eling Jawa Timuran atau giro laras pelog Jawa Timuran)
(latar belakang foto still gambaran
kabupaten Malang, desa Jabung adegan berbagai peristiwa pementasan Desa Jabung)
Pada suatu ketika bertahta
seorang Raja dari Kerajaan Jenggolo Manik bernama Prabu Lembu Amiluhur.
Di bawah kepemimpinannya kerajaan Jenggolo Manik bisa menjadi kerajaan yang makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.
Rakyat Jenggolo Manik bisa
menikmati kehidupan yang sejahtera karena Prabu Amiluhur memiliki para panglima yang giat melindungi keamanan dan ketenteraman kerajaan.
Meraka adalah Patih Parang Tejo,
Udopati Kertolo, Ronggo, Panji Asmoro Bangun, Banyak Saji dan Banyak Wulan.
Tidak hanya para panglima
kerajaan yang menjaga keamanan Jenggolo Manik, penguasa dari kerajaan tetangga, yakni Kerajaan Kediri, Raden Gunung Sari yang terkenal dengan kedigdayaannya juga turun tangan jika keamanan Jenggolo Manik terusik.
(adegan wawancara pembuka
Anom dengan Dalang Haryono menceritakan Jejer Jenggolo Manik)
(caption) Dalang: Bapak Haryono dari Desa Tumpang
Kelanjutan cerita, keamanan
negeri Jenggolo Manik terganggu oleh ulah raja dari negeri seberang, yakni Kerajaan Rancang Kencono yang dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono. (Narasi diiringi kompilasi gerak Tari Kelono Sewandono bersama dengan pengiringnya)
Raja seberang yang mendengar
kemakmuran Kerajaan Jenggolo Manik, tumbuh hasrat untuk memiliki kerajaan yang terkenal hingga negara manca. Sontak, para panglilma Kerajaan Jenggolo Manik, segera berkumpul dan menata dirinya menjaga setiap perbatasan Jenggolo Manik dari niat buruk raja dari seberang yang konon kabarnya ingin merebut dengan paksa dengan segala cara. (adegan tari panglima)
Di tempat lain, dari Kerajaan Kediri
Prabu Gunung Sari dengan ditemani Patih Demang Potro Joyo ikut mendengar gangguan yang terjadi di tetangganya kerajaan Jenggolo Manik. Menyikapi hal itu Raden Gunung Sari segera berangkat menyusuri jalan penghubung dua kerajaan yang masih lebat dengan hutan belantara.
(adegan wawancara dengan
pemeran Raden Gunung Sari di belakang panggung menceritakn riwayat dia sebagai penari dan potongan-potongan persiapan dia untuk pentas).
Singkat cerita di tengah-tengah
perjalanan Raden Gunung Sari berjumpa dengan Kelono Sewandono yang berniat untuk merebut Jenggolo Manik. Raden Gunung Sari yang melihat gelagat segera menghadang Kelono Sewandono dan menegur Kelono Sewandono untuk mengurungkan niatnya. Kelono Sewandono yang bernafsu ingin menguasai Jenggolo Manik tidak peduli dengan teguran itu dan menantang Raden Gunung Sari untuk berperang bila menghalangi kehendaknya. (adegan potongan singkat tari tarian Gunung Sari dan Gunung Sari bertemu dengan Kelono Sewandono)
Raden Gunung Sari yang digdaya
sakti mandraguna tidak tinggal diam melihat angkara murka Kelono Sewandono dengan kesaktiannya, lebih-lebih kemampuan bicaranya akhirnya membuat Kelono Sewandono bertekuk lutut dan mengurungkan niatnya dan kembali ke negara asalnya. (adegan kembali ke wawancara dengan dalang Haryono yang mengatakan bahwa lakon malam ini tergantung kedaan jika pemain kurang maka bisa diubah dan diatur cara akhir lakon wayang) (gambar gunung sari salaman dengan kelono).
Inilah sekilas kisah pementasan
Wayang Topeng Malangan dari Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang yang digelar di depan kediaman Kepala Desa Jabung pada malam Sabtu Pon, 25 Agustus 2017.
Pentas Wayang Topeng yang
merupakan seni tradisi turun temurun Desa Jabung yang telah berusia ratusan tahun.yang saat ini nyaris punah didera perubahan jaman yang telah lama mengubah selera masyarakat Desa Jabung, masyarakat Jawa Timur, dan masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada bentuk- bentuk kesenian yang serba praktis, serba gampang, serba cepat saji dan dangkal akibat modernisasi dan budaya konsumsi. (kilas balik persiapan topeng, di balik panggung, rias, anak-anak muda, kesibukan ibu lurah, koleksi sanggar gunung sari, persiapan kostum pemain wayang, dan suasana santai di balik panggung)
Wayang Topeng Malangan,
khususnya dari Desa Jabung, adalah potret jujur keadaan yang sesungguhnya dari kesenian tradisi yang menghadapi risiko kepunahan di jaman kemajuan teknologi informasi yang membuat banyak hal yang memerlukan ketekunan dan dedikasi, kedalaman dan pembelajaran, olah jiwa dan raga serta budi pekerti terus menerus didesak ke pinggiran jaman berganti dengan kesenangan dan keasikan yang seringkali hanya sekadar bentuk kulit belaka, serba permukaan, yang menggiring masyarakat bangsa yang berbudaya adi luhung hanya menjadi penonton, penikmat, dan pemakan segala yang disajikan oleh budaya ketamakan yang besar dari pembodohan dan penghisapan.