Anda di halaman 1dari 15

Bab 3

“Alisya!”
“Alisya, bangun!”
“Hei!”
“Alisya, bangunlah!”
Gadis kecil itu perlahan membuka matanya. Seketika sinar
matahari menyambut akan dirinya. Menerobos sela-sela awan,
menyirami wajah gadis kecil itu dengan cahaya dan
kehangatannya.
Gadis kecil itu spontan langsung menutupi matanya, kesilauan.
Ia meringis pelan.
“Di… mana... ini?” Gadis kecil itu bergumam pelan sambil
beranjak duduk. Embusan angin sepoi-sepoi memainkan anak
rambutnya, menerpa wajah dengan halus.
“Di taman kota. Kau jatuh tertidur saat aku menggendongmu
tadi. Kau merengek minta kembali ke orang tuamu, tapi aku
tidak dapat menemukan mereka sama sekali, kakiku sudah
sangat letih, belum lagi ditambah teriknya sinar matahari.”
Jawab seseorang. Seorang lelaki.
Gadis kecil itu mendongak. Di depannya, berdiri seorang anak
laki-laki yang sedikit lebih tua darinya. Tubuhnya tampak tinggi
untuk anak seusianya, kurus. Rambutnya yang hitam tampak
acak-acakan tak terawat, berkibar ditiup angin. Kulitnya putih.
Terlihat bekas luka di pipinya. Bola matanya tampak hitam
pekat, menyorot tajam namun tampak suram. Mengenakan
celana hitam yang robek, kaos oblong yang tampak lusuh
berlapiskan jaket hoodie berwarna merah gelap dengan lengan
berwarna putih. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku
celana.
“Ayah… Ibu…” Gadis kecil itu berkata lirih, terlihat butiran air
mata mengalir dari sudut matanya, bersinar ditimpa cahaya
matahari.
“Tenanglah. Jika kita melanjutkan pencarian, dijamin kita akan
menemukan mereka.” Lelaki berusia tiga belas itu berjongkok,
menjulurkan sebelah tangannya pada Alisya.
“Percayalah.”
Gadis kecil itu mengangguk samar, kemudian menerima uluran
tangan anak laki-laki itu. Tangannya terasa dingin, kasar,
terlihat beberapa bekas luka di permukaan kulitnya dan pipinya
tampak lebam, sedikit membiru. Lelaki kecil itu menarik Alisya,
membantunya berdiri.
Angin berembus kencang seketika. Gumpalan awan-awan putih
di atas sana tampak bergerak lebih cepat, menutupi sang
surya. Dedaunan pohon melambai-lambai, beberapa yang kering
beterbangan ke udara. Kedua anak itu kini berdiri berhadapan.
Lelaki kecil itu terlihat lebih tinggi dari Alisya. Ia memasukkan
kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Ini, pakailah. Keringkan air matamu.” Katanya sambil
menyodorkan sehelai sapu tangan berwarna putih pada gadis
kecil itu.
Gadis kecil itu mendongak, menatap anak laki-laki itu lurus-
lurus. Ia masih terisak pelan dengan air mata masih bergulir
membasahi pipinya. Wajahnya memerah.
Anak laki-laki itu tersenyum membalas tatapan Alisya.
Senyumannya tampak teduh, menenangkan, meski sorotan
matanya yang tajam itu terlihat suram. Laksana bulan purnama
pada malam yang mendung.
Gadis kecil itu menerima sapu tangan.
"Ah, sebentar. Ada luka gores di pipimu." Kata anak laki-laki
itu. Ia kemudian berjongkok di depan gadis kecil itu.
Alisya kecil mendongak. Terlihat sebuah goresan di pipinya.
Berdarah. Tapi ia tidak menyadari akan hal itu.
"Tahan, ya?" Anak laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak
kecil dari sakunya. Sebuah kotak berisi plester. Ia mengambil
selebar kemudian menempelkennya kepada pipi gadis kecil itu.
Tangannya terasa dingin dan kasar tapi cara dia menyentuh
pipi gadis itu lebih halus dari kesiur angin.
Alisya meringis pelan, memejamkan matanya, menahan sakit.
Anak laki-laki itu kemudian kembali berdiri, memasukkan
kembali kotak kecilnya ke dalam saku.
"T-terima kasih. Tapi, kau juga terluka..." Alisya berkata lirih.
Mendongak. Menyentuh plester yang tertempel di pipinya
dengan jemari kecilnya yang halus.
Anak laki-laki itu memiringkan kepalanya, tersenyum simpul.
"Ah, ini bukan apa-apa, nanti juga sembuh sendiri." Ia berkata
sambil angkat bahu. Ia menepuk-nepuk sisi jaketnya yang
tampak kotor oleh debu tanah sambil melihat luka-luka di
tangannya.
Alisya kecil menunduk, wajahnya memerah.
“Omong-omong, bagaimana kau tahu namaku?” Tanya gadis kecil
itu sambil merapikan anak rambutnya yang berantakan.
“Lah, bukannya kau yang memberitahuku tadi?”
***

