Anda di halaman 1dari 11

Bab 7

Sebuah mobil berwarna merah gelap melesat kencang di atas


jalan, membelah keramaian di tengah gemerlapnya lampu-
lampu, menerobos angin dan rintik hujan yang membasahi kaca
jendelanya. Jalanan basah, licin, membuat pantulan apa pun
yang melintas di atasnya. Sesekali terlihat cahaya kilat disusul
bunyi gemuruh yang seakan mengguncang tanah.
Pengemudi di dalamnya mencengkeram setir dengan erat,
memutarnya, menyalip satu-dua mobil lain yang ada di depan.
Pengemudi itu adalah seorang perempuan, seorang gadis muda,
dengan rambut kecokelatan yang diikat ke belakang seperti
ekor kuda. Ia mengalungkan headphone di lehernya,
mengenakan kaos hitam pendek dan tipis, dilapis jaket denim,
celana jeans pendek serta sarung tangan hitam. Ia memegang
ponsel pada tangan kirinya, mendekatkannya ke telinga.
"Iya, itu benar. Aku melihatnya sendiri. Dua ekor "target"
sedang berkeliaran di kota ini seperti yang sudah anda
katakan." Gadis berambut coklat itu berkata pada orang di
seberang telepon sembari matanya yang cokelat menatap fokus
ke depan.
"Aku sudah membunuh satu di antaranya, sementara satu lagi
telah dipastikan mati sebelum aku melihatnya. Kemungkinan
besar kalau pasukan militer atau polisi kota inilah yang
melakukannya. Tapi anehnya, tidak didapatkan berita-berita
mengenai keberadaan "mereka" di kota ini. Aku juga menduga
kalau pihak berkuasa mengatakan untuk tidak memberitahukan
akan hal ini kepada orang ramai."
Mobil berwarna merah gelap itu berbelok di tikungan.
Gadis berambut coklat itu mengangguk, meski orang di
seberang telepon tidak dapat melihatnya.
"Satu lagi, Tuan." Gadis itu berkata, menahan pembicaraan.
"Saat itu, aku tidak hanya melihat dua titik merah yang
terdeteksi di alatku, tapi ada tiga. Satu di antara tiga titik
merah itu hilang tanpa jejak, lenyap. Dan satu-satunya
kemungkinan kalau titik ketiga itu adalah "target" utama kita."
Tambahnya dengan intonasi tajam dan serius.
Sebuah truk kontainer raksasa sedang menghadang jalan di
depan sana. Gadis itu menginjak pedal gas dalam-dalam,
memacu kecepatan mobil. Ia melesat, menyalip truk itu, yang
terkejut sambil membunyikan klakson yang suaranya melenguh
panjang.
"Iya, seperti yang anda katakan. Alatnya menjadi tidak stabil
ketika aku berada dekat dengan "titik ketiga" itu. Seperti ada
gelombang lain yang mengganggu sinyalnya."
"Ya, kemungkinannya meningkat menjadi dua kali lipat lebih
besar dan bisa dipastikan kalau "dia" memang sedang berada di
kota ini."
"Hm."
"Ya, baiklah."
Gadis itu mengangguk.
"Aku mengerti."
"Aku akan menghubungimu lagi nanti,"
"Tuan Gen."
Gadis itu kemudian menutup telepon, memutus panggilan. Ia
menyelipkan ponselnnya ke saku celana, lalu mencengkeram
kemudi dengan dua tangan. Jalanan licin ini membuatnya harus
lebih fokus mengendarai, juga pemandangan yang samar-samar
membuat penglihatan lebih terbatas oleh rintik gerimis dan
kabut yang menyelimuti.
Lampu lalu lintas menyala merah. Mobil yang dikendarai gadis
itu memperlambat gerakannya, untuk kemudian berhenti tepat
di depan garis penyeberangan, disusul mobil-mobil lain di
belakangnya.
Gadis itu mendongak, menatap ke langit di atas sana dari balik
jendela kaca. Angkasa tampak gelap, dipenuhi oleh gumpalan
awan-awan hitam yang menurunkan hujan. Sesekali terdengar
suara gemuruh yang sayup-sayup dari kejauhan. Kemudian
kilatan cahaya.
"Ctar!" Petir menyambar, memancarkan sinar kemerahan di
langit, menerangi seisi kota dalam sekejap, disusul legar
halilintar yang mengguncang.
"Hyaaa!" Gadis itu berteriak kaget, memejamkan matanya
rapat-rapat. Ia kemudian membuka matanya kembali, sambil
mengelus dadanya, menghela nafas panjang. Gadis itu menoleh
ke lampu lalu lintas. Masih merah. Ia menggerutu.
Terdengar sayup-sayup dari kejauhan, suara sirine mobil polisi
yang kian mendekat. Tak lama kemudian, dua mobil itu terlihat
