Anda di halaman 1dari 9

Chapter 2: Di Puncak Gedung

Para monster itu telah muncul dari lorong tangga itu. Kepala mereka
sudah terlihat, wajah mereka terlihat seperti manusia tapi kulit mereka
berwarna hitam pekat dan mata yang merah menyala.

“Tembak!”

Setelah mendengar perintah Dimas, pemimpin regu itu, Kedua


rekannya langsung melepas tembakan.

“Dor! Dor! Dor!”

Teredengar suara letusan senjata, susul menyusul, memekakkan telinga


tapi tidak pada mereka.

Satu persatu monster-monster itu berjatuhan sebelum tubuh mereka


keluar dari pintu tangga, tapi itu tetap tak membuat mereka berhenti
ataupun mundur, mereka terus bergerak maju.

“Damn, Kita tak bisa menahan mereka untuk waktu yang lama!” Teriak
Max. Lelaki bertubuh tinggi besar dan rambut pirang itu tidak henti-
hentinya membuat senapannya memuntahkan peluru.

Yang lain tidak menanggapi, mereka terus menyerang tanpa henti.

Dua menit, mereka masih bertahan.

“Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!”

Senapan mereka terus menyalak dengan keras, memuntahkan butir


peluru tanpa henti, menumbangkan para monster itu satu persatu.

“Sial! Peluruku habis!” Geram Max ketika hendak melepas tembakan


selanjutnya tapi tertahan.

Satu senapan telah berhenti menyerang, memberikan celah untuk


monster-monster itu dapat menunjukkan tubuh mereka.

Mereka akhirnya berhasil melangkahkan kaki melewati pintu setinggi


dua meter itu.
Beberapa berjatuhan karena tertembak oleh Dimas dan Alya, tapi yang
lain berhasil berdiri di depan pintu, berhadapan dengan tiga prajurit itu.

“Graaaa!” Teriak para monster itu lantas berlari mendekat, tangan


mereka yang besar dan berotot siap mencabik-cabik kapan saja.

“Menghindar!”

Tiga sekawan itu dengan cekatan menghindar ke sisi lain, tangan


monster itu mengenai udara kosong.

“Dor!”

Nexo melepas tembakan, jitu mengenai dada monster yang berdiri


tepat di depannya, monster itu tumbang, menumpahkan darah merah
segar di lantai.

Seekor monster lainnya mencoba untuk mencabik Luna.

“Groaaar!!!”

Kuku-kuku tajamnya bergerak dengan cepat, mengarah tepat ke wajah


Luna.

“Hiyah!”

“Dor!”

Luna berkelit, menghindarinya, lantas melepaskan tembakan yang


menembus pelipis monster itu, menumbangkannya.

Bagaimana dengan Max?

“Hyah! Rasakan!

Ia berkelit, lantas melepas pukulan sekuat tenaga, telak mengenai dada


monster itu tapi tidak dapat membunuhnya, ia hanya terpental ke
belakang.

“Haha, not today!”

Max berhasil mengulur waktu, ia dengan cekatan mengeluarkan sebuah


pisau dari sakunya yang terpasang pada ikat pinggangnya.
Dengan cepat ia berlari ke arah monster itu, lantas menghujamkan
pisau itu tepat di leher monster itu, menumbangkannya.

“Take this!”

Pandangannya dengan cepat teralihkan pada sahabatnya yang tampak


kesulitan menahan tiga ekor monster yang mencoba membunuhnya.

“Nexo!”

Ia bergegas berlari, menghampiri Nexo.

“Dor!”

Satu ekor tumbang, namun yang berada satu meter di sisi kanan Nexo
bergerak menerkam.

“GROAAAR!!!”

“Gah!”

“Mundur, Nexo!” Teriak Max, sembari melompat, menerkam leher


monster itu.

