Anda di halaman 1dari 75

Catatan anak negeri

"Berjuanglah demi sebuah pembangunan"

(Rifki Ambari duila)


Dia kembali

Angin bertiup membekukan pagi yang tengah berada pada suhu terdinginnya. Seorang lelaki
Kumal yang sepertinya tak mengurusi dirinya, rambut yang hampir panjang sebahu kumis dan
jenggot yang mulai tebal takkaruan. Dia baru saja bangkit dari tidurnya yang penuh pikiran, dia
menebak berapa lama ia tidur kira kira hanya empat jam kurang lebih. Buku buku demokrasi
yang bertumpuk berserakan dikamar indekosnya tak diurusi. Ia harus bangun agak awal, ini
waktunya ia pulang kampung setelah berkelana beberapa tahun lamanya. Ia harus melepas
segala kesehariannya di kota yang penuh hingar bingar ini untuk kembali kepada kampung
halamannya. Lelaki itu membereskan kamarnya merapikan buku buku yang begitu berserakan,
sesekali membaca judul dan memasukkannya dalam koper coklat kumalnya. Ia memasukkan
bajunya dan beberapa potong celananya, merapikan rambut panjangnya, mencukur sedikit
jenggot dan kumisnya serta mengecek sepotong tiket kapal yang dibelinya Minggu lalu melalui
aplikasi online.

Jam menunjukkan pukul 08.00 WIT, sebentar lagi keberangkatan kapal, kira kira sejam lagi. ia
harus menyegerakan langkahnya menyusuri emperan indekost menuju jalan raya sesekali
menengok ke kiri kanan untuk melihat angkot. Al hasil sebuah angkot berwarna merah
diberhentikannya, ia memasukkan koper dan tas ranselnya bergegas naik dan menuju
pelabuhan.

Lumayan jauh jarak bandara dari kostnya, sekitar 30 menit jauhnya. Lelaki itu kemudian duduk
dengan menyenderkan kepalanya pada jendela angkot, melihat sudut kota yang menjadi
tempatnya beraktivitas, jalanan tempat yang sering ia lalui, gedung universitas tempat ia
menghabiskan tahun tahun pendidikannya. Jalan hidupnya begitu singkat pikirnya, dan ujung
dari perjalanannya adalah kembali kepada kampung halaman, memang betul rumah adalah
tempat perjalanan terakhir tapi baginya belum berakhir perjalanannya disini. Tapi karna dirinya
ditelpon sanak keluarga dikampung ia harus kembali dengan harus segerakan dirinya.

Pikirannya buyar seketika kala sopir angkot memainkan lagu klasik...

"Hei!!!!!, Ayo lompat jangan diam disitu saja" teriak seorang lelaki yang tengah menyiapkan
ancang ancang untuk melompat dari pinggiran sungai. Lelaki berkulit hitam yang melihat
dengan girang seorang lelaki yang hanya duduk termangu menatap awan.

"Sudahlah. Berhenti menatap awannya apa bentuk dia?"

"Eh icuk diamlah, aku sedang berusaha mengaitkan mimpiku pada awan itu"

Icuk hanya terdiam menatap sahabatnya sambil sesekali melihat kearah awan tanda bingung. Ia
kemudian mendekati anak itu dan "bruuuuk" terbanting ditengah sungai.
Icuk hanya terbahak bahak sembari menahan perutnya. Hal terlucu dan terbahagia kala itu
adalah bermain bersama seorang sahabat.

"Dek dek, udah sampai" sopir angkot itu membangunkan lelaki tumpangannya itu,
membuyarkan mimpinya yang tengah berada pada puncak mimpi.

"Oh iya pak" lelaki itupun membayar angkotnya sembari berjalan menuju bandara.

"Ah dasar si icuk, mimpiku belum selesai ku ikat" batin lelaki itu sembari tersenyum tanda lucu.
Itu adalah ingatannya beberapa tahun lalu bersama sahabatnya, sahabat yang senantiasa
bersama dengannya bersekolah bersama, mengaji serta sholat bersama.

Jika akhir pekan, keduanya akan menghabiskan waktu di sungai dekat rumahnya memancing
ikan gabus, berenang bersama hingga tengah hari sesekali keduanya dimarahi mamahnya.

"Kenangan yang indah" batin lelaki itu.

Beberapa menit berlalu, lelaki inipun menaiki kapal yang tengah menyiapkan diri untuk dinaiki
penumpang. Lelaki ini sebenarnya ingin menaiki pesawat namun karna keterbatasan ekonomi
membuatnya memilih menaiki kapal feri untuk kembali ke kampung halamannya.

Senja semakin membakar bumantara membawa sore menuju malam pekat, kapal feri
membelah laut membawa lelaki itu menuju kampung penuh kenangan.

***

Seminggu berlalu, tinggal beberapa jam lagi kapalnya akan berlabuh. Sejam lagi ia akan
menyaksikan kampung halaman yang ditinggalkannya sekitar beberapa tahun lalu. Ia ingat
betul bagaimana suasana dan hiruk pikuk kampungnya. Ia telah membayangkan betapa
senangnya menjumpai ayah ibu juga saudaranya. Ini adalah kali pertama setelah beberapa lama
tak bertemu.

Ia kemudian bergegas turun dengan penuh semangat, lelaki ini menghirup dalam dalam udara
tanah kelahirannyam. Meskipun pelabuhan ini berada pada ibukota kabupaten kampungnya
udara di kabupaten masih sama dengan kampungnya.

Lelaki ini menaiki bus, menuju kampungnya yang berjarak kurang lebih 90km kala itu
transportasi telah lancar, ia ingat betul dulu ketika ia pertama ingin berangkat kuliah ia harus
menanti angkot di depan rumahnya. Namun, sekarang telah banyak tempat persinggahan
angkot. Lelaki itu merogoh sakunya, memeriksa uang hasil penyiaran radio bulan lalu yang telah
ia buka untuk tiket kapal apakah masih ada ataukah tidak. Ia berencana untuk memberikan oleh
oleh untuk keluarganya.
"Adek dari mana? Saya lihat lihat sepertinya adek ini dari kampung saya yah?" Seorang lelaki
yang tengah mengendarai sepeda motor, seorang tukang ojek yang ditumpangi lelaki ini. Yang
mengantarnya menuju terminal, sebab ia telah selesai membelikan oleh oleh untuk
keluarganya, meski dengan uang yang pas Pasan.

"Memangnya bapak dari mana?" Kata lelaki ini dengan antusias.

Tukang ojek itupun menjelaskan tentang kampung yang katanya sama dengan kampung lelaki
ini, dia mengamini perkataan tukang ojek ini.

"Kamu baru lulus kuliah? Mau kerja dimana?"

"Dikampung pak, katanya kampung kita sudah maju kan?. Kata bapak saya Disni pendidikannya
berkembang. Jadi lebih baik kerja Disni"

Supir ojek itu diam sebentar, lelaki yang menjadi penumpangnya diam sekejap. Bingung dengan
diamnya lelaki yang mengendarai motor ini.

"Dari luar, memang terlihat maju. Tapi, belum tentu didalamnya nak. Begitulah kehidupan,
terkadang segala sesuatu terlihat indah namun menyimpan sejuta lara"

Lelaki dibelakangnya terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan lelaki didepannya
ini. Apa maksudnya? Apakah kata maju itu hanya sebuah simbol? Pertanyaan itu muncul
berkeliaran pada semesta lelaki ini.

"Terima kasih nak. Semoga kamu bisa memajukan pendidikan di kampung kita" kata lelaki paru
Bayah dengan wajah kurus kerontang tersenyum dan berlalu. Memacu jalanan, mencari nafkah.

Setelah menanti beberapa menit, nampaknya bus angkutan yang mengantar penumpang
menuju kampungnya belum juga muncul. Entahlah mengapa. Dia duduk di bangku yang dibuat
dari semen seperti kursi, dengan menjinjing koper hitamnya dengan tas ransel merah terpaku
dipundaknya.

"Permisi mas? Mas tidak melihat Buku note saya?" Kata seorang wanita yang tidak sengaja
mengagetkan lelaki ini.

"Maaf mbak, saya tidak melihatnya. Mbaknya duduk dimana tadi?"

Wanita itu menjelaskan bahwa ia duduk tepat di bangku yang diduduki lelaki ini. Sementara ia
terburu harus menaiki bus angkutan yang hendak berangkat. Ia ingin mencatat catatan pada
buku notenya tetapi ketika ia ingin mengambilnya buku itu tak ada.
"Ini?" Kata lelaki itu yang mencari buku note bersampul kuning terang itu. Ia menemukannya
tergeletak di belakang bangku itu.

"Terima kasih mas. Maaf saya harus buru buru, angkutannya segera berangkat" wanita itu
berlalu dengan cepat. Wanita dengan tubuh kurus, berwajah tirus putih dengan senyum indah
dibaluti hijab hitam legam itu berlalu memasuki bus yang tak begitu jauh jaraknya dari tempat
duduk lelaki ini.

Selang beberapa menit, bus yang dinanti lelaki inipun datang membuatnya bergerak cepat agar
tak kehabisan bangku

Bus angkutan umum ini memacu jalan, meninggalkan terminal tua dengan selokan yang
dipenuhi sampah juga becek, entahlah apakah sering dibersihkan ataukah tidak. Lelaki ini duduk
pada jendela bus. Diluarnya tersaji pemandangan indah, pepohonan yang hijau ditepi jalan,
rumah rumah yang tertata rapih. Gerimis turun membasahi bumi, dengan senja yang membawa
hari menuju malam. Lelaki itu terlelap, dia capek. Capek dengan kapal yang memualkan,
menanti angkot yang lama juga duduk terhimpit dengan seorang lelaki berbadan besar dan
berkepala botak disampingnya.

"Apa cita cita kalian?" Seorang wanita cantik yang telah berkepala tiga berdiri dengan anggun
didepan siswa siswi berseragam SMP.

Seluruh siswa mengangkat tangan dengan gembira, cita cita semua siswa rata rata sama.
Namun, berbeda dengan seorang lelaki yang duduk paling depan. Dia terdiam kaku, tak
mengangkat tangan dan menatap papan tulis yang telah usang Dengan tatapan kosong.

"Aksara lestari!" Wanita yang berdiri didepan, yang mereka panggil Bu guru itu mengagetkan
anak itu.

"Eh. Bu" dia kemudian cengengesan, ditertawai teman sekelas sebab ekspresinya yang
menggelikan.

"Apa cita citamu?"

"Eh.. hem. Itu..."

"Kamu tidak punya cita cita?"

"Punya Bu". Lelaki itu kemudian menjelaskan bahwa dia memiliki cita cita yang tak sama
dengan teman teman sekelasnya.

"Say ingin menjadi orang yang berguna Bu. Yang tidak tergantung dengan profesi. Karna saya
takut memegang sebuah profesi tapi tak ada sedikitpun manfaat dari profesi saya Bu"
Jawaban lelaki itu mengagetkan wanita didepannya. Entah apa yang dipikirkan lelaki yang
masih berusia kurang lebih tiga belas tahun? Bahwa ia harus menjadi seseorang yang
bermanfaat tanpa bergantung pada profesi? Ia tak sama dengan beberapa temannya yang
berkeinginan menjadi seorang tentara, guru, dokter, pegawai bank dan beberapa cita cita yang
dengan semangat di tuturkan. Ia sedikit berbeda.

Wanita didepan mereka berdecak kagum, meskipun teman teman sekelasnya tak mengerti apa
yang dikatakan lelaki ini, anak seusianya selalu memimpikan cita cita yang tinggi, profesi yang
bagus dan sebagainya. Namun, perihal menjadi dan menginginkan seperti mereka tak menjadi
impian anak ini, anak yang bernama jelas dan lengkap Aksara lestari. Dia begitu dewasa, begitu
berpikiran terbuka dan berpikiran jauh ke depan. Tak heran bila dengan lantang ia
mengemukakan pendapat mengenai mimpinya itu.

"Maaf sudah sampai nak" lelaki itu terbangun dari tidurnya, dari angannya akan sebuah kisah
yang masih menari diantara semesta nya. Angan yang membawanya hingga jatuh ke dasar
mimpi, dimana beberapa kejadian lalu saling mengantri untuk diputarkan kembali.

Lelaki itu kemudian turun, dia menghirup udara dalam dalam. Ini adalah pijakan kaki pertama
lelaki ini setelah sekian lama berkelana. Nampaknya ada beberapa perubahan kecil yang
terlihat nyata. Tanah lapang belakang tetangganya yang menjadi tempatnya bermain terlihat
dipenuhi dengan beberapa bangun rumah yang terlihat belum terlalu lama di bangun. Pohon
mangga depan rumahnya yang dulu berbuah lebat dan rimbun tak dilihatnya lagi.

"Assalamualaikum?" Lelaki itu masuk diantara rumah yang berjejer rapih ditepi jalan. Rumah
yang mungkin telah berusia puluhan tahun, dengan cat tembok cokelat. Lelaki itu, dengan hati
penuh riang gembira masuk kedalamnya, ke dalam rumah yang menjadi tempatnya terbentuk,
sontak irama akan kisah lamanya berputar di setiap penjuru ruangannya.

Suara jawaban salam dari seorang wanita tua yang telah renta. Wanita yang ia panggil ibu itu
terkejut dan memeluk anak lelaki sulungnya itu. Kaget dan tak dapat berucap sepatah katapun,
Aksa berhasil memberikan kejutan untuk wanita itu.

"Kamu tidak bilang bilang kalau mau datang. Ibu bisa persiapan masak untukmu nak" wanita itu
menuntut anaknya menuju meja makan sembari membuat teh hangat.

"Dimana bapak? Sinta?"

"Bapak sedang ke kebun? Kalau adikmu Sinta sedang mengaji di masjid"

Lelaki itu sedikit terkejut heran. Entah apa yang ia heran kan dari perkataan wanita didepannya
itu.
"Nanti baru ditanyakan sekarang istirahat dulu"

Dengan cepat lelaki itu mengikuti perintah wanita didepannya. Lelaki itu adalah anak sulung
dari dua saudara. Ia hanya memiliki satu saudara perempuan, masih sekolah dasar. Ia
mengganti pakaiannya setelah membersihkan diri, membaringkan tubuhnya yang begitu penat
pada kasur yang telah usang. Ia membatin bahwa ia telah lama merindukan tempat ini. Tempat
dimana ia membagikan segalanya, sedih maupun bahagia. Bahkan bila setan di ujung kamar ini
dapat berbicara, lelaki itu ingin sekali memintanya menceritakan kembali bagaimana ia
membagi segalanya di setiap sudut kamar ini.

Plafon putih yang telah usang menjadi layar tontonan lelaki yang tengah berbaring. Sudah
sejam ia hanya memperhatikan plafon itu, pertanyaan memenuhi pikiran lelaki ini. Masih
terngiang perkataan lelaki tukang ojek tadi. "Tentang kemajuan hanya kata". Semakin dipikirkan
semakin membuat dirinya tak dapat memejamkan sedikitpun matanya. Bagi seseorang pemikir
seperti dirinya, menghindari sebuah pertanyaan yang menyerang adalah hal yang paling sulit
dilakukan.

"Kakaaaak..." Suara melengking tinggi itu mengagetkan lelaki ini.

"Kak, Sinta pulang" anak kecil itu menyerbu pintu kamar, memeluk lelaki yang tengah terbaring
ditempat tidur.

"Apa kabar kak, sudah lama kita tak bertemu. Eh, Sinta kira bakal banyak rambut di wajah
kakak, kakak cukur yah?" anak kecil itu mendengus kesal ditambah dengan beberapa
pertanyaan rindu lainnya kepada lelaki yang ia sebut kakak itu.

"Kamu apa kabar? Gimana sekolahnya?"

"Alhamdulillah baik. Ngajinya gimana?" Lelaki itu kembali bertanya dengan menanyakan
aktivitas yang baru saja dilakukan adiknya itu . Dengan antuasias Sinta menjawab,
"Alhamdulillah baik kak, ngajinya juga lancar. Eh sebelum lulus nanti Sinta ada acara khataman
loh" jelas Sinta dengan penuh bangga. Percakapan keduanya pun mengalir luas hingga
beberapa hal, seperti sekolahnya Sinta, dan hal hal lain yang dulu sering di lakukan lelaki itu. Ia
hanya ingin memastikan apakah anak anak jaman sekarang masih sama kegiatannya dengan
dirinya dulu atau kah sudah berbeda.

"Ya sudah, kamu ganti baju. Kita siap siap untuk sholat Magrib" kala itu langit tengah menyapa
malam. Percakapan antara adik kakak itu tak disangka telah menghabiskan beberapa jam.
Pekerjaan baru

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, perkenalkan nama saya Aksara lestari. Saya


guru baru bahasa indonesia kalian yang baru, menggantikan pak Anis yang sudah tidak lagi
mengajar disini" lelaki itu bernama Aksara lestari. Seorang sarjana muda jurusan sastra
Indonesia dari salah satu kampus di tanah jawa,yang Kini tengah mengabdikan diri pada sebuah
sekolah menengah atas dikampungnya. Salah satu sekolah yang juga dulu menjadi tempatnya
belajar.

Seluruh siswa menatap dengan wajah antusias, Terkecuali seorang siswa lelaki yang duduk
paling belakang, ia hanya terdiam menatap lantai kelas, sepertinya lantai itu lebih menarik
dibanding guru baru yang masih muda ini. Padahal wajah lelaki itu kini tak semenakutkan
seperti beberapa Minggu lalu. Janggut dan setiap bulu yang telah tumbuh liar diwajahnya telah
dicukurnya hingga bersih dan rapih.

"Kamu" sebuah panggilan tertuju kepada anak itu. "Kamu kenapa?" Pertanyaan itu dilontarkan
oleh Aksa kepada siswa paling belakang yang sedari tadi terlihat murung, tak ada sedikitpun
semangat.

"Ttiidak tidak apa apa pak" anak itu kemudian tertunduk malu.

"Jika kamu tidak senang bapak masuk, kamu bisa menyuruh bapak keluar" anak itu semakin
tertunduk, wajah bulatnya memerah seperti kepiting rebus. Aksa berusaha meyakinkan siswa
siswa di sana, ia tak mau kehadirannya cuman sebatas menerangkan pelajaran tanpa ada
interaksi baik.

"Kenapa pak Anis tidak lagi mengajar pak??" Seorang siswa paling depan bertanya dengan
mengangkat tangan. Memecah ketegangan. Sambutan hangat meski melalui sebuah
pertanyaan adalah pembuka bagi percakapan dan interaksi yang baik. Tapi, pertanyaan kali ini
sedikit berat.

"Saya dengar Karena pak Anis sudah tak betah Karena anak anak disini keras kepala". Seorang
siswa perempuan menjawab. Aksa memang tidak tahu pasti kenapa pak Anis berhenti mengajar
disini.

"Untuk pertanyaan itu mungkin bisa ditanyakan kepada kepala sekolah? Saya kurang tahu"
hanya itu jawaban yang bisa diberikan Aksa. Diikuti Dengan senyum khasnya.
Usai perkenalan itu, percakapan beranjak kepada tempat kuliah, tempat tinggal dan lain
sebagainya. Kala itu, lelaki yang disapa Aksa ini mengabdi pada sebuah sekolah negeri yang
menampung ratusan siswa, tidak terlalu banyak sebab sekarang telah banyak sekolah yang ada
disetiap kampung, tak seperti dulu saat Aksa masih sekolah, belum ada sistem zonasi seperti
sekarang ini, tak urung bila di tempat Aksa sekolah dahulu siswanya jauh lebih banyak
dibanding sekarang. Ada beberapa hal yang membuat Aksa juga cukup kaget dengan sekolah
ini, bukan hanya jumlah siswanya yang terbilang tak seperti dahulu banyaknya, Aksa kaget
dengan beberapa ruang yang telah usang plafonnya, pintu yang tidak lagi memiliki gagang pintu
dan gembok begitu juga dengan plafon ruangan ada yang beberapanya terlihat rapuh dan juga
genteng ruangan yang semakin menghitam menakutkan. Dia kaget sebab ini adalah salah satu
sekolah negeri yang dibiayai pemerintah, kenapa wujudnya seperti ini? Seperti sekolah yang
berada pada pelosok pulau yang jauh tak terjangkau pemerintah.

Sehari sebelum Aksa masuk disekolah ini, ia lebih dulu telah mendaftarkan diri kepada kepala
sekolah, meskipun melalui ayahnya. Ia mendapati berita dari ayahnya mengenai dibutuhkannya
seorang guru bahasa Indonesia di sekolah ini melalui ayahnya pula, yang dengan semangat
memaksa Aksa untuk masuk mengajar di sekolah ini. Aksa dengan siap menerimanya. Meski
ada beberapa diskusi dahulu. Sebelumnya Aksa sudah memiliki keinginan mengajar di
tempatnya kuliah, namun ia kembali ingat bahwa ia juga harus membangun orang orang di
tempatnya dilahirkan. Bahwa, ia teringat kembali mengenai pepatah yang ayahnya pernah
katakan padanya ketika pertama kali ingin pergi kuliah, "Ingat, harus tetap semangat apapun
rintangannya. Jangan lupa kalau sudah sukses balik lagi, kita punya tanggung jawab untuk sama
sama memajukan tempat kita dilahirkan ini." Pepatah itu menjadi alasan paling kuat bagi Aksa,
dan juga menjadi dorongan baginya untuk menerima tawaran ayahnya agar mau untuk
mengajar disini. Tapi sekali lagi, Ekspetasi mengenai kampung yang maju, pendidikan yang juga
terbilang lebih baik seakan dipatahkan oleh realita yang tersaji. Ada beberapa hal yang mesti
dibenahi lagi. Dan sekali lagi Benar kata tukang ojek waktu itu.

