Anda di halaman 1dari 3

CERITA NON FIKSI

Si Petualang Dari Desa

Dahulu di sebuah desa grobogan, aku masih berumur 6 tahun, tinggi ku pun
kurang dari 1 meter, dan nyali ku pun masih kurang besar, namun aku punya segudang
tantangan untuk di lakukan bersama teman – teman ku.

Nama ku adalah Habiburrahman yang ketika besar nanti akan menja


di professor yang merubah masa depan, dan teman – teman ku yang bernama Tarto
diya lebih tua dari ku satu tahun dalam peraturan adat kami, aku memamanggil nya
manggilnya Kang Tarto, lalu teman ku satunya lagi bernama Irin aku memanggilnya
Mas Irin diya juga lebih tua dari ku satu tahun, ada juga yang bernama Huda, aku
pun memanggil nya Mas Huda, diya memiliki kesukaan yang sama dengan ku yang
tertarik akan IPTEK, lalu di susul dengan teman – teman sebaya dan yang lebih muda
dari ku Emo, Weit, dan adik ku sendiri yang bernama Aziz.

Suatu hari seperti biasa adalah kegiatan rutin kami setelah pulang sekolah,…
yaitu bermain dan berpetualang. Aku pun bergegas untuk berkumpul dengan teman –
teman aku.
aku bertanya “ake neng ndi ki ??” yang artinya mau kemana ni,.
Sintak Kang Tarto menjawab “yo wes kita ngguleg walang ajja”,
lalu kami ber 6 pergi ke persawahan para petani,.. kali ini kami mencari belalang,..
sekaligus membantu petani memberantas hama, target kami adalah belalang yang
ada telurnya dan yang besar,.. siapa yang paling banyak dapat dia akan menjadi
orang yang terkesankan, kami berjalan melewati pesisir sungai dan menyebranginya.
Akhirnya tiba lah kami di tempat tujuan, itu pun terasa sangat mengasik kan, di sana
hanya ada perswahan dan pohon – pohon jati yang rindang dan tak ada semak semak
di sekitar phon ter sebut, sejauh mata memandang. Kami pun berpencar untuk
mencari belalang buat di kumpulkan. Tak jauh aku bejalan aku melihat belalang
betina sangat besar yang ada di atas pohon jati yang tinggi nya kira – kira satu
meter, aku bisa tahu kalau itu betina karena belalang betina lebih besar dari yang
jantan, dan ekornya pun tidak runcing atau lancip, ku cari ranting pohon jati lalu
diam diam aku meng endap – endap dan
“PRAkkk” ku pukul belalang itu,
namun sayang sekali pukulan ku meleset dan belalang itu terbang, tapi untungnya
ketika aku memukul belalang tadi bulu sayapnya terpotong sebelah dan dia tidak
bisa terbang dengan normal, akhirnya aku kejar lagi belalang itu sampai - sampai
menginjak tanaman tembakau milik petani, kebetulan juga petani itu sedang
istirahat di pondok persawahannya akupun kena marah sama petani itu, dan
mengalihkan pandangan ku sejenak terhadap belalang buruanku tadi. Selesai, aku
cari cari lagi belalang tadi dengan cara membuat suara brisik dengan menyapu daun
– daun jati yang kering akhirnya ketemu, dia pun terbang pendek, sekali lagi aku
melangkah dengan meng endap – endap
“Traaap kresekk kresekkk !!” aku melompat dan menangkap bealang itu dengan ke
dua tangan ku.
Kulihat di balik tangan ku “yeaah entog – entog aku entog walang,.” Sintak ku
Teman – teman berdatangan.
“ndi cobo buka tangan mu,.. tag ndelo’o,..” tanya teman ku weit, ku buka tangan ku
perlahan sambil memegangi belalang itu,.
“wah iyo mas, hebat koe entog walang gede” ucap adik ku
Dan akhirnya perjuangan ku, aku mendapatkan seekor belalang,. Hati ku pun senang
dan riang sekali, lalu ku patah kan kaki belalang yang tajam – tajam itu, ia pun
mengeluarkan darah berwarna hijau. Tak lama kemudian adik ku pun mendapatkan
seekor belalang jantan. Di susul dengan teman ku weit dan mas huda. Kami melanjut
kan mencari belalang sambil men cari pring (ranting bambu yang sudah kering). Kami
pun merasa kelelahan setelah lari sana – sini mengejar belalang, tapi itu cukup
banyak membuahkan hasil. Kami pun ber istirahat sambil membuat pondok yang
tidak terlalu besar.
lalu aku pun merasa haus “mas Huda kancani aku neng kali aku ake ngombe seg,
ngorong aku ki” ucap ku mengajak mas huda untuk menemaniku ke sungai untuk
minum.
“yo tak kancani,..” sintak mas huda menjawab ajakan ku.
Aku pun turun untuk mengambil air minum, Mas huda menunggu ku di atas. Tiba –
tiba air bah datang dari ujung sungai terlihat oleh mas huda
Sintak dia berkata “bib,.. munggah !!?!! melayu songkoh kono,.. ndelog oo ono bah,..”
Aku pun terkejut mendengar teriakan mas Huda, dengan gopoh dan ter gesa –gesa
aku pun naik ke atas namun terpeleset aku merasa was – was kucoba naik kembali,
namun terpeleset lagi, sintak mas huda pun mengulurkan tangannya dan menolong ku.
Aku pun tertolong dan sambil tertawa namun merasa was – was dan tidak tenang
dalam hati ku. Kami kembali ke per istirahattan. Tiba – tiba hari mendung dan awan
perlahan mulai mengumpul. Tetesan air pun terasa di kulit ku, perlahan namun past.i
hujan turun dikit demi sedikit. Pondok kami pun belum juga jadi, aku pun membantu
mereka mencari kayu – kayu yang bisa menjadi penyangga dan mencari pelepah
pisang yang sudah kering serta tanaman rambat untuk di jadikan sebagai tali. Kami
bekerja sama untuk membuat pondok yang hampir jadi yang muat untuk enam orang.
Mencari daun jati yang lebar – lebar untuk atap pondok kami.
Akhirnya setelah bekerja keras membangun sebuah pondok diatas pasir putih
selesai juga. Hujan mulai lebat, kami pun menunggu sambil bakar belalang yang
telah kami dapat kan tadi,.. banyak se kali,.. aku berkata kepada teman – teman
“bukan ne engko tawar walangnge ???”
Sintak Mas irin “tenang aja aku nggowo uyah,..”
“wah apek lah nag ngono” sintak kami ber lima,.
Tak terasa hujanpun berhenti kami pun pulang, petualanggan yang menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai