Anda di halaman 1dari 73

Arya Bagaskara tersenyum bangga.

Pentas perayaan ulang tahun perusahaan distribusi


miliknya terlihat sangat megah tahun ini. Tema kebudayaan Indonesia tersaji apik oleh
pelakon dan penyanyi terkenal ibu kota.

"Ayah, sebentar lagi acara puncaknya," bisik sang putri. Anak ayu semata wayang yang baru
menginjak usia dua puluh tahun itu tersenyum antusias di sebelahnya. Bangga dapat
menyajikan pagelaran pertama yang ia rencanakan tanpa campur ayahnya.

"Memangnya kamu menyiapkan apa?" Tangan sang putri mengamit lengannya. Mata hitam
arang warisan darinya berkilat semangat. Belum sempat Arya mendapat jawaban, musik dan
lampu-lampu yang menyinari aula padam.

Hiruk pikuk suara tamu undangan mereda. Rasa penasaran dan antusias semakin meninggi.
Semua mata tersedot misteri dari panggung yang mendadak gelap. Seluruh penonton
sedang menunggu, tidak terkecuali Arya.

Lampu sorot menyala. Menerangi sosok gagah yang berdiri membelakangi penonton di
tengah panggung. Kedua kaki terbuka, selendang hitam terlampir pada jemari yang
tarangkat lues ke udara. Beskap—baju pria Jawa--merah membalut punggung bidang
penari, menimbulkan kontras mencolok di tengah panggung.

Bunyi gamelan sayup-sayup terdengar, disusul alat musik lain yang menyulam alunan
gending dari tanah Jawa. Ujung jari penari mulai bergerak, meliuk tegas mengikuti tabuhan.

Senyum tidak lepas dari bibir Arya Bagaskara. Suara gending dan gerak lincah dan tegas sang
penari menarik perhatiannya. Tarian gagahan putra dibawakan dengan berbeda, unsur
modern ditambahkan pada musik dan gerakan. Dengan hentakan, sang penari berbalik
menghadap penonton.

Bunyi napas tertahan terdengar. Gumam kagum mengumandang melihat paras penari yang
rupawan. Tidak ada yang menyangka penampilan sang penari. Wajah yang terlalu indah
untuk dimiliki seorang pria tersapu rias wajah dan kumis tipis yang menonjolkan ekspresi
gagah dari tokoh yang ditarikan.

Senyum Arya membeku. Tatapannya tidak lepas dari wajah penari yang baru saja berbalik.
Dadanya bergemuruh, tangannya bergetar tanpa ia sadari. Tidak, tidak mungkin!

Penari latar muncul, lantunan musik semakin cepat. Namun pandangan Arya tak beralih.
Penari gagahan putra telah menyedot seluruh atensinya. Perlahan sebuah pengenalan
timbul, membawa perasaan-perasaan yang pernah ia pendam menyeruak, menggerogoti
akal waras dan pengendalian diri. Tangannya mengepal, penyangkalan masih mendominasi
rasa rindu yang mencoba hadir dari kenangan lalu.

Pandangan mereka bertemu. Membuka bendungan kenangan belasan tahun silam. Walau
tubuhnya telah meninggi, badannya lebih berisi, tapi Arya tidak lupa, sinar mata yang
memandangnya kini masihlah sama. Tidak mungkin ia salah mengenal.

Bayuaji.

Tabu yang coba Arya lupakan.

Arya bangkit. Tergesa meninggalkan tempat duduk dan keluar dari ruangan. Panggilan sang
putri tidak ia hiraukan. Anggap ia pengecut, dia sedang melarikan diri.

Langkah cepat Arya berubah lari ketika menelusuri lorong hotel tempat acaranya
diselenggarakan.

Kang Arya.

Kakinya terhenti. Suara yang menggema dari masa lalu dan terus menghantui mimpi-
mimpinya selama ini bergaung memanggil. Arya menoleh, tapi sosok itu tidak ada di
belakangnya. Dia munkin telah mulai gila. Lututnya bergetar, mengancam tidak dapat
menahan bobot tubuh. Seorang staf-nya menghampiri, bertanya apa dia baik-baik saja.
Setengah sadar Arya menyuruhnya pergi. Dia tidak ingin diganggu. Dia butuh sendiri.

***

Guyuran air dari keran westafel mendinginkan kepala Arya. Napas dan jantungnya mulai
terkendali. Arya menatap pantulan dirinya di cermin toilet hotel. Jas hitam dan dasi miliknya
telah tergantung di salah satu pintu kubikel toilet. Penampilannya sungguh berantakan, air
yang menetes dari rambutnya yang mulai beruban membasahi kemeja biru yang dia
kenakan.

Dia tidak lagi memikirkan pagelaran yang mungkin sudah selesai. Arya masih berdoa jika
penglihatannya sedang mempermainkannya.

Sungguh ceroboh tindakannya malam ini. Ketenangannya langsung menghilang tersapu


keterkejutan bertemu sosok yang paling tidak ingin dia temui.

Mungkin ini balasan. Dosa masa lalunya tiba-tiba muncul di depannya.

"Apa begitu menakutkan bertemu denganku, Kang? Hingga harus lari."


Arya membeku, pantulan sosok dicermin mengirim rasa dingin di punggungnya. Perlahan
dia berbalik, berusaha menyembunyikan rasa panik yang menyeruak keluar. Suara yang
lebih berat dari yang ia ingat memanggilnya. Sang penari menatap dengan bola mata coklat
yang selalu menghipnotis. Tidak memungkinka dia untuk lari.

Masih tidak berubah.

Walau sosok remaja telah berganti pria dewasa, tapi napas Arya tetap tercekat setiap
memandangnya.

Arya tersenyum getir. Bagai meludah ke langit, mungkin ini waktunya ludahnya mengenai
mukanya sendiri.

Apa yang harus Arya lakukan ketika karma tersenyum di depannya?

***

"Kenalkan, ini cucu saya, Bayuaji."

Arya terpana. Hingga usianya yang kedua puluh empat, baru kali ini ia menemui pemuda
yang membuatnya kehilangan kata-kata. Dia tidak dapat lepas dari pandangan mata coklat
dengan bulu mata lentik yang baru ia temui. Tuhan pasti sendang berbahagia sehingga
menciptakan pemuda seindah lukisan di depannya.

"Ayo, Aji. Beri salam pada Mas Arya." Pemuda yang tidak lebih tinggi dari dada Arya itu
tersenyum, menampilkan sepasang lesung pipi yang membuatnya membuka mulut tanpa
sadar.

Bayuaji yang baru berusia tiga belas tahun itu, mendekat dan mengamit tangannya.
Mencium punggung tangannya yang sedikit bergetar. Sensasi lembut membelai punggung
tangannya.

"Pak As. Ini cucu, Panjenengan*?" tanya Arya sangsi. Aswono, pria yang telah menginjak
usia lima puluh tahun itu tersenyum maklum. Bukan sekali dua kali kenalannya kaget
dengan cucu tunggalnya ini. Aji memang memiliki paras yang teramat rupawan, sering salah
dikira perempuan, dan sangat bertolak belakang dengan dirinya yang gemuk dan hitam.

"Ya iya, ini cucu saya. Ganteng, to?" Telapak tangan gemuk Aswono menepuk sayang
punggung cucunya. "Le*, buatkan kopi untuk Mbah* dan Mas Arya ya?"

"Enggeh*, Mbah." Arya menatap punggung kecil pemuda itu hingga menghilang di balik
pintu. "Ayo, jangan dilihati terus. Nanti naksir repot loh."
"Pak As, bisa saja." Arya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Kembali duduk di
kursi kayu yang tersedia. "Cucu jenengan calon pembuat patah hati wanita Pak."

Gelak tawa terlontar dari pria tua itu. "Bukan calon lagi, Mas. Anak sebelah desa sudah
dibuat patah hati, dia pernah naksir Aji. Dikira perempuan." Pria tambun itu terkekeh geli
mengingat pemuda desa sebelah yang langsung pucat ketika mengetahui cucunya adalah
pria. "Aji sungguh mirip ibunya."

Sinar mata Aswono meredup. Hal ini tidak luput dari perhatian Arya. Putra dan menantu
Aswono telah meninggal akibat kecelakaan. Meninggalkan anak yang kini dalam asuhan
Aswono.

"Jadi, ada apa Nak Arya mencari saya?"

"Saya ingin menerima tawaran, Pak As. Dulu Bapak pernah menawari saya untuk tinggal di
tempat Bapak jika ke kota ini."

Aswono meneliti pria di depannya. Dia mengenal Arya ketika menjadi supir truk di salah satu
pelabuhan di Jakarta setahun lalu. Mereka sering berbincang-bincang jika ada waktu.
Aswono juga tahu, Arya menikah dengan putri dari pemilik perusahan tempat Aswono
bekerja. Dia saja masih heran kenapa Arya mau berbicang-bincang dengan orang rendahan
sepertinya.

Tapi kenapa tiba-tiba pria ini ingin tinggal di desanya ratusan kilometer jauhnya dari ibu
kota?

"Ayam berkokok hari siang. Seperti kata saya dulu, Mas boleh tinggal di tempat saya kapan
pun Mas mau. Saya lebih dari senang, Mas Arya mau tinggal di gubuk saya ini, tapi ..."
Aswono berhenti sejenak, dia minimbang apa pertanyaan selanjutnya lancang atau tidak. "
...tapi kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba Mas Arya ingin tinggal di sini?"

Tentu Aswono akan mengijinkan pria ini tinggal bersamanya. Arya sudah banyak membantu
Aswono. Pria ini mengutus orang untuk membantunya mengurus pemakaman putra dan
menantunya yang meninggal di pulau Sumatra. Serta memberi dia pesangon yang jauh lebih
cukup untuk menjemput Bayuaji dan tinggal bersamanya di sini.

"... Saya sedang mempertimbangkan untuk membuka perusahaan distribusi. Pak As sudah
berulang kali berkeliling Jawa waktu jadi supir. Jadi saya ingin belajar lebih banyak tentang
rute-rute dan jarak tempuhnya," jawab Arya.

Jika hanya ingin belajar itu, Arya tidak perlu mencari Aswono hingga ke desa di Jawa Timur
ini. Dia yakin, banyak yang lebih paham tentang itu daripada Aswono. Namun, alis yang
mengerut dan sinar mata Arya yang meredup, membuatnya wurung bertanya. Sepertinya
kawan yang jauh lebih muda darinya ini sedang dilanda masalah yang pelik.

"Kalau begitu silahkan, Mas Arya boleh tinggal sampai kapanpun di rumah ini. Tapi mohon
maaf sebelumnya, loh, di sini banyak nyamuk."

"Terima kasih, Pak."

"Mbah, ini kopinya." Bayuaji datang dengan nampang berisi kopi yang mengepul.

"Sini, letakkan di meja sini, Le."

Dalam pahit manis kopi yang disesap pelan, kisah Arya dimulai. Tabu akan tersaru, dan batas
melebur jadi abu.

"Kenalkan, ini cucu saya, Bayuaji."

Arya terpana. Hingga usianya yang kedua puluh empat, baru kali ini ia menemui pemuda
yang membuatnya kehilangan kata-kata. Dia tidak dapat lepas dari pandangan mata coklat
dengan bulu mata lentik yang baru ia temui. Tuhan pasti sendang berbahagia sehingga
menciptakan pemuda seindah lukisan di depannya.

"Ayo, Aji. Beri salam pada Mas Arya." Pemuda yang tidak lebih tinggi dari dada Arya itu
tersenyum, menampilkan sepasang lesung pipi yang membuatnya membuka mulut tanpa
sadar.

Bayuaji yang baru berusia tiga belas tahun itu, mendekat dan mengamit tangannya.
Mencium punggung tangannya yang sedikit bergetar. Sensasi lembut membelai punggung
tangannya.

"Pak As. Ini cucu, Panjenengan*?" tanya Arya sangsi. Aswono, pria yang telah menginjak
usia lima puluh tahun itu tersenyum maklum. Bukan sekali dua kali kenalannya kaget
dengan cucu tunggalnya ini. Aji memang memiliki paras yang teramat rupawan, sering salah
dikira perempuan, dan sangat bertolak belakang dengan dirinya yang gemuk dan hitam.

"Ya iya, ini cucu saya. Ganteng, to?" Telapak tangan gemuk Aswono menepuk sayang
punggung cucunya. "Le*, buatkan kopi untuk Mbah* dan Mas Arya ya?"

"Enggeh*, Mbah." Arya menatap punggung kecil pemuda itu hingga menghilang di balik
pintu. "Ayo, jangan dilihati terus. Nanti naksir repot loh."
"Pak As, bisa saja." Arya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Kembali duduk di
kursi kayu yang tersedia. "Cucu jenengan calon pembuat patah hati wanita Pak."

Gelak tawa terlontar dari pria tua itu. "Bukan calon lagi, Mas. Anak sebelah desa sudah
dibuat patah hati, dia pernah naksir Aji. Dikira perempuan." Pria tambun itu terkekeh geli
mengingat pemuda desa sebelah yang langsung pucat ketika mengetahui cucunya adalah
pria. "Aji sungguh mirip ibunya."

Sinar mata Aswono meredup. Hal ini tidak luput dari perhatian Arya. Putra dan menantu
Aswono telah meninggal akibat kecelakaan. Meninggalkan anak yang kini dalam asuhan
Aswono.

"Jadi, ada apa Nak Arya mencari saya?"

"Saya ingin menerima tawaran, Pak As. Dulu Bapak pernah menawari saya untuk tinggal di
tempat Bapak jika ke kota ini."

Aswono meneliti pria di depannya. Dia mengenal Arya ketika menjadi supir truk di salah satu
pelabuhan di Jakarta setahun lalu. Mereka sering berbincang-bincang jika ada waktu.
Aswono juga tahu, Arya menikah dengan putri dari pemilik perusahan tempat Aswono
bekerja. Dia saja masih heran kenapa Arya mau berbicang-bincang dengan orang rendahan
sepertinya.

Tapi kenapa tiba-tiba pria ini ingin tinggal di desanya ratusan kilometer jauhnya dari ibu
kota?

"Ayam berkokok hari siang. Seperti kata saya dulu, Mas boleh tinggal di tempat saya kapan
pun Mas mau. Saya lebih dari senang, Mas Arya mau tinggal di gubuk saya ini, tapi ..."
Aswono berhenti sejenak, dia minimbang apa pertanyaan selanjutnya lancang atau tidak. "
...tapi kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba Mas Arya ingin tinggal di sini?"

Tentu Aswono akan mengijinkan pria ini tinggal bersamanya. Arya sudah banyak membantu
Aswono. Pria ini mengutus orang untuk membantunya mengurus pemakaman putra dan
menantunya yang meninggal di pulau Sumatra. Serta memberi dia pesangon yang jauh lebih
cukup untuk menjemput Bayuaji dan tinggal bersamanya di sini.

"... Saya sedang mempertimbangkan untuk membuka perusahaan distribusi. Pak As sudah
berulang kali berkeliling Jawa waktu jadi supir. Jadi saya ingin belajar lebih banyak tentang
rute-rute dan jarak tempuhnya," jawab Arya.

Jika hanya ingin belajar itu, Arya tidak perlu mencari Aswono hingga ke desa di Jawa Timur
ini. Dia yakin, banyak yang lebih paham tentang itu daripada Aswono. Namun, alis yang
mengerut dan sinar mata Arya yang meredup, membuatnya wurung bertanya. Sepertinya
kawan yang jauh lebih muda darinya ini sedang dilanda masalah yang pelik.

"Kalau begitu silahkan, Mas Arya boleh tinggal sampai kapanpun di rumah ini. Tapi mohon
maaf sebelumnya, loh, di sini banyak nyamuk."

"Terima kasih, Pak."