Semua penonton terdiam. Mata mereka terpaku pada sosok


yang duduk di atas panggung, di hadapan mereka semua. Para
pelayan yang sejak tadi hilir mudik membawa nampan turut
menghentikan langkahnya, mata mereka juga tertuju kesana,
pada orang yang berada di atas panggung dengan gitar
akustiknya.
Waktu seakan terhenti, namun alunan denting gitar itu tidak.
Suaranya menggema memenuhi langit-langit. Pemainnya
terbawa suasana, matanya terpejam, keningnya berkerut
menghayati lagu yang dibawakannya.
Historia de un Amor.
Lampu ruangan dimatikan, menyisakan cahaya api lilin hias di
atas setiap meja yang remang-remang menerangi ruangan,
sementara orang di atas panggung sana disinari oleh cahaya
lampu sorot dari atas, memfokuskan pandangan para penonton
agar hanya tertuju pada sosok itu. Menambahkan kesan
dramatis pada musik.
Lincah jemari kiri pemain itu bergerak, seakan menari diantara
senar gitarnya, menekan kolom-kolom dari setiap fret,
sementara jemari kanannya memetik dengan gerakan yang
tentu saja tidak kalah cepat. Tanpa vokal, hanya suara gitar,
namun dapat menusuk hati para pendengarnya. Permainannya
sempurna, tidak satu pun nada yang meleset, harmonisasinya
sungguh memukau, padahal hanya sebuah gitar namun
terdengar seperti permainan sebuah orkestra.
Sosok yang berdiri di atas panggung sana adalah seorang
pemuda usia dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi, kurus,
kulitnya putih, matanya berwarna merah pekat, dan rambutnya
berwarna hitam legam. Mengenakan tuksedo hitam dengan dasi
kupu-kupu berwarna merah darah, celana kain serta sepatu
yang berwarna hitam tersemir, mengilap ditimpa sorot lampu.
Tepat setelah lagu Historia De Un Amor selesai. Para penonton
bangkit dari kursi mereka, memberikan tepuk tangan yang
meriah. Beberapa dari mereka tampak meneteskan air mata
terharu dan mengelapnya dengan sapu tangan mereka. Sosok
itu bangkit dari kursinya, kemudian menunduk sopan,
mengucapkan terima kasih banyak.
Lelaki itu kemudian melangkah turun dari panggung sambil
menenteng gitarnya.
“Astaga, Lucas, tadi itu luar biasa! Kau seakan dapat
menghentikan waktu! Semua orang terdiam mematung kecuali
air mata mereka yang, apa sebutanmu itu? Bergulir membasahi
pipi? Haha. Well, harus kuakui aku juga mematung tadi tapi
untungnya aku masih ingat untuk bernafas.” Ujar seseorang.
Tubuhnya tampak beberapa senti lebih pendek dari lelaki
bernama Lucas itu. Dia adalah Marc Anderson. Kepala koki
sekaligus pemilik restoran. Ia berkewarganegaraan Indonesia
tapi ia adalah keturunan Amerika.
Marc melangkah menuju Lucas yang baru turun dari panggung
sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya yang sejengkal lebih
tinggi darinya itu.
Lucas tertawa kecil. “Terima kasih, Marc.” Balasnya sambil
tersenyum, menyisir rambutnya dengan jemari kanannya.
"Harusnya aku yang berterima kasih, my friend, karena kau
mau tampil disini malam ini.” Ujar Marc sambil menepuk
punggung sahabatnya itu dengan cukup keras, membuat Lucas
tersentak.
“Ya, itu karena kebetulan aku sedang tidak punya ide untuk
melanjutkan tulisanku, jadi daripada aku termenung di depan
laptop, lebih baik aku kemari.” Ujar Lucas sambil angkat bahu.
“Begitu? Jadi kurasa aku harus berterima kasih pada Tuhan
karena tidak memberikanmu ide.” Balas Marc juga sambil
terkekeh.
Lucas tidak mendengarkan celotehan sahabatnya itu. Ia
menatap gitar yang digenggamnya di tangan kanannya,
mebunyikan senarnya selintas lalu. Terdengar suara dering
telepon.
“Oh, tunggu sebentar, Marc.” Kata Lucas sambil merogoh
ponsel dari saku celananya lalu mengeluarkannya.
“Siapa?” Tanya Marc sambil menerima gitar yang disodorkan
Lucas padanya.
“Seseorang.” Jawab Lucas dengan intonasi datar, keningnya
berkerut begitu melihat nama yang tertera pada layar
ponselnya. Sorot matanya berubah tajam dan dingin, menyala
merah.
Baiklah. Pikir Marc. Ia tahu benar kalau Lucas sudah
mengeluarkan intonasi datar begitu artinya ia tidak ingin
diganggu dan itu adalah urusan yang bersifat pribadi dan
rahasia. Lelaki itu kemudian memutuskan berjalan menjauhi
Lucas, melangkah menemui kenalan-kenalannya di ruang makan
sambil menunggu Lucas menyelesaikan urusannya.
***

