Anda di halaman 1dari 16

Si Jangoi

Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku, tiga tempat yang sangat berkaitan. Di antara
ketiga pulau tersebut, Pulau Penyengat lebih besar dan berpenduduk ramai. Di dalam Sejarah
Kerajaan Riau-Lingga, kedudukan Pulau Penyengat sangat penting sekali.

Bukan saja sebagai hadiah Mas Kawin dan Sultan Mahmud kepada Engku Putri atau Raja
Hamidah. Tetapi juga pada tahun 1808 M menjadi pusat pemerintah Kerajaan.

Yaitu ketika Raja Ja’far yang diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda VI menggantikan Raja Ali,
menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat kediaman dan pemerintahannya.

Selain itu, Pulau Penyengat sudah dikenal, jauh sebelum Kerajaan Riau di pindahkan dari johor ke
Hulu Riau. Yakni sebagai pulau yang disinggah oleh para pelaut untuk mengambil air bersih.

Dan kononnya di pulau itu banyak sejenis binatang penyengat seperti lebah. Hingga kemudiannya
pulau itu bernama Penyengat. Sedangkan Pulau Los Keadaannya jauh lebih kecil serta tidak
berpenghuni.
Posisinya berada tak jauh dari Pulau Penyengat. Kalau kita melihat dari Pelabuhan Laut
Tanjungpinang, posisi Pulau Los di sebelah kanan Pulau Penyengat. Dari ujung Senggarang, Pulau
Los sangat dekat.

Tidak begitu jelas kenapa Pulau Los tidak berpenghuni, tetapi menurut cerita orang-orang tua,
dahulunya Pulau Los menjadi sarang Bajak Laut ketika berakhirnya pemerintahan Kerajaan Riau-
Lingga.

Konon, menurut ceritanya Pulau Los juga dijadikan tempat pembuangan orang-orang jahat. Bagi
para nelayan dahulu, di daerah sekitar Pulau Los ada suatu tempat yang ditakuti, karena kononnya
di situ terdapat semacam gelombang pasang yang sering datang tiba-tiba. Soal kebenarannya,
Wallahu alam bishawab.

Dan bagaimana dengan Pulau Paku?

Pulau Paku sebenarnya hanyalah semacam tanah busut (beting) di tengah laut antara Teluk
Keriting dan Penyengat. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya hingga tanah busut atau beting
tersebut hingga disebut pulau.

Yang jelas kalau air pasang dalam Pulau Paku itu tenggelam dan tidak kelihatan, tetapi kalau air
surut akan kelihatan. Dan konon, dahulunya di Pulau Paku itu tumbuh sejenis pohon.

Kononnya pula Pulau Paku ini sebagai lambang kemakmuran. Demikianlah halnya tentang Pulau
Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku.

Lalu, bagaimanakah kisah si Jangoi sesuai dengan judul cerita kali ini? Jangoi, menurut pengertian
dalam bahasa Melayu adalah nakal. Atau anak yang nakal.

Atau barangkali nama Jangoi hanya diberikan sebagai nama tokoh dalam cerita ini, itupun tak
begitu pasti. Syahdan alkisah, menurut yang empunya cerita kehidupan masyarakat di Pulau
Penyengat sangatlah harmonis dan bahagia.

Masyarakatnya ramah tamah, bersopan santun, dan saling kasih mengasihi antara satu sama
lainnya. Kebahagiaan kehidupan mereka agak terganggu ketika munculnya seorang anak yang
bernama jangoi.

Jangoi adalah julukan untuk anak yang nakal, yang suka mengusik orang. Apalagi mengusik anak
dara, tak perduli pagi, siang, petang ataupun malam.

Di saat orang menjaring, Jangoi pun suka merusak jaring orang. Alkisah, adaaaa….. saja yang
dikerjakan atau diganggunya. Pernah juga orang-orang kampong merasa geram dan marah kepada
Jangoi, hingga suatu ketika Jangoi ditangkap dan diikat di sebuah pohon.

Tetapi entah bagaimana, e’eh ….. tahu-tahu si Jangoi lepas dari ikatan dan menghilang. Orang
kampong pun jadi heran. Padahal ikatan di pohon itu begitu kuat, tapi ternyata si Jangoi dapat
melepaskan diri.

Untuk beberapa hari, sejak Jangoi di tangkap dan menghilang, keadaan kampong agak tenang. Tak
pernah terdengar lagi soal si Jangoi yang suka mengganggu orang. Tapi ketentraman itu tidak
lama.

Rupanya entah dari mana, tahu-tahu si Jangoi muncul lagi. Kali ini kelakuannya lebih jahat. Tidak
hanya suka mengganggu ataupun mengusik, tapi sengaja mengejar-ngejar anak-anak perempuan
ataupun anak dara yang mau pergi atau pulang mengaji.

Sehingga sebagian anak-anak dara ataupun anak-anak takut pergi untuk mengaji. Malahan suatu
ketika, pada suatu malam Jangoi bersembunyi pada sebuah pohon yang rimbun, ia memakai
pakaian putih, layaknya mayat yang baru keluar dari lobang kubur.

Entah mukena siapa yang dicurinya. Begitu orang-orang pulang dari surau dan melewati pokok
rimbun itu, Jangoi pun keluar dengan melompat-lompat layaknya sebagai lembaga atau hantu.

Maka berhamburan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan orang-orang itu, khususnya orang
perempuan dan anak-anak. Penduduk setempat sangat marah! Maka dicarilah akal untuk
menangkap si Jangoi.

Orang-orang kampong sengaja mengintai dan mencari kelengahan Jangoi. Alhasil, pada suatu
ketika, dapatlah si Jangoi ditangkap oleh orang kampong. Beramai-ramai orang kampong itu
mengarak si Jangoi. Kedua tangannya diikat ke belakang.

Sesampainya di sebuah pohon yang besar, si Jangoi diikat. Sekali ini, si Jangoi tidak ditinggal
begitu saja. Melainkan dijaga oleh orang dewasa. Jaganya bergantian. Pokoknya, istilah kata
orang, tak boleh leke.

“Huh! Baru kau rasa sekarang, ya? Kau tak akan dapat lepas lagi, Jangoi. Kami jaga engkau
berganti-ganti,” kata orang yang menjaganya.
Apa jawab si Jangoi?

“Kalau ada orang menjaga enak juga. Engakau orang jadi pengawal aku, si Jangoi!” Ejek Jangoi.
“kurang ajar! Dasar anak bertuah!” kata si penjaganya dengan marah.

“Aku diikat, engkau orang menjaga. Engkau orang juga yang penat!” Ejek Jangoi lagi. Naik pitam
juga orang yang menjaganya melihat perangai si Jangoi.

“Hei, dengar! Budak macam kau ‘ni tak perlu dilayan!” Kata si Penjaganya dengan geram.
“Tak, layan sudah! Akupun tak rugi!” Jawab si Jangoi sambil ketawa-ketawa.

“Iiih …. Kalau bukan masih budak lagi, sudah aku lumat-lumatkan, engkau ‘ni!” Begitu geramnya
di Penjaga itu melihat perangai Jangoi. Adaaaa …. Saja jawabnya. Maka si Penjaga itupun tak
hendak melayan si Jangoi lagi.

Memang sungguh luar biasa, istilah kata orang, tak boleh leke. Padahal orang yang menjaganya
betul-betul dan dijaga secara berganti-ganti.

Tapi dalam sekelip mata, si Jangoi boleh hilang dari pokok tempat ia diikat. Para penjaga kalang-
kabut mencari-cari, sampai kemerata tempat. Tapi si Jangoi hilang macam di telan bumi.

Akhirnya, orang-orang kampong jadi putus asa. Mereka tak tahu lagi bagaimana untuk mencari
dan menangkap si Jangoi.

Orang-orang kampong sangat khawatir kalau-kalau si Jangoi muncul lagi dan buat perangai yang
lebih teruk. Dan betul saja, tak sampai sepekan si Jangoi pun muncul.

Sekali ini bukan anak dara, anak-anak ataupun orang perempuan, melainkan orang-orang tua pun
diusik dan ditakuti-takuti. Layaknya jadi macam orang minyak!.

