Anda di halaman 1dari 1

Memperkuat Budaya Tabayyun

Belajar dari Kasus Fakenews Pemilu Amerika Serikat 2016

Sekilas membaca judul-judul di bawah ini, pembaca di internet pasti tertarik. “Pope
Francis Shocks World, Endorses Donald Trump for President.””FBI Agent Suspected
in Hillary Email Leaks Found Dead of Apparent Murder-Suicide.” Berita-berita yang
menjadi headline ini bukanlah berita yang berasal dari New york Times atau CNN.
Usut punya usut berita ini adalah berita dari situs yang tidak begitu jelas yang
memunculkan berita dengan judul heboh sebagai pemancing clickers, yang
mengarahkan pembaca menuju situs-situs dengan berbagai berita palsu tempat
bersarangnya para bandit Cyber mencari penge-klik iklan yang beranak pinak di
sana. Penulis berita-berita palsu itu bisa saja berasal dari Macedonia, sedangkan
para “peternak” iklan itu banyak yang berasal dari Balkan, Russia bahkan Cina.

Pemilhan presiden Amerika Serikat yang lalu mencatat bahwa berita-berita palsu
itu berlipat ganda jumlahnya dan beredar sirkulasinya di media sosial Twitter dan
Facebook dan menghasilkan lebih banyak klik dibandingkan dengan berita-berita
yang berasal dari sumber-sumber yang jelas asalnya. Pilkada DKI di Indonesia yang
baru selesai juga menjumpai fenomena yang sama saat situs berita seperti
Kompas.com atau Tempo.co kalah dengan situs baru yang mengusung jurnalisme
opini atau jurnalisme warga bernama Seword.com yang banyak memuat berita
dengan asal muasal yang disangsikan nilai jurnalistiknya.

Kasus di Amerika dengan terpilihnya Donald Trump sedikit banyak sangat


terpengaruh dengan merebaknya berita palsu. Berdasarkan data terakhir 44% dari
orang Amerika Serikat dewasa mendapatkan berita dari Facebook. Jika berita palsu
sudah sedemikian berbahaya kenapa tidak kita mintakan saja kepada Facebook dan
Twitter untuk memblok berita palsu dan sebangsanya.

Problemnya bukan di teknologi, kata CEO Facebook Mark Zuckerberg, tetapi filosofi.
Menentukan suatu berita sebagai sesuatu yang benar sesunggunya sangat
kompleks. Berbagai hoax bisa dengan mudah dimentahkan, dan berbagai berita bisa
dibuktikan keliru walau berasal dari sumber yang mainstream. Kadang berita
menulis tentang suatu hal tidak cukup tepat sehingga banyak detil yang keliru.

Sungguh sial saat media cetak sedang mengalami masa senja, jurnalistik cyber saat
ini hanya berpatokan pada seberapa banyak berita media bisa memancing pembaca
untuk melakukan klik. Jadi sangat wajar jika dalam kasus pilkada DKI Jakarta
kemarin jumlah pengeklik Seword.com bisa mengalahkan Detik.com dan
Kompas.com.

Anda mungkin juga menyukai