Setelah kegiatan mengajar Aksa pamit lebih dulu, ia harus mengunjungi puskesmas untuk
membelikan obat pesanan ibunya. Untuk sinta yang tidak enak badan sebab ia seharian lalu
bermain air sungai di ujung kampungnya.

Jarak antara sekolah dengan pusat kesehatan masyarakat itu cukup jauh, kira kira 500m dari
sekolah tempat Aksa mengajar. Ia harus lebih awal sebab setelah ia membeli obat ia harus
segera kembali ke rumah. Matahari kala itu tengah berada tepat diatas kepala, menusuk kulit
lelaki dengan baju putih bersih dan celana hitam khas seorang pendidik. Jalanan kala itu tak
terlalu ramai, mungkin sebab ini siang hari dan matahari begitu terik membuat orang orang
lebih suka duduk dirumah ataukah mengapa. Sesekali motor berlalu lalang, dengan ssntai dan
sesekali terburu.

Kecamatan Maju

"Assalamualaikum Bu. Saya mau membeli obat" Aksa mengagetkan seorang wanita yang tengah
asyik memainkan handphonenya, dia adalah penjaga apotik puskesmas itu. Aksa bahkan harus
mengeraskan suara sedikit agar bisa menyadarkan wanita dengan alis tebal palsu dan bibir
meronanya.

"Waalaikumussalam. Obat apa dek?" Wanita dengan sedikit ekspresi ketus itu melayani Aksa
yang sedari tadi memperhatikan setiap sisi puskesmas ini. Dia cukup pangling melihat setiap
sisinya. Cat yang semakin layu, bau selokan disamping ruang begitu menyengat, dan wanita
wanita yang tertawa riang di sudut terbelakang. Tidak menjaga keadaan pasien yang mungkin
tengah terkapar dibalik ruang. Dia kaget ketika melihat puskesmas yang dari luar tampak indah
bersih namun semakin kedalam semakin terlihat sebagai tempat usang yang tak terawat.

"Berapa mbak?"

Aksa mengeluarkan uang pecahan sepuluh ribu dua lembar, obat obatan disini terbilang cukup
besar harganya. Padahal ia telah mempersiapkan uang untuk membeli roti kepada Sinta,
setelah melihat harga obat yang ditempel di depan etalase penyimpanan obat yang telah pudar
tinta printernya. Jika dibandingkan harganya dengan di Jawa mungkin dua kali lipat besarnya.

Aksa kemudian berlalu dengan hati penuh bertanya, masih bisakah ini dikatakan maju? Lantas
apa penyebabnya? Bahkan setiap berita, setiap perkataan selalu terpampang jelas "pemekaran
telah terjadi dibeberapa daerah pelosok diseluruh Nusantara" begitupun dengan perkataan
yang beredar di media sosial bahwa kampungnya telah menyandang status maju. Dia bahkan
tambah bertanya tentang pemecatan ayahnya selaku pegawai kantor camat. Bahkan tak ada
kesalahan ataupun alasan pasti hanya sebab bapak sudah tua, entahlah apa yang ada dipikiran
atasannya. Satu yang bertambah bingung dan membuatnya semakin bertanya-tanya adalah
pengangkatan kepala camat yang bukanlah seseorang yang telah lama menggandrungi
organisasi, melainkan seseorang yang hanya berlabelkan pejabat. Padahal semestinya
seseorang yang bisa diangkat menjadi pemimpin adalah dia yang telah berkontribusi dalam
organisasi.

Segala cerita itu diceritakan ayah Aksa ketika tengah mengobrol malam tadi. Ayahnya pun
memang bukanlah seseorang yang terpelajar tetapi ayahnya paham dengan kinerja organisasi.
Bahkan ayahnya bercerita bahwa dirinya menolak mentah-mentah diberikan jabatan sekretaris
camat yang padahal itu bukanlah tempat yang dicalonkan dirinya.
Aksa membayangkan itu semua dan keluar dari puskesmas itu, sembari memperhatikan Lamat
Lamat kampungnya. Kampung yang kini tengah menjadi tanda tanya besar baginya. Entahlah,
bagaimana jawaban yang akan ia peroleh nanti. Namun, satu hal yang pasti semua hanya
tergantung waktu. Jika benar apa yang ia tanyakan memiliki jawaban yang memang benar, tak
masalah. Mungkin itu adalah solusi dari permasalahan itu sendiri.

***

Sepekan berlalu, nampaknya Aksa semakin menikmati perubahan kampungnya itu. Ia


menghabiskan waktunya, pada sebuah Tribun yang menghadap langsung kejalan raya. Dia
menghabiskan waktunya dengan sesekali membaca, memperhatikan Lamat Lamat kampungnya
bahkan menghayal. Aksa adalah lelaki yang mungkin jarang kini ditemui dikampungnya, sebab
dia adalah satu dari sekian banyak anak anak yang turut andil dalam setiap pembangunan.
Salah satu contohnya ialah beberapa hari lalu, saat menghadiri rapat untuk pembangunan
sebuah Rumah sakit, yang hal itu memancing pro dan kontra bagi masyarakat.

"Kecamatan kita, dipilih sebagai tempat pembangunan pabrik minyak" kata seorang pejabat
yang dimasyarakat memanggilnya kepala kecamatan.

Kala itu, ruangan balai desa yang dipenuhi oleh warga begitu riuh. Sebagian warga setuju dan
sebagian lainnya tak setuju. Sorak Sorai memecah kala perkataan itu dilontarkan. Namun, kala
hening seorang lelaki yang dimintai pendapat sebab ia mengangkat tangan saat dipersilahkan
memberikan pernyataan.

"Terima kasih atas kesempatannya. Saya disini ingin menyampaikan argumentasi saya bahwa
saya sangat tidak setuju dengan pendirian pabrik ini"

Beberapa warga yang menatap lelaki yang masih muda itu dengan wajah masam, mulut
berbisik juga sesekali berdecak kagum.

"Pembangunan ini sangat tidak konsisten dengan kemajuan kecamatan kita. Pikir saja, mana
yang lebih penting? Pembangunan kecamatan kita yang bahkan belum dikatakan kecamatan
maju"

"Tapi, kecamatan kita sudah maju? Kamu tidak lihat? Dikampung kita fasilitas lengkap bahkan
warganya pun sejahtera" kata seorang lelaki yang duduk paling depan bersebelahan dengan
kepala kecamatan. Dengan berbaju rapih ia menatap lelaki itu.
"Ya, semua orang memang ketika melihat itu atau mendengar itu akan menyetujui. Tapi,
apakah hanya dengan melihat dan mendengar kita bisa mengetahui definisi maju itu sendiri?.
Lihatlah, fasilitas lengkap yang tak memadai dan warga sejahtera dibawah kenestapaan".

Semua pandangan tertuju pada Aksa, lelaki muda yang berdiri dengan argumentasi tak
setujunya. Tanpa malu ia mengungkapkan apa yang ia benar benar tahu.

"Anda tahu? Apa maksudnya? Apakah itu berarti kita tidak becus menjalankan tugas?" Kata
lelaki itu lagi.

Kini ruangan semakin riuh dengan bisikan bisikan, melirik lelaki itu dengan wajah tak
menyangka. Sebagian orang berdecak kagum dan menyetujui pernyataan yang memang
berdasarkan faktanya.

"Maaf, bila bapak tersinggung. Tapi, ini kenyataan. Saya bahkan telah menganalisis itu sejak
pertama kali saya kesini, dan hal mengejutkan yang saya temui adalah ternyata kata maju yang
dilebelkan pada kecamatan kita adalah nihil. Lihatlah, pusat kesehatan masyarakat, tampak
elok dipandang dari luar. Namun, dari dalamnya tidak. Begitupun dengan sekolah, terlihat indah
dipandang namun ketika dilihat lebih dekat? Tak seperti apa yang ditampilkan dari luar. Miris,
ketika kita mengadakan pembangunan pabrik dari luar sedangkan kecamatan kita sendiri?"
Lelaki itu mengeluarkan segala apa yang terlintas dikepalanya.

Beberapa orang mengamini perkataannya dengan mengangguk, bahkan beberapa orang yang
menentang sedari tadi argumennya ikut mengangguk.

Al hasil, beberapa menit bermusyawarah, Keputusan terakhir adalah pertimbangan. Kata kepala
kecamatan, ia perlu menimbang usul itu sebelum ia memutuskan.

Itu adalah satu dari sekian banyak perwujudan Aksa sebagai seseorang yang cukup andil dalam
pembangunan. Sebab, yang ia pikirkan saat ini adalah mewujudkan kemajuan itu sendiri. Yang
kini nyatanya itu hanya sebuah lebel yang dipasang untuk kecamatannya.

"Eh Aksa!" Aksa terkaget dengan suara yang membuatnya berhenti menatap kosong para
pejalan yang berlalu lalang.

"Icuk?" Aksa menunjuk lelaki yang tengah berlari mendekatinya.

"Kamu apa kabar? Tadi aku kerumah kata bibi kamu disini" lelaki dengan kulit sawo matang
juga rambut agak gimbal itu adalah icuk, Sahabat Aksa dulu.

"Alhamdulillah sehat, kamu?" Pertanyaan itu dibalas sama oleh Icuk.

Keduanya mengobrol, di bawah langit yang tengah menuju malam.


"Kamu sekarang kerja dimana?"

Pertanyaan itu membuat Icuk tertunduk lesu, melihat jalanan yang masih dilalui orang orang.

"Aku, kerja di kebun sa, sesekali jadi kuli. Kerjaku banyak sa"

Aksa terkaget, mendengar jawaban Icuk tentang pengerjaan Icuk. Pikirannya lalu tertuju pada
masa dimana ia bersama Icuk bermain bersama di antara langit sore yang terbakar.

"Kamu tahu sa, aku pengen sekali bisa sukses. Dapat kerja baik dan bisa banggakan mama.
Sejak bapak pergi hanya aku dan mama yang tinggal. Jadi, aku harus buat mama bangga"
pernyataan manis dan luar biasa itu keluar dari mulut lelaki berbadan agak gembur yang
mengapungkan badannya.

"Hebat kamu cuk" jawab Aksa dengan penuh antusias. Menatap langit dengan mata berbinar.

Icuk adalah anak semata wayang dari ayah dan ibunya. Orang tuanya berpisah kala Icuk
berumur tiga tahun. Entahlah sebab apa, namun yang diceritakan Icuk ialah ia dan ibunya
keluar dari rumah dan tinggal dirumah bibinya.

Latar belakang keras inilah, yang membuat Icuk begitu antusias dan semangat meraih masa
depan. Tekadnya untuk membahagiakan ibunya yang berjuang bersamanya membuatnya
enggan menyerah.

Namun, Icuk kala itu beda dengan Icuk sekarang. Ia seakan kehilangan harapan, badannya pun
kurus berbeda dengan Icuk dulu yang begitu gembur dan penuh semangat.

"Kenapa? Maaf." Aksa berkata dengan iba. Ia penasaran, kenapa Icuk bisa seperti ini.

"Sejak mama meninggal, sudah tidak ada lagi harapan. Tak ada lagi yang perlu aku banggakan,
bagaimana tidak aku sudah tidak lagi memiliki siapa siapa di dunia ini. Hanya bibi, ia juga telah
memiliki keluarga. Dia juga bukan keluarga ku hanya teman mama" kata Icuk dengan mata
berkaca-kaca.

Kini Aksa tahu, alasan yang membuat Icuk menjadi seperti ini. Tapi, Icuk yang ia tahu tak
seperti ini. Icuk tak begitu gampang menyerah.

"Maaf cuk. Semoga mamamu tenang disana"

"Tak mengapa sa, terima kasih. Taoi, aku gagal sa, gagal menjadi seseorang yang
membanggakan siapapun. Aku bahkan tak mengetahui jati diriku"
"Hei Ahmad Yusuf alias Icuk. Kamu bukanlah seseorang yang gampang putus asa. Icuk adalah
satu satunya sahabatku yang semangat bahkan ia tak pernah secengeng ini"

Icuk membalikkan pandangannya kepada Aksa yang tengah meledeknya, suasana lengang yang
sedih itu seakan terhalangi oleh candaan Aksa. Dia menjelaskan bahwa meskipun ia tak
memiliki siapapun di dunia ini, ia tak harus menyerah sebab masih ada dirinya yang harus
merasakan bagaimana menjadi seseorang yang mewujudkan impian. Aksa pun menjelaskan
bahwa meskipun ibunya tak ada lagi, ia masih bisa menyaksikan Icuk dari atas. Juga bibinya,
meskipun bukan keluarga kandung, ia pasti bisa bangga dengan mu.

" terima kasih atas sarannya sa"

Keduanya kemudian bercerita pasal kehidupan mereka setelah lulus SMA. Merekapun
mereunikan kenangan mereka, waktu masih sekolah. Waktu masih bersama, bahkan mereka
berdua masih ingat segala kisah yang mereka lalui. Terlebih tentang masa kejahilan mereka.

"Besok aku akan bekerja di kabupaten. Doakan semoga disana aku bisa lebih baik" kata Icuk
kala mereka menutup obrolan mereka.

Perkataan Icuk dilanjutkan dengan doa dari Aksa dan segala petuahnya.

Langit sore semakin terbakar hangus. Keduanya bercerai, kembali kerumah masing masing.
Dengan setumpuk harapan yang menggunung.
Mimpi seorang kesatria

Setelah hari itu, Aksa lebih mengetahui akan kerasnya hidup. Tentang kerasnya sebuah
kehidupan yang bahkan bisa saja menjatuhkan seseorang.

Hari ini, adalah hari dimana ia harus mengajar. Sebab beberapa hari lalu ia tak sempat mengajar
sebab harus membantu ibunya menjaga Sinta. Meskipun ibunya menolak tapi Aksa tahu, ibunya
bukan lagi seorang wanita muda yang kuat. Ditambah, ibunya harus membantu ayahnya
bekerja di kebun.

"Jadi, hari ini kita akan belajar mengenai teks eksplanasi" terang Aksa kepada murid muridnya
yang memandanginya dengan antusias. Terkecuali seseorang yang duduk paling belakang, ia
hanya menatap kosong dengan mata yang sepertinya kebingungan. Bukan sebab pelajaran,
tetapi ada sesuatu yang sepertinya mengganjalkan anak itu.

"Kamu, yang dibelakang. Mohon perhatiannya" Aksa menghentikan materinya dan memastikan
agar anak itu memperhatikan dirinya.

"Maa. Maaf pak"

Setelah beberapa jam menerangkan, akhirnya pelajaran telah selesai. Aksa pun keluar dengan
sebuah tugas yang diembankan kepada muridnya.

Gebruk... Suara dentuman keras menghantam entah apa itu. Aksa yang baru melangkah keluar
dari pintu spontan berbalik.

"Ada apa ini!" Aksa melotot matanya melihat kedua siswanya berkelahi. Yang satu
membengkak biru di bagian wajah, dan satunya tengah mengancang ancang untuk
mendaratkan tangan di wajah anak yang telah babak belur.

"Kenapa kalian tak memelerai perkelahian ini. Kalian sudah besar!"

Aksa menarik kedua siswa itu keluar, dengan sedikit menyesalkan murid muridnya yang tak
melerai perkelahian itu.

"Kenapa kalian berkelahi. Coba jelaskan kepada bapak" kata Aksa mengintropeksi kedua
muridnya ini ketika keduanya dimasukkan kedalam ruang guru. Saat itu, tak banyak guru yang
ada didalam hanya beberapa. Yang lainnya tengah sibuk mengajar di kelas.
"Bapak tak usah ikut campur. Ini urusan kami" kata seorang lelaki dengan wajah sinis. Aksa
kaget, kata kata macam apa itu? Apakah anak ini tak melihat siapa didepannya?

"Bapak tanya sekali lagi. Apa masalahnya?" Anak sinis yang berada disebelahnya hanya terdiam
dengan wajah sinisnya.

"Maaf pak, tak ada masalah hanya... Hanya masalah kecil. Aku tak sengaja menjatuhkan
handphonenya" kata anak disamping kanannya yang telah babak belur.

"Tapi kalian sudah dewasa, tak bisakah menyelesaikan permasalahan dengan baik. Tak haruslah
dengan berkelahi seperti ini" kata Aksa dengan penuh petuah.

Anak lelaki yang telah membengkak sedikit diwajahnya itu hanya mengangguk, sedang anak
sinis yang satunya lagi hanya memalingkan wajah dengan ekspresi membosankan. Entahlah,
apa yang ada di benak anak itu terlihat seperti ini bukanlah sesuatu yang berbentuk
pelanggaran.

"Berdamailah kalian berdua"

Spontan anak sinis itu melotot, melihat perkataan Aksa. Seperti ingin mengatakan tak penting
berdamai dan berdamai itu terlalu konyol.

Beberapa menit berselang setelah keduanya berdamai, walaupun dengan sedikit keterpaksaan
diantara mereka. Masalah telah selesai, tak harus ada penyelesaian dengan perkelahian.
Apalagi hanya masalah kecil seperti tadi.

"Kenapa kamu tak melawan tadi?. Bapak tahu kamu berbohong".

Aksa bertanya kepada siswanya yang ditahannya sebentar. Ia masih penasaran apa yang
sebenarnya terjadi. Sebab ia tahu perkelahian dengan alasan seperti tadi adalah alasan yang tak
begitu logis.

"Se.. sebenarnya pak. Sebenarnya Jonathan memukulku sebab dia tak suka aku sekelas
dengannya. Dia punya dendam denganku beberapa tahun lalu" ya, anak sinis itu bernama
Jonathan, yang ternyata adalah seorang putra tunggal dari kepala kecamatan mereka.
Pantaslah, sepertinya ia terlalu manja untuk diberi nasehat seperti tadi.

"Dendam apa?"

Anak yang bernama Ahmad itu menjelaskan bahwa, ayahnya dulu adalah kepala kecamatan.
Yang katanya tertangkap korupsi. Setelah beberapa bulan lalu digantikan oleh ayahnya
Jonathan.
"Bapak bukanlah orang seperti itu, pak. Jonathan bilang aku adalah anak seorang koruptor yang
ayahnya tak bertanggung jawab dan dia bilang bahwa ayahku juga menyeret ayahnya sebagai
koruptor. Makanya dia benci denganku pak" kata Ahmad dengan mata penuh sejarah.
Sepertinya, Ahmad mengalami pukulan berat. Dan satu jawaban yang membuat Aksa terheran
adalah mengapa ia tak membalas pukulan Jonathan kala itu ialah. Bahwa Ahmad lebih memilih
diam, sebab ia tahu ayahnya tak bersalah. Yah, meskipun dia tak lagi menemui ayahnya setelah
ditangkap KPK tahun lalu.

Namun, yang ia pegang hingga sekarang adalah bahwa ayahnya pernah berkata. "Ketika kamu
disakiti siapapun jangan membalasnya. Jika kamu membalasnya lagi itu akan membuktikan
bahwa kamu yang paling bersalah. Jangan balas, tahan amarah" Ahmad mengulang perkataan
ayahnya dengan antusias.

Kala itu, Aksa belajar banyak. Bahwa benarlah perkiraannya tentang kemajuan yang menjadi
sampul dari sebuah kemelaratan. Nyatanya, masih ada pemakan uang ilegal seperti kata
Ahmad. Aksa mengamini pernyataan Ahmad dengan yakin. Ia mengakui semangat ayahnya dan
Ahmad dengan begitu baik. Benarlah, kata ayah Ahamd. Segala kebencian tak perlu dibalas
benci toh itu tak berdampak bagi benci itu, bahkan itu akan menambah kebencian itu.
Sebaliknya, ada kebaikan yang dapat memadamkan kebencian itu.

Setelah bel berdenting Ahmad undur diri dengan begitu sopan. Hanya Aksa yang ada di ruangan
itu sendiri dengan menganalisis segala yang ia temukan beberapa Minggu ini. Tentang apa yang
menjadi tanda tanya besar. Ia baru saja beberapa Minggu disitu ia telah disuguhkan dengan
beberapa fakta yang membuatnya tercengang.

"Pak? Pak Aksara?" Panggilan itu membuat Aksa terbangun dari lamunan yang membuatnya
menatap kosong kearah jam dinding yang berdenting.

"Eh pak, ada apa pak?". Aksa membalas dengan senyuman kaku.

"Kamu sudah tidak punya jam belajar?"

Aksa menjelaskan bahwa ia tak lagi memiliki jam pelajaran. Ia telah menuntaskan jam
belajarnya tadi ketika keluar dari kelasnya Ahmad. Guru lelaki dengan kumis klimis dan perut
buncit itu mengajak Aksa bercerita tentang kuliahnya, serta serba serbi impiannya. Lelaki itu
begitu tertarik dengan percakapan Aksa mengenai mimpinya pasal pembangunan kampungnya.

"Terus terang, saya sepakat dengan mimpimu pak Aksa. Meskipun saya adalah seorang warga
kelahiran Sulawesi tapi saya begitu sepakat dengan mimpimu. Saya lihat, banyak sekali
pembangunan yang begitu tak berkembang disini. Bahkan, ketika kecamatan ini dicap sebagai
kecamatan maju. Namun, itu tak terlalu realistis"
Aksa kaget dengan pernyataan itu, yang keluar dari lelaki yang bahkan tak memiliki sangkut
paut dengan kecamatan ini. Rasanya miris, bahkan seseorang yang bukan anak asli dari
kecamatan ini mereka masih mendukung pembangunan.

"Saya setuju pak. Itu betul sekali".

Lelaki didepan Aksa ini dipanggil pak Ilham. Dia bertutur juga bahwa ia begitu tertarik dengan
perkataan Aksa beberapa hari lalu ketika kala itu mereka diminta rapat di balai desa mengenai
pembangunan pabrik itu. Katanya, pembangunan itu memang tak harus di adakan itu akan
semakin membuat kecamatan ini terhambat pembangunannya bahkan dampak terburuknya
ialah pada sektor ekonomi juga pertanian.

Ekonomi warga yang tak memiliki keahlian bisa terkandas, bahkan yang pasti pabrik itu
membutuhkan tenaga yang lebih kompeten. Juga, pertanian warga akan terganggu. Lahan yang
tercemar, hutan bahkan ekosistem laut pun dapat terganggu.

"Saya sangat tidak setuju dengan pembangunan ini. Jujur, kecamatan ini butuh pengembangan
yang lebih dari dalam sebelum pembangunan dari luar dijalankan" katanya dengan nada miris.

Ah lagi lagi Aksa menemukan fakata yang semakin logis, itulah mengapa ia begitu membantah
pasal pembangunan itu. Benarlah, dampak buruknya lebih banyak dibanding dampak baiknya.

Setelah beberapa menit berbincang, bel pulang berdenting. Aksa lebih dulu pulang, ia harus
menjemput ayahnya dikebun. Ia telah berjanji akan menjemput ayahnya meskipun tawaran itu
ditolak mentah-mentah oleh ayahnya.

***
Pembangunan pabrik

"Bapak tidak capek setiap hari ke kebun?" Kata Aksa ketika menemui ayahnya yang tengah
berkemas untuk kembali pulang.

Kala itu, mentari tepat di ujung kepala mereka. Ini tengah hari yang begitu terik. Bahkan
teriknya menusuk baju panjang Aksa yang sedikit tebal. Ditambah dengan beberapa nyamuk
yang berusaha mencari celah untuk menghisap darah manis anak kota yang sudah lama tak ke
kebun itu.

"Kan tidak setiap hari juga. Bapak juga istirahat. Yah meskipun begitu, bapak tak punya pilihan
ini adalah satu satu cara untuk bapak mencari nafkah" kata lelaki yang tengah menyiapkan diri
untuk beranjak pulang

Aksa hanya terdiam, menatao ayahnya dan membantu membawa beberapa hasil kebun
ayahnya.

"Dulu, kakekmu pernah bilang kepada ayah bahwa ayah harus menjadi satu dari sekian orang
yang membantu mengembangkan kecamatan kita. Dan bapak mengemban perkataan kakekmu
itu hingga kini. Bahkan bapak harus rela dikeluarkan dari pekerjaan bapak. Itu semata sebab
bapak ingin membangun kecamatan kita ini"

"Iya yah pak. Dan aku merasa aku yang akan mengembankan perkataan kakek pak"

Kedua anak dan bapak itu berjalan, ditengah hutan yang hanya dipenuhi banyak nyanyian
burung yang bertengger dan suara nyamuk yang sesekali menyerang

Keduanya berjalan dengan bercerita, Aksa baru pernah merasakan sesuatu yang lebih di kata
ayahnya. Kini ia tak lagi melihat seorang ayah yang dulu menerkamnya untuk berkuliah di
jurusan sastra agar mengetahui tata bahasa juga penulisan sebuah artikel. Ia juga tak melihat
kerasnya seorang ayah yang menyuruh dengan menerkam Aksa.

"Kamu harus masuk jurusan sastra. Itu bagus sa"

"Tapi pak, Aksa tidak ingin menjadi guru. Aksa mau menjadi pengacara"
Kala itu sebuah ayah Aksa tak menyetujui inginnya untuk menjadi seorang pengacara. Katanya
pengacara adalah sebuah pekerjaan yang membuat seseorang menjadi gelap mata sebab uang.
Membela yang salah dan menyalahkan yang benar. Perbincangan yang membuat pro dan
kontra itu terjadi kala Aksa yang telah menyelesaikan sekolahnya tiga hari lalu.

"Tida sa, kalau bapak sudah bilang jangan dibantah. Ini demi kebaikan mu juga" suara ayah Aksa
saat itu meninggi kala Aksa lagi lagi membantah dengan keras pernyataan ayahnya.

"Tapi...." Aksa yang melihat ekspresi wajah tekad ayahnya tak lagi membantah. Ia hanya
meninggalkan meja debat itu dengan argumen kalah. Menuju penjara kasur yang menjadi
tempatnya menghalau segala kepenatan. Pintu kamar dibantingnya dengan sedikit kasar,
membuat suara bentrokan keras.

"Ini masa depanku, ini masa yang menjadi penentuan ku" Aksa membatin dalam dalam.

Kejadian beberapa tahun lalu itu teringat segar dikepala Aksa. Tanpa sedikitpun terlewatkan.

"Coba saja waktu itu aku menjadi pengacara. Ah mungkin saja aku akan menjadi anak yang
durhaka" kata Aksa sembari membuat lelucon.

Tawa kecil keluar dari mulut lelaki yang telah tua itu, yang kini tak dapat digambarkan lagi
wajah kuatnya. Ayah yang menjadi seorang pegawai kantor kecamatan sebab kenal dekat
dengan kepala kecamatan beberapa puluh tahun lalu, yang dengan pekerjaan ini membuat
Aksa menjadi seorang guru sastra. Lelaki ini masih saja kuat, meski tak lagi menjadi pegawai ia
rela menjejakkan langkah yang cukup jauh untuk merawat kebun peninggalanan kakeknya
Aksa. Ketika Aksa lulus kuliah dan berhasil kerja Aksa memaksa ayahnya untuk tak kerja lagi,
biar dia yang mencari uang. Namun apa kata ayahnya?

"Ini kewajiban bapak nak, terima kasih jika mau meringankan. Tapi, kewajiban tetaplah
kewajiban tak dapat ditinggalkan" katanya dengan nada penuh tanggung jawab.

Begitulah ayah Aksa, seorang lelaki yang pantang menyerah. Meskipun dia hanya tamatan SMA
dia memiliki prespektif yang jauh kedepan. Tak terpuruk.

"Assalamualaikum mah, kita pulang"

Aksa memberi salam dengan memasuki rumahnya. Dengan suka ria memberi salam dengan
menunjukkan barang bawaannya.

"Waalaikumussalam" suara sahutan dari dalam.

"Kak Aksa. Kak Aksa dari mana. Sinta cari buat bantu tugas Sinta"
Sinta berteriak dengan girang, seperti lama tak berjumpa dengan kakaknya ini. Aksa dengan
segera bersiap, membantu adik kesayangannya ini untuk membuat tugas.

"Kak, kakak tahu tentang pembangunan pabrik itu? Kata teman Sinta yang ayahnya kepala
desa. Mereka sedang mempertimbangkan dan sebagian besar setuju dengan pembangunan itu.
Tapi kak, menurut Sinta itu tak baik. Pembangunan pabrik hanya akan memberikan polusi dan
limbah. Tadi Sinta baca di perpustakaan sekolah" Sinta dengan lancarnya mengatakan hal yang
tengah dinanti Aksa.

Benarkah? Pembangunan itu akan segera dijalankan.

"Ah, sudahlah jangan dipikirkan. Tugas Sinta adalah belajar, buat tugas biar bisa sukses.
Masalah pembangunan itu biarlah urusan mereka"

Sinta mengangguk, tanda setujunya. Tanpa basa basi aksa menjelaskan dengan gamblang
pelajaran Sinta itu.

Beberapa menit setelahnya, adzan berkumandang Aksa mengintruksikan kepada Sinta, ayah
juga ibunya bahwa mereka harus sholat. Ini waktunya Dzuhur.

Tanpa berlama lama Aksa pergi menuju masjid yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya.
Ayahnya tak bisa berjamaah di masjid, maklum ayahnya terlalu kecapean. Sedangkan Sinta dan
ibu dirumah bersama ayahnya.

Meskipun seorang anak yang tak terlahir dari keluarga fanatik, Aksa tak luput dari
kewajibannya. Ayahnya selalu menekankan tentang kewajiban yang harus mereka lakukan.
Pernah sekali, Aksa tak melaksanakan shalat ashar dan bermain hingga petang. Ayah Aksa
memukulnya dengan sendal jepit hingga ia kapok tak ingin meninggalkan shalat lagi.

Setelah berjalan beberapa menit, Aksa sampai di masjid. Masjid yang telah tua dengan tiang
penyangga yang telah pucat warnanya juga plafon putih yang telah usang. Maklum, masjid ini
sepertinya jarang dibersihkan hingga ia terlihat kotor seperti ini.

Beberapa menit melaksanakan shalat, Aksa keluar dengan begitu tenang. Pikirannya kini tak
semrawut tadi. Sebelumnya ia penuh akan pikiran, pasal pembangunan yang begitu
menyusahkan itu. Ia bertanya jika apa yang dikatakan Sinta memang benar ia akan benar benar
membantah. Sebab, pembangunan yang memberikan dampak tidak baik ini haruslah dicegah.

"Benarkah, pembangunan pabrik itu akan dilaksanakan lima bulan kedepan?" Aksa tak sengaja
mendengar percakapan dua orang lelaki yang berjalan membelakangi Aksa.

"Benar, saya mendengarnya dari istri saya. Dia dengar dari istirnya pak kecamatan" lelaki
dengan sarung coklat itu menjawab.
Meskipun belum jelas kebenarannya Aksa telah menduga, bahwa pembangunan pabrik ini akan
dilaksanakan. Sebab, anggaran yang akan diterima atas sewanya begitu besar.

"Benarkah pak? Wah gawat dong" Aksa bertanya memastikan dengan benar.

Kedua orang itu menatap Aksa dengan yakin dan setuju bahwasanya pembangunan itu tetap
dilaksanakan. Itu adalah pertimbangan bulat dari sang kepala kecamatan. Aksa semakin dibuat
bingung. entahlah kenapa, ia tak habis pikir. Ia bahkan baru ingin menyampaikan usulannya
kepada desa mengenai sekolah tempat ia mengajar untuk direnovasi secara suka rela.
Kesatria harus cukup andil

"Bagaimana ini pak? Ini tak bisa di laksanakan" tukas Aksa kepada kepala kecamatan yang
memegang tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pembangunan pabrik itu. Kala itu
keputusan telah bulat. Kepala kecamatan meminta seluruh warga berkumpul di balai desa.

"Kami lebih tau dari anda anak muda. Kami telah menimbangnya dengan matang matang dan
keputusan ini telah bulat"

Malam ini adalah malam dengan penuh nelangsa bagi Aksa, setelah beberapa hari lalu setelah
ia tahu informasi tentang pembangunan pabrik ini telah diputuskan. Dan kini ia mendengar
sendiri keputusan itu dengan kedua telinganya.

"Tapi pak. Banyak pembangunan yang masih belum baik. Contohnya sekolah kita pak, masih
banyak fasilitas yang tak dipenuhi. Apakah tidak lebih baik kita memprioritaskan pembangunan
sekolah dibanding pembangunan pabrik yang bahkan manfaatnya tak begitu besar bagi kita"
kata Aksa dengan jelas membantah perkataan lelaki yang sedari tadi membenarkan
pembangunan itu.

Beberapa warga kala itu setuju, sebagian tidak dan yang lainnya memilih diam. Mungkin sebab
terlalu tak berpikir kedepan bagi mereka yang setuju, dan mereka yang bijak menyuarakan
tidak serta mereka yang memilih diam mungkin bimbang.

Ah sudahlah sa, percuma.

Jiwa Aksa meronta, ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Ia harus bisa membatalkan pembangunan
ini. Setuju atau tidak ia akan memperjuangkan argumentasi nya bahwa pembangunan ini harus
dihentikan sebelum berkembang.

"Pembangunan ini akan dimulai dua bulan lagi" kalimat itu membuat hati Aksa terbakar. Dua
bulan lagi, secepat itu. Bahkan jika ia mengusungkan demo tak akan bisa, pasalnya hampir 70 %
warga setuju dengan pembangunan ini. Meminta pertimbangan? Itu lebih nihil keputusan telah
dikeluarkan. "Bodoh, ini bodoh" Aksa membatin

Ia ingin sekali berteriak kepada para kepala pimpinan untuk menghentikan pembangunan yang
bodoh ini. Namun, ayahnya menahannya dengan suara lembut juga nasihat khasnya
"Biarlah, mereka telah menyetujuinya. Jika dampaknya semakin tak bisa kita tahan kita baru
bisa membantah"

Aksa terbungkam sekejap. Melihat ayahnya yang santai dengan situasi ini, berbeda dengan
dirinya yang seperti terbakar juga meronta ronta. Ayahnya mungkin lebih banyak mengetahui
tentang hal hal seperti ini dibandingkan dia yang baru beberapa Minggu disini.

Malam tadi begitu menyesakkan bagi Aksa, dia muak dengan perkataan pembangunan ini akan
berdampak baik. Ia bahkan ingin berteriak layaknya pendemo kepada seluru warga yang hadir
malam itu.

"Jadi, bapak tugaskan kepada kalian. Buat teks eksplanasi dengan tema demonstrasi" kata Aksa.
Ia memilih tema ini cocok untuk situasi yang terjadi sekarang. Bahwa kampungnya kini tengah
berada dalam zona demonstrasi, atau lebih tepatnya zona politik.

"Ada pertanyaan?"

"Saya pak. Kenapa bapak memilih tema seperti ini, apakah bapak akan mencuci otak kita
dengan nilai demonstrasi agar bisa membantah? Ataukah sebab bapak yang sedari awal
perencanaan pembangunan pabrik mewah itu dan menjadikan kita pasukan agar bisa mengikuti
jejak bapak" itu Jonathan, dengan nada sombong ia berkata. Dengan tatapan dendam yang
telah lama ia simpan

Seluruh siswa sepertinya sepakat dengan perkataan Jonathan. Mereka dengan polosnya
mengangkat wajah tanda mengerti dan menyetujui.

"Demonstrasi adalah salah satu tindakan yang patut kalian pelajari, sebab negara kita adalah
negara hukum. Dan salah satu cara membantah dengan hukum adalah dengan demonstrasi. Ini
bukan berarti bapak mengajarkan kalian untuk menjadi pendemo, namun bapak hanya ingin
memberikan wawasan kepada kalian mengenai apa itu demonstrasi. Jadi, pernyataan itu
sepertinya keliru. Jonh" Aksa menjawab dengan nada tenang, ia tahu sepertinya anak ini terlalu
dicuci otaknya untuk membantah sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Maklumlah, ayahnya
sendiri mungkin yang mengajarinya.

Penjelasan Aksa itu sepertinya lebih dimengerti siswanya dan lebih masuk akal. Semua siswa
kala itu mengejek Jonathan yang duduk paling belakang dengan wajah sinisnya. Ia tertunduk
malu, semoga ia sadar dan tak mengulang kembali perkataan seperti itu.

Aksa menutup pertemuannya bersama siswa siswanya dengan mengingatkan mereka tentang
tugas yang harus dikumpulkan tepat waktu. Semua siswa menggubris perkataan Aksa kecuali
Jonathan yang masih sama sinisnya. Tak ada sedikitpun rasa bersalah dari wajahnya yang putih
mulus dengan hidung jambu dan mata agak sipit juga beberapa jerawat yang tumbuh di bidang
jidatnya.

"Kemana Maria!" Aksa menanyakan seorang siswa wanita yang kala itu mengosongkan tempat
duduknya sedari beberapa hari lalu.

"Tidak masuk pak" seluruh siswa serentak menjawab.

Aksa memaklumi itu, pasalnya rumah Maria cukup jauh ia harus melewati beberapa kampung
untuk sampai ke sekolahnya. Mafhum, sekolah ini adalah satu satunya sekolah di kecamatan
mereka.

Namun, setelah Aksa mengingat ia baru sadar bahwa Maria tak masuk sudah lebih dari dua
Minggu. Ia menanyakan apakah diantara mereka ada yang tahu keberadaan siswinya itu. Tapi
nihil tak ada seorangpun yang tahu sebab hanya Maria satu satunya siswa yang sekolah dari
kampungnya.

Setelah jam pelajaran selesai, Aksa berniat mengunjungi Maria di rumahnya. Dia khawatir
jangan sampai Maria tengah sakit atau sebagainya. Aksa kala itu meminjam motornya pak
Ilham. Dengan ditemani Ahmad, ia meminta seseorang untuk mengantarnya sebab ia tak tahu
arah menuju desa Maria. Yang ternyata jaraknya beberapa kilometer dan harus melewati jalan
yang bahkan belum juga licin. Masih tanah, yang jika hujan mungkin akan becek.

Aksa kemudian memacu motornya, mengikuti arah dari Ahmad.

"Permisi. Apakah ini rumah Maria sialahi?"Aksa mengetuk pintu papan yang telah berwarna
hitam. Sepertinya sudah lama pintu ini berdiri.

Terdengar sahutan dari dalam, seorang wanita dengan perawakan tak terurus, baju yang telah
usang dan mulut yang bersimbah cairan merah, wanita paruh baya itu adalah ibu Maria.

"Begini mama, sudah beberapa hari Maria tidak masuk. Saya dan seorang murid saya berniat
ingin mengunjungi Maria. Apakah dia sakit?" Aksa bertanya kepada wanita itu yang
mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di atas kursi kayu.

"Maria.. Maria sudah kawin bapak guru"

Perkataan ibu Maria kala itu membuatnya terhentak, ia kaget seorang siswa yang memiliki
semangat pendidikan tinggi, yang antusias dengan pendidikan itu tak lagi berpendidikan.
"Kenapa dia bisa kawin mama?dia masih muda dia punya masa depan masih panjang kenapa
dia harus kawin?"

"Karena ekonomi bapak guru, Maria tidak mau membebankan Maria punya mama dan bapak
dengan beban pendidikan. Katanya dia mau kawin dan kerja untuk menyekolahkan adiknya. Dia
punya tiga adik yang masih kecil. Dia bilang adiknya lebih penting dibanding dia. Dia juga bilang
kalau dia punya mama sudah tua, bapak juga kerja sudah tidak sekuat dulu. Jadi dia harus
Kawin dan kerja supaya bisa bantu ekonomi mama"

Jawaban ibu Maria itu begitu miris, hal itu membuat hati Aksa teriris

"Bapak guru di kecamatan boleh senang, sudah kerja pemerintah kasih gaji. Tapi kami? Hanya
petani yang dapat makan kalau panen sudah berhasil"

Aksa semakin sadar dengan alasan kenapa Maria sudah lama tak datang sekolah. Dia tak lagi
berpendidikan, ia memilih menikah dan membantu ibunya membiayai adiknya ketimbang ia
yang di biayai. Sungguh dewasa kau Maria.

Kata ibu Maria, dia mengikuti suaminya di kampung sebelah. Aksa kala itu maklum, terbilang
ekonomi warga di desa Maria rata rata petani yang hanya makan dari hasil panen. Dan jika ada
anak yang berpendidikan mungkin sulit untuk dibiayai sebab makanpun mereka susah apalagi
ditambah dengan musim yang tak menentu. Itulah mengapa siswa siswi dari desa ini tak banyak
yang menyelesaikan pendidikannya.

Inikah yang dinamakan maju? Kecamatan maju? Ah tidak. Miris bila kita mengecap kecamatan
maju bila beberapa desa saja masih melarat soal ekonomi, soal pendidikan, bahkan soal
lapangan kerja. Banyak sekali orang orang disini yang meninggalkan segalanya hanya untuk
mempertahankan hidup. Anak anak menikah diusia muda dan tak melanjutkan pendidikan,
orang tua yang tak kuat harus bisa memberikan nafkah dan bahkan anak anak yang wajib
bersekolah pun tak lagi berwajib.

"Terima kasih mama, nanti sampaikan salam kepada bapak Maria dan Maria mama" Aksa undur
diri setelah mendengar segala keluh kesah itu. Ia bahkan tak segan segan untuk meneteskan air
mata ketika mendengarkan semua keluhan itu.

Ahmad yang sedari tadi diam pun ikut berkaca kaca matanya. Memanglah, siapapun yang
mendengar segala curahan hati warga disini pastilah tak dapat berkata apa apa. Perjuangan
mereka yang begitu luar biasa perlu di antusias. Dan bukan hanya itu, merekapun perlu
diperhatikan. Pasalnya, bukan hanya hari ini semua ini terjadi, telah lama bahkan sebelum
kecamatan Aksa dicap maju.
Aksa memandangi rumah rumah yang terbuat dari papan, yang sebagian rumahnya reot.
Dilapisi beberapa atap yang terbuat dari daun lontar. Sebagian lagi sudah beratap seng. Jalanan
yang becek dan berlubang juga bahkan berlumpur. Membuatnya semakin iba, ia menaruh
harap dan mungkin harapan ini sama seperti yang diharapkan oleh mereka warga disini. Bahwa
pembangunan desa ini harus diperhatikan. Mereka yang memegang jabatan pemerintahan
harus bisa melihat ini, entah nanti suatu saat namun anak cucu mereka harus mengecap hal hal
yang dirasakan mereka yang kini berdiam diri dengan segala fasilitas yang tercukupi. Dengan
segala kehidupan yang lebih terjamin.

Aksa berlalu bersama Ahmad, menggunakan motor beat putih milik pak Ilham. Mereka harus
cepat kembali sebab sebentar lagi waktunya pulang. Ia berlalu, membawa beberapa harap yang
ia letakkan pada semestanya ia harus memperjuangkan pembangunan didesa mereka. Itu
harus.
Tindakan dalam tindasan

Hari hari setelah hari itu Aksa lebih banyak merenung pasal pembangunan yang masih harus
berjalan. Banyak sekali desa desa yang perlu dibangun dibandingkan membangun sesuatu yang
tak berdampak pada pembangunan desa kecamatan ini.

"Maaf pak. Bapak di panggil kepsek" pak Ilham mengintruksikan Aksa yang kala itu tengah
termenung sendiri diruang guru diatas tumpukan tugas dari kelasnya Ahmad. Setelah ia
menyuruh Ahmad menagih tugasnya, dirinya tak sempat masuk kelas sebab ia harus
menghabiskan jamnya dikelas lain. Ia harus segera pulang sebab ia harus bertemu beberapa
teman dari kota yang melakukan penelitian di kecamatannya.

