetapi setelah dia mendekati puncak dari bukit yang tidak seberapa tinggi itu, dia
melihat sepasukan orang muda yang bertubuh kuat, terdiri dari dua puluh orang,
menghadang di tengah jalan.

"Apakah orang yang datang ini bernama Lu Kwan Cu?" terdengar seorang di antara
pasukan itu bertanya dengan suara heran. Mereka ini adalah sebagian dari murid-murid
Pek-eng Kauw-hwe yang ditugaskan menjaga dan menangkap musuh yang baru datang.
Melihat bahwa musuh suhu mereka itu ternyata hanyalah seorang pemuda sederhana
yang bertangan kosong, berpakaian sederhana dan kelihatannya lemah, orang-orang
muda ini memandang ringan.

"Betul, aku adalah Lu Kwan Cu dan aku datang untuk memenuhi undangan Pek-eng
Sianjin. Apakah dia berada di puncak bukit?"

Para orang muda itu saling pandang, kemudian terdengar gelak tawa mereka. Hampir
mereka tidak percaya bahwa inilah musuh yang agaknya ditakuti oleh guru mereka. Apa
PENDEKAR SAKTI 7

sih anehnya orang muda yang tubuhnya kelihatan lemah itu?

"Kamu yang bernama Lu Kwan Cu?" tanya seorang pemuda bermuka hitam dengan
tubuh seperti raksasa sambil melangkah maju menghadapi kwan Cu. "Kalau begitu,
menurutlah saja kami rantai untuk dihadapkan kepada suhu. Lebih baik kau menurut
daripada kami harus menggunakan kekerasan dan ada tulang-tulangmu yang patah!"
katanya mengejek dan kembali terdengar suara ketawa di sana-sini.

Kwan Cu tidak marah, bahkan merasa kasihan terhadap mereka. Ia tahu bahwa memang
banyak orang muda yang tingkahnya seperti mereka ini. Baru mempelajari sejurus dua
jurus ilmu silat saja, lalu merasa diri terpandai dan kuat, siap untuk mencari keributan
dan memukul orang untuk memamerkan kepandaiannya. Beginilah contohnya orang
yang masih dangkal ilmu pengetahuannya dan belum mengerti betul akan isi daripada
ilmu silat yang sesungguhnya bukan dipergunakan untuk menyombongkan diri, bahkan
sebaliknya makin tinggi ilmu yang dipelajarinya akan merasa bahwa dia masih belum
mengerti apa-apa dan selalu berlaku merendah.

"Sahabat, aku datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan untuk memenuhi
undangan Pek-eng Sianjin. Mengapa kau bersikap begini kasar?"

Si muka hitam itu tertawa mengejek. "Ha, ha, ha! Kami mendengar bahwa orang yang
bernama Lu Kwan Cu akan datang untuk mengadakan pibu (mengadu kepandaian silat)
dengan suhu. Akan tetapi kalau orangnya hanya seperti engkau saja, untuk apa suhu
harus melelahkan diri? Dari pada susah- susah kau akan menemui kematian di puncak,
lebih baik sekarang saja aku yang akan menghajarmu!"

Setelah berkata demikian, si muka hitam lalu memasang kuda-kuda dan kepalan
tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar ke arah dada Kwan Cu. Dengan
tenang Kwan Cu menanti datangnya pukulan tanpa mengelak sedikitpun.
"Buk!" Pukulan itu dengan kerasnya tiba di dada Kwan Cu, akan tetapi pendekar muda
ini berkedip pun tidak. Bahkan sebaliknya, si muka hitam itu terlempar ke belakang dan
tulang-tulang jari tangannya patah-patah! Ia bergulingan di atas tanah mengaduh-aduh
karena rasa sakit membuat dia lupa malu. Jantungnya terasa ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Gegerlah keadaan di situ. Para muda itu cepat mencabut senjata dan sebentar saja hujan
senjata menjatuhi tubuh Kwan Cu. Akan tetapi pemuda ini tidak mau berurusan dengan
anak-anak muda yang dianggapnya hijau dan tolol itu. Sekali tubuhnya berkelebat, para
pengeroyok itu melongo karena tahu-tahu pemuda yang akan dikeroyoknya itu telah
lenyap dari situ.
PENDEKAR SAKTI 7

Ketika mereka menengok, ternyata bahwa Kwan Cu sudah berlari cepat menuju ke
puncak bukit! Barulah mereka beramai-ramai mengejar sambil berteriak-teriak. Akan
tetapi, mana bisa mereka menyusul larinya pemuda sakti itu?

Setelah mendekati puncak, Kwan Cu melihat bangunan tembok di atas puncak gunung
itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar suara angin yang aneh dan tahulah dia bahwa
banyak sekali senjata gelap menyambar ke arah dirinya. Mendengar angin sambaran itu,
tahulah dia bahwa yang menyambar hanyalah senjata-senjata yang digerakkan oleh
orang-orang yang masih lemah tenaganya. Maka dia hanya memutar kedua lengannya
sambil mengerahkan tenaga sedikit saja. Anak-anak panah yang ratusan banyaknya itu
runtuh semua, tak dapat melukainya, bahkan sebatang pun tidak ada yang bisa merobek
bajunya!

Ia berlari terus dan berseru, "Pek-eng Sianjin, bagus benar kau menyambut datangnya
tamu yang kau undang sendiri!" Hati pemuda ini mulai panas dan biarpun tadinya dia
tidak mengandung maksud buruk terhadap Pek-eng Sianjin, namun sekarang
pandangannya lain. Orang seperti Pek-eng Sianjin yang ternyata curang sekali itu amat
berbahaya bagi keamanan umum dan perlu disingkirkan.

Belum juga dia tiba di depan bangunan itu, dari atas pohon menyambar turun tubuh
empat orang yang gesit gerakannya. Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Thian-eng
Sianjin, Te-eng Sianjin dan Loan Kek Hosiang, siap dengan senjata.

"Lu Kwan Cu, sekarang rasakan pembalasan dendamku!" seru Pek-eng Sianjin yang
cepat menyerang dengan pedangnya, disusul oleh tiga orang saudaranya.

Kwan Cu marah bukan main, akan tetapi tetap mengelak dan menyabarkan hatinya.
Sambil meloncat ke sana ke mari mengelakkan diri dari sambaran empat senjata lawan,
dia berkata keras,

"Pek-eng Sianjin, insyaflah kau! Aku sudah mengampunkan nyawamu karena kau
bersumpah tidak ikut membunuh guruku. Sekarang aku datang sebagai tamu yang
kauundang mengadakan pibu. Mengapa kau berlaku curang, menyuruh orang
mengeroyok dan melepas anak panah, sekarang kau mengeroyok pula? Apa
kehendakmu?"

"Bangsat rendah! Gurumu telah membunuh empat orang adikku, kemudian kau telah
menghinaku. Apa kaukira aku mau melepaskan engkau dari sini? Bersiaplah untuk
mampus!"
PENDEKAR SAKTI 7

Serangan mereka itu dipercepat dan terpaksa Kwan Cu mencabut keluar sulingnya, dia
mengerahkan tenaga dan menangkis sekaligus serangan empat batang senjata. Akan
tetapi biarpun dia berhasil membikin terpental senjata-senjata itu, dia tidak dapat
membikin senjata itu terlepas dari pegangan lawan-lawannya. Mengertilah Kwan Cu
bahwa, para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

"Pek-eng Sianjin, sekali lagi kuharap kau sadar dan tahu akan kesopanan di dunia kang-
ouw. Kalau mau berpibu secara baik, pergunakanlah aturan. Kecuali kalau kau memang
sengaja mau mengadu nyawa!"

"Hari ini kalau bukan kau tentu aku yang mati di sini!" jawab Pek-eng Sian-jin sambil
menyerang dengan buasnya.

Kwan Cu mulai timbul marahnya. Sudah nyata sekarang bahwa tosu ini memang
berakhlak bejat, menurutkan nafsu hati dan dendam tanpa mengingat bahwa fihaknya
sendirilah yang salah besar. Empat orang adik seperguruannya takkan binasa di tangan
Pak-lo-sian Siang-koan Hai dan Ang-bin Sin-kai kalau tidak melakukan kejahatan luar
biasa, dan Pek-eng Sianjin sendiri pun tidak akan mengalami hinaan dari Kwan Cu
kalau saja dia bertindak di atas jalan yang benar. Sekarang, sebaliknya daripada
menginsyafi kedosaannya, kakek ini bahkan secara amat curang dan tak tahu malu telah
mengeroyok Kwan Cu dan sudah terang menghendaki kematian pemuda ini.

"Kau mencari penyakit sendiri!" seru Kwan Cu dan dia mulai melakukan serangan
balasan. Pek-eng Sianjin adalah seorang tokoh kang-ouw dan ilmu silatnya sudah cukup
tinggi, demikian pula tiga orang kawannya yang mengeroyok. Mereka mengurung
Kwan Cu dari empat jurusan dan melakukan serangan-serangan hebat. Namun Kwan Cu
yang gesit dan jauh lebih tinggi tingkat ilmu kepandaiannya itu, melayani mereka
dengan tabah sekali. Sulingnya bergerak-gerak bagaikan naga menyambar sehingga
setiap serangan lawan kalau tidak dielakkannya tentu dapat ditangkis. Sedangkan tangan
kirinya tak tinggal diam, dia bergerak menurut Ilmu Silat Kong-ciak sin-na dan
mencoba untuk merampas senjata lawan.

Namun empat orang lawannya itu dapat bergerak gesit dan mereka lebih berhati-hati
sekali ketika Pek-eng Sianjin berseru,

“Awas, jangan membiarkan dia merampas senjata. Awas terhadap tangan kirinya!"

Kwan Cu mendongkol sekali. Sampai sebegitu jauh dia belum dapat merampas senjata
mereka. Kalau dia memang mempunyai niat untuk menyebar maut, kiranya dengan
mudah dia akan dapat menggulingkan para pengeroyok ini dengan mempergunakan
PENDEKAR SAKTI 7

ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut atau pun dengan sulingnya untuk menotok jalan darah di
tubuh lawan. Akan tetapi, Kwan Cu tidak mau sembarangan membunuh. Dia belum
kenal siapa adanya tiga orang kawan Pek-eng Sianjin ini dan tidak tega menjatuhkan
tangan kejam terhadap orang-orang yang belum diketahui kejahatannya.

Karena kepungan mereka makin rapat dan desakan mereka makin menghebat, Kwan Cu
berseru keras dan tiba-tiba saja lawannya menjadi bingung. Tubuh pemuda ini sekarang
bergerak sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata mereka.
Sebentar Kwan Cu mendesak Pek-eng Sianjin, sebentar pula berganti lawan dan bahkan
kadang-kadang melompat tinggi sekali untuk turun di sebelah belakang seorang di
antara mereka. Pemuda ini mengeluarkan kepandaiannya dan mempergunakan
ginkangnya yang paling tinggi. Kacau-balaulah pengepungan itu dan permainan senjata
mereka kini tidak teratur lagi. Membacok dan menusuk ke mana saja bayangan pemuda
itu berkelebat, akan tetapi selalu tidak mendapatkan sasaran.

Tiba-tiba Pek-eng Sianjin yang sudah menjadi penasaran dan marah sekalit menubruk
dengan pedangnya dari belakang, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram
hendak memeluk leher. Inilah serangan yang disebut Pek-mo-jio-beng (Iblis Putih
Merebut Nyawa), hebatnya bukan main. Pedang itu digerakkan dengan khikang
sepenuhnya sehingga ujung pedang tergetar, selain cepat juga amat kuatnya dapat
menembus dinding baja, sedangkan tangan kiri itu mencengkeram dengan gerakan Kin-
na-jiauw yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Jangan kata
kulit dan daging manusia, batu karang yang keras akan hancur terkena cengkeraman ini.
Biarpun amat lihai, sesungguhnya ilmu serangan ini adalah semacam gerak tipu yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa dengan
lawannya. Gerakan Pek-mo-jio-beng ini tidak dapat ditarik kembali, sekali dikeluarkan,
kalau lawannya tangguh tentu akan kena dipeluk untuk mati bersama, kalau lawannya
kurang tangguh pasti takkan dapat mengelakkan diri dari dua serangan yang merupakan
sepasang tangan maut itu!

