Anda di halaman 1dari 4

Raja Go Tong memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Sia Li yang telah

menjadi permaisurinya. Sia Li sendiri yang tadinya mengalami malapetaka yang


dianggapnya lebih hebat dari-pada kematian sendiri, telah memperoleh banyak
keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan ilmu
kepandaian yang amat hebat pula.

Hanya seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir mau pun batin,
yaitu A Mei! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak beberapa
tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi mendekatinya! Lenyaplah wataknya
yang periang dan kini A Mei lebih banyak mengurung dirinya di dalam kamar, menyulam
atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang pertapa dan biar pun wajahnya
tidak membayangkan sesuatu, masih tetap cantik manis dan pakaiannya selalu bersih,
namun sesungguhnya hatinya terluka dan selalu meneteskan darah, batinnya terhimpit
dan terbakar oleh rindu yang tak kunjung henti, kehausan akan belaian kasih sayang
seorang pria yang tak pernah terpuaskan.

Keadaan di dalam istana dengan adanya penderitaan A Mei, dengan adanya para anggota
keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat kesempatan
untuk menjatuhkan wanita ini karena A Mei selalu bersikap diam dan tidak
memperlihatkan sesuatu, merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan
berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua anggota keluarga
raja, bahkan dirasakan pula oleh Cung Bun dan Go Hong.

Sering-kali Cung Bun kehilangan kejenakaan Go Hong yang merupakan ciri khas dara
ini. Ketika melihat dara itu termenung seorang diri, dia menarik napas panjang dan
sekali waktu dia menegur, "Eh, Junior wanita. Kenapa kau termenung dan wajahmu
suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu. Sinar matahari mencairkan salju dengan
cahaya yang keemasan!"

Go Hong memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. "Betapa aku tidak akan
muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Senior? Ayah memang
masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi antara Ayah dan
Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak pernah lagi aku
menyaksikan keduanya beramah-tamah dan bersendau-gurau seperti dahulu lagi. Apakah
karena Ibu Permaisuri...?"

"Ssst, Junior wanita. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang
tua itu. Hal itu adalah urusan mereka sendiri."

"Aku mengerti, Senior. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik
senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang membuatnya
seperti gila...."

"Hushh...."

"Aku tidak membohong, Senior. Sering-kali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil
nama Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biar pun dia
hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara batin
yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara itu kelihatan
berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Senior, apa sih perlunya orang saling
mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan kecewa?"

"Itu bukan cinta, Junior wanita. Ahh, kau takkan mengerti dan semua orang takkan
mengerti karena sudah lajim menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu
menuntut pemuasan, menuntut kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri.
Dan semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Junior wanita."

Junior wanita-nya terbelalak. "Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana
memperoleh filsafat macam itu, Senior?" Karena tertarik, dara ini sudah melupakan
kedukaannya dan menjadi riang gembira lagi. Matanya memandang senior-nya dengan
berseri penuh godaan.

"Dari... hemm, kukira dari kesadaran, Junior wanita. Bukan filsafat. Aku sudah
kenyang membaca filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk dihafal? Tidak
ada bedanya dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan,
dijadikan alat untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak
kitab sudah kubaca, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan
kesadaran." Cung Bun menarik napas panjang.

"Senior, kau tadi mencela aku yang kau katakan murung. Akan tetapi aku juga sering-
kali melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau
Salju Abadi?"

"Aku suka sekali tinggal di sini, Junior wanita. Kurasa jarang terdapat tempat
seindah ini, masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat para
terhukum yang dibuang ke Pulau Langkasuka...."

"Aih, hal itu bukan urusan kita, Senior. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa
urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama sekali
bukan urusan kita."

�Kau keliru, Junior wanita. Urusan Ayah-bundamu memang merupakan urusan pribadi
mereka. Akan tetapi urusan orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita
juga. Aku sama sekali merasa tidak senang dengan adanya peraturan itu. Aku akan
berusaha untuk mengingatkan Guru...."

"Tapi Ayah seorang Kaisar, Senior!"

"Kaisar pun manusia juga."

"Tapi Kaisar hanyalah menjalankan hukum yang berlaku, Senior."

"Hukum pun buatan manusia. Benda mati!"

Tiba-tiba terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu
memperhatikan dan wajah Cung Bun menjadi muram.

"Nah, ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi
sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Senior!"

Tangan Cung Bun digandeng oleh Go Hong yang menariknya ke arah bangunan di samping
istana. Bangunan ini dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan hukuman
terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka tiba di situ,
telah banyak penghuni Pulau Salju Abadi yang menonton di luar ruangan, dan tentu
saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk di atas
kursi yang berderet di pinggiran.