Suasana kampong betul-betul kelam-kabut dibuat ulah si Jangoi!. Maka akhirnya orang kampong
berkumpul dengan dipimpin oleh Orang Tua di kampong itu. Mereka bermusyawarah untuk
mencari jalan keluar yang terbaik.

“wahai orang-orang kampong, nampaknya perangai si Jangoi, tak boleh kita diamkan begitu saja.
Si Jangoi telah membuat kerusuhan di kampong kita ini!” kata Orang Tua itu.

“Kalau dapat sekali ini, kita rejam saja, Tok!” ujar salah seorang penduduk.
“Tapi si Jangoi itu masih budak-budak lagi, takkanlah hendak direjam pula!” kata penduduk yang
lain.

“Memang masih budak-budak, tapi kelakuannya sudah melampau batas! Sudah membuat
kampong kita ini kacau balau!” Kata salah seorang penduduk yang lainnya pula.
“Yang penting kita dapat menangkap dahulu budak yang bernama Jangoi itu. Bagaimana dan apa
yang patutu kita buat, biarlah nanti kalau si Jangoi sudah tertangkap.

Kita jangan biarkan lagi si Jangoi itu buat kerusuhan di kampong kita ini. Itu yang penting!”
akhirnya Orang Tua yang memimpin musyawarah itu berkata.

Banyak orang kampong yang memburu dan hendak menangkap si Jangoi. Pada hari petang
menjelang maghrib, si Jangoi mulai dengan perangainya mengusik orang yang akan pergi
sembahyang.

Maka serentak orang-orang kampong yang sudah bersiap sedia, langsung mengejar Jangoi.
Maka terjadilah kejar-mengejar, walaupun ramai orang yang memburunya, tak mudah untuk
menangkap Jangoi.

Jangoi pandai menggelecek, lari sana, sembunyi di sini. Badannya pun macam belut, licin. Payah
di tangkap. Tetapi dengan usaha yang gigih dari orang-orang kampong, akhirnya Jangoi dapat
tertangkap.

Begitu jangoi dapat tertangkap, langsung diikat serta diapit oleh beberapa orang dewasa sehingga
tak dapat lari. Langsung dibawa kehadapan Orang Tua.

“Hei Jangoi …. Aku hendak bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur …. Apa sebenarnya
maksudmu suka mengganggu orang-orang kampong, hingga kelakuanmu seperti orang minyak!”
Tanya Orang Tua. Tapi si Jangoi tidak menjawab, ia hanya tertawa-tawa saja.

“Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab. Tapi beritahukan kepadaku, ilmu apa yang kamu pakai
sehingga dapat melepaskan ikatan dan menghilangkan diri …” Tanya lagi si Orang Tua dengan
sabar.

Ternyata si Jangoi masih belum ingin menjawab, ia masih diam dan hanya tersenyum-senyum.
Orang Tua itu pun hampir habis kesabarannya, tapi masih juga ditahannya.

Lalu Orang Tua itu berkata lagi,


“sekarang jelaskan apa syaratnya supaya kamu tidak boleh melepaskan diri dan menghilang lagi!”
“Benarkah orang-orang kampong ingin menyingkirkan aku dari kampong ini?” Tiba-tiba si Jangoi
bicara.

“Kamu budak yang sangat nakal, yang hilang sama sekali dari kampong ini!” ujar seorang
penduduk dengan geram.

“Kalau kau tak mau member tahu syaratnya, tubuhmu akan kami bakar hidup-hidup!” kata orang
yang lainnya pula.

Mendengar tubuhnya mau dibakar, si Jangoi ketakutan. “Jangan, jangan dibakar. Aku tidak akan
mati, tapi akan sangat menderita …”
Ujar si Jangoi ketakutan.
“Kalau begitu katakanlah syaratnya!” Ujar Orang Tua di kampong itu.
“Baiklah! Jika orang-orang kampong sangat benci padaku, dan ingin melenyapkan aku, mudah
saja.

Syaratnya, pisahkan tubuhku menjadi tiga bahagian. Kepala, badan dan kaki.” Jelas Jangoi
menerangkan.