Kwan Cu mendengar suara angin serangan yang dahsyat ini, yang dilakukan oleh Pek-
eng Sianjin dari belakang. Pemuda ini tahu bahwa lawan ini sudah berlaku terlalu nekat
dan telah mengeluarkan serangan dari kepandaian simpanan. Biarpun pemuda ini tidak
melihat dengan matanya, namun telinga dan perasaannya yang amat tajam sudah dapat
membedakan bahwa Pek-eng Sianjin melakukan serangan dengan pedang dan tangan
kiri, Kwan Cu tidak menjadi gugup. Pada saat itu, tombak di tangan Te-eng Sianjin
menusuk perutnya dari depan. Kwan Cu yang lebih memperhatikan serangan dari
belakangnya, mengangkat kaki kanan memapaki tombak ini dari samping. Gerakan
macam ini tidak sembarang ahli silat tinggi berani melakukannya, karena kalau meleset
sedikit saja, tentu kaki akan beradu dengan ujung tombak dan betapapun kuatnya,
PENDEKAR SAKTI 7

sepatu berikut kulit kaki tentu akan tertembus atau terluka. Namun tendangan Kwan Cu
ini tepat sekali datangnya, mengenai bawah mata tombak dan tombak itu terpental.
Dengan meminjam tenaga tusukan tombak, Kwan Cu membanting kaki ke kanan
sehingga tubuhnya juga miring ke kanan, berbareng dia memukulkan sulingnya ke
belakang punggung, tepat menangkis serangan pedang di tangan Pek-eng Sianjin.
Adapun pukulan tangan kiri Pek-eng Sian-jin lewat di samping tubuhnya sebelah kiri.

Akan tetapi keadaan Kwan Cu yang tubuhnya miring dan kelihatannya berada dalam
kedudukan berbahaya ini tidak disia-siakan oleh tiga orang kawan Pek-eng Sianjin, Te-
eng Sianjin sudah menggerakkan tombaknya pula, menusuk sekuat tenaga. Thian-eng
Sianjin membacok dengan pedangnya, demikian pula Loan Kek Hosiang melakukan
bacokan hebat dengan pedangnya! Agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk
menghindarkan diri dari tiga serangan hebat ini.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan seruan terkejut dari tiga orang itu
yang wajahnya menjadi pucat sekali. Apa yang terjadi? Kwan Cu yang tubuhnya sudah
miring itu, secepat kilat menangkap tangan kanan Pek-eng Sian-jin, memencet keras
sehingga pedangnya terlepas, kemudian sekaligus Kwan Cu mengerahkan tenaga
lweekang dan tubuh Pek-eng Sianjin diangkat oleh tangan kirinya terus dibanting ke
depan menjadi perisai yang menangkis semua serangan tiga orang itu! Tombak Te-eng
Sianjin tepat sekali menancap di perut Pek-eng Sianjin sampai tembus, pedang Thian-te
Sianjin melukai pundaknya dan yang lebih lagi, pedang di tangan Loan Kek Hosiang
membabat putus lengan kanan yang dipegang oleh Kwan Cu! Tewaslah seketika itu
juga Pek-eng Sianjin, setelah mengeluarkan pekik yang menyeramkan tadi!

Setelah melepaskan lengan yang sudah putus, Kwan Cu tidak mau berbuat kepalang
tanggung. Tubuhnya bergerak cepat, suling di tangannya menyambar-nyambar dan
robohlah tiga orang kawan Pek-eng Sianjin tadi dalam keadaan tertotok jalan darahnya!

Para anak murid Pek-eng Kauw-hwe yang kini sudah datang mendekat berdiri dengan
wajah pucat, sama sekali tidak berani bergerak. Tak pemah mereka sangka bahwa
pemuda itu demikian lihainya!

"Kalian lihatlah, begini nasib seorang yang berhati curang dan jahat. Pek-eng Sianjin
telah mencari kematiannya sendiri. Aku masih tidak tega untuk membunuh orang-orang
lain dan biarlah kematian Pek-eng Sianjin ini menjadi peringatan bagi kalian semua agar
mengubah watak dan berbuat kebaikan sesuai dengan jalan kebenaran. Rakyat sedang
membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk mengusir penjajah, mengapa kalian
tidak membantu perjuangan suci itu bahkan sebaliknya menimbulkan kekacauan?
Pikirkanlah kata-kataku ini baik-baik!" Setelah berkata demikian tubuh pemuda ini
PENDEKAR SAKTI 7

berkelebat dan dalam sekejap mata lenyap dari situ.

Setelah terlongong-longong untuk beberapa saat dan tidak berani bergerak atau pun
membuka suara, barulah para anggauta Pek-eng Kauw-hwe itu beramai-ramai menolong
tiga orang tua yang lumpuh tertotok dan mengurus jenazah Pek-eng Sianjin yang amat
mengerikan itu. Lengannya putus, isi perutnya berantakan keluar dan pundaknya hampir
putus pula.

***

Kiam Ki Sianjin yang menjadi pembantu utama dari Si Su Beng yang kini menduduki
istana kerajaan, dapat melihat bahwa perjuangan rakyat amat kuatnya dan mengancam
kedudukan yang dipertuan. Ia tahu bahwa kekuatan perjuangan rakyat itu karena rakyat
dari segala lapisan serentak bangkit dan dipimpin pula serta dibantu oleh orang-orang
kang-ouw yang berkepandaian tinggi.

Oleh karena itu, dia mendapatkan sebuah pikiran yang amat baik. Ia mengirim surat
kepada semua partai persilatan yang besar-besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai,
Thian-san-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Juga dia mengundang kepada tokoh-tokoh besar
seperti Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Seng Thian Siansu dari Kun-lun-pai
dan fihak-fihak yang kelihatannya anti kaisar penjajah untuk mengadakan pertemuan
atau yang disebutnya musyawarah besar di Bukit Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-
gouw (Bulan lima tanggal lima belas), di mana akan dirundingkan dan diperdebatkan
pendirian mereka yang bertentangan. Diam-diam tentu saja Kiam Ki Sianjin
mengumpulkan tokoh-tokoh yang kiranya akan berdiri di fihaknya, yakni seperti Hek-i
Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Toat-beng Hui-houw, Mo
Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang yang disebut Bu-eng Siang-hiap dan yang tadinya
membantu putera An Lu Shan dan setelah putera mahkota itu dibinasakan oleh Si Su
Beng, lalu menyerah dan membantu pula kepada Si Su Beng. Masih banyak tokoh-
tokoh berkepandaian tinggi yang berdiri di fihaknya, maka sekali ini Kiam Ki Sianjin
bermaksud mengundang semua tokoh dan apabila fihak yang anti kaisar masih tidak
mau mengalah, di puncak Tai-hang-san itu akan dijadikan tempat pembasmian mereka!

Banyak ketua-ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh besar sengaja datang kepada
Kiam Ki Sianjin untuk minta penjelasan setelah menerima surat itu. Di antara mereka
yang datang adalah Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai dan Bin Hong
Siansu tokoh ke dua dari Kim-san-pai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
dua orang tokoh ini kebetulan sekali bertemu dengan Kwan Cu di gedung Kiam Ki Sian-
jin dan telah mencoba kepandaian pemuda itu pula. Kini mereka pergi dari istana untuk
kembali ke tempat masing-masing, menyampaikan hasil penyelidikan mereka setelah
PENDEKAR SAKTI 7

mereka bertemu dengan Kiam Ki Sianjin.

Biarpun mereka keluar dari istana tidak bersama-sama, namun setelah tiba di luar kota
raja, mereka bertemu dan melakukan perjalanan bersama.

"Bin Hong Toyu, bagaimana pendapatmu tentang bocah yang mengaku sebagai murid
Ang-bin Sin-kai itu?" di tengah perjalanan Bian Ti Hosiang bertanya. Mereka
melakukan perjalanan sambil menggunakan ilmu lari cepat sehingga tubuh mereka
bergerak seperti terbang saja, akan tetapi mereka tidak kelihatan lelah, bahkan masih
dapat bercakap-cakap. Ini menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaian mereka.

Bin Hong Siansu menghela napas panjang. "Kita harus mengaku bahwa kita sudah tua
dan ketinggalan jaman. Belum pemah selama hidupku melihat seorang pemuda yang
demikian lihainya."

"Kalau begitu, fihak yang anti kaisar tentu jauh lebih kuat daripada fihak yang
membantu kaisar," kata pula Bian Ti Hosiang tokoh ke dua dari Bu-tong-pai itu.

"Belum tentu demikian. Biarpun pemuda itu lihai, tak mungkin kepandaiannya akan
bisa mengatasi Hek-i Hui-mo atau Toat-beng Hui-houw, Kiam Ki Sian-jin juga belum
tentu kalah, tadi kelihatan kalah karena mereka bertempur mempergunakan meja, hal
yang amat aneh!" jawab Bin Hong Siansu. "Bagiku sendiri, kurasa pendirian Kiam Ki
Sianjin lebih benar. Kalau orang kang-ouw tak mau membantu kaisar, hal itu berarti
bahwa mereka akan mendatangkan bencana yang lebih besar kepada rakyat. Kalau
pemberontakan-pemberontakan itu ditindas dan keadaan negara aman kembali, tentu
rakyat hidup tenang dan damai. Kaisar adalah pilihan Yang Maha Kuasa, jatuh
bangunnya sebuah kerajaan, menang kalahnya perebutan kedudukan kaisar, telah
ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa harus membangkang terhadap keputusan
nasib yang ditentukan oleh Thian?"

Bian Ti Hosiang mengerutkan kening. "Pinceng masih belum dapat mengambil


keputusan, terserah kepada suheng Bian Kim Hosiang saja." Memang di dalam hatinya,
hwesio Bu-tong-pai ini masih ragu-ragu untuk menyetujui pendapat tosu dari Kim-san-
pai itu. Dia pun terpengaruh oleh bujukan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi karena dia tahu
bahwa Suhengnya sering kali menyatakan tidak sukanya kepada pemerintah penjajah,
maka dia sendiri tidak berani mengambil keputusan.

Perjalanan dilanjutkan cepat sekali dan tahu-tahu siang telah berganti senja dan angkasa
gelap sekali, agaknya akan turun hujan.
PENDEKAR SAKTI 7

"Kita harus mencapai tempat bermalam," kata Bin Hong Siansu kepada kawannya.

"Benar, agaknya akan turun hujan dan kita masih berada di dalam hutan. Apakah ada
goa untuk berlindung di hutan ini?"

"Jangan khawatir ," kata Bin Hong Siansu, "di luar hutan ini terdapat sebuah hutan dan
di situ ada seorang kenalanku. Dia adalah Siok Tek Tojin yang mengepalai sebuah
kuil."

Mereka mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja, setelah keluar dari
hutan mereka tiba di sebuah dusun. Bin Hong Siansu membawa kawannya ke sebuah
kuil yang cukup besar, disambut oleh seorang tosu bertubuh tinggi kurus dan bermata
seperti mata burung. Bian Ti Hosiang yang berpemandangan awas, dapat menduga
bahwa tosu yang menyambut mereka ini berhati kejam, akan tetapi karena tuan rumah
adalah kawan dari Bin Hong Siansu dan menyambut mereka dengan ramah, dia pun
tidak memperlihatkan kecurigaannya.

Dengan ramah Siok Tek Tojin menyambut dua orang tamunya, mengeluarkan hidangan
dan bercakap-cakaplah mereka dengan asyiknya. Dari percakapan tuan rumah, Bian Ti
Hosiang tahu pula bahwa tosu ini adalah seorang yang memuji-muji kaisar dan memuji-
muji pula Kiam Ki Sianjin.
Malam hari itu, Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu menginap di kamar yang
berlainan. Hal ini adalah atas kehendak tuan rumah yang ingin menghormati tamu-
tamunya dan ingin menyediakan tempat yang enak bagi tamunya.

