Anda di halaman 1dari 3

Sinar Mentari

Terlihat dari jauh Mentari sedang menampakkan sinarnya. Memperlihatkan betapa bahagianya ia
pagi ini. Cahayanya merekah hingga mampu menusuk kaca-kaca rumah di bawah sana. Dirinya
mengedar seiring berjalannya waktu. Terik, semakin terik lalu meredup. Setiap harinya begitu. Di
mata orang, dirinya terlihat begitu ceria. Karena sinarnya itu yang mengesankan. Tetapi, dibalik
semua itu ia memiliki masalah-masalah yang berdatangan pada hari-harinya. Masalah itu datang
tanpa aba-aba. Datang begitu saja sesuka hatinya. Tanpa menyuratkan kedatangannya. Mentari sedih
jika ia mengingat hal itu.

“Seandainya Tuhan tidak menciptakan awan, pasti cahaya itu tak akan meredup karenanya”. Mentari
kesal. Sekesal-kesalnya Mentari, ia tetap bersikeras untuk tetap memancarkan sinarnya. Sinar
kebanggaannya. Demi semuanya, orang-orang yang dia sayang.

“Seandainya juga hanya ada pagi dan siang hari. Tak ada malam hari. Pasti aku sudah menjadi sosok
Mentari yang paling bahagia di dunia ini”. Mentari kembali mengeluh. Mentari memang seperti itu.
Tak ada rasa bersyukur sedikitpun yang terlontar dari mulutnya.

“Kata hatinya saja membeku, apalagi mulutnya”. Begitu anggapan Bulan terhadap Mentari. Meskipun
mereka berdua tak pernah dipertemukan karena perbedaan waktu. Bulan tetap mengerti apa itu
Mentari. Mungkin karena pancaran sinar Bulan yang didapat dari Mentari. Mentari yang selalu
bersikap sombong akan sinar yang ia punya. Mentari yang egois karena tak mau sinarnya meredup.
Mentari yang tak pernah bersyukur atas kuasa Tuhan.

“Bintang sampaikan salamku pada Mentari. Katakan padanya, bahwa Tuhan akan menyayangimu jika
kau pandai bersyukur”. Bintang hanya tersenyum sendu mendengar perkataan Bulan. Andai saja ia
berani pada Mentari pasti ia akan mengatakannya, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak bisa melakukannya.
Malam itu terlihat sepi dan terdengar sunyi. Bulan dan Bintang saling melengkapi dengan
kemampuan sinarnya. Tak lama berselang, Awan datang bersama air matanya yang tak begitu deras.

“Awan apa ka... “, Bulan yang melihat kedatangan awan langsung menyapanya, tetapi setelah Bulan
melihat Awan lebih dekat, Bulan langsung membungkam mulutnya karena melihat wajah Awan yang
muram.

“Apa kau juga membenciku seperti Mentari?” tanya Awan lirih. Bulan terdiam sejenak, mencerna
pertanyaan Awan.

“Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah menciptakanmu. Ait mata itu adalah air mata
kebanggaanmu Awan. Berkat air matamu itu, makhluk hidup di bawah sana tidak mati kehausan”.
Kini Awan telah meneteskan air matanya begitu deras.

“Tapi, kenapa Mentari membenciku?” Bulan tersenyum miring mengingat bahwa Mentari juga
membencinya.

“Mentari memiliki ego yang tinggi Awan, ia selalu ingin menang sendiri”. Bulan sudah kelewat kesal.
“Kau tak boleh seperti itu Bulan, bagaimanapun kau dapat bersinar karena bantuan Mentari”.

Awan kembali merutuki kesalahannya.

“Bintang, sampaikan maafku pada Mentari. Maaf, karena kehadiranku di dunia ini membuatnya
bersedih”. Bintang tak bisa membendung tangisnya lagi. Lagi-lagi ia tidak bisa menyampaikannya.
“Aku ini apa Awan? Aku bagaikan seekor semut dimatanya. Maaf, Bulan, Awan. Sebaiknya kalian
menyampaikannya pada Canis”. Bintang pun pergi menjauh, semakin jauh hingga tak terlihat di
bawah sana.

