”Ali benar. Ini bisa jadi ide bagus,” Ilo menengahi, setelah aku
menerjemahkan untuknya. ”Kalaupun kapsul itu tenggelam atau rusak di
dalam sungai, setidaknya kita justru bisa menghilangkan jejak. Sistem
otomatis mereka tidak bisa menemukan di mana kapsulnya. Kalau
berhasil, lebih bagus lagi, kita bisa menggunakannya untuk menghilir.”
Aku dan Seli saling tatap sejenak. Ilo benar. Baiklah. Tidak ada
salahnya mencoba ide si genius ini. Aku mengangguk. Aku dan Seli
melangkah kembali ke peron.
”Tidak secepat itu. Kalian latihan dulu,” Ali berseru sambil beranjak
berdiri, menyambar tas ranselnya. ”Lihat, ada batu-batu besar di sana.
Kalian coba pindahkan satu atau dua batu besar itu.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 269
”Bagus!” Ali berseru di kejauhan. ”Itu bagus sekali, Sel. Tidak apa.
Jangan dipikirkan. Kita coba sekali lagi. Dan kamu, Ra, jangan terlalu
kencang memukulnya, supaya Seli tidak terlalu susah payah
mengendalikan batunya saat meluncur turun. Pukul dengan lembut,
gunakan nalurimu.”
Setelah menghela napas dua kali, aku memukul batu itu lebih
terkendali. Dentuman kencang kembali terdengar. Batu itu terangkat dari
dalam pasir. Butir pasir beterbangan. Batu itu terpelanting tinggi ke
udara—tidak terlalu tinggi, hanya tiga meter.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 270
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 271
Kami menyusul, naik satu per satu. Terakhir Ali, dibantu Ilo.
Kapsul itu segera bergerak di atas permukaan air saat tuas kemudi
didorong ke depan. Tidak cepat, hanya mengandalkan mesin pendorong
manual, tapi itu lebih dari memadai dibanding kami harus berjalan kaki.
Kami segera menuju tempat pemberhentian berikutnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 272
Dinding sungai yang terjal berganti lagi dengan pohon bakau yang
tumbuh rapat di tepian sungai. Riuh rendah suara monyet berlarian di
salah satu bagiannya saat kami lewat. Aku menatap puluhan monyet
berukuran besar itu, mungkin lebih mirip kingkong. Puluhan ”kingkong”
berseru-seru melihat kami lewat perlahan. Itu bukan pemandangan yang
menenteramkan hati.
”Monyet tidak bisa berenang, Seli. Mereka takut air, kecuali yang
dilatih di kebun binatang.” Ali sudah seperti guru biologi, menjelaskan.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 273
”Lho, bisa saja kan, Ra? Buaya misalnya? Atau ular sungai sebesar
kereta? Ini kan di dunia aneh, boleh jadi malah ada naga? Tiba-tiba
muncul menerkam kapsul.” Seli tidak mengerti tatapanku, malah
meneruskan kecemasannya—dan dia jadi cemas sendiri.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 274
”Ya tidak apa-apa. Kan Ilo sendiri yang mengucapkan kalimat itu.”
Ali mengangkat bahu, merasa tidak berdosa dengan tingkah nyinyirnya.
Aku keluar dari kapsul, menatap tanpa berkedip. Aku belum pernah
menyaksikan pantai sebersih dan seindah ini, lengkap dengan sunset-nya.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 275
”Jelas, kan? Karena Seli itu dari Klan Matahari, jadi dia menyukai
matahari.”
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 276
Enak saja Seli bilang begitu. Aku melompat hendak menutup mulut
Seli, menyuruhnya diam. Dalam situasi tidak jelas, di dunia aneh pula,
enak saja Seli menggodaku.
Aku ternyata keliru. Sejak tadi, saat Av dan Ilo berbicara tentang
”rumah peristirahatan”, aku pikir itu juga akan berbentuk bangunan
bulat di atas tiang, dan kami harus naik lift menuju atasnya. Ternyata
tidak. Rumah itu persis seperti rumah kebanyakan di kota kami,
meskipun di sekelilingnya terdapat pagar tinggi.
Itu rumah yang indah, seperti vila tepi pantai di kota kami. Dua
lantai, seluruh bangunan terbuat dari kayu, semipanggung. Lampu teras
luarnya menyala terang, juga lampu-lampu kecil di jalan setapak. Ada
banyak pot kembang di halaman, juga taman buatan yang indah. Di
halaman, di pasir pantai, terdapat kanopi lebar dengan beberapa bangku
rotan. Ini sesuai namanya, rumah peristirahatan, sama sekali bukan
Rumah Bulan.
Kami turun dari kapsul. Ilo sempat mengikat kapsul dengan tali di
dermaga kayu agar kapsul tidak dibawa ombak. Kami berjalan beriringan
di atas dermaga, menuju jalan setapak yang di kiri-kanannya tersusun
karang laut dan pot bunga.
http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 277
”Bukan hanya sulit, Vey, kamu tidak akan mudah percaya apa yang
baru saja mereka lalui. Tapi mereka baik-baik saja. Kamu tidak perlu
cemas.” Ilo tersenyum.
http://pustaka-indo.blogspot.com