"Mbah, ini kopinya." Bayuaji datang dengan nampang berisi kopi yang mengepul.

"Sini, letakkan di meja sini, Le."

Dalam pahit manis kopi yang disesap pelan, kisah Arya dimulai. Tabu akan tersaru, dan batas
melebur jadi abu.

Pribahasa : Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang

***

Kehidupan di desa, jauh lebih menyenangkan dari dugaan Arya. Lebih tepatnya, benar-benar
menenangkan bagi pikirannya yang sedang penuh. Jujur, alasan yang ia berikan pada
Aswono tidak sepenuhnya benar. Dia sedang lari. Kehidupannya di ibu kota telah menekan
Arya hingga ia tidak bisa lagi tidur nyenyak.

Arya terlahir dari keluarga menengah atas, walau tidak pernah mengalami kekurangan, dan
orang tuanya bisa memenuhi keinginan-keinginan Arya. Namun, semua itu tidak bisa
dibandingkan dengan keluarga istrinya, Eva.

Istrinya lahir di keluarga pengusaha yang dekat dengan orang pemerintahan dan terbiasa
hidup di antara kemawahan. Bahkan krisis ekonomi yang melanda seluruh negeri, tidak
mampu mengeringkan kekayaan keluarga Eva. Awalnya itu tidak mempengaruhi kehidupan
pernikahan mereka. Arya hanya harus bertahan dengan sindiran sinis yang biasa diberikan
mertua. Dia menganggap ini wajar, apalagi sejak awal mereka tidak terlalu setuju dengan
hubungannya. Namun, setelah manis bulan-bulan awal pernikahan, sifat istrinya yang tidak
bisa lepas dari kemewahan membuat Arya kewalahan. Permintaan-permintaan sang istri
mulai tidak bisa dia penuhi. Perlahan istrinya mulai kembali meminta sokongan dana untuk
kebiasaanya, membuat mertuanya mulai campur tangan dalam urusan rumah tangga
mereka.

Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang. Bukan sekali dua kali Arya
mendengar selentingan jika mertuanya mengatakan bahwa Arya tidak mampu memenuhi
kebutuhan istrinya. Lama-kelamaan hal itu membuatnya merasa kerdil, mengikis sedikit
demi sedikit harga diri Arya. Lalu masalah memuncak ketika perusahan yang baru dia rintis
selama tiga tahun limbung. Ketika dia banting tulang ingin membuktikan diri jika dia pantas
dan dapat mengatasi masalahnya dengan kekuatannya sendiri, tanpa berbicara pada Arya,
istrinya menerima dana dari ayahnya. Dalam sekejap masalah dana perusahaannya teratasi,
tapi tidak dengan harga diri Arya. Jangan terlalu keras kepala, apa salahnya menerima uang
dari Papa? Uang sebanyak ini, kamu tidak akan bisa mencarinya kemanapun juga. Toh,
memberikan saham perusahaan pada mertuamu sendiri sebagai balasan itu bukan apa-apa.
Arya hampir menampar wanita yang telah memberinya seorang putri itu karena murka.

Daripada memperkeruh suasana, Arya memilih menghindar. Dan mencari alasan pergi
sejauh mungkin.

Dengan harga diri terluka, Arya teringat Aswono. Pria yang begitu mengenal jalur dan selalu
memberinya nasihat. Lelaki yang bisa memelintir pribahasa menjadi Gorila di pelupuk mata
tak terlihat, eek di seberang samudra kelihatan ketika marah dan membuatnya tertawa.
Terkadang, dalam ucapan kasar pria baruh baya itu teselip kearifan, sedikit banyak
mengingatkannya pada mendiang ayahnya.

Arya sedang menelusuri jalan berdebu yang diapit pepohonan rindang dan sawah untuk ke
toko kelontong ketika telinganya menangkap suara gelak tawa dan percikan air. Rasa
penasaran membuatnya masuk mengikuti jalan setapak kecil ke dalam di deretan pohon
bambu duri di sebelah kanannya. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari jalan besar,
ternyata terdapat aliran sungai sebening embun. Arya bahkan bisa melihat bebatuan dan
ikan-ikan di dalam sungai.

"HYAA!"

Arya langsung mencari arah teriakan melengking yang mengagetkanya. Dari dahan tinggi
pohon ara yang melintangi sungai, sesosok tubuh terjun berputar dan membelah
ketenangan air. Sosok itu muncul kembali kempermukaan, lesung pipit terbentuk ketika
sang empu tertawa senang. Berkali-kali ia menyelam dan membuat kecipak di permukaan
air.

Bayuaji. Arya mengenali remaja itu.

Bagai Jaka Tarub, Arya tidak menampakkan dirinya. Dia memperhatikan dari balik rimbunan
bambu ketika remaja tiga belas tahun itu bersenang-senang sendiri dengan berenang.
Mendengar tawa dan kebahagiaan sederhana di wajah indah sang pemuda, hati Arya
menghangat. Dari permukaan, sepertinya tidak ada masalah yang bisa menyentuh pemuda
yang sedang berenang itu.

Sekelumit sendu merayapi hati Arya. Kemarin dia bertanya, kenapa Bayuaji masih berada di
rumah walau sudah masuk waktu sekolah. Dan Pak As mengatakan dengan tawa kering jika
pemuda itu telah putus sekolah. Arya tidak meneruskan pertanyaannya. Meilihat pria tua itu
langsung mengalihkan pembicaraan, dia tahu jika Aswono tidak ingin membicarakan
keadaannya yang tidak mampu untuk membiayai sekolah cucunya.

Perhatian Arya kembali pada Bayuaji yang berendam hingga sebatas dagu. Tiba-tiba pemuda
itu mengernyit, matanya terpejam, bibirnya terkatup dan berkedut-kedut. Sedang apa
pemuda itu?

Blump ... blup ... blup ....

Gelembung-gelembung besar muncul di depan wajah Bayuaji. Ekpresinya berubah,


hindungnya mengernyit, mengendus sekejap lalu telunjuk dan jempol terangkat mencubit
hindungnya yang bangir.

Seketika Arya tertawa terbahak-bahak. Dia tidak lagi sembunyi. Pemuda aneh. Sudah lama
ia tidak tertawa seperti ini.

"Ma-Mas Arya ..." Bayuaji membeku, acara mandi solonya tiba-tiba terusik suara tawa dari
tamu mbah-nya. Dia hanya terbengong melihat pria tampan dengan hidung mancung dan
mata tajam itu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk.

"Ganteng-genteng, kentutmu gede juga, ya? Gimana? Harum?" ucap Arya.

Wajah Bayuaji terbakar. Seluruh wajah hingga tubuhnya memerah. Rasanya ia ingin
tenggelam.

"MAS ARYA!!" teriak Bayuaji kesal.

Pribahasa : Bagai belut diregang

***

Bayuaji bergegas keluar dari sungai. Dengan celana pendek hitam dia berjalan menghampiri
Arya. Kedua tangannya terkepal. Semburat merah masih menghiasi wajah dan tubuhnya. Ia
malu, tapi kesal juga.

"Jok guyu toh*, Mas!" Ini pertama kali Bayuaji berinisiatif berbicara dengan Arya. Biasanya,
remaja ini hanya akan mendengarkan dia berbincang dengan Pak As atau menjawab
sekedarnya jika ditanya.

"Kenapa tidak boleh tertawa?" Arya berusaha meredam tawanya.


"Soalnya ndak sopan." Alis Bayuaji menukik, bibirnya yang merah manyun. Mungkin Arya
sudah berlebihan.

"Gitu saja nesu*"

"Gak nesu!"

"Bibir manyun gini bilang gak nesu." Arya menacubit kedua pipi Bayuaji gemas.

"Le-lepaskan." Arya senang melihat Bayuaji yang berusaha lepas darinya. Dia jadi ingin terus
menggoda remaja ini.

"Aduh!" Karena tidak juga dilepas, Bayuaji mencubit pinggang Arya keras. Lidahnya terjulur
mengejek Arya.

"Nantang, ya?"

Mereka bergumul layaknya anak-anak. Arya mengapit leher Bayuaji di ketiaknya, mengusap
keras rabut hitam remaja itu. Tak mau kalah, Bayuaji juga menyerang Arya yang bagai belut
direngang. Karena tidak bisa menjangkau leher Arya yang jauh lebih tinggi darinya, ia serang
tubuh bawah pria itu. Perlahan suara tawa mulai terdengar, tembok sungkan menghilang.
Mereka bagai anak-anak yang bermain bersama. Tanpa sengaja sebuah tinju mendarat di
selangkangan Arya. Dia langsung terduduk, bibir tergigit menahan nyeri dan wajahnya
langsung memucat. Semoga telur burungnya tidak retak.
"Maaf, Mas! Bayu tidak sengaja! Gak apa-apa?" Arya bahkan tidak mampu untuk menjawab.
Karena harga diri dan wajah Bayuaji yang memucat, Arya berusaha mengenyahkan rasa sakit
yang hanya dirasakan pria sial sepertinya. Dia mengangkat jempol untuk memberi isyarat
dia baik-baik saja.

"Enak, Mas?" Bayuaji salah mengartikan.

"Hmpph!! Mana mungkin enak jika burungnya kena tinju?" Arya ingin menjitak pemuda ini.
Apalagi ketika pemuda malah terkekeh geli.

Dalam posisi jongkok dan Bayuaji yang berusaha membantunya, Arya dapat melihat tubuh
remaja ini dengan dekat.

Tubuh basah yang hanya dibalut celana pendek itu mengkilap basah oleh air. Badan ramping
bersih khas remaja yang masih bertumbuh entah kenapa membuat Arya tidak nyaman.
Puting merah yang menegang akibat terendam air membuatnya menelan ludah. Dia
menunduk, tidak ingin pikiran semakin meliar. Namun dia malah disuguhi pusar dan perut
rata yang mengundang jemarinya untuk menyentuh.

Gemblung! Maki Arya pada dirinya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya keras. Mungkin
perpaduan antara lama tidak mengeloni istrinya dan kesambet setan penunggu sungai
membuat pikirannya melantur jauh

"Mas mau ke warung," kelit Arya.

"Tunggu, Mas! Aku ikut." Bayuaji berlari mengambil bajunya. "Ayo, Mas!" Rasa sungkan
Bayuaji pada Arya sepertinya telah menghilang. Pemuda itu terlihat lebih terbuka pada Arya.
"Mas Arya ingat ya. Jangan bilang-bilang masalah tadi. Awas loh!"
"Masalah apa? Masalah kentut gede?"

"Mas!"

Arya kembali terkekeh. Dasar bocah.

***

Arya dan Bayuaji baru dalam perjalanan pulang dari warung. Celana pendek remaja itu telah
kering diterpa terik matahari yang menyengat. Mereka berpapasan dengan seorang siswa
berpakaian baju sekolah. Arya menangkap sekelumit rasa iri dari Bayuaji.

"Kamu tidak mau melanjutkan sekolah?"

"Belum, Mas. Bayu masih menabung mengumpulkan uang."

"Sudah dapat banyak?" Arya tergerak untuk membiayai sekolah Bayu. Dia hanya sedang
mencari cara untuk membantu tanpa menyinggung Aswono.

"Masih sedikit. Tapi, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit." Tidak ada kesedihan
atau malu ketika Bayu mengucapkannya. Hanya rasa optimis yang telihat.

"Ya sudah. Nanti belikan Mas Arya jam tangan jika sudah jadi bukit." Goda Arya.
"Emoh. Tidak mau."

Percakapan mereka terhenti. Dua buah truk lewat di samping mereka dan berhenti. Jarang
sekali angkutan besar seperti ini masuk ke jalan desa mereka yang tidak beraspal.

Seorang pria turun dari kursi penumpang truk. Bayuaji langsung mencengram lengan Arya
ketika melihatnya. Pria itu tinggi besar. Badannya lebih kekar dari Arya. Dia memakai
pakaian hitam tak berkancing, menampilkan dada dan perut si pria. Wajahnya tak kalah
garang dari perawakannya. Jenggot dan kumis tebal menghiasi wajah, matanya tajam, dan
ada semacam tali putih di lehernya. Pria dengan udeng—ikat kepala-- itu menghampiri
mereka.

"Di mana rumahnya Aswono?" Suaranya rendah dan dalam. Pandangannya tak lepas dari
Bayuaji.

Bayuaji semakin erat memegang lengan Arya. Dia takut.

*nesu = ngambek
* jok guyu to = jangan ketawa
* moh = ngak

Pribahasa : Cacing menelan naga.

***

"Di mana rumah Aswono?"


Mendengar nama kakeknya disebut, Bayuaji memberanikan diri menatap pria berpakaian
serba hitam di depannya. Tangannya masih mencengkram lengan Arya erat. Dia takut,
namun juga penasaran. Bayuaji baru kali ini menemui orang yang bukan hanya
berpenampilan tidak biasa, tapi juga membuatnya gelisah.

Arya memperhatikan, pria yang bertanya ini tidak mengindahkannya. Pria itu langsung
bertanya pada Bayuaji. Padahal, jika dilihat Arya lebih dewasa dan lebih terlihat kompeten
untuk menjawab pertanyaan itu.

"Maaf, kalau boleh tahu, ada perlu apa dengan Pak As?" tanya Arya. Arya menunggu
jawaban. Nihil. Pria itu masih tetap hanya memperhatikan Bayuaji. Arya bagai kasat mata.

"Kamu cucu Aswono." Terdengar lebih seperti pernyataan dari pada pertanyaan. Bagaimana
orang ini bisa menyimpulkan jika Bayuaji cucu pak As? Dilihat dari dari mana saja Bayuaji
tidak mirip sama sekali dengan Aswono. Arya menolah pada pemuda di sebelahnya,
kelihatannya Bayuaji juga sama bingungnya dengan dirinya dan sama sekali tidak mengenali
pria ini.

Bayuaji mengangguk pelan.

"Jangan takut, Le. Ki Ageng Darma ini ngak makan Cah Ganteng sepertimu." Berewok itu
bergetar, dada kekar naik turun mengiringi tawa. Sepertinya, dia tahu jika Bayuaji takut.
"Jadi, bisa antar ke rumahmu?"

***
Bayuaji sempat menduga pria yang dia temui di jalan tadi adalah rampok. Tokoh jahat yang
sering digambarkan oleh ayahnya ketika mendongeng. Ternyata dia salah, pria itu kenalan
mbahnya. Bayuaji bertanya-tanya ketika mbahnya menyambut orang itu dengan kekagetan
dan kegembiraan yang kentara. Mbahnya bahkan salim dengan orang itu, padahal kakeknya
terlihat lebih tua dari pria itu.

"Jadi ada apa, Ndoro mampir ke gubuk saya ini?" tanya Aswono pada tamu yang sedang
meneruput kopi di ruang tamunya. Sekali lagi dia dikejutkan dengan kehadiran tamu tak
terduga. Warok Darma datang bersama rombongan reognya.

"Ada undangan pentas mantenan putrinya Pak Soleh. Dia sewa reog selama 7 hari."

Aswono memang mendengar akan ada pesta besar pada pernikahan putri orang paling kaya
di desa sebelah itu. Namun, yang membuat Aswono heran adalah kemunculan Warok
Darmo sendiri. Beliau adalah pemilik Paguyuban Lagen Cayapata, sanggar kesenian reog
yang sangat disegani. Dan, dipercaya merupakan seorang 'warok', bukan warokan yang
sering tampil menari di acara kesenian reog dan menjadi penghibur, tapi warok asli yang
memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Aswono beberapa tahun lalu pernah menjadi supir yang
bekerja pada Ki Darmo, biasanya Ki Darmo jarang sekali ikut pada pagelaran seni reog
kelompoknya secara langsung.

"Aku mimpi kamu selama beberapa hari, As. Karena itu, ketika ada tawaran pentas di dekat
tempat tinggalmu, aku memutuskan ikut."

Mimpi Ki Darma tidak bisa dianggap enteng, lelaki itu memiliki ilmu batin yang tidak bisa
dimengerti oleh orang biasa seperti Aswono. Dia telah berkali-kali melihat hal-hal di luar
batas logika manusia ketika bekerja padanya. Aswono menyaksikan sendiri bagaimana sang
warok terkena bacokan parang tanpa luka sedikitpun, memeberitahunya tentang mimpi
mengenai cacing yang menelan naga seminggu sebelum presiden yang telah memerintah
berpuluh-puluh tahun di lengeserkan oleh rakyat dan cerita-cerita lain kemudian hari benar-
benar terjadi. Sehingga, ketika Ki Darma berhasil meringkus tujuh perampok bersenjata
yang nekat masuk ke rumah sang Warok dengan tangan kosong, tidak ada lagi abdinya yang
heran.

Lamunan Aswono terganggu dengan munculnya seorang pemuda berperawakan bersih,


berkulit putih dengan garis wajah halus, sangat tampan dengan mata sipit dan hidung
mancung. Jelas bukan keturunan Jawa, pemuda itu lebih mirip aktor silat dari China.
Sepertinya sepantaran dengan Arya.

"Ki, sudah mau sore. Kapan kita ke rumah Pak Soleh?" Aswono tidak luput melihat tangan Ki
Darma yang dengan luwes mengamit tangan pemuda itu.

"Ngger, kamu bawa mereka dulu ke rumah Pak Soleh untuk meletakkan perlengkapan dan
istirahat. Biar Wagiman yang mengurus mereka di sana. Setelah menemui Pak Soleh, segera
kamu kembali ke sini." Darma tahu anggotanya bisa mengurus pementasan sendiri, mereka
tidak akan merepotkan orang. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, telah ia tanamkan
pada pada semua anggotanya.

"Iya, Ki."

Setelah pemuda itu undur diri, kedekatan Ki Damar dan pemuda itu memunculkan tanda
tanya dalam diri Aswono.

"Dia Liam, gemblakku."

Warok itu seperti menjawab pertanyaan yang belum sempat Aswono lontarkan.
Aswono membuka mulutnya untuk bertanya tapi dia urungkan. Aswono tahu apa itu
gemblak. Bukan hal yang aneh jika warok memelihara gemblak. Warok yang ingin
mempertahankan ilmunya tidak diperbolehkan bercinta dengan wong wadon–perempuan—
walau istrinya sekalipun. Maka warok memelihara gemblak, untuk dirawat, disayang dan
untuk dikeloni.

Makin lama, praktik ini makin ditinggalkan. Terbentur norma masyarakat yang mulai
mengecam budaya yang dianggap tabu. Sebenarnya, bagi warok seperti Darma, tidak aneh
jika memiliki satu dua gemblak.

Aswono dia masih heran, praktek gemblak memang tidak dapat lepas dari budaya warok.
Tapi setahu Aswono, Ki Darma yang tidak pernah beristri karena memang berpantang
menyentuh wanita, tidak pernah mengangkat ‘gemblak’. Dan, seumur-umur baru kali ini
Aswono melihat gemblak keturunan China.

*Ndoro = Tuan

*Ngger = panggilan untuk anak lelaki

*Gemblak = pemuda, biasanya berusia belasan yang dipelihara warok untuk kelanggenan.
Karena mereka percaya jika warok akan kehilangan kesaktiannya jika berhubungan fisik
dengan perempuan, walau istrinya sekalipun.

Pribahasa : Gajah berhati, kuman pun berhati juga.

***
"Kalau boleh tahu, Ndoro mimpi apa tentang saya?" Aswono kembali teringat tentang
mimpi tentang mimpi yang dikatakan Ki Darma. Sudah lebih dari lima tahun Aswono pamit
untuk berhenti bekerja, sungguh aneh tiba-tiba dia masuk dalam mimpi warok yang terkenal
akan kebijaksanaan dan kesaktiannya ini.

"Aku mimpi kamu minta tolong."

"Minta tolong apa, Ndoro?"

"Ya mana aku tau, As. Kamu yang harusnya memberitahuku, kamu ada masalah apa?"

Aswono berpikir keras, hidupnya berdua dengan Bayuaji baik-baik saja. Walau petaka yang
merenggut anak dan menantunya setahun lalu membuatnya sedih tak terperi, tapi dia
sudah ikhlas pada suratan Sang Pencipta.

Hidupnya memang sangat pas-pasan, tapi tenang.

"Emm ... Mbah, ini kopinya." Bayuaji hadir dengan nampan dan dua gelas cangkir kopi.
Kepalanya menunduk, ujung matanya berkali-kali melirik sosok yang tadi disangka
perampok olehnya.

"Cah Bagus, asmane sinten?" Suara rendah namun kuat dari sang warok membuat Bayuaji
bergirdik. Dirinya menoleh pada mbahnya, tidak yakin dia harus menjawab atau tidak.

"Jawab pertanyaan Ki Darma, Le" dorong Aswono.


"Bayuaji, Ki."

Sang Warok mengambil dan meletakkan di meja nampan yang dibawa Bayuaji. Jemarinya
yang besar menangkup kedua sisi kepalanya. Dadanya berdetak kencang. Tangan sang
warok terasa panas. Perlahan sang warok menarik dirinya. Jambang lebat menggelitik dahi
ketika bibir sang warok tepat berada di atas umbun-umbun kepalanya.

Sayup-sayup terdengar kata-kata yang dirapal cepat. Bayuaji tidak mengerti artinya. Namun,
seketika bulu kuduknya meremang. Dari tempat yang tersentuh Ki Darmo, aliran panas
terasa mengalir ke selulruh badannya.

***

Aswono bergerak gelisah dalam tidurnya. Berkali-kali tubuh tuanya berganti posisi di atas
dipan bambu yang berada di dekat dapur rumahnya. Ia yakin dua tiga jam lagi matahari akan
muncul di cakrawala, namun kantuk tidak juga menghampiri Aswono.

Dia sedang disesaki pikiran karena kedatangan sang warok. Aswono tidak buta, ia dapat
melihat cara sang warok melihat cucunya. Dia tahu mungkin dirinya terlalu berlebihan, bisa
saja tadi sore sang warok hanya membacakan ajian untuk melindungi Bayuaji seperti yang
dikatakan. Apalagi, konon dulu Ki Darma terkenal bukan hanya karena berpantang
menyentuh perempuan, tapi membatasi dirinya untuk tidak mengambil gemblak. Baru
sekang ini Aswono melihat Ki Darma memiliki gemblak.

Jaman telah mengikis perlahan praktek Gemblak. Warok jaman sekarang sudah banyak yang
menikah dan memiliki anak tanpa mengangkat gemblak, apalagi praktek ini telah semakin
lama menjadi tabu di masyarakat.
Kini, mayoritas warok hanya lakon yang dirtarikan pria-pria dengan dengan riasan sangar
untuk menari dalam acara pertunjukan reog. Ki Darma adalah salah satu orang yang Aswono
kenal masih benar-benar menjalani hidup sebagai 'warok'.

Walau kemungkinannya kecil, tapi mengingat paras rupawan Bayuji dan permintaan Ki
Darma yang tiba-tiba meminta menginap di rumahnya bersama sang gemblak hingga
pagelaran usai, membuat Aswono berpikir. Apa Warok Darmo tertarik menjadikan cucunya
gemblak?

Kecurigaan Aswono bukan tidak beralasan. Liam, gemblak milik sang warok telah dewasa.
Sudah waktunya untuk dilepaskan. Biasanya, jika kontrak gemblak sudah habis, warok akan
mencari ganti pemuda lain—yang rata-rata dari masyarakat miskin--dan mengikat kontrak
beberapa tahun dengan imbalan sapi

Gajah berhati, kuman pun berhati juga, walau Aswono kini hidup pas-pasan, tiada hati
Aswono yang mau menjadikan Bayuaji menjadi gemblak dengan mahar berapapun. Namun,
bagaimana jika Ki Darmo benar-benar meminang Bayuaji? Bagaimanapun hutang budi
Aswono sangat besar pada Ki Darma. Pada warok itu, Aswono berhutang nyawa. Dalam
kegelisahan yang masih terus terasa, dia bedoa jika ketakutannya tidak menjadi kenyataan.

***

Bayuaji terbangun karena kandung kemih yang penuh. Dengan langkah gontai setengah
mengantuk, dia pergi ke kamar kakek. Dia ingin diantarkan ke kamar mandi yang berada di
luar rumah. Bayuaji tidak berani sendiri. Walau bukan lagi anak kecil, tapi berkat keahlian
kakeknya yang bercerita tentang wewe gombel dan gondoruwo, Bayuaji jadi takut keluar
sendiri pada malam hari.
Seperti kebiasaannya, dengan mata hampir tertutup Bayuaji pergi ke kamar kakeknya. Dia
melihat cahaya remang dari damar minyak masih menyala di kamar. Bayuaji menyibak
sedikit kelambu yang menggantikan fungsi pintu.

Bayuaji membeku, ngantuknya hilang seketika. Di atas ranjang sang kakek yang bergoyang,
ada dua orang telanjang sedang bergumul bersama. Pipi Bayuaji memanas, lututnya
bergetar. Bayuaji mengutuki otaknya yang lupa jika kamar kakeknya dipinjam menginap
oleh dua orang yang datang tadi siang.

Lelaki dengan kulit putih yang berkilat karena keringat menatap Bayuaji yang sudah pucat
pasi. Bagai tidak terganggu dengan kehadiran Bayuaji, lengan dan tuingkainya memeluk erat
pria lain yang kini sedang menindihnya.

Bayuaji lari, jantungnya melonjak kencang. Dia langsung menuju kamarnya. Dia tidak terlalu
mengerti yang ia lihat, tapi rasanya itu hal yang tidak boleh dia saksikan.

"Bayu, kamu dari mana? Kenapa kamu gemetar begitu?" sahut suara Arya yang baru
terbangun.

Pribahasa : Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung

Bayuaji langsung melompat ke atas dipan dan bergelung ke dalam sarung yang menjadi
selimutnya. Dia tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Arya yang terbangun dan
mendapati Bayuaji pucat layaknya bertemu hantu.

"Bayu kamu kenapa?"


Arya mencoba menarik sarung yang menutupi kepala pemuda itu dan tidak berhasil. "Kamu
sakit?"

Bayu menggelengkan kepalanya. Dia sedang tidak ingin menjawab, tenggorokannya kering
dan detak jantungnya bertalu-talu mengingat adegan yang baru dia lihat tadi. Seumur-umur,
Bayuaji hanya pernah melihat ayam dan kucing kawin. Waktu kecil, dia pernah melempar
batu pada ayam karena mengira ayam jantan itu sedang menggigit si betina. Baru pada saat
ayahnya memeberi pengertian, Bayuaji mengerti jika keduanya sedang membuat anak
ayam.

Bayuaji tidak pernah membayangkan bagaimana manusia kawin, dia lebih suka bermain dari
pada penasaran pada hal-hal tersebut. Tapi, yang di tahu kegiatan seperti itu hanya
dilakukan oleh pria dan wanita. Buktinya, ayam-ayam jago Bayuaji dulu tidak pernah saling
tindih-tindihan.

Pikiran Bayuaji masih penuh dengan pertanyaan, tapi rasa kebelet yang sekejap tadi
menghilang kembali hadir. Burungnya terasa penuh, posisi bergelungnya mulai tidak
nyaman. Perlahan dia membuka sedikit sarungnya, di sebelahnya Mas Arya terduduk
melihatnya.

"Kamu benar tidak sakit?"

" ... kebelet," cicit Bayuaji.

"Apa?"

"Kebelet pipis."
Dengan menahan malu dan berusaha tidak memperdulikan tawa geli Arya, Bayuaji akhirnya
meminta pria itu untuk mengantarnya ke kamar mandi. Kebutuhannya untuk kencing
mengalahkan rasa malunya.

"Mas!" suara Bayuaji terdengar dari kamar mandi berdinding ayaman bambu.

"Iya," sahut Arya. Sudah tiga kali pemuda itu berteriak memanggilnya. Memastikan Arya
berada di luar kamar mandi dan tidak meninggalkannya.

"Mas."

"...." Arya menyenderkan diri di pohon. Sudut bibirnya terangkat jahil.

"Mas?"

"...." Arya sengaja tidak menjawab.

"Mas Arya! Jok tinggal Bayu!" Pintu kamar mandi terbuka. Bayuaji muncul dengan celana
yang belum dinaikkan. Melihat Arya masih berada di luar kamar mandi, Bayuaji bergegas
menaikkan celana. "Mas Arya ini iseng sekali, jangan nakut-nakutin Bayu!"

"Iya-iya maaf, kamu sendiri yang lama di kamar mandinya. Kencing saja lama."
Percakapan mereka terhenti, seseorang keluar dari pintu rumah Aswono. Arya
mengenalinya sebagai salah satu tamu yang ikut menginap di rumah ini. Aswono telah
memberitahu Arya, jika tamunya merupakan mantan majikannya sebelum bekerja di
Jakarta. Mata mereka bertemu, pria bermata sipit bernama Liam itu mengangguk padanya
dan beralih melihat Bayuaji.

Arya tidak luput melihat bagaimana pemuda itu langsung menunduk bagai tertangkap
tangan mencuri. Wajahnya langsung memerah hingga ke leher.

"Permisi," ucap Liam. Pria itu melewati mereka dan masuk ke dalam bilik kamar mandi.

Semilir bau maskulin menerpa Arya. Dia yang telah menikah tentu tahu dengan bau
semacam ini. Apalagi dengan tubuh penuh keringat dan cupang yang sekilas terlihat karena
sinar lampu kamar mandi di leher pria itu, tidak mungkin Arya salah mengira. Arya menghela
napas panjang. Dia telah diberitahu jika Liam adalah gemblak Ki Darma. Arya pernah
mendengar budaya tersebut ketika mempelajari antropogi. Namun, adat sepanjang jalan
cupak sepanjang betung, walau tidak terlalu setuju apa hak Arya untuk menilai perbuatan
mereka?

Arya menyusul Bayuaji yang berlari masuk. Begitu tiba di kamar, pemuda itu telah kembali
meringkuk di bawah selimut sarung.

"Bayu ...."

"...."

"Tadi kamu ke kamar Pak As, ya?"


"...." Walau Arya tidak dapat melihat wajah Bayuaji yang tertutup sarung dan tidak
menjawab pertanyaannya, Arya dapat menduga jawabannya.

"... Kamu ini, takut hantu malah jadi melihat hal tabu," ucap Arya. Tangannya mengusap
rambut bergelombang Bayuaji.

Pribahasa : Nyolong pethek

Matahari baru saja terbit, tapi orang-orang sudah ramai-ramai keluar kamar dengan
antusias.

Acara pagelaran reog selama tujuh hari di desa Sumbersari di mulai hari ini. Banyak anak
sekolah membolos karena tidak ingin ketinggalan pagelaran yang jarang ada. Mereka
berbondong-bondong pergi ke sana untuk menonton pertujukan. Pesta pernikahan anak
Pak Soleh sepertinya telah berubah menjadi pesta rakyat.

Walau pentas seni reog telah banyak tergeser oleh hiburan modern di kota, tapi bagi
penduduk desa Mayang tempat Aswono tinggal, reog bukan hanya sebuah hiburan.
Sebagai salah satu desa di wilayah Ponorogo, tempat yang konon merupakan asal kesenian
reog, masyarakat desanya memiliki kegemaran tersendiri pada budaya yang katanya muncul
dari tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo.

Di antara genggap gepita orang-orang yang berduyun-duyun untuk menonton, Arya masih
menyuapkan ketela pohon ke mulutnya.

"Le, kamu benar tidak mau ikut menonton? Sayang sekali, loh." Arya kini mengamati
ekspresi Bayuaji yang manggapi pertanyaan kakeknya. Acara sarapan mereka menjadi
sedikit heboh karena Arya enggan ikut untuk menonton pertunjukan reog.
"Jarang-jarang Warok Darma mimpin langsung pertunjukan, pasti pertunjukannya akan
bagus sekali."

"En-enggak, Mbah. Bayu di sini saja sama Mas Arya."

"Kamu sendiri, Mas Arya juga mau ikut lihat," ucap Arya. Dia mengabaikan muka cemberut
Bayuaji.

"Tuh, 'kan. Mas Arya saja mau ikut lihat, ini kamu kok ngak mau. Padahal, kamu waktu
masih kecil sangat suka pertujukan reog. Suka tidak mau turun jika dinaikkan di kepala
dadak merak," –topeng kepala harimau dengan bulu-bulu merak— ucap Aswono sambil
menyeruput kopi pahitnya. Bayuaji di bawa merantau ke Sumatra ketika berusia empat
tahun, kemungkinan cucu yang dulu selalu membawa-bawa jaran kepang mini dan menari
ini tidak ingat dengan pertunjukan reog.

Arya terus mengamati perubahan ekspresi Bayuaji. Kerut di antara alisnya semakin dalam.
Pemuda itu tercabik antara ingin ikut melihat pagelaran dan tidak ingin bertemu tamu
kakeknya yang telah pergi ke tempat acara dari subuh.

"Ikut saja bareng Mas Arya. Kamu bisa lihat orang makan beling di sana," bujuk Aswono.

Terbujuk rasa penasaran dan janji dibelikan bakso oleh Arya, akhirnya Bayuaji mengambil
sandal dan ikut boncengan di belakang sepeda ontel milik Aswono. Pria tua itu sendiri tidak
ikut, dirinya harus pergi untuk mengairi sawah, dia terlanjur menyetujui pekerjaan itu. Tapi,
Aswono berencana menonton hari kedua pagelaran.
Antuisme masyarakat di luar prediksi Arya. Orang-orang sudah banyak berdatangan dan
pedangan kaki lima sudah membuka lapak di sekitaran lapangan desa yang menjadi pusat
pertunjukan. Tenda merah marun besar berdiri di depan halaman salah satu rumah besar
tingkat 2 yang berada di sebelah lapangan. Melihat papan ucapan selamat membuat Arya
menyipulkan jika itu adalah rumah yang memiliki acara. Di lapangan sendiri berdiri
panggung tempat beberapa alat musik dan pengeras suara yang kini memainkan lagu-lagu
dangdut yang sedang popular.

"Nyolong Pethek! Koe nyolong wedos!" Wanita dengan daster bunga sepatu merah yang
telah memudar dengan banyak noda berteriak pada orang-orang di sekitarnya. Banyak
orang yang menyingkir menghindari wanita yang kini menari dan tertawa tak terkendali.

"Wah, sayang ayu-ayu edan,"—sayang cantik-cantik gila—ucap bapak-bapak yang berjualan


pentol goreng di sebelah Arya. Dia setuju dengan ucapan si bapak, wanita gila itu memang
cantik. Bahkan diantara noda-noda yang mencoreng wajahnya, Arya dapat melihat kuntur
wajah halus dan mata hitam yang kini bagai tidak dapat fokus.

"Mas ...." Bayuaji menarik lengan kaos Arya. Pemuda itu lebih tertarik pada gerbong bakso
yang menampilkan bulatan bakso ukuran jumbo dari pada wanita gila yang merancau
sembarangan.

"Kamu ini belum kenyang? Baru sarapan sudah minta belikan bakso. Pantas kentutmu
gede."

"Mas Arya ini jangan terus-terusan ngomongin kentut orang to mas. Pamali!."

"Kata siapa pamali?"


"Kata Bayu."

Bayuaji hendak menyeret Arya ketika wanita gila yang dia lihat tadi telah berada di depan
mereka. Senyum lebar wanita itu memperlihatkan gigi yang telah menguning, telunjuk
dengan kuku panjang dan hitam terarah pada Bayuaji. Pemuda penakut itu, sudah
mengkeret memegang lengan Arya.

"Cah ganteng, seng dipengeni Singobarong!"—bocah tampan yang diinginkan


Singobarong—Bayuaji langsung bersembunyi di belakang Arya.

"SINGOBARONG! SINGOBARONG!" Wanita gila itu terus tertawa, dia menujuk mereka
berdua dan terus meneriakkan nama salah satu raja dalam mitos itu.

Pribahasa: Berakit ke hulu berenang ketepian, bersakit dahulu, tetap mati kemudian.

“Lastri! Nduk, jangan gini pulang, ayo pulang.” Seorang berambut putih bergegas
menghampiri si wanita gila. Tangan keriputnya mencoba menariknya.

“Kasian Narti, sudah tua gitu masih harus ngurus anaknya yang gila,” bisik seorang pada
teman sebelahnya.

“Iya, nekat jual semua tanah warisan suami untuk biaya kuliah anaknya, eh … setelah lulus
malah jadi gila,” jawab orang yang dibisiki.

“Gak usah takut, wanita itu memang gila, tapi gak pernah nyerang orang,” ucap penjual
pentol tadi.
“Itu siapa, Pak?” tanya Arya.

“Itu Bu Nanti dan anaknya ningrum. Pemilik rumah itu.” Tukang itu menunjuk rumah yg
sebagian kacanya sudah pecah dan catnya telah ternoda oleh lumut. “Kasian dia
Mas, suaminya sudah lama meninggal, hanya tinggal anaknya saja. Eh, malah anaknya jadi
gila. Banyak orang desa yang sudah menyarankan untuk dipasung saja anaknya, soalnya
sering hilang. Tapi, ibunya selalu menentang.”

“Tapi kata ibu itu anaknya dulu sempat kuliah, lalu kenapa jadi gila seperti itu, Pak?” Arya
melihat tubuh sepuh itu dengan telaten membujuk anaknya untuk pulang. Menghapus
noda kotor di wajah anaknya dengan sabar. Pemandangan itu membangkitkan simpati Arya.

“Memang dulu Lastri tidak gila Mas. Dulu dia kembang desa, loh. Anak ayu yang
selalu membantu ibunya dengan rajin. Puinter di sekolah, dia dulu selalu rangking satu,
beda dengan anak saya yang sekelas dengannya.”

“Trus kenapa jadi gila, Pak?” timpal Bayuaji. Dirinya yang sejak tadi terlupakan dan menjadi
pendengar setia, jadi ikut penasaran juga.

Tukang pentol itu melihat kanan kiri, seolah dia tidak ingin apa yang diucapkannya
diketahui orang. “Gara-gara pelet, Mas.”

“Pelet?” beo Bayuaji dan Arya.

“Stt … jangan keras-keras.” Terlalu larut membicarakan masalah ini membuat tukang pentol
goreng itu mengabaikan dagangannya.
“Katanya dulu ada yang suka dengan Lastri, suka sekali, sampai tahap nekat langsung lamar
berkali-kali. Tapi, ditolak juga berkali-kali. Si Lastri katanya masih ingin kerja, bahagiakan
ibunya dan mandiri dulu.” Tukang cilok itu semakin bersemangat dan menggebu-gebu
bercerita. “Karena ditolak terus, jadinya dia marah, bilang wanita seperti Lestari itu
sombong, belagu dan tidak tahu diuntung. Warga sampai harus menyeret pria itu pergi,
soalnya sudah hampir mencelakai Lestari dan ibunya. Seminggu setelah kejadian itu, Lestari
mulai berubah, sampai akhirnya gila.”

Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, penjelasan tukang pentol goreng ini terlalu
tidak masuk akal.

“Mana ada pelet bikin orang gila Pak. Bapak ini terlalu mengada-ada,” ucap Arya.

“Mas, pelet itu apa ya?” Bayuaji menatap Arya kebingungan, dia mulai tidak bisa mengikuti
pembicaraan Arya dan tukang pentol goreng.

“Anak kecil tidak perlu tau,” jawab Arya.

“Mas ini tidak percaya, hal seperti itu ada Mas. Jangan anggap remeh. Tetangga saya sakit
menahun, walau sudah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit
dahulu tetap mati kemudian. Tetangga saya mati setelah muntah paku Mas, jangan anggap
remeh sampean.” Tukang pentol goreng, tidak mau argumennya dibantah.

“Mas, sudah, toh. Ayo makan bakso saja,” ajak Arya.

“Lah, masih mau bakso? Gak makan pentol goreng aja, Dek?” tawar pedangan itu dengan
senyum. "Ini sama-sama bundarnya, ngak kalah enak lagi."
Bayuaji belum lagi memutuskan, alunan bunyi gendang dan gumaman orang-orang
mengudara.

"Wah, pertunjukannya mau mulai."

Pribahasa: Berakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu, berobat kemudian..

Banyak warga berdesakan memebentuk lingkaran di depan panggung. Musisi mulai


memainkan musiknya. Di tengah lingkaran, ada banyak topeng berbeda bentuk di
sejajarkan di depan seorang pria berpakaian hitam. Bibirnya berguman membacakan
mantra-mantra yang terdengar lirih.

Tidak ada yang berani mengganggu, ketika Ki Darma dalam pakaian waroknya melakukan
ritual sebelum topeng-topeng itu digunakan dalam pementasan.

Bau menyan dan dupa menguar ke udara, membuat Arya teringat kisah yang mengawali
munculnya kesenian ini.

Versi paling terkenal dari kemunculan reog adalag karena pemberontakan Ki Ageng Kutu
pada masa kerajaan Majapahit yang di pimpin oleh Bhre Kertabhumi.

Ki Ageng yang mengabdi pada raja, marah karena besarnya pengaruh istri raja yang berasal
dari Tiongkok dan banyaknya korupsi yang terjadi pada waktu itu. Kesenian reog
sendiri, merupakan upaya Ki Ageng untuk mengkritik pemerintah Majapahit.

Arya mengusuk rambut ikal Bayuaji, pemuda itu menekuk wajahnya seperti selesai dipaksa
menelan jeruk nipis utuh. “Sudah, jangan masam gitu wajahnya.”
“Ngak masam,” sangkal pemuda itu. Berbagai perasaan antara malu dan penasaran
bercampur aduk melihat Ki Darma. Baru sekali Bayu memergoki orang bercinta, itupun
pasangan sejenis. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Arya kembali memperhatikan bagaimana kini para penari mulai bersiap-siap setelah upacara
selesai. Secara garis besar, Arya paham cerita yang akan mereka bawakan. Tarian reog
menceritakan tentang Raja Ponorogo yang dicegat oleh pasukan Singabarong ketika akan
melamar Dewi Ragil Kuning, putri dari kerajaan Kediri. Pasukan Raja Singabarong yang
terdiri dari merak dan singa, digambarkan oleh topeng dadak merak atau barongan.
Sedangkan, dari pihak Raja Ponorogo, ada Bujang Ganong yang menggambarkan patih kocak
dan di kawal oleh warok.

Arya kembali memperhatikan Ki Darma yang kini telah lengkap menggunakan pakaian
waroknya dan ikat pinggang putih. Sosok warok yang tidak lagi muda itu memancarkan aura
yang membuat orang segan. Tidak ada sama sekali tanda-tanda seorang penghibur pada
dirinya, begitu melihatnya, Arya dapat melihat keteguhan hati. Bahkan setelah tahu pria itu
melakukan hal tabu, dirinya tidak dapat mencibir. Jika orang itu mengatakan jika dia benar-
benar memiliki ilmu hitam dan sakti mandraguna bagai dalam lakon tarian reog, mungkin
Arya yang skeptis akan mempercayainya.

Seorang pria tinggi dengan tubuh kurus dan padat mengambil ancang-ancang. Dipasangnya
topeng dadak merak dan dengan sekali coba, dia mengangkat topeng yang beratnya
mencapai puluhan kilo itu dengan begitu mudahnya. Topeng singa dengan bulu-bulu merak
asli di sekitarnya terangkat ke dengan gagahnya. Bayuaji yang melihat hanya dapat
mengaga.

“Mas, topengnya ringan, ya?” tanya Bayuaji.

“Ngawur, lebih berat topeng itu daripada kamu.”


“Masa, Mas? Bapaknya kuat sekali, ya? Diangkat pakai gigi gitu. Apa nanti Bayu bisa sekuat
itu, ya?” Mata pemuda itu melebar, dia merasa takjub dengan pria yang kini mengoper
topeng dadak merek pada kawannya seperti tanpa beban.

“Ngimpi kamu.”

“Siapa tahu, Mas. Berakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu—

“Berobat kemudian,” potong Arya. “Kamu ini ikutan seperti tukang pentol goreng saja.”

Topeng-topeng sudah di singkirkan, petugas keamanan mengintruksikan penonton untuk


memperlebar ruang. Musik tabuhan gendang dan tiupan terompet tradional
mengumandang, derap kaki penari memasuki arena.

Entah mungkin suratan, sejak langkah kaki pertama para penari dengan kuda kepang berlari
ke dalam tempat pertunjukan, Bayuaji tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Lentik tangan
yang menari dan derap kaki yang melangkah memunculkan luapan semangat dalam dirinya.

Rasanya, dia ingin ikut menari.

Pribahasa : Menabrak gunung, menggarami laut

Lupa Bayuaji dengan keenganannya tadi pagi untuk datang. Kini dia yang paling semangat,
dia tidak ragu untuk bedesakan mencari tempat paling depan untuk menonton. Tarian dari
jatil dengan kuda lumping, Bujang Ganong dengan tari lucunya serta para warok yang
menari dengan begitu gagah, dan para penari barongan yang begitu kuat mengayun-
ayunkan dengan anggun topeng dadak merak yang dia kenanakan membuat Bayuaji
bersemangat. Untaian warna-warni dengan alunan musik itu menghipnotis Bayuaji.
Senyumnya tidak lepas dari bibir, mulutnya tidak sadar mencoba menyanyikan lagu yang
baru dia kenal.

Siang itu, Bayuaji mendapatkan cinta pertama pada kesenian.

Jika pagi hari Arya dan Aswono harus membujuk Bayuaji untuk datang, maka untuk pulang,
Arya harus memaksa anak itu.

"Ayo pulang," ajak Arya untuk kesekian kalinya.

"Mas pulang dulu saja, nanti Bayu susul." Bayuaji masih setia berjongkok di sebelah topeng
dadak merak yang terbaring di atas rumput setelah pertunjukan, sesekali jarinya menyentuh
bulu-bulu merak dengan takut-takut tapi penasaran. Persis anak kecil.

Gadis tidak lebih dari 10 tahun ikut melihat, tangannya tiba-tiba menarik salah satu bulu
merak dari topeng. Bayuaji reflek memukul tangan gadis itu. "Ojo dirusak!"--jangan dirusak.

Gadis berpakaian baju mengembang bewarna merah yang ditegur Bayuaji menagis keras.
Dengan cepat gadis itu lari melintasi lapangan. Jelas akan mengadu pada siapapun ibunya.

"Sudah mau magrib, ayo pulang. Jangan jadi seperti anak kecil." Arya bedecak, dia mulai
tidak sabar. Tapi Bayuaji masih enggan beranjak.

"Mulio, wes gak onok mane pertujukan sampe kesok." –pulang saja, sudah tidak ada lagi
pertunjukan sampai besok. Pria berpakaian garis-garis merah putih dengan gambar singa di
dada menghampiri Bayuaji. Bayuaji mengenalinya sebagai pria yang membawa topeng
dadak merak dengan giginya.