“Mati Kau!” Ditusukkannya pisau yang berada di genggaman tangan


kanannya itu sedalam-dalamnya, tanpa ampun. Darah merah pekat
segar bermuncratan ke angkasa.

Max mendarat, setengah meter di depan monster yang telah di


tumbangkannya. Wajahnya tampak kotor terkena percikan darah
merah pekat.

Di belakangnya, seekor monster yang ketiga mencoba untuk


menyerang.

“Gah!” Max berseru tertahan.

“Dor!”

Nexo melepas tembakan, jitu mengenai pelipis monster itu, tembus


sampai ke belakang.

Monster itu tumbang.


“Thanks, Nexo.”

“Kau juga.”

Di sisi lain.

“Dor!”

Pistol meletus, suaranya menggema di antara rimba beton itu, Luna


berhasil menjatuhkan seekor monster yang mencoba menerkamnya.

“Dor!”

Ia berkelit, cakaran monster yang menyerangnya dari belakang


mengenai udara kosong, sementara ia dengan cekatan menarik pelatuk
pistol itu sekali lagi.

“Dor!”

Monster itu telah tumbang.

Ia menyeka pelipisnya, lantas menatap pistolnya. Raut wajahnya


berubah menjadi cemas.

“Pelurunya habis.” Ia bergumam.

“Hah!”

Tanpa ia sadari, seekor monster tepat dari depannya berlari dengan


kencang, memukulnya hingga Ia terbanting ke sudut bangunan.

“Gah!”

Ia menghantam beton dengan keras. Mulutnya memuntahkan darah


segar.

“Luna!” Nexo berteriak dari kejauhan.

“Hiyah!”

“Dor!”

Nexo menumbangkan monster yang berada di depannya, lantas berlari


menuju ke arah monster yang mencoba membunuh Luna.
Monster itu melangkah mendekati Luna, berdiri satu meter di
depannya.

“Dor!”

Nexo melepas tembakan, mengenai tengkuk monster itu, tembus


sampai ke sisi lainnya.

“Terima kasih, Nexo.”

Nexo tak menjawab, pandangannya tertuju pada sesuatu di angkasa


sana, sangat jauh, membuatnya harus memicingkan mata. Apa itu?

Di sisi lain, Max bertahan habis-habisan, menebas leher monster-


monster itu dengan pisau kesayangannya.

“Kita harus menolong Max.” Ujar Nexo sembari menarik tangan Luna,
membantunya berdiri.

Tiba-tiba ponsel Nexo berdering, membuatnya harus berhenti


melangkah.

Ia menggeram lantas menarik keluar ponsel itu.

“Nexo. Aku berhasil melewati gangguan itu.” Sebuah suara yang


dikenalnya berkata dari seberang telepon.

“Aku akan segera kesana. Bagaimana kondisi kalian?”

“Buruk. Kami sedang bertarung mati-matian melawan ratusan monster


sialan ini!” Jawab Nexo tegas sambil menembaki monster-monster
yang merangsek masuk dari pintu tangga itu.

“Aku akan segera kesana.”

Nexo memutus panggilan. Ia melihat teman-temannya sedang dalam


bahaya, lantas berlari menuju mereka.

“Dor!”
Nexo melepas tembakan, menumbangkan seekor monster yang
mencoba menerkam Max dari belakang yang sibuk melayani monster-
monster yang ada di depannya.

Luna menggenggam sepasang belati. Ia sejak tadi terus berkelit lalu


menyerang, gerakannya gesit, dengan cepat menumbangkan monster-
monster itu meskipun tidak semua serangan dapat ia hindari.

“Dor!”

Nexo melepas tembakan sekali lagi, menjatuhkan monster yang berdiri


jauh di depannya.

“Gah, peluru habis!” Nexo menggeram saat hendak melepaskan


tembakan untuk kedua kalinya.

Monster-monster itu bertambah banyak. Ada sekitar lima puluhan yang


kini berdiri di atas gedung itu, mengepung dari segala arah sementara
yang lainnya masih terus berdesak-desakan melewati lorong yang
sempit itu.

Tiga sekawan itu merapat, memasang kuda-kuda yang lebih kokoh,


menghadap ke tiga arah.

“Alistair, cepatlah!” Geram Nexo, memaki dalam hati.

“Sial, dimana bocah itu!?” Max berkata dengan keras.

Luna memerhatikan sekeliling, matanya menyorot tajam. Tangannya


siaga, memegang kedua belatinya dengan erat, siap menyerang kapan
saja tapi risikonya sangatlah besar.

Mereka tak bisa melakukan apa-apa. Tiga sekawan itu kini telah
terkepung, mereka hanya bias berharap bantuan akan segera tiba.

“Groaaar!!!” Monster-monster itu telah memulai penyerangan, mereka


menyerbu dari segala arah.

“Hmph!” Nexo dengan cekatan menarik sebuah pedang dari sarungnya


yang ia selempangkan ke punggungnya.

“Hiyah!”
Nexo dengan cepat menyabet satu persatu monster-monster itu
dengan pedangnya, sementara Max sibuk dengan urusannya sendiri,
menusuk dan menebas leher dan tengkuk monster yang ada di
depannya.

Luna menghindar, berguling di bawah tubuh monster-monster itu,


lantas menyerang dari belakang.

Situasi semakin memburuk, hanya masalah waktu mereka akan mati


terbunuh di tengah serbuan dari makhluk-makhluk menakutkan itu.

Atmosfer terasa semakin mencekam namun udara dingin kini tak lagi
terasa menusuk tulang.

Masing-masing sibuk mengurusi monster-monster yang mencoba


membunuhnya, mereka bertahan mati-matian.

Di kejauhan, di angkasa sana, terlihat entah apa itu, seperti sekelompok


makhluk-makhluk bersayap, terbang mendekati bangunan tua itu.

“Hiyah!”

Max menendang monster yang mencoba menerkamnya, monster itu


terpental, dengan cepat Max langsung menusukkan pisaunya tepat di
dada monster itu lantas menariknya kembali, memuncratkan darah
segar ke angkasa. Lelaki itu memiliki kekuatan fisik terkuat diantara tiga
sekawan itu.

“Wait, apa itu?” Ia memicingkan mata, melihat ke langit sana.

Dua menit, mereka masih bertahan, meskipun mereka harus menerima


luka gores dan sayatan dari kuku-kuku monster itu di bagian tubuh
mereka. Baju mereka kini kotor bersimbah darah. Entah itu darah dari
monster maupun darah dari luka mereka sendiri.

“Syuut!”

“Blarrr!!!”

“Argh!” Mereka semua Berteriak.


Sebuah serangan datang entah dari mana, menghantam ke atas
bangunan tua itu. Semuanya terpental, berjatuhan.

“Erkh, apa itu?” Nexo berkata sambil merintih menahan luka-lukanya


dan berusaha untuk bangkit kembali.

“Hah!?” Ia terbelalak, dilihatnya di langit sana, sekawanan makhluk-


makhluk hitam bersayap terbang mendekat.

“Groar!” Salah satu dari mereka menembakkan serangan dari mulut


mereka. Serangan itu, sebuah bola berwarna hitam pekat dikelilingi
oleh energi listrik, melesat dengan cepat, menghantam puncak
bangunan tua itu.

“BOOM!”

Puncak bangunan tua itu runtuh seketika serangan itu


menghantamnya.

“Gah!” Tiga sekawan itu menjerit, mereka terhempas ke lantai bawah.

Ruangan terasa pengap, debu-debu reruntuhan mengepul memenuhi


udara.

Nexo merintih, kakinya tertimpa reruntuhan, membuatnya tak bisa


bergerak.

Samar-samar terlihat Max dan Luna terbaring tak berdaya.

*****

Anda mungkin juga menyukai