Anda di halaman 1dari 19

BAB III

BIJAK MENELUSURI NILAI KEHIDUPAN


TEKS HIKAYAT

A. Mengidentifikasi Makna Kata dalam Teks Hikayat

1. Definisi Hikayat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa hikayat
merupakan karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita,
undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis,
atau gabungan sifat- sifat tersebut. Hikayat biasanya dibaca sebagai pelipur
lara. pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta.
Hikayat biasanya berisi kisah tentang ketakjuban, keajaiban, ataupun
kehebatan seorang tokoh, serta keanehan dan mukjizat yang dialami tokoh
utama.
2. Karakteristik Hikayat
Berdasarkan pengertian teks hikayat tersebut, dapat dirumuskan karakteristik
teks hikayat sebagai berikut.
a. Bersifat rekaan atau imajinatif
Hikayat merupakan cerita khayal (imajinatif). Cerita tersebut diolah
sedemikian rupa sehingga memberikan gambaran cerita yang utuh.
Tokoh, latar, dan jalan cerita dikisahkan seolah-olah berdasarkan cerita
yang benar-benar terjadi.
b. Mengandung kemustahilan
Kemustahilan berarti hal yang tidak logis atau tidak dapat dinalar. Hikayat
mempunyai ciri kemustahilan dari segi cerita.
c. Anonim
Teks hikayat bersifat anonim, artinya tidak diketahui secara jelas nama
pengarangnya. Hal tersebut disebabkan hikayat merupakan jenis sastra
lisan yang diceritakan dari mulut ke mulut.
d. Istanasentris
Cerita dalam hikayat sering kali berlatar kerajaan (istanasentris).Kisah
yang diceritakan pun pada umumnya berpusat pada lingkungan kerajaan.
e. Statis
Hikayat biasanya berisi cerita yang hampir sama. Ceritanya cenderung
tidak berkembang karena hanya berpusat pada kehidupan istana atau
kerajaan.

B. Membandingkan Unsur Pembangun Teks Hikayat dengan Teks Cerpen

Hikayat pada hakikatnya terbangun atas dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Selain hikayat, jenis prosa lainnya, seperti cerpen, juga mempunyai unsur
pembangun yang sama. Hikayat dan cerpen sama-sama dibangun oleh unsur
intrinsik, yang mencakup tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang,
gaya bahasa, serta amanat.

1. Tema
Tema adalah ide atau gagasan utama yang menjadi latar belakang sebuah
cerita. Biasanya tema tidak dituliskan secara langsung, melainkan pembaca
harus mengetahui seluruh isi cerita untuk dapat menentukan tema. Contoh
tema, yaitu tentang persahabatan, percintaan, pengalaman mengesankan,
kesehatan, lingkungan, sejarah, kepercayaan, agama, pandangan hidup, adat
istiadat, pencitraan, pendidikan sosial dan sebagainya.
2. Alur
Alur atau plot merupakan urutan kejadian atau peristiwa yang membentuk
sebuah cerita. Alur terbagi menjadi tiga, yaitu:
 Alur maju: alur yang susunannya runut mulai dari pengenalan,
peristiwa, konflik, hingga penyelesaian.
 Alur mundur: alur yang mulai dari peristiwa terakhir. Alur mundur
biasanya digunakan untuk menceritakan kilas balik peristiwa masa lalu.
 Alur campuran: alur gabungan dari alur maju dan alur mundur. Cerita
biasanya disampaikan secara berurutan sekaligus menyisipkan cerita
di masa lalu dan masa sekarang.
3. Latar
Latar atau setting meliputi waktu, ruang/tempat, dan suasana dalam cerita.
Latar berfungsi untuk memperkuat situasi terhadap jalannya sebuah cerita.
Latar terbagi ke dalam tiga unsur pokok, yaitu:
 Latar tempat: berupa tempat atau lokasi tertentu, seperti: sekolah,
desa, rumah, sungai, hutan, gedung bertingkat, dan sebagainya.
 Latar waktu: berupa waktu terjadinya peristiwa, misalnya jam, hari,
musim, tahun, dan sebagainya
 Latar sosial: berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat,
misalnya, tradisi, kebiasaan, adat istiadat, keyakinan, kepercayaan,
status dan strata sosial, dan sebagainya.
4. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mendukung peristiwa dalam sebuah cerita. Tokoh
dapat terdiri atas satu orang atau lebih. Tokoh-tokoh dalam cerita ini memiliki
fungsi penting sehingga suatu cerita dapat terjalin secara utuh. Sementara itu,
penokohan merupakan watak atau karakter tokoh yang terdapat dalam
sebuah cerita. Contohnya, pemberani, penakut, pemalu, manja, bertanggung
jawab, sederhana dan lain-lain. Satu tokoh bisa memiliki banyak watak.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang berisi pandangan pengarang terhadap cerpen, bisa aja
pengarang menjadi orang pertama atau orang ketiga.
 Sudut pandang orang pertama adalah pengarang terlibat langsung
atau orang pertama dalam cerita yang ditandai dengan penggunaan
kata ganti orang aku, saya, dan sebagainya.
 Sudut pandang orang ketiga adalah pengarang tidak terlibat
langsung dalam cerita yang ditandai dengan penggunaan kata ganti
orang seperti dia, mereka, dan sebagainya atau menggunakan nama
tokoh. Sudut pandang orang ketiga terbagi atas orang ketiga terarah
dan orang ketiga serba tahu.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah bentuk pengarang mengekspresikan pikiran atau idenya
melalui bahasa tulis, baik itu kalimat, dialog, atau kata-kata. Gaya bahasa
pada cerpen sangat beragam sedangkan gaya bahasa yang hikayat gunakan
adalah kata arkais atau ungkapan-ungkapan yang tidak lagi biasa digunakan
pada karya sastra baru. Selain itu, hikayat juga menggunakan gaya bahasa
Melayu lama.
7. Amanat
Amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang. Biasanya
amanat mengandung nasihat atau pesan moral yang bertujuan untuk
direnungkan kembali oleh pembaca.

