Anda di halaman 1dari 24

Bab 1 : Diluar Batas

Kampung Rajawali, sebuah perkampungan terpencil terletak didalam ‘dinding’ pegunungan.

Pegunungan yang puncaknya menjulang megah ke angkasa, serta lembah dan jurang yang
sangat dalam. Di kaki pegunungan, terlihat sebuah hutan rimba yang tumbuh hingga ke
ketinggian pegunungan.

Terkadang, terilhat sebuah sayap yang besar terbang melintas, membuat bayangan besar
yang jatuh di atas tanah.

Para warga dilarang untuk pergi keluar gunung yang konon katanya sejak 100 tahun yang
lalu. Mereka mengatakan bahwa pegunungan itu dihuni oleh berbagai macam hal yang
mengancam, contohnya seperti binatang-binatang buas yang berukuran besar, taring mereka
dan mata yang merah menyala, melolong di puncak gunung pada malam hari untuk menyerap
esensi bulan. Juga terdapat berbagai jenis serangga yang sangat mematikan yang hidup di
dalam hutan.

Dari dulu, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan untuk masuk ke hutan dan
menginjakkan kaki di pegunungan, itupun karena orang-orang tertentu itu adalah para
pemburu yang mencari makanan berupa daging untuk seluruh warga kampung.

‘Hanya mereka yang layak yang bisa pergi keluar dari pegunungan’ Itulah kata-kata yang
selalu terdengar, turun-temurun dari leluhur kami.

Tapi, suatu saat, aku pasti akan melihatnya.

Padang rumput yang sangat luas, laut yang tidak terbatas, pasir yang membentang
membentuk ombak yang tidak bergerak, dan juga, kehidupan lain yang ada di luar sana.

‘Aku ingin melihat dunia luar.’


Pagi itu, langit mulai terang. Awan-awan gelap yang bergantungan di atas puncak mulai
tampak berwarna dengan cahaya keemasan yang tak lama lagi, cahaya itu akan menyentuh
desa, menyinari atap-atap rumah kayu kecil yang terbuat dari ijuk.

Lusinan anak berkumpul bersama di sebuah lapangan yang tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil. Mereka sedang berbaris dan melakukan paregangan mengikuti instriksu dari
seorang lelaki bertubuh kekar dan tinggi di depan mereka.

“Hup! Hyah! Hah!”

“Satu! Dua! Tiga!”

“Satu, dua tiga, ayo terus! Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga.”

Suara mereka semua terdengar menggema di udara, mengisi pagi yang saat itu di dominasi
oleh suara kokok ayam dan kicauan burung.

Para anak tampak bersemangat, wajah mereka yang halus tampak membara dihiasi oleh
bulir-bulir keringat yang membasahi pipi mereka. Usia mereka semua bervariasi dari 7
sampai 12 tahun.

“Bagus, pertahankan! Satu, dua, tiga! Ayo, terus lakukan, satu, dua!” Seorang lelaki kekar itu
memberikan instruksi sambil berjalan memperhatikan setiap gerakan muridnya, matanya
menatap tajam ke setiap anak dan terkadang tersenyum meski wajahnya sangar jika melihat
anak dengan gerakan yang sempurna.

Lelaki itu mengenakan pakaian hitam dengan jubah hitam menyentuh tanah yang kadang
melambai kebelakang dihembus angin. Rambutnya hitam pekat menyentuh bahu, alisnya
tebal, bisa dikatakan tampangnya mengerikan tapi ia adalah lelaki yang penuh semangat,
matanya terlihat seakan ada api yang menyala membara.

Mereka semua mengenakan pakaian serba hitam, pakaian bela diri berwarna hitam dengan
warna sabuk yang bervariasi dari putih hingga kuning untuk para murid tapi lelaki itu
mengenakan sabuk berwarna hitam pekat menandakan bahwa ia sudah berada di puncak,
seorang master bela diri.

Lantas dimana aku berada?


Aku saat ini sudah berusia 15 tahun, aku sudah melewati semua latihan dasar itu. Tingkatan
ilmu bela diriku sudah berada pada tingkat lapisan jiwa yang kedua, lapisan Fondasi Dasar’.

Didunia ini, diperkenalkan enam istilah untuk ‘lapisan jiwa’ yang maksudnya lapisan energi
tenaga dalam seseorang. Ya, aku berada pada lapisan kedua. Energi tenaga dalamku telah
mendapatkan fondasi dasarnya.

Enam istilah itu adalah, pertama ‘Semburat Tenaga Dalam’, yang kedua ‘Fondasi Dasar’,
ketiga ‘Aliran Energi’, keempat ‘Penggabungan Energi’, kelima ‘Ledakan Tenaga Dalam’,
keenam ‘Kesadaran Tenaga Dalam’.

Itulah istilah-istilah yang sering dibicarakan, tapi ada beberapa orang yang mengatakan
kalau ada lapisan yang berada di atas keenam lapisan-lapisan itu.

Kembali ke dalam cerita, aku sebenarnya tidak sedang berada di dalam kumpulan anak-anak
itu.

Aku sedang berlatih, sendirian, di bawah pohon beringin yang rindang dan besar di ujung
desa. Bergerak memasang kuda-kuda yang kokoh dengan kaki tak beralas, menghantam
tanah dengan keras membuat debu-debu beterbangan. Aku meluncurkan tinjuku pada udara
kosong didepan lalu menariknya lagi dengan sangat cepat sambil berkata ‘Hmph! Hah! Hup!
Hyah! Kemudian aku menendang ke udara setinggi kepalaku atau mungkin lebih dan
menariknya kembali dengan cepat.

Keringat mulai membasahi sekujur tubuhku tapi terasa segar dihembus angin sepoi-sepoi
dan sinar matahari yang hangat. Dari sana, aku dapat melihat awan-awan sedang berarak di
atas pegunungan, awan-awan putih nan tebal. Aku juga dapat melihat hutan rimba yang tidak
terlalu jauh di depanku berdiri. Dibawah sana.

Setelah sekitar dua jam berlatih, aku memutuskan untuk istirahat sejenak dengan duduk
meluruskan kakiku di bawah bayangan pohon beringin besar itu.

Aku diam menatap gumpalan awan-awan yang bergantungan di langit. Angin sepoi-sepoi
membuat rambut cokelatku tersibak kebelakang.

Ya, aku sebenarnya adalah seorang penyendiri, tinggal di sebuah rumah kecil di dalam desa
yang dibangun oleh para warga untukku. Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman
seusiaku, mereka bilang tampangku aneh, maksudku, apa anehnya rambut cokelat dan bola
mata berwarna oranye? Bukan hanya karena itu, aku juga tidak pandai bergaul, jadi tidak
banyak orang mau berteman denganku.
Ayah dan ibuku telah meninggal dunia sekitar tujuh tahun yang lalu.

Aku dibesarkan di kampung ini sejak dulu, orang-orang kampong sangat baik padaku. Aku
diberikan sebuah rumah kecil oleh kepala desa, biaya makanku ditanggung olehnya.

“Nexo?” Suara seorang perempuan terdengar di telingaku. “Hah?” Aku membuka mataku dan
melihat didepanku berdiri seorang gadis, aku mengenalnya.

Dia adalah teman seperguruanku, namanya Mia. Ia memiliki tubuh yang sedang, tidak terlalu
tinggi, rambutnya berwarna hitam pekat dan diikat ke belakang seperti ekor kuda, matanya
berwarna cokelat, dan kulitnya agak kecokelatan tapi halus.

