Anda di halaman 1dari 4

Langkasuka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali.

Aku harus menyusul Go Hong


dan melindunginya," demikian dia mengambil keputusan dalam hatinya.

Dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dalam
kedukaan dan kepusingan. Pula Cung Bun sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari
tetumbuhan obat, maka kepergiannya meninggalkan Pulau Salju Abadi dengan sebuah
perahu tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Cung Bun
mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau
Langkasuka.

Dia sudah tahu di mana letaknya pulau itu dari keterangan yang diperolehnya ketika
dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Salju Abadi. Bahkan diam-diam pernah
pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Langkasuka ini, akan tetapi
hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak
kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh
dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apa lagi kalau ombak
sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya.

Ketika itu Cung Bun menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau
Salju Abadi, jika tidak tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia
menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Salju Abadi diadakan
pengadilan dan diputuskan hukuman buang ke Pulau Langkasuka. Baginya, dibuang ke
Pulau Langkasuka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam
perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berhasil mendarat.

Kini Go Hong telah pergi ke Pulau Langkasuka mewakili ibunya! Dia kagum dan
khawatir. Kagum akan keberanian dan kebaktian Junior wanita-nya terhadap ibunya,
akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan Junior wanita-nya yang belum dewasa
benar itu. Junior wanita-nya baru berusia empat belas tahun! Biar pun dia tahu
bahwa ilmu kepandaian Junior wanita-nya sudah hebat dan cukup untuk dipakai menjaga
diri, namun betapa pun juga Junior wanita-nya itu masih kanak-kanak! Cung Bun sama
sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari usia Go
Hong!

Perjalanan dari Pulau Salju Abadi ke Pulau Langkasuka melalui lautan yang penuh
dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut. Gumpalan es itu
kadang-kadang sebesar gunung, dan celakalah kalau sampai perahu tertumbuk oleh
gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, karena digerakkan oleh
angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es, yang begitu
saling menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah.
Akan tetapi, Cung Bun sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya
menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya,
melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar.

Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu
yang hanya tampak siripnya itu berenang di kanan-kiri dan belakang perahunya.
Betapa pun tinggi ilmunya, ngeri juga hati Cung Bun karena dia tahu bahwa sekali
perahunya terguling, kepandaiannya tidak akan berguna banyak dalam melawan ribuan
ikan buas itu di dalam air!

Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka


bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan-kiri, serta depan belakang
perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu berenang pergi dengan cepat seperti
ketakutan setelah bertemu bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Cung Bun. Pemuda
ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun
bubukan hitam yang sering-kali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Salju Abadi
untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.

Beberapa jam kemudian kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak
sekali jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan sebesar ibu jari kaki, akan tetapi
keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas
perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing
seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit terobek dan
terbawa moncongnya! Apa lagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air. Dalam waktu
beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya akibat dikeroyok laksaan
ikan buas ini. Kembali Cung Bun dengan cepat menyebar obat bubuk hitam beracun itu.
Ikan-ikan kecil itu pun lari cerai-berai tidak berani lagi mendekat sampai perahu
meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu.

Setelah melalui perjalanan yang amat sulit, menjelang senja akhirnya sampai juga
perahu Cung Bun di pantai Pulau Langkasuka. Tetapi seperti dugaannya, pulau itu
memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar.
Pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi dan
mati. Namun dibalik kesunyian itu, Cung Bun merasakan seolah-olah banyak mata
mengamatinya dan maut tersembunyi di sana-sini, siap untuk mencengkeram siapa pun
yang berani mendarat! Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Cung Bun, penuh
kekhawatiran terhadap keselamatan Go Hong. Apakah dara itu sudah berasil mendarat?

Tentu Go Hong dapat mencapai pulau ini karena dara itu pun tahu jalan ke situ, dan
mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga
dia, tentu Go Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan
cukup. Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Langkasuka.
Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang
kabarnya memenuhi pulau ini? Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Go
Hong, Cung Bun lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia
membalik dan memasuki hutan.

Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan
entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-
nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Cung Bun bahwa
lebah-lebah itu mengandung racun yang amat jahat, maka tentu saja dia terkejut
sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus,
beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.

Cung Bun cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling
tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat sehingga lebah-lebah itu
terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah. Cung Bun tidak tega
untuk membunuh lebah-lebah itu, maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya
untuk mengusir. Namun binatang-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan
menyerang tubuh Cung Bun, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin
banyak dan terbang mengelilingi Cung Bun dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau
oleh hawa pukulan jubah.

Melihat ini, Cung Bun kaget. Betapa pun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri
di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah
itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan
tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Cung Bun lalu mengumpulkan
daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok
dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering.
Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting ini. Benar saja. Dengan
ranting yang ujungnya menyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah
yang berani mendekatinya.

Cung Bun melanjutkan perjalanan dan terus menerus menyalakan api di ujung ranting
yang dikumpulkan dan dibawanya. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika
melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil,
kalajengking, lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang
dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa
itu takut terhadap api. Andai kata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok
oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah!

Lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari
suara yang berdengungdengung itu masih terus berada di belakangnya. Tiba-tiba
terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat,
kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa ekor yang
meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Cung Bun menggunakan api di
ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu
makin marah dan mengamuk. Tampak pula oleh Cung Bun betapa binatang kecil lainnya
yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh
api di ujung ranting.

"Siuuut...!" tiba-tiba tampak benda hitam menyambar kearah ujung rantingnya.

Maklumlah Cung Bun bawa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di
ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi. Maka cepat ia menarik
ranting terbakar itu ke bawah, lalu menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang
dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang
membokongnya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang agaknya
merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!

"Haiii, saudara penghuni Pulau Langkasuka! Harap jangan menyerang. Aku Sung Cung
Bun datang dengan maksud baik! Aku hanya mau mencari Junior wanita-ku di sini!"

Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali
menjauh, demikian pula ular, kelabang dan binatang kecil lainnya. Terdengar bunyi
tapak kaki menginjak daun-daun kering, dan tak lama kemudian muncullah belasan
orang yang bertelanjang kaki dan berpakaian tidak karuan. Muka mereka menyeramkan,
kotor dan tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata
orangorang gila. Dengan gerakan perlahan dan pandang mata penuh curiga, belasan
orang itu menghampiri dan mengurung Cung Bun.

Pemuda itu tersenyum ramah dan bersikap tenang. Ranting menyala diangkatnya tinggi-
tinggi untuk memperhatikan wajah mereka. "Harap Kalian sudi memaafkan kedatanganku
yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sesungguhnya aku, Sung Cung Bun, tidak berniat
buruk terhadap Pulau Langkasuka, apa lagi terhadap penghuninya. Aku datang untuk
mencari Junior wanita-ku yang bernamaGo Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau
ini."

Seorang di antara mereka melangkah maju, mukanya penuh brewok sehingga yang tampak
hanya matanya dan sedikit hidungnya. Orang ini lalu menegur dengan suaranya parau
dan kasar, "Kau dari mana?"

"Dari Pulau Salju Abadi...."

Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi
senjata golok besarnya dan membentak, "Kalau begitu kau harus mampus!"

"Nanti dulu, harap Kalian bersabar," Cung Bun cepat berseru dan mengangkat tangan
kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Kalian. Sudah kukatakan bahwa aku datang
bukan untuk bermusuh, mengapa Kalian hendak membunuhku?"

Pada saat itu muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Tuan muda Sung dari
Pulau Salju Abadi?"

Cung Bun memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan
lain adalah A Kui, penghuni Pulau Salju Abadi yang dihukum buang ke Pulau
Langkasuka karena telah mencuri batu mustika hijau!

"Paman A Kui!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Go Hong yang juga sudah
dibuang ke sini!"

"Apa?!" A Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi
pemimpin rombongan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela A Kit dan
A Nie ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan
hukum di Pulau Salju Abadi, biar pun dia adalah murid Kaisar Go Tong sendiri."

"Apa...?!" mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"

"Benar," jawab A Kui. "Dan kita bukanlah lawannya."

Si Brewok meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada Majikan Pulau!"

A Kui melangkah maju. "Harap Tuan muda menurut saja kami hadapkan kepada Majikan
Pulau sehingga Tuan muda dapat bicara sendiri dengannya."

Cung Bun terdiam sejenak sambil berpikir. Memang berbahaya sekali menghadapi orang-
orang kasar ini karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan
Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan dapat minta
keterangan apakah Go Hong telah berada di pulau itu.

Akhirnya Cung Bun mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau Langkasuka lalu
menyalakan obor. Cung Bun sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan
mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia
melihat tempat-tempat berbahaya. Lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-
pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohonpohon yang
aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah
itu mengandung racun jahat, dan lain-lain.

�Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya,� pikirnya. �Pantas tempat ini
disebut Pulau Langkasuka.�

Diam-diam dia mencela kekejaman Kerajaan Pulau Salju Abadi yang membuang orang-
orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya
ini, hanya A Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena
raksaksa ini baru beberapa bulan saja dibuang ke sini. Sedangkan yang lain-lain,
biar pun dapat mempertahankan hidupnya namun telah berubah menjadi orangorang liar
yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatannya!

Selain menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu
yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di
pulau itu. Buktinya, biar pun mereka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu
tanpa sepatu, tapi tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya
dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan pKakakuman hidungnya, Cung Bun maklum
bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosokgosokan ke
seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat.

Anda mungkin juga menyukai