Anda di halaman 1dari 4

Kejadian itu menerbitkan kegemparan dan kegusaran yang tiada taranya dalam sejarah

Siauwlim
sie. Pendeta pimpinan lantas saja mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian
tinggi
untuk membekuk Tauw to kejam itu, tapi sesudah mencari sana sini diseluruluh Kang-
lam,
dan Kang-pak(daerah sebelah selatan dan utara Sungai Besar), usaha mereka tidak
berhasil.
Dan akibat dari peristiwa itu, dalam Siauw lim sie belakangan muncul gelombang yang
merupakan perebutan kekuasaan dan saling salah menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin
La
han tong, Kouw hoei Sian soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk
sebuah
cabang Siauw lim pay. Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah
murid-murid
Kouw hoei Sian soe.
Demikian bunyi catetan dalam buku tipis itu, yang kebetulan dapat dibaca oleh Kak
wan.
Sesudah itu, ilmu silat Siauw lim sie merosot banyak. Untuk mencegah terulangnya
kejadian
itu, para pemimpin lalu mengadakan peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie
hanya boleh
belajar silat dibawah pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari
belajar,
orang yang melanggar diancam dengan hukuman sangat berat paling berat hukuman masih
paling enteng diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang barcacat. Selama
puluhan
tahun, peraturan itu dipertahankan dengan kerasnya dan tak pernah terjadi lagi
peristiwa
mencari belajar silat. Sesudah lewat banyak tahun, per-lahan2 orang-orang mulai
melupakan
kejadian hebat itu.
Si pendeta tua anggota Sim sian tong itu, adalah salah seorang murid Kouw tie Sian
soe.
Selama puluhan tahun, ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat
menyedihkan. Maka itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi tanpa
mempunyai guru, kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan matanya dan
rasa
sedih dan gusar me-luap2 dalam hatinya.
Mengingat apa yang telah dibacanya, tanpa merasa Kak wan mengeluarkan keringat
dingin
"Loo hong thio!" teriaknya. "Ini .... Koen Po...."
Belum habis perkataan itu, Boe siang Siansoe sudah membentak. "Murid-murid Tat mo
tong!
Majulah! Bekuk dia!"
Hampir berbareng dengan perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera
mdlompat
maju untuk mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar,
Kwee Siang pun turut terkurung di dalamnya.
"Murid-murid Lo han tong! Mengapa kau belum mau maju?" seru si pendeta Sim sian
tong. Semua
murid Lo ham tong segera bergerak serentak dan membuat tiga lingkaran lain diluar
lingkaran
murid-murid Tat mo tong,
Thio Koen Po jadi bingung bukan main, Apakah dengan mengalahkan Ho Ciok Too, ia
telah
melanggar peraturan kuil ! "Soehoe!" teriaknya. "Aku... aku... "
Kurang lebih sepuluh tahun, Kak wan telah hidup ber-sama-sama muridnya dan
kecintaan mereka
tiada bedanya seperti kecintaan antara ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po
sampai
kena ditangkap, biarpun tidak mati, ia bakal jadi orang bercacad.
"Kalau tak mau turun tangan sekarang, mau tunggu sampai kapan lagi?" Tiba-tiba
terdengar
bentakan Boe siang Sian soe.
56
Delapan belas murid Tat mo tong lantas saja mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir
lagi,
Kak wan memutar sepasang tahang besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan
tenaga Lweekangnya yang sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu tidak
bisa
maju. Bagaikan senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi itu ter-putar2
dan
untuk menyelamatkan diri, murid-murid Tat mo tong terpaksa melompat kebelakang.
Sesudah
semua penyerang terpukul mundur, Tiba-tiba Kak wan menyapu dengan kedua tahangnya
dan
Kwee Siang masuk ketahang kiri dan Koen Po masuk ketahang kanan. Sesudah itu,
bagaikan
terbang, ia turun gunung dengan memikul kedua orang muda itu. Semakin lama suara
berkerincingnya rantai jadi semakin jauh dan beberapa saat kemudian, tidak
kedengaran lagi.
Karena peraturan Siauw lim-sie selalu dijalankan dengan keras. Maka, sesudah Sioe-
co Tat
mo-tong mangeluarkan perintah untuk menangkap Thio Koen Po, biarpun tahu tak bisa
menyandak, semua murid Tat mo-tong lantas saja mengubar. Dalam pengejaran itu,
terlihatlah siapa yang berkepandaian lebih rendah dan mengentengkan badannya masih
agak
cetek, lantas saja ketinggalan dibelakang. Sesudah siang terganti malam, hanya lima
orang
saja yang masih mengejar terus. Tiba-tiba jalanan terpecah jadi beberapa cagak.
Mereka jadi
