Anda di halaman 1dari 3

Botol Kaca

Hati perempuan yang sedang menulis di selembar kertas tersayat-sayat oleh kabar bahwa tunangannya itu telah menikahi gadis

lain. Pipinya banjir oleh air mata yang tak berhenti sedari tadi. Kalung dan cincin yang disematkan di jari manisnya sudah tak

berarti. Ia akan pergi ke laut dan menggali lubang untuk membuang semua yang telah usai. Pikirannya tak jernih. Emosinya

meluap-luap. Menurutnya yang sedang larut dalam kesedihan, membuang dan melupakan itu saling berkaitan.

Setelah menulis kekesalannya dia menggulungnya bersamaan dengan lukisan menggunakan arang yang memuat wajahnya dan

wajah si pengkhianat itu. Kalung dan cincin yang melekat di badannya sudah ia lepaskan dan ia taruh di meja kamarnya. Satu

parfum berbau buah apel dan bunga lily kering. Ya, semua tentang tunangannya akan ia buang. Sebagian ke laut agar tenggelam

dan sebagian lagi ia kubur agar terpendam oleh tanah dan hujan. Diambilnya botol kaca dan kertas tadi ia masukkan ke dalam

bersama antek-antek yang dia siapkan di meja.

Pagi buta dia berjalan ke pantai. Kakinya gemetar seperti berjalan di tumpukan es. Botol kaca semalam ia genggam di tangan

kanannya. Sebelum sampai di bibir pantai, ia menatap kesal botol itu.

“Kuharap kau tidak muncul lagi di hadapanku Baskara,” ucapnya penuh emosi atas apa yang telah terjadi. Ia melanjutkan

jalannya sampai kakinya terendam air sebetis.

Ia menarik nafas dan berteriak dengan lantang kepada lautan, “Aku akan melupakan dirimu wahai Baskara. Kau itu cuma lelaki

bajingan yang haus akan wanita! Apa kau tidak bersyukur sudah menjalin hubungan denganku namun malah menikahi gadis

lain!?”

Ia tak peduli jika penduduk pesisir memakinya karena berteriak kencang pagi-pagi. Sedetik setelah berteriak ia melempar botol

itu ke lautan dan pergi setelah botol kaca itu menjauh.

Butuh waktu satu bulan lamanya bagi botol kaca itu untuk sampai di tangan seorang pelaut bernama Laksmana yang sedang

bersantai di dermaga. Mulanya Ia hanya istirahat namun tiba-tiba sesuatu menyentuh kakinya. Wajahnya kala itu kebingungan.

Tapi tetap saja ia mengambil botol itu dan membawanya ke rumahnya.

Dibukanya botol itu lalu ia keluarakan semua isinya. Dia terkejut sekaligus bingung. Siapa orang yang membuang kalung dan

cincin indah ini? Ia lebih heran ada aroma apel yang menguar dari gulungan kertas tadi. Rupanya sebotol kecil parfum apel

tumpah. Laksmana tak mau mengambil barang yang bukan miliknya. Ia akan mencari tahu siapa pemilik dari perhiasan indah ini.

Kertas gulungan tadi ia buka. Surat untuk sesorang bernama Baskara. Isi surat tersebut tak lain hanya ujaran kebencian seorang

perempuan yang hatinya sakit karena diselingkuhi. Di penghujung surat terdapat nama orang yang menulis surat ini. Lintang.

Laksmana membalik kertas tadi dan menaruhnya di meja karena tak ada tulisan lagi dibalik surat yang kertasnya mulai menguning

itu. Diambilnya secarik kertas lagi dan dibuka. Isinya hanya gambaran menggunakan arang yang isinya seorang wanita berparas
elok dengan rambut hitam lurus yang tergerai. Di sampingnya terdapat laki-laki yang tersenyum. Wajahnya tampan dengan kumis

tipis menghiasi. Surainya panjang bergelombang.

Laksmana menerka nerka bahwa si Lintang ini sakit hati dan membuang pemberian mantan kekasihnya ke laut sebelum akhirnya

sampai di tangannya.

“Kalau kujual, kalung dan cincin ini akan dapat berapa ya?” dia bermonolog sambil menggoyang-goyangkan kalung di

tangannya. Netra biru tuanya memandang kalung tadi sebentar lalu menyimpannya di salah satu kotak yang ada di rak.