Berkaitan dengan unsur intrinsik tersebut, ada beberapa perbedaan antara hikayat
dan cerpen. Latar dan alur dalam hikayat terkesan lebih kompleks dibandingkan
dengan cerpen. Hal ini disebabkan jumlah tokoh dalam hikayat lebih banyak
dibandingkan dengan cerpen. Dengan demikian, cerpen memiliki latar dan alur yang
sederhana. Sementara itu, dalam kaitannya dengan unsur ekstrinsik, baik hikayat
maupun cerpen sama-sama mengandung nilai-nilai yang dapat dipetik setelah
pembaca membaca cerita tersebut, seperti nilai agama, pendidikan, moral, sosial,
budaya, dan lain sebagainya.

Selain mengandung unsur intrinsik, hikayat juga mengandung unsur ekstrinsik


berupa nilai-nilai kebaikan yang dapat diambil hikmahnya oleh pembaca. Nilai-nilai
yang terkandung dalam hikayat, antara lain sebagai berikut.

1. Nilai keagamaan, yaitu nilai yang berkaitan dengan hubungan antara


manusia dan Sang Pencipta.
2. Nilai pendidikan, yaitu nilai yang berkaitan dengan suatu ajaran yang bernilai
luhur yang dapat dijadikan sebagai pegangan hidup.
3. Nilai moral, yaitu suatu nilai yang merujuk pada kebenaran, kejujuran, dan
ajaran kebaikan lainnya.
4. Nilai sosial, yaitu nilai yang berkaitan dengan hubungan antara individu satu
dan individu lainnya, serta hubungan antarkelompok dalam masyarakat.
5. Nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan
di wilayah tertentu.
Nabang Si Penunggang Paus

