Anda di halaman 1dari 1

Mimpi Kami Anak Bangsa

Karya Feny Sahara

Berjalan menyusuri jalanan saat dimana orang lain melakukan aktivitas mereka dan juga anak seusiaku
tentunya mereka bergegas ke sekolah. Tidak sepertiku hanya melihat megahnya gedung sekolah tanpa pernah
merasakan nyamannya duduk di bangku sekolah menerima pelajaran untuk mengenal dunia. Atau memang
sudah menjadi takdir untuk kami orang pinggiran selalu tersisih terutama anak-anak bangsa seperti kami yang
tidak layak mengenyam pendidikan. Yang aku lakukan hanya mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk aku
bawa pulang. Entah mengapa aku tak pernah lelah menanyakan mengapa ibu tak menyekolahkanku seperti
anak-anak yang lain meski jawaban yang ibu berikan tetap saja tak pernah berubah.
“Bu, apa memang anak-anak sepertiku tidak berhak bersekolah?” Tanyaku.
“Kita itu tak butuh sekolah yang penting kamu itu bisa cari uang.” Jawab Ibu.
Aku pernah mendengar di radio “Bahwa anak-anak bangsa harus menerima pendidikan yang layak
karena kelak merekalah yang membangun bangsa ini.” Tapi anak-anak seusiaku banyak yang tak menerima
pendidikan yang layak bagi mereka bisa makan sehari-hari saja sudah cukup.
“Ayo ngapain ngelamun aja.” ujar temanku.
“Mau kemana?” jawabku.
“Ya mulunglah emang kalau melamun bisa dapat uang.” sahutnya.
“Iya.”
Dion adalah temanku sama sepertiku tak pernah megenal bangku sekolah di pikirannya hanya uang.
Baginya tidak perlu pendidikan tinggi atau keahlian khusus untuk memulung hanya butuh karung besar untuk
menampung barang-barang bekas.
“Dion apa kamu pernah berpikir kalau kita bisa bersekolah.” Tanyaku
“Apa sekolah, mimpi kamu.” jawab Dion.
Walau dia berkata seperti itu sebenarnya Dion punya mimpi yang besar untuk bersekolah namun karena
keadaan dia harus mengubur mimpinya. Dan dia pernah berkata kalau sekolah itu hanya untuk orang-orang
kaya saja.
Jalanan begitu ramai seorang laki-laki terlihat begitu terburu-buru dengan penampilan sangat rapi dia
berusaha menerobos keramaian namun tanpa sengaja dompetnya terjatuh dari saku celana, dan aku tepat
berada di belakangnya tanpa pikir panjang aku langsung mengambil dompet itu dan langsung
mengembalikannya.
“Pak ini dompetnya jatuh.” ujarku.
“Oh ya.” jawabnya yang langsung pergi dengan terburu-buru.
“Siapa itu Ben?” tanya Dion.
“Tadi dompet bapak itu terjatuh.” jawabku.
“Kenapa gak kamu ambil aja kan lumayan.” sahut Doni.
“Hmmm dasar.”
Tak lama berselang saat aku dan Dion melepas dahaga di pedagang kaki lima aku kembali melihat
bapak yang tadi dompetnya terjatuh, dari kejauhan dia seakan menuju ke arah tempat aku dan Dion.
“Kamu tadi yang mengembalikan dompet saya kan?” tanya bapak itu.
“Iya pak.” jawabku.
“Maaf ya tadi saya belum mengucapkan terima kasih karena terburu-buru.” ujarnya.
“Iya pak tidak apa-apa.” sahutku.
Cukup lama kami berbincang namun ada satu pertanyaan yang membuatku sedikit merasa sedih dan
sejenak aku terdiam. Yang sebelumnya pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh seorang yang
berpenampilan rapi dengan tutur bahasa yang santun.
“Apa kalian berdua ingin bersekolah seperti anak lainnya.” tanya Bapak itu.
“Mungkin tidak ada anak yang tak ingin bersekolah Pak termasuk kami berdua dan teman-teman kami
lainnya tapi bagi kami duduk di bangku sekolah dan menerima pendidikan yang layak itu hanya sebatas
mimpi.” jawabku.
“Tidak ada yang tidak mungkin” kata yang diucapkan Bapak itu dan kata-kata yang membuatku sedikit
tidak percaya bahwa dia menerima kami anak-anak di perumahan kumuh untuk bersekolah dengan layak yang
tidak harus memikirkan biaya apapun di sebuah yayasan yang didirikannya.
Aku dan Dion seakan membisu merasa tidak percaya, yang dulu bersekolah adalah mimpi sekarang
menjadi kenyataan.

Anda mungkin juga menyukai