Mendengar penjelasan dari si Jangoi, orang-orang kampong sangat terkejut. Terumanya si Orang
Tua. Sungguhnya itu hanya ingin menakuti-nakuti.

Tak akan tergamak atau sampai hati mereka untuk membakar si Jangoi hidup-hidup, apalagi harus
memenggal tubuh si Jangoi menjadi tiga bahagian, kepala,badan serta kaki.

Melihat orang-orang kampong sangat terkejut dan sepertinya tak sampai hati untuk memenggal
dirinya menjadi tiga bahagian, si Jangoi pun berkata, “Kenapa orang-orang menjadi ketakutan dan
tak sampai hati untuk memenggal aku? Kalau tubuhku tidak dipisahkan, aku tidak akan mati dan
aku akan terus mengacau!” Ujar si Jangoi.

Kata-katanya, betul-betul membuat orang kampong serba salah. Kalau tidak melakukan seperti
apa kata si Jangoi. Kampong tidak akan aman.

Tapi kalau melakukan syarat yang dikatakan oleh Jangoi, mereka juga tak sampai hati. Dengan
berbagai pertimbangan, akhirnya si Jangoi di bunuh.
Namun orang kampong tidak mengikut arahannya dari Jangoi untuk memisahkan ketiga bahagian
tubuhnya.

Akhirnya, tak sampai seminggu si Jangoi bangkit dari kuburnya, dan hidup kembali, serta
mengacau orang kampong lebih dahsyat. Si Jangoi betul-betul jadi macam orang minyak.

Terpaksalah orang kampong mencari orang yang berilmu, orang pandai, untuk menangkap Jangoi.
Setelah berusaha dengan keras, akhirnya si Jangoi dapat tertangkap.

“Wahai orang kampong sekaliannya, kita memang harus melakukan seperti arahan yang diberikan
oleh si jangoi ini. Sebab itulah petuahnya, jika kita tidak melakukannya. Si Jangoi akan terus
dengan perangkainya.

Bahkan semakin hari, semakin jahat. Memang kita tak sampai hati, sebab si jangoi masih budak
lagi. Demi kepentingan orang banyak, terpaksalah kita harus mengorbankan si Jangoi!” Demikian
kata orang pandai itu dengan panjang lebar.

Akhirnya dengan perasaan serba salah, orang-orang kampongpun melakukan seperti apa yang
dikatakan oleh Jangoi. Konon, kepala Jangoi di tanam di Pulau Los, badannya di tanam di Pulau
Penyengat, sedangkan kakinya di tanam di Pulau Paku.

Memang sungguh ajaib!


Sejak kejadian itu si Jangoi memang tak pernah muncul lagi. Kampong itupun kembali tentram
seperti semula.

Oleh sebab itu, kalau ada anak nakal, selalu disebut orang,
“Huh! Kelaku macam si Jangoi!”

Tema dan Amanat yang Terkandung dalam Kisah Batin Si


Jangoi
Kisah batin Si Jangoi dari Riau ini mengandung tema tentang kisah kehidupan seorang
batin/penghulu, baik itu keturunannya atau batin itu sendiri, mereka akan tetap menjadi seorang
penghulu.

Seperti Jenang Pendeka yang melarikan diri dari Pulau Galang karena ingin menghindari
perselisihan antara dirinya dengan kakaknya ke Pulau Paku. Namun pada akhirnya ia tetap menjadi
seorang penghulu di Pulau Paku.

Kedudukan itu ia dapatkan bukann karena keinginannya untuk menjadi seorang penghulu. Tetapi
karena ia menjadi pewaris tahta dari batin Si Jangoi setelah menikah dengan Putri Pandan Beduri.

Ia bukanlah seorang yang haus kekuasaan, tetapi justru takdirlah yang membawa ia sampai
menjadi seorang penghulu, walaupun ia bukan penghulu di Pulau Galang, tempat asalnya.
Bagaimanapun juga, akhir cerita ini mengisahkan bahwa kakanya, Juru Pakesa, akhirnya
meninggal dan Pulau Galang kehilangan pemimpin.

