Anda di halaman 1dari 4

Nama: Aprillia Cindy H.

No. Absen: 07

ROMANSA 2 BENUA

HUIZEN, HOLLAND, AWAL MUSIM SEMI, 2010.

Dari rumah pribadinya yang sederhana di pinggir kota, Soli van Hartland merasa telah kehilangan
banyak hal. Imperium bisnis La Soli, rumah mode terbesar di Amsterdam, Nuwa Otomotif beserta
aset yang dimilikinya, dua orang anak kandung dan seorang cucu. “Hhh....” la mengesah dalam getir
dan gamang.

Hampir dua bulan ia sama sekali tak berdaya di ruang isolasi di bawah pengawasan tim dokter,
sebuah klinik kecil di perbatasan Belanda-Jerman. Ini adalah minggu pertama sejak pulang ke
rumahnya yang senyap dan lengang. Tak ada penghuni lain kecuali dirinya dengan seorang perawat.
“Sekarang aku sungguh sudah kehilangan semuanya,” desisnya pula dari atas kursi rodanya.
“Sekedar menggerakkan kaki-kaki ini pun..... Tuhan! Bahkan aku tak sanggup lagi!”

Ada butiran kristal seketika menggantung di sudut-sudut matanya. Saat terdengar pintu kamar
diketuk dari luar, gegas ia mengulas butiran bening yang mulai merebak itu dengan jari-jemarinya
yang masih bisa digerakkan. “Masuk saja” ujarnya parau. Seorang gadis muda dengan gerak-gerik
yang sangat hati-hati menghampirinya dengan tersenyum ramah. Laila, hanya itu nama yang
dikenalnya. La ikut bersamanya dari klinik dokter Hansen, tempat gadis itu menemani dan merawat
dengan cara yang unik. Sosoknya mengingatkan Soli akan suatu masa, tatkala dirinya berjuang keras
meraih mimpi, cinta, harapan, dan ambisi. Semuanya serasa telah sangat lama berlalu.“Anda
menginginkan sesuatu yang bisa diminum atau dimakan, Mude?” Laila dengan suara yang

Pelan, sorot mata lembut dan penuh perhatian menghampirinya. Perempuan bertangan besi yang di
Juluki Sang Dewi dari Timur, sering menghiasi media cetak dan elektronik serta jurnal bisnis
itu,Perlahan mengangkat kepalanya agak tegak. Ia kembali tergerak untuk tampak tegak dan
berwibawa.Meskipun sesungguhnya di depan gadis polos ini ia tak perku berlagak dan berpura-pura.
Ini hanya Soal kebiasaaan saja, pikirnya. Sejak kecil ja selalu ingin tampak kuat dan tegar. Tak sudi
dikasihani oleh siapa pun. Meskipun kehidupan setiap waktu menghajarnya dengan macam-macam
kekejian.

“Laila, aku ingin jus apel dan sarapan di teras balkon. Tapi sebelumnya aku ingin bertaya kepadamu.
Apa kamu mau menjawab rasa penasaranku, Laila?”. Gadis muda dengan busana muslimah dan
jilbab manis itu membalas tatapannya. Dalam sedetik kemudian ia pun menganggukkan kepalanya
dengan santun dan ikhlas. Tak ada yang berani melakukan hal itu, membalas tatapannya. Yeah,
bahkan dua anak kandungnya. Beatrice dan Martin. Di mana mereka saat ini ? Mereka tak pernah
berani membalas tatapan matanya. Tapi akhirnya keduanya mendurhakainya. Dan seorang cucu
kesayangan. Maxmillian van Hartland, ohh..... bukan. Namanya sudah diganti menjadi Faizal Islam.

Mengapa aku hampir melupakannya? Apakah sungguh aku mulai pikun? Terakhir kali kita bertemu
setahun yang lalu, dan kita bertengkar hebat? Kau bilang ingin muhibah, melakukan perjalanan
spiritual? Keputusan apa itu? Kau tinggalkan kuliahmu di kedokteran, dan kampusmu yang bergensi,
sarbonne. Tak peduli dengan perasaan nenekmu ini. Max ah..... Faiz! Di manakah kamu sekarang,
Cinta?

