Anda di halaman 1dari 39

Menunggu Kapak Ibrahim

Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 29 Juli 2012)

MENDELIK Algojo tak percaya. Untuk membuktikan keanehan yang disaksikan,


petugas pencabut nyawa itu coba menebas lehernya dengan pedang istana yang pernah
digunakan oleh raja untuk memenggal leher-leher para durjana.

Crrresss!!!

Putus sudah itu kepala. Jatuh menghadap ke tanah. Entah apa mantra yang dibaca,
mulutnya komat-kamit, napasnya terengah mengisap energi baru dari dasar bumi. Tak
dinyana, kepala pun kembali seperti sediakala.

Ha! Kembali lagi?! Algojo nyalangkan mata. Kamu ini keturunan dajjal dari seberang
mana, hah! Kok sakti amat. Ditebas pedang istana belum juga koit.

Bukan ane yang sakti, tapi pedang ente yang sudah tumpul. Sono diasah dulu lima tahun
lagi, biar gak kalah dengan keris Ken Arok.

Algojo coba menahan amarah dan menulikan kuping agar tak mendengar ejekannya.
Bahaya. Pengkhianat baru lahir saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Jalan saja belum
tegak, lidah masih cedal, berani-beraninya mengencingi negeri sendiri. Berani-beraninya
membuat si miskin jadi kian terlunta. Ibu menjual anaknya, bapak menggorok
tetangganya, anak menyetrika bapak, dan penjual meracuni pembeli, pembeli menjarah
penjual, dan semesta keji dan semesta dusta dan semesta celaka kau tebar, kau tarik-
ulurkan seperti pemain akrobat di alun-alun Istana.

Pengkhianat bertubuh legam, mendadak berubah pelangi. Tepatnya metamorfosis warna,


seperti bunglon, tergantung pohon apa, di daun mana, di bunga semerbak wangi atau
bunga bangkai. Tapi apa boleh buat, dasar pengkhianat, turunan Azazil, cucunya Iblis,
ponakan si Hannas, calon penghuni neraka Huthamah, meskipun seribu kali berubah
ujud, tetap saja mukanya. Apalagi hidungnya, masih tajam penciumannya dibanding agen
CIA sekalipun.

Padahal, sebelum akhirnya diadili algojo, sudah lebih satu purnama pasukan istana
mengepungnya dari segala penjuru bumi. Sampai bumi yang indah dengan langit nitrogen
warna birunya kini berdebu-debu oleh tapak kudanya yang kencang. Diburu dan
memburu. Entah siapa yang diburu, kalau ternyata di neraka Huthamah hanya ada
tekanan radiasi, sebaran radioaktif, seperti muntahan reaktor nuklir yang meledak itu.
Bisa jadi para pengkhianatlah yang berubah lebih dahulu. Lebih mengerikan dari hantu.
Dibantu pasukan tentara dan polisi, sekian M dana sekian jam hari-hari, deal demi deal
melanglang buana, melanglang segala kemungkinan dan ketetapan, pasukan istana pun
sukses menangkapnya di Negeri Anggur Merah. Negeri tempat para pemabuk
melabuhkan rindu pesta dan dusta.

Hayyo! Ketangkap kamu, Pengkhianat. Nih borgol untukmu!

Belum tentu. Ane punya banyak ilmu kebal. Ilmu meraib diri. Kemarin aja, ane baru
menamatkan pelajaran dari David Copperfield.

Tak usah banyak cing-cong, nanti boleh ngoceh di hadapan Algojo!

Ane tak takut ame tu Algojo. Apalagi ame sang raja!?

Eh, masih ngeyel juga. Kupotong kakimu di sini, baru tahu rasa!

Silahkan aja. Siapa taqyut? Karun melecehkan sembari tergeli-geli menatap satu demi
satu pasukan istana yang bertopeng.

Gak sumuk tuh pakai topeng! Emang wajah kalian bopeng ya, kok rame-rame ditopeng,
sih!

Mau diam atau kupotong sekarang?

Mana mungkin kalian berani main potong. Bunyi dealnya kan tidak demikian? Kalian
ini hanya orang suruhan. Fuih! Pengkhianat meludah. Gemeretak gigi pasukan
bertopeng menahan amarah. Dan pengkhianat makin ketagihan menggoda. Terus saja
mengejek para suruhan dari istana.

Stop! Kubilang stop! Sekarang rasakan peluru logam mulia ini di kedua betis kakimu!

Duest! Duesst!!

Darah mengucur di tanah Kota Anggur Merah. Aneh. Karun diam tak mengaduh, tak
kesakitan, tak kelojotan. Ia diam dan hanya diam, menunduk melihat kedua betisnya
tertembus logam mulia dan menunduk makin dalam.

Pasukan bertopeng heran dan bertanya ketakutan, namun pura-pura digagah-beranikan.


Matanya tajam di celah topeng hitam.

Sakit kan? Tahu sekarang betapa kami bisa melakukan apa saja untuk membikin habis
hidupmu?

Pengkhianat terdiam. Pura-pura diam. Namun tiba-tiba kulit tubuhnya berubah warna.
Membiru. Menjadi biru semua. Wajahnya biru, pakaian dan topinya pun jadi biru. Tanpa
sepengetahuan pasukan bertopeng, kedua kakinya kembali seperti sediakala. Bergerak
tanpa luka dan menyepak ke sana-kemari tanpa jeda.

Tahu sekarang, betapa kuat dan liatnya ane?

Tak peduli apa kata Pengkhianat yang sudah membiru, pasukan bertopeng menggiringnya
ke dalam pesawat. Lalu terbang di udara ambang. Tak ada perdebatan kecuali sedikit
pesta, makan pizza dari Italia. Ngabisin donat dari Amerika. Lalu ngorok dan tiba-tiba
saja sudah berada di hadapan Algojo. Pada sebuah tempat di tengah hutan belantara.
Hutan beton dan baja. Di negeri sendiri, tempat iblis dan setan saling berlomba
memadamkan api neraka.

Algojo tegak berdiri. Pedang berkilat di tangan kanan. Ruang besar jadi sunyi seperti ada
kematian yang sedang mengintai.

Dari mana kau datang, Pengkhianat! Napas hidupmu sudah tersendat di kerongkongan,
masih juga wajahmu menantang.

Karena ane masih tetap waskita.

Pernah kau lihat pedang sang raja ini? Pedang pun mengacung ke udara.

Apalagi. Pedang Nabi Musa saja pernah ane lihat. Ane juga pernah lihat pedang Nabi
Muhammad di museum agung.

Kalau begitu, siapkan jiwa dan ragamu untuk menghadapi kilatan pedang ini.

Siapa taqyuuut! Bukankah ane masih waskita!

Tak ada satu pun bagian dirimu yang waskita! Tunggulah beberapa menit lagi dan
rasakan betapa tajamnya pedang ini!

Huahaha! Sudah ane bilang, kalo cuma pedang raja, ane tak berasa!

Crrressst!

Putus sudah itu kepala. Jatuh menghadap ke tanah. Entah apa mantra yang dibaca,
mulutnya komat-kamit, napasnya terengah mengisap energi baru dari dasar bumi. Tak
dinyana, kepala pun kembali seperti sediakala.

Sudah ane bilang, gak usah pake pedang itu.

Dasar pengkhianat, turunan Azazil, cucunya Iblis, ponakan si Hannas, calon penghuni
neraka Huthamah, meskipun seribu kali berubah ujud, tetap saja mukanya. Apalagi
hidungnya masih tajam penciumannya dibanding agen CIA sekalipun.
Kamu lihat apa yang ada di belakangku Kapak Milosevics, kapak Nero, kapak
Mussolini, kapak Hitler, dan kapak-kapak lain yang lebih mumpuni.

Huahaha! Hanya ada satu kapak di dunia ini yang benar-benar mumpuni, Pengkhianat
terkekeh-kekeh kegelian. Sok tahu dan meremehkan Algojo yang mulai kebingungan dan
reka-reka, kapak apa kiranya yang lebih mumpuni dibanding semua kapak legendaris
ternama itu. Mungkinkah kapak pembelah api, pembelah matahari?

Ane benar-benar kasihan ama ente! Sepertinya ente mulai bingung, mulai capek dan
kehabisan ide untuk menghabisi para pengkhianat di negeri ini.

Jangan sok begitu, Pengkhianat! Kamu pikir, hanya orang seperti kamu yang punya ide
cemerlang melebihi ideologi istana?

Ya pastilah itu! Sejak dari sononya ane ini penggagas ide-ide brilian! Itu kenyataan tak
terbantahkan!

Buktikan dulu faktanya. Jangan hanya bekoar seperti burung garuda kesepian!

Haaa, apa? Burung garuda kesepian? Sini mendekat dan ane akan bisikkan gagasan
cemerlang untuk ente dan pasukan-pasukan bertopeng itu!

Algojo limbung. Ribuan lembar uang dolar merasuki kedua matanya yang mulai hijau.
Gamang menerawang. Pasukan bertopeng dipanggil dan masuk ke dalam ruangan. Saling
sikut agar maju duluan mendekat ke mulut pengkhianat yang bakal membuka rahasia,
memberi ide-ide brilian. Tapi ngomong-ngomong, bukankah rahasia ini adalah untuk
menghancurkan dia. Mengapa justru dia sendiri yang memberikan ide mautnya? Pasti dia
hanya ingin mempertontonkan rekayasa besar di balik seluruh kebohongan dan dusta.
Pasti dia hanya bermaksud memperdaya kami. Namun, para pasukan bertopeng itu tak
peduli. Mereka ingin tahu dan mengukur seberapa brilian otak Pengkhianat
sesungguhnya.

Sebelumnya ane mohon maaf ya, turut belasungkawa atas kematian otak kalian, ha-
haha!!!

Bedebah! Inikah ide brilian yang kamu maksud?

Bukan! Belum terkatakan. Sabar dululah, lihat dan contohlah ane yang masih muda ini.
Meski muda, ane penuh sabar dan waspada. Awas betul ni ane punya mata biru,
kwakakaka!

