Anda di halaman 1dari 5

Serayu, Sepanjang Angin Akan Berembus…

”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi
setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di
permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur
tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar
lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu,
sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela
kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja
yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi
meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar
hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya.
Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki
ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di
jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang
dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja
semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita
itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab
pertanyaannya sendiri.
”Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.”
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon lebih luas
dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
”Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.”
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
”Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun kenangan.”
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih terang,
burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum waktunya
pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian terbang lagi.
Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
”Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja?” tanya lelaki itu. Mungkin
ia gusar dengan keheningannya sendiri.
”Tentu saja.”
”Kereta apa? Kereta senja?”
”Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.”
”Lalu?”
”Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu saja.”
”Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak pun ada
namanya.”
”Ketel maksudnya?”
”Ya.”
”Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.”
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang sepasang
kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan, bahkan
pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka. Kecuali waktu
yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum turun, belum ada
kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah dekatnya mereka dengan rel
kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta melintas pasti tubuh keduanya ikut
bergetar karena roda besi yang bersinggungan dengan rel baja itu.
”Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh.” Ucap lelaki itu
”Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.”
”Tapi ini terlalu dekat.”
”Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk yang
seperti ini.”
Tentu saja.
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai ke penjuru
ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya, ada banyak
cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di besi jembatan
untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia, seorang lelaki yang
mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau awah-sawah di kejauhan
yang tampak menghampar dan hanya terlihat topi-topi petani. Semua itu adalah
cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan sepasang kekasih mungkin akan
menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa saja sepasang kekasih itu pada akhirnya
akan berpisah, tapi masing-masing dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan
ketika duduk berdua di jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak
masuk akal. Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan
detik terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja
kembali ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski
mungkin si wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja
di sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari bundar di
ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu. Serayu.
Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di kereta itu sedang
membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi melintasi jembatan,
lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras, nguooongngng, hingga ia
pun teringat dengan kekasihnya di masa lau; seorang wanita penggemar kereta
dan senja.
”Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang melintasi
Sungai Serayu tepat ketika senja.”
”Kau ingin aku jadi masinis?”
”Ya.”
”Artinya aku akan selalu pergi.”
”Aku masih bisa memikirkanmu.”
”Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan orang
lain?”
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki
terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru saja
kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu. Masinis
itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela, melihat ke
gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu saja, bukan pula
kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa lalu. Ini hanya kereta
biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem, sedikit
mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai Serayu. Dan
beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga perasaan yang tak
ada maknanya lagi.
”Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?”
Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke jembatan
Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk di salah satu
sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan tak pedulidengan
kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang bergesekan dengan rel serta besi
jembatan. Masinis itu membalas lambaian mereka. Sementara di bagian bagian
kanan, warna merah pada langit dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis
menggumpal yang artistik dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah didambakan
kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, mesin
lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta pun
berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di tengah
jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam gerbong
terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan. Apakah kereta
tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar biasa di depan?
Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan yang magis, bukan?
Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula, yaitu kereta lain yang selalu
mengingatkannya tentang senja di mana pun ia melaju, agar berhenti sebentar
untuk mengingat ucapan kekasihnya:
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi
setelah ini.”

Anda mungkin juga menyukai