Anda di halaman 1dari 3

Betrayal

Oleh : Nada Syifa Austerlitz

Namaku Alan Van Dzeburg, seorang mahasiswa ilmu hukum yang sedang magang di
Malaysia. Bahasa ibuku adalah Bahasa Indonesia, jadi aku dapat memahami Bahasa Malaysia sedikit
demi sedikit. Aku memiliki cita-cita untuk menjadi seorang hakim karena wasiat dari mendiang
kakekku. Tugasku selama magang di sana adalah untuk mempelajari hukum-hukum yang terdapat di
sana, salah atu negara yang menuju maju di dunia. Aku tidak sendiri, aku memiliki dua teman yang
sedang pertukaran pelajar. William Levski, temanku dari Polandia yang mengambil ilmu ekonomi,
dan Violette Laurent, mahasiswi ilmu politik dari Prancis. “Yo! What are you doing, guys?” William
menepuk meja hingga mengeluarkan suara dentuman yang cukup keras. Mahasiswa lainnya
memperhatikan kami selama beberapa detik. “William, be quiet please. It's library.” Violette menghela
napas. “Haha. Sorry, sorry!” William mengambil bangku kosong dan dan duduk di meja yang sama
dengan kami. “Apa yang kalian baca?” “Aku membaca beberapa buku tentang sejarah Malaysia.” Aku
menjawab, sedangkan Violette hanya menunjukkan light novel yang Ia baca. Itu berjudul 'Marianne',
karya Risa Saraswati. Violette menyukai hal-hal mistis seperti ini. “Hmm...” Ucap William dengan
nada datar, lalu mencari sebuah buku yang menurutnya menarik di lemari perpustakaan. Selesai
membaca, kami berencana untuk pergi ke museum. Namun, mataku tertuju pada satu buku yang
berjudul 'Betrayal', apabila diterjemahkan memiliki arti 'Pengkhianatan'. Buku itu berada di rak paling
atas, tapi, itu bukanlah suatu masalah bagiku yang memiliki tinggi 170cm. Aku memohon maaf pada
Violette dan William karena tidak bisa ikut ke museum dengan alasan masih ingin membaca buku
lainnya. “Okay, then... I thought three hours are not enough for a book lovers like you.” “Yeah.. Haha,
thank you for your attention.” Wajah William terlihat sedikit kecewa. “It wouldn't be fun without
you.” Aku menepuk pelan bahu William. “But you will date her.” Aku membisiki William, mencoba
menghiburnya. Aku sudah lama tahu bahwa William menyukai Violette. Wajah William terlihat lebih
ceria. “What are you talking about?” Violette merasa tidak nyaman. “Good luck, bro!” Aku tersenyum
dan menyemangati William. Sebenarnya aku sudah lama menyukai Violette, namun, jika Ia bersama
William, aku yakin dia akan lebih bahagia. Meski begitu, menyemangati orang lain untuk
mendapatkan hati orang yang kusukai tetaplah terasa menyakitkan.
Setelah Violette dan William pergi, aku kembali masuk ke perpustakaan dan memilih lokasi
terbaik untuk membaca buku yang baru saja mencuri perhatianku. Aku memutuskan untuk duduk di
bangku kosong di dekat rak buku besar yang besarnya melebihi rak buku lain dan berisi buku-buku
kuno. Aku mulai membuka halaman demi halaman, setiap halamannya dipenuhi bahasa Iggris dan
beberapa simbol yang terasa asing bagiku. Berjam-jam aku terus membaca buku itu, tanpa sadar
matahari mulai tenggelam menuju barat. Perpustakaan akan segera tutup, namun aku belum selesai
membaca, jadi aku memutuskan untuk meminjam buku itu. Aku menuju meja penjaga perpustakaan,
tapi ternyata buku itu tidak pernah terdaftar di daftar buku perpustakaan. “Eh? Takde ke? Mm... Ah,
abang coba tanda tangan kat sini je.” Penjaga itu memberikan kertas untuk mengisi biodata dan tanda
tangan. Selesai mengisi, aku mengembalikan kertas tersebut. “Kenape tak de ni bang? Macam pelik
je.” Penjaga perpustakaan tersebut merapikan sisa-sisa berkas yang berserakan di meja. “Saya pun tak
tahu lah, saya orang baru kat sini.” Aku hanya mengangguk seolah mengerti. Aku kembali ke
apartemenku yang tidak jauh dari kampus William dan Violette. Sesampainya di kamar, aku
mengganti pakaianku dan mulaimerilekskan tubuhku yang lelah di atas ranjang tidurku yang empuk.
Aku teringat baru meminjam buku dari perpustakaan dan akhirnya aku memutuskan untuk mulai
membacanya kembali. Berbeda saat aku membaca buku itu di perpustakaan, kali ini buku itu
bercahaya dan mengeluarkan suara yang membuatku sontak melempar buku itu ke arah tembok.
“Hey! Why did you throw me?” Buku itu terlihat kesal, Ia dapat bergerak. “Who are you?” Aku
bergetar karena sedikit ketakutan dan terkejut. Siapa yang tidak akan terkejut jika melihat buku yang
dapat berbicara dan bergerak? “Ah, sudahlah, aku tidak begitu pandai bahasa Inggris. Namaku Abdul
Rahman, aku yakin kamu pernah mendengarnya di suatu tempat.” Tentu saja aku pernah
mendengarnya, AlMarhum Tuanku Abdul Rahman Ibni AlMarhum Tuanku Muhammad atau Tuanku
Abdul Rahman, raja pertama Malaysia yang menjabat dari tahun 1923 hingga akhir hayatnya yaitu
pada tahun 1960. “Raja?” Buku itu melayang dan bergerak ke depan secara horizontal sekitar 90
derajat dan mengulanginya sebanyak dua kali seolah itu caranya mengangguk. “Ternyata kamu
mengenalku dengan baik. Begini, anak muda. Aku memiliki penawaran bagus untukmu, tapi kau
harus membantuku sebelumnya.” Aku tidak begitu tertarik, namun aku sedang bosan jadi aku
mengiyakan kalimatnya. “Apa ada yang bisa saya bantu, Raja?” “Hm... Hm... Sebelumnya, apa ada
yang kamu inginkan?” Aku berpikir sejenak, “Saya ingin menjadi seorang Hakim, Raja.” “Hakim?
Baiklah, aku akan membantumu. Tentu saja, setelah kau membantuku. Jadi, anak muda, aku ingin
kamu untuk menyelidiki kasus kematianku.” Lagi-lagi aku mengiyakan. Karena ini tahun 2030 dan
teknologi sudah berkembang pusat jadi kupikir aku akan dengan mudah menyelidiki hanya dengan
internet. Terutama bagiku, sang maniak komputer. Berjam-jam waktu yang kuhabiskan untuk
menyelam di internet, namun alasan mengapa Raja Abdul Rahman mati masih menjadi misteri. “Anak
muda, memangnya bisa membantuku hanya dengan berdiam diri menatapi barang itu?” Barang yang
dimaksud raja adalah komputer. “Seharusnya, Raja.” Aku tetap fokus pada layar komputer,
memastikan tidak ada informasi yang terlewat saat scrolling. “Seharusnya? Berarti, jawabannya tidak
ada, ya?” Aku mendenguskan napas. “Sepertinya. Maaf, saya tak membantu, Raja.” Raja
menggelengkan tubuhnya. “It’s okay, little boy. You have done your best, but…” Kepalaku terangkat
dan melihat wujud bukunya. “Padahal akhirnya aku berhasil keluar dari buku kematian…” Pupil
mataku membesar saat mendengarnya. “Apa maksudmu... Raja?” Entah mengapa, aku merasa seperti
telah melakukan sesuatu yang tidak dapat dimaafkan. “Manusia zaman sekarang rupanya bodoh
sekali, ya? Hanya dengan sedikit mantra pengabdian, sudah bisa dimanfaatkan sejauh ini, bahkan
dibohongi.” Sepertinya aku memang sudah melakukan sesuatu yang salah. Aku mencoba mengingat
sesuatu, aku merasa ada yang kulewati. Aku berhasil mengingatnya. Saat membaca di internet,
ternyata dulu seorang guru mengajarinya bahasa Inggris, dan Abdul Rahman juga pernah pindah ke
sekolah pemerintah bahasa Inggris, bahkan mendapatkan banyak pujian dan perhatian karena menjadi
orang yang pertama mendapat beasiswa dari Kedah State untuk belajar di Inggris. Meski begitu, saat
awal bertemu Ia bilang Ia tidak begitu mahir bahasa Inggris. Lalu Ia bicara mengenai semacam
sihir… Aku tersadar. Itu bukan raja Abdul Rahman, melainkan raja palsu. “Mengapa anda mencari
alasan kematian raja Abdul Rahman padahal anda sendiri bukanlah dirinya?” Buku itu tertawa.
“Tanpa kuberitahu, seharusnya kau sudah tahu, bukan?” Buku itu mengejekku. Aku menghembuskan
napas. “Pertama, anda adalah orang terdekat raja dahulunya. Kedua, anda adalah musuh raja. Dan
sepertinya, anda berada di opsi ke dua.” Aku menatap tajam. “kau sangat paham rupanya, anak muda.
Yah, mungkin manusia zaman sekarang tidak begitu membosankan.” Buku itu membuka lembaran
kertas di dirinya, dan mengaktifkan semacam portal kuno. “See you next time, kiddo!” Buku itu
masuk ke dalam portal dengan cepat, namun aku sempat menyusulnya masuk ke dalam portal.
“Aduh!” Kepalaku terbentur kloset. Aku mengusap bagian kepala yang terkena benturan.
Kemana perginya buku itu? Kenapa hanya aku sendiri di sini? Apa yang terjadi selama aku tidak
sadarkan diri? Aku memikirkan banyak hal, termasuk konspirasi-konspirasi yang tidak sengaja
kubuat. Aku berdiri dan keluar dari toilet, membasuh wajah di wastafel untuk menenangkan diri. Saat
melihat pantulan wajahku di cermin, aku sangat bersyukur karena wajahku tetap tampan seperti
biasanya. Aku menyusuri selasar gedung yang megah. Dihiasi oleh dekorasi yang amat memanjakan
mata. Lampu berwarna emas kekuningan, dengan desain yang unik. Sebenarnya aku sedang berada di
mana sekarang? Gedung dua tingkat disertai karpet yang elegan. Setiap bagian dari furniture dan
dekorasi terlihat sangat mahal. Telingaku menangkap suara yang tidak asing dari salah satu ruangan di
sana. Kuhampiri ruangan itu, dan berusaha menguping pembicaraan. “Berdasarkan undang-undang
Malaysia, pasal 51 ayat 2 terdakwa dinyatakan mendapat hukuman selama 10 tahun. Namun, karena
yang hilang bukan hanya sekedar buku biasa, jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman mati!” Aku
terkejut mendengarnya. Apa ini gedung pengadilan? Mereka menggunakan undang-undang Malaysia,
kalau begitu ini di Malaysia? Tapi, mengapa mereka menggunakan Bahasa Indonesia? Lalu aku
mendengar mereka bicara lebih seksama. “Saya setuju. Bagaimana pun yang terdakwa hilangkan
adalah buku yang mengurung penjahat kerajaan kelas kakap.” Dalam sidang, hanya ada terdakwa,
jaksa, pengacara, dan hakim. Jaksa telah memberikan pendapatnya, artinya terdakwa telah
memberikan pembelaan, lalu berikutnya giliran pengacara yang membela terdakwa. Tapi, apa yang
sebenarnya sedang terjadi? “Tunggu! Jangan mentang-mentang anda tidak di bayar, jadi dapat berlaku
seenaknya!” Sepertinya itu suara terdakwa yang tidak terima dengan pendapat pengacara. “He’s right!
We’re not wrong!” Suara wanita. Dua orang terdakwa? Memangnya itu diperbolehkan? Aku merasa
familiar dengan kedua suara tersebut. Hakim memukul palu berulang-ulang, yang berarti untuk
menenangkan peserta sidang.

Anda mungkin juga menyukai