bingung sebab tak tahu, jalanan mana yang diambil Kak wan. Demikianlah, mau tak mau
dengan masgul mereka kembali kekuil untuk mendengar perintah jauh.
Sesudah kabur seratus li lebih, barulah Kak wan berani menghentikan tindakannya.
Ternyata,
ia sudah masuk kedalam sebuah gunung yang sepi. Meskipun memiliki Lweekang yang
sangat tinggi, tapi sesudah lari begitu lama dengan pikulan yang begitu berat, ia
tidak
bertenaga lagi,
Kwee Siang dan Koen Po lanas saja melompat keluar dari tahang yang separuhnya masih
penuh air. Mereka basah kuyup dan sesudah mangalami kekagetan hebat, paras maka
mereka
masih kelihatan pucat. "Soehoe," kata Koen Po. "Kau mengaso dulu disisi, aku mau
pergi cari
makanan"
Tapi dalam gunung yang sepi, dimana ia mancari makanan? Sesudah pergi beberapa jam,
ia
kembali dengan hanya membawa buah buahan hutan. Sesudah menangsal perut mereka
mengaso dengan menyender dibatu-batu.
"Toahweeshio," kata Kwee Siang. "Para pendata Siauw lim-sie kelihatannya aneh-
aneh."
Kak wan tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan suara "hemm"
"Benar-benar gila," kata pula si nona. "Dalam kuil itu tak seorangpun yang bisa
melawan Koen
loen Sam seng Ho Ciok Too, yang hanya dapat dipukul mundur dengan mengandalkan
tenaga
kalian berdua. Tapi sebaliknya dari berterima kasih, mereka berbalik mau menangkap
saudara
Thio. Benar-benar gila! Mereka agaknya tak bisa membedakan yang mana hitam, yang
mana
putih."
Kak wan menghela napas. "Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan Loo hong thie
dan
Boe siang soeheng" katanya. "Dalam Siauw lim sie terdapat sebuah peraturan . .. "
Ia tak bisa
meneruskan perkataannya karena lantas batuk tak henti-hentinya.
"Toahweeshia, kau terlalu letih" kata Kwee Siang seraya me-mukul2 punggung
sipendeta
"Besok saja baru kau ceritakan."
Kak wan menghela napas, "Benar aku terlalu capai." katanya.
Thio Koen Po segera mengumpulkan cabang kering dan membuat perapian untuk
mengeringkan pakaian Kwee Siang dan pakaian nya sendiri. Sesudah itu mereka bertiga
lalu
tidur dibawah satu pohon besar.
Ditengah malam sinona tersadar. Tiba-tiba ia medengar Kak wan bicara seorang diri,
seperti juga
sedang menghafat kitab suci. Antara lain ia berkata: "... Tenang dia merintangi
kulit dan
buluku, niatku sudah masuk ketulang dia. Dan tangan saling bartahan. Hawa menembus.
Yang dikiri berat, yang pikiran kosong, sedang yang dikanan sudah pergi. Yang kanan
berat,
yang kanan kosong, yang kiri sudah pergi . . . "
Sekarang Kwee Siang mendapat kepastian, bahwa apa yang dihafal si pendeta adalah
kitab
ilmu silat .
"Toahweahsio tidak mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan
menghafal segala apa yang dihadapinya," katanya didalam hati. "Beberapa tahun
berselang,
dalam pertempuran pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa
disamping
kitab Leng keh keng, Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag
dinamakan
Kioe yang Cin keng. Ia mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan
dan
menyehatkan badan. Tapi sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa
guru
dan murid itu sudah memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan.
Hari itu,
waktu diserang olah musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia
berhasil
melukakan penyerangnya. Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia
atau
Toakoko. Cara Thio Koen Po merobohkan Ho Ciok Too lebih-lebih mengagumkan. Apakah
itu
semua bukan berkat pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya
bukan
Kioe yang Cin keng?"
Mengingat begitu, perlahan-lahan supaya tidak mengagetkan sipendeta, ia bangun dan
duduk.
Ia memasang kuping terang terang dan mengingat ingat apa yang di katakan Kakwan
"Kalau benar apa yang dihafal Toa hwe shio adalah Cioe yang Cin keng, aku tentu
tidak bias menyelami artinya dalam tempo cepat, pikirnya. "Biarlah besok aka minta
petunjuknya."
Sesaat kemudian, Kak wan berkata kata pula: "... Lebih dulu dengan menggunakan hati
memerintahkan badan, mengikuti orang lain, tidak mengikuti kemauan sendiri.
Belakangan
badan bisa mengikuti kemauan hati. Menurut kemauan hati dengan tetap mengikuti
orang.
Mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti orang lain artinya hidup.
Dengan
mengikuti kemauan orang lain, kita bisa mengukur besar kecilnya tenaga orang itu,
bisa
mengenal panjang pendeknya lawan. Dengan adanya pengetahuan itu, bisa maju dan bisa
mundur dengan leluasa."

Anda mungkin juga menyukai