"Di sini ada banyak kamar, harap Ji-wi Beng-yu (dua sahabat) jangan sungkan-
sungkan," katanya berkali-kali sambil tersenyum.

Menjelang tengah malam, ketika Bian Ti Hosiang masih duduk bersamadhi di atas
tempat tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara dari arah jendela dan ketika dia
membuka mata dan memandang, terkejutlah dia me1ihat asap bergulung-gulung masuk
dari jendela itu! Ia melompat turun akan tetapi segera terguling karena tercium olehnya
bau yang harum dan keras seka1i. Ia maklum bahwa asap itu adalah asap beracun yang
dapat membius orang akan tetapi sebentar saja dia telah pingsan. Ketika dia sadar
kembali, dia mendapatkan dirinya masih rebah di atas lantai dengan kedua tangan ke
belakang dan ketika dia hendak mengerahkan lweekangnya, ternyata bahwa seluruh
tubuhnya telah lemas, tanda bahwa jalan darahnya telah ditotok orang secara lihai
sekali. Asap telah menghilang akan tetapi hwesio ini masih merasa pening. Dengan
tubuhnya yang amat lemah karena jalan darahnya tidak lancar, dia bergulingan dan
dengan susah payah dapat juga dia duduk dan menyandarkan punggungnya pada tiang
PENDEKAR SAKTI 7

pembaringan. Kemudian dia berseru,

"Penjahat manakah yang begitu curang menyerang orang tanpa memberi tahu lebih
dulu?" Dari luar jendela terdengar suara orang ketawa mengejek,

"Kiu-bwe Coa-li, apakah kau sudah membereskan Siok Tek Tojin?" suara itu bertanya,
dijawab oleh suara wanita yang kecil tinggi melengking.

"Sudah, hanya tosu dari Kim-san-pai itu yang masih harus kita bereskan. Bagaimana,
Pak-lo-sian, apakah babi gemuk itu sudah dapat dibikin beres?"

"Ha, ha, ha, sudah heres, dia sudah tidak berdaya. Marilah kita bekuk Bin Hong Siansu
" kata suara pertama yang besar dan parau.

Diam-diam Bian Ti Hosiang tertegun dan terheran. Benarkah pendengarannya? Benar-


benarkah dua orang yang herada di luar jendela itu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian
Siangkoan Hai? Kalau memang benar, mengapa dua orang tokoh besar yang luar biasa
lihainya itu melakukan perbuatan seperti ini terhadap dia? Ia teringat akan sahabatnya
yang menurut pembicaraan tadi belum tertawan, maka dia cepat berseru sambil
mengerahkan lweekangnya,

"Bin Hong Toyu !! Hati-hatilah, ada dua orang jahat di tempat ini….. !"

Belum lama gema suaranya lenyap, pintu kamamya ditendang orang dan masuklah Bin
Hong Siansu.

"Bian Ti Hosiang, ada terjadi apakah… ??" Tosu dari Kim-san-pai ini bertanya. Akan
tetapi sebagai jawaban pertanyaan ini, tiba-tiba dari jendela menghembus asap tebal,
asap hitam dan putih yang sebentar saja memenuhi kamar itu.

"Bin Hong Siansu, hati-hatilah terhadap asap beracun itu. Cepat-cepat kau pergilah!"
teriak Bian Ti Hosiang. Mendengar ini Bin Hong Siansu kaget sekali dan cepat
melompat keluar dari kamar. Akan tetapi baru saja sampai di pintu sudah penuh oleh
asap hitam, dia roboh terkena pukulan yang amat dahsyat, tepat pada dadanya. Pemukul
yang tidak kelihatan karena terhalang oleh asap hitam itu tentu memiliki kepandaian
tinggi sekali karena pukulannya jatuh tanpa dapat ditangkis atau dielakkan lagi. Bin
Hong Siansu terhuyung- huyung tanpa disadarinya mengisap asap itu dan roboh
pingsan. Demikian pula Bian Ti Hosiang, biarpun sudah berusaha dengan merebahkan
tubuhnya di atas lantai agar jangan kena mengisap asap itu, akhirnya dia pun pingsan
karena tidak tahan pula dengan asap yang ternyata bisa mengapung rendah itu. Di dalam
PENDEKAR SAKTI 7

kamar yang penuh asap itu, berkelebat bayangan yang berbaju hitam. Ia menghampiri
Bian Ti Hosiang, memukul pelipis hwesio ini perlahan kemudian dia melakukan hal
yang sama kepada Bin Hong Siansu. Setelah melakukan hal ini, dia tertawa bergelak
dan sekali berkelebat saja, dia telah menghilang keluar dari kamar itu, masuk di dalam
gelap.

Akan tetapi belum lama dan belum jauh dia meninggalkan rumah itu, tiba-tiba
berkelebat bayangan lain di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda yang tampan dan
berpakaian sederhana telah berdiri menghadangnya. Pemuda itu menegurya.

"Siapakah Losuhu ini dan mengapa malam-malam berlari-larian seperti dikejar orang?"
Pemuda itu bukan lain adalah Lu Kwan Cu yang kebetulan pada malam hari itu tiba di
dusun ini sepulangnya dari Leng-san dan hendak mulai perjalanannya mencari musuh-
musuh besar gurunya. Ia memandang dengan penuh perhatian dan melihat bahwa orang
yang berlari dengan gerakan luar biasa cepatnya itu adalah seorang hwesio yang
bertubuh tinggi kecil, bermuka menyeramkan dan berpakaian serba hitam,
mengingatkan dia akan pakaian Hek-i Hui-mo!

Ketika hwesio ini menjawab, hati Kwan Cu berdebar. Suara hwesio ini demikian tinggi
kecil seperti suara wanita!

"Bedebah perlu apa kau bertanya tanya? Minggirlah!" Dan tangan hwesio itu
mencengkeram ke arah pundaknya. Inilah ilmu silat semacam Eng-jiauw- kang
(Pukulan Kuku Garuda) yang lihai sekali! Kwan Cu tidak berani berlaku lambat karena
ketika angin pukulan ini menyambar, dia. mencium bau yang amat amis, dan dia
menduga dengan hati bergidik bahwa tangan hwesio ini tentulah mengandung racun
berbahaya pula.

Dengan sigapnya Kwan Cu mengelak dan sebelum dia menegur, hwesio itu yang juga
tercengang melihat betapa pemuda yang dikiranya pemuda dusun ini dapat
mengelakkan diri dari pukulannya, cepat berlari pergi. Kwan Cu diam-diam
mempergunakan kegesitannya dan sekali mengulur tangan dia telah berhasil
menjambret baju hitam yang panjang itu sehingga sepotong kain hitam tertinggal di
dalam tangannya.

Kwan Cu hendak mengejar, akan tetapi malam gelap sekali dan hwesio itu dapat berlari
cepat. Ia tidak mengenal hwesio itu dan tidak tahu urusannya, tidak enaklah kalau dia
terus mengejar maka dia lalu melompat ke arah kuil yang berada di dekat situ, dari
mana hwesio yang aneh itu tadi melarikan diri. Robekan kain hitam dikantonginya dan
dia melakukan ini tanpa disadarinya.
PENDEKAR SAKTI 7

Dengan hati-hati Kwan Cu melakukan penyelidikan dan dia masih mencium bau harum
yang menyesakkan dada ketika dia mendekati kuil itu. Cepat pemuda ini mengatur
napas dan mengerahkan tenaga lweekang yang didapatinya ketika bersamadhi di atas
Pulau Pek-hui-to untuk mengusir racun dan untuk "menyaring" napas yang memasuki
paru-parunya, kemudian dia melakukan pengintaian. Dan dia melihat pemandangan
yang amat aneh di dalam sebuah kamar di kuil itu.

Setelah Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sadar dari pingsannya, mereka merasa
betapa kepala mereka seperti akan pecah. Karena totokan yang membikin tubuh Bian Ti
Hosiang lumpuh telah bebas dan ikatan tangannya juga telah dilepaskan orang, maka dia
bisa mengerahkan lweekang dan alangkah terkejutnya ketika dia merasa kepalanya sakit
sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tahulah dia bahwa dia telah menderita luka
yang luar biasa hebatnya dan bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Demikian pula
dengan Bin Hong Siansu!

Tiba-tiba masuklah Siok Tek Tojin, sebelah tangan kirinya lumpuh dan dia masuk
terpincang-pincang.

"Aduh, Ji-wi Bengyu, celaka…. " katanya terengah-engah. "Hampir saja pinto sendiri
tewas oleh dua orang siluman itu! Entah apa sebabnya Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian
Siangkoan Hai datang menyerbu dan menyebar kebinasaan!"

"Kau…. bertemu dengan mereka… ?" tanya Bian Ti Hosiang yang masih merasa ragu-
ragu sambil menahan sakit.

"Tentu saja! Lihat, pundak kiriku ditotok dan sampai sekarang pinto masih belum dapat
membebaskannya dan separuh tubuhku lumpuh. Pak-lo-sian yang melakukan ini sambil
berkata bahwa dosa pinto tidak terlalu besar maka pinto diampuni. Kesalahan pinto
hanya karena berani menerima Ji-wi sebagai tamu!"

"Apakah mereka bilang mengapa mereka menyerang kami?" tanya Bin Hong Siansu
penasaran sambil memegangi kepalanya yang seperti mau pecah itu. Kemudian tiba-tiba
dia muntahkan darah hitam dan jatuh pingsan pula!

Siok Tek Tojin menjadi bingung dan dengan tangan kanannya dia mencoba
menyadarkan tosu dari Kim-san-pai. Akhimya dengan napas terengah-engah Bin Hong
Siansu dapat sadar juga, akan tetapi sudah tidak kuat duduk lagi. Adapun Bian Ti
Hosiang sambil meramkan mata bersandar pada tiang pembaringan, lalu berkata
terengah-engah,
PENDEKAR SAKTI 7

"Lekas ceritakan….. apa yang mereka katakan…. "

Dengan suara hampir menangis Siok Tek Tojin berkata,

"Kiu-bwe Coa-li yang berkata bahwa Ji-wi harus dibunuh karena Ji-wi mengadakan
perhubungan dengan Kiam Ki Sianjin di istana."

Akan tetapi kedua orang pendeta itu sudah payah sekali. keadaan mereka sehingga sukar
untuk mendengarkan dengan jelas. Hal ini diketahui pula oleh Siok Tek Tojin, maka
pendeta ini cepat-cepat pergi mengambil kertas, pit dan tinta bak lalu berkata,

"Ji-wi, harap sudi menuliskan sedikit kata-kata keterangan tentang peristiwa


pembunuhan ini agar pinto dapat membawanya ke Kim-san-pai dan Bu- tong-pai. Tanpa
ada penjelasan Ji-wi, pinto khawatir sekali kalau-kalau ada salah sangka terhadap diri
pinto."

Kedua orang pendeta ini maklum akan maksud Siok Tek Tojin ini. Karena luka yang
diderita oleh Bin Hong Siansu lebih hebat daripada Bian Ti Hosiang, maka hwesio Bu-
tong-pai itulah yang menggerakkan tangan menerima pit itu dan dengan pelayanan Siok
Tek Tojin, dia lalu menuliskan beberapa huruf di atas kertas dengan tangan gemetar.

"Teecu berdua diserang oleh Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian."

Kemudian tulisan itu ditandatangani oleh Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Sian-su.
Setelah menandatangani surat itu, keduanya lalu mengeluh dan roboh pingsan tidak
pernah siuman kembali!

Adapun Kwan Cu yang mengintai dari luar, melihat dan mendengar semua ini. Dari
jauh dia pun tahu bahwa dua orang pendeta yang terluka itu takkan tertolong lagi,
karena sinar mukanya sudah suram, tidak ada cahaya lagi. Ia teringat akan hwesio tinggi
kurus yang berpakaian hitam tadi, maka dia tidak menanti sampai Bian Ti Hosiang
menuliskan keterangan, cepat dan tanpa terdengar oleh siapapun juga dia lalu meloncat
keluar dan mengejar ke arah bayangan hitam yang telah melarikan diri. Pemuda ini
merasa terheran-heran. Ia mengenal dua orang pendeta itu yang pernah dijumpainya di
rumah Kiam Ki Sianjin. Memang mereka itu mencurigakan dengan kunjungan mereka
di rumah Kiam Ki Sianjin, pembantu kaisar penjajah, akan tetapi mengapa Kiu-bwe Coa-
li dan Pak-lo-sian membunuh mereka? Ia sudah mengenal watak dua orang tokoh besar
itu, yang kebesaran namanya, berendeng dengan mendiang suhunya, yang termasuk
dalam Lima Tokoh Besar di dunia kang-ouw, mengapa mereka melakukan pembunuhan
PENDEKAR SAKTI 7

secara curang? Mengapa pula mereka mempergunakan asap beracun?

Bagaikan kilat menyambar masuklah dugaan di dalam hati Kwan Cu bahwa agaknya
ada orang yang hendak merusak nama baik Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian dan kalau
dugaannya benar, maka yang hendak merusak nama mereka itu bukan lain adalah
hwesio berjubah hitam tadi! Ia harus dapat mengejar dan menyusulnya untuk mencari
keterangan lebih jelas!

Akan tetapi dia telah tertinggal jauh. Selain malam gelap sekali, dia juga tidak tahu arah
mana yang kemudian diambil oleh hwesio aneh itu. Sampai fajar menyingsing Kwan Cu
mengejar cepat, namun sia-sia. Ia tidak melihat bayangan hwesio aneh itu dan dengan
putus asa dia menghentikan pengejarannya.

Ketika dia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi dan dilihatnya di dalam kuil
tua itu, dia terkejut. Tosu yang menjadi tuan rumah itu berkata bahwa dia menjadi saksi
dan telah bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian! Bahkan dia sendiri juga
ditotok oleh Pak-lo-sian. Inilah aneh sekali! Benar-benarkah hal itu terjadi? Kalau tidak
benar, ini hanya berarti bahwa tosu itu juga menjadi komplotan hwesio jubah hitam
yang sengaja berpura-pura dan memperkuat usaha memburukkan nama dua orang tokoh
besar itu!

Mendapat pikiran ini, Kwan Cu tidak mempedulikan bahwa tubuhnya sudah mulal
lelah, bukan karena setengah malam mengejar-ngejar bayangan yang tidak tentu
arahnya, akan tetapi karena dia kurang tidur. Ia berlari-lari lagi, kini lebih cepat,
kembali ke kuil di mana dia menyaksikan peristiwa yang aneh itu.

Setelah tiba di kuil dan masuk ke dalam kamar yang pernah dilihatnya, dia hanya
mendapatkan jenazah Bian Ti Ho-siang dan Bin Hong Siansu, sudah dingin dan dengan
wajah membayangkan penasaran. Adapun tosu yang menjadi pengurus kuil tidak
kelihatan mata hidungnya. Ia memasuki kamar- kamar lain, memanggil-manggil, namun
tidak seorang pun menjawab. Ketika dia melakukan pemeriksaan, temyata bahwa semua
pakaian tosu itu tidak ada di kamar, tanda bahwa tosu itu telah pergi membawa semua
pakaiannya. Ini berarti bahwa tosu itu bukan sekedar pergi keluar di tempat dekat, tapi
tentu akan melakukan perjalanan jauh. Tentu untuk menyampaikan warta pembunuhan
ini ke Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!

Kwan Cu menghadapi urusannya sendiri yang dianggap lebih penting daripada urusan
ini. Urusan ini hanya merupakan teka-teki yang membingungkannya dan tidak ada
sangkut-pautnya dengan dia. Maka dia lalu mengurus dua jenazah itu, mengubur mereka
dengan baik-baik di halaman kuil, kemudian dia melanjutkan perjalanannya sambil
PENDEKAR SAKTI 7

mengenangkan tugas-tugasnya yang amat berat yang masih harus dilaksanakannya.

Pertama-tama dia harus mencari musuh besar kong-kongnya yang hanya tinggal seorang
lagi saja, yakni An Kai Seng, keturunan An Lu Shan yang masih belum dia ketahui di
mana tempat tinggalnya. Adapun musuh besar gurunya adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-
mo, dan Toat-beng Hui-houw, tiga orang tokoh besar yang tidak boleh dipandang ringan
dan yang masih selalu meragukan hatinya apakah dia akan mampu menghadapi dan
mengalahkan mereka. Di antara tiga orang tokoh besar ini, dia merasa paling benci
kepada Toat-beng Hui-houw. Tidak saja kakek yang seperti siluman ini mengeroyok
dan ikut membunuh Ang-bin Sin-kai, akan tetapi juga dia mendengar akan kejahatan
kakek ini dan terutama sekali karena dia masih ingat betapa Pek-cilan Thio Loan Eng,
wanita gagah yang dia kasih sayangi seperti kepada ibu sendiri, telah menjadi korban
keganasan kakek itu. Ia harus membalas dendam dan membunuh Toat-beng Hui-houw,
tidak saja untuk membalaskan kematian suhunya, akan tetapi juga untuk membalaskan
dendam Pek-cilan Thio Loan Eng.

Teringat akan Pek-cilan Thio Loan Eng, terbayanglah wajah Sui Ceng di depan
matanya dan Kwan Cu menghela napas. Otomatis kedua kakinya mogok berjalan dan
dia menjatuhkan diri di bawah pohon, beristirahat dan melanjutkan lamunannya tentang
Sui Ceng. Selain mencari musuh-musuh besar gurunya, kong-kongnya dan Pek-cilan
Thio Loan Eng, juga dia masih menghadapi urusan ini yang baginya tidak kalah
pentingnya. Ia harus mencegah berlangsungnya perjodohan antara Kun Beng dan Sui
Ceng. Ia harus melakukan ini demi kebaikan Sui-Ceng, demi kebaikan Kui Lan yang
disia-siakan oleh Kun Beng dan demi kebaikan….. dirinya sendiri.

"Aku cinta kepadanya….. ah, gila benar, aku cinta mati-matian kepada Bun Sui Ceng !"
Kwan Cu menggaruk-garuk kepalanya. Dahulu tidak mempunyai perasaan seperti ini,
akan tetapi semenjak dia bersumpah di depan gadis raksasa secara main-main untuk
menghindarkan desakan gadis itu, bahwa dia sudah mempunyai seorang gadis pujaan,
yakni yang bernama Bun Sui Ceng, semenjak itu entah mengapa dia selalu terkenang
kepada Sui Ceng. selalu terbayang gadis cilik yang lincah, jenaka dan manis itu.
sekarang, setelah dia bertemu muka dengan Sui Ceng yang sudah menjadi seorang gadis
dewasa yang cantik jelita, hatinya jatuh betul-betul. Akan tetapi helaan napasnya makin
berat ketika dia teringat bahwa gadis itu bagaimanapun juga sudah bertunangan dengan
Kun Beng pertunangan yang sah karena disahkan oleh mendiang Pek-cilan Thio Loan
Eng ibu dari Sui Ceng dan Pak-lo-sian Siang-koan Hai guru dari Kun Beng!
Menghalangi perjodohan itu berarti dia akan berhadapan dengan Pak-lo-sian Siangkoan
Hai, dan mungkin juga dengan Kiu-bwe Coa-li yang tentu akan melindungi nama baik
muridnya!
PENDEKAR SAKTI 7

"Beraaaaat …." pikir pemuda ini sambil menarik napas panjang dengan wajah berduka,
"mengapa begitu memasuki dunia ramai aku harus berhadapan dengan tokoh-tokoh
besar yang dahulu pun sudah membikin susah padaku ketika aku masih kecil?"
Lamunannya makin menjauh, kenangannya membawanya kepada masa kecilnya dan
ketika dia teringat betapa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, dan Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio mengurungnya, mendesaknya
dan memaksanya serta menghinanya, Kwan Cu tersenyum gembira dan matanya
bersinar-sinar.

"Biarlah, biar aku mencoba kepandaian mereka semua itu, hitung-hitung untuk menagih
hutang mereka dahulu ketika aku masih kecil. Hitung-hitung aku mengangkat nama
suhu Ang-bin Sin-kai yang patut disebut jago nomor satu di antara Lima Tokoh Besar
dunia kang-ouw!"

Dengan adanya pikiran ini, Kwan Cu menjadi gembira kembali dan dia lalu
melanjutkan perjalanannya, mencari keterangan tentang An Kai Seng, musuh besar
gurunya atau keturunan terakhir An Lu Shan, pemberontak yang sudah banyak
menghancurkan kehidupan rakyat jelata itu.

***

Kota Jeng-tauw terletak di pesisir laut timur. Kota ini adalah sebuah kota besar di
Propinsi Shan-tung, juga amat ramai karena selain kotanya besar dan penduduknya
banyak, letaknya di pinggir laut maka merupakan pusat perdagangan. Kapal-kapal besar
keluar masuk ke dalam pelabuhan dan banyak pedagang besar mendapat penghasilan
baik sekali. Oleh karena itu, makin lama kota ini menjadi makin ramai dan banyaklah
dibuka orang hotel- hotel dan restoran-restoran besar. Toko-toko penuh dengan barang-
barang dari lain daerah dan selalu dikunjungi banyak orang.

Di antara sekian banyaknya orang hartawan yang tinggal di kota Jeng-tauw, kiranya
yang paling terkenal adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) atau yang nama lengkapnya
Tan Kai Seng. Ia tidak saja terkenal karena memang amat kaya, memiliki banyak
gedung-gedung besar dan memiliki pula rumah-rumah penginapan dan perahu-perahu
yang disewakannya untuk mengangkut barang dari perahu-perahu besar yang berlabuh
jauh dari pelabuhan, juga dia terkenal sekali karena hartawan Tan ini memiliki
kepandaian ilmu silat yang kabamya amat tinggi. Sudah tentu saja sebagai seorang
hartawan dia tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya itu, akan tetapi semua orang
kang-ouw yang datang di kota itu tentu mendengar dan menyaksikannya sendiri. Di
samping ini semua, hartawan Tan yang masih muda itu menjadi lebih terkenal karena
dia telah menikah dengan seorang wanita yang telah lama menjadi sebutan orang
PENDEKAR SAKTI 7

sebagai bunga kota Jeng-tauw.

Wi Wi Toanio, demikian nama wanita ini, adalah seorang gadis berusia delapan belas
tahun ketika dikawin oleh Tan wangwe, seorang gadis yang memiliki kecantikan luar
biasa dan banyak orang membandingkannya dengan Permaisuri Yang Kui Hui yang
tersohor cantik jelita, kekasih daripada Kaisar Kerajaan Tang yang telah roboh oleh An
Lu Shan. Selain memiliki kecantikan luar biasa, juga Wi Wi Toanio tidak seperti gadis
Han umumnya, yakni malu-malu dan tidak berani memperlihatkan wajah di depan
umum. Sebaliknya, Wi Wi Toanio yang mempelajari ilmu silat tinggi dan
berkepandaian lihai berkat latihan dari seorang nikouw (paderi wanita) dari Thian-san,
sering kali keluar dari rumah menunggang kuda berbulu merah. Semenjak belum
menikah, dia sudah mempunyai lagak yang amat genit, akan tetapi karena yang berlagak
genit ini seorang gadis cantik jelita yang berkepandaian tinggi pula, maka dalam
pandangan orang-orang lelaki ia bahkan kelihatan makin cantik dan menarik!

Orang-orang pada tahu bahwa Wi Wi Toanio masih berdarah Tartar, karena ibunya
adalah seorang Tartar bangsawan, akan tetapi tak seorang pun berani membicarakan hal
ini. Yang sama sekali tidak diduga orang adalah Tan-wangwe sendiri. Dia ini
sebenamya adalah An Kai Seng, cucu dalam dari An Lu Shan sendiri, akan tetapi tidak
ada orang yang mengetahuinya dan mereka menerimanya sebagai seorang Han yang
kaya raya.

