Anda di halaman 1dari 5

Cerita Fiksi

Dongeng si Kancil dan Buaya yang Tidak Tahu Terima Kasih

Cerita si kancil ini bermula dari buaya yang terjebak di bawah bebatuan dan
ditolong oleh seekor sapi. Buaya kemudian meminta sapi untuk mengantarnya ke tepi
sungai dengan alasan kakinya berdarah sehingga sulit bergerak. Sapi yang merasa
iba pun akhirnya menggendong buaya di punggungnya.
Namun, setibanya mereka di sungai si buaya menolak untuk turun. “Aku lapar,
kelihatannya daging punggungmu ini enak juga,” ujar buaya.
Mendengar hal itu sapi mulai menangis hingga terdengar oleh kancil yang berada
tidak jauh dari mereka.
“Loh, sapi, kenapa kamu menangis? Kenapa buaya ada di gendonganmu?” tanya
kancil padanya. Sapi pun menceritakan kejadian yang ia alami sedari awal kepada
kancil. Kancil yang cerdik kemudian memancing buaya untuk memperagakan kembali
peristiwa tersebut.
“Aku tidak percaya buaya sehebat ini bisa terjebak hingga membutuhkan
bantuanmu,” bantah kancil. Buaya yang terpancing kemudian mengajak mereka
kembali ke tumpukan batu besar lalu merangkak kembali ke dalamnya.
Setelah itu, kancil pun mengakui kebenaran cerita tersebut sembari
mengajak sapi untuk pergi. Meninggalkan buaya yang tidak tahu terima kasih
kembali terjebak di bawah bebatuan.
Cerita Non Fiksi

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku
dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang
dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti
betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari
diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan
hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi
dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan
Rembang.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini
belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk
memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan
jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak
mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu
diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta
perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan
keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada
tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh
pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak
diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere


School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana
kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah
seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus
menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai


tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya
merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah
disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita
bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai
melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan
mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah
tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya.
Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah
Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik
yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya,
namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna
mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat
itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan


sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping
sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya
dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan
‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan


diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door
Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku
itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena
isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita
Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada
kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan
dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun
Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada
tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara,
pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2
Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang

Kumpulan surat-surat:
– Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Penghormatan:
– Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
– Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar

Anda mungkin juga menyukai