Dasar Pengkhianat, turunan Azazil, cucunya Iblis, ponakan si Hannas, calon penghuni
neraka Huthamah, meskipun seribu kali berubah ujud, tetap saja mukanya. Apala-gi
hidungnya, masih tajam penciumannya dibanding agen CIA sekalipun.

Sudah siap terima ide ane?


Tidak usah banyak cingcong, cepat katakan apa maumu dan di mana dolar itu kamu
simpan atau kembali kutembak kedua betismu selama duapuluh empat detik sampai
darahmu habis merembes ke dasar bumi, heh!

Sekali lagi ane bilang, tak ada gunanya itu peluru logam mulia.

Nyeletuk algojo dari tempat duduk. Ini kapak untukmu, Pengkhianat! Kapak besar
berkilau warna emas mengacung ke udara. Ganas.

Apalagi kapak emas, kapak berlian pun tak ngaruh. Leher ane yang mumpuni ini tak kan
putus sebelum dipotong dengan Kapak Ibrahim. Ya. Kapak Ibrahim, hahaha!

Crrressst!!!

Algojo bertindak tanpa aba-aba. Putus sudah itu kepala. Jatuh menghadap ke tanah. Entah
apa mantra yang dibaca, mulutnya komat-kamit, napasnya terengah mengisap energi baru
dari dasar bumi. Tak dinyana, kepala pun kembali seperti sediakala.

Dua kali pedang, dua kali kapak, wajah biru pengkhianat itu masih menyala. Kali ini
justru bangkit dan menenteng kedua tangan di pinggang. Entah ke mana itu borgol.
Wajahnya menantang, kedua matanya lebih biru dari sebelumnya. Seakan bintang pun
pudar karenanya. Mungkin hanya matahari bakal mengalahkannya.

Kalian carilah ke ujung bumi dan lekuk-lekuk planetnya, barangkali kalian akan
sanggup bertemu dengan Kapak Ibrahim. Dan jika ente-ente dah sukses membawanya ke
dalam ruangan ini, kupersilahkan Algojo memotong leher ane, tauk..?! .

Tapi, kalau kamu sudah lenyap dari bumi, di mana kami harus mencari tumpukan dolar
dan menemukan harta karun yang kau simpan. Pasukan bertopeng sudah tak karuan
otaknya. Miring kanan miring kiri sampai teleng kepalanya.

Andai leherku dah putus beneran, dan tak bisa nyambung lagi di badan ane, maka
tuntaslah pengembaraan ane menebar virus kematian, dan negeri ini akan merdeka dari
koloni para pengkhianat seperti ane. Dan jika kalian berhasil beneran membawa Kapak
Ibrahim, itu artinya negeri ini benar-benar memperoleh Lailatul Qadar. Bukankah ini
bulan Ramadhan??

Sudah Pengkhianat, masih juga ceramah. Apa jadinya negeri ini jika bromocorah
membawa kitab suci ke sana-kemari.

Mendingan ane, gak korupsi kitab suci. Gak bawa agama demi merampok dunia. Ane
tuh masih tergolong orang beriman!!

Pengkhianat terdiam beneran. Merunduk khusuk ke tengah dada. Namun, tak lama, tiba-
tiba kulit tubuhnya berubah warna. Metamorfosis katanya, bukan bunglon. Dari biru jadi
menguning, lalu ungu, lalu menghijau semuanya. Wajahnya hijau, pakaian dan topinya
pun jadi hijau. Tanpa sepengetahuan pasukan bertopeng, kedua kakinya bergetar, hatinya
bergetar, serupa burung Nasar menjelang pingsan.

Apalagi yang ingin kau katakan, Pengkhianat!

Songsonglah negeri ini dengan hati. Ane bilang, ini negeri baldatun tayyibatun wa rab-
bun ghafur. Seribu bulan memenuhi cahaya langit dan Mikail beterbangan tak henti-henti
menebar rezeki seribu bulan dihujani rahmat Tuhan yang menenggelamkan seluruh
penyakit peradaban, seribu bulan dikucuri hidayah penyucian jiwa yang mengangkat
kemanusiaanmu bangkit kembali menuju hidup yang benar-benar hidup seribu bulan.
Matanya tajam mengitari ruangan, Maaf, kalian lihatkan ada ruh wali yang merasuk ke
tubuh ane??

Algojo diam seribu bahasa, serasa kursi yang diduduki kian panas. Kesulut lidah api dari
neraka Huthamah. Pasukan melepas topeng hitamnya. Rasa loyo merambat di urat syaraf.
Ruangan pun jadi sunyi dan senyap mengelilingi. Seberkas ayat cahaya melayang-layang
mampir di kuduk para dusta.

Allahumma inna najaluka fi nukhurihim wa naudzubika min sururihim . Ya Allah,


Engkaulah yang telah menciptakan apa pun yang ada di kuduk mereka dan kami
berlindung kepada-Mu dari kejahatannya.

Agojo lemas. Pengkhianat ambil napas. Pasukan bertopeng ngeloyor begitu saja, keluar
dari ruangan dengan langkah tenang. Aneh bin ajaib. Negeri makmur dipenuhi lumpur
dan tak ada yang tahu, kapan Kapak Ibrahim bisa ditemukan dan menjadi senjata
pamungkas sang raja untuk memotong leher-leher patung raksasa, para pengkhianat di
sekeliling istana. (*)

Jogja, awal Ramadan 1433 H

Kamar Dua Belas


Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 1 April 2012)

KAMAR hotel jadi sunyi. Tiba-tiba saja, Komar dan Syamsu, dua penghuni kamar
mewah nomor dua belas itu saling berpikir tentang kematian. Tentu banyak versi, banyak
cara pandang yang bisa diulang untuk melihat kematian seseorang. Seperti keduanya,
meski titik awal dan akhir telah ditemukan, masih juga berdebat untuk mempertahankan
pendapatnya masing-masing. Sampai keduanya membisu, berdiam diri di antara
kemewahan lampu merkuri.

Beberapa saat kemudian, Komar tak tahan dengan kebisuan dan memulai percakapan
dengan nada bijaksana. Ringan saja kata-katanya, seolah sedang memberi nasihat pada
murid-muridnya di sekolahan.

Bagiku tak sulit mengenali kematiannya. Manusia bisa dilihat di akhir hayatnya. Karena
sebaik-baiknya kematian adalah khusnul khatimah. Dan kematiannya menunjukkan hal
itu. Ia dipanggil Tuhan saat sedang sujud di atas sajadah. Saat ia pasrah dan ikhlas jiwa
raga melakukan kehendak-Nya. Keindahan apalagi selain dipeluk Kekasih saat kita ingin
memeluk-Nya.

Tapi bagaimana kalau ternyata dia itu seorang koruptor kelas kakap? jawab Syamsu
singkat.

Koruptor atau bukan, kita ndak tahu. Karena ia tidak termasuk dalam DPO, tidak
terdaftar sebagai DOT, belum pernah disidik oleh KPK, dan tidak bermewah-mewah
dalam hidupnya. Orang tua yang meninggal itu bukan juga pensiunan pejabat negara,
apalagi pernah menjadi ketua partai politik. Yang jelas orang kampung itu tahu bahwa ia
telah mewakafkan sebagian dari tanahnya untuk membangun sekolah meski hanya untuk
sekolah taman kanak-kanak.

Kalau ternyata pernah merampok, bagaimana?

Aku tak yakin ada manusia mau jadi perampok kecuali karena kebodohan. Kebodohan
bisa dimaafkan jika ia taubat nasuha. Namun jika seseorang secara sadar dengan
pengetahuan yang dimiliki dan tetap menjadi perampok, Tuhan pasti murka dan tak ada
maaf bagi pelakunya!

Menurutmu, mungkinkah seorang perampok itu khusnul khatimah. Impossible!

Semoga ia khusnul khatimah.

Kau doa baginya?

Syamsu kian bertanya-tanya. Komar mendelong meneliti wajah teman sekamarnya itu
kalau-kalau bakal ditemukan keganjilan. Ada dorongan kuat untuk bertanya, namun gagal
untuk diucapkan. Yang muncul justru sebaliknya, hanya bisa berdoa dalam hati semoga
hal serupa tidak terjadi pada dirinya.

Seperti banyak orang di kampungnya, apa salah jika aku ikut mendoakan?

Tidak juga. Tidak ada salahnya.

Jadi? tanya Komar memburu.


Kecintaan orang-orang dan doa mereka baginya bikin aku cemburu, jawab Syamsu.

Makanya jangan hanya bikin puisi. Sesekali bikin masjid atau sekolahan atau rumah
yatim piatu, biar punya amal banyak.

Ya ndak harus begitu. Nanti dikira malah menipu malaikat, karena seringnya berbuat
jahat lalu mengundang seribu anak yatim piatu, diberi makan dan amplop di depan
wartawan infotainment .

Apa salahnya jika memang itu yang hanya bisa dilakukan. Ya seperti tokoh-tokoh kita
di negeri ini mengira gampang mencari khusnul khatimah. Mengira gampang mencari
pintu surga, haha !

Syamsu tersipu-sipu. Mana bisa penyair membangun masjid, memberi makan dan
amplop seribu anak yatim piatu, bisiknya dalam hati. Sementara Komar berusaha
memahaminya dengan lapang dada. Sebagai guru, Komar sudah biasa memahami arti
senyuman. Dan merasa bahagia bisa bertemu seorang penyair dalam sebuah acara dan
sekamar dalam hotel berbintang lima.

Tapi apa daya Pak Guru. Makan saja sulit, gimana bangun masjid? Syamsu menambah
kata dengan rasa hampa.

Mudah aja, Bung Penyair. Kalau tak kuat bangun seluruhnya, kan bisa bangun
fondasinya atau pintu-pintunya atau genting-gentingnya. Bahkan sebiji di antara genting-
genting itu, Komar menjawab tanpa tujuan untuk menyindir atau mengguruinya.

Sedekah maksudmu?

Sedekah juga bisa, tapi itu tidak istimewa. Kalau amal jariyah itu baru super istimewa.

Haha kayak martabak saja!

Sekarang ini banyak orang suka beramal, tapi tanpa jariyah. Bukan amal jariyah
maksudku, atau amal-amal lain yang termasuk amal fi sabilillah.

Apa jika begitu, kematianku bakal memperoleh banyak doa?

Mungkin. Lebih dari semuanya, amal-amalmu itulah yang bakal menggerakkan lidah
banyak orang untuk mendoa bagimu.

Kini aku merasa begitu kecil. Swear!

Dibanding?

Ya, dibanding orang tua yang dipanggil Tuhan ketika sedang berada di atas sajadah itu,
orang tua yang sedang kita bicarakan itu. Mungkin tak tamat SMA, tak pintar bikin puisi,
tak pernah tidur di hotel seperti kita. Mungkin juga tak pernah naik pesawat namun masih
sempat beramal jariyah dan menggerakkan lidah banyak orang untuk mendoakannya saat
ia telah di alam barzakh.

Bukan hanya itu. Ia bakal dikenang banyak orang meski bukan penyair sepertimu.
Bahkan penyair-penyair menuliskan kisahnya dan memperoleh inspirasi dari pola
hidupnya yang unik di zaman ultra kibul ini.

Yeah, makin kecil saja diri ini rupanya.

Tak usahlah berkecil-kecil diri begitu, segera bangun masjid biar agak pede!

Nasihat bagus. Nantilah sepulang acara kita ini, separoh honorku bakal jadi karpet-
karpet cantik di masjid.

Gitu dong, dan karpet-karpet itu bakal jadi puisi terindahmu saat di alam barzakh nanti,
Insyaallah!

Begitukah? Tolong tulis cita-cita indahku ini, kalau-kalau tak sampai umurku seribu
tahun lagi, hik hik hik.

Ye, mengapa tak kau tulis saja sendiri. Kau ini penyair beneran atau gadungan?

Gadungan atau bukan, rasa-rasanya nyawaku dah di tenggorokan, dan keringatku dah
bau tanah, hahaha.

Welah, gagal dong dapat honor buat bikin karpet-karpet indah.

Ow! By the way, kapan honor kita terima ya? Masak nunggu keringat mengering?

Tuh! Ada yang ketuk pintu. Siapa tahu panitia yang datang.

Benar ternyata. Dugaan itu tak meleset. Dua panitia datang membawa stopmap dan
amplop-amplop tebal. Penyair dan guru itu senyum dikulum menyambut kedatangannya.
Tak peduli teve sedang Breaking News tentang tokoh-tokoh besar yang ditangkap KPK.
Usai tanda tangan dan kedua panitia hengkang, keduanya sibuk menghitung lembaran
merah istimewa dalam amplop cokelat tua.

Jangan lupa, separonya untuk karpen-karpet merah bergambar kubah masjid, Komar
membisik pada telinga Syamsu.

Ah, terlalu banyak kalau separo. Ternyata honor kita besaaar!! Nanti tak muat karpet-
karpet itu dijajar di satu masjid, jawab Syamsu mulai ragu pada apa yang beberapa saat
lalu telah diucapkannya.
Jadi berapa persen untuk amal jariyahnya? tanya Komar sembari terpana menatapnya
tak percaya.

Syamsu terhenyak. Tampak merah padam wajahnya. Namun kecintaannya pada kata-kata
masih tergambar jelas di urat lehernya. Mungkin saja ia sedang berpikir bahwa puisi juga
termasuk amal jariyah selama masih ada orang yang membacanya. Namun lupa sama
sekali jika di zaman ini nyaris tidak ada orang yang mau membaca puisi. Sementara
Komar telah membagi dan menetapkan diri dalam hati, entah berapa persen dari isi
amplop itu yang akan diberikan kepada tetangga yang membutuhkannya.

Sori, Pak Guru, aku mau keluar dulu! Komar menyela sehabis ganti pakaian dan
menyisir rambut gondrongnya.

Mau ke mana, Bung Penyair. Mau cuci mata atau cuci lidah?

Lidah penyair tak perlu dicuci, tak perlu dibersihkan. Lidah penyair itu sudah bersih
sejak dari sononya, apalagi kata-katanya.

Kalau begitu mah, nabi namanya. Bukan penyair!

Penyair juga bisa jadi nabi, walau mungkin hanya sehari, hahaha!!! Tenang saja, kita
masih punya waktu semalam di kamar mewah ini. Masih bisa berdebat tentang kematian
indah di atas selembar sajadah.

Dasar seniman, baru saja dapat honor sudah muncul kata-kata besarnya. Tapi Syamsu tak
mau menanggapi. Tak mau bincang-bincang soal begituan. Apalagi teman sekamarnya itu
keburu keluar dengan langkah kaki seribu kuda. Lenyap tanpa bayangan. Begitu cepat
menghilang seperti kilat di tengah hujan. Syamsu menduga, teman sekamarnya itu keburu
pergi ke toko sepatu, karena katanya ingin segera mengganti terompah kakinya dengan
yang baru. Katanya pula, terompah kaki itu penting bagi seorang penyair yang sering
berjalan ke sana-kemari guna mencari ilham sejati.

Syamsu paham soal itu, tapi kenapa secepat kilat ia menghilang. Maka ia coba intip
sekadarnya. Dari jendela kamar nomor dua belas, di lantai dua belas, pada sekitar jam
dua belas, Pak Guru itu melihat Sang Penyair sedang berdiri di samping hotel. Beberapa
saat kemudian masuk ke dalam taksi warna biru yang berhenti di sampingnya. Lalu
melesat ke arah tikungan ibu kota.

Moga saja benar membeli terompah baru, kata Syamsu dalam hati. Kalau tak, ya ke
sebuah masjid di pinggiran kota. Menyumbang karpet dan sajadah seperti yang pernah
dijanjikan. Tapi jangan-jangan malah kebalikan, mengira jalan raya sebagai masjid dan
toko sepatu, lalu tersesat di antara dua dunia. Entah di mana. (*)
Layla Mampir di Serambi
Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 24 Juli 2011)

LAYLA ada di bandara Iskandar Muda, nengok kiri kanan tak nemu Majnun yang
dirindu. Rasanya telah sekian abad tak jumpa. Menit demi menit hanya mengekalkan
hampa. Makin bara ia. Ingin meninjunya, si Pangeran Cinta dari sahara kesunyian. Awas
ya kalau berani nongol! Batin Layla menggempita.

Say, di mana?

Lama ponselnya dendam. Tak ada jawab. Padahal pesan terkirim.

Belahan jiwa, di mana sudah?

Makin sunyi. Sepi kian menjadi-jadi.

Diredam hati dan ditelepon Majnun. Lamaaa. Tak ada respons apa-apa. Layla sabar dan
berjalan kembali, check-in. Mungkin Majnun baru mandi? Atau masih nyenyak di
ranjangnya, memimpinya ajak terbang ke sorgaloka? Keterlaluan! Kembali Layla telepon
dan telepon dan berulang telepon. Orang-orang menyodok punggungnya untuk segera
maju. Banyak antrian di belakang.

Maaf, saya mau lewat, seseorang menepis agak kasar. Mungkin tak sabar menanti
Layla bergeser dari pacaknya.

Kakak, bergeser dong!

Ups! Maaf maaf maaf, Layla maju dan terus saja maju, tak mau nengok lagi hingga
ruang tunggu.

Lihat sayangku, usai masa kecewa-ku ini, tak ada lagi ruang untuk kita berdua dapat
bertemu. Hingga kiamat tinggal dua hari pun! Kau akan tahu, bakal merana seumur-umur.
Rasain! Kau akan rasakan nanti, nikmatnya tinggal di gurun sunyi berabad-abad,
berteman lautan batu dan gunungan pasir. Membatu lu! Memasir!

Layla duduk, mengeluarkan sepotong kue yang belum sempat disantap, sarapan. Sendiri
tanpa Majnun menemani. Ingin nangis tapi ditahan. Terlalu mahal air mata. Terlebih
untuk Majnun sialan, pikirnya. Air laut mana telah menyunami jalanmu, Sayang? Angin
darat mana memuting-beliung arahmu? Lepas dong kaca mata hitam itu!

Usai minum sekotak green tea, Layla teraih kesegaran. Coba lagi mengontak Majnun,
niatan untuk terakhir kali. Jika gagal, akan dianggap sebagai suratan nasib dari langit.
Kita bakal mati merana berdua, Cintaku? Tahu tidak? Ah bisu aja lu!

Masih puasa juga, Say? Kau bilang ini hari raya?


Deg deg plass Layla menunggu. Jawaban Majnun seribu gagu. Semilir angin tak sampai
kalbu. Matilah diriku, batin Layla sendu.

Disimpan ponsel rapat-rapat di saku baju. Ah lebih aman di tas saja. Mungkin perlu di off
sekarang juga? Karna tak ada guna tanpa Majnun menyapa. Ikhlas sudah meyatim-piatu.

Dan kriiing!

Tersentak Layla. Hape ditangan tengah nuju off, eh malah nyaring melengking.

Hallo, Say? Baru bangun dari tsunami ya?

Dah rampung tsunami haha. Marah niyee! Di mana kau? Aku datang nih! Depan pintu!

Pintu apaan? Aku dah mo cabut, tauk? Daag Majnun!

Eit! Jangan cabut dulu. Di mana kau, Layla? Belum dipanggil kan? Ayo turun dan peluk
aku! Ayo cintaku! Kemari cepat!

Alah dasar majnun! Kamu aja kemari. Coba kalau cinta mati!

Tapi Layla turun dan menyibak pintu elektrik sembari bersungut-sungut gemas.
Tangannya sudah siap bakal melayangkan tinju bertubi di dada Majnun, biar kapok dan
tersungkur dan lebam-lebam oleh digdaya cinta. Jika masih kuat tertawa, Layla juga telah
siapkan cakar dan cubit maha sakit, untuk kenangan bertahan sebulan.

Lho? Mengapa Majnun masih berkaca-mata hitam? Di tangan setangkai mawar, dan
tangan satunya sekotak entah, berbentuk hati dalam kotak beludru biru. Mungkin batu
akik, atau batu apung yang ditemu di gurun pasir saat melintas Sungai Ruhina, lalu
membungkusnya dengan beludru biru untuk mengejutiku. Sialan!