Memang An Kai Seng orangnya cerdik sekali. Biarpun dia keturunan An Lu Shan
pemah menjadi kaisar, boleh dibilang dia keturunan bangsawan tinggi. Akan tetapi An
Kai Seng tahu bahwa kedudukan keluarga kakeknya itu berbahaya sekali. Oleh karena
itu setelah dia berada di istana, diam-diam dia mengumpulkan harta-harta rampasan dari
rakyat dan bekas pemerintah Tang, kemudian dia keluar dari istana, menyatakan kepada
semua keluarganya bahwa dia lebih suka menjadi pedagang! Padahal bukan begitu
keadaannya. Ia keluar dari istana membawa harta benda yang besar sekali untuk
mencari kebebasan, agar dia jangan terlibat oleh urusan pemerintahan yang tidak
menarik hatinya.
Setelah hidup di luar keluarga kaisar, An Kai Seng lalu mengumbar hawa nafsunya. Ia
seorang pemuda, tampan, memegang uang banyak sekali, tentu saja dia seperti kuda
tanpa kendali. Di samping berfoya-foya, dia pun memperdalam kepandaiannya di dalam
ilmu silat, belajar dari guru-guru silat yang ternama. Kemudian dia mendengar berita
tentang kekacauan di istana, tentang pembunuhan terhadap An Lu Shan oleh puteranya
sendiri, kemudian tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Si Su Beng terhadap putera
mahkota. Diam-diam An Kai Seng memuji diri sendiri yang sudah lari dari istana dan
mulailah dia berhati-hati menjaga harta bendanya. Mulailah dia berdagang dan
mendapatkan untung besar sekali karena dia memang semenjak kecil mempelajari ilmu
PENDEKAR SAKTI 7

surat sehingga terhitung seorang bun-bu-coan-jai (pandai ilmu silat dan surat).

Alangkah kaget dan takutnya ketika dia mendengar berita tentang terbunuhnya An Lu
Kui dan An Kong, dan mendengar pula bahwa ada seorang musuh besar keluarga An
hendak membasmi semua keturunan dan keluarga An Lu Shan!

An Kai Seng ketakutan hebat. Ia cepat-cepat pindah dari kota yang dekat dengan kota
raja, mengangkut semua barang dan harta bendanya, dan pindah ke Jeng-tauw dengan
nama sudah diganti, yakni Tan Kai Seng. Karena dia memang pandai sekali bicara Han
dan mukanya juga tampan seperti muka orang Han biasa, dia diterima oleh masyarakat
di Jeng-tauw sebagai hartawan Tan Kai Seng yang masih muda dan masih bujang. Maka
tenanglah hatinya, apalagi setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio dan berhasil
mengawininya, Kai Seng merasa hidupnya bahagia dan aman. Siapakah yang tahu
bahwa dia adalah keturunan An Lu Shan? Dan andaikata ada orang yang tahu, apa yang
ditakutinya? Ia hartawan, berkuasa dan mempunyai banyak kawan ahli-ahli silat,
bahkan boleh dibilang dengan secara diam-diam, semua buaya darat di kota itu adalah
kaki tangannya! Semua pembesar di kota itu menjadi pelindungnya, dan selain dia
sendiri telah memiliki ilmu silat tinggi, juga isterinya terkenal dengan ilmu pedangnya
yang hebat! Siapa dapat mengganggunya? Iblis sendiri pun akan gentar untuk
mengganggunya!

Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia tidak tinggal diam. Ia menyebar kaki
tangannya untuk menyelidiki tentang pembunuh An Lu Kui dan An Kong dan mendapat
keterangan bahwa pembunuh mereka itu adalah seorang pemuda murid Ang-bin Sin-kai
yang amat lihai, bernama Lu Kwan Cu. Juga untuk menjaga keamanannya, selain dia
dan isterinya memperdalam ilmu silat mereka dari guru-guru pandai, dia pun membeli
dua batang pedang yang bagus dengan harga mahal sekali. Setiap hari dia dan isterinya
tidak pernah berpisah dari pedang ini. Selain itu, dia pun memelihara guru-guru silat
yang berpakaian sebagai pelayan, yang jumlahnya ada tujuh orang dan mereka ini
menjadi pengawal pribadinya!

Berkat kekuasaan uangnya yang mampu membayar setiap mata-mata dan penyelidik,
An Kai Seng dapat mengumpulkan keterangan tentang Lu Kwan Cu sehingga biarpun
dia belum pernah bertemu muka dengan musuh besar ini, dia dapat menggambarkan
keadaan pemuda itu, dari bentuk badannya, pakaiannya dan wajahnya. Sekali saja
bertemu, tentu dia akan mengenal pemuda yang mengancam keluarga An itu.

Dalam hal ilmu silat, Kai Seng memang sudah memiliki tingkat yang cukup tinggi,
bahkan sebelum dia meninggalkan istana, dia sudah menerima warisan ilmu pedang
yang cukup lihai dari Coa-tok Lo-ong (Raja Racun Ular) yang baru saja datang dari
PENDEKAR SAKTI 7

Tibet. Coa-tok Lo-ong adalah sute (adik seperguruan) dari Hek-i Hui-mo, maka dapat
dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Ilmu pedang yang dipelajarinya itu adalah
ilmu Pedang Pat-coa Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Ular). Selain ilmu pedang dari
Coa-tok Lo-ong ini, Kai Seng masih mempelajari banyak ilmu silat dari guru silatnya
yang pandai, di antaranya dia mempelajari pula ilmu gulat dari Mongol. Akan tetapi,
setelah dia bertemu dengan Wi Wi Toanio, dia mendapatkan orang yang melebihinya
dalam segala-gala, kecuali dalam kekayaan. Tidak saja kecantikan dan kegenitan gadis
ini merampas semangat dan hatinya, juga ilmu silat Wi Wi Toanio ternyata masih
mengatasi kepandaiannya! Sebagai murid dari Thian-san-pai, Wi Wi Toanio telah
mempelajari Ilmu Silat Thian-san Kiam-hoat sampai hampir sempurna sehingga ketika
secara main-main suami isteri ini mengadu ilmu pedang, Pat-coa Kiam-hoat masih tidak
dapat menandingi Thian-san Kiam-hoat! Tentu saja Kai Seng menjadi girang sekali
karena selain sebagai seorang isteri yang amat cantik dan tercinta, juga dalam diri
isterinya dia mendapatkan seorang pembantu dan pelindung yang boleh diandalkan.

Biarpun tujuh orang pengawal pribadinya terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi,
namun tingkat mereka itu masih belum dapat menandingi tingkat kepandaian Kai Seng
sendiri, apalagi kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu pedang Wi Wi Toanio. Karena
itu, tujuh orang pengawal ini amat tunduk dan menghormati majikannya, tidak hanya
karena majikannya lebih pandai, terutama sekali karena Kai Seng amat royal terhadap
para pengawalnya ini.

Pada suatu hari, ketika Kai Seng sedang bercakap-cakap dengan isterinya di ruang
dalam sambil menikmati kue-kue yang mereka beli dari seorang pedagang dari selatan,
tiba-tiba seorang pelayannya datang menghadap dan melaporkan dengan muka pucat.

"Siauw-ya (Tuan Muda), menurut para pembantu di rumah penginapan, di kota ini
kedatangan seorang pemuda yang mencari keterangan tentang Siauw-ya!"

An Kai Seng dan isterinya saling pandang dan seketika itu juga kue yang tadinya amat
enak itu seakan-akan berubah pahit.

"Selidiki apa kehendaknya dan coba panggil tujuh kauwsu (guru silat) ke sini!" Pelayan
itu keluar kembali dan cepat menjalankan perintah itu. Sebelum keluar untuk melakukan
tugasnya, lebih dulu dia mencari tujuh orang pengawal pribadi dari majikannya dan
memanggil mereka.

"Cu-wi Kauwsu dipanggil oleh Siauw-ya."

Tujuh orang pengawal yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi bajunya digulung
PENDEKAR SAKTI 7

dan amat ringkas, lebih mirip pakaian guru silat itu, segera masuk ke dalam, di mana
Kai Seng dan Wi Wi Toanio telah menanti. Segera mereka mengadakan perundingan
yang sungguh-sungguh.

Tak lama kemudian, pelayan yang tadi keluar datang lagi dengan wajah bangga, karena
dia telah mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang pemuda yang mencari-cari
majikannya itu.

"Siauw-ya, ternyata dia adalah pemuda biasa saja. Hamba melihatnya sendiri dan dia
bukanlah orang yang perlu dikhawatirkan. Namanya adalah Lu Kwan Cu, demikian dia
tuliskan di buku hotel."

"Cukup, keluar kau!" bentak Kai Seng dan pelayan itu keluar dengan mengomel
panjang pendek. Ia mengharapkan hadiah, akan tetapi ternyata majikannya kelihatan
terkejut dan bahkan kelihatan pucat, mendengar omongannya tadi.

Memang, mendengar bahwa nama pemuda yang dicurigainya itu adalah Lu Kwan Cu,
pemuda yang telah membunuh An Lu Kui dan An Kong, yang dikabarkan
berkepandaian tinggi sekali, bukan main kagetnya hati Kai Seng. Akan tetapi dia
menjadi lega kembali setelah isterinya menghibumya.

"Mengapa kau gelisah? Belum tentu kalau kabar tentang pemuda itu benar. Betapapun
lihainya, kita takut apakah? Aku sendiri sanggup memenggal lehernya dengan
pedangku. Mustahil dia akan dapat menangkan kita. Apalagi, kita sudah mengatur siasat
sehingga andaikata dia memang lihai sekali, dia tidak akan dapat mencari kita."

Malam hari itu Kai Seng tak dapat tidur dan nampak gelisah sekali, sehingga Wi Wi
Toanio menjebikan bibirnya yang merah dan mencelanya sebagai seorang penakut.

"Orang macam apakah adanya Lu Kwan Cu sehingga kau begitu takut? Kalau kau tidak
berkeras melarang, aku ingin pergi ke hotel itu dan mengusirnya dengan pedangku,"
kata isteri yang cantik jelita dan genit akan tetapi berani itu.

"Jangan, isteriku, jangan berlaku sembrono. Menurut kabar dari istana dari orang-orang
yang mengetahui, kakek luarku An Lu Kui dan pamanku An Kong yang sudah terkenal
lihai sebagai murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu masih dapat terbunuh olehnya.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia lihai sekali." ,

"Hemmm, aku belum menyaksikan seberapa lihainya kong-kong dan pamanmu itu.
Akan tetapi aku masih percaya kepada pedangku dan aku tidak takut andaikata pemuda
PENDEKAR SAKTI 7

yang bemama Lu Kwan Cu itu berkepala tiga dan bertangan delapan!"

Kai Seng tidak berani membantah karena dia takut kalau-kalau isterinya marah.
Memang, suami ini kalah oleh isterinya, kalah tinggi kepandaiannya dan juga kalah
pengaruh. Namun sampai hampir pagi barulah dia dapat tidur. Berbeda dengan isterinya
yang sore-sore sudah tidur dengan nyenyaknya.

Akan tetapi pada keesokan harinya, Kai Seng harus bangun lagi ketika pintu kamamya
digedor pelayan dari luar.

“Siauw-ya…. lekas bangun….!”

Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka
pintu.

"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak
enak.

Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan
itu kelihatan gugup ketika mewartakan.

"Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang sedang
dihadapi oleh tujuh kauwsu."

Muka hartawan muda itu makin pucat. "Lekas kauberitahukan kepada semua pelayan
agar supaya apabila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak ada di rumah.
Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang
semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di
rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau."

"Baik, Siauwya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya
kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Kedatangan seorang seperti pemuda
yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!"

"Wi Wi, lekas kautukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata Kai
Seng yang cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang
memang sudah disediakan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik
memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan
makin lambat mengenakan pakaian samarannya itu. Inilah hasil perundingannya dengan
tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa
PENDEKAR SAKTI 7

kalau Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan
menyamar sebagai pelayan dan kemudian melihat perkembangan selanjutnya.

Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang


kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena
memang dari kegugupannya mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan
dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.

"Eh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya menegur
untuk menutupi rasa malunya.

Wi Wi Toanio mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai


pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan kalau melihatku pada
tertawa geli. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini."

Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik
kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"

"Biarpun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak
kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya?
Dia tidak akan mengapa-apakan aku."

"Bukankah kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.

Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu?
Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"

Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh
isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan
An Lu Shan. Isterinya tentu takkan diganggu oleh musuh besar itu.

"Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu dapat mengusimya." Kai
Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih berlaku ayal-
ayalan.

“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa
baru saja bangun tidur, belum cuci muka belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu
orang?”

Kai Seng makin mendongkol. Baginya sehabis bangun tidur, isterinya bahkan makin
PENDEKAR SAKTI 7

cantik saja. Akan tetapi dia tidak berani membantah karena memang bagi seorang
wanita, sukarlah untuk di suruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur sebelum berhias
dan mengganti pakaian.

“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.

Ketika Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi
seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya
bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan
miskin seklai, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah. Namun dia tidak
berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.

“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang
kaucari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan,
bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan
alasan.

“Siapapun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani
mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang
kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan
ini.

Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Ia telah menemukan
jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono.
Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biarpun dia mendengar
bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-he Tan. Namun dia masih
tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya.
Apalagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu,
dan ketika dia mempergunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk
menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini
sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai
Seng. Memang dia berlaku sangat teliti dan tidak buru-buru turun tangan, hendak
mencari kepastian lebih dulu.

“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi
aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu
Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.

“Hm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah
berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang ke luar kota!” kata
PENDEKAR SAKTI 7

kauwsu tertua.

“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya
sendiri di dalam rumah ini.”

Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.

“Kau ini bocah ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan
hendak memasuki rumah secara paksa, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak
merampok?’

Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.

“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau


majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak
merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan
kepalanya!”

“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda dan karena dia
memandang rendah secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan
kanannya.

“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan
Cu yang cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang
pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua
tombak lebih lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin banyak
lagi debu mengebul ketika dengan meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan
menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya utuk menghilangkan debu dari celananya, akan
tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!

Melihat betapa segebrakan saja kauwsu itu dapat dilemparkan dengan mudah oleh
pemuda ini, semua kauwsu mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi.
Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan gemerlapanlah golok dan
pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.

“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing
(kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu
menyindir lagi. Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih
banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah
menubruknya dan menghujankan senjata mereka di tubuh Kwan Cu.
PENDEKAR SAKTI 7

Melihat gerakan mereka, makin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan
ghinkangnya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang mempergunakan tangan kaki
untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.

“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah
tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan
di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”

Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti
burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka main
gencar. Adapun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya karena pemuda
itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan salah seorang di
antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.

Namun sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan angin kenyataan. Pada
saat semua senjata merangsangnya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para
pengeroyoknya ke kiri, kira-kira setombak jauhnya dari mereka. Kauwsu itu cepat
membalikkan tubuh dan mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat
menubruk dan menggunakan gerak tipu Sian-jit-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan)
menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali. Alangkah girangnya
hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas kedalam dada Kwan Cu
sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh
keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-
senyum mengejek. Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya
amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh
lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena
pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu
begitu cepat sehingga tidak kelihatan olehnya!

Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih
tinggi daripada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah
terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerak tipu Khai-ciang-
kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga
salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman
mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!
Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang
terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-
senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan
PENDEKAR SAKTI 7

tenaganya. Ketika melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan
senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan
menjamah dagu kauwsu muda itu.

“Aduuuh….. awaaaaaaas, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke
arah para kawannya sendiri. Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka
menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah
mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda
itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan….. “ngek!” Ia terbanting ke atas tanah,
untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah. Akan tetapi kali ini amat kerasnya
sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih. Akan tetapi
kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya,
dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main
sehingga dia merasa seakan-akan dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di
sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya sakit sekali, tangan
kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya
seperti seekor kera kepanasan!

Enam orang kauwsu yang lain menubruk dan marah sekali melihat seorang kawan
mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau
membuang banyak waktu lagi. Ia memang tidak ingin membunuh secara serampangan
saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk
hitungan pembalasan dendamnya. Apalagi para pelayan ini dianggapnya tidak bersalah
apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani
karena tidak punya kebebasan. Melihat datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu
mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sin-na, kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan
cepat sekali seperti sepak terjang seekor merak sakti sedang marah. Dalam beberapa
gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa pada saat
merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku yang membuat
enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting dan roboh seprti keadaan
kauwsu termuda. Tujuh orang kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh bahkan ada yang
tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di
bagian ulu hati sehingga sesak napas.

Kwan Cu melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah
ruangan depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi
majikan para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum melewati pintu ruangan depan, tiba-
tiba dia mendengar sambaran angin dan cepat-cepat dia mengelak sambil mengerahkan
tenaga, mengulur tangan kanan, mempergunakan sebuah gerak tipu dari Kong-ciak-sin-
na untuk merampas pedang yang ditusukkan kepadanya dengan cepat itu.
PENDEKAR SAKTI 7

Akan tetapi dia terkejut melihat pedang itu cepat sekali ditarik kembali dan tidak dapat
dirampasnya, bahkan pedang itu kini menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!

Kwan Cu melompat mundur memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula


yang masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia
tercengang dan diam-diam memuji bahwa hartawan yang bernama Kai Seng itu benar-
benar amat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak boleh dipandang
ringan.

“Ahhh….. masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu
berseru.

“Majikan kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat
kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah An
Kai Seng sendiri!

Sedikitpun Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya
ini, adalah An Kai Seng, orang yang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak
dikeroyok oleh kauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian sebagai
pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu. Tidak pantas seorang
pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian tujuh orang
kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan kepandaian pelayan
muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai Seng, sudah
mendengar tentang usahanya membalas dendam dan telah siap sedia menjaga diri,
memelihara jago-jago silat yang pandai.

Ketika pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali,
diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh
orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan pelayan
muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu pedang yang di
ajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu. Diam-diam Kwan Cu merasa bersyukur
bahwa dia telah mempelajari ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja
dia hanya menerima latihan dari Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat
mengalahkan pemuda ini, apalagi kalau hanya bertangan kosong. Baru berusaha untuk
mencari musuh besar kong-kongnya saja dia sudah menjumpai orang-orang demikian
lihai, apalagi kalau dia kelak bertemu dengan musuh-musuh suhunya. Tugasnya tidak
ringan dan mudah, baiknya dia telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng, sehingga dia boleh merasa tenang menghadapi lawan-lawannya.
PENDEKAR SAKTI 7

Karena maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong dan mainkan
Kong-ciak-sin-na dan Pek-in-hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama sebelum
dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Ia tidak mau
membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapapun pandainya
pelayan ini. Tenaga dan waktunya harus dihemat untuk kelak menghadapi musuh-
musuhnya, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang tidak mempunyai
permusuhan dengannya.

"Jangan kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar
yang sudah banyak membikin sengsara rakyat itu," kata Kwan Cu sambil memutar
sulingnya. Setelah kini dia mempergunakan senjata, benar saja pelayan muda itu
menjadi sibuk sekali. Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya bagaikan
berubah menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala
jurusan. Setelah Kwan Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat
ganas itu, tiba-tiba dia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan
sulingnya dibarengi dengan gerakan menggaet, sedangkan tangan kirinya memukul ke
arah pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.

"Lepaskan senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.

Pedang dan suling bertemu di udara dan betapapun pelayan muda itu mengeluarkan
seluruh tenaganya, dia tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seakan-akan
berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan lumpuh dan
terpaksa pedangnya dia lepaskan!

Akan tetapi pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-
kalau pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya, oleh karena itu, dia
cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan
tenaga lweekangnya.
Tadinya Kwan Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja, akan tetapi
melihat lawannya tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia
lalu berseru,

"Pergilah!"

Pukulan tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan
tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in-hoat-sut. Pelayan
muda itu menjerit dan tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai tiga
tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakannya, maka dia
hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di dalam tubuhnya.
PENDEKAR SAKTI 7

Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi membuat lengannya kaku dan
tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.

"Bangsat kecil jangan kurang ajar!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan sinar yang
berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih
gesit, cepat, dan kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya tadi.
Bukan main, benar-benar musuh besar kongkongnya telah memelihara banyak sekali
orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang itu dengan
sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga lweekang dari
penyerang ini bahkan lebih besar daripada tenaga si pelayan muda tadi!

la cepat memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di depannya berdiri seorang
wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti seorang
bidadari turun dari kahyangan. Tidak saja wajahnya yang putih halus kemerah-merahan
itu mempunyai tarikan yang amat menarik hati dan memikat sedangkan potongan
tubuhnya juga menggairahkan, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah
hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum
yang membuatnya berdebar. Memang wanita ini cantik sekali lebih cantik daripada
Gouw Kui Lan, bahkan masih lebih cantik daripada Bun Sui Ceng sekalipun! Belum
pernah Kwan Cu melihat gadis secantik ini, maka biarpun dia bukan seorang mata
keranjang, namun dia tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik
manisnya setidaknya dia menjadi tertegun.

"Eh, mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan
mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan tetapi dengan
mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.

Kwan Gu menjadi merah sekali mukanya. la menahan napas untuk menenteramkan


hatinya yang terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung agar tidak terpesona
oleh wajah itu, dia menjawab,

"Namaku Lu Kwan Cu dan aku datang untuk mencari An Kai Seng. Akan tetapi para
pelayan itu menyerangku, terpaksa aku merobohkan mereka." Tiba-tiba Kwan Cu
mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk
menikmati wajah cantik itu, melainkan karena dia teringat akan keterangan orang bahwa
musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik. Inikah isterinya
itu? "Siapakah kau dan di mana adanya An Kai Seng?"
PENDEKAR SAKTI 7

Wanita itu tertawa kecil sehingga giginya yang seperti mutiara berderet itu tampak
sebentar lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.

"Aku tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana." Baru
bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang sudah berdiri
lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum geli dan memandang
pula kepada Kwan Cu. "Hm, kau malah sudah mengalahkan pelayanku itu?" Sambil
berkata demikian, wanita itu menudingkan telunjuknya ke arah pelayan tadi. Otomatis
Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah berjalan terhuyung-
huyung keluar dari pekarangan rumah.

Akan tetapi, gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi
wanita tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu!
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh dan
cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras dan
pedang itu terpental kembali.

"Kau curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol kalau saja dia kurang hati-
hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar
baginya.."Siapakah kau?"

Wanita itu tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat sepasang
mata ini, hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam
dan lebih berbahaya daripada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat
mengalihkan pandang tidak berani menatap secara langsung!

"Kau datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa
tanya-tanya nama segala macam?"

Celaka, pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar
biasa yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai sekali
bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam menghadapi
wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini memiliki kecerdikan dan
muslihat yang lebih pandai daripada seorang ahli perang.

Dengan muka merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak,


"Jangan sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng
dan kau lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada
seorang wanita, apalagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An Kai
Seng."
PENDEKAR SAKTI 7

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak kenal An Kai Seng, yang ada, di sini hanya Tan-
wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kaulakukan?" tanya
wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan tenang.

"Aku harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia
orang yang kucari-cari ataukah bukan?"

"Jadi kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.

"Aku akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."

Wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.

"Kau.. kau mengagumkan!" Kwan Cu melengak dan tidak tahu apa yang dimaksudkan
oleh wanita ini, akan tetapi wanita itu cepat menyambung kata-katanya, kini dengan
bentakan keras dan dengan pedang dilintangkan di depan dadanya. "Dan kau sombong!
Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kaulakukan kalau kau
sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup dengan tusukan pedang yang
amat lihai, dan tusukan ini disusul oleh serangan-serangan lain yang cepat sekali.
Kwan Cu sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini maka dia tidak
berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak. Serentetan
serangan dari enam jurus dengan amat mudahnya telah dapat dihindarkan oleh Kwan
Cu.

"Kau hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!" dengan gerakan tubuh
yang amat indah seperti orang menari, ia lalu menggerakkan pedangnya pula, kini
melakukan serangan dengan pedangnya. Serangan ini memang istimewa, dalam sejurus
serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan dengan tenaga berlainan dan dengan
tujuan berlainan pula. Tusukan pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat,
babatan ke dua yang menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah
tusukan ke arah kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan
lanjutan pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga
andaikata lawan dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia akan
terkena oleh pukulan tangan kirinya!

"Hm, inilah In-liong-sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid
Thian-san!" seru Kwan Cu yang cepat sekali mengerahkan ginkangnya untuk
menghindarkan diri dari serangan yang susul-menyusul dan dia tahu amat berbahaya ini.
la pernah mendengar dari Ang-bin Sin-kai tentang ilmu-ilmu silat yang paling ampuh
PENDEKAR SAKTI 7

dan berbahaya dari berbagai cabang persilatan dan justeru ilmu pedang yang ini dia
pernah mendengar dari suhunya. Kalau dahulu dia hanya mendengar teorinya saja,
setelah dia mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekali melihat
saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.

Wanita itu pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat
menghindarkan diri dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat
menduga tepat bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi ia hanya
tertawa mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi- tubi!

Kwan Cu merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena
ilmu pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Kalau dia
tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke dalam
rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia tidak leluasa
melakukan penggeledahan. Di samping ini, dia pun harus berlaku hati-hati karena siapa
tahu kalau-kalau di dalam rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik
rumah ini adalah seorang yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak
ahli silat yang pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai
perempuan ini, bukan hanya karena dia tidak enak hati untuk melukai seorang
perempuan yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa
tidak tega. Tak dapat disangkal pula bahwa kecantikan dan gaya wanita ini sedikit
banyak telah menarik hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus
saja dia dapat merobohkan tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah.
Akhirnya dia mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan
"breeettt!" robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!

Wanita itu terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai
tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa lawannya tidak mau melukainya, dan suling itu
diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya, melainkan bajunya yang robek. Akan
tetapi serangan tadi benar-benar hebat karena amat dekat dengan kulitnya sehingga
bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan kulit pinggangnya yang
putih itu kelihatan!

Karena mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak
mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat Kong-
ciang-sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah pinggang.
Dalam sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita
itu menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil tersenyum
Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas dan sambil mengeluarkan bunyi nyaring,
pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah lebih tergantung di situ
PENDEKAR SAKTI 7

sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga sambitannya.

Wanita itu menangis! Tangan kiri menutupi pinggang yang terbuka pakaiannya dan
tangan kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tak dapat bergerak.

"Kubunuh kau manusia kurang ajar " teriaknya berkali-kali. Akan tetapi Kwan Cu tidak
melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah. la merasa kasihan
dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan dengan cepat, teliti dan hati-
hati, Kwan Cu menjadi kecewa. Semua pelayan yang ditemuinya di dalam gedung itu
mengatakan bahwa majikan mereka yang bernama Tan Kai Seng dan pada saat itu
sedang keluar rumah Kwan Cu tidak suka berlaku kejam kepada para pelayan ini akan
tetapi untuk memuaskan hatinya yang kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki
yang berwajah bodoh. Cepat dia mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam
yang selama itu hanya disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan
tebal di ruang dalam terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher
baju pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.

"Kalau kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak
itu saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung agar selama hidup kau tidak
akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan sendiri!"

"Ampun...... Siauwya.........." kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.

"Nah, katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"

"Hamba tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng......"

"Di mana dia?"

"Tadi......... tadi dia berada di sini.........."

"Jangan bohong! Mana dia ?" Kwan Cu membentak dan dia mengerahkan sedikit tenaga
pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan itu. Pelayan itu meringis
kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.

"Am........ampun, Siauwya............ hamba tidak membohong. Tadi.......... tadi majikan


hamba berada di sini, bahkan tadi keluar......"

Kwan Cu berpikir, lalu membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat
katakan!"
PENDEKAR SAKTI 7

"Dia........ dia yang tadi melawan Siauwya."

"Apa? Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang....... ?".

Pelayan itu hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Kini setelah
membuka rahasia majikannya, dia menjadi makin ketakutan karena dia tahu bahwa
kalau majikannya tahu akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.
Kwan Cu terkejut mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah
bercuriga terhadap pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng
keturunan An Lu Shan? Mungkin sekali!

"Dan gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"

"Dia adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba........"

Baru saja mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hm, yang tahu akan
rahasia hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An
Kai Seng telah mengubah shenya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui
oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!

Ketika tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri,
sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan diri
dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang yang sudah
tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.

Wi Wi Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, cepat hendak melarikan diri, akan tetapi
dengan sekali lompatan,Kwan Cu sudah berada di depannya.

"Jadi kaukah Wi Wi Toanio isteri dari An Kai Seng?" tanya Kwan Cu dengan mata
bersinar mengancam.

"Suamiku bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk
tersenyum sungguh pun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri
betapa lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.

Kwan Cu menengok ke arah pelayan muda yang tadi telah dikalahkannya, akan tetapi
seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata
hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan
kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.
PENDEKAR SAKTI 7

"Kau hendak lari ke mana?" Kwan Cu mengejar dan di lain saat pemuda ini telah
memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.

"Lepaskan aku ! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan


tangannya, akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya. "Katakan dulu,
siapa sebenarnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An Lu
Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya sehingga wanita
muda itu merasa sakit sekali seluruh lengannya.

Pada saat itu, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, telah keluar dan
memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadinya
diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan pada kawan-kawannya, telah datang
diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata tajam. Mereka ini
menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang dipegang tangannya oleh
Kwan Cu. Melihat ini, Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. la
lalu merapatkan tubuhnya, tidak mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan sengaja
merapatkan tubuh pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.

"Kau manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat lihatlah
semua orang, inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang yang katanya
pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku, mengajakku
minggat bersama. Alangkah rendahnya!"

Kwan Cu merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang
harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi merah
sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan melangkah
mundur.

"Kau bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai
Seng itu!" katanya mendongkol.

Sambil memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek lalu


berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!" Lalu ia berjalan
pergi.

Kwan Cu merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke
tempat sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana
bersembunyinya. Akan tetapi kalau dia teringat akan teriakan nyonya muda tadi, dia
menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia menangkapnya, tentu
PENDEKAR SAKTI 7

semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan namanya akan menjadi
busuk di dunia kang-ouw!

Sementara itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah
datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya. la
tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras, senjata-
senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu berteriak-teriak kesakitan, roboh
seorang demi seorang.

Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi
bayangan Wi Wi Toanio. Ia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu.
Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu
di kota dan akhirnya dia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri
dengan perahu mereka ke laut!

Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan lama dia mencari dan setelah bertemu,
dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan sudah dia
kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak
membunuhnya, bahkan tidak melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang
pelayan biasa.

"Biarlah, aku tentu akan dapat menemukannya kembali," katanya sambil menghela
napas dan terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang
merdu, bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan keharuman yang menawan hati masih
tercium oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar
seorang wanita yang cantik, pandai dan..... berbahaya sekali!

Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon,
berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung bajunya dia
menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh
hawa panas matahari. Seperti biasa, dalam menganggur ini dia memeriksa seluruh
saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya.
Dengan perlahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia
menyempurnakan jalan darahnya. Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan
darahnya sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya.
Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya daripada meniup sulingnya. Telah
penat otaknya berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhunya dan
kong-kongnya.
An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya,
karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga diri baik-baik,
PENDEKAR SAKTI 7

apalagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan
waktu lama untuk bisa menemukannya kembali. Lebih dulu dia akan mencari musuh-
musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa
pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah
besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh
yang membunuh gurunya itu.

Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi dan dia masih mempunyai waktu
beberapa pekan, maka Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-
san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat kalau dia
merasa lelah benar seperti siang hari itu.

Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang seringkali dimainkan oleh
Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat, dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika
tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya adalah
pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai itu sekarang.
Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu
akan dapat menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu sekiranya Raja Tabib itu
berada di tempat terjadinya malapetaka yang menimpa diri dua pendeta itu. Sambil
menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa
pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh
Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali dan Kwan Cu harus
mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan
sulingnya dan kini terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu,
menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong. Diam-
diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan,
namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. la tidak merasa heran bahwa
orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan
memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat
jauh. Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat
heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu,
akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!

Yang amat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu
mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas
olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena
dari kata-kata nyanyian ini dia mendapat kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang
sembarangan atau penyanyi biasa saja. Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek,
PENDEKAR SAKTI 7

akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan dan kata-katanya sendiri
merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga,

"Hutan sungai tetap murni tak berubah


apabila tiada tangan kotor orang menjamah,
mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!
Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?
Katakan manusia berakal budi
katakan manusia mahluk tertinggi
aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.
Katakan dusun kota indah dan damai,
aku lebih cinta hutan dan sungai!"

Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang
dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh
pakaiannya. Bajunya lebar panjang, berkembang dan kepalanya ditutup oleh kopyah.
Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya
tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek. Lagaknya kelihatan angkuh
dan tinggi hati, akan tetapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu
menandakan bahwa dia bersemangat besar dan memiliki kepandaian dan tenaga dalam
yang sudah tinggi.

"Eh, bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup suling
menyanyikan lagu itu?"

Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia bangkit berdiri dengan
tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban. Yang
membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya
berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh wanita dan alangkah
lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar amat lucu. Memang aneh
sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.

"Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"

"Aku tidak tuli, juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku
mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."

"Apa katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada
dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi
gagah!"
PENDEKAR SAKTI 7

Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau mencium bau yang tidak enak. "Lucu
memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ah, kau bahkan
kelihatan seperti seorang perempuan!"

Pemuda aneh itu mengangkat alisnya. "Apa? Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda
hijau berani berlancang mulut. Kaukira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang
pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu-coan-
jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la menggerakkan kedua tangannya ke arah
pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit
(senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).

"Hm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali dipergunakan oleh anak-anak
yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul
kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.

"Belajar menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan kanan
aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit
di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang
Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli
silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit di tangan kanan ini
dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"

Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-
pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti
bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sebetulnya hanyalah
dibuat-buat belaka. Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia, melihat seorang
pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh, juga garis-garis pada jidatnya menandakan
bahwa pemuda ini semuda itu sudah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami
batin yang hancur penuh kecewa dan duka.

"Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.

Kwan Cu memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Akan
tetapi dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang
lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Kau masih pernah apakah dengan Hang-
houw-siauw Yok-ong?"

Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo,
kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget melihat betapa.
PENDEKAR SAKTI 7

sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.

"Hm, kau tentu Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan lenyaplah
untuk sesaat kelucuan mukanya.

Kwan Cu terkejut. "Eh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana kau bisa mengetahui
namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan
kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.

"Sulingmu adalah pemberian suhu."

Berseri wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong,
locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara
yang gagah perkasa?"

"Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang awaslah, aku hendak menyerangmu dengan poan-
koan-pit!" Baru saja kata-kata ini diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan
hebatnya!

Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin
menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.

"Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, hendak kulihat apakah kau
patut menerima hadiah itu" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan
hebat. Ketika dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali,
melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.

Kwan Cu kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan
melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun lihai dan tidak boleh
dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan
suling di tangannya. Ketika dia melihat Hok Peng menusuk kearah iganya dengan
totokan yang lihai, dia cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit
kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi
sebenarnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya
menjaga kalau-kalau pit kiri lawannya bergerak. Benar saja, Hok Peng berseru,

"Bagus sekali!" Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa
beratnya sehingga tergetar lengan kanannya dengan kecepatan kilat selagi kedua
kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya menusuk leher Kwan Cu.
PENDEKAR SAKTI 7

Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu melihat gerakan pundak kiri Hok Peng,
segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya memapaki pit itu dengan jari-
jari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak-sin-
na yang lihai!