Aksa kemudian berjalan cepat, menuju ruang kepala sekolah.

"Maaf pak Aksa. Sebelumnya saya ingin tanya, apakah bapak pernah memberikan tugas
mengenai demonstrasi?"

"Iya pak, sebab pelajaran kita mengenai teks eksplanasi. Bagaimana pak?"

"Sebenarnya, saya berat mengatakan ini kata Jonathan kamu sengaja memberi tugas sebab
kamu adalah orang yang mati Matian membantah pembangunan pabrik. Katanya, demonstrasi
itu adalah pencucian otak dari bapak" nada menyelidik dari kepala sekolah kala itu tepat
dengan dugaan Aksa bahwa Jonathan telah mengadu kepada ayahnya dan mungkin ayahnya
telah mengadu kepada kepala sekolah.

"Tapi, saya tidak berniat mencuci otak mereka pak. Saya tahu apa yang saya lakukan. Ini keliru
pak, bapak tak perlu dengar perkataan anak anak"

"Tapi, seluruh orang tua siswa telah setuju untuk tidak menerima kamu sebagai guru disini"

Sudah ditebak, ia akan dikeluarkan hanya karena tugas kecilnya ini. Benar sekali, tahniah.
Warga disini begitu pintar untuk mendengarkan perkataan Jonathan. Namun, apakah dari
perkataan Jonathan saja? Ataukah dari ayahnya yang dendam pasal pembangunan pabrik itu
dibantah Aksa. Entah, yang pasti Aksa tak lagi menjadi guru disini.

Ia bahkan baru beberapa bulan mengajar disini.

"Maaf, bapak tak lagi mengajar Disini besok. Terima kasih sudah menjadi murid bapak. Sampai
jumpa anak anakku." Pesan perpisahan itu terasa aneh bagi murid murid Aksa yang menatap
dengan kosong

"Bapak sudah pindah sekolah?" Kata Ahmad yang sedari tadi diam.

"Iya mad, kalian belajar yang rajin. harus bisa sukses seperti bapak" kata Aksa dengan mata
berkaca-kaca.

Seluruh siswa terharu dengan salam perpisahan Aksa, terkecuali Jonathan yang dengan sinis
tersenyum lebar. Sukses dia mengeluarkan guru yang sok tahu tentang demokrasi, tentang
dirinya dan juga yang sok membela orang yang dibencinya. Dia mungkin tengah berpesta pora.

Aksa pulang dengan penatnya, ia kecewa dengan apa yang terjadi. Namun ia hanya bisa
menerima. Ini bukan lah kali pertamanya dikeluarkan dari sebuah instansi, pernah juga
sebelumnya. Waktu itu, ketika Aksa KKN dia sempat dikeluarkan sebab dia yang tak mengurusi
perkelahian siswa. Yah, meskipun ia memiliki alasan bahwa keduanya tak dapat dilerai dan
keduanya pun kakak beradik. Kala itu Aksa bingung menjelaskan bahwa keduanya berkelahi
sebab keduanya menyukai seseorang yang sama. Kala itu Aksa bingung sebab ia telah
ditetapkan disekolah itu. Namun, berkat semangat dan usahanya ia bisa diterima kembali
meskipun dengan syarat. Itulah yang dirasakannya kini, ia harus bisa bangkit dan berusaha. Ia
yakin, pasti ada jalan keluar dari semua ini.

"Maaf ma, pak. Aksa dikeluarkan. Aksa bahkan tak tahu alasan pasti mereka mengeluarkan Aksa
sebab apa. Maaf pak" Aksa meminta maaf dengan dalam kepada kedua orangtuanya yang dia
dapati tengah bercerita diruang tamu. Ayahnya hari ini tak pergi ke kebun ia kecapean setelah
beberapa hari terakhir bulak balik kebun.

"Tak apa nak, ayah tahu ini akan terjadi. Setelah ayah melihat semangatmu membantah
pembangunan pabrik itu", kata ayah Aksa dengan nada yakin. Menatapnya dengan senyum
menyungging. Sepertinya ia telah hafal dengan jelas kejadian ini.

Sama sepertinya, dikeluarkan sebab tak sepaham dengan mereka yang memegang peranan
penting bagi kecamatan. Mereka punya kekuasaan yang lebih untuk mengangkat dan
memberhentikan orang lain. Seakan segalanya telah digadaikan oleh mereka.
Beberapa menit mengobrol dan bercengkrama ria. Suara dalam dari depan rumah terdengar.
Aksa baru ingat bahwa teman temannya dari kota yang melakukan observasi dan sensus
penduduk mengenai perkembangan kecamatannya akan datang. Dengan cepat ia menyambut
mereka. Rumah Aksa yang sedikit kecil seperti sudah menampung mereka yang berjumlah lima
orang, sebenarnya lebih namun mereka membagi grup untuk beristirahat dan melanjutkan
perjalanan esok hari.

"Jadi, gimana nih tournya?" Tanya Aksa kala malam, waktu itu teman temannya sebagian telah
berpencar mencari tempat peristirahatan sebab rumah Aksa tak dapat menampung mereka.
Hanya boleh tiga orang.

"Kita akan lebih dulu mengobservasi desa yang paling ujung kecamatan ini, terus kecamatan ini
dan daerah atas" kata teman Aksa yang berambut gimbal, yang satunya berkacamata tebal.

Keduanya mengobrol kala malam, selepas makan dan duduk di teras rumah Aksa. Diatas
bangku kayu yang telah tua.

Aksa meminta mereka untuk membawanya bersama. Ia juga ingin tahu tentang beberapa
perkembangan desa desa kecamatannya. Aksa dan teman temannya yang mengobservasi
perekonomian kecamatan Aksa tinggal itu berasal dari ibu kota provinsi, mereka ditugaskan
langsung oleh kepala gubernur. Maklumlah, tanpa izin resmi dari kepala kecamatan dari
mereka, izin sudah terlebih dahulu disampaikan gubernur.

"Aku akan berjuang ma, untuk negeri kita. Agar nanti negeri kita akan menjadi negeri yang
maju" kata Aksa kala ia meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk menyertai observasi
bersama kawan kawannya itu.

"Tapi, itu cukup beresiko sa. Biarkan mereka yang menjalankan tugas mereka. Kamu, tak perlu
cukup andil"

"Tidak ma, ini tentang negeri kita ma. Aksa ingin tahu, seberapa berkembangnya negeri, apakah
negeri kita masih butuh banyak perkembangan"

Setelah beberapa lama berbincang. Menegosiasikan keputusan ini, Aksa akhirnya diizinkan.
Orang tuanya bukan tak ingin mengizinkan, hanya saja mereka merasa bahwa Aksa tak perlu
menyertai mereka. Takutnya, Aksa mengambil kesempatan ini untuk membantah kembali
pembangunan pabrik itu. Meskipun, hal itu perlu di bantah namun Aksa sepertinya tak cukup
andil dalam hal ini. Ia telah kehilangan pekerjaan sebab ia terlalu keras membantahnya.
Perjalanan untuk pembangunan

Perjalanan utama mereka adalah desa paling barat. Desa kecil yang letaknya cukup jauh dari
desa tempat Aksa tinggal. Mereka, mengendarai mobil yang diberikan gubernur kepada
mereka. Pinjaman untuk mempermudah proses observasinya.

Butuh beberapa menit atau bahkan jam untuk bisa sampai ke desa ini, mereka bahkan harus
berangkat lebih pagi agar tidak kesiangan sampai disana. Pasalnya, mereka harus menginap
barang sehari disini.

Nampak dari dalam mobil, hamparan hutan hijau yang semakin jauh dari deretan rumah.
Sepertinya, semakin masuk desa perumahan yang berbaris tadi semakin tak nampak.

"Kenapa kamu ikut, kamu tidak mengajar?" Tanya Andreas, lelaki berkacamata yang duduk
didekat Aksa, yang sibuk melihat keluar jendela.

"Aku sudah tidak mengajar An, dari kemarin. Yah, begitulah" Andreas diam seketika, sepertinya
tahu alasan apa yang membuat Aksa tidak lagi mengajar.

"Kenapa tidak coba mengajar di tempat lain?" Andreas kembali bertanya.

"Nihil an, disini hanya ada satu sekolah menengah atas".

"Kamu tahu, kenapa aku lebih memilih menjadi pegawai kantor densus penduduk?"

Aksa memandangi Andreas dengan wajah penasaran. Ia telah menebak, mungkin karena ia
mengikuti seseorang yang ia sukai mungkin? Pasalnya, teman seuniversitasnya ini agak bucin. Ia
ingat ketika Andreas tidak sempat ujian sebab ia harus kencan dengan pacarnya yang ada di
seberang pulau.
"Karena wanita mungkin?" Sambung Rama. Lelaki berambut gimbal yang keluar sebab mobil
telah terparkir rapih di depan rumah kepala desa.

Mereka semua sontak turun, aksapun. Namun Andreas masih berhutang penjelasan padanya
tentang alasannya membanting setir dari seorang sarjana sastra menjadi pegawai kantor
densus penduduk.

"Assalamualaikum pak. Kami dari kantor densus penduduk ingin mendata warga disini"
pembukaan serta penyampaian izin oleh Andreas yang menjadi ketua kegiatan ini menjadi
kunci serta akses untuk mereka bisa melaksanakan kegiatan itu.

Kala itu, hanya ada beberapa yang ikut serta mengobservasi desa ini. Mereka membagi
kelompok semalam. Ada tiga kelompok, yang telah berangkat mulai dari tadi pagi.

Aksa dan lima orang temannya menginap di rumah kepala desa, rumah yang cukup besar untuk
ditumpangi mereka. Maklum, kepala desa hanya memiliki seorang anak dan istri. Lelaki yang tak
terlalu tua itu sepertinya cukup bertanggung jawab. Pasalnya, rumahnya tak begitu dipercantik
layaknya rumah rumah gedongan para kepala. Aksa ingat rumah kepala desa di kecamatan,
sungguh mewah berbeda dengan rumah kepala desa disini.

"Maaf nak, rumahnya sederhana saja. Mari minum" kata seorang wanita yang menjadi istri
kepala desa

Mereka kemudian mengobrol, menanyakan beberapa rumah warga yang akan mereka kunjungi
esok dan sebagainya.

Desa itu cukup sederhana, dengan rumah yang hanya terdiri dari tiga ratus kepala keluarga.
Sekolah disini hanya untuk sekolah dasar dan menengah pertama. Tak ada sekolah menengah
atas, kata kepala desa untuk bisa sekolah menengah atas warga disini harus berjalan melewati
beberapa desa yang mungkin jaraknya berkilo-kilo.

"Kami telah mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun sekolah menengah atas,
ataupun kalau tidak bisa kita gunakan bangunan aula desa sebagai ruangan. Yang penting masih
bisa mereka bersekolah tanpa harus berjalan jauh. Tapi, pemberitahuan belum ada hingga kini"
kata kepala desa.

Lelaki yang bertubuh pendek dengan sedikit gembur. Wajah bulat dan kepala yang rambutnya
tinggal beberapa helai itu terlihat antusias terhadap warganya.

Waktu menunjukkan pukul dua belas lebih, waktunya mereka beristirahat dan sholat. Di desa
ini, mayoritas beragama Kristen dan Hindu. Jadi, untuk sholat bagi Aksa dan kawan kawan harus
meminta izin kepala desa untuk meminjamkan satu ruangan untuk mereka sholat.
Hal itu disambut baik oleh kepala desa. Toleransi yang ada pada diri lelaki ini begitu melekat. Ia
bahkan tak memandang status maupun agama seseorang. Bukan hanya sholat kala ini, namun
segala aktivitas yang di lakukan mereka.

Setelah melaksanakan shalat, mereka makan. Bercengkrama dan beberapa orang mengunjungi
rumah warga dan menyaksikan beberapa aktivitas warga. Dan Aksa milih untuk mengunjungi
sekolah yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kepala desa.

Aksa melihat bangunan tua yang hampir roboh. Tak ada beton kokoh yang menahannya. Hanya
papan yang telah usang Dengan beratap seng coklat yang telah berlubang di beberapa sisi.
Sekolah yang hanya memiliki empat ruang. Untuk beberapa kelas dan ruang guru. Bahkan
untuk belajar mereka membagi waktu per derajat. Untuk sekolah dasar pun hanya kelas empat
sampai enam yang aktivitas belajarnya di pagi hari dan untuk sekolah menengah pertama
belajarnya di siang hari.

Cuaca terik sang mentari menusuk kulit Aksa. Lelaki itu mendekati bangunan itu yang di
dalamnya tidak ada siapapun. Mungkin, sedikit lagi para siswa akan datang.

Dilihatnya Lamat Lamat bangunan itu, kursi didalamnya yang hampir patah dimakan rayap
begitupun meja Kayunya. Papan tulis yang tertulis rapih kelas delapan.

Aksa terkaget dengan seorang siswa lelaki yang tengah asyik membaca disudut kelas.

"Pak guru baru" seorang wanita histeris melihat Aksa dari pintu kelas. Disusul beberapa siswa
yang berpakaian kusam.

"Oh maaf saya bukan guru disini. Saya hanya lewat dan tidak sengaja melihat sekolah kalian"
jelas Aksa

"Tidak pak, kami ingin belajar. Sudah tiga hari tidak belajar" Aksa tercengang mendengar
perkataan anak anak itu yang dengan cepat berbaris didalam kelas. Hanya satu kelas itu yang di
penuhi siswa. Mungkin gabungan dari kelas kelas lainnya.

"Kami ingin belajar pak, tolong ajari kami. Kami harus pintar agar bisa jadi orang sukses" kata
seorang wanita dengan rambut gimbal besar tak terurus.

Aksa hanya terpatung, melihat semangat anak anak ini. Meskipun mereka tak memiliki
pendidikan yang memadai, sekolah yang hampir roboh dan guru yang tak memadai semangat
mereka sungguh luar biasa. Berbeda dengan mereka di kecamatan. Yang hanya sekolah dengan
terpaksa dan hanya untuk sekedar bersekolah tanpa tau apa maknanya pendidikan.
Tanpa lama, Aksa memperkenalkan diri. Mengizinkan anak anak itu memperkenalkan nama dan
tempat tinggal.

Beberapa jam belajar, ternyata Aksa baru tahu bahwa inilah makna pendidikan. Bahwasanya
pendidikan bukan tentang belajar dan mengajar. Namun, pendidikan tentang bagaimana kita
menciptakan semangat didalamnya, menciptakan rasa cinta di dalamnya dan menciptakan rasa
menghargai didalamnya.

Hal itu dirasakan Aksa kini, ia begitu antusias disamping haru.

Beberapa jam mengajar nampak waktu tak lagi memadai, mentari terik telah beranjak menuju
senja.

"Baiklah sepertinya belajarnya kita sudahi saja." Kata aksa

"Bapak ingin melihat senja?" Kata Matius, siswa lelaki yang sedari tadi memperhatikan Aksa
melihat mentari yang semakin memerah. Kala mereka berjalan pulang bersama.

"Boleh"

Matius kemudian mengumumkan kepada kawan kawannya untuk mengajak Aksa menuju
pantai agar ia bisa melihat senja. Sontak para siswa berteriak, senang. Mereka membawa jalan
menuju pantai. Matius yang memimpin, siswa lelaki yang begitu antusias terhadap gurunya.

Senja di desa ini sangat indah dengan pantai berpasir lembut dan beberapa pohon yang
tumbuh indah di pesisir pantai.

"Senjanya indah kan pak? Bagaimana dengan senja di kecamatan? Atau kota? Katanya tak
begitu indah yah. Sebab, tertutup asap? Aku membacanya lewat buku yang diberikan kak
mentari.

Aksa cengengesan mendengar perkataan Matius yang kala itu menaiki pohon Ketapang rindang
yang tertanam rapih.

"Mungkin. Tapi, siapa kak mentari?" Aksa penasaran dengan nama itu.

"Kak mentari? Dia seorang jurnulis dari kabupaten pak"

"Jurnalis? Maksudnya?"

"Iya, dia baru pulang tiga hari lalu. Dia wanita yang baik dan tangguh pak. Dia datang kesini
sendiri dengan tujuan membuat tulisan tentang desa kita yang seperti diasingkan. Katanya desa
kita perlu pengembangan, agar kami bisa sekolah dengan baik" Matius kala itu antusias
bercerita. Dia memang anak baik, dia yang paling lancar bercerita dibanding teman temannya.
"Kak mentari meninggalkan ini di kelas. Aku belum sempat mengembalikannya"

Matius mengeluarkan sebuah buku tebal dari tas yang dibuat dari karung bekas beras, seperti
sebuah catatan harian. Di sampulnya tertulis rapih. "Catatan mentari"

Keduanya bercengkrama, sedang kawan kawan lainnya bermain berkejaran, sebagian lagi
mandi di laut. Perbincangan itu kemudian terhenti kala senja yang semakin malam. Yang
membuat mereka harus segara balik. Jarak pantai yang lumayan jauh dari desa membuat
mereka tak bisa pula berlama lama disana.

***

"Pak? Bapak kenal Mentari Harishah?" Kata Aksa.

Malam itu, selepas makan malam bersama, dan bersantai di ruang tamu. Aksa menanyakan
nama seorang wanita yang ia temui di buku catatan pemberian Matius sore tadi.

"Mentari Harishah? Jurnalis wanita dari kabupaten itu?. Oh dia baru saja dari sini, dia adalah
jurnalis yang luar biasa. Meskipun wanita dia sanggup melanglang buana untuk menulis
beberapa desa yang perlu di kembangkan. Katanya, desa ini akan ia perjuangkan untuk
mendapat perhatian dari pemerintah. Dia juga memberikan semangat belajar kepada para
siswa disini yang gurunya sudah tak lagi mengajar disini"

Aksa antusias mendengar perkataan kepala desa tentang wanita itu. Memanglah luar biasa, dari
catatan yang dibaca Aksa dia bahkan telah menjelajahi semua desa di kecamatan ini.

"Tapi pak, kenapa guru guru itu tak lagi mengajar? Saya lihat anak anak tadi sungguh luar biasa
semangat belajarnya"

"Yah begitulah dek, anak anak Disini memang antusias belajar hanya saja pengajarnya tak ada
yang bisa bertahan lama. Terakhir kali, seorang guru dari kabupaten. Ia harus pulang sebab
istrinya melahirkan. Hingga kini, tak ada kabar dari pemerintah untuk mendatangkan seorang
guru pengajar"

Miris, beginilah adanya. Banyak sekali kekurangan yang harus dibenahi, banyak sekali hal hal
yang perlu di bangun kembali dan dikembangkan.

Setelah mengobrol mereka kemudian berisitirahat, sebagian lagi masih duduk di teras rumah
sambil bercengkrama. Namun, Aksa memilih untuk tidur sembari membaca beberapa catatan
catatan itu.
"Permisi, kami dari dinas catatan sipil kabupaten ingin mengadakan pencatatan penduduk.
Mohon izinnya" kala itu setelah semalaman istirahat. Paginya mereka menjalankan tugas
mereka. Mendatai penduduk desa ini, mulai dari jumlah keluarga, penghasilan dan sebagainya.

Satu hal yang membuat Aksa tercengang ialah, hampir delapan puluh persen orang orang disini
buta aksara. Tidak tahu membaca dengan jelas, berhitung bahkan tak tahu tanggal lahir
mereka. Katanya, mereka sedari kecil memang tak dibiasai berpendidikan.

"Kamu tahu, ini adalah alasanku mengapa aku memilih menjadi pegawai kantor Capil. Dengan
begini aku akan lebih mengetahui seluk beluk negeriku. Yang ternyata banyak menyisakan hal-
hal yang tak pernah kita tahu. Seperti contohnya daerah daerah pelosok seperti desa ini. Kita
yang mayoritas tinggal di kota hidup mewah, membuang buang waktu bahkan membuang
buang nikmat dengan hal yang tak penting. Dengan dalih bahwa kita bisa mendapatkannya lagi.
Tapi, diluar sana masih banyak orang orang yang membutuhkan. Yang bahkan lebih butuh
tetapi kebutuhannya dibatasi" kata Andreas yang kala itu sekelompok dengan Aksa.

Pagi itu, mereka membagi kelompok pendataan sebanyak dua kelompok Agara mempermudah
pendataan. Pasalnya, jika pendataan berakhir tengah hari mereka langsung berangkat menuju
kecamatan dan kembali ke kota.

Aksa mengangguk paham, kenapa Andreas lebih antusias menjadi pegawai kantor Capil
dibandingkan menjadi seorang guru. Benar katanya, bahwa kita perlu banyak belajar mengenai
kehidupan kita. Bahwa, apa yang kita abaikan atau hamburkan mungkin itu sangat dibutuhkan
oleh orang lain. Aksa jadi belajar mengenai pentingnya bersyukur dari tekad seorang Andreas

Beberapa jam mendata, mereka kemudian mengumpulkan seluruh data. Merangkumnya


menjadi satu agar tak ada yang terlewatkan.

"Jadi, bagaimana? Kita lanjut kembali atau esok saja?" Kata Andreas kepada seluruh timnya.

Kala itu, tinggal beberapa menit lagi jam menunjukkan pukul dua belas lebih. Yang berarti
mereka harus kembali.

"Tidak bisa tinggi sebentar nak? Malam ini ada acara" kata kepala desa kepada mereka yang
kala itu duduk di teras rumah.

"Acara apa pak?" Kata Aksa.

"Acara sukur panen. Tahun ini panennya lumayan banyak. Jadi, kami mengadakan syukuran".

Al hasil, mereka mengurung niat untuk pulang hari ini. Dan sepakat untuk pulang esok hari.
Setelah mereka sholat Dzuhur berjamaah dirumah kepala desa, Aksa meminta izin kepada
Andreas bahwa ia ingin mampir di sekolah. Andreas yang paham maksud Aksa dengan legowo
mengizinkan Aksa.

Lelaki itu kemudian berjalan, menyusuri jalanan tanah berkerikil. Melewati deretan rumah yang
berjejer, yang dibangun dari lembaran papan dan berlapis atap daun lontar. Sekolah Matius
hanya berjarak beberapa meter dari rumah kepala desa. Hal itu memungkinkan Aksa untuk
cepat sampai.

"Ada apa ini?" Aksa kaget dengan kelas yang telah amburadul, dan beberapa siswa yang
terdiam menatap Aksa dan dari pojokan kelas, Matius tengah merintih dengan pipi merah.

"Kenapa Matius? Kenapa anak anak? Apa yang terjadi?" Aksa panik seraya membopong tubuh
Matius dengan iba.

Tak ada satupun jawaban yang keluar dari mulut siswa siswa itu, yang sepertinya ketakutan.

"Jadi ini bapak gurunya? Bapak guru yang ajar kalian?" Seorang lelaki dengan wajah sinis
muncul dari balik pintu. Dengan tangan memegang rotan panjang.

"Bapak siapa?. Kenapa bapak datang kesini?" Aksa spontan berbalik tanya.

"Saya bapaknya Matius. Saya ingin bilang kalau Matius tidak boleh sekolah. Dia harus mencari
uang untuk keluarganya. Dia harus bantu saya cari uang. Untuk apa sekolah? Hanya buang
buang waktu saja" lelaki tersebut kemudian merampas Matius dengan paksa dari Aksa yang
hanya terpaku. Ia ingin melawan namun, lelaki itu adalah ayahnya Matius yang berarti ia bisa
mengambil Aksa.

"Tapi pak, pendidikan itu penting bagi Matius"

"Bapak jangan ikut campur. Toh Matius selesai sekolahpun dia tidak jadi apa apa"

Aksa mencoba menahan Matius yang meringis sakit.

Bruk.. Aksa dipukuli tepat di wajahnya. Ia terjatuh, lelaki itu menatap puas. Murid murid yang
menyaksikan itu semakin takut beberapa orang membantu Aksa untuk bangun. Ia tak bisa
memaksa lagi, dirinya tak mau perkelahian terjadi di depan para siswa, lagipula lelaki itu
mungkin lebih berhak sebab dia memiliki hubungan sah dengan Matius.

Lelaki dengan wajah sinis itu kemudian berlalu tanpa sepatah katapun. Membawa Matius
dengan paksa.
"Sudah, hari ini kalian istirahat dulu di tumah. Belajar sendiri di rumah" Aksa memulangkan
anak anak yang menatap takut dirinya.

Aksa begitu sedih dengan perkataan lelaki tadi. Ternyata, Matius hanyalah satu satunya anak
dari orang tuanya. Ibunya telah meninggal beberapa tahun lalu, membuat ayahnya begitu keras
dengannya.

Aksa kemudian berjalan menuju pantai yang ia datangi kemarin bersama Matius. Ia hanya
seorang diri, menatap mentari yang tengah memerah. "Ah beginilah hidup" Aksa membatin
dalam dalam. Ia baru melihat seumur hidup kejadian ini. Ada orang tua yang melarang anaknya
berpendidikan. Itu adalah suatu hal baru yang tak jarang ditemui.

Mentari semakin terbenam, membias diwajah nelangsa Aksa yang polos. Ia berlalu
meninggalkan harap pada senja, semoga hari esok akan lebih baik dari hari ini. Semoga senja
yang menutup hari membawa hari baru dengan sesuatu yang lebih baik.
Pembangunan untuk perubahan

Malam menyapa desa kecil di ujung kecamatan ini. Seluruh warga yang telah di instruksi
berkumpul di lapangan, dengan membawa beberapa hasil panen mereka tadi. Lumayan banyak.
Acara ini biasa dilakukan kala hasil panen mereka melimpah, sebagai rasa syukur mereka atas
pemberian dari yang kuasa.

Setelah sholat isya, Aksa bergerak bersama Andreas dan kawan kawan lainnya. Di acara itu, ada
beberapa persembahan mulai dari tarian khas, pengucapan syukur, doa bersama dan
menikmati hasil panen bersama. Acara Disini cukup sederhana namun terlihat mewah,
partisipasi warga desa singgung luar biasa. Meskipun, tak ada kerap Kerlip dan pengeras suara
namun acara ini berjalan hikmat

Setelah rangkaian acara berjalan, dan menuju acara terakhir Aksa menginstruksikan kepada
kepala desa bahwa ia ingin menyampaikan beberap patah kata. Sebagai perwakilan Andreas
untuk mengucapkan terima kasih atas partisipasi warga desa atas kedatangan mereka.

Aksa kemudian berjalan menuju panggung kecil, berdiri dengan mengumpulkan segala
keberanian.

"Selamat malam semua. Saya Aksara lestari. Perwakilan tim catatan sipil, mengucapkan terima
kasih atas partisipasi warga sekalian dalam kedatangan kita Disni. Saya sangat bersyukur
menjadi tim yang di tugaskan disini. Sebelumnya, saya pikir ketika kami datang disini kami akan
di tolak dengan alasan bahwa warga tak ingin di datai. Namun, dengan luar biasanya
masyarakat disini menyambut kami dengan hangat" Aksa menghela napas, ia mulai masuk
kepada inti. Ia mengingat kembali, catatan yang ia baca dari buku catatan "Mentari Harishah",
terdengar suara teriakan Matius dan kawan kawan yang duduk paling belakang. Mereka
antusias memperhatikan Aksa.

"Saya ingin menyampaikan kepada seluruh warga disini, akan hal terpenting yang mungkin
kalian keliru dalam melihatnya. Ini pasal pendidikan dan pembangunan desa ini" Aksa menatap
wajah warga dengan penuh iba.

"Saya pikir, kita semua menginginkan yang terbaik untuk pengembangan desa ini. Dan hal
terpenting dari membangun desa adalah dengan menjadikan warganya berpengetahuan luas
agar masyarakat itu sendiri yang bisa memperjuangkan pengembangan desa ini" Aksa berhenti
sejenak. Nampak, ayah Matius yang menatap dengan wajah sinis khasnya. Ia berusaha menjauh
namun, ketika pepatah Aksa ia keluarkan ayah Matius terpaku.

"Bahkan mereka yang mungkin telah dulu tiada, yang berjuang penuh untuk pembangunan
desa ini. Mereka ingin kalian bangkit, bangkit dari keterpurukan dan dari pemikiran bahwa
pendidikan itu tidak penting. Kalian benar, bahwa untuk apa bersekolah jika lulus nanti tak jadi
apa apa. Namun, itu adalah kebenaran yang keliru. Kalian tak jadi apa apa sebab kalian tak
berusaha untuk menjadi seorang yang sukses. Dengan melanjutkan pendidikan mungkin, itu
akan dapat membuat kalian menjadi sukses. Semoga dengan perkataan saya yang mungkin bagi
kalian tak ada apa apanya bisa sedikit memberikan kesadaran kepada kalian. Terima kasih atas
perhatiannya"

Beberapa menit hening, suara tepukan tangan muncul perlahan. Dari Andreas, kepala desa dan
diikuti seluruh warga dan teman temannya yang datang disini. Seluruh warga berbisik betul,
mengacungkan jempol dan menganggukkan kepala mereka. Aksa bahagia bila mereka bisa jauh
lebih terbuka pemikirannya. Agar mereka tak lagi menjadi manusia yang terpuruk
pemikirannya.

Acara malam itu luar biasa, dibawah langit malam yang dipenuhi gemintang. Lapangan warga
yang cukup luasa dipenuhi seluruh warga. Mereka berbincang dengan melepas tawa, makan
bersama hingga larut malam.

"Pak guru hebat. Matius liat bapak, sepertinya sudah mulai sadar dan mengerti tentang yang
bapak bilang" Matius menghampiri Aksa yang berjalan pulang.

"Kamu tius. Syukurlah bila bapakmu mengerti"

"Sebenarnya, bapak tidak begitu pak. Sejak ibu meninggal saat ingin membeli baju seragam
Matius bapak jadi trauma dengan pendidikan" Matius menjelaskan alasan kalau ayahnya
melarangnya berpendidikan bukan hanya minimnya pengetahuan ayahnya namun juga trauma
ketika ibunya meninggal saat membeli baju seragamnya di kabupaten. Matius bilang bahwa
sebelum kejadian itu, ayahnya melarang ibunya untuk pergi namun dengan alasan pendidikan
Matius ibunya memaksa pergi.

Sekarang Aksa paham, mungkin ayahnya Matius salah mengerti. Bahwa sebenarnya segala yang
terjadi dengan hal takdir tak ada sangkut pautnya dengan hal hal seperti ini. Sebab, kematian
telah di atur tuhan. Meskipun bersebab namun, toh ibunya pun tak ingin membunuh dirinya
sendiri.

Setelah beberapa menit berbincang di atas hamparan tikar yang dibuat dari daun lontar Aksa
mengatakan kepada Matius bahwa esok mereka akan kembali.

Raut wajah Matius berubah sekejap. Dalam dadanya sesak, antara marah dan sedih. Dia pikir
Aksa akan menjadi guru disana dan ia senang mempunyai guru. Namun, kenyataannya
berbeda.

"Kenapa harus balik pak? Kita masih mau di ajarkan oleh bapak. Bapak merajuk karena dipukuli
bapak kemarin? Atau karena kami nakal? Tapi tidak kok." Matius sepertinya tak menangkap
perkataan Aksa tadi di atas panggung bahwa itu adalah ucapan terima kasih dan salam
perpisahan dari mereka.

"Bapak harus pulang Tius, bapak hanya di tugaskan dan harus kembali. Tapi, bapak janji bapak
akan membawa guru untuk kalian agar kalian bisa belajar"

"Janji?"

"Janji!"

Malam itu, Aksa harus melepas penatnya pada dunia yang begitu melelahkan. Setelah dari
acara itu ia kembali dengan cepat. Pasalnya, Andreas dan kawan kawannya sudah pulang lebih
dulu saat ia berbincang dengan Matius.
Petualangan selanjutnya

Udara pagi di desa ini begitu sejuk. Aksa bangun lebih dulu dan membangunkan Andreas dan
kawan-kawannya. Sholat subuh berjamaah, dan berkemas untuk kembali beberapa jam lagi.

Mentari pagi begitu indah menyorot dibalik awan putih bersih, tinggal menghitung menit lagi
mereka harus kembali. Setelah pamit dengan kepala desa, mereka kemudian keluar dari rumah
penuh harapan itu.

Tanpa sadar, beberapa warga telah menanti mereka di depan pintu. Beberapa orang membawa
pecahan uang dan beberapa lagi membawa hasil panen.

"Terima kasih sudah datang kesini dan menyadarkan kami tentang pentingnya pembangunan"
kata seseorang diantara mereka

"Sama sama pak. Kami juga senang datang kesini dan belajar banyak dari bapak bapak" kata
Andreas.

Aksa menatap momen perpisahan itu dengan sedikit haru. Bahkan mereka baru tiga hari disini,
mereka telah akrab dan begitu saling menyayangi.

"Maafkan saya pak Aksa, atas kejadian kemarin. Maaf pak, saya.. saya..." Aksa kaget dengan
ayah Matius yang keluar dari balik warga
"Tidak apa apa pak. Matius sudah menjelaskan semalam. Lagipula itu latihan untuk saya agar
bisa lebih kuat" Aksa sedikit bercanda.

Menit saling menyapa dalam perpisahan telah selesai, mereka kemudian menaiki mobil hitam
mereka. Tampak Matius dan kawan kawan menatap Aksa dengan penuh harap. Mata mereka
seakan berbicara bahwa Aksa harus menepati janjinya untuk membawa guru untuk mereka.
Seperti janjinya malam tadi.

Aksa tersenyum kuat. Melambaikan tangan dan mobil berjalan cepat. Meninggalkan desa kecil
yang membutuhkan pengembangan itu.

"Selamat tinggal. Kuharap aku bisa bertemu denganmu saat kamu telah menjadi desa yang
maju" batin Aksa.

Perjalanan yang menguras tenaga, bagi Aksa dan kawan kawannya. Perjalanan yang memakan
waktu sekitar setengah jam itu begitu melelahkan, pasalnya mereka harus melewati jalan yang
terjal dan curam.

Setelah mereka sampai di kecamatan, mereka kemudian berkumpul di rumah Aksa.


Berisitirahat beberapa menit, mengumpulkan data dan langsung kembali ke kabupaten.

"Sampai jumpa sa, sampai ketemu dilain hari. Kapan kapan main ke kabupaten, ke rumahku
ingat kan?" Itu adalah pesan terakhir Andreas sebelum naik kedalam mobil hitam pemberian
pemerintah itu. Berlalu dan meninggalkan Aksa seorang diri.

Aksa kemudian mengganti baju, makan dan beristirahat. Ibunya tak ingin bertanya apapun,
maklum anaknya itu tengah kecapean.

"Bang Aksa, bang Aksa"

Aksa terbangun saat seorang anak menggoyang tubuhnya yang tengah terbaring letih di atas
kasurnya.

"Ada apa Sinta" Aksa kemudian membuka matanya perlahan.

"Kakak sudah pulang? Kakak tahu tidak kemarin ada om om yang datang dengan mobil mewah
ke rumah kepala kecamatan. Kata teman Sinta itu pemilik pabrik yang akan di bangun itu"

Aksa kemudian mengangguk sambil berusaha duduk. Sementara tulangnya terus berdecak.
Keduanya keluar kala ibunya memanggil mereka untuk makan. Tanpa sadar ternyata Aksa
tertidur hingga tengah hari. Ia bahkan ketinggalan shalat Dzuhur berjamaah.
"Ayo makan, ibu sudah panggil dari tadi" Sinta sontak berlari menuju meja makan yang telah
duduk kedua orang tuanya.

"Capek nak, kan mama sudah bilang kalau jangan ikut lagi. Tuh liat kamu sudah kayak gitu" ibu
Aksa meledek anaknya yang keluar dengan wajah capek dan gerakan merefleksikan badan.

"Mari makan" ayah Aksa menyambung.

Makan siang kala itu penuh khidmat, keluarga kecil itu makan dengan penuh syukur. Sudah
menjadi hal lumrah bahwasanya mereka senantiasa makan bersama, tak boleh ada yang tidak.
Sebab, ayahnya Aksa cukup disiplin dalam mensyukuri nikmat yang maha kuasa berikan.

"Pak, mah tau nggak. Kemarin Aksa ke desa bagian selatan, ternyata Aksa baru tahu banyak
sekali desa yang masih butuh pembangunan" kata Aksa kala mereka selsai makan bersama. Di
meja makan hanya ada mereka bertiga, Aksa dan kedua orangtuanya. Sinta lebih dulu
menghabiskan makanannya dan pergi mengerjakan tugas.

"Betulkah? Padahal pembangunan pabrik disini semakin dekat pembangunannya. Ah apakah


tidak sebaiknya pembangunan pabrik diganti dengan pembangunan desa desa tertinggal" kata
ibu Aksa dengan kaget.

"Betul ma, aksa juga mau begitu. Pembangunan untuk desa desa tertinggal jauh lebih baik
dibandingkan dengan membangun pabrik itu" tukas Aksa menyetujui ibunya.

"Gimana pa" Aksa melanjutkan.

"Yah begitulah, semua orang pasti menginginkan seperti itu. Tapi, apa bisa kita? Kita hanya
rakyat lemah yang bahkan tak memegang kekuasaan"

"Tapi pa" Aksa membantah ayahnya. Ia menjelaskan bahwa negara ini adalah negara hukum.
Bahkan tertulis rapih dalam konstitusi negara, dalam undang-undang dasar negara republik
Indonesia pun di atur itu bahwasanya kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan
menurut undang-undang dasar. Dengan aksen seperti seorang pengacara handal Aksa berusaha
menjelaskan pemikirannya tentang situasi yang dihadapinya ini.

Kedua orang tuanya hanya melihat dirinya dengan tatapan yakin bahwa apa yang dikatakan
anaknya ini adalah sebuah hal yang memang benar.

"Aksa akan memperjuangkan kemelaratan ini pak. Aksa akan berjuang hingga desa desa
tertinggal lain bisa mendapatkan pengembangan" Aksa mengakhiri pembicaraan itu dengan
janjinya. Sungguh, ia adalah anak muda yang memang andil dalam urusan negeri. Ia terlanjur
menggali lebih dalam pasal segala konflik negerinya. Secara tak langsung, ia telah memulai
sebuah peperangan yang berujung kebebasan.

Hari hari setelah dirinya memutuskan untuk memperjuangkan pengembangan desa desa
tertinggal, Aksa lebih jauh menilik desa desa yang ada di sekitar kecamatannya. Ia bahkan rela
bergabung dengan komunitas jurnal anak negeri. Komunitas yang ia temui di media sosial
beberapa hari lalu setelah ia berusaha mencari tahu nama media sosial dari pemilik buku yang
di dapatinnya dari Matius beberapa saat lalu.

"Aku aksara lestari, bisakah aku bergabung dalam komunitas kalian?" Tutur Aksa kala
menghubungi salah satu member komunitas tersebut.

Setelah beberapa lama berbincang melalui telepon, Aksa di terima. Hal ini ialah salah satu cara
agar Aksa dapat mewujudkan mimpinya. Pertama, ia akan menjelaskan kepada komunitas
tersebut apa yang ingin ia report. Kedua, ia akan meminta bantu agar pembangunan pabrik itu
dapat di hentikan. Aksa telah menyiapkan segalanya.

Setelah mendapati izin dari kedua orangtuanya kala Aksa harus mengikuti komunitas tersebut
dan mengikuti sebuah program yang di buat komunitas tersebut. Aksa girang, meskipun ia
harus memberikan pemahaman yang melelahkan namun rasa bahagianya terbilang tak dapat ia
ungkapkan melebihi kelelahannya saat meminta izin.

"Pa, ma. Do'akan aksa. Doakan Aksa agar Aksa bisa mewujudkan mimpi Aksa untuk
memberikan perubahan untuk desa kita. Doakan Aksa di mudahkan segala jalannya." Kata Aksa
tatkala ia harus ke kabupaten. Setelah mendaftar diri, ia diminta hadir ke rumah komunitas.
Agar bisa mengikuti setiap program yang akan di buat.

"Jangan terlalu memaksakan diri. Jaga kesehatan mu nak. Kami akan selalu merestui langkah
mu" kata ibu Aksa dengan penuh pilu. Mereka berpelukan.

Aksa meminta izin untuk beberapa Minggu kedepan, atau bisa sebulan kedepan. Sebab,
programnya ini cukup lama. Dan, katanya ia akan kembali dan menghentikan pembangunan
pabrik itu sebelum pembangunannya di bangun.

Mentari menyapa pagi, dengan sejuknya. Aksa menaiki angkutan umum merah mengkilap
untuk pergi ke kabupaten. Didalam angkot itu hanya ada lima penumpang, seorang wanita dan
anak kecil yang duduk di depan, seorang lelaki dan istrinya di kursi tengah dan Aksa juga
seorang lelaki di kursi terakhir.
"Bu, kepala kecamatan kemarin di datangi pendiri pabrik itu"? Sopir yang berkepala botak itu
menanyakan wanita yang duduk di kursi sampingnya. Dia adalah istri dari saudaranya kepala
kecamatan.

"Iya pak, tahu tidak. Lelaki itu kaya raya bang. Mobilnya mewah banget, ia bilang akan
memberikan kompensasi bagi mereka yang membantu membangun pabrik itu. Dia juga bilang
bahwa pabrik itu akan segera di percepat pembangunannya dan ternyata pembangunan itu
bukan hanya untuk dia tapi juga untuk masyarakat"

Aksa yang mendengar percakapan itu begitu tercengang. Ia teringat perkataan Sinta beberapa
hari lalu bahwa ada lelaki yang datang menemui kepala kecamatan.

" Ah benar sudah lelaki itu adalah pemilik pabrik" batinnya

Lelaki yang sangat menolak pembangunan pabrik itu berusaha menghindar percakapan itu
dengan melihat keluar jendela angkot. Pemandangan indah tersaji dengan gratis, lebih baik
daripada harus mendengar percakapan bohong itu.

Satu hal yang membuat lelaki ini semakin tertarik adalah para siswa yang berjalan dengan ceria,
bahkan banyak sekali para siswa yang berjalan." Sepertinya mereka tak memiliki sekolah di
desanya" pikir Aksa.

Dan pemikiran itu ternyata benar, anak anak tersebut berhenti di sebuah sekolah yang bahkan
jaraknya cukup jauh. Aksa memperhatikan mereka kala mobil angkutan ini berhenti sejenak
untuk membeli bensin di sebuah pompa bensin mini.

"Coba lihat, siswa tersebut semangat sekolah yah kak" lelaki yang duduk disamping Aksa
membuka percakapan tatkala keduanya telah lama bungkam.

Lelaki dengan perawakan muda itu sepertinya ikut memperhatikan para siswa yang berjalan
tadi.

"Iya bang. Semangat pendidikannya begitu luar biasa" Aksa menimpali

Keduanya mengobrol sejenak. Aksa mendapati lelaki tersebut adalah mahasiswa dari
kabupaten yang baru habis libur. Dia terbilang cukup tertarik dengan percakapan pasal
pembangunan, sebab dia adalah mahasiswa jurusan hukum.