“Kamu tampak lelah, ini aku membawakanmu air.” Ia menyodorkan sebuah gelas dari tanah
liat yang berisi air.

“Mia, terima kasih.” Aku menerima segelas air itu dan langsung meminumnya. Air itu terasa
sangat segar dan sedikit manis.

Mia kemudian berjalan perlahan mendekat kemudian duduk di sampingku.

“Sebentar lagi latihan untuk murid-murid seperti kita akan dimulai, kenapa kamu malah
menghabiskan tenagamu dengan berlatih sendirian disini?” Ia bertanya, matanya menatap
ke awan-awan putih tebal yang bergerak perlahan di atas pegunungan.

“Aku hanya menghabiskan waktuku disini, bisa dibilang sebagai pemanasan” Aku menjawab
sambil tersenyum mengusap keringat di keningku. “Aku ingin menjadi lebih kuat, kamu tahu,
aku dianggap paling aneh dan lemah diantara murid-murid lainnya.” Aku menambahkan sambil
meletakkan gelas tanah liat itu ke bawah.

“Itu tidak sepenuhnya benar, Nexo. Terkadang, yang dianggap aneh itu justru adalah orang
yang memiliki kemampuan istimewa.” Mia berkata dengan lembut.

Tiba-tiba, angin kencang berhembus membuat daun pohon beringin yang kering berguguran
dan membuat rambut kami tampak berkibar kebelakang.

“Angin yang kencang sekali.” Mia berkata sambil menutupi matanya dengan tangan kanannya,
menjaga agar debu tidak memasuki matanya.

Angin yang sangat kencang itu kemudian berhenti berhembus, menyisakan daun-daun yang
berserakan di atas tanah.
“Baiklah, Nexo, ini sudah waktunya giliran kita untuk berlatih, ayo pergi ke lapangan!” Mia
meraih tanganku dan mengajakku pergi ke tempat latihan.

Kami berlari menyeberangi sebuah jembatan yang tampak sangat tua yang dibangun di atas
sungai yang mengalir melewati desa kami, panjangnya sekitar 10 meter. Meskipun tampak
tua, jembatan itu masih tampak kokoh.

Tak lama kemudian, kami telah sampai di lapangan. Banyak murid seusiaku sedang berkumpul
membentuk barisan disana, sekitar tiga puluh orang. Mereka memakai pakaian serba hitam
dengan sabuk berwarna oranye. Mereka semua menatapku dengan wajah jengkel ketika aku
tiba disana.

“Hey lihat, si aneh telah datang.” Kata-kata meledek terus terdengar saat aku berjalan
untuk mengambil posisi di barisan paling belakang.

“Sudah! Kalianlah yang aneh jika terus mengejek seperti itu!” Lelaki tua yang mengenakan
jubah hitam datang dengan memancarkan aura penuh wibawa, dia adalah guru kami. Kami
memanggilnya, Guru Naga, karena ia memiliki teknik atau jurus yang banyak berhubungan
dengan naga dan dia juga adalah seorang pecinta naga. Ia berjalan sambil menatap kami
dengan tajam sambil menggosok janggutnya yang putih menyentuh dada.

“Salam, guru!” Kami semua serentak memberi salam dengan menundukkan kepala. “Selamat
pagi, murid-murid sekalian.” Guru Naga menjawab.

Entah kenapa, udara terasa lebih sejuk dari sebelumnya dan matahari telah menghilang di
balik awan-awan putih yang tebal di atas sana.

“Hari ini, saya akan memberikan kalian sebuah tes.” Guru berkata dengan raut wajah serius.
“Sebuah tes untuk membuktikan kemampuan kalian dalam ilmu bela diri. Kalian semua sudah
memiliki sabuk oranye, tapi, bisakah kalian membuktikan kemampuan kalian yang
sebenarnya?”

“Tes seperti apa, guru? Bertarung?” Seorang murid di barisan terdepan bertanya.

“Tidak! Saya tak mengizinkan kita semua bertarung sesama sendiri, tapi, tes yang kumaksud
adalah tes bertahan hidup.” Guru berkata dengan tegas.
Ia kemudian berjalan memerhatikan setiap barisan kemudian berkata lagi. “Jika kalian
mampu bertahan dan membawa pulang benda yang kuminta, kalian akan mendapatkan sabuk
berikutnya, sabuk Merah.”

Semua murid tampak senang mendengar kata-kata guru.

Kami semua diam mendengarkan dengan saksama. “Saya telah menyembunyikan sebuah ‘batu
mistis’ di kedalaman hutan, tiga buah batu mistis, kalian harus mendapatkan salah satunya
dan membawanya keluar dengan selamat. Dan, ya, hanya akan ada tiga pemenang.” Ia
menambahkan.

“Tidakkah terlalu berbahaya untuk memasuki hutan, guru?” Seorang murid berkata. “Iya,
bukankah kita semua dilarang untuk memasuki hutan sejak dulu?”

“Untuk kali ini, tidak. Saya ingin melihat seberapa hebat kemampuan kalian. Dan dalam tes
ini, kalian dapat memilih seorang pasangan dan pasangan yang berhasil membawa batu itu
keluar maka mereka berdua akan diberikan sabuk Merah.”

“Saya berikan kalian waktu lima menit untuk mencari pasangan satu tim kalian dimulai dari
sekarang!” Guru berkata dengan tegas kemudian berjalan perlahan menuju sudut lapangan
untuk istirahat sejenak.

Suasana langsung menjadi riuh karena suara para murid yang mengajak salah seorang teman
mereka.

Aku? Aku tidak memiliki teman, aku hanya dekat dengan Mia, tapi kuyakin dia akan memilih
orang lain selain aku. Aku masih diam di tempat memperhatikan semua orang yang masih
sibuk mengajak teman mereka.

“Nexo.” Suara yang tidak asing, Mia datang menghampiriku. “Aku akan menjadi rekanmu.” Ia
berkata sambil tersenyum. Aku menatap tidak percaya. “Tapi, bukankah ada orang lain yang
lebih hebat dariku? Kenapa kamu malah memilihku?” Aku bertanya dengan wajah tak
percaya.

“Dasar! Aku memilihmu karena aku tak tega membiarkanmu sendirian, bodoh!” Ia berkata
tegas sambil menepuk punggungku.

Ya, aku senang. Kupikir aku tidak akan memiliki rekan.


Tak lama kemudian, para murid telah berbaris dengan rekan mereka masing-masing di
sebelah. Guru kemudian berjalan kembali ke depan barisan, angin membuat jubah hitamnya
berkibar dan mengeluarkan suara seperti suara kelepak burung yang terbang.

Matanya yang sipit menatap tajam kedepan, ia sebenarnya adalah mantan petarung terkuat
di desa ini.

“Baiklah, ini sudah lima menit, mungkin. Semuanya, dengarkan!” Ia berkata dengan tegas.

“Batu yang saya sembunyikan itu terletak di dalam gua, di dalam batang pohon tertentu, dan
di dasar danau, jarak antara satu sama lainnya tidak dekat, dan kalian tidak perlu menaiki
pegunungan karena saya tidak meletakkannya sampai di pegunungan. Saya meletakkannya di
dalam hutan di kaki pegunungan, mengerti!?” Ia menambahkan.

