Anda di halaman 1dari 3

Analisis Struktural Cerpen “Cincin Kawin” karya Danarto

Cerpen “Cincin Kawin” menceritakan kisah kesedihan seorang anak laki-laki yang
menjalani kehidupan tiap harinya penuh dengan tragedi yang menyakitkan dan selalu di
hantui oleh ketakutan akan kematian. Ibunya yang ditinggal suaminya karna menjadi korban
pembantaian, harus direlakan pergi meninggalkan mereka dalam kesedihan dan keterpurukan
hidup. Walau demikian keluarga kecil ini terus bertahan, namun kenyataannya ujian hidup
yang lain terus bermunculan, dan akhirnya kakak perempuan dan adik perempuannya juga
harus direlakan meninggalkan anak laki-laki itu.
Analisis struktural Cerpen “Cincin Kawin” adalah sebagai berikut:
a. Alur
Bagian Awal
Struktur awal terdiri dari paparan, rangsangan, dan gawatan. Pada bagian awal cerita
ini penulis memaparkan gambaran situasi dan kondis sebagai pijakan awal dimuainya cerita.
Situasi yang di gambarkan merupakan sebuah rangsangan untuk pengenalan masalah dalam
cerita ini. Kemudian setelah pengenalan masalah tersebut, dibuat konflik yang membuat jalan
cerita ini menjadi menarik pembaca untuk ternggelam dalam rasa simpati dan empatik yang
mendalam pada tokoh cerita ini.
Bagian Tengah
Struktur tengah terdapat klimaks. Pada bagian tengah ini permasalahan/ konflik yang
terjadi mengaami puncak masalah. Klimaks, digambarkan ketika keluarga kecil ini terpuruk
kehidupannnya, karna tidak ada biaya Retno meninggal karna sakit dan Ning pergi
meninggalkan rumah entah kemana.
Bagian Akhir
Struktur akhir terdiri dari laraian dan selesaian. Leraian digambarkan ketika
berakhirnya konflik batin karna teror dan kematian anggota keluarganya. Selesaian
digambarkan oleh pengarang dengan mendeskrifsikan penyesalan dirinya karna tidak bisa
menjaga anggota keluarganya dari bahaya dan juga kepasrahan terhadap musibah yang
dialami keuarganya.
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur
regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu
pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

b. Tokoh dan Penokohan


(1) Tokoh Saya
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah
tragis keluarganya yang salah satu angota keluarganya menjadi korban pembantaiaan masal.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang bertanggung jawab, penyayang,
tidak putus asa dan tegar dalam menjalani hidup walau masalah datang silih berganti
menimpa keuarganya. Datanya seperti berikut.
“Kami masih bertahan makan ikan karena harganya semakin murah, sampai ibu
menemukan cincin kawinnya yang dipakai di jari ayah. Hari-hari semakin bertambah berat
bagi kami bertiga yang semakin lemah menjalaninya, ketika kami merawat ibu yang koma
satu minggu lamanya dengan makanan seadanya yang sangat tidak pantas dan
menguburkannya pada hari ke delapan”.
“Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang jiwanya
sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya. Saya cukup
lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke hari terus memburuk".
(2) Retno
Tokoh ini sebagai tokoh pembantu dalam pemunculan masalah yang klimaks. Tokoh ini
digambarkan oleh penulis sebagai tokoh yang yang lemah fisiknya dan menjadi pelengkap
keprihatinan bagi tokoh si Saya.
“Yang saya takutkan setelah meninggalnya ibu, Retno dan Ning tergoncang jiwanya
sehingga menjadi tidak waras. Saya ikuti terus perkembangan jiwa keduanya. Saya cukup
lega, keduanya cukup sehat, hanya saja kesehatan Retno dari hari ke hari terus memburuk”.
“Setelah sakit beberapa lamanya, Retno muntah darah. Karena ketiadaan obat dan
makanan yang baik, akhirnya Retno meninggal”.

(3) Ning
Tokoh Ning tidak berbeda dengan Retno sebagai tokoh pelengkap. Tokoh ini
digambarkan sebagai tokoh yang rapuh mentalnya. Datanya sebagai berikut:
Retno saya kuburkan di samping kuburan ibu. Setiap hari saya kunjungi kuburannya
yang menyadarkan saya bahwa saya telah gagal menyelamatkan keluarga kecil ini. “Apalagi
Ning pergi meninggalkan saya entah ke mana”.
(4) Ibu
Tokoh ibu merupakan tokoh yang dijadikan awal pengenalan konflik. Tokoh ini
digambarkan sebagai tokoh yang lemah fisi dan mentalnya.Hal ini bisa terlihat pada
penggambaran sebagai berikut:
“Ketika ibu mendapatkan cincin kawinnya berada di dalam perut ikan yang sedang
dimakannya, seketika ibu terkulai di meja makan, pingsan. Lalu koma sekitar satu minggu,
kemudian ibu meninggal dunia. Sejak saat itu sejarah hidup keluarga kami diputar ulang”.
(5) Ayah
Tokoh ini nampaknya menjadi tokoh sentral. Penarikan masalah berpusat dari tokoh ayah
yang meninggalkan keluarganya karna menjadi korban pembantaian. Tokoh ayah ini
digambarkan sebagai tokoh pendidik yang perhatian kepada keluarganya, bertanggung jawab,
serta rajin dalam beribadah, yang menjadi topangan utama kebahagiaan keluarga kecil ini.
Hal ini bisa terlihat pada penggambaran sebagai berikut:
Ayah adalah kepala SMP. Semua kegiatan ayah berkisar antara rumah dan sekolah.
Hampir tak pergi ke mana-mana. Jika sekolah piknik, ayah tak pernah ikut. Ia menugaskan
guru yang lebih muda. Ayah cukup berbahagia mendampingi ibu yang sibuk dengan usaha
kateringnya. Ayah tak tertarik politik. Beliau murni seorang pendidik. Setiap kali saya
terbangun tengah malam atau dini hari, ayah dan ibu tampak sedang khusyuk beribadah
yang membuat saya malu hati karena siapa tahu sedikit banyak sapuan ibadahnya juga untuk
keselamatan hidup saya, seorang anak yang barangkali saja tidak memiliki dimensi spiritual,
kurang bersyukur, tak menyadari dilahirkan oleh sepasang orang tua yang selalu
menginjakkan kakinya di halaman surga, di mana tak semua orang mampu pergi ke sana.

c. Latar
“Kami juga sering turun dari kendaraan umum lalu beramai-ramai menambal aspal
jalan yang mengelupas. Atau mendorong bus kami yang terjerembab banjir. Pemandangan
indah, pemandangan suram, semua disajikan kepada kami”.
“Hari belum tinggi benar ketika ayah diseret ke tepi Sungai Brantas bersama
puluhan orang laki-laki dan perempuan yang duduk dengan mata tertutup dan tangan terikat
ke belakang. Mereka basah-kuyup menggigil kedinginan oleh hujan dan kepanasan oleh
hantu yang mengintip dari balik kancing baju mereka. Persis gundukan tanah yang tumbuh
berderet-deret menghiasi sungai, mereka gundukan-gundukan yang tak dikenal. Gundukan
semak belukar yang setiap saat dibabat supaya kelihatan rapi”.
Kutipan cerpen ini menggambarkan situasi latar didalam cerita ini berada di daerah
dekat sungai besar bernama “Sungai Brantas”. Gambaran ini bisa kita lihat dari situasi
lingkungannya dalam cerita ini, dimana daerah ini sering terjadi banjir dan jalan-jalan banyak
yang terkeupas karna air.
“Sampai malam malapetaka itu mengetuk pintu rumah kami dan membawa ayah pergi. Untuk
sesaat, saya, ibu, Retno, dan Ning tertegun, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Orang-orang yang menggelandang ayah begitu garang, juga tak bersedia memberi alas an”.
Dari kutipan cerita tersebut waktu yang ada dalam cerita ini terjadi pada malam hari.
Waktu malam dalam dalam cerita merupakan sebuah pengkondisian situasi untuk bisa
mendramatisir jalannya cerita yang penuh dengan tragedi kesedihan.
d. Tema
Cerpen “Cincin Kawin” menceritakan tentang sorang anak yang tegar akan ujian
hidup yang menimpa seuruh anggota keluarganya. Meninggalnya sosok ayah tercinta karna
korban pembantaian, membuat ibu jatuh pinsan dan koma ketika menemukan “Cincin
Kawinnya” ditemukan pada perut ikan yang dimakannya. Setelah lama koma akhirnya
meninggal dunia. Kakak perempuan dan adiknya yang tak kuat menghadapi ini semua
membuat Retno sebagai kakak perempuannya jatuh sakit, lalu meninggal dan Ning pergi dari
rumah tanpa kabar. Tema yang diangkat dalam cerpen ini yaitu tentang ekonomi. Hal ini bisa
tergambar dalam cerpen ini, sumber konflik karna permasalahan ekonomi. Karna ekonomi
yang kurang mereka harus membei ikan-ikan murah pemakan bangkai. Karna ekonomi juga
Ibu dan Retno tidak bisa berobat untuk kesembuhannya, dan akhirnya meninggal. Larna
situasi ekonomi pula Ning meninggalkan rumah.

Anda mungkin juga menyukai