"A-aliansi?"
"Itu benar." Jawab lelaki dengan hoodie putih itu tanpa
menoleh sedikit pun. Ia bersandar pada tiang lampu taman
sementara gadis dengan headphone itu duduk di bangku
panjang di sampingnya, di bawah sorot lampu.
"Aku tahu kalau kau adalah utusan dari Tuan Gen." Tambah
sosok lelaki itu dengan intonasi datar. Ia mendongak, menatap
langit mendung gerimis dengan cahaya kilat menghiasi angkasa.
Ia kemudian kembali menunduk, menyelipkan tangannya ke saku
celana. Menghela nafas.
"Kalian juga sedang mengincar "dia", bukan?" Tanyanya sambil
melirik, matanya yang biru tampak menyala dalam selubung
bayangan. Menyorot tajam.
Gadis itu tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Mengangguk.
"Kalau boleh tahu, siapa yang menyewamu untuk ini?" Tanya
gadis itu setelah beberapa detik lengang. Ia mengangkat
sebelah alis, sedikit tersenyum.
Angin malam berembus kencang, mengubah arah rintik gerimis,
menerpa wajah dengan dinginnya air. Selarik petir turun
menyambar, dengan cahaya yang kemerahan, disusul suara
halilintar yang menggelegar. Hujan kemudian turun semakin
deras, bersama dengan udara dingin yang seakan menusuk
tulang
"Seseorang." Jawab sosok itu singkat seperti ia tidak ingin
memperjelas siapa "seseorang" itu.
"Jadi, apa jawabanmu akan tawaran aliansi ini?" Sosok lelaki itu
bertanya balik, mengalihkan pembicaraan, dan kali ini dia
menoleh, menatap gadis itu lurus-lurus. Kesiur angin membuat
tudung jaketnya bergerak-gerak hampir terbuka, tapi ia
dengan cepat merapikannya kembali.
Gadis itu tertawa kecil, tersenyum.
"Tentu. Aku menerimanya." Jawabnya sambil berdiri, ia
terpaksa sedikit mendongak untuk balas menatap sosok lelaki
di sampingnya itu.
"Bagus." Sosok itu menanggapi. Ia membuka masker putihnya,
memperlihatkan seulas senyum tipis yang terukir di wajahnya.
Sebuah senyum yang menenangkan, laksana sinar rembulan tapi
di dalam gumpalan awan-awan gelap badai yang suram. Ia juga
kemudian membuka tudung jaketnya, menunjukkan rambutnya
yang berwarna keemasan, berkibar diterpa embusan angin.
Beberapa helai tampak menempel di keningnya, basah oleh
rintik hujan. Matanya yang biru tampak menyala dalam
kegelapan, seperti warna langit biru yang cerah pada siang
hari.
Mata gadis itu melebar, berbinar-binar. Pipinya sedikit
memerah.
Sosok lelaki itu menjulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Kau bisa memanggilku White,"
"Catrina."
Bagaimana dia tahu namaku?
***