Seribu tanya dan pilu seketik mengorak hatinya. Tragedi itu telah merenggut Nuwa dari sisiku untuk
selama- lamanya, jeritnya pilu di hati. Terasa jauh lebih menyakitkan dibanding saat ia harus
kehilangan ayah anak itu dengan cara yang sangat pengecut dan licik. Nuwa, keduanya memiliki
nama yang sama. Wajah dan penampilan keduanya pun sangat mirip. Kenyataanya berapa jauh
tabiat kedua lelaki yang senantiasa menempati sudut hatinya paling dalam.

Ia seketika terbatuk-batuk hebat. Laila agak panik, tapi spontan menyodorkan minuman hangat,
ginger tea yang disukai majikannya. Gadis itu lalu berusaha membuatnya nyaman, menambah bantal
empuk di belakang punggung majikannya.

Suaranya seketika terdengar diliputi kehangatan, kerinduan dan kenangan yang dalam. Terutama
Papua, mengingatkannya kepada seseorang suatu ketika dulu. Seharusnya jangan dikenang lagi!
Kebencian dan dendam itu telah lama mengkristal dalam dadanya. Sesuatu yang sering
menjerumuskan dirinya menjadi seorang hipokrit, dingin, tanpa perasaan. Seketika ia seakan baru
menyadari bahwa lebih dari separuh hidupnya telah digunakan untuk berkubang dalam benci dan
dendam itu.

Soli Van Hartland memejamkan sepasang matanya. Ia seperti melihat sosok dirinya dalam lukisan
bidadari, karya pelukis kodang Italia. Cantik, menawan, tapi ia selalu melihat lukisan dirinya itu
dilatarbelakangi warna muram. Yap, pelukis itu sungguh tak bisa dibihongi. Ia mampu
mengekspresikan perasaan yang tersembunyi jauh di lubuk hati bidadari, modelnya.

Tiba-tiba seperti menemukan kepingan-kepingan masa silam. Kepingan kenangan yang menyerpih
dan merabuki relung-relung kalbunya yang terdalam. Telah puluhan tahun dan itu sungguh tak ingin
di sentuh, apalagi dikuaknya. Ia telah berhasil menguncinya rapat-rapat di memori masa silamnya.
Bahka para psikiater yang pernah berusaha menyembuhkan traumatis jiwa di masa lalunya,
sekalipun dengan hipnotis tak pernah berhasil mengoreknya.
Ia berada jauh sekali nun di sana yang tak mungkin terjangkau oleh siapapun! Kini dirinya tak
sanggup lagi menolak. Serpihan masa lalu itu bagaikan samudera, gunung, sungai, pohon, danau,
dan alam semesta dengan kekuatan maha dahsyat. Menyergap dirinya! Ini adalah kemistisan,
siapapun tak akan sanggup membantahnya. Karena Sang Maha Khalik telah membuat skenario
perjalanan kehidupan setiap manusia. Termasuk dirinya, seorang perempuan berusia 55 tahun....
Nah itu dia!. Bukankah dia masih muda, dan seharusnya dia masih produktif menurut ukuran Eropa?
Kenyataannya belakangan la ringkih dan selalu merasa sakit.

Namun, selama itupun la senantiasa merasa hampa dan senyap di dalam hatinya. Di manakah
kententraman hati? Di manakah kesejukan kalbu?.Soli van Hartland memutuskan untuk segera
menemukannya. Ya, sebelum Yang Maha Memiliki menjemputnya, kemudian mengembalikan
dirinya pada ketiadaan dan kehampaan. Seperti dulu, suatu hari, suatu ketika di masa lalunya.

GUNUNG HALU, KAWASAN JAWA BARAT, 1955. Dini hari itu hujan masih turun rintik-rintik. Tapi Titin
berusaha keras untuk bangkit, kemudian turun dari bale-bale. Sebuah gubuk reyot milik ibunya, Mak
Kesih. Malam ini perempuan itu sedang tak ada di tempat, entah kemana. Titin tak pernah ingin
mengetahui apa saja yang dilakukan perempuan itu. Baginya yang utama adalah kepentingan dirinya
sendiri.

