Anda di halaman 1dari 13

Tugas

Bahasa Indonesia

CERITA FABEL SINGKAT

Oleh :
JELITA ANDELA SAFIRA

KELAS
VII a

MTs AL-QASIMIYAH SOREK SATU


Tp. 2019 /2020
Cerita Fabel: Raja Burung Parkit (Aceh)

Burung-burung parkit itu terbang berarak. Mereka menuju hutan luas untuk mencari
makanan. Tiba-tiba, mata mereka yang mungil secara bersamaan memandang biji-bijian
yang tersebar di tanah yang cokelat, berada di antara rimbunan pohon besar. Tanpa
diperintah, tubuh-tubuh kecil itu pun langsung melesat cepat menuju hamparan makanan
itu.
Saat kaki parkit-parkit itu menyentuh tanah, tiba-tiba sebuah jaring raksasa terentang dan
menyergap mereka. Parkit-parkit itu pun panik. Tubuh-tubuh kecil itu meronta-ronta dan
berusaha meloloskan diri dari rangkaian jaring yang kuat itu.
”Sakit sekali Aku tidak bisa bernapas!” pekik seekor parkit yang panik karena terjepit di
antara teman-temannya.
“Tolong… tolong!” teriak salah satu parkit.
“Hai…, kawan!? Di tempat seperti ini tidak ada yang bisa menolong kita. Jadi, jangan buang
tenagamu sia-sia untuk berteriak-teriak. Saat ini yang dibutuhkan adalah siasat untuk
meloloskan diri dari jaring-jaring ini,” kata parkit yang lain.
Raja Parkit yang juga ikut terjebak dan mendengar keluhan rakyatnya berusaha
menenangkan.
“Jangan panik kalian semua! Kita sedang berada di dalam perangkap. Sebentar lagi,
pemburu akan datang. Ia akan memilih burung-burung yang masih hidup. Burung yang
mati akan dibuangnya. Karena itu, kita semua harus berpura-pura mati. Nanti, setelah aku
beri aba-aba, saat itulah kita akan terbang bersama-sama.”
Memang, salah satu kelebihan yang dimiliki sebagian besar bangsa burung adalah mampu
berpura-pura mati dengan cara menahan napas dalam waktu yang lama. Ini dilakukan
untuk mengelabui musuh atau calon pemangsa. Jadi, tak berapa lama kemudian, tubuh
parkit-parkit itu langsung berjatuhan ke tanah. Kaku, seakan-akan telah mati dalam waktu
yang sudah lama.
“Huh, sial benar hari ini! Semua burung yang masuk dalam perangkap telah mati,” kata si
pemburu. ”Burung-burung yang mati seperti ini tidak mungkin laku dijual,” gerutunya.
Saat pemburu itu memperhatikan Raja Parkit, ia begitu tertarik dengan keindahan bulu-
bulunya. Ia pun meletakkan sang raja dalam sangkar untuk diawetkan. Karena merasa
dirinya sudah diletakkan di luar jaring bersama burung-burung yang lain, sang raja pun
memberi aba-aba pada rakyatnya untuk segera terbang.
Burung-burung parkit yang terlihat kaku itu pun dengan sigap dan tangkas berubah segar
dan terbang menuju awan. Namun, sang raja lupa kalau dirinya justru berada di dalam
sangkar. Jadilah ia tertinggal sendiri di dalam sangkar.
Walaupun kaget dengan kejadian itu, si pemburu tampak sangat bahagia. Ternyata, burung
yang dikaguminya masih hidup. Si pemburu sudah tidak peduli lagi dengan ratusan burung
lain yang terbang.
Tanpa buang waktu, Raja Parkit diletakkan di sangkar yang indah dan dibawa ke pasar.
Sepanjang hari, Raja Parkit bernyanyi untuk menghibur diri. Suaranya yang sangat indah
membuat kagum mereka yang mendengarnya. Si pemburu pun memasang harga yang
sangat tinggi jika ada yang ingin membeli burung itu.
Keindahan suara sang Raja Parkit akhirnya terdengar oleh raja. Sang raja tidak hanya jatuh
cinta pada suaranya, tapi juga pada keindahan bulu-bulunya. Walaupun harga yang
ditawarkan pemburu sangat tinggi, sang raja tetap ingin membeli burung itu. Raja Parkit
pun dibawa ke istana dan ditempatkan dalam sangkar emas.
Meski diberi tempat dan makan yang enak, Raja Parkit tetap memendam rindu pada rumah
dan rakyatnya. Dari hari ke hari, kicauannya berubah menjadi nyanyian sedih. Raja Parkit
pun jatuh sakit. Ia telah kehilangan semangat hidup. Tubuhnya melemah dan tidak lagi
bernyanyi.
Melihat keadaan burung kesayangannya, sang raja pun menjadi sangat sedih. Suatu hari, ia
melihat tubuh burung itu diam tak bergerak di dalam kandangnya. Dengan perasaan tak
menentu, Raja Parkit dikeluarkan dari dalam sangkar untuk dikuburkan.
Saat jasadnya diletakkan begitu saja di atas tanah, Raja Parkit tidak menyia-nyiakan
kesempatan tersebut. Meski dengan kondisi tubuh yang lemah, ia segera terbang tinggi
untuk kembali ke hutan dan menemui rakyatnya. Sesampainya di sana, Raja Parkit pun
disambut gembira.
Pesan Cerita: Pemimpin yang bijaksana lebih mementingkan keselamatan rakyatnya
dibandingkan keselamatan dirinya sendiri.

Kisah Ikan Tongkol dan Ayam (Riau)

Zaman dahulu, di Pulau Natuna dan Anambas, semua hewan saling bersahabat, baik yang
hidup di darat maupun di laut. Di antara mereka yang berteman baik adalah bangsa ayam
dan bangsa ikan tongkol.
Suatu ketika, bangsa ayam mendatangi bangsa ikan tongkol untuk mengabarkan adanya
pesta dengan zikir bardah (doa atau puji-pujian berlagu) pada malam bulan purnama.
“Kalian harus datang karena pesta sebesar ini belum tentu ada di tahun depan. Pokoknya,
kalian akan rugi kalau tidak bisa menyaksikan kemeriahannya!” seru bangsa ayam.
Mendengar berita tersebut, bangsa ikan tongkol menyambut gembira. Mereka memang
sudah lama ingin menyaksikan zikir bardah yang disertai tetabuhan rebana dari jarak
dekat. Apalagi, acara tersebut berlangsung pada saat bulan purnama, saat air laut pasang.
“Baiklah, sahabatku, kami akan datang. Terima kasih atas undangan kalian,” kata
pemimpin Ikan tongkol.
“Aku pun bahagia karena kita bisa berpesta bersama di darat,” jawab bangsa ayam.
”Namun, sebelumnya aku mohon pertolongan kalian. Berkokoklah sebelum fajar
menyingsing saat air laut akan surut. Jangan sampai terlambat karena rakyatku pasti akan
celaka,” pinta pemimpin Ikan tongkol.
“Tenang saja. Tanpa kau minta, kami pasti akan berkokok Jauh sebelum Matahari terbit. Itu
sudah menjadi pekerjaan kami setiap hari!” seru sang ayam meyakinkan.
Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Ketika bulan purnama tiba dan air laut pasang,
segerombolan ikan tongkol berbondong-bondong menuju daratan. Air pasang membawa
mereka hingga di bawah panggung tempat zikir badar berlangsung.
Mereka terlena dengan alunan rebana, lantunan zikir, dan juga pantun. Acara terus
berlangsung hingga larut malam. Bangsa ayam tentu saja ikut larut dalam kegembiraan.
Mereka pun terlena dengan kemeriahan pesta.
Semua yang hadir dalam acara tersebut baru tertidur menjelang pagi. Bisa dipastikan,
mereka semua terlambat bangun. Begitu pula dengan ikan tongkol. Mereka tentu saja
terkejut karena Matahari sudah meninggi dan air laut telah kembali surut.
Beberapa di antara mereka yang berdiam dekat dengan batu karang berlarian menuju
lekuk karang yang banyak airnya. Namun, sebagian lagi tidak bisa menuju ke tengah laut
karena pantai telah mengering. Mereka pun menggelepar-gelepar di kolong panggung
tempat pesta semalam.
“Hoiii…!!! Ada ikan terdampar. Ayo, kita tangkap…” seru para nelayan.
Suara tersebut mengagetkan bangsa ayam. Mereka semua langsung terbangun.
“Celaka!!! Apa yang harus kita lakukan. Bangsa ikan tongkol pasti marah pada kita!” terlak
pemimpin bangsa ayam.
Dalam kepanikan itu, bangsa ayam pun menuju pantai. Mereka tidak tega melihat sekian
banyak ikan tongkol mati dan ditangkap manusia.
Dari arah karang, pemimpin ikan tongkol berseru, ”Hai, bangsa ayam… mana janji kalian!?
Aku tidak akan pernah memaafkan kelalaian kalian sampai kapan pun.”
“Maafkan kami.… Kalian lihat kan, kita semua terlambat bangun!” seru bangsa ayam.
Ikan tongkol sudah tidak peduli dengan permintaan maaf bangsa ayam.
“Perhatikanlah wahai bangsa ayam. Kami akan memangsa bangsa kalian sebagai balasan
atas kematian rakyat kami. Kalaupun tidak mendapatkan tubuh kalian, bulu-bulu kalian
pun akan kami makan!”
Sejak saat itu, bangsa ayam bermusuhan dengan bangsa ikan tongkol. Hingga saat ini, para
nelayan di Kepulauan Natuna dan Anambas Kepulauan Riau selalu menggunakan bulu
ayam jantan yang diambil dari bagian tengkuk sebagai umpan memancing ikan tongkol di
lautan.

Pesan Cerita: Sebuah janji memang harus ditepati. Mereka yang berjanji harus benar-benar
menjaga dan melaksanakan janjinya agar tidak merugikan pihak lain.

Cerita Fabel Pendek:


Kecerdikan Burung Puyuh (Bengkulu)

Pada suatu masa, manusia, hewan, dan pohon dapat saling berkomunikasi satu dengan
yang lain. Saat itu jugalah hidup seorang yang sangat kejam bernama Pak Sugeak. Ia
hidupsendiri di sebuah rumah besar di pinggir hutan. Meski kaya-raya, ia sangat serakah
sehingga semua makhluk enggan berkawan dengannya.
Tidak jauh dari rumah Pak Sugeak, hiduplah seekor burung puyuh. Suatu hari, burung
puyuh, yang sedang mencari makan dengan mengais-ngais tanah mencari cacing,
dikejutkan seruan Pak Sugeak.
“Pergi kau burung kecil kotor! Jangan ganggu cacing-cacing itu. Mereka sedang
menggemburkan kebunku. Kalau mereka kau makan, kau yang akan aku suruh untuk
menggantikan pekerjaan cacing-cacing itu.”
Sang burung puyuh rupanya sakit hati dengan kata-kata Pak Sugeak. Tanpa berpikir lama,
ia mendatangi kancil sahabatnya yang terkenal cerdik untuk meminta nasihat.
“Cil, tingkah-laku Pak Sugeak sudah keterlaluan, dia merasa semua yang di dunia ini
miliknya. Dia sudah sangat serakah. Kita harus berbuat apa untuk menghentikannya?
Biasanya, kau punya ide yang hebat, sahabatku,” kata burung puyuh.
“Maaf, kawan. Aku rasa Pak Sugeak terlalu kuat untuk dilawan,” kata Kancil menyerah.
“Cil, tidak ada makhluk yang lebih kuat daripada Tuhan. Jadi, aku yakin pasti ada sesuatu
yang bisa mengalahkan Pak Sugeak. Itulah yang harus kita cari,” kata burung puyuh
memberi keyakinan.
Sebatang pohon kopi yang berada di sana ikut bersuara. “Benar yang dikatakan burung
puyuh itu. Aku juga sudah tak tahan dijadikan tempat untuk mengikat kambing-
kambingnya. Lihatlah badanku, bengkak dan lecet semua.”
“Ternyata, bukan aku saja yang sakit hati pada Pak Sugeak. Aku pikir, kita semua bisa
bekerja sama untuk melawannya,” kata puyuh lagi.
”Itulah yang sejak dulu aku pikirkan. Pak Sugeak terlalu kuat dan pintar. Walaupun kau
dan aku bersatu, kita tidak akan bisa menang,” ucap si pohon kopi yang sudah ragu.
“Kawan-kawan, bukan hanya kalian yang ingin memberi pelajaran buat Pak Sugeak. Aku
juga ingin. Apalagi, banyak temanku yang dijadikan tungku dan dijual oleh Pak Sugeak.”
Kali ini si tanah liat ikut berbicara.
Si burung puyuh pun berpikir sejenak. Setelah itu, dia berseru, ”Kalau begitu, kita semua
harus bersatu!”
Selanjutnya, burung puyuh mengajak ketiga temannya Itu untuk lebih mendekat. Dia ingin
membisikkan sesuatu. Setelah mendengar ide dari burung puyuh, ketiganya mengangguk
setuju.
Saat hari menjelang tengah malam, mereka sudah berada di rumah Pak Sugeak. Ketika
orang itu sudah tidur, si batang kopi mengetuk pintu rumah sangat keras. Dengan mata
setengah terpejam, Pak Sugeak menuruni tangga rumah hendak membuka pintu. Ketika
kakinya menyentuh anak tangga terakhir, tiba-tiba tubuh lelaki kejam itu tergelincir
karena menginjak si tanah liat licin yang dengan sengaja berada di sana.
Dengan menahan rasa sakit, Pak Sugeak mencoba untuk bangun. Namun, belum sempat
berdiri, wajah Pak Sugeak terkena hantaman kuku tangan si kancil. Akibatnya, mata kanan
orang itu tidak bisa melihat. Sambil terhuyung-huyung, ia masih berusaha mencari-cari
sesuatu di dapur.
Saat itulah burung puyuh mengepakkan sayapnya dengan keras sehingga abu dapur
beterbangan dan masuk ke mata kiri Pak Sugeak. Lelaki itu pun berteriak menahan sakit.
Tak lama kemudian, batang kopi datang dan memukul tubuh Pak Sugeak dari belakang
hingga jatuh terkapar.

“Apakah kau masih bisa berlaku kejam, Pak Sugeak!?” seru burung puyuh.
“Siapa kalian?” tanya Pak Sugeak.
“Kami semua adalah korban kejahatanmu,” tambah si kancil.
“Baiklah, aku minta maaf. Akan tetapi, tolong jangan sakiti aku lagi,” iba Pak Sugeak.
“Kami akan memaafkanmu, tetapi dengan satu syarat!” kata si kancil. “Apa itu?” Pak Sugeak
bertanya.
“Mulai saat ini, kau harus meninggalkan tempat ini. Pindahlah ke tempat lain dan janganlah
berbuat kejam lagi di tempat barumu itu.”
“Kalau itu memang keinginan kalian, baiklah. Aku akan pergi jauh dan tidak akan
mengulangi kesalahanku di tempat yang baru,” janji Pak Sugeak.
Pagi harinya, mereka pun melihat Pak Sugeak meninggalkan rumahnya yang besar tanpa
membawa harta bendanya.
Pesan Cerita: Keserakahan akan merugikan pelakunya.

Cerita “Siput Memuji Buntut” (Bengkulu)

Di Bengkulu ada sebuah peribahasa terkenal yang berbunyi ”Siput Memuji Buntut”.
Peribahasa itu adalah perumpamaan bagi orang yang suka memuji diri sendiri, sombong,
dan selalu merasa paling unggul.
Ada kisah terkenal mengenai kesombongan si kancil kepada hewan lain yang dianggapnya
lemah. Kancil dikenal sebagai hewan yang cerdik dan pintar. Selain itu, ia juga sering
menolong yang lemah sehingga banyak hewan yang mau bersahabat dengannya.
Ternyata, hal itu memupuk rasa sombong di dalam dirinya. Tanpa sadar, ia menjadi besar
kepala, menganggap dirinya paling pintar di seantero hutan. Bahkan, kadang ia
meremehkan kecerdikan hewan lain yang menurutnya lemah dan tidak berdaya.
Suatu saat, kancil bertemu dengan siput. Hewan kecil ini berjalan dengan perlahan,
menikmati udara pagi yang indah di dalam hutan. Ia ingin menghirup udara segar sepuas-
puasnya. Kancil yang telah berada di sana pun menyapanya.
”Selamat pagi, siput. Aku lihat pagi ini kau begitu kelelahan. Mungkin bebanmu teramat
berat hingga jalanmu pelan sekali. Sebaiknya, kau tinggalkan saja rumahmu itu, tidak
perlulah engkau bawa ke mana-mana. Dengan begitu, aku yakin jalanmu bisa Jadi lebih
cepat.”
Siput merasa kata-kata kancil itu mengejek dirinya. “Hai, kancil, aku sudah terbiasa
membawa rumahku ini. Jadi, aku tidak pernah merasa lelah atau terbebani. Malah, aku jadi
leluasa menikmati indahnya pagi dengan berjalan santai seperti ini.”
“Itu sih alasanmu saja. Buktinya, kerjamu hanya makan dan bermalas-malasan. Itu artinya
rumah itu sangat membebanimu,“ ujar kancil lagi.
Siput tak menyangka mendapat ungkapan seperti itu dari kancil, hewan yang selama ini
dihormatinya karena pintar dan sering membantu hewan lain.
“Aku tahu, kau memang hewan paling hebat di hutan ini. Namun, itu bukan berarti kau bisa
merendahkan hewan lain,” kata siput menasihati.
”Kalau kau merasa tersinggung dengan ucapanku, buktikanlah bahwa dirimu memang
hebat!”
Siput makin terkejut. Dia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Mungkin
semuanya telah berubah. Kepintaran si kancil telah membuat dirinya sombong.
“Baiklah,… Karena kau meremehkanku, aku akan membuktikan bahwa kepintaranku sama
dengan dirimu, bahkan lebih. Otakku ini bahkan mungkin lebih besar daripada milikmu!”
seru siput.
”Apa aku tidak salah dengar? Bayangkan kalau seisi hutan ini mendengar ucapanmu.
Mereka pasti akan menertawakanmu. Tidak ada hewan lain di sini yang bisa menandingi
kecerdikanku,” kata kancil sombong.
“Engkau yang seharusnya ditertawakan. Dirimu sudah banyak berubah. Engkau bukan
kancil yang dulu lagi. Baiklah, agar kau kembali sadar dan tidak sombong, kita buktikan
siapa yang terbaik. Aku akan menantangmu untuk lomba lari,” ujar siput dengan yakin.
Kancil semakin lupa diri mendengar tantangan itu, yang baginya tidak masuk akal.
”Hei… tanpa diadu pun semua hewan tahu kalau akulah yang akan jadi pemenangnya.
Namun, untuk menghormatimu, aku akan melayani tantangan itu.”
“Besok pagi, di tempat ini, kita akan mulai bertanding. Kita akan menyusuri sungai ini
sampai ke hulu di bukit sana. Yang tiba lebih dahulu di bukit, itulah yang jadi
pemenangnya, ” kata siput lagi.
Kancil pun setuju. Tak lama kemudian, ia langsung pergi meninggalkan siput.
Segera saja siput mengumpulkan teman-temannya. Mereka mengadakan rapat untuk
menyusun strategi.
“Mulai sekarang, semua bergerak menyusuri pinggir sungai sampai ke garis akhir. Masing-
masing siap di tempatnya. Kalau besok kancil memanggil, siput terdekat yang akan
menjawab,” begitulah uraian penutup sebelum rapat berakhir.
Waktu yang dinantikan pun tiba. Seluruh hewan sudah datang ke tempat lomba. Siput dan
kancil pun telah bersiap. Setelah hitungan ketiga, kancil lari secepat kilat meninggalkan
siput yang berjalan dengan santai. Ketika sudah agak jauh, kancil berkata dengan lantang,
“Kau pasti masih jauh di belakang karena jalanmu lamban!”
Kancil terkejut saat mendengar jawaban yang tak kalah lantang, “Aku sudah di sini, di
depanmu.“
Melihat siput sudah berada di depan, emosi kancil terpancing. Ia mempercepat larinya.
Ketika sudah sampai jauh dan mulai kelelahan, kancil pun berniat beristirahat.
”Siput itu pasti masih jauh. Aku akan istirahat dulu,” kata kancil terengah-engah.
Belum sempat kancil memperlambat langkahnya, dari depan terdengar suara lagi.
”Rupanya kau kelelahan teman. Kalau mau istirahat, silakan saja. Aku akan berjalan
duluan,” kata siput.
Kancil pun kaget. Ia tidak jadi beristirahat. Kancil kembali berlari sekuat tenaga sampai
terjatuh karena kelelahan dan menyerah kalah.

Pesan Cerita: Akal sehat mampu mengalahkan kepintaran yang disertai kesombongan.

Dongeng Kancil yang Licik (Bengkulu)

Seekor kancil berlari-lari kecil di Jalanan setapak di pinggir hutan. Dengan riangnya, ia
bernyanyi dan menyapa setiap hewan yang ditemui di sepanjang perjalanan. Sampailah ia
di sebuah ladang yang ditumbuhi pohon mentimun. Hari yang sangat terik membuat kancil
tergoda untuk menyantap mentimun yang segar itu.
Namun, kancil harus bersabar karena Pak Tani masih berada di tengah ladang. Menjelang
sore, Pak Tani akhirnya meninggalkan ladang. Karena rasa lapar yang ditahannya sejak
siang, kancil langsung masuk ke ladang dan menyantap mentimun yang ada di sana hingga
kenyang. Kancil baru kembali ke hutan saat hari menjelang malam.
”Besok, aku akan datang ke sini lagi,” pikir si kancil. Esok harinya, Pak Tani terkejut
melihat ladang mentimun miliknya rusak. “Ini tidak bisa dibiarkan. Dari bekas gigitannya,
pasti hewan bergigi kecil. Aku akan memberinya pelajaran.”
Pak Tani berkeliling ladang mencari tahu jenis hewan dan dari mana hewan itu masuk ke
dalam ladang. Setelah cukup lama menyusuri ladang, Pak Tani menemukan bekas-bekas
jejak kaki hewan. Akhirnya, di dekat tempat itu, dibuat sebuah lubang jebakan yang
ditutupi dengan dedaunan.
“Malam ini, hewan itu pasti akan kembali. Namun, kali ini dia tidak akan lolos,” kata Pak
Tani sembari melangkah pulang.
Dugaan Pak Tani ternyata benar. Malam itu, kancil datang kembali melewati jalan yang
sama. Tanpa rasa curiga, ia berjalan melenggang sambil sesekali berlari-lari kecil. Ketika
sampai di pinggir ladang, tiba-tiba tubuhnya terjerembab ke dalam sebuah lubang.
“Bruukl”
Sejenak kancil tertegun dalam lubang yang gelap. Mau tak mau ia harus berpikir panjang,
otak kancil segera mencari akal. Ia pun melantunkan mantra dari dalam lubang.
“Pat-terempat esok hari akan kiamat, masuklah ke lubang agar selamat!” seru kancil
dengan lantang dari dalam lubang.
Seekor tikus yang lewat dan mendengar mantra itu langsung saja menceburkan diri ke
dalam lubang tersebut. Tidak hanya Itu. Kelinci, monyet, kambing, dan ular juga
memercayai mantra tersebut dan ikut masuk ke dalam lubang. Mereka percaya yang
berada dalam lubang akan selamat saat hari kiamat.
Menjelang pagi, lubang kecil Itu sudah penuh. Tiba-tiba, mereka mencium bau yang amat
busuk.
“Teman-teman, siapa di antara kalian yang kentut hingga baunya sangat mengganggu.
Lubang ini terlalu sempit untuk kita. Jadi, yang kentut harus dilempar keluar!” seru si
kancil.
Semuanya yang ada di situ terdiam dan memandang satu sama lain.
“Kalau tidak ada yang mengaku, ayo kita periksa,” usul kambing yang disetujui semua
hewan yang berada di situ. Setelah diperiksa, ternyata kancil yang kentut. Akhirnya,
dengan terpaksa ia dilempar ke luar lubang.
Setelah berada di luar lubang, kancil mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya.
“Sampai jumpa lagi, kawan-kawan. Maafkan aku yang telah menipu kalian semua. Hari ini
kiamat ternyata tidak terjadi. Jangan lupa juga sampaikan salamku untuk Pak Tani,” kata
kancil sambil segera berlari kencang menuju hutan.

Pesan Cerita: Kecerdikan ternyata dapat dimanfaafkan untuk menipu mereka yang bodoh.

