Anda di halaman 1dari 5

Lelaki, Laut, dan Luka

Kuraba kesunyianmu
dalam keajaiban senja
laut itu *)

Jauh sebelum matahari rekah di ujung langit, di atas perahunya ia pandangi


laut dengan darah di sudut matanya. Lidah ombak menujulur-julur bagai naga
yang terusik dari tetapanya di laut yang dalam dan paling sunyi. Laut baginya
bukan lagi soal apa yang tak bisa didapat untuk sekedar hidup yang paling
sederhana seperti berpuluh-puluh tahun yang lalu. Tapi alam diam-diam dengan
sempurna telah membunuh daya hidupnya, lalu menguburnya di bawah pasir
hitam yang berkilau. Menggali laut seperti akan didapatinya luka.
Pagi ini seperti berpuluh-puluh pagi yang lalu. Ia harus urungkan keinginan
menjaring ikan. Sebab alam yang tak lagi bersahabat. Sungguh suatu siksa bila
harus pulang tanpa membawa apa-apa dari lautnya yang amat luas. Ia gelisah
membayangkan wajah istrinya. Tubuhnya yang berotot dan legam makin terasa
lunglai. Angin tak henti-hentinya mengoyak perahu-perahu yang berderet di
sepanjang bantaran muara dan mendung terus bergerak dengan sapuan warna
gelap.
Harapan apapun warnanya hanyalah sebuah bayang kemewahan. Laut yang
damai dengan ikan yang berlompatan di kanan kiri perahu, adalah sebuah impian
purba lelaki nelayan itu dengan perahu sopeknya yang mulai rapuh. Ia ingin
tertawa sebab dulu pernah ia punya. Tarikan jalanya selalu terasa berat oleh ribuan
ikan. Perahu selalu terasa berat dan hampir karam oleh tumpukan ikan. Lalu ia
pulang menyusuri laut yang mulai kehilangan ombaknya. Di hatinya seperti
seorang pelaut yang paling gagah.
Ia menatap lagi lautnya yang tak lagi seperti waktu lalu, ombak hitam
dengan gulungan mendung bagai goresan warna kusam. Laut seperti mengabarkan
maut. Darah di sudut matanyapun mengering. Lalu di hatinya yang makin ragu,
terbesit untuk mengakui ketakberdayaannya berhadapan dengan alam. Juga
ketakberdayaan menghadapi kehidupan bersama istrinya, Ningsih.
Juga di hadapan Mardiyah, perempuan rentenir yang dulu pernah begitu
mencintai Rastam. Mardiyah perawan kaya yang uzur itu pula yang sering
memberi Rastam uang, meskipun kemudian dirasakan Rastam sebagai sesuatu
kelicikan untuk menunjukkan kehebatannya dibandingkan Ningsih. Rastam tak
berdaya dengan kebaikan Mardiyah, juga ketika menghadapinya saat ia birahi.
Dan Ningsih terluka saat Rastam dengan berat hati menceritakan apa yang telah
dilakukannya pada Mardiyah. Sejak itu, Ningsih menjadi pemarah dan di luar
pikiran Rastam, Ningsih mengumbar kemarahan dengan cara yang ia anggap
sepadan dengan dosa Rastam.
“Sungguh aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku benar-benar tak berdaya,
apalagi menolaknya,” kata Rastam di suatu malam kepada Ningsih yang telah
berderai air matanya.
Makanya Rastam hanya bisa diam ketika Ningsih sering didapatinya pergi
dengan lelaki lain. Ia akan pura-pura bodoh atau pura-pura sibuk dengan
memperbaiki jaringnya bila mendengar orang berbisik-bisik membicarakan
istrinya yang pergi bersama lelaki lain.
“Kau ini lelaki macam apa! Membiarkan istri dibawa lelaki lain!” kata
Mbok Darwi perempuan renta yang tinggal di sebelah gubuknya dan hidup
sebatang kara. Kata-kata itulah yang selalu ia dengar tiap kali bertemu dengan
perempuan itu. Hardikan itu pula yang membuat dunianya tak lebih hanya sebuah
perahu sopek yang rapuh.
Rastam tak pernah mampu mengindahkan kemarahan Mbok Darwi. Baginya
di hadapan Ningsih, ia tak lebih dari perahu sopek yang tak berdaya melawan
ombak kecil. Melawan istrinya, akan semakin membuatnya bagai buih yang
terhempas di atas air laut yang dalam, gelap, dan sunyi.
“Bukan salahnya, Mbok,” jawab Rastam pada Mbok Darwi pada suatu sore
di depan gubuknya.
“Tidak, Ras! Lelaki tak ada salahnya. Perempuan memang dicipta buat
lelaki untuk bisa nrima.”
“Tidak, itu perempuan di zaman rika, Mbok. Buktinya Ningsih sekarang
mengumbar kemarahan di hadapanku dengan menggandeng lelaki lain.” Jawab
Rastam.
“Salah kamu, Ras. Sampai kapan pun perempuan ya perempuan. Dan harga
diri perempuan itu diukur dari kesetiaannya.”
Rastam diam saja. Pikirannya kosong. Dia juga berpikir, semua perempuan
sekarang akan seperti Ningsih, atau paling tidak punya keinginan seperti Ningsih
ketika tahu suaminya menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Lalu senyap merayapi pikiran mereka hingga kesunyian malam terpecah
oleh suara pintu yang terbuka. Mbok Darwi tajam menatap mata Rastam dengan