Setelah beberapa lama mengobrol mereka harus berpisah ketika mobil angkutan umum ini
berhenti di sebuah terminal kota. Aksa mengambil jalan ke arah Utara menuju rumah
komunitas menggunakan ojek, sedangkan lelaki tersebut kearah berlawanan.
Komunitas jurnal negeri

"Saya Aksa"

"Saya Bram. Abraham Samad" keduanya berjabat tangan ketika Aksa memasuki sebuah rumah
yang didepannya terdapat sebuah pondok kecil bertuliskan "Jurnal negeri". Ia kemudian
berbincang panjang dengan Bram yang menjadi ketua komunitas. Komunitas ini ternyata telah
berdiri beberapa bulan. Komunitas yang bahkan tak dilirik sedikitpun dari pemerintah yang
ternyata komunitas ini begitu mendukung perkembangan negeri. Bram memiliki pekerjaan
seorang guru sekolah menengah pertama. Ia meminta izin untuk mengikuti rapat programnya
yang dilaksanakan beberapa menit lagi.

***

"Jadi? Semua sepakat akan memulai perjalanan mengelilingi setiap desa di kabupaten?" Bram
memberikan keputusan terakhir tatkala mereka telah mengakhiri rapat.

"Setuju" seluruh anggota sepakat menyetujui.


"Kita mulai dari mana?" Bram kemudian menanyakan lokasi pertama yang harus mereka
kunjungi

"Menurut saya, kita dahulu mengunjungi desa di pedalaman" Aksa mengusulkan

"Ya, saran yang bagus. Bagaimana semuanya?"

Sepertinya, saran Aksa diterima semua anggota, mereka menyetujui dan menyiapkan rencana
untuk mengunjungi desa desa pedalaman. Bram memutuskan untuk memulainya dari desa
sebelah selatan. Sehari kedepan adalah hari keberangkatan mereka. Aksa kala itu duduk di
ranjang milik Bram yang ia pakai untuk menginap sehari kedepan. Bram tinggal sendiri di rumah
besar milik ayahnya yang bekerja di luar kota bersama ibu dan adiknya. Dia tinggal sendiri, dan
itu adalah satu satunya alasan kenapa Aksa mau menginap dirumahnya. Sebab, Bram sendirian
Aksa tak mau merepotkan Bram di kala ia bersama orangtuanya. Sehari selepas rapat itu,
mereka melanjutkan perjalanan mereka. Mengunjungi daerah selatan kabupaten.

Jaraknya terbilang jauh, sekitar tiga jam mereka harus menaiki mobil trail mini yang disewa
mereka berdasarkan hasil patungan juga uang kas mereka. Kala itu, hanya beberapa dari
anggota yang ikut, kira kira tujuh orang. Yang lainnya sibuk kuliah. Setelah tiga jam duduk di
mobil trail tulang Aksa serasa remuk, ditambah jalanan yang begitu amburadul seperti di desa
selatan kecamatan ia tinggal namun ini lebih parah. Makanya hanya mobil trail yang bisa
menjelajahi jalan ini. Aksa tercengang dengan kampung yang luas di kaki gunung itu, cukup
luas. Bagaimana tidak, aktivitas warga disini seperti warga di kecamatan. Hanya berbeda pada
infrastruktur desanya yang terbilang jauh dari pembangunan juga mayoritas penduduk disini
adalah petani keras. Setelah mengunjungi kepala desa, Bram beserta anggotanya meminta izin
untuk beberapa hari. Melihat dan mendatai aktivitas juga hal hal yang berkaitan dengan desa
selatan ini, yang jauh dari pembangunan sebagai data untuk menyadarkan mereka yang
sepertinya salah kaprah dengan tindakan mereka.

Desa selatan.

Ah, sepertinya aku lagi lagi salah menduga bahwa desa ini orang orangnya jahat sebab tinggal di
pedalaman namun segalanya terbalik mereka jauh lebih ramah daripada orang orang di
kecamatan. Meskipun kita berbeda agama, berbeda tempat tinggal bahkan tak saling mengenal
mereka masih saja tersenyum ramah.

Aku terharu dengan seorang anak yang bernama Yohana, anak gadis yang menginginkan
pembangunan sekolah mereka. Dia ingin bersekolah seperti anak anak dalam buku yang ia
baca. Dia anak yang pandai, meskipun ia hanya belajar hingga kelas lima sekolah dasar ia telah
pandai membaca. Katanya ia selalu berdoa agar Tuhan membuat orang orang agar mau
membangun sekolah mereka.
Aku juga miris dengan pak daven, seorang petani tua yang bekerja untuk keluarganya m
anakanya lima orang dan istrinya meninggal beberapa tahun lalu saat melahirkan anak ke lima
mereka. Katanya, desa ini dijanjikan pembangunan tahun ini namun selama menanti mereka
tak menemui batang hidung mereka yang ingin membangun negeri ini. Entahlah, apakah
mereka tak begitu penting ataukah orang orang itu telah lupa. Mereka hanya bisa berdoa
semoga segala yang terbaik itu ada. Mereka juga tak begitu berharap jika desa mereka akan
dibangun, mereka lebih senang menikmati saja apa.yang telah ada.

Segalanya serasa diluar nalar. Entah aku yang terlalu berlebihan ataukah kenyataan yang terlalu
nyata. Hanya saja harapan dan doa kita semua sama. Bahwa kita berdoa yang terbaik untuk
mereka yang menginginkan yang terbaik, bukan untuk hal pribadi semata namun untuk orang
orang yang sedang menginginkan yang terbaik

Aksara lestari

Aksa menulis pengalaman berharganya pada buku catatannya, yang ia beli saat hendak menuju
rumah Bram. Ia pikir sepertinya segalanya perlu di tuangkan dalam catatan, sejujurnya ia
termotivasi dari seseorang yang bernama mentari harisah itu. Saat waktu senggang Aksa selalu
membuka catatan milik wanita luar biasa itu yang entah dimana kabarnya. Aksa berharap dia
bisa bertemu dengannya, mengembalikan buku catatan ini dan sejenak bertukar pikir.

Dua hari di desa ini, bagi mereka yang telah keracunan globalisasi adalah hal yang sangat
membosankan. Pasalnya, disini tak ada sedikitpun jaringan internet ataupun telepon. Jika ingin
kalian harus pergi ke dataran tertinggi desa ini untuk menangkap jaringan yang hanya segaris
saja dan hilang dalam hitungan detik. Listrik disinipun menyala hanya lima jam sehari dari jam
sebelas malam hingga kurang lebih jam empat atau lima subuh. Mereka hidup dalam gelap,
berterangkan pelita. Namun begitu luar biasanya mereka dapat hidup seperti ini.

Aksa selalu membayangkan bagaimana susahnya dia ketika berada disituasi seperti ini, disisi
mereka. Entah keluhan apa yang keluar dari mulutnya nanti.

Setelah hari ketiga, mereka memutuskan kembali. Melanjutkan perjalanan menuju desa Utara.
Jarak yang cukup jauh namun jalanan telah rapih membuat mereka bersyukur. Sepertinya kali
ini desa Utara tak seperti desa selatan, hal ini membuat mereka sedikit lega tak harus
menanggung beban perjalanan yang menyiksa.

Desa Utara, desa yang ditelantarkan jika kita melihat desanya. Desa ini tak di anak tirikan
namun desa ini di telantarkan. Lihatlah, didesa ini ada sebuah sekolah tanpa seng, yang
bangunannya telah di buat beton tak seperti desa selatan kabupaten juga di kecamatan Aksa
yang rata rata masih menggunakan papan. Juga sebuah bangunan bekas pabrik yang telah
berhenti produksinya. Perumahan rapih yang terbuat dari papan. Disini, masyarakatnya
minoritas muslim, dan mayoritas katolik. Meskipun begitu, toleransi di desa ini begitu kuat.
terlihat dari para wanita berjilbab yang bercengkrama asyik di bawah pohon depan rumah
kepala desa.

Setelah meminta izin barang dua hari, merekapun di izinkan. Menginap di rumah warga yang
dengan senang hatinya diterima. Tak perlu lama bernegosiasi pasal ingin mengambil laporan
seperti desa desa sebelumnya hanya dengan menyampaikan niat tulus dan bercerita sejenak
mereka diizinkan. Itu bukan berarti masyarakat disini minim akan pengetahuan namun, mereka
terlalu baik. Mungkin dengan baik itu mereka di bodohi dan di telantarkan.

Desa Utara

Aku tinggal di rumah seorang bapak yang sudah renta. Namanya, pak Sinayus. Beliau seorang
muslim yang telah tinggal berpuluh-puluh tahun disini setelah beliau memutuskan untuk
meninggalkan segala kenangan pahit di kabupaten. Beliau pindah sebab, beliau di selingkuhi
istrinya yang membawa anak anaknya. Ia hanya tinggal dengan seorang anak wanita yang
usianya masih sangat muda. Beliau sangat ramah, senang bergurau dan baik sekali.

Tinggal di desa ini seperti tinggal di dalam dunia yang terkubur. Banyak infrastruktur seperti
bangunan bekas yang tak terurus entah bagaimana jadinya. Padahal bila dibangun desa ini
mungkin lebih jauh majunya dari kecamatannya.

Disini, aku belajar sebuah arti perjuangan, perjuangan untuk membangun sesuatu yang
tertinggal. Bukan untuk membuat aku menjadi seseorang yang ambisius namun untuk
menjadikan aku seseorang yang lebih paham akan arti kehidupan dan arti kesenangan dimasa
depan

Aksara lestari

Aksa menulis catatannya di sebuah pohon di lapangan sepak bola, yang dipenuhi remaja remaja
desa dan juga beberapa temannya Aksa. Dibawah langit yang pekat, Aksa menikmati suasana
indah desa ini. Aktifitas warga yang masih melekat dengan kegiatannya, sungguh ini adalah
pemandangan indah.

Beberapa menit kemudian rinai hujan jatuh menyerang, beberapa lembar buku milik Aksa
basah terkena tetesan air hujan, ranting pohon ditepi lapang itu tak dapat menahan rinai hujan.
Aksa berlari cepat menuju sebuah pondok kecil di tepi lapangan berteduh menunggu hujan
reda.

Remaja yang bermain sepak bola begitu menikmati pemainnya, benar saja bermain sepak bola
kala hujan adalah hal yang menyenangkan apalagi bagi teman teman Aksa yang banyak berasal
dari kabupaten yang mungkin jarang memainkan permain seperti ini.
Aksa terdiam sejenak sembari mengambil buku dari ranselnya, ia sengaja membawa buku
catatan milik mentari harisa. Sudah beberapa hari ia tak membuka catatan itu, sebab ia cukup
sibuk dengan kegiatannya disini. Terakhir ia membaca beberapa catatan buku itu ketika di desa
selatan. Aksa membaca beberapa kalimat rapih nan luar biasa milik wanita ini, ia mencari cari
catatan yang ditulis wanita ini tentang desa utara.

Beberapa lembari dibuka dan dibaca beberapa kalimat ia menemukan catatan tentang desa
utara.

Disitu jelas sekali, wanita itu menulis penjelasan yang memang tepat. Di catatan itu tertulis
jelas, bahwa beberapa tahun lalu desa ini memiliki sebuah wisata yang banyak di kunjungi
wisatawan. Wisata yang menjadi alasan mengapa tempat ini dibuat pengembangan. Wisata air
terjun pelangi, Aksa mengingat ingat tentang wisata ini dan ingatannya membuatnya tertuju
pada sebuah artikel yang ia baca ketika masih kuliah, tentang wisata air terjun pelangi di
kabupatennya. Tapi, seiring berjalannya waktu wisata ini kemudian tak lagi berjalan. . hal itu
disebabkan oleh beberapa tetuah adat di desa Utara yang menentang lebih dibukanya lagi
wisata ini. Sebab, wisata ini adalah budaya yang harus di jaga kelestariannya.

Desa Utara yang masih melekat adatnya, membuat para warga takut bilamana wisata ini
semakin berkembang mereka yang datang akan merusak apa yang ada disebabkan kurangnya
pengamanan disini. Dan hal tercengang yang membuat Aksa heran adalah warga disini
dijanjikan keuntungan untuk pembangunan lebih lanjut mengenai infrastruktur serta sarana.
Namun, beberapa tahun tak ada kabar pasal dana itu. Hal ini membuat marah para warga dan
menolak pembangunan wisata air terjun pelangi.

Aksa membaca tulisan di buku itu dengan pangling, "dari mana wanita ini bisa menggali
informasi sedalam ini" batin Aksa

Mereka bahkan tak ingin tahu sedalam ini, kalaupun tidak diberitahu secara detail oleh warga.
Mungkin saja wanita ini memiliki cara tersendiri yang bisa memikat para warga.

Hujan di luar pondok masih belum reda, sesekali Aksa mengintip langit. "Sepertinya hujannya
berhenti besok" Aksa terkaget dengan perkataan seorang anak wanita yang dari tadi melihat
Aksa. Bajunya basah sepertinya ia menerobos hujan.

"Lagi baca kak" anak wanita itu adalah anak semata wayang pak Sinayus. Namanya Anita. anak
remaja yang tinggi kurus tetapi memiliki pipi chubby serta rambut gimbal itu duduk disamping
Aksa.

"Kamu dari mana? Basah begitu" tanya Aksa


Anita baru balik dari teman temannya, bermain dan diguyur hujan sat hendak pulang. Karena
hujan dan ayahnya melarang dia untuk bermain hujan dia mencari tempat berteduh.

"Sebenarnya Anita masih bingung kak, tujuan kakak datang disini buat apa yah?" Anita menilik
bacaan Aksa dengan wajah penasaran

"Jadi, kedatangan kakak juga teman teman kakak adalah untuk mengobservasi desa disetiap
kabupaten. Untuk memberikan laporan ke daerah agar membangun daerah daerah tertinggal"
jelas Aksa

Anita yang masih remaja itu cukup paham, pasalnya anak ini cukup dewasa pemikirannya.

"Kakak mau lihat air terjun pelangi?"

"Mau!"

"Tapi sayangnya sudah tidak lagi dibuka untuk umum. Hanya untuk para tetuah adat. Kakak
tahu, ternyata wisata di desa kita terkenal loh. Tapi sejak peristiwa rusuhnya warga desa
dengan pengelolanya jadi tidak terkenal. Kata bapak mereka telah menipu dan memperdayai
warga Disini. Entahlah betul ataukah tidak" Anita berbicara panjang lebar

Setelah beberapa menit bercerita Aksa kemudian kembali bersama Anita, teman temannya juga
terlihat tidak lagi bermain sepak bola. Keduanya berjalan di atas jalan becek yang membuat kaki
celana mereka bersimbah kotor.

Mentari semakin terbenam, langit memerah dan pekat.


Pembangunan hotel

"Terima kasih pak. Telah menerima kami dengan senang hati disini. Maaf bila merepotkan" kata
Bram kepada kepala desa.

Setelah hari hari kegiatan di desa Utara, hari ini adalah hari berakhirnya kegiatan mereka dan
harus melanjutkan perjalanan, kini tinggal dua desa terakhir. Matahari pagi di desa Utara
adalah sebuah keindahan tersendiri. Sama seperti desa desa pada umumnya, udara segara dan
mentari hangat adalah sapaan pagi yang tak pernah absen.

Sudah setengah jam mereka mengobrol sembari menunggu kawan kawan yang lainnya
berkumpul untuk menaiki mobil Jeep mereka.

"Terima kasih pak, atas segalanya" Aksa pamit kepada pak sinayus dan Anita. Menaiki mobil
Jeep dan berlalu tanpa suara. Aksa hanya menunggu waktu, menunggu waktu mempertemukan
mereka kembali. Banyak sekali perjalanan yang mereka dapati kala kegiatan ini. Banyak sekali

Tujuan mereka selanjutnya adalah Tenggara. Jaraknya tak begitu jauh dari kecamatan Aksa
tinggal. Kurang lebih hanya sejam saja.
"Waalaikumussalam warohmatullah wabarakatuh" Aksa menjawab salam dari telepon
genggamnya yang bergetar. Tinggal beberapa kampung lagi mereka sampai di desa tenggara.

"Apa?" Aksa kaget bukan kepalang, entah hal apa yang membuatnya begitu tercengang.

Dia menutup teleponnya kala Bram menginstruksikan kepada seluruh kawannya untuk bersiap
siap sebab mereka hendak sampai di desa tenggara.

Wajah haru terpasang di wajah Aksa dengan pasti, membuatnya melamun. Setelah mereka
meminta izin kepada kepala desa mereka ternyata tinggal di balai desa yang lumayan besar
untuk mereka tinggal. Sebelumnya mereka di tawarkan untuk tinggal di rumah warga tetapi
pilihan mereka jatuh kepada balai desa yang mungkin lebih luas untuk mereka tinggal. Kepala
desa mengizinkan begitu juga dengan para warga

Di desa tenggara perkembangan desa ini jauh lebih baik dari beberapa desa sebelumnya, desa
yang terdiri dari seribu kepala keluarga. Infrastruktur disini sudah lengkap, sekolah dari sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas sudah ada, begitu juga dengan fasilitas lainnya. Di desa ini,
warganya mayoritas menganut dua agama. Hal itu terpampang dari sebuah masjid yang berdiri
megah di samping sebuah gereja yang indah. Sebuah toleransi yang memang nyata. Aksa yang
memperhatikan itu pangling. Angannya tertuju tahun bulan lalu, kala ia masih duduk di bangku
SMA. Ia ingat betul, perkelahian yang terjadi sebab perbedaan.

"Bayus, kulitmu hitam seperti arang. Kamu juga dari desa dibelakang gunung itu kan? Kamu tak
perlu bersekolah itu akan membuat rugi orang tuamu, juga otakmu yang bobrok" tiga orang
lelaki mendekati seorang anak berambut gimbal, berkulit hitam legam di kursi belakang aksa.

"Maksud kamu apa? Aku tidak bisa bersekolah sebab aku dari desa samping gunung? Sebab
kulit ku hitam dan aku beragama Kristen?" Lelaki bernama bayus itu berdiri, melotot kepada
ketiga anak yang menghadangnya.

"Rangga! Kamu tak perlu seperti itu. Kita semua berhak bersekolah, berhak mendapat masa
depan yang lebih baik. Itulah mengapa sekolah ini didirikan, untuk mencetak generasi yang
sukses yang bukan hanya dilihat dari ras, agama bahkan dimana dia tinggal"

Tanpa basa basi, lelaki pimpinan kedua temannya itu melayangkan tinju cepat kearah wajah
Aksa, Aksa tak dapat menghindari pukulan cepat itu, tanpa berlama bayus membalas pukulan
Rangga hingga ia terkapar. Sejak kejadian itu, kejadian yang berakhir hukuman dan ceramah
guru BK Rangga jadi lebih dekat dengan bayus, meskipun nampak ganjil namun Aksa bersyukur
setidaknya Aksa masih bisa melihat nilai nilai sekolah. Dan dia kembali melihat hal itu di desa
tenggara ini.
"Kamu kenapa sa?" Bram mengagetkan Aksa yang melamun diteras balai desa, menatap awan
yang berarak.

"Eh Bram, tidak, tidak mengapa" Aksa tersadar dari lamunannya

"Aku pikir sebab perkataan kepala desa tadi"

Aksa berpikir sejenak, apa yang dikatakan kepala desa? Ketidak fokusnya aksa membuatnya tak
dengar perkataan kepala desa.

"Itu, soal kenapa pembangunan PAM, di desa ini fakum"

Aksa berpikir sejenak, menyengir dan mengatakan bahwa dia tak dengar sedikitpun perkataan
kepala desa tadi.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

Pertanyaan Bram membuat Aksa tertegun, menarik nafas dan mencoba untuk menjelaskan
kepada Bram.

"Aku mendapat telepon dari bapak, pembangunan pabrik yang aku ceritakan untukmu ketika
aku pertama masuk komunitas ini"

"Tentang pembangunan pabrik yang membuat pembangunan desa di anak tirikan?"

Aksa menjelaskan bahwa sebenarnya pembangunan pabrik itu nihil, anggarannya akan di
bagikan kepada desa itu bohong dan yang lebih kesal lagi adalah bahwa mereka memalsukan
data dan izin desa kepada pemerintah. Dan yang lebih membuat Aksa geram adalah ternyata
pendiri pabrik itu berbohong, bahwa sebenarnya pembangunan itu adalah untuk pembangunan
hotel pribadinya.

"Bapak menelpon bahwa kepala kecamatan mendatangi bapak, meminta maaf atas keegoisan
dirinya, bahwa telah salah melangkah. Yah, ayah maklum namun kesepakatan itu telah di buat.
Aku harus kembali dan memperjuangkan kampungku"

Bram melihat Aksa, memperhatikan mata lelaki itu yang berbinar dan penuh dengan impian
nyata.

"Lantas? Apa hubungan ayahmu? Hingga mereka meminta maaf?"

"Tanah yang menjadi pembangunan itu seper empat milik bapak. Yang telah tergadaikan"

Bram melongo, tak bisa berkata kata. heran dengan kenyataan yang ia dengar
"Aku harus kembali, dan memperjuangkan negeriku".

Sehari setelah dia berbincang dengan Bram, Aksa pulang lebih awal. Meskipun kegiatan mereka
belum selesai. Ia harus pulang lebih awal sebab ia harus mengurusi surat surat pemberhentian
pembangunan itu yang entah bagaimana caranya.

Setelah berpamitan dengan Bram dan kawan kawannya juga kepala desa, Aksa menaiki motor
warga yang juga ingin ke kabupaten. Dalam hatinya ia terus membatin, memikirkan apa yang
akan dia lakukan nantinya, apa yang harus dirinya rencanakan untuk membatalkan
pembangunan hotel itu.

Solusi rumit

"Jadi, bagaimana pak?" Aksa membuka percakapan setelah salam dan menyalami tangan
ayahnya juga ibunya.

"Kemarin, kepala kecamatan datang. Mengumpulkan para warga dan meminta maaf pasal
pembangunan sialan itu. Kepala kecamatan bahkan nyaris di gebuki warga yang tak dapat
menahan emosi mereka" ayahnya menjelaskan kejadian sehari lalu.