Hok Peng tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu
kedua kakinya sudah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua
pitnya kini melakukan penyerangan bertubi-tubi. la benar-benar mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw
Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu. Kwan Cu tidak mau
kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia mempelajari
semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan mengakulah Kwan Cu bahwa pemuda aneh
dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali. Kalau dibandingkan
kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai Seng atau Wi Wi
Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh besar, masih lebih
menang sedikit daripada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng yang akan sanggup
menghadapinya dengan kepandaian seimbang. Bagi Kwan Cu sendiri, biarpun dia
mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun sekali melihat saja dia
sudah dapat menangkap inti sari daripada ilmu silat lawannya, berkat pengetahuannya
tentang pokok dasar daripada segala pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya
dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Kalau tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-
kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti
bagaimana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasa merupakan jurus
ampuh yang tidak sembarang dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah
dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.

"Kau lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kauterima ini!" Kini dia mengubah
caranya bersilat dan sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini bergerak secara aneh
dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang samudera dan menerjang bertubi-
tubi dari atas bagaikan hujan badai. Hok Peng telah mengeluarkan ilmu silat paling
hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat yang boleh dimainkan dengan kedua tangan
kosong maupun dengan senjata yang sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat
Badai dan Ombak.

Kwan Cu tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng
seakan-akan keluar tenaga mujijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang pit itu
menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini. Satu kali ini
Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang amat tangguh dan lihai. Kalau
PENDEKAR SAKTI 7

tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya yang mutlak
tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi Ilmu Silat Badai
dan Ombak ini, dia menjadi amat terkejut. Ilmu silat ini dilakukan dengan kecepatan
yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk mempelajari sarinya. Terpaksa
Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku
ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda aneh ini. Cepat
Kwan Cu mengerahkan lweekangnya dan mainkan ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut dengan
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan sulingnya, kini dengan Ilmu
Pedang Hun-khai Kiam-hoat.

Bukan main hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama
kuat. Makin kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah
mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin- keng, pasti dia akan kalah. Seratus
jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.
Sebaliknya, Hok Peng kini benar-benar terkejut. Ia telah mainkan seratus jurus ilmu
silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Ilmu
Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah mainkan seratus
jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi. Tiba-tiba dia teringat betapa dari tadi, Kwan
Cu tak pernah membalasnya, hanya mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari
kedua lengan pemuda itu mengepul uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa
pukulannya. Aduh, celaka, pikirnya. Tak salah lagi Kwan Cu tentu tengah mempelajari
ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak
yang masih dua puluh jurus lagi, sama halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu
kepada Kwan Cu!

Tiba-tiba Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajah pucat
dan dia menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.

"Aku kena kauakali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka
dan kagum kepada pemuda lucu ini.

"Siapapun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (ilmu silat sakti dari Im-
yang Bu-tek Cin-keng), takkan mungkin dapat menahan serangan-seranganku tadi tanpa
membalas sedikit pun. Dan kau tentu telah mencatat dalam hatimu sebanyak seratus
jurus ilmu silatku tadi."

Kwan Cu tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung menjadi murid
Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku? Ilmu silatmu tadi
PENDEKAR SAKTI 7

benar-benar hebat, aku takluk padamu."

Merah wajah Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang macam kau apa gunanya
membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat mengalahkan
engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng,
takkan terlawan oleh siapapun juga. Baiknya Badai dan Ombak masih ada dua puluh
jurus lagi yang belum kaulihat. Aku akan menggembleng yang dua puluh jurus itu dan
siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan dapat mengalahkan engkau."

"Eh, saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar
murka sekali, kurang apakah kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti
Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup
suling dan bernyanyi."

Hok Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras.
Sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, adapun tentang menyuling, kau lebih
pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu? Ah, Kwan
Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa melihatmu. Hanya saja
masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau benar-benar tidak kenal budi dan
kebaktian terhadap gurumu"

Kwan Cu terkejut dan marah. "Eh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli
menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh
dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan kebaktian?"

"Tentu saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran,
dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dah enak-enak seperti tidak
terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal...... "

"Tahan lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang telah
membunuh suhuku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu dan menagih hutang
nyawa mereka!"

Hok Peng tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau
tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan kebaktian,
akan tetapi kau ternyata tolol."

"Ah, apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan Cu
gemas.
PENDEKAR SAKTI 7

"Aku bukan sembarangan saja menuduh. Kau memang tolol kalau belum tahu siapa
adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai itu."

"Mereka adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.

Hok Peng melengak. "Eh, eh, eh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang
locianpwe itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tidak tahu malu dan
curang sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."

"Hm, apalagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, ini tidak marah lagi
karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan agaknya orang
ini boleh sekali dijadikan kawan baik.

"Karena kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka
itu, padahal mereka berada di......"

"Puncak Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.

Kembali Hok Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu
bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk- angguk.

"Hm, jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih
bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh
namanya?"

"Hok Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal
jalan dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kujumpai.
Mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"

"Memang kalau dilihat dari jauh, agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan
agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan tetapi kalau
kaulanjutkan kepercayaan ini, percayalah bahwa sampai waktu Gouw-gwe Cap-gouw
tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini banyak sekali halangannya,
terhalang oleh jurang- jurang berbahaya dan oleh hutan-hutan lebat yang akan
membikin kau tersesat jalan dan akhirnya kau akan terlambat. Kalau kau mengambil
jalan dari timur, dari kaki pegunungan terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana
dengan cepat dan kiranya masih belum terlambat kalau sekarang juga kau melanjutkan
perjalanan. Akan ramai di sana" Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi
sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.
PENDEKAR SAKTI 7

"Hok Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah pemuda itu
yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya. Akan tetapi Kwan Cu juga tidak
mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, karena dia maklum bahwa orang-
orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang yang wataknya memang
aneh dan lain daripada orang-orang biasa.

Dengan cepat Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya, kini dia mengubah arah
perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara, melainkan dari
timur seperti yang dinasihatkan oleh Hok Peng.

***

Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari
jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya
aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan
gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan
gerakan cepat seperti terbang.

Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang baik ke Tai-hang-san, terdapat pula
Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih
ditakuti daripada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena
Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut. Tokoh selatan ini biarpun
sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan
sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani
menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini
naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang
berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal
oleh Kiu-bwe Coa-li!

Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama
menuju ke tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri
dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.

Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti
ini, Kiu-bwe Coa-li kelihatan sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui
Ceng karena gadis ini yang semenjak kecil ikut gurunya tentu saja sudah kenal baik
akan watak gurunya yang aneh.

"Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan
PENDEKAR SAKTI 7

Kun Beng yang juga berlutut di depannya.

"Teecu…….. teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan…….. dan teecu


sudah…………. sudah bertemu dengan dia ini."

Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik
saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.

"Siapa dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya. Nenek
sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat dan menakutkan, pikirnya, lebih aneh daripada
suhunya sendiri, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.

"Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng
tanpa berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."

"Ah, jadi kau murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat
mukamu!"
Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat
sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. la tidak tahan menatap sinar
mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.

"Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.

"Teecu.... teecu bersama Ceng-moi hendak..... hendak mohon keputusan tentang.......


tentang perjodohan........." Setelah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah
mukanya, demikianpun Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Tiba-tiba tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu
cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat
ke arah tubuh Kun Beng.

"Suthai !" Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini,
yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!

Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat
menyambar, sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa
dapat dielakkan lagi! Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan
cepatnya. la tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat-cepat dia
mengerahkan tenaga lweekangnya dikumpulkan ke arah pundak menahan napas untuk
menerima datangnya totokan ini.
PENDEKAR SAKTI 7

Kekhawatiran Sui Ceng, sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-
li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga
sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya.
Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia memiliki
kepandaian yang seimbang dengan muridnya dan patut menjadi suami muridnya.
Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!

Ketika jalan darah di pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa
seluruh tubuhnya tergetar, akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga
lweekangnya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe Coa-li
menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan
bicarakan tentang perjodohan!"

Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis
ini biarpun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani
membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe
Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang. Sui Ceng sebelum menghadap gurunya,
telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka makin
rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya. Kun
Beng seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa
cinta dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan
Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda
seperti Kun Beng.

Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja ia menjadi
kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat
muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li. Biarpun bibirnya tidak mengeluarkan
sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil
tersenyum mengejek ia berkata,

"Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Kini pinni (aku) menghadapi
urusan yang lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya memandang rendah
kepadaku sehingga dia mengirim undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-
hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat
bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan
kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro
kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan memperingatkan
PENDEKAR SAKTI 7

aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu,
aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak
orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa
dia marah sekali.

"Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.

"Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan
kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar
bangsa sendiri, betapapun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah
kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing
dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus berangkat ke Tai-hang-
san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian
pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan
tua bangka itu."

Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tak boleh dibantah lagi. Sui Ceng
menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah. Celaka, pikirnya. Kalau
betul suhunya pergi ke Tai- hang-san, tentu suhengnya Gouw Swi Kiat akan berada di
sana pula. Bagaimana kalau suhengnya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi
antara dia dan Kui Lan? Tentu suhunya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak
saja dimusuhi oleh suhengnya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu
tunangannya akan berubah benci kepadanya.

Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul
akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Tak mungkin sekali suhengnya itu mau
membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain biarpun kepada suhu sendiri tentu
tidak. Urusan ini biarpun menjelekkan nama Kun Beng namun yang akan lebih rusak
nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang
wanita dialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat daripada seorang pria.
Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan
Swi Kiat yang tahu akan urusan itu? Kun Beng merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau
hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tidak
kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa
berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe
Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.

Setelah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan


tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-
li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan
PENDEKAR SAKTI 7

tidak menegur siapa pun juga, biarpun ada yang sudah mereka kenal.

"Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan
tetapi menutup mulut rapat-rapat!"

Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak
bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang
diri dengan cepatnya. Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan
mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi
perjalanannya dari timur benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, amat mudah dan
selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga
dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau tersasar jalannya.

Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba
dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang duduk di bawah pohon,
menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang
dilonjorkan menghalang jalan. Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia
menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk di
situ, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan kedua kaki menghalang
jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.

"Bocah-bocah sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil
menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa
permisi. Benar-benar tidak sopan!"

Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang
cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja
hendak mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja
memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ sehingga dia
tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!

Ketika dia melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu kaget dan heran. Yang
duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali
seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini.
Bangsa apakah dia? Kalau dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia seorang
bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi mengapa kulit
mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih dan halus, hanya di
bagian muka yang amat hitam sehingga sukarlah untuk mengenat muka ini, kecuali
sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh. Kwan Cu merasa seperti pernah
melihat mata seperti ini, akan tetapi oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia
PENDEKAR SAKTI 7

tidak dapat mengenal lagi.

"Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat akan tetapi tidak meninggalkan
warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormat
orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.

Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau
dan kasar sekarang berubah menjadi halus dan tenang, suara yang sudah pernah
didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia
mengenalnya, akan tetapi betapapun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat
lagi siapa adanya orang tua ini.

"Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah
watak manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja
menempiling kepalanya sendiri,

"Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya dan serta-merta dia menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil
berkata dengan girang,

"Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurangajaran teecu yang semenjak tadi
tidak mengenal Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai
yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."

Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini
merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya
penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tak
mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tidak mengerahkan
lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini akan dianggap
sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat
tubuhnya sudah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.

Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di balik semak-semak belukar,


mendekam di situ tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya,
dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh. Tindakan kaki ini berat sekali sehingga
pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui
bahwa yang datang adalah empat orang, agaknya sengaja menjatuhkan kaki dengan
pengerahan tenaga luar biasa, sedangkan yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara
derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.
PENDEKAR SAKTI 7

Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu
menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka
ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya bukan lain adalah
Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh
suhunya! Inilah yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya
menjadi panas sekali. Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam
seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil.
Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada
malam hari di dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh.
Tak terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan ingat bahwa dia masih menyimpan
sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini. Adapun orang ke tiga dan ke empat
adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka.

Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang- bayang yang
cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung. Kakek bermuka hitam
itu berdiri dan menghela napas panjang.

"Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-
pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai
setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hmmm, bahkan
Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini....." Kakek ini berjalan perlahan
keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.

Anda mungkin juga menyukai