melintas di depan sana, membelah keramaian, melesat kencang
menerobos angin malam, mengalihkan perhatian gadis berambut
coklat itu. Dia memandanginya hingga dua buah mobil itu hilang
di tikungan. Ada apa itu?
"Ctar!" Petir menyambar sekali lagi, dengan cahaya kemerahan
di angkasa, disusul legar halilintar.
"Kyaa-" Gadis itu berseru tertahan. Disaat ia memalingkan
wajahnya. Dia tidak sengaja menangkap sesuatu dari sudut
matanya di jauh sana.
Sosok laki-laki. Sosok laki-laki dengan hoodie putih yang
sedang bersandar pada sebuah tiang lampu jalan. Ia
mengenakan celana jeans ketat yang gelap. Tudung jaketnya
membuat wajahnya tidak terlihat jelas, terselubung di balik
bayangan, juga mulut dan hidungnya yang tertutup masker
putih. Ia menengadah ke angkasa sambil bersedekap. Menatap
tajam dari matanya yang kebiruan, seakan bersinar dalam
gelap.
Angin berembus kencang, dedaunan pohon yang tumbuh di
sepanjang pinggiran jalan itu bergerak melambai-lambai
sementara daun keringnya beterbangan ke udara, terbawa oleh
kesiur angin.
Sosok lelaki itu menoleh. Menyadari akan tatapan dari gadis
berambut coklat itu.
Bukankah dia-
***
"Aduh!"
"Tahan sedikit, ini hampir selesai."
Mobil sedan hitam klasik itu sedang melesat di atas jalanan
licin, di bawah langit malam yang mendung, disirami rintik air
hujan yang mengguyur semakin deras, dengan sayup-sayup
suara gemuruh dari angkasa dan langit yang terlihat menyala-
nyala oleh cahaya kemerahan.
Alisya meringis menahan sakit, memejamkan matanya rapat-
rapat. Sosok misterius itu sedang membalutkan perban pada
luka di betis gadis itu. Lukanya tidak parah. Hanya perlu
membersihkannya sedikit dan menghentikan pendarahan. Lelaki
itu sudah membersihkan lukanya dan sekarang hanya tinggal
melapisinya dengan kain putih.
"Selesai." Ujar sosok itu setelah mengikatkan perban.
Alisya perlahan membuka matanya, mendesis pelan. Ia
mengelus lukanya yang sudah dibalut perban itu dengan lembut.
Ia mneggigit bibir. Masih terasa sedikit pedih.
"Butuh waktu untuk luka itu pulih seperti sedia kala." Ujar
sosok lelaki itu sambil lalu.
Alisya mengangguk samar.
"Terima kasih..."
"Itu bukan masalah." Jawab sosok itu sambil membereskan
barang-barang dari kotak medis miliknya.
"Eh, itu... Kemudinya?" Tanya Alisya sambil mendongak
menatap sosok lelaki itu yang masih sibuk membereskan. Sosok
itu menoleh, memiringkan kepalanya sambil mengangkat
sebelah alis.
"Oh, itu."
"Mobil ini dilengkapi sistem auto-pilot yang dapat membuatnya
bergerak secara otomatis sesuai dengan perintah yang
diberikan. Yah, terkadang aku bosan dengan hal itu..."
Jawabnya sambil menekan beberapa tombol di sekitar kemudi
mobil.
"Nah, ini lebih baik." Ia melanjutkan ketika sudah mematikan
mode auto-pilot. Sosok itu mengambil alih kemudi, menekan
pedal gas, memacu laju mobil menjadi lebih cepat dari
sebelumnya. Menyalip sebuah mobil lain di depan. Matanya yang
merah itu menatap tajam ke depan, berkilat ditimpa cahaya
petir. Rambut hitamnya bergerak menutupi keningnya, ia
menyibaknya.
Alisya hanya diam membisu, duduk di kursi di sebelah sosok
misterius itu. Pandangannya tertunduk, menatap kosong.
Matanya berkaca-kaca. Peristiwa tadi membuatnya trauma.
Kematian lima polisi itu, ledakan, darah yang bermuncratan.
Tapi, ia seakan pernah mengalami itu. Tapi ingatan itu seperti
samar-samar terbayang dalam benaknya. Ditimpa oleh berbagai
pertanyaan-pertanyaan. Salah satu di antara itu adalah
pertanyaan yang ingin ditanyakannya pada sosok misterius itu.
Gadis itu merapikan rambutnya, menyelipkannya ke sela telinga.
Jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya. Pipinya
memerah, terasa hangat ketika ia menempelkan tangannya.
Tekadnya sudah bulat, dia akan menanyakannya.
"Eh, maaf... Bolehkah aku bertanya?" Ujar Alisya memulai
pertanyaan itu.
Sosok misterius itu menoleh ke samping.
"Hm?" Katanya.
"Eh, itu..."
"Apakah kau..."
"Lucas?"
***

