Anda di halaman 1dari 10

TereLiye “Bumi” 268

melakukannya dengan benar—sesuatu yang lebih rumit sebenarnya.


Lakukan saja. Pasti ber­hasil.”

”Bagaimana kalau kapsulnya malah mendarat terlalu jauh atau


tenggelam?” Seli bertanya. ”Aku belum tentu bisa mengendalikan
gerakannya. Kapsul itu besar sekali.”

”Dan bagaimana kalau ternyata kapsul itu jadi rusak karena


kupukul?” aku menambah daftar kemungkinan buruk lainnya.

”Ali benar. Ini bisa jadi ide bagus,” Ilo menengahi, setelah aku
menerjemahkan untuknya. ”Kalaupun kapsul itu tenggelam atau rusak di
dalam sungai, setidaknya kita justru bisa meng­hilangkan jejak. Sistem
otomatis mereka tidak bisa menemukan di mana kapsulnya. Kalau
berhasil, lebih bagus lagi, kita bisa mengguna­kan­nya untuk menghilir.”

Aku dan Seli saling tatap sejenak. Ilo benar. Baiklah. Tidak ada
salahnya mencoba ide si genius ini. Aku mengangguk. Aku dan Seli
melangkah kembali ke peron.

”Tidak secepat itu. Kalian latihan dulu,” Ali berseru sambil beranjak
berdiri, menyambar tas ranselnya. ”Lihat, ada batu-batu besar di sana.
Kalian coba pindahkan satu atau dua batu besar itu.”

Aku menatap Ali dan Ilo yang beranjak menjauh, mengosong­kan


hamparan pasir. Entah di dunia kami atau di dunia aneh ini, sifat Ali
tetap sama, suka mengatur-atur orang. Tapi untuk kesekian kali
sarannya masuk akal. Baiklah, akan kami turuti pendapatnya.

Aku bersiap-siap berdiri di belakang salah satu batu besar yang


terbenam di pasir, mengangguk ke arah Seli yang berdiri di tengah
hamparan pasir. Aku mulai konsentrasi. Sarung tangan­ku berganti
warna menjadi gelap. Seli di sana juga sudah siap. Sarung tangannya
terlihat bersinar terang di tengah terik mata­hari. Aku menahan napas,
memukul batu besar setinggi ping­gangku. Suara dentuman terdengar
kencang, membuat bebek-bebek sungai beterbangan dari semak, juga
burung-burung lain. Batu itu terangkat dari pasir, terpental ke udara.

Aku terduduk karena kaget sendiri melihat apa yang terjadi.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 269

Syukurlah Seli tidak kaget. Dia sudah bersiap. Sebersit cahaya


menyambar batu yang terbang itu saat Seli mengacungkan kedua tangan.
Dia berkonsentrasi penuh. Dua tangannya gemetar, ber­usaha
mengendalikan, membuat batu itu bergerak turun per­lahan-lahan.
Beberapa detik sepertinya batu itu akan turun mulus ke permukaan
sungai, tapi sedetik berlalu, meluncur tidak terkendali, jatuh berdebum,
membuat cipratan air muncrat ke mana-mana.

Seli melompat ke belakang. Bukan karena menghindari ciprat­an air


tinggi yang mengarah padanya, tapi lebih karena panik batu itu lepas
kendali.

”Bagus!” Ali berseru di kejauhan. ”Itu bagus sekali, Sel. Tidak apa.
Jangan dipikirkan. Kita coba sekali lagi. Dan kamu, Ra, jangan terlalu
kencang memukulnya, supaya Seli tidak terlalu susah payah
mengendalikan batunya saat meluncur turun. Pukul dengan lembut,
gunakan nalurimu.”

Aku bangkit dari dudukku, menepuk-nepuk pakaian yang kotor. Si


genius itu menyebalkan sekali. Mana aku tahu batu itu akan terpental
setinggi itu? Aku saja kaget. Enteng sekali dia bilang begitu. Terus, apa
pula maksudnya pukul dengan lembut? Lihatlah, sekarang Ali sudah
seperti sutradara film meneriaki artis-artisnya.

”Kamu mengerti, Ra? Jangan terlalu kencang!” Ali berteriak sekali


lagi.

”Iya, aku tahu.” Aku melangkah ke belakang batu berikutnya,


segera konsentrasi menatap batu hitam ber­lumut yang besarnya setinggi
kepalaku. Seli di tengah hamparan pasir mengangguk. Dia sudah siap.

Setelah menghela napas dua kali, aku memukul batu itu lebih
terkendali. Dentuman kencang kembali terdengar. Batu itu ter­angkat dari
dalam pasir. Butir pasir beterbangan. Batu itu ter­pe­lanting tinggi ke
udara—tidak terlalu tinggi, hanya tiga meter.

Seli mengacungkan tangan, membuat batu besar itu di­selimuti


aliran listrik. Tangan Seli gemetar. Dia konsentrasi pe­nuh. Sedetik
berlalu, batu besar itu bergerak perlahan sesuai kendali Seli, kemudian
mendarat anggun di atas permuka­an sungai, tenggelam dengan mulus.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 270

”Keren!” Ali mengacungkan jempol.

Aku dan Seli tersenyum puas. Kami berhasil.

”Baik, sekarang mari kita coba dengan benda sesungguhnya,” Ali


berseru. ”Rileks saja, Seli. Anggap seperti batu besar tadi. Kamu pasti
bisa.”

Aku melangkah masuk ke dalam bangunan stasiun, berdiri di


belakang kapsul kereta yang penyok dan pecah jendela kaca­nya.

”Pukul di bagian rangka kapsul, itu bagian paling keras. Sepanjang


bagian itu yang dihantam, kamu tidak akan merusak kapsulnya. Ingat,
Ra, jangan terlalu kencang, dan jangan terlalu pelan. Lakukan seperti
tadi,” Ali berteriak.

”Iya, aku tahu.” Aku bersungut-sungut, mengangguk. Teriakan Ali


ini sebenarnya mengganggu konsentrasiku. Lagi pula si genius ini tidak
menjelaskan apa maksudnya jangan ter­lalu kencang atau terlalu pelan.
Aku belum terbiasa de­ngan kekuatan sarung tanganku. Bahkan
sebenarnya, aku belum terbiasa dengan fakta bahwa aku bisa
mengeluarkan deru angin kencang dari tanganku.

Seli di hamparan pasir mengangkat tangan, memberi kode. Dia


sudah siap. Aku menghela napas berkali-kali, konsentrasi penuh.
Tanganku dipenuhi desir angin kencang, semakin deras setiap kali aku
mencapai level konsentrasi berikutnya. Lantas per­lahan aku memukul
dinding kapsul di bagian rangkanya. Suara dentuman kencang terdengar.
Kapsul itu terlempar dari dalam bangunan stasiun, terbang setinggi tiga
meter di atas kepala.

Seli segera mengacungkan tangannya ke atas. Kapsul itu diselimuti


tenaga listrik. Kapsul itu jelas lebih besar dibanding batu sebelumnya,
bergetar tidak terkendali, merosot satu meter ke bawah. Seli berteriak
panik. Aku menahan napas. Tapi Seli ber­hasil menahan kapsul agar
tidak terus merosot. Dia memaksa­kan seluruh tenaganya. Kakinya
terdorong ke dalam pasir hingga betis. Sedetik berlalu, kapsul itu
perlahan mulai bergerak teratur menuju permukaan sungai, kemudian

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 271

mendarat sama mulusnya seperti batu sebelumnya, hanya membuat riak


kecil. Kapsul itu telah mengambang di atas sungai.

Wajah Seli terlihat pucat, namun ia mengembuskan napas lega.

Aku tertawa lebar, berlari mendekati Seli, memeluknya riang.

”Apa kubilang. Berhasil, kan?” Ali juga melangkah mendekat, ikut


tertawa. Wajah si tukang ngatur ini sebenarnya masih me­ringis menahan
sisa pusing dan mual.

”Kita segera berangkat, anak-anak!” Ilo berseru. Dia me­langkah ke


permukaan air sungai setinggi betis.

Kami menyusul, naik satu per satu. Terakhir Ali, dibantu Ilo.

”Jika tidak melihat sendiri, aku tidak akan bisa memercayai­nya.”


Ilo tertawa, duduk di bangku kemudi, menatapku dan Seli. ”Kalian berdua
hebat sekali. Kalian lebih hebat dibanding pemenang kompetisi tahunan
petarung Klan Bulan.”

Aku tidak berkomentar, duduk di salah satu bangku.

Ilo menekan tombol-tombol di hadapannya. Pintu kapsul tertutup.

”Baik, anak-anak, kita menuju teluk kota.”

Kapsul itu segera bergerak di atas permukaan air saat tuas kemudi
didorong ke depan. Tidak cepat, hanya mengandalkan mesin pendorong
manual, tapi itu lebih dari memadai dibanding kami harus berjalan kaki.
Kami segera menuju tempat pem­ber­hentian berikutnya.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 272

EMANDANGAN dari kapsul kereta saat menghilir di sungai


besar itu menakjubkan.

