“Alisya!”
“Alisya, bangun!”
“Hei!”
“Alisya, bangunlah!”
Gadis kecil itu perlahan membuka matanya. Seketika sinar
matahari menyambut akan dirinya. Menerobos sela-sela awan,
menyirami wajah gadis kecil itu dengan cahaya dan
kehangatannya.
Gadis kecil itu spontan langsung menutupi matanya, kesilauan.
Ia meringis pelan.
“Di… mana... ini?” Gadis kecil itu bergumam pelan sambil
beranjak duduk. Embusan angin sepoi-sepoi memainkan anak
rambutnya, menerpa wajah dengan halus.
“Di taman kota. Kau jatuh tertidur saat aku menggendongmu
tadi. Kau merengek minta kembali ke orang tuamu, tapi aku
tidak dapat menemukan mereka sama sekali, kakiku sudah
sangat letih, belum lagi ditambah teriknya sinar matahari.”
Jawab seseorang. Seorang lelaki.
Gadis kecil itu mendongak. Di depannya, berdiri seorang anak
laki-laki yang sedikit lebih tua darinya. Tubuhnya tampak tinggi
untuk anak seusianya, kurus. Rambutnya yang hitam tampak
acak-acakan tak terawat, berkibar ditiup angin. Kulitnya putih.
Terlihat bekas luka di pipinya. Bola matanya tampak hitam
pekat, menyorot tajam namun tampak suram. Mengenakan
celana hitam yang robek, kaos oblong yang tampak lusuh
berlapiskan jaket hoodie berwarna merah gelap dengan lengan
berwarna putih. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku
celana.
“Ayah… Ibu…” Gadis kecil itu berkata lirih, terlihat butiran air
mata mengalir dari sudut matanya, bersinar ditimpa cahaya
matahari.
“Tenanglah. Jika kita melanjutkan pencarian, dijamin kita akan
menemukan mereka.” Lelaki berusia tiga belas itu berjongkok,
menjulurkan sebelah tangannya pada Alisya.
“Percayalah.”
Gadis kecil itu mengangguk samar, kemudian menerima uluran
tangan anak laki-laki itu. Tangannya terasa dingin, kasar,
terlihat beberapa bekas luka di permukaan kulitnya dan pipinya
tampak lebam, sedikit membiru. Lelaki kecil itu menarik Alisya,
membantunya berdiri.
Angin berembus kencang seketika. Gumpalan awan-awan putih
di atas sana tampak bergerak lebih cepat, menutupi sang
surya. Dedaunan pohon melambai-lambai, beberapa yang kering
beterbangan ke udara. Kedua anak itu kini berdiri berhadapan.
Lelaki kecil itu terlihat lebih tinggi dari Alisya. Ia memasukkan
kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Ini, pakailah. Keringkan air matamu.” Katanya sambil
menyodorkan sehelai sapu tangan berwarna putih pada gadis
kecil itu.
Gadis kecil itu mendongak, menatap anak laki-laki itu lurus-
lurus. Ia masih terisak pelan dengan air mata masih bergulir
membasahi pipinya. Wajahnya memerah.
Anak laki-laki itu tersenyum membalas tatapan Alisya.
Senyumannya tampak teduh, menenangkan, meski sorotan
matanya yang tajam itu terlihat suram. Laksana bulan purnama
pada malam yang mendung.
Gadis kecil itu menerima sapu tangan.
"Ah, sebentar. Ada luka gores di pipimu." Kata anak laki-laki
itu. Ia kemudian berjongkok di depan gadis kecil itu.
Alisya kecil mendongak. Terlihat sebuah goresan di pipinya.
Berdarah. Tapi ia tidak menyadari akan hal itu.
"Tahan, ya?" Anak laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak
kecil dari sakunya. Sebuah kotak berisi plester. Ia mengambil
selebar kemudian menempelkennya kepada pipi gadis kecil itu.
Tangannya terasa dingin dan kasar tapi cara dia menyentuh
pipi gadis itu lebih halus dari kesiur angin.
Alisya meringis pelan, memejamkan matanya, menahan sakit.
Anak laki-laki itu kemudian kembali berdiri, memasukkan
kembali kotak kecilnya ke dalam saku.
"T-terima kasih. Tapi, kau juga terluka..." Alisya berkata lirih.
Mendongak. Menyentuh plester yang tertempel di pipinya
dengan jemari kecilnya yang halus.
Anak laki-laki itu memiringkan kepalanya, tersenyum simpul.
"Ah, ini bukan apa-apa, nanti juga sembuh sendiri." Ia berkata
sambil angkat bahu. Ia menepuk-nepuk sisi jaketnya yang
tampak kotor oleh debu tanah sambil melihat luka-luka di
tangannya.
Alisya kecil menunduk, wajahnya memerah.
“Omong-omong, bagaimana kau tahu namaku?” Tanya gadis kecil
itu sambil merapikan anak rambutnya yang berantakan.
“Lah, bukannya kau yang memberitahuku tadi?”
***
“Ah, aku ingat sekarang. Di sana. Tadi aku bersama ibu dan
ayahku sempat mampir di warung itu!” Gadis kecil itu dengan
riang menunjuk ke sembarang warung di pinggir jalan. Warung
makan Padang, tidak terlalu besar. Terlihat ramai oleh
beberapa orang dewasa yang mengobrol dalam bahasa daerah,
sesekali tertawa lepas. Tercium aroma gulai, rendang, dan
makanan lainnya, bercampur dengan kepulan debu jalan.
“Orang tuamu sudah pergi dari sana.”
“Eh?” Gadis kecil itu mendongak.
Laki-laki itu tertawa.
"Tentu saja. Itu, 'kan tadi, setelah itu mereka pasti masih
bersamamu ke suatu tempat lain."
"Eh, iya." Balas Alisya kecil sambil menundukkan wajahnya.
Merasa malu.
"Setelah itu kami pergi ke taman, kemudian mengunjungi mall
kota, dan, eh-"
“Tenang saja. Mereka mencarimu, mengkhawatirkanmu, jadi
kemungkinan besar mereka sudah beranjak dari lokasi terakhir
dan pergi ke suatu tempat,” Jawab anak laki-laki berjaket
merah itu sambil angkat bahu.
“Ke mana?”
“Pos polisi.”
***
Sebuah lorong, gang kecil yang sempit nan gelap. Terletak di
antara gedung-gedung raksasa yang menjulang megah. Gang itu
lembab, pengap, tidak terlihat jelas ujungnya, entah apa yang
bersemayam di sana, di dalam kegelapan dan keheningan malam.
Lucas menatap dari atas atap pada salah satu gedung,
berjongkok. Sorot matanya mencoba untuk menelusuri sesuatu
di dalam gang yang gelap di bawah sana, tampak menyala merah
di dalam selubung bayangan. Gadget yang berada di genggaman
tangannya menunjukkan sebuah titik merah yang sangat dekat
dengan posisinya saat ini, kedipannya semakin cepat, diiringi
suara monoton yang berulang seirama dengan frekuensi
kedipan titik merah itu.
Langit di atas sana tampak mendung. Gumpalan awan-awan
mendung bergerak berarak-arakan, menutupi sinar bulan
beserta bintang gemintang yang gemerlapan. Terlihat kabut
tipis menyelimuti kota. Kendaraan yang berlalu lalang tidak lagi
terlihat. Sepi dan lengang. Itu bukan wilayah utama kota,
melainkan daerah yang terletak di pinggiran. Aktivitas
penduduk sekitar sudah surut sejak tadi.
Sosok bermata merah itu melihat seorang gadis di luar gang.
Kakinya tampak gemetar, matanya terbelalak. Ia terlihat
mematung.
Lucas mengerutkan keningnya. Memicingkan mata. Bukankah
itu-
“Ctar!” Halilintar menyambar, suaranya terdengar
menggelegar, bergema. Cahayanya membuat terang sekitar.
Kini terlihat jelas sudah, di tengah gang sana, seekor tikus
raksasa menghentakkan kakinya, mulai berlari. Nafasnya
terdengar memburu, sorot matanya yang merah menyala
terlihat penuh ancaman, memancarkan ketakutan.
Lucas menggeram, ia dengan cekatan segera melompat dari
puncak bangunan. Lelaki itu menarik keluar sepasang belati dari
sarungnya yang terpasang pada ikat pinggang celananya. Sorot
matanya yang merah terlihat lebih terang dari mata tikus itu,
menyala. Belatinya yang tajam tampak kemilau ditimpa cahaya
kilat. Tubuhnya seakan melayang di udara, sempurna
menghadang sinar bulan, membuat siluet dirinya yang hitam
pekat.
Lucas mengayunkan belati itu dengan sekuat tenaga, menebas
tengkuk tikus raksasa itu dari belakang. Seketika, darah segar
menyembur dari pembuluh darah tikus itu, bermuncratan ke
udara, membasahi tuksedo Lucas, tapi itu bukan masalah.
