Sore itu, ia masih buncah. Benaknya masih terambang, ada hal apa Bumi
mengajakku jalan-jalan. Tidak biasanya. Si alum fisika yang setiap hari kontekstualnya
hanya belajar gravitasi dengan secara tiba-tiba mengajakku untuk pergi ke luar rumah.
Ah, aku belum berkenalan. Si Alum fisika yang tersesat saat ini adalah Bumi, dan
yang dengan bimbang terdistraksi langit sore itu adalah aku, Rinai. Lengukanku
dikejutkan oleh kehadiran Bumi secara tiba-tiba. Sedikit riuh dunia kala ia di datangiku
dengan gaya yang rapi.
“Sudah siap?” tanya Bumi seraya mengulur tangan legamnya yang dibalut jaket.
“Sudah, ayo berangkat!” Kami berdua bergegas menuju kendaraan yang akan
menghantar sejawat itu sampai pada destinasi spesial menurut seorang Bumi.
Kini, arloji hitam milik Bumi sudah menaruh preposisinya di angka lima.
Tenggang subjek sore hari akan melepas labelnya untuk edisi hari ini,
Senja…
Ya, jingganya swastamita yang menyambut hari melepas sore. Dihampar dalam
daratan luas dengan rumah yang tampak rimpuh, kesannya memang sedikit horor
namun kata Bumi, tempat ini merupakan tempat terindah di dunia setelah Menara Eifell.
Aku sontak menengok seraya mengangkat lekuk bibirnya, “bisa, harus bisa!”
Herannya, aku kala itu masih bisa tersenyum sembari menatap burung yang
berlarian kesana-kemari. Redih setitik air hasil pelataran kondensasi mulai
menyemaikan hiruk-pikuknya di penghantar malam. Ayar yang meriakkan memori
untuk hari ini,
Hujan…
Mengukir aksara tatkala si awan gelap mulai merintik secercah kehadirannya
untuk presensi hari ini. Kami berdua hanya saling menyulih senyum. Entahlah, hari ini
terisi lengang. Tiada kata ataupun lelucon menelisik, suasananya terasa begitu serius.
Langit pun lindap saat itu, mereka masih berlabuh dalam eufoni burung yang
berlalu-lalang untuk sekedar menemani. Bahkan mereka bisa riang tertawa, namun
mengapa yang punya rasa hanya diam menyelam sendu?
Daratan itu selesa, leluasa adanya. Namun mereka hanya duduk berjarak tiga
puluh sentimeter jauhnya, tanpa ada satu denotasi yang memutuskan untuk keluar.
“Kamu tumben hanya diam saja? Tidak biasanya kamu menjadi pendiam jika
bersamaku,” tegur Bumi perlahan.
“Lagi mau diam. Hujan gini biasanya kamu tidak tahan untuk ke luar rumah, ayo
kita pulang saja!” Aku menengok ke arah Bumi, aku sungguh khawatir. Bumi mudah
terkena demam sehingga ia tidak diperbolehkan terlalu lama meredam diri di tengah
hujan.
“Jangan, kapan lagi gini kita bisa seperti ini?” Bumi mengadahkan pandangannya
ke langit yang tampak temarah, sudah mengadu rasa dengan kedatangan bulan yang
bersinar bahagia.
“Nai, kalau ternyata besok aku tiba-tiba menghilang, kamu sedih tidak?” Bumi
menoleh kepada objek hardikannya dengan halus.
Rinai menoleh, benaknya terkejut, “kamu mau kemana?” tanyaku mulai peka
dengan kode-kode sahabatnya.
“Aku pergi pertukaran pelajar ke Jerman, Nai. Mimpiku akan aku kejar disana,”
ucapnya lirih.
Anak itu mengangguk lemah dengan aku yang dihadapannya tersenyum miris.
“Aku suka segala hal tentang Jerman. Terlebih, disana mengingatkanku pada
Mama.”
“Untuk apa marah, Nai? Setelah apa yang Mama lakukan, lantas haruskah aku
membencinya? Dia tetap Mama-ku dan aku tetap anaknya. Selamanya seperti itu. Yang
harusnya marah adalah beliau. Mengingat perbuatannya harusnya Mama yang
menyesal, bukan? Tugasku sebatas menerima, selebihnya biarkan Mama berdamai
dengan dirinya."
Aku selalu suka caramu melihat sesuatu, Bumi. Caramu berfikir dan memandang
dunia tak pernah absen membuatku terkagum.
“Urusan Jerman, tak bisa aku lepaskan. Mimpiku disana. Jerman juga adalah salah
satu alasan aku dan Mama dapat bersua kembali, ijinkan aku ya, Nai. Ijinkan aku ke
Jerman,” pinta Bumi tulus.
Aku tidak ingin egois, maka dengan itu aku dengan polosnya mengangguk
sebagai ijin, meski dengan hati yang teriris.
Masa bodoh kau akan marah karenaku. Karena kini, yang kuinginkan cuma satu.
Kau kembali di hadapku, menyambutku dengan rentangan tanganmu, siap mendekapku
erat. Pelukanmu, pelukan hangatmu yang kubutuhkan saat ini.
Jika ditanya seperti apa bentuk duniaku, maka akan kujawab dengan lantang, itu
kamu. Duniaku adalah kamu, Bumi.
Maka kurasakan duniaku hancur begitu saja saat ibundamu dengan air mata
bercucuran berucap dengan lemah,
Ah, haruskah aku yang menjumpaimu? Dunia tempatku berpijak telah hancur.
Tujuan hidupku telah hilang melebur.
“Nai, hidup itu berharga. Hanya orang kuat yang diberi kesempatan untuk hidup.
Maka bodohlah mereka yang mengakhiri kesempatan itu. Bagai berlian yang langkah,
maka harus kamu jaga itu sebaik mungkin. Hargai kehidupanmu, Nai. Selalu. Maka
dengan itu, salah satu cara kamu menghargai pencipta-Mu.”
Caramu memaknai hidup, selalu kusuka. Tolong ajari aku menerima kepergianmu
dengan lapang dada, Bumi.
Bumi, jika menjumpaimu akan membuatmu marah besar maka tidak ada hal lain
yang dapat kulakukan sekarang selain menerima kepergianmu dengan sabar. Tunggu
aku disana. Akan kurangkai mimpiku dan mimpimu, lantas kelak kupersembahkan
dengan bangga di hadapmu.
Jika kau pergi seraya membawa segelintir mimpi yang sedang kau rangkai, maka
kelak aku, salah satu mimpimu ini akan datang melengkapi rangkaian itu.
Bersama hujan, tangis itu kembali. Isakan yang tak akan mengenal kata usai.
Gerimis yang tak mengenal kata selesai. Hiruk-pikuk rindang yang kembali aram-
temaram.
Sedikit menelisik, rupanya ide hari ini benar-benar berarti. Karena hujan benar-
benar menahannya disini untuk menggelegar sendiri. Karena sedetik rinai itu bergulir, ia
sungguh berkutik kalau sejawatnya pergi tanpa direksi kata pamit.
Dan kini, gores hawa milik kota ini hanya milik sendiri. Gerai indah enggan
kembali. Lunglai dan letih hanya ditanggung dengan awak berdiri.
Yang tersisa kini hanya ada Rinai yang serta merta bersedih kala hujan masih
enggan menelik, terus menari. Burung yang tampak mengerti, bereufoni dengan sunyi.
Tatkala hujan dengan rengkuh yang sesak dinanti. Kelam hari beriring nestapa yang
menggigil,
dan cerita kita yang telah usai.