Anda di halaman 1dari 2

Abuya, Bagaimana Kabarmu?

Hampir satu setengah jam kau tergugu di dalam mobil colt mini jurusan Bogor-Sukabumi dan kendaraan
itu tak kunjung bergerak meski satu putaran roda. Kolong langit di Terminal Baranangsiang hari itu
terasa begitu membakar ubun-ubun kepalamu. Ia melahirkan butiran tirta yang membanjiri pelipismu,
tengkukmu, punggungmu dan area lipatan dalam tubuhmu. Kesalahan pertamamu, kau duduk di bangku
paling belakang, di samping lelaki paruh baya pengumpat. Kau lupa, duduk di posisi paling akhir justru
hanya akan mengusir ketenangan yang kauharapkan. Kesalahan kedua, kau gunakan jaket kulit
pemberian seseorang yang iba melihatmu tadi malam saat kau meringkuk di pelataran sebuah masjid.
Keadaanmu yang seperti gelandangan tak berumah membuatnya yakin untuk merelakan pakaian yang ia
kenakan untuk kau pakai. Selanjutnya, kau tanggalkan kaos dalammu yang lusuh di bak sampah, dan
sialnya baru siang hari ini kau sesali Bogor tak sedingin yang pernah kau rasakan. Ia masih sama seperti
julukannya, "Kota Hujan", namun bukan lagi air yang berjatuhan, tapi terik yang luruh begitu derasnya.

"mang, geura atuh! kapan mau jalannya?" ujar salah satu penumpang.

"he'euh, geus pinuh ieu teh" sahut penumpang yang lain.

Kau hanya tersenyum kecut. Seperti kebiasaanya sejak dulu, colt mini L300 usang itu tetap bergeming di
tempat sampai ia benar-benar sesak dijejali penumpang. Mengabaikan sahutan demi sahutan yang akan
tenggelam dengan sendirinya. Masuk penumpang yang ke tiga puluh tiga untuk kapasitas muatan lima
belas orang barulah mobil ini berjalan. Pantas bila kebanyakan orang menjulukinya "Mobil Setan", sebab
hobinya yang suka ugal-ugalan, sumpah serapah yang kerap terlontar dari mulut sang sopir di tiap-tiap
persimpangan, dan tingkah lakunya yang selalu menerabas perlintasan dan aturan. Sepintas, miniatur
neraka jahanam diperlihatkan dari dalam kendaraan berukuran. Panas Kota Bogor serta sesak dan
pengapnya Mobil Setan, seperempat azab dalam perjalanan yang kau rasakan bertambah jadi dua kali
lipat. Tapi mau tidak mau, seisi penumpang kepalang tidak punya pilihan, termasuk engkau. dibanding
yang lain, ia menyediakan layanan antar sesuai estimasi waktu yang kau butuhkan, tapi tidak
memberimu jaminan keselamatan. Karena alasan butuh cepat itulah kaupilih moda trasnportasi ini.

Mobil Setan itupun berjalan.

Dari celah jendela yang sedikit terbuka angin mengibaskan rambutmu yang lepek oleh keringat.
Sepersekian detik kau coba memejamkan kedua matamu. Kau abaikan celoteh lelaki paruh baya
disampingmu yang mengumpat, memaki-maki sang supir karena terlalu kasar membanting setir ke bahu
kiri jalan. Dua sejoli di depannya tampak saling menggenggam tangan. Seorang nenek lanjut usia tak
henti-hentinya melafalkan zikir, sesekali ikut menyembur hardikan pada sang sopir. Yang lain juga turut
melontarkan suara. Kau tahu betul itu tidak akan mengurangi laju kecepatan mobilnya. Sang sopir akan
tetap melengos dengan telinga yang sudah kebal makian.

Sambil menikmati ayunan kemudi, sayup-sayup kau mendengar sebuah lagu dari radio yang disetel
pelan oleh sang sopir. Kau tidak begitu hapal keseluruhan liriknya. Lagu "Budak Jalanan" dari Kustian
hanya kau ingat bagian reff-nya. Ia begitu familiar sebab pernah viral pada masanya.

TImana timana atuh timana, diri kuring timana atuh asalna..

Kau resapi penggalan lagu itu dalam-dalam, bak menghirup asap sepuntung rokok ke dalam paru-
parumu. Sebentar saja, kau sudah terdampar di hamparan ingatan masa lalu. Kau bernostalgia di
suasana dan tujuan yang sama, di dalam Mobil Setan. Bedanya, saat itu kau ditemani Abahmu untuk
pertama kalinya, sedangkan sekarang kau jalan sendirian. Tempat itulah yang menjadi tujuanmu saat itu
dan sekarang, ke Pesantren.

Anda mungkin juga menyukai