dayang menyadari bahwa Bawi Kuwu tidak ada didalam kamar. Kemarahan besar
muncul dari kedua orangtua Kuwu kepada dayang-dayang, karena telah lalai sehingga
mereka tidak mengetahui kemana perginya anak kesayangan mereka itu. Lalu hari itu
juga mereka memanggil para tokoh adat dan orang-orang yang memiliki kesaktian dari
suku dayak.
Tiga hari tiga malam lamanya, mereka mengadakan ritual dalam suku dayak untuk
mencari Bawi kuwu, dan pada suatu malam, saudara laki-laki dari Bawi Kuwu bermimpi
bertemu dengan Patahu (orang gaib suku dayak)
dan memberikan petunjuk bahwa Bawi Kuwu masih hidup dan sekarang berada didalam
perut
buaya yang telah membawannya itu. Orang gaib itu juga berpesa apabila buaya itu
muncul, jangan sekali-kali membunuhnya. Lalu saudarnya itu terbangun dari tidur dan
menceritakan tentang mimpinya itu. Ketika itu juga mereka mencari Pangareran
(Pawang buaya dalam bahasa suku dayak), dan tepat pada hari ketiga dalam ritual itu,
buaya yang membawa Bawi Kuwu muncul dari Sungai Rungan lalu bergerak menuju
daratan. Setelah melihat buaya besar itu datang, tiba-tiba rasa sedih bercampur
amarah muncul dari saudara laki-laki Bawi Kuwu. Mungkin karena begitu menyayangi
adiknya membuatnya kalap dan lupa akan pesan orang gaib yang menjumpainya
didalam mimpi, lalu ia menombak buaya itu sehingga akhirnya mati. Setelah melihat
kejadian itu, mereka langsung membelah perut buaya dengan peralatan seadanya dan
mendapati Bawi Kuwu yang juga sudah tidak bernyawa lagi, mati bersama-sama
dengan buaya itu. Akhirnya suasana duka menyelimuti seluruh kerabat dan semua
yang menyaksikan peristiwa itu.
sudah tinggal tulang belulang itu dibakar. Hal ini dimaksudkan untuk
membebaskan roh seseorang dari badan kasarnya untuk selamalamanya. Sifat upacara ini mewah sekali dan disebut dengan nama
Tiwah.
Ketika mendengar bahwa saudara angkatnya hendak di tiwahkan, suami
istri jelmaan binatang itu ingin juga agar anaknya yang telah meninggal
dibakar dalam upacara tersebut. Niat itu sangat di tentang oleh Tapih
dan Antang Taung, tapi mereka tak menghiraukan dan bersikukuh
dengan niat itu.
Dan terjadi sesuatu yang menghebohkan ketika kuburan anak suami istri
jadi-jadian itu di gali. Ternyata yang tinggal bukan tulang belulang
manusia melainkan tulang belulang binatang dan ikan. Kejadian itu
membuat malu besar pada kedua suami istri asal binatang itu, sehingga
akhirnya mereka menyinkir dari desa Sepang Simin dan membangun
sebuah desa di hutan belantara. Didesa itu mereka kemudian
berkembang biak menjadi suatu keluarga besar. Keturunannya kemudian
dikenal dengan sebutan Hantuen.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, orang hantuen yang asli
sudah tidak ada. Yang ada hanyalah keturunannya yang sudah kawin
dengan manusia biasa. Orang yang memiliki darah hantuen dipercaya
akan memiliki kemampuan untuk mengubah diri menjadi hantu
jadi-jadian (hantuen). Pada siang hari mereka akan menjadi manusia
biasa, tetapi pada malam hari mereka akan mengubah dirinya menjadi
hantu tanpa tubuh yang gemar menghisap darah.
Fatma Wati di 13.58
Berbagi
Beranda
Fatma Wati
Lihat profil lengkapku