Lucas mengerutkan keningnya sembari menatap jalanan padat


di depan sana. Ia menginjak pedal gas lebih dalam, membelah
keramaian di antara gemerlapnya lampu kota di bawah rintik
hujan berselimutkan kabut dan udara dingin yang menusuk
tulang. Dia tidak marah. Dia hanya sedang berpikir. Mungkin
memang salahnya karena terlalu berharap akan gadis itu.
Mungkin memang salahnya sendiri karena menaruh terlalu
banyak harapan, mimpi dan impian.
Ia masih mengingat hal itu, ketika dia menyelamatkan seorang
gadis kecil yang sedang diculik oleh sekelompok preman dalam
sebuah gang yang sempit, gelap dan lembab. Terduduk di
tepian sambil menangis dan terlihat sebuah luka gores di
pipinya. Dia mengingat hal itu dengan jelas. Tapi lihatlah, gadis
kecil yang sekarang sedang duduk di sampingnya itu bahkan
tidak mengingatnya sama sekali. Apakah ia sudah melupakan
dirinya? Apakah ia salah? Bagaimana dengan penantiannya
selama ini? Setiap hari, setiap jam, menit dan detik, menunggu
akan kembalinya gadis itu, tapi semuanya sia-sia. Berdiri di
pinggiran trotoar tempat mereka pertama kali bertemu,
menunggu. Tapi dia tidak kembali dan tidak akan pernah
kembali.
Mungkin memang benar, pertemuan satu hari itu pasti tidak
akan membekas dalam ingatannya. Maksudnya, ayolah, gadis itu
bahkan tidak mengingat namanya dan-
"Eh, itu... Bolehkah aku bertanya?"
Lucas menoleh ke samping.
"Hm?" Ia menyunggingkan seulas senyum yang membuat gadis
itu tersipu, menunduk ke bawah dengan pipi yang sedikit
memerah. Gadis itu kembali mengangkat wajahnya kembali
setelah menarik nafas sambil memperbaiki rambut panjangnya
yang sedikit berantakan.
"Itu..."
"Apakah namamu..."
"Lucas?"
Deg! Jantung Lucas berdetak kencang. Dia tahu. Dia tahu kalau
gadis itu pasti tidak akan melupakan dirinya. Pasti.
***

