Anda di halaman 1dari 7

Chapter 1: Sosok Misterius

Gadis itu tersentak bangun dari tidurnya.

Rambutnya yang hitam berkilau yang dibiarkan terurai tampak


berantakan, ia lantas melirik pada sebuah jam dinding yang tergantung
di kamarnya yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

Ruangan 4 x 4 meter persegi itu terasa lengang, hanya terdengar suara


detak jam dinding yang jarum berwarna merah itu tak henti-hentinya
berputar dan suara televisi yang terdengar sayup-sayup dari lantai
bawah.

Ia mengusap wajahnya, merapikan rambutnya yang menutupi separuh


wajahnya, kemudian menutup buku-buku yang tergeletak di depan
matanya di atas meja belajar itu dengan cekatan, beranjak berdiri.

Ia berjalan menuju ke sebuah jendela berukuran 60 x 160 cm itu.


Gordennya masih belum tertutup, terlihat jelas pemandangan diluar,
gelap, hening dan sepi, hanya lampu jalan yang remang-remang.

Ia membuka jendela, seketika angin malam berhembus pelan,


membelai rambutnya dengan halus. Ia menengadah ke atas, dilihatnya,
sebuah langit malam yang cerah membentang hingga ke kaki langit
kota, bertaburkan bintang-bintang yang gemerlapan dengan sebuah
lingkaran yang bersinar keperakan berada di antaranya.

Mata gadis itu berkaca-kaca, tanpa ia sadari, sebuah senyum tipis


terukir di wajahnya.

“Langit malam memang indah, ‘ya?”

Hah, siapa itu? Raut wajah gadis itu seketika berubah, ia kemudian
melihat kesana kemari, kiri, kanan, atas, bawah, ia tidak melihat
siapapun, hanya terlihat beberapa pohon yang tumbuh di halaman
samping rumah yang daunnya tampak disisir dengan halus oleh
embusan angin malam.
Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, terasa dingin menusuk
tulang, membuat rambut gadis itu berkibar dan menerbangkan
dedaunan pohon yang mengering ke udara.

Gadis itu merasa tidak nyaman, ia kemudian mulai memutuskan untuk


menutup jendela.

Namun, sebelum ia melakukannya, terlihat siluet seseorang melompat


dari atas atap dengan cepat, menghalangi bulan purnama di atas sana.

Kurang dari sedetik, sosok itu mendarat di atas sebuah dahan pohon
yang berada tepat di depan jendela, menyeimbangkan posisinya,
menengadah ke angkasa.

“S-siapa kau?!” Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya sembari


berjalan mundur menjauhi jendela kamar.

Sosok itu tidak menjawab, angin berembus pelan kali ini, memberikan
perasaan tenang dan menyejukkan.

“Untuk saat ini, kau tidak perlu mengetahuinya…”

Sosok itu mulai berkata. Suaranya agak berat, suara laki-laki, namun
terdengar halus laksana embusan angin malam yang membelai dengan
halus.

“-karena dijamin kau akan mengetahuinya sendiri suatu saat nanti.”


Sosok itu melanjutkan sembari menoleh kebelakang.

Wajahnya terlihat jelas, kulitnya putih pucat, raut wajahnya tenang,


rambutnya yang hitam pekat tersisir rapi, tampak mengilap, bola
matanya berwarna merah gelap seperti darah, menyorot tajam, sebuah
senyuman yang menyejukkan terukir di wajahnya.

Ia berbalik, kini, terlihat jelas sosk misterius itu. Postur tubuhnya tinggi
sekitar 170 senti, mengenakan setelan tuksedo hitam dengan dasi
kupu-kupu berwarna merah dan celana bahan berwarna hitam serta
sepatu hitam yang tersemir tampak mengilap. Sekilas, ia terlihat seperti
sosok drakula di dalam cerita-cerita fiksi.
Sekali lagi ia tersenyum, seketika angin berembus kencang,
menerbangkan dedaunan ke udara, membuat rambutnya berkibar,
menutupi mata kirinya.

“Aku tidak akan menyakitimu.

“Karena…”

Matanya menyorot tajam, mengilap ditimpa sinar bulan yang


keperakan.

Ia menghentakkan kakinya, melesat secepat kilat, menerobos masuk ke


dalam kamar gadis itu melalui jendela, bersamaan dengan angin yang
berembus kencang membuat gorden berkibar.

Gadis itu terkejut, berseru tertahan, tersudut ke dinding dengan sosok


lelaki itu berdiri di hadapannya.

“Aku menyukaimu.” Lelaki itu melanjutkan kalimatnya seraya


mengeluarkan sekuntum bunga mawar yang berwarna merah gelap
seperti darah.

Gadis itu hanya terdiam, tidak mampu berkata-kata, sementara laki-laki


itu masih berdiri persis di depannya, tersenyum.

“Tidak perlu membalasnya untuk saat ini. Karena dijamin kau akan
membalasnya suatu saat nanti.” Ujar lelaki itu, ia menyelipkan tangkai
bunga mawar itu ke dalam sela-sela rambut gadis itu yang hitam
mengilap.

“Percayalah.”

Gadis itu memberanikan diri untuk menatap kedua mata sosok


misterius itu. Matanya yang berwarna hitam tampak berkaca-kaca serta
pipinya mulai memerah. Lelaki itu membalas menatapnya sambil
memberikan senyuman yang menyejukkan laksana sinar bulan
purnama yang teduh pada malam itu.

Angin berembus pelan untuk kesekian kalinya, memberikan perasaan


tenang.
Lelaki itu menyisir rambutnya dengan jemari, kemudian membalikkan
tubuhnya, melangkah dengan tenang menghampiri jendela yang masih
terbuka.

“Untuk saat ini, aku akan pergi,”

Ia berkata sambil menatap langit yang membentang luas bertaburkan


bintang-bintang yang gemerlapan.

“Tapi, suatu hari kita akan bertemu lagi.” Tambahnya tanpa menoleh.

“Selamat malam,”

“…Alisya.”

Sosok itu lantas melompat keluar jendela dengan cepat, melesat di


antara dahan-dahan pohon, melompat dari satu atap rumah ke atap
rumah lainnya hingga siluetnya menghilang di balik kegelapan malam,
lenyap dari pandangan.

Suasana terasa hening dan sepi.

Gadis itu terduduk di lantai, sekujur tubuhnya gemetaran, ia tertunduk


ke bawah, menatap kosong.

Setangkai bunga mawar yang terselip di rambutnya itu terjatuh,


tergeletak di atas lantai. Gadis itu menatapnya lamat-lamat dengan
mata yang berkaca-kaca.

Siapa laki-laki itu, dan bagaimana ia bisa tahu namaku? Gadis itu
bertanya dalam hati.

Angin berembus sebagai jawaban, laksana sebuah tangan yang dingin


membelai pipinya dengan halus, gadis itu menengadah ke atas,
menatap jendela kamar yang masih terbuka dengan gorden yang
bergerak ditiup angin.

Ia beranjak berdiri, melangkah menghampiri jendela, menatap sekali


lagi langit yang membentang bertaburkan bintang-bintang yang
gemerlapan itu.
Ia menghela nafas, menggelengkan kepala, mencoba untuk mengusir
segala pikiran buruk di dalam benaknya.

Ia kemudian menutup jendela kamar itu dengan rapat, menguncinya,


serta menutup gorden, kemudian melangkah menuju kasurnya.

*****

“Alisya?!”

“E-eh?!” Gadis itu tersentak bangun dari lamunannya, rambutnya


menutupi seluruh wajahnya.

“Tuh, Ibu guru memanggilmu dari tadi.” Ujar seorang teman sekelas
Alisya yang duduk di sebelahnya itu.

Wanita berusia lima puluh tahun berkaca mata yang sedari tadi
memanggil nama Alisya itu menghela nafas panjang, melipat tangan di
depan dada, menggeleng, bergumam pelan.

Gadis itu cepat-cepat merapikan rambutnya kemudian menghela nafas


panjang, menggeleng, mencoba mengusir segala pikiran dalam
benaknya, kemudian melangkah mantap menuju papan tulis untuk
menyelesaikan soal yang diberikan oleh gurunya.

Matanya menyapu seluruh soal dengan sorotan yang tajam dan tampak
mengilap, ia menggerakkan spidol yang digenggam di tangan kanannya,
menyelesaikan soal, menulis hal-hal yang diketahui, pertanyaannya,
kemudian jawabannya. Lincah tangannya menulis, terkadang terdengar
papan tulis terketuk dan berdecit.

Satu menit, penyelesaian dari soal tersebut sudah tertulis lengkap di


papan putih, Alisya melangkah menuju meja guru, meletakkan spidol.

“Sempurna, terima kasih, Alisya. Kamu boleh duduk.” Wanita


berkacamata yang mengenakan pakaian batik itu tersenyum puas,
bertepuk tangan pelan. Alisya tidak menjawab, hanya tersenyum tipis,
melangkah kembali ke tempat duduknya.
Tentu saja, soal fisika itu mudah sekali baginya. Dia adalah siswi SMA
cemerlang di sekolahnya. Ia pernah mengikuti olimpiade fisika bahkan
sampai ke tingkat nasional. Beberapa minggu lalu, ia menjuarai
olimpiade fisika tingkat nasional di Jakarta, membawa pulang medali
emas untuk yang kesekian kalinya.

“Lain kali jangan melamun lagi, ‘ya, Alisya?”

Wanita yang berprofesi sebagai guru fisika itu berkata dengan tegas
kepada Alisya yang baru saja duduk di bangkunya.

Ia mengangguk, memperbaiki rambutnya yang menutupi mata


kanannya.

*****

“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Lisya?”

Gadis yang sedari tadi hanya memandangi gumpalan awan yang


berarak di luar jendela kelas itu menoleh. Ia melihat seorang temannya
yang datang menghampiri mejanya.

“Lail?”

“Sebenarnya, itu bukan apa-apa…” Alisya berkata, wajahnya tertunduk


ke bawah.

Lail adalah sahabat lama Alisya. Mereka telah berteman sejak masih
duduk di bangku SMP. Dulu, mereka adalah saingan dalam hal
akademis atau rangking di kelas. Mereka selalu menguasai posisi kedua
dan pertama sehingga tidak satupun murid lain dapat menggantikan
mereka. Terkadang Alisya menempati posisi pertama dan Lail posisi
kedua, atau terkadang sebaliknya, selang seling. Namun seiring
berjalannya waktu, mereka menjadi semakin akrab dan saling bekerja
sama, melupakan

“Kenapa wajahmu jadi merah?” Gadis yang bernama Lail itu bertanya
ketika ia telah duduk di samping Alisya.
Kelas sedang kosong, semua murid sedang keluar menuju kantin,
menyisakan dua orang gadis itu yang memilih untuk tetap tinggal di
kelas. Terdengar suara riuh rendah orang-orang di luar kelas, beberapa
berlalu lalang di lorong, kepala mereka terlihat dari jendela kaca itu.

Alisya hanya terdiam sementara Lail masih menunggu jawabannya.

Anda mungkin juga menyukai