Anda di halaman 1dari 4

“Dah lah, semua orang tua patah hati ini mah.

Begini kalimat yang dikirim salah satu teman saya di WAG literasi yang saya ikuti.

Ini tentang meninggalnya putra sulung Ridwan Kamil yang hilang di sungai Swiss dua pekan lalu yang
menjadi trending topic.

Dari situ saya mulai mengikuti berita tentang Eril, saya menyimak berita penemuan jenazahnya
sampai pemakamannya kemarin. Saya juga mengikuti kisah-kisah menyentuh seputar Eril.

Seperti ketika Teh Atalia, ibu Eril berpamitan kepada Eril yang belum ditemukan saat akan
meninggalkan Swiss.

Di akun Instagram yang diunggahnya, terlihat Zahra, Adik Eril dan Atalia mengapit Ridwan Kamil
sambil menatap sungai. Atalia menuliskan kalimat pamit yang begitu mengharukan.

“Ril…Mama pulang dulu ke Indonesia, ya,” tulisnya pada postingan Kamis, 2 Juni 2022.

“Mama titipkan kamu dalam penjagaan dan perlindungan terbaik dari pemilikmu yang sebenarnya,
Allah Swt, di mana pun kamu berada. Insyaallah kamu tidak akan kedinginan, kelaparan, atau
kekurangan apapun. Bahkan kamu akan mendapatkan limpahan kasih sayang, karunia dan
kebahagiaan yang tak pernah putus,” tulisnya lagi.

Apa yang ditulis Teh Atalia sontak mendapat banyak simpati dari netizen. Siapa pun akan tersentuh
dengan apa yang ditulisnya.

Mereka yang berempati apalagi sudah menjadi orang tua langsung merasa pedih. Padahala tak satu
pun dari kami mengenal Eril secara pribadi, tapi kabar mengenainya kami ikuti setiap hari, bersama
jutaan penduduk Indonesia lainnya.

Ini bukan soal anak siapa, tenggelam di mana, melainkan hati para orang tua yang merasakan, ikut
kehilangan, sekaligus ikut berharap Eril segera ditemukan.

Cerita tentang ibu dan anak selalu menimbulkan haru tangis siapa saja. Entah itu di adegan drama,
film, bahkan sinetron picisan indosiar masih bisa membuat saya mewek.

Tidak ada yang lebih kejam daripada kenyataan bahwa kita mungkin takkan pernah melihat anak kita
kembali. Sebab saya yakin semua orang tua berharap – setidaknya – mereka yang akan meninggal
lebih dulu, daripada harus menyaksikan anak yang meninggal duluan.
Sayangnya, kematian tidak datang berdasarkan nomor urut seperti klinik dokter. Usia tidak berakhir
berdasarkan siapa yang lahir lebih dulu. Siapa yang pernah menyangka kepergian Eril Bersama
keluarganya ke Swiss akan menjadi yang terakhir kalinya? Siapa yang akan mengira pemuda yang
sedang berada di puncak keemasannya itu harus menutup buku kehidupannya.

Sekali lagi ini bukan tentang anak siapa, tapi tentang anak baik dengan jiwa sosial yang baik yang
sudah tertanam di dirinya, yang mencuri banyak perhatian para orang tua di seluruh Indonesia.

Drama hilangnya Eril hingga pemakaman kemarin bisa menyita banyak mata dan hati mungkin
karena semasa hidupnya Eril juga kedua orang tuanya memiliki riwayat hidup sosial yang baik,
hingga begitu banyak orang mencintainya.

Kisah Eril masih menjadi tranding topic hingga saat ini meskipun kemarin sempat dijeda viralnya
album baru BTS ‘Proof” yang baru di launcing bersamaan dengan ulang tahunnya ke 9. Hehehe…

Ditinggalkan memang selalu terasa pedih. Begitu saya juga mearasa teriris saat membayangkan apa
yang dirasakan Teh Atalia di detik-detik ketidakpastian menunggu kabar kondisi Eril, anaknya yang
belum diketahui rimbanya. Apakah masih hidup atau hanya tinggal nama? Seorang ibu selalu
berusaha meyakini anaknya baik-baik saja di kondisi begitu. Kabar kematiannya tak digubris karena
dia ingin meyakini bahwa Tuhan tidak sejahat itu mengambil anaknya.

Kisah ini mengingatkan saya pada peristiwa Desaparasidos atau penghilangan terpaksa di akhir
periode orde baru. Meskipun saya masih anak-anak waktu itu, namun saya bisa merasakan
ketegangannya. Saya sudah kelas dua SMP hingga saya mampu merasakan ada yang tidak beres di
ibu kota waktu itu.

Saya membaca cerpen mbak Ila yang saya lupa judulnya, namun itu awal kisah yang membuka
wacana saya tentang kejadian 98.

Novel yang saya baca di wattpad yang berjudul ‘Di mana negeriku?’ karya Silvia Iskandar juga
membuat saya begitu penasaran seperti apa cerita lengkapnya. Meskipun Silvia menuliskan keadaan
waktu itu dari sisi dirinya sebagai ras Tionghoa. Namun kisah ini juga menimbulkan luka, kepedihan
sekaligus kengerian luarbiasa pada mereka yang merasakan, pada pembaca yang mau tidak mau ikut
merasakan kisah itu.

Kemudian membaca novel tulisan Leila S Chudori -Laut Bercerita- menjadikan banyak hal semakin
jelas bahwa kerusuhan waktu itu begitu kompleks dan membuat saya seperti kembali ke masa itu
merasakan bagaimana menjadi para mahasiswa, jadi orang tua para mahasiswa yang hilang itu, pun
menjadi kekasih atau adik mereka. Kerusuhan Mei 1998 yang menyulut massa berbuat anarkis
terhadap suku Tionghoa entah bagaimana itu bermula dari rentetan kisah penghilangan paksa para
aktivis yang bergerak sejak tahun 1996 ini. Dan rentetan kejadian itu menyisakan luka tak terperi
sepanjang masa.

Ternyata kehilangan itu sangat tidak mudah. Apalagi orang tua yang kehilangan anaknya yang
bahkan tak bisa diketahui di mana jasadnya.

Betapa kejadian itu merubah kehidupan yang penuh keceriaan menjadi gelap dan suram karena tak
tahu keberadaan anak mereka yang dihilangkan secara paksa itu. Betapa terguncang jiwa para ibu
dan bapak saat tahu anaknya disiksa dengan kekejian yang mengerikan. Di bagian itu saya hampir
tak sanggup membacanya.

Mungkin Teh Atalia tak sanggup membayangkan Eril, anaknya, tenggelam kedinginan dan tak
seorang pun menolongnya saat dia tergeret arus sungai Aare Swiss yang deras. Lalu bagaimana
kabar orang tua para aktivis yang diciduk hanya karena menginginkan Indonesia yang lebih baik itu?
Mereka kedinginan karena dipaksa tidur di atas balok es selama berjam-jam dalam keadaan
telanjang, mereka diinjak setiap sendi tubuh dengan sepatu lars bergerigi tajam hingga mengalami
patah tulang, disetrum listrik sampai tubuh lemas tak berdaya, dan siksaan keji lain yang manusia
normal tak sanggup membayangkannya. Orang tua mana yang bisa menahan kepedihan atas siksa
anak-nakanya.

Setelah kejadian itu, bahkan orang tua tak lagi bisa tersenyum. Masih menantikan kedatangan anak
mereka yang rutin datang tiap minggu. Mereka masih menyediakan piring dan kursi kosong untuk
anak pemberani mereka, memasakkan masakan kesukaan anak sambil memutar lagu-lagu pengantar
yang menjadi lagu favorit sang anak.

Bahkan beberapa orang tua hampir hilang kewarasannya karena masih berada di halusinasi bahwa
anak mereka masih hidup dan sedang bersembunyi di suatu tempat yang aman dan kadang sesekali
datang ke rumah membatik atau membaca buku di kamarnya tanpa diketahui siapa pun. Trauma
psikis yang sungguh sulit disembuhkan. Mereka akan selalu menangis diam-diam mengingat betapa
anak mereka meninggal dalam sepi, dingin, dan sakit. Seumur hidup.

Teh Atalia dimudahkan mencari jasad anaknnya, dapat dengan mudah membagikan kesedihannya
kehilangan anak tercinta karena sudah ada media yang dapat menampung keluh kesahnya.
Bagaimana kisah mengerikan di tahun 98 itu? Para orang tua hanya memendam, karena
menyuarakan suara mereka memiliki resiko akan dimusnahkan oleh sisa-sisa para antek orde baru.
Presiden selanjutnya pun tak pernah lagi mengangkat kasus keji itu, hingga detik ini. Kisah perih
orang tua atas hilangnya anak-anak baik mereka seolah terlupakan, tak digubris dan tak diusut
hingga akarnya. Tragis. Kisah sekejam itu menguap begitu saja.

Mestinya kisah Eril yang hilang di negeri orang itu, meskipun akhirnya diketemukan dengan kisah
dramatisnya, mampu membuka halaman lama tentang 13 aktivis yang hilang karena begitulah
perasaan orang tua mereka atas hilangnya anak-anak mereka, bahkan menyisakan trauma yang tak
berkesudahan.

Anda mungkin juga menyukai