Sosok misterius itu menghela nafas panjang, dengan seulas


senyum tipis yang terukir di wajahnya.
"Ya." Jawabnya setelah beberapa detik lengang.
Apa? Alisya tidak percaya akan jawaban itu. Jantungnya
berdetak semakin cepat. Tidak. Bukankah dia memang
menginginkan jawaban itu? Tapi mengapa ia sendiri terkejut
akan jawabannya? Tapi, itu tidak mungkin, bukan? Anak laki-
laki berjaket merah tiga belas tahun yang lalu itu kini justru
berada tepat di sebelahnya. Bukankah dia memang
mengharapkan akan hal itu?
"Iya, kau benar." Sosok itu mengulangi. Ia menekan sebuah
tombol, mengaktifkan auto-pilot pada mobil sementara tangan
satunya lagi terjulur mendekat, menempel pada pipi Alisya,
dengan sebuah senyuman yang menenangkan laksana sinar
purnama pada langit malam yang cerah. Sentuhan tangannya
terasa dingin seperti kesiur angin pada sebuah taman bunga
yang berembus sepoi-sepoi, membuat dedaunan melambai-
lambai.
"Namaku Lucas. Hanya Lucas. Dan kaulah yang memberikan
nama itu padaku,"
"Alisya."
Alisya ikut tersenyum. Wajahnya semakin memerah tapi ia
menyukainya. Pipinya juga terasa hangat, matanya berkaca-
kaca seperti malam purnama bertaburkan bintang-gemintang
yang gemerlapan. Ia memiringkan kepalanya, menggenggam
pergelangan tangan Lucas, menatap sosok itu lurus-lurus.
"Aku senang kau masih mengingatku."
Alisya mengangguk samar.
Mereka berdua tersipu.
Lucas tertawa kecil, lalu menarik kembali tangannya. Alisya
menatapnya dengan bingung. kenapa? Padahal ia masih ingin
menikmati detik-detik itu tapi ia justru tertunduk, menatap
kosong ke bawah sambil menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. Lucas berdeham, ia juga merasakan hal yang sama.
Hening sejenak, menyisakan suara desing mesin mobil, lagu-lagu
yang diputar oleh toko-toko di sepanjang jalan dengan suara
yang amat keras. Juga sayup-sayup suara klakson mobil di
kejauhan dan tayangan berita pada layar televisi raksasa yang
tertanam pada sebuah gedung menjulang di persimpangan jalan.
"Nah, benar, bukan?" Tanya Lucas memecah lengang.
Alisya mengangkat wajahnya, ia terdiam seribu bahasa namun
raut mukanya mengisyaratkan pertanyaan balik.
"Kalimatku waktu itu? Bahwa kau pasti akan mengingatnya
suatu hari nanti?" Lucas memperjelas sambil menoleh sekilas,
ia mengambil alih kemudi dan kembali fokus ke depan.
"...Karena dijamin kau akan mengetahuinya sendiri suatu saat
nanti. Atau lebih tepatnya, mengingatnya kembali..."
Alisya mengangguk, tertawa kecil. Ia mulai membiasakan
dirinya untuk berbicara pada lelaki ini.
"Bagaimana kau bisa menjaminnya?" Tanya gadis itu masih
setengah tertawa.
"Yah, karena aku tahu." Jawab Lucas sambil angkat bahu tidak
peduli.
"Jadi?" Tanya Lucas kembali.
"Apanya?"
"Apa jawabanmu akan pernyataanku waktu itu? "pernyataan",
bukan pertanyaan..." Jelasnya sekali lagi sambil tetap
memandang ke luar jendela, menatap jalanan yang semakin sepi.
Alisya memiringkan kepalanya, mengerutkan kening. Pernyataan
apa-
"...Aku menyukaimu."
"Kau tidak perlu membalasnya untuk saat ini,"
"Karena dijamin kau akan membalasnya suatu hari nanti."
Itulah pernyataannya. Alisya kembali menunduk dengan wajah
yang memerah. Ia kembali tersipu. Ia mengingatnya. Cara lelaki
itu menatapnya saat ia mengatakan kalimat itu, juga caranya
menyelipkan setangkai mawar di sela telinganya dengan lembut,
laksana angin malam yang berembus menyejukkan, membelai
dengan halus. Membuatnya terdiam seribu bahasa. Ia masih
tidak punya jawaban akan pernyataan itu. Sungguh. Dan ia
masih tidak yakin untuk menyatakan kembali tentang
perasaannya.
Alisya menggigit bibir.
***

Dua unit mobil taktis polisi memperlambat lajunya, untuk


kemudian berhenti tepat di depan sebuah gang sempit yang
gelap dan lembab. Satu persatu polisi bergegas turun dari
mobil, beberapa di antaranya memegang senter sementara
yang lainnya mengacungkan pistol ke dalam gang yang
terselubung bayangan sana.
Pimpinan regu memberi perintah dalam kode yang
mengisyaratkan untuk masuk ke dalam gang. Para pasukan
mengangguk dalam diam.
Mereka menyorotkan senter, cahayanya menerangi segala
sesuatu yang ada di depan sembari pasukan lain dengan pistol
bersiap siaga atas segala kemungkinan. Kantor kepolisian
setempat baru saja menerima sinyal bantuan dari pasukan yang
sedang bertugas, tapi ketika mencoba untuk menghubungi lagi,
tidak ada jawaban. Pemimpin kepolisian dengan cepat
mengambil tindakan, menurunkan dua unit mobil taktis dengan
tujuh orang anggota polisi bersenjata.
Suasana lengang, hanya terdengar rintik gerimis yang
mengguyur atap-atap bangunan, mengalir turun ke bawah,
membasahi permukaan. Angin berembus kencang seketika,
menyibak sampah dan membuat rerumputan yang tumbuh di
tepi itu melambai-lambai mengikuti irama hujan. Tercium
sebuah aroma tidak sedap yang membuat perasaan para polisi
itu menjadi tidak enak. Mereka saling pandang satu sama lain,
keringat yang mengucur deras dari kening mereka, bergulir
membasahi wajah bercampur air hujan. Mereka menelan ludah.
Pemimpin regu memberikan kode untuk bersiap menembakkan
pistol ke depan sana, jika saja ada seseorang yang merupakan
pelaku dari semua ini. Pasukan berpistol mengangguk, mengerti.
Mereka melangkah memimpin barisan. Mata mereka menatap
tajam ke depan, menggigit bibir.
"Ctar!" Petir menyambar, suaranya menggelegar, beserta
cahaya kemerahan yang menyinari angkasa, menerangi sekitar,
memperjelas pandangan dalam sekejap.
Seorang polisi menjatuhkan senternya. Dia telah melihatnya.
Sorotan cahaya senter itu memperlihatkan apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Senter itu tergeletak di atas
tanah yang tergenang air yang sedikit kemerahan. Warna
merah itu tampak semakin pekat di depan sana, di bawah
tubuh-tubuh rusak yang telah terkapar membeku, dengan
darah yang mengalir keluar dari luka-lukanya juga terciprat
pada dinding tembok yang penuh grafiti itu. Penuh dengan
noda-noda merah gelap yang kental.
"Ctar!" Petir menyambar sekali lagi, suaranya seakan
mengguncang bumi. Hujan turun semakin deras, bagaikan
jutaan anak panah yang ditembakkan bertubi-tubi dari
angkasa, mengguyur dengan lebat bersama kesiur angin yang
mengubah arahnya. Samar-samar terdengar suara klakson truk
kontainer dari kejauhan, melenguh panjang.
Para polisi itu menunduk dalam-dalam dengan mata terpejam.
Menghela nafas panjang sembari mengutuk dalam hati.
***

