Anda di halaman 1dari 4

Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan

sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Cung Bun mempunyai kesukaan lain
lagi yang timbul dari rasa kasihnya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang
mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena
melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah
ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas.

Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak
pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam
ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam
sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari
pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang
memberi tahu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari
pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama.

Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mukjijat dari
bulan dan matahari, yang membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga dalam
di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya. Setelah keringat membasahi
seluruh tubuh dan beberapa kali memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu,
Cung Bun turun dari batu itu, menghapus peluh dengan sapu-tangan lebar. Setelah
tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia
mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat
dari dalam goa untuk dijemur dibawah sinar matahari. Inilah yang menjadi
pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-
tanaman yang berkhasiat.

Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di


antara mereka terdapat pula beberapa orang persilatan yang kasar dan menderita luka
beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Cung Bun
memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita.
Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang
terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, di
punggungnya tergantung golok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya
terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.

"Cung Bun, kau tolonglah aku..." Begitu tiba di depan goa dimana Cung Bun duduk dan
memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan
bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.

Cung Bun mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia
paling tidak suka
melihat orang persilatan yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang
selalu mereka bawa. Namun belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan
diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak serigala, yang
haus darah, yang selalu saling bermusuhan dan saling melukai, sehingga mereka ini
merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenal apa artinya
ketenteraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan
kebahagiaan.

"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat
karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah
berkulit hitam itu.

"Benar, benar sekali, Cung Bun. Aku adalah Harimau Hitam yang dahulu terkena
senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang aku menderita luka lebih
parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya pedang itu mengandung racun
yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Cung Bun."

Cung Bun tidak berkata apa-apa lagi. Ia menghampiri orang yang di atas tanah itu,
memeriksa luka mengangga di balik celana yang ikut terobek. Luka itu lebar dan
dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, bahkan ketika
dipegang seluruh kaki itu terasa panas, tanda keracunan hebat!

Cung Bun menarik napas panjang. "Senior, mengapa engkau masih saja bertempur dengan
orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang
ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang
lain?"

Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia
dapat marah kepada Anak Jenius ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat
bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang
menjadi pertapa dan hidup suci!

"Cung Bun, aku adalah Harimau Hitam, Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau?
Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau
aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan menganggu orang, dan kalau orang yang
kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan
tetapi, dua kali aku keliru menilai orang....�

�Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku
terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang
membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan
hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Cung Bun. Dan aku datang
kali ini juga akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu."

"Senior, aku tidak membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat
tetumbuhan di sini. Tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja, mempersilakan siapa
pun juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa
merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan
kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat. Seluruh
kaki sudah panas, berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang
masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu dibuka agar dapat diobati, tidak
seperti sekarang ini, ditutup oleh darah beracun yang mengering. Dapatkah kau
membuka lukamu itu, Senior?"

Orang setengah tua itu membelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar cara bocah
itu bicara. Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa bocah ini
adalah Anak Jenius, Anak Jenius! Maka dia lalu menghunus goloknya.

Saat melihat berkelebatnya sinar golok, Cung Bun memejamkan matanya. Terbayang
kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah-bundanya, dan banyak golok yang
kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.

Harimau Hitam menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di
pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam
mengucur ke luar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Harimau Hitam melemparkan
goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.

Cung Bun berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat
sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau
muntah! Akan tetapi Cung Bun yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di
hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja,
menerima bau itu dengan perasaan makin terharu.

�Betapa sengsara dan menderitanya orang ini,� hanya demikian bisikan hatinya. Dia
lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalam luka yang
mengangga.
"Aduhhhhh... mati aku...!" kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu
mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian
yang terluka itu.

"Harap kau pertahankan, Senior sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan
lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu
adalah obat yang akan mengusir penyakit ini."

Sambil berkata demikian, Cung Bun lalu menggunakan empat helai daun yang sudah
diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu
dengan empat helai daun. Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa
rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik napas panjang karena rasa
nyerinya kini dapat ditahannya.

"Harap Senior membawa akar ini. Rebuslah dan minum airnya, khasiatnya untuk
membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu akan
membusuk dan akan lekas sembuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti obat
setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama
sekali." Cung Bun berkata sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang
lebar dan menyerahkannya kepada Harimau Hitam.

Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang. "Kalau
saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di
sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku
tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Cung Bun. Dan aku tidak dapat
membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar."

Cung Bun mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran.

"Cung Bun, dunia persilatan telah geger dengan namamu. Aku dan orang-orang
persilatan yang telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia persilatan dan
terjadilah geger karena nama Cung Bun menjadi kembang bibir setiap orang
persilatan. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu
penjelmaan dewa. Kini telah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk
datang ke sini untuk membujukmu menjadi anggota mereka atau menjadi murid orang-
orang persilatan yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat dua orang
manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai
persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."

Cung Bun mengerutkan alisnya. Sedikit pun dia tidak merasa takut karena memang dia
tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Senior, aku hanya
seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapa
pun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?"

Kakek itu memandang terharu. "Ahh...kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih
hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh
dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak
rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah jenius seperti engkau ini. Akan
tetapi dua orang iblis itu..." Harimau Hitam menggiggil dan kelihatan jeri sekali.

"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"


"Di dunia persilatan banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis,
termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan
itu, mereka adalah dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah
seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis. Dia kelihatan seperti
orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua Partai Pengemis
Delapan Dewa, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa
dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah
engkau kalau sudah berada di tangan kakek ini Cung Bun."

"Hemmm, kurasa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil
seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan mengangguku, Senior!"

"Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang Anak Jenius yang
berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi
iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita cantik dan tak ada yang
tahu berapa usianya. Wajahnya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa
sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi,
seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan
watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam dari-pada iblis sendiri."

"Senior, harap saja Senior tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku
tidak percaya."

Kakek itu menarik napas panjang lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi peringatan
kepadamu, Cung Bun. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat
aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah
kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju
ke Lembah Kura-kura mencarimu."

Namun Cung Bun menggeleng kepala. "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan di sini,
aku tidak akan pergi ke mana-mana, Senior."

"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-


benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi mudah-mudahan
aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak
berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal,Cung Bun, dan sekali
lagi terima kasih."

"Selamat jalan, Senior. Semoga lekas sembuh."

Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka. Baru belasan langkah ia menoleh
lagi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi,
Cung Bun?"

Cung Bun tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.

"Cung Bun, siapakah namamu yang sesungguhnya?"

"Aku disebut Cung Bun. Biar pun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega
menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Cung Bun, itulah namaku."

Harimau Hitam menggeleng kepala, lalu melanjutkan perjalanannya dan masih


bergeleng-geleng sambil mulutnya mengomel, "Anak Jenius... Anak Jenius! Sayang...,"
dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu
bocah yang dikaguminya itu.

Beberapa hari kemudian semenjak Harimau Hitam datang minta obat kepada Cung Bun,
makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di
dunia persilatan karena dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Cung
Bun tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak
ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah
gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya
itu.

Anda mungkin juga menyukai