Ia tak tahan melihat ketegaran yang di bangun sedemikian rupa oleh sahabatnya, tapi tetap saja
menyisakan kepedihan. Sementara Bah Dirja masih memperhatikan gerak-gerik perawan kecil itu.
Ada kecemasan yang menyurak hati tuanya. Bagaimana seandainya Mak Kesih tak bisa menjaga
cucunya itu dengan baik? Seperti yang terjadi pada ibunya, Titin? Apakah sejarah harus terulang?

Menjelang subuh Mak Kesih dan Soli berhasil menggapai tapal batas kota. Cimahi sudah tampak di
depan mata. Hampir sepanjang malam mereka berjalan kaki, menyusuri bukit, kebun-kebun dan
pesawahan. Mereka hanya berhenti ketika hujan turun sangat deras. Menjelang dinihari keduanya
melanjutkan perjalanan panjang.

Tanpa terasa dua tahun sudah berlalu, Soli bergabung dengan anak-anak jalanan pimpinan Tunem.
Mereka berpindah-pindah tempat dari kawasan kumuh ke kawasan kumuh lainnya. Setiap kali
berpindah keadaannya tak pernah sama lagi. Bahkan orang-orangnya pun sering berubah, berganti-
ganti, yang tetap adalah rumah kardus dan rasa setia kawan di antara mereka.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun pun melenggang. Begitu saja tanpa warna
lain kecuali kesengsaraan suatu kehidupan anak jalanan. Tiga tahun sudah Soli hidup bersama
Tunem dan komunitas anak-anak jalanan kota kembang.

Tunem bagaikan gila mencari Soli ke plosok Kiaracondong . Anak-anak pun membantunya dengan
sungguh-sungguh. Mereka menyebar ke berbagai tempat kumuh, sudut-sudut kota yang bisa
ditinggali oleh kaum tunawisma. Beberapa dari mereka mengira Soli nyasar. Ada juga yang menebak,
Soli langsung diajak ibu kandungnya ke rumahnya.

Menjelang tengah malam tiba-tiba pintu depan rumah di gedor-gedor orang. Titin yang masih belum
bisa memejamkan mata, berleyeh-leyeh dalam lautan mimpi dan samudra angan-angannya,
terlonjak membukakan pintu. Ia mengira, akhirnya Nyonya Ong Tua berkenan juga mengabarinya
tentang keadaan terakhir Baba Ong. Dan menyuruh orang untuk menjemputnya agar bergabung di
rumah sakit.

Soli memberanikan diri menanyaj ibunya yang selalu pulang malam. Belakangan Soli baru
mengetahuinya, ternyata saat itu Titin sedang sibuk mencari pembeli putrinya.

Soli hampir jemu dalam penantian yang sesungguhnya melegakan hatinya. Telah tiga bulan berlalu,
sejak Titin mengantarkannya ke rumah mentereng itu. Belum ada tanda-tanda Baba Liong berhasrat
terhadap dirinya. Apa sesungguhnya yang diinginkan lelaki gaek itu darinya?

Baba Liong semakin sering mencurahkan perasaannya pada Soli. Dan Soli selalu bersedia menjadi
seorang pendengar yang baik.

Bandung,2005

Laila nenggandeng Soli keluar dari pintu kedatangan di pintu bandara Hussein Sastranegara. Di
sebelahnya ada Habiburrahman dan istrinya. Wajah mereka tampak berseri-seri. Soli pun tampak
segar bugar, sama sekali tak terlihat bahwa ia pernah dinyataka in-coma oleh tim dokter.

Soli tak pernah tahu siapa ayah kandungnya dan mengapa ibunya sampai hati membuangnya begitu
saja?. Masa kecilnya dihiasi dengan dengan pergulatan seru melawan kemiskinan, penghinaan, dan
identitas yang tidak jelas. Ternyata, tak cukup sampai di situ. Hal itu masih ditambah lagi dengan
kezaliman di luar batas kemanusiaan. Di usia 13 tahun, Soli telah mendapat pelecehan dan
perlakuan sadis dari seorang lelaki jahim.

Di usia 15 tahun, ia mengalami hal serupa yang lebih keji, disekap berhari-hari di gerbong kereta,
sehingga ia bangkit melawan dan menghabisi si durjana. Derita seakan tak berkesudahan. Saat
berjumpa dengan ibu kandung yang dirindukan, sang ibu malah tega menjualnya.

Anda mungkin juga menyukai