Cerita Buaya yang Ingin Menyantap Gajah (Lampung)

Pak Buaya terkenal sebagai hewan yang rakus dan serakah. Setiap hari, tak kurang dari
seekor kambing atau sepuluh ekor bebek disantapnya. Hal ini tentu meresahkan hewan
lain yang sering mencari makan dan minum di pinggir sungai. Kerakusan Pak Buaya
membuat mereka harus sangat hati-hati agar tidak menjadi santapannya.
Hewan-hewan yang gelisah dan merasa terancam ini pun berkumpul untuk mengadakan
pertemuan. Pak Kambing ditunjuk memimpin rapat itu. Ia dianggap lebih pintar di antara
hewan lain.
“Jalan satu-satunya agar kita selamat dan hidup tenang adalah menyingkirkan Pak Buaya
dari sungai,” ujar Pak Kambing saat membuka rapat.
“Benar, Pak Kambing. Cuma kami tak tahu caranya. Apalagi, Pak Buaya sangat buas. Tak
seekor hewan pun yang berani kepadanya,” seru tupai lantang.
“Nah, untuk itulah kita semua berkumpul di sini. Masalah ini harus kita pecahkan
bersama,” sahut bebek.
“Bagaimana kalau kita lawan saja? Kalau kita semua yang ada di sini bersatu untuk
melawannya, Pak Buaya pasti kalah,” usul sapi.
Pak Kambing menggelengkan kepala tanda tidak setuju.
“Kita tidak akan melawan kekerasan dengan kekerasan. Bisa-bisa, kita semua akan binasa
dan mati dengan sia-sia.”
“Benar kata Pak Kambing. Kita semua pasti akan kalah, apalagi Pak Buaya juga memiliki
banyak teman. Mereka akan menganggap kita semua sebagai hidangan pesta yang lezat,”
kata bebek lagi.
Akhirnya, semua hewan yang ada di dalam rapat itu terdiam dan mulai berpikir mencari
cara yang tepat untuk mengalahkan Pak Buaya.
“Aku tahu apa yang harus kita lakukan!” seru Pak Kambing memecah keheningan.
“Ide Pak Kambing pasti cemerlang,” kata sapi tak sabar.
“Begini, kita semua tahu, Pak Buaya adalah hewan yang rakus. Namun, kita juga tahu, ia
adalah hewan bodoh. Besok, aku akan pergi ke pinggir sungai. Aku akan memintanya
menemui gajah.”
“Hati-hati, jangan sampai engkau yang menjadi santapan Pak Buaya!” seru kelinci
memperingatkan.
Keesokan hari, Pak Kambing pergi ke pinggir sungai untuk menjalankan idenya. Ia
memang sengaja berlama-lama menunggu kehadiran Pak Buaya sambil selalu waspada.
Pak Kambing tidak ingin dirinya dijadikan santapan Pak Buaya.
Pak Buaya akhirnya muncul dan berjalan menuju ke arah Pak Kambing. Sebelum dekat,
Pak Kambing segera menyapanya. “Hari ini kau pasti sangat lapar. Namun, kalau kau
menyantapku sekarang, dirimu pasti akan menyesal. Soalnya, aku tahu tempat hewan yang
sangat besar yang bisa membuatmu kenyang dan tidak makan selama satu minggu.”
“Oh ya, di mana itu?” Pak Buaya yang rakus memang selalu tidak sabar kalau mendengar
makanan yang banyak.
“Tenang dulu, Pak Buaya. Tidak usah terburu-buru. Hewan itu bernama gajah. Ia tinggal di
hulu sungai ini. Memang agak jauh dari sini. Akan tetapi, kalau kau sudah menemukannya,
aku jamin kau suka. Jumlah mereka sangat banyak sehingga kau tidak perlu khawatir
kelaparan. Kalau dibandingkan dengan yang ada di sini, jauh sekali. Hewan di sini kecil-
kecil dan jumlahnya semakin sedikit karena kau selalu memangsanya,” kata Pak Kambing.
”Baiklah. Aku harap engkau tidak berbohong. Aku akan datang ke sana. Toh, tempat itu
tidak terlalu jauh. Aku cukup berenang selama empat hari saja. Terima kasih atas
informasimu, Pak Kambing,” ujar Pak Buaya senang.
Tanpa membuang waktu, Pak Buaya berenang menuju hulu sungai. Meski belum pernah
bertemu dengan gajah, Pak Buaya sangat yakin akan menemukan hewan itu dengan
mudah. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Pak Buaya melihat sekelompok
hewan bertubuh besar sedang minum di sungai. Wajah Pak Buaya terlihat gembira.
“Inilah hewan yang diceritakan Pak Kambing. Mereka memang sangat besar. Sekali santap,
aku pasti akan merasa kenyang selama satu minggu,” pikir Pak Buaya.
Pak Buaya pun berjalan mendekat ke arah gajah-gajah itu. Sebelum sampai di tempat yang
dituju, seekor gajah telah melihatnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, salah satu dari
gajah yang paling besar mendekati Pak Buaya dan menginjak Pak Buaya dengan salah satu
kakinya.
Karena tidak diduga, Pak Buaya tidak sempat menghindar atau melakukan perlawanan.
Pak Buaya akhirnya mati karena tubuhnya diinjak sang gajah.

Pesan Cerita: Kebodohan bisa menyebabkan kurang perhitungan yang akhirnya dapat
merugikan diri sendiri.

Cerita Fabel: Badak Pembohong (Banten)