"Lalu, apakah ada solusinya?" Pertanyaan Aksa itu dijawab ayahnya dengan gelengan kepala
tanda tak ada solusi. Aksa begitu geram, seharusnya kepala kecamatan itu mencari solusinya
bersama.

"Ayah tak tahu apa yang harus kita lakukan, seminggu lagi pembangunan hotel itu di jalankan"

Seminggu? Itu adalah waktu paling cepat, aksa kehabisan akal ia bahkan tak tahu harus
melakukan apa. Bukan hanya dia, warga kecamatan Aksa saja tak bisa merumuskan solusi
masalah ini. Dan, masalah terbesar adalah surat surat izin pembangunan hotel ini sangatlah
jelas bahkan menyewa pengacara untuk membatalkan pembangunan itu akan terbilang
mustahil untuk berhasil.
Setelah perbincangan berat itu, Aksa pamit beristirahat di kamarnya. Memandangi jam dinding
yang menunjukkan pukul sembilan lewat, dan melempar pandangan ke arah langit langit
kamarnya. Berpikir sejenak.

"Mentari Harisah!" Mata Aksa melotot, meneriaki satu nama.

"Aku tahu, mentari Harisah bisa membantu, dengan tulisannya. Jurnalis yang mendukung
pembangunan, dia bisa menyerang pembangunan hotel itu dengan tulisannya lewat media
masa"

Aksa dengan cepat mengeluarkan buku catatan milik mentari harisah. Membuka catatannya
dan mencari informasi terkait mentari harisah yang bisa di hubungi. Sebelumnya, ia telah
mencari informasi di catatan itu namun, tak ditemui mungkin kala itu ia tak terlalu serius
mencarinya. Sebab, dia terlalu tertarik dengan tulisan milik Mentari.

Jarinya berhenti menunjuk kalimat kalimat identitas setelah melihat sebuah alamat email, yang
tertulis rapih. Aksa bergegas mengeluarkan teleponnya dan cepat menghubungi alamat email
itu.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, apakah ini mentari harisah? Jurnalis wanita


yang mengelilingi kabupaten timur? Saya Aksara lestari, saya ingin meminta waktunya jika bisa
ada sesuatu yang ingin saya sampaikan"

Akksa mengetik kalimat itu dengan berpikir sedikit, apakah mentari harisah akan membuka
email-nya? Mungkinkah email ini miliknya?

Beberapa menit menunggu, tak ada balasan apapun dari email itu. Aksa mengurung niatnya
untuk bertemu dengan wanita itu dan meninggalkan teleponnya di atas kasurnya dan pergi
bersiap untuk makan siang dan sholat Dzuhur. "Sepertinya, email ini salah" batinnya.

Setelah bersiap, sholat Dzuhur berjamaah di masjid juga makan siang Aksa memilih mengurung
dirinya dikamar dan berpikir pasal pemberhentian pembangunan hotel itu yang seminggu lagi
akan di mulai.

"Bang, Sinta boleh pinjam ponselnya? Sinta ingin bermain game yang Abang bilang Minggu lalu"
Sinta mengeluarkan kepalanya di sela sela pintu, membuat Aksa kaget dengan adik gadisnya itu.

"Sinta, bikin kaget saja. Ini, awas mainnya ingat waktu"

"Siap!!"

Setelah adiknya pergi, Aksa membuka catatan milik mentari harisah membacanya dengan teliti,
siapa tahu ada solusi di catatan itu. Beberapa menit membaca, nampak tak ada permasalahan
desa desa yang dikunjungi mentari harisah yang sama dengan desa Aksa tinggal. Lagi lagi Aksa
kehilangan harapan untuk mendapatkan solusi. Dia bahkan hampir pasrah, namun Aksa
teringat perkataan ayahnya ketika ia pergi kuliah.

"Ingat, ketika kamu telah memulai sesuatu kamu harus mengakhirinya. Kesatria sejati tak akan
pernah meninggalkan tanggung jawab, dia tak pernah meninggalkan sesuatu yang telah
dibangun. Dan ingat, jangan sekali kali lupakan tuhan. Dia pasti akan memberikan yang terbaik,
selagi kamu berusaha"

Kata kata ayahnya itu selalu dijadikan komitmen, ia ingat betul ketika ia hampir saja menyerah
dengan kuliahnya namun pepatah ayahnya ia membuatnya bangkit dan kembali berdiri. Aksa
kemudian menulis pepatah itu di buku catatan miliknya, dengan penuh keyakinan. Yah,
begitulah hidup bahwasanya kita harus mengakhiri apa yang telah kita mulai. Toh percuma,
ketika kita telah berjalan hingga pertengahan jalan lalu kita memutar balik.

"Abang, bang. Ini ada pemberitahuan dari ge..ma..ill atau apa ini bang. Sinta gak sengaja
menekan ini jadi pemberitahuan ini muncul"

Aksa terkaget dengan perkataan Sinta yang dengan cepat memberikan telepon kepada Aksa.

"Waalaikumussalam warohmatullah wabarakatuh, iya ini dengan siapa. Aksara lestari? Kata
Matius buku saya diberikan kepada pak Aksa. Apakah anda orangnya? Boleh saja, dimana lokasi
anda?"

Mata Aksa melotot melihat layar monitor yang berisikan email dari mentari harisah. Ia kaget, ia
bahkan tak bisa berkata-kata. Dalam pikirannya muncul tanda tanya. Apakah dia benar benar
mentari? Benarkah? Jika tidak dia mungkin tak mengenal Matius?

Dengan cepat, Aksa membalas pesan itu. Menjelaskan bahwa dia beberapa Minggu lalu ke
kampung selatan, bertemu dengan Matius dan Matius menitipkan buku ini untuk diberikan
kepada Bu mentari. Aka juga menjelaskan bahwa dia di kecamatan.

"Saya di desa Tenggara, mengikuti sepupu saya. Besok saya akan kembali ke kabupaten tapi
saya akan singgah di kecamatan"

Desa tenggara? Ada acara apa. Itu lokasi terakhir kegiatan Aksa dan kawan kawannya. Aksa tak
ingin banyak tanya, ia tak ingin wanita ini bosan dan tak bisa di ajak bekerja sama. Lagipula,
wanita ini sudah biasa berkeliling mungkin saja ini bagian dari perjalanannya.

Setelah beberapa lama mengobrol, keduanya sepakat bertemu. Di rumah Aksa, besok. Mentari
akan menginap di rumah sepupunya di kecamatan barang sehari untuk bertemu dengan Aksa.
Obrolan mereka merambat hingga seputaran buku milik mentari, decak kagum Aksa dan
sebagainya. Hingga, berujung pada jaringan di tempat mentari hilang. Aksa hanya berdoa,
semoga saja keduanya bisa bertemu dan bisa bekerja sama.

***

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Aksa. Saya telah sampai di kecamatan. In sya


Allah malam nanti setelah isya saya ke rumah kamu"

Sebuah nomor tak dikenal menelpon Aksa, perkataan dari nomor tak dikenal itu membuat Aksa
tercengang mendengarnya. Itu mentari harisah, dia telah sampai di kecamatan siang tadi dan
malam nanti dia akan mendatangi rumah Aksa.

"Waalaikumussalam warohmatullah wabarakatuh. B..Baiklah, malam nanti."

Keduanya berbincang sebentar, dan menutup teleponnya dengan di akhiri salam. Aksa
melayangkan pikirannya untuk nanti malam, sedikit gugup menyerang semestanya
membuatnya berusaha menenangkan diri.

Mentari siang yang terik berjalan perlahan menuju senja yang menjadi penghujung hari. Aksa
yang terbangun adzan ashar bergegas menuju masjid, sholat berjamaah dan kembali ke rumah.
Mentari yang semakin memerah membuat Aksa tertarik menuju pantai, yang jaraknya
beberapa ratus meter dari rumahnya. Kala sore, pantai di kecamatan memang selalu ramai.
Entah sebab anak anak kecilnya yang bermain dan mandi ataukah sebab nelayan yang lalu
lalang dengan perahu dan jalanya.

Aksa duduk beberapa meter dari bibir pantai, memperhatikan Lamat Lamat senja yang kian
sempurna ronanya. Anak anak berlari asyik, tertawa lepas seperti tak ada beban.

"Andai saja, anak anak itu tahu beban yang tengah melanda tempat bermainnya ini dengan
pikiran dewasa. Mungkin tawa itu tak pernah ada" Aksa membatin dalam dalam.

Pikirannya menayangkan memorinya beberapa tahun silam, kala ia bersama Icuk dan beberapa
kawannya bermain seperti anak anak kecil itu. Kala itu, mereka duduk di bangku sekolah dasar.
Ia ingat betul tatkala seorang temannya terbawa arus dan Icuk adalah yang paling berani
menolongnya sedangkan teman temannya hanya melihat dengan wajah takut. Ketika Icuk
berhasil membawa temannya dari arus dan mereka tertawa lepas. Dia ingat betul semua
memori indah itu, yang kini hanya tinggal bayang semu. Pikirannya tak lagi penuh dengan
permainan seperti itu, tak lagi acuh dengan apa yang terjadi. Ia juga teringat tatkala ia ketika
sekolah menengah pertama, di pukuli ayahnya sebab pulang terlalu petang hingga tidak sholat
berjamaah sebab berkeliaran di kebun warga mencari buah-buahan untuk mereka makan.
"Ah, dulu segalanya begitu tak dipikirkan. Tak ada pemikiran berat yang memang selalu
menekan dan menuntut" batin Aksa.

Dirinya maklum, sebab semakin dewasa mereka akan lebih berat berpikir, jalan mereka akan
lebih terjal dan lebih berliku. Bahkan pemikiran kosong tatkala kecil akan terisi penuh oleh
pemikiran keras yang menuntut. Yah, begitulah hidup segalanya berproses, berjalan hingga
menuju finish.

Mentari yang tengah bergejolak dengan gemanya semakin tak karuan. Cahayanya indah,
membias di atas ombak yang memukul bibir pantai. Beberapa jam duduk menyaksikan
pemandangan indah itu, Aksa beranjak pulang ketika suara pengajian di masjid bergema.
Bergegas menuju kembali ke masjid, menjalankan kewajibannya. Sembari menunggu beberapa
jam kedatangan mentari harisah.

"Assalamualaikum"

Suara salam dari arah pintu, membuat Aksa bergegas cepat. Suara wanita yang memberi salam
itu membuat Aksa harus segerakan diri. Setelah shalat Maghrib dan isya tadi, aksa lebih tenang.
Dia tak lagi grogi seperti siang tadi.

"Waalaikumussalam warohmatullah wabarakatuh" Aksa mempersilah masuk wanita itu. Wanita


berjilbab cream dengan gamis coklat mudanya. Dengan senyum lebar menyapa, membuat Aksa
tak berkutik. Wajah oval cantik alaminya membuat Aksa tak berkutik.

"Kamu? Kamu yang mendapati buku catatan saya di terminal beberapa bulan lalu?" Wanita itu
kaget melihat wajah lelaki itu.

"Kamu? Wanita yang mencari buku catatan itu?" Keduanya terkaget, tanpa disadari mereka
pernah bertemu. Beberapa bulan lalu ketika Aksa menunggu mobil angkutan umum di terminal
dan dirinya mendapati seorang wanita yang mencari buku catatannya.

Tuhan memang adil, dia mempertemukan mereka yang saling membutuhkan diwaktu yang
tepat dan sosok yang tepat. Tanpa sadar, keduanya pernah bertemu sebelumnya.

"Jadi, saya ingin berbicara tentang pembangunan hotel desa ini. Saya rasa, pembangunan hotel
ini adalah sesuatu yang benar benar merugikan. Bagaimana tidak? Banyak pembangunan
infrastruktur lain yang lebih di butuhkan seperti sekolah atau sebagainya. Jika tidak keberatan
bisakah kamu menulis artikel tentang pembangunan ini? Agar seluruh masyarakat tahu dan
mendukung penolakan pembangunan hotel ini." Tukas Aksa dengan jelas ketika keduanya telah
duduk di ruang tamu. Kedua orangtuanya yang menguping dari balik ruang tengah begitu asyik
tanpa takut ketahuan.
"Oh, boleh saja. Saya juga telah mengeksplorasi berbagai wilayah di daerah ini yang benar
benar membutuhkan pembangunan. Tapi, sebelumnya saya ingin bertanya apakah kepala
kecamatan sebelumnya tidak menolak pembangunan ini? Bukannya mereka lebih tahu? Lalu
kenapa pembangunan ini masih berlanjut"

"Terima kasih jika ingin membantu. Segalanya terbilang cepat untuk diputuskan. Pembangunan
yang berkedok investasi untuk negeri seakan nihil. Penipuan yang beralaskan kesejahteraan
rakyat adalah senjata ampuh mempengaruhi warga. Kamu pasti paham"

"Iya paham, lantas kapan pembangunannya?"

"Minggu depan"

Mentari tercengang, Minggu depan? Waktu yang begitu singkat untuk mengurusi semuanya.
Mereka harus bergerak cepat sebelum terlambat.

Obrolan keduanya berakhir setelah mentari melirik jam yang hampir larut, dia kemudian
menyeruput teh hangat pemberian ibu Aksa ditengah perbincangan mereka tadi.

"Akan saya usahakan, saya juga tak ingin pembangunan di setiap daerah terhambat hanya
sebab pembangunan yang tak berdampak positif bagi masyarakat"

"Saya sama seperti kamu"

Mentari kemudian beranjak pulang, berpamitan kepada kedua orang tua Aksa yang sengaja
duduk mendekati ruang tamu. Dan berlalu meninggalkan sejuta asa dalam semesta Aksa.
Dirinya hanya terpaku bisu melihat tubuh mentari yang semakin lama dimakan belokan jalan.
Dia tak tahu, apa yang sedang dikagumi. Apakah pemikiran wanita itu? Ataukah pesona yang
mengguncang semesta milik Aksa?

Ah apapun itu satu hal yang pasti malam ini Aksa tengah porak poranda.
Rencana pembatalan

"SEBUAH PEMBANGUNAN HOTEL DI KECAMATAN TIMUR TENGAH DI LAKSANAKAN.


PEMBANGUNAN YANG SEHARUSNYA DI TEPIS DAN DI GANTI DENGAN PEMBANGUNAN
SEKOLAH TERTINGGAL DI BEBERAPA DAERAH"

Hanya beberapa hari artikel tersebut telah mencapai ribuan penyebar dan beberapa ratus ribu
penyetuju. Artikel yang di buat Mentari yang dia sebarkan di blog pribadinya dan media
sosialnya itu ramai menjadi perbincangan khalayak.

"Kita berhasil mentari, artikelnya banyak disetujui orang. Kita berhasil, sebentar lagi
pembangunan itu akan di hentikan" Aksa menelpon mentari dengan girang tatkala melihat
artikel yang tengah membumi itu.

"Belum sa, kita belum berhasil aksa. Ini baru permulaan, kita baru mengirimkan surat perang.
Artikel kita di setujui khalayak ramai, tapi kita mungkin akan diserang pendiri hotel itu"
Aksa terdiam sejenak, benar apa kata mentari. Memberhentikan pembangunan yang telah
seratus persen disetujui berbagai pihak bukanlah hal yang mudah. Aksa bahkan tak akan
berpikir bahwa mereka akan di datangi pendiri hotel itu dengan beberapa hukum yang kuat.

"Benar tar, aku bahkan tak kepikiran kesitu"

Mentari sepertinya telah terbiasa dengan hal hal seperti ini, benar saja. Dia bercerita kepada
Aksa pasal dirinya pernah membuat artikel yang membuatnya harus mengurusi dirinya di pihak
hukum agar tak di tuntut habis habisan. Meskipun artikel yang di buatnya sebenarnya adalah
sebuah hal yang benar. Namun, bagaimanapun tak semua orang memiliki pemikiran yang sama.

Mentari kemudian mengatakan kepada Aksa tentang apa yang harus dia lakukan ketika pendiri
hotel itu datang kepadanya.

"Kamu harus tenang, jelaskan dengan tidak menitik beratkan kepada pembangunan yang tak di
setujui dan kamu harus lebih membuka pemahaman mereka"

Aksa mengiyakan perkataan mentari, menyiapkan diri. Ini adalah perang baginya. Entah banyak
ataukah sedikit pasukan mereka, mereka harus menang. Sebab, peperangan ini bukanlah untuk
kebahagiaan seseorang atau kelompok tertentu. Melainkan peperangan ini adalah peperangan
ini untuk kebaikan mereka bersama dan bukan hanya hari ini namun untuk mereka
kedepannya.

"Aksaaaa.. Aksa.. sini nak" Aksa kemudian menutup percakapannya dengan mentari yang kini
tengah berada di kabupaten. Ia harus pulang dan akan kembali dua hari lagi. Katanya ia harus
mengurusi pengurusannya disana.

"Sebentar mah" Aksa berlari dari ruang makan menuju ruang tamu.

"Ada apa mah?" Aksa bertanya kepada ibunya yang menyambutnya dengan wajah takut.
Bagaimana tidak? Beberapa lelaki berbaju hitam dan berbadan kekar tengah berbaris di depan
pintu. Dengan di komando oleh seorang lelaki yang telah berkeriput. Berkepala botak dan jas
hitam rapihnya.

"Anda aksara lestari?"

"Iya dengan saya sendiri. Ada apa pak?"

Keduanya berbincang di ruang tamu hanya berdua. Ibu Aksa memilih tidak mendengarkan
percakapan menyeramkan itu.
"Ini tentang pembangunan hotel saya dan artikel itu. Bagaimanapun, saya telah memiliki surat
surat lengkap. Usaha untuk membatalkan pembangunan itu bukanlah hal gampang. Sudahlah,
menyerah saja" lelaki botak itu berbicara dengan sombongnya, gerakan tangannya membuat
seorang lelaki diantara ketiga lainnya yang berdiri di depan pintu mengeluarkan map coklat dari
tas jinjingnya.

"Tapi pak, bagaimana dengan warga disini yang terkena dampaknya? Pembangunan itu akan
menyita lahan masyarakat ditambah ada pembangunan yang meski di prioritaskan dibanding
pembangunan hotel ini" bantah Aksa

"Segalanya telah di setujui, jika anda bersikeras untuk membatalkan. Itu sama saja anda
bersikeras untuk pembangunannya. Sama saja, tak ada yang dapat membatalkannya" lelaki itu
menunjukkan beberapa surat yang menyatakan bahwa tanah wilayah pembangunan hotel itu
telah sah di miliki lelaki botak ini.

"Saya akan terus berusaha, apapun yang terjadi"

"Saya akan melihat, sampai mana usahamu"

Lelaki itu kemudian berlalu dengan sombongnya, menaiki mobil Honda hitamnya. Melaju
meninggalkan segala kekesalan yang bergejolak di dalam dada Aksa.

"Lelaki botak sial itu" aksa membatin.

Sepertinya, usaha untuk menggagalkan pembangunan itu sia-sia. Tinggal beberapa hari lagi
pembangunan itu akan di laksanakan, perbincangan hangat pasal artikel yang gagal seakan
membumi.

"Bagaimana ini sa, pembangunannya tinggal beberapa hari lagi. Artikel yang aku buat
sepertinya tak membuahkan apapun. Maafkan aku" jelas mentari ketika datang ke rumah Aksa
dan Aksa menjelaskan pasal lelaki botak itu.

"Tak mengapa, hanya saja kita benar benar harus mencari solusi".

Keduanya diam sejenak, keduanya seakan diajak berpikir keras. Hal terkonyol yang terjadi
adalah hanya mereka berdua yang berpikir keras dan bekerja keras untuk pembatalan ini. Tak
ada orang lain, yang ikut berpartisipasi. Ayah dan ibu Aksa juga berpartisipasi, namun siapa
sangka mereka orang tua yang mungkin tak lagi cukup andil dalam urusan ini. Ia ingat beberapa
hari lalu dia mengatakan kepada para warga pasal apa yang ingin ia lakukan. Dirinya juga
mengatakan kepada kepala kecamatan dan kepala desa, pun ketika rapat beberapa hari lalu.
Namun, tanggapan terbanyak mengatakan bahwa hal itu adalah kesia siaan belaka.
"Itu akan membuat tenagamu terbuang sia sia. Kamu hanya akan mendapati lelah" kata kepala

"Tapi, apakah kita akan merelakan desa kita di gadaikan oleh pembangunan hotel itu" Aksa
membantah

"Mereka punya cukup bukti, kita tak akan bisa berhasil" kepala kecamatan mengangkat suara.

Aksa selalu memekik pada semesta, bahwa dia tak mampu berjalan sendiri. Tak mampu untuk
berlayar diatas perahu kecil yang diombang ambing badai. Tapi, kesadaran Aksa muncul tatkala
ia melihat kedua orangtuanya. Ia perlu menyunggingkan senyum kedua orang ini, meskipun
tidak dengan jabatan ataupun uang yang dia miliki. Setidaknya, sumbangsihnya seperti ayahnya
itu perlu.

"Kami akan membantu, bagaimanapun itu" kepala kecamatan datang di balik pintu dengan
beberapa warga di belakangnya, ada kepala desa juga.

Aksa kaget, begitupun mentari. Dia tak menyangka, warga berubah pikirannya.

"Abang!" Mentari bersuara ketika melihat seorang lelaki yang berjalan mendekati mereka dari
balik warga.

