Anda di halaman 1dari 13

Sangkuriang, LEGENDA CANDI PRAMBANAN, Aryo Menak, Si Lancang, Terjadinya Danau Toba, Si

Sigarlaki dan Si Limbat, Aji Saka, Arti Sebuah Persahabatan, Batu Golog, Bende Wasiat, Buaya Ajaib,
Asal Usul Danau Lipan, Buaya Perompak, Cindelaras, Kancil si pencuri Timun, Kelelawar Yang
Pengecut, Keong Mas, Kera dan Ayam, Kera Jadi Raja, Kutukan Raja Pulau Mintin, La Dana dan
Kerbaunya, Laba-laba, kelinci dan sang bulan, Loro Jonggrang, Lutung Kasarung, Malin Kundang,
Manik Angkeran, Pak Lebai Malang, Puteri Junjung Buih, Raja Parakeet, Si Pahit Lidah, Si Pitung.

Si Parkit Raja Parakeet


Konon, di tengah hutan belantara itu, hiduplah sekawanan burung parakeet yang hidup
damai, tenteram, dan makmur. Setiap hari mereka bernyanyi riang dengan suara merdu
bersahut-sahutan dan saling membantu mencari makanan. Kawanan burung tersebut dipimpin
oleh seorang raja parakeet yang bernama si Parkit. Namun, di tengah suasana bahagia itu,
kedamaian mereka terusik oleh kedatangan seorang Pemburu. Ternyata, ia berniat
menangkap dan menjual burung parakeet tersebut. Pelan-pelan tapi pasti, si Pemburu itu
melangkah ke arah kawanan burung parakeet itu, lalu memasang perekat di sekitar sarang-
sarangnya. “Ehm….Aku akan kaya raya dengan menjual kalian!”, gumam si Pemburu setelah
selesai memasang banyak perekat. Si Pemburu itu pun tersenyum terus membayangkan uang
yang akan diperolehnya.

Gumaman si Pemburu tersebut didengar kawanan burung parakeet, sehingga mereka menjadi
ketakutan. Mereka berkicau-kicau untuk mengingatkan antara satu sama lainnya. “Hati-hati!
Pemburu itu telah memasang perekat di sekitar sarang kita! Jangan sampai tertipu! Sebaiknya
kita tidak terbang ke mana-mana dulu!” seru seekor burung parakeet. “Ya, betul! Kita
memang harus berhati-hati,” sahut burung parakeet yang lain. Namun, karena harus mencari
makan, burung-burung parakeet itu pun keluar dari sarangnya. Alhasil, apa yang ditakutkan
burung-burung parakeet itu pun terjadi. Bencana tak terelakkan, burung-burung parakeet itu
terekat pada perekat si Pemburu. Mereka meronta-ronta untuk melepaskan diri dari perekat
tersebut, namun usaha mereka sia-sia. Kawanan burung parakeet tersebut menjadi panik dan
bingung, kecuali si Parkit, raja parakeet.

Melihat rakyatnya kebingungan, Raja Parakeet berkata, “Tenang, Rakyatku! Ini adalah
perekat yang dipasang si Pemburu. Berarti dia ingin menangkap kita hidup-hidup. Jadi, kalau
kita mati, si Pemburu itu tidak akan mengambil kita. Besok, ketika si Pemburu itu datang,
kita pura-pura mati saja!”, mendegar penjelasan raja Parakeet itu, rakyatnya terdiam. Sejenak,
suasana menjadi hening. Di tengah keheningan itu, “Berpura-pura mati? Untuk apa?”, tanya
seekor parakeet, membuat burung parakeet lainnya menoleh ke arahnya. Si Parkit tersenyum
mendengar pertanyaan itu, “Besok, setelah si Pemburu melepaskan kita dari perekat yang
dipasangnya, dia akan memeriksa kita satu per satu. Bila dilihatnya kita telah mati, maka dia
akan meninggalkan kita di sini. Tunggu sampai hitunganku yang ke seratus agar kita dapat
terbang secara bersama-sama!”. Semua rakyatnya ternganga mendengar penjelasan si Parkit.
“Oh, begitu..!? Baiklah, besok kita akan berpura-pura mati agar dapat bebas dari Pemburu
itu!”, sahut rakyatnya setuju.

Kini, rakyatnya sudah mengerti apa yang direncanakan oleh si Parkit. Mereka berjanji akan
menuruti perintah rajanya. Keesokan harinya, si Pemburu pun datang. Dengan sangat hati-
hati, si Pemburu melepaskan burung parakeet tersebut satu persatu dari perekatnya. Ia sangat
kecewa, karena tak satu pun burung parakeet yang bergerak. Dikiranya burung parakeet
tersebut telah mati semua, ia pun membiarkannya. Dengan rasa kesal, si Pemburu berjalan
seenaknya, tiba-tiba ia jatuh terpeleset. Kawanan burung parakeet yang berpura-pura mati di
sekitarnya pun kaget dan terbang dengan seketika tanpa menunggu hitungan dari si Parkit. Si
Pemburu pun berdiri kaget, karena ia merasa telah ditipu oleh kawanan burung parakeet itu.
Namun, tiba-tiba ia tersenyum, karena melihat ada seekor burung parakeet yang masih
melekat pada perekatnya. Lalu ia menghampiri burung parakeet tersebut, yang tidak lain
adalah si Parkit. “Kamu akan kubunuh!”, bentak si Pemburu dengan marah. Si Parkit sangat
ketakutan mendengar bentakan si Pemburu.

Si Parkit yang cerdik itu, tidak mau kehilangan akal. Ia segera berpikir untuk menyelematkan
diri, karena ia tidak mau dibunuh oleh si Pemburu itu. “Ampuni hamba, Tuan! Jangan bunuh
hamba! Lepaskan hamba, Tuan!” pinta si Parkit. “Enak saja! Kamu dan teman-temanmu telah
menipuku. Kalau tidak, pasti aku sudah banyak menangkap kalian!” kata si Pemburu dengan
marah. “Iya. Tapi itu kan bukan salahku. Ampuni hamba, Tuan! Hamba akan menghibur
Tuan setiap hari!” kata si Parkit memohon. “Menghiburku?” tanya si Pemburu. “Betul, Tuan.
Hamba akan bernyanyi setiap hari untuk Tuan!” seru si Parkit. Si Pemburu diam sejenak
memikirkan tawaran burung parakeet itu. “Memangnya suaramu bagus?” tanya si Pemburu
itu mulai tertarik. Si Parkit pun bernyanyi. Suara si Parkit yang merdu itu berhasil mumbujuk
si Pemburu, sehingga ia tidak jadi dibunuh. “Baiklah, aku tidak akan membunuhmu, tapi
kamu harus bernyanyi setiap hari!” kata si Pemburu. Karena takut dibunuh, si Parkit pun
setuju.

Setelah itu, si Pemburu membawa si Parkit pulang. Sesampai di rumahnya, si Parkit tidak
dikurung dalam sangkar, tapi salah satu kakinya diikat pada tiang yang cukup tinggi. Sejak
saat itu, setiap hari si Parkit selalu bernyanyi untuk menghibur si Pemburu itu. Si Pemburu
pun sangat senang mendengarkan suara si Parkit. “Untung….aku tidak membunuh burung
parakeet itu”, ucap si Pemburuh. Ia merasa beruntung, karena banyak orang yang memuji
kemerduan suara si Parkit. Sampai pada suatu hari, kemerduan suara si Parkit tersebut
terdengar oleh Raja Aceh di istananya. Raja Aceh itu ingin agar burung parakeet itu menjadi
miliknya. Sang Raja memanggil si Pemburu menghadap kepadanya. Si Pemburu pun datang
ke istana dengan perasaan bimbang, karena ia sangat sayang pada si Parkit.

Sampai di hadapan Raja Aceh, ia tidak bersedia memberikan si Parkit yang bersuara merdu
itu kepada Sang Raja. “Ampun, Baginda! Hamba tidak bermaksud menentang keinginan
Baginda!” kata si Pemburu memberi hormat. “Lalu, kenapa kamu tidak mau memberikan
burung itu?” tanya sang Raja. “Ampun, Baginda! Mohon beribu ampun! Hamba sangat
sayang pada burung tersebut. Selama ini hamba telah memeliharanya dengan baik”, jawab si
Pemburu. Mendengar jawaban itu, “Kalau begitu, bagaimana jika kuganti dengan uang yang
sangat banyak.?”, sang Raja menawarkan. Pemburu itu pun terdiam sejenak memikirkan
tawaran itu. Tidak lama, “Ampun, Baginda! Jika Baginda benar-benar menyukai burung
parakeet tersebut, silakan kirim pengawal untuk mengambilnya!” kata si Pemburu sambil
memberi hormat. Sang Raja sangat senang mendengar jawaban si Pemburu. Ia pun segera
memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mengambil burung parakeet tersebut dan
menyerahkan uang yang dijanjikannya kepada si Pemburu.

Si Parkit pun dibawa ke istana dan dimasukkan ke dalam sangkar emas. Setiap hari si Parkit
disediakan makanan yang enak. Meksipun semuanya serba enak, namun si Parkit tetap tidak
senang, karena ia merasa terpenjara. Ia ingin kembali ke hutan belantara tempat tinggalnya
dulu, agar ia bisa terbang bebas bersama rakyatnya. Karena merasa sedih, si Parkit sudah
beberapa hari tidak mau menyanyi untuk sang Raja. Mengetahui burung parakeetnya tidak
mau menyanyi lagi, sang Raja mulai bimbang memikirkan burung parakeetnya. Karena ingin
tahu keadaan burung itu yang sebenarnya, maka sang Raja pun memanggil petugas istana,
“Kenapa burung parakeetku tidak mau bernyanyi lagi beberapa hari ini? Dia sakit, ya?”.
Petugas Istana itu menjawab, “Maaf, Tuanku. Hamba juga tidak tahu apa sebabnya. Saya
telah memberinya makan seperti biasanya, tetapi tetap saja ia tidak mau bernyanyi,”.
Mendengar jawaban dari Petugas Istana tersebut, Raja Aceh menjadi sedih melihat burung
parakeetnya yang tidak mau bernyanyi lagi. “Ada apa, ya?” gumam sang Raja.

Beberapa hari kemudian, si Parkit bahkan tidak mau memakan apa pun yang disediakan di
dalam sangkar emasnya. Ia terus teringat pada hutan belantara tempat tinggalnya dulu. Si
Parkit pun mulai berpikir, “Bagaimana caranya ya….aku bisa keluar dari sangkar ini?”,
gumam si Parkit. Tak lama, ia pun menemukan akal, “Aahh….aku harus berpura-pura mati
lagi!”, si Parkit tersenyum sambil membayangkan dirinya lepas dan terbang tinggi. Akhirnya,
pada suatu hari, ia pun berpura-pura mati. Petugas Istana yang mengetahui si Parkit mati
segera menghadap sang Raja. “Ampun, Tuanku. Hamba sudah merawat dan memelihara
sebaik mungkin, tapi burung parakeet ini tidak tertolong lagi. Mungkin karena sudah tua,”
kata Petugas Istana melaporkan kematian si Parkit. Sang Raja sangat sedih mendengar berita
kematian burung parakeetnya, sebab tidak akan ada lagi yang menghiburnya. Meskipun sang
Raja masih memiliki burung parakeet yang lain, tetapi suaranya tidak semerdu si Parkit.
Karena si Parkit tidak bisa tertolong lagi, “Siapkan upacara penguburan! Kuburkan burung
parakeetku itu dengan baik!” perintah sang Raja. “Siap, Tuanku! Hamba laksanakan!” sahut
Petugas Istana.

Penguburan si Parkit akan dilaksanakan dengan upacara kebesaran kerajaan. Pada saat
persiapan penguburan, si Parkit dikeluarkan dari sangkarnya karena dianggap sudah mati.
Ketika ia melihat semua orang sibuk, dengan cepatnya ia terbang setinggi-tingginya. Di udara
ia berteriak dengan riang gembira, “Aku bebaasss…!!! Aku bebaasss….!!!. Orang-orang
hanya terheran-heran melihat si Parkit yang dikira sudah mati itu bisa terbang tinggi.
Akhirnya si Parkit yang cerdik itu bebas terbang ke hutan belantara tempat tinggalnya dulu
yang ia cintai. Kedatangan si Parkit pun disambut dengan meriah oleh rakyatnya.

Akhirnya, Si Parkit, Raja Parakeet, kembali tempat tinggalnya. (SM/sas/1/6-07)

Sumber: Ari Wulandari. Pakit Raja Parakeet. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2003.

 Archive
 Subscribe
 Ask me anything
 Submit

Theme by nostrich.

Search

13th January 2010

Post
Si Pitung -Cerita Rakyat Betawi

Pitung adalah salah satu pendekar orang asli Indonesia berasal dari daerah betawi yang
berasal dari kampung Rawabelong Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang tuanya
berharap menjadi orang saleh taat agama. Ayahnya Bang Piun dan Ibunya Mpok Pinah
menitipkan Si Pitung untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji
Naipin.
Setelah dewasa Si Pitung melakukan gerakan bersama teman-temannya karena ia tidak tega
melihat rakyat-rakyat yang miskin. Untuk itu ia bergerilya untuk merampas dan merampok
harta-harta masyarakat yang hasil rampasannya ini dibagikan kepada rakyat miskin yang
memerlukannya.

Selain itu Pitung suka membela kebenaran dimana kalau bertemu dengan para perampas demi
kepentingannya sendiri maka sama Si Pitung akan dilawan dan dari semua lawannya Pitung
selalu unggul.

Gerakan Pitung semakin meluar dan akhirnya kompeni Belanda yang saat itu memegang
kekuasan di negeri Indonesia melakukan tindakan terhadap Si Pitung. Pemimpin polisi
Belanda mengerahkan pasukannya untuk menangkap Si Pitung, namun berkali-kali serangan
tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Pitung selalu lolos dan tidak mudah untuk ditangkap
oleh pasukan Belanda. Ditambah-tambah Si Pitung mempunyai ilmu kebal terhadap senjata
tajam dan sejata api.

Kompeni Belanda pun tidak kehilangan akal, pemimpin pasukan Belanda mencari guru Si
Pitung yaitu Haji Naipin. Disandera dan ditodongkan sejata ke arah Haji Naipin agar
memberikan cara melemahkan kesaktian Si Pitung, akhirnya Haji Naipin menyerah dan
memberitahu kelemahan-kelemahan Si Pitung.

Pada suatu saat, Belanda mengetahui keberadaan Si Pitung dan langsung menyergap dan
menyerang secara tiba-tiba. Pitung mengadakan perlawan, dan akhirnya Si Pitung tewas
karena kompeni Belanda sudah mengetahui kelemahan Si Pitung dari gurunya Haji Naipin

Puteri Junjung Buih

Tersebutlah kisah sebuah kerajaan bernama Amuntai di Kalimantan Selatan.

Kerajaan itu diperintah oleh dua bersaudara. Raja yang lebih tua bernama

Patmaraga, atau diberi julukan Raja Tua. Adiknya si Raja muda bernama

Sukmaraga. Kedua raja tersebut belum mempunyai putera ataupun puteri.

Namun diantara keduanya, Sukmaraga yang berkeinginan besar untuk mempunyai

putera. Setiap malam ia dan permaisurinya memohon kepada para dewa agar

dikarunia sepasang putera kembar. Keinginan tersebut rupanya akan dikabulkan

oleh para dewa. Ia mendapat petunjuk untuk pergi bertapa ke sebuah pulau di dekat
kota Banjarmasin. Di dalam pertapaannya, ia mendapat wangsit agar meminta

istrinya menyantap bunga Kastuba. Sukmaraga pun mengikuti perintah itu. Benar

seperti petunjuk para dewa, beberapa bulan kemudian permaisurinya hamil. Ia

melahirkan sepasang bayi kembar yang sangat elok wajahnya.

Mendengar hal tersebut, timbul keinginan Raja Tua untuk mempunyai putera pula.

Kemudian ia pun memohon kepada para dewa agar dikarunia putera. Raja Tua

bermimpi disuruh dewa bertapa di Candi Agung, yang terletak di luar kota Amuntai.

Raja Tua pun mengikuti petunjuk itu. Ketika selesai menjalankan pertapaan, dalam

perjalanan pulang ia menemukan sorang bayi perempuan sedang terapung-apung di

sebuah sungai. Bayi tersebut terapung-apung diatas segumpalan buih. Oleh karena

itu, bayi yang sangat elok itu kelak bergelar Puteri Junjung Buih.

Raja Tua lalu memerintahkan pengetua istana, Datuk Pujung, untuk mengambil bayi

tersebut. Namun alangkah terkejutnya rombongan kerajaan tersebut, karena bayi itu

sudah dapat berbicara. Sebelum diangkat dari buih-buih itu, bayi tersebut meminta

untuk ditenunkan selembar kain dan sehelai selimut yang harus diselesaikan dalam

waktu setengah hari. Ia juga meminta untuk dijemput dengan empat puluh orang

wanita cantik.

Raja Tuapun lalu menyayembarakan permintaan bayi tersebut. Ia berjanji untuk

mengangkat orang yang dapat memenuhi permintaan bayi tersebut menjadi

pengasuh dari puteri ini. Sayembara itu akhirnya dimenangkan oleh seorang wanita

bernama Ratu Kuripan. Selain pandai menenun, iapun memiliki kekuatan gaib.

Bukan hanya ia dapat memenuhi persyaratan waktu yang singkat itu, Ratu Kuripan

pun menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat mengagumkan. Kain dan selimut

yang ditenunnnya sangatlah indah. Seperti yang dijanjikan, kemudian Raja Tua
mengangkat Ratu Kuripan menjadi pengasuh si puteri Junjung Buih. Ia ikut

berperanan besar dalam hampir setiap keputusan penting menyangkut sang puteri.

Browse » Home » Cerita Rakyat » Kutukan Raja Pulau Mintin(cerita rakyat kalimantan tengah)

Monday, October 11, 2010


Kutukan Raja Pulau Mintin(cerita rakyat kalimantan tengah)
Kutukan Raja Pulau Mintin

Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir. Kerajaan itu
sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan
makmur.

Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung
dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada
saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi
itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya
yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal
sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan
mendasar baru.

Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti
senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti
pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun
marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak
mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan
menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya.
Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.

Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya
untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya
telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,"kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku.
Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku.
Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit,
maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau
naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di
sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan
Bantilung."
Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap
kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.

(Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, "Kutukan Raja Pulau Mintin," Cerita Rakyat
Kalimantan Tengah, Jakarta:Depdikbud, 1982, hal. 44-45).
Diperoleh dari "http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Kutukan_Raja_Pulau_Mintin"

La Dana adalah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya.
Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu
menjadi kelicikan.

Pada suatu hari ia bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah
menjadi kebiasaan di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana
diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh
bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang. Lalu La Dana mengusulkan pada temannya
untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau
hidup. Alasannya adalah mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum
disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.

Seminggu setelah itu La Dana mulai tidak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada
suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita
potong hewan ini, saya sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah
sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita potong saja
bagian saya, dan kamu bisa memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau
kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana
agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana untuk memberinya kaki depan dari
kerbau itu.

Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong.
Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau
menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah
temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong. Kali ini kawannya sudah tidak sabar,
dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tidak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan
datang lagi untuk mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil
membawa seekor kerbau gemuk.

(Diadaptasi secara bebas dari, Alice M. Terada, “La Dana and His Buffalo,” The Magic
Crocodile and Other Folktales from Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press, 1994,
hal 123 126)

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat
hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama
Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa
menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.

Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari,
ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat
tempat ia bekerja.

Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin
menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu
batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya,
“Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”

Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi
hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun,
Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama
makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.

Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan.
Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya
sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.

Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya.
Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat
memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi
tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa
Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat
yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan
batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh.
Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.

Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor
burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung
Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu
mengerami telurnya.

Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa


Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan
yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti.
Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan
menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani
oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.

Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora.
Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke
Pegunungan Kendeng.

“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik
dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka
kepada Sembada.

“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.

Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan
Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali
yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah
hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan
seorang laki-laki meminta tolong.

“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.

Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama
kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang
perampok.

“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.

Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu.
Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia
melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke
tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.

“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya
Aji Saka.

Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia
mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging
manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang
bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara
diam-diam ke daerah lain.

Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.

“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.

“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang
juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang
Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging
manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.

Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang
Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar.
Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan
menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu
tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua
pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh
sang Prabu.

“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.


“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab
Aji Saka dengan tegas.

Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya
ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.

“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang
istana.

“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.

“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.

“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang
lain.

“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang
Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun
mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu
Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa
takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.

“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda
hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera
memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk
dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:

“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang
tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang dikenakannya.

“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?”
sang Prabu menawarkan.

“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.

“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih
dahulu,” kata sang Prabu.

Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.

“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang
mengukurnya,” ujar Aji Saka.

Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban
itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah
Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan
segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika
ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal
dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh
rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan
menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji
Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh
rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.

Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.

“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa
aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.

“Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat
tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun
menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.

“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau
mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.

“Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa
pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari
tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang
mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka.
Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah
pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya,
sehingga mereka pun mati bersama.

Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng
membawa kerisnya.

“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.

Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk
menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana.
Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan
kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka
menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan
pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-
huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan.

Cindelaras
Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh
seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja
Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga
suatu hari selir raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut
dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
 
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan rencana
tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja.
Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah
menaruh racun dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda
sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera
memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.
 
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah hutan
belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang permaisuri. Rupanya sang
patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan
melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk
mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya.
Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
 
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki.
Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas
dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari,
ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras
kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu
menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya
dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan
kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan
ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun
kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok ayam itu
 
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera memperlihatkan pada
ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan.
Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan
kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh
ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam.
Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau berani, adulah ayam
jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata
ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
 
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai ke Istana.
Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh
hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata
Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat
jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat,
jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya
menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
 
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam
Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-
elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku.
Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera
membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera
berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa,
ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat
mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar
Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
 
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang
sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda
Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda
dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera
memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan
hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan
Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras
menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Cerita Rakyat "Cindelaras", diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana.


 

Anda mungkin juga menyukai