“Sudahlah, semoga air mataku tidak jatuh di hari esok”. Awan masih menangis malam ini. Bulan
hanya mengangguk. Awan mengedar meratakan tangisnya pada setiap belahan bumi. “Semoga air
mataku sudah habis sebelum fajar nanti”. Dan Awan benar-benar menghabiskan air matanya hingga
fajar menyongsong.

Esoknya Mentari bersinar dengan terangnya. Ia bahagia. Bahagia karena tak ada Awan yang datang
bersama air matanya. Matahari menutup jalanan di bawah sana. Semuanya basah, rata dengan air.
“Tadi malam, Awan datang. Baguslah ia tak datang pagi ini. Jadi, aku tak akan meredup”. Mentari
tersenyum. Tiba-tiba ia melihat sosok Canis mendekatinya, Mentari terbelalak kenapa Canis masih
ada disini.

“Hai Mentari, tampaknya kau ceria pagi ini”, Mentari tersenyum. “Hai juga Canis, kenapa sinarmu
belum meredup?” Canis pun ikut tersenyum, hingga sinarnya tambah menerang.

“Ada hal yang akan kusampaikan padamu”.

“Apa itu Canis?” tanya Mentari penasaran.

“Setidaknya kau tak membenci Awan, hanya karena kau ingin menang. Kau akan tetap bersinar
Mentari. Hanya saja tak setiap saatnya. Awan juga butuh dipandang. Dia juga dinantikan. Tanpa ada
air matanya tak akan ada kesuburan di bawah sana”, raut wajah Mentari berubah muram.

“Kau bisa berkata seperti itu karena kau memang terpandang Canis. Seorang Canis Mayoris yang
besarnya 2800 kali lebih besar dari pada Mentari. Dan Awan, Awan itu sempurna, setiap tangisannya
selalu dihadiahi dengan timbulnya pelangi. Kurang malang apa aku ini?” Canis ikut bersedih karena
Mentari tetap merendahkan dirinya sendiri.

“Kau tahu? Tanpa sinarmu itu dunia akan gelap. Dan asal kamu tahu, berkat sinarmu itu juga pelangi
terbentuk. Kau ini hebat, kau sempurna”. Mentari terbelalak. Apa benar selama ini Mentari yang
menimbulkan adanya pelangi yang begitu indah? Sungguh tak disangka. “Kau tahu? Setelah hujan
berhenti pasti cahayamu muncul bukan? Cahaya putihmu tu menembus atmosfer bumi, cahayamu
itu dihamburkan hingga terbentuk cahaya polikromati yang terdiri dari me-ji-ku-hi-bi-ni-u dengan
pasang gelombang yang berbeda serta frekuensi yang berbeda pula”. Mentari semakin tak mengerti.
Tak disadari olehnya rasa bersalah itu muncul. Apa selama ini Awan tersakiti oleh sikapnya. Mentari
tak mengerti,begitu juga Bulan. Apa Bulan tersakiti? Apa Awan dan Bulan membenci Mentari?
Semoga tidak.

“Apa kau sudah sadar Mentari?” Canis sadar Mentari meredup, tak kembali bersinar seperti
beberapa waktu tadi.

“Sinarku sudah meredup Mentari, aku pergi dulu”.

Sinar Mentari pun juga meredup. Kali ini lebih. Hingga kini Awan berjalan mendekatinya dengan
sedikit air matanya yang menetes.

Mentari tersadar dengan kedatangan Awan. “Hai Mentari” Awan yang sedari tadi tak berani bicara.
Kini mulai menyapa Mentari ketika Awan sudah dapat menatap Mentari yang kini juga menatapnya.
Tidak disangka Mentari sedikit tersenyum pada Awan. Awan pun membalasnya.
“Kenapa kau meredup Mentari?” kini air mata Awan benar-benar menetes, tetapi tetap ada Mentari
di sana.

“Apa kau membenciku Awan?” lirih Mentari.

“Bukannya kau yang membenciku?” nada bicara Awan menebak.

“Tidak Awan, tidak. Kau salah dengar”. Mentari kembali bersinar dan Awan sudah tidak menangis
lagi, justru ia tertawa.

“Ya ... ya, aku percaya”, kata Awan meledek.

“Maaf”

“Aku maafkan”.

Anda mungkin juga menyukai