Pria dengan kedua pipi cekung dan kulit hitam terbakar matahari itu tersenyum pada
Bayuaji. Dirinya telah mengamati remaja itu dari lama. Sebenarnya dia pernah melihat
Bayuaji dari jauh, ketika dirinya mengantar Ki Darma ke rumah Aswono untuk menginap.
Tapi, yang membuatnya ingin menyapa pemuda ini adalah karena tindakannya yang
menghentikan gadis tadi merusak topeng dadak merak. Bukan hal aneh ketika warga
melihat topeng ini dan dengan sengaja menarik bulu meraknya, dia sering miris ketika
melihat topeng dadak merak milik kelompok reog kecil yang bulunya telah banyak
menghilang, rasanya sosok barongannya jadi terlihat menyedihkan dan lemah.

"Bapak makan apa bisa jadi kuat?" tanya Bayuaji tanpa basa-basi.

"Ya makan nasi ... beling juga kadang."

"Bagaimana bisa makan beling, Pak ...."

"Wagiman." Pria itu tertawa dengan batuk yang kadang hadir. Dia tidak mengada-ada,
dirinya kadang memang makan beling, sabut kelapa, ayam hidup dan bara api ketika dirinya
kerasukan dalam pertunjukan. Jadi, Wagiman tidak membohongi pemuda itu, walauh
sepertinya dia tidak dipercaya.

"Bapak bercanda," keluh Bayuaji.

"Kalau tidak percaya, pulang dulu dan coba datang lagi besok. Siapa tahu Ki Darma berniat
membisiki salah satu dari kami."
"Tu, Pak Wagiman saja menyuruh pulang dulu. Para penari lain juga sudah pergi semua,"
Bujuk Arya kembali.

Dengan janji akan kembali keesokan hari, akhirnya mereka pulang juga.

Sosok keduanya yang pergi bersisian di bawah langit senja, dipandangi seseorang yang sejak
tadi memperhatikan keduanya yang kini meninggalkan lapangan.

Malam itu Bayuaji mendapat mimpi kilasan warna hijau dengan biru gelap bagai mata.
Tubuhnya gelisah dalam tidur, seseorang tak berwajah membisiki Bayuaji dan membuat
tubuhnya meremang.

"Bayu, jangan gerak-gerak terus." Arya yang telah dua kali kena sikutan dan tendangan
Bayuaji akhirnya terbangun. Dengan setangah mengantuk dirinya mendapati Bayuaji yang
bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya.

Arya langsung membuka mata ketika pemuda itu mengerang. Dia mengira Bayuaji sakit
karena keringat telah membasahi kening pemuda itu.
"Bayu bangun, Bay." Arya menepuk-nepuk pipi Bayuaji. Dirinya hampir memanggil Aswono
ketika Bayuaji tiba-tiba tersentak dan terduduk.

"Ambil napas panjang, kamu mimpi buruk?" tanya Arya.

Bayuaji yang kini mukanya merah bagai terbakar dan keringat menetes menggelengkan
kepala, dia masih tidak bisa mengatur napasnya.

Arya ingin memeriksa Bayuaji ketika matanya menangkap gundukan yang membentuk tenda
dan basah di kolor merah pemuda itu. Menabrak gunung, menggarami laut, sepertinya
percuma kekhawatiran Arya.

"Kamu ini, mimpi basah saja bikin orang bingung!" Arya hampir menyembur tawa.

Bayuaji melihat pandangan Arya pada selangkangannya. Dia langsung mengambil sarung
dan menutupinya. Wajahnya sudah merah padam.

"Mas, jangan bilang-bilang mbah kalau Arya ngompol, ya?"

Eh?

Pribahasa : Tak kenal maka tak tampol juga.

Tawa Arya berhenti, suasanya tidak lucu lagi ketika Bayuaji benar-benar terlihat merah
padam dan hampir menangis. "Jangan mewek gitu, semua pria juga pasti pernah mengalami
mimpi basah."
"Aku juga tahu, Mas. Semua pasti pernah ngompol. Tapi, sudah sebesar ini juga masih
ngompol?" Mata Bayuaji buram karena air mata mulai menggenang. Bayu malu sekali,
terakhir dia ngompol waktu dia kelas 5 SD, Bayuaji selalu benci ketika dirinya bermimpi
kencing dan benar-benar kencing di kasurnya. Tetangga dan teman sepermainannya selalu
mengolok-ngolok waktu ibunya menjemur kasur yang basah.

Dia kira tindakan ibunya yang mengusap-usap burungnya dengan kulit ceker ayam benar-
benar berhasil menghentikan ngompolnya, tapi apa? Walau hanya membentuk pulau kecil
dan terasa lengket di kolornya, tetap saja dia ngompol. Parahnya di depan Mas Arya. Mau
di taruh di mana muka Bayu

Arya menggaruk-garuk hidungnya. Dia tidak tahu harus berkata apa pada pemuda yang
sepertinya baru pertama mendapat mimpi basah. Dirinya tidak berpengalaman mengajari
hal seperti ini. Dulu waktu remaja, ayahnya tidak pernah membicarakan mengenai ini
dengan dirinya, Arya waktu itu harus mencari tahu sendiri mengenai perubahan pada
tubuhnya. Beruntung dia memiliki kakak sepupu yang dengan senang hati memberinya
tontonan bokep dan menjelaskan semuanya.

"Kamu ngak ngompol. Itu namanya mimpi basah. Bayu pernah belajar reproduksi waktu
masih sekolah?" Ketika pertanyaan Arya dijawab dengan gelengan, dia menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. "Ini kejadian alami, semua pria pasti mengalami mimpi basah,
itu tandanya kamu sudah mulai matang secara seksual. Ngerti?"

"Ngak." Bayuaji belum begitu mengerti, tapi paling tidak, dia bukan ngompol.

"Kamu ini, perlu diingat saja, kejadian ini pasti terulang, jangan takut. Ini normal." Arya
mengusap rambu berombak Bayuaji. "Trus, kamu mimpi apa memangnya semalam? Gadis
mana yang jadi pemeran mimpimu?" Alis Arya naik turun, dia penasaran juga siapa yang
menjadi bintang utama mimpi basah seorang Bayuaji. Arya saja masih ingat, dia mendapat
mimpi basah setelah melihat film lama tentang Inem si pelayan seksi.
"Gadis apa, Mas?"

"Ya, gadis yang membuat celanamu basah."

"Ngomong opo to, Mas? Semalam Bayu ngak mimpi gadis, aku hanya mimpi bulu merak dan
bisikan tembang."

"Kalau tak kenal maka tak tampol juga kamu, bagaimana kamu bisa ejakulasi dengan mimpi
bulu merak?" Tawa Arya meledak, dia tidak sungkan lagi untuk menertawakan Bayuaji
sekarang.

Seperti janji Bayuaji, setelah mencuci celana yang basah karena seperma, dirinya langsung
menyeret Arya ke lapangan tempat kesenian reog akan kembali digelar. Pertunjukan hari itu
juga luar biasa, tiga penari barong dan bujang ganong kesurupan termasuk Wagiman. Pria
itu dengan lahap mengunyah beling lampu tanpa terluka, mengunyah bara api layaknya es
batu, dan menari menggila mengikuti tabuhan gendang. Bayu benar-benar tidak bisa
berkedip, pemandangan di luar nalar disajikan sebagai pertunjukan. Keadaan bertambah
heboh ketika salah satu penonton ikut kerasukan, pria tambun itu besuara layaknya wanita
dengan bahasa Belanda. Baru ketika Ki Darma mengatakan sesuatu ke telinga mereka,
keempat orang itu kembali ke kesadaran masing-masing.
Bayuaji mengendap-endap mencuri lihat ruangan tempat peralatan reog disimpan. Arya
yang tidak lagi sanggup mengikuti langkah Bayuaji sekarang sedang berinstirahat dan
mengobrol dengan tukan pentol goreng. Mereka sedang seru membicarakan club sepak
bola ketika Bayuaji memutuskan untuk berpetualang sendiri.

Semua penari kini sebagian besar masih berada di area panggung, ruangan yang
mengyimpan peralatan dan kostum sebagian penari itu terlihat kosong. Dengan gugup
Bayuaji masuk, matanya tertarik pada kuda-kudaan yang digunakan jatil untuk menari.
Tangannya tak kuasa untuk menyentuh jaranan itu.

"Tertarik untuk menggunakannya?" Suara rendah dan dalam membuat Bayuaji terlonjak.
Dirinya sama sekali tidak menyangka di sudut ruangan, duduk sosok berpakaian hitam
dengan jenggot lebat yang sedari tadi memperhatikannya. Bagaimana Bayuaji tidak
melihatnya waktu masuk tadi?

Pribahasa : Ibarat kucing, dikasih ikan asin mana nolak.

Mulut Bayuaji terasa kelu. Dipandangi Ki Damar membuat Bayuaji salah tingkah.

"...."

"Kenapa diam? Kamu tertarik?" Kumis Ki Darma tertarik ke atas, pria yang hampir menginjak
usia lima puluh tahun itu tersenyum melihat Bayuaji yang mulai melihat pintu keluar dan
kakinya secara bergantian, tidak berani memandang lansung dirinya. Sangat terlihat jika
cucu Aswono sangat gugup, pemuda itu mulai meremas-remas celana pendeknya. "Ke sini."

Bayuaji terlonjak. Dia benar-benar tidak ingin bertemu Ki Darma, dirinya bahkan mencoba
tidak berpapasan di dalam rumah karena canggung jika bertemu Ki Darma dan Liam.
Sekarang dirinya malah hanya berdua bersama orang yang tidak ingin dia temui.
"Bayuaji, jangan takut. Sini." Seperti tersugesti, niat awalnya utuk segera kabur masih ada,
tapi kakinya mengkhianati dengan perlahan melangkah kea rah orang yang memanggilnya.

Setibanya di kursi bamboo tempat Ki Darma bersila, badannya menggigil. Gabungan rasa
takut dari awal bertemu dengan sang warok dan ingatan kejadian di kamar kakeknya
membuat Bayuaji benar-benar tidak ingin berinteraksi dengannya. Bahkan, Bayuaji masih
tidak berani mengangkat muka.

Getar di tubuh Bayuaji langsung menghilang ketika tangan besar dan berat mendarat di
kepalanya, tapi sebagai gantinya, kini tubuhnya sekaku papan.

"Jok wedi, kamu aman."-jangan takut-kata Ki Darma. "Aji, Bayuaji. Lihat Ki Darma."

Bertentangan dengan ketakutan dan keengganannya, Bayuaji mengangkat wajahnya. Mata


hitam Ki Darma seperti menarik semua ketakutan Bayuaji. Senyum samar dari pria itu
membuat Bayuaji juga mengangkat bibirnya.

"Lah, harusnya begini. Hilang gantengnya kalau nunduk terus." Lelaki itu mengusap kepala
Bayuaji. "Duduk."

Dengan menurut Bayuaji duduk di sebelah Ki Darma. Sepiring jajanan pasar dan secangkir
kopi hitam tersaji di depan warok tua itu. "Ambil." Ki Darma memberikan Bayuaji kue
lemper, pemuda itu menerimanya dan memakannya. Ibarat kucing, dikasih ikan asin mana
nolak.
"Pinter, ya gini, jadi cah lanang jangan gampang takut." Ki Darma pengelus-elus belakang
kepala Bayuaji. Secara aneh, perasaan takutnya menghilang, kini Ki Darma tidak lagi terlihat
semenakutkan yang dia kira. Bahkan, warok yang masih terlihat begitu masih segar bugar
itu, terlihat lebih gagah dari semua warok yang melakukan pementasan kemarin.

"Terima kasih, Ki."

"Jadi bagaimana? Tertarik ingin mencoba jaranan?" Bayuaji melihat kuda-kudaan yang tadi
dia sentuh, jujur saja dia ingin, dengan perlahan Bayuaji mengangguk. "Kamu bisa minta
ajari sama mas-mas dan mbak-mbak kalau mereka tidak sedang tampil."

Mata Bayuaji berbinar. Senyum berlesung pipitnya terbit menjadapat tawaran Ki Darma.
Sosok mengerikan Ki Darma perlahan menguap ketika warok it uerus tersenyum dan
menawari Bayuaji kue. Mungkin, Bayuaji hanya takut tanpa alasan.

"Tari apa yang pengen kamu pelajari?"

Ditanya seperti itu, Bayuaji malah tidak bisa menjawab, apa dia akan menjadi murko-
kemaruk-kalau dia berkata dia ingin mempelajari setiap tarian yang telah di pentaskan?
Bayuaji benar-benar tertarik pada setiap tari-tarian itu. "Semuanya?"

"Kamu mau memperlajari semuanya. Kalau mau mempelajari semuanya, bisa-bisa kamu
harus ikut Ki Darma pulang," kata Ki Darma dengan tawa. Tanganya baralih kea rah kaki
Bayuaji, tangannya menyentuk pergelangan kaki dan betis pemuda itu. "Mungkin kamu
akan bisa, kamu punya kaki seorang penari."

"Kakinya bisa nari bergitu?"


"Maksudnya, kakinya akan lincah kalau dibuat menari. Jarang orang yang punya."

"Benar, Ki?

"Betis kamu kuat, dan pergelangan kakimu luwes. Pasti lincah kalau di buat nari."

"Kalau menari bisa dapat duit, Ki?"

"Memang kalau dapat uang mau buat apa?" Ki Darma menyesap kopinya.

"Sekolah."

"... Sebenarnya, ada cara buat kamu ga usah bayar untuk sekolah."

Pribahasa : Rajing mangkal, kaya!!!

"Man, gendangnya mana? Pertujukan sudah akan mulai lagi," tanya Liam. Pria itu sedang
melihat persiapan sebelum pementasa. Tuan rumah ingin acara musik untuk mengisi waktu
luang sebelum penyanyi-penyanyi ibu dangdut yang akan tampil datang.

"Sudah suruh Suryo untuk mengambilnya, Mas." Walau usia Wagiman lebih tua dari Liam,
tapi dia tetap memanggil mas pada pemuda itu. Bukan rahasia lagi kalau Liam adalah
gemblak yang dipelihara oleh bosnya selama beberapa tahun ini. Pria keturunan China itu
yang selama ini mengatur jadwal dan keuangan kelompok Ki Darma.

Wagiman telah mengikuti Ki Darma sejak dia masih berusia lima belas tahun, berarti sudah
hampir tujuh belas tahun dirinya mengikuti warok itu. Dirinya juga menemani Ki Darma
ketika mereka menemukan Liam ketika kerusuhan dan revormasi terjadi di sebagian wilayah
Indonesia. Pemuda yang ketika itu tidak berusia tujuh belas tahun terbaring di semak tengah
hutan dengan tubuh kering dan sekarat karena kelaparan.
Dia sama sekali tidak menyangka, bahwa setengah tahun sejak pria itu di bawa ke
padepokan, pria itu akan menjadi gemblak Ki Darma. Walau masyarakat kini lebih melihat
kegiatan tersebut sebagai hal yang tidak pantas, tapi Wagiman dapat mengerti, dirinya
dibesarkan di keluarga yang menggeluti kesenian reog, jadi dia tidak heran dengan praktek
gemblakan. Yang tidak habis pikir adalah keputusan Ki Darma mengangkat Liam? Walau
memang wajahnya tampan, Liam telah terlalu tua ketika diangkat menjadi gemblak. Dan
lagi, walau tidak bisa menari, Wagiman tahu kemampuan Liam dalam ilmu hitungan, lelaki
itu sangat cerdas sekali. Dia bisa mengalahkan kalkulator dalam kecepatan berpikir.
Keuangan sanggar sangat stabil walah dalam masa krisis monoter dulu karena Liam. Dia
hanya menyayangkan bakat pria itu yang tenggelam dalam kelompok reog seperti ini.

Dari arah tengah lapangan, Wagiman dapat melihat Surya, pria tambun itu tergesa-gesa
menuju panggung dengan tangan kosong. Kemana gendang yang dia suruh ambil?

"Kenapa kembali? Di mana gendangnya?" tanya Wagiman begitu pria itu dalam jarak
dengar.

"Ndak enak aku kalau tiba-tiba masuk gudang,"seru Suryo.

"Memang kenapa?" tanya Liam.

Surya tidak segera menjawa, matanya tidak berani langsung menatap Liam. Sepertinya, dia
enggan membertahu alasannya karena melihat pria itu.

"A-anu, i-itu ...."'

"Ngomong yang jelas, ada apa?"desak Liam.


"Di dalam ada Ki Darma ...."

"Trus?"

"De-dengan cucu Pak Aswono. Mereka sedang berbicara, suasananya tidak enak untuk
masuk."

Bibir tipir Liam terkatup. Dia memberi anggukan pada Suryo dan berjalan menuruni
panggung. Dia ingin member perintah lagi untuk mengambil gendang, tapi mengingat
keenganan anggota lain untuk mengusik kegiatan Ki Darma, dia berniat turun tangan
sendiri.

Segerombolan pemuda berbisik-bisik ketika dia berjalan, dia dapat melihat bagaimana
mereka menunjuk-nunjuk dirinya.

"Gemblak."

"Gemblaknya si warok Darmo. Cakep, ya. Mulus." Liam tidak mengindahkan perbicaraan
mereka, dia telah terlalu terbiasa mendengar percakapan seperti itu.

"Enaknya, ya jadi gemblak."

"Enaklah, disayang-sayang dapat sapi. Jadi cepet kaya." Mereka tertawa terbahak-bahak.
Liam ingin mempercepat langkahnya dan melewati gerombolan itu, raut wajahnya tidak
berubah. Dia tidak ingin memberikan kepuasan dengan memperlihatkan ekspresi malu
karena ketahuan seorang gemblak.

"Makanya, Rajing mangkal, kaya!!!" Tawa mereka semakin membuncah.

"Enak mungkin, ya? Gmblak mulus seperti itu. Aku yo gelem dadi warok lek gemblaknya
seperti ini." Salah satu pemuda dengan kaos hitam menghampiri Liam, pria itu dengan
berani mencolek bokongnya.

Pribahasa : Datang tampak muka, pulang tampak punggung.

Bukan sekali orang menujuk-nunjuk Liam. Berbicara dengan cekikikan dan nada tidak
percaya ketika mereka tahu dirinya adalah gemblak Ki Darma. Dia sudah terbiasa, muka dan
telinganya telah menebal. Tidak ada lagi rasa malu. Perkataan dari orang-orang yang tidak
ikut memberinya makan, tidak akan lagi mempengaruhinya.

Liam menepis tangan yang meremas bokongnya, dia bahkan tidak menoleh untuk kedua
kalinya sebelum jari tenggah Liam terangkat ke atas, persetan dengan mereka.

Bergitu mendekati gudang penyimpanan, telinga Liam dapat mendenger bunyi gendang
yang di tabuh. Dirinya telah diperingatkan, jika Ki Darma sedang berbicara dengan Bayuaji,
tapi pemandangan yang dilihatnya lebih mengejutkan.

Suara gendang yang dia dengar, ternyata datang dari Ki Darma yang tengah menabuh
mengiringi Bayuaji yang sedang menari. Jarinya lentik menirukan para penari jaranan,
langkah kakinya lincah seirama tabuhan gendang Ki Darma. Kesan amatir masih terlihat, tapi
gerakannya mantap dan membuat penonton tidak bisa lepas. Sebagai orang yang telah
mengikuti sanggar seni reog ini selama beberapa tahun, Liam tahu, pemuda itu sangat
berbakat.
Namun, yang paling membuat kaget Liam adalah Ki Darma. Warok itu tidak lepas melihat
Bayuaji menari. Biasanya, sang warok hanya akan ikut dalam latihan jika dia sedang
bersemangat. Itupun, dia akan memberikan kritik pedas pada anggotanya jika ditemui
kesalahan, tidak pernah Liam melihat Ki Darma tersenyum melihat latihan-latihan itu. Tapi,
kini pria itu tidak hanya tersenyum, dia tertawa hingga kumisnya bergetar.

"Ki," ucap Liam lebih keras dari seperlunya.

Suara tabuhan berhenti, Bayuaji menjatuhkan kuda kepang yang dipegangnya. Pemuda itu
kembali salah tingkah, tidak menyangka akan dilihat orang lain ketika dirinya sedang menari.
Dia bahkan tidak mengerti bagaimana obrolan dengan Ki Darma jadi berubah ajang dia
menari mendandak. Tapi, ternyata menirukan tarian yang kemarin dia lihat sangat
menyenangkan, sehingga sewaktu tabuhan gendang berhenti, Bayuaji menjadi sedikit
kecewa.

"Ada apa?" tanya Ki Darma.

"Saya ada perlu sebentar dengan Ki Darma." Liam mengalihkan tatapannya dari Ki Darma.

Bayuaji menunduk ketika dipandangi Liam. Pemuda itu jadi salah gelisah, rasa-rasanya
pengalaman sama dengan ketika dirinya tertangkap melihat kegiatan malam Liam kemarin
lusa.

"Sa--saya mohon diri dulu, Ki. Mas Arya pasti sedang mencari Bayu." Pemuda itu tidak
menunggu persetujuan, dirinya langsung melesat ke luar gudang.
"Liam," panggil Ki Darma.

"Iya, Ki."

"Jangan bohong." Liam tidak berani menatap Ki Darma. Walau tidak melihatnya secara
langsung, Liam dapat merasakan tatapan pria itu padanya. Rasanya masih sama, dirinya
seolah tidak bisa berbohong di depan warok ini.

"...."

"Liam." Liam melangkahkan kakinya, menuruti nada memanggil dalam suara sang warok. Ki
Darma menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya, menyusuh peria yang jauh lebih muda
darinya itu untuk duduk di sampingnya.

"Kamu tambah ganteng," puji Ki Darma.

"Dari dulu saya memang sudah ganteng, Ki." Ucapan sombong disertai dengusan Liam
membuat Ki Darma tersenyum. Tangannya mengelus-elus rambut lurus halus yang sudah
lama menemaninya.

"Pasti sekarang banyak gadis yang mengejarmu."

"Siapa yang mau. Miskin gini."

"Miskin apanya? Otakmu ini lebih kaya dari uang siapapun juga."
Tangan besar dan kasar menggenggam tangan Liam, tangan mereka sungguh kontras. Kulit
putih tangan Liam, menjadi sangat mencolok ketika digenggam tangan Ki Darma.

"Anak itu punya bakat nari." Liam meremas tangan Ki Darma. Bertahun-tahun ini, dia telah
terbiasa dengan suhu panas yang di atas rata-rata dari sentuhan Ki Darma.

"Iya, dia punya kaki penari. Pasti terkenal nantinya."

"Suka?"

"...." Warok itu tidak menjawabnya. Dia hanya mengangkat tangan Liam dan menciumnya.
Genggaman Liam di lepas, sang warok mengangkat gendang yang dia mainkan tadi dan
membawanya. Sebelum dia sampai ke pintu, Ki Darma berhenti. "Liam, datang tampak
muka, pulang tampak punggung."

Pribahasa : Ibarat ayam, tiada mengais tiada makan.

Arya benar-benar lupa. Perasaan menekan yang menghimpit dadanya ketika datang tidak
lagi terlalu dia pikirkan. Apalagi ditemani Bayuaji, pemuda itu berhasil membuat Arya selalu
tertawa. Begitupula pagi ini.

"Mas! Berhenti tertawa!" ucap Bayuaji dengan air mata menggenang dan bibir merengut
marah.
"Jad—jadi ini yang membuatmu tidak keluar-keluar dari kamar mandi?" Dalam kamar mandi
berukuran dua kali satu setengah meter dengan dinding ayaman bambu itu berdiri Bayuaji
yang telanjang dengan tangan menutupi selangkangan.

"Jangan ketawa toh, Mas. Burungku ini kok bisa begini?" Arya kembali tertawa.

"Jangan tutupi, coba lihat lagi." Dengan sedikit malu, Bayuaji menurunkan tangannya. Benda
hampir berwarna pink di selakangan Bayuaji itu berdiri menantang dan keras.

Sebenarnya Arya tidak heran, bagaimana pemuda polos ini tidak mengerti reaksi tubuh yang
kadang dialami pria. Pemuda yang ramping dengan kulit bersih itu baru kemarin mengalami
mimpi basahnya, wajar jika dia tidak juga mengerti dengan kondisinya sekarang.

"Jadi ini gimana, Mas?" tanya Bayuaji. Rasa sesak di selakangannya sungguh menyiksa. Dia
tidak tahu kenapa burungnya mengeras, dengan menahan malu akhirnya dia memberanikan
diri bertanya pada Arya, dia bertanya apa burungnya terkena gigikan kutu kasur waktu tidur
sehingga membesar dan kaku? Bukan jawaban yang diterima, tapi tertawaan yang di dapat.

Arya mencoba bersimpati, tapi ekspresi ingin menangis Bayuaji benar-benar terlalu sayang
untuk dilewatkan. "Harus diatasi itu. Jika tidak, bisa putus burungmu."

"Mas Arya ini jangan nakut-nakutin." Bayuaji mulai menyesali keputusannya memanggil
Arya. Mungkin harusnya dia menunggu kakeknya pulang saja untuk bertanya. "Terus ini
diapakan, Mas?

"Disunat." Bayuaji benar-benar menitikkan air mata.


Arya menahan tawanya. Dirinya ingin menjelaskan apa yang harus Bayuaji lakukan untuk
mengatasi keadaan, tapi melihat wajah Bayuaji yang memerah dan matanya yang berkaca-
kaca, timbul keinginan untuk melihat bagaimana pemuda itu akan bereaksi dengan
pengalaman pertamanya nanti. "Mau Mas Arya bantu?"

Tanpa pikir panjang Bayuaji mengangguk.

Arya sempat ragu, tapi rasa penasarannya menang. Perasaan ketika dirinya mengambil
tempat di belakang Bayuaji dan perlahan menyentuh tubuh remaja polos itu,
mengingatkannya pada perasannya ketika remaja, rasa gugup ketika melakukan hal yang
salah tapi tidak bisa menolak godaan. Arya terkejut dengan sensasi lembut ketika mendekap
tubuh Bayuaji. Kulit pemuda itu lebih lembut dari yang dia perkirakan.

Bayuaji bergetar, perasaan tidak nyaman membuncah ketika Arya mulai menyentuh
kelaminnya dan mulai mengocoknya. Penis remajanya yang tidak pernah disimulasi
sedemikian rupa, mengirim sinyal yang membuat tubuhnya bergerak gelisah dalam dekapan
Arya.

Arya terus mengocok penis pemuda itu. Dia memperhatikan setiap perubahan ekspresi dari
Bayuaji. Bagaimana bisa wajah yang memerah, bibir yang sedikit terbuka dan mata yang
terpejam dari pemuda yang pertama kali merasakan nikmat seksual itu terlihat lebih cantik
dari wanita manapun yang pernah Arya temui?

Tubuh dalam dekapan Arya tersentak, cairan kental muncrat membasahi tangannya. Arya
langsung menarik diri. Menyadari tindakannya yang terlau jauh.

Bayuaji menatap Arya nanar, pemuda itu masih mencoba beradaptasi dengan rasa yang
baru dia kecap.
"Lakukan itu jika terjadi lagi," gumam Arya sebelum meninggalkan Bayuaji. Dia harus
memberikan otaknya waktu mencari alasan untuk membenarkan tindakannya.

"Jok ngalmun wae,"

"Eh? ... Ah iya, Pak Kar." Lamunan Arya mengenai kejadian tadi pagi terputus oleh terguran
Pak Karsono—pedagang pentol goreng—yang telah menjadi teman mengobrolnya.

"Ngelamun opo to?"

"Ngak ada, Pak."

"Ngak ada apa ngak mau cerita?" Pria itu duduk di kursi pelastik di sebelah Arya. Dirinya,
selain membawa rombong pentol goreng bercat hijau miliknya, juga selalu membawa dua
kursi pelastik yang dia tawarkan kepaga konsumennya jika mereka ingin istirahat.

"Besok, Pak Kar jualan di sini lagi?"

"Alah, mengalihkan pembicaraan. Ibarat ayam, tiada mengais tiada makan, jika saya besok
ngak jualan, gimana saya bisa ngasih belanja istri?" Pak Kar mengambil handuk kecil yang
terlampir di pundaknya, mengelap keringat yang membanjir hawa panas.

"Mas!"
Pemuda dengan rambut bergelombang yang kini acak-acakan dipermainkan angin itu
melambai dari tengah lapangan memanggil Arya. Tidak dapat dipungkiri, penampilan si
pemuda menarik beberapa pasang mata pengunjung lain untuk ikut terkesima. Tapi, ketika
Karsono melihat kawan berbicaranya, dia hanya dapat terkekeh. Andai yang dilihat Arya itu
adalah seorang wanita, Karsono pasti mengatakan jika pria itu sedang jatuh cinta.

Pribahasa : Ibarat rumput yang sudah kering, ditimpa hujan segar kembali.

Sekali mengecap nira, lebah akan kembali mencari bunga. Bayuaji tidak bisa tenang dalam
pembaringan. Tubuhnya berkali-kali merubah posisi tidur. Lampu kamar belum dimatikan,
jadi sesekali matanya melirik Arya yang sedang membaca buku di sebelahnya. Bayuaji
mengigiti kuku jari, fitur tegas rahang Arya dan untaian rambut halus yang dibelah tengah
mengingatkannya pada penyanyi band Peterpan, khususnya jika dilihat dari samping seperti
ini. Bayuaji seperti baru tercerahkan, kenapa dulu dia tidak bisa melihat jika Arya begitu
tampan? Bagaimana dia baru sadar jika hidungnya yang bangir dan bibirnya tipis terlihat
begitu menarik.

Bulu-bulu menggelitik perut Bayuaji setiap jati-jari panjang Arya membuka halaman buku.
Dia ingat rasanya disentuh jari-jari itu. Darah mengalir deras ke wajah Bayuaji, dadanya
berdetak lebih keras, ada rasa malu, tapi juga rindu untuk merasakan kembali
pengalamannya tadi pagi. Bagian bawah tubuhnya merespon dengan menggeliat bangun.

Bayuaji menarik sarung yang menyelimutinya, dia langsung berbalik, tangannya dia jepit
diantara selangkangan. Bayuaji mengigit bibirnya, tekanan pada penisnya yang mulai
menengang membuatnya tambah berdebar.

“Kamu ini kenapa?” Sudut bibir Arya terangkat. Sebenarnya, dia sendiri tidak bisa
konsentrasi pada buku yang dia baca. Selain karena makhluk di sebelahnya yang tidak bisa
berhenti bergerak, tapi juga karena keputusan nekat yang dilakukannya tadi pagi.
Entah setan apa yang merasuki diri Arya, dirinya begitu berani melakukan tindakan yang
sudah mengarah pada pelecehan. Namun, jika dilihat dari reaksi Bayuaji sepertinya pemuda
itu tidak bermasalah dengan perbuatan Arya. Bayuaji masih memperlakukannya dengan
sama.

Arya menarik sedikit sarung tenun kotak-kotak biru milik Bayuaji. Dia dapat melihat telinga
dan pipi pemuda itu yang memerah. Erangan halus membuat alis Arya naik, dan posisi
bergelung Bayuaji membuatnya menutup buku dan beranjak turun untuk mematikan lampu
kamar. Dirinya ikut bergelung, sedikit ragu ketika memeluk Bayuaji bagai bantal guling.

“Mas Arya, jangan gini, Panas.” Arya terkekeh mendengar penolakan setengah hati itu.

“Panas bagaimana? Dingin gini, kok.” Arya semakin mendekatkan pelukannya. Dirinya
menghirup bau sampo bercampur minyak telon yang digunakan Bayuaji. Aromanya
menenangkan, mengingatkannya pada masa kecilnya.

Kebiasaan buruk Bayuaji muncul kembali, dirinya terus mengigiti kuku jempol terutama
ketika kaki Arya ikut memberi beban pada pahanya. Bayuaji mengeram, penisnya menjadi
semakin tegang tertekan sebelah tangan dan himpitan kaki Arya.

Dalam gelap, tangan Arya menjelajah, dia tersenyum ketika mendapati ke mana tangan kiri
Bayuaji berada.

“Tegang lagi?” bisik Arya. Gerakan Bayuaji berhenti sebentar, tapi Arya dapat merasakan
kepala Bayuaji yang mengangguk di depannya. “Mau mas bantu lagi?”

Arya menarik turun sarung yang menyelimuti Bayuaji, tangannya menyusup di selangkangan
pemuda itu. Separuh dirinya yang ragu menunggu penolakan dari Bayuaji, tapi merasa
pemuda itu malah berinisiatif sedikit memberikan jalan bagi tangannya untuk menjamah,
membuat Arya semakin berani.

Sudah lama Arya tidak merasa bedebar seperti ini, rasanya Arya kembali ke perasaan ketika
pertama kali dia melakukan malam pertama dengan istri yang saat itu masih berstatus pacar
Arya. Tindakan tabu yang dilakukan diam-diam ini membuat Arya benar-benar terangsang.
Gabungan dirinya yang memang sudah lama tidak menyentuh wanita dan desah lembut
setiap dia menggerakkan tangan memanja penis Bayuaji membuat selangkangannya sendiri
sesak.

“Engh!”

“Stt … jangan bersuara.”

Bayuaji mengigit jempolnya, mencegah suara-suara yang mendesak keluar dari pita
suaranya. Jari jempol Arya yang kini terasa mengelus kepala penisnya membuat Bayuaji
ingin berteriak, dia merasa hampir meledak ketika gerakan Arya berhenti. Bayuaji ingin
menangis rasanya, berhenti seketika ketika dirinya ingin keluar itu benar-benar tidak enak.

“Mas ….” lirih Bayuaji.

Arya membalikkan tubuh Bayuaji, dan ketika mereka berhadapan, dirinya tidak kuasa untuk
mengecap bibir pemuda itu.

Rasa lembut menyentuh bibirnya. Bayuaji terdiam, adegan yang muncul di film barat dan
biasa membuat Bayuaji menutup mata karena malu itu, kini sedang terjadi pada dirinya.
Dulu, Bayuaji penasaran, apa pemeran-pemeran film itu tidak merasa jijik dengan mulut dan
ludah orang lain ketika mereka berciuman. Tapi, sepertinya kini Bayuaji paham.
“Tidak suka?” bisik Arya. Jawaban dari pertanyaannya didapat dengan balasan ciuman
canggung dari Bayuaji.

Arya semakin erat memeluk pemuda itu, dalam kamar kecil gelap itu Arya menurunkan
celananya sendiri. Perasaan tersengat terasa ketika dirinya menggenggam kejantanannya
dan Bayuaji secara bersama. Ibarat rumput yang sudah kering, ditimpa hujan segar kembali,
tubuhnya bersemangat mengecap kenikmatan yang beberapa saat sempat dia lupa. Kepala
Arya terasa berkabut, penilaiannya semakin kabur terseret tabu yang semakin dalam ketika
tangannya mulai mengocok kejantanan mereka secara bersamaan.

Pribahasa : Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan eek di negeri sendiri.

Arya tersenyum, melihat dari kejauhan Bayuaji sedang memainkan topeng bujang ganong
bersama anggota reog.

"Mas Arya ini dari tadi senyum-senyum terus, lagi seneng, toh, mas?" Pak Karsono
menyodorkan seplastik es teh pada Arya. "Es, Mas. Panas."

"Aduh, Pak Kar ini repot-repot segala sampai belikan saya es." Pria dengan rambut beruban
dan handuk di leher itu hanya tersenyum. Arya mengambil bungkusan es teh itu dengan
ucapan terima kasih.

Karsono dan Arya menjadi semakin dekat, setiap hari mereka akan duduk di sebelah
rombong jualan Karsono. Rindang pohon bambu membuat tempat mereka terlindungi dari
sinar Matahari langsung, tempatnya juga strategis, dekat jalan kecil tempat orang-orang
yang akan menonton pertunjukan.
Arya menyesap es teh yang langsung mendinginkan tenggorokannya. Para pengunjung
sekarang sedang setia menonton penyanyi dangdut di atas panggung dengan payung-
payung yang dibawa untuk menghalau panas. Di sisi lain lapangan, dekat dengan gudang
tempat paguyupan reog menyimpan alat-alatnya, Arya kembali tersenyum melihat Bayuaji
menari mengenakan topeng bujang ganong.

"Lah, senyum lagi. Lagi seneng opo, toh, Mas?"

"Seneng ditemeni ngobrol Pak Karsono."

"Alah, dabrus."—omong kosong—Arya tertawa mendengar balasan Pak Karsono.

"Pak Aswono kok belum datang ke sini, Mas?"

"Pak Kar kenal Pak As?"

"Ya kenal, dulu pernah saingan cinta sama saya."

"Lalu? Siapa yang menang?"

"Ndak ada, Murti yang direbutin kawin dengan anak tuan tanah. Kami jadi kawan waktu
patah hati bersama." Arya terbahak. Pasti akan seru jika di sini ada Pak Aswono juga, pikir
Arya.
"Pak As masih sibuk ngurus sawah, Pak. Kata beliau, dirinya akan datang jika pekerjaannya
sudah selesai."

"Lihat itu, Si Siti, anak Mbok Juminten." Arya mengikuti arah telunjuk Karsono, wanita yang
di maksud Karsono sedang berdiri dengan kipas di tangan dan seorang pria yang sedang
memayunginya. Yang paling menarik perhatian Arya adalah dandanan menor dan kerlip
perhiasan emas yang bergelantung di leher dan tangannya. "Dia kerja di Saudi, baru kerja
setahun sudah bisa bangun rumah dan beli perhiasan banyak."

"Hebat dong, Pak."

"Hebat apanya, katanya dia itu bisa cepat kaya karena jadi istri simpanan majikannya.
Padahal dia sudah punya suami, itu yang pegang payung suaminya." Inilah yang membuat
ngobrol dengan Karsono tidak pernah membuat Arya bosan. Pria ini bagai buletin desa yang
hidup, rasa-rasanya, selama beberapa hari Arya bergaul dengan pria ini, Arya sudah
mengenal separuh penduduk desa beserta gosip-gosipnya.

"Pak Kar, Njenengan ini pasti iri."—anda.

"Bah, daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan eek di negeri sendiri ..." Arya
menatap Karsono dengan menaikkan alisnya, bibirnya sudah mengulum senyum. "... dan
lagi, ngak ada juragan minyak dari Arab yang mau jadikan saya istri simpanan." Sambung
Karsono dengan handuk kecil yang menutupi separuh wajahnya layaknya cadar, dan dengan
genit mengedip-ngedipkan matanya pada Arya.

Tawa Arya meledak. Perutnya kaku membayangkan Karsono menjadi seorang istri juragan
minyak. Suasana ricuh terjadi di depan panggung menghentikan tawa Arya. Ada pemuda-
pemuda yang mencoba naik panggung dan mengganggu penyanyinya.
"Ck, pemuda berandal. Pasti mabuk mereka."

Orang mana yang mabuk-mabukan di cuaca panas seperti ini? Keraguan Arya menghilang
begitu tiga orang pemuda diseret petugas hansip dan orang-orang lain untuk menjauhi area
panggung. Dari jalan mereka yang sempoyongan dan perkataan mereka yang kacau,
sepertinya benar kata Karsono. Mereka mabuk.

Ucapan-ucapan kasar pemuda-pemuda itu dapat Arya dengar. Hansip dan orang-orang yang
menyeret mereka ke pinggir lapangan pergi dengan muka bosan. Sepertinya, kelakukan
pemuda-pemuda itu sudah tidak membuat mereka terkejut.

Arya sudah hampir kehilangan minatnya pada ketiga pemuda mabuk itu. Namun, ketika
pemuda dengan buku di tangan berjalan menabrak mereka, Arya berdiri. Terlihat, ada
cekcok dan tangan yang terangkat dengan niat melukai. Sebelum bisa dicegah, Arya sudah
melesat lari.

Pribahasa : Esa hilang, dua terbilang.

Pukulan terlanjur dilayangkan, tapi berhasil dihindari dengan gerakan yang sangat halus.
Sebelum Arya dapat sampai, Liam—pria yang hendak ia tolong—menangkis serangan dan
dapat menjatuhkan orang yang melayangkan tinju padanya dengan mudah. Arya hanya
dapat melongo ketika lelaki itu menyapukan kakinya dan memberikan pukulan di dada pada
preman lain yang membabi buta ikut menyerang ketika kawannya jatuh, dengan cepat dan
lues. Gerakannya sangat indah, hampir seperti menari.

Satu-satunya hal yang bisa Arya lakukan yaitu menarik kemeja Liam ketika preman lain
menyerang dengan botol. Kejadian itu langsung menarik perhatian banyak orang, para
penjaga kembali dan ikut mengamankan keadaan.
"Cuih! Perek! Ndilani."—menjijikkan—Ludah dari preman dengan gigi kuning dan rambut
gondrong itu tepat mendarat ke muka Liam.

Taik! Maki Liam dalam hati. Keadaan kembali gaduh, nasibnya sedang buruk, preman-
preman yang pernah mengejeknya kemarin hari ini malah meludah dan mencoba
menyerangnya. Bau jigong dan alcohol membuat Liam hampir muntah. Dengan segera dia
lap wajahnya dengan lengan kemeja. Ucapan khawatir dan mencela preman yang
mengganggunya, perlahan terganti bisik-bisik. Baru ketika Liam melihat perhatian warga
teralih padanya, dia menyadari tiga kancing teratas kemejanya telah terlepas karena tarikan
Arya. Memaparkan dada putih yang terhias bercak merah yang mulai memudar.

Liam sudah sering menerima senyum mengejek dan tatapan jijik yang diberikan orang-orang
padanya. Menjadi gemblak seorang warok dengan wajah China membuatnya sering
menerima cibiran. Walau masyarakat di beberapa daerah memahami posisi ini, tapi
masyarakat yang lebih modern dengan nilai norma yang telah berubah menjadikannya tidak
lebih dari simpanan homo seorang warok.

Tak ingin menjadi tontonan warga lebih lama, Liam menarik kemejanya dan bergegas pergi
menghindari kerumunan.

Arya tergagap, dia benar-benar tidak berniat mempermalukan Liam. Dia hanya ingin
menolong pemuda yang terlihat pendiam itu. Rasa bersalahnya semakin besar, apalagi
dengan ibu-ibu yang mulai berbisik dan tertawa dengan gurauan cabul tentang tanda
cupang yang tersebar di tubuh pria muda itu.

Hansip yang datang mengusir kerumunan. Kesempatan itu Arya gunakan untuk mengambil
buku yang Liam jatuhkan dan menyelinap ke arah Liam pergi. Setelah melewati jalan kecil di
samping rumah warga, ada kebun warga yang ditumbuhi pohon jati. Sesampainya di tepi
sungai yang penuh deretan pohon bamboo. Liam sedang mencuci muka di air sungai itu.
Sejenak Arya menyangka Liam menangis, tapi kemudian pria itu mengumpat dengan bahasa
Indonesia dan China dengan cepat.
Liam menyadari keberadaan Arya. Pria yang sekepala lebih pendek dari Arya itu
menatapnya datar.

"Apa?" tanya Liam.

"Maaf." Arya tersenyum menyesal. Diulurkannya buku bersampul biru yang dijatuhkan Liam.
Sekilah Arya melihat, itu adalah kumpulan soal olimpiade matematika. Hanya dengan
mengintipnya saja Arya menjadi pusing.

Walau mereka tinggal serumah dalam beberapa hari ini, Liam dan Arya jarang berpapasan.
Biasanya Liam akan pulang malam bersama Ki Darma ketika dia dan Bayuaji telah berada di
atas tempat tidur.

"Kuliah?" tanya Arya. Dengan hanya melihat sekilas, Arya dapat melihat jika soal-soal itu
tidak diajarkan di bangku sekolah.

Liam menggelengkan kepala sebagai jawaban. Buku jari ramping yang terlihat terlau halus
untuk tangan seorang pria itu telulur mengambil bukunya. "Hanya relaksasi."

Manusia mana yang relaksasi dengan soal-soal matematika? Ingin Arya menanyakan itu, tapi
dirinya tidak ingin bersikap lancang.

"Jika suka matematika, kenapa tidak kuliah sekalian saja?" tanya Arya. Dirinya mengikuti
Liam yang kini berjalan kembali ke arah lapangan.
"Bicara gampang."

Arya kembali menutup mulutnya, dia sejenak lupa dengan status gemblak Liam. Jika yang
dia dengar benar, biasanya gemblak diangkat dari keluarga miskin. Mungkin dirinya terlalu
lancang. Tapi orang yang mengerjakan soal-soal itu hanya untuk relaksasi, sungguh sayang
jika berakhir menjadi gemblak.

"Banyak beasiswa kalau mau cari, aku bisa hubungi temanku kalau kamu mau."

"Kita ngak pernah ngobrol dan sekarang tiba-tiba nawari beasiswa? Jangan aneh-aneh."

"Itu solusi yang bagus, kalau kamu tidak kuliah hanya karena biaya, kamu bisa mendapatkan
beasiswa penuh jika lolos seleksi. Esa hilang, dua terbilang"

Mata sipit Liam melirik Arya. Dirinya mulai terganggu dengan campur tangan yang tidak dia
minta. "Siapa bilang karena tidak ada biaya?"

"Jadi karena apa? Jangan bilang karena jadi gemblak?" Arya hampir menampar dirinya
sendiri karena kelewatan.

"...." Liam terdiam, matanya menatap ke depan dangan kilat sendu. Disampingnya, Arya ikut
berhenti berjalan. "... Sudah bukan gemblak," lirih Liam

Arya mengikuti arah pandang Liam. Di tengah lingkaran penabuh musik dan anggota
paguyuban reog, Bayuaji menari dengan jaranan di antara paha dengan gerakan yang luwes.
Namun, pemuda itu tidak sendiri, ada warok yang menemaninya menari diiringi lontaran
penyemangat dan gendang yang ditabuh lantang. Keduanya bergerak seirama. Ada rasa
panas di dada ketika Arya melihat pemandangan itu.

Pribahasa : Di luar bagai madu, di dalam bagai empedu.

Mulut Arya terasa asam. Dirinya layaknya orang buta yang tidak nampak gajah di depan
mata. Bagaimana bisa Arya tidak melihat kemugkinan itu dari awal?

Selama mengenal pemuda itu, belum pernah Arya melihat Bayuaji segembira ini. Ki Darma
yang tidak pernah Arya lihat tersenyum kini, sedang tertawa. Pria itu tiba-tiba menarik
Bayuaji dan memanggul di pundaknya bagai tanpa beban. Raut kaget Bayuaji langsung
berganti kegembiaraan.

Sensasi menjadi yang tertinggi di antara orang-orang disekitarnya membuat Bayuaji


bereforia mengenang masa kecilnya dengan ayahnya. Dia ingat, dulu ayahnya sering
memanggul dirinya saat duduk di taman kanak-kanak.

Dari posisinya, Bayuaji melihat sosok yang dia kenali. Wajahnya memerah, senyumnya lebih
lebar dari sebelumnya.

"MAS ARYA!" teriak Bayuaji. Tangannya melambai-lambai untuk menyapa Arya. "SINI,
MAS!"

Teriakan Bayuaji menarik perhatian anggota-anggota kelompok Paguyuban Lagen Cayapata.


Tabuhan gendang dan tiupan terompet berhenti. Ada ekspresi salah tingkah pada pada
wajah mereka. Terutama ketika sosok di samping Arya tidak juga memalingkan mata dari Ki
Darma.
Warok itu menurunkan Bayuaji yang ingin langsung berlari pada Arya dan mengajaknya ikut
menari dengan yang lainnya, tapi niatnya batal begitu Arya tidak juga memberi Bayuaji
senyuman. Mas Arya yang selalu menjahilinya kini menatap Bayuaji seolah dirinya telah
melakukan kesalahan.

Liam yang terlebih dahulu memalingkan muka dan menghindari tatapan lansung Ki Darma.
Liam tersenyum miris. Reaksi kru reog atas kedatangannya benar-benar membuatnya ingin
mengumpat. Dirinya bagai mahkluk perusak suasana, orang luar, dan eksistensi tidak
diinginkan yang muncul ketika mereka sedang dalam puncak kegembiraan. Sungguh
berbeda dangan Bayuaji yang terlihat begitu alami berada di sekitar kelompok mereka.

"Mas ...." Pemuda itu berjalan perlahan ke arah Arya. Dirinya mencoba tersenyum. Otak
Bayuaji kini sedang bekerja keras mencari alasannya kenapa Arya seperti marah padanya.

"Pulang," kata Arya. Tanpa menunggu Bayuaji, pria itu berjalan menjauh.

Bayuaji perbelah, dia ingin masih melanjutkan latihan menari. Namun, sikap tidak biasa Arya
membuatnya ragu.

"Mas, tunggu Bayuaji!" Bayuaji berlari menyusul Arya.

Sementara itu, Liam menghampiri anggota krunya dan Ki Darma. Liam tersenyum,
menambah aura tampan yang telah banyak memikat hati para wania. Sayangnya, senyum
Liam di luar bagai madu, di dalam bagai empedu. Liam lupa bagaimana cara tersenyum
dengan tulus.

"Ki ...." Liam tidak ingin menghindar.


"Hmm ...."

"Pak Soleh meminta kesediaan Ki Darma untuk mengawal prosesi akad pernikahan anaknya
besok."

Ki Darma tidak mengatakan apa-apa, pria itu hanya menatap Liam dan seperti sedang
membaca apa yang Liam sembunyikan.

"Mas jangan cepat-cepat!" Bayuaji berusaha menyamai langkah panjang Arya. Dirinya harus
berlari-lari kercil agak tidak tertinggal. Beberapa kali Bayuaji hampir tergelincir pematang
sawah tempat yang menjadi jalan trobosan untuk sampai ke rumah dengan lebih cepat.
"Mas Arya! Jangan tinggal Bayuaji!" Pijakan yang tidak hati-hati membuat Bayuaji tergelincir
dan jatuh terjerembab.

Bayuaji ingin minta tolong, tapi Arya bahkan tidak menoleh ke belakang. Air mata sudah
mengancam menggenang, di ambilnya segenggam tanah dan dilemparkannya tepat ke
punggung Arya. Akhirnya pria itu menoleh.

Arya menghampiri Bayuaji, dibantunya pemuda itu untuk berdiri. Bagian tubuh pemuda itu
telah penuh lumpur. Satu sandal yang dia gunakan putus ketika tergelincir. Tanpa
mengeluarkan suara, Arya mencopot sandal yang dia gunakan dan dipasangkannya pada
kaki Bayuaji.

Air mata berhasil meleleh di pipi Bayuaji. Dirinya sungguh tidak tau kenapa Arya tiba-tiba
bersikap seperti ini padanya. Baru tadi Arya membelikannya es krim goreng, lalu kenapa
sekarang Mas Arya mendiamkannya?
Arya membawa Bayuaji ke gubuk kecil di pinggir sawah tempat biasanya petani beristirahat.
Arya memerikasa lutut dan siku Bayuaji, mengambil saputangan dan membersihkan lumpur
dari luka gores yang diderita.

"Jangan nangis."

"Ngak nangis." Tangis Bayuaji semakin deras. Dia berusaha mengusap air matanya, tapi hal
itu malah membuat lumpur di telapak tangannya berpindah pada pipinya.

"Mas Arya marah?"

"Ngak."

"Bayu salah?"

"Ngak."

"Lalu?"

"... hati-hati dengan Ki Darma."

Bayuaji mengerjap tidak mengerti. Kenapa Mas Arya tiba-tiba mempermasalahkan Ki


Darma?

Pribahasa : Elok buruk dan busuk hanyir. (senang dan susah selalu datang beriringan)
"Eh?" Tangis Bayuaji langsung berhenti, dahinya mengerut bingung. Kenapa jadi membahas
Ki Darma? "Hati-hati bagaimana, Mas?"

"Jangan terlalu dekat dengan Ki Darma, dia itu warok." Arya menggaruk kepalanya kasar.
Dirinya berjalan mondar-mandir di depan Bayuaji.

"Bayu sudah tau Ki Darma itu warok. Tapi tenang, Ki Darma baik." Bayuaji mengangguk-
anggukkan kepala mencoba meyakinkan.

"Bukan itu maksudnya."

"Trus apa?"

Rasanya Arya ingin mencubit gemas pemuda di depannya.

"Besok kita tidak usah ke lapangan, ya? Kita cari ikan saja di sungai."

"Ndak mau, besok katanya acara reognya akan ramai sekali. Bayu ingin lihat Pak Wagiman
manggul pengantin di atas kepala dadak merak." Bayuaji tidak tahu keinginan tiba-tiba Arya,
tapi dirinya benar-benar tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menonton dan berlatih
pertunjukan kesenian miliki Ki Darma itu.

Selama ini, Arya kira Bayuaji hanya berkeliling lapangan melihat-lihat pertunjukan ketika
dirinya mengobrol dengan Pak Karsono. Keegangan Bayuaji dulu untuk dekat dengan Ki
Darma membuatnya tidak pernah berpikir macam-macam. Dia sama sekali tidak tau jika
Bayuaji dan Ki Darma sering berbicara berdua. Dia menyangka, Bayuaji hanya belajar pada
Wagiman dan anggota sanggar yang lain.

"Bukannya kamu ngak mau ketemu Ki Darma karena melihatnya bersama Liam? Kenapa
sekarang jadi dekat gitu?" Arya tahu suaranya sedikit meninggi. Perkataanya lebih seperti
menuduh dari pada bertanya. Tapi, dia tidak bisa mengontrol perasaannya sekarang. Ada
rasa tidak suka dan risau dari kedekatan Ki Darma dan Bayuaji.

Wajah Bayuaji memerah. Dia masih belum lupa pemandangan yang dia saksikan beberapa
malam yang lalu. Awalnya ada penolakan dalam hati Bayuaji. Melihat dua orang pria
bersetubuh terasa salah. Tapi pikirannya berubah, setelah bersinggungan dengan Ki Darma,
dirinya mendapati pria itu tidak semenakutkan yang dia sangka awalnya. Ki Darma baik
pada Bayuaji. Dirinya sudah dibiarkan melihat-lihat dan berlatih bersama anggota
paguyuban. Ki Darma juga sering diberi makanan serta uang jajan yang langsung Bayuaji
masukkan celengan. Apalagi ....

Bayuaji semakin menunduk, wajahnya semakin merah. Jika dia saja tidak masalah berbuat
mesum dengan Mas Arya, bagaimana mungkin dia mempermasalahkan Ki Darma dan Liam?
Dalam benak Bayuaji, dia telah mengambil kesimpulan, gender bukan batasan bagi
seseorang untuk bersama.

"Kenapa diam?"

"... kan Mas Liam gemblaknya," suara Bayuaji hampir tidak dapat Arya dengar.

"Jadi karena gemblak, kamu ngak masalah gitu? Jangan-jangan kamu malah mau jadi
gemblak Ki Darma?"
"Mas ini ngawur, Ki Darma sudah punya Mas Liam, dan aku—

"Apa?"

"—punya Mas Arya."

Belum sempat Arya mencerna, pemuda itu sudah melompat turun dan berlari meninggalkan
Arya. Wajah Arya memerah, pernyataan itu membuat hatinya bertalu kencang. Ujung
bibirnya berkedut dan terangkat membentuk senyum canggung. Arya mengusap wajahnya,
mencoba menghilangkan rasa panas yang membuat wajahnya semerah tomat.

Dia mengikuti jalan tempat Bayuaji pergi, di balik pohon kepala di pinggir sawah, kaos
kuning Bayuaji terlihat tersembunyi. Arya mendekatinya, pemuda itu berjongkok dan
menyembunyikan wajahnya diantara lutut. Sosok itu terlihat begitu polos, dan itu mengusik
sudut hati Arya.

Entah mendapat dorongan dari mana, Arya menarik pemuda itu dan menciumnya. Dia
melesakkan lidah pada bibir merah yang kini kesusahan mengikuti ritme ciumannya. Bibir
yang dia kecap sungguh membuatnya gila. Rasa lembut dan manis dari bibir yang tidak
pernah di sentuh siapapun selain dirinya membuat Arya tidak bisa berpikir lurus. Mungkin,
yang paling berbahaya bagi Bayuaji bukan Ki Darma, tapi dirinya.

Elok buruk dan busuk hanyir. Sensasi memabukkan itu membuat Arya lupa, dalam setiap hal
kesenangan yang muncul, kesusahan juga akan mengikuti. Mungkin, dis terlalu terlena
dengan tempat pelariannya, hingga Arya lupa apa yang sedang mengejarnya.

Pribahasa : Gaharu dibakar kemenyan berbau. (Seseorang yang memperlihatkan


kelebihan yang dimiliki dirinya agar dipercaya oleh orang lain)
Aswono memacul pematang sawah untuk memberi jalan bagi air irigasi yang akan mengairi
sawah milik orang yang memburuhnya. Gaharu dibakar kemenyan berbau, Aswono dengan
cekatan dan tanpa mengeluh memperlebar celah air. Dirinya baru tersenyum lega ketika air
dari irigasi mulai membanjiri sawah yang akan sesera ditanami.

"Pak As! Sini makan dulu!" Di bawah rindang pohon waru, Pak Qomar—tetangga Aswono—
melambaikan tangan memanggilnya.

Aswono menaruh cangkul, dan menghampiri Pak Qomar dan istrinya. Ada seorang lagi yang
sedang membuka bekal, dia juga adalah tetangga Aswono dan berprofesi sebagai buruh
sawah seperti dirinya.

"Kopi dulu, Pak."

Aswono menerima cangkir berisi cairan hitam yang mengepul dari Pak Qomar. Inilah salah
satu hal yang tidak pernah Aswono temui ketika bekerja di kota. "Wah, terima kasih," ucap
Aswono.

"Mengairi sawah, Pak As?" tanya Istri Qomar. Wanita gemuk yang memasuki usia 40 tahun
itu membagikan piring seng pada masing-masing orang.

"Iya, Bu Qom. Tinggal yang ini saja."

"Pak As ini kayak ndak ada capeknya, malam kadang nunggu sawah siap panen, paginya
sudah macul di sawah," ucap Pak Qomar.
"Gimana lagi, Pak. Kalau ngak kerja ngak makan nanti saya dan Bayuaji." Aswono
mengangguk pada Bu Qomar sebagai ucapan terima kasih ketika wanita itu mengambilkan
secentong besar nasi pada piring yang dia pegang.

"Ngak usah kerja keras-keras, Pak. Kan sebentar lagi Pak As bakal dikirimi sapi." Buruh
sawah bernama Kardiman yang sejak tadi diam itu tertawa dengan ucapannya sendiri. Pak
Qomar dan istrinya tampak tidak enak dengan perkataan itu.

"Sapi dari mana, Man. Ayam saja ngak punya." Aswono menyesap kopi dalam cangkirnya,
merasa lega ketika pait kopi dan manis gula memenuhi indra pengecapnya.

"Man, sudah jangan ngomong ini lagi," tegur Pak Qomar.

"Ngak apa-apa, toh, Pak. Orang kampung juga sudah pada tahu," Pria yang kurus ceking
dengan kulit hitam itu mengambil centong dari Bu Qom, tanpa malu dirinya mengambil nasi
hingga piringnya penuh. Ikan pindang dan sayur asem tidak luput dari incarannya. Tanpa
memikirkan orang-orang lain, dirinya mengambil ikan dan sayur hingga piringnya hampir
tidak bisa menampung makanannya.

"Tahu apa?" Aswono menyesap kembali kopi di cangkir miliknya.

"Tahu kalau Bayuaji mau dipinang warok. Jadi Pak As minta sapi berapa ekor untuk kontrak
gemblak Bayuaji?"
Cangkir yang hendak Aswono sesap terhenti di depan bibirnya. Wajah tua penuh keriputnya
tercenung sekejap. Kemarahan menjalar hingga kulit wajah wajah semakin menghitam.
Dengan kasar diletakkannya cangkir dan piring yang dia pegang.

"Jaga congore Sampean. Memangnya siapa yang mau jadi gemblak."—mulutnya kamu—
Aswono berdiri. Dadanya kembang kempis menahan marah yang hampir meletup.

"Ngak usah ngelak Pak. Orang-orang sudah lihat semua, cucune sampean sering bareng
sama warok itu. Kalau ndak percaya, Pak As lihat sendiri di lapangan. Ndak usah malu,
harusnya bersyukur punya cucu ganteng gitu, bisa bantu-bantu buat makan jenengan."

"ASU!"—anjing—Aswono menerjang Kardiman. Pak Qomar dengan sigap memegangi


Aswono. Bu Qomar berteriak-teriak dan memaki Kardiman yang telah menyulut emosi
Aswono. Dengan badannya yang gempal dirinya mengusir Kardiman untuk menjauh dari
Aswono yang sedang kalap.

Aswono bergegas pergi ke arah lapangan. Dia ingin membuktikan jika perkataan ngawur
Kardiman hanya isapan jempol belaka. Tapi, pemandangan Bayuaji yang di panggul Ki Darma
lah yang dia temui. Cucunya dengan senyum lebar menari di atas punggung Ki Darma.

Aswono tercenung, dirinya hanya diam hingga cucunya pergi menyusul Arya. Aswono
berjalan ke arah Ki Darma, yang kini masuk ke bangunan gudang yang memeliki ruang kecil
tempatnya beristirahat. Begitu Aswono membuka pintu yang tidak tertutup sempurnya,
dirinya melihat Ki Darma sedang berbicara dengan Liam.

Begitu pria itu melihat Aswono, Liam menunduk dan meminta ijin untuk pergi. Tapi, Aswono
masih bisa menangkap mata merah pria itu sebelum meninggalkan Aswono dengan Ki
Darma.

"Ada apa, As?" tanya Ki Darma.


Jika tadi dia dipenuhi emosi ketika mencari Ki Darma, sekarang Aswono malah tidak bisa
berbicara. Pertanyaan-pertanyaan meminta penjelasan dalam kepalanya tercekat di
tenggorokan. Bagaimana dirinya dapat mengutarakan maksudnya tanpa terlihat kasar pada
orang yang sangat dia hormati dan berutang budi?

"Ki ... Bayuaji ...."

Ki Darma menghela napas panjang. Melihat Aswono datang kepadanya dengan lumpur
masih menempel di kaki dan bujunya, dia dapat menerka apa yang akan pria itu katankan
padanya.

"As, apa boleh aku bawa Bayuaji?"

Yang Aswono takutkan terjadi. Andai Ki Darma hanya meminta nyawanya saja, itu akan lebih
mudah.

Anda mungkin juga menyukai