Sehingga ketika rakyat Jenang Pakesa dari Pulau Galang bertemu dengannya di Pulau Paku, ia
diminta kembali ke Pulau Galang dan menjadi penghulu menggantikan kakaknya yang baru saja
meninggal. Sedangkan kisah batin Si Jangoi, ia tetap menjadi seorang batin bagi rakyat pesukuan
di Pulau Paku.

Setelah ia menyerahkan jabatannya kepada Jenang Pendeka, ia kembali menerima jabatannya


sebagai batin karena Jenang Pendeka harus kembali ke Pulau Galang untuk mengambil alih
pekerjaan kakaknya yang baru saja meninggal.

Sehingga dari kedua kisah ini, dapat disimpulkan bahwa tema yang terkandung dalam kisah batin
Si Jangoi ini adalah keturunan penghulu akan tetap menjadi penghulu, seperti analogi keturunan
raja tetap menjadi raja di kemudian hari.

Melalui kisah ini, pengarang ingin menyampaikan pesan berupa:

1. Sebagai manusia yang berkeyakinan dan beragama, kita jangan terlalu mempercayai hal-
hal yang bersifat tahayul.
2. Setiap pemimpin hendaklah bersikap seperti tokoh batin Si Jangoi yang bertanggung
jawab dan seperti Jenang Pendeka yang juga bertanggung jawab dan arif bijaksana.
Kisah Laksamana Hang Tuah

Pada zaman dahulu kala, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Ketika masih anak-anak,
ia beserta kedua orangtuanya, Hang Mahmud dan Dang Merdu, menetap di Pulau Bintan. Pulau
ini berada di perairan Riau. Rajanya adalah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar yang
bermahligai di Bukit Siguntang.

Hang Mahmud berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang terkemuka. Saat
berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan disertai empat sahabatnya,
yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-
kali diganggu oleh gerombolan lanun. Dengan segala keberaniannya, Hang Tuah beserta para sa-
habatnya mampu mengalahkan gerombolan itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga
Bendahara Paduka Raja Bintan, yang sangat kagum terhadap keberanian mereka.

Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pengamuk yang
menyerang Tuan Bendahara. Tuan Bendahara kemudian mengangkat mereka sebagai anak
angkatnya. Tuan Bendahara kemudian melaporkan tentang kehebatan mereka kepada Baginda
Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa kagum dan juga mengangkat mereka sebagai anak
angkatnya.
Beberapa tahun kemudian, Baginda Raja berencana mencari tempat baru sebagai pusat kerajaan.
Ia beserta punggawa kerajaan, termasuk Hang Tuah dan para sahabatnya, melancong ke sekitar
Selat Melaka dan Selat Singapura. Rombongan akhirnya singgah di Pulau Ledang. Di sana rom-
bongan melihat seekor pelanduk (kancil) putih yang ternyata sulit untuk ditangkap.

Menurut petuah orang tua-tua, jika menemui pelanduk putih di hutan maka tempat itu bagus dibuat
negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinamakan Melaka, sesuai nama pohon
Melaka yang ditemukan di tempat itu.

Baca Juga:

 Hikayat Cindua Mato


 Kisah Puteri Kaca Mayang Dan Asal Mula Kota Pekanbaru
 Hikayat Putri Gading Cempaka
 Legenda Putri Tujuh, Asal Mula Nama Kota Dumai

Setelah beberapa lama memerintah, Baginda Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama
Tun Teja, putri tunggal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu
menolak pinangan Baginda Raja. Akhirnya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu putri
tunggal Seri Betara Majapahit, raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan, di istana Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit
Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan itu, Hang
Tuah kemudian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik dengan cara
menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari.

Setelah keris bertukar, Hang Tuah kemudian berkali-kali menyerang Taming Sari. Taming Sari
baru kalah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah tertikam ke tubuhnya. Hang Tuah kemu-
dian diberi gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Raja bersama istri dan rombongannya kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-
tahun negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi laksamana yang amat setia kepada raja
Melaka dan amat disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit
dan pegawai istana.

Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah telah berbuat tidak sopan dengan
seorang dayang istana. Penyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap
Hang Tuah. Baginda Raja marah mendengar kabar itu. Ia memerintahkan Bendahara Paduka Raja
agar mengusir Hang Tuah. Tuan Bendahara sebenarnya enggan melaksanakan perintah Baginda
Raja karena ia mengetahui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Bendahara menyarankan agar Hang
Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah mengenal seorang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja.
Dang Ratna kemudian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah meminta Dang Ratna untuk
menyampaikan pesan kepada Tun Teja agar mau menyayangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna,
Tun Teja mau menyayangi Hang Tuah. Hubungan keduanya kemudian menjadi sangat akrab.
Suatu waktu, Indrapura kedatangan perahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun
Bija Sura. Mereka meminta Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna
juga ikut bersama rombongan.

Sesampainya di Melaka, Hang Tuah kemudian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata,
“Mohon maaf, Tuanku, selama ini hamba tinggal di Indrapura. Hamba kembali untuk tetap
mengabdi setia kepada Baginda.” Tun Ratna Diraja melaporkan kepada Baginda Raja bahwa Hang
Tuah datang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja.

Singkat cerita, Tun Teja akhirnya bersedia menjadi istri kedua Baginda Raja meskipun sebenarnya
ia menyayangi Hang Tuah. Hang Tuah kemudian menjabat lagi sebagai Laksamana Melaka, yang
sangat setia dan disayang raja.

Hang Tuah kembali kena fitnah setelah bertahun-tahun menetap di Melaka. Mendengar fitnah itu,
kali ini Baginda Raja sangat marah dan memerintahkan Tuan Bendahara agar membunuh Hang
Tuah. Tuan Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan memintanya agar mengungsi ke Hulu
Melaka.

Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari ke Tuan Bendahara agar diserahkan pada Baginda Raja.
Hang Jebat kemudian menggantikan Hang Tuah sebagai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja
keris Taming Sari diserahkan kepada Hang Jebat.

Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia bertindak
sewenang-wenang. Jebat juga sering bertindak tidak sopan terhadap para pembesar kerajaan dan
dayang-dayang. Banyak orang telah menasihatinya. Namun, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak
mau berubah.

Baginda Raja menjadi gusar melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mampu
mengalahkan Hang Jebat. Baginda lalu teringat kepada Hang Tuah. Tuan Bendahara memberitahu
kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, sebenarnya Hang Tuah masih hidup. Ia mengungsi ke Hulu
Melaka.” Atas perintah Baginda Raja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Baginda Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang
Tuah kemudian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara dua sahabat
yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming
Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat mengalahkan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang
Tuah. Hang Tuah kembali diangkat sebagai Laksamana Melaka. Setelah itu, Melaka kembali
tenteram.

Laksamana Hang Tuah sering melawat ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk
memperluas pengaruh kerajaan Melaka di seluruh dunia.

Suatu saat Baginda Raja mengirim utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India, yang
dipimpin oleh Hang Tuah. Setelah sampai di India, rombongan melanjutkan pelayaran ke negeri
Cina. Di pelabuhan Cina, rombongan Hang Tuah berselisih dengan orang-orang Portugis, karena
mereka sangat sombong, tidak terima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di samping kapal Portugis.
Setelah menghadap Raja Cina, rombongan Hang Tuah kemudian melanjutkan perjalanannya
kembali ke Melaka. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh perahu-perahu Portugis. Hang
Tuah mampu mengatasi serangan mereka. Kapten dan seorang perwira Portugis melarikan diri ke
Manila, Filipina. Rombongan Hang Tuah akhirnya tiba di Melaka dengan selamat.

Suatu hari raja Melaka beserta keluarganya berwisata ke Singapura diiringi Laksamana Hang Tuah
dan Bendahara Paduka Raja dengan berbagai perahu kebesaran. Ketika sampai di Selat Singapura
Raja Syah Alam melihat seekor ikan bersisik emas bermatakan mutu manikam di sekitar perahu
Syah Alam. Ketika menengok ke permukaan air, mahkota Raja terjatuh ke dalam laut.

Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk
mengambil mahkota tersebut. Ia berhasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di
perahu, seekor buaya putih besar menyambarnya sehingga mahkota beserta kerisnya terjatuh lagi
ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar lautan mengejar buaya tersebut. Tetapi ternyata
mahkota beserta kerisnya tetap tidak ditemukan. Sejak kehilangan mahkota dan keris Taming Sari,
Raja dan Hang Tuah menjadi pemurung dan sering sakit-sakitan.