Ruangan itu luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja
panjang dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah kursi. Di kanan-kiri
pada bagian pinggir juga terdapat kursikursi, sedangkan di depan meja, di bagian
tengah tetap kosong.

Pada saat Cung Bun dan Go Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk
hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai hakim.
Di kursi kebesaran di sebelah kanannya tampak duduk Go Tong sendiri bersama
permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya Kaisar hanya datang tanpa
permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya permaisuri
Kaisar Go Tong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan di Pulau Salju
Abadi.

Para pesakitan sudah berlutut di atas lantai di depan meja, jumlahnya ada tiga
orang. Seorang adalah lakilaki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar dan
gerak-geriknya kasar, seorang lagi laki-laki muda yang tampan, dan terakhir ialah
seorang wanita yang usianya empat puluhan. Wanita yang masih cantik ini berlutut di
samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti laki-laki tinggi
besar dan si wanita yang kelihatan tenang-tenang saja.

Dengan suara lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi
besar yang sudah berlutut di depan setelah namanya dipanggil, yaitu A Kui. �A Kui
telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka menggunakan
kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap karena
melakukan pencurian, mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular milik orang
lain. Karena kejahatannya membahayakan Pulau Salju Abadi, dapat menimbulkan
kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas
dirinya. Selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai
contoh kepada semua penghuni pulau."

Hening sejenak, kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar, "A
Kui, kau sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan membela diri."

A Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada Kaisar, kemudian dengan suaranya yang
kasar dan nyaring berkata, "Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena
hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari
Paduka. Kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam hukuman
yang dijatuhkan kepada hamba."

Hakim berpikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Langkasuka kepada A Kui."

Suasana menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada
penggal kepala. Di antara mereka yang mendengarkan banyak yang menahan napas dengan
muka pucat, dan ada pula yang menaruh hati kasihan kepada A Kui.

Akan tetapi pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada Kaisar, lalu berkata
dengan suara penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat,
yang terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Salju Abadi yang
hamba cintai!"

"Jadi engkau menerima keputusan hukuman?" hakim bertanya.

"Hamba mene...."

"Nanti dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Go Tong sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat Cung Bun telah
berdiri dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap Guru dan para senior
sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya hendak
membelanya. Saudara A Kui ini dianggap berdosa dan memang dia telah melakukan
pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu dijadikan tanda bahwa
dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya hendak bertanya, siapakah di
antara kita sekalian yang tidak pernah melakukan kesalahan?"

"Semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka
kita pun tentu pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan yang
dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah atau
berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh A Kui
adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia yang berbatin lemah.
Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan sama saja dengan seorang
yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya, yang sakit bukan tubuhnya
melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit bisa sembuh! Maka, menghukumnya
dengan hukuman keji itu sama dengan membunuhnya!"

Hening sekali keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan


pembelaannya.

"Akan tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus
tunduk kepada hukum!" kata Go Tong ketika melihat betapa hakim ragu-ragu untuk
menjawab. Dia maklum bahwa Cung Bun disuka banyak orang di situ, dan selain ini,
agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena pemuda itu adalah murid
Kaisar. Karena inilah maka Go Tong sendiri yang mengeluarkan suara membantah.

"Harap Guru memaafkan murid kalau terpaksa mendebat. Saudara A Kui melanggar hukum
yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Langkasuka. Dari
manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum, mana
mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran? Hukum
itulah yang menciptakan dosa dan pelanggaran. Hukum itulah yang keji karena
hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor dari-pada dosa itu sendiri! Kalau
dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Langkasuka, bukankah hal itu membuat
dia menjadi makin jahat dan mendendam? Andai kata seorang penderita sakit,
penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau Langkasuka itu
akan menginsafkannya? Guru, sudah berkali-kali murid menyatakan bahwa hukuman
seperti ini tidak patut dilakukan. Lebih baik menuntut mereka yang tersesat agar
kembali ke jalan benar dari pada menghukum mereka dengan kekerasan yang akan
membuat mereka menjadi lebih jahat lagi."

�Sung Cung Bun, kau tak berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami!
Hakim, lanjutkan persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri A Kui tidak
dapat diterima!" bentak Go Tong yang merasa tersinggung juga mendengar betapa
peraturan yang dijunjung tinggi selama ratusan tahun oleh nenek moyangnya itu kini
disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi muridnya!

Cung Bun menghela napas dan terpaksa dia duduk kembali.

"Ssttt, kau terlampau berani...." Go Hong berbisik.

"Hemmm... tiada gunanya...." Cung Bun balas berbisik.

Anda mungkin juga menyukai