Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 18

”menyesal”, karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, dia


kem­bali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, mem­biar­kanku
beranjak gontai ke bingkai pintu kelas.

Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengar


meng­gelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan
lembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik di
lorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susah
payah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masih
dua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian di
lorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkan
meski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman.

Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kali


menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah
sepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitam
itu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas,
suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripada
biasanya.

Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramai


teman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapa
menit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Dia
memperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. Miss
Keriting tanpa ampun juga ”mengusirnya”. Aku mengeluh melihat Ali
melangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yang
lengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya di
lorong? Aku me­nyeka dahi yang berkeringat—yang membuatku
melupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahal
dingin udara terasa mencekam.

Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok


itu.

Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah,


se­belum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapak
tanganku, meletakkannya di wajah.

Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat,


mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerak­an tanganku

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 19

menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan suram.


Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangan
sekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilang
sempurna saat telapak tanganku menutupi wajah.

Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,


mem­per­hatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mung­kin
sedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Dia
mengomel sendirian, melintasiku. ”Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa,
tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.” Aku
menahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak iseng
menambahi kesalnya dengan mengait kakinya.

”Halo, Gadis Kecil.”

Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambar


terang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telah
berdiri di depanku. Matanya menatap memesona.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 20

EMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosok


kurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persis
di depanku—aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan,
refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapak
tanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali terlihat.
Kejadian itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh,
mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tiba
menyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, me­nyisa­kan hujan
deras sejauh mata memandang. Angin kencang mem­buat bendera di
lapangan sekolah berkelepak. Tempias air me­ngenai lorong lantai dua
tepercik ke wajahku yang setengah pucat.

Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihat


sosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bah­kan aku
ingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah dia
sekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksa
semua kemungkinan. Aku hendak ber­anjak mendekati tepi lorong, tidak
peduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku.

”Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuat
kakiku berhenti.

Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat di


belakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresi
wajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik sekali.
Sedangkan ekspresi wajahku pasti sebaliknya.

”Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?” Ali mendekat,


wajahnya menyelidik.

Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding lorong.


Kenapa pula urusan ini harus terjadi dalam waktu ber­samaan? Kenapa
pula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 21

mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, jangan-
jangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan kedua
telapak ta­ngan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup mata
sebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengan
tatap­an mata Ali yang penuh rasa ingin tahu.

”Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?” Ali bahkan sekarang


menyelidik seluruh tubuhku. ”Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada di
sini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Ini
menarik sekali.”

”Apanya yang menarik?” Aku membalas tatapan menyelidik Ali,


pura-pura tidak mengerti.

”Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra,” Ali tidak mudah


percaya.

”Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?” aku


akhirnya berseru ketus.

”Kamu tidak bisa membohongiku.” Ali nyengir lebar. ”Aku me­mang


pemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagian
kecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakin
seratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun di
lorong. Lantas petir me­nyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tiba
muncul. Aku yakin sekali.”

Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Ali


dengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Dia
memang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajaran
tertentu dia bisa membuat guru-guru ter­diam hanya karena pertanyaan
masa bodohnya.

”Bagaimana kamu melakukannya?”

”Aku tidak melakukan apa pun.”

”Kamu jangan bohong, Ra.” Ali menatapku seperti sedang menatap


anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 22

”Siapa yang berbohong!” aku berseru ketus sebenarnya separuh


suaraku terdengar cemas.

”Ali! Ra!” Suara tegas Miss Keriting menyelamatkanku.

Kami serempak menoleh.

”Suara percakapan superpenting kalian mengganggu pelajaran.”


Miss Keriting melotot, berdiri di bawah bingkai pintu kelas, tangannya
memegang penggaris kayu panjang. ”Sekali lagi kalian bercakap-cakap
terlalu kencang, Ibu kirim kalian ke ruang BP, dan semoga ada yang
menyelamatkan kalian dari pemanggilan orangtua ke sekolah.”

Mulut Ali yang hendak mencecarku dengan banyak pertanya­an


terpaksa bungkam. Dia menunduk, mengusap-usap rambut­nya yang
berantakan. Aku juga menunduk.

”Benar-benar brilian. Sudah tidak membuat PR, berteriak-teriak


pula di lorong kelas. Pasangan paling serasi pagi ini.” Miss Keriting
kembali masuk setelah memastikan kami diam beberapa detik. Teman-
teman sekelas yang ikut melihat ke luar tertawa ramai, lalu diam kembali
saat Miss Keriting menunjuk papan tulis.

Suara Miss Keriting terdengar samar di antara suara hujan deras


yang mengguyur sekolah. Aku masih penasaran siapa sosok tinggi kurus
yang tiba-tiba muncul di depanku tadi. Aku meme­riksa sekitar, berusaha
mengabaikan Ali yang terus menatapku. Tidak ada. Sosok itu benar-benar
sudah pergi.

Mungkin aku bisa pura-pura ke toilet sebentar, meninggalkan Ali,


menutup wajah di sana, lantas berjalan kembali ke lorong lantai dua.
Dengan begitu aku bisa mencari sosok tinggi kurus itu, sekaligus juga
bisa menghilang dari si biang kerok ini. Tetapi itu ide buruk. Ali yang
penasaran, bahkan sangat pe­nasaran, pasti akan mengikuti ke mana
pun aku pergi, dan dia bisa mengacaukan banyak hal. Miss Keriting,
dengan kejadian ribut barusan, bisa kapan pun memeriksa lorong lantai
dua lagi, memastikan kami patuh pada hukumannya.

Aku mendongak, menatap siluet petir yang kembali menyambar.


Suara guntur bergemuruh. Sepertinya pagi ini aku benar-benar akan

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 23

menghabiskan dua jam bersama biang kerok ini. Baiklah, aku


memutuskan duduk bersandar di dinding kelas, berusaha lebih santai,
menghela napas pelan.

”Hei, Ra?” Ali berbisik.

Aku melirik dengan ujung mata, dia ternyata ikut duduk, tiga
langkah dariku.

”Kamu bisa menghilang, ya?” Ali berbisik lagi, berusaha tidak


mem­buat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu.

Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan.

”Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisa
melakukan itu. Tidak hanya di film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlu
menunggu jawabanku.

”Kamu gila,” aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik.

”Apanya yang gila?”

”Tidak ada yang bisa menghilang.”

”Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat oleh
mata, tapi sebenarnya ada.” Ali mengangkat bahu.

”Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata,” aku bersikukuh, mulai
sebal. ”Kecuali yang kamu maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seram
itu.”

”Kata siapa tidak ada?” Ali nyengir. ”Dan jelas maksudku bukan
hantu-hantu itu. Coba, lihat.” Tangan Ali menggapai ke depan. ”Setiap
hari, setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihat
oleh mata. Udara. Kamu bernapas dengannya, tanpa pernah berpikir
seperti apa wujud asli udara. Apakah udara seperti kabut? Seperti uap?
Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?”

Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, Ali pendebat yang
baik.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 24

”Bahkan, kamu tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak ter­lihat.”
Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai
ujung mata. ”Jika kamu terlalu kecil atau sebalik­nya terlalu besar dari
yang melihat, kamu bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut,
misalnya, kamu coba saja lihat semut yang ada di lapangan sekolah dari
lantai dua ini, dia meng­hilang karena terlalu kecil untuk dilihat.
Sebaliknya, Bumi, misalnya, karena bola Bumi terlalu besar, tidak ada
yang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kita
hanya tahu dia mengambang lewat gambar, televisi, tapi tidak pernah
melihat dengan mata kepala sendiri. Tidak terlihat dalam definisi lain.”

”Sok tahu,” aku berbisik ketus.

Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya tepatnya


tidak tertarik bertengkar seperti biasanya. ”Aku tahu sekali, Ra. Internet.
Aku membaca lebih banyak dibanding siapa pun di sekolah ini. Termasuk
Miss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematika
penting katanya, puh, itu mudah saja. Bahkan kalau sekarang masih di
sekolah dasar, aku bisa mengerjakan PR itu. Kamu sungguhan bisa
menghilang ya, Ra?”

Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa me­mancing
Miss Keriting keluar. Aku segera menurunkan volume suara, menjawab
datar. ”T-i-d-a-k.”

”Kamu justru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kamu bisa


menghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan bahasa tubuh.
”Terima kasih, Ra. Itu berarti aku tidak seaneh yang sering orangtuaku
katakan.”

Aku mengembuskan napas sebal. Sudah kujawab tidak, Ali tetap


menganggap aku menjawab iya.

Aku kembali menatap hujan, memutuskan menyerah me­nanggapi


rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya telah keliru, bukan hanya dua jam
pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok ini.
Kemungkinan seharian ini, bahkan besok-besok­nya lagi, dia akan terus
tertarik mengikutiku, me­mastikan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 25

Hujan deras terus mengguyur sekolah, Seli dan teman-teman yang


lain pasti sedang pusing mengikuti pelajaran Miss Keriting di dalam kelas
yang kering, sama pusingnya dengan aku menghadapi Ali di lorong yang
tempias basah.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 26

ASANGAN serasi.” Seli memajukan bibir, menahan tawa.

Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awas


saja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini.

”Bercanda, Ra.” Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan,


separuh masih menahan tawa. ”Miss Keriting memang sok galak,
menyebalkan, banyak ngasih PR, tapi itu yang aku suka darinya. Dia
selalu telak menyindir orang. Pasangan paling serasi pagi ini. Hehehe. Eh,
lagian kenapa pula kalian harus berteriak-teriak di lorong, membuat
semua teman sekelas menoleh ingin tahu,” Seli membela diri, berusaha
berlindung dari lemparan sedotan.

Bel istirahat pertama sudah bernyanyi lima menit lalu. Hujan deras
sudah reda, menyisakan rintik kecil yang bisa dilewati tanpa terlalu
membuat basah. Udara dingin dan lembap. Seli mengajakku ke kantin,
menghabiskan semangkuk bakso dan segelas air jeruk hangat, pilihan
yang baik dalam suasana se­perti ini. Seli bilang dia yang traktir. Aku
awalnya tidak ter­tarik. Se­telah dua jam lebih saling ngotot
menghabiskan waktu bersama Ali, yang membuat mood-­ku hilang, aku
sebenarnya lebih tertarik menghabiskan waktu sendirian di kelas, duduk
di kursi, me­mikirkan siapa si tinggi kurus itu. Apakah itu hanya
imajinasiku karena belasan tahun menyimpan rahasia? Tetapi melirik
gelagat Ali yang juga akan ikut menghabiskan waktu di kelas,
menye­lidikiku, aku menerima tawaran Seli.

”Kalian sebenarnya membicarakan apa sih? Sampai bertengkar


begitu?” Sayangnya Seli yang sambil ber-hah kepedasan meng­habiskan
semangkuk baksonya seperti kehabisan ide percakapan selain tentang
kejadian di lorong kelas.

”Tidak membicarakan apa pun.” Aku malas menanggapi.

”Masa iya?” Seli menyelidik. ”Sampai bertengkar begitu.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 27

”Siapa yang bertengkar? Dia saja yang selalu menyebalkan. Mencari


masalah,” aku mengarang jawaban.

”Eh, kalian tidak sedang membicarakan PR matematika, kan?


Mengerjakan PR di lorong tadi?” Seli tertawa dengan kalimatnya sendiri.

Aku melotot, mengancam Seli dengan bola bakso.

”Bercanda, Ra. Kamu sensitif sekali pagi ini. Aku saja yang dia
tabrak tadi di anak tangga nggak ilfil. Biasa saja.” Seli nyengir tanpa dosa.

Semangkuk bakso kantin ini lumayan lezat, apalagi saat udara


dingin, tapi topik pembicaraan ini memengaruhi lidahku. Apalagi menatap
wajah jail Seli.

”Kamu tahu, Ra,” Seli tiba-tiba berbisik, menurunkan volume suara,


di tengah ingar-bingar kantin yang dipenuhi teman-teman sekolah, yang
cepat merasa keroncongan saat udara dingin begini.

”Tahu apanya?” Aku tidak semangat menatap wajah penuh rahasia


Seli.

”Ali pernah ikut seleksi Olimpiade Fisika,” Seli masih ber­bisik.

”Terus apa pentingnya?” Aku mengangkat bahu tidak peduli.

”Dia peserta seleksi olimpiade paling muda sepanjang sejarah, Ra.


Waktu itu dia masih kelas delapan. Dia nyaris masuk dalam tim yang
dikirim ke entah apa nama negaranya, Uzbekistan kalau tidak salah. Dia
termasuk enam siswa paling pintar, genius malah. Itu penting sekali,
bukan?” Seli ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. ”Tapi si biang kerok
itu batal dikirim. Pada minggu ter­akhir seleksi, dia meledakkan
laboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi. Iseng melakukan
percobaan entah apa. Betul-betul meledak, Ra.”

”Dari mana kamu tahu itu?” aku basa-basi menanggapi.

”Perusahaan tempat papaku bekerja jadi sponsor utama tim


olimpiade itu, Ra. Kejadian itu dirahasiakan, wartawan hanya tahu tim
olimpiade pulang membawa beberapa emas dua minggu kemudian. Kata
papaku, profesor pembimbing tim olimpiade tetap ngotot membawa Ali,

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai