Anda di halaman 1dari 5

Si Kembang Desa

Tersebar rapi helai rambut coklat tua kehitam-hitaman di sekitar bantal,


berdengkur namun tak buat jengkel bagai alunan musik yang terdengar, bulan pun sampai
tahu
siapa si kembang desa dan dengan sengaja memantulkan cahaya remangnya ke wajah
ayunya.

“Non, ayam jago hampir berkokok” Ucap seorang pelayan sepantaran sambil membuka
jendela,
dan lihat! Secepat kilat mentari masuk, nampaknya sudah tidak sabar melihat rupawan si
kembang desa.

“Apa Nona mau didahulukan ayam?” Pelayan pun menggelitik pelan,


terdengar kekehan kecil si kembang desa.

“Dari tawanya saja sudah ketahuan cantik” Kucing yang tak sengaja lewat pun ,
bahkan sudah tahu tanpa melihat.

“Hari ini Nona akan mengunjungi balai desa..” Raut wajah sontak berubah,
nampak jelas si kembang desa, khawatir.

Hening menyelimuti, bahkan burung sampai sungkan untuk bersiul.

“Apa masih ada?” Mendengar pertanyaan tersebut, pelayan terkekeh pelan.

“Jangan tertawa, aku takut jika sudah habis” sedu suaranya,


melipat ke bawah bibirnya, alam pun tahu isi hatinya sontak langit menghitam.

“Sudah 4 tahun lamanya, mengapa Nona masih saja khawatir?”


Menuju ke dandang di atas meja “Sebentar, saya pakai sarung tanyanya dulu..”

“Disini serba tinggal minta, berbeda dengan disana” Sambung pelayan.

Si kembang desa mengangguk pelan memang benar, memaksa untuk tersenyum “Betul
juga ahahaha” Duar! , tahu si kembang desa berbohong langit tak sungkan tuk
bergemuruh kencang.

“Bahkan cacing di tanah pun saya yakin tahu jika Nona sedang berbohong” Pelayan
mendekat, membersihkan lengan si kembang desa “Bersenderlah Nona, biar saya
suntikkan”

Sudah tengah hari, semenjak tadi pagi.


“Saya akan menyiapkan keperluan Nona, sebagai..” Menyenggol bahu si kembang desa
“..si kembang desa” Dan mengedip, lalu pelayan pergi.
“Bahkan cacing di tanah pun juga tahu jika seharusnya tidak seperti ini..”
Lirih si kembang desa dengan atensi terhadap wajahnya sendiri.

Matanya mendadak berair, “Gawat! Jika dia menangis bisa petaka, pastikan awan tidak tahu!”
diantara hewan juga tumbuhan terjadi kekacauan.

“Hanya supaya dipuji cantik, disini yang terdengar tawa namun disana yang terdengar tangis”
Tes, mendahului si kembang desa awan lebih dulu merintik, kemudian mengalir dari mata membasahi pipi
hingga tak sengaja terkena semut dibawah sana.

“Ku kira saat menangis yang keluar bulir air, ternyata bulir permata?” Kagum namun bingung si cicak.

Pelayan datang dengan gaun maroon bertabur mawar, kalung-anting berukir mawar, juga sekuntum mawar
untuk si kembang desa. “Mawar si kembang tercantik pun tak sebanding dengan kecantikan si kembang desa”
Pukau melati berbisik ke rerumputan.

“Nona menyesal ya?” Singkat, padat dan tepat sasaran.

“Ti-tidak” Duar! Lagi, langit bergemuruh.

“Nona berbohong lagi rupanya..” Pelayan merasa iba, namun dia tersenyum. Senyum akan suatu
kemenangan? “Barusan terjadi badai, kalau bukan karena Nona siapa lagi?” Hening kembali menyelimuti, dan
lagi-lagi burung sungkan untuk bersiul.

“Apa kamu tidak menyesal?” Seperti gangsing ya, diputar-putar.

“Nona menanyakan itu ke saya? Tidak terbalik?”

“Nona menyesal kan” Sambung pelayan.

“Tidak! Saya tidak-” Pelayan membekap mulut si kembang desa, Duar! “Nona berbohong.” Pelayan melepas
bekapannya dan senyumnya melebar.

“Su-sudah! Bantu aku untuk bersiap ke balai desa saja!” Membentak, dan dengan segera menyembunyikan
wajahnya.

Selama petang, tak ada habisnya pujian untuk si kembang desa.


“ASTAGA LIHAT! SI KEMBANG DESA MENARI BERSAMA ANAK KEPALA DESA!”
“Apa mereka sepasang kekasih?”
"Mereka bagai keindahan alam dalam wujud manusia!”

Kurang lebih itulah percakapan antar manusia dan hewan yang bertajuk kagum saat melihat Bayu, anak dari
kepala desa dan si kembang desa bersama.

“Kamu cantik” Puji Bayu, terpukau dengan paras si kembang desa “Sangat cantik.” Tak menjawab, hanya
tersenyum dan mengangguk.

Dikamar, setelah acara selesai.


Ucapan Bayu bagai film dikepala si kembang desa sekarang
“Aku juga kagum dengan diri ku sendiri, cantik sekali tapi sayang ini hanya mimpi.”

“Karena cantik ku, sengsara ku.” kali ini si kembang desa lebih dahulu merintik, baru disusul oleh awan dengan
derasnya hujan.

“Nona?” Pelayan masuk, karena suara tangis terdengar amat jelas.

“Apa kamu tidak menyesal?” Si kembang desa langsung menanyakan hal itu saat mendapati pelayan masuk
ke kamarnya.

“Bagaimana saya bisa menyesal Nona?” terkekeh sebentar “Itu keinginan saya dan Nona setuju untuk
melakukannya”

“Yang menyesal itu Nona, keluarga Nona disana dan tentu saja..” Pelayan kembali menyuntik Si kembang desa
“..sisi baik diri Nona, bukan saya”

Memeluk erat si kembang desa “Maaf karena godaan saya berimbas buruk terhadap Nona, dan
kebahagiaannya hanya sementara”Membalas pelukan pelayan dengan erat “Kamu adalah aku dan aku
adalah kamu, setiap keinginan yang terlintas ada dua sisi yang menarik dan melarang ku, jadi itu bukan salah
mu.. Tapi, itu tugas mu.”

Pelayan mengusap air mata si kembang desa “Bagaimana jika saya suntik untuk terkahir kalinya?”
Si kembang desa menggeleng dengan cepat “Aku tidak mau!”

“Bukan untuk mempercantik, tapi sebagai bukti bahwa Nona sudah menerima diri Nona sekarang disini, dan
diri Nona yang dulu saat masih disana, mau?”

“Mau!” Membara akan jawabannya, si kembang desa menghapus kasar air matanya.

“Sisi jahat nampaknya berubah ya..”

“Mulia sekali tawarannya” lanjutnya.

“Sudah 4 tahun bermimpi disini, pasti rindu untuk terbangun disana..”

“Berarti.. Sudah saatnya?” Ucapnya sedu dan raut tak rela untuk melepaskan terpapar jelas pada tebu.
“Yang datang pasti akan pergi” Balas tebu lainnya.

“Dan setiap sapaan pasti ada perpisahan” Kata siput yang menguping pembicaraan dua tebu itu.

Mulai redup sinar mentari, diganti oleh cahaya remang purnama.


“Jadi, si kembang desa sudah menerima seluk-beluk akan dirinya sekarang?”
Tanya Bulan pada Matahari.

“Sudah, bahkan dia memaafkan dirinya sendiri” Jawab Matahari


dengan perlahan turun kebawah bergantian Bulan yang ke atas.

“Masa lalu memang asupan untuk masa depan” Sahut Meteor yang sedang lewat.

“Lihat! Ada bintang yang baru!” Sorak para bintang “Cahayanya terang sekali!”

Bulan mengamati bintang baru itu “Kenapa rasanya familiar ya?”,


Bulan tersenyum karena sadar siapa itu “Siapa sangka yang biasanya ku lihat dari atas,
kini ada diatas”

Di Rumah sakit sudah terdengar isakan, sedih sekali karena belum rela untuk ditinggalkan
“Maaf, Putri bapak dan Ibu tidak bisa-”

“Sudah 4 tahun lebih Ayah dan Bunda menunggu Cantika untuk bangun..” Sang ayah
memeluk tubuh tanpa nyawa yang terbaring di ranjang rumah sakit “Tapi kok Cantika gak
bangun juga nak?”
lirih sang ayah.

“Kandungan silikon yang disuntikkan ke tubuh Cantika menyebabkan kerusakan jaringan


tubuh”
Jelas dokter, namun tidak ada jawaban dari Ayah dan Ibu Cantika, dan dokter paham betul.

“Pandang saja langit jika bapak dan ibu rindu cantika, bintang yang paling terang itu
adalah Cantika” Dokter tersenyum sambil menepuk bergantian pundak Ayah dan Ibu
Cantika “Cantika dipuji oleh kawanan langit diatas sana, cantik sekali Cantika kata
mereka.”

Anda mungkin juga menyukai