“Brak!” Tikus raksasa itu tumbang. Tubuhnya yang besar itu
kaku seketika. Jatuh berdebam ke bawah, membuat debu pasir
mengepul ke udara. Darahnya mengalir deras dari tengkuknya,
membasahi permukaan tanah. Lucas mendarat dengan mantap
di belakang tubuh tikus itu dengan seimbang dan kokoh. Kedua
tangannya masih menggenggam erat sepasang belati. Keningnya
tampak kotor, berlumuran darah. Matanya yang merah menyala
menatap gadis di depannya itu lurus-lurus.
“Kau tidak apa-apa?”
***
“Kalau begitu kami pergi dulu, Nak. Terima kasih sekali lagi
karena telah menjaga Alisya.” Kata ayah Alisya dari balik
kemudi. Ia masih membiarkan pintu mobil terbuka. Alisya
beserta ibunya sudah berada di dalam mobil sejak tadi. Mata
Alisya menatap anak laki-laki itu lurus-lurus.
Anak itu hanya mengangguk. Sorot matanya menatap ke bawah,
ke permukaan trotoar di bahu jalan. Wajahnya terlihat suram.
“Sebentar,” Kata Alisya. Gadis kecil itu bergegas membuka
pintu mobil, menahan gerakan ayahnya yang mulai menyalakan
mesin. Ia segera berlari kecil menuju anak laki-laki itu.
“Kau bilang kalau kau tidak punya nama, bukan?”
Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya. Matanya yang hitam
pekat dan suram menatap gadis kecil yang berdiri di depannya
itu lurus-lurus. Ia mengangguk samar.
"Ya, begitulah." Anak laki-laki itu mengusap wajahnya kemudian
memiringkan kepalanya, tersenyum, meski senyum itu hanyalah
senyum yang dipaksakan.
“Bagaimana kalau namamu…” Alisya mengetuk-ngetukkan
telunjuk kanannya ke dagu, keningnya berkerut. Manatap
keramaian jalanan.
Matanya seketika membesar, berbinar-binar. Ia menepukkan
kedua tangannya.
"Ah, iya!"
“Bagaimana kalau namamu...”
***
"Lucas!"
Alisya tersentak dari tidurnya. Gadis dengan piyama biru itu
beranjak duduk di atas kasurnya. Rambutnya yang hitam legam
tampak acak-acakan. Ia mengerutkan kening, memejamkan
mata, memijit pelipisnya dengan jemari. Ia mendesis pelan.
"Itu tadi mimpi,"
"Atau ingatanku?..." Ia bergumam pelan.
Ruangan 4 x 4 m2 itu lengang, menyisakan suara desing kipas
angin yang terpasang di langit-langit, berputar tiga ratus enam
puluh derajat untuk kemudian berputar ke arah sebaliknya,
membuat gorden yang menutupi jendela melambai-lambai.
Lampu yang tertanam di atas sana telah dimatikan sejak tadi.
Kamar itu gelap, hanya sinar bulan yang menerobos kain gorden
yang cahayanya yang kebiruan itu remang-remang menerangi
ruangan. Lemari pakaian, lemari buku, meja belajar yang
terbuat dari kayu yang terletak di sudut ruangan, semuanya
teronggok bisu. Sayup-sayup terdengar suara sirine polisi
meraung-raung jauh di luar, di bawah sana.
Gadis itu menoleh ke kanan. Di sebelah ranjang, terletak
sebuah meja kecil terbuat dari kayu. Di atasnya, tampak
sebuah gelas kecil berisi air. Setangkai mawar dicelupkan ke
dalamnya. Itu adalah mawar pemberian "sosok misterius" itu.
Warna mawar itu merah. Merah pekat, seperti darah segar.
Gorden jendela tersibak, membiarkan cahaya bulan menerobos
masuk. Sinarnya yang keperakan menimpa setangkai mawar di
dalam gelas, memberikan kesan dramatis.
Alisya menunduk, ia menatap permukaan kasur. Sorot matanya
kosong. Rambutnya yang hitam panjang menyentuh punggung
tampak bersinar disirami cahaya rembulan.
"Siapa namaku? Nah, itu baru menarik. Tapi untuk saat ini, itu
juga tidak penting..."
"...Karena dijamin kau akan mengetahuinya sendiri suatu saat
nanti. Atau lebih tepatnya, mengingatnya kembali." Kalimat itu
terngiang-ngiang di telinga Alisya. Bergema, seolah diucapkan
berulang-ulang kali.
"Mengingatnya kembali"?
"Jadi begitu,"
"Dia adalah anak laki-laki yang menyelamatkanku waktu itu?"
Gumam Alisya sambil meraba salah satu sisi pipinya dengan
jemari. Wajahnya seketika memerah.
"Tapi..."
***