Siang harinya ia berjalan menuju pasar di kota untuk menjual ikan tangkapannya dan menanyakan pada pedagang perhiasan

berapa harga kalung dan cincin yang ia temukan. Meskipun sudah memakai tudung kepala Laksmana bak dipanggang di perapian.

Matahari kala itu sanagt terik seolah-olah ingin menghanguskan semua yang ada di bumi.

Tibalah saat langit mulai gelap, ikan-ikan milik Laksmana habis terjual. Dia menengok ke arah Zandik, pedagang perhiasan di

pasar itu yang sedang menghitung lembaran uang yang didapatnya dari para bangsawan yang membeli di tokonya. Laksmana

berjalan ke arah Zandik. Pedagang itu sedikit mengkerut mencium bau amis ikan dari tubuh Laksmana. Lalu bertanya dengan

ketus, “Ada apa gerangan kesini? Ingin menjual ikan kepadaku? Maaf tapi—“

“Harga kalung dan cincin ini berapa?” Perkataan Zandik langsung dipotong Laksmana dengan menyodorkan kalung dan cincin di

meja. Zandik terbelalak dan memasang kacamatanya. Dia mengamati kalung dan cincin itu dibawah naungan lampu hingga

matahari terbenam seluruhnya.

Laksmana tertegun ketika tiba-tiba Zandik mengatakan harga cincin dan kalung tadi. Nominal yang tak masuk akal. Itu setara

dengan hasil tangkapan ikannya selama sepuluh tahun.

“Batu permata yang digunakan hanya terdapat di pulau seberang. Ini, apakah kau mau menjualnya kepadaku?” Zandik

mengembalikan harya tadi ke mejanya. Laksmana langsung menjawab ketus sambil merampas kasar kalung itu, “Tidak akan.”

Langkah pulang Laksmana begitu gontai. Ia memikirkan apa yang akan dilakukannya pada kalung dan cincin itu. Bisa jadi si

Lintang membuang perhiasannya karena dia sakit hati. Lalu jika dikembalika dia akan menolaknya mentah-mentah.

Sudah diputuskan olehnya bahwa ia akan berlayar ke pulau seberang. Mengembalikan harta milik Lintang karena sayang saja jika

dibuang. Mungkin Lintang terbawa emosi dan tidak memikirkan apa yang terjadi kedepannya.

Laksmana mulai berkemas untuk berlayar. Tujuan utamanya adalah mengembalikan harta milik Lintang. Namun sedikit dirubah.

Pelayarannya memakan waktu 3 minggu. Itu termasuk ketika ia berhenti di pulau kecil tuk beristirahat dan mengisi bekal

perjalanan. Di pulau itulah ia menempa ulang kalung dan cincin milik Lintang. Menulis sebuah surat untuk Lintang. Agar ia tahu

harga kalung dan cincin ini yang dia buang itu sangat mahal. Laksmana juga menggambar ulang wajah Lintang. Ya, hanya wajah
Lintang. Karena Baskara sudah menjadi lelaki brengsek yang mengkhianati seorang perempuan. Tega sekali dia. Tapi entah

kerasukan setan apa Laksmana menggambar wajahnya sendiri dibalik surat untuk Lintang.

Setelah ia sampai di Pulau Lihosa, perjalanannya terhambat karena penyamun yang menyerangnya. Untungnya dia sedikit jago

berkelahi. Penyamun-penyamun tadi hanyalah kroco. Laksmana melewati hutan rimba dalam sehari semalam sebelum sampai di

kota. Melelahkan. Ia mulai bertanya pada penduduk tentang orang yang dia gambar. Nihilnya, tak ada yang tahu siapa perempuan

bernama Lintang itu.

Laksmana beristirahat satu malam di gerobak kayu yang ia tak tahu pemiliknya siapa. Dia mengeluarkan botol kaca, surat,

gambar wajah, dan kalung cincin itu. Kalung dan cincin tadi sudah ditempa ulang sampai wujud aslinya sangat berbeda dengan

yang sekarang. Jauh lebih baik. Permata hijaunya diganti dengan warna biru laut. Entah si Lintang itu suka atau tidak. Setelah puas

mengamati kalung itu ia memasukkannya ke dalam botol kaca bersama dengan kertas-kertas.

Pagi pagi buta dia sudah terbangun. Mukanya masih sayu tapi dia harus bertanya lagi dan lagi.

Hari itu pun nihil. Dia memandang gambar wajah dari Lintang.

Anda mungkin juga menyukai