"A-aliansi?"
"Itu benar." Jawab lelaki dengan hoodie putih itu tanpa
menoleh sedikit pun. Ia bersandar pada tiang lampu taman
sementara gadis dengan headphone itu duduk di bangku
panjang di sampingnya, di bawah sorot lampu.
"Aku tahu kalau kau adalah utusan dari Tuan Gen." Tambah
sosok lelaki itu dengan intonasi datar. Ia mendongak, menatap
langit mendung gerimis dengan cahaya kilat menghiasi angkasa.
Ia kemudian kembali menunduk, menyelipkan tangannya ke saku
celana. Menghela nafas.
"Kalian juga sedang mengincar "dia", bukan?" Tanyanya sambil
melirik, matanya yang biru tampak menyala dalam selubung
bayangan. Menyorot tajam.
Gadis itu tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Mengangguk.
"Kalau boleh tahu, siapa yang menyewamu untuk ini?" Tanya
gadis itu setelah beberapa detik lengang. Ia mengangkat
sebelah alis, sedikit tersenyum.
Angin malam berembus kencang, mengubah arah rintik gerimis,
menerpa wajah dengan dinginnya air. Selarik petir turun
menyambar, dengan cahaya yang kemerahan, disusul suara
halilintar yang menggelegar. Hujan kemudian turun semakin
deras, bersama dengan udara dingin yang seakan menusuk
tulang
"Seseorang." Jawab sosok itu singkat seperti ia tidak ingin
memperjelas siapa "seseorang" itu.
"Jadi, apa jawabanmu akan tawaran aliansi ini?" Sosok lelaki itu
bertanya balik, mengalihkan pembicaraan, dan kali ini dia
menoleh, menatap gadis itu lurus-lurus. Kesiur angin membuat
tudung jaketnya bergerak-gerak hampir terbuka, tapi ia
dengan cepat merapikannya kembali.
Gadis itu tertawa kecil, tersenyum.
"Tentu. Aku menerimanya." Jawabnya sambil berdiri, ia
terpaksa sedikit mendongak untuk balas menatap sosok lelaki
di sampingnya itu.
"Bagus." Sosok itu menanggapi. Ia membuka masker putihnya,
memperlihatkan seulas senyum tipis yang terukir di wajahnya.
Sebuah senyum yang menenangkan, laksana sinar rembulan tapi
di dalam gumpalan awan-awan gelap badai yang suram. Ia juga
kemudian membuka tudung jaketnya, menunjukkan rambutnya
yang berwarna keemasan, berkibar diterpa embusan angin.
Beberapa helai tampak menempel di keningnya, basah oleh
rintik hujan. Matanya yang biru tampak menyala dalam
kegelapan, seperti warna langit biru yang cerah pada siang
hari.
Mata gadis itu melebar, berbinar-binar. Pipinya sedikit
memerah.
Sosok lelaki itu menjulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Kau bisa memanggilku White,"
"Catrina."
Bagaimana dia tahu namaku?
***

Anda mungkin juga menyukai