Anda di halaman 1dari 5

Cerpen "Di Penghujung Senja"

Gadis ini menghentikan dentingan piano yang sedari tadi dimainkan, ketika lamat-lamat dia
merasakan ada seseorang yang memperhatikannya sejak tadi. Gadis itu beranjak hendak
meninggalkan piano di sudut ruangan itu, tak memperdulikan tatapan yang sedari tadi
mengintainya.

Waktu berjalan, gadis itu tengah duduk bersandar di bangku tepi danau dengan pakaian kusut dan
mata yang sendu menatap kosong pada titik cakrawala tempat terbenamnya matahari. Gadis itu
pasti datang dengan kemeja putih, di tambah syal merah muda yang menempel di leher, dan rok
panjang ala gadis Eropa.

Dia selalu datang untuk menemani kicau burung dan kepak sayap kupu-kupu di hamparan
bunga-bunga, terkadang dia memetiknya, dan dilemparnya pada ikan-ikan yang mengira sebagai
umpan, atau menemani sepasang angsa yang tak jemu mengelilingi danau. Dia selalu
membayangkan rasanya menjadi seperti mereka, hidup bersama dengan bebas, menikmati
ketenangan, dan menjadi bagian keindahan di mata setiap orang. Gadis itu, gadis tanpa nama
yang tak pernah absen menikmati jatuhnya matahari kemerah-merahan menuju pekat yang
menyambar-nyambar. Gadis yang tak henti-hentinya meneteskan air mata di antara kerikil dan
rerumputan.

“Kenapa kamu menangis?” suara asing menggema di telinga gadis itu. Dia hanya menggeleng,
tanpa menatap sumber suara sedikitpun.

“Aku Ilham, siapa namamu?” gadis itu tetap diam, mengabaikan suara laki-laki bernama Ilham
itu. Dia baru menoleh, ketika Ilham menyentuh bahu kanannya.

“Aku tak punya nama” ungkap gadis itu sembari menundukkan kepalanya.

“Baiklah, aku akan panggil kamu ‘fairy’ yang berarti peri, kamu adalah peri tempat ini.” gadis itu
menatap Ilham dengan mata berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit menyunggingkan senyum
manis.

“Terimakasih.”

Ilham mensejajarkan posisi duduknya dengan gadis yang diberinya nama ‘fairy’ ini.

“Jadi, apa yang membuatmu selalu ke tempat ini?” Ilham bertanya pada Fairy, yang tengah
menatap lurus pada senja di atas langit.

“Aku suka senja, apalagi jika melihat burung-burung terbang ke arah barat. Seakan-akan rumah
mereka adalah senja.” Fairy menjawab dengan suara lembutnya.
“Tapi aku ngga begitu mengerti senja. Bagiku tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-
sisa cahaya siang dan datangnya potongan-potongan malam.” Fairy tersenyum mendengar
ucapan Ilham.

“Apa kamu tidak pernah bermain di pantai saat sore hari? ketika kamu lihat langit menggaris
merah dan beberapa perahu berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti
sangat dekat dengan garis dunia itu, seakan bersandar pada cahaya senja.”

“Tidak, aku hanya tau pantai yang panas dan sore hari aku pulang untuk beristirahat.”

“Jadi kamu tidak pernah melihat senja?” Fairy menatap Ilham dengan rasa aneh.

“Aku bisa melihatnya dari foto-foto.”

“Foto itu tidak hidup, semuanya diam. Seperti dunia tanpa waktu” bantah Fairy lembut.

“Kalau begitu berikan aku video yang merekam senja” pinta Ilham

“Tidak, aku tidak punya. Aku saja jarang menikmati senja yang utuh, kadang setahun dua kali,
setahun sekali, bahkan sering tidak sama sekali.”

“Lalu dimana kamu melihat senja yang utuh?”

“Aku hanya melihatnya saat pulang ke rumah orang tuaku di desa, disana ada bukit luas yang
jarak pandangnya sampai ke pantai. Dan ketika sore hari tak ada yang menghalangi
pemandangan terbenamnya matahari termasuk senja itu.”

“Aku akan membawamu ke sebuah tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari” ucap
Fairy lagi.

“Thanks Fairy.” Ilham tersenyum menatap Fairy yang sedang memainkan rerumputan di tempat
ini.