Peperangan di mulai

"Aku punya kenalan. Seorang pengacara di kabupaten, dia sepertinya bisa mengurus kasus ini.
Yang penting, kita mempersiapkan bukti kita" Bram angkat bicara ketika mereka berkumpul di
rumah Aksa. Mereka duduk di teras rumah yang tak begitu lebar, beberapa orang bahkan
duduk di pinggiran teras. Bram datang bersama para warga, setelah Mentari menanyakan
sebabnya datang. Ternyata, para warga bisa datang sebab Bram yang meminta mereka. Entah
bagaimana cara Bram bisa memberikan gambaran kepada para warga. Kata Bram, dia dari desa
tenggara langsung menuju kecamatan. Dia mendapati pesan dari Mentari pasal situasi
kecamatan.

"Bisakah kamu menghubungi kenalanmu itu? Pembangunan itu akan di mulai kurang lebih
empat hari lagi" Aksa angkat bicara

"Sudah, aku sudah menghubunginya. Dia akan datang ke sini lusa. Tugas kita sekarang adalah
mencari bukti yang benar benar kuat bahwa pembangunan itu merupakan hasil penipuan"

"Saya punya rencana". Kepala kecamatan mengusulkan rencana.


Beberapa menit bercerita, membahas pasal apa yang akan mereka lakukan dan juga rencana
kepala kecamatan, mereka akhirnya sepakat bersama. Rencana itu akan di jalankan besok.
Mereka benar benar harus berperang.

Aksa bahkan tak pernah berpikir tentang bersatunya para warga kini, ia pikir dirinya yang benar
benar akan berjuang demi pembangunan desanya. Namun, stigma itu seakan mati dengan
kenyataan yang tersaji kini.

"Semuanya sepakat!" Kepala kecamatan berusaha meyakinkan mereka setelah merampungkan


usulan.

"Sepakat" seluruh yang ada kala itu berteriak, bukan hanya Aksa, mentari dan Bram saja juga
para warga dan tak lupa ada ayah Aksa dan ibunya yang ikut bergabung.

Kongres kecil kecilan itu berakhir dengan beberapa ucapan maaf dari kepala kecamatan pasal
perbuatannya, yang dengan tidak apa apanya dijawab para warga.

"Maafkan aku atas sikap egoisku, seharusnya aku lebih berhati hati dan tak gelap mata"

"Tak mengapa pak, kita semua sama sama belajar. Yang terpenting, kita harus mengakhiri
perang ini" Aksa dengan legowo nya menjawab sembari memberikan tatapan mata polosnya.

Rembulan kini tak temaram lagi, ia semakin bersinar. Bahkan gemintang tak perlu lagi takut
cahaya direnggut pekatnya malam. Hal serupa juga dirasakan Aksa, kini ia akan lebih tenang
untuk tidur, meskipun sesekali berpikir keras tapi setidaknya ia telah dikurangi beban. Mereka
akhirnya bekerja sama, harmonisasi yang diinginkan Aksa kini terwujud.

"Bagaimana ini, bagaimana bisa?" Seorang lelaki botak mengangkat telepon seluler dari
sakunya, lelaki itu tengah bersantai di sofa coklat sembari menikmati sebotol kaleng soda.
sepertinya kabar buruk itu tengah menimpanya.

"Saya akan kesana. Katakan kepada mereka jangan macam macam" lelaki botak itu kemudian
memberi isyarat kepada beberapa orang yang berdiri di depan pintu rumahnya untuk
berangkat.

Lelaki botak itu kemudian menaiki mobil Honda Brio miliknya, dan berjalan cepat menuju
tempat tujuannya. Sebelumnya, ia mengumpulkan beberapa berkas yang di simpannya di laci
kamarnya, mengisinya dalam tas jinjingnya.

***
Mentari pagi itu cerah, seperti membawa harapan baru yang dinanti. Bram menginap di rumah
Aksa setelah memeprtimbangkannya dengan Mentari. Bram dan Aksa keluar setelah sarapan,
ini adalah hari pertama mereka menjalankan rencana mereka untuk menggagalkan rencana
pembangunan itu. Mereka berkumpul di rumah kepala kecamatan, sembari menunggu
pengacara datang. Keduanya memacu langkah, diantara jalanan dengan beberapa pemotor dan
warga yang berjalan. Hari ini adalah hari Minggu, kebanyakan warga tidak berangkat bekerja.
Hanya beberapa pekebun yang berjalan di jalan kala itu.

"Dulu Bram, aku selalu bermain disini" Aksa menunjukkan sebuah bangunan pertanian yang
jaraknya beberapa meter dari rumahnya.

"Di bangunan itu?" Bram yang tidak tahu menahu hanya menanyakan apa yang dia lihat.

"Tidak, dulu disini ada tanah kosong yang biasa dipakai untuk bermain bola untuk anak anak
kecil disini. Tapi, itu beberapa tahun lalu sebelum aku kuliah. Tak nyangka segalanya berubah
begitu cepat" jelas Aksa.

Bram hanya menyimak dengan berusaha mengenang cerita Aksa.

"Terima kasih, telah membantu saya untuk membangun desa ini"

"Yah, sama sama. Saya juga berterima kasih bisa mengenal kamu dan segalanya. Sejujurnya,
aku membantumu untuk menuntaskan perbuatan ayah beberapa tahun lalu."

"Maaf, memangnya kenapa?" Aksa penasaran

"Ayahku adalah seorang anggota dewan dikabupaten. Namun, menjadi anggota bukanlah
sesuatu yang membuat dia bertanggung jawab. Dia terlalu gelap mata dengan uang. Dia bahkan
meninggalkan aku ibu dan kakak ku demi mengejar bisnis bisnisnya" mata Bram berkaca,
membuat Aksa iba dengan lelaki di sampingnya. Lelaki dengan rambut bergelombang
mengembangkan seperti parabola, dengan tubuh tingga putih dan muka penuh bintik merah
jerawat, tampak memiliki latar belakang keras.

"Maaf jika aku mengingatkan kamu dengan masa lalumu"

"Tak mengapa, aku selalu bercermin dari masa laluku. Aku belajar bahwasanya segala yang
tercipta akan tetap berjalan. Ayahku telah menciptakan masa lalu yang suram, itu terus dan
tetap berjalan. Dan aku akan mengubah itu dengan jalanku" kata Bram dengan semangat.

Aksa hanya memperhatikan lelaki itu dengan tatapan kagum. Lelaki itu disewakan masa lalunya.
Tak terasa, mereka bercerita begitu asyik hingga tak sadar bahwa beberapa langkah lagi
mereka menjumpai rumah kepala kecamatan. Dari luar, tampak mentari duduk di depan rumah
kepala kecamatan dengan kepala kecamatan yang lebih dulu datang.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" Aksa dan Bram masuk dengan salam.

Beberapa menit bercerita, mereka kemudian kaget dengan sebuah mobil silver metalik
terparkir di depan pintu pagar. Dari pintu, keluar seorang lelaki yang di kenali Bram. Itu adalah
pengacara yang membantu mereka menggagalkan pembangunan hotel itu.

"Perkenalkan, nama saya Ahamdin Shandi" lelaki berjas dan berkacamata yang keluar mobil,
berjalan cepat menuju tiga orang lelaki dan seorang wanita yang berdiri dengan senyum lebar.

Setelah mereka berkenalan, mereka kemudian menjelaskan permasalahan yang mereka dapati
kepada pengacara bernama panggil Ahamd itu. Perbincangan semakin asyik, Aksa
membeberkan hal hal yang memang membuatnya harus menolak pembangunan itu, tak lupa
mentari juga Bram.

"Jadi, saya telah mengumpulkan beberapa bukti. Tentang surat kerja sama pertama yang
menjelaskan bahwa pembangunan itu adalah pembangunan pabrik, bukan pembangunan
hotel. Dan saya juga mendapatkan ini" kepala kecamatan mengeluarkan kartu nama, yang
bertuliskan nama Arifin Shamad.. Yang memiliki jabatan anggota dewan."

Bukti yang diberikan kepala kecamatan seketika membuat semua orang disitu girang. Namun,
di satu sisi Bram merasa lelaki di kartu nama itu seperti familiar namanya. Bukan hanya nama,
namun pekerjaan dan hal hal berbau bisnis mirip sekali dengan seseorang yang dikenalinya.
Pemikiran berlebihan itu ditepisnya, ia ingat ketika ayahnya meninggalkan mereka ayahnya
pergi keluar kota.

"Saya juga telah memanggil lelaki itu, untuk menyelesaikan masalah ini secara tertutup"
sambung kepala kecamatan.

Langit pagi kini beranjak terik, di sela sela perbincangan mereka. Seorang lelaki memasuki
rumah kepala kecamatan dengan kacamata hitam dan kepala botak. Tak lupa, beberapa orang
yang juga sama dengannya mengikutinya dari belakang, menjaganya bak seorang raja.

"Apa apaan ini, kalian tidak punya hak membatalkan rencana pembangunan ini. Saya punya
dokumen yang benar benar sah, yang menyatakan bahwa saya telah sah memiliki tanah dan
berhak melanjutkan pembangunan hotel ini" lelaki tersebut masuk dengan tanpa salam,
mengeluarkan luapan emosi yang sepertinya ditahan. Wajah merah seperti kepiting rebusnya
begitu terlihat jelas.
Kenyataan itu pahit

Mentari pagi begitu gerah, suasananya seakan memenuhi jiwa mereka yang tengah menatap
lelaki berkepala botak itu. Yang datang dengan wajah garang, memekik keras kepada mereka
yang berbincang. Bersikeras terhadap keputusannya.

"Ayah!" Bram yang muncul dari dalam rumah, yang numpang buang air kecil terkaget dengan
lelaki itu.

Aksa, mentari, kepala kecamatan juga pengacara menatapnya dengan penuh heran.

Ayah? Lelaki ini ayahnya Bram? Benarkah?

Lelaki itu menatap Bram.

Ingatan Bram bermain liar, menyajikan kejadian beberapa tahun lalu. Ketika dia berusia tujuh
belas tahun. Ketika itu ia melihat seorang lelaki berambut rapih dengan jas rapih pula
tersenyum lebar. Melihat dirinya yang berdiri di depan sepotong kue ulang tahun. Lelaki yang
menatapnya dengan wajah tersenyum, kini menatapnya Dengan tatapan tiada arti.
Tak ada rambut klimis rapih dan jas rapih. Tak ada senyum indah. Yang ada hanya lelaki botak
dengan wajah sinis dan gila uang. Dia tak menyangka segalanya terjadi seperti ini, ia bahkan tak
mengira ayahnya ada disini. Tak mengira bahwa ayahnya adalah biang masalah kecamatan ini.
Dan tak mengira bahwa ayahnya masih menjadi seseorang yang gelap mata sebab uang.

"Saya bisa menuntut anda tentang pasal penipuan. Undang undang no 378 KUHP tentang
penipuan. Anda menipu kepala kecamatan dan juga warga dengan pembangunan pabrik yang
hasilnya akan di persenkan untuk pembangunan warga dan yang akan dipekerjakan adalah
warga, yang nyatanya adalah pembangunan hotel. Anda juga mengubah tanda tangan dan
dokumen yang telah di tanda tangani. Tak lupa, anda juga memalsukan identitas diri anda"
pengacara yang duduk di samping kepala kecamatan menjelaskan dengan tepat dan jelas.

Lelaki tersebut hanya berdiri tak berkutik. Entah sebab ia melihat anaknya yang kini telah
tumbuh dewasa atau sebab tuntutan kepala kecamatan.

"Hentikan pembangunan itu, ayah. Tidakkah ayah sadar? Ayah telah gelap mata. Sejak apa yang
terjadi beberapa tahun lalu" Bram angkat bicara.

Aksa dan mentari juga kepala kecamatan menyaksikan pertikaian segitiga itu, dengan melongo
dan tak tahu harus berbuat apa. Aksa baru sadar, ternyata lelaki kejam itu ternyata adalah ayah
Bram. Benar saja, ketika Bram melihat kartu identitas itu Bram nampak kaget dan murung
beberapa saat.

"Tidak bisa, ini tidak bisa." Lelaki tersebut memekik keras

"Tidak pak. Segera hentikan pembangunan itu ataukah bapak saya tuntut" kepala kecamatan
angkat suara.

"Aku telah bekerja sama dengan perusahaan lain, dan mereka telah mentransfer uang mereka.
Tidak bisa dihentikan"

"Itu urusan ayah, ayah harus mengembalikan uang mereka. Ayah tidak ingat, ketika ibu sakit
sebab ayah terlalu serius mengurusi bisnis ayah? Bahkan jabatan anggota dewan tidak bisa
membuat ayah puas" mentari yang telah menganggap Bram kakaknya, meskipun hanya saudara
jauh menenangkan dirinya.

Lelaki itu terdiam lesu. Menatap wajah Bram dalam dalam. Sepertinya, sorot mata itu penuh
akan penyesalan.
"Bapak telah kehilangan segalanya, keluarga, kasih sayang anak dan bahkan kebahagiaan
sendiri hanya sebab bapak terlalu mementingkan bisnis yang membuat bapak mati rasa.
Apakah bapak ingin hal itu dirasakan orang lain?" Aksa yang sedari tadi diam mengangkat suara
keras.

Beberapa penjaga lelaki itu seperti menyiapkan ancang-ancang untuk membela majikannya
tatkala ia hendak di pukuli.

"Kalau bapak mau, saya bisa mengurangi pembatalan kerja sama itu. Yang penting bapak
menyiapkan segala uang yang diberikan dari investor bapak" pengacara itu kemudian
menawarkan tawaran yang mungkin dipikirkan lelaki itu.

"Ayolah, yah" Bram memelas.

Lelaki itu kemudian berlalu, tanpa memikirkan apapun. Tak memikirkan Bram yang kini
matanya berkaca-kaca, tak memikirkan tentang dirinya yang hendak dituntut atas kasus
penipuan.

"Ayah.!" Bram berteriak sejadi-jadinya. Aksa dan mentari yang melihat itu menahan Bram
sekuat tenaga. Dia kemudian melepaskan cengkraman Aksa dan mentari, dan berusaha
mengejar mobil yang melaju didepannya. Hingga ia tak sadar, sebuah mobil angkutan umum
melaju cepat dari arah sampingnya.

Dan..

Gebruk.... Sebuah tubuh terbentur keras dibagian depan mobil angkutan hingga terpelanting
keras.

"Aksaaa..."

Pandangan lelaki memudar, suara teriakan sayup sayup terdengar.

"Bagaimana? Apakah kita akan merdeka ataukah tidak?"

Seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu dengan cepatnya mengerumuni Aksa. Beberapa
orang panik dan menelpon ambulans, beberapa orang lagi berusaha memberikan penanganan
sementara.

Bram dan mentari berlari cepat.

"Apakah perjuangan kita telah berakhir? Apa akhirnya? Merdeka atau terjajah?" Aksa melirih,
kemudian menutup mata dan terlelap.
Epilog

"PEMBANGUNAN HOTEL DI KECAMATAN TIMUR TELAH RESMI DIBATALKAN"

sebuah artikel muncul dari balik ponsel milik Mentari yang duduk di ruang tunggu rumah sakit
kabupaten. Mentari ingat ketika ia teleponan dengan Bram dua hari lalu bahwa ayahnya telah
membatalkan pembangunan itu, dan memulangkan segala pemberian investornya dan ingin
hidup bersama Bram dan keluarganya.

"Kita telah menang, sa. Kita telah merdeka" mentari membatin. Dirinya kemudian membuka
catatan miliknya yang diberikan Aksa beberapa bulan lalu, mengecek catatan yang harus
ditulisnya sebagai artikel untuk persyaratannya kuliah di luar kota.

Dia membuka setiap lembaran catatan, hingga ia menemukan sebuah lembar yang menjadi
lembar terakhir catatan ini.

"Aku mengaguminya, seorang wanita muslimah yang rela melanglang buana untuk menulis
segala yang terjadi di setiap tempat yang dia kunjungi.
Aku mengagumi, bukan sebab parasnya. Namun, sebab semangatnya yang besar yang bahkan
akupun tak memilikinya.

Dia wanita yang luar biasa.

Desa tenggara.

Aksara lestari

Air mata mentari menetes, membasahi lembaran itu. "Aku juga mengagumimu, kesatria"
batinnya dengan penuh rasa

"Mentari? Assalamualaikum" Suara itu mengagetkan mentari.

"Waalaikumussalam, Bram?"

Itu Bram, mereka baru bertemu kembali setelah Bram memutuskan untuk membujuk ayahnya.
Setelah kecelakaan kala itu. Ya, setelah kecelakaan itu Aksa di bawa ke rumah sakit di
kabupaten. Ada cedera yang membuatnya dirawat beberapa hari atau bahkan Minggu. Dan
sekarang tepat seminggu lebih Aksa di rawat. Bram panik tatkala ia membawa Aksa dalam
kecelakaan kala itu, namun ibu Aksa menguatkannya. Dan, salah satu cara membalas
perbuatannya itu adalah dengan mewujudkan impian Aksa, yaitu merdeka. Merdeka dari
pembangunan yang tak berarti, merdeka dari penjajahan dalam negeri dan merdeka dari segala
kesalah gunaan.

Mereka kemudian mengobrol sebentar. Bram menjelaskan caranya membujuk ayahnya.


Katanya, ia harus membawa dan mengenakan barang barang yang diberikan ayahnya untuk
membuat hatinya luluh. Dan satu barang yang sangat membuat hatinya luluh adalah syal
pemberian ibunya.

"Itu adalah syal yang pertama diberikan ibu kepada ayah. Ketika mereka pertama kali menikah"
jelas Bram.

Beberapa menit mengobrol, Sinta keluar dari ruang rawat inap milik Aksa.

"Kak mentari, kak Bram. Ibu panggil. Bang Aksa bangun" Sinta yang bersemangat kemudian
kembali masuk ke dalam ruang rawat inap milik Aksa

Aksa siuman? Alhamdulillah.

Tanpa lama, Bram dan Mentari masuk kedalam ruangan itu. Didalamnya, ada ibu dan ayah Aksa
yang duduk di samping kanan Aksa. Perban tebal terpasang di kepala dan tangan kanannya, alat
bantu pernapasan yang terpasang di hidungnya begitu membuatnya terlihat sekarat. Wajah
pucat polosnya begitu nelangsa.

"Apa kabar, kesatria" mentari menyapa dengan senyum khasnya

"Kita telah merdeka, penjajah itu telah menyerah. Kita telah merdeka" Bram berusaha
menahan air matanya.

Senyum itu terpasang rapih, meskipun ditutupi alat bantu pernapasan. Matanya berkaca,
mulutnya berusaha digerakkan.

"Aku bersyukur, kita bisa menang bisa merdeka. Terima kasih kalian berdua sudah mau
melangkah bersama hingga mencapai titik ini" kaimat terbata yang berusaha dikeluarkan mulut
pucat itu begitu berarti.

Seluruh yang ada di ruangan itu begitu antusias.

"Kini aku belajar sa, bahwa perjuangan tak hanya harus dengan menulis saja. Tapi, harus
dengan tindakan nyata. Aku bersyukur mengenal kesatria pemberani sepertimu" mentari
angkat bicara.

Beberapa menit lengang, tanpa suara. Terdengar dari balik pintu, suara ketukan. Dengan cepat,
ibu Aksa membuka pintu itu. Puluhan manusia muncul dari balik pintu, disitu jelas terlihat. Ada
kepala kecamatan, ada beberapa warga, ada pak Ilham, beberapa muridnya. Ada Ahmad dan
Jonathan juga beberapa siswa, ada Icuk dan Andreas.

Mereka datang dengan sambutan juga sanjungan. Tak ada kata selain kata hebat, kata dikagumi
dan kata kata penuh pujian lainnya. Bagaimana tidak, Aksa punya peran penting dalam
kepribadian orang orang ini. Bukan sebab dirinya yang berpangkat, namun semangat dirinya
begitu luar biasa. Meskipun Aksa menolak untuk dipuji seperti itu. Baginya, itu terlalu
berlebihan.

"Aku bangga terhadap kamu Aksa. Aku pikir, kamu hanya seorang penatap langit yang konyol.
Namun, kamu seakan berada diantara langit itu" Icuk mendekati Aksa, mengatakan
kekagumannya. Icuk juga mengatakan bahwa kini, ia mendapati pekerjaan layak yang ia idam
idamkan. Aksa bersyukur dan memberikan jempol kepada kawan masa kecilnya itu.

Beberapa menit mengobrol, mereka satu persatu pulang. Sebab, mereka datang dengan
menggunakan mobil camat. Jadi, mereka harus kembali bersama. Bram juga harus mengurus
administrasi bersama ayah dan ibunya. Mentari harus kembali sebab ada urusan yang harus ia
urusi. Dia meninggalkan dua sebuah amplop putih lusuh.

"Dari Matius di desa selatan.


Terima kasih bapak guru. Matius dengar bapak yang berusaha sampai sekolah disini bisa
dikembangkan dan guru guru bisa mengajar. Bapak memang luar biasa. Anak anak Disini juga
sudah banyak yang sekolah karena orang tuanya tak lagi memaksa mereka bekerja di kebun.
Banyak yang sudah bisa membaca dan menulis.

Semoga cepat sembuh pak, Matius dengar bapak kecelakaan. Semoga bapak bisa sembuh dan
bisa berkelana dan berjuang untuk pembangunan di desa desa lain pak. Masyarakat disini titip
salam. Kalau ada waktu datanglah, bapak pasti senang dengan perubahan disini.

Salam.

Matius

Aksa menarik nafas lega, menilik awan dari balik jendela. Bersyukur kepada Tuhan yang maha
kuasa, sebab dirinya telah berhasil. Kini, tak perlu lagi penindasan dan penjajahan negeri, yang
ada hanya perubahan dan pembangunan yang berkelanjutan. Aksa begitu banyak belajar dari
apa yang ia lakukan. Dan satu hal berharga yang ia temui adalah. Bahwa setiap manusia
membutuhkan kebebasan, setiap keterpurukan membutuhkan pembangunan dan setiap negeri
membutuhkan kesatria.

Anda mungkin juga menyukai