Hah, siapa itu? Raut wajah gadis itu seketika berubah, ia kemudian
melihat kesana kemari, kiri, kanan, atas, bawah, ia tidak melihat
siapapun, hanya terlihat beberapa pohon yang tumbuh di halaman
samping rumah yang daunnya tampak disisir dengan halus oleh
embusan angin malam.
Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, terasa dingin menusuk
tulang, membuat rambut gadis itu berkibar dan menerbangkan
dedaunan pohon yang mengering ke udara.
Kurang dari sedetik, sosok itu mendarat di atas sebuah dahan pohon
yang berada tepat di depan jendela, menyeimbangkan posisinya,
menengadah ke angkasa.
Sosok itu tidak menjawab, angin berembus pelan kali ini, memberikan
perasaan tenang dan menyejukkan.
Sosok itu mulai berkata. Suaranya agak berat, suara laki-laki, namun
terdengar halus laksana embusan angin malam yang membelai dengan
halus.
Ia berbalik, kini, terlihat jelas sosk misterius itu. Postur tubuhnya tinggi
sekitar 170 senti, mengenakan setelan tuksedo hitam dengan dasi
kupu-kupu berwarna merah dan celana bahan berwarna hitam serta
sepatu hitam yang tersemir tampak mengilap. Sekilas, ia terlihat seperti
sosok drakula di dalam cerita-cerita fiksi.
Sekali lagi ia tersenyum, seketika angin berembus kencang,
menerbangkan dedaunan ke udara, membuat rambutnya berkibar,
menutupi mata kirinya.
“Karena…”
“Tidak perlu membalasnya untuk saat ini. Karena dijamin kau akan
membalasnya suatu saat nanti.” Ujar lelaki itu, ia menyelipkan tangkai
bunga mawar itu ke dalam sela-sela rambut gadis itu yang hitam
mengilap.
“Percayalah.”
“Tapi, suatu hari kita akan bertemu lagi.” Tambahnya tanpa menoleh.
“Selamat malam,”
“…Alisya.”
Siapa laki-laki itu, dan bagaimana ia bisa tahu namaku? Gadis itu
bertanya dalam hati.
*****
“Alisya?!”
“Tuh, Ibu guru memanggilmu dari tadi.” Ujar seorang teman sekelas
Alisya yang duduk di sebelahnya itu.
Wanita berusia lima puluh tahun berkaca mata yang sedari tadi
memanggil nama Alisya itu menghela nafas panjang, melipat tangan di
depan dada, menggeleng, bergumam pelan.
Matanya menyapu seluruh soal dengan sorotan yang tajam dan tampak
mengilap, ia menggerakkan spidol yang digenggam di tangan kanannya,
menyelesaikan soal, menulis hal-hal yang diketahui, pertanyaannya,
kemudian jawabannya. Lincah tangannya menulis, terkadang terdengar
papan tulis terketuk dan berdecit.
Wanita yang berprofesi sebagai guru fisika itu berkata dengan tegas
kepada Alisya yang baru saja duduk di bangkunya.
*****
“Lail?”
Lail adalah sahabat lama Alisya. Mereka telah berteman sejak masih
duduk di bangku SMP. Dulu, mereka adalah saingan dalam hal
akademis atau rangking di kelas. Mereka selalu menguasai posisi kedua
dan pertama sehingga tidak satupun murid lain dapat menggantikan
mereka. Terkadang Alisya menempati posisi pertama dan Lail posisi
kedua, atau terkadang sebaliknya, selang seling. Namun seiring
berjalannya waktu, mereka menjadi semakin akrab dan saling bekerja
sama, melupakan
“Kenapa wajahmu jadi merah?” Gadis yang bernama Lail itu bertanya
ketika ia telah duduk di samping Alisya.
Kelas sedang kosong, semua murid sedang keluar menuju kantin,
menyisakan dua orang gadis itu yang memilih untuk tetap tinggal di
kelas. Terdengar suara riuh rendah orang-orang di luar kelas, beberapa
berlalu lalang di lorong, kepala mereka terlihat dari jendela kaca itu.