Senja memang barang langka di kota Jakarta. Gedung-gedung bertingkat dan lampu merkuri
telah menghilangkan sisa cahaya setelah tenggelamnya matahari. Belum lagi lampu kota
menyinari jalanan dimana mobil-mobil berkejaran dengan waktu. Orang-orang disini tak pernah
peduli apakah matahari telah tenggelam atau terbit dari arahnya.

“Kemana kita pergi?” Ilham bertanya pada gadis disampingnya, Fairy.

“Ya seperti janjiku, melihat senja.”

“Jangan bercanda, di kota seperti ini mana ada tempat untuk melihat senja.”
“Kalau begitu biarkan aku bercanda, aku akan membawamu ke daerah sedikit terpencil, tapi aku
pernah sampai kesana sewaktu berkeliling kota. Dan aku sampai tempat itu menjelang
terbenamnya matahari.” Ilham hanya menggeleng, sesekali menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.

“Kamu benar-benar gadis aneh, tapi istimewa” batin Ilham menatap Fairy.

Mobil melaju kencang, jalanan semakin sepi, hanya komplek perumahan yang berdempetan.
Setelah perjalanan satu jam melewati hiruk-hiruk kota, Ilham dan Fairy sampai juga di taman ini
tepat menjelang malam.

“Ini tempat biasa aku melihat senja.”

“Bukankah ini tempat kemarin pertemuan kita.” Ilham nampak bingung, Fairy mengangguk.

“Dan sekarang coba lihat didepanmu”

“Gila, ini benar-benar senja!” Ilham berteriak kegirangan, menatap langit merah keemasan
seolah tak berkedip, sementara sekeliling taman hanya rerumputan, pohon, bunga, dan danau.

“Tapi kenapa sangat sepi? apa tidak ada yang tertarik dengan senja?” Ilham bertanya pada Fairy,
tanpa mengalihkan pandangan nya dari langit senja.

“Setiap orang lelap dalam kesibukannya. Tidak ada waktu untuk datang melihat tempat seperti
ini.” jawab Fairy. Memang seperti tak ada kehidupan di taman seindah ini, kecuali rumah mungil
dekat jalan raya, yang berpenghuni seorang kakek dan ketiga cucunya yang masih kecil.

Suasana menjelang malam yang sempurna, tetapi segala sesuatu yang terasa indah itu ternyata
tidak berulang.

Keesokan harinya Fairy mengajak Ilham mengunjungi tempat yang sama -dan Ilham selalu
menyempatkan waktunya untuk menikmati kebersamaan dengan Fairy melihat fase pergeseran
matahari tersebut- Fairy terkejut melihat puluhan yang bertumpuk di tempat tersebut.

“Mengapa tiba-tiba banyak orang?” raut wajah Fairy tampak heran. Dia menduga, mungkin
karena dia dan Ilham menikmati senja kemarin. Dan si kakek pemilik rumah kecil itu
mengomersilkan taman yang dirawatnya. Tapi Fairy tidak melihat loket pembayaran pintu
masuk, atau karcis parkir.

“Entahlah, padahal aku hanya memberitahu beberapa sahabatku bahwa ada senja di daerah sini”

Dugaannya meleset, rupanya kabar ini menyebar karena Ilham.

“Bagus sekali ya! ayo di potret.”


“Di rekam saja!” suara orang-orang itu terdengar jelas di telinga Fairy.

Kebanyakan dari mereka datang bersama kekasihnya, ada juga yang membawa anak-anak kecil,
membiarkannya berlarian di jalanan penuh kerikil, mendekati sepasang angsa di danau, bermain
air jernih dengan pantulan cahaya senja.

“Padahal aku hanya ingin menunjukkan senja ini spesial hanya untukmu” ucap Fairy berbisik
pada Ilham didekatnya

“Aku juga tidak menyangka akan banyak orang datang kesini, tapi setidaknya ini bukti bahwa
mereka masih mau menikmati pemandangan senja. Ya kan?”

Fairy menatap Ilham dengan tersenyum, wajah tampan nya yang teduh itu membuat Fairy urung
untuk kecewa. Walaupun sepertinya Ilham membaca gurat kekecewaan di wajah Fairy yang
murung.

“Kalau begitu aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku, sekali lagi. Sesuatu yang spesial dan
tak ada satu orang pun yang bisa menirunya.” Ilham berkata tiba-tiba.

“Apa itu?”

“Menjadi senja.”

Bagaimana caranya menjadi senja. Apakah harus mengikuti burung-burung yang terbang ke arah
terbenamnya matahari di titik cakrawala sambil memakai baju merah keemasan? kalau saja Fairy
bisa bertanya kepada penyair dan penulis cerita yang suka membawa obyek senja, mungkin
mereka tau, mungkin mereka pernah beberapa kali menjadi senja. Sehingga senja selalu hidup
dalam tulisan mereka. Tetapi itu tidak mungkin.

“Kamu yakin ingin aku menjadi senja?”

“Tentu, aku yakin kamu dapat melakukannya. Dan mereka di taman ini tak dapat menirunya”

Fairy berfikir, otak nya berputar keras. Tidak mungkin dia bertanya pada semua orang, pasti
mereka menertawakannya. Pertanyaan paling konyol yang kembali keluar dari mulut seseorang
yang sebenarnya tengah jatuh cinta pada taraf akut.

“Pasti ada caranya, setidaknya harus ada. Di dunia ini ketidak mungkinan sudah hampir punah,
segala sesuatu dapat dilakukan walaupun hakikatnya semu dan jauh melenceng dari kenyataan”
gumam Fairy sembari memandangi cahaya putih pantulan sinar matahari yang terhalang gorden
jendela di sudut kamarnya.

“Tunggu aku, besok aku menjadi senja untukmu”


Angin sore menerpa deretan pohon cemara, beberapa bangku masih tak berpenghuni, Fairy
datang lebih awal. Belum ada siapapun di taman ini, hanya sepasang angsa yang tengah
memainkan ekornya membentuk riak-riak kecil. Tetapi, ikan-ikan tak pernah takut pada
keduanya, mereka seperti bersimbiosis mutualisme, saling menyiratkan pemandangan keindahan
taman ini.

Beberapa daun kering jatuh dipangkuan Fairy yang tengah duduk, sebagian jatuh ke rambutnya
yang basah menjuntai melewati bahu. Terbalut kaos putih dan syal merah muda.

“Aku akan datang ke taman, untuk melihatmu menjadi senja” Fairy kembali membaca pesan
singkat yang dikirimkan Ilham pagi tadi. Kemudian tersenyum manis menatap senja yang mulai
menghiasi atas langit.

“Maaf, sudah buat kamu menunggu” suara yang ditunggu-tunggu itu terdengar di telinga Fairy,
ya! suara milik Ilham. Fairy bangkit berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Ilham.

“Jadi, bagaimana kamu menjadi senja?” Ilham menatap lekat Fairy yang tampak canggung sedari
tadi.

“Aku memang tak bisa menjadi senja seindah senja di atas langit itu, dan aku bahkan tak bisa
menjadi setitik awan di langit bersama mentari. Tapi ijinkan aku terus menulis tentangmu, senja
yang selalu hadir dihatiku, karena kamu senja yang tak kudapati di bumi manapun.” ucap Fairy,
matanya berbinar menatap bola mata Ilham yang juga menatapnya.

“Dan izinkan aku menjadi sekawan burung yang berbaris indah menghias senja itu. Dan menjadi
langit tempat senja itu bersandar indah.” balas Ilham, sembari menarik Fairy dalam pelukan
hangatnya. Kemudian dilepasnya lagi, dan merangkul Fairy lembut.

“Biarkan di ujung senja ini menjadi saksi awal kisah kita, semoga seindah senja di atas langit
sana.” ucap Fairy sambil menunjuk langit senja.

“Jangan pernah lupakan bagaimana perkenalan kita, pertemuan di satu titik rapuh. Ketika itu
kamu adalah wanita ahli kata-kata yang selalu merangkai cerita tentang senja. Kamu
mengenalkan aku keindahan senja, keindahan yang awalnya aku kira tak ada yang istimewa.
Kamu benar-benar Fairy! peri cantik yang Tuhan kirim untukku. Aku sayang kamu”

“Aku lebih menyayangimu” balas Fairy, Ilham menarik Fairy dalam pelukannya lagi. Menikmati
keindahan ujung senja yang menjadi saksi, awal kisah indah mereka. Burung-burung
berterbangan di antara mereka berdua, dan suara gemericik air danau menambah suasana
kebahagiaan di tempat itu, karena inilah keindahan senja yang nyata untuk mereka berdua.

END !!!

Cerpen Karangan: Fitri Annisa R

Anda mungkin juga menyukai