Semua murid mengangguk.

“Setiap tim harus bekerja sama untuk mendapatkan batu mistis itu, saling melindungi dari
tim lain yang mencoba merebut dan juga hewan buas yang muncul tiba-tiba, dan batas
waktunya adalah sampai tengah malam. Jika sudah melewati waktu yang ditentukan, kalian
dianggap gagal.”

“Baiklah, semuanya siap!?” Guru berkata dengan suara lantang.

“Siap, guru!” Kami semua menjawab dengan suara sekeras-kerasnya.

“Ujian dimulai, sekarang!”

Setelah mendengar aba-aba, kami semua langsung berhambur berlari menuju hutan yang
tidak jauh dari lapangan.

Aku sungguh bersemangat, hatiku terasa panas membara seperti api yang berkobar, aku
berlari sekencang-kencangnya bersama Mia yang juga sedang berlari di sampingku.

Bersama, kami akan memenangkan ujian ini dan aku akan membuktikan kalau aku tidak lemah!

Para murid berlarian di atas tanah rumput yang luas menuju hutan, menerjang angin
layaknya kuda. Kami semua telah dilatih untuk berlari cepat jadi berlari secepat ini tidak
membuat kami tersengal-sengal.

Langit tampak lebih gelap dari sebelumnya, awan-awan putih nan tebal itu telah berganti
menjadi awan-awan yang tampak suram yang memenuhi langit dan menutupi matahari. Angin
yang sejuk berhembus beberapa kali menerbangkan dedaunan ke angkasa.
Tak lama kemudian, kami telah tiba di ‘gerbang hutan’. Terlihat pohon-pohon yang tinggi
yang tampak seperti raksasa yang tengah berdiri dengan gagah. Pepohonan di hutan ini
memang sudah berusia lebih dari seratus tahun bahkan ada yang sudah mencapai ribuan
tahun.

Kami tidak basa-basi lagi, kami semua langsung masuk menyerbu hutan.

Semua tim berpencar ke segala arah untuk mencari bendera tersebut, aku dan Mia berlari
lurus ke depan untuk mencari batu itu.

Kami menyusuri jalan sempit, sebenarnya bukan jalan, hanya tanah kosong di antara
pepohonan raksasa yang rapat, ditutupi oleh lumut dan semak belukar. Aku berjalan paling
depan, menyibak semak belukar yang menghalangi jalan kami berdua. “kenapa guru tidak
memberikan peta yang menunjukkan lokasi batunya? Jadi kita tak perlu sibuk mencari
seperti ini.” Mia bergumam agak kesal dibelakangku sambil melihat sekeliling. Aku hanya
tersenyum mendengarnya. “Kalau seperti itu, nanti jadi tidak seru, kan?” Ia terdiam
sejenak.

Kami terus berjalan di dalam hutan, sudah hampir satu jam tapi belum juga menemukan
benderanya. Kami kemudian berhenti berjalan ketika melihat sebuah jurang yang sangat
dalam membelah tanah di depan kami berdiri.

Jurang itu kurasa tidak terlihat sebelumnya saat kami belum tiba di mulutnya. Mungkin
karena pinggiran jurang itu ditutupi lumut dan semak belukar.

“Wah, aku belum pernah melihat jurang sedalam ini!” Mia berkata takjub. Aku hanya diam
meperhatikan kedepan, memikirkan cara untuk terus maju.

“Sepertinya tidak ada jalan lain, Nexo, kita berbalik saja.” “Tidak, tunggu, aku punya
rencana.” Aku berkata kemudian berdiri dari posisi jongkok. Aku berjalan menuju sebatang
pohon yang tidak terlalu besar tapi sangat tinggi.

Aku memasang kuda-kuda yang kuat, memfokuskan energi kedalamtelapak tanganku. Aku
merasakan energi mengalir dari dadaku menuju telapak tangan kananku.

“Huf! Teknik Naga, belahan maut!” Aku berteriak tegas kemudian mengayunkan tanganku ke
arah pohon itu dan membelahnya. Pohon itu jatuh ke arah jurang, membuat suara yang
sangat keras ketika ia menghantam tanah.

Tanganku terasa sedikit sakit, tapi itu tak masalah. Aku telah berlatih banyak belakangan
ini jadi fisikku jauh lebih kuat dari yang dulu, ketika orang-orang memanggilku ‘Si Lemah’.
“Lu-luar biasa, Nexo! Aku tak menyangka kamu ternyata sekuat ini!” Mia berkata takjub
dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, inilah yang aku dapatkan setelah berlatih keras
belakangan ini.” Aku menjawab dengan suara datar sambil mengusap keringan di keningku.
“Kamu dingin sekali.” Mia bergumam agak kesal.

Kami kemudian berjalan menyeberangi jurang yang sangat dalam itu di atas sebatang pohon.
Jurang itu sangat lebar mencapai 20 meter dan sangat dalam hingga aku tak bisa melihat
dasarnya.

Kami berjalan sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan. Aku membiarkan
Mia berjalan paling depan jadi aku bisa menyelamatkannya jika ia hilang keseimbangan.

“Aduh!” Mia terpeleset sedikit ketika berjalan di atas sebatang pohon itu. Aku dengan
cepat menahannya dengan menggenggam tangan kanannya.

“E-eh, terima kasih, Nexo.” Aku tetap diam, fokus melihat kedepan sambil tetap menjaga
keseimbangan. Akhirnya, kami berhasil melewati jurang itu.

Langit menjadi lebih gelap hingga pada akhirnya, setetes air telah turun dari angkasa.

Gerimis ringan turun, membasahi tanah di dalam hutan, membuat genangan lumpur yang
terciprat ketika kami berlari di atasnya.

“Aku penasaran bagaimana kabarnya dengan tim lain?” Mia berkata sendiri. “Mungkin saja
batunya sudah diambil semua.” Aku bergurau. “J-jangan bercanda, kita sudah sejauh ini!
Ayo terus maju dan cari benderanya!” Aku tersenyum melihat ia sangat bersemangat.

Aku memang tidak terlalu mahir dalam bergaul jadi bisa dibilang aku ini pendiam ketika
seseorang tidak bertanya atau berkata padaku. Aku tidak suka membuang waktu dengan
percakapan yang ‘murahan’ sejak dulu dan hingga kini.

Saat aku sedang murung atau memiliki hal yang tidak menyenangkan yang baru saja kualami,
aku seringkali menyendiri di bawah pohon beringin yang rindang di ujung desa tempat biasa
aku berlatih. Aku menangis sendirian tanpa suara menatap langit dengan mata berkaca-kaca.

Aku tidak mempunyai orang tua yang selalu ada disisiku yang akan menenangkanku seperti
anak lainnya, aku tidak punya tempat ‘pulang’ yang sebenarnya.

Aku sendirian, sejak aku berusia 8 tahun.

Tak lama kemudian, hujan gerimis itu bertambah deras, kami terus mencari batu itu tanpa
henti. Satu jam telah berlalu dan kami tidak menemukan apapun.
Tiba-tiba, di depan kami berjalan, muncul seekor babi hutan dengan ukuran tidak biasa. Ia
bergerak dengan sorot mata penuh ancaman, tampak marah. Aku dapat mendengar detak
jantuknya menderu penuh amarah.

“Mundur, Mia. Akan kutangani ini.” Aku berkata dingin tapi mataku menatap kedua mata
makhluk itu dengan tajam.

“Tapi, Nexo. Kita harus bekerja sama! Lagipula tingkat ‘lapisan jiwa’ ku lebih tinggi darimu!”

Aku tak mendengarkannya, aku memasang posisi kuda-kuda yang mantap dengan tangan
dalam posisi siap melepaskan serangan. Nafasku menderu tidak sabaran untuk menghajar
makhluk itu.

“Akan aku buktikan. Kalau aku, tidak lemah.”

Ctar! Kilat menyambar, suaranya menggelegar dan memancarkan cahaya yang amat terang,
aku dapat melihat taring babi hutan itu berkilau terkena cahaya. Satu detik kemudian, ia
mulai menyerang. Ia mencoba untuk menandukku dengan kepalanya, tapi aku dengan sigap
langsung menghindar ke arah kiri.

Babi itu sekarang sedang berada di depan Mia yang tampak ketakutan, ia tak memasang
kuda-kuda, ia terlihat panic, matanya berkaca-kaca. “Hei kau, jangan ganggu dia!” Aku
melepaskan sihir dari energi tenaga dalam dari telapak tanganku ke tubuh babi hutan itu
“Tembakkan Energi!”.

Aku berhasil menarik perhatiannya, ia menatap ke arahku lagi dan mulai maju untuk
menyerang. Aku menghindar satu langkah kekanan, dengan posisi kuda-kuda yang kokoh,
saat babi itu masih bingung, aku melepaskan tinjuan tenaga penuh ke perut sebelah kirinya.
Ia menguik kesakitan.

Dia semakin marah, nafasnya semakin menderu tak tentu arah. Aku menjadi lebih siaga dari
sebelumnya, aku dapat mengandalkan segala latihan yang telah kulakukan belakangan ini,
saatnya untuk melihat hasilnya.

Aku menekan kaki kiriku ke tanah dengan sekuat tenaga, melontarkan tubuhku ke atas
setinggi dua meter, tanganku terkepal bersiap untuk meninju, babi hutan itu sempat
menoleh ke atas, sedetik sebelum aku membunuhnya.
Aku melepaskan tinjuku, tepat di tengkuknya sekuat tenaga. Babi itu telah tumbang
menghantam tanah yang berlumpur di bawah derasnya hujan.

Aku mendarat dengan posisi yang gagah, tetap dalam kuda-kuda. “Mia, kamu tidak apa-apa?”
Aku bertanya pada Mia yang berdiri dibelakangku. Wajahnya tampak pucat tapi sekarang
matanya berkaca-kaca menatapku.

“Nexo!” Ia langsung melompat ke arahku dan memelukku dengan erat. “Terima kasih telah
menyelamatkanku, Nexo.” Ia berkata di dalam pelukanku.

Tiba-tiba, aku merasakan sensasi membara dalam jiwaku. Aku merasa energi tenaga
dalamku telah tumbuh lebih kuat dari sebelumnya. Telapak tanganku terasa membara juga
memancarkan sinar yang terang.

“Nexo, kamu sudah naik tingkat.” Mia berkata sambil melepaskan pelukan.

Aku telah naik tingkat, menuju lapisan ‘Fondasi Dasar’ tingkat enam.

Di dunia ini juga dikenal beberapa tingkatan sebelum ranah lapisan jiwa berikutnya. Ada
sepuluh tingkat pada setiap lapisan dan untuk menembusnya, diperlukan sebuah
pertarungan, pertapaan, atau dengan bantuan artefak tertentu. Tapi kali ini, kurasa aku
telah naik tingkat karena telah mengalahkan seekor babi hutan raksasa.

“Ini hebat, huh?” Aku menatap ke angkasa, hujan telah mulai reda, menyisakan tanah basah
tergenang lumpur dan dedaunan yang rontok di atas tanah.

“Lebih baik kita segera menemukan batu itu.” Mia berkata sambil maju kedepan. “Tunggu,
aku punya ide yang bagus.” “Hah? Ide apa?” Mia bertanya dan berjalan kembali ke arahku.

“Itu adalah batu mistis, kan? Berarti kita bisa dengan mudah mencarinya jika kita bisa
merasakan aura magis dari batu itu.” Aku menyarankan. “Biar aku mencobanya.” Aku
melanjutkan sambil memejamkan mataku, menenangkan pikiranku dari semua hal hingga tak
lama kemudian, aku dapat merasakan sebuah gelombang magis yang agak melemah seperti
sedang berjalan menjauh.

“Ah, aku dapat merasakannya! Di arah kiri, seseorang telah mendapatkan batu itu dan
berjalan menjauh!” Aku berkata setelah membuka mataku. Mia langsung menurutiku tanpa
bertanya lagi, kini ia sudah percaya padaku.
Kami langsung berlari menuju arah timur hutan, mengejar batu mistis itu. Langkah kaki kami
membuat air genangan terciprat ke udara sambil menerjang udara sejuk dan segar setelah
hujan. Aku nyaris terpeleset beberapa kali pada saat melangkah di genangan yang licin dari
tanah berlumpur.

Benar saja, tak lama kami berlari, kami melihat sebuah tim sedang menggenggam batu
mistis di tangan kanannya. Mereka kemudian berlari lebih pelan, mungkin kelelahan, aku
dapat mendengar nafas mereka yang tersengal-sengal.

“Untung saja kita dapat mengalihkan babi sialan itu dan kabur sambil membawa batu mistis
ini, haha!” Seorang lelaki dari tim itu berkata dengan bangga.

Aku dan Mia sedang memata-matai mereka di balik sebuah pohon besar, kami dapat
mendengar semua percakapan mereka.

“Hahaha, kasihan sekali tim Nexo itu, sudahlah ia sendiri lemah tapi malah diberikan seekor
babi hutan raksasa. Semoga saja dia tidak mati bersama rekannya.” Ujar seorang
perempuan berambut hitam yang digerai ke punggung yang sedang berdiri bersama lelaki
itu.

Mendengar percakapan itu, jantungku serasa mau meledak karena marah tapi aku mencoba
habis-habisan menahannya. Wajah Mia tampak terkejut mendengar mereka. Aku tidak bisa
membiarkan ketidakadilan ini.

Ternyata di depan tempat aku bertarung dengan babi hutan tadi terdapat sebuah gua. Aku
memang sempat melihat dua orang berjalan memasukinya saat aku melompat ke udara tadi.

“Jadi begitu, kalian menggunakan cara seorang pengecut untuk memenangkan tes ini?” Aku
berkata dengan santai tapi meledek sambil menunjukkan diriku dari belakang pohon
bersama dengan Mia dari sisi kiri.

“N-Nexo, bagaimana kau-”

“Masih hidup? Aku bahkan menumbangkan babi lemah itu dengan satu pukulan.” Aku menyela
lelaki itu dengan tatapan mengancam. “Heh, sombong sekali kau padahal hanya murid lemah
dan aneh!” Ia berkata sambil mengacungkan telunjuknya padaku dengan nada menantang.
“Benarkah? Apa kau pikir waktu di dunia ini terhenti? Kau pikir aku akan tetap menjadi
lemah selamanya?” Aku berkata dengan melangkah santai ke arahnya sambil tersenyum
menantang balik.
“Cih, jangan banyak omong kau, sialan!” Perempuan itu langsung naik marah, ia meluncurkan
tinju pada wajahku, tapi aku sudah siap dari tadi.

Aku langsung menangkap tangannya dengan gesit, membuatnya tak bisa bergerak. “T-tak
mungkin Nexo telah menjadi sekuat ini!?” Ia berkata patah-patah sambil mencoba untuk
melepaskan tangannya dariku. Keringat mulai membasahi wajahnya yang tampak panik itu.

“Jika kalian mau menyerahkan batu itu disini sekarang juga, aku tidak akan melakukan
kekerasan.” Aku mencoba menawar dengan tatapan tajam menyeringai kepada dua orang
sialan itu.

“Bah! Kalau kau ingin batunya, lawan kami dulu!” Lelaki itu sudah tak bisa menahan
amarahnya dan langsung meluncurkan tendangan pada pinggangku, tapi aku dengan cepat
menghindar kebelakang dan melepaskan perempuan itu.

“Kalian ingin pertarungan, baiklah kalau begitu.” Aku berkata dengan tenang menerima
tantangan mereka dan langsung memasang kuda-kuda di atas tanah berlumpur itu.
Tatapanku mulai serius, tajam, memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Mia mulai berjalan mendekat ke sampingku dan bersiap untuk bertarung. “Aku akan
membantumu, Nexo!”

“Aku punya rencana, Mia. Ini pasti akan menyenangkan.”

“Rasakan ini, Pukulan Maut!” Lelaki itu bergerak dengan gesit ke arahku dan meluncurkan
tinjuan yang tampak sangat keras ke perutku, sekali lagi, aku menghindarinya dan langsung
menendang perutnya sekuat tenaga. “Tendangan kilat!”

Ia terkejut dan langsung terjatuh ke tanah berlumpur itu, mulutnya memuntahkan darah,
menciptakan warna kemerahan pada genangan air di bawahnya. Ia terkena serangan
berenergi listrik jadi itu akan membuatnya lumpuh sementara.

Aku merasa sangat bersyukur karena aku selalu melatih kecepatanku. Setiap pagi hari, saat
langit masih gelap, aku berlari bolak-balik di lapangan desa yang masih gelap. Udara dingin
pagi tidak lagi menjadi masalah bagiku, dengan semangatku untuk tetap berlatih membuatku
melupakan rasa dingin itu.

Setiap pagi dua puluh kali bolak-balik sejauh 20 meter dan terakhir kali aku melakukannya,
aku berlari bolak-balik seratus kali dalam waktu yang hampir sama dengan dua puluh kali
lari, dan pada setiap pagi, aku terus mengalami peningkatan kecepatan yang pesat.
“Beraninya kau, hiyah!” Sekarang giliran perempuan itu yang maju dengan tangan terkepal
erat, mencoba untuk meninju wajahku. Aku menangkisnya dengan gesit dan membalas
memukulnya di perut. Dengan cepat ia juga dapat menangkis pukulanku.

Pertarungan menjadi sengit tapi aku belum kewalahan. Ia menyerang dengan sangat cepat
dan hampir membuatku tersudut tapi aku selalu menangkis setiap serangannya dan
menghindar kekiri dan kekanan. “Rasakan! Rasakan! Rasakan!” Ia berteriak berkali-kali saat
melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arahku. “Hup! Hah! Hyah!” Aku menepis semuanya dan
kemudian muncullah sebuah kesempatan.

Ia terlalu fokus menyerang dan melupakan hal lainnya. Sisi belakangnya tidak dilindunginya,
ia lengah.

Mia telah berhasil menyelinap kebelakangnya dengan posisi siap menyerang dan menunggu
aba-aba dariku.

“Rasakan, Pukulan Api!” Gadis itu meluncurkan sebuah pukulan yang berselimuti api ke arah
dadaku. Aku dengan cepat menunduk kebawah dan pukulannya mengenai udara kosong. Aku
kembali berdiri, mengulur waktu, sejujurnya, aku menikmati pertarungan ini.

“Kamu selalu mengejekku kalau aku tidak hebat dan lemah dalam bela diri.” Aku berkata
dengan santai sambil menepis segala serangan yang menuju padaku dengan gesit. “Hah!
Padahal justru, di mataku sekarang, aku tidak ingin mengejek tapi aku akan jujur, kalau yang
lemah dan payah itu adalah dirimu sendiri.” Aku mengunci tangannya membuatnya tak bisa
bergerak.

“Ugh!” Ia mencoba untuk melepaskan diri sekuat tenaga dan tidak bias membantah kata-
kataku. “Buktinya, kamu terlalu fokus menyerang hingga melupakan sisi lain yang tidak kau
lindungi.” Aku berkata sambil menatap wajahnya yang panik itu dengan tatapan meledek.

Mia sudah tahu waktunya, ia melihat aku mengedipkan sebelah mataku, itulah aba-abaku. Ia
langsung maju secepat mungkin dan mengarahkan serangan pada punggung gadis itu.
“Tusukan Jari Kejut!” Ia menusukkan dua jarinya, telunjuk dan jari tengah ke punggung
kadis itu dan membuatnya tumbang terkena serangan kejut listrik.

“K-kalian curang! Dua lawan satu itu curang!” Lelaki yang masih tampak kesakitan itu mencba
untuk berdiri.

“Lantas apakah yang telah kalian lakukan pada kami itu tidak curang? Mensabotase tim lain,
apakah itu adil? ” Aku berkata sambil berjalan ke arahnya.
“Aku sebenarnya tak ingin melakukan kekerasan, sekarang, sesuai janjimu yang pasti takkan
kau tunaikan, serahkanlah batu mistis itu padaku sekarang juga.” Aku berkata denga tegas.

“Ugh ,sialan kau, Nexo. Aku akan membalasmu suatu hari nanti.” Ia berkata sambil menahan
sakit menyerahkan batu mistis itu padaku dengan berat hati. Aku langsung mengambilnya.

“Membalasku? Baiklah, tentu saja, jika hari itu tiba, mungkin saja kau sudah bertambah
kuat, rencana yang cukup bagus.” Aku berkata meledek sambil angkat bahu. “Asal kau tahu
saja, pada saat itu, aku juga akan bertambah kuat, karena waktu tidak berhenti bergerak.
Aku juga akan terus tumbuh.” Aku berkata dengan tegas sambil mengajak Mia untuk pergi
meninggalkan tempat itu.

Aku dapat merasakan betapa kecewanya lelaki itu akan kemampuannya, seperti yang telah ia
lakukan padaku dulu. Ia sebenarnya adalah seniorku, Alan, dan perempuan itu juga adalah
seniorku, Lidya. Mereka kuat dan selalu meledekku, tapi sekarang, keadaan telah berbalik.

“Aku tidak tahu kalau kamu bisa menjadi semengerikan itu, Nexo.” Mia berkata mencoba
untuk menenangkanku. “Hahaha, aku hanya tidak bisa menahan emosiku tadi, jadi, ‘diriku’
yang sebenarnya telah menunjukkan dirinya.” Aku bergurau. Mia terdiam sejenak
mendengar kata-kataku. Aku kemudian memasukkan batu mistis yang kugenggam ke dalam
saku celanaku.

Kini, kami telah memiliki batu mistis di tangan, waktunya untuk kembali ke desa.

Baru setengah perjalanan, hujan kembali turun, langsung deras, kami segera berlari mencari
tempat berteduh.

Angin kencang juga turut menyertai hujan deras itu disusul oleh suara halilintar yang
menggelegar. Tak lama berlari, aku dan Mia menemukan sebuah gua di dalam hutan.

“Ayo, kita kesana!” Aku menarik tangan Mia. Kami pun langsung bergegas memasuki gua itu.

Sebuah gua yang tidak terlalu luas dan dalam, hanya gua kecil biasa. Di dalamnya gelap dan
lembab, lumut-lumut tumbuh di seluruh dinding gua dan tampak beberapa kelelawar sedang
tidur di langit-langit gua.

Kami berdua duduk beralaskan daun yang lebar yang kubentangkan di dalam gua. “Hah,
sekarang tidak ada yang perlu di khawatirkan, kita sudah punya batu itu disini dan kita
hanya perlu menyerahkannya kepada guru.” Aku berkata dengan tenang. “Iya, tapi kita
harus menunggu hujan ini reda terlebih dahulu.” Mia menyarankan.
Aku setuju, di luar sana, hujan deras yang turun menghantam dedaunan dan tanah, juga
pepohonan tampak menari-nari dihembus angin disertai cahaya kilat kemerahan yang disusul
oleh suara halilintar yang menggelegar. Udara terasa sangat sejuk, aku melihat Mia
menggigil dan meringkuk di sudut gua.

“Ini, pakailah untuk menghangatkan tubuhmu.” Aku berkata sambil melepaskan baju hitamku
dan menyelimutinya. Aku memakai baju lapis di dalamnya, sebuah kaus putih polos yang
longgar.

“Terima kasih, Nexo.” Ia berkata sambil tersenyum menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Empat jam kemudian, badai masih berlangsung di luar sana bahkan menjadi lebih parah. Mia
sudah tertidur dari tadi di sudut gua berselimutkan pakaianku.

Aku tidak merasa kedinginan, fisikku telah terlatih untuk tahan dingin belakangan ini, aku
berdiri memerhatikan langit yang menjadi sangat ganas di atas sana.

Awan-awan hitam pekat tampak berjalan berarak dan terlihat semburat cahaya kilat dari
dalamnya. Tiba-tiba, saat aku menenangkan diri dengan beryoga, sebuah suara aneh muncul.

Itu bukan suara halilintar, tapi terdengar seperti suara jeritan yang sangat keras, suaranya
menggelegar hingga membuat bulu kudukku berdiri, merinding, seakan suara itu memasuki
tulangku.

Tapi suara itu hanya terdengar sekali dan tidak terdengar lagi untuk kemudian. Tak lama
setelah terdengar teriakan itu, halilintar menyambar bertubi-tubi dan suaranya
menggelegar ke seluruh penjuru hutan. Setelah itu, badai pun mulai reda, hujan yang
tadinya deras telah menjadi gerimis ringan.

Aku berjalan perlahan keluar gua, dan melihat sekeliling. Tanah yang tadinya kering telah
menjadi lumpur dan dedaunan berserakan di atasnya. Tampak beberapa dahan pohon
tumbang dan beberapa pohon juga tumbang. Udara terasa segar, bau rerumputan yang khas
telah memenuhi udara

Aku kemudian menyadari kalau hari mulai gelap. Terlihat semburat cahaya kemerahan di
angkasa menandakan matahari mulai terbenam di barat. Aku bergegas kembali masuk ke gua
untuk membangunkan Mia dan mengajaknya untuk pulang ke desa, tapi tiba-tiba, saat aku
mau berbalik ke belakang, aku melihat sosok manusia yang sedang berdiri di depanku.
Sosok perempuan, rambutnya berwarna keemasan tergerai menyentuh punggungnya. Ia
mengenakan gaun putih panjang yang menyentuh tanah yang tampak melambai-lambai
dihembus angin, terlihat beberapa kunang-kunang datang menghampirinya.

“Nexo Aurion, bukan?” Ia berkata seolah sudah mengetahui kalau aku berada di
belakangnya. “Y-ya.” Aku menjawab dengan terbata-bata.

Ia berbalik dan berjalan perlahan ke arahku dengan tersenyum ramah. Wajahnya sangat
cantik, matanya berwarna biru seperti langit, kulitnya putih tapi tidak terlihat pucat.
Sebelah matanya ditutupi oleh rambutnya yang panjang yang ditiup angin.

“Siapakah kamu?” Aku memberanikan diriku. Ia tak menjawab dan terus berjalan hingga
berhenti tepat di depanku. Ia lebih tinggi sejengkal dariku, ia menatapku dengan senyuman
tulus.

“Kamu mungkin tidak mengenalku. Tapi aku sangatlah mengenalmu. Aku melihatmu sejak
dirimu masih kecil dan juga, ketika kamu menangis tak bersuara melihat ‘kehancuran’ itu.”
Ia berkata dengan raut wajah yang tiba-tiba berubah menjadi raut wajah sedih.

“A- apa? Itu tidak mungkin!” Aku membantah. “Aku mengetahui segala hal yang pernah
terjadi pada dirimu, aku selalu melihatmu.” Ia menjawab dengan raut wajah yang menjadi
serius.

Apakah orang ini dapat dipercaya? Atau mungkin ia adalah makhluk mistis yang menghuni
hutan ini?

“Uhh..” “Aku tahu apa yang telah terjadi tujuh tahun lalu, Nexo. Aku ingin semua itu tidak
terulang lagi, tapi tampaknya harapan itu tidak dapat terkabul.” Ia berkata lagi sambil
menatap ke langit yang tampak semakin biru gelap.

“Aku tidak mengerti, apa yang sebenarnya ingin engkau katakan?” Aku bertanya dengan
suara yang hampir hilang. “Dan apa maksudmu tentang tujuh tahun yang lalu? Apakah itu
tentang kematian orang tuaku?” Aku bertanya lagi.

“Bukan hanya orang tuamu, Nexo. Bukan hanya dirimu seorang yang kehilangan, tapi, hampir
seluruh dari kehidupan di dunia ini dibantai habis oleh ‘mereka’.” Ia berkata hal yang tidak
kumengerti lagi. Tapi, dari raut wajahnya yang serius, aku dapat mengetahui kalau ia tidak
bercanda.
“Aku tak bisa menceritakan semuanya secara langsung, Nexo. Karena kelak, kamu pasti akan
mengetahuinya sendiri.” Ia berkata lembut sambil melepaskan sebuah kalung dari lehernya.

Bentuk kalung itu seperti bentuk matahari yang memancarkan cahaya tapi kelihatannya batu
yang digunakan tampak seperti batu biasa dan permukaan batunya tampak kasar.

Ia kemudian berjalan perlahan sambil memegang sebuah kaling berbentuk matahari ke


arahku. Ia kemudian telah tiba tepat di depanku. Ia memasangkan kalung itu padaku dengan
lembut. Aku dapat merasakan tangannya yang halus menyentuh leherku dengan lembut. Aku
terpesona dengan sosok itu.

“Ini adalah sebuah kekuatan yang kuberikan padamu, Nexo. Jagalah kalung ini dengan baik.
Ini akan membantumu dalam perjalananmu kelak, aku tahu itu pasti akan terjadi.” Ia
berkata sambil tersenyum ramah dan berjalan mundur perlahan.

“T-terima kasih. Bolehkah aku tahu siapa-“ “Namamu?...” Sosok itu perlahan menghilang,
memudar sambil tersenyum.

Hari sudah gelap, tidak ada lagi cahaya matahari. Aku berjalan kembali ke dalam gua.

Mia kelihatannya baru saja bangun. “Uhh, sudah malam ya?” Ia berkata sambil menggeliat
dan menguap. “Ahh, ya. Aku baru saja ingin membangunkanmu.” Ia mengangguk sambil
menggosok-gosok mata.

Ia kemudian berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang berpasir. “Ini pakaianmu, Nexo.
Terima kasih.” Ia berkata sambil tersenyum menyerhkan baju hitam itu padaku. “Ya.” AKu
menjawab singkat kemudian mengambilnya lalu memakainya. “Huh, kalung apa itu, Nexo?”
Mia berjalan mendekat dan langsung memegang batu kalung itu. “Eh, itu..” Aku tak bias
menjawab pertanyaannya karena ia pasti akan bingung.

“Ah, iya. Kita harus segera kembali ke desa sebelum waktunya habis.” Aku mengalihkan
pembicaraan. “Ah, tidak! Aku lupa!” Mia berkata dengan panik. “Kita harus segera pergi,
Nexo!” Ia kemudian menarik tanganku membawaku keluar dari gua sambil berlari.

Kami kemudian berlari mencari jalan keluar dari hutan itu. Melewati celah-celah pepohonan,
melompati pohon-pohon tumbang, menembus semak belukar.

“Ahh, bagaimana kalau waktunya habis!?” Mia berkata menggeram sambil berlari di
sampingku. Aku diam, focus menghadapi rintangan yang muncul di depan.

Aku harus fokus, melihat dalam cahaya yang redup.


Tiba-tiba, suara yang mengerikan tadi kembali muncul. “Groaaaarghhh!!!!” Suara itu
menggelegar, membuatku merinding seakan menusuk tulang. “S-suara apa itu?” Mia berkata
dengan nada ketakutan.

Aku mendapat firasat aneh, seakan ‘makhluk’ itu berjalan mendekat ke arah kami. “Terus
lari!” Aku berteriak. “E-eh, ada apa, Nexo? Apa kau tahu suara itu?” Mia mempercepat
larinya. Aku tak menjawab, terus berlari mengimbangi kecepatan Mia yang kalau aku
menggunakan kecepatan maksimal, ia pasti akan jauh tertinggal.

‘Bam!’ Sebuah langkah kaki terdengar. Suara yang sangat keras, menggelegar di udara. Aku
menoleh kebelakang dan melihat satu persatu pohon raksasa tumbang bergantian bersamaan
dengan burung-burung terbang menjauh dari hutan.

Langkah kaki itu terdengar semakin kuat, semakin cepat, seperti seseorang bertubuh
raksasa sedang berlari.

Mia tampak kelelahan, langkahnya semakin melambat. Aku mengimbangi kecepatannya.


Keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Ia kemudian mulai terhuyung-
huyung dan jatuh ke tanah. “Bertahanlah, Mia.” Aku berkata kemudian menghampirinya dan
menggendongnya. Nafasnya tersengal-sengal, sesak.

Aku mulai mengerahkan segala kekuatanku untuk memacu kecepatanku semaksimal mungkin.
Langkah ‘makhluk’ itu semakin cepat, semakin dekat. Kemudian terdengar sebuah teriakan
lagi, terdengar lebih keras karena ia semakin dekat.

Tiba-tiba, sebuah bola api muncul dari belakangku, melesat di atas kepalaku dan
menghantam sebatang pohon raksasa di hadapanku. Pohon itu tumbang dan menghalangi
jalan di depanku. Aku terhenti mendadak, terlalu tinggi untuk dilompati, diameter pohon itu
kura-kira 50 meter dan kalau ia tumbang, itu masih tetap tinggi.

Saat aku berhenti, sosok itu telah menampakkan dirinya. Sosok yang tinggi dan besar,
dengan wujud seperti manusia bertanduk dua di kepalanya seperti kerbau dan tingginya
sekitar 20 meter. Matanya merah menyala, menatap tajam ke arahku menyorot penuh
ancaman. Dengusan nafasnya menderu tak tentu arah, mulutnya membuka sedikit, aku bias
melihat giginya yang tajam.

Saat itu, aku merasakan sebuah ‘ketakutan’ yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku sudah tidak kuat lagi untuk berlari.


Mia mulai membuka matanya perlahan. “Uh…” Aku membantunya berdiri perlahan-lahan di
sampingku. “Mia, pergilah cari tempat untuk berlindung.” Aku berkata sambil berbisik
didekatnya.

“Hah, kenapa?” Ia bertanya dengan suara yang hamper hilang. “Aku akan menghadapinya,
sementara itu, carilah sebuah tempat yang jauh dari sini!” Aku membentak dengan suara
pelan. Mia kemudian melihat ke arah sosok raksasa itu dan raut wajahnya berubah seketika,
ia sangat ketakutan. “I-itu..” Ia berkata terbata-bata. “Aku tahu, cepat pergi dari sini!”
“Bagaimana dengan dirimu, Nexo?” Ia bertanya sekali lagi.

Tiba-tiba, monster itu berteriak sangat keras membuatku harus menutup kedua telingaku
untuk menahan suaranya. “Tidak ada waktu lagi, cepat!” Kali ini aku membentak lebih keras.
Mia langsung menurut ia langsung lari kebelakangku dengan tenaga yang tersisa, nafasnya
masih tersengal-sengal.

Setelah memperkirakan kalau Mia sudah pergi jauh, aku mulai melangkah maju perlahan
tepat ke hadapan raksasa itu. Aku sendiri tidak yakin kalau aku bisa menang.

Aku memasang kuda-kuda dan tangan siap menyerang. Aku menatap tajam kedua mata
monster itu, memperhatikan gerak-geriknya sambil mengatur nafasku agar lebih tenang.

‘Ini bahaya, aku belum pernah merasakan aura membunuh sekuat ini’ Aku berkata dalam
hati. Keringat bercucuran di wajahku dan aku berusaha menahan kakiku agar tidak gemetar.

Seketika, monster itu mulai melangkah cepat ke arahku. Kakinya yang sangat besar
menghantam tanah dan membuat guncangan yang besar. Aku mencoba menghindar kekiri
tapi gagal, aku terjatuh ke tanah. Monster itu mengalihkan pandangannya padaku yang masih
mencoba untuk berdiri. “Hah! Majulah!” Aku berkata lantang pada monster itu sambil
memasang kuda-kuda baru.

Ia kemudian memunculkan sebuah bola api dari telapak tangannya dan mengayunkannya dari
belakang ke depan, ke arahku.

Bola api itu melesat dengan cepat dan untungnya aku sempat menghindar dengan berlari
kencang ke arah kaki raksasa itu. Bola api itu meledak menghantam tanah, meninggalkan
sebuah bekas seperti kawah yang lumayan luas.

Aku sudah mencapai kakinya yang besar, ini giliranku untuk menyerang!
Aku memfokuskan energi tertumpu pada telapak tanganku dan mengeluarkan semburat
cahaya biru terang beserta aliran listrik yang kuat yang kemudian dengan cepat berubah
menjadi bentuk bola bermuatan listrik. “Rasakan! Bola listrik!” Aku melepaskan serangan
menghantam kaki kirinya dan membuatnya goyang sekejap.

Aku meluncurkan serangan kedua, aku memanfaatkan momen ketika raksasa itu tak
seimbang dan hanya bertumpu pada kaki kanannya. Aku kembali memfokuskan energy tapi
kali ini pada tinju kananku. “Pukulan Gempa!” Aku melepaskan tinjuku dan menghantam tanah
di bawah raksasa itu, membuatnya semakin tak seimbang hingga akhirnya jatuh menghantam
tanah membuat sebuah gempa yang lebih hebat lagi.

Monster itu menggeram kesakitan sambil mencoba untuk berdiri. Tiba-tiba, langit kembali
menjadi gelap. Awan-awan hitam bergerak cepat menutupi sinar bulan sabit dan bintang-
bintang yang bertaburan di angkasa. Aku menjadi sulit untuk melihat, mata monster itu
tampak bersinar lebih terang di dalam kegelapan.

Apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan Mia, apakah dia baik-baik saja?

Bola api raksasa bersinar terang muncul entah darimana dan melesat tepat di sebelah kiriku
dan mengenai pohon di belakangku. ‘Duar!’ Pohon itu tumbang ke tanah membuat suara yang
sangat keras. Saat sinar bola api membuat cahaya yang cukup terang, aku dapat melihat
monster itu telah berdiri lagi.

Aku memutuskan untuk melarikan diri, aku tidak yakin aku bisa menang, dan bertarung
dalam kegelapan? Yang benar saja!?

Aku langsung mengeluarkan seluruh tenaga untuk berlari secepat mungkin di dalam hutan
yang gelap gulita itu.

Di belakangku, monster raksasa it uterus mengejar sambil melempar banyak bola api ke
arahku. Aku terus menghindar kekiri dan kekanan, dan bola api itu kerap menghantam pohon
di sekitarku, berjatuhan menghalangi jalan.

Satu tembakan lagi melesat dengan sangat cepat, aku tak sempat menghindar. Bola api itu
mengenaiku, tepat di bahu kananku. “Gah!” Aku kemudian terhempas ke tanah dengan rasa
sakit dari luka bakar pada bahuku. Monster itu melangkah lebih lambat mendekatiku dengan
sorot mata yang sangat mencancam.

“Erk…” Aku merintih kesakitan sambil mencoba untuk berdiri. Monster itu semakin dekat.
“Aurion... Harus… Mati…” Monster itu berkata dengan suara yang sangat tipis dan hampir
hilang. Aku sangat terkejut mendengar kata-katanya. Apa maksudnya dengan ‘Aurion Harus
Mati’?

Monster itu menembakkan bola api sekali lagi tepat ke arahku. Kali ini, aku sudah tak punya
tenaga untuk menghindar, bola api itu melaju sangat cepat. Dan tiba-tiba.

‘Bom!’ Bola api itu meledak. Anehnya, aku tak merasakan apa-apa. “Erk…” Aku membuka
mataku dan melihat di depanku, berdiri lima orang teman. Mereka membawa obor sehingga
hutan tidak lagi terasa gelap.

Mereka adalah para pemuda yang cukup hebat dalam bela diri di desaku dan mereka berdiri
dengan kuda-kuda yang gagah.

“Kau tidak apa-apa, Nexo?” Seseorang yang berdiri tepat di depanku berkata, ia langsung
membantuku berdiri. Ia adalah salah satu murid dari perguruan bela diri di desa dan ia
adalah seniorku, namanya Leo. Tubuhnya tinggi dan gagah, rambutnya hitam diikat
kebelakang karena terlalu panjang dan sorot matanya penuh semangat. “T-terima kasih,
Senior Leo.” Aku berkata menahan rasa sakit.

“Kau istirahat dan lihat saja dari tempat yang aman, biar kami semua yang menangani
monster ini.” Ia berkata dengan ramah. Aku segera menuruti sarannya dan berjalan ke
bawah pohon yang tak jauh dari sana dan menyenderkan tubuhku pada batang pohon itu.

Para senior itu langsung memasang kuda-kuda dengan wajah tersenyum merendahkan, penuh
percaya diri. “Teknik Api!” “Teknik Es” “Teknik Tanah!” “Teknik Angin!” “Teknik Halilintar!”
Mereka serentak berkata, tubuh mereka kemudian memancarkan aura elemen yang
membara dan memancarkan cahaya yang terang.

“Bersiap, semuanya! Ini akan menjadi sangat mudah!” Senior Leo berkata dengan tegas
penuh semangat.

“Maju!”

Mereka serentak melesat ke arah kaki raksasa monster itu.

“Rasakan, Tinju Api Membara!” Senior Leo berteriak dengan keras, tinjunya seketika di
selimuti oleh api merah yang tampak membara. Ia kemudian melepaskan tinju itu dengan
keras pada kaki kanan monster itu dan membuatnya berteriak dengan keras.
“Giliranku, Tembakan Panah Es!” Seorang senior lainnya menyerang dari jarak jauh dengan
panahnya, dengan tepat mengenai dada raksasa itu dan membekukannya dengan cepat.

Aku hanya bisa terdiam ditempatku berdiri.

“Jatuhlah kau! Amarah Gempa!” Seorang senior lainnya langsung menyusul serangan barusan
dengan menepukkan telapak tangannya ke atas tangan dengan keras, membuat sebuah
guncangan hebat dan menjatuhkan raksasa yang membeku itu menghantam tanah dengan
keras.

Di sisi lain, seorang senior lainnya telah bersiap menyerang, mereka tampaknya akan
melakukan serangan kombinasi. Dua orang itu, berdiri di belakang raksasa itu kemudian
saling menatap satu sama lain dengan isyarat siap menyerang.

“Jurus Angin” “Halilintar!” Mereka berkata serentak lalu melompat ke udara bersamaan.

“Serangan Badai Petir!” Mereka mengeluarkan energi elemen dari kedua tangan mereka yang
dihadapkan ke angkasa dan menciptakan sebuah badai bertegangan listrik. Badai itu semakin
besar dan besar, mengeluarkan hembusan angin yang luar biasa sampai-sampai aku harus
menutup mataku menghindari debu yang beterbangan bersama dedaunan pohon yang
berguguran. Tak lama setelah hembusan angin kencang itu, sebuah petir menyambar dari
pusat badai buatan itu dengan dahsyat ke arah monster itu.

‘Ctar!’ Sebuah sambaran halilintar yang hebat dan menggelegar memenuhi hutan
memancarkan sinar merah yang sangat terang.

Setelah badai buatan itu berakhir, aku membuka mataku dan melihat apa yang telah terjadi.

Hutan menjadi berantakan, lima orang senior itu berdiri bersama dengan gagah.

“Haha, itu tadi luar biasa, semuanya!” Senior Leo memuji sesama temannya sambil menepuk
pundak seorang teman disampingnya.

“Lihat, Nexo. Semuanya sudah aman.” Tambahnya sambil menatap ke arahku dengan senyum
sombongnya.

Memang benar, tampaknya monster itu sudah mati. Aku merasa lega.

Tapi, ternyata tidak.

Monster itu masih bernafas. Aku dapat mendengar suaranya menggeram.


“Eh, dia masih hidup!?” Seorang senior berkata dengan nada tak percaya.

Monster itu berdiri, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya.

Kini, monster itu telah berdiri dengan gagah di hadapan kami, ia menyembuhkan semua
goresan dan luka dari segala serangan barusan dengan mudahnya.

Anda mungkin juga menyukai