Tahu benar ia kalau Layla bakal marah. Secepatnya Majnun ulurkan persembahan cinta,
mawar putih dan batu apung! Mumpung Layla belum sempat meratuinya dengan bogem
mentah.

Apaan nih! Layla pura-pura kaget.

Mau tak? Atau kubawa pulang aja lagi nuju Lembah Bekka, Majnun senyum
menggoda.

Aduhai tampannya! Mati kutu Layla. Mengerjap mata tak percaya. Mengapa Majnun
tambah ganteng kian tampan mendunia. Ah!

Mendadak lenyap seluruh kamus pertinjuan dari benak Layla. Kamus kemesraan
menyergap rempak membakar ubun-ubun. Tapi bukan Layla kalau tak pandai main teater.
Emohlah! Kau cuma bermaksud meredam tinjuku kan?

Haha. Jadi benar tak mau?

Layla mengangguk. Ragu.

Padahal kangen benar aku dengan tinju itu! tambah Majnun, lagi-lagi menggoda.

Ha! Mau aku jika begitu, Layla menyamba persembahan, Ehm tapijangan
jangan, Layla menimbang-nimbang isi kotak biru, Apa ya isinya? Boleh dibuka,
tak?

Tak! Nanti saja ketika dah terbang, oke?

Nah! Pasti ntar bunyi melewati security-check. Tak mau ah! Tuh kamu dicari Nizami!
Layla nunjuk arah samping Majnun. Spontan Majnun nengok arah yang ditunjuk. Tak ada
siapa siapa. Secepat kilat, sepuluh jemari Layla nancap di pinggang Majnun, tak lepas
lepas hingga Majnun nyerah dan bersumpah akan memenuhi apa pun saja permintaan
Layla.

Hanya satu, kata Layla.

Iya apa? Ayo katakan! Majnun megap-megap menahan efek geli dan sakit dan malu
juga takut kalau-kalau dilihat polisi syariah.

Gendong aku sampai pintu check-in!

Apa? Jangan maen maen, Sayang! Aku dah cukup menderita nih! Lagian dilihat orang.
Malu dong!

Yazuda. Jika begitu, aku tak mau kembali. Siapa suruh aku kemari. Biar aku tinggal di
bandaramu aja. Aseeek!

Bingung Majnun. Tengok kiri-kanan, mencaricari kemungkinan lain, andai kemungkinan


itu ada. Tak mungkin meninggalkan Layla yang lagi kumat manja begini, pun tak
mungkin memenuhi permintaannya. Lebih tak mungkin lagi, membiarkan Layla gagal
terbang gara-gara panggilan teleponnya. Apa mau dikata?

Dengan bismillah, ia naikkan Layla di atas punggung. Senyum simpul Layla nyengir
kuda. Di depan orang bertanya, Ada apa digendong? sembari nunjuk Layla. Sigap
Majnun menjawab, Sakit kakinya. Orang di depan berkata lagi, menawarkan ide, Ada
troli, mungkin lebih ringan, sigap lagi Majnun menjawab, Tak berat amat dia. Dan
Layla mendengar kata tak berat itu.

Di belakangnya orang-orang sama melongo tak paham, baru kali ini lihat pemandangan
film India dalam kenyataan. Iseng Layla panggil orang di samping kanannya dan
meminta kopernya untuk dibawakan. Orang-orang pun sama cemburu, ingin kopernya
juga dicangking Layla. Layla oke oke saja.

Majnun tak sadar perilaku Layla, merasa aneh, mengapa berat tubuh Layla kian
bertambah berat, langkah demi langkah. Saat tujuh koper ikut naik di punggungnya,
Majnun berhenti tak kuat lagi melangkah. Benar-benar heran, takjub akan berat badan
kekasihnya.

Lho, Say, kok berhenti? Aku terburu nih, mesti segera check-in kembali atau terlambat!

Aneh, Sayang. Mengapa beratmu naik terus? Aku tak kuat gendong jin iprit!

Ah tinggal dikit lagi! Ayo dong!

Tak kuat lagi, Sayang. Aku terima kalah. Apa pun saja maumu, nyerah deh aku!

Bener ni nyerah?

Swear!

Apa pun saja mauku? Layla cengar-cengir, memandang kiri-kanan belakang dengan
senyum bahagia. Para supporter cinta meng-applaus-nya. Tersadar Majnun dari perdaya,
nengok Layla dan terhenyak dia.

Nakal amat kamu ya?

Hehe abis pingin terlambat. Ogah pulang aku, Say. merajuk Layla.

Mengapa tak bilang? Kau pikir aku juga tak ingin menahanmu? Apa kau belum dengar,
ada istana yang memanggil-manggil namamu?

Istana apaan sih? antusias Layla. Majnun pun kian terinspirasi menggoda.

Istana hatiku. EL TAJ WAHDAH! (Pangeran Satu Satunya)!

Pipi Layla delima, cepat-cepat turun dari punggung Majnun bersamaan waktu take off
Garuda nuju ibukota. Itulah impian sejatinya, Layla-Majnun menyinta. Menyatu di alam
pertama dan lebur di alam kedua.

Tanya Nizami kalau tak percaya.


Putri Sang Pemimpi
Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 23 Januari 2011)

MENJEJAK tanahmu, lama aku termangu. Inikah bumi yang kaukisahkan itu. Yang
menyimpan pundi-pundi karun dunia. Namun sengsara karena ribu-ribu mata terus
mengawas dan ribu-ribu tangan terus mengeruk. Tak ada habisnya.

Ini tumpah darahku, Nona. Jangan sembarang bicara.

Aku membisu. Melangkah bersama kerinduan. Mata asing namun ramah, menyalamiku
dengan senyum dan nyanyian. Kuhikmati embusan angin, jalan raya dan rindang
pepohonan. Kulihat juga sekilas gunung-gunung menjulang tinggi, diam, dan kembali
tertutup kabut.

Terbayang pula dalam kabut itu, aku bergegas mencari cermin. Paling besar dan lebar.
Ingin kupastikan seberapa acak diriku kini. Benarkah katamu, model sisiran rambutku
yang bergaya sedikit punk ini, atau gaun yang sedang kukenakan ini memang sedikit
kedodoran. Padahal, aku tengah mencoba gaun para putri model Abad Pertengahan yang
berumbai-rumbai, dan bermanik-manik pula. Model kuku pun kubentuk seperti kepala
kucing, dan kugambari dengan mata dan kumis lengkap dengan sepasang taring
menyeringai. Hikhik.

Andai saja engkau tahu dan mengerti tentang gaya, tentang fashion, pasti tak perlu
merisaukan penampilanku yang agak asing ini. Karena demikianlah tradisi sebuah gaya,
temperamen sebuah citra. Seperti lukisan surealis Salvador Dali, tak masalah judulnya
Perempuan Cantik, tapi yang ditampilkan kursi terbalik. Ini seni. Ekspresi jiwa tinggi.
Memiliki citarasa yang kuhikmati dengan sepenuh hati. Termasuk selera untuk dan dalam
bermimpi.

Jangan bermimpi, di sini!, katanya mantap. Haqqul yakin.

Tapi orang-orang besar pernah bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Apa itu
bukan mimpi menurutmu?

Bukan. Karena kita bukan orang besar. Titik!

Kalau bulat dan bundar pasti, hihihi.

Juga bukan. Tapi segi delapan!

Ah! Percuma ngomong sama manusia skeptis begitu. Membiarkan diri tak punya mimpi.
Tak punya cita-cita. Mungkin saja kenyataan hidupmu demikian pahit dan berat, jadi tak
ada lagi ruang untuk bermimpi dan menggantungkan cita-cita sampai ke langit tujuh.
Kasihan benar engkau itu. Masak, mimpi saja tak boleh. Betapa kering dan gersang hidup
ini tanpa mimpi. Tanpa jalan setapak menuju multidunia. Dunia warna pelangi.

Rupanya, tak banyak yang tahu bahwa para ilmuwan kaliber dunia juga suka bermimpi.
Para pengarang besar amat menyukai mimpi. Para ratu dan raja-raja demikian tergila-gila
pada mimpi. Para konglomerat dan teroris dan penambang timah dan penjahit dan ibu-ibu
arisan dan batita playgroup dan para caleg dan para ustaz dan sutradara film dan artis-
artis, semuanya berumbai-rumbai mimpi. Jangan katakan bahwa para petani, para istri
diplomat, para gubernur, para veteran, para mahasiswa itu tanpa mimpi. Semuanya
berkuyup dengan mimpi.

Lagi pula, pernahkah Anda tidur tanpa mimpi?

Aku tak mau mimpi. Tak suka mimpi. Bahkan dalam tahap tertentu, membenci mimpi.
Menjauhkan hidup dari mimpi. Tak ingin bertemu dengan mimpi.

Ah!

Ow! Kalau aku lebih suka meniru Nabi Yusuf, kataku menyentil.

Dia Nabi dan kita umat Muhamad.

Betul. Tapi mimpi Nabi Yusuf direkam Kitab Suci. Berikut takwilnya.

Dan kulihat dahimu mengernyit, mempertegas tato sujud alias dua tanda hitam di kening,
yang biasa dianggap sebagai kuatnya sembahyang pada malam-malam berbintang. Ahli
sujud ini meragukan mimpi Nabi Yusuf dan takwilnya. Kurang validkah rekaman Kitab
Suci?

Bukan begitu maksudku. Mimpi yang terberi itu wallahualam. Tapi aku tak mau
bermimpi. Bahaya!

Ah! Masak sih?

Iya. Kaulihat kan di televisi. Para caleg yang bugil di arak massa karena edan gara-gara
mimpi jadi anggota dewan tapi tak kesampaian. Kaudengarkan cerita mahasiswa S-3 tiba-
tiba shalat menghadap selatan gara-gara mimpi jadi doktor tapi gagal. Kaulihatkah tante
ganjen tetanggamu tiba-tiba perutnya menggelambir mengerikan gara-gara mimpi
bertubuh langsing bak peragawati tapi gagal operasi sedot lemak. Kaulihat kan?

Aku merinding membayangkan semua contoh yang keluar dari mulutmu. Benar juga,
pikirku. Pantas saja alergi mimpi. Satu alasan yang masuk akal. Terlalu berat risiko
mimpi yang gagal. Tapi bagaimana kalau ternyata mimpi itu berubah jadi kenyataan?

Sesekali pergilah ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana kau akan menemukan bahwa hampir
seluruh penghuninya adalah orang-orang yang gagal meraih impian!
Oya? Kau sudah pernah bertandang ke sana?

Secara spiritual dan intelektual, sudah.

Berarti secara fisik belum?

Suatu saat nanti. Karena RSJ akan lebih afdal jika aku bertandang secara jiwa juga.

Ha! Mantap benar kau ini. Tegas sekali pilihan hidupmu.

Jangan sekali-sekali bermimpi, karena hidup adalah rantai kenyataan. Bukan lompatan
impian apalagi khayalan. Itukah alasan mengapa engkau sukses dan berkecukupan?
Hidup tenang karena tak digelayuti utang. Tak diganduli hantu sebagaimana kaum
pemimpi yang suka awut-awutan. Ya seperti diriku ini. Karena siang malam bermimpi
jadi istri diplomat, segala akses menuju sana kuriset satu demi satu. Termasuk tentang
kemungkinan gagal dan segala macam kendala. Orang-orang harus kudekati. Teknik-
teknik yang mesti kupraktikkan sendiri.

Tentu saja secara intens, aku juga selalu membayangkan kalau calon suamiku itu seorang
duta besar untuk negara paling makmur di seantero jagad ini. Kalau hanya negara macam
Somalia atau Bangladesh atau Palestina, aku ogah. Paling tidak, calon suamiku mestilah
seorang duta dari negara macam Swedia atau Kuwait atau Prancis atau mungkin Saudi
yang bertumpuk dinar dan riyal. Hehe.

Akan kugantung cita-citaku di langit itu! Yang penting logis. Masuk akal. Seorang
mahasiswi nyaris doktor begini, berparas lumayan aristokrat begini, dari keluarga yang
menjunjung arti genetika dan makna perjuangan (termasuk perjuangan mendapatkan
jodoh), dengan usia yang cukup siap menerima pinangan, kurang syarat bagaimanakah
diriku untuk bermimpi tentang laki-laki diplomat semacam itu?

Masuk akal kan impianku? Bukankah juga, dari impian seperti ini aku dapat merancang
masa depan dan menguatkan artikulasi doa-doa. Dan jika doa-doaku terkabul, mimpi itu
akan jadi kenyataan. Dream comes true!

Masalahnya jika gagal, impian tinggal impian, apa yang bakal kau lakukan?

Ah! Biasa. Aku cukup berbesar hati untuk menerima kekalahan, termasuk jika impianku
hanya tergantung di langit, tak mau turun ke bumi. Itu nasib namanya. Bagian hidup yang
sudah digariskan.

Baguslah jika masih mampu menerima takdir dengan lapang dada dan luas hati. Aku
hanya khawatir, baru bermimpi saja kondisimu sudah awut-awutan begini, entahlah apa
yang akan terjadi jika gagal. Semoga arak-arakan si bugil di televisi adalah berita terakhir
untukmu.

Aku ini putri sang pemimpi, tauk!


Aku tegaskan diri sekali lagi. Agar aku masih bisa mengintip berbagai wajah gemawan
yang indah dan selalu tak terduga. Membawa agenda tersendiri setiap perjalanan udara.
Karena wajah awan yang kulalui tak pernah serupa. Berbeda-beda. Persis dengan wajah-
wajah para penumpang, selalu berganti dan beraneka. Tak peduli penumpang domestik
atau bukan, jika boleh mengabsen, akan kutunjukkan nama baru yang berbeda-beda
dalam setiap perjalanan.

Pertama adalah Bu Menteri dengan dua stafnya. Duduk paling depan di kelas eksekutif.
Berturut-turut di belakangnya, Keluarga Kerajaan, Para Pengusaha, Para Turis Bule, Para
Anggota Legislatif, Para Artis, dan lain sebagainya.

Seperti ibu di sampingku dalam pesawat tadi, tertawa-tawa serakah membisik temannya.
Rupanya kita semua ketagihan negeri ini. Lalu pulang dan kembali lagi. Lagi. Lagi.
Matanya berkilau seperti benda yang melingkar di kedua pergelangan tangannya. Emas
murni seberat duka lara para yatim di Ajun. Begitu besar gelang itu, aku belum pernah
melihat yang serupa.

Kupikir benda itu hanya pas dipakai para pemain lenong atau ketoprak. Dengan
bangganya, ternyata ibu itu berkali-kali menepuk pundak temannya, mungkin biar
gemerincing gelang itu sampai ke telingaku, juga telinga semua penumpang. Ah!

Terbayang juga di benak ketika aku menaiki tangga pesawat internasional dengan hati
penuh. Mengembang senyuman. Ringan kakiku melangkah mendaki satu demi satu. Usai
penantian yang panjang di ruang tunggu, aku lega telah duduk berjajar penumpang yang
lain. Merapat jendela karena memperoleh nomor istimewa. Itulah seat number yang
selalu kuimpikan. Sebelah jendela. Karena dengan itu, aku bisa melongok gumpalan
awan raya nan jelita.

Inikah penyulingan raksasa milik Tuhan, yang mendaur air dari masa ke masa hingga
kiamat tiba? bisikku dalam hati sendiri.

Pesawat terbang di atas 27 ribu kaki. Kusaksikan keindahan awan yang bergugus-gugus,
kadang seperti piramida putih, untaian biru gemunung raksasa. Semesta yang
mengerucut, sempurna dalam takbir dan tasbih pada-Nya.

Hai, jangan melamun, Nona. Tugas kita masih panjang.

Ah! Kau ini pelupa rupanya. Aku ini putri sang pemimpi!

Sebentar lagi, listrik di sini akan padam.

Bukan padam, tapi kematian. Kegelapan mesti ditata ulang, kampung-kampung sekarat
diremajakan. Aspal usang penuh korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik mati memberi
jeda bagi manusia untuk refleksi, keluar dari rasa pengap tipu muslihat, dunia busuk
penuh kotoran.
Kau bermimpi, Nona. Ini negeri memang banyak cela. Sarat cacat dan mudarat.

Oya? Seberapa cacat jika dibanding mimpi-mimpiku?

Cacat negeri menghancurkan, cacat mimpimu meleburkan rindu.

Ah!

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa
diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik kesimpulan yang
harus kupinggir.

Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, Kawan! Lalu ingatanmu mengembara pada baju-
baju dan kendaraan dan rumahmu. Juga kampungmu, para janda dan yatim piatu. Ini
negeri telah dipenuhi gedung-gedung pertunjukan, banyak dalang dan sutradara yang
dikorbankan. Bertahun-tahun, berpuluh tahun membangun, hanya pikun berarak.
Peristiwa demi peristiwa digulung bencana. Hati berjuta bengkak-bengkak.

Jangan melamun, Nona. Ini bandara, bukan taman hiburan.

Ah! Kau memang sungguh pelupa.

Apalagi jika berada di sisi sang pemimpi, hik hik hik.

Sepasang kakimu melangkah pasti. Coba menggandengku dengan sentuhan jemari.


Padahal kau tahu, sudah sejak dulu aku menghindar dari hal seperti ini. Walau itu di
negerimu, dan aku sedang sendiri. (*)

Yogyakarta, 2010
Pulang tanpa Alamat
Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 5 September 2010)

USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di
bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di
denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan
jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa
yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas
meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang
kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan
dilekati keharuman yang sama.

Kau ini mau ke mana, Tap?

Mudik!

Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?

Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di
kampung ini.

Haa!?

Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu,
keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap,
melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium,
selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan
bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang
nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.

Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-
bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu,
Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih
menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya
sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu,
disalaminya sepenuh hati.

Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari
mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus
miliknya, karena jari itu tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya
mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan
yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang
jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan.
Mengunci gerak lengan para korban.

Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan
percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak
menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di
lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu
pun masih harus fitnes selama satu tahun.

Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya
tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali
pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang
melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang
juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.

Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.

Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-
anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga
ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak
selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-
tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama
orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ,
semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres
digenggamnya.

Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan,
tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut
soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan
dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan
misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan,
persaingan atau perseteruan.

Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya


berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.

Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?

Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat
padamu, apalagi bibimu itu.

Kalau Melinda, bagaimana?

Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah
lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik!
Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar
kayu agar tidak menjadi arang atau abu.

Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu
pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya
sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih
merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun
berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus
ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu
kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.

Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.

Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya
memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia
lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang
dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa
bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri.
Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi,
kecuali Yang Maha Abadi.

Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah
belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.

Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat. Segap menegur
sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam
segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.

Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.

Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum
disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan
mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah
di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-
gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan.
Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya
menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik
raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop
berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.

Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?

Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.

Siapa pun di sana, aku rindui semua. Segap melotot mata. Ah! Lama kali kau ini. Aku
tinggal sajalah.
Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau
belum?

Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu,
bertemu Melinda, hahaha.

Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!

Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak
cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam,
lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-
tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam.
Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan.
Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi
Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah
sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang
ngelindur.

Aku mau pulang, Gap!

Ya. Kita memang mau pulang.

Gelap. Ada lorong berliku-liku.

Mimpi kali?

Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.

Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.

Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap
mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul
yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh
pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak
apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun
perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.

Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang
lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi
yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur
dan syukur jika terbangun esok hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia
rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.

Lindap. Kantuk pun nguap.


Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya
itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali
teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal.
Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena
sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.

Gelap, Gap. Gelap.

Hah! Apa?

Jubah hitam datang lagi.

Hah! Apa?

Aku pulang.

Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok
kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi.
Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan
beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.

Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada
nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap
kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak
bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa
penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus
kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan,
nyanyian jangkrik dan belalang hutan.

Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam,
tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku
kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku
membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama
artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.

Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa.
Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap
terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut
nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu
hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut
telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang.
Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.

Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur
badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga
Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa
menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa
terpencil di pulau seberang.

Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya
di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan
sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor
dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja,
siapa tahu malah kena.

/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit
parah tak bisa jalan!/

Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan
mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi,
bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu
gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap
lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh
aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.

Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir
restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun
dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma
tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada
Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat
pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.

Sakit apa, Gotap? tanya Jodil.

Tak usah tanya. Segap berdiri dan menjawab pelan. Gotap mati di tengah jalan, di atas
laut semalam.

Mati? Serempak empat kawan mendelong.

Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan
jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?

Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet
karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil
Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada
bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata
curiga, jika mata itu ada.

Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga
tahunan sejak Gotap ke ibu kota.

Terus, dibawa ke mana ini mayat?


Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.

Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?

Ah, aku juga tak tahu, jawab Segap sedikit bingung, kita lihat saja KTP-nya.

Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga
empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian
darah dengannya. Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan
berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.

Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap.
Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan,
atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung
dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?

Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar
mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai,
Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.

Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?

Aku setuju.

Bagaimana menurutmu, Jos?

Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?

Tak ada pilihan lain.

Ada. Kita lihat KTP-nya.

Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas
punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada
tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman,
ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju
dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan
mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.

Sudah nasibmu, Kawan!

Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk
melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha
mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap.
Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan
satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku
harus pulang nanti? (*)

Ramadhan, 2010

Abidah El Khalieqy, pengarang kelahiran Jombang yang kini tinggal di Jogja. Bukunya,
antara lain Geni Jora (pemenang novel DKJ 2003) dan Perempuan Berkalung Sorban
yang telah difilmkan dengan judul yang sama.
Perempuan Hajar
Cerpen Abidah El Khalieqy (Suara Merdeka, 4 Juli 2010)

SEMINGGU belakangan, Putri Angin benar benar bingung. Mau merampungkan kuliah
S3 atau balik cepat-cepat ke kampung halaman. Sisa uang tinggal cukup untuk hidup
seminggu dan bayar tiket pulang. Tak ada pihak mana pun yang bakal menjamin
keuangan dan nasib hidup selanjutnya. Tak ortu tak juga sebuah founding di mana pun. Ia
benar-benar terdesak untuk segera memilih, jadi gelandangan di negeri orang atau pulang
kampung dinikahkan dengan laki-laki bukan pilihan.

Hari gini menyerahkan masa depan dipelukan laki-laki asing yang tak dikenal? Bukan
hanya menyebalkan, tapi mengerikan sekaligus menggelikan. Aku telah susah payah
mendaki takdir indah setahap demi setahap. Telah kujejak ribu-ribu kerikil. Di bawah
kakiku yang lembut dan kokoh, terus kunaiki Lembah Shafa, kudaki bukit Bukit Marwah.
Aku Hajar yang berlarian menahan air mata. Sudah kucium aroma zamzam dari balik
sabar dan tulusnya hati ini. Mengapa harus menyerah?

Tidak! Aku mesti kuat. Tinggal setapak lagi, Putri Angin!

Yanti, aku butuh uang. Jika ada, please! Berapa pun!

Aduh, Put. Kebetulan sama-sama krisis nih. Beribu maaf.

Sudah tujuh teman dikontak dan gagal. Apa mesti kujual laptop ini? Lalu dengan apa
mengetik disertasi? Masa tiap hari pergi ke rental? Lagipula tak bisa fokus dan mesti
gotong-gotong buku referensi yang berat dan bertumpuk. Sudah melamar jadi guru privat
bahasa, jadi penjaga perpustakaan kampus (dengan harapan masih tetap bisa membaca
sembari kerja), jadi penjaga toko buku di kopma (dengan harapan yang sama, tetap bisa
membaca sembari kerja), bahkan juga melamar jadi presenter acara budaya dan iptek di
sebuah stasiun televisi lokal (karena bakat orasiku lumayan kenes dibanding para ibu
yang bergunjing di acara arisan bulanan di kampung).

Semua gagal. Ada saja alasan kurang mutu yang dikemukakan untukku. Agaknya nasib
lagi tak berpihak padaku. Putri Angin membatin sendu. Lagipun sudah berdoa siang
malam, ditambah puasa sunah Senin Kamis. Ingin juga rasanya menjalani puasa sunah
Nabi Daud alaihissalam, yang dulu sering kulakukan, terutama saat deraan hidup tak
tertahankan. Hingga kehidupan mencair dan cahaya langit turun meliputi hari-hari penuh
kemudahan dan kesuksesan. Embun surga yang netes dan resap ke dasar jiwa, memberi
keseimbangan pada hidup dan gejolaknya.
/Pulanglah, anakku. Kau ini perempuan. Sudah 28 tahun usiamu. Untuk apa pula sekolah
terus tak rampung-rampung. Ilmumu sudah cukup untuk bekalmu dunia akhirat. Ayo
pulanglah/

Ibunya di kampung sudah gelisah. Banyak pertanyaan dialamatkan untuk putri


sulungnya. Putri Angin yang smart dan berwajah cantik pula. Dirindui kawan lama dan
karib-karibnya di kampung, selalu ditanyakan para orangtua yang punya anak laki-laki
dewasa. Sudah terlalu lama tak pulang karena tak ada dana. Namun Putri Angin kian
keras niatnya untuk menyeleseikan S3. Meski tak ada satu pihak pun yang mendukung
kecuali dirinya sendiri.

/Tinggal beberapa saat lagi, Bu. Kumohon doa ibu tak habis-habis untukku/

Sebenarnya ia ingin bilang, aku pada masa paling sulit dan butuh pertolongan. Namun
semuanya tak terucapkan. Ia telan sendiri nasib pahit dan suntuk puasa dari kemilau
dunia. Bahkan senja ini, azan magrib hampir kumandang, namun tak ada serupiah pun di
tangan. Niatnya sudah bulat untuk menggadaikan handphone. Ia berjalan ke arah sebuah
kedai yang biasa menerima ponsel gadaian di dekat pertigaan kota. Bibir keringnya basah
asmaul husna.
Ya Razzaq ya Rahman ya Rahim. Ya Razzaq ya Rahman ya Rahim. Saking suntuknya,
Putri Angin tak sadar menabrak seseorang yang tengah membuka pintu mobil di parkiran
pertokoan.

O maaf maaf. Maafkan saya tak sengaja.

Lho!? Ini Putri Angin kan?

Putri Angin terlongong mendelong ke arah laki-laki yang bernama Hasbi itu.

Hasbi kan? Kau ada disini?

Hanya kebetulan. Lagi ada acara. Wah ternyata kita ketemu di sini setelah hampir berapa
tahun ya, terpisah oleh waktu. Apa kabarmu, Put? Masih kuliah atau sudah.

Hampir lulus insya Allah! Tapi beratnya segunung, Has. Rasa-rasanya hampir terjungkal
aku menang gungnya hehe. Dan kabarmu?

Anakku sudah dua, istri satu saja hehe. Oh ya Put, sebenarnya aku masih ingin cerita
banyak denganmu tapi kebetulan lagi terburu nih. Boleh tahu nomor hapemu? Sekalian
nomor rekeningmu ya.
Untuk apa? Putri terlonjak.

Sudahlah. Boleh tahu tak? Maaf lo aku terburu.

Tanpa pikir panjang karena memang tak ada kesempatan untuk berpikir, Putri
menyebutkan nomor handphone yang bakal masuk ruangan gadai dan nomor
rekeningnya. Hasbi mengetik segera di ponselnya dan berlalu.

Putri Angin terlongong. Azan magrib berkumandang dari segenap penjuru menara masjid.
Aku mesti bersegera ke kedai untuk menggadaikan ponsel sengsara ini dan membeli
minuman untuk berbuka. Eh ternyata kedai itu tutup. Lampu di depannya saja padam.
Putri Angin demam.

Ia mencoba bertahan dan balik lagi dengan limbung ke arah masjid. Namun masjid terlalu
jauh rasanya. Badannya mulai gemetaran, namun ia coba terus menguatkan diri untuk
tetap tegak. Ia coba bersandar di pagar sebuah kantor bank untuk meraih energi langit
sejenak. Lalu bibirnya yang kian kering, basah kembali dengan asmaul husna. Ya Razzaq
ya Rahman ya Rahim. Air mata netes entah tak sengaja. Lalu lalang kendaraan di jalan
raya kian memadat. Tak ada satu pihak pun peduli pada orang lain. Ia tengadah langit.
Tinggal sisa-sisa warna jingga.

Ia tengok dompetnya dan membukanya. Tak ada serupiah pun. Hanya ada KTP dan Kartu
ATM yang diselipkan di ruas-ruas dalamnya. Lalu ponselnya mendering. Sebuah pesan
masuk.

/Put, aku dah sukses transfer sejumlah rupiah untukmu. Coba dicek ya. Hasbi/

Putri Angin mendelik tak percaya. Ia baca ulang dan berulang kali, pesan dari kawan
lama bernama Hasbi. Masih tak percaya. Jantungnya mendegup kaget dan bahagia. Atau
entah. Ia kembali tengadah langit. Rabbi la tadzarni fardan. Allah! Jangan biarkanku
sendiri. Lalu ia masuk ke pojok halaman bank di belakangnya, di sana berjajar ATM box
menunggu para nasabah memasukkan kartu-kartunya. Ia tekan nomor dan membuka
saldo akhir. Sepuluh juta!

Ditundanya rasa gemetar oleh bahagia, karena menyadari banyak pihak di belakang
punggungnya tengah mengantri. Namun hatinya terus bersujud syukur dan air mata itu
tak lagi bisa dibendung arusnya. Ia ambil sejumlah lembaran warna biru dan pergi ke
warung makan untuk segera buka puasa. Sepanjang perjalanan pulang dari warung
sampai rumah kost, ia nengok arah dtadi Hasbi tertabrak langkah kakinya yang kurang
hati-hati karena suntuk berzikir. Benarkah dia Hasbi?
Kalau benar, untuk apa pula mentransfer uang sejumlah itu untukku yang hanya kawan
lama, tak pernah ada kontak silaturahim, tak ada hubungan khusus yang terjalin, bahkan
tak ada kenangan istimewa saat dulu samasama di bangku SMU. Bahkan pula, tadi aku
hampir lupa kalau namanya Hasbi. Namun entah, seakan ada suara membisik di kupingku
kalau nama laki-laki itu Hasbi. Putri Angin terus mengingati peristiwa aneh yang barusan
dialaminya, sampai lupa belum kasih respons apa pun pada Hasbi.