Badak sebenarnya hewan yang baik. Ia suka berbagi makanan pada hewan lain. Sayangnya,
ia sangat suka berbohong, meskipun hal itu dilakukannya sekadar iseng. Ternyata,
keisengannya ini merugikan dirinya dan hewan lain.
Di siang hari yang terik, kambing sedang tidur-tiduran di bawah pohon besar. Suasana
yang teduh dan hawa yang sejuk membuat kambing hampir tertidur. Tiba-tiba, badak
datang dan mengagetkannya.
“Hoi, kambing!!!” teriak badak lantang. “Mengapa engkau malah enak-enakan tidur di sini,
sementara teman-temanmu sedang bersusah payah memperbaiki rumahmu yang rusak
tertimpa pohon!?”
Mendengar hal itu, si kambing pun terkejut. “Yang benar, badak. Waktu aku pergi,
rumahku masih baik-baik saja.”
”Kejadiannya belum begitu lama,” kata badak.
Perkataan badak yang sangat meyakinkan membuat kambing terpengaruh dan percaya.
“Kalau begitu, aku harus segera pulang. Terima kasih atas informasimu.”
Begitu kambing pergi menjauh, si badak tertawa terbahak-bahak. “Kambing itu rupanya
tak tahu sedang aku bohongi. Ha… ha… ha….”
Rupanya, si badak berbohong agar ia bisa berteduh di bawah pohon besar Itu.
Di lain waktu, ketika si badak ingin berendam di sungai, di situ ternyata sudah ada
sekelompok bebek yang sedang bermain. Si badak pun merencanakan kebohongan lain
agar bisa menguasai sungai itu dan berendam dengan leluasa.
”Hai, bebek. Berani sekali kau mandi di sungai ini. Apa kau tidak takut dimakan buaya!?”
seru badak dengan lantang dari tepi sungai.
“Mana ada buaya di sini? Kami sudah lama mandi di sungai ini dan belum pernah sekali
pun bertemu buaya,” bantah bebek.
“Buaya itu memang baru tinggal di sungai ini kemarin. Aku melihatnya sendiri. Dia tinggal
di gua pinggir sungai itu. Sekarang ia pasti sedang tidur. Kalau nanti bangun, ia pasti
kelaparan dan akan memangsa kalian.”
”Benarkah begitu?” tanya bebek-bebek itu serentak.
“Terserah kalian mau percaya atau tidak. Yang penting, aku sudah memberi tahu kalian.
Kalau kalian tidak menghargai niat baikku, ya tidak apa-apa,” kata badak.
Setelah berkata demikian, si badak pun pura-pura berjalan pergi. Ia bersembunyi di balik
semak-semak di tepi sungai. Ternyata, tipuannya kali ini juga berhasil. Bebek-bebek itu
keluar dari sungai dan pergi menjauh. Setelah bebek-bebek itu tidak tampak lagi, barulah
si badak keluar dari tempat persembunyian dan berendam di sungai.
Begitulah tingkah laku si badak. Hampir setiap hari ada saja hewan di hutan yang
dibohongi demi kepentingannya sendiri. Akhirnya, semakin banyak hewan yang tidak
percaya lagi kepadanya.
Suatu hari, di hutan tempat badak tinggal, hujan turun dengan sangat deras. Angin pun
bertiup kencang. Tidak ketinggalan petir sambar-menyambar. Akibatnya, banyak pohon di
hutan roboh. Saat hujan mengganas, badak sedang berada di dalam gua, tempat tinggal
beruang. Ia pun baru pulang ke rumah saat hujan reda.

Sesampai di depan rumah, badak sangat terkejut mendapati tempat tinggalnya hancur
tertimpa pohon. Karena panik, si badak berlari mencari bantuan kepada hewan-hewan lain
di hutan. Sayangnya, mereka tidak lagi percaya pada kata-kata si badak.
“Tolonglah, rumahku hancur tertimpa pohon. Bantu aku memperbaiki rumahku,” kata
badak setengah menangis.
“Sudahlah. Biar pun kau menangis sampai air matamu habis, tak akan ada hewan di hutan
ini yang percaya lagi kepadamu,” kata kambing ketika badak mendatanginya.
Ketika badak mendatangi kerbau, jawabannya pun tak Jauh berbeda.
“Kali ini, aku tidak bohong,” kata badak meyakinkan.
“Kami sudah tidak bisa membedakan kapan kau bohong dan tidak,” kata gajah saat badak
meminta tolong kepadanya.
Lelah meminta pertolongan, si badak cuma bisa menangis. Malam itu, ia harus tidur di luar.
Tubuhnya pun kedinginan. Selain itu, besoknya ia harus membangun rumahnya sendiri,
tanpa bantuan dari kawan-kawannya.

Pesan Cerita: Kebiasaan berbohong membuat makhluk lain tidak akan percaya pada kita.

Cerita Fabel: Kijang dan Kura-kura (Jawa Tengah)