tatapan mata garang.
“Bregundalmu datang, Ras!”
Rastampun bangkit dari duduknya. Dengan langkah berat ia keluar dari
gubuk Mbok Darwi. Malam sungguh telah begitu larut dan kelam.
Dari balik bilik, Mbok Darwi memasang telinga dengan tajam. Berharap
Rastam akan menghajar Ningsih. Namun ia makin geram, sebab tak ada suara
apapun yang muncul dari mereka. Mbok Darwi makin gelisah dengan kemarahan
yang terus menggunung.
“Bregundal macam apa kamu Ningsih! Masih berani kamu pulang ke
rumah!” teriak Mbok Darwi dari balik biliknya dengan mata merah bagai mata
ikan kakap.
Tak juga ada suara.
“Rastam! Usir saja perempuanmu itu! Cuih..!!! Kalau aku jadi kau, sudah
aku tampar muka istrimu. Lelaki macam apa kau ini, Rastam! Badanya saja yang
besar, beraniannya hanya dengan kambing kudisan!” teriak Mbok Darwi lagi
seperti memecah keheningan malam.
Mbok Darwi terus berteriak-teriak mengumpat segala kata amarah. Namun
dari dalam gubuk Rastam seperti tak ada sesuatu yang bergejolak. Emosi yang
semestinya meledak, begitu saja beku dan kekalutan pikiran telah tercipta menjadi
pembiaran yang sulit untuk diuraikan mereka berdua. Hingga kini, keduanya
hanya menjulurkan kaki dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tak ada yang
ingin memulai untuk bicara walau dengan tatapan mata sekalipun.
Begitu juga ketika pagi tiba dan hari-hari yang terus berjalan, semua
berjalan seperti laut yang tak ada badai, hanya ombak dan buih yang selalu datang
dan hilang.
***
Kemalaratanlah yang memaksa Rastam harus mencari dan melakukan kerja
apa saja. Sementara laut terus bergejolak diterpa badai. Untuk sekedar hidup,
Rastam lalu mencoba menjalani hidup dengan memulung kertas dan plastik ke
dalam gerobaknya. Namun setiap kali ia memungut kertas dan plastik di tempat-
tempat sampah di sepanjang jalan, selalu dibayanginya ikan dan udang di lautnya
yang selalu ia rindui. Memang nelayan tetaplah nelayan. Apapun yang ia lakukan.
Nelayan tak ubahnya seperti seekor ikan yang tak mungkin hidup di atas tanah
atau batu. Nelayan dan ikan selalu saja mendamba laut.
Kerinduan pada laut itulah yang terus merongrong pikiran dan keinginannya
untuk kembali mayang.
“Sepertinya aku harus mayang lagi, Sih.” Ucap Rastam dengan suara lirih
pada Ningsih, perempuan yang memberinya kekuatan menjalani hidup yang
sungguh teramat sulit pada suatu malam yang begitu larut saat mereka telah rebah
di atas ranjang dan angin berhembus dengan kencang hingga menembus bilik
rumahnya yang tak jauh dari bibir pantai. Sebuah kawasan rumah perkampungan
nelayan yang kumuh, miskin, dan amat diam.
Mendengar suaminya yang hendak mayang lagi, Ningsih tak terkejut. Ia
sudah memahami betul bagaimana pikiran dan perasaan yang ada dalam diri
Rastam. Mayang adalah dunia yang menjadikan suaminya merasa menjadi
manusia yang sesungguhnya. Makanya ia tak mungkin melarang Rastam kembali
mencari dunianya di laut.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Rastam.
“Apa? “ jawab Ningsih sembari mendekatkan tubuhnya pada punggung
Rastam.
“Kau kira aku akan melarangmu pergi mayang lagi, Kang? Mana berani aku
melarangmu. Apalagi melarang mayang. Percuma,” jawab Ningsih lembut
sembari perlahan mendekap tubuh Rastam.
Suara debur ombak yang menghantam batu-batu pemecah ombak terasa
benar menggema dalam bilik rumah Rastam.
“Apapun yang kamu beri, sekarang aku nrima, Kang? Kata Ningsih lirih
dengan bibir yang terasa dingin di telinga Rastam. Tangannya melepas ikatan
sarung Rastam. Malam terus bergelanyut hingga berakhir dengan senja memerah
di atas pantai itu.
Rembulan tua yang mengambang di atas laut dengan semburat awan
berwarna kelam mulai tertutup mendung tebal. Dalam keremangan jauh di ujung
hari, Rastam telah membawa perahu sopeknya pergi dari muara. Padahal angin
masih begitu kencang dan tak berarah. Ombak masih bergulung-gulung dengan
badai.
Di bantaran muara yang berderet penuh perahu dan berkabut itu, tak terlihat
nelayan yang mendekati perahunya. Lalu hujan begitu saja runtuh bersama badai.
Laut sekejap menjadi gelap dan terguncang. Dalam gubuk di balik jendela yang
tak berkaca, Ningsih menangis memandangi laut yang mengamuk. Rastam pergi
membawa luka ke dalam lautnya yang kelam.

Tegal, Maret 2014

Keterangan:
*) Kutipan puisi karya Agus Syafaat
mayang : berlayar mencari ikan
rika : kamu

Anda mungkin juga menyukai