Hamparan pasir sejauh beberapa kilometer kemudian diganti­kan


dinding sungai yang terjal dan tinggi dengan satu-dua air terjun yang
tumpah ke sungai, berdebum indah, membuat kapsul ter­siram percik air.
Kami melewati butiran air di atas kapsul yang membentuk pelangi. Aku
dan Seli berdiri di samping jendela yang kacanya sudah pecah, menatap
sekitar tanpa ber­kedip.

Burung-burung melintasi permukaan sungai, melenguh saling


memanggil. Beberapa hewan liar terlihat berlarian di antara semak
belukar atau di atas bebatuan besar. Mungkin itu kijang, mungkin juga
kuda, aku tidak tahu pasti. Hutan di dunia ini lebih menakjubkan,
sekalipun dibandingkan dengan imajinasi hutan di film yang pernah kami
tonton.

Dinding sungai yang terjal berganti lagi dengan pohon bakau yang
tumbuh rapat di tepian sungai. Riuh rendah suara monyet berlarian di
salah satu bagiannya saat kami lewat. Aku menatap puluhan monyet
berukuran besar itu, mungkin lebih mirip kingkong. Puluhan ”kingkong”
berseru-seru melihat kami lewat perlahan. Itu bukan pemandangan yang
menenteramkan hati.

”Setidaknya mereka tidak bisa melompat ke dalam air.” Ali nyengir,


ikut memperhatikan.

”Bagaimana kalau mereka bisa berenang?”

”Monyet tidak bisa berenang, Seli. Mereka takut air, kecuali yang
dilatih di kebun binatang.” Ali sudah seperti guru biologi, menjelaskan.

”Bagaimana kalau ada binatang buas di dalam sungai?” Seli berkata


pelan.

Aku menatap Seli. ”Jangan berpikir yang aneh-aneh deh, Sel...”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 273

”Lho, bisa saja kan, Ra? Buaya misalnya? Atau ular sungai sebesar
kereta? Ini kan di dunia aneh, boleh jadi malah ada naga? Tiba-tiba
muncul menerkam kapsul.” Seli tidak mengerti tatapanku, malah
meneruskan kecemasannya—dan dia jadi cemas sendiri.

Aku menatap manyun Seli yang terdiam.

Tetapi setidaknya sejauh ini kami tidak menemukan hewan buas.


Yang ada malah ikan terbang yang lompat tinggi di sekitar kapsul, atau
mungkin sejenis lumba-lumba. Mereka bergerombol mengikuti desing
kapsul yang terus meluncur di atas permukaan sungai, menuju ke hilir.
Kapsul tidak bisa bergerak cepat di atas air.

Pohon bakau digantikan hamparan pasir putih.

Sementara di atas kepala kami terlihat menjulang tinggi satu-dua


tiang besar dengan bangunan berbentuk balon di ujungnya.

”Kita melewati pinggiran kota, memang ada beberapa rumah di


sini,” Ilo menjelaskan.

Dari bawah, terlihat sekali betapa tingginya tiang-tiang rumah itu—


jauh di atas kepala kami—tiang besar dari bahan baja stainless dengan
diameter tidak kurang dari lima meter. Aku sekarang mengerti kenapa
penduduk kota ini mendirikan rumah di tiang tinggi atau berada di dalam
tanah sekalian. Tidak ada yang mau bertetangga dengan ”kingkong” tadi.

”Bagaimana penduduk tiba di atas rumahnya jika lorong berpindah


tidak boleh digunakan?” Ali bertanya, menyikutku agar
menerjemahkannya kepada Ilo.

”Kami menggunakan cara konvensional, lift,” Ilo menjawab dengan


senang hati. ”Dalam situasi darurat seperti ini, biasanya Komite Kota juga
menyediakan angkutan terbang ke setiap rumah dari Stasiun Sentral di
permukaan. Atau kamu bisa me­milih tinggal di kota bawah tanah, lebih
banyak penduduk yang memiliki rumah di bawah sana, para pekerja,
petugas kota. Di bawah fasilitas lebih lengkap, pusat perbelanjaan,
hiburan, hotel mewah, apa pun yang dibutuhkan seluruh kota.
Sebenarnya peradaban Kota Tishri ada di dalam tanah. Hanya orang kaya
yang memiliki Rumah Bulan di atas permukaan.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 274

Aku dan Seli mendongak, menatap bangunan berbentuk balon yang


semakin banyak.