“Jadi, kau adalah wisatawan, turis di kota ini? Sedang liburan?”


Tanya anak laki-laki itu.
“Iya, begitulah.” Jawab Alisya kecil sambil angkat bahu.
Matanya sibuk menyapu seluruh pemandangan, mencoba untuk
menemukan orang tuanya kalau-kalau terselip di antara
kerumunan orang-orang. Wajahnya tampak cemas, keringan
bergulir dari keningnya untuk kemudian membasahi pipinya
yang tampak halus dan kencang.
Anak laki-laki itu tersenyum menatap tingkah laku gadis kecil
itu.
“Tenanglah. Kita pasti akan menemukan mereka.” Katanya.
Sebelah tangannya menepuk pundak gadis kecil itu. Mereka
berjalan beriringan menyusuri trotoar di bahu jalanan yang
tampak ramai oleh kendaraan. Asapnya terlihat mengepul ke
udara, untuk kemudian tertampung di lapisan stratosfer.
“Stratosfer?”
“Ya,” Jawab lelaki itu sambil angkat bahu.
“Apa itu stratosfer?” Gadis kecil itu bertanya, ia terpaksa
mendongak untuk menatap wajah lelaki yang sejengkal lebih
tinggi darinya itu. Matanya membesar, terlihat antusias,
berbinar-binar.
Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya, tersenyum tipis melihat
gelagat gadis kecil itu yang tiba-tiba menjadi antusias.
“Stratosfer adalah lapisan kedua atmosfer bumi. Terletak di
antara lapisan troposfer dan mesosfer. Kau pernah mendengar
tentang lapisan ozon, bukan?” Lelaki itu menjelaskan sambil
terus berjalan.
Gadis kecil itu mengangguk cepat. Ya, dia pernah
mendengarnya saat pelajaran di sekolah.
“Nah, sembilan puluh persen konsentrasi lapisan ozon ini
berada pada lapisan stratosfer, yang jaraknya enam puluh
kilometer dari permukaan bumi. Singkatnya, stratosfer ini
merupakan tempat keberadaan lapisan ozon. Fungsi lapisan ini
adalah untuk melindungi bumi dari sinar radiasi ultraviolet dari
matahari. Seperti yang biasa kita dengar, pemanasan global.
Kau tahu istilah itu, bukan?” Lelaki itu menjelaskan kembali
dengan menatap wajah gadis kecil itu lurus-lurus.
“Iya. Pemanasan global dan efek rumah kaca, yang berdampak
pada peningkatan suhu dunia dan kenaikan permukaan air laut.”
Jawab Alisya sambil lalu, matanya menatap sekeliling.
“Tepat sekali. Nah, pemanasan global itu terjadi karena adanya
penipisan lapisan stratosfer atau lapisan ozon tersebut. Semua
itu akibat terjadinya penumpukan gas karbon dioksida, karbon
monoksida, metana, nitrogen oksida, serta senyawa-senyawa
lainnya yang dihasilkan dari asap kendaraan, pabrik-pabrik
sialan itu. Hal ini mengakibatkan sinar ultraviolet matahari
dapat leluasa menerobos lapisan ini dan meningkatkan suhu
bumi-“
Gadis kecil itu tampak kebingungan mencerna semua kalimat
yang diucapkan oleh lelaki itu. Matanya masih tampak
membesar dan berbinar.
Lelaki itu tertawa kecil.
***

“Marc. Maafkan aku, tapi kurasa aku harus pulang segera


malam ini. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” Kata Lucas
sambil berjalan menghampiri sahabatnya yang sibuk di dapur.
“Well, baiklah. Omong-omong, sekali lagi terima kasih, Lucas.
Kau ibaratkan artis, selebriti kelas atas yang telah tampil di
restoranku malam ini. Eksklusif!” Sahut Marc sambil menepuk-
nepuk punggung sahabatnya, melangkah disampingnya,
mengantarkan ke pintu luar.
“Itu bukan masalah, Sobat, dan sekali lagi, aku bukan selebriti
dan aku tidak ingin menjadi seorang selebriti.” Jawab Lucas
santai, namun terdapat penekanan saat bagian kata “selebriti”.
Marc terkekeh. Ia tahu itu.
Lucas memang merupakan seorang gitaris solo yang cukup
terkenal di dunia, namun, ia selalu menghindari wartawan,
media masa, jadi namanya tidak pernah atau jarang, muncul
dalam berita. Lelaki ini tidak tertarik untuk menjadi terkenal,
ia hanya ingin menjadi yang terbaik, bukan yang terkenal di
dunia.
***

Mobil hitam klasik yang mengilap itu melesat kencang di atas


jalan protokol. Menerjang embusan angin malam, sesekali
menyalip mobil-mobil di hadapannya.
Hiruk pikuk jalanan protokol kota tidak sedikitpun
menunjukkan tanda-tanda akan semakin surut. Pukul sembilan
malam, namun aktivitas masih berlanjut seolah tidak akan
pernah berhenti. Terlihat banyak orang masih berlalu lalang di
atas trotoar di bahu jalan, kendaraan melintas cepat, lampu-
lampu bangunan menyala dengan meriah, kerlap-kerlip dan
warna-warni meramaikan suasana malam. Berbagai toko,
minimarket, supermarket, tempat makan, masih ramai
dikunjungi para pelanggan yang hilir mudik, keluar-masuk dari
pintu kaca otomatisnya. Semuanya tampak gemerlapan dari
pantulan kaca mobil.
Sosok dengan mata merah itu menatap tajam dari balik kemudi.
Keningnya berkerut, gurat wajahnya tampak serius. Bola
matanya mengilap ditimpa cahaya lampu.
Di hadapannya, di samping setir, sebuah papan tipis dengan
panjang 6 inci dan lebar 4 inci, menampilkan sebuah peta kota.
Layar itu mengeluarkan suara pelan yang berulang, seperti
sinyal. Lucas menatap layar itu. Dilihatnya, sebuah titik merah
yang berkedip-kedip, semakin lama semakin dekat.
"Tidak mungkin."
Ia mencengkeram kemudi lebih erat, menghentakkan kaki,
menekan pedal gas lebih dalam.
***