Pada suatu masa, saat Pulau Andalas dipimpin oleh Sultan Alam, datanglah raja
dari Negeri Penyu bernama Si Meulu. Si Meulu menjumpai Sultan Alam dan
berkata, "Sultan Alam yang perkasa, hamba datang ke istana Tuan untuk
mengadukan permasalahan yang sedang kami hadapi," jelas Si Meulu dengan air
mata berlinang.
"Wahai Raja Penyu sahabatku, sampaikanlah hal yang menyebabkan engkau
gelisah dan bersedih," pinta Sultan Alam.
"Negeri Penyu hamba sudah tidak aman lagi. Seekor naga raksasa bernama
Smong telah menyerang dan membunuh rakyat hamba. Setiap hari, selalu ada
korban yang jatuh. Sebagian rakyat hamba sudah mengungsi ke penjuru dunia
karena khawatir akan dimangsa oleh Smong si naga raksasa itu," jelas Raja Penyu
sambil menangis.
Sultan Alam terpukul mendengar penderitaan rakyat dari Negeri Penyu. Beliau
sangat sedih atas kejadian tersebut. "Sahabatku, aku akan membantu Negeri
Penyu mengusir Naga Smong tersebut," janji Sultan Alam dengan suara bergetar.
Tidak lama kemudian, Sultan Alam mengumpulkan para menteri dan panglima
Kesultanan Alam. Ia menceritakan penderitaan Raja Penyu dan rakyatnya. Maka
berdirilah Panglima Laot dan berkata, "Paduka Sultan Alam Perkasa nan bijaksana,
izinkan hamba berbicara."
"Silakan Panglima Laot," Sultan mempersilakan.
"Sudah banyak laporan dari kapal dagang dan nelayan-nelayan dari Barus.
Ketika belayar, mereka melihat makhluk raksasa dari kejauhan. Saat makhluk itu
bergerak, terjadilah gelombang yang tinggi." jelas Panglima Laot.
"Bagaimana cara kita mengusir makhluk tersebut Panglima Laot?" tanya Sultan
Alam.
“Hamba sudah berdiskusi dengan laksamana angkatan laut kita. Mereka
semua ngeri mendekati perairan Negeri Penyu. Bahkan, beberapa nelayan telah
melihat banyak penyu melarikan diri dari pulau itu dengan tergesa-gesa," tambah
Panglima Laot.
Tiba-tiba, seorang pangeran dari Negeri Barus berdiri. "Yang Mulia Sultan Alam
yang perkasa, raja dari raja-raja Negeri Andalas. Izinkan hamba, pangeran dari
Barus, berbicara mewakili ayahanda hamba."
"Silakan, Ananda, putra raja dari Negeri Barus," Sultan mempersilakan.
"Kalau Paduka berkenan, saya mengenal seorang bocah. Ia adalah putra dari
seorang laksamana di negeri hamba. Ayahandanya telah lama hilang di laut.
Konon, bocah tersebut terus mengelilingi seluruh samudra untuk mencari
ayahandanya. Ia menguasai lautan lebih dari siapa pun. Kami menyebutnya
Nabang si penunggang paus," jelas pangeran dari Barus. "Namun, hamba tidak
tahu keberadaan bocah tersebut saat ini karena dia selalu berpindah-pindah,"
tambah pangeran dari Barus.
"Lalu, bagaimana kita menemukannya?" tanya Sultan Alam.
"Kita bisa mengenali tanda-tanda kehadirannya. Apabila kita mendengar suara
seruling yang sangat merdu, tetapi menyayat hati dan penuh kesedihan, itu
tandanya Nabang si penunggang paus ada di sekitar daerah tersebut," jelas
pangeran dari Barus.
Sultan Alam terkesima mendengar cerita tersebut. Setelah pertemuan selesai,
Sultan memanggil sahabatnya, si Elang Raja.
"Elang Raja, terbanglah engkau dan carilah seorang bocah bernama Nabang si
penunggang paus. Saya ingin bertemu dengannya," perintah Sultan kepada Elang
Raja.
Maka terbanglah si Elang Raja menunaikan perintah Sultan. Keesokan harinya,
saat matahari mulai terbit di depan Istana Alam, berdirilah seorang bocah kurus
berperawakan tinggi dengan seruling yang menggelantung di dadanya.
"Hamba diminta menghadap Sultan Alam yang perkasa, raja dari raja-raja
Negeri Andalas," jelas bocah tersebut kepada pengawal istana.
Setelah itu, pengawal istana membawa bocah tersebut ke dalam istana untuk
menghadap sang Sultan yang semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan
malapetaka yang menimpa sahabatnya, Raja Penyu.
"Engkaukah Nabang si penunggang paus?" tanya Sultan penasaran.
"Benar, Tuanku. Hamba adalah Nabang yang Paduka maksud," jawab bocah
itu.
"Nyanyikanlah sebuah lagu untukku," pinta Sultan.
"Hamba hanya menyanyikan lagu kesedihan, Paduka Tuanku."
"Ya, saya ingin mendengarkannya," pinta Sultan Alam.
Bocah tersebut mulai meniup serulingnya. Sultan dan orang-orang di istana
