Anda di halaman 1dari 8

Anak Pipit Dan Kera

Tersebutlah seekor kera yang tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu ditinggalkan kawan-kawannya karena ia sombong dan mementingkan diri sendiri. Dia menganggap pohon tempat tinggalnya itu miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan tinggal di sana. Tepian mandi itu pun dianggap miliknya. Ada seekor itik yang selalu pergi ke tepian itu. Dia senang mandi sepuaspuasnya di tepian itu setelah selesai mencari makan dan kenyang perutnya. Pada mulanya, kera membiarkan itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di tepian menjadi keruh setiap itik itu selesai dia pun marah. Cis tak tahu malu, mandi di tepian orang lain! maki kera kepada itik yang baru saja selesai mandi. Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang lebar). Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti kajang sebidang (selembar atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi satu! Enyahlah kau, itik jelek! Itik malu dan sakit hati dicemooh seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi. Akan tetapi, dia takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya. Seekor induk pipit yang sedang memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia melongokkan kepala dari sarangnya yang tinggi di atas pohon. Hai itik yang baik, mengapa engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa sebabnya. Mungkin aku dapat menolongmu! Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku! jawab itik. Aku malu sekali! Itu sebabnya aku menangis! Itik itu menangis kembali seperti tadi. Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya? Itik menceritakan kembali semua caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik, induk pipit segera berkata, Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana dan mandilah sepuasmu! Aku takut! Aku malu dimaki kera itu lagi! Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala keburukannya! Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan kera. Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan kuturuti! Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan nasihat induk pipit. Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong! katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri. Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi. Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu? jeritnya dari atas dahan.

Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepakngepakkan sayapnya. Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah. Seperti kemarin, kera kembali mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan. Setelah kera puas mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, Apakah engkau merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang tumbuh di hutan) dilumu (dimasukkan ke mulut sambil diambil sarinya hingga tersisa biji dan ampasnya). Telapak tanganmu hitam kotor! Kukukukumu . Belum selesai itik membalas caciannya, kera itu segera memotong, Lancang sekali mulutmu! Tentu ada binatang lain yang memberi tahu kepada kamu! Tentu saja, hai kera angkuh! Tidak jauh dari sini seekor induk pipit membuat sarang. Dialah yang mengajariku! Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya! Itik bergegas pulang ke Tumahnya. Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera sombong itu. Alangkah bodohnya engkau! kata induk pipit dengan kesai. Seharusnya tidak kau sebutkan siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau pun tolol! Belum sempat induk pipit bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan langsung menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak pipit tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri. Dengan kejengkelan luar biasa kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit diacak-acaknya. Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya. Anak pipit sedih berada dalam kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut anak pipit itu terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya dijawab kera dengan gumaman. Apakah Ibuku sudah datang? Mmm-mmm ! Apakah Ibuku sudah mandi? Mmrn-mmm ! Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur? Ha-ha-ha-ha-ha ! Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya. Kurang ajar! kera menyumpah sejadi-jadinya.

Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit. Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepargelepar kesakitan, lalu jatuh dari dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.

Nama No Absen

: Muhammad Satria Alam : 23

Ular Dan daung


Konon, dahulu kala ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya kaya raya sehingga penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan hanya dinikmati raja dan keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan kerajaan-kerajaan lain pun, tidak pernah terjadi silang sengketa sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai. Sayang, ketenteraman itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang menimpa mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit menjadi gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak sayapnya memekakkan telinga. Karena serbuan burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar biasa. Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi suasana itu. Mereka menyangka kiamat sudah datang. Dalam sekejap mata, kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata dengan tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon atau terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka. Ibarat sebuah negeri kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana, kecuali raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung dan takut, barangkali datang serangan kedua. Jika hal itu terjadi, tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung raksasa itu melihat mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat untuk berlindung. Akan tetapi, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka. Tuhan yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia. Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu. Paduka tak usah takut, tiba-tiba ular itu berkata. Hamba tidak akan mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan Paduka mengabulkan permohonan hamba.

Rasa takut raja sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti manusia. Siapakah engkau? Apakah keinginanmu? tanya sang raja. Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung, ujar ular raksasa itu. Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka. Tertegun sejenak sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan manusia. la tidak berani menolak karena takut akibatnya. Aku tidak menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu, sahut sang raja. Aku harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu! Seorang demi seorang putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam menolak diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk yang akan mereka terima andaikata putrinya menolak. Hamba bersedia menjadi istrinya, kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya. Tentu saja kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka lontarkan, tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya tidak tergoyahkan. Pada suatu matam, putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan. Belum habis rasa herannya, pemuda itu berkata, Aku bukan orang lain, aku suamimu si Ular Dandaung. Aku seorang raja yang Baru terbebas dari kutukan. Raja dan permaisuri terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam putrinya tidak habishabisnya menyesaii diri mereka. Di kemudian hari terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung raksasa yang menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan dibunuh. Ia juga menciptakan sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan segala peralatan dan rakyatnya. Ketika mertuanya tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan putri bungsu menjadi permaisurinya.