/Eh Has, aku sudah cek hadiahmu yang tak diduga. Entah dengan apa bisa kuucapkan
rasa terima kasih ini. Aku menabrakmu dan kau malah kasih hadiah tak terkira.
Jazakallah bi alf jaza. Tengkyu/

/Aku yang harus terima kasih atas tabrakanmu yang indah itu he he. Sebab tanpa itu, aku
tak tahu mesti gimana mencarimu di bumi Tuhan yang luas ini/

/Lho, memangnya kau sedang mencariku tadi?/

/Tepatnya, aku tengah mencari orang dalam mimpiku semalam, mimpi aneh yang
membuatku sulit tidur sebelum menemukanmu. Eh kau tabrak aku! Thanks berat deh!/

Putri Angin kian digelayuti tanya. Ingin bertanya pada Hasbi, isi dari mimpi yang
membuatnya sulit tidur. Mungkin sebaiknya telepon saja. Tapi ponsel sudah nyaris habis
pulsanya. Perlu isi ulang yang agak tinggi nominalnya.

Has. Maaf lagi sibuk ya. Aku masih penasaran dengan isi mimpimu. Seperti apa sih
kalau boleh tahu?

Jangankan dikau, Put. Aku yang mimpi aja juga penasaran, kenapa mimpiku seperti itu.

Jadi seperti apa mimpinya?

Entahlah, Put. Tiba tiba si Jubah Putih itu datang ke restoranku dan bilang Nak, sudah
tiga kali kau naik haji, jadi untuk apa lagi? Kalau mau ke Baitullah, carilah gadis itu (si
Jubah Putih menunjuk sosokmu seperti dalam film hidup) dan transfer sejumlah uang
untuknya. Insya Allah pahalamu lebih dari naik haji ke-empatmu. Aku ingin tanya, di
mana gadis itu? Eh keburu dia lenyap. Untungnya aku masih ingat wajah yang ditunjuk
itu. Wajahmu. Sepertinya tempat kita tabrakan tadi, itu juga tempatmu dalam mimpiku.
Entahlah. Tapi apa pun, kuharap hadiah itu menjadi berkah untuk kita. Aku ikhlas lillahi
taala.

Putri Angin sujud syukur di atas sajadah merahnya. Jadi benar itu uang hadiah? Tuhan
telah mengirim sejumlah yang dibutuhkan untuk merampungkan disertasinya. Jika
dikalkulasi, itulah jumlah paling standar untuknya.

Untuk perempuan Hajar berangkat kembali mendaki Bukit Marwah. (*)


Menari di Padang Prairi
Cerpen Abidah El Khalieqy (Jawa Pos, 16 Mei 2010)

OKE! Aku menyerah. Teruslah menari seluas padang prairi. Karena kau adalah benih
adalah hujan adalah angin dan matahari. Tunas cinta menyembul darimu per detik. Tak
ada jemu. Meski telah kubabat rumputan sabanamu, kuluapkan sungai-sungaimu hingga
kering dan kutebas pohonan rimba rayamu. Meski telah kututup pintu-pintu dan kukafani
sejarahmu. Meski telah kuhapus huruf-huruf yang mengisahkan namamu.

Salam. Aku datang lagi!

Tak bisakah meninggalkanku sekejap saja?

Atas alasan apa? Matahari terus bersinar tak peduli lilin-lilin dinyalakan atau
dipadamkan.

Tapi aku sudah di Mars dengan matahariku sendiri.

Tak masalah. Lebih banyak matahari lebih nyala dunia ini. Benderang di hati.

But love is country with map.

Yups! Earth and Mars adalah peta wilayah cinta. Kita penghuninya.

Percuma mendebatmu, Sayang! Lagi pun cinta itu sesuatu yang terberi. Sekuat apa
menolaknya, kalau ternyata ia tak minta apa-apa selain hatimu. Sekarang pikirkan cara
bagaimana strategi menolak kata hati. Kalau tidak ingin majnun dan masuk er-es-je.

Tetapi aku merasa telah berkhianat pada matahari.

Bukan berkhianat, karena tak ada yang mampu membalik arus mentari. Kau hanya
butuh waktu untuk sadar bahwa alam ini memiliki banyak mentari.

Jadi?

Nikmati saja anugerah yang melimpah.

Aku pun menyibak korden memandangi sepadang hijau yang tumbuh lagi dan lagi.
Berapa kali kubabat, ia tumbuh bersama angin. Matahari mengomporinya kian nyala.
Kadang terpikir dalam benakku, mestikah kubakar saja agar hangus bersama akar-
akarnya. Namun hujan mengguyur semesta bumi dan menghijau lagi. Kian mewangi dan
berseri tujuh mentari. Dan aku perempuan dengan sebutir mentari di hati.
Datang lagi aku, hallow!

Mengapa tak jera juga? Jika seluruh dunia telah panas bergunjing, kau akan tahu bahwa
sepotong udara saja bakal tersengal kau menghirupnya.

Siapa takut. Laki-laki dilahirkan untuk menebas rintangan.

Tak berarti rintangan ke jurang kan?

Jurang mawar atau jurang berduri?

Kali ini mawar berduri. Kau mesti sadar bahwa duri mungil pun memiliki daya
memusnahkan jika diberdayakan.

Tak berarti kau mengancamku kan?

Aku hanya mengingatkan. Maka sebaiknya hati-hati.

Paginya kusaksikan hil yang mustahal. Sepadang hijau menguncup bunga beraneka rupa.
Harumnya meluapkanku menuju surga ketiga. Lagi-lagi mentari datang dengan
senyuman Rubaiyyat Khayam. Memaksaku jadi merpati di singgasana para dewa Amor.
Langitku biru seluruh. Seakan menyilah bagiku terbang ke mana suka. Matamu begitu
cerah.

Kita adalah dua merpati di keheningan, kau bilang.

Bukan. Kita dua elang laut di atas ketinggian. Cakrawala terlalu luas bagi persinggahan.
Maka terus kita berputar tak punya ruang untuk bermalam.

Jangan takut, Sayang! Kita bukan dari kumpulan yang terbuang. Rabiah dan Ibrahim
Adham sudah basah air mata merindui kita. Memang di keheningan, namun kita bersaf
dalam kejayaan.

Tapi ke mana kita akan menuju?

Tak usah muluk membayangkan dermaga penuh terisi perbendaharaan ikan-ikan dunia.
Kita jalan saja menikmati angin.

Dasar kurang kerjaan!

Lho!? Menikmati angin dan menghikmati magmanya. Kau tahu bahwa angin juga bisa
mengirim prahara. Jika sudah pernah bertemu prahara, kau akan tahu bahwa angin tak
selamanya ramah.

Dah tahu je. Sejak zaman baheula. Namun T-Rex berubah jadi kadal melata. Mammot
pindah rupa jadi gajah. He!
Eh, iya benar itu, Diajeng. Tapi angin tak ikutan ber-evolusi. Seperti cinta. Mereka ber-
revolusi. Angin itu revolusioner!

Kayak kamu dong!

Terima kasih sudah dinilai.

Aku tak menilaimu, hanya melakukan analogi aja.

Apa pun perhatianmu, aku bahagia.

Ge-er!

Atau begini. Apa pun seberapa pun kau mengolokku atau mencoret-coret mukaku,
menertawa bahkan andai kau meninjuku, kuharap kau bahagia selalu.

Hek! Miring, Lu!

Hingga miring pun! Bahagia aku.

Syaraaaap! Majnun fil hubb maal isyq wal hawa. Ieh!

Betul benar sahih dan sharih pula. Inti sakawly ya man hubbiy! Kau yang membuatku
sakao duhai cintaku!

Wa inta syauqiliy ya malaky! Dan kau rinduku duhai pangeran!

Matahari nyala di ubun jiwa. Sang waktu kini bicara bahwa angin memang revolusioner
adanya. Sepoi saja atau memprahara, ia berdaya menggerakkan massa. Demikian cinta
Adam dan Hawa di lubuk semesta. Ruh yang bertemu ruh, lupa kalau jasad menempel di
dataran rendah yang rentan musibah. Aku memelukmu dan kau memelukku. Kita
berpelukan seperti dua pemabuk di meja perjamuan. Anggur merah ditumpahkan.

Gerhana lalu membayang!

Hai para pecundang. Bangun dan becermin pada kolam kearifan!

Siapa kamu? Kurang kerjaan amat ngurusi bahagia kami! Responmu kurang bijaksana.

Haha! Pemabuk sepertimu mana mungkin mengenalku? Topan mencibir. Buka


matamu lebar-lebar, kau akan lihat bahwa matahari sepenuhnya di tanganku. Bersama
bumi aku melaju. Dan kau? Kau hanya lilin kecil menanti saat listrik padam. Kau
hanyalah lampu semprong di gubuk-gubuk pedalaman. Hanyalah sebutir dian! lanjut
Topan meremehkan.

yang tak kunjung padam, lanjutmu bangga.


Membelalak Topan, sama sekali tak mengira akan mendengar jawaban demikian. Kau
telah menantangnya bersaing dalam pergulatan. Mengajaknya berlaga duel di arena kata
dan puisi kehidupan. Topan meradang, merasa lebih berhak bersinar karena di ketinggian.
Ia datang tiap pagi tepat waktu, senantiasa datang meski sering tertutup awan dan hujan.
Sementara engkau mencuri-curi situasi di kegelapan dan siap selalu menjadi dian yang
tak kunjung padam.

Haha! Bermimpilah menjadi seribu lilin, namun lilin tetaplah lilin. Semiliar lilin pun tak
sampai kakiku. Wajahku terlalu jauh. Tinggi paripurna!

Jangan sombong karena posisi. Karena kursi-kursi pun bisa terjungkal!

Kau mengancamku. Mau makar?

Makar apaan. Makar ketela kali. Aku tak dalam kuasa siapa pun kecuali diriku sendiri.
Jika mau tumbang, tumbanglah sendiri jangan bawa-bawa namaku. Jika sudah keropos,
semua yang kuat dan hebat pun bakal jungkalit. Tejungkal, Dab!

