Anda di halaman 1dari 1

Bayangan dalam benakku, anak-anak akan telantar, istriku dalam kesetiaannya harus

banting tulang memberi makan mereka. Dan cap dalam keluarga, mereka termasuk turunan
yang dianggap kutuk bagi bangsa ini.

Tiba-tiba hatiku menjerit. "Tuhan, lindungilah mereka!”

Tendangan di pantatku menyadarkan aku. "Ayo, naik! Naik! Naik!”

Truk menggelegar memecah kegelapan malam. Kami benar- benar menjadi warga
kegelapan. Gelap dalam sel. Gelap dalam pertanyaan yang tak kunjung berjawab. Semuanya
gelap gulita!

Berjam-jam kami yang ada di dalam truk diam dalam bahasa hati kami sendiri. Bahasa batin
dengan kisah gelap. Karena telah terbiasa di dalam kegelapan malam dan siang, aku dapat
menyaksikan celah antara kegelapan dan remang-remang malam. Truk berhenti di mulut
sebuah jembatan yang besar dan panjang. Kami semua diturunkan dan berjalan satu demi
satu menuju tengah jembatan, di sisi jembatan bagian tengah yang rusak penahannya.

Aku berjalan di barisan paling akhir dari lima belas orang. Orang yang berada di barisan
depan disuruh berhenti di pinggir jembatan. Tiba-tiba sekelebat pedang yang terayun
menebas lehernya. Ada lengkingan dan bunyi kepala ya berdebuk ke dalam sungai yang
mengalir deras disusul gedebuk tubuh yang terempas ke dalam air. Selang beberapa menit
suara yang sama bergenta, sampai giliranku pun tiba. Dalam kepergian malam, dalam sunyi
air yang mengalir, dalam remang gelap, aku menyaksikan pedang yang berayun semakin
melemah. Aku berdiri dan melihat pedang yang dientakkan. Dalam detik yang sama aku
membungkuk dan terjun ke dalam sungai. Ikatan tangan yang telah kukendurkan dan ikatan
tali di kaki yang merenggang membuat aku menyelam lebih mudah bergerak dalam
kedalaman dan arus sungai. Beberapa menit kemudian aku muncul ke permukaan
sementara arus terus membawa aku hanyut. Di dalam alun arus, aku semakin menepi
sampai aku mampu berpijak di dasar sungai dan berjalan sambil merangkak menyusuri
batu-batu.

Kulepaskan ikatan tangan dengan susah-payah, kemudian tali dari kaki. Air yang dingin
menambah perihnya goresan tali. Aku merangkak ke tepi sungai dan mencoba
mendengarkan langkah kaki. Tidak ada. Di kejauhan ada deru kendaraan yang semakin
lama semakin hilang.

Berjam-jam aku berjalan dalam keremangan gelap malam, menyusuri tepi sungai dengan
keyakinan bahwa lambat atau cepat pasti di sekitar alur sungai ada kampung terpencil.

Dengan pakaian yang basah-kuyup dan langkah yang goyah, aku berjalan sejauh-jauh jarak
yang dapat kutempuh.

Matahari mulai muncul di celah gunung. Aku tidak tahu di daerah mana aku berada. Di tepi
sungai ada pisang yang sedang berbuah, merunduk rendah. Buah yang matang tapi ketika
kukunyah, banyak batunya. Pisang monyet. Aku menduga, bila monyet pun bisa makan
buah pisang monyet, pastilah manusia pun bisa. Tidak jauh dari sana ada durian belanda.
Aku memanjatnya, dan mengambil buah yang ranum. Aku berterima kasih kepada Tuhan

Anda mungkin juga menyukai