Harimau adalah raja hutan yang sangat bijaksana. Jadi, tidak mengherankan kalau semua
hewan di hutan hormat dan tunduk kepadanya. Kalau si raja ini memerintahkan sesuatu,
tak ada satu hewan pun yang berani membantah.
Sebulan sekali, saat purnama muncul, semua hewan penghuni hutan diwajibkan
berkumpul di padang rumput. Di sana mereka akan membicarakan segala permasalahan
yang ada di hutan itu. Biasanya, masing-masing hewan juga membawa hadiah istimewa
untuk diberikan pada si raja hutan.
Sore itu, semua hewan sedang bersiap-siap menghadiri pertemuan di padang rumput.
Tidak ketinggalan pula si kijang. Ia akan memberikan sebuah mangkuk yang indah pada
raja hutan. Mangkuk itu terbuat dari tempurung kelapa yang sangat besar.
”Harimau pasti akan suka dengan mangkuk tempurung ini. Aku rasa ini adalah tempurung
terbesar yang ada di dunia,” pikir kijang.
Dengan riang gembira, kijang berjalan menuju padang rumput sambil membawa
tempurung tersebut. Pada zaman dahulu, kijang tidak bisa berlari. Karena itu, ia sengaja
berangkat lebih awal agar tidak terlambat sampai di tempat pertemuan.
Di tengah perjalanan, kelinci memanggilnya, ”Kijang… maukah kau menolongku?”
“Dengan senang hati. Apa yang bisa kubantu, kelinci?” Kijang lalu menghampiri kelinci,
sementara mangkuk tempurung ia letakkan begitu saja di pinggir jalan.
“Aku kesulitan membungkus hadiah untuk raja hutan. Nah, kau pasti bisa melakukannya.
Aku tahu kau adalah hewan yang memiliki selera seni tinggi. Jadi, apa pun yang kau buat,
pastilah hasilnya sangat bagus.” Si kelinci pun menarik kijang masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, di tempat lain, kura-kura sedang berlari menuju rumahnya. Ia sedang
terburu-buru.
“Gawat… hari sudah sore. Aku belum menyiapkan baju untuk pertemuan nanti.”
Dulu, kura-kura terkenal sebagai hewan yang memiliki kemampuan berlari cepat karena
badannya belum bertempurung seperti sekarang. Di hutan itu, kura-kura juga terkenal
sebagai hewan yang sangat modis. Pada setiap acara yang didatangi oleh banyak hewan, ia
selalu tampil dengan pakaian yang indah.
Karena berlari sangat cepat, si kura-kura tidak melihat ada tempurung besar yang
diletakkan begitu saja oleh kijang.
Brukkkk!! Si kura-kura terjatuh karena kakinya tersandung tempurung itu. Bukannya
marah atau kesal, wajah kura-kura malah terlihat ceria.
“Aha… bagus sekali tempurung ini. Akhirnya, aku menemukan pakaian yang cocok untuk
kupakai buat acara nanti.”
Kura-kura membawa tempurung itu pulang. Sesampainya di rumah, ia mengikatkan
tempurung itu di atas punggungnya.
”Hmm… pakaian ini membuatku terlihat gagah. Tapi… berat sekali ya. Kalau seperti ini, aku
tidak bisa berlari cepat ke tempat pertemuan. Tak apalah, yang penting semua hewan akan
memandang kagum kepadaku.”
Di tempat lain, kelinci dan kijang sudah bersiap untuk berangkat. Begitu keluar dari rumah
kelinci, kijang sangat kaget karena tempurung yang ia bawa menghilang.
”Siapa yang tega mencuri tempurung itu?” tanya kijang menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah… anggap hadiah ini milik kita berdua,” bujuk kelinci.
Si kijang pun setuju dan berhenti menangis.
Malam itu, padang rumput sudah dipenuhi seluruh hewan. Mereka sedang menunggu
kedatangan raja hutan. Kura-kura adalah hewan yang terakhir datang. Ia tampak gagah
dengan baju barunya. Semua mata tertuju pada kura-kura. Ya, hampir semua hewan
mengagumi penampilan kura-kura malam itu, kecuali si kijang dan kelinci.
“Ternyata, kau yang mencuri tempurungku,” teriak kijang mengagetkan semua yang ada di
sana.
”Enak saja. Aku menemukan tempurung ini di pinggir jalan,” bantah kura-kura.
Untunglah harimau si raja hutan segera datang.
Kijang pun segera mengadu. “Tuanku Harimau, kura-kura telah mencuri tempurung yang
sebenarnya akan hamba berikan pada tuanku sebagai hadiah. Kelinci ini sebagai saksinya,
Tuanku.”
“Hamba tidak mencuri, Tuanku. Hamba menemukannya di pinggir Jalan, di depan rumah
kelinci,” ujar kura-kura membela diri.
”Apa betul begitu, kelinci?” tanya harimau menyelidiki.
“Benar, Tuanku. Kijang meninggalkan tempurung itu di depan rumah hamba karena ia
masuk ke dalam rumah untuk menolong hamba,” kata si kelinci.
”Apa kau menyukai tempurung itu kura-kura?” si raja hutan bertanya menyelidik.
“Tentu saja, Tuanku. Tempurung ini membuat hamba terlihat gagah.”
“Kalau begitu, aku akan memberikan tempurung itu untukmu. Sebagai gantinya,
kemampuanmu berlari cepat akan aku berikan pada kijang. Adil, bukan?’
Ya, sejak saat itu, kijang dapat berlari cepat, sedangkan kura-kura berjalan lambat. Tentu
saja kura-kura menyesal mengambil tempurung itu, tetapi penyesalan itu sudah terlambat
dan tidak ada gunanya lagi.

Pesan Cerita: Pastikan terlebih dahulu sebelum menggunakan suatu barang.

Dongeng Dua Ekor Kambing yang Sombong


(Jawa Timur)
Tak terasa sudah seharian Si Tanduk berdiri di tepi sungai. Ternyata, ia sedang berkaca di
air dan mengagumi tanduknya yang besar dan melengkung.
”Aku memang gagah. Tidak ada seekor kambing pun di sini yang memiliki tanduk seperti
aku.”
Seperti itulah yang dilakukan si kambing sombong setiap hari. Ia memang memiliki tanduk
yang indah. Tak heran jika teman-temannya menjulukinya “Si Tanduk”. Namun, karena
kesombongannya itu, tak ada seekor kambing pun yang mau berteman dengannya. Setiap
ada yang mendekati, Si Tanduk selalu membanggakan tanduknya.
“Tidakkah kau mau mengagumi sejenak tandukku yang indah ini,” kata Si Tanduk pada
domba yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Untuk apa, yang aku butuhkan sekarang ini adalah rumput segar karena aku lapar. Lebih
baik kau cari saja kambing lain,” jawab si domba dengan wajah kesal sambil beranjak pergi
menuju lapangan rumput.
Si Tanduk pun beranjak ke arah berlawanan dengan si domba. Ia berharap bertemu
dengan kambing lain untuk memamerkan tanduknya.
Tak lama setelah itu, empat ekor anak kambing tampak berjalan ke arahnya. Hati Si
Tanduk pun sangat senang.
“Anak-anak kambing itu pasti akan kagum melihat tandukku,” pikirnya sambil tersenyum.
Sayangnya, keempat anak kambing itu malah berlari berbalik arah meninggalkan Si
Tanduk. Keempat anak kambing itu rupanya sudah bosan dengan perilaku si Tanduk yang
suka pamer.
“Hai… kalian akan rugi kalau tidak melihat tandukku hari ini!” teriak Si Tanduk.
”Justru kami yang rugi sudah membuang waktu untuk mendengar kesombonganmu,”
jawab keempat anak kambing Itu serempak.
Karena merasa tidak ada lagi kambing lain mau mengagumi tanduknya, Si Tanduk berniat
pergi ke seberang sungai. Ia ingin memamerkan tanduknya pada kambing-kambing yang
ada di sana. Sayangnya, sungai itu tidak berjembatan sehingga Si Tanduk tidak dapat
menyeberang.
Namun, suatu hari terjadi angin topan sehingga banyak pohon yang tumbang. Kebetulan,
sebuah pohon kelapa yang tinggi tumbang dan jatuh melintang di atas sungai. Karena
batangnya menjangkau tepian sungai yang lain, pohon tersebut bisa digunakan sebagai
jembatan. Keinginan Si Tanduk pun terkabul. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan bagus
ini, ia segera menuju sungai.
Baru saja kakinya sampai di jembatan, dalam waktu yang sama, seekor kambing dari
seberang Juga menginjakkan kakinya di ujung jembatan satunya.
“Hei, Minggir! Aku mau lewat!” seru Si Tanduk berteriak lantang.
”Untuk apa aku harus minggir? Aku sudah terlebih dahulu menginjakkan kakiku,” sahut
kambing di seberang tak kalah lantang. Keduanya saling berpandangan sejenak dengan
mata melotot.
“Tidakkah kau takut pada tandukku yang besar ini?” Si Tanduk mulai menyombongkan
diri.
“Harusnya kau yang takut padaku. Lihatlah tubuhku ini. Lebih besar darimu, bukan? Aku
pasti lebih kuat.” Ternyata, kambing ini pun sama sombongnya dengan Si Tanduk.
Karena tidak ada yang mengalah, kedua kambing itu mulai melangkah maju. Mereka pun
bertemu di tengah-tengah jembatan pohon kelapa itu. Mata keduanya sama-sama garang.
“Jadi, kau benar-benar tidak mau mundur! Berarti kau telah siap menanggung risikonya.
Rasakanlah kehebatan tandukku ini” seru Si Tanduk sambil berlari ke arah lawannya.
Tanpa mengenal rasa takut. serudukan Si Tanduk dilayani si kambing besar itu. Karena
dua kekuatan besar bertemu, hasilnya pun menakjubkan. Keduanya sama-sama jatuh ke
sungai. Karena tidak dapat berenang, keduanya terseret arus sungai yang deras.
Pesan Cerita: Kesombongan bisa berakhir pada perbuatan yang sia-sia.