Tapi Topan benar-benar merasa hendak ditumbangkan. Entah oleh ketakutannya atau
siapa. Ia membayangkan barisan musuh berwajah kamu. Senapan dikokang. Pedang-
pedang ditajamkan. Sniper dingin mendengus-dengus di pelipis kiri. Kuku maut Izrail
serasa gores di tengkuk. Ia ketakutan dan ngos-ngosan siang malam. Berlari dan seakan
terus berlari. Kadang berjingkatan melompat kian kemari seakan menepis serbuan
bertubi-tubi.

Hey! Kau pikir aku takut? teriaknya nervous.

Memang kau takut. Takut akan serbuan kelemahanmu sendiri huaha!

Eh, polisi apa, Lu! Beraninya cari kambing hitam.

Huaha. Elu tu etawa. Jenis baru yang suka ngembek minta dimandiin bidadari.
Emang Jaka Tarub?

Ente itu Jaka Tarub yang sembunyi-sembunyi mau nyuri bidadariku.

Mending kita bertaruh aja gimana? Karena ini menyangkut urusan hati.

Bertaruh apaan. Seribu taruhan pun, akulah sang pemenang!

Belum tentu, Bro! Kita betaruh sekarang. Jika esok pagi mawar di padang itu berbunga
merah, kau memang milik bidadari. Tapi jika warnanya putih, berarti akulah pemiliknya.
Setuju?

Putih itu tanda kalah atau suci. Yang mana kau pilih?
Topan segera pergi ke padang memeriksa pohon demi pohon mawar yang tumbuh
menghijau. Sejak kapan bunga-bunga ini memenuhi padang sabanaku. Sejak kapan aku
menanami mawar di penjuru sabana ini. Sejak kapan aku lupa bahwa sabana ini milikku.
Sejak kapan kepikunan itu menyerbu. Gemetar ia menyadari jika andai kalah bertaruh
dan mawar-mawar ini berbunga putih. Bahkan aku tak tahu kalau di antara mawar ada
yang berbunga putih. Bahkan jingga. Kupikir segalanya merah.

Semalaman insomnia. Jika tidur menghampiri, mimpi buruk menyertai. Topan gelisah
melintasi jembatan neraka malam yang membara. Kelojotan seakan dipanggang di atas
penggorengan (emang kerupuk kalee). Tergeragap bangun berulang kali seperti ada yang
memanggil-manggil di kejauhan, namun dekat. Sepasang mata mengawasinya dari balik
entah. Penjuru kamar telah dipasangi mata-mata oleh entah. Berulang kali ia sibak korden
dan menjulurkan kepala keluar jendela, memastikan kapan bunga-bunga itu mulai mekar
membawa warna-warni dari alam mimpi. Namun gelap saja menyelimuti bumi.

Di puncak lelah bertahan dalam jaga, tidur menyambarnya ke alam koma. Kau
memapasnya di simpang tujuh di bawah cemara.

Hey, pemabuk! Ngapain malam-malam gentayangan aja, Lu! Mau nyuri warna
mawarku ya? Topan curiga.

Haha curigaisen aja pembawaan Lu akhir-akhir ini. Sepertinya lagi stress ya, Bro!

Sok tahulah! Kau bawa berapa kilogram cat untuk mengubah warna-warna itu?

Wakakaka aku tak membutuhkan warna, Bro. Tapi warna-warna membutuhkanku.

Soklah kamu! Memangnya apa fungsimu bagi warna?

Untuk memperindah tampilan. Karena pada awalnya, segalanya hitam saja, Bro! Seperti
alam ini, pada mulanya adalah gelap. Kabut hitam yang bergulung-gulung dalam pekat.
Nah, keberadaanku di antara mereka, tentunya dalam rangka mewarna.

Memangnya siapa kamu ini, hey pemimpi!

Haha sudah kujelaskan tadi, aku ini sang pewarna, pelukis mandraguna yang
menghenyakkan mata dunia. Lihatlah di depanku mereka ngantre. Satu ingin
kuoranyekan, satu ingin kuhijau-daunkan, satu ingin kucoklatkan dan yang lain tengah
menimbang segala kemungkinan tentang warna yang membahagiakan.

Mimpi Lu ya! Payah Lu, pemabuk!

Aku ini serius. Coba tatap mataku lekat-lekat, kau bisa baca di sana, apa aku ini
pengibul?
Topan maju mencoba tatap mata purnama. Tak tahan ia terjengkang ke belakang saking
kagetnya, silau dan terhenyak habis oleh nyala. Turun naik napasnya menahan amarah
dan cemburu. Setenang danau bening sejuk dan nyaman, kau respons gemuruhnya
dengan senyuman.

Sudah lihat sekarang, berapa kadar emas di antara warna cetakanku? Baca mataku!

Sunyi mulut Topan. Ia tengah menanting kejernihan dan harga. Dan menemukan
kenyataan, betapa kadarmu di maqam para tinggi yang tak lagi miliki hasrat dan inginkan
benda-benda. Ia respek dan mengaku, setuju bahwa engkau bukanlah lilin yang
mengendap di kegelapan dan bermimpi kapan listrik padam. Engkau adalah mentari.
Tujuh mentari terangkum dalam matamu. Tubuhmu cahaya dan segalanya sirna, silau
akan hadirmu yang seribu kilau.

Tapi nanti dulu. Adalah mustahil tumbuh dua mentari di satu bumi. Kau harus enyah atau
mencari bumi lain untuk berdiri. Untuk apa hadir di sini mengganggu bahagia kami.
Topan membatin dalam hati.

Aku tak mengganggu bahagia kalian, tapi sempurnakan apa yang masih kurang,
katamu.

Eh ngeyel! Dari mana tahu kalau kami ada yang kurang? Topan jengah.

Dari warna bunga-bunga itu. Lihatlah si ungu dan si biru.

Topan kaget nengok ke belakang, sehamparan mawar tumbuh memenuhi sabana luas,
seluas mata memandang. Warna-warni melukisi padang hijau seperti pelangi sore hari.
Jadi sudah pagikah ini? Penuh cemas ia mencari-cari, di manakah mawar putih yang
bakal menumbangkanku dalam taruhan. Ia mencari dan terus menyibaki gerumbul demi
gerumbul hijau, kalau-kalau sang putih muncul di balik rerimbun. Karena hijau demikian
menyemesta, ia capek lunglai dilangkah kesekian dari jam yang terus merambat naik. Tak
sekelebat pun dilihatnya si putih muncul, baik di permukaan atau di sebalik gerumbulan.
Merasa menang (lupa si ungu dan si biru), ia teriak kencang sembari melompat terbang.

Hiya fatih ahkin! Penakluk masa depan!

Alih-alih kemenangan di genggaman, Topan terbangun ngos-ngosan penuh keringat


dingin di sekujur badan. Blingsatan ia mengingati fragmentasi mimpi kemenangan semu.
Terlonjak berdiri dan tergesa sibak korden jendela. Matahari pagi menyapanya gundah.
Perayaan mawar putih harum mewangi menusuk matanya, hati terdalamnya luka. Dari
rerumpun hijau itu, kau menyembul dengan senyuman rekah dan megah. Menakluk yang
pongah.

Hiya fatih mahabbat dernigiz!

Yups! Penakluk cinta langit!


Tarah min ain. Sil ala shirat fakana junain!

Hanyut dari tatap mata. Tersambung jembatan maka bertemulah dua gila!

Dan kau mengajakku naik dalam tarian kemenangan si putih yang bermekaran di bawah
mentari. Semilir angin surga menggeraikan senyummu lebih cinta. Duhai kekasih yang
adalah cakrawala saat hati ini penjara. Aku menyerah kini. Menjadi tawananmu lebih
bermutu dari sepuluh danau yang menggenang. Mencintaimu adalah api. Gerak yang tak
kunjung usai melawan arus mentari. Mari kita menari.

Tak semudah itu wahai pemimpi! Kau hanya menang taruhan, belum menang di laga
sungguhan. Topan terus saja menghadang.

Apa maksudmu, Bro. Kau ingin kita duel seperti Qabil dan Habil. Jadul itu! Out of
date!

Kau pikir taruhanmu tidak jadul juga. Ribuan abad mereka sudah lihai betaruh hatta hal-
hal sepele sekalipun!

Berarti sama-sama jadul dan terbukti akulah sang pemenang. Mau apa lagi, Bro?
Berbesar hati dan terima kenyataan.

Kenyataan gundulmu! Aku tak terima! Topan meradang.

Bahkan rambutku gondrong kau bilang gundul. Aku juga tak terima! kau ikutan
meradang.

Terus terang aku geli dan terkikik bahagia menyaksikan para Adam bertempur di medan
laga. Ada yang berbambu runcing dan busana koteka, ada yang revolver berperedam
dengan sepatu londo, berkelewang, juga ada yang ber-AK-47 bahkan pakai meriam dan
sputnik penuh terisi bom hydrogen. Hikhik! Aku senang dan mengeploki mereka penuh
semangat 45. Kuterbangkan balon-balon udara memeriahkan suasana dan ribuan
kembang api berletusan seperti mitraliur.

Udara cerah matahari bercahaya disoraki burung-burung angkasa. Berbondong angin


dikirim dari samudera raya, mengembus ramah seperti tetamu dari swargaloka. Apa yang
kurang dari dunia. Segalanya ada tercipta untukmu yang tahu, bahwa cinta memang
segalanya. Teruslah terang, tarung, dan melawan. Rebut hakmu yang kurang atau
dijauhkan, karena engkaulah para prajurit cinta. Yang darinya engkau ada, tumbuh dan
mengelola dunia penuh mahabbah.

Awas ya, kutinju, Ente! Topan tak sabar.

Siapa takut. Maju saja kalau berani. Bukan hanya Tyson. Aku juga menyimpan magma
itu!
Lalu mereka tinju. Beradu gulat dan sepak takraw. Jumpalitan tak kenal henti. Sebab bagi
kami, perlawanan itu napas abadi. (*)

Jogjakarta, 2010

Abidah El Khalieqy, penulis novel Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogja.

Anda mungkin juga menyukai