yang mendengar alunan seruling tersebut seketika mengalirkan air mata karena
merasakan kesedihan yang mendalam dari alunan seruling tersebut. Setelah
selesai mengalunkan sebuah lagu dengan serulingnya, bocah tersebut bertanya,
"Tuanku Sultan Alam yang perkasa, raja dari raja-raja Negeri Andalas, apakah yang
Paduka inginkan dari hamba sehingga paduka meminta hamba menghadap
Paduka?”
"Ananda Nabang si penunggang paus, sahabat saya. Si Meulu, raja dari Negeri
Penyu, telah datang menceritakan malapetaka yang mereka alami. Seekor naga
raksasa bernama Smong telah menyerang pulau mereka dan memangsa penyu-
penyu," terang Sultan Alam.
Nabang si penunggang paus mendengar dengan saksama.
"Tiada laksamana kesultanan yang berani menghadapinya. Oleh karena itu,
saya ingin mengangkat seorang laksamana untuk menghadapi Naga Smong
tersebut, yaitu seorang putra laksamana pemberani dari Negeri Barus: Nabang si
penunggang paus," Sultan menjelaskan maksudnya.
"Sebuah kapal besar lengkap dengan peralatan perang dan pasukan angkatan
laut pilihan sudah kami siapkan untuk Ananda Laksamana," jelas panglima perang
Kesultanan Alam.
Nabang si penunggang paus masih terkesima sehingga tidak terucap sepatah
kata pun dari mulutnya. Hingga akhirnya, dia tersadar dan berkata, "Sultan Alam
yang perkasa, tiada makhluk yang mampu mengalahkan naga Smong tersebut.
Hamba tidak perlu kapal dan pasukan karena akan sia-sia. Biarlah hamba pergi
sendiri menjalankan perintah Tuanku."
Setelah memberi penghormatan kepada Sultan Alam, Nabang si penunggang
paus pergi meninggalkan istana menuju pantai sambil meniup seruling dengan
alunan kesedihan.
Keesokan harinya, di samudra dekat Negeri Penyu, terjadilah pertarungan
yang dahsyat antara seorang bocah yang menunggangi ikan paus raksasa dan
naga raksasa. Beberapa kali, bocah tersebut terlempar dari punggung ikan paus
karena terpukul oleh ekor naga. Beberapa kali pula, naga terjerembap ke dasar
samudra karena serudukan ikan paus. Namun, pertarungan yang dahsyat tersebut
sepertinya akan dimenangkan oleh Naga Smong karena ikan paus sudah
terhuyung-huyung dan jatuh ke dasar samudra, sedangkan Naga Smong terus
menyerangnya.
Saat melihat sahabatnya jatuh ke dalam samudra, Nabang langsung
mengambil serulingnya dan meniupkan alunan sedih. Tanpa diduga, ketika
mendengar alunan seruling tersebut, naga menjadi tenang dan berhenti menyerang
ikan paus. Bahkan, Naga Smong sampai tertidur pulas. Akan tetapi, setiap seruling
berhenti mengalun, Naga Smong akan terbangun. Maka, ditiup lagi seruling itu oleh
si Nabang. Hingga akhirnya, ikan paus mendorong Naga Smong yang tertidur ke
dasar samudra dan mengurungnya di dalam celah di dasar samudra.
Keesokan harinya, Elang Raja datang menemui Sultan Alam dan berkata,
"Tuanku Sultan Alam, hamba membawa pesan dari Laksamana Nabang. Dia sudah
menyelesaikan tugasnya dan mengurung Smong si naga raksasa di dasar
samudra."
Sultan Alam gembira sekali mendengar berita dari Elang Raja.
"Paduka Tuanku, Laksamana Nabang juga meminta kepada Tuanku Sultan
Alam untuk menyampaikan pesan kepada rakyat seluruh Negeri Andalas. Apabila
suatu hari nanti naga raksasa tersebut terbangun, ia akan mengamuk sehingga
bumi berguncang kuat. Pada saat itu, suruhlah rakyat untuk mengungsi ke tempat
yang lebih tinggi. Hal ini karena Naga Smong akan mengisap air laut hingga surut,
kemudian menyemburkannya kembali sehingga air laut bergelombang tinggi akan
menyapu daratan. Setelah itu, Naga Smong akan tertidur lagi untuk mengumpulkan
tenaganya dan akan terbangun lagi untuk mengguncang dasar samudra tempat dia
dikurung," jelas Elang Raja.
Maka sejak itu, Nabang si penunggang paus menetap di Negeri Penyu
bersama Raja Si Meulu dan rakyatnya. Ia menjaga pulau tersebut dari amukan
gelombang raksasa yang sesekali menyerang Negeri Penyu. Apabila terjadi gempa
besar yang disusul oleh surutnya air laut, orang-orang akan berteriak, "Smong!
Smong! Smong!" sebagai tanda peringatan akan datangnya gelombang tinggi dari
laut (tsunami).
Unsur Intrinsik dalam Hikayat Nabang Si Penunggang Paus

Tema Keberanian dan Persahabatan


Alur Maju
Latar Kerajaan dan lautan
1. Sultan Alam: Baik hati, bijaksana, setia kawan.
2. Si Meulu: penakut, sensitif.
3. Naga Smog: Jahat, Kejam.
Tokoh dan Penokohan 4. Panglima Laot: Sopan.
5. Pangeran dari Negri Barus: Sopan.
6. Elang Raja: Bisa diandalkan, bertanggungjawab.
7. Nabang: Berani, percaya diri.
Sudut Pandang Orang ketiga
Gaya Melayu lama
Amanat Saling tolong-menolong untuk melawan kejahatan.

Nilai-nilai dalam Hikayat Nabang Si Penunggang Paus

Nilai Konsep Nilai Kutipan Teks


Pendidikan Terus belajar dan berjuang "Kalau Paduka berkenan, saya
untuk mencapai tujuan mengenal seorang bocah. Ia
tertentu adalah putra dari seorang
laksamana di negeri hamba.
Ayahandanya telah lama hilang di
laut. Konon, bocah tersebut terus
mengelilingi seluruh samudra
untuk mencari ayahandanya. la
menguasai lautan lebih dari siapa
pun. Kami menyebutnya Nabang
si penunggang paus," jelas
pangeran dari Barus.
Moral Menghormati orang yang Tiba-tiba, seorang pangeran dari
mempunyai Negeri Barus berdiri. "Yang Mulia
pangkat/jabatan lebih Sultan Alam yang perkasa, raja
tinggi dari raja-raja Negeri Andalas.
Izinkan hamba, pangeran dari
Barus, berbicara mewakili
ayahanda hamba."
Meminta izin sebelum Setelah memberi penghormatan
meninggalkan tempat kepada Sultan Alam, Nabang si
penunggang paus pergi
meninggalkan istana menuju
pantai sambil meniup seruling
dengan alunan kesedihan
Sosial Membantu orang lain. "Sahabatku, aku akan membantu
yang sedang dalam Negeri Penyu mengusir Naga
keadaan sulit Smong tersebut," janji Sultan
Alam dengan suara bergetar.
Bermusyawarah untuk Tak lama kemudian Sultan Alam
mencapai keputusan mengumpulkan para menteri dan
bersama. panglima Kesultanan Alam. Ia
menceritakan penderitaan Raja
Penyu dan Rakyatnya.
Budaya Menggunakan istilah "Wahai Raja Penyu sahabatku,
tertentu untuk menyebut sampaikanlah hal yang
jabatan/golongan menyebabkan engkau gelisah dan
bersedih," pinta Sultan Alam.
Menggunakan istilah Apabila terjadi gempa besar yang
tertentu untuk menyebut disusul oleh surutnya air laut,
suatu hal/kejadian orang-orang akan berteriak, suatu
hal/kejadian "Smong! Smong!
Smong!" sebagai tanda
peringatan akan datangnya
gelombang tinggi dari laut
(tsunami).
Tugas!

Bacalah dua teks berikut ini!

