Anda di halaman 1dari 3

Be An Authentic Leader!

 
 
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
                                           
Betapa seringnya kita menasihatkan “jadilah dirimu sendiri!”. Tapi berapa kali kita
mengatakan itu kepada diri kita sendiri? Seolah kalimat itu tidak lagi cocok bagi mereka yang
berlabel pemimpin. Padahal, justru pemimpinlah yang paling membutuhkan nasihat itu. Jika
tidak, mereka hanya akan diombang-ambing oleh system nilai dan terori-teori dari luar. Coba
saja ingat kembali; bukankah dalam setiap training kepemimpinan kita disodori dengan teori
tambahan padahal training-training yang lalu pun belum kita implementasikan? Semakin
banyak teori malah semakin membingungkan. Sesekali, cobalah untuk melupakan semua
pelajaran canggih itu; dan jadilah diri sendiri. Memimpinlah dengan cara Anda sendiri. Saya
tahu, Anda akan dikritik. Tetapi, sejauh yang masih saya ingat; tidak satupun teori
kepemimpinan yang bisa benar-benar membantu bagaimana membagi waktu untuk
mengembangkan orang-orang yang kita pimpin ditengah bertumpuknya agenda lain.
 
Jika hanya punya satu atau dua bawahan, mungkin tidak terlampau berat. Tetapi jika belasan
atau puluhan? Benar, kita bisa memperkecil span of control dengan cara membuat ‘layer’
baru diantara kita dengan mereka. Namun, nyatanya kita tidak bisa mengandalkan proses
pengembangan dengan cara itu. Makanya ketika bekerja, saya lebih memilih struktur
horizontal daripada vertikal. Cara itu bukannya tanpa kritikan, misalnya; terlalu mengontrol
atau tidak mau mendelegasikan. Faktanya, banyak pemimpin dunia atau perusahaan yang
sukses dengan struktur organisasi yang sedatar mungkin. Sedangkan organisasi yang semakin
vertical, menimbulkan birokrasi yang panjang, membentuk kerajaan-kerajaan kecil dan
kelambanan pengambilan keputusan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar tentang
bagaimana caranya mengembangkan bawahan ditengah tebatasnya waktu yang kita miliki;
saya ajak untuk memulainya dengan mempraktekkan 5 kemampuan Natural Intelligence
berikut ini:  
 
1.      Memetakan kekuatan masing-masing karyawan. Jika tujuan Anda hanya pergi ke
suatu tempat yang sudah Anda kenali tikungan dan jalan tikusnya, Anda tidak membutuhkan
peta. Tetapi perjalanan mengembangkan karyawan bukanlah rute mudah seperti itu.
Mengapa? Karena bahkan setelah bertahun-tahun bekerja bersama mereka pun belum tentu
Anda benar-benar mengenal mereka. Beruntung jika Anda punya budget untuk melakukan
talent mapping. Lebih beruntung lagi jika budget itu tidak ada, sehingga sekarang Anda
punya kesempatan untuk menguras seluruh kemampuan kepemimpinan Anda. Gunakan
tangan kosong saja? Tapi kan tidak akan akurat? Hey, siapa bilang? Hasil test lembaga yang
keren dan mahal pun belum tentu akurat. Percayalah, I have gone through those kinds.
Bahkan sekalipun hasil pemetaan itu akurat, kemudian hanya diparkir di laci-laci lemari kita
bukan? Jadi, jangan takut untuk melakukan sesuatu sekalipun harus dengan tangan kosong.
Justru dengan begitu, Anda memiliki alasan untuk menuntaskannya karena hal itu
menggelitik sense of belonging Anda. Ini proyek gue. Maka mesti gue rawat beneran.
 
2.      Memberdayakan mereka sesuai hasil pemetaan Anda. Hasil pemetaan yang Anda
lakukan itu sangat membantu untuk memberdayakan mereka sesuai dengan tingkatannya
masing-masing. Misalnya, seseorang berkata kepada saya; “Ingin Menjadi Product Manager,
Pak.”  Saya periksa compatibility-nya dengan hasil pemetaan itu; cocok. Maka saya bisa
meminta komitmen dia untuk melakukan ‘what ever it takes’ untuk menjadi Product
Manager. Saya harus lakukan itu meskipun itu berarti dia akan pindah ke departemen lain.
Yang lain berkata; “Saya disini saja sama Bapak,” Maka saya katakan;”Kalau elu kerja hanya
karena orang lain, elu nggak bakalan jadi apapun.  Apa lagi elu tahu gue nggak bakal lama-
lama tinggal disini.” Lalu dia bilang;”Tapi saya suka dengan bidang ini.” Nah, kalau itu lain.
Maka sejak itu saya bisa pegang komitmen yang lebih tinggi darinya. “Kalau elu mau jadi
Product Manager, elu mesti bisa apa? Kalau elu mau jadi Research Manager, elu mesti bisa
apa? Kalau elu mau jadi bla-bla-bla manager, elu mesti bisa apa?” Pertanyaan standard itu
menghasilkan jawaban yang berbeda. Namun dari perbedaan jawaban itulah saya
mendapatkan komitmen dari mereka untuk melakukannya tanpa mesti disuruh-suruh lagi.
 
3.      Mengembangkan mereka melalui proses pengembangan orang lain. Dari sejumlah
orang yang saya tanya “elu mau jadi apa?” hanya sedikit yang tidak menyebutkan kata
‘Manager’. Bahkan ada yang cukup bernyali untuk mengatakan ‘Mau menggantikan elu,
Dang.” Lumayan, ada juga penggemar saya rupanya, hahaha. Jawabannya bisa berbeda.
Tetapi intinya sama, yaitu; mereka ingin menjadi pemimpin. Sekarang saya buka lagi hasil
pemetaan tadi, lalu saya lihat apa yang saya mau mereka lakukan untuk diri mereka sendiri.
Diantara mereka ada yang sudah waktunya ‘praktek’ menjadi ‘coach’. Ada juga yang belum
siap, atau memang tidak perlu. Maka sekarang, saya punya cukup orang yang bisa menjadi
‘team coach’ bagi semua karyawan di team saya. Sulitkah untuk mendapatkan komitmen
mereka? Tidak. Saya hanya mengatakan; “Untuk meraih jabatan yang elu mau, elu pade
mesti belajar meng-coach orang lain.” Kalimat itu bisa diterima pikiran dan perasaan, bukan?
Lalu kami duduk bersama, melihat berapa total jumlah orang yang perlu di coach di team
kami. Kemudian membagi jumlah mereka sama rata. Saya? Meng-coach orang tidak lebih
banyak dari mereka. Sedangkan semua orang di team itu sekarang punya coach masing-
masing. Anda mengembangkan mereka melalui proses pengembangan orang lain.
                                                               
4.      Memastikan orang-orang kunci tetap Anda tangani sendiri. Tingkat kematangan
setiap orang berbeda-beda. Tetapi, gagasan demokratisasi sering sekali menuntut yang tidak-
tidak. Ditempat saya juga begitu. Bahkan ada yang berani protes segala. Ya tidak ada
masalah jika argumennya benar. Tetapi, pengembangan orang-orang kunci harus Anda
sendiri yang melakukannya. Makanya saya tidak give-up itu kepada orang lain. Saya keras
kepada mereka yang saya coach langsung, jika saya rasa harus keras. Nangis juga tidak
masalah, jika harus demikian. Ada yang sampai mengadu kepada atasan saya. Tetapi, atasan
saya tahu apa yang sedang saya lakukan untuk ‘karyawan kesayangan saya itu’. Mungkin
mereka menyadarinya belakangan setelah saya pergi. Atau mungkin tidak menyadarinya
sama sekali. It doesn’t matter. Tetapi, Anda tahu telah melakukan sesuatu yang menurut
Anda paling efektif untuk mempersiapkan mereka untuk meraih apa yang mereka sendiri
inginkan. Saya yakin, para pemimpin hebat bukanlah mereka yang bersikap lembek.
Melainkan mereka yang bersedia membayar apapun harganya; bahkan sekalipun mereka
harus menuai kontroversi dan kecaman. Pelaut ulung tidak dilahirkan di samudera yang
tenang. Kader yang tangguh juga demikian. Jadi, pastikan orang-orang kunci tetap Anda
tangani sendiri.
 
5.      Mendokumentasikan catatan proses pengembangan. Dokumentasi itu sangat
menyebalkan, memang. Tetapi, jika dituangkan dalam porsi yang tepat sangat membantu kita
untuk melihat apa yang sudah dilakukan dan apa yang kita dapatkan. Kita tidak mungkin
menghafal hal-hal seperti itu dengan lebih banyak lagi hal yang tak kalah pentingnya untuk
dilakukan. Beberapa ‘coach’ terpilih tadi dibekali dengan selembar kertas berisi ruang-ruang
kosong sederhana. Saya tidak memakai form coaching yang dibuat oleh para ahli yang
complicated, melainkan saya membuatnya sendiri. This is my team. I know the needs better
than any consultant on earth. Setiap kali mereka meng-coach seseorang, mereka harus
menuliskan sesuatu, dan diverifikasi oleh orang yang dicoachnya. Saya membacanya secara
random, tetapi menyimpan filenya dilemari sehingga bisa diakses kapan saja diperlukan. Jika
terjadi pergantian leaderpun dokumen itu bisa membantu menyederhanakan proses hand-
over.
 
Kita sering secara keliru diajari atau mempersepsikan bahwa proses pengembangan orang-
orang yang kita pimpin itu sangat rumit dan kompleks. Ya memang begitu jika kita terlalu
terpaku kepada pakem-pakem yang tertera dalam text book. Memang buku-buku
management itu bagus. Tetapi apa bagusnya suatu metode jika tidak bisa diimplementasikan?
Kalau saya diijinkan untuk menyarankan sesuatu, maka inilah saran saya; Jadilah diri Anda
sendiri dalam memimpin. Boleh mendengarkan orang lain, tetapi terapkanlah metode
kepemimpinan yang benar-benar Anda perlukan bagi team Anda sendiri. Meskipun Anda
dituduh aneh; biarin saja. Ini team Anda. Maka Anda sendirilah yang harus menentukan teori
atau metode mana yang patut Anda gunakan, atau ‘tanpa teori’ sama sekali. Jangan takut
digugat;”teori kepemimpinan mana yang jadi landasan elu?!”. Jalan saja. Hey sebentar, saya
mau membisikkan sesuatu; pemimpin seperti itu lho contoh ‘The Authentic Leader’ itu…
 
Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman  - 1 Juli 2011
Master Trainer & Natural Intelligence Inventor
Website: http://www.dadangkadarusman.com
 
Catatan Kaki:
Semua teori kepemimpinan yang bagus ya memang bagus. Tetapi tidak ada yang lebih bagus
dari keteguhan hati seorang pemimpin yang bersedia menguras habis seluruh daya dirinya
demi kebaikan orang-orang yang dipimpinnya.
 

Anda mungkin juga menyukai