”Itu berarti Ilo termasuk keluarga kaya,” Ali berbisik.

”Lantas kenapa?” Aku menatap Ali, tidak mengerti.

”Ya tidak apa-apa. Kan Ilo sendiri yang mengucapkan kalimat itu.”
Ali mengangkat bahu, merasa tidak berdosa dengan tingkah nyi­nyirnya.

Aku memilih membiarkan si genius di sebelahku. Kembali asyik


menatap pemandangan.

Kapsul yang kami naiki terus menghilir. Tiang-tiang tinggi itu


semakin berkurang, tertinggal jauh di belakang. Tepian sungai kembali
dipenuhi hamparan pasir, dengan pohon kelapa tumbuh rapat. Pohonnya
tinggi, pelepah daunnya hijau, buahnya besar-besar. Jika melihat vegetasi
di tepi sungai, sepertinya kami sudah semakin dekat dengan teluk kota.

”Kita tidak jauh, lagi anak-anak,” Ilo di atas bangku kemudi


memberitahu. ”Dan kabar baiknya, aku baru saja menerima kabar dari
Vey dan Ou, mereka sudah tiba di rumah peristirahat­an.”

Kami ikut senang mendengar kabar itu.

Matahari siap tenggelam di kaki barat saat kapsul kereta akhirnya


tiba di muara sungai, di laut lepas. Ilo memutar ke­mudi. Kapsul berbelok
ke kiri, bergerak di sepanjang tepi pantai. Lebih banyak lagi pohon kelapa,
juga hamparan pasir sejauh mata memandang.

Aku keluar dari kapsul, menatap tanpa berkedip. Aku belum pernah
menyaksikan pantai sebersih dan seindah ini, lengkap dengan sunset-nya.

Seli di sebelahku juga memperhatikan lamat-lamat matahari


tenggelam.

”Indah sekali, bukan?” aku berkata pelan.

Seli hanya diam, masih mematung menatap lurus. Setelah


be­berapa detik saat seluruh matahari hilang ditelan lautan, me­nyisakan
semburat jingga, Seli baru mengembuskan napas perlahan.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 275

”Indah sekali, bukan?” aku mengulang kalimatku.

Seli menoleh, mengangguk. ”Aku selalu suka menatap matahari


tenggelam, Ra. Selalu membuat hatiku hangat, damai. Sunset tadi indah
sekali. Kata Mama, waktu aku masih kecil, setiap kali diajak ke pantai,
saat sunset tiba, maka aku akan berhenti dari seluruh permainan, juga
kalau sedang menangis, diam seketika. Aku akan menatap sunset
sendirian, tidak bisa ditegur, tidak bisa diajak bicara hingga seluruh
matahari hilang. Aku suka sekali sunset.”

”Itu karena kamu anggota Klan Matahari, Seli,” Ali men­celetuk.

”Apa hubungannya?” Aku menatap Ali. Si genius ini kadang sok


tahu sekali.

”Jelas, kan? Karena Seli itu dari Klan Matahari, jadi dia me­nyukai
matahari.”

”Aku juga menyukai sunset.” Aku menggeleng, tidak sepen­dapat


dengan Ali. ”Teman-teman di sekolah juga banyak yang menyukai sunset,
tidak otomatis mereka dari Klan Matahari, kan?”

Ali menggaruk kepala.

”Dan sebaliknya, kalau kamu mau bilang orang-orang yang


menyukai purnama otomatis adalah anggota Klan Bulan, maka itu berarti
manusia serigala di film-film tidak masuk akal itu termasuk Klan Bulan.
Makhluk jadi-jadian. Padahal tidak ada manusia serigala di dunia ini,
bukan?”

Ali terdiam, tidak bisa membantah kalimatku.

Seli menahan tawa. ”Kalian berdua lama-lama cocok.”

”Cocok apanya?” Aku melotot ke arah Seli.

”Cocok saja. Kalian kan selalu bertengkar. Di sekolah bertengkar, di


rumah bertengkar, di kota kita bertengkar, juga di dunia ini bertengkar.
Itu bisa dua hal, musuh besar atau me­mang cocok dua-duanya.” Seli
tertawa.

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 276

Enak saja Seli bilang begitu. Aku melompat hendak menutup mulut
Seli, menyuruhnya diam. Dalam situasi tidak jelas, di dunia aneh pula,
enak saja Seli menggodaku.

”Anak-anak, kita sudah sampai,” Ilo memotong gerakan tangan­ku.

Aku menoleh, gerakan tanganku terhenti.

Ilo tersenyum, menunjuk ke depan.

Aku ternyata keliru. Sejak tadi, saat Av dan Ilo berbicara tentang
”rumah peristirahatan”, aku pikir itu juga akan berbentuk bangun­an
bulat di atas tiang, dan kami harus naik lift menuju atasnya. Ternyata
tidak. Rumah itu persis seperti rumah ke­banyakan di kota kami,
meskipun di sekelilingnya terdapat pagar tinggi.

Itu rumah yang indah, seperti vila tepi pantai di kota kami. Dua
lantai, seluruh bangunan terbuat dari kayu, semipanggung. Lampu teras
luarnya menyala terang, juga lampu-lampu kecil di jalan setapak. Ada
banyak pot kembang di halaman, juga taman buatan yang indah. Di
halaman, di pasir pantai, terdapat kanopi lebar dengan beberapa bangku
rotan. Ini sesuai namanya, rumah peristirahatan, sama sekali bukan
Rumah Bulan.

Ilo mengarahkan kapsul kereta perlahan merapat di dermaga kayu


menjorok ke laut, berhenti sempurna di sisi dermaga, mem­buka pintu
kapsul, lantas mematikan tuas kemudi manual.

”Ayo, anak-anak.” Ilo turun dari bangku.

Kami turun dari kapsul. Ilo sempat mengikat kapsul dengan tali di
dermaga kayu agar kapsul tidak dibawa ombak. Kami berjalan beriringan
di atas dermaga, menuju jalan setapak yang di kiri-kanannya tersusun
karang laut dan pot bunga.

Tiba di anak tangga, Ilo mendorong pintu.

Vey sudah menunggu kami sejak tadi. Dia lang­sung berseru


melihat siapa yang datang. Vey melompat turun dari kursi ruang depan,
memeluk Ilo erat. Wajah cemasnya me­mudar dengan cepat, digantikan
tawa pelan yang renyah. ”Syukur­lah kalian baik-baik saja.”

http://pustaka-indo.blogspot.com
TereLiye “Bumi” 277

Kami bertiga berdiri di bawah daun pintu, memperhatikan.

”Kalian tidak apa-apa, anak-anak?” Vey melihat kami, melepas


pe­luk­an, menatap kami bergantian. ”Aduh, rambut kalian be­rantak­an
sekali, wajah kalian juga kotor. Kalian pasti melewati hari yang sulit.”

”Bukan hanya sulit, Vey, kamu tidak akan mudah percaya apa yang
baru saja mereka lalui. Tapi mereka baik-baik saja. Kamu tidak perlu
cemas.” Ilo tersenyum.

Vey memegang tanganku dan Seli. ”Syukurlah. Aku sudah cemas


sekali sejak mendengar kabar kalian tadi siang. Ayo, mari kutunjukkan
kamar kalian, ada beberapa kamar kosong di vila ini. Kalian pasti suka.
Kalian bisa segera mandi, berganti pakai­an, agar lebih segar.”

Aku, Seli, dan Ali mengikuti langkah Vey.

Kami masuk ke ruang tengah vila. Perapian besar menyala di pojok


ruangan, membuat suasana terasa hangat. Dengan segala kekacauan,
aku sampai tidak menyadari bahwa di dunia ini suhu udaranya terasa
lebih dingin dibanding kota kami. Beberapa sofa panjang diletakkan di
depan perapian, juga meja-meja kecil dipenuhi buku, vas bunga, dan
benda-benda lain. Lampu kristal besar tergantung di langit-langit,
menyala lembut. Benda-benda di rumah ini tidak terlalu aneh, masih bisa
dikenali.

Vey menaiki anak tangga di samping perapian. Kami me­nuju lantai


dua. Juga tidak ada lorong-lorong yang meng­hu­bung­kan ruangan-
ruangan di rumah ini. Aku ber­gumam, hanya selasar biasa. Kami
akhirnya tiba di dua kamar ber­dekat­an. Vey mem­buka salah satu
pintunya, terse­nyum, me­nyuruh kami masuk.

Aku menatap sekeliling kamar, nyaman dan bersih. Seli


mengembuskan napas. Aku tahu maksud helaan napas Seli. Dia lega
karena kamar ini tidak seaneh kamar kami di Rumah Bulan itu. Tempat
tidur besar diletakkan di lantai—tidak me­nempel di dinding dan bisa
naik-turun. Lemari berbentuk ta­bung. Bentuk meja, kursi, dan cermin
besar tidak terlalu aneh.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai