Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 198

Aku mengangguk. ”Itu datang dari dunia kami. Aku yang


mengirimnya ke sini.”

”Benda-benda aneh di kamar Ou?”

”Iya, juga buku itu, milikku. Benda-benda aneh yang ada di kamar
Ou, itu milikku.”

Kapsul itu lengang sejenak, menyisakan desingnya melaju melewati


lorong.

”Astaga!” Ilo akhirnya mengembuskan napas, menatapku lamat-


lamat. ”Sungguh tidak bisa dipercaya. Bagai­mana kalian bisa masuk ke
kota ini, eh, dunia ini?”

”Kami masuk lewat buku PR matematikaku,” aku menjawab pelan.

”Buku PR matematika?” Ilo memastikan dia tidak salah dengar.

Aku meminta Ali mengeluarkan buku itu, menyerahkannya pada


Ilo.

Ilo menelan ludah, menerima buku PR matematikaku.

”Ini sama seperti buku lainnya. Tidak ada yang berbeda.”

Ilo memeriksa buku bersampul gambar bulan sabit, membuka


sembarang halaman, lantas menggurat sesuatu di atasnya. Seharusnya
seperti buku-buku remaja yang tadi meminta tanda tangan, kertasnya
bisa ditulisi dengan teknologi ujung jari peng­ganti bolpoin, buku PR
matematikaku sebaliknya, tidak. Bekas guratan jemari Ilo hanya
mengeluarkan sinar sejenak, kemudian pudar bersama letupan kecil.

Ilo berseru, melangkah mundur. Tangannya gemetar kesakitan


seperti habis disetrum sesuatu.Wajahnya pucat. ”Aku sepertinya keliru,
buku ini jelas tidak sama seperti buku lain. Aku tidak tahu apa bedanya,
tapi aku tahu siapa yang bisa menjawab ba­nyak pertanyaan.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 199

Ilo mengembalikan buku PR matematiku, menatap kami


ber­gantian. ”Baik, anak-anak, semoga tujuan baru kita bisa
men­jelaskan banyak hal.”

Kapsul kereta itu terus melesat cepat.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 200

APSUL kereta itu berhenti lima menit kemudian. Ilo ber­jalan di


depan, turun.

Entah berada di mana kami sekarang, tapi hamparan rumput


terpangkas rapi menyambut kami, tampak hijau seluas lapangan sepak
bola. Jika itu belum cukup, di sisi kiri dan kanan lapangan terlihat air
terjun setinggi pohon kelapa, debum air menimpa bebatuan seperti
bernyanyi, sungai jernih mengalir, kelokannya hilang di belakang sebuah
gedung besar. Saking besarnya gedung itu, jika dipotret, aku tidak yakin
lensa kamera bisa menangkap seluruh bagiannya jika diambil dari jarak
jauh sekalipun. Aku mendongak menatap langit. Kami sepertinya masih
berada di dalam tanah, karena meskipun langit terlihat biru, itu tidak asli,
tidak ada matahari di atas sana.

”Ini Perpustakaan Sentral. Tempat semua catatan dan buku


disimpan, semua ilmu dikumpulkan. Tidak ada tempat lebih baik
dibanding ini jika kita membutuhkan jawaban,” Ilo menjelas­kan sebelum
ditanya. Dia melangkah lebih dulu, berjalan menuju gedung tinggi itu.

Kami membutuhkan dua menit melintasi hamparan rumput hijau,


lalu tiba di pintu gedung.

Ruangan depan gedung itu dipenuhi meja-meja panjang dan


bangku. Lantainya terbuat dari pualam mewah. Belasan lampu kristal
tergantung di langit-langit ruangan, sama seperti interior Stasiun Sentral.
Bedanya, rak buku setinggi gedung tiga lantai memenuhi dinding
ruangan. Aku menelan ludah menatap begitu banyak buku di dinding.
Beberapa orang terlihat membaca di meja-meja panjang. Beberapa belalai
bergerak merambat di rak-rak itu, sepertinya itu alat mencari judul buku,
berhenti meng­ambil buku, kemudian bergerak lagi.

Salah satu petugas perpustakaan menyapa ramah Ilo—seorang ibu


separuh baya yang mengenakan jaket gelap. Mereka saling kenal,
ber­bicara serius sebentar. Ibu itu memeriksa se­jenak buku besar di atas
meja, lantas mengangguk, meminta kami berjalan di belakangnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 201

Kami melewati pintu bundar, masuk ke dalam lorong remang. Di


dunia ini setiap kamar atau ruangan sepertinya dihubungkan lorong-
lorong, termasuk juga setiap gedung, bangunan, pun di atas sana, rumah-
rumah berbentuk bangunan balon. Jika tidak ada lorong secara fisik,
bangunan dihubungkan dengan lorong virtual yang mereka sebut lorong
berpindah.

