Anda di halaman 1dari 2

Rumah sederhana beratap daun ijuk itu nampak sepi dari arah jalan setapak.

Satu-
satunya jalan setapak penghubung ke dusun yang masih ada di lereng gunung Arjuna.
Dinding tebing berbatu keras menjulang tinggi ke atas. Dinding tebing yang
merupakan batas ujung jalan setapak, berjarak dua puluh tombak dari belakang rumah
itu.
Sementara senja bergulir menembus malam. Suara binatang dan serangga malam mulai
memenuhi hutan itu. Nampak seorang pemuda menapak masuk ke halaman rumah dari arah
luar jalan setapak itu.
Di punggungnya bergelayutan seekor kijang besar gemuk yang sudah tak bernyawa. Raut
wajahnya tampak berseri. Wajah tampan dan rupawan. Pemuda itu tak masuk ke rumah
dari arah depan, dia ke arah samping kanan dan belok ke kiri.
Tubuh kijang gemuk itu di taruh di atas kayu pipih setebal dua jengkal tangan
dengan panjang satu setengah tombak dan lebar satu tombak. Kayu pipih itu berada di
tepian dinding kanan belakang rumah. Tempat pemotongan hewan buruan.
Pemuda tampan itu menggaitkan tali busur ke kaitan besi di atas kayu pipih dan juga
tali tabung bambu sepanjang setengah tombak berisi batang-batang anak panah.
�Ah ayah belum sampai. Selalu saja sehabis berburu, ayah pasti ke rumah paman
Nagar!�, gumam pemuda itu senyum-senyum menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pemuda itu tahu pria yang dia panggil paman Nagar dulunya seorang pemburu yang
sangat handal. Ayahnya belajar berburu dari paman Nagar itu sebelum akhirnya pria
itu jatuh dari salah satu tebing saat menggejar babi hutan di timur gunung Arjuna.
Kedua kakinya patah dan lumpuh tak bisa berjalan.
Ayah dan dirinya sepekan sekali pergi berburu. Kadang hasilnya dapat babi hutan
kadang juga kijang seperti sekarang ini. Tiga ekor kijang dewasa yang gemuk-gemuk
hasil buruan di padang antara gunung Arjuna dan gunung Welirang.
Dua ekor kijang dewasa di bawa sendiri oleh ayahnya untuk diberikan pada paman
Nagar sedangkan dia di suruh ayahnya bawa pulang satu ekor kijang saja. Pemuda itu
paham, paman Nagar sudah tak bisa berburu lagi sejak kedua kakinya patah dan
lumpuh. Kejadian itu sudah sepuluh tahun silam. Istri paman Nagar pergi entah ke
mana setelah satu tahun merawat suaminya, mungkin tak terima dengan kondisi
suaminya yang lumpuh.
Beruntung paman Nagar punya Sekar puteri satu-satunya. Usia Sekar lebih kecil tiga
tahun dari pemuda itu. Dari usia tujuh tahun Sekar merawat ayahnya setelah ibunya
pergi dari rumah entah kemana. Ada beberapa warga desa di bawah lereng gunung
Arjuna pernah melihat ibunya Sekar di kota Daha dan sudah menikah lagi dengan
seorang pedagang. Rupanya pedagang itu dulunya sering ke desa mereka menjual barang
dagangan berupa kain. Mungkin dari situlah ibunya Sekar kepincut dengan si pedagang
yang masih muda dan juga ibunya Sekar memang masih gadis merupakan kembang desa.
Pemuda itu senyum-senyum sendiri mengingat ayahnya selalu memarahi dirinya bila
nakal menjahilin Sekar.
�Ah sudah beres, kalau ayah sudah pulang, saya tak di tegur lagi!�, gumam pemuda
itu setelah memotong-motong kijang gemuk itu dan membuang yang tak perlu dari dalam
tubuh kijang ke sungai kecil yang berjarak lima tombak di bagian samping kiri
rumah.
Semakanan nasi kemudian,
�Ah segarnya setelah bersih-bersih. Tiga hari berburu tiga hari tak bersih-bersih!
�, gumam pemuda itu tersenyum sendiri.
Sekujur tubuh pemuda berusia sembilan belas tahun itu nampak bersisik seperti sisik
ular, kecuali wajah, lengan bawah sampai ujung jari tangan dan dari tungkai kaki
sampai ujung jari kaki. Kalau ada yang melihat sisik-sisik itu pasti akan
menganggap pemuda itu jelmaan siluman ular.
Namun tak begitu dengan mereka yang sudah mengenal pemuda itu sedari bocah. Apalagi
para warga desa-desa sekitar lereng gunung Arjuna sudah mengenal ayahnya sejak
ayahnya tinggal bersama istri pertamanya di lereng gunung Arjuna sebelah kanan dari
rumahnya yang sekarang.
�Hem, minyak lemak babi hutan sudah hampir habis. Tak cukup lagi untuk nyalakan
obor di depan.Apa saya ke rumah paman Nagar, dia punya banyak persediaan minyak
lemak babi hutan?�, gumam pemuda bersisik ular itu sambil mengenakan pakaiannya.
�Iihh kakang!�, jerit seseorang yang masuk ke dalam bilik pemuda itu tanpa di
ketahuin.
Jelas pemuda bersisik ular itu meloncat kaget mendengar jeritan dari seorang gadis
remaja itu.
�Dinda!�, sapa pemuda itu tersipu malu sampai memerah wajah tampannya.
�Kakang cepetan di tutup itunya!�, seru gadis remaja itu menunjuk ke arah pahanya.
Cepat-cepat pemuda itu mengenakan pakaiannya.
�Waduh kamu kagetin kakang. Kok kakang tak tau kamu masuk?�, tanya pemuda itu
heran.
Sedari berusia lima tahun, dia mulai di latih olah kanuragan oleh ayahnya. Suara
sekecil apapun bisa dia dengar dalam jarak tiga puluh tombak.
�Ala kakang ini, kan saya sudah menguasain Saipi Angin sampai tamat dari paman
Kamandanu!�, jawab gadis itu mendekatin si pemuda yang agaknya masih kaget.
�Kamu, kamu mau apa?�, tanya si pemuda melihat gadis itu berani mendekati dirinya
di dalam kamar biliknya.
�Mau cubit!�, jawab gadis itu yang sudah menjulurkan dua lengan dengan ibu jari dan
telunjuk ke tubuh pemuda itu.
Si pemuda tak berhasil mengelak dari sergapan sepasang jepitan jari jempol dan jari
telunjuk gadis remaja itu.
�Aduh biyung!�, jerit si pemuda kesakitan.
�Nyaman kakang?�, tanya gadis remaja berwajah oval itu senyam senyum mendelikkan
kedua matanya.
�Nyaman dengkulmu!�, jawab si pemuda lalu mulai membalas cubitan, namun dengan
gesitnya, si gadis meloncat ke luar kamar bilik si pemuda.
�Tak kena, tak kena, tak kena!�, seru gadis itu olok-olok.
�Awas tak cabut habis bulu-bulu rambutmu!�, teriak si pemuda mengejar si gadis
nakal itu.
�Eit, tunggu dulu kakang, sejak kapan rambut ada bulu-bulunya?�, tanya si gadis
berhenti berlari dan membalikkan tubuhnya.
Akibatnya tubuh mereka bertubrukkan karena si pemuda tak sempat berhenti mengejar
si gadis.
Tubuh ranum gadis remaja itu hampir tumbang terlentang ke belakang bila pinggang
rampingnya tak di pondong oleh kedua lengan kekar si pemuda bersisik ular itu.
Sejenak kedua pemuda pemudi itu saling melayangkan tatapan, bibir mungil yang
selalu basah itu mengerucut dan kedua kelopak matanya menutup perlahan-lahan. Si
pemuda terkesimak cukup lama.
Setelah sadar dia tak sengaja melepaskan pondongannya di pinggang ramping si gadis
yang sedang merem itu. Yah akibatnya sudah pasti tubuh si gadis jelita itu jatuh
bebas ke atas permukaan lantai yang terbuat dari kulit-kulit lebar pohon hutan.
�Aduh Biyung!�, teriak si gadis kesakitan terlentang di atas lantai itu.
�Maaf, maaf, maaf!�, mohon si pemuda merasa bersalah.
Saat si pemuda ingin menolong si gadis bangkit dari lantai, gadis itu melakukan
gerakan taktis dengan mengangkat kedua kaki ke atas lalu diayunkan sedemikian rupa
dan kedua telapak tangannya di balik sedemikian rupa, dengan sekali sentakkan
bersamaan dengan ayunakan kedua kakinya. Tubuh si gadis melejit bangun dari posisi
terlentang.
�Huh, tiada maaf lagi kakang!�, sahut si gadis cemberut. Wajahnya tak enak di
pandang, bibirnya gimana gitu.

Anda mungkin juga menyukai