Sementara itu, Gubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dari
perwiranya yang berhasil melarikan diri. Setelah beberapa bulan melakukan persiapan, angkatan
perang Portugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan terhadap
Melaka yang menyebabkan banyak prajurit Melaka kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang
sakit keras.

Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit,
Hang Tuah tetap bersedia ikut memimpin pasukan melawan Portugis. Kata Hang Tuah kepada
Baginda Raja, “Apa yang kita tunggu? Kita secepatnya harus mengusir mereka dari sini.”

Dengan keteguhannya, Hang Tuah masih mampu menyerang musuh, baik dengan pedang maupun
meriam. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis berhasil menghantam Hang Tuah. Ia terlempar
sejauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil diselamatkan dan kemudian dibawa dengan
perahu Mendam Birahi kembali ke Melaka. Seluruh perahu petinggi dan pasukan Melaka juga
kembali ke kerajaan. Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak
pemimpinnya yang terluka. Peperangan berakhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.

Setelah sembuh, Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah semakin
tua. Ia menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka. Baginda Raja juga
sudah tidak lagi memimpin, ia digantikan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang.

CERITA RAKYAT PULAU TAPAI


Ringkasan :
Pada suatu hari, hiduplah seorang janda dan anaknya yang bernama Ujang. Mereka tinggal
disuatu pulau disebuah gubug di pesisir pantai. Ibunya pandai membuat tapai, sedangkan anaknya
bekerja mencari kayu bakar dihutan. Ketika suatu
pagi, anaknya sedang mencari kayu bakar, tiba-tiba ada tetangganya datang memberitahukan
bahwa ada sebuah kapal milik saudagar kaya yang berlabuh diperkampungan mereka. Pemilik
kapal tersebut me4ncari pemuda kampung untuk dijadikan anak buah kapalnya. Setelah
mendengar berita tersebut, Ujang anak dari janda tersebut tertarik untuk ikut menjadi anak buah
kapal tersebut. Tapi di lain
pihak, janda tersebut berat untuk melepasputranya, begitu pula sang anak yang cukup berat hati
meninggalkan ibunya. Dengan rela hati ibunya pun mengizinkan Ujang ikut bersama kapal
tersebut. Sebelum Ujang pergi
meninggalkan ibunya, tak lupa sang ibu membawakan bekal tapai kesukaan si Ujang. Pada sore
itupun Ujang berangkat meninggalkan sang ibu tercintanya. Setelah bertahun-
tahun kemudian, Ujang kembali kekampung halamannya. Tetapi ia sudah berbeda, ia telah menjadi
saudagar kaya pemilik kapal besar dan telah mempunyai seorang istri yang cantik.
Mendengar kabar bahwa Ujang telah pulang,
sang ibupun lekas berlari ke pantai untuk berjumpa dengan sang anak. Tak lupa ia membawa tapai,
makanan kesukaan anaknya itu yang akan diberikannya jika bertemu nanti dan berharap sang anak
akan senang. Sesampainya di pantai, sang ibupun berjumpa dengan
Ujang. Tapi Ujang tak mau megakui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Ujang menolaknya
hingga jatuh bersama tapai yang dibawa ibunya tadi ke tanah. Sang ibu tak percaya kalau anaknya
akan memperlakukanya seperti itu. Sag ibupu kecewa atas perbuatan sang anak.
Lalu, Ujang pun meniggalkan kampungya dan berlayar lagi. Tak lama
setelah mereka meniggalkan pulau tersebut,datang badai yang menghantam kapal Ujang. Ujag pu
berteriak memanggil sang ibu. Tapi apalah daya, tak lama kemudian kapalpun tenggelam.

Unsur-usur Intrisik :
1. Tema : Anak yang durhaka kepada ibuya
2. Alur : Maju
3. Latar
a. Tempat : Gubuk, hutan, dan pantai
b. Waktu : Pagi dan sore hari
c. Suasana : Sedih dan menegangkan
4. Penokohan
a. Ibu Ujang : Baik, panyayang, dan pemaaf
b. Ujang : Sombong dan angkuh
5. Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
6. Amanat :
Jadilah anak yang baik, tidak melupakan orang tua jika kelak menjadi orang yang sukses.
Meskipun orang tua kita memiliki kekurangan jangan pernah malu degan hal itu . Karena
bagaimanapun dialah yang membesarkan dan merawat kita sedari kecil.
PULAU TAPAI Pada suatu hari,

hiduplah seorang janda dan anaknya yang bernama Ujang. Mereka tinggal di sebuah gubug di
pesisir pantai. Ibunya pandai membuat tapai, sedangkan anaknya bekerja mencari kayu bakar
dihutan.
“Bujang, anak Ibu sayang, bangun Nak. Matahari sudah mulai terbit, sudah saatnya kamu
pergi ke hutan mencari kayu bakar” Ucap Ibunya Bujang. Bujang pun menjawab: “Baiklah
Bu”.(sambil menguap)
Ketika sedang mencari kayu bakar, tiba-tiba datanglah tetangganya menghampiri Bujang.
“Hai Bujang, aku dating membawa kabar baik untukmu. Saat ini, ada sebuah kapal milik saudagar
kaya yang berlabuh di perkampungan kita. Pemilik kapal tersebut mencari pemuda kampung untuk
dijadikan anak buah kapalnya. Apakah kau nak jadi anak buah kapal tersebut Bujang?
Setelah mendengar berita tersebut, Ujang anak dari janda tersebut tertarik untuk ikut menjadi anak
buah kapal tersebut. Tapi di
lain pihak, janda tersebut berat untuk melepasputranya, begitu pula sang anak yang cukup berat
hati meninggalkan ibunya. Dengan rela hati ibunya pun mengizinkan Ujang ikut bersama kapal
tersebut. Sebelum Ujang pergi
meninggalkan ibunya, tak lupa sang ibu membawakan bekal tapai kesukaan si Ujang. Pada sore
itupun Ujang berangkat meninggalkan sang ibu tercintanya. Setelah bertahun-
tahun kemudian, Ujang kembali kekampung halamannya. Tetapi ia sudah berbeda, ia telah menjadi
saudagar kaya pemilik kapal besar dan telah mempunyai seorang istri yang cantik.
Mendengar kabar bahwa Ujang telah pulang,
sang ibupun lekas berlari ke pantai untuk berjumpa dengan sang anak. Tak lupa ia membawa tapai,
makanan kesukaan anaknya itu yang akan diberikannya jika bertemu nanti dan berharap sang anak
akan senang. Sesampainya di pantai, sang ibupun berjumpa dengan
Ujang. Tapi Ujang tak mau megakui bahwa wanita tua itu adalah ibunya. Ujang menolaknya
hingga jatuh bersama tapai yang dibawa ibunya tadi ke tanah. Sang ibu tak percaya kalau anaknya
akan memperlakukanya seperti itu. Sag ibupu kecewa atas perbuatan sang anak.
Lalu, Ujang pun meniggalkan kampungya dan berlayar lagi. Tak lama
setelah mereka meniggalkan pulau tersebut,datang badai yang menghantam kapal Ujang. Ujag pu
berteriak memanggil sang ibu. Tapi apalah daya, tak lama kemudian kapalpun tenggelam.
Unsur-usur Intrisik :
1. Tema : Anak yang durhaka kepada ibuya
2. Alur : Maju
3. Latar
a. Tempat : Gubuk, hutan, dan pantai
b. Waktu : Pagi dan sore hari
c. Suasana : Sedih dan menegangkan
4. Penokohan
a. Ibu Ujang : Baik, panyayang, dan pemaaf
b. Ujang : Sombong dan angkuh
5. Sudut pandang : Orang ketiga serba tahu
6. Amanat :
Jadilah anak yang baik, tidak melupakan orang tua jika kelak menjadi orang yang sukses.
Meskipun orang tua kita memiliki kekurangan jangan pernah malu degan hal itu . Karena
bagaimanapun dialah yang membesarkan dan merawat kita sedari kecil.

Anda mungkin juga menyukai