Anda di halaman 1dari 2

DI SAAT SENJA MULAI JATUH

Sejak itu. Sejak pertama kali melihatnya, aku dibuat jatuh cinta kepadanya lewat
seseorang yang memberitahuku bahwa dia indah, dia abadi.

Dia bernama Senja. Dia mirip seperti matahari, namun matahari tak seindah dia.
Tentu saja. Tak akan pernah ada yang dapat mengalahkan keindahannya yang
abadi. Keindahan yang membuat mataku tak akan pernah berpaling untuk tidak
melihatnya. Namun, aku tak dapat melihat matanya. Pikiranku mulai melayang dan
seseorang di sampingku bertanya padaku.
“Kenapa kau tersenyum, Oya?”. Begitulah dia memanggilku Oya.
“Kau tahu bage? Aku harus berterima kasih padamu”. Aku tersenyum padanya.
“Kenapa? Sepertinya sejak tadi aku tak melakukan apapun”
“Karena kau telah mengenalkan aku pada Senja yang indah ini. Itu membuat aku tak
murung kembali”. Aku tersenyum.

Dia menoleh padaku. Sebagian rambut poninya menutupi sebelah matanya. Ia mulai
berucap.
“Kau tahu? Kau itu seperti Senja. Walaupun, kau tak abadi sepertinya. Tapi, kau
indah sepertinya. Kau sudah sangat cukup membuat hari-hariku menjadi indah
karena kau ada di sampingku. Oya, aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu, Bage. Dan aku ingin memberitahumu, bahwa kamu telah
berhasil sejak awal kau mencoba.”
Aku sedang bercanda dengan Bage. Ia tidak pernah gagal membuatku merasa
nyaman.

Sore pun mulai diujung menuju malam yang kelam. Disaat itulah aku melihat Senja
mulai jatuh. Selamat tidur senja. I’ll see you soon.

Semenjak itu, aku selalu menunggu Senja setiap sore. Kebahagiaan ku di saat
melihat Senja, masih seperti kemarin. Aku akan kembali pulang di saat Senja mulai
jatuh. Begitu seterusnya.

Kemudian pada suatu sore yang lain, aku sedang tak lagi menunggu Senja. Karena
Senja yang membuatku jatuh cinta, tidak terasa sama seperti kemarin. Cahayanya
redup. Tertutup awan nimbostratus yang gelap dan tak berbentuk.

Saat aku melihat itu, aku berharap dapat menghalau awan itu agar tak menutupi
cahaya Senja. Namun, apalah daya. Saat itulah aku mulai marah pada awan
nimbostratus. Tiba-tiba ada seseorang memegang pundakku. Dan berkata dengan
suara lirih. Ternyata dia kekasihku, Bage.
“Tenanglah, kau akan melihat Senja yang lebih indah besok”. Kata Bage mencoba
menenangkan.
Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya di antara gemuruh hujan turun dan
sambaran petir. Aku bersandar di pundak Bage. Dan melihat awan nimbostratus
mulai lenyap ketika menurunkan hujan yang sangat deras. Saya tidak suka hujan di
sore hari.

Aku menunggu dan berharap hujan mulai reda. Agar aku dapat melihat cahaya
terakhirnya di saat Senja mulai jatuh. Menunggu itu bukan hal yang mudah
dilakukan. Aku mulai terlelap dengan sendirinya karena lelah menunggu hujan yang
tak kunjung reda.

Aku harap aku dapat melihat Senja yang lebih indah besok. Seperti yang Bage
katakan padaku sebelum aku memimpikannya. I’ll see you soon, Senja.

Anda mungkin juga menyukai