“Ah, aku ingat sekarang. Di sana. Tadi aku bersama ibu dan
ayahku sempat mampir di warung itu!” Gadis kecil itu dengan
riang menunjuk ke sembarang warung di pinggir jalan. Warung
makan Padang, tidak terlalu besar. Terlihat ramai oleh
beberapa orang dewasa yang mengobrol dalam bahasa daerah,
sesekali tertawa lepas. Tercium aroma gulai, rendang, dan
makanan lainnya, bercampur dengan kepulan debu jalan.
“Orang tuamu sudah pergi dari sana.”
“Eh?” Gadis kecil itu mendongak.
Laki-laki itu tertawa.
"Tentu saja. Itu, 'kan tadi, setelah itu mereka pasti masih
bersamamu ke suatu tempat lain."
"Eh, iya." Balas Alisya kecil sambil menundukkan wajahnya.
Merasa malu.
"Setelah itu kami pergi ke taman, kemudian mengunjungi mall
kota, dan, eh-"
“Tenang saja. Mereka mencarimu, mengkhawatirkanmu, jadi
kemungkinan besar mereka sudah beranjak dari lokasi terakhir
dan pergi ke suatu tempat,” Jawab anak laki-laki berjaket
merah itu sambil angkat bahu.
“Ke mana?”
“Pos polisi.”
***
Sebuah lorong, gang kecil yang sempit nan gelap. Terletak di
antara gedung-gedung raksasa yang menjulang megah. Gang itu
lembab, pengap, tidak terlihat jelas ujungnya, entah apa yang
bersemayam di sana, di dalam kegelapan dan keheningan malam.
Lucas menatap dari atas atap pada salah satu gedung,
berjongkok. Sorot matanya mencoba untuk menelusuri sesuatu
di dalam gang yang gelap di bawah sana, tampak menyala merah
di dalam selubung bayangan. Gadget yang berada di genggaman
tangannya menunjukkan sebuah titik merah yang sangat dekat
dengan posisinya saat ini, kedipannya semakin cepat, diiringi
suara monoton yang berulang seirama dengan frekuensi
kedipan titik merah itu.
Langit di atas sana tampak mendung. Gumpalan awan-awan
mendung bergerak berarak-arakan, menutupi sinar bulan
beserta bintang gemintang yang gemerlapan. Terlihat kabut
tipis menyelimuti kota. Kendaraan yang berlalu lalang tidak lagi
terlihat. Sepi dan lengang. Itu bukan wilayah utama kota,
melainkan daerah yang terletak di pinggiran. Aktivitas
penduduk sekitar sudah surut sejak tadi.
Sosok bermata merah itu melihat seorang gadis di luar gang.
Kakinya tampak gemetar, matanya terbelalak. Ia terlihat
mematung.
Lucas mengerutkan keningnya. Memicingkan mata. Bukankah
itu-
“Ctar!” Halilintar menyambar, suaranya terdengar
menggelegar, bergema. Cahayanya membuat terang sekitar.
Kini terlihat jelas sudah, di tengah gang sana, seekor tikus
raksasa menghentakkan kakinya, mulai berlari. Nafasnya
terdengar memburu, sorot matanya yang merah menyala
terlihat penuh ancaman, memancarkan ketakutan.
Lucas menggeram, ia dengan cekatan segera melompat dari
puncak bangunan. Lelaki itu menarik keluar sepasang belati dari
sarungnya yang terpasang pada ikat pinggang celananya. Sorot
matanya yang merah terlihat lebih terang dari mata tikus itu,
menyala. Belatinya yang tajam tampak kemilau ditimpa cahaya
kilat. Tubuhnya seakan melayang di udara, sempurna
menghadang sinar bulan, membuat siluet dirinya yang hitam
pekat.
Lucas mengayunkan belati itu dengan sekuat tenaga, menebas
tengkuk tikus raksasa itu dari belakang. Seketika, darah segar
menyembur dari pembuluh darah tikus itu, bermuncratan ke
udara, membasahi tuksedo Lucas, tapi itu bukan masalah.
“Brak!” Tikus raksasa itu tumbang. Tubuhnya yang besar itu
kaku seketika. Jatuh berdebam ke bawah, membuat debu pasir
mengepul ke udara. Darahnya mengalir deras dari tengkuknya,
membasahi permukaan tanah. Lucas mendarat dengan mantap
di belakang tubuh tikus itu dengan seimbang dan kokoh. Kedua
tangannya masih menggenggam erat sepasang belati. Keningnya
tampak kotor, berlumuran darah. Matanya yang merah menyala
menatap gadis di depannya itu lurus-lurus.
“Kau tidak apa-apa?”
***