Tiba di ujung lorong, ibu separuh baya itu mendorong pintu bulat.

Kami masuk ke ruangan yang lebih kecil, dengan interior sama.


Seluruh dinding ruangan itu dipenuhi rak buku tinggi yang bersusun
buku-bukunya. Ruangan itu sepi, tidak ada pe­ngunjung di meja-meja
panjang. Yang ada hanya seorang petugas. Ada plang besar di atas kepala
kami bertuliskan: ”Bagian Ter­batas. Hanya untuk Pengunjung dengan
Izin”.

Petugas itu menggeleng saat ibu separuh baya menyampaikan


sesuatu. Juga menggeleng saat Ilo membujuknya. ”Anda bisa mem­­baca
semua buku di ruangan ini, Master Ilo. Buku apa saja. Tapi tidak di
bagian berikutnya.”

”Kami harus masuk. Ini penting sekali.” Ilo menyisir rambut­nya


dengan jemari. Wajahnya tegang.

Petugas itu menggeleng. ”Kami tidak akan melanggar protokol


paling tinggi di gedung ini.”

”Kalau begitu, izinkan aku bicara dengan kepala perpustakaan.” Ilo


mengembuskan napas.

Petugas itu berdiskusi sebentar dengan ibu separuh baya dari


ruangan depan. Dia mengangguk, menekan tombol di atas meja­nya,
tersambung dengan ruangan lain.

”Apa yang sedang terjadi, Ra?” Seli berbisik, memegang lengan­ku.

”Mereka sedang memutuskan apakah kita bisa masuk ke ruangan


berikutnya atau tidak.”

”Ruangan apa?” Seli bertanya cemas.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 202

”Aku tidak tahu.”

Petugas menyuruh kami menunggu.

Pintu bulat di ruangan itu terbuka dua menit kemudian, dan


muncullah seseorang yang terlihat sepuh. Tangannya memegang tongkat.
Rambutnya putih, tapi wajahnya masih segar. Aku menatapnya lamat-
lamat. Orang tua ini me­ngena­kan pakaian berwarna abu-abu. Itu warna
paling terang yang kami lihat sejak memasuki dunia ini.

”Halo, Ilo,” orang tua itu menyapa ramah, mendekati kami.

Ilo balas menyapa pendek, menggenggam tangan orang tua itu.


Syukurlah, setidaknya mereka berdua juga saling kenal—atau mungkin
juga Vey benar, Ilo amat terkenal di kota ini, jadi siapa pun tahu dia.

”Ada yang ingin kubicarakan. Ini mendesak dan penting sekali,”


cetus Ilo.

”Oh ya?” tanya orang tua itu.

”Aku harus mengunjungi Bagian Terlarang Perpustakaan.”

Orang tua itu terkekeh panjang. ”Kamu bahkan tidak bertanya apa
kabarku, tidak bercerita apa kabar keluarga kalian. Bagaimana Vey? Ou?
Dan si sulung Ily? Sudah hampir setahun dia tidak pulang dari akademi,
bukan?”

Mereka berdua ternyata lebih dari saling kenal. Aku terus


memperhatikan.

”Itu bisa dibicarakan nanti. Mereka baik-baik saja.” Ilo meng­geleng.


”Ini mendesak.”

”Oh ya? Seberapa mendesak?”

”Amat mendesak.” Ilo menatap serius.

”Baiklah. Ada apa sebenarnya?” Orang tua itu mengangguk takzim.

Ilo menggeleng, terdiam sejenak. ”Aku juga tidak tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Aku justru sedang mencari pen­jelasannya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 203

Itulah kenapa aku harus mengunjungi Bagian Ter­larang perpustakaan


kota.”

”Kamu seharusnya tahu, kamu membutuhkan surat berisi


persetujuan seluruh Komite Kota untuk bisa masuk ke dalam bagian itu,
Ilo.” Orang tua itu menggeleng. ”Tanpa izin itu, tidak ada satu pun yang
bahkan bisa berdiri sepuluh langkah dari pintunya dengan selamat.
Bagian itu dilindungi seluruh sistem keamanan gedung, disegel dengan
kekuatan tertentu, dan di atas segalanya, aku menjaganya dengan
nyawaku sendiri.”

Sesaat aku seperti bisa melihat wajah orang tua ber­pakai­an abu-
abu itu tampak begitu berwibawa. Bola matanya yang me­natap tajam
bersinar.

Ilo meremas jemarinya, menoleh padaku. ”Ra, kamu keluarkan


buku PR matematika itu.”

Aku mengambil buku PR matematika dari ransel yang dibawa Ali.


Ilo tidak sabar menunggu, menerima buku itu dengan tangan bergetar—
seperti khawatir disetrum lagi. Ilo menyerah­kan buku itu kepada orang
tua di hadapannya.

”Ini buku apa?” Orang tua berpakaian abu-abu itu menatap Ilo.

”Kamu periksa saja. Itu tiketku untuk masuk ke dalam Bagian


Terlarang.”

”Ini hanya sebuah buku tulis biasa, Ilo.”

”Kamu periksa saja lebih detail.” Ilo menggeleng tegas.

”Baik, mari kita lihat.” Orang tua itu mengangguk takzim.

Aku memperhatikan.

Orang tua berpakaian abu-abu itu mulai memeriksa. Dia tidak


membuka sembarang halaman, mencoba menggurat tulisan seperti yang
dilakukan Ilo. Dia menghela napas sebentar, kemudi­an bergumam pelan,
mengucapkan sesuatu, mengusap lembut buku bersampul kulit dengan

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 204

gambar bulan sabit milikku. Be­lum selesai tangannya mengusap, buku


PR-ku sudah mengeluar­kan sinar yang terang sekali.

Gambar bulan sabitnya seperti keluar di udara. Terlihat elok.

Semua orang di ruangan itu menahan napas.

”Astaga!” Orang tua itu berseru, buku itu terlepas dari tangan­nya.

Aku hendak menyambarnya agar tidak jatuh. Tapi alih-alih jatuh,


buku itu justru mengambang di udara. Sinar yang keluar dari bulan sabit
menimpa wajah kami.

Saat kami sibuk menatap takjub buku yang melayang di udara,


orang tua berpakaian abu-abu itu menoleh kepadaku. ”Apakah buku ini
milikmu?”

Aku mengangguk.

”Gadis Kecil, siapakah kamu sebenarnya?”

Pertanyaan itu membuat orang-orang menoleh padaku.

Seli yang sejak tadi memegang tanganku, refleks melepaskan


tangannya. Ali yang biasa sibuk memperhatikan sekitar, ikut ter­diam.
Dua petugas perpustakaan bahkan dengan gemetar me­nunduk, tak
berani melihat wajahku.

”Aku? Eh, namaku, Raib,” aku refleks menjawab.

Saat itu seluruh tubuhku bersinar terang. Sinarnya juga me­nerpa


wajahku.

Beberapa saat hanya lengang di ruangan pengap tersebut, hing­ga


sinar yang keluar dari sampul buku PR matematikaku per­lahan redup,
kemudian lenyap. Ilo bergegas menyambarnya se­belum buku itu jatuh.

”Bagaimana? Apakah kamu akan mengizinkan kami masuk ke


Bagian Terlarang, Av? Buku ini tiket masuknya.” Ilo mengacung­kan buku
milikku dengan yakin.

***

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 205

”Tidak ada yang boleh menceritakan kejadian ini kepada siapa pun.”

Av, demikian nama orang tua berpakaian abu-abu itu, berkata tegas
kepada dua petugas perpustakaan. ”Padamkan sistem keamanan Bagian
Terlarang beberapa saat. Aku akan mengajak Ilo dan tiga anak ini masuk
ke dalamnya.”

”Aku ingat sekali, terakhir kali Bagian Terlarang perpustakaan ini


dibuka adalah seribu tahun lalu. Aku sendiri yang membuka­nya, dan
aku sendiri pula yang menyegelnya hingga hari ini.” Av menghela napas
perlahan, ”Mari, ikuti aku.”

Av melangkah pelan. Suara tongkatnya mengenai lantai pua­lam,


bergema.

Kami menuju pintu bulat, masuk ke dalam lorong panjang lagi.

”Wajahmu tadi terlihat terang sekali, Ra,” Seli berbisik. ”Seperti


purnama besar.”

Aku menoleh, tidak mengerti.

”Aku seperti bisa melihat bulan dari jarak dekat,” Seli masih
berbisik.

Aku menatap Seli. ”Bulan?”

”Kita telah tiba,” Av yang berdiri di depan berkata pelan, me­motong


percakapan.

Kami tiba di ujung lorong. Tidak ada yang istimewa dari pintu bulat
itu, seperti pintu-pintu lain yang pernah kami temui di dunia ini.

”Jangan tertipu dengan tampilannya, anak-anak. Tidak ada yang


bisa mendekati pintu ini jika sistem keamanannya diaktif­kan,” seakan
bisa membaca pikiran kami, Av berkata datar. ”Ti­dak, bahkan dengan
seribu Pasukan Bayangan tetap tidak.”

Av mengacungkan tongkatnya ke depan, mengetuk beberapa kali,


membuat irama tertentu. Terlihat pita kuning bersinar di daun pintu.
Cahayanya sekaligus membuat jelas sarang laba-laba dan debu di sekitar

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 206

kami. Sepertinya sudah lama sekali tidak ada orang yang mengunjungi
lorong ini. Av merobek segel pita itu dengan tongkatnya, lantas mendorong
daun pintu.

Pintu berderit pelan.

Ruangan yang kami masuki pengap dan gelap.

Av mengetukkan tongkatnya lagi ke lantai, beberapa lilin me­nyala,


membuat terang sekitar. Aku bisa melihat tembok ruang­an yang terbuat
dari batu bata tanpa diplester dan lantainya dari batu kasar. Ruangan itu
tidak besar, paling hanya seluas kelasku. Hanya ada satu lemari di
sudutnya, berisi gulungan besar, peti berwarna hitam, dan buku-buku.
Sebuah meja panjang dan beberapa kursi persis berada di tengah, terlihat
berdebu, tua, dan kusam. Juga ada sebuah perapian kecil di dinding
ruangan de­ngan kayu bakar yang menumpuk, lama tidak disentuh,
entah untuk apa perapian tersebut.

Av menutup rapat daun pintu, melangkah ke tengah ruang­an.

”Kalian bertiga jelas tidak datang dari dunia ini.” Av menoleh


kepada kami, menatap kami satu per satu. ”Siapa saja kalian?”

Ilo memperkenalkan kami satu per satu.

”Bagaimana kamu menemukan mereka bertiga, Ilo?”

”Mereka muncul di rumahku tadi malam, saat aku mengantar Ou


tidur.”

”Itu pasti sedikit mengejutkan, menemukan orang asing di dalam


rumah. Dan kamu awalnya berpikir mereka hanya tersesat karena
kesalahan teknis lorong berpindah?”

Ilo mengangguk.

”Setidaknya kabar baiknya, kalian muncul di rumah cucu dari cucu


cucuku. Bukan di tempat keliru.” Av menyeka rambut pu­tih­nya.

”Dia bilang apa?” Ali berbisik di sebelahku.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 207

”Dia bilang Ilo adalah cucu dari cucu cucunya.”

Ali dan Seli menatapku tidak mengerti.

”Dan tentu saja kamu fasih berbicara bahasa kami.” Av


me­natap­ku lamat-lamat. ”Kemampuan itu melekat saat kamu
di­lahir­kan. Juga seluruh kekuatan lain, kamu peroleh sejak lahir.”

Ruangan pengap itu lengang sejenak.

”Apakah kamu tahu siapa dirimu, Nak?” Av bertanya lem­but.

Aku menggeleng pelan, tidak mengerti. Tadi aku sudah me­nyebut


namaku. Kalau hal tersebut ditanya lagi, berarti itu bu­kan jawaban yang
diharapkan.

”Baik. Akan kujelaskan masalah ini.” Av melangkah ke lemari di


dinding ruangan.

Kami memperhatikan.

Av kembali dengan membawa salah satu gulungan besar. Dia


meletakkan gulungan itu di atas meja, menepuk debu tebal, mem­buat
gambar di atas gulungan lebih bersih.

Aku tahu itu apa meski warnanya sudah kusam, ujung-ujung


kertas­nya robek, dan gambarnya amat sederhana. Saat dihampar­kan di
atas meja, aku mengenalinya, itu peta Bumi ber­ukuran besar.

”Kalian di dunia sana menyebut dunia ini dengan sebutan ‘Bumi’,


bukan?”

Dunia sana? Tapi aku memutuskan mengangguk, tidak banyak


tanya.

”Inilah peta Bumi itu yang dibuat puluhan ribu tahun lalu.” Av
mengetuk peta itu pelan. Garis-garis peta mulai bersinar, membuat lebih
jelas bentuk benua, pulau, dan sebagainya.

”Sejak kecil, kamu selalu bilang dunia ini tidak sese­derhana yang
kamu lihat, bukan? Kamu bilang, dunia ini seperti game yang jago kamu

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai