Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dhea Ayu Setia Ningrum

NPM : 2201031007
Tugas Resensi Novel Mata Kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Kelas A Semester 2 ( Dua )
Dosen pengampu : Satria Nugraha Adiwijaya M.Pd
Judul Novel : Aku
Penulis : Sjuman Djaya
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tempat Terbit : Jl Palmerah Barat 29 – 37, Jakarta
Tahun Terbit : 1987
Nomor ISBN : 9786020328317
Harga buku : Rp.18.000
Tebal buku : 115 halaman

Sinopsis :
Bom atom pertama meledak di kota Hiroshima. Langit berselaput awan cendawan
berbisa. Ketika memburai awan ini, bumi laksana ditimpa hujan salju yang ganas. Gedung-
gedung beton runtuh. Aspal-aspal jalan terbakar menyala. Bumi retak-retak berdebu, di
segala penjuru. Dan beribu tubuh manusia meleleh, tewas atau terluka. Seekor kuda paling
binal, berbulu putih dan berambut kuduk tergerai, berlari di pusat kota, Jakarta! Tidak peduli
pada yang ada, sekelilingnya, juga tidak pada manusia. Dia meringkik alangkah dahsyatnya,
menapak dan menyepak alangkah merdekanya. Dunia ini, seolah cuma menjadi miliknya!
Dan sekaligus seolah dia bicara:

“Kalua sampai waktuku


kumau tak seorang kan merayu tidak juga kau tak perlu sedu sedan itu dari kumpulannya
terbuang
aku ini binatang jalang”

Saat Chairil berada disebuah ruang pertemuan, dia menulis di papan tulis yang
memang tersedia di tengah ruang itu. Sambil menulis, mulutnya ikut berbunyi:

"Aku!
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menumbus kulitku
Aku tetap me radang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi."

Sederet larik di atas, dengan kata sederhana namun mampu memberikan energi dan
kekuatan bagi mereka yang mendengarnya. Dia sang penyair liar, Chairil Anwar.
Kehidupannya yang amburadul dan anti kemapanan tak membuatnya gerah menghadapi
rumitnya saat-saat ia menapaki bumi ini. Kehidupan setiap orang memiliki warna-warni
berbeda dan hal itulah yang justru membuat hidup ini terasa manis.
Seperti kehidupan Chairil yang juga sosok manusia biasa, ia ingin berteriak pada
dunia bahwa ‘aku’ ingin bebas dari segalanya. Merdeka! Kendati bebas, ia lantas tak hanya
berpangku tangan melihat situasi kondisi lingkungan dimana ia tinggal. Setiap untaian kata
yang keluar dari mulutnya dan goresan tinta di secarik kertas buram, mampu membuatnya
menelurkan sajak-sajak yang kelak akan membuat dirinya dikenang menjadi maestro penyair
terkemuka angkatan ‘45 dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Alur cerita kehidupannya menceritakan bahwa dia adalah sosok penyair yang
fenomenal. Hal itu tidak didapatkan begitu saja olehnya. Meminjam kata-kata Iwan Fals,
bukan tujuan yang dicari tapi prosesnya. Itulah yang dilakukan oleh Chairil dalam hidupnya,
meskipun akhirnya dia meninggal saat usianya masih terbilang muda. Orang-orang tak ada
habisnya membicarakan karya-karyanya dan kehidupannya. Dia mampu menghilangkan
ketakutan terhadap Jepang kala itu dan mengubahnya menjadi senjata untuk kreatif dalam
kata-kata sajaknya. Proses hidup yang terus dijalani mampu memberikan cerminan realitas
dirinya pada saat itu. Hidup yang tak monoton, berliku-liku, tak mudah ditebak dan
penasaran.
Proses hidupnya itulah yang membuat Sjuman Djaya menulis skenario tentang kisah
perjalanan dan karya-karya penyair Chairil Anwar. Judul sajak “AKU” karya Chairil telah
membuat pemerintahan Jepang kala itu sempat gentar dan ketakutan karena isi liriknya yang
membangkitkan semangat pemberontakan dan keberanian para pejuang Indonesia. Hingga
akhirnya Jepang mengubah judulnya menjadi “Semangat” untuk mengaburkan sajak itu.
Skenario yang belum sempat dibuat filmnya -karena keterbatasan ruang dan
dokumentasi saat itu- tak membuat kesegaran isinya hancur remuk hingga hilang bentuk.
Malah sebaliknya, sederetan kata-kata dalam skenario dibawakan dengan apa adanya ini
menimbulkan kebaruan. Referensi yang dicari dari berbagai sumber -teman sesama penyair,
keluarganya dan orang-orang yang merasa kenal dengan dirinya- membuat naskah ini
kelihatan hidup dan berbobot.
Buku ini memuat skenario perjalanan hidup penyair Chairil Anwar, mulai dari masa-
masa kecilnya bersama nenek dan ibunya, ketika beranjak menjadi pemuda liar, dan masa di
mana ia sempat angkat senjata untuk berjuang melawan penjajah, hingga pembuktian
kedewasaannya melalui kisah cinta romantis bersama wanita-wanita yang pernah hidup
dengannya. Begitupun ketika TBC merenggut nyawanya.
Sjuman Djaya mengambil sosok Chairil menjadi pelaku utama dalam sandiwara ini.
Rasa senang, sedih, angkuh, dan marah diungkapkannya secara apik. Buku ini -lebih cocok
dikatakan sebagai skenario- sangat nyaman dibaca karena pilihan diksi yang sederhana.
Begitu juga sajak-sajak Chairil, sederhana tapi tak menghilangkan makna. Karya Chairil dan
Sjuman Djaya masih terdengar gaungnya hingga sekarang. Meski keduanya telah tiada,
namun karya-karya mereka masih tetap bisa kita nikmati dan rasakan. Teringatkan sebuah
pesan bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana dia meninggal, namun bagaimana ketika
mereka saat hidup.

Anda mungkin juga menyukai