Teks 1 Hikayat

Hikayat Bunga Kemuning

Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang putri yang cantikcantik.
Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana, tetapi ia terlalu sibuk dengan
pekerjaannya. Oleh karena itu, ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri
sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu sehingga anak
sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Putri-putri raja menjadi manja dan nakal.
Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tidak mau belajar dan membantu
ayah mereka. Bahkan, pertengkaran sering terjadi di antara mereka.
Kesepuluh putri itu dinamai dengan nama-nama warna. Putri Sulung bernama
Putri Jambon. Adik-adiknya dinamai Putri Jingga, Putri Nila, Putri Hijau, Putri
Kelabu, Putri Oranye, Putri Merah Merona, dan Putri Kuning. Baju yang mereka
pakai pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang
sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir
sama, si bungsu Putri Kuning sedikit berbeda. Ia tidak terlihat manja dan nakal.
Sebaliknya, ia selalu riang dan tersenyum ramah kepada siapa pun. Ia lebih suka
bepergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua putri
putrinya.
“Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya
raja.
“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Putri Jambon.
“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Putri Jingga.
Kesembilan anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal kepada ayahanda
mereka. Namun, lain halnya dengan Putri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu
memegang lengan ayahnya.
“Ayah, aku hanya ingin Ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-
kakaknya tertawa dan mencemoohkannya.
“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan
selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama kemudian,
raja pun pergi.
Selama sang raja pergi, para putri semakin nakal dan malas. Mereka sering
membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti kemauan
mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para putri yang rewel itu, pelayan tak
sempat membersihkan taman istana. Putri Kuning sangat sedih melihatnya karena
taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Putri Kuning mengambil
sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya,
rumput liar dicabutinya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi.
Semula, inang pengasuh melarangnya, tetapi Putri Kuning tetap berkeras
mengerjakannya.
Kakak-kakak Putri Kuning yang melihat adiknya menyapu tertawa keras-keras.
“Lihat, tampaknya kita punya pelayan baru,” kata seorang di antaranya.
“Hai, pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil
melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Putri
Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi
berulang-ulang sampai Putri Kuning kelelahan. Dalam hati, ia bisa merasakan
penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-
kakaknya.
“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-
apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” kata Putri Kuning dengan
marah.
“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Putri Nila. Mereka
meninggalkan Putri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai
ayah mereka pulang.
Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan putrinya masih bermain di danau,
sementara Putri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal
itu, raja menjadi sangat sedih.
“Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain
kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja
memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, tetapi benda itu
tidak kunjung ditemukannya.
“Sudahlah Ayah, tidak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar
dengan bajuku yang berwarna kuning,” kata Putri Kuning dengan lemah lembut.
“Yang penting, Ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,”
ucapnya lagi.
Ketika Putri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan.
Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tidak ada yang ingat
pada Putri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.
Keesokan hari, Putri Hijau melihat Putri Kuning memakai kalung barunya.
“Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku
karena aku adalah Putri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.
“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Putri Kuning.
Mendengarnya, Putri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya
dan menghasut mereka. “Kalung itu milikku, tetapi ia mengambilnya dari saku
Ayah. Kita harus mengajarinya berbuat baik!” kata Putri Hijau. Mereka lalu sepakat
untuk merampas kalung itu. Tidak lama kemudian, Putri Kuning muncul. Kakak-
kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut
menyebabkan Putri Kuning meninggal.
“Astaga, kita harus menguburnya!” seru Putri Jingga. Mereka beramai-ramai
mengusung Putri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Putri Hijau ikut
mengubur kalung batu hijau karena ia tidak menginginkannya lagi. Sewaktu raja
mencari Putri Kuning, tidak ada yang tahu ke mana putri itu pergi. Kakak-kakaknya
pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan
temukanlah Putri Kuning!” teriaknya.
Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu,
berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah
yang buruk,” katanya. Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar
dan mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan putri-putrinya untuk
bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman
istana, sedih memikirkan Putri Kuning yang hilang tak berbekas.
Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Putri Kuning. Sang raja
heran melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah putri, daunnya
bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat
wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Putri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia
Kemuning!” kata raja dengan senang. Sejak itulah, bunga kemuning mendapatkan
namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan
rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit
kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah meninggal pun, Putri Kuning masih
memberikan kebaikan

Teks 2 Cerita Pendek

Ibu Pergi ke Laut

Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah
menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya, apakah
ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap
sayang padaku. Tetapi, kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak
sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini?
Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari.
Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang
di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi
sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga
mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar,
bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.
Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya, apakah ia akan
pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya? Apakah akan ke Medan?
Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu aku bertanya, terus
pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke Aceh. Aku bingung. Di
manakah Aceh itu? Lalu, ibu menjelaskan bahwa untuk pergi ke sana kita harus
menyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali menggelengkan kepala. Ia
menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak naik kapal? Kan enak,
bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium pipiku. Ada saatnya
aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan rasa panas di pipi.
Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat panas?
Akan tetapi, lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku bertanya di mana ibu,
ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang sudah besar, setelah pergi
ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang lain. Setelah pergi ke Aceh,
bisa pergi ke laut.
Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang denganku. Tetangga-
tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek dan kakekku
bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi ke laut.
Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika
menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku
melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang
sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu
datang dari laut. Lalu, aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek dan
kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair.
Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada
burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa. Aku menjawab, habis enak kalau main
air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah
burung bisa terjatuh ketika terbang? Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku
pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit.
Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke kolam renang. Di kolam
renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia berenang ke sana kemari.
Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu alangkah enaknya
menjadi ikan. Aku ingin bisa cepat berenang. Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin
menjadi ikan.
Aku pernah bertanya kepada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah
bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi, berenang terus dan hidup di air bukankah
akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak, sebab ibu orang hebat. Aku senang
sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti yang pernah
diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang baik hati di
laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Ibu tentu
akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Mungkin ia menjadi
pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah bilang seperti itu
ke ayah, ia kelihatan bangga, tetapi bibirnya gemetar dan matanya kembali berair.
Ayah kemudian bilang, aku tidak perlu menunggu ibu pulang sebab di laut, ibu
sedang menunaikan tugas: tugas mulia menyelamatkan kapal-kapal yang akan
tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku. Ada saatnya aku
tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku terasa sakit.
Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu cerita-ceritanya, aku rindu
diajak pergi ke kolam renang, aku ingin dibuatkan kue-kue yang enak. Akan tetapi,
kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin ikan-ikan yang baik hati, aku
hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat kapal-kapal yang akan tenggelam. Di
dalam kapal-kapal itu, pasti banyak anak kecil seusiaku yang belum bisa berenang.
Ya, ibu harus menyelamatkan mereka.
Namun, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku seperti yang dulu-dulu
jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di laut tidak ada telepon. Kalau
tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip surat untukku lewat kapal-kapal
yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan ibu terlalu sibuk? Mungkin aku
yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu. Tetapi, aku tidak bisa menulis surat.
Lalu, aku teringat Mbak Memi.
Siang itu, aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah. Ia tinggal di depan
rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku sudah sering bilang
ke ibu kalau aku ingin sekolah juga. Ibu selalu tersenyum jika aku bilang seperti itu.
Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah. Ketika dari jauh aku melihat Mbak
Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke Bi Nah kalau aku akan main dengan
Mbak Memi.
Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan menemaniku bermain.
Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam renang. Kalau ibu habis
bepergian, ia juga sering membeli oleh-oleh untuk Mbak Memi. Saat aku
mengatakan bahwa aku ingin dia menuliskan surat untuk ibuku, Mbak Memi terlihat
bingung. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk ibu, aku harus tahu
alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat. Lalu ia bertanya, di
mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Mbak Memi diam. Tidak
lama kemudian, ia tersenyum. “Dinda, aku tahu bagaimana cara mengirim surat
untuk ibumu.”
Ia kemudian mengambil sehelai kertas dan bertanya kepadaku apa yang ingin
kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat rindu
pada ibu, tetapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang berat, yaitu
menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi menuliskan
pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku menggelengkan kepala.
Setelah itu, kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia kemudian bertanya lagi,
“Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku menggelengkan kepala.
“Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik ada tanda tangannya. Biar
ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar kamu. Bukan surat yang
palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa aku merasa sedih. Enak
betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan diajari membuat tanda
tangan.
“Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu, ia mengoleskan
penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di kertas surat
yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu sama dengan tanda
tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu juga memberi
fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen sama
kamu.”
Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan mengambil beberapa
lembar foto yang ada di album foto. Aku bawa semua foto ke rumah Mbak Memi,
tetapi ia bilang cukup satu saja. Lalu, kupilih satu foto sewaktu aku digendong ayah.
Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen?
Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh Mbak Memi. “Dinda,
siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku hafal nama
lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga bisa
menuliskan nama-nama itu. Lalu, aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang
menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku
mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat
ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil
menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini
Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda
Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama
lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku.
Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik
bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah?
Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang
tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu, lewat siapa? Mbak
Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu?
Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke
laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari kertas yang dilapisi plastik
untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan tidak lama kemudian, Mbak Memi
sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar dari bahan kertas kalender. Ia
melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu merekatkan amplop yang berisi
suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah, bisa membuat apa saja
dan tahu banyak hal.
Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian menemui Bi Nah
untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa kapal kertas
yang berisi suratku, aku dibonceng Mbak Memi menuju sungai.
Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai kecil. Sekalipun aku
senang sekali melihat sungai itu, aku tidak pernah main di sungai. Kali ini, aku
merasa semakin senang dengan sungai kecil ini. Lewat sungai ini, aku bisa
berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami luncurkan di air, Mbak Memi
memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat membawa suratku untuk ibu.
“Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al-Fatihah?”
Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku menghafal Al-Fatihah,
tetapi aku sering lupa. Al-Fatihah terlalu panjang. Lebih panjang dibanding doa
sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu, aku berusaha mengingatnya.
Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi,
“Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?”
“Maalikiyaumiddin, Dinda….”
Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al-Fatihah. Setelah
selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan tenang. Aku yakin kapal
itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang menerimanya.
Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi. “Mbak, kalau ibu
membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.”
“Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di
sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan
kemudian turun menjadi hujan.”
Aku bingung, tetapi itu tidak penting. “Lalu surat dari ibuku ikut turun bersama
hujan, ya?”
Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Coba kamu tanya pada ayahmu
nanti.”
Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah indahnya. Surat dari ibuku
naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian turun bersama hujan ke
rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan tertempel di jendela,
mungkin juga ada di pagar rumah.
Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku sempat bilang
padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu Ayah kerja di kantor, aku
dibacakan suratnya, ya?”
Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali.
Sehabis makan malam dengan ayah, aku tidak sabar menceritakan apa yang
telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah mendengarkanku. Dan
seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya berair, sebelum
kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah Ibu akan membalas suratku lewat
hujan?”
Ayah diam. Lalu, ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku mulai membayangkan
ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik bening yang hinggap di
jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur. Seperti biasanya, ayah
kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritakan apa malam ini? Semenjak ibu
pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku tentang laut. Ayah
kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut. Kerajaan itu indah
sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu, ia melanjutkan ceritanya,
hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke dalam mimpiku. Di
sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar yang baik hati. Dan
aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya, membawaku berenang
di atas punggungnya.
Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya bermimpi. Aku merasa
ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata, “Maya… kamu
tahu aku dan Dinda tidak pernah baik-baik saja tanpa kamu….” Lalu, kurasakan
suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke wajahku. Ia
mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa membuka mata.
Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin kencang, dan
sayup-sayup aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada Dinda?”
Lalu, kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang menyelamatkan sebuah kapal.
Di kapal itu, aku melihat ayah.
Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan berteriak girang. Ada
amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku. Dengan segera aku keluar
rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari ayah, semoga ia belum
berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat! Ada surat balasan dari
ibu! Semalam hujan ya?!”
Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya, Dinda, semalam hujan.
Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama ayah, lalu kita akan baca
bareng-bareng surat dari ibu.”
Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan surat dari ibu.
Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku. Dan ia berpesan agar
aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut.
Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang karena ibu membalas suratku. Sedih
karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi surat. Ayah kemudian mencium pipiku.
“Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim
sekali lagi surat ke laut. Dan kita akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu
pilih dan ambil bunga di halaman untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu
ingin menulis apa, Sayang?”
Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku ingin memberi tahu ibu
supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin bilang bahwa aku ingin
cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat sendiri. Dengan cepat aku pergi
ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-
bunga yang disukai ibuku. Lalu, kami berdua berangkat ke laut.
Sesampainya di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar sendiri surat yang
dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan bunga-bunga yang kupilih.
Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah. Setelah aku cukup lelah, ayah
kemudian mengajakku untuk makan ikan di warung-warung makan yang ada di
pantai.
“Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa,
Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman
di laut.”
Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil memelukku. Aku heran
sekali. Ayah sekarang gampang menangis!

(Dikutip dari cerpen “Ibu Pergi ke Laut” karya Puthut EA)


Setelah membaca teks “Hikayat Bunga Kemuning” dan cerita pendek berjudul “Ibu
Pergi ke Laut” bandingkanlah unsur intrinsik kedua teks tersebut dengan panduan
tabel berikut.

Unsur Intrinsik “Hikayat Bunga Kemuning” “Ibu Pergi ke Laut”


Tema
Alur
Latar
Tokoh dan Penokohan
Sudut Pandang
Gaya Bahasa
Amanat

Setelah membandingkan unsur intrinsik teks hikayat “Hikayat Bunga Kemuning” dan
cerita pendek “Ibu Pergi ke Laut”, analisislah nilai-nilai yang terkandung dalam
kedua teks tersebut dengan panduan tabel berikut.

Nilai Konsep Nilai Kutipan Teks


Keagamaan
Pendidikan
Moral
Sosial
Budaya

Anda mungkin juga menyukai