“Alisya!” Sepasang suami-istri itu berseru girang. Wajah


mereka yang semula pucat dan berkeringat seketika berubah
menjadi riang dan cerah. Mata mereka terlihat berkaca-kaca.
Sang ibu segera berlari menghampiri anak perempuan yang
berdiri di ambang pintu itu. Seorang polisi yang berada di balik
meja mengikuti arah pandangan mereka.
“Ibu, ayah!” Balas gadis kecil itu sambil berlari menghampiri
ibunya. Mereka kemudian berpelukan erat. Anak perempuan
itu, matanya terlihat berkaca-kaca, tampak butiran air mata
mengalir dari sudut matanya, bergulir membasahi pipinya.
“Kami sangat mengkhawatirkanmu, Alisya!” Seru ibunya yang
masih memeluk gadis kecil itu dengan erat.
“Kami sudah mencarimu kemana-mana!” Balas ayahnya.
Di depan sana, di luar bingkai pintu, berdiri seorang anak laki-
laki dengan jaket merah. Lihatlah, tebakannya benar. Orang
tua gadis kecil itu pasti sedang menanyakan polisi mengenai
anak mereka yang hilang.
Lelaki kecil itu mengusap matanya yang mulai berair. Sial, ia
terbawa suasana. Anak itu bersandar di bingkai pintu dengan
kedua tangan dilipat di depan dada, tatapannya tertunduk.
Rambutnya yang hitam pekat bergerak menutupi mata
kanannya.
“Oh iya, ibu, ayah. Perkenalkan, dia adalah orang yang
menyelamatkan dan membantuku menemukan ayah dan ibu!"
Kata Alisya kecil dengan riang setengah berseru. Anak laki-laki
dengan jaket merah itu menoleh.
“Ah, terima kasih telah menjaga anak kami, Nak.” Ujar ayah
Alisya sembari berjalan menghampiri anak laki-laki itu.
“Omong-omong, siapa namamu?”
Nama?
***

“Ini, pakailah. Keringkan wajahmu.” Lucas menyodorkan sapu


tangan itu. Tubuhnya berdiri tepat di depan Alisya. Tersenyum.
Senyum yang sama seperti sebelumnya. Senyum yang
memberikan perasaan tenang pada gadis itu.
Seketika, awan-awan mendung di atas sana mulai berpendar,
pecah, membuat celah di antaranya. Sang rembulan mulai
tampak dari celah awan, cahayanya yang keperakan menerobos
masuk, menyinari kota, laksana sorotan senter dari angkasa,
memberikan kesan dramatis.
“T-terima kasih.” Alisya memberanikan diri untuk berkata.
Suaranya terdengar parau. Kejadian tadi membuatnya sangat
terkejut.
Lucas tersenyum. Ia melihat kepala Alisya. Di sana, terlihat
setangkai bunga mawar yang terselip di antara rambutnya.
Mawar itu terlihat menawan ditimpa cahaya bulan.
“Kau masih mengenakan mawar itu?” Ia bertanya.
“E-eh?”
Lucas menjadi salah tingkah menatap wajah Alisya yang
memerah dan tentang mawar itu. Dia tidak menyangka gadis itu
akan sangat menghargainya. Ia tertawa kecil, untuk meredakan
suasana canggung. Lelaki itu menyisir rambutnya dengan
jemari, menatap tubuh tikus yang tergeletak di sampingnya.
“Aku tidak menyangka kalau “mereka” sudah tiba kota ini.”
Lucas bergumam.
Alisya yang masih mengelap wajahnya mengangkat sebelah
alisnya, menatap wajah sosok itu.
Lucas tersenyum, “Lupakan saja.” Katanya. Lucas kemudian
menjulurkan sebelah tangannya pada Alisya. Alisya
menerimanya. Ia kemudian membantunya berdiri.
“Kakimu masih gemetaran?” Kata Lucas sambil masih
menggenggam pergelangan tangan Alisya.
“I-iya. Kurasa aku akan mengalami trauma dengan tikus.” Alisya
menjawab dengan pelan. Lucas tertawa mendengar kalimat
terakhir Alisya.
Seketika, angin berembus kencang, menerpa wajah. Udaranya
terasa dingin menusuk tulang. Membuat rambut mereka itu
berkibar.
Gumpalan awan-awan gelap di atas sana tampak bergerak
dengan cepat, menutupi sinar bulan serta bintang gemintang.
“Sepertinya hujan akan turun lagi,” Ujar Lucas sambil
mendongak ke atas.
“Apartemenmu tidak jauh lagi dari sini, bukan?” Ia bertanya,
wajahnya menatap Alisya dengan prihatin.
“Iya.” Jawab gadis itu singkat, di dalam benaknya, masih
menyimpan berbagai pertanyaan yang ingin ditanyakannya pada
Lucas, sosok misterius itu, tapi ia memutuskan untuk
mengurungkan niatnya.
“Kalau begitu, cepatlah pulang.” Lucas berkata, membalikkan
tubuhnya. Lelaki itu sekarang berdiri membelakangi Alisya,
menegadah menatap angkasa, ke hamparan langit malam nan
gelap dan mendung.
Alisya hanya menatap sosok itu dari belakang, jarak mereka
terpisah dua meter.
Jalanan tampak lengang, sejak tadi tidak terlihat satu pun
kendaraan yang lewat, hening, sepi, menyisakan permukaan
aspal yang tampak gelap kebiruan, disoroti lampu jalan yang
remang-remang. Angin berembus sekali lagi, menerpa wajah,
membelai rambut dengan halus, memberikan perasaan tenang.
“Kau mau aku mengantarmu?” Lucas berkata, ia menoleh ke
belakang. Mencoba bergurau. Ia tahu kalau tawarannya pasti
akan ditolak mentah-mentah.
Alisya tertawa kecil, tawa pertamanya selepas kejadian
mengerikan itu. Lucas mengangkat sebelah alis, membalikkan
badannya.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa sendiri.” Jawab Alisya sambil
angkat bahu.
"Eh, ini. Sapu tanganmu?"
"Ambil saja." Sela Lucas.
"T-terima kasih. Aku pergi dulu, ya?"
“Baiklah.” Balas Lucas juga dengan angkat bahu, tersenyum.
“Hati-hati di jalan,”
Gadis itu menoleh kembali ke belakang, seketika angin
berkesiur cukup kencang, membuat rambut mereka berkibar.
“Alisya.”
***

“Kalau begitu kami pergi dulu, Nak. Terima kasih sekali lagi
karena telah menjaga Alisya.” Kata ayah Alisya dari balik
kemudi. Ia masih membiarkan pintu mobil terbuka. Alisya
beserta ibunya sudah berada di dalam mobil sejak tadi. Mata
Alisya menatap anak laki-laki itu lurus-lurus.
Anak itu hanya mengangguk. Sorot matanya menatap ke bawah,
ke permukaan trotoar di bahu jalan. Wajahnya terlihat suram.
“Sebentar,” Kata Alisya. Gadis kecil itu bergegas membuka
pintu mobil, menahan gerakan ayahnya yang mulai menyalakan
mesin. Ia segera berlari kecil menuju anak laki-laki itu.
“Kau bilang kalau kau tidak punya nama, bukan?”
Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya. Matanya yang hitam
pekat dan suram menatap gadis kecil yang berdiri di depannya
itu lurus-lurus. Ia mengangguk samar.
"Ya, begitulah." Anak laki-laki itu mengusap wajahnya kemudian
memiringkan kepalanya, tersenyum, meski senyum itu hanyalah
senyum yang dipaksakan.
“Bagaimana kalau namamu…” Alisya mengetuk-ngetukkan
telunjuk kanannya ke dagu, keningnya berkerut. Manatap
keramaian jalanan.
Matanya seketika membesar, berbinar-binar. Ia menepukkan
kedua tangannya.
"Ah, iya!"
“Bagaimana kalau namamu...”
***

"Lucas!"
Alisya tersentak dari tidurnya. Gadis dengan piyama biru itu
beranjak duduk di atas kasurnya. Rambutnya yang hitam legam
tampak acak-acakan. Ia mengerutkan kening, memejamkan
mata, memijit pelipisnya dengan jemari. Ia mendesis pelan.
"Itu tadi mimpi,"
"Atau ingatanku?..." Ia bergumam pelan.
Ruangan 4 x 4 m2 itu lengang, menyisakan suara desing kipas
angin yang terpasang di langit-langit, berputar tiga ratus enam
puluh derajat untuk kemudian berputar ke arah sebaliknya,
membuat gorden yang menutupi jendela melambai-lambai.
Lampu yang tertanam di atas sana telah dimatikan sejak tadi.
Kamar itu gelap, hanya sinar bulan yang menerobos kain gorden
yang cahayanya yang kebiruan itu remang-remang menerangi
ruangan. Lemari pakaian, lemari buku, meja belajar yang
terbuat dari kayu yang terletak di sudut ruangan, semuanya
teronggok bisu. Sayup-sayup terdengar suara sirine polisi
meraung-raung jauh di luar, di bawah sana.
Gadis itu menoleh ke kanan. Di sebelah ranjang, terletak
sebuah meja kecil terbuat dari kayu. Di atasnya, tampak
sebuah gelas kecil berisi air. Setangkai mawar dicelupkan ke
dalamnya. Itu adalah mawar pemberian "sosok misterius" itu.
Warna mawar itu merah. Merah pekat, seperti darah segar.
Gorden jendela tersibak, membiarkan cahaya bulan menerobos
masuk. Sinarnya yang keperakan menimpa setangkai mawar di
dalam gelas, memberikan kesan dramatis.
Alisya menunduk, ia menatap permukaan kasur. Sorot matanya
kosong. Rambutnya yang hitam panjang menyentuh punggung
tampak bersinar disirami cahaya rembulan.
"Siapa namaku? Nah, itu baru menarik. Tapi untuk saat ini, itu
juga tidak penting..."
"...Karena dijamin kau akan mengetahuinya sendiri suatu saat
nanti. Atau lebih tepatnya, mengingatnya kembali." Kalimat itu
terngiang-ngiang di telinga Alisya. Bergema, seolah diucapkan
berulang-ulang kali.
"Mengingatnya kembali"?
"Jadi begitu,"
"Dia adalah anak laki-laki yang menyelamatkanku waktu itu?"
Gumam Alisya sambil meraba salah satu sisi pipinya dengan
jemari. Wajahnya seketika memerah.
"Tapi..."
***

Anda mungkin juga menyukai