Cerita Fabel : Menyelamatkan Kura-Kura (Jawa Timur)


Burung gagak, kura-kura, kijang, dan musang sudah lama menjalin persahabatan. Mereka
sering berkumpul di bawah pohon besar, dekat sebuah danau. Masing-masing akan
bercerita tentang apa saja yang mereka alami.
Seperti biasa, pagi itu mereka sudah berkumpul. Sampai hari agak siang, baru kijang dan
musang yang datang. Gagak dan kura-kura belum tampak. Kijang dan musang pun menjadi
gelisah.
“Ke mana mereka berdua ya? Padahal, gagak telah berjanji membawakanku udang besar
dari sungai,” kata si musang.
Tak berapa lama, terdengar suara dari udara.
”Maaf, teman-teman,” kata gagak terengah-engah ketika sampai di depan dua sahabatnya.
”Tadi aku menjemput kura-kura, tapi dia tidak ada di rumah. Aku sudah mencarinya di
sekitar hutan dan tetap tidak bertemu. Sekarang, aku akan mencari di pinggiran hutan.
Agar lebih cepat, kalian juga bantu mencarinya, ya. Nanti kita akan bertemu lagi di sini
ketika Matahari tepat di atas kepala.”
“Baiklah, kami akan membantumu mencari kura-kura!” seru kijang dan musang
bersamaan.
Dalam sekejap, gagak sudah melesat ke udara dan menghilang dari pandangan dua
sahabatnya itu. Pada suatu tempat, matanya melihat sahabatnya itu berada di dalam jaring
yang dipikul seorang pemburu. Saat itu, sang gagak langsung berpikir.
“Kalaupun turun ke bawah, aku tidak akan bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan
kura-kura. Lebih baik aku menyusun siasat bersama teman-teman terlebih dahulu.”
Gagak pun melesat menuju tempat pertemuan yang direncanakan dan segera melaporkan
apa yang telah dilihatnya. Ketiganya langsung menyusun rencana untuk menyelamatkan
kura-kura dari cengkeraman pemburu. Tak lama kemudian, ketiga sahabat itu menuju
tempat yang diceritakan gagak melalui jalan pintas.
Ketika sampai di jalan setapak, tiba-tiba musang dan rusa berkelahi. Pertarungan itu tentu
saja menarik perhatian si pemburu. Jaring yang berisi kura-kura pun diletakkannya di
tanah. Si pemburu itu penasaran dan memperhatikan pertarungan itu dari balik semak-
semak.
“Rusa itu pasti kalah oleh musang. Setelah rusa itu jatuh, aku akan memanah musang.
Hmm… aku akan mendapat dua hewan sekaligus. Hari yang sungguh menguntungkan,”
pikir si pemburu.
Melihat jaring kura-kura yang ditinggalkan begitu saja, gagak pun datang untuk membantu
kura-kura meloloskan diri.
“Cepatlah masuk ke dalam sungai sebelum pemburu itu tahu,” kata gagak ketika kura-kura
sudah terbebas dari jaring yang membelenggunya.
Gagak pun segera terbang dan memberi tanda pada kedua sahabatnya bahwa misi mereka
telah berhasil. Saat itu juga, pertarungan antara rusa dan musang terhenti.
Si pemburu yang sejak tadi memperhatikan keduanya langsung terheran-heran melihat
kejadian tersebut. Apalagi, keduanya pun langsung melarikan diri ke dalam hutan.
Kesialannya bertambah karena jaring berisi kura-kura yang ia letakkan begitu saja kini
telah kosong. Kura-kura itu telah pergi entah ke mana….
Pesan Cerita: Persahabatan yang dilandasi dengan kesetiaan mampu menyelesaikan segala
persoalan yang dihadapi. Persahabatan ketiga hewan tersebut membuktikan hal tersebut,
mereka menolong sahabat mereka yang sedang mengalami kesulitan…
Penutup
Peran orang tua tua sangat penting, terutama saat mendampingi anak membaca buku dan
menceritakan kembali makna cerita tersebut. Bani anak-anak yang belum bisa membaca,
orang tua dapat membacakan sambil menjelaskan inti cerita dan pesan dari contoh cerita
fabel yang dibacakan.
Yang juga perlu diingat, durasi bercerita berkisar antara 3-5 menit untuk anak usia di
bawah 5 tahun dan 5-2 menit untuk usia di atas 5 tahun. Di atas waktu tersebut anak
sudah tidak berkonsentrasi lagi. Cerita fabel ini pun bisa dilanjutkan di lain waktu.
Bagi anak yang sudah pandai membaca, orang tua dapat menjadi tempat bertanya. Meski
demikian. bisa saja orang tua tetap membacakan salah satu contoh cerita fabel dengan
gaya yang menarik dan volume suara yang sesuai. Apabila hal ini dibiasakan, anak-anak
akan menjadi gemar membaca.

Anda mungkin juga menyukai