Nama No Absen

: Rizky Muhammad Fauzan Hilmi : 28

Si Parkit Raja Parakeet


burung parkit

Konon, di tengah hutan belantara itu, hiduplah sekawanan burung parakeet yang hidup damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka bernyanyi riang dengan suara merdu bersahut-sahutan dan saling membantu mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin oleh seorang raja parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu, kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia berniat menangkap dan menjual burung parakeet tersebut. Pelan-pelan tapi pasti, si Pemburu itu melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu, lalu memasang perekat di sekitar sarang-sarangnya. Ehm.Aku akan kaya raya dengan menjual kalian!, gumam si Pemburu setelah selesai memasang banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus membayangkan uang yang akan diperolehnya. Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet, sehingga mereka menjadi ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk mengingatkan antara satu sama lainnya. Hati-hati! Pemburu itu telah memasang perekat di sekitar sarang kita! Jangan sampai tertipu! Sebaiknya kita tidak terbang ke mana-mana dulu! seru seekor burung parakeet. Ya, betul! Kita memang harus berhati-hati, sahut burung parakeet yang lain. Namun, karena harus mencari makan, burung-burung parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan, burung-burung parakeet itu terekat pada perekat si Pemburu. Mereka meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet. Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, Tenang, Rakyatku! Ini adalah perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin menangkap kita hiduphidup. Jadi, kalau kita mati, si Pemburu itu tidak akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang, kita pura-pura mati saja!, mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu, Berpura-pura mati? Untuk apa?, tanya seekor parakeet, membuat burung parakeet lainnya menoleh ke arahnya. Si Parkit tersenyum mendengar pertanyaan itu, Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat yang dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya kita telah mati, maka dia akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai hitunganku yang ke seratus agar kita dapat terbang secara bersamasama!. Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si Parkit. Oh, begitu..!?

Baiklah, besok kita akan berpura-pura mati agar dapat bebas dari Pemburu itu!, sahut rakyatnya setuju. Kini, rakyatnya sudah mengerti apa yang direncanakan oleh si Parkit. Mereka berjanji akan menuruti perintah rajanya. Keesokan harinya, si Pemburu pun datang. Dengan sangat hati-hati, si Pemburu melepaskan burung parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat kecewa, karena tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si Pemburu berjalan seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan burung parakeet yang berpura-pura mati di sekitarnya pun kaget dan terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan burung parakeet itu. Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada seekor burung parakeet yang masih melekat pada perekatnya. Lalu ia menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain adalah si Parkit. Kamu akan kubunuh!, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat ketakutan mendengar bentakan si Pemburu. Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera berpikir untuk menyelematkan diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si Pemburu itu. Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh hamba! Lepaskan hamba, Tuan! pinta si Parkit. Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah menipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menangkap kalian! kata si Pemburu dengan marah. Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba, Tuan! Hamba akan menghibur Tuan setiap hari! kata si Parkit memohon. Menghiburku? tanya si Pemburu. Betul, Tuan. Hamba akan bernyanyi setiap hari untuk Tuan! seru si Parkit. Si Pemburu diam sejenak memikirkan tawaran burung parakeet itu. Memangnya suaramu bagus? tanya si Pemburu itu mulai tertarik. Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit yang merdu itu berhasil mumbujuk si Pemburu, sehingga ia tidak jadi dibunuh. Baiklah, aku tidak akan membunuhmu, tapi kamu harus bernyanyi setiap hari! kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun setuju. Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di rumahnya, si Parkit tidak dikurung dalam sangkar, tapi salah satu kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak saat itu, setiap hari si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pemburu itu. Si Pemburu pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. Untung.aku tidak membunuh burung parakeet itu, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung, karena banyak orang yang memuji kemerduan suara si Parkit. Sampai pada suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut terdengar oleh Raja Aceh di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu pun datang ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang pada si Parkit. Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit yang bersuara merdu itu kepada Sang Raja. Ampun, Baginda! Hamba tidak bermaksud menentang keinginan Baginda! kata si Pemburu memberi hormat. Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan burung itu? tanya sang Raja. Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat sayang pada burung tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik, jawab si Pemburu. Mendengar jawaban itu, Kalau begitu, bagaimana jika kuganti dengan uang yang sangat banyak.?, sang Raja

menawarkan. Pemburu itu pun terdiam sejenak memikirkan tawaran itu. Tidak lama, Ampun, Baginda! Jika Baginda benar-benar menyukai burung parakeet tersebut, silakan kirim pengawal untuk mengambilnya! kata si Pemburu sambil memberi hormat. Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung parakeet tersebut dan menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si Pemburu. Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas. Setiap hari si Parkit disediakan makanan yang enak. Meksipun semuanya serba enak, namun si Parkit tetap tidak senang, karena ia merasa terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu, agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si Parkit sudah beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja. Mengetahui burung parakeetnya tidak mau menyanyi lagi, sang Raja mulai bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin tahu keadaan burung itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana, Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini? Dia sakit, ya?. Petugas Istana itu menjawab, Maaf, Tuanku. Hamba juga tidak tahu apa sebabnya. Saya telah memberinya makan seperti biasanya, tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,. Mendengar jawaban dari Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. Ada apa, ya? gumam sang Raja. Beberapa hari kemudian, si Parkit bahkan tidak mau memakan apa pun yang disediakan di dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan belantara tempat tinggalnya dulu. Si Parkit pun mulai berpikir, Bagaimana caranya ya.aku bisa keluar dari sangkar ini?, gumam si Parkit. Tak lama, ia pun menemukan akal, Aahh.aku harus berpura-pura mati lagi!, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan terbang tinggi. Akhirnya, pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati. Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati segera menghadap sang Raja. Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara sebaik mungkin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena sudah tua, kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit. Sang Raja sangat sedih mendengar berita kematian burung parakeetnya, sebab tidak akan ada lagi yang menghiburnya. Meskipun sang Raja masih memiliki burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit. Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi, Siapkan upacara penguburan! Kuburkan burung parakeetku itu dengan baik! perintah sang Raja. Siap, Tuanku! Hamba laksanakan! sahut Petugas Istana. Penguburan si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada saat persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena dianggap sudah mati. Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan cepatnya ia terbang setinggitingginya. Di udara ia berteriak dengan riang gembira, Aku bebaasss!!! Aku bebaasss.!!!. Orang-orang hanya terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang tinggi. Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu yang ia cintai. Kedatangan si Parkit pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya. Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya.

Anda mungkin juga menyukai